Ceritasilat Novel Online

Api Dibukit Menoreh 10


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 10


Api di Bukit Menoreh (05) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 30-08-2019 15:37:02 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (05) Karya dari SH Mintardja

   

   Meskipun sekilas hatinya juga tergetar, tetapi suara itu justru mempercepat hentakkan yang dilepaskannya.

   Demikianlah pada saat-saat suara Ki Tumenggung Wanakerti mempengaruhi pemusatan ilmu Ki Gede Telengan, Agung Sedayu telah menghantam lawannya dengan kekuatannya lewat rabaan sorot matanya yang bersifat wadag, mendorong kekuatan ilmu Ki Gede Telengan.

   Tekanan itu ternyata benar-benar telah menentukan.

   Kekuatan Ki Gede Telengan sendiri bagaikan justru memperkuat hentakkan ilmu lawannya.

   Terasa dada Ki Gede Telengan berguncang.

   Kegelisahannya karena suara Ki Tumenggung Wanakerti telah menentukan akhir dari perjuangannya dengan ilmunya yang dahsyat itu.

   Terasa dada Ki Gede telengan bagaikan terbentur oleh Bukit.

   Nafasnya tiba-tiba saja terputus dan jantungnya berhenti berdenyut.

   Sejenak kemudian, Ki Gede Telengan itupun menggeliat.

   Tetapi, ia sudah tidak mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hidupnya lagi.

   Sehingga karena itulah, maka iapun kemudian jatuh menelungkup perlahan-lahan.

   Pertempuran itu telah digemparkan oleh peristiwa-peristiwa yang susul menyusul.

   Suara Ki Tumenggung Wanakerti telah menggelisahkan segenap pengikut Ki Gede Telengan.

   Apalagi ketika pengikut-pengikutnya melihat Ki Gede Telengan tidak dapat membebaskan diri dari cengkaman kekuatan yang telah dilontarkan oleh anak yang masih muda itu.

   Ki Gede Menoreh yang menjadi tegang karena lontaran ilmu dari orang yang masih belum diketahui, masih sempat mengagumi Agung Sedayu.

   Anak muda itu ternyata memiliki ilmu yang dahsyat, jauh diluar dugaannya.

   Ki Gede memang sudah menduga, bahwa ilmu Agung Sedayu akan meningkat dengan pesat.

   Tetapi ia tidak mengira, bahwa kemajuannya akan sepesat itu.

   Namun Ki Gede kemudian menjadi berdebar-debar.

   Ia melihat Agung Sedayu terduduk lemah.

   Tangannya yang masih bersilang, seolah-olah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menahan badannya yang terbungkuk lesu.

   Sejenak Ki Gede termangu-mangu.

   Namun kemudian ia sadar, bahwa ia harus bertindak tepat.

   "Jangan beri kesempatan pusaka-pusaka itu meninggalkan medan,"

   Perintahnya kepada pengawal-pengawal pilihannya yang ada disisinya.

   Pengawal-pengawal itu segera meninggalkan Ki Gede, mendekati arena pertempuran yang masih seru.

   Sebenarnyalah bahwa pengikut-pengikut Ki Gede Telengan yang telah kehilangan pemimpinnya itu hanya dapat berusaha melarikannya dirinya dengan cara apapun.

   Sementara para pengawal Ki Gede menahan agar pusaka-pusaka itu tidak sempat meninggalkan medan, maka iapun segera mendekati Agung Sedayu yang seakan-akan telah kehilangan kekuatannya sama sekali.

   Agaknya hentakkan yang terakhir telah memeras segenap tenaga yang ada pada dirinya.

   Perlahan-lahan Ki Gede berjongkok disisi Agung Sedayu.

   Ia tidak segera menyentuh anak muda itu, agar tidak mengejutkannya sehingga akan berakibat buruk padanya.

   Ki Gede Menoreh mendengar tarikan nafas yang tidak teratur.

   Namun Ki Gedepun mengetahui, bahwa Agung Sedayu masih tetap sadar untuk mengatur pernafasannya yang menjadi sesak.

   Ki Gede Menoreh masih tetap tidak mengganggu anak muda yang sedang berusaha untuk mempertahankan dari kesulitan yang tumbuh didalam dirinya.

   Ia sama sekali sudah tidak berdaya lagi seandainya seorang lawan datang dengan pedang terhunus.

   Namun perlahan-lahan Agung Sedayu berhasil menguasai dirinya.

   Nafasnya semakin lama menjadi semakin teratur, meskipun ia masih duduk dengan lemahnya.

   Kepalanya masih tertunduk dalam-dalam, sementara nafasnya mulai mengalir teratur.

   Namun dalam pada itu, selagi pernafasannya mulai pulih, terdengar lagi suara yang dilontarkan dengan ilmu yang dahsyat sehingga gemanya seakan-akan menggetarkan seluruh lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

   Agung Sedayu terhentak oleh suara itu.

   Wajahnya yang pucat dan basah oleh keringat terangkat sedikit.

   Namun kembali ia tertunduk dengan lemahnya meskipun kegelisahan telah semakin mencengkam jantungnya sehingga pernafasannya yang mulai teratur itu telah menjadi kacau kembali.

   Namun Ki Gede kemudian berbisik ditelinganya.

   "Jangan hiraukan orang yang hanya dapat berteriak itu. Biarlah aku disini. Jika ia datang, aku akan bertanya, apakah yang diteriakkannya itu."

   Agung Sedayu mendengar suara Ki Gede Menoreh.

   Dengan demikian hatinya menjadi sedikit tenang.

   Pusaka-pusaka itu telah berada dibawah pengamatan orang yang dapat dipercaya.

   Sementera itu, Ki Tumenggung Wanakerti yang marahpnn menjadi semakin dekat dengan arena pertempuran yang sebenarnya sudah hampir selesai.

   Suaranya masih melingkar sekali lagi memenuhi lembah.

   "Telengan. Kau tidak akan terlepas dari tanganku. Aku akan membunuhmu setelah aku membunuh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang menjebakmu."

   "Agaknya telah terjadi sesuatu diantara mereka,"

   Gumam Ki Gede Menoreh.

   Agung Sedayu tidak menjawab.

   Ia kemudian memusatkan segenap sisa kekuntannya untuk mengatur pernafasannya dan memulihkan segenap gerak dan getar didalam dirinya.

   Sementara itu, Ki Gede Menoreh telah memerintahkan kepada seorang penghubung untuk pergi ke induk pasukan.

   Menurut perhitungannya, orang yang datang didahului oleh suaranya yang menggelegar itu tentu tidak sendiri.

   Ia tentu membawa pengawal yang akan mungkin mengacaukan pertahanan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh.

   Ternyata bahwa induk pasukan Tanah Perdikan Menoreh sudah tidak sepenuhnya ada ditempat.

   Namun yang ada masih cukup untuk dapat memberikan bantuan kepada sayap yang sedang menghadapi lawan yang khusus itu.

   Pemimpin kelompok yang ada diinduk pasukan itu memerintahkan beberapa orang tinggal untuk sekedar mengawasi keadaan dangan pesan agar mereka menghubungi pasukan-pasukan disayap jika terjadi sesuatu.

   Sementara itu, ketika keadaan Agung Sedayu berangsur baik.

   Ki Gede Menorehpun telah mempersiapkan dirinya.

   Ia sadar, bahwa sebentar lagi orang yang telah melontarkan kekuatan ilmunya lewat suaranya itu tentu akan datang dengan sikapnya yang masih belum dapat diketahui dengan pasti.

   "Tenangkanlah dirimu,"

   Berkata Ki Gede Menoreh kepada Agung Sedayu.

   "sebentar lagi keadaanmu akan pulih kembali. Kau akan dapat tampil lagi dimedan dengan ilmumu yang dahsyat itu. Biarlah aku manyelesaikan pekerjaan yang tersisa ini."

   Agung Sedayu tidak menjawab.

   Tetapi ia benar benar telah menjadi tenang karena kehadiran Ki Gede Menoreh.

   Ia yakin bahwa tugas yang diembankan kepada para pengawal disayap itu tentu tidak akan sia-sia.

   Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Gede Menoreh, maka sejenak kemudian telah muncul sekelompok pasukan yang datang dengan tergesa-gesa.

   Sekelompok pasukan yang belum diketahui dengan pasti, apakah yang sebenarnya mereka kehendaki.

   Namun sekali lagi Ki Gede memerintahkan kepada pengawalnya, bahwa yang menjadi pusat perhatian adalah kedua pusaka yang masih dipertahankan mati-matian itu.

   "Apapun yang terjadi, kedua pusaka itu jangan sampai lolos. Aku akan menjumpai orang yang berteriak-teriak seperti anak kecil itu, meskipun ia memiliki aji pelontar yang dahsyat dan aji penangkap yang luar biasa pada inderanya."

   Para pengawal Ki Gedepun telah melaksanakan perintah itu dengan kesungguhan hati.

   Didalam arena pertempuran yang sudah berbau darah itu, ternyata para pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih merupakan pengawal yang tidak kalah tangkasnya dari prajurit-prajurit Pajang sendiri.

   Apalagi mereka yang telah memiliki pengalaman dimedan-medan yang berat.

   Namun kehadiran orang baru dimedan itu, telah menumbuhkan persoalan dihati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

   Mereka masih belum tahu pasti, apakah yang harus mereka lakukan terhadap orang itu, karena menurut kata-katanya.

   Ki Gede Telengan adalah yang menjadi sasarannya, meskipun agaknya ia juga memusuhi Tanah Perdikan Menoreh.

   Namun dalam pada itu, perintah Ki Gede Menoreh sudah jelas.

   Pusaka itu harus dicegah agar tidak meninggalkan tempat apapun yang terjadi.

   Sementara itu.

   Ki Tumenggung Wanakerti telah tampil pula dimedan.

   Dalam waktu yang dekat ia segera mengetahui bahwa Ki Gede Telengan telah terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh.

   Namun tiba-tiba saja ia tertegun.

   Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat seseorang yang pernah dikenalnya sebelumnya, berdiri tegak dengan tombak pendek ditangannya.

   "Argapati,"

   Desisnya. Ki Gede Menoreh memandang orang itu dengan tegang pula. Kemudian dari bibirnya terdengar suaranya.

   "Jadi kau yang berteriak-teriak itu Wanakerti."

   "Gila,"

   Geram Wanakerti.

   "katakan apa yang terjadi. Yang penting bagiku adalah Ki Gede Telengan. Aku memerlukannya."

   Ki Gede Menoreh memandang Ki Tumenggung Wanakerti sejenak.

   Ia telah mengenal Tumenggung itu sebelumnya.

   Tetapi ia tidak menyangka samasekali bahwa Ki Tumenggung itu berada diantara orang-orang yang berkumpul dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu.

   "Argapati,"

   Teriak Ki Wanakerti.

   "katakan apa yang telah terjadi disini."

   Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Tetapi ditunjuknya Ki Gede Telengan yang tertelungkup di tanah tidak jauh diri padanya.

   "Mati,"

   Ki Tumenggung terkejut.

   "siapakah yang telah membunuhnya? Kau?"

   Ki Gede Menoreh menggelengkan kepalanya. Jawabnya.

   "Bukan aku."

   "Tentu kau yang membunuhnya meskipun itu aku akan sangat heran Ki Gede Telengan adalah orang yang luar biasa. Aku tahu, bahwa kaupun termasuk orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Tetapi aku yakin bahwa kau tentu berbuat curang sehingga kau berhasil membunuh Ki Gede Telengan."

   Ki Gede Menoreh memandang wajah Ki Tumenggung Wanakerti dengan para Pengikutnya yang masih termangu-mangu.

   Sementara itu pertempuran antara para pengikut Ki Gede Telengan dan orang-orang Tanah Perdikan Menorehpun sudah menjadi semakin mengendor, karena para perigikut Ki Gede Telengan yang sudah menjadi semakin lemah.

   Bukan saja karena jumlah mereka yang susut dan bahkan tinggal beberapa orang pilihan saja tetapi juga karena mereka merasa dicengkam oleh kebingungan yang tidak dapat mereka hindarkan lagi.

   Merekapun sadar, bahwa kedatangan Ki Tumenggung Wanakerti tentu karena ia ingin menyusul Ki Gede Telengan.

   Bahkan agaknya Ki Tumenggung itu telah dibakar oleh kemarahan dan dendam.

   Pusaka-pusakanya telah dilarikan, dan orang-orangnya telah dibunuh.

   Dalam pada itu Ki Gede Menoreh telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

   Namun ia masih menjawab.

   "Tumenggung Wanakerti. Bukan aku yang membunuh Ki Gede Telengan meskipun dengan cara apapun juga. Tetapi lihatlah anak muda itulah yang telah membunuhnya. Ia berhasil melawan Ilmu Ki Gede Telengan dengan ilmu yang serupa. Ternyata bahwa anak muda itu berhasil mengimbanginya meskipun kini ia harus berusaha memulihkan kekuatannya."

   "Gila,"

   Teriak Ki Tumenggung Wanakerti.

   "jangan mencoba mengelabuhi aku. Anak itu mungkin akan mati. Tetapi jangan katakan bahwa ialah yang telah membunuh Ki Gede Telengan."

   "Aku tidak akan memaksamu percaya. Terserah kepadamu apakah yang baik menurut ceriteramu sendiri. Tetapi Ki Gede Telengan telah mati. Dan kau tidak akan dapat berbuat sesuatu disini."

   Ki Tumenggung Wanakerti melihat pertempurun yang semakin susut.

   Ia masih melihat beberapa orang pengikut Ki Gede Telengan mempertahankan pusaka-pusakanya.

   Namun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah mengepungnya.

   Dan bahkan tidak ada kemungkinan lagi bagi mereka daripada menyerahkan pusaka itu kepada para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kedua pusaka itu ternyata telah menyalakan bara di dalam dada Ki Tumenggung Wanakerti.

   Kedua pasaka, itulah yang telah mengacaukan perasannnya sehingga ia meninggalkan medan dan berusaha menyelusuri jejak Ki Gede Telengan.

   Karena itu maka tiba-tiba saja ia berteriak.

   "Ambil pusaka-pusaka itu. Siapapun yang menghalangi bunuh saja mereka."

   Para pengawalnya tidak menunggu perintah itu diulangi.

   Dengan serta mereka telah menghambur di arena dan bertempur melawan siapa saja.

   Pertempuran dilembah itupun menjadi semakin kisruh.

   Ada tiga pihak yang saling bertempur dengan kacaunya.

   Para pengikut Ki Gede Telengan yang tersisa merasa bahwa pengikut-pengikut Ki Tumenggung Wanakerti tentu telah mendendam mereka, sementara para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh berusaha untuk merebut pusaka-pusaka yang telah berada ditangan mereka.

   Sedangkan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh menganggap kedua pihak yang dipimpin oleh Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti adalah musuh mereka, karena keduanya ingin memiliki pusaka-pusaka itu pula.

   Para pengawal yang masih muda dari Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi bingung menghadapi keadaan itu.

   Justru kadang-kadang mereka kehilangan arah perlawanan mereka.

   Siapakah yang harus dilawannya dalam kacaunya medan itu.

   Sementara itu Ki Tumenggung Wanakerti perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Gede Menoreh.

   Dengan wajah yang garang ia berkata.

   "Jika kau bersedia menarik orang-orangmu, maka aku tidak akan mengganggumu."

   "Pergilah jika kau mau pergi,"

   Berkata Ki Gede Menoreh.

   "tetapi pusaka-pusaka itu jangan kau usik lagi. Pusaka-pusaka itu harus kembali ke Mataram."

   "Kami adalah pemilik yang syah dari pusaka-pusaka itu,"

   Jawab Ki Tumenggung Wanakerti.

   "karena itu jangan ganggu kami yang sedang berusaha mengambil milik kami dari tangan orang-orang Pajang atau orang-orang yang mendapatkannya dari mereka. Jaka Tingkir sama sekali tidak berhak atas pusaka-pusaka yang tumurun dari Kerajaan Majapahit, apalagi kemudian Sutawijaya anak Pemanahan ... Ia sama sekali tidak berhak memiliki "

   Dijunjung tinggi oleh mereka "

   Masa pemerintahan Prabu B"

   Ki Geda Menoreh men "

   Ia tidak mendengarkan sesurah Ki Tumenggung Wanakerti karena pikirannya masih terikat kepada keadaan Agung Sedayu.

   Jika ia bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti, maka ia harus melepaskan Agung Sedayu.

   Hal itu akan sangat berbahaya bagi anak muda itu.

   "He,"

   Teriak Ki Wanakerti.

   "kau dengar penjelasan ku? Nah. kau sekarang dapat memilih. Membiarkan aku mengambil kembali hakku atas warisan Majapahit atau kau harus aku bunuh disini."

   Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Tetapi ia mendengar ancaman Ki Tumenggung Wanakerti. Karena itu maka jawabnya.

   "Ki Tumenggung.

   Meskipun aku bukan prajurit Pajang, tetapi aku pernah mengalami seperti yang dialami oleh para prajurit didalam segala macam medan.

   Karena itu biarlah aku tetap bersikap seperti seorang prajurit.

   Ki Tumenggung Wanakerti menggeretakkan giginya, ia kenal Kepala Tanah Perdikan Menoreh meskipun tidak begitu rapat.

   Tetapi iapun sadar bahwa Ki Gede Menoreh tentu akan melakukan seperti yang dikatakannya.

   Meskipun ia bukan seorang prajurit tetapi ia mempunyai sifat-sifat seorang prajurit pilihan.

   Sejenak Ki Tumenggung memandang seluruh medan.

   Namun tiba-tiba ia berteriak.

   "Ambil pusaka itu dan bunuh semua orang. Termasuk anak yang sudah tidak berdaya itu."

   "Licik."

   Ki Gede Menorehpun tiba-tiba berteriak.

   "anak itu masih belum mampu mempertahankan dirinya. Kau tidak boleh membunuhnya."

   Ki Tumenggung Wanakerti tertawa berkepanjangan. Katanya.

   "Kita berada dimedan perang. Saat Ki Gede Telengan sampai pada suatu keadaan tidak dapat melawan maka anak itu masih terus menekannya dengan ilmunya, sehingga Ki Gede Telengan terbunuh karenanya. Sekarang anak itulah yang berada pada suatu keadaan tidak dapat melawan. Karena itu dapat saja diberikan tekanan terakhir, bukan dengan ilmu yang mengerikan itu tetapi dengan tajamnya pedang. Mumpung ia masih duduk sambil menyilangkan tangannya."

   Ki Tumenggung Wanakerti berhenti sejenak. Lalu.

   "He datanglah kepadanya, dan penggal lehernya, meskipun ia sedang berusaha memulihkan kekuatannya."

   "Gila,"

   Ki Gede Menorehpun telah menyiapkan diri untuk melindungi Agung Sedayu. Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung Wanakerti telah menyerangnya sambil berteriak.

   "He Ki Gede marilah kita melihat siapakah diantara kita yang mempanyai ilmu yang lebih tinggi."

   Ki Gede Menoreh terpaksa menghindari serangan itu.

   Dengan tangkasnya ia meloncat kesamping, kemudian memutar tombak pendeknya dan segera menyerang kembali dengan patukan tombak pendeknya.

   Ki Tumenggung masih sempat mengelak, ia mempergunakan pedangnya, sementara seorang pengawalnya telah melemparkan perisainya kepadanya.

   Sambil mengenakan perisai kecilnya Ki Tumenggung berkata.

   "He, ternyata kau sekarang timpang Ki Gede. Meskipun tidak terlalu nampak tetapi jika pertempuran ini berlangsung cukup lama, maka cacat itu akan semakin nampak. He sejak kapan kau menjadi timpang dan cacat kaki."

   Ki Gede Menoreh menggeram.

   Mata Ki Tumenggung Wanakerti ternyata sangat tajam.

   Dalam loncatan-loncatan pertama ia langsung dapat melihat kelemahan Ki Gede Menoreh yang kakinya memang sudah cacat.

   Tetapi Ki Gede Menoreh yakin bahwa kakinya tidak akan mengganggunya lagi.

   Kakinya sudah sembah sama sekali.

   Meskipun demikian timbul pula pertanyaan di hatinya.

   Bagaimanakah jika pertempuran ini berlangsung lama?"

   Dalam pada itu beberapa orang pengawal Ki Tumenggung Wanakerti langsung mendekati Agung Sedayu yang masih duduk untuk memulihkan pernafasannya, sehingga jalur-jalur darah serta getaran ilmunya menemukan kewajarannya kembali.

   Namun dalam pada itu beberapa pengawal Tanah Perdikan Menorehpun menyadari keadaan itu.

   Karena itulah maka beberapa orang diantara mereka telah berusaha menahan orang-orang yang akan menyerang Agung Sedayu.

   Namun ternyata para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti telah bertempur dengan garangnya, sehingga Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah terdesak karenanya.

   Apalagi sebagian dari mereka harus tetap mengepung pusaka-pusaka yang sedang diperebutkan itu.

   Mereka harus menahan agar pusaka-pusaka itu tidak terlepas tetapi juga menahan agar orang-orang yang baru datang dibawah pimpinan Ki Tumenggung Wanakerti tidak berhasil merampasnya.

   Dalam kekalutan itu para pengawal Tanah Perdikan Menoreh merasa bahwa tugas mereka menjadi sangat berat.

   Bahkan beberapa orang anak muda menjadi kebingungan dan hampir saja mereka menjadi putus asa.

   Dalam kecemasan itulah telah muncul beberapa orang pengawal yang datang dari induk pasukan.

   Mereka datang dengan tergesa-gesa karena merekapun menyadari bahwa disayap itu telah terjadi pertempuran yang sengit.

   "Cepatlah,"

   Ki Gede Menoreh meneriakkan perintah.

   "kalian akan berdiri disampang tiga. Lawanmu adalah orang-orang yang bukan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh siapapun mereka, meskipun diantara mereka juga terjadi pertempuran."

   "Tidak,"

   Teriak Tumenggung Wanakerti.

   "kami akan menyelesaikan persoalan kami nanti atau besok atau kelak. Sekarang kami telah menjadi satu untuk membunuh kalian."

   Jawaban Ki Tumenggung itu mempengruhi pula bagi orang-orangnya dan orang-orang yang telah ditinggalkan oleh Ki Gede Telengan.

   Namun ternyata ada juga diantara mereka yang ragu-ragu.

   Terutama orang-orang kepercayaan Ki Gede Telengan yang melindungi pusaka-pusaka itu.

   Dalam pada itu untuk mempengaruhi keadaan yang mulai berubah atas hadirnya pengawal-pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu Ki Tumenggung berkata seterusnya.

   "Aku akan memaafkan Ki Gede Telengan dan pengikut-pengikutnya. Apakah Ki Gede Telengan sudah tidak ada lagi. Pengikutnya akan tetap berada didalam lingkungan kami."

   Kata-kata itu telah berpengaruh lebih dalam lagi didalam hati para pengikut Ki Gede Telengan yang telah kehilangan pimpinan.

   Namun demikian mereka masih tetap ragu-ragu.

   Sementara itu para pengawal yang datang dari induk pasukan telah membaurkan diri kedalam medan.

   Mereka bertempur dengan dahsyatnya.

   Tenaga mereka masih nampak segar, sementara kawan-kawannya sudah mulai nampak lelah oleh pertempuran yang seru meskipun belum berlangsung terlalu lama.

   Seperti yang diperintahkan oleh Ki Tumenggung Wanakerti sasaran utama serangan-serangan pengikutnya tertuju kepada para pengawal yang mengepung pusaka-pusaka yang diperebutkan, sementara yang lain berusaha untuk menembus perlindungan para pengawal atas Agung Sedayu.

   Sedangkan Ki Gede Menoreh sendiri harus bertampur melawan Ki Tumenggung Wanakerti yang menyerangnya seperti badai.

   Ki Tumenggung Wanakerti adalah orang Senapati yang mendapat kepercayaan dari orang yang disebut kakang Panji di Istana Pajang.

   Karena itu ia adalah seorang Senapati yang mumpuni ia memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang cukup luas.

   Tetapi lawan Ki Tumenggung Wanakerti adalah Ki Gede Menoreh.

   Ia adalah orang yang pilih tanding.

   Meskipun ia bukan seorang prajurit, tetapi kemampuannya benar-benar telah mengagumkan.

   Ia memiliki kemampuan seorang Senapati pilihan dan sikap kepemimpinan yang matang justru karena ia adalah seorang Kepala Tanah Perdikan.

   Dengan demikian, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit.

   Ki Tumenggung Wanakerti menyambar-nyambar dengan tangkasnya seperti seekor burung sriti, semantara Ki Gede Menoreh dengan mantap mempermainkan tombak pendeknya.

   Ia hanya bergeser setapak demi setapak.

   Bahkan kakinya seakan-akan tidak beringsut dari tempatnya.

   Namun ia selalu menghadapi lawannya, kemanapun Ki Tumenggung Wanakerti terbang.

   Tombak pendek Ki Gede Menoreh merupakan senjata yang sangat dikuasainya.

   Tombak itu dapat berputar bagaikan perisai ysng menutup tubuhnya dari serangan senjata lawannya.

   Namun tiba-tiba ujung tombak itu mematuk dengan dahsyatnya seperti sebatang anak panah yang lepas dari busurnya.

   Namun dalam pada itu.

   Ki Gede Menoreh masih tetap diganggu oleh kegelisahan karena Agung Sedayu.

   Jika orang-orang yang melindunginya itu gagal, maka ia sama sekali tidak berdaya untuk mempertahankan diri, karena ia sudah memeras segenap k'ekuatan yang ada pada dirinya untuk melawan ilmu Ki Gede Telengan yang dahsyat.

   Dalam pada itu, beberapa orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertempur diseputar Agung Sedayu.

   Merekapun sadar, betapapun juga tinggi ilmu anak muda itu.

   namun dalam keadaan demikian ia benar-benar tidak berdaya.

   Tetapi orang-orang dilembah yang datang bersama Ki Tumenggung Wanakerti yang melihat pula kelamahan itu telah berusaha untuk memecahkan pertahanan para pengawal yang bertahan.

   Meskipun pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertambah jumlahnya, namun mereka masih harus menyesuaikan diri.

   Ternyata sisa anak buah Ki Gede Telengan, memusatkan perlawanan mereka terhadap para pengawal Tanah perdikan Menoreh diluar sadar mereka sehingga dengan demikian maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah bertempur melawan sisa para pengikut Ki Gede Telengan dan pasukan yang mengawal Ki Tumenggung Wanakerti.

   Dalam pada itu.

   Agung Sedayu telah berjuang untuk bertahan dari cengkaman kehancuran dibagian dalam tubuhnya.

   Dengan teratur ia menarik dan melepaskan nafasnya.

   Perlahan-lahan sambil memusatkan segenap kekuatan batinnya untuk memb rikan ketahanan badan wadagnya.

   Perlahan-lahan darahnya mulai mengalir dengan teratur, setelah terhentak-hentak oleh ilmu Ki Gede Telengan dan ilmunya sendiri.

   Dadanya yang sesak bagaikan tertindih bukit rasa-rasanya telah menjadi lapang.

   Namun demikian ia sadar sepenuhnya, jika seorang lawan yang betapapun lemahnya berhasil menyentuhnya dengan ujung senjata, maka ia tidak akan dapat bertahan lagi.

   Darahnya tentu akan terhentak-hentak mangalir dan memecahkan urat-uratnya, terutama pada luka-lukanya, namun Agung Sedayu yang dikelilingi oleh pertempuran yang sengit itu telah pasrah.

   Jika harus ada seo"rang lawan yang datang kepadanya dan menggoreskan senjatanya, maka ia tidak akan manyesali keadaannya.

   Segalanya memang berada ditangan Yang Maha Kuasa.

   Ilmu dan kemampuan yang diterimakan kepadanya ternyata adalah ilmu dalam batasan kemampuan seo"rang manusia biasa.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pada suatu saat, terasa dirinya memeng terlampau kecil jika harus berhadapan dengan maut.

   "Aku hanya dapat berusaha,"

   Berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

   "tetapi yang terjadi adalah ditangan Yang MahaKuasa."

   Namun dalam pada itu, justru karena Agung Sedayu telah pasrah, maka hatinya menjadi tenang.

   Ia tidak lagi digelisahkan oleh apapun yang bakal terjadi atas dirinya.

   Justru karena itulah, maka keadaannya menjadi semakin cepat berangsur baik.

   Perlahan-lahan darahnya mulai mengalir seperti seharusnya.

   Nafasnyapun telah teratur dan badannya terasa mulai menjadi hangat kembali.

   Tetapi sementara itu, tekanan lawan atas para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang melindunginya menjadi semakin berat.

   Perlahan-lahan para pengawal mulai terdesak, sehingga lingkaran diseputar Agung Sedayu itupun menjadi kian menyempit.

   "Gila,"

   Berkata salah seorang pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

   "kalian benar-benar licik. Kalian berusaha untuk menyerang orang yang sedang tidak berdaya.

   "Kami memang orang-orang licik. Tetapi kalian pun licik pula seperti kami."

   "Persetan,"

   Teriak pemimpin kelompok.

   "jangan kalian ganggu Agung Sedayu."

   "Kami akan membunuhnya dan membunuh se"mua orang dari Tanah Perdikan Menoreh."

   Pemimpin kelompok itu tidak menjawab.

   Tetapi tekanan lawan terasa memang semakin berat.

   Para pengawal itu masih terus terdesak setapak demi se"tapak, sehingga beberapa orang diantara mereka menjadi gelisah demi melihat akhir yang buram dari pertempuran itu, apalagi nasib Agung Sedayu.

   Meskipun demikian, para pengawal bertempur dengan sekuat tenaga.

   Mereka tidak akan membiarkan bencana itu menerkam Agung Sedayu yang telah berhasil mengalahkan Ki Gede Telangan meskipun mereka justru harus mengorbankan diri sendiri.

   Dilingkaran pertempuran disekitar pusaka yang sedang dipeebutkan itupun keadaannya menjadi kalut.

   Sisa pengikut Ki Gede Telengan telah mempertahankan pusaka itu mati-matian.

   Sementara para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti telah menyerang dengan dahsyatnya para pengawal yang berusaha merebut pu"saka itu, sehingga para pengawal harus menghadapi ke"dua belah pihak.

   Hanyapada saat-saat tertentu dan menghentak sebentar pengikut Ki Gede Telengan bertahan terhadap pengikut Ki Tumenggung Wanakerti yang mendekati pusaka-pusaka itu.

   Dengan demikian maka pertempuran itupun men"jadi semakin dahsyat.

   Ki Gede Menoreh telah bertempur dengan segenap kemampuannya.

   Ternyata Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar orang yang luar biasa.

   Pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya itu berjalan semakin cepat.

   Langit yang perlahan-lahan menjsdi redup ketika matahari mulai turun disebelah Barat.

   Namun pertempuran rnasih berlangsung terus, sehingga setiap orang mulai meramalkan bahwa pertempuran tidak akan dapat diselesaikan sebelum matahari terbenam.

   "Pertempuran ini akan tertunda,"

   Desis seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh didalam dirinya.

   Namun lawan yang dihadapinya bukannya pasukan segelar sepapan yang bertempur dalam gelar yang berbentuk.

   Perang yang terjadi adalah perang brubuh.

   Sehingga pengawal itu mulai meragukan, apakah perang akan berakhir saat matahari terbenam kemudian akan dilanjutkan dihari berikutnya.

   "Tetapi pusaka-pusaka itu akan dapat dilarikan dimalam hari, pengawal itu berbantah dengan dirinya sendiri. Ternyata bahwa para pengikut Ki Gede Telengan dan Ki Tumenggung Wanakerti sama sekali tidak me"mikirkan saat-saat matahari terbenam. Mereka bertempur terus sehingga mereka berhasil memenangkan pertempuran itu dengan cara apapun juga. Dalam pada itu Ki Gede Menorehpun mulai memikirkan saat-saat matahari terbenam. Jika para pengawalnya yang melindungi Agung Sedayu mampu bertahan sesaat lagi, maka ia akan terlepas dari bahaya. Tetapi Jika orang-orang dilembah itu menyadari kebiasaan didalam peperangan yang berlaku sebagai suatu hukum yang sama-sama dihormati, berkata Ki Gede Menoreh didalam hatinya. namun agaknya me"reka telah bertindak menurut hukum mereka sendiri. Meskipun sebagian besar dari mereka adalah prajurit-prajurit Pajang yang telah melarikan diri bersama Ki Tumenggung Wanakerti namun mereka telah dipengaruhi oleh suasana liar yang buas dilembah ini. Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus. Para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti masih saja berhasil mendesak lawannya yang berusaha melindungi Agung Sedayu, sehingga pada suatu saat. setiap dorongan kekuatan yang menghentak, akan berhasil mendesak para pengawal itu. sehingga mereka kehilangan keseimbangan perlindungannya. Namun pada saat itu, Agung Sedayu telah menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia telah melepaskan sesak yang menyumbat dadanya. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan mengangkat wajahnya. Ia terkejut ketika ia melihat arena yang sempit disekitarnya. Bahkan sekilas ia melihat, para pengawal yang melindunginya telah terdesak. Agung Sedayu dengan tergesa-gesa menyesuaikan dirinya dengan keadaan disekitarnya. Rasa-rasanya tubuhnya telah menjadi segar kembali setelah ia mengadakan pemusatan getaran didalam dirinya mendorong himpitan yang seakan-akan menghentikan arus nafas dan darahnya. Meskipun Agung Sedayu masih merasa lelah, tetapi kekuatannya telah pulih seperti semula. Karena itu, maka iapun segera bersiap untuk mulai dengan pertempuran-pertempuran yang masih berlangsung. Namun, ternyata lawan-lawannyapun melihat perubahan sikap anak muda itu. Seorang bekas prajurit Pajang yang mempunyai pengalaman yang matang, segera dapat mengetahui bahwa Agung Sedayu sudah selesai dengan pemulihan diri. Karena itulah maka ia pun segera mengambil keputusan, mumpung Agung Sedayu masih belum beranjak dari tempatnya. Dari sela-sela pertempuran diseputar Agung Sedayu maka prajurit itu menggeram sambil menyiapkan segenap kekuatannya. Dengan serta merta iapun melontarkan tombaknya langsung mengarah kedada Agung Sedayu. Seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh me"lihat sikap itu dengan tangkasya ia berusaha untuk menyentuh tombak yang terlontar mengarah kedada Agung Sedayu. Namun ia terlambat. Senjatanya tidak berhasil menahan tombak yang meluncur dengan cepatnya itu. Sehingga kemarahannyapun telah melonjak sejalan dengan kegagalannya. Itulah sebabnya maka dengan serta merta ia menyerang bekas prajurit Pajang yang telah melem"parkan tombaknya dengan garangnya. Bekas prajurit itu tidak mampu lagi mengelakkan dirinya. Ia masih berusaha untuk menghindar, namun serangan itu datang tidak terkendali lagi, sehingga yang terdengar kemudian adalah orang yang tertahan. Pedang pengawal itu telah menghunjam keperut lawan yang telah melemparkan tombaknya kepada Agung Sedayu. Sementara itu tombak yang dilemparkannya telah meluncur mematuk dada Agung Sedayu. Untunglah bahwa Agung Sedayu telah membuka matanya dan me"lihat tombak itu meluncur kearahnya. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu yang masih duduk ditengah itupun segera bergeser memiringkan tubuhnya. Tombak itu meluncur dengan derasnya, hanya ber"jarak setebal daun dari bajunya. Tetapi yang terasa olehnya hanyalah desir angin yang menyapu dengan kencangnya. Tombak itu ternyata tidak mengenai sasarannya. Bekas prajurit yang melemparkannya masih sempat melihat kegagalannya itu meskipun senjata seorang pengawal telah menyobek kulitnya. Karena itulah maka disamping orang kesakitan, terdengar orang itu mengumpat pada tarikan nafasnya yang terakhir dengan penuh kecewa. Agung Sedayu tidak lagi membiarkan orang-orang disekitarnya saling berbenahan karena dirinya ia masih merasa berada ditengah-tengah peperangan. Karena itu maka iapun masih mempunyai kewajiban untuk dipertanggung jawabkan. Sesaat kemudian maka Agung Sedayupun telah berdiri tegak, disambut oleh sorak yang mengguntur dari para pengawal yang melindunginya. Dengan serta merta teriakan itu terloncat dari mulut mereka, karena mereka seolah-olah telah terlepas dari ketegangan yang menghimpit disaat-saat mereka melindungi Agung Se"dayu.

   "Terima kasih,"

   Suara Agung Sedayu lantang.

   "aku sudah siap untuk bertempur seandainya masih ada orang yang harus aku lawan."

   Sekali lagi terdengar sorak bagaikan membelah arena partempuran yang kacau itu.

   Namun dengan de"mikian, teriakan itu seolah-olah telah bergema didalam setiap hati yang memberikan dorongan bagi mereka yang mulai gelisah.

   Orang-orang yang semula akan membunuh Agung Sedayu itulah yang kemudian menjadi gelisah.

   Bahwa Agung Sedayu telah berdiri tegak, adalah me"rupakan bencana yang akan menimpa mereka karena Agung Sedayu adalah orang yang memiliki ilmu yang luar biasa, ternyata bahwa ia telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan dalam benturan ilmu.

   Sejenak Agung Sedaju menyaksikan pertempuran yang terjadi disekitarnya.

   Senjata beradu, pekik kesakitan dan sorak kemenangan.

   Perlahan-lahan tangannya meraba lambungnya.

   Dan sejenak kemudian arena itu telah digetarkan oleh ledak cambuk murid Kiai Gringsing itu.

   Sekali lagi arena itu menjadi bergelora.

   Cambuk Agung Sedayu adalah lambang kekuatan ilmu dari perguruannya.

   Agung Sedayu tidak ingin mempergunakan rabaan yang bersifat wadag dari tatapan matanya.

   Ilmu itu kurang sesuai bagi pertempuran dalam keadaan kacau.

   Apalagi tidak ada orang yang harus dilawan dalam perang tanding.

   Itulah sebabnya, maka ia akan bertempur dengan mempergunakan cambuknya.

   Ketika Agung Sedayu kemudian melangkah maju masih terasa seo1ah-olah sendi-sendinya masih belum pulih sama sekali.

   Namun ia sudah merasa siap untuk menghadapi segala kemungkinan dimedan yang kisruh itu.

   Ki Gede Menoreh yang melihat Agung Sedayu mulai menghentakkan cambuknya benar-benar bagaikan ter"siram air dalam keheningan.

   Ia benar-benar menjadi tenang karena ia yakin Agung Sedayu sudah mampu melindungi dirinya sendiri.

   Karena itulah maka kemudian Ki Gede Menoreh sudah memusatkan segala perhatiannya kepada lawannya bekas seorang senapati perang yang ternyata lebih senang memilih jalan yang lain dari jalan yang telah ditentukan oleh pimpinan prajurit Pajang.

   Pertempuran antara keduanyapun berlangsung dengan serunya.

   Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dalam olah kanuragan.

   Sehingga dengan de"mikian maka perang antara keduanya itu seolah-olah telah terpisah dari arena keseluruhan.

   karena para pengikut masing-masing tidak berani mencampuri benturan ilmu yang dahsyat itu.

   Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu mendekati kan"cah pertempuran diseputarnya maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang semula melindunginya telah menyibak.

   Mereka seakan-akan memberi jalan kepada seorang pahlawan yang akan mampu menghancurkan lawan yang lebih kuat dalam pertempuran itu.

   Agung Sedayu berdiri sejenak termangu-mangu Rasa-rasanya ia melihat sesuatu yang aneh telah terjadi.

   Seperti setiap kali ia melihat peperangan.

   Didalam hatinya selalu terbersit pertanyaan.

   "Kenapa sesamanya, justru mahluk yang paling sempurra dari segala mahluk yang ada selalu saja saling berbunuhan yang satu dengan yang lain. Namna Agung Sedayu harus malu kepada dirinya sendiri, iapun agaknya telah siap pula untuk membunuh. Sekilas melintas didalam angan-angannya seorang anak muda yang lain dari anak-anak muda yang dikenalnya Rudita anak muda yang memiliki tingkat kemanusiaan yang jauh lebih tinggi daripadanya. Meskipun masih ada ketidak jujuran dalam sikap Rudita, karena ia pun tidak seutuhnya pasrah diri kedalam tangan Yang Maha Esa karena ia masih memiliki kekebalan namun ia telah menghindari segala macam benturan wadag melawan siapapun juga ia lebih senang membiarkan dirinya mengalami perlakuan yang bagaimanapun juga daripada ia harus melakukan tindakan kekerasan meskipun sebenarnya ia memiliki bekal, jika ia mau. Agung Sedaya terkejut, ketika ia mendengar seseorang mengaduh disisinya. Seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah terjatuh dengan luka dilambungnya.

   "O,"

   Agung Sedayu tergagap. Kemudian diambilnya bumbung kecilnya yang berisi obat luka dari gurunya.

   "Rawatlah kawanmu,"

   Berkata Agung Sedanyu kepada seorang pengawal yang bertempur didepannya, serahkan lawanmu kepadaku."

   Pengawal itu meloncat surut.

   Setelah ia menerima bumbung kecil, iapun segera berjongkok disisi kawannya yang terluka itu.

   Sementara Agung Sedayu sudah meledakkan cambuknya ketika lawan pengawal itu berusaha mengejarnya.

   Orang itu terkejut.

   Selangkah ia mundur.

   Wajahnya menjadi tegang karena yang berdiri dihadapannya kemudian adalah Agung Sedayu.

   Seorang yang telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan.

   Namun dimedan perang seseorang tidak dapat memilih atau menghindari lawan.

   Betapapun hatinya menjadi kecut, namun ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

   Agung Sedayu benar-benar merupakan seekor kucing didalam kerumunan sekelompok tikus liar.

   Namun Agung Sedayu tidak sebuah kucing lapar menghadapi tikus-tikus yang lemah.

   Karena itulah maka ia tidak dengan garangnya menyerang dan membinasakan lawannya.

   Agaknya kawan-kawan orang yang berhadapan dengan Agung Sedayu itu melihat bahwa lawannya tersebut terjebak kedalam nasib yang buruk.

   Karena itulah, maka beberapa orang diantara mereka telah mendekatinya dan berusaha untuk membatunya.

   Betapapun kuatnya Agung Sedayu namun jika ia harus bertempur melawan beberapa orang, maka ia tentu akan mengalami kesulitan.

   Karena itulah maka beberapa orang itupun segera menyerangnya bersama-sama.

   Senjata mereka menyambar susul-menyusul dari berbagai arah.

   Namun Agung Sedayu sempat menghindarnya.

   Pada loncatan-loncatan pertama masih terasa kelelahan pada sendi-sendinya sehingga ia tidak dapat bergerak dengan tangkas dan cepat seperti dalam keadaannya yang wajar.

   Itulah sebabnya Agung Sedayupun kemudian melindungi dirinya dengan hentakan cambuknya.

   Sekali-sekali terdengar cambuknya meledak dengan dahsyatnya.

   Ketika serangan-serangan lawan itu mulai terasa berbahaya baginya maka Agung Sedayupun mulai bersungguh-sungguh.

   Ia tidak sekedar meledakkan cambuknya untuk mengusir lawan tetapi ia mulai memperhitungkan serangannya yang mengarah.

   Ledakan-ledakan cambuk Agung Sedayu benar-benar telah menimbulkan kegelisahan pada lawan-lawannya.

   Terutama para pengikut Ki Gede Telengan yang tidak mendapat kesempatan karena pengawal-pengawal Tanah Perdikan Menoreh harus bertempur pula melawan pengikut Ki Tumenggung Wanakerti.

   Namun ternyata kemudian bahwa keadaan tidak menjadi semakin baik bagi mereka.

   Saat-saat Agung Sedayu mulai bertempur dengan mantap, maka harapan untuk dapat meninggalkan lembah itu bagi para pengi"kut Ki Gede Telengan menjadi semakin sempit.

   Sementara itu langitpun menjadi semakin suram.

   Cahaya kemerah merahan menjelang saat matahari terbenam telah menyiram dedaunan dilembah sehingga seakan-akan setiap bentuk telah diwarnai dengan darah para korban yang bergelimpangan.

   Ki Tumenggung Wanakertipun menjiadi gelisah ia sudah meninggalkan induk pasukannya untuk mengejar Ki Gede Telengan.

   Namun ia tidak menemukan karena orang yang dicari pun sudah mati.

   Semantara pusaka-pusaka yang dicarinya itu sudah berada dihadapan hidungnya tetapi ia tidak segera dapat merebutnya dan membawanya kembali kepasukannya.

   Bahkan semakin lama semakin terasa bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan berhasil menguasai keadaan, sementara ia kini tidak segera dapat mengalahkan Ki Gede Menoreh.

   Sekali-sekali terdengar Ki Tumenggung Wanakerti menggeram tetapi bagaimanapun juga ia tidak dapat memaksakan kehendaknya.

   Ia sudah mempergunakan kemampuannya yang mungkin dapat dituangkan di dalam tata gerak dan sikap didalam peperangan itu.

   Namun Ki Gede Menoreh ternyata juga memiliki kemampuan yang luar biasa.

   Sementara itu, Agung Sedayu mulai mengarahkan perhatiannya kepada pusaka-pusaka yang sedang diperbutkan.

   Pusaka-pusaka itulah pokok peroalannya, meskipun hanya sekedar sebagai lantaran hadirnya wahyu menurut kepercayaan orang-orang yang sedang bertempur mati-matian itu.

   "Pusaka-pusaka itu harus segera dikuasai,"

   Berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

   "jika malam turun, dan keadaan menjadi gelap, maka kemungkinan yang pahit dapat saja terjadi didalam kelamnya malam. Itulah sebabnya maka Agung Sedayu bertekad untuk menguasai pusaka-pusaka itu sebelum gelap menyelubungi lembah. Dorongan itulah yang kemudian memaksa Agung Sedayu untuk bertempur lebih dahsyat lagi. Meskipun seakan-akan ia hanya sekedar mencari jalan untuk dapat mencapai pusaka-pusaka itu, namun orang-orang yang menghalanginya harus dihalaunya. Sehingga sengaja atau tidak sengaja, maka cambuknya telah menelan korban diantara lawan-lawannya. Baik para pengikut Ki Gede Telengan yang telah kehilangan pimpinan itu, maupun pengikut Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar telah tercengkam oleh kegelisahan. Bahkan Ki Tumenggung Wanakerti sendiri menjadi cemas melihat perkembangan terakhir dari keadaan Agung Sedayu sangat cepat melampui dugaannya.

   "Anak itu tidak mati,"

   Tiba-tiba saja ia menggeram. Ki Gede Menoreh tersenyum. Sambil bertempur ia masih sempat menjawab.

   "Sudah aku katakan ia adalah seorang anak muda yang luar biasa."

   Ki Tumenggung Wanakerti tidak menyahut.

   Namun ia bertempur semakin sengit.

   Serangan-serangannya mulai mengarah kebagian tubuh Ki Gede Menoreh yang paling berbahaya.

   Namun Ki Gedepun selalu berhasil melindungi dirinya.

   Seperti saat-saat yang pernah terjadi dalam benturan senjata setelah kakiya cacat ia tidak terlalu banyak bergerak.

   Ia hanya bergeser saja menghadap kemana lawannya melenting dan dari arah mana serangan itu datang.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Meskipun demikian sekali-sekali jika perlu, Ki Gede Menoreh masih juga sempat meloncat dengan terpaksa.

   "Kakimu timpang,"

   Teriak Ki Tumenggung.

   "tetapi kau masih mampu bertempur demikian sengitnya. Namun demikian aku mengerti karena diajari oleh pengalaman bahwa orang-orang timpang seperti kau pada suatu ketika tentu akan terganggu oleh carat kakimu."

   Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya tetapi ia percaya bahwa pandangan Ki Tumenggung Wanakerti yang tajam tidak akan dapat terkelabui.

   Kakinya memang sudah cacat meskipun nampaknya hampir pulih kembali.

   Dalam pertempuran yang paling sengit kemudian ternyata seperti yang pernah terjadi, sesuatu terasa mulai mengganggu kakinya.

   Cacat yang pada saat-saat yang gawat akan dapat mengurangi kemampuannya bergerak.

   Sementara itu, Agung Sedayu maju perlahan-lahan mendekati kedua pusaka yang dipertahankan mati-matian oleh para pengikut Ki Gede Telengan.

   Bahkan ke"mudian para pengikut Ki Tumenggung Wanakertipun telah bersama-sama dengan mereka mencegah hadirnya Agung Sedayu.

   Dengan susah payah mereka mencoba menahan anak muda itu.

   Namun agakaya Agung Sedayu memang memiliki kelebihan.

   Setiap kali cam"buknya meledak, maka setiap kali berhasil maju selangkah.

   "Gila,"

   Teriak seorang Senapati pengawal Ki Tumenggung Wanakerti yang membantu mencegah Agung Sedayu merebut pusaka itu.

   "anak iblis ini benar-benar luar biasa."

   Diluar sadarnya seorang pengikut Ki Gede Telengan justru menyahut.

   "ia telah membunuh Ki Gede Talengan. Dan sekarang datang gilirannya anak itu membunuhmu."

   Senapati Pajang yang berada diantara orang-orang dilembah itupun menyahut.

   "Aku akan membunuhnya sebelum aku meremukkan kepalamu."

   Pengikut Ki Gede Telengan itu tertawa.

   Bukan karena kagembiraan atau kelucuan yang telah menggelitik hati tetapi justru karena kekecutan hatinya menghadapi keputus asaan, sehingga tertawanya yang meninggi itupun bagaikan teriakan sesambat seorang anak yang sedang diterkam oleh seekor harimau yang garang.

   Namun saat tertawa itu sangat menyakitkan hati Senapati itu.

   Dengan garangnya ia berkata.

   "Bukalah matamu. Aku akam membunuhnya."

   Tetapi Senapati itu cukup berpengalaman untuk membawa tiga orang prajurit Pajang untuk melawan Agung Sedayu.

   Sejenak kemudian Agung Sedayu telah mengalami hambatan.

   Senapati itu dengan mengerahkan segenap kemampuannya telah melawan Agung Sedayu bersama tiga orang prajuritnya.

   Namun Senopati bersama tiga orang prajurit Pajang yang berpihak kepada orang dilembah itu, setiap kali termangu-mangu.

   Ledakan cambuk Agung Sedayu benar-benar telah menggetarkan dada mereka.

   Ujung cambuk itu bagaikan bermata yang dapat melihat dimanakah lawan anak muda ada, bahkan dapat menge"tahui dibagian mana ujung cambuk itu harus menyusup menyentuh lawan.

   Empat orang lawan Agung Sedayu itu tidak terlalu banyak dapat berbuat.

   Mereka hanya dapat menahan Agung Sedayu untuk tidak lebih mendekati pusaka-pusaka itu lagi.

   Agung Sedayu yang masih lelah itu termangu-mangu.

   Jika orang-orang dari dua pihak lawan itu tetap berkeras mempertahankan pusaka-pusaka itu, maka memang tidak ada cara lain daripada dengan keke"rasan, sementara matahari menjadi semakin rendah dan hampir menyentuh ujung dedaunan di arah Barat.

   Itulah sebabnya, maka akhirnya Agung Sedayu dengan berat hati terpaksa memaksa diri untuk dapat menembus hambatan-hambatan yang ada agar ia dapat mencapai pusaka-pusaka itu sebelum gelap menyelubungi lembah.

   Keragu-raguan terasa menjalari jantung anak muda itu.

   Namun kemudian ketika terpandang olehnya selongsong putih pada pusaka-pusaka itu, hatiya ba"gaikan tergerak.

   Ternyata bahwa sebenarnya Agung Sedayu tidak banyak mengalami hambatan dan lawan-lawannya.

   Senjatanya dengan dahsyatnya telah mengusir dan menyibakkan para Senapai dan prnjurit yang melawannya.

   Tetapi hambatan terbesar justru datang dari diriya sendiri.

   Meskipun ia sudah terlalu sering mengalami pertempuran, namun ia masih terkejut dan bahkan menjadi berdebar-debar jika ia mendengar seseorang memekik kesakitan justru kena ujung cambuknya.

   Terhadap kematian Ki Gede Telengan Agung Se"dayu tidak banyak mengalami kejutan batin selain kelemahan yang sangat.

   Kematian orang itu, seakan-akan memang seharusnya terjadi bagi keselamatan sesama dimasa mendatang.

   Tetapi hambatan prajurit-prajurit kecil benar-benar telah menjadi persoalan didalam hati Agung Sedayu.

   Karena itulah maka kadang-kadang kemajuannya justru menjadi lamban.

   Namun jika nalarnya sempat ikut menentukan sikapnya, maka iapun menjadi agak keras menghadapi lawan-lawannya.

   Meskipun tersendat-sendat namun Agung Sedayu menjadi semakin dekat dengan pusaka-pusaka yang diduga berasal dari Mataram itu, karena bentuk yang nampak, keduanya adalah sesosok payung dan sebatang tombak.

   Sementara itu Ki Tumenggung Wanakerti mulai melihat kelemahan Ki Gede Menoreh dalam pertempuran yang semakin sengit.Ia dapat mengetahui bahwa dalam pertempuran yang mengerahkan segenap ilmu kaki Ki Gede Menoreh mulai terasa mengganggu.

   Betapapun tinggi ilmu Ki Gede Menoreh dan betapa cermat ia memperhitungkan keadaan dirinya, namun kemudian ternyata bahwa keaadaan kakinya mulai menghambat segala-galanya.

   Meskipun demikian, Ki Tumenggung masih belum berhasil mendesaknya.

   Namun dengan lantang ia berkata.

   "Tak ada yang dapat kau lakukan lagi Ki Gede. Kakimu yang timpang telah menentukan nasibmu. Aku tidak akan berbelas kasihan meskipun kau akan menangis menyesal, nasibmu yang buruk. Kematianmu akan menghancurkan seluruh Tanah Perdikanmu yang subur, meskipun dilereng pegunungan."

   Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya.

   Ia memang sudah merasa bahwa sebentar lagi, kekuatannya tentu akan susut.

   Jika kakinya meniadi semakin kambuh, ia tentu akan mengalami banyak kesulitan.

   Tetapi Ki Gede Menoreh adalah orang yang cukup berpengalaman.

   Ia masih berhasil menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan tubuhnya.

   Karena itu, gerak kakinyta menjadi menjadi semakin terbatas.

   Meskipun de"mikian ia masih mampu menghadapi Ki Tumenggung Wanakerti.

   Ketika langit menjadi remang-remang Ki Tumenggung Wanakerti menjadi semakin mantap.

   Kaki Ki Gede Menoreh mulai nampak semakin parah meskipun ia masih bertahan dengan gigihnya.

   Tetapi ternyata kegelisahan yang lain telah timbul pada Ki Tumenggung Wanakerti.

   Ia melihat Agung Sedrayu menjadi semakin dekat dengan kedua pusaka itu.

   Perlahan-lahan Agung Sedayu berusaha mengusir hambatan didalam dirinya sehingga ia dengan nalar telah dapat memaksa diri untuk merebut pusaka-pusaka itu dengan mengorbankan beberapa orang yang menghalanginya.

   "Anak iblis itu memang harus dibunuh lebih dahulu,"

   Berkata Ki Tumenggung Wanakerti didalam hatinya.

   Namun iapun sadar bahwa yang disebutnya anak iblis itu telah berhasil membunuh orang yang bernama Ki Gede Telengan.

   Dan Ki Tumenggung Wanakerti tidak dapat mengingkari, bahwa Ki Gede Telengan adalah orang yang luar biasa.

   Semenrara itu didaerah pertempuran pada pasukan induk dari kedua belah pihak yang bermusuhan perang masih berlangsung dengan dahsyatnya.

   Masing-masing ternyata memiliki kelebihan dan kekuranganaya sehingga pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang mengerikan.

   Setiap kali diantara sorak dan teriakan dendam, terdengar jerit dari orang kesakitan.

   Darah menjadi semakin banyak menitik diatas tanah yang berdebu.

   Raden Sutawijaya telah bertempur bagaikan banteng terluka.

   Ia melawan siapa saja yang ada dihadapannya.

   Ia sadar, bahwa Tumenggung Wanakerti sedang meninggalkan arena pertempuran sementara sekelompok kecil Senapati bawhannya telah menggantikannya.

   Disebelah menyebelah Swandaru meledakkan cambukya tidak henti-hentinya.

   Lawannya menjadi ngeri dan tergetar hatinya melihat putaran ujung cambuk yang dahsyat itu, sementara Pandan Wangi yang bersenjata sepasang pedang, bertempur bagaikan seekor harimau betina yang kehilangan anak-anaknya.

   Sementara bayangan putih yang bergulung-gulung telah mencemaskan beberapa orang disekitarnya.

   Sekar Mirah benar-benar menguasai, bagaimana ia harus mempergunakan tongkatnya yang sudah banyak dikenal oleh para prajurit Pajang.

   Apalagi mereka yang pernah berhubungan dengan Jipang pada saat Jipang masih tegak sebagai sebuah Kadipaten yang di"pimpin oleh Arya Jipang.

   Prastawa yang ada diinduk pasukan Tanah Perdikan Menoreh berhasil mengguncang arena itu.

   Orang-orang yang ada dilembah itu terpengaruh oleh kehadirannya diarena.

   Namun pengawal Tanah Per"dikan Menoreh yang dibawa oleh Prastawa jumlahnya tidak terlalu banyak.

   Meskipun demikian, jumlah yang sedikit itu telah berhasil memecah perhatian orang-orang yang berkumpul di lembah itu.

   Gelar yang membaur diantara lawan.

   memang telah menyerap perhatian lawan yang menyongsongnya.

   Tetapi lawanpun memiliki kemam"puan yang cukup untuk menyesuaikan diri dengan gelar yang mengejut itu.

   Prastawa yang memimpin pasukannya langsung menyerang induk pasukan lawan dari arah belakang.

   Ia segera bertempur bagaikan harimau lapar.

   Ia ingin menunjukkan, bahwa ia adalah kemanakan Kepala Tanah Perd"kan Menoreh, sehingga iapun memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan orang kebanyakan.

   Setiap kali Prastawa mendengar ledakan-ledakan cambuk di garis perang yang lain.

   Agaknya dibagian Timur, Swandarupun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membunuh lawan-lawannya.

   Ki Waskita yang kemudian sudah berada dimedan itu pula, memperhatikan keadaan dengan saksama.

   Sebenarnya gelar yang membentur itu kurang disetujuinya.

   Ia mencemaskan anak-anak muda yang belum banyak berpengalaman.

   Namun semuanya sudah berlangsung.

   Perintah Prastawa telah dilaksanakan.

   Pasukan Tanah Perdikan Menoreh menyerang dalam gelar yang memerlukan kemampuan seorang demi seorang.

   Ki Waskita sendiri tidak merasakan kesulitan apa"pun pada saat ia berada dimedan.

   Namun perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada anak-anak muda yang baru saja memasuki arena peperangan yang sebenarnya untuk yang pertama kali.

   Sekali-sekali Ki Waskita memang harus menolong mereka yang mengalami kesulitan.

   Dengan cermat ia mengikuti pertempursn itu diarena yang luas.

   Sekali-sekali Ki Waskita melomcat keujung pertempuran ketika ia melihat seorang pengawal Tanah Perdikan yang terdorong jatuh sementara lawannya sudah siap menusuk dengan tombaknya.

   Dengan tangkasnya Ki Waskita berhasil mendesak lawan itu untuk meloncat menghindari senjatanya.

   Sehingga pengawal yang jatuh itu sempat bangun kembali dan siap untuk bertempur.

   Dikesempatan lain.

   Ki Waskita harus menyusup jauh kedalam garis perang.

   Jika ia melihat seorang pengawal yang terjebak kedalam himpitan pasukan lawan.

   Dengan garangnya ia berusaha untuk menyelamatkan pengawal itu dan menariknya kembali kegaris pertempuran.

   "Pertempuran yang terjadi dalam gelar ini sebenarnya kurang menguntungkan,"

   Desisnya.

   Namun ia dapat mengerti, kenapa Prastawa me"milih gelar itu, Ki Waskita mengerti bahwa diujung yang lain, sayap pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah tertahan, sehingga Prastawa ingin membenturkan pasukan yang sedikit itu kesegenap garis perang.

   Dalam pada itu.

   pasukan yang ada dilembsh itupun harus menghadapi dua arah yang berbeda.

   Diarah Timur, pasukan Materam dan Kademangan Sangkal Putung berada dalam gelar sedang dibagian Barat pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah menebarkan pasukannya langsung kedalam lingkungan lawan dalam gelar Glatik Neba, sehingga yang timbul kemudian adalah perang brubuh yang tidak dibatasi oleh garis ben"turan.

   Namun ternyata kemudian bahwa keadaan pasukan Tanah Perdikan Menoreh agak kurang menguntungkan.

   Seorang demi seorang, bekas prajurit Pajang, mempunyai kelebihan dari anak-anak muda yang baru pertama kali mengenal pertempuran yang sebenarnya.

   Meskipun Prastawa sendiri ternyata memiliki beberapa kelebihan, tetapi pengawal-pengawal yang dibawanya berada dalam keadaan yang lain.

   Namun sementara itu, pasukan Mataram dan Sangkal Putung telah menemukan keseimbangannya dalam benturan kekuatan dengan pasukan lawan.

   Karena sebagian dari pasukan lawan harus menarik diri dan melawan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, maka pasukan yang berada dilembah itu tidak lagi dapat mendesaknya surut.

   Dalam pada itu, Senapati yang mengalami pertempuran melawan pasukan Tanah Perdikan Menoreh se"gera melihat kelemahan pasukan lawan itu.

   Mereka melihat bahwa anak-anak muda didalam pasukan Prastlawa masih harus bertempur berpasangan.

   Kadang-kadang pengawal yang lebih tua harus membe"rikan perlindungan jika anak-anak muda itu menjadi bingung.

   Karena itulah, maka iapun telah menemukan cara yang sangat menentukan.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Senapati itu ternyata cerdik sakali.

   ia tidak saja mempergunakan senjatanya untuk mengalahkan lawannya.

   Tetapi iapun berusaha umuk membuat kejutan-kejutan yang dapat mempengaruhi langsung perasaan pengawal-pengawal muda.

   Karena itu.

   maka tiba-tiba saja Senopati itupun berteriak memberikan aba-aba.

   "Kita hancurkan dahulu pasukan yang kehilangan ikatan ini. Mereka seperti pasir yang terbaur dimedan yang garang. Bunuh se"muanya baru kita menghiraukan pasukan Mataram yang sudah hampir binasa itu. Suara itu telah terdengar oleh pasukan yang sedang bartempur disekitar Senopati itu. Apalagi ketika perintah itu disahut dan diteruskan oleh teriakan-teriakan para kelompok dari pasukan yang berada dilembah itu. Seperti yang dimaksud, maka pengawal Tanah Per"dikan Menoreh yang masih belum berpengalaman telah menjadi kecut mendengar perintah yang sahut-menyahut. Dada mereka menjadi bergetar karena kegelisahan. Prastawa menjadi sangat marah mendengar perintah itu. Karena itu iapun segera menyahut.

   "Jangan cemas. Pasukan yang kita hadapi sudah menjadi putus asa."

   Tetapi tidak terdengar suara lain yang menyahut.

   Agaknya para pemimpin kelompok dari Tanah Perdikan Menoreh itupun sedang sibuk dengan anak buah masing-masing.

   Apalagi mereka telah berpencaran menebar di arena yang panjang.

   Maniun ternyata bahwa perintah itu tidak saja ter"dengar oleh lawan yang datang dari sebelah Barat.

   Para pengawal Mataram dan Sangkal Putungpun ternyata telah mendengarnya pula.

   Bahkan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itupun mendengar perintah yang sam"bung menyambung pada padukan lawan agar mereka menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu.

   Karena itulah maka iapun menjadi berdebar-debar.

   Jika perintah itu dilaksanakan, maka Tanah Perdikan Menoreh akan memberikan terlalu banyak pengorbanan bagi kepentingan Mataram sementara Raden Sutawijaya masih belum mendapatkan gambar"an yang pasti tentang gelar pasukan Tanah Perdikan Menoreh.

   Itutah sebabnya, maka iapun kemudian memerin"tahkah dua orang penghubung pilihan untuk mencari keterangan diseberang garis perang, untuk mendapatkan keterangan yang pasti tentang pasukan Tanah Perdikan Mahoreh.

   Tetapi berhati-hatilah.

   Sementara aku akan memberikan tekanan kepada pasukan lawan, agar mereka tidak dengan semena-mena menghancurkan pasukan Tunah Perdikan Menoreh."

   Pengubung itupun kemudian minta diri untuk mencari jalan menuju kebagian Barat dari arena pertempuran.

   "Jika perlu, kami akan memanjat tebing agak tinggi untuk menghindari lawan,"

   Berkata penghubung itu.

   "Terserahlah kepadamu. Tetapi jangan sampai terjadi salah paham justru dengan pasukan Menoreh mendiri."

   Penghubung itupun kemudian meninggalkan pasukannya, menyusup dibelakang garis perang menepi memanjat tebing yang terlindung oleh pepohonan.

   Namun sementara itu.

   Raden Sutawijaya telah mem"berikan tekanan kepada pasukan lawan.

   Iapun kemudian memberikan perintah.

   "Jangan beri kesempatan kepada orang-orang yang telah berkhianat terhadap Pajang dan Mataram. Mereka sudah kehilangan pegangan."

   Barbeda dengan suara Prastawa, maka dalam gelar yang mapan, setiap pemimpin kelompok pasukan Mataram menyambut perintah itu dan meneriakannya dengan cara masing-masing, bahkan para pemimpin kelompok pasukan pengawal Sangkal Putung pun telah menyambutnya pula.

   Di sayap pasukan Mataram dan Kademangan Sangkal Putung perintah bekas Senapati yang memimpin pasukan dilembah itupun terdengar pula.

   Juga terde"ngar oleh Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar diujung-ujung yang berseberangan.

   Namun dalam pada itu, Ki Waskita telah mende"ngar pula perintah itu, sehingga dadanya menjadi ber"debar oleh debar dijantungnya.

   "Jika benar, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan mengalami kesulitan,"

   Katanya didalam hati.

   Namun sebenarnyalah bahwa ia mulai melihat kesulitan pada diri sendiri.

   Bahkan karena ia takut menghadapi akibat dari perintah Senapati dari pasukan yang berada di lembah itu, tetapi dengan demikian ia harus benar-benar bertempur dengan segenap kemam"puannya.

   Dan itu berarti bahwa ia akan membunuh lawan lebih banyak lagi.

   Dalam kebimbangan itu, Ki Waskita mulai melihat kegelisahan digaris perang.

   Agaknya lawan yang mendengar perintah itu mencoba untuk melakukannya.

   Menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang lemah.

   Baru kemudian mereka akan menghadapi sepenuhnya pasukan Mataram.

   Untuk beberapa saat Ki Waskita menunggu.

   Namum agaknya pasukan dilembah itu benar-benar telah memalingkan perhatian mereka terutama pada pasukan Tanah Perdikan yang lemah.

   Sebagian dari mereka sekedar menahan tekanan pasukan Mataram dan Sangkal Putung, sementara kekuatan mereka telah beralih pada pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang menyerang mereka dengan gelar yang kurang mengun"tungkan bagi para Pengawal yang masih muda dan belum berpengalaman.

   "Tidak ada pilihan lain."

   Desis Ki Waskita.

   Karena itu maka ia mulai mempersiapkan diri untuk bertempur lebih dahsyat lagi.

   Mungkin ia akan terpaksa membunuh dan membunuh.

   Tetapi mungkin nasib buruk akan dapat menimpanya karena Ki Waskitapun sadar bahwa diantara orang-orang dilembah itu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

   Ternyata seperti yang diperhitungkan, Ki Waskita benar-benar harus meningkatkan tenaganya menghadapi arus yang rasa-rasanya menjadi semakin deras, mendorongnya.

   Anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh yang belum berpengalaman menjadi semakin bingung.

   Pasukan di lembah itu rasa-rasanya mulai memutar haluan perangnya.

   Mereka sebagian besar telah berpaling dan menghadapi pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang lemah.

   Dengan demikian, maka Ki Waskita tidak dapat bersikap lain kecuali melihat kenyataan, bahwa korban dari Tanah Perdikan Menoreh tentu akan berlipat ganda jika anak-anak muda itu dibiarkannya kebingungan.

   Karena itulah, maka tiba-tiba saja Ki Waskita menjadi garang ia tidak lagi sekedar bertempur melindungi satu dua orang, tetapi ia telah memilih cara yang baik untuk menyelamatkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, terutama disayap yang hanya sebelah itu.

   Sikap Ki Waskita telah mengejutkan orang-orang yang berada dilembah itu.

   Ketika ia mulai memutar senjatanya dan berloncatan, maka orang-orang dilembah itu menganggapnya sebagai orang yang sedang bingung.

   Namun karena kemudian ternyata senjatanya mulai menyentuh bagian-bagian terpenting dari lawan-lawannya.

   maka merekapun mulai memperhatikannya.

   Kawannya mengerutkan keningnya.

   Dengan garang ia berkata, Aku akan membunuhnya,"

   Desis seseorang.

   Tetapi ketika ia berusaha mendekati Ki Waskita, tiba-tiba saja ia terpekik.

   Hampir diluar penglihatan matanya, tiba-tiba saja ujung pedang lawan telah menghunjam dipundaknya, sehingga iapun terdorong surut, dan jatuh diatas tanah yang memang sudah merah oleh darah.

   "O,"

   Desisnya.

   Tetapi orang yang melukainya telah meloncat pergi dan menghunjamkan senjataya pada orang lain lagi.

   Namun betapapun juga garangnya Ki Waskita, tetapi lawan semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin banyak.

   Pasukan lawan seakan-akan benar-benar telah menghadap pasukan pengawal Tanah Perdikan yang lemah, sehingga beberapa saat kemudian, hampir setiap orang berbaur disepanjang medan telah terdepak mundur.

   Tatapi dengan demikian, Ki Waskita menjadi lebih banyak melukai dan bahkan membunuh.

   Lawan tidak henti-hentinya mengalir.

   Yang satu terlempar, dua orang datang menyusul.

   Yang dua tersingkirkan, tiga telah bersiap menyerangnya.

   Ki Waskita menjedi berdebar-debar.

   Apakah ia harus membunuh dan melukai berpuluh-puluh orang yang ilmunya tidak seimbang.

   Tetapi Ki Waskita belum menjumpai orang yang memiliki ilmu yang melampaui sesama.

   Dalam pada itu.

   Empu Pinang Aring tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur melawan Kiai Gringsing.

   Meskipun Ia mendengar juga perintah untuk menghancurkan dahulu pasukan Tanah perdikan Menoreh, namun orang bercambuk itu telah mengikatnya dalam pertempuran yang garang.

   Bahkan setiap kali ia telah merasa terdesak oleh kecepatan ilmu Kiai Gringsing, yang dilambari dengan kekuntan batin yang luar biasa.

   Empu Pinang Aring sendiri orang yang pilih tanding.

   Jarang sekali terdapat orang yang memiliki ber"bagai macam ilmu seperti Empu Pinang Aring.

   Namun berhadapan dengan Kiai Gringsing, ia harus mengakui, bahwa ujung cambuk lawannya masih lebih lincah dari ujung senjatanya yang mengerikan.

   Namun sementara itu, Ki Jagaraga yang harus bertempur melawan sekelompok orang-orang Mataram telah mejadi jemu berloncatan dan saling mamburu.

   Karena itu, perintah yang didengarnya telah memberikan kemungkinan baru pada arena yang semakin kisruh menjelang matahari turun kebali Gunung.

   Itulah sebabnya, maka iapun kamudian berpaling menghadap pasukan Tanah Perdikan Menoreh.

   Ia ingin menemukan arena pertempuran yang lain daripada melawan sekelompok orang-orang Mataram yang seakan-akan telah membatasinya dalam lingkungan yang ketat.

   Tetapi Ki Jagaraga sama sekali tidak menduga, bahwa ketika ia melepaskan diri dari lawan-lawannya dan muncul di garis perang dalam keadaan yang lebih kisruh lagi, seseorang selalu mengawasinya.

   "Ternyaia ada juga orang yang harus aku perhatikan,"

   Berkata Ki Waskita didalam hatinya.

   Agaknya Ki Jagaraga ingin mendapatkan kesempatan membunuh sebanyak-banyaknya.

   Sejenak ia mengawasi perang brubuh yang semakin tidak seimbang, karena pasukan dilembah itu menguasai hampir disetiap titik pertempuran.

   Namun ketika ia mulai menggeram bagaikan hantu yang kahausan melihat titik-titik darah ditubuh mangsanya, telah dikejutkan oleh hadirnya seseorang.

   Agaknya Ki Waskita tidak dapat membiarkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang parah menjadi semakin parah.

   Ki Jagaraga tertegun sejenak ketika tiba-tiba saja Ki Waskita sudah berada dihadapannya.

   Dengan ragu-ragu ia bertanya.

   "He. siapa kau? Apakah kau dengan sengaja menjumpai aku, atau secara kebetulan saja kau berdiri dihadapanku?"

   "Mungkin secara kebetulan,"

   Jawab Ki Waskita.

   "kita berada dimedan pertempuran."

   "Persetan. Jika secara kebetulan kau berada dihadapanku sekarang maka nasibmu adalah nasib yang paling buruk. Mungkin akhirnya kau akan mati juga tanpa aku, tetapi mungkin kau masih mempunyai waktu untuk melihat matahari tenggelam dan bintang-bintang gemerlapan dilangit. Tetapi dihadapanku umurmu tidak lebih dlari dua tiga kejapan mata."

   Ki Waskita mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya.

   "Yang aku lakukun adalah tugas seorang pengawal. Apapun yang terjadi adalah kejadian yang wajar sekali bagi seorang dimedan perang."

   Ki Jagaraga menggeram.

   Wajahnya menjadi merah membara.

   Orang yang berdiri dihadapannya nampaknya tetap tenang mengahadapinya.

   Ia sama sekali tidak menjadi ketakutan dan cemas.

   Namun Ki Waskita memang manjadi kecut hatinnya.

   Bukan karena dirinya sendiri.

   Tetapi jika ia terikat dalam partempuran melawan seseorang, maka keadaan para pengawal Tanah Perdikan tentu akan lebih buruk.

   Tetapi ia tidak sempat membuat banyak pertimbangan.

   Ki Jagaraga yang demikian marahnya telah menyerangnya dengan dahsyatnya.

   Orang itu ingin membunuh Ki Waskita pada serangannya yang pertama seperti dikatakannya bahwa lawannya itu hanya mendapat kesempatan hidup beberapa kejap saja.

   Namun ternyata bahwa Ki Waskita sempat mengelak.

   Serangan Kiai Jagaraga sama sekali tidak menyentuhnya.

   Pakaiannyapun tidak.

   Dengan geram maka Kiai Jagaraga telah mengulangi serangannya.

   Namun seperti yang telah dilakukannya Ki Waskita sempat mengelak, dan bahkan iapun kemudian telah menyerangnya kembali dengan kecepatan diluar dugaannya.

   Sementara itu para penghubung yang ditugaskan oleh Raden Sutawijaya telah kembali.

   Ia telah berhasil memutari ujung sayap dengan memanjat tebing dan melihat pertempuran dibagian Barat.

   "Nampaknya pasukan Tanah Perdikan Menoreh berada dalam kesulitan,"

   Berkata penghubung itu setelah ia menemui Raden Sutawijaya di induk pasukan tidak nampak ada pemimpin yang kuat dimedan.

   Raden Sutawijaya mengangguk.

   Ia sadar, bahwa jika tidak ada tindakan yang dilakukannya, maka pasu"kan Tanah Perdikan Menoreh akan mengalami nasib yang buruk sekali.

   Setelah sejenak ia menimbang, maka tiba-tiba saja Raden Sutawijaya menarik diri dan menjumpai Ki Juru Martani.

   Katanya.

   "Aku akan membaurkan sebagian dari orang-orangku untuk menyusup sampai keseberang."

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ki Juru merenungi kata-kata Raden Sutawijaya;.

   Tetapi Ki Juru Martani tidak melihat kemungkinah lain.

   Satu-satunya cara untuk menyelamatkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah dengan cara itu meskipun itu berarti bahwa gelar perangnya akan menjadi kabur.

   Karena itu maka Ki Jurupun kemudian mengangguk sambil menjawab.

   "Lakukanlah.

   Jika benar pasukan itu hancur maka Mataram akan mempunyai hutang yang tidak terbayarkan.

   Dan menurut laporan mereka mempergunakan gelar Glatik Neba atau Pacar Wutah.

   Tetapi tidak nampak seorangpun yang dapat menjadi ancar-ancar pertempuran yang dahsyat itu."

   "Apakah Ki Gede Menoreh tidak ada didalam gelar yang berbahaya itu?"

   Bertanya Ki Juru Martani. Penghubung yang telah menyaksikan kesulitan di garis perang sebelah Barat tidak dapat menjawab dengan pasti. Dengan ragu-ragu ia hanya dapat menjawab.

   "Aku belum melihatnya. Mungkin ia berada diantara pertempuran yang hiruk pikuk."

   Ki Juru menganggu-angguk.

   "Sebentar lagi matahari akan turun. Jika orang-orang dilembah itu tidak ingin menghentikan pntempuran maka keadaan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh tentu akan lebih parah lagi."

   "Danang Sutawijaya,"

   Berkata Ki Juru kemudian.

   "lakukanlah. Semakin cepat, semakin baik."

   Raden Sutawijaya mengangguk. Katanya.

   "Kehadiran pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh memberikan banyak sekali pertolongan bagi pasukan Mataram dan Sangkal Putung. Karena itu, maka kehadirannya harus dipertahankan. Tetapi kita harus memilih, siapakah yang akan kita kirimkan keseberang, menerobos atau melingkari lawan."

   "Cepatlah. Lakukanlah siapapun yang akan kau kirimkan."

   Desak Ki Juru Martani.

   "tetapi lebih baik melingkari ujung-ujung pertempuran."

   Raden Sutawijaya mengangguk.

   Kemudian iapun memanggil beberapa orang penghubung.

   Diperintahkannya kepada para pemimpin sayap pasukan Mataram untuk memerintahkan sebagian dari pasukannya untuk meninggalkan gelar, dan memasuki arena dalam gelar yang khusus.

   Mereka harus berusaha menyusup diantara lawan sampai keseberang, lewat ujung dari medan dilereng Gunung.

   Para penghubung itupun dengan segera menyampaikan perintah Raden Sutawijaya kepada para Senapati.

   Mereka harus memasuki arena yang lebih luas, melingkari ujung sayap.

   Perintah itu cukup jelas bagi para Senapati.

   Karena lawan mereka sebagian telah ditarik keseberang, maka tekanan pasukan lawan memang menjadi jauh berkurang.

   Karena itulah, maka para Senopatipun segara memberikan penntah sambung-bersambung kepada beberapa kelompok yang berada dipaling ujung.

   Dengan tergesa-gesa pemimpin kelompok itu menarik pasukannya.

   Kemudian membawa mereka melingkari ujung sayap untuk mamasuki garis perang diseberang.

   "Kita akan mempergunakan gelar yang lain diseberang."

   Berkata setiap Senopati yang telah mendapat penjelasan tentang keadaan medan diseberang.

   "kita akan memasuki arena dalam Glatik Neba."

   Para pengawal pun segera menyesuaikan diri dengan keadaan yang akan mereka hadapi. Mereka mempersiapkan diri untuk memasuki perang brubuh yang sulit. Apalagi matahari telah menjadi semakin rendah.

   "Kalian adalah pengawal yang pernah mendapai latihan menghadapi segala medan,"

   Para Senopati memantapkan setiap hati prajurit.

   "kalian akan mempertaruhkan kemampuan kalian secara pribadi didalam perang brubuh. Tetapi kita tidak boleh lepas dari ikatan. Apalagi jika malam turun dan kita harus memelihara ketahanan diri dalam perang karena agaknya orang-orang dilembah ini tidak akan berhenti digelapnya malam."

   Tetapi sejalan dengan susutnya pasukan di lembah itu pula, karena sebagian dari merekapun telah berpaling karena yang baru, yang nampaknya lebih menyenangkan untuk melepaskan nafsu membunuh sebanyak-banyaknya.

   Sutawijaya yang kemudian kembali keinduk pasukan merasa selalu digelisahkan oleh keadaan pasukan Tanah perdikan Menoreh, justru karena ia bertanggung jawab ata keseluruhan medan.

   Meskipun ia telah mengirimkan sebagian dari pasukannya dan para penghubungnya telah mamberitahukannya pula kepada pasukan Sangkal Putung, namun hatinya masih tetap gelisah.

   Jika pasukannya melingkari sayap, maka mereka memerlukan waktu untuk mencapai medan di seberang.

   Bahkan mungkin mereka akan segera terikat dalam pertemparan diujung-ujung sayap itu saja, sementara Induk pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan tetap mengalami kesulitan.

   Dalam kegelisahan itu, maka Raden Sutawijayapun segera mengambil keputusan.

   Diperintahkannya seo"rang penghubung menyampaikan pesannya kepada Swandaru agar pimpinan pasukan Sangkal Putung itu tetap berada diinduk pasukan bersama Sekar Mirah dan Pandan Wangi.

   "Katakan aku akan menyusup menyeberangi pasukan lawan sampai kearena disebelah Barat,"

   Berkata Sutawijaya.

   "Itu berbahaya sekali,"

   Seorang pengawalnya berusaha mencegahnya.

   Tetapi Sutawijaya tidak menghiraukannya.

   Dipanggilnya pengawal-pengawalnya yang terpercaya untuk dibawa menerobos masuk kedalam pasukan lawan dan akan muncul diseberang diantara pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang terdesak.

   Sejenak kemudian Raden Sutawijaya sudah siap.

   Ia tidak sempat minta pertimbangan Ki Juru Martani.

   Seperti kepada Swandaru iapun hanya mamberikan pesan, bahwa ia sendirilah yang akan menerobos masuk menembus pasukan lawan.

   Ternyata Raden Sutawijaya benar-benar melaku"kan apa yang dikatakannya.

   Dengan sekelompok pengawal terkuat, Raden Sutawijaya tiba-tiba saja telah menenggelamkan diri kedalam garis pertahanan lawan.

   Beberapa orang pengawalnya yang lain melindunginya dengan memberikan tekanan sekuat-kuat dapat mereka lakukan disekitar lubang tusukan sekelompok kecil pengawal yang bersama Raden Sutawijaya berusaha untuk menembus pasukan lawan, sementara baberapa orang yang lain telah mengaburkannya dengan membenturkan diri kedalam pasukan lawan dan langsung manuk pula ke seberang.

   Sejenak diinduk pasukan itu terjadi goncangan-goncangan.

   Swandaru yang semula belum mengerti keadaannya terpengaruh pula oleh keadaan yang tiba-tiba itu.

   Namun kemudian ketika seorang penghubung telah menyampaikannya kepadanya, maka Swandarupun segera menempatkan diri dipusat induk pasukannya untuk menjadi jejer dalam perang gelar itu.

   Ternyata Raden Suiawijayapun benar-benar seorang senopati pinunjul.

   Dengan kemampuannya bersama beberapa orang pengawal ia dapat menyusup masuk menembus lawan yang terkejut sehingga merekapun diluar sadarnya telah menyibak.

   Tusukan langsung di induk pasukan itu benar-benar telah menggemparkan para Senopati bekas Prajurit Pajang yang ada diantara mereka yang berada dilembah itu.

   Tindakan Raden Sutawijaya benar-benar tidak mereka duga.

   Dalam pada itu.

   Senepati yang memiliki pasukan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu segera menyadari, apa yang sedang dihadapinya.

   Karena itulah, maka iapun kemudian berteriak.

   "Cegah orang itu. Atau bunuh saja Sutawijaya yang gila itu."

   Perintah itu seakan-akan telah membangunkan pengikut-pengikutnya yang terpukau oleh Peristiwa yang tidak mereka sangka akan terjadi.

   Bahkan merekapun segera berhasil menguasai diri masing-masing ketika mereka melihat Senapatinya langsung menyerang Raden Sutawijaya.

   Namun dalam pada itu, Swandaru telah berada di pusat pasukan induknya.

   Ia telah menjadi jejer dari gelar perang pasukan Mataram dan Sangkal Putung.

   Cambuknya terdengar semakin keras meledak, bagaikan guntur dilangit.

   Sementara isterinya, Pandan Wangi ternyata telah membingungkan lawannya.

   Disebelah Sekar Mirah telah bertempur dengan sengit"nya.

   Tongkatnya berputar menyambar-nyambar.

   se"hingga lawannya menjadi kecut karenanya.

   Dengan demikian, maka perhatian pasukan dilembah itu benar-benar telah terbagi.

   Terutama diinduk pasukan hadirnya Swandaru, Sekar Mirah dan Pandan Wangi membuat mereka agak kesulitan.

   Ki Jera yang mendapat laporan tentang Raden Sutawijaya ternyata telah terkejut.

   Agaknya anak muda itu benar-benar telah kehilangan pengekangan diri.

   Kemarahannya telah tidak terbendung lagi, sehingga ia telah melakukan tindakan yang amat berbahaya.

   Tatapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya masuk lebih dalam lagi pada tubuh lawan.

   Seakan-akan ia tidak menghiraukan sama sekali, hambatan lawan yang kadang-kadang memang gawat.

   Namun sambil bertempur Raden Sutawijaya maju terus.

   Seolah-olah ia tidak menghiraukan, apapun yang terjadi pada pasukan kecilnya.

   Dengan tetap ia mendesak maju untuk mencapai garis perang diseberang.

   Dalam pada itu, Prastawa di sebelah Barat, benar-benar telah mengalami kesulitan.

   Para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah benar-benar terdesak.

   Mereka tidak dapat menahan arus tekanan lawan yang memiliki pengalaman yang lebih banyak dari anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

   Apalagi mereka yang belum cukup lama menjadi anggauta pengawal.

   Dengan demikian, maka bertambahnya pasukan lawan yang menghadapi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah membuat para pengawal itu menjadi kecut.

   Namun dalam kesulitan itu tiba-tiba saja medan disebelah Baratpun mengalami goncangan.

   Tanpa diketahui sebabnya, maka pasukan lawan diinduk pasukan itu telah bergeser.

   Bahkan kemudian telah terjadi bagaikan angin pusaran diantara pasukan lawan.

   Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang telah terdesak dan bahkan seakan-akan nasib mereka telah ditentukan ternyata mendapat kesempatan baru.

   Keadaan yang belum mereka ketahui dengan pasti telah terjadi diantara pasukan lawan, ternyata dengan geseran-geseran diantara mereka.

   Baru kemudian Prastawa yang telah menjadi sangat cemas akan keadaan anak buahnya, menyadari, bahwa telah hadir digaris perang itu.

   Raden Sutawijaya dengan beberapa orang pengawalnya.

   "Raden Sutawijaya,"

   Prastawa berteriak.

   Raden Sutawijaya yang telah berhasil menembus pasukan lawan itu mendengar namanya dipanggil, ia pun kemudian melihat anak muda yang memimpin pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dibaurkan dalam gelar Glatik Neba, sehingga mereka telah membenturkan diri kedalam perang ruwet yang berbahaya.

   Raden Sutawijaya yang telah berada dimedan sebalah Barat itupun segera menyesuaikan diri.

   Iapun langsung ikut serta dalam pertempuran yang kacau.

   Ternyata kehadirannya telah memberikan pengaruh yang sangat besar.

   Beberapa pengawalpun telah ikut dalam perang brubuh itu bersama para pengawal Tanah Perdikan.

   Sementara itu, pasukan Mataram yang melingkari ujung-ujung sayappun telah berhasil mencapai garis perang yang berseberang.

   Seperti perintah yang mereka terima, maka merekapun segera menempatkan diri mereka masing-masing.

   Karena itu ketika setiap pemimpin kelompok telah menjatuhkan perintah, maka pasukan kecil yang melingkari ujung sayap itupun segera menyerang dalam gelar Glatik Neba pula.

   Satu gelar perang yang tidak mempunyai bentuk karena setiap orang akan segera membaurkan diri diantara lawan.

   Perubahan-perubahan yang terjadi kemudian benar-benar merupakan pertanda buruk bagi pasukan gabungan yang ada dilembah itu.

   Betapapun mereka terdiri dari orang-orang yang berpengalaman namun ternyata yang datang kelembah itu adalah tiga kekuatan besar yang tergabung pula Mataram, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.

   Orang-orang yang semula merasa dirinya kuat untuk menghancurkan Mataram itupun mulai kecut hatinya.

   Sementara langit menjadi semakin buram.

   Warna kelabu kemerah-merahan nampak mulai membayang dibibir mega yang mengelir perlahan-lahan oleh angin yang lemah.

   Namun pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya.

   Tidak ada tanda-tanda bahwa kedua belah pihak akan menghentikan pertempuran saat gelap mulai turun.

   Agaknya pasukan gabungan yang ada dilembah itu akan bertempur sampai selesai.

   Kapanpun juga.

   Tetapi para pengawal dari Mataram telah membiasakan diri berlatih menghadapi saat pertempuran yang panjang.

   Bahkan bebrapa orang diantara mereka pernah mengalaminya langsung saat-saat mereka masih menjadi prajurit di Pajang, bersama sebagian dari mereka yang kini menjadi bagian dari pasukan dilembah itu.

   Namun dalam pada itu, Ki Juru Martani telah memikirkan apa yang harus dilakukan jika malam turun.

   Betatapun besar kemauan dua gairah perjuangan namun kemampuan jasmaniah para pengawal tentu terbatas, sehingga mereka memerlukan sesuatu yang penting bagi alas kekuatan mereka.

   Itulah sebabnya Ki Juru Martani tidak melupakan kemuungkinan untuk memberikan makanan kepada para pengawal dengan cara apapun.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika langit kemudian menjadi semakin gelap, maka mulailah Ki Juru Martani mengatur beberapa orang untuk mundur dari arena pertempuran sementara yang lain harus menyediakan obor yang apabila lembah itu telah menjadi gelap, harus segera dinyalakan untuk menerangi medan.

   Dibelakang garis perang, beberapa orang yang menjaga perkemahan orang-orang Mataram diantar oleh beberapa orang pengawal yang ditugaskan oleh Ki Juru Martani segera menyalakan api untuk membuat perapian.

   Para pengwal yang bertemur itu tentu membutuhkan makanan apapun bentuknya karena setelah sehari penuh mereka bertempur, maka tubuh mereka akan menjadi terlalu lemah jika mereka tidak mendapatkan alas kekuatan.

   Dengan cepat, orang-orang yang bertugas itupun menyiapkan makanan.

   Tidak hanya untuk para pengawal dari Mataram, tetapi juga dari Sangkal Putung.

   "Bagaimana dengan prajurit Tanah Perdikan Menoreh?"

   Pertanyaan itu timbul pula dihati Ki Juru Martani.

   Apalagi ia mengetahui bahwa Raden Sutawijaya telah berada diseberang.

   Bagi Raden Sutawijaya sendiri tidak akan banyak ma"salah yang timbul meskipun ia harus bertempur sehari semalam tanpa makan aapun juga ia sudah terlalu biasa melatih diri dalam keadaan yang paling sulit.

   Tetapi tentu lain dengan para pengawal yang tidak mengalami penem"paan diri seberat Raden Sutawijaya sendiri.

   "Mudah-mudahan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh sendiri sempat memikirkannya,"

   Gumam Ki Ju"ru Martani.

   Meskipun demikian, ia masih ingin membuat hubu"ngan dengan mereka dengan mengirimkan dua orang penghubung yang akan melingkari arena pergi kegaris perang di seberang.

   Langit yang buram menjadi semakin buram.

   Beberapa ekor kelelawar telah mulai nampak berterbangan diwajah langit yang kemerah-merahan.

   Pepohonan dilembah itu mulai menjadi kehitam-hitaman oleh bayangan rimbunnya dedaunan.

   Namun dentang senjata dan teriakan yang menggema di lembah itu masih saja bersahutan.

   Dibagian lain, diarena yang terpisah, Agung Sedayu bertempur dengan sengitnya, ia masih harus tetap bertempur melawan baberapa orang bekas prajurit Pajang, dan ia masih tetap harus berjuang mengatasi kesulitan didalam hatinya sendiri.

   Ke-ragu raguan dan kebimbangan masih saja merupakan hambatan yang harus diatasinya.

   Namun ketika warna-warna buram dilangit seolah-olah mulai turun menyelubungi lembah, maka ia benar-benar berusaha untuk dapat merebut kedua pusaka yang akan sangat berarti bagi Mataram itu.

   Sementara itu.

   Ki Tumenggung Wanakerti menjadi semakin yakin, bahwa Ki Gede Menoreh akan sangat terpengaruh oleh keadaan kakinya.

   Dalam pertempuran yang semakin dahsyat, Ki Gede Menoreh seakan-akan telah terikat ditempatnya hingga seakan-aian kakinya tidak lagi mampu melangkah dan berloncatan.

   Dengan keadaan yang demikian, Ki Tumenggung Wanakerti telah mempergunakan kelemahan itu sebaik-baiknya.

   Ia mulai menyerang berputaran.

   Kemudian meloncat menjauh untuk mengambil ancang-ancang.

   Buku 109 KI GEDE Menoreh benar-benar berada dalam kesulitan.

   Seakan-akan ia hanya berkesempatan menahan dan menangkis serangan lawannya.

   Tetapi ia sendiri tidak sempat menyerang, karena dengan licik Ki Tumenggung Wanakerti selalu menjahuinya.

   Ki Gede Menoreh tidak mau memaksa diri untuk meloncat menyerang.

   Ia tidak mau menanggung akibat yang parah karena kakinya.

   Sehingga dengan demikian maka ia lebih baik mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya untuk mengatasi kesulitannya.

   Ternyata Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar ingin menghabisi perlawanan Ki Gede Menoreh.

   Serangannya semakin lama menjadi semakin dahsyat.

   Sebelum malam turun, Ki Tumenggung Wanakerti ingin menyelesaikan pertempuran itu, kemudian berusaha untuk menguasai kedua pusaka yang masih berada ditangan pengikut nya Ki Gede Telengan.

   Tetapi tidak mudah bagi Ki Tumenggung Wanakerti untuk melumpuhkan Ki Gede Menoreh yang cacad kaki itu.

   Meskipun Ki Gede Menoreh hanya sekedar mempertahankan diri, namun kadang-kadang senjatanya masih juga berbahaya bagi Ki Tumenggung.

   Namun Ki Tumenggung masih mempunyai banyak akal.

   Ia dapat mempergunakan ilmunya yang tinggi.

   Kakinyapun kemudian bagaikan kaki kijang direrumputan.

   Meloncat-loncat seolah-olah tidak menyentuh tanah berputaran disekeliling Ki Gede Menoreh.

   Sekali-sekali ia meloncat menjauh, kemudian tiba-tiba ia melingkar sambil menyambar lambung.

   Ki Gede Menoreh menjadi semakin sulit menghadapi cara yang cepat dan berjarak panjang itu.

   Setiap kali Ki Gede Menoreh selalu merasa terganggu karena kakinya.

   Meskipun tangannya masih cukup cepat, tetapi ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama untuk melayani cara yang menyulitkan itu, karena ia harus berputaran menurut arah serangan lawannya.

   "Umurmu tidak akan lama lagi Ki Gede Menoreh yang perkasa. Aku akan menghabisimu dalam aji Langen Pati. Kau akan menikmati tarian mautku disekitarmu sebelum kau akan menemui nasib yang sangat buruk."

   Ki Gede Menoreh tidak menjawab.

   Tetapi pada saat-saat terakhir ia harus benar-benar memeras segala macam ilmu yang ada padanya.

   Sebenarnya Ki Gede Menoreh tidak akan terpengaruh oleh kekuatan adji yang betapapun macamnya, karena ia mempunyai kemampuan untuk melawannya.

   Bahkan Ki Gede Menoreh akan sanggup menembus aji lembu Sekilan seandainya Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar memilikinya, atau akan dapat bertahan terhadap aji Guntur Geni yang dapat membakar jantung lawan.

   Namun ia tidak dapat ingkar akan keadaan jasmaniahnya.

   Segala macam ilmu dan kekuatan aji yang ada pada dirinya, ternyata tidak mampu mengatasi kesulitan yang timbul dari dirinya sendiri.

   Dan Ki Gede Menorehpun menyadari, akhirnya manusia harus pasrah akan kelemahan dan kekecilan diri, betapapun ia dapat menangkap ilmu yang sangat tinggi.

   Tetapi Ki Gede Menoreh tidak berputus asa.

   Ia masih mampu bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti itu.

   Dalam keadaan yang semakin sulit, Ki Gede Menoreh masih dapat merasa bangga setiap ia mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu.

   Rasa-rasanya suara itu telah menyejukkan hatinya.

   Anak muda yang selalu ragu-ragu dan kadang-kadang nampak kurang yakin akan sikapnya sendiri itu, agaknya telah bertempur dengan sepenuh kemampuannya untuk merebut pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram, justru pusaka-pusaka yang terpenting.

   Tetapi ternyata bukan saja Ki Gede Menoreh yang perhatiannya tersentuh oleh ledakan cambuk Agung Sedayu.

   Ternyata bahwa Ki Tumenggung Wanakertipun selalu digelisahkan oleh suara cambuk itu.

   Sebagai orang yang memiliki ilmu yang tinggi, Ki Tumenggung mengerti, bahwa ledakan itu adalah merupakan berita betapa dahsyatnya ilmu orang yang menggenggam tangkai cambuk itu.

   "Ia akan segera berhasil menguasai kedua pusaka itu,"

   Berkata Ki Tumenggung Wanakerti didalam hatinya.

   "jika demikian, maka akan sangat sulit bagiku untuk merebutnya."

   Karena itu, untuk beberapa saat lamanya, ia menjadi ragu-ragu.

   Ki Gede Menoreh yang telah diganggu oleh kakinya sendiri itu tidak segera dapat ditundukkan, sementara anak muda bercambuk itu sangat berbahaya bagi kedua pusaka yang sedang dikejarnya, karena telah dilarikan oleh Ki Gede Telengan.

   Sejenak Ki Tumenggung Wanakerti membuat pertimbangan-pertimbangan.

   Sementara langit menjadi semakin suram.

   Namun akhirnya Ki Tumenggung memutuskan untuk meninggalkan Ki Gede Menoreh dan menghadapi Agung Sedayu.

   "Beberapa orang bekas prajurit Pajang akan mengepung Ki Gede Menoreh agar ia kehilangan kesempatan untuk berputar-putar oleh cacat kakinya,"

   Berkata Ki Tumenggung didalam hatinya, sementara ia ingin membinasakan Agung Sedayu dan merebut kedua pusaka itu dari tangan para pengikut Ki Gede Telengan.

   Karena itulah, maka iapun kemudian berteriak memanggil tiga orang pengawal kepercayaannya.

   Kemudian diserahkannya Ki Gede Menoreh kepada mereka, karena Ki Tumenggung Wanakerti bertekad untuk melawan Agung Sedayu.

   Ki Gede tidak sempat menahannya.

   Ki Tumenggung masih cukup cepat bergerak sementara kaki Ki Gede menjadi semakin mengganggunya.

   Namun sepeninggalnya Ki Tumenggung, tugas Ki Gede menjadi lebih ringan.

   Meskipun ia harus menghadapi beberapa orang, namun para pengawalnya masih sempat membantunya.

   Kadang-kadang diantara lawan yang dihadapi, satu dua orang pengawalnya sempat membantunya, mengurangi tekanan ketiga orang lawannya, ketiganya bukanlah orang-orang yang memiliki kelebihan ilmu yang jauh dari kebanyakan para pengawal terpilih Tanah Perdikan Menoreh, namun mereka cukup kuat untuk mengurungnya dalam pertempuran.

   Sementara itu, Ki Tumenggung Wanakerti dengan tergesa-gesa menyibak arena untuk mendekati Agung Sedayu.

   Ia tidak ingin memberikan kesempatan kepadanya untuk mencapai pusaka yang kurang beberapa langkah saja daripadanya.

   Dengan tangkasnya Agung Sedayu bertempur melawan para pengikut Ki Gede Telengan yang mempertahankan pusaka itu dan para pengikut Ki Tumenggung Wanakerti yang berusaha mendahului mendapatkannya.

   Ternyata bahwa ujung cambuknya benar-benar telah menghantui medan yang menjadi semakin gelap.

   Agung Sedayu sendiri berusaha untuk dapat menguasai Pusaka-pusaka itu sebelum malam menjadi semakin kelam.

   Namun tiba-tiba langkahnya tertegun ketika tiba-tiba saja seseorang telah hadir dihadapannya sambil berteriak.

   "Minggir. Biarlah aku yang menyelesaikan anak ini."

   Agung Sedayu memandang orang itu dengan tegangnya. Ia sadar, bahwa orang itu adalah orang yang telah bertempur melawan Ki Gede Menoreh dan yang telah meninggalkannya untuk menahan gerak majunya mendekati pusaka itu.

   "Anak muda,"

   Berkata Tumenggung Wanakerti, aku kagum akan kemampuanmu.

   Menurut ceriteranya, kau jugalah yang telah membunuh Ki Gede Telengan dengan ilmu yang serupa dengan ilmu kerling yang tidak ada artinya itu.

   Sekarang kau berhadapan dengan aku.

   Tumenggung Wanakerti.

   Aku bukannya orang yang suka pada semacam ilmu kerlingan mata.

   Tetapi cobalah kau bertahan dengan kemampuan ilmumu yang manapun juga."

   Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya saja Ki Tumenggung Wanakerti dengan tajamnya.

   "Kau harus mati, dan pusaka-pusaka itu harus kembali kepadaku,"

   Geram Ki Tumenggung Wanakerti.

   Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.

   Orang ini tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

   Ia telah berhasil bertahan melawan Ki Gede Menoreh, dan kini ia sengaja melawannya tanpa menghiraukan kematian Ki Gede Telengan.

   Karena itu, maka Agung Sedayu tidak mau kehilangan kesempatan.

   Demikian ia bersiap menghadapi Ki Tumenggung Wanakerti, maka iapun berteriak.

   "Jagalah baik-baik agar orang-orang yang membawa pusaka itu tidak melarikan diri bersama pusakanya."

   Perintah itu sudah pernah didengar oleh para pengawal.

   Namun ketika Agung Sedayu mengulanginya, maka merekapun menjadi semakin gigih.

   Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berusaha untuk mengepung orang-orang yang masih mempertahankan pusaka-pusaka itu dengan mempertaruhkan nyawa mereka.

   Sesaat kemudian, maka Ki Tumenggung Wanakerti yang hatinya telah terbakar oleh sikap Ki Gede Telengan, dan kemudian melihat kemungkinan yang semakin dekat bagi Agung Sedayu untuk memiliki pusaka itu, hatinya menjadi semakin menyala.

   Dengan Segenap kemampuannya ia langsung menyerang Agung Sedayu.

   Sementara Agung Sedayupun telah siap menghadapinya.

   Ketika serangan Ki Tumenggung Wanakerti lewat, maka meledaklah cambuk Agung Sedayu mengenai lawannya.

   Tepat pada lambungnya yang terbuka, karena tangan Ki Tumenggung mengayunkan senjatanya lurus kedepan mematuk lawan.

   Namun terasa pada tangan Agung Sedayu, bahwa ujung cambuknya telah menyentuh sesuatu yang seakan-akan memagari tubuh Ki Tumenggung Wanakerti.

   Apalagi ketika Agung Sedayu melihat, Ki Tumenggung seolah-olah tidak terpengaruh oleh sentuhan cambuknya.

   Ia hanya menyeringai.

   Namun kemudian seolah-olah sudah tidak terasa lagi.

   Dengan demikian, maka Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar.

   Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Ki Tumenggung Wanakerti itu benar-benar seorang yang luar biasa.

   Ia agaknya memiliki sejenis ilmu yang dapat menjadi perisai bagi dirinya.

   Apakah aji Lembu Sekilan, apakah aji Tameng Waja, atau jenis-jenis yang lain, namun ternyata bahwa sentuhan ujung cambuknya tidak memberikan akibat yang menentukan pada lawannya, meskipun Agung Sedayu yakin bahwa cambuknya dapat mengenainya tepat pada lambung.

   Tetapi bahwa Ki Tumenggung Wanakerti masih nampak menyeringai menahan sakit meskipun hanya sesaat, Agung Sedayu dapat mengetahui, bahwa Ki Tumenggung Wanakerti tidak mutlak mempunyai sejenis Ilmu Kebal.

   Karena itu, maka Agung Sedayupun segera mempersiapkan diri menghadapi pertempuran yang tentu tidak kalah sengitnya dengan melawan Ki Gede Telengan.

   Apalagi Agung Sedayu masih diganggu oleh perasaan lelah badani dan jiwani, setelah ia mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.

   Namun ternyata Ki Tumenggung Wanakertipun tidak sesegar saat ia mulai turun dimedan pertempuran melawan Raden Sutawijaya.

   Ia sudah memeras tenaganya dimedan pertempuran dalam induk pasukannya melawan Senapati Ing Ngalaga.

   Kemudian melawan Ki Gede Menoreh yang cacat kaki.

   Baru ia berhadapan dengan anak muda yang bersenjatakan cambuk itu.

   Kesadaran akan lawannya, telah membuat Agung Sedayu menjadi semakin membenamkan, diri pada ilmunya.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Keragu-raguan dan kebimbangan yang sering menghambat segala tingkah lakunya, perlahan-lahan menjadi kabur.

   Ada semacam dorongan didalam dirinya untuk mengatasi keragu-raguannya.

   Kedua pusaka itu harus direbutnya.

   Yang penting baginya, bukannya arti dari pusaka itu bagi Mataram saja.

   Tetapi ia juga menjadi ngeri membayangkan, jika kedua pusaka itu tetap berada ditangan orang-orang yang tamak dan dikuasai oleh nafsu.

   Meskipun pusaka-pusaka itu tidak sesuai dan tidak memberikan pengaruh apapun juga kepada orang orang tamak, namun kesadaran mereka memiliki pusaka-pusaka itu.

   akan mendorong mereka untuk bertindak lebih jauh dan berbahaya bagi Pajang dan Mataram.

   Karena itulah maka sejenak kemudian.

   Agung Sedayu dan K i Tumenggung Wanakerti telah terlibat dalam pertempuran yang dahsyat.

   Ki Tumenggung yang menyadari bahwa anak muda itu telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan, tidak mau mengalami kesulitan karena kelengahannya.

   Meskipun lawannya masih sangat muda, namun Ki Tumenggung Wanakerti harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada dirinya.

   Sejak semula ia sudah mengetrapkan kekuatan cadangan yang ada pada dirinya untuk memagari tubuhnya menurut pengetrapan ilmunya, agar senjata lawannya tidak berhasil melukainya dan apalagi melumpuhkannya.

   Wanakerti yang bagaikan gila itu, telah melihat Agung Sedayu bagaikan prahara.

   Serangannya datang beruntun dan berputaran tanpa menghiraukan dirinya sendiri.

   Ia terlalu yakin, bahwa senjata Agung Sedayu tidak akan banyak berarti bagi tubuhnya, sehingga dengan demikian Ki Tumenggung Wanakerti tidak pernah menghindarkan diri dari beturan-benturan ilmu yang terjadi.

   Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.

   Ia merasa bahwa tenaga Ki Tumenggung Wanakerti memang luar biasa.

   Bukan saja karena ilmu kebalnya meskipun tidak mutlak, tetapi kekuatannyapun benar-benar merupakan kekuatan raksasa, sementara ia mampu berloncatan secepat burung sikatan.

   "Ilmunya lengkap,"

   Desis Agung Sedayu kepada diri sendiri.

   Namun itu bukan berarti bahwa Agung Sedayu harus menyingkir dari medan dan melepaskan pusaka-pusaka itu.

   Agung Sedayu yang telah berhasil meningkatkan ilmunya dalam keadaan yang seakan-akan tidak dapat diperhitungkan dengan nalar hanya dalam waktu yang terhitung sangat singkat, meskipun ia sudah menguasai dasar-dasarnya sebelumnya, benar-benar telah diuji kemampuannya.

   Setelah ia berhasil membenturkan ilmunya dan membinasakan Ki Gede Telengan, maka ia harus membenturkan pula ilmunya dengan kekuatan raksasa.

   Dalam benturan-benturan berikutnya, Agung Sedayu merasa dirinya harus bergeser surut.

   Serangan-serangan yang datang dari Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar bagaikan badai.

   Dengan cambuknya Agung Sedayu kadang-kadang menahan.

   Tetapi setiap kali Ki Tumenggung yang menyeringai menahan sakit untuk sekejap itu telah meloncat kembali dan menyerang dengan garangnya.

   Senjatanya kadang-kadang terjulur lurus mengarah dada, namun kemudian ditebaskannya mendatar setinggi lambung.

   Agung Sedayu harus berloncatan menghindarkan diri.

   Dengan dahsyatnya ia meledakkan cambuknya untuk memperlambat serangan-serangan lawannya.

   Dalam keadaan yang gawat, maka perlahan-lahan ilmu Agung Sedayu telah tersalur seluruhnya kedalam jalur kekuatan tangannya yang merambat pada cambuknya.

   Sehingga karena itulah, maka kemudian suara cambuknya semakin terdengar berbeda.

   Meskipun suaranya tidak lebih keras dalam tangkapan telinga wadag, namun Ki Tumenggung Wanakerti telah dikejutkan oleh getaran yang menyentuh telinga batinnya.

   Getaran ilmu yang dilontarkan dari ujung cambuk Agung Sedayu dalam tataran yang lebih tinggi.

   "Gila,"

   Geram Ki Tumenggung Wanakerti sambil meloncat surut.

   Dengan mata yang bagaikan menyala ia memandang Agung Sedayu sejenak.

   Sekali lagi Ki Tumenggung Wanakerti terkejut.

   Dalam kesuraman ujung malam, ia melihat bayangan wajah Agung Sedayu bagaikan cermin yang menunjukkan kepadanya, terkaman maut yang mulai mendekat.

   Gerak Agung Sedayu nampaknya menjadi semakin lamban.

   Ia tidak ingin mempergunakan tatapan matanya, karena ia tidak yakin akan dapat menembus perisai diseputar tubuh Ki Tumenggung Wanakerti.

   Namun ia lebih yakin akan kekuatan ilmunya yang tersalur lewat wadagnya.

   Hati Ki Tumenggung Wanakerti tergetar ketika lewat wadagnya Agung Sedayu yang tiba-tiba meledakkan cambuknya disisi tubuhnya sendiri.

   Adalah diluar jangkauan nalarnya, bahwa akibatnya benar-benar mengerikan.

   Yang sempat melihat, jantungnya bagaikan berhenti berdenyut.

   Demikian ledakkan cambuk menghentak, maka tiba-tiba saja disisi Agung Sedayu telah tergali sebuah lubang memanjang.

   Ujung cambuknya seakan-akan telah memecahkan bumi sehingga menganga.

   Ki Tumenggung Wanakerti menahan nafasnya sejenak.

   Ia benar-benar bertemu dengan seorang anak muda yang ajaib.

   Ki Tumenggung tidak akan gentar seandainya ia harus bertempur melawan Ki Gede Telengan yang bagaikan hantu bagi orang-orang yang telah mengenal ilmunya.

   Namun ketika ia harus berhadapan dengan anak yang masih sangat muda itu, rasa-rasanya ia sudah mulai berjanji dengan maut.

   Tetapi Ki Tumenggung Wanakerti segera menghentakkan giginya.

   Iatidak mau dipengaruhi oleh kelemahan hati seorang pengecut.

   Karena itu maka tiba-tiba terdengar suaranya lantang.

   "Anak muda. Kau jangan berusaha mempengaruhi hatiku dengan permainan cambukmu seperti kebanyakan anak gembala di padang penggembalaan. Kau kini berhadapan dengan seorang prajurit linuwih, yang tidak akan dapat terluka oleh segala macam jenis senjata."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya.

   Ia sadar, bahwa K i Tumenggung Wanakerti berusaha mengimbangi kekuatannya dengan ilmunya yang dahsyat lewat lontaran suaranya.

   Gemanya bagaikan menggelegar seratus kali lebih keras didalam rongga dadanya, sehingga rasa-rasanya tulang-tulang iganya menjadi rontok karenanya.

   Tetapi Agung Sedayu memiliki daya tahan yang luar biasa.

   Ia sadar bahwa suara Ki Tumenggung Wanakerti telah menghentikan pertempuran disekitarnya.

   karena kedua belah pihak sedang berusaha menahan agar dadanya tidak retak karenanya.

   Namun demikian mereka menguasai diri, maka pertempuranpun telah meledak lagi dengan dahsyatnya.

   Juga antara Ki Wanakerti dengan Agung Sedayu.

   Selangkah demi selangkah Ki Tumenggung Wanakerti mendekati Agung Sedayu.

   Wajahnya yang tegang penuh dendam membuatnya meniati semakin garang.

   Gelap malam mulai meraba lembah yang dibatasi Gunung Merbabu dan Gunung Merapi itu.

   Namun pertempuran yang terjadi masih berkobar dengan dahsyatnya disegala medan.

   Juga Agung Sedayu yang bertempur melawan Ki Tumenggung Wanakerti.

   Meskipun keduanya telah dipengaruhi oleh kewajaran badani, sehingga kemampuan mereka susut, namun mereka masih tetap merupakan dua kekuatan raksasa yang bertempur dengan dahsyatnya.

   Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar seorang yang memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa.

   Serangannya bagaikan petir yang menyambar dilangit.

   Tetapi Agung Sedayu bukan sebatang pohon raksasa, atau seonggok batu karang yang beku.

   Secepat petir menyambar, maka secepat itu pula Agung Sedayu mampu menghindari serangan Ki Tumenggung Wanakerti, sehingga serangan itu tidak mengenai sasarannya.

   Betapa besur kekuatan serangan itu terasa oleh Agung Sedayu pada desir angin yang menyapu tubuhnya.

   Meskipun senjata lawannya sama sekali tidak menyentuhnya, tetapi hati Agung Sedayu berdesir oleh kesadarannya, bahwa jika senjata itu mengenainya, maka tubuhnya akan sobek dan tidak akan perlu mengulangi, maut akan segera memeluknya.

   Namun dalam pada itu, ujung cambuk Agung Sedayu masih mampu menyusul kecepatan gerak Ki Tumenggung Wanakerti.

   Meskipun hanya sebuah sentuhan, namun ternyata bahwa lontaran ilmu tertinggi yang sudah tersalur lewat wadag dan senjatanya.

   Agung Sedayu telah mampu menunjukkan bahwa ilmunya benar-benar merupakan hantu yang garang bagi Ki Tumenggung Wanakerti.

   Ternyata demikian ia meluncur dengan serangannya yang berhasil di hindari oleh Agung Sedayu, ujung cambuk Agung Sedayu telah menyentuh betis kakinya.

   Ki Tumenggung Wanakerti benar-benar telah terkejut.

   Sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu benar-benar lelah meremas kulitnya dan bagaikan meretakkan tulang-tulangnya.

   Ki Tumenggung Wanakerti mengeluh pendek.

   Sentuhan itu tidak hanya menumbuhkan rasa pedih sesaat yang segera lenyap karena kekebalannya.

   Tetapi ilmu anak muda itu dalam hentakkan segenap kekuatannya tidak hanya sekedar menembus perisai yang menyelubunginya dalam pewadagan kekuatan batiniah, yang terpancar oleh kekuatan ilmunya, namun ilmu Agung Sedayu yang muda itu benar-benar telah berhasil menyakitinya.

   Karena itulah, maka Ki Tumenggung Wanakerti tidak lagi dapat bersembunyi dibalik perisai yang tidak kasat mata, tetapi terasa dalam sentuhan wadag.

   Ternyata bahwa ujung cambuk dalam landasan ilmu Agung Sedayu telah berhasil melampuinya.

   

   first share di Kolektor E-Book 30-08-2019 15:37:02
oleh Saiful Bahri Situbondo


Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long

Cari Blog Ini