Ceritasilat Novel Online

Api Dibukit Menoreh 15


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 15


Api di Bukit Menoreh (05) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 30-08-2019 15:37:02 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (05) Karya dari SH Mintardja

   

   Namun pembicaraan kemudian tidak banyak menarik lagi.

   Setiap kali angan-angan Agung Sedayu selalu jatuh kepada bayangan-bayangan yang buram tentang pesan Ki Juru Martani.

   "Mana mungkin aku dapat menjadi seorang prajurit."

   Pikiran itulah yang selalu mengganggunya.

   "aku tidak mempunyai dasar sifat yang cukup."

   Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya.

   Ki Jurupun agaknya merasakan perasaan Agung Sedayu yang tidak lagi dapat menangkap kesegaran di sepanjang jalan.

   Meskipun kadang-kadang Agung Sedayu memperhatikan juga suara anak-anak yang menjerit-jerit melagukan kidung dolanan.

   Namun Agung Sedayu lebih banyak berbicara kepada dirinya sendiri.

   Karena itu.

   maka Ki Jurupun kemudian mengajak Agung Sedayu kembali kerumah Raden Sutawijaya menjelang tengah malam.

   setelah keduanya berjalan berputar-putar didalam kota.

   Ketika mereka naik kependapa setelah mencuci kaki.

   maka Raden Sutawijaya sama sekali tidak menampakkan diri.

   Ki Jurupun kemudian mempersilahkan Agung Sedayu memasuki biliknya di gandok.

   Namun sebelum Ki Juru meninggalkan gandok, terdengar ia berkata.

   "Orang itu memang menarik perhatian ngger. Siapapun orang itu, namun ia bukan orang Mataram."

   Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya.

   "Mungkin Ki Juru perlu mengetahui siapakah orang itu. Tetapi sayang, bahwa waktuku di Mataram sangat pendek, sehingga aku tidak dapat ikut serta mengetahui latar belakang kehadirannya."

   Ki Juru mengerutkan keningnya. Namun iapun mengangguk-angguk sambil berkata.

   "Beristirahatlah. Bukankahkau akan melanjutkan perjalanan besok?"

   "Ya Ki Juru."

   "Baiklah. Tetapi coba renungkan. Mungkin yang aku katakan kepadamu agak bertentangan dengan sikapmu selama ini. Meskipun demikian kau dapat mengingat kembali apa yang pernah dikatakan Untara kepadamu tentang sifat-sifat seorang prajurit. Dan jika kau berada didalam lingkungan keprajuritan, maka tugas yang kau pikul akan menjadi rangkap. Sebagai prajurit yang baik dan sekaligus berusaha untuk tetap memelihara ketenangan, khususnya hubungan antara Pajang dan Mataram yang kini banyak diracuni oleh perwira-perwira Pajang sendiri yang terlampau mementingkan kepentingan diri sendiri. Sementara Senapati Ing Ngalaga selalu terikat kepada harga dirinya yang berlebih-lebihan tanpa menghiraukan keadaan yang lebih luas dari kelangsungan hidup Pajang."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Keterangan Ki Juru tentang Raden Sutawijaya terasa menyentuh hatinya. Agaknya ada kepentingan-kepentingan yang lebih jujur dari dugaannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh prasangka.

   "Baiklah Ki Juru,"

   Berkata Agung Sedayu kemudian.

   "aku akan memikirkannya. Tetapi aku sama sekali tidak dapat menyebutkan sekarang, apakah yang akan aku lakukan."

   "Tentu. Dan kau masih mempunyai kesempatan yang panjang. Tetapi sekali-sekali bertemulah dengan Untara. Namun demikian, segalanya terserah kepadamu. Kiai Gringsing akan banyak memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berguna bagimu, karena sebenarnyalah ia adalah salah seorang yang justru merupakan keturunan langsung dari para penguasa di Majapahit. Ia termasuk salah seorang yang sebenarnya berhak atas warisan-warisan dari kerajaan itu. Telapi Kiai Gringsing agaknya berpandangan jauh lebih luas dari orang-orang yang hanya mengaku-aku saja sebagai pewaris dan keturunan dari Majapahit."

   Agung Sedayu mengangguk kecil. Sementara Ki Juru melangkah meninggalkan sambil berkata.

   "Tidurlah. Sebentar lagi tengah malam akan tiba."

   Agung Sedayu tidak menjawab.

   Dipandanginya saja Ki Juru yang menyeberangi pendapa dan hilang di longkangan menuju kegandok yang lain.

   Agung Sedayu menarik nafas.

   Iapun kemudian membaringkan dirinya dipembaringan.

   Namun matanya tidak segera dapat terpejam.

   Pesan Ki Juru Martani seolah-olah berputar-putar saja ditelinganya.

   "Sekali-kali bertemulah dengan Untara,"

   Kata-kata Ki Juru itu bagaikan selalu terngiang. Ia mengerti, bahwa hal itu tentu akan mendekatkannya dengan kemungkinan untuk menjadi seorang prajurit.

   "Tetapi kepentingan kakang Untara dan Ki Juru tentu berlainan. Kakang Untara ingin melihat aku sebagai seorang prajurit yang teguh timbul dan disegani, sementara Ki Juru mempunyai kepentingan lain apapun yang disebutkannya. Untuk kepentingan Pajang dan Mataram, atau kepentingan-kepentingan lain yang pada dasarnya menengahi sikap para perwira yang sudah ada."

   Agung Sedayupun membayangkan, untuk dapat mencapai tujuan sesuai dengan keinginan Ki Juru Martani.

   ia harus sedikit menyombongkan diri dengan, memamerkan kelebihan-kelebihannya.

   sehingga ia akan segera mendapat tempat yang baik didalam lingkungan keprajuritan.

   Mungkin ia akan dapat menjadi seorang perwira atau Senopati yang memiliki kekuasaan yang khusus, yang dengan pengaruh yang ada dapat membantu menjernihkan hubungan antara Pajang dan Mataram, menyudutkan pengaruh para perwira yang dikuasai oleh nafsu pribadi dengan pamrih yang berlebih-lebihan untuk membangun kembali suatu kekuasaan yang disebut sebagai warisan kekuasaan Majapahit.

   Namun akhirnya angan-angan Agung Sedayai itupun menjadi semakin samar.

   Akhirnya, matanyapun terpejam sesaat setelah ayam jantan berkokok ditengah malam.

   Namun ternyata Agung Sedayu tidak dapat tidur nyenyak.

   Ia terbangun ketika dikejauhan terdengar suara kentongan yang bersahut-sahutan.

   Bahkan iapun segera bangkit ketika ia sadar, bahkan isyarat kentongan itu mempergunakan irama titir.

   "Apakah yang sudah terjadi ?"

   Bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.

   Namun Agung Sedayu tidak bergeser dari tempatnya.

   Ia masih menunggu perkembangan keadaan.

   Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar beberapa orang telah berada di pendapa.

   Langkah mereka yang terdengar sibuk menanggapi suara titir dikejauhan.

   Akhirnya Agung Sedayu tidak dapat berdiam diri didalam biliknya.

   Iapun kemudian melangkah kepintu.

   Perlahan-lahan ia mendorong pintu biliknya digandok.

   Dari sela-sela daun pintu ia melihat beberapa orang sudah berada di pendapa.

   Mereka tidak sempat duduk di atas tikar.

   Namun mereka hanya berdiri dan berbincang dengan sungguh-sungguh.

   Dengan ragu-ragu Agung Sedayu melangkah keluar.

   Ia masih bimbang, apakah ia diperkenankan naik kependapa dan ikut dalam pembicaraan itu.

   karena ia bukan termasuk salah seorang pemimpin di Mataram.

   Namun ternyata Ki Juru Martani yang melihatnya segera memanggilnya, katanya.

   "Kemarilah ngger. Kita sedang membicarakan suara titir itu."

   Agung Sedayupun kemudian mendekat. Ia melihat Raden Sutawijaya sudah berada diantara mereka.

   "Menurut pendengaranku, isyarat itu bersumber dari arah suara gamelan di banjar yang kita lihat bersama,"

   Berkata Ki Juru kepada Agung Sedayu.

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya.

   Ketika suara tititr itu mulai terdengar, agaknya ia masih tertidur.

   Tetapi ketika ia terbangun rasa-rasanya suara titir itu masih belum merata seperti saat-saat ia keluar dari dalam gandok.

   Dan arah dari suara itu memang seperti yang disebut oleh Ki Juru meskipun barangkali tidak tepat benar.

   Karena itu.

   dengan ragu-ragu Agung Sedayupun mengangguk.

   Katanya.

   "Mungkin pendengaran Ki Juru sesuai. Tetapi aku tertidur saat-saat suara titir itu mulai terdengar."

   "Paman,"

   Berkata Raden Sutawijaya.

   "betapapun juga kita harus bersiaga. Kita tidak dapat menunggu disini tanpa berbuat apa-apa."

   "Tetapi sebaiknya kau menunggu laporan untuk menentukan apakah yang sebaiknya akan kita lakukan,"

   Sahut Ki Juru.

   Belum lagi Raden Sutawijaya menjawab, seekor kuda berlari mendekati regol.

   Karena penunggangnya telah dikenal oleh para penjaga regol, maka kuda itupun mereka biarkan masuk.

   Dengan tangkasnya penunggangnyapun kemudian meloncat dari punggung kudanya dan mengikat kuda itu pada sebuah patok yang sudah disediakan di pinggir halaman.

   Berlari-lari kecil penunggang kuda itu menuju ketangga dan kemudian naik kependapa.

   "Katakan,"

   Desis Raden Sutawijaya.

   "aku tahu. kau membawa laporan tentang suara titir itu."

   "Ya Raden,"

   Jawab orang itu.

   "ternyata yang dikatakan oleh Ki Juru benar."

   Ki Juru menarik nafas panjang.

   Sekilas dipandangnya wajah Agung Sedayu dan tegang.

   Namun anak muda itupun segera mengerti apa yang telah terjadi.

   Agaknya Ki Juru yang meninggalkan biliknya, telah memerintahkan petugas-petugas sandi untuk membayangi orang yang dicurigainya dibanjar itu.

   "Apa yang sudah kaulihat?,"

   Bertanya Ki Juru kemudian.

   "Ketika orang itu kembali dari banjar tempat latihan itu, ada tiga orang yang telah menunggunya. Mereka berbicara ditempat yang sepi dan tersendiri."

   "Kau tidak berusaha mendengar pembicaraan itu?"

   "Itulah yang terjadi. Aku mencoba untuk mendekat. Aku hanya mendengar salah seorang dari ketiga orang itu memberikan perintah, agar orang itu tetap berada di Mataram untuk waktu yang tidak ditentukan. Agung Sedayu telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Menurut perhitungan mereka. Agung Sedayu akan berada di Mataram meskipun hanya satu dua hari."

   Dada Agung Sedayu bergetar mendengar keterangan orang itu.

   Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia masih tetap menjadi sorotan orang-orang yang merasa sakit hati kepadanya.

   Tetapi Agung Sedayu tidak dapat ingkar.

   Ia telah melakukan beberapa pembunuhan di medan perang dilemhah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, sehingga masih ada diantara mereka yang mendendam.

   Mungkin orang-orang yang kehilangan sahabatnya.

   Mungkin orang-orang yang kehilangan pemimpinnya.

   Sekilas terbayang orang-orang yang telah dibunuhnya itu memandanginya dengan sorot mata yang membara, memancarkan dendam yang tidak ada habisnya.

   Dalam pada itu.

   petugas sandi itupun meneruskan.

   "Tetapi agaknya orang-orang itu benar-benar orang yang memiliki ilmu yang tinggi, ternyata kehadiranku dapat diketahuinya, sehingga mereka segera mengejarku."

   "Kau tidak berbuat sesuatu untuk menangkap mereka ?"

   Bertanya Ki Juru.

   "Kemudian kita bertempur untuk beberapa lamanya. Kedua kawanku sama sekali tidak dapat mengimbangi mereka. Untunglah bahwa para peronda di gardu segera datang membantu."

   "Tetapi orang-orang itu tidak dapat kalian tangkap ?"

   Potong Raden Sutawijaya yang tidak telaten.

   "Ya Raden. Kami yang kemudian berjumlah lebih dari sepuluh orang, dibantu oleh beberapa orang anak muda sama sekali tidak berdaya. Bahkan mula-mula akan terjadi salah paham. Penari itulah yang meneriakkan kami seolah-olah kami adalah orang-orang jahat yang harus ditangkap. Untunglah, beberapa orang telah kami kenal, dan kami dapat mengatasi kesalah pahaman itu. Namun demikian, keempat orang itu tidak berhasil kami tangkap."

   Raden Sutawijaya menjadi tegang. Tiba-tiba saja ia berteriak.

   "Cepat, siapkan kudaku. Aku akan mencarinya diseluruh kota."

   Raden Sutawijaya tidak mau mendengar keterangan-keterangan lebih panjang lagi. Ketika kudanya telah siap. maka iapun dengan tergesa-gesa meloncat naik diikuti oleh beberapa orang pengawal yang telah menyiapkan diri.

   "Tunggu,"

   Minta Agung Sedayu.

   "mereka mencari aku. Biarlah aku ikut bersama Raden."

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tinggallah dirumah ini Agung Sedayu. Aku akan mencarinya. Ia telah mengacaukan daerah kekuasaanku. Apalagi mereka berani mengganggu ketenangan kota yang tidak seberapa luas ini."

   "Jika aku telah mereka jumpai, maka ia tidak akan mengganggu kota ini."

   "Kau tamuku sekarang. Aku bertanggung jawab atas semua tamu-tamuku, meskipun aku tahu, bahwa kau akan mampu mempertanggung jawabkan dirimu sendiri."

   Jawab Raden Sutawijaya.

   Agung Sedayu tidak sempat berbicara lagi.

   Kuda Raden Sutawijaya itupun segera berderap dan hilang diregol halaman.

   Yang nampak kemudian hanyalah debu yang mengepul di cahaya bulan yang kekuning-kuningan.

   Sejanak Agung Sedayu termangu-mangu.

   Ia masih melihat beberapa orang meninggalkan halaman.

   Mereka adalah para pengawal yang akan ikut meronda disekeliling kota.

   "Tinggal sajalah disini bersama aku,"

   Berkata Ki Juru.

   "biarlah Danang Sutawijaya mengurusi kotanya."

   "Tetapi persoalannya justru berkisar padaku,"

   Sahut Agung Sedayu.

   "Persoalan apapun juga, tetapi mereka berada di wilayah kekuasaan Raden Sutawijaya,"

   Jawab Ki Juru. Agung Sedayu terdiam. Ia tidak dapat menolak sikap itu, karena sebenarnyalah Mataram adalah daerah kekuasaan Raden Sutawijaya. Namun demikian, iapun kemudian berkata.

   "Ki Juru. Menurut pertimbanganku, agaknya orang-orang itu tidak ingin membuat persoalan dan kegaduhan di kota ini. Apalagi mereka hanya berempat. Yang mereka lakukan tentu hanya sekedar pengawasan. Jika mereka melihat aku lewat, maka mereka tentu akan melakukan sesuatu justru saat aku berada di perjalanan. Agaknya di Tanah Perdikan Menoreh mereka berhasil mendapatkan keterangan, dengan cara apapun, bahwa aku dalam perjalanan menuju ke Sangkal Putung seorang diri."

   "Mungkin sekali Agung Sedayu. Karena itu, sudahlah. Sekarang beristirahatlah, meskipun sudah tentu sebaiknya kau menunda perjalanmu kembali ke Sangkal Putung."

   Agung Sedayu termangu-mangu sejenak.

   Ia masih mendengar suara titir hampir diseluruh kota.

   Dan Agung Sedayupun membayangkan, bahwa semua pintu gerbang tentu sudah ditutup dan dijaga dengan kuat, sehingga tidak seorangpun akan dapat lolos lewat pintu gerbang.

   "Tetapi orang-orang berilmu akan dapat meloncati dinding kota,"

   Berkata Agung Sedayu didalam hatinya, meskipun ia membayangkan juga bahwa para peronda tentu sudah mengawasi setiap jengkal dinding yang membatasi kota Mataram yang sedang tumbuh.

   Sementara itu.

   Kuda Raden Sutawijaya berderap di jalan-jalan kota menuju ketempat yang menjadi sumber isyarat.

   Namun yang dijumpainya hanyalah beberapa orang yang berjaga-jaga.

   dan bahkan terdapat tiga orang pengawal dan dua orang anak muda yang terluka.

   "Yang seorang agak parah,"

   Lapor pemimpin pengawal yang ada ditempat itu.

   "Kalian tidak berusaha mengejarnya?,"

   Bertanya Raden Sutawijaya.

   "Beberapa orang pengawal mengejarnya. Mereka tiba-tiba saja berpencar dan seakan-akan telah hilang. Tetapi disetiap sudut jalan terdapat para pengawal dan anak-anak muda dari setiap padukuhan. Kita sedang mencari keempat orang yang pantas dicurigai itu,"

   Jawab pemimpin pengawal itu.

   Raden Sutawijaya termangu-mangu.

   Sudah tentu ia tidak akan dapat mencari sambil berpacu melingkari kota.

   Karena itu.

   maka iapun justru menyusuri jalan dengan lambat dan sekali-kali berhenti di muka gardu-gardu yang ditunggui oleh para pengawal.

   Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu maka ketika Raden Sutawijaya melewati pintu gerbang, maka pintu gerbang itu tertutup rapat.

   Raden Sutawijaya berhenti sejenak di hadapan para penjaga yang meyongsongnya.

   Dengan nada datar ia bertanya.

   "Apakah kalian tidak melihat orang-orang yang mencurigakan melalui pintu gerbangmu sebelum kau tutup?"

   "Tidak Raden,"

   Jawab pemimpin pengawal itu.

   "tidak seorangpun yang pantas aku curigai memasuki pintu gerbang ini. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Diantara para pengawal ia melihat beberapa orang petugas sandi. Namun agaknya mereka benar-benar tidak melihat orang-orang yang pantas dicurigai sebelum orang-orang itu melakukan sesuatu yang menarik perhatian.

   "Baiklah,"

   Pesan Raden Sutawijaya.

   "berhati-hatilah. Jangan ada seorangpun yang dapat lolos dari dalam kota."

   "Ya Raden. Para perondapun selalu mengelilingi dinding kota. sehingga kemungkinan bagi seseorang untuk meloncatpun agaknya sangat tipis. Digardu-gardu di simpang tiga dan tikungan-tikungan yang menghadap dinding, anak-anak mudapun selalu berjaga-jaga."

   Raden Sutawijaya mengangguk-angguk pula.

   Iapun kemudian meneruskan perjalanannya menyusuri jalan-jalan kota.

   Namun ia tidak menjumpai orang-orang yang dicarinya.

   Sementara itu para pengawal, para bebahu padukuhan dan anak-anak mudapun masih sibuk mencari orang-orang yang mereka curigai itu.

   Apalagi anak-anak muda yang bersama-sama berlatih menari.

   Mereka semula sama sekali tidak mencurigai pedagang wesi aji dan batu-batu permata itu.

   Bahkan orang itu mendapat kehormatan selayaknya sebagai seorang yang memberikan tuntunan tari dan lagu bagi pertunjukan yang sedang mereka siapkan.

   Namun ternyata orang itu adalah petugas sandi dari pihak yang tidak senang melihat perkembangan Mataram.

   Tetapi agaknya ke empat orang itu bagaikan hilang ditelan gelap.

   Sementara dari para pengawal menyangka, bahwa orang-orang itu telah berhasil meloncat dan hilang dari kota.

   "Betapapun ketatnya pengawasan, namun kemungkinan itu besar sekali dapat terjadi. Disaat-saat kita sibuk membunyikan isyarat dan berlari-larian kian kemari, maka ke empat orang itu telah meloncat keluar dan hilang di dalam gelap,"

   Berkata salah seorang pengawal.

   "Tetapi orang yang tinggal dipadukuhan dan memberikan tuntunan tari itu membawa seekor kuda,"

   Sahut yang lain.

   "Kau memang dungu. Apakah artinya seekor kuda bagi keselamatan jiwanya?"

   Kawannya tidak menyahut lagi.

   Tetapi kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.

   Meskipun demikian, namun para pengawal masih tetap berjaga-jaga.

   Raden Sutawijaya masih berkeliling untuk melihat-lihat kemungkinan bahwa keempat orang atau satu diantaranya masih berada didalam kota.

   Dalam pada itu rumah Raden Sutawijaya telah menjadi sepi.

   Yang tinggal hanya dua orang pengawal di gardu yang menghadap regol halaman, sedang dua orang yang lain berkeliling di halaman dan memasuki longkangan sampai ke kebun belakang.

   Sementara dua orang yang lain berada di pendapa.

   Namun selain mereka, di dalam rumah itu masih ada Ki Juru Martani yang merupakan tumpuan kekuatan bagi para pengawal rumah yang menjadi pusat pemerintahan Mataram.

   Tetapi selain mereka, masih ada satu lagi orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.

   Seorang tamu yang singgah di Mataram dalam perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh menuju ke Sangkal Putung.

   Didalam biliknya Agung Sedayu mencoba untuk berbaring dan melepaskan angan-angannya dari keadaan yang sedang terjadi di Mataram.

   Ia mencoba menyerahkan segala sesuatunya kepada Raden Sutawijaya yang bertanggung jawab tentang segalanya di Mataram.

   Tetapi setiap kali ia selalu disentuh oleh perasaan gelisah, karena justru ialah yang menjadi pusat perhatian orang-orang yang mencurigakan itu.

   Sejenak Agung Sedayu mencoba untuk menilai keadaan yang sedang terjadi itu dengan keterangan yang didengarnya, bahwa Pajang telah mengirimkan pengawas sandinya untuk menilai kekuatan Mataram yang dianggap siap untuk melawan Pajang.

   "Agaknya orang ini berbeda tujuan dengan petugas-petugas sandi itu meskipun mungkin ia berasal dari kesatuan prajurit Pajang pula,"

   Berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

   Dalam pada itu.

   selagi ia sedang digelisahkan oleh keadaan yang terjadi, diluar halaman, dua orang sedang berjalan-jalan tersuruk-suruk mendekati regol.

   Sejenak mereka tertegun ketika mereka melihat orang-orang yang berada didalam gardu.

   "Sst,"

   Desis yang seorang sambil menunjuk orang-orang digardu itu.

   Yang lain tidak menyahut.

   Namun digamitnya kawannya untuk melangkah dengan hati-hati mendekati gardu itu.

   Dengan jari-jarinya ia memberikan isyarat bahwa yang ada digardu itu hanyalah dua orang saja.

   Yang seorang justru telah heran dan kemudian berdiri disisi regol dengan tombak ditangan, sementara yang lain masih tetap duduk sambil membelai hulu pedangnya Kedua orang yang sedang merunduk itu saling berpandangan.

   Namun yang seorangpun kemudian memberikan isyarat ketika ia melihat dua orang pengawal yang lain berjalan dari halaman menuju ke regol itu pula.

   Sejenak mereka termangu-mangu.

   Namun kemudian merekapun surut beberapa langkah dan menghilang dibalik gerumbul-gerumbul liar di halaman sebelah.

   Ternyata keduanya telah memberikan laporan tentang para pengawal yang ada di regol yang hanya berjumlah empat orang.

   "Aku sudah menduga, bahwa justru rumah ini akan menjadi kosong,"

   Desis salah seorang dari mereka.

   "Tetapi kita tidak akan dapat berbuat apa-apa."

   Sahut yang lain.

   "Kita akan memasuki rumah ini. Meskipun tidak termasuk dalam rencana, tetapi kita akan mengambil semua pusaka yang ada. Aku yakin bahwa Sutawijayapun tentu sedang keluar oleh suara titir."

   Sejenak empat orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka kemudian berkata.

   "Kita harus meyakinkan bahwa Raden Sutawijaya tidak berada di rumahnya. Dan penjagaan dirumah ini justru menjadi susut karena suara titir itu."

   "Apakah yang dapat kita perbuat?,"

   Bertanya salah seorang dari mereka.

   "Aku akan bertanya kepada para pengawal. Lindungi aku jika caraku gagal,"

   Berkata yang lain.

   "Apa yang akan kau lakukan?"

   "Lihat sajalah."

   Keempat orang itupun segera bersiap-siap.

   Yang seorang dari mereka tiba-tiba saja telah membuka bajunya dan mengurai ikat kepalanya, sehingga nampaknya ia benar-benar seperti orang yang sedang dalam keadaan yang sulit.

   Rambutnya nampak kusut dan langkahnya tiba-tiba menjadi gontai.

   Kawan-kawannya memperhatikan dari balik persembunyiannya.

   Mereka melihat dibawah cahaya bulan yang samar, kawannya yang seorang itu berlari-lari dengan tertatih-tatih mendekati para pengawal.

   "He. siapa kau? "

   Tiba-tiba salah seorang pengawal menyapanya sambil mengacukan tombaknya.

   "O. ampun tuan. Aku telah dikejar seseorang. Mula-mula akulah yang mengejarnya, karena orang itu pantas dicurigai. Tetapi ternyata ia melawan. Kami berempat, dan orang itu hanya sendiri. Tetapi tiga kawan kami agaknya terluka entah terbunuh."

   Ia berhenti sejenak lalu.

   "aku akan menghadap Raden Sutawijaya. Raden Senapati Ing Ngalaga membunuhnya. Orang itu luar biasa. Sebentar lagi ia tentu akan sampai kemari."

   Keempat penjaga regol itu menjadi tegang. Hampir diluar sadar, salah seorang dari mereka menyahut.

   "Raden Sutawijaya sedang nganglang. Tetapi biarlah. Jika ia datang kemari, aku akan membunuhnya."

   "Jika tidak? Apakah tidak sebaiknya kalian mengejarnya,"

   Berkata orang yang gontai itu.

   "Kami bertugas disini. Kami tidak dapat meninggalkan tugas kami."

   "Tetapi disini tentu banyak petugas yang lain orang yang berpura-pura itu tertegun sejenak. Hanya enam orang. Jika demikian, maka pengamanan rumah itu benar benar sangat ringkih."

   Karena itu.

   tiba-tiba saja diluar dugaan, orang itu meloncat menyerang pengawal yang memegang tombak itu.

   Sambil menyambar tangkai tombak itu dan menariknya sekuat tenaganya, kakinya telah menghantam lambung pengawal itu.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
sehingga pengawal itu terpelanting jatuh.

   Para pengawal yang lainpun terkejut bukan buatan.

   Tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak.

   Demikian mereka menyadari keadaan, maka tiga orang lain telah berloncatan dari dalam gerumbul.

   Serangan yang tiba-tiba itu telah melumpuhkan keempat orang itu sekaligus.

   Mereka sama sekali tidak sempat memberikan isyarat kepada siapapun juga.

   Yang terjadi itu hanyalah beberapa saat yang pendek.

   Dua orang pengawal yang berada dipendapa sama sekali tidak mengetahui, bahwa diluar regol keempat kawannya telah dilumpuhkan.

   Karena itulah, keduanya yang berada dipendapa masih saja duduk sambil bercakap-cakap untuk menghalau perasaan kantuk! "Agaknya orang-orang yang dicari itu sudah berhasil melarikan diri,"

   Desis yang seorang.

   "Mereka tentu sudah meloncat dinding,"

   Sahut yang lain.

   "Tetapi, kenapa Raden Sutawijaya masih belum kembali? Atau pengawal-pengawal yang lain yang sebenarnya tidak perlu ikut berkejar-kejaran di sudut-sudut kota ?"

   Kawannya tidak menyahut. Dipandanginya regol halaman dalam keremangan sinar bulan. Tetapi ia tidak melihat apapun juga.

   "Mungkin masih dilakukan pencaharian terus sampai pagi,"

   Desis yang seorang pula.

   Kawannya tetap tidak menjawab, ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat seseorang melintasi regol.

   Kemudian berjalan kembali.

   Hilir mudik seperti yang dilakukan oleh para pengawal.

   Namun sejenak kemudian, dua orang diantara mereka memasuki halaman dan berjalan melintas.

   Kedua orang yang berpura-pura sebagai para pengawal itu telah memberanikan diri melihat-lihat keadaan didalam.

   Seperti dua orang yang mereka lihat melintas dan mendatangi gardu diregol itu, maka kedua orang itupun melakukan yang sebaliknya.

   Dua orang pengawal yang berada dipendapa memandang kedua orang yang melintas itu.

   Mereka masih menyangka bahwa keduanya adalah para pengawal yang bertugas di gardu.

   Tetapi sejenak kemudian, mereka melihat kedua orang lainnya memasuki regol pula menyusul kedua onang yang terdahulu.

   "Kenapa mereka semuanya memasuki halaman? "

   Salah seorang dari kedua penjaga di pendapa itu bertanya. Yang lain termangu-mangu. Namun kemudian tanpa menjawab pertanyaan kawannya ia berdiri dan berjalan ketangga pendapa sambil bertanya.

   "He. kenapa regol itu kalian tinggalkan?"

   Keempat orang itu tertegun. Dalam samarnya cahaya obor mereka melihat dua orang berada dipendapa.

   "Empat orang sudah tidak berdaya,"

   Desis yang seorang, disini ada dua orang penjaga. Jika yang dua ini kita selesaikan, maka rumah ini tentu sudah kosong."

   "Tetapi apakah tidak ada orang didalam?,"

   Bertanya yang lain "Hanya pelayan-nelayan. Bukan prajurit-prajurit."

   "Jika pelayan-pelayan dirumah ini juga prajurit?"

   "Kita bertempur."

   Karena orang-orang itu tidak segera menjawab, bahkan saling berbisik maka kedua pengawal dipendapa itu bertanya pula.

   "He kenapa kalian tinggalkan regol itu?"

   Tiba-tiba terdengar jawaban.

   "Keadaan sudah aman."

   Jawaban itu benar-benar mengejutkan.

   Seorang pengawal tidak akan berpendapat demikian.

   Betapapun keadaan aman.

   namun mereka tidak boleh meninggalkan tugas mereka.

   Apalagi baru saja terdengar suara titir diseluruh kota.

   bahkan Raden Sutawijaya sendiri masih belum kembali.

   Kecurigaan timbul pada kedua orang pengawal itu.

   Karena itulah maka merekapun mencoba mengenali keempat orang itu dengan saksama.

   Namun agaknya keempat orang itu telah merasa bahwa kedua orang itu tentu akan segera mengenalnya.

   Karena itulah, maka tiba-tiba saja keempat orang itupun telah meloncat menyerang dengan garangnya.

   Namun karena kecurigaannya, maka kedua orang itupun ternyata telah bersiap-siap.

   Maka demikian mereka melihat keempat orang itu meloncat menyerang, maka keduanyapun segera menarik pedangnya sambil berkata satu sama lain hampir bersamaan.

   "Berhati-hatilah"

   Kedua pengawal itu dalam saat yang pendek, segera dapat menduga bahwa para penjaga regol tentu sudah tidak berdaya, sehingga keempat orang itu dapat masuk dengan leluasa.

   Sejenak kemudian telah timbul pertempuran diantara keempat orang pendatang itu melawan kedua pengawal.

   Ternyata bahwa kedua pengawal itu sama sekali tidak mampu berbuat banyak.

   Selain jumlah keempat orang itu lebih banyak, bahkan berlipat.

   namun ternyata bahwa seorang saja diantara keempat orang itu akan dengan mudah mengalahkan kedua orang lawannya.

   Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian kedua pengawal itu sudah tidak berdaya.

   Mereka terkapar di pendapa dengan senjata masih ditangan.

   "Apa yang akan kita lakukan sekarang?,"

   Bertanya salah seorang.

   "Mengambil pusaka-pusaka itu."

   Sahut salah seorang yang paling berpengaruh diantara keempat orang itu.

   "Mungkin kita dapat mengambilnya. Tetapi bagaimana kita akan membawa keluar. Seluruh kota sudah dijaga. Setiap tikungan, simpang tiga dan simpang empat."

   Orang itu termenung sejenak. Namun kemudian katanya.

   "Kau memang bodoh. Dengan pusaka-pusaka itu ditangan, tidak akan ada seorangpun yang berani menghalangi perjalanan kita."

   "Kenapa? Apakah pusaka itu mampu melawan orang seluruh tanah Mataram?"

   "Kau memang dungu. Kita akan membawa kangjeng Kiai Pleret yang sudah kembali keperbendaharaan pusaka di rumah ini. Juga Kiai Mendung dan pusaka-pusaka yang lain. Jika para pengawal Mataram mencoba menghalangi kita, atau bahkan menangkap kita, maka kita harus siap menghancurkan pusaka-pusaka itu."

   Kawan-kawannya terkejut. Dengan tegang salah seorang dari mereka bertanya.

   "Apakah kita mampu? Kita akan kena kutuknya. Bahkan sebelum kita dapat menghancurkan pusaka itu. kita sudah membeku karenanya."

   Tetapi kawannya justru tertawa. Katanya.

   "Kau benar-benar seorang yang tidak berakal. Kita tidak akan benar-benar menghancurkan pusaka itu. Kita hanya menakut-nakuti orang Mataram. Mereka tentu akan mundur dan memberi jalan kepada kita. karena mereka tidak akan dapat melihat pusaka-pusaka itu kita rusakkan. Kita harus berbuat seolah-olah benar-benar kita akan menatahkan ujung tombak Kiai Pleret. atau menghancurkan sonsong Kiai Mendung. Seolah-olah benar-benar akan kita lakukan."

   Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Namun merekapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya.

   "Kau memang cerdik."

   "Marilah. Kita harus cepat memasuki perbendaharaan pusaka. Kita akan mencarinya. Mungkin ada satu dua abdi yang ada didalam. Kita tidak mempunyai pilihan lain daripada melumpuhkan mereka."

   Keempat orang itupun kemudian bergegas naik kepandapa.

   Mereka langsung menuju kepintu.

   Jika pintu itu diselarak dari dalam.

   maka tidak ada jalan lain kecuali memecahkannya.

   Tetapi keempat orang itu tertegun, ketika pintu itu justru terbuka.

   Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat seorang tua melangkah keluar dan berdiri tegak dimuka pintu.

   Wajah orang itu menegang sejenak.

   Namun kemudian terdengar suaranya lirih.

   "Siapakah kalian?"

   Salah seorang dari keempat orang itu terhenyak ditempatnya. Sambil menggamit kawannya yang terdekat ia berbisik.

   "Ki Juru Martani."

   Tetapi kawannya yang berdiri disebelahnya tiba-tiba saja menggeram.

   "Ki Juru. Mungkin kau tidak mengenal kami. Kawanku yang seorang tiba-tiba saja menjadi ketakutan melihat wajahmu. Tetapi maaf, aku datang dengan sengaja untuk menjumpaimu. Mungkin kau dapat menahan aku untuk beberapa saat. sementara kawan-kawanku mengambil pusaka-pusaka dari gudang penyimpanannya."

   Ki Juru termangu-mangu.

   Ia benar-benar menjadi cemas melihat keempat orang itu.

   Apalagi menilik salah seorang diantara mereka tentu termasuk orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

   Jika benar-benar orang itu mampu menahannaya untuk bertempur, maka yang lain tentu akan berhasil mengambil pusaka-pusaka di tempat penyimpanannya.

   "Nah Ki Juru,"

   Berkata orang itu.

   "daripada perlawanan Ki Juru sia-sia. maka lebih baik Ki Juru menyerahkan saja pusaka-pusaka itu."

   Tetapi Ki Juru menggeleng. Jawabnya.

   "Aku akan bertempur. Aku tahu bahwa pengawal yang sedikit, justru karena terpancing keluar rumah dan halaman ini. telah kalian pergunakan sebaik-baiknya. tetapi disini masih ada aku. Masih ada beberapa orang pelayan yang memiliki kemampuan sebagai seorang pengawal, meskipun tidak setingkat dengan kalian. Tetapi jumlah mereka yang lebih dari empat orang. akan dapat mengganggu kalian sampai saatnya Raden Sutawijaya kembali."

   "Persetan. Kami akan membunuh semua orang, termasuk kau Ki Juru."

   Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Tidak mudah membunuh sesama. Meskipun kemampuanmu berlipat, namun hidup dan mati seseorang berada dibawah kuasa Yang Maha Esa."

   "Persetan. Jangan biarkan ia mengulur waktu menunggu Sutawijaya kembali. Kita bunuh saja orang tua itu. Kemudian yang lain."

   Ki Juru masih akan menjawab, tetapi keempat orang itu.

   sudah siap menyerangnya dengan senjata teracu.

   Ki Juru yang tua itu tidak dapat berbuat lain.

   Ia surut selangkah sehingga ia berdiri di pintu.

   Dengan demikian, ia berusaha mengurangi kemungkinan serangan dari arah yang berlawanan.

   Keempat orang itupun kemudian maju mendekatinya.

   Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berkata.

   "Serahkan orang tua itu kepadaku. Aku tahu. seberapa tinggi tingkat ilmunya. Ia adalah saudara tua seperguruan dengan Ki Gede Pemanahan. Namun karena Ki Gede Pemanahan adalah seorang Panglima, maka tingkat kemampuannya tentu lebih tinggi dari Ki Juru Martani. justru karena Ki Gede ditempa oleh pengalaman."

   Ki Juru Matani termangu-mangu.

   Orang itu ternyata dapat menjajagi ilmunya dan memperbandingkannya dengan Ki Gede Pemanahan dengan tepat.

   Karena itu, maka iapun menjadi berdebar-debar.

   Jika orang itu berhasil mengikatnya dalam perkelahian, maka ketiga kawannya akan dapat berbuat seperti yang dikatakannya.

   Merampas pusaka-pusaka yang tersimpan dibilik penyimpanan pasaka.

   karena para pelayan rumah itu tentu tidak akan mampu melawannya.

   "Tinggalkan orang tua itu,"

   Berkata orang yang agaknya pemimpin dari keempat orang itu.

   "carilah pusaka-pusaka itu."

   Ki Juru memandang orang itu sejejak. Namun ia menjadi semakin gelisah ketika ketiga orang lainnya ternyata surut selangkah.

   "Persetan,"

   Geram orang yang berhadapan dengan Ki Juru Martani.

   "seandainya kau dapat menangkap angin, namun jika kau tidak lenyap dari tatapan mataku, maka kau akan binasa."

   Ki Juru tidak menjawab.

   Tetapi iapun telah menggemgam pedang.

   Meskipun ia sudah tua.

   tetapi ia masih memiliki kemampuannya sebagai seorang yang berilmu tinggi.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun dalam pada itu.

   selagi ketiga orang yang datang itu beringsut surut, terdengarlah suara dari gandok.

   "Biarlah ketiga orang itu akulah yang menemani."

   Semua orang berpaling kepada suara itu.

   Ki Juru mengerutkan keningnya.

   Sebenarnya ia memang mengharap Agung Sedayu keluar dari biliknya.

   Tetapi ia tidak dapat mempersilahkannya.

   Ia adalah seorang tamu, apalagi ia mendengar, bahwa orang-orang itu memang mencari Agung Sedayu.

   "Siapa kau? "

   Salah seorang dari keempat orang itu bertanya.

   "Aku kira. kalian memang mencari aku,"

   Jawab Agung Sedayu.

   "ternyata kalian memang cerdik. Kalian memancing para pengawal keluar. Dan kini kalian benar-benar dapat bertemu dengan aku."

   "Persetan,"

   Geram orang yang sudah berhadapan dengan Ki Juru.

   "jadi kau Agung Sedayu?"

   "Apakah kau belum mengenal aku? Jika demikian, apakah kau dapat menjalankan tugasmu jika kalian bertemu aku diperjalanan ke Sangkal Putung? Aku kira kalian memang mengikuti jejakku dan akan menjebabku disepanjang jalan menuju ke Kademangan Sangkal Putung itu."

   Keempat orang itu termangu-mangu. Mereka memandang Agung Sedayu seperti memandang hantu. Debar dadanya terasa semakin keras ketika mereka melihat Agung Sedayu melangkah mendekat.

   "Aku harus menjebaknya dan bersama-sama membunuhnya,"

   Berkata orang yang memimpin keempat orang itu didalam hatinya.

   "tetapi jika disini hadir juga Ki Juru. maka keadaannya akan menjadi gawat."

   Sementara itu Agung Sedayu yang menjadi semakin dekat kemudian berkata.

   "Ki Sanak. Agaknya kalian memang tidak perlu mencari aku yang kalian sangka akan tinggal dan bermalam di Mataram satu atau dua hari. Setelah menurut pengamatan kalian aku telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Kita sudah bertemu sekarang. Dan marilah, silahkan duduk. Mungkin kalian membawa pesan untuk aku."

   Keempat orang itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka, yang justru sudah siap bertempur melawan Ki Juru itupun berkata.

   "Gila. Kau berada diluar perhitungan kami saat kami memasuki rumah ini. Tetapi sekarang kita sudah bertemu. Apa boleh buat. Kau pun harus mati seperti Ki Juru Martani."

   "Jangan berbicara tentang mati. seolah-olah tidak ada persoalan lain yang dapat kita perbincangkan. Bukankah kita dapat berbicara sebaik-baiknya tentang parit yang mengalir deras, tentang padi yang mulai menguning, tentang pedati yang berjalan lamban di bulak panjang atau tentang hubungan yang akrab antara sesama manusia tanpa permusuhan."

   "Cukup,"

   Bentak orang yang siap melawan Ki Juru.

   "kau jangan mencoba mempengaruhi kami dengan kata-kata yang tidak bernilai bagi kami, orang jantan. Sekarang kalian berdua berhenti sejenak, lalu katanya kepada ketiga orang kawannya, bunuh anak itu lebih dahulu. Setelah itu, ambillah pusaka-pusaka yang ada diperbendaan pusaka."

   "Tunggulah,"

   Potong Agung Sedayu.

   "jangan tergesa-gesa. Aku akan memberikan sedikit keterangan. Jika sekiranya kau memaksakan pertempuran, maka kita akan bertempur. Aku dan Ki Juru akan memperpanjang waktu perlawanan kami. Jika ada satu dua orang pelayan terbangun, mereka akan memukul isyarat dan sepuluh atau duapuluh orang akan memasuki halaman itu. Mereka akan melihat korban yang telah kau lumpuhkan, sebelum mereka melakukan apapun juga. Nah. kau tahu. apa yang akan terjadi atasmu."

   "Cukup. Cepat, bunuh anak itu. Jika ada seorang pelayan-pun yang terbangun dan berusaha membunyikan isyarat, ia akan mati paling cepat."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya.

   Agaknya keempat orang itu memang bukan orang kebanyakan.

   Mereka telah mendapat kepercayaan untuk melakukan tugas yang berat.

   Sebenarnyalah keempat orang itupun telah siap menghadapi segala kemungkinan.

   Mereka memang orang-orang terpilih.

   Mereka tahu pasti, apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu di medan pertempuran di lembah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

   Karena itu.

   maka ketiga orang yang sudah siap untuk mengambil pusaka itupun segera mendekati Agung Sedayu.

   sementara pemimpinnya berkata.

   "Salah seorang dari kalian harus siap bertindak atas para pelayan yang menyaksikan peristiwa ini. Lumpuhkan mereka seperti para pengawal yang melawan, agar mereka tidak sempat membunyikan tanda atau isyarat."

   Ketiga orang itu tidak menjawab.

   Namun mereka melangkah semakin mendekati Agung Sedayu.

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   Sekali lagi ia dihadapkan pada suatu keadaan yang tanpa pilihan.

   Ia harus mempertahankan dirinya.

   Dan ia tidak menpunyai cara lain kecuali dengan kekerasan.

   "Aku tidak mungkin menghindarkan diri dengan melarikan diri pada saat seperti sekarang ini,"

   Berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

   Dan bagaimanapun juga, ia masih belum sampai pada cara yang satu itu.

   Karena itulah maka Agung Sedayupun kemudian mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ketiga orang itu, sementara Ki Juru harus berhadapan dengan pemimpin mereka.

   "Maaf ngger,"

   Tiba-tiba saja terdengar suara Ki Juru.

   "jika Danang Sutawijaya mempersilahkan angger tinggal, maksudnya agar angger sempat beristirahat. Tetapi justru anggerlah yang kini berkewajiban untuk melawan ketiga orang yang tidak tahu diri itu."

   Agung Sedayu tidak menjawab.

   Perhatiannya sudah terpusat kepada ketiga orang itu, karena anak muda itupun sadar, bahwa ketiga orang itu tentu memiliki bekal untuk melakukan tugasnya.

   Sejenak kemudian, maka masing-masingpun telah bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan.

   Wajah Agung Sedayu nampak buram oleh kegelisahannya.

   Bukan karena ia cemas menghadapi lawan-lawannya.

   Tetapi bahwa ialah yang diluar kehendaknya sendiri, harus menghadapi orang-orang itu di dalam lingkungan kekuasaan Raden Sutawijaya di Mataram.

   Ki Juru yang tinggal menghadapi seorang lawan, mereka tidak perlu lagi bertempur dipintu pringgitan.

   Iapun justru keluar maju dengan pedang teracu.

   "Marilah kakek tua,"

   Berkata lawannya.

   "aku beri kesempatan kau bertempur di tempat yang luas. Mungkin pernafasanmu masih cukup baik. sehingga kau akan mampu mengimbangi tata gerakku."

   Ki Juru tidak menjawab.

   Ia sadar, bahwa lawannya akan mempergunakan cara yang sesuai dengan keadaannya.

   Lawannya tentu mengira bahwa nafasnya tidak lagi sepanjang nafas anak-anak muda.

   Sejenak kemudian, lawan Ki Juru Martani itupun telah mulai menggerakkan tombaknya.

   Dengan lincahnya ujung tombak itu bergeser dari satu arah, kemudian berubah dari arah yang lain oleh loncatan kakinya yang cekatan.

   Orang itu tertawa.

   Katanya.

   "Tombak ini adalah tombak para pengawal diregol. Aku tidak biasa mempergunakannya, karena akupun terbiasa bersenjatakan sebuah kelewang yang besar. Tetapi aku akan mencoba mempergunakan ujung tombak ini untuk menembus dada Ki Juru Martani yang namanya dikenal oleh setiap orang di seluruh wilayah Pajang dan bahkan wilayah Majapahit lama, karena sebenarnya ialah yang telah berbuat terlalu banyak lagi perkembangan Mataram."

   Ki Juru tidak menjawab.

   Ia memperhatikan tangan dan tombak yang bergerak-gerak itu.

   Namun Ki Juru masih belum berbuat sesuatu.

   Ia masih memegang senjatanya menyilang didadanya.

   Hanya kakinya sajalah yang bergeser memutar tubuhnya menghadap lawannya yang dengan tangkas berloncatan.

   "Kau cerdik Ki Juru,"

   Berkata lawannya.

   "Kau mampu menahan perasaanmu yang bergejolak untuk mempertahankan pernafasanmu yang tentu sudah terlampau pendek bagi sebuah perang tanding. Tetapi jangan cemas. Perang tanding ini tidak akan berlangsung lama. Sebentar lagi Agung Sedayu akan mati. Dan kaupun segera tertelungkup di pendapa ini. Kau akan menyesal. karena kau tidak sempat melihat Mataram berkembang lebih besar. Kau tidak dapat melihat Sutawijaya berhasil membunuh ayahanda angkatnya dan merebut tahtanya."

   "Cukup,"

   Bentak Ki Juru.

   "sebenamya aku lebih baik diam. Tetapi kata-katamu benar-benar menyakitkan hati. Tidak seorangpun yang akan memberontak melawan Sultan Pajang selain kau dan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Termasuk beberapa orang perwira yang berada di istana Pajang sekarang ini. Mungkin kau datang dari pihak yang lain. yang digerakkan oleh dendam semata-mata. Mungkin kau termasuk salah seorang anak buah orang-orang yang terbunuh di medan oleh Agung Sedayu. Tetapi mungkin juga kau anak buah Ki Tumenggung Wanakerti. Adalah ciri orang-orang yang berpikiran licik, bahwa kematian dimedan perang masih juga menimbulkan dendam yang berkepanjangan."

   "Kau pintar juga kakek tua. Baiklah. Aku tidak berkeberatan untuk mengaku sebelum aku dapat membunuhmu,"

   Geram orang itu sambil menyerang.

   Ki Juru berusaha menghindar.

   Dengan gerak yang sederhana ia berhasil menghindarkan dirinya dari pagutan ujung tombak lawannya.

   Ketika kemudian ujung tombak itu sekali lagi mematuk, maka dengan pedangnya Ki Juru menyentuhnya, sehingga ujungnya bergeser sejengkal dari tubuhnya.

   Lawan Ki Juru itu masih sempat tertawa.

   Katanya.

   "Kau masih tangkas juga Ki Juru. Baiklah, kita akan segera melihat, apakah kau benar-benar masih tetap memiliki namamu yang besar itu."

   Ki Juru tidak menjawab. Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat lawannya melemparkan tombak panjangnya dan kemudian menarik sebuah kelewang yang besar seperti yang dikatakannya.

   "Tombak itu sama sekali tidakberarti bagiku,"

   Geramnya.

   Ki Juru mempersiapkan dirinya.

   Ia sadar, bahwa ia harus mulai dengan pertempuran yang sebenarnya melawan orang yang kurang dikenalnya itu.

   Dengan wajah yang tegang orang itu melangkah mendekati lawannya.

   Sorot matanya seolah-olah telah berubah menjadi buas dan liar.

   Ketika ia mengayunkan kelewangnya, maka terasa angin yang tergeser menyentuh tubuh Ki Juru.

   "Hem,"

   Ki Juru menarik nafas panjang.

   "orang ini agaknya memang orang luar biasa. Tenaganya melampaui tenaga orang kebanyakan. Dan sudah barang tentu, ia termasuk orang pilihan,"

   Katanya didalam hati.

   Ternyata sejenak kemudian, Ki Juru benar-benar harus bertempur melawan orang bersenjata kelewang itu.

   Ternyata ia benar-benar seorang yang mampu bergerak diluar dugaan.

   Kakinya berloncatan seolah-olah tidak berjejak diatas tanah.

   Sementara kelewangnya berputar seperti baling-baling disekitar tubuh lawannya.

   Seperti yang diperhitungkan lawannya, Ki Juru berusaha membatasi geraknya, agar ia tidak kehabisan nafas.

   Tetapi lawannyapun cukup cerdik.

   Ia selalu memancing, agar Ki Juru terpaksa meloncat dengan loncatan-loncatan panjang dan dengan cepat mengikuti arah serangan-serangannya.

   Sementara itu.

   Agung Sedayupun telah terlihat dalam perkelahian.

   Agaknya Agung Sedayu masih ingin menyelesaikan persoalan itu tanpa mengganggu orang lain, sehingga ia masih belum bernafsu untuk mempergunakan cambuknya.

   "Cambukku dapat mengundang sekelompok pengawal,"

   Katanya didalam hati.

   "dengan demikian akan berarti keempat orang ini akan habis dicincang jika para pengawal mengetahui nasib kawan-kawannya meskipun mungkin mereka hanya pingsan dan tidak mati."

   Karena itulah, maka ketika orang yang bertempur melawan Ki Juru itu melemparkan tombaknya.

   Agung Sedayu meloncat dengan kecepatan yang tidak diduga, apalagi yang dilakukan itu sama sekali tidak diperhitungkan oleh lawannya.

   berhasil menggapai tangkai tombak itu, dan kemudian mempergunakannya.

   "Agung Sedayu,"

   Salah seorang lawannya menggeram.

   "aku dengar kau adalah seorang kesatria yang bersenjatakan cambuk seperti gurumu. Dimana cambukmu he? Jika cambukmu ketinggalan dibilikmu, aku beri kesempatan kau untuk mengambilnya."

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Agung Sedayu tidak menjawab.

   Namun tiba-tiba orang yang berbicara itu terkejut.

   Ujung tombak Agung Sedayu tiba-tiba saja telah menyambar mulutnya.

   Untunglah ia masih sempat mengelak, sehingga bibirnya tidak robek karenanya.

   Tetapi yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu telah memberikan kejutan bagi lawan-lawannya.

   Sebenarnyalah bahwa nama Agung Sedayu benar-benar bukan sekedar olok-olok kawan-kawannya yang pernah melihatnya dipertempuran.

   Ketiga orang itupun segera berpencar.

   Namun agaknya Agung Sedayu yang bersenjata tombak panjang itu lebih senang bertempur ditempat yang lebih luas.

   Karena itulah, maka iapun tiba-tiba saja telah meloncat turun dari pendapa.

   "Jangan lari,"

   Salah seorang dari ketiga orang lawannya membentuk.

   "Jangan berteriak,"

   Desis Agung Sedayu.

   "jika suaramu didengar oleh para pengawal yang kebetulan lewat diluar dinding, maka mereka akan segera datang. Kau tentu akan dicincang menjadi lumat, karena kau telah memperlakukan kawan-kawannya yang mengawal rumah ini dengan semena-mena."

   "Persetan. Kami akan membunuh semua orang."

   "Seluruh kota?"

   "Ya."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia berkata.

   "Bertanyalah kepada dirimu sendiri apakah kau mampu melakukannya?"

   Orang itu menjadi semakin marah.

   Itulah sebabnya, maka ketiga orang yang telah menyusul Agung Sedayu turun kehalaman itupun segera menyerangnya dengan dahsyatnya dari arah yang berbeda, seperti datangnya prahara di musim pancaroba.

   Agung Sedayu segera merasakan tekanan yang berat dari ketiga orang itu.

   Sehingga dengan demikian ia dapat memperhitungkan, seandainya, ia benar-benar ditunggu oleh empat orang itu diperjalanan kembali ke Sangkal Putung dibulak panjang tanpa bantuan seorangpun juga.

   maka tugasnya tentu akan terasa sangat berat.

   Apalagi ketika ia sempat melihat perkelahian yang terjadi dipendapa, antara Ki Juru dan salah seorang dari keempat orang yang mencarinya itu.

   Ternyata bahwa orang itupun memiliki kemampuan yang menggetarkan.

   Dengan senjata sebuah tombak panjang.

   Agung Sedayu bertempur melawan ketiga orang lawannya.

   Meskipun ia tidak terbiasa mempergunakan senjata serupa itu, namun ternyata bahwa kemampuan Agung Sedayu benar-benar telah mengejutkan ketiga orang lawannya.

   Tombak panjang ditangan Agung Sedayu itu ternyata menjadi sangat berbahaya.

   Tombak itu dapat berputar bagaikan perisai disekitar tubuh Agung Sedayu.

   sementara dalam hentakan yang tiba-tiba, ujungnya dan bahkan tangkainya dapat mematuk lawannya Tetapi ketiga orang lawan Agung Sedayu itupun cukup lincah.

   Mereka masih selalu berhasil menghindarkan diri dari serangan Agung Sedayu.

   Namun merekapun tidak juga segera berhasil mengalahkan lawannya yang hanya seorang itu.

   Sementara itu.

   para pengawal yang berada diluar halaman rumah itupun masih dicengkam oleh kemarahan.

   Para penjaga regol dan pengawas digardu-gardu yang berhadapan dengan dinding kota.

   merasa yakin, bahwa belum ada seorangpun yang berhasil keluar, sehingga mereka menganggap bahwa keempat orang yang mereka cari itu masih tetap berada didalam kota.

   Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang mengira bahwa keempat orang itu justru bersembunyi dihalaman rumah Raden Sutawijaya dan yang saat itu sedang bertempur melawan Agung Sedayu dan Ki Juru Martani.

   Dalam pada itu.

   Raden Sutawijaya masih nganglang diatas punggung kudanya diikuti oleh beberapa orang pengawal.

   Setiap kali Raden Sutawijaya berhenti untuk menanyakan tentang hilangnya beberapa orang buruan.

   Namun jawabnya hampir sama saja.

   Mereka tidak melihatnya.

   Tetapi pada umumnya mereka yakin bahwa orang-orang itu masih belum keluar dari lingkungan dinding kota.

   Kejengkelan dan kemarahan semakin mencengkam para pengawal karena bagaimanapun juga mereka mencari, namun mereka tidak dapat menemukannya.

   Beberapa orang telah mencarinya di tempat-tempat yang terlindung.

   Dikebun-kebun dan bahkan mereka memasuki rumah-rumah yang dicurigainya.

   Banjar-banjar padukuhan dan tempat-tempat yang diduga dapat dipergunakan untuk bersembunyi.

   Namun mereka tidak menemukannya.

   "Kita akan berjaga-jaga sampai pagi,"

   Geram Raden Sutawijaya.

   "jika matahari menyingsing, maka tempat persembunyian itu akan menjadi semakin sempit. Mudah-mudahan mereka akan keluar sendiri dari tempat-tempat mereka bersembunyi seperti cengkerik yang disiram dengan air."

   Para pengawalpun telah bertekad untuk mencarinya sampai keempat orang itu dapat diketemukan.

   Setidak-tidaknya salah satu dari antara mereka itu.

   Jika salah seorang dari keempat orang itu dapat diketemukan, maka daripadanya akan didapat keterangan, siapakah yang telah menugaskan mereka memasuki wilayah Mataram untuk mencari Agung Sedayu.

   Namun, menurut perhitungan, seperti juga pendapat para pemimpin Mataram yang lain, maka mereka menduga bahwa orang-orang itu tentu bukannya petugas yang telah dikirim oleh Pajang, seperti halnya petugas sandi yang diberitahukan oleh Kiai Kendil Wesi.

   Akhirnya Sutawijaya mengambil keputusan untuk sekali lagi berputar dan memberikan pesan-pesan kepada para petugas, khususnya yang mengawasi pintu-pintu gerbang dan dinding kota.

   agar mereka benar-benar mencegah setiap orang yang akan keluar dari kota, siapapun mereka.

   Kemudian Sutawijaya akan kembali untuk menunggu perkembangan lebih lanjut.

   Sementara itu pertempuran masih berlangsung dihalaman dan dipendapa rumah Raden Sutawijaya.

   Ki Juru Martani harus berjuang untuk mempertahankan dirinya dari serangan yang beruntun dengan kasarnya.

   Ternyata bahwa lawan Ki Juru adalah benar-benar orang yang berilmu tinggi, sehingga ia telah disiapkan untuk memimpin tiga orang kawannya menyergap Agung Sedayu yang sudah mereka ketahui sebagai seorang yang memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingnya.

   Namun Ki Juru yang tua itupun adalah seorang yang mumpuni.

   Sebagai saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan yang pernah menjadi Panglima prajurit Pajang, maka Ki Jurupun merupakan seorang yang matang dalam olah kanuragan.

   Meskipun ia sudah menjadi semakin tua, namun ia benar-benar menguasai dirinya sebaik-baiknya.

   Ia mengetahui dengan pasti tingkat kemampuannya, kekuatannya, daya tahan tubuhnya dan pernafasannya.

   Dengan demikian, maka perkelahi an yang terjadi dipendapa itu menjadi semakin lama semakin dahsyat.

   Tidak banyak kesempatan untuk menilai keadaan dan kemungkinan yang dapat terjadi.

   Yang mereka lakukan kemudian adalah memusatkan segala perhatian mereka kepada pertempuran yang menjadi semakin dahsyat itu.

   Namun justru karena keduanya memiliki ilmu yang tinggi, maka pertempuran itu seakan-akan tidak menumbuhkan keributan apapun juga.

   Langkah kaki mereka bagaikan tidak menimbulkan suara apapun.

   Benturan senjata mereka hanya kadang-kadang berdentang.

   Namun kadang-kadang setiap patukan senjata seolah-olah hanyalah sekedar dihindari, sehingga suara benturan itupun menjadi sangat terbatas.

   Karena itulah, maka para pelayan yang kebanyakan berada di ruang belakang, diseberang longkangan, tidak mendengar pertempuran itu.

   Mereka tidur dengan nyenyaknya, karena mereka menduga, bahwa di regol, dipendapa dan di halaman belakang, terdapat beberapa orang pengawal yang menjaga keamanan dan ketenteraman rumah itu sebaik-baiknya.

   Dalam pada itu, di halaman, Agung Sedayu masih bertempur dengan tombak panjangnya.

   Meskipun ia harus melawan tiga orang, namun agaknya dengan tombak panjangnya, ia akan dapat bertahan.

   Bahkan jika ia berhasil memperpanjang waktu perkelahian itu, pernafasannya tentu akan lebih baik dari lawan-lawannya yang mengerahkan dan memeras segenap kemampuan mereka.

   Tetapi dugaan Agung Sedayu tidak sepenuhnya tepat.

   Ternyata bahwa ketiga orang lawannya benar-benar orang yang memiliki kemampuan yang tinggi pula.

   Ketiganya yang merasa gelisah karena kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi jika ada pihak lain yang mengetahui, telah mencoba untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka, untuk menguasai Agung Sedayu.

   Mereka telah mengerahkan segala ilmu yang ada.

   Mereka menyerang dari segala arah dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan pandangan mata wadag.

   Perlahan-lahan Agung Sedayu mulai terdesak.

   Betapapun ia mempergunakan segenap kecepatan mempergunakan tombak panjang ditangannya.

   namun serangan ketiga orang lawannya terasa menjadi semakin gawat.

   Bahkan desau angin telah mulai menyentuh tubuhnya, jika senjata lawannya berhasil menyusup kerapatan perisai putaran tombaknya, meskipun senjata lawannya masih belum berhasil mengenainya.

   "Bukan main,"

   Desis Agung Sedayu didalam hatinya.

   Ia menjadi semakin yakin, jika keempat orang termasuk yang bertempur melawan Ki Juru Martani itu berhasil mencegatnya diperjalanan seorang diri, maka ia tentu tidak akan mampu mempertahankan hidupnya lagi.

   Meskipun ia telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan dan kemudian Tumenggung Wanakerti, mengalahkan Kiai Samparsada dan Kiai Kelasa Sawit, namun untuk menghadapi empat orang berilmu tingggi itu, agaknya ia memang tidak akan sanggup.

   Kini ia harus bertempur melawan tiga orang diantara mereka.

   Itupun ia sudah merasakan tekanan yang sangat berat.

   Apalagi dengan orang yang mampu mengimbangi ilmu Ki Juru Martani itu sekaligus.

   Ketika tekanan ketiga lawannya terasa semakin berat, maka Agung Sedayupun merasa semakin dalam didera oleh kebimbangannya.

   Jika ia tidak lagi mampu bertahan melawan ketiga orang itu dengan bersenjata tombak panjang yang memang kurang biasa baginya, ia harus memilih dua kemungkinan.

   Pilihan yang selamanya merupakan bayangan hitam yang selalu menghantui perasaannya.

   Jika ia tidak mau menyerahkan nyawanya, maka kemungkinan yang lain adalah membunuh lawan-lawannya.

   "Jika aku mempergunakan cambukku, meskipun aku tidak langsung membunuh mereka, maka akibatnya akan sama saja,"

   Berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

   "Karena suara cambukku, tentu akan mengundang para pengawal memasuki halaman ini. Mereka tentu akan sangat marah jika mereka menemukan kawan-kawannya terbaring digardu, di pendapa dan melihat Ki Juru Martani harus bertempur mempertahankan hidupnya."

   Namun Agung Sedayupun telah terdesak terus.

   Ketiga lawannya benar-benar merupakan tiga orang yang seakan-akan telah digerakkan oleh satu otak.

   Serangan mereka beruntun, kadang-kadang bersama-sama.

   Namun serangan-serangan itu semakin lama justru terasa semakin berbahaya.

   Mereka tidak segera menjadi lelah dan kehilangan tenaganya.

   Bahkan serangan-serangan mereka justru terasa seakan-akan menjadi semakin kuat.

   Agung Sedayu masih dicengkam oleh kebimbangan.

   Sekilas ia melihat Ki Juru Martani mendesak lawannya.

   Namun sejenak kemudian, ialah yang harus meloncat surut.

   Dengan demikian maka Agung Sedayu mendapat kesimpulan, bahwa lawan-lawannya benar-benar orang-orang yang terpilih.

   Karena itulah, maka perjuangannya itupun merupakan perjuangan yang sungguh-sungguh.

   Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Ki Juru Martani itupun sudah mencoba mengerahkan segenap kemampuannya.

   Ia berusaha memancing orang tua itu, agar mengerahkan segenap kemampuannya.

   Jika orang itu berhasil, ia berharap bahwa Ki Juru akan segera kehabisan nafas.

   Tetapi Ki Juru tetap dalam keseimbangan nalarnya.

   Ia tidak mudah terbakar hatinya, sehingga melupakan pertimbangan-pertimbangan akalnya.

   Itulah sebabnya, maka bagaimanapun juga, Ki Juru tetap bertempur dengan langkah-langkah yang mantap dan tenang.

   Dalam pertempuran itu, nampak bahwa keempat orang yang berusaha membunuh Agung Sedayu telah berusaha membagi kekuatannya sebaik-baiknya.

   Mereka ternyata masih menganggap Agung Sedayu merupakan orang yang lebih berbahaya dari Ki Juru.

   Ternyata bahwa tiga orang lawannya telah menempatkan diri melawannya sedang yang seorang, meskipun yang paling kuat, harus bertempur melawan Ki Juru Martani.

   Namun yang tiga orang itupun tentu memiliki kekuatan dan kesempatan yang lebih besar daripada yang seorang.

   Itulah sebabnya, maka akhirnya Agung Sedayu benar-benar telah terdesak.

   Senjata tombak panjangnya tidak banyak memberikan arti kepadanya.

   Lawan-lawannya berhasil mempergunakan kelamahan-kelamahan yang terdapat pada penggunaan senjata bertangkai panjang itu sebaik-baiknya.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Betapapun kebimbangan mencengkam hatinya, tapi Agung Sedayu masih juga dengan dorongan naluriah ingin mempertahankan hidupnya.

   Setiap kali senjata lawannya berdesing ditelinganya, maka terasa hatinya berdesir.

   Rasa-rasanya segenap sendi-sendinya telah bergerak dengan sendirinya sehingga tubuhnya menggeliat untuk mempertahankan diri.

   Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru.

   Orang-orang yang memasuki halaman itupun sadar, bahwa mereka tidak dapat bertempur terlalu lama.

   Jika para pengawal mengetahui kehadiran mereka, maka seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, mereka akan dicincang sampai lumat.

   Betapapun tinggi ilmu mereka tetapi mereka tentu tidak akan dapat melawan pengawal diseluruh kota, apalagi dengan kehadiran Sutawijaya.

   Itulah sebabnya, maka ketiga orang yang bertempur melawan Agung Sedayu itupun bertempur semakin dahsyat.

   Mereka berputar disekeliling Agung Sedayu sambil menyerang dengan cepatnya.

   Langkah mereka bagaikan loncatan-loncatan kaki burung sikatan menyambar bilalang.

   Agung Sedayu berdesis ketika ujung senjata lawan benar-benar telah menyentuh tubuhnya.

   Segores luka melintang dilengan Agung Sedayu.

   Luka itu sama sekali tidak berpengaruh pada tubuhnya.

   Luka itu benar-benar hanya segores tipis, seperti luka oleh sentuhan kuku seekor kucing kecil.

   Namun segores kecil itu benar-benar telah mempengaruhi perasaannya.

   Keragu-raguannya untuk mempergunakan cambuknya serasa telah terdesak semakin menepi.

   Justru karena ia mulai disentuh oleh kecemasannya tentang keselamatannya sendiri.

   "Apakah aku harus memilih mengorbankan diriku sendiri ?"

   Pertanyaan itu mulai mengganggunya.

   Bagi lawan-lawannya, luka itu telah memberikan pengharapan dihati mereka.

   Ketiganya menjadi semakin bergairah untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.

   Darah yang meleleh dari luka itu, nampak semakin merah dicahaya obor yang samar-samar.

   "Kau sudah kehilangan kesempatan.

   "desis salah seorang lawannya.

   "Namamu yang besar hanya akan dapat dikenang."

   Sambung yang lain. Sementara yang seorang lagi berkata.

   "Kami tidak usah bersusah payah menunggumu dipinggir jalan ke Sangkal Putung. Ternyata kau sudah dengan suka rela memasrahkan dirimu sendiri disini."

   Agung Sedayu menggeram.

   Terasa hatinya lebih pedih dari luka di lengannya.

   Ia masih selalu dibayangi kecemasan, bahwa jika para pengawal mendengar pertempuran dihalaman itu, mereka akan berlari-larian berdatangan untuk mencincang ketiga lawannya.

   Namun kecemasan yang lain tentang dirinya sendiri, agaknya telah membayangi kecemasannya tentang keselamatan lawannya.

   Apalagi karena ternyata bahwa lawan-lawannya benar-benar ingin merampas hidupnya tanpa belas kasihan.

   Dengan tangkas Agung Sedayu masih berusaha menghindari serangan-serangan lawannya dengan loncatan-loncatan cepat.

   Tetapi lawan-lawannya benar-benar tidak memberikan kesempatan kepadanya, sehingga tangkai tombak panjang yang tidak terbiasa dipergunakan itu menjadi semakin tidak berarti.

   Akhirnya Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain untuk melindungi dirinya.

   Ketika ia semakin terdesak kedinding halaman, maka dengan serta merta iapun melontarkan tombak panjangnya.

   Lawan-lawannya terkejut melihat sikap Agung Sedayu.

   Mula-mula mereka menyangka bahwa Agung Sedayu telah menjadi putus asa dan akan menyerah.

   Tetapi tiba-tiba saja dada mereka berdesir tajam ketika mereka melihat Agung Sedayu meloncat surut.

   Punggung Agung Sedayu telah melekat dinding halaman.

   Jika ketiga lawannya mendesaknya lagi, ia sudah tidak mempunyai kesempatan untuk mundur.

   Namun demikian, ketika ketiga orang lawannya siap untuk meloncat menyerang, mereka benar-benar bagaikan dicengkam oleh kecemasan yang tajam.

   Dengan gerak yang hampir tidak mereka lihat dengan matanya.

   Agung Sedayu telah mengurai cambuk yang membelit lambung dibawah bajunya.

   Ketiga lawannya menjadi berdebar-debar melihat cambuk ditangan Agung Sedayu itu.

   Mereka sadar, bahwa karena tingkah laku mereka, Agung Sedayu benar-benar telah kehilangan kesabaran.

   Bagaimanapun juga, sebagai makhluk yang hidup, ia tentu akan mempertahankan hidupnya dengan cara yang paling di kuasai dalam ilmu kanuragan.

   Sejenak ketiga orang lawannya termangu-mangu.

   Mereka menatap senjata Agung Sedayu dengan hampir tidak berkedip.

   Karena itu, justru untuk beberapa saat pertempuran dihalaman itu bagaikan membeku.

   Ketiga orang lawan Agung Sedayu sekilas melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, jika cambuk Agung Sedayu itu meledak.

   Tetapi sudah tentu bahwa mereka mempunyai pertimbangannya sendiri.

   Agung Sedayu harus dibunuh, dan pusaka yang ada dirumah itu harus mereka kuasai, agar mereka mempunyai perisai untuk meninggalkan kota yang tentu penuh dengan pengawal dan anak-anak muda yang meronda.

   Dalam kebimbangan itu, mereka mendengar Agung Sedayu berkata.

   "Ki Sanak. Aku kagum akan kemampuan kalian. Tetapi sudah barang tentu bahwa aku tidak akan membiarkan diriku kalian bunuh. Karena itulah maka aku akan melawan jika niat kalian tidak kalian urungkan. Dan dengan terpaksa sekali aku akan mempergunakan cambukku, karena tombak itu tidak berhasil melindungi aku. Meskipun demikian, aku masih menawarkan suatu penyelesaian yang lebih baik bagi kalian daripada dicincang oleh para pengawal. Jika kalian menyerah, aku tidak akan meledakkan cambukku yang akan dapat mengundang bencana bagi kalian."

   Wajah ketiga orang lawannya menjadi semakin tegang. Namun salah seorang dari mereka menggeram.

   "Jangan menakut-nakuti aku. Aku dan kawan-kawanku telah menerima beban dipundak. Kau harus mati, apapun yang akan terjadi atas kami."

   "Yang akan terjadi atas kalian adalah peristiwa yang mengerikan. Aku telah melakukan banyak kesalahan, sehingga banyak orang yang terbunuh karenanya. Sengaja atau tidak. Karena itu, aku akan menghindari pembunuhan-pembunuhan yang akan dapat terjadi."

   Tiba-tiba saja salah seorang lawannya tertawa.

   Jawabnya Ternyata kau orang yang paling sombong yang pernah aku jumpai.

   Kau dapat membunuh lawanmu dengan sengaja atau tidak dengan sengaja.

   Tetapi kesombongan itu hanya dapat menggetarkan hati anak-anak."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya.

   Ternyata kata-katanya dapat menumbuhkan arti yang sebaliknya dari yang dimaksudkannya.

   Namun ternyata Agung Sedayu tidak mempunyai banyak kesempatan.

   Sejenak kemudian, maka ketiga orang Jawannya telah siap untuk melanjutkan pertempuran.

   Mereka telah mengambil sikap dan arah yang paling mantap untuk menghancurkan pertahanan Agung Sedayu.

   Tetapi watak dari senjata Agung Sedayu kini berbeda.

   Ia tidak memegang sebatang tombak bertangkai panjang.

   Tetapi ia menggenggam cambuk yang berjuntai lemas dan merupakan senjata yang sudah dikenalnya baik-baik seperti ia mengenal anggauta badannya sendiri.

   Betapapun keragu-raguannya masih saja membayangi perasaan Agung Sedayu, namun ketika ketiga orang lawannya mulai bergerak, maka iapun mulai menggerakkan ujung cambuknya.

   Untuk beberapa saat, ia sekedar mengguncang senjatanya, sehingga ujungnya bergetar.

   Namun cambuk Agung Sedayu masih belum meledak.

   Gerakan-gerakan kecil Agung Sedayu membuat lawannya menjadi ragu-ragu.

   Ia sadar, bahwa setiap saat, cambuk itu dapat menggeliat dan meledak.

   Melihat keragu-raguan itu Agung Sedayu mencoba untuk menekankan keinginannya.

   "Ki Sanak. Aku sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri. Yang aku katakan, bukannya aku akan dapat mengalahkan kalian bertiga. Tetapi suara cambukku akan dapat mengundang beberapa orang pengawal. Merekalah yang akan membunuh kalian, jika kalian tidak menyerah."

   Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka kemudian menggeram.

   "Kami bukan cucurut. Tengadahkan dadamu, dan siapkan dirimu untuk mati."

   Agung Sedayu tidak melihat kemungkinan lain daripada bertempur untuk melindungi nyawanya.

   Itulah sebabnya, maka iapun segera mempersiapkan diri untuk bertempur mempertaruhkan hidupnya.

   Sejenak kemudian ketiga lawannya telah mulai bergerak.

   Tidak ada cara lain dari Agung Sedayu kecuali menggerakkan cambuknya.

   Masih perlahan-lahan.

   Hanya ujungnya sajalah yang bergerak seperti seekor ular yang sedang berenang.

   Namun sekejap kemudian ujung cambuknya benar-benar telah meledak.

   Ketika ketiga lawannya meloncat menyerang untuk mempergunakan kesempatan saat Agung Sedayu masih melekat dinding.

   Ledakan cambuk Agung Sedayu tidak terlalu keras.

   Tetapi ledakan disepinya, malam itu benar-benar telah mengejutkan lawannya.

   Itulah sebabnya maka merekapun segera meloncat surut.

   Bukan saja ketiga lawan Agung Sedayulah yang terkejut.

   Orang yang sedang bertempur melawan Ki Jurupun terkejut pula.

   Suara cambuk itu tentu dapat di dengar oleh para pengawal yang nganglang lewat jalan-jalan raya diseputar istana itu.

   "Nah,"

   Berkata Agung Sedayu kepada lawan lawannya.

   "bukankah cambukku benar-benar dapat mengundang para pengawal."

   "Pengecut,"

   Geram salah seorang dari ketiga lawan Agung Sedayu.

   "jika benar namamu besar, kenapa kau memanggil orang lain untuk mempertaruhkan nyawa diarena ini."

   "Kau aneh. Kaupun tidak bertempur sendiri,"

   Sahut Agung Sedayu.

   "kecuali itu, cambukku memang tidak dapat aku pergunakan tanpa melontarkan ledakan yang dapat didengar oleh orang lain."

   Tetapi ketiga lawannya bukannya pengecut yang takut menghadapi akibat dari tugasnya.

   Apalagi mereka masih berharap untuk mengalahkan Agung Sedayu, kemudian mengambil pusaka-pusaka di rumah itu untuk mereka jadikan perisai.

   Jika orang-orang Mataram mencoba mencegah mereka meninggalkan kota.

   maka mereka siap untuk menghancurkan pusaka-pusaka itu, sehingga dengan demikian, mereka tentu akan diperkenankan untuk lolos.

   Karena itulah, maka sejenak kemudian ketiganyapun segera menyerang Agung Sedayu dengan dahsyatnya.

   Mereka mencoba untuk mengepung Agung Sedayu, agar ia tidak mendapat arena yang luas untuk mempertahankan dirinya.

   Tetapi ternyata bahwa ujung cambuk Agung Sedayu benar-benar merupakan kekuatan yang sangat dahsyat, Ujung cambuk itulah yang telah memaksa lawan-lawannya untuk bergeser surut, sehingga ternyata bahwa mereka tidak mampu untuk menahan Agung Sedayu tetap ditempatnya.

   Dengan demikian, maka sejenak kemudian, pertempuranpun segera menyala kembali dihalaman.

   Agung Sedayu tidak dapat lagi menghindari bentakan-bentakan cambuknya yang melontarkan ledakan yang memecah sepinya malam.

   Namun suara cambuknya telah mendera lawan-lawannya untuk bertempur semakin sengit.

   Dengan sadar mereka mengetahui, apa yang dapat terjadi oleh suara cambuk itu.

   Sebentar lagi, beberapa orang pengawal akan berlari-larian memasuki halaman.

   Tidak ada pertimbangan lain.

   Ketiga orang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi itupun segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempercepat tugas mereka membinasakan Agung Sedayu.

   Tetapi dengan demikian, mereka telah mendorong Agung Sedayu untuk secara naluriah berjuang lebih sengit lagi untuk mempertahankan hidupnya.

   Karena itulah, maka tidak dapat dicegah lagi, ledakan-ledakan cambuk Agung Sedayu bagaikan mengumandang lebih dahsyat lagi.

   Getarannya seolah-olah telah menggetarkan seluruh kota dan menggoyahkan dinding-dindingnya.

   Kecemasan telah mencengkam keempat orang yang memasuki halaman rumah Raden Sutawijaya itu.

   Suara cambuk Agung Sedayu bagaikan kidung kematian yang mulai meraba dadanya.

   Dengan demikian maka pertempuran dihalaman itupun berlangsung semakin dahsyat.

   Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada.

   Ketiga orang lawan Agung Sedayu sama sekali tidak lagi mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang dapat menahan ilmu mereka.

   Yang mereka inginkan segera adalah kematian Agung Sedayu.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sementara itu, lawan Ki Juru Martanipun telah berjuang dengan memeras ilmunya.

   Jika ketiga orang kawannya mengalami kesulitan untuk membunuh Agung Sedayu, maka ternyata bahwa Ki Jurupun merupakan orang yang memiliki kemampuan yang tidak dapat diatasinya.

   Meskipun ia sudah menjadi semakin tua, namun ia masih mampu mengatur pernafasannya sebaik-baiknya.

   Lawannya sama sekali tidak berhasil memancing orang tua itu untuk bertempur dengan kasar agar nafasnya segera menjadi tersengal-sengal.

   Dengan mapan Ki Juru menghadapi lawannya.

   Betapapun kasar dan liar sikap orang itu, namun Ki Juru yang tua selalu menyadari kelemahan jasmaniahnya.

   Karena itulah maka ia selalu menjaga, agar ia tidak terpancing oleh lawannya, sehingga nafasnya terputus ditengah-tengah perjuangannya Lawannyapun semakin lama menjadi semakin gelisah.

   Setiap ledakan cambuk Agung Sedayu serasa merupakan segores luka di hatinya.

   Semakin lama semakin banyak, sehingga terasa hatinya menjadi sangat pedih.

   "Gila. Gila,"

   Tiba-tiba ia berteriak nyaring.

   "Kenapa?"

   Bertanya Ki Juru.

   "Suara cambuk itu membuat aku gila,"

   Geramnya. Ki Juru memandang orang itu sejenak. Kemudian katanya.

   "Menyerah sajalah sebelum seorang pengawalpun yang memasuki halaman ini. Tetapi aku yakin, bahwa ada diantara mereka yang sudah mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu."

   "Persetan,"

   Geram lawannya yang justru menjadi semakin liar.

   Dalam pada itu, para pengawal yang berada diluar halaman rumah Raden Sutawijaya terkejut mendengar gema ledakan cambuk.

   Mereka bertanya-tanya yang satu dengan yang lain, apakah yang kira-kira sedang terjadi.

   Namun dalam pada itu.

   Raden Sutawijaya yang sedang nganglang, yang juga mendengar suara cambuk Agung Sedayu meledak-ledak, segara dapat mengurai keadaan.

   Ketajaman nalarnya segera mengatakan kepadanya.

   "Agung Sedayu sedang bertempur melawan orang yang sedang dicarinya."

   Karena itulah, maka sejenak ia mencoba menangkap, dari manakah sumber bunyi cambuk Agung Sedayu.

   Mungkin Agung Sedayu diam-diam telah meninggalkan rumahnya dan diluar kehendaknya ia telah bertemu dengan keempat orang yang dicarinya.

   Dengan ketajaman pendengaran wadag dan hatinya, Sutawijaya dapat segera mengetahui, bahwa suara cambuk itu terlontar dari halaman rumahnya.

   Ketika ia sudah menemukan keyakinan itu, maka kudanyapun segera berderap menyusur jalan-jalan kota bagaikan dikejar hantu.

   Para pengawalnya yang tidak sempat bertanya sesuatu, segera mengikutinya.

   Mereka bagaikan berpacu dimalam buta menyusuri jalan-jalan yang suram.

   Para pengawal yang bertugas di jalan-jalan dan di gardu-gardu terkejut mendengar derap kaki kuda yang berlari-larian.

   Tetapi mereka tidak sempat bertanya sesuatu.

   Mereka hanya melihat Raden Sutawijaya berpacu diikuti oleh para pengawalnya.

   Namun para pengawal itupun segera mengetahui apa yang terjadi.

   Raden Sutawijaya tentu telah mendengar ledakan cambuk itu.

   Jika para pengawal masih bertanya-tanya, maka Raden Sutawijaya tentu sudah menemukan jawabnya.

   Tetapi ternyata beberapa orang pengawal yang berada tidak jauh dari halaman rumah Raden Sutawijayapun segera mengetahui bahwa suara cambuk itu berasal dari halaman rumah itu.

   Namun menurut pengertian mereka, di rumah itu terdapat beberapa orang pengawal yang berjaga-jaga.

   Jika keadaan jadi gawat, maka mereka tentu akan segera membunyikan isyarat.

   Namun ternyata bahwa yang terdengar hanyalah ledakan ledakan cambuk saja.

   Tidak ada suara kentongan, tidak ada suara titir.

   Meskipun demikian, suara cambuk itu juga menarik perhatian mereka.

   Meskipun ragu-ragu, merekapun kemudian membagi diri.

   Sebagian dari mereka akan melihat, apakah yang sudah terjadi, sementara sebagian yang lain harus tetap ditempatnya mengawasi keadaan.

   Sementara itu, kuda Raden Sutawijaya meluncur seperti anak panah yang meloncat dari busurnya.

   Beberapa orang pengawal disimpang jalan berloncatan menepi.

   Sambil berdesah mereka berkata Hampir saja tubuhku lumat diinjak kaki kuda."

   Namun Raden Sutawijaya tidak menghiraukannya.

   Ia seolah-olah telah melihat apa yang telah terjadi.

   Dalam pada itu.

   Agung Sedayu masih berusaha untuk menguasai lawannya agar mereka menyerah.

   Jika lawan-lawannya menyerah, maka jika ada beberapa orang pengawal memasuki halaman, mereka akan mempunyai pertimbangan lain.

   Tetapi baik ketiga orang lawan Agung Sedayu, maupun lawan Ki Juru Martani lebih senang bertempur terus daripada menyerahkan diri.

   Karena itulah, maka Agung Sedayupun telah berusaha dengan cara lain.

   Ia harus melumpuhkan lawannya, sehingga mereka tidak akan mampu lagi melawan.

   Itulah sebabnya, maka cambuk Agung Sedayupun meledak semakin dahsyat.

   Tidak saja menyambar-nyambar, tetapi ujungnya mulai terasa menyengat kulit.

   Ketiga lawannya menjadi semakin cemas.

   Mereka hampir tidak melihat kemungkinan untuk melepaskan diri.

   Agung Sedayu benar-benar seorang yang pilih tanding.

   "Tetapi jika tidak ada Ki Juru Martani, maka keempat kami akan dapat membunuhnya,"

   Geram salah seorang dari mereka didalam hati.

   Luka-luka kecil mulai menggores kulit ketiga lawan Agung Sedayu.

   Terasa pedih-pedih telah menyengat di seluruh permukaan kulitnya.

   Bahkan kemudian warna merah telah menghangati tangan-tagan mereka ketika tangan-tangan mereka meraba luka-luka dilengan dan punggung.

   "Gila,"

   Salah seorang dari mereka berteriak-teriak.

   "kita harus membunuhnya dengan cepat."

   Tetapi belum lagi mulutnya terkatup rapat, ledakan cambuk Agung Sedayu terasa hinggap di lambungnya.

   Lawan Ki Jurupun tidak melihat kemungkinan untuk dapat mengalahkan orang tua itu.

   Ternyata bahwa Ki Juru memiliki perhitungan yang cermat dalam menghadapi keadaan.

   Ia tidak dapat dipancing dengan cara yang kasar.

   Sementara itu, beberapa orang pengawal yang berdatangan dari sekitar rumah itu telah mendekati regol.

   Mereka masih saja ragu-ragu untuk menentukan apa yang telah terjadi.

   Namun salah seorang dari mereka yang mendekati gardu tiba-tiba saja melihat, beberapa sosok tubuh yang terlentang diam.

   Dengan ragu-ragu mereka mendekat.

   Mereka tiba-tiba saja menjadi gemetar melihat apa yang telah terjadi.

   Mereka melihat kawan-kawan mereka tergolek diam.

   "Gila. He, kenapa mereka terbunuh? "

   Seseorang menggeram.

   Para pengawal itu tidak bertanya tanya lagi.

   Ketika mereka mendengar cambuk meledak lagi, merekapun segera mengetahui apa yang telah terjadi di halaman.

   Perlahan-lahan mereka kemudidan mendekati regol.

   Dari luar mereka mencoba melihat, apa yang telah terjadi.

   "Pertempuran,"

   Desis salah seorang.

   Merekapun kemudian melihat, dipendapa telah terjadi perkelahian seorang melawan seorang, sementara merekapun melihat, dihalaman seorang yang bersenjatakan cambuk harus bertempur melawan tiga orang.

   Merekapun segera menyadari, bahwa orang yang mereka cari diseluruh kota ternyata justru berada di rumah Raden Sutawijaya.

   Bahkan mereka telah membunuh para pengawal dan kemudian bertempur melawan Ki Juru Martani dan Agung Sedayu.

   Kemarahan para pengawal itu bagaikan telah membakar dada mereka.

   Mereka tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan.

   Bukan saja karena mereka tidak segera dapat menemukan keempat orang itu sehingga seluruh kota menjadi kebingungan, terlebih-lebih bahwa kawan-kawan mereka telah terbunuh justru didalam gardu-gardu.

   "Ini suatu kegilaan,"

   Geram salah seorang dari mereka.

   "kecuali keempat orang itu memiliki ilmu yang tinggi, mereka juga orang-orang yang tidak berperikemanusiaan."

   Para pengawal itu tidak menunggu perintah lagi.

   Merekapun segera berloncatan memasuki halaman, sambil mengacuan senjata masing-masing.

   Pada saat itulah, Agung Sedayu telah berhasil melukai ketiga orang lawannya.

   Ia mencoba untuk memaksakan kehendaknya agar lawan-lawannya menyerah saja.

   Dengan demikian, maka keadaan mereka tentu akan menjadi lebih baik daripada mereka harus bertempur sampai para pengawal memasuki halaman.

   Tetapi lawan-lawannya ternyata adalah orang-orang yang keras hati.

   Mereka sama sekali tidak berniat untuk menyerah, apapun yang terjadi atas mereka.

   Pada saat para pengawal menyerbu masuk, maka para pelayanpun telah terbangun dan dengan ragu-ragu melihat apa yang telah terjadi.

   Meskipun mereka bukan pengawal-pengawal yang mampu bertempur dimedan, tetapi merekapun merasa wajib untuk ikut mempertahankan isi rumah itu.

   Sehingga karena itulah meskipun ragu-ragu dan saling menunggu merekapun kemudian turun kehalaman dengan senjata telanjang pula.

   Agung Sedayu yang melihat para pengawal memasuki halaman dengan kemarahan yang menyala, menjadi sangat cemas.

   Tidak ada lagi jalan yang dapat ditempuh oleh keempat orang itu untuk melepaskan diri dari tangan para pengawal.

   Pada saat itu pulalah terdengar derap kaki kuda mendekati regol halaman.

   Sejenak kemudian beberapa orang berkuda berpacu langsung memasuki regol.

   "Senapati Ing Ngalaga,"

   Teriak para pengawal. Namun salah seorang pengawal telah berteriak.

   "mereka telah membunuh para pengawal diregol."

   Tetapi yang lain berteriak.

   "Lihat, masih ada dua orang lagi terbunuh dipendapa."

   Kemarahan tidak lagi dapat dikuasai.

   Raden Sutawijaya tidak memberikan perintah apapun juga.

   Tetapi para pengawal dengan darah yang mendidih telah menyerang orang-orang yang telah mereka buru diseluruh kota, namun yang ternyata ada dihalaman rumah itu setelah mereka membunuh beberapa orang pengawal.

   Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.

   Tetapi yang terjadi tidak lagi dapat dikuasainya.

   Para pengawal telah mengepung lawannya yang sudah terluka oleh cambuknya.

   "Menyerahlah,"

   Agung Sedayu masih berdesis. Ketiga orang lawannya masih mendengar kata-kata Agung Sedayu itu. Bahkan Agung Sedayu masih melanjutkan.

   "Aku akan menjamin keselamatanmu. Kalian akan diperlakukan sebagai seorang tawanan yang sudah menyerah."

   Kata-kata itu menyentuh hati ketiga orang lawannya. Tetapi ketika mereka melihat senjata yang teracu dan wajah-wajah yang tegang penuh dendam, maka salah seorang dari ketiga orang itu berkata.

   "Aku akan mati sebagai seorang laki-laki."

   Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun segalanya berlangsung diluar kehendaknya.

   Apalagi ketika Agung Sedayu sempat memandang kependapa.

   Lawan Ki Juru Martani seakan-akan sudah tak nampak.

   Para pengawal mengepungnya dengan rapat.

   Seperti ketiga orang kawannya, maka lawan Ki Juru itupun tidak mau menyerah.

   Mereka sadar, akibat yang akan mereka alami jika mereka menjadi tawanan orang-orang Mataram.

   Karena itulah, maka keempat orang yang berada di dua arena itu bagaikan berjanji.

   Mereka mengamuk sejadi-jadinya, seperti seekor harimau lapar yang telah terluka.

   Agung Sedayu masih berada diarena beberapa saat lamanya.

   Dengan cemas ia melihat para pengawal menyerang ketiga orang lawannya itu bagaikan meranjam seekor harimau di alun-alun pada upacara rampokan.

   Ketiga orang lawannya itu seolah-olah tiga ekor harimau yang dilepas dari kandangnya diantara para prajurit yang telah dipersiapkan mengepungnya dengan tombak telanjang.

   Tetapi ternyata bahwa ketiga orang lawannya yang telah dilukainya itu benar-benar orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

   Ternyata mereka dengan tangkas menyambut para pengawal yang menyerang mereka dari segala penjuru.

   Dengan senjata yang berputar bagaikan baling-baling mereka menamengi diri masing-masing.

   Dengan garangnya mereka menyusun pertahanan yang sangat rapat.

   Bahkan ternyata bahwa ketiga orang itu mampu membalas dengan serangan-serangan yang berbahaya.

   Agung Sedayu yang seakan akan justru membeku itu terkejut ketika ia mendengar seorang pengawal berdesah.

   Pergelangan tangannya bagaikan akan patah tergores senjata lawan.

   Bahkan kemudian disusul oleh erang seorang pengawal yang lain.

   Seleret garis merah telah menyilang didadanya meskipun tidak terlampau dalam.

   "Luar biasa geram Agung Sedayu apakah yang akan terjadi dengan mereka?"

   Tetapi Agung Sedayu ternyata telah digelitik oleh kecemasannya ketika ternyata bahwa ketiga orang yang dikepung oleh para pengawal itu justru berhasil melukai beberapa orang.

   "Hentikan,"

   Geram Agung Sedayu.

   "untuk yang terakhir kalinya. Menyerahlah."

   "Persetan,"

   Sahut salah seorang dari mereka.

   "aku akan membunuh semuanya."

   Buku 113 AGUNG Sedayu masih termangu-mangu.

   Tetapi ia tidak sampai hati melihat para pengawal mengalami kesulitan.

   Dan hampir diluar sadarnya ia telah mengangkat cambuknya kembali.

   Sekali lagi terdengar cambuk Agung Sedayu meledak.

   Meskipun Agung Sedayu tidak mengenai seorangpun dari ketiga orang lawannya, namun suara cambuknya telah mengejutkan mereka.

   Sejenak mereka bagaikan kehilangan pengamatan diri oleh getaran didalam dada mereka.

   Suara cambuk itu bagaikan melecut jantung sehingga rasa-rasanya tangkai jantung mereka telah patah.

   Namun yang sekejap itu, ternyata merupakan saat-saat yang menentukan bagi ketiga orang yang bernasib malang itu.

   Meskipun mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, namun dalam keadaan yang tiba-tiba itu, mereka telah kehilangan kesempatan.

   Selagi mereka mencoba mengatasi getaran jantung didalam dada masing-masing, maka tiba-tiba saja salah seorang pengawal telah melontarkan tombak pendeknya kepada salah seorang dari mereka.

   Orang itu terkejut.

   Namun ia masih sempat meloncat dan berusaha memukul tangkai tombak yang mengarah kedadanya.

   Ia berhasil menghindarkan diri dari ujung tombak itu.

   Namun tepat pada saat itu, sebuah pisau belati telah meluncur mematuk punggungnya.

   Terdengar orang itu mengaduh.

   Namun iapun mulai terhuyung-huyung ketika kedua orang kawannya telah kembali mengamuk seperti orang kerasukan iblis.

   Namun kemudian seorang kawannya membuat mereka benar-benar terpengaruh sehingga tata gerak merekapun mulai kabur.

   Apalagi kekuatan jasmaniah merekapun telah mulai susut setelah mereka bertempur melawan Agung Sedayu dan kemudian para pengawal.

   Agung Sedayulah yang kemudian bagaikan membeku ditempatnya.

   Ia melihat senjata-senjata yang teracu-acu.

   Kemudian seolah-olah satu demi satu telah merobek tubuh orang-orang yang malang, yang berada didalam kepungan para pengawal yang dibakar oleh kemarahan, kebencian dan dendam, bagaikan seekor rusa yang mengamuk dikerumunan serigala-serigala yang lapar.

   Namun akhirnya, kedua orang yang masih bertahan itupun menjadi kehilangan kekuatan.

   Luka mereka bagaikan arang kranjang.

   Tubuh mereka telah menjadi merah oleh darah.

   Namun demikian, para pengawal masih belum merasa puas.

   Apalagi kedua orang itu masih saja berusaha menggerakkan senjatanya, betapapun mereka sudah sangat lemah.

   Tetapi keduanya tidak dapat bertahan lebih lama lagi.

   Merekapun kemudian terhuyung-huyung dan jatuh dihadapan Agung Sedayu yang berdiri mematung.

   Sejenak Agung Sedayu bagaikan kehilangan akal.

   Ia melihat tiga orang tergolek ditanah.

   Meskipun demikian agaknya para pengawal masih belum puas.

   Mereka mendesak maju sambil mengangkat senjata masing-masing.

   "Cukup,"

   Teriak Agung Sedayu tiba-tiba bagaikan membelah keriuhan jerit para pengawal yang marah. Para pengawal itu tertegun sejenak. Namun beberapa orang diantara mereka berteriak.

   "Lumatkan mereka. Cincang sampai hancur."

   Beberapa senjata telah terangkat.

   Namun mereka terkejut bukan buatan, ketika senjata mereka kemudian terayun kearah tubuh-tubuh beku itu.

   Sekali lagi para pengawal itu mendengar cambuk Agung Sedayu meledak.

   Namun yang terjadi kemudian adalah tangan-tangan mereka telah disengat oleh perasaan pedih.

   Senjata-senjata mereka terlepas dan terlempar jatuh ditanah, disamping ketiga tubuh yang sudah tidak bergerak lagi.

   Beberapa orang pengawal yang kehilangan senjatanya termangu-mangu.

   Namun kemarahan yang tidak tertahankan lagi telah membuat mereka mata gelap.

   Bahkan salah seorang dari mereka berteriak.

   "Agung Sedayu, kau berpihak kepadanya?"

   Agung Sedayu masih melihat salah seorang dari ketiga orang yang terbaring itu tiba-tiba menggeliat. Sehingga diluar sadarnya ia menjawab.

   "Biarkan yang masih hidup tetap hidup."

   "Minggir,"

   Teriak pengawal yang lain jangan menghalangi kami.

   "Mereka telah membunuh kawan-kawan kami."

   "Mereka akan membunuh aku juga. Tetapi jangan kehilangan akal, sehingga kalian telah kehilangan dasar-dasar perikemanusiaan."

   "Aku tidak peduli. Minggir, atau kami harus memaksamu."

   Agung Sedayu tetap berdiri ditempatnya. Bahkan ketika beberapa orang pengawal mendesak maju maka Agung Sedayu telah menggeram.

   "Jangan kalian teruskan kegilaan itu."

   Tetapi beberapa orang pengawal yang masih bersenjata tidak menghiraukannya.

   Mereka mulai mengangkat senjata-senjata mereka.

   Tetapi sekali lagi terdengar cambuk Agung Sedayu meledak.

   Bahkan suaranya bagaikan merontokkan jantung didalam setiap dada para pengawal.

   Namun ternyata para pengawal yang marah itu menjadi semakin marah.

   Mereka justru kemudian mulai mengepung Aggung Sedayu yang selalu berusaha merintangi mereka.

   Tetapi pada saat itu seorang anak muda dengan tergopoh-gopoh muncul diarena.

   Ia langsung berjongkok disamping ketiga orang yang terbaring ditanah.

   Sejenak ia mengamat-amati ketiganya.

   Kemudian meraba dadanya dengan cemas.

   "Mereka telah mati,"

   Geram anak muda itu.

   "Yang seorang masih hidup Raden,"

   Desis Agung Sedayu. Tetapi Raden Sutawijaya itu menggeleng sambil berdesis.

   "Tidak. Ketiganya telah mati Mungkin yang seorang adalah yang terakhir."

   Perlahan-lahan Raden Sutawijaya berdiri. Dipandanginya para pengawal yang berdiri melingkar. Selangkah demi selangkah ia berjalan sambil menatap setiap wajah. Dengan suara berat dan datar ia berkata.

   "Kalian adalah pengawal-pengawal yang berani, jantan penuh perasaan setia kawan."

   Para pengawal mengerutkan keningnya. Dan Raden Sutawijaya meneruskan.

   "Tetapi kalian adalah pengawal-pengawal yang kurang nalar."

   Sejenak Raden Sutawijaya berhenti, lalu.

   "kalian telah membunuh semua orang yang kita cari. Aku terlambat mencegahnya ketika para pengawal mencincang lawan Paman Juru Martani, meskipun paman Juru Martanipun telah berusaha menggagalkannya. Dan sekarang, ketiga orang inipun telah kalian bunuh pula."

   Para pengawal yang mendengar kata-kata Raden Sutawijaya itupun bagaikan membeku ditempatnya.

   Seolah-olah mereka mulai sadar, apa yang telah mereka lakukan.

   Sekilas mereka melihat tiga sosok tubuh yang terbaring ditanah.

   Jika Agung Sedayu tidak mencegahnya, maka ketiganya tentu tidak akan berujud lagi.

   Meskipun demikian, ternyata Agung Sedayu telah gagal untuk mempertahankan hidup ketiga orang itu, bahkan satu saja diantara mereka.

   Ketika para pengawal masih termangu-mangu.

   Raden Sutawijaya meneruskan.

   "Nah, sekarang apa yang kalian dapatkan dari ketiga sosok mayat itu? Kepuasan yang buram?"

   Tidak seorangpun yang menjawab. Namun para pengawal itu mulai dapat membayangkan kemana arah pembicaraan Raden Sutawijaya itu. Dan seperti yang mereka duga, maka Raden Sutawijayapun berkata lebih lanjut.

   "Sekarang, kita tidak akan mendapatkan keterangan apapun dari mereka. Mereka semuanya telah mati."

   Para pengawal menundukkan wajahnya.

   Mereka menyadari ketergesa-gesaan mereka, sehingga mereka tidak dapat berpikir dengan bening.

   Sekilas mereka memandang Agung Sedayu yang berusaha mencegah mereka.

   Bahkan hampir saja telah timbul salah paham.

   Meskipun agaknya Agung Sedayu mempunyai pertimbangan yang lain dari Raden Sutawijaya, namun mereka mengakui, bahwa mereka telah kehilangan nalar dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali.

   Dan kini, mereka tinggal dapat menyesali tingkah laku mereka.

   Ke empat orang yang mereka buru telah mereka ketemukan.

   Tetapi mereka sama sekali tidak mendapatkan keterangan apapun juga dari mereka, karena mereka telah mati.

   Raden Sutawijaya yang berdiri didalam lingkaran para pengawal itupun kemudian menggeram.

   "Nah, apakah kalian belum puas atas kelakuan kalian? Silahkan. Siapa yang masih ingin mencincang korban kalian. Mereka tidak lagi merasakan dan mengetahui apa yang kalian perbuat, betapapun biadabnya."

   Para pengawal Mataram itu menunduk dalam. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab.

   "Agung Sedayu,"

   Berkata Raden Sutawijaya kemudian.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"aku minta maaf atas kelakuan para pengawal. Mereka benar-benar telah dibayangi oleh kemarahan dan dendam."

   "Aku mengerti,"

   Sahut Agung Sedayu dengan suara yang dalam. Direnunginya ketiga sosok mayat yang terbaring diam. Katanya kemudian.

   "mereka telah mati. Dan mereka tidak akan dapat menuntut apapun perlakuan yang pernah mereka alami."

   "Ya. Dan merekapun tidak akan dapat berbicara, siapakah mereka sebenarnya dan dari manakah mereka itu datang."

   Agung Sedayu tidak menjawab.

   Tetapi sorot matanya membayangkan penyesalan yang dalam.

   Bahkan kemudian seolah-olah ia melihat Rudita telah berdiri diantara para pengawal itu dengan mata yang redup.

   Tetapi Agung Sedayu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Raden Sutawijaya berkata.

   "Kumpulkan mayat-mayat itu. Kita akan menguburnya besok siang dengan upacara sepantasnya."

   Para pengawal masih tetap membeku ditempatnya. Sementara Raden Sutawijaya masih melangkah berputaran sambil memandangi wajah-wajah yang mulai berkeringat.

   "Marilah Agung Sedayu. Kau tentu perlu beristirahat. Ternyata perhitunganku salah. Aku minta kau tetap tinggal dirumah agar kau dapat beristirahat. Namun justru kaulah yang telah berhasil menemukan orang-orang yang kita cari diseluruh kota."

   Ajak Raden Sutawijaya.

   Agung Sedayu tidak menyahut.

   Tetapi ketika Raden Sutawijaya melangkah, iapun mengikuti dibelakangnya.

   Cambuknya masih didalam genggaman, sedangkan juntainya dipeganginya dengan tangan kirinya.

   Orang-orang yang berdiri dalam lingkaran itupun menyibak, dan memberikan jalan kepada Raden Sutawijaya dan Agung Sedayu.

   Seorang pengawal muda berdesis lirih ketika Agung Sedayu lewat dihadapannya.

   "Aku mohon maaf Agung Sedayu."

   Agung Sedayu berpaling.

   Anak itu masih muda semuda dirinya sendiri.

   Namun Agung Sedayu tidak menjawab.

   Ia hanya mengangguk kecil sambil menahan gejolak perasaannya.

   Ketika kedua anak-anak muda itu telah naik kependapa, maka mulailah para pengawal Mataram yang telah menyadari dirinya sendiri itu mengangkat mayat-mayat yang terbaring ditanah.

   Mereka menempatkan ketiga sosok mayat itu diserambi gandok, membaringkannya diatas amben bambu yang besar.

   "Mana yang satu lagi?"

   Bertanya salah seorang pengawal.

   "Masih dipendapa,"

   Sahut yang lain.

   Tetapi sesosok mayat yang masih dipendapa tidak segera dibawa keserambi gandok dan dibaringkan disamping mayat kawan-kawannya.

   Ketika Raden Sutawijaya bersama Agung Sedayu mendekati Ki Juru Martani yang sedang berjongkok merenungi mayat itu, seorang pengawal terdengar berkata diantara kawan-kawannya.

   "Ciri itu adalah ciri seorang prajurit."

   Raden Sutawijaya tertegun sejenak. Namun kemudian iapun melangkah mendekati Ki Juru dengan tergesa-gesa.

   "Angger,"

   Berkata Ki Juru.

   "lihatlah."

   Raden Sutawijaya dan Agung Sedayupun kemudian berjongkok didekat mayat itu. Ketika ia memandang ikat pinggangnya, maka iapun mengangguk-angguk sambil berkata.

   "Ikat pinggang itu memang ikat pinggang prajurit Pajang. Tetapi setiap orang dapat saja memakainya. Mungkin ia mendapatkannya dari saudaranya yang kebetulan juga seorang prajurit. Atau bahkan ia dapat merampasnya dengan kekerasan."

   Ki Juru mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya.

   "Tetapi mungkin juga ia memang seorang prajurit. Danang, cobalah kau lihat timangnya yang bukan saja timang seorang prajurit. Tetapi ia sudah menghiasinya dengan emas dan permata. Jika ikat pinggang ini bukan miliknya sendiri, ia tentu tidak akan berbuat demikian. Atau katakan ia merampasnya dari seorang perwira, tentu emas dan permata itu akan diambilnya dan dipindahkannya pada ikat pinggang yang lain, bukan ikat pinggang seorang prajurit. Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya ikat pinggang prajurit yang sudah ditambahinya dengan hiasan emas dan permata, yang memang tidak dilarang oleh pimpinan keprajuritan Pajang sejak Ki Gede Pemanahan masih menjadi Panglima, sehingga banyak para perwira yang menghiasi timangnya dengan lapisan emas dan permata. Namun kemudian Raden Sutawijaya berkata.

   "Tetapi aku belum pernah mehhatnya. Jika ia seorang perwira Pajang, tentu aku pernah mengenal atau melihatnya."

   Ki Juru menggeleng. Katanya.

   "Tentu tidak semuanya. Mungkin ia baru saja diangkat menjadi seorang perwira karena ia memiliki ilmu yang sangat tinggi."

   Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu berkata.

   "Mungkin ia adalah seorang petugas sandi."

   Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Dan Ki Juru berkata.

   "Salah seorang dari mereka yang bertempur melawan Agung Sedayu tentu penari yang cakap itu."

   Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya.

   "Ya Ki Juru. Meskipun semula aku tidak pasti. Tetapi agaknya salah seorang dari mereka adalah penari yang kita lihat di banjar padukuhan itu."

   Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah kepada diri sendiri ia berkata.

   "Sayang. Ia adalah seorang penari yang sangat baik. Ia memiliki pengetahuan yang sangat berharga bagi tubuhnya sebagai seorang penari. Tetapi ia telah melakukan sesuatu yang menjerumuskannya dalam kesulitan, dan bahkan maut."

   Raden Sutawijaya memandang Ki Juru sejenak, kemudian ditatapnya wajah Agung Sedayu yang tunduk merenungi mayat itu.

   "Paman,"

   Berkata Raden Sutawijaya kemudian.

   "apakah paman sependapat, bahwa ikat pinggang itu sebaiknya kita simpan saja. Mungkin ikat pinggang itu akan dapat menjadi jalur mengenalnya kita terhadap orang-orang yang sudah tidak dapat kita ajak berbicara itu, justru karena para pengawal Mataram sendiri yang terlalu dibebani oleh dendam dan kemarahan, sehingga mereka telah melakukan sesuatu yang sangat bodoh."

   Ki Juru memandang ikat pinggang itu sejenak. Lalu iapun kemudian bertanya.

   "Apakah yang tiga orang itu juga mengenakan ikat pinggang keprajuritan?"

   Raden Sutawijaya menggelengkan kepalanya sambil menjawab.

   "Tidak paman. Mereka tidak mengenakan ikat pinggang semacam itu. Juga pada mereka tidak terdapat tanda-tanda apapun juga."

   Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya.

   "Baiklah Raden. Kau dapat menyimpan ikat pinggang itu. Mungkin ada gunanya. Tetapi mungkin juga tidak sama sekali. Tidak akan ada seorangpun yang akan mengaku memiliki ikat pinggang itu, kecuali jika ikat pinggang itu pernah dirampas dengan paksa dan orang yang merampasnya mempergunakan tanpa dirombak bentuk dan ujudnya."

   Raden Sutawijayapun kemudian memerintahkan seorang pengawal untuk mengambil ikat pinggang itu dengan penjelasan, bahwa yang penting bukannya emas dan permatanya, tetapi mungkin akan dapat dipergunakan untuk mencari jejak dari keempat orang itu.

   Demikianlah sisa malam itupun kemudian dipergunakan oleh Raden Sutawijaya untuk duduk dipendapa bersama para pemimpin Mataram.

   Agung Sedayu yang dipersilahkan untuk beristirahat, ternyata lebih senang untuk ikut duduk dipendapa dan mempercakapkan keempat orang yang telah terbunuh itu.

   "Angger Agung Sedayulah yang dicarinya di Mataram,"

   Berkata Ki Juru kepada para pemimpin Mataram.

   Agung Sedayu menundukkan kepalanya ia sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan siapapun.

   Tetapi keadaan telah mendorongnya untuk menanam dendam dihati orang.

   Ia sadar, bahwa setiap jiwa yang direnggutnya, akan berarti menambah jumlah musuh yang mendendam dan membencinya.

   Agung Sedayu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Ki Juru berkata.

   "Angger Agung Sedayu. Karena peristiwa ini, maka sudah tentu angger akan tinggal lebih lama lagi di Mataram. Mungkin angger perlu menenangkan hati. Tetapi mungkin pula dengan pertimbangan lain. Sudah tentu angger Agung Sedayu tidak akan cemas diperjalanan. Angger akan dapat mengatasi setiap kesulitan yang datang. Namun aku mengerti, bahwa angger sama sekali tidak akan bermaksud menambah lawan. Apalagi membakar dendam."

   Agung Sedayu menarik nafas.

   Pertimbangan Ki Juru dapat dimengerti.

   Ki Juru tentu mencemaskannya, bahwa masih ada orang yang akan mencegatnya disepanjang jalan.

   Jika ia terpaksa bertempur, maka ada kemungkinan, bahwa ia harus melakukan pembunuhan lagi untuk menyelamatkan diri.

   Dengan demikian maka ia telah menyaingi dendam pada suatu lingkungan terhadapnya, sehingga dendam itu akan menjadi semakin subur.

   Dan timbullah lingkaran yang tidak terputuskan, dendam, pembalasan, yang harus dilawan dan menimbulkan kematian yang akan membakar dendam itu lagi.

   Tetapi ketegangan jiwa Agung Sedayu bagaikan tidak tertahankan lagi.

   Ia ingin segera sampai dipadepokannya.

   Ia baru akan dapat beristirahat jika ia sudah ada ditengah kerja padepokannya.

   Memanggul cangkul dan menyelusuri parit ditengah bulak.

   Membelah kayu dan menyapu halaman disaat fajar menyingsing.

   Melepaskan diri dari segala macam persoalan yang pelik dan menyakitkan hati, sambil mendengarkan kicau burung dicerahnya pagi.

   Namun ketika terpandang wajah Raden Sutawijaya, terpercik juga sebuah keluhan di hati.

   "Aku memang seorang yang sangat mementingkan diriku sendiri."

   Meskipun demikian Agung Sedayu sadar, bahwa ia memang bukan Raden Sutawijaya yang dadanya dipenuhi oleh api perjuangan sesuai dengan keyakinannya.

   Tidak untuk dirinya sendiri.

   Tetapi untuk membakar cita-citanya menjadikan Mataram sebuah negeri yang ramai.

   Sejanak Agung Sedayu termangu-mangu.

   Ia tidak segera dapat mengambil keputusan.

   apakah ia akan tinggal lebih lama lagi, atau ia memutuskan untuk segera meninggalkan Mataram dan kembali kepadepokan kecilnya, dimana Glagah Putih telah menunggunya dengan tidak sabar lagi.

   Dalam pada itu, para pengawal nampak sibuk dengan persiapan upacara penguburan keempat sosok mayat itu.

   Meskipun keempat sosok mayat itu adalah mayat-mayat orang-orang yang tidak disukai, tetapi Raden Sutawijaya memerintahkan agar mayat-mayat itu dikubur dengan upacara sepantasnya.

   Agung Sedayu masih saja termangu-mangu memandang para pengawal yang nampak hilir mudik dihalaman.

   Namun ketika ia melihat cahaya kemerah-merahan membayang, maka tiba-tiba saja kerinduannya untuk kembali kepadepokan kecilnya tidak tertahankan lagi, sehingga katanya kemudian.

   "Ki Juru. Agaknya aku lebih senang untuk segera sampai ke padepokan kecilku. Aku sudah terlalu lama pergi meninggalkan adik sepupuku."

   "Glagah Putih maksudmu?"

   Bertanya Raden Sutawijaya.

   "Ya. Ia tentu sudah menunggu. Mungkin ia menjadi kecewa bahwa aku terlalu lama meninggalkannya."

   Raden Sutawijaya yang masih muda itupun tiba-tiba tersenyum.

   Yang terbayang padanya bukannya seorang anak muda yang bertubuh tinggi, berwajah bening, namun dengan sorot matanya yang menunjukkan kekerasan hatinya.

   Tetapi yang terbayang padanya adalah seorang wanita cantik yang keras hati di Sangkal Putung.

   Karena itu, maka Raden Sutawijayapun kemudian berkata sambil tersenyum.

   "Paman. Memang sulit untuk menahan Agung Sedayu lebih lama lagi. Mungkin adik sepupunya sudah sangat merindukannya. Mungkin adik seperguruannya. Mungkin gurunya. Tetapi mungkin juga Sekar Mirah."

   "Ah,"

   Desah Agung Sedayu sambil menundukkan kepalanya.

   Tetapi ia tidak membantah.

   Gadis itupun memang mulai terbayang.

   Namun justru menumbuhkan kegelisahan dihatinya karena gadis itu selalu memandang masa depannya dengan suram.

   Agaknya Agung Sedayu benar-benar tidak dapat ditahan lagi untuk tinggal lebih lama di Mataram.

   Cahaya matahari yang kemudian jatuh di atas tanah berdarah dihalaman rumah Raden Sutawijaya itu, membuat hatinya menjadi semakin dekat dengan padepokan kecilnya yang tenang dan damai.

   "Baiklah Agung Sedayu,"

   Berkata Raden Sutawijaya.

   "agaknya kau benar-benar ingin kembali kepadepokanmu. Karena itu, biarlah kau ditemani oleh dua orang pengawal dari Mataram. Bagaimanapun juga peristiwa yang baru saja terjadi, membuat kita harus berhati-hati. Meskipun kau merupakan orang yang mumpuni dalam olah kanuragan, tetapi kedua pengawal itu akan dapat menjadi kawan berbincang di sepanjang jalan. Mungkin perlu untuk melakukan perintahmu diperjalanan atau keperluan-keperluan yang lain."

   Agung Sedayu tidak dapat menolak.

   Iapun menyadari, bahwa kawan diperjalanan dalam keadaan yang masih dibayangi oleh merahnya darah itu tentu akan berarti baginya.

   Karena itulah maka Agung Sedayupun kemudian minta diri untuk berkemas, karena ia akan berangkat pagi-pagi tanpa menunggu upacara penguburan keempat sosok mayat itu.

   Ketika Agung Sedayu telah siap untuk berangkat, ia masih sempat minta maaf, bahwa ia tidak dapat menunggui upacara pemakaman para pengawal dan penguburan ke empat sosok mayat itu meskipun ia adalah sasaran dari mereka.

   "Ah, aku justru berterima kasih,"

   Berkata Raden Sutawijaya.

   "sebab menurut perkembangan tingkah lakunya, mereka bukan saja akan mencelakaimu, tetapi mereka dengan licik berusaha untuk mengambil pusaka-pusaka terpenting di Mataram. Dan kaulah yang telah menyelamatkan pusaka-pusaka itu."

   "Ki Juru Martani. Aku hanya membantumu saja,"

   Sahut Agung Sedayu. Tetapi Ki Juru tertawa. Ia sadar bahwa ketegangan jiwa Agung Sedayu telah memaksanya untuk segera meninggalkan Mataram. Katanya.

   

   first share di Kolektor E-Book 30-08-2019 15:37:02
oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

Si Pedang Kilat -- Gan K L Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Hancurnya Sebuah Kerajaan Karya Siao Shen Sien

Cari Blog Ini