Ceritasilat Novel Online

Api Dibukit Menoreh 19


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 19


Api di Bukit Menoreh (05) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 30-08-2019 15:37:02 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (05) Karya dari SH Mintardja

   

   Agung Sedayu tersenyum ketika kawan-kawannya mencegahnya agar tidak usah ikut membantu mereka.

   Salah seorang dari mereka berkata.

   "Beristirahatlah. Kau tentu masih lelah. Biar aku membangunkan kawan-kawan yang lain."

   Tetapi Agung Sedayu menjawab.

   "Aku hanya akan membantu mengumpulkan mangkuk-mangkuk ini. Kalianlah yang harus mencuci dan kemudian menyiapkan minuman disaat matahari terbit nanti."

   Kawan-kawannya tidak mencegahnya lagi.

   Tetapi salah seorang dari merekapun membangunkan kawan-kawannya yang lain, meskipun masih saja diantara mereka yang hanya sekedar memutar tubuhnya dan kembali memejamkan matanya sambil bersilang tangan.

   Kawan-kawannya yang telah terbangun membiarkan mereka.

   Agaknya mereka benar-benar kelelahan, sehingga rasa-rasanya mereka benar-benar tidak mampu lagi untuk bangkit.

   Perlahan-lahan warna merah menebar dilangit.

   Cahaya fajar semakin menjadi cerah.

   Burung-burung liar mulai bersiul dengan lagu riang.

   Sementara induk ayam membawa anak-anaknya turun dari kandangnya dan mulai merangkak-rangkak dihalaman.

   Sesaat kemudian Sangkal Putung telah terbangun.

   Pintu-pintu rumah telah terbuka, dan jalan-jalanpun mulai menjadi ramai.

   Dalam pada itu, pendapa rumah Ki Demang Sangkal Putungpun telah menjadi ramai pula.

   Beberapa orang duduk sambil berbincang.

   Sementara beberapa anak muda telah menghidangkan minuman panas dan beberapa potong makanan.

   Namun agaknya kesibukan di pendapa itu tidak berlangsung lama.

   Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga telah minta diri untuk meninggalkan Sangkal Putung kembali ke Mataram.

   Ki Demang tidak dapat lagi mencegahnya.

   Ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani telah ditunggu oleh kewajiban yang berat di Mataram.

   Karena itulah, maka Ki Demang hanya dapat mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatannya menerima kehadiran Raden Sutawijaya.

   Sutawijayapun minta diri pula kepada orang-orang yang ada di Sangkal Putung.

   Kepada Ki Widura.

   kepada Kiai Gringsing, kepada Ki Waskita dan orang-orang lain, sementara Ki Gede Menoreh ternyata berniat untuk kembali pula ke Menoreh bersama Raden Sutawijaya.

   Ada kekecewaan Pandan Wangi melepas ayahnya pulang.

   Tetapi ia tidak akan dapat memaksa ayahnya untuk tetap tinggal di Sangkal Putung seperti dirinya, karena ayahnya mempunyai kewajiban pula atas tanah perdikan yang ditinggalkannya.

   Yang nampak sangat kecewa justru adalah Prastawa.

   Sebenarnya ia masih ingin tetap tinggal di Sangkal Putung.

   Tetapi ia tidak berani menentang pamannya yang telah mengajaknya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

   Prastawa hanya sempat bertemu dengan Sekar Mirah saat ia minta diri.

   Namun agaknya Sekar Mirah yang masih belum pulih kembali perasaannya yang terluka itu, hampir tidak mempunyai perhatian tersendiri kepadanya.

   Ia mencoba tersenyum kepada setiap orang yang minta diri kepadanya, meskipun senyumnya masih terasa sangat hambar.

   "Ia sedang bersedih hati,"

   Berkata Prastawa kepada diri sendiri.

   Tetapi sementara itu, diluar sadarnya, maka ia menjadi semakin tidak senang melihat Agung Sedayu yang berada di Kademangan itu pula.

   Ketika matahari naik semakin tinggi, maka Raden Sutawijaya serta Ki Juru Martanipun telah siap untuk berangkat bersama Ki Gede Menoreh yang diikuti, oleh kemanakannya.

   Sedangkan para pengawal yang akan mengikuti pemimpin mereka masing-masing telah siap pula dengan kuda-kuda mereka.

   Sejenak kemudian, sebuah iring-iringan telah meninggalkan Kademangan Sangkal Putung.

   Ki Juru Martani, Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh berada dipaling depan.

   Kemudian para pengawal dari Mataram mengikuti mereka.

   Dipisahkan oleh Prastawa, maka dipaling belakang para pengawal dari Tanah Perdikan Menorehpun mengikut pula.

   meskipun jumlahnya tidak sebanyak pengawal dari Mataram.

   Disepanjang jalan, tidak henti-hentinya Ki Juru dan Ki Gede Menoreh berbincang tentang banyak hal yang telah mereka lihat dan mereka alami di Sangkal Putung.

   Tentang meninggalnya Ki Sumangkar.

   Tentang Sekar Mirah yang menjadi sedih karena ditinggal oleh gurunya.

   Tentang Agung Sedayu.

   Tentang kematian dua orang yang tidak mereka kenal, yang ternyata adalah dua bersaudara dari Pesisir Endut, dan juga tentang Pangeran Benawa.

   Ki Juru Martani tidak banyak menceriterakan pertemuan Raden Sutawijaya dengan Pangeran Benawa.

   Ia juga tidak mengatakan bahwa kedua saudara angkat itu telah membicarakan masalah yang penting bagi masa depan Pajang.

   Yang mereka percakapkan tentang Pangeran Benawa adalah ilmunya yang luar biasa.

   Seorang diri ia telah berhasil membinasakan dua orang bersaudara yang disegani banyak orang dari Pesisir endut itu.

   Juga tentang sikap Pangeran Benawa yang tidak begitu mengacuhkan semua peristiwa yang terjadi di istana Pajang dan kemelut yang menyala dimana-mana.

   Sementara itu.

   Raden Sutawijaya sendiri banyak berdiam diri sambil merenungi masa depannya dan masa depan Mataram.

   Ia tidak tahu, jalan yang manakah yang paling baik baginya.

   Pembicaraannya dengan Pangeran Benawa ternyata telah menumbuhkan berbagai macam persoalan didalam hatinya.

   Iring-iringan itupun semakin lama menjadi semakin jauh dari Kademangan Sangkal Putung.

   Mereka melewati bulak-bulak panjang dan beberapa padukuhan.

   Setiap kali iring-iringan itu memasuki gerbang padukuhan, maka beberapa orang telah berlari-larian keluar dari rumah dan regol halaman masing-masing.

   Kadang-kadang terdengar diantara mereka berbisik.

   "Itu adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Aku kemarin telah melihatnya mengiringi jenazah Ki Sumangkar yang meninggal di rumah Ki Demang Sangkal Putung."

   Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ada juga yang menyahut.

   "Aku sudah tahu. Aku juga melihatnya di saat ia berada di Sangkal Putung."

   Sementara beberapa orang gadis saling berbisik.

   "Alangkah tampannya anak muda yang berkuda dipaling depan itu."

   "Sst,"

   Desis seorang laki-laki yang berdiri disampingnya.

   "itu adalah Raden Sutawijaya."

   "O,"

   Merekapun saling menggamit.

   Bahkan ada diantara mereka yang mencubit lengan kawannya yang berdiri di sisinya, sehingga kawannya terlonjak.

   Namun belum lagi iring-iringan itu sampai kepada kuda yang terakhir, sekali lagi gadis-gadis itu saling berdesis.

   "He, yang berada diantara para pengawal itupun tampan pula. Sayang, wajahnya agak buram."

   Prastawa tidak mendengar kata-kata itu.

   Tetapi seolah-olah ada sesuatu yang telah menggamit hatinya, sehingga diluar sadarnya ia telah berpaling memandangi gadis-gadis itu, sehingga wajah gadis-gadis itu menjadi merah padam.

   Namun Prastawa yang muda itu sempat tersenyum, sehingga gadis-gadis itu menjadi semakin tersipu-sipu.

   Demikianlah maka iring-iringan itu berjalan terus.

   Menyusuri jalan panjang diantara hijaunya tanaman di sawah dan hijaunya pepohonan di padukuhan.

   Sekali-sekali iring-iringan itu menyeberangi sungai yang melintang jalan, dan sekali-sekali melintasi hutan yang sudah tidak merupakan rintangan lagi bagi perjalanan iring-iringan itu, karena telah dibuat jalan yang baik menusuk sampai keseberang.

   Sementara itu.

   Sangkal Putung menjadi semakin sepi.

   Apalagi jika sampai saatnya beberapa orang akan meninggalkan Kademangan itu pula.

   Ki Waskita yang masih tinggal tentu tidak lama lagi akan meninggalkan Kademangan itu pula.

   Demikian pula Ki Widura.

   Dan bahkan kemudian Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih.

   Tetapi Ki Demang masih dapat menahan mereka untuk beberapa hari.

   Mereka sempat menunggu keadaan di Sangkal Putung pulih kembali.

   Sekar Mirah berangsur-angsur menjadi tenang.

   Ia sudah menjadi semakin jarang menyebut nama gurunya yang telah meninggalkannya.

   Tetapi dalam pada itu, yang dilupakan untuk beberapa saat, telah tumbuh lagi dihatinya.

   Ia kembali merasa cemas melihat Agung Sedayu yang masih belum mempunyai pegangan tertentu buat masa depannya.

   Ia hanya mempunyai sebuah padepokan kecil.

   Beberapa kotak sawah dan pategalan yang dikerjakannya dengan beberapa orang anak muda yang tinggal bersama di padepokan kecil itu.

   Dengan demikian, maka ketenangan yang hampir pulih karena meninggalnya gurunya, telah disusul oleh kecemasannya menghadapi masa depan yang tidak jelas.

   Pandan Wangi yang mula-mula menjadi tenang pula melihat sikap dan tingkah laku Sekar Mirah, telah dicemaskan kembali oleh kemuraman yang membayang diwajah gadis itu.

   "Seharusnya kau dapat mengendalikan perasaanmu Mirah,"

   Berkata Pandan Wangi.

   "kau adalah seorang gadis yang cerdas dan menjadi tumpuan gadis-gadis sebayamu di Sangkal Putung. Karena itu jangan kau biarkan angan-anganmu berlarut-larut tanpa kendali."

   Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Pandan Wangi. Aku sudah mencoba untuk melepaskan guru demikian ikhlas. Aku menyadari bahwa yang terjadi atasnya memang harus terjadi. Tidak ada jalan dan cara untuk mencegahnya."

   "Sukurlah. Tetapi kadang-kadang aku masih melihat bayangan kepedihan hati di wajahmu,"

   Sahut Pandan Wangi.

   Sekar Mirah memandang Pandan Wangi dengan tatapan mata yang sayu.

   Agaknya ada sesuatu yang telah mendesak di dadanya.

   Namun gadis itu masih selalu mencoba menahannya.

   Pandan Wangi merasakan kegelisahan dihati Sekar Mirah meskipun ia tidak tahu pasti apa sebabnya.

   Karena itu maka desisnya.

   "Mirah. Apakah masih ada sesuatu yang menekan perasaanmu ? Jika kau sudah menyadari bahwa yang terjadi atas Ki Sumangkar memang harus terjadi, maka apalagi yang telah menekan hatimu ?"

   "Pandan Wangi,"

   Berkata Sekar Mirah dengan nada yang dalam.

   "kini guruku sudah tidak ada lagi. Meskipun orang tuaku masih ada, tetapi pada suatu saat aku akan meninggalkannya. Aku akan menjadi seorang dewasa penuh yang hidup dalam lingkungan keluargaku sendiri. Tetapi menurut penglihatanku, kakang Agung Sedayu sampai saat ini sama sekali tidak memikirkan hari depan bagi kehidupan sebuah keluarga."

   Pandan Wangi mengerutkan keningnya.

   Ia tidak menyangka bahwa Sekar Mirah telah mulai memikirkan masa depannya.

   Namun agaknya kematian gurunya membuatnya semakin gelisah.

   Satu-satunya harapannya kini tergantung pada Agung Sedayu.

   Dan baginya Agung Sedayu adalah orang yang lemah hati.

   Ia sama sekali tidak berjuang bagi masa depannya.

   Sejak meninggalnya Ki Sumangkar, maka tidak ada lagi orang yang seolah-olah melindunginya.

   Swandaru telah mempunyai sisihan, sehingga ia akan lebih banyak terikat oleh keluarganya sendiri.

   Jika Agung Sedayu tidak segera mempersiapkan dirinya, maka Sekar Mirah akan merasa hari depannya benar-benar suram.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi Pandan Wangi mencoba untuk mengurangi beban kegelisahan adik iparnya.

   Katanya.

   "Sekar Mirah. Bukankah Agung Sedayu telah mempersiapkan sebuah padepokan ? Sudah tentu yang ada sekarang sama sekali tidak memadai. Tetapi padepokan itu akan berkembang. Semakin lama menjadi semakin ramai dan luas. Sawah dan pategalannyapun akan semakin luas pula, karena hutan disekitarnya masih cukup untuk mengembangkan daerah kecil itu."

   Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Katanya.

   "Dunia itu tidak sesuai dengan duniaku. Hidup dipadepokan adalah suatu kehidupan yang mandeg. Tidak ada gairah dan tidak ada tantangan yang dapat melahirkan suasana baru dalam hidup ini. Padepokan adalah suatu tempat bagi mereka yang telah berputus asa. Bagi mereka yang merasa dirinya tidak mampu lagi mengikuti perkembangan jamannya."

   "Ah, apakah begitu? Dipadepokan seseorang mendapat kesempatan yang cukup untuk mempelajari sesuatu. Mungkin ilmu yang akan dapat dikembangkan dan diabadikan pada kehidupan luas. Mungkin dapat dicapai suatu tingkat pengetahuan yang dapat memberikan banyak manfaat bagi sesama. Dan mungkin dari padepokan kecil dapat dipancarkan sikap hidup yang agung dalam hubungan manusia dengan Penciptanya."

   Tanpa disangka-sangka.

   Sekar Mirah justru tertawa, meskipun masih terasa betapa pahit perasaannya.

   Apalagi ketika terdengar suaranya yang bergetar.

   Betapa manisnya hidup yang demikian.

   Setiap orang akan menghormatinya dan setiap bibir akan menyebut namanya sebagai seorang pertapa yang telah menjauhkan diri dari unsur-unsur keduniawian dan mendekatkan diri dengan alam kehidupan langgeng.

   Tidak Pandan Wangi.

   Aku bukan seorang yang kehilangan pegangan hidup seperti itu.

   Hidup bagiku adalah tantangan-tantangan yang harus dijawab dengan sikap dan perbuatan.

   Bukan dengan putus asa lari dari kenyataan yang memang pahit."

   Jawaban itu mengejutkan Pandan Wangi.

   Sejenak ia justru terdiam bagaikan mematung, ia samasekali tidak menduga bahwa Sekar Mirah mempunyai pandangan yang justru berlawanan tentang kehidupan di Padepokan.

   Gadis itu tidak melihat ketenangan dan kedamaian yang mewarnai kehidupan di padepokan.

   Tetapi yang nampak padanya adalah keputus-asaan dan pelarian.

   Pandangan yang berlawanan itu seolah-olah telah menutup pembicaraan kedua perempuan itu.

   Pandan Wangi tidak dapat mencoba untuk memberikan ulasan lagi tentang kehidupan di Padepokan, karena mungkin akan dapat menumbuhkan salah paham.

   Sementara itu Sekar Mirah berkata selanjutnya.

   "Pandan Wangi. Menurut pendapatku, aku dan Kakang Agung Sedayu masih terlalu muda untuk hidup dalam keterasingan itu. Seharusnya aku dan kakang Agung Sedayu masih harus terlibat dalam gejolaknya dunia yang penuh dengan tantangan, tetapi memberikan kepuasan bagi kita setiap kita dapat mengatasinya."

   Pandan Wangi mengangguk-angguk.

   Tetapi ia tidak menjawab.

   Ia tidak mau terlibat dalam pembicaraan tentang sikap dan pandangan hidup yang lebih dalam, karena pada dasarnya sikap dan pandangan hidup adalah ciri pribadi yang mungkin tidak dapat dipertemukan antara seseorang dengan orang lain.

   Tetapi Pandan Wangi sadar, bahwa perbedaan itu bukannya berarti bahwa masing-masing harus saling membenturkan diri dengan sikap dan pandangan hidup.

   Bahkan masing-masing harus menyadari perbedaan-perbedaan itu, sehingga masing masing akan berjalan menurut pilihannya sendiri.

   Dengan demikian setiap perbedaan sikap dan pandangan hidup akan dapat saling dihormati dan tidak menumbuhkan persoalan persoalan yang dapat memberikan ketegangan dalam hidup sehari-hari.

   Karena itu, maka Pandan Wangipun membiarkan Sekar Mirah dengan sikap dan pandangan hidupnya.

   Namun demikian, ia merasa cemas bahwa Sekar Mirah tidak akan dapat menghormati sikap dan pandangan hidup Agung Sedayu.

   Padahal mereka akan membangun suatu keluarga di masa depan.

   Perbedaan sikap dan pandangan hidup diantara mereka, mungkin akan dapat menumbuhkan persoalan-persoalan yang justru akan menjadi gawat apabila masing-masing tidak dapat menerima kenyataan itu dengan hati yang lapang.

   "Tetapi itu bukan persoalanku,"

   Tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis didalam hatinya.

   Namun demikian, rasa-rasanya ia tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatan batin dengan sikap Sekar Mirah.

   Betapapun ia berusaha, namun ia merasa dibayangi oleh kegelisahan.

   Apalagi ketika Pandan Wangi sendiri terdampar pada keadaan dirinya.

   Diluar sadarnya ia mencela melihat kepada keluarga kecilnya.

   "Apakah aku dan kakang Swandaru juga telah dapat menyatukan sikap dan pandangan hidup? "

   Pertanyaan itu tiba-tiba saja timbul didalam hatinya.

   Pandan Wangi justru mencoba menilai keadaan dirinya sendiri, ia mulai menelusuri sikap dan pandangan hidup suaminya.

   Setiap kali Pandan Wangi merasa tersinggung oleh sikap dan tingkah laku Swandaru yang tidak sesuai dengan sikap dan pandangan hidupnya.

   Namun Pandan Wangi merasa dirinya sebagai seorang isteri.

   Ia merasa wajib untuk mencari persesuaian dengan suaminya.

   Bukan mencari perbedaan-perbedaannya.

   Dengan demikian ia berusaha untuk dapat menciptakan suasana yang baik dalam keluarga kecilnya.

   Tetapi agaknya Sekar Mirah bersikap lain.

   Ia tidak menempatkan diri sebagai seorang sisihan yang harus saling mengisi dan mengendalikan diri.

   Perjanjian bagi dirinya sendiri untuk menempatkan dirinya disisi orang lain adalah suatu kesediaan untuk melepaskan sebagian dari sikap dan pandangan hidupnya sendiri.

   Namun Pandan Wangi tidak mengatakannya, ia tidak mau terperosok kedalam kesalah pahaman dengan adik-iparnya.

   Bahkan kemudian ia mencoba untuk berkata kepada dirinya.

   "Itu adalah persoalan Sekar Mirah dengan Agung Sedayu. Persoalan yang harus mereka cari pemecahannya. Persoalanku adalah bagaimana aku dan kakang Swandaru menempatkan diri kita masing-masing, agar keluargaku tidak selalu dibayangi oleh keburaman meskipun banyak hal yang dilakukan tidak sesuai dengan kata nuraniku."

   Dengan demikian maka keduanya untuk sesuatu menjadi saling terdiam. Pandan Wangi bangkit ketika Swandaru memanggilnya.

   "Sekar Mirah. Kau masih harus tetap berusaha memberikan ketenangan pada dirimu sendiri. Beristirahatlah. Kakang Swandaru memanggil aku,"

   Berkata Pandan Wangi kemudian. Sekar Mirah mengangguk kecil. Namun ketika Pandan Wangi telah melangkah keluar ia berkata.

   "Aku juga akan pergi kedapur. Mungkin aku akan dapat melupakan persoalan-persoalan yang bergejolak dihatiku. Persoalan yang manapun juga."

   Pandan Wangi tertegun dipintu. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata.

   "Cobalah Mirah. Banyak yang dapat kau lakukan. Dan kau akan segera menemukan kembali nafas kehidupan sehari-hari."

   Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirahpun membenahi dirinya. Kemudian iapun melangkah meninggalkan biliknya pergi kedapur.

   "Mirah,"

   Berkata seorang perempuan separo baya.

   "beristirahatlah saja ngger. Biarlah kami menyelesaikan pekerjaan dapur ini."

   Sekar Mirah memandang perempuan itu. Namun ia justru mencoba tersenyum sambil berkata.

   "Biarlah aku membantumu bibi. Aku akan melupakan segala kegelisahan dihatiku. Nah, apakah yang baik aku lakukan sekarang? Apakah bibi sudah menanak nasi atau sudah menyiapkan sayur dan lauknya?"

   "Ah. biarlah kami melakukannya,"

   Desis perempuan yang lain.

   "Biarlah aku menggoreng ikan bibi. Siapakah yang telah mendapatkan ikan sebanyak itu?"

   "Bukan satu orang ngger. Tiga orang telah menjala semalam suntuk, mereka mendapatkan ikan wader sebanyak itu?"

   Sekar Mirah mengangguk-angguk.

   Ikan wader yang telah dibersihkan itupun kemudian direndamnya didalam tepung yang telah dicairkan dengan air.

   Kemudian iapun duduk dengan asyiknya dimuka perapian sambil memasukkan segumpal aduan tepung dan ikan wader kedalam minyak kelapa yang mendidih.

   Dalam pada itu, selagi Sekar Mirah sibuk didapur.

   Kiai Gringsing duduk diserambi gandok bersama Ki Waskita dan Ki Widura.

   Ki Demang Sangkal Putung tidak duduk bersama mereka karena kewajibannya nganglang Kademangan bersama Ki Jagabaya.

   Dalam pada itu, ketiga orang tua itu dengan asyiknya berbicara tentang berbagai macam persoalan yang sedang berkembang di saat terakhir.

   Mereka mulai dari Mataram, kemudian berkisar ke Demak dan ternyata mereka sampai pada pembicaraan tentang orang-orang yang mengaku pewaris Kerajaan Majapahit.

   Tetapi pembicaraan itu agaknya tidak menarik bagi Kiai Gringsing.

   Setiap kali ia selalu mencoba untuk menggeser pembicaraan kepada persoalan-persoalan lain.

   Ia lebih senang berbicara tentang Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani atau berbicara tentang padepokan kecil yang telah ditinggalkannya.

   Namun agaknya Ki Waskita tetap berusaha untuk berbicara tentang orang-orang yang masih saja selalu berusaha untuk mengeruhkan keadaan.

   Suatu usaha untuk membenturkan kekuatan yang ada, kemudian menghancurkan sisanya sama sekali.

   "Kiai,"

   Berkata Ki Waskita.

   "banyak orang yang sebenarnya dapat membantu mempercepat penyelesaian masalah ini. Tetapi mereka mempunyai keberatannya masing-masing untuk melakukannya. Jika Raden Sutawijaya tidak terikat oleh sumpahnya, maka ia akan dapat memasuki istana Pajang sebagai putera angkat yang dikasihi oleh Sultan Hadiwijaya, sehingga ia akan dapat membantu membersihkan Pajang dari nafsu yang menyala sekarang ini."

   Kiai Gringsing menarik nafas panjang, sementara Ki Waskita meneruskan.

   "Sedangkan Pangeran Benawa mempunyai keberatannya sendiri. Kekecewaan yang mencengkam perasaannya sama sekali tidak dapat diingkarinya. Itulah agaknya yang memaksanya memilih jalan hidupnya sendiri yang menyimpang dari ketentuan istana."

   Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya.

   "Tetapi semuanya sudah dikehendakinya. Mungkin Raden Sutawijaya memang lebih tepat berada di Mataram. Kota yang semakin lama menjadi semakin ramai. Sementara itu agaknya masih saja sekelompok-sekelompok orang berdatangan dan membual kota itu semakin luas dan ramai. Pada saatnya Mataram akan benar-benar menjadi kota seperti yang diharapkan oleh Raden Sutawijaya sementara hubungan dengan tetangga-tetangganya terjalin dengan baik. Dengan Menoreh, Mataram bagaikan berkeluarga. Perkembangan Mataram akan mempengaruhi Tanah Perdikan itu untuk berkembang pula."

   "Ya Kiai,"

   Sahut Ki Waskita. Tetapi sebelum ia melanjutkan Kiai Gringsing sudah mendahului.

   "sementara Tanah Perdikan Menorehpun merupakan daerah harapan. Tanah itu nampaknya masih menampung banyak ke mungkinan dihari mendatang."

   Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia memotong.

   "Benar Kiai. Tetapi selagi masih ada persoalan yang selalu mengganggu ketenangan Pajang, maka yang sekarang berkembang itu akan selalu terancam oleh kekisruhan. Siapa tahu, bahwa daerah yang sedang berkembang itu akan dilanda oleh kerusuhan karena tingkah laku orang-orang yang tidak bertanggung jawab, terutama orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Majapahit."

   "Ah, kita semuanya akan berhati-hati. Kita akan membantu menjaga daerah yang sedang berkembang itu, sejauh dapat kami lakukan. Tetapi menurut pengamatanku, Tanah Perdikan Menoreh mempunyai kemungkinan untuk menjadi daerah yang besar."

   Dan Ki Waskitapun memotong pula.

   "Perkembangannya akan semakin mekar tanpa gangguan dari pihak manapun. Karena itu, maka alangkah baiknya jika Raden Sutawijaya bersedia membantu ayahandanya. Apalagi bersama dengan anak muda yang sebenarnya berhak menerima gelar Putera Mahkota. Namun terlebih-lebih lagi, jika ada orang lain yang bersedia membantu mereka dengan menyatakan dirinya seperti yang sebenarnya."

   "Ah,"

   Desis Kiai Gringsing.

   "biarlah semuanya itu diselesaikan oleh lingkungan mereka. Kita serahkan semua keputusan yang akan diambil kepada mereka, pembicaraan akan lebih baik mengarah kepada usaha untuk lebih baik bagi sawah kita."

   Ki Waskita menarik nafas panjang. Katanya.

   "Maaf Kiai. Aku telah mencoba memaksakan pembicaraan ini berkisar kepada pewaris Kerajaan Majapahit. Aku sebenarnya telah mendengar semuanya tentang seseorang yang sebenarnya dapat diharapkan untuk ikut menengahi percaturan dan kemelutnya pemerintahan sekarang ini."

   Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya.

   "Itu bukan persoalan yang harus kita bicarakan."

   Tetapi Ki Waskita seolah-olah tidak mendengar kata-kata itu. Dengan nada datar ia berkata.

   "Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa adalah anak-anak muda yang masih banyak sekali dipengaruhi oleh perasaannya yang kadang-kadang sulit dikendalikan. Tetapi orang-orang setua kita tentu akan berbeda sikap."

   "Aku tidak mengerti apa yang sedang kita bicarakan,"

   Sahut Kiai Gringsing.

   "Kiai,"

   Berkata Ki Waskita.

   "aku tidak tahu, apakah Ki Widura juga sudah mendengar, nama yang pernah dikenal pada angkatan sebelum orang-orang seumur kita sekarang. Nama yang mempunyai arti tersendiri."

   Widura yang tidak banyak ikut berbicara itupun bertanya.

   "Siapakah yang kau maksud Ki Waskita ?"

   Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Kemudian jawabnya.

   "Nama itu adalah Empu Windujati yang semula bergelar Pangeran Windukusuma. Seorang yang barangkali dapat pula menyebut dirinya keturunan langsung dari Majapahit."

   Ki Widura mengerutkan keningnya. Sejenak ia mengingat-ingat nama-nama yang pernah didengarnya. Namun kemudian ia berkata.

   "Aku masih lebih muda dari Ki Waskita dan Kiai Gringsing. Rasa-rasanya aku memang pernah mendengarnya. Tetapi sudah lama sekali. Dan nama itu seakan-akan kini telah hilang."

   Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian.

   "Memang Ki Widura. Nama itu sudah lama tidak terdengar lagi."

   Kiai Gringsing tiba-tiba saja menyahut.

   "Akupun pernah mendengarnya seseorang menyebut nama itu meskipun aku sendiri belum pernah mengenalnya. Tetapi orang yang sudah tidak pernah terdengar namanya itu, biarlah tidak usah kita bicarakan."

   Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Kiai Gringsing. Justru pada saat semacam ini nama itu perlu kita sebut-sebut. Jika nama itu hadir, mungkin ia akan dapat mempengaruhi orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu. Karena sebenarnya ada keturunan langsung dari Perabu Majapahit."

   "Mustahil,"

   Jawab Kiai Gringsing.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"berapa umur Empu Windujati itu sekurang, jika sebenarnya ia memang ada. Keturunan langsung dari Perabu Majapahit terakhir kini tentu sudah sangat tua."

   "Tentu Kiai. Orang yang bernama Empu Windujati itu sendiri mungkin sudah wafat. Tetapi menurut pendengaranku, ia mempunyai seorang murid yang juga keturunan langsung dari Majapahit."

   "Ah, marilah kita melupakan dongeng itu. Kita sekarang menghadapi kenyataan yang perlu kita ketemukan pemecahannya. Jika kita masih bertumpu pada dongeng yang belum pasti kebenarannya, kita akan kehilangan banyak waktu."

   Ki Waskita tersenyum. Katanya.

   "Kiai. Aku mohon maaf, bahwa aku memberanikan diri bertanya tentang ciri perguruan Windujati yang ada pada Kiai."

   "Ciri yang mana?"

   Bertanya Kiai Gringsing.

   "Pertama-tama, senjata yang Kiai pergunakan mirip benar dari senjata yang pernah ada pada masa perguruan Empu Windujati. Kemudian lukisan dipergelangan tangan Kiai, yang berbentuk cakra bergerigi sembilan. Sepuluh dengan tangkainya."

   "Ah,"

   Kiai Gringsing menjadi tegang. Katanya.

   "Apakah Ki Waskita pernah mendengar dongeng itu dari Ki Gede Menoreh?"

   "Ceritera itu bukan saja aku dengar dari Ki Gede Menoreh. Tetapi orang-orang tua yang memiliki sedikit hubungan dengan ilmu kanuragan pada jaman itu pernah mendengar nama Empu Windujati dan muridnya yang tumbuh sedahsyat gurunya."

   Sejenak terlintas kegelisahan diwajah Kiai Gringsing. Namun sekejap kemudian orang tua itu sudah tersenyum sambil berkata.

   "Nama-nama itu memang terdapat dalam dongeng-dongeng Ki Waskita. Tetapi aku sendiri tidak yakin bahwa nama-nama itu memang ada, atau mempunyai latar belakang peristiwa seperti yang banyak didengar orang pada waktu itu."

   "Kiai,"

   Berkata Ki Waskita.

   "menurut pendapatku, murid itu, adalah seorang anak muda yang pada waktu Itu merupakan seorang anak muda yang mengagumkan. Melampaui kemampuan anak-anak muda sebayanya. Jika anak muda itu kini masih ada, meskipun umurnya tentu sudah setua aku ini, ia akan merupakan seorang yang luar biasa. Selebihnya ia akan dapat berdiri berhadapan dengan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu. Ia akan merupakan seseorang yang akan dapat membuat mereka menjadi ragu-ragu dan segan."

   "Mereka tidak akan mengenalnya,"

   Desis Kiai Gringsing.

   "nama itu adalah nama yang asing."

   "Satu dua diantara mereka tentu pernah mendengarnya. Mereka akan berceritera kepada kawan-kawannya tentang seseorang murid perguruan Windujati."

   Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya Ki Widura yang lebih banyak mendengarkan pembicaraan itu. Dengan nada datar ia bertanya.

   "Bukankah Ki Widura belum pernah mendengar nama itu?"

   Ki Widura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng.

   "Aku tidak ingat lagi."

   Ki Waskita tersenyum sambil berkata.

   "Jawaban Ki Widura tidak pasti. Tetapi cobalah renungkan. Sebenarnya kita mempunyai harapan tentang dirinya. Atau bahkan mungkin murid perguruan Windujati itu kini berada diantara mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit itu?"

   "Ah, tentu tidak,"

   Diluar sadarnya Kiai Gringsing menjawab. Namun kemudian ia meneruskan.

   "nama itu hanyalah sekedar ceritera yang tumbuh saat itu. Ia tidak akan berada dimanapun."

   Ki Waskita bahkan tertawa. Katanya.

   "Mungkin Kiai. Tetapi jika orang yang bernama Jaka Warih, murid utama perguruan Empu Windujati itu ada, maka ia tidak lebih dari Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Ia sudah terlibat kedalam persoalan pribadinya sehingga tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu meskipun ia sadar, bahwa keadaan menjadi semakin gawat."

   "Ah,"

   Desis Kiai Gringsing.

   "Ki Waskita agaknya memang suka berangan-angan. Itulah agaknya yang telah menuntunnya kepada pengenalan atas masa depan dalam isyarat. Tetapi sebenarnya Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa bukannya tidak berbuat apa-apa. Kereka telah melakukan sesuatu. Mungkin cara yang mereka tempuh bukannya cara yang kita kehendaki."

   "Jika demikian, tinggal murid itulah yang belum kita lihat berbuat sesuatu. Sebagai murid dari perguruan Windujati, dan sebagai keturunan langsung dari Majapahit yang tentu saja dengan sebutan dan gelar yang lain, ia mempunyai tanggung jawab atas perkembangan keadaan dewasa ini."

   "Ki Waskita, nampaknya kita telah terlibat dalam pembicaraan tentang sesuatu yang tidak banyak kita ketahui. Ternyata bahwa Ki Widura tidak mempunyai kesempatan pula untuk menentukan pendapatnya."

   Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam dipandanginya Kiai Gringsing dan Ki Widura berganti-ganti. Namun dalam pada itu Ki Widura tersenyum sambil berkata kepada Kiai Gringsing.

   "Kiai. Aku memang tidak banyak mengetahui tentang apa yang diceritcrakan oleh Ki Waskita. Tetapi agaknya pembicaraan ini cukup menarik."

   Ki Waskita tertawa sambil menyahut.

   "Nah, bukankah Ki Widura tertarik pula pada pembicaraan ini?"

   Kiai Gringsingpun tersenyum. Katanya.

   "kita memang aneh. Kadang-kadang kita memang tertarik untuk membicarakan sesuatu yang tidak jelas atau bahkan tidak kita ketahui."

   "Kiai,"

   Berkata Ki Waskita.

   "sebenarnya sudah lama aku menahan diri untuk tidak bertanya tentang lukisan dipergelangan tangan Kiai. Tetapi rasa-rasanya dadaku semakin sesak dan kadang-kadang aku menjadi gelisah. Mungkin ini suatu gejala ketuaan umurku yang semakin merambat. Hal-hal yang barangkali kurang penting, membuat aku tidak dapat tidur sampai beberapa malam. Dan agaknya lukisan dipergelangan tangan Kiai itu benar-benar membuat aku gelisah."

   Kiai Gringsing tersenyum. Katanya.

   "Setiap orang yang menjadi semakin tua memang mudah menjadi gelisah, cemas dan kadang-kadang bingung tanpa sebab. Tetapi agaknya Ki Waskita mengalami ketegangan karena sesuatu yang telah diotak-atiknya."

   "Tidak Kiai. Bukan sekedar angan-angan yang tidak mendasar. Tetapi ada semacam petunjuk bahwa memang ada hubungan antara Kiai Gringsing yang mempunyai ciri perguruan Windujati dengan perguruan itu sendiri. Kiai, sebenarnyalah aku ingin bertanya, apakah Kiai memang tidak mendengar atau mengenal seseorang yang bernama Jaka Warih, yang menurut ceritera yang sampai ketelingaku, orang itu kini umurnya tentu sudah setua kita."

   Kiai Gringsurig merenung sejenak. Kemudian jawabnya.

   "Pertanyaan yang serupa pernah ditanyakan pula oleh Ki Gede Menoreh pada saat ia melihat gambar ditanganku. Tetapi sebenarnyalah waktu itu aku melukis dengan duri ikan di pergelangan ini tanpa maksud, selain sekedar meniru beberapa orang yang sebaya dengan aku pada waktu itu. Sayang, aku tidak ingat lagi, siapakah yang memberikan contoh lukisan itu kepadaku pada waktu itu yang kemudian beramai-ramai ditiru oleh tiga empat orang. Seandainya lukisan itu mula-mula bersumber pada seseorang yang bernama Windujati, aku sama sekali tidak mengetahuinya."

   Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam Katanya berdesah.

   "Baiklah Kiai. Tetapi mudah-mudahan orang yang bernama Jaka Warih, murid utama dari perguruan Windujati itu mengetahui, apa yang telah terjadi sekarang ini. Tetapi waktu kadang-kadang membuat perubahan-perubahan yang tidak di duga sebelumnya. Meskipun Jaka Warih adalah murid perguruan Windujati. tetapi siapa tahu. ialah yang justru telah menggerakkan orang-orang yang sekarang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu."

   "Ah,"

   Kiai Gringsingpun berdesah.

   "mudah-mudahan tidak. Tetapi aku memang tidak mengetahui apa yang dapat terjadi jika mereka itu benar-benar ada."

   Ki Waskita mengangguk-angguk, tetapi rasa-rasanya ia menjadi kecewa atas keterangan yang didapatnya dari Kiai Gringsing bahwa lukisan yang terdapat dipergelangan tangannya itu hanyalah sekedar karena saat itu anak-anak beramai-ramai saling meniru diantara mereka.

   Ki Widura yang mendengarkan ceritera yang dibicarakan oleh kedua orang itu dengan seksama, tiba-tiba saja berkata.

   "Agaknya tidak akan ada asapnya tanpa api. Mungkin yang didengar oleh Ki Waskita tidak tepat seperti yang sebenarnya. Namun demikian, agaknya masih dapat diharapkan, bahwa pada suatu saat, akan diketahui, dimanakah murid perguruan Windujati itu bersembunyi. Mungkin ia menjadi acuh tidak acuh terhadap keadaan karena kecewa seperti yang terjadi atas Pangeran Benawa, meskipun pada suatu kesempatan Pangeran Benawa msisih berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Tetapi mungkin ia merasa dirinya tidak perlu lagi bersentuhan dengan persoalan-persoalan duniawi. Atau seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa penggerak utama dari mereka yang menyebut diri mereka pewaris Kerajaan Majapahit itu justru adalah murid perguruan Windujati itu sendiri."

   Wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil berkata.

   "Memang segalanya dapat terjadi. Tetapi bagiku, sebaiknya kita berbicara tentang orang-orang yang kita ketahui sekarang. Apakah mereka berdiri diantara kita, diantara mereka yang berada di istana Pajang, atau diantara mereka yang menyebut diri mereka pewaris kerajaan Majapahit."

   Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya.

   "Seharusnya memang begitu Kiai. Tetapi alangkah sulitnya aku mengatur perasaanku. Aku kadang-kadang hanyut pada angan-angan dan kenangan yang tidak menentu. Kegelisahan yang tanpa sebab, atau perasaan yang tidak sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan nalar. Namun, meskipun aku menyadarinya, kadang-kadang aku tidak dapat melepaskan diri dari tekanan perasaan yang menghimpit."

   "Cobalah untuk menguasai diri,"

   Jawab Kiai Gringsing.

   "tetapi seandainya tidak berhasil, itu adalah gejala yang wajar dari ketuaan kita seperti yang kau katakan Ki Waskita."

   Ki Waskita mengangguk-angguk. Lalu.

   "Baiklah Kiai. Ternyata sulit bagiku untuk mendapatkan obatnya. Bahkan kadang-kadang aku telah terdorong untuk berbuat sesuatu sekedar menuruti angan-anganku itu. Keinginan yang barangkali aneh buat orang lain. Aku ingin menemukan murid perguruan Windujati dimanapun ia berdiri."

   "Ah, tinggalkan angan-angan itu Ki Waskita. Kita masih mempunyai banyak pekerjaan yang lebih penting kita lakukan,"

   Desis Kiai Gringsing.

   "Aku adalah seorang perantau sejak muda. Keluargaku telah mengenal aku sebaik-baiknya. Jika aku pergi didorong oleh kegelisahan perasaan, isteriku akan dapat mengerti. Dan akupun merasa, bahwa aku masih mampu melakukannya."

   Gumam Ki Waskita. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Ki Widura yang termangu-mangu. Namun kemudian katanya.

   "Mungkin Ki Waskita sudah digelitik oleh kerinduan atas jalan-jalan yang panjang dan seolah-olah tidak berujung. Tetapi agaknya amatlah sulit untuk mencari nama-nama yang hanya terdapat didalam dongeng-dongeng orang tua menjelang tidur cucunya."

   "Aku yakin bahwa nama perguruan Windujati bukan dongeng. Demikian pula murid muridnya."

   Jawab Ki Waskita.

   "namun sudah tentu bahwa usaha semacam itu tidak akan dapat dilakukan dengan tergesa-gesa. Besok atau lusa aku akan kembali ke keluargaku. Nah, akan datang saatnya aku merantau mengelilingi negeri ini untuk mencari nama itu."

   Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Kemudian katanya.

   "Jika keras kemauan Ki Waskita, aku hanya dapat berdoa, mudah-mudahan Ki Waskita akan dapat menemukannya."

   "Terima kasih Kiai. Aku akan mencari orang yang mempunyai ciri perguruan Windujati. Selain lukisan yang khusus dipergelangan tangan, maka perguruan Windujati adalah sumber ilmu kanuragan yang mempergunakan senjata berjuntai seperti cambuk dan cemeti."

   Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sepercik ketegangan terkilas diwajahnya, namun kemudian iapun tersenyum sambil mengangguk-angguk.

   "Mudah-mudahan Ki Waskita dapat menemukan. Jika benar orang itu ada, maka ia akan berpengaruh terhadap mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit."

   "Memang Kiai. Tetapi seandainya akau berhasil menemukan, tetapi orang itu sama sekali tidak acuh lagi terhadap keadaan yang gawat ini, maka perjalananku akan sia-sia,"

   Desis Ki Waskita.

   Kiai Gringsing mengangguk-angguk.

   Tetapi ia tidak menyahut lagi.

   Ki Widura yang mendengarkan pembicaraan itu dengan saksama, ternyata masih belum dapat mengikutinya dengan pasti.

   Ia dapat menangkap persoalan yang dilontarkan oleh Ki Waskita karena iapun kemudian mengetahui bahwa dipergelangan tangan Kiai Gringsing terdapat ciri yang dimaksud.

   Tetapi bahwa Kiai Gringsing nampaknya benar-benar tidak mengetahuinya, maka Ki Widurapun sama sekali tidak berani mengambil kesimpulan.

   Ketika kemudian Agung Sedayu mendekati mereka, maka pembicaraan merekapun telah berkisar.

   Namun demikian, Kiai Gringsing rasa-rasanya selalu dipengaruhi oleh pembicaraan tentang perguruan Windujati, sehingga ia tidak banyak lagi berbicara diantara mereka.

   Namun kedatangan Glagah Putih membuat pembicaraan mereka menjadi semakin ramai.

   Anak muda itu terlalu banyak bertanya tentang berbagai macam persoalan yang dihadapinya.

   Bahkan Ki Waskita terpaksa tertawa ketika tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya kepadanya.

   "Kiai, apakah yang akan terjadi atas aku kelak jika aku sudah besar? Apakah aku akan dapat menyempurnakan ilmuku seperti kakang Agung Sedayu."

   Sambil tertawa Ki Waskita menjawab.

   "Mana aku tahu."

   Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya.

   "Bukankah Ki Waskita dapat mengetahui apa yang akan terjadi?"

   "Ah, tidak tepat seperti itu. Tetapi yang pasti, semuanya tergantung pada usahamu. Jika kau berusaha dengan sungguh-sungguh dan disertai permohonan yang mantap kepada Yang Maha Kuasa, maka semuanya akan dapat kau hayati."

   Jawab Ki Waskita.

   "namun demikian, itu bukan berarti bahwa persoalannya telah selesai. Setelah seorang memiliki ilmu yang tinggi, maka persoalan selanjutnya, apakah ilmunya itu diamalkan atau justru sebaliknya."

   Glagah Putih termangu-mangu.

   Namun iapun kemudian mengangguk-angguk.

   Pembicaraan itu menjadi semakin ramai ketika kemudian Swandaru datang pula dan ikut berbicara disusul oleh Ki Demang yang telah kembali dari kewajibannya bersama Ki Jagabaya.

   Namun dalam pada itu, selagi di Sangkal Putung masih tinggal beberapa orang untuk beberapa waktu lamanya, maka di Pajang telah terjadi pembicaraan yang menggelisahkan.

   Beberapa orang perwira prajurit Pajang tengah berbicara dengan orang-orang yang tidak banyak dikenal di Pajang.

   Namun agaknya pembicaraan mereka adalah pembicaraan yang sangat rahasia.

   Mereka agaknya dengan sengaja membatasi pembicaraan mereka dengan orang-orang terdekat dan berusaha untuk tidak diketahui oleh para perwira yang lain.

   Salah seorang dari mereka dengan sungguh-sungguh berkata.

   "Ternyata bahwa Pangeran Benawa telah ikut serta dalam pergolakan ini."

   Yang lain termangu-mangu sejenak. Namun seorang perwira muda berkata.

   "Aku tidak yakin kalau Pangeran Benawa memang dengan sengaja melibatkan diri. Aku masih ingin mengetahui pendapat Untara dalam hal ini."

   Seorang berkumis lebat dan berpakaian seperti seorang pedagang menyahut.

   "Nampaknya Untara belum menyatakan pendapatnya dengan tegas. Namun bagi kami justru karena ia benar-benar berdiri pada tugas dan kewajiban seorang prajurit, maka ia harus disingkirkan."

   "Kau terlalu dipengaruhi oleh perasaan,"

   Sahut yang lain, yang berpakaian seperti seorang petani.

   "kita jangan menambah lawan. Sementara Untara masih dapat kita anggap berdiri diluar pertikaian ini. Tetapi sebenarnyalah menurut pendapatku, tindakan Pangeran Benawa yang terakhir perlu mendapat perhatian."

   "Mungkin dua bersaudara dari Pesisir Endut memang sudah membuat kesalahan. Pangeran Benawa tidak mau melihat tindakan sewenang-wenang. Agaknya dua bersaudara itu tidak dapat menahan diri, sehingga Pangeran Benawa harus bertindak terhadap mereka. Bukan karena persoalan yang pokok, tetapi karena tindakan kedua orang itu tidak sesuai dengan nurani Pangeran yang aneh itu."

   "Apapun alasannya, maka Pangeran Benawa itu masih akan dapat berbuat sesuatu yang dapat merugikan kita. Dengan demikian, maka ada beberapa orang yang perlu mendapat perhatian utama selain Senapati Ing Ngalaga itu sendiri."

   Orang-orang yang mendengarkan keterangan itu nampaknya menjadi semakin bersungguh-sungguh. Kening mereka menjadi berkerut dan menegang. Seorang yang berpakaian seperti seorang pedagang berkata.

   "Senapati Ing Ngalaga adalah lawan yang jelas, Yang nampak dihadapan hidung kita. Kita akan dapat datang menyerang Mataram, menghancurkan negeri baru itu dan kemudian membunuhnya bersama Ki Juru Martani. Apalagi jika usaha kita menggelitik Sultan berhasil. Maka menyerang Mataram tidak akan lebih sulit dari memijit buah ceplukan masak."

   Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Dan perwira Pajang yang ada ditempat itu melanjutkan.

   "Kau benar. Yang kini berbahaya adalah justru orang-orang yang berdiri disamping Senapati Ing Ngalaga. Orang-orang bercambuk itu merupakan orang yang paling berbahaya. Orang yang pertama-tama harus disingkirkan. Swandaru yang gemuk itu telah membangunkan pasukan pengawal yang kuat. Kekuatan Sangkal Putung merupakan kekuatan yang melintang dijalur antara Pajang dan Mataram. Kemudian kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Mau tidak mau, Argapati tentu akan terlibat dalam pertikaian yang akan timbul melawan Mataram. Sejak lama Argapati telah membuat hubungan yang khusus dengan Sutawijaya. Yang terakhir pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah terlibat dalam pertempuran di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu."

   Orang berpakaian pedagang yang ikut didalam pertemuan itu berkata.

   "Sudah berkali-kali kita berusaha membunuh orang-orang terpenting diantara mereka. Kegagalan terbesar yang terjadi karena pengkhianatan Telengan telah menghancurkan persiapan terbesar yang pernah kita adakan. Dengan kehancuran itu, kita harus menyusun kembali kekuatan seperti saat kita mulai. Namun berdasarkan pengalaman, maka sambil menyusun kekuatan, kita harus berusaha dengan ungguh-sungguh membunuh orang-orang yang akan menjadi Senapati bagi pasukan Mataram."

   "Aku tahu arah bicaramu,"

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Berkata perwira prajurit yang ada diantara mereka.

   "sudah berapa kali kita mencoba membunuh orang-orang bercambuk itu. Namun kita tidak pernah berhasil. Bahkan kematian demi kematin telah menyusul. Dan yang terakhir, kakak beradik dari Pesisir Endut itu justru terbunuh oleh Pangeran Benawa."

   "Tetapi apakah dengan demikian kita akan menghentikan usaha itu? Jika pada suatu saat terjadi benturan kekuatan, sementara orang-orang bercambuk itu masih ada. maka Mataram benar-benar memiliki kekuatan yang menggelisahkan. Orang-orang bercambuk itu memiliki kemampuan seperti para Adipati. Bahkan mungkin melampaui. Sedangkan mereka mempunyai sahabat-sahabat yangg menggetarkan."

   "Kekuatan mereka telah berkurang dengan Ki Sumangkar,"

   Desis orang yang berpakaian pedagang.

   "Ya. Tetapi yang lain masih tetap berbahaya. Kita harus membunuh mereka bersamaan dengan persiapan pasukan dalam keseluruhan,"

   Sahut yang lain. Katanya, Selanjutnya Sangkal Putung telah menjadi sumber tenaga disamping Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Setiap laki-laki adalah prajurit yang berbahaya. Tetapi tanpa Swandaru Kademangan yang besar itu akan lumpuh."

   "Kita akan berpegang kepada rencana yang lama, yang sampai saat ini tidak berhasil. Tetapi terserah kepada kalian. Aku akan melaporkannya kepada Ki Tumenggung yang kelak akan menyampaikannya kepada Kakang Panji." *** Buku 116 ORANG-ORANG yang mengadakan pembicaraan itupun mengangguk-angguk. Tetapi nampaknya masih ada beberapa hal yang belum sesuai dihati masing-masing. Namun orang yang berpakaian petani itupun kemudian berkata.

   "Kita mempunyai kawan yang cukup banyak. Jika separo dari kawan-kawan kita mati, sebagai tebusan kematian orang-orang bercambuk itu, kita masih mempunyai kekuatan yang cukup. Dendamku kepada anak muda yang bernama Agung Sedayu rasa-rasanya tidak akan dapat ditukar dengan kematian gurunya sekalipun."

   "Apakah kau berhasil membakar hati saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu?"

   Bertanya orang yang berpakaian pedagang.

   "Aku berusaha memindahkan dengan mereka dari Pangeran Benawa dan mengalihkannya kepada Agung Sedayu. Tetapi menurut kakang Carang Waja, kedua-duanya harus dimusnahkan. Meskipun demikian aku telah berhasil meyakinkannya, bahwa membunuh Agung Sedayu lebih penting artinya daripada membunuh Pangeran Benawa. Kematian Pangeran Benawa akan dapat memberikan perubahan pola berpikir Sultan Hadiwijaya yang nampaknya mulai mempercayai segala keterangan yang didengarnya dari banyak pihak, bahwa Mataram benar-benar akan melawan kekuasaan Pajang,"

   Jawab orang berpakaian petani itu.

   "Mudah-mudahan ia percaya. Jika Pangeran Benawa terbunuh, dan kita tidak berhasil melemparkan kesalahan itu kepada Mataram maka mungkin Sultan justru akan bersikap lain,"

   Berkata perwira Pajang yang ada diantara mereka.

   "aku sependapat. Untuk sementara kita kesampingkan dahulu Pangeran Benawa meskipun satu kali ia telah mencampuri persoalan ini. Tetapi menurut perhitunganku, masalahnya justru karena alasan perikemanusiaan semata-mata."

   "Tetapi apakah kau yakin bahwa orang yang bernama Carang Waja itu memiliki kemampuan melampaui orang-orang bercambuk?"

   Bertanya orang berpakaian pedagang. Orang yang berpakaian petani mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya.

   "Mungkin sekali. Carang Waja adalah orang yang jarang sekali menampakkan diri. Jika saja kedua adik-adiknya tidak terbunuh, sulit bagi kita untuk melibatkannya. Namun seandainya ia hanya sampai kepada kematian Agung Sedayupun, dendam kita sudah dikurangi. Kematian Telengan. Tumenggung Wanakerti, Samparsada yang cacad dan Kelasa Sawit yang tidak berdaya dan kemudian terbunuh oleh Swandaru, adalah kematian yang telah membasahi tangan Agung Sedayu dengan darah mereka. Selebihnya, aku sendiri telah menyatakan kepada Carang Waja, bahwa aku akan melibatkan diri langsung dalam usaha pelepasan dendam ini."

   Kawan-kawannya yang mendengarkan kesanggupan orang berpakaian petani itu mengangguk-angguk.

   Nampaknya ia benar-benar berpengharapan bahwa orang berpakaian petani itu bersama-sama dengan kawannya yang disebutnya Carang Waja akan dapat membalas dendam membunuh Agung Sedayu, Pangeran Benawa dan kemudian Raden Sutawijaya.

   "Aku akan menemui Carang Waja,"

   Berkata orang berpakaian petani itu.

   "aku harus menyampaikan segala keterangan yang diperlukan. Baru kemudian Carang Waja akan menyusun rencananya, ia tidak mau diperbodoh oleh keadaan seperti kedua adiknya dan orang-orang yang telah mati terdahulu."

   Yang lain mengangguk-angguk. Kemudian salah seorang perwira yang ada ditempat itu berkata.

   "Pergilah. Pertemuan kita sudah cukup. Kita sudah mendapat gambaran dari peristiwa yang bakal datang. Kita akan menyampaikan kepada jalur yang akan sampai kepada kakang Panji. Ia harus mengetahui semua yang kita lakukan, agar tidak ada salah paham diantara kita semuanya."

   Beberapa orangpun kemudian minta diri. Yang tinggal hanyalah tiga orang perwira prajurit Pajang. Seorang yang berkumis putih tersenyum sambil berkata.

   "Kita harus membakar dendam didada mereka."

   Yang lainpun tertawa. Dengan suara datar ia menyahut.

   "Kita harus meyakinkan mereka, bahwa dendam mereka harus terbalaskan. Dengan demikian kita akan dapat memperalat mereka. Keadaan akan menjadi semakin kisruh. Sementara Mataram menjadi lemah. Agung Sedayu, gurunya dan Swandaru merupakan kekuatan yang penting bagi Mataram. Jika orang-orang itu tetap dibakar oleh dendam didalam dadanya, maka mereka akan menjadi tangan-tangan kita yang baik tanpa mereka sadari."

   Ketiga orang perwira itu tertawa berkepanjangan.

   Mereka melihat orang-orang yang marah itu akan melakukan balas dendam tanpa memperhitungkan segala keadaan yang berkembang kemudian.

   Dengan janji dan harapan, dilandasi oleh dendam dan kemarahan, mereka merupakan kekuatan yang berbahaya bagi Pajang dan Mataram.

   Kematian-kematian disegala medan dan perang tanding, merupakan minyak yang tertuang kedalam api.

   Dalam pada itu, orang-orang yang meninggalkan para perwira itupun dengan tergesa-gesa menuju kesebuah rumah yang menjadi tempat mereka selalu bertemu dan berhubungan dengan para prajurit di Pajang.

   Mereka seolah-olah telah terbius oleh dendam dan harapan untuk mukti dengan warisan kerajaan Majapahit.

   Karena itulah maka mereka seakan-akan tidak dapat berpikir dengan bening, apakah yang mereka lakukan itu bermanfaat bagi mereka dan sesamanya, atau hanya sekedar sebagai pelepasan nafsu dan harapan-harapan yang kabur.

   Semantara itu, di Matarampun telah terjadi perjuangan pula.

   Tetapi Raden Sutawijaya bukan seorang yang sekedar didorong oleh nafsu dan harapan bagi dirinya sendiri.

   Ia melihat Mataram dan Pajang dalam keseluruhan.

   Bahkan wilayah yang tersebar dipasisir dan ujung pulau di sebelah Barat dan disebelah Timur.

   Sementara mereka sibuk dengan rencana dan sikap masing-masing, maka Kiai Gringsing yang masih berada di Sangkal Putungpun menjadi gelisah.

   Ia sadar, bahwa Ki Waskita tidak akan lama lagi berada di Kademangan itu.

   Besok atau lusa, atau bahkan tiba-tiba saja, Ki Waskita akan minta diri dan kembali kepada keluarganya.

   Namun rencananya untuk menemukan orang yang bernama Jaka Warih cukup menggelisahkan Kiai Gringsing.

   Dimalam hari, menjelang tidur, didalam biliknya Kiai Gringsing merasa gelisah.

   Ketika ia bangkit dan duduk merenung, dilihatnya Agung Sedayu yang tidur diamben yang besar bersama Glagah Putih nampak nyenyak.

   Disebelah lain, diseberang dinding bambu, Ki Waskita dan Ki Widura agaknya sudah tertidur nyenyak pula.

   Diluar sadarnya Kiai Gringsing mengamat-amati lukisan yang ada ditangannya.

   Perlahan-lahan ia menarik nafas panjang sekali.

   Diwajahnya terbayang perasaan kecewa, betapapun ia mencoba melepaskannya.

   "Kenapa lukisan ini ada dipergelangan tanganku,"

   Desisnya didalam hati.

   Tetapi lukisan oleh luka seperti dipergelangan tangannya itu memang sulit untuk dihapuskan.

   Memang hal itu mungkin dilakukan dengan mengelupas daging dipergelangan itu, dan kemudian menyembuhkannya, meskipun akan berbekas dan menumbuhkan cacat kulit.

   Tetapi cacad yang demikian bukannya merupakan ciri dari salah satu pihak yang manapun juga.

   "Sekarang sudah terlambat,"

   Desis Kiai Gringsing.

   "Seandainya ia berusaha untuk menghapus lukisan dipergelangan tangannya itu, namun sudah ada orang yang pernah melihatnya. Dan justru orang-orang itulah yang mempunyai penilaian khusus terhadapnya, Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita."

   Hampir diluar sadarnya Kiai Gringsing bangkit berdiri.

   Perlahan-lahan ia melangkah kepintu.

   Dengan hati-hati ia mendorong pintu bilik digandok itu.

   Ketika pintu itu terbuka, terasa udara yang segar mengusap wajahnya.

   Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia melangkahi tlundak pintu untuk menghirup udara yang sejuk di halaman.

   Tetapi wajahnya berkerut, ketika saat ia mendorong pintu untuk menutupnya.

   Agung Sedayu nampaknya terbangun.

   Sambil mengangkat kepalanya, ia memandangi Kiai Gringsing yang berdiri dipintu.

   "Apakah Kiai akan keluar?"

   Bertanya Agung Sedayu. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya.

   "Aku akan kepakiwan Agung Sedayu."

   Tetapi Agung Sedayu tidak meletakkan kepalanya lagi.

   Ia justru bangkit dan duduk dibibir pembaringannya, sementara Glagah Putih masih tetap tidur nyenyak.

   Sejenak Agung Sedayu termenung.

   Namun iapun kemudian bangkit dan berdiri termangu-mangu.

   Dipandanginya Glagah Putih yang tidur nyenyak.

   Ia masih melihat pintu terbuka sedikit, tetapi Kiai Gringsing sudah tidak nampak lagi didepan pintu yang masih menganga itu.

   Perlahan-lahan Agung Sedayu melangkah.

   Didorongnya daun pintu itu.

   Dan iapun melangkahi tlundak pintu pula.

   Dengan hati-hati Agung Sedayu menutup pintu biliknya.

   Udara memang terasa segar.

   Dan agaknya Kiai Gringsing benar-benar telah pergi ke pakiwan.

   Sejenak Agung Sedayu duduk diserambi.

   Di pintu regol ia melihat obor yang masih menyala.

   Lamat-lamat ia melihat sesosok tubuh melintasi halaman.

   Agaknya para pengawal yang berada di gardu regol halaman.

   Agung Sedayu merasakan angin malam yang segar.

   Ketika ia memandang api obor diregol, maka mulai terbayang gardu-gardu yang tersebar disuluruh Kademangan Sangkal Putung.

   Anak-anak muda lebih senang berkumpul di gardu-gardu daripada di rumah masing-masing.

   Mereka dapat bergurau dan berkelakar.

   Jika mereka mengantuk, maka mereka dapat tidur berdesak-desakan sehingga dinginnya malam tidak terasa lagi ditubuh mereka.

   Sementara laki-laki yang lebih tua lebih senang tinggal di rumah dan menjaga milik masing-masing.

   Bagaimanapun juga, rumah dan harta yang ada dirumah harus mendapat pengawalan seperlunya.

   Agung Sedayu beringsut ketika ia melihat seorang anak muda melangkah mendekatinya.

   Agaknya para penjaga diregol melihat pintu biliknya terbuka, sehingga mereka melihat pula Agung Sedayu yang duduk diserambi.

   "Kau tidak dapat tidur Agung Sedayu?"

   Bertanya anak muda itu sambil duduk disebelahnya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Didalam terlalu panas."

   "Kiai Gringsing turun pula kehalaman,"

   Berkata anak muda itu.

   "agaknya ia pergi ke pakiwan."

   Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya.

   "Ya. Agaknya gurupun tidak dapat tidur seperti aku."

   "Apakah kau sama sekali belum tidur sejak sore? "

   Agung Sedayu tertawa. Jawabnya.

   "Aku baru saja terbangun. Aku tidur sejak sore."

   Anak muda itu ikut tertawa pula. Katanya kemudian.

   "Malam terlalu sepi. Rasa-rasanya mataku tidak lagi dapat ku buka. Meskipun aku sudah berjalan-jalan mengelilingi halaman ini sambil meronda, namun rasa-rasanya kantukku bagaikan mencengkam. Bukan aku sendiri, tetapi semua petugas dimalam hari ini. Anehnya, tidak banyak anak-anak muda yang tidur digardu. Hanya bebera orang. Padahal biasanya lebih dari sepuluh orang."

   "Kalian terlalu lelah. Dalam beberapa hari ini kalian bekerja keras,"

   Sahut Agung Sedayu. Anak muda itu mengangguk. Namun kemudian katanya.

   "Hampir setiap hari aku bekerja keras. Jika tidak terjadi apa-apapun aku tetap bekerja keras disawah. Tetapi aku tidak pernah merasa lelah seperti ini."

   "Sebaiknya kalian bergantian beristirahat,"

   Berkata Agung Sedayu.

   "separo dari kalian yang ada di gardu itu tidur. Kemudian bergantian yang lain."

   Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya.

   "Kami sudah mencoba. Sekarang beberapa orang sedang tidur. Tetapi rasa-rasanya mata ini seperti kena sirep."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya.

   Ia sadar, bahwa ada orang yang mampu melepaskan pengaruhnya sehingga menyebabkan orang lain kehilangan pengamatan diri.

   Beberapa orang menyebutnya sebagai ilmu sirep.

   Dan tidak mustahil bahwa ada orang yang melakukannya di Sangkal Putung.

   Namun Agung Sedayupun mengerti, bahwa jiwa yang kuat dan kesadaran pribadi yang tinggi, tidak akan dapat terkena oleh pengaruh sirep yang bagaimanapun kuatnya.

   "Aku akan berkeliling halaman,"

   Berkata anak muda itu.

   "jika aku lebih lama lagi duduk disini, aku akan tertidur."

   "Kau dapat mencegah kantukmu. Pergilah ke dapur. Mungkin masih ada makanan yang dapat kau makan dengan sambal."

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Anak muda itu tersenyum.

   Tetapi iapun kemudian bangkit berdiri dan berjalan turun kehalaman dengan langkah gontai.

   Meskipun demikian tangannya tidak terlepas dari hulu pedangnya yang tersangkut dilambung.

   Sepeninggal anak muda itu Agung Sedayu mulai merenungi malam yang memang terasa sangat sepi.

   Dikejauhan terdengar burung malam bagaikan memekik ketakutan.

   Angin yang bertiup menyusup pendapa telah bermain dengan api lampu minyak yang berayun-ayun.

   Tiba-tiba saja dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.

   Bahkan iapun mulai bertanya kepada diri sendiri.

   "Apakah benar seseorang telah melontarkan ilmu sirep diatas halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung?"

   Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar desir langkah mendekat. Ternyata gurunya telah muncul disudut longkangan.

   "Malam mulai terasa dingin,"

   Gumam Kiai Gringsing.

   "Ya guru,"

   Jawab Agung Sedayu termangu-mangu.

   "Kau tidak mengantuk?"

   Bertanya gurunya. Agung Sedayu mengerutkan keningnya, ia sedang memikirkan ilmu sirep, sehingga diluar sadarnya ia telah menghubungkan pertanyaan gurunya dengan angan-angannya.

   "Apakah perasaan kantuk malam ini agak berlebih-lebihan guru?"

   Bertanya Agung Sedayu. Gurunya termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia bertanya.

   "Kenapa kau bertanya begitu?"

   Agung Sedayu memandang gurunya sejenak. Dengan ragu-ragu ia berdesis.

   "Apakah ada ilmu sirep yang sangat tajam guru?"

   Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sejenak ia tertegun. Namun kemudian iapun duduk disamping Agung Sedayu sambil menjawab.

   "Ilmu semacam itu banyak dikenal orang, Agung Sedayu. Seperti ilmu yang lain, maka tentu ada tatarannya. Ada yang ringan, tetapi mereka yang berilmu tinggi, maka pengaruh ilmunya juga terasa sangat tajam."

   Agung Sedayu mengangguk-angguk.

   Secara tidak langsung gurunya pernah memberi beberapa petunjuk, sehingga ia akan dapat tetap bertahan dalam kesadaran, betapapun pengaruh ilmu semacam itu mencengkamkan dirinya.

   Apabila dikehendaki.

   Agung Sedayu akan dapat bertahan meskipun perasaan itu datang bukan saja karena kekuatan ilmu seseorang, tetapi datang dari dirinya sendiri.

   Agung Sedayu yang sedang berangan-angan tentang ilmu sirep itu berpaling ketika gurunya bertanya.

   "Apakah kau merasakan sesuatu pada kesadaranmu sekarang ini ? Maksudku, apakah kau menduga bahwa sekarang seseorang telah menyebarkan sirep di Kademangan Sangkal Putung ?"

   Sejenak Agung Sedayu merenung. Namun kemudian jawabnya.

   "Para peronda telah dicengkam oleh perasaan kantuk dan sepi. Mereka biasanya tidak pernah mengeluh dalam tugasnya, tetapi malam ini mereka seolah-olah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Baru saja seorang diantara mereka duduk di amben ini. Kemudian berjalan mengelilingi halaman dan kebun, sekedar untuk mengusir kantuk."

   Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya.

   "Bagaimana dengan kau sendiri ?"

   Agung Sedayu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia menjawab.

   "Guru. Aku masih agak sulit membedakan, apakah kantukku sekarang ini karena ilmu sirep seseorang, atau justru karena aku baru saja terbangun dari tidur yang nyenyak."

   Kiai Gringsing tertawa. Katanya.

   "Baiklah. Kau tidak akan dapat terlepas dari pengaruh perasaan kantuk dari manapun datangnya. Dan kau memang memerlukan waktu untuk mengetahui, apakah perasaan itu datang dari dirimu sendiri atau oleh pengaruh diluar dirimu. Itu bukan perkara yang sulit bagimu. Tetapi kau memang perlu memusatkan inderamu untuk menanggapi sentuhan pada simpul-simpul syarafmu."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya.

   Ia seharusnya mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan dalam keadaan seperti itu.

   Tetapi sudah barang tentu tidak diserambi.

   Dalam pemusatan indera, maka gangguan-gangguan yang kecil akan dapat memecahkan daya pemusatannya.

   Mungkin seorang peronda datang mendekatinya atau menyapanya dari halaman.

   "Cobalah sekarang kau cari sumber perasaan kantukmu itu,"

   Berkata Kiai Gringsing.

   "aku disini. Jika ada orang lain datang mendekat, biarlah aku yang menemuinya."

   Agung Sedayu termangu-mangu. Namun katanya.

   "Aku akan masuk kedalam guru."

   "Lakukanlah. Tetapi jika Glagah Putih Terbangun, maka kau akan gagal. Mudah-mudahan ia akan tetap tidur nyenyak,"

   Berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayu termangu-mangu. Sejenak ia membuat pertimbangan. Namun kemudian katanya.

   "Ia akan tetap tidur nyenyak guru."

   "Jika begitu, masuklah."

   Agung Sedayupun kemudian meninggalkan tempatnya, masuk kedalam biliknya.

   Glagah Putih ternyata masih tetap tidur dengan nyenyaknya.

   Sejenak Agung Sedayu berdiri termangu-mangu.

   Namun iapun kemudian duduk dipembaringan.

   Dengan cermatnya ia mengatur diri dalam penjajagannya, apakah ia telah dikenai pengaruh dari luar dirinya atau yang dirasakannya sekedar karena ia memang sangat letih.

   Untuk menentukan pertimbangan yang jernih, dicobanya untuk menghapuskan segala pengaruh dan pertimbangan yang didengarnya dari anak muda yang sedang bertugas di gardu, dan yang telah datang kepadanya saat ia duduk diserambi gandok.

   Sejenak Agung Sedayu duduk sambil berdiam diri.

   Dengan dasar-dasar yang pernah di pelajarinya dari gurunya, ia menelusuri dirinya dengan rabaan ilmunya.

   Beberapa saat ia duduk berdiam diri.

   Bahkan kadang-kadang terpejam, sementara pernafasannya menjadi teratur seperti orang yang sedang tidur nyenyak.

   Diluar Kiai Gringsing duduk sendiri.

   Disapunya halaman yang gelap itu dengan tatapan matanya yang tajam.

   Tetapi tidak melihat sesuatu.

   Diregolpun ia tidak lagi melihat pengawal yang berjalan hilir mudik.

   Kiai Gringsing itupun menarik nafas dalam-dalam.

   Perlahan-lahan ia bangkit.

   Tetapi ia tidak meninggalkan tempatnya, karena ia tahu bahwa didalam bilik di gandok itu.

   Agung Sedayu sedang memusatkan inderanya untuk mengetahui pengaruh yang ada didalam dirinya.

   Sesaat kemudian Kiai Gringsing berpaling.

   Agung Sedayu sudah berdiri di pintu biliknya.

   "Tutuplah. Dan duduklah disini."

   Agung Sedayu mendorong pintu biliknya dan kemudian duduk disamping Kiai Gringsing di serambi gandok.

   "Apakah yang kau ketemukan pada dirimu?"

   Bertanya Kiai Gringsing.

   "Ada sesuatu yang asing bagiku guru,"

   Jawab Agung Sedayu.

   "Kesimpulanmu ? "

   "Agaknya di Kademangan Sangkal Putung benar-benar telah disebarkan ilmu sirep sekarang ini."

   Kiai Gringsing tersenyum. Namun sebelum ia berkata sesuatu, terdengar pintu bilik disebelah berderit. Ketika Ki Waskita kemudian melangkah keluar, maka iapun tersenyum sambil berkata.

   "Aku mendengar percakapan kalian. Dan aku tahu apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Perasaannya benar-benar tajam. Ia telah menemukan kelainan suasana malam ini."

   Agung Sedayupun menarik nafas dalam-dalam.

   Tetapi ia tidak menjawab.

   Sementara itu Ki Waskita yang kemudian disusul oleh Ki Widura telah duduk diserambi pula bersama Agung Sedayu dan gurunya.

   Sementara itu Agung Sedayu termangu-mangu.

   Betapa kuat kesadaran diri Ki Waskita dan Ki Widura.

   Justru pada saat mereka sedang tertidur, mereka menjadi sadar ketika kekuatan sirep menyentuh simpul-simpul syaraf mereka.

   "Kiai,"

   Berkata Ki Waskita.

   "aku sependapat dengan Agung Sedayu. Agaknya telah disebarkan sirep diatas Kademangan Sangkal Putung."

   "Sirep yang tajam,"

   Sambung Ki Widura.

   "jika Ki Waskita tidak membangunkan aku, mungkin aku masih tetap tertidur nyenyak. Bahkan semakin nyenyak."

   Agung Sedayu mendengarkan pembicaraan itu dengan dada yang berdebar-debar.

   Jika benar ada sirep yang kuat di Kademangan Sangkal Putung, maka tentu ada sumber kekuatan sirep itu.

   Ternyata bahwa bukan saja Agung Sedayu yang cemas.

   Sementara Kiai Gringsing yang semula nampak tenang saja menghadapi sirep itu, mulai nampak bersungguh-sungguh.

   "Sirep ini benar-benar tajam,"

   Desisnya.

   "adalah kebetulan bahwa Agung Sedayu terbangun karena derit pintu yang aku buka. Jika tidak maka iapun kini tentu masih tertidur seperti Swandaru. Jika tidak ada sesuatu yang membangunkannya, maka ia akan tidur semakin nyenyak."

   "Jadi?"

   Bertanya Agung Sedayu.

   "Kita akan membangunkannya. Swandaru, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Demang. Mungkin kita memang harus berjaga-jaga,"

   Desis Kiai Gringsing. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya.

   "Aku akan membangunkan mereka."

   Ketika Agung Sedayu berdiri dan melangkah di longkangan. Gurunya bangkit pula sambil berkata.

   "Dalam jarak selangkah, mungkin saja terjadi sesuatu dalam keadaan seperti ini. Marilah, aku antar kau kepintu butulan."

   Agung Sedayu dan Kiai Gringsingpun kemudian berjalan dengan hati-hati kepintu butulan. Di longkangan dalam ia melihat anak-anak muda tertidur diserambi.

   "Pintu tidak diselarak Kiai,"

   Desis Agung Sedayu.

   "Semua orang telah tertidur. Masuklah, dan bangunkanlah Swandaru dengan hati-hati."

   Agung Sedayu mendorong pintu butulan dan kemudian melangkah masuk.

   Kiai Gringsing yang semula berdiri saja dimuka pintupun kemudian masuk pula keruang dalam.

   Didapur nampak beberapa orang perempuan tidur nyenyak pula.

   Sementara disetiap bilik sama sekali tidak terdengar lagi suara seorang yang masih terbangun.

   Dengan hati-hati Agung Sedayu mengetuk pintu bilik Swandaru yang tertutup.

   Sekali, dua kali, dan kemudian berkali-kali.

   Agaknya Swandaru memang tertidur nyenyak sekali.

   Ternyata indera Pandan Wangi masih lebih tajam dari indera suaminya yang tertidur nyenyak sekali.

   Dengan agak terkejut Pandan Wangi bangkit dan berdesis.

   "Siapa ?"

   "Aku. Agung Sedayu,"

   Jawab Agung Sedayu.

   "bangunlah dan bangunkan suamimu."

   "Kenapa ?"

   "Guru ingin berbicara."

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun membangunkan Swandaru yang tidur seperti sedang pingsan.

   "Ada apa ?"

   Bertanya Swandaru sambil menggosok matanya.

   "Kiai Gringsing ada diluar."

   "He,"

   Swandarupun meloncat dari pembaringannya. Ia sadar, bahwa tentu ada yang penting terjadi. Namun matanya rasa-rasanya masih saja akan terpejam. Bahkan setelah ia berdiri sejenak, rasa-rasanya ia ingin menjatuhkan dirinya kembali dipembaringan.

   "Mataku tidak mau terbuka,"

   Desisnya.

   "Aku juga,"

   Sahut Pandan Wangi.

   "rasa-rasanya seperti sedang mimpi saja."

   Agaknya percakapan itu didengar oleh Agung Sedayu yang diluar. Karena itu maka katanya.

   "Justru karena itu guru memanggil adi Swandaru."

   Swandaru mencoba untuk memaksa dirinya melangkah keluar. Ketika ia berada dipintu, maka dengan segannya ia mendorong daun pintu itu. Kiai Gringsing ternyata telah berdiri didekat pintu itu pula. Dengan suara datar Kiai Gringsing berkata.

   "Swandaru. Cobalah kau lawan perasaan kantukmu. Cobalah melihat, apakah perasaan kantukmu itu wajar."

   "He ?,"

   Swandaru mengerutkan keningnya. Namun peringatan gurunya telah menggerakkan hatinya untuk berbuat sesuatu pada dirinya sendiri, seperti juga Pandan Wangi.

   "Apakah ada sesuatu yang tidak wajar Kiai ?"

   Bertanya Pandan Wangi.

   "Pertahankan kesadaranmu. Kau harus berjuang melawan perasaan kantuk yang bukan saja menyerang kau berdua, tetapi seisi Kademangan Sangkal Putung."

   Swandaru menggeretakkan giginya. Dengan nada geram ia berkata.

   "Maksud guru, seluruh Kademangan telah terkena sirep ?"

   "Ya. Juga kau dan Pandan Wangi."

   Pandan Wangi melangkah mendekat sambil membenahi rambutnya.

   "Jika demikian, apakah Sangkal Putung berada dalam bahaya?"

   "Belum pasti,"

   Jawab Kiai Gringsing.

   "tetapi kita harus berhati-hati. Apakah Sekar Mirah sedang tidur?"

   "Ya Kiai. Nampaknya tidurnya sudah mulai nyenyak. Atau justru karena pengaruh sirep ini juga,"

   Jawab Pandan Wangi.

   "Sebaiknya kau bangunkan juga gadis itu. Tetapi hati-hati, jangan mengejutkannya. Sementara Swandaru sebaiknya membangunkan Ki Demang yang tentu tertidur nyenyak pula."

   Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia melangkah kepembaringannya untuk mengambil senjatanya yang diletakkannya dibawah tikar. Sambil berjalan meninggalkan biliknya menuju kebilik ayahnya ia berkata kepada Pandan Wangi.

   "Berhati-hatilah. Siapa tahu bahaya sudah berada diambang pintu."

   Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun kemudian dipandanginya Agung Sedayu dan Kiai Gringsing dengan tatapan wajah yang penuh keragu-raguan. Kiai Gringsing pun kemudian tersenyum sambil berkata.

   "Baiklah. Aku dan Agung Sedayu akan menunggu dipintu butulan."

   Pandan Wangi menundukkan kepalanya.

   Namun ketika Agung Sedayu dan Kiai Gringsing melangkah keluar, maka iapun segera menutup pintu biliknya.

   Pandan Wangi tidak memerlukan waktu terlalu lama.

   Sebentar kemudian ia sudah membuka pintu biliknya kembali.

   Namun ketika ia melangkah keluar, maka ia sudah mengenakan pakaian khususnya dan pedang dilambung.

   Dengan hati-hati Pandan Wangi memasuki bilik Sekar Mirah yang memang tidak diselarak.

   Di atas tikar yang terbentang dilantai, seorang perempuan tidur dengan nyenyaknya menunggui Sekar Mirah yang kadang-kadang masih gelisah.

   Tetapi Sekar Mirah sudah tidak mau lagi ditunggui oleh Pandan Wangi seperti pada malam-malam ia ditinggalkan oleh gurunya.

   Pandan Wangi tidak mengusik perempuan itu.

   Perempuan itu tentu tidak mempunyai kemampuan apapun juga untuk melawan sirep yang tajam.

   Karena itu, ia tidak menghiraukannya sama sekali.

   Perlahan-lahan Pandan Wangi duduk dipembaringan Sekar Mirah.

   Kemudian disentuhnya ujung ibu jari kakinya dengan sentuhan khusus.

   Sentuhan itu lelah membangunkan Sekar Mirah.

   Tetapi seperti yang lain, maka Sekar Mirah seakan-akan tidak berhasil menguasai perasaannya.

   Matanya seakan-akan sama sekali tidak mau terbuka.

   "Sekar Mirah,"

   Desis Pandan Wangi.

   Sekar Mirah bergeser.

   Tetapi ia masih saja memejamkan matanya.

   Sekali lagi Pandan Wangi menyentuh Sekar Mirah.

   Tidak lagi di ibu jari kakinya, tetapi pada pergelangan tangannya.

   Sekar Mirah membuka matanya.

   Dengan setengah sadar ia melihat Pandan Wangi tersenyum memandanginya.

   "Bangunlah Mirah,"

   Desis Pandan Wangi.

   "O,"

   Sekar Mirah berdesis.

   "apakah sudah pagi ? "

   Pandan Wangi menggeleng. Jawabnya.

   "Masih jauh malam. Tetapi ada sesuatu yang memaksa kita bangun malam ini."

   Jawaban Pandan Wangi menarik perhatian Sekar Mirah.

   Meskipun sambil memaksa diri ia bangkit dan duduk disamping Pandan Wangi.

   Namun ketika tangannya menyentuh hulu pedang Pandan Wangi ia terkejut.

   Setapak ia bergeser sambil mengamati Pandan Wangi dalam pakaian khususnya.

   "Kenapa kau? "

   Sekar Mirah bertanya. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika ia masih melihat Pandan Wangi tersenyum.

   "Sekar Mirah,"

   Berkata Pandan Wangi sareh.

   "cobalah kau mengamati perasaan kantukmu yang tidak wajar. Kita semua telah terbius oleh perasaan kantuk dari kekuatan ilmu sirep."

   "He? "

   Sekali lagi Sekar Mirah terkejut. Namun justru karena hentakkan-hentakkan itulah, maka kantuknya sudah mulai berkurang.

   "Cobalah pertahankan dirimu,"

   Berkata Pandan Wangi kemudian. Sekar Mirah adalah gadis yang memiliki kelebihan dari gadis-gadis kebanyakan. Karena itulah maka iapun kemudian mencoba untuk melawan pengaruh ilmu yang dibaurkan diatas Kademangan Sangkal Putung itu.

   "Mirah,"

   Berkata Pandan Wangi kemudian.

   "bersiap-siaplah. Meskipun barangkali tidak akan terjadi apa-apa di Kademangan ini, namun bahwa seseorang telah menyebarkan ilmu sirep ini, agaknya telah memaksa kita untuk berhati hati."

   Sekar Mirah tidak menjawab. Iapun kemudian berdiri menutup dan menyelarak pintu biliknya. Dengan cepat ia mengenakan pakaian seperti yang dipakai oleh Pandan Wangi.

   "Aku sudah siap,"

   Berkata Sekar Mirah.

   "apakah kita akan keluar kependapa?"

   "Kiai Gringsing dan Agung Sedayu ada dibutulan. Kakang Swandaru telah membangunkan Ki Demang. Mungkin mereka berada diruang dalam sekarang."

   Sekar Mirah mengangguk-angguk. Sambil mengambil senjatanya yang diterimanya dari gurunya ia berkata.

   "Marilah. Biarlah bibi tidur nyenyak di bilik ini sendiri."

   Keduanyapun kemudian keluar dari dalam bilik. Mereka menemui Kiai Gringsing dan Agung Sedayu diruang dalam dimuka pintu butulan bersama Ki Demang dan Swandaru.

   "Apakah yang akan kita lakukan sekarang?"

   Bertanya Ki Demang.

   "Sebaiknya Ki Demang, Pandan Wangi dan Sekar Mirah berada di ruang dalam. Biarlah kami melihat-lihat di halaman,"

   Jawab Kiai Gringsing.

   "Bagaimana dengan Ki Waskita dan Ki Widura?"

   Bertanya Ki Demang.

   "Mereka duduk diserambi gandok. Mereka sudah menyadari bahwa ada pengaruh sirep sekarang ini. Para pengawal nampaknya telah terkena pengaruhnya. Salah seorang telah berusaha melawannya dengan berbagai cara,"

   Sahut Agung Sedayu.

   "tetapi ketika mereka menemui aku, mereka belum tahu. bahwa mereka telah tersentuh pengaruh ilmu sirep."

   Ki Demang mengangguk-angguk. Kemudian jawabnya.

   "Baiklah. Kami akan berada diruang dalam."

   "Sediakan alat isyarat. Mungkin kita memerlukannya. Jika ada satu dua orang yang terlepas dari pengaruh ini, mereka akan mendengar jika isyarat itu kita bunyikan,"

   Berkata Swandaru.

   "Tetapi sirep ini terlalu kuat. Mungkin para pengawal diseluruh Kademangan. setidak-tidaknya seluruh padukuhan induk ini sudah teriidur."

   Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya.

   "Tentu tidak. Betapapun kuatnya pengaruh sirep, tetapi sirep tidak akan dapat mencengkam daerah seluas itu. Seluas padukuhan induk."

   Sekar Mirah memandang Kiai Gringsing dengan bimbang. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa Kiai Gringsing tentu memiliki pengamatan yang lebih jelas dari orang lain. Dalam pada itu Kiai Gringsingpun kemudian berkata.

   "Karena itu, maka jika kau membunyikan kentongan, maka para pengawal di gardu-gardu diujung padukuhan tentu dapat mendengarnya."

   Ki Demang mengangguk-angguk. Dan iapun kemudian menutup pintu butulan ketika Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru keluar menuju ke serambi gandok.

   "Jangan tertidur lagi,"

   Desis Ki Demang.

   "Aku sudah tidak merasa kantuk lagi ayah,"

   Sahut Sekar Mirah.

   "Bagus. Duduklah diruang tengah. Aku akan. melihat-lihat ruang depan."

   "Apakah ayah akan kependapa?"

   Bertanya Sekar Mirah.

   "Tidak. Aku akan tetap berada didalam rumah."

   Sekar Mirah dan Pandan Wangipun kemudian duduk diruang dalam.

   Dengan kekuatan dan ketahanan mereka, kedua perempuan itu melawan perasaan kantuk yang rasa-rasanya masih saja menyentuhnya.

   Untuk melepaskan diri dari ketegangan, maka Pandan Wangipun kemudian berjalan diseputar ruang dalam dan ruang belakang.

   Ia melihat-lihat pintu-pintu yang masih tertutup, apakah selaraknya telah terpasang.

   Ia menyadari,bahwa puitu butulan tentu tidak diselarak saat Agung Sedayu dan Kiai Gringsing memasuki rumah itu dari longkangan, karena biasanya anak-anak muda yang berada di longkangan masih hilir mudik masuk keluar pintu membenahi barang-barang dan alat-alat jamuan.

   Namun agaknya perempuan yang biasanya menutup pintu butulan itu telah tertidur didapur sebelum ia menyelarak pintu butulan itu.

   Ketika terpandang olehnya dakon disudut ruang belakang, maka dakon itu diambilnya dan kemudian dibawanya keruang dalam.

   "Kita cegah kantuk kita dengan dakon,"

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Berkata Pandan Wangi. Sekar Mirahpun mengangguk sambil menjawab.

   "Marilah. Setiap biji kekalahan, kita akan saling mencubit."

   "Ah. jari-jarimu seperti ujung tongkat besi bajamu. Siapa yang kalah sampai tiga kali berturut-turut harus memijit yang menang."

   Sekar Mirah tersenyum.

   Ia tidak menjawab.

   Tetapi iapun segera menempatkan diri.

   Sejenak kemudian kedua perempuan itu telah mulai bermain dakon.

   Nampaknya memang ganjil.

   Keduanya mengenakan pakaian yang khusus dengan senjata masing-masing.

   Namun keduanya masih juga sempat bermain dakon dengan kelungsu.

   Diluar, Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru telah berada di serambi gandok.

   Ki Waskita dan Ki Widura masih duduk ditempatnya, seolah-olah keduanya sama sekali tidak beringsut.

   "Apakah kalian melihat sesuatu?"

   Bertanya Kiai Gringsing. Keduanya menggeleng. Sementara Ki Waskita menjawab.

   "Malam memang terlalu sepi. Sirep ini memang kuat sekali."

   "Aku akan melihat para pengawal di gardu-gardu itu.

   "gumam Swandaru. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada Agung Sedayu.

   "Sertailah adikmu."

   Agung Sedayu mengangguk.

   Dan iapun kemudian mengikuti Swandaru melintasi halaman menuju ke gardu didepan regol.

   Tetapi seperti yang mereka duga, para pengawal telah tertidur nyenyak.

   Seorang diantara mereka bersandar dinding dengan pedang telanjang ditangan.

   Agaknya ialah yang mendapat giliran berjaga-jaga.

   Tetapi matanya tidak mau dibukanya lagi.

   Sementara yang seorang lagi duduk diatas batu bersandar sebatang pohon disebelah gardu itu.

   Ditangannya masih tergenggam tangkai tombak yang tersandar pula pada dinding gardu.

   "Mereka bagaikan mati,"

   Geram Swandaru.

   "Kita akan mencoba membangunkan mereka,"

   Berkata Agung Sedayu.

   "Apakah mungkin? Memang mereka akan dapat terbangun, tetapi sejenak kemudian mereka akan tertidur lagi, karena mereka tidak mampu melawan kekuatan sirep yang keras ini."

   Agung Sedayu termangu-mangu.

   Namun iapun kemudian mendekati pengawal yang duduk diatas batu dan tidur bersandar sebatang pohon.

   Ia adalah anak muda yang telah berusaha untuk melawan perasaan kantuknya.

   Dengan hati-hati Agung Sedayu mencoba mengguncang tubuh anak muda itu.

   Namun hampir saja anak muda itu justru jatuh terjerembab.

   Dan ketika ia berhasil memperbaiki duduknya, maka matanya telah terpejam lagi.

   "Memang sulit,"

   Desis Agung Sedayu.

   "Jika demikian, kita harus berada disisi menggantikan mereka yang sedang meronda. Kita tidak dapat mengharapkan mereka lagi, karena mereka nampaknya tidak berdaya sama sekali."

   Berkata Swandaru. Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia berdesis.

   "Aku akan memberitahukan kepada guru, bahwa aku akan berada disini bersamamu."

   Swandaru mengerutkan keningnya.

   Ia bukan seorang penakut, tetapi ia menyadari, bahwa tentu ada kekuatan yang luar biasa yang berada di padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.

   Sehingga karena itulah maka ia mencemaskan dirinya sendiri dan juga Agung Sedayu Meskipun hanya melintasi halaman Kademangan, tetapi mungkin dapat terjadi sesuatu yang gawat.

   Karena itu, maka katanya.

   "marilah, kita pergi bersama-sama, kita harus berhati-hati menghadapi keadaan seperti ini."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun segera menyadarinya pula. Maka jawabnya.

   "Baiklah. Setiap kemungkinan memang dapat terjadi."

   Demikianlah kedua orang itupun bersama-sama melintasi halaman sekali lagi menuju ke serambi gandok menemui orang-orang tua yang berada diserambi itu.

   "Kami akan menggantikan para peronda,"

   Berkata Swandaru. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya.

   "Tetapi berhati-hatilah. Jangan tercengkam oleh pengaruh sirep yang kuat ini. Jika kalian tertidur pula, maka akan terjadi malapetaka atas kalian berdua."

   Swandaru mengangguk sambil menjawab.

   "Kami akan bertahan."

   Kiai Gringsing mengangguk-angguk.

   Kemudian dilepasnya kedua muridnya itu pergi kegardu untuk menggantikan para peronda yang agaknya tidak segera dapat melakukan lugas mereka.

   Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru tidak berada didalam gardu.

   Mereka berdiri disebelah menyebelah regol halaman bersandar dinding.

   Meskipun belum berada didalam genggaman, namun mereka telah siap mengurai senjata masing-masing.

   Sementara untuk memberikan kesan seolah-olah mereka adalah para peronda, maka ditangan kiri mereka tergenggam tangkai tombak panjang yang dipungutnya dari para peronda yang tertidur.

   Sepeninggal kedua muridnya, maka Kiai Gringsingpun duduk pula bersama Ki Waskita dan Ki Widura.

   Dari serambi gandok mereka dapat melihat sebagian besar dari halaman Kademangan.

   Jika seseorang melintas, maka mereka akan dapat mengetahuinya, sementara orang yang berada dihalaman akan tidak mudah melihat mereka yang ada diserambi jika lampu minyak diserambi itu dipadamkan.

   Agaknya ketiga orang itupun menganggap bahwa lampu minyak tidak mereka perlukan lagi diserambi, sehingga Kiai Gringsingpun telah memadamkannya.

   "Apakah kita akan tetap disini?"

   Bertanya Ki Waskita kemudian.

   "Kita akan melihat-lihat berkeliling,"

   Berkata Ki Widura. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun ia merasa perlu untuk tetap mengawasi halaman dan meskipun tidak begitu jelas, dari tempatnya ia dapat melihat keregol halaman yang diterangi oleh lampu obor yang samar-samar.

   "Silahkan,"

   Berkata Kiai Gringsing.

   "aku akan mengawasi keadaan dari tempat ini."

   Ki Waskita mengangguk-angguk. Kepada Ki Widura ia berkata.

   "Marilah Ki Widura, kita menghirup udara segar dibawah pengaruh sirep ini. Mungkin ada sesuatu yang perlu kita lihat dibelakang."

   Ki Widurapun kemudian berdiri pula ketika Ki Waskita bangkit.

   Keduanyapun kemudian melangkah turun dari serambi, lewat longkangan langsung menuju kehalaman samping.

   Sementara Kiai Gringsing masih tetap duduk ditempatnya, diserambi yang gelap.

   Didalam rumah, diruang tengah Sekar Mirah dan Pandan Wangi masih asyik bermain dakon.

   Berganti-ganti mereka kalah dan menang.

   Demikian asyiknya, sehingga mereka tidak menyadari bahwa waktu merangkak terus, menghunjam kepusat malam yang sepi.

   Sekar Mirah menjadi kesal ketika biji keciknya tertumpah dari genggaman, sehingga tiba-tiba saja ia bertanya.

   "Apakah kita masih akan meneruskan permainan ini?"

   Pandan Wangi tersenyum, jawabnya.

   "Kali ini kau seharusnya kalah mutlak."

   "Belum tentu. Aku masih dapat berjalan beberapa langkah dilubang-lubang dakonmu. Satu pikulan akan membuat aku menutup kekalahanku."

   Pandan Wangi tertawa. Katanya.

   "Tidak mungkin. Kecikku sudah tidak banyak lagi."

   Sekar Mirah memberengut. Jawabnya.

   "Aku mau bermain terus. Tetapi diulang dari awal."

   Pandan Wangi tertawa semakin keras. Katanya.

   "Kau nakal sekali."

   Namun tiba-tiba keduanya bagaikan teringat sesuatu. Sekar Mirah memandang berkeliling sambil berdesis.

   "Dimana ayah?"

   "Ya. Dimana?"

   Bertanya Pandan Wangi. Keduanya termangu-mangu. Namun Sekar Mirah berkata.

   "Ayah mengelilingi setiap bilik dirumah ini."

   "Tetapi sudah cukup lama."

   "Ya. Seharusnya ayah sudah berada disini lagi sekarang. Atau barangkali ayah memang sengaja berada diruang depan, dibelakang pringgitan. sehingga ia dapat mendengar apa yang terjadi di pendapa."

   "Marilah kita lihat,"

   Tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis. Keduanyapun kemudian berdiri. Dengan hati-hati mereka melangkah memasuki ruang dibagian depan. Tetapi mereka tidak menemukan Ki Demang di ruang itu.

   "Apakah ayah keluar menyusul Kiai Gringsing?"

   Bertanya Sekar Mirah.

   "Jika demikian, apakah kita akan mencarinya ke gandok?,"

   Sahut Pandan Wangi.

   "Kita lihat dahulu setiap bilik. Jika ayah keluar, ia tentu mengatakannya kepada kita."

   Keduanya termangu-mangu sejenak.

   Namun merekapun segera melangkah memasuki setiap bilik didalam rumah itu.

   Bilik-bilik yang pintunya terbuka atau tidak diselarak.

   Dibilik Sekar Mirah, perempuan yang tertidur diatas tikar yang terbentang dilantai sejak Sekar Mirah dan Pandan Wangi meninggalkannya.

   Kemudiaan mereka melihat bilik-bilik yang lain.

   Satu demi satu.

   Namun tiba-tiba langkah mereka tertegun ketika mereka memasuki bilik kanan diruang depan.

   Sejenak keduanya terhenti dipintu bilik.

   Mereka melihat Ki Demang terbaring di amben bambu didalam bilik yang jarang dipergunakan itu.

   "Ayah,"

   Desis Sekar Mirah. Pandan Wangi tertegun tegang. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Ki Demang diikuti oleh Sekar Mirah.

   "Kenapa ayah?"

   Bertanya Sekar Mirah dengan suara bergetar.

   "Nampaknya tidak apa-apa,"

   Sahut Pandan Wangi.

   "pernafasannya berjalan teratur."

   Sekar Mirah tiba-tiba saja meloncat mendekat. Dirabanya tangannya yang hangat.

   "Ayah tertidur,"

   Desis Sekar Mirah.

   "ia tidak dapat melawan kekuatan sirep ini."

   Pandan Wangi termangu-mangu. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia menjawab.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya. Ternyata sirep ini benar-benar kuat. Sokurlah jika Ki Demang tidak mengalami sesuatu."

   Sekar Mirah justru tertawa. Diguncangnya ayahnya sambil berkata.

   "Ayah. Apakah ayah sudah tidak dapat mengatasi cengkaman sirep ini, he?"

   Perlahan-lahan Ki Demang membuka matanya. Tetapi setelah menggeliat iapun memejamkan matanya lagi.

   "Ayah, ayah."

   Sekar Mirah mengguncang tubuh ayahnya semakin keras. Sekali lagi Ki Demang membuka matanya.

   "Ayah harus berusaha melawan sirep ini. Mungkin ada sesuatu yang akan terjadi di Kademangan ini."

   Ki Demang mendengar kata-kata anaknya itu. Karena itu, maka iapun kemudian bangkit dan duduk di tepi amben.

   "Ayah tertidur lagi."

   "Ya,"

   Sahut ki Demang.

   "aku tidak berhasil membebaskan diri."

   "Tentu ayah akan berhasil jika ayah memusatkan kekuatan lahir dan batin. Cobalah ayah. Marilah, kita melihat-lihat segenap ruang di rumah ini. Mungkin dengan demikian ayah akan dapat mengatasi sirep yang tajam ini."

   Ki Demang memaksa dirinya untuk bangkit.

   Ia mencoba melawan pengaruh sirep itu dengan sekuat tenaga lahir dan batinnya.

   Dengan mengerahkan segenap tenaganya ia melangkah menuju kepintu.

   Namun kadang-kadang rasa-rasanya matanya bagaikan tidak dapat dikuasainya sama sekali.

   Tetapi lambat laun, Ki Demang berhasil berdiri tegak dan melangkah dengan tetap.

   Ia sudah mampu mengalasi kesulitan yang terbesar dan mengalahkan perasaan kantuknya.

   "Ternyata aku menjadi lengah. Ketika aku melihat bilik-bilik dan semua pintu, tiba-tiba saja aku tidak dapat menahan keinginanku untuk sekedar berbaring. Tetapi ternyata aku menjadi tertidur dan tidak mengerti lagi apa yang terjadi."

   Ia berhenti sejenak, lalu.

   "tetapi bukankah tidak ada sesuatu yang terjadi selama aku tertidur lagi?"

   "Didalam rumah ini tidak ayah. Tetapi entahlah diluar. Namun aku sama sekali tidak mendengar sesuatu, atau isyarat apapun juga. Agaknya diluarpun tidak terjadi sesuatu."

   Ki Demang mengangguk-angguk.

   Iapun kemudian mengikuti kedua perempuan itu mengelilingi setiap ruangan didalam rumahnya dan melihat setiap pintu, apakah sudah diselarak.

   Dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Widura telah berada di halaman belakang.

   Meraka berhenti sejenak disudut kandang.

   Tetapi mereka tidak mengejutkan kuda yang sedang berada didalam kandang itu.

   "Nampaknya memang terlalu sepi,"

   Berkata Ki Widura.

   "Perasaan kita agaknya telah terpengaruh oleh ilmu sirep yang tajam itu Ki Widura. Mungkin biasanya di Belakang rumah Ki Demang ini juga sesepi sekarang,"

   Jawab Ki Waskita.

   Ki Widura tersenyum.

   Dipandanginya lampu minyak di sudut belakang rumah Ki Demang yang besar itu, Nyalanya yang berguncang-guncang ditiup angin bagaikan gelisahnya hati orang-orang, yang masih dapat bertahan dari pengaruh sirep yang tajam di rumah Ki Demang Sangkal Putung itu.

   "Marilah,"

   Berkata Ki Widura kemudian.

   "kita mengelilingi rumah ini."

   Ki Waskita mengangguk. Iapun kemudian melangkah perlahan-lahan disamping Ki Widura. Namun beberapa langkah kemudian, rasa-rasanya keduanya menjadi ragu-ragu untuk melangkah maju. Bahkan kemudian Ki Waskita berbisik.

   "Kita berhenti sejenak Ki Widura. Mungkin lebih baik kita berdiri disebelah anjang-anjang batang suruh yang rimbun itu."

   Ki Widura tidak menyahut.

   Iapun merasakan sesuatu yang kurang wajar.

   Seolah-olah telinganya mendengar sesuatu yang tidak dapat disebutnya.

   Keduanyapun kemudian bergeser kebelakang anjang-anjang pohon suruh yang merambat dengan rimbunnya, sehingga keduanya berdiri diantara anjang-anjang dan dinding belakang rumah Ki Demang.

   "Aku tidak tahu pasti, apakah perasaanku benar Ki Widura,"

   Berkata Ki Waskita.

   "Aku juga merasakan sesuatu. Tetapi aku tidak dapat menduga, apakah karena kesadaran kita bahwa sirep ini tentu telah dilontarkan oleh seseorang atau lebih, sehingga setiap sentuhan pada perasaan kita, kita rasakan seolah-olah seseorang tengah mengintip kita dan siap untuk menyerang,"

   Berkata Ki Widura.

   "Mungkin. Tetapi mungkin pula kita bmiar-benar diintai oleh seseorang atau bahkan dua tiga orang."

   Ki Widura termangu-mangu.

   Sejenak ia membayangkan lingkungan Kademangan Sangkal Putung.

   Di Serambi gandok ada Kiai Gringsing.

   Di regol Swandaru dan Agung Sedayu berjaga jaga, sedang didalam rumah tentu Sekar Mirah dan Pandan Wangipun telah siap menghadapi segala kemungkinan.

   Hampir diluar sadarnya ia menarik nafas sambil berdesis.

   "Kita sudah bersiaga sepenuhnya. Mudah-mudahan kita tidak lengah. Jika benar seseorang atau segerombolan orang bermaksud jahat, maka mereka datang dalam gelar yang berbeda. Mereka tidak menyerang dengan pasukan yang besar, bahkan segelar sepapan. Tetapi mereka tentu hanya beberapa orang pilihan."

   Ki Waskita menganggu-angguk.

   Ia sadar, bahwa peristiwa kematian dua orang bersaudara dari Pesisir Endut tentu tidak begitu saja dapat dilupakan.

   Meskipun yang melakukan adalah Pangeran Benawa.

   namun dendam sanak kadangnya akan dapat tertuju kepada orang-orang Sangkal Putung.

   Dengan ragu-ragu Ki Waskitapun menyahut Ki Widura.

   "Nampaknya kali ini kita berhadapan dengan sebuah perguruan yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka datang ke Sangkal Putung dengan caranya sendiri."

   "Justru karena itu kita harus berhati-hati,"

   Sahut Ki Widura.

   Keduanya terdiam sejenak.

   Mereka mencoba untuk mengetahui keadan di halaman belakang rumah Ki Demang Sangkal Putung.

   Namun terasa kesepian masih saja mencengkam.

   Tetapi kedua orang itu tidak segera pergi dari balik lindungan anjang-anjang batang suruh yang rimbun.

   Untuk beberapa saat mereka masih saja menunggu.

   Bahkan keduanyapun kemudian duduk di bebatur batu.

   Di regol depan Agung Sedayu dan Swandaru merasakan sentuhan-sentuhan perasaan yang sama.

   Bahkan Agung Sedayu mulai dibayangi lagi oleh kecemasan, bahwa ia akan menjadi sumber dari kegelisahan yang dapat terjadi di Sangkal Putung.

   Meskipun demikian ia masih tetap manahan diri.

   Ia menunggu perkembangan-keadaan lebih lanjut.

   Swandaru yang gelisah, semakin lama menjadi semakin tegang.

   Bahkan kemudian ia mendekati Agung Sedayu sambil berbisik.

   "Kita tidak dapat menunggu dalam kegelisahan. Kita harus berbuat sesuatu."

   "Apa yang dapat kita lakukan?"

   Bertanya Agung Sedayu.

   "Kita mencari mereka yang menyebarkan sirep ini. Jika kita menemukan sumbernya, maka kita akan dapat menghentikan ilmu terkutuk yang licik ini,"

   Sahut Swandaru. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya lagi.

   "Kemana kita mencarinya? Akupun mengerti, bahwa mereka yang menyebarkan sirep ini tentu berada ditempat yang tidak jauh. Namun apakah kepergian kita tidak merupakan kesempatan bagi mereka untuk memasuki halaman rumah ini, karena kita tidak tahu berapakah jumlah mereka."

   Swandaru termangu-mangu.

   Betapapun kemarahan telah mencengkam jantungnya, namun ia tidak dapat meninggalkan rumahnya.

   Ia mengerti kecemasan seperti yang dirasakan oleh Agung Sedayu.

   Meskipun dirumah itu masih ada beberapa orang yang dapat dipercaya, tetapi jumlah orang yang belum nampak itu masih belum diketahui."

   Namun dalam pada itu, getar naluriah pada kedua anak muda itu telah membuat mereka semakin berhati-hati.

   Diluar sadar keduanya bergeser mendekati gardu dan bahkan kemudian keduanya berada didepan gardu yang sepi, karena para pengawal masih tetap tertidur nyenyak.

   "Ada sesuatu yang harus kita perhatikan lebih dari sirep ini sendiri,"

   Desis Agung Sedayu.

   Swandaru tidak menjawab.

   Tetapi ia mengangguk kecil.

   Dalam saat-saat yang tegang itu, Kiai Gringsing masih tetap duduk di tempatnya.

   Ia memperhatikan halaman yang remang-remang di gelapnya malam.

   Cahaya lampu di pendapa dan diregol menggapai dengan lemahnya dedaunan yang berada dihalaman.

   Namun tiba-tiba orang tua itu mengerutkan keningnya.

   Perlahan-lahan ia berdiri.

   Didalam keremangan malam ia melihat bayangan yang bergerak diatas dinding halaman.

   "Hm,"

   Desis Kiai Gringsing.

   "akhirnya mereka datang."

   Namun Kiai Gringsing masih tetap ditempatnya.

   Ia masih menunggu perkembangan seterusnya, karena ia, yakin bahwa orang yang datang itu tentu tidak hanya sendiri.

   Diluar sadarnya ia memandang keregol halaman.

   Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru tidak dilihatnya lagi.

   karena keduanya telah berada digardu, sementara Ki Waskita dan Ki Widura berada dibelakang rumah.

   Seperti yang diduga oleh Kiai Gringsing.

   maka bayangan diatas dinding halaman itupun telah bertambah lagi.

   "Tiga orang. Tentu masih ada yang lain,"

   Berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.

   Namun selagi ia termangu-mangu.

   maka ia melihat ketiga orang diatas dinding itu telah meloncat kehalaman.

   Sejenak mereka berdiri termangu-mangu Namun kemudian salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berkata dengan suara lantang.

   "He orang-orang Sangkal Putung. Aku tahu bahwa ada beberapa orang diantara kalian yang ternyata berhasil lolos dari cengkaman sirepku yang tajam. Tentu kalian adalah orang-orang yang luar biasa. Namun demikian, kalian tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku."

   Suara itu bagaikan bergema melingkar-lingkar diatas rumah Ki Demang Sangkal Putung yang sepi.

   Kiai Gringsing masih berdiri ditempatnya.

   Ia tidak segera turun kehalaman.

   Sejenak ia masih harus menilai keadaan.

   Yang tidak sabar adalah Swandaru.

   Iapun mendengar suara itu.

   karena itu.

   dengan sekali loncat ia sudah berdiri diregol halaman rumahnya.

   "Siapa kau ? "

   Terdengar suara Swandaru tidak kalah lantangnya. Orang yang berdiri dihalaman itu berpaling. Mereka melihat Swandaru berdiri bertolak pinggang diregol halaman, yang kemudian diikuti Agung Sedayu yang dengan gelisah berdiri disebelahnya.

   "Kau salah seorang yang lepas dari pengaruh sirep. Siapa kau he? "

   Orang itu justru bertanya. Swandaru sudah mulai tersinggung. Dengan keras ia menjawab.

   "Aku yang bertanya. Bukan Kau."

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Orang yang berdiri dihalaman itu termangu-mangu.

   Namun kemudian terdengar suara tertawanya berkepanjangan Kau jangan sombong anak muda yang gemuk.

   Kau jangan menganggap aku seperti anak-anak muda di Kademangan.

   Meskipun kau lolos dari sirepku tetapi lebih baik kau bersikap lain dari sikap sombongmu, itu."

   Swandaru menjadi semakin tegang. Dengan geram ia menjawab.

   "Jangan pedulikan apakah aku bersikap sombong atau tidak. Tetapi jawab pertanyaanku. Siapa kalian bertiga."

   Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun sekali lagi terdengar suara tertawa mereka meledak.

   "Anak itu memang luar biasa,"

   Desis salah seorang dari mereka.

   "Ia berhasil lolos dari ilmu sirepku. Tetapi sayang, ia terlalu bodoh untuk menilai dirinya."

   "Ia memang perlu dikasihani,"

   Sahut yang lain.

   "aku senang kepada anak muda itu. Karena itu aku manfaatkan kesombongannya."

   "Gila,"

   Swandaru berteriak.

   "kalian telah menghina aku."

   Swandaru benar-benar telah kehilangan kesabaran. Tetapi sebelum ia melangkah maju. Agung Sedayu telah mendahuluinya sambil berkata.

   "Selamat datang Ki Sanak. Apakah kalian juga senang melihat aku."

   Kata-kata Agung Sedayu justru mengejutkan ketiga orang itu.

   Nadanya yang dalam seolah-olah telah melontarkan getaran kebesaran dirinya.

   Meskipun Agung Sedayu tidak membentak-bentak seperti Swandaru, namun ketiga orang itu menganggap, bahwa Agung Sedayu justru lebih berbahaya dari Swandaru.

   Karena itu.

   salah seorang dari ketiga orang itu menjawab dengan nada yang dalam pula.

   "He anak muda. Kalian berdua benar-benar mengherankan. Agaknya kalian memang orang-orang yang telah ditempa oleh ilmu yang dahsyat. Di Sangkal Putung ada seorang anak muda yang telah menggemparkan kalangan orang-orang berilmu. Apakah ia berilmu kanuragan maupun kajiwan. Anak muda itu telah melakukan pembunuhan tanpa berperikemanusiaan. Sejak sebelum peristiwa di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Kemudian pada peristiwa itu sendiri. Disusul dengan pembunuhan yang benar-benar mengerikan di Mataram, karena korbannya telah dicincangnya sampai lumat. Tetapi justru yang terakhir, di Sangkal Putung, yang melakukan adalah orang lain. Pangeran Benawa."

   Ia berhenti sejenak, lalu.

   "namun bagaimanapun juga, sumber dari segala bencana bagi perguruanku adalah anak muda yang bernama Agung Sedayu. He apakah salah seorang dari kalian berdua bernama Agung Sedayu ?"

   Dada Agung Sedayu terasa menjadi sesak.

   Peristiwa demi peristiwa telah terjadi.

   Dan nampaknya semuanya telah berkisar pada dirinya.

   Seakan-akan ia telah terperosok pada sebuah lingkaran.

   Kemana pun ia berjalan, ia tidak akan menemukan ujung atau pangkal dari peristiwa-peristiwa yang susul menyusul.

   Namun dalam pada itu, ternyata keributan yang terjadi dihalaman dengan kata-kata yang diucapkan keras-keras bahkan dengan teriakan-teriakan yang lantang itu telah terdengar dari dalam dan belakang rumah Ki Demang Sangkal Putung.

   Karena itulah maka Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun dengan tergesa-gesa telah pergi keruang depan.

   Namun mereka masih belum membuka pintu yang memisahkan ruangan itu dengan pringgitan dan pendapa.

   Mereka masih berdiridi balik pintu yang tertutup, meskipun mereka berusaha untuk mendengar setiap perkataan yang terlontar dari pihak yang manapun juga.

   "Mereka mencari Kakang Agung Sedayu,"

   Desis Sekar Mirah. Pandan Wangi mengangguk. Katanya.

   "Dimanapun Agung Sedayu selalu dicari."

   "Itu adalah justru akibat dari keragu-raguannya. Jika ia berbuat dengan tegang tanpa seribu pertimbangan, maka ia justru akan terlepas dari lingkaran yang membelenggunya."

   Pandan Wangi mengerutkan keningnya.

   Ia tidak begitu mengerti pendapat, Sekar Mirah, karena jika Agung Sedayu berbuat lebih banyak dengan menjatuhkan korban berlipat, maka dendam yang tertuju kepadanyapun akan berlipat.

   Tetapi Pandan Wangi tidak mengatakannya.

   Sementara itu, Ki Waskita dan Ki Widura nampaknya telah mengambil sikap tersendiri.

   Dengan hati-hati mereka bergeser kesudut bagian depan rumah.

   Dari kegelapan mereka melihat yang terjadi dihalaman.

   Namun mereka tidak melihat Kiai Gringsing turun dan berbuat sesuatu.

   "Kita keluar halaman,"

   Desis Ki Waskita.

   Ki Widura tidak menyahut.

   Tetapi ia mengerti maksud Ki Waskita.

   Mereka tidak akan langsung berhadapan dengan orang-orang yang ada dihalaman, tetapi mereka ingin melihat, apakah ketiga orang itu tidak membawa pasukan yang membahayakan.

   "Jika mereka membawa pasukan yang menyusup masuk padukuhan induk, maka kita harus segera membunyikan isyarat. Betapapun kuat ilmu sirep, namun dalam pemusatan kekuatan dan kemampuan dipertempuran, maka kekuatan itu akan dapat dengan sendirinya diawasi. Apalagi seandainya pengaruhnya begitu kuat, maka pihak lawanpun akan terpengaruh juga oleh kekuatan itu,"

   Berkata Ki Waskita.

   Ki Widura tidak menjawab.

   Tetapi mereka dengan sangat hati-hati beringsut dari tempatnya.

   Dalam bayangan rimbunnya dedaunan, maka merekapun meloncati dinding halaman samping, justru keluar halaman.

   Dengan sangat hati-hati keduanya menyusuri gelapnya malam.

   Dengan ketajaman indera, keduanya mencoba untuk mengetahui, apakah ada orang lain yang mengepung Kademangan.

   "Nampaknya tidak ada,"

   Desis Ki Widura.

   "Tidak ada pasukan. Tetapi mungkin satu dua orang,"

   Sahut Ki Waskita.

   "Jika ada, mereka tentu mendekati halaman depan atau bahkan pintu gerbang. Jika Swandaru dan Agung Sedayu lengah, mungkin mereka dapat; di sergap dari belakang, dari luar regol halaman."

   Desis Ki Widura.

   Keduanyapun bergeser lagi.

   Mereka mencoba mendekati regol halaman, karena mereka mencemaskan Swandaru dan ^gung Sedayu yang perhatiannya tertumpah kepada ketiga orang yang berdiri dihalaman rumah Ki Demang Sangkal Putung.

   Dengan hati-hati mereka merayap diantara semak-semak dikebun tetangga.

   Satu dua langkah mereka bergeser maju.

   Ki Waskitapun kemudian menggamit Ki Widura ketika mereka menjenguk halaman rumah disebelah rumah Ki Demang.

   Dalam keremangan malam dan cahaya obor dikejauhan mereka melihat didalam regol rumah dua orang yang sedang menunggu Ki Widura menarik nafas dalam-dalam.

   Nampaknya kedua orang itu sedang mengikuti peristiwa yang terjadi di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung dengan saksama, sehingga dengan demikian maka keduanya tidak mengetahui kehadiran Ki Waskita dan Ki Widura yang menjadi semakin dekat.

   Ki Waskita dan Ki Widura bergeser semakin dekat disepanjang dinding penyekat halaman dirumah sebelah itu.

   Dinding yang membatasi longkangan dan halaman dibelakang gandok dengan halaman depan, sehingga dengan demikian mereka dapat mencapai jarak yang lebih dekat.

   Dari balik dinding itu Ki Waskita mendengar salah seorang dari kedua orang itu berkata.

   "Nah, dengarlah pengakuan anak muda itu."

   Ki Waskita dan Ki Widura mengerutkan keningnya. Dan merekapun mencoba mendengarkan apa yang sedang diucapkan oleh seseorang di halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung.

   "Ki Sanak. Aku kira pandanganmu terhadap sikap anak muda yang kau sebut bernama Agung Sedayu itu tidak tepat. Agung Sedayu sama sekali tidak berniat untuk membunuh siapapun juga. Tetapi jika itu terjadi, apalagi dipeperangan, maka itu adalah diluar kuasanya, karena betapapun juga ia lebih menghargai hidupnya sendiri seperti yang dilakukan oleh setiap orang. Kalau didalam sikap mempertahankan diri ia harus membunuh, maka hal itu juga merupakan beban yang memberati perasaannya."

   "Omong kosong. Sebutkan. Siapa Agung Sedayu. Apakah kau atau siapa? "

   Terdengar seseorang bertanya.

   "Akulah Agung Sedayu."

   Terdengar suara tertawa bagaikan membelah langit.

   Nampaknya orang itu sama sekali tidak menghiraukan apakah ada orang yang dapat mendengar suaranya atau tidak.

   Namun mungkin pula ia menganggap bahwa orang-orang di Sangkal Putung telah tertidur nyenyak, sehingga tidak akan ada seorangpun yang dapat mendengar suara tertawanya.

   

   first share di Kolektor E-Book 30-08-2019 15:37:02
oleh Saiful Bahri Situbondo


Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Setia Karya Gan KL Pendekar Kembar Karya Gan KL

Cari Blog Ini