Ceritasilat Novel Online

Api Dibukit Menoreh 20


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 20


Api di Bukit Menoreh (05) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 30-08-2019 15:37:02 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (05) Karya dari SH Mintardja

   

   Dalam pada itu, kedua orang di halaman rumah sebelah itupun menjadi tegang.

   Salah seorang dari mereka berkata.

   "Aku sebenarnya tidak sependapat dengan cara yang diambilnya."

   Yang lain menjawab.

   "Ia terlalu yakin akan dirinya. Tetapi akupun yakin pula. Seandainya kedua bersaudara dari Pesisir Endut itu tidak sedang bernasib malang, sehingga mereka bertemu dengan Pangeran Benawa, maka keduanya agaknya akan berhasil membunuh Agung Sedayu dengan bantuan seorang saudara seperguruannya. Sedangkan orang itu merasa dirinya memiliki kemampuan lebih besar dari tiga orang yang sudah bersiap-siap membunuh Agung Sedayu itu."

   Sejenak keduanya terdiam.

   Namun dengan demikian Ki Waskita dan Ki Widura dapat menjajagi apa yang sebenarnya sedang terjadi atas Agung Sedayu di halaman rumah Ki Demang.

   Dengan demikian, maka Ki Waskita tidak menunggu lebih lama lagi.

   Jika akan terjadi sesuatu, biarlah segera terjadi.

   Sambil menggamit Ki Widura.

   maka iapun segera berdiri tegak.

   Sambil terbatuk-batuk kecil iapun kemudian dengan sengaja menampakkan dirinya kepada kedua orang yang sedang memperhatikan peristiwa dihalaman rumah Ki Demang itu.

   Ternyata sikap Ki Waskita telah mengejutkan kedua orang itu.

   Dengan serta merta keduanya berbalik dan bersikap meghadapi segala kemungkinan.

   Ki Waskita tersenyum.

   Katanya.

   "Maaf jika aku telah mengejutkan kalian."

   "Siapa kau?"

   Bertanya salah seorang dari keduanya. Ki Waskitapun kemudian meloncati dinding penyekat diikuti oleh Ki Widura. Dengan suara dalam Ki Waskita menjawab.

   "Marilah, Kami mempersilahkan kalian masuk kehalaman. Agaknya lebih baik jika kita berkumpul bersama kawan-kawanmu. Atau mungkin masih ada kawanmu yang lain di sekitar Kademangan ini?"

   Kata-kata Ki Waskita telah mendebarkan jantung kedua orang itu. Salah seorang dari mereka bertanya.

   "Siapa kau?"

   "Aku pengawal Kademangan ini. Aku sedang meronda ketika aku melihat kalian. Dan ternyata ada tiga orang kawan kalian dihalaman itu?"

   Jawab Ki Waskita semakin membuat kedua orang itu tegang. Ternyata masih ada orang lain yang tidak dikuasai oleh ilmu sirep yang tajam itu.

   "Menapa kau menjadi bingung?"

   Bertanya Ki Waskita.

   "bukankah disetiap Kademangan ada beberapa orang pengawal yang meronda?"

   Kedua orang itu tidak dapat menahan dirinya lagi. Salah seorang dari keduanya bertanya.

   "Kalian berdua dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep ini?"

   "Ya,"

   Jawab Ki Widura.

   "beberapa orang kawanku telah tertidur nyenyak. Tetapi kami berdualah yang memang mendapat giliran saat ini, selain Agung Sedayu dan Swandaru dihalaman itu."

   Kedua orang itu menjadi semakin tegang, sementara Ki Widura meneruskan kata-katanya.

   "Marilah. Lebih baik kita berkumpul. Dengan demikian kita akan dapat memecahkan persoalan kita dengan baik."

   "Persetan,"

   Geram salah seorang dari kedua orang itu.

   "mungkin kau mempunyai ilmu yang dapat bertahan atas kekuatan sirep. Tetapi pengawal Kademangan yang betapapun tinggi kemampuannya, namun ia tidak akan dapat berbuat banyak."

   "Mungkin, tetapi kami hanya mempersilahkan kalian memasuki halaman. Lihatlah, perhatian mereka yang berada dihalaman rumah Ki Demang kini telah tertuju kepada kita. Pembicaraan mereka justru terhenti."

   Kedua orang itu termangu-mangu sejenak.

   Ketika mereka melihat kehalaman rumah Ki Demang, seperti yang dikatakan oleh kedua orang yang mengaku sebagai pengawal Kademangan itu, bahwa orang-orang yang berada di halaman justru sedang memperhatikan mereka.

   "Baiklah,"

   Kata Ki Widura kemudian.

   "lebih baik kita memasuki halaman dan berbicara diantara kita semuanya."

   Nampaknya memang tidak ada pilihan lain. Karena itu, maka salah seorang dari kedua orang itu berkata.

   "Kita akan memasuki halaman itu. Tetapi itu karena kami memang berniat untuk mendekati kawan-kawan kami, bukan karena kami mematuhi perintah kalian berdua."

   "Silahkan "

   Ki Waskitalah yang menyahut.

   "apapun yang memaksa kalian memasuki halaman.Jiamun itu akan lebih baik bagi kita semuanya. Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian merekapun segera meloncati dinding halaman rumah Ki Demang dan melangkah mendekati kawan-kawan mereka.

   "Setan itu juga lepas dari pengaruh sirep,"

   Berkata salah seorang dari keduanya.

   "Siapakah mereka,"

   Bertanya orang yang sedang berbicara dengan Agung Sedayu.

   "Mereka mengaku sebagai pengawal padukuhan ini."

   Orang-orang yang berada di halaman itu memperhatikan Ki Waskita dan Ki Widura yang menyusul melompati dinding halaman itu pula.

   "Bohong,"

   Desis orang yang berbicara dengan Agung Sedayu.

   "biasanya pengawal-pengawal Kademangan masih muda."

   "Ya,"

   Sahut Ki Waskita.

   "tetapi tentu ada diantara mereka yang setua kami. Kami adalah orang-orang yang memberikan pengarahan kepada mereka, membantu Ki Jagabaya."

   Orang yang nampaknya memimpin kawan-kawannya dan yang paling berkepentingan dengan Agung Sedayu itupun berkata.

   "Baiklah. Marilah kita berkumpul. Jika masih ada orang yang tidak dapat dikenai oleh pengaruh sirep ini. panggillah mereka, agar mereka melihat apa yang sebenarnya ingin aku lakukan disini."

   Ki Waskita termangu-mangu. Orang itu nampaknya memiliki keyakinan akan dirinya sendiri. Dengan suara yang datar Ki Waskita bertanya.

   "Siapakah sebenarnya kalian? Dan kenapa kalian mencari Agung Sedayu di halaman Kademangan Sangkal Putung ini?"

   Orang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya.

   "Baiklah aku tidak bersembunyi dibalik nama siapapun juga. Aku adalah saudara tua dari dua orang bersaudara yang terbunuh di Kademangan ini."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia berkata.

   "Aku sudah menduga bahwa kau mempunyai hubungan dengan dua bersaudara dari Pesisir Endut itu. Tetapi apakah kau mengetahui, siapakah yang telah membunuh saudaramu itu?"

   "Aku tahu pasti. Yang membunuh mereka adalah Pangeran Benawa. Tetapi itu adalah kebetulan. Kedatangan kedua adikku kemari adalah karena Agung Sedayu."

   Agung Sedayu justru terdiam.

   Ada sesuatu yang bergejolak didalam hatinya.

   Ia merasa betapa pahitnya menghadapi keadaan yang sama sekali tidak dikehendakinya itu.

   Didalam rumah.

   Sekar Mirah dan Pandan Wangi dapat mendengarkan pembicaraan itu.

   Hampir saja Sekar Mirah tidak dapat menahan diri.

   Ia menjadi marah justru karena Agung Sedayulah yang menjadi sasaran dendam orang itu.

   Namun Pandan Wangi sempat menggamitnya dan memberikan isyarat agar ia menunggu perkembangan seterusnya.

   "Aku belum mendengar suara Kiai Gringsing,"

   Bisik Sekar Mirah.

   "Ya. Karena itu, kita menunggu perkembangan keadaan,"

   Sahut Pandan wangi. Sekar Mirah terpaksa menahan dirinya, betapa dadanya serasa menjadi retak. Dalam pada itu, dihalaman terdengar Ki Waskita bertanya.

   "Ki Sanak. Apakah untungnya kau datang untuk menuntut balas justru kepada Agung Sedayu. Kenapa kau tidak bertanya tentang adikmu yang terbunuh oleh Pangeran Benawa itu. kenapa mereka telah datang kemari karena Agung Sedayu."

   "Itu bukan persoalanku. Tetapi adikku mempunyai persoalan yang belum terselesaikan dengan Agung Sedayu. Kemudian baru aku akan membuat perhitungan dengan Pangeran Benawa. ialah yang langsung membunuh kedua adikku dengan tangannya. Tetapi mencari Pangeran Benawa agaknya lebih sulit daripada mencarimu disini. Karena itu, kau adalah orang yang pertama-tama harus menerima dendam yang membakar jantung ini."

   Agung Sedayu menjadi semakin gelisah. Sementara itu Ki Widura bertanya.

   "Jadi. apakah maksudmu datang kemari dengan menyebarkan ilmu sirep itu untuk dengan diam-diam membunuh Agung Sedayu yang kau sangka terkena pengaruh sirepmu?"

   "Gila. Aku bukan pengecut. Jika aku menyebarkan pengaruh sirep, semata-mata karena aku tidak ingin diganggu. Aku ingin bertemu langsung dengan Agung Sedayu dan membuat perhitungan secara jantan. Aku bukan orang yang datang untuk kepentingan orang lain. Tetapi semata-mata karena dendam dihati."

   "Bagus,"

   Ki Waskita mengangguk-angguk.

   "tetapi nampaknya kau mempunyai kelainan dengan kedua adikmu. Apakah kau tahu, kenapa adikmu datang dan akan membunuh Agung Sedayu? Seharusnya kau menelusuri sikap kedua adikmu dari Pesisir Endut itu."

   "Persetan, aku tidak peduli. Sekarang, marilah Agung Sedayu. Kita selesaikan persoalan kita. Aku tidak akan menyentuh orang lain disini. Juga seandainya Agung Sedayu sudah mati. Karena sesudah Agung Sedayu, persoalanku akan menyangkut Pangeran Benawa."

   "Jadi kau benar-benar akan membela adikmu? Baiklah,"

   Berkata Ki Waskita.

   "tetapi sebaiknya kau mendengar dahulu dari salah seorang dari kedua orang yang berada di halaman sebelah, kenapa kedua kakak beradik dari Pesisir Endut itu datang kemari?"

   Orang yang sedang dicengkam oleh dendam itu menggeram. Dengan kasar ia berkata.

   "Aku tahu apa yang akan mereka katakan. Aku memang datang bersama mereka."

   "Tetapi mereka tentu belum mengatakan, bahwa kedua adikmu itu datang untuk membunuh Agung Sedayu bukan karena persoalan pokok diantara kedua adikmu dengan Agung Sedayu. Kedua adikmu itu tentu sudah dibujuk dengan harapan apapun juga. Mungkin upah yang besar, mungkin pangkat atau kedudukan, dan mungkin janji-janji lain yang membuat kedua adikmu itu menjadi lupa diri dan bersedia melakukan perbuatan yang rendah itu,"

   Berkata Ki Waskita. Tetapi jawaban orang itu mengejutkan Ki Waskita. Katanya.

   "Aku sudah tahu. Adikku akan mendapat upah sebidang tanah yang luas untuk sebuah tanah perdikan didalam kekuasaan Majapahit yang baru. Juga akan mendapat upah beberapa keping emas sebagai modal pemerintahannya di Tanah Perdikannya."

   Sejenak Ki Waskita termangu-mangu. Namun kemudian Ki Widuralah yang bertanya.

   "Dan apakah upah yang akan kau terima jika kau berhasil mengambil alih tugas adik-adikmu yang terbunuh oleh Pengeran Benawa itu?"

   "Persetan. Aku tidak memerlukan upah apapun juga, selain kepuasan. Aku tidak mempunyai sangkut paut dengan perjanjian itu,"

   Geram orang yang dibakar oleh dendam.

   "Aneh,"

   Desis Ki Waskita kemudian.

   "seandainya benar kau tidak mempunyai pamrih, maka kau adalah seorang kakak yang buruk. Kau tidak mencegah tindakan adik-adikmu yang sesat. Tetapi justru kau sekarang telah ditelan oleh dendam dan kebencian yang sebenarnya tidak perlu kau sadap dari kerendahan budi kedua adikmu itu."

   "Cukup. Aku tidak datang untuk berguru. Aku tantang Agung Sedayu untuk berperang tanding. Aku tidak akan berlaku seperti adik-adikku yang mengotori nama perguruan karena tingkahnya yang licik yang justru telah menyeretnya kekematian."

   Agung Sedayu yang termangu-mangu itupun kemudian melangkah maju. Dengan suara yang dalam ia bertanya.

   "Tetapi kau belum menjawab. Siapakah kau? Kami baru mengenal kau sebagai kakak dua bersaudara dari Pesisir Endut. Tetapi kami ingin juga mendengar namamu kau sebut. Kemudian kawan-kawanmu yang lain. Bahkan mungkin masih ada kawan-kawanmu yang berada diluar dinding halaman ini."

   "Yang penting adalah aku dan kau. Agung Sedayu,"

   Berkata orang itu.

   "ada atau tidak ada orang lain, perang tanding ini akan berlangsung. Jika aku datang bersama beberapa orang, mereka adalah sekedar saksi. Aku atau kau yang akan mati kali ini. Jika kau yang mati, maka tugasku seterusnya adalah membunuh Pangeran Benawa."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   Agaknya orang itu tidak dapat diajak berunding lagi.

   Matanya telah benar-benar tertutup oleh dendam dan kebencian, sehingga hatinya tidak dapat lagi berpikir bening.

   Swandaru yang melihat Agung Sedayu mulai dicengkam oleh kecemasan dan keragu-raguan tidak telaten lagi.

   Dengan lantang ia berkata.

   "Kenapa kau memilih kakang Agung Sedayu. Aku adalah anak Demang Sangkal Putung. Jika kau merasa kehilangan adikmu di Sangkal Putung, maka aku adalah orang yang paling bertanggung jawab."

   Orang itu mengerutkan keningnya. Sementara Swandaru melangkah maju.

   "Aku tantang kau perang tanding."

   Semua orang memandang kearah Swandaru.

   Ki Waskita dan Ki Widura menjadi tegang Meskipun Swandaru adalah seorang anak muda yang memiliki kekuatan raksasa dan kecepatan bergerak didalam olah kanuragan, tetapi Swandaru tidak memiliki kedalaman ilmu seperti Agung Sedayu.

   Betapapun kuatnya tenaga Swandaru, namun dalam pengerahan segenap kemampuan lahir dan batin, pelepasan tenaga cadangan dan hubungan antara alam kecil dalam pribadinya dengan alam besar diseputarnya tidaklah setingkat dengan Agung Sedayu yang diam dan selalu diselubungi oleh kebimbangan itu.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Apalagi Ki Waskita dan Ki Widura melihat bahwa orang yang menantang Agung Sedayu itu memiliki bukan saja kekuatan jasmaniah, tetapi juga kemampuan yang dalam.

   Sejenak orang-orang itu dicengkam oleh ketegangan.

   Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing yang berada di serambi gandok dan memperhatikan peristiwa di halaman itu dari kejauhan menjadi cemas pula.

   Seperti Ki Waskita dan Ki Widura, ia melihat, bahwa masih ada kekurangan bekal didalam diri Swandaru.

   Jika tantangannya diterima sebelum orang itu bertemu lawan Agung Sedayu, maka akibatnya akan parah bagi Swandaru.

   Usaha untuk menolongnya jika ia mulai terdesak, akan menimbulkan kesan yang lain pada anak muda itu, sementara pada diri Swandarupun akan tumbuh perasaan rendah diri.

   Selebihnya tentu akan timbul pertempuran yang lebih besar, karena kedua pihak akan melibatkan semua orang yang ada pada mereka.

   Tetapi sementara itu.

   untuk melepaskan Agung Sedayu bertempur pun rasa-rasanya masih juga ragu-ragu.

   Ia tidak tahu, sampai dimana kemampuan orang yang menyebut dirinya kakak dari kedua bersaudara dari Pesi sir Endut itu.

   "Namun bahwa Pangeran Benawa mampu membunuh kedua adiknya, maka kemampuan orang itu tentu masih belum bertaut terlalu banyak dengan Pangeran Benawa sendiri,"

   Berkata Kiai Gringsing didalam dirinya. Namun kemudian.

   "tetapi nampaknya orang itu begitu yakin akan membunuh juga Pangeran Benawa."

   Sejenak Kiai Gringsing termenung.

   Ia masih belum tahu pasti, betapa tinggi ilmu Pangeran Benawa seperti ia juga tahu kemampuan orang yang menantang Agung Sedayu itu.

   Tetapi bagi Kiai Gringsing, Agung Sedayu memiliki kelebihan dari Swandaru dalam kedalaman ilmunya, meskipun barangkali setingkat dalam pelepasan kekuataan lahiriah.

   Akhirnya Kai Gringsing mempunyai ketetapan hati, bahwa Agung Sedayulah yang akan melawan orang itu, sehingga dengan demikian maka akan segera turun kehalaman sambil berkata lantang.

   "Agung Sedayu. Sebagai seorang laki-laki terimalah tantangannya.

   "Semua orang berpaling kearah suara itu. Orang yang menantang Agung Sedayu itupun mengerutkan keningnya. Ternyata masih ada lagi orang yang tidak terkena pengaruh sirep yang tajam itu.

   "Gila,"

   Ia menggeram.

   "ada berapa orang yang memiliki daya tahan yang kuat di Kademangan ini?"

   "Sudah aku katakan,"

   Tiba-tiba salah seorang kawan orang itu berdesis. Orang itu berpaling kearah kawannya. Sambil mengerutkan keningnya ia meijjawab.

   "Kau hanya menyebut gurunya. Mungkin Agung Sedayu sendiri. Tetapi ternyata ada beberapa orang yang lain."

   Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi seorang yang lain berkata.

   "sudahlah. Sekarang kita sudah berada dihalaman ini. Lakukanlah perang tanding seperti kau kehendaki. Jika ada orang lain yang akan melibatkan diri. serahkan kepada kami."

   Orang itu mengangguk-angguk. Katanya.

   "Bagus. Aku hanya ingin perang tanding dengan Agung Sedayu. Membunuhnya dan kemudian membunuh Pangeran Benawa. Aku juga tidak berkepentingan dengan Pajang atau pihak-pihak lain yang memerlukan Pangeran Benawa itu. Ia sudah membunuh kedua adik seperguruanku. Karena itu, ia harus mati."

   Sementara itu Kiai Gringsing menjadi semakin dekat. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar didalam dadanya.

   "Siapa kau ?"

   Bertanya orang yang menantang Agung Sedayu.

   "Sejak semula kau tidak menjawab setiap pertanyaan tentang dirimu. Tetapi baiklah. Bagi kami sudah cukup jika kami mengetahui bahwa kau adalah kakak seperguruan dua orang dari Pasisir Endut yang terbunuh itu."

   "Siapa kau ? "

   Orang itu berteriak.

   "Berteriaklah. Tidak banyak orang yang mendengar,"

   Jawab Kiai Gringsing.

   "semua orang agaknya telah tertidur oleh kekuatan sirep yang tajam ini."

   Jantung orang itu bagaikan meledak. Sekali lagi ia berteriak.

   "Sebut, siapa kau?"

   "O. Kejengkelanku sama dengan kejengkelanmu karena kamu juga tidak menyebut namamu. Tetapi baiklah, aku adalah Kiai Gringsing, guru Agung Sedayu yang kau tantang berperang tanding itu."

   "Gila,"

   Geram orang itu.

   "benar juga kata orang, bahwa aku akan berhadapan dengan gurunya. Baiklah, jika kau sayangi nyawa muridmu, kau dapat mewakilinya."

   "Tidak,"

   Jawab Kiai Gringsing.

   "karena ia yang kau tantang biarlah muridku yang bertempur."

   "Aku juga menantang orang itu guru,"

   Potong Swandaru.

   Kiai Gringsing memandang Swandaru sejenak.

   Jika ia melarangnya, maka anak muda itu tentu akan tersinggung.

   Ia merasa bahwa gurunya menganggap bahwa Agung Sedayu memiliki kelebihan dari padanya.

   Namun jawaban Kiai Gringsing kemudian benar-benar diluar dugaan Swandaru dan diluar dugaan orang-orang lain yang ada dihalaman itu.

   "Swandaru,"

   Berkata Kiai Gringsing dengan kepala sedikit terangkat.

   "aku adalah gurumu. Karena itu aku mengetahui sifat-sifatmu seperti aku mengetahui sifat-sifat Agung Sedayu."

   Swandaru mengerutkan keningnya. Ia melihat sikap gurunya agak berbeda dengan sikapnya sehari-hari. Saat itu gurunya nampak seperti seorang yang tinggi hati.

   "Swandaru,"

   Berkata Kiai Gringsing lebih lanjut.

   "jangan selalu memanjakan saudara tuamu. Biarlah ia mengambil keputusan dan sikap sesuai dengan namanya yang bergema sampai ke Pesisir Endut. Jika ia tidak menerima tantangan itu, maka namanya itu tentu hanya sekedar kemelutnya asap dari api yang menyala dijiwa orang lain. Biarlah. Ia sudah cukup dewasa menjaga nama dan pribadinya."

   Kata-kata Kiai Gringsing itu menumbuhkan pertanyaan dihati mereka yang mendengarkan.

   Namun Ki Waskita dan Widurapun kemudian tersenyum didalam hati.

   Ia mengerti, apakah maksud orang tua itu sebenarnya.

   Dalam pada itu.

   Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan apapun untuk mengelakkan perang tanding.

   Apalagi gurunya sudah menunjuknya untuk melayani saudara tua kedua kakak beradik dari Pesisir Endut itu.

   "Baiklah guru,"

   Berkata Agung Sedayu kemudian dengan dada yang berdebar-debar.

   "jika memang guru menghendaki, aku akan menerimanya."

   Diluar dugaannya, orang yang menantangnya menyahut.

   "Hanya karena gurumu menghendaki?"

   Tetapi jawaban Agung Sedayupun diluar dugaan orang itu pula. katanya.

   "Apakah bedanya bagimu jika aku menerima tantanganmu karena keinginanku sendiri atau karena perintah guruku ? Bukankah niatmu adalah sekedar melapaskan dendammu tanpa mempedulikan perasaan orang lain, apakaltia juga menyimpan dendam dan kebencian, atau kau sama sekali tidak menghiraukan siapakah yang sebenarnya bersalah dalam persoalan yang bermula dari keinginan kedua saudaramu untuk membunuh aku?"

   Wajah orang yang menantang Agung Sedayu itu menegang. Namun kemudian jawabnya.

   "Bagus. Memang tidak ada bedanya. Bersiaplah, aku akan mulai."

   Agung Sedayu mundur selangkah.

   Sekali lagi ia akan terlibat dalam satu perkelahian yang tidak dikehendaki.

   Tetapi seperti keharusan yang memaksanya disaat sebelumnya, ia dihadapkan pada keadaan tanpa pilihan.

   Beberapa orangpun kemudian melangkah surut membentuk lingkaran.

   Meskipun demikian, kedua belah pihak nampaknya tidak melepaskan kewaspadaan, karena setiap saat orang-orang yang berdiri dilingkaran itupun dapat berbuat curang.

   Karena itu, maka masih ada juga jarak antara kedua belah pihak meskipun mereka bersama-sama ingin menyaksikan perkelahian itu.

   Dalam pada itu, orang yang dibakar oleh dendam dan kebencian itupun segera mempersiapkan diri.

   Dengan garangnya ia berdiri bertolak pinggang menghadap kearah Agung Sedayu yang masih berdiri termangu-mangu ditempatnya.

   "Apakah kau takut Agung Sedayu? "

   Tiba-tiba saja orang itu bertanya.

   "jika demikian, mintalah gurumu mewakilimu. Tetapi dengan ketentuan, bahwa jika gurumu mati, maka kaupun akan mati juga. Yang penting bagiku sekarang adalah kematianmu. Itu saja."

   "Jangan menyebut nama guru,"

   Swandarulah yang membentak.

   "kau bukan lawannya. Kau akan luluh menjadi debu sebelum kau menjamah kakang Agung Sedayu."

   Saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu tertawa. Katanya.

   "Aku senang kepada anak yang gemuk itu. tetapi aku sudah jemu untuk berbicara. Sebentar lagi kita akan kehabisan waktu. Malam akan melampaui gelapnya dan kekuatan sirep itupun akan menjadi kabur."

   Agung Sedayu tidak dapat mengelak lagi.

   Iapun kemudian melangkah maju dan berdiri dihadapan orang yang mendendamnya.

   Sejenak suasana menjadi tegang.

   Kiai Gringsing yang cemas berdiri tegak seperti patung, sedangkan Ki Waskita dan Ki Widura harus menahan nafas ketika Agung Sedayu mulai bergeser.

   Hanya Swandaru sajalah yang menggeram karena kecewa.

   Ia tidak telaten melihat sikap Agung Sedayu.

   Ia ingin meloncat dan menerkam orang yang sombong itu.

   Kemudian memilin kepalanya dan melumatkannya.

   Tetapi Agung Sedayu bersikap sangat berhati-hati.

   Ia tahu bahwa orang itu tentu memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan, karena ia sudah berani menuntut balas kematian kedua adiknya sampai pada batas terakhir.

   Pangeran Benawa.

   Ketika orang itu melangkah setapak, rasa-rasanya tanah tempat Agung Sedayu berpijak telah bergetar.

   Bukan saja Agung Sedayu, tetapi yang lainpun merasakannya pula.

   Ternyata getaran itu telah menggetarkan jantung Kiai Gringsing pula.

   Dengan demikian maka orang itu benar-benar memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya.

   Swandarupun terkejut pula.

   Ia sendiri memiliki kekuatan raksasa.

   Tetapi getaran langkah kakinya tidak dapat mengguncangkan tempat berpijak seperti orang itu.

   Melihat wajah-wajah yang heran meskipun hanya sekilas, orang itu tertawa.

   Sekali lagi ia menunjukkan kelebihannya.

   Suara tertawanya melengking bagaikan suara guruh yang menggelegar dilangit.

   Setiap telinga rasa-rasanya menjadi sakit.

   Bahkan dada mereka yang mendengar suara tertawa itu bagaikan akan retak.

   Dengan serta merta mereka telah mengerahkan daya tahan masing-masing agar isi dada mereka tidak beruntuhan oleh getaran suara yang terlontar dengan lambaran ilmu yang tinggi itu.

   "Agung Sedayu harus berjuang mati-matian,"

   Desis Kiai Gringsing.

   "ia baru mengenal dasar-dasar dari ilmu puncaknya meskipun sudah jauh lebih baik dari Swandaru."

   Ki Waskita mendengar Kiai Gringsing berdesis.

   "Tetapi ia tidak tahu apa yang dikatakannya. Namun seperti Kiai Gringsing Ki Waskitapun mulai dijalari oleh kecemasan.

   "Mudah-mudahan Agung Sedayu dapat menilai kemampuan lawannya dari segala segi,"

   Berkata Ki Waskita didalam hatinya.

   Sementara itu Agung Sedayu telah memusatkan segenap kemampuannya, ia memperhatikan lawannya dengan saksama.

   Ia sadar, bahwa lawannya berusaha untuk menggertaknya dengan ilmunya yang dahsyat.

   Dengan sengaja lawannya telah menggetarkan tanah tempatnya berpijak dan yaug kemudian disusul dengan ledakan suaranya yang menghentak hentak dada.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan hati-hati Agung Sedayu bergeser ketika lawannya melangkah maju dengan hentakan kaki yang menggoyahkan halaman.

   Ia tidak melepaskan setiap gerak lawan.

   Karena itu, ia melihat telapak kaki lawannya yang bergeser, kemudian perlahan-lahan kaki itu terangkat sehingga ujung jarinya sajalah yang menyentuh tanah.

   Belum lagi Agung Sedayu menyesuaikan dirinya, tiba-tiba orang itu telah melenting.

   Kakinya terjulur mendatar langsung mengarah kepada Agung Sedayu.

   Tetapi Agung Sedayu sudah memperhitungkan setiap serangan yang bakal datang, karena itu, maka ia masih sempat mengelak.

   Dengan loncatan kecil secepat gerakan lawannya, ia berhasil menghindari sentuhan kaki yang terjulur kedadanya.

   Tetapi ternyata lawannya mampu bergerak terlalu cepat.

   Dengan sekali menggeliat ia memutar tubuhnya ketika kakinya menyentuh tanah.

   Tetapi diluar dugaan.

   Agung Sedayu ternyata telah dipaksa oleh kejutan pertama dari serangan lawannya, sehingga hampir diluar sadarnya maka nalurinya telah mendorongnya untuk berbuat sebaik-baiknya jika ia ingin menyelamatkan dirinya.

   Sehingga karena itulah maka ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya.

   Pada saat lawannya menyentuh tanah, ternyata Agung Sedayu telah mendahuluinya, menyusul dengan sebuah serangan yang sangat cepat.

   Lawannya terkejut.

   Ia sama sekali tidak menduga bahwa Agung Sedayu mampu bergerak demikian cepat, sehingga karena itulah maka ia hampir saja terlambat mengelak.

   Dengan tergesa-gesa ia melenting jauh surut.

   Selagi tubuhnya masih mengapung diudara, tangannya telah tersilang di dadanya dengan penuh kewaspadaan, karena Agung Sedayu dapat saja menyusulnya dengan serangan berikutnya.

   Tetapi Agung Sedayu tidak menyerangnya lagi.

   Ia bergeser setapak ketika kakinya tegak diatas tanah.

   Ia mempersiapkan dirinya untuk menghadapi keadaan yang tentu akan bertambah gawat.

   Sesaat keduanya berdiri tegak.

   Dengan sorot mata yang marah bercampur heran, lawan Agung Sedayu itu memperhatikan sikap anak muda yang perkasa itu.

   "Benar-benar seorang yang pilih tanding,"

   Katanya didalam hati.

   Sementara itu, didalam rumah.

   Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang mendengar hampir seluruh pembicaraan itupun menjadi tegang.

   Ki Demang Sangkal Putung yang ikut mendengar pula, menjadi gelisah.

   Tetapi ketika Sekar Mirah minta ijin kepada ayahnya untuk turun ke halaman, ia melarangnya.

   Kau mendapat tugas didalam rumah ini bersama Pandan Wangi dan aku.

   Siapa tahu masih ada orang lain diantara mereka yang kemudian memasuki rumah ini,"

   Berkata Ki Demang.

   Sekar Mirah menjadi kecewa.

   Tetapi ia mengerti keberatan ayahnya.

   Dan iapun sependapat, bahwa mungkin ada orang lain yang memasuki rumah itu.

   Sementara itu, pertempuran di halaman itupun berlangsung dengan dahsyatnya.

   Orang yang dipenuhi oleh dendam dan kebencian itupun menyerang dengan garangnya, sementara Agung Sedayu berusaha mengimbangi kemampuan lawannya.

   Kiai Gringsing menarik nafas panjang ketika ia mengikuti pertempuran itu beberapa saat lamanya.

   Harapannya bagi Agung Sedayu pun tumbuh perlahan-lahan meskipun kecemasan masih saja membayanginya.

   Dalam perkelahian seterusnya, orang yang menyebut dirinya saudara tua dari kakak beradik yang terbunuh oleh Pangeran Benawa itu ternyata harus membagi pemusatan ilmunya.

   Dalam perkelahian yang cepat, ternyata kakinya tidak mampu lagi menggetarkan tanah tempatnya berpijak.

   Suara tertawanya yang bagaikan membelah jantung tidak terdengar sama sekali.

   Baru jika ia sempal memisahkan diri dari libatan kecepatan bergerak Agung Sedayu, maka kakinya mampu menghentak dan menggelarkan halaman itu.

   Namun dalam pada itu, Ki Waskita semakin lama menjadi semakin jelas melihat ilmu orang itu.

   Getaran yang ditimbulkan olah kakinya hanya sekedar getaran disetiap dada orang-orang yang ada disekitar tempatnya sendiri.

   Dalam waktu yang singkat Ki Waskita mencoba menelusuri ilmu itu dalam ilmunya sendiri.

   Seperti bayangan semu yang dapat dilontarkannya, maka orang itupun mampu membuat getaran pada lawan-lawannya seperti juga suara tertawanya yang seolah-olah meruntuhkan isi dada.

   Tetapi dengan demikian Ki Waskitapun menyadari, bahwa ilmu itu sangat berbahaya.

   Bukan karena kekuatannya yang benar-benar dapat menggetarkan bumi dan meruntuhkan jantung dari tangkainya didalam dada, tetapi kesadaran lawan akan keadaannya dapat disesalkannya.

   Namun yang sudah berada diarena adalah Agung Sedayu.

   Anak muda itu tentu tidak melihat kemungkinan seperti yang dilihatnya.

   Ki Waskita sendiri akan dapat menempatkan diri menghadapi orang itu dengan sikap yang hati-hati dan melawan ilmu yang agaknya sejalan dengan ilmu bayangan semunya meskipun dalam bentuk yang agak lain.

   Jika Agung Sedayu tidak menghiraukan getaran-getaran tanah tempatnya berpijak, dan getaran yang seolah-olah meruntuhkan jantung dari suara tertawa lawannya dengan memusatkan ketajaman inderanya pada penglihatan batinnya, maka lawannya bukannya lawan yang sangat berbahaya.

   Tetapi Ki Waskita tidak tahu pasti, bahwa Agung Sedayu akan dapat bersikap demikian.

   Bahkan jika perhatian Agung Sedayu dapat disesatkan kepada kecemasannya oleh getaran yang seolah-olah dapat mengguncang bumi.

   Serta getaran suara yang dapat meruntuhkan seluruh isi dada, maka ia benar-benar akan mengalami kesulitan.

   Demikianlah pertempuran dihalaman itu semakin lama menjadi semakin dahsyat.

   Agung Sedayu berusaha dengan kecepatan geraknya menyerang lawannya agar lawannya tidak sempat melontarkan kekuatannya untuk menyerangnya.

   Diluar sadarnya, seolah-olah sekedar karena nalurinya, maka ia merasakan kekuatan lawannya mengendor disaat-saat ia harus mengelakkan serangan-serangannya yang datang bagaikan badai.

   Tetapi lawan Agung Sedayu itu kemudian menyadari.

   Agung Sedayu menumpukan perlawanannya pada kesempatan geraknya.

   "Anak gila,"

   Geram orang itu. Katanya didalam hati.

   "Ia berusaha membuyarkan pemusatan ilmuku, sehingga ia tidak terpengaruh oleh tanggapan perasaannya atas goncangan bumi dan getaran yang memukul dadanya. Dengan kesadaran itu, maka lawannyapun mencoba mempergunakan setiap kesempatan untuk menghindarkan diri dari libatan serangan Agung Sedayu. Setiapkali ia masih saja sempat menghentakkan kakinya dan melontarkan suara tertawa atau teriakan-teriakan yang bagaikan menyobek tehnga dan meretakkan dinding jantung. Kiai Gringsing bagaikan membatu menyaksikan pertempuran itu. Pada mulanya ia mengangguk-angguk melihat cara Agung Sedayu mengatasi kesulitannya. Kiai Gringsing bersukur bahwa Agung Sedayu mengatasi kelemahan lawannya dalam libatan kecepatan serangannya. Namun karena lawannya menyadari keadaannya, maka iapun berusaha untuk mengatasi kecepatan gerak Agung Sedayu dengan loncatan-loncatan panjang. Setiap kesempatan dipergunakannya untuk mempengaruhi perasaan anak muda yang masih belum terlalu banyak menyadap pengalaman. Dalam pada itu Agung Sedayu yang memang masih terlalu muda untuk menjelajahi kedahsyatan daerah gejolak oleh kanuragan, kadang-kadang memang menjadi bingung. Kadang-kadang terasa guncangan tanah tempat ia berpijak bagaikan melemparkannya, sehingga ia harus bertahan pada sikap keseimbangannya. Sementara jika suara tertawa dan teriakan lawannya bagaikan membelah dadanya, ia harus memusatkan daya tahannya untuk melindungi agar jantungnya tidak terlepas dari tangkai nya. Pada saat-saat yang demikian Agung Sedayu menjadi lemah. Pertahanannya bagaikan terbuka, meskipun untuk beberapa saat ia masih mampu mengatasi keadaan setiap serangan, Namun lambat laun, geraknya kadang-kadang menjadi lamban dan kehilangan arah. Kecemasan telah menyayapi kembali dada Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Agaknya perhatian Agung Sedayu benar-benar telah disesatkan oleh ilmu lawannya. Agung Sedayu tidak lagi sepenuhnya memperhatikan serangan-serangan yang berbahaya bagi tubuhnya, karena ia sibuk menjaga keseimbangannya dan melindungi goncangan dadanya. Kelemahan Agung Sedayu mulai dilihat oleh lawannya. Karena itulah maka iapun bertempur semakin sengit, ia tidak terlalu banyak menyerang, tetapi ia lebih banyak menghentak-hentakkan kakinya dan melontarkan suara tertawa dan teriakan-teriakan nyaring. Namun demikian. Agung Sedayu masih selalu menyadari keadaannya. Hentakan kaki lawannya yang bagaikan mengguncang tanah tempatnya berpijak memang sangat mempengaruhi. Sedangkan getaran suara tertawanya berhasil membuat Agung Sedayu mempergunakan sebagian dari kekuatan ilmunya mempertahankan dadanya. Kiai Gringsing menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak dapat berteriak memberikan petunjuk-petunjuk kepada Agung Sedayu. karena ia masih menghormati perjanjian kedua orang yang sedang berperang tanding itu. Dan agaknya demikian pula Ki Waskita yang tubuhnya menjadi basah karena keringat dinginnya yang mengalir dari segenap lubang-lubang dikulitnya. Ki Widurapun menjadi sangat cemas. Ia melihat Agung Sedayu mulai terdesak, meskipun ia masih selalu berhasil menghindar dan mengelakkan serangan lawannya. Didalam rumah Sekar Mirah bagaikan dibakar oleh kegelisahan. Tetapi ia tidak melihat apa yang terjadi sebenarnya. Ia berusaha untuk melihat dari celah-celah dinding. Tetapi ia tidak menemukan lubang yang cukup untuk dapat menyaksikan apa yang terjadi dihalaman yang remang-remang, karena cahaya obor tidak dapat mencapai sepenuhnya arena perang tanding itu. Dalam pada itu, Agung Sedayu memusatkan perlawanannya pada kecepatannya. Setiap saat ia meloncat menghindar. Dan setiap kesempatan dipergunakannya untuk membalas setiap serangan. Kadang-kadang ia berhasil mehhat lawannya untuk waktu yang lama. Serangannya datang beruntun tidak putus-putusnya. Namun setiap kali lawannya berhasil melepaskan diri dari libatan serangannya, maka iapun segera mempengaruhi Agung Sedayu yang masih muda itu dengan il munya yang membingungkan. Perang tanding yang dahsyat itu berlangsung semakin sengit. Serangan lawanAgung Sedayu rasa-rasanya menjadi semakin berbahaya. Dalam kesempatan yang tidak terelakkan, karena Agung Sedayu terbenam dalam perasaan yang kabur oleh keragu-raguannya terhadap keseimbangan badannya disaat bumi bagaikan terguncang, tiba-tiba saja terasa hentakan yang dahsyat mengenai lambungnya. Perasaan nyeri dan mulas telah mencengkamnya sementara tubuhnya terlempar beberapa langkah. Hanya karena kemampuan ilmunya saja. Agung Sedayu terjatuh tepat pada pundaknya dan sambil berguling ia melenting berdiri. Tetapi demikian kakinya menginjak tanah, maka tanah tempat ia berdiri itu bagaikan diguncang oleh gempa yang dahsyat. Disaat ia berdiri tertatih-tatih, maka serangan berikutnya telah mengarah kedadanya. Serangan kaki yang lurus mendatar bagaikan dilontarkan oleh busur raksasa. Agung Sedeyu melihat serangan itu. Ia berusaha untuk mengelakkannya diri. Ia mencoba untuk merendah sambil memiringkan tubuhnya. Namun ia tidak berhasil melepaskan diri seluruhnya dari serangan itu. Kaki lawannya menghantam pundaknya sehingga sekali lagi ia menyeringai menahan sakit. Sambil terputar, tubuhnya terlempar beberapa langkah. Dan sekali lagi Agung Sedayu harus berguling menjauhi lawannya, karena serangan berikutnya segera menyusul. Seolah-olah tidak ada kesempatan lagi bagi Agung Sedayu untuk mempertahankan diri atau mengelak. Serangan lawannya datang beruntun seperti ombak dipesisir. Bergulung-gulung susul menyusul. Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi tegang. Swandaru hampir tidak dapat menahan dirinya lagi. Hanya karena keseganannya kepada gurunya sajalah, maka ia tidak meloncat kearena. Namun sebenarnya Kiai Gringsingpun benar-benar menjadi cemas. Meskipun Agung Sedayu memiliki kemampuan yang bukan saja lahiriah, ternyata ia memang masih terlalu muda untuk menjelajahi daerah yang garang dari petualangan kanuragan. Meskipun demikian Kiai Gringsing tetap terikat pada sikap seorang lelaki. Betapa dadanya berguncang-guncang, tetapi ia masih tetap berdiri ditempatnya. sekali-kali terdengar ia berdesis. Kemudian menggeram penuh kekesalan. Sementara itu, Ki Waskita bagaikan berdiri diatas bara. Kegelisahannya telah memuncak. Dadanya bagaikan retak bukan karena ilmu yang dilontarkan lewat suara tertawa dan teriakan-teriakan nyaring dari mulut lawan Agung Sedayu. Tetapi jantungnya bagaikan pecah karena kecemasanya melihat keadaan Agung Sedayu. Tetapi seperti Kiai Gringsing, Ki Waskitapun tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya berdiri saja dengan gelisahnya. Betapa tangannya menjadi gemetar, dan hampir saja iapun melontarkan ilmunya untuk mengurai perhatian lawan Agung Sedayu. Meskipun pada suatu saat ia akan mengerti bahwa sebenarnya ia telah disesatkan oleh penglihatan semu namun dengan demikian Agung Sedayu akan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan dirinya dalam perlawanan yang lebih panjang dan dahsyat. Tetapi semuanya itu tidak dapat dilakukannya. Seperti Kiai Gringsing yang kemudian menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi, namun ia tetap berdiri saja dengan degup jantung yang menghentak-hentak dadanya. Dalam pada itu. Agung Sedayu masih berjuang untuk melepaskan dirinya dari serangan-serangan lawannya yang semakin deras bagaikan badai dimangsa kesanga. Dengan loncatan-loncatan panjang lawan Agung Sedayu mengejar sambil menyerang. Bahkan seolah-olah Agung Sedayu benar-benar sudah dibayangi oleh kekuatan yang tidak dapat di hindarinya lagi. Agung Sedayu sendiri merasa, bahwa kekuatan lawannya telah menyergapnya dari segenap arah tanpa ampun lagi. Tidak ada yang dapat dilakukakan oleh Kiai Gringsing, K i Waskita, Ki Widura dan Swandaru. Mereka hanya dapat menghentakkan kakinya dan menggeretakkan giginya.

   "Jika guru memberi kesempatan kepadaku,"

   Geram Swandaru didalam dadanya.

   "aku akan menyapu orang itu sampai lumat."

   Tetapi Swandaru sendiri kemudian menjadi ragu-ragu.

   Iapun merasa seakan-akan tanah tempatnya berpijak menjadi goncang, sehingga keseimbangannya terombang ambing, serta suara tertawa dan teriakan-terikan nyaring bagaikan membelah jantung.

   Kegelisahan Sekar Mirah dan Pandan Wangi bagaikan tidak tertahankan lagi.

   Mereka ingin meloncat keluar dan melihat apa yang terjadi.

   Mereka telah diganggu pula oleh suara tertawa dan teriakan-teriakan dihalaman.

   Meskipun mereka berdiri agak jauh dari halaman, namun dada merekapun terasa menjadi retak.

   Tetapi mereka masih tetap menahan diri.

   Ki Demang benar-benar berkeberatan jika kedua perempuan itu turun kehalaman, sehingga Sekar Mirah dan Pandan Wangi masih saja berada diruang dalam betapapun dada mereka melonjak-lonjak.

   "Yang terjadi adalah perang tanding,"

   Berkata Ki Demang.

   "tinggallah disini. Jika terjadi pertempuran dari seluruh kekuatan masing-masing, maka kita memang wajib membantu. Meskipun demikian kita masih harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi di rumah ini."

   Dalam pada itu, selagi dihalaman terjadi pertempuran yang sengit dari dua orang yang berilmu tinggi, dikelilingi oleh beberapa orang yang tanpa berjanji seolah-olah menjadi saksi dari perang tanding yang dahsyat itu, masih ada dua orang lagi yang dengan sengaja tidak menampakkan diri.

   Mereka masih tetap berdiri dalam kegelapan diluar halaman Kademangan.

   "Nampaknya Ki Lurah akan menang,"

   Desis yang seorang. Kawannya tersenyum. Katanya.

   "Tentu. Anak muda itu akan dibantainya sampai lumat. Tidak seorangpun yang dapat menolongnya, karena mereka melakukan perang tanding, bahkan jika yang lain itu mencoba turut membantu anak muda yang malang, merekapun akan bernasib sama."

   Kawannya mengerutkan keningnya. Katanya.

   "Jangan merendahkan mereka. Bahwa mereka dapat melepaskan diri dari pengaruh sirep, menunjukkan bahwa mereka memang memiliki kemampuan cukup."

   "Tetapi tidak setinggi Ki Lurah dan kawan-kawannya itu. Bahkan seandainya aku dilepaskan diarena, aku kira akupun dapat mengalahkan anak muda yang namanya bagaikan menggetarkan bumi. Aku jadi ragu-ragu apakah benar ia mampu membunuh Telengan.

   "Tetapi Ki Lurah muda dari Pesisir Endut itu mati."

   "Tidak oleh Agung Sedayu. Tetapi oleh anak muda yang lain, yang barangkali berkekuatan iblis, Pangeran Benawa."

   "O ya,"

   Desisnya kadang-kadang aku lupa membedakan. Pangeran Benawa dan Agung Sedayu. Agaknya sekarang Agung Sedayulah yang bernasib malang."

   Kawannya tidak segera menyahut. Namun wajahnya tampak menegang. Kemudian senyumnya melebar dibibirnya. Katanya.

   "Kau lihat. Sebentar lagi Agung Sedayu akan lumat."

   Yang lainpun tersenyum pula. Katanya.

   "anak yang malang. O, betapa sakitnya terlempar dan terbanting oleh tangan Ki Lurah."

   Keduanya semakin asyik memperhatikan perkelahian itu dari kejauhan.

   Meskipun mereka tidak melihat jelas, tetapi mereka dapat membedakan, yang manakah pimpinannya dan yang mananah Agung Sedayu.

   Dalam keremangan cahaya obor yang lemah dikejauhan, mereka melihat dan meyakini bahwa pemimpinnya akan dapat memenangkan perang tanding itu dan melumatkan lawannya.

   Tiba-tiba saja selagi kawannya asyik melihat perang tanding itu, yang seorang berdesis.

   "Apakah kita akan menunggu saja sambil berdiam diri disini?"

   "Maksudmu?"

   "Kita dapat berbuat sesuatu. Sambil menunggu Ki Lurah membunuh Agung Sedayu. kita mempunyai sedikit waktu."

   "Untuk apa? "

   "Kau pernah mendengar bahwa Demang Sangkal Putung adalah Demang yang kaya?"

   "Lalu?"

   "Kita sudah berada di Sangkal Putung sekarang. Bukankah ini merupakan kesempatan yang baik?"

   "Kita merampok maksudmu?"

   "Ya."

   "Ah. itu bukan tujuan kita. Kita mengawal Ki Lurah untuk tujuan tertentu. Bukan untuk merampok."

   Yang lain tersenyum. Katanya.

   "Sejak kapan kau menjadi orang yang sangat baik hati? Kita sudah terbiasa mempergunakan segala kesempatan. Sekarang kesempatan itu datang lagi. Setelah kita yakin bahwa Ki Lurah akan menang, dan kitapun yakin bahwa jika kawan-kawan Agung Sedayu itu mencoba membantunya, maka mereka akan dilumatkan pula, sehingga kita mempunyai waktu untuk berbuat sesuatu yang tentu akan menyenangkan hati Ki Lurah pula berhasil membunuh Agung Sedayu sementara kita akan mendapat pendok mas tretes intan berlian, timang mas dan berjenis-jenis perhiasan yang pasti ada di rumah itu."

   Kawannya berpikir sejenak, sementara yang lain melanjutkan.

   "Ki Lurah tentu akan memuji ketangkasan kita berpikir dan mempergunakan waktu."

   Kawannya menjadi ragu ragu. Tiba-tiba saja ia bertanya.

   "He. apakah diantara mereka terdapat Ki Demang dan Ki Jagabaya?"

   Yang lain mengerutkan keningnya. Jawabnya.

   "Aku tidak tahu pasti. Tetapi seandainya merekapun ada tidak akan banyak berarti."

   "Maksudmu, jika mereka bukan Ki Demang dan Ki Jagabaya, mungkin Ki Demang justru masih ada didalam rumahnya."

   Kawannya tersenyum kecut. Jawabnya.

   "Demang Sangkal Putung tidak lebih dari seekor kelinci sakit-sakitan."

   Kawannya berpikir sejenak, namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata.

   "Ya. Demang Sangkal Putung tidak lebih dari seekor kelinci sakit-sakitan."

   Keduanyapun kemudian bergeser dari tempatnya. Mereka masuk jauh kedalam bayangan pepohonan. Dengan hati-hati mereka merambat kekebun belakang. Dari kebun itu mereka akan masuk kekebun dibelakang rumah Ki Demang Sangkal Putung.

   "Mereka tentu tidur nyenyak,"

   Desis yang seorang.

   "hanya orang-orang yang memiliki daya tahan yang tinggi sajalah yang dapat terhindar dari sirep yang tajam ini."

   "Jika semua pintu diselarak, kita akan memecah pintu butulan atau pintu belakang,"

   Berkata yang lain. Dengan demikian keduanya sama sekali tidak ragu-ragu lagi. Mereka meloncat kekebun dibelakang rumah Ki Demang Sangkal Putung. Kemudian mereka berjalan menuju kepintu dibagian belakang.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pintu ini diselarak,"

   Desis yang seorang. Yang lain tertawa. Katanya.

   "Apa artinya pintu bagi kami dalam keadaan seperti ini ? Kita dapat memecahnya seperti kita memecah gerabah. Tidak ada kesulitan apapun juga."

   Kawannya tidak menjawab.

   Iapun mengerti, bahwa memecah pintu itu memang tidak ada sulitnya.

   Dan iapun tahu bahwa suaranya tidak akan membangunkan orang-orang yang terkena sirep.

   Karena itu, ia sama sekali tidak mencegah ketika kawannya dengan serta merta telah menendang pintu lereg itu dengan sekuat tenaganya.

   Pintu itu pecah berkeping-keping.

   Suaranya berderak memekakkan telinga.

   Namun seperti yang diperhitungkan oleh kedua orang itu, tidak seorangpun yang tidur diruang belakang terbangun.

   Juga mereka yang tidur didapur dan diserambi.

   Dua orang itu termangu-mangu sejenak.

   Seperti berjanji keduanya tertawa melihat pintu yang menganga dan suasana yang sepi.

   "Tidak seorangpun yang terbangun. Lihat, perempuan itu tidur nyenyak sekali,"

   Berkata yang seorang.

   "Yang lainpun seperti mati. Marilah kita masuk keruang dalam. Kita akan membongkar segala geledeg dan peti-peti penyimpanan harta benda Demang yang kaya raya ini."

   Sejenak mereka memandang berkeliling. Mereka melihat perabot Demang Sangkal Putung yang terhitung lengkap. Karena itulah maka mereka menganggap, bahwa barang-barang simpanannyapun tentu cukup banyak.

   "Apa arti kematian Agung Sedayu,"

   Desis yang seorang.

   "barangkali baru lengkap artinya jika kami mendapatkan sesuatu dari rumah ini."

   "Ah macam kau tentu berpijak pada pikiran yang rendah. Bagi Ki Lurah kematian Agung Sedayu itulah yang terpenting."

   "Dan kita tidak mendapat kemenangan apapun dari Kademangan ini jika kita sekedar melihat Agung Sedayu mati."

   Yang seorang mengerutkan keningnya. Kemudian katanya.

   "Persetan."

   Kawannya tertawa. Sambil melangkah kepintu yang menyekat ruang belakang dan ruang dalam disisi ruang tengah ia berkata.

   "Jadi kau tidak mau ikut ?"

   Kawannya menggeram.

   "Setan kau. Daripada kau ambil semua, lebih baik aku ikut mengambil pula."

   Keduanya tertawa pula.

   Mereka bersama-sama melangkah masuk keruang dalam justru saling mendahului sehingga mereka berdesak-desakan dimuka pintu yang memang tidak diselarak.

   Namun tiba-tiba saja mereka terkejut.

   Sejenak mereka termangu-mangu.

   Mereka mendengar sesuatu diruang tengah rumah Ki Demang Sangkal Putung yang besar itu.

   "Kau mendengar sesuatu ?"

   Bertanya yang seorang untuk meyakinkan pendengarannya. Yang lain mengangguk. Jawabnya.

   "Ya. Seorang terbatuk-batuk kecil. Apakah seorang yang terbangun tetapi kemudian tertidur lagi, atau memang seseorang yang sakit batuk sedang terbatuk didalam tidurnya, atau..."

   Tetapi kata-kata itu terputus. Mereka terkejut bukan kepalang ketika mereka mendengar jawaban.

   "Ya. Kami memang sakit batuk dan terbatuk-batuk selagi tidur."

   "Setan. Suara perempuan. Apakah Ki Demang memelihara setan betina ?,"

   Geram yang seorang.

   Yang lain tidak sabar lagi.

   Dengan garangnya ia meloncati pintu yang memisahkan ruang itu dengan ruang tengah.

   Sekali lagi terkejut.

   Ia melihat dua orang perempuan dan seorang laki-laki yang berdiri hampir ditengah-tengah ruangan itu.

   "Siapa kau? "

   Orang itu menggeram sementara kawannya telah menyusulnya. Yang berdiri diruang itu adalah Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Ki Demang. Dengan tajamnya mereka bertiga memandang kedua orang yang memasuki rumahnya dari pintu belakang.

   "Kami mendengar pintu rumah ini kau pecah,"

   Geram Ki Demang.

   "Siapa kau?"

   "Aku Demang Sangkal Putung."

   Tiba-tiba saja kedua orang itu tertawa. Dengan lantang salah seorang dari mereka berkata.

   "Bagus Ki Demang. Ternyata Ki Demang termasuk seorang yang luar biasa, bahwa Ki Demang dapat melepaskan diri dari pengaruh sirep. Tetapi terlebih-lebih lagi adalah kedua orang perempuan ini. Nampaknya mereka bukan perempuan kebanyakan, menilik pakaiannya dan kemampuannya mengatasi ilmu yang tajam ini."

   "Tetapi siapakah kalian Ki Sanak?"

   Bertanya Ki Demang.

   "Tidak ada perlunya Ki Demang mengetahui siapa kami. Sebaiknya Ki Demang dengan sukarela menyerahkan semua yang ada pada Ki Demang. Jika persoalan ini cepat selesai, Ki Demang akan sempat menyaksikan saat-saat terakhir dari Agung Sedayu yang mengalami nasib buruk dihalaman."

   Ki Demang menjadi semakin tegang.

   Namun ia segera mengetahui bahwa kedua orang itu tentu bermaksud buruk.

   Bahkan tentu ada hubungannya dengan orang-orang yang sedang berada dihalaman.

   Ternyata bahwa mereka telah menyebut Agung Sedayu.

   Tetapi Sekar Mirah dan Pandan Wangi, keterangan orang itu membuat mereka semakin berdebar-debar.

   Jika benar bahwa Agung Sedayu mengalami kesulitan, maka apakah mereka dapat berdiam diri.

   "Apakah Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura hanya menonton saja sambil bermimpi,"

   Bertanya Sekar Mirah didalam hatinya. Namun kegelisahan itu ternyata telah tertumpah pada siapnya terhadap kedua orang yang telah memasuki rumahnya itu. Dengan lantang ia menjawab.

   "Kau tidak berhak memasuki rumah kami. Apalagi jelas bahwa kalian bermaksud jahat. Tetapi dengan demikian tidak ada lagi jalan keluar. Kalian harus kami tangkap."

   Kedua orang itu tertawa keras-keras sehingga tubuhnya berguncang. Salah seorang dari keduanya berkata disela-sela derai tertawanya.

   "Jangan marah gadis manis. Kau harus menyadari bahwa yang ingin kami minta dari Ki Demang adalah semua miliknya termasuk kau. He, apakah kadua perempuan ini isteri muda Ki Demang."

   "Gila,"

   Teriak Sekar Mirah.

   "aku anaknya, dan ini adalah menantunya. Tetapi kau tidak usah berurusan dengan kakang Swandaru agar kau tidak dicincangnya sampai lumat. Menyerahlah dan berlututlah dibawah kaki kami."

   Keduanya menjadi tegang, dengan heran keduanya memandang Sekar Mirah dengan sorot mata yang mulai menyala. Kemarahan yang mulai tumbuh didalam dada mereka membuat kedua orang itu tidak dapat menahan diri lagi.

   "Persetan,"

   Geram yang seorang.

   "kita buat mereka jera. Meskipun sebenarnya perempuan-perempuan cantik itu kami perlukan. Tetapi mereka berdua sangat sombong."

   Sekar Mirah bergeser setapak. Katanya.

   "Jangan banyak bicara. Jika kau ingin berbuat sesuatu, lakukanlah, agar bukan kami yang dianggap mulai dengan pertengkaran ini."

   Keduanya benar-benar tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dengan garangnya keduanya melangkah mendekat.

   "Ayah,"

   Berkata Sekar Mirah kemudian.

   "tolong, awasilah pintu yang terbuka itu. Mungkin masih ada kawannya yang akan memasuki rumah ini. Jika ayah melihatnya, bunuh sajalah orang itu sebelum kakinya melangkahi tlundak."

   Ki Demang termangu-mangu. Tetapi Sekar Mirah mendesaknya.

   "Silahkan ayah. Biar kedua orang ini kami selesaikan."

   Kedua orang itu tak dapat menahan diri lagi.

   Dengan serta merta mereka pun menyerang kedua perempuan itu dengan garangnya.

   Namun mereka terkejut pada serangannya yang pertama.

   Baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah berhasil menghindar dengan kecepatan melampaui kecepatan gerak mereka.

   "Perempuan gila,"

   Desis salah seorang dari mereka.

   Tetapi orang itu tidak sempat meneruskan kata-katanya.

   Sekar Mirah yang marah telah menyerang dengan garangnya.

   Dengan demikian, maka didalam rumah itupun telah terjadi perkelahian pula antara dua orang laki-laki yang ingin merampok isi rumah Ki Demang melawan Sekar Mirah dan Pandan Wangi, sementara Ki Demang Sangkal Putung mengawasi keadaan.

   Namun iapun menjadi cemas melihat keadaan di Sangkal Putung.

   Dihalaman rumahnya.

   Agung Sedayu sedang berperang tanding, sementara didalam rumahnya Sekar Mirah dan Pandan Wangi bertempur melawan dua orang yang tidak dikenalnya, tetapi yang pasti mempunyai hubungan dengan orang-orang yang berada dihalaman.

   Namun Ki Demang percaya akan kemampuan kedua orang perempuan itu.

   Apalagi setelah ia sempat melihat perkelahian itu sekilas.

   Beberapa kali kedua laki-laki itu terpaksa beringsut dan bahkan mereka mulai dikenai oleh pukulan Sekar Mirah dan Pandan Wangi.

   "Gila,"

   Geram yang seorang.

   "perkelahian ditempat yang sempit ini tidak menguntungkan. Jikakau memang benar-benar perempuan pilihan, kita akan keluar dari rumah ini."

   Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak menyahut.

   Tetapi bagi mereka, tempat yang lebih luas akan memberikan kesempatan lebih banyak.

   Karena itu, baik Sekar Mirah dan Pandan Wangi sengaja memberi kesempatan kedua orang lawannya bergeser keluar lewat pintu yang telah mereka rusakkan.

   "Beri kesempatan mereka lewat ayah,"

   Desis Sekar Mirah.

   Ki Demang tidak berbuat sesuatu ketika kedua orang itu berloncatan keluar dan bersiap menunggu lawan-lawannya.

   Namun agaknya mereka tidak bersabar lagi dan ingin bertempur sampai kemungkinan terahir.

   sehingga karena itu mereka telah menggenggam senjata ditangan masing-masing.

   Sekar Mirah dan Pandan Wangipun ingin dengan segera menyelesaikan pertempuran itu.

   Merekapun ternyata telah menggenggam senjata masmg-masing pula.

   Sekar Mirah telah menggenggam tongkat baja putihnya, sementara Pandan Wangi telah membawa sepasang pedang di kedua tangannya.

   Kedua orang itu menjadi berdebar-debar melihat sikap anak dan menantu Ki Demang itu.

   Kedua perempuan itu nampak meyakinkan dengan senjata masing-masing ditangan.

   Namun dua orang perampuan itu merasa bahwa mereka adalah orang yang berpengalaman menjelajahi daerah-daerah yang gelap penuh dengan genangan darah.

   Dalam pada itu.

   Agung Sedayu yang bertempur dihalaman masih mengalami kesulitan.

   Setiap kali ia harus mengatasi bentakan-bentakan perasaannya karena goncangan tanah tempatnya berpijak dan getaran-getaran yang seolah-olah meretakkan dadanya.

   Dalam keadaan yang sulit, lawannya telah melibatnya dengan serangan-serangan beruntun yang seakan-akan tidak terelakkan lagi.

   Kemanapun Agung Sedayu berusaha menghindar, maka lawannya selalu mengejarnya dengan serangan-serangan baru yang susul menyusul.

   Tetapi betapapun juga.

   Agung Sedayu tidak berputus asa.

   Dalam libatan serangan lawannya.

   Agung Sedayu tetap berusaha dengan sekuat tenaga.

   Dalam pada itu, sentuhan-sentuhan tangan lawan mulai terasa ditubuh Agung Sedayu bagaikan menyengat-nyengat.

   Kadang-kadang ia terlempar jatuh, bahkan sebelum ia sempat berdiri tegak, maka kaki lawannya telah menghantamnya sehingga ia telah terguling kembali ditanah yang lembab oleh embun malam.

   Kecemasan yang sangat telah nderayapi hati mereka yang menyaksikan.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kiai Gringsing menjadi gemetar oleh kemarahan yang mencengkam dadanya, sementara Ki Waskita dan Ki Widura berdiri gemetar tanpa berbuat sesuatu.

   Disebelah yang lain, Swandaru menggeram seperti seekor harimau yang lapar.

   Namun sementara itu, kawan-kawan orang yang memiliki ilmu yang aneh itu mulai tersenyum.

   Salah seorang dari mereka berbisik.

   "Ternyata perhitunganku salah. Aku tidak sependapat dengan cara ini, karena aku mengira bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat dikalahkannya."

   "Omong kosong dengan Agung Sedayu,"

   Sahut yang lain.

   "adalah kebetulan bahwa ia berhasil mengalahkan Telengan."

   Keduanya mengangguk-agguk.

   Mereka melihat Agung Sedayu berloncatan, berguling dan bahkan seolah-olah menghindar.

   Namun dalam pada itu, ada sesuatu yang mulai terasa aneh di hati Agung Sedayu.

   Setiap kali lawannya melibatnya dengan serangan yang beruntun, maka ia merasa dirinya mempunyai kesempatan untuk mengelakkan serangan-serangan itu.

   Meskipun beberapa kali lawannya berhasil mengenai tubuhnya, namun serangan-serangan yang menjadi semakin longgar hingga pada saatnya ia berhasil membebaskan diri.

   Tetapi pada saat yang demikian, kembali ia diguncang oleh bentakan-bentakan tanah dan teriakan-teriakan yang menghimpit jantung.

   Tetapi Agung Sedayu masih mencoba meyakinkannya.

   Ia membiarkan dirinya dilihat oleh serangan-serangan yang ganas dari lawannya.

   Kemudian dengan kecepatannya bergerak ia mampu melepaskan diri sedikit demi sedikit.

   Namun dalam keadaan yang demikian, terasa keseimbangannya mulai diganggu.

   Tidak ada jalan lain,"

   Desis Agung Sedayu.

   "aku tidak mau mati sekarang. Betapapun juga, aku harus mempertahankan hidupku. Jika akibatnya tidak seperti yang aku inginkan, adalah diluar kemampuanku."

   Yang diperlukan Agung Sedayu kemudian adalah kesempatan.

   Menurut perhitungannya, lawannyapun memerlukan kesempatan untuk melepaskan ilmu yang aneh baginya.

   Dalam pertempuran yang rapat, lawannya tidak sempat mengguncang tanah dan melepaskan getaran lewat suara teriakan dan tertawanya.

   Jika Agung Sedayu merenggang dan lepas dari libatan serangannya, barulah ia melepaskan ilmunya yang aneh itu.

   Karena itulah, maka Agung Sedayu yang tubuhnya mulai dijalari oleh perasaan sakit dan nyeri itu mulai membuat pertimbangan yang mapan.

   Ia tidak ingin gagal dan terjerumus kedalam kesulitan yang semakin parah.

   Dengan sisa tenaganya, pada saat-saat lawannya melibatkan dalam serangan yang seolah-olah tidak dapat dihindarinya, maka Agung Sedayu mencoba untuk mengetrapkan perhitungannya.

   Ia sama sekali tidak menghindar dan mengelak.

   Tetapi ia dengan segenap kekuatannya sengaja membenturkan dirinya pada kekuatan lawannya.

   Ketika Agung Sedayu terguncang oleh hentakkan ilmu lawan yang seolah-olah menimbulkan gempa, Agung Sedayu memusatkan daya tahannya untuk melawan serangan lawan yang menurut perhitungannya akan segera menghantamnya.

   Dalam goncangan itu ia melihat lawannya mulai meloncat dengan kakinya yang terjulur lurus mengarah kedadanya.

   Serangan yang berkali-kali telah melemparkannya jatuh ditanah disusul dengan serangan-serangan lain yang membuatnya menjadi bingung.

   Tetapi Agung Sedayu tidak menghindar.

   Meskipun rasa-rasanya tanah dibawah kakinya bergelombang, namun ia tetap berdiri sambil menyilangkan tangannya didadanya.

   Ternyata telah terjadi benturan yang dahsyat.

   Agung Sedayu masih juga terlempar beberapa langkah.

   Ia jatuh berguling sambil menyeringai kesakitan.

   Dadanya yang tertekan oleh tangannya yang dibuatnya sebagai perisai, terasa sakit.

   Nafasnya bagaikan terputus untuk sesaat.

   Namun dalam pada itu, ternyata bahwa lawannyapun telah terlempar pula.

   Meskipun ia tidak jatuh terguling, tetapi iapun menjadi terhuyung-huyung.

   Kakinya merasa sakit bagaikan membentur dinding baja yang tak tergoyahkan.

   Pada saat itulah Agung Sedayu memperguinakan kesempatan sebaik-baiknya.

   Dengan tenaga yang masih ada padanya iapun segera bangkit dan duduk diatas tanah.

   Sengaja ia tidak berdiri untuk memperkecil goncangan-goncangan yang melepaskan keseimbangannya.

   Lawannya sama sekali tidak mengerti apa yang akan dilakukan oleh anak muda itu.

   Dalam keadaan yang demikian, ia sudah siap menghentak tanah dan berteriak atau tertawa sekeras-kerasnya, sehingga bumi bagaikan diamuk gempa, dan isi dada bagaikan rontok karenanya.

   Agung Sedayu tidak menghiraukannya.

   Ia hanya memerlukan waktu yang tidak lebih lama dari waktu yang diperlukan oleh lawannya.

   Baginya tidak ada jalan yang dapat dilakukan kecuali langsung melumpuhkan sumber dari goncangan-goncangan tanah tempatnya berpijak dan hentakan jantung dadanya.

   Tidak dalam libatan benturan jasmaniah, karena rasa-rasanya ia tidak dapat mengatasi gangguan keseimbangannya.

   Lawan Agung Sedayu itu menjadi heran ketika ia melihat Agung Sedayu justru duduk diam.

   Anak muda itu tidak lagi berusaha untuk melonjak-lonjak menghindari serangan-serangannya yang bakal datang beruntun atau menekan dadanya dengan telapak tangannya oleh hentakan yang tidak tertahankan.

   Tetapi lawan Agung Sedayu itu tidak menghiraukannya.

   Didahului dengan lontaran ilmunya yang mengguncang bumi dan memeras jantung, ia siap untuk meloncat menyerang.

   Pada saat itu Agung Sedayupun sudah siap, ia benar ingin melumpuhkan lawannya sebelum lawannya menyentuh tubuhnya dalam serangan yang akan datang membadai.

   Sejenak suasana dihalaman itu menegang.

   Orang-orang yang menyaksikan perang tanding itupun menahan nafasnya.

   Mereka melihat sikap Agung Sedayu yang berbeda.

   Anak muda itu seakan-akan sedang merenungi nasibnya yang buruk menghadapi serangan yang tidak terelakkan.

   Bahkan seolah-olah Agung Sedayu sudah berputus, asa, duduk diam tanpa mengadakan perlawanan lagi betapapun dahsyatnya serangan lawannya.

   Namun dalam pada itu.

   Kiai Gringsing dan Ki Waskita menjadi berdebar-debar.

   Bahkan diluar sadar mereka telah bergeser mundur.

   Tetapi Swandaru yang tak mengetahui apa yang akan terjadi, benar-benar jadi bingung melihat sikap Agung Sedayu.

   Iapun mengira bahwa Agung Sedayu sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk melawan, sehingga karena itu, maka iapun duduk pasrah menerima nasibnya.

   Pada saat yang tegang itu, halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung telah digetarkan oleh teriakan yang mengguncang jantung dari Agung Sedayu yang sedang melontarkan ilmunya.

   Bumi bagaikan diguncang oleh gempa yang maha dahsyat.

   Namun Agung Sedayu tetap duduk ditempatnya.

   Matanya bagaikan menyala memandang lawannya yang sedang melontarkan ilmunya.

   Pada saat itulah agung Sedayu telah siap membakar lawannya dengan ilmu yang pernah diserapnya.

   Ia tidak menyerang lawannya dengan sentuhan wadagnya, tetapi dengan sorot matanya yang tajam bagaikan menusuk langsung kepusat jantung lawan.

   Pandangan matanya yang mempunyai kekuatan hentakan kekuatan wadag berlipat-lipat, dengan dahsyatnya telah melihat lawannya menekan dan meremas isi dadanya.

   Lawan Agung Sedayu terkejut.

   Dadanya menjadi pepat bagaikan terhimpit sepasang gunung yang runtuh.

   Darahnya menjadi panas seakan-akan mendidih didalam pembuluhnya yang menyelusuri seluruh tubuh.

   Sejenak orang itu menggeliat.

   Dikerahkannya segenap daya tahannya untuk melawan himpitan yang tidak dilihatnya dengan mata wadagnya menjepit isi dadanya, serta panasnya darah diurat nadinya.

   Agung Sedayu yang duduk dengan tegang, merasa goncangan tanah tempatnya duduk menjadi berkurang.

   Getaran yang meremas jantung didadanyapun mengendor pula.

   Bahkan ia melihat lawannya mulai menggeliat menahan sakit.

   Ternyata ilmu Agung Sedayu berbeda dengan ilmu lawannya.

   Lawannya hanya mampu mempengaruhi perasaan Agung Sedayu, sehingga Agung Sedayu menjadi kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri.

   Seolah-olah ia telah kehilangan keseimbangan dan sesak nafas.

   Tetapi ilmunya sendiri, adalah benar-benar merupakan serangan langsung kepada tubuh lawannya.

   Tatapan matanya mempunyai kekuatan rabaan wadag yang kekuatannya tidak terlawan.

   Itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja lawannya menggeram.

   Namun kemudian menggeliat sambil berdesis menahan sakit.

   Tetapi himpitan didadanya itu semakin lama menjadi semakin keras, dan panas darahnya bertambah tinggi, sehingga akhirnya badannya bagaikan terbakar oleh kekuatan ilmu Agung Sedayu yang memancar dari sorot matanya Ketegangan dihalaman Kademangan Sangkal Putung itupun menjadi semakin meningkat.

   Kawan-kawan lawan Agung Sedayu itu menjadi heran melihat keadaanya.

   Mereka tidak melihat dengan mata wadag, apakah yang terjadi.

   Tetapi yang mereka lihat, adalah libatan kesakitan yang seakan-akan tidak tertahankan.

   Buku 117 Swandarupun sejenak tercenung diam.

   Ia menghubungkan keadaan lawannya dengan benturan yang terjadi sebelum keduanya terlibat pada pertempuran yang aneh itu.

   Menurut perhitungan Swandaru, benturan yang meskipun telah melemparkan Agung Sedayu itu agaknya menumbuhkan luka-luka dibagian tubuh lawannya yang lengah, karena ia menganggap bahwa Agung Sedayu sudah tidak berdaya.

   Namun dalam pada itu.

   Kiai Gringsing dan Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.

   Sekilas mereka memandang Swandaru dan Ki Widura berganti-ganti.

   Agaknya keduanya kurang menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi.

   Namun akhirnya Ki Widurapun mengangguk-angguk kecil.

   Dalam pada itu.

   Agung Sedayu tidak mau melepaskan lawannya.

   Ia menekan semakin keras himpitan ilmunya, sehingga lawannya merasa seakan-akan dadanya telah hancur dan urat nadinya menjadi hangus.

   Sejenak orang yang dikagumi dari Pesisir Endut itu masih mencoba bertahan.

   Namun akhirnya ia terhuyung-huyung, ia sama sekali tidak mampu lagi mengatasi kesulitan pada tubuhnya yang dihantam oleh ilmu yang tidak terlawan.

   Sejenak Agung Sedayu masih tetap menguasai lawannya dengan ilmunya.

   Namun ketika ia melihat lawanya mulai terhuyung-huyung dan bahkan kemudian jatuh pada lututnya.

   Agung Sedayu mulai dijalari oleh hambatan-hambatan didalam hatinya sendiri.

   Sementara itu, kawan-kawan orang yang terluka didalam itu menjadi termangu-mangu.

   Mereka menyadari, bahwa saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu diluar dugaan, telah kehilangan kekuatan dan kemampuannya.

   Ia tidak lagi sempat mengguncangkan bumi tempat mereka berpijak dan meremas jantung didalam setiap dada.

   Yang terjadi kemudian, bahwa orang itu telah menjadi sangat lemah dan berdiri diatas lututnya sambil bertelekan kedua tangannya.

   Kecemasan yang sangat telah menjalari dada mereka.

   Keadaan yang tiba-tiba itu telah membuat mereka menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

   Tetapi sudah barang tentu bahwa mereka tidak mau hanyut bersama kesalahan saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut itu.

   Apalagi merekapun merasa bahwa mereka memiliki ilmu yang tinggi lagi masih dalam bentuk yang berbeda dengan orang yang telah dilumpuhkan oleh Agung Sedayu itu.

   Selagi mereka termangu-mangu, tiba-tiba mereka mendengar hiruk pikuk yang semakin keras.

   Mereka mendengar dentang senjata beradu dan hentakan-hentakan beruntun.

   Sebenarnyalah, bahwa mereka yang bertempur dibelakang rumah Ki Demang itu telah bergeser selangkah demi selangkah mereka mamasuki halaman samping diluar sadar.

   Namun dalam pada itu, orang-orang yang datang ke Sangkal Putung itupun mengerti, bahwa dua orang pengikut orang dari Pesisir Endut itu agaknya telah terlibat dalam perkelahian pula.

   "Gila,"

   Geram salah seorang dari mereka yang berada dihalaman.

   "apakah masih ada orang Sangkal Putung lainnya yang terlepas dari pengaruh sirep ini?"

   Kawannya tidak menjawab.

   Tetapi ia tidak melihat kemungkinan lain kecuali melibatkan diri kedalam pertempuran.

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut yang mereka banggakan itu ternyata disaat-saat terakhir bagaikan kehilangan segenap ilmunya dan jatuh dihadapan Agung Sedayu.

   Namun itu bukan berarti bahwa merekapun harus menyerah dan membiarkan diri mereka diikat sebagai tawanan, karena sebenarnyalah merekapun memiliki kemampuan yang tinggi.

   Jika mereka membiarkan salah seorang kawan mereka bertempur dalam perang tanding, itu adalah karena orang itu telah dipenuhi dendam yang tidak tertahankan, sehingga ia menuntut untuk mendapat kesempatan melepaskan dendamnya.

   Seperti permintaannya, dan kepercayaannya kepada diri sendiri, maka saudara tua kakak beradik dari Pesisir Endut yang telah mati terbunuh oleh Pangeran Benawa itu menempatkan diri sebagai lawan tunggal Agung Sedayu.

   Meskipun ia mengetahui bahwa Agung Sedayu telah mengalahkan beberapa orang lawannya dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, namun ia merasa bahwa dirinya tidak kalah perkasa dari Telengan, Wanakerti, Kelasa Sawit dan orang-orang lainnya.

   Namun akhirnya iapun harus tunduk kepada kenyataan, bahwa Agung Sedayu memang seorang anak muda yang tidak dapat dikalahkannya.

   Tetapi kekalahan saudara tua kakak beradik yang mati oleh Pengeran Benawa itu bukan berarti bahwa semua kawan-kawannya harus tunduk kepada orang-orang Sangkal Putung.

   Apalagi diantara mereka telah terlanjur terlibat kedalam perkelahian yang menentukan.

   Itulah sebabnya, maka saat yang gawat itu telah dimanfaatkan sebaik-baiknya.

   Tiba-tiba saja salah seorang dari kawan orang yang dilumpuhkan oleh Agung Sedayu itu meloncat menyerang Swandaru yang termangu-mangu melihat kemenangan saudara seperguruannya.

   Untunglah bahwa Swandaru tidak lengah karenanya.

   Ia melihat gerak lawannya yang bagaikan bayangan menyambarnya.

   Karena itu maka iapun segera bersiaga dan dengan cepat menghindari serangan itu.

   Demikianlah, maka Swandarupun segera terlibat kedalam pertempuran.

   Sementara yang lainpun telah menyerang Ki Waskita pula.

   Dalam pada itu, dua orang yang memasuki halaman itu dari sebelah dinding batu itupun termangu-mangu.

   Salah seorang dari mereka berdesis.

   "Sudah aku nyatakan, bahwa aku tidak setuju dengan caranya."

   Tetapi yang lain menyahut.

   "Tidak ada waktu dan kesempatan lagi. Kita tidak akan membiarkan diri kita menjadi tawanan orang-orang Sangkal Putung."

   Tidak ada pembicaraan lagi.

   Ki Widurapun segera terlibat pula dalam pertempuran yang sengit, sementara Kai Gringsing tidak dapat menghindar lagi.

   Seseorang telah menyerangnya dengan senjata langsung mengarah kedadanya.

   Ternyata kemudian, bahwa orang-orang yang semula sekedar melihat pertempuran itu, masing-masing memiliki ilmu yang tinggi pula.

   Mereka sudah memperhitungkan, jika perang tanding itu berakhir dengan kekalahan kawan mereka, maka adalah menjadi kewajiban mereka untuk berbuat sesuatu bagi kepentingan diri mereka masing-masing dan untuk kepentingan kedatangan mereka ke Sangkal Putung, membinasakan Agung Sedayu.

   Sejenak kemudian dihalaman Sangkal Putung itupun telah terjadi pertempuran yang seru.

   Sementara itu.

   dua orang yang bertempur melawan Pandan Wangi, dan Sekar Mirah pun telah memasuki halaman depan pula diluar sadar mereka.

   Yang masih tetap berada didalam rumah adalah Ki Demang Sangkal Putung.

   Ia tidak berani meninggalkan pintu rumahnya yang pecah, karena setiap saat ada kemungkinan seseorang memasukinya.

   Karena itulah maka ia tetap berjaga-jaga dengan senjata di tangan.

   Agung Sedayu sendiri masih duduk dengan lemahnya.

   Seolah-olah ia sedang memulihkan kekuatannya yang tersisa.

   Dadanya terasa sakit disegala sendi-sendiniya, sementara pengerahan tenaga dalam ilmunya yang aneh itu telah menghisap tenaganya pula.

   Itulah sebabnya untuk sesaat ia mencoba memulihkan kekuatannya.

   Ia tidak melibatkan diri dalam pertempuran yang segera terjadi.

   Hanya sekilas ia melihat Swandaru bertempur dengan sengitnya, sementara yang lainpun telah melibatkan diri pula.

   Ternyata bahwa lawan-lawan merekapun adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tidak terduga.

   Mereka bukannya sekedar orang-orang yang ikut serta untuk melihat dan jika perlu berlindung dibelakang orang yang telah dikalahkan itu.

   Tetapi mereka masing-masing adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.

   Namun dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu telah lengah.

   Ia tidak begitu menghiraukan lawannya yang jatuh diatas lututnya dan seolah-olah tidak berdaya lagi.

   Ia membiarkan lawannya yang dikiranya telah lumpuh itu.

   Apalagi karena ia melihat orang itu tetap pada sikapnya, berdiri diatas lututnya sambil bertelekan dengan kedua tangannya.

   "Ia memerlukan waktu untuk memulihkan tenaganya,"

   Berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

   "ia akan dengan mudah ditangkap dan menjadi tawanan yang tidak berdaya."

   Karena itulah maka perhatiannya sebagian terbesar ditujukan kepada pertempuran yang tengah berkobar dihalaman.

   Apalagi ketika ia melihat bahwa Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun telah terlibat dalam perkelahian melawan dua orang dari lawan-lawan mereka yang berdatangan di Sangkal Putung.

   Dalam pada itu, selagi perhatian Agung Sedayu tertuju kepada kawan-kawannya dan terutama pada Sekar Mirah dan Pandan Wangi, maka perlahan-lahan orang yang telah dilumpuhkan itu berusaha memulihkan tubuhnya.

   Dengan cerdik ia berpura-pura tetap pada keadaannya tanpa berbuat sesuatu.

   Namun sambil berlutut dan bertelekan dengan kedua tangannya, Perlahan-lahan kekuatannya telah tumbuh kembali didalam dirinya.

   Tetapi kekuatan yang kemudian perlahan-lahan mulai timbul itu sama sekali tidak akan cukup kuat untuk berbuat dalam arena yang seru itu.

   Apalagi di halaman itu masih ada Agung Sedayu yang setiap saat masih akan siap melawannya.

   Karena itulah, maka orang yang masih saja berdiri pada lututnya itu membuat perhitungan lain.

   Ia sama sekali tidak berniat untuk bertempur lagi, karena ia tidak dapat mengingkari kenyataan.

   Sementara pertempuran di halaman itu menjadi semakin sengit, maka perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya memperhatikan keadaan.

   Ia melihat Agung Sedayu tidak sedang memperhatikannya.

   Ia masih duduk dilempatnya.

   "Iapun kelelahan,"

   Berkata orang yang dikalahkan itu didalam hatinya.

   "tetapi keadaannya tentu jauh lebih baik dari keadaanku."

   Karena itu.

   maka orang itupun harus segera mendapat keputusan.

   Dalam ributnya pertempuran itu, tiba tiba saja ia meloncat berdiri.

   Tanpa mengucap sepatah katapun, maka ia mempergunakan tenaganya yang ada untuk dengan secepat-cepatnya melarikan diri.

   Agung Sedayu terkejut melihat lawannya itu meloncat berlari.

   Karena itu, dengan serta merta iapun bangkit untuk mengejarnya.

   Namun pada saat itu ia mendengar teriakan nyaring.

   Dadanya bagaikan bergetar dan tanah tempatnya berpijak bagaikan goncang.

   Sejenak Agung Sedayu mempertahankan keseimbangannya.

   Bahkan iapun kemudian bersiap untuk melepaskan ilmunya yang ternyata tidak terlawan oleh orang yang luar biasa itu.

   Tetapi ternyata lawannya tidak menyerangnya lagi.

   Ia justru meloncat keatas dinding halaman.

   Ketika ia kemudian menghilang dibalik dinding, maka terdengar suaranya bergema.

   "Agung Sedayu. Kali ini aku gagal. Tetapi aku tidak akan pernah menyerah sebelum aku berhasil memisahkan kepalamu dari tubuhmu."

   Agung Sedayu tertegun.

   Ia tidak mengejar lawannya lebih jauh lagi.

   Namun ia justru menjadi termangu-mangu.

   Ancaman lawannya itu benar-benar membuatnya berdebar-debar.

   Bukan karena ia menjadi ketakutan.

   Tetapi dengan demikian maka dendam dihati orang yang mengaku kakak dari dua orang yang terbunuh Pangeran Benawa itu akan berkepanjangan.

   Sejenak Agung Sedayu merenungi dinding halaman yang mengelilingi arena perkelahian itu.

   Seolah-olah ia melihat lawannya berlari cepat sekali bagaikan terbang dengan sayap rangkap.

   Namun seolah-olah Agung Sedayu pun melihat, bahwa api dendam didada orang itu tentu akan berkembang semakin dahsyat.

   Di kesempatan lain, ia tentu masih akan datang kembali dan berusaha untuk membunuhnya.

   Betapa kegelisahan terasa semakin menekan hati didalam dada Agung Sedayu.

   Rasa-rasanya ia telah berdiri diatas perapian yang semakin lama nyalanya menjadi semakin besar dan semakin panas.

   Agung Sedayu tersadar dari angannya ketika ia dikejutkan oleh suara cambuk yang meledak.

   Ketika ia berpaling, ia melihat Swandaru sekali lagi mengangkat cambuknya, disusul oleh ledakan yang menekan telinga.

   Pertempuran di halaman itupun menjadi semakin dahsyat.

   Bukan saja Swandaru yang harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan seorang yang bertubuh tinggi kekar, tetapi nampaknya yang lainpun harus bertempur dengan sengitnya.

   Namun ternyata bahwa ada beberapa orang diantara mereka yang menemukan lawan yang tidak seimbang.

   Adalah mengejutkan sekali bagi seseorang yang bersenjata sepasang trisula, bahkan orang tua yang diserangnya memiliki kemampuan yang tidak terduga.

   Agaknya ia telah salah memilih lawan, karena diluar pertimbangan yang masak ia telah menyerang Kiai Gringsing.

   Kiai Gringsing bukannya seseorang yang haus akan darah.

   Karena itu maka ia tidak dengan semena-mena bertempur dan menghancurkan lawannya.

   Meskipun ia memiliki kelebihan, tetapi ia berusaha untuk dapat menangkap lawannya dalam keadaan hidup.

   Namun dalam pada itu, dua orang diantara mereka yang bertempur dihalaman itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

   Adalah kebetulan sekali bahwa mereka berdua telah memilih lawan yang paling dekat pada saat pertempuran itu meledak.

   Keduanya adalah orang-orang yang diketemukan oleh Ki Waskita dan Ki Widura di halaman sebelah.

   Salah seorang dari keduanyalah yang telah mengatakan, bahwa mereka sebenarnya kurang setuju dengan sikap yang telah diambil oleh lawan Agung Sedayu.

   Pada pertempuran itu, keduanya telah memilih lawan Swandaru dan Ki Waskita, sehingga karena itulah maka Swandaru harus bertempur dengan sekuat tenaganya untuk mempertahankan dirinya.

   Sementara itu, Ki Waskitapun harus berhati-hati menghadapi lawannya.

   Meskipun agaknya ia tidak sekuat lawan yang dikalahkan oleh Agung Sedayu.

   namun orang itupun memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan.

   Tetapi karena ia membenturkan diri pada lawan yang tangguh, maka agaknya ia tidak akan mampu mengalahkannya.

   Lawan Ki Waskitalah yang pertama-tama harus melihat kenyataan.

   Ia merasa bahwa Ki Waskita tidak akan dapat dikalahkannya.

   Meskipun pada mulanya ia masih berpengharapan, namun ternyata kemudian bahwa orang yang disangkanya orang Sangkal Putung itu memiliki kemampuan luar biasa.

   Yang terdengar kemudian adalah satu isyarat pendek.

   Semacam bunyi burung tuhu.

   Tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti arti isyarat itu.

   Apalagi nampaknya tidak ada perubahan yang terjadi diarena.

   Orang-orang yang memasuki halaman itu masih saja bertempur dengan serunya.

   Ternyata bahwa isyarat itu hanya diketahui oleh dua orang saja diantara mereka yang sedang bertempur.

   Dua orang yang semula berdiri dihalaman sebelah, yang dengan tiba-tiba saja telah merubah sikapnya dalam saat tertentu setelah suara isyarat itu.

   Dengan segera mereka keduanya meloncat meninggalkan lawan-lawannya.

   Mereka mengerahkan segenap kemampuannya tidak untuk bertempur tetapi keduanya berhasil melepaskan diri dan berlari meloncati dinding batu hilang dikegelapan malam.

   Swandaru masih berusaha mengejar lawannya.

   Tetapi lawannya benar-benar orang yang memiliki kemampuan yang tinggi.

   Langkahnya bagaikan tidak menyentuh tanah, dan tanpa dapat berbuat sesuatu Swandaru melihat orang itu seakan-akan terbang meloncati dinding.

   Swandaru juga berusaha meloncat keatas dinding.

   Namun yang kemudian nampak dihadapannya hanyalah kegelapan yang senyap.

   Kedua orang yang melarikan diri itu bagaikan lenyap ditelan bumi.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ki Waskita justru baru menyusul kemudian.

   Ia tidak segarang Swandaru.

   Meskipun ia masih mempunyai kesempatan, tetapi ternyata bahwa ia tidak mempergunakannya untuk mengejar lawannya.

   Ada keragu-raguan yang terselip dihatinya.

   "Mereka lenyap didalam kegelapan,"

   Desis Swandaru. Ki Waskita mengangguk. Jawabnya.

   "Ya ngger. Mereka lenyap. Ternyata bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Hanya karena mereka merasa tidak akan mampu menghadapi orang-orang di Sangkal Putung, yang jumlahnya tentu akan semakin bertambah-tambah. maka mereka meninggalkan arena."

   "Mereka ternyata licik paman."

   "Menurut satu sudut pandangan, memang mereka licik. Seorang laki-laki akan bersedia mati untuk mempertahankan harga dirinya."Ki Waskita berhenti sejenak, lalu.

   "tetapi agaknya mereka adalah seorang yang mempunyai nalar yang panjang. Mereka lebih senang tetap hidup, sehingga dikemudian hari masih ada kemungkinan baginya untuk mencapai tipuannya."

   Swandaru mengerutkan keningnya.

   "Itu adalah dasar piikiran bagi mereka yang tidak merasa perlu membunuh dirinya dalam keadaan yang seharusnya masih dapat dihindarinya."

   Kata Ki Waskita. Sambil mengangguk Swandaru berdesis.

   "Mungkin paman. Tetapi dengan demikian. maka seorang laki-laki akhirnya tidak perlu lagi mempersoalkan harga dirinya."

   Ki Waskita termangu-mangu.

   Tetapi ia tidak menjawab.

   Ia kemudian menyadari, bahwa mungkin pendapat Swandaru akan berbeda.

   Dalam pada itu.

   keduanya seolah-olah tersadar ketika mereka mendengar teriakan nyaring.

   Ternyata bahwa lawan Pandan Wangi berusaha untuk menghentakkan segenap kemampuannya.

   Tetapi ternyata bahwa lawannya memiliki ilmu yang lebih tinggi daripadanya, sehingga hentakan kekuatannya itu sama sekali tidak berarti.

   Pandan Wangi dengan mudah mengelakkan serangan yang tiba-tiba itu.

   Bahkan kemudian ialah yang justru meloncat menyerang meski pun tidak dengan sepenuh tenaga.

   Swandaru yang melihat Pandan Wangi masih bertempur, tiba-tiba saja bergeser setapak.

   Namun ketika ia sudah siap untuk meloncat, Ki Waskita telah menggamitnya.

   "Kita harus mendapat keterangan tentang serangan ini ngger,"

   Berkata Ki Waskita.

   "Maksud paman?,"

   Swandaru mengerutkan keningnya.

   "apakah kita harus menangkap mereka hidup-hidup."

   "Aku kira demikian. Jika kita didorong oleh nafsu kemarahan, sehingga kita kehilangan perhitungan, maka kita akan kecewa. Kita tidak akan mendapatkan keterangan apapun juga. sehingga banyak hal yang seharusnya dapat kita pecahkan masih harus tetap merupakan teka-teki yang berkepanjangan."

   Swandaru mengangguk-angguk. Katanya.

   "Baiklah paman. Tetapi aku tidak dapat membiarkan Pandan Wangi bertempur terus melawan laki-laki yang garang itu. Kakang Agung Sedayupun seharusnya menolong Sekar Mirah jika ia telah dapat memulihkan kesegaran badannya."

   "Marilah. Kita akan berbuat sesuatu. Kita tidak akan membiarkan mereka lari meninggalkan halaman ini seperti yang lain."

   Swandaru dan Ki Waskitapun kemudian meloncat turun dari dinding halaman.

   Mereka bergegas mendekati arena pertempuran yang sengit.

   Ternyata bahwa pertempuran dihalaman itu semakin lama menjadi semakin pasti.

   Lawan Kiai Gringsing sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.

   Meskipun Kiai Gringsing masih saja memberi kesempatan menyerangnya, tetapi serangan-serangan itu sama sekali tidak berarti.

   Kiai Gringsing semata-mata bermaksud untuk sekedar memeras tenaga lawannya, agar lawannya itu akan kelelahan.

   Orang yang bertempur melawan Ki Widurapun tidak mempunyai harapan sama sekali untuk menang.

   Meskipun Ki Widura masih belum mampu menempatkan diri sejajar dengan Kiai Gringsing.

   Namun ternyata ia berhasil untuk menguasai lawannya.

   Sementara itu lawan Sekar Mirah dan Pandan Wangipun tidak melihat kesempatan sama sekali untuk menang.

   Apalagi ketika mereka melihat Swandaru dan Ki Waskita mendekati mereka.

   "Gila,"

   Berkata orang-orang itu di dalam hatinya.

   Mereka merasa telah diumpankan oleh lurahnya.

   Namun betapapun juga, nampaknya sulit bagi mereka untuk dapat melarikan diri.

   Kecuali ilmu mereka memang masih belum setingkat dengan orang-orang yang telah menghilang dari halaman itu, merekapun melihat orang-orang yang telah kehilangan lawannya seakan-akan datang mengurung.

   Demikian juga orang-orang yang bertempur melawan Kiai Gringsing dan Ki Widura.

   Agung Sedayu yang tidak mau kehilangan lagi, telah berdiri didekat arena itu.

   Agaknya iapun telah bersiap untuk berbuat sesuatu jika lawannya yang masih tinggal berusaha untuk melarikan diri.

   Bahkan sejenak kemudian.

   Agung Sedayulah yang berkata nyaring.

   "Menyerahlah. Masih ada kesempatan. Sebentar lagi ilmu sirep ini akan terhapus dengan sendirinya. Para peronda akan terbangun, dan mereka akan berdatangan masuk kehalaman ini. Nah, kalian akan mengetahui akibatnya. Jika kalian mempunyai hubungan dengan mereka yang menyerang aku di Mataram, maka kalian tentu sudah mendengar, apakah yang telah terjadi dengan mereka. Para pengawal yang marah telah datang mencincang mereka beramai-ramai tanpa menghiraukan nilai-nilai kemanusiaan karena terdorong oleh kemarahan yang tidak tertahankan."

   Kata-kata Agung Sedayu itu benar-benar berpengaruh.

   Sebenarnya Swandaru lebih senang untuk bertempur terus.

   Tetapi ia masih segan terhadap gurunya dan Ki Waskita.

   Karena itu, ia tidak menyahut.

   Ia justru menunggu, apakah yang akan dilakukan oleh orang-orang yang sedang bertempur dihalaman melawan orang-orang Sangkal Putung itu.

   Sejenak kemudian, maka orang-orang yang berada dihalaman rumah Ki Demang dan terlibat dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, benar-benar telah menjadi berputus asa.

   Bahkan mereka tidak mendapat kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu.

   Bahkan meninggalkan halaman itupun agaknya tidak akan dapat mereka lakukan lagi.

   Karena itu, maka tawaran Agung Sedayu itu adalah kesempatan yang sebaik-baiknya yang dapat mereka lakukan.

   Meskipun demikian, mereka masih juga ragu-ragu.

   Jika mereka menyerah, apakah tidak ada kemungkinan Agung Sedayu ingkar, dan membiarkan mereka dicincang dihalaman itu.

   Namun sekali lagi mereka mendengar Agung Sedayu berkata.

   "Ki, sanak. Kami, orang-orang Sangkal Putung tidak ingin lagi melihat kematian-kematian terjadi di Kademangan ini. Karena itu, sekali lagi aku minta kalian untuk menyerah. Aku akan minta kepada, Ki Demang di Sangkal Putung agar kalian tidak mendapat hukuman yang terlalu berat."

   Kata-kata itu benar-benar telah menentukan bagi orang-orang yang sudah merasa diri mereka berdiri diujung pedang. Karena itulah maka merekapun kemudian hampir bersamaan melemparkan pedangnya sambil berteriak.

   "Kami menyerah."

   Kiai Gringsing dan Ki Widura dengan cepat menguasai diri masing-masing.

   Pandan Wangipun segera menghentikan serangannya.

   Sekar Mirahlah yang agaknya masih didorong oleh kepedihan meninggalnya Ki Sumangkar, sehingga rasa-rasanya ia masih ingin melepaskan himpitan perasaan didadanya.

   Ketika lawannya menyatakan diri untuk menyerah sambil melepaskan senjatanya, Sekar Mirah masih mengalami kesulitan untuk menahan diri.

   Karena itulah, maka tangan kirinya masih menghantam dada orang itu, sehingga lawannya itupun terlempar jatuh.

   "Mirah,"

   Desis Agung Sedayu. Sekar Mirah berdiri tegak. Katanya dengan nada datar.

   "Aku sudah mencoba menguasai diri. Aku tidak menghantamkan dengan senjataku, sehingga kepalanya tidak hancur."

   Agung Sedayu memandang orang yang terbaring itu. Namun agaknya orang itu masih sempat bangkit sambil menyeringai menahan sakit.

   "Bangunlah. Berkumpullah dengan kawan-kawanmu,"

   Berkata Agung Sedayu. Sejenak orang itu masih harus menahan dadanya dengan telapak tangannya. Sejenak ia berdesis sambil berdiri diatas lututnya.

   "Jangan merajuk,"

   Sekar Mirahlah yang membentak.

   "jika kau tidak lekas bangkit dan berkumpul dengan kawan-kawanmu, aku akan memecahkan kepalamu."

   "Jangan, jangan,"

   Orang itu ketakutan.

   Namun justru karena itu maka iapun segera bangkit dan berjalan tertatih-tatih berkumpul dengan kawan-kawannya yang juga menyerah.

   Dalam pada itu, Ki Demangpun telah berada dihalaman itu pula.

   Namun Sekar Mirah masih juga bertanya.

   "Apakah pintu itu ayah tinggalkan terbuka?"

   "Ya. Pintu itu tidak dapat ditutup lagi,"

   Jawab ayahnya.

   "Tetapi bagaimana jika masih ada orang lain yang akan memasuki rumah itu? "

   Desak Sekar Mirah. Namun diluar dugaan, maka salah seorang dari mereka yang menyerah itupun menyahut.

   "Tidak ada orang lain. Kami hanya berlima."

   Jawaban itu benar-benar menarik perhatian. Kiai Gringsing bahkan maju selangkah sambil bertanya.

   "Apakah benar yang kau katakan?"

   "Ya. Kami berangkat dari Pesisir Endut hanya berlima."

   "Siapakah yang dua orang lagi?"

   Bertanya Swandaru tidak sabar. Orang-orang itu termangu-mangu. Mereka nampaknya menjadi ragu-ragu untuk menjawab.

   "Sebut,"

   Bentak Swandaru sambil melangkah mendekati salah seorang dari mereka.

   Orang itu mengerutkan lehernya.

   Tetapi ia masih tetap tidak mengucapkan jawaban.

   Swandaru tidak sabar lagi melihat sikap orang itu.

   Apalagi kemarahan masih saja menyala didadanya, sehingga tiba-tiba saja ia sudah memukul pelipis orang itu sambil membentak.

   "jawab."

   Orang itu terdorong selangkah. Bahkan kemudian iapun terjatuh ditanah. terdengar ia mengaduh tertahan.

   "He orang-orang Pesisir Endut,"

   Bentak Swandaru.

   "jika kalian mencoba untuk merahasiakan sesuatu yang sebenarnya kalian ketahui, maka jangan menyesal bahwa kamipun dapat bersikap seperti orang-orang Pesisir Endut, seperti dua bersaudara yang ingin membunuh anak-anak yang sama sekali tidak bersalah dan tidak bersangkut paut dengan persoalannya. Apalagi kalian bukan anak-anak lagi, dan kalianpun langsung bersangkut paut dengan persoalan ini."

   Wajah orang-orang Pesisir Endut itu menjadi pucat.

   "Bangun,"

   Teriak Swandaru. Orang yang terjatuh itupun kemudian bangkit perlahan. Namun rasa-rasanya kakinya menjadi gemetar. Sikap Swandaru yang garang itu membuatnya menjadi semakin ketakutan.

   "Jawab pertanyaanku,"

   Swandaru semakin mendekat.

   "siapakah dua orang yang datang bersama kalian, tetapi yang kemudian melarikan diri selain pemimpin yang sudah berperang tanding dengan kakang Agung Sedayu?"

   Orang itu memandang Swandaru dengan wajah yang semakin pucat. Dengan bibir gemetar ia menjawab.

   "Bukan maksudku untuk merahasiakan sesuatu. Tetapi sebenarnyalah bahwa kami berempat itu tidak banyak mengetahui tentang kedua orang itu. Mereka adalah orang-orang yang sudah siap menunggu kami di pinggir Kota Raja."

   "Pajang? "

   Desak Swandaru.

   "Ya."

   "Jadi kalian singgah di Pajang lebih dahulu sebelum datang kemari?"

   Orang itu termangu-mangu. Sejenak ia memandang kawan-kawannya. Tetapi kawan-kawannya menundukkan kepalanya. Sehingga dengan demikian maka orang itu harus mencari jawabnya sendiri.

   "Kenapa kau diam? "

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bentak Swandaru. Orang itu tergegap. Kemudian jawabnya.

   "Ya, kami memang singgah dahulu di Pajang untuk kemudian bersama-sama dengan dua orang itu melanjutkan perjalanan."

   Swandaru memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan suara gemetar ia menggeram.

   "Jangan mengelabui kami. Sebut nama kedua orang itu. Kau tentu mendengarnya lurahmu memanggilnya atau justru kau sudah mengenal mereka dengan baik."

   "Aku tidak bohong."

   Orang itu menjadi semakin gemetar. Swandaru menjadi tidak sabar lagi. Setapak ia maju dengan wajah yang membara. Namun ketika tangannya hampir saja diangkatnya untuk memukul orang yang ketakutan itu, Ki Waskita berkata.

   "Aku percaya ngger, bahwa orang itu benar-benar tidak tahu siapakah kedua orang yang melarikan diri itu."

   Swandaru berpaling. Tetapi wajahnya yang tegang masih saja tetap tegang. Bahkan dengan nada dalam ia berdesis.

   "Kenapa Ki Waskita mengambil kesimpulan demikian?"

   "Aku mendengar beberapa patah kata percakapan kedua orang itu. Mereka memang bukan berasal dari satu kelompok dengan orang-orang ini."

   Ki Waskita berhenti sejenak, lalu.

   "seandainya demikian, maka mereka berdua tentu tidak akan meninggalkan kawan-kawannya begitu saja tanpa berusaha untuk membawa mereka atau menghilangkan kemungkinan seperti yang kita lakukan sekarang."

   Swandaru termenung sejenak. Namun Kiai Gringsing-pun berkata.

   "Biarlah orang-orang itu disimpan saja lebih dahulu Swandaru. Barangkali pada saatnya ada gunanya."

   Swandaru memandang ayahnya sesaat.

   Sebenarnya ia agak berkeberatan menyimpan orang di Kademangannya, karena hal itu akan dapat mengundang persoalan yang mungkin akan menimbulkan kegoncangan di Kademangannya.

   Tetapi Swandaru tidak dapat berbuat lain.

   Dalam keadaan yang demikian ia tidak akan dapat menyelesaikan persoalan orang-orang itu menurut kehendaknya sendiri, atau memusnakannya sama sekali.

   Ki Demangpun berpikir sejenak.

   Bahkan kemudian ia berdesis.

   "Bagaimana jika orang ini kita serahkan saja kepada Pajang atau kepada Mataram?"

   "Untuk sementara tidak Ki Demang,"

   Kiai Gringsinglah yang menjawab.

   "aku tahu bahwa orang-orang ini akan dapat mengundang keributan. Mungkin akan datang kawan-kawannya untuk membebaskannya. Memang akibatnya akan lebih gawat jika mereka tetap kita simpan dibandingkan jika mereka telah terbunuh sama sekali."

   "Jangan, jangan,"

   Terdengar orang-orang itu meminta.

   "Kami tidak akan membunuh kalian,"

   Sahut Agung Sedayu.

   "kami hanya membuat perbandingan. Dan kamipun minta agar kau mengerti."

   Orang-orang itu terdiam membeku.

   Ada semacam kebimbangan tentang keselamatan diri.

   Mungkin Agung Sedayu hanya bergurau atau sengaja mempermainkan perasaan mereka, namun yang pada suatu saat akan menusuk dada mereka dengan pedang, atau mengikat leher mereka dengan tampar serabut, kemudian menggantung tinggi disudut padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.

   Namun agaknya Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh berkata.

   "Cobalah menenangkan diri. ingat-ingatlah apa yang kalian ketahui selama kalian terpaksa kami simpan ditempat yang khusus. Beberapa orang pengawal akan menjaga kalian siang dan malam untuk beberapa hari."

   Orang-orang itu menjadi agak tenang. Namun mereka masih juga bertanya kepada diri sendiri.

   "Bagaimana sesudah beberapa hari itu."

   Dalam pada itu, setelah orang-orang itu dibawa untuk di simpan.

   Agung Sedayupun teringat kenapa para pengawal yang tertidur.

   Pengaruh sirep itupun agaknya sudah menjadi semakin menipis seperti kabut yang disentuh angin lembut.

   Meskipun peralahan-lahan, namun akhirnya hilang sama sekali.

   Dengan ragu-ragu Agung Sedayupun kemudian pergi ke gardu diregol halaman Kademangan.

   Dilihatnya beberapa orang masih tidur nyenyak.

   Ada yang bersandar pohon, ada yang terbaring di gardu.

   Dengan hati-hati agar tidak mengejutkan para pengawal Agung Sedayu menyentuh mereka seorang demi seorang.

   Agaknya pengaruh sirep benar-benar telah terlepas dari mereka, sehingga perlahan-lahan merekapun mulai terbangun.

   "Kalian tertidur nyenyak sekali,"

   Berkata Agung Sedayu. Kata-kata itu ternyata telah mengejutkan mereka. Dengan serta merta beberapa orangpun berloncatan bangkit dan bertanya.

   "Apa yang terjadi?"

   Agung Sedayu menunjukan ke halaman sambil berkata.

   "Lihatlah. Ada beberapa orang mamasuki halaman Kademangan."

   "Apa yang mereka lakukan? "

   Beberapa orang bertanya bersamaan. Agung Sedayu memandang mereka berganti-ganti. Lalu.

   "Mereka berusaha untuk menimbulkan huru-hara. Tetapi mereka segera dapat kami atasi meskipun kalian tertidur nyenyak."

   "Siapa saja yang tertidur? Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi atas diriku. Tiba-tiba saja aku seperti pingsan dan tidak tahu apa-apa lagi."

   "Kami menahan beberapa orang. Carilah kawan-kawanmu yang sedang meronda. Jika mereka tertidur, bangunkan mereka. Kami memerlukan beberapa orang pengawal untuk menjaga empat orang tahanan yang berilmu tinggi. Karena itu maka pengawasannyapun harus dilakukan sebaik-baiknya. Disisa malam ini biarlah aku tidak berjaga-jaga. Tetapi seterusnya penjagaan harus diatur sebaik-baiknya."

   Dua orang diantara merekapun kemudian meninggalkan gardu sambil menggosok mata mereka, seolah-olah mereka tidak yakin atas peristiwa yang baru saja terjadi. Namun salah seorang berkata.

   "Apakah kau percaya kepada ilmu sirep?"

   Yang lain mengerutkan keningnya. dengan ragu-ragu ia berdesis.

   "Kau sangka bahwa kita sudah terkena sirep?"

   Kawan-nya termangu-mangu. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi atas dirinya dan kawan-kawannya. Dengan ragu-ragu iapun kemudian berkata.

   "Ya. Aku kira kita sudah terkena sirep. Aku merasa seakan-akan mataku direkat dengan cairan pati pohung."

   Yang lain tertawa pendek. Dengan nada yang datar ia menyahut.

   "Gila. Ternyata ada sekelompok orang-orang sakti yang telah datang ke Kademangan ini. Mereka telah menyebarkan sirep dan membuat kita semuanya tidak berdaya. Untunglah di Kademangan ini masih tinggal beberapa orang yang dapat mengatasi mereka."

   "Disini akan tetap tinggal orang-orang yang mumpuni. Swandaru dan Pandan Wangi tidak akan meninggalkan Kademangan. Untuk sementara Sekar Mirahpun masih tinggal."

   Kawannya mengangguk-angguk. Mereka memang berbangga atas anak-anak Ki Demang beserta anak menantunya. Mereka merupakan pelindung Kademangan mereka dari orang-orang sakti yang tidak dapat dilawan dengan cara yang wajar.

   "Seandainya sekelompok penjahat datang ke Kademangan ini, maka para pengawal akan mengusirnya. Kami tidak akan gentar melawan kekuatan yang betapapun besarnya. Tetapi melawan ilmu sirep, adalah diluar kemampuan kami,"

   Geram salah seorang dari keduanya.

   Kawannya tidak menjawab.

   Ketika mereka sampai digardu, disimpang empat, maka mereka melihat beberapa orang pengawal masih tertidur nyenyak.

   Diantaranya, terjdapat anak-anak muda yang memang terbiasa berada di gardu-gardu meskipun mereka tidak kebetulan sedang bertugas.

   "Ilmu itu luar biasa kuatnya. Jarak dari tempat ini cukup panjang bagi ilmu sirep. Tetapi agaknya kekuatan ilmu itu masih mencengkam mereka,"

   Desis yang seorang. Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka berdiri tennangu-mangu didepan gardu. Mereka melihat dua orang diantara mereka tersandar dinding justru diluar gardu dengan senjata telanjang ditangan.

   "Mereka seperti sudah mati. Seandainya dalam keadaan yang demikian, seorang saja dari pihak lawan datang dengan pedang terhunus, maka dalam sekejap, kita sudah kehliangan beberapa orang pengawal."

   "Termasuk kita sendiri. Mungkin kitalah yang paling dahulu."

   "Tidak. Kebetulan kita bertugas didepan rumah Ki Demang. Swandaru tentu akan menolong kita."

   Kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya.

   "Kau selalu mengharap pertolongan orang lain."

   Yang lain tidak menghiraukannya. Perlahan-lahan ia mendekati kawan-kawannya yang masih tetap tidur dengan nyenyaknya.

   "Aku akan menyembunyikan senjata-senjata mereka. Baru kita membangunkan."

   Sejenak kawannya ragu-ragu. Desisnya.

   "Kita tidak sedang bergurau. Dihalaman Kademangan ada beberapa yang memerlukan pengawasan."

   Tetapi kawannya tidak menghiraukannya. Dengan hati-hati ia memungut senjata dari mereka yang tertidur di gardu dan meletakkannya beberapa langkah dari mereka.

   "Ah, kau masih sempat membuat onar,"

   Desis kawannya. Tetapi pengawal yang memang senang bergurau itu tidak menghiraukannya. Ketika senjata-senjata itu sudah dijauhkan dari kedua orang yang tertidur itu, tiba-tiba ia menarik kawannya untuk bersembunyi.

   "Apa yang kau lakukan?"

   "Sst,"

   Desisnya sambil memaksa kawannya untuk berjongkok di belakang segerumbul perdu.

   Dari tempat persembunyian itu, ia melempar pengawal yang tertidur itu dengan kerikil beberap kali.

   Ternyata bahwa pengaruh sirep benar-benar sudah tidak mencangkam mereka lagi.

   Ternyata kerikil-kerikil itu telah membangunkan kedua pengawal itu.

   Diluar sadar, tangan merekapun telah menggapai mencari senjata masing-masing.

   Namun tiba-tiba saja salah seorang bangkit sambil bertanya.

   "He, kau lihat pedangku?"

   "Pedangku juga tidak ada."

   Keduanyapun saling berpandangan. Hampir bersamaan keduanya bergeser kedepan gardu. Dan yang mereka lihat adalah kawan-kawannya yang tertidur nyenyak.

   "He, kita semuanya tertidur. Aneh. Hal yang tidak pernah terjadi,"

   Desis yang seorang.

   "Bagaimana mungkin,"

   Sahut yang lain. Namun kemudian.

   "Kitalah yang sedang bertugas. Tetapi agaknya kitapun telah tertidur."

   "Dan senjataku telah hilang."

   "Senjataku juga."

   Keduanya termangu-mangu sejenak.

   Namun tiba-tiba mereka menjadi tegang.

   Terdengar langkah kaki mendekat, sehingga hampir berbareng keduanya telah memungut senjata kawan-kawannya yang sedang tertidur.

   Tetapi ternyata yang datang adalah dua orang pengawal.

   Meskipun demikian keduanya tetap merasa cemas, justru karena semua orang telah tertidur dan senjata mereka lepas dari tangan.

   "Apa yang terjadi?"

   Bertanya salah seorang pengawal yang baru datang.

   "Tidak apa-apa,"

   Jawab salah seorang dari mereka yang baru saja terbangun dari tidur.

   "Kenapa semuanya tertidur?"

   Bertanya yang lain.

   "apakah memang sudah menjadi kebiasaan kalian disini?"

   "Kenapa semuanya?,"

   Jawab yang seorang dari mereka yang baru bangun.

   "kami berdua tidak tertidur, kamilah yang sedang bertugas. Sengaja yang lain kami biarkan tidur, agar kami dapat bergantian."

   Pengawal yang datang dari halaman Kademangan itu termangu-mangu.

   Apalagi ketika mereka melihat kedua orang itu sudah membawa senjata ditangannya.

   Tetapi yang seorang dari kedua pengawal yang datang itu masih sempat tersenyum melihat senjata yang berada ditangan salah seorang dari mereka yang baru saja terbangun itu.

   Senjata itu adalah sebilah golok yang besar meskipun tidak panjang.

   Pengawal yang baru saja terbangun melihat kawannya yang baru datang itu dengan heran.

   Bahkan kemudian ia bertanya.

   "Kenapa kau tersenyum? Apakah kau tidak percaya?"

   Yang baru saja datang itu masih saja tersenyum. Dalam keremangan cahaya obor di gardu ia melihat wajah-wajah yang tenang didalam tidur yang nyenyak.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mereka nampaknya tidur nyenyak,"

   Berkata salah seorang dari mereka. Lalu.

   "he, apakah yang kau genggam itu memang senjatamu?"

   Orang yang memegang golok itu menyahut cepat.

   "Ya. Kenapa?"

   "Jika kau sedang beristirahat, apakah golok itu tidak pernah kau sarungkan?"

   "Tentu. Kenapa?"

   "Cobalah menyarungkan golokmu."

   Orang itu termangu-mangu. Tiba-tiba saja diluar sadarnya ia memandangi golok yang besar itu. Kemudian sarung pedang dilambungnya. Sarung pedang panjang, tetapi tidak sebesar golok itu.

   "Ah,"

   Desisnya. Mau tidak mau iapun terpaksa tersenyum pula. Demikian pula kedua pengawal yang lain. Bahkan kawannya yang baru saja terbangun bersamanya itupun mengamat-amati senjatanya pula sambil bergumam.

   "Aku salah mengambil senjataku. Senjata inipun tidak cocok dengan sarung dilambung ini."

   Kedua pengawal yang baru datang itupun tertawa. Salah seorang dari mereka berkata.

   "Kalian kira kami tidak tahu, bahwa kalian sudah tertidur nyenyak sambil melepaskan senjata kalian. He, apakah kalian dengan sengaja menyembunyikan senjata kalian disebelah gardu itu."

   "Dimana? "

   Kedua pengawal yang tertidur itu hampir berbareng bertanya.

   "Aku melihat dua buah senjata seolah-olah sengaja disembunyikan atau di singkirkan. Aku kira kalian sudah tidur nyenyak sehingga seseorang dengan mudah mengambil senjata kalian dari tangan. Untunglah bahwa senjata itu tidak menikam kalian sendiri."

   "Dimana? "

   Pengawal itu mendesak.

   "Marilah. Aku tunjukkan."

   Merekapun kemudian pergi kesebelah gardu itu. Dengan telunjuknya pengawal yang memang menyembunyikan pedang itu berkata.

   "Lihat. Senjata siapakah yang diletakkan disana."

   Keduanya bergegas mengambil senjata masing-masing. Sejenak mereka mengamat-amati. Sambil mengangguk salah seorang dari keduanya bergumam.

   "Memang senjataku."

   "Dan kau ingkar bahwa kau memang sudah tertidur nyenyak?"

   Pengawal yang menemukan senjatanya itu tersenyum. Jawabnya.

   "Aku tahu sekarang. Kalian menemukan kami sedang tertidur. Kalian sengaja menyembunyikan senjata-senjata kami."

   "Jadi kalian memang tertidur?"

   Kedua pengawal yang sedang tertidur itu menarik nafas dalam-dalam.

   Mereka mencoba mengingat apa yang sudah terjadi.

   Ternyata yang mereka alami adalah peristiwa yang jarang sekali dapat terjadi.

   Mereka masih ingat, betapa mereka bertahan terhadap perasaan kantuk yang luar biasa.

   Mereka masih melihat kawan-kawan mereka seorang demi seorang berbaring dan mendekur.

   Keduanya sudah berusaha melawan kantuk dengan berjalan-jalan diluar gardu.

   Namun akhirnya mereka terlena juga.

   

   first share di Kolektor E-Book 30-08-2019 15:37:02
oleh Saiful Bahri Situbondo


Kuda Putih Karya Okt Dendam Asmara -- Okt Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung

Cari Blog Ini