Ceritasilat Novel Online

Api Dibukit Menoreh 22


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 22


Api di Bukit Menoreh (05) - SH Mintardja

   Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 30-08-2019 15:37:02 Oleh Saiful Bahri Situbondo

   
Api di Bukit Menoreh (05) Karya dari SH Mintardja

   

   Anak muda itu tertawa. Katanya.

   "Aku memenuhi kata-katamu. Aku ingin mendapatkan suasana baru. Apakah kau keberatan."

   "Sudah aku katakan Sabungsari,"

   Jawab Agung Sedayu.

   "aku senang kau datang. Silahkan. Aku akan mencuci tangan lebih dahulu."

   "Jangan kau tinggalkan pekerjaanmu,"

   Potong Sabungsari. Agung Sedayu yang sudah melangkah kepakiwan tertegun. Sementara Sabungsari berkata seterusnya.

   "Teruskan. Kau tinggal menyelesaikan sedikit lagi. Halaman padepokan ini akan nampak bersih dan gilar-gilar."

   Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia barkata.

   "Sebaiknya aku menipersilahkan tamuku duduk dahulu."

   "Tidak. Aku bukan tamu. Aku adalah kawan bermain. Anggap saja demikian. Kedatanganku memang tanpa keperluan apapun. Aku datang untuk mencari kesegaran. Jika kau menerima aku seperti kau menerima seorang tamu, maka aku akan jatuh lagi kedalam suasana yang kaku,"

   Sahut Sabungsari. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian.

   "Jika demikian, terserahlah kepadamu. Aku akan menyelesaikan kerjaku. Duduklah lebih dahulu dipendapa."

   "Tidak dipendapa. Aku akan duduk disini,"

   Jawab Sabungsari sambil duduk di babatur dinding halaman.

   "Terserahlah,"

   Jawab Agung Sedayu.

   "jika kau ingin demikian, maka silahkan melihat-lihat padepokan kecilku ini."

   Sabungsaripun mengangguk-angguk sambil menjawab.

   "Terima kasih. Selesaikan kerjamu lebih dahulu."

   Sementara Agung Sedayu melanjutkan menyapu sudut halaman yang tersisa, maka Glagah Putih yang melihat kedatangan Sabungsaripun mendekat pula sambil berkata.

   "Tentu Ki Sanak yang datang semalam."

   Sabungsari tersenyum. Jawabnya.

   "Tepat. Ternyata kau adalah anak muda yang cermat. Kau mengenal aku didalam gelap malam."

   "Apa sulitnya?"

   Bertanya Glagah Putih.

   "kau semalam juga memakai pakaian yang kau pakai sekarang."

   Sabungsari tertawa, sementara Agung Sedayu berdesis.

   "Sst, kenapa kau sebut juga tentang pakaian?"

   "Menarik sekali,"

   Berkata Sabungsari sambil tertawa.

   "adik sepupumu memiliki pengamatan yang luar biasa Agung Sedayu."

   Agung Sedayupun tertawa juga, sementara Glagah Putih berkata.

   "Ah. jangan memuji. Aku menjadi malu sekali, seolah-olah aku benar-benar memiliki kelebihan."

   "Kau memang mempunyai banyak kelebihan,"

   Sahut Sabungsari. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mendekati Agung Sedayu ia berkata.

   "Kakang berikan sapu itu kepadaku. Biarlah aku yang menyelesaikan sudut yang sedikit itu."

   Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, namun kemudian diberikannya sapu itu kepada Glagah Putih sambil berkata.

   "Baiklah Glagah Putih. Selesaikan sudut yang tersisa itu."

   "Tetapi aku tidak telaten menyapu halaman seperti kakang Agung Sedayu. Tanpa tapak kaki. Aku menyapu dengan cara yang biasa. Tidak mundur seperti undur-undur."

   Sabungsari tertatik kepada kata-kata Glagah Putih itu. Tiba-tiba saja ia memperhatikan bekas sapu lidi Agung Sedayu. Katanya.

   "Luar biasa. Kau menyapu seluruh halaman ini tanpa telapak kaki. Aku tidak begitu memperhatikan. Jika Glagah Putih tidak mengatakan, aku tidak melihat perbedaan cara Agung Sedayu menyapu halaman ini."

   Agung Sedayu tertawa. Katanya.

   "Aku hanya sekedar bergurau dengan diriku sendiri."

   "Nampaknya demikian. Tetapi untuk melakukan seperti yang kau lakukan itu memerlukan ketahanan niat tersendiri. Kau melatih ketahanan dan ketekunan. Yang kau lakukan sungguh-sungguh mengagumkan."

   Agung Sedayu masih tertawa. Kemudian katanya.

   "Marilah. Biarlah Glagah Putih menyelesaikannya. Marilah bertemu dengan Kiai Gringsing yang sudah aku anggap orang tuaku sendiri bersama dua orang kawan dekatnya."

   "Jangan mengganggu mereka. Biarlah mereka melakukan kewajibannya. Aku akan berjalan-jalan mengelilingi padepokan ini jika kau tidak berkeberatan,"

   Sahut Sabungsari.

   "Tentu aku tidak berkeberatan,"

   Jawab Agung Sedayu. Keduanyapun kemudian berjalan menyusuri halaman samping padepokan kecil itu. Sabungsari tidak bersedia untuk dengan tergesa-gesa diperkenalkan dengan orang-orang tua yang berada di padepokan itu.

   "Nanti saja, jika mereka sudah beristirahat,"

   Katanya.

   Dalam pada itu.

   Kiai Gringsingpun sedang membersihkan ruang dalam pedepokannya, sementara Ki Waskita sedang mengisi jambangan dipakiwan.

   Ki Widurapun sedang sibuk dengan cangkulnya, mengatur air yang mengalir disebatang parit kecil di kebun mengaliri beberapa buah kolam yang ada di padepokan itu.

   "Padepokan kecil ini memang luar biasa,"

   Desis Sabungsari yang sedang melihat-lihat padepokan itu.

   "berapa lama umur pedepokanmu?"

   Tiba-tiba saja ia bertanya.

   "Kenapa?"

   Bertanya Agung Sedayu pula.

   "Aku dengar padepokanmu ini belum terlalu lama kau bangun. Tetapi disini terdapat beberapa batang pohon buah-buahan yang sudah berbuah."

   "O,"

   Agung Sedayu mengangguk-angguk.

   "tanah ini adalah bekas tanah pategalan. Ditanah pategalan itu memang sudah terdapat beberapa batang pohon buah-buahan. Karena itulah, maka pohon itu kini sudah berbuah.Tegasnya, pohon buah-buahan itu ada disitu sebelum tempat ini menjadi sebuah pedepokan."

   "O,"

   Sabungsari mengangguk-angguk. Wajahnya nampak cerah. Nampaknya padepokan itu sangat menarik perhatiannya.

   "Sayang, aku seorang prajurit."

   Gumannya.

   "Kenapa kalau kau seorang prajurit?"

   Sekali lagi Agung Sedayu bertanya.

   "Aku tidak dapat sebebas kau menikmati ketnangan dalam padepokan kecil ini. Aku terikat pada suatu tata kerja yang teratur dalam ketertiban kewajiban."

   "Jangan berkata begitu,"

   Jawab Agung Sedayu.

   "setiap lapangan mempunyai bentuk dan coraknya sendiri."

   "Benar. Dan agaknya aku sudah terperosok kedalam lingkungan yang salah. Yang tidak sesuai dengan sifat dan pembawaanku."

   Agung Sedayu memandang anak muda itu sekilas.

   Tetapi ia tidak menemukan kesan yang khusus diwajahnya yang tunduk.

   Untuk sesaat keduanya saling berdiam diri.

   Mereka berjalan menyusuri halaman belakang padepokan bekas tanah pategalan itu.

   Langkah mereka tertegun ketika mereka melihat seseorang sibuk membelokkan arus air sebuah parit kecil di kebun padepokan yang nampak hijau segar itu.

   "Itulah Ki Widura, ayah Glagah Pulih,"

   Desis Agung Seayu. Ternyata Widura mendengar kata-kata Agung Sedayu, sehingga iapun berpaling. Keningnya berkerut ketika ia melihat seorang anak muda dalam pakaian seorang prajurit berjalan bersama Agung Sedayu.

   "Paman,"

   Berkata Agung Sedayu.

   "anak muda ini adalah seorang prajurit dibawah kakang Untara."

   "Jauh dibawah,"

   Sabungsari menyahut.

   "aku adalah prajurit ditataran paling bawah."

   Ki Widura memandang Sabungsari itu sejenak. Kemudian diletakkannya cangkulnya. Sambil tersenyum ia berkata.

   "Aku mengenalmu dari pakaian yang kau kenakan anak muda."

   "Namanya Sabungsari,"

   Agung Sedayu memperkenalkan namanya. Widura mengangguk-angguk. Katanya.

   "Sepagi ini kau sudah berada disini anakmas. Apakah kau hari ini tidak mempunyai tugas?"

   "Aku mendapat istirahat hari ini Ki Widura. Aku baru turun dari tugas semalam suntuk meronda Jati Anom dan sekitarnya."

   "Kau tidak mempergunakan saat-saat ini untuk beristirahat?"

   Bertanya Ki Widura.

   "Sebentar lagi. Pagi ini aku ingin singgah dipadepokan Agung Sedayu yang tenang ini."

   "Tetapi sejak kapan kalian berkenalan?"

   Tiba-tiba saja Widura bertanya. Sabungsari termangu-mangu. Tetapi Agung Sedayulah yang menjawab seperti adanya.

   "Semalam paman. Semalam Sabungsari menemui aku disawah untuk memperkenalkan diri."

   Ki Widura mengangguk-angguk. Dan iapun tersenyum ketika Sabungsari menjelaskan niatnya seperti yang sudah dikatakannya kepada Agung Sedayu.

   "Ya."

   Widura mengangguk-angguk.

   "mungkin kau menemukan udara baru dipadepokan ini. Silahkan. Bukankah kau baru melihat-lihat? Barangkali Agung Sedayu dapat menjamumu dengan buah-buahan meskipun agaknya masih terlalu pagi."

   Sabungsari tertawa sambil mengangguk-angguk. Katanya.

   "Terima kasih. Terima kasih Ki Widura."

   Keduanyapun meneruskan langkah mereka. Mula mula mereka menyusuri kolam yang jernih. Mereka melihat beberapa kelompok ikan gurami berenang melingkar-lingkar.

   "Senang sekali,"

   Gumam Sabungsari.

   "kau tinggal memetik padi disawah, kemudian menangkap beberapa ekor gurami di kolam. Sehabis makan kau dapat memetik buah-buahan didahan yang segar."

   Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya.

   "Menyenangkan bagi yang tidak mengalaminya sehari-hari. Tetapi bagi kami, hal itu sudah terlalu biasa, sehingga memang itulah warna hidup kami sehari-hari."

   Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya.

   "Hari ini aku mendapat istirahat sehari penuh."

   "Apakah kau akan berada di padepokan ini sehari penuh pula?"

   Bertanya Agung Sedayu.

   "Apakah kau tidak berkeberatan?"

   "Kenapa aku berkeberatan?"

   Sabungsari merenung sejenak. Lalu katanya.

   "Terima kasih. Aku akan berada disini sehari penuh."

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Demikianlah seperti yang dikatakannya, Sabungsari berada di padepokan itu sehari penuh.

   Seperti anak-anak muda yang bebas dari segala kewajiban, Sabungsari menikmati hari istirahatnya bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih.

   Demikian mereka selesai makan siang, maka merekapun segera pergi kekebun belakang memetik buah-buahan.

   Rasa-rasanya Sabungsari ingin memetik semua buah jambu air yang berwarna kemerah-merahan beruntai bergayutan disetiap ranting.

   Sambil berbaring di sehelai ketepe yang dianyam dari daun nyiur mereka berteduh dibawah rimbunnya sebatang pohon jambu air yang berbuah lebat sekali.

   Dengan asyiknya mereka berceritera tentang bermacam-macam persoalan yang mereka jumpai sehari-hari dalam hidup mereka.

   Sabungsari berceritera tentang kejemuannya hidup dibawah bersama prajurit-prajurit yang lain.

   sementara Glagah Putih berceritera tentang padepokannya yang semakin subur.

   "Sebentar lagi kuweni itu akan berbuah,"

   Berkata Glagah Putih.

   "sekarang daun-daunnya sudah mulai bersemi kemerah-merahan. Dari ujung daun-daun muda itu akan tumbuh bunga-bunganya yang putih. Kemudian akan bergayutan buah kuweni selebat daunnya. He, kau pernah makan kuweni?"

   Sabungsari tertawa. Jawabnya.

   "Tetanggaku mempunyai pohon kuweni pula dipedukuhanku. Jika kuweni itu berbuah lebat, maka banyak yang berjatuhan dihalaman rumahku. Bukankah kuweni biasanya dibiarkan tua didahan?"

   "Ya. Kami juga membiarkan kuweni itu berjatuhan. Barulah kuweni itu terasa enak sekali dimakan."

   Sabungsari mengangguk-angguk.

   Dipandanginya daun kuweni yang mulai bersemi.

   Daun-daun mudanya yang berwarna kemerah-merahan memberikan kesegaran tersendiri diantara hijau daunnya yang rimbun.

   Namun dalam pada itu, sekilas membayang rencananya yang akan dilakukannya untuk melepaskan dendam yang bersarang dihatinya.

   Ia tidak melupakan kematian ayahnya.

   Kini ia sudah berhadapan dengan orang yang telah membunuh ayahnya itu.

   "Tetapi aku ingin menjajagi sampai dimanakah kemampuan ilmu Agung Sedayu sebelum aku menantangnya untuk berperang tanding,"

   Berkata Sabungsari didalam hatinya.

   Tetapi Sabungsari tidak tergesa-gesa.

   Ia mempunyai banyak waktu untuk melakukannya.

   Ia sudah berhasil berkenalan dengan Agung Sedayu yang dicarinya dengan tekun untuk melepaskan dendamnya.

   Supaya ia tidak tergelincir seperti orang-orang yang mendahuluinya, maka ia ingin mengenal Agung Sedayu lebih banyak."

   Karena itulah, maka Sabungsari tidak berbuat sesuatu.

   Ia benar-benar berlaku sebagai seorang kawan yang baik bagi Agung Sedayu, seperti yang dikatakan, bahwa dipadepokan itu ia telah menemukan suasana yang baru.

   Dengan demikian, maka Agung Sedayu merasa bahwa ia telah mendapatkan seorang kawan baru yang sesuai dengan umurnya.

   Prajurit itu nampaknya seorang yang ramah dan berterus terang.

   Menjelang senja, maka Sabungsari itu minta diri.

   Dengan hormat ia membungkuk dihadapan Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura.

   "Aku akan sering datang kemari,"

   Berkata Sabungsari.

   "Kami akan menerima dengan senang hati ngger,"

   Sahut Kiai Gringsing.

   "datanglah di hari-hari istirahatmu kepadepokan ini."

   Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya.

   "padepokan ini merupakan tempat yang paling menyenangkan yang pernah aku kenal."

   Kiai Gringsing hanya tersenyum saja. Kemudian dilepaskannya Sabungsari meninggalkan padepokan itu sampai keregol halaman padepokan bersama Ki Waskita dan Ki Widura.

   "Anak yang baik,"

   Berkata Kiai Gringsing.

   "nampaknya ia seorang prajurit yang tangguh. Tetapi juga seorang anak muda yang merindukan sesuatu. Nampaknya ia pernah kehilangan dan kini ia sedang mencari isi dari kekosongan itu."

   Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun wajahnya membayangkan sesuatu yang agak buram.

   "Apakah yang Ki Waskita lihat?"

   Bertanya Kiai Gringsing. Ki Waskita termenung sejenak. Dipandanginya anak muda yang semakin lama menjadi semakin jauh itu.

   "Apakah kau baru mengenalnya semalam Agung Sedayu?"

   Bertanya Ki Waskita.

   "Ya Ki Waskita,"

   Jawab Agung Sedayu.

   "semalam ia menyusul kami di sawah ketika kami menengok air yang mengalir tidak begitu lancar diparit yang menyilang jalan kecil itu."

   Ki Waskita masih mengangguk-angguk. Gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri.

   "Anak itu memang baik. Tetapi aku melihat sesuatu yang mungkin keliru dipenglihatanku."

   "Apakah yang kau lihat?"

   Bertanya Ki Widura.

   "Aku melihat noda yang melekat di senyumnya yang cerah itu."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya.

   "Rasa-rasanya ia seorang yang baik. Hatinya terbuka dan agaknya ia memang seseorang yang memerlukan orang lain didalam hidupnya."

   "Ya. Nampaknya didalam sikap dan kata-katanya. Tetapi aku melihat jauh lebih dalam lagi.

   "Ki Waskita berhenti sejenak, lalu.

   "tetapi isyarat itupun kurang dapat aku pahami."

   Agung Sedayupun mengangguk-angguk.

   Seandainya Ki Waskita tidak melihat isyarat apapun, maka kecurigaannya memang wajar.

   Adalah terlalu berlebih-lebihan bahwa anak muda itu menyusulnya kesawah.

   Kemudian pagi-pagi benar ia sudah berada dipadepokan.

   Sehari penuh ia berada dipadepokan itu untuk melihat-lihat dan mengenal setiap sudut-sudutnya, seolah-olah tidak ada sejengkal tanahpun yang dilampauinya.

   "Tetapi bagiku,"

   Berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

   "sikap itu adalah justru sikap yang tulus, tanpa dibuat-buat dan jujur."

   Namun Agung Sedayu tidak mengatakannya.

   Ia menahannya didalam hati.

   Namun ia mengharap bahwa akhirnya Ki Waskita akan mengakui kebenaran dugaannya itu.

   Sejak saat itu, maka Sabungsari terlalu sering datang kepadepokan kecil itu.

   Bahkan hampir setiap waktu terluangnya, meskipun hanya beberapa saat, ia memerlukan datang.

   Kadang-kadang ia datang berkuda masih dalam pakaian keprajuritannya yang lengkap.

   Ia hanya berteriak saja didepan regol.

   Jika Agung Sedayu atau Glagah Putih telah menjenguknya, maka sambil melambaikan tangannya ia berpacu meninggalkan regol itu.

   Bagi Agung Sedayu.

   Sabungsari merupakan kawan yang baik.

   Sekali-sekali keduanya pergi bersama mengelilingi Jati Anom.

   Kadang-kadang Glagah Pulih ikut bersama mereka.

   Tetapi kadang-kadang tidak seorangpun serta.

   Jika keduanya berkuda di bulak panjang yang sepi, terbersit keinginan Sabungsari untuk menyelesaikan tugas yang terasa selalu bergejolak didalam dadanya.

   Ia ingin segera dapat melepaskan dendam yang sudah lama tersimpan.

   Tetapi Sabungsari tidak mau mengorbankan harga dirinya sebagai seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi dengan membunuh lawannya dari belakang.

   Ia harus menyatakan maksudnya kepada Agung Sedayu, kemudian menyelesaikan persoalannya dengan cara seorang laki-laki, perang tanding.

   Namun setiap kali Sabungsari masih dibayangi oleh keragu-raguan.

   Ia belum berhasil menjajagi kemampuan Agung Sedayu, sehingga setiap kali ia masih saja menahan hati.

   "Aku harus dapat mengetahui dengan melihat sendiri, apa yang dapat dilakukan oleh anak ini,"

   Berkata Sabungsari didalam hatinya. Karena selama itu. ia baru mendengar kata orang, bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan tidak terlawan.

   "Omong kosong,"

   Kadang-kadang Sabungsari menggeram. Namun pendengarannya itu selalu membayanginya dengan keragu-raguan.

   "Aku akan mengajaknya bermain-main dengan ilmu,"

   Katanya didalam hati.

   "dengan demikian, aku akan dapat melihat, apakah yang telah dilakukannya."

   Dengan demikian, maka Sabungsari selalu mencari kesempatan untuk dapat melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Dengan berbagai cara ia mencoba untuk menyudutkan Agung Sedayu kedalam keadaan yang memungkinkannya menunjukkan kemampuannya.

   "Agung Sedayu,"

   Katanya pada saat ia berkunjung di padepokan kecil itu.

   "setiap orang mengatakan, bahwa kau adalah orang yang tidak terlawan saat ini. Dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, kau berhasil membunuh beberapa orang terpenting dari mereka yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Sebenarnyalah, aku sebagai seorang prajurit, kadang kadang merasa iri. Umurmu dan umurku tidak terpaut banyak. Mungkin aku lebih tua sedikit, sebaya dengan Ki Untara. Namun aku tidak pernah dapat membayangkan, apa yang pernah kau lakukan itu."

   Pertanyaan itu mengejutkan Agung Sedayu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya.

   "Dari siapa kau mendengar peristiwa yang terjadi di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu?"

   Sabungsari memandang Agung Sedayu dengan heran. Katanya.

   "Setiap mulut mengatakannya demikian. Setiap prajurit di Jati Anom mengetahui bahwa adik Untara telah melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Tetapi hal itu telah terjadi."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya.

   "Sama sekali tidak benar. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku bertempur diantara para pengawal dari Mataram, dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Sangkal Putung. Aku tidak mempunyai kelebihan apapun dari mereka. Apalagi dengan para pemimpin pengawal itu."

   Sabungsari memandang Agung Sedayu dengan kecewa. Katanya.

   "Aku tahu, bahwa kau bukan seorang anak muda yang sombong, yang senang dipuji, apalagi sesongaran menunjukkan kelebihannya. Tetapi aku sekedar menuruti gejolak hati yang tidak dapat aku tahan lagi. Sebagai seorang prajurit yang ingin aku ketahui adalah olah kanuragan."

   Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya.

   "Tidak ada yang dapat aku tunjukkan kepadamu dan kepada siapapun. Yang terjadi seperti yang kebanyakan terjadi dipeperangan. Dan aku hanyalah satu dari sekian banyak orang."

   Sabungsari tersenyum, betapapun kecutnya. Katanya.

   "Aku sudah mengira. Tetapi bagaimana kau dapat membunuh Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung yang memegang kendali pertempuran dari mereka yang berada dilembah itu, Samparsada dan Kelasa Sawit, jika kau hanya satu diantara yang sekian banyaknya."

   "Aku tidak membunuh mereka. Bagaimana mungkin kau dapat menuduhku membunuh mereka itu?"

   "Agung Sedayu,"

   Desis Sabungsari.

   "mungkin kau benar. Tetapi kau adalah sebab terakhir kematian merereka."

   "Kelasa Sawit?"

   Bertanya Agung Sedayu. Namun kemudian Katanya.

   "Sudahlah. Aku ingin melupakan semuanya. Yang terjadi merupakan bayangan yang kelam didalam hidupku. Aku mohon jangan kau sebut lagi."

   Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Namun katanya kemudian.

   "Maaf Agung Sedayu. Jika aku menyebutnya, bukan karena aku ingin mengingatkan kau apa yang telah terjadi. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku sebagai seorang prajurit ingin melihat, bagaimana kau mengetrapkan ilmu yang tiada taranya itu. Menurut pendengaranku, kau mempunyai kemampuan yang seolah-olah tidak terbatas."

   "Ah,"

   Desah Agung Sedayu.

   "Jangan menyelubungi kemampuan yang sudah diketahui oleh setiap orang itu Agung Sedayu."

   "Itu omong kosong,"

   Desis Agung Sedayu.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"sudahlah. Marilah kita berbicara tentang pohon buah-buahan, tentang burung yang berkicau dan tentang air parit yang bening."

   "Tetapi aku seorang prajurit Agung Sedayu. Aku tentu akan lebih banyak berbicara tentang olah kanuragan dan olah senjata jenis apapun juga,"

   Jawab Sabungsari.

   "Dan aku? Aku seorang petani dipadepokan kecil. Aku lebih tertarik kepada pohon buah-buahan dan tanaman yang hijau disawah. Dan memang sebenarnyalah aku hanya pandai menyiangi padi yang tumbuh subur serta menghalau burung pipit menjelang padi dituai."

   Sabungsari sudah menduga, bahwa ia tidak akan mudah memaksa Agung Sedayu memamerkan kemampuannya, apapun alasannya.

   Sifat-sifat Agung Sedayu yang mulai dikenalnya sejak ia bergaul dengan anak muda itu, memberikan beberapa petunjuk, bahwa ia akan mengalami kesulitan untuk menjajagi ilmu anak muda yang seolah-olah tertutup rapat diruang perbendaharaan berlapis tujuh.

   "Gila,"

   Sabungsari bergumam didalam hatinya.

   "aku harus berhasil mengetahui tingkat ilmunya sebelum aku terjerumus kedalam kesalahan seperti yang pernah terjadi. Jika aku tidak yakin dapat membunuhnya. maka aku akan menunda sampai saatnya aku menyempurnakan ilmuku barang enam atau sepuluh bulan dengan tekun berdasarkan ilmu yang sudah aku kuasai. Meskipun aku merasa bahwa yang aku miliki sekarang ini sudah lebih selapis, atau setidak-tidaknya setingkat dengan ilmu ayahku, namun ada kemungkinan bahwa Agung Sedayupun telah meningkat pula."

   Karena itu, Sabungsari masih harus bersabar.

   Ia bukan seorang yang bodoh dan tergesa-gesa.

   Tetapi ia ingin menyelesaikan persoalannya dengan sikap seorang laki-laki dalam perang tanding.

   Bukan seorang pembunuh yang licik yang menikam lawannya dari punggung.

   Karena itu, maka yang dilakukan kemudian dan dihari berikutnya, sama sekali tidak mengesankan rencananya yang sudah tersusun rapi.

   Ia masih merupakan kawan yang baik bagi Agung Sedayu, bahkan bagi Glagah Putih.

   Baginya Glagah Putih bukannya persoalan yang perlu mendapat perhatian tersendiri.

   Ia tahu bahwa Glagah Putih dengan tekun melatih diri dibawah tuntunan Agung Sedayu dan ayahnya, Ki Widura dalam cabang ilmu Ki Sadewa yang agak berbeda dari ilmu yang diwarisi oleh Agung Sedayu dari Kiai Gringsing.

   Namun ternyata bahwa Agung Sedayupun nampaknya menguasai benar-benar setiap unsur gerak dari ilmu ayahnya yang telah meninggal itu.

   Tetapi tingkat ilmu Glagah Putih barulah pada tataran dasar, meskipun meningkat dengan pesatnya.

   Meskipun demikian, isi padepokan kecil itu selalu berlaku hati-hati dan sesuai dengan kebiasaan didalam setiap perguruan yang sebenarnya.

   Latihan-latihan khusus selalu dilakukan dalam ruang tertutup bagi orang lain.

   Bahkan bagi anak-anak muda yang tinggal dipadepokan itu.

   "Aku harus mendapat akal,"

   Berkata Sabungsari kepada dirinya setiap kali ia digelisahkan oleh rencananya yang masih belum maju setapakpun baginya, sehingga ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengintip kedalamnya.

   Sementara itu Ki Waskita masih tetap berada dipadepokan kecil itu.

   Sudah ada niatnya untuk pulang.

   Tetapi ketika ia melihat isyarat yang buram pada anak muda yang bernama Sabungsari, ia menjadi ragu-ragu.

   Namun akhirnya Ki Waskita ragu-ragu terhadap dirinya sendiri.

   Ternyata sudah beberapa lamanya Sabungsari berkenalan dengan Agung Sedayu, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ia bertindak tidak jujur.

   Keduanya seperti sahabat yang saling mempercayai dalam banyak hal.

   "Aku mulai tua,"

   Berkata Ki Waskita kepada diri sendiri.

   "banyak yang nampak kabur dimata hatiku. Tetapi itu tidak perlu aku sesali."

   Dengan demikian, maka niat Ki Waskita itupun kemudian disampaikannya kepada Kiai Gringsing, bahwa ia sudah lewat waktunya untuk pulang ke rumahnya.

   "Aku mengatakan kepada keluargaku, bahwa aku tidak lama berada di Sangkal Putung. Mereka tentu menunggu. Meskipun aku sudah terbiasa pergi, namun semakin tua istriku menjadi semakin cemas melepaskan aku."

   Kiai Gringsing tertawa.

   Tetapi ia tidak dapat menahan Ki Waskita lebih lama.

   Adalah wajar sekali, sebagai seorang yang berkeluarga, maka ikatan keluarga itu jauh lebih penting dari ikatan persahabatan yang manapun juga.

   Meskipun demikian.

   Kiai Gringsing masih juga bertanya.

   "Ki Waskita, bagaimanakah pendapat Ki Waskita tentang Agung Sedayu?"

   Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya.

   "Aku mengerti Kiai. Ternyata kini ia banyak mendapat cobaan. Ia kini harus menghadapi berbagal macam ilmu. Di Sangkal Putung, ia harus berhadapan dengan ilmu sirep yang tajam. Juga ilmu yang langsung menyentuh angan-angan dan pertimbangannya. Melawan saudara tua kedua kakak beradik dari Pesisir Endut, maka selain bertempur melawan orang itu dalam olah kanuragan, iapun harus memerangi kegelisahannya karena baginya, seolah-olah bumi telah terguncang."

   "Ya Ki Waskita. Aku tidak mempunyai dasar pengetahuan mendalam tentang hal itu. Aku hanya dapal menangkis berdasar pada keyakinanku atas diri sendiri. Tetapi tidak karena aku memahami ilmunya secara mendasar."

   Ki Waskita mengangguk-angguk.

   Ia mengerti yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing.

   Iapun menyadari bahwa sebagai dua orang yang berbeda perguruan dan warisan ilmu yang pernah mereka pelajari, maka Kiai Gringsing dan Ki Waskita mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, pada segi yang berbeda-beda.

   Ki Waskitapun sadar, bahwa Kiai Gringsing memerlukannya bukan bagi dirinya sendiri.

   Sebenarnya juga bukan bagi Agung Sedayu itu sendiri.

   Tetapi dalam tugas yang diemban oleh Agung Sedayu, kadang-kadang ia menemukan kesulitan karena jenis-jenis ilmu yang tidak terhitung jumlahnya yang tersebar dimuka bumi.

   Yang satu mempunyai kelebihan dari yang lain.

   Tetapi tidak ada ilmu yang tidak terkalahkan, betapapun dahsyatnya.

   Kiai Gringsingpun tidak akan menyerahkan Agung Sedayu dalam bimbingan orang lain sebagaimana seorang guru menyerahkan muridnya untuk mendapatkan bimbingan khusus, karena murid Kiai Gringsing tidak hanya seorang saja.

   Karena itu, maka seolah-olah diluar sadarnya, maka Ki Waskitapun berkata.

   "Kiai, apakah Kiai mengijinkan Agung Sedayu pergi bersamaku barang satu dua pekan?"

   Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengerti sikap Ki Waskita. Karena itu, maka iapun menjawab.

   "Jika Ki Waskita menghendaki anak itu untuk mengikuti perjalanan Ki Waskita kembali, aku tidak berkeberatan."

   "Baiklah Kiai. Aku akan bertanya langsung kepadanya,"

   Berkata Ki Waskita kemudian.

   Kiai Gringsing mengangguk-angguk.

   Ia menyadari sepenuhnya, bahwa ia sudah berbuat sesuatu yang tidak seimbang bagi murid-muridnya.

   Meskipun ia tidak dengan resmi berkata kepada Ki Waskita, menyerahkan Agung Sedayu untuk mendapatkan tambahan ilmu yang mempunyai sifat dan watak yang berbeda dengan ilmu yang telah dikuasai oleh anak itu, namun ia telah membuka jalan bagi Agung Sedayu.

   Tetapi tidak bagi Swandaru.

   Kepada orang lain ia dapat berkata, bahwa niat itu tumbuh dari hati Ki Waskita sendiri yang sudah lama bergaul dengan Agung Sedayu.

   Juga kepada Swandaru ia dapat berkata seperti itu.

   Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada dirinya sendiri.

   "Apa boleh buat,"

   Katanya kepada diri sendiri.

   "aku tidak mempunyai niat buruk. Swandaru menunjukkan gejala sifat yang kurang dapat aku pahami, sedang Agung Sedayu bagiku mempunyai sikap dan pandangan hidup yang lebih sesuai dengan ketinggian ilmu yang bakal dimiliki dan dikembangkannya."

   Namun Kiai Gringsingpun menyadari, bahwa Agung Sedayupun mempunyai cacat jiwani.

   Keragu-raguan dan ketidak pastiannya akan dapat mengganggunya, tetapi yang ada padanya, masih jauh lebih cerah dari yang nampak pada Swandaru.

   Ketika Agung Sedayu menunggu senja, duduk diserambi gandok padepokan kecilnya, maka Ki Waskitapun mendekatinya.

   Sejenak mereka berbincang mengenai sawah dan ladang.

   Namun percakapan itupun kemudian semakin menjurus pada maksud Ki Waskita.

   "Aku akan mengajakmu barang satu dua pekan,"

   Berkata Ki Waskita. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya.

   "Apakah guru akan mengijinkan?"

   "Aku sudah berbicara dengan gurumu,"

   Jawab Ki Waskita.

   "aku bermaksud menunjukkan kepadamu sesuatu yang barangkali penting bagimu. Bagi bekal hidupmu."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita berkata selanjutnya.

   "Ternyata bahwa duniamu untuk sementara memang menjadi buram karena dendam dan kebencian. Yang terjadi adalah diluar kehendakmu dan diluar kuasamu untuk menolak."

   "Ya Ki Waskita,"

   Agung Sedayu menundukkan kepalanya.

   "Dendam itu selalu membayangimu, sebagaimana membayangi Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa."

   Ki Waskita berhenti sejenak, lalu.

   "namun mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang pilih tanding."

   Agung Sedayu mengangguk-angguk.

   Ia menyadari bahwa Ki Waskita bukannya tidak mempunyai maksud tertentu dengan kata-katanya itu.

   Sebagai seorang perasa Agung Sedayupun segera menangkap, bahwa Ki Waskita bermaksud mengatakan kepadanya, agar ia mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan dengan memperdalam ilmunya, sehingga setidak-tidaknya tidak terpaut terlalu banyak dari kedua orang anak muda itu.

   Sebenarnya bahwa Agung Sedayu tidak dapat menjajagi.

   betapa tingginya ilmu Raden Sutawijaya.

   Ia adalah seorang anak muda yang terlalu sering mesu diri.

   menempa ilmunya sehingga melampaui kebanyakan orang.

   Sedangkan Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang ajaib.

   Yang terlempar dari dunianya oleh kekecewaan yang mendalam.

   Namun ia adalah seorang anak muda yang memiliki ilmu tiada taranya.

   Agung Sedayu sendiri telah menyaksikan, bagaimana Pangeran Benawa pernah membunuh dua bersaudara dari Pesisir Endut.

   Diluar sadarnya Agung Sedayu telah melihat ke dirinya sendiri.

   Yang terakhir ia telah bertempur melawan saudara dari kedua kakak beradik dari Pesisir Endut yang telah dibunuh oleh Pangeran Benawa.

   "Apakah dengan demikian, aku sudah pantas menyejajarkan diri disamping kedua anak muda itu? "

   Pertanyaan itu tiba-tiba saja telah tumbuh dihatinya.

   Sebuah kebanggaan memang membersit dihatinya.

   Bagaimanapun juga Agung Sedayu adalah seorang yang dikehendaki atau tidak, telah sering terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang berilmu tinggi.

   Karena itulah, maka kemampuan dan tingkat ilmu kanuragan masih juga merupakan kebanggaan baginya.

   Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terkilas wajah Rudita.

   Wajah yang jernih dan cerah.

   Secerah wajah-wajah anak-anak yang sama sekali tidak tersentuh noda-noda hitamnya kehidupan.

   "Ah,"

   Tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesah. Namun ia telah terperosok jauh kedalam lingkaran dendam kebencian yang seakan-akan tidak berujung dan berpangkal seperti sebuah lingkaran. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika Ki Waskita bertanya.

   "Apakah kau siap untuk berangkat dalam waktu dekat?"

   Sejenak Agung Sedayu berpikir. Jawabnya kemudian.

   "Aku siap Ki Waskita. Tetapi bagaimana dengan Glagah Putih, aku kira ia ingin sekali untuk ikut serta dalam perjalanan ini. Setiap kali ia selalu minta agar ia diijinkan untuk ikut dalam setiap perjalanan."

   Ki Waskita mengangguk-angguk.

   "Bagaimana dengan kau? Jika kau tidak berkeberatan, akupun tidak berkeberatan. Selebihnya, bagaimana dengan Ki Widura. Agung Sedayu termenung sejenak. Memang ada keinginannya untuk mengajak adik sepupunya itu. Perjalanan yang agak panjang akan membuatnya mengenal lingkungan yang lebih luas. Namun dengan demikian, ia mempunyai pertanggungan jawab yang lebih berat. Glagah Putih sendiri adalah seorang anak muda yang baru dalam olah kanuragan. Meskipun ia memiliki dasar yang baik, tetapi yang sudah diserapnya masih belum terlalu banyak.

   "Aku akan minta pertimbangan guru dan parnan Widura,"

   Berkata Agung Sedayu kemudian.

   "jika keduanya tidak mengijinkan, maka aku tidak akan membawanya meskipun ia minta."

   "Baiklah, mintalah petunjuk-petunjuk mereka. Kita akan berangkat besok pagi."

   "Besok pagi,"

   Agung Sedayu mengulangi.

   "begitu cepat?"

   "Aku sudah terlalu lama disini."

   "Baiklah Ki Waskita. Aku juga akan minta diri kepada Sabungsari agar ia tidak kecewa bahwa ia tidak dapat menjumpai aku jika ia datang kemari. Apalagi jika aku pergi bersama Glagah Putih."

   Tiba-tiba saja wajah Ki Waskita menjadi buram. Sekilas terbayang kembali isyarat yang pernah dilihatnya tentang anak muda yang bernama Sabungsari itu. Namun yang akhirnya diragukannya sendiri. Meskipun demikian, Ki Waskita itupun berkata.

   "Aku kira tidak perlu Agung Sedayu. Biarlah Kiai Gringsing atau Ki Widura mengatakan kepadanya, bahwa kau sedang menempuh suatu perjalanan. Akupun tidak sependapat jika mereka yang tinggal akan memberitahukan, kemana kau pergi untuk satu dua pekan mendatang."

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kenapa? "

   Agung Sedayu menjadi heran.

   "ia sering datang ke padepokan ini. Sikapnya selama ini baik kepadaku dan kepada Glagah Putih."

   "Agung Sedayu,"

   Berkata Ki Waskita bersungguh-sungguh.

   "jika aku ingin mengajakmu pergi untuk satu dua pekan itu tentu aku mempunyai maksud tertentu. Aku kira kau sudah mengerti. Karena itu. maka kepergianmu sebaiknya tidak perlu diketahui oleh orang-orang yang tidak berkepentingan meskipun ia sahabat baik bagimu."

   Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti maksud Ki Waskita. Karena itu, maka Ki Waskita yang melihat keragu-raguan diwajah Agung Sedayu mencoba menjelaskan.

   "Agung Sedayu. Biarlah kepergianmu kali ini merupakan persoalan perguruanmu, bahkan lebih sempit lagi, karena aku dan juga Kiai Gringsing tidak menyertakan saudara seperguruanmu sendiri. Bahkan aku berniat untuk tidak memberitahukan hal ini kepada siapapun juga selain kau sendiri dan jika dikehendaki dan diijinkan, Glagah Putih."

   Agung Sedayu mengangguk-angguk.

   Sebenarnya ia merasa kecewa bahwa ia tidak diperbolehkan untuk minta diri kepada sahabatnya yang dianggapnya seorang anak muda yang baik, yang memerlukan seseorang untuk mengisi kekosongan hidupnya, karena ia telah menjadi jemu kepada lingkungannya.

   Namun Agung Sedayupun tidak dapat melanggar pesan Ki Waskita.

   Ia sadar, bahwa niat Ki Waskita membawanya tentu ada hubungannya dengan perkembangan terakhir yang terjadi atas dirinya.

   "Nah, mulailah mempersiapkan diri. Katakan kepada gurumu, kepada pamanmu dan kepada Glagah Putih. Jangan kau ajak anak itu jika ia tidak menyatakan atas kehendaknya sendiri. Baru kemudian ia harus minta diri kepada ayahnya dan persetujuan Kiai Gringsing."

   Agung Sedayupun kemudian bangkit dan melangkah mencari gurunya untuk minta pertimbangannya.

   Tidak banyak persoalan yang dihadapi Agung Sedayu dari gurunya, karena ternyata Kiai Gringsing telah mengetahui segala-galanya.

   Kiai Gringsing hanya memberikan beberapa pesan, bahwa perjalanannya itu bukan perjalanan tamasya.

   Ketika Agung Sedayu menyinggung Glagah Putih, maka Kiai Gringsing berkata.

   "Kau harus minta ijin pamanmu Widura. Tetapi jika anak itu tidak berkeras untuk ikut, biarlah ia tinggal bersama kami dipadepokan ini."

   Agung Sedayu mengangguk. Ia menjadi ragu-ragu menghadapi Glagah Putih. Sebenarnya ia ingin juga seorang kawan diperjalanan pulang untuk kawan berbincang. Namun jika Glagah Putih ikut bersamanya, maka ia akan berada dibawah tanggung jawabnya.

   "Aku kira tidak akan banyak rintangan disepanjang jalan,"

   Berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

   Namun ketika teringat olehnya dendam yang sudah dinyalakannya dimana-mana, maka ia menjadi bimbang.

   Hampir diluar sadarnya ketika Agung Sedayu justru menyampaikan niatnya untuk pergi bersama Ki Waskita lebih dahulu kepada Glagah Putih sebelum ia bertemu dengan pamannya, Ki Widura.

   Seperti yang diduganya, dengan serta merta Glagah Putih berkata.

   "Aku ikut dengan kakang. Kali ini harus."

   "Siapa yang mengharuskan Glagah Putih?"

   Bertanya Agung Sedayu. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Jawabnya.

   "Aku. Aku yang mengharuskan aku sendiri untuk ikut."

   "Jika aku berkeberatan."

   "Terserah kepada kakang Agung Sedayu. Tetapi aku akan mengikuti kemana saja kakang pergi. Aku ingin sekali melihat-lihat daerah yang agak jauh."

   Agung Sedayu memandangi wajah adiknya yang nampak bersungguh-sungguh. Anak itu tentu akan sangat kecewa jika kali ini ia tidak diijinkan untuk ikut pergi bersamanya. Karena itu, maka Agung Sedayu berkata.

   "Glagah Putih. Semuanya tergantung kepada paman Widura. Jika paman mengijinkan, akupun tidak berkeberatan. Tetapi kau harus menyadari, bahwa mungkin perjalanan yang nampaknya akan menyenangkan itu akan menjadi perjalanan yang berat. Diperjalanan pulang, kita hanya akan berdua saja. Kau harus menyadari, apa yang pernah terjadi atas kita. Terutama atas aku sendiri."

   Glagah Pulih mengangguk-angguk. Katanya.

   "Dimanapun akan sama saja bahayanya. Jika orang-orang berniat buruk, maka ia dapat menyergap kita bukan saja diperjalanan, tetapi dapat dilakukan di sawah, di ladang atau di pategalan. Saat-saat kita menunggui sawah atau saat-saat kita memetik buah-buahan."

   Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Apalagi ketika Glagah Putih berkata.

   "Justru di padepokan ini mereka akan dapat segera menemukan kita. Agak berbeda dengan diperjalanan, karena kita dalam keadaan bergerak."

   "Baiklah,"

   Berkata Agung Sedayu.

   "aku akan menemui paman Widura. Semuanya terserah kepada paman."

   "Aku ikut menemui ayah. agar aku dapat menjelaskan kepada ayah, bahwa aku bukan kanak-kanak lagi."

   Agung Sedayu tidak dapat menolak.

   Berdua mereka mencari Ki Widura untuk menyampaikan maksudnya.

   Ketika Ki Widura mendengar rencana kepergian Agung Sedayu yang akan diikuti oleh Glagah Putih, maka Ki Widura hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

   Ia mengerti kepentingan kepergian Agung Sedayu.

   Namun nampaknya Glagah Putih benar-benar ingin ikut bersamanya.

   "Perjalanan itu bukannya perjalanan untuk sekedar menengok sanak kadang,"

   Berkata Ki Widura.

   "seandainya demikianpun, maka kau harus mengetahui Glagah Putih, bahwa banyak hal yang dapat terjadi diperjalanan."

   "Aku mengerti ayah. Banyak orang yang tidak senang terhadap kakang Agung Sedayu, karena kakang Agung Sedayu mereka anggap selalu merintangi maksud-maksud buruk mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa dimanapun juga, bahaya itu akan dapat menerkam kita."

   Ki Widura ternyata tidak dapat mencegah Glagah Putih. Setiap usahanya untuk menahan agar Glagah Putih tetap tinggal dipadepokan, ada saja dalih yang dapat diberikan oleh anak itu.

   "Glagah Putih,"

   Berkata Ki Widura kemudian.

   "jika kau memang sudah menyadari bahwa perjalanan itu merupakan perjalanan yang berat, maka terserahlah kepadamu untuk menentukan."

   "Aku akan pergi ayah,"

   Berkata Glagah Putih dengan pasti. Ki Widura hanya dapat mengangguk-angguk sambil berkata.

   "Tetapi berhati-hatilah diperjalanan. Perjalanan kalian adalah perjalanan yang banyak mengandung kemungkinan. Saat kalian berangkat, maka kalian akan bersama dengan Ki Waskita. Tetapi diperjalanan kembali kepadepokan ini, kalian hanya akan berdua saja."

   "Tidak apa-apa ayah,"

   Jawab Glagah Putih dengan serta merta.

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   Ia mengerti maksud Ki Widura yang memperingatkannya, bahwa banyak persoalan yang sedang dihadapi oleh Agung Sedayu.

   Sekilas terbayang orang dari Pesisir Endut yang menuntut kematian kedua saudaranya, bukan kepada Pangeran Benawa, tetapi justru kepadanya.

   Teringat pula oleh Agung Sedayu, beberapa orang yang mencarinya dan menyusulnya sampai ke Mataram.

   Karena itu, maka agaknya benar pesan Ki Waskita, untuk tidak mengatakan kepada siapapun, kemana ia akan pergi.

   Juga kepada Siabungsari, karena mungkin sekali Sabungsari akan menceriterakan kepada orang-orang lain yang akhirnya sampai ketelinga orang-orang yang mendendamnya.

   Agaknya setelah Ki Widura tidak dapat menahan Glagah Putih, tidak ada lagi yang akan dibicarakannya.

   Yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian adalah mempersiapkan diri untuk satu perjalanan yang cukup panjang bagi Glagah Pulih, namun cukup mengandung banyak kemungkinan bagi Agung Sedayu.

   Dimalam hari menjelang keberangkatan Ki Waskita bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih, orang-orang tua di padepokan kecil itu masih sempat untuk berbicara tentang beberapa hal.

   Tentang masa depan dan tentang perkembangan keadaan.

   Ketika malam itu Sabungsari datang berkunjung kepadepokan kecil itu.

   Agung Sedayu sama sekali tidak mengatakan bahwa besok pagi-pagi ia akan pergi bersama Ki Waskita.

   Glagah Putihpun telah dipesannya pula untuk tidak mengatakan apapun juga tentang rencana kepergian mereka.

   Karena itu, maka Sabungsari sama sekali tidak mengira, bahwa Agung Sedayu akan meninggalkan padepokan itu untuk beberapa hari lamanya.

   Demikianlah ketika matahari terbit di pagi hari berikutnya, maka tiga ekor kuda telah siap menempuh perjalanan.

   Mereka membawa sedikit bekal diperjalanan.

   Meskipun perjalanan itu bukannya perjalanan yang sangat panjang, tetapi bagi Glagah Putih akan merupakan pengalaman baru disaat-saat umurnya menjelang dewasa.

   Kiai Gringsing dan Ki Widura mengantar mereka sampai keregol halaman.

   Kemudian melepas mereka pergi dengan berat hati.

   Terutama karena Glagah Putih ikut bersama mereka.

   Tetapi mereka tidak dapat menganggap Glagah Putih sebagai kanak-kanak untuk seterusnya dan membiarkannya selalu berada di dalam pengawasan orang tua.

   Pada suatu saat ia harus merintis jalan bagi kedewasaannya.

   Bukan saja umurnya, tetapi juga sikap dan pandangan hidupnya.

   Karena itu, maka betapapun beratnya.

   Glagah Putih dilepaskannya pula pergi bersama Agung Sedayu dan Ki Waskita, meskipun Ki Widura sadar, bahwa saat mereka kembali, maka Glagah Putih hanya akan dikawani oleh Agung Sedayu saja.

   Demikianlah, maka sejenak kemudian ketiga ekor kuda itupun telah berderap menyusuri jalan-jalan bulak yang panjang.

   Dalam cahaya matahari pagi, udara merasa segar menyusup sampai ketulang.

   Diperjalanan itu Glagah Putih nampak gembira sekali.

   Kudanya kadang-kadang berlari mendahului Agung Sedayu dan Ki Waskita.

   Namun kemudian di tengah-tengah bulak ia berhenti untuk menunggu.

   Tidak ada hambatan apapun pada saat mereka berangkat.

   Agar perjalanan mereka merupakan perjalanan yang terasa panjang, maka sengaja mereka tidak singgah di Mataram.

   Ki Waskita dan Agung Sedayu ternyata dengan sengaja memberikan kesan perjalanan yang sebenarnya.

   Karena itu, maka mereka telah merencanakan untuk bermalam diperjalanan.

   Bermalam diperjalanan akan merupakan suatu pengalaman tersendiri meskipun jalan menuju ke Menoreh merupakan jalan yang ramai.

   Tetapi Ki Waskita dan Agung Sedayu sengaja memilih tempat bermalam yang agak asing.

   Bukan di banjar-banjar Kademangan atau ditempat sanak-kadang yang dilalui disepanjang perjalanan, tetapi Ki Waskita telah membawa Glagah Putih lewat jalan setapak yang melewati tepi hutan dilereng Gunung Merapi.

   Jalan memang bertambah panjang.

   Tetapi hal itu dilakukan dengan sengaja oleh Ki Waskita dan Agung Sedayu.

   Mereka menempuh jalan yang semakin sulit dan bahkan kadang-kadang kuda mereka seakan-akan hanya merangkak lambat seperti seekor siput.

   "Kita terpaksa bermalam diperjalanan,"

   Berkata Ki Waskita. Dengan seria merta Glagah Putih menyahut.

   "Menyenangkan sekali."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   Ia melihat Glagah Putih jauh berbeda dari dirinya sendiri pada umur yang sama.

   Pada saat ia masih sangat muda, maka Agung Sedayu tidak lebih dari seorang penakut yang menggigil melihat daun bergerak ditempuh angin digelap-nya malam.

   Bahkan suara cengkerik didengarnya seolah-olah suara hantu yang sedang meringkik mentertawakannya.

   Tetapi Glagah Putih adalah seorang anak muda yang lain.

   Sejak masih kanak-kanak seolah-olah tidak ada yang ditakutinya.

   Ia memiliki kemauan yang keras dan ketekunan atas sesuatu minat.

   Bagi Glagah Putih, bermalam dimanapun bukan merupakan persoalan yang perlu dicemaskan.

   Ia tidak takut kepada hantu.

   Tidak takut kepada binatang buas dan tidak takut orang-orang yang ingin merampok sekalipun.

   Dalam pada itu, ketika gelap malam mulai turun, sementara mereka yang sedang dalam perjalanan itu mempersiapkan tempat untuk bermalam, maka dipadepokan yang ditingalkan telah terjadi sedikit keributan.

   Sabungsari yang datang mencari Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mendapat jawaban yang sangat tidak masuk akal.

   Beberapa anak muda yang ada dipadepokan itu mengatakan, bahwa mereka tidak tahu, kemana Agung Sedayu dan Glagah Putih pergi.

   "Apakah perjalanan mereka merupakan perjalanan rahasia?"

   Bertanya Sabungsari.

   "Kami tidak tahu Sabungsari. Benar-benar tidak tahu. Kami hanya melihat mereka berangkat. Hanya itu. Ketika hal itu kami tanyakan kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura merekapun menggelengkan kepala sambil menjawab.

   "Kami tidak tahu tujuan mereka. Perjalanan yang akan mereka tempuh adalah sekedar perjalanan untuk mengetahui keadaan diluar pedepokan tanpa tujuan tertentu."

   "Mustahil. Aku akan menjumpai Kiai Gringsing."

   Geram Sabungsari. Tetapi jawaban Kiai Gringsingpun tidak memuaskan mereka. Kiai Gringsing tidak mau menunjukkan, kemana ketiga orang itu pergi. Seperti yang dikatakan oleh anak-anak muda yang tinggal dipadepokan itu, maka jawab Kiai Gringsing.

   "Sebuah perjalanan tamasya. Glagah Putih dan Agung Sedayu merasa terlalu letih saat mereka berada di Sangkal Putung. Karena itu, mereka akan mencari udara baru barang satu dua hari."

   Sabungsari sama sekali tidak percaya.

   Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Kiai Gringsing.

   Guru Agung Sedayu yang tentu tidak akan mudah dipaksanya untuk mengatakan sesuatu yang tidak ingin dikatakannya.

   Karena itu, maka ketika kembali dari padepokan kecil itu, Sabungsari tidak langsung pergi ke baraknya, ia pergi ketempat beberapa orang pengikutnya yang tinggal pada seorang kenalan dari salah seorang pengikutnya itu.

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku tidak mau kehilangan Agung Sedayu,"

   Sabungsari membentak-bentak. Lalu.

   "Cari anak itu sampai ketemu."

   Para pengikutnya termangu-mangu. Sejenak mereka hanya dapat saling berpandangan.

   "He, apakah salah seorang dari kalian tidak ada yang melihat anak itu pergi?"

   Sabungsari bertanya sambil berjalan mengelilingi ruangan, sementara para pengikutnya duduk sambil menundukkan kepalanya.

   "Kita semuanya adalah orang-orang yang dungu. Sekian lamanya aku menunggu kesempatan itu. Dan kini aku telah melepaskan kesempatan yang sudah ada ditangan."

   "Sabungsari,"

   Salah seorang pengikutnya mencoba memberanikan diri untuk memberikan keterangan.

   "kau sama sekali tidak memberikan gambaran ataupun petunjuk, bahwa ada kemungkinan Agung Sedayu meninggalkan padepokannya, sehingga kami telah melepaskan pengawasan atasnya. Kami mengira, bahwa akan ada persoalan lagi yang harus kami lakukan, setelah kau berhasil berkenalan dan kemudian menempatan diri sebagai sahabatnya."

   "Itulah kedunguan kita. Aku kira Agung Sedayulah yang dungu, karena ia tidak mencurigai aku. Tetapi ternyata dengan diam-diam ia berhasil lepas dari pengawasanku. Jika aku mengira, ia telah lengah karena ia menerima aku, maka sebenarnyalah aku yang lengah, karena menganggap anak muda itu lengah."

   Geram Sabungsari.

   "Jika kehendakmu, kami harus mencarinya, maka kami akan mencari,"

   Berkata pengikutnya itu.

   "Tentu. Aku harus menemukannya."

   "Hidup atau mati? "

   Bertanya pengikutnya.

   "Kau gila. Kau kira bahwa kau dapat menangkapnya hidup atau mati?,"

   Geram Sabungsari.

   "jika Agung Sedayu menyadari kalian mengikutinya seandainya kalian telah menemukannya, maka kalianlah yang harus menerima nasib kalian. Jika Agung Sedayu mempunyai belas kasihan, maka kalian akan hidup. Jika kebetulan hatinya sedang panas, maka kalian semuanya akan mati hancur tersayat ujung cambuknya."

   Para pengikut Sabungsari itupun terdiam.

   Mereka mengerti, betapa dahsyatnya anak muda dari Jati Anom itu.

   Dan merekapun menyadari bahwa kemampuan mereka sangat meragukan untuk menangkap Agung Sedayu.

   Namun salah seorang dari mereka berkata didalam hati.

   "Kami akan dibunuhnya jika kami hanya seorang diri atau dua orang saja. Tetapi berlima kami mempunyai kekuatan yang cukup."

   Meskipun demikian pengikut Sabungsari itu tidak mengatakannya.

   "Nah, berangkatlah malam ini. Kalian harus menemukannya. Tugas kalian adalah sekedar mengikuti dan mengawasi kemana anak itu pergi. Besok seorang dari kalian harus menemui aku untuk memberikan laporan. Seorang dihari berikutnya sementara orang pertama harus menyusul kawan-kawannya. Orang ketiga dihari berikutnya lagi, sehingga dengan demikian aku akan dapat selalu mengatahui, dimana kalian berada."

   Tidak seorangpun yang menyahut.

   Jika Sabungsari sudah menjatuhkan perintah, mereka hanya dapat melakukan, meskipun mereka harus menggerutu didalam hati.

   Tugas yang harus mereka lakukan itupun merupakah tugas yang berat.

   Mencari Agung Sedayu yang pergi tanpa diketahui arahnya.

   Mereka harus mencari keterangan dari orang-orang tanpa menimbulkan kecurigaan mereka.

   "Berangkatlah malam ini,"

   Berkata Sabungsari kemudian.

   "jangan kehilangan waktu terlalu banyak."

   Pengikut-pengikutnya menjadi berdebar-debar. Salah seorang dari mereka mencoba memberanikan diri untuk berkata.

   "Jika kita berangkat malam ini, maka arah perjalanan kita benar-benar tanpa perhitungan. Tetapi jika kita menunggu siang hari, mungkin kita dapat bertanya kepada satu dua orang anak-anak muda Jati Anom dengan tidak menimbulkan kecuriagaan, barangkali ada diantara mereka melihat arah perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih."

   "Gila. Mereka tentu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, karena mereka pergi bersama Ki Waskita. Mungkin mereka menempuh jalan terdekat. Mungkin mereka melewati Mataram. Tetapi mungkin mereka mencari jalan lain yang jejaknya sulit untuk diikuti."

   "Dan kami harus menempuh jalan yang mana."

   "Gila. Cari sampai ketemu. Kalian dapat langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Kalian dapat menunggu di daerah itu. Kalian harus mencari jalur jalan menuju ke padukuhan Ki Waskita yang terpisah dari Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri."

   "Apakah pasti Agung Sedayu akan pergi kesana?"

   "Pertanyaan yang bodoh sekali. Mereka pergi bersama Ki Waskita. Jika sampai dua hari kalian tidak menemukan Agung Sedayu diperjalanan menuju rumah Ki Waskita, kalian cari saja rumahnya. Jika kalian tidak menemukan mereka dirumah itu, maka kalian harus menyusuri jalan kerumah Ki Gede Menoreh dan ke Mataram. Mungkin mereka singgah disana. Baru jika pada hari kelima kalian tidak menemukan, maka aku sendiri akan mencari. Aku akan minta ijin beberapa hari dari Untara. Jika Untara tidak mengijinkan, maka ialah yang akan aku bunuh sebagai pengganti Agung Sedayu. Membunuh Untara agaknya lebih mudah dari membunuh Agung Sedayu yang masih ditunggui gurunya itu."

   Tidak seorangpun yang bertanya lagi. Mereka hanya tinggal melaksanakan perintah itu. Dapat atau tidak dapat. Karena itu, maka ketika mereka masih belum beringsut, Sabungsari membentak.

   "He, kalian menunggu apa lagi? Kalian belum makan, atau kalian ketakutan?"

   Pengikut-pengikutnya itupun segera berdiri.

   Mereka meninggalkan ruangan itu.

   menuju ke gedogan kuda; setelah mereka membenahi diri dan mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa serta, termasuk senjata-senjata mereka.

   Kepada penghuni rumah itu.

   para pengikut Sabungsari itu membisikkan tugas yang harus mereka lakukan, dengan pesan.

   "Pegang rahasia ini baik-baik, agar kau tidak terlibat dalam kesulitan."

   Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda telah meninggalkan halaman rumah itu.

   Mereka harus berhati-hati dan tidak menimbulkan kecurigaan.

   Mereka tidak serentak melewati gerbang pedukuhan.

   Dua orang lewat gerbang yang satu.

   seorang yang lain dan dua orang lewat lorong yang lain lagi.

   Dalam pada itu, Sabungsari menjadi sangat gelisah.

   Ia benar-benar merasa kehilangan.

   Sudah sepantasnya ia melepaskan dendamnya atas Agung Sedayu.

   Ia tidak rela Agung Sedayu dibunuh oleh pihak yang manapun juga yang juga mendendamnya.

   Ia sendiri ingin membunuh dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa perguruan Telengan tidak kalah dari perguruan Dukun Tua itu.

   Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu pergi meninggalkan padepokannya tanpa diketahuinya.

   "Mungkin ia mengerti bahwa aku bermaksud membunuhnya, sehingga ia melarikan diri,"

   Geram Sabungsari. Teringat olehnya prajurit Pajang yang pernah diancamnya agar ia mendapat kesempatan pertama untuk membunuh Agung Sedayu.

   "Apakah orang itu yang memberitahukan rahasia ini? "

   Guman Sabungsari.

   "tetapi tentu tidak. Barangkali mereka justru berterima kasih kepadaku jika aku berhasil membunuh Agung Sedayu."

   Dengan gejolak perasaan yang bagaikan meretakkan dadanya. Sabungsari kembali kebaraknya. Tidak seperti biasanya, bahwa ia termasuk seorang prajurit muda yang ramah dan mudah bergaul, maka iapun langsung menuju kepembaringannya.

   "He, Sabungsari,"

   Bertanya seorang kawannya.

   "nampaknya kau sangat lesu."

   Sabungsari mengangkat wajahnya. Kemudian ia mencoba tersenyum sambil menjawab.

   "Tidak apa-apa. Aku hanya lelah."

   Kawannya duduk dibibir pembaringannya. Hampir berbisik ia bertanya.

   "He, apakah gadis itu tidak ada dirumah. atau sedang pergi dengan laki-laki lain."

   "Gila,"

   Sabungsari membalikkan tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya ditangannya yang bersilang.

   "aku tidak mau datang lagi kerumahnya. Aku lihat, ada beberapa anak muda yang datang bergilir."

   Kawannya tertawa.

   Sabungsaripun tertawa pula.

   Namun ketika kawannya itu telah berdiri dan melangkah pergi, ia mengumpat dengan kasarnya meskipun hanya dapat didengarnya sendiri.

   Semantara itu, para pengikutnya telah berada dalam perjalanan.

   Mereka telah berkumpul kembali diluar Kademangan Jati Anom.

   "Pekerjaan gila,"

   Geram salah seorang dari mereka "jika kita berangkat disiang hari, kita akan dapat bertanya kepada seseorang di padukuhan-padukuhan sebelah, kearah mana anak itu pergi. Dengan demikian kita mendapat petunjuk, setidak-tidaknya arah perjalanan mereka.

   "Kita dapat bertanya kepada anak-anak muda yang berada di gardu-gardu desis yang seorang.

   "Mereka akan mencurigai kita, dan beramai-ramai menangkap kita."

   "He, kau takut melawan anak-anak Kademangan?"

   "Jangan berpura-pura tidak tahu. Mereka adalah pengawal-pengawal yang terlatih. Meskipun mungkin aku seorang diri dapat melawan dua atau tiga orang pengawal, tetapi dengan isyarat titir, maka jumlah mereka akan menjadi ratusan dalam sekejap. Nah, apakah kau mampu melawan mereka seluruhnya?"

   Kawannya tidak menjawab.

   Tetapi ia dapat membayangkan, apakah yang akan terjadi, seandainya terdengar suara titir.

   Apalagi jika kemudian prajurit Pajang yang sedang meronda di tlatah Jati Anom dan sekitarnya mendengar dan datang pula.

   Jika diantara mereka terdapat Sabungsari, maka ialah yang akan membunuh kita pada saat itu juga,"

   Geram salah seorang dari kelima orang pengikut Sabungsari itu. Merekapun kemudian terdiam. Mereka macam tidak mungkin bertanya kapada anak-anak muda itu di gardu-gardu.

   "Kita akan pegi ke Tanah Perdikan Menoreh. Hampir setiap orang mengenal Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan bertanya kepada anak-anak muda disana apakah mereka melihat kedatangan Agung Sedayu,"

   Berkata salah seorang dari mereka.

   "Apakah anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh tidak mencurigai kita yang belum pernah mereka kenal? "

   Bertanya kawannya yang lain.

   "Tentu kita akan berhati-hati. Kita tak akan berlima berbondong-bondong mendalangi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi satu atau dua orang saja mendatangi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Yang lain menunggu ditempat yang sudah ditentukan."

   Kawan-kawannya mengangguk-angguk, Itu adalah jalan yang paling baik yang dapat mereka lakukan dengan kemungkinan pahit yang paling kecil.

   Karena itu, maka mereka tidak menunggu lagi.

   Merekapun segera memacu kuda mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

   "Kita tidak akan melalui Mataram,"

   Berkata seorang yang paling tua diantara mereka.

   "kita akan menempuh jalan memintas meskipun melalui jalan-jalan sempit dan pinggir-pinggir hutan."

   Demikianlah meskipun malam menjadi semakin gelap, namun mereka meneruskan perjalanan lewat bulak-bulak panjang dan padukuhan-padukuhan.

   Namun mereka tetap berhati-hati.

   Mereka tidak berkuda bersama-sama.

   Mereka membagi dirinya menjadi dua kelompok yang berjarak beberapa puluh langkah.

   Meskipun hal itu agaknya masih akan menarik perhatian juga, tetapi kemungkinannya telah banyak dikurangi.

   Sementara itu, Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih ternyata mendapat tempat beristirahat yang baik meskipun merupakan suatu pengalaman baru bagi Glagah Putih.

   Mereka bergantian tidur barang sekejap.

   Sementara mereka menyalakan perapian yang tidak begitu besar untuk mengusir nyamuk dan menghangatkan tubuh.

   Ternyata Glagah Putih benar-benar seorang anak muda yang memiliki sifat dan watak yang berbeda dengan Agung Sedayu dimasa lampaunya.

   Glagah Putih sama sekali tidak dapat digetarkan oleh gelapnya malam dihutan yang belum pernah dikenalnya.

   Disaat ia harus berjaga-jaga, maka ia duduk dengan tenang disebelah perapian.

   Sekali-kali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir tanpa perasaan gentar.

   Namun demikian, ternyata pada saat Glagah Putih yang mendapat giliran.

   Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak sampai hati melepaskannya.

   Meskipun mereka nampaknya memejamkan matanya, namun sebenarnya mereka tidak tertidur.

   Hanya pada saat Agung Sedayu bertugas, Ki Waskita sempat tidur dan sebaliknya.

   Akhirnya malam yang gelap dan dingin itupun berlalu.

   Ketika matahari mulai membayang dengan warna-warna merah di Timur, ketiga orang yang bermalam di pinggir hutan itupun mulai mengemasi diri.

   Mereka mencari sumber air untuk mencuci muka sebelum mereka siap untuk berangkat.

   "Paman,"

   Bertanya Glagah Putih kepada Ki Waskita.

   "apakah jarak ke Tanah Perdikan Menoreh masih jauh? Jalan ini terasa asing sekali. Bahkan mungkin tidak banyak orang yang mengenalnya."

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ki Waskita tertawa. Katanya.

   "bertanyalah kepada kakakmu."

   Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Namun sebelum ia bertanya, Agung Sedayu menyahut.

   "Aku juga belum pernah melalui jalan ini Glagah Putih. Aku sudah beberapa kali pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi jalan ini baru sekali ini aku kenal."

   Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kembali ia memandang Ki Waskita sambil bertanya.

   "Apakah paman juga belum pernah melihat dan melalui jalan ini?"

   Ki Waskita tersenyum. Katanya.

   "Aku tentu sudah."

   "Jadi?"

   "Kita sudah mendekati Kali Praga. Sebentar lagi kita menyeberang. Dan kita sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh."

   "Sudah dekat sekali?"

   "Ya."

   "Jadi kenapa kita harus bermalam? Dan rasa-rasanya perjalanan kita dihari pertama sangat lamban. Jika kemarin kita berjalan agak cepat, maka aku kira kita tidak perlu bermalam diperjalanan yang tidak terlalu jauh ini."

   "Tetapi bukankah bermalam diperjalanan, apalagi dipinggir hutan, sangat menyenangkan? Kita memang dapat singgah di sebuah padukuhan dan minta ijin kepada Ki Demang agar kita diperbolehkan bermalam di banjar padukuhan. Namun kau tidak akan pernah mengalami dikerumuni nyamuk semalam suntuk dipinggir hutan."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Waskita dan Agung Sedayu sengaja mengajaknya bermalam dipinggir hutan yang sepi dan lembab itu.

   "Matikan sisa-sisa perapianmu,"

   Berkata Ki Waskita.

   "Biarkan saja paman. Nanti akan mati juga."

   Tetapi Ki Waskita menggeleng. Katanya.

   "Jangan Glagah Putih. Jika satu dua helai daun kering terbang kedalam api, kemudian ditimbuni oleh daun-daun kering yang lain, maka apimu yang nampaknya sudah mati itu akan dapat menumbuhkan bencana. Jika hutan mulai terbakar, maka akan sangat sulit untuk menguasainya, sehingga mungkin sekali akan makan waktu berpekan-pekan dan menelan hutan yang cukup luas."

   Glagah Putih mengangguk-angguk sambil melangkah keperapian yang nampaknya memang sudah padam.

   Tetapi untuk meyakinkannya, maka perapian itupun segera ditimbuninya dengan tanah yang basah oleh embun.

   Sejenak kemudian ketiganya telah siap.

   Ki Waskita menuntun kudanya disamping Glagah Putih sambil berkata.

   "Kita akan menyusuri Kali Progo."

   Glagah Putih mengerutkan keningnya, sementara Ki Waskita menjelaskan.

   "Kita akan mencari tempat penyeberangan. Mungkin tepian yang akan kami capai disebelah tidak mempunyai getek yang dapat membawa kita keseberang."

   "Bagaimana jika kita berenang saja?"

   Bertanya Glagah Putih. Ki Waskita dan Agung Sedayu yang mendengar pertanyaan itu pula tertawa. Sambil menepuk kudanya Ki Waskita berkata.

   "Bagaimana dengan kuda kita? Seandainya kita tanpa membawa seekor kudapun, kita belum tentu dapat menyeberangi Kali Praga dengan berenang, karena arusnya yang deras. Jika Kali Praga itu sebuah belumbang yang luas, kita akan dengan senang hati menyeberang sambil berenang, meskipun kita harus menghindarkan diri dari kemungkinan adanya binatang buas didalam air."

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   Tetapi ia tidak menjawab.

   Ia mulai membayangkan seekor buaya yang ganas di tepian yang basah dan berumput ilalang setinggi tubuh.

   Atau seekor ular sanca sebesar pohon kelapa dengan lidah terjulur.

   Sejenak kemudian mereka bertiga telah berada dipunggung kuda yang berjalan tidak terlalu cepat.

   Mereka menyusuri jalan kecil yang semakin basah, karena mereka telah berada dekat sekali dengan Kali Praga.

   Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Ki Waskita bertanya kepada Agung Sedayu.

   "Apakah kita akan singgah barang setengah hari di Tanah Perdikan Menoreh?"

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Jawabnya.

   "Terserah kepada Ki Waskita. Jika Ki Waskita menghendaki, aku tidak berkeberatan."

   "Aku kira lebih baik kita singgah meskipun hanya sebentar. Kau sudah terbiasa pergi kerumah Ki Gede jika kau berada di Tanah Perdikan. Jika kali ini kau lewati Tanah Perdikan Menoreh tanpa singgah meskipun hanya sejenak, akan dapat menimbulkan berbagai pertanyaan di hati Ki Gede yang sudah semakin tua dan kesepian. Orang tua kadang-kadang suka mengurai persoalan tanpa landasan. Meskipun kau tidak pernah memikirkan apapun juga tentang Ki Gede, tetapi jika kau tidak singgah, maka akan timbul berbagai macam prasangka yang barangkali tidak beralasan sama sekali."

   Agung Sedayu sama sekali memang tidak berkeberatan meskipun sekilas nampak wajah Prastawa yang gelap.

   Namun karena ia tidak merasa ada sesuatu persoalan, maka ia sama sekali tidak merasa segan untuk bertemu.

   Dengan demikian, maka perjalanan merekapun bukan saja melalui Tanah Perdikan Menoreh, tetapi mereka akan singgah barang sebentar dirumah Ki Gede.

   Perjalanan mereka memang sudah tidak terlalu lama lagi.

   Ketika mereka sudah menyeberangi Kali Praga, maka mereka sudah berada di bulak-bulak persawahan Tanah Perdikan Menoreh yang subur, sesubur Kademangan Sangkal Putung, meskipun disaat terakhir Sangkal Putung nampak menjadi lebih hidup karena Swandaru yang bekerja keras untuk memperbaiki tataran kehidupan Kademangannya.

   Sementara itu, Ki Gede Menoreh nampaknya justru menjadi semakin lesu.

   Ia merasa sepi dirumahnya.

   Prastawa memang dapat memberikan suasana rumahnya lebih segar jika kebetulan ia berada dirumah Ki Gede.

   Namun agaknya ada yang tidak sesuai bagi Ki Gede Menoreh pada sikap Prastawa.

   Prastawa memang nampak penuh gairah menghadapi masa masa mudanya.

   Namun ia mempunyai sifat-sifat yang kurang disenangi oleh Ki Gede Menoreh.

   Prastawa kadang-kadang nampak deksura dan kasar.

   Kekerasan hatinya sering menumbuhkan akibat yang kurang menyenangkan bagi anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh, meskipun kadang-kadang mereka tidak mengucapkan.

   Namun apabila satu dua orang diantara mereka berkumpul di gardu gardu atau duduk-duduk diujung padukuhan, diluar sadar telah terucapkan penyesalan mereka terhadap sikap Prastawa.

   Bahkan tanpa sengaja, satu dua orang diantara mereka masih sering menyebut nama Agung Sedayu dan Swandaru.

   Mereka yang ikut bersama Ki Gede ke Sangkal Putung disaat Ki Sumangkar meninggal, sempat berceritera tentang apa yang telah terjadi di Sangkal Putung kepada kawan kawan mereka.

   "Swandaru berhasil membuat Kademangannya bertambah subur,"

   Desis salah seorang dari mereka.

   Agaknya anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh menyadari bahwa perkembangan Kademangan Sangkal Putung agaknya telah meloncat lebih maju dari Tanah Perdikan Menoreh.

   Sementara itu.

   Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Waskita telah menjadi semakin dekat.

   Beberapa orang anak muda lelah melihat mereka sehingga berlari-lari mereka menyongsong dan memberikan ucapan selamat.

   "Kakang Agung Sedayu banyak dikenal orang disini,"

   Desis Glagah Putih.

   "Ya, seperti terhadap anak muda tanah ini sendiri,"

   Sahut Ki Waskita.

   Glagah Putih mengangguk-angguk.

   Bahkan iapun rasa-rasanya ikut berbangga, bahwa sambutan terhadap Agung Sedayu nampaknya sangat menyenangkan.

   Ki Gede Menoreh terkejut ketika seseorang memberitahukan kepadanya bahwa Agung Sedayu, Ki Waskita bersama seorang anak muda yang lain telah mendekati pintu gerbang.

   "Swandaru ?"

   Bertanya Ki Gede.

   "Bukan,"

   Jawab orang itu.

   Ki Gede tidak bertanya lagi, karena Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih telah memasuki halaman.

   Ki Gede nampak gembira sekali karena kedatangan mereka.

   Seperti kanak-kanak yang merindukan sanak kadangnya, maka dengan tergopoh-gopoh Ki Gede menyongsong mereka turun kehalaman.

   Tetapi alangkah kecewa Ki Gede Menoreh, ketika ia mengetahui bahwa mereka bertiga hanya akan singgah untuk waktu yang sangat pendek.

   "Kedatangan kalian hanya menumbuhkan kekecewaan saja,"

   Berkata Ki Gede Menoreh.

   "Tetapi bukankah itu lebih baik daripada Ki Gede hanya mendengar berita bahwa Agung Sedayu telah menempuh perjalanan melewati Tanah Perdikan Menoreh tanpa singgah,"

   Sahut Ki Waskita. Tetapi Ki Gede berkata pula.

   "Bagaimanapun juga, aku akan menahan kalian sedikit-dikitnya satu malam."

   Agung Sedayu dan Ki Waskita saling berpandangan. Namun akhirnya Ki Waskita berkata.

   "Jika Ki Gede berkeras, baiklah, besok kita meneruskan perjalanan yang tidak begitu jauh lagi."

   Ki Gede tersenyum. Katanya.

   "Terima kasih. Aku gembira sekali. Hari ini aku merasa bahwa umurku akan menjadi bertambah panjang."

   Berbeda dengan Ki Gede.

   maka wajah Prastawa yang kebetulan berada di rumah pamannya, nampak menjadi buram.

   Meskipun ia mencoba juga untuk tersenyum, namun senyumnya terasa betapa pahitnya.

   Sementara itu, berita tentang kedatangan Agung Sedayu itu telah tersebar di seluruh Tanah Perdikan.

   Hampir setiap orang telah mengetahui, bahwa Ki Gede telah menerima tiga orang tamu.

   Agung Sedayu, saudara, sepupunya yang bernama Glagah Putih dan Ki Waskita.

   Dengan demikian, maka tugas orang-orang yang dikirim oleh Sabungsari menjadi tidak terlampau sulit.

   Setelah semalam suntuk mereka menyusuri jalan ke Tanah Perdikan Menoreh dan hanya beristirahat sejenak, setelah mereka menyeberangi sungai, maka lewat tengah hari, salah seorang dari mereka telah berusaha mencari berita tentang Agung Sedayu, sementara kawan-kawannya menunggu dipinggir hutan.

   Disebuah warung kecil, orang itu telah mendapat keterangan, bahwa benar ada tiga orang tamu dirumah Ki Gede.

   "Belum lama. Pagi ini baru mereka datang,"

   Berkata salah seorang anak muda yang kebetulan ada diwarung itu juga.

   Pengikut Sabungsari yang mendengar berita itu, rasa-rasanya hatinya telah tersentuh oleh dinginnya air embun.

   Ternyata tidak terlalu sulit untuk mencari Agung Sedayu.

   Mereka mengira bahwa mereka akan menempuh perjalanan berhari-hari.

   Ternyata dihari pertama setelah semalam suntuk mereka berjalan, mereka telah mendengar kabar tentang orang yang dicarinya.

   Karena itu, setelah selesai makan, dan setelah ia minta dibungkuskan beberapa macam makanan, maka iapun dengan tergesa-gesa telah menemui kawan-kawannya yang menunggu.

   "Makanlah,"

   Berkata orang itu.

   "Bukan itu yang penting. Apakah kau mendengar berita tentang Agung Sedayu?"

   "Makanlah. Baru kau dengar ceriteraku."

   "Katakan lebih dahulu,"

   Kawannya membentak. Orang itu tersenyum. Katanya.

   "Jangan cepat marah. Kau akan lekas menjadi tua."

   "Tetapi kau membuat jantungku berdebar-debar."

   Kawan-kawannya yang lainpun tiba-tiba saja telah memandanginya dengan sorot mata kegelisahan. Bahkan seorang yang matanya redup berkata bersungguh-sungguh.

   "Bukan waktunya untuk bergurau."

   Akhirnya yang tertua diantara mereka berkata.

   "Katakanlah. Jangan membuat kami yang dalam ketegangan ini kehilangan pengamatan diri."

   Orang yang telah mendengar keterangan tentang Agung Sedayu itu tidak berani bermain-main lagi. Karena itu maka katanya kemudian.

   "Agung Sedayu sekarang ada dirumah Ki Gede. Setiap orang di Tanah Perdikan ini telah mengetahuinya, meskipun ia belum lama berada disini."

   Kawan-kawannya memandanginya dengan curiga. Bahkan orang yang tertua diantara mereka bertanya.

   "Apakah kau berkata sebenarnya, atau kau benar-benar ingin bergurau dalam suasana seperti ini?"

   "Tidak. Aku tidak bergurau,"

   Jawab orang itu.

   "aku berkata sebenarnya. Agung Sedayu telah datang ke Tanah Perdikan Menoreh pagi tadi."

   "Pagi tadi? "

   Seorang kawannya mengulang.

   "Ya. Menurut keterangan beberapa orang disebuah warung, ia datang pagi tadi."

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau begitu, mereka pasti bermalam dijalan meskipun jaraknya sudah dekat dengan rumah Ki Gede Menoreh,"

   Berkata yang lain.

   "Kenapa mereka harus bermalam? "

   Tiba-tiba seseorang diantara mereka bertanya. Pertanyaan itu ternyata telah menimbulkan berbagai macam dugaan. Namun akhirnya orang tertua diantara mereka berkata.

   "Apapun alasan mereka, namun kita telah menemukannya. Salah seorang dari kita akan kembali ke Kademangan Jati Anom dan mengabarkan tentang Agung Sedayu. Kami menunggu perintah, apakah yang harus kami lakukan atas anak itu. Apakah kami harus menangkapnya atau sekedar mengamati kemana ia pergi."

   "Jangan sombong,"

   Berkata salah seorang kawannya.

   "jika perintah itu berbunyi.

   "tangkap Agung Sedayu,"

   Berarti kita harus bunuh diri. Agung Sedayu kini berada dirumah Ki Gede Menoreh. Dirumah itu ada pula Ki Waskita dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh."

   "Jangan terlalu bodoh,"

   Jawab orang tertua itu.

   "kita tidak akan memasukkan jari tangan kita ke lubang seekor ular bandotan. Kita harus memancingnya keluar dan kemudian menjeratnya."

   Kawannya tidak menjawab lagi.

   Tetapi iapun mengerti, bahwa jika benar mereka harus menangkap Agung Sedayu, maka mereka harus mempergunaan akal.

   Yang mereka bicarakan kemudian adalah siapakah diantara mereka yang harus kembali ke Jati Anom.

   Kemudian siapa yang harus mengamati Agung Sedayu yang menurut perhitungan mereka, masih akan pergi ke rumah Ki Waskita.

   "Mungkin Ki Waskita akan kembali kerumahnya seorang diri,"

   Berkata salah seorang dari mereka.

   "Jika kita melihat Ki Waskita dalam perjalanan seorang diri, maka kita mengambil kesimpulan, bahwa Agung Sedayu masih berada dirumah Ki Gede dan tidak meneruskan perjalanan singgah dirumah orang itu. Dengan demikian kita harus mencari akal memancingnya keluar jika ada perintah untuk menangkapnya."

   Orang-orang itupun segera mengatur diri.

   Salah seorang dari mereka segera berkemas-kemas berpacu ke Jati Anom, sementara yang lain akan mengawasi jalan dibulak panjang bergantian.

   Keputusan Agung Sedayu dan Ki Waskita untuk bermalam semalam di Tanah Perdikan Menoreh atas permintaan Ki Gede, ternyata telah memberi kesempatan kepada orang-orang yang mencarinya untuk menentukan sikap.

   Dalam pada itu.

   seekor kuda telah berpacu menuju ke Kademangan Jati Anom.

   Karena perjalanan itu ditempuh dengan kecepatan penuh dan tidak banyak berhenti untuk beristirahat maka rasa-rasanya perjalanan itu menjadi jauh lebih cepat.

   Tengah malam orang itu sudah berada di Sangkal Putung.

   Dengan hati-hati ia berusaha menemui Sabungsari dibaraknya.

   Kepada petugas dibarak itu ia mengaku saudara Sabungsari yang datang dari jauh.

   "Apakah kau yakin bahwa berita itu benar?"

   Bertanya Sabungsari.

   "Aku yakin. Setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh ternyata mengenal Agung Sedayu."

   Sabungsari merenung sejenak, ia mencoba melihat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi.

   Mula-mula ia ingin langsung bertemu dengan Agung Sedayu dalam perang tanding sebelum ia benar-benar kehilangan anak muda itu.

   Namun ia masih tetap ragu-ragu.

   bahwa ia sama sekali belum berhasil menjajagi kemampuannya.

   Karena itu, maka ia mengurungkan niatnya.

   Ia sedang memikirkan jalan yang paling baik untuk dapat mengukur kemampuan anak muda itu.

   Namun tiba-tiba saja Sabungsari tersenyum.

   Ia telah menemukan jalan yang akan dapat dipergunakannya untuk menjajagi ilmu anak muda itu.

   Katanya kemudian kepada pengikutnya.

   "Kembalilah. Kau harus dapat membawa Agung Sedayu kepadaku. Tetapi ingat, kau harus membawanya hidup-hidup. Kau berlima bukannya anak-anak kecil. Kau tentu akan dapat mencari jalan untuk menangkapnya hidup-hidup."

   "Apakah kami harus mencegatnya dan menyerangnya?"

   Bertanya pengikutnya. Sabungsari tersenyum. Jawabnya.

   "Jangan bodoh. Hindarilah pertempuran jika anak muda itu masih bersama Ki Waskita. Kau berlima tidak akan dapat melawan Agung Sedayu bersama-sama Ki Waskita sekaligus."

   "Jadi?"

   "Aku kira Agung Sedayu tidak akan terlalu lama berada dirumah Ki Waskita, seandainya ia pergi kesana. Jika ternyata bahwa Agung Sedayu tidak pernah singgah kerumah orang tua itu, dan tinggal dirumah Ki Gede Menoreh, maka iapun tidak akan lama pula. Tunggulah Agung Sedayu diperjalanan kembali ke Jati Anom atau ke Sangkal Putung. Karena itu, maka kau harus mengamat-amatinya setiap hari."

   Sabungsari berhenti sejenak, lalu.

   "tetapi jika kau angap terlalu lama, maka kau dapat mencari akal untuk melakukan tugas ini. Tetapi ingat. Jangan sebut namaku dan perguruanku. Ingat, agar aku tidak perlu membunuh kalian semuanya. Jika kalian sudah berhasil, bahwa Agung Sedayu kehutan kecil dilereng Gunung Merapi, dan beritahukan kepadaku agar aku dapat menentukan sikap lebih lanjut."

   "Bagaimana dengan Glagah Putih? "

   Orang itu bertanya.

   "Aku tidak memerlukannya. Terserah. Kau bunuh-pun tidak ada persoalan apapun juga bagiku,"

   Jawab Sabungsari. Orang itu mengangguk-angguk.

   "Pergilah. Kau dapat beristirahat sampa esok pagi. Kemudian susul kawan-kawanmu ke Tanah Perdikan Menoreh atau kerumah Ki Waskita."

   Pengikut Sabungsari itupun kemudian meninggalkan barak prajurit Pajang di Jati Anom, kembali ketempat seorang kenalannya.

   Ia masih sempat beristirahat sejenak, sebelum fajar menyingsing.

   Namun ternyata bahwa ia tidak dapat memejamkan matanya sama sekali.

   Masih selalu terngiang, perintah Sabungsari untuk menangkap Agung Sedayu hidup-hidup.

   "Aneh,"

   Berkata pengikut Sabungsari itu didalam hatinya.

   "kenapa Sabungsari tidak langsung saja menyusulnya ke Tanah Perdikan Menoreh dan mencari kesempatan berperang tanding."

   Tetapi orang itu mencoba mencari jawabnya.

   "mungkin ia masih segan untuk minta ijin kepada Untara untuk meninggalkan tugasnya sebagai seorang prajurit barang tiga empat hari."

   Ketika fajar menyingsing, maka orang itupun segera mempersiapkan diri.

   Setelah berbenah dan makan beberapa kerat ketela pohon, maka iapun segera berpacu meninggalkan Jati Anom kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

   Sabungsari sempat menjumpai pengikutnya diujung Kademangan.

   Ia masih memberikan beberapa pesan.

   Sekali lagi ia menegaskan.

   "Jangan sebut perguruanmu."

   Orang itu mengangguk.

   Kemudian ia minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

   Sejenak Sabungsari termangu-mangu.

   Dipandanginya debu tipis yang mengepul dibelakang kaki kuda.

   Namun yang segera lenyap dihembus angin pagi yang lembut.

   Jika Agung Sedayu berhasil ditangkap hidup-hidup, maka kemampuannya masih belum mendebarkan jantung.

   Jika ia berhasil mengalahkan ke lima orang pengikutku, maka ia benar-benar seorang yang luar biasa.

   Tetapi aku harus melihat, apa yang terjadi, sehingga aku akan dapat menjajagi kemampuan ilmunya.

   Karena itulah, maka Sabungsaripun kemudian menghadap Untara untuk minta ijin barang dua tiga hari, karena alasan yang mapan.

   "Semalam pamanku telah datang Ki Untara. Ia memberitahukan kepadaku, bahwa ibuku sakit keras. Aku sudah tidak mempunyai ayah. Sehingga karena itu, maka ibuku mengharap aku dapat menungguinya barang dua tiga hari."

   Untara mengerutkan keningnya. Meskipun ia seorang prajurit yang nampaknya terlalu teguh memegang kendali kepemimpinan dalam tugas-tugasnya, namun ia tersentuh juga perasaannya.

   "Apakah sakit ibumu parah?"

   Bertanya Untara.

   "Menurut paman, kadang-kadang ibu telah kehilangan kesadarannya. Jika kesadaran itu datang, maka ia selalu menyebut namaku."

   Untara mengangguk-angguk. Seorang perwira muda dapat memberikan kesaksian, bahwa semalam Sabungsari memang menerima seorang tamu yang nampak tergesa-gesa.

   "Baiklah,"

   Berkata Untara.

   "aku beri kau waktu lima hari dengan perjalananmu. Jika pada waktunya kau belum sempat kembali karena keadaan ibumu, maka kau harus berusaha untuk memberikan laporan kepadaku. Mungkin pamanmu, mungkin orang lain dapat kau suruh datang kepadaku."

   "Tentu Ki Untara. Aku tidak akan melalaikan segala kewajiban yang memang harus dibebankan kepadaku,"

   Jawab Sabungari. Namun ketika Sabungsari telah meninggalkan Senapati muda itu, ia menggeram.

   "Persetan. Jika kau banyak tingkah, aku bunuh kau lebih dahulu dari Agung Sedayu."

   Sabungsaripun kemudian berkemas dibaraknya.

   Kepada kawan-kawannya ia minta diri untuk menengok ibunya yang sedang sakit, sementara tidak ada orang lain yang disebutnya, kecuali Sabungsari.

   Lewat tengah hari Sabungsari baru berangkat.

   Ia memang tidak ingin maiemui pengikut-pengikutnya.

   Ia akan mencari jalan sendiri untuk mengetahui dimana Agung Sedayu sedang berada.

   Kemudian mengamatinya sehingga pada suatu saat, anak muda itu akan disergap oleh pengikut-pengikutnya.

   Jika aku berhasil menyaksikan perkelahian itu, maka aku akan dapat mengetahui, tingkat kemampuan Agung Sedayu.

   Melawan lima orang ia tentu akan mengerahkan segenap kemampuannya.

   Karena itu, maka Sabungsari itupun tidak tergesa-gesa.

   Ia tidak perlu berpacu seperti pengikutnya.

   Tetapi iapun tidak Ingin menyesal bahwa ia datang terlambat atau kehilangan jejak, karena Agung Sedayu ternyata menempuh sebuah perjalanan yang tidak diduganya.

   Pada saat Sabungsari berkuda melintasi jalan persawahan, maka Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putihpun baru meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh.

   Mereka tidak dapat berangkat dipagi hari.

   karena Ki Gede masih menahannya.

   Baru setelah makan siang, maka dilepaskannya Ki Waskita bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.

   Glagah Putih telah pernah bertemu dengan Prastawa sebelumnya.

   Tetapi ia tidak sempat berbicara dan berbincang cukup lama.

   Baru ketika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia mulai mengenal Prastawa lebih dalam.

   Diperjalanan menuju kerumah Ki Waskita, Glagah Putih sempat bertanya kepada Agung Sedayu.

   "Kakang, aku tidak begitu mengerti sikap Prastawa terhadap kunjungan kita. Apakah ia senang menerima kita, atau justru sebaliknya."

   Agung Sedayu tersenyum. Katanya.

   "Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah ia cukup ramah. Nampaknya kau banyak berbicara dan berbincang dengan kemanakan Ki Gede itu."

   "Justru karena aku banyak berbicara dengan Prastawa aku menjadi bertanya-tanya didalam hati. Kadang-kadang ia bersikap manis. Namun kadang-kadang senyumnya menjadi kecut dan yang aku tidak mengerti, apakah ia mengucapkan kata-kata sindiran, atau sekedar bergurau."

   Agung Sedayu tertawa. Ki Waskita yang mendengar pertanyaan itupun tertawa pula.

   "Kau salah paham Glagah Putih. Prastawa memang senang bergurau. Yang belum terbiasa, kadang-kadang memang merasa seolah-olah ia menyindir, atau bahkan mengumpati. Tetapi ia tidak bermaksud demikian,"

   Jawab Agung Sedayu.

   Glagah Putih mengerutkan keningnya.

   Ia tidak begitu sesuai dengan pendapat Agung Sedayu.

   Tetapi ia tidak membantah.

   Diluar sadar, maka perjalanan ketiga orang itu ternyata diketahui oleh para pengikut Sabungsari.

   Dugaan terkuat dari mereka ternyata benar.

   Bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih tentu akan singgah dirumah Ki Waskita, sehingga satu diantara mereka telah dengan sungguh-sungguh mengawasi jalan itu.

   Dengan tergesa-gesa pengikut itu mencari kawannya yang mempunyai tugas mereka masing-masing untuk mengawasi jalan dibeberapa arah.

   Tetapi kawan-kawannya tidak berani mengambil sikap.

   Ia masih menunggu kawannya yang kembali ke Jati Anom untuk menunggu perintah Sabungsari.

   "Tetapi arah perjalanannya sudah jelas. Kita akan mengamati padukuhan tempat tinggal Ki Waskita,"

   Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Berkata salah seorang dari mereka.

   "Ternyata tugas kita tidak terlalu berat,"

   Sahut yang lain.

   "Tetapi, jika Sabungsari memerintahkan kita membunuh Agung Sedayu?"

   "Kita harus mencari akal memisahkan Agung Sedayu dari Ki Waskita."

   Mereka memang bersepakat, bahwa mereka tidak akan berbuat sesuatu, jika kedua orang itu sedang berkumpul.

   Sementara Glagah Pulih seolah-olah sama sekali tidak termasuk perhitungan mereka.

   Pengikut Sabungsari yang berpacu dari Jati Anom, menjelang sore hari telah datang ketempat yang sudah ditentukan.

   Dari kawan-kawannya ia mendengar bahwa Agung Sedayu telah berangkat kerumah Ki Waskita.

   "Tidak banyak bedanya,"

   Berkata kawannya yang baru datang.

   "kami harus menangkapnya hidup-hidup dan membawanya kepada Sabungsari."

   "Menangkap hidup-hidup? "

   Hampir berbareng kawan-kawannya bertanya.

   "Ya. Sabungsari ingin membunuhnya sendiri dengan sikap seorang laki-laki."

   Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun tergores diwajahnya kecemasan dan ketegangan. Perintah itu memang merupakan tugas yang sangat berat. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata.

   "Aku mempunyai akal."

   "Apa?"

   Bertanya yang lain.

   "Kita tidak usah bertempur. Kita akan menemui Agung Sedayu dan menyampaikan tantangan Sabungsari kepadanya, ia tentu akan merasa tersinggung dan akan datang dengan sendirinya menemui Sabungsari tanpa dipaksa. Harga dirinya tentu bergejolak jika ia mendengar tantangan itu."

   Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang yang baru datang itu berkata.

   "Mungkin kau benar. Hal itu akan dapat kita lakukan jika Agung Sedayu benar-benar seorang laki-laki jantan. Tetapi jika Agung Sedayu merasa segan dan apalagi ketakutan untuk menerima tantangan itu, apa yang akan kita lakukan? Selebihnya kita memang tidak boleh berterus terang. Siagakah kita sebenarnya."

   Kawan-kawannya merenungi pertanyaan itu. Seorang diantara mereka bergumam.

   "Itu adalah pertanda bahwa Agung Sedayu bukan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Jika benar Ki Gede Telengan terbunuh dipeperangan, tentu bukan karena Agung Sedayu seorang diri. Mungkin ada orang lain yang membantunya. Sehingga karena itu, maka kita berlima tentu akan dapat mengalahkannya. Mengikatnya dan kemudian membawanya ke Jati Anom dengan diam-diam. Jika perlu, kita akan menempuh perjalanan dimalam hari."

   "Kita serahkan Agung Sedayu kepada Sabungsari, sementara kita akan melihat perang tanding yang akan terjadi dengan dahsyatnya antara kedua anak muda itu,"

   Sahut yang lain.

   "Kau keliru. Agung Sedayu bukan lawan Sabungsari. Dua atau tiga Agung Sedayu, baru ia akan dapat sejajar dengan Sabungsari."

   "Apakah itu berarti bahwa yang terjadi adalah sekedar sebuah pembantaian? Bukan perang tanding, karena kekuatan ilmu mereka tidak seimbang?"

   "Kira-kira yang akan terjadi adalah demikian."

   Kelima orang itu kemudian merenungi peristiwa yang bakal terjadi.

   Mereka sibuk dengan angan-angan yang masih sangat meragukan, Namun yang mereka sepakat, mereka akan membiarkan Agung Sedayu sampai kerumah Ki Waskita sambil mempersiapkan rencana mereka semasak-masaknya.

   Jika Agung Sedayu tidak segera kembali ke Jati Anom.

   maka mereka harus memancingnya keluar dari pengamalan Ki Waskita.

   "Yang perlu kita lakukan adalan mengawasi anak itu agar kita tidak kehilangan jejak. Kemungkinan terbesar Agung Sedayu tentu tidak akan lama dan tidak akan menempuh perjalanan lebih jauh lagi, karena ia membawa Glagah Putih,"

   Berkata orang tertua diantara para pengikut Sabungsari.

   Karena itulah, maka merekapun segera mengatur jaring-jaring pengawasan yang sebaik-baiknya.

   Perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh kerumah Ki Waskita memang tidak terlalu jauh.

   Mereka menempuh perjalanan untuk waktu yang tidak terlalu panjang.

   Menjelang gelap malam, mereka sudah memasuki padukuhan tempat tinggal Ki Waskita.

   Kedatangan mereka telah disambut dengan gembira oleh seisi rumah.

   Rudita ternyata memenuhi pesan ayahnya.

   Ia sama sekali tidak meninggalkan ibunya untuk waktu yang lama.

   Memang kadang-kadang sehari atau dua hari ia pergi.

   Tetapi ia segera kembali.

   Kedatangan Agung Sedayu itu telah membuat Rudita sangat bergembira, apalagi karena Agung Sedayu membawa saudara sepupunya, Glagah Putih.

   "Tinggallah disini seperti dirumah sendiri Glagah Putih,"

   Berkata Rudita.

   "disinipun banyak anak-anak muda sebaya dengan kau. Apakah kau mempunyai kegemaran tertentu?"

   Glagah Putih justru merasa kaku. Namun ia selalu mencoba tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya perlahan-lahan.

   "Senang sekali tinggal disini."

   Dihari pertama, ternyata Rudita benar-benar nampak gembira sekali.

   Ia banyak berceritera tentang padukuhannya, tentang sawah dan tentang air.

   Tentang musim yang berubah dari kebiasaannya dan tentang anak-anak muda yang bermain-main dengan gembira di sawah yang baru saja dipetik hasilnya.

   Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja.

   Seolah-olah ia mengiakan.

   Namun sekali-sekali ia mengerutkan keningnya mendengar ceritera Rudita itu.

   Tetapi dimalam hari, ketika Glagah Pulih berada didalam bilik yang disediakan untuknya bersama Agung Sedayu, dengan ragu-ragu ia bertanya kepada saudara sepupunya itu.

   "Kakang, aku mendapat kesan yang aneh pada Rudita."

   "Apa?"

   Bertanya Agung Sedayu.

   "Mungkin karena aku sama sekali tidak berpengalaman menghadapi banyak orang dengan sikapnya masing-masing. Di Tanah Perdikan Menoreh aka merasa heran melihat sikap Prastawa. Disini aku juga diperankan oleh sikap Rudita."

   "Apakah sikap Rudita menurut penilaianmu sama dengan sikap Prastawa?"

   "Tidak kakang. Sama sekali tidak. Sikap Prastawa menumbuhkan perasaan yang buram, meskipun mungkin ia seorang yang senang bergurau menuruti caranya. Sementara Rudita mempunyai sikap yang memberikan kesan tersendiri. Rudita demikian akrabnya dengan alam, dengan hijaunya dedaunan, dengan kicau burung dan bahkan dengan tangis anak-anak disaat-saat matahari sepenggalah. Rudita menyatu dengan suasana pedukuhannya. Lengking paron pandai besi dan suara lesung penumbuk padi."

   "Kesan apakah yang kau dapat dari sikap Rudita?"

   Bertanya Agung Sedayu.

   "Rudila memandang alam sekitarnya sebagai sahabat nya yang sejati. Sikapnya menumbuhkan perasaan damai dengan tenteram."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata.

   "Itulah Rudita. Ia adalah seorang anak muda yang memiliki kekuatan Jiwani yang tiada taranya menurut penilaianku atas semus orang yang pernah aku kenal."

   "Kakang,"

   Glagah Putih hampir berbisik.

   "tetapi ada satu yang tidak aku mengerti. Ayah Rudita adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi Rudita sama sekali tidak pernah menyinggung tentang ilmu yang barangkali pernah diwarisi."

   "Rudita juga mempunyai ilmu yang tinggi."

   "Tetapi nampaknya ia asing sekali."

   "Ia asing dengan ilmu kanuragan. Tetapi ia memiliki ilmu Kajiwan yang tidak kalah taranya dengan ilmu ayahnya dalam olah kanuragan."

   Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Jika setiap kali ia melihat kebanggaan dan bahkan kesombongan seseorang karena memiliki ilmu kanuragan, maka dihadapan suasana yang berbeda sama sekali.

   "Tetapi jangan kau paksakan dirimu untuk dalam waktu satu dua hari mengungkapkan segala tanggapanmu atas anak muda itu Glagah Putih. Kau akan menjadi bingung."

   Glagah Putih mengangguk-angguk. Biasanya ia cepat mengerti dan menjawab.

   "Tidak ada kesulitan."

   Namun saat itu ia sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun juga, karena ia memang melihat sesuatu yang tidak dapat segera dimengertinya. Pembicaraan itu terputus, ketika mereka mendengar langkah mendekat.

   "Apakah kau belum tidur? "

   Terdengar seseorang bertanya.

   Agung Sedayu bangkit dan melangkah kepintu.

   Ia tahu bahwa diluar pintu berdiri Ki Waskita.

   Perlahan-lahan Agung Sedayu menarik pintu lereg agar tidak menumbuhkan derit yang terlalu keras.

   Apalagi dimalam yang telah menjadi semakin sepi.

   Ki Waskita mengerutkan keningnya ketika ia melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu dibelakang Agung Sedayu.

   Ternyata bahwa pada sorot matanya, memancar kekecewaan karena seolah-olah Glagah Putih mengetahui, bahwa Ki Waskita hanya memerlukan kakak sepupunya saja.

   Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.

   Sambil tersenyum ia berkata.

   "Maaf ngger. Mungkin aku sudah mengganggumu. Aku memang memerlukan angger Agung Sedayu untuk sebuah pembicaraan yang penting."

   Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Namun iapun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat merengek-rengek seperti anak-anak. Karena itu, maka jawabnya.

   "Silahkan paman. Aku akan menunggunya disini."

   Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya.

   "terima kasih. Tetapi aku mohon agar kau tidak meninggalkan bilik ini."

   "Ya paman,"

   Glagah Pulih mengangguk pula. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun meninggalkan Glagah Pulih didalam biliknya. Bersama Ki Waskita iapun kemudian turun kehalaman dan berjalan keregol.

   "Kita berjalan-jalan keujung padukuhan ngger,"

   Berkata Ki Waskita. Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya.

   "Marilah. Aku akan mengikuti saja kemana Ki Waskita akan pergi."

   Ki Waskita tersenyum.

   Agung Sedayu pasti sudah dapat menebak, bahwa ia akan berbicara tentang sesuatu yang penting dan tidak perlu di ketahui oleh orang lain.

   Beberapa langkah mereka menyusuri jalan padukuhan.

   Kemudian mereka melalui jalan induk pergi keujung padukuhan Ketika mereka melalui sebuah gardu perondan, maka anak-anak muda yang ada digardu itupun tidak bertanya sesuatu selain mempersilahkan mereka lewat, karena anak-anak muda dipadukuhan itu mengenal, bahwa Ki Waskita adalah seorang yang agak lain dari orang-orang kebanyakan.

   Ketika mereka sudah dibulak, barulah Ki Waskita mulai dengan persoalannya.

   Dengan suara yang lirih orang tua itu berkata.

   "Angger, ternyata ada sesuatu yang terlupakan saat aku mengajak angger kemari."

   Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak segera menangkap maksud Ki Waskita. Ia tidak mengerti apakah yang disebutnya sesuatu yang terlupakan itu. Karena itu, maka diberanikannya dirinya untuk bertanya.

   "Apakah yang Ki Waskita maksudkan? Apakah ada sesuatu barang yang tertinggal di Jati Anom, atau Suatu sikap dan pesan yang terlupakan belum Ki Waskita nyatakankepada Kiai Gringsing atau paman Widura?"

   Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.

   Dipandangnya wajah langit yang bersih digantungi oleh bintang gemintang yang berkerdipan.

   Dalam pada itu Agung Sedayu menjadi termangu-mangu.

   Ia tidak berani mendesak lagi.

   Yang dapat dilakukannya hanyalah menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Ki Waskita.

   Baru sejenak kemudian Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil berkata.

   "Angger Agung Sedayu. Sebenarnya aku mengajak kau datang kerumahku, karena aku ingin menitipkan sekedar pengetahuan kanuragan yang tidak berarti. Juga sejenis ilmu yang hanya dapat dipergunakan untuk bermain-main dengan anak-anak yang sedang merengek dengan mempertunjukkan bayangan-bayangan yang mungkin dapat memberikan sedikit kesenangan. Mungkin juga suatu cara untuk melapisi diri terhadap ilmu-ilmu sejenis sehingga kau tidak mudah dibayangi oleh penglihatan dan pengamatan dengan jenis indera yang manapun juga oleh ujud-ujud dan peristiwa-peristiwa semu. Selebihnya mungkin kau perlu juga memiliki sebuah perisai sehingga 'kau tidak mudah dipengeruhi oleh sejenis ilmu sirep, gendam dan ampak-ampak, sehingga kau menjadi lemah dan kehilangan kesadaran dalam tidur yang sangat nyenyak, atau kau tiba-tiba saja telah terpesona oleh sesuatu diluar kehendakmu atau tiba-tiba saja dunia menjadi gelap, seolah-olah kau menjadi buta."

   Ki Waskita berhenti sejenak. Tetapi Agung Sedayu tidak memotongnya. Ia masih tetap menunggu Ki Waskita melanjutkan kata-katanya.

   "Angger Agung Sedayu. Di Sangkal Putung angger telah berhasil melawan ilmu sirep yang tajam karena keteguhan hati dan kepercayaan angger atas kesadaran diri. Tetapi untuk itu kau harus mengerahkan banyak tenaga dan pemusatan inderamu. Hal itu tidak perlu kau lakukan jika kau memiliki perisai yang dapat membentengi perasaanmu, sehingga kau tidak akan kehilangan banyak kekuatan didalam dirimu."

   Agung Sedayu mengangguk-angguk.

   Ia sudah menduga, bahwa maksud Ki Waskita membawanya adalah karena keinginan Ki Waskita untuk membantunya melindungi diri dari bahaya yang dalang bertubi-tubi, seolah-olah setiap orang didunia ini telah mendendamnya, salah atau tidak salah.

   Tetapi Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar, bahwa Ki Waskita telah menyatakan, bahwa sebenarnya hal itu yang akan dilakukannya.

   "Lalu, apakah yang telah terjadi, dan apakah yang akan dilakukannya?"

   Bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri. Sementara itu Ki Waskita berkata seterusnya.

   "Angger Agung Sedayu. Itulah yang aku maksudkan. Tetapi seperti yang aku katakan, ada sesuatu yang telah aku lupakan."

   Terasa dada Agung Sedayu bergejolak, ia tidak dapat menahan diri lagi untuk bertanya.

   "Apakah yang Ki Waskita lupakan?"

   
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Rudita ngger."

   Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

   Segera ia menangkap maksud Ki Waskita.

   Bagi Ki Waskita Rudita adalah anak yang sangat dikasihinya, sehingga sudah barang tentu ia tidak akan dapat menyakiti hati anaknya dengan menurunkan ilmu kanuragan kepada Agung Sedayu didepan matanya.

   Bahkan seandainya Ki Waskita mengajaknya menyingkir ketempat yang jauh disetiap malam.

   Namun Rudita tentu akan mengetahui bahwa kepergian mereka adalah dalam rangka mewariskan ilmu.

   Sementara itu.

   Rudita sendiri sebagai anak laki-laki Ki Waskita telah menentukan sikapnya.

   Ia menjauhi segala sikap dan tindak kekarasan.

   Rudita menjadi sangat bersedih jika ia melihat akibat dari peristiwa kekerasan.

   Sehingga karena itulah, maka Rudita seakan-akan telah terlempar pada suatu jarak yang tidak dapat dipertemukan dengan ayahnya sendiri.

   Meskipun dalam hidup sehari-hari Rudita tetap merupakan seorang anak yang dekat dengan ayah dan ibunya, namun batas yang lebar dan dalam telah menganga diantara mereka didalam sikap jiwani.

   Ki Waskita membiarkan Agung Sedayu merenung.

   Ki Waskitapun mengetahui, bahwa agaknya Agung Sedayu telah menangkap maksudnya.

   Karena itu, maka Ki Waskita tidak merasa perlu untuk menjelaskan.

   Sejenak keduanya saling berdiam diri.

   Namun sementara itu dada Agung Sedayu terasa menjadi pepat.

   Secercah kekecewaan telah memercik dihatinya.

   Ia merasa bahwa ia telah kehilangan suatu kesempatan yang sangat berharga baginya.

   Mungkin yang akan disadap dari Ki Waskita akan lebih berarti dari yang telah diketemukannya didalam goa saat ia seakan-akan mengasingkan diri.

   Namun sesaat kemudian.

   Agung Sedayu merasa gembira.

   Dengan demikian ia sudah dibatasi oleh kemampuan yang sudah ada padanya.

   Dengan kemampuan yang ada, ia sudah banyak melakukan kesalahan.

   Ia sudah terlalu sering berbuat dosa.

   Membunuh dan melukai orang-orang yang barang kali tidak bermaksud jahat kepadanya, atau barangkali karena sekedar menjalankan perintah orang lain.

   Dosa itu rasa-rasanya selalu mengikutinya dalam ujud yang berbeda-beda.

   Kadang-kadang ia menjadi gelisah didalam tidur.

   Kadang-kadang ia menjadi bingung menghadapi peristiwa-peristiwa yang tiba-tiba saja harus diatasi.

   Dan kadang-kadang ia merasa selalu dibayangi oleh dendam dan kebencian.

   "Jika ilmuku bertambah-tambah lagi, maka dosa yang akan aku lakukan tentu akan semakin besar. Aku akan semakin banyak membunuh dan dendam pun akan semakin tinggi menyala membakar langit."

   Dengan demikian, maka keragu-raguannyapun bagaikan menghentak-hentak didadanya. Ia merasa berdiri dijalan simpang yang sulit untuk menentukan, apakah ia harus mengikuti jalan kekanan atau kekiri. Namun tiba-tiba ia berdesah didalam hati.

   "Aku memang sangat bodoh. Ki Waskita tidak menyuruh aku untuk memilih. Tetapi yang dikatakannya itu adalah suatu kepastian sikapnya, bahwa ia tidak akan dapat mewariskan ilmunya, meskipun hanya sebagian kecil kepadaku karena alasan yang sudah dikatakan. Ia tidak ingin menyakiti hati anaknya. Sudah tentu anaknya akan lebih berharga dari aku. Jauh lebih berharga meskipun ada perbedaan sikap dan pandangan terhadap hidup dan putarannya. Agung Sedayu masih berdiam diri ketika langkah mereka menjadi semakin jauh Namun tiba-tiba Ki Waskita berhenti dan berkata.

   "Marilah kita pulang ngger."

   "O,"

   Agung Sedayu tergagap. Namun kemudian ia sempat menjawab.

   "Marilah Ki Waskita."

   Ki Waskita menangkap kekecewaan yang tersirat pada nada kata-kata Agung Sedayu, namun iapun menangkap keragu-raguan yang membara didalam hati anak muda itu.

   Tetapi Ki Waskita tetap berdiam diri.

   Seakan-akan ia sengaja membiarkan Agung Sedayu berbantah dengan dirinya sendiri.

   Langkah-langkah mereka dimalam yang gelap itu, terdengar gemerisik.

   Angin malam bertiup menghembuskan udara yang lembab dingin.

   Dalam pada itu.

   tiba-tiba saja Ki Waskita menarik nafas dalam dalam.

   Diluar sadarnya ia memandang wajah Agung Sedayu.

   Betapapun gelapnya malam, namun karena ketajaman tatapan mata Ki Waskita, nampak olehnya ketegangan yang tersirat diwajah itu.

   "Kau merasakan sesuatu?"

   Bertanya Ki Waskita. Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya.

   "Aku mendengar sesuatu dibalik perdu itu."

   Ki Waskita memalingkan wajahnya. Dipandanginya segerumbul perdu dipinggir jalan. Bahkan ia masih melihat sesosok tubuh yang bergeser dan hilang dibalik bayang-bayang dedaunan yang rimbun. Agung Sedayu tertegun sejenak. Katanya.

   "Ada seseorang yang mengintai kita."

   "Aku kira bukan hanya seorang,"

   Sahut Ki Waskita. Tetapi kemudian katanya.

   "Biarkan saja ngger. Mereka tentu tidak berbahaya bagi kita."

   Agung Sedayu mengangguk-angguk.

   "Gerak dan sikap mereka telah menunjukkan bahwa mereka bukan orang yang memiliki ilmu yang sempurna. Meskipun demikian, hal ini merupakan peringatan bahwa kita harus berhati-hati,"

   Berkata Ki Waskita pula.

   Agung Sedayu tidak menjawab.

   Merekapun kemudian, melanjutkan langkah mereka kembali kepadukuhan.

   Ternyata orang-orang yang berada dibalik gerumbul itu tidak menyusul mereka.

   Agaknya orang-orang itu hanya sekedar mengawasi saja.

   Mereka bukan orang-orang yang seharusnya bertindak langsung terhadap Agung Sedayu atau Ki Waskita atau kedua-duanya.

   "Satu kesalahan telah mereka lakukan,"

   Berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

   "mereka berada terlalu dekat dengan jalan yang kami lalui."

   Namun demikian, kegelisahan Agung Sedayu telah bertambah lagi.

   Ia sadar, bahwa kemungkinan yang paling besar, bahwa orang-orang itu telah mengikutinya sejak ia meninggalkan Jati Anom.

   Bagi Agung Sedayu orang-orang itu merupakan salah satu bayangan dendam yang menyala dimana-mana.

   *** Buku 119

   "KI WASKITA,"

   Berkata Agung Sedayu kemudian.

   "Apakah dengan membiarkan mereka, persoalan ini telah dapat kita anggap selesai?"

   "Tentu tidak Agung Sedayu. Tetapi kita tidak perlu menghiraukannya."

   "Ki Waskita, bagaimana jika kita berusaha menemui dan berbicara dengan mereka?"

   Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia merenung sejenak. Namun kemudian katanya.

   "Kita akan menunggu ngger. Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang menjadi gawat. Pada suatu saat mungkin kita akan mendapat kesempatan untuk berbicara dengan mereka."

   Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. Untuk sesaat keduanya telah berdiam diri. Masing-masing sedang merenungi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Namun sejenak kemudian Ki Waskitapun berkata.

   "Angger Agung Sedayu, sebenarnya masih ada yang ingin aku katakan. Mungkin dapat menjadi bahan pembicaraan kita disepanjang jalan pulang."

   Agung Sedayu mengerutkan keningnya Dengan nada dalam ia bertanya.

   "Tentang orang-orang itu?"

   Ki Waskira menggeleng. Katanya.

   "Tentang angger Agung Sedayu.

   Agar kedatangan angger Agung Sedayu kerumahku tidak sia-sia, maka aku ingin mencari cara bagaimana aku dapat membantu angger menyempurnakan ilmu yang telah angger miliki, sekaligus aku ingin menitipkan ilmu dari cabang perguruanku agar tidak menjadi punah, dan dengan serta merta dilupakan orang.

   Seperti angger ketahui, aku tidak akan dapat mewariskannya kepada Rudita."

   Sesuatu terasa bergejolak dihati Agung Sedyu. Pertentangan didalam dirinya kembali menyala.

   "Angger,"

   Berkata Ki Waskita.

   "Aku mengenal angger Agung Sedayu dengan baik. Karena itu akupun mengetahui bahwa angger menjadi ragu-ragu. Angger berdiri diantara dua sikap yang berbeda,"

   Ki Waskita berhenti sejenak, lalu.

   "Tetapi sebaiknya angger dapat melihat kembali sikap angger sejak angger masih sangat muda. Apakah ilmu yang kemudian angger miliki itu dapat angger manlaalkan bagi sesama atau sebaliknya, meskipun akibatnya justru menggelisahkan angger sendiri."

   Agung Sedayu tidak menjawab.

   Telapi sekilas seolah-olah ia melihat perjalanan hidupnya, sejak ia masih dibayangi oleh ketakutan melihat gendruwo bermata satu pada sebatang pohon randu alas dipinggir jalan antara Jati Anom dan Sangkal Putung.

   Bagaimana ia menjadi ketakutan, dan gemetar mendengar seseorang menyebut harimau putih di Lemah Cengkar.

   Namun kemudian, ketika ia memiliki ilmu kanuragan, maka ia merasa mempunyai tanggung jawab bagi keselamatan sesama.

   

   first share di Kolektor E-Book 30-08-2019 15:37:02
oleh Saiful Bahri Situbondo


Kekaisaran Rajawali Emas Karya Khu Lung Pisau Kekasih Karya Gu Long Pohon Kramat Karya Khu Lung

Cari Blog Ini