Api Dibukit Menoreh 25
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 25
Api di Bukit Menoreh (05) - SH Mintardja
Tim Kolektor E-Book. Apk Content rilis 30-08-2019 15:37:02 Oleh Saiful Bahri Situbondo
Api di Bukit Menoreh (05) Karya dari SH Mintardja
Kawan-kawannya terdiam. Ketika terdengar ombak menggelepar, maka salah seorang dari mereka berdesis.
"Kita sudah berbuat sesuatu yang tidak dikehendaki oleh penguasa ditempat ini."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi kulit mereka terasa meremang. Sementara kawannya berkata selanjutnya.
"Sementara kita tidak dapat melawan kuasanya."
Kawan-kawannya menjadi semakin berdebar-debar. Rasa-rasanya jantung mereka berdentang semakin cepat. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menyingkir agak jauh dari lawan-lawannya. Karena itu, maka Agung Sedayupun berkata.
"Glagah Putih, cepat, lepaskan ikatan tanganku. Rasa-rasanya pergelangan tanganku akan patah. Jika mereka menyusul kita, hendaknya tanganku sudah tidak terikat lagi justru oleh cambukku sendiri."
Glagah Putihpun kemudian berhenti. Dengan tergesa-gesa ia mulai mencoba melepaskan ikatan tangan Agung Sedayu.
"Sulit sekali kakang,"
Berkata Glagah Putih.
"Tetapi kau tentu dapat melakukannya. Juntai cambukku tidak terlalu lemas, sehingga ikatannyapun tentu tidak akan mati."
Dengan susah payah, akhirnya terasa ikatan itu mengendor, dan bahkan kemudian cambuk itupun akhirnya dapat dilepas oleh Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Diterimanya cambuknya yang telah mengikat tangannya bagaikan akan patah dengan hati yang berdebar-debar.
Rasa-rasanya Agung Sedayu telah menerima senjatanya yang hampir saja hilang dan justru menjadi alat untuk mencelakainya! "Terima kasih Glagah Putih,"
GumamAgung Sedayu. Namun dalam pada itu, Glagah Putih justru menundukkan kepalanya. Disela-sela suara angin malam dan gelegar ombak yang semakin jauh, terdengar ia berkata.
"Aku mohon maaf kakang, bahwa hampir saja aku menjadi penyebab kesulitan yang gawat pada kakang."
Agung Sedayu menepuk pundak Glagah Putih. Katanya.
"Lupakan. Kita bersama-sama telah melakukan kesalahan. Tetapi ini merupakan pengalaman yang baik bagimu. Kau benar-benar telah menghadapi bahaya yang sullit."
Glagah Putih mengangguk kecil.
"Apakah kakang akan kembali menemui perampok-perampok itu?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ditatapnya wajah Glagah Putih yang kadang-kadang ditundukannya dalam-dalam.
"Jika kakang akan kembali kepada mereka, biarlah aku menunggu disini, agar aku tidak mengganggu kakang mengalahkan mereka."
Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya.
"Bersama atau tidak bersama aku, daerah ini tetap merupakan daerah yang gawat bagimu Glagah Putih. Karena itu, sebaiknya aku tidak kembali lagi kepada mereka. Marilah kita meneruskan perjalanan. Kecuali jika mereka mengejar dan berhasil menyusul kita, maka aku akan berbuat sesuatu untuk membela diri."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Ia merasa telah menjadi rintangan perjuangan Agung Sedayu.
Jika ia dapat melindungi dirinya sendiri, maka setidak-tidaknya Agung Sedayu akan dapat menangkap salah seorang lawannya sehingga dari padanya akan dapat didengar keterangan siapakah sebenarnya mereka.
Tetapi justru karena Agung Sedayu bersamanya, maka kehadirannya itu menjadi perhitungan kakak sepupunya.
"Marilah Glagah Putih,"
Berkata Agung Sedayu.
"lebih baik kita menghindar. Mereka sangat licik dan dapat berbuat sesuatu diluar dugaan."
Glagah Putih tidak menyahut.
Tetapi terasa dirinya semakin kecil dihadapan Agung Sedayu.
Kehadirannya bukannya menjadi seorang kawan yang dapat membantu melawan lima orang yang mengeroyoknya, namun justru ialah yang menjadi sebab, bahwa hampir saja Agung Sedayu mengalami kesulitan.
Glagah Putih mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata.
"Marilah. Kita akan meneruskan perjalanan."
Glagah Putih mengangguk. Disentuhnya punggung kudanya dengan telapak tangannya, serta digerakkannya kendali kudanya, sehingga kudanyapun perlahan-lahan mulai bergerak.
"Kau didepan Glagah Putih,"
Berkata Agung Sedayu kemudian.
"kita berada disebuah hutan perdu."
Glagah Putih tidak menyahut. Iapun kemudian berkuda didepan dan Agung Sedayu dibelakang. Mereka menyusuri sebuah hutan perdu yang belum mereka kenal. Agung Sedayu mengenal arah dari petunjuk letak bintang yang berkeredip dilangit.
"Kita menuju ke Utara,"
Desisnya.
"nanti jika fajar menyingsing kita akan mengetahui, dimana kita sedang berada, dan barangkali kita akan dapat menentuksm arah lebih lanjut."
Glagah Putih mengangguk kecil.
Sejenak kemudian maka merekapun telah berada dihutan perdu yang menjadi semakin lebat.
Pasir dibawah kaki mereka telah menjadi semakin tipis dan bahkan kemudian telah hampir tidak terdapat lagi.
Jenis tumbuh-tumbuhan dihutan perdupun menjadi semakin banyak dan semakin rimbun.
"Kita sudah mendekati sungai opak,"
Gumam Agung Sedayu.
"Darimana kakang tahu ?"
"Menurut perhitungan dan menurut arah. Aku kira sebentar lagi kita akan sampai kepinggir sungai apabila kita menuju ke Timur."
Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu melanjutkan.
"Marilah, kita akan mendekati tanggul sungai. Mungkin kita akan menemukan jalan yang menuju kepadukuhan."
Glagah Putihpun kemudian berbelok ke kanan.
Menurut petunjuk bintang, mereka menuju kearah Timur.
Sementara langitpun menjadi semakin menyala oleh warna fajar.
Bintang Gubug Penceng diujung Selatanpun menjadi semakin redup.
Yang nampak dilangit adalah warna merah yang semakin cerah.
Ketika dikejauhan terdengar suara ayam berkokok, maka Agung Sedayupun berkata.
"Kita tidak terlalu jauh lagi dari padukuhan."
"Ya,"
Sahut Glagah Putih.
"aku juga mendengar ayam berkokok."
"Kita akan turun kesungai,"
Berkata Agung Sedayu.
"kita akan mandi dan membersihkan diri, agar kita tidak terlalu dicurigai oleh orang-orang yang akan berpapasan diperjalanan."
Ketika langit menjadi terang, maka seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, merekapun telah mendekati sungai opak.
Dari kejauhan nampak beberapa jenis pepohonan yang rimbun membujur disepanjang tanggul.
Jenis tumbuh-tumbuhan yang lebih besar dari tumbuh-tumbuhan di hutan perdu.
Bukit yang berjayar dihadapan merekapun nampak menjadi semakin hijau oleh tumbuh-tumbuhan dilereng yang berjalur-jalur hitam.
Semakin tinggi hutan dilereng itupun menjadi semakin tipis.
Pada beberapa puncak bukit yang berjajar itu, terdapat dataran-dataran padas yang gundul.
"Kita akan mandi,"
Desis Agung Sedayu. Tetapi wajah Glagah Putih nampak membayang kecemasan hatinya, sehingga Agung Sedayupun berkata pula Kita mencuci muka dan bagian tubuh kita yang kotor."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Bahkan kemudian iapun menundukkan wajahnya, seolah-olah ia ingin menyembunyikan perasaannya yang dapat ditebak oleh Agung Sedayu.
Sementara itu, diatas seonggok pasir, lima orang lawan Agung Sedayu yang ditinggalkannya, duduk dengan wajah yang kusut.
Orang yang tiba tiba saja terpelanting dari kudanya telah merasa tubuhnya menjadi semakin baik, sementara kawannya yang mencari air telah kembali diantara mereka dengan beberapa tetes air didaun talas.
Tetapi yang beberapa tetes itu telah membuat kawannya menjadi segar.
"Kita telah kehilangan Agung Sedayu dan Glagah Putih,"
Berkata salah seorang dari mereka.
"Ternyata ia memang anak iblis. Iblis itulah yang telah datang membantunya, melemparkan aku dari punggung kuda. Rasa rasanya punggungku telah dipukul dengan sepotong besi yang membara,"
Desis kawannya yang terpelanting dari punggung kudanya.
"Sst,"
Yang lain berdesis.
"jangan sebut lagi. Sekarang kau sudah berangsur baik. Apa lagi yang akan kita lakukan sekarang. Kuda kita masih utuh. Kita telah berhasil menangkap kuda-kuda itu seluruhnya."
Orang yang telah mendapatkan air itu berpikir sejenak. Ia adalah satu-satunya orang yang tidak mengalami sesuatu diantara kelima orang sekelompok kecilnya.
"Kita akan mencari jejaknya,"
Desisnya tiba-tiba.
"Untuk apa ?"
Bertanya yang lain.
"Kita akan mencari jalan untuk menangkapnya kembali. Kita akan memancing perkelahian dan sekali lagi memperalat Glagah Putih untuk menangkapnya."
"Agung Sedayu tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Ia tentu akan menjadi semakin garang dan cambuknya akan menjadi semakin buas,"
Desis yang lain.
Kawan-kawannya tidak menyahut.
Tetapi merekapun tidak dapat ingkar akan kenyataan mereka masing-masing.
Empat diantara kelima orang itu telah terluka.
Meskipun keadaan mereka sudah menjadi semakin baik, namun mereka masih harus berpikir sepuluh kali lagi, apakah mereka akan mengikuti jejak Agung Sedayu dan berusaha untuk menyusulnya.
Karena itu, maka mereka masih saja duduk diatas pasir.
Rasa-rasanya sangat malas untuk berdiri dan meneruskan perjalanan.
Apalagi keempat orang yang telah terluka.
"Apakah yang akan kita katakan kepada Sabungsari,"
Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdesis. Kawan-kawannya tidak segera dapat menjawab. Mereka sedang mencoba melihat banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata.
"Bukankah yang dikehendaki Sabungsari adalah, bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih kembali ke Jati Anom ? Selanjutnya persoalannya akan langsung di tangani oleh Sabungsari sendiri yang ingin membalas dendam dengan tangannya ?"
Kawan-kawannya termenung sejenak. Seorang diantara mereka bergumam.
"Ya, kau benar."
"Jika sekiranya Agung Sedayu kemudian memang kembali ke Jati Anom, apakah kita perlu berbuat sesuatu lagi atasnya?"
Yang lain termangu-mangu. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja bertanya.
"Jika demikian, apakah artinya semuanya yang telah kita lakukan ? Apakah yang kita lakukan itu sama artinya dengan jika kita tidak berbuat apa-apa ?"
"Tentu berbeda,"
Sahut yang lain.
"tentu akan lebih baik jika kita membawa Agung Sedayu dalam ikatan. Sabungsari akan segera dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya dihutan tereng Gunung Merapi, atau dihutan disebelah Lemah Cengkar yang dihuni oleh macan putih itu. Tetapi jika Agung Sedayu kembali seperti ia kembali dari bepergian, maka masih diperlukan cara untuk menggiringnya dalam perang tanding."
Tetapi seorang yang lain menyahut.
"Tetapi bedanya tidak terlalu banyak. Biarlah kita mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Sabungsari."
"Apakah itu perlu ? Kita dapat juga mengatakan, bahwa kita memang membiarkan Agung Sedayu dan Glagah Putih kembali kepadepokannya. Baru kemudian kita memancingnya melepaskannya dari penghuni padepokan yang lain,"
Berkata yang lain. Tetapi orang yang sama sekali belum terluka itu akhirnya berkata.
"Biarlah kita mengatakan apa adanya. Terserah kepada penilaian Sabungsari. Jika kita masih dianggap bersalah, dan Sabungsari bermaksud menghukum kita, biarlah ia menghukum dengan caranya. Tetapi sebuah pertanyaan harus kita jawab. Apakah kita akan membiarkan diri kita dihukum setelah kita mengalami keadaan seperti ini."
"Maksudmu ?"
Bertanya salah seorang kawannya.
"apakah kita akan melawan ?"
"Entahlah,"
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawabnya.
"tetapi rasa-rasanya kita sudah berbuat sebaik-baiknya, sehingga kita tidak seharusnya disalahkan lagi."
Kawan-kawannya tidak menjawab.
Tetapi jika benar mereka harus melawan Sabungsari, sementara keadaan tubuh mereka yang lemah itu, maka keadaan mereka tentu akan menjadi semakin buruk.
Tetapi yang seorang itu seolah-olah mengetahui apa yang tersirat dihati kawan-kawannya.
Maka katanya.
"Dalam perjalanan kembali ke Jati Anom kita akan dapat memulihkan tenaga kita. Dengan demikian, kita berlima akan mempunyai kemampuan yang utuh, yang akan dapat kita pergunakan dimana perlu."
Yang lain tidak menyahut. Tetapi nampak bahwa mereka masih tetap ragu-ragu. Bahkan akhirnya mereka tidak mau memikirkannya lagi.
"Entahlah, apa yang akan terjadi kemudian,"
Desis salah seorang dari mereka.
"tetapi aku cenderung untuk mengatakan apa yang telah terjadi sebenarnya."
Namun demikian, mereka berlima tidak segera meninggalkan tempat itu.
Rasa-rasanya masih malas bagi mereka untuk berdiri dan melanjutkan perjalanan.
Apalagi mereka yang sudah terluka.
Tetapi ketika matahari kemudian mulai memanjat langit, maka mereka dengan segan berdiri dan mengibaskan pakaian mereka yang kotor oleh pasir dan darah.
"Marilah,"
Berkata orang yang masih belum terluka sama sekali.
"kita akan maju perlahan-lahan. Tanpa Agung Sedayupun kita akan menunggu dan berhenti dipinggir Kali Opak, karena keadaan kita. Jika kita meneruskan perjalanan, maka orang-orang yang berpapasan dengan kita akan heran dan mungkin diantara mereka ada juga yang mencurigai kita."
Kawan-kawannya tidak menyahut.
Dengan segan mereka berdiri dan melangkah menuju kekuda mereka masing-masing.
Sejenak kemudian mereka telah berada dipunggung kuda dan mulai dengan perjalanan yang terasa sangat menjemukan.
Tanpa mereka kehendaki, maka merekapun mengikuti jejak kuda Agung Sedayu yang masih nampak jelas diatas pasir, diantara semak-semak dihutan perdu.
Tetapi sama sekali tidak ada niat mereka untuk menyusulnya.
Kelima orang itu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat jejak kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih juga menuju kearah Sungai Opak, maka hati mereka menjadi berdebar-debar.
"Keduanya tentu sudah meninggalkan sungai itu,"
Berkata salah seorang dari mereka.
"kita akan mandi sepuas-puasnya tanpa takut diganggunya lagi."
Meskipun diantara mereka masih ada yang ragu-ragu, tetapi kelima orang itu tetap mengikuti jejak kuda Agung Sedayu menuju ke Kali Opak.
Namun seperti yang mereka duga, tidak ada seorangpun lagi dipinggir sungai itu.
Bahkan mereka telah melihat jejak kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih meneruskan perjalanan menuju ke Utara.
"Mereka menyusuri Kali Opak,"
Desis salah seorang dari mereka.
"Ya. Agaknya mereka tidak akan berhenti dan menunggu jalan-jalan mejadi sepi. Mereka nampaknya dapat membenahi diri dan tidak menimbulkan kecurigaan apapun juga,"
Sahut yang lain.
"Aku masih membawa selembar baju yang lain dipelana kudaku,"
Berkata salah seorang dari mereka.
"Persetan,"
Geram yang lain.
"tetapi keadaan kita cukup menarik perhatian disiang hari. Jika kita melintas jalan yang ramai, maka mereka akan menyangka kita sekelompok orang yang pulang dari perampokan atau menyamun di jalan-jalan sepi."
Yang lain tidak menyahut. Tetapi mereka segera turun dari kuda mereka dan menambatkannya pada pohon-pohon yang tumbuh ditanggul Kali Opak.
"Alangkah segarnya untuk mandi. Mudah-mudahan kekuatanku dapat pulih kembali,"
Desis salah seorang dari mereka.
Kelima orang itupun kemudian turun kedalam segarnya air Kali Opak.
Beberapa saat lamanya mereka membenamkan diri kedalam air.
Terasa seakan-akan kekuatan mereka merayap kembali kedalam tubuh mereka yang menjadi segar.
Mereka yang terluka oleh cambuk Agung Sedayu merasa pedih sesaat.
Tetapi justru sekaligus mereka mencuci luka itu dan kemudian ketika mereka selesai mandi, mengobatinya dengan obat yang selalu mereka bawa sebagai bekal.
Ketika mereka selesai berpakaian, maka orang yang punggungnya telah dibakar oleh kekuatan tatapan mata Agung Sedayu berkata.
"Aku telah pulih kembali. Seandainya aku kini bertemu dengan Agung Sedayu, maka aku tidak segan lagi untuk mengulangi pertempuran."
"Tanpa anak yang tinggi kekurus-kurusan itu ?"
Bertanya kawannya.
Orang itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam tanpa menjawab sepatah katapun.
Namun seperti orang itu pula, maka kelima orang pengikut Sabungsari itu memang merasa tubuh mereka menjadi segar kembali.
Tetapi tidak ada niat mereka untuk menyusul dan kemudian menangkap Agung Sedayu.
Apalagi diantara mereka, yang bersenjata tinggal dua orang.
Yang lain tidak lagi memiliki pedang dilambung.
Bahkan pisau-pisau belati merekapun telah mereka lontarkan ketika mereka berusaha memancing perhatian Agung Sedayu sehingga mereka berhasil menguasai Glagah Pulih.
"Jika kita bertemu dengan bahaya, aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa,"
Desis salah seorang dari mereka yang tidak bersenjata.
"Lalu, apakah yang dapat kita lakukan ?"
Bertanya kawannya.
"Aku akan memotong sebatang kayu metir. Kayu itu akan dapat aku pergunakan sebagai senjata."
"Bagus,"
Berkata kawannya yang lain, yang juga telah kehilangan senjata dengan kayu metir setinggi tubuh kita, maka kita akan dapat mempersenjatai diri melawan pedang yang paling tajam sekalipun."
Kawan-kawannya yang berpedang ternyata tidak berkeberatan.
Merekapun kemudian memotong beberapa batang metir yang tumbuh diatas tepian Kali Opak sepanjang tubuh mereka, sehingga mereka akan dapat mempergunakan tongkat itu sebagai senjata yang akan dapat melawan senjata apapun juga.
"Kayu metir sebesar pergelangan tangan ini tidak akan dapat putus dengan sekali babat betapapun tajamnya pedang. Bahkan pedang itu akan dapat melekat pada tongkat ini dan sulit untuk ditarik kembali,"
Berkata salah seorang dari mereka.
Dengan senjata tongkat kayu metir itulah maka para pengikut Sabungsari itu siap untuk meneruskan perjalanan.
Namun mereka tetap pada pendirian mereka untuk menunggu sampai petang.
Barulah mereka akan melintasi jalan-jalan yang agak ramai menuju ke Jati Anom.
Namun ketika mereka mulai melepas tali-tali kuda mereka, mereka terkejut, karena mereka mendengar suara seseorang yang sedang berbicara meskipun masih agak jauh.
Kemudian suara yang lain menyahut.
Bahkan masih terdengar suara yang lain lagi.
"Aku mendengar beberapa orang berbicara,"
Desis salah seorang dari kelima orang pengikut Sabungsari itu.
"Apakah Agung Sedayu dan Glagah Putih datang lagi ketempat ini ?"
Bertanya salah seorang dari mereka.
"Bukan. Aku kira jumlah mereka lebih dari tiga orang."
Sejenak mereka termangu-mangu.
Namun kelima orang itu tidak sempat mengambil sikap, karena tiba-tiba saja dari tikungan tebing sungai muncul -empat orang yang agaknya berjalan menyusuri sungai.
Bukan saja kelima orang itu yang menjadi tegang, namun keempat orang jang tiba-tiba saja melihat lima orang berkuda itupun terkejut pula, sehingga langkah merekapun terhenti.
Sejenak kedua kelonnpok itu saling memandang.
Nampaknya kerut merut diwajah masing-masing.
Seolah-olah mereka telah berdiri dimuka sebuah cermin yang besar dan melihat diri masing-masing berhadapan dengan bayangannya.
Hampir setiap orang didalam kedua kelompok itu melihat wajah-wajah yang kasar seperti wajah mereka sendiri.
Melihat sikap yang garang dan mata yang memancarkan kecurigaan.
Salah seorang pengikut Sabungsari itupun tiba-tiba berdesis.
"Siapakah mereka ?"
Kawannya agaknya tidak sabar lagi. Kudanya yang telah dilepas ikatannya, telah ditambatkannya kembali. Kemudian selangkah ia maju dan berdiri dibibir tebing Kali Opak. Sambil memandang orang-orang yang menelusuri Kali Opak itu ia bertanya lantang.
"He, siapakah kalian Ki Sanak ?"
Orang-orang yang berada di pasir tepian itupun memandanginya dengan heran. Seorang yang berkumis lebat dan berdada bidang melangkah maju pula sambil menjawab.
"Kami pulang dari mencari makan. Siapakah kalian ?"
Para pengikut Sabungsari itupun segera mengerti.
Seolah-olah istilah itu memang merupakan istilah yang telah mereka sepakati untuk dipergunakan.
Sekelompok penjahat yang baru pulang dari melakukan kejahatan akan mengatakan, bahwa mereka baru pulang dari mencari makan.
Para pengikut Sabungsari itu menarik nafas dalam-dalam.
Mereka memang sudah mengira.
Dan merekapun sadar, bahwa orang-orang ditepian itupun tentu mengira bahwa mereka berlima tentu juga baru pulang dari mencari makan.
Justru karena itu, maka pengikut Sabungsari itu tidak ingin berurusan lebih lama lagi.
Katanya.
"Silahkan kalian meneruskan perjalanan. Kami sedang digelisahkan oleh buruan kami."
"He ? "
Orang berkumis di atas pasir tepian itu menjadi heran.
"Kami sedang memburu Agung Sedayu,"
Berkata orang diatas tebing itu acuh tidak acuh. Tetapi ketika ia akan melangkah surut, ia terkejut karena orang berkumis itu berteriak.
"Apa katamu ? Kau memburu Agung Sedayu ?"
"Ya. Kenapa ? "
Orang itu bertanya. Sejenak orang-orang yang berada di tepian itu saling berpaling. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata.
"Apakah Agung Sedayu lewat di padang perdu itu?"
Pertanyaan itu ternyata telah menarik perhatian kelima orang pengikut Sabungsari. Mereka serentak melangkah kebibir tebing sambil memandang keempat orang itu dengan tajamnya.
"Kenapa kau bertanya tentang Agung Sedayu ? Apakah kau pernah mengenal Agung Sedayu?"
Bertanya salah seorang dari mereka. Orang berkumis itu tertegun sejenak. Namun kawannya yang membawa sebuah bungkusan kecil menyahut.
"Ya, kami tahu pasti. Siapakah Agung Sedayu. Katakan, apakah hubungan kalian dengan Agung Sedayu."
Orang-orang yang berdiri di atas tebing itu termangu-mangu. Orang yang masih mempunyai pedang dilambungnya itu berkata.
"Kami mempunyai persoalan dengan anak itu. Jika kalian juga mempunyai persoalan, katakan. Apakah yang akan kau lakukan atas anak itu."
Orang berkumis itulah yang kemudian berteriak.
"Kami akan membunuhnya."
Jawaban itu telah mendebarkan jantung kelima orang yang berada diatas tebing. Salah seorang dari mereka berkata.
"Benar kalian akan membunuh Agung Sedayu? Siapakah kalian, dan apakah kalian mempunyai kemampuan yang cukup ?"
"Kalian belum pernah mendengar nama kami atau kalian memang tidak pernah mengira bahwa kalian akan bertemu dengan orang-orang dari Pesisir Endut ? "
Jawab orang berkumis itu.
Sejenak orang-orang yang ada diatas tebing itu termangu-mangu.
Sementara itu orang-orang yang berada dipasir tepian memandang mereka dengan dada tengadah.
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka menyangka bahwa pengakuan mereka akan mengejutkan orang-orang yang berada di tepian itu.
Tetapi merekalah yang justru terkejut.
Ternyata kelima orang itu justru tertawa.
Salah seorang dari mereka berkata.
"Jadi kalian inilah orang-orang dari Pesisir Endut itu ? Kalianlah yang telah kehilangan dua orang pemimpin kalian yang dibunuh oleh Pangeran Benawa itu."
Orang-orang ditepian itu termangu-mangu sejenak. Kemudian orang berkumis itulah yang berteriak.
"Jadi kalian pernah mendengar nama kami ? Perguruan Pesisir Endut ?"
"Nama perguruanmu memang telah dikenal sampai keujung bumi. Tetapi kami menjadi kecewa karena dua orang bersaudara yang terkenal dari Pesisir endut itu sama sekali tidak berdaya menghadapi Pangeran Benawa seorang diri. He, apakah yang dapat kalian lakukan sekarang tanpa pemimpinmu itu ?"
Orang bekumis itu menjadi merah padam. Dengan suara bergetar ia ganti bertanya.
"Siapakah kalian yang telah berani menghina perguruan Pesisir Endut ? Kau sangka kalian memiliki kemampuan melampaui Pangeran Benawa ? Bahkan seandainya Pangeran Benawa sekarang ini ada disini, kami berempat akan dapat membunuhnya tanpa mengalami kesulitan."
Kelima orang itu menjadi tegang. Seolah-olah keempat orang itu demikian yakin akan diri mereka. Mereka merasa bahwa mereka akan dapat mengalahkan Pangeran Benawa. Tetapi orang yang berpedang diatas tebing itu berkata.
"Jangan sesumbar disini. Kau berteriak-teriak karena justru kau tahu, bahwa Pangeran Benawa tidak ada disini sekarang. Seandainya tiba-tiba saja Pangeran Benawa sekarang ini hadir, maka kalian akan menjadi pingsan."
"Persetan. Siapakah kalian sebenarnya ?"
Bertanya orang berkumis itu. Orang berpedang itu tertawa kecil. Katanya.
"Baiklah, karena kalian telah mengaku bahwa kalian datang dari Pesisir Endut, maka kamipun akan mengatakan siapakah kami sebenarnya. Kami adalah orang-orang yang mendendam Agung Sedayu seperti orang-orang Pesisir Endut. Justru kalianlah yang agaknya lebih dahulu bertindak. Tetapi kalian tidak pernah berhasil. Bahkan menurut pendengaran kami, orang yang lebih tinggi tingkat ilmunya dari kedua kakak beradik dari Pesisir Endut itupun tidak berhasil berbuat sesuatu atas Agung Sedayu."
"Kedua kakak beradik itu dibunuh oleh Pangeran Benawa. Bukan oleh Agung Sedayu,"
Potong orang berkumis itu.
"Tidak jauh bedanya. Tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti, siapakah yang lebih kuat antara Agung Sedayu dan Pangeran Benawa. Telapi yang jelas perguruan dari Pesisir Endut itu tak berhasil berbuat sesuatu,"
Ia berhenti sejenak, lalu.
"Nah, sekarang datang giliran kami. Kami datang dari pihak yang lain, yang juga menyimpan dendam seperti kalian. Kami adalah murid murid dari perguruan Ki Gede Telengan."
Keempat orang itu tercenung sejenak. Orang berkumis itu berkata.
"Kami sudah mendengar orang yang bernama Ki Gede Telengan yang terbunuh juga oleh Agung Sedayu. He, apakah kalian tidak menyadari akan hal itu ? Bahkan guru kalianpun telah mati ?"
Tetapi orang berpedang itu tertawa. Katanya.
"Kami tidak tergantung kepada Ki Gede Telengan. Orang terkuat diperguruan kami bukannya Ki Gede Telengan. Tetapi anak laki-lakinya. Ia mewarisi semua ilmu ayahnya. Tetapi ilmu itu sudah disempurnakan sesuai dengan jiwanya yang hidup karena kemudaannya. Ia mempunyai perincian kesalahan ayahnya, kenapa ia terbunuh oleh Agung Sedayu. Dan ia tidak akan mengulangi kesalahan ayahnya jika ia berhadapan dengan Agung Sedayu nanti."
"Siapakah anak Ki Gede Telengan diantara kalian ? "
Bertanya orang berkumis itu.
"Tidak ada dianlara kami. Kami memang sedang menggiring Agung Sedayu kearah yang dikehendaki, sehingga pada suatu saat keduanya akan bertemu. Keduanya adalah anak-anak muda, dan keduanya akan berhadapan dalam perang tanding yang tiada taranya."
Orang-orang dari Pesisir Endut itu tertegun sejenak. Salah seorang dari mereka berbisik ditelinga orang berkumis itu.
"Kita harus cepat membawa kabar ini pulang."
"Tetapi orang-orang itu sangat sombong,"
Berkata orang berkumis itu.
"nampaknya mereka memang ingin dihajar sampai jera."
"Apa yang akan kita lakukan ?"
Bertanya yang lain.
"Kita naik ketebing dan merebut kuda-kuda itu. Alangkah senangnya kita kembali dengan naik kuda."
Kawannya termangu-mangu. Sejenak ia memandang orang-orang yang berada di atas tebing. Namun tiba-tiba saja jantungnya rasa-rasanya menjadi berdebaran. Katanya.
"Apakah kau pasti bahwa kita akan berhasil ?"
"Kenapa tidak. Mungkin kita memerlukan waktu sejenak untuk mengusir mereka. Tetapi kemudian kita akan berkuda sampai kepadepokan Pesisir Endut."
Kawan-kawannya yang lainpun menjadi ragu-ragu. Bahkan seorang yang lain berkata.
"Apakah kita akan sempat memiliki kuda mereka."
"Pengecut. Aku akan naik. Aku akan memaksa mereka meninggalkan kuda mereka."
Orang berkumis itu tidak menunggu jawaban kawan-kawannya lagi. Iapun kemudian melangkah maju mendekati tebing sambil berkata,"
Ki Sanak. Aku memerlukan kalian. Aku ingin berbicara lebih panjang. Karena itu aku akan naik."
Para pengikut Sabungsari menjadi berdebar-debar. Orang berpedang yang masih belum terluka saja sekali itu berbisik.
"berhati-hatilah. Nampaknya mereka akan naik. Tentu ada sesuatu yang akan mereka lakukan atas kita."
Kawannya yang juga masih menggenggam pedang berdesis.
"Biarlah mereka naik. Apapun yang akan mereka lakukan, akan kita hadapi. Badanku sudah pulih kembali meskipun dipesisir itu punggungku rasa-rasanya akan retak dan berpatahan."
Orang yang masih belum terluka sama sekali itu memandang kawan-kawannya yang lain. Diantara mereka ada yang terluka kulitnya oleh sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu. Namun orang yang terluka kakinya itu berkata.
"Lukaku tidak seberapa. Memang pedih. Tetapi seandainya aku harus bertempur, aku sudah siap meskipun aku hanya bersenjata tongkat kayu."
Orang berpedang itu justru masih mempunyai sebilah pisau belati. Sambil bergeser ia berkata.
"Jika kau perlukan, kau dapat mempergunakan pisauku disamping tongkatmu."
"Tongkatku cukup kuat untuk menghadapi pedang. Kecuali lebih panjang, maka aku percaya akan kekuatan kayu metir meskipun agak berat."
Kawan-kawannya yang bertongkatpun mengangguk-angguk. Salah seorang berdesis.
"Aku merasa kuat. Pedang mereka tidak akan dapat mematahkan tongkat kayuku asal aku tidak membenturkan menyilang."
Sejenak orang-orang diatas tebing itu menjadi tegang.
Mereka menunggu keempat orang itu perlahan-lahan naik keatas.
Sejenak kemudian, maka keempat orang itu sudah berdiri diatas tebing pula.
Mereka masih berusaha mengatur pernafasan mereka, ketika mereka telah berdiri berhadapan.
"Aneh,"
Desis orang berkumis.
"beberapa diantara kalian membawa tongkat kayu."
"Ini memang senjataku,"
Desis orang yang bertongkat kayu. Tetapi orang berkumis itu tertawa. Katanya.
"Jika kau tidak membawa sarung pedang yang kosong, aku tentu percaya. Apalagi tongkat itu adalah kayu metir yang masih basah."
Orang-orang yang bersenjata tongkat itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka telah tertawa pula. Katanya.
"Kau benar. Sarung pedangku telah kosong. Ini suatu kesalahan bahwa aku tidak membuangnya saja. Tetapi hal itu memang suatu akibat, bahwa aku kehabisan uang diperjalanan. Aku telah menjual pedangku disebuah warung dan menukarkannya dengan nasi lima bungkus. Nah, bukankah jelas bagi kalian ?"
Jawaban itu rasa-rasanya memang menyakitkan hati. Tetapi orang berkumis itu tidak segera marah. Bahkan ia masih bertanya.
"Apakah kuda-kuda yang terikat itu kuda kalian ?"
"Apakah kau masih perlu bertanya begitu ? "
Orang berpedang itu justru bertanya pula.
"Pertanyaan yangi bagus,"
Sahut orang berkumis.
"nah. jika demikian aku pasti, bahwa kuda-kuda itu memang milik kalian. Entah kalian memang membawanya sejak kalian berangkat, atau kalian dapatkan diperjalanan dengan mencuri misalnya."
Para pengikut Sabungsari itu serentak beringsut. Namun mereka masih menahan diri dan mendengarkan orang berkumis itu berkata selanjutnya.
"Ki Sanak. Sebaiknya kita bergantian saja. Sekarang, kamilah yang akan berkuda kembali kepadepokan Pesisir Endut. Jika kemudian perguruanmu membutuhkan, ambil sajalah ke Pesisir Endut dengan anak muda yang kau sebut anak Ki Telengan."
Wajah orang berpedang itu menjadi merah. Tetapi ia tidak mau dibakar oleh perasaannya sehingga kehilangan pengamatan diri. Karena itu ia masih tetap menyadari keadaannya. Katanya kemudian.
"Aku tahu. Kau ingin merampas kudaku. Aku tahu pula, bahwa kau menganggap perguruan Ki Telengan sudah tidak berarti lagi sepeninggal Ki Gede seperti juga perguruan Pesisir Endut sepeninggal kakak beradik itu. Tetapi seandainya demikian, namun agaknya kami masih lebih berarti dari kalian. Kami masih menahan diri untuk tidak melakukan perampokan-perampokan kecil-kecilan, atau menyamun pedagang yang akan pergi kepasar."
"Persetan,"
Orang berkumis itulah yang menggeram.
"apapun yang kau katakan. Tinggalkan kuda-kuda kalian. Jika aku tidak mengingat bahwa nasib kita hampir bersamaan, aku tidak usah memberimu peringatan. Kami langsung membunuh kalian tanpa persoalan. Tetapi karena kita sama-sama mendendam pada orang yang sama, maka marilah kita saling berbaik hati. Serahkan kuda kalian, lalu kalian dapat pergi dengan tanpa kami ganggu."
"Jangan omong saja. Kau tentu sudah tahu jawabku. Dan kaupun tentu tidak akan mundur. Karena itu, aku kira tidak ada kemungkinan lain yang terjadi, selain kita harus bertempur disini. Terserah pada keadaan berikutnya, apakah kita akan saling membunuh atau akan terjadi penyelesaian lain."
Orang berkuda itu tidak sabar lagi. Karena itu, maka katanya kepada kawan-kawannya.
"Sudah jelas, mereka mempertahankan kuda mereka."
Orang-orang Pasisir Endut itu ternyata lebih kasar dari para pengikut Sabungsari. Meskipun tiga orang yang lain semula masih ragu-ragu, namun kemudian merekapun berteriak dengan kasar sambil mencabut senjata mereka.
"Jumlah kami lebih banyak,"
Berkata salah seorang pengikut Sabungsari itu.
"dalam perhitungan kasar, maka kami akan menang."
"Perhitungan kasar dan gila. Aku mempunyai perhitungan lain,"
Jawab orang berkumis.
"kami bersenjata lengkap. Tiga diantara kalian hanya bersenjata sepotong kayu. Apalagi nampaknya kalian bukan orang yang memiliki ilmu kanuragan yang pantas diperhitungkan."
Pengikut Sabungsari yang sama sekali belum terluka itu tertawa sambil berkata.
"Kita akan menghadapi orang-orang kasar yang dungu. Marilah. Jangan ragu-ragu."
Kawan-kawannya mulai bergeser.
Meskipun diantara mereka sudah terluka, tetapi air sungai dibawah tebing itu telah membuat tubuh mereka pulih kembali.
Rasa-rasanya mereka tidak pernah mengalami cidera apapun juga sebelumnya.
Keempat orang dari Pesisir Endut itupun telah memencar pula.
Mereka mengacukan senjata mereka sambil menggeram.
Yang berkumis itu masih berbicara lantang.
"Untuk yang terakhir kalinya, tepuklah dadamu dengan wajah tengadah. He, orang-orang dungu. Sebentar lagi kepalamu akan terpisah dari tubuhmu. Dan kuda-kuda yang tegar itu akan menjadi milik kami."
Pengikut Sabungsari itu tidak menjawab lagi.
Mereka sudah siap sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan.
Mereka yang berpedang berdiri pada jarak yang terjauh, sementara tiga orang yang lain berdiri dalam satu kelompok kecil yang nampaknya ingin bertempur dalam satu lingkaran.
Orang berkumis itupun mulai mendekati lawannya.
Orang yang nampaknya paling berpengaruh diantara kelima orang pengikut Sabungsari itu agaknya orang yang bersenjata pedang dan banyak berbicara itu.
Karena itu, maka iapun maju selangkah demi selangkah mendekatinya sambil berteriak.
"Bunuh saja mereka semuanya agar pekerjaan kita rampung tanpa ada persoalan lagi yang dapat timbul kemudian."
"Jumlah kalian hanya empat,"
Sekali lagi salah seorang pengikut Sabungsari itu menghitung jumlah.
"bagaimanapun juga kalian akan kalah. Seandainya kita masing-masing memiliki kemampuan yang sama, maka kelebihan jumlah ini akan sangat berpengaruh."
"Kami baru saja membunuh dan melukai tujuh orang sekaligus,"
Geram orang berkumis.
"kami ketemukan mereka di bulak panjang. Mereka kami bantai semuanya karena mereka mencoba melawan kami. Menurut pengakuan mereka, ketujuh orang itu adalah orang-orang terkuat dari Kademangan Watu Gede. Mereka berkata sambil menengadahkan kepala, bahwa mereka akan menangkap aku dan mengikat tanganku dibelakang punggungku. Tetapi akhirnya mereka terbaring dijalan tanpa dapat bangun lagi untuk selama-lamanya. Agaknya akan terjadi pula atas kalian yang mengaku orang-orang tanpa tanding. Tetapi kalian sebentar lagi akan terbaring dipadang perdu ini."
Orang berpedang diantara para pengikut Sabungsari itupun berkata lantang.
"Kita tidak akan berbicara berkepanjangan. Marilah, yang akan mati biarlah segera mati."
Orang berkumis itu menggeram.
Namun tiba-tiba lawannya yang bersenjata pedang itu pula mengacukan pedangnya yang bergetar.
Sejenak kemudian, orang-orang itupun telah terlibat dalam perkelahian.
Tiga orang yang bersenjata tongkat, telah bertempur dalam kelompok kecil menghadapi dua orang lawan.
Sementara kawannya yang berpedang-masing-masing telah menghadapi seorang lawan.
(Bersambung ke
Jilid 121"..) Api Di Bukit Menoreh Karya .
SH Mintarja (Buku 121 ~ 130) ________________________________________ Buku 121 ORANG berkumis itu telah menyerang lawannya dengan garang.
Ternyata perguruan Pesisir Endut telah membentuknya menjadi seorang yang memiliki kekuatan yang besar dan kecepatan bergerak yang mengagumkan.
Apalagi mereka tidak lagi mempunyai perasaan belas kasihan sedikitpun juga.
seperti juga kedua kakak beradik yang dengan garangnya telah berusaha membunuh Glagah Putih tanpa belas kasihan.
Para pengikut Sabungsari itupun segera merasakan kekerasan sikap orang-orang dan Pasisir Endut itu.
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil berteriak nyaring, orang berkumis itu menggerakkan senjatanya dengan kekuatan raksasa.
Tetapi para pengikut Sabungsari ternyata adalah orang-orang yang berpengalaman menghadapi medan yang betapapun garangnya.
Bahkan dalam keadaan yang tidak terelakkan lagi, merekapun termasuk orang-orang kasar dan bahkan buas.
Apalagi mereka yang telah terluka oleh senjata Agung Sedayu, seolah-olah mereka mendapat sasaran untuk melepaskan kemarahan mereka.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit.
Meskipun tiga orang diantara para pengikut Sabungsari bersenjata tongkat, namun ternyata tongkat kayu metir itu merupakan senjata yang berbahaya bagi lawan-lawannya.
Tongkat-tongkat itu bagaikan tangkai tombak yang menyambar-nyambar, terayun, memukul dan kadang-kadang mematuk lurus mengarah kedada.
Ternyata bahwa yang terjadi kemudian benar-benar diluar dugaan orang dari Pasisir Endut itu.
Orang berkumis itupun mulai merasakan tekanan yang berat dari lawannya.
Orang perpedang yang melawan dengan garangnya, justru memiliki kelebihan dari orang berkumis yang mempunyai kekuatan raksasa itu.
"Kami bukan tujuh orang pengawal Kademangan,"
Teriak salah seorang pengikut Sabungsari.
"jangan menyesal bahwa kalianlah yang akan terbaring diam di padang perdu ini. Sekelompok burung gagak akan segera menyayat tubuh kalian sehingga tinggal tulang-tulang sajalah yang akan berkubur diantara dedaunan kering."
Tetapi orang berkumis itu berteriak.
"Jangan sebut kami anak-anak Pesisir Endut jika kami tidak dapat mencincang kalian."
Yang terdengar adalah suara tertawa.
Tetapi kemudian angin padang yang kering telah melontarkan dedaunan kering yang berserakkan.
Para pengikut Sabungsari yang masih diwarnai oleh kemarahan mereka karena Agung Sedayu telah terlepas dari tangan mereka, telah bertempur dengan garangnya.
Sementara orang-orang Pesisir Endut masih berbau darah, karena mereka telah membunuh dan melukai tujuh orang yang telah mereka rampok diperjalanan.
Nampaknya sepeninggal kakak beradik yang memimpin padepokan Pesisir Endut, orang-orang di padepokan itu menjadi bertambah liar dan garang.
Tetapi kelika mereka bertemu dengan anak buah Sabungsari, mereka baru merasakan bahwa di daerah kuasanya, ternyata telah hadir lima orang yang tidak dapat segera mereka kuasai.
Dua orang dari Pesisir Endut itu telah bertempur melawan tiga orang pengikut Sabungsari yang bersenyata tongkat.
Namun ternyata bahwa tongkat mereka yang panjang itu berhasil mereka pergunakan sebagai senjata untuk mengimbangi pedang lawan.
Namun demikian, karena mereka telah terluka, maka lambat laun terasa, luka-luka mereka mulai mengganggu.
Meskipun ketika mereka selesai mandi, tubuh mereka menjadi segar seolah-olah kekuatan mereka telah pulih kembali.
Namun ketika keringat mulai menitik terasa luka-luka itu menjadi pedih.
"Gila,"
Geram orang yang luka kakinya.
Apalagi ketika ternyata lawannya melihat kelemahan-kelemahan itu.
Yang luka lambungnyapun mulai menyeringai, sedang yang lainpun telah mulai kehilangan lagi sebagian dari kecepatannya bergerak.
Meskipun demikian tiga orang bersenjata tongkat itu masih tetap merupakan kekuatan yang berbahaya bagi dua orang lawannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin dahsyat.
Dua orang Pesisir Endut yang melihat kelemahan lawannya, segera berusaha menekan dengan segenap kemampuannya.
Bahkan salah seorang dari mereka berteriak.
"Lihat, keseimbangan mereka mulai terganggu. Agaknya mereka telah terluka dan kehilangan senjatanya. Sekarang kita tinggal membunuhnya seperti membunuh seekor tikus kecil."
Tetapi kata-kata itu telah membakar hati ketiga orang pengikut Sabungsari.
Dengan serta merta mereka menyerang dengan dahsyatnya sehingga kedua orang lawannya terdesak beberapa langkah surut.
Meskipun ketiganya sudah terluka, tetapi mereka masih tetap berbahaya.
Mereka telah memencar dan menyerang dari arah yang berbeda.
Bahkan mereka sempat membuat kedua lawannya menjadi bingung.
Tetapi lawannya yang mengetahui kelemahannya itupun berusaha untuk memanfaatkan kelemahan itu.
Dengan dahsyatnya salah seorang dari mereka telah menyerang lawannya yang terluka dilambung.
Seorang kawannya yang lain, mencoba mencegah kedua orang lawannya untuk membantu kawannya yang semakin terdesak.
Meskipun tongkat kayu metir pengikut Sabungsari lebih panjang dari pedang, tetapi ternyata pedang dapat digerakkan lebih lincah dan lebih cepat.
Karena itulah, maka pengikut Sabungsari yang bersenjata tongkat itu telah terdesak, sehingga usaha lawannya memisahkannya dari kedua orang kawannya telah berhasil.
Agaknya saat yang demikian itulah yang diinginkannya.
Apalagi karena orang bertongkat itu sudah terluka, sehingga lukanya terasa semakin mengganggunya.
Ketika serangan lawannya datang begaikan gempuran badai, maka kemampuan geraknya benar-benar menjadi sangat terbatas.
Perasaan sakit pada lukanya telah membuatnya menjadi kehilangan keseimbangan.
Pada saat pedang lawannya terjulur, dengan tergesa-gesa ia berusaha untuk menangkis dengan memukul pedang itu kesamping.
Namun lawannya dengan serta merta telah menarik pedangnya dan mengayunkannya tegak mengarah kedahinya.
Pengikut Sabungsari itu masih sempat mengangkat tongkatnya, betapapun perasaan takut telah meremas luka di lambungnya.
Bahkan ia merasa, darahnya mulai menitik lagi dari luka itu.
Namun ketika lawannya memutar pedangnya dan menggerakkannya mendatar, maka ia benar-benar telah tidak mampu lagi mengikuti kecepatan geraknya.
Meskipun ia berusaha meloncat kesamping, namun ujung pedang lawannya telah menyentuh lengannya pula.
Yang terdengar adalah keluhan tertahan.
Selangkah pengikut Sabungsari itu surut.
Tetapi ujung pedang lawannya telah mengejarnya.
Ketika lawannya meloncat dengan pedang terjulur, maka ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ujung pedang itu telah menghunjam kedadanya.
Pengikut Sabungsari itu tidak sempat mengelak.
Ia memandang lawannya sejenak.
Namun kemudian sambil menyeringai ia memejamkan matanya untuk selama-lamanya.
Namun dalam pada itu, kawannya yang bertongkat pula tidak mau membiarkan peristiwa itu terjadi begitu saja.
Tiba-tiba saja iapun meloncat meninggalkan lawannya.
Sementara lawannya yang seorang lagi telah menyerangnya dengan sisa kemampuannya.
Yang terjadi adalah demikian cepatnya.
Ketika orang Pesisir Endut yang berhasil menghunjamkan pedangnya itu berusaha untuk menarik pedangnya dari dada lawan, maka tanpa dapat mengelak lagi, terasa tongkat lawannya telah membentur bagian belakang kepalanya.
Demikian kerasnya, sehingga tiba-tiba saja matanya menjadi gelap dan ingatannyapun lenyap bersama nyawanya, karena tulang kepalanya telah pecah karenanya.
Meskipun ia masih serapat menyaksikan lawannya jatuh terjerembab, namun ia sadar sepenuhnya akan kawannya yang seorang lagi.
Karena itu, maka iapun segera meloncat kearena pertempuran antara kawannya yang bersenjata tongkat dengan seorang lawan dari Pesisir Endut yang sedang dibakar oleh kemarahan.
Hampir saja orang bertongkat itu kehilangan keseimbangan.
Untunglah kawannya yang meskipun telah terluka, tetapi sempat membantunya.
Kematian-kematian itu telah membuat jantung kedua belah pihak menjadi semakin panas.
Mereka bertempur semakin kasar dan liar.
Tidak ada lagi pengekangan diri sama sekali.
Apapun telah mereka lakukan untuk memenangkan perkelahian yang dahsyat itu.
Dalam pada itu, pengikut Sabungsari yang meskipun masih berpedang tetapi yang pernah dilukai oleh Agung Sedayu dengan tatapan matanya, mulai diganggu oleh perasaan sakit dibagian dalam tubuhnya, ia tidak dapat bergerak secepat saat ia mulai dengan perkelahian itu.
Tangannya kadang-kadang terasa menjadi berat, dan tulang-tulangnya bagaikan menjadi lemah.
Namun sementara itu, dua orang yang bersenjata tongkat itupun telah berhasil mendesak lawannya.
Meskipun keduanya tidak memiliki kemampuannya sepenuhnya, tetapi keduanya masih dapat membuat lawannya terdesak.
Ketika kedua ujung tongkat itu menyerang bersama-sama, maka lawannya tidak sempat mengelak lagi oleh dorongan serangan itu.
Diluar sadarnya ia meloncat surut, namun ia tidak mendapat tempat lagi.
Satu kakinya tiba-tiba saja telah terperosok tebing sehingga yang terdengar kemudian adalah jeritnya yang panjang.
Kedua lawannya sempat memandang orang itu berguling.
Namun kemudian disaat jerit itu terhenti, mereka melihat bahwa orang yang terguling itu masih sempat meloncat berdiri.
Justru karena ia jatuh diatas pasir tepian, maka ia tidak mengalami kesulitan yang berarti, kecuali beberapa bagian kulitnya bagaikan terkelupas.
Pada saat itulah kedua orang kawannya yang lain merasa, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat banyak.
Meskipun yang seorang diantara mereka telah berhasil mendesak lawannya yang dibagian dalam tubuhnya merasa semakin sakit.
Bahkan urat-uratnya seolah-olah menjadi kejang.
Namun dua orang bertongkat kayu yang telah kehilangan lawannya itu akan dapat membantunya, sementara orang yang meluncur tebing itu belum sempat memanjat naik.
Karena itu, maka terasa bagi kedua orang Pesisir Endut itu, bahwa mereka telah salah langkah.
Orang-orang berkuda itu ternyata memang bukan orang-orang seperti yang pernah dirampas barangnya dan dibunuh dengan semena-mena.
Pada saat yang demikian itulah, maka terdengar isyarat dari mulut orang berkumis itu.
Demikian tiba-tiba dan berlangsung dengan cepatnya pula, sehingga para pengikut Sabungsari itu harus dengan cepat mengambil sikap pula.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak terhadap orang berkumis itu.
Demikian ia melepaskan isyaratnya, iapun telah meloncat menjauhi lawannya dan dengan serta merta meluncur tebing itu pula tanpa menghiraukan perasaan pedih yang menggigit kulitnya.
Namun seorang kawannya yang justru sedang mendesak lawannya yang telah terluka dibagian dalam itu, ternyata bernasib sangat buruk.
Ketika ia meloncat berlari, salah seorang yang bersenjata tongkat kayu sempat melontarkan tongkatnya, menyilang kaki orang itu, sehingga iapun tidak dapat menghindarkan diri lagi, dan jatuh terjerembab.
Orang-orang yang sedang marah itu tidak sempat berpikir lagi.
Mereka sama sekali tidak berpikir untuk menangkap lawannya hidup-bidup atau mengambil sikap lain, kecuali membunuhnya.
Karena itulah, maka selagi orang yang terjerembab itu belum sempat bangun, maka hampir bersamaan sebilah pedang menusuk punggungnya dan sebatang tongkat memukul kepalanya.
Tidak terdengar orang itu mengeluh.
Tetapi orang itu segera mati tanpa sempat menggeliat lagi.
Dua orang kawannya yang telah berada dipasir tepian, segera meloncat berlari tanpa menengok lagi.
Orang berkumis yang meluncur tebing dan kawannya yang telah terguling lebih dahulu itupun tidak 1 sempat merasakan pedihnya kulit mereka yang terkelupas oleh batu padas.
Sejenak orang-orang yang berdiri diatas tebing termangu-mangu.
Namun tidak seorangpun diantara mereka yang berniat untuk mengejar.
Selain mereka menjadi letih oleh perkelahian itu, maka sebagian dari mereka telah hampir kehabisan tenaga.
Pada umumnya mereka telah terluka oleh Agung Sedayu, sehingga mereka tidak mampu lagi untuk berbuat lebih banyak.
Untuk sesaat mereka berdiri dibibir tebing dengan nafas yang tersengal-sengal.
Baru kemudian mereka menyadari, seorang kawan mereka telah terbunuh.
"Gila,"
Geram orang berpedang yang masih belum terluka.
Dengan wajah yang tegang ia melangkah mendekati kawannya yang terbunuh.
Justru pada saat mereka telah kehilangan Agung Sedayu.
Ketiga kawannya yang lainpun mengikutinya.
Mereka berdiri dengan wajah yang muram memandangi kawannya yang terbujur tanpa dapat bergerak lagi.
"Kita akan menguburnya. Tetapi kita akan membiarkan kedua iblis itu dimakan burung gagak,"
Geram orang berpedang itu.
Dengan demikian maka keempat orang itu tidak segera dapat meninggalkan tempatnya.
Mereka masih mengubur seorang kawannya yang terbunuh oleh orang-orang Pesisir Endut.
Meskipun dua orang Pesisir Endut telah terbunuh pula, tetapi dendam telah dinyalakan dihati mereka dan sulit untuk dapat dipadamkan lagi.
Ketika mereka selesai, maka tanpa menghiraukan kedua sosok mayat lawannya, merekapun meninggalkan tebing.
Salah seorang dari mereka telah menuntun seekor kuda yang tidak berpenumpang lagi.
"Kita akan menunggu diujung padang perdu ini sampai senja. Baru kita akan melanjutkan perjalanan didalam gelap,"
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Desis salah seorang dari mereka.
Salah seorang dari mereka akan pergi kepadukuhan mencari warung atau pasar atau apapun untuk mencari bahan makan bagi mereka dihari itu.
Bahkan orang itu sudah bertekad untuk mencuri saja disawah atau pategalan apabila tidak dapat diketemukan warung atau pasar.
Sementara itu, orang-orang dari Pesisir Endut yang telah melarikan diri itupun telah dibakar oleh dendam tiada taranya.
Mereka bersumpah didalam hati, bahwa mereka pada suatu saat harus dapat membalas kekalahan yang sangat memalukan itu.
"Dua orang kita terbunuh,"
Geram orang berkumis itu. Kawannya tidak segera menyahut. Tetapi semula ia termasuk orang yang ragu-ragu untuk membuka pertempuran melawan orang-orang yang menyebut dirinya murid Ki Gede Telengan itu.
"Kita akan memberitahukan hal ini kepada semua murid-murid diperguruan Pesisir Endut. Bahkan kita akan menghadap Kiai Carang Waja, untuk memberitahukan bahwa orang-orang dari perguruan Telengan telah menghina kita,"
Geram orang berkumis itu. Namun kawannya justru berkata.
"Yang penting, kita akan memberitahukan, bahwa orang-orang dari perguruan Telengan juga akan memburu Agung Sedayu. Bukankah Kiai Carang Waja sedang mesu diri untuk menyempurnakan ilmunya? Ialah yang dengan tangannya ingin membunuh Agung Sedayu, sehingga seharusnya bukan orang lain yang boleh melakukannya. Juga bukan orang-orang dari perguruan Ki Gede Telengan."
Orang berkumis itu termangu-mangu sehingga langkahnya justru terhenti. Dengan nada tinggi ia bertanya.
"He, bukankah pendengaranku benar bahwa orang-orang itu sedang memburu Agung Sedayu?"
"Ya. Mereka sedang memburu Agung Sedayu."
"Jika demikian, Agung Sedayu sudah mulai berkeliaran didaerah ini."
"Mungkin sekali."
"Gila,"
Orang berkumis itu mengumpat.
"kehadirannya didaerah ini akan sangat membahayakan kita semuanya. Ia tentu sudah mendapat beberapa petunjuk mengenai Pesisir Endut dari orang-orang yang tertangkap itu. He, apakah kehadirannya itu justru untuk mencari padepokan kita?"
"Entahlah. Tetapi nampaknya orang-orang itu sudah bertemu dengan Agung Sedayu, tetapi justru merekalah yang melarikan diri. Beberapa orang diantara mereka telah kehilangan senjata mereka."
Orang berkumis itu termangu-mangu. Katanya.
"Persetan. Kita memang harus segera melaporkan hal ini kepada Kiai Carang Waja. Jika ia sudah merasa cukup mematangkan ilmunya, maka ia tentu akan pergi ke Sangkal Putung. Kiai Carang Waja tentu tidak akan bersedia menyerahkan korbannya kepada orang lain."
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya.
"Baiklah, Marilah kita segera kembali kepadepokan dan membicarakan apa yang sebaiknya kita lakukan."
Kedua orang itupun dengan tergesa-gesa melanjutkan perjalanan mereka menyusuri tepian sungai tanpa berhenti lagi.
Beberapa pejsoalan telah memenuhi kepala mereka, sehingga mereka menjadi sangat gelisah karenanya.
Ditempat lain yang terpisah jauh.
Agung Sedayu dan Glagah Putih melanjutkan perjalanannya kembali ke Jati Anom.
Jarak yang harus mereka tempuh masih cukup jauh, sehingga mereka harus berkuda agak cepat, meskipun tidak berpacu disepanjang jalan.
Ketika mereka telah meninggalkan padang perdu dan memasuki tlatah padukuhan dan melalui bulak-bulak panjang, maka keduanyapun tidak lagi berpacu terlalu cepat.
Hanya di bulak-bulak yang benar-benar sepi sajalah keduanya mempercepat langkah kudanya.
Diperjalanan keduanya tidak banyak lagi berbicara.
Glagah Putih lebih banyak merenungi peristiwa yang baru saja terjadi.
Dalam keadaan yang sulit, diantara orang-orang yang berilmu tinggi, maka ia sama sekali tidak dapat membantu Agung Sedayu, justru ia merupakan salah satu hambatan dari perjuangan Agung Sedayu.
Peristiwa itu merupakan sualu pengalaman yang sangal berharga bagi Glagah Putih.
Pengalaman itu merupakan dorongan yang sangat kuat baginya, agar ia bekerja lebih keras lagi untuk mempersiapkan dirinya menghadapi keadaan yang demikian.
Tidak ada lagi kesulitan diperjalanan.
Ketika mereka melampaui beberapa padukuhan dan bulak, maka mereka menjadi semakin dekat dengan jalan menyilang yang pernah mereka tempuh jika mereka pergi ke Mataram lewat jalur jalan Selatan.
Beberapa ratus patok lagi, maka mereka akan sampai kejalur jalan yang biasa mereka lalui, jalan yang di saat-saat terakhir menjadi semakin ramai dan menjadi pusat lalu lintas.
"Agaknya sebentar lagi kita akan sampai ke Prambanan,"
Gumam Agung Sedayu.
Glagah Putih mengerutkan keningnya.
Dipandanginya seleret bukit diseberang sungai.
Bukit yang nampak hijau.
Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka sejenak kemudian, mereka telah sampai ke Prambanan.
Mereka kemudian mengikuti jalan yang sudah sering mereka lalui.
Sekali-sekali Agung Sedayu dan Glagah Putih masih mengamat-amati pakaiannya.
"Apakah pakaian ini tidak lagi menarik perhatian? "
Mereka masih bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi ternyata tidak seorangpun yang memperhatikan.
Mereka melalui jalan itu seperti orang-orang lain tanpa menarik kecurigaan.
Beberapa orang berkuda telah berpapasan dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Tetapi mereka hanya memandang sekilas, kemudian mereka meneruskan perjalanan tanpa curiga.
Ketika kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih berlari, tidak ada seorangpun yang memperhatikan.
Beberapa ekor kuda yang lainpun berlari pula diantara orang-orang yang berjalan kaki, dan beberapa buah pedati yang berjalan lamban seperti siput.
"Apakah kita akan singgah di Sangkal Putung,"
Bertanya Glagah Putih. Agung Sedayu menggeleng, jawabnya.
"Tidak. Kita akan mengambil jalan memintas. Kita harus segera sampai kepadepokan. Kita sudah cukup lama pergi."
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah menempuh jalan memintas ke Jati Anom.
Namun jalan yang mereka lalui adalah jalan yang tidak terlalu sepi, meskipun dibeberapa bulak panjang, rasa-rasanya mereka hanya berdua saja didunia ini.
Bahkan kadang-kadang mereka masih harus melalui jalan dipinggir hutan, meskipun bukan hutan yang terlalu lebat.
Namun akhirnya mereka selamat sampai di padepokan kecil mereka.
Dengan dada yang berdebar-debar mereka memasuki regol padepokan.
Seorang anak muda yang kebetulan melintasi halaman telah melihat kedatangan mereka.
Berlari-lari anak muda itu menyambut Agung Sedayu dan Glagah Putih yang kemudian menarik nafas dalam-dalam.
Rasa-rasanya mereka telah berada ditempat yang paling aman.
Kiai Gringsing dan penghuni padepokan itupun kemudian telah mengerumuninya.
Setelah mencuci kaki dan tangannya, maka keduanyapun segera naik kependapa.
Mereka tidak sempat masuk keruang dalam, karena anak-anak muda itupun segera menyiram mereka dengan pertanyaan tidak henti-hentinya.
Kiai Gringsing ikut mendengarkan pembicaraan yang riuh itu.
Namun kemudian ia berkata.
"berilah mereka minum. Tentu mereka haus."
Barulah mereka sadar, bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih tentu memerlukan beristirahat barang sejenak, sebelum mereka harus menjawab pertanyaan yang mengalir seperti pancuran dilereng bukit.
Namun dalam pada itu, rasa-rasanya masih ada yang kurang dipadepokan itu.
Glagah Putih memandang setiap pintu dan bahkan seluruh halaman.
Tetapi ia tidak melihat ayahnya naik kependapa.
Kiai Gringsing nampaknya dapat menangkap kegelisahan anak itu.
Sambil tersenyum ia berkata.
"Glagah Putih. Ayahmu baru menengok padukuhannya Banyu Asri. Jika ia mendengar bahwa kau sudah datang, maka ia akan segera datang pula. Biarlah salah seorang kawanmu besok memberitahukan kedatanganmu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian ia tidak lagi digelisahkan oleh ayahnya yang tidak ada dipadepokan itu, karena persoalannya tidak mencemaskannya seperti apa yang dialaminya diperjalanan.
"Nampaknya ada sesuatu yang menarik diperjalanan,"
Gumam gurunya.
"tentu yang kau ceriterakan kepada kawan-kawanmu itu belum seluruhnya."
Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Sementara Agung Sedayu beringsut setapak sambil menjawab.
"Belum guru. Memang ada yang masih belum aku katakan. Aku bermaksud menceriterakan mula-mula kepada guru."
Kiai Gringsing tersenyum.
"Baiklah,"
Katanya.
"aku akan menunggu setelah kau mandi dan beristirahat barang sebentar setelah kau makan."
Demikianlah, dibawah lampu minyak yang berguncang oleh angin yang menyusup kependapa, Agung Sedayu mulai menceriterakan seluruh perjalanannya ke padukuhan tempat tinggal Ki Waskita.
Meskipun yang diceriterakannya hanyalah sekedar pengalamannya diperjalanan.
Bukan pengalamannya yang khusus dirumah Ki Waskita.
Kiai Gringsingpun mengerti bahwa kehadiran Glagah Putih bersama mereka, agaknya telah menghalangi Agung Sedayu untuk menceriterakan seluruh pengalamannya.
Meskipun demikian, pengalaman diperjalanan itupun telah sangat menarik perhatiannya.
Bahwa orang-orang yang dibakar dendam dihatinya masih saja memburu Agung Sedayu kemanapun ia pergi.
"Bersukurlah kepada Tuhan,"
Berkata Kiai Gringsing.
"karena perjalanan kalian telah mendapat perlindungannya."
Agung Sedayu dan Glagah Putih mengagguk-angguk.
Bahkan kulit Glagah Putih rasa-rasanya telah meremang apabila ia mengingat apa yang telah terjadi.
Rasa-rasanya hanya suatu keajaiban sajalah yang telah menolong mereka, karena tiba tiba saja salah seorang dari kelima orang itu telah dicengkam oleh kesakitan tanpa sebab.
"Jika tidak terjadi keajaiban itu, maka aku dan kakang Agung Sedayu tidak akan pernah kembali kepadepokan ini lagi,"
Berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Namun dalam pada itu.
Agung Sedayupun telah mengucapkan sukur didalam hatinya pula.
Tanpa kurnia kemampuan untuk membebaskan diri, maka tidak akan ada lagi hari esok baginya dan bagi Glagah Putih.
Meskipun demikian.
Kiai Gringsing masih memberikan beberapa nasehat kepada kedua anak muda itu, agar selanjutnya, mereka tetap berhati-hati dan tidak lupa untuk selalu memohon perlindungan Yang Maha Pencipta.
"Sudahlah,"
Berkata Kiai Gringsing.
"beristirahatlah. Besok ceriteramu masih panjang jika kawan-kawanmu datang merubungimu. Siapkan sajalah sebuah ceritera yang sangat menarik. Sekarang, tidurlah."
Agung Sedayu dan Glagah Putih masuk kedalam biliknya.
Namun ternyata Agung Sedayu tidak segera tertidur.
Berbeda dengan Glagah Putih yang selain letih yang mencengkam seluruh tubuhnya, maka ia merasa dalam keadaan yang aman dipadepokannya, sehingga karena itu, maka iapun segera tertidur nyenyak.
Dalam kegelisahannya.
Agung Sedayupun sadar, bahwa ia harus memberikan laporan yang lebih lenggkap kepada gurunya, ia harus memberitahukan apa yang pernah dialaminya dirumah Ki Waskita.
Karena itu, maka ketika Glagah Putih telah tertidur nyenyak.
Agung Sedayupun bangkit perlahan-lahan.
Dengan hati-hati iapun kemudian beringsut dan justru pergi keluar dari biliknya.
Padepokannya memang sudah sepi.
Seolah-olah tidak seorangpun yang masih terbangun, namun ketika ia menjengukkan kepalanya keruang dalam, ternyata gurunya masih duduk diatas tikar yang dibentangkannya disudut ruangan bersandar dinding sambil menyelimuti badannya dengan kain panjangnya.
Ikat kepalanya tidak lagi dipakainya diatas kepala, tetapi tersangkut dilehernya.
"Kemarilah Agung Sedayu,"
Berkata gurunya.
"aku sudah mengira bahwa kau tentu tidak akan segera tidur seperti Glagah Putih. Tentu masih ada yang ingin kau ceriterakan kepadaku. Pengalaman yang berbeda dengan pengalamanmu diperjalanan."
Agung Sedayupun kemudian duduk didepan gurunya dengan kepala tunduk. Sejenak Kiai Gringsing memandang muridnya. Tentu perjalanan itu tidak sia-sia, apalagi hampir saja merampas nyawanya bersama Glagali Putih.
"Katakan, apa yang telah kau lakukan,"
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berkata gurunya.
Kepada Kiai Gringsing tidak ada satupun yang disembunyikan.
Diceriterakannya apa yang telah dialaminya.
Dan Agung Sedayupun mengatakan, bahwa semua yang telah dilihatnya dalam kitab itu seolah-olah telah terpahat didalam hatinya.
Ia akan dapat menyebut, setiap huruf yang terdapat dalam kitab itu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Ia mendengarkan ceritera Agung Sedayu dengan hati yang berdebar-debar.
Dan iapun mengangguk-angguk dengan kerut-merut dikening ketika Agung Sedayu mengatakan bahwa meskipun ia belum mempelajari makna dari isi kitab itu, maka ia sudah terpengaruh karenanya.
Seolah-olah semua ilmunya telah meningkat.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
Ia melihat suatu masa yang cerah pada Agung Sedayu dari segi penguasaan ilmunya.
Tetapi ia masih tetap melihat Agung Sedayu dalam ujud jiwani yang tidak berbeda dengan Agung Sedayu sebelumnya.
Meskipun demikian Kiai Gringsing berkata.
"bersukurlah Agung Sedayu, bahwa kau telah mendapat kurnia yang tiada taranya. Kurnia kemampuan daya tangkapmu yang tidak terdapat pada setiap orang. Dan Kurnia bahwa kau mendapat kesempatan membaca kitab Ki Waskita. Namun selanjutnya terserah kepadamu, karena yang ada padamu itu akan dapat kau pergunakan untuk banyak kepentingan. Kepentingan yang baik tetapi juga kepentingan yang buruk."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
"Justru karena kurnia itu, maka tanggung jawabmu menjadi bertambah besar. Tanggung jawabmu terhadap masa langgengmu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Desisnya.
"Ya guru. Aku menyadari semuanya itu."
"Sokurlah Agung Sedayu. Kau nampaknya telah memanjat semakin tinggi. Kau dapat melihat kewawasan yang lebih luas. Tetapi jika kau tergelincir, maka kau akan jatuh dari tempat yang lebih berbahaya pula."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia masih mengangguk-angguk kecil.
"Agung Sedayu,"
Berkata gurunya.
"kau dapat mengkhususkan waktu untuk mempelajari makna dari isi kitab itu. Tetapi jangan tergesa-gesa. Kau harus benar-benar mapan dan menyiapkan diri untuk melakukannya, karena yang akan kau alami adalah suatu gejolak didalam dirimu karena gelora ilmu yang seolah-olah mendapat arus baru yang sangat dahsyatnya."
Agung Sedayu mengangkat wajahnya sejenak. Namun kemudian wajahnya tertunduk lagi. Namun terdengar ia menjawab.
"Ya. Aku akan selalu mendengarkan petunjuk guru dalam hal yang bagiku masih terasa asing ini."
"Berhati-hatilah menghadapi masa depanmu Agung Sedayu. Kau jangan lupa terhadap dirimu sendiri. Terhadap semuanya yang telah kau lakukan sampai saat ini,"
Berkata gurunya kemudian. Agung Sedayu mengangguk sambil berdesis.
"Ya guru. Aku akan tetap berusaha agar aku selalu sadar akan diriku sendiri."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dalam nada yang dalam.
"Kau sudah tidak lagi berdiri dalam tataran yang setingkat dengan saudara seperguruanmu Agung Sedayu. Mungkin akan ada seseorang yang menyalahkan aku, karena aku memberikan kesempatan yang berbeda atas dua orang muridku. Aku memberimu kesempatan membaca kitab dan memahatkan isinya didalam batimu, sedangkan tidak demikian bagi Swandaru. Mungkin aku memang seorang guru yang kurang baik dan kurang bijaksana sehingga aku telah berbuat kurang adil. Namun semuanya itu tergantung juga kepada orang lain yang memiliki kitab itu. Agaknya Ki Waskita hanya memberi kesempatan kepadamu, tidak kepada Swandaru. Namun seandainya Swandaru mendapat kesempatan yang sama, ia tidak memiliki kemampuan menyimpan ingatan setajam kemampuan yang dikurniakan kepadamu."
Agung Sedayu masih menunduk. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
"Sudahlah Agung Sedayu. Beristirahatlah. Yang ada padamu adalah peristiwa yang besar. Yang pada suatu saat nampak, baik kau sengaja atau tidak kau sengaja. Sekali lagi, terserah kepadamu, warna apakah yang akan kau lukiskan pada hari depanmu dengan ilmu raksasamu itu,"
Gurunya berhenti sejenak, lalu.
"tidak banyak anak muda yang mendapat kesempatan seperti yang kau dapatkan. Di Pajang dan Mataram, tentu akan dapat dihitung dengan jari tangan. Hanya Senapati Ing Ngalaga dan Pangeran Benawa sajalah yang tidak akan dapat diperbandingkan ilmunya, karena mereka memiliki sumber yang tiada taranya."
Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tetap tidak menjawab.
"Nah, tidurlah. Aku sudah dapat melihat gambaran tentang dirimu setelah kau menempuh perjalanan yang mendebarkan itu. Untunglah bahwa kau masih tetap mendapat perlindungan Yang Maha Agung, sehingga kau mendapat jalan untuk melepaskan diri dari cengkaman kesulitan yang gawat."
Agung Sedayupun kemudian minta diri kepada gurunya untuk kembali kedalam biliknya.
Perlahan-lahan ia membaringkan dirinya disamping Glagah Putih yang masih tidur dengan nyenyaknya disebuah amben yang cukup lebar.
Masih ada satu hal yang belum di sampaikan kepada gurunya karena Agung Sedayu masih menunggu waktu yang lebih longgar.
Surat rontal Ki Waskita buat Kiai Gringsing yang tentu akan menyangkut dirinya.
Sejenak Agung Sedayu masih digelut oleh sebuah angan-angan tentang dirinya dimasa mendatang.
Namun semuanya menjadi semakin kabur.
Akhirnya iapun tertidur dengan nyenyaknya pula seperti Glagah Putih.
Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dan Glagah Putih terlena dipembaringannya, maka Sabungsari dengan gelisah menunggu para pengikutnya.
Ia memang memperhitungkan bahwa para pengikutnya akan melanjutkan perjalanan dimalam hari karena mereka membawa tawanan.
Karena itulah, maka Sabungsari dengan hampir tidak sabar lagi menunggu salah seorang dari pengikutnya datang dan memberitahukan kepadanya, bahwa Agung Sedayu telah mereka simpan disebuah hutan yang sepi di tereng Gunung Merapi.
"Aku akan membunuhnya dan membuktikan bhaktiku kepada orang tuaku,"
Geramnya.
Tetapi Sabungsari menjadi sangat gelisah ketika sampai lewat tengah malam tidak seorangpun yang datang kepadanya, memberitahukan kehadirannya sambil membawa Agung Sedayu.
Bahkan, sampai menjelang dini hari, orang-orang yang ditunggunya tidak kunjung datang.
Sabungsari yang gelisah itupun kemudian bangkit dari pembaringannya dan keluar kehalaman baraknya.
Kegelisahannya menjadi semakin mencengkamnya ketika langit telah menjadi merah.
"Gila,"
Geram Sabungsari sambil berdiri diregol baraknya.
"apakah mereka telah menjadi gila?"
Sabungsari terkejut ketika seorang penjaga regol mendekatinya sambil bertanya.
"He, apakah yang kau cari di dini hari begini?"
Sabungsari tergagap. Namun kemudian jawabnya.
"Udara segar sekali menjelang fajar. Aku akan berjalan-jalan."
Penjaga regol itu tidak menjawab lagi.
Dibiarkannya Sabungsari meninggalkan regol dan berjalan menyusuri jalan menuju kebulak dihadapan padukuhan.
Namun kegelisahan Sabungsari benar-benar telah membakar jantung.
Seharusnya salah seorang dari para pengikutnya sudah datang kepadanya untuk memberitahukan dimana Agung Sedayu mereka simpan.
"Aku cekik mereka sampai pingsan,"
Geramnya.
Dengan hati yang gelisah Sabungsari berjalan disepanjang bulak.
Tetapi ia tidak menjumpai seorangpun dari para pengikutnya.
Yang ditemuinya adalah satu dua orang yang menunggui air disawahnya.
Ketika langit menjadi semakin terang, maka Sabungsaripun kembali ke baraknya.
Hari itu sesuai dengan laporan kehadirannya kembali dan permohonannya sendiri, ia masih diijinkan untuk beristirahat.
Para pemimpinnya menaruh belas kepadanya, karena Sabungsari mengatakan bahwa ia mengalami kesusahan di rumahnya.
Tetapi Sabungsari sendiri merasa jantungnya bagaikan meledak oleh kemarahannya kepada para pengikutnya.
Hari itu seharusnya akan dipergunakannya untuk membuat perhitungan dengan Agung Sedayu yang dianggapnya masih belum melampaui kemampuannya.
"Mungkin mereka menunggu siang hari,"
Berkata Sabungsari kepada diri sendiri.
"mungkin mereka segan menjawab pertanyaan penjaga regol yang tentu akan mencurigainya jika salah seorang dari mereka datang dimalam hari."
Dengan demikian Sabungsari menjadi agak tenang sedikit. Namun bagaimanapun juga, ia tidak dapat mengusir kegelisahannya sama sekali, apalagi ketika kemudian ternyata, bahwa ketika matahari terbit, tidak seorangpun juga yang datang.
"Apakah ada yang kau tunggu?"
Bertanya seseorang yang melihat Sabungsari menjadi gelisah dan setiap kali melihat kejalan diluar regol."
Sabungsari mencoba tersenyum. Jawabnya.
"Tidak. Tetapi aku memang sedang gelisah. Rasa-rasanya aku tidak tenang dimanapun juga berdiri atau duduk."
Kawannya mengangguk-angguk. Gumamnya.
"Kau harus menenangkan dirimu. Cobalah dengan kesibukan-kesibukan kerja sehari-hari. Kau akan segera melupakan kesusahanmu."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya.
"Aku akan mencobanya."
Namun Sabungsari mengumpat umpat didalam hati.
Ia memang tidak mempunyai alasan lain agar pada hari itu ia masih mendapat kesempatan menghindari tugas-tugasnya sehari-hari.
Tetapi bahwa prajurit itu menaruh belas kasihan kepadanya adalah memuakkan sekali.
"Aku dapat mencekiknya sampai mati tanpa meraba tubuhmu,"
Geram Sabungsari didalam hatinya.
Sementara itu, para pengikutnya sebenarnya memang sudah sampai di sekitar Jati Anom.
Tetapi mereka ragu-ragu untuk segera menjumpai Sabungsari.
Mereka masih harus membicarakan, alasan apakah yang dapat mereka katakan, bahwa Agung Sedayu ternyata telah berhasil melepaskan diri, sedangkan salah seorang dari kawan mereka justru telah dibunuh oleh orang-orang Pasisir Endut.
"Mungkin kita akan dibunuhnya,"
Desis salah seorang dari mereka.
"Mungkin. Tetapi aku memilih mati dengan senjata ditangan. Meskipun aku akan berhadapan dengan Sabungsari."
"Matanya takan meremas jantungmu,"
Desis yang lain.
"Mudah-mudahan kalian juga bersikap jantan. Ia tidak akan dapat mempergunakan ilmu iblis itu untuk melawan kita berempat. Kila akan menyerangnya dari empat penjuru. Ia tidak akan mendapat kesempatan untuk memusatkan tusukan ilmu yang terpancar dari matanya itu kepada salah seorang dari kita, karena dari segala arah kita akan menyerang."
Sejenak mereka terdiam. Memang tidak ada pilihan lain. Jika Sabungsari mengambil jalan kekerasan, maka mereka akan mempertahankan diri sampai kemungkinan terakhir, karena akhir dari segalanya adalah mati.
"Jika demikian, kita akan menemuinya sekarang,"
Desis salah seorang dari mereka.
"Biarlah kekuatan kita pulih kembali. Kita akan datang dengan senjata dilambung. Karena itu, biarlah kita beristirahat sehari ini untuk memulihkan kekuatan kita. Sore nanti kita akan menemuinya."
Kawan-kawannyapun mengangguk-angguk.
Mereka memang merasa perlu untuk beristirahat.
Mereka memulihkan kekuatan mereka dengan makan dan minum.
Yang terluka telah membubuhkan obat pada luka-lukanya.
Sementara yang kehilangan senjatanya telah memperlengkapi dirinya dengan senjata lain yang memang mereka simpan sebagai cadangan.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, kegelisahan Sabungsari tidak dapat ditahankannya lagi.
Diluar sadarnya, maka iapun berjalan meninggalkan baraknya tanpa tujuan.
Ia menyusuri bulak panjang sambil melihat tanaman yang hijau terbentang dari padukuhan sampai kepadukuhan yang lain.
Diluar sadarnya Sabungsari telah berjalan semakin jauh.
Bahkan kemudian ia telah berada di pategalan yang digarap oleh orang-orang dipadepokan kecil yang dihuni pula oleh Kiai Gringsing dan muridnya.
Namun tiba-tiba saja dadanya bagaikan retak ketika ia melihat sekelompok kecil anak-anak muda yang sedang bekerja dipategalan.
Diantara mereka ternyata terdapat Agung Sedayu.
Sejenak Sabungsari bagaikan mematung Ia tidak salah lihat.
Anak muda itu adalah Agung Sedayu.
Sedangkan disebelah lain terdapat seorang anak muda yang bertubuh tinggi.
Glagah Putih.
"Setan,"
Ia nmengumpat didalam hati.
"bagaimana mungkin anak itu dapat membebaskan diri dari tangan orang-orangku. Apakah aku memang sudah gila sehingga penglihatanku tidak wajar lagi."
Sabungsari mencoba mengingat-ingat.
"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa anak itu sudah terikat. Bahkan dengan cambuknya sendiri,"
Geram Sabungsari.
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"tetapi kenapa kini tiba-tiba saja ia berada ditempat itu."
Sejenak Sabungsari menilai penglihatannya dipantai Selatan. Ia memang sudah melihat.
"Apakah yang aku lihat bukannya Agung Sedayu yang sebenarnya? Apakah aku sudah dipengaruhi oleh penglihatan-penglihatan semu atau bahkan mungkin oleh penghuni-penghuni laut Selatan, seolah-olah aku melihat Agung Sedayu telah tertangkap? Atau penglihatan-penglihatan lain yang bukan sebenarnya? Atau aku memang sudah gila?"
Beberapa saat Sabungsari masih berdiri membeku.
Jantungnya bagaikan berdentangan didalam dadanya, sementara nafasnya tiba-tiba saja terasa memburu.
Rasa-rasanya anak muda itu baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang dahsyat, yang telah memberinya kepuasan atas tertangkapnya Agung Sedayu.
Tetapi ternyata kini ia dihadapkan pada suatu kenyataan, Agung Sedayu masih bebas bekerja dipategalannya bersama Glagah Putih.
Darah Sabungsari serasa mendidih didalam tubuhnya.
Sambil mengepalkan jari-jari tangannya ia menggeram.
"Aku tidak mau menunggu lagi. Sekarang aku akan membunuhnya, seorang dari mereka akan berlari melaporkan kepada gurunya, tetapi aku tidak peduli."
Namun ketika kakinya sudah siap untuk melangkah, tiba-tiba saja sepercik pikiran yang lain telah meloncat dihatinya. Ia mulai mengurai peristiwa yang dihadapinya.
"Apakah ia berjasil melepaskan diri dan membunuh kelima orang yang telah menangkapnya?"
Sabungsari mulai bertanya kepada diri sendiri.
Pertanyaan itu ternyata telah membualnya menjadi agak ragu untuk bertindak.
Jika benar Agung Sedayu berhasil membunuh kelima orang pembantunya justru saat tangannya telah terikat, maka itu berarti bahwa Agung Sedayu memang memiliki ilmu yang luar biasa.
Sambil mengerutkan keningnya ia mulai membayangkan kembali, apakah yang sudah terjadi.
Kelima orang pembantunya berhasil menangkap Agung Sedayu bukan karena mereka mampu melampaui kemampuan anak muda itu.
Tetapi karena mereka dapat menangkap Glagah Putih lebih dahulu, yang dipergunakan untuk memaksa Agung Sedayu menyerah.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam.
Ia harus memperhitungkan semuanya itu.
Tetapi itu bukan berarti bahwa maksudnya untuk membunuh Agung Sedayu harus diurungkannya.
Menurut penglihatannya, saat Agung Sedayu bertempur melawan kelima orang pembantunya, meskipun anak muda itu benar-benar seorang anak muda yang berilmu tinggi, namun rasa-rasanya ia masih akan dapat menguasainya.
Sabungsari akan dapat menyerang Agung Sedayu pada jarak yang tidak dapat dijangkaunya.
Menurut perhitungannya.
Agung Sedayu tentu akan dapat dikalahkannya dengan serangan yang dipancarkan lewat sorot matanya.
Namun Sabungsari tidak sempat berpikir lebih panjang lagi.
Pada saat ia masih ragu-ragu, terdengar suara Glagah Putih memanggilnya.
"Sabungsari."
Semua orang yang ada dipategalan itu mengangkat wajahnya. Mereka melihat seorang anak muda yang berdiri termangu-mangu. Sabungsaripun kemudian melangkah mendekat. Ia memaksa dirinya untuk tersenyum. Dengan suara yang dibuat-buat ia kemudian bertanya.
"He, kapan kalian datang?"
"Kemarin menjelang petang,"
Jawab Agung Sedayu. Sabungsaripun mendekat lagi. Ia memaksa bibirnya tersenyum semakin lebar. Katanya.
"Kau tiba-tiba saja pergi."
Agung Sedayu melangkah mendekat pula. Jawabnya.
"Ah, aku ingin melihat sesuatu yang agak berbeda dengan suasana padepokan kecilku."
"Kemana kau selama ini Agung Sedayu?"
Bertanya Sabungsari.
"Sekedar melihat-lihat. Aku diajak oleh Ki Waskita melihat padukuhannya."
Sabungsari mengangguk-angguk.
Rasa-rasanya ia tidak sabar menahan hatinya untuk bertanya, apa saja yang dialaminya diperjalanan.
Tetapi ia tidak mau dicurigai dengan pertanyaan-pertanyaannya.
Ternyata bahwa Agung Sedayu tidak mengatakan sesuatu tentang dirinya.
Tentang pengalamannya yang pahit diperjalanan atau tentang orang-orang yang telah menangkapnya.
Bahkan Agung Sedayu sama sekali tidak menceriterakan perjalanannya lewat Pesisir Selatan.
Sabungsari masih belum dapat memancing Agung Sedayu untuk berceritera lebih banyak.
Anak muda itu ternyata lebih banyak berceritera tentang tanah pategalan yang sedang digarapnya itu.
"Gila. Apakah aku memang sudah gila,"
Geram Sabungsari.
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menceriterakan perjalanannya.
Ternyata Agung Sedayu memang sudah mendapat pesan dari gurunya.
Untuk sementara ia dan Glagah Putih tidak dibenarkan untuk menceriterakan pengalamannya yang pahit di Pesisir Selatan.
Kiai Gringsing melihat peristiwa itu bukannya peristiwa yang berdiri sendjri tanpa hubungan dengan keadaan di Jati Anom.
Usaha orang-orang yang mencegatnya untuk menangkapnya hidup-hidup mengingatkannya kepada dendam Carang Waja dari Pesisir Endut.
"Mungkin ada orang lain yang mendendammu pula Agung Sedayu. Karena itu, jangan menceriterakan pengalamanmu itu kepada siapapun juga untuk sementara."
Glagah Putih dan para penghuni padepokan yang sudah terlanjur mendengar ceritera itupun telah mendapat pesan serupa agar mereka tidak mendapat perlakuan yang tidak diharapkannya.
Pertemuannya dengan Agung Sedayu, telah membuat Sabungsari benar-benar bagaikan orang gila.
Apalagi sikap Agung Sedayu dan Glagah Putih yang seolah-olah tidak pernah mengalami sesuatu apapun diperjalanan.
Ada keinginan Sabungsari untuk memancing agar Agung Sedayu menceriterakan seluruh pengalamannya di perjalanan.
Namun ternyata yang dikatakan oleh Agung Sedayu adalah perjalanan yang menyenangkan dan seolah-olah perjalanan tamasya setelah berhari-hari bekerja berat.
Akhirnya Sabungsari memutuskan untuk meninggalkan Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Ia masih ingin menunggu orang-orangnya sehari itu.
Jika mereka tidak datang, maka ia akan mengambil sikap lain.
Mungkin mereka telah dibunuh oleh Agung Sedayu yang tentu akan mampu melakukannya, apabila ia dapat memisahkan Glagah Putih dari arena perkelahian.
Atau Agung Sedayu memang sudah tahu, bahwa orang-orang itu adalah pengikut-pengikutnya sehingga ia tidak mengatakan sesuatu tentang mereka.
"Kau tidak singgah dipadepokan?"
Bertanya Agung Sedayu tanpa prasangka apapun. Glagah Putihpun menambahkannya.
"Aku membawa oleh-oleh buatmu dari daerah disekitar Kali Praga itu."
Sabungsari memaksa dirinya untuk tersenyum. Jawabnya.
"Lain kali Agung Sedayu. Aku masih mempunyai tugas hari ini. Mungkin besok, mungkin malam nanti jika tugas-tugasku telah selesai dan aku mendapat waktu yang cukup, aku akan datang kepadepokanmu."
"Dan sekarang, apakah sebenarnya yang akan kau lakukan?"
Bertanya Glagah Putih. Sabungsari menjadi bingung. Namun kemudian ia tertawa sambil menjawab.
"Tidak ada. Aku hanya kesepian saja. Seperti yang sering aku katakan, aku sering merasa jemu hidup didalam barak itu."
Sambil berjalan kembali kebaraknya Sabungsari mengumpat-umpat didalam hati.
Ia tidak mengerti, keadaan yang bagaimanakah yang dihadapinya.
Kadang-kadang ia merasa seperti mimpi.
Namun kadang-kadang ia menduga, apakah yang dilihatnya itu bukannya Agung Sedayu yang sebenarnya.
Atau barangkali ia memang sudah gila dan tidak mengerti lagi apa yang dilihat dan dialaminya.
Ketika ia sampai di baraknya maka iapun langsung pergi kedalam biliknya.
Dibaringkannya dirinya dipembaringan sambil berangan-angan.
"He, apakah kau sakit?"
Bertanya seorang kawannya yang menjengukkan kepalanya kedalam biliknya. Sabungsari mengangkat kepalanya. Namun sambil meletakkannya kembali ia menjawab.
"Tidak. Aku tidak sakit. Tetapi rasa-rasanyia aku letih sekali."
"Hatimulah yang sakit. Kau harus banyak berbuat sesuatu agar peristiwa yang tidak menyenangkan itu segera kau lupakan. Jangan banyak berangan-angan."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam.
Ia tidak menjawab.
Tetapi ia mengumpat-umpat tidak ada habisnya.
Seolah-olah ia adalah orang yang paling malang didunia.
Semua orang berbelas kasihan kepadanya.
Hari itu Sabungsari mengisi waktunya dengan tidur sejauh-jauh dapat dilakukan.
Ketika matahari turun, ia keluar dari biliknya untuk mandi ke sungai.
Untuk beberapa saat lamanya ia duduk diatas sebuah batu sambil mengamati ikan-ikan yang berenang menentang arus sungai.
Beriring-iringan.
Ada yang kecil, sekecil kelingking.
Tetapi ada yang agak besar.
Sabungsari baru bangkit ketika matahari telah terbenam dibalik Gunung.
Sekali ia menggeliat.
Kemudian perlaan-lahan ia melangkah diatas pasir tepian dan berjalan mendaki tebing.
Ketika ia berpaling, dilihatnya arus air yang tidak bergitu besar yang menyusup diantara bebatuan yang berserakkan.
"Mampuslah semuanya,"
Geram Sabungsari.
Sambil menggerelakkan giginya iapun kemudian bergegas kembali kebaraknya.
Langit telah menjadi buram dan satu-satu bintang mulai nampak diantara awan yang mengalir perlahan-lahan.
Dari kejauhan Sabungsari melihat, obor diregol sudah dinyalakan.
Langkahnya tertegun ketika ia melihat seseorang berjalan tergesa-gesa mendekati regol.
Ia tidak salah lagi, orang itu adalah salah seorang pengikutnya.
Karena itu, maka iapun kemudian berlari-lari kecil.
Sebelum pengikutnya itu sampai keregol, Sabungsari telah menyusulnya dan menggamitnya.
"He, kau akan kemana?"
Bertanya Sabungsari. Orang itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Sabungsari berdiri tegak sambil memandanginya dengan tajam. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk hormat. Katanya.
"Aku akan mencari Ki Lurah."
"Gila. Kalian sudah gila. Kenapa baru sekarang? Kenapa?"
Bertanya Sabungsari. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya.
"Jika Ki Lurah berkenan, marilah. Kawan-kawan menunggu dibawah pohon itu. Banyak masalah yang akan kami laporkan."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Kemudian katanya.
"Marilah. Tetapi kalian jangan mencoba mengelakkan tanggung jawab agar kalian tidak aku cekik sampai mati."
Orang itu tidak menjawab. Namun kemudian dibawanya Sabungsari kepada kawannya yang menunggunya ditempat yang sepi dan terlindung. Ketika Sabungsari sudah duduk diantara mereka, maka nampak wajahnya menjadi tegang. Gumamnya.
"Jumlah kalian kurang seorang."
"Itulah yang akan kami laporkan,"
Desis salah seorang pengikutnya.
"Laporkan seluruhnya apa yang telah terjadi,"
Geram Sabungsari. Keempat orang pengikutnya itu saling berpandangan sejenak. Kemudian yang tertua diantara merekapun beringsut setapak sambil berkata.
"Mungkin laporan kami tidak begitu menyenangkan."
"Persetan. Katakan, dimana Agung Sedayu sekarang he? Apakah kalian tidak berhasil menangkapnya?"
Pengikutnya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya.
"Aku akan mulai sejak permulaan sekali."
"Cepat katakan,"
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bentak Sabungsari.
"jangan berputar-putar tanpa ujung dan pangkal. Aku sudah jemu menunggu. Kalian pergi terlalu lama sehingga aku hampir menjadi gila karenanya. Sekarang katakan, dimana Agung Sedayu kalian sembunyikan."
Ke empat orang pengikutnya itupun menjadi berdebar-debar.
Mereka sadar, jika mereka mengatakan bahwa Agung Sedayu tidak berhasil mereka bawa dalam keadaan terikat, maka Sabungsari tentu akan marah sekali.
Tetapi mereka tidak akan dapat mengatakan laporan yang lain, meskipun mereka belum mengetahui bahwa sebenarnya Sabungsari telah bertemu dengan Agung Sedayu.
Tetapi bagaimanapun juga, jantung mereka rasa-rasanya berdegup semakin cepat.
Bahkan diluar sadarnya, salah seorang dari mereka telah meraba hulu pedangnya.
Untunglah bahwa Sabungsari kebetulan tidak sedang memperhatikannya.
Dalam pada itu, orang yang tertua diantara merekapun kemudian berkata.
"Ki Lurah Sabungsari. Meskipun aku ingin menyembunyikannya, namun adalah suatu kenyataan bahwa hal itu telah terjadi."
"Cepat."
Orang itupun kemudian dengan singlcat menceriterakan apa yang telah dialaminya meskipun ceritera itu sebenarnya tidak menarik lagi bagi Sabungsari yang ikut menyaksikan sebagian dari semua peristiwa yang mereka alami.
"Semula kami sudah berhasil menangkapnya,"
Desis orang itu. Adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Sabungsari lelah menarik nafas dalam-dalam. Didalam hati anak muda itu berkata.
"Bukan aku yang sudah menjadi gila. Peristiwa itu benar-benar terjadi. Agung Sedayu memang sudah tertangkap, tetapi ia berhasil melepaskan diri."
Para pengikutnya menjadi termangu-mangu. Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba saja Sabungsari membentak.
"Jadi Agung Sedayu itu sekarang terlepas dari tangan kalian?"
"Ya Ki Lurah. Bahkan seorang kawan kami telah terbunuh."
"Apakah kalian bertempur lagi melawan Agung Sedayu?"
Bertanya Sabungsari.
"Tidak. Agung Sedayu tidak kembali lagi. Nampaknya ia sudah menjadi jera."
"Bohong. Agung Sedayu sama sekali tidak kalian kalahkan dengan pertempuran. Bukankah kau mengatakan bahwa kalian dapat menangkap Agung Sedayu karena kalian lebih dahulu menguasai Glagah Putih? Dengan demikian, seandainya Agung Sedayu menyembunyikan Glagah Putih, kemudian kembali kepada kalian, maka kalian akan ditumpasnya habis."
Keempat orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi didalam hati merekapun mengakui, bahwa mereka berlima sebenarnya memang tidak dapat mengalahkan Agung Sedayu.
"Nah. jadi siapa yang membunuh seorang diantara kalian,"
Bertanya Sabungsari kemudian. Pengikutnya itupun menceriterakan pengalamannya lebih lanjut. Dikatakannya, bahwa mereka telah berjumpa dengan orang-orang dari Pasisir endut. sehingga kemudian terjadi perselisihan dan perkelahian.
"Jadi. seorang dari kalian telah dibunuh oleh tikus-tikus dari Pesisir Endut he?"
Geram Sabungsari.
"Ya Ki Lurah. Tetapi kami telah berhasil membunuh dua orang diantara mereka."
"Persetan. Yang penting bukan berapa orang kau membunuh. Tetapi kalian telah kehilangan seorang kawan,"
Bentak Sabungsari.
Untunglah bahwa iapun segera menyadari, jika ia berteriak terlalu keras, maka suaranya dapat didengar oleh satu dua orang jika kebetulan mereka berada disawah.
Para pengikutnya hanya menundukkan kepalanya.
Namun jantung mereka bagaikan mekar ketika mereka mendengar Sabungsari berkata.
"Dendamku telah dinyalakan pula oleh orang-orang Pesisir Endut. Setelah aku membunuh Agung Sedayu, maka aku akan membuat perhitungan dengan tikus-tikus yang sudah kehilangan pimpinannya itu."
Para pengikutnya hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Sementara Sabungsari berkata seterusnya.
"Jadi kalian telah kehilangan Agung Sedayu dan seorang kawan."
"Ya Ki Lurah,"
Berkata orang tertua diantara mereka. Sabungsari menggeram. Katanya kemudian.
"Untunglah, aku telah menemukan Agung Sedayu. Jika tidak, muka kalianlah yang akan mati sebagai penggantinya."
Tidak seorangpun yang menyahut.
Dalam pada itu, Sabungsaripun telah bertanya mengenai perincian peristiwa yang mereka alami.
Ia juga bertanya dalam beberapa hal, kenapa tiba-tiba saja orang yang berkuda dibelakang Glagah Putih disaat Agung Sedayu sudah mereka kuasai, telah terpelanting dari kudanya.
"Itulah yang tidak kami ketahui Ki Lurah."
"Tidak. Kau tentu mengantuk. Kemudian terjatuh dari punggung kuda dalam keadaan yang tidak mapan sehingga tulang punggungmu terkilir."
Orang yang mengalami hal itu termangu-mangu sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat. Namun rasa-rasanya ia tidak sedang mengantuk. Tetapi Sabungsari berkata terus.
"Mungkin kau bermimpi mengalami sesuatu saat matamu terpejam sekejap. Lalu kau terjatuh. Untunglah kepalamu tidak terinjak kaki kudamu yang terkejut."
Orang itu tidak menjawab.
"Dengarlah,"
Geram Sabungsari kemudian.
"kalian masih tetap dalam tugas mengawasi Agung Sedayu. Aku benar-benar tidak mau kehilangan anak itu. Awasilah, agar ia tidak meninggalkan padepokan tanpa aku ketahui arahnya."
Para pengikutnya saling berpandangan. Namun kemudian mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Kali ini aku tidak memberikan hukuman apapun bagi kalian. Kehilangan seorang kawan memang pahit. Tetapi datang saatnya aku akan menjadikan Pesisir Endut itu karang abang,"
Geram Sabungsari. Pengikutnya masih terdiam.
"Pergilah. Aku akan menentukan saat yang tepat untuk membuat perhitungan dengan Agung Sedayu lebih dahulu, sebelum aku akan pergi ke sarang tikus di Pantai Selatan itu."
Keempat orang pengikut Sabungsari itu tiba-tiba lelah menarik nafas dalam sambil bangkit berdiri dan meninggalkan tempatnya.
Sepeninggal para pengikutnya, Sabungsari masih duduk sejenak dibawah sebatang pohon sukun, dalam gelapnya malam yang menjadi semakin dalam.
Diluar sadarnya, ia mulai menilai Agung Sedayu.
Bukan saja kemampuannya, tetapi juga sifat dan wataknya.
"Anak itu memang aneh. Ia sadar sepenuhnya bahwa kelima orang itu benar-benar akan menangkapnya, bahkan mungkin akan membunuhnya dengan cara yang bengis. Namun Agung Sedayu seolah-olah memaafkannya. Jika ia berniat, maka kelima orang itu tentu akan dapat dibunuhnya. Beberapa orang sudah terluka. Dengan menyembunyikan Glagah Putih, maka ia tidak lagi dibebani pekerjaan yang baginya justru terlalu berat. Melindungi anak itu disamping mempertahankan hidupnya sendiri melawan lima orang yang kasar dan garang."
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Tanpa dikehendakinya sendiri, telah terbersit kekagumannya terhadap Agung Sedayu.
Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga sifat dan wataknya.
Meskipun ia memiliki ilmu yang tinggi, bahkan hampir diluar jangkauan nalar, tetapi ia adalah anak muda yang rendah hati.
Sabungsari tidak pernah berhasil memancing Agung Sedayu untuk memamerkan meskipun hanya sebagian kecil dari kemampuannya.
"Tentu ia bukan seorang pembunuh,"
Desisnya.
"jika ia membunuh seseorang, tentu karena alasan yang sangat kuat. Bahkan mungkin untuk mempertahankan hidupnya sendiri."
Sabungsari menjirik nafas dalam-dalam. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya bintang-bintang bergayutan dilangit. Namun tiba-tiba seperti orang yang terbangun dari mimpinya ia bangkit sambil menghentakkan tangannya.
"Tidak. Aku bukan seorang yang cengeng. Aku harus membunuhnya karena ia sudah membunuh ayahku. Jika ia nampak sebagai seorang anak muda yang ramah dan rendah hati itu tentu hanya sekedar selubung untuk menyelimuti kejahatannya."
Dengan langkah yang panjang Sabungsari meninggalkan tempatnya.
Dengan loncatan-loncatan yang tangkas ia melampaui pematang dan parit yang melintang.
Tetapi ia tidak segera dapat membunuh penilaiannya terhadap Agung Sedayu.
Justru karena itu, maka iapun menjadi sangat gelisah.
Tiba-tiba saja Sabungsari itu menggeram sambil bergumam.
"Aku akan menemuinya sekarang."
Dengan tergesa-gesa Sabungsaripun kemudian pergi kepadepokan kecil yang terpisah dari padukuhan Jati anom, diantara pepohonan pategalan yang jarang.
Kedatangannya telah mengejutkan penghuni padepokan itu.
Seorang anak muda yang berada di tangga pendapa menghirup sejuknya udara malam, terkejut melihat kedatangan Sabungsari.
Meskipun hari masih belum terlalu malam, tetapi kunjungannya memang menimbulkan pertanyaan.
Agung Sedayu yang berada didalam rumah, mendengar pembicaraan dipendapa.
Ia langsung dapat mengenal suara Sabungsari, sehingga iapun tergesa-gesa keluar diikuti oleh Glagah Putih.
Sabungsari menegang ketika ia mendengar pintu pringgitan terbuka.
Apalagi ketika ia melihat, Agung Sedayu muncul dari balik pintu diikuti oleh Glagah Putih.
Namun kekerasan hatinya bagaikan luluh ketika ia melihat Agung Sedayu tersenyum.
Dibawah cahaya lampu minyak ia melihat senyum yang jujur dan ikhlas, sehingga hatinyapun menjadi kacau oleh ketidakpastian.
Bayangan-bayangan yang nampak disaat ia merenungi anak muda itu dibawah pohon sukun mulai nampak kembali.
"Marilah Sabungsari,"
Agung Sedayu mempersilahkan dengan ramah.
"duduklah."
Seperti dicengkam oleh pesona yang tidak dimengertinya, maka Sabungsaripun kemudian duduk diatas tikar yang sudah terbentang dipendapa padepokan kecil itu.
"Malam-malam begini kau datang kepadepokan ini Sabungsari?"
Bertanya Agung Sedayu. Sabungsari menjadi agak bingung. Namun kemudian jawabnya seperti yang selalu diucapkannya.
"Aku kepanasan dibarak. Betapa jemunya melihat tombak bersandar didinding, melihat pedang tergolek hampir disetiap pembaringan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun Glagah Putihlah yang bertanya.
"Bukankah kau telah memilih sendiri jalan hidupmu untuk mengabdi sebagai seorang prajurit?"
"Ya."
Sabungsari mengangguk.
"tetapi terasa betapa tenangnya tinggal dipadepokan ini." .Agung Sedayu tertawa kecil. Katanya.
"Apakah kau tinggal saja dipadepokan ini?"
"Tentu tidak mungkin,"
Jawab Sabungsari.
"aku seorang prajurit yang terikat oleh beberapa ketentuan."
"Jika demikian, sering sajalah datang kepadepokan ini,"
Sahut Glagah Putih. Sabungsari menarik nafas daiam-dalam. Diluar sadarnya, ia mengangguk-angguk sambil menjawab.
"Aku akan berbuat demikian. Dalam waktu-waktu senggang, aku akan berada dipadepokan ini."
"Kami akan menerimamu dengan senang hati,"
Sambung Agung Sedayu. Sabungsari mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya wajah Agung Sedayu yang cerah dan wajah Glagah Putih yang tulus. Tidak ada perasaan permusuhan sedikitpun juga pada sorot mata mereka.
"Karena mereka tidak tahu, bahwa aku terlibat dalam permusuhannya dengan kelima orang yang bertempur melawannya di Pesisir Selatan itu,"
Berkata Sabungsari didalam hatinya.
"jika saja ia mengetahui, mungkin ia akan bersikap lain."
Tetapi ternyata bahwa dalam setiap pembicaraan dengan Agung Sedayu, Sabungsari tidak mendengar rasa dengki dan apalagi dendam.
Ia jarang sekali menyebut seseorang sebagai lawan.
Jika terpaksa dikatakannya demikian, maka permusuhan telah terhenti saat perkelahian telah terhenti pula.
Berbagai macam tanggapannya atas Agung Sedayu itu justru menjadikan semakin gelisah.
Keringat dinginnya mulai mengalir membasahi kulitnya.
Ada semacam keragu-raguan yang menyusup didalam hatinya, bahwa ia harus melakukan pembunuhan terhadap seseorang yang sama sekali tidak memusuhinya.
"Jika ia tahu, bahwa aku anak Ki Gede Telengan, mungkin anak muda itu akan bersikap lain,"
Geram Sabungsari didalam hatinya. Tiba-tiba saja semuanya telah bergejolak didalam hatinya semakin lama semakin dahsyat, sehingga rasa-rasanya jantungnya berdentangan semakin cepat pula didalam dadanya.
"Segalanya harus menjadi jelas. Sekarang juga aku akan menyelesaikan persoalan ini,"
Geram Sabungsari didalam hatinya. Karena itu, ketika Glagah Putih sedang pergi keruang dalam ia berkata kepada Agung Sedayu.
"Agung Sedayu. Dalam saat-saat terakhir aku mengalami tekanan jiwa. Sebenarnya aku ingin membebaskan diri dari himpitan itu. Tetapi aku tidak dapat. Karena itu, aku ingin kau memberi beberapa petunjuk sehingga dapat sedikit meringankan beban perasaanku itu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya dengan ragu-ragu.
"Apakah yang dapat aku lakukan untukmu Sabungsari?"
"Aku akan mengatakan sesuatu kepadamu. Aku tidak tahu, apakah tanggapanmu terhadap hal itu. Mungkin kau akan menaruh belas kasihan kepadaku. Tetapi mungkin kau akan mencibirkan bibirmu sambil menghinaku. Terserahlah kepadamu,"
Berkata Sabungsari dengan nada dalam.
Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan Sabungsari. Mungkin aku dapat membantumu. Setidak-tidaknya, jika kesulitan itu kau katakan kepada seseorang, beban dihatimu sudah akan berkurang."
Sabungsari mengangguk kecil. Tetapi katanya kemudian.
"Agung Sedayu. Kita belum terlalu lama berkenalan. Tetapi aku mempunyai kepercayaan yang sangat besar kepadamu. Meskipun demikian, persoalanku bukannya persoalan anak-anak yang masih terlalu muda. Persoalanku dalah persoalan anak muda yang dewasa seperti kita."
"Ya,"
Sahut Agung Sedayu.
"katakanlah."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Ketika Glagah Putih kemudian muncul dari balik pintu, dengan tergesa-gesa Sabungsari berkata.
"Aku tidak ingin Glagah Putih mendengarnya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Sabungsari ingin mengatakan hal itu kepadanya seorang diri.
"Jadi, apa yang baik menurut pendapatmu,"
Desis Agung Sedayu. Glagah Putih telah duduk disebelah Agung Sedayu, sehingga Sabungsari menjadi gelisah. Tetapi iapun kemudian berkata.
"Apakah kau tidak ingin pergi berjalan-jalan Agung Sedayu?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun mengerti, bahwa dengan demikian, ia akan dapat berjalan berdua saja tanpa Glagah Putih.
"Tetapi bagaimana jika anak itu memaksa untuk ikut serta,"
Bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri. Dalam pada itu Glagah Putih telah menyahut.
"Jika kakang pergi berjalan-jalan aku akan ikut."
Agung Sedayu memandang adik sepupunya itu sejenak. Kemudian katanya.
"Glagah Putih, ada sesuatu yang akan kami bicarakan. Sebaiknya kau tinggal saja dipadepokan mengawani guru. Apalagi kau masih harus banyak beristirahat."
"Aku sudah beristirahat semalam suntuk dan sehari ini aku sudah berada disawah bersama kakang Agung Sedayu,"
Jawab Glagah Putih.
"Kita belum beristirahat dalam arti sebenarnya,"
Sahut Agung Sedayu.
"Sejak kita datang semalam kita harus menjawab pertanyaan tanpa henti-hentinya. Siang tadi kita sudah berada disawah. Nah, barangkali kau dapat tidur sekarang."
Glagah Putih memandang Agung Sedayu dengan tatapan mata yang aneh. Bahkan dengan ragu-ragu ia bertanya.
"Apakah kakang Agung Sedayu sendiri sudah beristirahat sebaik-baiknya?"
Agung Sedayu tersenyum. Katanya.
"Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Lalu katanya.
"marilah, aku akan menghadap Kiai Gringsing untuk minta diri. Apakah kau melihat, dimana guru sekarang? Apakah guru sudah tidur, atau sedang membaca kidung?"
"Kiai Gringsing ada diruang belakang membaca kidung."
Agung Sedayupun kemudian mengajak Glagah Putih menghadap gurunya untuk minta diri dan menyerahkan Glagah Putih agar ia tidak memaksa untuk ikut bersamanya.
Nampaknya Sabungsari benar-benar segan mengatakan persoalannya dihadapan seorang anak yang masih sangat muda.
Kiai Gringsing sedang duduk diamben sambil menghadapi sebuah kitab yang besar diatas sebuah lambaran kayu.
Sebuah lampu minyak menerangi huruf-huruf yang tersusun dalam gatra demi gatra.
Demikian asyiknya membaca, sehingga kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak diperhatikannya.
Baru ketika keduanya duduk dibibir amben itu, maka ia berhenti membaca dan berpaling.
"Apakah kalian mempunyai keperluan?"
Agung Sedayu bergeser setapak.
Kemudian dikatakannya maksudnya untuk berjalan-jalan dengan Sabungsari.
Iapun tidak dapat menyembunyikan permintaan Sabungsari untuk pergi hanya berdua, karena ia segan untuk mengatakan persoalannya dihadapan Glagah Putih."
Tiba-tiba saja Kia Gringsing nampak gelisah. Namun hanya sekilas. Katanya kemudian.
"Dan kau akan pergi sekarang?"
"Ya guru. Hanya sebentar. Dan aku tidak akan pergi jauh dari padepokan ini."
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Glagah Putih yang menunduk. Lalu katanya.
"Kau sebaiknya tinggal bersamaku disini Glagah Putih. Dengarlah, aku akan membaca kitab ini. Barangkali kau akan senang mendengarnya. Aku akan membacanya keras-keras. Meskipun suaraku tidak baik. tetapi aku akan mengucapkannya dalam tembang macapat."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Nampak bahwa ia menjadi kecewa. Tetapi ia mengerti, bahwa sebaiknya ia memang tidak ikut pergi bersama kakak sepupunya. Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing berkata kepada Agung Sedayu.
"Apakah kau tidak mengetahui, persoalan apakah yang akan dikatakannya kepadamu?"
"Menurut keterangannya adalah masalah anak-anak yang meningkat dewasa."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
Sejenak ia termangu-mangu.
Dipandanginya Agung Sedayu yang sama sekali tidak berprasangka apapun tentang Sabungsari yang ingin mengatakan sesuatu kepadanya tanpa didengar orang lain.
Agak berbeda dengan Agung Sedayu, maka Kiai Gringsing agak menjadi cemas melihat sikap Sabungsari.
Baru saja Agung Salayu dan Glagah Putih kembali dari perjalanan yang melelahkan.
Bahkan yang hampir saja merenggut jiwa mereka.
Kedua anak muda itu masih belum beristirahat, yang sebenarnya beristirahat.
Sebenarnya, malam itu jika Glagah Putih telah tidur dibiliknya.
Agung Sedayu akan diajaknya berbicara tentang berbagai masalah yang penting.
Ia akan bertanya dengan sungguh-sungguh hasil perjalanan Agung Sedayu.
Bukan laporan sekilas seperti yang sudah dikatakannya semalam.
Agung Sedayu melihat kegelisahan di sorot mata gurunya.
Perlahan-lahan kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Nampaknya gurunya mempunyai prasangka tentang anak muda yang bernama Sabungsari itu.
"Kau tidak lama Agung Sedayu?"
Bertanya Kiai Gringsing kemudian.
"Tidak guru,"
Jawab Agung Sedayu dengan ragu-ragu.
"Setelah kau beristirahat sehari ini, sebenarnya aku ingin berbicara panjang denganmu,"
Desis gurunya.
Agung Sedayu menundukkan kepalanya lebih dalam.
Memang ada yang akan disampaikannya kepada gurunya malam itu.
Iapun sebenarnya sedang menunggu Glagah Putih tidur nyenyak, agar ia dapat berbicara panjang dengan gurunya menyangkut masalah masalah lahir dan batin.
Beberapa pesan Ki Waskitapun harus disampaikannya kepada gurunya.
Bukan saja tentang rontal yang dikirimkannya, tetapi juga, tentang kitab rontal yang disebut-sebut sebagai milik gurunya.
Tetapi rasa-rasanya ia tidak dapat menolak permintaan Sabungsari.
first share di Kolektor E-Book 30-08-2019 15:37:02
oleh Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long Pisau Kekasih Karya Gu Long