Durhaka 1
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe Bagian 1
Durhaka Karya dari Boe Beng Tjoe
DURHAKA -
Kolektor E-Book
DURHAKA -
Kolektor E-Book
DURHAKA
Jilid 01 03 tamat Penerbitan Marga Raya Djakarta Dituturkan oleh. Boe Beng Tjoe //facebook.com/groups/Kolektorebook/ Sumber Pustaka . Aditya Indra Jaya Kontributor - Scanner . Awie Dermawan OCR editing pdf Text . Andy Mull DISCLAIMER
Kolektor E-Book
adalah sebuah wadah nirlaba bagi para pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan dipasaran dari kpunahan, dengan cara mengalih mediakan dalam bentuk digital.
Proses pemilihan buku yang dijadikan abjek alih media diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia,maupun kondisi fisik.
Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital sesua kebutuhan.
Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.
Salam pustaka! Team Kolektor Ebook DURHAKA
Jilid .
01 Dituturkan Oleh .
Boe Beng Tjoe //facebook.com/groups/Kolektorebook/ __________________________________ Tjeritera kita ini dimulai dengan peristiwa didalam ketjamatan Hoa Im jang terletak dikaki gunung Hoa San jang terkenal, berlakunja selang tiga puluh tahun setelah Djenderal Nie Keng Giauw dihadlahkan hukuman mati oleh Kaisar Yong Tjeng dari Ahala Tjeng.
Nie Kang Giauw berdjasa besar terutama dalam hal menindas huru hara di Tjeng Hay (Koko Nor), hingga ia diberi gelar kehormatan Thay Po.
Oleh karena kedjumawaannja, ia diadukan para menteri diluar dan didalam istana, sehingga kesudahannja ia harus menerima kematian setjara ketjewa itu.
Ketika itu didalam wilajah Hoa Im itu hidup seorang jang luar biasa luar biasa oleh karena tingkah lakunja sehari- hari.
Dia sudah berusia enampuluh tahun lebih seria buta pula kedua matanja.
Dia bukan kelahiran Hoa Im asli, hanja seorang penduduk, jang pindah dari tempat lain.
Hanja di kota Hoa Im, jaitu di Lam-kwan, kota sebelah selatan, dia membuka sebuah bengkel besi jang memakai merek "Siang Hie Kie,"
Artinja "Sepasang Ikan."
Sedangkan rumah tinggalnja ialah diluar kota.
Sebagai pandai besi, Bok Ya pandai luar biasa.
Terutama gunting bualannja sangat tadjam, hingga namanja djadi terkenal sekali, hingga gunting buatannja itu sangat laku.
Sampai dia berhasil mengumpul uang, menikah dan membeli sawah, supaja hidupnja tak usah terus-menerus mengandali bengkelnja itu.
Umumnja orang memanggil dia Gouw Suhu, tetapi karena tjatjad matanja itu, di belakang dia orang menjebutnia "Hay Loo-Su,"
Atau "Suhu buta."
"Hay"
Ialah "buta,"
Dan "suhu"
Berarti "guru,"
Dan sebutan itu didapat berkat kepandaiannja itu.
Sesudah perusahaannja madju, Gouw Suhu tidak lagi membanting tulang atau tenaga sendiri.
Dia memakai beberapa pembantu, atau murid, diantaranja, murid kepalanja bernama Oey Loo Sit, dan jang nomor dua jaitu Lie Djie Kang.
Tentang halnja Gouw Suhu, orang tidak tahu djelas.
Ada jang kata matanja rusak disebabkan peletikan lelatu api.
Tapi jang hebat ialah jang mengatakan sebab dia terlalu pandai, Thian sengadja membuatnja tak dapat melihat.
Akan tetapi menurut Lie Djie Kang katanja dia suka melihat setjara diam-diam, diluar tahunja lain orang, guru itu seringsering menangis sedih sekali.
Rupanja guru itu mempunjai lakon hidup iang mengetjewakan atau menjedohkan dirinja.
Menurut dia, gurunja berhati halus dan baik.
Hanja dalam hal berhati baik dan halus itu, lain orang melihatnja beda sekali.
Inilah sebab dalam musim semi tahun jang baru lalu, ketika isterinja menutup mata, tak pernah orang lihat Bok Ya mengutjurkan airmata, walaupun benar, dari isteri itu dia tidak memperoleh seorang anak djua.
Kalau benar dia berperasaan baik dan haltis, tak nanti dia tak menangis karena kematian isterinja itu.
Djie Kang sudah berusia tigapuluh-lima tahun.
Dia asal Hoa Im dan sudah tidak berajah atau beribu.
Dia telah membantu sungguh-sungguh kepada gurunja, tetapi guru itu kalau dia benar berhati baik tak pernah memperhatikan hidupnja.
Sudah selajaknja andaikata si guru mentjarikan seorang nona untuk menikahkannja.
Itu tidak.
Kerdjaan Djie Kang pun berat.
Setiap hari dia mesti membuat gunting dan lainnja serta mengurus keuangan djuga, sedangkan seliap sore, dia mesti pulang kerumah gurunja diluar kota, jang djauhnja tudjuh atau delapan lie, untuk membawa pulang uang, guna membuat perhitungan, untuk seterusnja merawat guru itu jang hidupnja sebatang kara.
Di rumahnja ia djuga bertugas seperti tjenteng.
Gouw Bok Ya mempunjai semat jam almari besi dalam mana ia menjimpan uangnja, maka almari itu haius didjaga baikbaik supaja tidak sampai diganggu pentjuri.
Akan tetapi budjangnja jang merangkap sebagai tukang masak, namanja Tjui Koay Tjwie, suka mentjuri sampaipun sapu dia tjuri dan djual.
Begitu keras dan setia Djie Kang kerdja, tetapi ia tidak mempunjai simpanan uang.
Ia bekerdja sebagai magang sadja, tjuma dapat makan dan pakaian.
Toh ia bekerdja djudjur dan setia tanpa mengeluh.
Ada lagi jang luar biasa dari Hay Loosu si guru buta.
Dia sudah tua,matanja buta, akan tetapi pendengarannja sangat tadjam.
Umpama kata ada sebutir widjen djatuh ketanah, ia dapat dengar suara djatuhnja itu, sedang kedua tangannja, jaitu semua djari djannja, tak kalah tadjamnja.
Asal tangan itu meraba, ia dapat membedakan rambut dari bulu kuda.
Kedua kaki dan tangannja pun gesit dan lintjah dan kuat sekali.
Dengan membawa sebatang tongkat, ia dapat berdjalan tigapuluh lie djauhnja, untuk mendjenguk sahabatnja jang tua, Kwee Hay Peng, jang tinggal di Kwee Kee Tun, untuk bersama main tjatur atau pasang omong.
Kalau ia bepergian, selalu ia pulang hari.
Makin tua tabiat Gouw Loosu makin aneh makin tua usianja, nampaknja makin sehat dan bersemangat.
Tubuhnja agak bungkuk tetapi tenaganja besar.
Dan kikirnja pun makin mendjadi! Wadjahnja mirip wadjah besi, tak pernah nampak senjumnja, sedangkan kedua matanja tjelong, dengan sepasang bidji matanja jang berwarna putih seperti kurang sinar.
Pada suatu hari maka ramailah gunung Hoa San, Hari itu Sie-gwee Tjee Pee, atai tanggal delapan bulan empat.
Itulah har ulang tahunnja Sang Budha jang malu sutji dan mulia, karenarja setiap penganut nja pada memudja dan memuliakannja.
Keramaian berpusat dl Lian Hoa Hong, puntjak Bunga Serodja, didalam kuil See Gak Bio.
Orang tua dan muda, p- ia dan wanita, berdujun-dujun, atau bergantian, pergi untuk menghormatinja.
Didalam kuil, ketjnali para bhiksu, terdapat djuga para toosu atau imam penganut adjaran Lo Tjee.
Keramaian itu berdjalan selama beberapa hari.
Ketjamatan Hoa Im djuga turut mendjadi ramai, sebab tempat inilah jang harus dilalui kalau orang hendak pergi kepuntjak Lian Hoa Hong.
Suasana ramai mulai dari dalam sampai di luar kota jang disebut Kwan-sip.
Terutama banjak sekali orang orang jang mendjual lilin, hio dan kertas, djuga tongkat kaju pohon toh, tudung bambu dan naja atau kerandjang, begitupun kipas keluaran setempat jang terbuat dari batang-batang gandum jang diberi warna dan barang2 mainan lainnja.
Banjak sekali diantara njonja-njonja muda dan nona- nona, jang biasanja tak pernah keluar, sekarang dengan mengenakan pakaian jang perlente turut serta keluar, untuk menjaksikan keramaian tersebut, hawa udara makin lama makin panas akautetapi orang nampak makin banjak.
Hari itu, Gouw Bok Ya jang buta djuga keluar dari rumahnja dengan tak lupa membawa tongkat bambunja, sehingga ia membangkitkan tawa orang.
Barang siapa jang mengenal dan mslihatnja, lantas tertawa atau sedikit tersenjum.
Bahkan ada jang kata.
"Dia buta kedua matanja, tapi dia djuga keluar untuk menjaksikan keramaian! Apakah jang dia lihat?"
Dengan tongkatnja itu, walaupun djalanan ramai, tak pernah Hay Loosu menotok orang.
Inilah bukan disebabkan dia bisa lihat orang, hanja orang lain jang minggir sendirinja apabila mereka itu melihat padanja.
Maka ia djalan dengan tenang dan tidak berdesak-desak.
Ada lagi jang membuat orang bersenjum kalau orang melihat lagaknja ditengah djalan itu.
Dia menoleh dan mengawasi kalau didampingnja atau didekatnja lewat njonja-njonja atau nona-nona jang berdandan perlente itu.
Dia seperti djuga dapat2 melihat si njonja atau nonaa manis! Banjak orang merasa heran sehingga salah seorang diantaranja ada jang berkata.
"Lihat! Lihat! Siapa jang bilang Hay Loosu buta matanja!"
Kenjataannja tidaklah demikian.
Dia menoleh atau mengawasi karena hidungnja jang tadjam.
Hidungnja itu dapat menangkap bau jang harum dari pupur atau yantjie! Sehingga mau tidak mau, dia djadi berpaling! Sebaliknja lain lagi jaitu telinganja mendengar suara bitjara dan tertawa njaring dan merdu! Meski matanja buta tetapi hidung dan telinganja tadjam sekali! Bahkan diantata sinar matahari, ia dapat membedakan samar-samar badju merah daribadju hidjau .
Gouw loosu djalan terus, djalan terus, sampai dibengkel atau warungnja.
Disini selain dengar dengan telinganja, matanja seperti djuga dapat melihat.
Sebab dia mengetahui, bahwa api dapurnja lagi menjala-njala.
Ia pun segera mendengar suara "ting tong ting tong"
Dari palu jang dipakai menimpa besi panas. Dengan mendengari suara martil, dari keras dan rirgannja pukulan, ia tahu djuga muridnja jang mana jang lagi bekerdja.
"Djie Kang!"
Demikian terdengar panggilannja.
"Ah, kembali kau bekerdja sendiri! Apakah itu beberapa murid muda tjuma tahu makan sadja tetapi tidak mau bekerdja?"
Mendengar suara gurunja, Djie Kang berhenti bekerdja. Ia meletakkan martilnja. Ketika ia menoleh, nampak mukanja mandi peluh, muka itu merah landa kesehatan. Wadjahnja menundjukkan bahwa ialah seorang jang djudjur.
"Oh suhu datang!"
Kata murid ini.
"Benar, suhu, aku turun tangan sendiri!"
Guru itu tidak berkata apa-apa hanja ia memilih tempat duduk jang terpisah djauh dapur hingga letikan api tak sampai padanja.
Dengan tongkatnja ia menarik kursi untuk duduk.
Ia duduk tepat menghadapi pintu.
Kalau ia bisa melihat, pasti ia dapat menjaksikan banjak orang mundar- mandir.
Disisi dapur, Oey Loo Sit tengah beristirahat sambil dahar kuwe, akan tetapi melihat suhunja, meski ia terus berdiam sadja, lekas-lekas ia menuang ten, untuk menjuguhinja.
Bok Ya mendengar suara msngeritjiknja air teh, lantas ia mengulur sebelah tangannja, untuk menjambut tjangkir teh.
Samasekali ada tiga murid muda jang membantu Djie Kang.
Karena Djie Kang tidak menegur, mereka itu asjik menonton orang berlalu-lintas.
Tapi sekarang melibat guru itu, segera mereka bekerdja dengan radjin.
Maka ramailah suara martil dipalu tak hentinja.
Habis menghirup teh, Bok Ya menanja pada Djie Kang .
"Hari ini kau melihat Kwee Su-ya atau tidak?"
"Tidak,"
Sahut simurid.
"Mungkin hari ini dia datang ke kwan-siang tetapi ia tidak atau belum datang kemari.'"
Orang tua itu mengangguk, lantas ia menghela napas perlahan.
Dengan Kwee Su-ya, ia maksudkan Kwee Hay Peng, sahabat karibnja jang tinggal di Kwee Kee Tun.
Agaknja dia taruh perhatian kepadanja setjara luar biasa.
Kwee Hai Peng d juga sudah berusia enampuluh tahun lebih.
Dia bukan asal Hoa Im, hanja dia datang keketjamatan ini dua tahun jang lalu, selama setengah tahun dia menumpang di bengkel Bok Ya, jang medampung segala ongkos hidupnja.
Pernah dia pergi ke kota radja, lalu sekembalinja, dia lantas mempanjai banjak uang hingga dia bisa membeli sawah dan kebun serta membangun kampungnja, jang dia beri nama Kwee Kee Tun.
Dia telah menikah dan memperoleh anak.
Dia berwadjah djelek, karena pernah sakit, tubuhnja kurus akan tetapi dia sehat, nampaknja ia masih bertenaga, sedangkan suaranja keras dan kaku.
Dia pun tidak mengerti surat.
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan sadja ia bertabiat keras, t.
pi dia suka menentang perbuatan tak adil atau lalim.
Dilihat dari gerak-geriknja, Hay Peng tentunja bekas seorang tentera.
Dia sendiripun pernah mengatakan bahwa dia pernah memimpin pasukan tentera dalam medan perang, djuga pernah turut Nie Keng Giauw berperang di Tjeng Hay.
Kalau dengan Gouw Bok Ya dia bersahabat bagaikan saudara angkat jg.
telah bersumpah sehidup semati, tapi terhadap keluarga Tjong di D jalan Tjong Goan Kay, dia bermusuhan, dia sangat membentjinja, tak peduli keluarga itu seorang bekas Tay-haksu atau menteri didalam istana radja.
Sambil duduk, dengan perlahan, Bok Ya kala pada Lie Djie Kang.
"Djikalau kau melihat Kwee Su-ya, kau mesti ketemukan dia, biar bagaimana, kau mesti budjuk dia pulang. Dia sudah berusia landjut, sedjak dahulu dalam urusan apa sadja ia dapat bersabar, akan tetapi sekarang, apa perlunja dia menuruti sadja adatnja untuk menentang pihak jang kuat?"
Lie Djie Kang kurang mengerti akan katakata gurunja itu, akan tetapi ia mengangguk dan menjahut.
"Baik, suhu. Asal aku ketemu Su-ya, akan aku budjuk dia pulang. Tahun ini tak dapat disamakan dengan tahun dulu. Sam Siauwya dari keluarga Tjong, setelah setahun jang lampau mendapatkan isterinja Lauw Toa, si tukang sajur, dia tidak lagi binal seperti biasanja suka menggoda wanita. Dulu dia berani menguber orang sampai dirumahnja, dia menggunakan uang dan pengaruhnja dan memaksa orang mendjadi gundiknja."
"Apa Sam-siauwya ?"
Kata si guru sengit.
"Segala anak tjelaka duabelas! Dia busuk dan djahat seperti bapaknja! Lihat, dia bakal menerima pembalasannja! Tjuma sajang, aku mungkin tak keburu melihatnja "
Mendadak lenjap kemurkaannja orang tua ini. Agaknja dia menjesal sendiri dengan kata-katanja itu. Dia mendjadi tenang, meski baru sadja waktu mengeluarkan kata-kata "Sam Siauw-ya," tuan muda jang ke-tiga, dia gusar sekali.
"Kau berdahaga, suhu, mari minum lagi" ,berkata Oey Loo Sit, si murid kepala, jang kembali menjuguhkan teh. Guru itu mengangguk.
"Loo Sit!"
Kata ia.
"pergi kau bantui saudara-saudaramu jang masih muda itu, djangan kau nganggur sadja! Kau tahu sendiri, selama beberapa hari ini datang banjak orang dari lain ketjamatan. Diantara mereka, jang habis bersembahjang, siapakah jang tak mau membeli gunting atau pisau? Aku sakit mata, tak dapat aku bekerdja, karena itu, kamu kerdjalah dengan hati-hati, djangan membikin barang buruk sampai barang kita turun merek. Berapa lama lagi aku akan hidup? Pada waktunja, bengkel ini akan mendjadi milik kamu ! Nah, tambahlah arang, bikin api dapur mendjadi terlebih marong. Pakai sekop jang besar, tambahkan dua setengah !"
Seperti reolah-olah matanja awas, pandai besi ini ketahui besarnja api, jang dapat ia rasakan dari hawa panasnja.
Menkengar kata-kata gurunja.
Lie Djii Kang perhatikan sungguh-sungguh.
Memang rahasianja pembuatan barang tadjam, per lama bergantung pada api dan ke-dua padi saat besi marong ditjelup kedalam air, se dangkan suhu airnja harus djangan melam paui batas supaja panas dan hangatnja dapat ditentukan dengan mudah.
Sudah bertahuntahun ia mengikuti gurunja tetapi guru itu belum pernah mendjelaskan perihal api, marong dan airnja.
Djadi ia perlu melihat dan memperhatikan sendiri segala sesuatu.
Maka ia perlu menjaksikan Loo Sit menambah arang batu dan melihat api berkobar naik berapa tingginja.
Tetapi ketika itu, gurunja sudah beikata pula padanja.
"Djie Kang, kau pergi kepintu, kau berdiri disana, untuk memasang mata ! Asal kau melihat Kwee Su-ya, lantas kau minta dia datang kemari, aku hendak memberi nasihat padanja. Sekarang ini bukan waktunja main-main. Untuk bergusar, berkelahi, atau menuntut balas, itulah perbuatan orang muda. Kita sudah tua aku sendiri buta, dan dia berpenjakilan napas pendek. Mana dapat ia berkelahi ? Sedangkan pihak musuh mempunjai pahlawan-pahlawan jang galak bagaikan harimau "."
Habis berkata begitu, ia menghela napas.
Njata sekali ia sangat memperhatikan sahabatnja itu, bahkan hari ini, kekuatirannja nampaknja melebihi hari-hari jang telah lalu.
Djie Kang menjahut, ia menoleh keatah dapur, sesudah itu baru ia bertindak keluar, la berdiri ditangga pintu, untuk mengawasi orang2 jang banjaknja luar biasa.
Ia tidak melihat Kwee Suya.
Matanja mengawasi, hatinja bekerdja.
Ia memikirkan kata-kata gurunja baharu sadja tentang "bergurau, berkelahi dan menuntut balas."
Apakah artinja semua itu, apapula katakata "menuntut balas"
Itu ? Heran ! Toh keluarga Tjong itu dengan Kwee Hay Peng seperti "air sungai jang tidak menerdjang air kali" ? Djadi, ada sakit hati apakah diantara mereka itu? Toh Kwee Suya sangat membentji, hingga ada saatnja dia hendak menjateroni orang?.
Putera ke-tiga dari keluarga Tjong memang buruk akan tetapi dia belum pernah mengganggu keluarga Kwee.
Ada orang lain jang kelakuannja lebih sewenang-wenang daripada si Sam siauwya toh Hay Peng tidak membentji, maka apakah jang mendjadikan ia sangat membentji?.
"Rupa-rupanja ada gandjelan lama diantara kedua belah pihak,"
Kemudian Djie Kang mengambil kesimpulan dari rupa-rupa terkaannja.
"Guruku tentu ketahui hal itu, hanja, kenapa guruku tidak mau bitjara denganku ?"
Sambil berpikir itu, Djie Kang tidak berlengah, matanja tetap diarahkan kepada orang banjak.
Maka ia dapat melihat ketika dua orang njonia muda jang tjantik lewat jang dandanannja mentereng; kedua njonja itu diikuti seorang wanita tua jang membawa tongkat serta dua orang pria usia pertengahan jang membawa naja dengan hio, lilin dan kertas diatasnja.
Rupanja mereka itu dari Keluarga berada jang mau pergi bersudjut kepada sang Buddha.
Salah seorang njonja muda itu, jg umurnja belum duapuluh tahun, jang berbadju merah, mungkin seorang pengantin baru jang pulang sebulan, jang sekarang turut ibu dan kakak iparnja pergi bersembahjang untuk sekalian pesiar.
Biasanja Djia Kang tidak pernah memperhatikan wanita, walaupan orang tjantik-manis, akan tetapi kali ini ia tertarik hati.
Sebabnja, dibelakang njonja-njonja muda uu, mengikuti beberapa orang, jong djalannja mirip orang- orang jang lagi mabuk arak.
Ia mendongkol menjaksikan tingkah laku mereka itu.
Pada saat kemudian ia lantas mendjadi terperandjat.
Ia mengenali dua diantaranja.
Jang pertama jaitu Tjui-Houw Tjie Tjit si Harimau Mabuk, pahlawan atau tukang pukulnja keluarga Tjong, dan jang lainnja jalah Touw Bun Keng, engku atau iparnja Sam- siauwya keluarga lay-haksoe itu.
Bun Keng terkenal sebagai hoa-hoa kongtju alias situkang mogor.
Jang lain2nja jalah gundal-gunda! keluar; a Tjong itu, jang semua berpakaian perlente dan balnin pakaiannja djuga terdiri dari kain mahal.
Tjie Tjit, sebagai pahlawan ahli silat dengan dipinggangnja tersilipkan sebilah golok pendek.
Alangkah ramai nja rombongan ini.
Mereka berdjalan saling dorong, atau terhujung sana terhujung sini, mereka tertawa arau bernjanji.
Dengan tjara tjeriwis sekali, mereka mengganggu setiap wanita jang dilalui atau didekati.
Semua orang tjuma bisa mendongkol, tidak ada jang berani mengutarakan rasa tak senang hatinja.
Tibu-tiba Tjie Tjit berdjalan tjepat, dia terhujung kearah si njonja muda berbadju merah itu, jang nampaknja hendak dia tubruk.
Si njonja kaget, dia mendjerit dan minggir.
Si njonja tua lantas menghadang dengan tongkatnja.
Akan tetapi tubuh si tjabang atas bergerak dengan sangat tjepat, dia menubruk si njonja.
Maka robohlah si njonja muda itu, roboh terduduk ditengah djalan.
Si njonja tua, jang mentjatji, turut roboh djuga.
Bukan main mendongkolnja Djie Kang.
Tapi Bun Keng dan jang lain-lainnja djusteru tertawa terbahak-bahak dan bertepuktepuk tangan.
Rupanja dimata mereka pemandangan itu djenaka sekali ...
Njonja muda jang satunja, sambil mentjatji, menolong si njonja tua.
"Aku bukan sengadja!"
Kata Tjie Tjit sambil tertawa, lagaknja dibikin-bikin.
Terang dia sangat puas dengan godaannja itu.
Diapun menghampiri si pengantin, sambil mengulur tangahnja guna bantu membanguninja.
Kakaknja si nona mendjadi gusar, dia menghampiri dan mendamprat.
Menghadapi kakak orang itu, Tjie Tjit djusteru menundjuki kegusarannja.
Dia merampas naja orang dan melemparkannja tinggi2 keatas, sehingga isi naja itu djadi terbang berhamburan! Habis itu, bersama kawan- kawannja, mereka tertawa bergelak-gelak.
Lie Djie Kang bertindak turun ditangga, hatinja panas bukan main.
Tapi tak dapat ia madju lebih djauh, sebab mendadak ia ingat bahwa ia tidak mengerti ilmu silat sedang untuk bitjara dari hal peri-keadilan, tidak nanti orang menggubrisnja.
Djusteru itu dari sebuah warung arak didebat situ-dari sebelah selatan djalan raja terlihat seorang tua berlari-lari keluar.
Ia bertubuh tinggi dan besar dan mukanja penuh kumis dan berewok, ketika dia sudah datang dekat Tjie Tjit, mendadak dia menindju dada orang.
Inilah tidak disangka si Harimau Mabuk, dia kena terhadjar hingga terhujung mundur.
"Bagus!"
Berseru Djie Kang saking hatinja puas.
Toh didalam hatinja ia terkedjut.
Orang tua itu bukan lain daripada Kwee Suya Kwee Hay Peng! Lie Djie Kang hendak madju menghampiri untuk memisahnja dan mengundang orang tua itu, tahu2 ia melihat Tjie Tjit menghunus goloknja.
Ia kaget sekali.
Akan tetapi, setelah dia mengenali si orang tua, si Harimau Mabuk tidak madju menjerang, bahkan sebaliknja, dia berdiri diam.
Kwee Hay Peng masih murka, dia menghampiri pula dan menggaplok dua kali kemuka orang.
Luar biasa sabarnja Tjie Tjit terhadap si orang tua, sambil mengusut-usut pipinja jang merah dan terasa njeri, dia tertawa.
"Eh, Suya, apakah artinja ini?"
Tanjanja agak heran.
"Aku toh tidak mengganggu kau?"
"Tutup batjotmu!"
Kwee Suya membentak.
"Segala gundalnja si pembesar kedji ! Bagus sekali perbuatan kamu, ja? Kenapa dihari terang benderang seperti ini kamu berani mengganggu anak-isteri orang?"
"Aku lagi sinting,"
Kala Tjie Tjit.
"Aku djalan tanpa memperhatikan orang, aku keliru kena menubruk dia! Baru sadja aku melemparkan najapun untuk bermain-main sadja..."
Ia lantas berdjongkok, untuk memungut lilin, kertas dan hio.
Kwee Hay Peng tidak menggubris alasan itu, bahkan selagi orang berdjongkok, ia mendupak paha si tjabang atas, maka robohlah Tjie Tjit terkusruk kedepan sehingga dia mesti memegang tanah! Baru sekarang dia gusar, dia bangun sambil menghunus goloknja untuk menjerang.
Dengan sebat Kwee Suya menangkap tangan orang, untuk merampas golok pendek itu, sambil berkata dengan njaring .
"Djikalau madjikanmu bukan pernah mendjadi tay-haksoe, kamu tentu tidak berani berbuat begini kurang adjar! Kamu tunggulah! Sekarang sudah tiba waktunja! Kamu suruhlah dia menanti!"
Tjie Tjit berdiam, kepalanja tunduk.
Sedetik itu, Touw Bun Keng dan kawan-kawannja sudah menghilang tanpa djedjak.
Si pengantin dan njonja tua sudah pada bangun, mereka berdiri diam mengawasi Hay Peng dan Tjie Tjit.
Ketika itu, Hay Peng dengan golok ditangannja, mengawasi tadjam si tjabang atas, wadjahnja gusar sekali, hanja sebentar, lantas ia pergi menudju kearah utara.
Menampak demikian, Djie Kang lari memburu untuk memapaki.
"Suya!"
Panggilnja.
"Suya, guruku ada dibengkel! Guruku mengundang Suya, katanja ada urusan jg. hendak dibitjarakan ! Mari, Suya!"
Akan tetapi Hay Peng tidak meladeni, ia bahkan berlari- lari, rupanja ia mau menudju kedalam kota.
Karena Djie Kang menghadang didepannja, ia menolak tubuh orang dengan keras, guna menjingkirkanuja.
Ada banjak orang lain disitu.
Lagaknja Tjie Tjiet dan kawan-kawannja membuat orang berhenti berdjalan dan menonton.
Ketika orang melihat sikap Hay Peng, lantas ada beberapa orang jang berkata-kata keras .
"Oh, inilah berbahaja! Mungkin akan terbit onar! Lihat, Kwee Suya tentu mau pergi ke Djalan Tjonggoan Kay untuk menjerbu keluarga Tjong!"
Djie Kang kaget, segera ia lari pulang, untuk mengabarkan gurunja. Bok Ya kaget sekali, dia berbangkit dan membanting- banting kaki.
"Tjelaka !"
Katanja.
"Bagaimana sekarang? Tjie Tjiet kenal dia, ia tidak berani melawan, akan tetapi dirumahnja keluarga Tjong masih ada Ok-Bong Biauw Hiong Tjay! Dia ini mana sudi memberi ampun? Disana ada banjak gundal Iainnja, sedang si Sam-siauwya sendiri galak sekali, mereka bagaimana mau diam sadja? Hay Peng lagi sakit, dia bisa berbuat apa"
Dengan bantuan tongkatnja, si buta ini bertindak keluar. Lekas tindakannja, hingga ia terhujung, sjukur Djie Kang lekas memegangnja. Simpai diambang pintu, mendadak ia berhenti.
"Ah, tak dapat aku pergi . katanja seorang diri.
"Kalau aku pagi, orang pun akan lantas mendapat tahu siapakah aku ..Maka ia menoleh kepada murid kepalanja dan berkata .
"Loo Sit! Pergi kau kekota! Kau adjak dua saudaramu! Kamu susul Kwee Suya! Setelah ketemu, biar bagaimana djuga, kamu adjak dia pulang! Tapi ingat, kamu tjuma harus membawa sikap memisahkan, kamu djangan banjak omong lainnja! Nah, pergi, lekas pergi! Kalau perlu, tanpa mempedulikan dia lagi sakit, kamu paksa seret dia pulang!"
Oey Loo Sit menurut, ia melepaskan martilnja, ia mengenakan badjunja, lantas dengan mengadjak dua kawan, ia lari keluar. Bok Ya tidak masuk kedalam, ia hanja pergi untuk menjusul.
"Mari!"
Ia mengadjak Djie Kang, hingga muridnja itu perlu memegangi dia. Terus ia teriaki Loo Sit untuk disuruh kembali dan ia memesan dengan perlahan kepadanja.
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kamu membawa pulang Suya, ingat, djangan kamu adjak dia langsung kemari, hanja kamu bawa dia kerumahnja! Bilang padanja, bahwa aku segera akan menjusulnja! Nah, kau pergilah!"
Loo Sit tidak menjahut, bersama tiga kawannja ia pergi dengan tjepat.
Sesudah memesan muridnja, Bok Ya mengadjak Djie Kang pulang kebengkelnja, tindakannja tidak gesit dan tetap lagi, tjoba tidak ada muridnja.
mungkin ia roboh tersandung besi.
Ia menjuruh Djie Kang mengambil kursinja untuk duduk.
Ia tidak lagi duduk menghadap pintu.
Sekarang ia seperti tak ingin ada orang melihatnja.
"Tahukah kau kenapa aku bukan menjuruh kau hanja Loo Sit?"
Katanja pada muridnja, matanja merah, tangannja bergemetar.
"Itulah sebab banjak orang kenal kau. Loo Sit sebaliknja. Ah, harap sadja tidak terbit onar! Kasihan Hay Peng, sudah banjak tahun dia dapat bersabar, hari ini mendadak dia kumat amarahnja!"
Djie Kang berdiri di sisi gurunja.
Ia bertambah heran.
Belum pernah ia mendapatkan gurunja bingung atau gelisah seperti ini.
Ia melainkan bisa menduga-duga bahwa urusan bukan sembarang urusan, bahwa Kwee Hay Peng bukan melulu mau membela keadilan.
Lalu iapun mendjadi kuatir, kuatir Loo Sit berempat nanti tak sanggup bekerdja.
Ia menjesal bahwa bukannja ia sendiri jang pergi menjusul.
Sekarang tidak dapat ia meninggalkan gurunja bersendirian sadja.
"Mana teh, mari aku minta setjangkir !"
Kata Bok. Ya selang lama djuga. Selama itu bengkel sepi, tidak ada pembeli gunting atau golok. Setelah minum, pandai besi ini mendiadi lebih tenang, tjuma alisnja jang masih berkerut.
"Djie Kang, tjoba kau tengok!"
Kata si guru selang sesaat lagi.
"Tapi berdiri sadja diambang pintu! Djangan pergi djauh djauh"
Djie Kang menjahut, ia melaksanakan perintah itu. Selagi mau pergi, ia memesan.
"Suhu duduk sadja, djangan kemana-mana... ."
Atas itu si guru kata keras.
"Memangnja aku bisa loboh dari kursiku? Aku tak dapat mati! Seaudainja Hay Peng mati, biar bagaimanapun, tak seharusnja aku menjusul dia "
Djie Kang bertambah heran. Didepan pintu ia berdiri. Ia melihat djumlah orang sudah mulai berkutang. Sebaliknja, sekarang ia mendeogar bebrapa orang bitjara, jang menudju kedalam kota.
"Hajo lekas! Kita pergi ke Djalan Tjonggoan Kay! Kwee Hay Peng itu mau menjerbu! Disana ada Ok-Bong Biauw Hiong Tjay, dia tak lemah seperti TjuiHouw Tjie Tjit! Dia bagaimana mau mengalah! Sam siauwya djuga tak nanti mau sudah sadja! Pasti ramai, pasti ramai!"
Djie Kang berdiam hingga ia melengak.
la heran, ia ingin tahu apa jang bakal terdjadi, akan tetapi, tidak dapat ia pergi melihat.
Tak dapat ia menentang keinginan gurunja, jang pun tidak dapat dibiarkan seorang diri.
Maka ia terus sadja mengawasi kearah utara, kearah pintu kota.
Lama djuga murid ini berdiri diam, sampai ia merasa kakinja pegal.
Ia terus mengawasi arah utara itu, sampai mendadak ia melihat serombongan orang, jang djalannja tjepat, makin lama, mereka uu datang makin dekat, sehingga ia melihat dua orang jang memikul sebuah golongan jang terdiri dari sehelai daun pintu.
Hanja sebentar, tertampak njata jang digotong itu sebuah tubuh tinggi dan besar, kumisnja pandjang, jang pakaiannja berlumuran darah.
Ada seorang polisi jang mengiring kedua tukang gotong itu.
Bukan main tegangnja hati Djie Kang.
Ia sudah lantas menduga.
Di saat ia memikir buat masuk kedalam, guna memberi kabar pada gutunja, atau tiba-tiba terlihat Oee Loo Sit lari masuk tanpa dapat ditjegah pula.
Ia baru berpikir, atau kakak seperguruan itu sudah menerobos masuk sambil berkata-kata keras.
"Suhu! Suhu! Tjelaka! Sesampainja kami di Tjonggoan Kay, Kwee Suya sudah kena dirubuhkan! Dia roboh di tangannja Ok-Bong Biauw Hiong Tjay jang bersendjatakan tombak! Dengan pisau belati, dia tidak dapat berbuat banjak! Djuga Sam-siauwya telah menitahkan belasan gundalnja mengerojok dengan toja mereka! Kwee Suya petjah perutnja! Ketika polisi datang, dia bukannja mengurus perkara, buat tanja siapa jang salah dan siapa jang benar, tetapi dia paksa dua orang pengemis menggotong Kwee Suya, untuk dibawa pulang ke Kwee Kee Tun! Suhu, apakah suhu tidak mau melihat? Ah, tentu habis sudah Kwee Suya. Dia terlalu menurut halinja, dia tidak pikir, keluarga tay-haksu she Tjong itu bagaimana dapat dibuat permainan?"
Itu waktu, Lie Djie Kang menjusul masuk bersama tiga murid lainnja.
Mereka lantas berdiri diam mengerumuni guru mereka.
Diluar, orang banjak sebaliknja terus mengikuti Kwee Suya jang digotong pergi itu, suara mereka berisik.
Sebaliknja, bengkel besi "Sepasang Ikan"
Mendjadi sepi sunji, sebab para pengkuninja tetap berdiam sadja.
Bok Ya berdiam karena dia panik.
Baru kemudian waktu Oey Loo Sit pergi mengambil martilnja, dia mengadjak tiga kawannja menunaikan tugasnja, hingga terdengarlah lagi suara tingtong-tingtong jang berisik.
Sambil bekerdja, dia kata perlahan.
"Semua kedjadian ini dasar si njonja tjantik badju merah itu! Gara- gara dia, Tjie Tjit main gila, sampai datang Kwee Suya jang mau mendjundjung keadilan, sampai dia menjerbu ke Tjonggoan Kay, sampai habislah dia.. Habis si orang gagah, perkaranja tentu bakal habis pula."
Ketiga murid lainnja itu turut bekerdja, akan tetapi hati mereka tidak tenang, mereka lebih sering mengawasi guru mereka.
Masih sadja guru itu berduduk diam, mata butanja mendelong.
Matanja Gouw Bok Ya mengutjurkan air deras sekali, akan tetapi ia menangis tanpa suara.
Sebaliknja, ia lantas menjuruh muridnja, jaitu Lie Djie Kang, lekas-lekas pergi mendjenguk Kwee Hay Peng, sahabatnja itu, untuk menjampaikan pesannja.
Ia memesan berulang kali.
Djie Kang, si murid, mendjadi heran, walaupun demikian, tidak berani ia menanja banjak, lekas-lekas ia berangkat pergi, la hanja pergi dengan hati panas.
Masih ia belum djelas akan duduknja peristiwa, toh ia mendongkol sekali terhadap keluarga Tjong itu.
Mereka itu, madjikan dan gundal-gundalnja sangat djahat.
Dengan matinja Kwee Hay Peng, selandjutnja mereka itu tak takut siapa djuga.
Dengan napas terengah-engah, tibalah Djie Kang di Kwee Kee Tun.
Seluruh kampung penuh dengan bunga lila.
Kampung itu menghadapi gunung Hoa San jang hidjau seluruhnja, jang puntjaknja seperti nempel dengan langit.
Tak sempat ia memandang gunung itu.
Ia lantas mengetuk pintu.
Hay Peng hartawan, rumahnja besar, pskarangannja lebar.
Seorang budjang tua membuka pintu.
Budjang itu berwadjah sangat berduka.
Ketika Djie Kang diadjak masuk kedalam, lantas ia mendengar tangisan riuh jang menjedihkan.
Itulah langisannja Njonja Kwee Hay Peng, puteranja, menantunja, dan anak perempuannja.
Melihat kedatangan murid Bok Ya, terhentilah suara tangisan itu.
Djie Kang melihat Kwee Suya rebah diatas pembaringan, tubuhnja ditutupi selimut, sehingga tak nampak luka atau darahnja, tjuma mukanja putjat dan kedua matanja dipedjamkan.
Ia seperti sudah meninggal.
Njonja Kwee berumur hampir limapuluh tahun mengetahui Djie Kang sebagai pegawai bengkel gunting tjap sepasang ikan, ia lantas kata;
"Gurumu selalu menasihati dia, sampai puluhan tahun, ternjata tidak ada hasilnja. Bagaimana sekarang? Kalau dia sampai menutup mata, bagaimana aku sanggup mengurus rumah ini?"
Lantas ia menangis pula.
Puteranja Hay Peng baru berumur belasan tahun, tubuhnja kurus dan tampaknja tua, sedang isterinja djauh lebih tua.
Baru setahun jang lalu mereka menikah.
Puterinja baru berumur dua belas tahun tetapi dia nampaknja tjerdik, tubuhnja sudah djangkung, pantas dia mendjadi anaknja Kwee Suya.
Djie Kang lantas membudjuk keluarga Kwee semua, sehingga mereka suka berhenti menangis dan masuk kedalam, tinggal Kwee Siauwya, si anak laki-laki dan budjangnja jang tua.
Hanja anak ini jang tidak dapat bitjara, dia menangis terus, walaupun dengan perlahan.
"Mungkin madjikanku ketolongan"
Kata si budjang tua.
"Baru sadja ketika ia digotong pulang, ia bisa bitjara dengan keras"
"Apa sadja katanja Suya?"
Tanja Djie Kang.
"Begitu madjikan direbahkan, lantas ia menjuiuh aku mengambil ebat luka jang telah disimpan buat banjak tahun didalam almari untuk diborehkan,"
Kata budjang tua itu.
"lalu ia menitahkan Kwee Toasiauwya, jaitu tuan muda kami jang besar segera berangkat ke kota radja guna memanggil Kie Hay Auw, budjang tukang djaga kuburan Thay Po Bong di Sam-lietiam."
Djie Kang mendengar djawaban itu, tetapi ia kurang mengerti.
"Siapa itu Kie Hay Auw?"
Ia tanja.
"Kami tak tahu. Njonja besar sendiri tidak tahu djuga. Mungkin dia sahabatnja tuan kami. Hanjalah kota radja terpisah d jauh ribuan lie, tuan muda masih ketjil bagaimana dia sanggup pergi kesana?"
Selagi budjang itu berkata demikian, Hay Peng membuka matanja. Lantas dia melihat Djie Kang. Ia inipun lantas menghampiri untuk memberi hormat seraja berkata.
"Kwee Susiok, rebah sadja, baikbaiklah kau merawat diri. Sesudah nanti susiok sembuh, baru susiok pikir perlahan-lahan guna mentjari djalan melampiaskan penasaran ini."
Bibir Hay Peng bergerak tetapi suaranja tidak terdengar. Ia seperti mau bilang.
"Apakah aku masih dapat sembuh?"
Ia djuga tidak dapat menggerakkan kepalanja.
Djie Kang tidak men-sia2kan tempo lagi akan menjampaikan pesan gurunja, tak peduli disitu ada si tuan muda dan budjangnja.
Ia pula tidak menghiraukan orang nanti mengerti atau tidak, sebab ia sendiri djuga belum mengerti djelas.
"Susiok, aku diperintah guruku datang kemari,"
Demikian katanja.
"Suhu sangat berduka mendengar susiok terluka, karena mana, tak dapat suhu datang sendiri kemari. Suhu memesan aku mmjampaikan kepada susiok supaja susiok menenangkan hati sadja."
Berkata sampai disitu, karena kuatir orang tidak dengar suaranja, Djie Kang melandjutkan dengan lebih keras. Katanja.
"Suhu bilang bahwa barang jang susiok menjuruhnja membikin, suhu mau lantas kerdjakan, hanja ia merasa sajang, sebab susiok harus berobat dan beristirahat, taruh kata ia membuatnja rampung, susiok tidak dapat segera gunakan. Karena itu suhu pikir mentjari seorang jang nanti dapat mewakilkan susiok melampiaskan hati serta membalaskan sakit hatinja tuan penolongnja "
Mendengar sampai disitu, tiba-tiba Kwee Hay Peng mendjadi segar, sehingga ia kata keras .
"Kalau itu sudah rampung dibikin, tak dapatkah itu diserahkan kepada Kie Hay Auw?"
Akan tetapi dengan bitjara keras begitu, ia seperti menjentuh lukanja, lantas ia berdjengit, menahan njerinja, sampai mukanja mendjadi putjat-pias.
Lantas ia meram pula dan napasnja terus memburu.
Kwee Siauwya mendjadi kaget, dia lari kedalam, untuk memberitahukan ibunja, maka itu Njonja Kwee lantas muntjul bersama njonja mantu dan anak perempuannja.
Djie Kang mundur.
Ia menjesal sudah menjampaikan pesan gurunja.
Mestinja pesan itu merupakan kata-kata rahasia, jang melukai hati Hay Peng.
Ia terus berdiam diluar kamar, sehingga ia mendengar suara gagak berbunji, sedangkan lembaran2 bunga lila bertebaran dipekarangan dalam itu.
Tidak lama, dari dalam kamar terdengar tangisan, diantaranja suara siauwya dan nona rumah memanggil- manggil .
"Ajah ! Ajah!"
Ia merasa berduka sekali, ia bersedih hingga air matanja turun menetes.
Ia tahu itu artinja Hay Peng telah menghembuskan napasnja jang terachir.
Karena tak tega hati menjaksikan wadjah si susiok, jaitu paman ke-empat, diam-diam ia pergi keluar, buat terus pulang ke Lam-kwan, kebengkelnja.
Ketika ia sampai, tjuatja sudah gelap dan gurunja sudah pulang, maka itu, ia lantas menjiapkan lentera untuk terus menudju ke Bong Lian Tjoen.
Begitu sampai, ia memanggil gurunja, ia mengetuk pintu, tetapi aneh, ia tidak memperoleh djawaban.
Ia tidak mendengar djawaban, sehingga ia djadi heran.
Pertjuma ia berteriak dan mengetuk keras, rumah itu seperti kosong.
Ia mendjadi heran, dari heran mendjadi tjuriga.
Achirnja ia meletakkan lenteranja, ia pergi menggeser batu besar, untuk dipakai sebagai tangga buat memandjat tembok pekarangan.
Untuk masuk kepekarangan dalam, ia mesti lompat mendjatuhkan diri.
Ia terkedjut ketika ia merasa djatuh ditempat jang membuatnja terdjeblos.
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika ia membuka pintu, buat mengambil lenteranja, buat dipakai menerangi sekitarnja, kiranja itulah sematjam kobakan jg, berlumpur tanah lempung.
Ia mendjadi heran.
"Suhu toh tidak mau membangun tembok, buat apa tanah liat ini?"
Pikirnja.
"Ah, ini tentu perbuatan Kay Tjwie si malas! Dasar anak tjslaka!"
Ia lantas membersihkan kakinja dari tanah liat, setelah itu ia menghampiri pintu, buat masuk kedalam, terus kekamar guru n ja.
Ketika ia mendekati kamar, kamar itu terang dengan tjahaja api, bahkan ia melihat si Tjoei lagi berdjalan keluar, tangannja membawa sekop, nampaknja dia letih sekali.
"Tuan Lie, sekian lama kau mengetuk-ngetuk, telah aku dengar,"
Kata dia.
"tetapi aku tidak dapat segera membukai pintu, aku tidak serapat. Sepulangnja suhu, ia lantas menitahkan aku terus-menerus mengerdjakan ini. Kau tahu, masak nasip n aku belum..."
Habis berkala, ia lamas pergi dengan tjepat.
Djie Kang memadamkan lenteranja.
Ia masuk kedalam kamar, atau segera ia mendjadi meleagak.
Tidak djauh dari almari telah dibangun sebuah dapur besar, dan gurunja, dengan tangan berlepotan tanah, lagi mengerdjakan mulut dapur, jg.
belum rampung seluruhnja.
"Suhu!"
Ia memanggil setelah sadar. Ia tidak berani segera memberitahukan bahwa Kwee Hay Peng sudah menutup mata akan tetapi suaranja parau, menandakan kesedihanja. Bok Ya sudah lantas menoleh, kedua tangannja jg. kokoh dipentang.
"Suhu!"
Kata Djie Kang pula.
"apakah suhu hendak membuat sesuatu, mari kasi aku jang kerdjakan, tak usah suhu jang turun tangan sendiri."
"Tak dapat, nak!"
Mendjawab guru itu.
"Kerdjuan ini mesti aku jang lakukan sendiri. Aku hanja m-mbuluhkan seorang pembantu. Si Tjoei tidak dapat membantu aku, dia ijuma bisa mengaduk tanah dan mengangkutinja atau membawa arang, tak dapat dia bekerdja halus. Kalau dia membantu terus, dia bahkan dapat menghalang-halangi aku. Kau sudah turut aku banjak tahun, aku tahu kau radjin dan baik, maka mulai besok, tak usah kau tjampur Lagi pekerdjaan dibengkel, kau bekerdja disini membantu aku merampungkan pembuatanku!"
"Baik, suhu,"
Kata si murid.
"Tinggal suhu menjuruh sadja, nanti aku jang kerdjakan. Suhu sudah berusia landjut, mata suhupun lak dapat melihat, djadi tak usah suhu jang bekerdja sendiri. Tak dapatkah suhu duduk sadja, lantas suhu memberi pelbagai petundjuk? Aku jang akan kerdjakan semua."
Guru itu mengeleng kepala berulang-ulang.
"Tidak dapat, tidak dapat!"
Sahutnja "Kau berdiam sadja disisiku, mendjaga kalau-kalau aku djatuh.
Atau kau biarkan sadja aku diserbu lelatu api hingga aku mati.
Kali ini tidak dapat kau membantu aku, walaupun bagaimana sedikitpun.
Ini bukannja sembarang pekerdjaan, aku ...
Ah ! Sewaktu mataku masih baik, aku sudah bersumpah untuk tidak membuat ini lagi ! Thian menjuruh maiaku buta, itu pula sebab dikuatirkan aku nanti melakukan lagi kerdjaan luar biasa ini, jang dapat merugikan umum dan dapat mentjelakai diri sendiri, akan tetapi sekarang, aku tidak berdaja, aku terpaksa, apa boleh buat, hendak aku mengerdjakannja! Siapa suruh tadinja aku memberi kata2ku kepada Kwee Hay Peng? Maka sekarang, aku bekerdja untuknja!"
Djie Kang heran bukan main. Pikirnja.
"Kenapa suhu berkata begini? Apakah arti kata2nja ini?"
Mau tak mau, ia menanja .
"Suhu, suhu hendak membuat apakah?"
Tiba2 guru itu mengulapkan tangan dan berkata dengan keren.
"Kau djangan banjak tanja-tanja! Tak usah kau mentjari tahu! Kau pula djangan membotjorkan hal ini kepada siapa djuga! Andaikata kemudian ada jang tanja kau, kenapa sekian lama kau tidak pernah pergi kebengkel, bilang sadja bahwa aku sakit dan kau perlu merawat aku. Tentang si Tjoei..."
Mendadak guru ini menghentikan perkataannja, lantas ia memasang telinganja. Selang sedetik, baru ia melandjutkan perka* taannja .
"
Apabila si Tjoei menanjakan kau, kau bilang sadja padanja bahwa dari luar kota ada datang p sanan beberapa puluh buah gunting, bahwa karena orang membajar tinggi, dia minta buatan jang istimewa.
Katakan bahwa gunting itu bakal dikirim kekotaradja guna dihaturkan kepada seorang berpangkat besar.
Kau pesan dia agar diapun tidak bitjara apa2 pada orang luar.
Dia djuga kemudian mesti dilarang masuk kemari."
Djie Kang mengiakan, akan tetapi herannja bertambah, sehingga rasa herannja itu berpeta pada wadjahnja.
Sjukur gurunja tidak melihat wadjahnja itu, kalau tidak ia nitjaja bakal tjuriga.
Tidak lama muntjul pula si Tjui dengan sebakul arang batu pilihan, dengan menerbitkan suara bergeresel, ia menuangnja dipodjok kamar.
Sambil bangun dari membungkuknja, iangotjeh seorang diri.
"Kamar begini sempit, disini dibangun dapur besar, lalu ditumpuk pula atang batu ini, habis dimana orang mesti menaruh kaki untuk berdiri ? ..."
Guru dengar otjehan itu sambil tertawa, ia kata pada pegawainja itu.
"Nah, kau pergilah ! Disini sudah tidak ada lagi kerdjaan untukmu! Kau lekas menanak nasi. Orang berani membajar mahal, dia memesan barang jang baik, sampai beberapa puluh buah, djikalau aku tidak turun tangan sendiri, mana dapat itu dikerdjakan ? Tak mudah untuk membuka suatu perusahaan dengan merek "Sepasang Ikan"
Jang dibangun tidak dalam satu atau dua tahun ! Tak apa aku buta, tetapi aku mesti djaga supaja aku tidak djatuh merek ! Pesanan telah datang, bagaimana aku dapat tolak, sehingga pesanan itu nanti ditjaplok bengkel lain?"
Kata si Tjui didalam hatinja.
"Dasar si sekaker!"
Ia menoleh kepada Djie Kang, ia menundjukkan wadjah bahwa ia tak memandang mata kepada madjikannja. Akan tetapi orang she Lie itu tidak menggubrisnja, maka ia kata.
"Tuan Lie, mari bawa lampu, kita pergi kedapur ! Hendak aku memberitahukan kau, hal Kwee Suya dari Kwee Kee Tjung hari ini dia bertjelaka"
Tiba-tiba si madjikan berkata keras .
"Djangan bawa pergi lampu itu! Djie Kang harus berdiam disini membantu aku ! Aku tidak membutuhkan lampu, karena mataku tidak dapat melihat, tetapi tidak dengan Djie Kang! Kau lihat, dia toh tidak buta Pergilah kau menanak nasi. Kalau sebentar nasi sudah matang, bila kau tidak dipanggil, tidak boleh kau masuk kemari !"
Koay Tjoei menjahut "Ja!"
Lalu sambil mendjibikan bibir ia ngelojor pergi.
Djie Kang memikirkan peristiwa hebat dan jang menjedihkan dari Kwee Hay Peng ia mengharap-harap gurunja nanti menanjakan hal kematian sahabat karib itu.
Ia pertjaja, dengan memberi penuturan, hatinja nanti mendjadi sedikit lega.
Siapa tahu gurunja terus berdiam, guru itu tidak menanja atau bitjara sesuatu, hanja dia memasang telinga mendengar suara tindakan kakinja Koay Tjui.
Baru setelah itu, dia bergerak, hingga muridnja lekas- lekas memeganginja.
Bok Ya pergi kepembaringannja, tangannja merogo kebawah kasurnja, untuk mengeluarkan sebuah anak kuntji.
Ia tidak menghiraukan bahwa tangannja itu masih kotor dengan tanah liat.
Sambil menjerahkan anak kuntji itu pada muridnja, ia kata.
"Kau pakai kuntji ini buat membuka pintu kamar ketjil dipodjok timur-selatan itu kau keluarkan segala isinja. Kau kerdja perlahan-lahan sadja, tidak usah ter-buru2 supaja kau tidak mendjadi terlalu letih."
Djie Kang menjahut, ia melakukan perintah itu.
Kamar ketjil itu, sedjak mata gurunja buta, belum pernah dibuka.
Apa isinja kamar itu, ia ketahui baik sekali.
Semua jalah alat pandai besi, begitupun beberapa potong besi.
Dari bengkel, semua itu dipindahkan, disimpan didalam kamar tersebut.
Selagi memindahkan itu, Bok Ya kata.
"Semua perabot ini pertanda keburukan djikalau orang lain mempergunakannja, dia bakal turut mendjadi malang, matanja akan mendjadi buta."
Maka itu, bengkel memakai alat-alat jang baru.
Berhubung kuntji dan anak kuntji sudah karatan, sampai sekian lama, baru Djie Kang dapat membuka pintu.
Ia masuk kedalam kamar, mengeluarkan semua isinja, seperti pelbagai matjam martil, djepitan, alat tiup angin, beberapa potong besi dan Jainnja keperluan pandai besi, semuanja lengkap.
Semua itu diangkut kekamar si guru, untuk dipernahkan rapi, setelah mana anak kuntjinja dibawa pulang.
"Semua telah selesai dipindahkan, suhu,"
Ia beritahukan.
"Taruh alat tiup angin disisi dapur,"
Perintah guru itu.
Djusteru itu terdengar si Tjui berteriak dari dapur, memberitahukan nasi dan barang makanan sudah sedia, supaja madjikan itu berdua mulai dahar.
Mendengar itu, Bok Ya menjuruh muridnja membawa barang makanan kekamarnja, untuk bersantap berdua.
Ia dapat dahar dengan bernapsu.
Sebaliknja, napsu daharnja Djie Kang berkurang banjak.
Dia tetap diliputi perasaan heran.
Tengah murid ini berpikir, tiba-tiba ia ditanja gurunja.
"Djam berapa Kwee Suya menutup mata ?"
"Ketika aku datang, ia masih dapat bitjara denganku,"
Sahut Djie Kang.
"Sekeluarnja aku dari kamar, ia lantas melepaskan napasnja jang terachir. Ketika itu tjuatja masih belum gelap."
Ia lantas mendjelaskan apa jang ia lakukan dan lihat dirumahnja Hay Peng. Kemudian ia tanja.
"Siapa Kie Hay Auw itu ? Adakah dia sahabat suhu dan Kwee Suya ?"
Bok Ya mengangguk dengan perlahan.
Sinar lampu memperlihatkan wadjahnja jg bersedih, sehingga tak sedap dipandangnja.
Wadjahnja itu lebih hebat daripada wadjah Hay Peng pada saat Hay Peng mau menutup mata.
Toh matanja jang tjelong itu tidak mengalirkan airmata.
"Kie Hay Auw jalah seorang jang pandai,"
Sahut si guru, perlahan, sambil menghela napas.
"hanja sekarang ini, dia masih hidup atau sudah mati, aku tidak tahu. Ah, segalanja terserah kepada Thian, aku hendak melakukan apa jg. aku sanggup! Tjuma ..."
Ia hening sedjenak, terus ia memerintah pula.
"Djie Kang besok pagi kau pergi pula kerumah Kwee Suya, disana kau harus mendapatkan pakaiannja Suya jang ia pakai waktu ia mau menutup mata. Aku memerlukan itu! Sekarang aku sudah dahar tjukup, kau boleh bebenah, habis itu, kau tidurlah. Ada urusan apa djuga, besok kita mengurusnja. Tjuma aku pesan, terhadap si Tjui, djangan kau banjak omong. Djuga kepada lain orang, jang besok akan kau ketemukan, kau djangan omong apa-apa. Kau ingat baik-baik, ja !"
Djie Kang menurut, ia berbangkit, terus ia rnembenahkan piring mangkuk. Ketika ia mau pergi, ia membawa lampu. Kata ia.
"Suhu, aku hendak pergi kedapur, kalau ada perlu apa-apa, kau panggillah aku."
Bok Ya duduk diatas pembaringannja, dia tidak menjahut.
Djie Kang keluar dengan tindakan perlahan.
Diluar, gelap disekitarnja, tjuma dilangit tampak banjak bintang.
Menoleh kebelakang, ia melihat kamar gurunja gelap- petang dan sunji.
Ia merandak, atau segera ia mendengar suara sesegukan dari gurunja itu.
Pernah ia mendegar itu, hanja ia tidak tahu apa sebabnja, baru sekarang ia mengerti.
Gurunja menangisi Kwee Suya.
Lantas murid ini berpikir keras.
Ia tetap tidak mengerti.
Sebenarnja, ada hubungan apakah antara Kwee Hay Peng dan Kie Hay Auw dengan gurunja itu ? Siapa itu jg.
dimaksudkan sebagai si "tuan penolong" indjin? Kenapa mereka itu bermusuh dengan Keluarga Tjong dari Tionggoan Kay? Barang apa jang si guru mau bikin? Ia melainkan bisa menerka itulah mesti suatu alat sendjata jang berbahaja ...
"Kalau itulah benda untuk mentjelakai sesama manusia, tak sudi aku membantu suhu,"
Pikirnja kemudian.
Meski ia berpikir demikian, Dje Kang toh mempunjai lain pikiran, jang bertentangan.
Itulah rahasia kepandaian gurunja membuat sendjata.
Ingin sekali ia mengetahui atau mendapatkan itu.
Sebegitu lama, gurunja tetap tidak mau mewariskan kepadanja, meski ia telah sanggup membuat alat apa djuga.
Keinginan ini membuatnja mengambil keputusan untuk nanti mengintai gurunja ini.
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Habis bebenah, Djie Kang masuk kekamarnja sendiri.
Ia merebahkan diri, ia melupakan segala apa, untuk dapat tidur dengan njenjak.
Beristirahat berarti kesegarannja akan pulih kembali.
Besoknja pagi, Djie Kang melakukan perintah gurunja.
Ia berhasil mendapatkan pakaian bekas Kwee Hay Peng waktu meninggal dunia.
Habis bersantap, gurunja memanggilnja kedalam kamar, katanja untuk membantu dia bekerdja.
Rupanja tadi malam Bok Ya menangis terus-menerus, maka kini kedua matanja merah dan benggul.
Walaupun demikian, dia bersemangat dan gesit seperti biasa, Dia telah meloloskan badju badju dalamnjn, hingga nampak daging dan tulang-tulangnja.
Dasar sudah tua, badannjapun kurus.
Pada tubuhnja itu terlihat tegas, tanda mata sebagai pandai besi, jaitu bekas-bekas terbakar melepuh oleh pertjikan lelatu api.
Lie Djie Kang djuga membuka badjunja.
Ia memegang martil.
"Suhu mari aku jang memalu,"
Katanja.
"Akan aku bakar besinja, setelah panas, nanti aku beritahukan pada suhu."
Guru itu menggeleng kepala.
"Tak usah!"
Katanja.
"Kau baiknja njalakan api sadja."
Djie Kang nmarut. Ia menjalakan api, ia meniupnja dengan hong-kiu, jaitu alat tiup, setelah arang menjala, ia mulai menambahkan arang srdikit demi sedikit. Tidak lama kemudian maronglah bara arang batu itu.
"Berikan pakaian itul"
Kata si guru, jang minta pakaiannja Hay Peng.
Pakaian itu rubat-rabit dan hampir seluruhnja berdarah, akibat tusukan tombaknja Ok-Bong Biauw Hiong Tjay si Ular Naga djahat jang menikam lawannja sampai empat atau lima kali, belum hadjarannja sekalian gundal.
Tjong Sam-Siauwya telah mengandjurkan semua pahlawan menjerang musuhnja setjara ganas.
Sambil memegangi pakaian berlumuran darah itu, Gouw Bok Ya menghadapi dapurnja, jang apinja menghembus- hembus saking panas baranja, lalu memperlihatkan wadjahnja jang sedih dan suram-suram, ia berkata sungguh-sungguh .
"Malaikat Dapur jang mulia, inilah teetju jang bernama Gouw Bok Ya! sekarang teetju lagi berusaha untuk membalas budinja Ne Thay Po, guna menghormati kebiejaksanaannja Kwee Hay Perg, untuk dapat menjelesaikan permusuhan dua turunan dengan keluarga Tjiong! Malaikat jang mulia, teetju mohon direstui dan dilindungi!"
Habis berkata begitu maka orang tua jang buta ini melemparkan pakaian berdarah kedalam dapur, hinga apinja berkobar, sebab pakaian itu segera djuga menjala dan habis ditelan api dalam sekedjab sadja.
Asap membuat Djie Kang batuk-batuk, hanja sedjenak, setelah meniusuti air mata dan peluh didahinja, maka Gouw Bok Ya si pandai besi mulailah dengan pekerdjaannja, jang ia sudah menghentikannja puluhan tahun.
Ia mengangkat besi panas dan mulai memukulnja.
Djie Kang menaati perintah gurunja.
Ia berdiam dipinggiran, diam dengan mata dan hatinja bekerdja.
Matanja melihat dengan saksama, hatinja memikir dan mengingat-ingat.
Ia memperhatikan setiap gerak-gerik gurunja, dari mengangkat besi, sampai memalunja, sampai mentjelubnja besi di-air, sampai besi dipendam pula didalam arang batu jang marong itu.
Ia menghitung pukulan, ia mentjatat baik-baik dalam hatinja berat dan entengnja setiap pukulan itu.
Satu hal jang njata, jaitu, meski si guru pandai, lantaran rintangan matanja dia kerdjanja sedikit lambat, semuanja serba perlahan.
Ia mendapat kenjataan, tjara kerdja si guru beda dari pada waktu dahulu hari dia membuat gunting atau pisau.
Kedua mata guru itu buta tapi sekarang dia bekerdja dengan hati, jang berperasaan sepenuhnja.
Malam pertama itu, Bok Ya bekerdja sampai tengah malam.
Pada hari ke-dua, pekerdjaan dimulai dari pagi sampai sore.
Besi dan badja dibakar dan diketuk, lalu delebur mendjadi satu, untuk didjadikan pula sepotong besi jang telah bertjampur badja.
Dari menerka-nerka, Djie Kang melihat gurunja membuat sepotong besi pilihan, bahan untuk sebatang pedang, bahkan pedang jang tadjam kedua belahnja.
Sampai disitu, paurid ini mendjadi heran dan girang.
Heran sebab pedang dapat dibeli sembarang waktu dan di sembarang tempat, buat apa gurunje bersusah pajah membuat sendiri? Sebabnja tak lain tak bukan, mestinja pedang ini bukan sembarang pedang.
Mestinja inilah pedang mustika, jang tadjam luar biasa.
Hal itu membuatnja girang.
Ia bisa mendapat, kepandaian membuat pedang mustika.
Sedang si murid memperhatikan segala2nja, si guru mentjoba menjembunjikannja.
Dia tidak mengatakan sesuatu, dia bekerdja dengan tekun, tetapi diam.
Si murid tjuma diperinlah mendjaga api, untuk menarik hongkoei sadja.
Teranglah guru itu menjimpan rahasia, kepandaiannja itu.
Pada hari ke-tiga dan hari ke empat, guru dan murid itu bekerdja makin repot.
Sekarang pedang sudah berbentuk, berwudjud benar-benar.
Si guru repot memalu, si murid repot meniup api berbareng itu dia pasang mata benar2 pada gurunja.
Jang aneh guru itu beberapa kali menjiram air kedalam dapur, guna membikin api membara jang marong mendadak berkurang panasnja, untuk pada lain saat membikin panas itu bertambah setjara mendadak, supaja suhunja mendjadi tinggi sekali.
Tiap kali pedang ditjelup dalam air, lalu dipalu dan dibakar pula, demikian seterusnja.
Semua itu tak lolos dari matanja Djie Kang, jang diam2 telah memasukkan tangannja kedalam air, guna mentjari tahu berapa panasnja air rendaman itu.
Itupun saat mendekati rampungnja pembuatan, saat paling penting.
Saking hebat perhatiannja, sehingga ia seperti tak merasa panasnja air, atau letikan api kepunggungnja ...
Tiba2 parasnja Gouw Bok Ya menundjukkan ketjurigaan.
Ia seperti telah memergoki gerak-gerik muridnja.
Ia menerka, karena matanja buta, murid itu mentjoba melakukan sesuatu diluar tahunja.
Hanja, karena ia lagi repot, tak sempat ia memperhatikan si murid.
Si murid sebaliknja, saking perhatiannja tertarik, iapun seperti melupakan dirinja.
Begitulah ia tidak tahu ketika satu kali guru itu mengangkat tinggi martilnja, agaknja untuk mengetuk pedang, tahu-tahu martil itu menimpa lengannja jang kiri.
Ia mendjadi kaget dan kesakitan sekali.
Sjukur tulangnja tidak patah meskipun lengannja itu tidak bisa segera diangkat.
Sambil memegangi lengannja itu, ia bertindak mundur.
Bok Ya merasakan martilnja bukan mengenai besi atau badja hanja kulit daging jang membungkus tulang.
Mendadak ia berhenti memalu.
Ia bukan menanja.
"Apakah kau merasa njeri?"
Atau menjesalkan.
"Kenapa kau tidak berhati-hati?"
Ia djusteru tertawa terkekeh, suaranja tak sedap diterima telinga.
"Suhu, kau kenapa?"
Tanja Djie Kang, heran. Kulit mata guru itu bergerak.
"Tidak apa2!"
Sahutnja.
"Oh, muridku jang baik! Marilah kita mentjoba pula!"
Djie Kang berdiam, ia terus membantu, banja sekarang ini, ia bekerdja dengan sebelah tangan.
Ia bekerdja dengan berhati-hati.
Sekarang ia melihat, gurunya tidak lagi waspada seperti tadi.
Hari itu Bok Ya bekerdja sampai tengah malam.
Sesudah itu terus sadja ia naik keatas pembaringan untuk tidur.
Djie Kang masih menantikan sampai dapur padam.
Sekarang ia memperhatikan dapur berapa tinggi dan lebarnja, berapa tebal nja teraboknja, berapa lebar mulutnja.
Ketika ia pergi kekamarnja dan merebahkan diri, masih ia mengingat-ingai semua itu, untuk diukir dalam hati-sanubarinja, diotaknja.
Ia ke lelap dalam pemikiran hingga ia melupakan rasa njeri ditangannja.
Besoknja, guru dan murid itu meiandjutkan pembuatan pedang.
Inilah hari teradu r.
Pedang itu telah rampung dibuat sampai pada gagangnja, sedangkan dari dalam almarinja, Bok Ya mengeluarkan runtjen, untuk diikat pada gagangnja.
Pedang itu memberi sinar putih jang berkeredepan.
Sambil memegang pedangnja, jg.
ia usap-usap, Gouw Bok Ya tertawa.
"Djie Kang, kau tjekal martilmu!"
Katanja tiba-tiba.
"Kau hadjar pedangku ini!"
Murid itu heran.
"Buat apakah, suhu?"
Tanjanja.
"Itulah tak dapat!"
La kuatir pedang itu patah atau gompal, rusak bagian tadjamnja. Tapi guru itu berkata keras, nadanja gusar.
"Tidak apa !. Kau hadjarlah"
Djie Kang mendjadi ingin mengudji.
"Baik, suhu,"
Katanja.
"Suhu waspada !"
Ia lantas mengangkat martil dengan kedua belah tanganja, tak peduli lengan kirinja masih sakit.
Dengan tiba-tibu ia mmghadjar pedang itu.
Satu suara keras terdengar, lantas simurid mendjadi heran dan kagum.
Pedang itu tidak kurang suatu apa-apa! Adalah martilnja jang mendjadi rusak bekas terpapas pedang.
Itulah pedang mustika.
"Mari tjoba lagi !"
Kata si guru, jang nampak puas.
Djie Kang menurut.
Pedang diudji terhadap beberapa potong besi, semua besi itu kena dibabat kutung.
Pada wadjah si guru tampak wadjah kepuasan, tanda bahwa dia girang luar biasa, tetapi itu hanja sekedjap sadja, sebab sekonjong-konjong mukanja mendjadi merah-padam, tanda dia gusar.
"Djie Kang!"
Demikian terdengar suaranja, keras dan bengis.
"Ja, suhu!"
Si murid mendjawab.
"Suhu hendak menjuruh apakah ?"
"Pergilah kau tidur!"
Kata guru itu.
"Sekarang sudah djauh malam, semua perabotan ini boleh dibenahkan besok sadja. Apakah kau tetap tidur didalam kamar disisi dapur "
"Ja, suhu,"
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut si murid, beran. DidaJam hatinja, dia benanja.
"Apa perlunja suhu menanjakan kamar tidurku?"
Maka ia mengawasi muka gurunja. la mendapatkan vadjah orang bengis lalu berubah sedih. Gouw Bok Ya lalu berkata pula. Dia menanja.
"Djie Kang, bagaimana kau lihat anaknja Kwee Su-ya? Dapatkah dia melandjutkan usaha ajahnja? Apakah dirumahnja ada budjang jang setia jang dapat mengantarnja kekota radja?"
"Kwee Siauwya itu,"
Sahut Djie Kang "meski ia masih muda dan tubuhnja lemah kelihatannja dia djudjur, aku rasa dapat dia melakukan usaha ajahnja. Aku kira dia dapat mentjari seorang budjang jang dapat dipertjaja untuk mengiringi dia pergi kekota radja."
Mendadak guru itu tertawa.
"Bagus ! Bagus !"
Serunja.
"Nah, pergilah kau beristirahat ! Apa pun disini, dapat kita kerdjakan atau bitjarakan pula besok!"
"Ja, suhu,"
Sahut si murid.
Tiba-tiba guru itu menarik napas pandjang, suaranja beda hingga tanpa merasa, Djie Kang menoleh mengawasi padanja.
Maka ia melihat guru itu memegang pedangnja jang tadjam, seperti djuga sendjata itu berat untuk dilepaskan.
Waktu Djie Kang masuk kedalam kamarnja, tidak dapat ia lantas tidur pulas.
Hatinja bekerdja, memikirkan rahasia pembuatan pedang mustika itu, memikirkan djuga gerak- gerik aneh dari gurunja baru sadja.
Ia pula memikir, ia akan membuat pedang sematjam itu, membuatnja setjara diam-diam.
Kalau ia berhasil, maka ia bakal mendjadi seorang ahli pandai besi, jang sepandai gurunja itu.
Untuk membuat itu, ia hendak mentjari satu tempat jang tak akan diketahui orang lain.
Lama Djie Kang berpikir, sampai waktu ia pada achirnja tidur pulas, hari sudah mendekati fadjar.
Ia tidur sampai siang, baru lengah hari ia mendusin.
Lantas ia mendengar suara berisik didapur.
Ketika ia pergi melihat, ia mendapatkan tukang masak lagi mentjintjang daging.
Si Tjui kata, madjikannja sudah bangun sedjak pagi-pagi dan telah menitahkannja membeli daging dan menjembelih dua ekor ajam, untuk masakan jang istimewa, untuk mandjamu mereka.
Madjikan itu djuga menjuruhnja membeli arak.
Tjui girang sekali, ia bitjara dengan gembira, sampai air liurnja keluar, sebab segera ia akan makan besar dan menenggak arak ! Itulah tak biasanja.
Dari dapur, Djie Kang pergi kekamar gurunja untuk bebenah.
Dengan heran ia tidak melihat pedang mustika jang baru dibikin itu, tak tahu ia di mana disimpannja.
Bok Ya berbitjara dengan muridnja, sikapnja manis sekali, beda dari biananja.
"Sajang kau tidak berumah-tangga dan tidak memnpunjai orang jang terdekat denganmu,"
Kata si guru.
"kalau tidak, suka aku mengeluarkan uang, supaja dapat kau mengantarkan mereka itu pergi kekota radja."
Djie Kang heran.
"Inilah maksud jang baik sekali,"
Katanja didalam hati.
"hanja, kenapa ia berkata begini ? Suhu toh tahu aku hidup sebatang kata, tanpa sanak atau kadang ..."
"Hari sudah tak siang lagi,"
Berkata pula guru itu.
"kau baik bersedia untuk sebentar bersantap. Selama beberapa hari ini kau letih sekali, aku hendak mengundang kau minum arak."' Berkata begitu, Bok Ya menjuruh si Tjui lekas-lekas memalangi barang-barang makanannja serta menanak nasi, habis mana koki itu disuruh dahar sendiri terlebih dulu, sesudah dahar tjukup, dia diberi uang sambil kepadanja dikatakan.
"Sekarang pergilah kemana kau suka, atau kau pergi main dadu. Malam ini boleh kau tak usah pulang aku berikan kau tjuti satu hari satu malam! Besok kau pulang, meskipun sampai tengah hari tidak apa."
Bukan kepalang girangnja Koay Tjui.
Inilah tidak biasa dari gurunja.
Ia dahar banjak dan minum arak, lantas ia dandan, terus pergi.
Ia membekal uang presenan madjikannja itu.
Ketika ia mau pergi, ia menjuruh Djie Kang tolong menguntji pintu dari dalam.
Ia sebenarnja merasa heran tetapi ia tidak memikirkapnja terlebih d jauh.
Djie Kang berdiri didepart pintu, mengawasi koki itu berlalu, la heran sekali, hingga ia berdiri terpaku.
Ia melihat sang magrib telah tiba, langit guram.
Burung2 gagak sudah lantas pulang kesarangnja, sambil ramai2 berbunji, lalu tidur.
Lekas sekali para tetangga sudah pada menguntji pintu rumahnja dan beristirahat.
Hingga diluar tidak tampak barang seorangpun.
Pula tidak ada sinar api, tidak ada suara andjing menjalak.
Achir-achirnia murid ini menguntji pintu untuk masuk kekamar gurunja.
Maka tak lama, berdua mereka sudah duduk bersantap.
Benar-benar tabiat si guru berubah.
Ia suka bitjara dan ramah, ia sangat baik terhadap muridnja ini.
Tiap2 kali ia mengandjurkan muridnja minum.
Semula ia mengandjurkan minum sambil tertawa manis, lalu kemudian ia separuh memaksa.
Kata ia.
"Kau minum! Arak ini aku sediakan untuk kau ! Kau telah membantu aku banjak sekali ! Tak dapat kau tidak meminumnja"
Diie Kang tidak berani menolak atau membantah, ia paksa minum terus, setjawan demi setjawan. Mmdadak Bok Ya menghela napas dan berkata perlahan.
"Kalau seo-ang mempunjai sesuatu kepandaian. itulah untung sekali apalagi mempunjai kepandaian jang istimewa, sampaipnn hantu afau malaikat takluk karenanja. Kedua mataku mendiadi buta karena disebabkan oleh itu. Bahkan ada orang jang mati ketjewa karnanja. Kalau dipikir-pikir, orang tak usah mati penasaran ..."
Diie Kang mengangguk. Ia sudah mulai mabuk. Ia tidak berkata apa-apa.
"Mari minum !"
Kata pula si guru jang menuang arak dalam sebuah mangkuk.
Dia jang menjuguhkan sendiri.
Djie Kang minum dari mangkuk itu.
Tak berani ia menampik.
Guru itu mengetahui dari bau mulut orang bahwa muridnja sudah minum tjukup banjak "Kau sudah dahar tjukup atau belum?"
Tanja ia.
"Kalau sudah, pergilah tidur! Si Tjui jang mendjemukan telah aku suruh pelesir, malam ini kita dapat tidur dengan njenjak tanpa gangguan."
Djie Kang berbangkit. Ia merasa kepalanja berat dan pusing.
"Suhu-pun sebaiknja tidur,"
Katama.
Tiba-tiba ia ingin muntah tetapi ia mentjoba menahannja.
Lantas ia keluar den kamar.
Ia merasa tubuhnja melajang-lajang.
Lewat beberapa tirdak, ia muntah tanpa dapat mentjegahnja lagi.
Selagi muntah itu, ia merasa tidak enak, hanja sehabis itu, dadanja sedikit lega, pusingnja berkurang, otaknja djadi dapat berpikir.
Dari pekarangan didalam rumah, Djie Kang dongak melihat langit.
Malam sudah larut djauh, langit guram; rtfpanja mau turun hudjan.
Angin, jang mfeniup dari arah gunung, membuat udara djadi dingin sekali.
Daun atau tjabang-tjabang pohon, terdengar berbunji.
Malam itu bukan seperti malam musim panas.
Tiba-tiba murid ini ingat si Tjui.
"Heran, kenapa suhu menjuruh dia pergi?"
Pikirnja.
"Pula, suhu tahu aku tidak suka minum arak, seperti ia sendiri tak suka djuga, mengapa malam ini ia begitu memerlukan menjuguhkan aku arak dan mendesak aku minum banjak? Memang ia berhasil membuat pedangnja, ia mendjadi sangat girang, toh tak seharusnja kegirangan itu dirajakan begini rupa. Aku letih membantu ia, sudah sepantasnja aku didjamu dan disuguhkan minuman, akan tetapi, tak selajaknja aku diperlakukan begini hormat. Laginja, pedang-pun dibuat berhubung dengan kematiannja Kwee Hay Peng. Itulah bukannja hal jang menggirangkan. Oh, sungguh tabiathja suhu berubah banjak sekali!"
Sambil berpikir begitu, Djie Kang djalan mundar-mandir.
Setelah muntah dan tertiup angin, jang bersilir-silir, mabuknja berkurang dengan lekas.
Sebaliknja dari pada letih dan kantuk, ia mendjadi segar.
Maka itu, achirrja ia masuk kedalara kamarnja dan merebahkan diri di atas pembaringan, ia bulak-balik tak dapat tidur pulas.
"Besok tentulah aku akan pulang kebengkel,"
Pikiroja pula.
"Disana, setjara diam-diam, akan aku tjoba membuat pedang mustika setjara buatan suhu ini. Mustahil aku tidak berhasil?"
Keras Djte Kang ingin membuat pedang itu, ia djadi makin tak dapat tidur.
Maka itu dalam keadaan sadar dan segar, ia dapat dengar drluar kamarnja tindakan kaki perlahan.
Mulanja ia bersangsi, ia menjangka suara angin diantara pepohonan, lalu ia mendengarkannja lebih njata.
Didalam hati, ia tertawa dan kata.
"Tentulah telah ludas uangnja Koay Tjui jang dia dapat dari suhu, dia menghamburkannja dirumah hina atau ditempat djudi! Sekarang sesudah rudin dan perutnja kosong, dia pulang setjara diam diam"
Baru sadja orang she Lie ini hendak menegur.
"Oh, Koay Tjui, kau sudah pulang?"
Atau ia membatalkannja.
Diantara tindakan kaki, ia mendengar suara barang keras membentur tembok, suaranja njaring seperti suara besi atau badja.
Ia mendjadi kaget.
Lekas ia berbangkit, untuk memasang telinga, unttuk membentang matanja.
Kali ini terdengar suara tindakan kaki berat dua kali.
Itulah tanda bahwa orang sudah sampai dimuka pintu.
Oleh karena daun pintu tidak dikuntji atau dipulang, dengan satu kali tolak sadja, daunnja dapat dibuka.
Akan tetapi orang diluar itu seperti tidak dapat lantas mentjarinja.
Dengan hati tegang, Djie Kang turun dari pembaringan.
Ia menutup mulut, tetapi tangannja sudah memegang dan mengangkat bangku jang berada disisi pembaringan.
"Dia tentunja pentjuri,"
Terkanja.
"Awas, asal kau masuk dan mentjuri barangku, akan kuhadjar kau!"
Maka ia bersiaga terus. Lewat beberapa saat, suasana tetap sunji. Orang di luar itu tidak menolak pintu, untuk masuk kedalam, ia pun berdiam sadja.
"Heran!"
Pikir pula Djie Kang.
Ia djadi ingin mengintai dari djendela.
Atau mendadak terdengar suara pintu mendjeblak, terus terpentang, sehingga orang di luar itu menjelonong masuk kedalam.
Dia bukannja berdjalan masuk, hanja terhujung, terus sadja sebelah kakinja tertekuk! "Siapa kau?"
Tegur Djie Kang, kaget dan heran.
Lantas ia mengemplang.
Hanja ia tidak djitu sasarannja tidak kena.
Orang itu sudah lantas bangun berdiri, tangannja jang memegang sendjata telah digerakkan, dipakai menjerang.
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari mulutnja d juga lantas terdengar kata-kata ini.
"Djie Kang, tak dapat aku berkasihan pula atas dirimu! ... ."
Batjokan itu mengenakan bangku.
Kembali Djie Kang kaget dan heran.
Ia mengenali Gouw Bok Ya, gurunja.
Ia lantas lompat madju, untuk menubruk, buat mentjoba merampas pedang dari tangan guru itu.
Bok Ya melawan, buat mempertahankan pedangnja.
Ia sampai menggunakan giginja.
Tangan kiri Djie Kang masih sakit, tangan itu tidak dapat berbuat banjak, tetapi dasar ia muda dan kuat, achirnja dapat djuga ia merampas pedang itu, sesudah mana gurunja menjeruduk dengan kepalanja.
Baiknja ia dapat berkelit.
Bok Ya tidak mengenakan sasarannja, tubuhnja menubruk pembaringan, terus djatuh ketanah, sehingga karena sakit, ia mendjerit.
"Aduh!"
Djie Kang melemparkan pedang keluar djendela, terus ia menubruk pula gurunja, untuk dipeluki.
"Suhu! Suhu!"
Katanja keras.
"Suhu, kenapakah aku? Apakah salahku? Kenapa suhu hendak membunuh aku?"
Napas guru itu memburu. Siasia belaka ia meronta- ronta.
"Sebab kau telah tjuri peladjaranku!"
Sahutnja keras.
"Benar, suhu,"
Sahut si murid djudjur.
"ketika suhu membuat pedang, aku memperhatikannja, hanja aku belum mentjobanja, tak tahu aku, aku dapat mewariskan kepandaianmu atau tidak. Tapi akulah muridmu, aku djuga mengurus pendjualan dan keuangan kalau aku pandai membuat alat sendjata, bukankah itu bagus?"
Guru itu gusar, ia menjerang dengan kepalanja.
"Bagus apa?"
Serunja."Kau tahu sendiri, sampai sebegitu djauh aku tjuma mendjual gunting, pisau dan golok atau pedang, tetapi tidak pedang mustika! Kau tahu apa sebabnja itu? Itulah karena aku kuatir, dengan pedang mustikaku itu, orang nanti berbuat djahat dan kedji! Sekarang kau telah tjuri kepandaianku itu, dapatkah itu? Baguskah itu?"
"Tetapi, suhu,"
Kata Djie Kang pula "kalau bukan suhu jang membuatnja dan suhu memakai bantuanku, tidak nanti aku dapat peladjari itu! Suhu pula membuat pedang untuk membunuh orang, baguskah itu?"
Tiba-tiba si buta berteriak keras.
"Aku membuat pedang mustika guna membunuh musuhku!"
Teriaknja.
"Aku membuat pedang mustika ini jang bernama Pek Kong Kiam supaja didalam dunia ini tidak ada lawannja! Dengan ini aku hendak membinasakan keluarga Tjong, tua dan muda! Siapa tahu, kau mentjuri kepandaianku membuat pedang ini! Bagaimana kalau nanti kelak kau membuat pedang mustika, delapan atau sepuluh buah? Bagaimana kalau kau djual itu pada keluarga Tjong? Kalau itu sampai terdjadi, apa gunanja pedangku ini? Dengan begitu, sampai kapankah sakit hati Nie Thay Po dan Kwee Hay Peng dapat dibalasken?"
Djie Kang heran.
Guru itu menjebut djuga Nie Thay-Po.
Tapi, belum lagi ia sempat menanja, tiba-tiba guru itu menangis seraja membanting-banting kaki, lagaknja mirip botjah tjilik jang di-mandja2kan.
Teranglah bahwa dia sangat menjesal dan penasaran, tetapi tidak berdaja.
Ketika si murid berdiam, Bok Ya berkata pula .
"Djie Kang, kau sebenarnja muridku jang baik, tidak selajaknja aku membentji kau hingga hendak aku membunuhmu, akan tetapi, buat urusan menuntut balas untuk Nie Thay- Po dan Hai Peng sahabatku itu, terpaksa aku mentjoba membunuhmu! Kau mesti mati terlebih dulu !"
Murid itu menghela napas.
"Sabar, suhu", katanja kemudian.
"Aku sebatang kara, buatku mati ja mati, tidak ada jang diberati, akan tetapi aku minta suhu memberi pendjelasan dahulu kepadaku. Kapan Nie Thay-Po dan Kwee Hay Peng bermusuh dengan keluarga Tjong itu? Ada sangkut paut apakah urusan itu dengan suhu sendiri ? Kalau suhu sudah memberi keterangan dan aku anggap suhu mempunjai alasan kuat, rela aku mati, nanti aku serahkan pedang itu kepada suhu, buat suhu membunuhku, tidak nanti aku melawan atau berkelit "
Berkata begitu, murid ini memondong gurunja, buat didudukkan di-atas pembaringan.
Ia terus memasang lilin, hingga, walaupun api berkelak-kelik, ia bisa melihat segala apa sadja.
Guru itu luka kepalanja, darah bertjutjuran kemuka dan badjunja.
Itulah akibat djatuhnja menubruk pembaringan dan ketanah.
Guru itu djuga bernapas senggal-senggal, dan ketika tjapai luar biasa itu, air matanja pun bertjutjuran.
Rupanja dia bersedih sekali karena tidak berdaja dan maksudnja membinasakan si- murid tidak kesampaian.
Ketika itu turun hudjan dan arigin meniup keras, maka Djie Kang lekas-lekas menutup pintu.
Tiba-tiba guntur berbunji, lalu hudjan turun dengan deras.
Bok Ya menangis, air matanja turun bertjampuran dengan darah.
Di-antara suara guntur, terdengar tangisannja sajup-sajup.
Mengawasi wadjah gurunja, hati Djie Kang berdebaran.
Ia mendekatinja.
"Bitjaralah, suhu,"
Ia minta "Sukalah suhu memberi pendjelasan padaku."
Bok Ya habis daja, ia tidak dapat menolak lagi.
Maka bertjeriteralah ia .
Pada tigapuluh tahnn jang lalu tahun keradjaan Kaisar Yong Tjeng di Tjeng Hay telah terdjadi huru-hara jang dikepalai oleh suku-bangsa jang bernama Lopok tsang Tantsin.
Dia menjerang kota Ninghsia.
Untuk menindasnja, Yong Tjeng mengirim Djendral Nie Keng Giauw.
Panglima perang ini dari suku Han jang termasuk dalam pasukan Bendera Kuning, alias Siang Hong, dan asalnja lulusan tjinsu djaman Kaisar Kong Hie.
Dia pernah berperang di Thibet hingga dia pernah diangkat ranndjadi gubernur militer kedua propinsi Sutjoan dan Siamsay.
Dia gagah, pandai dan bidjaksana, luas pergaulannja diantara orang- orang gagah.
Demikian menghamba atau bersahabat dengannja ada tiga orang jang luar biasa.
Jang pertama jaitu Kie Hay Auw, lulusan siutjay jang pandai membuai surat dan sjair dan menguasai ilmu pedang serta ilmu perang.
Jang ke-dua jaitu ahli pedang Kim Bun San, Kim Tjie Tay-peng Sim Kiu, Garuda Emas, jang pun terkenal sebagai tay-hiap, pendekar.
Ia pandai silat, tjuma tabiatnja keras, maka ia diberi djulukan Hay Peng, si Garuda Laut.
Jang ke-tiga jaitu orang asal Lim-tjoan, Kangsay, pandai besi jang mendjadi ahli pembuat pedang, namanja Gouw Hay Kauw.
Setelah berhasil mengamankan Tjeng Hay, Nie Keng Giauw diangkat mendjadi hertog dan Thay-Po, hingga kedudukannja mendjadi tinggi dan agung sekali.
Tapi djasanja itu didapatkan terutama karena ia mengandal pada, tiga sahabat jang mendjadi pembantu atau bawahannja itu.
Hay Peng jang liehay mengepalai pasukan perangnja.
Sim Kiu jang setia melindunginja.
Dan Gouw Hay Kauw pernah membuatkan sebatang pedang mustika jang dapat menabas putus besi atau kumala.
Maka itu meskipun ia memegang keras tata tertib tentaranja namun terhadap tiga bawahan itu ia suka menjesuaikan hidupnja seperti biasa, 3 orang itu bebas-merdeka, bahkan mereka berempat mirip ajah dengan anak-anaknia.
Maka dari itu mereka berlaku setia untuk berkawan demi kepentingan atasannja itu.
Sesudah ia menandjak tinggi dengan kedudukannja jang maha agung itu, Nie Keng Giauw pun mendatangkan kedjelusan dan sirik hatinja beberapa menteri lain, hingga ia dimusuhi oleh banjak orang.
Diantaranja ialah menteri atau tay-haksu she Tjong itu, jang asalnja kelahiran Hoa Im.
Dia beisekongkol dengan beberapa menteri lainnja untuk mentjari kesalahan Keng Giauw, lantas dengan memperbesar itu, mereka mengadjukan pengaduan kepada Kaisar Yong T jeng jang menjebabkan sampai djenderal itu ditangkap dan dimasukkan kedalam pendjara, untuk achirnja dibuang kekota Hangtjiu dimana ia didjadikan serdadu pendjaga pintu kota.
Tjortg Haksu masih belum puas.
Ia mentjari lain alasan lagi.
Kembali Keng Giauw didakwa.
Kali ini, dia dipaksa bunuh diri, jang diterimanja di dalam pendjara dalam bentuk seutas sutera, sedangkan rumah tangganja digeledah dan disita.
Karena ini para bun-kek, tetamu2 jang tinggal menumpang padanja, semuanja bujar untuk manjingkirkan diri.
Diantaranja mereka adalah tiga orang she Kie, Sim dan Gouw itu jang bersakit hati, lalu mereka bersatu, bersumpah untuk membalas sakit hatinja djenderal itu.
Kie Hay Auw masih mempunjai ajah jang sudah landjut usianja, ia menunda dahulu sampai nanti ajahnja menutup mata, maka selama menun gu sisa hidup usia ajahnja, ia bekeidja sebagai pendjaga kuburannja Nie Tay Po.
Dengan begitu, ia djadi tinggal dikota radja, dekat tembok kota.
Gouw Hay Kauw telah pergi ke Hoa Im.
Disini ia menukar nama mendjadi Bok Ya.
Ia mendjadi seorang pandai besi, untuk menjembunjikan diri.
Kemudian Tjong Haksu meletakkan djabatan, dia pulang kekampung halamannja dikota Hoa Im itu.
Dia mempunjai rumah besar jg terdjaga kuat! Belakangan Sim Kiu menjusul ke Hoa Im.
Ia memakai she dan nama Kwee Hay Peng.
Sekian lama, belum dapat ia turun tangan, karena pendjagaan Tjong Haksu kuat sekali.
Ia pandai silat tetapi tak paham ilmu ringan tubuh, hingga tak bisa ia lompat naik-turun diatas genting dan lari keras seumpama terbang.
Pada mulanja, ia hidup dari bantuannja Hay Kauw, atau Gouw Bok Ya, baru belakangan, ia ditundjang Kie Hay Auw.
Kie Hay Auw hidup senang.
Selain ajahnja, ia mempunjai isteri dan anak.
Ia tinggal di Sam Lie Tiam, diluar kota Pakkhia.
Satu kali ia dikundjungi Sim Kiu.
Ia kata pada sahabatnja ini, bahwa ia masih belum bisa turun tangan.
Lalu Sim Kiu kata, bahwa dia memikirkan meminta bantuan sahabatnja, akan tetapi dia tidak punja uang untuk beaja perdjalanan.
Atas pemberitahuan itu, Hay Auw memberikan uang sedjumlah seratus tail.
Begitulah dia merantau.
Dengan enampuluh tail perak dia membeli seekor kuda, dan dengan sepuluh tail perak, dia membeli sebatang golok.
Tiba di Shoasay, uangnja habis, tapi sementara itu, dia telah bersahabat dengan Giok-Tjie Han Hui si Tikus Kumala, dan Hek-Him Yo Kie si Beruang Hitam, dua orang Liok Lim atau Rimba Hidjau.
Dia masih merantau terus, hidupnja tidak ketentuan, tetapi sekarang dia dapat merobah kelakuannja.
Disamping dia bentji pembesar lalim, dia menghormati orang-orang tua dan lemah kalau dia memperoleh uang, dia tidak menghamburkannja, dia simpan itu.
Sambil merantau, dia mentjari sahabat jang gagah, pandai lompat tinggi dan lari keras.
Selang satu tahun kemudian, dia berhasil dengan usahanja mentjari sahabat sematjam itu.
Sahabat itu she Ong, namanja Kong Pek, tinggalnja diketjamatan Hoo-tjin.
Ia mendapat djulukan "In Tiong Hiap,"
Jang berarti "Djago didalara awan."
Hatinja tertarik mendengar tjeritera Sim Kiu, mengenai soal Nie Keng Giauw jang difitnah, dan usaha sahabat baru jang hendak membalas sakit hatinja si djenderal.
Ia menjatakan suka membantu, hanja tidak dengan segera, karena isterinja tengah hamil dan ia harus menanti dahulu sampai isteri itu melahirkan untuk melihat anaknja laki2 atau perempuan.
Maka ia berdjandji, sesudah setengah tahun, ia akan berkundjung ke Hoa Im tempat tinggal sahabat ini.
Setelah mendapat djandji Kong Hiap, Sim Kiu memetjah perseroan dengan Han Hui dan Yo Kie dengan membawa uang, ia pulang ke Hoa Im dimana ia membeli sawah dan kebun dan membangun rumah, lalu menikah, sehingga ia memperoleh anak.
Karena tempat itu bernama Kwee Kee Tun, maka ia merobah she dan namanja mendjadi Kwee Hay Peng, Nama Hay Peng ini sebenarnja nama jang Nie Keng Giauw berikan padanja.
Karena ia mengaku mendjadi anak jang nomor empat, iapun menjebut dirinja Su-ya.
Nomor empat itu ia ambil dari pokok-dasar, bahwa mereka, jang berniat menuntut balas"
Berdjumlah empat orang, jaitu Kie Hay Auw, Gouw Bok Ya, Ong Kong Pek dan ia sendiri.
Karena ia menjebut dirinja Su-ya, Djie Kang memanggilnja su-siok, paman ke-empat.
Ia bertindak sebagai dermawan, sehingga ia djadi terkenal.
Keras niatnja Sim Kiu untuk menuntut balas apamau, niat itu belum djuga dapat diwudjudkan.
Ada sadja halangannja.
Kie Hay Auw berada djauh di Pakkhia.
Lalu matanja Bok Ya mendadak buta.
Sahabat ini tiap2 kali memberi nasehat kepadanja untuk bersabar dan ber-hati2.
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ong Kong Pek seperti djuga melupakan djandji, bukan sadja setengah tahun, bahkan sampai satu, dua dan tiga tahun, tak djuga dia muntjul, dan waktu ditjari keterangan, tak diketahui dia berada dimana.
Djuga Tjong Haksu tahu diri.
Dia tahu, dengan membunuh Nie Keng Giauw, dia banjak musuhnja, maka dia selalu mengeram diri didalam rumahnja.
Untuk kesenangannja, dia membuat kolam, memelihara ikan, dan membangun taman, menanam bunga.
Diapun melarang budjang2 pria bertemu langsung dengannja.
Dia beruntung.
Anak2nja, jang pertama dan kedua, telah memangku pangkat; melainkan jang ke-tiga, si Sam- siauwya, jang berdiam dirumah.
Anak bungsu itu tidak atau belum memikir buat naik ditangga kepangkatan.
Sebaliknja, ia gemar beladjar silat, ia mengundang guru, ia djuga menjiapkan tukang2 njanji dan memelihara banjak gundal, sedangkan kegemarannja akan paras elok membuatnja dojan pelesiran, sampai ia berani mengganggu anak-isteri orang.
Dengan mengandalkan pada pengaruh ajahnja, ia berbuat sewenang-wenang, ia berani main paksa.
Dalam hal ini ia dibantu Tjie Tjit dan Biauw Hiong Tjay.
Sampai sebegitu djauh, tidak ada orang jg.
berani menentangnja.
Sang waktu lewat terus.
Sudah Gouw Bok Ya buta, Hay Pengpun berpenjakitan, hingga tenaganja habis, tinggal njalinja sadja jang besar.
Dan Kie Hay Auw dan Ong Kong Pek, mereka seperti terlupakan.
Tjie Tjit menambah sewenang-wenangnja sam-siauwya, akan tetapi, meski ia galak, ia djeri pada Kwee Hay Peng.
Sebabnja ia kenal siapa hartawan itu.
Ia tahu itu, karena ia asal orang bawahannja Han Hui dan Yo Kie, dua djago Rimba Hidjau dari Shoasay itu.
Ia meninggalkan kedua djago itu karena mereka itu ditawan pembesar negeri dan telah didjatuhkan hukuman mati.
Ia lolos, ia kabur ke Hoa Im ini dimana ia menghamba pada samsiauwya, sambil menjembunjikan diri.
Ia tahu siapa Hay Peng, tetapi ia tidak berani membuka rahasia terpaksa ia mengalah, tak peduli ia diperhina djago tua itu.
Ia bahkan memesan orang2nja keluarga Tjong untuk djangan melajani Hay Peng.
Latjur bagi Sim Kiu, hari itu dia tidak dapat bersabar lagi, maka dia pergi menjerbu keluarga Tjong.
Tjie Tjit malu hati terhaaapnja, tidak demikian Biauw Hiong Tjay.
maka dia kena dibinasakan.
Setelah berusia landjut dan berpenjakitan, dia tak segagah dahulu lagi.
Kebinasaan sahabat itu membuat hatinja Bok Ya panas sekali, tetapi karena ia buta, tua dan tidak bertenaga lagi, ia tjuma bisa mengambil keputusan membuat pedang mustikanja itu, jang ia beri nama Pek Kong Kiam, artinja pedang "Tjahaja Putih."
Tak dapat ia bekerdja sendiri, perlu ia bantuan muridnja, maka mau tidak mau, dengan sendirinja, rahasia kepandaiannja itu diketahui Djie Kang.
Inilah jang ia tidak inginkan.
Sajang atau tidak, hendak ia menjingkirkan si murid.
Maka ia menjesal sekali, karena matanja buta dan tenaganja habis, tidak dapat ia membunuh muridnja itu.
Demikian, dalam sedihnja, ja menuturkan segala apa.
"Djie Kang, muridku jang baik"
Kata ia achirnja.
"Sekarang kau ketahui segala apa, bukan? Sebenarnja tak tega aku membunuh kau, pertjobaanku tadi karena terpaksa, karena pikiranku panas dan pepat. Sekarang, kaupun tak usah memikirkan untuk membunuh diri. Aku tahu kau djudjur dan dapat dipertjaja, maka sekarang aku mau minta bantuanmu. Kau masjh muda, tidak buta seperti aku, kau dapat berbuat banjak. Aku mau minta kau mewakilkan aku melaksanakan tjita2ku"
Djie Kang mengurjurkan air mata. Ia terharu sekali. Tak gusar ia pada gurunja. Ia mengerti guru itu bersimpati terhadapnja. la lantas kata.
"Suhu, meski aku ketahui rahasia pembuatan pedang mustika ini, aku suka berdjandji tidak akan membuatnja. Bersedia aku dikutuk, kalau aku membuat sendjata jang bisa mentjelakai orang banjak terutama orang baiki!"
"Sudah, djangan bersumpah!"
Guru itu mentjegah. Ia menghela napas, lalu ia menambahkan.
"Didalam almariku itu, aku menjimpan uang tiga ribu lima ratus tudjuhpuluh tahil. Dengan perantaraan Hay Peng, aku membuatnja mendjadikan uang simpanan pada bank Eng Tay Hoat, supaja mudah untuk dibawa-bawa. Di Pengyang, di Thaygoan, dikotaradja, atau dimana bank itu berdiri, kau dapat menguangkannja. Uang itu telah aku simpan di dalam sebuah teromol ketjil. Aku sudah pikir, setelah membinasakan kau, hendak aku berlalu dari sini dengan membawa uang dan pedang mustika itu, guna pergi ke Kwee Kee Tun, buat menemui anaknja Hay Peng, untuk menjuruh dia atau lain orang, jang dapat dipertjaja, pergi ke Sam Lie Tiam di Pakkhia, guna menjerahkan uang dan pedang itu kepada Kie Hay Auw, supaja Hay Auw merantau mentjari orang gagah jang dapat membunuh si haksoe djahat bersama puteranja dan djahanam she Biauw itu, guna membalaskan sakit hatinja Nie Thay-Po serta Hay Peng. Maka sekarang, hajolah kau bersumpah, lalu kau mewakili aku mewudjudkan niatku itu. Kau bersumpahlah!"
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung