Ceritasilat Novel Online

Durhaka 2


Durhaka Karya Boe Beng Tjoe Bagian 2



Durhaka Karya dari Boe Beng Tjoe

   

   Lie Djie Kang menerima baik tugas itu, tanpa bersangsi, ia bersumpah. Katanja.

   "Baik, suhu! Djikalau aku alpa, biarlah aku mati ditjintjang, atau dilain pendjelmaan, akan aku menitis mendjadi kerbau atau kuda!"

   "Bagus "

   Berseru siguru.

   "Nah, kau simpanlah baik-baik pedang Pek Kong Kiam itu. Sekarang tengah malam, hudjan dan anginpun besar, tak usah kau pergi sekarang ke Kwee Kee Tun, boleh kau tunda sampai besok. Ja, setelah aku menjerahkan uangku padamu, tak usah kau kesusu! Kau dapat menunda umpama kata sampai satu atau dua tahun."

   "Ja, suhu,"

   Kata Djie Kang, jang men^pas air matanja.

   "Sekarang kau tidurlah,"

   Kata Bok Ya kemudian.

   "Urusan telah aku serahkan padamu, mulai hari ini, urusan itu telah mendjadi urusanmu, aku tidak tjampur lagi, hatiku lega"

   Djie Kang pergi kedapur, buat mengambil pajung, kemudian ia pimpin gurunia masuk kekamarnja sendiri.

   Hudjan masih turun sangat derasnja dan halilintar berkeredepan dan guntur menggelugur tak hentinja.

   Benar2 hati Bok Ya lega.

   Ta naik keatas pembaringann ja, setelah meloloskan sepatunja; ia merebahkan diri untuk tidur.

   Djie Kang membawa teromol uang, habis menutup pintu kamar gurunja.

   ia pergi mentjari dan memungut pedang Pek Kong Kiam, baru ia masuk kekamarnja.

   Lebih dahulu ia menguntji pintu, jang ia gandjal dengan bangkunja jang rusak bekas tertabas pedang mustika tadi, kemudian ia membesarkan api lilin, untuk memeriksa pedang itu.

   "Sungguh pedang jang bagus!"

   Katanja didalam hati, sampai ia tak ingin melepaskan sendjata itu ia sangat tertarik dan kagum serta menjajanginja.

   Kemudian ia membuka teromol uang.

   Ia mendapatkan djumlah jang disebutkan gurunja.

   Ketjuali uang kontan tiga bungkus, jang selebihnja berupa tjek dari bank Eng Tay.

   Ia menghela napas.

   Ia mengagumi gurunja.

   Pantas guru itu kikir, kiranja dia menjiksa diri, supaja dapat mengumpulkan uang dari hasil keringat-dakinja.

   Oleh karena ini, ia pikir, taruhkata ia tidak bersumpah kepada gurunja itu, mesti ia wudjudkan djandjinja.

   Lama Djie Kang berpikir, baru ia mendusin.

   Hudjan sudah berhenti, angin telah tidak bertiup lagi, maka pagi itu tjuatjanja tjerah.

   Ketika itu Bok Ya masih belum bangun, sebagaimana dia tak nampak diluar seperti biasanja.

   Waktu Djie Kang sedang membersihkan pekarangan dalam, jang tergenang air, ia mendengar pintu diketuk ketika ia membukai, itu Koay Tjui jang pulang, punggungnja menggendol empat rentjeng uang.

   Dengan air muka berseri, dia kata.

   "Kau lihat! Inilah kemenanganku satu malam! Sebentar malam hendak aku mengundang tetamu, karena itu, djangan kau pergi kebengkel dulu! Sekarang aku mau pergi memotong daging!"

   Djie Kang mengiakan.

   Ia memang tidak inau kebengkel.

   Habis bersantap pagi, ia ingin segera ke Kwee Kee Tun, akan melihat anaknia Hay Peng.

   Kalau botjah itu dapat bekerdja, dia bakal serahkan uang dan pedang untuk pergi kekotaradja ment jari Kie Hay Auw; kalau tidak, apa boleh buat, ia hendak pergi sendiri.

   Tak ingin ia menggagalkan pesan gurunja.

   "Kau lekas matangi nasi!"

   Ia menjuruh.

   Selama menantikan Koay Tjui masak nasi, Djie Kang pergi kekamar gurunja Guru itu masih belum d juga bangun tidur.

   Ketika dia dipanggil-panggil dan pintu kamarnja diketuk, dia diam sadja.

   Pintu ditolak, tetapi tak dapat karena dikuntji dari dalam.

   "Suhu! Suhu!"

   Djie Kang memanggil pula. Kalau tadi ia bitjara perlahan, sekarang keras-keras sekali.

   "Suhu sudah bangun atau belum?"

   Perian jaan dan ketukan pada pintu, tetap tidak membawa hasil.

   Dari heean, simurid mendjadi tjuriga.

   Ia lantas mengintai disela pintu.

   Ketika ia sudah melihat, ia kaget bukan main, sampai ia mendjerit.

   Tanpa sangsi pula, ia menendang pintu, untuk mendobraknja, hingga daun pintu terbuka menggabruk.

   Ia nerobos kedalam, guna menolongi gurunja.

   Gouw Loosu telah menggantung diri, Ia memantek paku besar ditembok jang tinggi, disitu ia mengikat udjung dadung, untuk udjung jang lainnja dipakai mendjirat lehernja sendiri; guna membikin tubuhnja tergantung.

   Sebuah kursi, jang ia pakai sebagai indjakan, ia tendang terguling.

   Ia tergantung dengan lidahnja terulur keluai, lidah itu mengeluarkan darah.

   Ketika itu, tubuhnja sudah kaku dan dingin.

   Sebab sudah lama ia mati.

   Djie Kang menangis, men-djerit2 dan sesambatan, sampai suaranja hampir habis, hingga hampir ia pingsan.

   Koay Tjui kaget mendengar teriakan dan tangisannja itu, dia lari menghampiri.

   Dia pun kaget, hingga dia mendjerit tertahan.

   Lantas dia lari keluar, untuk berteriak-teriak minta tolong, hingga ada sedjumlah tetangganja, prija dan wanita, jang datang sambil ber-lari2.

   Semua tetangga itu kaget dan heran.

   Aneh sibuta bisa memantek paku demikian besar dan tinggi.

   Diantaranja, ada djuga jang heran melihat almari besi dan demikian banjak perabot pandai besi berikut dapurnja.

   "Sudah, sudah, djangan menangis,"

   Begitu ada jang membudjuk Djie Kang. Ada juga jang berpikir .

   "Ada kebaikan nja apa guru ini terhadap muridnja maka muridnja menangis begini sedih? Dia tua dan buta, dia memang selajaknja mati"

   Orang ini tidak tahu bahwa kematian si pandai besi ada lakonnja jang pandjang.

   Achir2nja Djie Kang berhenti menangis, Ia menjusut kering air matanja.

   Lalu, dibantu Koay Tjui dan beberapa tetangga, ia menuiunkan majat gurunja, untuk terus dirawat.

   Ia perintah Koay Tjui pergi kebengkel, memanggil Loo Sit dan tiga murid lainnja, buat membantu ia.

   Ia mengurus djenazah Bok Ya dengan baik, disembajangi sambil mengundang pendeta djuga.

   Pada mengubur, ia membuat kuburan jang rapi, dikubur djadi pasangan dengan marhuin isterinja.

   Ia menjuruh orang membuat batu nisan dengan ukiran.

   Selesai penguburan, Djie Kang mengatur warisan gurunja.

   Koay Tjui tidak punja pekerdjaan, dia diberhentikan dengan diberi uang.

   Rumah itu tidak ada jang berani beli atau sewa, maka pintunja lantas ditutup dan dikuntji.

   Sawah dan kebunnja sipandai besi lantas disewakan.

   Ia pulang ke bengkel, jang selandjutnja diserahkan pada Loo Sit, untuk diurus sebagaimana lajaknja.

   Tapi ia tidak lama berdiam dibengkel, dengan sesuatu alasan, ia mminggalkannja.

   Sebenarnja ia pergi ke Kwee Kee Tun sambil membawa pedang dan uangnja.

   Pedang itu ia bikinkan sarung dari besi, sedang teromolnja, ia buatkan kuntjinja.

   Ketika itu sudah selesai penguburan djenazah Kwee Hay Peng, maka Djie Kang hanja bertemu dengan puteranja.

   Putera Hay Peng bernama Kie Kho, ia kurus dan berpenjakitan, dengan meninggalnja ajahnja, ia djadi semakin lemah, maka itu, Djie Kang tidak dapat mengandalkan padanja.

   Dari budjang2nja, tiga orang, djuga tidak ada jang dapat dipilih untuk diberi tugas berat itu.

   Budak pertama tua, usianja sudah enam puluh lebih.

   Jang kedua, kakinja pintjang, orangnja rada tolol.

   Jang ketiga jalah seorang botjah umur lima belas tahun, pula dia anak desa jang tolol.

   Maka itu, ia mesti pergi sendiri ke kota radja.

   Karena ini, kepada Kie Kho ia tidak tuturkan hal pesan Bok Ya.

   Pada Njonja Kwee, jang ia ketemukan, ia kala.

   "Aku datang kemari untuk pamitan. Suhu sudah meninggal dunia, tak ingin aku berusaha lebih lama Jagi ditempat ini."

   "Djadi kau ingin berusaha dilain tempat?"

   Kata si njonja.

   "Kemana kau berniat pergi? Apakah tjukup uangmu ?"

   Djie Kang bersangsi sebentar, baru ia mendjawab .

   "Aku pikir pergi kekota radja. Tentang uang, suhu meninggalkan tjukup buat beajaku."

   Ia bersedih, hampir ia mengutjur air mata.

   Selama itu, Nona Kwee hadir bersama dengan mata jang tjeli, ia mengawasi si orang she Lie.

   Karena tidak ada jang dibitjarakan lagi Djie Kang memberi hormat, terus ia mengundurkan diri.

   Ia berdjalan dengan perlahan.

   Ketika ia sampai dipekarangan, lagi mendekati pintu, mendadak ia mendengar panggilan ber- ulang2

   "Orang she Lie ! Orang she Lie !"

   Ia lantas menoleh, Ia mengenali Nona Kwee.

   "Ada apa, nona?"

   Tanjanja. Ia berhenti dan menantikan.

   "Kau mau pergi kekota radja, bukan ?"

   Kata nona itu.

   "Aku minta kau melakukan sesuatu. Sesampainja disana, kau pergi ke Sam Lie Tiam dimana kau tjari May Auw, kau suruh dia lekas membalaskan sakit hatinja Nie TayPo serta sakit hati ajahku !"

   Djie Kang terkedjut, mukanjapun putjat. Ia lantas menggojang-gojang tangannja.

   "0, o, nona !"

   Katanja.

   "Urusan apakah itu ? Tapi ....

   "

   Sinona memotong, suaranja dalam .

   "Lain orang tidak tahu apa-apa, tetapi aku mengetahui semuanja ! Selama Hay Loosu datang kepada ajahku dan main tjatur, tiap-tiap kali mereka berbitjara dengan suara perlahan, mereka selalu menjingkir dari orang lain tetapi tidak dari aku. Mereka senantiasa bitjara hendak membunuh situa bangka she Tjong itu, katanja guna membalaskan sakit hatinja Nie Tay Po ! Jang mendjemukan jalah Kie Hay Auw dan In Tiong Hiap berdua, mereka itu tidak djuga datang sehingga balas sakit hati tak dapat dilakukan! Sudah begitu, malang ajahku dan Hay Loosu, keduanja telah membuang djiwanja setjara ketjewa ?"

   Air mata sitona lantas mengutjur turun. Ia terisak sebentar, lantas ia membanting kaki.

   "Kau mesti mentjari Kie Hay Auw!"

   Katanja.

   "Sabar, nona,"

   Kata Diie Kang, la mentjekal tangan orang, la bitjara dengan perlahan.

   "Aku... aku pergi ke Pakkhia d juga buat..."

   La melihat kiri dan kanan. Segera ia menambakan.

   "Aku pergi ke Pakkhia sekalian buat memenuhi pesan guruku, buat meminta bantuannja Kie Hay Auw..."

   Nona itu mengangguk. Sekarang ia bitjara perlahan.

   
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mengundang Kie Hay Auw sadja belum tjukup,"

   Katanja.

   "Kau mesti terus pergi keketjamatan Hoo-tjin buat mentjari keterangan perihal In Tiong Hiap. Dia liehay melebihi orang lain, dia pandai lompat tinggi dan lari di atas genting."

   "Baik, baik akan kutjari dia,"

   Kata Djie Kang.

   "Aku akan lekas pergi dan lekas pulang, mungkin di-dalam bulan ke- delapan, mereka akan sudah datang ke mari... Hanja, nona, inilah berbahaja, kalau keluarga Tjong mendapat tahu kepergianku ini. ."

   "Djangan takut!"

   Kata sinona. Dia menjusut matanja seraja menggeleng kepala.

   "Sekalipun ibu dan kakakku, aku tidak memberitahukan "

   Djie Kang mengawasi nona itu, jang mengenakan pakaian berkabung.

   la kagum sekail.

   Rambut hitam nona itu didjalin mendjadi kuntjir, jang diikat dengan sepotong tjita putih, dia berwadjah tjerdik dan bitjaranja rapi, tak mirip dengan nona umur dua belas tahun.

   Senang ia melihatnja, hingga ia pikir alangkah baiknja kalau nona itu turut ia ke Pakkhiaj sajang dialah seorang wanita kalau dia laki-laki, dia dapat membantunja.

   Sebagai nona, ibunja djuga tentu takkan melepaskan dia pergi jauh.

   "Nona,"

   Katanja "kau berdiam dirunah, nantikan aku. Apakah namamu? Nama kakakmu aku sudah tahu, jaitu Kie Kho. Perlu aku ketahui namamu supaja aku bisa mendjawab andaikata Kie Hay Auw menanjakannja."

   "Nama ketjilku Siauw Heng,"

   Sahut nora itu.

   "Ajahku be^um sempat memberi nama jang benar "

   Djie Kang mengangguk.

   "Nah, nona, aku berangkat sekarang !"

   Kata ia, jang terus memleri hormat, lalu memutar tubuh, buat terus berdjalan keluar.

   Ia berduka sekali, pikirannja sepat.

   Itu waktu, bunga lilac sudah pada rontok, hawa udara mengkedus, awan mendung.

   Karena keramaian di Hoa San telah berachir, djalanan mendjadi sepi.

   Djie Kang menudju ke Lam-Kwan.

   Belum ia sampai dibengkelnja, mendadak ia mendengar suara kuda dilarikan keras dibelakangnja.

   Lekas-lekas ia minggir.

   Hampir ia kena diterdjang.

   Ketika ia berpaling, ia melihat enam atau tudjuh penunggang kuda, pelananja semua baru, penunggangnja beroman galak, sebagaimana lagaknja pun galak.

   Mungkin mereka itu pikir, mereka menubruk orang sampai mati djuga tidak ada perkaranja.

   Salah seorarg penunggang kuda itu mengenakan tudung rumput jang basar istimewa dan anjamannja halus.

   Dialah Samsiauw-ya, dari keluarga Tjong, karena ia ditakuti, dia didjuluki Sam Thay-swee, si Datuk.

   Jang satunja lagi ialah ipamja, Touw Bung Keng.

   Jang djalan paling belakang jakni Ok-Bong Biauw Hiong Tjay, si pahlawan kosen, jang usianja lebih kurang tigapuluh tahun, mukanja merah dan bengis sekali, sedangkan pakaiannja mentereng seperti pakaian madjikannja.

   Rupanja rombongan ini habis pulang memburu.

   Djie Kang bentji berbareng djeri.

   Tak mau ia mengawasi mereka itu.

   Ketika ia tiba dibengkel, Loo Sit lagi duduk di kursi jarg diduduki guru mereka, badju dan tjelananja baru, dengan kipas besar ditangan, dia mirip sipemilik bengkel, la tidak menggubris kawan itu.

   Sekarang ia tidak memikirkan pula urusan bengkel.

   Ia rnasuk kedalam untuk berbenah.

   Maka besok paginja, dengan menjamar sebagai seorang pedagang keijil, ia mulai dengan perdjalanannja menudju ke-kota ladja.

   Buntalannja dipikul dengan sebatang tongkat kaju loh, jang ia pengang pada sebelah udjungnja.

   Teromol uangnja dibungkus rapi, demikian djuga pedang Pek Kong Kiam.

   Ia memakai sepasang sepatu rumput, la berlaku waspada.

   Selagi djalan, ia selalu ikut rombongan.

   Tak sudi ia banjak omong dengan siapa djuga.

   Pada waktu singgah, selamanja ia singgah sebelum magrib.

   Ia tidak mau tidur bergumulan dengan banjak orang, ia lebih suka mengorbankan uang, untuk menjewa kamar untuk satu orang, jang ia galang dengan kursi.

   Dalam tempo dua hari, tibalah Djie Kang di Tong Kwan.

   Disitu, disungai Hong Hoo, ada penjeberangan Hong Leng.

   Untuk pergi ke Hootjin, buat mentjari In Tiong Hiap, perlu orang menjeberang disitu,penjeberangart guna pergi ke propinsi Shoasay.

   Tapi ia menudju langsung ke Pakkhia.

   Ia belum tahu siapa sebenarnja In Tione Hiap, ia menjangsikan orang suka membantu atau bekerdja sungguh-sungguh.

   Ia anggap paling benar ia mentjari Kie Hay Auw dulu.

   Ia pertjaja Hay Auw itu laki-laki sedjati, pasti tidak gagal kalau uang dan pedang di serahkan padanja.

   Maka menudjulah ia terus ketimur.

   Inilah perdjalanan pertama dari Djie Kang, ia belum berpengalaman.

   Pada achir bulan keempat, tjuatja biasa terang dan mendung bergantian.

   Diwaktu mendung, hudjan besar bisa turun setjara tiba-tiba.

   Untuk Hoolam Barat, jang tinggi dan tanahnja kuning, pada waktu kering, debu tebal tiga kaki bisa dimengerti, kalau pada waktu hudjan, djalan besar berlumpur sepandjang beberapa ratus lie.

   Dari iiu, Djie Kang mesti menderita.

   Ia tidak membekal sepatu, kalau sepatu nja rusak, mesti ia membeli gantinja.

   Pakaiannja pun mendjadi dekil bekas keringat dan air hudjan, bekas kena debu dan terdjemur panas matahari.

   Sengadja ia berlaku pelit, badjunja petjah sedikit, ia biarkan sadja.

   Djarang sekali ia membuka buntalannja, jang sewaktu tidur ia pakai sebagai bantal.

   Karena kantung jang mendjadi bungkusan teromol petjah sedikit, udjung teromol mendjadi tampak diantara petjahan itu.

   Kalau ia tengah memikul, pikulannja,djuga berat sebelah.

   Pada suatu sore Djie Keng tiba di Sian tjiu.

   Paginja, selagi ia bebenah, ia mendengar suara seorang berkata- kata keras dipekarangan dalam.

   "Ada orang jang mau pergi ke Shoasay atau tidak? Ada jang mau menjeberang sungai atau tidak? Siapa jang mau pergi ke Titlee, dia djuga mesti menjeberang d sini ! Kalau ada, mari kita berangkat bersama-sama, supaja kita bisa irit beaja sewa perahu dan ongkos bermalam !"

   Mendengar itu, Djie Kang merasa tjot jok, akan tetapi ia tidak lantas menjahut, hanja ketika djongos masuk kekamarnja, ia tanja.

   "Untuk pergi ke Pakkhia, apa benar orang mesti menjeberang sungai HongHoo disini?"

   Djongos itu mengangguk.

   "Apakah tuan belum tahu djalan disini ?"

   Tanjanja.

   "Djangan kata untuk pergi kekota radja, ke Thaygoan djuga mesti menjeberang disini. Orang mesti menjeberang kepelabuan Mauw Tjin, lalu menudju ke Utara. Kalau tidak, orang itu akan djalan lebih djaih dan lebih lama serta djalanannja djuga kurang aman. Siapa menudju lempang ketimur, bila dia tidak pergi ke Lokyang tentu ke Kayhong."

   "Tadi orang itu berteriakan sadja, dia mau apa?"

   Djis Kang tanja. Ia pertjepat berkemasnja.

   "Mereka itu dua orang pedagang, karena ssdikitnja orang-orang pergi ke Pakkhia, mereka mau mentjari kawan. Begitulah biasanja orang jang berlaku hati-hati dalam perdjalanan,"

   Sahut sidjongos.

   "Dapatkah aku berdjalan bersama-sama mereka itu?"

   Tanja Djie Kang.

   "Dapat, tuan. Itulah baik sekali,"

   Kata pelajan itu.

   Djie Kang melongok keluar.

   Ia melihat seorang saudagar jang masih muda lagi berbitjara dengan seorang pedagaDg jang kerdjanja berat, sebab dia membawa segerobak semangka, jang mau dibawa ke Peng yang.

   Sambil menggojang2 tangan, si saudagar muda kata.

   "Tak dapat kami berdjalan bersama kau. Setelah menjeberang, mungkin kita naik kereta atau djalan kaki. Kau mendorong kereta semangka, mana bisa kau djalan bersama kami?"

   Pedagang semangka itu ngelojor pergi sambil mendumal.

   "Memang aku membawa semangka, tetapi dengan berdjalan bersamaku, membawa kebaikan bagimu, tanggung kau tidak mati haus!"

   Djongos masih dalam kamarnja, Djie Kang tidak berani meninggalkannja, maka dari muka pintu, ia berkata njaring.

   "Saudara, mari berdjalan bersamaku! Aku duga hendak menjeberang!"

   Saudagar muda itu menoleh.

   "Kau mau pergi kemana?"

   Tanjanja.

   "Ke-kota radja,"

   Sahut Djie Kang terus terang.

   "Begitu djauh!"

   Kata saudagar itu tertawa.

   "

   Apakah banjak barang bawaanmu?"

   "Tidak banjak, tjuma satu pikulan, jang pun dapat aku gendol sadja!"

   "Berapakah djumlah tuan?"

   "Aku sendirian. Kalau aku dengan banjak kawan, tak perlu aku mentjari kawan."

   "Kerdjaanmu, tuan?"

   Saudagar itu tanja pula. Ia lantas menghampiri dan bertindak masuk kekamar orang, sehingga ia dapat lihat buntalan Djie Kang diatas pembaringan.

   "Aku pandai besi,"

   Sahut Djie Kang.

   "Terutama aku membuat pisau dan gunting. Aku mau pergi kekota radja kepada seorang saudara seperguruanku. Dia baru membuka bengkel, dia menulis surat padaku minta aku datang untuk membantu padanja."

   "Bagus! Pakkhia begitu besar, berusaha disana tentulah kamu akan berhasil! Pada tahun jang lampau pada bulan delapan, aku berada disana, tinggal di Tju-po-sie. Disana banjak jang kenal aku."

   Djie Kang minta tanja nama orang.

   "Namaku jang rendah Beng Po Tjay,"

   Sahut si saudagar merendah.

   "Sedjak masih muda, aku biasa turut pamanku berdagang sambil merantau. Setiap kali pergi ke Pakkhia, aku selalu tinggal di Tju-po-sie, maka dapatlah kau duga apa pekerdjaanku. Atau kau tanja pelajan ini, asal aku lewat disini, tentu aku singgah dipenginapan ini. Bukan baru satu tahun sadja aku mundar-mandir disini."

   "Itulah benar,"

   Sahut si djongo . Djie Kang lantas memberitahukan she dan namanja. Kemudian ia tanja sekarang si saudagar mau pergi kemana.

   "Baru sadja aku habis menjerahkan barang di Tong Kwan. Aku menjeberang disini untuk pulang. Rumahku didusun Hoasee di ketjamatan Kho-peng, perdjalanan lima atau enam hari dari sini. Sebenarnja sudah biasa aku d jalan disini, dengan mata ditutup djuga dapat aku berdjalan pulang. Hanja diluaran biasa terdjadi segala apaapa, hendak aku berlaku hati-hati. Paling baik kalau kita berdjalan berombongan, sedangkan untuk menjewa perahu atau kereta, atau mondok, kita bisa lebih ringan."

   Ia tertawa, lantas ia menambahkan.

   "Nah, Tuan Lie, bukankah kita sudah akur akan djalan bersama? Sekarang djuga dapat kita berangkat. Hanja aku rasa, kalau kita dapat kawan pembesar negeri, itulah terlebih baik lagi!"

   Berkata begitu, ia mengundurkan diri. Kembali ia menjerukan beberapa kali, untuk mentjari tambahan kawan seperdjalanan. Ketika itu, djongos pun mengundurkan diri. Djie Kang berpikir .

   "Dengan berdjalan bersama saudagar barang permata ini, boleh aku melegakan hati... ."

   Maka ia lantas bersiap sedia. Tak lama Beng Po Tjay sudah muntjul pula, sambil tertawa, ia kata .

   "Aku sudah mentjari sekian lama, tak dapat aku kawan baru, mungkin tahun ini tahun subur, orang lebih suka berdiam dirumah untuk benjotjok tanam"

   Djie Kang pun pikir .

   "Berdjalan bertigapun sudah tjukup, itulah djauh terlebih baik dari pada aku berdjalan seorang diri."

   Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tapi ia masih tanja .

   "Bagaimana sekarang, apakah kau masih imu mentjari kawan lain ?"

   "Sudahlah, tak usah !"

   Po Tjay djawab sambil menggeleng kepala.

   "Kalau orang jang tidak dapat dipertjaja, mau ikutpun aku tolak mari kita berangkat sekarang. Selewatnja sungai jalah djalan besar umum."

   Ia lantas mengundurkan diri, buat mengambil barangnja. Tak lama, sudah terdengar pula suaranja.

   "Tuan Lie, sudah siap? Mari kita berangkat !" {B e r s a m b u n g) DURHAKA

   Jilid .

   02 Dituturkan Oleh .

   Boe Beng Tjoe //facebook.com/groups/Kolektorebook/ __________________________________ Djie Kang menjahut, lantas ia keluar bersama dua buah bungkusannja.

   Lebih dahulu ia bikin perhitungan dengan djongos.

   la melihat Po Tjay menggendol hanja sebuah bungkusan ketjil, disamping ada pamannja, jang berusia limapuluh lebih, rambut dan djanggutnja sudah hampir ubanan, tungannja mentjekal sebatang tongkat kasar.

   Po Tjay memperkenalkan dia dengan pamannja itu.

   Iapun kata .

   "Tuan Lie, barang bawaanmu tidak ringan, mari aku bantu !"

   Ia tertawa.

   "Tak usah, terima kasih !"

   Djie Kang tjepat menolak.

   "Bagi kami tukang besi, tenagaku masih tjukup untuk barangku ini."

   Po Tjay tertawa pula.

   Lantas bertiga mereka berangkat, menudju keutara.

   Tak lama, tibalah mereka ditepi sungai, tempat penjeberangan.

   Disitu ada tiga atau empat buah perahu eretan jang besar.

   Maka selain orang, djuga kuda dan kereta atau keledaipun dapat diseberangkan.

   Banjak orang jang mau menjeberang, tetapi Po Tjay hanja dapat seorang kawan.

   Hanja sebentar, tibalah mereka diseberang.

   Penjeberangan disini bagian utara sungai dinamakan Mauw Tjin Touw, termasuk wilajah propinsi Shoasay.

   Tempat itu ramai.

   Po Tjay menjewa sebuah kereta, maka Djie Kang naik bersama sipaman.

   Po Tjay sendiri berdjalan kaki.

   Arah mereka jalah timur.

   Dengan lekas mereka sudah berada didjalan jang makin lama makin sepi, karena djarangnja orang2 jang berlalu lintas.

   Mereka jang banjak tadi mengambil lain tudjuan.

   Djalan ini tjukup lebar, tetapi tidak menembus ke-kota2 besar.

   Dikanan jalah sungai Hong Hoo jang airnja bergelombang dan dikirinja pegunungan Tiong Tiauw San.

   Hawa udara waktu itu panas.

   Disawah, pohon gandum pada tunduk.

   Angin jang meniup keras, membikin pasir kuning beterbangan kekereta.

   Empe Beng duduk melenggut didalam keretanja.

   Po Tjay djalan belum djauh, iapun naik kekereta.

   Lantas ia berbitjara dengan Djie Kang.

   Tukang kereta, jang hidungnja merah, turut pasang omong.

   Kata mereka, djalanan jang mereka ambil sebenarnja bukan djalanan jang terlalu bagus.

   Masih mending pada musim semi atau musim panas, kalau pada musim dingin, kadang-kadang ada pendjahat jang menantikan mangsa ditengah djalan.

   Sebaliknja, pendjahat2 dari Hong Hoo tak pernah mengganas didarat.

   Tak enak hati Djie Kang mendengar omongan iiu.

   "Djangan kuaiir !"

   Kata Po Tjay tertawa.

   "Aku kenal baik djalanan ini ! Taruh kata ada orang djahat, paling djuga mereka mengambil barang-barang kasar. Djie Kang merasa makin tak enak hati. Sjukur kedua bungkusannja berasa disisinja. Sambil bitjara, Po Tjay menolak bungkusan selimutnja Djie Kang, lagaknja dia mau duduk lebih leluasa. Dia terkedjut, airmukanja berubah, akan tetapi dia berdiam sadja. Lewat sekian lama, saudagar mas intan ini menoleh, akan memandang kawannja. Ia bersenjum, lalu berkata .

   "Tuan Lie kau berdjalan seorang diri, kau temu ada pegangan. Kau mengerti silat, bukan?"

   Didalam hati, Djie Kang terkedjut. Lantas ia ingat, ditengah djalan, tidak dapat ia omong dari hal jang benar. Maka ia memikir buat sedikit mengepul, supaja orang tidiak memandang ringan padanja.

   "Mengerti djuga sedikit,"

   Sahutnja.

   "Laginja sebagai pandai besi, kedua tangan kami ada djuga tenaganja dan hati kami besar. Pula barang kami barang rosokan, Sedangkan isi teromolku jalah segala alat pekerdjaanku, orang djahat pastilah tak nenginginkannja."

   Po Tjay tertawa gembira.

   "Tuan Lie!"

   Katanja.

   "dengan berkawan bersama kau, kami seperti djuga dapat mengundang seorang piauwsoe!"

   Sikusirpun menoleh kebelakang, melirik kepada siorang she Lie.

   Sampai sore, baru kereta berhenti, untuk bermalam disebuah hotel ketjil disebuah dusun jang terpisahnja djauh sekali dari kota ketjamatan.

   Djie Kang minta kamar untuk diri sendiri.

   Inilah karena ia mesti menedjaga baik-baik uang dan pedangnja.

   Begitu masuk kedalam kamar, ia terus menguntjinja.

   Bahkan ia lantas membuka teromolnja.

   Tiga bungkus uang perak masing2 dari seratus tahil, ia taruh tetap didalam teromol itu, tetapi tjeknja seharga tiga- ribu tahil, ia sembunjikan dipinggang tjelananja.

   Ia memeriksanja, supaja orang tak sampai dapat melihat.

   Kalau terdjadi sesuatu, tidak nanti uangnja ludas semua.

   Kemudian ia memikirkan kedua kawan seperdjalanan itu, sipaman dan keponakannja.

   Ia tidak menjangsikan mereka itu.

   Maka achirnja ia menenangkan hati.

   Pikirnja, tjukup asal ia waspada.

   Begitulah besoknja, mereka tetap berdjalan bersama.

   Hari ini, berdua Po Tjay dan Djie Kang bitjara banjak dengan asjik sekali.

   Djie Kang mendapatkan orang luas pengetahuan dan pengalamannja, sampai ia lupa akan kewaspadaannja, tak ada ketjurigaan lagi.

   Demikian, ketika sang sore tiba dan mereka singgah, lantaran hotel padat dan kamar habis, bertiga mereka mengambil satu kamar.

   Hati sipandai besi tenang.

   Malam itu panas, iapun tak usah memakai selimut, sehingga ia tak perlu membuka buntalannja.

   Buntalan itu, berikut pedangnja, didjadikan bantal kepala, sedang teromolnja jang terisi uang, ia letakkan disisirnja, seperti tidak memikirkannja.

   la sengadja berbuat demikian agar orang tidak tjurigainja.

   Pada lain harinja, perdjalanan dilandjutkan.

   Hanja kali ini, Po Tjay menjewa sebuah kereta keledai lainnja.

   Segera Djie Kang mentjurigai situkang kereta keledai itu.

   Orang bertubuh kate dan dampak, kedua tangannja kasar, kedua kepal annja mirip repasang martil.

   "Kalau sampai mesti berkelahi, aku bukanlah tandingan dia,"

   Pikirnja.

   Pula aneh tukang kereta itu.

   Dia mendumal bahwa sewaannja terlalu murah, sedang pada waktu dahar tengah hari, dia minta uang makannja dibajar.

   Dengau dibantu uang makan, baru dia nampak tenang, suka dia melarikan keledainja.

   Perdjalanan dilandjutkan dengan meninggalkan djalan besar, selagi mendekati tepi sungai Hong Hoo hari mulai magrib.

   Ditempat itu tak tampak lain orang seorang pun tidak.

   Djuga tidak ada rumah penduduk.

   "Inilah berbahaja,"

   Pikir Djie Kang. Lantas ia kata .

   "Pada saat ini, kenapa kita masih berdjalan terus sadja? Mari lekas mentjari pondokan!"

   Situkang kereta keledai berpaling, dia mendjawab .

   "Apa kau bilang? Mentjari pondokan? Pergilah kau tjari sendiri! Untuk sampai didusun Thay-swee-tin, sedikitnja mesti sesudah djam dua! Perdjalanan ke Kwie-ong-toen djuga masih ada limapuluh lie lebih, maka tak dapat kita ter- buru2! Siapa menjuruh kamu ingin melakukan perdjalanan tjepat2?"

   "Aku tidak menjuruh kau tjepat2!"

   Djie Kang membantah.

   "Hari mulai gelap, habis bagaimana?"

   Ia merasa tidak enak hati.

   Nama-nama tempat jang disebutkan baru sadjapun tak sedap didengarnja .

   Thay-swee tin berarti dusunnja sidatuk, Kwie-ong-toen jaitu desanja siradja iblis.

   Ketika Po Tjay menolak dengan diam2 pada tubuh Djie Kang.

   Itulah isjarat untuk djangan melajani situkang kereta berbitjara.

   Tentu sekali, hatinja mendjadi tidak tenang sekali.

   Tukang kereta sudah lantas mengendorkan djalan keretanja.

   Po Tjay mengadjaknja bitjara dengan manis, akan tetapi dia tidak menghiraukannja.

   Sebaliknja, dia menundjukkan roman muram pada mukanja jang hitam.

   Maka wadjahnja itu lebih tak menjenangkan dari pada air sungai Hong Hoo jang bergelombang seram itu.

   Sang langit lantas djuga mendjadi gelap, hingga dilangit tampak beberapa butir bintang jang berkelak-kelik.

   Muka situkang kereta, jang berada disebelah depan, lantas tak tampak tegas lagi, sehingga tak terlihat dia bersenjum atau menjeringai.

   Si orang tua she Beng sebaliknja bisa membawa diri.

   Suasana tak menjenangkan tetapi dia dapat membuka mulutnja buat bernjanji.

   Mungkin dia menjanji karena takutnja, sebab suaranja sungguh tidak merdu, balikan sedih dan menusuk hati, ketika keponakannja mentjegah ia mendjadi gusar.

   Kereta menggelinding terus, langit semakin gelap.

   Tiba-tiba Po Tjay berubah sikapnja.

   "Menudju keselatan!"

   Katanja kepada si tukang kereta.

   "Mau apa?"

   Tanja situkang kereta.

   "Disana itu sungai! Apakah kita mau bermalam ditengah sungai?"

   "Tak dapat aku mendengar kau lagi!"

   Kata Po Tjay.

   "Apakah kulit matamu tidak terbalik? Apakah kau tidak pernah mentjari tahu siapa2 jang duduk diatas keretamu ini? Lekas serahkan tjambuk padaku! Kau buta, djikalau kau berani memikir jang tidak2 terhadap kami! Kau mesti ketahui kami paman dan keponakan, kami telah melalui djalan disini tak kurang dari seratus kali! Apakah kau kira kami tidak melihatnja ? Apakah kau hendak main gila ?"

   Djie Kang melihat suasana buruk, diam2 memegang gagang pedangnja, siap sedia untuk menghunusnja. Tukang kereta itu menjerahkan les kereta kepada Po Tjay, ia terus lompat turun dari keretanja.

   
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dia mau memanggil kawannja!"

   Kata Po Tjay.

   "Mari kita lekas pergi! Tak djauh diselatan sana ada rumahnja seorang sanakku, kita pergi kesana, setibanja, kita tak usah kuatirkan apa-apa lagi!"

   Berkata begitu, orang she Beng ini menggentak les keledainja seraja ia mentjambuk hingga keledai itu terkedjut lantas berlarilari keras, sehingga berisik djuga suara menggelindinginja roda-roda kereta.

   Entah telah berapa djauh kereta berlari, lalu tiba-tiba ia berhenti.

   Po Tjay lompat turun dari kereta, disusul okh Djie Kang.

   Ketika Djie Kang melihat sekelilingan, ia terperandjat.

   Mereka berada disebuah kampung sepi dimana tjuma ada sebuah rumah bambu dengan tembok tanah liat.

   Suara andjingpun tak terdengar.

   Po Tjay menghampiri rumah itu, untuk mengetuk- ngetuk pintunja dengan keras.

   Hanja sebentar sadja, dari dalam rumah muntjul seorang bertubuh kate dan ketjil, jang sebelah tangannja membawa pelita dengan apinja berkelak-kelik, dibelakangnja mengikuti seorang lain jang berupa seperti bajangan besar.

   Sikate dan ketjil itu seorang botjah umur kira2 lima belas tahun, tubuhnja telandjang sebab dia hanja mengenakan sepotong tjelana pendek.

   Bajangan jang besar itu jalah seorang dengan kedua belah pipi dan dadanja penuh berewok dan bulu, sebab iapun tidak memakai badju, hingga tampak dua buah lengannja jang besar dan kasar.

   Begitu melihat orang itu, Po Tjay berkata njaring.

   "Kami bertemu dengan tukang kereta jang djahat! Hampir sadja kami..."

   "Sudah, masuklah!"

   Sahut siorang bertubuh besar itu menjela. Lalu ia memutar tubuhnja, untuk mendahului masuk. Po Tjay membantu pamannja turun dari kereta, sedang kepada Djie Kang ia kala.

   "Masuklah! Ini rumah sanakku. Di-sini kau djangan kuatirkan apa djuga!"

   Hati Djie Kang gontjang.

   Tak puas ia dengan rumah ini.

   Ia pertjaja sihitam bukannja manusia baik-baik.

   Ia merasa bahwa ia seperti mengantarkan diri ketempat berbahaja.

   Aneh pula sipaman.

   Setelah turun dari kereta, lenjap wadjah lojonja.

   Dengan menundjuk dengan tongkatnja jang besar, ia kata padanja.

   "Masuklah! Takut apa? Kita sudah sampai disini, ini sama sadja dengan rumah kami !"

   "Ah, kau ngatjo, paman!"

   Menegur Po Tjay. Ia mendekati Djie Kang dan berkata manis.

   "Djangan tjuriga, tuan! Kalau terdjadi sesuatu disini, aku akan mengganti semua!"

   Djie Kang seperti lupa pada teromol uangnja, ia lebih perlu memeluk buntaiannja, hatinja ter-gontjang keras, dalam kuatirnja jang sangat, tiba-tiba muntjul hawa- amarahnja. Maka mendadak ia berseru.

   "Kamu semuanja penipu! Apakah kamu kira aku tidak tahu?"

   Pamannja Po Tjay mengangkat tongkatnja.

   "Djikalau kau sudah tahu, kau mau apa?"

   Tanjanja menantang.

   "Di-sini, meski kau berteriak-teriak laksaan kali, tidak nanti ada orang jang mempedulikan kau!"

   Sementara itu sibotjah jang memegang pelita, setjara diam-diam, menggojang-gojang-kan tangannja pada Djie Kang. Ia merasa sangat gelisah, sampai tubuhnja menggigil- "Tuan Lie, pertjajalah padaku,"

   Berkata Po Tjay.

   "Mustahil aku akan mentjelakai kau? Tjukup asal kau suka masuk ke-dalam di-mana kita bisa bitjara dengan baik"

   Djie Kang berpikir, mendadak ia menghela napas.

   "Tak apa aku masuk ke-dalam,"

   Katanja kemudian.

   "Kau boleh ambil uangku, asal djiwaku diberi ampun"

   Baru sadja ia berkata begitu, mendadak Djie Kang merasa njeri dan dingin pada batang lehernja bagian belakang.

   Di-luar tahunja, di belakangnja ada orang jang menghadjarnja dengan goJok, serta menganiajanja.

   Menjusul itu, orang telah menjambar, merampas buntalan dari tangannja, sambil berkata bengis.

   "Serahkan bungkusanmu itu padaku, atau djiwamu tak bakal dapat ampun!"

   Alangkah kagetnja Djie Kang ketika ia kenal suara sikusir tadi.

   Sementara itu ia memegang keras buntalannja, jang tak kena terampas.

   Ia pun ingat baik-baik, pedang Pek Kong Kiam tak dapat terdjatuh di-tangan orang djahat.

   Maka ia tidak mau menjerah, lantas ia lompat untuk nerobos lari.

   Didepan, si-orang tua melintangkan tongkatnja, sedang di-belakang, sikurus mengantjam dengan goloknja.

   Dalam keadaan seperti itu, Djie Kang mendjadi nekad.

   Mendadak sadja ia memegang gagang pedangnja, untuk menariknja keluar, bahkan segera ia mendahului membatjok.

   "Haha-haha!"

   Sikurus tertawa dingin.

   "Kau berani menggunakan sendjatamu ? Hm! Aku pertjaja, ilmu silatmu tentu tidak berarti! Benarkah kau hendak mengadu djiwa? Bukankah mudah untukmu buat mentjari mampus?"

   Sambil berkata begitu, kusir ini menangkis batjokan kepadanja. Atau mendadak dia terkedjut sekali, sampai dia tertjengang! Ketika kedua sendjata beradu, goloknja si kusir kutung seketika! Njalinja Djie Kang mendjadi besar setjara tiba-tiba.

   "Siapa jang berani datang dekat?"

   Bentak nja. Kawanan pendjahat itu ketakutan, semua lantas lari kedalam, hingga ruang mendjadi gelap, sebab disitu tidak ada pelita atau lampu, sedangkan diluar lebih gelap lagi.

   "Kalau begini, perlu aku lekas menjingkir,"

   Pikir Djie Kang, jg.

   ingat akan bahaja jang mengantjamnja.

   Lantas ia mengangkat kaki.

   Karena ia tahu di arah selatan adalah sungai Hong Hoo, ia menudju ke utara.

   Di sini ia mendapat bantuan tjahaja Pak Tauw Tjhee, jaitu bintang Utara.

   Sembari berdjalan setjepat mungkin, di dalam hati ia berkata.

   "Mohon para malaikat dan Sang Buddha melindungi hambanja sehingga lolos dari antjaman malapetaka ini! Semoga arwah Kwee Soesiok dan guruku membantu pada keponakan dan muridnja ini!"

   Djalanan tidak raia dan tidak kelihatan Djie Kang belari-lari dengan limbung.

   Beberapa kali ia terguling djatuh, tiga kali ia merajap bangun dan kabur terus.

   Entah sudah barapa djauh ia berlari-lari.

   Tengah ia nienjingkir terus, mendadak ia merasakan hadjaran keras pada punggungnja.

   Bagaikan majat tubuhnja roboh! Hanja satu kali ia mendjerit keras, lantas tak sadarkan diri lagi.

   Tak tahu berapa lama ia pingsan, ketika mendusin, ia merasakan seluruh tubuhnja njeri terutama punggungnja, lebih daripada waktu lengannja dimartil gurunja.

   Sebelum ia sadar betul, ia merasa ada orang menjeret tubuhnja, jg.

   menjenretnja bagaikan kereta, la kaget, iapun merasa njeri sekali.

   Tiba- tiba ia merintih, lalu mendjerit.

   "Lekas lepaskan aku! Apakah kamu mau terus menjeret-njeret aku? Aku belum mati! ... Oh, kamu kejam sekali! Aduh! Aduh!"

   Djie Kang ingin menangis.

   Tubuhnja njeri, hatinja sakit.

   Ia menginsafi bahaja jang mengantjam dirinja.

   Ia menduga bahwa ia sudah djatuh dalam tangan orang-orang djahat.

   Ia benar-benar takut.

   Hampir ia minta dibunuh sadja dari pada disiksa.

   Atas teriakannja itu, ia merasakan tak diseret lebih djauh sebelum ia bisa melihat atau membuka mulutnja, ia merasa ada orang mendekati nja, berdjongkok di sisinja.

   Segera ia mendengar suara ini.

   "Djangan bikin banjak berisik! Aku hendak membawa kau menjingkir, ke tempat di mana kau dapat beristirahat, untuk nanti kau menjingkir lebih djauh. Djikalau kau menanti sampai hari sudah djadi terang dan Hek Bin Kwie beramai datang, apabila mereka melihatmu belum mati, kau bisa dihadjar pula dengan batu lebih besar, sehingga habislah, lakon hidupmu!"

   Djie Kang heran. Suara orang itu tegas sekali dan tangannja jang dipakai merabanja, tidak besar dan kasar. Lekas dia ingat kepada sibotjah jang memegang pelita tadi.

   "Arak..."

   Katanja.

   "Oh, adik, lekas kau tolong aku...

   "

   "Dapatkah kau berdjalan?"

   Tanja orang itu.

   "Didepan sana ada sebuah rimba, kau dapat bersembunji di sana sambil beristirahat..."

   Djie Kang kuatkan hatinja.

   "Dapat, aku dapat berdjalan!"

   Katanja.

   Ia menggertak gigi, untuk merajap baungun.

   Akan tetapi punggungnja sangat sakit, tak sanggup ia berdiri tegak, maka achlrnja ia dibantu sibotjah, bahkan dengan berpegangan pada botjah itu, baru ia bisa bertindak djalan pelahan lahan.

   Sjukur botjah itu bertenaga besar.

   Sambil digelendoti, ia berdjalan.

   Dengan banjak susah, tibalah mereka di dalam rimba.

   Di sini Dje Kang lantas duduk di tanah, untuk beristirahat karena lelah dan njeri, ia merebahkan diri.

   Sibotjah duduk di sampingnja.

   "Di-sini djuga kita tidak dapat berdiam lama-lama,"

   Kata botjah itu, napasnja memburu.

   "Kalau mereka datang mentjari, mereka akan mentjari ke-mari. Itulah berbahaja djuga bagiku!"

   "Mereka itu djahat sekali!"

   Kata Djie Kang seng11.

   "Beng Po Tjay telah menipu aku sedjak hari pertama aku kenal dengannja. Dia nampak sepeiti pedagang, siapa tahu dialah sibiang pendjahat! Dia menipu aku, seorang miskin, bukankah perbuatannja itu tidak berharga? Kenapa mereka tidak mau turun tangan djusteru terhadap saudagar atau rombongan saudagar jang kaja-raja?"

   "Kau diarah karena kau membawa-bawa teromolmu jang berat itu,"

   Kata si botjah.

   "Kau kurang hati-hati, kau membuat mereka dapat melihatnja. Memang Beng Po Tjay dan st tua bangka mendjadi tukang pantjing atau pemimjuk. Sebenarnja mereka bukan paman dan keponakan. Adalah situkang kereta keledai, jang dipanggil Siauw Giam si Lengan Besi, mendjadi keponakannja Hek Bian Kwie. Tjoba mereka tidak dapat melihat pedangmu, pastilah mereka sudah turun tangan siang-siang dan tak akan menanti mengundang Hek Bian Kwie, si Hantu Muka Hitam."

   "Hek Bian Kwie itu apakah si berewok dan jang dadanja berbulu?"

   "Benar. Dialah nelajan asli, meski dia mengerti sedikit silat, selama belakangan ini, dia tak pernah berbuat djahat. Bukannja ia tidak mau melakukannja tetapi karena takut. Ada seorang jang menguasai dirinja."

   "Siapakah orang itu?"

   Tanja Djie Kang heran.

   "Ialah seorang d jaro kenamaan dari Shoasay. Kita tidak tahu she dan namanja, lantaran ia biasa keluar dengan menunggang seekor kuda putih, kita umumnja m- njebutnja Pek Ma Kie Hiap, si Pendekar kuda Putih, atau Pek Ma Looya. Ia mempunjai dua orang putera. Putera sulungnja, jg. dipanggil Touw Liong Tjiangkoen, sudah dua atau tiga tahun pergi merantau, dia belum pernah pulang, katanja dia telah dibunuh orang dalam perantauan! Karena orang kuatir ia berduka, maka tidak ada orang jg. berani memberitahukan kepadanja. Puteranja jang kedua dipanggil Tjam Liong Tjong, orangnja tjerdas, sekarang ia tinggal bersama ajahnja digunung Ong Ok San. Pek Ma Looya gemar beramal dan menolong sesamanja. Aku sendiri asal Pengyang, she Tun, dan nama ketji1nja Siauw Sek Tauw, si Batu Ketjil. Sedjak aku masih ketjil sekali, ajah dan ibuku telah meninggal dunia"

   Djie Kang menghela napas.

   "Nasibmu sama dengan nasibku, saudara,"

   Katanja berduka.

   "Aku djuga telah mendjadi jatim piatu semendjak masih ketjil."

   "Aku mempunjai seorang pamtm, jg. tak punja guna,"

   Kata Siauw Sok Tauw pula.

   "Dia kirim aku sebagai orang magang pada sebuah perusahaan sulam. Tak tahan aku dengan pekerdjaan itu. Sudah madjikanku galak, dua anak perempuannja pun bengis. Mereka suka menganiaja diriku dan tidak memberikan aku makanan. Pamanku malas, sering datang padaku meminta uang, karena itu, pernah dia ribut dan berkelahi dengan madjikanku. Tiap kali datang, aku tentu dianiaja madjikanku. Pada suatu malam pada bulan kedua belas, selagi hawa udara dingin, pamanku datang kepadaku. Ketika itu saldju tengah turun setjaru besar-besaran dan langit gelap. Dia habis kalah berdjudi, sampai badjunja pun didjual. Dia datang dengan tubuh telandjang. Hampir dia mati kedinginan. Dia nongkrong di depan tempat kerdjaku dan menangis. Aku djadi merasa kasihan. Biar bagaimana, dialah pamanku. Aku tjuri badju kapas jang sudah rombeng kepunjaan madjikanku, dan kuberikanpada paman. Apa latjur , perbuatanku kepergok, lantas aku dianiaja, bahkan kedua anak perempaannja menusuki tubuhku dengan djarum sulam ..."

   "Oh, demikian kedjam!"

   Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Berseru Djie Kang, sampai ia lupa punggungnja jang njeri.

   "Benar,"

   Sahut si botjah.

   "Maka djuga ada pepatah Jang paling kedjam adalah hati wanita, itulah benar. Habis dianiaja, aku diusir, maka sedjak itu, aku terpaksa hidup sebagai pengemis. Sjukur, belum ada sepuluh hari, aku bertemu dengan Pek Ma Looya. Dengan menunggang kuda, dia nampak gagah sekali. Dia kasihan padaku, lantas dia bawa aku kerumahnja Hek Bian Kwie ini, untuk membantu menangkap ikan. Dia pun sering datang padaku, buat mengadjarku ilmu silat. Hek Bian Kwie bukan manusia baik-baik tetapi dia djeri pada Pek Ma Looya, tak berani dia berlaku buruk padaku. Dua tahun aku tinggal bersama Hek Bian Kwis. Sedikit peladjaran silat jang kuperoleh dan setiap ada kesempatan aku suka berlatih, aku mengerti djuga "

   "Kau baik, saudara,"

   Kata Djie Karg. Dia rebah duanah sambil merintih.

   "Aku kagum padamu. Karena pamanmu, kau djadi bernasib buruk. Kalau tidak ada kau, tentu aku telah terbinasa. Aku tahu, orang menghadjar aku ditempat djauh dari rumah Hek Bian Kwie, supaja kapan aku mati, mereka bebas. Tapi aku ..."

   Mendadak dia berseru.

   "aku akan membuat pengaduan, buat mendakwa mereka itu!"

   "Dapat kau minta bantuannja pembesar negeri, dapat djuga kau pergi kepada Pek Ma Looya,"

   Kata Siaw Sek Tauw.

   "

   Aku menolong kau karena aku merasa perbuatan mereka itu djahat sekali sudah merampas uang orang, mereka pun menghadjar dengan batu besar, supaja kau mati! Mungkin harimau pun tidak sekedjam mereka itu! Aku datang padamu selagi mereka itu membagi harta karun.

   Sjukur aku merasakan dadamu berdenjut, maka aku seret kau, untuk dibawa menjingkir.

   Dengan perbuatanku ini, kalau aku dihadapkan pada pembesar negeri, aku bukan kontjo pendjahat, sedangkan kalau aku ditanja Pak Ma Looya, aku dapat mendjawab.

   Pandeknja, aku tidak membantu mereka melakukan kedjahatan!"

   Djie Kang menghela napas. Hawa-amarahnja reda sendirinja.

   "Tak dapat aku pergi mengadu pada pembesar negeri,"

   Pikirnja kemudian. Maka ia kata pada si botjah.

   "Saudara, aku minta kau menolong aku tidak kepalang tanggung. Hek Bian Kwie telah merampas uangku, biarlah, aku djuga tidak mau mendakwa dia, tetapi pedangku, itulah sangat penting untukku. Tanpa pedang itu, tak dapat aku hidup lebih lama pula. Maka djuga saudara, tolong kau pergi pada Hek Bian Kwie, biar bagaimana, kau mintalah pedangku itu. Katakan padanja, asal pedangku dikembalikan, bukan sadja perkaranja aku tidak bakal tarik pandjang, bahkan sebaliknja, aku akan bersjukur padanja akan kubalas budinja. Pedang bukan milikku hanja kepunjaan lain orang, jang minta aku bawa kekota radja"

   Botjah itu menggelengkan kepala.

   "Tak sanggup aku melakukan itu,"

   Sahutnja.

   "Aku telah pergi diluar tahunja, kalau aku kembali, pasti mereka bakal membunuh aku. Lagi pula, apabila mereka ketahui kau masih hidup, pasti mereka tidak akan mau mengerti djuga, nistjaja mereka akan tjari pula padamu! Kau tahu apa jg. Hek Bian Kwie lakukan waktu ia mendapatkan pedangmu? Sampai uang tampasan tak dihiraukan lagi! Dengan pedang itu dia ubrak-abrik segala kapak dan alat besi lainnja, semua dia batjoki hingga hantjur, bukan main girangnja, sehingga dia sangat terkebur! Dia kata, sekarang dia tak takuti siapa djuga, bahkan dia tak djeri lagi terhadap Pek Ma Looya! Dia kata dengan mengandalkan pedang itu, dia bakal membuat harta besar!"

   Djie Kang kaget sekali, lantas ia mendjadi sangat berduka, sehingga ia membanting-banting kaki.

   "Ah, bagaimana sekarang?"

   Katanja dengan mewek.

   "Teranglah pedang itu telah terdjatuh dalam tangan manusia djahat! Sungguh aku malu terhadap guruku"

   Ia begitu berduka, mendadak ia roboh tak sadarkan diri. Siauw Sek Tauw kaget, sehingga repotlah dia untuk menjadarkan. Lama Djie Kang tak ingat diri, waktu meridusin, ia lantas menangis sedih seperti anak ketjil, dari berteriakan, ia sesambatan.

   "Djangan menangis, saudara!"

   Kata Siauw Sek Tauw, sambil menutup mulut orang.

   "Diwaktu begini, mungkin Hek Bian Kwie lagi mentjari kita, kalau dia mendengat suaramu, segera kita bakal kena ditawan dan ditjelakai dia!"

   Djie Kang berhenti menangis. Ia takut. Tapi tetap ia bingung dan bergelisah, ia berduka.

   "Saudara, pergilah kau menjingkir,"

   Katanja sesaat kemudian.

   "Aku sendiri hendak mentjari Hek Bian Kwie! Karena pedangku lenjap, tak sudi aku hidup lebih lama pula dalam dunia ini"

   Siauw Sek Tauw tidak pergi, bahkan dia membudjuk.

   "Begini sadja, saudara,"

   Katanja.

   "Mari aku antar kau kepada Pek Ma Looya di Ong Ok San untuk memohon pertolongannja, supaja pedangmu bisa dirampas pulang. Ketjuali ini, tidak ada djalan lain lagi"

   Sebenarnja Djie Kang tidak berdaja, maka achirnja ia menurut.

   Sek Tauw menolong pandai besi itu.

   Ia membiarkan orang berpegangan padanja, sehingga ia sukar berdjalan.

   Kaki Djie Kangpun terasa berat diangkatnja.

   Lama mereka berdjalan, ketika langit mulai terang, baru mereka sampai disebuah desa ketjil.

   Hanja sekarang ini, walaupun ia letih, Djie Kang dapat dituntun.

   Untuk beristirahat, mereka mentjari sebuah pondokan ketjil dan buruk.

   Disitu ada penumpaugnja, tudjuh atau delapan orang jang mirip pengemis.

   Segera Djie Kang merebahkan diri dialas sebuah pembaringan, mukanja putjat sekali.

   Punggungnja tidak terhadjar berdarah tetapi njerinja bukan main, hingga ia kuatir punggungnja patah.

   Baru sekarang ia berani merintih.

   "Apakah jang telah terdjadi?"

   Tanja tuan rumah serta djuga beberapa tetamu lain jang melihat keadaan tetamunja jang baru serta mendengar rintihannja.

   "Apakah tuan sakit?"

   "Bukan sakit, hanja ia telah bertemu orang djahat dan telah mendjadi korbannja,"

   Sabut Siauw Sek Tauw memberi keterangan.

   "Kalau begitu, perlu pembegalan itu segera dilaporkan pada pembesar negeri!"

   Kata tuan rumah. Djie Kang menegojangkan tangannja, sambil menggeleng kepala dan merintih, ia kata.

   "Djangan, dilaporkan djuga tidak akan ada faedahnja. Sjukur kalau si pendjahat kena ditangkap, kalau tidak, dia bakal djadi mendendam hati ..."

   Hal jang sebeuarnja jalah, taruhkata Hek Bian Kwie tertawan, tanpa pedangnja, takkan berguna untuknja. Katanja didalam hati.

   "Jang kuinginkan jalah pedang mustika itu ... Tanpa pedang itu maka sakit hatinja Nie Thay Po, penasarannja Kwee Hay Peng dan djenh-pajah guruku akan sia-sia belaka ... Bagaimana dapat kudjelaskan semua ini pada orang luar?"

   Diam-diam Djie Kang bersjukur kepada Siauw Sek Tauw.

   Tidak disangka, boijah itu berhati baik dan besar njalinja.

   Pula, didalam usia baru limabelas tahun, dia telah bertubuh besar seperti pemuda umumnja.

   Dia bermata besar, berhidung mantjung.

   Dialah seorang anak jang tampan.

   Tjoba dia berpakaian bagus, tidak telandjang kaki, setiap pemudi tentu akan tergiur terhadapnja.

   Dia tidak tidur satu malam tetapi dia tetap segar, sehingga tak perlu duduk untuk istirahat.

   "Adik, mari duduk!"

   Kata Djie Kang seraja menepuk- nepuk tepi pembaringan.

   "Kaulah jang beristirahat, kakak,"

   Kata si botjah sambil menggeleng kepala.

   "Aku bahkan mau pergi untuk mentjari kerdjaan, buat mendapatkan sedikit uang untuk kita bersantap."

   Habis berkata, ia memutar tubuhnja dan pergi.

   Sia-sia Djie Kang memanggil, ia berdjalan terus.

   Disitu ada orang2 lain, tak dapat Djie Kang memberitahukan bahwa ia masih punja uang tigaribu tahil perak.

   Itulah berbahaja.

   Terpaksa ia berdiam, untuk beristirahat.

   Siauw Sek Tauw kembali selewatnja tengah hari, badjunja kotor, tangannja berlepotan tanah dan kepalanja bermandikan keringat.

   Inilah sebab ia bekerdja mendjadi pembantu tukang batu sehingga ia mendapat upah beberapa boen, jang mana ia pakai buat membeli kuwe untuk Djie Kang.

   Bukan main terharunja si orang she Lie, ia makan kuwe itu dengan air mata berlinang-linang.

   Duduk tidak lama, Siauw Sek Tauw pergi pula, untuk bekerdja lagi.

   Djie Kang membiarkan orang pergi meski hatinja tak tega.

   Dengan melawan rasa njerinja, ia pergi kekakus.

   Disini dimana tidak ada orang lain, ia periksa surat2 berharganja, di antaran ja ada beberapa lembar tjek seharga sepuluh tahil perak masing-masing.

   "Inilah djumlah tjukup ketjil,"

   Pikirnja.

   "kalau aku gunakan ini, orang tentu tidak akan mentjuiigai aku."

   Maka ia mengeluarkan selembar, jang lainnja ia simpan pula dengan rapi.

   Terus ia pergi kemedja pengurus, buat minta tolong tjek itu ditukarkan dengan uang kontan.

   Tjek dari Eng Tay Hoat berlaku dibeberapa propinsi di Utara, melihat itu, pemilik hotel lantas memberikan uang sembilan tahil perak serta beberapa rentjeng uang ketjil.

   Kemudian Djie Kang minta diberikan sebuah kamar lain, buat ia tinggal sendiri.

   Siauw Sek Tauw kembali diwaktu magrib.

   Ia heran melihat kawannja pindah kamar.

   "Eh, Lie Toako, mengapa kau tukar kamar?"

   Tanjanja. Djie Kang bersenjum.

   "Adik, kau djangan djadi kuli lagi,"

   Katanja.

   "Sekarang kau beristirahatlah dulu."

   Siauw Sek Tauw heran.

   "Kau belum tahu, adik,"

   Kata Djie Kang.

   "uangku jang dirampas Hek Bian Kwie itu, jang disimpan didalam teromol tjuma bertijumlah tiga ratus tahil lebih, disebelah itu, aku masih mempunjai uang lainnja, masih ..."

   Siauw Sek Tauw heran, hingga ia mendeloug.

   "Toako, kau sebenarnja kerdja apa?"

   Tanja dia.

   "Djangan sangsikan aku, adik,"

   Kata njie Kang perlahan.

   "Sebenarnja aku seorang tukang besi tetapi sekarang aku lagi mendjalankan tugas untuk seorang lain, untuk itu, aku diberikan pedang jang hilang itu serta sedjumlah uang"

   "Urusan apakah itu, toako? Dapatkah toako memberitahukan padaku?"

   Tanja pula si botjah.

   "Itulah urusan besar jang terdjadinja pada tigapuluh tahun jang lampau,"

   Sahut Djie Kang.

   "Entah sampai kapan urusan itu bakal dapat diurus beres. Sekarang, adik, kau beristirahatlah dulu, lewat beberapa hari, setelah aku sembuh, akan kuberi keterangan padamu."

   Siauw Sek Tauw mengangguk.

   "Baiklah,"

   Sahutnja.

   "Sekarang baik-baik toako beristirahat."

   Maka berdua mereka djadi menumpang terus dipondokan itu.

   Tempat tersebut bernama Pek Bok Kio, terpisahnja dari tempat kedjadian kira2 empatpuluh lie, termasuk dalam ketjamatan Hoan-kiok.

   Gunung Ong Ok San berada di timurlaut-nja, nampak dari pekarangan depan pondokan itu.

   Siauw Sek Tauw mengharap-harap Djie Kang lekas sembuh, supaja ia dapat mengantarkannja kegunung itu, guna mentjari Pek Ma Kie Hiap, si "orang gagah jang menunggang kuda putih."

   Ia tidak bekerdja lagi, sebab Djie Kang telah memperlihatkan uangnja.

   Ia djuga djarang muntjul didjalan besar, kuatir nanti dapat di lihat Hek Bian Kwie.

   Lewat dua hari, njeri Djie Kang sembuh banjak.

   
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia menukarkan lagi dua lembar tjek seharga sepuluh tahil masing masing.

   Ia sudah pikir buat berangkat, maka ia menggunakan uang buat membeli pakaian, untuk Siauw Sek Tauw dan dirinja sendiri.

   Siauw Sek Tauw biasa berpakaian tjelana sadja, maka tak merdeka ia mengenakan badju dan sepatu berikut kaos kakinja.

   Hawa udarapun panas.

   Ketika mereka naik kereta, didalam kereta djuga hawa mengkedus.

   Tak tahan botjah itu, ia turun dari kereta untuk berdjalan kaki.

   Sekarang ia diganggu angin dan debu dan teriknja matahari sedang ia tidak memakai tudung atau pajung.

   Satu hari mereka berdjalan, baru sampai dikaki gunung.

   Ketika itu sudah mulai magrib, tjuatja mulai guram dan burung2 sudah pulang kesarangnja masing2.

   Dari belakang gunung tampak asap mengepul naik.

   Turun dari kereta, dua orarg ini sahabat-sahabat baru jang dengan tjepat mendjadi sahabat2 kekal lantas mulai mendaki.

   Tidak ada orang lain disitu, Djie Kang merasakan tempat terlalu tenang.

   Karena ini ia mau pertjaja Pek Ma Kie Hiap benar seorang gagah jang luar biasa, atau tak nanti dia tinggal digunung jang sepi ini.

   Iapun merasa hatinja lega.

   Ia mengharap lekas menemukan orang gagah itu, guna menuturkan segala apa, buat menunaikan tugasnja.

   Siauw Sek Tauw djalan disebelah depan.

   "Pada musim rontok tahun jang lalu, pernah aku ikut orang datang kemari, maka aku tidak lupa djalanan disini,"

   Katanja. Benar2 ia djalan tanpa ragu2, melintasi sebuah solokan dan djembatan batu, sampai didepan sebuah rumah berundak tiga, jang terkurung pagar bambu dan didalam pekeiangannja tertanam sebuah pohon lieng jang berbuah besar dan merah2.

   "Sungguh sebuah tempat jang indah!"

   Djie Kang memudji.

   "Adakah ini rumah Pek Ma Looya?"

   "Bukan,"

   Sahut Siauw Sek Tauw sambil menggeleng kepala.

   "Rumah Pek Ma Looya djauh terlebih besar. Kita masih harus mendaki lagi."

   Mereka berdjalan terus. Tiba dipagar, dari dalam terdengar tertawanja dua orang prija dan wanita. Sebaliknja, orang didalam itu djuga mendapat dengar suara orang diluar, maka keduanja lantas melongok.

   "Itulah putera nomor dua dari Pek Ma Kie Hiap,"

   Siauw Sek Tauw membisiki Djie Kang, setelah mana, ia menghampiri prija itu untuk memberi hormat sambil menjapa .

   "Djie-siauwya, baik?"

   Djie Kang lantas melihat seorang muda jang bertubuh djangkung, tegap dan tampan, sedangkan disisinja berdiri seorang nona umur enam atau tudjuh-belas tahun, jang rambutnja didjalin mendjadi sebuah kuntjir, jang wadjahnja tjantik.

   "Mau apa kau datang kemari ?"

   Tanja anak muda itu.

   "Aku datang mengantarkan tuan muda ini, jang hendak bertemu dengan looya buat satu urusan penting,"

   Sahut Sek Tauw tjepat.

   Djie Kang lantas memberi hormat.

   Pemuda itu tidak menghiraukan tamunja, ia bergurau pula dengan si nona, jang ia petikkan buah heng, buat si nona makan.

   Siauw Sek Tauw menarik tangan Djie Kang buat diadjak berdjalan terus.

   Di belakang mereka, mereka dengar pula tertawanja si-muda-mudi.

   Atas itu, si katjung memesan kawannja .

   "Kalau sebentar kita bertemu Pek Ma Looya, djangan kita sebutsebut tentang kelakuan puteranja ini. Kalau dia mendapat tahu, looya pasti bakai mendjadi gusar sekali."

   "Looya gagah sedjati, kenapa puteranja itu tjeriwis?"

   Tanja Djie Kang heran.

   "Itulah sebab Pek Ma Looya belum mau menikahkan puteranja. la kuatir, dengan menikah, sang putera nanti mengabaikan ilmu silatnja. Aku djuga heran kenapa diluar tahu ajahnja, anak itu gemar main perempuan ..."

   Ia berhenti sebentar, waktu ia menambah sesuatu ia nampak djengah.

   "Aku ... aku tak menggemari wanita, bahkan aku membentjinja. Sebab selama aku bekerdja magang, dua puterinja madjikanku, dua2-nja mirip siluman, mereka galak sekali, mereka suka memaki . dan menganiaja ..."

   Djie Kang membiarkan orang bitjara, ia tidak menentang atau mengiakan.

   Ia tidak memikir suai djodoh, ia hanja ingin segera menemui Pek Ma Kie Hiap.

   Tidak lama, tibalah mereka disebuah lembah di mana terlihat tudjuh atau delapan buah rumah, jang terkurung tembok.

   Siauw Sek Tauw menghampiri pintu pekarangan, jang terbuat dari kaju tjemara jang tua dan tebal sehingga tak usah ditjat lagi, dengan kedua gelang pintunja jang berat2.

   Ia lantas mengetuk daun pintu, sehingga suaranja berkumandang didalam lembah.

   "Siapa?"

   Tanja suara orang dari dalam sesudah lewat sekian lamanja.

   "Aku!."

   Sahut Siauw Sek Tauw.

   "Aku Siauw Sek Tauw dari tepi sungai Hong Too."

   Pintu lantas dibuka, maka diambang pintu itu terlihat seorang jang tubuhnja kekar.

   "Haha, kau, Siauw Sek Tauw!"

   Tegurnja tertawa.

   "Mau apa kau datang kemari?"

   Ia djuga meng-usap kepala orang.

   "Apakah Pek Ma Looya ada dirumah?"

   Tanja sibotjah, dengan wadjah sungguh2.

   "Tolong, Nie Toako, tolong kabarkan kedatanganku bersama tuan Lie ini."

   Nie Toa, jang dipanggil toako itu, mengawasi Djie Kang.

   "Mari masuk!"

   Mengadjak ia.

   Kemudian setelah dua orang itu berada didalam, ia menguntji pula pintu pekarangan itu, lalu ia memimpinnja melewati sebuah tanah lapang dengan tanah berpasir rata.

   Itulah lapangan peranti beladjar silat.

   Rumah itu, pintu dan djendelanja, semuanja sederhana.

   Disebelah barat, pada para , tertambat empat ekor kuda pilihan, sebab semuanja tinggi besar dan keren, terutama jang seekor bulunja putih mulus.

   Mungkin itulah kuda jang membikin tuan rumahnja mendapat sebutan Pek Ma Looya atau Pek Ma Kie-Hiap itu.

   "Pek Ma"

   Jaitu kuda putih.

   "looya"

   Luan, dan Kie-Hiap orang gagah luar biasa.

   Djusteru itu, Pek Ma Looya pun muntjul.

   Ia mengenakan pakaian seperti orang gunung, mukanja pandjang dan kurus, djanggutnja putih, akan tetapi matanja besar dan sinarnja berpengaruh.

   Sama sekali ia tidak mirip "tuan besar,"

   Iahanja sederhana.

   "Ada apa kamu datang kemari?"

   Tanja ia sesudah mengawasi Djie Kang. Pandai besi ini membungkuk, buat memberi hormat, kaku gerakannja sebab sakit punggungnja, jang belum sembuh seanteronja. Untuk berdiri pula dengan tegak, iapun bergerak lambat.

   "Apakah dia terluka?"

   Tanja Pek Ma Looya.

   "Ja,"

   Sahut Siauw Sek Tauw tjepat.

   "Dia terluka dan masih belum sembuh. Dia ditjelakai Hek Bian Kwie jang merampas uang dan pedangnja. Dia dihadjar dipunggungnja dengan sebuah batu besar. .."

   Terus ia memberi keterangan lebih djauh seperti dituturkan Djie Kang. Parasnja Pek Ma Looya muram mendengar perbuatan Hek Bian Kwie itu, akan tetapi mendengar halnja pedang, ia mengawasi tadjam si orang she Lie.

   "Kamu masuk kedalam!"

   Katanja sebelum ia menanja lebih djauh.

   Siauw Sek Tauw menurut, ia mengadjak Djie Kang bertindak masuk.

   Djie Kang berlaku hormat.

   Ia melihat sebuah ruang dengan perabotannja jang sederhana sekali.

   Tjuma medja dan beberapa buah kursi.

   Diatas medja ada beberapa d

   Jilid buku. Pada tembok tergantung sebuah pedang.

   "Kau kerdja apa?"

   Tanja Pek Ma Looya setelah ia duduk.

   "Pandai besi,"

   Sahut Djie Kang, jang menerangkan hal dirinja.

   "Apakah pedang itu buatanmu sendiri?"

   "Bukan, buatan guruku. Tapi sekarang guruku sudah meninggal dunia."

   "Kau asal mana dan dari mana kau datang?"

   Djie Kang menjebut asalnja orang Hoa Im dan datang dari Hoa lm djuga. Djawaban itu membuat tuan rumah terkedjut dan lantas memikir sesuatu.

   "Dengan susah pajah barulah guruku berhasil membuat pedang itu,"

   Djie Kang kata pula.

   "Ketika ia mau menutup mata, ia pesan aku untuk mengantarkan pedangnja itu kepada seorang sahabat karibnja dikota radja. Aku menjesal karena alpa, ditengah djalan aku telah ditjelakai Hek Bian Kwie."

   "Tunggu dulu!"

   Pek Ma Looya menjela.

   "Kau orang Hoa Im, tahukah kau bahwa disana ada seorang jang disebut Kim Tjie Tay-Peng Sim Hay Peng?"

   "Aku tahu, aku mengenalnja,"

   Sahut Djie Kang mergangguk.

   "Dia tinggal di Kwee Kee Tun, kemudian dia merobah shenja mendjadi she Kwee. Dia biasa dipanggil Kwee Soeya, hanja sekarang dia telah menutup mata... ."

   Pek Ma Looya menghela napas.

   "Dikota Hoa Im djuga ada seorang bekas tayhaksu"

   "Ja, ja. Dialah Tjong tayhaksu di djalan Tjongoan Kay. Kwee Suya djusteru terbinasa dirumahnja tayhaksu itu. Dalam bulan empat jang baru lalu, karena suatu urusan, Kwee Suya menjatroni rumah orang she Tjong ilu, disana dia ditikam mati Biauw Hiong Tjay, pahlawannja keluarga itu"

   Mendadak Pek Ma Looya berdjingkrak bangun, wadjahnja muram. Lantas ia membanting kaki. Siauw Sek Tauw kaget. Ia berpaling pada sahabatnja. D ie Kang pun terkedjut, hingga dia mengawasi. Tuan rumah melihat kelain arah.

   "Apakah simachluk tua tayhaksu she Tjong itu masih hidup?"

   Tanja Pek Ma Looya.

   "Dia masih hidup! Adalah Kwee Hay Peng dan guruku, jang telah pada meninggal dunia. Tinggal In Tiong Hiap jang tidak menepati djandji"

   Pek Ta Looya memutar mukanja.

   "Bagaimana kauketahui halnja In Tiong Hiap?"

   Tanjanja. Ia nampak heran, sikapnja keren. Tanpa menanti djawaian, ia mengulapkan tangan, menjuruh Siauw Sek Tiauw mengundurkan diri. Djie Kang heran, tubuhnja bergemetar.

   "Adakah looya ketahui dimana adanja In Tiong Hiap sekarang ini?"

   Ia tanja. Pek Ma Kie Hiap menepuk dadanja.

   "Akulah In Tiong Hiap!"

   Sahutnja. Mendadak sadja Lie Djie Kang mendjatuh kan diri berlutut didepan tuan rumah itu.

   "0, tayhiap..katanja.

   Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "aku minta tayhiap tolong tjari Hek Bian Kwie, buat merampas pulang pedangku itu dari tangannja supaja tayhiap dapat membalaskan sakit-hatinja Nie Thay-Po dan Kwee Hay Peng."

   Pek Ma Looya menghela napas. Ia mengangkat bangun tubuh orang.

   "Kalau kau tidak datang, hampir aku melupakan peristiwa tigapuluh tahun dulu itu,"

   Katanja dengan masgul, tanda dari kemenjesalannja.

   Kwee Hay Peng jang kau sebutkan itu, sedjak dahulu hari dia berada di Shoasy, dialah sahabatku.

   Mengenai permusuhan Nie Thay Po dengan Keluarga Tjong, diapun telah mentjeritakannja dengan djelas, bahkan dia telah minta aku menggunakan kepandaianku pergi membunuh tayhaksu djahat itu.

   Aku telah menerima baik permintaannja itu, akusudah memberikan djandjiku.

   Hanja ketika itu, mendiang istriku masih hidup, pada saat ia hendak melahirkan puteraku jang bernama Keng Hiap, jang peruntungannja buruk..."

   Menjebut nama anaknja, anak jang sulung, wadjah sidjago muram, ia berduka sekali.

   "Karena itu, tidak dapat aku lantas pergi ke Hoa Im."

   Katanja menjambung.

   "Lewat hampir setengah tahun, masih djuga aku belum dapat pergi, kali ini sebab aku mendapat halangan. Aku telah kedatangan musuhku jang bernama Lauw Beng Liong, jg. disebut Tee It Tiauw Hoohan, jaitu orang kosen nomor satu. Ketika itu Kami sama2 muda. Dia datang kekampungku, dia membuka mulut besar, lalu atas andjuran kawan-kawanku, aku menempur dia. Aku pertjaja betul kepandaianku menggunakan pedang dan ilmu ringan tubuhku. Diluar dugaanku Lauw Beng Liong benar2 liehay, sepuluh kali aku lawan dia, sepuluh kali djuga aku kena dikalahkan. Karena ini aku mendjadi malu. Tak suka aku disebut orang gagah, malu aku dipangil In Tiong Hiap, aku djuga tak ada muka tinggal lebih lama dikampung asalku, maka aku lantas pindah kesini."

   "Pantaslah sampai sebegitu djauh, tidak ada orang jang mendengar lagi hal looya."

   "Ja, selama limabelas tahun pertama, hampir tak pernah aku turun gunung. Ketika itu, isrtriku menutup mata. Aku jang merawat dan mendidik kedua anakku, setiap waktu aku adjarkan pada mereka ilmu silat. Kemudian aku pergi tjari Lauw Beng Liong, untuk menempur pula padanja. Kami bertemu digunung Siong San, Hoolam. Tiga kali kami bertanding, kesudahannja, dua kali aku kalah dan satu kali seri. Ketjuali kami berdua, tidak ada orang Kang Ouw jang ketahui peristiwa itu. Kesudahannja pertempuran jang terachir itu membuat aku insaf bahwa kekalahanku disebabkan kurang sempurnanja ilmu pedangku. Lantas aku suka pesiar sambil menunggang kuda putihku, untuk mentj i ahli silat jang liehay. Siapa sadja aku dengar pandai ilmu pedang, tentu aku kundjungi, untuk beladjar daripadanja. Lihat, sekarang aku sudah ubanan tetapi aku masih belum mau menjerah tua, tetap aku masih melatih diri. Kedua anakku itu jalah jg. sulung bernama Keng Hiap, gelar Touw Liong Tjiangkun, djenderal pembunuh naga, dan jang bungsu Bong Hiap, terdjuluk Tjam Liong Tjongsu, orang gagah pembunuh naga. Ilmu silat mereka sudah tak ada tjelaannja. Hanja anak sulungku itu, sedjak dua tahun jang lalu dia pergi merantau, sampai sekarang dia belum pulang dan tidak ada kabar-beritanja. Katanja dia mau pergi menijari Lauw Beng Liong. Dia pergi diluar tahuku. Orang mendustai aku bahwa dia sudah menikah dan tidak mau pulang lagi. Sebenarnja...

   "

   Mendadak suara djago tua ini mendjadi parau, dia membanting kaki .

   "aku tahu dia lelah terbinasa ditangannja Lauw Beng Liong. Tapi itulah tidak apa "

   Lie Djie Kang heran hingga ia melengak. Tapi ia lekas berkata .

   "Kalau tidak ada kabar-tjeritanja tentang putera sulung itu, itu belum tentu berarti bahwa ia mendapat tjelaka diluar ..."

   Pek Ma Looya menghela napas, ia menjambung .

   "Kau lihat, urusanku sendiri begitu rupa, bagaimana aku sempat mengingat djandjiku dahulu hari itu? Sjukur kau datang, kalau tidak, tentu aku bakal melupakannja untuk se- lama2nja. Baiklah! Sekarang akan aku kesampingkan urusan pribadiku. Kau tahu, kabarnja Lauw Beng Liong masih melatih diri, dia lebih tekun daripuda aku, sedang pula, dia telah mengundang banjak orang pandai lainnja. Karena dia lakut nanti disateroni pula olehku. Mengenai perkaranja Kwee Hay Peng, itulah mudah. Bangsat tua she Tjong itu tak lebih tak kurang segala andjing-babi, kalau aku mengirim Bong Hiap, anakku jang bungsu, sudah cukup buat aku membuatkan pembalasan!"

   "Tetapi, looya,"

   Kata Djie Kang sebagai peringatan.

   "pahlawannja keluarga itu liehay luar biasa. Dialah jang dipanggil Ok Bong Biauw Hiong Tjay ...

   "

   "Djangan kuatir, dia sebenarnja seorang tak mempunjai nama!"

   Berkata begitu, In Tiong Hiap memanggil.

   "Mana orang?"

   Dari luar datang suara djawaban, lantas muntjul dua orang, jalah Nie Toa bersama Siauw Sek Tauw. Atas itu, Pek Ma Looya kata pada pegawainja itu .

   "Pergi kau panggil djie-siauwya ber-sama2 Tjie Eng, Tjiauw Kiang dan Tio Tay Tjun!"

   Nie Toa menjahut "Ja,"

   Lantas ia mengundurkan diri. Sambil menantikan, In Tiong Hiap masuk kedalam, maka Siauw Sek Tauw dapat kesempatan untuk bitjara dengan Lie Djie Kang. Separuh berbisik ia lanja bagaimana kesudahannja pertemuan itu.

   "Sebenarnja sudah lama aku mendengar nama besar dari Pek Ma Looya,"

   Sahut Djie Kang.

   "sedang buat urusanku ini, andaikata aku dapat bertemu dengannja, aku terus pergi ke Pakkhia atau tidak, bukannja soal lagi ..."

   Botjah itu mendjadi heran.

   "Sebetulnja bagaimanakah duduknja perkara?"

   Tanjanja.

   "Sabar, adik,"

   Kata Djie Kang.

   "Tunggu sampai aku sudah mempunjai tempo terluang nanti kuberi pendjelasan kepadamu. Hanja barusan Looya tidak menjebut-njebut halnja pedang mustika, ia tjuma menjuruh memanggil djie- siaowya dan lainnja. Memang tak apa djie-siauwya bekerdja tanpa pedang, tetapi aku kuatirkan pedang itu sendiri, jaitu kalau lama-lama dia berada ditangan orang djahat, dia nanti digunakan untuk maksud djahat, hal itu akan membikin aku malu terhadap arwah guruku"

   Karena berduka sangat, alisnja pandai besi itu mengkerut rapat.

   Segera terdengar suara banjak tindakan kaki, waktu Siauw Sek Tauw menoleh, ia melihat muntjul tiga orang, jang semuanja ia kenal, sebab mereka itu murid-murid Pek Ma Looya; jang dua tinggal bersama di rumah ini, jang satunja berdiam di rumah belakang gunung.

   In Tiong Hiap djuga sudah lantas keluar lagi, tangannja mentjekal tiga buah bungkusan jang nampak berat.

   "Mana djie-siauwya?"

   Tanjanja paling dahulu. Nie Toa jang mendjawab, hanja dia bitjara tidak lunljar.

   "Djis-siauwya... ia... ia..."

   Katanja. Atau ia disela.

   "Dia masih apa?"

   Tanja In Tiong Hiap bengis.

   "Tjie Eng, gusur dia kemari!"

   "Ja, suhu,"

   Sahut satu diantara tiga murid itu, jang mukanja hitam, jang terus sadja mengundurkan diri. Tapi baru sadja keluar, atau dari luar sudah terdeugar suara.

   "Ajah, aku di sini! Aku tengah berlatih di atas gunung! Ada urusan apa ajah memanggil aku?"

   Menjusul ilu, masuklah si djie-siauwya, tuan muda jang nomor dua, atau Ong Bong Hiap gelar Tjam Liong Tjongsu. Djie Kang mengawasi, ia melihat gerak-gerik orang.

   "Sajang!"

   Katanja didalam hati.

   "Pemuda sematjam ini mana bisa bekerdja besar? Dia rupanja masih ingat buah heng dan si nona manis itu..."

   Pek Ma Looya lantas bitjara pada putranja itu.

   Mulanja ia menjebut djandjinja pada Kwee Hay Peng tigapuluh tahun dulu, djandji untuk membantu membalaskan sakit- hatinja Nie Keng Giauw jang difitnah Tjong Haksu.

   Siauw Sek Touw hadir bersama, heran ia mend.ngar keterangan In Tiong Hiap itu.

   Kemudian si ajah menundjuk Lie Djie Kang, untuk melandjutkan kata-katanja.

   "Inilah tuan Lie Djie Kang dari Hoa Im. Ia seorang budiman dan bernjali besar, meskipun ia tidak mengerti silat. Ia lebih keras hati daripada kamu!"

   Tjie Eng bertiga berkata berbareng.

   "Asal suhu perintahkan, kami akan kerdjakan! Rela kami mengorbankan djiwa kami!"

   Sikap merekapun gagah.

   "Inilah bukan pekerdjaan sukar,"

   Kata sang guru.

   "Aku djuga bukan hendak menjuruh kamu pergi mentjari Lauw Beng Liong!"

   "Mentjari siapapun boleh!"

   Kata Bong Hiap lantang.

   "Telah aku pahamkan peladjaran silatku sehingga sempurna tetapi ajah jang selalu tidak mengindjinkan aku turun gunung!' Ajah itu tertawa dingim "Baik!"

   Katanja, keras.

   "Sekarang kuberi idjinku! Kau dengar perintahku! Sekarang kamu siap, tak dapat kamu berlambat lagi, besok kamu semua sudah harus beranekat!"

   "Sekarangpun dapat ajah!"

   Kata si anak siap sedia, sikapnja gagah berlebihkan.

   "Berangkat malam lebih mudah dari pada terangkat siang!"

   "Kalau begitu, terserah padamu!"

   Berk.ta si ajah.

   "Kamu pergi dengan membekai uang setjukup ja, di tengah djalan tidak dapat kamu mengambil barang orang lain meski tjuma sepotong! Kamu djuga tidak boleh mengandalkan kepandaian kamu bertiga kamu djadi bertindak sewenang- wenang! Aku larang kamu kerdjakan apa djuga ketjuali dua perintahku! Terutama kamu djangan sampai kamu menggangu sama orang Kang Ouw!"

   "Baik, ajah!"

   Berdjandji siputera. Ditangannja, ia masih mengepal sebuah heng jang merah menor. Ia agak tak sabaran.

   "Apakah dua perintah ajah itu?"

   "Per-tama kamu berempat pergi dulu ketepi sungai,"

   Berkata siajah.

   "Disana kamu tjari dan bekuk Hek Bian Kwie, lalu Tjie Eng menggusurnja kemari! Hendak aku menghukum dia!"

   Bong Hiap mengangguk.

   "Pekerdjaan mudah!"

   Katanja.

   Pek Ma Kie Hiap menjerahkan satu bungkusan besar pada anaknjn, satu bungkusan lagi diberikan pada Tjie Eng.

   Bungkusan jang ke-tiga diangsurkan kepada Tio Tay Tjun, orang jang usianja paling tua diantara mereka berempat, jang pun kelihatan paling tjerdas.

   "Tjie Eng pulang lebih dahulu,"

   Kata pula In Tiong Hiap.

   "Kau, Bong Hiap, setelah mendapatkan pedang, bersama- sama Tjiauw Kiang dan Tio Tay Tjun, kau terus berangkat ke Hoa Im. Disana, didalam segala hal, kau bersama Tjiauw Kiang mendengar kata2nja Tay Tjun. Bong Hiap, kau turun tangan apabila waktu nja telah tiba. Ketjuali sihaksu djahat she Tiong itu serta Biauw Hiong Tjay, aku larang kau membunuh lain orang siapa djuga! Ingat, inilah bukan kepergian untuk bertanding silat, karena itu, kau harus menggunakan ilmu ringan tubuhmu, supaja kamu dapat bekerdja dengan ijepat. Kamu harus bekerdja rapih sekali, setelah selesai, kamu mesti pulang menemukan aku dengan membawa sekalian pedang mustika itu!"

   Bong Hiap mendengar perintah ajahnja itu.

   ia mengangguk tetapi tidak berwadjah tegang.

   Ia masih menganggap itulah perkara ketjil jang tak sesuai untuk ia jang melakukannja.

   Dengan tjepat ia memutar tubuh untuk mengundurkan diri.

   Selagi djago muda itu bertindak, serupa barang djatuh dari tubuhnja.

   Tidak ada orang jang melihat itu ketjuali Siauw Sek Tauw, siapa dengan diam2 mengindjak, menutupi dengan kakinja.

   Tjie Eng bertiga ikut keluar, kemudian disusul oleh tuan rumah, jang masih berkata dengan suara njaring kepada puteranja .

   "Kau tunggangilah kuda putihku!"

   Mendengar suara itu, bukan main gembiranja Bong Hiap. Dalam sedetik sadja, dia mendjadi sangat bersemangat Dia keluar dengan tindakan ijepat. Diluar, telah siap kuda untuk mereka, jang tengah diberi makan.

   "Sekarang sudah sore, boleh kita tak usah berangkat sekarang djuga,"

   Kata Lie Djie Kang.

   "Kita djangan pedulikan mereka,"

   Siauw Sek Tauw berbisik.

   "Mereka semua bangsa keras adat, begitu mereka berkata, begitu mereka bekerdja!"

   Berkata begitu, ia membungkuk, buat mendjemput barang jang ia indjak itu, untuk dilihat. Kiranja itulah sebuah kantung mungil dari sutera jang tersulam bunga indah, pula baunja harum.

   "Lekas kembalikan padanja,"

   Kata Djie Kang, la maksudkan Bong Hiap.

   "Tentulah nona patjarnja jang membuat dan menghaturkan kepadanja!"

   "Tak dapat barang ini diserahkan padanja sekarang djuga,"

   Kata Siauw Sek Tauw.

   "Kalau ajahnja mendapat lihat, ajah itu bisa djadi gusar, itulah berbahaja!"

   Lie Djie Kang menghela napas, ia merasa tidak tenang.

   Ia melihat Bong Hiap berempat telah menjediakan bungkusan dan sendjatanja, karena kuda mereka sudah siap, mereka lantas memberi hormat pada ajah atau guru mereka, untuk meminta diri untuk berangkat, ia tidak tenang hati sebab segera mendapat kenjataan sidjago muda bersifat gemar paras elok, lagaknja sebagai seorang berandal.

   Ia sangsi apakah dia nanti akan berhasil.

   Maka diam2 ia mendoa, agar pedangnja dapat dirampas pulang, supaja ia sendiri jang membawanja kekotaradja.

   Io Tiong Hiap sudah lantas kembali kedalam.

   Mereka mengikutinja.

   "Sekarang kamu pergi ke rumah barat itu, untuk bersantap dan beristirahat,"

   Kata tuan rumah itu.

   "Dalam tempo setengah bulan, mereka itu pasti akan sudah pulang kembali. Kamu tunggulah dengan sabar"

   Siauw Sek Tauw lantas menarik tangannja Djie Kang, jang terus tidak berani banjak omong pula. Nie Toa pun lantas mengadjak mereka ke kamar jg. disebutkan itu. Sek Touw mendjadi bersemangat. Katanja.

   
Durhaka Karya Boe Beng Tjoe di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sajang usiaku masih sangat muda sehingga Pek Ma Looya tak melihat mata padaku! Djikalau tidak, pastilah aku telah menunggang kuda turut-serta dengan mereka itu!"

   "Botjah tjilik. kau djangan memikir untuk merdiadi orang besar!"

   Berkata Nie Toa.

   "Kalau nanti kau tinggal di sini, tak usah aku jang menjapu pula di rumah ini!"

   Ia menoleh kepada Djie Kang, meneruskan.

   "Tuan Lie, kau beritirahatlah! Sebentar barang hidangan akan sudah matang dan akan segera disadjikan. Djuga djangan kau kuatir. Kepandaian djie-siauwya tidak dibawah kepandaian ajahnja. Apa jang dikuatirkan jalah uang bekalannja tidak tjukup banjak, karena di tengah djalan, ada kemungkinan dia..Ia berhenti dengan tiba-tiba, baru kemudian menambahkan bagaikan orang mendumal.

   "Usia siauwya sudah duapuluh tahun, dia masih djuga belum dinikahkan, dia masih diharuskan beladjar silat terus, sedangkan sebenarnja... sebenarnja...

   "

   Ah!"

   Dan ia ngelojor pergi.

   Siauw Sek Tauw mengeluarkan kantung jg.

   ia pungut tadi, jang menjiarkan bau harum.

   Ia bawa itu ke hidungnja, ia menjedotnja dengan rasa puas sekali.

   Ketika mereka bersantap, selain Sek Tauw dan Djie Kang ada Nie Toa serta seorang budjang lain, maka itu, mereka dahar berempat djuga.

   Habis bersantap, rembulan sudah keluar.

   Selagi suasana sunji, angin bertiup halus.

   Hawa udara dingin.

   Dalam rumah itu, pelbagai kamar nampak gelap ketjuali ruang utara, dari mana kadang-kadang terdengar suara kaki dibanting.

   Siauw Sek Tauw melongok dari djendela, untuk melihat, kemudian ia menarik Djie Kang.

   Dengan begitu, berdua mereka melihat bersama.

   Di dalam pekarangan dalam, di antara sinar lampu, seorang tengah bersilat dengan pedang, sendjata mana berkilauan, sedangkan gerakannja semakin lama niendjadi semakin tjepat.

   Tubuh orang itu gesit sekali, tangan dan kakinja bergerak tak hentinja, bahkan ada kalanja tubuhnja mentjelat tinggi, naik ke pajon rumah.

   Satu kali dia lompat naik sekian lama, entah kemana dia pergi, setelah turun pula, dia langsung mauk ke dalam kamarnja.

   Djie Kang berpikir, terus ia merebahkan diri dan tidur.

   Besoknja, ia mendusin pagipagi sekali.

   Segera ia melihat In Tiong Hiap lagi berlatih dengan pedangnja.

   Ia tidak lahu kebiasaan tuan rumahnja, jang umumnja setelah tidur tengah hari, tubuhnja djadi sehat sekali, terus dia radjin berlatih, sedangkan kalau dia keluar rumah, tentu pergi dengan kuda putihnja.

   Selandjutnja, senang Djie Kang merawat lukanja di rumah In Tiong Hiap.

   la tidak kesepian.

   Kadang-kadang ia melihat Siauw Sek Tauw djuga berlatih silat, bertangan kosong dan dengan bersendjata pedang.

   Walaupun demikian, tak pernah ia melupakan Bong Hiap, hingga sering ia berchajal melihat mereka itu lagi menudju ke barat dengan pedangnja berkilauan.

   Lima hari telah lewat, lalu tampak Tjie Eng pulang seorang diri.

   In Tiong Hiap lagi berlatih silat, lantas ia menghantikannja.

   "Bagaimana?"

   Tegurnja lebih dahulu.

   "Mana Hek Bian Kwie? Apakah dia tidak kena ditangkap?"

   "Bukan begitu, suhu,"

   Sahut sang murid.

   "Begitu djie- siauwya bertemu dengan Hek Bian Kwie, lantas ia menabas dengan pedangnja, maka matilah dia itu, hingga tak usah kami menawannja lagi!"

   "Dan pedangnja?"

   "Pedang didapatkan djie-siauwya. la girang bukan main, dengan pedang itu ia menabas kutung pedangnja sendiri, lalu dengan membawa itu, ia kabur ke barat. Tay Tjoen berdua Tjiauw Kiang turut bersama. Aku pulang untuk memberi laporan."

   In Tiong Hiap mengangguk, ia nampak girang.

   Djie Kang dari depan djendela mendengar pembitjaraan itu, hatinja lega separuh.

   Tidak sadja Hek Bian Kwie telah terbinasakan, pedangnjapun tidak terdjatuh kedalam tangan orang djahat.

   Sekarang ia mengharap dan mendoa supaja Bong Hiap berhasil membinasakan Tjong Haksu dan Biauw Hiong Tjay.

   Sementara itu, lukanja Djie Kang sembuh dengan tjepat.

   Pada suatu hari ia minta Siauw Sek Tauw mengadjaknja pergi djalan-djalan kegunung.

   "Aku tidak mau,"

   Kata botjah itu.

   "Aku tidak berani"

   "Eh, kenapakah kau?"

   Djie Kang heran.

   "Kemarin dulu aku pergi keluar, niatku memungut buah heng jang tua dan telah rontok untuk aku makan. Buah itu lezat sekali. Apa mau disana aku bertemu dengan si anak perempuan jang binal. Ia pegat aku dan tanja kenapa djie- siauwya belum pulang djuga. Aku kata, djie-siauwya pergi kebarat, mana bisa ia tjepat-tjepat pulang. Tiba-tiba dia mendjadi tidak senang, dua kali dia menggaplok aku, lalu dia menangis, sambil menangis dia mentjatji aku. Dia kata aku lelah membikin tjelaka padanja! Katanja, kalau aku tidak datang, djie-siauwya tiduk nanti bepergian, dan dengan bepergian, mungkin djie-siauwya tidak pulang lagi seperti toa siauwya, kakaknja, jang mati dikampung orang, hingga dia akan tersia-sia ..."

   "Heran, ada wanita demikian tidak tahu malu!"

   Kata Djie Kang.

   "Apa kau tidak terangkan padanja bahwa djie siauwya pergi atas perintah njahnja untuk melakukan tugas sebagai seorang gagah perkasa? Mana dapat pemuda demikian gagah mesti terlibat oleh seorang nona jang tak tahu malu?"

   "Aku tidak berani melajani seorang wanita. aku melepaskan diri dan lari meninggalkannja ... ."

   Djusteru itu terdengar suaranja In Tiong Hiap. jang tertawa.

   "Siauw Sek Tauw, mari! Mari aku adjari kau ilmu ringan tubuh, supaju kau bisa lompat naik keatas genteng."

   "Ja, suhu"

   Sahut Siauw Sek Tauw girang sekali, la tinggalkan kawannja, ia lari keluar sambil berlompatan.

   Benar benar In Tiong Hiap sangat gembira.

   Lagi lima hari, pulanglah Tjiauw Kiang seorang diri, muka dan tubuhnja keringatan kudanja mengorong.

   Baru ia tauja Nie Toa, apakah gurunja ada -lirumah atau tidak, atau sang guru sudah muntjul diambang pintu dan mendahului menegurnja.

   "Eh, kenapa kau pulang sendirian sadja?"

   Tjiauw Kiang letih tetapi dia lantas tertawa.

   "Aku pulang buat menjampaikan warta jang menggirangkan, suhu!"

   Katanja.

   "Djiesiauwya telah berhasil membunuh Lauw Beng Liong, karena mana dendam suhu selama tiga puluh tahun, sekarang habislah sudah!"

   Ketika itu, Djie Kang dan Siauw Sek Tauw pun keluar. Mereka melihat In Tiong Hiap menerima warta itu dengan heran dan ragu-ragu.

   "Kau bitjara lebih djelas!"

   Katanja pada muridnja itu. Tjiauw Kiang tetap gembira sekali.

   "Setelah kami menemui Hek Bian Kwie ditepi sungai dan membinasakannja, siauwya girang sekali, dengan memiliki pedang mustika, ia nampak djadi semakin gagah, Kami lantas melandjutkan perdjalanan kami. Tiba diketjamatan Peng-liok, kebetulan kami mendengar orang bitjara halnja Lauw Beng Liong, jang baru sadja lewat dalam perdjalanannya keutara. Atas itu, siauwya kata pada kami . Kita ketemu musuh besar, mana dapat dia dikasi lewat begitu sadja? Baik kita bereskan dulu urusan pribadi kita, baru urusan lain orang! Tay Tjun bersangsi, aku sebaliknja. Achirnja Tay Tjun turut djuga. Kita pergi ke Tjiangtjiu, menjusul musuh itu "

   "Djadi kamu bertemu Lauw Beng Liong di Tjiangtjiu?"

   Tanja In Tiong Hiap.

   "Bagaimana djalannja pertempuran ? Sampai berapa djuruskah baru ada keputusannja?"

   Tjiauw Kiang tertawa.

   "Ttulah bukannja pertempuran!"

   Sahutnja.

   "Sampai tiga djuruspun tidak! Sungguh siauwya tjerdas dan gagah! Lauw Beng Liong diketemukan didalam kota, dia tak dipandang mata. Beng Liong djuga tekebur sekali, rupanja dia merasa bahwa dia telah mempunjai andalan kuat! Sudah dia sendiri bersahabat dengan pembesar negeri, djuga anak perempuannja telah bertunangan dengan putranja brigadir-djenderal dari kota Gan Bun Kwan. Selagi lewat dikota Tjiangtjiu itu, dia didjamu sahabat2 dan pembesar setempat, maka itu sampai malam, dia pulang dengan keadaan sinting. Dia menumpang didalam sebuah rumah penginapan. Siauwya sudah siap sedia, siang2 ia sembunji didalam kamar, dikolong pembaringan. Begitu Beng Liong bertindak masuk, ia lompat keluar dan menikam. Beng Liong kaget, dia berkelit dan menghunus pedangnja, untuk membalas menjerang. Siauwya menangkis seraja meneruskan menabas. Pedang lawan kuiung seketika, tubuhnja terbatjok. maka robohlah dia! Tjoba suhu mendapat lihat kesebatan siauwya! Bukankah djulukan siauwya Tjam Liong Tjongsu? Surup sekali gajanja waktu itu ! Lauw Beng Licng mendjadi djago jang dimalui selama tigapuluh tahun tetapi dengan tjara demikian sadja lakonnja tamat!"

   Berkata begitu, murid ini berdjingkrak saking gembiranja. Selelah itu dari sakunja ia mengeluarkan rosokan sebuah gelang kumala. la berkata pula.

   "Siauwya kuatir suhu tidak pertjaja, ia sekalian mengambil gelang kumala ini jang biasa dipakai dilengan Beng Liong, ia suruh aku membawa pulang untuk ditundjukkan kepada suhu."

   In Tiong Hiap menjambuti gelang itu.

   Ia mengenali gelang musuhnja.

   Maka ia djadi mengenangkan kedjadian2 jang telah lampau.

   Beng Liong seorang djago, karena dia liehay dalam ilmu pedangnja, jang belum pernah menemukan lawan.

   Memang gelang itu biasa dipakai dilengan kirinja.

   Sekarang, musuh itu sudah tidak ada lagi didalam dunia.

   Tapi ia tidak mendjadi gembira.

   Dimatanja, perbuatan anaknja bukan perbuatan laki-laki sedjati.

   "Suhu menguatirkan ilmu silat siauwya belum sempurna, sekarang terbukti kekuatiran itu tidak pada tempatnja,"

   Tjiauw Kiang kata.

   "Sekarang terbukti kegagahannja! Begitu ia turun gunung begitu ia dapat menjingkirkan musuh besar suhu sedjak tigapuluh tahun jang lalu."

   "Membunuh orang setjara demikian, siapapun dapat melakukannja!"

   Kata sang guru. Tjiauw Kiang melengak. In Tiong Hiap menghela napas.

   "Buat membantu orang lain menjingkirkan orang djahat, segala daja dapat dipakai,"

   Katanja.

   "Tidaklah demikian mengenai Lauw Beng Liong. Melawan Beng Liong, aku menggunakan kaki-tangan dan sendjata tadjam, semua itu dengan djalan jang lazim. Tetapi Bong Hiap lain, perbuatannja itu sangat mengetjewakan!"

   Tjiauw Kiang melengak pula. Inilah ia tidak sangka. In Tiong Hiap berdjalan mundar-mandir sambil menggendong tangan.

   "Biar bagaimana, soehoe,"

   Kata simurid kemudian.

   "sekarang soehoe tidak mempunjai lawan lagi, hingga selandjutnja, Pek Ma Looya mendjadi orang Kang Ouw nomor satu, sedangkan siauwya pasti akan terkenal sebagai pemuda jang gagah perkasa."

   Tapi siguru gusar.

   "Pergilah kau!"

   Bentaknja.

   Kembali Tjiauw Kiang melengak, lalu ia memutar tubuh, buat mangangkat kaki.

   Ia benar2 tidak mengarti.

   In Tiong Hiap mengawasi gelang ditangannja, ia menghela napas ber-ulang2.

   Terang ia menjesal dan bersusah hati atas kematian musuh itu.

   Siauw Sek Tauw berkumpul bersama Lie Djie Kang didalam kamarnja.

   Ia kata pada kawannja bahwa perbuatannja Ong Bong Hiap tidak dapat dipudji, Untuk merebut nama untuk ajah, tak dapat seorang anak berbuat demikian.

   Membokong terutama musuh sedang sinting tidaklah tepat.

   Djie Kang bungkam mengenai perbuatan Bong Hiap itu.

   Ia hanja pikir, kalau orang dapat membunuh Lauw Beng Liong, orang tentu berhasil mentjari Tjong Haksoe, guna membunuh musuh Nie Keng Giauw.

   


Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Misteri Kapal Layar Pancawarna -- Gu Long Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini