Dendam Empu Bharada 12
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 12
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
Entah bagaimana seke ka mbullah keinginan puteri Arini untuk melihat Nararya.
"Nyi Su "
Serunya "panggillah dia kemari.."
Nyi Suti terbeliak "Tetapi gusti ....."
"Mengapa?."
"Tidakkah .... raden Panglulut akan marah apabila gus bertemu dengan seorang pemuda yang tak dikenal itu?."
"Mengapa marah?"
Balas Arini "aku tak bermaksud apa2 melainkan ingin melihat orang yang telah menolong jiwa ramaku. Bila perlu, akupun wajib juga untuk memberi anugerah kepadanya.."
Nyi Suti tak dapat membantah. Ia segera menemui Nararya.
"
I bagus"
Katanya "gusti puteri Arini menitahkan engkau menghadap.."
Nararya terkejut "Siapa gusti puteri Arini itu?."
"Puteri gusti patih Aragani."
"O"
Nararya mendesuh.
Tetapi ia tak dapat melanjutkan berkata karena nyi Su pun sudah siap membawanya.
Terpaksa Nararya mengikutinya.
Nararya tersipu menundukkan kepala ke ka pandang matanya beradu dengan mata Arini.
Ia segera duduk bersimpuh dihadapan puteri patih itu.
Diam2 ha puteri Arini pun tergetar ke ka tersambar sinar mata Nararya yang bercahaya terang itu.
Sampai beberapa saat ia tertegun.
"Gus "
Karena melihat Arini diam sampai beberapa saat, nyi Su terseru "inilah pemuda, ki bagus Nararya, yang telah menyelamatkan jiwa gusti patih."
Arini agak gelagapan "O, benarkah engkau yang telah menolong rama patih, ki sanak ?."
"Ah, hamba hanya sekedar menyembunyikan gus pa h dari kejaran gerornbolan, gus "
Nararya menyahut dengan kata2 merendah.
"Menyelamatkan, bukan harus dengan mengadu jiwa. Banyak sekali jalan dan caranya. Menyembunyikan dari serangan gerombolan, juga suatu cara penyelamatan yang baik"
Kata puteri Arini.
"Tetapi hamba hanya sekedar melakukan apa yang hamba wajib lakukan. Sebagai seorang kawula terhadap gusti. Hamba tak merasa telah berbuat suatu jasa terhadap gusti patih."
Melihat wajah Nararya yang memancar sinar agung dan tutur bahasanya yang rendah ha dan sopan, tertariklah perha an Arini.
Walaupun tak sampai dia meningkatkan pemikirannya akan sesuatu yang dirasakan antara suaminya, Kuda Panglulut, dengan Nararya.
Namun saat itu terbayang juga ia akan diri suaminya itu.
Ia menghela napas.
Dalam pada waktu Arini sedang bercakap-cakap dengan Nararya, nyi Su pun meninggalkan tempat itu.
Memang sudah menjadi peraturan, bahwa apabila gus puterinya sedang menerima tetamu tak boleh para hamba sahaya berada disitu untuk mendengarkan percakapan.
Nararya menunduk diam.
Ia tak mau bicara kalau tak ditegur.
"Ki sanak"
Kata Arini pula "sungguh amat sayang apabila seorang muda seper engkau, hidup terpendam di pegunungan yang sepi. Tidakkah engkau berminat untuk bekerja di pura kerajaan ini ?."
"Terima kasih, gusti"
Kata Nararya "tetapi orangtua hamba sudah tua. Hamba harus bekerja untuk membantu mereka."
"Apakah pekerjaanmu?."
"Mengerjakan sawah, berkebun dan bercocok tanam."
"Engkau senang dengan pekerjaan itu?"
"Sejak dari lahir sampai dewasa ini, hamba sudah biasa hidup di pegunungan atau pedesaan. Hamba mencintai pekerjaan hamba itu. Hambapun mencintai suasana pegunungan yang tenang dan damai, dimana burung2 bebas beterbangan dan berkicau, air berdesir-desir mengalir sepanjang lembah dan ngarai, udara yang cerah menghamburkan angin yang sejuk."
Dikala Nararya mengucapkan kata itu, Arini pun terbuai.
Seolah ia terhanyut dalam keindahan dan ketenangan alam pegunungan yang murni.
Ingin ia mempunyai sayap untuk terbang menikma keindahan itu.
Perasaan manusia memang berobah-robah.
Perobahan itu timbul dari panca indera dan penyerapannya.
Seorang yang berada dalam lingkungan hidup yang berkemewahan, dia akan kabur perasaannya akan kenikmatan yang dinikmatinya.
Dia takkan merasakan lagi akan kenikmatan hidup itu.
Demikian pula dengan perasaan puteri Arini.
Dia hidup dalam kemewahan.
Sebagai puteri seorang patih yang berkuasa.
Sebagai seorang isteri dari raden Kuda Panglulut yang cakap.
Mendengar tentang keindahan suasana alam pegunungan yang penuh ketenangan dan kedamaian, ia ingin juga untuk menikmatinya.
"Benarkah itu, ki sanak"
Katanya menegas.
"Demikianlah gus "
Kata Nararya "kenyataan itu telah hamba rasakan dan menghidupi hamba sampai belasan tahun."
"Tidakkah engkau merasa hidup di pura kerajaan itu jauh lebih ramai dan leoih nikmat?."
"Kenikmatan hidup di alam pedesaan dan di pura kerajaan memang berbeda, gus "
Kata Nararya "orang di pura kerajaan hidup dengan penuh kegembiraan. Dilingkungi oleh kehidupan yang ramai dan mewah. Sedang kenikmatan hidup di alam pegunungan, dilingkungi ketenangan dan kedamaian."
"Apa beda kedua kenikmatan hidup itu ?."
"Kegembiraan dalam lingkungan hidup yang serba mewah, hanyalah suatu kenikmatan lahiriyah. Suatu kenikmatan yang bersifat keduniawian. Sedang kenikmatan hidup di pegunungan, kenikmatan yang tenang dan damai. Kenikmatan ba n. Semakin jauh manusia dari keduniawian, makin,dekat kita pada kebesaran alam dan keagungan Hyang Widdhi. Demikian gus puteri, perbedaan kedua kenikmatan itu."
"Tetapi ki sanak"
Kata Arini "orang muda semacam engkau, belum waktunya untuk menenggelamkan diri pada kenikmatan di pegunungan.
Negara masih membutuhkan kaum muda untuk menegakkan dan memperkuat kejayaan kerajaan.
Tidakkah itu suatu dharma wajib pada kaum muda seperti dirimu ?."
Nararya terkejut menerima pertanyaan itu.
"Benar, gus puteri. Memang kerajaan perlu sekali dengan pengabdian para muda. Banyak sekali bidang yang memerlukan tenaga kaum muda. Tetapi ah"
Ia menghela napas "keadaan hamba belum memungkinkan hal itu, gus . Hamba harus membantu orangtua, hamba yang sudah lanjut usianya."
"Tidakkah dengan mendapat pangkat dan kedudukan di kerajaan Singasari, engkau dapat membawa serta orangtuamu ke pura kerajaan ?."
"Ah, gus "
Kembali Nararya menghela napas "orangtua hamba seorang tua yang sudah tak mengharap dan menginginkan keduniawian. Orangtua hamba ingin melewa sisa hidupnya dalam alam yang tenang dan damai. Hamba harus berbakti dan menghormati pendiriannya gusti."
Arini mengangguk.
Pembicaraan yang singkat itu cukup memberi kesan baik kepadanya.
Bahwa Nararya, itu memang seorang yang berbudi luhur.
Dan tanpa disadarinya ia telah membayangkan sikap serta ngkah Kuda Panglulut suaminya itu.
Kuda Panglulut gagah, berani dan penuh dengan cita-cita yang nggi untuk meraih kedudukan yang nggi.
Demikian pula sifatnya yang selalu keras kepala itu, sering menimbulkan pertengkaran dalam rumahtangga mereka.
Puteri Arini termenung- menung.
"Adakah engkau dapat menerima apabila rama pa h memberi kedudukan ?"
Akhirnya ia bertanya.
"Sudah tentu hamba amat berterima kasih sekali atas anugerah gus pa h itu"
Jawab Nararya "tetapi sayang sekali saat ini hamba belum dapat melaksanakan karena keadaan keluarga hamba."
Arini benar2 tak dapat memaksa. Dalam diri Nararya, ia mendapatkan seorang pemuda yang lugu dan jujur. Se ap orang tentu mengharap ganjaran, harta maupun pangkat. Tetapi ternyata Nararya menolak semuanya.
"Baiklah, ki sanak"
Akhirnya puteri patih itu berkata "aku gembira dan menghormati pendirianmu yang jujur dan sifatmu yang amat berbak kepada orangtua itu. Tetapi betapapun, akupun hendak mengunjuk bakti kepada ramaku."
"Syukurlah, gusti."
"Engkau setuju, bukan ?."
"Setuju gusti."
"Baik"
Kata puteri Arini "oleh karena rama pa h telah mendapat budi pertolonganmu maka aku sebagai puterinya, wajib membalas budimu itu. Terimalah ini, ki sanak."
Puteri Arini segera melolos cincin yang melingkar di jari manisnya. Ia mengulurkan cincin itu kepada Nararya. Nararya terkejut sekali.
"Gusti"
Serunya "bagaimana mungkin hamba berani menerima anugerah paduka itu ?."
"Aku yang memberi, bukan engkau yang meminta."
"Tetapi hamba merasa tak layak menerima."
"Yang menilai layak atau tidak, adalah yang memberi bukan yang menerima."
"Ah"
Nararya mengeluh desuhan.
"Ki sanak, engkau seorang, anak yang amat berbak kepada orangtuamu tetapi mengapa engkau tak menghargai orang lain berbak kepada orangtuanya? Bukankah begitu ar nya engkau menolak pemberianku ini sebagai tanda terima kasihku atas pertolongan yang engkau lakukan kepada ramaku?."
"Tetapi gusti ....."
"Tidak ada tetapi, ki sanak. Terimalah"
Arini terus menyodorkan tangannya ke muka.
Melihat itu Nararya pun terpaksa menyambuti.
Sekonyong-konyong terdengar angin berhembus tajam menyambar kearah tangan Nararya yang tengah menyambuti cincin pemberian puteri patih.
Hampir saja benda yang menyambar itu hinggap dipunggung tangan Nararya.
Untunglah pada detik2 yang berbahaya, Nararya sempat melihat bahwa benda itu bukan lain sebilah pisau belati.
"Uh ...."
Cepat ia endapkan tangannya ke bawah sehingga terhindar dari sambaran bela . Sekalipun begitu tangannya berdarah juga. Kulitnya tersambar ujung bela yang menggurat sebuah luka panjang.
"Kakang Panglulut!"
Teriak Arini demi melihat Kuda Panglulut tegak di ambang pintu dengan mata berapi-api. Nararya pun terkejut. Cepat ia berbangkit dan berpaling menghadap kearah Kuda Panglulut. Ia teringat bahwa Kuda Panglulut itu adalah suami Arini.
"Keparat, siapa engkau !"
Kuda Panglulut tak menghiraukan teguran isterinya, melainkan maju menghampiri ketempat Nararya seraya menuding muka pemuda itu.
"Hamba Nararya, raden"
Kata Nararya seraya memberi hormat. Arinipun menyongsong maju "Kakang Panglulut, dia adalah orang yang telah menolong jiwa rama patih."
"Tutup, mulutmu!"
Bentak Kuda Panglulut lalu maju kehadapan Nararya "aku tak peduli engkau yang menolong jiwa rama pa h atau bukan, tetapi seorang lelaki yang berani menyelundup masuk kedalam ruang keputren dan bicara sedemikian asyik dengan isteriku, dia wajib kubunuh."
"Kakang . ....!"
Teriak Arini seraya menghadang ditengah kedua pemuda itu "akulah yang memanggilnya kemari. Dia tak bersalah!."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepasang mata Kuda Panglulut makin membara.
"Engkau mengundangnya kemari? Apa keperluanmu? Layakkah seorang puteri, dikala suaminya tak ada rumah, mengundang seorang pria lain?."
Karena sudah biasa bertengkar dengan suaminya dan se ap bertengkar Arini tentu bermanja diri dengan teriakan dan tangis maka saat itu iapun menjerit.
"Engkau berani menghinaku, kakang!."
"Jawab pertanyaanku!."
"Ramalah yang menitahkan supaya dia menunggu di kepa han dan menitahkan nyi Su untuk menghidangkan makanan kepadanya. Karena heran nyi Su tak muncul lalu ku tahkan seorang dayang memanggilnya. Nyi Su menerangkan bahwa dia sedang melaksanakan tah rama pa h untuk melayani pemuda itu. Kupanggil pemuda itu dan hendak kuberinya hadiah uang sebagai tanda terima kasihku atas ndakannya menyelamatkan jiwa rama. Tetapi dia menolak. Adakah engkau kira dan menuduh aku mempunyai maksud lain?."
"Hm"
Desuh Kuda Panglulut "engkau boleh dan berhak ber ndak sesuai yang engkau anggap benar. Tetapi akupun berhak untuk bertindak sesuai apa yang kuanggap wajib."
"Apakah tindakanmu?"
"Membunuhnya karena dia telah melanggar tata susila berani masuk kemari."
"Tetapi aku yang memanggilnya."
"Aku tidak mengurus dirimu melainkan hendak menghukum orang itu."
"Aku yang bertanggung jawab akan peris wa ini!"
Teriak Arini "kalau engkau mau membunuh, bunuhlah aku !."
Mata Kuda Panglulut makin merentang lebar "Engkau hendak melindunginya ?."
"Bukan"
Seru Arini "aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya."
Melihat puteri pa h itu bertengkar dengan suaminya, perasaan ha Nararya tak enak.
Ia kua r peristiwa itu akan berkelarutan menimbulkan lain peristiwa yang tak diharapkan.
Pertengkaran mulut antara suami isteri, mudah menimbulkan bayang2 kecemburuan hati.
Suami mencemburui isteri atau isteri menuduh suami.
Dan cemburu itu sesungguhnya timbul dari rasa cinta isteri atau suami kepada sisihannya.
Baik tujuannya, baik maksudnya.
Tetapi karena bertengkar, mulut maupun sampai gerakan tangan, tentu akan meningkatkan suhu kemarahan.
Dan kemarahan itu kadang melupakan kesadaran pikiran.
Walaupun akan menyesal setelah itu, tetapi kenyataan telah terjadi.
Dan apa yang terjadi sukar dicegah, tak guna disesalkan.
Demikian tujuan yang baik, akan berakibat buruk apabila ditempuh dengan cara yang salah.
Terutama cara bertengkar yang mudah sekali menimbulkan kebakaran hati.
"Raden"
Serentak Nararya berseru setelah menimang suatu keputusan "memang aku bersalah karena lancang memasuki keputren ...."
"Ki sanak, engkau.... engkau ..."
Teriak Arini terkejut. Tetapi Nararya tak mau memberi tanggapan.
"Hm, engkau seorang jantan juga"
Seru Kuda Panglulut dengan nada mencemoh "engkau tahu bahwa masuk ke dalam keputren itu suatu larangan bagi orang lelaki?."
Nararya mengiakan.
"Jika sudah tahu tetapi engkau tetap melanggar, dakkah hal itu berar engkau memang sengaja karena mempunyai maksud buruk?."
"Kakang Panglulut"
Teriak Arini dengan dada bergolak "jangan melontarkan fitnah yang sehina itu"' Walaupun kata2 Kuda Panglulut tadi dak ditujukan kepada Arini melainkan kepada Nararya tetapi tak lepas pula dalam hubungannya dengan diri Arini.
Itulah sebabnya maka puteri, pa h itu naik pitam.
"Raden Panglulut"
Seru Nararya dengan tenang "betapapun gus puteri hendak menjelaskan dan betapapun dengan kesungguhan ha aku menyangkal hal2 yang raden tuduhkan kepada diriku, tentulah raden menolak dan tetap menuduh kepadaku."
"Seribu keterangan kalah dengan satu kenyataan !."
"Baik"
Kata Nararya "dan dengan kenyataan itu, raden hendak menghukum diriku ?"
"Mati pidanamu."
"Benar"
Sahut Nararya "tetapi bagaimanakah pidana bagi orang yang membunuh orang yang tak bersalah ?."
"Engkau maksudkan aku membunuh orang yang tak bersalah ? Huh ....."
"Di jagad ini masih ada keadilan, raden. Mungkin dengan pengaruh dan kepandaian berbicara, mampu saja raden terhindar dari pidana itu. Tetapi keadilan Hyang Widdhi akan menuntut kemanapun raden akan pergi, bahkan ke liang semutpun juga."
"Keparat"
Bentak Kuda Panglulut "engkau hendak mengancam dan menakut-nakuti aku ?."
"Jika raden merasa tak.takut, marilah kita nan kan kedatangan gus pa h untuk mohon keadilan."
"Tidak perlu"
Seru Kuda Panglulut "aku berhak untuk berbuat apapun disini. Ini urusanku, wajib aku yang menyelesaikan sendiri."
"Aku juga berhak"
Tiba2 Arini melengking "dan inipun urusanku, wajib aku ikut menyelesaikan."
"Hm, Arini"
Mata Kuda Panglulut membelalak lebar "tampaknya engkau sangat memperha kan sekali akan orang itu!."
"Karena dia tak bersalah !."
"Apa engkau ikut menderita apabila dia kuhajar ?."
"Ya"
Tanpa tedeng aling2 puteri patih itu menjawab.
"Huh, engkau ...."
Sepasang mata Kuda Panglulut memancarkan api.
"Aku ikut menderita rasa malu dan hina, karena mempunyai seorang suami yang gelap mata, gelap pikiran. Mengandalkan kekuasaan bersewenang-wenang terhadap orang."
Kuda Panglulut tertegun.
"Aku puteri patih Apanji Aragani yang berpengaruh besar dan berkuasa dalam pemerintahan Singasari. Jika kulaporkan perbuatanmu kepada rama patih, tidakkah engkau akan ditegur rama ? Bahkan jika aku menginginkan, segala kemungkinan dapat menimpa dirimu."
Sebenarnya dalam ketegunan tadi, Kuda Panglulut hampir terbuka ha nya. Hampir ia mendapat kesadaran pikirannya kembali. Tetapi dikala mendengar kata2 Arini yang terakhir, serentak bangkitlah sifat kepriaannya yang angkuh.
"Silahkan, Arini, engkau melapor pada ramamu"
Teriaknya dengan merah padam "jika engkau memang tak menyukai lagi, saat ini juga aku akan angkat kaki dari sini!."
"Itu persoalanmu sendiri. Aku tak menyuruh engkau pergi. Namun jika engkau hendak angkat kaki, akupun tak kuasa mencegahmu."
"Hm, sekarang aku tahu"
Serunya kemudian mencurahkan pandang mata kepada Nararya "engkaulah biangkeladi dari keributan ini. Engkau harus ma . ..."
Kuda Panglulut mencabut keris terus menerjang Nararya.
"Kakang Panglulut ....!"
Arini menjerit kejut dan hendak mencegah tetapi tak sempat lagi. Tubuh Kuda Panglulut telah membayangi Nararya.
"Ah ... ."
Ba2 Arini mendesah kejut pula.
Hanya kejutnya kali ini beda dengan kejut yang tadi.
Jika tadi dia tegang dan cemas, kini dia terkesiap dan longgar perasaannya.
Dilihatnya Nararya menyelinap ke samping dan loncat ke arah pintu.
Terjangan keris Kuda Panglulut hanya mengenai sasaran kosong ke ka tubuh Nararya menyelinap kesamping.
Nararya terlepas dari bahaya maut dan terus hendak menuju ke pintu.
Ia hendak keluar.
Bukan karena ngeri menghadapi serangan Kuda Panglulut melainkan ia tak ingin pertumpahan darah sampai menodai keputren.
Apabila terpaksa harus berkelahi, perkelahian itu supaya berlangsung di halaman.
Pada saat Nararya hendak menerobos keluar, ia terkejut ke ka hampir beradu tubuh dengan patih Aragani yang saat itu tengah melangkah masuk.
Demikian pula dengan Kuda Panglulut.
Saat itu dia berputar tubuh dan hendak menyerang lagi.
Tetapi ia terbeliak ke ka melihat ayah mentuanya muncul di ambang pintu dengan pandang terbelalak.
"Kuda Panglulut, mengapa engkau? Apa yang terjadi di sini?"
Seru pa h Aragani penuh keheranan.
"Hamba hendak membunuh orang yang kurang tata itu, rama"
Jawab Kuda Panglulut dengan masih mencekal keris.
"Kurang tata? Mengapa?."
"Dia berani lancang memasuki keputren, rama"
Patih Aragani makin terbeliak. Sejenak ia memandang Nararya.
"Akulah yang memanggil kemari, rama"
Tiba2 Arini berseru seraya menghampiri.
"Engkau ?"
Patih Aragani makin heran "mengapa engkau panggil dia?."
Arini segera menuturkan peris wa tadi. Dan ia-pun mengemukakan alasannya seper yang telah dikatakan kepada Kuda Panglulut tadi "Salahkah aku, rama?."
Patih Aragani tak menyahut melainkan bertanya kepada Nararya "Benarkah itu, Nararya ?."
"Benar, gusti patih"
Kata Nararya "tetapi hamba memang merasa bersalah, gusti."
"Hm"
Pa h Aragani hanya mendesuh kemudian berkata kepada Kuda Panglulut "engkau memang layak marah, Panglulut. Tetapi sebenarnya hal ini hanya suatu kesalahan faham belaka."
"Hamba memang terburu nafsu"
Kata Kuda Panglulut. Diam2 ia girang karena mentuanya membenarkan undakannya.
"Nararya ini"
Pa h Aragani menunjuk Nararya "memang aku yang mengajaknya ke kepa han. Dan dia telah berjasa karena telah menyelamatkan rama ketika rombongan rama diserang kawanan brandal di kaki gunung Kawi."
"O"
Desuh Kuda Panglulut. Kemudian pa h Aragani menceritakan hal dia menghadap baginda di keraton untuk menghaturkan laporan tentang peristiwa pencegatan di gunung Kawi itu.
"Oh"
Kuda Panglulut terkejut "jadi seluruh pengiring rama telah dibunuh kawanan penyamun itu ?."
"Ya"
Kata pa h Aragani "tetapi mereka bukan penyamun biasa melainkan gerombolan gunung Butak yang dipimpin Mahesa Rangkah."
"Mahesa Rangkah ?"
Kuda Panglulut berteriak "bukankah bekel bhayangkara-dalam di keraton?."
"Benar"
Sahut patih Aragani.
"Mengapa, dia memimpin gerombolan untuk menghadang perjalanan rama?."
Dengan ringkas dan jelas pa h Aragani segera menuturkan semua peris wa yang dialaminya selama menjadi utusan baginda ke Daha.
Selama dalam perjalanan ke pura Singasari, Nararya belum mendengar jelas cerita pa h Aragani.
Mungkin karena tak sempat atau mungkin memang pa h itu tak mau bercerita terus terang kepadanya, Kini dia-pun mencurahkan perha annya untuk mendengarkan cerita yang dibawakan pa h Aragani kepada putera menantunya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini ia mempunyai gambaran jelas tentang pernikahan pangeran Ardaraja.
Diam2 dia menghela napas longgar.
"Karena hendak menemui pa h Kebo Arema maka kusuruh anakmuda ini menunggu aku di kepatihan"
Patih Aragani mengakhiri ceritanya.
"O, hamba tak tahu, rama"
Kata Kuda Panglulut.
"Aku sudah mengatakan begitu kepadamu, tetapi, mengapa engkau tak percaya kepadaku ?"
Seru Arini yang merasa mendapat angin.
"Arini"
Ba2 pa h Aragani berkata kepada puteri "memang maksudmu baik, tetapi ndakanmu itu memang kurang benar. Rama dapat menyelami ha suamimu ke ka melihat seorang pria tak dikenalnya berada dalam keputren dan bercakap-cakap dengan engkau"
"Sudah kuberi penjelasan rama, tetapi dia tetap marah dan menuduh aku yang dak baik"
Bantah Arini. Aragani tertawa mengekeh.
"Engkau tak dapat menyelami perasaan suamimu, Arini. Sudah tentu dia marah karena mencurigai engkau."
"Kecurigaan yang buta, tak berdasar!"
Teriak Arini pula.
"Mengapa tak berdasar?"
Jawab Aragani "apakah engkau tak merasa bahwa kemarahan suamimu itu karena curiga dan kecurigaannya itu karena cemburu ? Dan apakah dasar dari seorang suami yang cemburu itu ...."
"Rama !"
Arini tersipu-sipu merah mukanya terus lari masuk ke dalam. Patih Aragani tertawa seraya geleng2 kepala.
"Panglulut"
Katanya kepada putera menantunya "engkau harus banyak kesabaran dan dapat memomong isterimu itu. Dia memang telah terlanjur berwatak buruk karena terlalu kumanjakan."
"Mohon rama memaa an kekhilafan hamba karena sering masih bersikap kasar terhadap yayi Arini."
"Baiklah, puteraku"
Kata Aragani "kehidupan suami isteri itu memang demikian. Tetapi asal masing2 telah menyadari kekhilafannya, semua tentu akan baik kembali bahkan akan menambah kerukunan rumah-tangga."
Kemudian patih Aragani mengajak Kuda Panglulut dan Nararya ke luar ke pendapa.
"Kuda Panglulut"
Pa h Aragani memulai pembicaraan "tadi rama bersama ki pa h Kebo Arema menghadap seri baginda. Seri baginda menitahkan supaya dikerahkan pasukan untuk membasmi gerombolan gunung Butak dan menangkap Mahesa Rangkah."
Kuda Panglulut mengangguk-angguk.
"Di hadapan seri baginda, aku menghaturkan usul agar untuk membasmi gerombolan Butak itu janganlah dipimpin oleh senopati kerajaan yang ternama, terutama ki patih Kebo Arema. Hal itu hanya merendahkan martabat kerajaan Singasari saja."
"Bila terdengar oleh lain kerajaan, kewibawaan kerajaan Singasari akan menurun. Karena hanya untuk menumpas sebuah gerombolan gunung saja harus mengerahkan pasukan besar dan dipimpin oleh senopati terkenal, demikian kata2 yang kupersembahkan kehadapan baginda."
"Rupanya baginda berkenan menerima saranku itu kemudian menanyakan pendapatku siapa kiranya yang dapat dipercayakan tugas untuk memimpin pasukan ke gunung Butak itu."
"Sebelum menghadap baginda, memang hal itu telah kupercakapkan dengan ki pa h Kebo Arema dan ki pa h Kebo Arema menyetujui semua pendapatku. Maka dihadapan baginda, pa h Kebo Arema lalu menunjuk engkau, Kuda Panglulut, yang diserahi tugas memimpin pasukan itu."
"Hamba, rama?"
Teriak Kuda Panglulut terkejut.
"Ya"
Pa h Aragani mengangguk "dan bagindapun telah berkenan menyetujui.
Oleh karena itu, engkau harus bersiap-siap.
Besok berangkat ke gunung Butak untuk menumpas gerombolan Mahesa Rangkah.
Engkau boleh memilih siapa2 yang hendak engkau ajak dan berapa banyak prajurit yang engkau perlukan."
Kuda Panglulut termenung.
"Puteraku Panglulut"
Kata patih Aragani pula.
"inilah kesempatan yang baik agar engkau dapat naik pangkat. Tunjukkanlah dirimu, Panglulut, bahwa engkau benar2 seorang ksatrya muda yang gagah perkasa."
"Baik, rama"
Akhirnya Kuda Panglulut berkata "hamba hanya menurut saja apa yang rama titahkan."
Kemudian patih Aragani beralih kepada Nararya "Nararya, ganjaran apakah yang engkau kehendaki?"
"Hamba tak menghendaki ganjaran apa2, gusti patih. Kecuali gusti patih ....."
"Apa yang hendak engkau katakan?"
Tegur patih Aragani ketika Nararya hentikan kata katanya.
"Kecuali gusti patih berkenan meluluskan hamba segera pulang ke gunung."
Mendengar itu tertawa gelak-gelaklah patih Aragani. Ia geleng2 kepala "Hanya itu permohonanmu?."
Nararya mengiakan.
"Nararya"
Ba2 pa h Aragani berkata dengan nada bersungguh "kutahu engkau seorang muda yang jujur, berani dan digdaya.
Tenaga seper engkau ini, diperlukan sekali oleh kerajaan Singasari.
Mengapa engkau lebih suka nggal di gunung ? Mengapa engkau tak mau mengabdikan dirimu kepada kerajaan ?."
"Bukan hamba tak mau, gus pa h"
Kata Nararya "tetapi hamba masih mempunyai kewajiban terhadap orangtua kami yang sudah tua. Kelak apabila kewajiban itu sudah selesai, hamba tentu akan menyerahkan diri hamba dalam pengabdian kepada kerajaan Singasari."
"Ah, salah kata-katamu itu"
Tegur pa h Aragani "memang wajib merawat kepada orangtua, merupakan dharmabhak yang lebih luhur yani wajib mengabdi kepada negara. Coba jawablah, Nararya, pertanyaanku ini"
Kata patih Aragani. Nararya mengiakan pula.
"Apabila orangtuamu masih diberkahi umur panjang, dakkah engkau harus menunggu dengan sia2. Bukankah kewajiban terhadap negara itu tak dapat dipertangguhkan sampai beberapa tahun bahkan belasan dan puluhan tahun lagi?."
Sesungguhnya alasan Nararya yang dikemukakan kepada pa h Apanji Aragani itu hanya menurut rangkaiannya sendiri.
Tetapi ia merasa bahwa tugas yang dipesankan ramanya dan gurunya untuk turun gunung, belum berhasil diselesaikan.
Apabila ia sampai terikat akan suatu kedudukan pusat di pemerintahan kerajaan, pas lah ia tak dapat melaksanakan pesan dari rama dan gurunya.
Dan semua alasan yang telah dihaturkan kehadapan pa h Aragani itu, tentu dapat diterima sehingga ia terhindar dari desakan untuk menerima, kedudukan di pura Singasari.
"Memang benar, gus pa h"
Sahutnya.
"kewajiban dan pengabdian terhadap negara, tak dapat dipertangguhkan sampai berlarut-larut sehingga tenaga dan semangat kita sudah berkurang."
"Hm, kiranya engkau tahu juga."
"Tetapi"
Kata Nararya "pertama, hamba belum mohon ijin kepada orangtua hamba.
Kedua, hamba sendiripun belum siap.
Ilmu kepandaian, pengalaman dan pengetahuan hamba masih dangkal.
Hamba hendak melanjutkan ilmu yang belum selesai hamba mba, sekalian untuk merawat kedua orangtua hamba.
Namun sampai pada waktu yang tertentu, dimana hamba menganggap bahwa negara benar2 terancam bahaya, hamba pasti akan mengabdikan diri hamba."
"Justeru itulah, Nararya"
Seru pa h Aragara gembira "untuk mencari pengalaman, sekaranglah waktunya. Demikian juga dari segi pandanganmu, saat ini kerajaan Singasari sedang diancam oleh kekacauan dan gangguan keamanan yang ditimbulkan oleh gerombolan gunung Butak."
"Tetapi gus pa h"
Sambut Nararya "kiranya dengan kekuatan pasukan Singasari dan pimpinan raden Kuda Panglulut, tentulah gerombolan itu segera dapat terbasmi."
"Engkau memandang dari sudut yang engkau ketahui"
Kata pa h Aragani "tetapi engkau tak mengetahui bahwa saat ini sesungguhnya kekuatan Singasari sedang berkurang.
Sebagian besar dari kekuatan pasukan Singasari telah di tahkan baginda untuk menuju ke tanah Malayu.
Baginda bercita-cita besar untuk menguasai seluruh nuswantara.
Itulah sebabnya maka aku tak setuju apabila ki pa h Kebo Arema harus memimpin sendiri pasukan kerajaan ke gunung Butak.
Pura kerajaan makin kosong."
"Dan"
Pa h Aragani menambahkan pula "aku memerlukan seorang pembantu yang gagah seper engkau untuk Kuda Panglulut yang akan meminipin pasukan Singasari ke gunung Butak itu.
Apakah engkau tak bersedia untuk menyumbangkan tenagamu kepada kerajaan, Nararya ?."
Nararya terdiam hening.
Diam2 ia mengakui bahwa pa h Aragani itu memang seorang mentri yang pandai bicara.
Iapun menyadari bahwa saat itu dia sedang berada dalam genggaman seorang penguasa yang berpengaruh seper pa h Aragani.
Sepatah saja pa h itu meluncurkan kata, maka jadilah dia hitam atau putih menurut yang dikehendaki patih itu.
Diam2 iapun heran mengapa pa h Aragani sedemikian bernafsu untuk mengangkatnya sebagai pendamping raden Kuda Panglulut.
Apakah tujuan patih itu? Selintas pikiran melayang, teringatlah ia akan Lembu Peteng yang saat ini masih menyelundup dalam gerombolan di gunung Butak.
Sejauh laporan yang diterimanya dari Lembu Peteng, memang gerombolan gunung Butak memiliki susunan tata ter b yang beda dengan gerombolan penyamun.
Diketahui juga bahwa pemimpin gerombolan gunung Butak itu bernama Joko Pasirian.
Tetapi mengapa ba2 Mahesa Rangkah yang menjadi bekel bhayangkara di keraton Singasari juga menggabungkan diri bahkan menjadi salah seorang pimpinan gerombolan itu ? Dalam meneropong keadaan di gunung Butak, mulailah tertarik perha an Nararya untuk mengetahui, apa dan siapakah sebenarnya gerombolan itu ? Apa dan bagaimanakah sesungguhnya tujuan gerombolan itu? "Jika gus pa h berkeras menghendaki hamba, ikut serta dalam pasukan kerajaan Singasari yang ditugaskan menumpas gerombolan gunung Butak itu, hambapun bersedia ikut, asalkan permohonan hamba ini gusti patih berkenan meluluskan."
"Apa yang engkau minta?"
Cepat2 patih Aragani menanggapi.
"Selekas peris wa di gunung Butak itu selesai, hamba mohon supaya diperkenankan pulang ke desa."
Patih Aragani tertawa gelak2.
"Hanya itu ?."
"Demikianlah, gusti patih."
"Baik, Nararya"
Kata patih Aragani "tentu akan kululuskan permintaanmu itu. Tetapi Nararya, apakah engkau benar2 tak mau menjadi prajurit di Singasari? Menilik jasamu, aku dapat mengangkatmu sebagai bekel prajurit."
Nararya menghela napas.
"Telah menjadi pendirian hidup hamba"
Katanya "bahwa saat ini belum balah waktunya hamba mengabdi kepada kerajaan.
Hamba masih mempunyai beberapa tanggungan yang harus hamba selesaikan.
Terutama tanggung jawab hamba terhadap kedua orangtua hamba dan terhadap diri hamba sendiri.
Hamba masih merasa kurang dalam segala hal.
Oleh karena itu perlulah hamba menimba pengetahuan dan menuntut ilmu yang lebih nggi agar kelak dapat hamba sumbangkan kepada negara.
Hanya itulah cita2 hamba, gusti patih .."
Diam diam pa h Aragani memuji kesopanan tutur bahasa pemuda itu dan mengagumi pula cita citanya.
Diam2 pula mbul suatu lamunan dalam pikirannya.
Andaikata belum terlanjur memungut menantu raden Kuda Panglulut, tentulah ia akan bimbang untuk menentukan pilihannya, kepada siapakah Arini itu akan dijodohkan.
Malam itu Nararya tidur di kepatihan; Diam2 ia menghela napas mengapa selalu saja dirinya terlibat dalam suatu peristiwa.
Dan setiap peristiwa itu selalu hendak mengikat dirinya pada suatu kedudukan di kerajaan.
~dwkz~ismo~mch~ II Kuda Panglulut tak dapat menghaya apa maksud rama mentuanya mendesak pemuda yang bernama Nararya itu menjadi pembantunya.
Sebagai kepala dari pasukan keamanan yang menjaga pura Singasari, Kuda Panglulut sudah mempunyai pembantu yang dapat diandalkan.
Dia memiliki lima orang yang menjadi orang kepercayaannya.
Empat orang berpangkat lurah prajurit dan seorang demang.
Keempat lurah prajurit itu yalah Sumarata, Siung Pupuh, Pringkuku dan Bandung.
Masing-masing memiliki kedigdayaan yang mengagumkan.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan yang seorang lagi yalah demang Krucil.
Kuda Panglulut membagi pura Singasari menjadi empat daerah keamanan.
Lurah Sumarata ditugaskan untuk menjaga keamanan pura barat, lurah Siung Pupuh di utara, Pringkuku di mur, Bandung di selatan dan demang Krucil sebagai pusat laporan keamanan, bertempat di tengah pura.
Dengan kelima pembantunya itu, cukuplah bagi Kuda Panglulut untuk menghadapi gerombolan gunung Butak.
Mengapa mentuanya masih mengikut-sertakan Nararya lagi? "Hm"
Desuh Kuda Panglulut dalam ha "memang aneh sekali kulihat sikap rama terhadap pemuda itu. Biasanya tak mudah rama tertarik pada seseorang tetapi mengapa dengan Nararya rama begitu menaruh perhatian besar?."
"Dan"
Renungan Kuda Panglulut masih melanjut dan makin meningkat. Tiba2 teringatlah ia akan peris wa di keputren. Adalah karena peris wa itu hingga sampai sekarang Arini masih marah "
Dakkah sikap yayi Arini itu juga mengherankan ? Mengapa ia mengundang pemuda itu ke keputren? Mengapa ia hendak memberikan cincin kepadanya?."
Kecurigaan dalam ha Kuda Panglulut makin menebal.
Kecurigaan yang tercampur pula dengan rasa cemburu.
Apabila rasa cemburu sudah memenuhi kalbu maka meletuslah nafsu geram, penasaran dan marah.
Nafsu2 yang selalu menyertai setiap terjadi pergolakan dalam hati.
Serentak ia teringat akan demang Krucil.
Demang yang bertubuh kecil itu memang cerdas, licin dan kaya akan akal.
Malam itu juga ia mengunjungi tempat kediaman demang Krucil.
"Kakang demang"
Katanya setelah duduk berhadapan dengan tuan rumah "ada sesuatu yang hendak kubicarakan dengan kakang demang."
"O"
Demang Krucil terkejut "silahkan raden. Dimana tenagaku dibutuhkan, aku tentu akan membantu raden dengan sepenuh hati."
"Terima kasih kakang demang."
Demang Krucil merupakan orang kepercayaan Kuda Panglulut maka tanpa ragu2 lagi Kuda Panglulutpun menceritakan tentang peristiwa diri Nararya. Demang Krucil mengangguk-angguk.
"Lalu bagaimana keheridak raden ? "Menurut kakang demang, bagaimanakah aku harus bertindak ?"
Kuda Panglulut balas bertanya.
"Raden, lelatu itu anaknya api. Apabila tak segera dipadamkan tentu berbahaya. Bukankah demikian yang raden kehendaki?."
"Tepat, kakang demang"
Seru Kuda Panglulut "memang demikian isi ha ku. Dan kiranya kakang demang tentu sudah siap dengan caranya, bukan?."
Demang Krucil pejamkan mata. Merenung. Beberapa jenak kemudian ia mengangguk-angguk.
"Raden"
Katanya "satu-satunya cara yalah raden harus memberi kepercayaan besar kepadanya."
"Hah ?"
Kuda Panglulut terbeliak "apa katamu, kakang demang?."
"Raden harus memberi kepercayaan besar kepada orang muda itu"
Kata demang Krucil pula.
"Ya, benar"
Sahut Kuda Panglulut "agar dia memperoleh jasa dan mendapat pangkat yang lebih nggi dari aku. Bahkan agar dia dipungut menantu rama pa h, menggan kan kedudukanku. Bukankah demikian maksudmu ?."
Demang Krucil tertawa mendengar kata2 Kuda Panglulut yang penuh nada ejek itu. Namun ia sudah cukup kenal akan perangai raden itu.
"Soal itu bukan menjadi wewenang demang Krucil, raden"
Jawabnya dengan tenang "aku hanya menghaturkan rencana agar keinginan raden itu dapat terlaksana."
"Dengan memberi kepercayaan besar kepadanya?"
Kuda Panglulut menegas.
"Ya"
Sahut demang Krucil "karena jika tak memberi kepercayaan, tak mungkin raden dapat memerintahkannya memimpin pasukan untuk maju di garis paling depan."
Kuda Panglulut terkesiap.
"Agar dia memimpin pasukan penggempur yang didepan?."
"Begitulah ."jawab demang Krucil "dengan demikian raden tak perlu membuang banyak tenaga dan pikiran untuk melenyapkan orang itu."
"Ah, engkau benar, kakang demang"
Kuda Panglulut tertawa gembira.
"Dalam pertempuran permulaan, fihak lawan tentu masih penuh kekuatannya. Mereka tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan musuh pertama yang datang menyerang."
"Tepat!"
Seru Kuda Panglulut. Ia tertawa gembira dan menepuk-nepuk bahu demang itu "engkau memang benar2 sumber rencana yang hebat, kakang ...."
Ba2 ia hen kan kata-katanya dan mengerut dahi. Demang Krucil ikut heran.
"Tetapi bagaimana kalau dia berhasil mengalahkan musuh?"
Kata Kuda Panglulut.
"Ah"
Desuh demang Krucil "aku masih mempunyai persediaan rencana yang berlapis-lapis. Tak mungkin dia dapat lolos dari tangan kita."
"Tetapi"
Kata Kuda Panglulut "dapatkah kakang demang menerangkan kepadaku rencana2 yang kakang siapkan itu agar kecemasan ha ku berkurang ? Karena apabila rencana pertama tadi gagal, kakang demang, aku tentu akan menggigit jari sampai dua kali.
Ia mendapat pangkat nggi dan iapun mendapat kepercayaan dari rama pa h., Siapa tahu misalnya, rama pa h berkenan untuk mengangkatnya sebagai pengawal-pendamping beliau?."
"Dengan begitu dia selalu berada di kepatihan ?."
"Tentu !"
Seru Kuda Panglulut agak mengkal.
"Ya, kalau sampai demikian tentu begitulah keadaannya"
Kata demang Krucil masih tenang.
"tetapi tak mungkin hal itu akan terjadi, raden."
Demang itu segera membisiki Kuda Panglulut.
"Ha, ha, ha ... ."
Kuda Panglulut tertawa gelak2 seraya bertepuk tangan "bagus, kakang demang, bagus sekali rencanamu itu. Ya, sekarang hilanglah keraguanku, kakang demang. Tak mungkin dia dapat lolos dari tangan kita."
Demikian percakapan yang dilakukan Kuda Panglulut dengan demang Krucil pada malam sebelum berangkat menuju ke gunung Butak.
Kuda Panglulut membawa dua ribu prajurit.
Untuk menjaga dan melaksanakan tugas keamanan pura, maka Kuda Panglulut dak mengajak kelima pembantunya itu melainkan hanya ga orang saja.
Lurah prajurit Sumarata, lurah prajurit Siung Pupuh dan demang Krucil.
Pringkuku dan Bandung tetap diperintahkan berada di pura.
Gunung Butak terletak di selatan gunung Kawi dan di sebelah mur dari gunung Kelud.
Karena sudah petang, Kuda Panglulut memerintahkan untuk mendirikan kubu agak jauh di kaki gunung Butak.
Untuk memberi is rahat pada sekalian anak pasukan, disamping untuk merundingkan siasat penyerangan yang akan dilakukan keesokan harinya.
"Raden"
Kata demang Krucil "mari kita keluar berkeliling untuk mengadakan peninjauan tempat mereka."
"O."
"Setelah mengetahui letak dan keadaan tempat mereka, dapatlah esok kita menentukan siasat untuk menyerang."
"Tetapi apakah tidak berbahaya kita meninggalkan pasukan, kakang demang?."
"Kurasa dak menjadi soal, raden"
Kata demang Krucil "namun agar lebih tenang pikiran kita, sebelumnya kita memberi pesan kepada lurah Siimarata dan Siung Pupuh. Agar mereka menjaga pasukan dan apabila sampai lama tidak juga kita kembali, mereka supaya menyusul."
Demikian setelah memberi pesan, Kuda Panglulut dan demang Krucil segera berjalan menuju ke selatan. Saat itu belum berapa malam tetapi suasana sudah sesunyi makam ditengah malam.
"Mari kita mendaki ke tanjakan bukit itu. Dari situ tentu dapat kita njau keadaan gunung Butak,"
Kata demang Krucil seraya menunjuk pada anakbukit di sebelah muka. Keduanyapun tegak berdiri di gunduk tanah tinggi yang menyerupai sebuah anak bukit itu. Beberapa saat kemudian demang Krucil berkata.
"Letak gunung itu memang baik sekali untuk markas gerombolan. Agar mereka tak dapat lolos, kita harus menjaringnya dari tiga jurusan."
"Ah, menghadapi gerombolan semacam itu, dakkah cukup apabila kita serang dengan serempak saja dari satu arah"
Kata Kuda Panglulut.
"Baik kita gunakan gelar Supit Urang untuk menjepit mereka, raden."
"Memakai gelar barisan ? Tidakkah hal itu terlalu membuang waktu dan tenaga?."
"Ah,"
Demang Krucil gelengkan kepala "kurasa gerombolan gunung Butak dengan pimpinan bekel Mahesa Rangkah, tentu sudah tersusun rapi.
Hal itu dapat dibuk kan hasil mereka waktu menyergap rombongan gus pa h Aragani.
Oleh karena itu baiklah kita jangan mengabaikan kekuatan mereka."
Kuda Panglulut mengangguk.
"Dan lagi dengan gelar itu, dapatlah kita melaksanakan rencana yang telah kita putuskan terhadap Nararya itu. Dalam gelar Supit Urang, barisan akan kita pecah menjadi empat bagian. Cucug atau mulut barisan, kita serahkan kepada Nararya. Sepit kanan kita serahkan kepada lurah Sumarata dan sepit kiri kepada Siung Pupuh. Sementara raden bertempat dibagian kepala. Dengan ditempatkan sebagai cucug barisan, tidakkah Nararya segera akan berhadapan dengan kekuatan gerombolan?."
Kuda Panglulut mengiakan.
"Karena kekuatan gerombolan terpusat di bagian tengah maka kedua sepit barisan kita tentu dapat memberi gempuran yang keras."
Kuda Panglulut mengangguk pula.
"Gelar barisan Supit Urang kita itu telah terbuk keampuhannya. Dahulu pada waktu terjadi perang besar antara kaum Korawa lawan Pandawa di Tegal Kurusetra, maka dengan gelar Supit Urang itu fihak Korawa berhasil menewaskan raden Abimanyu putera dari raden Arjuna"
Demang Krucil membanggakan gelar yang akan dibentuk besok hari itu.
"Tetapi gelar Supit Urang kita itu memang mempunyai perobahan dalam kekuatannya"
Kata demang itu pula "bagian cucug barisan, cukup dengan duaratus prajurit saja. Bagian kepala tigaratus, kedua supit masing2 limaratus prajurit."
"Dengan begitu cucug barisan merupakah bagian yang terlemah."
"Benar"
Sahut demang Krucil "agar keinginan raden segera dapat terlaksana."
"Bagus, kakang de ..."
Ba2 Kuda Panglulut hen kan kata-katanya. Dahinyapun mengerut tegang.
"Mengapa raden?."
"Tidakkah kakang mendengar suara burung kulik ?."
Demang Krucil memusatkan pendengarannya dan mengiakan.
"Ya, memang. Tetapi apa yang mengherankan raden? Bukankah sudah biasa apabila dalam pegunungan burung kulik berkeliaran pada malam hari ?."
"Tetapi malam belum larut benar"
Bantah Kuda Panglulut "dan cobalah kakang dengarkan dengan seksama. Agak janggal kedengaran bunyi kulik itu."
Demang Krucilpun segera mencurahkan pendengarannya. Tetapi ia tak mendengar suatu bunyi apa.
"Tak terdengar bunyi apa2"
Ia kerutkan dahi.
"Sudah bernenti. Rupanya mereka sudah dapat saling menangkap, isyarat bunyi itu."
Demang Krucil heran.
"Ah, janganlah raden, mengada-ada"
Katanya "jika burung kulik itu berhen berbunyi karena pindah ke lain tempat, itu masih dapat dimaklumi. Tetapi kalau raden mengatakan mereka bukan burung kulik tetapi kawanan gerombolan yang saling memberi isyarat, aku agak tak percaya."
"Kekang "
Demang.
"mari kita kembali"
Kata Kuda Panglulut seraya ayunkan langkah menuruni tanah tanjakan.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demang Krucil geleng2 kepala tetapi ia terpaksa mengiku .
Tiba dibawah tanah tanjakan mereka terus cepatkan langkah.
Tetapi alangkah kejut mereka ke ka melihat dua sosok bayangan hitam menghadang di tengah jalan.
Makin dekat makin jelas bahwa kedua gunduk hitam itu adalah manusia.
"Kakang demang, kita dihadang"
Kata Kuda Panglulut "bersiap-siaplah."
Demang Krucil melihat juga gunduk hitam itu.
Saat itu baru ia menyadari apa yang dikatakan Kuda Panglulut tadi memang benar.
Serentak ia merabah pedang yang terselip pada pinggangnya.
Kuda Panglulut berhen pada jarak lima langkah dihadapan kedua orang tak dikenal itu.
"Siapa kalian !"
Bentaknya dengan nada garang.
"Engkau tak berhak bertanya kepada kami."
Balas salah seorang dari kedua penghadang itu.
Setelah membiasakan pandang mata pada suasana gelap disekeliling tempat itu, barulah Kuda Panglulut dapat melihat jelas akan kedua orang yang menghadang jalan itu.
Dua orang lelaki bertubuh kekar, berkumis lebat, alis tebal dan bercabang bauk.
Sepasang mata yang bundar besar, tampak berkilat-kilat di kegelapan malam.
Mereka tak memakai baju melainkan bercelana warna hitam.
Dada mereka yang bidang dan urat2 yang menonjol melingkari lengan mereka yang besar, menambah keperkasaan sikapnya.
"Hm, apa maksudmu menghadang jalan ini?"
Tegur Kuda Panglulut pula.
"Juga tak berhak engkau bertanya begitu kepadaku"
Seru salah seorang yang tadi.
"Setan!"
Damprat Kuda Panglulut "engkau hendak cari gara2? Adakah engkau gerombolan penyamun ?."
"Benar"
Sahut lelaki itu pula "aku memang gerombolan penyamun. Tetapi aku tak menyamun harta benda melainkan jiwa dari orang Singasari."
Kuda Panglulut terkejut. Ia menduga kedua orang itu tentu anakbuah gerombolan gunung Butak.
"Engkau anakbuah gerombolan gunung Butak"
Kuda Panglulut mencari ketegasan.
"Benar"
Sahut lelaki itu "itulah sebabnya mengapa engkau tak berhak bertanya siapa diri kami dan apa maksud kami menghadang perjalananmu."
"Apa hakmu mengatakan demikian?."
"Daerah gunung Butak sampai kekaki gunung Kawi, adalah daerah kekuasaan orang2 gunung Butak. Maka yang berhak bertanya, adalah aku."
Hampir Kuda Panglulut tak kuasa menahan kemarahannya. Serentak dia hendak menerjang ke dua penghadang itu. Tetapi demang Krucil cepat menggamit lengannya.
"Bersabarlah raden. Kulihat beberapa gerakan yang mencurigakan disekeliling tempat ini. Kemungkinan bukan hanya dua orang itu saja melainkan beberapa lagi yang menyembunyikan diri di gerumbul pohon,"
Kata demang Krucil dengan berbisik-bisik.
"Hm, kawanmu lebih cerdik, ki sanak"
Seru lelaki itu "kalian berdua sudah seper ikan dalam jaring, mengapa masih bersikap garang?."
"Hm"
Dengus Kuda Panglulut.
"Siapa kalian ini dan apa maksud kalian pada malam hari berdiri di puncak tanah tanjakan itu ? Bukankah kalian hendak meninjau keadaan gunung Butak?"
Tegur lelaki itu.
"Aku prajurit Singasari yang mengemban tah seri baginda untuk membasmi gerombolan pengacau di gunung Butak. Jika kalian mau menyerah, tentu kuampuni. Tetapi kalau ....."
"Ha, ha, ha"
Lelaki itu tertawa nyaring sehingga Kuda Panglulut terkerat kata-katanya.
"enak saja engkau berkata seolah seper berkata kepada bawahanmu di pura Singasari. Ketahuilah hai, orang Singasari. Disini bukan Singasari. Yang memerintah di kerajaan Singasari memang baginda Kertanagara tetapi yang berkuasa di daerah gunung butak adalah pemimpin kami."
"Hm, sudah kuduga"
Sahut Kuda Panglulut "bahwa kalian tentu anakbuah gerombolan pengacau itu. Lekas menyerah dan kuberi ampun atau kubasmi!."
"Ha, tha, ha"
Lelaki bercambang bauk itu tertawa pala "telah kukatakan. Jangan bersikap sedemikian garang seper yang biasa engkau lakukan di pura Singasari. Yang wajib menyerah adalah engkau dan kawanmu itu. Dan yang layak mengampuni jiwamu adalah pimpinan kami."
"Hm, orang Singasari lebih baik ma daripada menyerah pada gerombolan pengacau!"
Jawab Kuda Panglulut.
"Gerombolan pengacau?"
Seru lelaki itu dalam nada mengejek "bagaimana engkau menuduh kami sebagai gerombolan pengacau ? Apakah yang telah kami lakukan selama ini ?."
"Siapakah yang mencegat dan menyerang rombongan pa h Aragani beberapa hari yang lalu?"
Seru Kuda Panglulut "perbuatan kalian memang sudah melampaui batas dan kini seri baginda telah menitahkan untuk membasmi kalian semua".
"Memang benar"
Sahut lelaki itu "kawan2 kamilah yang menyergap pa h Aragani dan rombongannya.
Sayang pa h itu dapat meloloskan diri.
Dengarkan, memang kawan2 yang berhimpun di gunung Butak itu mempunyai tujuan untuk membantu menyadarkan seri baginda dari pengaruh beberapa mentri jahat, terutama patih Aragani!."
"Keparat, engkau berani menghina patih kerajaan Singasari !"
Teriak Kuda Panglulut marah.
"Bukan hanya berani menghina, pun berani juga membunuhnya. Dialah pa h yang mengacau kerajaan Singasari. Dan seri baginda telah termakan pengaruh mulut manis mereka sehingga beberapa mentri yang setya, dilepas dan dihentikan dari jabatannya"' "Tutup mulutmu, babi"
Bentak Kuda Panglulut seraya loncat menikam.
Rupanya ia tak kuasa lagi menahan kemarahannya ketika mendengar ayah mentuanya dihina dan dimaki.
Kedua lelaki itu pencarkan diri, ke kanan dan ke kiri untuk menghindar.
Yang seorang menyerang demang Krucil.
Kini terjadilah pertempuran antara kedua pasang lelaki itu.
Kuda Panglulut ternyata juga tangkas bermain senjata.
Ia menggunakan pedang.
Lawannya pun juga.
Serangan Kuda Panglulut yang menyusul, ditangkis oleh lawannya.
Terdengar bunyi dering keras dari dua buah senjata yang beradu.
Kuda Panglulut dan lelaki bercambang bauk itu loncat mundur memeriksa pedangnya.
Diam2 keduanya mengakui bahwa lawannya memiliki tenaga kuat.
Serangan dilanjutkan lagi.
Keduanya berhati-hati sekali memainkan senjatanya masing2.
Kuda Panglulut menghindari adu senjata.
Ia lebih mengutamakan gerak-cepat dan ilmu bermain pedang.
Sedang lelaki itu tahu akan kelemahannya.
Dia kalah tangkas dan cepat tetapi menang kuat dalam tenaga.
Dilain fihak, demang Krucilpun bertempur dengan lelaki yang seorang.
Lelaki itu lebih pendek dari kawannya dan senjatanyapun bukan pedang melainkan bindi.
Memang menjadi ukuran bagi prajurit Singasari, bahwa se ap kenaikan pangkat itu diper mbangkan atas dasar keberanian, kedigdayaan dan jasa.
Se ap lurah prajurit tentu sudah menempuh ujian2 yang berat dalam ke ga syarat itu.
Dan memang Krucil yang lebih nggi dari lurah prajurit, tentu saja lebih banyak mengalami ujian2 itu.
Dengan perawakannya yang kecil, demang Krucil amat tangkas sekali, baik dalam menghindari maupun menyerang.
Dengan ketangkasan itulah dia dapat melayani lawan bahkan dapat menyibukkannya dengan serangan yang menggebu-gebu laksana hujan mencurah.
"Auh ..."
Ba2 lelaki lawan demang Krucil itu menjerit ke ka lengannya tersabat pedang.
Masih untung ia keburu menggelincirkan tangannya ke samping sehingga terhindar dari kutung lengan.
Tetapi ujung pedang demang Krucil yang sempat singgah mengguratkan sebuah luka yang memanjang dan cukup dalam sehingga darahnya berhamburan ke luar.
Orang itu mendekap lengannya dan terus hendak menyurut mundur tetapi demang Krucil lebih gesit.
Sekali loncat, ia menahas tubuh orang itu.
Tring ....
sekonyong-konyong terdengar dering senjata beradu; keras, lalu hamburan percikan api.
Demang Krucil terkejut ke ka pedangnya ditangkis oleh lelaki yang menjadi lawan Kuda Panglulut.
Orang itu ternyata sempat meninggalkan Kuda Pangulut untuk menolong kawannya yang terancam pedang demang Krucil.
Setelah berhasil menahan pedang demang Krucil, orang itupun hendak menyerempaki mengayunkan kakinya ke perut demang Krucil.
Tetapi pada saat itu juga Kudai Panglulutpun sudah loncat menahas kaki orang itu.
"Uh ...."
Orang itu terkejut serta cepat menekuk be s kakinya kemudian ayunkan tubuh loncat ke belakang.
Seke ka dari empat penjuru muncul empat orang lelaki berpakaian hitam yang menghunus senjata; Langsung keempat orang itu segera menyerang demang Krucil dan Kuda Panglukt.
Kuda Panglulut memang digdaya, demikian pula demang Krucil, Walaupun harus menghadapi empat orang musuh, keduanya dapat bertahan dengan gigih.
Beberapa saat.
kemudian Kuda Panglulut berhasil merubuhkan seorang lawan.
Tetapi saat itu pula muncul empat orang lagi menyerangnya.
Kini Kuda Pangulut dan demang Krucil harus menghadapi tujuh orang lawan.
Kuda Pangulut menyadari bahwa dirinya telah terperangkap dalam sergapan gerombolan pengacau.
Apabila dia sampai tertangkap ataupun ma , pasukan Singasari yang dipimpinnya tentu kocar kacir.
Ayah mertuanya, patih Aragani, tentu akan menderita kejut dan derita besar.
Tiba2 ia teringat akan Nararya.
Dan seketika pikirannyapun telah melalang.
Apabila dia mati, tentulah Nararya yang akan beruntung.
Tidak.
Dia tak mau mati.
Dia harus berjuang untuk mengalahkan ketujuh lawannya itu.
Dengan tekad itu, cemaslah ketujuh orang yang mengerubutnya itu.
Mereka harus mengakui akan kedigdayaan anakmuda itu yang berkelahi dengan nekad.
Demikian pula demang Krucil.
Apabila Kuda Panglulut laksana, seekor harimau yang menerjang dan menerkam dengan dahsyat, demang Krucil bagai seekor ular yang licin dan tangkas dalam melancarkan pagutannya yang berbisa.
Tujuh orang pengerubutnya itu merasa kewalahan.
Mereka tak kuat menahan terjangan kedua orang Singasari itu.
Akhirnya muncul pula empat orang untuk membantu kawannya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikian pertempuran berjalan dengan seru dan cukup memakan waktu.
Dalam pada itu lurah Sumarata yang diserahi tugas untuk menjaga kubu, agak cemas karena sampai sekian lama belum juga kedua pemimpin pasukan itu kembali.
Ia segera memerintahkan empat orang untuk menyusul.
Yang dua, menuju ke barat dan yang dua ke selatan.
Kepada mereka dipesan, apabila melihat hal2 yang berbahaya, harus cepat kembali memberi laporan.
Tak berapa lama kedua prajurit yang menuju ke selatan telah kembali dengan tergopoh-gopoh.
"Ki lurah, berbahaya ...."
Mereka tak dapat melanjutkan kata-katanya karena napasnya tersengal- sengal. Lurah Sumarata terkejut.
"Apa yang berbahaya! Lekas katakan !."
"Riden .... raden ...."
Makin, dibentak makin gugup prajurit itu dan makin kerongkongannya tersekat.
"Lekas bilang !"
Lurah Sumarata bahkan terus mencengkeram leher prajurit itu dan mengguncang- guncangnya. Prajurit itu makin gugup. Untunglah kawannya yang seorang sudah agak reda napasnya.
"Ki lurah .... raden Kuda Panglulut dan ki demang Krucil disergap musuh ... .."
"Hai!"
Karena terkejut, tanpa sadar lurah Sumarata telah mendorong prajurit yang dicengkeram lehernya itu sehingga prajurit itu terpelanting jatuh terjerembab.
Lurah Sumarata terus bergegas melangkah keluar.
Ia hendak menemui lurah Siung Pupuh untuk merundingkan peris wa itu.
Rencananya, salah seorang harus segera membawa prajurit untuk menolong raden Kuda Panglulut.
"Uh ...."
Ba2 lurah Sumarata mendesuh kaget ke ka terbentur dengan sesosok tubuh yang muncul dari sebuah kubu. Lurah itu tersurut mundur.
"Hai, apa engkau tak punya ma ... ."
Ba2 ia hen kan kata-katanya ke ka mengetahui bahwa orang yang bertubrukan dengan dia itu adalah Nararya, orang yang diperbantukan pada pasukan itu oleh patih Aragani.
"Maa an aku, ki lurah"
Seru Nararya "karena mendengar suara ribut2, aku bergegas keluar dan telah membentur ki lurah."
"O"
Desuh lurah Sumarata menahan geramnya lalu hendak lanjutkan perjalanan menuju ke kubu tempat lurah Siung Pupuh..
"Maaf, ki lurah"
Kata Nararya melihat sikap lurah Sumarata yang begitu tegang "adakah terjadi sesuatu dengan diri raden Kuda Panglulut?."
"Raden disergap anakbuah gerombolan"
Kata lurah Sumarata dengan nada segan lalu lanjutkan langkah.
Nararya tertegun.
Ia mendengar dari keterangan dari beberapa prajurit bahwa raden Kuda Panglulut bersama demang Krucil hendak meninjau bagaimana keadaan di daerah gunung Butak.
Sebenarnya ia tak setuju.
Pertama, pada malam hari, kemungkinan fihak gerombolanpun akan mengirim anakbuahnya untuk melakukan sergapan.
Kedua, peninjauan itu tentu takkan banyak memberikan hasil karena cuaca malam itu amat gelap.
Ia tak tahu bahwa raden Kuda Panglulut dan demang Krucil, disamping mengadakan peninjauan itu juga akan merundingkan siasat untuk mencelakai dirinya.
Nararya hendak mencegah tetapi ia tahu raden Panglulut tentu takkan menghiraukannya.
Maka diapun diam saja.
Tetapi kini, setelah mendengar keterangan lurah Sumarata bahwa Kuda Panglulut dan demang Krucil disergap musuh, iapun terkejut sekali.
Dan rasa kejut itupun segera menggetarkan pikirannya.
Untuk menyelamatkan kedua pimpinan pasukan itu, harus dilakukan secepat mungkin.
Jika lurah Sumarata akan berunding dengan lurah Siung Pupuh tentu memakan waktu.
Pada hal disadarinya pula bahwa raden Kuda Panglulut dan .demang Krucil penting sekali artinya bagi pasukan Singasari.
Apabila terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada diri kedua pimpinan itu, tentu akan membawa pengaruh yang tak baik dalam pasukan.
Nararya memutuskan akan berangkat sendiri tanpa menunggu persetujuan dan pengaturan kedua lurah itu.
Yang penting baginya adalah menyelamatkan kedua pimpinan pasukan itu.
Serentak dia terus lari menuju ke selatan.
Dari jarak yang masih agak jauh, ia telah mendengar hardik bentakan yang hiruk pikuk dan dering senjata beradu yang melengking nyaring.
Diam2 ia menghela napas legah karena jelas raden Panglulut dan demang Krucil masih bertahan diri.
"Hai, kawanan penyamun, jangan mengganggu, senopa Singasari"
Teriak Nararya seraya menerjang kawanan orang yang sedang menyerang Panglulut dari Krucil.
Betapapun gagah dan digdaya, namun karena menghadapi keroyokan orang yang lebih banyak jumlahnya, pelahan-lahan Kuda Panglulut dan demang Krucil mulai lelah.
Terutama saat itu lelaki bertubuh tegap yang rupanya pemimpin gerombolan yang menyergap itu, pun ikut turun tangan.
Keadaan Panglulut dan demang Krucil makin terdesak.
Betapa kejut gerombolan itu ke ka mendengar teriakan seorang pendatang yang terus, menerjang mereka.
Seke ka dua orang gerombolan itu rubuh terkapar.
Yang seorang terhantam lehernya dan yang seorang termakan tendangan pada perutnya.
Pemuda pendatang itu mengamuk dengan pedangnya.
Sesaat kemudian seorang anakbuah gerombolan kena tertusuk bahunya dan terseok-seok mundur ke belakang.
Cepat sekali kawanan penyergap itu menderita tekanan yang berat sehingga mereka agak kacau.
Rupanya lelaki bercambang bauk yang memimpin gerombolan itu menyadari bahwa pendatang itu amat digdaya.
Ia segera menyelinap, melepaskan diri dari menyerang Kuda Panglulut, untuk menghadapi pendatang itu.
Ke ka saling berhadapan, Nararya tertegun dan lelaki bercambang bauk itupun terkesiap.
Keduanya saling berpandangan dengan terkejut.
Lelaki bercambang bauk itu hendak membuka mulut, tetapi Nararya cepat gelengkan kepala lalu menerjangnya "Jangan bicara kepadaku"
Bisiknya. Lelaki bercambang bauk itu rupanya dapat menangkap isyarat Nararya. Diapun menghindar lalu balas menyerang. Pertarungan berjalan seru tetapi beberapa saat kemudian terdengar lelaki bercambang bauk itu mengaduh kesakitan, lalu loncat mundur.
"Kawan-kawan, mundurlah "
Teriaknya lalu berputar tubuh dan lari; Tetapi rupanya Kuda Panglulut masih penasaran. Ia ingin menunjukkan kedigdayaannya pula. Serentak ia mengejar.
"Raden jangan ... ."
Nararya mencegah.
Tetapi Kuda Panglulut tak menghiraukan.
Dia terus lari.
Terpaksa Nararya dan demang Krucil menyusul.
Ke ka melintas sebuah gerumbul, ba2 Nararya terkejut mendengar pekikan nyaring.
Dikenalinya pula nada itu suara Kuda Panglulut.
Serentak ia lari meninggalkan demang Krucil; Saat itu seorang lelaki bertubuh tinggi besar sedang menerkam seorang pemuda.
Dan pemuda itu tak lain adalah Kuda Panglulut.
Saat itu Kuda Panglulut terkapar disemak dan lelaki tinggi besar tengah mencekik lehernya.
Betapapun Kuda Panglulut hendak meronta, namun dia tak mampu melepaskan diri.
Lelaki itu terlalu kuat tangannya.
Pada saat Kuda Panglulut hampir lemas, ba2 sebuah tangan yang kuat telah mencengkeram bahu lelaki itu.
Dan sebelum lelaki itu sempat berpaling, tubuhnya telah disentakkan kebelakang "Enyah ....!"
Lelaki nggi besar terpelan ng. Apabila punggungnya tak membentur sebatang pohon, dia tentu rubuh. Entah bagaimana, dia terus loncat dan melarikan diri. Nararya segera menolong Kuda Panglulut.
"Bagaimana raden? Apakah raden terluka?."
Kuda Panglulut mengemasi pakaiannya yang lusuh dan kotor "Bedebah, dia ba2 menyergap dari belakang."
"Dia lelaki bercambang bauk tadi"
Seru demang Krucil yang saat itupun tiba.
"Memang berbahaya untuk mengejar musuh pada malam yang gelap"
Kata Nararya.
"Mengapa engkau datang seorang diri? Mana lurah Sumarata dan Siung Pupuh?"
Tegur Kuda Panglulut tanpa mengucapkan terima kasih atas pertolongan orang.
"Ki lurah Sumarata dan ki lurah Siung Pupuh masih dibelakang, raden"
Kata Nararya. Ia menceritakan apa yang diketahuinya tentang raden itu waktu di kubu pasukan.
"Raden"
Kata demang Krucil "mari kita lekas kembali ke kubu. Dikua rkan gerombolan akan melakukan penyergapan lagi."
Mereka segera berangkat pulang. Di tengah jalan, tampak lurah Sumarata bersama berpuluh- puluh prajurit menyongsong.
"Raden, bagaimana keadaan raden?"
Lurah itu lari menyambut.
"Mengapa engkau terlambat datang?"
Tegur Kuda Panglulut.
"Maa an, raden"
Kata lurah Sumarata "lebih dulu aku berunding dengan lurah Siung Pupuh untuk menyerahkan penjagaan kubu padanya."
Tiba2 pandang mata lurah itu tertumbuk pada Nararya.
"Engkau, disini ki Nararya?."
"Maaf, ki lurah"
Kata Nararya "karena mengua rkan keselamatan raden Panglulut, aku terpaksa mendahului ki lurah."
"O"
Ba2 demang Krucil mendesuh "engkau tak tahu akan kepergiannya kemari, lurah Sumarata?."
"Tidak, ki demang."
"Apakah dia tak memberitahu kepadamu?'."
"Tidak, ki demang."
"Hm"
Dengus demang Krucil kemudian berkata kepada Kuda Panglulut "raden, peraturan dalam anak pasukan kita harus diperkeras. Barangsiapa melanggar harus dihukum."
"Peraturan soal apa ?"
Tanya Panglulut.
"Bahwa setiap prajurit, harus melapor apabila hendak meninggalkan induk pasukan. Dan setiap lurah atau pimpinan, harus mengetahui kepergian anakbuahnya. Jangan sampai terulang peristiwa seperti kali ini. Nararya pergi tanpa idin dan lurah Sumarata tak tahu kepergian anakbuahnya. Bila kelak terulang lagi, akan diberi hukuman."
Nararya diam2 terbeliak dalam ha .
Bukan terima kasih yang didapat, melainkan teguran yang tajam, baik dari Kuda Panglulut maupun dari demang Krucil.
Dan yang mengherankan, mengapa begitu lantang demang itu mengeluarkan peraturan.
Seolah memberi kesan bahwa dia lebih berkuasa dari Kuda Panglulut.
"Ya, kakang demang memang benar"
Kata Kuda Panglulut kemudian "tanpa peraturan yang keras, tata tertib pasukan tentu kacau balau."
Demikian mereka tiba kembali di kubu pasukan.
Malam itu Kuda Panglulut tak dapat tidur pulas.
Ia masih membayangkan peristiwa yang dialaminya tadi.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apabila Nararya tak muncul, mungkin dia bersama demang Krucil akan mengalami nasib yang buruk.
Mungkin ditawan atau mungkin pula dibunuh gerombolan itu.
Dan apabila Nararya tak lekas datang pula, ia tentu sudah mati dicekik musuh yang bertenaga kuat itu.
"Ah, dua kali dia telah menolong aku"
Katanya dengan nada berkeluh "jika hal itu sampai terdengar rama patih, tentu dia akan mendapat pujian dan anugerah besar"
Sedang Nararya juga belum dapat tidur. Ia masih merenungkan peristiwa tadi. Ia heran mengapa selama ini sikap Kuda Panglulut dingin kepadanya. Begitu pula demang Krucil dan kedua lurah itu, juga mengunjuk sikap yang tak bersahabat kepadanya.
"Adakah raden Panglulut itu masih mendendam kepadaku ?"
Pikirnya.
Ia berjanji akan membantu raden itu agar jangan berkelanjutan mendendam kepadanya.
~dwkz~ismo~mch~ Hyang Baskara yang memancarkan sinarnya ke bumi itu, ingin membawakan penerangan, keindahan dan kedamaian.
Agar tanam-tanaman, pohon dan palawija, tumbuh subur.
Agar manusia dapat menunaikan kewajibannya hari itu.
Kewajiban dari sekian banyak kewajiban untuk membentuk kehidupan yang sejahtera.
Direstui kiranya se ap manusia yang menunaikan kewajiban masing2 dalam bidangnya sendiri.
Petani ke sawah dan ladang, pekerja ke tempat pekerjaannya, resi dan pandita di candi dan vihara, mentri dan narapraja di pusat pemerintahan.
Namun adakalanya titah manusia tidak memanfaatkan karunia sinar kehidupan dari Hyang Baskara itu dalam arti yang sesungguhnya.
Seperti halnya dengan pasukan Singasari yang berkubu di kaki gunung Butak.
Bagi mereka, sinar kehidupan dari Hyang Baskara itu merupakan suatu amanat agar mereka lekas menunaikan kewajibannya untuk membunuh gerombolan yang berpusat di gunung Butak.
"Bunuh habis se ap anakbuah gerombolan itu. Jangan diberi ampun lagi !"
Perintah Kuda Panglulut selaku pucuk pimpinan pasukan penumpas gerombolan gunung Butak. Setelah ba di lereng gunung, Kuda Panglulut memerintahkan berhen . Ia segera memecah barisan sesuai dengan yang direncanakan demang Krucil.
"Nararya"
Serunya. Dan ke ka Nararya tampil ke muka, Kuda Panglulut segera memberi tugas "bawalah duaratus prajurit. Engkau kupercayakan sebagai cucuk barisan dari gelar Sepit urang yang kita siapkan untuk serangan ini. Majulah dan serang mereka."
Nararya terkejut.
Mengapa ba2 raden itu mempercayakan tugas sebagai cucuk barisan kepadanya.
Adakah raden itu sudah berobah pandangannya terhadap dirinya ? Nararya memang belum mempunyai pengalaman dalam pergaulan hidup.
Ia masih sering menilai alam pikiran orang seper alam pikirannya sendiri.
Dan menurut ukuran pikirannya, perobahan sikap dari Kuda Panglulut itu tentulah karena raden itu telah menyadari akan pertolongan Nararya kemarin.
Menurut ukuran alam pikirannya, ia tentu akan membalas se ap budi yang diterimanya dari orang.
Raden Kuda Panglulut tentu demikian juga.
Pikirnya.
"Baik, raden"
Katanya dengan bersemangat.
Bukan karena mendapat tugas itu.
Karena diketahuinya bahwa tugas sebagai cucuk barisan itu berat dan berbahaya.
Tetapi dia bersemangat sebab Kuda Panglulut telah bersikap baik bahkan menaruh kepercayaan kepadanya.
Diam2 Kuda Panglulut terkejut.
Timbul seke ka pikirannya "Ah, jika dia berhasil melaksanakan tugasnya, tentu besar sekali jasanya ...."
Diam2 ia membayangkan betapa perkasa pemuda itu ke ka dapat menghalau kawanan gerombolan yang menyergapnya kemarin malam.
"Celaka, mungkin demang Krucil, salah hitung ....."
Namun karena sudah terlanjur mengatakan dia tak dapat menarik kembali perkataannya.
Melirik kearah demang Krucil, dilihat demang yang bertubuh pendek kecil mengulum senyum.
Kemudian ia membagi tugas kepada lurah Sumarata dan lurah Siung Pupuh.
Kedua lurah itu diberi masing2 limaratus prajurit dan ditugaskan sebagai sepit kanan dan sepit kiri yang harus menyerang dari kedua lamping gunung.
"Apabila kalian terancam bahaya, lekas kirim orang untuk rneminta bantuan kepadaku. Aku menduduki kepala barisan yang mengambil tempat ditengah,"
Kata Kuda Panglulut pula.
Ke ga kelompok barisan itu segera berangkat.
Nararya membawa anakbuahnya langsung menuju lurus ke muka, sedang lurah Sumarata dan lurah Siung Pupuh membiluk ke arah kanan dan kiri.
Nararya tak menaruh syak wasangka apa2 terhadap Kuda Panglulut.
Ia pernah mendapat wejangan dari begawan Sinamaya, bahwa ketaatan yang tulus akan mendatangkan kebahagiaan.
Ketaatan terhadap Hyang Widdhi akan mendatangkan kepercayaan yang luas dalam ar kata percaya akan kebesaranNYA dan keagunganNYA, kekuasaanNYA dan keadilanNYA.
Ketulusan dari rasa ketaatan akan menimbulkan sifat yang suci.
Dan sifat Suci itu akan bebas dari segala pencemaran bahaya dan kotoran.
"Duh, rama begawan yang hamba horma "
Kata Nararya saat itu "hamba belum jelas akan ar petuah paduka itu"
"Baiklah, Nararya, sekedar untuk memberi keterangan yang jelas akan kuceritakan kepadamu tentang diri raden Bratasena,"
Begawan Sinamaya lalu bercerita.
Diantara murid2 yang belajar kepada pandita Durna, ternyata hanya dua orang yang mendapat hasil paling menonjol.
Kedua murid itu yalah Arjuna dan Bratasena.
Tak habis pandita Durna menghambur pujian terhadap kedua muridnya yang cerdas itu.
Hal itu menimbulkan rasa sirik dan dengki pada anak2 Korawa.
Pandita Durna dimintai pertanggungan jawab agar janganlah Bratasena dan Arjuna mendapat seluruh ilmu kesak an pandita itu.
Karena hal itu akan membahayakan fihak Korawa apabila kelak terjadi perang Bharatayuda.
Pandita Durna menyadari hal itu.
Memang sesungguhnya dalam ba n ia amat sayang akan Arjuna dan Bratasena.
Sebagai seorang guru sudah layak kalau ia senang pada murid yang cerdas.
Tetapi karena dia terikat dalam kedudukannya sebagai mentri utama dan penasehat agung dari kaum Korawa, terpaksalah dia harus memperhitungkan kemungkinan2 dalam perang Bharatayuda yang akan terjadi kelak.
Pada hal perang itu sudah digariskan oleh Dewata.
Tak mungkin dihindari lagi.
Maka dicarinyalah akal oleh pandita Durna untuk mencelakai Bratasena.
Dipanggilnya ksatrya itu dan di tahkannya untuk mencari susuh angin atau sarang angin yang tempatnya ditengah samudera raya.
Bratasena terkejut dan heran.
Namun dia seorang ksatrya yang berha bersih dan jujur.
Dia tak mau mencurigai perintah gurunya bahkan dia percaya sepenuhnya bahwa yang di tahkan pandita Durna itu tentu akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi dirinya dan kaum Pandawa.
Maka berangkatlah Bratasena ke samudera untuk mencari susuh angin itu.
Susuh angin hanya suatu khayal yang diciptakan pandita Durna.
Tak mungkin ada.
Namun berkat ketaatan Bratasena yang bersifat ketulusan dan kesucian ha itu, akhirnya bersualah dia dengan Dewa Ruci yang memberinya wejangan2 dan kesak an.
Demikian pula ia telah bertemu dengan puteri Nagagini yang kemudian menjadi isterinya.
"Demikian angger, sesuatu yang berlambar pada ketulusan dan kesucian ha , pas akan mendapatkan kebahagiaan dan menolak segala malapetaka"
Resi Sinamaya mengakhiri ceritanya.
Nararya berusaha untuk melaksanakan wejangan gurunya dengan sebaik-baiknya.
Terhadap orang dia tak pernah menaruh kecurigaan ataupun memiliki prasangka.
Demikian pula terhadap Kuda Panglulut.
Ia menanggapi perintah Kuda Panglulut itu sebagai suatu kepercayaan terhadap dirinya dan ia akan melakukannya dengan sepenuh tenaga.
"Ki Nararya"
Kata seorang prajurit yang ia angkat sebagai pemimpin kelompok.
Nararya membagi keduaratus prajurinya menjadi empat kelompok.
Tiap kelompok dikepalai oleh seorang prajurit yang ia pandang dapat diserahi tugas itu.
Prajurit yang berkata kepadanya itu bernama Putung Ara "ada sesuatu yang kurasakan tidak sewajarnya."
"Dalam soal apa?"
Tanya Nararya.
"Mengapa kita yang ditugaskan sebagai cucug barisan, hanya dibekali dengan kekuatan duaratus prajurit."
"Tentulah raden Panglulut sudah memperhitungkan soal itu"
Jawab Nararya.
"Tetapi ki Nararya"
Bantah Putung Ara "ada dua kemungkinan yang kurangkai. Pertama, kita ini diwajibkan untuk menggempur kekuatan gerombolan. Kedua, kita ini hanya sebagai umpan untuk memikat perhatian musuh. Coba bagaimana akan pendapat ki Nararya."
Nararya termenung.
"Jika menilik tugas yang diberikan raden Panglulut kepada kita tadi, jelas bahwa kita ditugaskan untuk menggempur musuh habis-habisan."
"Kurasa dak"
Sahut Putung Ara "karena kalau memang ditugaskan begitu mengapa jumlah pasukan kita hanya sekecil itu jumlahnya. Bukankah kekuatan dari sayap kanan dan sayap kiri barisan ini lebih besar ?."
Nararya mengangguk.
"Adakah memang raden Panglulut hendak menjadikan kita sebagai umpan ?."
"Ah, janganlah engkau menduga begitu. Masakan raden Panglulut hendak mencelakai kita. Bukankah hal itu tidak berarti melemahkan kekuatannya sendiri?."
"Jika demikian"
Kata Putung Ara "jelas kita hanya ditugaskan untuk memikat dan mengikat perhatian musuh. Agar demikian kedua sayap barisan kita dapat menyergap mereka."
"Tetapi kakang Putung"
Kata Nararya "raden Panglulut sebagai pucuk pimpinan telah memberi perintah begitu, kita sebagai bawahan harus mentaati."
Putung Ara menghela napas.
"Mengapa kakang Putung ?"
Tegur Nararya.
"Dibalik keherananku timbul juga rasa kagumku yang besar kepada ki Nararya"
Kata Putung Ara "ki Nararya hanya diperbantukan kepada pasukan ini atas titah gusti patih Aragani.
Apabila pasukan ini berhasil menumpas gerombolan, yang mendapat jasa tentulah raden Panglulut sebagai pimpinannya.
Tetapi mengapa engkau, ki Nararya, begitu taat akan perintah raden Panglulut?."
"Kakang Putung"
Jawab Nararya "aku tak memikirkan adakah aku ini hanya tenaga bantuan atau bukan.
Tetapi aku merasa saat ini sebagai seorang prajurit.
Gerombolanpun takkan membedakan siapa diriku.
Pokok, apabila aku ditangkap tentu akan dibunuh mereka.
Demikian atas diri kakang dan sekalian prajurit"
"Baik"
Kata Putung Ara "tetapi kita, terutama engkau ki Nararya, harus dapat mengenal tugas apa yang dibebankan pada kita."
"Kakang Putung"
Seru Nararya "tanggalkan segala prasangka dan kekua ran. Itu hanya bayang2 yang mbul dari kecemasan ha kita. Kecemasan itu warna semu dari ke dak-taatan atas perintah. Sebagai prajurit, hendaknya kita jangan ragu2 akan menjalankan perintah."
Putung Ara mengangguk.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakang Putung"
Kata Nararya pula "namun apabila kakang masih merasa ragu2, baiklah kakang kutempatkan dibarisan yang paling belakang. Agar apabila terjadi sesuatu yang berbahaya, kakang dapat segera lari meminta bantuan raden Panglulut."
"Tidak!"
Teriak Putung Ara "bukan karena takut mati maka kurundingkan soal ini kepadamu.
Jika aku takut mati, akupun takkan masuk menjadi prajurit.
Soal ketaatan dapat engkau buktikan sendiri, ki Nararya.
Aku akan berada di barisan paling muka sendiri.
Apabila aku sampai lari, bunuhlah!."
"Akupun percaya engkau tentu seorang prajurit yang berani dan setya, kakang Putung. Mari kita segera berangkat."
Dengan siapkan senjata masing2, keduaratus prajurit itu segera turun ke jalan yang merentang ke arah gunung Butak.
Makin mendaki ke atas, makin teganglah ha prajurit2 itu.
Se ap angin berhembus, daun gugur, belalang melonjak dan lain2 gerakan yang terdengar dan terlihat, betapapun kecilnya tentu cepat menarik perhatian mereka.
Ketegangan itu menimbulkan hal yang menggelikan.
Ke ka melintasi sebuah jalan yang bertepi jurang yang penuh dengan pohon2 nggi, sekonyong terdengar ledakan suara yang keras.
Prajurit2 itu cepat2 bersiap mengambil sikap.
Tetapi mereka segera tertawa ke ka mengetahui bahwa ledakan suara itu tak lain dari suara burung gagak yang berbunyi keras ke ka terbang dari sebatang pohon.
Peris wa itu terulang pula ke ka ba2 dari puncak sebuah lereng nggi, sebuah batu besar manggelinding kebawah kearah barisan itu.
Sepanjang jalan menggelinding kebawah, beberapa pohon kecil dan batu kecil yang terlanggar berhamburan rubuh sehingga menimbulkan suara yang gemuruh dan debu yang mengabut tebal.
Setelah anakbuah Nararya dapat menghindar, maka berkatalah pemuda itu "Musuh mulai melancarkan serangan, kita harus waspada!."
Tetapi sampai beberapa lama menunggu, tak ada gangguan apa2 lagi. Nararya memberi perintah supaya maju lagi.
"Ki Nararya"
Kata Putung Ara pula "apakah dak berbahaya kalau kita bergerak maju? Tiap saat musuh dapat melancarkan serangan dari atas tebing,"
Katanya seraya menunjuk pada tebing karang gunung yang menjulang tinggi.
"Kurasa tidak, kakang Putung"
Kata Nararya "jika mereka memang mau menyerang, saat ini tentu mereka sudah melakukan.
Justeru untuk menjaga kemungkinan itu, kita harus lekas2 tinggalkan tempat ini.
Jika kita masih disini, keadaan kita berbahaya sekali.
Musuh dapat menggelundungkan batu atau menghujani anakpanah"
Pasukan segera bergerak cepat. Tetapi disepanjang jalan mereka tak mendapat gangguan apa2.
"Aneh, mengapa tak seorang anggauta gerombolan yang menyongsong pasukan ini?"
Diam2 ia menimang. Kemudian pikirannya teringat akan peristiwa ia menolong Kuda Panglulut dan demang Krucil dari sergapan anakbuah gerombolan.
"Ah, berbahaya sekali apabila saat itu kakang Lembu Peteng memanggil namaku. Untung cepat2 aku berseru dan dia dapat menangkap maksudku"
Pikirnya.
Kemudian ia merangkai dugaan, adakah pemimpin anakbuah gerombolan yang bercambang bauk atau Lembu Peteng itu, juga mempersiapkan rencana untuk menghadapi pasukan Singasari yang dipimpinnya saat itu? "Ah, tetapi masakan kakang Lembu Peteng mempunyai kekuasaan sedemikian besar untuk mengatur barisan gerombolan ?"
Serentak ia menghapus dugaan itu. Saat itu mereka akan melintasi sebuah gerumbul yang akan membawa mereka kedalam sebuah hutan.
"Dimanakah markas mereka?"
Tanya Putung Ara.
"Aku sendiri juga belum tahu. Pokok, kita terus menyusur jalan, mendaki keatas. Akhirnya kita tentu akan tiba di tempat mereka"
Kata Nararya. Sesungguhnya ia tak yakin akan ucapannya sendiri itu. Tetapi sebagai pimpinan pasukan, ia harus tak boleh mengunjukkan sikap cemas dan ragu2. Tetapi ke ka memandang hutan disebelah muka itu, ia perintahkan pasukannya berhenti.
"Bagaimana, ki Nararya"
Putung Ara menghampiri dan bertanya.
"Jangan kita gegabah memasuki hutan itu. Berbahaya"
Kata Nararya.
"Lalu apakah kita harus berhenti sampai disini?."
"Tidak"
Jawab Nararya "kita tetap akan melanjutkan perjalanan. Tetapi harus menggunakan siasat."
Ia memanggil keempat kepala kelompok, Putung Ara, Sampir, Kadal Ijo dan Gandu.
"Kita akan memasuki hutan itu kelompok demi kelompok. Se ap sepengunyah sirih, sebuah kelompok yang maju. Dengan cara maju berantai itu, akan cepat diketahui dan dapat memberi bantuan apabila kelompok dimuka diserang musuh."
Keempat prajurit yang diangkat Nararya sebagai kepala, kelompok itu memuji dan setuju.
"Siapa kelompok pertama yang bersedia berangkat lebih dulu?"
Tanya Nararya.
"Aku"
Serentak Putung Ara menyambut.
Rupanya ia tertarik akan cara dan sikap Nararya memimpin pasukan.
Demikian pula ia mulai mengindahkan peribadi anakmuda itu.
Semua berjalan lancar.
Dan tampaknya rencana yang diatur Nararya itu tak mendapat, gangguan.
Tetapi ke ka kelompok keempat yang dipimpin prajurit Gandu akan mencapai ujung hutan dan bersatu dengan kawan-kawannya, ba2 dari arah mur hutan terdengar suara sangsakala atau terompet dari tanduk, meraung-raung.
Pasukan Singasari itu terkejut.
Serempak mereka bersiap menghunus senjata masing2.
Sangsakala itu berhenti.
"Gerombolan bersembunyi di mur hutan ini", kata Putung Ara. Baru ia berkata begitu, ba2 dari arah barat terdengar sangsakala mendengung-dengung. Putung Ara makin terbeliak tegang "Dari barat juga."
Sangsakala berhen . Tiba2 dari sebelah utara terdengar bunyi sangsakala lagi. Kali ini Putung Ara pucat "Juga di sebelah utara!."
Sangsakala berhen pula. Dan seper yang diduga kembali sangsakala itu meraung dari sebelah selatan.
"Ah, kita dikepung"
Seru Putung Ara.
Sangsakala itu tak lama.
Hanya sebentar lalu berhen .
Tiba2 terdengar suara seruling ber up keras dan nyaring.
Menilik suaranya, seper dari arah mur.
Dan seper sangsakala, seruling itupun silih berganti berbunyi dari empat arah.
Belum kejut anak pasukan reda, ba2 terdengar suara kentungan bertalu riuh.
Juga silih bergan dari empat arah penjuru.
"Kakang Putung, jangan gugup"
Seru Nararya menghen kan gerak gerik Putung Ara yang kebingungan, sebentar lari ke mur, sebentar ke barat, ke utara dan ke selatan "tenanglah kakang.
Kalau kita memang dikepung musuh, sekalipun bingung juga takkan menolong keadaan.
Lebih baik kita tenang dan bersiap-siap menghadapi apa yang akan terjadi"
Namun sampai beberapa lama, adalah tampak, suatu gerakan yang menunjukkan tanda2 kearah munculnya anakbuah gerombolan. Baik secara kelompok maupun perorangan.
"'Aneh,"
Guman Nararya "mengapa mereka tak muncul menyerang kita?."
"Ah, mungkin mereka hanya mengurung kita,"
Kata prajurit Gandu "kita diam, merekapun diam. Kita bergerak baru mereka bergerak juga."
"Hm, mungkin juga,"
Kata Nararya. Ia memandang ke langit. Surya sudah agak condong ke barat. Ialu kerutkan dahi "jika kita bertahan di sini, kemungkinan kita tak dapat mencapai markas mereka."
"Jika perlu, kita terobos kepungan mereka"
Seru Putung Ara.
"Kakang Putung, akulah yang bersedia menjadi pasukan di muka"
Seru Kadal Ijo.
"Hm"
Dengus Gandu "akupun sanggup juga."
"Aku yang berhak menjadi pemuka barisan ini"
Seru Putung Ara.
"Kakang sekalian"
Seru Nararya "janganlah kakang saling berebut. Ketahuilah, bahwa pasukan pelopor di depan sendiri mengandung bahaya. Mengapa kalian saling berebut?."
"Bagi seorang prajurit hanya satu pilihan. Berjasa atau binasa"
Seru Putung Ara.
"Kesempatan naik pangkat hanyalah diperoleh dalam medan peperangan. Kesempatan ini harus kumanfaatkan benar2"
Seru Kadal Ijo.
"Jelas kita dapat membasmi gerombolan di gunung ini. Aku harus memperoleh jasa"
Seru Gandu pula. Nararya gelengkan kepala.
"Pandangan kakang bertiga memang benar. Akan tetapi hanyalah sebagian, tidak seluruhnya"
Seru Nararya "perang adalah suatu tugas.
Untuk dapat melaksanakan tugas itu secara baik, kita harus mengetahui arti tujuannya.
Tugas yang kita bahu ini adalah menumpas gerombolan gunung Butak yang membahayakan keamanan negara.
Berani pula menyerang rombongan patih kerajaan Singasari.
Perang ini, perang untuk membasmi gerombolan jahat.
Dan kita yang melaksanakan tugas itu, harus mempunyai kesatuan perasaan, tanggung-jawab dan tujuan."
Berhenti sejenak, Nararya melanjutkan.
"Dalam rasa kesatuan itulah kita akan merasakan suatu ikatan batin, setyakawan dan sepenanggungan nasib. Jika kita berhasil mengalahkan lawan, maka kita semua yang berjasa. Bukan hanya seorang dua orang saja yang berhak memiliki jasa itu. Semua ikut bertempur menyambung nyawa dan semua ikut berjasa kalau menang, ikut menderita apabila kalah. Semangat kakang bertiga yang menyediakan diri maju paling muka, memang menggembirakan sekali. Tetapi janganlah hendaknya kesediaan itu mengandung keinginan apa2, kecuali hanya melaksanakan tugas sebagai prajurit saja."
Putung Ara, Kadal Ijo dan Gandu diam.
"Dengan kesatuan itu, maka adalah halangan siapa yang berada di muka barisan, di tengah ataupun di belakang. Semua berjasa apabila dapat mengalahkan gerombolan itu."
"Jika begitu, kami harap ki Nararya suka mengatur dan memberi perintah,"
Kata Putung Ara yang makin mengindahkan pemuda itu.
"Kakang sekalian"
Kata Nararya "menurut pengamatanku, kita telah terperangkap."
"Terperangkap ?"
Putung Ara terkejut.
"Ya"
Sahut Nararya "terperangkap dalam siasat mereka"
"O"
Putung Ara mendesuh "maksudmu, kita telah termakan siasat musuh?."
"Ya. Pasukan kita telah dapat dikacau mereka sampai beberapa lama disini."
"Tetapi dimana musuh itu? Mengapa aku tak melihat mereka?."
"Mereka memang tak ada. Yang ada hanya sangsakala, seruling dan kentungan. Mereka cukup menanam beberapa orang di empat penjuru untuk membunyikan alat2 itu. Dan karena kita mengira kalau musuh mengurung, kita tegang dan bersiap siap ditempat ini sampai beberapa lama."
"Bagaimana engkau tahu ?."
"Jika musuh benar mengurung kita, pada saat ini juga mereka tentu sudah keluar dan menyerang. Karena tempat semacam hutan ini, merupakan medan yang menguntungkan bagi mereka. Mereka dapat mempersiapkan serangan dari tempat persembunyian, sedang kita dak mengetahui dimana mereka bersembunyi. Tetapi ternyata mereka tak melakukan serangan. Jelas kita ini memang tidak terkurung melainkan hanya dikacau saja."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keparat"
Teriak Putung Ara "betapa malu kalau tersiar berita bahwa pasukan kita dipermainkan oleh gerombolan pengacau."
"Dalam peperangan"
Kata Nararya "tak ada dan tak harus ada rasa malu. Kalah menang, siasat menyiasati, sudah wajar. Tetapi yang penting adalah fihak yang merebut kemenangan terakhir."
Putung Ara mengiakan kemudian meminta agar Nararya lekas mengatur barisan.
"Kita maju dengan cara seper tadi. Kakang Putung Ara maju lebih dulu bersama kelompok ke satu. Kemudian berturut-turut kelompok ke kedua, ke ga dan keempat. Dengan cara itu kita takkan kehilangan hubungan. Dapat bantu membantu setiap saat yang diperlukan."
Beberapa waktu kemudian, mereka mulai mendaki keatas.
Tetapi sejak itu, merekapun mengalami rintangan2.
Di sepanjang jalan, pohon2 bertumbangan malang melintang menutup jalan.
Prajurit2 itu terpaksa harus menyingkirkan pohon2 itu ke tepi.
Sedang Putung Ara tak henti- hentinya menyumpahi gerombolan.
Melihat itu mbullah kekua ran Nararya.
Jika harus bekerja mengangkut pohon2 itu ke tepi jalan, tentu akan menghabiskan tenaga dan waktu.
Tiba2 ia mendapat akal.
"Biarkan pohon2 itu melintang di tengah jalan"
Serunya kepada prajurit2
"bakar saja pohon2 itu."
Kemudian ia mamberitahu rencananya kepada keempat kepala kelompok.
"Kita sembunyi di sekeliling tempat ini. Apabila melihat kebakaran, tentulah gerombolan itu akan keluar. Saat itu baru kita serang."
"Bagus"
Seru Putung Ara memuji.
Dia segera sibuk memimpin prajurit2 untuk membakar pohon2 itu.
Api menyala dan asappun membubung tebal.
Saat itu hari menjelang senja.
Menurut perhitungan, gerombolan tentu melihat asap kebakaran itu dan tentu akan datang.
Maka bersiap-siaplah barisan Singasari itu.
Tetapi sampai pohon2 itu hampir habis, tetap gerombolan itu tak muncul.
"Aneh"
Nararya benar2 tak habis herannya "kemanakah para gerombolan itu?."
Dia memerintahkan pasukannya berhen di situ untuk melepas lelah dan makan.
"Malam ini kita akan naik untuk menyergap markas mereka"
Katanya.
Tengah prajurit2 itu beris rahat, telinga Nararya yang tajam, sayup2 dapat mendengar suara hiruk pikuk di kaki'gunung.
Ia menanyakan kepada kepala kelompok tetapi ada seorangpun dari keempat orang itupun yang dapat mendengar apa2.
Nararya memanggil dua orang prajurit.
"Kalian berdua kembali ke bawah gunung dan njaulah keadaan pasukan raden Kuda Panglulut." ~dwkz~!ismoyo~mch "Siasatmu memang tepat sekali, kakang demang,"
Kata Kuda Panglulut ke ka duduk bercakap- cakap dalam kubu "lalu bagaimana tindakan kita selanjutnya?."
"Kita tunggu bagaimana hasil dari ke ga barisan itu"
Kata demang Krucil "kurasa, perhitunganku tentu tak jauh melesetnya. Cucug barisan yang dipimpin Nararya, tentu akan bobol. Pasukan gerombolan tentu akan datang dari sebelah muka. Oleh karena itu"
Ia berhenti sejenak untuk membenahi duduknya "kita harus persiapkan barisan pendam."
"Ya"
Kuda Panglulut mengangguk "cobalah kakang demang katakan rencana kakang demang untuk menghadapi kedatangan musuh itu."
"Kita masih mempunyai delapan ratus prajurit. Yang separoh, supaya membentuk barisan di depan kubu kita, tepat pada arah yang ditempuh Nararya tadi. Tetapi harus menyembunyikan diri. Yang dua ratus bersembunyi di tepi kanan jalan. Jangan sampai jejak mereka terlihat musuh."
Kembali demang itu hentikan kata2, mengerut dahi seolah sedang berpikir.
"Yang empat ratus lagi", katanya sesaat kemudian.
"kita pecah lagi menjadi ga bagian. Dua ratus prajurit supaya mundur sepemanah jauhnya dari kubu ini. Yang seratus supaya mundur dan menyembunyikan diri dihutan sebelah utara dan yang seratus supaya bersembunyi di hutan sebelah selatan."
"Dan kubu ini?"
Kuda Panglulut terkejut.
"Hanya dua orang yang menjaga."
"Siapa?"serunya.
"Raden dengan aku."
"Hah, apakah tidak berbahaya ?."
"Tidak, raden"
Jawab demang Krucil "kita memang sedang menggunakan siasat untuk memperangkap musuh.
Apabila mereka menyerang, segera kita tahkan pengawal untuk memukul kentungan atau meniup sangsakala.
Prajurit2 yang kita taruh di hutan utara, selatan dan mur itu tentu segera menyergap mereka."
Kuda Panglulut terdiam.
"Memang se ap perangkap harus menggunakan umpan. Dan umpan yang dapat memikat musuh tak lain hanya raden. Tetapi akupun sanggup untuk.mendampingi raden. Masakan kita berdua tak sanggup menahan serangan mereka dalam beberapa saat saja sehingga pasukan2 kita datang menerkam mereka?."
"Tetapi apakah siasat kita itu akan berhasil ?."
"Maksud raden ?."
"Adakah gerombolan itu tahu bahwa dalam kubu ini hanya tinggal aku dan engkau ?."
"Gerombolan sudah lama menguasai gunung ini sehingga mereka faham sekali keadaannya. Rasanya mereka tentu sudah menyebar mata2 untuk mengamat-amati gerak gerik kita."
"Dan siasat itu kita laksanakan setelah petang hari nan . Agar pengunduran pasukan kita dari kubu ini, lepas dari pengamatan mereka."
Akhirnya Kuda Panglulut menyetujui juga.
Tetapi diam2 ia mengharap agar terjadi perobahan sehingga tak perlu harus melaksanakan siasat itu.
Sampai surya hampir rebah ke barat, belum juga terdapat laporan.
Baik dari pasukan Nararya, maupun Putung Ara dan Gandu.
Mulailah Kuda Panglulut gelisah.
"Kakang demang"
Katanya kepada demang Krucil"
Menurut perhitungan, tentulah ke ga pasukan itu sudah harus mengirim laporan. Tetapi mengapa sampai saat ini tiada yang datang ?."
"Hanya dua kemungkinan, raden"
Kata demang. Krucil "mereka belum menemukan perlawanan dari gerombolan atau mereka mendapat kesulitan dari gerombolan"
"Kukira lebih baik kita mengirim barisan kesana."
"Maksud raden pada ketiga pasukan kita?"
"Bukan"
Jawab Kuda Panglulut "yang kita pen ngkan adalah bagian kedua sayap barisan; Apabila cucug barisan dapat dihancurkan gerombolan, kita masih dapat menjepit mereka dari dua sayap."
Demang Krucil termenung.
"Baiklah. Jika demikian kita kirim seratus prajurit ke selatan, seratus ke utara dan yang dua ratus tetap bertahan disini."
"Kakang demang tetap hendak melangsungkan; siasat tadi ?"
Tanya Kuda Panglulut.
"Hm, jika raden tak menyetujui, tak apalah. Kita ganti saja. Yang penting kita tanam sebagian dari prajurit disini ke sebelah cucug barisan. Karena kuduga, serangan gerombolan pasti akan datang dari muka. Nararya dan pasukannya tentu tak kuasa menahan serangan mereka."
"Berapa yang harus menjaga kubu ini?."
"Kurasa cukup duapuluh orang saja, raden sendiri dan aku"
Kata demang Krucil. Rencana perobahan itu segera dilakukan. Kini yang berada di kubu hanya Kuda Panglulut, demang Krucil serta duapuluh prajurit. Tak lama kemudian haripun makin gelap. Surya sudah menghilang dibalik gunung.
"Malam ini penjagaan harus diperkuat"
Kata Kuda Panglulut.
"Ya, harap raden perintahkan supaya prajurit2 jangan tidur"
Kata demang Krucil. Demikian setelah selesai mengatur dan memberi perintah maka Kuda Panglulut dan demang Krucil duduk dalam kubu berbincang-bincang.
"Malam ini kita harus bergilir meronda, kakang demang."
"Jangan raden"
Seru demang Krucil "raden adalah pimpinan pasukan.
Tak ubah seper seorang senopa dalam barisan.
Raden harus kita lindungi jangan sampai diganggu musuh.
Berbahayalah kalau raden keluar meronda.
Kita tak boleh mengabaikan kemungkinan berulangnya penyergapan seperti kemarin itu."
Demikian kubu itu dijaga.
Tiap kali demang Krucil meronda keluar setelah itu kembali duduk bercakap-cakap dengan Kuda Panglulut.
Malam hari hawa di gunung itupun mulai dingin.
Dalam hawa dingin, semangatpun mulai mengendor.
Dan rasa kantukpun mulai merayapi pelapuk mata.
"Raden"
Ba2 demang Krucil berkata "maa an lebih dulu, aku hendak mohon idin kepada raden"
"O, soal apa ?."
"Terus terang raden, aku sudah terlanjur dihinggapi kebiasaan jelek. Dan kebiasaan itu terpaksa harus dituruti karena apabila tidak, tubuhku serasa lemas dan kantukpun sukar ditahan."
"Apakah kebiasaanmu itu?."
"Minum tuak, raden"
Kata demang Krucil "sebenarnya kebiasaan itu jelek. Tetapi apa mau dikata,"
Demang Krucil menghela napas seperti orang menyesal "sudah terlanjur dan sudah bertahun-tahun. Seperti saat ini, sebenarnya aku sudah mulai lemas dan ngantuk. Apabila terjadi sesuatu, tentu mudah diriku celaka."
Kuda Panglulut merenung.
Ia teringat bahwa rama mentuanya, patih Aragani, itupun juga seorang peminum tuak yang hebat.
Hampir tiap malam selalu minum sampai mabuk.
Pernah sekali ia mendapat kesempatan untuk memperingatkan.
Tetapi mentuanya itu bahkan menertawakan; Ia mengatakan bahwa tuak itu mengandung khasiat yang hebat.
Dapat membangkitkan semangat, menyegarkan tubuh dan mencerdaskan pikiran.
Mengapa ia dapat meraih pangkat yang tiiggi sebagai patih adalah juga berkat gemar minum tuak.
Benarkah tuak itu mempunyai daya khasiat yang begitu hebatnya ? Pikirnya.
"Ya, kalau kakang demang memang sudah terikat dengan kebiasaan itu, demi melindungi diri kakang, akupun tak keberatan kakang minum tuak,"
Akhirnya Kuda Panglulut meluluskan.
"Terima kasih, raden,"
Demang Krucil terus mengeluarkan sebuah kantong dari kulit, warnanya pu h "kantong ini terbuat dari kulit kelinci. Kusuruh orang membuatkan yang bagus untuk tempat tuak."
Setelah membuka sumbat, iapun segera meneguknya beberapa kali. Segulung hawa harum2 lezat berhamburan memenuhi kubu.
"Bagiku tuak merupakan Tirta Amerta yang ada keduanya dijagad ini"
Kata demang Krucil "air kehidupan yang dapat menghidupkan dan memperindah kehidupan ...."
Ia meneguk lagi beberapa kali.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tampak wajah demang itu makin meriah merah.
Sinar matanya makin terang dan semangatnya menyala.
Seke ka terbe k suatu percikan angan2 dalam ba n Kuda Panglulut.
Jika membau baunya yang harum, memang tuak itu benar2 mengundang selera.
Pun kalau melihat kenyataan yang dihadapinya, betapa tadi demang Krucil sudah lesu dan ngantuk kemudian sekarang tampak memberingas dan bersemangat, diam2 mbul pemikiran Kuda Panglulut.
Mengapa ia tak mencobanya.
Ayahnya dan orang2 tua didesanya, mengatakan bahwa tuak itu dak baik, terutama bagi anak2 dan pemuda.
Tetapi nyatanya orang2 tua yang menaseha begitu, semua peminum tuak yang paling asyik.
"Hm, memang banyak sekali pepali, petuah dan nasehat orang-orang tua itu yang tak sesuai dengan kenyataan"
Pikir Kuda Panglulut.
Ia teringat betapa orang-orang tua sering melarang anak2 supaya jangan sesekali makan daging ekor ayam atau yang disebut.
brutu.
Nan pelupa.
Tapi nyatanya orang2 tua itu paling gemar memakan daging bagian ekor itu sendiri.
Orang2 tua itu memang pelupa.
Entah karena makan daging ekor itu atau memang karena umurnya.
Yang nyata mereka selalu dak melupakan untuk menanamkan nasehat tentang larangan makan daging brutu itu kepada anak cucunya.
Renungan itu telah membawa Kuda Panglulut pada suatu keraguan akan se ap hal yang dikatakan orang2 tua itu, termasuk tentang tuak.
Bahwa menilik baunya yang harum dan pernyataan dari rama mentuanya pa h Aragani serta demang Krucil maka makin mbullah rangsang keinginannya untuk mencobanya.
"Kakang demang"
Katanya "harum benar bau tuak itu."
"Seorang peminum tuak yang ahli tentu tak mau minum sembarang tuak. Gusti patih Aragani pun seorang peminum tuak yang tahu akan selera tuak"
Kata demang Krucil "dan jangan dikira bahwa minum tuak itu asal minum saja, raden. Minumpun ada juga seninya, tahu pula seni memilih tuak."
"Bugaimana perasaan kakang demang setelah minum itu?."
"Serasa segar kembali tulang sunsumku. Darah dapat mengalir lancar, penglihatan mata makin terang, telinga makin tajam dan pikiran makin cerdas. Setelah minum ini, semalam nan aku tentu kuat berjaga."
"Bagi orang yang baru mulai minum, dakkah hal itu akan memabukkan dan melemaskan tenaga?."
Demang Krucil tertawa.
"Jika anak kecil, memang"
Katanya "tetapi seorang dewasa seperti raden, tuak takkan membawa pengaruh apa2 kecuali menambah semangat dan pikiran. 'Marilah"
Ia menghaturkan kantong tuak "silahkan raden mencicipinya. Sedikit sajalah."
"Apalagi dalam hawa di gunung yang sedingin ini, tuak dapat menghangatkan tubuh"
Demang Krucil menambah keterangannya pula "sudah umum pula di perjamuan, se ap tetamu pria tentu dihidangkan arak. Memang tetamu pria yang tak minum, sering dicemoh orang."
Kata2 demang Krucil yang terakhir itu memang suatu kenyataan.
Pernah sesekali dalam perjamuan Kuda Panglulut menolak hidangan arak, maka beberapa tetamu pria kaum muda, menertawakannya.
Terdengar beberapa kata ejekan yang menganggap dia bukan seperti seorang lelaki.
Memang sudah agak lama juga ia ingin mencicipi bagaimana sesungguhnya rasa dan pengaruh tuak itu.
Mengapa se ap orang tentu gemar meminumnya.
Namun sampai sekian jauh, ia tak sempat.
Dan yang penting pula, isterinya, melarang.
Tetapi kini, setelah berada di gunung dan dicengkam hawa dingin, dipengaruhi pula oleh kata2 demang Krucil, maka mantaplah keinginannya untuk mencobanya.
Ia menyambu tuak itu dan mulai mencicipi "Ah,"
Sengau hidungnya ke ka terbaur hawa tuak yang keras.
Hawa itu menyusup masuk ke dalam kerongkongan, dada dan perut.
Perut seke ka meluap, darah-pun bergolak, hampir ia batuk.
Ia pejamkan mata, menenangkan diri.
Beberapa saat kemudian, setelah kemualan dan kesesakan napas itu mengendap, ia rasakan semangatnya agak segar dan tubuhpun agak hangat.
"Minumlah, raden"
Seru demang Krucil "seteguk saja tentulah raden akan dapat menikma khasiatnya."
Kuda Panglulut sudah terlanjur menerima kantong tuak itu dan mencicipinya. Adakah ia harus mundur dan mengembalikannya. Malu. Ia ingin tahu benar2. dan ingin membuk kan apa yang dikatakan demang; Krucil dan orang2 itu. Segera ia meneguknya.
"Ah, lezat juga"
Setelah minum seteguk, ia berhen sebentar untuk mengetahui pengaruhnya. Terasa perutnya berkerucukan, darah mengalir deras dan tubuhpun makin hangat.
"Seteguk lagi, raden."
Ia menurut.
Kiranya memang tak memberi akibat berbahaya.
Tak mungkin dia akan pingsan karena minum seteguk dua teguk tuak.
Maka lapun meminumnya.
Bukan hanya seteguk, melainkan dua teguk.
Kemudian mengembalikan kembali kantong tuak itu kepada yang empunya.
Beberapa saat kemudian tampak wajah Kuda Panglulut mulai bertebar merah.
Panas.
Dan rasa panas itupun menjalar keseluruh tubuhnya.
"Bagaimana raden?"
Tegur demang Krucil.
"Tak apa2. Badanku terasa panas."
Demang Krucil tertawa "Dalam hawa sedingin ini, memang paling tepat minum tuak"
Ia membuka sumbat kantong tuak dan meminumnya lagi dengan gembira.
"Selain hangat, juga semangatku lebih menyala"
Kata Panglulut.
"Memang begitulah, raden, khasiat tuak itu. Asal jangan terlalu banyak minum, maka kiia akan memperoleh kehangatan dan kesegaran semangat."
"Jika begitu, baiklah para pengawal diluar itu kakang demang beri juga. Asal sekedar untuk penghangat badan, saja"
Kata Kuda Panglulut.
Sebenarnya demang Krucil tak setuju.
Pertama, karena tuak yang dibekalnya itu tuak pilihan yang paling digemari.
Dan kedua, tidaklah selayaknya kalau prajurit2 pengawal itu diberi tuak yang sedemikian mahal.
Namun untuk tidak mengurangi kegembiraan raden itu, terpaksa ia melakukan juga.
Demang Krucil kembali dan melanjutkan pula percakapannya dengan Kuda Panglulut.
Dalam malam yang dingin, hanya dengan bercakap-cakap dapatlah perasaan kantuk itu dapat dihalau.
Beberapa waktu kemudian, suasana makin sunyi ditelan kelarutan malam.
Tiba2 Kuda Panglulut merasa kepalanya agak pening.
Urat2 pada dahinya berdenyut-denyut keras, pandang matanya pun berbinar-binar karena gundu matanya panas sekali.
"Kenapa raden"
Demang Krucil terkejut ke ka melihat Kuda Panglulut berdiam diri sambil mengurut-urut dahinya.
"Kepalaku pening."
"Ah, sebentar tentu hilang"
Kata demang itu.
Tetapi ketika melihat raden Panglulut makin pucat, ia terkejut juga.
Dan sebelum ia sempat bertanya, Kuda Panglulut lari keluar kubu dan muntah-muntah.
Demang Krucil terkejut.
Walaupun ia tahu bahwa memang demikian gejala pertama dari orang yang baru pertama meneguk tuak.
Habis muntah2 tentu akan baik.
Tetapi demi tata is adat, sebagai seorang bawahan haruslah ia memberi pertolongan.
Ia segera berbangkit tetapi suara muntah2 itupun berhenti.
"Ah, tentu dia sudah sembuh"
Pikirnya. Namun ia tetap berdiri agar dapat segera menyongsong apabila Kuda Panglulut masuk. Tetapi sampai sekian lama belum juga tampak raden itu masuk kedalam kubu. Mulai timbul rasa heran, menyusul kecemasan "Apakah dia pingsan ....?."
Serentak demang itu bergegas keluar.
"Ah ...."
Ba2 ia berseru tertahan. Baru dua langkah keluar kubu, tubuhnya sudah disongsong oleh pagar ujung tombak. Muka, belakang, kiri dan kanan.
"Menyerah atau mati"
Seru sebuah suara yang bengis.
Demang Krucil keliarkan pandang mata.
Empat penjuru dia melihat empat lelaki berpakaian serba hitam.
Dan seorang lelaki pula tengah memanggul sesosok tubuh.
Menilik kepala dan tangan orang itu terkulai ke belakang orang yang memanggulnya, tentulah orang itu pingsan.
Dan ke ka memperha kan tubuh orang itu, demang Krucilpun melonjak "Raden Panglulut"
Serunya dalam hati. Namun ujung tombak yang melekat pada dada dan punggungnya menimbulkan rasa sakit. Ia menyadari bahwa setiap gerak tubuhnya akan menderita kesakitan.
"Siapa kalian !"
Segera ia berseru.
"Aku tak memerintahkan engkau bicara"
Bentak seorang yang di muka "masuk kedalam kubu."
Demang Krucil dan kelima orang yang diduganya tentu gerombolan gunung Butak, segera meletakkan Kuda Panglulut di sebuah kursi dan mengikat tubuhnya.
"Demang Krucil"
Seru lelaki yang mukanya tertutup kain hitam "panggil pengawal2 diluar."
Demang Krucil bersangsi.
Rupanya dia sedang menimang dua buah hal.
Pertama, siapakah gerangan orang berkerudung muka itu ? Mengapa dia tahu namanya.
Kedua, dapatkah dia menerjang kelima orang itu? "Asal berteriak kemudian menerjang mereka, para prajurit2 diluar tentu akan menyerbu masuk"
Demikian ia mempunyai kesimpulan.
"Tak perlu mengotak-a k pikiran"
Seru orang itu pula "sebelum engkau sempat bergerak, kawan- kawanku tentu sudah menusuk perutmu. Dan yang pen ng engkau ketahui, Kuda Panglulut ini tentu segera kubunuh !."
"Siapa engkau!"
Seru demang Krucil. Ia sengaja melantangkan suaranya agar terdengar para pengawal di luar kubu.
"Mengapa engkau masih banyak mulut!"
Bentak orang itu "kecuali engkau menghendaki ma , baru kuberitahu namaku!."
Demang Krucil.
terpaksa lepaskan maksudnya.
Dengan diiring oleh empat buah tombak yang melekat pada punggungnya ia melangkah keluar.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia terkejut ke ka melihat pengawal2 itu ter dur.
Ia hendak marah tetapi seke ka ia teringat bahwa ia juga bertanggung jawab atas kesalahan mereka.
Tentulah mereka terkulai karena minum tuak.
Saat itu baru ia menyadari bahwa tuaknya itu memang terlalu keras.
Rasanya lezat, baunya harum tetapi khasiatnya memang keras sekali.
Demang Krucil menyesal tetapi kenyataan yang dihadapi saat itu tak menyempatkan dan tak memerlukan penyesalan.
Harus dihadapi dengan akal.
Ia membangunkan mereka dengan menyepak.
Prajurit2 pengawal itu gelagapan.
Serentak mereka loncat bangun "Ki demang ...."
Mereka terkejut ke ka melihat bau demang Krucil dicengkeram dan lehernya dilekati sebatang pedang oleh seorang tinggi besar yang mukanya tertutup kain hitam.
"Berani bergerak, demang ini tentu kusembelih"
Seru orang itu dengan bengis.
"Jangan bergerak"
Perintah demang Krucil.
"Ki demang"
Seru orang itu pula "lekas suruh pengawal-pengawalmu itu memberitahu kepada pasukanmu supaya mereka mundur dan kembali ke Singasari"
Demang Krucil terbelalak. Pucat. Bagaimana mungkin ia yang memerintahkan? Hal itu berar dialah yang bertanggung jawab.
"Ki sanak"
Serunya "pimpinan pasukan bukan aku tetapi raden Kuda Panglulut."
"Engkau seorang demang, tentu menjadi wakil pimpinan pasukan. Dia masih pingsan. Lekas perintahkan prajurit2 itu,"
Orang tinggi besar menghardik dan mengencangkan cengkeramannya.
"Bunuhlah aku"
Seru demang Krucil. Ia menyadari perintah itu sama dengan membebankan, kesalahan besar itu pada dirinya. Dan iapun tahu bahwa perbuatan itu tentu akan dihukum mati.
"Perintahkan prajurit2 itu membuang senjatanya!"
Seru orang itu pula.
Mengira bahwa orang telah merobah keputusannya, dan perintah itupun dak mengandung sesuatu bahaya, demang Krucilpun segera memberi perintah agar kedua-puluh pengawal itu menyerahkan senjatanya masing2.
Terdengar dering pedang dan tombak prajurit2 bergelimangan di tanah.
Dua orang gerombolan segera maju memungu .
Tengah keduanya membungkuk tubuh memungut senjata2 itu, sekonyong dua orang prajurit yang berdiri dibarisan belakang loncat dari tengah kawannya dan terus menyerang kedua gerombolan itu.
Serangan yang tak terduga itu menyebabkan kedua gerombolan terkejut.
Tetapi mereka tak sempat menghindar tusukan pisau yang masih dibawa oleh kedua prajurit itu.
Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen