Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 17


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 17



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   "Dia minta mati ?"

   "Ya. Dia memang dijanjikan dewa, apabila dia ma di tangan orang itu, kelak dia akan meningkat dalam peni san yang akan datang. Sebelumnya telah kutegur mengapa menimbulkan petaka pada daerah ini. Dia mengatakan, bahwa dia menyemburkan hawa beracun dengan tujuan agar orang jangan mengganggu tempat pertapaannya. Tetapi dia bersumpah tak pernah mengganggu barang seorang jiwa manusiapun jua"

   Kata Wijaya.

   Selanjutnya ia berceritera bahwa ular naga itu merin h-rin h minta pertolongan kepadanya agar dia dibunuh.

   Ke ka Wijaya masih bersangsi, ular naga itupun berjanji bahwa ia akan mengabdikan badan wadagnya kepada Wijaya demi kepentingan kesejahteraan rakyat dan manusia.

   "Raden, setelah hamba ma , silahkan raden masuk ke dalam liang hamba. Apa yang raden temukan disitu, itulah badan wadag hamba"

   Setelah beberapa saat merenung, teringatlah Wijaya akan dharma wajib seorang ksatrya yang harus bersedia menolong orang yang benar2 membutuhkan pertolongan.

   "Baiklah"

   Akhirnya ia menyatakan kesediaannya "tetapi bagaimana cara untuk melaksanakan hal itu?"

   "Hamba akan menjulurkan lidah hamba dan potonglah. Hamba tentu segera moksa ..."

   Maka terjadilah hal itu.

   Ke ka Wijaya menabas lidah ular naga itu, sekonyong konyong tubuh ular itu berhamburan menjadi asap tebal, bergulung-gulung naik ke udara dan lenyap.

   Tertarik Bantara mendengar penuturan itu.

   Diam2 dia menghela napas.

   Ia makin mendapat kesan bahwa pengalasan Jaya itu memang bukan pemuda sembarangan "Kelak dia pas menjadi orang besar ...."

   "Lalu bagaimana maksudmu sekarang ?"

   Tanyanya.

   "Sesuai dengan janji ular itu, aku akan masuk kedalam liang guanya"

   Kata Wijaya. Bantara terkesiap "Tetapi Jaya, adakah engkau percaya penuh akan peris wa dalam semedhimu itu ?"

   "Justeru untuk membuk kan hal itu, maka ada lain jalan kecuali harus masuk kedalam guanya"

   Jawab Wijaya.

   "Bagaimana andaikata peristiwa itu hanya suatu khayal ?"

   "Maksud ki brahmana ?"

   "Andaikata yang berada dalam gua itu benar seekor ular yang berbisa, dakkah hal itu akan membahayakan jiwamu ?"

   "Ah, jika demikian, kita serahkan saja kepada kehendak Hyang Widdhi"

   "Engkau akan memaserahkan jiwamu ?"

   "Bukan menyerahkan semata-mata"

   Sahut Wijaya "tetapi aku harus menetapi wajib kemanusiaanku untuk berusaha menyelamatkan diri. Tetapi andaikata gagal dan harus ma terkena bisa ular itu, aku-pun ada dapat berbuat lain kecuali hanya paserah kepada kehendak Hyang Widdhi"

   Merenung sejenak, brahmana Bantara mengangguk "Baiklah, Jaya. Aku akan menyertaimu masuk kedalam liang gua itu"

   "Tetapi ki brahmana ...."

   "Jaya, sesuai dengan ucapanmu tadi, yang pen ng kita dapat membasmi petaka yang mengancam rakyat kademangan ini"

   Dan Bantara terus melangkah. Wijayapun, segera menyertainya.

   "Ki brahmana, idinkanlah aku yang masuk lebih dulu"

   Katanya pada saat mereka ba dimuka liang.

   "Tetapi berbahaya, Jaya. Aku sajalah"

   "Begini, ki brahmana. Kita berdua masuk bersama. Tetapi idinkanlah aku yang dimuka dan ki brahmana mengiku dibelakang. Dengan demikian, apabila terjadi sesuatu, dapatlah ki brahmana memberi pertolongan"

   Akhirnya Bantara setuju. Sejenak keduanya berdiri di mulut liang dan berusaha untuk menembuskan pandang kedalam. Tetapi liang yang hampir menyerupai sebuah gua besarnya itu, gelap sekali sehingga sukar diketahui berapa dalamnya.

   "Ki brahmana, mari kita masuk"

   Kata Wijaya seraya ayunkan langkah.

   Dia tak tampak gentar atau ragu.

   Seolah ia sudah yakin bahwa yang berada dalam liang itu seekor ular naga yang telah bertemu dengannya dalam semedhi itu.

   Diam2 Bantara bersiap-siap meningkatkan kewaspadaan dan membentengi diri dengan menutup pernapasan.

   Tetapi ada suatu keheranan yang menebar dalam hati.

   Sejak memasuki daerah lingkaran yang berhawa racun, dia sudah tak merasakan suatu gangguan apa2.

   Tidak lagi lubang2 kulitnya terasa mengernyut seperti tertusuk duri halus.

   Demikian pula ketika memasuki liang gua, dia merasa seperti masuk kedalam gua biasa.

   Tiada suatu hal yang menimbulkan rasa apa2.

   Gua itu cukup dalam.

   Dan bagian dalam agak menurun ke bawah tetapi makin lebar.

   Setelah beberapa langkah masuk ke dalam, Wijaya terkejut.

   Beberapa langkah di sebelah ujung muka, keadaan gua itu agak terang remang-remang.

   Dan ketika makin mendekati, ternyata penerangan remang-remang itu terpancar dari sebuah benda yang terletak diatas tanah.

   Memang benar, benda itulah yang memancarkan cahaya yang mencuat ke ruang gua.

   Demikian kesimpulan hati Wijaya dan Bantara setelah mencurahkan pandang sekuat-kuatnya kearah benda itu.

   "Adakah benda ini yang merupakan badan wadag dari ular naga yang menampakkan diri dalam alam semedhiku semalam ?"

   Tanya Wijaya dalam ha .

   Dengan pertanyaan itu, sudahlah berar suatu tingkat lebih mantap akan peristiwa yang dialaminya dalam semedhi itu.

   Diam2 brahmana Bantarapun heran.

   Rasa keraguannya mulai berangsur-angsur menurun.

   Beberapa kenyataan yang dihadapi dan dirasakan dalam perjalanan memasuki liang gua itu, makin menumbuhkan kesan, bahwa penuturan Wijaya tentang ular naga itu memang bukan suatu khayal.

   Kini diapun makin menahan napas ke ka melihat benda bercahaya yang terletak di sudut gua itu "Jaya, apakah itu ?"

   "Jika peris wa dalam semedhiku itu benar suatu wangsit gaib maka benda itu adalah perwujutan dari badan wadag ular naga berjamang itu"

   Bisik Wijaya. Keduanya berhen pada jarak beberapa langkah dari benda itu. Mereka makin jelas akan benda itu. Bentuknya bulat macam rotan, panjang selengan dan warna hitam kelabu. Cahaya yang terpancar, remang kebiru-biruan.

   "Ki brahmana, idinkanlah aku untuk mengambil benda itu"

   Kata Wijaya.

   Bantara terkesiap.

   Diam2 ia memuji akan keperibadian Wijaya yang dapat menempatkan diri dalam sikap rendah hati.

   Suatu sikap yang menimbulkan rasa suka orang.

   Memang yang berhak dan wajib mengambil benda itu adalah Wijaya.

   Sekalipun demikian, masih pemuda itu meminta idin dengan rendah hati.

   "Baiklah, tetapi jangan lengah"

   Bantara memberi pesan.

   Sejenak mengheningkan cipta, Wijayapun segera melangkah maju menghampiri benda itu.

   Ia makin jelas akan benda itu.

   Apabila taksalah, sekeping besi bulat panjang yang ,masih kasar.

   Untuk meyakinkan kesannya itu, dia lalu berjongkok dan memungut benda itu "Ah"

   Desahnya dalam ha "memang benar sekeping besi logam yang panjang, menyerupai sebatang linggis"

   Entah karena perasaannya sendiri, entah memang suatu kenyataan, tetapi pada saat tangan Wijaya menyentuh dan memegang logam itu, maka terpancarlah sebuah aliran lembut yang menggetarkan lengannya.

   Hanya sekejab dan getaran lembut itupun lenyap tanpa menimbulkan rasa sakit ataupun rasa apa-apa.

   "Jaya ...."

   "Benar ki brahmana, hanya sebatang logam kasar"

   Cepat Wijaya berseru seraya ayunkan langkah. Keduanya, lalu ke luar. Mereka terkejut ke ka di luar halaman sudah tegak berjajar berpuluh rakyat kademangan. Bahkan diantara-nya terdapat ki demang Srubung.

   "Bagaimana Bantara"

   Cepat ki demang menyongsong pertanyaan dengan nada masih membekas kecemasan "apakah yang berada dalam liang itu?"

   Dengan singkat Bantara lalu menceritakan tentang peris wa yang terjadi dalam alam semedhinya.

   "Ular besar berjamang?"

   Ki demang terkejut. Bantara mengangguk.

   "Tentu seekor raja ular. Siapa namanya ?"

   "Kyai Rajamala, ki demang"

   Sahut Wijaya. Ia teringat bahwa ular naga iiu memberitahu namanya kepadanya, tidak kepada Bantara.

   "O, lalu dimana ular besar itu?"

   "Sudah terbasmi"

   "Hah !"

   Ki demang terbeliak "siapa yang membunuhnya?"

   "Ki brahmana"

   Sahut Wijaya. Sudah tenta Bantara terkejut dan hendak membantah tetapi saat itu Wijaya telah memberi isyarat kedipan mata.

   "Ah, dia tentu mempunyai maksud"

   Bantara-pun cepat dapat menanggapi. Dan ia hendak meminta penjelasan pada lain kesempatan.

   "Benarkah ular besar yang menimbulkan malapetaka di kademangan kita ?"

   "Benar, rama"

   Kali ini Bantara menjawab.

   Tiba2 ia mendapat gagasan dan merangkai gagasan seperti itu.

   Sesaat terdengar suara gemuruh dari rakyat kademangan yang terkejut, kagum dan bersyukur atas peris wa itu.

   Diantara dengung suara macam lebah di-onggok dari sarangnya, terdengar pula suara memuji akan kesaktian Bantara.

   Ki demangpun gembira sekali.

   Dipeluknya Bantara dengan rasa penuh kebanggaan.

   Wijaya tersenyum, Bantara meram melek.

   Meram mata tapi melek di ha .

   Dia harus menerima pujian dari sesuatu yang tak dilakukannya.

   Suatu derita yang mempunyai siksa tersendiri.

   Demikian dengan diiring oleh berpuluh rakyat, ki demang, Bantara dan Wijaya segera kembali ke kademangan.

   Malam harinya ki demang mengadakan perjamuan untuk merayakan peristiwa itu.

   "Jaya, mengapa engkau menyiksa aku?"

   Dalam kesempatan bercakap-cakap sendiri, Bantara menegur.

   "Maksudku tak lain"

   Kata Wijaya "agar rakyat kademangan menaruh kepercayaan kepada ki brahmana. Kepercayaan itu akan membantu usaha ki brahmana untuk memimpin mereka menanggulangi bahaya kering dan hama di kademangan"

   "O"

   Kini Bantara baru mengerti tujuan Wijaya.

   Diam2 ia memuji pemuda itu.

   Keesokan harinya ia mengumpulkan rakyat kademangan lagi.

   Ia mengatakan bahwa sekarang bencana yang menimpah kademangan sudah lenyap dan harus segera bekerja untuk mengembalikan pula hasil pangan.

   Setelah peris wa di gua pohon brahmastana, kini rakyat kademangan percaya penuh pada Bantara.

   Apapun perintah brahmana muda putera ki demang itu, dilaksanakan dengan penuh ketaatan.

   Bantara memimpin mereka membuat waduk dan memperbanyak pembuatan sumur, pengairan dan lain2 untuk meningkatkan hasil bumi.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hari berjalan cepat sekali.

   Pada hari itu Sukra datang.

   Prajurit itu diutus tumenggung Mahesa Bungalan untuk menyampaikan berita kepada demang Srubung bahwa besok pagi ki demang diminta berkumpul di tumenggungan untuk berangkat ke makam Wurare.

   "Tetapi bukankah upacara itu akan dilangsungkan besok lusa?"

   Tanya demang Srubung.

   "Ki tumenggung mengatakan bahwa sehari sebelum upacara itu, prajurit2 keamanan harus sudah disiapkan"

   Ke ka Sukra pulang, ki demang memanggil Wijaya dan diberitahu supaya besok bersiap siap mengiringnya.

   Wijaya gembira.

   Dalam kesempatan bertemu dengan Bantara, ia menanyakan apakah brahmana itu juga akan menyaksikan upacara pentahbisan baginda di Wurare.

   Bantara mengiakan "Sebagai seorang brahmana aku tentu tak mengalami rintangan apa-apa apabila aku menggabungkan diri dengan para pandita dan brahmana yang menghadiri upacara itu."

   Malam itu keduanya bersiap.

   ~dewiKZ~ismoyo~mch~ II Malam itu Wijaya belum dapat dur.

   Kantuknya terserap pikiran yang masih berkelana jauh.

   Melayang kembali ke pertapaan dan ke gunung Kawi, mengenang rama dan gurunya.

   Mengenang pula peristiwa2 yang dialami di Daha, di candi Kagenengan, terakhir di kademangan.

   Ia segera keluar mencari angin ke halaman rumah ki demang yang luas.

   Ia ingin menenteramkan golak pikirannya agar dapat menyalurkan ke arah tujuan yang tertentu.

   "Setelah menyaksikan upacara pentahbisan baginda di makam Wurare, kemanakah aku harus pergi ?"

   Ia melangkah pelahan- lahan seraya membawa pertanyaan.

   Timbul pikiran untuk pulang menghadap ramanya kemudian menghadap gurunya.

   Ia hendak memberi laporan tentang hasil2 yang diperolehnya dan akan minta petunjuk lebih lanjut kepada kedua orang yang paling diindahkannya itu.

   "Tetapi"

   Pikirannya mengilas "baik rama maupun guru sudah melimpahkan amanat.

   Agar aku lelana-brata ikut serta dalam kancah turunnya wahyu agung dari dewata.

   Amanat itu mengandung tugas yang luas dan jelas.

   Sebelum berhasil menerima anugerah dewata, layakkah aku harus memohon petunjuk beliau2 itu lagi?"

   Wijaya bersangsi.

   Ia teringat akan wejangan gurunya bahwa ksatrya harus setya pada tugas.

   Sebagai contoh gurunya menceritakan tentang sikap dan peribadi ksatrya Bratasena, ksatrya kedua dari Pandawa Lima.

   Oleh gurunya, maharsi Druna, diperintahkan Bratasena untuk mencari sarang angin didasar samudera.

   Bratasena seorang ksatrya yang jujur dan setya.

   Ia tak meragukan lagi perintah itu.

   Ia tak mau menaruh curiga kepada gurunya apakah sesungguhnya yang tersembunyi di balik perintah aneh itu.

   Mungkinkah angin itu mempunyai sarang? Mungkinkah ia mampu memperoleh sarang itu? "Ah, dakkah ndakan Bratasena itu suatu sikap kepatuhan yang membuta?"

   Saat itu Wijaya menyanggah.

   "Memang demikian, Nararya"

   Kata resi Sinamaya "tetapi engkau harus mengetahui bahwa dalam ajaran agama Hindu, guru itu mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar.

   Murid harus tunduk dan melakukan apapun perintah guru.

   Bratasena menetapi keutamaan sebagai seorang murid.

   Dan dalam alam pikiran Bratasena, tak mungkin seorang guru akan mencelakai muridnya.

   Dan ia tahu bahwa maharsi Druna itu seorang resi linuwih, sak mandraguna sehingga dipercayakan menjadi guru dari para Kurawa dan Pandawa"

   "Tetapi guru"

   Masih Wijaya menyanggah "

   Dakah hal itu suatu kenaifan apabila Bratasena sampai mati?"

   "Benar Nararya"

   Kata resi Sinamaya "tetapi ma difitnah gurunya, akan mendapat tempat di Nirwana. Sikudenda dewata akan menimpah guru munafik itu. Wijaya mengangguk.

   "Tetapi ingat, Nararya"

   Kata resi Sinamaya lebih lanjut "bahwa Dewata tak membenarkan se ap perbuatan yang jahat. Seperti yang telah dialami Bratasena ksatrya dari Jodipati itu"

   Sekilas seolah terngiang pula percakapannya dengan resi Sinamaya dahulu. Dan sesaat itu mbullah semangat Wijaya "Aku harus ber ndak seper raden Bratasena. Apapun yang terjadi aku harus melaksanakan amanat rama dan guru"

   Dengan keputusan tekad itu beralihlah pikirannya kepada hal2 yang harus dilakukan. Ia akan menentukan langkah selanjutnya.

   "Ya benar"

   Akhirnya ia teringat "sesudah pentahbisan baginda, kerajaan Singasari akan menyelenggarakan sayembara memilih senopa dan menerima prajurit. Aku akan menyaksikan sayembara itu"

   Tepat pada saat ia bertemu pada arah yang akan direncanakan, ba2 ia mendengar suara orang bercakap-cakap.

   Ah, iapun terkejut ke ka mendapatkan dirinya telah memasuki kebun halaman belakang kediaman ki demang.

   Ia hendak menyurut mundur karena ia tahu bahwa halaman belakang itu bukan tempat yang harus dironda dan iapun merasa bahwa suatu ndak yang kurang layak apabila pada waktu malam ia memasuki lingkungan rumah ki demang.

   "Hai, siapa itu!"

   Ba2 sebelum ia mengangkat kaki, sebuah suara menegur sudah mendahului menyergapnya. Wijaya terkejut. Namun ia segera mengenal nada suara orang itu "Aku, ki brahmana"

   "O, siapa ? Engkau Jaya"

   Seru orang itu pula. Dan sesaat muncullah brahmana Bantara "mengapa engkau kemari ?"

   Wijaya meminta maaf. Dia mengatakan karena belum dur, ia keluar ke halaman. Mencari angin sekalian meronda.

   "Ah, engkau sungguh rajin"

   Seru Bantara "mari duduk bersama kami. Aku juga belum tidur"

   Wijaya terpaksa menurut. Ia terkejut ke ka melihat seorang gadis berada di serambi belakang "Ah, roro, maaf"

   Ia memberi hormat kepada dara itu yang dikenalnya sebagai puteri ki demang.

   "O, kakang Jaya, silahkan duduk"

   Ni Tanjung menyambut dengan ramah.

   "Jaya, Tanjung juga tak dapat dur dan memaksa aku bercakap-cakap disini"

   Bantara menerangkan.

   "Kakang, lanjutkan ceritamu tadi"

   Tanjung berseru.

   "Jaya, apakah engkau suka mendengarkan cerita ?"

   "Senang sekali"

   Sahut Wijaya "cerita apa saja yang ki brahmana bawakan ?"

   "Tanjung masih tak puas akan keteranganku tentang agama Syiwa dan Buddha. Dia ingin bertanya keterangan tentang makna dan tujuan dari upacara pentahbisan di makam Wurare itu"

   "O"

   Wijaya berseru kaget dan gembira "sungguh menarik sekali apabila ki brahmana menerangkan tentang itu"

   Bantara tertawa "Hm, rupanya engkau memang memiliki sifat seper Tanjung. Suka mengetahui segala apa. Kalian berdua ini cocok sekali"

   Bantara menyelimpatkan pandang melirik Wijaya. Tampak Wijaya terkesiap. Dan ke ka berpaling, dilihatnya Tanjungpun menunduk. Diam2 Bantara gembira. Ada suatu angan2 yang memercik dalam hatinya.

   "Baiklah"

   Katanya sesaat pula "akan kuterangkan tentang sesuatu yang kuketahui perihal pentahbisan baginda itu. Pengetahuanku inipun kuperoleh dari guruku"

   Yang disebut agama Hindu, yaitu segala kebiasaan dan buah fikiran bangsa Hindu berdasarkan atas agama dan masyarakat.

   Agama Veda yani agama yang berdasarkan ajaran kitab Veda dan agama Brahmana termasuk agama Hindu.

   Pada dasarnya, agama Brahmana dan Veda tak ada perbedaan pokok.

   Zaman Brahmana hanya mewujutkan kesempurnaan zaman Veda.

   Titik berat zaman brahmana terletak pada memenuhi kewajiban2 keagamaan dan menjalankan peraturan2 agama yang mengikat masyarakat.

   Falsafah yang menguasai seluruh jiwa mereka yalah Karman (perbuatan), Samsara atau selalu menjelma dan Moksha atau pembebasan.

   Jiwa manusia akan selalu menjelma menjadi mahluk, berkali-kali hingga dapat mencapai ngkat penjelmaan yang nggi dan tak usah menjelma lagi atau mencapai ngkat yang abadi yaitu moksha.

   Perbuatan dalam hidup sekarang menentukan peni sannya dihari kemudian.

   Jika perbuatannya jelek maka ngkat hidup peni sannya yang akan datang akan lebih rendah dari pada ngkat hidup sekarang.

   Demikian sebaliknya pula.

   Kalau peni san hidup yang sekarang baik perbuatannya, kelak dalam hidup peni sannya yang mendatang tentu akan lebih sempurna.

   Makin sempurna sampai tak usah menitis lagi.

   Jadi tujuan hidup yang pokok yaitu moksha.

   Setelah mbul dan berkembang agama Buddha, maka agama Hindupun mengalami perkembangan dan perobahan.

   Syiwa dan Vishnu dipuja sebagai dewa yang paling kuasa, lebih daripada dewa2 lain.

   Dengan dewa Brahma mereka merupakan Trimurti.

   Brahma menjadi pencipta, Vishnu menjadi pemelihara dan Syiwa menjadi pembinasa.

   Brahma sering dilukis dengan empat kepala tetapi jarang menjadi pujaan.

   Syiwa dan Vishiu lebih banyak dipuja.

   Ada mahzab yang mengutamakan Vishnu, ada pula yang mengutamakan Syiwa.

   Dalam buku2 Veda yang muda, Vishnu disebut pula Asyuta, Narayana dan Hari.

   Tanda2 Vishnu yalah gada, cakra, kulit kerang dan tunas bunga teratai.

   Kenaikannya burung garuda.

   Vishnu beristeri dewi Laksmi atau dewi Sri, lambang seri dan kekayaan.

   Sebagai pemelihara jagad, Vishnu selalu siap sedia merubah bentuk wujutnya.

   Hal itu dilakukannya apabila bahaya mengancam keter ban jagad.

   Rupa atau bentuk wujut Vishnu mula2 tak terbatas tetapi kemudian hanya tinggal sepuluh atau yang disebut sepuluh avatara, yalah.

   1.

   Matsyavatara.

   Sebagai matsya atau ikan besar, Vishnu menolong Manu, waktu bahaya air bah mengancam seluruh dunia.

   2.

   Kurmavatara atau kura2 raksasa.

   Vishnu menjadi alas gunung Mandara waktu dewa2 berusaha mengaduk lautan, karena hendak mengambil air Amreta dari dalam laut.

   3.

   Varahavatara.

   Sebagai Varaha atau babi-hutan, Vishnu mengangkat jagad dengan taringnya ke ka jagad ditarik kebawah oleh orang2 dari dunia gelap ke dasar laut dan ke Patala atau dunia gelap.

   4.

   Narasimhavatara.

   Sebagai mahluk yang berbadan manusia dan berkepala singa.

   Vishnu mengalahkan daitya Hiranyakasyipu yaug hendak menguasai dunia.

   5.

   Vamana vatara .

   Sebagai Vamana atau orang kerdil, Vishnu datang kepada Bali seorang raksasa yang menguasai dunia.

   Vamana minta kepada Bali, tanah sebanyak yang dapat dilangkahi dalam ga langkahnya.

   Ke ka permintaannya itu dikabulkan Bali, maka Vishnu-pun melangkah.

   Ternyata dalam, tiga langkah saja Vishnu telah melangkahi bumi, angkasa dan langit.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   6.

   Parasuramavatara.

   Sebagai Rama yang bersenjata parasu atau kapak, Vishnu membunuh dua puluh satu kali orang2 ksatrya untuk membalas dendam hinaan yang diterima oleh ramanya, seorang raja.

   7.

   Ramavatara.

   Vishnu menjelma dalam diri Rama, putera raja Dasaratha.

   Isterinya dewi Sinta telah dilarikan Ravana.

   Dengan perjuangan panjang dibantu oleh raja kera Sugriva dan kera pu h Hanuman, akhirnya Rama dapat menumpas Ravana.

   8.

   Kreshnavatara.

   Vishnu menitis dalam diri Kresna, putera dewi Devaki dan prabu Vasudewa.

   9.

   Buddhavatara .

   Vishnu turun di dunia sebagai Buddha hendak memperdayakan musuh2 dewa.

   10.

   Kalkiavatara.

   Peni san ini akan terjadi kelak apabila jeman Kaliyuga sudah habis, Visnhu akan turun sebagai Kalki untuk memperbaiki dharma dan mendatangkan kala yang baru dan bahagia.

   Demikian sifat2 daripada Visnhu.

   Sedangkan Syiwa, mempunyai sifat yang berbeda.

   Syiwa menjadi lambang kekuasaan yang luar biasa.

   Sering kali Syiwa menjelma sebagai raksasa yang membinasakan segala mahluk atau barang yang telah dicipta sendiri.

   Ia mencipta dan membinasakan.

   Tempat singgasana Syiwa di puncak gunung Himalaya yang selalu dilipu salju.

   Isterinya bernama dewi Parva , berputera dua orang yani Ganesya dan Skanda.

   Ganesya berkepala gajah dan menjadi panglima pasukan Syiwa.

   Skanda menjadi dewa peperangan, kenaikannya burung merak.

   Sedang kenaikan Syiwa adalah lembu Nandini.

   Seringkah Syiwa bergan nama sesuai dengan penjelmaan yang diambilnya.

   Diantaranya yaitu sebagai.

   1.

   Mahalala, dewa yang mencipta dan menghidupkan dan membunuh segala mahluk.

   2.

   Mahadewa, dewa yang melebihi dewa2 lain.

   3.

   Mahaguru, sebagai dewa para yogin.

   4.

   Iivara atau Isya, tuan yang ditakuti.

   5.

   Bersatu dengan Vishnu disebut Harihara.

   Kitab suci agama Syiwa dan Vishnu disebut Porana.

   Kitab2 Purana ini terutama membicarakan apa yang telah terjadi dengan dunia, asal mula dan apa yang akan terjadi.

   Kitab itu terdiri dari lima bab yang disebut Pancalakshana.

   Diantaranya, bab yang ke empat menyebut tentang Kalamanu atau lukisan kala.

   Ada empat belas kala, dalam ap2 kala dilahirkan manusia baru.

   Tiap kala dibagi lagi kedalam empat yuga yani.

   Kreta, Dvapara, Treta dan Kaliyuga.

   Menurut kepercayaan mereka, sekarang ini kita hidup dalam masa Kaliyuga, penuh dengan kejahatan dan kepalsuan.

   Dalam Kretayuga digambarkan bahwa keadaan masih baik.

   Dharma berlaku adil dan benar, ada orang yang ber ndak salah.

   Semua ber ngkah laku baik.

   Dalam yuga2 berikutnya, keadaan makin jelek hingga sampailah yuga yang sekarang ini yani Kaliyuga.

   Dalam kala ini kejahatan merajalela.

   Pada akhir jaman Brahmana, muncullah agama Buddha.

   Kemunculan agama itu ditandai dengan lahirnya seorang putera dari raja Saddhodhana, raja kerajaan Kosala yang beribu-kota Kapilavastu.

   Suddbodhana merupakan keturunan raja Skaya.

   Sangat dipuja dan ditaati rakyat karena raja Suddhodhana itu amat adil bijaksana.

   Pada suatu hari permaisuri Maya yang sedang mengandung, meninggalkan Kapilavastu menuju ke Diva-daha untuk menjenguk saudaranya.

   Ditengah jalan, di-desa Lumbini, ratu kerajaan Kosala itu tertarik oleh sebuah hutan kecil yang penuh bunga, burung2 bernyanyi dan lebah mendengung-dengung.

   Segera ratu turun dari kendaraan dan masuk ke dalam hutan.

   Ketika hendak memegang cabang pohon, tiba2 ia terperanjat mendengar bunyi burung terbang dari cabang iiu.

   Pada saat itu pula, bersalinlah sang ratu.

   Seorang putera yang amat rupawan dan bercahaya wajahnya.

   Pada saat kelahiran putera itu, terjadilah peris wa2 yang ajaib.

   Orang2 yang tuli dapat mendengar, yang lumpuh dapat berjalan, yang buta dapat melihat dan yang sakitpun sembuh.

   Tetapi kegembiraan itu segera tertutup kabut awan kesedihan.

   Tujuh hari setelah melahirkan putera maka ratu Mayapun mangkat.

   Seorang pandita bernama Anta menghadap raja Suddhodana dan menujumkan bahwa putera raja itu kelak akan menjadi pemimpin dan petunjuk semua tah manusia, menolong segenap jiwa manusia dari samsara.

   Raja Suddhodana menghendaki puteranya akan menjadi raja sebagai penggantinya.

   Siddharta dijauhkan dari para pandita, diasuh dengan segala kebesaran dan keagungan istana.

   Tak dapat meninggalkan istana sekehendak hati.

   Jika keluar bertamasya harus diiringkan para pengawal hulubalang.

   Setelah dewasa Siddharta beristeri dengan puteri Gopa dan berputera seorang anak lelaki yang dinamakan Rahula.

   Sekalipun sudah berkeluarga tetapi pangeran itu tetap tak bebas meninggalkan istana.

   Se ap pangeran hendak pesiar keluar istana, raja menitahkan supaya menyingkirkan semua paderi dan orang yang dapat menimbulkan kesadaran kemanusiawiannya.

   Tetapi segala usaha itu akhirnya tetap gagal.

   Pangeran Siddharta bertemu dengan seorang sakit yang tubuhnya gemetar, dengan seorang tua renta yang berjalan terta h-ta h.

   Kemudian berjumpa dengan seorang pendeta dan orang mati.

   Kesemuanya itu telah menimbulkan rasa sedih dan pedih dalam hati sang pangeran.

   Jiwanya meronta dan akhirnya dia meninggalkan istana, putera dan isterinya, hidup sebagai orang pertapa mencari ilham dan pembebasan dari penderitaan.

   Tetapi pangeran tak menemukan apa yang dicarinya.

   Mencari ilmu yang sempurna, bertapa, kesemuanya itu sia2 belaka.

   Hidup bertapa tak dapat memisahkan purusha dari prakreti dan tetap menahan orang dalam samsara.

   Maka pangeranpun mencari jalan sendiri.

   Dia bertapa di bawah pohon ara yang kemudian terkenal sebagai pohon bodhi.

   Dia mendapat ilham atau bodhi, menerima petunjuk bagaimana dapat melepaskan diri dari samsara.

   Peris wa itu terjadi di Gaya.

   Tempat itu kemudian disebut Bodhi-Gaya.

   Setelah itu mulailah dia berkeliling untuk mengajarkan ilmunya.

   Pokok2 dari pelajarannya yalah bahwa lahir, tua dan mati itu menderita.

   Begitu pula halnya dengan bersedih, menyesal dan segala macam rasa kecewa.

   Yang menyebabkan penderitaan itu adalah hati yang tidak ihklas dan hawa nafsu, mencari kesenangan, hawa nafsu keduniawian.

   Untuk melenyapkan segala derita itu harus memiliki hati ihklas dan menghilangkan hawa nafsu.

   Cara untuk menghilangkan penderitaan itu hanya dengan menjalankan delapan jalan tengah berpemandangan, berniat, berbicara, berbuat, berpenghidupan, berusaha, berperhatian dan memusatkan pikiran yang benar.

   Kesemuanya itu harus benar.

   Juga diajarkan tentang rantai Sebab dan Akibat.

   Penderitaan itu ada Sebabnya dan penderitaan itu dapat dilenyapkan.

   Buddha dak berniat mendirikan mahzab atau agama.

   Ia hanya mengajarkan cara untuk mencari moksha.

   Tetapi sesudah beliau wafat, penganut dan murid-muridnya yang banyak sekali jumlahnya itu mendirikan ikatan2 yang bertujuan memelihara dan mengembangkan ajaran2 sang Buddha.

   Para penganut dan murid2 itu sebagian masuk ikatan ulama, sebagian masuk ikatan penganut biasa.

   Ikatan ulama disebut sanggha.

   Ulama disebut bhikkhu, yang wanita disebut bhiksuni.

   Penganut biasa disebut upasaka.

   Oleh karena sanggha2 atau ikatan2 makin lama makin banyak, pelajaran sang Buddha menjadi agama.

   Seratus tahun sesudah sang Buddha wafat, maka mbullah perpecahan dikalangan agama itu.

   Terbagi dalam dua aliran yaitu Sthavira atau kaum kolot dan aliran Mahasangghika, yang berpendirian lebih baru.

   Perpecahan makin lama makin nyata dan akhirnya pada tahun 78 Masehi di Jalandhara telah diadakan permusyawarahan besar dari para bhiksu dan pandita yang terpilih.

   Musyawarah yang diselenggarakan raja Kanishka itu tetap tak dapat menghindari perbedaan aliran.

   Sejak itu mbullah dua mahzab yang beraliran Hinayana atau Kendaraan-kecil dan Mahayana atau Kendaraan-besar.

   Aliran Hinayana menganggap bahwa kelak akan ada Buddha baru yang turun ke dunia yaitu Maitreya.

   Siddharta adalah Buddha Gautama.

   Hidup harus menurut petunjuk yang diberikan sang Buddha Gautama.

   Untuk mencapai Niivana, ap orang harus berusaha sendiri dengan dak mengharap pertolongan dari siapa-pun hingga sampai nanti Buddha Maitreya turun ke dunia lagi.

   Aliran Mahayana menganggap bahwa Buddha itu daklah semata Buddha Gautama sebagai satu-satunya Buddha.

   Buddha Pertama merupakan sumber segala hidup.

   Buddha Pertama menjelma dalam lima dhyani-buddha.

   Lima dhyani-buddha itu masing2 mempunyai buddha- manusia.

   Buddha Gautama menjadi salah seorang diantara kelima dhyani- buddha yang akan turun ke dunia.

   Umur dunia dibagi dalam lima kala.

   Yang bertanggung jawab untuk tiap2 kala yaitu .

   1 .

   hyani-buddha Vairocana, dhyani-bodhi sa ya Samantabadhra dan buddha-manusia Kra- kucchanda.

   2.

   hyani-buddha Akshobya, dhyani-bodhi-satva Varyapani dan buddha-manusia Kanakamuni.

   3 .

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
hyani-buddha Ratnasambhava, dhyani-bodhi-satva Ratnapani dan buddha-manusia Kasyapa."

   Ke ga Dhyani-buddha itu telah menjelma didunia pada masa yang lampau.

   Dan masa sekarang adalah.

   4 .

   hyani-buddha Amitabha, dhyani-bodhisatva AvalokifeTvara atau Padmapani dan buddha- manusia Buddha Gautama.

   Dan dalam masa yang akan datang, adalah.

   5.

   Dhyani- buddha Amoghasiddhi, dhyani-bodhi- satva Visvapani dan buddha-manusia Maitreya.

   Kewajiban dhyani boddhisa va memimpin dan memberi petunjuk kepada manusia agar mendapat bedhi dan kelak dapat masuk kedalam Nuvana.

   Lambat laun dhyani boddhi-sas va itulah yang terutama dipuji dan dipuja para pemeluk aliran Mahayana.

   Karena dhyani- boddhisattvalah yang jelas menolong manusia.

   Tiap orang yang telah mendapatkan bodhi dengan pertolongan Avalokitesvara, diharuskan menolong kawan2 supaya mendapat bodhi dengan jalan menunjukkan jalan yang benar.

   Dengan demikian jumlah bodhi-satva akan meningkat.

   Oleh sebab itulah mazhab ini disebut Mahayana yang berarti Kendaraan Besar, dapat memuat banyak orang.

   Kemudian ada juga aliran yang mempergunakan mantera untuk mempercepat terlaksananya boddhi.

   Delapan an yang mula2 diajarkan Budha hampir di-abaikan, Aliran ini disebut Varayana.

   Aliran ini merupakan agama Buddha yang berselubung Syiwa.

   Nama lain dari aliran itu yalah Tantrayana.

   Demikian brahmana Bantara mengakhiri ceritanya dengan penambahan kata "Sudah tentu masih jauh dari sempurna uraianku itu.

   Karena pengetahuanku tentang agama yang begitu luas, hanya ibarat sebu r pasir dipadang pasir.

   Apa yang kugambarkan itu, hanya secara garis besar.

   Dan dengan uraian singkat itu mudah-mudahan kalian mendapat sedikit landasan untuk mengetahui sumber dan dasar serta perkembangan ketiga agama, Syiwa, Baddha dan Brahma itu"

   Dalam ha Wijaya memuji kecakapan Bantara yang dalam usia semuda itu sudah memiliki pengetahuan yang luas akan jenis dan keadaan aliian agama yang berkembang di Singasari.

   "Kakang, jika begitu kerajaan Singasari itu menganut tiga aliran agama?"

   Tanya ni Tanjung.

   "Benar, nini"

   Kata Bantara "memang baginda berkenan mengembangkan ke ga aliran agama itu.

   Terutama baginda lebih cenderung akan ajaran Tantra, sebuah kitab suci dalam aliran Hindu, beberapa mahzab menggunakan petunjuk2 untuk mencari jalan moksha dengan melaksanakan Pancatauva atau Pancamakara, yaitu menjunjung lima ma .

   mada atau anggur, matsya atau ikan, mamsa atau daging, mudra atau padi dan maithma atau cinta.

   Tidak memadamkan hawa nafsu tetapi memanjakannya.

   Mahzab ini disebut aliran Tantrayana.

   Yalan menggunakan mantra atau tantra.

   Yogin atau orang yang sedang menjalankan yoga dalam aliran itu, harus berusaha untuk membangkitkan ular sebagai titisan dewi Paivati yang dianggap sebagai sakti Syiwa ....."

   "Apakah maksud kata2 sak itu, kakang?"

   Tanya Tanjung yang selalu tak puas-puas hendak meneguk pengetahuan.

   "Dasar dari kepercayaan mereka yalah kenyataan yang ter nggi adalah pesatuan antara dua sifat yang berjenis lelaki dan perempuan. Jenis lelaki merupakan ngkat ter nggi, sedangkan jenis perempuan merupakan ngkat pembebasan. Yang pertama disebut upaya dan yang kedua prajna. Kesatuan dari kedua jenis itu merupakan jalan yang mutlak untuk mencapai pembebasan dari samsara. Berdasarkan pandangan itu maka semua dewa, buddha dan bodhisatwa mempunyai sak yang berupa dewi atau seorang wanita. Begitulah yang diartikan dengan kata sakti itu"

   "O"

   Seru Tanjung pula "kudengar baginda hendak melaksanakan pentahbisan di makam Wurare"

   "Ya"

   "Lalu apa tujuan pentahbisan itu dan mengapa akan dilakukan di kuburan Wurare?"

   Bantara geleng2 kepala "Nini, rupanya engkau ingin tahu segala. Lebih dulu jawablah pertanyaanku ini. Apa guna engkau hendak mengetahui soal itu?"

   "Pengetahuan itu merupakan suatu ilmu. Dan ilmu itu, menurut hematku, suatu kelengkapan untuk meningkatkan tingkat pikiran dan jiwa kita. Tanpa ilmu, bagaimana mungkin dapat hidup?"

   "Ah, masakan begitu?"

   "Yang kumaksudkan dengan hidup adalah hidup yang sebenarnya. Burung, ayam, kuda dan segala jenis binatang, pun dapat hidup tanpa ilmu pengetahuan. Tetapi kita manusia, merupakan mahluk yang tertinggi, hendaknya sesuai dengan nilai martabat manusiawi kita"

   "Bagus, nini"

   Seru Bantara memuji "jika aku memiliki segala ilmu, adalah karena aku berguru pada resi di gunung Meru.

   Tetapi yang mengherankan adalah dirimu.

   Engkau tetap di rumah tetapi mengapa engkaupun dapat mencapai suatu kecerdasan pikiran dan kesadaran ba n mengenai beberapa soal2 hidup?"

   Ni Tanjung tertawa.

   "Sesungguhnya ada yang harus diherankan. Ilmu dan kesadaran ba n terdapat dalam segala gerak kehidupan ini. Sumbernya adalah alam sendiri. Alam ini merupakan sumber ilmu yang sempurna. Tergantung sampai dimana kemampuan kita untuk mengetahuinya. Bukankah tadi dalam membawakan cerita tentang sang Buddha Gautama, kakang mengatakan bahwa sang Gautama merasa kecewa akan segala jerih payahnya untuk mencari ilmu kemana-mana? Bukankah akhirnya sang Gautama mendapatkan pencrangandaa kesadaran setelah duduk bertapa dibawah pohon ara?"

   Bantara mengangguk.

   "Benar, nini. Tetapi daklah sembarang orang mampu seper sang Gautama. Baru keputusannya saja, mungkinkah orang berani menauladnya? Beliau seorang putera raja, pewaris kerajaan, beristeri puteri can k dan berputera. Hidup gelimang kekuasaan dan kemewahan. Kiranya tak mungkin ada orang yang berani meninggalkan kenikmatan itu kecuaii sang pangeran Siddharta"

   "Ya, benar kakang"

   Kata Tanjung "adakah karena tubuh sang Gautama itu memang sebagai bud- dha-manusia daripada dhyani-boddhisatva Avaloki-tesvara?"

   "Engkau cepat dapat menghayati sesuatu"

   Seru Bantara gembira"

   "Tetapi kakang tadi mengatakan bahwa se ap manusia dapat mencapai boddhisa va. Dengan demikian bukanlah suatu hal yang mustahil apabila seseorang akan mendapat kesadaran ba n itu?"

   "Ke ga agama itu memiliki sumber dan dasar pelajaian menurut kitab suci masing2. Agama Brahma dengan kitab suci Veda. bagi para pemeluk agama Syiwa dan Wisnu memiliki kitab Purana yang terdiri dari delapan belas bagian. Reshi Kreshna Dvipayana atau Vyasa, adalah pengarang Veda dan juga dianggap sebadai pengarang Purara. Setelah menyusun Purana lalu reshi Kreshna Dvpayana itu mengararg Mahabaratha. Sementara kaum buddha memiliki kitab suci Tripitaka"

   "Baik Brahma maupun agama Syiwa, memuji dewa2. Sedangkan agama Buddha, karena terpecah dua aliran yani Hinayana dan Mahayana, maka terdapat pula dua pendirian. Hinayana memuji Buddha Gautama yang telah mendapat boddhi itu sebagai Buddha yang melebihi para dewa2. Dan percaya juga akan tuntunnya Buddha Maitreya kelak pada akhir jeman Ka-liyuga"

   "Mahayana menganggap bahwa Buddha Gautama itu hanya sebagai salah seorang dari lima dhyani-buddha yang menjadi pengejawantahan dari Sanghyang Adibuddha atau Buddha Pertama. Walaupun caranya berbeda tetapi tujuan mereka sama"

   "Brama dan Syiwa, tidak terdapat perbedaan yang pokok. Falsafah pikiran mereka yalah mengadakan perbedaan antara dua hal, atman atau jiwa-aku dengan brahman ( maha ada ). Atman akan terpisah dan tetap akan terpisah dengan Brahman karena samsara. Kalau kita yakin bahwa sesungguhnya hubungan Atman dengan benda (jasmani dan keduniawian) hanya maya, maka atman lepas dari benda dan kembali ke Brahman. Tiada mengalami samsara lagi. Tujuan pokok dari agama Buddha, juga demikian. Untuk mencapai Nirvana atau kemokshaan yaitu kesempurnaan, orang harus melepaskan diri dari penderitaan. Lahir, tua dan mati dan lain2 perasaan hati, merupakan penderitaan. Cara untuk melepaskan penderitaan harus dengan hati yang ikhlas dan menghilangkan hawa-nafsu"

   "Setelah engkau mengetahui pokok2 ajaran itu, jika engkau memang hendak mencapai bodhi, engkau harus ikhlas melakukan hal2 yang telah dipancarkan dari delapan ajaran sang Buddha itu. Yang jelas, engkau harus mampu membebaskan diri dari belenggu mara atau nafsu2"

   Bantara mengakhiri jawabannya dengan uraian lagi yang agak panjang.

   "Ki Bantara"

   Ba2 Wijaya yang sejak tadi diam mendengarkan, sekarang membuka suara "dapatkah engkau menjelaskan apa sebab Syiwa itu disatukan dengan Wisnu ?"

   "Menurut cerita guruku"

   Kata Bantara "terjadilah penyatuan antara dua dewa yang disebut Hari- hara itu sudah terjadi sejak ratusan tahun di negara Jambudwipa ( India ) sebagai pelaksanaan dari suatu ajaran yang disebut Bhak marga atau jalan menuju pembebasan melalui kepercayaan yang penuh.

   Ajaran itu memuliakan Syiwa dan Vishnu.

   Karena reshi Kreshna Dvipayana yang menyusun kitab Veda itupun mengarang kitab2 Puruna dan kemudian menggubah kitab Mahabharata, maka terjadilah kaitan pengaruh diantara ajaran2 itu.

   Dalam kitab itu diberitakan pertarungan yang dahsyat antara Bhagawat, peni san Vishnu, dengan Rudra penjelmaan Syiwa.

   Pertarungan hanya akan menghancurkan seisi jagad maka balah Brahma melerai mereka.

   Sejak itu maka Vishnupun mempermaklumkan.

   "Siapa yang mengenal Aku, mengenal Dia (Syiwa). Siapa yang menganut Dia, menganut Aku. Tiadalah perbedaan antara Kami berdua"

   "Tentu saja pada suatu saat dapatlah sifat2 sebagai Vishnu yang menonjol dan lain kali sifat2 sebagai Syiwa yang akan tampak. Hal itu sesuai dengan tugas khusus yang perlu dilaksanakan oleh Dewa Ter nggi. Dewa ganda, Syiwa Vishnu, disebut Harihara. Dewasa ini di kerajaan Singasaripun menganut faham itu"

   Wijaya mengangguk-angguk. Dalam ha memuji pengetahuan Bantara si brahmana muda itu. Di lik dari sudut itu tentulah guru dari Bantara itu seorang resi yang berilmu nggi.

   "Eh, tetapi mengapa resi itu menyembunyikan namanya?"

   Ba2 Wijaya teringat akan keterangan Bantara mengenai gurunya yang minta disebut saja sebagai resi Meru.

   "Ki brahmana"

   Namun Wijaya sungkan untuk menyelidiki diri resi Meru. Ia beralih pada lain pertanyaan "pentahbisan apakah yang akan dilakukan baginda di Wurare itu? Dan apakah sebabnya harus dilangsungkan di Wurare?"

   "Ya, benar"

   Kata Bantara "memang akupun sudah menjaga akan pertanyaan kalian tentang hal itu.

   Itulah sebabnya maka tadi agak panjang lebar kuurai-kan tentang keadaan dan perkembangan ke ga aliran agama itu.

   Agar demikian dapatlah kalian memiliki gambaran tentang apa yang akan kuceritakan lebih lanjut tentang upacara pentahbisan baginda di kuburan Wurare"

   Wijaya dan ni Tanjung mendengarkan dengan perhatian yang meningkat.

   "Seper telah kita ketahui, baginda Kertanagara seorang raja yang amat patuh menjalankan ajaran dan peraturan agama. Baginda menerima ke ga aliran agama sebagai suatu kenyataan yang berkenan dalam ha baginda. Baginda memeluk agama Syiwa tetapi juga menganut agama Buddha Mahayana. Oleh karena perkembangan dari aliran agama Hindu dengan Buddha aliran Mahayana itu sejalan dalam suatu k pemujaan tentang dewa2, maka bagindapun menyatukan ke ga aliran agama itu menjadi Tripaksa"

   "Dengan demikian baginda itu seorang penganut ajaran Syiwa, pun juga seorang pemeluk Buddha. Kedua ajaran itu, memiliki ajaran tentang beberapa masa atau yang disebut Kala. Oleh karena pada se ap kala tentu akan turun awatara-awatara dari Vishnu atau Syiwa, ataupun dhyani- bodhisattva, maka timbullah sifat ganda daripada dewa2 yang akan turun itu"

   "Setelah ayahanda baginda Wisnuwardhana mangkat, baginda Kertanagara merasa menerima tugas untuk melindungi dunia dalam masa Kaliyuga. Dengan tegas baginda membasmi penjahat yang keji, kemudian bagindapun mengirimkan pasukan ke Malayu. Begitu pula dalam mengadakan kelestarian dari pemerintahannya, tak segan-segan baginda Kertanagara menggunakan kekerasan untuk menghancurkan se ap musuh. Baginda ingin membebaskan dunia dari cengkeraman Kaliyuga seper juga sang Buddha dalam wujud sebagai Wajarabhairawa membebaskan dunia dari Mara. Seper pula Vishnu selaku Narasimha atau mahluk menyeramkan yang berkepala Singa dan berbadan manusia, menumpas kedua asura Hiranyakasipu. Seper pula Syiwa dalam wujud selaku Samhara membunuh daitya-daitya yang lain. Dalam rangka melakukan tugas untuk menyejahterakan dunia, maka bagindapun taat akan kelima perintah seper yang diajarkan oleh ajaran Tantrayana. Itulah pula sebabnya maka baginda menitahkan untuk memuja sebuah dewa yang mencangkup per-wujudan dari awatara Syiwa dengan dewa dari aliran Buddha. Dan untuk hal itu maka satu-satunya dewa ganda yang dapat diterima adalah Harihara. Tetapi separah dari dewa ganda yang merupakan Hari, digan dengan wujud Buddha dan kemudian terciptalah dari Harabuddha itu menjadi Syiwabuddha yang tumbuh dari aliran Syiwa-Vishnu. Jika tak salah, maka dalam pentahbisan nanti, baginda akan memakai nama abhi-seka sebagai Bhatara Syiwabuddha"

   "Demikianlah pokok2 in ajaran agama yang dianut baginda. Dan mengapa harus dilakukan di makam Wurare ? Karena disitu akan diadakan sebuah lapangan mayat, dimana baginda akan bersemayam di-tengah- tengahnya untuk menerima pentahbisan itu .. ."

   "Di lapangan mayat ?"

   Ni Tanjung terkejut.

   "Ya"

   Sahut brahmana Bantara "memang banyak dipuja orang salah satu diantara sekian banyak bhairapaksa atau dewa2 penjelmaan dari Syiwa, Vishnu maupun Buddha.

   Terutama oleh mereka yang ingin segera dibebaskan atau yang masih dalam kehidupan ini sudah ingin menunggal dengan dewa.

   Untuk itu mereka mencari jalan lain dengan mantra dan berbagai upacara yang kesemuanya bersifat gaib.

   Tahap dalam ajaran ini disebut jiwanmukta, untuk mencapai bhumiyatga atau lepas dari bumi.

   Demikian kepercayaan dari bhairawa"

   "Untuk melaksanakan pentahbisan ke ngkat itu, dilakukan juga upacara misalnya mandi atau dur dalam abu mayat, mengucap mantra2, melaksanakan pra-daksina dan melakukan upahara yang terdiri dari berbagai perbuatan antara lain yang terpen ng yalah . ha-sita atau tertawa, gita atau menyanyi, nitya atau menari. Dan kesemuanya itu bagi pentahbisan seorang raja, harus dilakukan diluar istana, disebuah lapangan mayat. Mengapa begitu ? Hal itu harus kita ingat bahwa dalam falsafah ajaran Bhairawa, apa yang dilakukan raja itu semua, bebas tanpa terbius barang sedikitpun kesadarannya. Karena hal itu semata-mata hanya dilakukan demi tugas yang berat untuk melindungi dunia dalam masa Kali"

   "Ih"

   Ni Tanjung mendesuh agak ngeri.

   "Masih ada sebuah pertanyaan lagi, ki brahmana"

   Kata Wijaya.

   "Baik"

   "Apakah tuan pernah mendengar tentang seorang maharaja di negara Tartar yang menyebut dirinya sebagai Kubilai Khan ?"

   "Ya, gurupun pernah menceritakan tentang maharaja itu. Dia juga seorang maharaja yang besar kekuasaannya dan bahkan pernah mengirim utusan ke Singasari untuk meminta baginda Kertanagara mengirim upeti"

   "O"

   Seru Wijaya "apakah agama dari maharaja itu ?"

   "Tartar itu sebuah daerah diutara Jambudwipa. Kubilai Khan berhasil memimpin pasukannya untuk menaklukkan kerajaan Cina dan kemudian menjadi maharaja di Cina. Agama yang dianutnya juga aliran agama Hindu dan Buddha"

   "Apakah dia juga melakukan pentahbisan sebagai Jina ?"

   Bantara tak lekas menjawab melainkan merenung.

   Beberapa saat kemudian baru dia berkata "Ya, benar, sekarang aku ingat.

   Gurupun pernah menceritakan tentang diri maharaja Kubilai Khan itu.

   Dia juga ditahbiskan sebagai Jina menjadi Hewajrabhi-seka.

   Hewajra seorang Bhairawa, dewa sakti, bertangan empat yang memegang trisula, gendang, pisau dan bokor tengkorak, sambil menari di atas mayat, dengan mengenakan perhiasan berupa ular dan tengkorak serta dengan arca Amitabha dalam rambutnya yang bernyala-nyala"

   "O"

   Desuh Wijaya. Diam2 ia merangkai sesuatu antara baginda Kertanagara dengan Kubilai Khan. Tiba2 terdengar ayam berkokok, sahut menyahut. Dan angin malampun mulai berkesiur dingin.

   "O, sudah larut malam sekali, hampir mendekati fajar. Mari kita beristirahat,, nini"

   Kata Bantara "dan silahkan kembali Jaya. Bersiaplah untuk ikut serta dalam menjaga keamanan di kuburan Wurare"

   Wijaya dak dur melainkan duduk bersemedhi untuk memulangkan kele han.

   Makin tertarik ha nya untuk menyaksikan suatu upacara dari sebuah aliran agama yang selama ini belum pernah diketahuinya.

   Baginda Kertanagara akan duduk diatas tumpukan mayat, tertawa-tawa keras dan menari-nari dengan membawa trisula, gendang, pisau, bokor tengkorak dan perhiasan2 yang aneh.

   ~dewiKZ~ismoyo~mch~

   Jilid 15 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .

   MCH I MAKAM Wurare yang selama ini sepi, ba2 menjadi ramai.

   Tumenggung Bandupoyo, pengawal pendamping baginda Kertanagara, ditugaskan untuk membuat persiapan2 di pekuburan itu.

   Wurare terletak di dekat kuala sungai Brantas.

   Dan disekitar tempat itu memang terjadi beberapa peristiwa penting.

   Dahulu kala Calon Arang pun mengerjakan perbuatan saktinya di kuburan Lemah Abang.

   Dan ketika Empu Bharada melaksanakan titah prabu Airlangga untuk membagi kerajaan Panjalu menjadi dua, garis yang dibuat dengan mencucurkan air kendi dari udara itu, titik pertemuan simpang garis dari utara ke selatan dan dari barat ke timur, pun tercipta di daerah kuala sungai Brantas.

   Rupanya baginda Kertanagara mempunyai maksud tertentu mengapa memilih kuburan Wurare sebagai tempat pentahbisan sebagai Jinabhairawa.

   Kertanagara juga bergelar Narasimhamur , mulai memegang tampuk pemerintahan pada tahun 1176 Saka, dibawah pimpinan ayahanda sang prabu Wisnuwardhana yang tetap ikut memegang pemerintahan sampai pada baginda Wisnuwarddhana wafat pada tahun 1190 Saka.

   Peserta raja Wisnuwarddhana dalam pemerintahan adalah saudara sepupunya dari garis keturunan nenek-anda Ken Dedes, yani Mahesa Campaka yang kemudian bergelar Narasimhamurti.

   Baginda Wisnuwarddhana dimakamkan sebagai patung Syiwa di Waleri dan sebagai patung Sugata dijayaghu.

   Sedangkan batara Narasimhamurti dimakamkan di Kumitir.

   Setelah dinobatkan sebagai raja, baginda Kertanagarapun menggan nama pura kerajaan Kutaraja menjadi Singasari.

   Narasimhamur adalah penjelmaan Wisnu dalam bentuk sebagai seorang demon atau mahluk ajaib yang menakutkan.

   Berkepala singa, bertubuh manusia.

   Wisnu selaku Narasimha menumpas kedua asura Hiranyakabipu dan Hiranyaksa.

   Menurut ajaran Budha-kalacakra se ap kali dunia terancam kebinasaan oleh Kala yang menjelma sebagai asura jahat maka Wisnu, Syiwa dan Buddha segera turun ke dunia untuk membasmi asura-asura itu.

   Buddha-kalacakra menyatakan bahwa masa Kali-yuga itu merupakan masa keruntuhan dan masa yang penuh dosa dimana Yang Ter nggi itu harus ber ndak dengan keras bahkan seringkah pula seolah-olah kejam, supaya dunia tetap berdiri sejahtera.

   Buddha dalam wujud sebagai Wajrabhairawa membebaskan dunia dari Mara.

   Wisnu selaku Narasimha menumpas kedua Asura Hiranyakasipu dan Hiranyaksa.

   Syiwa sebagai Samahara membunuh daitya-daitya.

   Ketika ayahanda prabu Wisnuwarddhana wafat maka Kertanagara merasa telah menerima tugas untuk melindungi dunia dalam masa Kali.

   Baginda seorang Buddha yang tergolong dalam aliran Buddha-kalacakratantra yang juga seorang penganut Syiwa.

   Pengaruh ajaran Bhagawat sangat terasa dalam Buddha-kalacakra dan Syiwa sehingga kedua ajaran itu hampir sama tujuannya.

   Bagai penganut yang saleh, tak ada lagi perbedaan antara kedua jalan yang diajarkan kedua faham agama itu.

   Keduanya mengantarkan kepada kebebasan yang terakhir yaitu menjadi satu dalam Syiwa yang adalah Buddha pula, jadi sesungguhnya adalah Syiwa- buddha.

   Bagindapun rajin menjalankan Lima Perintah dari ajaran Tantra.

   Yani, untuk mencapai tujuan itu yang dipen ngkan yalah lima M.

   mada, matsya, mamsa, mudra dan maithuna.

   Kelima perintah atau Pancata wa ifu merupakan alat pembebasan untuk mencapai tujuan terakhir.

   Bagi dia yang memiliki kebajikan ter nggi, menikma kelima Pancata wa itu ada terlarang dan se ap saat dapat menggunakannya tanpa berpikir panjang.

   Pentahbisan dikuburan Wurare itu dimaksudkan baginda untuk melepaskan jiwa dari kekuasaan Kala-Yama.

   Dengan upacara itu baginda akan menjadi bhumi-tyaga sebagaimana dinamakan dalam tantra.

   Artinya, lepas dari bumi, pemenang atas hal2 keduniawian, bebas dari pengaruh daya tank bumi.

   Dan bebaslah pula untuk ke-Dewaan bilamana dikehendaki tanpa bergantung kepada maut.

   Dan keputusan baginda itupun segera dilaksanakan di pekuburan Wurare.

   Suatu tempat yang tak jauh dari telatah Kapulungan yang kemudian dinamakan Kamal Pandak, tempat Empu Bharada tersangkut bajunya ke ka sedang melayang di udara, mengguriskan air kendi untuk membagi kerajaan Panjalu.

   Dengan demikian baginda sudah merin s suatu pernyataan bahwa sebagai bhairawa atau Jhana, baginda mengemban tugas untuk menghancurkan se ap perbuatan jahat yang mengganggu kesejahteraan negara.

   Tak terkecuali pula hal2 yang mbul akibat dari terbelahnya kerajaan Panjalu yang telah dilakukan oleh Empu Bharada.

   Bahwa sejak Panjalu dibagi dua, maka tak pernah berhen mbulnya peperangan antara kedua negara Jenggala dengan Singasari.

   Oleh karena itu baginda bertekad untuk mempersatukan dan memelihara kedamaian menegakkan keadilan dan membawa kesejahteraan bagi kerajaan Singasari.

   Seri Lokawijaya atau yang berkemenangan di dunia, adalah puji yang disanjungkan kepada seri baginda yang ada taranya dalam keberanian sebagai pahlawan yang mulia, yang bertegak dengan gelar kedewaan Batara Jajaseriwisnuwarddhana.

   Demikian sehari sebelum upacara pentahbisan, berbondong-bondonglah para tumenggung, senopa yang ditugaskan untuk menjaga keamanan upacara itu.

   Demang Srubung yang membawa pengalasan Wijaya dan Podang, bergabung dalam kelompok rombongan tumenggung Mahesa Bungalan.

   Ada suatu kesan yang mengherankan Wijaya ke ka ba2 di pekuburan itu.

   Tampak prajurit2 berhen kerja dan berkelompok- kelompok beris rahat di sekitar sebuah lapangan.

   Di tengah lapangan itu tegak sebatang pohon kamal atau asem.

   Batangnya sebesar paha orang.

   Tumenggung Bungalan segera menemui tumenggung Bandupoyo yang saat itu berada dalam sebuah perkemahan.

   Entah apa yang dibicarakan, mungkin hanya melaporkan diri.

   Tak lama kemudian tumenggung Mahesa Bungalan kembali kepada rombongannya "Aku mendapat, tugas sebagai peronda keamanan.

   Pada waktu upacara pentahbisan berlangsung, diwajibkan untuk melakukan ronda mengelilingi daerah ini"

   Katanya kepada para demang yang menjadi bawahannya.

   "Itu tugas kita besok malam"

   Tumenggung Bungalan menambahkan pula "sekarang kita diminta membantu mempersiapkan tegal lapangan upacara"

   "Baik, ki tumenggung"

   Sambut beberapa demang.

   Kemudian seorang demang yang bernama demang Layang bertanya "lapangan yang akan diperuntukkan upacara besok, seharusnya hari ini sudah selesai.

   Tetapi mengapa dikatakan belum selesai pada hal para prajurit sudah berkelompok kian kemari.

   Ada yang duduk bercakap-cakap, ada yang mondar-mandir"

   "Benar"

   Jawab tumenggung Mahesa Bungalan "memang terjadi suatu peris wa aneh yang cukup menghebohkan tumenggung Bandupoyo. Pohon kamal yang tegak di tengah lapangan itu, tak dapat ditebang"

   "O"

   Sekalian demang mendesuh "tidakkah pohon itu tak seberapa besarnya?"

   "Menurut keterangan tumenggung Bandupoyo, pohon kamal itu angker sekali. Beberapa pekerja yang hendak menebangnya tentu mengalami kecelakaan. Ada yang membacok kakinya sendiri, ada yang ba2 berobah seper orang gila, tertawa- tawa dan menari-nari. Ada pula yang tak dapat bicara. Karena sudah menelan beberapa banyak korban, ada seorang prajuritpun yang berani melakukan penebangan itu. Juga ke ka tumenggung Bandupoyo menebang sendiri, dia mendadak pusing dan muntah2"

   Demang2 yang menjadi bawahan tumenggung Mahesa Bungalan terkejut.

   "Tumenggung Bandupoyo telah melaporkan hal itu ke hadapan baginda dan bagindapun telah menitahkan kelima pamegat untuk menyelesaikan peristiwa itu"

   "Kelima Dang Acarya yang mulia itu?"

   Para demang terkejut.

   "Ya"

   Sahut tumenggung Mahesa Bungalan "sang Pamegat Tirwan Dang Acarya Darmadeda, sang Pamegat Candamuhi Dang Acarya Smardahana, sang Pamegat Manghuri Dang Acarya Smaradewa, sang Pamegat Jarnba Dang Acarya Syiwanata, sang Pamegat Panjangjiwa Dang Acarya Agraja, semua telah datang.

   Mereka mengadakan doa sesaji untuk menghilangkan tuah pada pohon itu.

   Tetapi sia-sia.

   Bahkan yang mulia darmadhyaksa Kasyiwan Dang Acarya Syiwanata juga berkenan datang.

   Namun tiada hasilnya"

   "Padahal upacara akan dilakukan besok malam"

   Seru seorang demang "lapangan ini harus bersih"

   "Itulah yang menyebabkan tumenggung Bandupoyo gelisah sekali"

   Kata tumenggung Mahesa Bungalan pula.

   "Lalu bagaimana langkah beliau?"

   "Beliau telah mengeluarkan wara-wara, barang-siapa, tanpa memandang asal keturunan dan membedakan pangkat, dapat mengatasi pohon kamal itu, akan diberi hadiah dan pangkat"

   Hiruk pikuk pelahan terdengar diantara demang itu.

   Tetapi tiada seorang yang memberi tanggapan.

   Mereka merasa kekurangan pada dirinya sendiri.

   Sedang kelima pamegat yang dianggap sebagai pandita yang sudah putus akan segala ilmu, tak mampu.

   Apalagi mereka.

   Suasana di lapangan kuburan itu dilipu kesunyian yang tegang.

   Tumenggung Bandupoyo sudah bertekad, apabila sampai besok, belum juga usaha menebang pohon itu berhasil maka dia akan mengerahkan segenap pasukan untuk menyerbu pohon itu.

   Rombongan tumenggung Mahesa Bungalan ditempatkan di perkemahan sebelah luar karena tugasnya pada malam hari melakukan ronda keamanan.

   Lima orang demang yang menjadi bawahan tumenggung Bungalan, merundingkan peris wa aneh itu dalam kemah peris rahatannya.

   Sementara pengiring2 dan pengalasan mereka, dibebaskan untuk beristirahat diluar.

   "Podang mari kita jalan jalan"

   Tiba2 Wijaya mengajak Podang.

   "Kemana, raden?"

   "Hus, jangan menyebut raden. Panggil saja kakang"

   Wijaya memperingatkan lagi "kurasa tentu terdapat sesuatu yang aneh dalam peristiwa pohon kamal itu"

   Keduanya berjalan mengitari sekeliling tempat. Sebuah kuburan yang luas dengan sedikit makam. Penuh dengan gerumbul pohon dan semak.

   "Pada malam hari, apabila ada orang jahat yang mempunyai niat hendak mengacau upacara pentahbisan baginda tentu mudah. Dengan bersembunyi dalam gerumbul, orang itu dapat melepaskan panah-api"

   Kata Wijaya sambil memandang ke sekeliling tempat yang di laluinya. Diam2 Podangpun mempunyai pikiran demikian "Benar, sebaiknya besok pagi, kita lakukan penyelidikan dulu ke tempat2 yang kita anggap membahayakan"

   "Tetapi apakah sedemikian gawat keamanan pada upacara besok? "

   Tanya Podang pula.

   "Apa maksudmu ?"

   "Maksudku, apakah mungkin musuh2 dari luar Singasari akan mengancam keselamatan baginda? Rasanya apabila rakyat Singasari tentu tak mungkin mempunyai pikiran sejahat itu"

   "Podang"

   Kata Wijaya "musuh yang kelihatan, memang tak ada. Sekalipun ada, mudah dihadapi. Tetapi musuh yang tak kelihatan itulah yang paling sukar diduga dan dihadapi. Apakah engkau kira Singasari sudah aman dan baginda sudah tak mempunyai musuh?"

   Podang terbeliak.

   "Adakah baginda yang terkenal gagah berani sak mandraguna dan termasyhur pelindung agama, masih mempunyai musuh?"

   Ia balas bertanya.

   "Se ap perbuatan tentu menimbulkan dua tanggapan. Yang suka dan yang dak suka. Betapapun adil bijaksana baginda memerintah kerajaan Singasari, namun tentu masih ada golongan atau orang yang tak menyukainya"

   "Misalnya?"

   "Yang jelas, mereka2 yang terkena ndakan baginda, misalnya pa h empu Raganata, demung Wirakreti, tumenggung Wiraraja. Kalau negara yalah Daha dan daerah2 yang dikuasai Singasari"

   "Ah, tetapi baginda adalah seorang junjungan yang bijaksana dan termasyhur sampai ke seberang laut. Di bawah pimpinan baginda, Singasari makin cemerlang"

   Wijaya menghela napas.

   "Ukuran dari permusuhan bukan di njau dari kecakapan baginda memimpin kerajaan Singasari melainkan dari sifat permusuhan itu. Mereka tak senang, mereka sakitha atas ndakan baginda. Dan mereka mencari kesempatan untuk meletuskan pembalasan. Waktu dan tempat tak tertentu, setiap saat dan di setiap tempat dimana terdapat kesempatan"

   Tiba2 Wijaya hen kan langkah, memandang sebuah gerumbul yang berhias batu cadas. Podangpun mengikuti jejak Wijaya. Tempat itu memang bagus sekali untuk tempat persembunyian "Hayo, kita periksa "

   Seru Wijaya seraya ayunkan tangkah.

   "Ah ...

   "

   Podang berteriak tertahan "sebuah gua"

   Ke ka melintas gerumbul pohon dan menyiak semak, Podang melihat sebuah terowongan. Ia terus menghampiri.

   "Jangan tergesa-gesa, Podang"

   Wijaya mencegah karena Podang hendak menyusup ke dalam terowongan "biasanya terowongan dalam hutan belukar, sering dihuni binatang buas dan ular"

   Hasil pemeriksaan, liang yang hampir tertutup semak itu, merupakan sebuah terowongan besar.

   Podang membabat semak2 dan jelaslah kiranya bahwa terowongan itu merupakan sebuah pintu masuk dari sebuah gua.

   Seluruh gua tertutup dengan pohon dan semak sehingga tak tampak lagi wujudnya sebagai gua melainkan segunduk gerumbul dan semak.

   "Kuburan, kakang! Sebuah kuburan!"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sesaat kemudian Podang berteriak setelah ia melongok kedalam pintu gua itu. Wijayapun memeriksa dan memang benar. Dalam gua itu tampak segunduk makam yang berbentuk candi. Mungkin dari batu. Podang terus hendak masuk tetapi kembali ditarik Wijaya.

   "Jangan sembarangan ber ndak. Siapa tahu dalam gua makam ini terdapat binatang berbisa, terutama ular"

   "Lalu bagaimana maksud, kakang?"

   "Engkau membawa batu titikan?"

   "Ya "

   "Cari dahan kayu yang kering untuk obor. Kemudian baru kita masuk,"

   Kata Wijaya.

   Podangpun melakukan perintah.

   Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebatang kayu yang ujungnya dibungkus dengan daun dan ran ng kering.

   Setelah Podang berhasil membuat apidengan batu kan, ujung kayu itupun dibakar.

   Setelah itu mereka masuk.

   Wijaya yang membawa obor di depan dari Podang yang mengikuti di belakang "Siapkan senjatamu, Podang, untuk menjaga kemungkinan sergapan ular"

   Mereka dapatkan makam tertutup itu kosong.

   Tak ada binatang buas maupun ular bahkan serangga.

   Tanahnya cukup bersih.

   Rupanya si pembuat makam itu memang hendak menyembunyikan makam itu dari pandangan orang.

   Oborpun padam dan kepulan asap menyesakkan napas.

   Wijaya dan Podang terpaksa keluar.

   Tiba2 Podang rubuh lalu menggelepar-gelepar macam ikan di-atas pasir.

   "Podang, mengapa engkau!"

   Wijaya terkejut dan cepat menolongnya.

   Tetapi diluar dugaan, tiba2 Podang menghantamnya.

   Karena tak bersedia, dada Wijaya terhunjam dan terhuyung rubuh.

   Diam2 Wijaya terkejut mengapa Podang memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya.

   Dadanya terasa nyeri.

   Dan belum sempat ia menggeliat bangun, Podang menyambar pedang dan loncat menyerangnya "Kubunuh engkau, manusia lancang !"

   Dalam saat2 yang berbahaya itu, Wijaya masih dapat berguling ke samping, menghindari bacokan.

   Crakkkk, hantaman pedang Podang menimbulkan tanah bengkah dan semak2 terbabat.

   Tampak tenaga Podang luar biasa kuatnya sehingga pedang sampai menyusup separoh batang kedalam tanah.

   Wijaya melihat kesempatan itu dimana Podang sedang berusaha untuk mencabut pedangnya, iapun segera melen ng bangun dan dengan sebuah loncatan yang cepat sekali ke belakang Podang lalu menghantam kedua bahunya.

   Uh ...

   Podang mendengus kesakitan dan tubuhnyapun lunglai.

   "Kenapa engkau, Podang!"

   Bentak Wijaya seraya mencampak tubuh Podang kebelakang.

   Brakkk, tubuh Podang membentur sebatang pohon sebesar lengan.

   Pohon itu tumbang tetapi Podang seolah-olah tak merasa sakit.

   Dia terus maju menyerang pula "Enyah engkau, manusia, jangan mengganggu tempat ini!"

   Wijaya terkejut mendengar ucapan itu.

   Dan diapun teringat bahwa nada suara Podang bukan separau itu.

   Namun ia tak sempat untuk bertanya keterangan karena pada saat itu nju Podang sudah melayang ke mukanya.

   Wijaya berkisar ke samping lalu menerkam pergelangan tangan Podang.

   Ia hendak menguasainya dengan sebuah gerak menekuk lengan.

   Tetapi alangkah kejutnya ke ka Podang mengebaskan tangannya dengan suatu tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga cengkeraman Wijaya tersiak lepas.

   Dan pada saat yang tak terduga cepatnya Podang sudah menyekap pinggang Wijaya.

   "Auhhh"

   Wijaya menggeliat kesakitan.

   Serasa tulang pinggangnya patah dicengkam tangan Podang yang luar biasa kuatnya.

   Ia menyadari bahwa dirinya terancam bahaya, tulang pinggangnya remuk atau ma .

   Kesadaran itu segera mengundang tekadnya untuk berpantang ajal.

   Dan tekad itupun segera menggerakkan segenap tenaganya.

   Dengan menghambur sebuah bentakan keras, ia menggerakkan kedua sikunya ke belakang dengan sekuat kuatnya.

   "Uhhh"

   Podang mendesis kesakitan. Perutnya termakan siku dan tangannya terlepas. Wijaya tak memberi kesempatan lagi. Ia loncat menghantam pula. Dan kali ini Podangpun rubuh tertelentang.

   "Siapa engkau!"

   Wijaya menginjak dada Podang.

   "Ampun raden"

   Podang merintih "aku Buta-locaya, penunggu kuburan ini"

   "Buta Locaya? Siapa itu?"

   "Aku baureksa penjaga Daha. Aku diperintah Empu Bharada untuk menjaga kuburan ini"

   Wijaya terkejut namun cepat ia menyadari apa yang terjadi. Ternyata yang diinjaknya itu bukan Podang yang seja melainkan baureksa yang menyusup kedalam raga Podang. Itulah sebabnya maka secara tiba2 Podang memiliki kekuatan yang luar biasa kuatnya.

   "Kuburan siapa?"

   Bentaknya pula.

   "Bukan manusia melainkan tuah-sakti dari Empu Bharada"

   "Tuah-sakti Empu Bharada?"

   "Benar, raden. Disinilah dahulu Empu Bharada mengumpulkan kesak an dalam menunaikan tugasnya mengguriskan air kendi dari udara"

   "Untuk apa tenaga sakti itu dikumpulkan disini dan mengapa harus menyuruh engkau menjaga?"

   "Kutuk yang dijatuhkan Empu Bharada itu amat bertuah. Tampaknya diapun menyesal kemudian. Tetapi, apa yang telah diucapkan sukar ditarik kembali. Oleh karena itu Empu mengumpulkan kami para jin dedemit seluruh telatah kerajaan Panjalu untuk menjaga tuah-sak Empu"

   "Maksudmu "

   Kata Wijaya "apakah kalau dak dijaga, tuah-sak itu akan memberi akibat pada kerajaan"

   "Benar, tujuan Empu untuk membagi kerajaan Panjalu, akan berisi makna pecahnya kerajaan Panjalu"

   "Suatu perpecahan?"

   "Ya, suatu perpecahan antara Jenggala dengan Singasari. Oleh karena itu Empupun menitahkan kami untuk menjaga bumi Daha dari gangguan orang Singasari"

   Wijaya terkejut "Adakah Empu Bharada itu ber-fihak kepada Daha?"

   "BukanhanyaDahatetapikedua-duanya, Daha dan Singasari"

   "Hah ? "

   Wijaya mendesus.

   "Para jin dedemit di seluruh telatah Panjalu telah dikumpulkan disini. Dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang satu diwajibkan membela bumi Daha, menghancurkan se ap usaha Singasari yang hendak mengganggu Daha. Sedang kelompok kedua, ditugaskan menjaga bumi Singasari dan menghancurkan usaha orang Daha yang hendak mengganggu Singasari"

   "Dengan demikian siapapun yang berkuasa, Singasari maupun Daha, tetap akan terganggu ?"

   "Benar, memang begitulah makna titah Empu"

   "Setan baureksa Buta Locaya"

   Seru Wijaya "engkau harus enyah dari sini, kembalilah ke tempatmu semula. Jika membangkang, tentu kubunuh-mu!"

   "Ha, ha"

   Buta Locaya tertawa "mampukah engkau membunuh aku, raden ? Bunuhlah dan yang engkau injak serta bunuh itu tak lain adalah kawanmu yang bernama Podang. Dan aku tetap hidup di alamku"

   Wijaya terkesiap.

   Memang yang dikatakan Buta Locaya itu benar.

   Saat itu yang diinjaknya si Podang.

   Kalau ia marah dan membunuh, yang mati raga Podang sedang dedemit itu akan kabur.

   Tanpa terasa ia-pun melepaskannya kakinya dari dada Podang "Akan kubakar makam itu"

   "Manusia keparat, engkau berani kepadaku !"

   Sekonyong-konyong Podang yang sudah tampak lemas itu, bergeliat menendang kaki Wijaya. Wijaya yang tak menduga tak sempat menghindar. Ia terlempar kedalam belukar.

   "Ho, manusia gila, jangan sesumbar! Sebelum engkau mampu membakar makam ini, jiwamu pas sudah melayang!"

   Seru Podang dengan nada yang bergan sekeras geledek.

   Lalu loncat dan menerkam Wijaya.

   Dicekiknya leher Wijaya sekeras-kerasnya sehingga pemuda itu tak dapat bernapas.

   Kemudian Podang mengangkat tangan kanannya hendak dihunjamkan ke kepala Wijaya.

   Peris wa itu berlangsung amat cepat sekali sehingga Wijaya tak sempat berbuat apa-apa.

   Ia hanya mengerahkan seluruh cipta, mengumpulkan segenap kekuatan untuk bertahan sambil berkemas-kemas menghantam lawan.

   Tetapi sebelum dia sempat ber ndak suatu peris wa aneh terjadi.

   Sekonyong-konyong Podang menjerit dan lepaskan cekikannya lalu terhuyung-huyung ke belakang dan rubuh.

   Seolah-olah terkena suatu pukulan keras.

   Wijaya melenting bangun.

   Dilihatnya Podang berjongkok menyembah kepadanya "Ampun, raden, ampunilah kesalahan hamba ...."

   Wijaya terkejut, tegurnya "Siapakah engkau ? Bukankah engkau Buta Locaya baureksa Daha itu?"

   "Bukan, raden. Hamba bukan Buta Locaya. Dia sudah lari mengundang hamba. Hamba raja Baureksa yang mengepalai mereka di makam Wurare ini"

   "O"

   Wijaya mendesuh kejut dalam hati "bukankah engkau hendak membunuh aku?"

   "Ampun raden, hamba tak tahu,"

   Kembali Podang menyembah. Wijaya makin heran. Ia tak menger apa maksud kata2 jin yang menyusup dalam tubuh Podang itu "Mengapa engkau tak jadi membunuh aku lalu memohon ampun kepadaku?"

   "Karena kelak radenlah yang akan menjadi penguasa daerah Terik ini" .

   "Aku ?"

   "Ya"

   "Bagaimana engkau tahu ?"

   "Empu Bharada telah memberi tah bahwa apabila melawan orang yang memancarkan sinar sehingga tenaga kami lumpuh, kami harus menyembah dan tunduk pada perintahnya. Dialah kelak yang akan menguasai daerah ini"

   "Aku menguasai daerah ini ?"

   Diam2 Wijaya bertanya dalam hati.

   Ah, bagaimana mungkin.

   Daerah ini hutan belantara, apa yang kuharapkan ? "Namun dia tak menghiraukan soal itu, dan menolong Podang.

   Dengan meminjam tubuh Podang, memang sukar bagainya untuk membunuh mahluk yang tak kelihatan itu.

   "Apakah tugasmu disini ?"

   Tanyanya. Mahluk tak kelihatan yang menamakan dirinya sebagai raja Baureksa itu menuturkan seper yang diberitakan Buta Locaya. Tiba2 timbul sesuatu dalam benak Wijaya.

   "Jika demikian, apakah kamu yang mengganggu pekerjaan di lapangan yang hendak menjadi tempat upacara pentahbisan baginda Singasari?"

   "Benar, raden"

   "Sehingga pohon kamal di tengah lapangan itu sukar ditebang?"

   "Benar"

   Sahut raja Baureksa pula "kuperintahkan anakbuahku untuk mempertahankan pohon kamal itu dan menggagalkan setiap orang yang hendak menebangnya"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku menghendaki supaya pohon itu dibongkar. Perintahkan anakbuahmu enyah dari tempat itu"

   "Baik raden"

   "Dan lekas kembalikan Podang seperti semula"

   "Baik, raden. Kesemuanya itu akan hamba lakukan tetapi hambapun akan menghaturkan permohonan kehadapan paduka"

   "Katakan"

   Kata Wijaya "tetapi ingat. Se ap permintaan yang menyangkut perintahku tadi, akan kutolak. Perintahku itu tak dapat ditawar lagi"

   "Baik raden"

   Seru raja Baureksa "apabila menyangkut perintah raden tadi, hamba hanya mohon, bahwa hanya padukalah yang kuasa menebang pohon kamal itu.

   Dengan demikian hamba sebagai pimpinan, dapat memberi pertanggungan jawab kepada anakbuah hamba dan kelak kepada Empu Bharada"

   "Hm, baik"

   Jawab Wijaya "nanti malam aku akan menebangnya sendiri. Lalu apa lagi?"

   "Hamba mohon pelindungan kepada raden, agar kelak hamba dan anakbuah hamba itu masih diperkenankan hidup di hutan"

   Wijaya tak mengerti apa yang dimaksud mahluk itu.

   Bangsa jin lelembut meminta idin kepadanya agar mereka boleh nggal di hutan-hutan? Aneh.

   Pikirnya.

   Tetapi dia tak mau memikirkan panjang, lebar.

   Yang penting upacara baginda Kertanagara dapat berlangsung dan Podang selamat.

   "Baik"

   Katanya "tetapi dengan sebuah syarat. Bahwa kamu sekalian tak boleh mengganggu manusia"

   "Baik, raden"

   Podang menghaturkan lembah pula "hamba segera mohon diri untuk mengabarkan perintah tuan"

   Tiba2 Podang rubuh. Wijaya buru2 menolongnya. Ia memeriksa dada dan pernapasan Podang masih berjalan. Ia kasihan melihat keadaan kawan itu. Pakaiannya cabik2, kaki tangannya babak belur. Beberapa saat kemudian tampak Podang merintih-rintih kesakitan.

   "Podang, bagaimana engkau ?"

   "Aduh"

   Podang merintih "sakit semua. Tulang2 serasa patah, pinggangku remuk"

   Wijaya tahu bahwa apa yang diderita Podang itu memang cukup parah.

   Jika manusia Podang tentu sudah pingsan.

   Tetapi karena tubuh Podang itu dipakai oleh mahluk yang tak kelihatan,maka Podang memiliki suatu daya ketahanan yang ruar biasa.

   Beberapa waktu setelah memijat dan mengurut-urut tubuh Podang, rasa sakitnyapun berkurang "Podang, mari kita kembali ke kemah.

   Apakah engkau sudah dapat berjalan ?"

   Podang mengiakan.

   Tetapi ketika berjalan ia masih terbungkuk-bungkuk.

   Tiba di perkemahan hari sudah gelap.

   Kepada demang Srubung, Wijaya hanya mengatakan bahwa dia berjalan-jalan untuk mengenal sekeliling tempat itu agar dalam melakukan ronda pengamanan, ia sudah tahu tempat mana yang harus dijaga.

   Demang Srubung dapat menerima alasan itu bahkan diam2 ia memuji keteli an anakmuda pengalasan itu.

   "Nanti malam, kalian jangan keluar kemana-mana lagi"

   Kata demang Srubung "jagalah tempat ini. Aku hendak mengikuti rapat yang diadakan tumenggung Bandupoyo"

   "Apakah pohon kamal itu sudah dapat ditumbangkan?"

   Setelah mengiakan perintah ki demang Wijaya meminta keterangan.

   "Justeru rapat itu akan merundingkan langkah kita besok pagi untuk menumbangkan pohon itu secara paksa"

   Jawab demang Srubung "memang daerah ini terkenal gawat sekali. Dan peris wa ini tentu akan menimbulkan kegemparan besar apabila kita tak dapat mengatasi soal itu"

   "Benar, ki demang"

   Kata Wijaya.

   Sebenarnya masih ia hendak menyatakan sesuatu tetapi ragu- ragu.

   Dan pada saat itu demang Srubungpun terus masuk ke-dalam untuk beristirahat.

   Terpaksa dia pun tak melangsungkan maksudnya.

   Malampun ba dan demang Srubungpun menuju ke tempat tumenggung Bandupoyo.

   Perkemahan yang tersebar di sekeliling pekuburan itupun sunyi senyap.

   Podang sudah dur tetapi Wijaya masih gelisah.

   Ia sudah berjanji kepada raja Baureksa bahwa malam itu, dia akan menumbangkan pohon kamal dan raja lelembut itupun sudah menjanjikan bantuannya.

   Tetapi hanya dia sendiri yang diluluskan untuk membongkar pohon itu.

   Dan kemungkinan besar besok tumenggung Bandupoyo tentu akan mengerahkan seluruh anak prajurit untuk menghancurkan pohon itu.

   Walaupun kemungkinan akan berhasil, tetapi akan menimbulkan korban.

   Demikian pikiran yang melalu lalang dalam benak Wijaya sehingga walaupun memejamkan mata tetapi tak dapat dur.

   Saat itu didengarnya langkah demang Srubung masuk kedalam perkemahan dan terus beristirahat.

   "Ah, demi menyelamatkan jiwa para prajurit, aku harus ber ndak malam ini juga"

   Akhirnya mbullah pikiran Wijaya.

   Ia menunggu sampai tengah malam dimana suasana makin sunyi senyap lalu ia bangun dan dengan hati2 keluar dari kemah.

   Sunyi empat penjuru alam.

   Bulanpun sedang tertutup awan.

   Hanya bintang kemintang yang menerangi angkasa.

   Dengan langkah, yang amat ha 2 sekali ia mulai menyusup diantara bayang2 kerimbunan pohon yang gelap dan akhirnya mencapai tepi lapangan.

   Sejenak ia memandang ke arah perkemahan.

   Selelah memas kan bahwa para prajurit2 itu sudah lelap, mulailah ia menghampiri pohon kamal yang tumbuh di tengah lapangan itu.

   Ia berhen dimuka pohon itu memandangnya dengan seksama, menimang-nimang langkah yang akan diambilnya.

   "Jika kutebang dengan senjata"

   Pikirnya "tentu anak menimbulkan suara yang mungkin akan membangunkan prajurit2 itu. Walaupun perkemahan itu cukup jauh, tetapi dalam keheningan malam yang sesunyi ini, suara tabasan itu tentu menimbulkan gema suara yang keras"

   Ia mengheningkan cipta dan melancarkan kata-kata dalam batin "Heh, raja Baureksa, malam ini aku akan melakukan maksudku untuk menumbangkan pohon ini. Jika engkau ingkar akan janjimu, akupun takkan memberi ampun kepadamu"

   Entah hal itu didengar oleh mahluk yang menyebut dirinya sebagai raja Baureksa atau dak, tetapi Wijaya sudah mencurahkan kandungan ha nya.

   Dan setelah itu ia merasa lebih tebal kepercayaan pada dirinya.

   Ia segera maju menghampiri.

   Ia memutuskan untuk merobohkan pohon itu dengan mendorongnya.

   Setelah bersiap, mengumpulkan tenaga maka mulailah dia mendorong batang pohon yang sebesar paha itu, krak, krak, krak ....

   Suatu keajaiban telah terjadi.

   Bukan karena soal Wijaya mampu menumbangkan pohon itu.

   Karena dengan la han2 yang telah dimiliki, dia memang mampu mengumpulkan tenaga yang dahsyat untuk menumbangkan pohon itu.

   Tetapi keajaiban daripada pohon yang dipandang keramat dan telah menghebohkan tumenggung Bandupoyo dan seluruh prajurit Singasari yang bertugas mempersiapkan lapangan upacara.

   Pada hal sudah beberapa hari dan entah telah dilakukan berapa puluh kali usaha, bahkan telah mengundang kelima pamegat untuk menyingkirkan pohon itu.

   Namun semua tak berhasil.

   Dan kini, Wijaya seorang diri, dengan mudah dapat mendorong rubuh.

   Uhhh ....

   agar dak jatuh ke tanah dan menimbulkan bunyi yang gempar, Wijayapun loncat untuk menyangga pohon itu.

   Kemudian pelahan-lahan ia meletakkan ke tanah.

   "Bagus, anakmuda"

   Tiba2 terdengar sebuah suara memuji.

   Wijaya terkejut dan cepat berpaling.

   Ah, ternyata dibelakang telah hadir seorang lelaki yang bertubuh gagah dan mengenakan busana indah.

   Bahkan tampaknya orang itu tengah menepuk- nepuk pakaiannya untuk membersihkan debu.

   "Tuan .... siapa ?"

   Seru Wijaya tertahan. Orang itu tertawa "Karena sedikit terlambat membantumu menyanggapi batang pohon itu, hampir saja rantingnya menimpa kepalaku"

   "O, ki sanak membantu menyanggapi pohon ini ?"

   Wijaya makin terkejut. Orang itupun mengangguk "Benar, sejak tadi aku memang melihat semua gerak gerikmu dan apa yang engkau lakukan. Hebat benar, engkau anakmuda"

   Wijaya masih terlongong-longong. Atas peris wa itu dan atas kehadiran lelaki yang tak dikenalnya itu "Siapakah andika ?"

   "Kutahu"

   Jawab orang itu mengangguk "dengan bekerja seorang diri pada tengah malam dan menyanggapi pohon itu supaya dak jatuh ke tanah, engkau tentu tak menghendaki peris wa ini terdengar para prajurit. Mari ikut aku. Kita berbicara berdua di sana"

   Nadanya yang berwibawa dan mengandung keramahan itu, menimbulkan suatu daya-tarik bagi Wijaya.

   Dan melibat pakaian yang menunjukkan seorang berpangkat.

   Wijaya menduga tentulah orang itu seorang yang berkuasa dalam perkemahan itu.

   Tetapi ia tak sampai pada dugaan, siapa sesungguhnya orang itu.

   Wijaya segera mengiku , setelah melalui sebuah perkemahan, orang itu terus memasuki sebuah rumah yang dibuat daripada papan.

   "Duduklah"

   Orang itu mempersilahkan Wijaya dan dia sendiri duduk dihadapannya "Aku yang mengepalai pekerjaan mempersiapkan lapangan tempat upacara pentahbisan baginda ini"

   Katanya.

   "Gusti menggung Bandupoyo ?"

   Wijaya terkejut lalu turun dan duduk bersila.

   "Benar, aku tumenggung Bandupoyo, tetapi duduklah di kursi, tak perlu engkau takut"

   Namun Wijaya tetap menyatakan bahwa ia mohon diperkenankan duduk ditanah saja.

   "Siapakah engkau, anak muda?"

   Setelah menatap wajah Wijaya beberapa saat, dengan suara yang mengandung rasa heran, tumenggung Bandupoyo mulai bertanya.

   "Hamba Wijaya gusti"

   "O, Wijaya, apakah engkau juga prajurit? "Bukan gus , hamba hanya seorang pengalasan dari ki demang Srubung yang ikut mengiringkan ki demang"

   "Engkau seorang pengalasan ?"

   Tumenggung Bandupoyo terkejut dan hampir tak percaya. Kesan yang diperoleh dari wajah dan sikap Wijaya jauh sekali jaraknya dengan kenyataan pada jawaban Wijaya itu.

   "Demikian gusti"

   Kata Wijaya seraya memberi sembah.

   "O, tetapi mengapa demang Srubung tak memberi laporan bahwa engkau mampu menumbangkan pohon itu ?"

   Tanya Bandupoyo pula.

   "Ki demang dak bersalah gus menggung"

   Kata Wijaya "memang hamba sesungguhnya seorang anak desa yang bodoh"

   "Wijaya"

   Seru tumenggung Bandupoyo "jangan engkau menyelimu dirimu. Siapa sesungguhnya dirimu dan apa tujuanmu menumbangkan pohon kamal itu ! Ketahuilah, aku dak marah tetapi aku harus tahu hal2 yang mengenai dirimu"

   "Hamba seorang anak dari gunung Kawi. Tujuan hamba ke Singasari hanyalah hendak cari pekerjaan dan kebetulan diterima demang Srubung sebagai pengalasan. Hamba dibawa ki demang untuk mengiringkan beliau ke tempat ini dan hamhapun mendengar tentang peris wa pohon kamal yang mengganggu pekerjaan gus . Hamba ingin sekali membantu gus tetapi hamba takut untuk melakukan secara berterus terang. Maka pada saat tengah malam ini, secara diam-diam hamba menuju ke lapangan ini dan mencoba untuk mendorong pohon itu. Diluar dugaan hamba, sendiri ternyata hamba dapat merobohkannya"

   "Ah, besar sekali ganjaranmu, Wijaya"

   "Ampun gus menggung"

   Kata Wijaya "jauh dari keinginan hamba untuk mengharap jasa itu. Apa yang hamba lakukan hanyalah sekedar apa yang hamba mampu lakukan. Itulah sebabnya maka hamba melakukannya pada saat tengah malam seperti ini, agar jangan diketahui orang"

   "Tetapi itu bukan olah-olah jasamu, Wijaya. Yang pas akulah yarig paling berterima kasih atas bantuanmu itu sehingga pekerjaan untuk mempersiapkan lapangan upacara itu berhasil"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Gusti menggung ...."

   "Engkau kuangkat sebagai tamtama prajurit, Wijaya"

   "Ampun, gusti"

   Bergegas Wijaya menghatur sembah "hambasungguh tiada kemampuan untuk menjabat pekerjaan itu. Hamba hanya seorang anak gunung. Dan hambapun tak ingin mendapat karunia apa2"

   "Tidak Wijaya"

   Kata tumenggung Bandupoyo "besok akan kuumumkan perbuatanmu yang gemilang itu dan penghargaan yang akan engkau terima"

   "Duh, gus "

   Kata Wijaya "hamba benar2 dak mengharap balas apa2, kecuali hanya menunaikan suatu kewajiban hamba sebagai seorang pengalasan kademangan"

   "Tidak, Wijaya"

   Tumenggung Bandupoyo makin tegas "jika engkau tak menginginkan pangkat dalam keprajuritan, engkau harus mengatakan apakah permintaanmu. Aku pas akan melaksanakan"

   Wijaya tersipu-sipu menghaturkan terima kasih kemudian berkata "Baiklah, gus ,hamba menurut apa yang gusti titahkan. Hamba mohon diperkenankan dua buah hal saja"

   "Apakah yang engkau inginkan ?"

   "Pertama, hamba mohon diperkenan, agar peris wa tumbangnya pohon kamal itu jangan diketahui orang"

   "Mungkinkah itu ? Bukankah besuk semua prajurit pasti akan mengetahui peristiwa itu"

   "Jika gus berkenan, mohon gus memberitakan kepada mereka bahwa yang melakukan hal itu adalah gusti sendiri"

   "Tidak !"

   Seru tumenggung Bandupoyo "engkau menganggap aku seorang tumenggung yang temaha jasa, yang suka menelan jasa orang bawahanku ?"

   "Maaf, gus "

   Wijaya memberi sembah pula "jauh dari maksud hamba untuk mengandung pikiran demikian.

   Bagi gus yang menerima tugas baginda untuk mengepalai persiapan upacara, sudah selayaknya kalau dapat mengatasi soal pohon kamal itu.

   Hamba rasa hal itu bukanlah suatu jasa melainkan suatu ndakan dalam rangka tugas paduka.

   Kedua kali, agar nama prajurit Singasari, khusus kewibawaan nama paduka tetap harum dalam pandangan prajurit dan rakjat Singasari.

   Jika hamba seorang anak gunung yang melakukan, dakkah hal itu akan menyinggung kewibawaan paduka, segenap prajurit Singasari dan para pamegat yang mulia sekalian itu ?"

   Tumenggung Bandupoyo terkesiap.

   Ia memandang wajah Wijaya.

   Makin menjuleng kesannya bahwa pemuda yang mengaku sebagai anak gunung itu, mempunyai pandangan yang sejauh itu.

   Suatu pandangan yang hanya dimiliki oleh pemimpin berjiwa besar.

   Diam2 dia mengakui bahwa apa yang dinyatakan Wijaya itu memang benar.

   "Andaikata kutuluskan permohonan itu, lalu apa permohonanmu yang lain?"

   Akhirnya Bandupoyo berkata "dapat atau dak kutuluskan permohonanmu yang itu, tergantung dengan permohonanmu yang kedua"

   "Permohonan hamba yang kedua tak lain hamba persembahkan demi keselamatan baginda yang mulia"

   "O, apakah maksudmu ?"

   "Hamba mohon, pada waktu upacara pentahbisan itu berlangsung, agar ada seorangpun, baik pengawal maupun para bhayangkara, yang diperkenankan dekat dengan baginda. Semuanya terpisah pada jarak yang jauh"

   Bandupoyo kerutkan kening "Aneh, justeru para pengawal dan bhayangkara itu adalah untuk menjaga keselamatan baginda.

   Mengapa mereka harus disingkirkan jauh dari baginda ? Katakanlah alasanmu dengan terus terang.

   Kalau memang mempunyai landasan yang cukup kokoh, tentu akan kululuskan"

   "Baiklah gusti menggung"

   Kata Wijaya "hamba akan berterus terang apa2 yang hamba alami selama berada di tempat ini.

   Pada waktu hamba ikut perihatin atas peristiwa gangguan pohon kamal itu, tiba2 hamba jatuh tertidur.

   Dan pada saat itu hamba seperti bertemu dengan seorang kakek tua, rambut, janggut dan pakaiannya serba putih.

   Kakek itulah yang menyuruh hamba supaya merobohkan pohon kamal kemudian memesan agar diwaktu dilangsungkan upacara pentabbisan, supaya baginda seorang diri, siapapun tak boleh mendampinginya.

   Bermula hamba agak ragu tetapi setelah hamba lakukan ternyata hamba berhasil merobohkan pohon kamal itu.

   Dan apabila sudah berbukti bahwa pesan kakek tua itu menung terjadi, maka hambapun harus percaya bahwa pesan beliau untuk menjaga keselamatan baginda pasti akan berbukti.

   Demikianlah maka hamba terpaksa memberanikan diri untuk mempersembahkan permohonan ini kehadapan paduka"

   Tumenggung Bandupoyo termenung.

   "Sekali lagi hamba haturkan permohonan"

   Kata Wijaya pula "bahwa sama sekali hamba tak mengharap ganjaran pangkat ataupun hadiah uang. Bahkan hamba mohon agar diri hamba tetap dirahasiakan demi menjaga kewibawaan nama paduka dan segenap prajurit Singasari"

   "Apa hanya itu permohonanmu? "akhirnya Bandupoyo bertanya.

   "Benar gus dan mohon diampunkan, hamba akan mohon diri untuk kembali ke perkemahan agar jangan diketahui ki demang"

   Sejenak merenung, Bandupoyo berkata pula "Baik, Wijaya.

   Mengingat waktunya amat mendesak, semua permohonanmu akan kukabulkan.

   Kelak setelah upacara selesai, engkau tentu akan kupanggil.

   Jika engkau tak mau menerima jabatan dalam keprajuritan, akupun tak memaksa.

   Tetapi yang penting aku perlu omong-omong dengan engkau"

   "Soal apa, gusti?"

   "Ah, dak pen ng, Secara singkat, kuanjurkan engkau supaya ikut dalam sayembara mencari senopati yang akan dilakukan tak lama setelah upacara pentahbisan ini"

   "Ah, bagaimana mungkin seorang seper diri hamba mampu memenangkan pertandingan pilih yang tentu akan diikuti oleh segenap ksatrya dari seluruh pelosok kerajaan Singasari"

   "Cukup Wijaya, silakan engkau kembali, kelak kita bicara lagi"

   Wijayapun kembali ke perkemahan.

   Sementara tumenggung Bandupoyo masih termenung- menung memikirkan peris wa itu.

   Ia tetap tak percaya bahwa Wijaya itu hanya seorang pengalasan biasa.

   Ia mempunyai kesan dan ia ingin bicara dengan pemuda itu.

   Tak lama terdengar suara ayam berkokok dan tumenggung Bandupoyopun segera masuk beristirahat.

   Keesokan harinya, gemparlah seluruh prajurit menyaksikan kejadian aneh itu.

   Pohon kamal di tengah lapangan yang sudah beberapa hari telah menghabiskan waktu, tenaga dan kemarahan sekalian prajurit termasuk pimpinan mereka, namun tak dapat ditumbang, pagi itu tampak tumbang rebah dengan akar-akarnya terbongkar dari tanah.

   Peris wa aneh itu segera dilaporkan tumenggung Bandupojo.

   Waktupun sudah tahu, tetapi tumenggung itu harus terpaksa mengejutkan diri dan bergegas menuju ke lapangan.

   "Ah, tak lain peris wa ini terjadi karena kejayaan seri baginda Kertanagara. Dewata tentu merestui tujuan baginda yang mulia"

   Serunya di hadapan beratus prajurit dan demang yang ditugaskan membangun lapangan upacara.

   Wijaya berdiri di bagian belakang agak jauh dari lapangan namun ia dapat menangkap juga kata- kata tumenggung itu.

   Diam2 ia memuji keksatryaan ha tumenggung Bandupoyo.

   Dia menolak permintaan Wijaya untuk mengakui bahwa yarg menumbangkan pohon kamal itu adalah dia.

   Tetapi dia mengalihkan perbuatan itu terjadi atas rahmat para dewata dan kejayaan seri baginda.

   Itulah sifat seorang ksatrya yang lurur.

   Tidak terpengaruh oleh rasa kemilikan untuk memiliki sesuatu yang bukan menjadi hak miliknya.

   Pada hal apabila Bindupoyo mau mengatakan bahwa dialah yang menumbangkan pohon itu, namanya tentu akan makin menjulang dan jasanyapun tak terperikan besarnya.

   Setelah memberi pernyataan maka Bandupoyo lalu mengeluarkan perintah supaya seluruh tenaga harus dikerahkan dan persiapan2 harus sudah selesai pada petang hari.

   Baginda akan melakukan pentahbisan pada tengah malam.

   Singkatnya pekerjaan itu telah dapat dirampungkan tepat pada waktunya.

   Dan sejak hari mulai gelap semua pasukan yang bertugas telah siap dengan segala kelengkapannya.

   ~dewiKZ~ismoyo~mch~ II Bulan makin naik dikesepian malam.

   Disekeliling kuburan yang terkenal dengan nama Wurare, tampak suatu kesibukan yang diam.

   Prajurit2 berbaris mengelilingi wilayah kuburan itu dan ada pula kelompok prajurit yang berjalan kerkeliling melakukan ronda keamanan.

   Kuburan Wurare yang sunyi senyap saat itu seperti berpagar tombak dan pedang.

   Sedemikian ketat dan rapat pagar senjata itu sehingga diibaratkan, kelelawar dan nyamukpun sukar untuk menerobos.

   Sementara pada lapisan dalam, telah siap pula prajurit2 bhayangkara.

   Pada lapisan ke ga, rombongan pandita dari candi2 di pura Singasari, para brahmana dan bhiksu.

   Pada barisan yang terdepan, paling dekat dan di sebelah kanan lapangan, tegak kelima pamegat, yani sang pemegat Titwan Dang Acarnya Smardahana, sang pamegat Manghuri Dang Acarya Smradewa, sang pamegat Jamba Dang Acarya Syiwanata dan sang pamegat Panjang jiwa Dang Acarya Agraja.

   Disebelah kanan lapangan tegak pula ke ga rakryan mahamenteri Ino, Sirikan dan Alu.

   Dibelakang menteri2 yang menjalankan keputusan2 baginda dan peraturan2 kerajaan yani pa h Kebo Arema, pa h Aragani, rakryan demung Mapanji Wipaksa, rakryan Kanuruhan Mapanji Anurida, dan sang Ramapa yang mengepalai urusan2 hubungan dengan mancanagara, Madura dan seluruh Nuswantara.

   Tak ke nggalan pula yang mulia darmadhyaksa agama Syiwa, Dang Acarya Syiwanata yang juga bergelar Panji Tanutama.

   Suasana yang sunyi segera membahanakan doa dan nyanyian mantra, berisikan syair2 pujamantra akan keagungan Hyang Syiwa dan Budha.

   Akan kebesaran seri baginda Kertanagara yang telah mengemban tugas para dewata untuk menegakkan keamanan dan kesejahteraan dunia, mengembangkan agama Syiwa dan Budha.

   Selama upacara nyanyian puja mantra itu berlangsung, disekeliling lapangan dan di lapangan itu sendiri-pun tak terdapat barang sebuah penerangan.

   Kecuali para mahamentri Katrini dan kelima menteri berajaan serta kelima pamegat dan dharmadhyaksa, tak seorang pun dari prajurit yang dapat melihat jelas apa yang berada di tengah lapangan itu.

   Para prajurit memang mendengar bahwa lapangan itu akan dipenuhi dengan sosok2 mayat dan tulang2 ke rangka serta tengkorak2, tetapi berapa jumlahnya dan bagaimana letak susunannya, mereka tak tahu sama sekali.

   Pekerjaan untuk menghias lapangan upacara dengan sosok2 mayat dan tulang2 tengkorak itu dilakukan oleh siswa pendita dari candi Singosari dan dikepalai oleh para kepala pandita candi.

   Mereka terikat sumpah, dilarang untuk menyiarkan apa yang mereka lihat dan ketahui tentang lapangan mayat yang disebut sma-sama.

   Mayat-mayat itu diletakkan menurut susunan-susunan yang teratur dan merupakan sebuah tempat duduk yang tinggi.

   Tempat duduk itu disebut asanottama.

   Mayat2 itupun diletakkan bersusun-susun ke atas sehingga merupakan sebuah asano ama atau tempat duduk mayat, Disitulah nan tengah malam baginda Kertanagara akan bersemayam dan melaksanakan upacara2 pentahbisan sebagai seorang Jinabhairawa.

   Para penganut ajaran kelima perintah atau Pancata wa, melakukan perbuatan sucinya dalam sebuah cakra, yaitu suatu lingkaran dari pria2 yang ditahbiskan dan dari yogini2, dibawah pimpinan seorang cakreswara, dengan suatu sak .

   Selama upacara cakra itu berlangsung maka lingkaran yang dibaktikan itu merupakan tanah suci.

   Sebelum melakukan pentahbisan, bagindapun sudah melakukan la han2 cakra bersama sama atau ganacakra.

   Setiap selesai latihan baginda selalu membagikan hadiah2 kepada bawahannya.

   Di hadapan asano ama atau tempat duduk suci itu terdapat mahaprasada, dimana nan selama upacara berlangsung maka mayat2 itu akan dibakar, menyala-nyala sehingga menyebarkan bau busuk yang tak tertahankan.

   Tetapi bagi orang yang sudah dan sedang ditahbiskan bau busuk itu harus dipandang sebagai kesan harumnya berpuluh-puluh ribu juta bunga.

   Agar dak menimbulkan pemandangan yang mengerikan maka pengangkutan mayat2 itu dibawa dengan tandu tertutup dan diangkut pada malam hari.

   Itulah sebabnya maka di sekeliling dan di tengah lapangan tak diberi penerangan sama sekali.

   Terutama para siswa pandita yang mengerjakan persiapan tempat upacara itu, harus tahan tersengat hawa busuk dari mayat2 itu.

   Mereka harus berkesan bahwa hawa busuk itu adalah ganda harum dari bunga yang tengah mekar.Demikian pulapara prajuritdilarang meludah, mengatakan sesuatu tentang ganda busuk itu.

   Mereka sebelumnya telah diberi penger an bahwa hal itu merupakan suatu upacara yang paling nggi untuk membebaskan jiwa dari pengaruh nafsu dan bumi.

   Setiap upacara yang suci, harus dipandang suci dan keramat.

   Demikian persiapan yang telah sempurna itu telah ditandai oleh suara nyanyian puja mantra dari rombongan siswa dan para pandita yang hadir.

   Beberapa saat kemudian maka tampilah maha-menteri rakryan Ino dari kementerian Katrini.

   Dalam kesunyian suasana pada kelelapan malam, terdengarlah rakryan Ino berseru lantang.

   "Kami mahamentri rakryan Ino, sebagai penampung segala titah seri baginda Kertanagara, hendak menyampaikan amanat yang telah dilimpahkan keatas bahu kami, agar diberitakan kepada para tanda dan menteri, pemegat, dharma-dhyaksa, patih, demung, kanuruhan dan ramapati. Para senopati, narapraja dan prajurit2 Singasari, tentang amanat seri baginda yang bertitah . Om namas Giwaya ! Segala kemuliaan bagi Syiwa. Pada tahun Saka 1201 dalam bulan Maga, tanggal 14 cuklapaksa, bulan gelap pada hari pancawara pu h, hari saptawara Anggara, ke ka bintang tetap berkedudukan di selatan. Dalam perumahan bulan Puspa, berlindung dibawah dewata Jiwa, dalam lingkaran mandala Agni menurut yuga Sobana dan pukul Baruna, pada ke ka karana bernama Teti la dan pada tandarasi Kumba. Pada waktu itulah turunnya tah seri Maharaja, seri Lokawijaya, penguasa bumi dan yang menjadi pujian belaka. Yang ada taranya dalam hal keberaniannya sebagai pahlawan yang mulia dan tak dapat disingkirkan, yang telah bertegak gelar raja-abhi seka Kertanagara. Adapun sang perabu sebagai putera dari seri baginda maharaja Hariwardana dan seri baginda puteri Jayawardhani, yang telah mewariskan kerajaan Singasari, maka sang perabu mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan beban suci dan berat yang telah dilimpahkan ayahanda baginda maharaja Hariwardana serta direstui oleh Hyang Wisnu, Syiwa dan Buddha. Demi kebahagiaan dan kesejahateraan dunia dan segala mahluk serta kawula yang bernaung dibawah kebesaran kerajaan Singsari, maka baginda memutuskan untuk melaksanakan bhak marga yang akan disempurnahan dalam upacara pentahbisan sri cakra, untuk mencapai ngkat jiwanmukta. Agar dapatlah baginda dalam ngkat sebagai Jinabhairawa menumpas segala kejahatan dan nafsu, yang akan membahayakan umat manusia pada masa Kaliyuga. Demikian amanat kami. Segala upacara ari-cakra itu akan dilakukan oleh dharmadhyaksa Kasyiwan. Dang Acarya Syiwanata sebagai saha-upakara."

   Selesai pembacaan amanat seri baginda oleh maha mentri rakryan Ino, maka nyanyian doa dan puja-mantra dilanjutkan pula hingga tengah malam.

   Pada saat itu masuklah kedalam lapangan sebuah tandu kebesaran yang berselubung kain kuning.

   Maka turunlah baginda Kertanagara dari tandu itu dan terus menuju ke ano ama yang telah tersedia untuknya.

   Bagaimana jalan upacara yang sebenarnya, ada seorangpun dari hadirin itu yang tahu kecuali saha-upakara Dang Acarya Syiwanata.

   Hanya ditengah-tengah sabda2 tuah sak pada upacara itu terdengar kata2 Dang Acarya Syiwanata yang agak keras.

   "... jangan takut, jangan bimbang .... duduklah di ano ama suci dari savasadhana, di tengah sma- sana ini .... teguhkan ha , kokohkan keinginan dan teguhkan kepercayaan untuk melanjutkan mantra dalam kebesaran tantra Sak .... Mahanirwanatantra ... Hyang Indra dan semua Hyang Langgeng hadirlah pada tempat suci ini ....Om ...."

   Selanjutnya ucapan2 Dang Acarya kepala dharma-dhyaksa ring Kasyiwan itupun makin rendah dan pelahan sehingga tak terdengar.

   Beberapa saat kemudian Dang Acarya Syiwanata-pun mundur dan bersama-sama dengan para mentri, Katrini dan pamegat2 mundur dan berdiri di tempat yang agak jauh dari lapangan.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam keremangan cuaca malam hening, samar2 mereka melihat seri baginda sedang duduk bersila di atas ano ama yang terbuat dari tumpukan tengkorak2.

   Apa yang mereka lihat benar2 mengejutkan sekali.

   Entah dengan memakai alat apa, maka tampak baginda saat itu bertangan empat.

   Kedua tangan di muka memegang pisau pengorbanan dan bokor tengkorak, sedang dua tangan di belakang, memegang trisula dan gendang.

   Pun terdapat pula kulit gajah, gada, pasa, wajra, panah dan busur.

   Selendang yang menyilang dada baginda berlukiskan kepala2 orang, kain penutup bagian tubuh bawah bercorak lukisan tengkorak.

   Lengan dan tangan mengenakan perhiasan berupa ular-ular dan tengkorak.

   Sementara di atas mahkota rambutnya yang disanggul ke atas, tampak berhias sebuah patung Aksobya.

   Tak lama kemudian nampak asap bergulung-gulung mengantarbau yang sangat busuk sekali.

   Api pun mulai menyala.

   Di antara kepulan asap dan nyala api itu tampak baginda meminum bokor tengkorak itu lalu tertawa terbahak-bahak.

   Sekalian yang hadir walaupun jauh dari lapangan tetapi terkejut juga mendengar kumandang suara tawa baginda yang bagaikan guntur meletup-letup di angkasa.

   Walaupun asap makin membumbung tebal, namun mereka masih sempat pula melihat baginda berbangkit dan mulai menari-nari di atas tumpukan mayat itu, sambil menyanyi dan diseling dengan gelak tawa menggeledek yang bernada menghuduk.....

   Walaupun cukup jauh dari lapangan, tetapi para siswa, pandita dan pamegat2 yang ikut menyaksikan upacara pentahbisan itu, tersengat juga oleh asap yang berbau busuk.

   Tetapi mereka sudah memiliki la han ilmu Prana atau pernapasan dan dengan ilmu itu serta la han2 mereka dapat menutup lubang pernapasan untuk menolak bau yang luar biasa busuk tetapi dalam kesan anggapan para penganut yang sudah ditahbiskan harus diterima sebagai bau harum dari sejuta bunga yang tengah mekar.

   Prajurit2 yang berbaris jauh di sekeliling sebelah luar pekuburan itupun mencium juga bau busuk itu tetapi mereka harus bertahan karena bau itu setelah ba di tempat mereka yang jauh, agak berkurang.

   Demikian upacara pentahbisan yang dilakukan dalam upacara yang aneh menyeramkan itu berlangsung sampai jauh malam.

   Bagaimana cara baginda melakukan tari pembebasan atau yang disebut Tandawa Syiwa, ada seorangpun yang dapat melihat jelas.

   Mereka hanya mendengar baginda menyanyi dan sebentar-sebentar tertawa menggeluduk keras.

   Upacara pentahbisan itu berjalan lancar dan tak terjadi suatu gangguan apapun.

   ~dewiKZ~ismoyo~mch~ Seri maharaja Kertanagara Wikrama Darmau unggadewa, yang menguasai bumi, air dan segala mahluk di Singasari serta nuswantara, yang diagungkan sebagai Seri Lokawijaya, semenjak waktu itu dan untuk selama-lamanya.

   Dengan disak kan oleh kesucian pentahbisan di pekuburan Wurare dan disaktikan pula dalam amanat kepada .

   hiang maha seri Agas a Haricandana, para dewa yang menguasai daerah mur, selatan, barat dan utara, matahari dan bulan, bumi, air, api, angin dan angkasa, peraturan dunia yang abadi, siang-malam pagi petang dan senja, yaksa, raksasa, setanwana dan hantu dihari kelam, asura garuda, gandarwa, kinara, naga, yama, baruna, kubera, basawa, kelima putera dewata, Kusyika, Garga, Maitri, Kurusya dan Patanja la, Nandi-isywara, Mahakala, Nagaraja, dewi Durga, sekalian bintang Gatrurasya, sekalian putera Dewa Maut, sekalian kumpulan mahluk, semua yang memelihara mandala bumi....

   maka tegaklah gelar dewabhiseka sang baginda sebagai Seri Jnajana - syiwabajra dan sang Batara Syiwa-Buddha yang akan menegakkan kesejahteraan Kaliyuga.

   Dengan pentahbisan itu tercapailah sudah cita-cita baginda untuk berada pada persamaan derajat dengan maharaja Kubilai Khan dari negeri Cina.

   Kubilai Khan juga menerima pentahbisan menjadi Jina oleh Hewajrabhiseka.

   Kubilai Khan merupakan maharaja besar yang hendak melebarkan pengaruh kekuasaannya ke selatan dan ke Swarnadwipa dan Jawa-dwipa.

   Pernah mengirim utusan ke Singasari untuk mengikat persahabatan dengan baginda Kertanagara.

   Pengaruh itulah yang membuat baginda Kertanagara cemas dan tak puas.

   Baginda segera membentuk pasukan Pamalayu yang akan menuju ke negara2 Malayu dan mengikat persahabatan dengan raja2 daerah itu.

   Agar raja2 itu tak terpengaruh oleh kebesaran Kubilai Khan dalam kekuasaan agama yang telah mendapat pentahbisan sebagai Jinabhairawa, maka baginda Kertanagarapun memutuskan untuk menerima pentahbisan sebagai Jina di pekuburan Wurare itu.

   Dengan demikian setaraflah sudah kedudukan baginda Kertanagara dengan Kubilai Khan.

   Karena betapapun, sebagai seorang raja besar, dia tak mau tunduk pada pengaruh Kubilai Khan.

   Setelah pengiriman pasukan Pamalayu, baginda menerima laporan dari pa h Kebo Arema bahwa kekuatan pasukan Singasari di pura kerajaan amat berkurang.

   Oleh karena itu bagindapun berkenan menitahkan pa h Kebo Arema ataupun yang terkenal juga dengan nama Kebo Anengah untuk membuka sayembara, memilih senopati dan menerima prajurit2.

   Betapapun baginda tetap hendak melanjutkan cita-citanya untuk mempersatukan seluruh nuswantara.

   Saat itu kekuatan di bumi nuswantara yang masih perlu diperhitungkan hanyalah kerajaan Sriwijaya.

   Walaupun kerajaan itu sudah tak sebesar dan sekuat beberapa waktu berselang, tetapi di tanah Swarnadwipa dan di Malayu, kerajaan Sriwijaya itulah yang masih berkuasa dan paling menonjol peranannya.

   Kerajaan Sriwijaya dengan pa h Demang Lebar Daun yang terkenal arif bijaksana dan seorang negarawan yang masyhur, memang masih memancarkan sinar dalam kepudaran kejayaannya.

   Baginda Kertanagara benar2 menyibukkan diri untuk membenahi sarana2 yang akan mewujutkan cita-citanya yang besar itu.

   Beliaulah yang pertama-tama memiliki cita2 besar untuk mempersatukan seluruh nuswantara.

   Beliau seorang raja besar yang pernah menggetarkan raja2 di Malayu, Bali.

   Dan berani pula menentang keinginan Kubilai Khan yang menghendaki Singsari takluk dan mengakui kekuasaan maharaja bangsa Tartar itu.

   Sayang didalam negeri mbul teberapa menteri durna yang menggerago kewibawaan baginda sehingga baginda terlena dalam sanjung pujian yang memabukkan.

   Dan akhirnya baginda harus menghadapi suatu keakhiran hidup secara mengenaskan.

   Tewas dalam menghadapi serbuan pasukan Daha.

   Demikian garis singkat dari perjalanan hidup seorang raja besar dari Singsari, sebagai mana akan dituturkan lebih lengkap dalam cerita Dendam Empu Bharada ini nanti.

   Demikian setelah suatu karya besar telah terselesaikan dalam upacara pentahbisan di pekuburan Wurare itu, kini pura kerajaan bersiap-siap mengadakan sayembara untuk mencari senopati.

   Pada hari itu demang Srubung terkejut ke ka menerima kunjungan tumenggung Bandupoyo.

   Bergegas demang itu menyambutnya.

   "Sungguh suatu hal yang mengejutkan ha kami, menyambut kunjungan ki tumenggung"

   Setelah mempersilahkan masuk dan menjamu minum maka demang Srubungpun mulai membuka pembicaraan.

   "Ah, tak ada sesuatu yang pen ng, kecuali hanya dalam rangka berkunjung pada kademangan- kademangan dalam telatah Singasari"

   "O, sungguh melegakan ha kami akan minat tuan itu"

   Kata demang Srubung "kami mohon ki tumenggung suka memberi petunjuk2 akan kekurangan yang terdapat dalam kademangan ini"

   "Baiklah"

   Kata tumenggung Bandupoyo "yang penting sebagai pemimpin, hendaknya kita memberi contoh baik kepada rakyat.

   Kecuali dalam hal pembangunan dan kepentingan penduduk, pun kita harus membersihkan diri kita dalam kehidupan sehari-hari.

   Pimpinan itu ibarat pohon yang tinggi, kebawah memberi pengayoman kepada bumi dan semua jenis mahluk yang tinggal di telatah kenaungannya.

   Keatas, selalu lebih dulu tersorot sinar surya dan terlanda angin.

   Maka sesungguhnya, dari arti dan hakekat yang sesungguhnya, kedudukan pemimpin itu bukanlah suatu kedudukan yang enak.

   Kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah itu, bersumber dari amanat hati nurani rakyat.

   Oleh karenanya, kekuasaan itu bermakna untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan hidup para kawula.

   Dan sekali-kali bukanlah kekuasaan itu untuk menindas rakyat dan melakukan perbuatan2 untuk kepentingan peribadi"

   Demang Srubung berulang-ulang mengiakan.

   "Ki demang"

   Setelah beberapa saat berbincang-bincang mengenai duduk seorang demang dan pimpinan daerah, tumenggung Bandupojo berkata "tentulah ki demang sudah mendengar tentang berita sayembara memilih senopa yang akan diselenggarakan di pura kerajaan pada akhir bulan ini"

   "Benar, ki tumenggung"

   "Apakah anak2 muda di kademangan ini, ada yang ikut serta?"

   


Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung

Cari Blog Ini