Dendam Empu Bharada 18
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 18
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
"Telah kukabarkan wara-wara itu kepada seluruh rakyat kademangan. Dan kuanjurkan juga kepada para muda agar ikut serta dalam seyembara itu. Tetapi maklum, ki tumenggung, mereka terlalu kecil ha nya, banyak yang merasa ada mempuuyai kemampuan untuk ikut dalam sayembara itu....."
"O, apakah di kademangan ini tak terdapat pemuda yang gagah perkasa?"
Demang Srubung gelengkan kepala "Mereka lebih mencurahkan perha an pada pencaharian na ah, mengolah tanah, berkebun, ternak dan menjadi pandai besi berapa macam keahlian, pandai besi, pandai emas dan lain2.
"Ki demang"
Kata tumenggung Bandupoyo "kudengar ki demang mempunyai beberapa pengalasan. Apakah ki demang tak berminat suruh mereka ikut dalam sayembara itu ?"
Demang Srubung menghela napas.
"Mengapa !"
Tegur Bandupoyo.
"Beberapa waktu yang lalu, memang aku telah menerima dua orang anakmuda yang kupekerjakan sebagai pengalasan, Tetapi mereka berdua sudah pergi lagi"
"Apakah ki demang menganggap kedua anakmuda itu mempunyai kemampuan ikut dalam sayembara?"
"Ya"
Demang Srubung mengangguk "mereka pernah menggagalkan suatu perbuatan orang jahat yang hendak merusak candimakam Kagenengan"
"Candimakan tempat persemayaman abu jenasah rahyang ramuhun Kertarajasa ?"
"Ya"
"Siapa nama kedua pemuda itu ?"
"Wijaya dan Podang"
"Oh"
Tumenggung Bandupoyo mendesuh kejut.
Sebenarnya dengan hati2 sekali ia merangkai kata2 dalam pembicaraan untuk menyelidiki Wijaya, anakmuda yang menumbangkan pohon kamal di kuburan Wurare itu.
Ia tak mau langsung bertanya diri Wijaya karena kuatir akan mengejutkan demang Srubung.
Tumenggung Bandupoyo tetap hendak menuruti permintaan Wijaya.
Demang Srubung menerangkan bahwa beberapa hari setelah upacara pentahbisan baginda selesai, maka Wijaya dan Podang segera mohon diri hendak pulang ke gunung.
Mendengar itu tumenggung Bandupoyo tak hen -hen nya menghela napas "Sayang, sayang.
Tahukah ki demang di mana tempat tinggal mereka."
"Wijaya hanya mengatakan bahwa dia berasal dari kaki gunung Kawi. Tetapi dimana letak tempatnya yang tepat, aku tak tahu"
Karena yang dicari tak ada, akhirnya tumenggung Bandupoyo segera pamit.
"Ki tumenggung"
Kata ki demang Srubung "agaknya tuan berkenan sekali kepada pemuda itu. Barangkali aku dapat berjumpa lagi dengan dia, apakah sesungguhnya yang tuan inginkan?"
"Tak lain"
Kata tumenggung Bandupoyo "aku menginginkan dia ikut dalam sayembara itu"
"O"
Demang srubung terkejut "adakah tuan melihat sesuatu kelebihan pada anak itu?"
"Melihat sinar wajahnya, tak mungkin dia seorang pemuda biasa....."
"Eh, apakah tuan sudah pernah melihatnya?"
Tumenggung Bandupoyo terkejut. Ia menyadari kalau kelepasan bicara "Ya, memang pernah. Bukankah pemuda itu ikut engkau ke Wurare?"
"Benar, ki tumenggung. Memang dia"
Bandupoyo segera kembali ke keraton.
Kembali dialah yang diserahi ki pa h Kebo Arema sebagai pimpinan penyelenggaraan sayembara itu.
Beberapa hari menjelang pembukaan sayembara, berbondong-bondong ksatrya2 muda berdatangan ke pura Singasari.
Sepulang melakukan penilikan pada pekerja-pekerja yang mempersiapkan gelanggang sayembara di alun-alun Singasari, tumenggung Bandupoyo terkejut ke ka melihat dua lelaki muda sedang berjalan menyongsong sinar surya yang tengah menurun ke gunung barat.
Bandupoyo seper pernah mengenal potongan tubuh lelaki yang seorang.
Ia segera mempercepat langkah, menyusulnya.
Rupanya kedua orang di sebelah muka itupun merasa bahwa ada seseorang yang mengejar langkahnya.
Tiba2 salah seorang berpaling.
"Kuti"
Serentak tumenggung Bandupoyo berseru dan menghampiri.
"Kakang Bandu"
Lelaki yang berpaling itupun segera menyongsong. Keduanya saling berpelukan.
"Kuti, mengapa engkau di sini?"
Tegur Bandupoyo setelah mereka melepaskan dekapan.
"Aku datang bersama adi Semi"
Kata Ku seraya memperkenalkan kawannya. Semipun memberi hormat dan memperkenalkan diri kepada Bandupoyo.
"Dan maksud kedatanganmu ?"
Bandupoyo mengulang pertanyaannya pula.
"Aku sebenarnya datang ber ga dengan adi Semi ini dan masih ada seorang lagi, adi Banyak. Sebenarnya kedatangan kami ke pura ini, tak lain hanyalah karena menuru anjuran dari rama begawan Patiraga, agar kami mengikuti sayembara memilih senopati"
"Ah"
Bandupoyo terkejut dalam ha .
Ia tahu Ku itu memang digdaya sekali, Pada waktu keduanya masih sama2 belajar pada resi Brahmacahya di gunung Bromo, gurunya itu memuji akan kecerdasan Ku yang senan asa cepat sekali menerima ilmu yang diberikannya.
Karena resi Brahmacahya meninggal.
terpaksa ia dan Ku turun gunung.
Ia sendiri terus ke pura Singasari dan berhasil diterima sebagai bhayangkara keraton bahkan mendapat kepercayaan diangkat sebagai pengawal-pendampingan baginda.
Sementara Ku berkelana mengembara kemana-mana.
Akhirnya ia berguru lagi kepada seorang resi di gunung Wilis.
Merasa ilmunya sudah cukup, dia turun gunung dan akhirnya menjabat sebagai bekel prajurit di kerajaan Wengker.
Tetapi dalam peris wa dengan Singa Barong, dia telah dikalahkan oleh Nararya.
Dengan menanggung malu dan dendam, dia nggalkan jabatannya sebagai bekel dan terus, berkelana lagi mencari guru.
Akhirnya dia ba di gunung Pandan bertemu dengan seorang pertapa.
Ia menyatakan maksudnya hendak berguru tetapi alangkah kecewa ha nya ke ka mengetahui bahwa ilmu kedigdayaan pertapa itu ternyata lebih rendah.
Dengan membawa kemasygulan, ia turun gunung dan mengembara mencari guru.
Se ap mendengar di gunung atau gua atau suatu tempat terdapat seorang sak , dia terus menuju ke tempat itu.
Tetapi se ap kali menguji pembicaraan dan ilmu kedigdayaan, se ap kali itu dia harus kecewa.
Mereka2 yang disohorkan sakti itu, tak lebih unggul dari dirinya.
Pada suatu hari ke ka melintasi sebuah hutan, dia bertemu dengan seorang kakek yang tengah berjongkok di jalan dan melekatkan telinganya ke tanah.
"Paman"
Tegur Kuti seraya menghampiri. Orang itu tak menyahut melainkan mengacungkan tangan, mengisyaratkan supaya dia berhen . Tetapi Ku terus berjalan menghampiri "paman, apakah yang sedang engkau lakukan ?"
Seru Ku pula. Makin keras. Tiba2 orang itu merah mukanya. Dahi mengerut tegang dan matapun melotot "Mengapa engkau tak kenal aturan !"
Bentaknya seraya berdiri tegak, membeliak pandang. Kuti terkejut "Mengapa paman mengata-katai aku sedemikian kasar?"
"Engkau merusak pekerjaanku !"
Teriak orang tua itu makin keras.
"Aku merusak pekerjaan paman?"
Kuti makin heran.
"Ya, bukankah telah kuisyaratkan kepadamu supaya berhen ? Mengapa engkau masih lanjutkan langkahmu ke mari?"
"Maaf. paman, aku hendak mohon tanya arah ke bandar Canggu"
"Hanya itu keperluanmu?"
Nada orangtua itu makin kurang senang.
"Ya, paman"
"Setan engkau"
Ba2 kakek yang bertubuh kurus dan rambutnya yang merah terurai memanjang itu mendamprat "hanya karena hendak bertanya jalan engkau telah menggagalkan pekerjaanku? Adakah engkau tak dapat menahan keinginanmu setelah aku menyelesaikan pekerjaan itu?"
Ku tercengang "Maaf, paman, aku benar2 tak bermaksud mengganggu paman. Kukira paman sedang senggang"
"Apa engkau buta ?"
Teriak kakek berambut merah itu "bukankah aku sedang menelungkupi tanah?"
"Benar, paman. Tetapi aku tak tahu paman sedang melakukan apa saja"
"Setan"
Teriak kakek berambut merah itu pula "enyah dari sini! Aku muak melihat tampangmu !"
Merah muka Ku karena hinaan itu. Tetapi ia menyadari bahwa dia mungkin bersalah karena mengganggu kakek itu. Tetapi ia tak tahu apakah yang sedang dilakukan kakek itu.
"Paman, aku benar2 tak tahu kalau kedatanganku telah mengganggu pekerjaan kakek. Andaikata tahu aku pas takkan berani melakukan hal itu. Tetapi karena sudah terlanjur, maka aku bersedia melakukan apa saja perintah paman untuk menebus kesalahanku itu"
Kata Ku . Ia dapat menahan diri, tak mau bertindak gegabah sebelum tahu duduk persoalannya.
"Engkau sanggup mengganti kesalahanmu?"
Kakek itu menegas.
"Benar, paman"
"Baik"
Kata kakek berambut merah "engkau tahu apa sebabnya aku berjongkok dan menelungkup ke tanah, melekatkan telingaku ke tanah itu tak lain karena aku sedang mendengarkan gerak genk si setan merah"
"Setan merah?"
Kuti terkejut.
"Ya, seekor kelabang raksasa yang sudah berumur ratusan tahun"
Kuti hampir melonjak karena kejutnya. Ia bertanya "Di mana kelabang itu?"
"Di sana"
Kakek berambut merah itu menunjuk kesebuah belukar dalam hutan yang berada tak jauh daii tepi jalan.
Dan Ku pun segera mengiku arah yang ditunjuk kakek itu "bukankah sekeliling gerumbul semak itu gundul semua? Pada hal di sebelah sana, semak2 tampak subur"
Kuti melihat apa yang dikatakan kakek itu memang benar. Dua tombak luasnya sekeliling tempat itu, tampak kering tandus. Tak ada tumbuhan yang hidup.
"Kelabang raksasa itu nggal didalam liang di bawah akar pohon kemuning yang kering itu. Tadi kudengar dia hendak merayap keluar tetapi karena mendengar langkah kakimu, dia menyusup ke dalam liangnya lagi."
Jarak antara tempat kakek dengan pohon kemuning kering yang ditunjuk itu, tak kurang dari lima tombak.
Bagaimana kakek itu mampu mendengar debur gerakan binatang itu? Tiba2 Ku terhenyak.
Saat itu ia menyadari bahwa kakek yang dihadapannya itu bukan kakek biasa tetapi seorang yang berilmu.
Ia menatap wajah kakek itu tetapi segera mata kakek itu menikamnya dengan pandang yang amat tajam sehingga ia harus menunduk.
"Jika demikian, bukankah lebih baik kita bongkar pohon itu dan gali liangnya?"
"Gila engkau"
Seru kakek itu "binatang itu amat berbisa sekali. Tumbuh-tumbuhan disekeliling tempat itu kering dan mati karena terkena bisanya"
"O"
Desuh Kuti "jika demikian mengapa paman hendak menangkapnya ?"
"Se ap binatang atau tumbuh-tumbuhan yang sudah berumur ratusan tahun tentu akan mengandung daya sak yang hebat. Kelabang itu amat berbisa sekali tetapi binatang itu merupakan ramuan obat yang paling manjur untuk menyembuhkan segala macam bisa"
"O "desus Kuti.
"Sudahlah"
Tukas kakek itu "engkau telah menyatakan hendak melakukan apa saja yang kuperintah selaku menebus dari kesalahan yang telah engkau lakukan.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang engkau kuperintahkan supaya menunggu di dekat tempat itu sampai dia keluar.
Begitu binatang itu keluar, pertama-tama tutuplah liangrya dan kemudian tangkaplah"
"Tetapi paman, bagaimana aku harus menangkapnya ? Bukankah binatang itu amat berbisa sekali?"
"Akan kuajarkan kepadamu sebuah ilmu. Ilmu menyambit dengan batu atau benda apa saja"
Kakek itu mengambil kantung kulit dan menuang isinya, Isinya beberapa puluh batu kecil. Ia menjemput sebu r, menengadah ke atas dan berkata "burung pipit itu, nan engkau lemparkan ke muka pohon kemuning untuk umpan kelabang itu"
Tepat pada saat itu sekawan burung pipit terbang melintas diatas mereka. Kakek itupun ayunkan tangan dan seekor burung pipit melayang jatuh ke tanah dari ketinggian sepuncak pohon kelapa.
"Ambillah"
Seru kakek itu pula.
Dan Kutipun segera lari mengambil burung yang mati itu.
Walaupun kagum tetapi ia masih belum yakin akan kepandaian si kakek.
Sekawan pipit itu entah berapa jumlahnya, tentulah lontaran batu kerikil itu dapat mengenai salah seekor.
Iapun meletakkan bangkai burung itu dengan melemparkan ke muka liang.
Saat itu sudah hampir petang dan karera sudah terlanjur menyanggupi kakek itu terpaksa Kuti harus bermalam di situ.
"Engkau tentu lapar"
Tiba2 kakek itu berkata dan bertangkit "mari ikut aku"
Ku memang ingin menyelidiki diri kakek itu dan ingin pula menguji sampai dimana ilmu kepandaiannya.
Ia menurut saja tanpa banyak tanya.
Kakek itu menuju ke sebuah sungai kecil.
Tiba2 ia melekatkan telinganya ke tanah dan geleng2 kepala "Ah, disini tak ada"
Lalu ia pindah ke lain tempat. Setelah berpindah sampai dua kali, barulah kakek itu mengangguk "Engkau suka makan belut?"
Tanyanya.
"Ya"
Kakek itu mengeluarkan lagi sebatang buluh, berlubang-lubang macam seruling.
Kemudian ia meniup seruling itu.
Entah apa lagunya, Kuti merasa asing.
Iramanya seperti nyanyian puja mantra.
Hampir dia menjurus ke arah kesan bahwa kakek berambut merah itu mungkin tak waras pikirarnya atau tiba2 dari tepi-sungai yang penuh batu, bermunculan belasan ekor binatang macam ular.
Tiba2 kakek itu menjemput segenggam batu lalu disabitkan ke arah kawanan belut itu.
Setelah dua ga kali mengulang sabitannya, barulah ia berhen meniup seruling "Kumpulkan belut2 itu"
Serunya kepada Kuti.
Tak kurang dari duapuluh ekor belut telah, dikumpulkan Kuti.
Kakek itu tersenyum.
Ia mengajak Kuti tinggalkan tempat itu.
Kemudian masuk ke dalam hutan dan berhenti di bawah sebatang pohon kelapa.
Orangtua itupun mengambil batu lagi dan disabitkan ke atas.
Ah, seuntai ga bu r kelapa hijau meluncur jatuh dan disambut tangan kakek itu "Kupas dan minumlah airnya"
Ia melontarkan ke ga butir buah kelapa hijau itu kepada Kuti.
Ku menyambu .
Tetapi wajahnya tampak merah ke ka ia menerima buah itu.
Buah kelapa itu ternyata jauh lebih berat dari buah biasa sehingga ia harus mengerahkan tenaga untuk menyambuti agar tak jatuh.
Kemudian kakek itu kembali lagi ke gerumbul semak tempat kelabang.
Ia suruh Ku membuat api untuk membakar belut itu.
Selesai makan haripun sudah malam.
Mereka duduk bercakap-cakap.
Diam2 Ku merasa aneh mengapa kakek itu tak menanyakan dirinya sehingga diapun merasa tak enak hati untuk balas bertanya.
"Jika malam nan binatang itu keluar, pertama, lontarkan batu yang agak besar ke mulut liangnya supaya dia tak dapat masuk ke dalam liangnya lagi. Kedua, oh, aku lupa memberitahu kepadamu. Jangan engkau lontarkan batu kepada binatang itu agar jangan sampai dia terluka berdarah"
"Mengapa, paman?"
"Justeru yang mengandung khasiat itu adalah darahnya. Dia harus ma tetapi dalam keadaan utuh"
"Ah, Kuti mendesuh "jika demikian harus menggunakan jaring"
"Tak perlu"
Kata kakek itu "cukup di sabit dengan kutung ranting kayu"
"Ah, bagaimana mungkin, paman?"
"O"
Ba2 kakek itu seper menyadari bahwa memang sulit menyuruh Ku melakukan hal seper itu "ya, benar. Engkau bangunkan aku saja nanti"
Sebenarnya Ku hendak bertanya tetapi tak jadi. Ia ingin melihat dengan cara bagaimana kakek itu akan menangkap kelabang yang diburunya.
"Aku hendak tidur dulu"
Kakek itu terus berbaring di tanah.
Kuti menghela napas dalam hati.
Hanya ada dua kemungkinan.
Kakek itu memang seorang sakti yang berwatak aneh atau seorang yang tak waras pikiran.
Diapun segera duduk bersila melakukan semedhi.
Pelahan-lahan tetapi pasti, malampun makin tinggi.
Suasana dalam hutan itu gelap pekat mengulum sunyi.
Menjelang tengah malam tiba2 kakek itu beranjak bangun "Awas, seekor ular besar merayap kemari.
Rupanya dia mencium bau belut bakar tadi."
Ku terkejut.
Ia memandang kesekeliling tetapi tak melihat barang suatu apa "Eh, makin mendeka kecenderungan bahwa dia ini memang kurang waras pikirannya.
Tiada hujan ada angin, mengapa tengah malam bangun dan mengatakan melihat ular.
Mungkin dia sedang bermimpi ...."
Belum habis ia menimang, ba2 kakek itu mengayunkan tangannya keatas sebatang pohon dan menyusul terdengar suara benda meluncur jatuh, melanggar ran ng dan semak2.
Dalam suasana yang sesunyi seper tempat ini, benda itu cukup menimbulkan debur suara yang keras ke ka jatuh ke tanah.
"Ah"
Ku mendesuh kejut ke ka melihat seekor ular sebesar lengan terhempas melingkar di tanah dengan kepalanya berhamburan pecah. Saat itu tumbuh pula kepercayaan Kuti bahwa kakek yang dihadapannya itu seorang sakti.
"Malam ini kemungkinan besar setan merah itu takkan keluar. Sedikit saja mendengar gangguan suara diluar liang, dia tak mau keluar"
Kata kakek rambut merah "eh, anakmuda, engkau menger juga kiranya akan ilmu Prana.
Tetapi pikiranmu kurang tenang sehingga engkau sukar untuk mencapai semedhi yang sempurna.
Ketenangan pikiran, merupakan sumber landasan untuk belajar segala ilmu.
Engkau berani melawan harimau ?"
Kuti terbelalak.
Adakah kepercayaan yang baru timbul itu salah ? Adakah kakek itu memang seorang gila ? Masakan orang hendak diadu dengan harimau.
Dan darimana dia dapat memperoleh harimau itu "Hm, ingin kulihat dari mana dia dapat memperoleh harimau"
Pikirnya dan segera ia menyahut "Baik, akan kucoba menghadapinya apabila bertemu dengan binatang itu"
Akhirnya ia menjawab.
"Duduklah bersemedhi dan pelihara tenagamu baik2"
Kata kakek itu.
Beberapa saat ke ka Ku duduk mengheningkan cipta, ba2 ia mendengar kakek itu meniup serulingnya dalam irama yang aneh.
Beberapa waktu kemudian, hidung Ku tersambar desir angin yang membawa bau aneh.
Namun ia tetap tenang dan memusatkan ciptanya untuk menangkap setiap bunyi apapun yang akan muncul di tempat itu.
"Bagus, dia cepat dapat menghaya ajaranku"
Bisik kakek itu dengan pelahan.
Tetapi Ku dapat menangkap suaranya.
Tak berapa lama kemudian terdengar derap langkah dari sebuah mahluk yang melintas gerumbul ran ng dan rumput yang terlanggar dan terpinjak, menimbulkan suara gemersik.
Dan pada lain saat, ke ka langkah itu makin dekat dan serentak terdengarlah sebuah aum dahsyat.
Bumi seolah- olah tergetar.
Namun Ku tetap duduk seper patung.
Berulang kali aum itu menggempar tetapi Ku tetap tak bergerak.
Ia pusatkan seluruh semangat dan pikiran untuk mengiku gerak gerik harimau itu.
Tiba2 harimau itu loncat menerjangnya dan Ku -pun serempak berkisar menyingkir ke samping.
Demikian pula ke ka harimau itu mengulang terjangannya dari belakang, Ku tetap dapat menghindar.
Tiba2 terdengar suara seruling melengking nggi dan nyaring.
Sedemikian nyaring sehingga telinga terasa pecah.
Dan lenyapnya suara seruling keadaanpun kembali sunyi senyap.
"Engkau cepat menghayati apa yang kuajarkan. Lakukanlah latihan ilmu semedhi seperti yang engkau lakukan semalam"
Kata kakek itu pada keesokan harinya.
Hari itu dia memberi pelajaran ilmu melontar dengan batu "Apabila engkau menguasai ilmu melontar itu, engkau tentu akan bertambah besar kepercayaan atas dirimu.
Belasan tahun aku hidup seorang diri dalam hutan belantara, cukup hanya mengandalkan batu2 ini untuk mencari makan dan menguasai binatang2 buas"
Pada malam harinya kembali mereka berjaga di dekat gerumbul itu.
Dan kali itu karena tiada gangguan, kelabang raksasa itupun keluar dari sarangnya.
Kuti terkejut ketika menyaksikan seekor kelabang sebesar belut, memancarkan sinar merah.
Sesuai dengan pesan kakek itu, Kutipun segera melontarkan batu ke mulut liang.
Ketika ia hendak memberitahu kepada kakek berambut merah ternyata kakek itu sudah duduk memandang buruannya.
Pada saat itu kakek berambut merahpun ayunkan tangan.
Sebuah benda melayang dan tepat melayang ke kepala kelabang raksasa.
Kelabang raksasa itu tak dapat bergerak lagi karena tertindih benda tadi.
"Selesai, engkau boleh tidur"
Kata kakek itu "besok kita ambil"
Dan diapun terus rebah di tanah. Kutipun rebahkan diri diatas akar pohon. Tetapi alangkah kejut mereka ketika keesokan harinya kelabang itu lenyap.
"Jahanam, engkau berani mencuri kelabang itu"
Tanpa bertanya lebih dulu, kakek itu terus menerkam Ku .
Sedemikian cepat sehingga Ku tak kuasa menghindar lagi.
Ia bertahan dan berjuang sekuat-kuatnya untuk melepaskan tangan si kakek yang mencekik lehernya.
Tetapi sia-sia.
Kakek itu berobah seperti seorang iblis.
Tiba2 pada saat Ku sudah lunglai karena tak dapat bernapas, bahu kakek itu dicengkeram oleh seseorang dan disentakkan sekeras-kerasnya kebelakang.
"Engkau Patiraga"
Teriak kakek itu ketika melihat siapa yang datang.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakang Bamakre "
Seru pendatang itu, seorang lelaki yang lebih muda sedikit dari kakek tadi, dandanannya sebagai seorang pertapa, rambut pu h, berwajah terang "mengapa tak engkau hentikan perbuatanmu yang buruk itu ?"
"Engkau Pa raga, anak kemarin, jangan ikut campur urusanku"
Teriak kakek berambut merah yang disebut Bamakreti itu.
"Mendiang bapak guru telah menitahkan aku supaya mencarimu karena beliau mendengar berita2 tentang perbuatan-perbuatanmu yang buruk di luar"
"Persetan orang yang sudah ma "
Teriak Bamakre "aku hidup sebagai tuan dari diriku. Aku hanya muridnya bukan budaknya. Aku bebas untuk melakukan apa saja"
"Benar"
Seru Pa raga "memang tepat sekali pandangan bapak guru almarhum tentang peribadimu. Aku hanya melaksanakan pesan beliau"
"Apa pesannya?"
"Apa yang engkau katakan tadi memang benar. Engkau berhak atas dirimu. Engkau bebas untuk melakukan apa saja. Tetapi bapak guru hanya mengakui seseorang itu sebagai muridnya apabila dia masih menurut segala wejangan dan peraturannya"
"Aku hanya berguru mencari ilmu, bukan mengikatkan diriku pada segala peraturan"
"Apa sumpahmu ketika engkau berguru?"
"Yang lalu, tak perlu diungkat. Sekarang aku seorang manusia bebas. Guru sudah ma , tak dapat mengurus diriku lagi"
"Beliau memang sudah ada, tetapi beliau telah meninggalkan pesan kepadaku agar aku mencarimu untuk menyelesaikan persoalan ini"
"Persoalan apa?"
"Sumpah perguruan, kakang Bamakreti, bukankah engkau masih ingat?"
"Persetan!"
"Baik"
Kata Pa raga "aku yang akan mengulang agar engkau teringat. Se ap murid yang melanggar dan merusak peraturan perguruan kita, harus mengembalikan lagi semua ilmu yang direguk dari perguruan kita"
"Ha, ha, ha"
Ba2 Bamakre tertawa keras "engkau Pa raga, anak kemarin sore berani bermulut besar di hadapanku. Setelah bapak guru meninggal, akulah yang menjadi penggan nya. Engkau harus tunduk pada perintahku"
"Aku hanya tunduk pada peraturan perguruan, dak pada orang, sekalipun dia pernah saudara seperguruan yang lebih tua. Bahkan guru sendiri pun juga, kalau memang nyeleweng, tetap akan kutentang"
"Uah, uah, nah"
Seru Bamakre "hebat benar kata katamu, Pa raga. Betapa sak kepandaianmu engkau berani berbicara sebesar itu di hadapanku? Bahkan ilmu kedigdayaaamu itu, akulah yang disuruh guru mewakili untuk mengajarkan kepadamu"
"Benar, kakang Bamakre "sahut Pa raga "oleh karena itu aku masih mengingat budi kebaikan kakang dan berulang kali hanya memberi peringatan. Tetapi rupanya kakang tetap tak sadar dan tetap melakukan perbuatan2 yang jahat"
"Keparat! Mau apa engkau!"
"Karena nyata2 kakang tak mau merobah pendirian kakang terpaksa akupun harus ber ndak. Atas nama mendiang bapak guru yang kami cintai, aku akan mengambil kembali ilmu kepandaian yacg engkau peroleh dari perguruan kami"
"Bedebah engkau!"
Bamakre terus loncat menerjang dan terjadi pertempuran seru antara kedua orangtua yang ternyata masih terikat hubungan sebagai kakak beradik seperguruan.
Saat itu baru Ku terbuka matanya bahwa masih banyak ilmu kanuragan dan kedigdayaan yang harus dipelajari.
Betapa ia kagum akan kelincahan gerak pertapa yang menamakan dirinya sebagai Pa raga dalam menghadapi serangan yang bertubi-tubi dari Bamakre .
Bahkan karena sudah kehabisan akal Bamakre pun lalu menggunakan batu untuk menyerang.
Namun tetap pertapa Patiraga itu dapat menghadapinya dengan tak kurang suatu apa.
"Setan, lihat seranganku"
Sekonyong-konyong Bamakre mengayunkan kedua tangannya. Berpuluh-puluh batu serempak menghujani tubuh Patiraga.
"Hai, kemana engkau"
Setelah berputar-putar tubuh untuk menghindari dan menangkis hujan batu, Pa raga hen kan gerakannya.
Tetapi alangkah kejutnya ke ka melihat Bamakre sudah lari dan menyusup dalam hutan yang gelap.
Pa raga tak mau mengejar.
Ia hanya menghela napas.
Dalam perkenalannya dengan Ku , Pa raga menuturkan bahwa kelabang raksasa itu memang dia yang mengambilnya "Jika sampai jatuh ke tangan kakang Bamakre , wah.
berbahaya sekali.
Racun kelabang yang ada tara ganasnya tentu akan dipergunakan untuk maksud2 yang jahat"
Tertarik kesak an dan kepribadian Pa raga, Ku menyatakan ingin berguru.
Tetapi begawan itu menolak.
Namun ia sanggup memberi petunjuk akan beberapa ilmu kesak an kepada Ku tanpa terikat hubungan guru dan murid.
Banyak sekali petunjuk2 yang diterima Ku dari begawan itu.
Ilmu kepandaiannyapun makin bertambah sempurna.
Kemudian pada suatu hari begawan itu memanggilnya "Angger Ku , pergilah engkau ke pura Singasari dan ikutlah dalam sayembara memilih senopa .
Ketahuilah, ngger, ilmu kepandaiaan yang engkau miliki, sudah lebih dari cukup.
Yang kurang hanya la han2 untuk mencapai kesempurnaan.
Dan sekarang amalkan ilmu, itu untuk kepen ngan negara dan kawula.
Engkau masih muda, besar sekali harapanmu dikelak kemudian hari"
Ku tergerak ha nya. Tiba2 ia teringat akan perjanjiannya dengan Wijaya dahulu. Dua tahun kemudian dia akan mencari Wijaya ke gunung Kawi untuk menuntut balas.
"Adakah sesuatu yang membuatmu ragu2 ?"
Ku lalu menceritakan pengalamannya ke ka di Wengker.
"O soal itu"
Begawan Pa raga tertawa "nan di pura Singasari engkaupun akan bertemu dengan lawanmu itu"
Mendengar itu berserilah wajah Ku . Ia menghaturkan terima kasih atas petunjuk2 yang telah diberikan begawan itu.
"Jangan engkau salah faham, Kuti"
Kata begawan Patiraga "telah menjadi peraturan bahwa setiap penerus perguruan kami, hanya dibenarkan mempunyai seorang murid. Itulah sebabnya maka aku tak dapat menerimamu sebagai murid"
"O, paman begawan sudah mempunyai murid?"
"Ya"
Sahut Patiraga "namanya Semi. Dia kutitahkan mengembara mencari pengalaman. Tetapi sampai sekarang belum juga kembali. Maukah engkau menolong paman?"
"Dengan segala senang hati, paman"
"Bilamana engkau bertemu dengan seorang anak-muda yang bernama Semi, maka ajaklah dia memasuki sayembara itu. Kurasa kalian berdua-tentu akan berhasil"
Demikian asal mula Ku ba di pura Singasari.
Dan pertemuannya dengan Semipun secara kebetulan saja, ke ka Semi sedang diserang oleh segerombolan penyamun, dia memberi bantuan dan akhirnya berkenalan.
Ku segera menyampaikan pesan guru Semi dan kedua anakmuda itupun segera menuju ke pura kerajaan.
Disitu Semi mempunyai seorang kawan bernama Banyak.
Dan ditempat Banyak itulah, Kuti dan Semi bermalam.
Pertemuan antara tumenggung Bandupoyo dengan Ku pun berlangsung menggembirakan sekali.
Ku menceritakan pengalamannya selama turun dari gunung Bromo.
Sudah tentu bagian2 dimana dia berguru lagi tak, diceritakan kepada Bandupoyo.
"Hm, kalau dia benar2 ikut dalam sayembara, kemungkinan besar tentu akan berhasil. Tetapi ah"
Diam2 Bandupoyo menghela napas.
Ia tahu, Kuti itu amat cerdik tetapi kurang dalam kesetyaannya.
Mudah berobah pendirian dan besar nafsu untuk mengejar kekuasaan.
Bahkan mendiang gurunya, resi Brahmacahya, secara diam-diam mengatakan bahwa Ku itu kelak akan menjadi orang terkenal.
Tetapi sayang dia besar nafsu dan tak setya kepada negara dan junjungan.
Berbahaya anak itu bila mendapat kekuasaan besar.
"Ah, sungguh berbahagia sekali kerajaan Singasari apabila mendapat seorang senopa seper kakang Kuti"
Sekalipun hati tak berkenan tetapi terpaksa Bandupoyo harus berbicara lain di mulut.
"Bandu"
Seru Ku "
Dakkah engkau memperoleh kemajuan besar selama mengabdi pada kerajaan Singasari?"
"Apa yang kakang maksudkan dengan kemajuan besar itu?"
"Pangkat tinggi, kedudukan mewah, kekuasaan besar"
"O"
Desuh Bandupoyo tertawa ringan "soal itu memang hanya suatu sarana dalam susunan pemerintahan maupun keprajuritan.
Tetapi yang pen ng, janganlah kita melupakan pesan mendiang rama guru.
Bahwa dalam menjabat sesuatu kedudukan di pemerintahan maupun dalam keprajuritan, hendaknya jangan ha kita dibayangi oleh keinginan untuk memburu kemewahan hidup dan kekuasaan, melainkan harus berisikan jiwa pengabdian kepada baginda, kerajaan dan kawula"
"Ah, itu hanya kata2 indah tetapi bukan suatu kenyataan hidup. Buk nya, semua narapraja, dari pucuk pimpinan hingga ke lapisan yang bawah, berlomba-lomba memburu kenaikan pangkat. Untuk apa? Bukankah kenaikan pangkat itu berar kenaikan kekuasaan, kemewahan dan segala- galanya?"
Bandupoyo terkejut mendengar pernyataan Ku itu. Sejak bertahun-tahun berpisah, kini dia mendapatkan Ku jauh berbeda dengan Ku waktu berada di pertapaan gunung Bromo dahulu. Bandupoyo makin waswas dalam hati.
"Tidak, kakang"
Bandupoyo membantah "kenaikan pangkat berar kenaikan dari tanggung jawab yang lebih berat"
"Kalau tahu bahwa hal itu berat, mengapa mereka berlomba-lomba memburunya?"
Bandupoyo tertawa.
"Engkau salah kakang Ku "
Sahutnya "memang sepintas hampir sama, tetapi beda bobotnya.
Misalnya seorang narapraja yang giat bekerja melakukan tugas, bisa ditafsirkan dia memburu pangkat, tetapipun dapat diar kan dia berjuang dalam pengabdiannya terhadap negara dan kepen ngan rakyat.
Mana yang benar, bukan terletak pada nilai imbalannya, tetapi pada diri peribadinya sendiri.
Apakah dia memang memburu pangkat atau dia melaksanakan pengabdiannya.
Maka kukatakan hampir sama dalam sarananya tetapi beda dalam bobot kejiwaan peribadinya"
"Uah, tampaknya setelah menjadi bhayangkara istana, engkau lebih maju dalam pembicaraan. Bandu"
Kuti tertawa.
"Pengalaman menjadi guru yang terbaik. Selama bergaul dengan bermacam ngkat manusia dengan segala macam peribadi, aku mendapat banyak pengalaman"
Kata Bandupoyo. Kemudian ia mengajak Kuti untuk bermalam di tumenggungan.
"Terima kasih, Bandu"
Kata Kuti "tetapi aku sudah terlanjur menginap di rumah adi Banyak"
"Benar ki tumenggung"
Semi ikut bicara "rasanya kurang enak apabila bermalam di temenggungan"
"Mengapa kakang Semi?"
"Ki tumenggung tentu duduk dalam penyelenggaraan sayembara itu. Apabila diketahui orang bahwa kakang Ku bermalam di tumenggungan. apabila nan dalam sayembara itu kakang Ku berhasil menang, bukankah akan terlontar tuduhan orang bahwa kemenangan itu karena disebabkan oleh pengaruh ki tumenggung?"
"Benar"
Seru Ku menambah "memang hal itu kurang enak bagimu, Bandu. Biarlah, aku lebih leluasa bermalam di tempat adi Banyak"
Karena alasan yang dikemukakan Semi itu memang dapat diterima maka terpaksa Bandupoyo tak mau memaksa.
Malam itu pikiran tumenggung Bandupoyo masih sarat terbekas kesan pertemuannya dengan Ku .
Kesan yang diperoleh dari pembicaraan dan kesan yang diterima dari pesan mendiang gurunya, makin menimbulkan sesuatu yang cenderung kearah kegelisahan.
"Jika kakang Ku berhasil"
Untuk kesekian kalinya ia mengulang kata2 itu "
Dakkah dikalangan pasukan Singasari akan mengalami perobahan yang tertentu"
Dan serentak renungannya tertumbuk pada beberapa golongan yang sedang berlomba untuk merebut pengaruh kekuasaan di pucuk pemerintahan pura kerajaan.
Pa h Kebo Anengah, seorang pa h yang gagah perkasa dalam urusan keprajuritan.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi dalam urusan tata-negara, belum memadai empu Raganata.
Pa h Aragani bukan seorang prajurit, tetapi seorang narapraja yang pintar.
Terutama pintar merebut ha baginda, pintar pula mencari pengaruh dalam kalangan narapraja dan tamtama.
Dalam beberapa hal, terutama dilingkungan keraton, pa h Aragani lebih besar pengaruhnya dari pada patih Kebo Anengah.
Sudah agak lama ia mendengar desas desus tentang makin akrabnya hubungan antara baginda dengan pa h Aragani sehingga tak jarang pa h itu di tahkan masuk ke dalam istana dan diajak minum tuak oleh baginda Kertanagara.
Bagaimana latar belakang daripada pa h Aragani itu, ia belum memiliki pengetahuan yang jelas.
Hanya mbul suatu pernyataan dalam ha , mengapa pa h Aragani mendukung keras keputusan baginda untuk mengirim pasukan ke Malayu.
Adakah hal itu dimaksudkan untuk langkahnya menjatuhkan pa h empu Raganata, demung Wirakre dan Tumenggung Banyak Wide, agar pa h Apanji Aragani diangkat baginda Kertanagara sebagai pa h sebagaimana keadaannya yang sekarang ini? Ataukah pa h itu mempunyai lain tujuan lagi yang belum dapat diketahuinya? Dalam menimang golongan2 yang harus diperhitungkan dalam catur perebutan kekuasaan di pura kerajaan setelah terjadi perobahan beberapa mentri tua itu, tumenggung Bandupoyo harus memandang kepada pa h Aragani.
Dia sendiri merasa waktunya sangat terikat dalam kedudukannya sebagai pengawal pendamping baginda.
Dia harus mempunyai orang yang dapat dipercaya untuk mengimbangi keadaan yang tak diinginkan apabila pengaruh pa h Aragani makin membesar.
"Jika senopa baru itu jatuh di tangan kakang Ku , dikua rkan akan mbul suatu persekutuan dengan pa h Aragani"
Pikir Bandupoyo lebih lanjut "menilik sifat kedua orang itu, bukan mustahil kalau persekutuan mereka akan menjadi kenyataan. Yang satu penuh nafsu untuk meraih kedudukan, yang satu licik dan pandai untuk mengambil hati orang"
Dan seke ka itu mbullah ingatannya akan diri Wijaya.
Makin merenungkan wajah dan sikap anakmuda itu, makin tertarik ha Bandupoyo "Tidak mungkin kalau dia hanya anak orang desa biasa.
Tentu dia mempunyai asal usul yang lebih.
Jika dia memasuki sayembara, alangkah baiknya.
Aku akan berusaha agar dia dapat memenangkan pertandingan itu"
Sesaat kemudian ia tersentak "Tetapi mengapa aku harus menggantungkan pada harapan jika? Jika dia ikut dalam seyembara, jika dak? Bukankah kesempatan itu akan diraih kakang Ku ? Ah, dak, dak boleh aku hanya menggantungkan pada harapan Jika saja.
Mengapa aku tak berusaha untuk mencarinya?"
Memperhitungkan waktu, sayembara itu masih kurang lima hari.
Ia memutuskan akan minta cu kepada baginda dan akan mencari pemuda itu ke lereng Kawi.
Sementara tumenggung Bandupoyo menimang-nimang rencana, ditempat kediaman Banyak, pun berlangsung suatu pembicaraan antara mereka bertiga, Kuti, Semi dan tuan rumah Banyak.
"Ho, enak saja tumenggung Bandupoyo itu memutar lidah"
Sambut Banyak ke ka mendengar cerita Ku tentang pembicaraannya dengan Bandupoyo "coba dia masih seorang kerucuk, tentu lain lagi kata-katanya.
Dia sudah menjadi tumenggung, sudah diangkat sebagai bhayangkara pendamping baginda, tentu hidupnya serba tak kekurangan.
Lalu mulutnya menelurkan kata2 yang indah.
Tetapi sesungguhnya keindahan dari sebuah gelembung air.
Diluar tampak indah, didalam kosong melompong"
"O apakah dia sudah mencapai puncak dalam kedudukannya?"
Tanya Kuti.
"Benar, kakang"
Sahut Banyak yang dengan cepat sudah bersikap akrab sekali kepada Ku "dia mendapat kepercayaan baginda untuk mengawal keselamatan baginda"
"O, dia tentu setya kepada kerajaan"
Seru Semi pula.
Banyak tertawa.
Ia segera memberi penjelasan ketika kedua tetamunya memandang kepadanya dengan pandang bertanya "Setya itu merupakan suatu kejiwaan yang luhur.
Dan oleh karenanya, tidaklah mudah untuk mencapai hai itu.
Misalnya yang mudah saja.
Apabila kita bertanya kepada setiap orang, mereka tentu mengatakan setya bhakti kepada raja, kepada agama yang dipercayainya.
Tetapi manakala orang itu terumpati musibah, banyaklah yang dengan mudah luntur kesetyaannya.
Mereka cepat berbalik haluan, bahkan ada yang memaki kepada orang yang pernah didambakan dengan segenap rasa kesetyaannya itu.
Maka untuk mengatakan seseorang itu setya, tidaklah semudah kita menggerakkan bibir kita.
Melainkan harus dibuktikan dengan kenyataan yang sudah benar-benar teruji"
"Maksudmu bagaimana? "Banyak mentri senopa yang setya kepada raja, tetapi setelah raja itu jatuh dan kerajaan diduduki lain orang, maka mentri2 dan senopa itupun segera berpaling haluan, bergan junjungan semudah seperti orang berganti baju"
Kuti tertawa.
"Ya, memang perbuatan itu amat tercela, nista dan hina"
Katanya "tetapi apabila peris wa itu terjadi antara kerajaannya dengan kerajaan lain, terutama terhadap lain bangsa.
Tetapi dakkah hal itu sudah wajar apabila pergan an junjungan itu terjadi di-kalangan bangsa dan pimpinan kerajaan sendiri? Misalnya, raja digan oleh adik atau saudara lainnya.
Pa h empu Raganata diganti dengan patih Kebo Anengah dan lain2"
"Apa yang kakang maksudkan wajar itu?"
Tanya Banyak.
"Adi Banyak"
Kata Kuti dengan nada agak mantap "seorang lelaki tentu memiliki tujuan hidup dapat mencapai di puncak tangga kehidupan. Untuk apa kita hidup apabila kita tidak mengembangkan hidup kita?"
"Benar, kakang Kuti "seru Banyak makin tertarik akan kata2 Kuti.
"Cara hidup setiap orang memang berlain-lain dan berbeda-beda tetapi tujuannya sama. Masing2 hendak mencapai suatu tingkat hidup yang sebaik mungkin. Oleh karena itu tidaklah dapat kita terlalu menyalahkan orang yang memiliki pendirian, mempertahankan kedudukannya itu. Misal dibawah pemerintahan raja Wisnuwardhana, dia seorang mentri. Kemudian dibawah kekuasaan raja Kertanagara, dia juga mentri. Lalu andaikata, dalam pertempuran di Glagah Arum, pangeran Kanuruhan menang dan berhasil menggantikan baginda Kertanagara sebagai raja Singasari, dia tetap juga seorang mentri. Adakah dia perlu harus menunjukkan kesetyaannya kepada baginda Kertanagara saja ? Tidakkah hal itu akan mengorbankan kedudukan dan kehidupannya ?"
Banyak mengangguk diam.
"Dan dakkah bagi keturunan prabu Wisnuwardhana hal itu sama pula. Pangeran Kanuruhan juga putera sang prabu. Raja Kertanagara yang sekarang juga putera sang prabu. Demikian pula bagi kerajaan Singasari dan para kawula sekalian"
"Tepat kakang Ku "seru Banyak "ucapan kakang itu memang tepat sekali. Yang pen ng adalah kerajaan Singasari itu, siapapun yang duduk ditahta, asalkan dia seorang junjungan yang baik dan bijaksana, kita harus mendukungnya. Biar orang kalap menuduh kita sebagai mentri tak setya-raja"
"Dan kesetyaan itu bujsan suatu sikap yang membuta"
Ba2 Semi menyelutuk "tetapi suatu penilaian yang berlandaskan kepercayaan yang sadar.
Kalau junjungan itu seorang raja yang adil bijaksana, kita wajib mendukung dan membela kema -ma an.
Tetapi kalau dia memang lalim dan sewenang-wenang, mengapa kita harus meracuni hati kita dengan segala hiasan kata setya-raja?"
Diam2 Banyak gembira sekali mendengar pendirian kedua orang itu.
"Kakang Ku dan Semi"
Katanya "lima hari lagi, pura Singasari akan membuka sayembara untuk menentukan pengangkatan seorang senopa dalam pasukan kerajaan. Kuminta kakang berdua ikut dalam sayembara itu"
"Keinginan memang ada, tetapi kami berdua tak berani memastikan hasilnya"
Kata Kuti.
"Kakang Ku cakap dan tepat sebagai seorang senopa pasukan Singasari. Dan tentu akan kuusahakan untuk membantu kakang mencapai kemenangan itu"
Kuti terkejut.
"Apa? Engkau akan berusaha untuk membantu?"
"Engkau dapat membantu?"
Ulangnya dengan nada menegas keheran. Banyak mengangguk dalam-dalam.
"O, benar"
Ba2 Semi berkata "adi Banyak ini juga menjabat sebagai nara dalam pemerintahan Singasari.
Dia termasuk akurug, yang mendapat tanah pelungguhan sendiri.
Dan jabatannya sebagai mentri mangilala diwya haji, mentri yang memugut pajak tanah hak milik raja"
"O"
Kuti mendesuh "sungguh tinggi juga pelungguhan adi Banyak ini"
"Ah, tidak kakang Kuti"
Balas Banyak "sebenarnya aku lebih suka menjabat kedudukan dalam keprajuritan. Tetapi si Panglulut itu telah menempatkan aku disitu dulu"
"Panglulut? Siapakah yang adi maksudkan? "tanya Kuti.
"Panglulut atau Kuda Panglulut, kepala pasukan keamanan dalam pura Singasari"
"O, raden Kuda Panglulut itu ?"
Seru Semi setengah berteriak.
"Kurasa dalam pura Singasari ini hanya seorang saja yang bernama Kuda Panglulut"
Jawab Banyak.
"Bukankah dia putera menantu gusti patih Aragani ?"
Seru Semi pula.
"Ya"
"Apakah adi bersahabat denganraden Kuda Panglulut ?"
"Lebih dari sahabat. Dia terhitung kemanakan-sendiri"
"O"
Desuh Semi lalu kerutkan dahi "tetapi apabila tak salah, belum setua itu kiranya adi Banyak layak menjadi pamannya."
"Benar, kakang Semi. Memang kalau menurut umur, hal itu agak ganjil. Aku dan Kuda Panglulut terpaut hanya lima atau enam tahun. Dia putera sulung dari ayundaku yang tertua. Dan aku merupakan anak yang bungsu dari ayahbundaku yang beranak lima orang. Aku dengan ayundaku yang sulung itu terpaut limabelas tahun umurnya"
Kuti dan semi tertawa, mengangguk-angguk.
"O, jika demikian, kami tak perlu heran atas kesediaan adi Banyak hendak membantu kami dalam sayembara itu. Tetapi adi Banyak, bukan kami berbanyak mulut, tetapi sesungguhnya dengan segala ketulusan ha , kami ingin tahu bagaimanakah bantuan2 yang adi hendak berikan kepada kami itu nanti"
"Kepala penyelenggara dari sayembara itu adalah tumenggung Bandupoyo"
Kata Banyak "tetapi dia dak berkuasa mutlak. Apabila dipandang tak sesuai maka gus pa h Kebo Anengah dan gus patih Aragani dapat merobah keputusan"
Ku mengangguk "Maksud adi, bukankah adi hendak meminta bantuan raden Panglulut agar membicarakan soal diri kami kepada gusti patih Aragani?"
"Benar, kakang Ku "
Banyak tersenyum "tetapi disamping itu, akupun dapat bergerak diluar. Karena usaha itu harus diperjuangkan dari dalam dan luar"
Ku kerutkan alis "Kami percaya bahwa adi Banyak tentu mempunyai kemampuan untuk mengusahakan hal2 yang dapat memberi kebaikan kepada kami. Hanya saja Ku ini memang bodoh sehingga tak mampu menanggapi apa yang adi maksudkan dengan usaha di luar itu"
Banyak tersenyum girang. Ia bangga karena kedua tetamu itu memujinya "Kakang Ku , dakkah tadi kakang Semi telah memberitahukan tentang jabatanku di pura kerajaan ini?"
"Ya, dan kemudian?"
"Terus terang kakang Ku dan Semi"
Kata Banyak "sebagai pemungut diwya haji, aku menyimpan banyak sekali harta yang dipercayakan pemerintah kepadaku. Kakang berdua tentu maklum, betapa kekuasaan harta benda itu terhadap manusia"
Banyak tertawa cerah.
"O"
Cahaya muka Ku pun ikut cerah seke ka "maksud adi hendak menggunakan pengaruh harta itu untuk mempengaruhi para ksatrya yang ikut dalam sayembara itu?"
"Kakang Kuti amat cerdas"
Banyak tertawa "itulah yang kumaksud sebagai usaha di luar"
"Tetapi adi Banyak "
Tiba2 Semi memberi tanggapan "bagi seorang ksatrya, harta itu tidak akan membawa pengaruh apa2. Terutama mereka2 yang telah ditempa di pertapaan para resi brahmana, tentulah mereka tidak mengutamakan harta, melainkan keluhuran dan keperwiraan"
Banyak tertawa pula.
"Engkau benar, kakang Semi"
Katanya "memang pada ksatrya utama, harta itu takkan membawa pengaruh besar. Tetapi dakkah mereka berbondong-bondong memasuki sayembara itu dengan suatu tujuan? Apakah tujuan mereka?"
"Pangkat dan kedudukan"
Seru Kuti.
"Apa kenyataan daripada pangkat dan kedudukan itu?"
Tanya Banyak pula.
"Kenikmatan hidup"
"Dan apa sarana kenikmatan hidup itu kalau dak dengan harta benda?"
Kata Banyak "itulah tujuan mereka yang terakhir. Dan apabila tujuan itu kita sanggupi, dakkah mereka akan tergerak hati?"
"Ah"
Ku geleng2 kepala pula "lagi2 aku si Ku yang bodoh ini tak menger apa yang adi maksudkan dengan kata2 menyanggupi tujuan mereka itu"
Kembali Banyak tertawa girang dalam hati.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah tentu menghadapi para ksatrya itu, aku harus menggunakan cara lain. Kasar dan halus. Akan kutekankan mereka, bahwa ada fihak yang amat berkuasa dalam pucuk pimpinan pemerintah yang menghendaki mereka supaya mengalah. Apabila mereka mau menurut, mereka tetap akan diberi jabatan dalam keprajuritan dan ditambah pula dengan anugerah harta dan tanah. Tetapi apabila mereka menolak, mereka pasti akan menghadapi kegagalan juga. Dengan penjelasan2 yang mengandung ancaman dan bujukan itu, kurasa mereka tentu menyadari dan mau menerima"
"Bagus, adi Banyak"
Seru Ku "mendengar penjelasan adi itu, ha ku seringan burung yang terbang ke angkasa"
Semi kerutkan dahi. Dan rupanya Banyak memperhatikan sikapnya.
"Eh, rupanya kakang Semi masih ada sesuatu yang terkandung dalam hati?"
Tegurnya. Semi menghela napas "Yah, memang harus kuakui bahwa rencana adi itu, bagus sekali. Hampir sempurna. Tetapi aku masih kua r adi. Karena sekalipun gading tetap retak, sekalipun bagus rencana itu tetapi tetap memiliki kelemahan- kelemahan"
"Apa maksud kakang Semi?"
Banyak mulai ngotot.
"Yang adi hadapi itu adalah golongan ksatrya yang telah menerima gemblengan jasmaniah dan rohaniah. Aku kuatir adi, mereka tidak semudah seperti yang adi bayangkan. Kumaksudkan, tidak semua ksatrya yang ikut dalam sayembara itu lemah imamnya sehingga rencana adi itu dikuatirkan akan terbentur pada karang2 yang tajam"
"Apakah kakang Semi tak percaya akan kemampuan Banyak ?"
"Dalam soal ini bukan percaya atau dak percaya, adi. Harap engkau jangan salah faham kata Semi, tetapi kita berhadapan dengan kenyataan maka mau tak mau lahirlah kekua ran itu dalam hatiku"
"Ah, janganlah adi Semi kua r"
Ku tertawa "masakan adi Banyak tak mampu melakukan usaha itu"
Semi terkejut.
Dialah yang lebih dulu kenal dengan Banyak dan Ku pun dia yang memperkenalkan kepada Banyak.
Tetapi mengapa Ku begitu percaya penuh kepada Banyak dalam soal yang sepen ng itu.
Ia mengangkat muka kearah Ku dan lontarkan pandang bertanya.
Tetapi Kuti kicupkan ekor mata memberi isyarat.
Semi tak jadi membuka mulut bertanya.
"Kakang Semi dan kakang Ku "
Kata Banyak yang tampak merah wajahnya "jelek sekalipun Banyak ini, tetapi aku juga seorang lelaki.
Apa yang kujanjikan tentu akan kulakukan, betapapun sukar pekerjaan itu dan betapapun mahal pengorbanannya.
Jika aku, Banyak, tak mampu menepa janjiku, kakang berdua boleh membunuh aku."
"Ah, dak, dak, adi Banyak"
Cepat Ku berseru "jangan engkau setandas itu.
Bantuan adi sudah tentu kami harapkan.
Tetapi andaikata gagal, kamipun takkan kecewa dan tetap berterima kasih atas kebaikan adi itu.
Sudah tentu pula kamipun juga akan berusaha dengan kepandaian kami untuk memenangkan sayembara itu"
"Benar adi Banyak"
Seru Semi "kurasa adi tak perlu sibuk mengusahakan hal itu. Biarlah kami sendiri yang akan merebut kemenangan itu dengan tenaga dan kepandaian kami"
Mata Banyak berkilat-kilat "Hm, jika demikian, lebih baik hubungan kita putus sampai disini saja! Kakang Semi terlalu memandang rendah kepadaku. Aku malu menjadi kawan kalian ....."
"Adi Banyak!"
Teriak Kuti "mengapa adi menaruh benar dalam hati ucapan adi Semi?"
"Jika kalian menolak bantuanku, berarti kalian menghina aku"
Teriak Banyak.
"Ah"
Kuti mendesuh tetapi diam-diam dia tertawa dalam hati. Siasatnya telah berhasil "sudah tentu kami gembira menyambut bantuan adi. Tetapi kamipun tak ingin menyibukkan adi. Itulah sebabnya maka adi Semi berkata begitu"
"Telah kukatakan"
Kata Banyak makin tegas "bahwa aku sebagai seorang lelaki, harus bertanggung jawab atas apa yang telah kuucapkan. Dengan menolak pernyataanku itu berar merendahkan diriku"
"Engkau benar, adi"
Akhirnya Ku berkata "baiklah. Kami sangat menghormat dan menghargai bantuanmu. Dan sebagai imbalan, apabila kelak kami berhasil memenangkan sayembara itu dan diangkat sebagai senopati pasukan Singasari, maka kamipun akan menarik adi kedalam pasukan"
"Benarkah itu, kakang Semi ?"
Mata Banyak memancar sinar cerah. Ku tertawa "Jika adi merasa kecewa apabila kami tak mempercayai pernyataanmu, mengapa adi hendak membuat hati kami kecewa karena adi tak percaya pada ucapan kami?"
Banyak tertawa dan meminta maaf. Demikian setelah bercakap-cakap sampai tengah malam, mereka lalu beris rahat. Dalam kesempatan berdua, Semi bertanya kepada Ku mengapa Ku begitu percaya akan kemampuan Banyak.
"Ah, secara tak sengaja"
Kuti tertawa "kita telah menjalin suatu kerjasama yang rapih. Aku yang menjunjungnya dan engkau yang mencemohkan untuk membakar hatinya. Dan akhirnya kita berhasil. Dia tentu malu hati kepada kita dan akan berusaha sekuat tenaganya"
"Memang"
Sahut Semi "aku sengaja mengucapkan kata2 seolah tak percaya kepada kemampuannya agar dia panas"
Kedua tertawa.
Diam2 merekapun mempunyai kesan dalam ha masing-masing, bahwa mereka ternyata memiliki kecerdasan yang setingkat dan pandangan yang sefaham.
~dewiKZ~ismoyo~mch~ Siang itu Ku dan Semi terkejut sekali ke ka Banyak memberitahu bahwa pa h Aragani menitahkan mereka menghadap ke kepatihan.
"Adi, mengapa gus pa h berkenan menitahkan kami menghadap ?"
Tanya Ku penuh keheranan.
"Panglulut telah mendengar laporanku dan telah menghaturkan keadaan kakang berdua kehadapan ramandanya, gus pa h. Dan rupanya gus pa h mempunyai minat kepada kakang berdua"
Kata Banyak. Kemudian ia menganjurkan bahwa hendaknya kesempatan itu dapat dipergunakan sebaik-baiknya "Siapa tahu kakang Ku , apabila gus pa h melihat kakang berdua, beliau akan lebih mantap perhatiannya lagi"
Malam itu Banyak membawa Ku dan Semi menghadap pa h Aragani.
Terjadi mbal balik pancaran kesan dalam pertemuan pertama itu.
Aragani mendapat kesan baik terhadap kedua anakmuda itu, terutama Ku .
Diperha kannya bahwa Ku memiliki pandang mata yang bersinar tajam dan mengandung sumber kecerdikan.
Wajahnya tampan ada tercelah.
Hanya sayang kelopak matanya agak cekung kedalam, menunjukkan sifat kejuligan.
Semi dalam pandangan pa h Aragani, merupakan seorang pemuda yang tenang dan sukar diduga isi ha nya.
Diantara kedua pemuda itu, Kuti dianggap lebih memiliki wibawa.
Sementara dalam kesan Ku maupun Semi, pa h Aragani itu memberi gambaran yang mengejutkan.
Tubuhnya yang kurus, memiliki wajah yang rus, hidung yang agak bengkok.
Sepasang bibir yang tebal, ditopang oleh janggut kambing dan dinaungi oleh sederet kumis jarang.
Sedangkan sepasang biji matanya tampak melentuk seper damar ter up angin, meram2 melek.
Sepintas memberi kesan sebagai seorang pemalas, pengantuk.
Setelah memberi hormat dan memperkenalkan diri maka bertanyalah pa h Aragani kepada Ku dan Semi "Benarkah kalian bermaksud hendak ikut dalam sayembara pemilihan senopati itu?"
"Demikian, gusti"
Serempak Kuti dan Semi memberi sembah.
"Apakah tujuan kalian hendak ikut serta dalam sayembara itu?"
Ku dan Semi terkejut. Keduanya merasa pertanyaan yang dilontarkan pa h itu cukup tajam. Mereka harus berhati-hati merangkai jawaban.
"Tak lain gus pa h"
Kata Ku "hamba berhasrat hendak menyumbangkan tenaga hamba kepada kerajaan Singasari"
"O"
Pa h Aragani mengangguk "tahukah kalian betapa berat beban seorang prajurit, lebih pula seorang senopati itu ?"
"Hamba telah mempertemukan jiwa dan raga hamba dalam suatu keputusan bulat, agar hamba serahkan demi kepentingan kerajaan, kejayaan dan kebesaran Singasari"
"Apa sumpah tekadmu anakmuda ?"
"Setya kepada raja, kerajaan, kewajiban dan sumpah prajurit"
"Adakah engkautak punya pamrih apa2 dalam mengabdi kepada kerajaan Singasari itu?"
"Pamrih hamba berdua tak lain hanya demi kepen ngan kerajaan Singasari. Dan karenanya hamba harus berusaha untuk memiliki sarananya"
"Apakah sarana yang engkau cita-citakan itu?"
"Kedudukan yang nggi dan kekuasaan yang memadai dalam keprajuritan sehingga hamba dapat mewujutkan cita cita hamba itu"
"O, jadi engkau ingin meraih kedudukan dan pangkat yang tinggi ?"
"Benar, gus "
Sahut Ku tanpa ragu2
"demikian cita-cita hamba sebagai seorang anakmuda. Karena hanya dengan kedudukan dan kekuasaan itulah hamba dapat mempersembahkan segenap tenaga, pikiran dan kemampuan hamba kepada kerajaan. Jika dak, hamba tentu sukar untuk mengembangkan bakat kepandaian hamba untuk negara"
Banyak dan Semi terkejut atas ucapan Ku yang selantang itu.
Mengapa berani benar Ku menyatakan pendiriannya dihadapan pa h kerajaan yang amat besar kekuasaannya seper Aragani.
Bukankah pernyataan Kuti dapat dianggap sebagai hal yang buruk atas sifat peribadi"
"Ah, celaka kakang Ku ini"
Gumam Banyak dalam ha "kalau pa h mempunyai penilaian lain, pasti gagallah usaha kita"
"Bagus, anakmuda"
Ba2 pa h Aragani berseru "begitulah layaknya cita-cita seorang hidup terutama anakmuda. Tanpa cita-cita, hidup itu pudar"
Sambutan pa h Aragani benar2 diluar dugaan Banyak maupun Semi. Diam2 makin kagum keduanya akan kecerdikan Kuti menilai orang.
"Engkau tahu, anakmuda"
Sambung Aragani pula "betapa dulu akupun memiliki cita- cita bagitu. Aku mulai menanjak dari bawah dan hanya dengan melalui perjuangan yang penuh segala pengorbanan perasaan, akhirnya aku dapat mendaki ke puncak tangga kehidupan seperti sekarang"
Ku menghaturkan sembah dan terima kasih kepada pa h itu "Namun jauh bedanya gus pa h dengan diri hamba yang bodoh dan picik pengalaman ini"
"Tak perlu engkau merasa rendah diri. Karena hal itu hanya mengurangkan kepercayaan diri sendiri"
Kembali Kuti menghaturkan terima kasih.
"Anakmuda"
Kata pa h Aragani pula "dengan memasuki sayembara, kupercaya engkau tentu membekal ilmu kedigdayaan yang hebat. Siapakah gurumu?"
"Guru hamba adalah resi Brahmacahya di gunung Bromo, kemudian hamba berkelana dan berguru pada beberapa pertapa."
Aragani mengangguk "Apakah selama ini engkau pernah menjabat kedudukan di kalangan pemerintahan ?"
"Hamba pernah menjadi bekel prajurit di Wengker, gusti"
"O, suatu kedudukan yang cukup nggi"
Seru pa h Aragani "apakah sekarang engkau sudah lepas dari jabatanmu itu?"
"Sudah"
"Mengapa?"
"Hamba merasa bahwa di kerajaan Wengker hamba tentu takkan mendapat kemajuan yang lebih luas. Oleh karena itu, setelah mendengar di pura Singasari akan dibuka sayembara pilih senopati, hamba segera bergegas datang ke pura kerajaan sini"
"Bagaimana pandanganmu terhadap kerajaan Singasari ?"
"Singasari merupakan kerajaan besar yang kekuasaannya amat luas bahkan sampai ke negeri Malayu dan Bali. Menurut hemat hamba, dewasa ini ada kerajaan lain yang dapat menyamai kebesaran dan kejayaan kerajaan Singasari, baik dalam lapangan kekuatan, budaya, agama dan segala bidang. Kata suara ha hamba, di kerajaan Singasari inilah tempat yang tepat bagi pengabdian hamba, gusti"
Diam2 pa h Aragani terkesan atas kata2 Ku yang begitu hebat. Ia percaya anakmuda itu tentu digdaya tetapi ia belum tahu sampai pada tataran bagaimana kedigdayaan yang dimiliki anakmuda itu.
"Ku "
Kata pa h Aragani pula "aku hendak menghadap seri baginda ke keraton maka engkau sekalian boleh pulang. Besok pagi datanglah kemari, aku perlu bicara dengan engkau"
Ku dan kedua kawannya terkejut.
Sepulang dari kepa han mereka masih menduga-duga tentang perintah pa h Aragani itu.
Bermacam-macam dugaan telah ditafsirkan, namun ada satupun yang benar2 dapat dipastikan.
Sementara sepeninggal Ku ber ga, Kuda Panglulutpun masuk menghadap pa h Aragani.
Aragani menyatakan mempunyai kesan baik terhadap Ku .
Kemudian ia membisiki beberapa patah kata ke telinga putera menantunya.
Kuda Panglulut mengangguk-angguk.
"Sebelum menjatuhkan keputusan terakhir, besok akan kuuji dahulu keberanian dan kedigdayaan Kuti"
"Dan kesetyaannya rama"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Panglulut. Patih Aragani mengangguk. ~dewiKZ~ismoyo~mch~
Jilid 16 Persembahan . Dewi KZ
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .
MCH I Malam yang gelap seolah hendak menelengkupl pura Singasari.
Langit bersaput awan kelam.
Bintang kemintang bercahaya semu.
Sayup2 terdengar guruh, mendengkur.
Kesunyian yang mengundang rasa kantuk terusik suara burung kulik yang terbang melalang diatas keraton Singasari.
Sayup2 terdengar derap langkah kaki mendebur kesunyian.
Makin lama makin terdengar sarat.
Getar yang timbul dari langkah sarat itu, mengandung pula dering gemerincing senjata yang berselang seling.
Dari lorong yang melingkari sepanjang dinding tembok keraton Singasari sebelah dalam, muncul dua sosok tubuh memanggul senjata tombak.
Sukar untuk membedakan kedua orang itu karena keduanya sama2 memiliki tubuh yang kekar padat.
Langkah kaki merekapun teratur dalam irama yang rapi.
Kecuali memanggul tombak, keduanya juga membekal pedang yang terselip pada pinggang masing2.
"Ah, mengapa malam begini pekat, kakang Sorang?"
Tiba2 terdengar seorang berkata.
"Hm, biasa,"
Jawab orang yang dipanggil So-rang "malam tentu gelap. Apa baru sekali ini engkau tahu?"
"Tapi memang benar2 dak seper malam ini"
Kata orang pertama lagi "gelap dan gersang. Menyeramkan pula"
"O, karena mendengar suara burung kulik itu?"
"Apakah engkau tak merasakan apa- apa, kakang?"
"Tidak, kecuali hanya ngantuk"
"O "
Desuh orang pertama "benar, benar, memang aku juga merasa ngantuk tetapi diusik rasa seram"
Keduanya berjalan pula, menyusup lorong sunyi di kegelapan malam. Mereka adalah prajurit dalam puri keraton yang malam itu bertugas meronda.
"Jika kuhubungkan dengan perintah gusti meng-gung tadi ...."
"Perintah yang mana?"
"Eh, apakah engkau tak mengetahui perintah yang dikeluarkan gus menggung Bandupoyo petang tadi?"
"Aku tadi memang agak terlambat datang sehingga ki lurah Panca marah. Apakah perintah itu Lembah?"
"O, kukira engkau sudah mendengar,"
Sahut prajurit yang bernama Lembah "begini kakang Sorang, ki lurah menyampaikan perintah gustimenggung, bahwa malam ini penjagaan keraton harus diperketat.
Jumlah prajurit penjagapun digandakan.
Barangsiapa yang tak melakukan kewajiban dengan baik, akan mendapat pidana berat"
"O "
Desuh prajurit Sorang "jika demikian tentu ada sesuatu yang gawat di keraton ini. Apakah yang engkau ketahui, Lembah ?"
"Entahlah,"
Jawab Lembah "rasanya ada peris wa apa2 di pura kerajaan ini kecuali makin dekatnya sayembara pemilihan senopati itu"
Prajurit Sorang mengangguk.
"Tetapi ....
"
Ia membuka mulut lalu berhenti.
"Tetapi bagaimana, kakang?"
"Kurasa perasaanmu tadi memang perlu diperhatikan,"
Kata Sorang.
"Perasaanku?"
"Ya. Bukankah tadi engkau merasakan suatu kelainan pada malam ini? Sunyi, gelap, ngantuk dan seram, bukan ?"
"Ya "
Lembah mengiakan "dan burung kulik itu". Maksudmu, kulik sebagai pertanda dari datangnya pencuri ?"
"Sejak kecil kita telah dibekali ajaran itu bahwa se ap burung kulik muncul tentu akan muncul pencuri atau orang jahat"
"Dan sudah engkau buktikan?"
"Aku tak pernah memperha kan. Atau mungkin burung kulik tak perlu memberi pertandaan kepada rumahku yang miskin"
Prajurit Sorang tertawa "Jangan membawa-bawa soal miskin atau kaya, Lembah. Adakah burung kulik tahu membedakan si kaya dengan si miskin? Jika demikian, burung kulik layak diberi pangkat "
"Hah? Burung kulik harus diberi pangkat?"
"Benar,"
Kata Sorang menahan geli dalam ha "bukankah dia layak menjadi prajurit penjaga keamanan karena kepandaiannya untuk memberi tanda apabila akan muncul penjahat?"
"Uh, engkau memang aneh2, kakang. Engkau hendak mempersamakan burung kulik itu dengan kita"
Sorang tertawa "Entah kita yang termasuk jenis burung kulik atau burung kulik yang termasuk jenis manusia seperti kita"
"Tidak,"
Lembak menolak "kulik itu burung dan kita ini manusia"
"Bagus, Lembah,"
Prajurit Sorang tertawa pula "jika demikian daklah layak apabila kita harus menerima pengaruh dari burung kulik"
"Tetapi bukankah burung gagak itu juga memberi tanda akan sesuatu yang buruk. Entah pembunuhan entah kecelakaan"
"Yang jelas,"
Kata prajurit Sorang "burung gagak itu termasuk jenis burung pemakan bangkai. Dia berbunyi karena mengharapkan mangsa. Atau karena dia memiliki penciuman yang tajam tentang terdapatnya bangkai disekitar daerah itu"
"Apakah kakang tak percaya akan segala alamat yang dibawakan bangsa sato khewan dan burung?,"
Desak Lembah.
"Yang jelas aku belum pernah mengalaminya sendiri, sehingga sukar kupaksa diriku untuk percaya. Dan soal kepercayaan itu tergantung dari peribadi masing-masing. Yang percaya, silakan percaya. Karena untuk menghapus kepercayaan orang terhadap sesuatu hanya akan menimbulkan perbantahan belaka. Misalnya seper engkau, Lembah,"
Sorang tertawa. Tetapi dia segera ditusuk keheranan ke ka ada penyahutan dari Lembah. Cepat ia berpaling. Tetapi apa yang dilihatnya meningkatkan rasa herannya menjadi rasa kejut. Walaupun masih berjalan tetapi kedua mata Lembah terkatup.
"Hai, Lembah, engkau tidur? "
Seru Sorang.
"Tidak, kakang. Tetapi entah bagaimana mataku seperti lengket tak dapat dibuka"
"Gila, masakan berjalan sambil dur....."
Ba2 kata-kata Sorang terputus oleh jerit Lembah yang terpelan ng dan terjerembab jatuh ke tanah "Lembah, kenapa engkau? "
Cepat Sorang membungkuk dan mengangkat tubuh kawannya.
"Keparat, kakiku terantuk batu."
Lembah menyumpah "tetapi kakang, aku benar2 tak dapat membuka mata. Ingin sekali tidur ...."
"Gila engkau "
Gumam Sorang dengan suara mulai luruh.
Diam2 ia terkejut karena merasakan matanyapun diserang rasa kantuk yang hebat.
Pikirannya masih sadar bahwa saat itu dia berada di tengah2 lorong jalan.
Bahwa dia sedang bertugas meronda keamanan puri keraton, pun masih disadarinya pula.
Ia dapat mengingat akan perintah dari tumenggung Bandupoyo.
Barangsiapa melalaikan tugas, akan dijatuhi pidana.
Teringat akan kesemuanya itu, ia harus ber ndak mendahului.
Sebelum rasa kantuk itu dapat melelapkannya, dia harus menolaknya "Huh,"
Ba2 ia mengerang menahan kesakitan karena lidah digigitnya sendiri. Memang sakit namun ia memperoleh pula kesegaran semangat.
"Hm,"
Ia menggumam melihat Lembah masih terjerembab dur "dia juga harus kugigit biar bangun,"
Dan segera ia menempelkan mulut ke telinga kawannya.
"Aduh,"
Lembah menjerit kesakitan dan gelagapan bangun "siapa menggigit telingaku!"
"Lembah, ingat kita sedang meronda. Mari kita lanjutkan perjalanan."
Sorang harus bersikap garang walaupun ia hampir tak kuat menahan gelinya melihat Lembah meringis kesakitan. Dan tanpa menunggu jawaban, Sorangpun berbangkit dan ayunkan langkah.
"Prakkkk, aduh ....,"
Ba2 Sorang menjerit dan mendekap kepalanya.
Tangannya terasa basah sedang batok kepalanya yang belakang berdenyut- denyut memar.
Darah.
Ia menyadari apa yang menimpa dirinya.
Kepalanya terhantam benda keras sehingga memar berdarah.
Dan cepat iapun menduga bahwa tentulah Lembah yang melakukannya.
Lembah tentu marah karena telinganya digigit sehingga balas memukul dengan batang tombak "Benar,"
Serentak menarik kesimpulan, diapun cepat berbalik tubuh dan "Keparat, engkau Lembah,"
Tanpa bertanya keterangan, Sorangpun terus ayunkan batang tombaknya menghantam Lembah.
Saat itu prajurit Lembah terpaksa berbangkit walaupun masih mendekap telinganya yang sakit digigit Sorang.
Ia mengkal juga.
Walaupun ndakan Sorang itu memang bermaksud baik agar dia terhindar dari rasa kantuk tetapi cara yang dipilih itu menggemaskan ha .
Bukankah masih banyak cara untuk mengusir kantuk ? Misalnya, menggolek-golekkan, mencubit ataupun mencabut wulu cumbu di kaki.
Mengapa harus menggigit daun telinga? Belum lagi dia berdiri tegak, ba2 Sorang sudah berputar tubuh dan memaki.
Dan belum sempat ia bertanya mengapa ada sebab Sorang memakinya, tahu2 pinggangnya telah teisabat batang tombak.
Saat itu cuaca gelap sehingga ia tak tahu gerak layang tombak kawannya "Aduh ....
"
Lembahpun menjerit dan terjungkal rubuh.
Walaupun pinggangnya tak sampai terobek ujung tombak namun batang tombak itu telah mematahkan beberapa tulang rusuknya.
Setelah kemarahan meledak, redalah perasaan Sorang, bergan dengan rasa kejut karena melihat Lembah rubuh tak berkutik "Lembah,"
Ia berteriak seraya berjongkok untuk menolong.
Tengah prajurit itu dengan cemas memeriksa tubuh kawannya, sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam muncul dari balik sebatang pohon.
Dengan sebuah gerak tupai melompat, bayangan itu menerkam ke arah Sorang.
"Uh,"
Sorang mengerang ke ka tengkuknya terhunjam oleh tebasan tangan yang kuat sekali. Seketika dia rubuh terkulai disamping Lembah.
"Beres "
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gumam bayangan itu lalu melanjutkan langkah menyusup ke arah puri.
Dia mengenakan pakaian serba hitam, bahkan muka dan kepalanyapun tertutup oleh selubung hitam.
Hanya dibagian mata yang diberi lubang.
Setelah dekat pada ruang keputren, diapun tegak dibawah dinding tembok yang memisahkan keputren dengan lorong yang menuju ke ruang keraton.
Lebih kurang sepenanaknasi, ia menjemput sebuah batu kecil lalu dilontar ke halaman keputren Batu kerikil itu mendeburi tanah.
Walaupun batu hanya kecil tetapi dalam suasana yang sesunyi saat itu, terdengar juga suara batu mendebur tanah.
Orang itu menumpahkan semangat untuk menampung setiap gerak ataupun suara yang menanggapi lontaran batu itu.
Namun sampai beberapa saat ia tak mendengar suatu apa.
Namun rupanya dia amat berhati-hati sekali.
Untuk yang kedua kalinya ia menjemput batu yang lebih besar dan dilontar kedalam halaman.
Kali ini debur tanah berbunyi lebih keras.
Namun tetap tak terdapat suatu gerak tanggapan dari dalam keputren.
Walaupun sudah dua kali tak mendengar suatu apa, tetapi orang itu masih belum yakin.
Untuk yang ketiga kalinya dia lemparkan lagi batu yang makin besar.
Buk ....
Ia menunggu lontaran batu yang ke ga itu lebih lama.
Setelah tak mendengar suara gerakan apa2 dari dalam keputren, diam2 ia menghela napas dan berkata dalam ha "Ah, jika demikian aji sirap Begananda yang kulepaskan, memang ampuh.
Para penjaga tentu terlena pulas"
Dinding tembok yang memisahkan ruang keputren itu tak berapa nggi sehingga dapatlah dia loncat dan hinggap diatas tembok itu kemudian setelah mengeliarkan pandang ke sekeliling penjuru, dia terus melayang turun ke halaman.
Diapun memiliki ilmu untuk meringankan gerak langkah sehingga langkahnya hampir tak memperdengarkan suara.
Dalam keputren itu terdapat empat buah bangunan yang masing2 terpisah satu sama lain.
Keempat gedung itu masing2 dihuni oleh keempat puteri baginda Kertanagara, yani puteri Tribuana, Nara-indera-duhita, Pradjnya paramita dan Gayatri.
Rupanya orang itu sudah mendapat petunjuk mengenai letak gedung kediaman keempat puteri raja itu.
Dia langsung menuju kesebuah gedung yang terletak di ujung barat.
Disitu diapun berhen lalu tegak bersemedhi melancarkan aji penyirapan.
Setelah menunggu beberapa saat, barulah dia berjingkat-jingkat menghampiri pintu jendela.
Diungkitnya bingkai jendela dengan pisau, setelah itu didorong pelahan-lahan, sejenak ia melongok ke dalam ruang.
Sunyi senyap.
Hanya bau harum yang membias, menyerbak hidungnya.
Sesaat semangatnya melayang-layang.
Hanya sekejab dan dia segera teringat akan tujuannya memasuki ruang kediaman puteri Tribuana itu.
Kemudian diapun meluncur masuk kedalam ruang, berjingkat-jingkat menghampiri benet atau lemari yang terbuat dari kayu cendana, berukiran bunga padma dan sepanjang bingkai bersalutkan emas.
"Hm, beginilah keindahan ruang puteri raja,"
Katanya dalam ha .
Dan mbullah suatu rasa aneh dalam ha nya.
Betapa ingin dia tetap berada ditempat itu.
Suasana yang asri, perabot-perabot yang indah dan harum setanggi semerbak mewangi aroma ganda mela .
Menimbulkan suatu perasaan yang lain, dunia yang lain.
"Ah,"
Kembali orang itu mendesuh dalam ha sesaat dia teringat akan tujuannya. Cepat dia mengguritkan pisaunya dan terbukalah daun benet itu "Ah,"
Ia mendesuh pula ke ka melihat apa yang berada dalam benet itu.
Berbagai warna intan permata dan perhiasan yang tak ternilai harganya, tampak berkilau-kilauan menikam pandang matanya.
Hampir tergeraklah hatinya melihat harta permata yang belum pernah dilihatnya sepanjang hidup.
Namun timbullah perasaan lain.
"Ingat, engkau seorang ksatrya. Jangan engkau terpincut oleh bujuk nafsu keinginan untuk memiliki benda yang bukan menjadi hak milikmu. Nista,"
Keringat bercucuran deras, ke ka ia harus menghadapi perjuangan ba n, antara nafsu dan kesadaran. Akhirnya kesadaran ba nnyalah yang menang. Terpancar suatu pesan dari ajaran keutamaan yang pernah diwelingkan gurunya.
"Segala ilmu jaya-kawijayan yang telah kuberikan kepadamu, hanya satu pantangannya. Apabila engkau mempunyai ha kotor untuk memiliki hak milik orang lain, maka ilmu kepandaian yang kuturunkan kepadamu akan lenyap semuanya"
Sejenak orang itu mengulum lidah untuk meneguk ludahnya.
Setelah menenangkan pikiran diapun mulai mengambil sebuah bokor kencana.
Ia yakin benda yang hendak dicarinya itu tentu disimpan dalam sebuah tempat yang seindah bokor kencana itu.
Dan apa yang diduganya memang benar.
Setelah membuka penutup bokor, matanyapun terbelalak "Ah, inilah cermin Sapta-warna itu ...
."
Serentak dia bekerja cepat.
Setelah mengambil cermin, ia meletakkan kembali bokor kencana ketempatnya semula, menutup pintu benet.
Namun dia benar2 seorang yang amat cermat.
Untuk meyakinkan diri bahwa cermin itu benar2 cermin pusaka yang dicarinya, sejenak dia memeriksanya.
Cermin Sapta-warna itu aneh bentuknya.
Terdiri dari tujuh lipat bingkai, masing2 bingkai berisi sebuah kaca cermin yang is mewa.
Kaca terbuat dari batu pualam yang digosok sampai kemilau dan jernih seper kaca.
Menurut keterangan yang diperoleh dari orang itu, cermin Sapta-warna itu merupakan sebuah tanda persahabatan yang dipersembahkan utusan maharaja Ku-bilai Khan beberapa tahun yang lalu.
Utusan Kubi-bilai Khan membawa beberapa macam tanda mata yang kesemuanya termasuk benda2 pusaka langka.
Jarang terdapat di dunia.
Baginda Kertanagara menghadiahkan cermin Sapta-warna itu kepada puterinya yang sulung yani sang dyah ayu Tribuana.
Setelah yakin bahwa cermin itu benar yang dicarinya, orang itupun segera meninggalkan ruang peraduan sang puteri.
Tetapi baru beberapa langkah, ia tertegun lagi.
Dari sinar penerangan yang redup, ia melihat sosok wajah puteri yang sedang beradu dengan nyenyak sekali.
Keredupan sinar penerangan dalam ruang itu serasa terpancar oleh cahaya wajah sang puteri yang gilang gemilang.
Kecan jkan sang dyah ayu makin cemerlang dalam keredupan cahaya penerangan.
"Ah,"
Orang itu meneguk liur.
Keringatpun mulai membuncah dahinya.
Dalam sepanjang hidupnya, belum pernah dia melihat seorang puteri secantik puteri Tribuana yang sedang beradu itu.
Betapapun dia seorang pria dan sifat kipriaannyapun mulai berombak-ombak "Apa ar hidup seorang pria apabila tak dapat mempersunting sang ayu yang diidam-idamkannya,"
Mulai hati lelakinya menuntut.
"Jagad akan gelap ada sinar sang surya. Dan jagad ha kupun akan suram apabila ada surya sang puteri itu,"
Ia tetap melanjut dalam lamunan yang nggi. Se nggi bintang Kar ka memancar di angkasa malam.
"Tok, tok, tok, tokek .... tokek ....
"
Ba2 lamunannya berhamburan lenyap ke ka terdengar suara tokek mendengkung dipohon halaman. Dan kesadarannyapun kembali.
"Ah, berbahaya,"
Desuhnya dalam ha "apa yang guru wejangkan memang benar. Dalam melakukan suatu tugas kewajiban janganlah pikiran mendua dan bercabang. Terutama berpantanglah untuk menghadapi godaan wanita cantik"
Ia menghela napas.
Lalu melanjutkan langkah.
Namun sejenak ia masih menyempatkan mata untuk memandang wajah sang dyah ayu.
Setelah itu dia terus loncat keluar jendela, menutupnya pula dan melompati dinding tembok terus menuju ke lorong dekat tembok keraton.
Tiba2 ia berhen pada sebatang pohon brahmastana.
Sejenak ia menimang-nimang "Hm, jika kuserahkan benda pusaka ini kepada gus pa h, dakkah akan menimbulkan akibat yang tak diinginkan.
Kudengar gusti patih itu seorang yang licin dan berhati tak jujur"
Ia merenung lebih lanjut. Bagaimanakah akan dibawanya cermin pusaka itu. Tiba2 ia mendapat pikiran "Ah, benar, ya, lebih baik begitu,"
Wajahnya cerah seke ka dan makin berseri ke ka ia makin menemukan suatu manfaat lebih bagus dalam tindakannya itu.
Segera ia membungkuk, mengeluarkan pisau dan menggali liang dibawah akar pohon itu.
Kemudian dia membungkus cermin itu dengan secarik kain lalu dimasukkan dalam liang.
Setelah ditutup, dia masih bersemedhi mengucapkan mantra.
Selesai menyembunyikan cermin diapun lalu menggunakan akar pohon brahmastana yang bergelantung menjulai, ayunkan tubuh keatas tembok keraton, kemudian baru ia melayang turun.
Dengan menghembus napas longgar dia segera melanjutkan perjalanan "Benar2 berbahaya tetapi sungguh berharga sekali.
Ya, aku pasti dapat melaksanakan rencana itu"
Saat itu masih gelap. Ke ka ba disebuah lorong gelap, sekonyong-konyong ia melihat beberapa gunduk benda hitam menghadang ditengah jalan. Empat sosok tubuh manusia.
"Celaka, adakah jejaknya telah diketahui penjaga? "
Diam2 ia mengeluh. Namun karena sudah terlanjur diketahui mereka, sukar baginya untuk melarikan diri "hm, hanya empat orang. Rasanya aku masih dapat mengatasi,"
Diam2 pula ia membenahi kesanggupan dirinya. Makin dekat makin jelas bahwa gunduk2 hitam itu adalah empat orang lelaki. Mereka siap dengan senjata ditangan masing?. Lebih kurang empat langkah dari mereka, dia berhenti.
"Ho, penjahat, serahkan dirimu! "
Tiba2 salah seorang dari keempat penghadang itu berseru.
"Siapa kalian! "
Sahut orang itu.
"Kami adalah prajurit2 ronda keamanan keraton."
"Aku bukan penjahat, aku sedang berjalan pulang,"
Bantah orang itu.
"Tidak usah banyak mulut! Bukankah engkau telah melompa tembok keraton dan masuk kedalam keraton !"
Orang itu terkejut.
Menurut peneli an pandang matanya, ia yakin bahwa ada seorang penjagapun yang mengetahui ndakannya.
Iapun telah melepaskan aji penyirapan yang sak sehingga para penjaga dan dayang2 keputren jatuh pulas semua.
Tetapi mengapa keempat orang itu dapat mengetahui semua langkahnya? Mengapa mereka tak terkena pengaruh aji penyirapan itu ? "Jika aji penyirapan yang kulepaskan itu memang tak mengembang daya-kesak annya, masakan semua penghuni keraton dan keputren tak ada yang bersuara? Namun kalau aji penyirapanku itu memang berkembang, mengapa pula keempat orang ini masih segar dan tahu semua perbuatanku ?"
Pikirnya lebih lanjut.
"Apa engkau tuli !"
Ba2 salah seorang penghadang yang tadi, membentak pula "hayo lekas serahkan dirimu. Daripada engkau melawan dan tetap ma , lebih baik engkau serahkan diri saja kami bawa kepada gusti menggung Bandupoyo !"
Mendengar penghadang itu menyebut nama tumenggung Bandupoyo, mulailah orang itu cenderung menduga bahwa keempat orang itu adalah anakbuah tumenggung Bandupoyo, mungkin anggauta prajurit bhayangkara keraton "Tetapi prajurit yang dua tadipun jatuh dur karena aji penyirapanku, mengapa keempat orang ini tidak mempan? "
Ia heran.
"Hai, jika engkau diam saja, terpaksa kami akan ber ndak dengan kekerasan,"
Seru prajurit itu pula.
"Telah kukatakan,"
Jawab orang itu "aku bukan penjahat dan akupun tak pernah melompa tembok masuk kedalam keraton. Aku hendak pulang"
"Tangkap,"
Teriak prajurit itu memberi perintah dan mereka berempatpun segera menyerbu. Namun orang itu sudah siap. Setelah loncat menghindar ke samping dia balas menghantam.
"Auh,"
Seorang penyerangnya mengaduh dan terbungkuk-bungkuk karena pinggangnya termakan tinju orang itu.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar pula erang kesakitan ke ka kaki orang itu mendarat di perut lawannya yang lain.
Disusul pula orang ke ga yang ditebas lehernya dengan pangkal telapak tangan.
Melihat kawannya rubuh, orang yang keempat segera kabur.
"Hm, kus- kus mau mengganggu harimau,"
Orang itu mendengus.
Setelah melontarkan pandang ke-arah ketiga lawan yang menggeletak di tanah, diapun lanjutkan langkah pula.
Suasana di jalan yang diusik perkelahian seru, kembali tenang lagi.
Yang ter nggal hanya ga sosok tubuh bergelimpangan di tanah.
Tak berapa lama beberapa sosok tubuh berlari mendatangi "Itu ke ga kawan kita yang roboh, serbu! "
Teriak salah seorang seraya lari mendahului dengan sikap garang. Ia membolang-balingkan pedang kian kemari seolah sedang bertempur.
"Hai, Pujut, siapa yang engkau serang? "
Teriak salah seorang rombongan itu "jelas tak ada orang, mengapa engkau memainkan pedangmu sedemikian kalang kabut?"
"Mengapa tidak engkau lakukan ketika orang itu masih disini? "
Seru lain kawan pula.
"Siapa bilang! "
Teriak Pujut "akupun telah menghantamnya kalang kabut!"
"Dan hasilnya ketiga kawanmu roboh,"
Sambut orang itu pula.
"Justeru itulah,"
Pujut tak mau kalah "kalau aku tak gagah perkasa, akupun tentu sudah menggeletak disitu"
"O, engkau maksudkan engkau dapat mengalahkan orang itu?"
"Bukan,"
Jawab Pujut "tetapi sekurang-kurangnya akulah yang dapat mempertahankan diri tak sampai roboh"
"O, bagus Pujut,"
Seru orang itu pula "engkau boleh menghaturkan laporan kehadapan raden Panglulut. Dia tentu akan memberimu hadiah atas kegagahanmu"
Pujut menyeringai.
"Benar, Pujut, jangan lupa kepada kami kaiau engkau menerima hadiah dari raden karena engkau berhasil menunaikan tugasmu,"
Seru seorang kawan lain. Wajah Pujut tampak pucat. Ia dan ke ga kawannya telah mendapat tugas dari raden Kuda Panglulut untuk mencegat perjalanan orang yang masuk kedalam keraton tadi. Dia orang baru, harus diuji kesaktiannya, kata raden Panglulut.
"Dan yang pen ng, rampaslah benda yang dicurinya dari keraton itu. Kalau dia melawan, bunuh saja,"
Kata Kuda Panglulut.
"Tetapi raden,"
Salah seorang dari keempat pengalasan yang diberi tugas itu memberanikan diri bertanya "tidakkah hal itu akan membuat gusti patih murka?"
"Ah, dak,"
Kuda Panglulut memberi kepas an "rama pa h tentu dak tahu.
Oleh karena itu ingat baik2, jangan kalian mengatakan perintahku ini kepada siapapun juga.
Dan andaikata salah seorang dari kalian tertangkap, jangan sekali kali mengaku tentang diri kalian dan tentang siapa yang memberi perintah.
Jangan kuatir, aku tentu akan berusaha untuk menolongmu.
Mengerti?"
Keempat pengalasan itupun mengiakan.
Pada malam itu mereka menunggu ditepi jalan yang dipas kan akan dilalui orang itu.
Tetapi mereka tak menyangka bahwa orang baru dari pa h Aragani itu ternyata amat sakti, terlalu tangguh bagi mereka sehingga mereka menggeletak pingsan.
"Jangan berolok-olok, kawan,"
Seru Pujut "kami bereempat telah menunaikan segenap kemampuan kami, tetapi orang itu memang sakti sekali"
"Engkau mengakui kekalahanmu ?"
"Ah, sudahlah, jangan terus mengolok. Tolonglah kalian memberi petunjuk bagaimana nan aku harus menghadapi raden Panglulut"
"Katakan saja terus terang apa yang terjadi. Kemungkinan raden akan merasa kalau salah memperhitungkan kekuatan orang itu"
"Benar, seharusnya disiapkan sepuluh orang untuk menyergap orang itu,"
Demikian mereka berbincang-bincang sambil menggotong ke ga kawannya yang cidera itu. Mereka menuju ke sebuah candi tua yang terletak diluar pura.
"Bagaimana ....,"
Seorang pemuda bertampang cakap menyambut kedatangan mereka. Tetapi belum selesai ia mengucap pertanyaan, kata-katanya harus ditelan kembali karena menyaksikan Pujut dan kawan-kawannya menggotong tiga orang lelaki.
"Hamba mohon ampun, raden,"
Serta merta Pujut berdatang sembah "ke ga kawan hamba rubuh dan orang itu ... ."
"Lolos? "
Cepat pemuda yang disebut raden itu menukas.
"Ampun raden,"
Kata Pujut pula "orang itu terlampau sakti bagi hamba berempat"
"Goblok! "
Bentak raden itu "masakan kamu berempat dengan senjata lengkap tak mampu meringkus seorang saja?"
"Hamba berempat telah mengerahkan seluruh kemampuan namun tetap tak mampu mengalahkannya"
"Prajurit! "
Tiba2 raden itu berteriak.
"Hamba, raden"
Seorang lelaki tegap maju ke hadapan raden itu.
"Bawa mereka keluar dan cambuk sepuluh kali!"
Prajurit yang diperintah itu terbeliak "Baik, raden. Tetapi yang tiga masih belum sadarkan diri"
"Bawa mereka keluar. Tunggu setelah mereka sadar, baru laksanakan hukuman cambuk itu"
Prajurit itu segera membawa Pujut dan ke ga kawannya keluar. Beberapa prajurit yang masih menghadap raden itu tampak menggigil dalam hati dan memandang gerak-gerik raden itu.
"Kalian ingat baik2. Untuk setiap perintah, aku hanya memberikan dua macam imbalan. Hukuman atau ganjaran"
Sekalian anakbuah mengiakan. Kemudian mereka diperintahkan keluar.
"Hm, masih ada kesempatan,"
Kata pemuda itu yang tak lain adalah Kuda Panglulut.
Kemudian ia masih termenung-menung memikirkan peristiwa itu.
Jika empat orang pengalasan tak sanggup mengalahkannya, jelas orang itu tentu sakti.
Menurut rama patih, orang itu bernama Kuti, pernah menjabat sebagai bekel prajurit di Wengker.
Dia ke Singasari karena hendak memasuki sayembara pemilihan senopati.
Rama menaruh harapan besar kepada orang itu.
Aneh, mengapa tidak diriku saja? Mengapa rama tak menyetujui maksudku untuk ikut serta dalam sayembara itu?"
Ia meneliti apa sebenarnya dibalik dari keberatan rama mentuanya itu jika ia memasuki sayembara? Adakah rama kuatir aku dapat mencapai pangkat senopati? Mungkin, pikirnya.
Tetapi pada lain renungan ia merasa bahwa selama ini rama mentuanya itu telah memperlakukan baik sekali kepadanya.
Bahkan tak beda seperti puteranya sendiri.
Adakah sikap itu sesuai dengan isi hatinya pabila rama mentuanya itu benar2 mengandung pikiran yang kurang layak.
Ah, tentulah tidak demikian pikiran rama.
Mungkin rama menguatirkan keselamatanku saja.
Akhirnya ia merangkai kesimpulan.
Demikian dia lalu mengajak anakbuahnya melanjutkan perjalanan.
Atas usul pa h Aragani maka dia telah diangkat menjadi kepala keamanan pura Singasari sebagai pembantu dari pa h Kebo Arema.
Malam itu sebenarnya dia sedang memimpin anakbuahnya untuk melakukan ronda.
Tetapi ba2 mbul pikirannya atas peris wa siang tadi.
Pa h Aragani hendak menguji keberanian dan kesak an Ku dengan menitahkannya supaya memasuki keputren dan mengambil benda apa saja milik puteri yang berharga.
Kuda Panglulut ba2 saja ingin menyergap Ku dan merampas benda dari keputren itu.
Maka dia memerintahkan Pujut dan ga orang prajurit untuk melakukan penyergapan.
Tetapi rencananya itu gagal.
~dewikz~ismoyo~mch~ II Hari itu pa h Aragani gopoh menuju ke keraton.
Entah apa sebabnya, baginda mengirim pengalasan untuk memanggilnya menghadap.
Ke ka memasuki balairung, pa h Kebo Arema atau Kebo Anengah sudah menghadap baginda.
Tampak wajah seri baginda merah padam.
Diam2 Aragani terkejut.
Ada peris wa apakah gerangan yang menyebabkan baginda tampak murka dan langsung menitahkannya menghadap ? "Hai, Aragani,"
Tah baginda sembari menunjuk pa h itu "apa kerjamu selama ini? Engkau hanya mementingkan minum tuak, tidur nyenyak sampai hari begini tinggi baru bangun!"
Patih Aragani gemetar.
"Ampun gus ,"
Serunya seraya menjelang sembah "hamba memang seorang pa h yang tolol, goblok, malas dan gemar minum tuak.
Namun hamba merasa bahwa selama ini hamba tak pernah melalaikan pengabdian hamba kebawah duli tuanku.
Apabila hamba bersalah, mohon kiranya paduka berkenan melimpahkan titah"
Kata2 yang dirangkai penuh irama penyanjungan itu menyentuh hati baginda. Dan memang patih Aragani tahu bagaimana harus menghadapi junjungannya itu.
"Aragani,"
Seru baginda.
"Hamba selalu siap menjunjung segala titah paduka junjungan hamba yang mulia"
"Apakah engkau benar2 tak tahu?"
"Ah, memang Aragani bodoh dan pemalas, gus . Tetapi sungguh2 hamba tak tahu apa yang tuanku ingin titahkan kepada hamba"
"Ah, benar2 goblok engkau, Aragani,"
Seru baginda "
Dakkah pagi ini engkau mendengar peristiwa yang menggemparkan di keraton ini?"
"Peris wa apa, gus ?"
Aragani terkejut, membelalakkan matanya yang masih tersaput kekantuk- kantukan.
"Keputren telah kemasukan penjahat"
"Hai"
Aragani berteriak setengah menjerit "keputren kemasukan penjahat? Ah, benar2 suatu berita yang menggemparkan. Bukankah penjahatnya telah tertangkap?"
"Hm, jika tertangkap, takkan ku tahkan engkau menghadap,"
Tukas baginda "
Dakkah hal iiu akan membawa nista apabila para kawula sampai mendengar?"
"Ah,"
Aragani mengangguk-angguk "benar, gus . Memang hal itu akan menurunkan keluhuran keraton paduka Hamba mohon gusti melimpahkan pidana atas diri Aragani yang bodoh ini"
"Tetapi bukankah engkau sedang tidur nyenyak ketika peristiwa iiu berlangsung.?"
"Itulah gusti, dosa hamba"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi engkau tidak bertugas mengurusi pasukan bhayangkara. Engkau patih yang kutugaskan untuk mengurus ketata-prajaan keiajaan"
"Mohon diampunkan atas kelancangan hamba."
Aragani berdatang sembah "sekalipun tugas hamba bukan dibidang keprajuritan dan keamanan, namun hamba sebagai seorang pa h, tetap merasa bertanggung jawab atas segala peris wa yang terjadi di kerajaan paduka.
Apalagi peris wa itu terjadi dalam keraton, dakkah hamba merasa seper tertampar muka hamba? Tidakkah layak hamba mohon pidana?"
"Gus , junjungan hamba,"
Ba2 pa h Kebo Arema menghaturkan kata "yang bertanggung jawab atas peris wa itu adalah hamba, bukan kakang pa h Aragani. Hamba serahkan jiwa raga hamba kebawah duli paduka untuk menerima apapun pidana yang gusti hendak titahkan"
"Tetapi engkaupun hanya mengepalai pasukan. Sudah tentu engkau telah membagi tugas kepada para tumenggung dan senopati untuk penjagaan keamanan dalam puri. keraton"
"Sejak terjadi peristiwa bhayangkara Mahesa Rangkah memberontak, maka penjagaan dalam keraton paduka telah hamba susun menjadi dua lapis. Lapis luar dan lapis dalam. Lapis- luar menjaga dan melakukan ronda keamanan di sekitar luar tembok keraton. Sementara lapis- dalam menjaga keamanan puri-dalam. Lapisan luar hamba serahkan kepada demung Mapanji Wipaksa. Sedang lapis-dalam hamba serahkan kepada tumenggung Bandupoyo. Namun hambalah yang bertanggung penuh atas segala peristiwa yang mengganggu keamanan pura kerajaan. Oleh karena itu hambalah yang harus menerima pidana paduka, gusti"
Baginda Kertanagara terhening.
Ia tahu bahwa pa h Kebo Arema itu seorang senopa yang gagah perkasa dan setya kepada kerajaan.
Dan jelas bahwa pada malam terjadinya peris wa itu, Kebo Arema tentu dak selalu berada di keraton karena tugasnya yang utama yalah mengepalai seluruh pasukan Singasari.
Soal penjagaan keamanan memang cukup diserahkan kepada beberapa pembantunya yang cakap.
"Hamba rasa, gus ,"
Kembali pa h Aragani berdatang sembah "kurang adil ucapan adi pa h Arema itu.
Kesalahan itu bukan semata-mata tanggung jawab adi pa h Arema, pun juga hamba ikut bertanggung jawab.
Oleh karena itu gus hamba mohon gus juga melimpahkan pidana kepada diri hamba"
Setelah meletuskan kemurkaan, longgarlah dada baginda.
Setelah mendengar kedua pa h itu sama2 memohon pidana, makin redalah kemurkaan baginda.
Memang perangai baginda agak aneh.
Apabila yang bersalah berani membantah dan menyangkal, maka baginda makin mencengkeramnya dengan pertanyaan2 tajam dan akhirnya mencekik dengan pidana yang berat.
Demikian yang terjadi dengan patih empu Raganata, tumenggung Wirakreti dan demung Wiraraja atau Banyak Wide.
Mereka berani menentang maksud baginda untuk mengirimkan pasukan Singasari ke Malayu.
Baginda murka dan melorot kedudukan mereka, disingkirkan dari pura kerajaan.
Maklum, tokoh2 tua seperti empu Raganata memang tak pandai bermain lidah.
Apa yang dipandangnya putih, patih sepuh itu tetap mengatakan putih.
Walaupun karena mengatakan yang sebenarnya itu dia harus kehilangan kedudukan.
"Periksalah siapa pimpinan bhayangkara yang malam itu bertugas meronda keraton dan berilah dia pidana sesuai dengan kesalahannya,"
Titah baginda.
"Tetapi gusti, hambalah ...."
"Kebo Arema !"
Titah baginda agak keras "engkau berani membantah titahku ?"
Serta merta patih Kebo Arema mengunjuk sembah "Tidak sekali Kebo Arema berani menyangkal titah paduka, gusti"
"Jika begitu, lakukan apa yang ku tahkan,"
Ujar baginda "sementara engkau, sesuai dengan permintaanmu tadi, pun akan kujatuhi pidana. Kerahkan segenap anakbuahmu untuk mencari benda yang hilang itu sampai ketemu. Dan tangkaplah penjahatnya"
"Mana-mana tah paduka, pas akan hamba junjung dengan khidmat "
Sembah pa h Kebo Arema "namun apabila paduka berkenan menerima persembahan permohonan hamba, sudi apalah kiranya paduka berkenan menitahkan tentang bentuk benda yang telah dicuri oleh penjahat itu"
"O, benar, aku lupa,"
Ujar baginda "justeru benda itulah yang amat meresahkan hatiku, patih.
Jika dapat kubeli, tentu akan kutitahkan untuk membelinya lagi, betapa mahalpun harganya.
Jika benda itu terdipat dibilangan bumi Singasari, tentu akan kutitahkan orang untuk mengambilnya, betapa jauhpun daerah itu.
Atau jika dimiliki oleh lain kerajaan, tentu akan kukirim utusan untuk memintanya, betapa permintaan itu harus berhadapan dengan rintangan dan penolakan"
"Ah,"
Pa h Kebo Arema mendesah. Ia menduga benda itu tentu sebuah pusaka yang tak tertara nilainya. Mungkinkah pusaka kerajaan? Ah, tetapi benda itu berasal dari keputren, tentulah milik salah seorang puteri baginda. Pikirnya.
"Dan sungguh menggeramkan sekali bahwa benda itu adalah milik Tribuana,"
Ujar baginda pula.
"Ah, tentulah perhiasan yang amat disayangi gus puteri sang dyah ayu Tribuana,"
Seru pa h Kebo Arema.
"Ya. memang menjadi kesayangan dyah Tribuana. Tetapi bukan perhiasan yang bertatahkan intan bahaduri atau ratna mutu manikam, melainkan sebuah kaca cermin"
"Ah "
Desah yang bernada kejut meletup dari mulut patih Kebo Arema "sebuah cermin?"
"Ya, memang hanya sebuah cermin tetapi bukan sembarang cermin. Cermin pusaka yang ada keduanya di jagad raya ini,"
Ujar baginda "cermin itu adalah persembahan dari utusan maharaja Kubilai Khan dari negeri Cina, ke ka beberapa tahun yang lalu datang berkunjung ke Singasari, sebagai tanda pertalian persahabatan"
Kebo Arema menghaturkan sembah tanpa berkata suatu apa. Ia memang pernah ingat dahulu kerajaan Singasari menerima kunjungan utusan dari negara Cina. Waktu itu dia belum menjabat patih.
"Disebut cermin tetapi bukan terbuat daripada kaca melainkan dari batu pualam yang bening.
"Oh"
"Dan bingkainya lipat tujuh sehingga merupakan tujuh lipat cermin dengan masing2 memancarkan cahaya yang berlainan, macam pelangi"
"Ah ... ."
"Aku tak menger dan sukar untuk menyebut namanya. Menurut utusan itu, cermin pualam itu disebut Tujuh warna pelangi. Ah, sukarlah nama itu, lalu kuganti menjadi Sapta- warna"
"Titah paduka sangat tepat dengan mustika itu,"
Seru patih Kebo Arema.
"Disamping itu dia juga menghaturkan berbagai barang2 yang aneh dan indah. Aneh, si Tribuana tak menghendaki segala intan bahaduri dan ratna mutu manikam ataupun kain2 yang indah dari persembahan utusan Cina itu, melainkan hanya mengambil kaca cermin Sapta- warna saja"
Kebo Arema mengangguk-angguk.
"Setelah utusan meninggalkan Singasari, maka kutitahkan keempat puteriku untuk memilih apa saja yang disenanginya. Sudah tentu sebagai puteri yang tertua, Tribuana kuperkenankan untuk memilih lebih dulu dan dia hanya memilih itu"
"Kiranya pilihan dyah ayu gusti puteri Tribuana tentu tepat,"
Seru patih Kebo Arema pula.
"Dan yang hilang itu tak lain adalah cermin pusaka itu. pa h!"
Teriak baginda dengan nada nggi "betapa kejutku ke ka pagi tadi Tribuana menangis tersedu- sedu.
Walaupun sudah dewasa tetapi anak itu memang amat manja, masih seper anak kecil.
Aku bingung pa h, melihat dia tak mau berhenti menangis sebelum cermin itu dapat diketemukan"
Pa h Kebo Arema terkejut, bukan kepalang. Segera ia menghaturkan sembah "Perkenanlah gus , hamba akan segera mengerahkan anak pasukan uniuk menangkap penjahat itu"
Bagindapun memperkean-an. Setelah pa h Kebo Arema mundur dari hadapan baginda, maka bagindapun berujar pula kepada patih Aragani "
Bagaimana pen-dapatmu, paman Aragani"
"Apa yang paduka tahkan kepada adi pa h Arema memang tepat sekali, gus . Tetapi dakkah untuk mempermudah dan mempercepat pencarian baginda memperkenankan tah lain daripada titah yang paduka limpahkan kepada adi patih Arema tadi?"
"Maksudmu supaya menempuh cara lain disamping usaha yang dilakukan patih Arema ?"
"Demikian gusti, persembahan hamba yang picik ini"
"Apa yang dapat menuju kearah penemuan benda itu, pas akan ku tahkan untuk menempuh. Tentunya engkau dapat mengemukakan apa saja cara lain yang berguna itu, paman"
"Maling yang masuk kedalam keputren,"
Kata pa h Alagani "tentu seorang maling haguna, maling yang sak .
Dia tak mengambil barang2 yang berharga kecuali kaca mus ka itu, jelas tentu mempunyai tujuan.
Siapa maling itu dan apa tujuannya, masih gelap.
Oleh karena itu hamba menghaturkan persembahan, apabila gus memperkenankan, sudi apalah kiranya paduka menitahkan para ahli nujum dan pandita yang sakti untuk memawas peristiwa aneh ini"
"Benar, paman Aragani, benar,"
Seru baginda "ah, aku hampir lupa akan langkah itu. Ya, segera engkau titahkan para nujum dan resi pandita untuk menghadap ke keraton"
"Mana tah paduka, pas akan hamba junjung diatas ubun2 kepala hamba, gus "
Pa h Aragani memberi sembah lalu mengundurkan diri dari hadapan baginda.
Ia langsung menuju ke tempat kediaman beberapa pandita yang termasyhur pandai dan juga memerintahkan orang untuk mengundang beberapa nujum.
Cukup le h juga pekerjaan sehari itu.
Pa h Aragani masih duduk melepaskan lelah di pendapa gedung kediamannya.
Ia masih merenungkan peris wa pagi tadi sebelum menerima tah baginda untuk menghadap ke keraton.
Pagi tadi ia menerima kedatangan Ku yang melaporkan tentang hasil usahanya masuk kedalam puri keputren.
"Banarkah itu? "
Aragani agak terkejut. Dia masih meragu.
"Benar gus pa h,"
Kata Ku "hamba telah berhasil masuk kedalam keputren dan menyelundup ke keraton kediaman sang puteri"
"Puteri yang mana? "
Tegur Aragani.
"Sang dyah ayu puteri Tribuana,"
Dikala mengucapkan nama puteri itu tampak mata Ku bercahaya terang.
"Puteri Tribuana, katamu?"
Aragani menegas.
"Demikian gusti "
Kata Kuti.
"Adakah para prajurit penjaga tak mengetahui jejakmu? Penjagaan dalam keraton terutama keputren, amat ketat sekali, bagaimana mungkin engkau mampu menerobos penjagaan mereka?"
Ku menghaturkan hormat "Memang tak kurang2 prajurit bhayangkara yang bertugas menjaga keamanan puri keraton, mengadakan ronda dan penjagaan.
Rasanya lalatpun sukar untuk lolos dari pagar penjagaan mereka.
Tetapi berkat restu paduka, gus , hamba berhasil dapat memasuki puri"
"Dan berhasil mencuri mustika tuan puteri?"
"Demikian gusti"
"Ah"
Aragani mendesah. Kedua mata yang masih berkabut kantuk dibelalakkan memandang kepada Kuti "tidakkah engkau membual, Kuti?"
"Ah, bagaimana hamba berani membual dihadapan paduka,"
Sahut Ku "demi Dewata Agung, hamba memang benar telah memasuki keraton kediaman tuanku puteri Tribuana"
"Dengan ilmu apakah engkau dapat melaksanakan hal itu?"
"Hamba menggunakan ilmu aji penyirapan sehingga para penjaga dan seluruh penghuni keraton terlena dalam kenyenyakan"
"Ah, sak benar engkau anak muda"
Seru Aragani memuji "dari manakah engkau peroleh ilmu kesaktian itu?"
"Dari guru hamba, gus , yang kini sudah wafat"
Aragani mengangguk-angguk. Dengan jawaban Kuti itu, tak perlulah ia mendesak lebih jauh siapa guru pemuda itu.
"Ku "
Katanya sesaat kemudian "apakah yang telah engkau peroleh dari keraton kediaman sang puteri?"
"Untuk melaksanakan tah paduka agar hamba mengambil barang yang paling berharga milik tuanku puteri sang ayu Tribuana, maka hamha telah menyelidiki dulu, apa milik tuan puteri yang paling berharga itu. Kebetulan dari seorang kenalan hamba, hamba mendapat keterangan bahwa tuan puteri memiliki sebuah kaca cermin pusaka yang ada tara nilainya. Cermin persembahan utusan raja Cina kepada baginda Kertanagara yang kemudian dianugerahkan kepada tuan puteri Tribuana"
"O, dan engkau mengambil cermin itu?"
"Benar, gusti,"
Sembah Kuti pula.
"Bagus,"
Seru Aragani "manakah sekarang benda itu?"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gus , hamba mohon ampun apabila hamba ber ndak salah"
Kata Ku "tetapi hamba benar2 kua r bahwa benda mus ka itu akan menimbulkan akibat yang tak diinginkan. Hamba takut untuk menyimpan, gusti"
"Engkau dapat menghaturkan benda itu kepadaku"
Ku menghela napas "Ah, memang hamba bodoh benar, mengapa tak sampai pada pemikiran itu.
Tetapi hamba kua r gus akan menolaknya.
Karena hamba ingat bahwa gus tak menitahkan hamba untuk menyerahkan barang itu kehadapan gusti maka hamba takut gusti akan menolak"
"O, tidak engkau bawa benda itu? "
Aragani menegas.
"Hamba benar takut paduka tak berkenan menerima barang itu karena jelas barang itu merupakan benda kesayangan tuan puteri Tribuana. Kehilangan akan barang yang disayanginya pas akan menimbulkan kegemparan besar di keraton. Jika barang itu di tangan paduka dan apabila sampai dapat diketahui baginda, dakkah hamba bersalah besar karena telah menyangkutkan paduka dalam peristiwa itu?"
"Hm "
Aragani mendesuh dalam hati.
Dia mengkal karena Kuti berani tak menyerahkan benda itu kepadanya, Tetapi dua alasan yang dikemukakan Kuti tadi, memang cukup beralasan.
Ia memang tak memerintahkan Kuti untuk menyerahkan barang itu kepadanya.
Bahwasanya mengingat nilainya barang itu dan pasti akan menimbulkan kemurkaan baginda, memang berbahaya apabila dia menyimpan barang itu.
Walaupun tak puas tetapi Aragani harus merasa puas juga.
"Dimanakah engkau simpan kaca mustika itu ?"
Tanyanya sesaat pula.
"Telah hamba simpan disuatu tempat yang aman. Apabila tiba pada waktunya, pasti akan hamba serahkan kehadapan paduka. Dan apabila paduka tak ingin terlibat dalam peris wa itu, dapatlah benda itu hamba kembalikan lagi kedalam keraton kediaman puteri Tribuana"
"Hm, engkau pintar Ku ,"
Aragani memuji walaupun dalam ha mengutuk "tetapi apakah engkau sanggup untuk melindungi benda itu?"
"Sanggup, gus pa h,"
Kata Ku "hamba akan mempertaruhkan jiwa hamba untuk melindungi barang itu. Dan hamba berjanji takkan mempunyai hati untuk memilikinya"
Demikian percakapan Aragani dengan Ku pagi tadi. Setelah Ku minta diri, beberapa saat kemudian datanglah pengalasan yang membawa titah baginda supaya dia menghadap ke keraton.
"Dengan mengusulkan ke hadapan baginda supaya memanggil para pandita dan nujum untuk melihat peris wa itu, dapatlah aku menerima dua macam manfaat. Pertama, untuk membuk kan benarkah Ku amat sak sehingga mampu menghapus daya penglihatan halus dari pada pandita dan nujum itu. Kedua, apabila para pandita ahli nujum itu dapat mengetahui tempat persembunyian kaca wasiat itu, Ku harus dikorbankan dan aku tetap akan mendapat kepercayaan dari baginda atas usulku itu "
Diam2 Aragani merenungkan apa yang akan terjadi hari tatkala para pandita ahli nujum menghadap baginda.
Kemudian ia beranjak dari tempat duduk untuk masuk kedalam.
Pikirannya sudah longgar.
Tak perlu dia mencemaskan peristiwa itu lagi.
Se ba didalam ruang peraduan, dia menghempaskan diri diatas tempat dur "Uh,"
Ba2 pikirannya melayang pula akan suatu hal "kiranya kata2 Ku memang benar.
Kalau aku menyimpan barang itu, apabila baginda berhasil menangkap Ku , tentulah karena dipaksa dan disiksa, Ku tak tahan dan akan mengaku bahwa akulah yang memerintahkan dia untuk melakukan pencurian itu.
Ah, tidakkah hal itu amat berbahaya ?"
Bagi Aragani, se ap awan betapa pispun, tetap membayangi langit ha nya. Kemungkinan mbulnya bahaya akan tertangkapnya Ku , tetap membayangi ketenangan pikirannya. Ia memikirkan dan merenungkannya. Mencari cara untuk menghapus bahaya itu.
"Hm, lelatu itu akan menjadi api yang menyala besar apabila tak dikuasai,"
Katanya dalam ha "tak kusangka bahwa Ku akan berani ber ndak mengambil barang yang jelas tentu akan menimbulkan kehebohan besar dan kemurkaan baginda.
Baiklah kutempuh dua macam cara.
Pertama, akan kuikat Ku dengan kepercayaan dan budi kebaikan sehingga dia merasa terikat budi.
Apabila tertangkappun dia tetap tak mau melibatkan diriku.
Namun andaikata gagal, terpaksa akan kuatur siasat untuk melenyapkan pemuda itu"
Sementara itu pa h Kebo Aremapun segera ber ndak. Ia menemui tumenggung Bandupoyo untuk merundingkan hal itu.
"Memang luar biasa sekali, kakang pa h,"
Kata tumenggung Bandupoyo "bahwa peris wa itu dapat terjadi.
Pada hal tak pernah penjagaan di puri keraton kulonggari.
Walaupun banyak pasukan Singasari yang berangkat ke Malayu sehingga pura kerajaan seolah berkurang kekuatannya, tetapi aku tetap berkeras pada pendirian, bahwa pasukan bhayangkara yang menjaga keraton tak boleh dikurangi seorangpun jua"
"Benar, Bandupoyo,"
Kata patih Kebo Arema "lalu bagaimana tanggapan baginda?"
"Syukur baginda berkenan menerima permohonanku walaupun aku harus menderita ujian2 pertanyaan tajam yang dilimpahkan baginda untuk mengetahui adakah aku memang penganut dari empu Raganata"
"O,"
Pa h Kebo Arema agak terkejut karena baginda masih belum melepaskan kemurkaannya terhadap empu Raganata, walaupun pa h sepuh itu telah dipecat dan dipindah ke Tumapel sebagai dharmadhyaksa.
"Untunglah baginda mau percaya,"
Kata Bandupoyo "bahwa permohonanku itu hanya semata- mata berdasar atas tanggung jawab tugasku sebagai penjaga keamanan pura keraton"
"Syukurlah, adi,"
Kata pa h Kebo Arema "betapapun aku tak rela apabila pimpinan pasukan bhayangkara keraton harus jatuh ke lain tangan.
Ingat, kita harus rela mengorbankan perasaan, demi menjaga agar baginda dak terjerumus lebih lanjut dalam pelukan pengaruh orang yang tak jujur"
"Tetapi kakang pa h,"
Sanggah Bandupoyo "peris wa yang terjadi itu benar2 menghancurkan diriku. Tidakkah hal itu akan mengurangkan kepercayaan baginda terhadap diriku?"
Pa h Kebo Aremapun lalu menuturkan pembicaraan yang berlangsung ke ka menghadap baginda "Aku berkeras untuk memohon pidana dari baginda karena akulah yang bertanggung jawab atas peristiwa itu"
"Ah, mengapa kakang pa h harus ber ndak demikian? Sudah tentu akulah yang bertanggung jawab akan peristiwa itu"
"Tidak, adi. Aku kepala seluruh pasukan Singasari yang bertanggung jawab pula atas semua keamanan di kerajaan Singasari. Peris wa itu merupakan suatu tamparan bagi nama pasukan Singasari"
"Ah, terima kasih, kakang pa h,"
Terharu tumenggung Bandupoyo menerima pernyataan dari seorang pimpinannya yang penuh tanggung jawab "lalu bagaimana titah baginda"
"Baginda membebankan peris wa ini ke bahu kita. Pencuri itu harus ditangkap dan milik gus puteri Tribuana yang hilang itu harus diketemukan"
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung