Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 24


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 24



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   "Bandu, cobalah engkau uraikan pendapatmu"

   Ba- ba baginda mengalihkan pertanyaan kepada tumenggung Bandupoyo.

   Tumenggung itu gelagapan karena tak menyangka akan menerima lontaran pertanyaan baginda.

   Cepat ia tenangkan diri dan membenahi pikiran.

   Namun sampai beberapa jenak, ia tak mampu menemukan sesuatu.

   "Mohon paduka berkenan melimpahkan ampun, gus . Bandupoyo yang mengisi umurnya lebih banyak dengan nasi daripada ilmu pengetahuan, tak dapat menghatur-jawaban ke hadapan paduka"

   Akhirnya ia berkata. Baginda tertawa.

   "Engkau tak salah karena engkau mewakili puluhan bahkan ratusan ribu alam pikiran orang banyak. Bahwa pencuri itu jahat, bahwa pencuri itu hina. Karena alam pikiran tercemar oleh warisan anggapan yang engkau terima dari ayah, eyang dan eyang buyutmu, maka engkau tak dapat menemukan penilaian lain dalam diri seorang pencuri itu. Ketahuilah, Bandu, bahwa Sri Kresna prabu dari kerajaan Dwarawa itu, dahulu semasa mudanya waktu masih bernama Nayarana, pernah menjadi pencuri juga"

   Bandupoyo terbeliak. Ia memang pernah juga mendengar cerita, tentang riwayat hidup prabu Sri Kresna "Tetapi gus "

   Katanya seraya menghaturkan sembah "raden Nayarana memang pernah mencuri, tetapi yang dicuri bukanlah harta benda, melainkan puteri"

   "Benar"

   Ujar baginda "tetapi apakah namanya perbuatan Nayarana itu?"

   "Mencuri"

   "Benar"

   Ujar baginda "mengambil barang, baik yang merupakan benda ma atau hidup, apabila diluar pengetahuan dan idin pemiliknya, itu mencuri namanya.

   Mengambil puteri, mengambil harta, mengambil benda yang sekalipun tak berharga seper seekor ayam, pun tetap pencuri sebutannya.

   Walaupun tujuan dan ar nya lain antara mencuri puteri dengan mencuri harta benda, namun sifat perbuatan itu tetap sama yalah mencuri"

   "Keluhuran sabda paduka, gusti"

   Bandupoyo menghaturkan sembah.

   "Sekarang tentulah engkau Bandu dan engkau pula orang muda"

   Tah baginda kepada Wijaya pula "tentu dapat menemukan sesuatu yang kumaksud itu, dalam perbuatan yang dilakukan Nayarana itu"

   Wijaya menyadari apa yang dimaksud baginda. Tetapi baru ia membuka mulut, tumenggung Bandupoyo sudah menghaturkan jawaban "Keberanian, gus . Maling puteri bukan sembarang maling tetapi seorang maling yang mempunyai keberanian besar"

   "Engkau anakmuda,"

   Seru baginda karena baginda sempat melihat Wijaya hendak membuka mulut tetapi diurungkan.

   "Sama dengan gusti tumenggung "

   Kata Wijaya.

   "Benar"

   Ujar baginda "demikianlah yang kumaksudkan dalam diri seorang pencuri itu.

   Bukan melainkan Nayarana saja, pun se ap pencuri memang memiliki keberanian yang jarang dipunyai oleh se ap orang.

   Mereka memang bernyali besar tetapi salah salurannya.

   Demikian halnya dengan eyang buyut Ken Arok.

   Dia seorang pemuda yang berani tetapi karena tak memperoleh bimbingan dan karena terpengaruh oleh lingkungan hidup, dia terjerumus menjadi pencuri.

   Untung keadaan eyang buyut itu tak sampai berlarut-larut karena segera datang brahmana Lohgawe dari negeri Jambudwipa.

   Brahmana itu telah mendapat amanat gaib dari Batara Brahma untuk mencari seorang yang bernama Ken Arok ke Jawadwipa"

   "Menurut cerita"

   Setelah berhen sejenak baginda melanjutkan pula ujarnya "pada waktu brahmana Lohgawe sedang memuja dewa Wisnu di sebuah candi Wisnu, ia telah mendapat tah gaib bahwa Hyang Wisnu sudah tak berada lagi di candi situ tetapi telah meni s pada orang yang bernama Ken Arok di negara Turnape! pulau Jawadwipa.

   Kemudian dalam amanat gaib itu pun brahmana Lohgawe seper melihat suatu penampilan dari orang yang harus dicarinya itu.

   Ciri- cirinya, tangannya panjang melebihi lutut.

   Garis telapak tangan kanannya berbentuk cakra, telapak tangan kirinya bertanda tutup kerang.

   Dan berkat sang brahmana sak itulah akhirnya eyarig buyut dapat dibina, bakat dan keberaniannya dapat disalurkan kearah yang tepat dengan kodrat hidupnya sehingga akhirnya menjadi rajakula pendiri kerajaan Singasari yang sekarang ini"

   Habis bercerita sampai disitu, baginda mengambil guci tuak yang satu lagi dan diteguknya. Kemudian sisanya dituangkan kedalam dua buah mangkuk "Hayo, engkau Bandu"

   Tah baginda "yang semangkuk untukmu dan yang semangkuk berikan lagi kepada orang muda itu"

   Tumenggung Bandu terkejut namun tak berani membantah tah baginda. Ia memberi mangkuk tuak kepada Wijaya. Sebenarnya ngeri rasa ha Wijaya untuk minum lagi namun karena sang nata yang menitahkan, dia tak berani menolak.

   "Sekarang aku hendak melanjutkan cerita lagi "ujar baginda sesaat kemudian "cerita pokok mengenai sebuah peris wa yang menjadi sumber lahirnya gendewa kyai Kagapa itu. Telah kukatakan tadi karena keputusan Dang maka eyang buyut Ken Arok telah melakukan pencurian di desa Pamalanten. Tetapi kali itu langkahnya malang. Dia diketahui rakyat desa dan segera dikejar hendak dibunuh. Eyang buyut Ken Arok lari ke sebuah gerumbul ditepi sungai. Namun rakyat tetap mengejarnya. Karena keputusan jalan, eyang buyut Ken Arok lalu memanjat sebatang pohon tal. Jika nasib sedang malang, rakyat tahu juga kalau eyang buyut Ken Arok bersembunyi diatas pohon tal. Karena berulang kali diperintahkan turun, eyang buyut tetap tak mau, akhirnya rakyat marah. Pohon tal itupun ditebangnya ...."

   Baginda berhen , lalu menyambar guci tuak dan meneguknya lagi.

   Setelah itu baru melanjutkan "menurut cerita dari eyang buyut yang diberitahukan kepada eyang lalu eyang kepada rama prabu Wisnuwardhana, pada saat eyang buyut Ken Arok berada diatas pohon tal dan pohon itu ditebang rakyat, eyang buyut segera pejamkan mata dan berdoa, menyerahkan hidup ma nya kepada Hyang Batara Agung.

   Tiba- ba eyang buyut seper mendengar suara gaib dari dirgantara "Hai, kulup, lekas engkau cabut dua batang sayapku dan pakailah untuk terbang melintasi sungai ...."

   "Eyang buyut terkejut dan membuka mata. Ia terkejut ketika saat itu seperti berada diatas punggung seekor burung garuda raksasa. Eyang buyut cepat mencabut dua batang lar sayap burung itu. Setelah dipegang di tangan kanan dan kiri, tiba2 dia dapat melayang seperti terbang, melintasi sungai dan meluncur turun di seberang tepi"

   "Setelah lepas dari bahaya, eyang buyutpun memeriksa lar sayap burung garuda itu. Ah, ternyata hanya dua batang dahan daun tal. Namun eyang buyut yakin bahwa dahan itu bukan sembarang dahan melainkan benar2 lar sayap burung garuda. Maka eyangpun membuatnya menjadi gendewa dan diberi nama kyai Kagapa yang berar Garuda melayang. Begitulah asal usul gendewa pusaka kyai Kagapa yang menjadi pusaka kerajaan Singasari hingga saat ini"

   Baginda mengakhiri cerita seraya mengambil guci tuak dan meneguknya pula. Wijaya diam2 terkejut menyaksikan kekuatan minum baginda. Tiga guci tuak, wajah baginda masih berseri-seri. Tidak merah dan tak ada tanda2 mabuk.

   "Ketahuilah, orang muda "

   Tah baginda "gendewa pusaka itu pada hari2 biasa, pun merupakan gendewa biasa.

   Mudah direntang.

   Tetapi apabila telah berisi dengan suatu permintaan agar kyai Kagapa berkenan menunjukkan kesak an untuk menanda perang kita kalah atau menang, maka gendewa itupun akan berobah sekokoh yang pernah engkau rasakan ke ka engkau merentangnya.

   Demikian pula ke ka kuminta kyai Kagapa menunjukkan kesak an untuk memilih siapa kiranya yang berkenan dalam ha nya untuk menjadi senopa Singasari, maka kyai Kagapa pun mengunjukkan kesaktian.

   Bukankah engkau merasakannya?"

   "Diluhurkan kiranya sabda paduka terlimpah di atas ubun2 kepala hamba, gus . Memang tanpa perkenan kyai Kagapati, tak mungkin hamba mampu merentangnya "

   Kata Wijaya.

   "Engkau telah dipilih kyai Kagapa untuk memangku tanggung jawab besar sebagai senopa kerajaan Singasari, yang besar. Sanggupkah engkau melaksanakan tugasmu sebaik-baiknya?"

   "Seluruh jiwa dan raga hamba akan hamba persembahkan demi keluhuran kewibawaan paduka dan tegaknya kerajaan paduka Singasari, gusti"

   "Bagus, Wijaya"

   Ujar baginda "o, hampir aku lupa. Menurut laporan tumenggung Bandupoyo, setelah merentang gendewa kyai Kagapati engkau lalu jatuh pingsan. Benarkah itu, orang muda?"

   "Hamba gus "Wijaya menghaturkan sembah "hamba rasakan seluruh sendi tulang dan urat bayu hamba lemas lunglai sehingga hamba tak kuasa untuk menjaga keseimbangan diri hamba"

   "Apakah sekarang tenagamu masih lemah?"

   "Demikian gusti"

   Wijaya menghatur sembah pula. Baginda terdiam seolah memikirkan sesuatu. Beberapa saat kemudian, baginda ber tah "Baik, Wijaya, kembali engkau ke tempatmu. Nan akan ku tahkan tumenggung Bandu untuk memberikan obat kepadamu"

   "Bandu"

   Seru baginda kepada tumenggung Bandupoyo "bawalah orang muda itu ke tempatnya dan segera menghadap lagi kemari"

   "Hamba gus "

   Tumenggung Bandupoyo menghatur sembah lalu memberi isyarat kepada Wijaya. Setelah memberi sembah, Wijayapun mengundurkan diri dari hadapan sang nata.

   "Paman, aku dapat pulang sendiri. Silahkan paman menghadap baginda lagi "

   Kata Wijaya.

   "O, engkau dapat pulang ke asrama sendiri?"

   "Ya"

   Setelah Wijaya melangkah turun dari balairung maka tumenggung Bandupoyopun kembali masuk menghadap baginda.

   "Tumenggung"

   Titah baginda "kyai Kagapati tak pernah khilaf. Kali ini diapun dapat menjatuhkan pilihan yang tepat. Aku mendapat kesan baik terhadap si Wijaya itu. Bagaimana engkau, tumenggung?"

   "Berkenankah hamba menghaturkan sembah kata kehadapan paduka, gusti?"

   "Katakanlah"

   "Menjadi pendirian hamba, bahwa senopa yang akan memangku tanggung jawab untuk menegakkan keluhuran paduka dan kewibawaan kerajaan paduka, harus benar2 seorang ksatrya yang berjiwa luhur, setya-raja dan memiliki kewibawaan untuk memimpin pasukan Singasari, melindungi keselamatan bumi paduka, gusti"

   "Ya"

   "Oleh karena itu, senopa yang hamba cita-citakan itu bukan hanya berdasarkan kegagahan dan kedigdayaan belaka, pun juga harus dapat mencangkum kewibawaan sebagai pimpinan pasukan kerajaan Singasari"

   "Tetapi tumenggung"

   Ujar baginda "bukankah kerajaan Singasari masih mempunyai pa h Kebo Anengah dan patih-dalam Aragani?"

   "Kerajaan paduka, bumi Singasari itu, luas sekali. Bahwa kewibawaan paduka telah meluas sampai ke Bali dan Sriwijaya. Tidakkah layak apabila kerajaan Singasari mempunyai beberapa senopati yang unggul?"

   "Benar, tumenggung"

   Baginda gembira sekali "tetapi bagaimana pandanganmu kepada si Wijaya tadi?"

   "Dia memenuhi syarat2 yang, hamba idamkan, gus . Mungkin dalam kedigdayaan, ada pula beberapa ksatrya peserta sayembara yang dapat mengunggulinya tetapi dalam peribadi dan kewibawaan, rasanya tiada lain2 ksatrya yang dapat melebihi anakmuda itu"

   "Hm"

   "Juga dalam asal usul keturunan, rasanya ada seorang ksatrya dalam sayembara itu yang lebih tinggi dari dia"

   "Apa? Keturunannya ? Siapakah dia sebenarnya, tumenggung?"

   Tumenggung Bandupoyo bergegas menghaturkan sembah "Gus , sebelumnya hamba mohon ampun apabila hamba berani menghaturkan permohonan ke hadapan baginda"

   "O"

   Baginda heran "mengapa engkau tampak begitu bersungguh-sungguh? Katakan saja, apa yang hendak engkau mohon?"

   "Hamba mohon diperkenankan menghaturkan serangkai keterangan ke hadapan paduka. Berkenankah paduka mengidinkan hamba mengunjuk sembah kata ?"

   "Ah, lekas katakan"

   "Terima kasih, gus "

   Sembah tumenggung Bandupoyo "hamba akan menghaturkan keterangan tentang diri anakmuda yang bernama Wijaya itu. Dia sesungguhnya masih mempunyai hubungan keluarga dengan paduka, gusti"

   "Hai!"

   Teriak baginda terkejut "apa katamu? Dia masih mempunyai ikatan keluarga dengan aku ?"

   "Keluhuran sabda paduka, gusti"

   "Bagaimana hal itu dapat engkau rangkaikan? Siapakah orangtuanya?"

   "Raden Wijaya itu sesungguhnya putera dari gus Lembu Tal dan gus Lembu Tal itu tak lain adalah putera dari paduka yang mulia gus Mahesa Campaka atau sang Batara Narasinghamur yang mulia"

   "Hai!"

   Kali ini baginda tersentak dari singgasana "benarkah itu?"

   "Benar gus . Apabila sepatah jua kata2 hamba ini bohong, sudilah paduka melimpahkan pidana mati kepada diri hamba"

   Baginda Kertanagara termenung sesaat. Kemudian ber tah "Jika menilik cahaya wajahnya, dia memang bukan pemuda biasa. Eh, engkau katakan dia putera kakang Lembu Tal?"

   "Demikian gusti"

   "O"

   Seru baginda "apakah kakang Lembu Tal masih hidup? Dimanakah sekarang dia? Mengapa sejak berpuluh tahun kakang Lembu Tal tiada beritanya?"

   "Tentang hal itu, gusti, hamba kurang jelas. Baiklah nanti hamba tanyakan kepada raden Wijaya"

   Baginda Kertanegara menghela napas longgar "Ah, tak sangka bahwa ksatrya yang direstui kyai Kagapa itu masih kerabatku.

   Eh, Bandu mengapa baru sekarang engkau menghaturkan keterangan itu ke hadapanku ? Apa maksudmu ? Mengapa tidak sejak dahulu engkau melaporkan hal itu?"

   Tumenggung Bandupoyo gopoh menghaturkan sembah "Mohon diampunkan kesalahan hamba, gus "

   Katanya "hal itu memang atas permintaan dari raden Wijaya sehingga hambapun terpaksa harus mentaati permintaannya"

   "Apa permintaannya ?"

   "Raden meminta agar hamba jangan mengatakan siapa asal usulnya. Dia hendak menempuh tangga derajat kehidupannya dengan tenaga dan perjuangannya sendiri Paman, kalau aku menjadi senopa , hendaknya bukan karena aku putera rama Lembu Tal, melainkan karena aku sebagai pemuda Wijaya yang dapat memenuhi segala persyaratan yang ditentukan dalam pengangkatan sebagai seorang senopati Demikian kata raden itu, gusti"

   "Hm, pambek yang baik sekali"

   Puji baginda. Kemudian baginda bertanya "Dan sekarang apakah engkau sudah mendapatkan idin dari dia untuk menerangkan asal usul dirinya?"

   "Belum, gus "

   Kata tumenggung Bandupoyo "hamba memberanikan diri sendiri untuk menghaturkan hal itu kebawah duli paduka"

   "Apa maksudmu bertindak demikian?"

   "Hamba mohon perkenan untuk mengunjukkan hatur ke hadapan paduka tentang suatu hal yang menyangkut kepentingan praja Singasari"

   "Ya, katakanlah"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bahwa tah paduka untuk menyelenggarakan sayembara pilih senopa itu, adalah demi memperkokoh ketahanan dan pertahanan kerajaan Singasari karena sebagian besar dari pasukan Singasari telah berangkat ke tanah Malayu. Sekalipun saat ini keadaan negara tenteram dan damai tetapi se ap kemungkinan yang tak diharapkan mungkin dapat terjadi se ap saat. Misalnya, kemungkinan raja Kubilai Khan dari negara Cina mengirim utusan beserta pasukannya ke Singasari untuk memaksa Singasari menghaturkan bulu-bek kepadanya. Kemungkinan adipa 2 di pesisir dan manca-nagara yang tunduk dibawah kekuasaan Singasari, akan berontak dan lain2 kemungkinan. Dan untuk menjaga kemungkinan2 itu layaklah kalau saat ini Singasari mempersiapkan kekuatan pasukan lagi dan mengangkat seorang senopa yang dapat memikul tanggung jawab untuk mengatasi segala peris wa yang hendak mengganggu kewibawaan kerajaan paduka"

   Baginda mengangguk-angguk.

   "Atas landasan kepen ngan kerajaan Singasari itulah hamba menciptakan suatu pendirian bahwa senopa yang akan memikul tanggung jawab besar itu harus benar2 memenuhi syarat. Tidak hanya sekedar memiliki kedigdayaan yang pilih tanding, pun juga rasa setya-raja dan pengabdian pada negara, bijaksana dan berwibawa. Kesemuanya itu hamba dapa dalam diri raden Wijaya. Bahkan kebetulan pula raden Wijaya itu masih mempunyai hubungan keluarga dengan paduka. Sehingga hamba rasa, ada ksatrya yang lebih tepat menjabat senopa itu dari pada raden Wijaya"

   "Ya"

   Sahut baginda "tetapi bukankah sayembara itu masih belum selesai ? Bagaimana mungkin akan menghapus sayembara itu dan terus langsung mengangkat Wijaya sebagai senopati ?"

   "Memang bukan demikian yang hamba maksudkan, gus "

   Kata tumenggung Bandupoyo "sayembara tetap berlangsung sampai paripurna. Tetapi raden Wijaya harus berhasil menjadi senopati"

   "Bukankah hal itu tergantung dari hasil sayembara nanti ?"

   Ujar baginda.

   "Gus junjungan hamba yang mulia"

   Tumenggung Bandupoyo menghaturkan sembah "sebelumnya hamba mohon ampun apabila apa yang hamba haturkan ini tak berkenan diha paduka, gusti"

   "Ya"

   "Demi kepen ngan kerajaan paduka, hamba akan berusaha membantu raden Wijaya agar dapat memenangkan sayembara. Namun hamba tak berani ber ndak sembarangan apabila paduka tak berkenan melimpahkan restu"

   Baginda Kertanagara diam sejenak lalu berujar "Ya, aku merestuimu. Tetapi ingat, sayembara itu harus berlangsung secara wajar dan selesai. Jangan ber ndak sesuatu yang dapat mencemarkan namaku"

   Tumenggung Bandupoyo gegas menghaturkan sembah "Keluhuran sabda paduka, gus . Hamba Bandupoyo pas akan menjaga keluhuran nama paduka. Dan langkah hamba itu tak lain, hanya hendak mempersembahkan permohonan ke hadapan paduka"

   "Apa yang engkau kehendaki?"

   "Sebagaimana keterangan raden Wijaya ke hadapan paduka tadi, saat ini tenaganya masih lemah. Pada hal besok akan maju dalam pertandingan adu kanuragan. Hamba rasa dalam pertandingan itu, raden pas akan menghadapi banyak sekali ksatrya2 yang bertenaga sak dan digdaya. Hamba cemas, raden akan mendapat kesulitan, gusti"

   "O "

   Seru baginda "ya, benar. Akibat merentang kyai Kagapa , tenaganya hilang. Lalu bagaimana kehendakmu?"

   "Apabila paduka berkenan melimpahkan anugerah maka hamba mohon agar raden Wijaya paduka ganjar dengan obat yang dapat memulihkan tenaganya"

   Baginda terkesiap "Obat apa yang engkau maksudkan? Benar, memang akupun bermaksud begitu "

   "Hamba tak tahu, gus , mohon diampunkan "sembah tumenggung Bandupoyo "tetapi hamba percaya bahwa paduka tentu tahu apa yang dapat menyembuhkan seseorang yang terkena tenaga- sakti kyai Kagapati"

   Baginda tertegun sejenak, kemudian tampak wajah baginda berseri.

   "O, ya, benar, tumenggung. Aku ingat sekarang. Ada dua obat yang dapat menyembuhkan penderitaan itu. Yang pertama air Tirta Amerta dan kedua minyak Padmasari. Tirta Amerta diminum dan minyak Padmasari digosokkan keseluruh tubuh"

   "O"

   Tumenggung Bandupoyo berseru girang "air Tirta Amerta dan minyak Padmasari?"

   "Ya"

   Kata baginda "air Tirta Amerta itu berasal dari air yang tersimpan dalam batu.

   Air itu ramanda rahyang ramuhun Wisnuwardhana yang menemukannya ke ka bertapa di gunung, karena meloloskan diri dari kejaran prajurit2 Singasari yang diperintahkan eyang Tohjaya untuk menangkapnya.

   Tirta Amerta itu kuasa menyembuhkan segala kelumpuhan dan kehilangan tenaga, bahkan dapat pula menyembuhkan orang yang hampir ma apabila dia belum dikodratkan ma .

   Air itu berada dalam sebuah batu yang dibelah oleh ramanda Wisnuwardhana atas tah-gaib yang diperoleh dari bertapa itu"

   "Dan minyak Padmasari itu "

   Ujar baginda lebih lanjut "adalah sari dari bunga Wijayakusuma yang diperoleh eyang buyut Ken Arok.

   Menurut cerita eyang buyut, minyak itu pemberian dari gurunya yaitu brahmana Lohgawe.

   Waktu brahmana sak itu datang ke Jawadwipa, dia dak naik perahu melainkan menghanyutkan diri di samudera dengan ga helai daun kakatang.

   Brahmana itu terhanyut ke samudera selatan dan mendarat di pesisir selatan.

   Waktu hampir ba di daratan Jawadwipa, brahmana itu telah mendapatkan sekuntum bunga Wijayakusuma yang terapung- apung di laut.

   Menurut sasmita-gaib yang diterimanya, minyak bunga itu dapat menimbulkan tenaga yang sakti"

   "Ah"

   Tumenggung Bandupoyo menghela napas longgar. Ia membayangkan bahwa dengan kedua obat itu, pas penderitaan raden Wijaya akan tertolong. Cita-citanya untuk menyambut Wijaya sebagai senopati baru dari kerajaan Singasari, pasti akan menjadi kenyataan.

   "Gus "

   Ia menghaturkan sembah "apabila paduka berkenan, sudi apalah kiranya paduka menganugerahkan kedua obat itu kepada raden Wijaya"

   "Ya"

   Baginda mengangguk tetapi ba2 mengerut kening "tetapi, Bandu. Kedua obat itu dak berada padaku"

   "O"

   Tumenggung Bandupoyo terkejut "lalu berada di mana, gusti?"

   "Tirta Amerta oleh rahyang ramuhun Wisnuwardhana telah diberikan kepada Teribuana. Dan minyak Padmasari juga diberikan kepada Gayatri. Ramanda sayang sekali akan kedua cucunya"

   "Ah"

   Tumenggung Bandupoyo menghela napas longgar. Ia mengira kedua obat itu berada ditempat jauh. Apabila hanya berada ditangan kedua puteri baginda itu, tentu mudah untuk memohonnya.

   "Bagaimana, Bandu ?"

   "Hamba mohon tah paduka, bagaimana yang harus hamba lakukan untuk memperoleh kedua obat itu"

   "Ya, engkau harus menghadap kepada kedua puteriku itu sendiri dan katakanlah bahwa akupun merestui permohonanmu"

   "Terima kasih, gus "

   Sembah tumenggung Bandupoyo dengan gembira "

   Tah paduka pas akan hamba lakukan."

   Baginda, mengangguk. Kemudian baginda meneguk tuak lagi. Beberapa saat kemudian baginda menegur "Bandu, jika sudah tak ada lagi sesuatu yang hendak engkau haturkan, kuperkenankan engkau mengundurkan diri dari hadapanku"

   "Mohon diampunkan kesalahan hamba karena hamba masih hendak mengganggu ketenangan paduka, gusti"

   "O, engkau masih hendak mengajukan permohonan lagi?"

   "Demikian, gusti, sekira paduka berkenan di hati"

   "Tak lain masih mengenai diri raden Wijaya"

   Lanjut tumenggung Bandupoyo "bukan hamba mendahului kebijaksanaan paduka..

   Tidak pula hamba berani lancang ke hadapan paduka, junjungan yang hamba muliakan.

   Tetapi hamba hanya sekedar ingin mempersembahkan apa yang menjadi kandungan hati hamba, demi kepentingan kerajaan Singasari yang hamba cintai"

   "Ya, kutahu, katakanlah"

   "Gusti, tentulah paduka kelak akan melimpahkan ganjaran besar kepada senopati yang baru itu"

   "Ya, tentu saja akan kuganjarnya"

   "Sebelumnya hamba Bandupoyo, mohon ampun. Namun apabila paduka berkenan memberi tah apakah ganjaran yang paduka akan limpahkan kepada senopa itu, sungguh hamba akan merasa bersyukur tiada taranya"

   "Kecuali kedudukan sebagai senopa , kelungguhan tumenggung pun akan kuganjar dengan tanah dan puteri"

   "O, ada terperikan gembira ha hamba atas kebijaksanaan yang paduka tahkan. Tetapi, ah ..."

   Tumenggung Bandupoyo hentikan persembahan kata-katanya.

   "Kenapa Bandu? Apa yang hendak engkau haturkan ?"

   Tumenggung Bandupoyo menghaturkan sembah "Mohon paduka melimpahkan ampun atas diri hamba, Tetapi hamba benar2 takut paduka akan murka apabila hamba persembahkan rangkaian kata2 yang terkandung dalam hati sanubari hamba, gusti"

   "Eh, mengapa hari ini sikapmu aneh sekali, Bandu ? Apakah engkau sudah mabuk tuak ?"

   "Tidak gusti"

   "Lalu mengapa engkau tersendat-sendat dalam kebimbangan? Jangan mengganggu waktuku, katakanlah apa yang hendak engkau persembahkan. Aku takkan murka."

   Tumenggung Bandupoyopun gopoh menghaturkan sembah "Terima kasih, gus . Sesungguhnya hamba ingin mohon perkenan paduka, siapakah puteri yang paduka luluskan sebagai ganjaran kepada senopati itu ?"

   Baginda terkesiap lalu termenung. Rupanya baginda belum siap untuk menerima persembahan kata tumenggung Bandupoyo sedemikian itu "Mengapa engkau tanyakan hal itu, Bandu ? "

   Akhirnya baginda berujar.

   Kembali tumenggung Bandupoyo memohon ampun apabila pertanyaan itu dak berkenan diha baginda.

   Namun alasan dari pertanyaan tersebut, bukanlah karena hanya ingin sekedar mengetahui saja, pun ingin menghaturkan buah pikirannya kepada kerajaan dan khusus terhadap putera puteri baginda.

   Berkata tumenggung Bandupoyo lebih lanjut "Ada dua hal yang selalu membangkitkan keperiha nan ha hamba, gus .

   Pertama, akan diri gus hamba sang dyah ayu puteri Teribuana dan Sang dyah ayu puteri Gayatri.

   Walaupun hamba hanya seorang tumenggung yang menjadi senopa pendamping paduka, namun pengabdian hamba kepada kerajaan Singasari, adalah suatu pengabdian yang menyeluruh.

   Hamba serahkan jiwa raga hamba untuk mengabdi kepada kerajaan Singasari dan kepada paduka serta puteri-puteri paduka yang sejak kecil hambapun ikut menjadi inang pengasuh.

   Hamba amat kasih dan amat sayang sekali kepada kedua gus puteri hamba itu.

   Oleh karena itu hambapun ikut periha n setelah kedua junjungan hamba itu menginjak alam kedewasaan ...."

   "Hm"

   Baginda mengangguk-angguk.

   "Bahwa dengan penuh rasa kesetyaan, hamba dengan sungguh-sungguh telah menyelidiki dan mengetahui asal usul keturunan raden Wijaya. Demikian pula, hambapun dengan cermat mengiku dan meneli sifat, jiwa dan peribadi raden itu. Segala jerih payah hamba itu telah bersua dengan suatu penemuan, bahwa kelak raden itu pas akan menjadi seorang priagung luhur. Lalu hamba teringat akan kedua gus junjungan hamba yang sudah remaja puteri itu. Maka dengan memberanikan diri dan apabila paduka menganggap persembahan kata hamba itu terlalu lancang, hambapun bersedia menerima pidana ......"

   "Cukup Bandu"

   Ujar baginda "kutahu apa yang engkau maksudkan.

   Ya, aku hampir melupakan kedua puteriku itu.

   Teribuana dan Gayatri sudah remaja puteri.

   Tetapi adakah si Wijaya itu sesuai menjadi pasangan puteriku itu, aku belum mencapai pada pemikiran sejauh itu, Bandu"

   Bandupoyo menghaturkan sembah dengan penuh gairah sekali "Duh,, junjungan hamba yang bijaksana, Dimuliakanlah kiranya sabda paduka sebagai junjungan seluruh kawula Singasari; Hambapun tak berani melancangi tah paduka, bahwa raden Wijaya supaya dijodohkan dengan salah seorang dari kedua puteri junjungan hamba itu.

   Karena perjodohan itu adalah garis ketentuan Hyang Batara Agung.

   Namun apa yang hamba persembahkan tentang diri raden Wijaya itu hanya suatu angan2 hamba.

   Angan2 yang tertuju untuk kebahagiaan dan kemuliaan kedua gus puteri junjungan hamba itu.

   Dan tertuju pula demi kepen ngan tegaknya kewibawaan kerajaan Singasari"

   "Hm"

   Desuh baginda "apakah pertimbanganmu itu berdasarkan keturunan dari Wijaya?"

   "Ada dua hal, gus "

   Sembah Bandupoyo "pertama, apabila paduka merestui perjodohan itu maka tercapailah apa yang disebut 'ngumpulake balung api-sah'.

   Kerajaan paduka takkan jatuh di tangan lain orang kecuali pada keturunan moyang paduka sri Pradjnaparamita sang permaisuri agung Ken Dedes.

   Dan di-samping itu ...

   ."

   "Eh, mengapa engkau hen kan kata-katamu?"

   Tegur baginda ke ka Bandupoyo diam tak melanjutkan persembahan kata- katanya.

   "Berkenankah paduka,meluluskan hamba, mempersembahkan serangkai cerita tentang kerajaan Singasari?"

   "Hm, rupanya engkau sudah mulai mabuk sehingga lidahmu ringan sekali, Bandu. Ya, berceritalah"

   "Jauh dari maksud hamba untuk mewarnai cerita hamba ini dengan suatu kesan bersimpul penilaian. Tetapi hamba hanya mengungkapkan kenyataan yang telah terjadi dalam sejarah kerajaan Singasari. Siapa salah siapa benar, bukan kekuasaan hamba untuk menilai dan memang hamba tak bermaksud demikian. Cerita itu berdasarkan kenyataan dalam sejarah kerajaan Singasari yang didirikan oleh baginda Sri Rajasa sang Amurwabhumi. Setelah baginda wafat maka putera tiri baginda, yani pangeran Anusapati yang menggantikan. Tetapi kemudian pangeran Anusapati dicidera oleh raden Tohjaya. Kemudian berkat kerjasama antara raden Rangga Wuni dengan raden Mahisa Campaka, berhasillah kedua raden itu mengalahkan Tohjaya. Hamba tak tahu bagaimana ikatan batin antara kedua raden itu tetapi yang jelas maka yang mengganti tahta kerajaan adalah pangeran Rangga Wuni dengan bergelar sang prabu Wisnuwardhana. Sedangkan raden Mahisa Campaka hanya menjadi ratu angabaya kemudian lebih cenderung untuk memasuki dunia kerajaan kesempurnaan batin dan bergelar Batara Narasingamurti. Kemudian rahyang ramuhun Wimuwardhanapun turun tahta dan menyerahkan tampuk pimpinan kerajaan kepada paduka. Sedangkan pangeran Lembu Tal, putera Batara Narasingamuiti tetap mengasingkan diri dalam alam sepi"

   "Kini apabila benar2 ikatan ba n antara baginda Wisnuwardhana dengan Batara Narasingamur itu dapat dikukuhkan oleh putera2 keturunannya dalam tali perjodohan, dakkah hal itu akan lebih semarak dan memenuhi harapan dari kedua priagung yang luhur budi kebijaksanaannya itu? Tidakkah kerajaan Singasari akan tetap berada ditangan keturunan kedua priagung luhur itu ?"

   Kata tumenggung Bandupoyo "tetapi kesemuanya ini hanya angan2 hamba belaka, gus . Karena kekuasaan adalah pada paduka dan kodrat terletak ditangan Hyang Batara Agung"

   "Hal yang kedua"

   Kata tumenggung itu pula "lepas daripada keturunan, maka hamba pandang raden Wijaya memang memenuhi syarat2 sebagai seorang senopa yang dibutuhkan oleh kerajaan Singasari.

   Demikianlah dua hal yang menjadi landasan angan2 hamba dalam mempersembahkan kata2 kehadapan paduka"' Baginda mengambil guci tuak dan meneguknya pula.

   Sampai beberapa saat, baru baginda berujar.

   "Bandupoyo"

   Titah baginda "kuterima angan-anganmu itu.

   Kutahu pengabdianmu kepadaku, puteri-puteriku dan keluarga raja.

   Baiklah, Bandu, akan kurestui hal itu tetapi kesemuanya nanti terserah kepada kodrat Hyang Widdhi.

   Namun sebagai sarana, haruslah kesemuanya itu berlangsung secara wajar dan layak.

   Pertama, rasa sayangku kepada puteri-puteriku memberi kesadaran bagiku untuk membahagiakan hidupnya.

   Aku yang ingin membahagiakan mereka, bukan mereka yang harus membahagiakan aku.

   Karena aku sudah tua.

   Engkau tahu, Bandu, kemana lagi perginya orang2 tua seperti diriku dan engkau ini"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Oleh karena hal itu menyangkut kebahagiaan puteri-puteriku maka akupun ingin memberi kesempatan kepada mereka untuk mencari kebahagiaan itu menurut tanggapan kalbunya sendiri. Memang pilihan mereka bukan suatu ketentuan bahwa aku pasti akan menyetujui. Tetapi akupun tak mau memaksakan kehendakku kepada mereka apabila hal itu hanya akan membuat hati mereka menderita. Maka dalam hal perjodohan Wijaya dengan puteri-puteriku itu, harus berlangsung dengan syarat, hanya akan terjadi apabila puteri-puteriku itupun dapat menerimanya sebagai suami"

   "Dan kedua"

   Masih baginda melanjut "aku seorang raja, harus memegang teguh sabda pandita ratu'.

   Sayembara yang telah ku tahkan itu harus tetap berlangsung sebagaimana mes nya.

   Dan siapapun yang beruntung memenangkannya, aku tak mempersoalkan karena hal itu sudah tercantum dalam ketentuan sayembara.

   Maka apabila si Wijaya memang sudah digariskan dewata menjadi jodoh kedua puteriku, tentulah dia yang akan memenangkan sayembara itu.

   Tetapi kalau gagal, anggaplah bahwa dia memang tak direstui dewata.

   Jangan engkau memaksakan upaya untuk menentang ketentuan dewata, Bandu"

   Tumenggung Bandupoyo gopoh menghaturkan pernyataan akan menjunjung tah baginda.

   Diam-diam dia girang sekali karena baginda telah merestui permohonannya "Gus , karena paduka telah berkenan merestui permohonan hamba, apakah paduka berkenan melimpahkan tah kepada hamba, agar hamba dapat mengumumkan hal itu kepada para ksatrya yang besok akan bertanding?"

   "Maksudmu?"

   "Dalam ketentuan yang tercantum pada sayembara itu, hanya suatu ganjaran kelungguhan senopa bagi yang menang. Maka alangkah lebih semarak dan pas akan lebih menggelorakan semangat para ksatrya-ksatrya itu apabila paduka berkenan melimpahkan amanat tentang ganjaran yang lebih mulia itu"

   Baginda terdiam.

   Baginda membayangkan akan peris wa Wijaya mimpu merentang gendewa kyai Kagapa .

   Hal itu merupakan suatu sasmita gaib bahwa tampaknya Wijaya memang direstui menjadi senopa Singasari.

   Terbayang pula baginda akan penampilan Wijaya tadi.

   Wajah, tutur bahasa dan sikap pemuda itu memang memberi kesan yang baik.

   Kemudian bagindapun diam2 dapat menerima persembahan kata Bandupoyo mengenai hubungan antara keturunan Rangga Wuni dengan Mahisa Campaka.

   "Sebelum kuambil keputusan terakhir"

   Tah baginda "adalah engkau merasa yakin bahwa si Wijaya tentu akan memenangkan sayembara itu, Bandu?"

   "Memang aneh sekali perasaan yang hamba kandung, gusti"

   Kata Bandupoyo "tetapi hamba memiliki suatu keyakinan bahwa raden itulah yang akan menang.

   Dalam tiga lomba pertandingan hari ini, raden telah menunjukkan keunggulan yang menonjol.

   Hamba rasa dalam dua pertandingan besok, raden tentu takkan mengecewakan harapan hamba"

   "Baik. Bandu"

   Akhirnya baginda bersabda "kuperkenankan engkau untuk mengumumkan amanatku ini. Bahwa pemenang dari sayembara itu, kecuali akan diangkat sebagai senopa , pun akan kuganjar kedua puteriku, dyah ayu Teribuana dan dyah ayu Gayatri"

   Serta merta tumenggung Bandupoyo merunduk dan mencium kaki baginda.

   "Hai, Baridu"

   Seru baginda "aneh benar engkau ini. Pernah kuganjarmu seperangkat pakaian kebesaran, kalau tak salah, engkau hanya menghaturkan sembah terima kasih biasa. Tetapi mengapa kali ini begitu meluap-luap kegembiraanmu sehingga engkau cium kakiku?"

   "Ampun gusti, tetapi malam ini benar2 sebesar gunung kegembiraan hamba. Cita2 hamba akan menjadi kenyataan."

   "O, apakah cita-citamu, Bandu ?"

   "Sebagai salah seorang juru momong kedua puteri junjungan hamba, sang ayu Teribuana dan sang ayu Gayatri, hamba mempunyai kesan bahwa kelak kedua puteri itu tentu akan menjadi ratu luhur yang akan menurunkan raja2 besar di Jawadwipa. Oleh karena itu maka diam2 hamba selalu berdoa semoga kelak kedua, gus junjungan hamba itu akan mendapat jodoh seorang ksatrya linuwih. Rupanya doa keinginan hamba akan segera menjadi suatu kenyataan. Maka layaklah kiranya hamba amat berbahagia malam ini, gusti"

   "Ha, ha, ha"

   Baginda Kertanagara tertawa. Kemudian menyambar guci arak pula, setelah meneguk lalu menyerahkan kepada Bandupoyo "Bandu, hayo, meriahkanlah kebahagiaanmu dengan tuak"

   Bergegas tumenggung Bandupoyo menyambu seraya menghaturkan terima kasih. Tetapi ke ka meneguk guci itu, ia terlongong-longong. Guci itu tak ada isinya lagi.

   "Ha, ha, ha"

   Baginda tertawa. Tiba2 baginda hen kan tawa dan berseru dengan nada keras "Bandu, engkau menger mengapa kucemohkan dirimu supaya meminum guci tuak yang sudah kosong?"

   Pucat agaknya wajah tumenggung Bandupoyo menderita perobahan suasana yang sedemikian sekonyong-konyong datangnya itu. Ia tak tahu apa kesalahannya maka diberanikan diri untuk mohon penjelasan ke hadapan baginda.

   "Hm, engkau ingin tahu kesalahanmu?"

   Ujar baginda "engkau tenggelam dalam laut kegembiraan sehingga lupa akan tugasmu. Tidakkah layak engkau menerima pidana cemohan tuak?"

   "Duh, gusti, hamba dengan tulus ikhlas akan mempersembahkan jiwa dan raga hamba untuk menerima pidana apapun yang paduka limpahkan. Namun apabila paduka berkenan, hamba mohon paduka menitahkan apa kesalahan hamba"

   "Engkau memohon supaya aku berkenan menganugerahkan obat untuk si Wijaya. Engkaupun mohon pula supaya aku menambah ganjaran puteri pada ksatrya yang menang dalam sayembara itu. Kesemuanya itu telah kululuskan sesuai dengan permohonanmu. Tetapi mengapa engkau tetap berada disini? Mengapa engkau tak lekas2 mengusahakan pertolongan kepada si Wijaya? Bukankah itu suatu sikap melalaikan kewajiban?"

   Gemetar tubuh tumenggung Bandupoyo mendengar tah baginda itu. Ia merasa dan mengakui memang apa yang di tahkan baginda itu benar "Gus , hamba mohon pidana"

   Serta merta dia merunduk kepala mencium kaki baginda.

   "Bandu, apakah engkau masih seper anak kecil? Mengapa tak lekas engkau mengusahakan pertolongan untuk si Wijaya!"

   Serentak tumenggung Bandupoyopun menghaturkan sembah lalu bergegas mengundurkan diri dari hadapan baginda.

   Baginda tertawa.

   Dengan peris wa itu ia merasa telah memberi suatu pelajaran kepada senopati pendampingnya.

   Sementara Bandupoyo pun melangkah turun dari balairung.

   Sejenak ia tegak berdiri diam, pejamkan mata.

   Ia hendak menghapus segala peris wa yang berlangsung di balairung agar pikirannya tenang, hati jernih.

   Setelah, itu, baru dia mulai mempertimbangkan langkah, kemana dia harus mengayunkan kaki.

   Menghadap sang dyah ayu puteri Teribuana untuk meminta Tirta Amerta ataukah ke puri kediaman sang dyah ayu Gayatri untuk meminta minyak Padmasari.

   "Ah, mengapa aku bimbang ? Lebih dulu aku harus menghadap sang dyah ayu Teribuana"

   Katanya menimang keputusan.

   Dan langkahpun diayunkan menuju ke puri tempat kediaman puteri itu.

   Belum berapa lama menyusur lorong yang remang, ba2 ia mendengar suara orang menjerit.

   Tumenggung itu terkejut sekali dan cepat lari menuju ke arah suara itu.

   Jeritan itu bernada dari mulut wanita.

   Apakah yang terjadi ? Dalam keremangan cuaca malam, samar2 ia melihat sesosok tubuh prajurit bhayangkara sedang mengayunkan tombak kearah sosok tubuh lain yang menggeletak di rumput.

   Walaupun ia belum tahu jelas siapa prajurit bhayangkara itu dan siapa yang akan ditusuknya, namun peris wa itu tentu gawat karena menyangkut suatu pembunuhan dalam keraton.

   Tumenggung Bandupoyo menganggap bahwa lari masih kurang cepat.

   Ia pernah menerima ilmu loncat dari gurunya.

   Ilmu itu disebut Blabak-pangentol suatu ilmu yang pernah dimiliki oleh ksatrya kedua dari Pandawa Lima yaitu sang Bima atau Wrekudara.

   Kali ini dalam menghadapi saat sepenting itu, iapun mencobanya.

   Dalam tiga empat kali loncatan berhasillah ia mencapai jarak yang hanya terpisah lima tombak dari prajurit bhayangkara itu.

   Namun sebelum ia sempat berteriak menghentikan tindakan prajurit bhayangkara itu, sekonyong-konyong sesosok tubuh melayang turun dari pagar tembok keraton dan dengan gerak secepat harimau menerkam, pendatang itu menubruk prajurit bhayangkara dan menyentakkannya ke belakang.

   Prajurit itu terlempar dan jatuh ke tanah ....

   "Ku , engkau!"

   Saat itu tumenggung Bandupoyopun ba dan segera mengenali siapa pendatang itu.

   "O, kakang Bandu,"

   Sahut pendatang itu yang tak lain memang Kuti.

   "Mengapa engkau kesini?"

   Tanya tumenggung Bandupoyo pula.

   "Kakang Bandu, mari kita tolong orang itu dulu"

   Ku dak menanggapi pertanyaan Bandupoyo melainkan mengingatkannya akan orang yang masih menggeletak di rumput.

   "O"

   Tumenggung Bandupoyo tersadar lalu berpaling menghampiri orang itu "hai, engkau Wijaya ....!"

   Teriaknya terkejut sekali. Orang yang rebah di tanah dan hendak ditusuk tombak oleh prajurit bhayangkara tadi, ternyata Wijaya sendiri.

   "Wijaya, kenapa engkau?"

   Serta merta tumenggung Bandupoyo berjongkok mengangkat kepala Wijaya.

   dilihatnya wajah Wijaya pucat dan mulut mengeluarkan buih yang berbau tuak.

   Tumenggung Bandupoyo cepat dapat menyadari apa yang telah terjadi pada diri Wijaya.

   Jelas pemuda itu telah rubuh tak sadarkan diri karena mabuk tuak.

   Sementara itu karena mendengar jeritan tadi yang ternyata keluar dari mulut seorang dayang maka beberapa prajurit bhayangkara yang malam itu bertugas menjaga keamanan puri keraton, berbondong-bondong datang.

   Mereka terkejut ke ka melihat tumenggung Bandupoyo tengah berjongkok memangku kepala seorang lelaki yang menggeletak tak sadarkan diri.

   Tumenggung Bandupoyo memberi isyarat memanggil dua orang prajurit bhayangkara.

   Mereka disuruh memanggul Wijaya "Tunggu dulu"

   Kata tumenggung Bandupoyo lalu mengeliarkan pandang dan menatap pada dayang yang berdiri di dekat pagar tembok "Hai, kemari engkau."

   Dayang itu gemetar sehingga langkah kakinya bergontai. Ia memberi sembah kepada tumenggung Bandupoyo.

   "Mengapa engkau menjerit ? Bukankah engkau yang menjerit tadi ? "

   Tegur tumenggung Bandupoyo.

   "Sendika gusti "

   Kata dayang itu masih gemetar.

   "Engkau dayang puri keputrian mana?"

   "Hamba dayang sang dyah ayu gusti hamba Gayatri, gusti menggung"

   Atas perintah tumenggung Bandupoyo maka dayang itu memberi keterangan bahwa waktu ia hendak menuju ke puri keputren, ia terkejut melihat sesosok tubuh terhuyung-huyung dan rubuh di tanah.

   Serentak iapun menjerit karena terkejut dan takut.

   Tiba2 muncul seorang prajurit bhayangkara.

   Dayang menunjuk kearah orang yang rebah itu dan prajurit bhayangkarapun terus menghampiri dan hendak menusuk dengan tombaknya.

   "Hm"

   Desuh tumenggung Bandupoyo kemudian bertanya kepada prajurit itu "mengapa engkau hendak membunuh orang ini ?"

   "Hamba bergegas lari karena dayang itu menjerit dan atas petunjuknya, hamba melihat seorang lelaki rebah diatas rumput. Jelas dia bukan prajurit, bukan nayaka, bukan pula abdi keraton. Hamba anggap dia tentu seorang penjahat yang berani masuk kedalam keraton dan ...."

   "Hendak engkau bunuh?"

   Tukas tumenggung Bandupoyo "Benar"

   "Mengapa tidak engkau tangkap saja? Mengapa harus engkau bunuh ?"

   "Hamba kuatir dia hanya pura2 maka daripada didahului, hambapun mendahuluinya"

   "Siapa namamu?"

   "Hamba Katang Lumbang, gusti"

   "Engkau anggap benarkah tindakanmu itu?"

   "Hamba seorang prajurit bhayangkara yang bertugas menjaga keselamatan keraton Singasari. Se ap orang yang berani masuk kedalam keraton tanpa idin apalagi pada malam hari, tentu akan hamba bunuh"

   "Apakah engkau menerima perintah demikian? "

   "Ya"

   "Tidak!"

   Bentak tumenggung Bandupoyo dengan keras "engkau salah taksir atau memang sengaja menyalah tafsirkan perintah itu.

   Akupun pernah menjabat pimpinan pasukan bhayangkara keraton.

   Aku juga pernah mengumumkan perintah itu kepada se ap prajurit yang bertugas.

   Perintah itu aku masih ingat jelas bahwa sd ap orang yang berani memasuki keraton tanpa idin, harus ditangkap.

   Apabila melawan, diwenangkan untuk membunuhnya.

   Engkau dak memperlihatkan sikap untuk menangkap tetapi terus langsung hendak membunuhnya.

   Apa alasannya?"

   "Karena hamba takut dia hendak mempedayakan hamba"

   "Bukankah engkau dapat menegurnya lebih dulu? Atau memerintahkan supaya menyerah? Mengapa dak engkau lakukan hal itu kecuali engkau menurutkan hawa nafsumu untuk membunuhnya?"

   Katang Lumbang tak menjawab melainkan memandang tumenggung Bandupoyo dengan pandang keheranan.

   "Mengapa ki tumenggung menyalahkan ndakanku tadi?"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikian pertanyaan yang terbawa dalam pandang matanya.

   "Engkau menganggap orang itu tentu penjahat, bukan?"

   "Demikian, gusti"

   "Bagaimana engkau hendak membuk kan dia seorang penjahat atau bukan apabila engkau bunuh? Bukankah perintah mengatakan supaya ditangkap dulu. Mengapa? Karena dapat didengar keterangannya. Ingat, Katang Lumbang, kerajaan Singasari itu sudah memiliki undang-undang yang mengatur segala sesuatu menurut ketentuan dalam hukumnya. Yang bersalah dihukum, yang tak bersalah dibebaskan. Perintah dak boleh main bunuh tetapi supaya ditangkap, adalah berlandaskan pada undang-undang keadilan di kerajaan Singasari. Sekalipun dia memang masuk kedalam kerajaan tanpa idin dan menggeletak di lorong dalam keraton pada waktu malam begini, tetapi belum tentu dia bersalah. Engkau tahu siapa dia?"

   "Hamba tak tahu, gusti"

   "Dia adalah ksatrya yang siang tadi berhasil memenangkan sayembara merentang busur kyai Kagapati. Dan kedatangannya kemari adalah atas titah seri baginda"

   "O, hamba mohon maaf gusti"

   "Hm, ingat Katang Lumbang"

   Ancam tumenggung Bandupoyo "apabila kelak kudengar laporan engkau ber ndak main bunuh lagi, akan kumohonkan pidana kepada baginda supaya engkau dipecat dan dihukum"

   Selesai memberi dampratan yang pedas kepada Katang Lumbang, tumenggung Bandupoyo segera ayunkan langkah menuju ke puri kediaman puteri Teribuana dengan diiring oleh kedua prajurit yang memanggul Wijaya.

   Sudah tentu puteri amat terkejut menerima kedatangan tumenggung itu "Paman, mengapa andika berkunjung kemari pada hari semalam ini? Adakah rama prabu hendak menyampaikan tah kepadaku ?"

   "Tidak gus ayu "

   Kata Bandupoyo. Dia sudah biasa berbicara dengan puteri karena sejak puteri masih kecil, dia juga sering momong dan mengiringkan apabila puteri bercengkerama ke taman "kedatangan paman ini memang penting tetapi pun tidak penting"

   "Eh, apa maksud paman?"

   Puteri Teribuana agak heran.

   "Pen ng karena paman hendak mohon pertolongan kepada gus ayu"

   Kata Bandupoyo "

   Dak penting karena hal itu bukan menyangkut urusan negara"

   "Katakanlah yang jelas, paman. Pertolongan apakah yang paman hendak minta kepadaku ?"

   "Apakah gusti ayu berkenan memberi pertolongan ?"

   "Eh, paman, mengapa engkau bersikap seper orang luar kepadaku? Masakan paman yang sering momong sejak aku masih kecil, tak tahu akan perangai ha ku ? Katakan, paman memerlukan pertolongan apa ?"

   "Gus ayu"

   Kata Bandupoyo "andaikata paman sakit dan mohon gus ayu memberi pertolongan obat, dapatkah gusti meluluskan ?"

   "Tentu paman"

   "Terima kasih, gus ayu. Tetapi andaikata lain orang yang sakit, dapatkah gus meluluskan pertolongan juga?"

   "Ya"

   "Mohon gusti ayu melimpahkan keterangan, apakah dasar daripada pendirian gusti ayu itu?"

   "Menolong itu suatu kebahagiaan, paman"

   "O"

   Tumenggung Bandupoyo mengerut kening "apakah bukan suatu dharma dari apa yang disebut dana ?"

   "Benar, paman "

   Kata sang puteri "tetapi aku menafsirkan lain dan merasakan suatu perbedaan walau pun kecil, antara dharma dan kebahagiaan itu.

   Dharma itu suatu laku, suatu kewajiban.

   Sedangkan kebahagiaan itu suatu pancaran rasa.

   Dharma, suatu laku untuk mencapai suatu kebahagiaan dan lain- lainnya.

   Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang dicari melainkan mbul dari perasaan ha .

   Orang berdharma agar mendapatkan ketenangan, kebahagiaan atau sesuatu yang diinginkan.

   Mungkin dia akan bersua, mungkin dak.

   Tetapi bahagia dalam ha ku untuk menolong orang itu, sudah tumbuh, bersemi dan mekar dalam ha ku tanpa aku harus mencarinya dalam dharma itu"

   "O"

   Tumenggung Bandupoyo mendesuh.

   Diam2 ia terkejut dalam ha bahwa puteri yang baru saja menginjak alam kedewasaan itu, sudah memiliki pandangan hidup yang begitu nggi.

   Rasanya seper baru beberapa waktu ke ka ia masih sering mengiringkan kedua puteri itu bermain-main di taman, ternyata kini dia sudah berhadapan dengan seorang puteri yang dewasa "ah, aku sudah tua "

   Keluhnya dalam hati.

   "Siapakah yang hendak mohon pertolongan itu? Apakah paman sendiri?"

   Ba2 puteri.Teribuana menegur tumenggung yang masih terpukau dalam ketegunan itu.

   "Terima kasih, gus ayu"

   Kata tumenggung Bandupoyo "sekali lagi paman hendak mohon penjelasan gus ayu. Apakah gus dak membedakan orang yang hendak mohon pertolongan itu? "

   "Membedakan bagaimana maksud paman?"

   "Misalnya yang hendak minta tolong itu paman dengan orang yang belum gusti kenal ".

   "Sifat dan tujuan memberi pertolongan itu sama, tak kubeda-bedakan. Menolong orang yang benar2 membutuhkan pertolongan merupakan suatu kebahagiaan kepadaku. Mungkin kalau berbeda, hanyalah terletak pada cara pelaksanaannya belaka tetapi tetap tak mengurangi bobot dari pertolongan itu, paman"

   "Terima kasih, gus ayu"

   Kata tumenggung Bandupoyo "sebelumnya paman mohon maaf apabila paman sebagai orang tua lancang ucap, kurang tata"

   "Sudahlah, paman, katakan saja"

   Puteri Teribuana tak sabar. Memang antara tumenggung Bandupoyo dengan kedua puteri baginda itu akrab sekali hubungannya sehingga Bandupoyo dak lagi menyebut diri dengan sebutan 'hamba', tetapi dengan 'paman'.

   "Gus ayu"

   Kata tumenggung Bandupoyo "bukankah gus hadir untuk menyaksikan lomba sayembara yang dilangsungkan siang tadi?"

   "O, ya"

   "Menurut penilaian gus ayu, acara lomba yang manakah yang paling menarik dan menggemparkan?"

   "Merentang gendewa pusaka kyai Kagapati"

   "Ya, paman juga menganggap begitu. Lalu apakah kesan gus ayu terhadap ksatrya yang berhasil merentang gendewa pusaka itu?"

   Puteri Teribuana terkesiap. Agaknya terbayang pula ksatrya muda yang memenangkan sayembara itu "Dia seorang ksatrya yang sakti"

   "Hanya itu?"

   Puteri Teribuana memandang tumenggung itu "Apa maksud paman?"

   "Tidakkah gus -puteri berkenan merasa gembira apabila ksatrya itu yang akan menjadi senopa kerajaan Singasari?"

   Teribuana tersipu-sipu. Wajahnya agak bersemu merah "Aku gembira karena Singasari bakal memiliki seorang senopati muda yang sakti mandraguna"

   Tumenggung Bandupoyo tersenyum dalam hati.

   Diam2 ia telah mencuri pandang, menyelimpatkan perhatian pada sikap dan wajah puteri raja itu.

   Sebagai seorang tua, iapun tahu apa sesungguhnya yang terpercik dalam hati puteri itu..

   Namun ia tak mau mendesak karena kuatir puteri akan malu.

   "Tetapi bukankah ksatrya itu rubuh setelah merentang gendewa?"

   Tiba2 puteri bertanya.

   "Benar, gusti ayu"

   Sahut tumenggung Bandupoyo "dan sampai sait ini ksatrya itu sakit"

   "Sakit?"

   Puteri agak terkejut cemas.

   "Ya. Mungkin dalam pertandingan besok, dia tak dapat ikut sehingga gagallah harapannya untuk meraih gelar senopati"

   "Ah"

   Puteri Teribuana mendesah napas.

   "Memang suatu peris wa sedih yang patut disayangkan, gus "

   Kata tumenggung Bandupoyo dengan nada rawan "pada hal menurut paman, dialah yang layak dan wajib menjadi senopa kerajaan Singasari"

   Heran puteri mendengar kata2 tumenggung itu "Apa kata paman? Kalau dia memenangkan sayembara, memang layaklah kalau dia menjadi senopa . Tetapi mengapa paman mengatakan dia wajib menjadi senopati Singasari?"

   "Yah"

   Tumenggung Bandupoyo menghela napas "oleh karena paman tahu akan diri ksatrya itu sehingga paman berani mengatakan dia memang wajib menjadi senopa yang akan menjaga tegaknya kewibawaan kerajaan Singasari"

   "Paman kenal dengan ksatrya itu ? Siapakah dia?"

   Mulailah perhatian puteri Teribuana tertarik.

   "Gusti ayu, berat rasanya hati paman untuk menerangkan hal itu"

   "Mengapa paman?"

   "Karena paman sudah berjanji kepadanya, takkan mengatakan kepada siapapun tentang dirinya"

   Puteri Teribuana makin terpikat "Paman, mengapa paman memperlakukan aku seper orang lain? Ar nya, mengapa paman tak percaya kepadaku ? Dan pula, adakah rahasia diri ksatrya itu akan menimbulkan malapetaka kepadanya apabila, paman mengatakan kepadaku ?"

   "Tidak, gusti ayu"

   Kata Bandupoyo "tetapi paman sudah berjanji kepadanya"

   "Baik, paman"

   Kata puteri "apabila paman mengatakan hal itu kepadaku, akupun berjanji kepada paman, takkan mengatakan hal itu kepada siapapun juga"

   Tumenggung Bandupoyo tertawa dalam hati.

   Sebenarnya ucapan puteri itu bersifat latah dan masih kekanak-kanakan.

   Dia menceritakan kepada puteri, puteri lalu mengatakan kepada orang ketiga yang berjanji akan menyimpan rahasia.

   Orang ketiga menyiarkan kepada orang keempat dengan syarat, harus menyimpan rahasia.

   Orang keempat kepada orang kelima, kelima kepada keenam dan terus berkelanjutan entah sampai orang yang ke berapa.

   Sudah tentu setiap orang yang menerima keterangan itu, berjanji akan menyimpan rahasia.

   Tetapi dalam keadaan seperti itu, rahasia itu menjadi rahasia umum atau rahasia yang bukan rahasia lagi.

   Namun bukan itulah tujuan tumenggung Bandiipoyo.

   Ia memang mempunyai tujuan tertentu dan tujuan tertentu itu menghendaki sarana harus membuka rahasia diri Wijaya "Baiklah, gus ayu.

   Paman akan menceritakan siapa sesungguhnya ksatrya itu.

   Sebenarnya dia masih kerabat dengan paduka sendiri, gusti ayu"

   "Paman Bandu!"

   Seru puteri Teribuana setengah menjerit kaget.

   "Gus ayu"

   Kata tumenggung Bandupoyo dengan sikap tenang "siapakah eyang paduka itu, gusti?"

   "Eyang prabu Wisnuwardhana"

   "Pernahkah paduka mengenal seorang eyang lagi?"

   "Siapa paman?"

   "Eyang Batara Narasingamurti, gusti ayu"

   "O, ya. Benar paman. Eyang Narasingamur menjadi ratu angabaya dalam pemerintahan eyang prabu Wisnuwardhana"

   "Benar, gus ayu,"

   Kata tumenggung Bandupoyo "ratu angabaya adalah senopa agung yang membawahi seluruh pasukan Singasari dan menjadi tulang punggung kekuatan kerajaan.

   Sesungguhnya kerajaan Singasari itu diperintah oleh kedua eyang paduka sang prabu Wisnuwardhana dan gus Ratu Ahgabaya.

   Dahulu kedua priagung luhur itu bahu membahu berulang untuk melawan pangeran Tohjaya sehingga berhasil merebut tahta singgasana kerajaan Singasari.

   Kemudian dengan semangat persatuan dan persaudaraan, kedua priagung luhur itu sama2 memegang tampuk pimpinan kerajaan.

   Sang prabu Wisnuwardhana memegang pimpinan pemerintahan dan sang Batara Narasinga memegang kekuasaan pasukan"

   "O, ya, aku tahu akan hal itu, paman"

   Kata puteri Teribuana "adakah hal itu mempunyai hubungan dengan ksatrya muda itu?"

   "Paman hendak melanjutkan cerita paman dulu gus ayu"

   Kata tumenggung Bandupoyo.

   "prabu Wisnuwardhana berputera baginda Kertanagara yang sekarang ini atau rama prabu paduka. Tetapi tahukah gusti puteri, siapa putera gusti Narasinga itu?"

   Puteri Teribuana tertegun beberapa jenak "Sejak lahir kemudian mulai mengenal urusan kehidupan, aku hanya mendengar tentang sejarah perjuangan eyang prabu Wisnuwardhana tetapi sedikit sekali mengetahui tentang kehidupan eyang Narasinga dan putera keturunannya.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jika tak salah eyang Narasinga memang mempunyai putera tetapi aku tak tahu di mana paman itu sekarang"

   "Benar gus ayu "

   Kata tumenggung Bandupoyo "putera dari gus Narasinga memang mengundurkan diri dari masyarakat ramai dan hidup menyepi di pegunungan"

   "Lalu siapakah namanya, paman?"

   "Gusti Lembu Tal"

   "O"

   Desuh puteri Teribuana "apakah beliau masih hidup ?"

   "Masih"

   Kata tumenggung Bandupoyo "dan gusti Lembu Tal pun mempunyai putera"

   "O, siapakah putera paman Lembu Tal itu?"

   "Raden Wijaya, gusti ayu"

   "Kakang Wijaya? Eh, benarkah aku harus memanggil kakang, paman?"

   "Benar, gusti ayu. Raden Wijaya lebih tua dari paduka."

   "Lalu dimanakah kakang Wijaya sekarang?'"

   "Disini, gusti ayu"

   "Eh"

   Puteri Teribuana terkejut "dia di sini? di pura Singasari?"

   "Bukan melainkan di pura Singasari tetapi pun berada di keraton paduka"

   "Paman!"

   Hampir bernada teriakan kata2 puteri dikejut keterangan tumenggung Bandupoyo "apakah engkau berolok-olok, paman?"

   "Tidak, gusti ayu. Paman mengatakan yang sebenarnya. Raden Wijaya saat ini memang berada di keraton Singasari dan bahkan sedang menunggu di luar puri keputren ini"

   Agak gemetar ha puteri Teribuana mendapat keterangan itu "Paman, amat ba2 sekali peris wa ini terjadi. Aku bingung paman, haruskah aku keluar menyambutnya? Tetapi paman, aku belum mengenalnya, layakkah aku."

   "Layak, gus ayu"

   Kata tumenggung Bandupoyo tersenyum "karena raden memang hendak menghadap paduka"

   "Kakang Wijaya hendak menghadap aku ?"

   Teriak puteri Teribuana ah, mengapa paman tak lekas2 mengatakan hal itu kepadaku ? Bukankah terlalu lama dia sudah menunggu diluar? Mungkin dia akan menganggap aku seorang puteri yang angkuh"

   "Apakah gusti ayu hendak menemuinya?"

   "Ya "

   "Jika demikian mari paman iringkan"

   Kata Bandupoyo. Puteri Teribuanapun segera melangkah keluar. Tiba di pendapa puteri melihat dua orang prajurit bhayangkara sedang duduk menjaga seorang yang tengah rebah di lantai. Melihat puteri, kedua prajurit bhayangkara itupun memberi sembah.

   "Paman, mana kakang Wijaya ?"

   Tegur puteri karena tak melihat barang seorang pemuda yang berada di pendapa itu.

   "Itulah, gusti ayu"

   Tumenggung Bandupoyo menunjuk pada orang yang rebah di lantai.

   "Dia?"

   Puteri makin terkejut "tetapi mengapa dia rebah ?"

   Tumenggung Bandupoyo memberi perintah supaya kedua prajurit itu mengangkat tubuh Wijaya agar duduk. Bergegas kedua prajurit itupun melakukan perintah.

   "Hai ...."

   Puteri Teribuana menyurut mundur ditegang kejut yang mengguncang dinding hatinya.

   "dia, dia apakah bukan ksatrya yang dapat merentang gendewa kyai Kagapati itu ?"

   Tumenggung Bandupoyo tersenyum "Benar.gus ayu. Memang ksatrya sak yang paduka saksikan dapat merentang gendewa kyai Kagapati pagi tadi, adalah dia"

   "Lalu dimana kakang Wijaya"

   "Dialah raden Wijaya itu, gusti ayu"

   "Oh"

   Desuh puteri. Perasaan ha nya dibuncah oleh bermacam rasa namun tak sempat puteri itu untuk meneli perasaan apakah yang sesungguhnya sedang menghambur dalam ha itu. Yang disaksikannya, Wijaya duduk pejamkan mata, kepala melentuk.

   "benarkah keterangan paman itu ?"

   Ia masih hendak meyakinkan penglihatan, pendengaran dan perasaannya.

   "Paman tak pernah bohong kepada gusti ayu"

   "Tetapi mengapa dia melentuk seperti orang sakit? Apakah dia sakit ?"

   "Raden itulah yang hendak hamba mohonkan, obat kepada paduka. Oleh karena itu terpaksa paman bawa kemari"

   "Mengapa dia seperti tak sadarkan diri? Beratkah luka yang dideritanya?"

   "Dia memang tak sadar tetapi hal, itu bukan dikarenakan sakit yang dideritanya melainkan karena sedang mabuk tuak, gusti ayu"

   "Mabuk tuak?"

   Untuk kesekian kalinya, puteri Teribuana meregang kejut lagi. Dia benar2 dak menger apa yang sedang dilakukan tumenggung Bandupoyo dalam ucapannya yang selalu menimbulkan kejutan itu. Setelah menenangkan diri, puteripun berkata.

   "paman, kuminta paman menceritakan keterangan yang jelas agar jangan selalu membingungkan hatiku"

   Tumenggung Bandupoyopun mulai menceritakan tentang raden Wijaya yang di tahkan menghadap baginda, amanat baginda yang berkenan merestui langkah2 Bandupoyo untuk mengusahakan pertolongan agar sembuh dari luka yang dideritanya "Dalam hal itu baginda mengutus paman supaya menghadap gus ayu untuk memohon air Tirta Amerta dan menghadap gus ayu Gayatri untuk memohon minyak Padmasari.

   Hanya dengan khasiat kedua obat itu barulah raden dapat ikut serta dalam sayembara tanding besok pagi.

   Apabila dak, tentulah raden terpaksa mengundurkan diri karena keadaannya tak mengidinkan"

   Termangu-mangu puteri Teribuana mendengar peristiwa yang dibawakan tumenggung itu.

   Ia tak meyangka sama sekali bahwa impian yang dialaminya beberapa waktu yang lalu, akan menjadi suatu kenyataan.

   Memang kira2 setengah tahun yang lalu, puteri pernah bermimpi aneh.

   Puteri seperti melihat seekor.

   harimau putih yang rebah terhampar ditengah jalan.

   Puteri mengira harimau itu mati tetapi ternyata masih hidup dan ketika melihat kehadiran puteri tiba2 harimau itu me-rintih-rintih minta pertolongan "Hanya padukalah gusti puteri, yang mampu menyembuhkan penyakit hamba ini ...

   ."

   Puteri tak pernah mengatakan mimpi itu kepada siapapun juga.

   Namun secara samar ia mendapat penjelasan dari beberapa acarya atau pandita yang mengajarnya ilmu sastera, bahwa menurut hikmah tafsiran tentang mimpi, harimau itu perlambang dari seorang pri-agung besar.

   Dan apabila yang bermimpi itu seorang wanita, maka wanita itu akan segera mendapat jodoh seorang priagung "Ah"

   Puteri Teribuana tersipu-sipu dalam ha manakala teringat akan mimpi dan tafsiran yang diperoleh dari sang acarya itu.

   "Gus ayu"

   Ba2 tumenggung Bandupoyo berkata "adakah gus ayu tak berkenan memberi pertolongan kepada raden itu ?"

   Puteri Teribuana agak terkejut "Bukan begitu, paman. Aku sedang memikirkan mengapa kakang Wijaya begitu pucat dan lunglai?"

   "Telah hamba katakan "

   Sahut tumenggung Bandupoyo "bahwa raden telah dianugerahi dua cawan tuak harum oleh baginda.

   Raden tak biasa minum sehingga dia mabuk.

   Besok dia tentu sudah segar kembali.

   Tetapi yang paling dideritanya adalah kehilangan tenaga akibat merentang gendewa kyai Kagapa itu.

   Oleh karena itu apabila paduka berkenan, sudilah paduka segera menganugerahkan air Tirta Amerta itu agar besok raden dapat mengikuti sayembara."

   Puteri Teribuanapun meluluskan.

   Puteri segera masuk kembali kedalam puri.

   Namun bayangan wajah Wijaya tetap melekat di pelupuknya.

   Serentak pula terbayang kembali ulah Wijaya dalam sayembara pagi tadi.

   Sejak pertama menyaksikan penampilan pemuda itu, puteripun sudah mempunyai kesan baik.

   Namun ia tak berani mengharap lebih banyak dari pada kesan yang membayang dalam sanubarinya itu.

   Ia tak pernah mengharap bahwa rama prabu Kertanagara akan berkenan memanggil pemuda itu menghadap ke keraton.

   Tak pernah berani mengharap bahwa pemuda itu masih mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga raja.

   Dan lebih tak pernah berani memimpikan bahwa ksatrya muda itu akan berada di puri kediamannya.

   Bergegas pula puteri Teribuana mengambil air Tirta Amerta lalu membawanya keluar dengan penuh lamunan, harapan dan cita-cita yang indah.

   ~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~

   Jilid 21 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .

   MCH I Sebenarnya bukan hanya sekali itu sang dyah ayu Teribuana bertemu dengan Wijaya.

   Pertemuan pertama, terjadi di taman Boboci yang indah permai.

   Kala itu Dyah Teribuana bersama adindanya sang Dyah Gayatri dengan diiring oleh para dayang dan sekelompok prajurit bhayangkara yang dipimpin bekel Mahesa Rangkah, berkenan bercengkerama menikmati keindahan taman itu.

   Taman Boboci itu, dahulu dibangun oleh akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, untuk membahagiakan ha permaisurinya Ken Dedes yang amat dicintainya itu.

   Tunggul Ametung yang jauh lebih tua dari permaisurinya, tak menghiraukan segala beaya dan tenaga untuk membangun taman Boboci itu.

   Akuwu itu amat bersukacita demi menerima berita bahwa isterinya yang masih muda dan teramat can k itu telah mulai mengandung.

   Demi menyambut berita itulah maka sang akuwu menitahkan supaya membangun sebuah taman yang seindah Inderaloka.

   Walaupun dengan lebih memperketat pemungutan cukai kepada para kawula sehingga seluruh kawula Tumapel menggigil panas dingin karena beban pajak yang harus dideritanya, akuwu berhasil membangun sebuah taman indah yang diberi nama Boboci.

   Namun dia gagal untuk membangun dua hal yang pen ng.

   Membangun ha para kawula Singasari agar lebih mantap kesetyannya kepada akuwu Tumapel sebagai junjungan yang dapat memberi pengayoman lahir batin dan kesejahteraan hidup yang penuh kebijaksanaan.

   Para kawula tak melihat, merasakan suatu manfaat apa-apa dari pembangunan taman megah yang telah menelan beaya besar dan tenaga yang tak terperikan jumlahnya, kecuali hanya suatu kebanggaan bahwa Tumapel sebagai pura pusat pemerintahan telah memiliki pula sebuah taman yang indah dan megah.

   Namun rasa bangga itu harus tertelan lenyap, dalam rin h keluhan beban cukai yang mereka harus menanggung kepada akuwu.

   Kecuali pula, mereka menyaksikan permaisuri akuwu Tumapel yang can k jelita mengunjungi taman itu dalam suatu perarakan yang menakjubkan.

   Suatu pertunjukan yang menyedapkan pandang mata segenap kawula tetapi ha berkeluh perut merintih.

   Dan yang kedua, akuwu Tumapel tetap gagal membangun ha sang permaisuri Ken Dedes.

   Kiranya permaisuri can k itu tak tertambat ha nya pada anugerah sang akuwu yang berupa sebuah taman indah.

   Ha wanita can k itu masih tetap dirundung gundah kelana, mengenangkan nasib ramandanya empu Purwa di Panawijen.

   Betapa sedih dan kesepian ramandanya hidup seorang diri di pertapaan.

   Dia adalah puteri tunggal dari empu itu.

   Dia telah dilarikan oleh Tunggul Ametung ke ka akuwu itu sedang berburu di mur gunung Kawi.

   Seke ka bergetarlah ha akuwu Tumapel itu ke ka melihat kecan kan Ken Dedes.

   Ia segera memerintahkan prajurit pengiringnya untuk memboyong Ken Dedes ke Tumapel tanpa seidin empu Purwa yang saat itu sedang bertapa.

   Ken Dedes takut akan kekuasaan akuwu yang besar sehingga ia menyerahkan diri kepada kehendak akuwu itu.

   Namun hanya raga yang diserahkan, jiwanya tetap merana.

   Tiap malam ia berdoa memohon pengampunan kepada ramandanya.

   Pernah karena melihat permaisurinya selalu murung, akuwu menitahkan sepasukan prajurit untuk menjemput empu Purwa ke Tumapel.

   Tetapi empu itu sudah menghilang.

   Dua jenis kegagalan akuwu Tumapel itu, menyangkut peris wa yang mudah tetapi sukar, sukar tetapi mudah.

   Keduanya menyangkut perasaan ha rakyat dan Ken Dedes.

   Kawula Tumapel tak dapat dihibur dengan pembangunan sebuajh taman yang megah dan indah yang oleh akuwu dikatakan sebagai kebanggaan pura Tumapel.

   Namun para kawula tahu bahwa yang terselubung dalam pembangunan taman Boboci itu tak lain hanyalah untuk memuaskan ha Ken Dedes.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Untuk kepuasan seseorang permaisuri cantik, kawula harus menanggung beban cukai yang berat.

   Pun ha Ken Dedes tak terbeli oleh taman indah itu.

   Pernikahannya dengan akuwu Tunggul Ametung hanyalah berdasarkan rasa takut akan kekuasaan akuwu itu, bukan berdasarkan cinta.

   Dan rasa cinta itu mahal sekali harganya, tak terbeli dengan harta permata se nggi- bukit, dicipta dan dielu- elu menurut sekehendak orang.

   Tetapi manusia adalah makhluk dewata yang berjiwa.

   Jiwa yang merupakan unsur-unsur pikiran, perasaan dan perpaduan dari indriya-indriya pelengkap raga sempurna.

   Hati para kawula adalah perasaan.

   Hati Ken Dedespun perasaan.

   Keruntuhan Tunggul Ametung, bersumber pula pada salah langkah dalam kedua hal itu.

   Ken Arok muncul, cepat mendapat tempat di hati Ken Dedes dan kawula Tumapel.

   Bosan pada yang lama, menginginkan yang baru, sudah umum menjadi sifat manusia.

   Terutama apabila yang lama itu lapuk dan buruk, keinginan untuk mendapat yang baru, melimpah ruah bagai air bah.

   Demikian akuwu Tunggul Ametung harus mengalami peristiwa demikian.

   Dalam pandangan kawula Tumapel dia seorang penguasa yang lapuk.

   Tidak mengayomi tetapi membebani kawula.

   Bagi Ken Dedes, akuwu itu seorang suami yang buruk -usia, jasmani dan perangai.

   Adakah hal itu memang terlaksananya zat tuah dari kutukan empu Purwa kepada akuwu yang berani melarikan puterinya.

   Tetapi yang nyata, setelah Tunggul Ametung terbunuh, Ken Arokpun dapat mempersun ng Ken Dedes dan menggan kan kedudukan sebagai akuwu Tumapel.

   Para kawula polah menerima kenyataan akan hadirnya Ken Arok sebagai akuwu baru.

   Memang dalam peris wa pembunuhan Tunggul Ametung itu, Ken Arok menggunakan siasat meminjam tangan Kebo Hijo untuk membunuh Tunggul Ametung.

   Namun adanya suatu kehebohan dalam peris wa itu, adanya suatu kerusuhan atas pengangkatan Ken Arok menjadi akuwu, menunjukkan bahwa kepergian Tunggul Ametung itu tak diiringi, rasa duka dan setya dari para kawula.

   Mengapa dak Ken Dedes saja yang tetap menjadi akuwu puteri sampai nan putera yang dikandungnya itu sudah lahir ? Bukankah para narapraja dan kawula Tumapel tahu bahwa pada saat Tunggul Ametung ma dibunuh, Ken Dedespun sudah mengandung ? Mengapa mereka menerima Ken Arok sebagai suami Ken Dades dan sekaligus menggan kedudukan akuwu Tumapel ? Peris wa itu merupakan hakekat dari nilai perasaan ha yang tak ternilai oleh Tunggul Ametung, seorang penguasa yang mengabaikan perasaan kawula.

   Seorang akuwu yang mengira bahwa kekuasaan itu berarti segala-galanya.

   Demikian perasaan ha kawula.

   Demikian perasaan ha wanita dan demikian pula perasaan ha sang dyah ayu Teribuana.

   Sejak pertemuan dengan Wijaya di taman Boboci dulu, masih membekas bayang-bayang anakmuda itu dalam ha nya.

   Pernah ia dikejutkan oleh kemunculan Ku yang tak meminta imbalan suatu apa ke ka menemukan kembali kaca wasiat yang hilang dulu, kecuali hanya ingin mendapat keterangan sang puteri tentang bayang-bayang dari pria yang diidam- idamkan kelak menjadi pasangan hidupnya.

   Saat itu Teribuana makin terbayang jelas akan wajah Wijaya.

   Sebenarnya saat itu pula ia hendak mengulir Ku tetapi sebagai seorang puteri luhur, ia tak mau ramanda baginda akan dicelah orang.

   Maka kepada Ku , puteripun hanya memberi jawaban yang singkat padat bahwa ia hanya akan menikah dengan seorang ksatrya luhur.

   Dan dikala mengucapkan kata-kata itu, terbayanglah wajah Wijaya dipelapuknya ....

   Tiba2 puteri Teribuana terkesiap manakala langkahnya telah ba di pendapa peranginan dan pandang matanya tertumbuk akan seorang muda yang terbaring melentuk dipangkuan seorang prajurit keraton.

   Wajah itu tak asing baginya.

   Wajah dari ksatrya muda yang siang tadi telah menggemparkan suasana gelanggang pertandingan karena berhasil merentang gendewa pusaka kyai Kagapa .

   Tetapi amatlah berbeda keadaannya sekarang dengan siang tadi.

   Jika siang tadi dia tak ubah seper seorang senopa gagah perkasa yang sedang tanding kesak an memanah dengan lawan.

   Sekarang seperti seorang yang lunglai, pucat wajahnya.

   "Gusti ayu, inilah raka paduka raden Wijaya,"

   Kata tumenggung Bandupoyo sembari menunjuk ke arah paduka. Puteri Teribuana tertegun "Apakah dia pingsan, paman?"

   Tumenggung Bandupoyo mengangguk "Demikianlah tetapi karena mabuk tuak."

   "Mabuk tuak ?"

   Puteri terkesiap heran. Bandupoyo mengangguk lalu menuturkan tentang peris wa ke ka Wijaya menghadap baginda "Mungkin raden tak pernah minum sehingga dia mabuk dan rubuh di lorong taman. Hampir saja terjadi peris wa yang tak diinginkan,"

   Kembali ia menceritakan tentang ribut2 di mana karena mendengar seorang dayang menjerit, seorang prajurit bhayangkara bergegas datang terus hendak menombak Wijaya.

   "Ah,"

   Puteri Teribuana menghela napas longgar. Ia merasa bersyukur karena tak sampai terjadi peristiwa yang amat tak diinginkan.

   "Paman, lekaslah paman usahakan untuk menolongnya dengan air Tirta Amerta ini,"

   Putripun memberikan cupu yang berisi air itu kepada tumenggung Bandupoyo.

   Tumenggung itu menyadari bahwa tentulah sang puteri malu untuk langsung, meminumkan air itu kepada, Wijaya.

   Ia segera menyambu lalu meminumkan ke mulut Wijaya, kemudian menyerahkan kembali cupu itu kepada puteri.

   Pada waktu kecil puteri selalu keluar ke taman, apabila pada malam hari terjadi gerhana bulan "Kemanakah rembulan itu, mban?"

   Tanya puteri kepada seorang dayang pengasuh. Dan dayang itu dengan latah memberi keterangan bahwa rembulan sedang ditelan oleh seorang raksasa. Dan puteripun cemas.

   "Jika demikian kita tentu akan kehilangan bulan selama- lamanya. Tiap malam tentu akan gelap gulita,"

   Seru puteri "Tidak, gus puteri,"

   Jawab dayang "bulan adalah mus ka jagad. Tak mungkin raksasa mampu menelannya, gusti " .

   "Tetapi nyatanya, bulan itu telah lenyap,"

   Masih puteri Teribuana yang masih kecil membantah.

   "O, benar, gus ayu"

   Seru dayang "akan hamba usahakan supaya raksasa itu ketakutan dan muntahkan bulan itu kembali "

   Puteripun terkejut "Benarkah engkau mampu mengusahakan ? Bagaimana caranya, mban? "

   "Raksasa itu takut kemanungsan atau diketahui orang. Hamba akan memukul kentung, tentulah dia akan terkejut dan ketakutan lalu melarikan diri"

   "Baiklah mban, segera saja engkau lakukan hal itu,"

   Kata puteri. Dan ke ka dayang, itu sudah mulai memukul kentung, puteripun menyatakan hendak ikut memukul "O, hamba kira paduka tak perlu memukul kentung, cukup apabila paduka suka berdoa kepada.dewata agar raksasa itu dihalau"

   Kata dayang.

   Dan ke ka puteri berdoa, ha nyapun berdebar-debar menunggu rembulan memancarkan wajahnya kembali.

   Puteripun melakukan hal itu di saat menunggu Wijaya sadar dari pingsannya.

   Bahkan rasanya, debar ha nya lebih keras daripada dahulu dia menunggu rembulan memancar.

   Se ap penan an tentu merisaukan dan menggelisahkan.

   Tetapi penan an yang dialami puteri Teribuana saat itu, belum pernah dideritanya selama ini.

   Entah apa sebabnya, la tak tahu.

   Dan doa yang dipersembahkan kepada dewatapun jauh lebih tandas dan lebih nalangsa daripada ke ka berdoa supaya dewata menghalau raksasa yang menelan rembulan dulu.

   Rembulan amat berharga tetapi entah apa sebabnya, kesembuhan Wijaya terasa lebih berharga bagi Teribuana.

   "Raden,"

   Ba- ba tumenggung Bandupoyo berbisik pelahan namun terdengar juga oleh puteri Teribuana yang cepat membuka mata "Ah"

   Ia mendesah ke ka melihat Wijaya sudah menggeliat duduk.

   "Paman tumenggung,"

   Seru Wijaya dengan suara lemah dan terus hendak berbangkit "Jangan banyak bergerak dulu, raden. Duduklah yang tenang,"

   Cegah Bandupoyo. Wijaya menurut Tetapi baru ia berkemas duduk, ba- ba ia terperanjat demi pandang matanya tertumbuk pada seorang puteri cantik yang. berdiri tegak beberapa langkah dihadapannya.

   "Tak perlu terkejut, raden,"

   Seru tumenggung Bandupoyo tersenyum melihat sikap Wijaya yang terkejut.

   "Paman tumenggung .....

   "

   "Gus puteri Teribuana telah berkenan memberi pertolongan kepada raden dengan air Tirta Amerta,"

   Bandupoyo cepat menukas.

   "O"

   Serta merta Wijaya pun merunduk dan menghaturkan sembah "terima kasih, gusti puteri "

   Wijaya heran mengapa tak terdengar puteri mengucap sepatah katapun.

   Bahkan saat itu ia mendengar tumenggung Bandupoyo tertawa.

   Serentak ia mengangkat muka dan memandang ke arah Bandupoyo.

   Dengan masih membekas tawa, tumenggung Bandupoyo berseru "Raden, mengapa engkau gugup berhadapan dengan puteri yang masih kerabat raden sendiri? "

   "Ah"

   Wijaya tersipu-sipu merah mukanya. Segera ia membayang dugaan bahwa tumenggung Bandupoyo tentu sudah membuka rahasia dirinya kepada puteri.

   "Apakah raden belum pernah mengenal gusti puteri?"

   Tanya tumenggung Bandupoyo bcrsloroh.

   "Sudah, paman "

   Wijaya menunduk.

   "Apabila sudah, mengapa harus malu? "

   Wijaya terkesiap. Ia merasa telah menghaturkan terima kasih kepada puteri Teribuana yang telah menganugerahkan air Tirta Amerta kepadanya. Lalu apakah yang harus ia lakukan lagi? "Jangan berterima kasih kepadaku, kakang,"

   Ba- ba puteri Teribuana berseru pelahan. Rupanya puteri tahu akan keadaan Wijaya yang tersudut oleh, olok olok tumenggung Bandupoyo. Wijaya terlongong "Lalu kepada siapa hamba harus menghaturkan terima kasih apabila dak kepada paduka, gusti ?"

   Puteri Teribuana tersenyum "Engkau ingin tahu, kakang? "

   "Mohon paduka berkenan melimpahkan petunjuk, gusti "

   "Baik, kakang,"

   Sahut puteri Teribuana "asal kakang mau menerima syaratku."

   Kembali Wijaya tertegun "Syarat apakah yang gusti kehendaki dari hamba? "

   "Engkau harus jujur."

   Wijaya makin tercengang.

   "Apakah hamba tidak jujur? "

   "Ya "

   Wijaya benar2 kehilangan faham.

   Ia bingung dan mengembarakan pandang mata untuk mencari keterangan ke arah tumenggung Bandupoyo.

   Tetapi tumenggung itu hanya mengangkat muka, menengadahkan kepala memandang langit-langit pendapa.

   Wijaya heran.

   Jelas tumenggung Bandupoyo memberi isyarat tak mengetahui hal itu.

   Sesaat Wijayapun harus berpaling kepada dirinya sendiri lagi.

   Ia tenangkan pikiran, membenahi ha , mulai meni jejak perjalanannya selama mengiku sayembara, masuk ke keraton sampai menghadap baginda dan rubuh di lorong taman.

   Ia mengernyit dahi "Rasanya aku tak merasa telah berucap bohong, ber ngkah culas,"

   Katanya dalam ha . Namun ia menyadari bahwa seseorang itu sering tak merasa akan kesalahan yang dilakukannya.

   "Gus puteri,"

   Akhirnya ia menyerah kepada puteri "mohon paduka berkenan menunjukkan kesalahan hamba dan melimpahkan pidana kepada diri hamba"

   "Apakah engkau masih ingat akan pertemuan kita di taman Boboci dahulu itu?"

   Tanya puteril "Masih, gusti,"

   Kata Wijaya "tak pernah melupakan peristiwa itu."

   "Mengapa? "

   Wijaya gelapan menerima pertanyaan itu.

   Dia bicara menurut perasaan hati, tidak dengan pikiran.

   Pada hal kurang layak apabila dia mengungkapkan perasaan hatinya pada saat itu dimana tumenggung Bandupoyo hadir.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namun ia sudah terlanjur mengucap kata.

   Haruskah ia mengutarakan sejujur isi hati? Merah wajah Wijaya apabila menyadari bahwa ia telah kelepasan omong.

   Lalu bagaimanakah ia harus memberi jawaban? "Bagaimana? Jawablah,"

   Puteri mengulang pula.

   "Bagi seorang anak desa seper diri hamba, sudah tentu peris wa di taman Boboci itu, merupakan peristiwa besar dalam sejarah kehidupan hamba, gusti "

   "Maksudmu karena bertemu dengan aku ?"

   "Demikan gus ,"

   Kata Wijaya tersipu "baru pertama kali itu dalam kehidupan hamba, hamba bertemu dengan puteri agung kerajaan Singasari."

   "Adakah kesan yang mengguris ha mu itu karena hanya mbul bahwa aku dan adinda Gayatri itu puteri raja ataukah karena lain2 hal?"

   "Ah,"

   Wijaya mengeluh dalam ha . Mengapa puteri mendesak dengan pertanyaan yang mengundang jawaban dari isi ha nya? Haruskah ia menjawab.

   "Tidak, gus , bukan karena paduka puteri seri baginda Kertanagara, melainkan karena keagungan wajah paduka itu memancarkan sinar matahari yang menyinari kehidupan hamba."

   Merah pula wajah Wijaya manakala tertumbuk akan lamunan yang tak mungkin ia lafalkan dalam ucapan.

   Puteri Teribuana sempat pula memperha kan perobahan cahaya muka Wijaya.

   Sebagai seorang puteri luhur ia merasa malu sendiri mengapa harus mendesak pertanyaan sedemikian rupa.

   Maka cepat iapun menyusuli ucap "Ketahuikah, kakang, aku juga seorang tah dewata seper kakang, paman tumenggung dan lain2 orang.

   Puteri raja hanyalah dharma kehidupan yang digariskan dewata kepadaku."

   Wijaya terkesiap. Ha nya makin merekah cerah mendengar ucapan sang puteri yang melukiskan keluhuran budi dan keagungan peribadinya "Terima kasih, gusti "

   "Kakang,"

   Seru puteri Teribuana pula dalam nada yang tandas "pada waktu itu, bukankah kakang memberitahu bahwa nama kakang adalah Nararya ? Mengapa sekarang kakang bergan dengan nama Wijaya? "

   "Ah,"

   Kembali Wijaya mengeluh ha .

   Mengapa se ap pertanyaan puteri selalu sukar dijawabnya? Haruskah ia menceritakan tentang hal ihwal ia menggan nama itu? Bukankah hal itu akan mengungkap asal usul dirinya dan tujuan pengembaraannya? "Sebenarnya samalah kedua nama itu, gusti.

   Nama hamba yang lengkap yalah Nararya Sanggramawijaya.

   Jika dahulu hamba menggunakan nama di depan Nararya, sekarang hamba berganti dengan nama yang di belakang Wijaya."

   "O"

   Desuh puteri Teribuana "Nararya Sanggramawijaya sebuah nama yang indah, yang hanya layak disandang oleh priagung "

   Wijaya terkesiap.

   "Tetapi mengapa dahulu kakang mengatakan seorang pemuda dari gunung? "

   "Memang hamba dari gunung Kawi, gusti "

   "Gunung Kawi tentu bukan tempat asal kakang melainkan tempat kakang berguru."

   Wijaya makin padam semangatnya.

   "Lalu siapakah nama rama kakang?"

   Apa yang dicemaskan Wijaya muncul dalam kenyataan.

   Haruskah ia berbohong atau haruskah ia berkata dengan terus terang ? Apabila ia berbohong, pada hal puteri sudah mengetahui, tidakkah ia akan mendapat teguran sebagai pembohong? Namun apabila ia mengatakan terus terang, siapa dirinya, tidakkah asal-usul dirinya akan diketahui? Lambat atau cepat, ia memang sudah menduga bahwa asal-usul dirinya pasti akan diketahui orang juga.

   Tetapi ia tidak menginginkan hal itu terjadi sebelum ia berhasil menjadi senopati Singasari.

   Ia hendak menghilangkan kesan orang, bahwa keberhasilannya mencapai pangkat senopati itu bukanlah karena dia masih kerabat raja melainkan karena atas nilai diri peribadinya sendiri.

   "Ksatrya pantang berbohong, raden"

   Tiba2 tumenggung Bandupoyo menyelutuk tawa.

   Wijaya menghela napas dalam ha .

   Kini ia menyadari bahwa sesungguhnya rahasia dirinya itu sudah diketahui puteri.

   Tumenggung Bandupoyo tentu sudah memberitahukan hal itu.

   Ia memicingkan mata ke arah Bandupoyo "Benar, paman tumenggung, sebagaimana halnya seorang ksatryapun harus memegang kepercayaan."

   Rupanya tumenggung Bandupoyo tahu kemana arah tujuan ucapan Wijaya.

   Jelas pemuda itu menuduh dirinya telah memberitahukan rahasia itu kepada puteri Teribuana.

   Namun sebelum, ia membuka mulut puteripun sudah mendahului "Kakang, apakah yang engkau anggap berat apabila engkau mengatakah asal-usul dirimu ? Tidakkah sikapmu itu berarti mengingkari keluhuran nama rama dan ibumu ? "

   Serta merta Wijaya menghaturkan jawaban "bukan maksud hamba hendak mengingkari nama orang-tua hamba, gus .

   Tetapi hamba menghendaki, agar segala sesuatu yang hamba capai dalam perjalanan hidup hamba ini, lepas dari pengaruh kebesaran nama orang-tua hamba "

   "Suatu pambek yang luhur,"

   Sambut puteri Teribuana "tetapi sikap yang kurang ksatrya.

   Memang dalam melakukan segala tindakan, orang tentu tak dapat terhindar dari dua penilaian.

   Penilaian baik dan penilaian buruk.

   Tetapi kitapun wajib menyadari bahwa sebaik-baik atau seburuk-buruk penilaian orang tidaklah lebih baik atau lebih buruk dari penilaian kita kepada diri kita sendiri.

   Kita bertindak melakukan dharma, bukanlah semata-mata bertujuan untuk mencari penilaian orang, melainkan untuk memenuhi tanggung jawab kita terhadap dharma-hidup yang telah digariskan oleh Hyang Widdhi Agung.

   Barangsiapa yang telah menyadari akan hal itu, tidaklah dia akan bimbang, cemas dan samar akan segala langkah yang ditindakkannya.

   Karena apa ? Karena dia tak mempunyai rasa pamrih terhadap diri peribadinya "

   Wijaya terpukau mendengar rangkaian kata2 yang bermutu nggi itu meluncur dari sepasang bibir merekah merah dari seorang puteri yang can k jelita.

   Semangatnya melayang-layang kembali kepada suasana ke ka ia masih berada di puncak gunung.

   Malam itu resi Sinumaya menguraikan tentang duduknya manusia dalam alam kehidupan "Rasa memiliki diri peribadi atau sang Aku, merupakan sumber kegelisahan, ketakutan dan kebingungan.

   Kegemaran akan rasa sang Aku itulah yang membelenggu kebebasan pikiran dan ba n kita.

   Jika ingin hidup tenang, bebaskan dirimu dari kegemaian rasa sang Aku itu."

   "Benar, gus ayu,"

   Seru tumenggung Bandupoyo "raden Wijaya bermaksud hendak menyingkirkan peribadi ke-Aku-annya tetapi dia justeru terbelenggu pada rasa ke-Aku-annya."

   Saat itu makin sadarlah pikiran Wijaya bahwa apa yang dikatakan puteri Teribuana memang benar "Duh, gustri puteri, maa an kekhilafan hamba. Paduka telah memberi sinar penerangan kepada bathin hamba."

   Puteri Teribuana tersenyum "Ah, dak kakang, aku tak dapat memberi sinar penerangan tetapi ha mu sendirilah yang telah terbuka. Karena pada hakekatnya, terang atau gelap ha itu adalah menurut perasaan kita sendiri"

   "Benar gus ,"

   Sahut Wijaya "gus , hamba mengaku bersalah kepada paduka karena telah memberi keterangan bohong. Maka mohon paduka segera melimpahkan tah untuk menjatuhkan pidana kepada diri hamba"

   "Ya,"

   Puteri Teribuana mengangguk "hukuman itu sifatnya bukan untuk membalas pada yang telah dilakukan oleh yang bersalah, melainkan untuk menyadarkan dia dari kesalahan.

   Karena kakang telah mengakui kesalahan itu maka akupun hendak menjatuhkan pidana kepada kakang."

   "Baik, gus ,"

   Kata Wijaya "apapun pidana yang hendak gus limpahkan, pas akan harnba lakukan dengan keikhlasan hati."

   "Benar? "

   Puteri menegas.

   "Demi Batara Agung "

   "Paman tumenggung supaya menjadi saksi,"

   Seru Teribuana. Dan ke ka tumenggung Bandupoyo memberi persetujuan, puteripun berkata pula "Engkau harus menjawab pertanyaanku dengan sejujurnya dan melakukan permintaanku, kakang."

   "O, baiklah gusti puteri "

   "Siapakah nama rama kakang ?"

   Wijaya terkejut ke ka puteri mengulang pertanyaan itu pula. Walaupun heran namun karena sudah berjanji, iapun memberi keterangan juga.

   "Rama hamba adalah rama Lembu Tal.

   "

   "Putera-siapakah ramanda Lembu Tal itu?"

   "Putera eyang Batara Narasingamurti.

   "

   "Siapakah rama dari eyang Batara Narasingamurti? "

   "Eyang buyut Mahisa Wonga Teleng"

   "Siapakah ibunda eyang buyut Mahisa Wonga Teleng? "

   "Eyang buyut puteri Ken Dedes "

   "Benar,"

   Puteri Teribuana berhen sejenak lalu melanjutkan pula "siapakah ramanda baginda dari Kertanagara raja Singasari yang sekarang ini? "

   "Sang prabu Wisnuwardhana."

   "Siapakah ramanda dari prabu Wisnuwardhana? "

   "Sang Anusapati "

   "Siapakah ibunda dari sang Anusapati? "

   "Pradnaparamita Ken Dedes "

   "Jika demikian paman Lembu Tal itu masih mempunyai hubungan keluarga dengan baginda Kertanagara dari garis keturunan eyang buyut puteri Ken Dedes, bukan ? "

   "Demikianlah, gusti puteri "

   "Jika demikian pula, kakang ...."

   Agak meragu puteri hendak melanjutkan ucapannya. Tiba2 tumenggung Bandupoyo menyambu "Raden Wijaya masih saudara sepupu dengan gus ayu."

   "Ah, paman tumenggung,"

   Wijaya tersipu-sipu menunduk..

   "Apakah raden hendak membohongi gusti ayu ataukah hendak membohongi diri raden sendiri? "

   "Tetapi paman,"

   Wijaya gopoh membantah "layakkah hamba yang hina dina begini, menjadi saudara sepupu dari gusti puteri ?"

   "Kakang Wijaya,"

   Seru puteri Teribuana "kenyataan itu suatu hal yang mutlak benar. Adakah engkau hendak menyangkal bahwa surya itu pas terbit dari arah mur dan tenggelam ke arah barat ?"

   "Tetapi gusti, bagaimana hamba...."

   "Kakang,"

   Tukas puteri "engkau telah berjanji akan menerima pidana apapun yang hendak kuberikan kepadamu."

   "O, benar, gusti,"

   Wijaya terbata-bata.

   "Sekarang dengarkanlah pidana yang kuberikan kepada kakang,"

   Seru puteri Teribuana "pertama, kakang harus menyatakan sikap sebagai diri kakang, raden Nararya Sanggramawijaya putera Lembu Tal.

   Kedua, kakang harus menyesuaikan segala ucap, ngkah, sikap dan pikiran kakang dengan keadaan diri kakang yang sebenarnya.

   Demikian pidana yang kujatuhkan pada diri kakang Wijaya."

   Wijaya terbeliak "O, mengapa gusti .

   "

   "Kakang Wijaya,"

   Tukas puteri pula "engkau seorang ksatrya yang ingkar janji."

   "Hamba .... hamba ingkar janji dalam soal apa, gus ?"

   Tersendat-sendat Wijaya meminta keterangan.

   "Minta per mbangan kepada paman tumenggung,"

   Kata puteri Teribuana "setelah menyadari, barulah aku datang kemari lagi."

   Setelah berkata maka puteripun segera melangkah, masuk ke dalam keraton keputren.

   Wijaya terlongong-longong.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia tak menger apa yang dikehendaki puteri.

   Serentak ia mencari sumber tempat ia harus menimba jawaban "Paman tumenggung, apakah yang gus puteri menghendaki dari aku.

   Berikanlah, paman, per mbangan agar aku dapat memperbaiki apa yang salah padaku "

   Tumenggung Bandupoyo tersenyum "Sebenarnya hal itu sudah jelas dan mudah sekali. Hanya karena perasaan raden masih tercengkam oleh rasa samar dan takut, maka pikiran radenpun ikut tidak terang."

   "Tolonglah berikan penerangan, paman."

   "Raden sudah mengakui sebagai putera gus Lembu Tal. Mengakui pula bahwa rama raden dan baginda Kertanegara masih terikat hubungan darah dari garis keturunan gus , ratu Ken Dedes. Dengan demikian raden masih saudara sepupu dengan gus puteri Teribuana dan Gayatri. Gus puteri tentu merasa tak senang karena raden selalu menyebutnya dengan sebutan 'gusti puteri' "

   "O"

   Kini raden Wijaya tersadar akan kekhilafan hal itu "jika begitu, bagaimanakah aku harus menyebutnya, paman?"

   "Karena raden lebih tua, sebutlah dengan kata diajeng atau terserah bagaimana raden hendak memilih sebutan asal jangan "gusti' "

   Wijaya tertegun hingga beberapa saat dia tampak diam termenung.

   "Mengapa raden ?"

   Tegur tumenggung Bandupoyo "adakah yang masih mengganjel dalam ha raden ? "

   "Tidak, paman"

   Kata Wijaya "hanya sesungguhnya aku belum menginginkan hal ini terjadi sekarang apabila paman tidak ...

   "

   "Baik, raden,"

   Cepat tumenggung Bandupoyo menanggapi "semua memang paman yang bersalah. Tetapi ketahuilah, raden Paman terpaksa ber ndak demikian, demi paman hendak memperjuangkan langkah raden supaya berhasil memenangkan sayembara itu."

   "O"

   Wijaya mengernyit dahi.

   "Karena merentang gendewa pusaka kyai Kagapa maka raden menderita luluh tenaga, lulus bayu nadi. Seri baginda telah berkenan meluluskan hendak menganugerahi obat kepada raden. Tetapi obat itu dak pada baginda melainkan pada kedua gus puteri Teribuana dan Gayatri. Demi mengharap agar usaha paman memohon obat kepada gus ayu Teribuana berhasil maka paman terpaksa mengungkapkan asal usul diri raden. Dan ternyata gus ayu Teribuana terkejut dan segera berkenan memberikan obat itu kepada raden."

   "O, apakah air yang diminumkan kepadaku itu ?"

   "Ya "

   "Apakah namanya paman? "

   "Bagaimana perasaan raden sekarang ? "

   "Sudah tidak selunglai beberapa waktu yang lalu, paman."

   "Itulah khasiat dari Tirta Amerta yang diberikan gusti ayu Teribuana kepada raden. Baginda tidak menyimpan, karena itu milik rahyang ramuhun prabu Wisnuwardhana yang dianugerahkan kepada cucunda sang dyah ayu Teribuana dan sang dyah ayu Gayatri. Dengan meminum air Tirta Amerta itu, kekuatan raden akan pulih kembali. Besok raden tentu dapat maju ke gelanggang pertandingan dengan semangat yang penuh"

   "O, terima kasih paman tumenggung"

   Serta-merta Wijayapun menghaturkan terima kasih kepada Bandupoyo.

   "Jika raden benar2 berterima kasih atas usaha paman ini"

   Kata tumenggung itu pula "hanyalah dengan cara bahwa raden akan berusaha memenangkan sayembara itu, bukan dengan pernyataan kata-kata saja."

   "Ah"

   Wijaya mengangguk.

   Diam2 ia merasa periha n atas ucapan tumenggung itu.

   Ia menyadari betapa besar jerih payah tumenggung itu berusaha untuk menampilkan dirinya sebagai senopa .

   Mulai dari usaha mencari ke gunung Kawi hingga mengusahakan penyembuhan tenaganya yang lunglai akibat gendewa pusaka keraton "Baik paman tumenggung,"

   Akhirnya ia kerkata "akan kuusahakan dengan sekuat tenagaku agar harapan dan kepercayaan paman atas diriku itu takkan sia-sia."

   "Begitulah yang paman harapkan, raden."

   Sejenak kemudian Wijaya bertanya "Paman tumenggung, adakah kita harus menan kehadiran gusti.... diajeng Teribuana lagi?"

   "Paman rasa tak perlu,"

   Kata tumenggung Bandupoyo seraya beranjak dari duduk "mari, raden."

   "Kemana, paman tumenggung? "

   "Menghadap gusti ayu Gayatri."

   "Mengapa ? "

   "Tirta Amerta harus dilambari pula dengan minyak Padmasari barulah benar2 kekuatan tumbuh sempurna. Tirta Amerta berada pada gus ayu Teribuana dan minyak Padmasari berada pada gus ayu Gayatri."

   "Maksud paman tumenggung hendak membawa aku ke keraton gusti Gayatri?" .

   "Ah, mengapa raden masih menyebut 'gusti'?"

   "Tetapi diajeng Gayatri tentu belum mengetahui asal-usul diriku. Betapa marahnya apabila aku terus langsung menyebutnya diajeng, paman."

   Tumenggung Bandupoyo tertawa "Soal itu serahkan saja kepada paman."

   Mereka segera menuju ke keraton tempat kediaman puteri Gayatri.

   Se ba di pendapa keputren, maka tumenggung mempersilakan Wijaya menunggu sementara dia hendak masuk menghadap puteri lebih dulu.

   Pada saat itu malam sudah makin gelap namun tumenggung Bandupoyo yang sudah biasa dan faham akan lingkungan keraton, dak merasa canggung.

   Pada saat melangkah di halaman keraton kediaman puteri, ia terkejut ke ka melihat sesosok bayangan hitam loncat ke atas dinding pagar.

   Serentak tumenggung Bandupoyo mencabut pedang dan terus loncat memburu "Turun! "

   Hardiknya bengis.

   Orang itu sudah berhasil menggapai puncak dinding tembok dan sekali ayun, dia tentu sudah dapat mengangkat tubuh ke puncak tembok dan terus loncat turun keluar tembok pagar keraton.

   Ia terkejut ke ka mendengar bentakan tumenggung Bandupoyo yang penuh bernada kemarahan.

   Sebenarnya ia hendak melanjutkan usahanya untuk naik ke puncak tembok dan terus melarikan diri.

   Namun rupanya ia sudah mengenal nada suara orang yang mengancamnya itu maka iapun lepaskan cekalan pada puncak tembok dan meluncur turun ke bawah lagi.

   "Engkau Kuti,"

   Teriak tumenggung Bandupoyo penuh kejut ketika mewaspadakan siapa orang itu.

   "Benar, kakang Bandu, memang aku Kuti,"

   Sahut orang itu.

   "Mengapa pada malam hari engkau hendak memanjat tembok keraton? "

   "Aku hendak kembali ke pondokku, kakang."

   "Disini keraton, bukan...."

   "Ah, mengapa kakang Bandu amat pelupa "sahut Kuti.

   "aku masih berada dalam keraton."

   Bandupoyo terkejut.

   Ia segera teringat akan peris wa keributan dari prajurit bhayangkara keraton yang hendak membunuh Wijaya.

   Saat itu Ku muncul untuk mencegah peris wa itu.

   Karena ribut2 dan gopoh hendak menolong Wijaya, maka Bandupoyo pun melupakan diri Ku .

   Ia mengira tentulah Kuti sudah pergi dari keraton "Jadi sejak tadi engkau belum pergi dari sini?"

   Kuti gelengkan kepala "Belum."

   "Lalu ke manakah engkau? Apa yang engkau lakukan dalam keputren ini, Ku ?"

   Tumenggung Bandupoyo tak kuasa menekan perasaan kejut dan cemasnya pada nada ucapannya.

   "Menghadap gusti puteri Gayatri."

   Terbelalak tumenggung Bandupoyo mendengar jawaban itu "Apa katamu, Kuti? "

   Ia menegas karena kuatir salah dengar.

   "Menghadap sang dyah ayu gusti Gayatri "

   "Kuti!"

   Teriak Bandupoyo serentak "jangan berolok-olok."

   "Sama, sekali aku dak berolok-olok, kakang tumenggung. Memang aku telah menghadap gus puteri Gayatri."

   Meluap kemarahan tumenggung Bandupoyo saat itu.

   Hampir ia tak dapat menguasai diri lagi.

   Tetapi untunglah kesadaran pikirannya membias.

   Ia tahu bahwa Kuti itu seorang muda yang sakti mandraguna.

   Tentu ada sebabnya mengapa dia berani lancang masuk keraton dan menghadap puteri Gayatri.

   Baiklah ia mendengar dulu keterangan Kuti dan mempertimbangkannya.

   Apabila Kuti benar2 telah bertindak melanggar undang-undang, ia dapat mempersiapkan pasukan bhayangkara yang malam itu bertugas menjaga keraton untuk menangkapnya.

   "Kakang tumenggung,"

   Kata Ku dengan nada tenang "kutahu bagaimana perasaan kakang.

   Tetapi kuminta hendaknya janganlah kakang merasa tersinggung karena tanpa melalui idin yang berwenang, aku telah lancang menghadap puteri Gayatri? Dan hal itu memang telah kujangkau dengan mempertaruhkan jiwaragaku.

   Namun, andaikata kakang tetap merasa tersinggung, akupun tak dapat menghalangi tindakan kakang untuk menyiapkan pasukan bhayangkara menangkap aku."

   "Hm, kurang ajar, dia tahu isi ha ku,"

   Kata tumenggung Bandupoyo dalam ha . Kemudian ia berkata "Terangkanlah semua hal yang engkau lakukan di keputren ini."

   "O, kakang ingin mengetahui ?"

   "Akan kupertimbangkan."

   Ku tersenyum. Wajahnya menampilkan suatu tekad yang telah membaja dalam ha bahwa betapapun akibatnya, dia memang sudah siap menghadapi untuk mengantar langkahnya menghadap puteri Gayatri itu.

   "Kedatanganku ke pura Singasari, bermula adalah hendak ikut serta dalam sayembara pilih senopa . Sebagai seorang muda, akupun bercita-cita nggi. Ingin mengabdi kepada kerajaan, ingin meraih pangkat kedudukan yang nggi, ingin menciptakan nama yang masyhur dan segala macam keinginan yang lazim dimiliki oleh setiap orang muda."

   "Sebenarnya dalam ga acara lomba yang dilangsungkan pagi tadi, aku tentu dapat memenangkan semua. Tetapi rupanya nasib belum mengidinkan diriku. Juga dalam lomba merentang busur pusaka keraton Singasari, aku merasa yakin tentu mampu. Aku hampir berhasil merentang busur pusaka itu andaikata dak terjadi sesuatu yang menimpa pada diriku. Sesuatu yang menggagalkan usahaku merentang busur pusaka itu tetapi yang memberi sinar harapan bagi kehidupanku. Engkau tahu kakang tentang apakah yang menyebabkan kegagalanku itu ?"

   Tumenggung Bandupoyo menggeleng sarat.

   "Sepasang mus ka yang berkilau-kilauan laksana bintang mur, kakang, yang telah mempesonakan pikiranku, menikam uluha ku sehingga tali busur yang sudah hampir berhasil kurentang itu, mengatup pula."

   "Mustika berkilau-kilauan laksana bintang timur? Apakah itu?,"

   Tumenggung Bandupoyo heran.

   "Sepasang manik mata yang terpancang pada sebuah wajah bulan penuh, bertaut sepasang alis bagai kiliran taji, memancar sinar berseri agung yang menyuramkan semua wajah-wajah dan menyemarakkan suasana saat itu ....

   "

   "Kuti,"

   Tukas tumenggung "apa bicaramu itu? Apakah engkau sadar sedang bicara dengan aku?"

   "Ya"

   Sahut Kuti "akupun telah memberi keterangan yang sebenarnya, kakang."

   "Tetapi keteranganmu itu suatu sanjungan kepada kecantikan wanita."

   "Memang begitulah, kakang,"

   Kata Ku "pesona itu berasal dari seorang wanita. Tetapi bukan wanita sembarang wanita melainkan, seorang wanita agung mustika jagad, kakang."

   Tumenggung Bandupoyo mengerut kening "Siapa yang engkau maksudkan itu?"

   "Sang dyah ayu puteri Gayatri."

   "Engkau gila!"

   Hardik tumenggung Bandupoyo "bukankah puteri Gayatri itu puteri baginda? "

   Kuti menghela napas "Benar, kakang, tetapi aku tak berdaya dan terpaksa harus menyerah."

   "Menyerah kepada siapa? "

   "Menyerah kepada suara ha ku, kakang,"

   Kata Ku "walaupun pikiranku menyatakan bahwa hal itu mustahil terlaksana namun hatiku tetap meronta"

   "Ku ,"

   Kata tumenggung Bandupoyo setelah menenangkan diri "jangan engkau turu suara ha yang buta tetapi lakukanlah apa yang pikiranmu berkata. Sebelum terlanjur kuyub, lebih baik segera engkau kubur saja segala lamunan hatimu itu."

   "Jangan.sekejam itu, kakang Bandu,"

   Kata Ku "suara ha adalah sentuhan rasa seja anugerah dewata agung. Lebih baik kukubur jasadku daripada harus mengubur suara hatiku, kakang."

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kuti !"

   "Kakang Bandu,"

   Cepat Kuti menyambut "aku datang ke pura Singasari karena hendak mengikuti sayembara senopati.

   Aku datang dengan membawa cita-cita sebesar gunung, setinggi langit.

   Tetapi ketika hatiku terpanah oleh pesona itu, gugurlah seluruh cita-citaku.

   Aku tak menginginkan pangkat tinggi, kedudukan agung, kekuasaan besar, nama termasyhur lagi.

   Hanya satu yang kini menjadi tujuan hidupku.

   Aku harus memiliki mustika itu karena itulah dzat kehidupanku.

   Lebih baik Kuti mati daripada hidup tanpa dzat itu."

   "Ku ,"

   Teriak tumenggung Bandupoyo agak keras dan agar tak diputus Ku , iapun cepat melanjutkan "suara ha itu selalu tamak.

   Jika dibiarkan rasanya ingin jagad ini dikuasainya.

   Jika dibebaskan, ingin rasanya dewa diperintahnya.

   Jika digelar, suara itu akan memenuhi jagad raya.

   Tetapi yang kuasa dalam diri kita ini adalah pikiran.

   Karena dialah kesadaran kita.

   Tanpa kesadaran, jagad kecil jasad kita ini akan kacau balau dengan imbauan suara ha .

   Wahai Ku , sadarlah engkau, sebelum engkau mengalami kehancuran."

   "Tidak kakang,"

   Bantah Ku "suara ha itu adalah dzat hidup dan pikiran hanyalah sarana untuk mengusahakan terlaksananya suara hati itu."

   "Ku ,"

   Kata tumenggung Bandupoyo "ketahuilah bahwa dewata telah menggaris perjodohan insan itu sesuai dengan pembawaan hidupnya masing- masing. Dewa dengan dewi, raja atau ksatrya dengan puteri, raksasa dengan raksasi, demikian selanjutnya ...

   "

   "Jika demikian salahkah kalau Kuti mencita-citakan suara hatinya itu ? Bukankah setelah menjadi senopati kerajaan Singasari, Kuti itu juga seorang kasta ksatrya ? Apa salahnya kalau dia bercita-cita hendak mempersunting seorang puteri ?"

   "Apakah engkau yakin pasti dapat memenangkan sayembara itu ?"

   "Kakang Bandu,"

   Sahut Ku "kiranya engkau tentu sudah kenal akan watak Ku . Jika ada harapan menang, tak mungkin aku akan memasuki sayembara itu. Apa yang terjadi besok pagi, akan membuktikan kebenaran dari ucapan ini."

   Tumenggung Bandupoyo terkejut dalam ha .

   Ia memang kenal siapa dan bagaimana watak Ku .

   Dan iapun yakin bahwa Ku tentu memiliki kesak an yang mampu mengatasi ksatrya ksatrya pengikut sayembara "Hm, wataknya memang keras.

   Makin dilarang dia makin nekad.

   Lebih baik kutelusuri secara halus apa sebenarnya yang dikehendaki dan bagaimana rencananya,"

   Diam2 Bandupoyo menimang dalam hati.

   "Ku ,"

   Katanya "jika engkau tetap berkeras hendak menuru suara ha mu, akupun tak dapat mencegahmu.

   Tetapi ingat Ku , selama engkau tak melanggar batas-batas kewibawaan tugasku, akupun tak ingin ikut campur.

   Maka jagalah hal itu agar hubungan kita tetap seperti sediakala."

   "Baik kakang tumenggung,"

   Kuti memberi janji.

   "Ku , bagaimana engkau berani memasuki keputren tempat kediaman gus puteri Gayatri dan menghadap puteri?,"

   Tiba2 Bandupoyo teringat bahwa ia belum mendengar keterangan tentang hal itu.

   "Untuk menenangkan perasaan ha ku yang selalu gundah dan risau, terpaksa aku harus memberanikan diri untuk menghadap gus puteri Gayatri. Rupanya dewata telah mengabulkan pemohonanku. Ke ka aku sedang hilir mudik di luar tembok, keraton, ba- ba kudengar jeritan seorang dayang. Tanpa ragu-ragu lagi akupun segera loncat tembok keraton dari masuk ke halaman. Saat itu, kulihat seorang bhayangkara sedang berlari-lari menghampiri sesosok tubuh yang menggeletak di tanah dan terus hendak menombaknya. Aku terkejut dan serentak loncat menepis tombak prajurit itu. Kemudian kakang Bandupun muncul."

   "Setelah kakang membawa orang yang menggeletak itu, maka nggallah aku seorang diri. Aku segera menyuruh dayang mengantarkan ke keputren tempat kediaman gus puteri Gayatri. Terkejut sekali puteri melihat kedatanganku tetapi akupun segera menerangkan Siapa diriku. Begitu pula kuhaturkan peris wa yang telah kulakukan ke ka dapat menemukan kaca wasiat gus puteri Teribuana yang hilang beberapa waktu yang lalu."

   "Gus puteri Gayatri segera mengenali aku sebagai ksatrya yang ikut dalam lomba sayembara pagi tadi. Lalu puteripun bertanya apa maksud kedatanganku menghadapnya pada malam itu "Gus , maksud hamba menghadap paduka tak lain hanya hendak mohon keteduhan dan pengayoman paduka."

   "Keteduhan dan pengayoman apa yang engkau kehendaki?"

   Puteri agak terkejut.

   "Berkenankah paduka meluluskan cerita hamba? "

   "Uh, engkau sudah berani menghadap kemari, engkaupun wajib menghaturkan keterangan dari maksud kedatanganmu itu."

   "Baik, gus "

   Kata Ku "terus terang, dalam lomba merentang busur pusaka kerajaan Smgasari pagi tadi, hamba telah kehilangan suatu kesempatan.

   Hamba sebenarnya mampu merentang busur pusaka itu tetapi adalah karena suatu cahaya gemilang yang memukau ha maka hamba terpesona dan hilanglah seluruh pemusatan tenaga yang telah hamba himpun dalam tangan hamba.

   Akibatnya hambapun gagal."

   "Cahaya gemilang apakah yang telah memukau engkau sedemikian rupa itu ?."

   "Sebelum menghaturkan kata, lebih dahulu hamba mohon diampunkan apabila kata-kata hamba ini tak berkenan di ha paduka. Sesungguhnya cahaya gemilang yang memukau ha hamba itu berasal dari kursi kebesaran dalam bangsal agung yang berada di muka gelanggang pertandingan itu "

   Puteri Gayatri terkesiap.

   Sayup-sayup ia seper dapat menangkap apa yang dilukiskan Ku .

   Kursi kebesaran dalam bangsal agung itu telah disediakan ga buah tetapi yang terisi hanya dua buah yani yang dipakainya dan dipakai ayundanya dyah Teribuana.

   Sedang kursi kebesaran yang sebuah sebenarnya diperuntukkan baginda tetapi baginda tak perkenan hadir.

   "Jika cahaya itu mengganggu perasaan ha mu sehingga engkau terpukau kehilangan tenaga, mengapa tak engkau laporkan kepada demang Widura yang bertugas mengepalai sayembara itu ?"

   Tegur puteri Gayatri.

   "Ah, tidak gusti puteri,"

   Kata Kuti dengan menghela napas.

   "Tetapi bukankah engkau menderita kerugian karena gagal merentang busur pusaka itu ? "

   "Demikianlah, gus ,"

   Kata Ku "tetapi kerugian yang hamba derita itu masih jauh memadai dari kebahagiaan yang hamba rasakan dari pancaran sinar agung itu. Hamba rela sepenuh kerelaan ha hamba, gusti."

   Puteri Gayatri kerutkan alis yang berbentuk seper bulan sabit "Aneh,"

   Gumamnya "apakah sesungguhnya cahaya gemilang yang engkau rasakan itu ?"

   "Apakah paduka tidak murka apabila hamba menghaturkan keterangan dengan sejujurnya?"

   


Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id Peristiwa Bulu Merak -- Gu Long

Cari Blog Ini