Dendam Empu Bharada 25
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 25
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
"Katakanlah "
"Cahaya agung itu berasal dari kursi kebesaran yang berada di jajaran sebelah kiri kursi agung baginda."
"Eh, itulah kursi yang kududuki,"
Serentak Gayatri berseru kejut.
"Demikianlah, gus "
Ku bergegas menghaturkan sembah "memang dari situlah sinar cemerlang itu memancar."
"Engkau maksudkan kursi kebesaran yang kududuki itu memancarkan sinar gemilang?"
"Bukan, gusti "
Puteri Gayatri makin heran "Lalu dari mana sinar gemilang itu?"
"Gus , hamba mohon ampun atas kelancangan ucap hamba tetapi hamba terpaksa harus menghaturkan kata bahwa sinar gemilang itu tak lain berasal dari paduka sendiri ....
"
"Ku !"
Teriak puteri Gayatri seraya beranjak dari tempat duduk dan memandang Ku dengan tajam. Wajah puteripun bertebar merah "engkau berani mengatakan begitu ? Engkau tahu saat ini sedang berada dinana dan berhadapan dengan siapa ?"
Ku pun menghaturkan sembah "Hamba sadar sesadar-sadar kesadaran hamba gus . Bahwa saat-ini hamba sedang menghadap gus puteri sang dyah ayu Gayatri, puteri baginda Singasari yang termasyhur."
"Mengapa engkau berani lancang ucap? Apakah engkau tak takut apabila kuperintahkan dayang untuk memanggil prajurit penjaga keputren menangkapmu?"
"Memang hambapun sudah menyadari hal itu."
"Dan karena engkau tetap berani melakukannya, engkau tentu sudah mempunyai andalan untuk lolos dari ktraton ini ? "
"Gus puteri junjungan hamba,"
Kata Ku "apabila menutu darah ksatryaan yang hamba haya selama beberapa belas tahun berguru seorang resi sak , hamba sanggup untuk menghadapi kepungan prajurit bhayangkara yang hendak menangkap hamba.
Tetapi bukan begitu maksud hamba.
Apabila hamba ditangkap, hamba akan serahkan diri.
Karena hamba sudah melaksanakan suara ha hamba untuk menghadap paduka yang menjadi sesembahan kehidupan hamba di arcapada ini.
Demikian pula, kiranya seri baginda yang mulia, tentu takkan menjatuhkan pidana kepada diri hamba karena hamba masih menerima janji baginda untuk diberi ganjaran berkat hamba dapat menemukan kaca wasiat gusti puteri Teribuana yang lalu."
Gayatri menghela napas.
Ia memang mendengar peristiwa itu.
Ia makin menyadari bahwa Kuti memang sakti mandraguna.
Pada lomba merentang busur pusaka, sebenarnya setiap peserta tentu selalu diikuti dengan penuh perhatian oleh seluruh penonton.
Demikian pula iapun selalu mencurah pandang pada setiap ksatrya yang naik gelanggang.
Memang pada saat Kuti sedang merentang busur, tiba-tiba dia melepas pandang ke arah bangsal agung dan pandang matanya terbentur dengan pandang puteri Gayatri.
Puteri sempat memperhatikan "bahwa pada saat itu mata Kuti memancar sinar berkilat-kilat dan terpukau.
Sedemikian tajam pancaran sinar mata Kuti ke arahnya sehingga Gayatri menundukkan kepala.
Puteri baru mengangkat muka pula ketika terdengar sorak bergemuruh mengantar kegagalan Kuti.
Serambut dibelah tujuhpun puteri Gayatri dak menyangka bahwa pancaran pandang mata yang dilepaskan untuk mengiku se ap ksatrya, termasuk Ku waktu merentang busur itu, ditafsirkan lain oleh Ku .
Diam2 puteri menertawakan kenaifan Ku tetapi di samping itu, diapun kagum atas keberanian Kuti yang nekad masuk ke dalam keraton untuk menghadapnya.
Puteri Gayatri termenung dalam keheningan.
Haruskah ia murka akan tindakan Kuti ? "Ah, setiap insan bebas untuk merasakan sesuatu dalam hatinya,"
Pikirnya. Bahwa Kuti terlalu melonjak pada keadaan yang tak sesuai bagi dirinya, lebih layak dikasihani daripada dicemoh ataupun ditangkap."
Dia telah mengunjukkan keberanian sebagai seorang ksatrya jantan. Diapun tak bersikap kurang tata dihadapanku. Dia telah berjasa menemukan kaca wasiat ayunda Teribuana. Haruskah aku murka dan memerintahkan supaya dia ditangkap ?"
Gayatri tertarik akan ajaran dalam kitab veda dan pitaka. Ajaran tentang kejiwaan, derita dan keutamaan budi, keluhuran dharma, dihayatinya dengan penuh pengertian.
"Berilah air kepada yang kehausan, keteduhan pada yang kepanasan dan penerangan kepada yang sedang menderita kegelapan hati,"
Serentak puteri itupun teringat akan sebuah ajaran luhur.
Kuti sedang menderita kegelapan hati.
Harus diberi penerangan bukan diberi hukuman.
Akhirnya ia membulatkan penimangan.
Dan kesadaran pikirannyapun mengatakan bahwa suatu perintah penangkapan hanya akan menimbulkan kehebohan yang akibatnya tentu akan tersiar ke seluruh pura.
Kuti dihukum tetapi tidakkah peristiwa itu meninggalkan cemarkan pada diri puteri? "Ku ,"
Akhirnya puteri berujar dengan nada agak tenang "mengingat engkau telah berjasa menemukan kaca wasiat milik ayunda Teribuana, untuk kali ini perbuatanmu berani menghadap ke keputren ini dapat kumaafkan."
"Beribu syukur hamba persembahkan ke hadapan paduka, gusti,"
Kuti memberi sembah.
"Tetapi jangan engkau ulang lagi. Aku tak membenarkan ndakanmu itu, kecuali engkau mendapat idin dari rama prabu."
"Terima kasih, gusti "
"Sudah cukup lama engkau berada di sini,"
Kata puteri Gayatri "sekarang katakanlah apa sesungguhnya maksud kedatanganmu ini!."
Setelah mendapat ha dari Gayatri, Ku pun tak canggung lagi.
Perasaannya yang tajam dapat meneropong isi ha puteri bahwa puteri memberi kelonggaran kepadanya untuk mengutarakan apa yang terkandung dalam ha nya "Gus , besok adalah hari terakhir dari sayembara pengangkatan senopa kerajaan Singasari.
Dan dengan segala kerendahan ha , hamba mohon menghaturkan kata bahwa menurut wawasan hamba, kiranya ada ksatrya dalam sayembara itu yang mampu menandingi kedigdayaan hamba."
"Jangan lekas yakin akan lamunan sebelum menjadi kenyataan,"
Ujar puteri Gayatri.
"Terima kasih, gus . Tetapi keyakinan hamba ini bukan suatu lamunan melainkan hasil dari penjajagan yang telah hamba lakukan terhadap mereka."
Gayatri terkejut namun ia tahan dalam ha .
Bahwa apa yang disanggupkan oleh Ku pas akan menjadi suatu kenyataan, telah dibuk kan dalam peris wa menemukan kaca wasiat puteri Teribuana yang lalu.
Jika sekarang dia berani membuka mulut menyatakan keyakinannya pas menang, kemungkinan tentu tak ingkar.
Namun puteri Gayatri masih agak heran apa kaitan kemenangan Ku dalam sayembara itu dengan maksudnya menghadap kepadanya "Lalu apa yang hendak engkau maksudkan dengan pernyataan itu ?"
Tegurnya.
"Gus , adalah hal itu yang hamba maksudkan hendak mohon pendapat paduka. Bagaimanakah kiranya sikap paduka apabila hamba berhasil memenangkan sayembara itu? "
"Aneh,"
Gumam puteri "apa yang harus kunyatakan? Tidakkah kesemuanya itu sudah tercantum dalam ganjaran sayembara bahwa siapa yang menang akan diangkat sebagai senopati Singasari."
"Apakah hanya itu, gusti? "
"Begitulah yang kudengar. Apakah masih ada ganjaran lain ?"
"Demikianlah kiranya, gus .
"kata Ku .
"selain pangkat senopa , pun akan diberi kelungguhan sebagai tumenggung, tanah dan ganjaran puteri"
"Ah"
Gayatri mendesah "memang hal itu sudah layak bagi keluhuran seorang senopati kerajaan."
"Dalam kaitan itulah, gus , maka hamba memberanikan diri. untuk mohon pendapat paduka, apabila hamba kelak diangkat sebagai senopati Singasari."
Gayatri terkesiap. Ada se k percikan tanggapan yang menggetar dalam ha nya atas ucapan Kuti itu. Namun ia ingin mengetahui lebih jauh.
"Kuti, aku benar2 tak mengerti apa yang engkau maksudkan,"
Ujar puteri.
"Hamba hanya mohon sepatah kata paduka. Dan kata2 paduka itu akan hamba junjung sebagai tujuan hidup hamba selama-lamanya."
"Katakanlah, jangan membuang waktu."
"Se ap insan, baik pria maupun wanita, apabila sudah menjelang jenjang kedewasaan, tentulah tak lepas dari kodrat dharma hidupnya. Ar nya, tentu akan mempunyai pasangan hidup"
Ku berhen sejenak untuk menyelimpatkan pandang mata. Tampak puteri Gayatri tersipu-sipu menundukkan kepala.
"Demikian pula kiranya yang akan direstui dewata kepada paduka, gus ,"
Kata Ku lebih lanjut "dalam hal itu, se ap insan manusia tentu mempunyai cita-cita akan pasangan hidupnya itu kelak.
Apabila paduka berkenan memberi penerangan pada kegelapan ha hamba, mohonlah paduka berkenan melimpahkan amanat, bagaimanakah kira2 pria yang kelak paduka kenankan sebagai pelindung paduka, gusti."
Gayatri tertegun.
Ia tak menyangka bahwa seberani itu Kuti hendak bertanya tentang hal yang menyangkut kehidupan peribadinya.
Seketika hampir puteri tak dapat mtnahan luap kemurkaan dan hendak berteriak memanggil prajurit penjaga.
Tetapi pada lain kilas, ia teringat pula akan renung penimangannya tadi.
Bahwa setiap insan bebas untuk mengandung sesuatu perasaan dalam hatinya.
Bahwa orang yang menderita kegelapan hati harus diberi penerangan daripada hukuman.
Maka mengendaplah pula amarahnya.
"Aku seorang puteri nata binatara. Jodohku harus seorang raja."
"Tetapi gus , apabila rama paduka sang prabu Kertanagara yang menentukan, adakah paduka akan menolaknya ? "
"Rama prabu amat sayang kepadaku dan ayunda Teribuana. Tak mungkin rama prabu akan merendahkan martabat puteri kekasihnya. Oleh karena itu akupun sebagai seorang puteri harus menetapi laku keutamaanku untuk mentaati dan patuh pada rama prabu."
"Terima kasih, gusti puteri."
Kuti menghaturkan sembah. Wajahnya amat gembira "pernyataan paduka itu sungguh tak ternilai keagungannya. Hati hamba yang gelap serasa merekah terpancar oleh sinar yang gilang gemilang."
Puteri Gayatri terkesiap pula. Ia tak tahu mengapa Ku begitu gembira dan mengapa mengucapkan kata-kata itu.
"Demikian aku segera mohon diri dari hadapan sang puteri dan ke ka aku hendak keluar dari keraton, ba- ba kakang Bandu telah menghardik dan memerintahkan aku turun."
Ku mengakhiri penuturannya ketika ia masuk menghadap puteri Gayatri di keputren.
"Mengapa engkau harus memanjat tembok apabila hendak keluar dari keraton?"
Tegur Bandupoyo.
"Kakang Bandu,"
Jawab Ku "aku masuk ke dalam taman keratonpun dengan jalan melompat tembok maka waktu keluarpun aku harus mengambil jalan itu pula."
"Hm, untung aku yang datang, andaikata prajurit penjaga, tidakkah engkau akan dibunuhnya ? "
Ku gelengkan kepala "Karena kukenali suara kakang maka akupun menurut. Andaikata prajurit, aku tentu sudah melanjutkan naik ke puncak tembok dan meloloskan diri."
"Kuti, jawablah yang jujur,"
Tiba2 tumenggung Bandupoyo berkata dengan nada keras "apakah engkau berlaku kurang tata dihadapan puteri Gayatri? "
"Demi Batara Agung, kakang Bandu, aku menjaga diri dalam sikap yang hormat kepada puteri. Apabila kakang tak percaya, silakan mohon keterangan kepada puteri. Apabila aku bohong, bunuhlah Kuti."
Wajah tumenggung Bandupoyopun tenang kembali. Ia tahu sifat Ku dan percaya "Lalu apakah sebenarnya yang terkandung dalam ha mu dalam memohon pernyataan dari gusti ayu Gayatri itu ? "
"Tidakkah sudah kututurkan dengan jelas apa yang kukatakan dihadapan gus ayu setelah mendengar pernyataan puteri? "
"Engkau maksudkan pernyataan gus puteri itu, akan menjadi penerangan dari langkah yang hendak engkau tuju? "
"Begitulah, kakang Bandu "
"Dan apa sebabnya engkau bergembira mendengar ucapan puteri? "
"Karena jelas apa yang kuharapkan tentu bakal terlaksana, kakang."
"Engkau hendak mempersunting puteri Gayatri? "
"Apakah aku berdosa! jika hal itu memang sudah menjadi kenyataan? "
"Apa yang engkau maksudkan dengan kenyataan ? "
"Kakang Bandu, adakah engkau lupa ganjaran yang direstui baginda untuk ksatrya yang menang dan diangkat sebagai senopati itu? Bukankah juga akan diganjar puteri?"
Tumenggung Bandupoyo terkejut. Namun ia membantah "Benar, memang demikian. Tetapi dak dinyatakan siapa puteri itu. Di keraton Singasari terdapat banyak puteri dan bagindapun dapat menentukan seorang."
Kuti diam. Sikapnya tenang.
"Adakah engkau mengira bahwa puteri itu tentu puteri Teribuana atau Gayatri?"
Seru Bandupoyo pula.
"Ya"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba2 Kuti menjawab mantap "bukan hanya mengira tetapi memang memastikan, kakang."
Tumenggung Bandupoyo terbeliak "Berani benar engkau membuka suara begitu, Ku . Siapakah yang menentukan pilihan puteri itu ? "
"Seri baginda."
"Lalu mengapa engkau yakin bahwa seri baginga tentu akan berkenan menganugerahkan kedua puteri kesayangan baginda itu ?"
Tanya Bandupoyo. Diam-diam tumenggung itu cemas. Adakah apa yang dipercakapkan dihadapan baginda tentang anugerah puteri itu, terciurn oleh Kuti ? "Kakang Bandu,"
Berkata Ku dengan nada yang tandas "seri baginda masih menggantung sebuah janji anugerah kepadaku atas jasaku dapat menemukan kaca wasiat milik gus puteri Teribuana yang hilang itu. Dan apabila aku menang dalam sayembara itu, dan itu sudah pasti ....
"
"Kuti! "
Teriak Bandupoyo "berani benar engkau memastikan kemenanganmu itu ! "
"Tentu, kakang tumenggung. Karena kuyakin tiada seorang ksatrya yang ikut dalam sayembara itu mampu menandingi kesaktianku "
"Hm, jangan tekebur dulu, Kuti."
"Aku dak tekebur, kakang tumenggung. Tetapi hal itu merupakan suatu keyakinan yang berdasarkan pengamatan dan penilaianku yang seksama."
"Ah, walaupun ap pagi surya pas terbit, tetapi sebelum benar2 terbit, belumlah dapat dipas kan. Tidakkah esok itu suatu hari yang belum menentu ? Entah cerah entah berawan. Tidakkah surya akan lenyap apabila esok pagi udara mendung? "
"Saat ini kita berada dalam musim kemarau. Tak mungkin surya takkan terbit esok pagi "
"Manusia kuasa memperhitungkan bulan dan musim, tetapi dewatalah yang menentukan segala. Mudah-mudahan tercapailah segala keinginanmu itu, Kuti"
"Kumohon restu kakang tumenggung saja."
"Kuti, cobalah lanjutkan kata-katamu yang kuputus tadi. Bagaimana langkahmu apabila engkau memenangkan sayembara itu ?"
"Ganjaran yang ditangguhkan baginda atas jasaku menemukan kaca wasiat itu, akan kuhapus. Kelungguhan pangkat senopati, pun kutolak. Ganjaran tanah dan harta benda, akupun tak menginginkan semua."
"Engkau menolak semua ganjaran "
"Kecuali satu "
"Apa ? "
"Puteri "
"O"
Desuh tumenggung Bandupoyo "engkau maksudkan hendak mohon ganjaran puteri baginda? "
"Benar kakang tumenggung,"
Sahut Kuti dengan tandas "tetapipun hanya satu saja."
"Puteri Gayatri? "
"Ya,"
Jawab Ku tanpa ragu-ragu "hanyalah sang dyah ayu gus puteri Gayatrilah yang menjadi tujuan perjuanganku dalam sayembara itu."
Tumenggung Bandupoyo menggeram dalam ha namun ia tahu betapa watak Ku yang keras kepala itu "Hm, engkau boleh mengharap, tetapi kenyataanlah yang akan menentukan.
Tetapi kuperingatkan kepadamu, Ku .
Jangan membesarkan harapan agar engkau tak kecewa apabila harapanmu tak tercapai! "
"Hidup itu suatu harapan. Tanpa harapan, lebih baik dak hidup, kakang tumenggung,"
Sanggah Kuti.
"Benar, tetapi jangan terlampau besar mengharap agar jangan terlampau besar penderitaan hatimu. Boleh mengharap, jangan memastikan "
"Baiklah, kakang tumenggung,"
Kata Ku Kemudian ia bertanya bagaimana ndakan Bandupoyo terhadap dirinya saat itu. Jawab Bandupoyo "Karena engkau salah seorang yang ikut serta dalam sayembara besok, maka kupersilakan engkau keluar"
Setelah minta diri, Kutipun loncat pula ke atas tembok keraton.
Bandupoyo masih termenung.
Ia terkejut ke ka menyadari bahwa ia harus segera menghadap puteri Gayatri untuk menolong Wijaya.
Bergegas ia masuk ke dalam keputren.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ II Kedatangan tumenggung Bandupoyo telah disongsong dengan keterangan yang bernada cemas dari puteri Gayatri.
"Paman, Kuti terlalu melonjak sikapnya. Dia menaruh perhatian pada diriku,"
Kata Gayatri.
"Hamba tahu, gus ayu,"
Kata tumenggung Bandupoyo yang menceritakan tentang pertemuannya dengan Ku di luar keputren tadi "dia memang terlalu muluk harapannya.
Tetapi gus ayu, sukar rasanya menghalangi tekad seorang manusia seper Ku dalam hal-hal yang terbuka sifatnya seperti sayembara itu."
"O"
Desuh Gayatri "jika begitu paman maksudkan, Ku memang mempunyai peluang besar untuk memenangkan sayembara itu? "
Tumenggung Bandupoyo tahu ar dari kata yang diantar dengan pandang mata cemas oleh puteri "Jika memang demikian kenyataannya, paman rasa baginda tentu akan menetapi sabda yang diamanatkan dalam sayembara itu, gusti ayu."
"Tetapi paman,"
Gayatri makin cemas "adakah rama prabu akan berkenan untuk menganugerahkan diriku kepada Kuti?"
"Seri baginda Kertanegara adalah seorang nata binatara yang bijaksana. Seri baginda tentu akan menetapi laku 'sabda pandita ratu' untuk menjaga kewibawaan pusara kerajaan Singasari"
Gayatri termenung diam.
"Gusti ayu, mengapa gusti bermuram durja ? Adakah sasuatu yang meresahkan hati paduka? "
"Paman tumenggung"
Kata puteri "benar2 aku tak mengira bahwa sayembara pilih senopa ini akan melibatkan diriku pula. Pada hal paman, aku belum siap untuk memikirkan soal perjodohan itu."
"Maksud gus ,"
Kata tumenggung Bandupoyo "gus tak berkenan ha apabila dianugerahkan kepada Kuti? "
"Begitulah, paman,"
Ujar Gayatri "maka kuminta bantuan paman untuk mengusahakan agar peristiwa yang tak kuingini itu jangan sampai terjadi."
Tumenggung Bandupoyo mengangguk "Baik, gus ayu. Marilah kita usahakan hal itu. Tetapi pamanpun terpaksa hendak mohon bantuan gusti ayu."
"Baik, paman, apa yang dapat kulakukan, tentu akan kuberikan bantuan itu kepada paman."
"Justeru bantuan itu hanya ada pada gus ayu dan hanya gus sendiri yang dapat melakukannya."
"O, katakanlah, paman."
Seru Gayatri penuh harap.
"Gus tentu tahu siapa ksatrya yang berhasil merentang busur pusaka kyai Kagapa itu, bukan ? "
"O ya, ksatrya itu. Dulu waktu aku mengiringkan ayunda Teribuana bercengkerama di taman Boboci, rasanya pernah bertemu dengan dia."
"Benar, gusti. Memang dia. Dan kini dia menderita sakit akibat merentang busur pusaka itu."
"Beratkah luka yang dideritanya itu?"
"Memang berat tetapi tak membahayakan jiwanya."
"O, bagaimanakah lukanya, paman?"
"Dia telah kehilangan tenaga kekuatannya. Pada hal besok pagi, dia harus maju dalam sayembara lagi. Dan acara besok itu lebih berat karena harus adu kesak an ilmu kanuragan. Memerlukan tenaga dan kekuatan."
"O, benar, paman"
Seru puteri Gayatri "lalu bagaimanakah usaha paman untuk menolongnya?"
Bandupoyo terkesiap.
Mengapa puteri dak bertanya siapa ksatrya itu melainkan langsung bertanya usaha untuk menolongnya? Adakah puteri sudah mengetahui siapa sesungguhnya Wijaya itu? Rasa heran itu segera dituangnya dalam pertanyaan "Gus ayu, adakah paduka tahu siapakah ksatyra itu? "
"Tidak tahu, paman, kecuali seper yang kukatakan tadi, pernah bertemu dengan dia waktu di taman Boboci beberapa waktu yang lalu."
"O, lalu mengapa gusti melimpahkan pertanyaan tentang usaha paman menolongnya? "
Tajam rupanya pertanyaan yang dipersembahkan tumenggung Bandupoyo kepada puteri Gayatri. Puteri terkesiap, menyadari dan tersipu-sipu merah wajahnya "Jika dia yang menang, maka akupun terhindar dari gangguan Kuti,"
Akhirnya bertemu juga jawabannya.
"Hanya itu, gusti? "
"Apakah paman menganggap masih ada kekurangan dalam jawabanku itu?"
Gayatri balas bertanya.
Diam-diam tumenggung Bandupoyo memuji kewaspadaan puteri.
Karena niatnyapun hendak mengungkap soal diri Wijaya maka diapun langsung berkata "Maksud paman, adalah kehendak gusti ini karena diri Kuti ataukah karena diri ksatrya itu."
"Yang jelas supaya terhindar dari gangguan Kuti,"
Jawab Gayatri.
"Lepas dari persoalan Kuti, adakah gusti tidak mengharapkan ksatrya itu yang menang ? "
Gayatri mengernyit dahi.
Dalam ha ia merasa heran mengapa tumenggung Bandupoyo tampak ngotot mengemukakan diri pemuda itu.
Dikaitkan dengan kedatangan tumenggung itu yang menyatakan hendak mengusahakan pertolongan kepada ksatrya itu, mbullah kesan dalam ha puteri bahwa ksatrya itu tentu mempunyai hubungan penting dengan tujuan Bandupoyo.
"Paman Bandu,"
Ujar puteri "seper telah kukatakan, bahwa aku hanya sekali pernah bertemu dengan pemuda itu di taman Boboci.
Dia seorang muda yang halus budi, gagah dan sopan santun.
Bahwa dia ternyata juga ikut dalam sayembara, menyatakan bahwa dia memang mempunyai tujuan untuk mengabdi kepada Singasari.
Soal dia berhasil atau gagal dalam sayembara itu, tergantung dari kesaktiannya.
Mudah-mudahan saja dia berhasil."
"Atas dasar apakah gusti merestui kemenangannya itu? "
"Aku tak kenal siapa ksatrya itu, paman. Hanya aku gembira karena Singasari akan mendapat seorang ksatrya gagah sebagai senopati."
"Andaikata paduka tahu siapa ksatrya itu, adakah paduka tetap akan memberi doa restu kepadanya? "
Makin heran Gayatri mendengar kata-kata tumenggung itu.
Kini makin jelas bahwa tumenggung itu memang mempunyai kaitan pen ng dengan ksatrya itu.
Tetapi mengapa kaitan itu harus dilibatkan pula kepada dirinya? "Mengapa paman bertanda begitu ? Siapakah ksatrya itu? "
Tumenggung Bandupoyo menghela napas longgar dalam hati "Ah, akhirnya pertanyaan yang kuharapkan itu tiba juga,"
Pikirnya. Memang tumenggung Bandupoyo menghendaki keterangan diri Wijaya itu, bukan langsung dia yang mengatakan tetapi supaya puteri yang menanyakannya. Tetapi sampai panjang juga percakapan itu, baru akhirnya puteri melontarkan pertanyaan.
"Dia masih kerabat paduka sendiri, gusti,"
Kali ini tumenggung Bandupoyo berganti cara. Tak mau bertele-tele menanti pernyataan puteri melainkan melontarkan sebuah kejutan. Memang benar. Puteri terkejut mendengar pernyataan itu "Apa kata paman? "
Ia menegas.
"Ksatrya itu masih saudara sepupu dengan gus ayu,"
Kata Bandupoyo. Untuk menyingkat waktu ia segera menuturkan asal usul diri Wijaya, pembicaraan di hadapan baginda dan pertemuannya dengan puteri Teribuana "Gus puteri Teribuanapun telah berkenan menganugerahkan air Tirta Amerta kepada raden Wijaya."
Puteri Gayatri terlongong-longong mendengarkan keterangan Bandupoyo. Rasa kejut yang ba2 mencengkam perasaan, telah membuat puteri tak dapat bicara beberapa saat.
"Demikian gus , maksud kedatangan hamba menghadap paduka ini tak lain adalah karena hendak mohon perkenan paduka untuk melimpahkan minyak Padmasari itu kepada raden."
Puteri tersadar dari kepukauan. Bergegas puteri masuk dan keluarnya membawa minyak Padmasati itu "Dimanakah kakang Wijaya sekarang? "
Tumenggung Bandupoyo segera mengiring langkah puteri menuju ke pendapa dimana Wijaya menunggu.
Pertemuan antara puteri Gayatri dengan Wijaya memang agak kikuk.
Wijaya terkejut melihat kehadiran puteri.
Dan ke ka bertatap pandang dengan puteri, dia segera menunduk dan tanpa disadari terus duduk ber-sila dan menghaturkan hormat.
"Tidak, kakang. jangan memberi sembah kepadaku,"
Gayatri terkejut sekali dan serta merta diapun berjongkok untuk balas memberi hormat. Melihat itu tertawalah tumenggung Bandupoyo.
"Gus Gayatri, raden Wijaya, janganlah paduka, ber ndak seper anak kecil,"
Seru tumenggung itu dengan tertawa riang "bangunlah, paduka berdua adalah saudara sendiri."
Wijaya daa Gayatri sama2 merah mukanya. Merekapun berbangku dan tertawa "Maa an, gus ...
"
"Jangan menyebut begitu kepadaku, kakang,"
Cepat puteri menukas "aku adalah adik sepupumu sendiri "
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih, diajeng "
"Raden, gus ayu telah membawakan minyak Padmasari itu kepada raden,"
Agar pertemuan itu lancar, terpaksa tumenggung Bandupoyo memberi pengantar.
"O, terima kasih diajeng"
Kata Wijaya.
"Jangan mengucap begitu, kakang. Sudah selayaknya engkau sembuh dan segar dalam menghadapi sayembara esok hari."
Setelah menyambuti minyak itu, Wijayapun bertanya bagaimana cara pemakaiannya.
"Gosokkan minyak itu di pusar dan dada. Semoga tenaga dan kekuatanmu pulih seper sediakala"
Kata puteri seraya menganjurkan agar Wijaya segera melumurkan minyak itu.
Kemudian puteripun berbalik tubuh, berdiri membelakangi.
Rupanya Wijaya tahu apa maksud ndakan Gayatri.
Iapun segera melumurkan minyak itu ke dada dan pusarnya, kemudian pada se ap ruas persendian tulangnya "Diajeng, perintah diajeng sudah selesai kulakukan.
Terimalah kembali minyak diajeng ini."
Puteri Gayatri berbalik tubuh menghadap Wijaya pula dan menyambuti minyak itu.
"Kakang Wijaya"
Ujar puteri "mengapa dak sejak dahulu ke ka kita berjumpa di taman Boboci, kakang mau mengatakan siapa diri kakang yang sebenarnya? "
"Ah, diajeng"
Wijaya menghela napas "langkah yang bijaksana dan tepat, adalah langkah yang disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan. Tidakkah diajeng akan terkejut dan takkan percaya apabila pada saat itu aku menerangkan siapa diriku ini? "
Gayatri mengangguk pelahan.
"Dan lagi pula,"
Wijaya menyusuli kata-kata "akupun memang tak ingin menunjukkan asal usul diriku. Aku ingin menjadi seorang kembara yang bebas agar dapat benar2 meresapi kehidupan di alam bebas ini."
"Mengapa kakang harus bertindak demikian? "
"Diajeng"
Kata Wijaya "pikiran itu sering membelenggu perabaan ha .
Yang melihat dan yang dilihat, sama2 menderita belenggu perasaan itu.
Jika aku menyandang asal usul keturunanku, maka perasaanku segera melambung nggi, menempatkan pikiran dan perasaan diriku lebih nggi dari lain orang.
Aku hanya mendapat separoh bagian dalam pengembaraanku itu, yalah bagian di kalangan atas.
Tetapi aku tak dapat meresapi kehidupan dikalangan bawah yalah kehidupan kawula jelata.
Dan akupun segera cenderung untuk memagari batas, antara diriku yang kuanggap nggi dan pada mereka, rakyat lapisan bawah.
Pada hal kehidupan di dunia ini dak hanya terdiri di kalangan atas, juga dak lunya terdiri di kalangan bawah, tetapi merupakan perpaduan dari bawah dan atas secara keseluruhannya"
Puteri mengangguk "Baik sekali pandanganmu, kakang. Lalu apa yang engkau katakan dengan, yang melihat dan yang dilihat, sama2 menderita belenggu perasaan itu? "
"Begini diajeng,"
Kata Wijaya "Apa yang kuterangkan tadi termasuk belenggu pada orang yang dilihat atau yang menjalani.
Tentang orang yang melihat atau orang lain, juga demikian.
Setelah jelas orang membawa sikap nggi, maka orang lain yang melihatnyapun segera menjauhkan diri, segan bergaul dengan dia.
Lalu berbagai penilaian segera dilontarkan kepada orang itu.
Mungkin dikatakan sombong, jumawa, angkuh, nggi ha dan lain-lain.
Oleh karena itu, akupun berusaha untuk menghilangkan jejak keturunanku, agar terbebas dari belenggu2 perasaan itu "
"Ya, benar, kakang,"
Kata Gayatri "bukankah akhirnya diri kakang juga diketahui orang?"
"Ya,"
Jawab Wijaya "tetapi hal itu bukan dikarenakan akibat daripada asal usul diriku, melainkan karena dharma yang telah kulakukan selama ini.
Penghargaan terhadap diri seseorang, karena asal- usul keturunan, bukan nggi rendahnya kelungguhan pangkat, bukan pula besar kecil rumah kediaman dan kaya miskin keadaannya, tetapi penilaiannya atas dasar dhar-ma yang telah dilakukan dalam hidupnya.
Demikianlah pendirianku.
Apabila aku diangkat sebagai senopa , bukanlah semata karena asal usul diriku melainkan karena aku berhasil menempuh sayembara itu dengan segala jerih payahku."
"Pambekmu luhur sekali, kakang,"
Kata puteri Gayatri "tentulah kakang sudah memiliki suatu keyakinan bahwa kakang dapat memenangkan sayembara itu, bukan ? "
"Aku akan berusaha sekuat kemampuanku,"
Kata Wijaya "namun aku tak berani meyakinkan dengan kata bahwa aku tentu dapat memenangkan sayembara itu. Karena kulihat, ksatrya-ksatrya yang ikut dalam sayembara itu juga ksatrya-ksatrya yang pilih tanding."
"Siapakah kiranya lawan yang kakang anggap paling berat? "
Puteri Gayatri agak cemas.
"Ku ,"
Sahut Wijaya "tetapi semua ksatrya peserta sayembara itu merupakan lawan-lawan yang tak dapat dipandang ringan juga."
"Ah "
Puteri menghela napas.
"Gusti ayu,"
Tiba2 tumenggung Bandupoyo ikut bicara "memang ada dua sifat yang dimiliki seorang ksatrya.
Tekebur dan rendah hati.
Kuti tekebur dan mengatakan pasti dapat memenangkan sayembara.
Sedang raden Wijaya dengan segala kerendahan hati, tak berani menyatakan sesuatu kecuali hanya akan berusaha sekuat kemampuannya.
Ucapan berbeda tetapi kenyataan sama.
Yang tekebur, tentu akan berusaha sekuat-kuatnya untuk menang, yang rendah hatipun juga tentu akan berusaha sekuat tenaganya.
Demikian paman percaya, hal itu akan dilakukan oleh setiap peserta.
Dengan ikut serta dalam sayembara itu, setiap ksatrya tentu sudah membekal tekad untuk berjuang keras memenangkan sayembara itu."
Rupanya ucapan tumenggung Bandupoyo itu dapat menghibur kecemasan ha puteri Gayatri.
Sebenarnya puteri hendak memberitahu tentang ngkah Ku ke ka menghadap kepadanya.
Tetapi sebelum ia membuka suara, ha nya berdebar keras, wajahpun bertebar merah.
Sebagai seorang puteri, tak sampai kiranya ia hendak mengutarakan hal itu..
Ternyata tumenggung Bandupoyo yang memiliki indera penglihat dan perasa tajam, cepat dapat mengetahui apa yang terkandung dalam hati puteri.
"Raden,"
Katanya kepada Wijaya "gus ayu menghendaki agar raden dapat memenangkan sayembara tanding besok pagi."
Wijaya terbeliak dan berpaling memandang tumenggung dengan sorot mata bertanya.
"Raden sanggup?"
Seru tumenggung Bandupoyo.
"Sanggup tetapi tak dapat menjamin"
Sahut Wijaya "aku akan ...."
"Raden,"
Tukas tumenggung Bandupoyo "tahukah apa sabda baginda yang diamanatkan kepadaku setelah raden turun dari penghadapannya? "
"Apa sabda seri baginda, paman? "
"Setelah berkenan menerima raden menghadap, seri baginda mempunyai kesan yang baik. Kemudian kesan bagindapun tumbuh menjadi suatu kepercayaan dan turunlah sabda baginda yang menitahkan "Wijaya harus menang' ....
"
"Paman ! "
"Memang benar, raden."
Kata tumenggung Bandupoyo dengan wajah bersungguh "
Dakkah raden menyadari bahwa titah seri baginda agar raden dapat disembuhkan pada malam ini sehingga besok dapat tampil ke gelanggang pertandingan dalam keadaan segar bugar itu, pada hakekatnya sudah bermakna seperti sabda yang diturunkan baginda? "
"O"
"Tahukah raden apa sebab baginda melimpahkan titah seperti itu? "
"Mohon paman menerangkan kepada hamba."
"Raden, adalah suatu kemurahan yang tak terhingga, bahwa baginda berkenan memperluhur anugerah sayembara itu. Sebagaimana raden tentu sudah mengetahui bahwa pemenang dari sayembara itu, kecuali akan diberi kelungguhan sebagai senopa , diluhurkan sebagai priagung pun akan dianugerahi puteri. Dan menurut amanat baginda, anugerah puteri itu telah ditetapkan pula,"
Sengaja tumenggung Bandupoyo berberhen sejenak untuk memawas tanggapan yang terpancar dari wajah Wijaya. Namun dia agak heran mengapa tampaknya Wijaya tenang-tenang saja.
"Tahukah raden siapakah gerangan tuan puteri yang direstukan baginda kepada senopa baru itu? "
Wijaya terbeliak.
Sesaat ia terpukau dalam menung yang melayang-layang.
Bersualah dia akan keterangan tumenggung Bandupoyo bahwa baginda sangat mengharapkan akan kemenangannya dalam sayembara itu.
Dengan demikian dapat diduga, bahwa seri baginda tentu telah menentukan salah seorang puter baginda.
Dan tentulah puteri pilihan seri baginda, itu puteri yang utama "Ah,"
Diam2 ia menghela napas yang penuh bernadakan harap-harap cemas.
Sebagai seorang pria, ia tak menyangkal akan kenyataan yang telah tumbuh dalam kalbunya.
Bahwa sejak pertemuannya dengan puteri Teribuana dan puteri Gayatri di taman Boboci dahulu, bayang2 kedua puteri agung itu selalu melekat dalam kalbunya.
Jauh dari pemikirannya, bahwa hal itu disebabkan karena kedua puteri itu puteri agung, puteri sang nata binatara kerajaan Singasari sehingga percik-percik pamrih halus, mencemar dalam ha nya.
Bahwa apabila dia dapat mempersun ng kedua puteri itu tentulah kelak dia akan menjadi putera menantu raja.
Keluhuran, kekuasaan dan kenikmatan hidup.
Bahkan pula suatu warisan kerajaah Singasari yang besar "Tidak, dak "
Ia membantah tuduhan itu.
Ia menyangkal percik2 pamrih semacam itu "aku seorang ksatrya.
Jika dewata agung menggariskan aku sebagai raja, akupun tak menginginkan kerajaan itu sebagai warisan yang kuterima dari rama ataupun dari rama mentua dan lain orang.
Duh, dewata agung, hamba hanya mau menjadi raja atas kerajaan yang hamba bentuk dengan darah dan keringat hamba ....
"
"Ah"
Ba2 ia mendesuh sesaat menyadari bahwa ia telah terbang terlampau nggi dalam awang- awang lamunan.
Namun pendirian cita2 keinginannya itu tetap terpateri dalam sanubarinya.
Dalam kaitan hubungan ba n yang merekah dalam ha terhadap kedua puteri keraton Singasari itu, ba nnya bersih dari segala pamrih kebendaan yang bersifat kemewahan.
Memang dia tak menyangkal mempunyai pamrih, tetapi pamrih itu berasal dari ha sanubari, bersumber pada rasa sawiji dari mus ka Asmara yang terbungkus beludru Kamasutra yang halus murni.
Jika ia mempunyai rasa ha kepada kedua puteri agung itu, hanya berdasarkan rasa seorang pria terhadap wanita.
Dan rasa itu bersumber pada suatu pendabaan akan sifat-sifat agung serta luhur budi dari wanita yang dipujanya itu.
Lamunan yang sudah menurun dari ke nggian lokantara, makin meluncur laju sesaat ia teringat akan.
persoalan puteri yang akan dianugerahkan oleh baginda itu.
Jika aku beruntung menang dan puteri yang dianugerahkan seri- baginda itu, bukan puteri yang kuidam-idamkan, dakkah akan lebur hatiku dalam kehampaan? Pada hal, amanat raja tak dapat ditolak."
Walaupun termenung diam tetapi pandang mata tumenggung Bandupoyo yang tajam dapat mengetahui bahwa saat itu Wijaya sedang berbicara dalam ha .
Suatu pembicaraan yang seru dan berat sebagaimana tampak dalam perobahan cahaya yang terpancar pada wajahnya.
Diam2 tumenggung Bandupoyo tertawa dalam ha .
Kemudian tumenggung itupun menyelimpat pancang kearah puteri Gayatri.
Kesan yang diperoleh pada pandang sekilas menyatakan bahwa puteri itupun tengah beranjangsana dalam taman ha nya "Hm, orang muda, jiwa muda, ha muda dan muda segalanya.
Tentulah bagaikan kuntum bunga yang tengah merekah menyongsong sinar Hyang Surya.
Serba indah seluruh kehidupan di arcapada ini."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang kesan tumenggung Bandupoyo tepat.
Puteri Gayatripun tak dapat menghindari diri dari jaring2 sutera lembut yang ditebarkan oleh Hyang Batara Asmara.
Puteri Gayatri tak tahu apakah nama perasaan yang bersemayam dalam pu k ha nya.
Yang dirasakannya, ada suatu perasaan lain yang belum pernah dialaminya selama ini.
Melihat para mentri nayaka, menghadap sang ayahanda seri baginda, bergaul dengan tumenggung Bandupoyo dan lain-lain sentana keraton, puteri tak mempunyai suatu perasaan apa-apa.
Beda yang dirasakan ke ka berhadapan dengan Ku dan Wijaya.
Pada saat itu serasa puteri merasakan suatu perobahan peribadi yang aneh.
Secara ba- ba, ia merasa menjadi seorang wanita dewasa.
Wanita yang memiliki kesadaran tentang ja dirinya sebagai 'loro loroning atunggal' insan tah dewata yang ditugaskan mengemban kelestarian kehidupan insan manusia dalam rangka kelangsungan jagad yang diciptakan sang Hyang Widdhi.
Keseimbangan dari daya loro-loroning atunggal itu, merupakan in yang hakiki dari kehidupan di dunia.
Siang dengan malam, gelap dengan terang sebagai unsur kehidupan bumi.
Lelaki dan perempuan sebagai unsur tah yang menghuni dan melangsungkan kelangsungan kehidupan di bumi.
Rasa kedewasaan pada diri peribadi, menumbuhkan kelengkapan naluri pada seorang wanita.
Diantaranya naluri perasaan terhadap insan lain jenisnya.
Dan kelak akan tumbuh pula naluri2 lain terhadap putera puteri keturunannya.
Naluri2 itu, belum tumbuh dikala dia masih seorang perawan kecil.
Demikian yang dirasakan puteri Gayatri.
Berhadapan dengan Ku dan Wijaya, naluri kedewasaan wanita, tumbuh dengan seke ka dalam ha puteri Gayatri.
Tetapi walaupun sama2 merasakan naluri itu, daklah sama citarasa yang menghayat dalam kalbunya.
Terhadap Ku , penuh dengan rasa enggan yang hampir-hampir meluapkan rasa kemurkaannya.
Tetapi terhadap Wijiya naluri itu bersemi segar menghijau, menumbuhkan kesuburan batang yang akan merekahkan kuncup2 harapan ha .
Maka puteripun terkejut mendengar percakapan tumenggung Bandupoyo tentang amanat baginda mengenai anugerah puteri itu "Siapakah gerangan yang akan dilimpahkan rama prabu kepada senopa itu.
Betapalah besar perha an rama prabu kepada kakang Wijaya untuk memenangkan sayembara dan menjadi senopa Singasari.
Tentulah rama prabu dengan kebijaksanaan akan menentukan puteri itu."
Renungan puteri Gayatri makin jauh ke masa2 yang lalu.
Bahwa adalah eyang Rangga Wuni yang kemudian bergan abhiseka-raja sri Wisnuwardhana, bersama eyang Mahesa Campaka yang kemudian bergelar Batara Narasingamur , yang mendirikan kerajaan Singasari.
Kemudian eyang Wisnuwardhana mewariskan kerajaan itu kepada rama prabu Kertanagara.
Sedang putera dari eyang Batara Narasingamur yani dyah Lembu Tal lebih senang hidup dalam ketenangan sebagai kawula biasa daripada, memegang jabatan di kerajaan.
Kiranya amat bijak bestari langkah rama prabu apabila hendak meluhurkan kakang Wijaya sebagai priagung dalam kelungguhan sebagai senopati.
Demikian renungan yang jangkau-menjangkau alam pikiran puteri Gayatri.
"Paman tumenggung,"
Ba2 Wijaya memecah kesunyian suasana "hamba tak tahu bagaimana amanat seri baginda. Mohon paman tumenggung suka memberi keterangan."
Nada Wijaya terdengar mantap dan tumenggung Bandupoyopun memperha kan wajah raden itu menampilkan suatu keyakinan yang tenang.
Diam2 tumenggung itu terkejut "Adakah raden sudah mengetahui isi amanat seri baginda? Ataukah ia sudah memiliki pendirian dalam menghadapi amanat itu? "
Memang tumenggung Bandupoyo tajam penglihatan, tajam penilaian.
Tetapi dia tetap tak dapat menembus apa yang terkandung dalam sanubari Wijaya saat itu.
Wijaya memang sudah mendudukkan sebuah tugu pendirian yang kokoh diatas persada ha nya "Tujuanku turun gunung adalah mengemban tah bapa guru untuk ikut serta menyongsong turunnya wahyu agung yang dilimpahkan Hyang Jagadnata.
Wahyu agung itu pada hematku tak lain adalah tugas untuk mangayu hayuning praja dan bawana.
Kerajaan Singasari membuka sayembara pilih senopa , tak lain bertujuan untuk menyejahterakan negara.
Karena hal itu senapas dengan hikmah Wahyu Agung, maka sarananya akupun memasuki sayembara itu.
Andaikata aku salah tafsir tentang hikmah wahyu agung itu, akupun takkan menyesal karena kuanggap bahwa salah satu daripada dharma agung seorang ksatrya itu adalah mengabdi kepada negara dan kawula.
Tujuan ini harus kuluhurkan dalam singgasananya yang agung, jangan tercemar oleh pamrih yang terangsang oleh kedudukan, harta dan anugerah puteri.
Oleh karena itu, aku harus menghindar diri dari rasa keinginan dan kekecewaan tentang siapa2 puteri yang akan dianugerahkan kepadaku kelak.
Kuserahkan segala-galanya kepada ketentuan Hyang Jagadnata."
Dengan keputusan itulah maka mantap nada Wijaya dalam membawakan kata-kata kepada tumenggung Bandupoyo.
"Raden,"
Ba2 tumenggung Bandupoyo berseru agak keras dan membawa sikap seper seorang yang teringat sesuatu hal yang dilupakannya "maaf, raden, paman lupa untuk membagikan tugas kepada prajurit bhayahgkara yang bertugas menjaga di pendapa agung."
"Tetapi paman,"
Wijaya ikut terkejut ketika melihat tumenggung itu terus ayunkan langkah. Tumenggung Bandupoyo hentikan langkah dan berpaling "Tinggallah raden disini. Tak lama paman akan kembali menjemput raden,"
Tumenggung itupun terus lanjutkan langkah.
Tetapi disaat hendak melangkah ke pintu, ia berpaling pula "Raden, paman lupa memberitahu.
Amanat baginda mengenai puteri yang dianugerahkan kepada senopati baru itu adalah gusti ayu puteri Teribuana dan gusti ayu Gayatri ....
"
"Paman ...."
Terdengar dua buah suara yang berteriak kaget waktu mendengar ucapan tumenggung itu.
Yang seorang Wijaya dan yang seorang puteri Gayatri.
Keduanya seolah tersengat kala dan tanpa berjanji, keduanyapun serempak berteriak.
Namun tumenggung Bandupoyo meninggalkan kedua putera puteri bangsawan itu dalam kepukauan pesona.
Wijaya menundukkan kepala.
Puteri Gayatripun tersipu-sipu menunduk.
Keduanya terbenam dalam gelombang kejut yang menggelagak perasaan ha nya.
Sesaat keduanyapun seper kehilangan keseimbangan kesadaran, dihembus prahara getaran kejut yang melayangkan perasaan mereka ke awang-awang yang luas banglas.
Ciptarasa yang berhamburan keluar dari kelepasan lubuk sanubari yang memancar rasa bahagia, kuasa terbang melayang ke dirgantara yang amat nggi, menembus awan membubung ke alam triloka ....
"Dimanakah kita berada, kakang?"
Bisik sang dyah kumala.
"Inilah yang disebut Indraloka, yayi"
Jawab sang ksatrya linuwih.
"Indraloka tempat Sanghyang Batara Indra? "
"Benar, yayi "
"Mengapa kakang membawa aku kemari? "
"Kita akan menghadap Sanghyang Batara Indra."
"Mengapa, kakang? "
"Ketahuilah, yayi, Sanghyang Batara Indra itu kuasa memerintahkan para dewa dan menguasai semua bidadari di Kahyangan. Kuasa menimbang segala yang akan dianugerahkan kepada manusia."
"O, lalu apakah maksud kakang hendak menghadap Batara Indra? "
"Ketahuilah yayi. Dalam kekuasaan untuk senan asa menerima hal2 yang diajukan oleh segala titah kepada dewa, maka dapatlah Batara Indra mengabulkan permohonan kita."
"Permohonan apakah yang kakang hendak persembahkan ke hadapan Hyang Batara? "
"Ah, yayi, mengapa engkau tak dapat menanggapi sasmita ha kakang? Ketahuilah, yayi, kakang hendak mohon kepada Hyang Batara agar merestui perjodohan kita berdua, yayi "
"Ah, kakang "
Sang dyah kumala kenya tersenyum bahagia.
Percakapan mereka terputus oleh kemelut prahara yang mencurahkan gumpalan asap hitam.
Makin lama gumpalan asap hitam itu makin tebal besar dan terdengarlah letusan sedahsyat tujuh halilintar menggelegar.
Awan hitam sirna dan sebagai gan nya muncullah seorang raksasa yang amat menyeramkan sekali "Hai, tah manusia, mengapa engkau berani naik.
ke Kahyangan?"
Suaranya bagaikan Gelapsayuta atau sejuta petir. Sang dyah kumala kenya terkejut dan mendekap sang ksatrya. Ksatryapun sigap sebagai pelindung utama "Hai, raksasa, siapakah engkau?"
"Aku penjaga Jonggring Saloka yang kuasa untuk mengenyahkan se ap jalma manusia yang hendak mengganggu ketenangan Kaendran ini "
"Aku hendak menghadap sanghyang Batara Indra. Aku tak mengganggu Kaendran."
"Engkau mengganggu!"
Teriak raksasa "karena kedatanganmu ini menyebabkan Kaendran di Kahyangan ini terasa panas sekali. Hayo, lekas engkau kembali ke Janaloka."
"Tidak, raksasa. Jangan engkau mengganggu perjalananku. Aku benar2 hendak mohon menghadap Batara Indra."
"Ho, jika engkau sungguh2 bermaksud demikian, engkau wajib mentaa peraturan dan jangan bertindak sekehendak hatimu sendiri."
"Bagaimana maksudmu? "
"Jika engkau benar2 hendak menghadap Hyang Batara Indra, bukan begitu caramu tetapi engkau harus nggalkan badan wadagmu di Janaloka. Hanya suksma atau badan halusmu yang diperkenankan naik ke Kahyangan"
"O "
Ksatrya terkesiap "tetapi mungkin hal itu berlaku untuk orang lain dak kepadaku. Karena buk nya, akupun dapat naik kemari dengan badan wadagku. Tidakkah hal itu menandakan bahwa dewata meluluskan diriku ? "
"Tidak!,"
Teriak raksasa itu "tanggalkan badan wadagmu ke arcapada ! "
"Kalau aku menolak? "
"Engkau harus lekas enyah dari sini!"
"Kalau aku tetap menolak ? "
Raksasa itu meraung keras "Jika demikian, engkau harus kutangkap dan kulemparkan kedalam kawah Candradimuka."
"Silakan apabila engkau mampu,"
Sahut sang ksatrya seraya menyisihkan puteri ke belakang, kemudian dia bersiap-siap.
Pertarungan segera berlangsung amat seru.
Berulang kali ksatrya dapat menghantam rubuh lawan tetapi setiap kali raksasa itu bangkit kembali dan maju pula.
Lama kelamaan ksatrya itupun kehabisan napas.
Dan dalam suatu kesempatan, raksasa dapat menerkamnya lalu dibawanya lari.
Puteri terkejut lalu mengejar seraya menjerit-jerit.
Dan jeritan itu mencapai puncak ketegangan manakala dilihatnya raksasa melemparkan tubuh ksatrya kedalam sebuah kawah yang bergemuruh memuntahkan uap panas.
"Kakang ...."
Puteri menjerit sekeras-kerasnya dan rubuh seketika.
Wijaya yang tengah pejamkan mata menyerahkan diri terbuai dalam lamunan yang indah, terkejut dan cepat membuka mata ke ka mendengar puteri Gayatri menjerit.
Serentak Wijayapun loncat menyanggah tubuh sang puteri yang hendak rubuh.
"Engkau kakang Wijaya,"
Puteri terengah-engah.
"Apakah engkau tak kurang suatu apa? "
"Aku tak kena apa- apa, diajeng "
"Tetapi kakang ....
"
"Tetapi bagaimana, diajeng? "
Gayatri tak melanjutkan kata-katanya karena saat itu ia menyadari bahwa apa yang dialaminya tadi, bukan suatu kenyataan, melainkan tercipta dari lamunan ha nya "Benarkah sejak tadi kita masih berada di tempat ini, kakang?"
Namun untuk meyakinkan perasaannya, ia masih meminta penegasan.
"Benar, diajeng,"
Kata Wijaya "sejak tadi engkau diam menunduk kepala dan akupun juga."
"Adakah selama beberapa saat tadi, kakang tak mengalami sesuatu."
Wijaya tersipu-sipu, kemudian menghela napas.
"Memang diajeng, aku melamun dan menderita sesuatu yang mengerikan hati."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Atas pertanyaan puteri Gayatri, Wijayapun menceritakan apa yang dialami dalam lamun cipta- rasanya, Ternyata diapun mengalami seper yang dialami puteri Gayatri.
Hanya bedanya raksasa itu telah menerkam puteri dan hendak dibawa lari "Diajeng menjerit dan akupun terjaga serentak."
Puteri Gayatri tersipu-sipu malu dan melepaskan diri dari tangan Wijaya.
Betapapun ia merasakan suatu kehangatan yang teduh dalam lingkaran tangan pemuda itu, namun sebagai seorang puteri utama, dia tak mau, meninggalkan keutamaannya.
Sesaat kemudian peris wa aneh itu mulai bertebaran menguak pikirannya "Aneh, mengapa akupun juga mengalami peris wa yang kakang alami itu? "
Serunya seorang diri tetapi karena cukup keras maka Wijayapun dapat mendengarnya.
"Maafkan diajeng Gayatri, apabila hal itu merisaukan pikiranmu."
"Bagaimana kakang dapat mengatakan begitu ? Bukankah kakang duduk termenung diam saja dan bukan kakang yang menyebabkan aku menderita peris wa dalam lamunan itu, melainkan diriku sendiri ?"
"Benar diajeng,"
Kata Wijaya "tetapi secara tak terasa, aku memang mengganggu pikiranmu."
"Bagaimana kakang dapat mengatakan begitu? "
"Rasa melahirkan Cipta dan Cipta akan mempertajam Rasa dan tumbuhlah kemanunggalan Rasa dan Cipta. Dan karena aku memiliki Rasa dan kebetulan pula diajengpun sedang terpercik Rasa itu maka manunggallah rasa kita dalam suatu pancaran Cipta yang mengembangkan Rasa itu dalam suatu lamunan yang sama. Itulah sebabnya maka kukatakan, secara tak terasa, aku memang bersalah mengusik rasa diajeng yang sedang terpancar dalam cipta."
"Ah, kakang mengada-ada saja,"
Puteri tersenyum.
Sebenarnya ingin Wijaya menghaturkan ungkapan, hatinya.
Namun karena kesempatan itu amat tiba2 sekali datangnya sehingga segunduk bukit kata-kata yang siap meluncur, telah terlanda, terendam dan silam oleh banjir rasa kebahagiaan yang meluap-luap.
Bahkan bukan melainkan kata-kata, pun faham dan pikirannya ikut terhanyut dalam banjir perasaan kejut-kejut bahagia.
Ia terlongong-longong.
"Kakang,"
Akhirnya puteri Gayatri menyibak kelengangan suasana "bagaimana anggapan kakang tentang sayembara esok hari itu? "
Wijaya terkesiap.
Rupanya puteri telah mengetahui isi ha nya.
Namun iapun ingin juga mengetahui pendirian puteri setelah mendengar tentang amanat seri baginda itu "Diajeng, aku akan berjuang dengan segenap jiwa ragaku untuk memenangkan sayembara itu.
Namun bagaimana tanggapan diajeng apabila aku menang."
"Aku akan bergembira sekali, kakang."
"Tetapi bagaimana pula tanggapan diajeng apabila aku sampai kalah."
"Ah, jangan berkata begitu, kakang."
"Dalam pertandingan ilmu ulah kanuragan, hanya akan terjadi dua akibat, menang atau kalah. Itu suatu kenyataan dari akibat se ap peris wa. Jika kita berani membayangkan kemenangan, mengapa kita takut membayangkan kekalahan? Jika kita bergembira karena menang, mengapa kita harus bersedih karena kalah?"
"Ya, memang benar, kakang Wijaya, bahwa menang dan kalah itu merupakan suatu akibat yang nyata. Bahwa kita tak boleh terikat pada perasaan ha sehingga berbeda tanggapan kita menghadapi kemenangan dengan kekalahan itu,"
Kata puteri Gayatri kemudian menghela napas "tetapi dalam peris wa kali ini memang berbeda dengan peris wa2 yang lain. Tidakkah kakang merasakan hal itu? "
"Ya, diajeng, akupun memiliki perasaan itu,"
Jawab Wijaya "tetapi hendaknya kita berani mengemasi ha kita, apabila kita harus menghadapi sesuatu yang dak kunjung ba sebagaimana yang kita harapkan. Dalam keadaan itu, kita hanya menyongsongkan segala hidup kita kepada Hyang Maha Widdhi."
"Kakang Wijaya,"
Seru puteri Gayatri "memang segala sesuatu, pada keakhirannya, adalah Hyang Maha Widdhi yang kuasa menentukan. Tetapi Dewata Agungpun merestui kita untuk berusaha karena hal itu sudah, menjadi hak yang diwajibkan kepada insan manusia."
"Benar, diajeng, aku tentu akan berusaha sekuat kemampuanku."
"Kakang,"
Ujar puteri pula "kudengar Ku amat sak mandraguna.
Dialah yang berhasil menemukan, kaca wasiat milik ayunda Teribuana.
Pada hal berpuluh resi, wiku yang telah di tahkan rama prabu, gagal semua.
Dan tampaknya dia sangat bernafsu sekali untuk memenangkan sayembara ini.
Dapatkah kakang mengatasi kedigdayaan Kuti? "
"Memang demikian diajeng,"
Kata Wijaya "sebenarnya hanya Ku yang paling kucemaskan. Karena dia tentu hendak membalas dendam kepadaku."
"O"
Puteri Gayatri terkejut "mengapa dia mendendam kepada kakang? "
"Dia seorang yang nggi ha ,"
Kemudian Wijaya menceritakan tentang peris wa di Wengker dahulu.
Sudah tentu ia terpaksa menyimpan peristiwa yang dialaminya bersama Mayang Ambari.
Gayatri mengangguk pelahan "Jika demikian makin besarlah rasa periha nku terhadap pertandingan esok itu,"
Ia berhen sejenak, merenung lalu berkata "kakang Wijaya, aku hendak menghaturkan sesuatu kepadamu. Dan sesuatu itu tak lain hanya sebagai tanda betapa besar harapan yang kucurahkan atas kemenanganmu, kakang."
Wijaya terkejut "O, sudah tentu aku tak berani mengharap suatu apa. Karena memenangkan pertandingan esok hari itu, memang sudah menjadi kewajibanku."
"Tidak kakang,"
Kata puteri Gayatri "apa yang hendak kuhaturkan kepadamu itu, bukan emas bukan harta, melainkan sebuah pusaka."
"Pusaka ?"
"Agar dalam menghadapi Ku esok hari, kakang terhindar dari malapetaka. Terimalah kakang."
Gayatri lalu mencabut cunduk dari sanggulnya lalu diberikan kepada Wijaya "cunduk ini disebut cunduk mus ka Hiranyapadma.
Bentuknya seper bunga teratai.
Daya khasiatnya dalam melindungi diri dari serangan musuh.
Apabila berhadapan dengan musuh maka musuhpun akan kabur pandang matanya, seolah melihat yang dihadapinya itu beberapa lawan sehingga bingung untuk menyerang."
Berhen sejenak puteri Gayatri berujar pula "Cunduk mus ka Hiranyapadma ini sesungguhnya warisan ibundaku yang dianugerahkan kepadaku untuk melindungi diri dari segala mara bahaya.
Maka pakailah kakang Wijaya, semoga Dewata Agung melindungi diri kakang agar kakang dapat memenangkan pertandingan esok hari."
Gemetar tangan Wijaya dikala menyambu pemberian sang dyah ayu. Namun sesaat dia agak bingung bagaimana harus mengenakan cunduk itu. Rupanya puteri tahu akan keraguan Wijaya "Susupkan pada sanggul rambutmu, kakang."
"Ah"
Wijaya mendesah "tetapi diajeng, aku tak biasa mengenakan cunduk. Tidakkah nan apabila dalam bertanding dengan lawan, cunduk mustika itu tak mungkin akan jatuh ?"
"Maksud kakang? "
"Diajeng,"
Wijaya gopoh memberi penjelasan "harap jangan salah faham. Bukan aku menolak anugerah diajeng yang sangat kuhargakan itu. Tetapi aku tak dapat mengenakan ditempat yang sesuai. Dimanakah letak yang sesuai untuk menancapkan cunduk ini? "
"Hm, mulai manja,"
Pikir Gayatri dalam ha .
Ia tahu maksud Wijaya.
Sebenarnya pemuda itu tentu hendak meminta supaya puteri yang memasangkan cunduk itu pada sanggulnya, tetapi Wijaya tak berani mengucapkan.
Sejenak Gayatri mengeliarkan pandang.
Dilihatnya di ruang pendapa itu ada orang lain kecuali mereka berdua.
Betapapun ia masih merasa malu apabila ia hendak memasangkan cunduk itu diatas rambut Wijaya dan dilihat orang.
Setelah merasa aman dari penglihatan orang, barulah Gayatri melangkah maju ke muka Wijaya dan meminta cunduk lalu memasangkan pada rambut Wijaya.
Mimpi dapat melayang jauh ke suatu alam yang aneh.
kadang si pemimpi itu tak dapat menerangkan sendiri bagaimana nama dan keadaan alam itu karena dia merasa belum pernah berada dalam suasana alam sedemikian.
Mimpipun kuasa mencipta-adakan sesuatu, baik benda, mahluk atau peristiwa, yang tak mungkin terjadi dalam kenyataan.
Tetapi apa yang dialami Wijaya pada saat itu, ternyata lebih mustahil daripada mimpi.
Serambut dibelah tujuhpun tak pernah dia memimpikan bahwa ikut sertanya memasuki sayembara pilih senopati di kerajaan Singasari itu akan membawanya dalam suatu alam dari seribu impian dan kenyataan.
Di hadapannya, tepatnya di depan hidung, ia tersengat oleh bau yang harum.
Keharuman yang lebih harum dari mekarnya seribu kuntum bunga.
Keharuman bunga, kuasa menyedapkan hidung, menyegarkan perasaan.
Tetapi keharuman yang terpancar dari tubuh sehalus beludru terbalut dengan kulit berwarna kuning melangsap lembut, membiaskan suatu keanggunan rasa sejati ke awang-awang lapis ketujuh tempat semayam para hapsari.
Rasa bahagia yang menggelut perasaan Wijaya, memancarkan rasa keindahan agung akan kebesaran alam jagad raya ini.
Dan teridaplah Wijaya dalam alam yang penuh pesona syahdu.
Ia merasa bahwa hikmah dari kehidupan insan manusia itu tak lain hanyalah kemanunggalan dari unsur pria dan wanita.
Kemanunggalan itulah yang kuasa menimbulkan berbagai peris wa dalam kehidupan, besar kecil, jahat baik, hina mulia dan sebagainya.
Kemanunggalan itulah yang kuasa menggoncangkan jagad, kuasa membahagiakan kehidupan, kuasa pula menghancurkannya.
Dalam kelelapan rasa itu, mbullah suatu perasaan baru dalam ha Wijaya.
Mengapa dia harus berjerih payah berjuang untuk mengayu hayuningan praja dan bawana ? Mengapa dia harus menyiksa diri bertapa-brata dan menuntut ilmu ? Tidakkah kesemuanya itu akan tergulung dalam suatu wadah yang berisikan in sari kehidupan yang terdiri dari pria dan wanita belaka? Dan bukankah sekarang didepannya, didepan hidungnya, telah terbentang apa yang menjadi hakekat kehidupan sebagaimana yang tersirat dari amanat Hyang Widdhi Agung dikala menciptakan tahnya ke arcapada? Bukankah salah sebuah amanat itu, menitahkan agar insan manusia menjaga kelestarian kehidupannya dengan jalan berkembang biak? "Kakang, cunduk mus ka Hiranyapadma telah bersemayam di mustaka kakang,"
Ba2 terdengar puteri Gayatri berseru pelahan.
Wijaya gelagapan.
Bagaikan luncur burung yang terkena anakpanah jatuh ke bumi, seke ka berhamburanlah pikiran Wijaya yang tengah melayang-layang di Saptaloka.
Kesadaran ba kembali dalam singgasana ha nya, namun karena datangnya secara amat mendadak, sesaat iapun tak dapat berkata apa-apa.
"Kakang,"
Tegur sang puteri pula.
"O"
Wijaya menggelegak kejut.
"terima kasih diajeng."
"Kakang,"
Ujar puteri "dengan menyanggul cunduk mus ka Hiranyapadma itu, kakang akan terlindung dari ancaman bahaya dari mana dan siapanpun juga. Tetapi kakangpun memanggul beban tugas yang berat pula."
"O, apakah yang harus kulakukan?"
Kesadaran Wijaya yang makin meningkat, makin menimbulkan suatu perasaan yang tajam.
"Hiranyapadma atau Teratai Emas itu mewajibkan pengembannya supaya sesuci-ba n, berbudi luhur, berperbawa agung, berpijak pada kebenaran seja dan berpambeg welas asih terhadap semua titah."
"O"
Seru Wijaya "jika demikian hanya diajeng kiranya yang layak memiliki cunduk mus ka ini. Tetapi aku ....
"
"Ksatrya yang memakai cunduk Hiranyapadma itu menyanggul beban untuk menerangi yang gelap, menyirnakan si angkara murka yang jahat, mangayu-hayunjng bawana langgeng "Baik, diajeng,"
Terkesan juga akhirnya Wijaya akan makna yang terkandung dalam cunduk mus ka itu. Karena hal itu senapas dengan jiwa ksatrya "setelah selesai peris wa sayembara ini, tentu akan kuhaturkan kembali kepada diajeng."
"Ah, kakang "
"Tidak, diajeng,"
Sanggah Wijaya "mus ka seagung perbawanya seper cunduk Hiranyapadma itu hanya layak dimiliki oleh seorang puteri utama seperti diajeng."
Gayatri mengulum senyum. Sesaat kemudian ba2 ia berkata pula "O, hampir lupa kukatakan kepada kakang. Cunduk mus ka Hiranyapadma itu akan memancarkan daya-kesak annya apabila disertai laku."
Wijaya terkesiap "Apakah lakunya, diajeng. Haruskah aku berpuasa ataukah menyepi dan menghaturkan sesaji? "
Puteri tertawa "Tidak, kakang.
Cunduk mus ka Hiranyapadma dak menghendaki suatu laku tapabrata yang bersifat menyiksa diri.
Juga tidak memerlukan segala sesaji serta doa mantra.
Tetapi suatu laku dalam diri peribadi kakang sendiri.
Lakunya mudah sekali, bahkan sedemikian mudah sehingga kadang orang lupa memegang laku itu.
Pada hal dengan laku itu dimaksud untuk memusatkan seluruh pikiran, perasaan dan indriya kita dalam suatu kemanunggalan cipta yang nantinya akan kuasa menggerakkan daya-kesaktian cunduk mustika itu "
Makin tertarik ha Wijaya akan ucapan puteri maka serta merta iapun segera meminta agar puteri mengatakan laku yang harus ditempuhnya.
"Mudah sekali, kakang, tak lain diwaktu menghadapi lawan, kakang tak boleh mengucap kata walaupun hanya sepatah jua."
"Jadi aku harus membisu selama bertempur dengan lawan?"
Ulang Wijaya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya"
Sahut puteri Gayatri "mudah bukan? Tetapi sukar sekali karena kadang diluar kesadaran, kakang terpancing oleh kata2 atau sumbar yang dilontarkan lawan, sehingga kakang terus menjawabnya."
Wijaya terkesiap. Ia mengakui kebenaran ucap sang puteri "Baiklah diajeng,"
Akhirnya ia memberikan janji "aku akan mentaati pesan diajeng."
Tiba2 terdengar derap langkah kaki masuk ke ruang pendapa dan ke ka Wijaya berpaling ternyata tumenggung Bandupoyo "Raden, hari sudah larut malam. Apakah gus ayu sudah memberikan minyak Padmasari kepadamu ? "
Wijaya agak gelagapan dan mengatakan "Ah, mengapa paman pelupa? Bukankah sejak tadi diajeng sudah memberikannya?"
Tumenggung Bandupoyo tertawa "Ah, jika begitu, marilah kita pulang. Raden harus beristirahat agar esok hari sudah pulih segar kembali."
"Paman"
Ba2 puteri Gayatri berujar "bagaimana sayembara esok hari itu, kupercayakan kepada paman tumenggung."
Tumenggung Bandupoyo terkesiap "Apa maksud gusti ayu? "
"Bukankah rama prabu telah menitahkan amanat agar kakang Wijaya. memenangkan sayembara itu ?"
Tumenggung Bandupoyo mengernyut dahi "Tetapi hal itu tergantung dari raden sendiri dan tergantung akan garis ketentuan dewata agung."
"Juga tergantung kepada paman,"
Tukas puteri "
Dakkah paman takut akan kemurkaan rama prabu apabila amanatnya tak dapat terlaksana?"
"Habis? "
Tumenggung Bandupoyo menyalang mata "apa daya paman untuk melakukan hal itu? "
"Ah, paman Bandu,"
Seru puteri "kuserahkan saja segalanya kepada paman. Dan akupun percaya sepenuhnya bahwa paman tentu dapat mengemban amanat rama prabu."
"Dan amanat paduka sendiri, bukan?"
"Paman Bandu,"
Teriak Gayatri seraya berputar diri terus melangkah masuk kedalam puri.
Tumenggung Bandupoyo tertawa gembira lalu mengajak Wijaya tinggalkan pendapa itu.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ Kerisauan pikiran telah mengusik ketenangan ha tumenggung Bandupoyo, sehingga malam itu dia tak dapat dur.
Setelah mengantar Wijaya ke asrama, tumenggungpun mengadakan pemeriksaan keliling keraton.
Tiba-tiba ia ingin menuju ke Tumapel.
Di sana sedang dibangun sebuah candi besar, tempat pemujaan Syiwa dan Buddha.
Ia tak tahu mengapa seri baginda Kertanagara menitahkan pembuatan candi itu.
Tetapi nenurut keterangan dari pandita yang ditugaskan untuk menjadi penjaga candi itu yani Dang Acarya Ratnamsa, candi itu akan diperuntukkan penjenazahan dari raja-raja Singasari, dimulai dari apabila seri baginda Kertanagara wafat dan turun temurun dari raja-raja Singasari penggantinya.
Perkenalannya dengan Dang Acarrya Ratnamsa memberi kesan bahwa sang acarrya itu seorang pandita yang saleh, luas pengetahuan dalam falsafah keagamaan.
Tumenggung Bandupoyo hendak mohon petunjuk kepadanya untuk menerangi pikirannya yang sedang sedang tertutup kerisauan.
"Ah, malam sudah begini larut. Tidakkah kedatanganku akan mengejutkan sang acarrya?"
Sesaat ia menimang-nimang per mbangan sebelum mengayunkan langkah. Kemudian ia menghela napas "ah,' rasanya"
Akhirnya ia mengurungkan niatnya.
Pikiran adalah penguasa diri orang.
Pikiran tumenggung Bandupoyo yang risau itu, melepaskan semua keadaan dalam dirinya.
Bahkan diapun tak memikirkan lagi kemanakah kaki harus melangkah.
Seper penunggang kuda yang melepaskan tali kendali, berlarilah kuda menurut sekehendaknya.
Demikian pula dengan tumenggung itu.
Dia telah membebaskan seluruh indriya dan memerdekakan sang kaki berayun dalam langkah tanpa tujuan.
Tanpa disadari dia telah berjalan ke taman yang terletak dibelakang istana kediaman seri baginda dan ba2 kehampaan pikirannya terenggut oleh pencerapan pandang matanya akan sebuah bangunan candi kecil "Ah, candi keraton,"
Pemandangan itu menggugah kesadaran pikiran.
Memang dalam lingkungan keraton, baginda telah menitahkan untuk membuat candi pemujaan untuk tempat ibadah keluarga raja.
Segera ia melangkah masuk dan bersila menghaturkan doa puja dihadapan arca Hyang Syiwa dan Hyang Amogapasa.
Dia memanjatkan doa permohonan agar Batara Syiwa-Buddha melimpahkan penerangan kepadanya.
Malampun makin kelam.
Angin berhembus membawa kedinginan hawa larut malam.
Bintang kemintang makin terang, dilangit yang tak berbulan.
Sunyi senyap diseluruh penjuru jagad.
Damai sejahtera seluruh kawula Singasari.
Beberapa waktu kemudian, tumenggung Bandupoyo pun segera menyudahi doa.
Serasa beberapa beban berat yang menghimpit dadanya, longgar.
Namun belum berar bahwa seluruh beban yang merisaukan pikirannya itu telah himpas.
Ia masih belum menemukan jawabannya.
Yang dirasakan setelah memanjatkan doa permohonan kehadapan Hyang Batara Syiwa-Buddha, ia telah menunaikan suatu wajib sebagai seorang tah manusia bahwa Hyang Syiwa-Buddha itu Maha Kuasa, Maha tahu dan Maha Murah.
Hanya kepadaNYA manusia harus memohon perlindungan dan penyerahan puja doa.
Tumenggung Bandupoyo melanjutkan langkah cengkerama malam tanpa tujuan.
Hanya beberapa saat langkah terasa, ringan dan setelah itu mulai terasa sarat pula.
Kesadaran itu mbul dari pikirannya yang tersibak lagi oleh persoalan yang belum terpecahkan.
Saat itu ia ba di sebuah kolam.
Permukaan kolam penuh ditumbuhi bunga teratai pu h dan merah.
Ada sebuah tempat duduk ditepi kolam itu dan duduklah ia disitu.
Beberapa saat kemudian mulailah ia mengalirkan soal2 yang menimbuni pikirannya "Walaupun aku belum menemukan jawaban dikala menghadap Hyang Syiwa-Buddha tadi tetapi pikiranku merasa tenang.
Maka akan kucoba untuk memutuskan persoalan itu."
Katanya dalam hati.
Kiranya yang menjadi kerisauan pikiran tumenggung itu tak lain adalah pertandingan dalam sayembara esok hari.
Dia telah menerima tah baginda, menerima pula pesan puteri Gayatri agar mengusahakan kemenangan bagi Wijaya.
Iapun tahu pula bagaimana cara mengusahakannya.
Mudah.
Mudah sekali sebenarnya.
Ia tahu siapa Ku dan bagaimana kelemahan atau bagian pengapesan pada tubuhnya.
Asal ia memberitahukan hal itu kepada Wijaya, kemungkinan besar Wijaya tentu akan dapat mengalahkan Ku .
Dan selesailah sudah baginya untuk melaksanakan amanat seri baginda serta pesan puteri Gayatri.
Tetapi mengapa ia harus merisaukan hal yang semudah itu ? Memang benar, tumenggung Bandupoyo risau karena soal itu.
Ku adalah adik seperguruannya ke ka berguru pada resi Brahmacahya di gunung Bromo.
Ku cerdik dan cerdas sehingga dia lebih banyak mewarisi ilmu kesak an resi gurunya daripada Bandupoyo.
Namun Bandupoyo tak iri bahkan dia girang bahwa padepokan gunung Bromo akan menurunkan seorang ksatrya yang sak -mandraguna.
Pamor perguruan gunung Bromo tentu akan naik.
Pandangan Bandupoyo bukan tertuju pada kepen ngan diri sendiri melainkan demi kewibawaan nama perguruan.
Pada suatu hari, ia dipanggil gurunya yang saat itu telah berusia amat lanjut dan sedang sakit "Di mana adikmu Kuti?"
Tegur sang resi dengan suara yang lemah dan wajah tampak pucat.
Memang sejak beberapa hari yang lalu, pada waktu resi Brahmacahya sakit, Kuti mengatakan kepada Bandupoyo hendak turun gunung untuk mencarikan obat gurunya.
Tetapi hingga dua pasara telah lalu, Kuti tetap tak pulang.
"Ku mengatakan kepada hamba hendak turun gunung mengusahakan obat untuk bapa guru,"
Jawab Bandupoyo. Resi Brahmacahya geleng geleng kepala dan menekuk-nekuk jari seper orang menghitung "Dia takkan kembali lagi, Bandu."
"Mengapa bapa guru?"
Bandupoyo terkejut.
"Ku memang cerdas sekali. Segala ajaran yang kuberikan kepadanya, dengan cepat dapat di fahaminya,"
Kata resi Brahmacahya "dia memang seorang bakat yang bagus tetapi sayang dia terlalu besar nafsunya. Ingin menjadi manusia yang paling sakti, ingin mengejar kekuasaan."
Resi tua itu batuk2 dan berhen sejenak, kemudian melanjutkan pula "Bermula aku girang karena mendapat murid yang sedemikian cerdas dan berbakat.
Dia-pun pandai mengambil ha sehingga lebih banyak ajaran2 yang kuberikan kepadanya daripada kepadamu, Bandu.
Maa an, Bandu, tentulah engkau menganggap aku seorang guru yang pilih kasih "
"Tidak bapa resi,"
Serta merta Bandupoyo menjawab "sama sekali dak ada rasa itu dalam ha hamba. Bahkan hamba merasa girang karena keluhuran ajaran dan nama paduka pas akan cemerlang karena dapat melahirkan seorang murid yang cerdas."
"Engkau memang kalah cerdas dengan Ku tetapi engkau lebih jujur dan setya, Bandu,"
Kata resi Brahmacahya "Kuti cerdas tetapi besar nafsu dan tak setya."
Karena berujang kali resi mengutarakan tentang sifat Ku maka Bandupoyopun meminta keterangan bagaimanakah sifat yang tak setya dari Kuti itu.
"Dia pernah menguji aku,"
Kata resi tua itu "pada waktu kusuruh dia mengulang sebuah ilmu kanuragan yang kuajarkan kepadanya, dia meminta agar aku menjadi lawan la han.
Dengan demikian dapatlah diketahui mana-mana yang masih kurang dan lemah.
Karena kuanggap permintaan itu wajar maka aku pun meluluskan."
"Bapa guru,"
Kata Kuti "dapatkah hamba menghaturkan permohonan kepada paduka? "
"Apa yang hendak engkau minta? "
"Hamba mohon paduka meluluskan hamba mengeluarkan seluruh aji kesak an yang hamba peroleh dari paduka agar paduka dapat menilai sampai pada tataran manakah yang telah hamba capai sampai saat ini."
"O, baiklah."
"Tetapi hambapun mohon agar bapa guru juga bersungguh sungguh untuk menyambut dan membalas serangan kepada hamba."
Resi Brahmacahya tertawa mengiakan.
Ia tak mempunyai prasangka suatu apa kecuali menganggap bahwa Ku memang bersungguh-sungguh hendak mencari ilmu.
Demikian kedua guru dan murid itu segera adu olah kanuragan dan kesak an dalam pertarungan yang makin lama makin seru.
Diam2 resi Brahmacahya girang karena muridnya telah mencapai kemajuan yang pesat.
Apa yang diajarkannya telah dilatih dengan sungguh2.
"Tiba2 dalam suatu kedudukan dimana pukulanku dapat dihindarinya, Ku cepat mengirim sebuah pukulan yang keras. Aku tak sempat menangkis maupun menghindar, maka segera kutahan napas dan kuhimpun tenaga untuk menerima pukulan itu."
"O"
Bandupoyo berseru "tentulah Kuti hanya cukup menjamah bapa guru saja."
"Kukira memang begitu. Paling-paling dia tentu hanya akan menebah dadaku saja,"
Kata resi Brahmacahya "tetapi kenyataan tidak demikian, Bandu..."
"Kuti benar2 menghantam dengan sungguh2? "
"Jika hanya dengan pukulan biasa, kiranya aku tentu dapat menerima. Tetapi dia telah menggunakah pukulan aji Brajamus . Aku terkejut ke ka merasakan dadaku seper terhantam gada besi ....
"
"Terkutuklah Kuti,"
Teriak Bandupoyo "apakah bapa guru terluka? "
"Memang luar biasa benar tenaga pukulan Ku itu. Aku tak menyangka bahwa aji pukulan yang kuajarkan kepadanya itu telah dilatih sedemikian hebat sekali."
"Lalu bagaimana keadaan bapa saat itu?"
"Aku terpental dan muntah darah."
"Jahanam!"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seru Bandupoyo "jika demikian dialah yang menyebabkan bapa guru sakit ini"
Resi Brahmacahya gelengkan kepala "Tidak, Bandu. Kurasa dak karena itu tetapi memang sudah ba saatnya aku harus sakit. Diapun tampak menyesal dan segera memapah aku kedalam bilik dan gopoh menghadangkan ramuan jamu penolak sakit-dalam."
"O, mengapa bapa tak memberitahu-kan hal itu kepada hamba? Tentu akan hamba tegur perbuatan si Kuti itu."
"Bandu"
Kata resi Brahmacahya batuk-batuk "aku sendiri tak menyangka bahwa Ku telah mencapai ngkat yang sedemikian sak dalam aji pukulan itu. Jangankan engkau, Bandu, bahkan aku sendiri pun rasanya belum mencapai tataran seperti yang dimiliki Kuti."
Bandupoyo terkesiap.
"Itulah yang kukatakan bahwa dia telah menguji kepandaianku,"
Kata resi pula "maka kupas kan dia takkan kembali ke pertapaan sini lagi."
"Bandu"
Kata resi "Brahmacahya pula, tegak sesuatu dalam arcapada ini sudah digariskan oleh Hyang Batara Agung.
Aku merasa bahwa tak lama lagi aku akan pergi menghadap kehadapan Hyang Malia Agung sumber segala kehidupan alam semesta.
Sebelum aku berangkat ada beberapa pesan yang perlu kutinggalkan kepadamu."
Dengan bercucuran airmata Bandupoyopun segera tumungkul di depan pembaringan gurunya.
"Pertama, engkau harus melakukan dharma hidupmu sebagai ksatrya yang berbudi luhur, setya pada kewajiban dan asih memberi pertolongan kepada sesamanya."
"Kedua, tentang ilmu yang telah kuberikan kepadamu, wajiblah engkau pelajari dan latih senantiasa. Karena ilmu itu harus dituntut dengan kepatuhan yang tertib dan menjalankan dengan telaten. Kurasa segala ilmu yang telah kuberikan itu sudah cukup bagi pelengkap seorang ksatrya asal engkau benar2 patuh dan telaten mencari kesempurnaan ilmu itu. Dan ketahuilah anakku, segala ilmu kesaktian itu hanya sarana atau pakaian luar. Bagi seorang ksatrya sejati yang penting adalah keutamaan jiwa dan amal dharmanya."
"Ke ga, mengenai Ku . Jangan engkau membalas dendam tetapi awasilah gerak geriknya. Apabila dia memang makin rusak jiwanya, tegurlah. Apabila perlu engkau boleh menghukumnya. Kemarilah Bandu, akan kubisikimu tentang pengapesan diri Kuti."
Bandupoyo tersentak dari lamunan ke ka ia masih ingat jelas petunjuk gurunya tentang bagian pengapesan dari tubuh Ku "Ya, apabila kuberitahukan hal itu kepada raden Wijaya, Ku tentu dapat dikalahkan."
Tetapi kembali dia terpancang dalam persimpangan pikiran sebagaimana sejak ia mundur dari hadapan sang prabu dan kedua puteri raja "Tidakkah hal itu berar aku menghiana saudara seperguruan sendiri? Padahal, guru pernah menanamkan ajaran bahwa terhadap guru harus hormat dan berbak seper orangtuanya sendiri.
Kepada saudara seperguruan harus rukun dan bantu membantu seper saudara sekandung.
Lalu dakkah ndakanku untuk memberitahukan kelemahan Kuti kepada raden Wijaya itu takkan menyalahi titah bapa guru ? "
Demikianlah soal yang merisaukan pikiran Bandupoyo.
Soal yang membawanya ia berjalan-jalan pada malam hari di dalam wilayah keraton namun hingga saat itu belum dapat ia menemukan pemecahannya.
Iapun teringat akan cerita bapa gurunya ke ka menerangkan tentang hakekat perang suci dalam Bharatayuda.
Bahwa perang itu bukan peperangan antara kerabat Korawa lawan kerabat Pandhawa yang masih mempunyai hubungan keluarga.
Tetapi perang untuk menanda kesucian ba n dan mencari kebenaran dan keadilan.
Barangsiapa dak suci ba nnya, yang angkara murka, yang jahat, pas akan lebur tanpa-dadi betapapun dia seorang pandita resi atau ksatrya senopa yang sakti dan memiliki senjata pamungkas pemberian dewapun.
Sri Kresna telah marah dan mengata-ngatai sang Resi Bisma yang waktu itu menjadi senopa agung pasukan Korawa karena resi Bisma telah mengumbar hawa nafsu, melepaskan pusaka Suri Panatas yang menyebabkan beribu-ribu prajurit fihak Pandhawa rubuh seperti kehilangan tenaga.
Waktu hari pertama menjabat sebagai senopati agung Korawa maka Resi Bisma segara mengatur gelar Wukir Jaladri untuk menghadapi pasukan Pandhawa dibawah pimpinan Resi Seta putera sulung dari kerajaan Wiratha, yang mengatur gelar Braja Tiksna Lungid.
Dalam perang campuh yang amat dahsyat itu akhirnya berhadapanlah senopati Resi Bisma dengan senopati Resi Seta.
Keduanya sama-sama resi yang sakti dan sama-sama pula menjadi senopati agung.
Dalam kemelut pertempuran yang dahsyat, di medan palaga, kereta perang Resi Seta makin maju ke tengah dan mendekati kereta Resi Bisma.
Pertama Resi Bisma mencelat keluar dari rata ketika dihantam, pusaka Resi Seta.
Resi Bisma naik lagi ke rata lalu melepas panah pacar-wutah sehingga Resi Setapun mencelat dari keretanya.
Resi Seta loncat pula ke dalam rata dengan mencekal bindi dia menerjang ke arah rata Resi Bisma.
Resi Bismapun segera menghujani anakpanah, tetapi tubuh Resi Seta seperti menyala dan beratus-ratus anakpanah itupun tak mempan jatuh di dadanya.
Akhirnya Resi Bisma melepas senjata pamungkas kyai Cundarawa.
Waktu panah itu mengenai tubuh Resi Seta, terdengar letusan dahsyat.
Resi Seta terlempar dari kereta tetapi tetap masih hidup.
Dia hanya merasakan sakit tetapi tak menderita luka sama sekali.
Kini Resi Seta mengamuk.
Ia menerjang dan menghantamkan bindi kepada lawan.
Resi Bisma dapat menghindar tetapi keretanya hancur lebur berkeping-keping.
Resi Bismapun segera mencabut keris pusaka kyai Udanmas yang menyala-nyala seper api.
Melihat itu Resi Seta gan pusaka gada kyai Lukitapa yang juga memancarkan cahaya api.
Keduanya segera banda-yuda melangsungkan pertempuran dahsyat sekali.
Namun akhirnya Resi Seta berhasil menyabatkan gada kepada lawan sehingga Resi Bisma terlempar jauh dari medan.
Resi Bisma teringat akan ibundanya dewi Ganggawati seorang Bidadari dari Kahyangan.
Ia segera bersemadhi.
Dewi Ganggawati turun dari kahyangan dan memberi pusaka Suri Panatas senjata milik sang Hyang Gangga.
Suri Panatas dapat menjadi senjata apa saja menurut cipta kehendak yang menggunakan.
Resi Bisma tak mungkin kalah dengan siapa saja asal selama dalam perang itu terus menerus menggunakan panah itu dan sekali-kali tak boleh melepaskannya di medan perang.
Akhirnya dengan pusaka Suri Panatas itu gugurlah Resi Seta.
Hari kedua Resi Bisma tetap manteg aji mengumbar kesak an pusaka Suri Panatas sehingga barisan Pandhawa menderita kerusakan besar.
Melihat itu marahlah Sri Kresna.
Rata segera diterjangkan ketengah barisan Korawa untuk menghampiri rata Resi Bisma.
Serta dekat Sri Kresna loncat turun dari rata dan siap melepaskan senjata cakra.
Sri Kresna mengata-ngatai resi itu dan menantangnya untuk mengadu kesak an antara pusaka Suri Panatas dengan Cakra agar perang Bharatayuda lekas selesai.
Tetapi apabila terjadi hal itu Sri Kresna memperingatkan bahwa dewata tentu akan murka karena Resi Bisma berani merobah kodrat yang telah digariskan dewata.
Tiba pada lamunan itu tersiraplah darah Bandupoyo "Memang dak layak Resi Bisma menggunakan senjata pusaka yang bukan miliknya tetapi milik lain orang maka tak heran kalau Sri Kresna sampai murka.
Hm, benar,"
Pikirnya.
"Tetapi bukankah Sri Kresna sendiri juga dak jujur karena selalu mengatur siasat yang kurang ksatrya sifatnya, bahkan siasat menipupun digunakannya terhadap pandita Drona dengan menyiarkan berita bahwa Haswatama ma . Pandita Drona yang amat sayang akan puteranya Aswatama seke ka gugur nyalinya dan luluh semangatnya. Ia segera bertanya kepada prabu Punta- dewa tentang kebenaran berita itu. Karena telah dihimbau oleh Sri Kresna maka sang prabu Puntadcwa pun mengatakan bahwa benar gajah Haswatama ma . Tetapi kata2 gajah itu diucapkan dengan pelahan sekali sehingga pikiran pandita Drona yang sudah bingung, menangkapnya sebagai Aswatama,"
Tumenggung Bandupoyo menimang-nimang dan menilai bahwa ndakan Sri Kresna itu kurang ksatrya.
"Dengan memberitahu kepada raden Wijaya tentang kelemahan Ku , bukankah aku juga bertindak curang seperti Sri Kresna?"
Ia terkesiap sesaat tiba pada pertanyaan itu.
Lama tumenggung Bandupoyo tenggelam dalam renungan.
Ia ingat bahwa menurut cerita, Sri Kresna itu adalah san Hyang Wisnu.
Tetapi mengapa dia ber ndak demikian ? Akhirnya bersua juga jawabannya.
Sri Kresna tahu akan kodrat yang telah digariskan ketentuan dewata bahwa perang Bharatayuda itu harus terjadi, tak dapat dihindari lagi.
Karena maknanya perang itu adalah untuk membersihkan segala kekotoran dunia.
Kekotoran dari ba n manusia yang penuh nafsu kejahatan dan angkara murka.
Juga medan terakhir untuk menghimpaskan segala karma, hutang piutang dendam dan jiwa.
Pandita Drona harus ma untuk menebus segala dosa dan cara2 yang dilakukan Sri Kresna itu hanya suatu sarana yang menuju kepada terlaksananya kodrat melalui peperangan besar.
Serentak tergugahlah pikiran tumenggung Bandupoyo "Jika demikian langkahku untuk mengusahakan kemenangan bagi raden Wijaya itu memang sudah kodrat.
Bukankah keberhasilan raden itu untuk merentang gandewa pusaka kyai Kagapati sudah, merupakan perlambang kodrat Prakitri yang telah direstui dewata? Jika aku memberitahukan kelemahan Kuti, tak lainpun hanya suatu sarana untuk terlaksananya garis2 ketentuan dewata agung."
"Pemilihan senopa Singasari itu menyangkut nasib dan kepen ngan negara Singasari. Apabila senopa itu jatuh ke tangan orang yang besar nafsu haus kekuasaan seper Ku , kerajaan tentu makin rusak. Bukankah saat ini Singasari sedang lemah kekuatan ?"
Renungan Bandupoyo makin meningkat "
Aku tahu akan hal itu dan akupun dapat berusaha. Namun apabila aku berpeluk tangan sehingga Ku berhasil menjadi senopa , bukankah aku harus bertanggung jawab akan kerusakan praja ? "
Makin bangkitlah semangat tumenggung itu "Ini menyangkut kepen ngan kerajaan. Kepen ngan negara harus diletakkan di atas segala kepentingan peribadi, perguruan dan semua-semuanya."
"Dan akupun seorang mentri kerajaan. Aku harus melaksanakan tah raja. Kiranya apabila masih hidup, bapa guru tentu takkan menyalahkan ndakanku karena bapa gurupun sudah tahu bagaimana sifat Ku sehingga pada saat hendak menutup mata, bapa guru telah memberitahu kelemahan Ku kepadaku. Aku akan minta kepada raden Wijaya supaya jangan membunuh. Ku tetapi cukup kalau dirubuhkan saja. Dengan demikian akupun hanya bermaksud menghalangi dia supaya jangan sampai menjadi senopati Singasari dan sekali-kali bukan menghendaki jiwanya."
Pada saat itu ba2 tumenggung Bandupoyo dikejutkan oleh suara kokok ayam yang terdengar sayup2 dari luar keraton "Ah, hari hampir pagi, aku harus segera mendapatkan raden Wijaya untuk memberitahukan rahasia Kuti."
Serentak tumenggung itupun beranjak dari tempat duduk dan pelahan-lahan mengayunkan langkah menuju ke asrama tempat penginapan raden Wijaya. Wajahnya yang kuyu tampak merekah segar dibelai percik embun dinihari. ~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~
Jilid 22 Persembahan . Dewi KZ
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .
MCH I Tatkala mentari pagi menyinari bumi, tampak di alun-alun Singasari, rakyat berbondong- bondong menuju ke sebuah bangsal yang dibangun tepat di muka paseban si -inggil keraton Singasari yang megah.
Sepintas mereka menyerupai ribuan semut beriring-iring menuju ke sarang.
Hari itu adalah hari kedua atau hari terakhir dari sayembara pilih-senopa yang diadakan kerajaan Singasari.
Kemarin mereka telah menyaksikan suatu pertandingan ketrampilan ilmu bertanding dengan naik kuda, ilmu memanah dan adu kesak an tenaga dengan merentang busur pusaka keraton Kyai Kagapa .
Mereka amat terkesan sekali dengan penampilan ksatrya-ksatrya yang ikut dalam sayembara itu.
Rakyat terhibur menyaksikan peris wa itu.
Bukan hanya mata yang terangsang, pun ha mereka merekah harapan besar.
Bahwa ternyata bumi Singasari masih memiliki putera-putera yang sak - mandraguna yang akan dibebani tugas sebagai senopa penjaga pura kerajaan dan kawula Singasari.
Maka merekapun pagi-pagi sudah menuju ke alun-alun agar mendapat tempat yang enak.
Tetapi banyak yang mengkal kecewa karena ternyata jajaran paling depan dekat dengan ang- ang umbul-umbul dan panji-panji yang mengelilingi gelanggang banyak yang sudah di tempa orang.
Mereka mengira kedatangannya tentu yang paling pagi tetapi ternyata masih banyak yang datang lebih pagi lagi.
Mereka rela berdiri dijemur sinar matahari sampai sejam dua jam lamanya, menunggu pertandingan dimulai.
Hal itu menunjukkan betapa besar perha an para kawula terhadap sayembara pilih senopati itu.
Tiap jengkal matahari naik, ap jengkal tanah alun-alun dipenuhi manusia.
Dan pada saat pertandingan ba saatnya akan dibuka, keadaan sekeliling gelanggang itu seper tergenang lautan manusia.
Sorak-sorai menggelegar, mengguncangkan bumi pura Singasari ketika rakyat menyambut gegap gempita penampilan demang Widura ke atas mimbar yang berada di depan gelanggang.
Sorak bergemuruh segera sirap seketika sesaat terdengar bende bertalu mendengung- dengung.
Setelah memberi hormat ke arah bangsal agung tempat para mentri agung, senopati, nayaka, adipati kerajaan menyaksikan pertandingan itu.
Diantaranya tampak kedua patih luar- dalam yani rakryan patih Kebo Arema atau Kebo Anengah dan rakryan patih Raganata, rakryan demung Mapanji Wipaksa, rakryan kanuruhan Mapanji Anurida dan kelima pamegat, Tirwan, Kandamuhi, Manghuri, Jmba, Panjangjiwa.
Mentri Angabaya tumenggung Wirakreti, dan lain- lain mentri terkemuka.
Seri baginda Kertanagara tak berkenan hadir melainkan diwakili oleh kedua puteri baginda, sang dyah ayu Teribuana dan sang dyah ayu Gayatri, putera menantu baginda pangeran Ardaraja.
Kehadiran dari para priagung sangat menyemarakkan kewibawaan suasana saat itu.
Disamping menunjukkan betapa penting arti pemilihan senopati itu bagi Singasari.
Setelah mengucapkan sambutan pembukaan dan mengemukakan betapa pen ng ar pemilihan senopa itu bagi keselamatan kerajaan Singasari, maka demang Widurapun menentukan syarat- syarat pertandingan adu ulah kanuragan itu.
Antara lain dikatakannya "Bahwa senafas dengan tujuan kerajaan Singasari untuk membuka pintu bagi para taruna ksatrya yang ingin menyumbangkan dharma-bhak kepada negara, maka se ap peserta baik yang berhasil atau gagal dalam pertandingan itu, tetap akan diterima menjadi perwira, tamtama dan prajurit Singasari"
Sorak sorai gemuruh riuh.
"Oleh karena itu,"
Setelah memberi isyarat agar para penonton diam, demang Widura melanjutkan pula "jangan hendaknya para ksatrya yang ikut dalam sayembara ini melupakan tujuan pokok itu.
Kita sebangsa, kawula Singasari.
Setanah air, tanah air Singasari.
Sekaum, kaum ksatrya dan se-dharma, dharma mengabdi negara.
Hendaknya di jauhkan segala keinginan untuk menjadikan gelanggang adu ulah kanuragan ini sebagai medan pertumpahan darah, medan permusuhan dan medan dendam kesumat.
Tetapi hendaknya jadikanlah gelanggang ini sebagai suatu medan menguji, sampai pada tataran bagamanakah ilmu yang dimiliki masing2.
Medan untuk saling tukar pengetahuan dan pengalaman, medan untuk mengikat persahabatan dan medan untuk mempersembahkan dharma-bhakti kepada tanahair Singasari "
Bergetar serasa alun-alun pura Singasari diguncang sorak-sorai yang menggelegar laksana gunung menggempa.
"Maka dalam pertandingan ini, hanya dibenarkan menggunakan ketangkasan tangan dan kaki, dak dibenarkan menggunakan senjata apapun juga. Se ap peserta yang tampil di gelanggang, apabila rubuh ke tanah, luka atau tak luka, akan dianggap kalah"
Demikian antara lain ketentuan-ketentuan yang dicanangkan demang Widura dalam mengantar dimulainya sayembara adu ulah kanuragan itu.
Dan diumumkan pula setiap peserta dapat langsung tampil ke tengah gelanggang apabila ingin mengadu kesak an dengan ksatrya yang memenangkan pertandingan sebelumnya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah gelombang sorak sorai sirap maka tampillah seorang lelaki tinggi besar ke tengah gelanggang.
Seorang ksatrya yang gagah perkasa seperti ksatrya Bratasena, demikian di sana-sini terdengar penonton berbisik-bisik dengan kawannya.
Setelah memberi hormat ke arah bangsal agung dan ke sekeliling penonton, lelaki gagah perkasa itu berseru dengan suara menggeledeg "Aku Boga dari tanah Keling,"
Dia memperkenalkan diri.
"dalam pertandingan kemarin, aku menderita kegagalan. Sebenarnya aku harus mengundurkan diri. Tetapi demi mendengar pernyataan ki demang tadi, tergugahlah semangatku. Ki demang memang benar. Kalah atau menang dalam pertempuran adalah sudah jamaknya. Kalau dak menang tentu kalah. Aku tak berani menghrap tentu akan menang tetpi pun tak memas kan tentu akan kalah. Pun andaikata kalah, aku tetap akan mendapat pengetahuan dan pengalaman yang berharga. Aku akan kembali ke gunung lagi untuk menuntut ilmu yang lebih nggi, karena ilmu kepandaianku jelas masih rendah."
"Orang jujur"
Seru sementara penonton setelah mendengar pernyataannya. Tetapi ada pula yang memberi penilaian dalam nada mencemoh "Bukan jujur tetapi pintar. Dia mengatakan begitu untuk menjaga kemungkinan apabila dia kalah supaya tidak malu."
Memang demikianlah penonton.
Menonton suata pertunjukan, memang mudah.
Tetapi menjadi penonton yang baik, daklah mudah.
Biasanya, mereka terpengaruh, terangsang o!eh apa yang disaksikan kemudian cenderung untuk membentuk kesan dan anggapan lalu melahirkan rasa, entah senang entah marah.
Hak se ap orang untuk memberi penilaian asal janganlah penilaian itu dilahirkan dalam gerak, sorak dan cemooh yang akibatnya akan mempengaruhi peserta pertandingan yang tak mereka senangi sehingga mengganggu ketenangan pikiran mereka, menjerumuskan ke arah kekalahan.
Suara berbisik itupun sirap manakala di gelanggang tampil seorang lelaki gagah perkasa.
Perawakan yang gagah, makin diperkasakan dengan dada bidang yang bertumbuh rambut lebat, dilengkapi dengan keperbawaan dari kumisnya yang lebat, jambang yang menjulai ke bawah bersambut rambut janggut yang mengembang liar bagai semak belukar.
"Bagus,"
Terdengar penonton berteriak memuji lelaki itu "benar-benar lawan yang setanding."
Lepas daripada bagaimana kesak an dari kedua lelaki gagah perkasa itu, rakyat yang mengelilingi gelanggang itu amat terkesan sekali dengan perawakan mereka.
Terlintas dalam angan-angan penonton, itulah kiranya bentuk seorang senopati yang berwibawa! "Banteng lawan macan!"
Teriak penonton di sebelah sana.
"Duryudana lawan Sena"
Teriak dari lain ujung.
Rupanya penonton itu terpengaruh akan cerita Bharatayuda bagian perang tanding antara Duryudana prabu Astina lawan sang Sena, ksatrya Pandawa yang tinggi besar gagah perkasa.
Sebagaimana peserta yang tampil terdahulu, lelaki gagah itupun menghaturkan sembah ke arah bangsal agung lalu ke sekeliling penonton "Aku Sengguruh dari tanah Bahuwerna, ingin juga untuk ikut dalam sayembara ini agar mendapat pengalaman kemudian dia menghadap Boga "Ki sanak, kuharap ki sanak bermurah hati untuk memberi pelajaran dalam ulah kanuragan kepadaku."
"Sengguruh,"
Seru Boga "apakah engkau maklum di mana engkau berada saat ini ? "
"Ya. Di gelanggang adu kanuragan."
"Engkaupun tahu mengapa engkau berhadapan dengan aku ?"
"Tahu, untuk mengadu ulah kanuragan."
"Engkau tahu pula apa tujuan sayembara ini ?"
"Memilih senopati."
"Kiranya engkau sudah mengetahui semua,"
Seru Boga "jika demikian, janganlah engkau menghambur kata-kata merendah sehingga mempengaruhi ha lawanmu. Apakah engkau hendak membuat supaya hatiku lunak kepadamu ?"
Terdengar gelak tertawa sekalian rakyat.
Dan Sengguruhpun merah mukanya "Tidak, ki sanak.
Aku hanya sekedar mentaa apa yang telah dicanang ki demang tadi bahwa sayembara ini sifatnya mencari ksatrya-ksatrya gagah yang ingin membak kan diri kepada kerajaan.
Sekali-kali bukan .
suatu ajang untuk bunuh membunuh, dendam mendendam."
"Siapa yang mendendam? Kalau engkau dapat mematahkan tulang pinggangku, akupun rela meninggalkan gelanggang ini."
Sengguruh mengangguk-angguk. Dia menyadari bahwa yang dihadapinya itu seorang yang jujur dan berterus-terang kata. Dia juga seorang yang memiliki sikap begitu maka diapun senang dengan orang itu.
"Baiklah, mari kita mulai "
Boga menyambut pernyataan lawan dengan melangkah maju dan secara terang-terangan, dia terus menghantam dada Sengguruh.
Sengguruh terkejut.
Polos orang, bersahaja juga cara menyerangnya.
Diapun menanggapi gaya permainan lawan.
Tak mau dia menyingkir melainkan terus menyongsongnya dengan pukulan juga.
Krak, dua kerat tulang keras saling beradu dan tampak keduanya menarik tangan masing-masing.
Walaupun dak mengeluarkan desuh kesakitan, tetapi kerut wajah mereka berbicara.
Dahi Boga mengerut, urat-urat dahi Sengguruh tampak menggelembung.
Keduanya sama menahan kesakitan.
Boga yang berderak lebih dulu lagi.
Dia melompat menerkam lawan.
Tetapi kali ini rupanya Sengguruh yang menyadari akan tenaga lawan lebih unggul dari dirinya, tak mau terangsang lagi untuk mengimbangi gaya permainan lawan.
Dia mengisar langkah menghindar ke samping lalu secepat kilat menerpa leher lawan.
Boga ternyata bukan seorang jago sembrono seper yang tampak dalam gerak-geriknya.
Ia mengendap ke bawah lalu merobah pukulan yang masih menjulur itu dengan sebuah gerak sambaran ba- ba.
Apabila berhasil, tentulah pinggang Sengguruh akan tercengkam.
Tetapi Sengguruh cukup waspada.
Ia menyurut selangkah ke belakang lalu menerjang dengan sebuah pukulan yang keras.
Demikian babak pertama dari adu ulah kanuragan itu telah diisi dengan pertandingan yang menarik dari dua orang ksatrya yang setanding, baik dalam perawakan maupun dalam tenaga.
Rakyat terpikat perhatiannya.
Namun sebagaimana hukum setiap peristiwa, ada Mula tentu ada Akhir, maka pertempuran yang seru dan dahsyat dari kedua lelaki nggi besar itu mengalami ke-akhiran juga.
Tetapi keakhiran pertempuran itu agak luar biasa.
Diawali oleh mbulnya pemikiran dari Boga bahwa jika pertempuran itu berlangsung dalam cara demikian tentulah sukar diketahui akan berakhir sampai berapa lama.
Pada hal sudah hampir sejam mereka berbaku serang, masing-masing mengeluarkan bahkan hampir seluruh ilmu kepandaiannya, namun tetap belum ada yang kalah.
Maka bertekadlah Boga untuk melakukan suatu langkah yang menentukan.
Langkah itu memang berbahaya tetapi dia sudah bertekad untuk mengakhiri pertempuran itu.
Disebut berbahaya, bukan hanya untuk lawan pun juga untuk dirinya.
Tetapi dalam pertempuran, kalau dak menang tentu kalah.
Demikian pertimbangan Boga.
Kesempatan yang dinantikan Boga telah tiba.
Pada saat itu, Sengguruh tengah melayangkan pukulan kepadanya.
Boga tak mau menangkis maupun menghindar melainkan malah maju menyongsong.
Duk .....
duk ....
"Gila!"
Teriak penonton ke ka menyaksikan cara Boga saat itu.
Ternyata Boga memberikan dadanya dihunjam pukulan Sengguruh, tetapi diapun menghunjamkan pukulannya ke dada lawan.
Rupanya Boga memang menghendaki cara demikian dengan per mbangan bahwa ia memiliki daya tahan pukulan yang cukup hebat.
Paling-paling dia akan menyeringai kesakitan tetapi ia percaya lawan tentu akan rubuh terjerembab apabila terkena tinjunya.
Boga memang seorang jago yang sembada.
Bertubuh nggi besar, gagah perkasa, bertenaga kuat tahan-pukulan dan memiliki pukulan sekeras gada.
Di daerah Keling, dia disegani orang.
Bahkan anak kecil yang menangis pada malam hari, apabila ibunya mengatakan akan mengundang Boga, anak itupun segera berhenti menangis karena ketakutan.
Demikianlah pertimbangan dan perhitungan yang telah diambil Boga.
Tetapi sayang dia hanya memperhitungkan kekuatan diri sendiri tanpa memperhitungkan kekuatan lawan.
Hal itu disebabkan karena dia tak mengetahui siapa Sengguruh.
Dan memang karena wataknya yang jujur, dia memandang segala sesuatu dengan penilaian yang sederhana "Mengapa harus menilai kekuatan lawan? Yang penting harus percaya pada kekuatan diri sendiri,"
Demikian alam pikiran lelaki tinggi besar dari tanah Keling yang bernama Boga itu.
Dia gembira karena melihat Sengguruh terjerembab jatuh tetapi diapun terkejut karena dadanya serasa tertimpa sebuah gada yang berat sehingga napas serasa berhenti, mata berkunang-kunang dan kakipun terangkat.
Dia tak kuasa lagi mempertahankan keseimbangan tubuh yang terdampar ke belakang.
Bluk, bluk .......
terdengar dua sosok tubuh yang terbanting ke tanah.
Sengguruh dan Boga sama terpelanting rubuh ke tanah.
Bende bertalu talu mendengung-dengung.
Sesaat dengung bende berhen maka demang Widurapun berseru nyaring "Kedua ksatrya yang bertanding ini, karena kedua-duanya rubuh maka kedua-duanyapun dinyatakan kalah."
Sorak sorai bergemuruh menggempita. Boga dan Sengguruh berbangkit dan melangkah keluar gelanggang. Mereka ingin melanjutkan bertempur lagi tetapi keputusan demang Widura tak dapat digugat terpaksa merekapun keluar dengan membawa rasa heran.
"Ki sanak, engkau benar-benar hebat,"
Ba- ba Boga lari menghampiri Sengguruh dan memeluknya.
"Ah, engkau yang hebat,"
Sahut Sengguruh.
Rakyat yang memenuhi sekeliling gelanggang itu makin bersorak gembira ke ka menyaksikan kedua lelaki nggi besar itu saling berpelukan sebagai sahabat.
Suasana gelanggang pertempuran tak mengesankan ketegangan tetapi lebih memancarkan suasana yang gembira.
Beberapa saat kemudian muncullah seorang lelaki muda ke tengah gelanggang.
Wajahnya cakap dan dak menampakkan tanda-tanda sebagai seorang ksatrya yang perkasa.
Menilik dandanannya dia bukan orang Singasari atau Daha.
Suasana sunyi seke ka, rakyat mengemasi perha an untuk mengetahui siapakah gerangan ksatrya muda itu.
Pun cara dia memberi hormat ke arah bangsal agung daklah dengan cara menyembah seper yang dilakukan Boga maupun Sengguruh tadi, tetapi hanya dengan cara membungkukkan tubuh dan kepala.
Kemudian kepada penonton disekeliling gelanggang dia hanya melambaikan tangan.
"Aku Munding Larang dari negeri Galuh,"
Baru dia berkata memperkenalkan diri sampai disitu, bergemuruhlah suara rakyat di sekeliling gelanggang.
Desuh dan dengus dari beribu-ribu penonton menimbulkan kumandang suara macam dengung kawanan lebah di onggok dari sarangnya.
Munding Larangpun tak mau melanjutkan kata-katanya.
Setelah dengung suara sirap barulah dia berseru pula "telah tersiar jauh ke negeriku di belah surya tenggelam, bahwa ksatrya-ksatrya Singasari itu sak mandraguna.
Maka wara-wara bahwa kerajaan Singasari membuka sayembara untuk memilih senopa kerajaan, sangatlah menarik hasratku.
Dengan kesempatan ini, dapatlah aku membuk kan kabar-kabar tentang kesak an ksatrya Singasari itu.
Maka kepada segenap ksatrya Singasari yang ikut serta dalam pertandingan adu kanuragan ini, kuharap supaya tampil ..."
Pada saat ksatrya dari Galuh mengucap sampai pada kata-kata itu, seorang lelaki bertubuh nggi lari ke tengah gelanggang dan berseru "Hai, orang manca, jangan lancang ucap. Akulah yang akan menghadapi engkau."
Munding Larang memicingkan mata, memandang pendatang itu. Ia agak terkejut ke ka mengenali orang itu sebagai pemilik kuda hitam yang telah menghebohkan lapangan didekat pasar pada. beberapa hari yang lalu.
"Ki Jangkung,"
Serunya tenang "engkau lupa belum memperkenalkan diri kepada para penonton "
"Tidak perlu,"
Sahut orang jangkung itu "kehadiranku di tengah gelanggang ini adalah untuk menyambut tantanganmu. Aku akan memperkenalkan diriku setelah dapat merubuhkan engkau."
"Sayang "
Munding Larang tertawa.
"Apa maksudmu ? "
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sayang bahwa maksudmu itu tak bakal tercapai "
"Hm, manusia bermulut besar"
Lelaki bertubuh nggi itu menggeram, lalu terus bersiap-siap hendak menyerang.
"Tunggu dulu,"
Seru Munding Larang pula sehingga orang itu nggi terkesiap "Mengapa? Apakah engkau takut ?"
Serunya.
"Ya"
Sahut Munding Larang "aku memang takut, adakah Singasari yang disohorkan sebagai sumber ksatrya-ksatrya gagah, mengapa yang muncul hanya seorang manusia seper engkau? Adakah Singasari memang sudah kehabisan ksatrya ataukah memang orang semacam engkau ini di Singasari sudah dianggap ksatrya yang sakti ?"
Bukan main marah orang nggi ke ka mendengar cemoh yang dilontarkan Munding Larang itu "Jangan bermulut besar di Singasari, orang congkak,"
Dia terus menyerang Munding Larang.
Munding Larang menghindar ke samping.
Gerak langkahnya tangkas dan tepat.
Pada saat lawan menerjang, dia sudah berkisar ke samping dan menerpa lambung lawan.
Rakyat terkejut menyaksikan adegan itu.
Mereka mengira bahwa orang tinggi itu tentu akan rubuh dalam sekali gebrak saja.
Tetapi diluar persangkaan orang, termasuk Munding Larang sendiri, ternyata tangannya telah menerpa angin.
Lelaki tinggi itu sudah loncat beberapa langkah ke muka.
Walaupun keadaannya seperti orang lari dikejar anjing, tetapi dia tetap dapat menyelamatkan diri dari tangan Munding Larang.
Bergemuruh sorak penonton menyaksikan ulah si Jangkung yang aneh dan lucu.
"Ho, begitukah ngkah ksatrya Singasari dalam ilmu ulah kanuragan ?"
Munding Larang mendengus.
Ia memburu.
Tiba2 seorang nggi itupun berputar tubuh dan menyongsongkan pukulan.
Bum ! .....
terdengar bunyi mendebum keras ke ka tubuh orang nggi itu terpelan ng jatuh ke tanah.
Ternyata pukulannya tak berhasil menghantam kepala Munding Larang karena ksatrya dari Galuh itu dapat mengendap dan ayunkan kaki mengait kaki lawan.
Setelah berhasil merubuhkan lawan, Munding Larang bercekak pinggarg menggagah dihadapan orang nggi.
Ke ka orang nggi itu hendak menggeliat bangun, dia ditendang pula oleh Munding Larang, plak ....
Orang nggi berguling-guling di tanah dan Munding Larangpun maju menghampiri pula.
Sedianya dia hendak menendang lagi tetapi sebelum sempat melaksanakan niatnya, sekonyong-konyong terdengar sebuah bentakan dahsyat menyerupai aum harimau lapar.
"Hai, berhenti! "
Munding Larang terkejut mendengar suara menggeledek yang dilepas dari aji Senggara-macan itu.
Cepat ia berputar tubuh.
Lima langkah dihadapannya tegak seorang lelaki tegap berkulit hitam.
Mata orang itu berkilat-kilat tajam memandang Mundirg Larang dengan penuh kemarahan.
Agak tergetar ha Munding Larang, namun dia tenangkan diri dan menegurnya.
"Apakah engkau yang mengeluarkan aji suara geledek tadi? "
"Ya "
Sahut orang itu dergan nada mantap.
"engkau seorang ksatrya tetapi hina sekali lakumu. Lawan yang sudah rubuh menurut peraturan pertandingan sudah dianggap kalah, mengapa engkau masih hendak mencelakainya?"
"O.."
Munding Larang mendesuh cemoh "kukira karena hanya terpelan ng jatuh dan belum terluka, dia masih belum menyerah. Adakah semudah itu ksatrya Singasari menyerah pada lawan?"
"Engkau memang jumawa sekali seper yang dikatakan lawan tadi,"
Seru orang berwajah hitam "atau apakah memang telingamu rusak sehingga engkau tak mendengarkan pengumuman dari ki demang tadi ?"
"Hm"
Desuh Munding Larang.
"dia belum menyatakan menyerah."
"Ki sanak,"
Seru orang berkulit hitam itu pula "jika ksatrya macam engkau berhasil diangkat sebagai senopa kerajaan Singasari, akulah orang pertama yang takkan tunduk kepada perintahmu."
Merah muka Munding Larang "Sudahlah, jangan banyak cakap.
Yang berhak menentukan siapa yang akan menjadi senopa , bukanlah engkau tetapi hasil dari pertandingan ini.
Ketahuilah, gelanggang ini tempat adu nggi rendahnya ilmu kanuragan bukan tempat adu lidah.
Lekas engkau menyingkir jika engkau takut mati."
"Ki sanak ....
"
"Siapa namamu !"
Hardik Munding Larang.
"Aku Tunggak Jati dari pegunungan Watulima."
"Orang Singasari ?"
"Ya."
"Hayo, lekas mulai saja. Engkau yang menyerang dulu atau aku? Silakan"
Munding Larangpun tak mau banyak cakap lagi.
Dia terus loncat menerjang.
Tunggak Ja menyongsong dengan sebuah pukulan.
Krak, keduanya tersuiut selangkah ke belakang.
Diam-diam Munding Larang mengerut dahi.
Ia rasakan njunya seper pecah.
Ternyata Tunggak Ja memiliki tangan yang amat keras sekali.
Tunggak Ja menyerang, tangan kanan menabas leher, tangan kiri menukik lambung.
Munding Larang yang tahu akan keampuhan tangan lawan, tak mau menangkis.
Dia cepat menyurut selangkah lalu menyelinap ke samping dan balas menerpa tengkuk lawan.
Tetapi Tunggak Ja pun tangkas sekali mengisar langkah, menghindar ke samping.
Demikian keduanya bertempur dengan seru dalam gerak dan gaya yang lincah, tangkas dan berbobot.
Tetapi lama kelamaan, tampak juga keunggulan ksatrya dari Galuh itu atas lawannya.
Pada suatu kesempatan, dia berhasil memperangkap lawan dan menerpanya jatuh.
Tetapi Munding Larang tak berani berbuat seper terhadap orang nggi tadi karena ia tahu bahwa Tunggak Ja bukan kalah dalam ar kalah unggul ilmunya melainkan karena salah langkah sehingga tergelincir jatuh.
Juga ia menyadari bahwa ksatrya dari pegunungan Watulima itu memiliki tangan yang sekeras besi.
"Silakan bangun, ki sanak,"
Seru Munding Larang "kita lanjutkan pertempuran lagi."
Harimau Kemala Putih -- Khu Lung Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id