Dendam Empu Bharada 26
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 26
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
Tunggak Ja berbangkit "Tidak, engkau menang karena aku telah tergelincir jatuh,"
Dan dia terus melangkah tinggalkan gelanggang.
"Hayo, siapa lagi ksatrya Singasari yang hendak menghadapi aku,"
Teriak Munding Larang.
"Aku, ki sanak,"
Seorang lelaki muda melangkah ke tengah gelanggang dan berhen berhadapan dengan Munding Larang.
"O "
Desuh Munding Larang "engkau juga ksatrya Singasari? "
Lelaki itu mengiakan.
"Siapa nama ki sanak? "
"Aku Medang Dangdi,"
Sahut lelaki itu.
Dia memang Medang Dangdi.
Sebenarnya dia tak ingin terjun dalam gelanggang adu kanuragan itu karena ia melihat bahwa diantara para ksatrya yang ikut dalam sayembara itu terdapat raden Wijaya.
Tetapi melihat orang nggi yang ternyata Jangkung, telah kalah bahkan masih ditendang oleh Munding Larang, dia marah.
Tetapi waktu hendak mengayun langkah, ba- ba didahului oleh Tunggak Ja .
Terpaksa ia bersabar.
Adalah setelah Tunggak Jati juga menderita kekalahan barulah dia tampil ke dalam gelanggang.
"Namamu bagus sekali seper juga beberapa ksatrya tadi. Tetapi apakah ilmu kepandalarirnu juga serupa dengan mereka ?"
"Ki sanak,"
Sahut Medang Dangdi tenang "bukan laku seorang lelaki terutama ksatrya untuk bermain kata-kata merangkai sindir.
Menang atau kalah dalam pertempuran itu sudah lumrah.
Bahwa beberapa ksatrya dari Singasari yang kebetulan kalah tadi, belumlah mewakili bahwa seluruh ksatrya Singasari akan kalah dengan engkau."
"O, mungkin juga,"
Sahut Munding Larang.
"Bukan mungkin tetapi buktikanlah,"
Sahut Medang Dangdi seraya bersiap siap.
Memang kali ini agak berat beban Munding Larang berhadapan dengan Medang Dangdi.
Medang Dangdi memiliki kekuatan yang teratur dan ilmu ulah kanuragan yang terarah.
Sebenarnya se ap peserta yang dapat mengalahkan dua orang lawan, diidinkan untuk beris rahat dan digan oleh peserta lain.
Peserta yang menang itu se ap waktu boleh turun ke gelanggang lagi.
Tetapi ternyata Munding Larang tak mau beris rahat dan tetap menghadapi Medang Dangdi.
"Ki sanak,"
Sebelum bertanding Medang Dangdipun sudah memperingatkan "engkau sudah bertanding dua kali, silakan beris rahat dulu memulangkan tenaga. Biarlah aku bertanding dengan lain peserta dulu."
Peringatan Medang Dangdi itu disambut dengan tawa cemoh oleh Munding Larang "Ki sanak, bukan seorang ksatrya pilihan apabila bertanding dengan dua orang lawan saja sudah kehabisan tenaga. Kukira tenagaku masih cukup untuk melawan lima orang lagi."
"O, mungkin."
"Bukan mungkin tetapi buktikanlah,"
Seru Munding Larang menirukan kata2 Medang Dangdi tadi. Medang Dang Dangdi mengabut geramnya dengan mengangguk-angguk kepala.
"Baiklah, jika memang demikian kehendakmu, akupun tak dapat memaksa. Hanya demi keadilan, engkau sudah lelah dan aku masih segar, maka aku akan mengalah sampai lima kali seranganmu. Selama engkau menyerang sampai lima kali itu, aku takkan membalas melainkan hanya menghindar saja."
Merah muka Munding Larang mendengar pernyataan itu "Munding Larang belum pernah menghadapi penawaran yang sedemikian menghina. Orang Singasari, jangan engkau tekebur, aku masih sanggup untuk menghancurkan tubuhmu."
Ksatrya dari kerajaan Galuh itupun segera menyerang dangan deras dan dahsyat.
Namun Medang Dangdi tetap melaksanakan janjinya.
Dia tak mau menangkis atau balas menyerang, melainkan menghindar.
Melihat itu makin meluaplah kemarahan Munding Larang.
Serangan kedua dibuka dengan sebuah terjangan yang lebih dahsyat dan terus dilanjutkan pula dengan serangan ke tiga dan ke empat.
Sekalian penonton menahan napas menyaksikan pertempuran yang tak seimbang itu.
Medang Dangdi menghindar dan Munding Larang menyerang "
Hai, bodoh sekali, mengapa tak membalas menyerang"
Teriak beberapa penonton.
Rupanya setelah mendengar sesumbar Munding Larang yang menantang orang Singasari, kemudian dapat mengalahkan dua peserta dari Singasari, rakyat mulai panas ha nya.
Harapan mereka beralih kepada Medang Dangdi.
Tetapi Alangkah kecewa dan penasaran ke ka melihat Medang Dangdi tak mau balas menyerang.
Mereka berteriak-teriak menganjurkan Medang Dangdi supaya balas menyerang.
Medang Dangdi memang sibuk sekali.
Diam-diam dia terkejut dan menyesal karena memberi kelonggaran kepada lawan.
Namun karena sudah terlanjur, terpaksa ia harus menyelesaikan sampai lima kali serangan.
Serangan kesatu dapat dihindar, demikian yang kedua.
Tetapi pada serangan yang ke ga dia mulai sibuk, serangan yang ke empat dia pontang pan ng dan pada serangan yeng ke lima, berhasillah Munding Larang menghantam bahunya sehingga dia terseok- seok mundur beberapa langkah.
"Ah,"
Medang Dangdi menahan rasa sakit yang mengontar-ontar panas pada bahu kirinya namun dia tetap kuatkan diri untuk menjaga keseimbangan tubuh agar dak jatuh.
Tetapi sebelum ia sempat berdiri tegak, Munding Larangpun sudah loncat menerjang pula, duk ....
kembali punggung Medang Dangdi terhantam pukulan lawan, dia menguak dan makin terta h-ta h langkah, tubuh hampir rubuh namun dia masih berusaha untuk menabahkan tangan ke tanah agar jangan sampai jatuh.
Munding Larang tak mau nemberi kesempatan kepada lawan.
Dia loncat lagi dan kali ini mengayunkan kaki untuk menendang, krak ...
"Uh"
Medang Dangdi terpental sampai beberapa langkah.
Kali ini dia benar-benar tak dapat bertahan diri dan rubuh ke tanah.
Rakyat memekik kejut menyaksikan kesudahan pertempuran itu.
Mereka cemas sekali apabila Munding Larang yang masih tegak di tempat, akan memburu maju dan menghajar Medang Dangdi lagi.
Tetapi kecemasan rakyat itu berobah menjadi suatu rasa heran ke ka melihat Munding Larang masih tegak seper patung.
Wajahnya merah padam.
Apakah gerangan yang terjadi padanya ? Pandang mata seluruh rakyat tertumpah ruah kepada ksatrya dari Galuh itu.
Demang Widura juga heran.
Namun karena melihat Medang Dangdi tadi sudah rubuh, diapun segera mencanangkan keputusan "Dalam pertandingan ini ksatrya Munding Larang dari Galuh tetap yang menang."
Terdengar gemuruh suara penonton mendengung.
Mereka dak menyambut pengukukan itu dengan sorak sorai melainkan dengan desuh dan desah seperti suara lebah.
Medang Dangdipun melen ng bangun lalu berjalan nggalkan gelanggang.
Sementara Munding Larang masih tetap tegak terpaku ditempatnya.
Diam tak bergerak maupun bicara.
Rupanya demang Widura memperha kan juga keadaan Munding Larang.
Segera ia berseru "Ksatrya dari Galuh, tuan sudah melakukan tiga kali pertandingan, silakan beristirahat dulu"
Tetapi Munding Larang tetap tak menyahut.
Hanya tubuhnya tampak mulai gemetar, makin lama makin keras dan akhirnya, diapun rubuh.
Sudah tentu hal itu disambut dengan teriak kejut dari segenap penjuru penonton.
Bukankah Munding Larang telah memenangkan pertandingan itu? Mengapa dia rubuh juga? Atas isyarat demang Widura, dua orang prajurit segera lari menghampiri ke tempat Munding Larang.
"Enyah,"
Ba2 Munding Larang berteriak seraya menghantam.
Kedua prajurit itu tak menyangka akan menerima pukulan dari orang yang hendak ditolongnya.
Kedua prajurit itupun menjerit dan terpelanting rubuh.
Seke ka suasana dalam gelanggang menjadi hebat.
Demang Widura turun dari panggung dan terus lari menghampiri ke tempat Munding Larang.
Dia sudah memiliki keputusan, apabila Munding Larang bertindak liar, terpaksa dia akan menghajarnya.
Tetapi alangkah kejut demang itu ke ka mendapatkan Munding Larang pejamkan mata tak bergerak.
Demang Widura gopoh memeriksanya.
Ternyata Munding, Larang telah pingsan.
Demang Widura memanggil dua orang prajurit lagi dan suruh mereka mengangkat Munding Larang keluar gelanggang.
Waktu kakinya diangkat, Munding Larang mengerang kesakitan.
Ternyata telah terjadi sesuatu pada waktu Munding Larang menendang lawannya tadi.
Dalam kedudukan kehilangan keseimbangan diri.
Medang Dangdi nekad untuk melakukan sesuatu.
Ia menghantam mata lutut lawan sekeras-kerasnya.
Walaupun dia harus menderita kena tendangan sehingga terpental beberapa langkah, tetapi ia berhasil menghantam pecah tulang mata lutut Munding Larang.
Dia dapat melen ng bangun.
Sakit tetapi tak menderita suatu luka apapun.
Sedangkan Munding Larang tak dapat bergerak.
Sebenarnya dia harus sudah rubuh juga sehingga pertandingan itu ada yang menang.
Tetapi ksatrya dari Galuh itu berkeras untuk mempertahankan diri, dia tetap berdiri dengan kaki sebelah.
Munding Larang memang berhati tinggi.
Ia malu untuk tinggalkan gelanggang dengan langkah terpincang-pincang.
Ia tahu rakyat tentu akan menyorakinya.
Bahkan untuk menekan lutut dengan tangan menahan rasa sakit, pun dia malu.
Itulah sebabnya dia tegak berdiri seperti patung.
Bingung dan gelisah bagaimana dia harus bertindak, masih ditambah pula dengan rasa sakit dari mata lutut yang telah remuk tulangnya, menyebabkan dia merasa malu dan marah dan akhirnya rubuh.
Dia tumpahkan seluruh kemarahannya kepada kedua prajurit yang hendak menolongnya.
Tetapi sehabis memukul diapun pingsan.
Keadaan itu diketahui rakyat.
Mereka serempak berteriak-teriak "Orang Galuh itu juga kalah!"
Teriakan itu ditujukan kepada demang Widura.
Demang Widura dapat menanggapi teriakan mereka.
Tetapi dia tetap pada keputusannya bahwa Medang Dangdi yang kalah.
Hal itu didasarkan karena Medang Dangdi rubuh ke tanah sedang Munding Larang baru beberapa saat kemudian rubuh.
Rakyat yang mempunyai kesan tak suka kepada Munding Larang, berteriak-teriak.
Ada yang menyumpahi orang Galuh itu.
Ada yang mengatakan demang Widura tidak adil dan lain-lain.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi demang Widura tak menghiraukan dan mempersilakan lain peserta masuk ke gelanggang.
Berturut-turut telah keluar beberapa ksatrya dari luar pura, antara lain dari Lodaya, dari Daha, Wengker, Matahun, Kembang Jenar, Paguhan, Kahuripan bahkan dari Blambangan dan lain-lain daerah.
Tidak ke nggalan pula hadirnya beberapa ksatrya muda dari berbagai pertapaan di gunung Wilis, Brama, Pandan, Batok dan lain-lain.
Juga banyak pendekar-pendekar dari beberapa perguruan yang ternama, ikut serta dalam sayembara itu.
Silih bergan rakyat memberikan sorak sorai pada se ap peserta yang memenangkan pertandingan.
Acara pertandingan hari itu benar2 padat sekali sehingga suasana gelanggang pertempuran tampak tegang dan meriah.
Rakyat benar-benar gembira sekali menyaksikan pertandingan itu sebagaimana belum pernah mereka alami pada berpuluh tahun yang lampau.
Tetapi rasa gembira itu, dirasakan cepat sekali berlangsung.
Sedangkan rasa sedih itu terasa lama sekali, berlalunya.
Demikian dengan suasana gelanggang pertempuran adu kanuragan itu.
Tanpa terasa suryapun sudah condong ke barat.
Diantara lingkaran manusia yang mengerumuni di sekeliling gelanggang, tampak ga orang sedang mencurah pandang ke deret tempat duduk yang disiapkan di bawah bangsal agung.
Tempat itu disediakan untuk ksatrya-ksatrya peserta pertandingan.
"Kakang Sora,"
Kata salah seorang yang bertubuh agak kurus "mengapa raden Wijaya tak tampak "
Lelaki bertubuh kekar yang dipanggil Sora itu menjawab pelahan "Mungkin dia dak turun gelanggang hari ini."
"Apakah raden tak ikut ?"
Sela lelaki yang di sebelahnya, masih seorang perjaka muda.
"Tentu ikut "
Sahut yang bernama Sora "Sst, engkau lihat pangeran Ardaraja ? "
"Ya"
Sahut anakmuda itu "pangeran duduk di sebelah gusti puteri."
"Nambi,"
Bisik Sora kepada kawannya yang bertanya pertama tadi "bagaimana keadaan Jangkung dan Medang Dangdi ?"
"Tak apa-apa "
Sahut Nambi.
"Di mana mereka sekarang? "
"Mereka tak tampak di bawah bangsal, tentulah sudah keluar."
"Mari kita cari mereka,"
Ba- ba Sora berkata seraya beringsut menyiak penonton yang berada di belakangnya.
"Tetapi kakang, apakah kita tak menunggu sampai pertandingan ini selesai ?"
Podang bertanya.
Rupanya dia terpaku perhatiannya akan pertandingan yang tengah berlangsung pada saat itu.
Tetapi Sora sudah teraling oleh kerumun orang.
Demikian pula Nambi.
Podang terkejut.
Iapun hendak menyusul mereka.
Tetapi ke ka ia bergerak hendak menyiak orang, ba- ba tengkuknya dicengkeram orang sekuat-kuatnya "Kurangajar, mengapa mengganggu orang melihat pertandingan ?"
Plak, tiba-tiba pula sebuah tangan lain telah menampar kepalanya "Setan, jangan mengganggu."
Podang marah sekali.
Tengkuk dicengkeram, kepala ditabok.
Dia meronta sekuat-kuatnya tetapi akibatnya bahkan makin menderita.
Beberapa orang yang berada di kanan kiri, tersambar tangan dan kakinya yang meronta-ronta itu.
Mereka marah dan serempak memukuli Podang.
Untung sebelum terjadi sesuatu yang lebih parah bagi Podang, prajurit yang bertugas menjaga keamanan segera mengetahui peristiwa itu dan melerai.
Podang dibawa dan dipindahkan ke lain tempat.
Memang tak mudah untuk keluar dari lautan manusia yang mengerumuni gelanggang itu.
Dengan bersusah payah akhirnya Sora dan Nambi berhasil keluar.
"Mana Podang,"
Seru Sora ketika tak melihat anak itu ikut serta. Nambi juga terkejut. Memandang ke kerumun penonton mereka tak melihat suatu gerakan apa- apa.
"Ah, mungkin anak itu masih sayang untuk meninggalkan pertandingan,"
Akhirnya Nambi menarik kesimpulan.
"Ah, anak itu memang tak mendengar kata."
"Perlukah kita menjemputnya ?"
Tanya Nambi.
"Kurasa tidak,"
Jawab Sora "betapa sukar untuk menyiak keluar. Bukankah mereka akan marah kalau kita masuk lagi? "
"Lalu ?"
"Rasanya dia tentu mendapat kesukaran untuk menerobos keluar. Biarlah, dia tentu akan kembali ke gedung pangeran lagi. Sekarang mari kita mencari Medang Dangdi dan Jangkung "
Mereka menemukan kedua orang itu tengah duduk beris rahat di ujung halaman si nggil "Kakang Sora, Nambi,"
Seru Medang Dangdi ketika melihat kedatangan kedua orang itu.
"Bagaimana luka kalian ?"
Tegur Sora.
"Ah, tak apa-apa,"
Sahut Medang Dangdi dan Jangkung "sayang aku tak dapat menghajar orang dari Galuh itu,"
Jangkung masih menggerutu.
"Tak apa"
Sora tersenyum "biarpun tak berhasil tetapi kalian telah mendapat pengalaman yang baik "
"Tetapi Jangkung,"
Seru Nambi "mengapa engkau turun ke gelanggarg ?"
"Dadaku meledak ketika mendengar sesumbar orang Galuh itu."
"Aku terpaksa hendak menuntutkan balas kakang Jangkung,"
Waljupun dak ditanya tetapi Medang Dangdi juga memberi keterangan.
"Engkau apakan ksatrya Galuh itu? "
"Kuhantam mata lututnya,"
Medang Dangdi tertawa "mungkin dia akan cidera selamanya."
Sora hanya mendengus. Kemudian dia meminta pendapat mereka "Bagaimana langkah kita malam ini ? Apakah kita akan pulang ke gedung kediaman pangeran Ardaraja lagi ?"
Nambi, Medang Dangdi dan Jangkung diam. Beberapa saat kemudian Medang Dangdi bertanya "Bagaimana pendapat kakang Sora?"
"Menurut pendapatku,"
Kata Sora "kita cari dulu raden Wijaya. Apabila sudah mendapat kepas an bahwa raden ikut dalam pertandingan itu, barulah kita putuskan tak kembali kepada pangeran Ardaraja."
"Memang apabila kembali kepada pangeran,"
Kata Nambi "kita tentu akan terkungkung tak dapat melepaskan diri. Namun apabila kita lolos, dakkah pangeran akan menitahkan orang untuk menangkap kita?"
Jangkung garuk-garuk kepala "Ya, memang memuakkan sekali pangeran itu. Mengapa dia menggunakan kekuasaan untuk memaksa kita bekerja kepadanya?"
"Bagi pangeran, hal itu memang tepat,"
Kata Medang Dangdi "Apa maksudmu ?"
Seru Jangkung.
"Walaupun hanya beberapa hari di pura ini, aku mendapat kesan bahwa dalam kalangan para mentri kerajaan, terdapat persaingan untuk memupuk kekuatan dan kekuasaan. Yang jelas adalah pa h Aragani itu. Dia paling bernafsu sendiri untuk merebut kekuasaan. Dia tentu kua r akan kekuasaan pangeran Ardaraja sebagai putera menantu raja akan lebih besar dari dirinya. Hal ini pangeran Ardaraja tentu juga sudah maklum. Maka pangeran kua r kalau kita sampai diambil oleh patih Aragani "
"Engkau benar adi Medang "
Sambut Sora "sebenarnya kita dapat memanfaatkan keadaan Itu untuk menarik keuntungan. Tetapi sayang kita tak ingin bekerja kepada mereka."
"Apa maksud kakang dengan mengatakan bahwa kita dapat memanfaatkan keadaan mereka itu ?"
Sora tertawa "Jika banyak orang yang menginginkan, tentulah nilai barang itu akan naik.
Bisa saja kita mengadu kedua fihak yang bersaing itu untuk berlomba-lomba menarik kita, Mereka tentu akan menawarkan kedudukan dan pangkat yang tinggi kepada kita."
"Lebih baik aku dur di rumah daripada harus berhamba kepada pangeran atau pa h itu,"
Seru Jangkung.
"Begitulah pendirian kita semua,"
Sambut Sora "oleh karena itu, kurasa pangeran Ardaraja takkan marah kepada kita apabila kita lolos. Kalau perlu untuk sementara waktu kita nggalkan pura ini, asal jangan beralih bekerja kepada patih Aragani, kurasa pangeran tentu takkan marah."
"Jika demikian mari kita cari raden Wijaya,"
Kata Jangkurg.
Mereka segera nggaIkan tempat itu dan mulai mencari Wijaya.
Tetapi maksud mereka terhalang karena saat itu pertandingan dihen kan.
Karena hari sudah hampir petang dan masih banyak ksatrya peserta yang belum sempat bertanding, maka demang Widura memutuskan untuk menghentikan penandingan dan akan dilanjutkan besok pagi.
Berpuluh ribu rakyat yang bergerak meninggalkan alun-alun itu menyulukan langkah Sora berempat.
"Eh, mengapa Podang tak nampak?"
Tiba2Jangkung teringat.
"Dalam genangan laut manusia yang begini banyak, sukar untuk bertemu dengan seseorang,"
Kata Nambi.
Suasana yang kacau itu makin reda.
Rakyat yang berada di alun-alunpun akhirnya makin menipis namun tiada juga mereka berjumpa dengan raden Wijaya maupun dengan Podang.
Jangkung yang paling tak dapat menahan rasa gelisah, segera bertanya "Bagaimana kakang Sora? "
"Kita terpaksa harus mencari penginapan,"
Kata Sora "paling baik kita dur di bawah pohon Brahmastana di alun-alun itu.
"Kenapa? "
Jangkung terkejut.
"Agar besok kita dapat mencari tempat yang longgar di sekeliling gelanggang."
"O, besok kita akan melihat pertandingan lagi? "
"Ya "
Sahut. Sora "agar mendapat kepastian tentang diri raden Wijaya."
Mereka lalu menuju ke kedai untuk beris rahat dan makan.
Kedai penuh dengan orang.
Mereka berasal dari luar pura yang sengaja memerlukan datang ke pura untuk melihat sayembara itu.
Merekapun dak pulang melainkan bermalam di sekeliling alun-alun.
Ramai orang masih memperbincangkan pertandingan hari itu.
Dari pembicaraan mereka, Sora dan kawan-kawannya mengetahui bahwa pemenang pada akhir penutupan pertandingan itu seorang ksatrya dari Jembrana Bali.
Dia telah mengalahkan dua orang peserta.
Suasana di alun-alun pada malam itu amat ramai.
Bukan saja mereka yang berasal dari luar pura, pun bahkan terdapat juga rakyat dari dalam pura yang sengaja dur di alun-alun agar bisa mendapatkan tempat yang terdepan.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah makan Sora mengajak kawannya berjalan-jalan "Wah, rupanya sayembara ini menarik perhatian besar.
Ksatrya-ksatrya dari telatah sejauh Galuh dan Jembrana Bali, pun datang."
"Hal itu membuk kan betapa pen ng tetapi gawat sayembara ini,"
Sambut Sora "apabila kelungguhan senopa Singasari sampai jatuh ke tangan mereka, dakkah hal itu akan mencemaskan?"
Malam itu mereka tidur di alun-alun.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ II Sesuai dengan dugaan orang maka pertandingan hari kedua itu memang lebih ramai.
Bukan melainkan peserta-pesertanya yang terdiri dari ksatrya sak yang tampil, pun penonton yang memenuhi alun-alun lebih banyak pula dari hari kemarin.
Penjagaan makin diperketat untuk menjaga se ap kemungkinan yang tak diharapkan.
Hari itu merupakan pertandingan yang terakhir.
Dan hari itu segera akan diketahui siapa yang akan terpilih sebagai senopati.
Dinihari sebelum surya terbit, rakyat sudah mengalir membanjiri alun-alun.
Mereka ingin mendapat tempat yang longgar.
Setelah upacara dibuka oleh demang Widura maka pertandinganpun segera dimulai.
Ksatrya pertama yang tampil adalah seorang muda yang cakap.
Menilik caranya berpakaian, dia bukan orang Singasari, Rakyat segera menyongsong tepuk sorak yang gemuruh kepada ksatrya itu yang dikenalnya sebagai ksatrya Jembrana Bali kemarin.
Dia bernama Wayan Tantra.
Yang turun ke gelanggang, seorang lelaki muda, Dia menyatakan dari Lodaya dan bernama Seta.
Memang pada permulaan, pertarungan berjalan seimbang dan seru.
Tetapi pada akhirnya, Wayan Tantra dapat merubuhkan lawannya.
Bahkan dalam pertandingan selanjutnya Wayan Tantra berhasil mengalahkan lawannya pula.
Dengan demikian sudah empat peserta yang ditundukkan.
Rakyat mengelu-elunya dengan tepuk sorak yang membahana.
Melihat itu Nambi menggamit lengan Sora "Kakang Sora, apakah kita tak bermaksud turun ke gelanggang? Bagaimana kalau aku yang maju? "
Ken Sora menggeleng kepala "Jangan terburu-buru dulu. Masih ada beberapa ksatrya lain yang belum turun ke gelanggang. Mereka tentu akan keluar."
"Lalu kita? "
"Yang penting kita tunggu raden Wijaya. Kalau dia tak muncul, barulah kita turun ke gelanggang."
Pembicaraan mereka terhen ke ka melihat seorang lelaki nggi besar melangkah ke tengah gelanggang.
Setelah memberi hormat, orang itu berseru "Kehadiranku, Gajah Pagon dari telatah Tuban di tengah gelanggang ini, bukan semata-mata mengejar kedudukan senopa , melainkan hendak mencari persahabatan dan pengalaman dengan ksatrya-ksatrya dari segenap penjuru.
Menang kalah, bukan sesuatu yang luar biasa."
Ada sebagian rakyat yang memuji akan kerendahan ha lelaki nggi besar itu.
Tetapi ada pula sebagian yang mencemooh dan meneriaki supaya lekas saja bertanding.
Wayan Tantra menghadapi lawannya dengan tenang.
Ia menyerang dengan hati-hati sehingga pertarungan berjalan kurang seru.
Namun setelah menjajagi tenaga, ilmu kanuragan dan ketangkasan lawan barulah dia melancarkan serangan yang cukup menyibukkan lawan.
Dalam ilmu ketangkasan dan kanuragan, Wayan Tantra lebih unggul.
Tetapi dalam tenaga dan kekuatan, Gajah Pagon lebih hebat.
Wayan Tantra dapat mendesak lawan sedemikian rupa sehingga penonton sudah bersiap-siap hendak menyongsong tepuk sorak untuk kemenangan Wayan Tantra.
Tetapi ba- ba terjadi suatu peris wa yang tak terduga-duga.
Pada de k-de k menjelang kekalahan, tak disangka-sangka, Gajah Pagon berhasil menerkam tubuh lawan, diangkat terus dibanting ke tanah.
Sorak sorai bergemuruh memecah angkasa.
Wayan Tantra berguling-guling di tanah lalu melen ng bangun dan hendak maju menyerang tetapi Gajah Pagon berputar tubuh dan ayunkan langkah.
"Ksatrya dari Jembrana,"
Serentak demang Widurapun berteriak "engkau kalah. Tak dibenarkan menyerang lagi "
"Tetapi aku tak terluka dan masih dapat berdiri,"
Bantah Wayan Tantra.
"Peraturan pertadingan menetapkan, barangsiapa jatuh ke tanah, dia dinyatakan kalah."
Dengan nyalangkan mata memandang demang itu penuh rasa geram, Wayan Tantra segera tinggalkan gelanggang.
"Hai, ki sanak, mari bertanding dengan aku. Engkau menang mengapa tarburu-buru mengundurkan diri ?"
Tiba2 terdengar seseorang berseru kepada Gajah Pagon.
Gajah Pagon tertegun berhen , berputar tubuh.
Dilihatnya di tengah gelanggang telah hadir seorang lelaki bertubuh kekar tetapi dandanannya seper seorang desa.
Orang itu tengah melambai tangan kepadanya.
Gajah Pagon mengangguk lalu kembali ke tengah gelanggang.
Penonton bersorak sorai mengantarkannya.
Gajah, Pagon benar-benar mendapat tanding dari orang desa yang memperkenalkan diri dengan nama Sima itu.
Walaupun Gajah Pagon lebih besar tubuhnya, tetapi pukulannya kalah keras dengan Sima, demikian pula tenaganya.
Sima benar-benar memiliki tenaga seper banteng.
Dari adu pukulan, ba- ba mereka adu tenaga bergumul.
Dan pada suatu saat, Sima berhasil mencengkam pinggang Gajah Pagon lalu dibantingnya ke tanah.
Walaupun cara pertarungan mereka agak berbeda dengan beberapa peserta yang terdahulu, tetapi penonton menyaksikan suatu ilmu gulat yang seru juga.
Sedemikian seru sehingga beberapa penonton ikut tegang, ikut mengernyut geraham, ikut mengencangkan nju dan ikut meregang urat-urat muka.
Bagai gunung longsor, berhamburanlah sorak sorai bergemuruh menggetar gelanggang.
Dua kali berturut-turut dua orang peserta maju tetapi mereka dapat diban ng oleh lelaki desa yang bernama Sima itu.
"Kakang Sora, hanya engkaulah yang mampu mengalahkannya,"
Bisik Nambi.
Namun Ken Sora tak memberi tanggapan.
Dia tengah mencurah pandang ke tengah gelanggang.
Dilihatnya di jajaran tempat para peserta yang belum turun ke gelanggang, saat itu hanya nggal lima orang.
Diantaranya terdapat raden Wijaya.
Dilihatnya pula bahwa raden itu masih tenang- tenang saja.
Belum sempat Ken Sora menjawab anjuran Nambi, salah seorang dari kelima peserta itu berbangkit dan melangkah ke tengah gelanggang.
Rakyat menyambutnya dengan tepuk sorak.
Mereka mengenal peserta itu sebagai ksatrya tangguh dalam ga acara lomba naik kuda, memanah dan merentang gendewa pusaka, pada hari pertama.
"O, Kuti yang berhasil menemukan kaca wasiat puteri baginda itu?"
Seru Sima. Ku terkesiap. Dipandangnya lelaki yang akan menjadi lawannya itu. Dandanannya seper orang desa dan wajahnyapun agak kotor. Dia tak menemukan sesuatu yang luar biasa pada diri orang itu kecuali sepasang matanya yang bersinar tajam "Benar"
Sahutnya sesaat kemudian "siapakah engkau, ki sanak"
"Seorang desa bernana Sima"
"Tetapi tentu bukan sembarang orang desa, bukan?"
"Mengapa dak,"
Sahut Sima "bukankah orang desa itu tetap seorang desa. Dimanakah kelainannya ?"
"Kehadiranmu ditempat ini sudah memberi jawaban"
Kata Kuti "adakah seorang desa biasa mempunyai keberanian dan kesaktian seperti engkau. Bukankah engkau hendak mengharapkan kelungguhan senopati itu?"
Sima tertawa ringan "Semua manusia dilahirkan sama dan ma pun sama.
Hanya keadaan lingkungan hidupnya yang berlainan satu dengan lain.
Senopa suatu ketangguhan yang terhormat dan agung bagi se ap kawula yang bercita-cita membak kan diri kepada negara.
Salahkah apabila seorang desa seperti aku juga memiliki cita-cita seperti para ksatrya termasuk dirimu, ki Kuti?"
Makin terkejut Ku mendengar kata kata yang dirangkai dengan indah dan terarah itu.
Makin keras dugaannya bahwa orang itu tentu seorang ksatrya sak yang menyamar sebagai seorang desa "Aku tak mengatakan salah atau benar.
Mungkin benar bagi tujuan se ap kawula yang merasa wajib berbak kepada negara.
Mungkin salah bagi seorang ksatrya yang takut untuk menunjukkan diri yang sebenarnya."
"Itu bukan soal,"
Jawab Sima "cara apapun hanya suatu sarana, yang penting adalah tujuannya."
Ku mendesuh "Hm, baiklah, ki sanak. Kiranya kata-kata sudah cukup tercurah, sekarang marilah kita laksanakan kewajiban kita."
Entah bagaimana terhadap Sima, Ku mbul suatu penghargaan sehingga diapun tak mau berucap sembarangan.
Pertarungan kadua orang itu memang berlangsung amat menarik dan bermutu, dalam ar kata mereka telah mengeluarkan ilmu ulah kanuragan yang teratur.
Sempat menjadi perha an penonton bahwa lelaki bernama Sima itu memiliki gerak sambaran yang amat cepat.
Dia jarang melancarkan pukulan dan lebih banyak menerkam dan mencengkeram.
Tetapi se ap kali berhasil menguasai lengan atau bahu orang, dengan suatu gerak ronta yang aneh, Ku selalu dapat melepaskan diri "Hm, dia memiliki ilmu aji Belut-putih,"
Diam-diam Sima menarik kesimpulan.
Di pihak Ku , senjatanya yang ampuh adalah pukulannya yang berganda.
Baik dengan sebelah tangan atau sekaligus menggunakan tangan kanan dan kiri, tentu selalu diiku dengan pukulan susulan lagi.
Berulang kali Sima harus menderita pukulan ganda yang tak terduga-duga itu, namun tampaknya lelaki desa itu tak mengernyit kesakitan "Ah, dia mempunyai ilmu Lindung yang tahan senjata dan pukulan."
Kuti-pun dapat mempelajari kekuatan lawan. Dengan pengetahuan akan kelebihan masing-masing lawan, mereka melangsungkan pertempuran yang seru dan makin seru sehingga keduanya seperti mandi keringat.
"Untuk menjatuhkan dia, aku harus menggunakan siasat,"
Diam2 Ku merancang siasat. Sebenarnya Sima juga memiliki pemikiran begitu tetapi sebelum dia sempat mengatur siasat, Kutipun sudah melancarkan pukulan yang menggebu-gebu bagaikan hujan mencurah.
"Hm, inilah suatu kesempatan,"
Diam-diam Sima timbul akal.
Setelah memusatkan pernapasan pada pusar, dia maju songsongkan tubuh pada pukulan Ku kemudian secepat kilat ia menyambar tubuh lawan dan berhasil.
Tetapi pada saat hendak dibelit dan dicekiknya, selicin belut, tubuh Ku pun menyeruak lolos meluncur ke samping dan sebelum Sima sempat mengatur diri, Kuti sudah menggerakkan kakinya untuk menyapu kaki lawan, bluk .......
Setelah mengetahui bahwa lawan memiliki ilmu kebal, Kuti tak mau memukul.
Sia-sia belaka.
Dan pada waktu Sima maju merapat untuk menerima pukulan, Kutipun sudah tahu akan, tujuan |awan.
Dugaannya memang tepat.
Tujuan Sima merapat ke muka itu tak lain karena hendak menyambar dan mencekik tubuhnya.
Dia sudah siap dan memberikan saja tubuhnya di belit tangan Sima.
Adalah pada saat Sima hendak mengerahkan tenaga mencekiknya barulah dia meronta dan, meluncur lolos lalu menggempur pertahanan kaki lawan.
Bukankah setiap lawan yang jatuh ke tanah akan dianggap kalah ? Ku termangu-mangu ke ka mendengar suara sorak menggelegar bagai gunung meletus.
Ia tak sempat melihat bagaimana Sima jatuh terpelan ng ke tanah karena saat itu juga Simapun sudah melen ng berdiri tegak.
Tetapi sorak sorai rakyat itu cukup memberi tanda kepada Ku atas kemenangarmya.
"Ki sanak, apakah pertempuran kita dilanjutkan lagi?"
Tegurnya dengan suara, datar.
"Engkau cerdik sekali, ki Kuti. Aku sudah di anggap kalah. Kita berjumpa pada lain kesempatan lagi,"
Habis berkata Simapun terus ayunkan langkah menuju ke tepi gelanggang.
Ku terkesiap.
Dari kata-kata yang diucapkan Sima 'engkau cerdik', ia dapat merabah bahwa Sima tentu tak puas akan kekalahannya itu.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia mengatakan cerdik dan bukan sak .
Berar dia hanya kalah cerdik tetapi bukan kalah sak .
Dan ucapan, perpisahan...Sima juga jejas membayangkan suatu ancaman terselubung bahwa kelak apabila mendapat kesempatan, Sima akan menuntut kekalahannya.
"Ah, siapa gerangan dia itu ? Apabila urusan sudah selesai, aku akan mencari orang itu. Dia berharga kujadikan sahabat,"
Kuti menimang dalam hati.
"Ki Ku , engkau hebat sekali. Sebenarnya aku segan melawanmu. Tetapi karena sudah terlanjur memasuki sayembara, akupun harus melaksanakan acara ini sampai usai,"
Ba2 seorang peserta melangkah ke hadapan Kuti.
"O,"
Ku terbeliak menatap orang itu. Seorang lelaki yang tegap, mata bundar, hidung besar, mulut lebar, telinga panjang. Suatu perwujutan yang aneh tetapi mengundang kewibawaan.
"Siapa nama ki sanak? "
Tegur Kuti.
"Aku Kalisat dari ujung Blambangan"
"O,"
Ku berusaha untuk menyembunyikan getar ha nya.
Seorang yang datang dari telatah sejauh itu tentu membekal ilmu yang bukan olah-olah, pikirnya.
Kemudian keduanyapun mulai melakukan pertarungan.
Kuti makin terkejut ketika lawannya itu juga memiliki ilmu kebal.
Setelah beberapa waktu tukar menukar pukulan, hindar menghindar, tangkis menangkis, akhirnya Kuti merencanakan siasat.
Sengaja ia agak lambat menghindar sehingga bahunya dapat diterkam lawan.
Iapun menurut saja ketika ditarik ke tempat lawan.
Dan waktu dia hendak diangkat, tiba2 dia meronta dengan ilmu aji Belut-putih "Uh"
Betapa kejut Kuti sukar dilukiskan ketika dia tak mampu meloloskan diri dari cengkeraman lawan.
"Ha, ha, aku ini mbahnya belut-pu h. Jangan coba mengeluarkan ilmu itu dihadapanku,"
Orang itu tertawa pelahan dan terus menjinjing tubuh Kuti.
Kuti bingung.
Kali ini dia salah hitung.
Dia tak tahu bahwa ilmu aji Belut-putih itu dapat dikuasai dengan ilmu lain.
Kali ini dia tentu kalah.
Serentak terbayanglah wajah sang dyah ayu Gayatri.
Hanya selintas kilat tetapi hal itu sudah cukup dapat membangkitkan semangat Kuti.
Pada saat tubuhnya terangkat dan muka berhadapan dengan muka Kalisat, tiba-tiba Kuti menggemborkan aji Senggara-macan sekeras-kerasnya.
Kalisat gelagapan.
Rasanya dia seperti disambar petir saat itu.
Mata dipejamkan dan tanganpun mengendor.
Kesempatan itu tak disia-siakan Kuti.
Begitu tubuhnya meluncur turun, dengan sekuat tenaga dia memukul pusar lawan sekeras-kerasnya, duk ....
"Auh "
Orang dari Blambangan itu mengaduh dan terpelan ng jatuh kebelakang.
Sorak sorai segera mengiringi peristiwa itu.
Ku memang cerdik.
Ia pernah mendapat keterangan dari bapa gurunya bahwa ilmu kebal itu mempunyai kelemahan dibebarapa bagian tubuh yang tertentu, antaranya dibagian pusar.
Dan ketika dia memukul pusar Kalisat ternyata jago yang mempunyai ilmu kebal itu rubuh juga.
Dua kali Kuti telah menang.
Dan yang dikalahkan itu bukan ksatrya sembarangan tetapi jago- jago berbobot seperti Sima dan Kalisat.
Walaupun hal itu terjadi karena kecerdikan dan keberuntungan Kuti yang pada saat-saat genting dapat menemukan akal, tetapi yang jelas Kuti telah memenangkan pertandingan yang amat berat itu.
Dan lepas dari kesan yang tak menyukai peribadi Kuti dalam pertandingan yang lalu, rakyat mengelu-elunya dengan tepuk sorak yang menggunung rubuh.
"Ki sanak,"
Seru demang Widura setelah suara sorak reda "engkau dibenarkan untuk beris rahat. Tetapi kalau engkau masih ingin menghadapi lawan lagi, terserah kepadamu."
Ku menimang. Dalam dua pertempuran itu dia telah menghabiskan tenaganya. Masih ada dua orang peserta lagi yang akan melawannya. Dan salah seorang, adalah Wijaya, pemuda yang dalam tiga lomba terdahulu telah menunjukkan keunggulan.
"Jika aku tetap berada disini, aku harus menghadapi seorang lawan lagi baru kemudian yang terakhir, pemuda sak itu. Aku sudah lelah dan dia masih segar. Lebih baik aku mengundurkan diri dulu, biar kedua orang itu bertempur. Aku dapat memulangkan tenagaku dan lawanku nan tentu sudah berkurang tenaganya,"
Demikian setelah memperhitungkan keadaan saat itu, Ku pun ayunkan langkah.
Memang yang ter nggal banya dua orang peserta.
Merekapun segera menuju ke tengah gelanggang.
Rakyat tak mengenal siapa anakmuda yang bertubuh kekar kokoh, bermata bundar, perawakan pendek dan sikapnya amat berani itu.
Tetapi rakyat cepat mengenal pada Wijaya, ksatrya yang telah menawan ha mereka pada penampilan hari pertama.
Bagaimana pemuda cakap itu merentang busur pusaka kerajaan Kyai Kagapa , masih segar membayang dalam benak rakyat.
Mereka menyambut penampilan Wijaya ke gelanggang dengan tepuk sorak yang menggelegar diiringi dengan pekik teriak tumpahan harap.
"Ah,"
Diam-diam Wijaya mengeluh dalam ha .
Ia dapat menanggapi apa yang terkandung dalam sorak dan teriak rakyat itu.
Ia dak berani memas kan bahwa mereka pas menginginkan dia sebagai pemenang sayembara itu, namun ia dapat merasakan harapan yang mereka tumpahkan kepadanya "
Harapan rakyat telah terbeban kepadaku. Aku wajib memenuhi harapan mereka."
Merasa telah menyandang beban harapan rakyat, Wijaya makin teguh pikiran dan kokoh pendirian.
Ia berjanji dalam ha akan berusaha sekuat kemampuannya untuk memenangkan sayembara itu.
Dalam memperkenalkan diri kepada penonton diketahuilah bahwa pemuda berani yang menjadi lawannya itu bernama Jaka Pidikan anak buyut Kudadu.
Ada sesuatu rasa enggan dalam ha Wijaya sesaat dia menghadapi anak buyut Kudadu itu.
Pemuda itu masih muda, lebih muda dari dirinya.
Adakah suatu kebanggaan dapat memenangkannya? Memang Wijaya memiliki budi peker yang halus, penuh dengan rasa welas asih.
Kadang pancaran nuraninya yang baik itu, menguasai alam pikirannya sehingga ada kalanya ia tak dapat menyesuaikan dengan keadaan.
Misalnya seper saat itu.
Dia sedang berada dalam gelanggang sayembara besar untuk memilih senopa kerajaan.
Gelanggang besar yang mempunyai ar besar bagi keselamatan pura Singasari, harus ditanggapi dengan pandangan yang besar.
Bahwa para ksatrya yang turun di gelanggang adalah mereka yang bercita-cita untuk meraih kelungguhan pen ng itu dan bahwasanya merekapun tentu membekal modal ilmu kesak an.
Se ap ksatrya tentu berkeyakinan bahwa ilmu kesak an yang dimiliki itu tentu dapat mengantarkannya ke arah cita-cita yang diidam-idamkannya itu.
Keengganan Wijaya terhadap anakmuda yang bernama Jaka Pidikan harus dibayar mahal.
Ternyata anak buyut dari desa Kudadu itu memiliki gerakan yang gesit dan pukulan yang keras serta ulah kanuragan yang hebat.
Sesaat Wijaya terkungkung dalam lingkup serangannya yang gencar dan deras sehingga membuat Wijaya mandi keringat untuk menyelamatkan diri.
Jaka Pidikan yang bertubuh pendek kekar itu ternyata amat bengis terhadap lawan.
Sesaat dapat menguasai gerak lawan, diapun tak mau melepaskannya lagi.
Bermula Wijaya memang sibuk sekali.
Berulang kali hampir saja dadanya terhunjam pukulan pemuda itu.
Bahkan bahunyapun sempat tercium tebasan tangan lawan sehingga tubuhnya tergetar.
Untung tak sampai menimbulkan kesakitan yang berar .
Setelah itu mulailah pikirannya terbuka.
Jaka Pidikan seorang ksatrya yang digdaya dan bengis.
Apabila tak dihadapi secara sungguh dapat menimbulkan bahaya kekalahan.
Pada hal ia sudah merencanakan bahwa ia harus menyimpan tenaga untuk menghadapi Ku karena Ku lah lawan yang sesungguhnya.
Tetapi karena Jaka Pidikan juga merupakan lawan yang berat, terpaksa Wijaya harus menumpahkan tenaganya untuk menghadapi anakmuda itu.
Setelah menenangkan pikiran, memusatkan perha an, pelahan-lahan ia mulai dapat mengambil alih keadaan, dari fihak yang diserang kini dia mulai dapat balas menyerang.
Dan tampak pula, karena dalam gebrak pertama Jaka Pidikan terlalu bernafsu menumpahkan seluruh tenaganya untuk memaksakan suatu kemenangan maka napas dan tenaganyapun mulai menurun.
Beberapa waktu kemudian, sekonyong-konyong Pidikan berhen menyerang dan berdiri tegak memandang Wijaya "Aku menyerah, ki sanak"
Katanya.
"Ah, engkau sesungguhnya belum kalah,"
Sahut Wijaya.
"Terima kasih atas kebaikanmu, ki sanak,"
Pidikan terus ayunkan langkah tinggalkan gelanggang.
Peris wa itu benar-benar mengherankan seluruh rakyat.
Mereka tak tahu apa yang telah terjadi.
Bukankah orang muda itu belum terpukul rubuh, mengapa dia rela menyatakan kalah? Memang sukar untuk mengetahui peris wa itu tetapi bagi Jaka Pidikan, hal itu sudah jelas.
Berulang kali dada, leher dan lambungnya telah didara pukulan Wijaya tetapi se ap kali Wijaya hanya menyentuhnya saja.
Andaikata benar2 mau memukul tentu sudah beberapa kali Jaka Pidikan menderita kesakitan, mungkin sudah rubuh.
Betapapun halnya tetapi Pidikan juga seorang manusia bahkan pada saat itu dianggap sebagai ksatrya yang ikut dalam sayembara pilih senopa .
Senopa itu suatu kelungguhan yang luhur, dapatkah dengan menderita kekalahan itu dia nekad hendak melanjutkan pertempuran? Ah, dak.
Dia malu.
Dan karena lawan menunjukkan kebaikan, diapun menunjukkan sifat keksatryaan juga.
Serentak dia mengaku kalah dan mengundurkan diri.
Kali ini ada tepuk sorak untuk menyambut keakhiran dari pertempuran itu.
Rakyat tak mengetahui apa yang terjadi antara Wijaya dengan Jaka Pidikan.
Dan kedua kalinya, mereka menduga bahwa Wijaya tentu dapat mengalahkan lawan.
Memang mereka lebih cenderung menginginkan Wijaya yang menang daripada Jaka Pidikan yang menang.
Tiba2 terdengar tepuk sorak bergemuruh ke ka Ku berjalan menuju ke tengah gelanggang.
Bukan karena mengelu-elu Ku sebagai ksatrya yang diharapkan akan menang tetapi karena rakyat hendak menumpahkan luap perasaannya yang tertumpah pada pertempuran antara kedua ksatrya itu.
Keduanya merupakan ksatrya yang terakhir melakukan pertandingan.
Semua peserta sudah gugur, kini hanya nggal mereka berdua.
Siapa menang, dialah senopa kerajaan Singasari.
Ketegangan yang memancarkan pada babak terakhir itulah yang menegangkan ha sekalian rakyat.
Tanpa disadari mereka menyambut dengan tepuk sorak yang riuh.
"Ki sanak,"
Ku membuka pembicaraan "akhirnya hanya kita berdualah yang melangsungkan pertandingan pada babak terakhir ini. Memang kurasa, tepat sekali keadaan yang kubayangkan ini. Engkaulah satu-satunya lawan yang layak berhadapan dengan aku."
"Ah, jangan ki Kuti menyanjung tinggi diriku,"
Wijaya menjawab dengan kara merendah "bagiku, hanya secara kebetulan saja aku beruntung dapat hadir dalam babak terakhir ini.
Andaikata aku maju yang terdahulu tadi, kemungkinan aku tentu sudah kalah.
Para ksatrya yang ikut dalam sayembara ini memang hebat semua."
Kuti tertawa "Sudah lumrah,"
Katanya "kalau engkau bersikap merendah diri.
Tetapi seribu kata-kata takkan dapat menghapus kenyataan yang tampak pada saat mi.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyatanya engkau dan akulah yang akan bertemu dalam babak terakhir.
Tak perlu engkau merendah kata.
Dan diantara kita berdua, rasanya engkaulah yang memiliki kemungkinan besar untuk memenangkan sayembara ini."
"Ah, kuharap jangan ki sanak mengolok-olok diriku."
"Tidak, aku dak berolok-olok,"
Kata Ku "bukankah dalam ga lomba yang terdahulu, engkau telah memenangkannya? Nah, apabila engkau dapat mengalahkan aku, tak perlu diragukan lagi, engkaulah yang akan diangkat sebagai senopati Singasari."
"Ah, kurasa,"
Jawab Wijaya "bukan soal siapa yang akan diangkat sebagai senopati, melainkan bagaimana keselamatan dan kesejahteraan kerajaan dan kawula Singasari dapat terlindung dari ancaman musuh. Kurasa ki sanak juga memiliki tujuan demikian, bukan ?"
Kuti tertawa "Tidak, jauh dari itu."
"Lalu apakah tujuan ki sanak bukan hendak meraih kelungguhan senopati?"
Kuti gelengkan kepala "Tidak. Itu tak penting bagiku."
Wijaya kerutkan dahi "Lalu apa tujuan ki sanak?"
"Soal itu soal peribadi dan pendirianku,"
Kata Ku "maaf, aku tak dapat mengatakan. Tetapi nan setelah pertandingan kita selesai, apabila engkau menghendaki tentu akan kuberitahu kepadamu."
Wijaya heran. Namun ke ka ia hendak mengajukan pertanyaan lagi ba2 disana sini sekeliling gelanggang, terdengar rakyat berteriak-teriak "Hayo, lekaslah mulai bertanding. Kami hendak menyaksikan pertandingan bukan mendengarkan pembicaraan."
Teriakan itu sambut bersambut dari tiap mulut penonton.
Demang Widurapun segera memberi peringatan agar Wijaya dan Kuti segera memulai.
Agar Wijaya dan Kuti segera mulai bertanding.
Kedua orang itupun mulai bersiap-siap.
Walaupun Ku belum tahu siapa Wijaya dan bagaimana kesak an pemuda itu, namun dari kemenangan yang direbut Wijaya dalam ga lomba pertandingan yang lalu, memberi kesan kepada Ku bahwa dia bakal berhadapan dengan seorang ksatrya yang sak .
Namun dia memiliki keyakinan yang teguh bahwa dia tentu sanggup mengalahkan pemuda itu.
Wijaya lebih periha n lagi.
Dia sudah banyak mengetahui tentang diri Ku dari tumenggung Bandupoyo.
Begitu pula tumenggung itupun sudah memberitahu tentang pengapesan atau kelemahan Kuti.
Tetapi tumenggung itu juga berpesan "Walaupun begitu raden, tetapi tidak mudah untuk mengarah bagian pengapesannya itu.
Dia tentu menjaga rapat.
Maka paman sarankan, raden supaya menggunakan siasat untuk memancing kesempatan itu,"
Demikian pesan tumenggung Bandupoyo.
Memang benar, pikir Wijaya sesaat berhadapan dengan Ku .
Ku seorang yang tangkas dan cerdik, demikian kesan pertama yang dirasakannya sesaat berhadapan dengan orangnya.
Namun terngianglah pesan lain dari tumenggung Bandupoyo yang mengumandangkan harapan dari keinginan tumenggung itu peribadi serta dari puteri Gayatri.
Sayup-sayup ia masih teringat akan bisik pesan dari puteri Gayatri ke ka ia hendak mohon diri.
"Kakang Wijaya, engkau harus mengalahkan Kuti. Apabila tidak ....
"
Saat itu dia terkejut dan memberanikan diri meminta penjelasan "Apabila dak .... bagaimana maksud diajeng ? "
"Nasibku tergantung pada kemenanganmu ..."
Dengan tersipu-sipu puteripun terus melangkah masuk kedalam puri. Juga tumenggung Bandupoyo pernah secara samar-samar bertanya "Raden, bagaimana kesan raden terhadap kedua gusti puteri ?"
"Kedua puteri agung Itu memang puteri yang luhur budi, paman tumenggung."
"Apakah yang raden maksudkan dengan agung dan luhur itu?"
"Agung yalah puteri yang berdarah mulia. Dan luhur adalah sifat keperibadiannya sebagai puteri utama."
"Apa hubungannya hal itu dengan kepentingan kerajaan Singasari?"
"Keagungan dan keluhuran itu merupakan pamor yang menyinarkan kewibawaan dan kejayaan kerajaan."
"Pamor adalah cahaya sakti yang menjunjung kelestarian dan kejayaan negara. Adakah raden maksudkan bahwa kedua puteri itu sebagai pamor kerajaan Singasari."
"Demikianlah perasaan hamba, paman."
"Raden, pamor Singasari itu akan tetap lestari memancarkan kerahayuan, hanya apabila pamor itu tetap bersinar."
"Apa maksud paman tumenggung?"
Wijaya heran.
"Maksud paman begini. Seri baginda Kertanagara adalah tetap seorang tah dewata yang tak lepas dari kodrat prakitri. Betapapun akhirnya usia seri baginda akan bertambah tua dan pada akhirnya pula harus melepaskan segala galanya untuk pulang ke Buddha-loka "
Wijaya mengangguk.
"Lalu siapakah yang akan menggantikan tugas luhur untuk menegakkan kelestarian pamor itu? "
Wijaya terkesiap.
"Oleh karena itu, seri baginda yang mulia, amat bijaksana sekali dalam menitahkan diselenggarakannya seyembara ini. Tujuan sayembara yang pokok, kecuali untuk memilih senopa yang benar-benar sak , cakap dan berwibawa untuk melindungi keselamatan kerajaan Singasari, pun juga akan dipercayakan untuk menjaga pamor itu oleh seri baginda."
Wijaya tetap diam. Merenung makin dalam.
"Seiring dengan kegaiban sasmita yang diperlambangkan dengan keberhasilan merentang gendewa pusaka kyai Kagapa , seri bagindapun mulai melimpahkan minat terhadap diri raden. Namun seri baginda sebagai seorang junjungan, tentu pantang untuk melanggar janji pada amanat yang telah dilimpahkan pada sayembara itu. Bahwa siapa yang memenangkan sayembara, dialah yang akan diangkat sebagai senopa Singasari dan dianugerahi puteri baginda. Dalam rangka itu pulalah seri baginda berkenan untuk menitahkan aku menghadapkan raden kepada kedua gus puteri agar lebih mantaplah baginda untuk menentukan puteri siapakah yang akan seri baginda anugerahkan kepada raden, apabila raden memenangkan sayembara ini."
"Ah,"
Wijaya hanya mendesah.
"Raden,"
Ba2 tumenggung Bandupoyo berkata lebih tandas "pamor telah raden ketahui, harapan seri bagindapun telah raden terima, kini hanya nggal raden untuk melaksanakan kesemuanya itu agar menjadi kenyataan yang memenuhi harapan atas diri raden"
Teringat akan pembicaraan itu, mendeburlah jantung Wijaya digenang darahnya yang bergolak "Duh, dewata agung, hamba mohon restu ....
"
"Ki anom,"
Ba2 Ku menegur "mengapa engkau termangu-mangu seper melamunkan sesuatu?"
Wijaya agak gelagapan "Benar, saat ini aku sedang menghadapi kenyataan. Dan kenyataan itu benar-benar akan menjadi suatu kenyataan yang nyata, tergantung pada usahaku hari ini. Hari ini akan menentukan kenyataan dari segala kenyataan,"
Pikirnya.
"O,"
Serunya menjawab teguran Kuti "baiklah, aku sudah siap. Silakan ki sanak memulai "
Ku pun segera membuka serangan Dia hendak menjajaki dulu bagaimana tenaga, ketangkasan dan ilmu olah kanuragan yang dimiliki Wijaya.
Setelah mempunyai pengetahuan tentang kekuatan lawan, mudahlah ia menentukan siasat untuk mengalahkannya.
Tetapi Wijaya cukup cerdik untuk dak begitu mudah dinilai lawan.
Dia menggunakan gerak yang bersahaja untuk menangkis atau menghindar dan balas menyerang.
Juga tenaga yang dilambarkan pada pukulannya, dak berapa keras.
Hingga sampai beberapa gebrak, Ku masih belum dapat menyelami kekuatan Wijaya.
Rupanya Ku mulai geram.
Timbul suatu penilaian lain atas diri lawan.
Kemungkinan memang tak berapa sak lah Wijaya itu dalam ulah kanuragan.
Atau mungkin Wijaya masih menyimpan ilmu kepandaiannya.
Apabila dia melancarkan serangan secara ba- ba dengan disertai tenaga yang keras, tentulah Wijaya tak sempat untuk memperbaiki kedudukannya.
Setelah putus per mbangan, Ku pun ba- ba melakukan suatu gerak terjangan, tangan kanan menghantam muka, tangan kiri meninju perut lawan.
Terjangan itu dilakukan dengan kecepatan yang tak terduga.
Wjaya memang agak terkejut.
Ia tak menyangka lawan akan merobah gaya serangannya.
Untuk menghindar, ia merasa sudah tak sempat lagi.
Dalam keadaan terdesak, terpaksa ia melakukan gerakan tangan untuk menangkis.
Krak, krak .......
terdengar dua kerat tulang teradu keras.
Ku terhen tetapi Wjaya terdorong mundur sampai dua langkah.
Babak itu jelas Ku memperoleh keuntungan.
Serangan selanjutnya segera dilancarkan lebih keras oleh Ku .
Ia menggunakan kesempatan sesaat Wijaya masih tertegun, mungkin menderita kesakitan, akibat terjangannya tadi, akan diserbunya dengan serangan yang lebih seru.
"Tentulah dia akan bingung dan dapat dikuasai, pikir Kuti."
Memang Wijaya sibuk bukan buatan.
Dia tumpahkan segenap perha an dan tenaga untuk menghalau serangan Ku yang menggebu-gebu itu.
Namun beberapa waktu kemudian, dia menderita lagi.
Yang menyerang dan yang diserang memang beda keadaannya.
Ku dapat melakukan beberapa ilmu serangan dan se ap saat dapat merobah, menggan dengan gaya serangan yang lain.
Tetapi Wijaya hanya dapat menurutkan serangan-serangan lawan.
Duk ....
sebuah pukulan yang tepat mengenai sisi dada Wijaya telah menyebabkan Wijaya terhuyung ke belakang.
Bahu disisi dada yang termakan pukulan itu terasa linu lunglai.
Nanun Wijaya berusaha keras, untuk menahan nyeri kesakitan pada bahu kirinya.
Untung Kuti segera menerjangnya pula.
Dikata untung karena dengan serangan itu Wijaya tak memikirkan rasa sakit di bahu kirinya lagi.
Perhatiannya tertumpah pada tinju Kuti yang melayang-layang seperti hujan mencurah.
Kini Wijaya hanya bertempur dengan sebelah tangan kanan.
Tangan kiri untuk sementara masih linu untuk digerakkan.
Hal itu cepat membawa ingatannya pada sebuah peristiwa ketika dia masih belajar digunung.
Pada suatu hari ketika dia menjelajah masuk hutan, dia terkejut ketika mendengar suara gemuruh dari arah gerumbul pohon yang lebat.
Pohon-pohon bergetar, daun berguguran dan semak-semak berhamburan.
Ternyata di balik gerumbul pohon itu telah berlangsung pertarungan dahsyat antara seekor harimau dengan seekor ular sama besar.
Dengan menahan napas, Wijaya bersembunyi di balik aling gerumbul.
Ia memperhatikan bagaimana cara ular itu menghadapi lawannya.
Harimau menerkam dengan kedua kaki menggigit dengan giginya yang tajam tetapi ular hanya dapat berkelahi dengan gerakan kepalanya.
Walaupun demikian dapatlah ular itu memberi perlawanan hebat sehingga harimau itu melarikan diri.
Ia dapat menyimak cara-cara ular bergerak menghindari terkaman harimau dan memasuki lubang kesempatan lawan untuk menyambarnya.
Gurunya memuji kecerdikan Wijaya dalam menirukan gerak ular berkelahi itu.
Setelah diperbaiki dan disempurnakan oleh gurunya, berhasillah Wijaya memiliki suatu ilmu kanuragan yang khusus.
"Gerak ular yang engkau pelajari itu, sebenarnya paling tepat dimainkan dengan tangan satu, sedang tangan yang lain hanya untuk penyanggah perimbangan gerak itu,"
Kata gurunya. Kesemuanya itu serentak melintas dalam benak Wijaya pada saat itu. Bukankah tangan kirinya masih linu untuk digerakkan "Inilah saat yang tepat untuk mengeluarkan ilmu itu,"
Wijayapun cepat menetapkan keputusan.
Ku terkejut ke ka melihat Wijaya menggan gaya gerakannya.
Jika bermula ia menganggap akan cepat dapat menyelesaikan Wijaya karena pemuda itu hanya dapat bergerak dengan sebelah tangan, kini dia bahkan sibuk menghadapi serangan Wijaya dengan tangan kanan itu.
Dan iapun terkejut juga ke ka mengetahui bahwa serangan tangan kanan Wijaya itu dak mengepal seper orang memukul atau menghantam melainkan dengan menebarkan jarinya untuk menusuk mata dan tenggorokannya.
Memang sesuai dengan pagutan ular, Wijaya telah merobah pukulan dengan tebaran jari yang digunakan untuk menusuk lubang indriya muka orang.
Terdengar gemuruh sorak rakyat ke ka menyaksikan adegan pertempuran yang aneh itu.
Bermula mereka terkejut ke ka Wijaya terpukul dadanya dan lunglai sebelah tangannya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi ke ka menyaksikan dengan sebelah tangan Wijaya bahkan lebih hebat dan dapat menyerang lawan, meluapkan rasa kegembiraan rakyat.
Kini berbalik Kuti yang mandi peluh.
Dia heran pada dirinya sendiri mengapa sama sekali tak mampu balas menyerang.
Terapi kenyataan memang demikian.
Dia tak mempunyai kesempatan, jangankan ber ndak bahkan memikir rencana untuk balas menyerang, pun tak sempat.
Jari tangan kanan Wijaya benar2 seper ular yang memagut-magut mata, hidung, mulut dan tenggorokannya.
Berulang kali dia menggeram dan berusaha untuk menghantam jari itu, tetapi jari Wijaya benar-benar seper gerak ular yang tangkas.
Tamparan, hantaman dan tebasan Ku selalu luput "Aneh, ilmu apakah yang dimainkannya?"
Diam2 Ku bertanya dalam hati.
Benar sampai sekian lama, Kuti masih mampu menghindarkan diri dari tusukan jari Wijaya, entah dengan mengisar tubuh, mencondongkan kepala, menyurut ke belakang dan mengendapkan kepala.
Tetapi diam-diam ia getar dalam ha .
Sampai berapa lamakah ia dapat bertahan terhadap jari Wijaya yang membawa maut itu? "Jika terus berlangsung begini, akhirnya aku tentu kalah,"
Ia menimang-nimang. Kemudan memutuskan "aku harus melakukan suatu siasat yang lain"
Pada saat Wijaya merangsangkan jari kearah matanya, ba- ba Ku mengendap kebawah dan dengan gerak secepat kilat, ia menyapu kaki lawan dengan sebuah tendangan keras.
"Uh,"
Mulut Kuti mendesuh kejut ketika gerakan kakinya untuk menyapu kaki lawan itu hanya menemui angin. Karena seluruh tenaga ditumpahkan dalam gerakan kaki, tubuh Kutipun ikut berputar.
"Aduh,"
Ia menjerit dalam hati ketika telinganya tertusuk jari Wijaya.
Tusukan itu tidak menimbulkan luka berdarah tetapi cukup membuat Kuti memar kepalanya.
Anak telinganya serasa pecah, menimbulkan getar kesakitan pada syaraf kepala dan benaknya.
Pandang matanyapun nanar, ia terseok-seok mundur sambil mendekap telinga kanannya.
Dia mengertak geraham, menahan sakit dan cepat berdiri tegak.
Ia kua r Wijaya menerjang pada saat dia masih terhuyung, sebagaimana tadi ia melakukan kepada lawan.
Tetapi ternyata dugaannya meleset.
Wijaya tetap tegak di tempat, memandangnya tenang-tenang.
Terkejut Ku melihat sikap lawan.
Tidakkah suatu kesempatan bagus apabila menerjang musuh yang belum menegakkan keseimbangan tubuh ? Mengapa Wijaya setolol itu ? Tetapi sesaat terlintas akan sikap lawan yang menggagah dihadapannya, iapun terkesiap lalu tersipu-sipu dalam ha .
Sikap Wijaya itu merupakan penampilan sikap seorang ksatrya yang utama.
Serentak tersentuhlah ha Ku .
Ia malu atas apa yang dilakukan terhadap lawan tadi dan apa yang dipikirkan dalam menilai lawan.
Namun setelah lintasan kesan itu berlalu, iapun segera menyadari bahwa saat itu ia sedang menghadapi seorang yang kuat.
Lawan itupun merupakan lawan yang terakhir.
Apabila dapat mengalahkannya tentulah dia akan keluar sebagai pemenang, diangkat sebagai senopa dan akan mendapat anugerah puteri.
Puteri, lintasan bayang-bayang dari anugerah itu segera merekahkan suatu bayargan wajah dari sang dyah ayu Gayatri.
Penampilan bayang-bayang wajah sang dyah ayu itu merupakan suatu daya-sakti yang membangunkan semangat, menggelorakan jiwanya.
"Aku harus menang,"
Serentak memancarlah darah keperwiraan Ku seke ka. Bayu nadi, tulang- susum dalam tubuh Kuti serasa mendidih, menggelorakan suatu tenaga yang dahsyat. Dengan mata berapi-api dibakar dahana cita-cita, ia melangkah maju menghampiri Wijaya.
"Ki sanak, jangan engkau menyangka Ku sudah kalah. Tak mungkin engkau dapat mengalahkan Ku , kecuali Ku sudah menjadi mayat! "
Wijaya terkejut melihat sikap dan wajah Ku pada saat itu. Terutama matanya memancarkan sinar berapi-api laksana singa kelaparan "Ah, menghadapi seorang musuh yang nekad seper ini, memang berbahaya,"
Diam2 Wijaya menimang dalam ha .
Namun iapun serentak teringat akan pesan bapa gurunya bahwa dalam pertempuran, harus tetap memelihara ketenangan.
Kemarahan, akan menjurus pada kekalapan dan kekalapan akan menuju kearah kekalahan.
Demikian pesan bapa gurunya.
"Ki sanak,"
Sahutnya tenang "dalam pertempuran, terpukul, tertendang itu sudah lumrah. Bahkan kalah dan menang itupun sudah wajar. Bukankah engkau juga berhasil memukul bahuku?"
"Hm,"
Desuh Kuti "ketahuilah, ki bagus. Bahwa pertempuran ini akan kupertaruhkan dengan jiwaku."
"Ah, mengapa ki sanak mempunyai pemikiran begitu ?"
Seru Wijaya "bukankah pertempuran ini hanya berlangsung sampai ada yang jatuh ke tanah saja? Bukankah ki demang tadi sudah menyatakan bahwa para ksatrya yang ikut serta dalam sayembara ini, baik yang menang maupun yang kalah, semua akan diminta menjadi prajurit untuk mengabdi kepada kepen ngan kerajaan Singasari ? Mengapa ki sanak sedemikian bengis memandang pertandingan kita ini ?"
"Ketahuilah, ki bagus,"
Seru Kuti "lain-lain ksatrya peserta sayembara ini dan mungkin engkau juga, memang demikian tujuannya. Tetapi aku lain."
"Apakah tujuan ki sanak? "
"Aku tak menginginkan kelungguhan senopati."
"O,"
Wijaya agak terkejut "lalu apakah yang ki sanak inginkan?"
"Anugerah seri baginda "
"Anugerah seri baginda?"
Wijaya makin terkesiap "engkau maksudkan anugerah yang mana ?"
"Puteri seri baginda."
"Ah,"
Wijaya mendesah.
Serentak ia teringat akan keterangan tumenggung Bandupoyo mengenai peris wa Ku dengan puteri Gayatri.
Ku benar-benar sudah tenggelam dalam laut asmara terhadap puteri Gayatri.
Kemudian Wijayapun teringat akan pesan yang dibisikkan Gayatri ke ka ia hendak nggalkan pendapa keputrian "Aku sudah berjanji kepada puteri untuk memenuhi harapannya.
Kasihan kalau diajeng Gayatri sampai hancur perasaannya."
"Itu memang termasuk dalam anugerah yang dijanjikan seri baginda kepada pemenang sayembara,"
Katanya kepada Ku "jika engkau hendak melaksanakan keinginanmu engkau harus memenangkan pertandingan ini."
"Ki bagus,"
Kata Ku "kutahu engkau seorang ksatrya yang sak mandraguna. Tetapi engkaupun harus mempunyai penilaian terhadap siapa diriku ini."
"Tentu, ki sanak,"
Wijaya cepat memberi sambutan "siapakah yang tak kenal dengan ksatrya Kuti yang berhasil menemukan kaca wasiat dari gusti puteri Teribuana ? Tiada ksatrya lain yang mampu memasuki puri keraton kecuali Kuti yang sakti.
Dan kenyataan yang paling nyata, dari berpuluh ksatrya yang ikut dalam sayembara ini, hanya kita berdua yang bertemu dalam babak terakhir ini.
Tidak ki sanak, aku tahu jelas akan ksatrya Kuti yang sakti."
"Jika demikian engkaupun tentu menyadari betapa akibat dari dua ekor Singa yang saling bertarung."
"Maksudmu ?"
Wijaya menegas.
"Jika dua ekor singa berkelahi, baik yang menang maupun yang kalah pas kedua-duanya akan menderita luka. Yang kalah mungkin mati tetapi yang menangpun tentu akan luka parah."
"Ya,"
Kata Wijaya "kutahu maksudmu. Bukankah engkau hendak mengatakan bahwa pertempuran kita ini tentu akan membawa akibit akan sama-sama menderita luka parah ?"
"Kiranya engkau sudah memaklumi,"
Seru Kuti "lalu bagaimana pendapatmu?"
"Apa maksud ?"
Kembali Wijaya bertanya.
"Telah kukatakan tadi,"
Kata Ku "bahwa tujuanku ikut dalam sayembara ini bukanlah untuk mencapai kelungguhan senopati tetapi hendak mengarah anugerah puteri. Dan apakah tujuanmu?"
"Kerajaan Singasari sedang memerlukan suatu pasukan sebagai kekuatan untuk menjaga keselamatan negara dan para kawula. Karena dengan dikirimnya pasukan Pamalayu ke negara Malayu, kekuatan dalam kerajaan menjadi berkurang. Juga disamping itu, Singasari harus tetap berjaga-jaga untuk menghadapi kemungkinan ancaman dari raja Tartar Kubilai Khan yang sudah berulang kali mengirim utusan untuk menghendaki baginda Singasari tunduk kepada raja Kubilai Khan. Panggilan darah seorang putera Singasari, telah mewajibkan aku memasuki sayembara ini, ki sanak."
"Jadi engkau bertujuan untuk menjadi senopati, bukan ?"
"Senopa hanya suatu kelungguhan menurut urut-urutan pangkat dalam pasukan. Yang pen ng bukan tinggi rendahnya pangkat itu melainkan tujuan untuk mengabdi kepada negara."
"Hm"
Ku mendesuh "se ap orang memang berhak dan bebas memiliki tujuan dan cita-cita sendiri.
Hanya dalam hal ini, secara kebetulan kita telah berhadapan dalam ajang sayembara, dengan tujuan yang berbeda.
Engkau bertujuan menjadi senopa dan aku menginginkan anugerah puteri."
"Hm"
Wijaya mendesuh.
"Ki anom,"
Seru Ku pula "aku mempunyai saran untuk kepen ngan kita berdua. Engkau akan mendapatkan kelungguhan senopa yang engkau idam-idamkan dan akupun akan mendapat apa yang kuinginkan."
Wijaya.. mengernyut dahi.
"Apa maksudmu?"
Tegurnya sesaat kemudian.
"Engkau belum tentu dapat mengalahkan aku, akupun belum tentu dapat merubuhkan engkau,"
Kata Ku "dan apabila kita berkeras melanjutkan pertandingan ini, tentulah kita akan sama-sama menderita luka. Alangkah baiknya jika kita merencanakan pertandingan ini supaya sama-sama kalah."
"Oh,"
Wijaya mendesuh kejut.
"Oleh karena kita berdua ini adalah peserta yang terakhir, maka apabila kita sama-sama kuat atau sama-sama kalah, tentulah kita berdua tetap yang akan menjadi pemenang. Oleh karena kelungguhan senopa itu hanya satu, maka kita nan tak perlu berebut tetapi mengajukan permohonan. Engkau yang menerima kelungguhan senopati, aku yang menerima anugerah puteri."
Tak pernah Wijaya menduga bahwa Ku akan mengajukan saran sedemikian. Ia tak segera memberi jawaban melainkan merenung.
"Bagaimana?"
Rupanya Ku dapat mengetahui dari cahaya wajuh Wijaya bahwa pemuda itu sedang dilanda oleh kebimbangan hati.
Menerima usul Ku berar ia akan memberi kesempatan kepada Ku untuk menerima ganjaran puteri.
Dan dalam hal itu, mungkin Ku akan dapat menuntut puteri Gayatri.
"Ah."
Serentak tersibaklah per mbangan Wijaya akan suatu pesan suci yang dibisikkan dengan penuh harapan oleh puteri Gayatri kepadanya.
"Ki sanak,"
Katanya tenang "usulmu memang baik.
Andaikata hal itu terjadi pada lain hal atau sayembara, kemungkinan aku dapat menerima.
Tetapi sayembara yang kita langsungkan ini, menyangkut kepentingan negara dan para kawula.
Mereka telah meletakkan kepercayaan besar pada hasil sayembara ini.
Mengapa kita harus membohongi mereka? Tidakkah hal itu berarti suatu pengingkaran akan laku ksatrya, suatu penghianatan atas amanat baginda, suatu hinaan atas harapan para kawula, suatu penyelewengan terhadap diri peribadi."
Merah padam wajah Ku mendengar cerca yang laksana hujan mencurah dari Wijaya itu. Namun cepat dia sudah mengusap perobahan cahaya muka itu dengan senyum lebar "Ki anom, engkau salah faham,"
Ia beringsut menghampiri Wijaya "coba dengarkanlah penjelasanku ini,"
Ia makin mendekat kehadapan Wijaya.
Kelemahan Wijaya adalah karena terlalu besar rasa welas asih terhadap orang.
Dan seorang yang berha welas asih tentu jauh pula dari rasa curiga terhadap orang.
Terpikat oleh kata-kata Ku , diapun tak memperha kan gerak Ku yang beringsut makin mendekat kepadanya "Bagaimana penjelasanmu, ki sanak? "
Tegurnya.
"Ini bukan suatu pengingkaran ataupun suatu penghianatan dan penghinaan akan amanat yang termaktub dalam sayembara itu,"
Kata Kuti dengan setengah bisik-bisik "tetapi suatu kenyataan."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dari landasan apakah engkau mengatakan hal itu sebagai suatu kenyataan? "
"Bahwa dari sekian banyak peserta, ternyata hanya kita berdua yang tetap tak terkalahkan. Dan di antara kita berdua, akupun tak menginginkan kelungguhan senopa itu. Kiranya memang engkaulah yang layak menjadi senopati."
"Tetapi ....
"
"Sejak engkau berhasil merentang gendewa pusaka kerajaan, rakyat telah mengelu-elumu sebagai senopa yang memenuhi harapan mereka. Akupun rela menyerahkan kedudukan itu, mengapa engkau menolak ajakanku yang baik itu ?"
"Ki sanak, bukan aku menolak. Aku menghargai maksudmu. Tetapi aku tak menginginkan kelungguhan itu sebagai suatu pemberian. Aku hanya mau menerima kelungguhan itu apabila kuperoleh dengan utama dan sah. Bukan suatu pemberian semena- mena ....
"
"Engkau keras kepala,"
Tiba-tiba Kuti menggembor dan menghantam dada Wijaya.
Karena jarak amat dekat dan tak menyangka-nyangka, Wijaya tak sempat menghindar maupun menangkis.
Dalam detik-detik yang berbahaya itu, masih untung dia dapat beringsut sehingga dadanya terhindar dari pukulan maut itu, duk ....
Namun pukulan Ku tetap memperoleh sasaran tepat pada bahu disisi dada yang pernah terkena pukulan Ku tadi.
Sebenarnya bahu Wijaya yang sebelah, muka itu sudah hampir pulih, tetapi karena terhunjam pukulan lagi, diapun mengerang dan terseok-seok ke belakang.
"Jangan, engkau anggap engkau sendiri yang ksatrya."
Kutipun loncat menerjang untuk memberi pukulan yang terakhir.
Ia melambari pukulan itu dengan sepenuh tenaga agar dapat menyelesaikan pertempuran itu.
Dan kali ini dia mengarah kepala Wijaya.
Ia yakin pukulan itu tentu akan membuat Wijaya rubuh bergeleparan di tanah.
Tetapi suatu keajaiban telah terjadi.
Pada saat Wijaya menahan kesakitan, pandang mata gelap dan kepala berdenyut-denyut, ia masih sempat melihat betapa wajah Ku yang bengis dan kejam menganga dihadapannya, seolah seperti seekor harimau yang hendak menelannya.
Sebelum ma berpantang ajal.
Manusia bahkan bangsa khewan, dan serangga yang kecilpun, telah dikarunia dewata suatu naluri tajam untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari se ap ancaman bahaya.
Demikian pula Wijaya.
Sepercik kesadarannya merekah dan sadarlah dia bahwa saat itu merupakan saat yang paling gawat untuk kerajaan Singasari, puteri Gayatri dan dirinya sandiri.
Jika ia kalah, hancurlah segala harapan dari mereka yang meletakkan harapan kepadanya.
Dia meregang, mengerenyahkan semangat, membangunkan kesadarannya.
Pada saat pukulan Ku melayang, iapun cepat mengendap berjongkok kebawah lalu dengan kecepatan yang luar biasa menghantam paha kiri Kuti sebelah dalam.
"Aduh ....
"
Ku menjerit, mendekap paha kirinya dan terus terkulai rubuh. Wajah pucat napas terengah-engah "engkau .... engkau ....
"
Peristiwa itu berlangsung cepat sekali dan tak terduga-duga.
Mereka mengira akan menyaksikan Wijaya yang rubuh.
Wijaya sudah terseok-seok menderita pukulan keras dan Kuti pun sudah menerjang untuk menyelesaikannya.
Tetapi apa yang terjadi ternyata berlainan dengan apa yang mereka duga.
Kesunyian yang tegang saat itu segera meletus bagaikan ledak gunung Kelud.
Sorak sorai menggelegar, menggetar alun-alun Singasari.
Wijaya terpukau bagai sebuah tonggak.
Dia tak menyangka bahwa dalam de k-de k menghadapi kekalahan, dapat merebut kemenangangan yang meyakinkan.
Ia telah berhasil memukul bagian pengapesan dari paha Ku .
Hampir ia terhanyut dalam buaian sorak-sorai rakyat yang mengelu- elunya dengan kegembiraan yang meluip-luap.
Bahkan sempat pula didengarnya, gemuruh tepuk dari bangsal agung.
Namun setelah pelahan-lahan kesadaran pikirannya mulai berkembang, timbullah suatu rasa enggan bercampur malu dalam perasaannya.
"Raden, pengapesan Ku terletak pada paha kiri sebelah dalam. Hantamlah, dia pas akan lunglai kehilangan tenaga,"
Terngiang-ngiang pesan tumenggung Bandupoyo pada hari masih pagi sekali dikala dia baru bangun.
"Ah, kemenanganku ini berkat petunjuk paman tumenggung Bindupoyo. Aku harus berterima kasih kepadanya tetapi akupun harus malu pada diriku sendiri,"
Pikirannya melamun "kemenangan ini bukan kemenangan wajar yang kuperoleh dengan tenaga kesaktianku melainkan hadiah dari tumenggung itu, ah .....
"
Ia tersipu-sipu merah mukanya. Namun kesemuanya telah menjadi kenyataan. Ku rubuh menumpah tak dapat berdiri dan dia yang keluar sebagai pemenang. Bangga? "Tidak"
Ha nurani ksatryaannya menolak "Ku seorang ksatrya yang sak . Andaikata aku tak mengetahui pengapesannya, belum tentu aku dapat mengalahkannya"
Ia malu, menyesal dan merasa kasihan disertai rasa maaf kepada Ku "Ki Ku , maa an,"
Serentak mekarnya kesadaran, segera bertumbuh dengan suatu pernyataan meminta maaf. Seorang ksatrya harus berani meminta maaf atas sesuatu kesalahan yang dirasakan dalam ha . Iapun maju menghampiri kehadapan Kuti. Kuti masih mengerang-erang pelahan.
"Ki Kuti, maafkan aku,"
Ulang Wijaya pula "apakah engkau dapat berdiri? "
Namun Kuti tetap diam.
"Kuti,"
Kata Wijaya "jangan berkecil hati atas peristiwa ini. Hanya secara kebetulan saja karena hendak membela diri, aku telah beruntung memukul kakimu. Engkau tidak kalah, ki sanak. Dan kekalahanmu ini, pun suatu kekalahan ksatrya."
"Hm, hm "
Kuti hanya mendesuh.
"Kuti, aku sangat menghargai kesaktianmu. Bersediakah engkau untuk mengabdi kepada Singasari ? Akan kuusulkan supaya engkau diangkat sebagai wakilku. Hapuskanlah rasa dendam hari ini, mari kita bekerja-sama untuk menjaga keselamatan negara dan kawula Singasari. Masih banyak tugas berat yang kita dapat lakukan untuk Singasari "
"Bunuhlah aku, ki bagus ....
"
Wijaya terkejut "Membunuh engkau? Mengapa? "
"Engkau telah menang dan hancurlah segala harapan Ku selama ini. Apa guna Ku hidup tersiksa hati ?"
Wijaya terkesiap.
Ia teringat akan pembicaraan tadi dimana Ku mengemukakan dengan terus terang bahwa tujuannya masuk sayembara itu tak lain hanyalah untuk meraih ganjaran puteri.
Dan puteri yang diidam-idamkan itu tak lain adalah sang dyah ayu Gayatri.
"Ah, ki sanak,"
Kata Wijaya "jangan engkau putus asa. Soal itu dapat kita rundingkan."
Seketika merenyahlah wajah dan sinar mata Kuti yang kuyu "Apa katamu, ki bagus?"
"Sebelumnya aku hendak bertanya kepadamu,"
Kata Wijaya "mengapa tampaknya engkau sudah putus asa dan minta mati ?"
"Karena kekalahan ini telah menghancurkan impianku untuk menerima ganjaran puteri baginda "
"O,"
Desuh Wijaya. Memang ia sudah menduga akan jawaban Ku .
"puteri siapakah yang engkau idam-idamkan "
"Setebar bumi yang luas, senaung langit yang nggi, semesta jagad raya yang tak terbatas ini, bagi Ku ada seorang wanodya yang secan k puteri Gayatri. Sang dyah ayu itu adalah matahari kehidupanku, darah dari tubuhku, napas dari nyawaku."
"Ah"
Dengus Wijaya dalam hati.
Sedemikian besar rasa asmara Kuti yang tertumpah pada puteri Gayatri.
Sepercik sinar memancar dalam bumi hatinya, dan merekahlah sumber nurani yang mengalirkan kebeningan air welas asih "Ah, apakah tidak kejam apabila aku membunuh harapan hati Kuti?"
"Ku ,"
Katanya "apakah engkau sanggup memenuhi permintaanku apabila harapanmu itu kululuskan? "
"Ki bagus!"
Teriak Ku dengan suara tertahan "apa katamu? Engkau akan meluluskan harapanku ?"
Wijaya mengangguk "Asal engkau menerima permintaanku."
"Baik, ki bagus,"
Tanpa ragu-ragu lagi Kuti pun serentak menerima "katakanlah permintaanmu "
"Engkau harus mengabdi kepada kerajaan Singasari yang membutuhkan para teruna ksatrya sebagai bhayangkari negara Singasari mempunyai musuh musuh yang selalu mengancam, termasuk raja Tartar."
"Sebelum aku menerima permintaanmu itu, katakanlah bagaimana janjimu hendak meluluskan harapanku itu."
"Dengarkan, ki sanak,"
Kata Wijaya "apabila seri baginda menganugerahkan gus puteri Gayatri kepadaku maka puteri itu akan kuberikan kepadamu."
Ku terbelalak dan serentak seper tumbuh kekuatan, diapun segera berbangkit "Apa katamu ki bagus ? "
Wijaya terkejut. Sedemikian besar kuasa api asmara yang telah membakar jiwa Ku . Wajah pucat, mata kuyu dan tenaga lunglai, tetapi mendengar perkataan tentang puteri Gayatri, seke ka sembuhlah segala derita lukanya.
"Apabila sebagai ganjaran sayembara ini, selain kelungguhan senopa , pun baginda akan menganugerahi puteri. Dan apabila puteri yang dikenankan dalam ganjaran baginda itu gus puteri Gayatri maka akan kuserahkan gusti puteri Gayatri kepadamu, kakang Kuti."
"O, ki bagus, betapa terima kasih Ku atas kebesaran jiwamu,"
Serta merta Ku pun segera berjongkok menyembah Wijaya.
"Ah"
Wijaya cepat-cepat mengangkat bangun "jangan terburu-buru ber ndak demikian, kakang Kuti."
"Ya, tetapi engkau telah menghidupkan pula jiwa Kuti yang sudah layu, ki bagus."
"Sekarang hal itu belum merupakan suatu kenyataan,"
Kata Wijaya "benarkah seri baginda akan menghadiahkan gusti puteri Gayatri kepadaku, akupun tak tahu. Maka janganlah kakang gopoh untuk menghaturkan terima kasih kepadaku."
Kuti tertegun.
"Dan bagaimana kalau bukan gusti puteri Gayatri yang dianugerahkan kepadaku, kakang Kuti?"
"Ki bagus,"
Kata Ku dengan tandas "sejelek-jelek Ku namun dia masih seorang insan manusia yang mempunyai perasaan kemanusiawian. Yang kuidam-idamkan adalah gus puteri Gayatri. Kalau bukan Gayatri, Kuti takkan memangku lain wanita untuk selama-lamanya."
"Baik, kakang Ku ,"
Kata Wijaya "marilah kita mantapkan janji kita.
Pertama, kakang harus menetapi janji untuk memangku jabatan dalam pasukan Singasari.
Kedua, akupun harus menetapi janji untuk menyerahkan gus puteri Gayatri kepadamu, apabila puteri itu dianugerahkan kepadaku dalam rangka sayembara ini.
Dan apabila bukan gus puteri Gayatri yang dianugerahkan baginda, kakangpun tak dapat menuntut apa-apa."
"Ya, aku bersumpah demi Batara Agung!"
Sambut Kuti.
Karena pertandingan itu merupakan pertandingan yang terakhir maka demang Widurapun memberi kesempatan agak longgar kepada Wijaya untuk melakukan pembicaraan dengan Ku .
Kemudian setelah cukup lama, barulah demang Widura menghampiri "Raden, pertandingan ini telah selesai dan kumohon raden ikut pada pengawal yang akan mengantar raden ke balai Witana."
Demikian Wijaya segera diiring oleh sekelompok prajurit bersenjata untuk masuk kedalam keraton.
Sementara itu rakyatpun bersorak-sorak meninggalkan alun-alun.
Sorak yang bergembira itu meninggalkan kesan bahwa mereka telah puas karena telah mendapatkan apa yang mereka harap.
Udara alun-alun Singasari tampak merekah meriah.
Surya menyinarkan cahaya yang gilang gemilang, angin berhembus segar, para kawula bergembira ria.
Ada sesuatu pada hari itu.
Dan sesuatu itu seakan-akan memancarkan kebangkitan dari suasana pura Singasari yang selama ini tampak diliputi awan mendung.
"Dhirgahayu sang prabu Kertanegara! "
"Dhirgahayu kerajaan Singasari yang jaya!"
"Dhirgahayu senopa yang baru!"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikian pekik sorak yang berkumandang dari mulut se ap rakyat.
Mereka gembira.
Mereka tak tahu mengapa bergembira, tetapi mereka merasa harus bergembira dengan peristiwa hari itu.
Sementara Wijaya dan prajurit pengiring yang menuju ke balai Witana, belum berapa jauh memasuki lingkungan halaman keraton, ba- ba telah dihampiri oleh seorang pemuda cakap yang mengenakan busana priagung.
Serta melihat pemuda itu, kelompok prajurit itupun segera tergopoh memberi hormat "Raden Kuda Panglulut,"
Seru mereka. Wijaya terkejut ke ka mengetahui siapa anak muda itu. Serta merta diapun menghaturkan hormat "Raden, hamba menghaturkan hormat "
"Ah, jangan kakang Wijaya merendah diri,"
Anakmuda itu atau Kuda Panglulut gopoh memberi hormat.
Wijaya terkejut karena Kuda Panglulut telah mengetahui namanya.
Namun setelah menyadari bahwa Kuda Panglulut itu putera menantu pa h Aragani, keheranannya itupun menurun.
Namun lain keheranan segera timbul, apa maksud Kuda Panglulut monyongsong perjalanannya.
"Raden,"
Katanya "suatu hal yang tak pernah kusangka bahwa dalam pejalanan ke balai Witana ini, raden telah berkenan datang. Entah apakah yang raden kehendaki ? "
Kuda Panglulut tertawa "Pertama-tama, wajiblah aku menghaturkan selamat kepada kakang Wijaya.
Kedua, sudah selayaknya, aku sebagai wakil paman pa h Kebo Anengah yang diserahi untuk mengepalai pasukan keamanan penjagaan pura kerajaan, memperkenalkan diri kepada senopati yang baru."
"Ah, betapa rasa terima kasih Wijaya mendapat perhatain dan penghargaan dari raden yang sedemikian besar."
"Disamping itu, kakang Wijaya"
Kuda Panglulut melanjutkan "kedatanganku kemari ini, pun mengemban dawuh rama patih Aragani untuk mengundang raden ke kepatihan"
"Ah,"
Wijaya makin terkejut.
"Rama pa h pun ikut bergembira atas pengangkatan kakang Wjaya sebagai senopa . Rama pa h berkenan hendak mengadakan perjamuan perkenalan secara peribadi dengan kakang "
"Ah."
Kembali Wijaya mendesah "Wijaya sungguh tak mengira bahwa gus pa h Aragani menaruh perhatian yang sedemikian beiar atas diriku. Tetapi raden ....
"
"Tetapi bagaimana, kakang Wijaya?"
Tukas Kuda Panglulut "kuharap janganlah kakang mengecewakan harapan rama patih."
"Sama sekali Wijaya tak berani mengangankan hal itu, raden,"
Wijaya gopoh memberi penjelasan "tetapi raden, bukankah saat ini aku masih seorang Wijaya, kawula biasa ? Layakkah aku berani menerima undangan gusti patih?"
Kuda Panglulut terkesiap.
Rupanya dia tak menyangka akan menerima keterangan sedemikian dari Wijaya "Ah, kakang terlalu merendah diri.
Jelas sudah bahwa kakanglah yang memenangkan sayembara itu dan sekalipun dewa tentu tak dapat membantah bahwa kakanglah yang akan diangkat sebagai senopa Singasari.
Mengapa kakang mengatakan tak layak kalau berani memenuhi undangan rama patih ?"
"Raden,"
Kata Wijaya "memang benar demikian. Tetapi karena saat ini, pengangkatan itu belum dilangsungkan, maka secara resmi aku belum berhak menyandang nama senopa . Oleh karena itu pula ...
"
"Ah, harap kakang jangan memikirkan soal yang tak layak dipikirkan,"
Tukas Kuda Panglulut "bukankah telah kukatakan tadi, bahwa maksud rama pa h mengundang raden itu tak lain hanya akan menjamu raden, memberi selamat dan berkenalan dengan raden secara peribadi.
Suatu keinginan rama pa h untuk menyatakan kegembiraan ha atas terpilihnya kakang sebagai senopa .
Bukankah nan nya dalam masa-masa yang mendatang, rama pa h tentu akan selalu banyak berhubungan dengan raden dalam rangka tugas-tugas pemerintahan? "
Wijaya tertegun.
Diam-diam ia menimang.
Ia tak tahu apapun sesungguhnya yang menjadi maksud pa h Aragani.
Memang selama ini, ia telah mendengar berbagai cerita tentang ndakan pa h Aragani dalam pemerintahan kerajaan.
Bagaimana akibat perselisihan faham antara seri baginda dengan pa h wreddha Raganata, demang Wiraraja dan tumenggung Wirakre , telah dimanfaatkan oleh pa h Aragani untuk mengobarkan kemurkaan seri baginda sehingga akibatnya pi h tua Raganata yang amat se a itu, demang Wiraraja dan tumenggurg Wirakre telah dilepas dari jabatan dan ada yang dilorot, dipindah ke lain daerah.
"Namun dia belum kenal dengan aku. Adakah aku harus terhanyut dalam prasangka terhadap dirinya? Diapun seorang pa h dalam yang saat ini amat berkuasa, dakkah dia akan tak senang apabila aku menolak undangannya? Bukankah dengan sikap itu, tidakkah dia akan menganggap aku bersikap tak bersahabat kepadanya ? Tidakkah dapat juga dia menilai sikapku itu sebagai sikap seorang yang congkak?"
Demikian Wijaya menimang-nimang dalam ha dan akhirnya terdampar pada suatu keputusan bahwa lebih baik ia memenuhi undangan pa h itu. Bagaimana maksudnya, akan dapat ia ketahui dan pertimbangkan setelah nanti berhadapan muka.
"Baik raden,"
Akhirnya ia memberi jawaban.
"Raden,"
Ba- ba lurah Margata yang mengepalai kelompok prajurit pengiring berseru kepada Kuda Panglulut "perintah ki demang Widura, adalah suruh hamba mengiringkan raden Wijaya ke balai Witana. Hamba sungguh tak berani melanggar titah ki demang, raden."
Mendengar itu seke ka membelalaklah mata Kuda Panglulut "Apa katamu, bekel? Engkau takut kepada ki demang Widura dan tidak takut kepada rama patih Aragani?"
Bekel Margata berobah pucat namun sesaat kemudian diapun tenang pula "Raden Panglulut, hamba mohon maaf apabila ucap hamba tak berkenan diha raden.
Maksud hamba, hamba sebagai seorang bekel prajurit bawahan ki demang Widura, hamba harus melakukan perintahnya.
Dalam hal ini jauh dari maksud hamba untuk membanding-bandingan kekuasaan demang Widura dengan gusti patih Aragani "
"Hm,"
Dengus Kuda Panglulut "tetapi sikap dan ucapmu memberi kesan untuk menduga begitu. Apakah sekarang engkau masih hendak melarang aku membawa kakang Wijaya ke kepatihan?"
Bekel Margata terkesiap.
Melihat itu Wijaya segera ber ndak.
Ia tahu apa yang terkandung dalam ha bekel itu.
Dia tentu tetap akan berpegang pada pendirian seorang bekel yang menerima perintah dari atasannya.
Sedang iapun tahu bahwa Kuda Panglulut tentu akan menunjukkan kekuasaan rama mertuanya pa h Aragani.
Dan dalam persimpangan pendirian itu, kemungkinan tentu akan timbul hal-hal yang tak diinginkan.
"Ki bekel"
Wijayapun segera berkata kepada bekel Margata "aku sangat menghargai pendirian ki bekel. Namun kurasa ki bekel tentu dapat menyadari keadaan,"
Dengan kata-kata itu Wijaya secara halus hendak memperingatkan bekel Margata bahwa berhadapan dengan Kuda Panglulut yang membanggakan pengaruh ayah mentuanya yang sedang berkuasa, tentulah akan menderita hal-hal yang merugikan "akupun harus menjunjung dan menghargai titah gusti patih yang menaruh perhatian besar terhadap diriku.
Maka ki bekel, idinkanlah aku ikut raden Panglulut ke kepatihan.
Apabila ki demang menegur ki bekel, maka akulah yang akan memberi pertanggungan jawab kepada ki demang"
Rupanya bekel Margata tahu akan peringatan halus dari Wijaya.
Diam-diam ia menghargakan sekali pandangan dan ndakan Wijaya untuk menolong dirinya dari kesulitan.
Seke ka mbul rasa malu dalam ha "Baiklah raden, tetapi aku mohon supaya aku diidinkan mengiring raden ke gedung kepatihan."
"Bekel!"
Sebelum Wijaya menjawab, Kuda, Panglulutpun sudah menghardik.
"apa maksudmu hendak mengiring kakang. Wijaya ke kepa han? Apakah engkau kua r kalau rama pa h hendak mencelakai kakang Wijaya? Berani benar engkau mempunyai angan-angan begitu!"
Bekel Margata terbeliak, pucat pula wajahnya.
"Sama sekali dak, raden Panglulut,"
Serunya setelah napasnya mengendap turun dari rongga dadanya.
"hamba dak mengandung angan-angan demikian. Hamba hanya, ingin mengiring raden Wijaya sesuai dengan tugas yang telah diberikan, ki demang Widura. Jika hamba dan kawan-kawan kembali ke balai Witana tanpa bersama raden Wijaya, tentulah ki demang murka sekali kerena menganggap hamba telah melalaikan kewajiban."
"Raden Panglulut "
Wijayapun segera menengahi.
"apa yang ki bekel katakan memang benar. Dengan ndakanku memenuhi undangan gus pa h, ki bekel tentu akan dipersalahkan ki demang. Dan apabila dia tetap tak mengiringkan perjalananku, akan lipat makin beratlah kesalahannya. Kurasa, biarlah ki bekel dan anakbuaknya menunggu di luar gedung kepa han dan nan pulangnya agar dapat bersama aku menuju ke balai Witana."
Memang suatu kenyataan yang ganjil tetapi lumrah bahwa se ap ramuan minuman maupun makanan walaupun bahan-bahannya sama, tetapi beda cara dan orang yang meramu atau memasak, tentu menimbulkan rasa berlain-lainan dari minuman atau makanan itu.
Demikian dengan maksud atau tujuan.
Beda cara mengutarakan, beda orang yang mengatakan, maka beda pula selera penerimaan orang.
Demikian pula dengan Kuda Panglulut.
Sebenarnya kata-kata Wijaya adalah pengulangan dari kata-kata yang diucapkan bekel Margata, tetapi karena berbeda cara mengulaskan dan beda pada orangnya antara Wijaya dengan bekel Margata, maka penerimaan Kuda Parglulutpun berbeda.
Jika ia cepat menjatuhkan prasangka terhadap bekel Margata, daklah demikian terhadap Wijaya.
"Baiklah, kakang Wijaya, karena kakang yang memintakan, akupun menurut saja,"
Kata Kuda Panglulut.
Rupanya penerimaannya itu juga didasarkan oleh per mbangan untuk mengamankan perintah pa h Aragani.
Jika ia bersikap keras, menolak permintaan Wijaya, ia kua r soal kecil yang tak berarti itu akan mengganggu terlaksananya tugas yang sedang dilakukan.
Demikian maka rombongan Wijaya dan prajurit pengiring itupun segera mengalihkan tujuan, menuju ke gedung kepatihan bersama Kuda Panglulut.
Sekeluar dari halaman keraton mereka segera menyusur jalan yang membelah kearah barat.
Gedung kediaman pa h Aragani terletak di barat keraton Singasari, merupakan sebuah lingkungan kediaman para mentri kerajaan.
Saat itu sudah lepas tengah hari menjelang sore.
Suryapun sudah berkisar ke barat.
Suasana di alun-alun sudah mulai sepi.
Rupanya rakyat pun sudah pulang ke tempat masing masing.
Namun di jalan-jalan masih terlihat orang yarg sedang menuju ke rumah.
Rupanya mereka tergolong dari orang yang tak ingin berdesak-desakan dengan sekian banyak orang.
Mereka lebih senang menunggu beberapa waktu sampai kerumun orang menipis.
Belum berapa lama keluar dari lingkungan keraton, tiba-tiba mereka melihat sekelompok orang terdiri empat lelaki, tengah berjalan menuju kearah yang berlawan.
Dan tak berapa lama merekapun makin dekat dengan rombongan Wijaya.
Sekonyong konyong keempat orang itupun berhen di tengah jalan dan-salah seorang berseru dalam nada terkejut "Raden Wijaya ...."
Orang itupun segera bergegas menyongsong rombongan Wijaya. Ketiga kawannyapun mengikuti. Wijaya terkejut tetapi sesaat melihat siapa orang itu diapun balas berseru gembira "Kakang Sora, o, kakang Nambi, ah, kakang Jangkung ......"
Ternyata keempat orang itu adalah Ken Sora, Nambi, Jangkung dan Medang Dangli. Karena dengan Medang Dangli, Wijaya belum pernah bertemu maka dia tak dapat menyebut namanya. Dia hanya mengangguk dan tersenyum kepadanya.
"Dia adalah kawan kita, Medang Dangdi, raden"
Sora memperkenalkan Setelah Medang Dangdi membalas hormat kepada Wijaya, maka Sorapun melanjutkan bertanya "Raden, kemanakah saat ini raden hendak menuju."
"Ah, raden, kami telah mencari....
"
Belum sempat Jangkung menyelesaikan kata-katanya, Wijaya- pun sudah tahu kemarta arah tujuan kata katanya, diapun cepat menukas "kakang Jangkung, bagaimana luka yang engkau derita dalam pertandingan tadi?"
Pun sebelum Jangkurg menjawab, Wijaya segera memperkenalkan keempat orang itu kepada raden Kuda Panglulut "Kakang sekalian inilah raden Kuda Panglulut, putera menantu gus pa h Aragani yang mulia."
Kemudian setelah keempat orang itu memberi hormat kepada Kuda Panglulut, Wijayapun memperkenalkan mereka kepada Kuda Panglulut.
Semula agak kurang senang ha Kuda Panglulut melihat sikap keempat orang itu yang lebih menaruh perha an dan hormat kepada Wijaya.
Tetapi setelah Wijaya memperkenalkan mereka dan merekapun segera memberi hormat kepada Kuda Panglulut maka raden, itupun merasa gembira.
Bahkan ada suatu percik pemikiran satelah mengetahui bahwa keempat orang itu bertubuh tegap dan gagah perkasa.
"Ah, bukankah kakang yang dua ini, ikut dalam pertandingan tadi?"
Kuda Panglulut mulai melangkah kearah sikap persahabatan yang ramah. Jangkung yang lugu segera mengeluh "Ah, jangan raden mencemoh aku. Bukankah raden menyaksikan bagaimana aku telah dikalahkan oleh orang dari tanah Galuh itu?"
Kuda Panglulut geli; Sepintas ia tahu bahwa yang bertubuh nggi itu seorang lugu.
Ia tertawa "Ah, bukan begitu, Jangan engkau meni k-beratkan pada kemenangan atau kekalahan.
Hal itu sudah lumrah.
Tetapi bahwasanya engkau berani terjun dalam gelanggang pertandingan besar melawan seorang ksatrya dari tanah Galuh, sudah membuk kan engkau juga seorang .
ksatrya berani."
"Ah, sebutan ksatrya terlalu berat bagi diriku. Aku hanya seorang dari desa yang karena telingaku panas mendengar cemohan orang itu maka akupun segera turun ke gelanggang."
"Aku gembira sekali,"
Kata Kuda Panglulut.
"karena nyata-nyata engkau memiliki rasa bhak kepada Singasari. Kurasa, rama patih membutuhkan orang seperti engkau, kakang."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan engkau kakang."
Kata Kuda Panglulut kepada Medang Dangdi "rama pa h tentu senang sekali mempunyai pengalasan seperti engkau"
Jangkung terbeliak. Ia menandang Medang Dangdi tetapi Medang Dangdi hanya tersenyum. Memandang Sora dan Nambi, kedua orang itupun hanya diam.
"Gila, apakah mereka merelakan aku diambil pa h Aragani?"
Mengkal ha Jangkung tetapi tak dapat menumpahkan dengan kata-kata.
Sorapun bertanya pula kemana tujuan raden Wijaya.
Setelah Wijaya menerangkan bahwa ia hendak memenuhi tah pa h Aragani supaya menghadap ke kepa han, Sora dan Nambi agak terkesiap.
Tetapi belum sempat ia menyatakan apa-apa, Kuda Panglulut-pun sudah berkata "Apakah kakang berempat hendak ikut menghadap rama patih?"
Sebenarnya hal itu memang menjadi keinginan Sora dan Nambi, agar dapat menjaga Wijaya apabila terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Mereka sudah menyelidiki tentang diri patih Aragani.
"Tetapi gusti patih tidak menitahkan kami untuk menghadap,"
Katanya masih ragu.
"O, itu soal kecil, kakang,"
Seru Kuda Panglulut.
"akulah yang mengundang kakang, Rama pa h tentu amat gembira menerima kakang."
Sora dan Nambi gembira.
Itulah yang diharap.
Bukan karena ingin berkenalan dengan pa h Argani agar mendapat perha annya, tetapi karena dengan jalan itu dapatlah mereka mendampingi dan menjaga Wijaya.
Tetapi baru Sora hendak mengucap, ba- ba Medang Dangdi mendahului berseru "Kakang Sora, bukankah kita masih ada urusan yang harus kita lakukan?"
Sora terkesiap.
Ia merasa ada mempunyai urusan pen ng yang lain kecuali mencari raden Wijaya.
Mengapa Medang Dangdi ba- ba mengatakan begitu.
Tetapi Sorapun cukup dapat berpikir tangkas.
Tak mungkin Medang Dangdi menciptakan pertanyaan itu apabila ada sebabnya.
"O, benar, lalu maksud adi?"
Serentak diapun menyambut dengan kata yang mendua makna. Pertama, menerima maksud yang diberikan Medang Dangdi. Kedua, ia ingin bertanya lebih jauh apa kehendak Medang Dangdi.
"Pen ngkah urusan itu, kakang?"
Ba- ba pula Kuda Panglulut menyela.
"apabila dak pen ng harus dilakukan sekarang, baiklah kakang bersama kakang Wijaya menghadap rama pa h dahulu. Ketahuilah kakang sekalian, rama pa h selalu sibuk dengan tugas-tugas pemerintahan. Sejauh yang kaketahui, rama pa h jarang meluangkan kesempatan untuk mengundang seseorang. Dan jarang pula rama pa h berkenan untuk memperha kan seseorang seper halnya kepada kakang Wijaya kali ini."
Sora terkesiap pula. Segera ia mengeliarkan pandang mata kepada Medang Dangdi; Rupanya Medang Dangdi tahu bahwa Sora ragu-ragu, suatu hal yang menunjukkan bahwa sebenarnya dia masih belum mengerti akan maksud Medang Dangdi.
"Dalam keadaan begjni apabila Kuda Panglulut mendesak tentang urusan itu kepada kakang Sora, kemungkinan kakang Sora tentu mendapat kesulitan untuk menjawab,"
Pikir Medang Dangdi.
Dan diapun menyadari kesulitan lain yang akan dihadapi Sora apabila menolak permintaan Kuda Panglulut.
Setelah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu maka iapun segera berseru! "Maaf, raden.
Memang tak layak kalau hamba menolak keinginan raden.
Tetapi kurang benar pula apabila hamba harus menelantarkan urusan hamba itu.
Oleh karena itu maka baiklah kakang Sora dan Nambi menyertai kakang Wijaya menghadap gusti patih dan hamba bersama kakang Jangkung yang akan melaksanakan kepentingan hamba itu."
Sebelum Kuda Panglulut menjawab, Medang Dangdipun sudah berpaling ke arah Sora "Kakang Sora dan Nambi, kurasa baiklah kita membagi kerja.
Kakang berdua menyertai kakang Wijaya dan aku bersama kakang Jangkung yang mengerjakan urusan kita.
Kakang setuju, bukan ?"
Dalam penger an yang dak menger , terpaksa Sora dan Nambi menerima saran Medang Dangdi. Demikian Medang Dangdi dari Jangkung segera mohon diri dan melanjutkan perjalanan.
"Medang Dangdi, aku sendiri tak menger apa maksudmu tadi?"
Dalam perjalanan berdua, Jangkung bertanya.
"Kutahu maksud kakang Sora dan Nambi yang ingin mendampingi kakang Wijaya. Tetapi aku mempunyai pendapat lain, kakang. Apabila kita berempat serempak mengiku kakang Wijaya, bukankah kita tak tahu bagaimana maksud patih Aragani terhadap kakang Wijaya ?"
"Aku masih belum jelas,"
Jangkung mengeluh.
"Begini kakang Jangkung,"
Kata Medang Dangdi "andaikata pa h Aragani mengandung maksud buruk terhadap kakang Wijaya.
Atau andaikata dia mempunyai rencana untuk mcmperalat kakang Wijaya dan kakang Wijaya menolak, tentulah pa h itu akan murka.
Kemungkinan akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Kemungkinan itulah yang harus kita jaga; Kalau kita berempat berada dalam gedung kepa han, tentulah kita tak dapat menpetahui kemungkinan-kemungkinan yang dipersiapkan patih Aragani diluar gedung."
"O "
Desuh Jangkung. Kini dia baru tahu maksud Medang Dangdi "benar, aku setuju. Ibarat ikan kita berada dalam jaring semua. Lalu kemana langkah kita sekarang?"
"Kita lanjutkan menyusur jalan ini, kemudian kita nan berputar dari lorong lain untuk menuju ke gedung kepatihan dan bersembunyi disekelilingnya untuk mengawasi setiap gerak yang terjadi di kepatihan."
Sementara Medang Dangdi dan Jangkung melanjutkan rencananya maka rombongan Kuda Panglulut dan Wijayapun ba di kepa han.
Saat itu hari sudah petang dan gedung kepa hanpun mulai bermandikan penerangan lampu.
Bekel Margata dan anakbuahnya diperintahkan untuk nggal dihalaman kepa han, sementara Wijaya, Sora, Nambi dibawa Kuda Panglulut masuk kedalam ruang pendapa.
Disitu telah disiapkan sebuah meja yang beralas kain sutera jingga.
Sebuah kursi besar daripada kayu cendana yang diukir indah dan bertatahkan warna merah bersalut emas pada sandaran dan tempat duduk, beralas kain beludru hijau.
Di kanan kiri meja, berjajar masing- masing ga buah kursi.
Sementara di sebelah ujung meja yang berhadapan dengan kursi kebesaran tadi, disediakan pula sebuah kursi yang sandaran dan tempat duduknya berselubung kain beludru kuning.
Wijaya ber ga dipersilahkan menunggu dan Kuda Panglulutpun segera masuk kedalam.
Tak berapa lama ia keluar dengan mengiring seorang pria setengah tua, bertubuh pendek, kurus agak bungkuk, mengenakan pakain kebesaran yang indah.
Wijaya, Sora dan Nambi serempak berjongkok menghaturkan sembah.
Melihat itu pa h Aragani cepat berseru "Ah, jangan raden memberi hormat demikian kepadaku.
Silakan bangun raden, mari kita duduk di meja perjamuan.
Dan kalian kedua anakmuda, duduklah disamping, raden Wijaya."
"Ah, gus pa h,"
Seru Wijaya "bagaimana mungkin hamba berani duduk sejajar dengan paduka ?"
"Ah, raden Wijaya, sudahlah, jangan raden keliwat merendah diri. Bukankah raden akan menjadi seorang tumenggung dengan kelungguhan sebagai senopa kerajaan Singasari ?"
Serta merta pa h Aragani menghampiri Wijaya, memimpinnya bangun dan mengajaknya duduk.
"Eh, kalian anakmuda, jangan takut, marilah duduk di kursi yang telah disiapkan ini."
Sora dan Nambi menghatur sembah "Ah, gus pa h, hamba berdua hanya seorang rakyat rendah yang kebetulan datang ke pura kerajaan untuk melihat sayembara, bagaimana mungkin hamba berdua akan berlaku kurang tata berani duduk dihadapan paduka, gusti patih."
Pa h Aragani tertawa "Perihal kalian berdua, puteraku Kuda Panglulut sudah menghaturkan laporan. Jangan takut, duduklah. Malam ini kalian berdua menjadi tetamu yang kuundang, . jangan memikirkan soal pangkat dan derajat."
"Benar kakang berdua,"
Kata Kuda Panglulut yang menghampiri Sora dan Nambi "rama pa h telah berkenan menerima kakang sebagai tetamu. Kuharap kakang berdua suka. mengindahkan keinginan rama patih."
Terpaksa Sora dan Nambi berbangkit dan mengambil tempat duduk disebelah samping kiri, berhadapan dengan Wijaya yang duduk sejajar dengan Kuda Panglulut. Raden Wijaya,"
Pa h Aragani membuka pembicaraan "raden tentu heran mengapa aku rnengutus puteraku, Kuda Panglulut untuk mengundang raden kemari."
"Demikianlah gus pa h,"
Kata Wijaya "sungguh gus pa h akan berkenan menitahkan hamba datang menghadap kehadapan paduka."
"Ah, raden, janganlah raden berbahasa gusti patih kepadaku"
Kata patih Aragani tertawa.
"Tetapi gusti ....
"
"Cukup berbahasa 'paman patih sajalah raden."
"O,"
Wijaya mendesuh kejut dan getar. Di pandangnya pa h itu dengan pandang penuh tanya dan karaguan "tetapi bagaimana hamba berani melakukan hal yang melanggar tata-susila itu?"
"Mengapa raden memiliki perasaan demikian?"
"Bukankah hamba hanya seorang pemuda desa yang kebetulan saja berhasil memenangkan sayembara di pura kerajaan Singasari ?"
Pa h Aragani tertawa "
Raden Wijaya, mengapa raden masih berusaha untuk menyembunyikan diri raden? "
Wijaya terperangah.
"Mengapa raden masih tampak meragu?"
Patih Aragani teittawa "lepas dari persoalan raden bakal diangkat senopati kerajaan Singasari, pun raden berhak dan wajib menyebut aku sebagai paman.
Raden, mengapa raden menutupi diri raden dari suatu kenyataan yang tak mungkin dipungkiri oleh manusia sejagad ini? Tidakkah raden merasa bahwa sikap raden itu dapat cenderung dianggap orang sebagai seorang putera yang tak meluhurkan nama orangtua ? Maaf, raden, kalau aku berkata agak keras.
Tetapi aku hanya mengingat saja, tiada lain maksud apa-apa."
Wijaya terkejut dalam ha . Adakah pa h Aragani sudah mengetahui asal-usul keturunannya? Untuk mendapat gambaran yang jelas, iapun bertanya "Mohon paduka melimpahkan keterangan agar tenteramlah perataan hamba untuk mentaati perintah paduka"
"Baiklah,"
Kata patih Aragani "akan kuuraikan silsilah keturunan dari ramuhun rahyarg sri Rajasa sang Amurwabhumi, rajakulakara atau pendiri kerajaan Singasari.
Dengan Tunggul Ametung, akuwu Tumapel maka puteri Ken Dedes telah melahirkan pangeran Anusapati.
Kemudian dengan sri Rajasa sang Amurwabhumi, Ken Dedes berputera tiga orang lelaki dan seorang puteri yani Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibaya dan Dewi Rimbu.
Sri Rajasa atau Ken Arok pun mempunyai empat putera dari pernikahannya dengan Ken Umang, mereka adalah Panji Tohjaya, Panji Sudatu, raden Wregola dan Dewi Rambi "
"Pangeran Anusapa menurunkan Rangga Wuni dan Mahisa Wonga Teleng menurunkan Mahisa Campaka. Pangeran Anusapa dibunuh oleh panji Tohjaya tetapi kemudian Panji Tohjayapun dikraman oleh Rangga Wuni dan Mahisa Campaka. Tahta kerajaan jatuh ke tangan Rangga Wuni yang bergelar seri baginda Wisnuwardhana dan dibantu oleh Mahisa Campaka sebagai ratu Angabaya dengan gelar batara Narasinga-mur . Seri baginda Wisnuwardhana wafat dan digan oleh putera mahkota, seri baginda Kertanagara yang sekarang. Sedang Batara Narasingamur berputera Lembu Tal. Raden Lembu Tal itulah yang menurunkan seorang ksatrya muda gagah perkasa yang bernama raden Wijaya. Dan raden Wijaya itulah yang saat ini berada dihadapanku ....
"
Walaupun sudah mengetahui keakhiran dari uraian pa h Aragani itu, namun Wijaya terkejut juga. Sora dan Nambipun terbelalak. ~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~
Jilid 23 Persembahan . Dewi KZ
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .
MCH I Tawa merupakan curahan rasa ha .
Oleh karena itu daklah mes bahwa tawa itu tentu suatu kelahiran dari rasa yang gembira.
Ada pula tawa cemoh, tawa hambar atau tawa yang terpaksa, tawa hampa atau tawa sekedar untuk ikut tertawa, tawa marah dan lain-lain sebagainya.
Ada lain jenis tawa seper yang dihamburkan pa h Aragani setelah membuka rahasia diri raden Wijaya saat itu.
Tawa yang berunsurkan bangga campur ejek, kegembiraan yang menikam perasaan orang.
"Hm, jangan kira aku tak tahu siapa dirimu, Wijaya "
Demikian untaian kata dalam nada tawa patih kerajaan Singasari itu.
Namun Sora dan Nambi tak terhanyut dalam alun tawa pa h itu.
Kedua anakmuda itu terdampar dalam gelombang kejut dan terhembus dalam karang pesona.
Mereka memang sudah menduga bahwa Wijaya itu tentu putera seorang priagung atau berpangkat.
Tetapi dugaan mereka tak pernah menjangkau sedemikian jauh bahwa ternyata Wijaya itu adalah putera keturunan dari Lembu Tal putera Mahisa Campaka atau Batara Narasingamur yang kekuasaannya seper seorang yuwaraja atau raja muda dari kerajaan Singasari pada waktu dikuasai rahyang ramuhun Wisnuwardhana, ayahanda baginda raja Kertanagara yang sekarang.
Beberapa saat terdampar dalam gelombang kejut melelapkan dan akhirnya terhempas dalam pulau yang penuh lena pesona itu, akhirnya pelahan-lahan mereka melihat suatu kerindangan dari hutan lebat yang menyejukkan perasaan.
Hutan lebat yang mewarnai keindahan alam budi pemuda yang bernama Wijaya itu.
Bahwa walaupun keturunan seorang priagung luhur ternyata Wijaya dak mengambangkan diri di atas awang-awang kebanggaan dan ke-Aku-an yang nggi, melainkan sebagai salah seorang insan seper batang pohon yang membaurkan diri dalam kemanunggalan hutan lebat yang rindang.
Awang awang adalah suatu ke nggian dari alam yang hampa.
Alam yang dapat dipandang tak dapat digapai.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dapat dilihat tak dapat ditempa . Tetapi hutan, lebih membumi dengan kenyataan kehidupan arcapada. Memberikan kesuburan pada tanah, mengayomi dan memperlengkap kebutuhan hidup.
"Raden Wijaya seorang ksatrya yang berjiwa besar,"
Akhirnya balah kesan dalam kesimpulan Sora maupun Nambi.
Dan kesimpulan itu cepat membekukan gumpalan awan yang berarak dalam langit ha nya, kemudian berhamburan menjadi air yang mencurahkan kesejukan pada kesadarannya.
Kesadaran yang melahirkan rasa taat, setya dan mengabdi kepada Wijaya.
Akan Wijaya sendiri, tampaknya dak mengunjuk sikap terkejut yang berlebih-lebihan kecuali mbulnya kejut yang beralas pertanyaan, apakah gerangan maksud pa h Aragani mengatakan tentang asal usul dirinya.
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung