Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 3


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 3



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   "Baik"

   Kata bekel Ku "sekarang dengarkanlah. Aku hendak minta kepadamu supaya nan dua tahun atau paling lama ga tahun lagi, engkau tunggu kedatanganku di padepokanmu gunung Kawi"

   Mengira kalau bekel itu hendak melangsungkan persahabatannya, Nararyapun dengan gembira berseru "Ah, betapa gembiranya ha ku apabila aku dapat menerima kunjunganmu, ki bekel. Aku senang sekali bersahabat dengan-engkau. Apakah hanya itu permintaanmu?"

   "Ya, hanya itu"

   Sahut bekel Kuti "tetapi engkau harus memenuhi janjimu!"

   Kali ini Nararya tertegun dan tak lekas membuka pernyataan.

   Bahwa bekel itu sedemikian besar minatnya hendak berkunjung kepadanya, ia harus juga menghargainya.

   Agar jangan sampai mengecewakan bekel itu, lebih baik apabila waktunya itu ditetapkan yang pas "Ki bekel, agar engkau jangan kecewa dan dapat bertemu dengan aku, sukalah ki bekel tetapkan waktunya yang pasti.

   Aku tentu akan menunggu kedatangan tuan"

   Bekel Kuti merenung sejenak lalu berkata "Baiklah, hari apakah sekarang ini?"

   Nararya tercengang. Ia tak tahu apa maksud bekel itu bertanya tentang hari namun dijawabnya juga "Brehaspati pancawarna"

   "Bulan dan tanggal berapakah sekarang ?"

   Tanya pula bekel Ku tanpa menghiraukan keheranan orang.

   "Bulan Bhadrapala tanggal satu kresnapaksa"

   "Ya"

   Kata bekel Ku "dua tahun kemudian pada hari Brehaspa pancawarna, bulan Bhadrapala tanggal satu kresnapaksa seper hari ini, aku pas datang ke puncak gunung Kawi. Harap engkau menunggu kedatanganku"

   Habis berkata tanpa menunggu jawaban orang, bekel Kuti terus berputar tubuh, memberi isyarat kepada anakbuahnya tinggalkan tempat itu.

   Keempat puluh prajurit Wengker itu heran tetapi mereka menurut saja.

   Selama dalam perjalanan ke Wengker, bekel Kuti tak mau bicara.

   Wajahnya bermuram durja, sebentar-sebentar menghela napas dan menengadah memandang cakrawala.

   Menjelang fajar ketika tiba disebuah desa maka bekel Kuti berhenti dan memanggil seorang prajurit setengah tua "Kakang Paguh"

   Katanya setelah prajurit itu menghadap "mulai saat ini kakang akan kuserahi tugasku memimpin prajurit2 Wengker.

   Setiba di Wengker, menghadaplah gusti tumenggung dan sampaikan sembah bhaktiku kepada gusti tumenggung.

   Kemudian haturkan pula permohonan maafku karena aku tak dapat melanjutkan pengabdianku kepada kerajaan Wengker ....."

   Sekalian prajurit Wengker terkejut "Ki bekel, apakah maksud tuan?"

   Seru prajurit Paguh.

   "Kakang Paguh, karena ilmuku masih rendah, aku telah menghilangkan kepercayaan gus tumenggung. Aku malu kakang Paguh. Aku hendak berguru lagi agar kelak dapat mengabdikan tenagaku kepada kerajaan Wengker"

   Kata bekel Kuti "selamat jalan kawan-kawan ...."

   Sebelum prajurit Paguh dan kawan-kawannya sempat berbicara, bekel Ku pun sudah lari menuju ke mur dan terus menyelinap masuk kedalam hutan meninggalkan prajurit Paguh dan kawan- kawannya dalam longong kemenungan.

   Bekel Ku lari sekuat kaki membawanya.

   Ia tak tahu dan tak mempedulikan akan ba dimana.

   Pokok ia lari, mengayunkan kaki sekencang-kencangnya seolah berpacu dengan luap ha nya.

   Luapan yang telah mengeruhkan kesadaran pikiran dan ketenangan jiwanya.

   "Ah ...."

   Ia mendesah manakala pandang matanya terbentur oleh sebuah sungai.

   Ia hen kan larinya, memandang kesekeliling menghampiri segunduk batu cadas yang menjulang nggi.

   Setelah mencari sebuah tempat, ia duduk menghadap sungai, memandang aliran air yang beriak deras.

   "Aneh, mengapa dia tahu pengapesanku"

   Beberapa waktu kemudian mulutnya mengingau, bertanya dan membayangkan peristiwa pertarungan dengan Nararya.

   Ingatannya berpusat pada detik2 dikala Nararya menghantam pangkal pahanya sebelah dalam.

   Ia menyeringai, pejamkan mata seolah merasakan pula derita saat itu.

   Ketika pukulan Nararya menghantam, ia rasakan tubuhnya menggigil, tenaga merana dan pandang matanya gejap.

   "Aku akan kembali ke,puncak Wilis dan mohon guru supaya menghapus bagian pengapesanku itu. Syukur dapat dihapus, sekurang-kurangnya dipindah ke lain bagian. Hm, dua tahun lagi, Nararya, aku akan mencarimu. Akan kubalas hinaan itu ...." (Oo-dwkz^ismoyo-oO) II Kepergian bekel Ku dengan membawa kekalahan, meninggalkan rasa heran pada Nararya dan anakbuah rombongan Singa Barong yang menyaksikan peristiwa tersebut.

   "Raden"

   Kata Singa Barong "apa maksud bekel itu meminta raden menetapi janji supaya menunggu kedatangannya di gunung Wilis?"

   Nararya tertawa "Dia bermaksud hendak mengikat persahabatan dengan aku"

   "Tidak, raden"

   Bantah Singa Barong "jika dia bermaksud begitu, mengapa dak saat ini juga melaksanakannya? Mengapa harus menunggu sampai dua tahun lagi?"

   Nararya terkesiap.

   Ia mengakui pernyataan Singa Barong itu tepat- Dan apabila ia merenungkan tentang sikap, ucap dan nada kata-kata bekel Ku , maka terpancarlah sesuatu yang tak wajar pada diri bekel itu.

   Ia terbeliak.

   Namun sesaat pula ia tersipu-sipu dalam hati "Ki Singa"

   Katanya "tak baik kita berprasangka kepada orang.

   Aku telah berjanji dan akupun harus menetapi janji itu" ....

   Halaman 56 ga ada di bukunya ketuker hal 79 ..

   Nararya mengulang lagi apa yang telah dikatakan.

   Bahwa hendaknya Singa Barong kembali ketempatnya dan menuntut kehidupan yang baik "Bagaimana engkau hendak menyelesaikan anakbuahmu, terserah.

   Tetapi yang penting, janganlah meninggalkah garis2 kebijaksanaan"

   "Baiklah, raden"

   Kata Singa Barong. Ia segera mengajak anakbuahnya nggalkan tempat itu. Sebelumnya ia menegaskan janji Nararya pula "Aku akan menunggu panggilan raden. Apabila sampai dua tiga tahun tiada berita, aku akan mencari raden"

   Nararya mengantarkan kepergian rombongan Singa Barong itu dengan senyum yang cerah.

   Bukan karena ia dapat mengalahkan seorang kepala perampok yang ganas, melainkan karena ia telah mengembalikan seorang yang jahat kearah jalan yang baik.

   Walaupun hal itu masih harus dibuk kan dengan kenyataan2 yang lebih lanjut, namun paling dak ia sudah dapat mulai menebarkan bibit kesadaran dalam hati kepala perampok itu.

   Saat itu cuacapun merekah terang, membiaskan cahaya kecerahan fajar.

   Ia menghampiri ke tempat Mayang Ambari yang dijaga Noyo dan Doyo.

   Ternyata Mayang Ambaripun sudah sadar dari pingsannya.

   Ia menyambut Nararya dengan pandang ketakutan dan malu.

   Nararya melayangkan sebuah senyum "Bagaimana keadaanmu, nini?"

   Gadis itu terkesiap "Apakah raden tak marah kepadaku?"

   Tanyanya dengan nada getar. Nararya tersenyum "Marah ? Mengapa aku harus marah kepadamu?"

   "Bukankah raden mengatakan aku merendahkan kewibawaan raden?"

   Masih nada Mayang Ambari bergetar rasa cemas2 takut.

   "Bukankah sebenarnya engkau bermaksud hendak menyelamatkan aku?"

   Nararya balas bertanya. Mayang Ambari tersipu-sipu "Tetapi ndakanku itu bukan menyelamatkan melainkan menghina raden ..."

   "Tetapi sesungguhnya engkau hendak menyelamatkan aku"

   Cepat Nararya menukas.

   "Tetapi aku bersalah raden"' Mayang Ambari setengah mengeluh rin h "mohon raden suka memberi maaf"

   Nararya tersenyum "Nini, maaf memang mudah diminta dan mudah diberikan. Tetapi puaskah engkau karena mendapat maaf itu?"

   Mayang Ambari termangu.

   "Aku percaya pada keteranganmu bahwa engkau bermaksud hendak menyelamatkan diriku. Tetapi kuanggap ndakanmu itu meremehkan diriku. Dalam soal ini bertemulah tujuan dengan cara. Tujuan baik, sering dikaburkan oleh cara yang salah. Cara yang salah itu, apabila kurang ha - hati menilai, memang akan mudah mempersalahkan tujuan"

   Nararya berhen sejenak untuk memperha kan tanggapan Mayang Ambari.

   Dilihatnya gadis itu masih termangu dalam wajah yang teduh.

   Suatu percerminan dari kesederhanaan dan kepolosan ha "Tetapi karena aku tahu bahwa tujuan baik maka cara-cara yang engkau ndakkan itu daklah kuanggap buruk.

   Bukan salah buah durian berkulit duri tetapi salah manusia yang tak mengetahui bahwa duri itu hanya sekedar kulit, sedang isinya manis sekali.

   Bukankah demikian, nini?"

   Nararya sengaja mencerahkan nadanya, agar dara itu terlepas dari cengkam ketakutan dan kekikukan.

   Dan memang diperha kan dahi Mayang Ambari berangsur-angsur membias ketenangan.

   Namun tiba-tiba dara itu berseru pula "Tetapi raden, aku tetap mohon maaf dan pidana"

   Nararya tersengat kejut Pidana? Ah"

   Ia mengernyut senyum semu "baiklah, nini, jika engkau menghendaki maaf, akupun dapat memberi, tetapi jika engkau meminta pidana, aku takkan meluluskan. Hanya karena soal itu, aku harus menjatuhkan pidana kepadamu? Ah, tidak, nini"

   "Bukan soal itu, raden"

   Kata Mayang Ambari Nararya meliuk dahi "Soal apa lagi ?"

   Tegurnya.

   "Mencabut bulu kaki raden ...." ' "O"

   Naraya dipaksa tertawa "sudahlah, lupakan saja soal itu, kumaafkan"

   Katanya singkat. Rupanya ia merasa sudah cukup lama di tempat itu dan segera hendak menyudahi pembicaraan.

   "Raden dapat mengatakan demikian tetapi aku tak pernah memaa an diriku untuk se ap kesalahan apabila aku belum menerima pidana"

   Bantah Mayang Ambari "setelah mendapat pidana, barulah aku merasa bebas. Tolonglah, raden, berikan pidana kepadaku ..."

   Nararya memandang lekat2 pada Mayang Ambari.

   Seorang gadis yang menjelang dewasa, tetapi mengapa masih membawa sikap kekanak-kanakan.

   Seorang dara yang ayu tetapi masih bersifat alam kehidupan desa, bersahaja, jujur dan kukuh.

   Kecan kannya layak disejajarkan dengan puteri keraton tetapi pakaian dan ucapnya seperti perawan desa.

   Pada saat itu pula, Mayang Ambaripun menengadah dan memandang ke muka.

   Dua pasang mata bertemu, beradu pandang.

   Mayang Ambari tersipu-sipu merah mukanya.

   Cepat ia menunduk.

   Nararya masih termangu-mangu.

   Pandang sepasang gundu mata indah berkilau- kilau ba' bintang kejora dari dara itu, memancarkan sinar yang yang bening teduh, menghanyutkan semangat Nararya ke alam yang indah dan syahdu.

   Suatu perasaan yang belum pernah ia rasakan selama hidupnya.

   Ia heran tetapi bahagia dan ingin selalu memiliki alam perasaan itu ....

   Karena sampai beberapa saat tak kedengaran Nararya berkata, Mayang Ambaripun mengangkat muka dan memandangnya.

   Melihat pemuda itu terpukau dalam kemanguan, Mayang Ambari terkejut tetapi cepat ia menunduk pula, pejamkan mata dan berbisik dalam ha "Adakah raden itu juga menderita sesuatu yang aneh, seperti yang kuderita dalam hati ...."

   Angin sepoi-sepoi basah yang membawa kelembaban hawa pagi berhembus menampar muka Nararya. Pemuda itu tersentak dari lamunan "Ah, hari segera fajar"

   Pikirnya. Ia segera hendak beringsut langkah tetapi seke ka ia teringat akan dara yang masih berlutut menelungkup dibawah kakinya, menantikan keputusannya "Ah, karena sudah terlanjur menolongnya, aku harus tak, kepalang tanggung"

   Pikirnya pula.

   "Baiklah, nini"

   Akhirnya ia berkata "pidana yang kujatuhkan kepadamu adalah, segera engkau antarkan aku ke rumahmu"

   Pada saat mendengar Nararya membuka mulut dan mengatakan hendak menjatuhkan pidana, legalah perasaan Mayang Ambari. Tetapi ke ka mendengar pidana yang dijatuhkan Nararya, dara itupun terlongong-longong "Tetapi itu bukan pidana, raden"

   Ia menyanggah.

   Dalam ha Nararya tersenyum tetapi untuk menundukkan kekerasan ha dara itu, ia harus mengerutkan wajah dan membengiskan nada kata-katanya "Aku bukan seorang raja, bukan pula penguasa pemerintahan.

   Aku orang biasa.

   Apa yang kukatakan tadi, adalah pidana menurut caraku.

   Pidana itu bermacam-macam.

   Yang pokok, se ap hal yang mengandung keharusan untuk melakukan, itulah pidana.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lekas engkau laksanakan atau akan kutambah lagi pidana itu.

   Kusuruh engkau tinggal seorang diri dalam candi ini dan aku akan pergi dari tempat ini"

   Melihat pemuda itu berkata dengan nada bersungguh, mbullah rasa gentar dalam ha Mayang Ambari.

   Berada seorang diri dalam candi makam, apabila malam hari ba, tentu akan menimbulkan rasa takut yang mengerikan.

   Apalagi jika teringat akan peris wa yang dialaminya dari gerombolan Singa Barong, ah, ngeri rasanya.

   Disamping itu, yang pen ng ia merasa aman dan bahagia apabila bersama dengan raden itu.

   Ia sendiri heran mengapa ia harus memiliki perasaan demikian.

   Akhirnya ia menurut juga.

   (Oo^dw.kz^ismoyo^oO) III Kesan yang membayang pada Nararya ke ka ba di tempat kediaman lurah Jenangan, disambut dengan rasa terima kasih atas pertolongannya melindungi Mayang Ambari dan dijamu sebagai seorang tetamu agung, daklah mengaburkan kesimpulan Nararya bahwa dalam kegiatannya membangun desa dan memimpin rakyatnya, lurah itu sampai agak lengah memperha kan keselamatan puterinya.

   Lurah itu seorang ayah yang baik, bahkan terlampau baik, sehingga menjurus kearah memanjakan puterinya.

   Memang setelah menyelami keadaan rumahtangga lurah yang hidup hanya bersama puterinya karena iste-rinya sudah lama meninggal, Nararya dapat memaklumi perasaan kasih sayang lurah itu terhadap puteri tunggalnya.

   Namun betapapun halnya, Nararya tetap tak dapat menyetujui ndakan lurah itu mengijinkan Mayang Ambari bersama seorang emban dan seorang abdi lelaki, berziarah ke candi makam di Wengker.

   Suatu tempat yang cukup jauh dan harus melalui hutan belantara.

   Secara halus Nararya menyinggung persoalan itu dan menyesalkan ndakan lurah Jenangan.

   Beberapa penduduk yang terpandang dan petugas-petugas kelurahan yang hadir, terkejut.

   Ada yang terbatas pada rasa heran tetapi ada pula yang merasa tak puas atas ucapan Nararya karena dianggap sebagai seorang tetamu yang lancang mulut.

   Tetapi diluar dugaan lurah Jenangan sendiri menerima dengan lapang ha "Terima kasih, ki bagus, memang aku terlalu memanjakan anak yang keras kepala itu.

   Sudah kucegah dan kuminta bersabar sampai pembuatan waduk bendungan di desa ini selesai, akan kuantarkan.

   Tetapi dia tetap berkeras pergi"

   Kemudian lurah itu menanyakah tentang maksud tujuan Nararya menyepi didalam candi makam itu.

   "Ah, hanya sekedar mela h diri, ki lurah"

   Sahut Nararya "agar tahan lapar dan tahan berjaga, di- samping memohon berkah kepada dewata"

   Lurah Jenangan mengangguk.

   Makin meresap ha nya terhadap tetamu muda yang tampan, perwira dan sopan santun.

   Teringat ia betapa suasana pag tadi telah ditandai dengan hiruk pikuk rakyat seluruh desa yang berbondong-bondong keluar dan mengiring Mayang Ambari beserta seorang pemuda bagus dengan dua orang lelaki tua.

   "Ah, betapa serasi sekali sejoli itu"

   Kedengaran salah seorang penduduk desa berseru. Dan segera yang lain-lain2 pun menyambut.

   "Bagaikan Batara Kamajaya dan Kamara h turun dari kahyangan"

   Terdengar seseorang membuat tamsil untuk melukiskan keadaan Mayang Ambari ke ka berjalan disisi pemuda berwajah agung itu.

   Lurah Jenangan dihorma dan dicintai oleh rakyatnya.

   Demikian pula Mayang Ambari.

   Dara can k itu seolah menjadi milik kebanggaan seluruh rakyat desa Jenangan.

   Mereka mengharap agar kelak Mayang Ambari mendapat jodoh yang sesuai.

   Maka ke ka Mayang Ambari pulang bersama seorang pemuda tampan, meluaplah kegembiraan rakyatl Lurah Jenangan sehdiripun diam-diam memiliki perasaan begitu juga.

   Apalagi setelah mendapatkan Nararya itu seorang pemuda yang gentur bertapa, rasanya i-ngin sekali ia memaserahkan Mayang Ambari kepada ksatrya muda itu.

   Namun mulut masih berat untuk menyatakan.

   Walaupun menurut pengakuan Nararya bahwa dirinya bukan keturunan priagung melainkan hanya murid seorang resi, namun daklah berkurang kemantapan ha lurah Jenangan untuk menjodohkan puterinya kepada pemuda itu.

   Rakyat yang berkerumun di halaman kelurahan masih penuh.

   Entah bagaimana mereka tak mau pulang.

   Lurah Jenangan segera ke luar dan menanyakan maksud mereka.

   Ternyata mereka minta supaya Nararya meluluskan untuk nggal beberapa hari di desa Jenangan.

   Mereka hendak menjamu Nararya sebagai pernyataan terima kasih mereka karena -Nararya berhasil mengalahkan Singa Barong.

   Noyo dan Doyo terkejut melihat sambutan rakyat Jenangan sedemikian gempar.

   Kedua abdi itu girang sekali karena rakyat mengelu-elu Nararya.

   Agar dirinya juga ikut dihormati, maka Noyo dan Doyo lalu menghambur cerita tentang pertempuran Nararya dengan Singa Barong dan mereka berdua lawan anakbuah perampok.

   Kesudahannya, Singa Barong dan anakbuahnya dapat ditundukkan dan menyerah.

   Itulah sebabnya rakyat Jenangan hendak menghormati Nararya dengan suatu pesta besar serta mengadakan selamatan.

   "Ki Bagus"

   Kata Lurah Jenangan setelah masuk ke dalam "rakyat kami dengan sangat meminta agar ki bagus beristirahat barang beberapa hari di desa ini. Mereka hendak menjamu ki bagus"

   Nararya terkejut.

   Dari Wengker, ia hendak menuju ke desa Kagenengan telatah Singasari, untuk menyepi di makam eyang buyut Ken Arok atau baginda Rajasa sri Amurwabhumi, sesuai dengan petunjuk dari arwah eyang Batara Singa Murti.

   Jika harus tinggal di desa itu, bukankah akan menghambat perjalanannya.

   Namun sebelum ia sempat menyatakan penolakannya, lurah Jenangan sudah mendahului pula "Ki bagus, kuharap janganlah engkau mengecewakan hati rakyat.

   Mereka sangat memuja dirimu dan ingin menghaturkan terima kasih kepadamu"

   "Ah, sudah wajib jika aku menolong puteri ki lurah Janganlah menganggap hal itu sebagai sesuatu yang luar biasa. Aku tak berjasa apa2 lagi"

   "Mereka tahu bahwa engkau telah mengalahkan Singa Barong, kepala perampok yang paling ditakuti rakyat Wengker dan Matahun ...."

   Nararya terkejut karena ia tak merasa mengatakan hal itu "Siapakah yang mengatakan hal itu ?"

   "Kedua pengiring ki bagus yang tua itu"

   "O"

   Desuh Nararya.

   Kiranya Noyo dan Doyo.

   Mengapa mereka harus memberitahu kepada rakyat ? Ia akan mendamprat mereka tetapi saat itu ia harus mencari alasan untuk menolak permintaan rakyat Jenangan "Aku sungguh berterima kasih sekali atas sambutan dan kebaikan hati ki lurah dan rakyat Jenangan.

   Betapa aku ingin memenuhi permintaan mereka itu namun karena masih mempunyai tugas penting, terpaksa ....."

   Wajah lurah Jenangan berobah seketika. Cepat ia menukas "Ah, ki bagus. Janganlah tuan menolak permintaan mereka. Kutahu, adat mereka. Mereka tentu marah"

   Nararya tertegun.

   "Sudahlah, ki bagus"

   Lurah Jenangan mendesak pula "beris rahatlah barang dua ga hari di desa kami, kiranya takkan menelantarkan tugas tuan. Kasihanilah mereka, rakyat Jenangan yang bersungguh hati hendak menghormat tuan"

   Nararya menghela napas panjang.

   Ia percaya rakyat desa itu masih berpikiran sederhana dan jujur.

   Apabila ia sampai menolak permintaan mereka, mereka tentu akan merasa terhina dan marah.

   Ah, dak.

   Ia tak boleh berkelahi dengan mereka yang hendak menghormat kepadanya.

   Akhirnya terpaksa ia setuju untuk bermalam.

   Menjadi pusat perha an dan dihorma sebagai o-rang yang berjasa, memang menggembirakan ha dan menimbulkan rasa bangga.

   Tetapi Nararya tak meng-htnlaki hal itu, ia berusaha untuk menghindar dari sanjung dan puji yang berhamburan memenuhi suasana perjamuan.

   Dengan rendah ha ia mengatakan bahwa kejahatan itu bagaimanapun menakutkan, akhirnya pas akan tertumpas, semisal perobahan alam, prahara, hujan dan badai, pas akan reda "Memberantas kejahatan, bukan suatu jasa.

   Setiap orang berhak dan wajib menumpas kejahatan itu"

   Katanya. Timbul kesan dalam ha Nararya bahwa ndakan yang membuahkan akibat baik pada kepen ngan rakyat, mendapat sambutan yang menggembirakan sekali "Masih banyak kepen ngan rakyat yang dapat kulakukan"

   Renungannya makin mengembang "mereka membutuhkan keamanan agar dapat hidup tenteram. Mereka membutuhkan sandang pangan, rumah, pendidikan, agama, kebudayaan dan kesejahteraan. Untuk membaktikan diri, banyak sekali jalannya"

   "Nararya, dharma yang indah bagi seorang ksatrya itu tak lain adalah dharma terhadap manusia"

   Ba2 ia teringat akan ucapan gurunya, resi Sinamaya.

   Dan kala itu ia menyanggah "Tetapi guru, bukankah se ap manusia itu mempunyai persoalan hidup yang berbeda satu dengan yang lain sehingga bagaimana mungkin kita melakukan dharma dalam sekian banyak macam manusia dengan sekian banyak corak persoalannya?"

   Waktu itu resi Sihamaya menjawab "Nararya, Hidup kuibaratkan sebagai air.

   Air itu berasal dari satu sumber kemudian mengalir dibengawan, terpecah belah dalam berbagai aliran besar kecil dan menghadapi bermacam pengalaman dan persoalan, kemudian akhirnya semua itu menuju ke laut"

   Demikian sumber hidup dan manusia itu.

   Dan camkanlah, anakku bahwa pada dasarnya Hidup itu sudah merupakan persoalan, lebih tandas pula suatu samsara.

   Jangan engkau menghindar dari persoalan hidup, karena sesungguhnya dalam dirimu sudah mengandung persoalan itu.

   Jangan engkau jemu menghadapi persoalan manusia karena engkau sendiri adalah manusia.

   Menghindari persoalan hidup berarti engkau mengingkari hidup.

   Jemu kepada manusia berarti engkau menyangkal kemanusiaan manusiamu"

   Kini Nararya baru dapat menghaya ucapan gurunya.

   Ia merasa ada kebahagiaan yang lebih membahagiakan ha nya daripada dapat membahagiakan manusia2, semisal rakyat Jenangan itu.

   Dan alangkah bahagianya apabila ia dapat membahagiakan seluruh rakyat negerinya.

   Sesaat merenungkan hal itu makin terasa betapa besar dan berat dharma seorang ksatrya.

   Namun betapa mulia.

   Selama perjamuan berlangsung, hanya beberapa waktu ia melihat Mayang Ambari ikut serta menghidangkan makanan dan minuman.

   Setelah itu ia tak melihat dara itu lagi.

   Ia heran mengapa ia harus memikirkan dara itu.

   Tetapi ia merasa, ada kehadiran dara itu, suasana perjamuan terasa hambar.

   Betapapun ia berusaha untuk mengendapkan perasaannya, namun bayang2 dara itu tetap melalang dalam benaknya.

   Makin hendak dihapus makin menggelisahkan.

   Akhirnya setelah perjamuan selesai, iapun segera keluar ke halaman, berjalan-jalan sekedar menenangkan pikiran.

   Ke ka ba di halaman belakang ia melihat sesosok tabuh tegak di bawah sebatang pohon nagasari.

   Tampaknya orang itu sedang memusatkan pikiran dalam sebuah doa yang dipanjatkan dalam sikap muka dan tangannya menyembah ke langit, sehingga tak mendengar ke ka Nararya melangkah ke belakangnya.

   Nararya tak mau mengejutkan orang itu.

   Ia menunggu sampai orang itu selesai berdoa.

   "Nini Ambari"

   Seru Nararya pelahan setelah orang itu menyudahi doanya. Dia bukan lain adalah Mayang Ambari. Dara itu agak terkejut dan cepat berpaling ke belakang "Ah, raden ..."

   Ia tersipu- sipu menundukkan kepala.

   "Mengapa engkau berada disini, nini? Rupanya engkau sedang berdoa"

   Kata Nararya. Namun dara itu diam saja.

   "Apakah aku mengganggumu nini?"

   Mayang Ambari terkejut "Tidak, raden. Aku merasa tidak terganggu dengan kehadiran raden ini"

   "Tetapi mengapa engkau diam saja?"

   "Aku malu, raden. Malu pada diriku sendiri"

   "Mengapa ?"

   Nararya makin heran.. Dara itu mengangkat muka, sejenak memandang Nararya lalu menunduk pula "Karena rama ... rama ..."

   Karena sampai beberapa saat Mayang Ambari tak melanjutkan kata-katanya Nararyapun menegur "Ramamu mengapa ?"

   "Apakah raden tak marah kepada rama apabila kukatakan hal itu?"

   Nararya kerutkan dahi, kemudian tersenyum "Mengapa aku harus marah kepada ki lurah. Dia seorang tua yang -baik hati dan seorang lurah tauladan"

   Wajah Ambari merekah cerah ketika mendengar pujian itu.

   Ia mengucapkan terima kasih "Baiklah, jika demikian akan kukatakan.

   Pada saat perjamuan tadi, tiba2 aku dipanggil rama masuk dan ditanya apakah ...

   apakah aku setuju ....

   apabila ....

   apabila ..."

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah, mengapa tersendat-sendat engkau bercerita? Hayo, katakanlah yang jelas"

   "Apabila ..."

   Ambari menunduk dan mengucap dengan pelahan "dijodohkan dengan ... raden ..."

   Nararya terperanjat.

   Ia tak pernah menyangka bahwa ia akan menghadapi persoatan sedemikian.

   Ia menolong Ambari karena wajib menolong, bukan karena mengandung pamrih hendak mengambilnya sebagai isteri.

   Dan ia teringat akan tugas perjalanannya.

   Ia harus bertapa ke candi Kagenengan, ia harus masih berkelana lagi entah kemana dan entah sampai berapa waktu lamanya.

   Karena ia tak tahu bagaimana cara dan sampai batas waktu bagaimana ia dapat memperoleh wahyu agung seperti yang diisyaratkan gurunya.

   Adakah ia harus kandas dan berlabuh dalam ketenangan hidup di desa Jenangan bersama seorang isteri yang cantik? Tidak.

   Cita-citanya masih jauh, jangkauannya masih nggi, harapan masih banyak.

   Ibarat mendaki gunung, ia baru mulai.

   Adakah ia harus berhen ? Penolakan atas pertanyaan yang mbul dan diajukan pada dirinya sendiri, melahirkan rasa tak puas kepada lurah Jenangan.

   Timbulnya persoalan itu bersumber pada salah sangka dari lurah Jenangan bahwa ia mengandung pamrih dan menghendaki imbalan atas pertolongan yang dilakukannya kepada Ambari.

   Ia marah kepada lurah itu.

   Ia menganggap dirinya dinilai reiidah.

   Dan letup kemarahan itu memercikkan pula rasa geram terhadap Mayang Ambari.

   Ia hendak menegur dara itu.

   Ia nyalangkan mata, mulutpun siap menghambur kata.

   Tetapi ke ka pandang matanya tertumbuk akan wajah yang anggun dan mata yang sejuk dari Mayang Ambari, seke ka lenyaplah hawa amarah yang membadai dalam ha Nararya "Ah"

   Ia menghela napas.

   Cukup panjang berkumandang di kesunyian malam.

   Kesejukan mata si dara itu menebarkan daya pengaruh yang mengendapkan luap perasaannya.

   Dan berkatalah ia dalam ha "ia tak berdosa, mengapa aku harus marah kepadanya? Bahkan lurah itupun tak bersalah.

   Sebagai ayah dia berhak memikirkan kebahagiaan puterinya yang tunggal.

   Aku berhak menerima atau menolak tetapi tak berhak memarahinya"

   Nararya mendapatkan ketenangannya kembali. Sesaat mbultah rasa ingin mengetahui bagaimana perasaan ha dara itu. Katanya "O, demikianlah maksud ki lurah? Lalu bagaimana jawabmu, nini?"

   Rupanya Mayang Ambari tak menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu dari Nararya. Ia tertegun lalu menyahut "Aku menangis ...."

   "O"

   Nararya terbeliak "engkau menangis? mengapa ...."

   Tiba2 dari arah rumah besar terdengar suara carang berseru "Ambari, Ambari, dimana engkau?"

   Dan pada lain kejab terdengar derap langkah kaki orang menghampiri "Ah, engkau disini, Ambari"

   Seru orang itu yang tak lain adalah lurah Jenangan "O, ki bagus juga disini"

   Nararya agak tersipu-sipu menerangkan bahwa ke ka keluar mencari angin ia telah melihat Mayang Ambari berada di halaman belakang.

   "O, tak baik pada saat semalam ini berada di-luar"

   Kata lurah itu tanpa mengunjukkan rasa marah pada nada ucapannya atas peristiwa saat itu "mari kita masuk"

   Nararya dan Mayang Ambari mengiku lurah itu masuk kedalam rumah. Lurah menyuruh Ambari masuk ke biliknya sedang ia berkata kepada Nararya "Ki bagus, aku perlu bicara kepadamu"

   Katanya seraya mengajak pemuda itu duduk di pendapa. Nararya dapat menduga apa yang hendak dibicarakan lurah itu. Namun ia ingin juga menggunakan kesempatan itu untuk meluruskan kesalah-fahaman lurah itu atas dirinya.

   "Ki bagus"

   Lurah Jenangan memulai pembicaraan "beginilah beratnya menjadi seorang tua yang mempunyai seorang anak perempuan yang sudah dewasa. Maa an bapak yang sudah tua ini apabila kata2 bapak tak berkenan pada hatimu"

   "Ah, janganlah bapak lurah mengucap demikian. Manusia tak luput dari kesalahan, wajiblah kita saling memaafkan"

   Kata Nararya.

   Setelah mengucapkan terima kasih, lurah itu berkata pula "Sejak kecil si Ambari itu sudah di nggal ibunya sehingga aku harus menjadi ayah dan sekaligus juga ibu; Aku kasihan atas nasibnya maka kucurahkan seluruh kasih sayangku kepadanya.

   Sejak ibunya meninggal, akupun tak menikah lagi, demi membahagiakan anak itu"

   Nararya mengangguk. Dalam ha ia memuji sikap lurah itu sebagai seorang ayah yang benar2 mencintai anaknya.

   "Siang dan malam, hanya satu yang menjadi doa persembahanku kepada dewata"

   Kata lurah itu pula "agar anak itu mendapat suami yang penuh kasih sayang. Aku tak mengharap seorang menantu yang kaya ataupun berpangkat tetapi hanya seorang pemuda yang benar2 dapat membahagiakannya. Ki bagus"

   Lurah itu menatapkan pandang mata kepada Nararya "rupanya dewata mengabulkan permohonanku.

   Sebagai seorang tua, kuperhatikan bahwa anakku itu setuju kepadamu.

   Dan aku sendiripun suka kepadamu.

   Maka maksud bapak, apabila engkau tak menolak, akan kujodohkan si Ambari itu kepadamu, ki bagus"

   Nararya tak terkejut karena sebelumnya ia sudah menduga akan hal itu. Namun ia merasa perlu menjelaskan "Tetapi, bapak luarah ...."

   "Menurut adat is adat di desa kami"

   Lurah Jenangan tak memberi kesempatan Nararya bicara karena kua r pemuda itu akan menolak "lelaki dan perempuan, terutama yang masih jejaka dan perawan, dak diperbolehkan bergaul dengan bebas.

   Seluruh rakyat desa Jenangan telah menyaksikan ki bagus berjalan bersama dengan Ambari.

   Bagi adat kami, hal itu sudah dianggap sebagai suatu persetujuan dari ki bagus dan Ambari untuk menjadi suami isteri.

   Apabila ki bagus menolak, pertama, ki bagus telah mencontreng arang pada muka bapak ini dan mencemarkan nama baik si Ambari, karena kelak tentu ada pemuda lain yang mau meminangnya.

   Kedua, rakyat Jenangan gembira sekali akan mendapat pimpinan ki bagus.

   Kegembiraan itu akan lenyap bergan kemarahan apabila hal itu tak terlaksana.

   Oleh karena itu, maka bapak mohon dengan sangat sudilah ki bagus mengabulkan permintaan bapak ini"

   Ada beberapa hal yang membuat se ap kali wajah Nararya berobah.

   Setelah lurah selesai bicara, iapun berkata "Bapak lurah, aku hendak mengajukan beberapa pertanyaan.

   Pertama, adakah bapak menganggap bahwa ndakanku menolong anak bapak itu mengandung pamrih agar aku dijodohkan dengan anak itu?"

   "O, sama sekali tidak, ki bagus"

   Bantah lurah.

   "Adakah, bapak lurah hendak menggertak aku harus menikah dengan anak bapak?"

   Lurah gelengkan kepala "Tidak ada tekanan untuk keharusan itu, ki bagus. Kata-kata bapak itu hanya sebagai harapan dari seorang ayah dan harapan kepada seorang ksatrya yang berbudi. luhur"

   Nararya tertegun, jawaban lurah itu benar2 mengena.

   Luas sekali nian ar daripada ksatrya yang berbudi luhur itu.

   Dalam menghadapi persoalan itu, sebagai seorang ksatrya iapun bukan hanya bertanggung jawab untuk menyelamatkan jiwa, pun nama baik Mayang Ambari.

   Adat is adat tentang pergaulan antara pria dan wanita memang masih seper yang dikatakan lurah itu.

   Hampir ia akan membuka mulut untuk menerima permintaan lurah itu tetapi ba2 ia teringat akan tugas perjalanannya yang masih belum selesai.

   Apakah ia harus menetap di Jenangan ? Tidak mungkin.

   Ia harus melanjutkan perjalanannya untuk mencapai cita-citanya.

   Namun apabila ia melanjutkan pengembaraannya, bukankah ia akan melantarkan kewajibannya sebagai seorang suami.

   "Ah"

   Ia menghela napas dan geleng2 kepala. Melihat itu lurah berseru cemas "Ki bagus, apakah engkau tak setuju?"

   "Bukan"

   Sahut Nararya "saat ini aku belum dapat memberi keputusan. Aku minta waktu untuk mempertimbangkannya"

   Lurah-Jenangan menghela napas legah.

   Walaupun belum mendapat persetujuan tetapi sekurang- kurangnya ia masih mempunyai harapan.

   Iapun tak berani mendesak dan karena malam sudah larut, mereka lalu menuju ke bilik masing2 untuk beristirahat.

   Nararya tak dapat lekas dur.

   Ia masih merenungkan pembicaraan dengan lurah tadi "Ah, apakah gadis itu setuju? Tetapi mengapa dia menangis?"

   Ia bertanya dalam ha .

   Kemudian melanjut dalam renungan dan ba dipersimpangan jalan antara memenuhi permintaan lurah dengan melanjutkah mengejar cita-citanya, iapun tertidur.

   Peris wa dalam kehidupan manusia itu kadang memang ada terduga, bahkan hampir sukar dipercaya.

   Apa yang tak diharap, sering tiba.

   Apa yang tak diinginkan, kerap terjadi.

   Jika Nararya tak mengharap apa2 dalam perjalanannya ke Wengker itu kecuali hendak menyepi di makam eyangnya, maka muncullah peris wa gadis jelita Mayang Ambari yang melibatkan pemuda itu pada suatu lingkaran peristiwa baru dalam kehidupannya.

   Demikian pula dengan lurah Jenangan.

   Ia tak pernah mengharap bahkan tak pernah menginginkan pute-rinya akan dipinang oleh priagung bahkan seorang yang mempunyai kekuasaan besar dalam kerajaan yang membawahi kelurahan Jenangan.

   Tetapi nyatanya peris wa itu telah terjadi.

   Dan secara kebetulan pula pada saat lurah Jenangan sedang berbicara dengan Nararya mengenai nasib puterinya.

   Demikianlah peris wa itu terjadi pada waktu surya pagi sedang merekahkan cahaya yang gemilang di kala rakyat Jenangan sedang turun ke sawah dan kebun atau bekerja dalam bidang pekerjaan masing2 maka bagaikan datangnya air bah yang melanda tanpa diduga, jalan yang merentang ke tempat kediaman lurah Jenangan telah mengemelut debu tebal karena debur selusin ekor kuda yang mencongklang riuh.

   Lurah Jenangan tergopoh keluar ke halaman untuk menjenguk kehirukan yang menggetarkan lantai rumahnya.

   Namun terlambat.

   Dua belas tetamu beipakaian keprajuritan, telah meni tangga yang mencapai pendapa.

   Dan ke ka lurah ba, rombongan tetamu itupun sudah melangkah ke dalam pendapa.

   Lurah tertegun memandang rombongan tetamu.

   Dua orang yang berada paling depan, yang seorang mengenakan busana indah dari seorang pembesar kerajaan yang berpangkat nggi.

   Wajah seram, perawakan gagah perkasa.

   Bergodek lebat memanjang sampai ke janggut, sepasang kumis tebal yang melengkung keatas menyerupai tanduk kerbau jantan.

   Layak apabila menjadi seorang hulubalang perang.

   Sedangkan yang seorang juga mengenakan, busana orang berpangkat, perawakan kecil, kumis pis, berjanggut kambing, Umur keduanya hampir sebaya masing2 bersalut keris pada pinggangnya.

   Kemudian dari sepuluh prajurit terdapat seorang lurah prajurit, berwajah bersih, masih muda, memiliki pandang mata yang tenang.

   "Hai, lurah, mengapa engkau tak lekas menghaturkan hormat dan mempersilahkan kami duduk?"

   Menggelegar suara nyaring dari belah bibir yang tertutup janggut lebat dari orang yang menyeramkan.

   Lurah Jenangan gopoh memberi hormat dan mempersilahkan rombongan tetamu itu duduk di ruang tetamu.

   Kemudian dengan sikap yang menghormat agak ketakutan, lurah memohon keterangan tentang tetamu2 itu.

   "Ho"

   Seru orang yang berwajah seram itu pula "engkau menjadi lurah tetapi tak pernah menghadap ke keraton Matahun. Kenalkah engkau dengan seorang narapraja berpangkat demang dan bernama Tambakbaya?"

   "Hamba memang tak pernah menghadap seri baginda di pura Setana. Hamba hanya diwajibkan memberi laporan pada akuwu yang membawahi hamba"

   Sahut lurah Jenangan "tetapi hamba pernah mendengar tentang gusti demang Tambakbaya itu"

   "Ha, ha, ha,"

   Orang berwajah seram itu tertawa bangga "jika sudah kenal namanya mengapa tak lekas2 engkau menghaturkan hormat. Akulah demang Tambakbaya itu. Dan ini, adalah demang Suramreti"

   Lurah Jenangan terkejut dan bergegas menghaturkan sembah memohon maaf atas keterlambatannya menyambut para tetamu agung itu. Demikian setelah dihidangkan minuman, maka bertanyalah lurah Jenangan akan maksud kedatangan rombongan kedua demang itu.

   "Lurah"

   Seru pula demang Tambakbaya dengan suaranya yang menggeledek "pernahkah dalam beberapa malam ini engkau bermimpi baik?"

   Lurah Jenangan tercengang. Tak tahu ia apa maksud ki demang bertanyakan hal itu "Tidak gus demang. Hamba tak pernah bermimpi apa-apa"

   Demang Tambakbaya geleng-geleng kepala "Ah, mungkin karena sudah tua, engkau pelupa. Engkau tentu bermimpi tetapi tak engkau ingat2 lagi. Buk nya kedatanganku kemari ini tak lain akan membawa rejeki besar kepadamu, lurah"

   Lurah itu makin terlongong. Tambakbaya memandangnya makin tertawa. Rupanya demang Suramre tak sampai ha menjerat lurah itu dalam kebingungan "Ah, adi Tambakbaya, baiklah segera memberitahu agar ki lurah segera jelas persoalannya"

   Tambakbaya mengangguk.

   Ujarnya "Begini, ki lurah.

   Kedatangan kami kemari ini, ada lain karena diutus gus tumenggung Adikara untuk meminang anak perempuanmu yang can k.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Engkau sungguh seorang ayah yang beruntung, ki lurah.

   Kecan kan anakmu itu termasyhur sampai ke pura Setana, menarik perhatian gusti tumenggung"

   "Dan inilah, ki lurah"

   Ba2 demang Suramre mengambil sebuah pe kayu cendana yang berukir indah dan bersalut emas "emas kawin dari gusti tumenggung, terimalah"

   Lurah Jenangan terlongong-longong antara sadar dan mimpi.

   Jika sadar, mengapa peris wa itu hanya seper terjadi dalam mimpi.

   Namun kalau mimpi, mengapa ia dapat merasakan peris wa itu.

   Ia tak tahu bagaimana harus menanggapi hal itu.

   Tiba2 ia teringat akan pembicaraannya dengan Nararya semalam.

   Bukankah ia telah memaserahkan Mayang Ambari kepada pemuda itu? Walaupun pemuda itu belum menyatakan keputusannya tetapi iapun tak mau menarik kembali pernyataannya.

   Betapapun dirinya seorang lurah dari sebuah desa yang kecil dan sepi, namun ia masih mempunyai rasa malu dan jiwa utama.

   "Lurah"

   Ba2 demang Tambakbaya menggelegarkan suaranya pula "mengapa engkau terlongong- ldngong? Mungkin diseluruh telatah kerajaan Matahun, ada lurah keduanya lagi yang ter mpa rembulan seper engkau.

   Kelak engkau tentu diangkat sebagai demang, mungkin juru bahkan mungkin tumenggung.

   Ketahuilah, anakmu itu memang besar sekali rejekinya.

   Gus tumenggung Adikara hendak mempersembahkan anakmu kepada gus pa h Sempu.

   Bahkan kemungkinan gus patih akan menghaturkan kepada baginda"

   Kali ini lurah Jenangan benar2 seper tersambar pe r. Wajahnya pucat lesi. Beberapa saat kemudian baru dapat membuka mulut "Tetapi .... bukankah gus pa h itu sudah mempunyai isteri? "

   "Ha, ha"

   Demang Tambakbaya tertawa "seorang pa h yang besar kekuasaannya seper gus pa h Sempu, sudah layak kalau beristeri dua, ga sampai sepuluh orang.

   Gus pa h belum mempunyai putera maka hendak mencari isteri lagi agar dapat mempunyai putera.

   Jika kelak anakmu dapat melahirkan, wah, aku dak bohong, engkau tentu akan diangkat dalam jabatan yang tinggi".

   Lurah terlongong pula.

   Namun beda longong saat itu dengan yang tadi.

   Jika tadi ia memikirkan janjinya kepada Nararya, sekarang benar2 ia memikirkan nasib puterinya.

   Jelas sudah baginya sekarang bahwa Mayang Ambari akan dipersembahkan kepada pa h Sempu atau mungkin kepada baginda sebagai selir.

   Didengarnya pa h kerajaan Matahun itu sudah tua dan mempunyai beberapa selir.

   Demikian pula dengan baginda.

   Lurah Jenangan gelisah dan bingung.

   Sejak Mayang Ambari masih kecil, lurah Jenangan telah bertekad untuk menjalankan laku brahmacari atau dak kawin.

   Seluruh kasih sayangnya ditumpahkan pada puterinya.

   Hidupnya diperuntukkan anak itu dengan satu tujuan agar kelak Mayang Ambari dapat jodoh yang bahagia.

   Dan rupanya segala jerih payah dalam laku dan doanya itu dikabulkan dewata.

   Tanpa diduga dan disangka, muncullah Nararya.

   Ia setuju dengan pemuda itu dan rupanya Mayang Ambaripun demikian.

   Tetapi pemuda itu belum memberi keputusan.....

   Tertumbuk akan hal i.tu, membiaslah menung lurah Janengan akan peris wa mimpi Ambari yang lalu.

   Bunga Wijayakusuma, bunga yang suci, bunga pusaka dari prabu Batara Kresna.

   Jelas Mayang Ambari tentu akan mendapat anugerah besar dari dewata.

   Bagi seorang gadis, anugerah dewata itu tak lain hanyalah seorang suami priagung, bahkan raja.

   "Jika demikian"

   Renungnya makin mengembang "tidakkah pinangan tumenggung ini yang dimaksudkan mimpinya itu?"

   Hampir ia menarik kesimpulan sedemikian bahkan makin diperkuat dengan kesan bahwa Nararya itu hanya pntera seorang resi, apalagi belum memberi keputusan.

   Tetapi bayang2 kesimpulan itu segera tersambar suatu lintasan kilat manakala terngiang pula kata2 dari demang Tambakbaya bahwa Mayang Ambari itu hanya akan diambil sebagai selir, baik oleh-patih Sempu maupun andaikata diinginkan oleh baginda.

   Bertebaran lapis2 kesimpulan tadi lenyap dan berganti dengan sepercik sinar terang dalam pikiran lurah itu "Selir betapapun bergelimangan dalam kenikmatan hidup namun tiada bahagia hatinya.

   Apalagi patih Sempu iiu sudah tua, layaknya dia menjadi ayah, bukan suami bagi Ambari.

   Tak mungkin anakku bahagia"

   Timbulnya kesan itu, melahirkan pula kesan lain.

   Dahulu dia seorang prajurit kerajaan Daha.

   Ketika Daha diserang Singasari, banyak keluarga raja yang lari meloloskan diri.

   Dia tak mau tunduk pada Singasari maka iapun lolos dari Daha, lari ke daerah barat.

   Secara tak terduga, ia telah menolong seorang puteri tumenggung yang hendak ditangkap seorang prajurit Singasari.

   Ia dapat membunuh prajurit Singasari itu dan membawa puteri tumenggung lari.

   Akhirnya puteri itu menjadi isterinya tetapi sayang setelah melahirkan anak, isterinya itupun meninggal.

   Mayang Ambari mirip dengan ibunya, cantik dan berkulit halus, kuning langsap.

   Ia hidup bahagia dengan isterinya dan tahu apa arti sesungguhnya dari kebahagiaan itu.

   Bukan harta, bukan pangkat, bukan wajah tetapi kecocokan hati, saling mencintai.

   Serentak ia membayangkan, betapa sikap Mayang Ambari ketika ditanya persetujuannya hendak dijodohkan dengari Nararya.

   Dara itu diam menunduk.

   Tetapi ia sempat memperhatican betapa cerah wajah puterinya dalam tebaran warna merah yang menghambur rautnya.

   Jelas bahwa anak itu setuju.

   Dan ia sendiripun setuju.

   Teringat akan hal itu, sifat keutamaan segera bertahta kembali dalam hatinya.

   Tidak! Ia tak mau ingkar janji kepada Nararya.

   Betapapun bahaya yang harus dihadapinya.

   "Hai, mengapa engkau diam saja, lurah!"

   Seru demang Tambakbaya setengah membentak.

   Lurah Jenangan agak terkesiap namun segera wajahnya tenang kembali "Ki demang, betapa sukar bagiku untuk menghaturkan rasa terima kasih atas kemurahan ha dari gus tumenggung yang telah melimpahkah anugerah kepada anakku.

   Tetapi ampun beribu ampun, ki demang.

   Sama sekali aku tak menyangka akan hal itu maka sebagai seorang ayah yang melihat anaknya sudah akil dewasa, anak itu telah kujodohkah pada seorang pemuda"' "Apa? Engkau berani menikahkan anakmu pada lain orang?"

   Tambakbaya menggeledek pekikan.

   "Karena aku tak tahu akan minat gus tumenggung terhadap anakku"

   Sahut lurah Jenangan "maka aku mohon ampun yang sebesar-besarnya"

   Demang Tambakbaya tetap marah tetapi demang Suramre cepat mendahului "Lurah, aku ingin tahu bagaimana pemuda pilihanmu itu. Dan akupun hendak bertanya kepada anakmu, apakah dia tetap setya kepada suaminya atau ingin menjadi isteri patih"

   Lurah Jenangan tercengang tetapi demang Tambakbaya segera membentaknya, menyuruh dia lekas melakukan perintah.

   Terpaksa lurah itu bergegas masuk ke dalam.

   Tak lama kemudian ia keluar dengan diiring seorang gadis can k dan seorang pemuda tampan "Inilah anakku dan inilah putera menantuku, ki demang"

   "Aduh, can k sekali, mengapa ..."

   Tambakbaya hendak mencemoh lurah mengapa menikahkan anaknya dengan pemud-i begitu, tetapi ke ka ia melirik pada Nararya dan melihat wajahnya yang bersinar agung, ia tertegun lalu cepat berganti kata "engkau tergesa-gesa mencarikan jodoh? Bodoh benar!"

   Demang Suramre tak menghiraukan. Ia tahu akan watak Tambakbaya yang berangasan. Ujarnya "Baiklah, aku hendak bertanya kepada mereka. Nini, benarkah pemuda itu suamimu?"

   Merah wajah Ambari.

   Tak tahu bagaimana ia harus menjawab.

   Sejenak ia berpaling kearah Nararya.

   Saat itu Nararya sudah makin jelas akan persoalan yang dihadapinya setelah tadi ia diberi tahu oleh lurah.

   Ia tak senang atas ndak sewenang-wenang dari pa h Matahun.

   Lebih muak pula ke ka melihat sikap dan ulah demang Tambakbaya.

   Ia harus menolong Ambari pula.

   Maka dibalasnya pandang mata gadis itu dengan senyum.

   Hal itu sudah cukup bagi Ambari dan menyahutlah dara itu "Benar, gusti"

   "Hai, anakrnuda, benarkah engkau sudah menikah dengan gadis ini?"

   Seru demang Suramre pula.

   "Benar"

   Nararya mengangguk pelahan.

   "Anakrnuda"

   Kata demang Suramreti pula "apakah engkau mencintai isterimu?"

   "Ya"

   Jawab Nararya singkat. Demang Suramreti mengangguk "Baik sekali. Tetapi ketahuilah, bahwa orang yang mencintai itu harus rela berkorban demi membahagiakan wanita yang dicintai. Bukankah begitu, anakrnuda ?"

   Nararya mengiakan.

   "Gus pa h kerajaan Matahun berkenan menunaikan isterimu. Apabila menjadi isteri pa h, jelas isterimu akan hidup mewah dan senang. Demi cintamu kepadanya, engkau harus rela melepaskan isterimu"

   Merah padam seke ka wajah Nararya mendengar kata2 itu. Namun teringat akan perjalanan hidupnya sendiri dan sekalian untuk menguji sampai dimanakah isi ha Ambari, ia segera menyahut "Terserah pada yang menjalani. Aku menurut saja"

   "Bagus, engkau berjiwa ksatrya"

   Seru demang Suramreti gembira. Kemudian ia bertanya kepada Ambari "Engkau, nini, suamimu telah merelakan. Tentulah engkau akan setuju atas pinangan gusti patih"

   Ambari marah sekali. Jelas demang itu telah memutar balikkan ucapan Nararya. Maka menyahutlah ia dengan keras "Tidak, aku tetap setya kepada suamiku sampai akhir hayatku"

   Demang Suramre terkejut.

   Dengan berbagai keterangan, ia membujuk agar Ambari suka menerima pinangan itu, kelak tentu akan hidup dalam genangan kemewahan.

   Juga ayahnya tentu akan dianugerahi pangkat yang nggi.

   Namun Ambari tetap pada pendiriannya.

   Ia tetap setya sampai ma kepada guru lakinya.

   Karena putus asa, demang Suramre segera menyerahkan kepada demang Tambakbaya.

   "Bekel Lembu Sora, bawalah orang muda itu ke luar dan penggal kepalanya!"

   Teriak Tambakbaya.

   Seorang bekel muda yang disebut Lembu Sora, ternyata prajurit muda yang memiliki wajah dan sinar mata tenang tadi.

   Dengan tenang, ia melangkah kemuka tetapi dak langsung menghampiri Nararya, melainkan tegak menghadap demang Tambakbaya.

   (Oo^dw.kz~ismoyo^oO)

   Jilid 3 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ I Cerita Ramayana amat menarik.

   Sejak dahulu sampai sekarang.

   Karena cerita tentang prabu Rahwana dari negeri Alengka yang telah mencuri Dewi Shinta, isteri prabu Ramawijaya, banyak meninggalkan kesan dan melahirkan berbagai kesimpulan.

   Bahwa perbuatan prabu Rahwana yang telah menginginkan isteri orang harus menerima kehancuran, memang sudah wajar.

   Tetapi yang menanam kesan dan membenihkan berbagai kesimpulan adalah tentang diri kedua adinda dari raja Alangka itu yani ksatrya yang berwajah raksasa Kumbakarna dan ksatrya yang berwajah cakap raden Gunawan Wibisana.

   Kumbakarna tahu bahwa perbuatan kakandanya itu sangat tercela, namun sebagai seorang putera dan ksatrya Alengka, ia tetap membela tanah airnya dari serangan pasukan kera yang membantu prabu Rama.

   Gunawan Wibisana tahu pula bahwa nista dan tercelalah ndakan kakandanya yang mencuri isteri prabu Rama.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demi menyelamatkan rakyat dan negara dari kehancuran, demi membela kebenaran, ia rela membantu prabu Rama.

   Membela negara di atas kepen ngan segala! Salah atau benar.

   Demikian pendirian Kumbakarna, seorang raksasa yang berjiwa ksatrya, ksatrya yang berwajah raksasa.

   Kebenaran itu maha utama.

   Dharma seorang ksatrya mencari, membela dan menegakkan kebenaran.

   Dan kebenaran hanya satu sifatnya.

   Suci.

   Dan kebenaran itu dak pula dipengaruhi oleh rasa dalam ikatan hubungan.

   Baik dengan saudara, sanak keluarga maupun kawan dan lain2.

   Kebenaran itu suci, kejahatan itu salah.

   Tanpa pengorbanan membebaskan diri dari segala ikatan hubungan, Kebenaran takkan bersemayam di singgasana kesuciannya.

   Demikian pendirian ksatrya Wibisana.

   Yang tahu membedakan Benar dan Salah, dak sedikit jumlahnya.

   Mungkin se ap hidung, kecuali orang yang mempunyai kepen ngan, tentu dapat mengatakan mana yang benar, mana yang salah.

   Tahu pula orang untuk menguraikan tentang Kebenaran, dengan segala ungkapan, ulasan dan dasar-dasarnya.

   Pada hal Kebenaran itu sendiri sudah berbicara walaupun tak dapat bersuara.

   Karena Kebenaran itu merupakan serabut2 halus dari hati nurani manusia.

   Tetapi yang berani mengatakan Benar dan Salah, hanya sedikit sekali jumlahnya.

   Dan yang paling sedikit diantara yang sedikit itu adalah orang yang berani menentang kesalahan, membela kebenaran.

   Diantara golongan yang paling sedikit sekali jumlahnya itu, termasuk diri Lembu Sora, bekel muda dari Matahun.

   Dia masih muda.

   Berwajah sedang, dak cakap tetapi pun dak jelek.

   Wajahnya bersih, matanya bersinar terang.

   Kata orang, mata itu adalah cermin ha .

   Mata yang terang, ha nyapun jernih.

   Demikianlah perangai bekel Lembu Sora yang selalu bersikap tenang.

   Suatu sikap yang jarang terdapat di kalangan kaum prajurit.

   Kebanyakan mereka memelihara cambang, kumis dan janggut.

   Makin tebal makin menyeramkan.

   Tingkah ulahnyapun sedapat mungkin, kasar dan bengis.

   Perawakan yang kokoh kekar, muka yang bercambang dan kumis lebatserta ngkah laku yang bengis, merupakan syarat yang mereka anggap dapat melambungkan kewibawaan.

   Kewibawaan terhadap anakbuah dan orang sebawahan, pun ada kalanya terhadap rakyat.

   Lembu Sora tak menyukai hal2 semacam itu.

   Karena pada hakekatnya, prajurit itu adalah pelindung rakyat.

   Demikian pula merekapun berasal dari rakyat.

   Semisal seorang ayah dalam keluarga, berbahagialah apabila dia dicintai anak-anaknya, bukan ditaku karena kebengisannya.

   Demikian pula pendirian Lembu Sora sebagai seorang bekel prajurit.

   Dan sikapnya yang tenang itu membawakan dia pada suatu pengamatan yang terang, antara yang salah dan yang benar.

   Sora menjadi bekel prajurit di kerajaan Matahun, hanyalah untuk menimba pengalaman, meneguk pengetahuan.

   Sesungguhnya dia dapat mencapai pangkat yang lebih nggi apabila dia mau bekerja pada kerajaan Singasari.

   Karena di Singasari, dia mempunyai saudara yang menjabat pangkat sebagai d e m u n g , menteri yang kedudukannya hanya se ngkat dibawah pa h, yani demung Wiraraja.

   Namun Lembu Sora mempunyai pambek yang perwira.

   Bukan karena dia seorang berha nggi atau congkak, tetapi dia mempunyai pendirian akan meraih kedudukan atas dasar usaha dirinya sendiri.

   Bukan menggantungkan pada pengaruh saudaranya.

   Itulah sebabnya maka ia tak mau bekerja di Singasari melainkan melanjutkan mengembara dan akhirnya masuk prajurit kerajaan Matahun dan diangkat sebagai bekel.

   Hari itu dia mendapat perintah dari tumenggung Adikara supaya ikut mengiringkan demang Suramre dan demang Tambakbaya ke desa Jenangan.

   Tidak dijelaskan apa tujuan perintah itu.

   Dan bekel Sora pun tak mau bertanya.

   Perintah atasannya harui dilaksanakan.

   Setelah mendengar percakapan kedua demang dengan lurah Jenangan barulah ia tahu a-kan persoalannya.

   Sebenarnya dalam ha , ia sudah tergetar rasa heran mengapa tumenggung Adikara yang sudah beristeri bahkansudah mempunyai putera jejaka dan puteri gadis, masih ingin mencari isteri, yang masih muda.

   Demikian pula terhadap pa h Sempu yang disebut-sebut oleh kedua demang itu.

   Pa h Sempu sudah setengah baya, mempunyai isteri dan beberapa selir.

   Masih belum puaskah pa h itu ? Keheranan bekel Sora segera dapat diendapkan oleh pengolahan pikirannya sendiri, hasil dari pengamatannya selama ini.

   Sudah bukan sesuatu yang mengherankan apabila dikalangan para mentri dan narapraja yang berpangkat, memelihara beberapa selir.

   Adakah mempunyai beberapa selir yang can k juga merupakan syarat untuk menegakkan kewibawaan sebagaimana golongan prajurit memelihara cambang, kumis, janggut lebat dan wajah seram itu ? Lembu Sora tak dapat menjawab.

   Karena ia tak memelihara cambang, kumis maupun janggut.

   Juga tak mempunyai selir.

   Bahkan menikahpun belum.

   "Mungkin saja begitu"

   Hanya sesingkat itu reka dugaan bekel Sora.

   Tetapi pengendapan akan rasa heran yang mbul dalam ha bekel Sora, agak berguncang manakala ia mendengar keterangan lurah Jenangan bahwa puterinya yang bernama Mayang Ambari itu sudah bersuami.

   Guncangan itu makin keras pula, sesaat ia mendengarkan kata2 kedua demang yang berkeras hendak meminang puteri lurah Jenangan walaupun sudah mendapat keterangan gadis itu sudah bersuami.

   Ada suatu perasaan yang ia tak menger .

   Perasaan itu mbul ke ka lurah Jenangan membawa keluar gadis Mayang Ambari yang can k dengan seorang pemuda yang tampan.

   Tatkala memandang wajah pemuda itu, Nararya, bekel Sora terkesiap.

   Bukan karena tertarik akan kecakapan wajahnya, melainkan karena pancaran wajah Nararya yang dalam pandangan bekel Sora, seper memancarkan sinar gemilang.

   Cepat bekel Sora memejamkan mata, kua r apabila pandang matanya itu terselaput debu sehingga tak jelas.

   Tetapi ke ka membuka mata dan memandang lagi, apa yang dilihatnya itu tetap suatu kenyataan.

   Wajah Nararya seolah mengandung sumber sinar wibawa.

   Bekel Sora teringat apa yang pernah diteguknya dalam pelajaran agama bahwa kema an itu hanya soal raga.

   Raga akan menjadi tua, lapuk dan binasa.

   Tetapi atma tetap hidup dan akan mengalami tumimbal-lahir atau lahir kembali ke dunia.

   Juga pernah ia mendengar tentang cerita yang dibawakan oleh orang2 tua bahwa Hyang Batara Wisynu itu telah berulang meni s ke mayapada.

   Pernah meni s ke dalam diri prabu Harjunasasrabahu, kemudian ke dalam diri prabu Ramawijaya, lalu ke dalam diri prabu Sri Batara Kresna.

   Apa yang didengarnya itu hanya dalam ajaran dan cerita.

   Tetapi saat itu seolah ia merasa, dalam pandang pertama melihat Nararya, ada suatu tali ikatan ba n dengan pemuda itu.

   Entah dimana dan entah bilamana, ia sendiri tak tahu.

   Namun ada suatu getar perasaan yang mendorong ia supaya ikut kepada pemuda itu dan melindunginya.

   Getar2 yang menggelombang halus dalam ha nurani bekel Sora cepat terhapus ke ka mendengar percakapan demang Suramre dan demang Tambakbaya dengan Nararya.

   Rasa tak puas mulai mendidih.

   Mengapa sedemikian sewenang-wenang kedua demang itu hendak memaksakan kehendaknya? Adakah wewenang dari seorang narapraja itu digunakan untuk bersewenang-wenang? Adakah mentri kerajaan itu disewenangkan untuk mengambil isteri orang? Tidak.

   Hati bekel muda itu memantul jawaban tegas.

   Puncak dari letupan kemarahan bekel Sora adalah ketika demang Tambakbaya dengan lagak yang garang memerintahkan supaya dia menyeret Nararya keluar dan memenggal kepalanya.

   Namun bekel itu tetap dapat menguasai perasaannya.

   Dengan tenang ia maju ke muka, tanpa memperha kan Nararya orang yang harus ditangkapnya itu, langsung ia mencurah pandang ke arah demang Tambakbaya "Apa perintah ki demang?"

   Ulangnya nyaring.

   Demang Tambakbaya terbeliak.

   Mengapa bekel itu mengulang tanya lagi? Jika dia tak mendengar, mengapa maju ke tengah pendapa? Dan apabila mendengar mengapa harus bertanya pula? Dan mengapa bekel itu memperlihatkan sikap yang agak keras dari biasanya.

   Namun demang Tambakbaya yang beradat kasar tak memikirkan sampai sejauh itu.

   Ia marah karena bekel itu membuang waktu "Tuli!"

   Bentaknya "kusuruh engkau lekas seret pemuda itu ke luar dan sembelih!"

   "Ah"

   Bekel Sora tertawa ringan "apakah kesalahannya maka dia harus disembelih seper kambing?"

   Tambakbaya membelalak. Memandang bekel itu seolah hendak ditelannya ke dalam gundu matanya yang bundar besar "Eh, bekel, engkau hanya diharuskan menurut perintah. Bukan wewenangmu untuk bertanya urusan ini!"

   Kembali bekel Sora tertawa "Ki demang, waktu menerima pengangkatan sebagai bekel prajurit, aku telah disumpah bahwa aku harus menjalankan kewajiban sebagai seorang prajurit"

   "Hm, kiranya engkau sudah tahu"

   Dengus demang Tambakbaya.

   "Seorang prajurit harus membela raja, negara dan tunduk pada perintah"

   Kata bekel Sora pula.

   "Sudahlah, jangan banyak mulut"

   Teriak demang Tambakbaya makin marah.

   "Dan juga menjaga kewibawaan undang2 kerajaan, ki demang!"

   Wajah demang Tambakbaya memberingas "Apa maksudmu?"

   "Undang2 itu mengatur segala sesuatu untuk kepen ngan negara dan rakyat. Yang bersalah harus dihukum. Maka kutanya kepada ki demang, apakah kesalahan pemuda itu?"

   "Setan engkau"

   Hardik demang Tambakbaya "tumenggung Adikara dan gus pa h Sempu adalah orang-orang yang berkuasa besar.

   Mentri yang dipercaya baginda untuk mengatur pemerintahan kerajaan Matahun.

   Jasa gus pa h tak terperikan besarnya.

   Jangankan hanya seorang anak lurah, bahkan .puteri ke-ratonpun apabila gusti patih memohon tentu baginda berkenan mengabulkan"

   "Aku tak mengingkari keadaan itu"

   Sahut bekel Sora "Bahkan ki lurah Jenangan disinipun seharusnya menghaturkan puterinya kepada gusti tumenggung ataupun gusti patih, jika anaknya itu masih gadis.

   Tetapi kenyataan, puteri ki lurah itu sudah bersuami, seharusnya janganlah.ki demang memaksakan pinangan itu.

   Bukankah martabat gusti tumenggung dan gusti patih akan menurun apabila peristiwa ini tersiar di kalangan rakyat? Bukankah menurut kata ki demang tadi, gusti tumenggung dan gusti patih itu dapat mempersunting gadis yang mana saja bahkan puteri cantik dari keraton? Ya, mengapa harus memaksa puteri ki lurah yang sudah bersuami? Mengapa tidak meminang saja puteri lain yang lebih cantik? Bukankah di kerajaan Matahun itu tak kekurangan gadis dan puteri yang cantik?"

   Serasa meledak dada demang Tambakbaya mendengar kata2 bekel Sora. Mukanya merah padam. Tetapi sebelum ia sempat ber ndak, demang Suramre sudah mendahului "Bekel, jangan kurang tata! Dengan siapa engkau berbicara?"

   "Ki demang Tambakbaya"

   Sahut bekel Sora.

   "Mengapa engkau berani berbicara sekasar itu? Mengapa pula engkau berani membantah perintah?"

   Bekel Sora beralih memandang demang itu "Ki demang, aku dak membantah hanya bertanya. Dan ternyata ki demang Tambak tak dapat memberi jawaban tentang kesalahan pemuda itu"

   "Hm, lalu bagaimana? Apakah engkau hendak membangkang perintah?"

   Tegur demang Suramreti.

   "Benar, ki demang"

   Sahut bekel Sora.

   Sejak bekel Sora tampil ke tengah pendapa dan beradu lidah dengan demang Tambakbaya, sekalian orang terpukau dalam rasa kejut.

   Bahwa bekel itu berani membantah dan membangkang perintah atasannya telah menimbulkan kegemparan dalam ha para prajurit yang lain, termasuk lurah Jenangan.

   Demikian pula Nararya.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pemuda itu hanya sempat beradu pandang sebentar di kala bekel itu melangkah ke tengah pendapa, tetapi selanjutnya ia tak dapat melihat wajahnya lagi karena bekel itu tegak membelakanginya, menghadap ke arah kedua demang.

   Namun menilik ucapan dan nada yang dibawakan bekel itur mbullah rasa kagum dalam ha Nararya.

   Dan dengan penuh perhatian ia mengikuti perkembangan lebih lanjut.

   Suramre cepat berpaling kepada prajurit2 dan menunjuk kearah bekel Sora "Prajurit2, tangkaplah bekel .itu!"

   Kesembilan prajurit itu terbeliak, kemudian saling berpandang satu sama lain.

   Mereka adalah anak prajurit yang langsung dibawah pimpinan bekel Sora.

   Prajurit2 itu termasuk pasukan keamanan pura Setana yang langsung dibawah perintah tumenggung Adikara.

   Demang Suramreti dan demang Tambakbaya merupakan orang kepercayaan tumenggung Adikara.

   Ketegangan suasana itu tak berlangsung lama karena pada saat itu, seorang prajurit berkumis lebat segera tampil ke muka dan memberi hormat kepada demang Suramre "Apakah ki demang menitahkan aku, prajurit Tawing ?"

   "Ya"

   Sahut demang Suramre "tetapi mengapa hanya engkau sendiri? Bagaimana kawan- kawanmu yang lain?"

   "Mereka bimbang, ki demang"

   Sahut Tawing "idinkanlah aku mewakili kawan2 untuk melakukan perintah ki demang"

   Prajurit2 yang lain terbeliak atas keterangan Tawing itu. Jelas Tawing hendak mencari muka kepada demang Suramre . Namun mereka tak sempat membantah karena saat itu Tawing sudah melangkah ke hadapan bekel Sora.

   "Ki bekel, maaf"

   Seru Tawing "aku hanya melakukan perintah ki demang"

   Bekel Sora memandang prajurit itu, Pikirannya jauh melayang kembali ke masa yang lalu.

   Ke ka ia baru mulai menjabat bekel, ia melihat gejala2 yang buruk di kalangan prajurit2 Matahun.

   Ada sekelompok prajurit yang menuntut kehidupan tak genah.

   Suka bermabuk-mabukan, gemar memburu wanita, menjadi tulang punggung kaum penjudi.

   Bahkan yang lebih gila lagi, melindungi penjahat2 dengan mendapat imbalan uang yang cukup memadai.

   Meneli lebih lanjut, bekel Sora terkejut ke ka mengetahui bahwa gejala itu hampir merata dari bawah sampai ke ngkat atas.

   Itulah sebabnya maka perbuatan2 dari beberapa prajurit itu tetap berjalan langsung.

   Mereka pandai mengambil muka kepada orang atasannya.

   Dan orang2 yang melakukan kejahatan itupua tak kepalang tanggung cerdiknya.

   Mereka dapat menuju kesenangan prajurit2 itu.

   Bukan hanya hadiah, uang dan lain2 barang berharga, pun mereka menyediakan wanita2 cantik pula.

   Sesungguhnya, bekel Sora sudah muak dan ingin berhen dari jabatannya.

   Tetapi dia memang seorang muda yang keras ha dan suka mencari pengalaman.

   Dia membantah kehendaknya sendiri dan memaksa dirinya untuk menanggulangi keadaan itu.

   Ia ingin mencari pengalaman bagaimana cara untuk memberantas keadaan semacam itu.

   Maka tetaplah ia menjabat pangkat bekel.

   Ia ber ndak keras untuk menegakkan kembali undang2 yang hampir lunglai, ia membangkitkan pula kepercayaan rakyat kepada kaum prajurit dan pemerintahan.

   Dalam usahanya itu, walaupun belum seluruhnya berhasil, namun sudah menampakkan perobahan2 yang memberi harapan kepada rakyat.

   Tawing termasuk salah seorang dari prajurit kelompok hitam.

   Disebut hitam karena sebagai penegak, pembela dan pelindung negara, bahkan malah melanggar sendiri.

   Bekel Sora menghadapi kelompok hitam itu dan menyikat mereka.

   Tawing yang dulunya sudah berpangkat bekel, diturunkan lagi sebagai prajurit biasa.

   Apabila masih melanjutkan perbuatannya yang buruk, akan dipecat dari pasukan.

   "Hm"

   Bekel Sora mendesuh ke ka teringat akan peris wa yang menyangkut diri Tawing. Memang sejak itu Tawing membawa sikap dan kelakuan yang baik. Tetapi bukan berar bahwa api dendamnya terhadap bekel Sora sudah padam.

   "Dia tentu masih mendendam kepadaku"

   Pikir bekel Sora.

   "Ki bekel"

   Kembali prajurit Tawing berseru demi melihat bekel Sora hanya mendesuh "adakah ki bekel bersedia untuk melaksanakan perintah ki demang?"

   Bekel Sora mendesuh pula "Tawing, engkau hanya seorang alat belaka. Silahkan engkau melakukan perintah"

   Merah wajah Tawing "Sebelum berkelanjutan, ingin aku bertanya kepada ki bekel. Apakah ki bekel ini juga bukan seorang alat negara?"

   "Ya"

   Sahut bekel Sora "aku memang seorang alat negara Matahun"

   "Apa beda diri ki bekel dengan diri Tawing?"

   "Beda jauh"

   Jawab bekel Sora "aku alat negara tetapi engkau alat penguasa"

   "Apa artinya?"

   Tawing terbeliak.

   "Alat negara yalah mereka yang menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan perintah dan ketentuan negara sebagaimana yang telah dituangkan dalam undang2 dan peraturan. Tetapi alat penguasa yalah alat dari orang yang berkuasa"

   "Tawing, lekas gelandang bekel itu ke luar dan ikatlah tubuhnya di atas punggung kuda"

   Teriak demang Suramreti yang tak kuasa lagi menahan kemarahannya.

   Mendengar ulasan yang diberikan kepada dirinya oleh bekel Sora, Tawing marah.

   Maka setelah mendengar perintah demang Suramre , ia terus maju dan mencengkeram bahu bekel Sora.

   Maksudnya setelah dapat menguasai, hendak ia remas sekuat-kuatnya sehingga bekel itu meliuk- liuk, kemudian baru ia seret ke luar dan diikat.

   Tetapi sayang kenyataan tak memenuhi yang terangankannya.

   Ia memang berhasil mendaratkan telapak tangannya ke bahu dan berhasil pula meremas.

   Tetapii selekas meremas bahu bekel Sora itu melejit selicin kulit belut sehingga Tawing hanya meremas kelima jarinya sendiri.

   Tawing terkejut tetapi secepat itu, ia mmganggap bahwa mungkin karena basah dengan peluh maka bahu bekel Sora menjadi licin.

   Segera ia mengulangi mencengkeram lagi.

   Telah dijamah dan terasa bahwa kelima jarinya benar2 melekat erat pada bahu orang.

   Kemudian mulai ia mengeriputkan jari2 itu dan terasa daging pun ikut mengernyut.

   Setelah yakin kali ini tentu berhasil, dengan sepenuh tenaga segera ia kencangkan cengkeramannya "Uh"

   Ia menjerit dalam hati ketika merasa bahwa daging yang terangkat kcdalam cengkeramannya itu, tiba2 melejit lolos.

   Tawing terlongong-longong.

   Memandang kearah bekel Sora tetapi serasa tak memandang.

   Suatu pandang hampa karena perhatiannya terbawa terbang oleh semangatnya yang melayang dalam alam keheranan.

   "Tawing, mengapa engkau diam saja?"

   Tegur bekel Sora. Tawing tersentak kejut. Ia menyadari bahwa bekel itu tentu memiliki ilmu Belut-pu h sebuah ilmu yang dapat menjadikan tubuh selicin tubuh belut yang sukar ditangkap "Oh, baiklah"

   Seru Tawing seraya maju dan menghantam dada bekel Sora.

   Ia kua r apabila akan menderita rasa kejut seper waktu mencengkeram.

   Maka ia tak mau menggunakan tenaga penuh dalam pukulan itu.

   Pikirnya, apabila bekel Sora berusaha menghindar, ia akan menyusuli dengan pukulan tangan kiri.

   Duk, ternyata njunya ba juga mendarat pada dada bekel Sora "Ah, mengapa seringan ini engkau memukul, Tawing? O, apakah ....

   ya, ya, aku menger .

   Dalam mulut engkau pura-pura tunduk pada perintah ki demang akan tetapi dalam ha sebebenarnya engkau hendak membatu aku.

   Terima kasih Tawing ...

   "

   Bukan kepalang kejut Tawing mendengar kata2 itu.

   Dalam penilaiannya sebagai seorang yang suka mencari muka kepada atasannya, kata2 bekel Sora itu lebih tajam dari ujung pedang.

   Jelas bekel itu hendak memberi kesan kepada kedua demang bahwa Tawing berfihak pada bekel Sora.

   Gugup karena takut kedua, demang itu marah kepadanya, Tawing terus loncat dan menghantam dada bekel Sora.

   Bekel Sora masih tegak ditempat.

   Padahal jelas diketahui oleh sekalian orang bahwa apabila ia menghendaki, pada saat Tawing tegak terlongong sehabis mencengkeram bahu tadi, dapatlah bekel Sora balas memukul.

   Tetapi ternyata dia tak mau melakukannya.

   Hal itu mengejutkan sekalian orang, termasuk Nararya.

   Lebih terkejut pula mereka dikala bekel Sora membiarkan dirinya menjadi landasan pendaratan nju Tawing.

   Nararya ingin berbangkit, beberapa prajurit tampak gemetar menyaksikan peris wa itu.

   Tetapi bekel Sora sendiri masih tenang "Ah, Tawing, sudahlah, jangan kau lanjutkan permainan ini.

   Kita nan berbicara lagi.

   Dalam soal ini, aku takkan mendendam permusuhan kepadamu.

   Kita sesama kawan prajurit, mengapa harus bermusuhan?"

   Tawing terbeliak ke ka pukulannya tak mampu menggetarkan tubuh Sora, apapula merubuhkan.

   Beliak makin membelalak manakala terngiang serangkaian kata2 dari bekel Sora yang makin menyudutkan dia sebagai seorang sekutu.

   Ia meregang-regang, menggemerutukkan geraham lalu hendak menyerang pula.

   Tetapi belum sempat ia bergerak, sekonyong-konyong tengkuknya terasa dicengkeram sebuah tangan yang amat kuat.

   Sebelum ia tahu siapa dan apa maksud orang itu, tubuhnya serasa diayun ke belakang.

   Rasa kejut dan sakit telah menghisap perha annya sehingga ia tak sempat lagi untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya ke ka terlempar beberapa langkah ke belakang, terjerembab terban ng ke lantai.

   Sesaat gelaplah pandang matanya karena kepala terbentur lantai.

   Beberapa kawan, prajurit gopoh menolong.

   "Seret dia keluar dan ikat pada kuda"

   Ba2 prajurit2 terhen langkah ke ka mendengar suara menggeledek memberi perintah. Mereka berpaling dan melihat demang Tambakbaya tengah membelalakkan mata, sebelah tangan bercekak pinggang dan tangan kanan menuding ke arah Tawing.

   "Hm, beginilah cara seorang demang memperlakukan orang bawahannya"

   Dengus sebuah tiuara.

   Demang Tambakbaya terkejut.

   Jelas bahwa nada itu bukan suara bekel Sora.

   Bahkan saat itu bekel Sorapun tengah terkesiap dan mengerling pandang mata.

   Pandang, mata demang Tambakbaya dan bekel Sora segera menemukan sasarannya pada seorang muda yang berdiri disisi seorang gadis.

   "Engkau!"

   Teriak demang Tambakbaya.

   "Ya"

   Sahut anakmuda itu yang bukan lain adalah Nararya. Rupanya pemuda itu tak kuasa lagi menahan kesabarannya ketika melihat tindakan demang Tambakbaya terhadap prajurit Tawing.

   "Apa maksudmu ?"

   Masih demang itu meledak.

   "Kutanya pada diriku sendiri, adakah begitu cara seorang demang kerajaan Matahun itu memperlakukan prajuritnya?"

   Nararya mengulang.

   Sepasang kumis yang menggerumbul diatas bibir demang Tambakbaya berguncang-guncang keras "Kusuruh engkau menangkap, engkau tenang2 saja.

   Tetapi mengapa engkau penasarasan ketika aku menindak prajurit yang bersekutu melanggar perintah itu ?"

   "Mengapa aku harus bersikap keras apabila ki bekel yang engkau perintahkan menangkap aku itu sudah menentang perintahmu ? Lain halnya dengan prajurit itu. Dia tak ada yang membela maka akupun wajib membelanya"

   Tambakbaya menggeram. Sesaat menimang, ia memutuskan untuk menangkap pemuda itu, baru kemudian membereskan bekel Sora. Tetapi belum sempat ia ber ndak, bekel Sora sudah bergerak menghampiri Nararya "Ki bagus"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Serunya "janganlah ikut campur. Biarlah aku yang menghadapi kemarahan ki demang itu"

   "Terima kasih, ki bekel"

   Sahut Nararya "sebaiknya aku saja yang menghadapinya. Jika aku yang melawan, itu sudah hak. Karena aku membela diri dan isteri. Tetapi jika ki bekel yang melawan, ki bekel dapat dituduh melanggar perintah. Dapat dihukum, paling tidak akan dipecat"

   Bekel Sora tersenyum "Hidupku bukan memburu pangkat tetapi mempertahankan pendirian hidup. Aku masih belum berkeluarga, kehilangan pekerjaan takkan lebih menderita daripada kehilangan pendirian"

   Nararya terkesiap memandang bekel muda itu. Ke ka pandang keduanya beradu, seke ka terjalinlah suatu hubungan ba n. Nararya suka kepada bekel itu dan bekel itupun sayang kepada Nararya. Mereka saling mengagumi keperibadian masing2.

   "Hai, bekel Sora, menyingkirlah engkau"

   Ba2 demang Tambakbaya berteriak pula "jika engkau tak mau menurut perintahku, aku sendiri yang akan menangkap pemuda itu"

   "Ki bekel, silahkan menyisih"

   Kata Nararya pelahan.

   "Tidak, ki bagus"

   Kata bekel Sora "aku akan menghadapi demang itu"

   Ia segera bergerak. Tetapi bukan menyingkir melainkan maju kehadapan demang Tambakbaya "Ki demang, aku tak setuju tindakan ini"

   Katanya. Merah padam muka demang Tambakbaya. Melawan kedua orang itu sekalipun, ia merasa masih sanggup "Hem, engkau memang pembangkang yang harus dihajar"

   Serunya seraya ayunkan nju ke dada bekel Sora. Bekel Sora menyisih ke samping "Ki demang, aku tak mau melawan ki demang melainkan hanya sekedar meminta agar niat tuan hendak menangkap pemuda ijni, tuan batalkan"

   Tetapi demang Tambakbaya tak menghiraukan dan menyusuli pula dengan sebuah serangan yang dahsyat.

   Gayanya menyerupai harimau menerkam.

   Sekali lagi bekel Sora dapat menghindar ke samping walaupun harus melalui suatu gerak yang susah payah.

   Tetapi belum sempat ia membenahi diri, demang Tambakbayapun sudah berputar seraya mengirim sebuah tendangan keras.

   Plak, dalam kedudukan yang sulit, masih bekel Sora dapat menyisih.

   Namun celananya tersambar ujung kaki demang Tambakbaya.

   Sulit sekalipun tetapi bekel Sora masih dapat meloloskan diri.

   "Ki demang"

   Serunya tegak beberapa langkah dari tempat demang Tambakbaya "adakah engkau hendak memaksa menangkap aku?"

   "Aku mendapat wewenang penuh dari gus tumenggung Adikara atas prajurit2 yang menjadi pengiringku ini"

   Kata demang Tambakbaya "engkau membangkang dan membantah perintahku"

   Bekel Sora mengangguk, tiba2 ia melepas busana keprajuritannya "Baik, ki demang. Mulai saat ini Sora minta berhen dari jabatan bekel prajurit. Pakaian beserta senjata, kuserahkan kembali"

   Serunya seraya menyerahkan pakaian dan tombak.

   Demang Tambakbaya tertegun.

   Ia diam saja melihat Sora meletakkan pakaian dan senjata di hadapannya.

   Sebelum sempat ia membuka mulut, Sorapun sudah berseru pula "Ki demang, sebagai seorang rakyat biasa, engkau tak berhak menyuruh aku menangkap pemuda itu"

   Melihat demang Tambakbaya masih diam, demang Suramre melantang "Jika demikian, pergilah engkau"

   Demang Suramre tahu bahwa dalam adu kedigdayaan untuk pengangkatan pangkat bekel prajurit, Sora telah memenangkan semua lawannya.

   Begitu pula ke ka menghadapi ga buah serangan demang Tambakbaya tadi, ia melihat sendiri betapa Sora telah mengunjukkansuatu ilmu kanuragan yang amat mempesonakan sehingga demang Tambakbaya tak berhasil merubuhkannya.

   Ia tahu bahwa Sora itu tentu berilmu.

   Oleh karena itu biarlah dia pergi agar jangan menimbulkan, kericuhan.

   "Ki demang"

   Seru pemuda Sora "kini aku bukan seorang prajurit Matahun, tuan tak dapat memerintah sewenang-wenang"

   "Aku berhak memerintah rakyat Matahun"

   "Aku bukan kawula Matahun"

   Jawab Sora "aku seorang kelana yang menjalankan dharma ksatrya. Memberantas kejahatan, menolong yang lemah, membela yang tak bersalah. Maka aku takkan meninggalkan tempat ini sebelum ki demang kembali ke Setana"

   "Seorang bekel semacam engkau mengaku seorang ksatrya? Ho, kambing, jangan engkau menepuk dada sebagai harimau"

   Ejek demang Suramreti.

   "Hm, demang bodoh"

   Sahut Sora "jangan selalu engkau bermimpi dalam kelelapan tidur yang nikmat, jangan engkau berkhayal dalam kenikmatan pangkat sehingga hidupmu menjadi budak kenikmatan, jiwamu; menjadi budak nafsu.

   Engkau menganggap bahwa ksatrya itu sudah ditentukan dalam kasta keturunannya.

   Engkau tentu bermimpikan cita2 untuk naik pangkat menjadi tumenggung, patih dan priagung.

   Engkau pertahankan kedudukanmu sampai agar bisa turun kepada anakmu maka engkau pertahankan pula soal keturunan itu.

   Tetapi ketahuilah, ki demang, ksatrya itu bukan ditentukan oleh keturunan melainkan oleh jiwa dan amal budinya"

   "Keparat!"

   Demang Tambakbaya tak mau banyak bicara dengan mulut tetapi dengan nju yang dilayangkan kearah muka Sora.

   Kali ini Sora menangkis "Demang Tambakbaya, sudah ga kali aku mengalah, karena aku seorang prajurit bawahanmu.

   Tetapi kini aku seorang rakyat bebas, bebas pula aku melawan ndakan yang sewenang-wenang"

   Adu tulang itu telah menghasilkan suara derak yang cukup keras.

   Tubuh masing-masing menyorong ke depan.

   Sora terkejut.

   Tambakbaya terbeliak Pukulan demang Tambakbaya sekeras palu besi menghantam batu.

   Tulang Sora selicin batu berpakis lembab.

   Keduanya memiliki kelebihan yang tak dipunyai lawan.

   Kini baru demang Tambakbaya mau menyadari bahwa bekas bekel sebawahannya itu memiliki ilmu Belut-pu h.

   Saat itupun baru Sora mengetahui bahwa demang Tambakbaya memang sembada, tenaga dengan perawakannya.

   Dalam pada itu Nararya menimang-nimang.

   Ia merasa terharu karena bekel Sora berani melepaskan pangkat dan pekerjaan karena hendak membelanya.

   Untuk membalas budi bekel itu, kiranya tak cukup hanya dengan ucapan terima kasih saja, pun harus dengan suatu ndakan yang nyata.

   Tetapi iapun tahu bahwa akan tak senanglah ha bekel Sora itu apabila ia ber ndak ikut menyerang demang Tambakbaya.

   Ia tak tahu siapakah yang akan unggul dalam pertarungan itu.

   Namun sebagai seorang yang dibela, wajiblah ia harus membantu yang membela.

   Pikirannya melanjut.

   Apabila ia menceburkan diri dalam kancah pertarungan, tentulah akan luas akibatnya.

   Apabila fihak demang menderita kekalahan, kemungkinan mereka tentu takkan putus sampai disitu.

   Lurah Jenangan tentu akan menderita akibat yang sukar diketahui.

   Nararya bimbang dalam persimpangan jalan antara memikirkan bekel Sora dan lurah Jenangan.

   "Raden, dakkah, raden akan ber ndak untuk membantu bekel itu?"

   Ba2 terdengar Mayang Ambari berbisik di dekatnya. Nararya terkejut. Ia berpaling memandang gadis itu dengan pandang teduh "Tetapi ayahmu tentu akan menderita akibat pembalasan demang itu"

   Rupanya Mayang Ambari cukup dapat menyadari apa yang tersembul dalam ucapan Nararya. Ia mengangkat muka memandang Nararya.

   "Raden, kutahu sama, ha dan pendiriannya. Untuk membela keadilan dan kebenaran, dia rela menderita sekalipun harus kehilangan kedudukannya"

   Nararya memandang dengan pandang menegas.

   "Hambapun bersedia menanggung segala akibatnya, raden"

   Bisik gadis itu secara menunduk.

   "Baik, Ambari"

   Kata Nararya seraya berbangkit dan langsung menghampiri demang Suramre . Ia mempunyai rencana bagaimana hendak mengatasi keadaan saat itu "Ki Demang"

   Serunya "aku tak menyetujui segala ndakan ki demang di kelurahan ini. Kuminta ki demang suka menghen kan tindakan ki demang Tambakbaya itu dan segeralah kembali ke pura Setana"

   Merah padam muka demang Suramre mendengar kata2 Nararya itu.

   Ia merasa tersinggung karena diperintahkan pulang oleh pemuda yang hendak ditangkapnya itu.

   Dalam hal kanuragan, demang Suramre kalah digdaya dengan demang Tambakbaya.

   Tetapi dalam soal bicara, mengatur siasat dan mengambil muka, dia lebih disayangi tumenggung Adikara.

   Demang Suramre menilai Nararya dibawah ukuran.

   Dianggapnya pemuda yang cakap dan bertubuh ramping itu tentulah seorang yang lemah.

   Ia menganggap keberanian pemuda itu hendak menantangnya hanyalah didorong karena malu ha .

   Maka iapun serentak berbangkit dan maju ke hadapan Nararya "Jangan engkau bermulut lancung, anakmuda ! Jika engkau mampu mengalahkan aku, aku bersedia membawa pulang pengiringku"

   "Sungguhkah itu, ki demang"

   Nararya menegas.

   "Hai, pemuda, desa"

   Bentak demang Suramre "aku seorang demang kerajaan, masakan ucapanku tak dapat dipercaya"

   "Terima kasih ki demang"

   Sahut Nararya "dan sebagai pernyataan bahwa aku sangat menghargai sikap ksatrya tuan maka akupun hendak menghaturkan janji juga. Apabila aku kalah, jiwaku dan gadis itu akan kuserahkan kepada ki demang"

   "Bagus"

   Seru demang Suramreti "engkau ternyata seorang ksatrya juga. Hayo, kita mulai"

   Nararya tak mau memulai lebih dulu melainkan mempersilahkan demang itu yang mulai.

   Suramre pun segera membuka serangan.

   Rupanya ia memiliki ilmu kanuragan yang mendasarkan pada tamparan2 mengarah muka, terutama bagian mata.

   Agak bingung Nararya semula menghadapi gaya serangan yang aneh itu tetapi beberapa saat kemudian ia segera tahu bagaimana harus menghadapi.

   Ia berhasil mempedayakan demang itu, kemudian dengan gerak kilat, ia menyapu kaki lawan "Uh ...."

   Demang Suramre mendesuh kejut, tetapi tak dapat menolong tumbuhnya yang terpelan ng jatuh ke belakang. Nararya tak mau melanjutkan serangannya. Ia tegak menunggu demang itu berbangkit.

   "Bagaimana ki demang"

   Serunya sesaat melihat Suramre tegak kembali. Merah padam .wajah demang itu. Tiba2 ia berpaling dan berseru kepada prajurit2

   "Prajurit2, tangkaplah keparat ini!"

   Nararya terkejut.

   Bukan karena takut terhadap kawanan prajurit itu tetapi ia tak ingin menumpahkan darah.

   Mereka hanya prajurit2 pengiring yang tak langsung tersangkut dalam ndakan kedua demang itu kecuali hanya menerima perintah saja.

   Yang pen ng adalah kedua demang itu yang harus ditundukkan.

   Maka Nararyapun cepat ber ndak.

   Melangkah maju, ia gerakkan kakinya untuk menyapu kaki lawan.

   Ke ka Suramre menghindar, bahunyapun sudah tersambar tangan Nararya dan dalam gerak yang lebih cepat dari kejab mata, tangan demang itupun sudak diteliku kebelakang punggungnya "Auh ...."

   Suramre menjerit tertahan. Mukanya menyeringai kesakitan.

   "Ki demang"

   Bisik Nararya "harap perintahkan prajurit2 itu keluar. Apabila mereka berani maju, aku tak dapat menjamin keselamatan jiwa ki demang"

   Sejak mengabdi pada kerajaan Matahun sehingga diangkat sebagai demang, belum pernah Suramreti menderita kesakitan yang seperti saat itu.

   Ia tahu bahwa hal itu merupakan suatu, hinaan yang hebat tetapi iapun tahu bahwa jika ia berkeras kepala, pemuda itu tentu akan membuktikan ancamannya.

   Lebih baik ia mengalah dulu.

   Masih banyak kesempatan untuk melakukan pembalasan.

   Apabila pulang ke Matahun, ia akan menghaturkan laporan sedemikian rupa hingga tumenggung Adikara akan mengirim pasukan yang besar untuk menangkap seluruh keluarga lurah Jenangan.

   Pada saat itulah ia akan membalas Nararya.

   Ia akan memintakan hukuman mati untuk pemuda itu.

   "Prajurit2, keluarlah ke halaman ..."

   Serunya dengan penuh dendam.

   "Terima kasih ki demang"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Nararya pula setelah prajurit2 itu melakukan perintah "sekarang kuminta ki demang menghen kan ki demang yang seorang itu supaya jangan melanjutkan perkelahiannya."

   Demang Suramre kerutkan dahi.

   Rupanya ia bersangsi karena kua r demang Tambakbaya akan marah dan menuduhnya pengecut.

   Tetapi ba2 ia rasakan lengannya makin mengencang keatas tengkuk dan menimbulkan kesakitan yang memaksanya meringis "Ki demang, aku tak bermaksud apa2 kecuali hanya mencegah pertumpahan darah"

   Seru Nararya.

   "Ki demang Tambak, harap berhen "

   Akhirnya dengan menggigit bibir menahan geram, demang Suramre berseru.

   Tetapi rupanya Tambakbaya tak menghiraukan.

   Suramre gelisah, Nararyapun agak bingung.

   Rupanya Sora tahu apa rencana Nararya.

   lapun dapat juga menjaga kewibawaan demang Tambakbaya.

   Maka dalam sebuah kesempatan, cepat ia loncat mundur meninggalkan lawan.

   Tetapi demang Tambakbaya memang keras kepala.

   Melihat demang Suramre dikuasai Nararya, ia marah dan hendak menolongnya.

   Segera ia lari dan menyerang Nararya.

   Duk ...

   nju yang diayunkan Tambakbaya itu mencapai sasarannya.

   Hanya sayang bukan Nararya melainkan dada Suramre yang memang sengaja disorongkan Nararya untuk menerima pukulan Tambakbaya.

   Demang Suramreti menjerit kesakitan dan menyumpah "Gila engkau, Tambakbaya ..."

   Tambakbaya tertegun. Ia menyesal kemudian marah. Dengan kalap ia segera menerjang Nararya. Tetapi hasilnya lebih parah lagi. Kali ini Nararya dak sekadar menyongsongkan tubuh Suramre sebagai perisai tetapi mendorongnya membentur-Tambakbaya.

   "Uh ... uh ..."

   Terdengar dua buah suara mendesuh dan mengeluh dari kedua demang yang saling berbentur keras dan terdampar rubuh.

   Sengaja Nararya mendorong sedemikian rupa sehingga kepala demang Suramre tepat menyodok dada Tambakbaya dan nju Tambakbaya tepat menghantam punggung Suramreti.

   Keduanya rubuh tak sadarkan diri.

   "Ki Sora"

   Seru Nararya "lekas panggilkan prajurit itu kemari"

   Ke ka prajurit2 jtu masuk, Nararya berkata "Silahkan mengangkut pulang kedua demang ini.

   Dan katakan kepada atasanmu, bahwa lurah Jenangan tak tahu menahu soal perkelahian ini.

   Yang bertanggung jawab atas peristiwa di kelurahan Jenangan ini adalah aku, Nararya"

   Pada saat prajurit2 itu hendak nggalkan kelurahan dengan membawa kedua demang, ba2 Sora berseru "Kawan-kawan, katakan kepada tumenggung Adikara bahwa Sora juga bertanggung jawab atas peris wa ini karena tak setuju dengan ndakan kedua demang itu.

   Katakan pula bahwa Sora meletakkan jabatannya sebagai bekel prajurit Matahun"

   Kesembilan prajurit itu adalah anakbuah bekel Sora. Mereka lebih patuh kepada bekel itu daripada demang Suramre atau Tambakbaya "Tunggu"

   Ba2 Sora berteriak menghen kan mereka "bawa juga kawan Tawing ini"

   Setelah rombongan prajurit itu pergi, Nararya menghampiri Sora "Terima kasih ki Sora atas bantuanmu"

   Katanya.

   "Ah, raden"

   Kata Sora "aku tak membantu raden melainkan melakukan dharma untuk menegakkan keadilan dan kebenaran belaka"

   Lurah Jenanganpun menghampiri kedua pemuda itu dan mempersilahkan mereka duduk.. Tiba2 lurah itu menghela napas "Ah, tak kusangka,bahwa aku telah merugikan ki Sora"

   "Rugi?"

   Sora kerutkan dahi. Lurah Jenangan mengangguk "Ya, karena ki Sora telah kehilangan pangkat"

   "O, soal itu"

   Sora tertawa "sama sekali dak, ki lurah"

   Ia lalu menuturkan kisah dirinya yang karena ingin mencari pengalaman maka sampai masuk menjadi prajurit di Matahun.

   Perkenalan antara kedua pemuda itu, amat menggembirakan.

   Cepat sekali keduanya terjalin, dalam hubungan ba n yang erat.

   Nararya senang akan sifat Sora dan menaruh kepercayaan.

   Sora mengagumi keperibadian Nararya dan menaruh perindahan.

   "Ki lurah"

   Ba2 Nararya menegur setelah memperha kan lurah itu tampak bermuram durja "apabila ki lurah menaruh kepercayaan kepadaku, ingin aku mengetahui apa sebab ki lurah tampak bersedih Adakah ki lurah mencemaskan tumenggung Adikara akan mengirim prajurit kemari untuk menangkap ki lurah ?"

   Lurah itu mengangguk sarat "Benar, raden. Tetapi bukan karena aku takut kehilangan kedudukan lurr.h, melainkan yang kupikirkan hanyalah tentang diri anakku si Ambari itu"

   "O"

   Seru Nararya "dalam soal apa?"

   "Kemungkinan besar, tumenggung Adikara tentu akan mengirim pasukan kemari. Lalu bagaimana aku dapat membuk kan bahwa si Ambari itu sudah menjadi isteri raden, sehingga mereka tak dapat mencari alasan untuk menganiaya aku ?"

   Nararya terkesiap.

   Melirik kearah Ambari, dilihatnya wajah gadis itu tersipu-sipu merah.

   Saat itu baru Nararya tersadar bahwa ia harus menyelesaikan sebuah persoalan lagi.

   Jika ia menolak sebagai suami Ambari karena ia masih harus melanjutkan perjalanannya bertapa, dakkah hal itu akan menjerumuskan lurah Jenangan dan puterinya dalam ancaman hukuman yang berat.

   Bahkan kemungkinan besar, Ambari tentu akan diselir tumenggung Adikara ataupun diberikan kepada pa h Sempu yang kedua-duanya sudah tua.

   Tidakkan hal itu berar bahwa ndakannya untuk menolong mereka yang dilakukan hari itu, akan terhapus sia-sia? Namun jika ia menerima keadaan untuk menjadi suami Ambari, dakkah hal ituakan menyalahi tujuaniiya ? Tidakkah hal itu akan berar ia telah tergoda wanita can k? Iapun teringat akan cerita yang pernah dibawakan ramanya.

   Cerita tentang raden Somba yang di tahkan ramanya, prabu Batara Kresna, agar bertapa untuk menyambut turunnya Wahyu Cakraningrat.

   Somba berhasil menerima wahyu itu tetapi muncullah seorang wanita can k penyamaran dari bidadari untuk menggodanya.

   Ia tergoda dan wahyu itupun terlepas lagi.

   "Tidakkah diriku akan serupa dengan raden Somba"

   Bertanya Nararya dalam ha . Dan pertanyaan itu hanya makin menambah kebimbangan ha nya dalam menghadapi persoalan gadis jelita Mayang Ambari.

   "Raden"

   Tiba2 lurah Jenangan berkata pula "adakah raden.tak menyukai anakku yang jelek itu?"

   Nararya terbelalak "Jangan salah faham, ki lurah"

   Serunya gopoh "bukan begitu maksudku. Tetapi karena masih mempunyai tugas yang belum selesai, aku tak dapat menetap lama disini"

   Lurah Jenangan tertawa "Ah, soal itu mudah diselesaikan, raden. Aku bersedia menjaga Ambari apabila raden pergi. Yang penting, anak itu harus diselamatkan dari kehancuran hati"

   Nararya menghela napas.

   "Rama"

   Ba2 Mayang Ambari berseru "janganlah rama mempersulit raden Nararya. Aku malu rama. Aku harus tahu diri dan menerima ...."

   Suaranya mengandung isak sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya. Dengan menitikkan airmata ia lari masuk kedalam. Lurah Jenangan geleng2 kepala, menghela napas panjang. Nararyapun terpukau. Tiba2 Sora berbangkit.

   "Raden"

   Serunya "ingin kupersembahkan serangkai kata2 kepada raden. Mungkin pandangan Sora ini picik. Mungkin raden tak berkenan menerima. Tetapi Sora akan berbicara tanpa suatu pamrih"

   Ia berhen sejenak, kemudian melanjutkan pula "Dharma seorang ksatrya memang berat karena, semua yang berdasar tujuan suci dan luhur itu memang berat.

   Seorang ksatrya akan selalu siap menolong orang yang benar2 memerlukan pertolongan.

   Ragu, takut mencerminkan kebimbangan ha .

   Ha yang bercabang akan menimbulkan kegelisahan.

   Rasa takut, menggambarkan kurang menghaya dan kurang kokohnya landasan jiwa ksatrya.

   Seorang ksatrya akan ber ndak menurut jiwa ksatryaan-nya, tanpa membayangkan apapun akibatnya, tanpa memperhitungkan untung ruginya.

   Dia bertindak karena wajib"

   Sora berhenti sejenak "Dalam menghadapi peristiwa di kelurahan Jenangan ini, jelas keselamatan rumah tangga ki lurah terancam.

   Di hadapan kedua demang dari Matahun itu, raden telah mengakui bahwa ni Ambari itu adalah isteri raden.

   Raden melakukan hal itu karena hendak menolong ni Ambari.

   Jelas raden telah melakukan suatu dharma sesuai dengan sifat seorang ksatrya.

   Tetapi apabila pengakuan itu terancam oleh suatu pembuk an, dakkah raden akan melanjutkan pertolongan itu? Ataukah raden hanya ingin ber ndak setengah jalan belaka? Kukatakan hal ini karena, kemungkinan besar Matahun akan mengirim pasukan untuk mempidana ki lurah.

   Betapa besar dosa ki lurah, betapa berat pidana yang akan dijatuhkan pada diri ki lurah apabila ternyata keterangannya bahwa ni Ambari itu sudah bersuami ternyata hanya suatu siasat untuk membohongi utusan tumenggung Adikara? Bukankah pertolongan raden itu bahkan hanya akan merupakan bencana maut bagi ki lurah?"

   Nararya tertegun. Sesaat kemudian ia baru dapat menjawab "Tetapi aku masih mempunyai tugas yang belum selesai"

   "Apakah tugas itu, raden?"

   Seru Sora "apabila raden mempercayai diriku, aku sanggup untuk melakukannya"

   Nararya gelengkan kepala "Ah, memang ingin benar aku menyatakan kepercayaan kepadamu, ki Sora. Tetapi tugas itu bukan suatu pekerjaan yang nyata, melainkan derita yang belum nyata, belum tahu pula bila derita itu akan berakhir"

   Sora terkesiap. Timbul rasa keinginannya untuk mengetahui apa sesungguhnyatugas yang akan dilakukan Nararya.Maka ia memberanikan antuk bertanya.

   "Tidak nyata tetapi nyata. Sukar tetapi mudah. Mudah tetapi sukar"

   Kata Nararya tersenyum "bertapa, ki Sora"

   "O"

   Desuh Sora kemudian pikirnya melayang pada keterangan Nararya itu.

   Bertapa tentu mempunyai tujuan yang besar.

   Ia tak mau menegas tujuan Nararya melakukan tapabrata itu.

   Namun iapun pernah menerima wejangan dari para orangtua maupun guru, tentang beberapa hal yang mengenai tapa.

   Setelah merenungkan ajaran itu dan mengaitkan dengan alam pikiran Nararya, bersualah Sora akan suatu kesimpulan.

   "Raden"

   Katanya sesaat kemudian "tapabrata merupakan sarana untuk mencapai sesuatu dang dicita-citakan.

   Entah hal itu benar atau tidak, tetapi pada hakekatnya, setiap dharma yang baik, yang bersifat menolong, akan membuahkan sesuatu yang- memberi kebaikan kepada kita.

   Termasuk pula salah sebuah hal yang akan memberi isi kepada laku tapabrata.

   Dalam bertapa, kita mengosongkan pikiran, menghampakan seluruh gerak indera, mengheningkan cipta dan mensucikan batin.

   Karena hanya- apabila jiwa dan raga.kita sudah bersih, sudah hening maka kita akan dapat menanggapi sesuatu getaran gaib.

   Melakukan dharma pertolongan kepada yang membutuhkan pertolongan, tidaklah akan mencemarkan laku kita dalam bertapa.

   Bahkan kebalikannya akan menambah nilai dari apa yang hendak kita capai itu"

   Nararya terkesiap. Dipandangnya Sora. Pemuda itu hampir sebaya dengan dia tetapi mengapa mampu mengungkap isi ha nya "Ki Sora"

   Serunya pula "adakah engkau menger apa yang menjadi keresahan hatiku?"

   "Semoga demikian, raden"

   "Tetapi Sora"

   Kata Nararya pula "dalam tapabrata, hal itu harus dijauhkan"

   "Benar, raden"

   Sambut Sora "memang selayaknya demikian.

   Tetapi keadaan raden berbeda.

   Apa yang raden ndakkan adalah sekedar memenuhi dharma seorang ksatrya yang selalu bersedia menolong kepada sesamanya, Kurasa, daklah hal itu akan mencemarkan laku tapabrata yang sedang raden laksanakan"

   "Tetapi ki Sora ...."

   "Ah. panggil saya Sora, raden. Aku lebih senang"

   Nararya mengangguk "Tetapi aku tak dapat menetap lama di desa ini dan harus melanjutkan perjalananku. Tidakkah hal itu akan menimbulkan siksa kepada gadis itu ?"

   "Soal itu dapat dirundingkan. Kurasa bukan Halangan dan Sorapun bersedia untuk menjaga desa ini dari ancaman tumenggung Adikara, apabila raden akan melanjutkan perjalanan"

   Nararya terbeliak. Dipandangnya anakmuda itu dengan penuh perasaan.

   "Yang pen ng"

   Kata Sora seolah tak mengacuhkan pandang Nararya "adakah raden berkenan hati kepada gadis itu atau tidak ?"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nararya tersenyum. Tanpa menjawab ia terus ayunkan langkah menuju ke dalam "Raden, hendak kemanakah engkau?"

   Tegur Sora terheran-heran.

   "Memberi penjelasan kepada Ambari. Rupanya dia salah faham"

   Kata Nararya tanpa berpaling.

   Lurah Jenangan tertawa.

   Sorapun tertawa.

   Keduanya girang karena Nararya bersedia mempersunting Mayang Ambari.

   Demi kebahagiaan puterinya, lurah Jenangan bersedia melepaskan kedudukannya.

   Demi membela Nararya, Sorapun rela mengundurkan diri sebagai bekel prajurit.

   Bahkan ia bersedia tinggal di Jenangan untuk melindungi keluarga ki lurah dan Ambari apabila Nararya melanjutkan perjalanan.

   Memang aneh sekali langkah Sora itu.

   Ia baru bertemu dengan Nararya tetapi ia sudah bersedia memberi pengorbanan.

   Ia sendiri tak tahu mengapa ia melakukan hal itu.

   Rakyat Jenangan menerima kehadiran Nararya dan Sora dengan penuh kegembiraan.

   (Oo-~dwkz^ismoyo~-oO) II Memang cepat sekali waktu berlalu.

   Lebih cepat pula dalam perasaan orang yang sedang menikma kebahagiaan.

   Rasanya hanya sekejab belaka waktu secandra itu.

   Hal itu dialami Nararya.

   Tanpa terasa sudah secandra ia menetap di Jenangan, menikma kebahagiaan di samping Mayang Ambari.

   Andai tak mengemban tugas dari ramanya, rasanya ia tentu enggan meninggalkan desa itu.

   Sora menyempatkan diri untuk menuju ke Matahun, menyelidiki berita tentang tumenggung Adikara.

   Perlu ia lakukan hal itu agar apabila tumenggung Adikara benar2 hendak mengirim pasukan, dapatlah ia memberi kabar kepada lurah Jenangan dan mengadakan persiapan seperlunya.

   Berita yang diperolehnya, cukup menggembirakan.

   Apa yang dicemaskan ternyata tak terjadi dan mungkin tak akan terjadi.

   Tumenggung Adikara telah diutus baginda Matahun menuju ke bandar Ganggu, selanjutnya berlayar ke Taliwang (Sumbawa) membeli kuda.

   Perjalanan itu tentu memakan waktu berbulan-bulan.

   Mudah-mudahan peris wa di desa Jenangan itu takkan menarik selera tumenggung itu lagi.

   Walaupun kemungkinan bahaya sudah berkurang, namun masih cemas juga Noyo dan Doyo, kedua punakawan tua, karena melihat bendaranya seolah tenggelam dalam alam kebahagiaan.

   Kedua punakawan itu mencari kesempatan untuk menjumpai Nararya.

   "Raden"

   Kata Noyo dan Doyo "sudah cukup lama hamba rasa raden menetap di desa-ini. Tidakkah raden sudah tak berminat lagi untuk melaksanakan pesan rama raden ?"

   Nararya terkesiap. Apa yang diingatkan kedua punakawan itu memang benar. Jenangan hanya merupakan suatu persinggahan dari perjalanannya yang panjang. Bukan tujuan terakhir. Ia memberi jawaban "Baik, besok kita berangkat ke Singasari"

   Malam itu ia menyatakan maksud ha nya kepada lurah dan Mayang Ambari.

   Demikian pula Sora.

   Walaupun hal itu lambat atau cepat pas akan ba dan sebelumnya sudah diberitahu Nararya, namun berat juga ha Ambari melepasnya pergi.

   Belum cukup empat puluh hari ia meneguk kebahagiaan bersama raden Nararya, ia harus berpisah pula "Adakah aku bermimpi ?"

   Ia berkata pelahan ketika malam itu berdiri di muka jendela memandang cakrawala.

   "Tidak Ambari, engkau tak bermimpi"

   Tiba2 terdengar penyahutan dari belakang. Ambari berpaling dan menjerit tertahan "Raden ...."

   Ia lari menghampiri dan disongsong kedua lengan Nararya dengan mesra.

   Tiada pernah perasaan itu berbeda bahwa setiap kali dalam pelukan Nararya, ia merasa amat sentausa dan bahagia.

   Hidup itu suatu berkah, suatu keindahan yang berar .

   Tetapi kali itu, ia merasa cemas dalam pelukan Nararya.

   Cemas dan takut akan kehilangan lengan yang pernah membelainya dengan penuh kasih sayang, lengan yang menjadi penampung jiwa raganya, lengan tempat ia berlindung dan lengan yang pernah menerima penyerahan seluruh apa yang dimilikinya.

   Siapa yang akan membelai-belai dengan penuh kemesraan? Siapa pula yang akan memeluknya, memberinya kehangatan yang menyalakan api hidupnya? Siapa pula yang akan melindungi? Bukankah malam2 akan terasa dingin dan sepi? Bukankah impian hanya bersambut kebisuan hampa? "Ambari"

   Kata Nararya "demikianlah perputaran roda kehidupan.

   Jalan itu ada selalu rata.

   Ada kalanya naik, ada kalanya menurun, lurus, berkeluk, bahkan ada kalanya penuh batu dan duri.

   Jangan kita menyumpah keadaan jalan itu tetapi yang pen ng bagaimana kita dapat mengatur langkah kaki agar tetap dapat melintasinya"

   "Tetapi raden"

   Bisik Ambari tersendat "bukankah kesemuanya itu kita sendiri yang menciptakan ? Bukankah perpisahan ini takkan terjadi apabila raden tak menghendakinya ?"

   "Ambari"

   Kata Nararya "engkau harus menyadari bahwa aku ini seorang ksatrya.

   Pantang bagi seorang ksatrya apabila tak dapat menunaikan tugas yang telah disanggupinya.

   Masih banyak tugas yang harus kulakukan terhadap negara dan rakyat.

   Dan engkau Ambari, kupercaya tentu dapat menghayati cita2 hidupku.

   Jangan kita persempit kebahagiaan itu dengan dinding2 rumah tangga tetapi luaskan kebahagiaan itu seluas negara kita dansebanyak rakyat kita.

   Jangan kita batasi kebahagiaan kita pada diri kita sendiri tetapi luaskan kebahagiaan itu pada anak cucu kita kelak.

   Dan kebahagiaan mereka tak mungkin akan berarti apabila saat ini tidak kita mulai tanamkan benih2 kebahagiaan itu keselumh negara kita.

   Engkau dapat meresapi kata-kataku, Ambari ?"

   Ambari serta merta melepaskan diri dari pelukan Nararya terus berlutut mencium kaki raden itu "Duh, raden junjungan nyawa hamba.

   Ambari seorang gadis desa yang picik pengetahuan.

   Kini terbukalah hati hamba akan langkah raden yang luas mencapai tujuan yang luhur itu.

   Berangkatlah, raden, Ambari akan mengantar dengan doa puji kepada dewata.

   Hamba akan menanti kedatangan raden sampai pada akhir hayat Perpisahan yang berat itu terasalonggar manakala masing2 telah memiliki penghayatan dan penger an.

   Walaupun dalam ha menangis namun Ambari melepas keberangkatan Nararya itu dengan senyum bahagia.

   Sora menepa janji untuk tetap menetap di Jenangan sehingga ia yakin bahwa ancaman dari tumenggung Adikara itu benar2 tak dilaksanakan.

   Sarat langkah Nararya yang meninggalkan kelurahan Jenangan bersama kedua pengiringnya itu, akhirnya lenyap ditelan kelebatan gerumbul pohon yang menjadi watek-bumi atau batas dari suatu desa.

   Nararya membayangkan, apabila ia menempuh jalan besar, tentu akan balah ia di pura Daha.

   Teringat pula akan janjinya kepada pangeran Ardaraja bahwa apabila telah selesai melakukan tugas, pangeran Daha itu memintanya supaya masuk menjadi prajurit Daha.

   Tetapi ia pun teringat pula akan Suramenggala yang pernah dikalahkannya itu.

   Tidakkah lurah prajurit itu akan mendendam kepadanya dan akan berusaha untuk merintangi agar dia jangan sampai masuk menjadi prajurit Daha.

   "Ah, ternyata manusia2 di pura kerajaan itu, temaha akan pangkat dan rakus kedudukan"

   Pikirnya.

   Membayangkan gerak-gerik orang2 Daha itu, mbullah suatu dugaan dalam ha Nararya.

   Mengapa pangeran itu mengatakan bahwa Daha sedang giat mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengumpulkan prajurit2 yang gagah perkasa? Adakah suatu rencana yang tersembunyi di balik persiapan Daha itu.

   Serentak iapun teringat akan cerita ramanya mengenai hubungan antara Daha dan Singasari.

   Kedua kerajaan itu dahulu merupakan satu kerajaan Panjalu.

   Kemudian sebelum wafat, prabu Airlangga menitahkan empu Bharada seorang mahayogi yang sakti untuk membagi dua dan diwariskan kepada kedua putera baginda.

   Maksud baginda, apabila baginda wrft.

   hendaknya kedua putera yang masing rmsing memiliki kerajaan Mendiri, dapat hidup rukun.

   Tetapi ternyata harapan baginda itu bukan saja tak terlaksana, bahkan akibatnya berlawanan dengan yang diharapkan.

   Daha dari Singasari selalu bermusuhan.

   Sampai kemudian Ken Arok berhasil merebut kekuasaan Singasari, mengalahkan prabu dandang Gendis dari Daha dan mernpersatukari Daha dengan Singasari.

   Sejak saat itu Daha dibawah kekuasaan Singasari.

   Kemudian ramanya pun menguraikan tentang istilah keturunannya.

   Ramanya, Lembu Tal, putera dari Mahisa Campaka yang kemudian bergelar Batara Nayasingamurti.

   Mahisa Campaka putera dari Mahisa Wonga Teleng.

   Dan Mahisa Wonga Teleng itu putera Ken Arok dengan Ken Dedes.

   Dengan demikian jelas Nararya itu keturunan dari Ken Arok atau baginda sri Rajasa sang Amurwabhumi.

   Sedangkan baginda Kertanagara yang sekarang menjadi raja Singasari, adalah putera dari Rongga Wuni atau baginda Wisnuwardhana.

   Rangga Wuni putera dari Anusapati.

   Ansapati putera Tunggul Ametung dengan Ken Dedes.

   Dengan demikian Nararya itu menurut tingkat, adalah kemanakan baginda Kertanegara dari garis keturunan Ken Dedes.

   Teringat akan garis silsilah keturunanya, Nararya merasa memiliki hak atas tahta kerajaan Singasari apabila terjadi sesuatu pada diri baginda Dalam hubungan itu, secara wajib, ia harus membela Singasari.

   Gerak gerik orang Daha, cenderung menimbulkan prasangka yang akan merugikan kepen ngan Singasari.

   Kemungkinan Daha akan menunggu kesempatan untuk memberontak, melepaskan diri dari kekuasaan Singasari.

   "Ah"

   Akhirnya Nararya mendesuh napas "jika rangkai dugaanku itu benar, wajiblah aku membela Singasari. Namun benar atau tidak hal itu, kurang seyogya apabila aku bekerja pada Daha"

   "Paman, kita biluk ke selatan"

   Serunya tiba2. Noyo dan Doyo yang sudah terlanjur berada beberapa tombak meninggalkan Nararya di belakang, terkejut "Mengapa ? Bukankah kita harus mengambil jalan ini apabila akan menuju Singasari?"

   Seru mereka heran.

   "Ya, tetapi kita akan tiba di pura Daha"

   Jawab Nararya "pada hal aku tak menghendaki kita tertahan lagi di pura itu. Lebih baik kita mengambil jalan ke selatan. Sedikit mengitar tetapi bebas dari rintangan"

   Lebih nyaman bagi perasaan Nararya berjalan.

   Alam pedesaan yang sepi dan pegunungan yang sunyi.

   Keheningan alam terbuka menyedapkan mata, menyejukkan pikiran.

   Terbuka pula ha nya akan suburnya bumi, indahnya alam dan luasnya telatah negara.

   Hutan2 masih membelantara, tanah2 masih memadang.

   Mereka menan tangan2 manusia untuk dibuka dan digarap.

   Dan betapa makmur dan kaya hutan dan bumi itu akan memberi kehidupan kepada para kawula.

   Hutan takkan terbuka sendiri, bumipun takkan merekah sendiri.

   Pohon2 takkan berbondong- bondong mengantar diri kepada manusia, bibit2 takkan tumbuh sendiri, apabila manusia tak mau berusaha.

   Tiada yang turun sendiri dari langit kecuali hujan.

   Pun hujan itu turun bukan semata-mata untuk memberi kesegaran dan kesejukan pada manusia, melainkan untuk memberi imbalan atas jasa bumi.

   


Rase Emas Karya Chin Yung Dara Pendekar Bijaksana Karya OPA Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id

Cari Blog Ini