Dendam Empu Bharada 30
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 30
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
Tapi Wijaya tak lekas menyambu ujung tali, melainkan berseru "Tunggu dulu, kakang Peteng. Akan kucoba menggunakan ilmu yang belum pernah kugunakan."
Mendiang ayahandanya, Lembu Tal, Wijaya dipersiapkan menjadi seorang ksatrya yang sak mandraguna agar kelak puteranya dapat melanjutkan cita-cita sebagai keturunan Ken Arok, rajakula kerajaan Singasari.
Lembu Tal melaksanakan segala pesan mendiang ayahandanya, Mahisa Campaka atau batara Narasingamur .
Sang ratu Angabaya, demikian pangkat Mahisa Campaka dalam kerajaan Singasari yang didirikannya bersama Rangga Wuni yang kemudian setelah dinobatkan sebagai raja bergelar Wisnuwardhana, setelah berusia lanjut lebih senang mencari ketenangan ba n dari pada mengurus tugas kewajibannya sebagai seorang ratu angabaya atau panglima besar, kemudian bergelar sang Batara Narasingamurti.
Batara Narasingamur telah memperoleh penerangan ba n dan kesadaran yang nggi sehingga menjadi seorang priagung yang sidik permana.
Ia tahu akan peris wa yang akan datang.
Maka berpesanlah beliau kepada puteranya, Lembu Tal "Anakku, segala kehidupan di marca-pada ini sudah diatur dalam mandalacakra yang telah ditentukan oleh Hyang Purbawisesa.
Engkau, Lembu Tal, dak dianugerahi dewata sebagai mana-insan yang akan melaksanakan Dharmacara suci.
Jelasnya, engkau dak dipilih dewata sebagai manusia besar yang akan memikul beban berat menentukan kesejahteraan dunia.
Tetapi janganlah engkau berkecil ha , karena kesemuanya itu memang sudah kodrat hidupmu.
Namun engkau akan dilimpahi dewata sebagai manusia yang akan melahirkan seorang ksatrya besar.
Jauh lebih besar dari aku, pamanmu Wisnu wardhana dan bahkan moyangmu Keh Arok."
"Rama,"
Lembu Tal terkejut mendengar ucapan itu. Ia tahu bahwa ramanya itu seorang waskita "apakah yang rama maksudkan?"
"Jangan mendesak lebih lanjut, Lembu Tal, karena itu rahasia alam yang amat keramat,"
Kata Batara Narasingamur "cukup engkau lakukan pesanku ini. Kelak apabila engkau berputera seorang lelaki hati-hatilah engkau merawat, mendidik dan menempanya dengan segala ilmu lahir batin. Dan inilah."
Batara Narasihgamuni menyerahkan sebuah ikatan daun lontar "merupakan sebuah kitab yang memuat bermacam ilmu jaya kawijayan yang sakti. Kelak berikanlah kepada putcramu."
Tetapi di kala Lembu Tal menghendaki agar puteranya belajar ilmu kanuragan dan ilmu kesak an, ternyata Wijaya tak menyukai.
Ia lebih gemar membaca kitab, sajak dan buku-buku kesusasteraan dan enggan melakukan latihan-latihan, olahraga yang kasar.
Melihat sifat dan ngkah laku Wijaya dak sesuai sebagai seorang ksatrya yang diidam-idamkan eyangnya, Batara Narasingamur , maka marahlah Lembu Tal.
Dalam suatu peringatan keras, ia tak dapat menahan luap kemarahannya dan mengusir anak itu.
Sudah tentu hal itu hanya sebagai peringatan keras agar puteranya sadar dan mau menurutkan keinginan ayahandanya.
Tetapi oleh Wijaya hal itu diartikan lain.
Ia malu dan terus meninggalkan rumah berkelana.
Pada suatu hari Wijaya dihadang oleh kawanan penyamun.
Pemuda itu dihajar sampai pontang- pan ng, busananya dilucu .
Bahkan oleh seorang penyamun, Wijaya hendak dilempar ke bawah jurang untuk menghilangkan jejaknya.
Untunglah pada saat-saat yang berbahaya itu, muncul seorang pertapa tua yang menolongnya.
Melihat pertapa itu hanya seorang lelaki tua yang bertubuh kurus, kawanan begal yang terdiri dari lima orang itu segera menyerangnya.
Tetapi hanya dengan mengayun-ayunkan tongkatnya dengan gerak yang pelahan, kelima penyamun itu sudah jatuh bangun dan akhirnya terbirit-birit melarikan diri.
Peristiwa itu telah menyadarkan hati Wijaya akan kebenaran dari keinginan ayahandanya.
Seorang ksatrya harus memiliki ilmu kesaktian.
Bukan untuk berkelahi mencari musuh ataupun untuk penghias kegagahan, melainkan untuk melindungi diri.
Ternyata dunia ini masih penuh kekotoran dari kejahatan-kejahatan yang ditimbulkan manusia-manusia durjana.
Kehidupan di luar itu tidaklah seindah seperti dalam rumahnya dimana sebagai seorang putera tunggal, dia amat dimanjakan oleh ibunya.
Dan sadar pula Wijaya bahwa yang disebut dharma ksatrya untuk mengayu hayuning bawana, tak lain hanyalah membersihkan kekotoran dunia dari perbuatan-perbuatan cemar manusia-manusia jahat.
Arjuna, sang pamade atau penengah Pandawa selalu gentur bertapa untuk menuntut ilmujaya-kawijayan karena dialah ksatrya yang telah dipilih sebagai jago dari para dewa untuk menghancurkan kejahatan dan membangun dunia baru yang sejahtera.
Maka serta merta Wijayapun menyatakan ingin berguru kepada pertapa tua itu dipuncak gunung Mahameru.
Dari pertapa sak itulah Wijaya memperoleh berbagai ilmu kesak an.
Setelah lima tahun mengaji ilmu maka diperintahkannya Wijaya turun gunung untuk mengamalkan segala ilmu yang telah diperolehnya, membela kebenaran, menegakkan keadilan dan memberantas kejahatan.
Demikianlah untuk mencapai pagar tembok se nggi ga tombak itu, Wijaya hendak mencoba ilmu yang pernah dipelajarinya dari sang pertapa.
Setelah berdiam menahan napas, mengumpulkan semangat dan menghimpun aliran-aliran in tenaga ke arah Cakram Manipura, mulailah ia menyalurkannya ke arah tangan dan kaki, lalu melekatkan kedua tangannya ke dinding tembok.
Lembu Peteng terkejut sekali ke ka menyaksikan Wijaya merayap ke atas bagaikan seekor cicak.
Se k pun ia tak pernah menyangka bahwa pemuda tampan yang halus budi itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian menakjubkan.
Diperha kannya gerak Wijaya itu dengan penuh perha an.
Tampak wajah Wijaya bertebar merah dan bercucuran keringat.
Rupanya pemuda itu tengah mengerahkan seluruh tenaganya.
Lembu Peteng ikut menahan napas.
Pada saat hanya kurang sepenggapai tangan dari puncak tembok, sekonyong-konyong tubuh Wijaya tampak gemetar, tangannyapun mulai menyurut ke bawah.
Rupanya ia sudah kehabisan tenaga.
Melihat itu Lembu Peteng cepat menyambar tangan Wijaya dan ditariknya ke atas.
"Ah,"
Wijaya menghela napas panjang "hampir saja aku meluncur turun lagi kalau engkau tak cepat menarikku. Demikianlah Lembu Peteng, karena aku jarang berlatih maka hampir saja aku gagal menggunakan ilmu itu."
Sekarang mereka bersiap-siap hendak loncat turun ke bawah. Berkata Wijaya "Apakah tali yang engkau bawa itu berkait ujungnya?"
"Ya."
"Tancapkan kait besi itu pada puncak tembok ini dan meluncurlah engkau dengan tali itu ke bawah. Biarkan tali itu terpancang di sisi agar sewaktu-waktu nan menghadapi bahaya, dapatlah kita gunakan untuk memanjat tembok dan meloloskan diri."
Lembu Peteng segera melakukan perintah. Setelah selesai ia mempersilakan Wijaya turun lebih dulu.
"Begini, kakang Peteng,"
Kata Wijaya "bukan karena aku hendak memamerkan kepandaian, tetapi segala ilmu kepandaian yang telah kita miliki, apabila tak digunakan tentulah ilmu itu akan pudar."
"Maksud, raden ?"
"Aku akan loncat ke bawah tanpa menggunakan tali ini."
"O, bagus raden,"
Seru Lembu Peteng "jika demikian akupun hendak menjajal kepandaianku juga."
"Tetapi kakang,"
Kata Wijaya "ini bukan berlatih ilmu. Dan saat ini kita hendak memasuki gedung kepatihan yang penuh dengan para penjaga bersenjata. Apabila kita loncat ke bawah sampai menimbulkan suara, tidakkah hal itu akan menimbulkan bahaya ?"
"Raden, Lembu Peteng memang masih jauh dari apa yang disebut sak mandraguna. Tetapi akupun pernah menuntut ilmu kedigdayaan. Diantara ulah krida kanuragan yang kuterima dari guruku, akupun pernah menerima ilmu melompat yang menurut guru disebut aji Blabak-pangentol. Dan bukankah seper kata raden tadi, segala ilmu yang kita miliki, apabila tak sering digunakan tentu akan mengalami kepudaran."
Wijaya mengangguk. Jika ia mencegah, ia kua r Lembu Peteng akan tersinggung karena dianggap tak mampu melakukan hal itu "Baiklah, tetapi harus ha -ha , jangan sampai kehilangan keseimbangan diri hingga terbanting ke tanah."
Setelah mengiakan maka Lembu Petengpun segera ayunkan tubuh melayang ke bawah, disusul Wijaya. Lembu Peteng terhuyung-huyung dua ga langkah ke ka kakinya menginjak bumi tetapi dia masih dapat bertahan tak sampai rubuh.
"Mari kita mencari bilik peraduan pa h Aragani,"
Bisik Wijaya seraya ayunkan langkah.
Lembu Peteng mengikuti di belakangnya.
Gedung tempat kediaman patih Aragani itu amat luas dan mewah.
Tetapi saat itu tampak sunyi senyap.
Selama menyusup ke bagian dalam, Wijaja dan Lembu Peteng tak berjumpa dengan seorangpun juga.
"Bagus, kakang Peteng, aji penyirapmu hebat sekali, penghuni gedung ini ter dur semua,"
Puji Wijaya. Karena tak menemukan halangan, Wijaya makin berani. Ia menuju ke bagian belakang. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya mereka tiba di sebuah ruang yang besar.
"Hm, tentu inilah tempat peraduan Aragani,"
Pikir Wijaya.
Dengan ha -ha agar tak menerbitkan suara, Wijaya mencoba mendorong daun pintu.
Ah, ternyata pintu itu tak terkunci sehingga mudah sekali terbuka.
Setelah menunggu beberapa saat tak terjadi suatu gerak suara dari dalam ruang, iapun mulai melangkah masuk.
Apa yang menyengat pandang mata Wijaya dan Lembu Peteng saat itu, benar-benar menimbulkan rasa kejut dan muak.
Pa h Aragani sedang dur membujur dalam pangkuan seorang wanita muda yang can k.
Seorang wanita muda lain sedang menelungkupi kaki pa h itu.
Rupanya pa h itu sedang bersenang-senang dengan kedua selirnya ke ka mereka terlelap oleh aji sirep Beganania.
"Hm, beginikah ulah ngkah seorang pa h kerajaan? Apakah sudah membudaya bahwa se ap nara praja yang berpangkat nggi, tentu menikma kehidupan yang bergelimangan dengan kesenangan wanita, tuak dan pelesiran yang berlebih-lebihan?"
"St, sudahlah, kakang Peteng. Saat ini bukan saat kita untuk menilai tingkah laku orang. Kita harus cepat bertindak,"
Bisik Wijaya.
"Bagaimana tindakan kita, raden? "
"Kita bekuk saja pa h itu dan paksa dia supaya membertahukan dimana mpu Raganata disembunyikan,"
Kata Wijaya seraya terus maju menghampiri.
Sejenak ia tegak dihadapan tempat peraduan pa h Aragani, sambil memandang wajah pa h itu, tak lupa pula ia meningkatkan kewaspadaan terhadap keadaan di sekelilirg.
Se ap suara yang betapapun, halusnya, tentu akan tertangkap dan akan diolahnya menjadi suatu kesimpulan, adakah hal itu merupakan suatu bahaya atau tidak.
Setelah beberapa jenak tak terjadi suatu apa, maka Wijayapun segera ulurkan tangan hendak mencengkeram bahu pa h Aragani.
Tetapi belum ujung jarinya menyentuh tubuh rakryan pa h, sekonyong-konyong terdengarlah suara orang tertawa gelak-gelak lalu berkumandang suara orang berkata-kata dalam nada mencemoh "Hm, besar-benar nyalimu, penjahat.
Engkau berani masuk kedalam gedung kepatihan hendak mencelakai gusti patih!"
Bagaikan mendengar bunyi halilintar ditengah hari, demikian kiranya perasaan kejut yang meletus dalam ha Wijaya dan Lembu Peteng saat itu.
Serempak keduanya berputar tubuh.
Ah, ternyata diambang pintu tampak seorang lelaki bertubuh nggi besar tegak berdiri dengan pedang terhunus.
Di belakangnya tampak beberapa lelaki berpakaian prajurit, berjajar-jajar memenuhi ruang luar.
Belum hilang rasa kejut Wijaya dan Lembu Peteng, kembali mereka dikejut pula oleh sebuah suara yang bernada parau dan marah "Keparat, engkau berani masuk kedalam ruang peraduanku hendak membunuh aku ! Prajurit, lekas tangkap penjahat itu!"
Rasa kejut Wijaya dan Lembu Peteng kini bergan dengan suatu kesadaran, bahwa mereka telah terperangkap dalam siasat musuh.
Jelas penjaga penjaga kepa han tak ter dur bahkan mereka telah mengatur siasat untuk menangkap penjahat yang akan masuk ke gedung kepatihan.
Lembu Peteng diam-diam terkejut.
Mengapa ilmu aji sirap Begananda tak mampu menundukkan mereka.
Pada hal selama ia menggunakan aji penyirap itu, belum pernah ia mengalami kegagalan.
"Apakah di kepa han ini terdapat seorang yang berilmu?"
Pikirnya di saat ia teringat akan pesan gurunya bahwa memang aji sirap itu dapat dikalahkan apabila berhadapan dengan seorang yang lebih nggi ilmunya.
Adakan pa h Aragani itu sak mandraguna ? Atau apakah pa h Arogani mempunyai seorang berilmu yang dipercayakan untuk menjaga keselamatan gedung kepa han? Mungkinkah orang nggi besar yang mengepalai rombongan prajurit penjaga ini yang memiliki ilmu penawar aji Begananda? Demikianlah Lembu Peteng menimang-nimang.
"Hai, kalian menyerah atau ma ?"
Teriak orang nggi besar itu dengan nada bergetar keras bagai gelombang samudera.
"Aku tak pernah menyerah. Hanya mayatku yang mau menyerah,"
Sahut Wijaya dengan nada yang dibuat agak besar dan seram agar jangan dikenal orang siapa dirinya. Ia tahu pa h Aragani itu berotak terang dan tajam ingatan.
"Siapa engkau, hai! "
Hardik lelaki tinggi besar itu.
"Aku Alap-alap Nyawa,"
Seru Wijaya.
"Aku Samber Nyawa,"
Seru Lembu Peteng pula. Tamtama nggi besar itu rupanya seorang bekel atau lurah prajurit penjaga kepa han. Dia tampak terkesiap "Alap-alap Nyawa dan Samber Nyawa ?"
Ia menegas.
"Ya."
"Mengapa tak pernah kudengar nama itu? "
"Tentu, karena kami hanya muncul untuk mencabut nyawa manusia-manusia jahat,"
Sahut Wijaya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keparat! "
Hardik bekel bertubuh nggi besar "kalian ibarat ikan yang sudah didalam jaring mengapa masih bertingkah kurang tata? Mau apa kalian datang kemari?"
"Apakah masih perlu kujelaskan lagi? "
"Setan alas, engkau benar-benar gila. Sebelum kutangkap, katakanlah maksudmu!"
"Alap-alap Nyawa dan Samber Nyawa hendak menggondol nyawa gustimu, patih Aragani itu !"
Tamtama nggi besar itu mendengus geram "Hm, apa engkau buta? Lihat penjagaan di kepa han yang berlapis pedang berpagar tombak ini.
Sekalipun nyamuk, tak mungkin mampu lolos.
Kecuali engkau mempunyai nyawa rangkap tujuh, baru engkau mampu mengganggu gusti patih Aragani."
"Ha, ha, ha,"
Wijaya tertawa tajam dan seram "Alap-alap Nyawa dan Samber Nyawa belum pernah gagal mengambil nyawa orang yang dikehendakinya. Tak peduli dia seorang kawula biasa atau mentri kerajaan yang berpangkat tinggi."
"Setan!"
"Dengarkan dulu, hai tamtama,"
Seru Wijaya "ketahuilah bahwa yang kami sambar nyawanya itu bukan orang yang tak berdosa, bukan pula mentri narapraja yang jujur dan setya, tetapi mereka manusia-manusia yang kotor ba nnya dan jahat perbuatannya! Tamtama, jika engkau masih sayang akan nyawamu, menyingkirlah dan jangan ikut campur urusanku."
"Jahanam,"
Teriak tamtama itu dengan marah "engkau anggap Wregola ini bangsa kus yang ketakutan mendengar gertakanmu ? Sekalipun nyawamu rangkap tujuh, aku tetap dapat mencabutnya."
Tamtama yang berpangkat bekel itu serentak memutar pedang dengan amat derasnya sehingga hilanglah pedang bergan segulung sinar pu h yang menyilaukan mata.
Lingkaran sinar pedang itu berhamburan mencurah kearah Wijaya.
Wijaya terkejut demi menyaksikan gerak permainan pedang dari tamtama nggi besar itu.
Ia tak menyangka bahwa pa h Aragani memelihara seorang tamtama yang memiliki ilmu bermain pedang yang sedemikian menakjubkan.
Bukan melainkan hanya memancarkan segulung sinar yang kemilau, pun membiaskan hembusan angin yang cukup dapat meregangkan buluroma.
Namun Wijaya tak gentar menghadapinya.
Dari gurunya, ia pun telah menerima berbagai ilmu bermain dengan senjata, terutama ilmu bermain pedang.
Serentak ia berkisar kesamping sambil mencabut pedang lalu melancarkan serangan balasan, membabat kaki lawan.
Tamtama Wregola terkejut terpaksa harus loncat menghindar.
Sejenak memusatkan semangat, iapun mulai menyerang lagi.
Pedangnya berputar melingkar laksana segulung pelangi yang membelah angkasa.
Tring, tring, tring ....
bagai gerak ular memagut, beberapa kali pedang Wijaya menusuk pedang lawan dan ba- ba,ia ayunkan kakinya ke perut lawan.
Wregola cepat melonjak hendak menghindar.
Gerakannya memang tangkas walaupun tubuhnya yang nggi besar itu tentu mempunyai mbangan yang cukup berat.
Namun secepat-cepat ia bergerak, masih kalah cepat juga dengan Wijaya.
Pada saat Wregola loncat mundur, lututnya termakan ujung kaki Wijaya sehingga goyahlah keseimbangan tubuhnya.
Tamtama itu terhuyung-huyung beberapa langkah kebelakang.
Melihat pemimpinnya menderita kekalahan, berpuluh prajurit yang memenuhi ambang pintu serempak berhamburan menyerbu.
Tetapi Lembu Peteng sudah siap.
Ia menyongsong mereka dengan ayunan sepasang bindi.
Terdengar beberapa prajurit itu mengaduh kesakitan dan tersiak mundur.
Bindi Lembu Peteng terlampau kuat bagi mereka.
Dalam pada itu bekel Wregolapun sudah maju menyerang lagi.
Kali ini ia menyerang dengan ha - ha .
Ia menyadari bahwa penjahat yang wajahnya bertutup kain hitam itu tentu bukan seorang penjahat biasa, melainkan seorang berilmu sakti.
Wijayapun diam2 menimang dalam ha .
Apabila ia terlalu lama terkurung dalam pertempuran di ruang situ, ia kua r sukar untuk meloloskan diri.
Diperhitungkannya bahwa bala bantuan penjaga kepa han tentu segera mengalir tak putus-putusnya, makin lama makin banyak.
Sedang ia hanya dua orang.
Betapapun ia hendak bertempur dengan segenap tenaga, namun karena kalah jumlah, ia kua r akan mengalami hal-hal yang tak diinginkan.
Dan apabila ia sampai tertangkap, bukankah akan menimbulkan kegemparan besar apabila mereka tahu siapa dirinya ? Pa h Aragani seorang yang licin dan berbisa lidahnya.
Dia dapat mengadukan hal itu kepada seri baginda.
Atau kemungkinan, peris wa itu tak sampai jatuh di tangan baginda, pa h itu sudah akan ber ndak sendiri, menyuruh orangnya untuk membunuhnya.
Apabila seri baginda menegurnya, pa h itu masih dapat memberi dalih, bahwa karena orang itu berpakaian hitam din mukanya bertutup kain hitam prajurit-prajurit kepatihan tak tahu dan tak kenal, maka terus dibunuhnya.
Akhirnya Wijaya memutuskan untuk lolos.
Ia harus berjuang sekuat tenaga untuk membuka sebuah jalan darah.
Selama menimang pertimbangan itu, Wijaya hanya bertahan saja atas serangan Wregola sehingga Wregola mampu melancarkan serangan sampai beberapa waktu lamanya.
Tetapi setelah memperoleh keputusan, Wijayapun cepat merobah gaya permainannya.
Dari diserang kini ia balas menyerang.
Bahkan diserangnya tamtama bertubuh tinggi besar itu dengan serangan berantai susul menyusul bagai alir sungai yang tak kunjung berhenti.
Serangan Wijaya itu benar-benar membuat Wregola sibuk sekali untuk membela diri.
Karena ruang tak berapa luas dan prajurit-prajurit pun sedang bergerak mengeroyok Lembu Peteng maka Wregola merasa terpancang gerakannya.
Ia tak dapat bergerak dengan bebas.
Dalam sebuah terjangan yang tak terduga cepatnya, ujung pedang Wijaya telah meluncur ke arah dadanya.
Tamtama itu terkejut dan cepat hendak mengatupkan pedangnya melindungi dada tetapi secepat itu pula ujung pedang Wijaya bergan arah mengancam perut sehingga tangkisan pedang Wregola tadipun menemui angin.
Ia ter pu oleh gerak siasat pedang Wijaya, Untuk menurunkan pedang ke bawah, iapun berusaha juga tetapi terlambat.
"Hehkkkk ...
"
Mulut Wregola menjerit kejut ke ka perutnya terasa perih, sedemikian perih sehingga dengan cepat kepalanya terasa pening, pandang matanyapun gelap.
Ia tak dapat mempertahankan keseimbangan diri, bahkan seper telah kehilangan diri sehingga rubuh ke belakang.
Brak, ia membentur pintu tak sadarkan diri dalam keadaan mandi darah.
Melihat sang bekel rubuh, pecahlah nyali prajurit-prajurit itu.
Mereka berebut hendak melarikan diri memanggil bala bantuan.
Tetapi ba di ambang pintu mereka seper terpaku.
Seorang brahmana tua, muncul di ambang pintu itu.
Rasa kejut itu melipu juga ha Wijaya.
Ia cepat dapat mengenali brahmana tua itu adalah maharesi Dewadanda, kepala candi Bentar yang termasyhur di kerajaan Singasari.
Gandi Bentar merupakan candi yang terbesar dan murid atau cantrik-cantriknya tak kurang dari dua ribu orang jumlahnya.
Maharesi Dewadanda sudah berusia hampir seratus tahun, termasyhur sebagai pemuka aliran Subuthi dari Tantrayana, yalah golongan yang mengutamakan ajaran mantra.
"Mengapa maharesi tua ini berada dalam gedung kepatihan ?"
Tanya Wijaya dalam hati.
Namun belum sempat ia memperoleh pemecahan, ba- ba maharesi itu berseru nyaring "Hai, penjahat, langkahmu sungguh naas karena malam ini aku kebetulan bertamu ke sini.
Aji penyirap yang engkau lancarkan tadi, kuhembus buyar.
Sekarang engkau sudah terkurung, daripada menderita cacat, baiklah engkau menyerah saja!"
"Ah,"
Wijaya mengeluh dalam ha .
Ia baru tahu mengapa aji sirap Begananda yang dilancarkan Lembu Peteng tak memperoleh hasil.
Kemudian iapun menyesali diri sendiri mengapa masih kurang ha -ha .
Seharusnya ia jangan terburu- buru ber ndak sebelum yakin benar-benar bahwa segenap penghuni kepa han itu sudah terlena semua.
Tetapi diapun tak mau menutupi kenyataan bahwa memang hebat sekali cara fihak kepa han mengatur siasat untuk menjeratnya.
Suasana gedung dibuat sedemikian senyap sekali sehingga timbul kesan kalau semua orang sudah tertidur.
"Hai, brahmana, kami tak mengganggu tuan, jangan tuan ikut campur urusan kami,"
Belum sempat Wijaya berpikir lebih lanjut, Lembu Petengpun sudah melantang.
Maharesi Dewadanda tertawa.
Nadanya riang dan memekakkan telinga "Aku sudah terlanjur berada di sini, bagaimana mungkin aku berpeluk tangan saja? Dan sudah selayaknya apabila perbuatan kalian ini harus ditangkap.
Perbuatan masuk kedalam kepatihan seperti laku seorang pencuri, adalah jahat.
Lebih jahat pula karena kalian berani masuk ke ruang peraduan ki patih Aragani dan hendak membunuhnya."
"Siapa engkau, resi tua!"
Seru Lembu Peteng yang rupanya belum pernah bertemu muka dengan resi itu.
"Apa kepen nganmu hendak mengetahui namaku ?"
Balas maharesi tua itu "apakah setelah engkau tahu siapa aku ini, engkau akan menyerahkan diri ?"
"Akan ku per mbangkan dulu,"
Sahut Lembu Peteng "layakkah aku menyerahkan diri kepadamu atau tidak."
Resi tua itu geleng-geleng kepala "Hebat sekali sikapmu, penjahat.
Ketahuilah, aku adalah maharesi Dewadanda dari candi Bentar.
Engkau menyerah atau melawan, itu terserah kepadamu.
Tetapi apabila engkau mau mendengar nasehatku, baiklah engkau serahkan diri saja.
Karena melawanpun tentu sia-sia, bahkan apabila menyerah, engkau tentu terhindar dari kesakitan."
"O,"
Desus Lembu Peteng "aku berani masuk ke dalam kepatihan sini, sudah membekal tekad yang bulat. Mati, menderita cacat silsaan dan apa saja yang mengerikan apabila aku tertangkap. Tetapi aku tak menyangka sama sekali."
"Tak menyangka bakal tertangkap ?"
"Bukan,"
Jawab Lembu Peteng "tak menyangka bahwa seorang maharesi kepala candi yang terbesar di seluruh Singasari, mau melindungi seorang jahat."
Maharesi Dewadanda kerutkan dahi yang sudah penuh, keriput "Siapakah yang engkau katakan jahat itu ?..
"
"Patih Aragani!"
Seru Lembu Peteng "dia telah menculik ....
"
"Maharesi Dewadanda,"
Cepat Wijaya menukas "kami sebenarnya tak bermaksud jahat hendak membunuh atau menganiaya patih Aragani."
"Aneh,"
Sahut Dewadanda "lalu apa maksud kalian masuk ke kepa han pada tengah malam buta begini."
"Kami hendak minta keterangan kepadanya."
Maharesi Dewadanda tertawa datar "Minta keterangan mengapa harus datang pada waktu malam dan menggunakan aji penyirap ? Mengapa dak pada siang hari saja langsung menghadap ki patih secara terang-terangan ?"
Wijiya. terdiam.
"Ki sanak,"
Seru maharesi tua itu pula "
Ada hal yang lebih sukar daripada menutupi kebohongan. Baik, akan kuper mbangkan lagi bagaimana ndakanku kepadamu. Tatapi engkau dan kawanmu harus menuruti permintaanku."
"Katakanlah,"
Sahur Wijaya "apabila kami mampu melakukan dan kami anggap layak, tentulah kami akan menurut perintah ki maharesi."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mudah sekali,"
Seru maharesi Dewadanda "dan kalian tentu dapat melakukannya.
Tak lain hanyalah kuminta kalian membuka kain penutup muka kalian dan tunjukkanlah siapa diri kalian ini".
Wijaya terkesiap dan sibuk sekali ha nya.
Apabila ia menuru permintaan resi tua itu, jelas peris wa itu akan berekor panjang.
Wijaya, senopa baru dari kerajaan Singasari menyaru sebagai seorang penjahat dan masuk kedalam kepa han hendak mencidera pa h Aragani ? "Ah, betapa gempar hal itu apabila sampai tersiar di pura Singasari.
Tidakkah baginda juga akan murka?"
Pikirnya.
Wijaya tak gentar menerima kemurkaan bahkan pidana dari seri baginda.
Dia berani berbuat dan diapun harus berani menanggung akibat.
Tetapi akibat itu akan membawa suatu kehancuran.
Bukan kehancuran diri peribadinya melainkan kehancuran dari negeri Singasari.
Dalam waktu yang singkat menjabat sebagai senopati, Wijaya segera dapat mempelajari suasana dalam pura kerajaan.
Seri baginda Kertanagara se ap waktu akan terjerumus dalam mulut manis pa h Aragani yang mengandung bisa.
Misalnya, seper peris wa utusan raja Kubilai Khan.
siang tadi.
Bukankah hampir saja seri baginda menurut anjuran pa h Aragani untuk menghukum utusan itu? Bukankah apabila hal itu sampai terjadi, Kubilai Khan tentu marah dan akan mengirim pasukan untuk menyerang Singasari? Bukankah saat ini kekuatan Singasari masih ringkih karera sebagian besar pasukan Singasaii telah dikirim ke Malayu? "Tidak,"
Akhirnya Wijaya membulatkan keputusan dalam ha "aku harus tetap melanjutkan perjuangan untuk menyelamatkan Singasari."
Setelah bulat keputusannya, maka Wijayapun menjawab "Maaf, maharesi, kami terpaksa tak dapat memenuhi permintaan tuan."
"Mengapa ?"
"Aku tak dapat menerangkan apa sebabnya tetapi cukup kuminta agar tuan percaya kepada keterangan kami tadi bahwa kami tak bermaksud jahat terhadap patih Aragani "
"Hm, engkau menghina aku,"
Dengus maharesi.
"Mengapa aku menghina tuan?"
"Engkau memperlakukan aku lebih dari seorang kecil."
Wijaya kerutkan dahi. Ia tak tahu apa yang dimaksudkan maharesi tua itu.
"Seorang anak kecil saja, pun sukar menerima alasanmu itu. Dan engkau telah menawarkan hal itu kepadaku. Bukankah engkau anggap aku ini lebih dari seorang anak kecil ?"
"Ah,"
Desuh Wijaya.
"Adakah benar-benar engkau tak mau memperlihatkan wajahmu? Apakah engkau memaksa aku supaya menggunakan kekerasan?,"
Seru maharesi Dewadanda pula.
"Tuan adalah seorang maharesi,"
Jawab Wijaya "adakah tuan merasa bahwa memaksa orang dengan kekerasan itu dapat dibenarkan?"
"Bukankah kejahatan itu tak dibenarkan dan harus diberantas,"
Balas maharesi Dewadanda "prabu Ramawijayapun terpaksa menggunakan kekerasan untuk memberantas kejahatan Rahwanaraja."
"Tetapi engkau bukan prabu Ramawijaya dan kamipun bukan Rahwanaraja,"
Sahut Lembu Peteng.
"Rahwanaraja merupakan lambang dari kejahatan, keangkara-murkaan dan kemilikan. Seper kalian dan lain-lain orang jahat, pun dapat digolongkan sebagai Rahwanaraja."
"Dan engkau sang prabu Ramawijaya, maharesi yang suci?"
Ejek Lembu Peteng.
"Sang prabu Ramawijaya adalah peni san Hyang Wisnu, sudah barang tentu aku bukan. Tetapi tugas Hyang Wisnu turun ke arcapada adalah untuk memberantas kejahatan. Se ap orang yang bertindak memberantas kejahatan adalah mengikuti jejak Hyang Wisnu."
"Engkau memutar-balikkan kenyataan. Justeru kami yang hendak memberantas kejahatan pa h Aragani dan engkau yang membela kejahatan."
Rupanya maharesi tua itu sudah tak sabar berbicara lebih panjang "Cukup!,"
Serunya "sekarang tinggal kalian boleh memilih, mau menanggalkan kain penutup mukamu atau tidak?"
"Kalau kami menolak?"
Seru Wijaya.
"Terpaksa aku harus bertindak dengan kekerasan."
"Maharesi Dewadanda, kekerasan bukanlah sikap utama dari seorang brahmana yang telah mencapai tataran maharesi seper andika. Namun semutpun kalau dipijak, tentu akan menggigit juga,"
Seru Wijaya.
Maharesi tua itu tertawa "Kalau menurut kecakapanmu bicara, jelas engkau ini bukan penjahat biasa.
Namun tak ada pembunuh apabila kepergok atau ketangkap akan mau mengaku kalau hendak membunuh.
Aku dak melindungi apa yang engkau katakan kejahatan tetapi aku hendak mencegah suatu pembunuhan.
Engkau boleh menggunakan seribu macam dalih untuk menghias kehadiranmu di ruang ini tetapi sebuah kenyataan telah menghapus segala alasanmu.
Kenyataan bahwa engkau hendak mencidera ki pa h Aragani.
Karena engkau tetap berkeras kepala, akupun terpaksa akan bertindak dengan kekerasan juga."
Maharesi menutup kata-katanya dengan maju selangkah tetapi secepat itu pula Lembu Peteng sudah menyongsong dengan sebuah pukulan, duk ... pukulan tepat mendarat di dada sang maharesi namun resi tua itu tetap tegak laksana segunduk batu karang.
"Aduh ...
"
Bahkan Lembu Peteng malah menjerit kesakitan ke ka njunya membentur dada sang maharesi.
Dia merasa seper menghantam segunduk batu keras sehingga tulang njunya serasa pecah.
Wijaya terkejut.
Ia segera menyadari bahwa maharesi itu memiliki ilmu kebal yang tak mempan pukulan maupun senjata tajam.
Dahulu ketika masih berguru di gunung Mahameru, gurunya pernah juga menceritakan tentang ilmu lindung atau kekebalan itu.
Berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu lindung, hanyalah dapat mengalahkannya apabila dihantam bagian naas atau yang lemah pada tubuhnya.
Hal itu pernah ia lakukan ketika berhadapan dengan Kuti dalam sayembara yang diadakan kerajaan Singasari untuk memilih seorang senopati beberapa waktu yang lalu.
Tetapi kini ia tak tahu dimana letak kelemahan anggauta tubuh maharesi itu.
"Ah,"
Serentak ia teringat akan pesan gurunya.
Bahwa apabila menghadapi seorang lawan yang mempunyai ilmu kebal, supaya menyerang lubang-lubang sad indriyanya.
Kini Wijaya hendak mencobanya.
Dan untuk melaksanakan hal itu, paling baik harus menggunakan senjata.
Serentak iapun mencabut cundrik pusaka, peninggalan dari eyangnya, Mahisa Gampaka atau Batara Narasingamur .
Dengan tenang ia menunggu ndakan maharesi Dewadanda.
Dewadanda amat yakin akan kesaktian dirinya.
Lembu Peteng dengan mudah menderita kesakitan dan ia percaya Wijayapun akan demikian.
Dengan langkah tenang ia ulurkan tangan hendak mencabut kain kerudung penutup muka Wijaya.
Tampaknya pelahan saja ia menggerakkan tangan tetapi kenyataannya, gerakan itu meluncur cepat sekali.
"Hm,"
Wijaya menyurut mundur setengah langkah. Ia menghadapi maharesi itu dengan tenang dan waspada. Namun laksana bayangan, tangan maharesi sudah mengejar maju "Maa an, maharesi,"
Seru Wijaya yang secepat kilat segera songsongkan tangan kanan kemuka.
Karena cundrik tergenggam lekat pada telapak tangan Wijaya dan bergerak dengan cepat, maharesi Dewadanda mengira kalau Wijaya hendak menangkis.
Diam-diam ia tertawa dalam ha dan membiarkan tangannya dibentur.
"Uh ....
"
Ba- ba maharesi itu mengerang tertahan ke ka telapak tangannya seper terpagut ular sakitnya. Dan matanya yang mengeriput itu tampak menyalang lebar ke ka melihat tetesan darah mengucur ke lantai.
"Setan,"
Gumamnya dalam ha .
Ia merasa telah terpedaya oleh lawan yang ternyata menggenggam senjata kecil seper cundrik.
Sebenarnya apabila hanya senjata biasa tentulah ia takkan menderita.
Dengan demikian jelas senjata cundrik lawan itu tentu sebuah pusaka yang ampuh.
Kekalahan Lembu Peteng tadi telah menimbulkan perasaan memandang rendah kepada kedua orang yang dianggapnya bangsa penjahat.
Pelajaran pahit yang dideritanya dari Wijaya, harus dibayar mahal.
Karena ia telah mengalirkan tenaga sak kearah telapak tangan agar apabila terbentur dengan tangan Wijaya, tangan lawan akan patah tulangnya, maka ke ka telapak tangannya tertusuk cundrik pusaka yang ampuh, pecahlah tenaga daya kebal yang terhimpun di telapak tangannya itu.
Dan bobolnya himpunan tenaga sak sumber kekebalan itu, berakibat parah.
Serentak berhamburanlah tenaga sak itu bagaikan arus sungai yang tak dapat ditampung pula.
"Penjahat terkutuk,"
Seru maharesi Dewadanda penuh kemurkaan "jika tadi aku hanya bermaksud menyingkap kain penutup wajahmu, sekarang aku menghendaki jiwamu!"
Sekonyong- konyong maharesi itu menampar.
Seke ka Wijaya seper terlanda segelombang angin dahsyat sehingga tergempurlah pertahanan kakinya dan terhuyung beberapa langkah ke belakang.
Sebelum ia sempat berdiri tegak, maharesi Dewadandapun sudah menyusuli pula dengan sebuah tamparan.
Dalam keadaan tubuh masih belum tegak keseimbangannya, tentulah Wijaya akan terdampar rubuh.
Wijaya tak sempat menggunakan cundrik, bahkan getar-getar kejutpun tak sempat mengguncang perasaannya karena ia seper sebuah perahu yang didampar gelombang prahara.
Tamparan kedua dari maharesi itu telah mendamparnya hingga terlempar kesudut ruang.
Lembu Peteng terkejut.
Ia hendak loncat menerkam punggung resi tua itu.
Tetapi sebelum ia sempat bergerak maharesi itu sudah loncat kemuka dan menghantam Wijaya.
Resi tua itu benar- benar diamuk kemarahan yang berkobar-kobar.
Dia merasa malu karena sebagai maharesi kepala candi Bentar yang termasyhur, harus menderita luka melawan seorang penjahat yang tak dikenal.
Bukankah apabila prajurit-prajurit penjaga kepa han yang menyaksikan peris wa itu, menceritakan kepada orang, maharesi akan menderita malu besar.
Maka ia melupakan segala pantangan dalam agamanya.
Tujuannya hanya satu, menghancurkan Wijaya, penjahat yang memakai penutup muka kain hitam.
Pukulan maharesi itu tak mungkin dapat dihindari Wijaya.
Dia masih nanar pandang matanya.
Untunglah dia masih memiliki kesadaran pikiran.
Sebelum ajal berpantang maut.
Demikian keputusan Wijaya.
Betapapun ia harus berusaha untuk memberi perlawanan terakhir menurut apa yang mampu dilakukan.
Serentak ia song-songkan cundrik menyambut pukulan lawan.
Tetapi hal itu tak dapat menyelamatkan keadaan.
Pukulan maharesi itu menghamburkan angin yang dahsyat sehingga cundrik tersiak kesamping dan pukulan tetap melaju ke-arah ubun-ubun kepala Wijaya.
"Duh, Batara Agung, hamba serahkan jiwa hamba ke hadapan paduka ....
"
Tak banyak yang dapat dilakukan Wijaya kecuali hanya masih sempat untuk mengucapkan beberapa patah kata.
Memaserahkan diri kepada Hyang Purbenggesang, yang menghidupkan dan menghidupi, yang mengatur dan menentukan, yang mengambil dan menghancurkan.
Sebagai tahNYA, ia telah berusaha dan berjuang untuk mempertahankag jiwanya namun apabila Dewata Agung menghendaki bahwa hanya sampai disitu dharma hidup Wijaya, ia-pun akan merelakannya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pemaserahan itu, Wijaya telah mengheningkan seluruh indriya, meleburkan semangat dan pikiran kedalam alam kehampaan.
"Uh ....
"
Tiba-tiba maharesi Dewadanda mendesuh kejut.
Tinju yang dilayang keatas kepala Wijayapun terhenti.
Dan pada saat itu pula, ia merasa melihat suatu keajaiban yang belum pernah disaksikan seumur hayatnya.
Pada saat pukulan hendak mendarat, tiba-tiba ubun-ubun kepala Wijaya menghamburkan segulung asap putih.
Asap hilang dan merekahlah sekuntum bunga Wijayakusuma.
Maharesi Dewadanda terkejut.
Sesaat kemudian ia-pun teringat untuk melanjutkan tinjunya yang tinggal sekilan dari ubun-ubun kepala Wijaya.
Tetapi saat itu juga ia dicengkam rasa kejut yang tiada taranya.
Tangannya serasa terpaku tak dapat digerakkan.
Beberapa saat kemudian ia rasakan lengannya seperti mati-rasa, tak terasa dan tak dapat digerakkan.
Peristiwa itu menggetarkan rasa kejut dalam hati sekalian orang yang hadir dalam ruang.
Mereka tak melihat sesuatu tetapi mengapa maharesi itu seperti terbelalak heran dan ketakutan ? Dan mengapa pula tinju yang hanya kurang sekilan daii kepala Wijaya, tertahan diatas dan tak lekas dijatuhkan? Memang benar.
Maharesi dari candi Bentar itu terbeliak seperti melihat sesuatu yang mengejutkan dan mengherankan, bahkan mengerikan.
Dia adalah salah seorang pemuka agama Syiwa-Budha di Singasari.
Dalam pengetahuan agama itu, ia telah mencapai tingkatan yang luas dan tinggi.
Menurut pengetahuannya, bunga Wijayakusuma adalah bunga keramat yang hanya dimiliki oleh sang prabu Batara Kresna.
Bunga Wijayakusuma yang dimiliki prabu Kresna, kuasa untuk menghidupkan orang mati.
Dan menurut kepercayaan, Kresna adalah titisan Hyarg Wisnu.
Juga ke ka Aji Saka mendarat di Jawadwipa, di tengah samudera kidul, ia telah mendapatkan bunga Wijayakusuma itu dan akhirnya dikemudian hari dia dapat menjadi raja.
"Bunga Wijayakusuma adalah lambang dari kebesaran wahyu agung yang hanya dimiliki oleh manusia yang suci dan atau mahabesar,"
Dalam ketegunan itu masih sempat pula maharesi Dewadanda melayangkan ingatannya kepada beberapa pengetahuan yang pernah diteguknya.
"Adakah penjahat bertutup muka ini, bukan seorang manusia biasa? Atau adakah dia seorang insan kekasih dewata yang kelak diakdirkan akan menjadi seorang besar?"
Dalam saat yang amat cepat, timbullah beberapa reka dan duga dalam hati maharesi Dewadanda.
Lepas dari keheranan yang dialaminya saat itu, sebagai seorang maharesi yang telah mencapai ngkat nggi tentang pengetahuan alam gaib, diapun segera dapat mengetahui dan menerima sasmita gaib itu.
"Aneh,"
Gumamnya dalam hati "siapakah gerangan penjahat ini?"
Namun karena tak mungkin ia mendapat jawaban dari pertanyaan itu, terpaksa ia harus menghadapi makna daripada sasmita gaib itu.
Dan betapapun besar nafsu amarah dan keinginan untuk membunuh orang itu, namun dia harus tunduk pula akan ketentuan kodrat Prakitri.
Kenyataan yang ia alami saat itu, dimana pukulannya tertahan dan lengannya serasa ma -rasa, harus diterima dengan segala rasa senang maupun tak senang, rela maupun tak rela.
Dikala maharesi Dewadanda tertegun dan terbenam dalam kesiap lamun dan heran, Wijaya tersentuh oleh suatu perasaan bahwa seharusnya dia menderita kesakitan pada kepalanya karena ia tahu bahwa pukulan lawan diarahkan keatas kepalanya.
Namun kesakitan itu tak kunjung ba.
Serentak ia memulangkan kesadaran dalam pikirannya yang telah hampa itu.
Memang benar.
Ia tak menderita suatu apa.
Iapun merasa heran, kemudian bangkitlah rasa ingin tahu apa yang telah terjadi.
Dan iapun segera membuka mata.
Apa yang disaksikan saat itu, benar-benar hampir tak mungkin dipeicayainya.
Tinju maharesi Dewadanda masih tetap mengacung di atas kepala, wajah resi itu dicengkam rasa kejut yang hebat, sebagaimana dipantulkan dari keriput dahinya yang makin meliuk dalam dan sepasang matanya yang terbelalak lebar.
Dalam penilaian Wijaya, tentulah maharesi itu tak mau menurunkan pukulannya dan melainkan diancamkan diatas kepalanya agar Wijaya tak dapat berkutik.
Kemudian maharesi itu tentu akan menggerakkan tangan kirinya untuk melepas kain hitam yang menutup wajahnya.
Pikir Wijaya.
Penilaian itu segera membangkitkan semangatnya.
Kalau maharesi itu berhasil melucu kain penutup mukanya, ah, betapa malunya.
Ia harus berusaha untuk menggagalkan hal itu.
Ia harus berjuang untuk melepaskan diri dari ancaman sang maharesi.
Kesempatan yang ditafsiran Wijaya sebagai suatu sikap Dewadanda yang menyertai tujuannya hendak mencabut penutup muka dengan sebuah nju yang diacungkan keatas kepala itu, tak disia- siakan Wijaya.
Secepat kilat ia gerakkan kaki mendupak perut maharesi itu lalu loncat ketempat Lembu Peteng "Mari kita terjang mereka,"
Serunya seraya mendahului menerjang prajurit-prajurit yang memenuhi ambang pintu.
Maharesi Dewadanda tahu akan gerakan kaki Wijaya.
Dan tersadarlah ia dari tegun lamunannya.
Serentak ia hendak menangkis dengan tangannya.
Tetapi ah ....
kembali suatu keajaiban terjadi.
Sejak tenaga pada tangannya sirna dibias kembang Wijayakusuma gaib, tenaganyapun terasa merana.
Ia tak berhasil menghimpun tenaga dalam Cakram Manipura lagi.
Maka bagai layang layang putus tali, tubuh resi tua itupun terlempar beberapa langkah ke belakang, brak ....
punggungnya membentur tempat peraduan patih Aragani yang tengah berbaring dengan kedua selirnya.
Kantil atau tempat tidur itupun terbalik dan keempat orang berhamburan jatuh tumpang tindih.
Prajurit-prajurit yang menyaksikan peris wa itu terkejut sekali.
Mereka buru-buru menghampiri untuk memberi pertolongan kepada pa h Aragani dan maharesi Dewadanda.
Mereka tak menghiraukan Wijaya dan Lembu Peteng lagi, yang pen ng adalah keselamatan gus mereka.
Dengan demikian mudahlah bagi Wijaya dan Lembu Peteng untuk menerjang keluar lalu menuju ke pagar tembok dari mana keduanya tadi turun ke halaman gedung.
Tali masih menjulur dan merekapun cepat memanjat ke atas tembok lalu melayang turun keluar dan melarikan diri.
"Ah, syukur dewata masih melindungi kita dari bahaya, raden,"
Kata Lembu Peteng setelah ba di tempat kediaman Wijaya. Wijaya menghela napas.
"Yah,"
Jahatnya "tetapi kita tak berhasil menyelidiki jejak mpu Raganata"
"Tetapi kita sudah berusaha sekuat tenaga. Sayang resi tua itu menghalangi. Benarkah dia maharesi Dewadanda kepala candi Bentar?"
"Ya, memang benar,"
Kata Wijaya "mudah-mudahan Sora dan Nambi serta Lembu Mandira berhasil dalam penyelidikannya."
"Raden,"
Kata Lembu Peteng "tak habis keherananku, mengapa secara ba- ba resi tua itu menghentikan pukulannya diatas kepala raden ?"
"Entahlah, aku sendiri juga heran, kakang Peteng,"
Jawab Wijaya "maharesi Dewadanda itu termasyhur sakti.
Dia sering dipanggil seri baginda untuk bersama-sama merundingkan dan mempelajari ilmu kesaktian dan mantra dalam ajaran Subuthi.
Dan apa yang kualami memang nyata.
Maharesi itu memiliki tenaga pukulan yang luar biasa.
Kukira saat itu kepalaku tentu sudah pecah.
Eh, tiba-tiba saja dia tertegun dan hentikan pukulannya."
"Tentulah raden juga melancarkan aji kesaktian untuk menolaknya,"
Kata Lembu Peteng.
"Tidak, kakang Peteng."
"Tidak ? Lalu apa yang raden rasakan saat itu ?"
"Aku tak merasakan sesuatu kecuali lunglai kehilangan daya perlawanan, kepala pening dan mala berbinar-binar."
"Aneh,"
Gumam Lembu Peteng.
"Mengapa? "
"Pada hal jelas resi itu terhenti pukulannya. Dan raden tidak melancarkan aji kesaktian bahkan merasa kehilangan daya perlawanan lagi."
Tiba- ba Wijaya teringat bagaimana pada saat-saat yang menegangkan itu, ia mengucapkan kata-kata memaserahkan jiwanya kepada Hyang Widdhi.
Adakah terjadi sesuatu kegaiban atas pemanjatan doa yang diucapkannya itu? Pikirnya.
Seke ka ia teringat akan petuah yang pernah diterima dari gurunya "Segala aji dan mantra memang bertuah.
Tetapi kesemuanya itu kalah dengan kekuasaan Hyang Widdhi Agung yang maha besar dan maha kuasa.
Maka pada saat engkau menghadapi bahaya yang mengancam jiwamu, sebutkan dan paserahkan dirimu kehadapan Hyang Purbawisesa."
Teringat akan itu, mbul dugaan bahwa setelah ia memaserahkan diri kepada Hyang Batara Agung, tentulah saat itu terjadi suatu kegaiban.
Kegaiban yang sudah tentu dia tak merasa dan tak melihatnya.
Maka dicobanya untuk mendapat keterangan Lembu Peteng "Kakang Peteng, dikala pukulan maharesi itu terhenti diatas kepalaku, apakah engkau tak menyaksikan sesuatu?"
"Apa yang raden maksudkan?"
"Misalnya, melihat sebuah benda, baik yang berupa sinar, asap dan lain-lain."
"Sama sekali dak, raden,"
Sahut Lembu Peteng "yang jelas kulihat hanyalah pukulan resi itu terhenti diatas kepala raden dan dia terbelalak kaget."
"Hm,"
Wijaya heran.
Tiba- ba pula Lembu Peteng bertanya "Raden, tadi raden mengatakan bahwa resi tua itu amat sak .
Dan raden menyangka bahwa dia memang sengaja tak menurunkan pukulannya karena sedianya hanya digunakan untuk mengancam apabila raden berani bergerak dikala tangan kirinya hendak mencabut penutup muka raden."
"Ya."
"Tetapi mengapa waktu raden mendupak perutnya, dia tak dapat menangkis atau menghindar? Tak mungkin seorang yang berilmu sakti tak mampu menyelamatkan diri dari dupakan raden?"
Wijaya tertegun.
Memang hal itu baru sekarang ia merasakan keanehannya.
Betapa mudah sekali ia mendupak perut maharesi Dewadanda saat itu dan betapa ringan tubuh maharesi itu ke ka terlempar ke belakang.
Pada hal andaikata maharesi itu tak sempat menghindar ataupun menangkis, tentulah dia hanya tersurut sedikit ke belakang.
Masakan sampai seper layang-layang putus tali atau seperti pohon kering yang tumbang? Wijaya makin heran.
Dan keheranannya itu makin melabuhkan prasangkanya bahwa tentu telah terjadi suatu kegaiban pada saat itu.
Ia tak merasa, tak melihat dari tak tahu tentang kegaiban itu namun ia percaya adanya.
Jika tidak, tak mungkin maharesi Dewadanda menghentikan pukulan dan dengan mudah dapat didupaknya sampai terlempar beberapa langkah.
Kepercayaan itu mbul manakala ia teringat akan petuah gurunya dahulu.
"Ya, engkau benar kakang Peteng,"
Kata Wijaya pada akhirnya "memang hal itu mengherankan. Tetapi aku tak tahu apa sebabnya."
"Mungkin suatu kegaiban, raden,"
Kata Lembu Peteng "kegaiban yang diturunkan Hyang Batara Agung untuk melindungi raden."
Wijaya dak menjawab.
Hanya dalam ha ia membenarkan ucapan Lembu Peteng itu.
Makin bertambah teballah kepercayaan Wijaya akan kebesaran dan kekuasaan Hyang Widdhi.
Keesokan hari, muncullah Sora dan Nambi yang bertugas menyelidiki ketempat kediaman pangeran Ardaraja.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi kedua orang itu melaporkan bahwa mereka tak berhasil memasuki gedung pangeran.
"Penjagaan amat ketat sekali,"
Kata Sora "kami hampir kehilangan akal dan daya untuk memasuki gedung sang pangeran.
Untung saat itu kami menemukan akal.
Dengan menimbulkan suara berkat batu yang kami lontarkan, kami berhasil memancing seorang penjaga meninggalkan tempatnya.
Segera penjaga itu kami tangkap dan kami paksa supaya memberi keterangan."
"O, bagus, Sora,"
Seru Wijaya "lalu bagaimana hasilnya? "
"Ah,"
Sora menghela napas "penjaga itu mengatakan bahwa pangeran Ardaraja tak berada di kediamannya malam itu."
"Lalu tidakkah engkau menanyakan tentang mpu Raganata? "
"Sudah, raden,"
Jawab Sora "diapun mengatakan bahwa mpu Raganata tak berada digedung kediaman pangeran Ardaraja."
"Dan engkau percaya keterangannya ?"
"Ya,"
Kata Sora "tetapi sebelumnya kami pun sudah menggunakan cara kasar dan halus kepadanya, namun dia tetap memberi keterangan begitu dan bahkan dikokohkannya keterangan itu dengan sumpah yang amat berat."
"Hm, sebenarnya dalam melakukan penyelidikan, jangan kita mudah terperosok oleh keterangan orang dari fihak yang hendak kita selidiki. Karena mereka ikut dengan orang itu dan mendapat kehidupan dari dia, wajar kalau dia condong untuk menjaga dan melindungi tuannya."
"Benar raden,"
Sahut Sora "tetapi kamipun mengiku perkembangan perobahan wajahnya dengan seksama dan mendapat kesan bahwa dia memang jujur dalam memberi keterangan itu."
"Ya, aku percaya akan ndakanmu, kakang Sora dan Nambi,"
Kata Wijaya yang diam2 kua r kedua kadehannya itu akan salah menger , mengira kalau dipersalahkan.
Namun ia tak dapat melepaskan suatu tanggung jawab sebagai pimpinan mereka untuk memberi suatu pegangan yaag berupa nasehat dan petunjuk.
Hal itu tampaknya tak pen ng, tetapi kemungkinan hal yang tak pen ng itu pada suatu saat akan merupakan unsur pen ng dalam masalah yang gawat "Namun janganlah kaiian tergesa-gesa memiliki kesan atas wajah dan bicara orang yang engkau hadapi, karena wajah itu sering bukan menjadi kaca ha .
Demikian pula bicara.
Bicara hanyalah suatu wak atau ucap yang dipengaruhi oleh pikiran.
Dan pikiran itu serba binal dan serakah.
Sudah barang tentu apabila dirinya akan celaka, katakanlah misalnya dia itu seorang penjahat, tentu pikirannya akan mencari jalan untuk menutupi kejahatannya agar terhindar dari pidana.
Maka dibuatnya sikap dan kerut wajah yang sungguh-sungguh dan merangkai kata-kata yang indah dan jujur.
Dalam hal ini kita jangan lupa, pa h Aragani itu seorang yang mahir dalam bermain kata, bermulut madu sehingga seri baginda kadang terhanyut "
Sora dan Nambi mengangguk.
"Kakang Sora dan Nambi."
Kata Wijaya "jangan salah faham bahwa aku menyalahkan tindakanmu.
Bukan itu yang kumaksudkan.
Tetapi apa yang kukatakan itu adalah sebagai suatu pedoman dalam langkah-langkah kita selanjutnya di kemudian hari.
Mari kita menarik pelajaran dari peristiwa waktu di keraton Singasari menerima utusan dari raja Kubilai Khan.
Hampir seri baginda akan menuruti anjuran patih Aragani untuk menghukum utusan itu.
Andaikata hal itu terlaksana, akibatnya akan kita rasakan lebih lama dan mungkin akan membawa derita yang berkepanjangan."
"Disinilah letak titik tolak dari kata-kataku tadi. Memang apa yang dikemukakan patih Aragani sangat beralasan. Sepintas dia memang hendak meluhurkan kewibawaan seri baginda Kertanagara. Seolah dia seorang pahlawan yang hendak menjunjung martabat seri baginda. Oleh rangkaian kata yang indah dan penuh semangat keksatryaan itu, hampir saja seri baginda setuju. Untung beberapa mentri mencegah seri baginda. Inilah yang kumaksudkan. Kalau kita tergesa mengambil kesimpulan dan teibuai oleh mulut manis, tentulah dalam menghadapi saat- saat yang genting seperti peristiwa di keraton itu, kita akan tergelincir kedalam bahaya. Peristiwa besar sering timbul dari keputusan sesaat. Keputusan yang terucap dari mulut, mulut yang hanya memancarkan perintah pikiran, pikiran yang mencerap kesan dan melahirkan kesimpulan. Itulah, kakang Sora dan Nambi, berhati-hatilah pada detik-detik sesaat itu. Detik- detik dimana keputusan akan lahir, akibat akan berbuah."
"Baik, raden, kami akan menjunjung nasehat raden dengan sepenuh hati,"
Kata Sora.
"Aku juga manusia, kakang Sora dan Nambi,"
Kata Wijaya "walaupun aku dapat menasehati engkau tetapi kemungkinan pada sewaktu-waktu akupun akan tergelincir dalam saat-saat seperti itu.
Maka apabila kelak kalian tahu dan merasa bahwa aku berada di tebing kesalahan, jangan kalian takut untuk meluruskan sekalipun kalian mungkin akan menderita kemarahanku.
Yang penting, kita harus berpegang pada kepentingan negara dan kepentingan umum, untuk menilai salah atau benarnya tindakanku, engkau dan siapa pun juga."
Makin dalam rasa kagum dan taat kedua kadehan itu terhadap Wijaya.
Mereka mengakui bahwa apa yang dikatakan Wijaya itu memang benar.
Merekapun merasa malu hati karena telah mempercayai penjaga gedung pangeran Ardaraja.
Sebenarnya pengakuan seorang penjaga saja masih harus dianggap belum cukup.
Perlu harus menangkap seorang penjaga lain untuk dipadu keterangan.
Apabila penjaga yang kedua itu sama keterangannya dengan penjaga yang pertama tadi, barulah mereka dapat mempercayai.
Sora dan Nambi saling bertukar pandang, lalu keduanya tertunduk tersipu-sipu dalam hati.
Diam- diam mereka mengakui bahwa peris wa itu tak luput karena tercemar oleh rasa gentar dan putus asa, melihat kuatnya penjagaan di gedung Ardaraja.
Sesungguhnya mereka ingin masuk untuk menyelidiki sendiri tetapi gagal sehingga mereka hanya berusaha menyekap seorang penjaga.
Dan keterangan penjaga itu cepat sekali mendapat kepercayaan mereka.
"Mudah-mudahan keterangan penjaga itu benar. Kalau dak, ah, aku berdosa karena menghianati tugas dari raden Wijaya,"
Diam-diam Sora mengeluh dan memanjatkan doa harapan.
"Kakang Sora dan Nambi, beristirahatlah. Kita. tunggu saja kedatangan Lembu Mandira. Mudah-mudahan dia berhasil mendapatkan jejak bahwa mpu Raganata benar dilarikan orang ke Daha,"
Kata Wijaya.
"Bagaimana andaikata mpu Raganata tak berada di Daha, raden?"
Tanya Nambi.
"Jika demikian,"
Setelah merenung beberapa saat Wijaya menjawab "kecurigaanku tetap jatuh pada pa h Aragani, Sayang aku tak berhasil menyelidiki ke sana. Baiklah, kita tunggu saja Lembu Mandira, nanti kita berunding lagi."
"Memang kaiau menilik gejala-gejala yang ada,"
Kata Nambi yang masih tak mau beris rahat "patih Aragani memang paling besar kemungkinan untuk dicurigai."
"Apa yang menyebabkan engkau menduga begitu, kakang Nambi,"
Tanya Lembu Peteng.
"Pertama, mengapa penjagaan kepatihan sedemikian ketatnya ?"
Kata Nambi.
"Ah, kemungkinan,"
Sambut Lembu Peteng "memang begitulah keadaan sehari-harinya. Karena dia merasa bahwa selama berebut pengaruh dan kepercayaan seri baginda, dialah yang paling menonjol."
"Dan karena itu maka dia merasa mempunyai banyak musuh ?"
Tanya Nambi.
"Demikian apabila orang merasa telah berbuat salah. Misalnya, dia tentu kua r akan pembalasan dari orang-orang penganut mpu Raganata, tumenggung Wirakre dan demung Banyak Wide atau Wiraraja serta masih banyak mentri dan senopa lain yang pernah difitnah dan disaki hatinya,"
Lembu Peteng memberi penjelasan.
"Atau karena peris wa upacara penerimaan utusan raja Kubilai Khan diistana itu sehingga dia ketakutan,"
Tiba-tiba Sora berseru.
"O, mengapa dia ketakutan?,"
Tanya Lembu Peteng.
"Akan mendapat pembalasan dari fihak utusan itu, atau menjaga kemungkinan apabila dari fihak-fihak yang menganggap dia membahayakan keselamatan kerajaan Singasari, akan mengambil tindakan diluar hukum kepadanya."
"O, apakah ada fihak-fihak yang mempunyai pendirian begitu, kakang Sora ?"
"Lembu Peteng, kita mengetahui mentri itu siapa, senopati itu siapa dan narapraja itu siapa. Kita kenal nama dan orangnya. Tetapi tahukah kita bagaimana isi hatinya? Terus terang saja Lembu Peteng, akulah salah seorang fihak yang mempunyai angan-angan begitu. Andaikata raden Wijaya memperkenankan, aku ingin dan sanggup untuk membunuh patih itu."
"Hutarg jiwa bayar jiwa, demikian hukum undang-undang Singasari, kakang."
"Lembu Peteng, demi keselamatan kerajaan Singasari, kurelakan jiwaragaku. Asal dengan lenyapnya patih Aragani, Singasari selamat, aku sanggup membunuhnya."
"Sora,"
Tertarik mendengar pembicaraan kedua kadehannya, Wijayapun ikut bicara "justeru untuk mencapai pada anggapan kita semacam itu terhadap patih Aragani, kita harus memperoleh bukti yang jelas.
Adakah engkau kira mudah untuk membunuhnya? Kepatihan dijaga ketat sekali.
Dan pula, membunuh seorang patih tanpa suatu bukti tentang kesalahannya yang nyata akan menimbulkan kemurkaan seri baginda dan amarah para kawula.
Ketahuilah Sora, untuk mencapai kedudukan setingkat rakryan patih Aragani, bukan suatu pekerjaan yang mudah.
Jelas dia tentu seorang yang pintar dan waspada serta mempunyai pengikut2 yang besar jumlahnya.
Hendaknya engkau batasi luapan hatimu itu di tempat ini saja, jangan disembarang tempat dan pada segala orang."
"Ah, tentu saja dak, raden,"
Kata Sora tertawa "hamba selalu akan ber ndak menurut apa yang raden perintahkan."
"Kakang Sora, engkau mengatakan bahwa rakryan pa h kemungkinan takut akan pembalasan dari utusan raja Kubilai Khan. Sukalah kakang memberi penjelasan bagaimana kakang sampai pada dugaan itu."
"Lembu Peteng,"
Kata Sora "kudengar senopa Tomulo yang mengepalai perutusan itu, seorang pahlawan termasyhur di negeri Tartar.
Raja Kubilai Khan tentu tak mudah mengirim senopa , sebelum mengetahui betul bahwa senopa itu memang seorang yang sak mandraguna.
Kudengar prajurit-prajurit Tartar itu dila h dengan ulah kanuragan dan ulah kayudan yang hebat.
Juga dinegeri itu agama Hindu dan Buddha telah tersebar luas, bahkan lebih dahulu dari sini.
Menilik bahwa banyak sekali ilmu kesak an dan aji mantra yang bersumber pada aliran kedua agama itu, maka bukan mustahil bahwa prajurit terutama senopa Tartar itu memiliki ilmu kesak an yang tinggi."
Lembu Peteng mengangguk "Ya, benar daknya penilaian itu tetapi yang pas , rombongan utusan dari mancanagara yang datang ke Singasari tentulah merupakan prajurit-prajurit pilihan dan senopati pilih tanding."
"Kakang Nambi,"
Kini Lembu Peteng beralih percakapan "engkau tadi baru mengemukakan prasangka yang pertama. Tentulah masih ada kelanjutannya lagi, bukan?"
"Ya, benar Lembu Peteng,"
Jawab Nambi "kecurigaan kita yang kedua terhadap terlibatnya rakryan pa h Aragani dalam peris wa hilangnya mpu Raganata, adalah demikian.
Mengapa pada tengah malam maharesi Dewadanda ba- ba muncul di kepa han? Menurut keterangannya, dia kebetulan berkunjung kepada rakryan pa h.
Tetapi kemungkinan menurut dugaanku, tentulah rakryan patihlah yang mengundangnya."
"Untuk merundingkan cara-cara menyembunyikan sang adhyaksa, bukan?"
Kata Lembu Peteng.
"Tepat, Lembu Peteng,"
Sambut Nambi "Jika dak masakan maharesi kepala candi Bentar yang kurang waktu luang, akan memerlukan datang ke kepatihan."
"Apakah dak mungkin maharsi itu diundang untuk memperkuat penjagaan di kepa han?"
Tanya Sora.
"Kemungkinan memang ada,"
Sahut Nambi "dan keadaan itu makin mendesak lagi manakala rakryan pa h telah menyembunyikan mpu Raganata di kepa han. Harus memerlukan seorang yang sakti seperti maharsi Dewadanda, melindungi kepatihan."
Lembu Peteng menghela napas "Ah, masuk ke kepa han rasanya lebih sukar daripada masuk ke sarang harimau, kakang. Tetapi aku heran, kakang, mengapa seorang maharsi seper Dewadanda mau untuk diperalat rakryan patih Aragani ?"
"Ya, memang aneh. Padahal maharesi kepala candi Bentar itu seorang pemuka agama yang termasyhur, putus dalam ajaran agama. Seorang maharesi tentu sudah mencapai penerangan ba n yang suci sehingga menjauhkan diri dari kesibukan urusan keduniawian". Sora bergumam. Mendengar itu Wijaya tak dapat menahan ha nya, katanya "Memang apabila kita renungkan dengan tenang maka kita akan bertemu pada serangkaian hal yang aneh. Sejak beberapa waktu ini, kerajaan Singasari selalu ricuh tak kenal tenang. Ada-ada saja hal yang mengganggu ketenangan itu. Antara lain, pengiriman pasukan Singasari ke Malayu, akibatnya wreddha mentri mpu Raganata telah lorot dari jabatannya sebagai pa h amangkubumi menjadi adhyaksa di Tumapel. Tumenggung Wirakre dilorot menjadi mentri angabhaya. Dan demung Wiraraja dipindah ke Sumenep. Pada hal ke ga orang itu merupakan mentri-mentri yang menjadi tulang punggung kerajaan Singasari."
"Lalu maksud baginda untuk mengirimkan perutusan yang akan membawa arca Amogapasa ke kerajaan Malayu. Dan pengiriman puteri seri baginda, sang dyah Tapasi, kepada raja Campa. Belum hal itu terlaksana, datanglah utusan raja Kubilai Khan,"
Kata Wijaya lebih lanjut "memang kehidupan negara itu tentu tak lepas daripada kesibukan-kesibukan pemerintahan, baik dalam urusan di dalam negeri maupun dengan mancanagara.
Tetapi entah bagaimana, aku seperti mendapat firasat, bahwa peristiwa-peristiwa itu merupakan awal daripada tebaran- tebaran awan yang makin lama akan menjadi awan hitam yang tebal."
"Tetapi kakang Wijaya,"
Ba- ba terdengar sebuah nada bicara yang baru.
Ke ka Wijaya dan beberapa kadehan berpaling ternyata yang bicara itu adalah Lembu Mandira "aku pernah mendapat wejangan dari mpu guru, bahwa kita sekarang menginjak jeman Kaliyuga.
Jeman kisruh, dimana kejahatan dan rangkara murka bersimaharajalela dimana-mana.
Apabila kita berpijak pada pandangan itu, kiranya, memang sudah ba masanya kesemuanya itu akan terjadi.
Maka janganlah kita heran apabila seorang maha-pa h hendak menghancurkan kerajaannya sendiri, seorang maharesi yang seharusnya menjauhkan diri dari urusan keduniawian, mau diperalat pa h.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan lain lain, dan lain-lain."
Terkesiap Wijaya mendengar kata-kata anakmuda itu. Dia memang juga pernah menerima wejangan itu dari gurunya.
"Dan kemungkinan pula,"
Kata Lembu Mandira melanjut "maharesi itu takut akan sejarah yang pernah terjadi di kerajaan Daha dahulu."
"O, bagaimana raden?"
Kata Lembu Peteng.
"Dahulu prabu Dandang Gendis atau Kertajaya dari Daha, telah memaksa kepada para brahmana dan pandita tunduk kepadanya. Para brahmana dan pandita itu tak dapat menerima tekanan itu. Menurut kasta, brahmana dan pandita itu lebih nggi dari raja dan ksatrya. Bagaimana mungkin mereka harus menyembah pada kekuasaan raja? Karena takut akan ndakan prabu Dandang Gendis yang makin mengganas, maka para brahmana dan pandita itu berbondong-bondong menuju ke Singasari meminta pengayoman kepada Ken Arok yang waktu itu sudah menjadi raja dengan nama abi-seka prabu Rajasa sang Amurwabhumi."
"O, maksud raden, maharesi Dewadanda akan mengiku jejak para resi brahmana pada jeman prabu Dandang Gendis di Daha itu?"
Tanya Nambi.
"Kemungkinan demikian, kakang Nambi."
"Tetapi apakah dasar per mbangannya, raden? Bukankah sang prabu Kertanegara sendiri seorang pemeluk agama yang giat. Bukankah seri baginda telah memberi kelonggaran besar dan dana untuk mengembangkan pertumbuhan agama Syiwa-Buddha di negeri Singasari ini? Mengapa maharesi Dewadanda mencemaskan hal yang lain dari kenyataan?"
"Kakang Nambi,"
Kata Lembu Mandira "
Ada barang yang aneh di arcapada ini kecuali insan manusia sendiri. Karena manusia adalah tah dewata yang paling terkasih, dikaruniai daya kekuatan yang luar biasa."
"O, apakah yang raden maksudkan dengan kekuatan yang luar biasa itu?"
Nambi menegas.
"Pikiran dan Perasaan,"
Sahut Mandira "itulah kelebihan manusia dari segala mahluk lainnya.
Dan karena memiliki daya kesak an pikiran itu maka manusia menjadi bahagia dan celaka.
Pun karena mempunyai perasaan itu maka mbullah keinginan.
Keinginan yang baik tetapipun keinginan yang tergolong taiha atau nafsu."
"Kakang heran mengapa maharesi Dewadanda bersedia diperalat patih Aragani,"
Kata Lembu Mandira lebih lanjut "itulah karena pengaruh pikiran yang didorong oleh perasaan keinginan berlumur nafsu.
Mungkin saja patih Aragani memberikan janji yang sedemikian tinggi sehingga maharesi Dewadanda terpincut.
Kita harus menyadari, bahwa patih Aragani itu memang seorang ahli dalam merangkai kata dan mengambil hati.
Jangankan maharesi candi Bentar, bahkan sekalipun seri baginda juga terbujuk oleh mulut manisnya."
"Tepat, adi Mandira,"
Seru Wijaya "memang sesungguhnya ada keanehan dalam dunia ini. Sebenarnya, kita harus mengucap syukur kepada mereka."
"Mengapa syukur kepada mereka, pa h Aragani dan maharesi Dewadanda itu?"
Sora tak tahan untuk berdiam diri.
Dia merasa aneh mendengar ucapan Wijaya disamping dia tak dapat menerima maksudnya.
Dia geram dengan manusia-manusia seper pa h Aragani, mengapa pula raden Wijaya berkata begitu? "Apakah engkau tak merasa berterima kasih kepada pa h Aragani dan maharesi Dewadanda, kakang Sora?"
Wijaya tersenyum.
"Ah, raden,"
Sora mendesuh "hamba sungguh benci kepada mereka. Kecuali kelak mereka dapat merobah pendiriannya terhadap negara Singasari."
"Itu secara langsung,"
Kata Wijaya "memang ada seorang ksatrya yang berjuang demi kepen ngan Singasari, akan suka kepada manusia-manusia yang hendak menggerogo kewibawaan kerajaan Singasari. Tetapi kakang Sora, aku hendak bertanya kepadamu. Waktu apakah saat ini?"
Sora kerutkan dahi. Heran namun menjawab juga "Malam hari."
"Bagaimana engkau tahu kalau saat seper sekarang yang begini gelap, disebut malam apabila engkau tak tahu bahwa saat yang terang benderang itu disebut siang? Demikian pula, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa ndakan rakryan pa h itu salah apabila kita tak mengetahui akan garis-garis sifat seorang ksatrya pembela tanah airnya ? Dan karena terusik oleh ndakan- ndakan orang-orang semacam rakryan pa h itulah maka semangat juang kita bangkit dan tekadpun berkobar untuk menentang mereka. Dengan ujian itu dapatlah kita menguji diri kita peribadi, sampai berapa jauhkah sifat keksatryaan dan jiwa kepahlawanan yang kita miliki ? Secara tak langsung, bukankah kita bersyukur kepada mereka, karena dengan ndakan mereka itu, kita tetap berada pada garis lurus dalam melaksanakan dharma seorang ksatrya."
"Ah,"
Sora mendesuh pula.
Diam-diam ia mengakui ucapan raden Wijaya itu memang benar.
Adalah karena Singasari masih penuh dengan orang-orang semacam pa h Aragani maka bangkitlah ksatrya-ksatrya muda untuk berjuang mengabdikan diri kepada Singasari.
Namun ia tak memberi jawaban suatu apa karena uraian Wijaya itu hanya penggambaran dari sifat alam yang selalu terbagi menjadi dua.
Lelaki perempuan, terang gelap, baik dan buruk.
Suatu penger an untuk membedakan kedua sifat alamiah dalam ruang kehidupan di arcapada.
Ia tak, memberi sambutan suatu apa atas ucapan itu melainkan mengalihkan pembicaraan kcarah suatu pertanyaan "jika benar maharsi Dewadanda mendukung pa h Aragani, dakkah keadaan Singasari makin berbahaya? Bagai 'telur diujung tanduk ' setiap waktu akan pecah berhamburan ....
"
Mendengar itu terkesiaplah Wijaya.
Ha nya makin gelisah.
Hari keberangkatannya ke negeri Malayu hanya kurang setengah bulan lagi dan ternyata keadaan kerajaan Singasari makin rapuh "Kalau aku sudah terlanjur berangkat ke Malayu, dakkah akan lebih gawat keadaan Singasari?"
Diam-diam ia membayangkan akan masa yang akan datang. Dan bayang-bayang itu menimbulkan kecemasan yang mendesaknya harus segera ditangani.
"Sora, Nambi dan Lembu Peteng, waktu sudah amat mendesak. Setengah candra lagi aku harus meninggalkan Singasari. Aku kuatir, kakang sekalian, selama aku pergi itu di kerajaan Singasari akan meletus peristiwa yang tak terduga-duga. Oleh karena itu kita harus bertindak cepat. Lekaslah kalian susun kekuatan, siapkan barisan untuk menghadapi hal-hal yang tak terduga itu ...."
Katanya kemudian.
"Baik raden,"
Kata Lembu Peteng "tetapi...
"
"Tetapi bagaimana ? "
"Mengingat bahwa maharesi Dewadanda mengunjuk tanda-tanda terlibat dalam persekutuan dengan patih Aragani, maaf, bukan karena kami takut mati tetapi kenyataan mengharuskan kita perrhatin. Bahwa setiap perjuangan tentu memerlukan pengorbanan, itu sudah jelas. Kami tak ingkar. Tetapi pengorbanan itu benar-benar mempunyai manfaat dan berarti bagi tegaknya kerajaan Singasari. Hendaknya janganlah pengorbanan itu akan sia-sia seperti 'anai-anai menyongsong api'."
Pertanyaan Lembu Peteng itu menimbulkan kesadaran yang mendalam. Wijaya, Sora dan Nambi termenung.
"Ucapan Lembu Peteng memang benar,"
Akhirnya Lembu Sora berkata "sejak keberangkatan pasukan Pamalayu dibawah pimpinan senopa Kebo Anabrang ke Malayu, pasukan Singasari sudah berkurang banyak sekali.
Kemudian sampai perlu kerajaan mengadakan sayembara untuk memilih senopa , karena hendak membentuk kekuatan pasukan baru.
Tetapi belum sempurna pasukan yang raden bentuk, kini ba- ba raden dan rakryan pa h Mahesa Anengah di tahkan seri baginda menuju ke Malayu dan Campa.
Juga dengan membawa pasukan.
Tidakkah hal itu akan makin lumpuh ? Titah raden untuk membentuk kekuatan dengan menghimpun tenaga-tenaga pejuang pas akan kami laksanakan.
Kami tentu akan berjuang untuk melindungi negara Singasari sampai titik darah kami yang penghabisan.
Tetapi kami tetap cemas, raden."
"Apa yang engkau cemaskan, kakang Sora ?"
"Sora bukan raden Wijaya, senopa yang mempunyai kekuasaan besar dalam pasukan. Ruang gerak kami daklah seluas dan menyeluruh seper raden. Kekuatan yang akan kami susun itu sudah tentu bukan merupakan pasukan resmi, melainkan tenaga-tenaga pejuang yang memiliki kesadaran untuk berjuang membela tanahairnya."
"O, engkau maksudkan, dalam jumlah tentulah tidak memadai dengan pasukan yang resmi ?"
"Demikianlah raden "
"Kakang Sora,"
Kata Wijaya "perjuangan dak ditentukan oleh jumlah besar kecilnya kekuatan.
Melainkan dari kemanunggalan semangat dan jiwa perjuangan, keluhuran dan kebenaran daripada tujuan perjuangan itu.
Walaupun berjumlah banyak tetapi apabila mereka dak memiliki kesadaran berjuang dan tak menghaya tujuan berjuang, tentulah takkan mencapai hasil yang diharapkan.
Walaupun sedikit jumlahnya, tetapi apabila mereka terdiri dari ksatrya-ksatrya yang menger dan tahu akan makna perjuangannya, pas akan lebih membuahkan hasil yang memadai."
Sora mengangguk "Memang demikian, raden.
Tetapi lembaran perjuangan yang kami hadapi, diawali dengan mega mendung yang cukup menimbulkan rasa periha n.
Satu-satunya tokoh yang dapat kita pandang sebagai orang yang berpengaruh di Singasari, yani mpu Raganata, telah hilang diculik musuh.
Sedang fihak yang kemungkinan besar akan berada di seberang tentangan kita, mendapat bantuan dari fihak candi Bentar yang mempunyai ribuan murid dan amat besar pengaruhnya di kalangan rakyat."
"Ah, benar Sora,"
Ba- ba Wijaya menukas "jangan lupa akan rakyat Rakyat merupakan tulang punggung yang besar daya kekuatannya.
Apabila engkau merasa tak sebesar dan seluas pengaruh kekuasaanmu seper aku didalam pasukan maka berpalinglah kepada rakyat.
Perjuangan tanpa didukung rakyat temu lemah.
Pupuk dan kembangkanlah kemanunggalan barisan pejuang yang engkau susun itu dengan rakyat.
Bangkitkanlah kesadaran mereka akan dharma-bhak kepada negara dan raja.
Kobarkanlah semangat dan penger an mereka, bahwa negara dan rakyat itu loro- loroning a-tunggal yang tak dapat dipisahkan, bagai ikan dengan air."
"Baik, raden,"
Kata Sora "akan hamba laksanakan semua perintah raden, walaupun dengan penuh kecemasan."
"Kecemasan? Apakah engkau takut Sora?"
Meregang urat dahi pada wajah Sora ketika menerima pertanyaan itu "Takut ? Apabila takut, tentu Sora takkan berada di pura Singasari,"
Serunya "Sora tak takut mati, raden. Berjuang membela negara adalah pendirian yang benar. Dan membela kebenaran, adalah mati suhada, mati yang luhur."
"Benar, kakang Sora,"
Kata Wijaya "aku teringat akan ucapan sang Kresna dalam Bhagawat Gita, kepada Arjuna yang luluh semangatnya ke ka di medan perang Kurusetra harus berhadapan dengan gurunya, danghyang Durna, dengan eyangnya sang Resi Bisma dan saudara-saudaranya kaum Korawa.
Beginilah sabda sang Kresna, 'berbahagialah ksatrya-ksatrya yang mendapat kesempatan untuk menunaikan dharmanya karena untuk mereka seolah-olah pintu gerbang Nirwana telah terbuka.
Jika engkau ingat akan tugasmu, engkau tak boleh ragu-ragu dalam menjalankan dharma itu.
Karena bagi ksatrya, ada kemuliaan yang lebih agung daripada menunaikan dharmanya dalam medan bhakti'.
Camkanlah, Sora."
Mendengar itu menegakkan kepala Sora "Duh, raden, Sora seper menerima Tirta Amerta, air suci yang menghidupkan pula semangat Sora. Tetapi justeru karena itulah maka ha hamba makin kecil."
Wijaya kerutkan dahi "Aneh, Sora. Dengan memiliki kesadaran akan dharma seorang ksatrya, seharusnya semangatmu bangkit. Tetapi mengapa engkau masih berkecil ha ? Apakah yang masih menjadi keraguanmu, Sora? "
"Hamba takut tak dapat menunaikan tugas yang raden perintahkan untuk membela Singasari dari gangguan musuh, raden."
"Ah,"
Wijaya mendesah "akan kuulang pula wejangan sang Kresna lebih lanjut kepada Arjuna.
Lakukanlah pekerjaanmu tanpa menghiraukan apa akan hasilnya.
Janganlah hasil pekerjaan itu yang menjadi dorongan untuk engkau bekerja.
Tetapi juga jangan engkau mengabaikan karena dak memikirkan akan hasil pekerjaanmu itu.
Bekerjalah dengan penuh pengabdian tetapi jangan terikat.
Sebab kalau ha mu terikat, sama juga engkau mengua rkan akan kegagalan pekerjaanmu atau mengharapkan hasilnya!"
"Memang apabila kecemasanmu itu merupakan suatu rasa tanggung jawab akan dharmamu, itu baik,"
Kata Wijaya melanjut "tetapi jangan terikat akan angan-angan berhasil atau gagal. Yang penting engkau telah menunaikan tugasmu dengan sepenuh pengabdian."
Sora termenung.
"Jika engkau sudah berusaha sekuat kemampuanmu dalam garis-garis perjuangan seorang ksatrya, namun masih tetap gagal sehingga Singasari hancur, itu bukan salahmu. Dan aku takkan menyalahkan engkau, kakang Sora. Itu kesalahanku juga, kesalahan dia dan kesalahan kita semua. Atau itu bukan suatu kesalahan karena memang sudah digariskan oleh ketentuan Hyang Purbengwisesa."
"Terima kasih, raden,"
Kata Sora "semoga tebaran-tebaran awan yang berbondong-boudong muncul itu takkan merupakan awan mendung yang akan menimbulkan hujan prahara pada negara Singasari."
Wijaya mengangguk namun ha nya termenung.
Sebenarnya iapun merasakan apa yang menjadi keresahan Sora.
Namun sebagai pimpinan ia harus membangkitkan semangat Sora dan kawan- kawannya.
Tiba- ba ia teringat sesuatu "Eh, adi Mandira, bagaimana laporanmu?"
Karena terhanyut dalam pembicaraan sesaat ia lupa bahwa Lembu Mandira sudah hadir disitu.
Lembu Mandira menjawab bahwa ia baru malam itu hendak berangkat.
Sebelumnya ia hendak menunggu hasil penyelidikan di Singasari karena ia mempunyai dugaan kuat bahwa ramanya masih disembunyikan di pura Singasari.
Wijaya memberi laporan tentang hasil penyelidikan di kepa han dan di tempat kediaman pangeran Ardaraja.
Kemudian ia menyuruh agar Mandira segera berangkat.
Ia mengantar anakmuda itu sampai ke pintu gerbang kemudian ia termenung-menung di halaman, memandang bintang kemintang di langit.
"Duh, Dewata Agung, limpahkanlah kekuatan lahir ba n kepada hamba, agar dapat menanggulangi tugas suci yang hamba persembahkan kepada bumi tercinta Singasari. ...
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"
Mulutnya berkomat-kamit memanjatkan doa permohonan ke hadiran Hyang Isywara.
Bintang kemintang berkelap-kelip memarcarkan sinar makin terang.
Adakah hal itu sebagai suatu isyarat mereka dapat menanggapi doa Wijaya, entahlah, karena Wijaya tak menger bahasa bintang.
Malam makin kelam.
Para kadehanpun menunggu dengan renungan masing-masing.
Mereka tak berani mengganggu Wijaya.
Wijaya makin terbenam dalam kelelapan renungan.
Kelam malam, kelam ha .
Sunyi senyap merenggut jiwa.
Dia tetap menatap cakrawala, melayangkan pandang bertanya kepada bintang- bintang.
Menginginkan jawaban mereka.
Namun jawab tak kunjung ba dan Wijayapun makin tenggelam dalam kehampaan jiwa.
Sepengunyah sirih lamanya, ba- ba antara terdengar dan ada, sayup-sayup angin semilir berhembus lembut, membelai rambut, mengusap muka selembut belaian tangan dara jelita.
Timbul suatu perasaan teduh dan hening dalam ha Wijaya.
Dalam keheningan yang teduh itu sayup sayup terdengar suara bisik-bisik yang lembut, lebih lembut dari suara semut beriring ....
"Wijaya .... Wijaya, cicitku .... jangan engkau lekas berputus asa .... bangkitkan semangatmu, teguhkan ha mu ... hanya ksatrya yang berani ber ndak tegas akan dapat mengatasi segala kesulitan, menguasai buana alit dalam dirinya dan buana raya .... berantaslah se ap perintang, se ap kejahatan. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung .... rulah jejak eyang buyutmu dahulu ....
"
Wijaya terhenyak dari kelelapan alam bawah sadar.
Serentak semangatnyapun membias regang, membangun perasasaannya dan serentak dia membuka mata, memandang ke sekeliling.
Ah, gelap gelita di empat penjuru.
Sunyi senyap menyelubungi alam sekeliling.
Se up angin lembut berhembus semilir.
"Eyang buyut ? Bukankah eyang buyut itu ayahanda dari eyang Mahesa Wonga Teleng? Ah... ba2 secercah kesadaran menenggang benak dan kepalanya-pun meregang tegang "bukankah ayahanda eyang Mahesa Wonga Teleng itu sang prabu sri Rajasa sang Amurwabhumi, rajakula kerajaan Singasari? Ah ..."
Tertenggang akan ingatan itu, pikiran Wijayapun melayang-layang jauh ke masa yang amat lampau, tertuju kepada seorang pemuda yang bernama Ken Arok.
Ken Arok seorang pemuda yang keras ha dan berasi serta tegas ndakannya.
Karena tak memenuhi janji kepadanya untuk menyelesaikan keris yang dipesannya maka dia membunuh empa Gandring.
Karena ingin mendapatkan Ken Dedes, wanita yang dicintainya, akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, pun dibunuhnya.
Karena tak mau tunduk dibawah kekuasaannya, maka prabu Kertajaya atau Dandang Gendis dari Daha, dibunuhnya.
Ia harus melalui jalan yang penuh mayat, bergelimangan darah, sebelum mencapai tujuan terakhir menjadi raja pertama dari Singasari dengan gelar sri Rajasa sang Amurwabhumi.
Dari keturunan rakyat jelata kaum Sudra, berkat keberanian, tegas dan kecerdikannya akhirnya Ken Arok menjadi raja yang dipertuan dari bumi Singasari.
"Ah, terima kasih eyang prabu ....
"
Serentak meluncurlah kata-kata dari mulut Wijaya.
Tetapi belum sempat ia mencurahkan kandungan hatinya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara orang berseru pelahan "Raden, kami telah memperoleh jalan yang baik.
Mari kita masuk kedalam, raden.
Tak baik berangin angin diluar pada malam hari begini."
Wijaya tersentak kejut dan berpaling. Didapa nya Sora, Nambi dan Lembu Peteng tegak disamping mencurah.
"Baiklah,"
Wijayapun mengangguk seraya ayunkan langkah masuk kedalam pendapa pula.
Kemudian setelah duduk ia bertanya, apa saja dan bagaimana daya yang telah mereka temukan.
Nambi dan Lembu Peteng memberi isyarat agar Sora yang mewakili sebagai jurubicara.
Sorapun segera berkata "Raden, menurut kesimpulan yang kami renungkan bersama, Singasari mempunpai dua musuh.
Musuh dari luar yalah Daha dan musuh dari dalam yalah rakryan pa h Aragani.
Keduanya sama sama berbahaya.
Untuk menghadapi mereka, ada jalan yang lebih baik daripada harus bertindak tegas." ~dewi.kz^ismo^mch~
Jilid 26 Persembahan . Dewi KZ
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .
MCH I Sesuatu yang gelap akan menimbulkan kekacauan, ketegangan, kebingungan dan siksa.
Gelap pikiran, melahirkan bermacam akibat, bingung dan, kacau.
Apabila bingung dan kacau mencapai ketegangan yang tinggi, tibalah pikiran dipersimpangan jalan.
Putus asa atau nekad.
Demikian yang tengah dialami Wijaya.
Setengah bulan lagi, dia akan berangkat untuk melaksanakan, tugas yang diamanatkan seri baginda Kertanagara, mempersembahkan arca Amogapasa bertabur permata, kepada raja Malayu.
Tugas itu memang penting karena akan dapat menjalin persahabatan yang lebih erat antara Singasari dengan Malayu.
Wijaya sadar akan hal itu.
Tetapi dia lebih menyadari pula akan keadaan pura Siagasari dewasa itu.
Karena inti pasukan Singasari dibawa senopati Kebo Anabrang ke Malayu dalam rangka untuk mengamankan kerajaan-kerajaan di Malayu maka hampir dapat dikata kekuatan Singasari cukup mencemaskan.
Setelah diangkat sebagai senopati, baru beberapa waktu Wijaya menyusun kekuatan baru, menerima dan menganjurkan supaya para muda masuk menjadi prajurit.
Timbulnya seorang senopa muda yang gagah perwira sebagaimana dibuk kan dalam adu kesak an dengan ksatrya-ksatrya dari delapan pelosok penjuru yang ikut dalam sayembara pilih senopa yang lalu, maka banyaklah para taruna dan kaum muda yang bangkit semangatnya manakala mendengar pawara mengumumkan tentang panggilan kerajaan Singasari terhadap para taruna muda, supaya masuk menjadi prajurit.
Ada suatu hal yang menarik dan tak pernah dilupakan oleh para pemuda yang berbondong bondong memenuhi panggilan dalam wara-wara itu.
Selain diperiksa kesehatan dan keprawiraannya, pun mereka harus menjawab sebuah pertanyaan yang singkat tetapi mutlak.
"Apa tujuanmu masuk menjadi prajurit ?"
Demikian bunyi pertanyaan itu. Pertanyaan yang disusun Wijaya dan disuruhnya para kadehan yang bertugas dalam penerimaan, mengajukan kepada setiap calon yang ingin masuk menjadi prajurit.
"Kami hendak berjuang membela negara "
"Kami ingin menjadi prajurit yang termasyhur."
"Kami ingin menjadi prajurit yang berjasa agar kelak mendapat pangkat yang tinggi."
Demikikan antara lain dari macam jawaban atas pertanyaan itu.
Kesemuanya itu diterima.
Pada waktu yang ditetapkan, beratus ratus pemuda itu dikumpulkan di halaman Balai Witana dan dalam kesempatan itu hadirlah sang senopati baru, raden Wijaya.
Dia tampil berbicara kepada mereka.
"Hai, para taruna dan kaum muda, hari ini secara resmi akan dilakukan penerimaan dan pengangkatan kalian sebagai prajurit Singasari. Tetapi sebelum itu, akan kami lakukan penyaringan. Mereka-mereka yang merasa tak dapat memenuhi syarat, silakan pulang dan teruskanlah bekerja pada bidang pekerjaanmu yang lama,"
Seru Wijaya dengan lantang.
Seluruh barisan calon prajurit itupun diam.
Namun dibalik hati mereka, tersembunyilah rasa heran dan tegang.
Banyak diantara mereka, pada waktu berangkat ke pura, telah diantar dengan penuh rasa bangga dan gembira o!eh keluarga, tetangga dan segenap penduduk desa.
Bahkan ada pula yang dilepas oleh penduduk daerahnya dengan suatu pesta dan sesaji.
Adalah menjadi suatu kebanggaan bagi rakyat apabila pemuda dari desanya dapat menjadi prajurit kerajaan.
Lebih-lebih apabila beroleh pangkat tinggi.
Walaupun bukan sanak kadang dan hanya warga sedesa, tetapi apabila ada yang menjabat carapraja atau nayaka di keraton Singasari mereka merasa bangga karena desanyapun terangkat harum Ramanya.
Maka dapat dibayangkan betapa resah para calon prajurit itu mendengar ucapan Wijaya.
Keresahan itu berpangkal pada suatu pembayangan, betapa malu dan hina mereka akan merasa apabila ditolak masuk menjadi prajurit dan pulang ke desa.
Cemoh dan ejekanlah yang akan diterima dari rakyat desanya.
"Masuk menjadi prajurit Singasari, bukan untuk memburu pangkat dan kedudukan. Bukan pula untuk mencari mata pencaharian dan na ah. Lebih bukan pula untuk mengadu nasib, barangkali kelak, akan dapat memperoleh pangkat nggi,"
Kata Wijaya lebih lanjut "tetapi adalah untuk mengabdi kepada negara Singasari yang kita cintai.
Pengabdian adalah kewajiban.
Dan kewajiban itu adalah suatu tanggung jawab dari rasa kesadaran.
Rasa sadar bahwa Singasari itu adalah tanahair yang kita cintai.
Ibu per wi yang telah melahirkan, menghidupi dan memberikan segala kehidupan pada kita.
Rasa sadar bertanahair, beribu bumi Per wi, mewajibkan kita untuk mengabdikan segala sesuatu dalam hidup kita, harta, pikiran, tenaga dan bahkan jiwa raga, untuk menjaga dan melindunginya."
"Pengabdian bukan sebagai pekerjaan. Pengabdian adalah bersifat memberi dan rela menderita, tanpa mengharap imbalan. Pekerjaan bersifat membantu dan untuk bantuan tenaga itu, mendapat imbalan. Prajurit, bukan suatu pekerjaan teiapi suatu pengabadian dari seorang kawula kepada negara, seorang putera kepada ibu Per wi yang telah mengandungnya. Nah, kemasilah ha saudara dengan bertanya dalam ha saudara sendiri. Bersediakah saudara mengabdi dengan segala keikhlasan saudara untuk berkorban apa saja yang ada pada diri saudara ? Jika saudara telah mendapat janji dari ha sanubari saudara, bolehlah saudara masuk menjadi prajurit Singasari. Tetapi ingat, janji hati itu adalah sumpah hati. Jangan saudara ingkar!"
"Tetapi kalau saudara ada memiliki janji itu atau saudara memiliki tujuan lain atau keinginan untuk diri peribadi saudara, silakan saudara pulang !"
Wijaya menutup kata-kata dalam nada yang tandas. Terdengar suara berisik dari kelompok demi kelompok pemuda-pemuda yang akan menjadi calon prajurit itu.
"Memang dak mudah, kawan-kawan, untuk menjadi prajurit yarg sesungguhnya itu,"
Seru Wijaya pula "prajurit berar yang tampil di muka peperangan.
Perang melawan musuh.
Musuh bukan hanya pasukan dari mancanagara yang hendak menyerang negara kita, tetapi pun terdapat di mana-mana, di dalam negeri, di masyarakat dan di dalam ha kita.
Kaum penghianat yang hendak menjual negara, narapraja yang rakus menggerogo uang negara, yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk memeras rakyat, melanggar undang-undang dan lain-lain ndak yang merugikan negara, adalah musuh dalam negeri.
Penjahat, pengacau yang melanggar undang undang dan merugikan rakyat, adalah musuh masyarakat.
Tidak terkecuali pula, bahkan ini yang pen ng dan menjadi sumber pokok segala, adalah musuh dalam ba n kita.
Nafsu keinginan untuk mencari kenikmatan diri peribadi, menimbulkan segala pikiran yang tamak dan jahat, mengabaikan segala kepentingan umum, masyarakat dan negara.
Inilah yang disebut musuh dalam batin kita."
"Untuk tampil di medan perang menumpas segala musuh itu, lebih dulu haruslah kita membersihkan musuh dalam ba n kita. Karena hanya dengan ba n yang bersih, kesadaran kita akan meningkat terang, ndakan kita akan lebih mantap dalam melaksanakan tugas kewajiban sebagai seorang prajurit yang bersih, kesadaran akan mbul dan ndakan kita akan lebih mantap ke arah melaksanakan tugas kewajiban sebagai seorang prajurit utama."
"Jelas,"
Sambung Wijaya pula "prajurit itu suatu pengabdian dan perjuangan, bukan suatu pakaryaan dan pekerjaan.
Prajurit tak kenal berhen mengabdi dan berjuang sebagaimana perjuangan itu tak pernah kenal berhen .
Karena perjuangan itu adalah hakekat daripada kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, negara dan semesta alam."
"Dan jangan sekali-kali kamu menepuk dada, membanggakan diri sebagai satu-satunya pembela negara. Kebanggaan itu akan menimbulkan sikap dan pandangan hidup sebagai suatu kasta yang ter nggi dan paling berjasa, paling berkuasa, sehingga menimbulkan garis pemisah dengan rakyat. Jauhilah sikap dan pandangan hidup semacam itu karena ketahuilah, bahwa perjuangan membela negara itu adalah hak dan kewajiban seluruh rakyat. Karena itu ajaklah rakyat dalam suatu kemanunggalan rasa lahir ba n untuk membela negara, membangun masyarakat dan meningkatkatkan kesejahteraan hidup kita bersama. Jadilah pembela negara, abdi masyarakat, pengayom rakyat dan prajurit utama dalam segala bidang kehidupan. Cintailah negaramu dan negaramu akan mencintaimu. Cintailah rakyat dan rakyat akan mencintaimu. Cintailah kewajibanmu dan kewajiban dan mencintaimu !"
Demikian peraturan yang ditanam dalam dada sanubari para calon prajurit yang akan dipercayakan sebagai suatu kesatuan pasukan yang akan menjaga keselamatan kerajaan Singasari.
Tugas untuk mela h ketrampilan jasmani, diserahkan kepada para kadehan dengan pesan bahwa yang pen ng harus selalu menanamkan rasa kesadaran.
Sadar akan kedudukan seorang prajurit dalam tanggung jawabnya teihadap negara, sumpah prajurit.
Belum berapa lama pasukan itu mulai dibentuk dan digembleng, kini Wijaya harus mengemban tugas seri baginda Kertanagara ke negeri Malayu.
Hanya nggal setengah bulan dia harus berangkat, terjadilah peris wa atas diri mpu Raganata, adhyaksa Tumapel.
Mika mbullah keresahan ha Wijaya "Adakah ini suatu awal dari gejala-gejala akan timbulnya kekacauan setelah aku pergi ?"
Ia menimang-nimang dalam hati.
"Ah, mungkin ada fihak tertentu yang hendak mengacaukan pikiranku agar ketenangan ha ku terganggu dalam menjalankan tah baginda,"
Ia meninjau pula dari lain kemungkinan.
Akhirnya panaslah ha nya menghadapi tantangan itu dan berjanjilah ia dalam ha , sebelum berangkat ke Malayu ia harus sudah dapat menyelesaikan peristiwa mpu Raganata.
Terbentur dalam kegagalan waktu menyelidiki ke gedung kepa han rakryan pa h Aragani, ia makin geram.
Menilik penjagaan yang telah diatur pa h Aragani dengan mengundang maharesi Dewadanda, makin cenderung dugaannya bahwa pa h Aragani terlibat dalam peris wa itu.
Kata- kata saran yang diajukan Ken Sora segera mendapat tanggapan "Katakanlah rencanamu, kakang Sora,"
Seru Wijaya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita harus ber ndak tegas dengan bekal kesediaan untuk berkorban, raden. Hamba rela mengorbankan jiwa raga hamba asal dapat menyelamatkan Singasari,"
Kata Ken Sora.
"Baik, kakang Sora. Tetapi cobalah engkau utarakan bagaimana rencanamu itu."
"Tindakan tegas itu tak lain hanya membunuhnya,"
Seru Sora.
"Membunuhnya? Siapa yang hendak engkau bunuh ?"
Wijaya terkejut.
"Siapa lagi kalau bukan dedongkot yang mengacau kerajaan Singasari."
"Maksudmu? "
"Rakryan patih Aragani."
"Sora ...."
"Raden,"
Cepat Sora mendahului "kata orang, jika mau menangkap ular harus menggebug kepalanya.
Jika hendak menghancurkan gerombolan penjahat, harus membekuk pemimpinnya.
Rasanya kata-kata itu memang sesuai dengan keadaan yang kita hadapi saat ini.
Jika hanya bersusah payah mengerahkan anakbuah untuk menghadapi kekuatan mereka, jelas kita kalah kuat."
"Bagaimana maksudmu, Sora?"
"Hamba maksudkan,"
Kata Sora "anakbuah itu yalah para kadehan raden, bukan anak pasukan resmi dari kerajaan Singasari.
Kecuali sudah terdapat buk bahwa pa h Aragani ber ndak hianat atau melanggar undang-undang kerajaan, barulah raden dapat menangkapnya secara resmi dengan kekuatan pasukan.
Tetapi hal itu jelas tak mungkin.
Betapa licin pa h Aragani meratakan se ap jalan yang hendak dilangkahnya sehingga dia telah menutup segala lubang kecurigaan seri baginda, bahkan telah dapat merebut kepercayaan baginda."
"Demikianlah yang hamba maksudkan bahwa kita kalah kuat, raden,"
Lanjut Sora setelah sejenak berhenti "maka hamba berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang singkat dan tepat adalah langsung melenyapkan jiwa patih Aragani ita. Patih Aragani lenyap, lenyap pula musuh dalam selimut kerajaan Singasari."
Wijaya mengangguk.
Diam-diam ia merasa heran karena apa yang dikatakan Sora itu bertepatan benar dengan ar daripada ilham yang diterimanya di luar halaman tadi.
Hampir ia tertarik oleh kata-kata Sora namun sesaat terbayanglah ingatannya pada peris wa yang dialaminya di gedung kepa han.
Kepa han dijaga sedemikian kuat.
Untuk melaksanakan rencana itu daklah semudah yang diucapkan dengan kata.
"Dan menurut hemat hamba, raden,"
Kata Sora pula sebelum Wijaya sempat menyatakan sesuatu "musuh dari luar yang perlu kita tanggapi secara waspada tak lain adalah Daha."
"O, maksudmu hendak membunuh raja Jayakatwang?"
Sora tersenyum "Ha ingin memeluk gunung namun apa daya tangan tak sampai.
Apabila mungkin, memang hal itu merupakan jalan yang terbaik dan tepat pada sasarannya.
Tetapi banyaklah kesukaran yang harus kita hadapi.
Pertama, siapakah yang mampu melaksanakan ndakan itu ? Kedua, apakah peris wa itu takkan menimbulkan akibat yang meluas, antara lain, meledaknya amarah rakyat Daha yang mungkin akan mengangkat senjata memberontak kepada Singasari"
"Yang jelas,"
Sambut Wijaya "untuk menyelidiki ke gedung kepa han, pa h Aragani saja sudah sedemikian sukar, apa pula hendak mencidera raja Jayakatwang."
"Benar raden,"
Sora menanggapi "tetapi adakah kita harus mundur karena terhalang oleh kesukaran ?"
Wiyaya tertegun.
Memang sering ia mengucapkan kata-kata semacam itu untuk memupuk kebangkitan semangat para kadehannya.
Bahwa perjuangan itu tak mungkin serata jalan lapang yang menuju ke pura Singasari tetapi jalan yang penuh kerikil tajam dan curam.
Tetapi kesukaran- kesukaran itu sesungguhnya merupakan suatu batu ujian untuk mengetahui sampai berapa beratkah bobot semangat kita "Ah, kini Sora telah menghidangkan kata-kata pembangkit semangat itu kembali kepadaku,"
Pikir Wijaya.
"Aku dak mengatakan bahwa kita harus mundur menghadapi segala rintangan dalam bentuk apapun juga, kakang Sora,"
Kata Wijaya "tetapi yang kita rundingkan ini bukan suatu masalah kecil melainkan suatu masalah besar sekali. Salah langkah akan menggagalkan langkah kita bahkan akan menghancur leburkan diri kita."
"Hambapun menyadari hal itu, raden."
"O. jika demikian,"
Kata Wijaya sesaat dapat menyelami kandungan ha Sora "engkau tentu sudah mempunyai suatu rencana yang tepat."
"Benar raden,"
Jawab Sora "rencana hamba itu memang aneh kedengarannya bahkan mungkin dinilai gila. Tetapi pada hemat hamba, rencana itu tentu mempunyai akibat yang mendeka dengan tujuan kita untuk menyelamatkan Singasari."
"O, katakanlah, kakang Sora,"
Wijaya mulai makin tertarik.
"Diantara segala kemungkinan dari kemungkinan yang mungkin kita laksanakan, tak lain adalah mengamankan pangeran Ardaraja."
"Apa maksudmu mengamankan itu? "
"Menculiknya."
"Sora ..... !"
Teriak Wijaya tersengat kejut.
"Pangeran Ardaraja adalah putera mahkota kerajaan Daha. Putera tersayang dari raja Jayakatwang. Dengan menguasai pangeran Ardaraja, kita dapat memberi tekanan kepada raja Jayakatwang agar jangan coba-coba mempunyai angan-angan untuk mengganggu ketenteraman Singasari."
"Ah, itu suatu cara yang kurang baik, Sora."
"Raden,"
Sahut Sora "marilah kita memberanikan diri untuk menanggalkan penilaian tentang baik dan tidak baik. Yang penting kita nilai dari sudut kepentingan negara. Dan tujuan kita tak lain adalah untuk menyelamatkan kerajaan Singasari."
Kembali Sora menghaturkan untaian kata yang sering ditanamkan Wijaya kepada para kadehannya.
Haruskah ia menolak persembahan kata itu, kata yang ia sendiri sering mengucapkannya? Sesaat Wijaya tertegun..
Kurang bijaksana apabila ia menghadapi persoalan itu hanya dengan penolakan yang tak disertai alasan.
Ia harus menguji sampai dimana kebenaran rencani Sora itu dapat dibuk kan "Hm, jika engkau seorang kawula mempunyai pemikiran sedemikian terhadap kepen ngan negara, dakkah raja Jayakatwang akan lebih memiliki perasaan seperti itu ?"
"Benar, raden,"
Jawab Sora "tetapi bagaimana dia akan bertindak?"
"Andaikata raja Jayakatwang lebih memen ngkan kepen ngan kerajaan dan tujuannya daripada keselamatan puteranya?'' Wijaya menjajagi dengan sebuah pertanyaan.
"Raden, sebuas-buas harimau tentu tak sampai ha membiarkan anaknya ma . Raja Jayakatwang hanya berputera seorang. Tentulah pangeran Ardaraja yang di mang- mang menjadi penggan nya di tahta kerajaan Daha. Dengan demikian tak mungkin raja Daha itu rela mengorbankan puteranya hanya karena ingin mengalahkan Singasari."
Belum Wijaya memberi tanggapan, Lembu Peteng sudah menyelutuk "Apabila raja Jayakatwang benar-benar lebih mengutamakan cita-cita daripada jiwa puteranya, kita buk kan ancaman kita dan kirimkan mayat pangeran Ardaraja kepada raja Daha itu."
"Ah, betapa kejam kaitan ini,"
Teriak Wijaya.
"Seorang lelaki harus berani ber ndak kejam, apabila memang perlu harus berlaku kejam. Terhadap musuh yang berbahaya dan mengancam keselamatan negara, kita wajib membuang rasa ha . Bukan soal penilaian kejam, atau tak kejam, tetapi penilaian itu harus ber k tolak pada kepen ngan perjuangan kita untuk menyelamatkan negara,"
Bantah Sora "moyang paduka sendiri, raden, seri baginda sri Rajasa sang Amurwabhumi dulu juga seorang ksatrya yang berani ber ndak kejam."
Wijaya tertegun. Hampir ia tak percaya pada pendengarannya. Kata-kata Sora itu, ya, kata- kata itu tepat sekali seperti ilham yang diterimanya ketika ia merenung cipta di halaman tadi. Ia menghela napas.
"Sora, Nambi dan Lembu Peteng"
Ujarnya sesaat kemudian "segala sesuatu harus disesuaikan dengan tempat dan waktu. Baik, kuterima pendapat kalian. Tetapi adakah kalian menganggap bahwa waktu dan keadaannya sudah tepat?"
"Bagaimana maksud raden ?"
"Adakah kalian sudah menganggap bahwa saat ini dan keadaan kita sekarang ini, sudah tepat untuk melakukan tindakan seperti yang kalian usulkan itu?"
"Menilik gerak-gerik Daha dalam mempersiapkan kekuatan pasukannya, hamba rasa mereka tentu mengadakan persiapan- persiapan ke arah yang tak menguntungkan kerajaan Singasari. Hamba landaskan dugaan hamba itu atas dasar sejarah antar kedua kerajaan itu, sejak dahulu hingga sekarang. Memang sejak baginda sri Rajasa sang Amurwabhumi menguasai Daha, hingga sekarang mereka tetap taat kepada Singasari. Tetapi hal itu hanyalah disebabkan karena keadaan bahwa mereka merasa kalah kuat. Bahwa mereka tak mempunyai ruang gerak untuk mempersiapkan kekuatan. Tetapi dalam hati sanubari raja dan rakyat Daha, mereka tentu tak pernah sekejabpun melupakan, bahwa mereka masih dikuasai oleh Singasari."
"Tetapi kakang Sora,"
Tukas Wijaya "bukankah seri baginda Kertanagara telah mengambil kebijaksanaan yang tepat. Mengambil pangeran Ardaraja putera menantu agar dendam permusuhan dari kakek moyang kerajaan Singasari dan Daha itu lebur dalam tali kekeluargaan ?"
"Semoga demikian, semoga Hyang Batara Agung merestui kebijaksanaan seri baginda Kertanagara,"
Seru Sora "tetapi kenyaataan-kenyataan telah menyingkirkan harapan hamba akan terlaksananya cita-cita luhur dari seri baginda itu."
"Mengapa engkau mengatakan begitu ?"
"Hamba mengua rkan, justeru i kad baik dari seri baginda itu akan disalah-gunakan oleh Daha. Untuk menunjukkan kesungguhan dan kelapangan ha , seri baginda tentu akan bersikap longgar dan lunak terhadap Daha. Justeru kelonggaran dan kelunakan itulah yang hamba cemaskan akan memberi kesempatan kepada Daha untuk bergerak dengan leluasa dalam menyusun kekuatan."
Wijaya tertegun.
Diam-diam dak menyalahkan tetapipun dak membenarkan kekua ran Sora itu "Sora, persoalan ini amat gawat sekali karena menyangkut kepen ngan Singasari dan Daha.
Salah penilaian akan menerbitkan salah langkah.
Salah langkah akan menimbulkan akibat yang tak terperikan.
Kurasa janganlah kita bernafsu diri untuk bertindak tergesa-gesa."
Sora diam.
"Cobalah kalian bayangkan, kakang Sora, Nambi dan Lembu Peteng,"
Kata Wijaya lebih lanjut "andaikata aku menyetujui rencana kalian, adakah hal itu akan dapat berhasil dalam waktu yang singkat sehingga aku belum berangkat ke negeri Malayu? Jika hal itu dak dapat terlaksana, apakah aku dapat berangkat ke Malayu dengan membawa beban pemikiran seberat itu? Bagaimana apabila aku sudah berangkat dan raja Daha karena murka atas hilangnya pangeran Ardaraja lalu menggerakkan pasukan untuk meminta pertanggungan jawab seri baginda Kertanagara? Tidakkah hal itu bahkan akan mempercepat ndakan Daha untuk menyerang Singasari karena mempunyai alasan yang kuat? Tidakkah sudah kukatakan kepada kalian, bahwa selama kita masih sibuk menyusun pasukan, hendaknya kita menghindari diri dari ndakan- ndakan yang dapat mengancam keselamatan Singasari?"
Sora, Nambi dan Lembu Peteng terkesiap.
Pertanyaan-pertanyaan yang tercurah bagai hujan deras dari mulut Wijaya, telah membasah-kuyupkan ha mereka yang panas.
Bahkan basah kuyup itu telah meningkat menjadi rasa menggigil manakala mereka membayangkan jawaban-jawaban atas pertanyaan Wijaya itu.
Mereka menyadari bahwa pertanyaan Wijaya itu memang kena sekali.
Ngeri rasa hati mereka membayangkan akibat-akibatnya.
"Raden, maa an kelancangan hamba yang tak dapat mengekang luapan ha terdorong atas peristiwa rakryan mpu Raganata,"
Dengan hati terbuka, Sora meminta maaf.
Wijaya mengangguk.
Ia tahu akan perangai Sora yang jujur, se a dan selalu berterus terang "Tak apa, Sora.
Lebih baik salah tetapi berani menyatakan pendapat, daripada tak berani menyatakan pendapat karena takut salah.
Dalam memusyawarahkan persoalan yang menyangkut kepen ngan negara, yang pen ng adalah mencari k pertemuan yang dapat menyelamatkan negara.
Bukan mencari siapa yang benar dan yang salah."
Sora menghaturkan terima kasih dan bertanya bagaimana langkah selanjutnya yang harus dilakukan.
"Baiklah, kakang Sora, Nambi dan Lembu Peteng,"
Kata Wijaya "kita tunggu dulu kedatangan Lembu Mandira. Baru kemudian nanti kita tetapkan langkah lagi."
Demikian akhir dari pembicaraan antara Wijaya dengan para kadehannya.
Memang demikianlah cara Wijaya bergaul dengan para kadehannya.
Ia tak menarik garis tajam antara 'gus dengan kawula', antara yang memimpin dan yang dipimpin, atasan dengan bawahannya.
Ia memberi kebebasan kepada mereka untuk menyatakan pendapat.
Dengan demikian mereka akan merasa bahwa mereka pun kawula-kawula yang bertanggung jawab akan keselamatan negara.
Bahwa tanggung jawab untuk menjaga negara, menyejahterakan masyarakat, mengangkat derajat bangsa, bukanlah hanya semata-mata tanggung jawab para mentri, senopa dan narapraja yang bertugas dalam pemerintahan, pun juga menjadi milik tanggung jawab seluruh kawula.
Dua hari kemudian, belum juga Lembu Mandira dan Gajah Pagon kembali ke Singasari.
Dan belum sempat Wijaya mengambil keputusan, baik menyusul Lembu Mandira atau dak, pada hari itu ia mererima tah dari keraton supaya menghadap seri baginda.
Tergesa-gesa iapun menghadap ke keraton.
Hari itu hari lowong, bukan hari pasewakan.
Namun di balairung tampak hadir beberapa mentri antara lain pa h Aragani, pa h Kebo Anengah, demung Mapanji Wipaksa, mpu Nada dharmadhyaksa ring Kasogatan, beberapa pamegat dan beberapa nayaka yang berkedudukan penting.
Pangeran Ardaraja pun tampak duduk di samping seri baginda.
Wijaya terkejut dan menduga tentulah terjadi suatu peris wa pen ng sehingga seri baginda telah menitahkan sidang darurat seper saat itu.
Namun ia tak dapat menduga, masalah pen ng apakah yang akan dibicarakan sehingga seri baginda perlu menitahkan sidang itu.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wijaya,"
Ujar seri baginda setelah menerima persembahan hormat dari calon putera menantunya itu "ada suatu hal yang ingin kutanyakan kepadamu."
"Mana-mana titah paduka, hamba junjung di atas kepala hamba."
"Benarkah parglima dari perutusan raja Kubilai Khan telah mengutus dua orang prajuritnya mengunjungi engkau ?"
Ujar seri baginda.
Wijaya terkejut.
Ia tak pernah menduga bahwa seri baginda akan mengajukan pertanyaan itu kepadanya.
Sesaat tak tahu ia bagaimana harus menjawab.
Kalau menyangkal, mungkin seri baginda sudah menerima laporan dari fihak yang memata-matai dirinya.
Namun kalau mengakui, kemungkinan urusan itu akan berlarut panjang.
Tentulah apabila sudah menerima laporan, seri baginda juga tahu bahwa prajurit yang diutus panglima Tartar itu telah mengirim piagam tanda persahabatan kepadanya.
"Apa katamu Wijaya ....
"
"Benar, gus ,"
Wijaya terkejut dan gopoh menghaturkan sembah "hamba telah menerima kedatangan dua orang prajurit utusan panglima Tartar."
"Apakah maksud panglima Tartar itu mengirim utusan kepadamu ?"
"Tak lain panglima Tartar hanya hendak menyampaikan rasa terima kasih atas ndakan hamba yang telah menyelamatkan utusan raja Kubiiai Khan waktu menghadap paduka, gusti."
"O, dia berterima kasih kepadamu?"
Baginda menegas.
"Demikian maksudnya, gus . Hamba sendiri tak pernah mengharapkan hal itu namun karena dia telah mengirim utusan, terpaksa hamba menerima kedatangannya."
Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung