Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 31


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 31



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   "Wijaya, tak pernahkah engkau membayangkan bahwa ndakan panglima Tartar itu mengandung maksud tertentu kepadamu ?"

   "Hamba tak pernah membayangkan hal itu, gus . Apapun yang menjadi tujuannya namun hamba telah bersumpah kepada Batara Agung, apabila sampai tergoyah kesetyaan hamba kepada kerajaan Singasari, semoga Hyang Batara Agung menurunkan kutuk untuk menumpas jiwa hamba!"

   "Tidakkah hal itu berar suatu pemikat agar engkau membantu tujuannya ke Singasari, misalnya dengan cara menganjurkan agar aku mengalah terhadap permintaan raja Kubiiai Khan?"

   Seri baginda masih mendesak.

   Wijaya terkejut dan heran.

   Terkejut mengapa sampai sedemikian jauh pemikiran baginda tentang peris wa itu.

   Heran karena tampaknya baginda masih belum puas dengan jawabannya tadi.

   Rasa keheranan itu segera menebarkan bayang-bayang dugaan akan seseorang yang telah mempersembahkan lidah beracun kepada baginda.

   Dia harus memberantasnya.

   "Kemungkinan akan hal itu terkandung dalam ha panglima Tartar, dapat juga terjadi, gus . Sumpah kesetyaan hamba kepada duli tuanku dan kerajaan Singasari, tak dapat ditawar lagi."

   "Bagus, Wijaya,"

   Seru baginda "kesetyaanmu tak kusangsikan tetapi aku heran.

   Dalam sidang untuk menerima utusan raja Kubiiai Khan, engkau mencegah aku supaya jangan ber ndak menghina mereka.

   Dan karena kuanggap pernyataanmu itu benar, akupun menurut.

   Tetapi mengapa engkau sendiri malah bertindak menghina mereka? Apa maksudmu, Wijaya?"

   Wijaya terbeliak kaget. Ia benar benar bingung dan kacau pikiran menerima teguran baginda. Sesaat dia dilenging kelongongan sehingga tak dapat menjawab.

   "Bukankah engkau telah membunuh prajurit Tartar itu ?"

   Seru baginda pula.

   "Membunuh ?"

   Karena disengat kejut serasa mendengar bunyi halilintar, Wijaya berteriak agak keras "

   Dak, gus , hamba tak membunuh mereka. Setelah menyerahkan surat piagam kepada hamba, merekapun terus berlalu."

   Baginda Kertanagara mengerling ke arah pa h Aragani dan mengangguk. Pa h Aragani segera berkata.

   "Raden Wijaya, ke ka putera menantu paman si Kuda Panglulut sedang melaksanakan kewajiban berkeliling pura untuk mengama tempat-tempat sekitar bangsal penginapan utusan raja Tartar, ia menemukan dua orang prajurit Tartar menggeletak di semak-semak. Ke ka Kuda Panglulut menghampiri, ternyata yang seorang mati berlumuran darah dan yang seorang terluka parah."

   "O,"

   Wijaya mendesuh kejut "siapakah yang membunuhnya, paman patih ?"

   "Prajurit yang terluka parah itu setelah diberikan pertolongan seperlunya, memberi keterangan bahwa mereka telah diserang oleh raden."

   "Aku menyerang mereka?"

   Kali ini Wijaya benar-benar seper mendengar halilintar berbunyi di siang hari.

   Rakryan pa h Arag|ni mengangguk "Kuda Panglulut tak selekas itu mempercayai keterangan mereka, ia mengira prajurit itu tentu masih belum sadar pikirannya.

   Maka disuruhnya beris rahat untuk menenangkan diri beberapa saat.

   Tetapi dalam pertanyaan yang diajukan Kuda Panglulut untuk yang kedua kalinya, masih prajurit Tartar itu tetap pada keterangannya semula."

   "Aku yang membunuhnya ?"

   Wijaya menegas.

   "Ya,"

   Jawab rakryan Aragani "atas pertanyaan Kuda Panglulut ia menerangkan dari awal.

   Katanya, mereka habis diutus oleh panglimanya untuk berkunjung ke tempat kediaman raden guna menyampaikan ucapan terima kasih dari panglimanya.

   Tetapi entah bagaimana dalam perjalanan pulang, di tengah jalan raden menyerang mereka."

   "Tidak, paman rakryan,"

   Sahut Wijaya serentak "aku tak mengejar mereka.

   Sehabis menerima kedatangan mereka, aku masih bercakap-cakap dengan beberapa pengalasariku antara lain Sora, Nambi dan Lembu Peteng hingga larut malam.

   Apabila perlu akan kubawa mereka ke mari untuk memberi kesaksian."

   "Ah, tak perlu,"

   Aragani bersenyum "sukar bagi paman untuk tak mempercayai keterangan Kuda Panglulut yang diiringi oleh dua orang prajurit ke ka menemukan kedua prajurit Tartar itu menggeletak disemak tepi jalan.

   Kemudian Kuda Panglulut mengantarkan mayat prajurit itu ke tempat penginapan utufan Tartar.

   "Tetapi paman pa h aku benar-benar tak melakukan pembunuhan itu,"

   Seru Wijaya dengan nada keras.

   Peris wa itu besar sekali akibatnya.

   Pagi hari di balairung keraton, dia berkeras menganjurkan seri baginda supaya jangan melakukan ndakan yang bersifat menghina utusan Tartar.

   Malam hari dia sendiri dituduh membunuh seorang prajurit Tartar.

   Dua buah hal yang berlawanan arah tujuan dan ar , telah terjadi.

   Peris wa itu seolah-olah telah diatur oleh tangan-tangan kotor yang menggunakan siasat lempar batu sembunyi tangan.

   Rakryan pa h Aragani tertawa datar "ingin aku mempercayai keterangan raden, tetapi aku pun terpaksa tak dapat menolak kenyataan bahwa Kuda Panglulut memang benar-benar telah menemukan mayat prajurit itu."

   "Tetapi ....

   "

   "Pembunuhan itu tak menjadi matalah pen ng raden,"

   Cepat pa h Aragani menukas "karena hal itu sejalan dengan ndakan yang hendak di tahkan seri baginda ke ka dalam sidang penerimaan utusan Tartar.

   Hanya disayangkan mengapa raden harus ber ndak sendiri.

   Adakah raden menganggap bahwa ndakan raden mencegah seri baginda menghina utusan Tartar itu dak tepat dan raden menyesal?"

   "Aku dak melakukan pembunuhan itu, paman pa h,"

   Wijaya mulai tak sabar "aku sendiri berusaha menghaturkan kata ke hadapan seri baginda agar jangan menghina utusan mereka, mengapa aku harus membunuhnya sendiri ?"

   "Sudahlah, Wijaya,"

   Ba2 baginda Kertanagara ber tah "aku tak murka bahkan kebalikannya aku girang atas ndakanmu itu.

   Engkau ber ndak bijaksana.

   Pembunuhan itu dak terjadi dalam keraton Singasari sehingga Kubiiai Khan tak dapat langsung marah dan menuduh kerajaan Singasari menghina utusannya.

   Tetapi yang membunuh prajuritnya itu adalah rakyat yang tak puas atas tindakan raja Kubilai Khan hendak mencampuri urusan kerajaan Singasari.

   Bagaimana pendapatmu, patih Aragani?."

   "Keluhuran sabda paduka, gusti junjungan yang hamba muliakan,"

   Sembah Aragani "pembunuhan pada seorang prajurit musuh pada hakekatnya merupakan suatu hinaan kepada musuh.

   Seharusnya Kubilai Khan marah tetapi dia tentu tak dapat menumpahkan kemarahan.

   Bahkan dia akan mendapat kesan bahwa ternyata rakyat Singasari mempunyai rasa harga diri, tak mau tunduk pada kekuasaan raja mancanagara.

   Kubilai Khan tentu seperti orang yang menderita sakit gigi.

   Sakit sekali tetapi tak dapat menumpahkan kemarahan kepada siapapun juga."

   Wijaya tak dapat mempersembahkan kata-kita lagi kecuali menghela napas dalam ha .

   Walaupun baginda tak murka bahkan memujinya, namun pembunuhan itu tetap akan memberi kesan yang buruk kepada raja Kubilai Khan "Adakah Kubilai Khan seorang raja yang naif sekali sehingga menerima kenyataan itu menurut jalan pikiran seri baginda Kertanagara dan pa h Aragani bahwa yang membunuh prajuritnya adalah rakyat Singasari tanpa mendapat dukungan dari kerajaan Singasari? Apakah dak mungkin raja Kubilai Khan akan menuduh bahwa pembunuhan itu hanya semata-mata permainan halus dari fihak kerajaan Singasari yang hendak meminjam tangan rakyat?"

   Pikirnya.

   Dan yang paling membuat Wijaya penasaran adalah, dia telah ditetapkan sebagai pelaku pembunuhan dan dipuji-puji sebagai pembunuh yang berjasa.

   Bukan soal takut atau tak takut untuk membunuh prajurit Tartar, tetapi haruslah di njau dari ar dan kepen ngan pembunuhan itu.

   Jika misalnya, rombongan utusan Tartar itu sampai melakukan hal-hal yang membahayakan, umpamanya mengamuk dan mengacau, tentulah dia sanggup untuk membunuh mereka.

   "Adakah seri baginda lebih mempercayai pa h Aragani daripada raden ?"

   Ba- ba Sora bersuara.

   Nadanya keras sebagaimana perangainya.

   Wijaya menghela napas "Sora, kita harus dapat berpikir secara dingin, jangan dipengaruhi oleh luapan perasaan.

   Pertama, seri baginda pada dasarnya menyetujui peris wa pembunuhan itu.

   Mungkin saja seri baginda masih mendenda kemurkaan atas ndakan raja Kubilai Khan.

   Kedua, mungkin, seri baginda condong untuk membenarkan ucapan pa h Aragani yang jelasnya dapat diar kan, bahwa semua penyangkalanku kalah dengan, buk mayat prajurit Tartar itu.

   Dan saksi- saksi yang hendak kuhaturkan mungkin dianggap anakbuahku sehingga tentu akan membela aku."

   Sora, Nambi dan Lembu Peteng terkesiap.

   Diam-diam mereka mengakui uraian Wijaya itu memang tepat.

   Suasana hening beberapa saat.

   Mereka sibuk merenungkan dan mencari pikiran untuk memecahkan peris wa yang menimpa raden Wijaya.

   Tiba- ba Medang Dangdipun datang.

   Ke ka mendengar penuturan Sora tentang periss wa yang dialami raden Wijaya, dia juga terkejut bukan kepalang "Itu suatu fitnah yang jahat."

   Teriaknya.

   Nambi menyabarkannya dan mengatakan "Memang penilaianmu benar, tetapi kita tak dapat berbuat apa-apa untuk menyangkal.

   Cobalah engkau pikirkan daya apa sebaiknya yang dapat kita haturkan ke hadapan raden Wijaya untuk menghadapi peristiwa itu ?"

   Seperti halnya ketiga kawannya, Medang Dangdi pun diam tetapi pikirannya bekerja keras.

   "Raden,"

   Ba- ba Sora buka suara "hamba rasa dalam peris wa ini, rakryan pa h Aragani tentu tak lepas dari ikut campur, bahkan kemungkinan besar, dialah yang mengemudikan rencana itu."

   Wijaya mengakui tetapi ingin ia mengetahui pendapat Sora lebih lanjut "Bagaimana engkau dapat mengatakan begitu, kakang Sora ? Apakah dasarnya? "

   "Raden Kuda Panglulut, putera menantu rakryan pa h Aragani amat bernafsu untuk menanam kekuasaan dalam pasukan kerajaan. Entah adakah hal itu memang atas perintah rakryan pa h Aragani atau memang raden itu sendiri yang haus kekuasaan, tetapi yang jelas rakryan pa h Aragani pernah mengusulkan putera menantunya kepada rakryan pa h Kebo Anengah supaya ditempatkan sebagai kepala pasukan keamanan pura kerajaan."

   "O, apakah rakryan patih Anengah menerima saja?"

   Tanya Medang Dangdi.

   "Tentu saja,"

   Sahut Sora "engkau tahu siapa rakryan pa h Aragani itu. Dia telah mendapat kepercayaan besar dari seri baginda. Dengan ketajaman lidahnya dia tentu dapat mendesak pa h Kebo Anengah supaya mau menerima usulnya."

   "Tetapi nyatanya raden Kuda Panglulut bukan kepala pasukan keamanan pura kerajaan,"

   Medang Dangdi memberi tanggapan.

   "Kurasa rakryan patih Kebo Anengah tentu cukup bijaksana. Dia tahu apa dibalik permintaan rakryan patih Aragani untuk mendudukkan putera menantunya dalam pasukan keamanan pura. Namun dia-pun menyadari akan desakan patih Aragani yang tentu menggunakan pengaruh seri baginda. Maka akhirnya, dengan cara yang cerdik, dapatlah rakryan patih Kebo Anengah mengambil jalan tengah. Menempatkan raden Kuda Panglulut sebagai pembantunya dalam bidang penjagaan keamanan pura."

   "Eh, kakang Sora, bagaimana engkau dapat tahu hal itu begitu jelas ?"

   Tegur Medang Dangdi.

   Sora mengangkat bahu "Selama aku bermukim di pura Singasari hampir seluruh waktuku yang senggang kugunakan untuk mencari keterangan ...

   tentang kedudukan dan kekuasaan se ap mentri, senopa sampai pada nayaka yang menduduki tempat pen ng dalam pemerintahan.

   Khusus tentang keluarga rakryan pa h Aragani dan segala sepak terjangnya di pura kerajaan.

   Raden Kuda Panglulut angkuh, sombong dan suka mengandalkan pengaruh ayah men-tuanya."

   "Benar, kakang Sora,"

   Seru Medang Dangdi "memang raden itu makin berkuasa tetapi makin sewenang-wenang.

   Apa yang kudengar tentang kedudukannya, daklah sama dengan keterangan kakang Sora.

   Kudengar setelah terjadi pemberontakan Mahisa Rangkah, maka seri baginda lalu mengadakan perobahan besar dalam kalangan ketentaraan.

   Tumenggung Wirakre dak lagi menjabat mentri dalam keraton tetapi dijadikan mentri angabhaya yang bertugas untuk menjaga keamanan dan keselatan pura kerajaan.

   Rakryan patih Aragani menggunakan kesempatan itu untuk menghaturkan permohonan kepada seri baginda, bahwa kemungkinan tumenggung Wirakre sakit ha atas penglorotan kedudukannya itu maka baiklah didampingi oleh seorang wakil.

   Dan wakil itu harus merupakan orang kepercayaan seri baginda agar dapat memata-matai gerak-gerik tumenggung Wirakreti.

   Atas pertanyaan seri baginda siapa kiranya orang yang layak diangkat dalam kedudukan maka patih Aragani lalu mengusulkan putera menantunya, raden Kuda Panglulut."

   "Kurasa,"

   Nambi menengahi "apapun jabatannya, hanyalah soal pangkat. Tetapi yang jelas terdapat persamaan antara keterangan kakang Sora dengan Medang Dangdi bahwa raden Kuda Panglulut memang menjadi pembantu kepala pasukan penjaga keamanan pura Singasari."

   "Sejak memegang jabatan itu, ndakan raden Kuda Panglulut makin keras dan sewenang- wenang. Barangsiapa yang dicurigai tentu ditangkap. Tampaknya rakyat bukan merasa aman kebalikannya malah gelisah,"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Medang Dangdi pula.

   "Kakang Sora,"

   Wijaya menyela "apa hubungan raden Kuda Panglulut maupun rakryan pa h Aragani dengan pembunuhan prajurit Tartar itu?"

   Sora menjawab "Raden, Kuda Panglulut tentu kenal dengan raden, bukan ?"

   "Ya."

   "Tentulah dia tahu pula akan kelungguhan raden di Singasari, bukan."

   "Tentu."

   "Lalu mengapa dia dak menghubungi raden melainkan terus langsung mengantarkan mayat prajurit itu ke markas penginapannya dan langsung mengadukan peristiwa itu kepada rakryan patih Aragani ?"

   "Ya, memang aneh,"

   Gumam Wijaya "mengapa dia tak datang kepadaku untuk minta keterangan tetapi lebih mempercayai keterangan prajurit Tartar yang terluka itu."

   "Mungkin dia jeri terhadap raden, yang selain menjadi senopa kerajaan pun menjadi calon menantu seri baginda,"

   Kata Nambi.

   "Bukan jeri, kakang Nambi, tetapi iri hati,"

   Sambut Medang Dangdi.

   "Tidak benar semua,"

   Sela Sora "kurasa memang ada sesuatu yang tak wajar. Tampaknya seolah- olah dia hendak mengukuhkan peris wa pembunuhan itu sebagai ndakan raden Wijaya dengan menghilangkan saksi prajurit Tartar yang terluka itu."

   Wijaya mengangguk "Kemungkinan engkau benar, kakang Sora.

   Memang tampaknya ada sesuatu yang tak wajar dibalik pembunuhan prajurit Tartar itu.

   Pokok persoalan itu berkisar pada diriku.

   Mengapa rakryan pa h Aragani hendak menjadikan aku sebagai kambing hitam dari pembunuhan itu ?"

   "Tentu ada tujuannya, raden,"

   Sambut Sora "seorang seper pa h Aragani tak mungkin bertindak tanpa suatu sasaran tertentu."

   "Lalu apa tujuannya?"

   Tanya Wijaya.

   Sora, Nambi, Lembu Peteng dan Medang Dangdi tak lekas memberi tanggapan.

   Mereka diam dan merenungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diselami dalam tindakan patih Aragani itu.

   Saat itu hari sudah malam dan Wijaya beserta empat kadehannya masih tenggelam dalam renungan.

   Ruang pendapa gedung kediaman raden Wijaya sunyi senyap.

   Sesaat Lembu Peteng mengangkat muka memandang ke luar, ia menjerit kaget "Hai siapa itu ....

   !"

   Cepat ia loncat bangun.

   Wijaya, Sora, Nambi dan Medang Dangdi pun serempak mengangkat muka dan serentak melonjak berdiri melihat sesuatu yang mengejutkan.

   Di ambang pintu, tanpa bersuara dan tanpa diketahui, entah bila munculnya, tampak tegak sesosok tubuh manusia yang menyeramkan.

   Tubuhnya terbungkus jubah warna hitam yang memanjang menutupi kedua kaki.

   Kepala dan mukanya bertutup kain hitam.

   Hanya pada bagian mata diberi lubang.

   Dari lubang itu terpancar sinar matanya yang tajam tenang.

   "Jangan kaget, aku seorang sahabat,"

   Seru orang itu sebelum tuan rumah menegur. Nadanya tenang dan ramah. Sora maju beberapa langkah "Siapakah ki sanak dan apa maksudmu datang tanpa seijin kami?"

   Sora tak lekas mempercayai jawaban orang.

   Ia lebih cenderung menduga bahwa pendatang itu tentu bermaksud buruk.

   Dalam berkata-kata, iapun diam-diam bersiap diri.

   Orang aneh itu tertawa kecil "Jangan memandangku sedemikian rupa, ki sanak.

   Telah kukatakan, aku datang dengan maksud baik, percayalah.

   Tetapi maaf, aku tak dapat memberitahukan siapa diriku."

   "Bermaksud baik tetapi tak dapat memberitahukan nama? Huh,"

   Dengus Sora "Lalu apa tujuanmu ke sini ?"

   "Hendak bertemu raden Wijaya."

   "Apa kcperluanmu ?"

   Sora makin curiga.

   "Maaf, adakah ki sanak ini raden Wijaya?"

   "Aku kadehan raden Wijaya. Katakan maksudmu !"

   "Maaf, aku hanya ingin bicara empat mata dengan raden Wijaya. Jika ki sanak bukan raden Wijaya, terpaksa aku akan tinggalkan tempat ini."

   Habis berkata orang itu berputar diri terus ayunkan langkah.

   "Berhen ,"

   Sora loncat ke muka "gedung ini tempat kediaman raden Wijaya, senopa kerajaan Singasari dan calon putera menantu seri baginda Kertanagara.

   Tak boleh sembarangan saja orang masuk ke luar tanpa idin.

   Engkau lancang masuk tanpa idin, tetapi jangan engkau kira dapat berlalu tanpa idin."

   Orang itu hentikan langkah "

   O, maksudmu ?"

   "Engkau harus tinggal di sini dulu."

   "Untuk apa ?"

   "Bukalah kain kerudung mukamu dan beritahukan namamu "

   "O, adakah hal itu suatu keharusan?"

   "Ya,"

   Sahut Sora "engkau berani lancang masuk ke mari tanpa idin. Apabila wajah, nama dan keteranganmu kami mbang benar-benar dak mengandung maksud buruk, tentu kuidinkan pergi."

   "O, apakah engkau hanya percaya pada raut muka, nama dan keterangan orang saja ?"

   "Jangan banyak cakap !"

   Bentak Sora "aku bukan anak kecil, tentu dapat menimbang kesemuanya itu. Kalau engkau ternyata bohong dan bermaksud buruk terhadap raden Wijaya, jangan engkau tanya dosa."

   "Apa maksudmu?"

   Orang itu menegas.

   "Nyawamu boleh pergi tetapi ragamu harus tirggal di sini."

   "Engkau hendak membunuh aku ?"

   "Ya."

   Tiba -tiba orang aneh itu tertawa lebar.

   "Setan ! Apa yang engkau tertawakan !"

   Hardik Soa.

   "Aku mentertawakan kebohongan orang. Orang menyohorkan raden Wijaya itu seorarg ksatrya yang budiman, bijaksana dan perwira. Tetapi kenyataan berbicara lain."

   "Jangan menghina junjunganku."

   "Siapa yang menghina ?"

   "Mulutmu !"

   Sora menuding ke arah orang itu. Orang aneh itu tertawa "Salah engkau, ki sanak."

   "Bukan aku tetapi engkau sendiri yang menghina junjunganmu."

   Sora terbeliak "Jangan makin meliar ! Kesabaran ada batasnya."

   "Engkau takut aku mengatakan hal yang sebenarnya ?"

   "Siapa bilang aku takut ? Engkau harus mempertanggungjawabkan kata-katamu itu."

   "Jika engkau menganggap bahwa raden Wijaya itu memang seorang ksatrya yang berbudi, bijak dan perwira, mengapa engkau sebagai kadehannya main gertak hendak membunuh orang ? Tidakkah sikapmu itu mencemarkan keluhuran nama raden Wijaya? Salahkah kalau aku mengatakan bahwa apa yang disohorkan orang tentang diri raden Wijaya itu tak sesuai dengan kenyataannya ?"

   "Keparat,"

   Sora tak dapat menahan kesabarannya lagi.

   Orang itu pandai bermain lidah.

   Dan orang yang berlidah tajam tentulah orang licik, pandai ber pu muslihat.

   Serentak Sora loncat menghunjamkan njunya ke dada orang itu.

   Tetapi alangkah kejutnya ke ka dengan suatu gerak yang gemulai, tubuh orang itu berkisar ke samping sehingga tinju Sora menerpa angin.

   Sora makin penasaran.

   Tanpa menarik nju yang menjulur ke muka, ia lanjutkan berputar ke samping untuk menapas leher orang "Uh,"

   Kembali mulut Sora mendesuh geram ke ka otang aneh itu mengendapkan diri ke bawah sehingga tangan Sora menghantam tempat kosong lagi. Bahkan karena terlalu bernafsu, Sora goyoh keseimbangan badan dan terayun membelakangi orang itu.

   "Ki sanak, masuklah,"

   Tiba-tiba orang itu mendorong punggung Sora.

   Pelahan tampaknya tangan orang itu mendorong tetapi ternyata Sora seper anak kecil yang mendengar kata.

   Ia terhuyung-huyung sampai beberapa langkah ke dalam ruang.

   Lembu Peteng dan Nambi bergegas menyanggapinya.

   Dalam pada itu Medang Dangdipun loncat menerjang lawan.

   "Engkau juga kadehan raden Wijaya, yang gemar membunuh orang?"

   Kata orang aneh itu seraya menghindar ke samping.

   "Ya, tulang belulangmu akan kupatahkan,"

   Sahut Medang Dangdi seraya kejarkan pukulannya. Orang itu menyurut ke belakang. Saat pukulan Medang Dangdi melayang di mukanya, dengan suatu gerak yang amat cepat, ia menyambar siku lengan Medang Dangdi terus disentakkan "Engkaupun masuk juga."

   Medang Dangdi mengalami nasib serupa dengan Sora. Tubuhnya terdorong ke dalam ruang. Untung disambut Nambi.

   "Ho, engkau juga hendak meremuk tulangku?"

   Seru orang aneh itu ke ka Lembu Peteng memburu maju dan menyerangnya.

   "Tidak cukup meremuk tulang tetapi akan kucincang dagingmu,"

   Teriak Lembu Peteng seraya melancarkan serangan yang gencar.

   "Hm, rupanya engkau paling ganas,"

   Seru orang itu seraya bergeliatan kian kemari untuk menghindar.

   "Terhadap penjahat semacam engkau, memang Lembu Peteng tak memberikan ampun"

   Seru Lembu Peteng.

   Ia mempergencar serangannya makin cepat, Tetapi orang aneh itupun makin gesit gerak penghindarannya.

   Pukulan Lembu Peteng tak ada yang berhasil mengenai, walaupun hanya menyentuh jubah lawan saja.

   Bahkan masih sempat orang itu mengejek "O, engkau bernama Lembu Peteng ? Mengapa engkau dilahirkan secara gelap sehingga pikiranmupun segelap ini ?"

   Ejekan itu benar-benar membuat telinga Lembu Peteng merah seper terbakar.

   Pada umumnya, ar kata-kata Lembu Peteng itu adalah anak hasil hubungan gelap antara seorang priagung dengan wanita dari kalangan rakyat.

   Tetapi Lembu Peteng bukanlah seorang anak gelap.

   Adalah karena waktu dilahirkan dia berkulit hitam maka ibu bapaknya memberinya nama Lembu Peteng.

   Nama- nama Lembu, Mahesa, Kuda, Gajah dan beberapa jenis binatang, memang lazim digunakan pada masa itu.

   Walaupun marah tetapi Lembu Peteng masih menyadari suatu hal.

   Bahwa orang aneh yang menjadi lawannya itu, seorang yang berilmu sakti.

   Gemas akan mengalami nasib seperti Sora dan Medang Dangdi maka Lembu Peteng segera mencabut bindi dan menghunjam kepala orang itu dengan sekuat tenaga.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Darrr ...

   Saat itu karena harus menghindari serangan Lembu Peteng yang gencar tadi, tanpa disadari orang aneh itu telah terdesak di dekat sebatang ang soko pendapa.

   Lembu Peteng mengetahui kedudukan lawan yang lemah karena tak dapat menghindar ke belakang lagi.

   Maka ia menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

   Bindi diayunkan sekuat tenaganya.

   Pecah kepala orang itu dan benaknya pas akan berhamburan ke luar apabila terkena bindi maut yang diayunkan Lembu Peteng.

   Pengamatan yang tajam dari Kernbu Peteng akan kemungkinan arah yang akan diambil orang itu apabila hendak menghindar telah dijaga dengan persiapan kakinya.

   Apabila orang itu akan menghindar, iapun akan mengirim tendangan.

   Mengiku gerak layang bindinya, Lembu Peteng yakin akan menyaksikan pecahnya kepala orang itu.

   Tetapi dia terkejut ke ka bindi menghantam ang pendapa.

   Terdengar letupan dahsyat, disusul pula dengan tebaran keping-keping kayu kecil-kecil seper tatal, berhamburan memenuhi lantai.

   Tiang yang sepemeluk tangan besarnya itu telah rompal terhantam bindi Lembu Peteng.

   Getaran tiang itu kuasa mengguncangkan pendapa sehingga atapnya terdengar bcrdera derak.

   "Ah, apabila engkau lanjutkan pengamukanmu, gedung ini tentu roboh,"

   Seru orang itu. Cepat ia bergerak maju. Sebelum Lembu Peteng sempat berputar tubuh, bahunya terasa dicengkeram orang dan sebelum ia sempat mengerahkan tenaga untuk memperkokoh diri, tubuhnya terasa melayang ke belakang "Masuklah engkau!"

   Seru orang aneh itu.

   Bagaikan layang-layang putus tali, tubuh Lembu Peteng melayang-layang, jauh lebih deras dari apa yang diderita Sora dan Medang Dangdi.

   Karena tangannya masih mencekal bindi, agak lambat Nambi bergerak untuk menyanggapi tubuhnya, bluk ....

   laju tubuh Lembu Peteng terhen seke ka, walaupun secara paksa, manakala terbentur pada dinding pendapa.

   Dalam keadaan biasa, dengan menghimpun tenaga, Lembu Peteng mampu membentur roboh sebatang pohon.

   Apabila dia membentur dinding tembok, walaupun tembok itu tak sampai roboh tetapi diapun tak sampai terkulai.

   Tetapi saat itu keadaan Lembu Peteng dalam kehilangan keseimbangan.

   Sentakan tangan orang itu amat kuat sekali sehingga tubuh Lembu Peteng melaju deras.

   Sebelum ia sempat menghimpun tenaga, tubuhnya sudah terbentur dinding tembok, duk, sungguh sial sekali.

   Selain punggung pun kepala bagian belakang juga terbentur sehingga ia rubuh terduduk di lantai, kepalanya berdenyut- denyut, mata kabur.

   Wijaya terkejut menyaksikan peris wa itu.

   Sebenarnya ia mempunyai perasaan lain terhadap orang aneh itu.

   Dan iapun hendak tampil menyambutnya.

   Tetapi Sora sudah mendahului menyerang, kemudian Medang Dangdi dan terakhir Lembu Peteng.

   Ke ganya ber ndak dengan cepat sekali sehingga tak menyempatkan Wijaya untuk mencegah.

   Tetapi ia sudah mempunyai rencana, apabila orang itu dapat ditangkap, ia akan melarang kadehannya supaya jangan menyiksa.

   Ia hendak memeriksa keterangan orang itu.

   Tetapi alangkah kejutnya ketika menghadapi kenyataan lain.

   Sora, Medang Dangdi dan Lembu Peteng adalah prajurit-prajurit yang gagah perkasa dan sakti mandraguna.

   Namun ketiganya, satu demi satu dapat dikalahkan orang aneh itu.

   Lepas dari semua kesan baik kepada orang itu, tetapi ia merasa kurang senang juga atas perbuatan orang itu.

   Apa yang dikatakan Sora memang benar.

   Orang itu berani lancang masuk kedalam gedung kediamannya tanpa minta idin.

   Ini suatu larangan.

   Belum kesalahan itu diakui dengan suatu pernyataan maaf, orang itu malah merobohkan tiga orang kadehannya.

   Tidakkah hal itu suatu penghinaan dan tantangan kepadanya? Wijaya serentak maju dan ayunkan tangan menampar "Jangan bertingkah liar disini!"

   Orang aneh itu tertegun melihat tampilnya seorang muda yang cakap dan berwibawa.

   Dan karena melihat Wijaya hanya menampar pelahan, orang itu tak mau menyingkir.

   Tetapi alangkah kejutnya ke ka suatu arus tenaga yang keras melanda dadanya.

   Buru-buru ia mengangkat tangan unuk melindungi diri tetapi terlambat "Uh ......."

   Ia mendesis tertahan karena tubuhnya terdorong mundur setengah langkah.

   Tetapi Wijaya sendiripun tak kalah besar rasa kejutnya.

   Tamparan itu dilambari dengan tenaga sak yang mampu menghancurkan karang ke ka beberapa waktu yang lalu ia menguji kesak an ilmu pukulan dengan Sora dan Nambi dijalan pegunungan.

   Walaupun dak dilambari dengan tenaga penuh, tetapi cukuplah mengejutkan ha nya ke ka orang aneh itu hanya terdorong mundur setengah langkah tanpa menderita luka.

   "Ki bagus, hebat benar pukulanmu. Sayang ha mu dak sebagus wajahmu karena gemar mencelakai orang,"

   Seru orang itu setelah menegakkan kedua kakinya.

   "Jika aku benar berha kejam seper katamu, mungkin dadamu akan membengkah. Adalah karena sayang akan kesak anmu dapat merobohkan ke ga orang kadehanku maka aku masih bermurah hati kepadamu,"

   Sahut Wijaya. Mendengar jawaban itu, orang aneh terbeliak "Engkau .... siapa?"

   "Wijaya."

   "O, raden Wijaya,"

   Seru orang itu dalam nada tergetar "maa an raden.

   Aku hanya mendengar nama raden tetapi belum pernah bertemu muka.

   Tetapi mengapa sejak tadi raden tak mau mengatakan begitu? Bukankah akan dapat menghindarkan kesalahanku memperlakukan kasar kepada ketiga kadehan raden?"

   "Engkau harus dapat memaklumi ndakan kasar mereka,"

   Kata Wijaya "mereka ingin menjaga keselamatanku. Bukankah peris wa tadi tak perlu terjadi apabila engkau mau memberitahu nama dan maksud kedatanganmu hendak menemui aku ?"

   "Ya, memang seharusnya aku bertindak begitu,"

   Kata orang aneh itu "tetapi kuminta pengertian raden akan hal yang sedang kulakukan. Persoalan yang kubawa ini, hanya harus kukatakan kepada raden seorang diri."

   "Rahasia ?"

   "Ya."

   "O, tetapi mereka adalah orang kepercayaanku semua."

   "Ya, bagi raden tetapi tidak bagi diriku."

   "Ki sanak, siapakah sebenarnya engkau ini? "

   "Maaf, raden, karena keadaan terpaksa soal namaku untuk sementara waktu ini harus kurahasiakan. Kumohon penger an raden. Yang pen ng bukan siapa diriku ini tetapi persoalan yang akan kuhaturkan kepada raden."

   Wijaya tertegun.

   Ia tak puas atas sikap orang yang tak mau mengaku siapa dirinya.

   Tetapi rasa tak puas itu agak terhapus setelah memperhatikan ucapannya.

   Bahwa tak mungkin orang itu akan berani menempuh bahaya untuk menghadapnya apabila tak mempunyai persoalan yang amat penting.

   "Bagaimana maksudmu?"

   Tegurnya menegas.

   "Maaf, raden, soal ini amat peribadi. Terpaksa tak dapat kukatakan di sini. Mari kita ke luar ke halaman."

   Belum Wijaya menyatakan apa-apa, Sora sudah mendahului "Jangan raden, dia tentu bertujuan buruk kepada raden."

   "Raden tak percaya kepadaku ?"

   Tanya orang itu.

   "Hm,"

   Wijaya hanya mendengus.

   "Mengapa raden takut kuminta ke luar ke halaman ? Di sana akan kukatakan persoalan yang kubawa."

   "Bukan soal takut tetapi aku tak sampai ha untuk menyiksa perasaan para kadehanku yang tentu gelisah apabila aku tak mendengar anjuran mereka,"

   "O,"

   Desuh orang itu dalam alun nada kecewa "jika demikian raden tak bersedia meluluskan permintaanku. Sayang ....

   "

   "Mengapa engkau mengatakan begitu ?"

   "Bukan karena aku menyesal telah menempuh segala jerih payah tetapi kusayangkan orang tak mengerti akan sesuatu yang layak dimengerti."

   "Jangan tergesa mengeluarkan penilaian, ki sanak."

   "Lalu apa yang harus kukatakan? Baiklah, jika raden tak berkenan hanya karena berat hati membuat gelisah para kadehan daripada lain persoalan yang lebih penting, akupun takkan memaksa. Aku akan mohon diri tinggalkan tempat ini juga."

   "Begini saja,"

   Cepat Wijaya berseru.

   Ia tahu orang itu tentu mempunyai persoalan penting.

   Dari kata-kata yang dirangkainya, ia mempunyai kesan bahwa orang aneh yang dihadapinya itu, tentu seorang berilmu.

   Tetapi diapun tak mau menyebabkan Sora dan kawan kawannya gelisah.

   Sekalipun kepada orang bawahan apabila memang benar, ia menurut juga "akan kuminta para kadehanku itu ke luar ke halaman dan kita yang bicara di sini berdua."

   Sejenak berdiam, orang itu menyetujui. Wijaya lalu memberi isyarat agar Sora berempat ke luar dulu. Mereka menurut dan menjaga di halaman.

   "Nah, sekarang katakanlah,"

   Kata Wijaya. Orang itu sejenak membenahi diri baju kemudian berkata "Pertama-tama, ingin kuminta pengertian raden bahwa aku seorang kawan sehaluan dalam garis perjuangan dengan raden."

   "Hm, mudah-mudahan,"

   Sambut Wijaya.

   "Aku berjuang seorang diri, tanpa kawan. Kutempuh suatu cara perjuangan yang tersembunyi. Oleh karena itu kuselubungi wajahku dalam selongsong pakaian yang aneh ini. Aku mempunyai alasan sendiri mengapa aku harus berbuat sedemikian."

   "Se ap orang bebas memilih cara hidup dan cara perjuangan menurut apa yang dikehendaki, asal jangan melanggar undang-undang negara dan merugikan rakyat."

   Orang aneh itu mengangguk "Benar, raden. Memang pada dasarnya, berjuang itu mengandung makna memperjuangkan sesuatu yang baik. Hendaknya kita semua yang mengaku diri sebagai pejuang, harus tetap menjunjung kesucian arti kata itu."

   Wijaya mengangguk. Diam-diam ia memuji akan ketajaman bicara orang itu. Dan selama bertukar pembicaraan dengan dia, Wijayapun makin mendapat kesan bahwa nada suara itu menunjukkan seorang muda.

   "Raden, akupun berjuang untuk kerajaan Singasari, itulah sebabnya aku berani mengatakan tadi, bahwa aku sehaluan dengan raden. Kuiku semua perkembangan yang terjadi di Singasari. Bukankah raden akan diutus seri baginda untuk mengepalai rombongan perutusan Singasari yang akan mengantar arca Amogapasa ke tanah Malayu ?"

   "Ya, setiap orang tahu hal itu,"

   Sahut Wijaya.

   "Bukankah raden telah menerima dua orang prajurit Tartar yang dutus oleh panglima mereka ?"

   Wijaya terkesiap tetapi pada lain saat ia sudah menyahut "Ah, hal itu mudah diketahui."

   "Bukankah kedua prajurit Tartar itu, yang satu ma terbunuh dan yang satu terluka dan diketemukan Kuda Panglululut ?"

   "Ya, itupun tidak mustahil diketahui,"

   Kata Wijaya.

   "Bukankah raden mendapat pertanyaan dari baginda yang menganggap radenlah yang membunuh prajurit Tartar itu?"

   "Juga tak mengherankan kalau engkau tahu hal itu,"

   Rnasih Wsjaya tak terkejut.

   "Raden,"

   Ba- ba orang aneh itu bergan dengan nada setengah berbisik "bukankah empu Raganata sang adhyaksa Tumapel diculik orang?"

   "Hai,"

   Kali ini Wijaya benar-benar seper disengat kala "bagaimana engkau tahu akan hal itu juga?"

   Sekarang giliran orang aneh itu yang tenang-tenang menjawab "Telah kukatakan sebelumnya, bahwa aku berjuang seorang diri dan secara diam-diam aku telah mengiku semua perkembangan yang terjadi di kerajaan Singasari.

   Hampir semua peris wa yang telah terjadi tak lepas dari pengawasanku.

   Raden merasa heran mengapa aku tahu segala apa di Singasari, bukan ?"

   "Hm."

   "Tetapi apa yang telah kulakukan, mungkin tak ada orang yang tahu termasuk raden juga."

   Wijaya mencurah pandang lekat-lekat meneliti wajah yang tersembunyi dibalik kain hitam dari orang aneh yang tegak di hadapannya.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Menilik sinar matanya yang tajam berkilat-kilat, orang itu tentu memiliki ilmu tinggi.

   Menilik sekelumit kulit pada pelapuk mata dan nada suaranya, jelas orang itu tentu masih muda, mungkin lebih muda dari dirinya.

   Tetapi heran, mengapa dia tahu semua peristiwa di Singasari sampai seluas itu ? Siapakah gerangan orang ini ? Namun keinginan itu segera ditekannya karena tadi orang itu telah memberi pernyataan bahwa untuk sementara waktu ini dia tak dapat memberitahukan namanya.

   Dan Wijayapun menyetujui walaupun tidak dengan kata-kata.

   "Ki sanak, apakah yang telah engkau lakukan selama ini?"

   Wijaya lebih tertarik untuk mengetahui ndakan orang itu daripada bertanya namanya. Ia mendapat kesan bahwa orang itu makin menunjukkan sikap bersahabat.

   "Ada dua hal raden,"

   Sahut orang aneh itu "yang telah kulakukan dan yang akan kulakukan."

   "O."

   "Yang telah kulakukan,"

   Kata orang aneh itu pula "antara lain, aku telah menemui panglima Tartar dan memberi keterangan kepadanya bahwa yang membunuh prajuritnya itu, bukan raden Wijaya ....

   "

   "Hai ....... !"

   Kembali Wijaya terbeliak kaget.

   Menemui panglima Tartar? Tidakkah hal itu suatu hal yang berlebih-lebihan sifatnya? Mungkinkah orang itu takkan ditangkap oleh pengawal-pengawal panglima Tartar ? "ah, jangan engkau menjual petai kosong dihadapanku, ki sanak,"

   Akhirnya ia berkata dalam nada menegur.

   "Mengapa raden menuduh begitu ?"

   "Coba jawab, dalam keadaan bagaimana engkau menemui panglima Tartar itu? Engkau tetap memakai kain kerudung muka seperti sekarang atau tidak?"

   "Mengapa harus kutanggalkan pakaian ini? Jika menghadap raden aku masih mengenakan pakaian ini, mengapa menemui panglima Tartar aku harus bergan pakaian? Tidakkah hal itu berarti aku lebih takut dan lebih menghargai dia daripada raden ?"

   Wijaya terkesiap tetapi pada lain saat dia tertawa datar "Ah, tak mungkin! Tempat penginapan rombongan utusan Tartar itu tenta dijaga ketat oleh prajurit-prajuritnya. Masakan mereka membiarkan saja engkau masuk keluar menemui panglima mereka ?"

   "Raden berkata benar,"

   Sahut orang itu "tetapi aku tak lewat para prajurit penjaganya."

   "Lalu ?"

   Wijaya menegas.

   "Aku langsung berhadapan dengan panglima Tartar dalam ruangnya."

   "Dengan cara bagaimana engkau masuk kedalam tempat penginapan mereka?"

   Ba- ba Wijaya mulai curiga.

   "Dalam hal itu aku mempunyai cara tersendiri,"

   Jawab orang itu.

   "Dari atap atau dengan aji penyirap atau mungkin dengan ilmu kesak an lain?"

   Masih Wijaya menegas. Tetapi orang itu mengelak "Kelak raden tentu akan mengetahui. Yang pen ng aku telah berhasil menghadap panglima Tartar dan menjelaskan tentang kedua prajuritnya yang menderita musibah itu."

   "Nan dulu,"

   Sela Wijaya "adakah begitu mudah panglima Tartar itu akan menerima kedatanganmu? Apakah dia tak curiga dan menangkapmu?"

   "Tidak, raden,"

   Kata orang itu "rupanya dia juga seorang berilmu."

   "Bagaimana engkau tahu ?"

   "Sikapnya amat tenang sekali, mengunjuk suatu kepercayaan atas kekuatannya sendiri. Bahwa apabila aku bermaksud buruk kepadanya, dia yakin tentu mampu mengatasi."

   Wijaya dapat menerima keterangan itu. Lalu dia bertanya lebih lanjut "Apa yang engkau bicarakan kepadanya ? Bagaimana dan apa yang engkau jelaskan?"

   "Bahwa yang membunuh dan melukai prajurit Tartar itu, bukanlah raden Wijaya tetapi fihak lain yang hendak menjatuhkan nama baik raden."

   "O,"

   Wijaya mendesuh kejut "lalu bagaimana sambutannya?"

   "Dia mengagumi keberanian dan kepandaianku menyusup penjagaan prajuritnya dan langsung dapat menghadap kepadanya. Dia mengatakan bahwa orang Tartar itu berasal dari suku Mongol. Orang Tartar senan asa menghargai seorang gagah berani dan seorang pahlawan. Raja mereka, Kubilai Khan, juga keturunan dari Jengis Khan, seorang pahlawan yang gagah perkasa. Dia tak menyangka bahwa di bumi Singasari ternyata terdapat kaum ksatrya yang berilmu nggi. Oleh karena itu dia percaya penuh kepadaku."

   Wijaya terhempas dalam perasaan antara ragu dan percaya.

   Apabila orang aneh itu mau membuka kain penutup mukanya dan menunjukkan wajah serta namanya, tentulah ia dapat lebih cepat mempercayainya.

   Tetapi karena keterangan itu diucapkan oleh seorang yang menyembunyikan wajah dalam selubung kain hitam yang aneh, betapapun Wijaya harus mewajibkan diri untuk mempertajam kewaspadaan dan mengekang keinginan untuk dak lekas memberi kepercayaan.

   Adakah orang itu benar-benar hendak membelanya ataukah hanya melakukan siasat untuk mengambil hati, ia masih belum mendapat titik- titik penunjuk yang jelas.

   "O, kalau menilik engkau berani memberi keterangan tentang peris wa pembunuhan, prajurit Tartar kepada panglimanya, engkau tentu sudah mempunyai pengetahuan siapa-siapa sebenarnya pembunuhnya?"

   Wijaya bertanya pula.

   "Ya, benar. Aku sudah tahu."

   Wijaya terdiam sejenak lalu bertanya "Tahu dan tahu ada dua. Tahu karena mendengar cerita orang. Dan tahu karena telah membuk kannya sendiri. Mana diantara dua jenis tahu itu yang engkau miliki?"

   "Raden,"

   Kata orang itu dengan nada mantap "dalam peristiwa itu, kuanggap menyangkut suatu peristiwa yang penting dimana apabila tak diselesaikan dengan tepat, mungkin dapat menimbulkan akibat yang luas.

   Pembunuhan atas prajurit Tartar dapat dianggap suatu sikap tak bersahabat atau mungkin suatu hinaan bagi mereka.

   Raja Kubilai Khan mungkin akan marah dan mengirim pasukan untuk meminta pertanggungan jawab kepada Singasari."

   "Tetapi jelas pembunuhan itu dak terjadi di keraton. Jadi bukan tanggung jawab kerajaan melainkan hanya perbuatan dari rakyat Singasari yang marah. Bagaimana mungkin raja Kubilai Khan akan marah dan hendak menuntut pertanggungan jawab?"

   Orang aneh itu mengangguk "Memang benar apa yang raden katakan itu.

   Tetapi dak seluruhnya benar.

   Pembunuhan itu terjadi dalam pura Singasari.

   Walaupun yang membunuh adalah rakyat Singasari, tetapi fihak raja Tartar tetap dapat menuntut pertanggungan jawab dengan dasar karena baginda Kertanagara dan para mentri senopa yang berkuasa, tak mampu melindungi keselamatan utusan Tartar."

   "Tetapi Singasari tak mengundang mereka?"

   Bantah Wijaya.

   "Benar,"

   Sahut orang itu "memang Singasari tak mengundang tetapi karena secara resmi telah menerima kunjungan mereka maka menurut peraturan, mereka adalah tetamu yang harus diperlakukan dengan baik, termasuk melindungi keselamatan jiwa mereka.

   Lepas dari suka atau tak suka akan maksud kedatangan mereka, tetapi mereka hanyalah sebagai utusan.

   Maka wajarlah kalau diperlakukan sebagai tetamu.

   Dan seorang tuan rumah yang baik, tentu wajib melindungi keselamatan tetamu selama mereka masih berada dilingkungan kekuasaan kita."

   "Hm,"

   Wijaya; mendesuh.

   "Dengan dasar alasan bahwa raja Singasari tak mampu melindungi jiwa rombongan utusannya. Bahwa ternyata kerajaan Singasari tak mampu mengurus kawula supaya jangan ber ndak scmbarangan, dapatlah raja Kubilai Khan mengirim pasukan untuk meminta pertanggungan jawab kepada Singasari."

   "Apa yang akan dituntut?"

   "Ada beberapa kemungkinan,"

   Kata orang aneh itu "pertama, menuntut supaya kerajaan Singasari menangkap dan menyerahkan pembunuh itu kepada pasukan Tartar.

   Atau yang agak lunak, kerajaan Singasari supaya menangkap dan menghukum pembunuh itu.

   Kedua, menuntut supaya Singasari meminta maaf atas peris wa itu, mungkin mungdkin pula dengan disertai tuntutan supaya Singasari menggan kerugian juga.

   Ke ga, mungkin Tartar akan menggunakan peris wa itu sebagai alasan untuk memaksa Singasari menerima permintaan kerajaan Tartar seperti yang telah dibawa oleh rombongan utusan mereka itu."

   "Hm, orang Tartar boleh menuntut apa saja,"

   Dengus Wijaya "tetapi Singasari bukan kerajaan yang mudah digertak."

   "Maksud raden kerajaan Singasari tentu akan menolak ?"

   "Singasari adalah sebuah kerajaan besar yang berdaulat dan berwibawa. Hak bagi Singasari sepenuhnya untuk menolak segala tuntutan yang akan merendahkan martabat dan kewibawaan kerajaan."

   "Benar, raden,"

   Seru orang aneh itu "akupun setuju sekali dengan pernyataan itu, kalau aku menuru luap perasaan harga diriku sebagai putera negara Singasari yang besar.

   Tetapi pikiranku yang melihat keryataan, mencegah aku supaya jangan hanya menuru luap perasaanku saja.

   Kurasa radenpun tentu demikian juga.

   Namun apabila raden dak berpendirian demikian maka raden tentu terjebak dalam perangkap pa h Aragani yang hendak menjerumuskan Singasari kedalam kancah peperangan.

   Adakah raden mengingkari apa yang raden lantangkan dalam sidang penerimaan utusan Tartar yang berlangsung dalam balairung keraton kemarin? Jika demikian, maka penilaian seri baginda dan pa h Aragani ke ka raden menghadap ke keraton siang tadi, adalah tepat.

   Bahwa raden sesungguhnya mendukung kehendak seri baginda yang bermaksud hendak menghina utusan Tartar itu."

   Wijaya tertegun mendengar hamburan kata-kata yang tajam dan tepat kena pada sasaran dari orang aneh itu. Ia menunduk "Ya, engkau benar,"

   Pada lain saat dia mengangkat muka, menatap orang itu.

   "Terima kasih raden dan maaf apabila kata-kataku terlalu tajam kepada raden,"

   Kata orang itu "tetapi dengan sungguh hati aku memang berjuang demi membela keluhuran nama raden."

   "Baik, mudah-mudahan dewata merestui cita-citamu yang baik,"

   Kata Wijaya "kembali pada pertanyaanku tadi, rasanya engkau telah membuktikan sendiri siapa pembunuhnya itu, bukan?"

   "Ya."

   "Siapakah dia?"

   "Anakbuah Kuda Panglulut sendiri."

   "O,"

   Wijaya kejut-kejut ditahan "tetapi adakah suatu buk yang dapat engkau tunjukkan tentang pembunuh itu?"

   "Ada,"

   Sahut orang itu "

   Tetapi ....

   "

   "Tetapi bagaimana? "

   "Aku biasa keluar malam untuk meninjau keadaan,"

   Orang itu bercerita "kebetulan pada malam itu kulihat seorang rumah penduduk sedang mengadakan pesta selamatan.

   Tetamu- tetamu bersuka ria minum tuak sampai jauh malam.

   Menurut keterangan dari seorang penduduk daerah itu, kuperoleh kabar bahwa pesta selamatan itu diadakan salah seorang yang puteranya bekerja sebagai prajurit.

   Aku tertarik dan menanyakan lebih lanjut.

   Ternyata putera penduduk yang mengadakan pesta selamatan itu bekerja pada pasukan keamanan pura dibawah pimpinan Kuda Panglulut.

   Baru-baru ini puteranya telah dinaikkan pangkat dan mendapat ganjaran uang dari Kuda Panglulut.

   "

   "Kuanggap hal itu biasa,"

   Kata orang aneh melanjutkan ceritanya "akupun segera hendak meninggalkan tempat itu.

   Tetapi di tengah jalan aku berjumpa dengan dua orang laki.

   Aku segera bersembunyi di balik gerumbul semak.

   Kedua orang itu tengah bercakap-cakap "Si Barat memang keparat.

   Masakan mendapat ganjaran uang dari raden Panglulut, dimakan sendiri.

   Kita tak diberi bagian,"

   Kata salah seorang dari kedua lelaki itu.

   "Memang dia sombong sekali sekarang. Dia tak ingat budi kita yang dulu telah memasukkan dia menjadi prajurit,"

   Sahut kawannya.

   "Bagaimana kata si Barat kepadamu tadi kakang,"

   Tanya orang yang pertama.

   "Karena muak melihat sikapnya yang congkak, tadi aku mengancamnya, akan kusiarkan tentang perbuatannya membunuh prajurit Tartar itu."

   "Lalu dia bagaimana ?"

   "Dia ketakutan dan minta maaf. Dia berjanji hendak memberi bagian kepada kita."

   "Kuikuti perjalanan arang itu sampsi ke rumahnya,"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata orang aneh itu melanjutkan ceritanya "rencanaku besok malam, orang itu akan kuambil dan kubawa kehadapan panglima Tartar untuk memberi kesaksian tentang peristiwa pembunuhan itu.

   Agar panglima Tartar percaya bahwa yang membunuh prajuritnya bukan raden."

   "O,"

   Desuh Wijaya "dan apakah engkau bawa itu ketika menghadap panglima Tartar?"

   "Besok malam ke ka aku berkunjung ke rumah orang itu, ternyata dia sudah ma dibunuh orang."

   "Hm, aneh,"

   Gumam Wijaya.

   "Kurasa dak aneh, raden,"

   Sahut orang aneh itu "tentulah perbuatan si Barat untuk menghilangkan jejaknya."

   "Mengapa engkau tak membawa si Barat saja?"

   Tanya Wijaya.

   "Memang demikian,"

   Kata orang aneh "tetapi ternyata dia sudah melarikan diri. Mungkin saja bersembunyi dibawah lindungan Kuda Panglulut. Kelak aku pasti akan mencarinya lagi."

   Wijaya gelengkan kepala "Mungkin sukar."

   "Mengapa sukar?"

   Balas orang aneh itu "walaupun aku belum kenal wajahnya tetapi aku dapat menyelidiki pada kawan-kawannya yang menjadi prajurit anakbuah Kuda Panglulut."

   "Jika dugaanku tak salah, kemungkinan orang itu tentu sudah dilenyapkan."

   Orang aneh itu terkesiap "Ah, benar,"

   Desuhnya "Kuda Panglulut tentu sudah mencium gelagat yang tak baik apabila si Barat masih hidup."

   "Baiklah,"

   Akhirnya Wijaya berkata "lalu dengan tujuan apakah Kuda Panglulut memerintahkan anakbuahnya membunuh prajurit Tartar itu?"

   "Sudah tentu atas perintah ayah mentuanya, pa h Aragani. Dan mengapa pa h Aragani merencanakan hal itu, tentulah raden dapat menduga sendiri."

   "Ya, dia tentu hendak menjatuhkan namaku."

   "Bukan,"

   Bantah orang aneh itu "menjatuhkan nama raden hanya suatu langkah penyamaran untuk menyembunyikan tujuannya yang sesungguhnya.

   Tujuan patih Aragani jtak lain hanya agar hubungan kerajaan Tartar dengan Singasari menjadi buruk.

   Agar raja Kubilai Khan murka dan mengirim pasukan ke Singasari untuk menindak baginda Kertanagara ....

   "

   "Hm, jangan ....

   "

   "Mari kita buk kan saja, raden. Kelak apabila Kubilai Khan mengirim utusan lagi ke Singasari, pa h Aragani tentu akan menghasut seri baginda untuk menindak utusan itu dengan ndakan yang lebih kejam lagi."

   Wijaya merenung, mengunyah dan merasakan kata-kata orang aneh itu.

   Dirangkainya dengan sikap Aragani ke ka baginda menerima utusan Tartar.

   Pa h itu jelas menganjurkan supaya utusan itu dibunuh, atau paling dak supaya didamprat keras.

   Kemungkinan pernyataan orang aneh itu, memang benar.

   "Lalu apa tujuan pa h Aragani mengharap Kubilai Khan supaya mengirim pasukan menyerang Singasari?"

   Ke ka ba pada renungan itu, macetlah pikiran Wijaya. Ia tak dapat menemukan alasan yang tepat apabila benar-benar pa h Aragani mempunyai tujuan begitu. Iapun bertanya kepada orang aneh itu.

   "Tentu saja agar kerajaan Singasari hancur."

   "Ah, mengapa harus begitu?"

   "Agar Aragani dapat diangkat menjadi akuwu Singasari."

   Mendengar jawaban yang begitu mudah, mbullah dugaan Wijaya bahwa orang aneh itu kemungkinan besar tentu mempunyai pengetahuan yang luas tentang diri pa h Aragani dan gerak- gerik patih itu.

   "Ki sanak, bagaimana engkau mempunyai penilaian semacam itu? Bukankah sekarang pa h Aragani sudah menjabat kedudukan nggi dan memperoleh kepercayaan besar dari seri baginda ? Mengapa dia masih menghendaki kehancuran Singasari?"

   "Dari hasil penyelidikan dan penilaian,"

   Sahut orang aneh itu "raden Wijaya, sudahkah raden bertemu jawaban akan sikap patih Aragani yang begitu bernafsu membela Sriwijaya?"

   Wijaya terbeliak pula. Ia gelengkan kepala.

   "Tiap gerak tentu mempunyai tujuan,"

   Kata o-rang aneh itu "gerak pa h Araganipun tak mungkin tanpa tujuan pula. Tujuan yang berlandaskan Keinginan untuk mencapai kenikmatan hidup."

   "Bukankah dia sudah diangkat sebagai pa h? Bukankah dia menjadi mentri kepercayaan seri baginda?"

   Tukas Wijaya.

   "Ha, ha, tetapi belum menjadi raja, bukan?"

   Sambut orang aneh itu "demikianlah kodrat manusia.

   Tak pernah puas berhamba pada Nafsu keinginan yang ada kenal batas.

   Jelas pa h Aragani haus dengan kekuasaan sebagaimana dia selalu haus dengan tuak.

   Dan untuk mencapai tujuan, rupanya tak segan-segan dia menjual negara ....

   "

   "Ah, terlalu kejam engkau langkahkan penilaianmu terhadap pa h Aragani, ki sanak,"

   Seru Wijaya "ingat, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan."

   "Tetapi penghianatan itu jauh lebih kejam dari fitnah,"

   Cepat orang aneh itu membela dirinya "kalau aku memfitnah, hanya seorang Aragani yang menderita. Tetapi kalau Aragani yang berhianat, berpuluh juta kawula Singasari akan mati tersiksa batinnya!"

   "Ah,"

   Wijaya mendesah.

   Ditatapnya pula wajah orang aneh itu seolah hendak menembus kain penutup yang menyelubungi muka orang itu.

   Orang itupun balas menyambut tatapan Wijaya.

   Wijaya menghela napas "Andaikata engkau mau menunjukkan wajahmu, kepercayaanku tentu kutumpahkan kepadamu ....

   "

   "Kutahu,"

   Sahut orang aneh itu "tetapi janganlah raden tergesa memberi pernyataan dan kepercayaan karena akupun tak memaksakan hal itu.

   Biarlah kepercayaan itu tumbuh dengan wajar dalam ha raden setelah raden renung dan kaitkan rangkaian peris wa-peris wa yang telah raden alami pada waktu yang lampau, sekarang dan yang akan datang.

   Jika raden bertemu pada k kesimpulan dari apa yang raden haya , kepercayaan itu tanpa dicari dan dipaksa, tentu mbul sendiri."

   Wijaya mengangguk. Diam-diam ia memuji akan ketajaman orang itu bicara dan luasnya pengetahuan yang dimilikinya.

   "Lalu apakah engkau hendak mengatakan bahwa pa h Aragani itu bersekutu dengan Sriwijaya?"

   Tanyanya pula.

   "Keras sekali dugaanku menumpah kesitu, raden,"

   Kata orang aneh itu "tetapi se ap dugaan harus diuji dulu dengan kenyataan.

   Dan pengujian itu hanyalah dengan pengamatan dan penyelidikan yang cermat dan kemudian penilaian yang seksama.

   Oleh karena itulah maka kuperlukan menemui raden untuk mempersembahkan segala sesuatu yang kuketahui selama ini.

   Kuserahkan kesemuanya itu atas penilaian raden."

   "Baiklah, ki sanak. Aku berterima kasih atas keteranganmu itu. Semoga dengan bekal keterangan yang berguna itu aku dapat melangkahkan tindakanku kearah yang benar."

   "Semoga restu Hyang Batara Agung selalu melimpah kepada raden."

   "Apakah engkau masih ada lain soal yang perlu engkau katakan kepadaku lagi?"

   "Ya,"

   Sahut orang aneh itu "apabila raden kelak ba di Sriwijaya, baiklah raden menajamkan pengamatan raden kepada pa h Demang Lebar Daun.

   Usahakanlah sekuat kemampuan agar raden memperoleh atau sekurang-kurangnya mendengar tentang hubungan pa h Demang Lebar Daun dengan patih Aragani."

   "O, baiklah,"

   Sahut Wijaya.

   Kemudian ia memandang orang aneh itu pula.

   Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, orang itu sudah mendahului "Lepaskanlah pemikiran raden akan keadaan Singasari yang raden nggalkan.

   Akulah yang akan membantu raden untuk mengama , menjaga bahkan apabila perlu memberantas ndakan pa h Aragani atau siapapun yang hendak mengganggu ketenteraman Singasari!"

   Wijaya termangu.

   Tak tahu ia bagaimana hendak merangkai kata-kata penumpah kesyukuran ha nya kepada orang aneh itu.

   Tiba ba ia menjabat tangan orang itu "Andai kelak aku yang berkuasa di Singasari, tentu akan kuumumkan kepada para kawula, bahwa engkaulah yang menyelamatkan Singasari dari bahaya kehancuran."

   "Ah, berat nian pujian raden itu,"

   Kata orang aneh seraya mengepal tangan Wijaya dengan erat "sesungguhnya membela negara itu adalah Kewajiban bagi se ap rakyat. Bukan hanya kewajiban para pembesar saja."

   "Ki sanak,"

   Kata Wijaya dengan nada agak tergetar "banyak nian masalah yang mbul dalam pura Singasari. Sebenarnya akulah yang harus menangani. Tetapi sayang, baginda telah menitahkan aku berangkat ke Sriwijaya."

   Orang aneh ba- ba menyela tertawa.

   "Bukan baginda tetapi pa h Araganilah, yang hendak menyingkirkan raden ke tanah seberang. Karena dia menganggap raden satu-satunya duri dalam mata, penghalang besar dalam usahanya menggerogoti kerajaan Singasari."

   "Oleh karena itu kalau ki sanak memang bersungguh ha hendak membantu aku,"

   Kata Wijaya.

   "banyaklah pekerjaan yang kuminta ki sanak mengerjakan. Mendapatkan kembalinya mpu Raganata yang diculik, menjaga gerak-gerik pa h Aragani dan Kuda Panglulut dan menegakkan keamanan pura Singasari."

   "Terima kasih raden, atas kepercayaan yang raden limpahkan kepadaku,"

   Kata orang aneh itu berentak.

   "tetapi kiranya raden masih lupa untuk menyebutkan dua hal yang tak kurang pentingnya."

   "Apakah itu?"

   "Gerak gerik raja Daha dan kemungkinan datangnya utusan dari Tartar pula."

   Wijaya segera teringat akan peris wa dua orang yang hendak membunuhnya di tengah jalan tempo hari.

   Orang itu mengatakan kalau diperintah oleh Ardaraja.

   Hampir ia hendak menanyakan perihal diri Ardaraja kepada orang aneh itu tetapi pada lain kilas, ia endapkan keinginan itu.

   Ia masih meragukan keterangan kedua orang itu, menilik Ardaraja bersikap baik sekali kepadanya.

   "Baiklah, ki sanak,"

   Akhirnya ia mempersingkat pembicaraan "kuserahkan saja kesemuanya itu kepadamu. Tetapi dakkah ki sanak memerlukan bantuan tenaga orang-orangku? Bukankah ki sanak akan lebih dapat bergerak dengan leluasa daripada ki sanak bekerja seorang diri?"

   Sejenak merenung, orang aneh itu mengatakan "Ah, untuk sementara ini kurasa belum perlu.

   Biarlah aku bekerja seorang diri." ~dewi.kz~ismo~mch~ II Sang Hyang Baskara mulai berkemas dalam ratha kencana, hendak memulaikan tugas sehari- hari.

   Melanglang jagad, menaburkan sinar yang gemilang cemerlang keseluruh buana raya.

   Sinar keemasan dari ratha kencana sang Dewa Hari, makin menyemarakkan suasana pagi di taman-sari keraton Daha.

   Bunga-bunga warna warni beilomba-lomba merekahkan kecantikannya.

   Dalam keindahan pagi yang lembut itu, tampak raden Ardaraja tengah mengayunkan langkah ringan, berjalan perlahan-lahan untuk menyejukkan pikirannya yang rusuh.

   Saat itu hampir menginjak dua purnama lamanya, rombongan raden Wijaya yang di tahkan baginda untuk mengirim arca Amogapasa ke Sriwijaya dan rombongan pa h Kebo Anengah yang diutus baginda membawa puteri Tapasi kepada raja Gempa, telah berangkat.

   Pembentukan calon-calon prajurit untuk menggan kan kekuatan Singasari yang hampir kosong itu, telah diserahkan kepada raden Ardaraja.

   Tetapi rupanya pangeran dari Daha itu tak menaruh perha an besar atau memang sengaja melengahkan tugas itu.

   Ia lebih banyak menyelimpatkan waktu untuk pulang ke Daha.

   Demikian pula hari itu, hari yang kesepuluh sejak ia berada di keraton Daha, kerajaan ayahandanya raja Jayakatwang.

   Kepulangan pangeran itu ke Daha kali ini, benar-benar harus menderita ujian batin yang berat.

   Betapa tidak.

   Tiga hari yang lalu, ia dipanggil menghadap ayahandanya, diminta kesediaannya untuk mendurhaka pada baginda Kertanagara.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Oleh ayahandanya, raja Jayakatwang, ia diberi waktu tiga hari untuk merenungkan dan memberi jawaban.

   Dan hari itu adalah hari yang ke tiga.

   Ia harus menentukan keputusan.

   Atas kemurahan baginda Kertanagara maka Jayakatwang telah dilan k menjadi akuwu atau raja di Daha.

   Demikian pula, baginda Kertanagarapun berkenan memungut pangeran Ardaraja menjadi menantunya.

   Maksud raja Kertanagara yalah supaya dengan ikatan perkawinan itu, Daha akan menghapus dendam bebuyutan terhadap Singasari dan selanjutnya akan tunduk pada kekuasaan baginda Singasari.

   "Moyang paduka, prabu Dangdang Gendis binasa karena pemberontakan anak petani dari Pangkur, anak nyi, Endok yang bernama Ken Arok. Itulah raja Singasari yang pertama dan bergelar raja Sri Rajasa sang Amurwabumi. Bala tentara Kediri sirna seperti gunung disambar halilintar. Prabu Dangdang Gendis beserta balatentara Kediri dimusnahkan Ken Arok dan sejak itu Daha dijajah Singasari. Padukalah, gusti, yang mempunyai kewajiban untuk membangun kerajaan Daha dan membalas kekalahan moyang paduka prabu Dangdang Gendis."

   Demikian anjuran pa h Kebo Mundarang ke ka diajak musyawarah oleh prabu Jayakatwang.

   Kata-kata ki pa h Daha itu termakan dalam ha sang prabu.

   Dan kini ia minta kepada puteranya; pangeran Ardaraja, untuk menjalankan peran sebagai musuh dalam selimut terhadap baginda Kertanagara.

   Hari itu pagi-pagi sekali raden Ardaraja menghibur diri di tamansari.

   Hatinya risau, pikiran resah.

   Suatu keputusan yang meminta pertimbangan seluruh akal budinya.

   Prabu Jayakatwang adalah ayahandanya.

   Ayahandanya menjanjikan akan mengangkatnya menjadi yuwa-raja atau putera mahkota yang akan mewarisi kerajaan Daha apabila ia mau menuru kehendak ayahandanya.

   Namun tanpa janji itu, rasanya tahta kerajaan Daha tetap akan jatuh di tangannya karena ia adalah satu-satunya putera dari prabu Jayakatwang.

   Saudara- saudaranya yang lain puteri semua.

   Baginda Kertanagara adalah ayah mentuanya.

   Tetapi karena baginda tak mempunyai putera, sudah tentu tahta kerajaan akan diwariskan juga kepadanya.

   Tanpa ia harus memberontak, baginda Kertanagarapun tentu akan mengangkatnya menjadi ahliwaris kerajaan.

   Tetapi wahai! Bukankah putera menantu baginda Singasari itu bukan hanya dia seorang? Bukankah masih ada seorang lain yani raden Wijaya? Bahkan, bukankah sekaligus raden Wijaya itu dijodohkan dengan dua orang puteri baginda ? Itu berar kerajaan Singasari takkan jatuh seluruhnya ke tangan Ardaraja tetapi harus dibagi pula dengan Wijaya.

   Dan dari cara baginda Kertanagara memberikan dua orang puterinya kepada Wijaya itu, memberi kecenderungan kesan bahwa kelak dalam pembagian warisan kerajaan Singasari Wijayalah yang akan memperoleh bagian yang lebih besar! Apabila rasa iri dan dengki mulai merayapi ha seseorang maka mbullah berbagai reka yang makin menguasai ba n orang itu.

   Demikian pula dengan Ardaraja.

   Setelah membayangkan kemungkinan tentang pembagian kerajaan Singasari dari sudut perkawinan puteri-puteri baginda maka makin meluaslah alam pikiran iri, curiga dan kecemasan yang menghuni di benak Ardaraja.

   "Moyangku adalah prabu Dangdang Gendis, musuh dari sang prabu Rajasa. Sedang baginda Kertanagara itu adalah cucu dari Anusapa . Dan Wijaya itu cicit dari Mahisa Wonga Teleng. Anusapa dan Mahisa Wonga Teleng itu saudara seibu lain ayah. Betapapun ikatan keluarga antara baginda Kertanagara dengan Wijaya lebih dekat dari pada aku, keturunan dari musuh Singasari. Bukan mustahil apabila baginda Kertanagara akan ber ndak pilih-kasih dalam soal pembagian warisan kerajaan Singasari nanti."

   Ardaraja menimang-nimang.

   Tiba-tiba ia terkesiap.

   Ternyata langkahnya telah membawanya tiba di sebuah kolam pemandian.

   Kolam itu masih termasuk lingkungan tamansari.

   Berciptakan alam pegunungan yang dikelilingi pohon-pohon hutan dan padas-padas gunung.

   Apakah yang menyebabkan pangeran itu terhen langkah, tertegun pandang? Kiranya pada pagi itu, para dayang dan bi perwara, sedang mandi berkecimpung dalam kolam itu, tanpa secarik busanapun jua, Ardaraja cepat menyelinap kebalik pohon nagasari yang tegak menggagah pada gerumbul pepohonan merambat.

   Dari celah-celah gerumbul itu dapatlah ia menikma keriangan bi -bi dan dayang-dayang yang kebanyakan masih muda belia itu berkecimpung dalam air.

   Bermain menepukkan kumandang air, kejar mengejar dan siram menyiram.....

   Darah Ardaraja tersirap, jantung berdebar keras dan pikiranpun terangsang.

   Semangatnya melayang jauh membubung nggi.

   Dan terbuailah ia dalam lamunan kakawin Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa, puji-sastra untuk memuliakan perjuangan sang Prabu Airlangga.

   Dalam kakawin itu dilukiskan betapa kenikmatan sang Arjuna setelah dapat membinasakan raja raksasa Prabu Nirwatakawaca, lalu dinobatkan sebagai raja di Tejamaya tempat para Dewi, bergelar Prabu Kari dan dianugerahi puteri bidadari Dewi Supraba.

   "Ah, sang Arjuna mendapat kenikmatan yang ada taranya karena ia berani berperang melawan raja raksasa. Bidadari hanya layak diberikan kepada seorang ksatrya yang gagah berani. Jer basuki mawa beya....."

   Serentak tergugahlah semangat Ardaraja.

   Apabila ia dapat menguasai Daha dan Singasari, bukankah ia akan dapat menikma kesenangan hidup sebagai sang Arjuna? Raja-raja tunduk dibawah kekuasaannya, rakyat seluruh nusantara akan menyembah dan puteri-puteri secan k bidadari akan bersimpuh di bawah duli kakinya .....

   "Benar!"

   Ba- ba ia kepalkan nju "seorang ksatrya harus berani ber ndak, harus menciptakan pahala besar. Aku harus lebih besar dari rama prabu. Bukan hanya sebagai raja Daha tetapi raja Daha-Singasari, bahkan raja-di-raja dari seluruh nusantara ....

   "

   "Saat ini Wijaya sedang berada di tanah Malayu. Singasari makin kosong dan lemah. Apabila aku menuruti permintaan rama prabu untuk menggunting dalam lipatan, pasti dengan mudah Singasari dapat direbut ....

   "

   "Apakah tujuan hidup di arcapada ini kecuali kemuliaan dan kenikmatan hidup? Dan untuk mencapai hal itu ada lain jalan kecuali dengan keberanian, kegagahan. Siapa kuat dia di atas, siapa lemah dia di bawah. Kebesaran Daha harus bangkit. Bukan lagi Daha yang menjadi taklukan Singasari, tetapi Singasari yang harus tunduk pada kekuasaan Daha. Rawe-rawe rantas, malang- malang putung ....

   "

   Ardaraja mengacungkan kepal njunya keatas "barang siapa yang merintangi tujuanku, tentu akan kuhancur-leburkan, walau Wijaya sekalipun juga!"

   Pada puncak rangsang semangatnya yang berkobar-kobar itu, ba- ba ia dikejutkan oleh sebuah tangan yang menggamit bahunya "Adimas ....

   "

   Dalam saat-saat semangat Ardaraja sedang meluap-luap bagai air bengawan Brantas dimasa banjir, sentuhan yang bagaimanapun halusnya, cukup menimbulkan pantulan-gerak yang serentak.

   Tinju yang diacungkan ke atas, secepat kilat di balikkan menghantam ke belakang, wut.....

   Untunglah pendatang dibelakang tubuhnya cukup waspada.

   Dengan cepat ia menyurut mundur dua langkah.

   Namun tinju Ardaraja yang meluncur bagai halilintar menyambar itu amatlah dahsyatnya.

   Walaupun tak mengenai sasarannya namun angin dari pukulan itu membuat ikat kepala orang itu tergelincir ke samping telinga dan mukanyapun terasa panas.

   "O, kangmas Miluhung, maa an kekhilafan adinda ....... ,"

   Serta mengetahui siapa pendatang itu, tersipu-sipu Ardaraja meminta maaf.

   Kiranya yang datang dan menjamah bahunya itu bukan lain yalah raden Lembu Miluhung, kakak ipar Ardaraja atau menantu Jayakatwang.

   Lembu Miluhung tertawa "Engkau tak salah dimas.

   Akulah yang mengejutkan lamunanmu.

   Eh, dimas Ardaraja, ilmu pukulanmu kini bertambah hebat sekali."

   "Ah, kakangmas terlalu memuji,"

   Ardaraja tersenyum malu.

   "Sepagi ini engkau sudah berada di taman-sari. Dan mengapa tadi kulihat dimas sedemikian tegang ?"

   Kata Lembu Miluhung pula.

   Untuk mengikis kabut keraguan yang rupanya masih bertebaran diwajah Ardaraja, maka Lembu Miluhung menyusuli pula kata-kata "Adimas, hendaknya kita dapat membedakan kepentingan negara dengan kepentingan peribadi.

   Daha adalah negara tumpah darah adimas, kerajaan yang menanti pimpinan adimas Ardaraja.

   Rakyat Dahapun menggantungkan nasib dan kepercayaan sepenuhnya kepada adimas.

   Sebaliknya Singasari hanyalah negara-sambungan sebagaimana halnya adimas itu putera menantu atau putera sambungan dari raja Kertanagara.

   Apabila isteri adimas yalah puteri raja Kertanagara itu sudah bukan menjadi isteri adimas, maaf, tentulah adimaspun bukan pula putera menantu dari baginda Kertanagara.

   Lain halnya adimas dengan rama prabu Jayakatwang.

   Dalam keadaan bagaimanapun, adimas itu tetap putera rama prabu Jayakatwang.

   Isteri ibarat pakaian, dapat kita cari gantinya.

   Tetapi orangtua adalah sesembahan kita.

   Tak mungkin kita cari penggantinya."

   Ardaraja memandang tajam-tajam kepada Lembu Miluhung.

   Pandang matanya seolah hendak menembus hati kakak iparnya itu.

   Rupanya pandang mata Ardaraja itu dapat terasakan bagaimana artinya oleh Lembu Miluhung.

   Cepat menantu raja itu menyusuli kata-kata "Dalam persoalan ini, aku sendiri tidak menginginkan suatu apa kecuali hendak membantu dimas Ardaraja membangun kejayaan Daha.

   Aku tahu diri dan tempatku di kerajaan Daha, dimas."

   Ardaraja cepat menjabat tangan kakak iparnya "Ah, janganlah kakangmas Miluhung mengucapkan kata-kata itu.

   Ardaraja jaya kakangmas tentu kuangkat menjadi pa h amangkubumi.

   Karena masih banyaklah kiranya pengalaman dan pengetahuan yang dinda perlukan bimbingan kakangmas."

   Lembu Miluhung tertawa riang.

   Bukan karena janji yang diucapkan Ardaraja itu melainkan karena dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kata-kata itu, jelas bahwa Ardaraja telah memberi kesan kepadanya, akan menerima kehendak ayahandanya raja Jayakatwang.

   Namun ia cukup cerdik untuk dak mendesakkan hal itu sesaat itu juga "Terima kasih dimas Ardaraja.

   Dapatkah aku mengirimkan dimas menghadap rama prabu sekarang ini?"

   "Ah, kakangmas masih selalu memanjakan dinda,"

   Kata Ardaraja lalu memimpin tangan Lembu Miluhung menuju ke dalam istana.

   "Puteraku,"

   Sambut raja Jayakatwang setelah menitahkan kedua pemuda itu duduk di hadapannya "kiranya rama tentu sudah dapat mendengarkan ke-putusanmu, Ardaraja."

   "Kaluhuran titah paduka, rama,"

   Sembah Ardaraja "pertama-tama hamba adalah rakyat Daha, wajib harus membela kepentingan Daha, menjalankan titah raja.

   Kedua, hamba adalah putera paduka.

   Wajiblah seorang putera patuh kepada orangtua.

   Ibarat diperintah terjun ke dalam lautan api, pun putera paduka akan melakukannya.

   Dan ketiga kalinya, sebagai putera raja wajiblah hamba menegakkan dan memimpin kerajaan paduka kearah kejayaan.

   Tri-dharma itulah yang menjadi pendirian hidup hamba."

   "Bagus Ardaraja, puteraku!"

   Seru raja Jayakatwang diluap suka cita "putera rama hanyalah dikau seorang. Dan engkaulah Ardaraja yang kelak akan menggan kan rama memerintah kerajaan Daha. Jaya atau hancurnya Daha terletak di tanganmu, Ardaraja!"

   Kemudian raja beralih pandang kearah putera menantunya, Lembu Miluhung.

   "Puteraku Miluhung, adindamu sudah menyatakan kesediaannya. Sekarang engkau uraikan rencana yang engkau rancang itu."

   Lembu Miluhung mengiring kata-katanya dengan sebuah sembah "Rencana itu hamba siapkan serempak dalam ga arah. Pertama, pengamatan. Kedua, pembiusan. Ke ga, penyusutan. Terakhir, penghancuran !"

   "Wah, hebat nian rencanamu itu, Miluhung,"

   Raja memuji.

   "Rencana pengamatan yalah kita harus menaruh orang di dalam keraton Singasari untuk mengama se ap gerak gerik yang terjadi di Singasari termasuk kekuatan tentaranya. Pembiusan atau pengaburan, yalah suatu siasat untuk membius perha an raja Singasari agar lengah dan jangan menaruh kecurigaan terhadap Daha. Dalam hal ini, menurut hemat hamba, kiranya ada suatu hal yang lebih termakan dalam ha raja Kertanagara, dari pada sesuatu usaha untuk menyanjung puji kepadanya. Dan sanjung puji itu harus berupa suatu persembahan is mewa yang benar-benar dapat menjatuhkan hati raja yang gila pujian itu."

   "Benar, puteraku Miluhung,"

   Sambut raja Jayakatwang "lalu apakah kiranya persembahan yang tepat kita haturkan kepadanya?"

   "Sebuah patung yang mengabdikan peribadi baginda Singasari itu."

   "O,"

   Desuh raja Jayakatwang "hebat benar angan-anganmu, puteraku. Tetapi apakah kiranya bentuk daripada patung itu?"

   "Patung Joko Dolok, gusti,"

   "Lalu maksudmu bagaimana?"

   "Dengan persembahan itu tentulah raja Kertanagara akan terhibur suatu kepercayaan bahwa Daha patuh dan setia kepada Singasari. Dengan demikian kita bebas dari pengamatan mereka. Kemudian siasat yang ketiga, kita timbulkan kekacauan, ciptakan pemberontakan agar sisa pasukan Singasari yang tinggal sedikit itu makin terhisap habis kekuatannya. Setelah itu apabila keadaan sudah mengidinkan. kita serang dan hancurkan pura Singasari. Dengan empat lapis siasat itu, hamba kira Singasari tentu dapat kita tundukkan."

   Bila raja Jayakatwang mengangguk-angguk setuju adalah diam-diam Ardaraja terkejut dalam ha .

   Ia tak sangka bahwa Lembu Miluhung seorang ahli perancang siasat yang pandai.

   Seiring dengan itu diam-diam timbullah suatu penilaian terhadap kakak iparnya itu.

   "Puteraku Miluhung,"

   Seru raja Jayakatwang "rama setuju dengan rencanamu itu dan kuserahkan pelaksanaannya kepadamu juga."

   Lembu Miluhung menyatakan kesediaannya "Baik, rama.

   Hambapun telah menyusun orang- orang yang hendak hamba serahi untuk menjalankan rencana itu.

   Untuk mengawasi keadaan dalam keraton Singasari, hamba akan mohon bantuan dimas Ardaraja.

   Adakan rama merestuinya?"

   "Ya,"

   Seru Jayakatwang lalu berpaling kearah Ardaraja "bukankah engkau sanggup untuk melakukan tugas itu, puteraku?"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Demi Daha, akan hamba lakukan,"

   Sembah Ardaraja "tetapi hamba hendak mohon rama berkenan meluluskan sebuah permohonan."

   "O, katakanlah puteraku,"

   Seru raja Jayakatwang.

   "Begini rama,"

   Kata Ardaraja "hamba mohon kelak apabila penyerangan ke Singasari itu benar- benar terlaksana, dan bilamana Dewata merestui kemenangan bagi Daha, hendaknya janganlah anak prajurit kita mengganggu keselamatan jiwa baginda Kertanagara."

   "O .......,"

   Raja Jayakatwang berhen sejenak karena ba- ba melihat kicupan mata Lembu Miluhung "baiklah, Ardaraja. Akan kutitahkan agar permintaanmu terlaksana."

   Setelah itu rajapun beralih pandang kearah Lembu Miluhung pula "Puteraku Miluhung, ingin kiranya rama mendengar keterangan-keterangan dari rencana yang engkau persiapkan itu."

   Lembu Miluhung mengiakan "Untuk pembuatan patung Joko Dolok akan hamba serahkan kepada empu Paramita, seorang ahli pahat yang pandai.

   Kemudian untuk menyerap kekuatan pasukan Singasari, hamba akan menghubungi sisa-sisa anak buah Mahisa Rangkah yang bersembunyi di gunung Batok ....."

   "O, Mahisa Rangkah yang pernah memberontak tetapi dapat dihancurkan oleh baginda Kertanagara itu ?"

   Seru raja Jayakatwang.

   "Benar, rama,"

   Sahut Lembu Miluhung "sisa-sisa anakbuahnya tercerai berai dan kini terkumpul di gunung Batok dipimpin oleh Gajah Lembura, seorang saudara seperguruan dan Mahisa Rangkah.

   Dia telah berjanji kepada hamba bersedia melanjutkan perjuangan Mahisa Rangkah, apabila hamba dapat membantu dengan peralatan senjata dan perlengkapan-perlengkapaa yang diperlukan.

   Dengan mbulnya gerakan sisa-sisa Mahisa Rangkah, Singasari pas akan mengirim sisa pasukannya untuk menumpas.

   Dan pada saat itu, Singasari tentu kosong.

   Langkah terakhir hamba serahkan kepada rama untuk menitahkan senopa pilihan, memimpin pasukan Daha menyerang Singasari."

   "Bagus, Miluhung,"

   Seru Jayakatwang "rama setuju dan menyerahkan pelaksanaan rencana itu kepadamu. Kerjakanlah, puteraku, mana-mana yang engkau anggap bagus demi, kepen ngan Daha."

   Demikian rencana yang telah dimusyawarahkan antara raja Jayakatwang dengan putera dan putera menantunya.

   Pembicaraan itu hanya dihadiri oleh mereka ber ga sehingga tak mungkin bocor keluar.

   Apabila Lembu Miluhung berkemas melaksanakan rencana, menemui Empu Paramita dan menuju ke gunung Batok mendapatkan Gajah Lembura, adalah raden Ardarajapun berkemas mohon diri kepada ramanya untuk kembali ke Singasari.

   Raja Jayakatwang telah memberikan duapuluh pengiring kepada puteranya.

   Duapuluh prajurit pilihan yang tangkas dan setia.

   Keduapuluh prajurit itu akan membantu Ardaraja untuk mengamati keadaan Singasari, menyebarkan fitnah perpecahan dan mengadu domba, di kalangan mentri, narapraja dan pimpinan tentara Singasari.

   Dan keduapuluh prajurit pilihan dari Daha itulah yang kelak akan menjadi alat untuk menggunting dalam lipatan.

   Merekalah yang akan bergerak menyambut kedatangan pasukan Daha apabila menyerang pura Singasari.

   Keberangkatan raden Ardaraja dengan kedua puluh pengiringnya itu dilakukan pada malam hari.

   Mereka merupakan pasukan rahasia dengan tugas rahasia pula, maka harus dihindarkan perha an orang.

   Pun mereka dak mengenakan pakaian keprajuritan melainkan berdandan seper rakyat biasa.

   Merekapun merencanakan akan masuk ke pura Singasari pada malam hari agar jangan menimbulkan kecurigaan orang Singasari.

   Pasukan berkuda yang mengiring Ardaraja itu menempuh perjalanan dengan pesat.

   Saat itu lewat tengah malam, ke ka melintasi sebuah hutan.

   Tiba- ba kuda pu h yang dinaiki Ardaraja melonjak-lonjak keatas dan meringkik sekuat-kuatnya lalu rubuh ke tanah.

   Ardaraja terlempar jatuh, untunglah ia cukup tangkas, loncat berjumpalitan dan tegak beberapa langkah dari kuda yang rebah tak berkutik.

   Prajurit pengiringnyapun serentak berhen .

   Mereka terkejut ke ka melihat apa yang telah terjadi.

   Ternyata kaki kuda putih pangeran Ardaraja telah dililit oleh seekor ular sanca.

   "Amboi, alamat buruk!"

   Teriak Sargula, salah seorang prajurit yang bertubuh kekar.

   "rupanya tugas kita ke Singasari ini akan mengalami kegagalan."

   "Keparat!"

   Hardik Ardaraja "jangan bicara tak keruan. Engkau mematahkan semangat kawan- kawanmu !"

   "Tidak raden,"

   Kata prajurit itu "hamba hanya menyatakan apa yang hamba dengar dari ucapan para pandita, bahwa ular itu suatu alamat yang buruk. Orang yang melakukan perjalanan apabila bersua dengan ular, tandanya akan menemui rintangan ....

   "

   Meluaplah amarah raden Ardaraja. Serentak ia mencabut pedang terus hendak ditabaskan ke leher Sargula.

   "Jangan, raden!"

   Suramenggala, lurah rombongan prajurit pengiring Ardaraja, cepat menangkap lengan pangeran itu "mengapa raden hendak membunuh pengiring raden sendiri?"

   Namun Ardaraja bertambah marah pula. Sambil meronta lepaskan lengannya ia mendamprat "Hai, Suramenggala, berani benar engkau menangkap lenganku! Adakah engkau mengadakan persekutuan melawan aku?"

   Bahkan dak hanya membentak, pun Ardaraja telah ayunkan pedangnya menabas dada Suramenggala. Untunglah lurah prajurit itu amat tangkas. Dia loncat menghindar ke belakang.

   "Raden, jangan salah faham. Kalau raden menganggap Suramenggala salah, bunuhlah diri hamba,"

   Serta merta lurah prajurit itu berlutut dalam sikap paserah.

   "sekali-kali hamba tak bermaksud hendak melawan raden."

   Melihat sikap Suramenggala, mengendaplah kemarahan Ardaraja "Ketahuilah hai, Suramenggala. Prajurit itu layak menerima hukuman karena kata-katanya tadi dapat melemahkan semangat pasukan ini."

   "Benar, raden,"

   Sahut Suramenggala "memang Sargula layak dihukum, tetapi hendaknya raden bermurah hati untuk tidak menjatuhkan hukuman mati."

   "Supaya menjadi contoh pada prajurit-prajurit yang lain agar jangan lemah semangat menghadapi suatu rintangan. Apalagi hanya alamat dari ular!"

   "Benar, raden,"

   Sahut Suramenggala pula "tetapi tugas yang kita hadapi masih banyak dan berat.

   Hendaknya kita memelihara kekuatan anak buah kita.

   Sargula yang lancang ucap, wajib kita peringatkan.

   Apabila dia melakukan pernyataan semacam itu lagi, akan dipenggal kepalanya."

   Dan tanpa menunggu jawaban Ardaraja, Suramenggala berpaling kearah anakbuahnya itu "Hai.

   "Sargula, lekas engkau menghaturkan maaf kepada raden Ardaraja. Dan ingat, bila engkau lancang ucap lagi, kepalamu taruhannya!"

   Serta merta Sargula menyembah, meminta maaf kepada pangeran Daha itu.

   Ardaraja berdiam diri.

   Untuk menumpahkan kemarahannya yang terhalang itu, ia loncat ke tempat kuda pu h dan terus menahas ular sehingga kutung menjadi dua ....

   Setelah membunuh ular, redalah kemarahan Ardaraja.

   Kini pikirannya pun jernih kembali "Mari kita lanjutkan perjalanan lagi, Suramenggala."

   "Kuda raden telah mati, harap raden suka memakai kuda hamba,"

   Lurah prajurit itu menyerahkan kudanya.

   Sedangkan iapun meminta kuda dari seorang anakbuahnya.

   Tak berapa lama berkuda, mereka ba di simpang jalan.

   Ke mur menuju ke Singasari dan yang ke utara menuju Tuban.

   Tiba- ba rombongan Ardaraja itu melihat ga orang penunggang kuda tengah mencongklang kearah utara.

   Timbullah seketika kecurigaan Suramenggala.

   "Raden,"

   Ia menghadap Ardaraja "idinkan-lah hamba mengejar ke ga penunggang kuda itu. Mencurigakan apabila pada waktu malam selarut ini ada penunggang kuda yang menempuh perjalanan."

   Ardaraja mengangguk. Suramenggala mengajak dua orang prajurit untuk mengejar ke utara. Setelah dekat, lurah prajurit itu berteriak "Hai, berhentilah kamu !"

   Ketiga penunggang kuda itu hentikan kudanya. Dari pakaian yang dikenakan, jelas mereka bukan orang Daha maupun Singasari. Sambil menunggu mereka pun mencabut golok.

   "Ki sanak, siapakah kalian?"

   Tegur Suramenggala seraya hentikan kudanya dihadapan ketiga orang itu. Pandang matanya lekat-lekat tertumpah pada mereka. Ke ga orang itu tak menyahut melainkan memandang Suramenggala dan kedua prajurit dengan tajam.

   "Engkau dengar dak, siapakah kalian ini?"

   Suramenggala mengulang pertanyaan.

   Ia makin mencurigai gerak gerik dan sikap ketiga orang itu.

   Karena Suramenggala dan kedua prajurit itu mengenakan pakaian orang biasa dan membekal pedang, mbullah kesan pada ke ga orang itu bahwa mereka berhadapan dengan bangsa begal.

   Dan rupanya mereka-pun melihat juga rombongan Ardaraja yang tengah mendatangi.

   Diam diam tergetar ha mereka, mencemaskan akan terjadi sesuatu yang tak dinginkan.

   Merekapun cepat cepat berkemas diri.

   Ke ga penunggang kuda itu bertukar pandang.

   Tiba- ba mereka menyerang Suramenggala dan kedua prajurit.

   Suramenggala marah.

   Ia mendesak lawan dengan serangan pedang yang gencar.

   Demikian pula dengan kedua prajurit.

   Seke ka pecahlah pertempuran yang seru.

   Hardik dan ringkik kuda, makin memeriahkan suasana pertempuran.

   Sesaat kemudian balah Ardaraja beserta pengiringnya.

   Pengiring-pengiring Ardaraja itupun segera mengepung ke ga orang itu.

   Sekalipun demikian mereka ber ga tak gentar dan dapat memberi perlawanan yang seru.

   Untuk beberapa saat, Suramenggala dan kedua prajurit tak berhasil mendekati lawan.

   Ketiga orang itu memang gagah perkasa.

   Diam-diam Ardaraja memperha kan bahwa ke ga orang itu mengenakan pakaian orang daerah Madura "Berhen !"

   Serentak ia berteriak memberi perintah karena ada sesuatu yang menimbulkan kecurigaannya. Suramenggala dan kedua prajurit loncat mundur, menghentikan serangannya.

   "Siapakah kalian ini?"

   Ardaraja tampil menghampiri. Prajurit-prajurit pengiringnya bersiap-siap melindungi pangeran itu. Demi melihat Ardaraja, ketiga orang itu terbeliak "Hai, raden Ardaraja . , ... !"

   Ardarajapun terkejut. Mengapa orang itu kenal padanya ? Pada hal ia merasa tak pernah kenal dengan mereka "Ya. aku Ardaraja, siapa engkau!"

   "O, dak! Engkau tentu bukan raden Ardaraja!"

   Teriak salah seorang dari ke ga penunggang kuda yang berkumis lebat.

   "Keparat, berani benar engkau menghina pangeran Ardaraja!"

   Suramenggala pun terus ajukan kudanya hendak menghajar.

   Tetapi Ardaraja mencegah dengan isyarat tangan "Ki sanak, apa sebab engkau terkejut melihat aku? Apakah engkau pernah berjumpa dengan aku sebelumya? Tetapi kurasa, baru sekarang ini aku melihat kamu,"

   Kata raden itu kepada ketiga penunggang kuda pula.

   Penunggang kuda berkumis lebat dan kedua kawannya memandang Ardaraja dari ujung kaki sampai ke atas kepala "Ah, memang benar raden yang kami jumpai di tengah jalan tadi.

   Tadi raden hanya membawa dua orang pengiring tetapi sekarang sekian banyak."

   Ardaraja makin terkejut dan makin heran. Cepat mencium sesuatu yang tak wajar "Ki sanak, tuturkanlah dirimu dan pengalaman yang engkau alami tadi."

   Rupanya ketiga penunggung kuda itupun juga mempunyai kecurigaan "Kami adalah utusan gusti Adipati Wiraraja dari Sumenep, untuk menghaturkan surat kepada baginda Jayakatwang.

   Di tengah jalan kami berjumpa dengan raden Ardaraja yang hendak pulang ke Daha.

   Surat itu dimintanya dan kami disuruh kembali ke Madura."

   "Hai!"

   Karena terkejut Ardaraja loncat dari kuda dan menuding orang berkumis lebat "mengapa engkau berikan surat itu kepadanya? Bukankah surat itu untuk rama prabu Jayakatwang! "

   "Gus Wiraraja menitahkan, surat itu hanya boleh diterima oleh baginda Jayakatwang atau pangeran Ardaraja ....

   "

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mengapa engkau tak ikut raden itu ke Daha!"

   Ardaraja mendesak pertanyaan pula.

   "Raden Ardaraja menyuruh hamba kembali ke Madura dan mengatakan bahwa nan raja Jayakatwang akan mengirim utusan menghadap gus Adipa Wiraraja,"

   Jawab orang berkumis lebat, Mendengar itu tak terkuasa lagi Ardaraja menahan kemarahannya. Melangkah maju ia menabas kuda dan mendamprat "Keparat! Engkau wajib kubunuh!"

   Cret ....

   karena tak menyangka dan jarak amat dekat, kuda orang berkumis lebat itu rubuh dan orangnyapun terlempar ke tanah.

   Ardaraja terus hendak menyusuli bacokan tetapi kembali lurah Suramenggala loncat mencegah "Jangan raden ! Pembunuhan ini takkan menolong keadaan, kebalikannya malah mungkin menimbulkan salah faham Adipa Wiraraja.

   Dia adalah utusan sang adipa , serahkan persoalannya kepada adipa itu untuk menghukumnya.

   Apabila raden yang menindak, kemungkinan sang adipati tersinggung perasaannya!"

   "Hm,"

   Ardaraja menggeram namun diam-diam ia mengakui kebenaran kata-kata Suramenggala.

   Ia termenung.

   Beberapa saat kemundian baru berkata pula "Suramenggala, kurasa langkahku ke Singasari ini telah dibayangi oleh seseorang yang memusuhi kita.

   Entah siapa tetapi orang itu tentu seorang muda yang menyerupai wajahku.

   Surat dari paman Wiraraja itu tentu pen ng.

   Jika hal itu menyangkut kepen ngan rama prabu dan paman Wiraraja, tentu berbahaya sekali.

   Untuk mengejar jejak orang itu, memang sukar dan memerlukan waktu cukup lama.

   Maka hendak ku tah- kan dua orang prajurit ikut bersama ke ga orang itu menghadap paman VViraraja, memberi laporan meminta petunjuk lebih lanjut."

   Suramenggala memilih dua orang prajurit.

   Setelah Ardaraja memberi pesan seperlunya, maka kedua prajurit dan ketiga utusan Wiraraja itupun segera pulang ke Sumenep.

   Tetapi ternyata ke ga utusan Wiraraja itu tak kembali ke Madura.

   Mereka menyadari kesalahannya dan membayangkan tentu hukuman ma yang akan mereka terima dari adipa Wiraraja.

   Maka di tengah jalan mereka membunuh kedua prajurit Daha itu kemudian mereka melarikan diri ke lain daerah.

   Sudah tentu hal itu tak diketahui Ardaraja.

   Diam-diam Ardaraja mengakui kata-kata Sargula tentang firasat buruk dari kemunculan ular tadi.

   Namun pangeran dari Daha itu tetap keras hati.

   Perjuangan tak boleh berhenti karena seekor ular.

   Ia tetap melanjutkan perjalanan ke Singasari.

   Keadaan dalam pura Singasari makin payah.

   Kerja baginda Kertanagara setiap hari hanya minum tuak dan menggubah syair bersama Aragani.

   Baginda tak mau mengurus soal-soal pemerintahan.

   Baginda dipagari dengan sanjung pujian dan dihidangi laporan-laporan yang indah-indah tentang keadaan negara Singasari oleh putih Aragani.

   Dan baginda percaya penuh pada patih itu.

   Pembentukan calon prajurit baru hampir terbengkalai karena di nggal Ardaraja pulang ke Daha.

   Untunglah masih ada Nambi dan Sora yang mengambil alih tugas, itu.

   Kedua pemuda itu patuh melaksanakan pesan raden Wijaya yang saat itu berada di tanah Malayu.

   Seiring dengan banya Ardaraja di pura Singasari, malam itu Kuda Panglulut menghadap ayah mentua-nya, patih Aragani.

   "Mengapa engkau tampak tegang sekali, Panglulut?"

   Tegur pa h Aragani kepada putera mentuanya.

   "Hamba membawa berita pen ng sekali, rama,"

   Kata Kuda Panglulut "ke ka hamba menyelidiki gerak gerik Ardaraja di Daha, sepulang dalam perjalanan hamba telah bersua dengan ga orang utusan adipa Wiraraja.

   Entah bagaimana salah seorang itu menyangka hamba adalah Ardaraja dan hambapun mengaku sebagai Ardaraja."

   "O, untuk keperluan apakah mereka ke Daha?"

   Tanya patih Aragani.

   "Menyerahkan surat adipa Wiraraja kepada raja Jayakatwang,"

   Jawab Kuda Panglulut "segera hamba minta surat itu, rama."

   "Dan mereka memberikan?"

   "Ya, karena mereka menyangka hamba ini Ardaraja."

   "O, benar, benar,"

   Seru pa h Aragani "memang wajahmu sepintas pandang menyerupai pangeran Ardaraja. Manakah surat itu, puteraku?"

   Memang antara mentua dan putera menantu itu, erat sekali hubungannya sehingga sukar membedakan apakah Kuda Panglulut itu putera menantu ataukah putera rakryan pa h Aragani sendiri.

   Ikatan ba n itu terjalin karena terdapat persamaan watak diantara keduanya, yani amat bernafsu untuk mencapai kelungguhan yang nggi.

   Keduanyapun berha nggi dan angkuh.

   Hanya apabila ada perbedaan hanyalah terletak pada keahlian merangkai kata-kata untuk menyanjung orang atasannya yani seri baginda Kertanagara.

   Dalam hal itu rakryan pa h Aragani memang ada keduanya di pura kerajaan Singasari.

   Kuda Panglulut segera menghaturkan sebuah sampul kepada rama mentuanya.

   Melihat sampul itu masih tertutup rapat, pa h Aragani menarik kesimpulan bahwa putera menantunya belum membukanya.

   Diam-diam ia memuji akan ketaatan Kuda Panglulut sebagai seorang putera menantu yang penuh sembah bhakti kepada rama mentua.

   Agak berdebar ha rakryan pa h Aragani ke ka tangannya mulai menyingkap tutup sampul.

   Sampul itu terbuat daripada kain sutera, sedang isinya adalah sehelai kain pu h, bertuliskan huruf- huruf Kawi.

   Sebelum membaca, lebih dulu rakryan pa h Aragani mengama huruf huruf itu.

   Pa h Aragani memang seorang ahli sastra yang pandai.

   Itulah sebabnya maka ia mahir mengikat sanjak, pandai merangkai kata-kata yang indah dan sedap didengar.

   Kepandaian yang luas tentang berbagai veda, terutama ditujukan pada seni sastranya yang nggi daripada hikmah ajaran-ajaran dalam veda itu.

   Dan kepandaian itu merupakan modal utama dalam perjalanannya meni tangga pemerintahan hingga dapat mencapai puncak kedudukan yang teratas.

   Sepintas meni , ia segera dapat mengenali bahwa huruf-huruf pada kain pu h itu memang buah tulisan adipa Banyak Wide atau Wiraraja dari Sumenep.

   Sebagai sesama rekan mentri kerajaan, sudah barang tentu dia tahu se ap buah tulisan dari se ap mentri.

   Memang dalam hal itu, pa h Aragani ahli benar.

   Dia tak ragu lagi bahwa huruf huruf diatas kain pu h itu adalah tulisan adipa Wiraraja.

   Sepintas sempat pula ia melayangkan pikirannya untuk menduga-duga, apa kiranya surat dari adipa Wiraraja yang ditujukan kepada raja Jayakatwang itu.

   Serentak kesan pertama yang mbul dalam benaknya adalah, bahwa tentu ada sesuatu yang dirahasiakan dalam surat itu.

   Sejauh ingatannya, tatkala Wiraraja masih menjabat sebagai demung di pura Singasari, rasanya dia jarang sekali atau hampir tak pernah berhubungan dengan raja Daha.

   Kini setelah dipindah di Sumenep mengapa tiba-tiba saja Wiraraja mengirim surat kepada Jayakatwang? Sebagai seorang pelaku, sudah tentu pa h Aragani masih teringat peris wa tentang ga orang mentri Singasari, yani pa h mangkubumi Raganata dilorot menjadi adhyaksa di Tumapel.

   Demung Wiraraja dipindah ke Sumenep dan tumenggung Wirakre dijadikan mentri angabaya.

   Dialah pelaku utama yang mengatur pelorotan dan perpindahan ketiga mentri kerajaan itu.

   "Seri baginda yang hamba muliakan. Apabila paduka berkenan hendak mengetahui mengapa rakryan pa h mpu Raganata, demung Wiraraja dan tumenggung Wirakre berkeras menentang tah, paduka untuk mengirim pasukan Singasari ke Malayu, tak lain karena mereka sesungguhnya adalah pengikut-pengikut yang setya dari sang Batara Narasingamur . Walaupun yang menjadi raja di tahta kerajaan Singasari itu adalah rama paduka rahyang ramuhun Wisnuwardhana, tetapi sesungguhnya Batara Narasingamur tetap menggenggam kekeuasaan. Dengan cerdik Batara Narasingamur telah mendudukkan pengikut-pengikutnya yang setya itu di pucuk pemerintahan Singasari."

   "Hm,"

   Saat itu baginda Kertanagara termenung.

   "Menurut hemat pa k yang hina dina ini, gus ,"

   Kata Aragani yang saat itu masih belum menjadi pa h melainkan sebagai mentri dengan gelar Panji Aragani "selama dalam tubuh pemerintahan paduka belum bersih dari pengaruh mentri-mentri tua yang berkiblat kesetyaannya kepada rahyang Batara Narasingamur , hamba sangat periha n bahwa segala langkah dan cita-cita paduka untuk membawa kerajaan Singasari ke arah kejayaan, akan terhambat di tengah jalan, gusti."

   Saat itu seri baginda Kertanagara yang sudah makin besar kepercayaan kepada Aragani, berkenan merenungkan persembahan kata-kata Aragani yang penuh bisa itu.

   Bagindapun membayangkan akan sejarah berdirinya kerajaaan Singasari yang sekarang.

   Kerajaan yang semula didirikan oleh rajakulakara Ken Arok bergelar Sri Rajasa sang Amurwabhumi, telah mengalami kekacauan akibat saling balas dendam diantara putera-putera keturunan Ken Arok dan putera- putera keturunan Tunggul Ametung.

   Terakhir berhasillah Rangga Wuni dan Mahisa Campaka merebut tahta dari tangan Tohjaya.

   Rangga Wuni kemudian dinobatkan sebagai raja Singasari dengan abhiseka Wisnuwardhana.

   Sedangkan Mahisa Campaka diangkat sebagai Ratu Angabaya.

   Dua ular dalam satu liang, demikian tamsil yang dipersembahkan para pujangga atas kerajaan Singasari yang diperintah oleh dua orang raja.

   Rangga Wuni adalah putera Anusapa , keturunan dari Tunggul Ametung yang dibunuh oleh Ken Arok.

   Sedang Mahisa Campaka adalah putera Mahisa Wonga Teleng, putera keturunan Ken Arok dengan Ken Dedes.

   "Dikiaskan sebagai ular, dakkah hanya lahiriyah saja damai tetapi dalam ha masing-masing mengandung bisa?"

   Demikian baginda Kertanagara dalam kesempatan-kesempatan yang luang, sering mengenangkan bentuk pemerintahan kerajaan Singasari yang ganjil itu.

   Dan apabila baginda ba pada perenungan itu, tampaklah warna-warna yang menyelubungi suasana pemerintahan jeman ayahandanya.

   Kerajaan Singasari memang tenang tenteram tetapi tiada kemajuan suatu apa.

   Batara Narasingamurti hanya selalu menitikkan pada pemupukan kekuatan dalam negeri, terutama memperketat pengawasannya terhadap Daha.

   Mereka tetap menganggap bahwa Daha belum tunduk seluruhnnya.

   Adalah karena bebijaksanaan yang tidak bijaksana itu maka Singasari tak dapat berkembang pesat.

   "Hm,"

   Dengus baginda Kertanagara "itulah sebabnya mengapa Raganata, Banyak Wide dan Wirakre tak menyetujui ndakanku mengirim pasukan Singasari untuk mengamankan kerajaan Malayu.

   Alasan mereka tetap itu saja, bahwa keadaan dalam negeri Singasari masih belum aman.

   Tidak, aku tak mau mencontoh ramanda Wisnuwardhana.

   Aku seorang raja besar yang bebas ber ndak menurut apa yang kuanggap dapat membawa kerajaan Singasari ke arah kejayaan dan kebesaran.

   Batara Narasingamurti sudah wafat, tiada yang dapat menghalangi tindakanku lagi "

   Aragani dapat melihat apa yang berkecamuk dalam pikiran seri baginda.

   Maka segera ia menambah minyak kedalam api "Pandangan mereka sudah usang, sesuai rambutnya yang sudah beruban.

   Pangeran Ardaraja, putera raja Daha, adalah putera menantu paduka, masakan raja Daha akan mempunyai niat jahat terhadap paduka.

   Kerajaan-kerajaan Malayu harus lekas ditangani sebelum tangan Kubilai Khan menjangkau ke sana.

   Singkirkanlah mentri- mentri penganut Batara Narasingamurti yang berfaham kolot itu apabila paduka ingin Singasari menjadi kerajaan besar dan jaya."

   Lidah berbisa Aragani itu telah termakan seri baginda.

   Tiga orang mentri utama telah dilorot dan dipindah ke luar pura.

   Maka sebagai pelaku dalam peris wa itu sudah wajar kalau rakryan pa h Aragani mempunyai kecurigaan terhadap surat adipati Banyak Wide kepada raja Daha.

   Tampak sepasang mata rakryan pa h Aragani mulai merentang dan makin membelalak ke ka membaca isi surat adipa Banyak Wide.

   Keriput-keriput pada dahinya tampak menghilang diregang urat-urat yang melingkar-lingkar kencang.

   Sekonyong-konyong dia mengaum keras.

   ~dewi.kz^ismo^mch~

   Jilid 27 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .

   MCH I Brahala raksasa mahabesar dan maha mengerikan, tegak di alun-alun negara As na, meraung sedahsyat letus sejuta halilintar "Hai, orang-orang As na yang angkara murka, jika kukehendaki, saat ini juga kerajaan dan rakyat Astina dapat kumusnakan seketika ....

   "

   Demikianlah amarah yang meletus dalam dada prabu Kresna yang berkunjung ke negeri Astinapura sebagai duta perdamaian.

   Ia hendak merukunkan perselisihan kaum Korawa dengan Pandawa agar jangan sampai terjadi perang besar.

   Tetapi bukan saja tujuan mendamaikan itu tak berhasil, pun prabu Kresna tersinggung dengan sikap dan ucap fihak Korawa yang sombong dan angkara.

   Murkalah sang prabu dan sekeluar dari keraton di alun-alun dia telah ber-tiwikrama menjadi raksasa Brahala.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikianlah daya perbawa dari hawa amarah.

   Amarah yang bertolak pada kekecewaan karena cita keinginannya tak tercapai dan berpangkal pada dendam kesumat yang kuasa menghancurkan segala apa di dunia.

   Merukunkan Korawa dengan Pandawa pada hakekatnya merukunkan rasa Lahir dan Ba n yang selalu berselisih, tak mudah disatukan.

   Lahir, yang selalu bergelimangan dengan nafsu dan keinginan.

   Ba n yang menjadi sumber kesadaran dan kebijaksanaan.

   Lahir menuntut, sang ba n menolak.

   Ba n menghendaki, sang Lahir enggan.

   Demikian apabila ada terdapat keseimbangan antara Lahir dan Batin, tiada pemawasan antara Keinginan dan Kesadaran.

   Walaupun dak ber-triwikrama menjadi raksasa Brahala seper prabu Kresna, tetapi ledakan amarah yang terjadi dalam dada pa h Aragani ke ka membaca isi surat adipa Banyak Wide atau Wiraraja kepada raja Jayakatwang, telah menjadikan pa h itu seper seorang Brahala.

   Dia meraung seperti singa kelaparan.

   "Bedebah ! Keparat Wiraraja, engkau berani bersekutu dengan Jayakatwang untuk membasmi aku ...

   "

   "Rama!,"

   Kuda Panglulut berteriak kaget ke ka menyaksikan rama mentuanya seper orang kalap.

   "Anjing jahanam, rasakanlah pembalasanku ..... !"

   Ba- ba pa h Aragani meninju meja sehingga meja tumbang terbalik.

   "Rama,"

   Makin kejut Kuda Panglulut melihat rama mentuanya mengamuk. Patih Aragani meremas-remas surat itu lalu dibanting ke lantai "Bacalah !"

   Dengan berdebar-debar Kuda Panglulutpun memungut kertas yang sudah kumal itu lalu diusap supaya rata kembali. Setelah itu baru dia membaca. Seke ka pucatlah wajah Kuda Panglulut. Ia termenung gemetar. Suasana hening nyenyap.

   "Panglulut,"

   Beberapa jenak kemudian baru patih Aragani membuka suara. Nadanya agak mereda "Mengapa engkau gemetar ?"

   Kuda Panglulut tersipu malu "Ah, tidak, rama. Hamba hanya gemas sekali kepada Wiraraja."

   "O, engkau juga marah seperti aku ?"

   "Wiraraja terlalu kurang ajar, rama."

   "Benar,"

   Sahut patih Aragani "dan aku serta engkau lalu marah, bukan ?"

   Kuda Panglulut terlongong heran mendengar ucap rama mentuanya "Tidakkah hal itu wajar, rama?"

   "Wajar bahkan harus,"

   Kata patih Aragani "tetapi cukupkah kita hanya marah-marah saja?"

   "Ah, tentu saja tidak, rama. Kita harus bertindak."

   "Marah bukan jalan yang terbaik untuk mengatasi persoalan. Bahkan karena marah, pikiran kita menjadi gelap sehingga tindakan yang kita lakukanpun mungkin kurang tepat."

   Kini Kuda Panglulut baru menyadari apa sebab rama mentuanya ba- ba berubah sikap.

   Memang benar.

   Kemarahan takkan menolong persoalan bahkan mengeruhkan pikiran.

   Diam-diam ia memuji akan ketekunan peribadi rama mentuanya dalam menghadapi se ap persoalan, betapa gawatpun persoalan itu.

   "Anakku,"

   Kata patih Aragani "pohon yang tertinggi tentu akan mudah selalu dilanda angin.

   Demikian dengan kehidupan manusia.

   Sesuatu yang tinggi, pangkat maupun kekuasaan dan harta kekayaan, pasti mudah menderita gangguan.

   Semisal dengan diri rama.

   Dalam meniti puncak tangga kelungguhan seperti yang saat ini rama nikmati, rama telah mengarungi berbagai badai prahara.

   Antara lain seperti yang engkau ketahui hari ini, bagaimana ulah si Banyak Wide hendak menumbangkan kelungguhan rama ini."

   Kuda Panglulut mengangguk -angguk.

   "Maka anakku,"

   Kata pa h Aragani pula "jika engkau takut dilanggar angin topan, janganlah engkau jadi pohon yang tinggi tetapi lebih aman jadi rumput saja."

   "Tidak rama,"

   Seru Kuda Panglulut "hamba seorang ksatrya, masih muda dan masih banyak cita- cita yang hamba inginkan. Sama-sama bercita-cita dan berjuang, mengapa dak ingin menjadi pohon yang tinggi daripada menjadi rumput yang diinjak-injak ?"

   "Bagus, puteraku,"

   Seru patih Aragani memuji "rama tak berputera laki-laki, kelak kelungguhan dan segala kekayaan rama siapa lagi kalau tidak kuberikan kepadamu.

   Aku gembira, Panglulut, karena engkau mempunyai pambek yang tinggi.

   Memang begitulah seharusnya pendirian hidup seorang ksatrya muda.

   Mumpung gede rembulane, mumpung jembar kalangane.

   Demikian kiasan yang tepat untukmu.

   Selagi usiamu sedang semegah- megahnya laksana bulan purnama, selagi ruang gerak kesempatanmu luas, engkau Panglulut, harus berjuang untuk mendaki ke puncak tangga kehidupan yang gemilang."

   "Terima kasih rama. Restu rama akan menjadi azimat hamba dalam menempuh perjalanan cita- cita hamba."

   "Baik, Panglulut, eh, sampai dimanakah pembicaraan kita tentang surat si Banyak Wide tadi ?"

   "Rama mengingatkan kepada hamba, bahwa marah itu bukan cara yang terbaik untuk memecahkan segala persoalan."

   "Benar, Panglulut,"

   Seru pa h Aragani "dalam mengarungi perjalanan hidup yang penuh dengan badai ujian itu, sebenarnya rama sudah membekal diri dengan pembentukan peribadi yang kuat.

   Walaupun menghadapi peris wa apa saja, baik ancaman orang, kemarahan serta cemoh sindiran, rama selalu bersikap tenang.

   Tak mudah rama cepat terangsang oleh gesa ucap, marah ha serta lancang ulah.

   Dan ternyata rama telah membuk kan, dengan bekal pembentukan peribadi itu, rama dapat nengatasi segala gangguan dan rintangan yang melintang dihadapan rama.

   Air yang tenang tanda dalam.

   Orang terutama yang memusuhi tentu sukar dan bingung menghadapi ketenangan rama."

   Kuda Panglulut mengangguk-angguk tetapi dalam ha dia mengeluh "Ah, lagi-lagi rama melantur dari arah pokok pembicaraan."

   "Terima kasih, rama,"

   Akhirnya ia terpaksa menyahut "segala petuah dan wejangan rama pas akan hamba junjung sekhidmat khidmatnya."

   "Tidak cakup begitu. Panglulut. Yang pen ng engkau harus dapat melaksanakannya dalam kenyataan."

   "Baik, rama, pasti akan hamba amalkan dalam perbuatan hamba. Tetapi rama ....

   "

   "Apakah ada yang tak sesuai dengan hatimu?"

   Tukas patih Aragani.

   "Tidak, rama, semua petuah rama itu benar-benar hamba rasakan sebagai azimat yang sakti."

   "Lalu apa yang hendak engkau katakan ?"

   Kuda Panglulut menghela napas dalam ha , lalu menjawab "Rama, dakkah rama menganggap bahwa surat dari adipa Wiraraja itu suatu masalah gawat yang perlu kita tangani dengan segera?"

   "Mengapa rama dak menganggap begitu?"

   Balas pa h Aragani "memang demikianlah adat kebiasaan rama, Panglulut.

   Mungkin engkau belum fabam sehingga terkejut.

   Se ap menghadapi masalah yang pen ng, rama selalu tak mau langsung memecahkan melainkan lebih dulu rama berusaha untuk menenangkan pikiran.

   Apalagi dalam persoalan si Banyak Wide ini, rama telah mengumbar hawa kemarahan.

   Rama lebih tak berani memikirkan karena kua r pemikiran rama itu akan dipengaruhi oleh hawa amarah.

   Oleh karena itu rama simpangkan pembicaraan itu ke arah persoalan lain yang rama anggap dapat mengurangi ketegangan amarah.

   Terutama, eh, Panglulut, masuklah ke dalam dan suruh dayang membawa hidangan yang rama senangi."

   "Tuak?"

   "Apalagi, Panglulut, kalau bukan Tirta Amerta itu. Pikiran rama serasa tumpul apabila tak diguyur dengan tuak"

   Kuda Panglulut mengiakan dan terus menuju ke dalam ruangan.

   Tak berapa lama dia kembali dengan diiring seorang dayang yang membawa penampan minuman tuak.

   Setelah menghidangkan dihadapan junjungannya dan menuangkan pada sebuah cawan, dayang itupun segera memberi sembah dan terus masuk ke dalam lagi.

   "Dayang itu memang pandai menuju ha ku,"

   Kata pa h Aragani seorang diri.

   Kemudian sambil mengangkat cawan yang sudah berisi tuak, ia berkata kepada Panglulut "tuak ini terbuat dari sari nyiru yang telah kusuruh memeram selama beberapa tahun.

   Dan brem ini kiriman dari pa h kerajaan Bali.

   Maukah engkau mencicipinya, Panglulut?"

   "Terima kasih, rama. Hari ini hamba tiada selera minum. Silakan rama minum sendiri."

   Setelah meneguk habis cawan tuak itu, pa h Aragani berkata "Hai, demikianlah sifat anakmuda yang masih berdarah panas. Menghadapi sedikit persoalan saja, sudah bingung dan hilang selera makan dan minum, ha, ha, ha."

   Kuda Panglulut terpaksa ikut tertawa, walaupun hambar nadanya.

   Setelah menghabiskan tiga cawan penuh, Aragani menjemput sepotong brem.

   Dan sambil mengulum brem, mulailah dia bertanya "Baik, anakku, sekarang pikiran rama mulai terang.

   Bagaimana pendapatmu mengenai surat si Banyak Wide itu ?"

   "Kita harus lekas bertindak, rama."

   "Bertindak bagaimana maksud kamu? "

   "Menghancurkannya."

   "Dengan cara ?"

   Aragani tertawa seraya menjemput seiris brem lagi. Kuda Panglulut tertegun tak dapat menjawab.

   "Begitulah, Panglulut, apabila kita terangsang oleh kemarahan. Pikiran keruh, ha panas, keinginan berkobar tetapi tak dapat menemukan cara untuk mengatur rencana yang tepat,"

   Kata pa h Aragani "aku tadipun ber adak demikian, marah dan terus meremas surat itu.

   Perasaanku seper meremas si penulis surat itu sendiri.

   Untung aku segera menyadari kekhilafanku dan mengetahui bahwa tindakanku meremas surat itu salah.

   Surat itu seharusnya kusimpan baik-baik."

   "Untuk apa, rama?"

   "Kita jadikan senjata untuk menghantam manusia-manusia busuk yang bersekutu itu."

   "Maksud rama ?"

   Kuda Panglulut menegas.

   "Rencanaku begini,"

   Kata pa h Aragani "kita jadikan surat Banyak Wide itu menjadi senjata yang akan memakannya sendiri."

   "O, lalu caranya ?"

   "Kita teruskan surat itu kepada raja Jayakatwang,"

   Kata pa h Aragani "raja Daha itu tentu akan mengirim balasan. Nah, kita akan memeriksa apa isi balasannya. Apabila perlu, kita robah isi surat itu sedemikian rupa untuk menghantam bedebah Banyak Wide."

   


Darah Ksatria Harkat Pendekar -- Khu Lung Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini