Dendam Empu Bharada 32
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 32
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
"Bagus rama,"
Seru Kuda Panglulut memuji.
"itu namanya senjata makan tuan. Dengan siasat itu Wiraraja tentu akan kclabakan."
"Ya,"
Patih Aragani mengangguk.
"Lalu siapakah yang akan menerimakan surat itu ke Daha ?"
"Ah, itu mudah. Kita cari orang Madura yang dapat dipercaya. Dengan memberi upah besar dan janji akan diberi pangkat, dia tentu mau bekerja untuk kita."
Kuda Panglulut menyambut dengan gembira sekali. Tetapi beberapa saat kemudian ba- ba ia berkata.
"Tetapi rama, hamba mempunyai sedikit usul."
"O, katakanlah."
"Bagaimana pendapat rama apabila kita mengadakan perobahan pada isi surat Wiraraja itu ?"
"Maksudmu?"
"Jika surat Wiraraja yang sekarang ini disetujui raja Jayakatwang, bukankah kedudukan rama akan terancam oleh orang Daha ?"
"Ya,"
Patih Aragani mengangguk "teruskan rencanamu."
"Kita robah saja bunyi surat itu berupa suatu ajakan dari Wiraraja kepada Daha untuk menyerang baginda Kertanagara."
"Lho, mengapa begitu, Panglulut?"
"Rama, dengan tindakan itu kita akan memperoleh dua buah keuntungan "
Kata Kuda Panglulut mengulum senyum "pertama, kita akan mengetahui bagaimana sikap yang sesungguhnya dari raja Daha terhadap Singasari.
Kedua, surat balasan raja Jayakatwang itu kita jadikan suatu alat untuk menguasainya.
Jika dia menolak, surat itu dapat kita haturkan ke hadapan seri baginda Kertanagara.
Bukankah rama akan menerima jasa di atas kemurkaan seri baginda terhadap raja Daha?"
"Tepat! Engkau benar-benar cerdik sekali puteraku,"
Puji pa h Aragani "dengan memiliki surat balasan raja Jayakatwang itu, Daha dapat kita tekan dan Banyak Wide juga dapat kita celakai. Ya, aku setuju sekali dengan rencanamu itu."
"Jika demikian, perkenankanlah hamba membuat surat yang tulisannya akan hamba sesuaikan dengan tulisan adipati Wiraraja dengan isi surat seperti yang kita rencanakan itu."
Setelah mendapat persetujuan pa h Aragani maka Kuda Panglulutpun mulai membuat sepucuk surat.
Memang Kuda Panglulut pandai menulis.
Tulisannya indah dan rapi sekali.
Diapun ahli dalam meniru buah tulisan orang.
Waktu menerima surat yang telah ditulis Kuda Panglulut, pa h Aragani tertawa gembira "Wahai, puteraku, engkau benar-benar seorang sasterawan yang hebat.
Tulisanmu benar-benar menyerupai buah tulisan si Banyak Wide."
"Ah, mohon paduka jangan terlalu memanjakan hamba dengan pujian, rama."
"Tidak, Panglulut. Tulisanmu ini memang indah, guratannya amat kuat. Andaikata engkau kembangkan bakatmu dalam ilmu sastera, kelak engkau pasti akan menjadi seorang pujangga."
"Ah,"
Kuda Panglulut mengeluh walaupun dalam ha girang "tulisan indah bukan pertanda berbakat pujangga, rama.
Kepujanggaan itu suatu bakat seni yang nggi, memiliki suatu ketajaman citarasa yang peka, ada kalanya suatu cipta yang sukar dicerna dan tak mudah dijangkau daya pikiran orang." ~dewi.kz^ismo^mch~ Ketika pagi itu patih Aragani menghadap seri baginda di balairung, tampak wajah seri baginda berseri cerah.
Memang demikian sikap seri baginda apabila berhadapan dengan patih Aragani.
Tetapi patih itu sempat memperhatikan bahwa kecerahan wajah seri baginda saat itu, agak berbeda warnanya dengan hari-hari biasa.
"Patih Aragani,"
Ujar baginda ramah "ada sebuah berita yang menggirangkan."
Aragani terkesiap dalam ha namun sebagai seorang yang pandai mengambil ha junjungannya, ia menguruskan diri untuk ikut gembira "Berita gembira, gus .
O, hamba merasa bahagia sekali apabila kerajaan paduka selalu dilimpahi berita-berita gembira oleh Hyang Kawi.
Namun kiranya paduka tentu berkenan untuk melimpahkan keterangan kepada diri hamba mengenai berita itu agar sempurnalah kebahagiaan yang hamba rasakan itu."
"Cobalah engkau terka Aragani,"
Tah baginda "hadiah is mewa akan kuberikan kepadamu apabila engkau mampu menerkanya."
"Ah,"
Aragani mendesah dalam ha .
Ia mengeluh mengapa gemar benar seri baginda bermain terka.
Apa guna seri baginda berbuat demikian? Bukanlah lebih bijaksana dan wibawa apabila baginda langsung menurunkan tah ? "Hm, rupanya seri baginda makin gemar bermanja pujian.
Bukankah main terka itu akan menjurus pada kemenangan baginda? Dan dakkah se ap kemenangan itu tentu akan dirayakan dengan sanjung pujian yang menggembirakan hati ?"
"Ah,"
Desah terlepas pula dalam ladang perburuan ha nya.
Perburuan untuk mencari sebab dari kebiasaan yang belum berapa lama ini menghinggapi baginda, yaitu kebiasaan melontarkan teka- teki kepada para mentri.
Hanya kali ini desah Aragani itu segera disusul pula dengan getar ha nya yang keras "Seorang yang mabuk tentu gemar minuman keras.
Sebelum orang itu gemar minum tentu ada orang lain yang mengajarnya atau menganjurkannya minum.
Uh ......
"
Ia segera merasa seper berdiri di depan cermin.
Dan nuraninya segera menuding pada gambar lelaki yang terpampang pada cermin itu "Engkaulah yang telah membius baginda dengan segala puji sanjung sehingga baginda menjadi seorang raja yang gemar disanjung ....!"
"Uh,"
Tanpa sadar mulut patih Aragani mendesuh dan tubuhnyapun ikut meregang kejang.
"Hai, mengapa engkau patih?"
Tiba-tiba seri baginda menegur. Aragani terkejut seper orang yang dilemparkan dari puncak pagoda candi Bentar yang nggi "Hamba ....tidak apa-apa, gusti,"
Tersipu-sipu dia menghaturkan sembah.
"Mengapa engkau diam saja dan tubuhmu berkelejot seperti orang kejang?"
"Ah, insan setua hamba ini memang sering terserang penyakit tulang pada punggung, pinggang dan kaki."
"Apakah saat ini penyakitmu kumat?"
"Hanya terasa sedikit linu pada punggung hamba sehingga hamba berkejang. Tetapi kini sudah membaik pula, gusti,"
Terpaksa patih Aragani mencari alasan yang dapat diterima akal.
"O, kebenaran sekali, pa h,"
Seru seri baginda "hadiah yang akan kuberikan kepadamu nan , berupa tuak istimewa. Engkau tahu dari mana tuak itu ?"
"Mohon paduka berkenan melimpahkan petunjuk kepada Aragani yang bodoh ini, gusti "
"Engkau masih ingat akan rombongan utusan raja Tartar ?"
"Adakah utusan raja Kubilai Khan yang baru-baru ini menghaturkan pesan rajanya ke hadapan paduka itu ?"
"O, bukan itu. Bukan yang engkau usulkan supaya dibunuh itu. Tetapi utusan yang terdahulu, lima tahun yang lalu. Sudah dua kali ini, raja Tartar mengirim utusan. Utusan pertama hanya membawa salam persahabatan dengan menghaturkan bermacam-macam barang berharga, diantaranya seratus guci tuak."
"O, benar, sekarang hamba ingat. Bukankah paduka pernah ber tah kepada hamba mengenai tuak itu. Waktu itu hamba mempersembahkan kata, hendaknya tuak itu paduka simpan saja karena dikuatirkan mengandung ramuan yang mengganggu kesehatan paduka."
Baginda Kertanagara mengangguk "Benar, pa h. Memang ku tahkan tuak itu disingkirkan. Tetapi beberapa waktu yang lalu. aku terkejut melihat suatu peristiwa."
Patih Aragani diam mendengarkan.
"Pada waktu permulaan musim hujan ini, banyak abdidhalam dan dayang-dayang yang sakit. Kebanyakan terserang penyakit perut, kepala dan gemetar."
"Benar, gus ,"
Pa h Araganipun berdatang sembah "memang hambapun mendapat laporan dari beberapa kepala daerah bahwa daerah mereka terserang oleh suatu wabah prnyakit perut, muntah dan berak-berak sehingga banyak yang tewas."
"Nah, malam itu aku bersantai melepaskan lelah bercengkerama di taman. Tiba- ba hujan turun dan aku segera bergegas menuju ke sanggar pamujan dalam taman itu. Beberapa batang pohon bunga roboh dilanda angin. Kulihat seorang lelaki tua, tanpa mengenakan baju, sibuk memperbaiki kerusakan dalam taman itu. Dia bekerja seorang diri di malam yang hujan. Karera senang dengan orang yang penuh bertanggung jawab atas pekerjaannya itu, keesokan harinya, dia kupanggil menghadap."
Aragani diam mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Dia adalah juru-taman Drana,"
Ujar seri baginda pula "rambut dan janggutnya sudah pu h tetapi wajahnya masih segar dan tubuhnya kekar.
Atas pertanyaanku, dia menyatakan sudah bekerja sebagai juru-taman di keraton Singasari selama gapuluh tahun, sejak rahyang ramuhun ramanda Wisnuwardhana.
Umurnya sudah tujuhpuluh tahun."
"Sebelumnya hamba memang sakit-sakitan, gus ,"
Kata jurutaman Sadrana atas pertanyaan baginda "bahkan dua tahun yang lalu hampir ma . Tetapi syukurlah ki bekel Wisata telah memberikan hamba sebuah guci wasiat."
"Hai, apa maksudmu ?"
Tegur seri baginda.
"Ki bekel Wisata mengatakan bahwa guci itu berisi air obat yang berkhasiat menyembuhkan segala penyakit. Hamba percaya dan ap malam minum hampir secawan. Ternyata penyakit hamba sembuh dan bahkan tenaga hamba bertambah kuat, gus . Melihat itu ki bekel memberi lagi dua guci kepada hamba."
"Bekel Wisata kepala sentana dalam keraton itu?"
"Keluhuran sabda-paduka, gusti."
"Bagaimana rasanya air dalam guci itu?"
Baginda mulai teringat sesuatu.
"Sedap tetapi keras seperti tuak, gusti."
"Lalu engkau habiskan ketiga guci air itu semua? "
"Tidak gusti hamba hemat-hemat. meminumnya. Tiap malam hamba hanya minum separoh cawan saja agar tidak lekas habis."
"Lalu bagaimana rasanya badanmu?"
"Hamba merasa bertambah kuat, semangat hambapun bertambah segar. Selama dua tahun hamba tak pernah sakit, tak takut dingin dan tak kenal lelah bekerja."
Seri baginda menitahkan jurutaman itu mengambil guci pamberian bakel Wisata "Ah, benar,"
Seru baginda waktu menerima guci itu.
Baginda teringat pada suatu hari melibat bekel Wasita duduk ter dur bersandar ang.
Ternyata bekel itu habis bekerja berat membersihkan keraton karena akan mengadakan perayaan.
Baginda teringat akan persembahan seratus guci tuak dari utusan raja Tartar dahulu.
Menurut keterangan utusan itu, tuak itu mengandung khasiat nggi untuk menghilangkan penyakit tulang, perut dan lelah.
Kuasa pula menambah semangat dan tenaga, memelihara umur panjang.
Maka seri bagindapun menitahkan bekel Wisata untuk minum guci tuak yang tempo hari disuruhnya menyimpan "Jika engkau cocok dengan minuman itu, ambillah sesuka hatimu."
Kini seri baginda telah menyaksikan sendiri akan keadaan jurutaman Sadrana yang masih tetap segar dan kuat "Titahkan bekel Wisata menghadap ke mari,"
Titah baginda kepada jurutaman. Tak berapa lama jurutaman kembali dengan mengiring kepala sentana keraton Singasari, bekel Wisata.
"Benarkah engkau telah memberi ga buah guci tuak dari utusan Tartar itu kepada jurutaman ini?"
Diam-diam pula seri baginda memperha kan keadaan bekel Wisata. Juga bekel Wisata yang sudah tua itu masih tampak segar gagah.
"Benar, gusti,"
Sembah bekel keraton itu.
"Baik, bekel,"
Titah baginda semakin percaya.
"masih berapa banyak guci tuak itu ? "
"Mohon paduka limpahkan ampun atas kelancangan hamba, gus . Hamba telah mengambil limabelas guci."
"Engkau minum sendiri semua?"
"Yang ga hamba berikan kepada ki jurutaman ini yang dua hamba berikan kepada bapak hamba yang sudah tua dan sakit sakitan. Sedang yang sepuluh hamba minum bersama isteri hamba."
Baginda senang atas kejujuran kepala sentana keraton yang se a itu "Baik, bekel, kuganjarmu lagi dengan lima guci dan lima guci yang lain berikan kepada jurutaman ini atas kesetyaan pada pekerjaannya.
Sisanya harus engkau jaga baik-baik.
Aku hendak meminumnya sendiri."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan sejak minum tuak itu, seri baginda memang merasa semangat dan tenaganya bertambah segar. Kali ini dia hendak mengganjar patih Aragani dengan seguci tuak itu apabila dapat menerka.
"Engkau tahu apa sebenarnya tuak persembahan dari utusan Tartar itu, pa h ?"
Ujar baginda pula.
"Mohon gusti melimpahkan titah kepada diri Aragani yang dungu ini."
"Sebenarnya guci itu bukan berisi tuak, pa h. Menurut kata utusan Tartar dahulu, guci itu berisi arak, sejenis dengan tuak, yang terbuat dari ramuan Suatu tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat nggi. Tanaman itu hanya terdapat di negeri mereka, namanya som. Kata utusan Tartar, tanaman som itu berbentuk seper manusia. Makin tua umur som itu, makin hebat khasiatnya. Nah, itulah yang akan kuganjarkan kepadamu apabila engkau dapat menerka apakah berita gembira yang kukatakan itu?"
Se ap mendengar nama tuak, semangat pa h Aragani tentu merekah.
Terutama waktu mendengar amanat baginda tentang guci arak yang mengandung khasiat menambahkan semangat dan tenaga itu, pelapuk mata Aragani segera membayangkan betapa indah warna arak som itu dan betapa nikmatlah rasanya.
Tak terasa air liurnyapun meni k sehingga ia buru-buru melumatkan lidahnya untuk menyapu air liur itu supaya jangan sampai menitik keluar.
Namun di kala membayangkan apa yang harus diucapkan untuk menerka berita gembira itu, dahi Aragani segera berhias dengan jalur-jalur keriput yang melekuk dalam.
Tampaknya seri baginda tahu akan kesulitan Aragani.
Baginda tertawa "Baiklah, akan kuberimu jalan agar engkau mempunyai arah untuk menerka.
Berita girang itu berasal dari Daha.
Raja Jayakatwang hendak mempersembahkan sesuatu kepadaku.
Nah, cobalah engkau terka, persembahan apakah dari Jayakatwang sehingga aku merasa gembira ?"
Pa h Aragani terkejut dan membelalak.
Benar-benar tak pernah tercapai dalam pikirannya bahwa Daha akan menghaturkan persembahan ke hadapan seri baginda Kertahagara.
Apa maksud raja Daha menghaturkan persembahan itu? "Ah, tak mungkin persembahan raja Daha itu bebas dari suatu tujuan,"
Ia menelusuri lorong-lorong penimangan namun tak bersua dengan jawaban yang meyakinkan.
Kemudian ia menilai bahwa suatu persembahan yang dapat menggembirakan ha seorang raja seper sang prabu Kertanagara itu tentu suatu benda yang jarang terdapat dalam arcapada.
Harta, emas dan permata, tentu tak akan menggembirakan sang nata yang sudah melimpah ruah harta benda semacam itu.
Persembahan puteri can kpun bukan pada tempatnya karena baginda tentu sungkan kepada puteri-puteri dan putera menantunya.
Lalu apakah benda yang kuasa menyentuh hati sang nata ? "Sebuah pusaka, gus , pusaka yang akan membawa kerajaan paduka ke arah kejayaan,"
Akhirnya karena harus memberi jawaban, Aragani pun menghaturkan jawaban. Ia berusaha untuk mendekatkan penilaian dengan kenyataan yang ada pada seri baginda.
"Bukan,"
Baginda gelengkan kepala "
Akan kuberimu waktu tiga kali untuk menjawab."
Tiba- ba pa h Aragani teringat bahwa seri baginda sekarang gemar akan sanjung pujian "Mungkinkah begitu?"
Bertanya pa h Aragani dalam ha dan iapun memberanikan diri untuk menghaturkan jawaban "Gelar kehormatan yang sesuai dengan keluhuran, keagungan dan kewibawaan paduka, gusti."
"Juga bukan,"
Kembali seri baginda gelengkan kepala "nah, masih ada sebuah kesempatan yang terakhir kalinya, pa h.
Ingat Aragani, sepuluh guci arak som dari negeri Tartar yang kuasa yang menambah semangat tenagamu, akan menyongsong ke hadapanmu apabila engkau dapat menerka hal itu.
Pikirlah yang secermat-cermatnya, patih."
Aragani benar-benar bingung.
Selain pusaka dan gelar kehormatan, adakah benda lain yang lebih berharga bagi persembahan kepada raja? Ia benar-benar kehilangan faham "Ah, daripada dak memberi jawaban, baiklah kuhaturkan saja sebuah jawaban.
Salah atau benar, bukan soal,"
Akhirnya ia mengambil keputusan.
Pa h Aragani menengok ke belakang, ke arah peribadi seri baginda Kertanagara.
Sebelum terkekang dalam kegemaran tuak, seri baginda seorang raja yang bijaksana, rajin menuntut ilmu.
Baginda putus dalam ilmu falsafah, tata bahasa dan sadguna atau enam macam ilmu kenegaraan.
Bagindapun melaksanakan pentahbisan sebagai seorang Jnana "Ya, benar, tentulah begitu.
Kali ini terkaanku tentu benar,"
Diam-diam Aragani menghimpun kesimpulan.
"Gus , berkat restu paduka, mudah-mudahan jawaban hamba kali ini dapat berkenan di ha paduka,"
Kata patih Aragani.
"Katakanlah,"
Baginda tersenyum.
"Raja Jayakatwang mempersembahkan sebuah kitab pusaka yang berisi ajaran agama, entah ajaran Syiwa entah Buddha, gusti."
Aragani berdebar ke ka melihat baginda mengangguk-angguk kepala. Dan sesaat kemudian bagindapun ber tah "Baik sekali pa h Aragani. Engkau telah melakukan pemikiran yang cermat sekali ...
"
Makin mendebur keras ha Aragani mendengar ucapan seri baginda. Separoh lebih kepercayaaannya sudah tercurah bahwa kali ini terkaannya tentu benar.
"Tetapi sayang,"
Tiba-tiba baginda berujar "bahwa jawabanmu itu tetap salah.
Memang tak mudah untuk menjangkau hal seperti yang terwujut dalam persembahan raja Daha itu.
Jika engkau tak mampu menerka, memang bukan sesuatu yang tak wajar.
Walaupun engkau takkan menerima ganjaran, tetapi kamu tetap akan kuajak engkau menikmati arak istimewa itu."
"Terima kasih, gus ,"
Kata pa h Aragani agak lesu.
Memang ia sudah menduga, walaupun ia tak berhasil mempersembahkan jawaban yang tepat, namun baginda tentu tetap akan mengajaknya minum.
Tetapi dalam ha kecilnya ia tetap merasa kecewa.
Ia juga seorang pa h yang berha nggi.
Ia sudah biasa bermandi dalam pujian seri baginda.
Agak tak sedap dalam perasaan bahwa kali ini dia harus menggigit jari.
"Dengarkan, pa h,"
Ujar baginda "raja Jayakatwang hendak menghaturkan persembahan patung."
"Patung, gusti ?"
Patih Aragani terkejut sekali.
"Ya, patung,"
Ujar baginda pula "akuwu Daha itu telah mengutus puteranya, pangeran Ardaraja, untuk mempersembahkan berita itu ke hadapanku."
"Tetapi gus , apa ar persembahan itu kepada duli tuanku sehingga paduka berkenan sekali dengan gembira?"
Aragani memberanikan diri untuk mohon keterangan.
"Patung itu bukan sembarangan patuh, pa h. Tetapi sebuah patung yang penuh ar , nggi maknawinya."
"Tetapi, gus , bukankah di pura kerajaan paduka sudah penuh dengan candi dan vihara. Berlimpahan pula patung dan arca dewa-dewa sesembahan menghias kewibawaan rumah-rumah pemujaan?"
Seri baginda tertawa renyah "Benar katamu, Aragani.
Memang untuk mengembangkan agama tripaksi, telah ku tahkan untuk membangun candi, vihara dan rumah-rumah pemujaan suci.
Patung-patung dan arca-arca berlimpah ruah untuk mencukupi kebutuhan para kawula Singasari yang hendak mempersembahkan bak sujudnya kepada dewa yang disembahnya menurut kepercayaan masing-masing.
Tetapi patung yang hendak dipersembahkan akuwu Daha itu, memang lain dan belum pernah terdapat di pura Singasari."
"O,"
Seru pa h Aragani makin heran "lalu patung apakah yang hendak di persembahkan raja Jayakatwang itu ?"
"Patung JOKO DOLOK."
"Patung Joko Dolok ?"
Pa h Aragani tercengang heran "berkenankah paduka melimpahkan tah agar pikiran Aragani yang gelap akan mendapat penerangan, gusti."
"Engkau tentu tahu,"
Sabda,baginda "bahwa dahulu sang prabu Airlangga pernah menitahkan sang mahayogin Empu Bharada untuk membagi kerajaan Panjalu menjadi dua, Jenggala dan Daha.
Tetapi segala sesuatu itu memang sudah ditentukan oleh kodrat Prakitri.
Waktu melaksanakan amanat sang prabu, ke ka Empu Bharada melayang di udara sambil mencurah air kendi untuk mengguris tanda watek-bhumi kedua kerajaan itu, empu telah tergoda oleh nafsu amarah karena bajunya telah terkait pada pohon kamal.
Seke ka empu melantangkan kutukan dan jadilah pohon kamal yang nggi itu sebuah pohon kamal yang pandak.
Untuk memperinga peris wa itu maka tempat itu disebut Kamal Pandak."
Baginda berhen sejenak kemudian melanjutkan "Kutuk seorang maharesi sesak Empu Bharada, bukan olah-olah hebatnya.
Jika hanya pohon kamal itu yang menderita dan selanjutnya menjadi pohon pandak selamanya, itu masih dapat dimaklumi.
Karena jangankan hanya pohon kamal, bahkan gunung dan lautan pun apabila ter mpah kutuk seorang sak , pas akan rubuh dan kering."
"Keluhuran sabda paduka, gusti,"
Kata Aragani.
"Yang menyedihkan adalah akibatnya, pa h,"
Ujar baginda "kutuk sang empu itu amat bertuah sekali, sehingga pekerjaan besar yang dilakukannya dalam membagi kerajaan Panjalu itu, telah gagal karena akibatnya hanya menimbulkan malapetaka saja."
"Maksud paduka, kerajaan Panjalu yang terbagi menjadi dua Jenggala dan Daha itu, selanjutnya akan pecah dan senantiasa bermusuhan, gusti."
"Benar, patih,"
Titah sang prabu "Jenggala yalah Tumapel atau Singasari, tak pernah hidup rukun dengan Daha.
Inilah akibat daripada DENDAM EMPU BHARADA yang tergoda oleh nafsu amarah sehingga menjatuhkan kutuk bertuah itu.
Seorang yang sedang melaksanakan suatu tugas suci dan besar, pantang untuk marah dan mengeluarkan kutukan.
Bahkan membatin saja, juga tak dibenarkan.
Setitik nila yang memercik maka rusaklah susu sebelanga.
Setitik noda mencemar dalam hati, walaupun selembut rambut dibelah tujuh, maka rusaklah kesucian batin yang harus dipelihara dalam menunaikan tugas yang besar itu."
Patih Aragani mengangguk- angguk.
"Kutuk seorang empu, wiku dan pertapa, memang bertuah. Tahukah engkau mengapa sebabnya akuwu Tunggul Ametung terbunuh ?"
"Yang hamba ketahui,"
Sembah pa h Aragani "hanyalah tentang sejarah Ken Arok atau Sri Rajasa sang Amurwabhumi, rajakulakara Singasari.
Baginda wafat akibat keris buatan Empu Gandring yang karena dibunuh Ken Arok lalu mengeluarkan kutuk.
Tentang sebab musabab dari meninggalnya moyang paduka akuwu Tunggul Ametung, hamba kurang jelas, gusti."
"Eyang Tunggul Ametung juga meninggal akibat kutuk empu Parwa, ayah daripada eyang puteri Ken Dedes. Dahulu eyang puteri Ken Dedes itu termasyhur kecan kannya, bagaikan kuntum bunga yang mengharumkan laladan sebelah mur gunung Kawi. Kecan kan eyang puteri Ken Dedes sampai ke Tumapel dan terdengar eyang Tunggul Ametung yang segera menuju ke desa Panawijen. Kebetulan saat itu eyang sepuh Empu Purwa sedang bertapa di Tegal Panawijen. Ke ka melihat kecan kan eyang puteri Ken Dedes, eyang Tunggul Ametung tak dapat menahan diri lagi. Tanpa menunggu persetujuan Empu Parwa, eyang puteri Ken Dedes segera diboyong ke Tumapel."
"Ke ka Empu Parwa pulang dan tak mendapatkan puterinya di rumah,"
Baginda Kertanagara melanjutkan ceritanya "murkalah dia dan serentak menjatuhkan kutuk ...
'semoga yang melarikan puteriku, ma ter kam keris ....Sumur sumur di Panawijen supaya kering dan sumber-sumber tak mengeluarkan air lagi sebagai hukuman pada rakyat yang tak memberi tahu penculikan itu kepadaku ...
Semoga anakku yang telah mempelajari karma amamadangi, tetap selamat dan mendapat bahagia ...
"
"O, sedemikan ngeri Empu Parwa menjatuhkan kutuk, sengeri kutuk Empu Gandring kepada Ken Arok, gusti."
"Itulah Aragani, tuah atau sak dari kutuk seorang empu dan pandita linuwih. Demikian pula kutuk yogiswara Empu Bharada yang bersenyawa dalam pembagian daerah kerajaan Panjalu. Walaupun dendam kemarahan sang empu ditujukan kepada pohon kamal yang telah menyargkut pakaiannya, tetapi tugas suci yang tengah dilaksanakan sang empu itupun terlumur tuah kutuknya. Itulah sebabnya Aragani, maka sejak kerajaan Panjalu dibagi dua, Jenggala dan Daha dak pernah damai."
Pa h Aragani mengangguk-angguk dalam-dalam.
Sekelumit sisa ha kecilnya yang masih murni segera menebarkan warna-warna kengerian.
Ngeri akan akibat dari suatu perbuatan yang salah sehingga mendapat kutuk "Jika kutuk seorang empu sedemikian bertuah, tidakkah kutuk dewata itu lebih mengerikan lagi ?"
"Ah. aku seorang narapraja. Aku ber ndak bukan atas diriku tetapi atas nama dan kepen ngan kerajaan. Aku tak pernah berbuat kesalahan terhadap kaum empu dan para pandita, akupun tak melakukan sesuatu yang layak menerima kutuk dewata,"
Ia menghibur diri dalam ha .
Tetapi hanya sesaat saja karena pada lain saat betapa ia telah melakukan hal-hal yang mencelakai beberapa mentri tua sehingga mereka dicopot dari kedudukannya.
Betapa ia telah ber ndak melakukan penindasan kepada kawula.
Dan betapa dia telah meracuni seri baginda dengan bius sanjung puji yang melelapkan sehingga baginda terbuai ke alam khayal yang gelap akan kenyataan dan keadaan pemerintahannya.
"Kutuk Empu Parwa, kutuk Empu Gandring, kutuk Bharada sedemikian dahsyat akibatnya. Mereka hanya segelin r manusia secara perorangan. Tidakkah kutuk para kawula yang berjumlah beratus ribu itu akan lebih mengerikan lagi kepadamu, Aragani?"
Terderfgar kesiur angin lembut ,yang menepis telinga ha nya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ingin ia menutup daun telinganya, menghapus bayang-bayang itu dari lamunannya.
Kemudian pikirannyapun mencari perlindungan dan bertemu dengan sebuah karang tempat ia berteduh "Tidak, dak! Bukan salah Aragani jika baginda Kertanagara kini menjadi raja yang gemar minum, senang sanjung pujian.
Bukankah baginda itu seorang raja yang pandai dan luas pengetahuan dari aku ? Baginda bukan seorang anak kecil yang mudah terbujuk, melainkan seorang raja besar yang memerintah sebuah kerajaan besar ! Benar, benar, bahkan bagindalah yang sering menitahkan aku menghadap ke keraton untuk diajak minum.
Kini bukan lagi aku yang mengajarkan minum, kebalikannya bagindalah yang mengajarkan aku minum berbagai jenis tuak dari mancanagara.
Ya, engkau tak salah, Aragani, engkau tak salah ...
"
Dalih telah ditemukan dan pembelaanpun telah diucapkan dalam ha namun dalam relung batinnya tetap Aragani merasa seperti terdapat beratus serangga yang menggigitinya ....
"Aragani, mengapa engkau termenung diam ?"
Tiba-tiba sang nata menegur.
Aragani tergagap dari lamunan dan segera menyadari keadaan dirinya saat itu.
Lamunan yang mengerikan itupun bagaikan minyak terjilat api, hilang tak berbekas.
Kini dia merasakan sebagai Aragani, patih kesayangan seri baginda Kertanagara.
"O, hamba hanya tertegun, gusti."
"Tertegun ? Mengapa ?"
"Tak jua terjangkau dalam benak Aragani yang dungu ini tentang makna dari persembahan patung Joko Dolok ke bawah duli tuanku."
"Jayakatwang itu juga berdarah pujangga, gemar menekuni ilmu falsafah, sastera dan gentur bertapabra-ta."
"O,"
Seru Aragani terkejut dimulut, mendesuh dalam ha "Mengapa baginda memandang hal itu sebagai sesuatu yang wajar, bahkan diiring dengan nada pujian ? Tidakkah seharusnya baginda menaruh syak wasangka, sekurangnya perhatian atas diri akuwu Daha itu ?"
"Menurut keterangan Ardaraja,"
Ujar baginda pula "dalam persemedhian beberapa waktu yang lalu, Jayakatwang telah mendapat ilham yang besar sekali ar nya bagi Singasari dan Daha.
Bahwa agar tuah daripada kutuk Empu Bharada yang masih terasa akibatnya sampai sekarang ini, diberi tangkal penolak bala."
"O,"
Pa h Aragani makin terkejut "lalu di-manakah sumber dari zat kesak an kutuk Empu Bharada yang masih berkembang tuahnya itu, gusti ? Dan bagaimanakah cara penangkalnya? "
"Zat sak kutuk Empu Bharada itu bersumber di pekuburan Wurare. Penangkalnya tak lain adalah seorang manusia linuwih yang mempunyai sakti lebih unggul dari sakti Empu Bharada."
"O,"
Kembali pa h Aragani terperanjat "lalu siapakah insan mahanusa yang sedemikian itu, gusti?"
"Menurut keterangan Jayakatwang yang diperolehnya dalam wawansabda dengan mahluk gaib dalam alam semedhinya, bahwa di telatah Singasari hingga seluruh permukaan Nusantara, ada insan yang memiliki sak yang lebih nggi daripada Kertanagara, raja Singasari. Bukankah engkau sendiri pernah menghaturkan seuntai mutiara sanjung puji Seri Lokawijaya ke hadapanku, patih ?"
"Om nathaya namotsu, hong ... Segala kemuliaan bagi Yang melindungi. Dirgahayu Seri Lokawijaya,"
Seru pa h Aragani serentak. Memang pa h itu selalu siap menghamburkan kata sanjung pujian yang sudah tersedia dalam kandung lidahnya. Dan dia memang pandai sekali menyembunyikan perasaan hatinya. Baginda tertawa gembira.
"Gus , maa an hamba si lapuk Aragani yang dungu. Tetapi hamba benar-benar belum menger jelas maknawi dari ilham gaib yang diterima raja Jayakatwang. Adakah paduka yang harus menangkal bala pada tuah sakti kutuk Empu Bharada itu ?"
Baginda gelengkan kepala "Bukan, pa h, bukan aku sendiri. Tetapi cukup dengan lambang peribadiku yang akan diwujutkan dalam bentuk sebuah patung. Yaitu patung Joko Dolok."
"Joko Dolok ?"
Pa h Aragani kerutkan dahi "mengapa lambang peribadi paduka disebut Joko Dolok, gusti ?"
"Itupun termaksud dalam dawuh gaib yang diterima Jayakatwang dalam semedinya. Engkau seorang ahli sastera, patih, apakah kiranya maksud daripada Dolok itu ?"
Titah baginda.
Sejenak berdiam, pa h Aragani lalu menghaturkan sembah "Jika hamba tak salah, gus , ar daripada kata Dolok itu adalah Menung.
Mungkin, dikiaskan sebagai termenung dalam cipta- semedhi, sesuai dengan martabat paduka sebagai seorang Jnana."
"O, benar-benar. Ya, tentulah demikian yang dimaksudkan dalam dawuh gaib itu,"
Baginda gembira sekali.
"Adakah patung Joko Dolok itu yang akan. dijadikan sebagai penangkal bala sak kutuk Empu Bharada, gusti ?"
"Benar, pa h,"
Ujar baginda "patung itu akan disemayamkan di kuburan Wurare yang menjadi sumber zat sak yang memancar dalam kutuk sang empu.
Dengan kemenungan Joko Dolok dalam cipta-semedhi sebagai Jnana, zat sak kutuk itu akan lenyap.
Dan dengan demikian Singasari - Daha akan hidup rukun dan bersatu dengan damai."
Diam-diam pa h Aragani terkejut. Menilik gelagat, rupanya baginda Kertanagara sudah terbius dengan persembahan patung itu. Berbahaya, pikir pa h Aragani. Karena dengan begitu baginda tentu akan melepaskan semua rasa curiga terhadap gerak gerik Daha.
"Ma aku,"
Diam-diam pa h Aragani mengeluh dalam ha "jarum-jarum berbisa makin membius seri baginda.
Putera Jayakatwang, direlakan menjadi putera menantu baginda.
Masih belum cukup, kini raja Duha sendiri akan mempersembahkan patung Joko Dolok.
Pintar benar Jayakatwang.
Aku harus memberi peringatan kepada seri baginda ....,"
Ba- ba pa h Aragani terkesiap "ah, dalam keadaan seper saat ini kiranya seri baginda tentu takkan berkenan menerima peringatanku, bahkan kemungkinan baginda tentu akan murka kepadaku."
Hampir pa h Aragani hendak melepaskan pemikiran tentang masalah ndakan raja Jayakatwang.
Pikirnya, dia akan mencari kesempatan di lain waktu untuk menghaturkan peringatan ke hadapan seri baginda.
Tetapi ba- ba dia terlintas oleh suatu bayang-bayang yang mengerikan "Uh, apabila Daha berhasil menghancurkan Singasari, aku pasti akan digantung !"
Rasa ngeri membangunkan ingatan pa h Aragani akan surat adipa .
Wiraraja kepada raja Jayakatwang itu "Hm, akan kuhaturkan surat itu ke hadapan baginda.
Baginda tentu terkejut dan pada saat itu aku akan menghaturkan peringatan agar baginda berha -ha dan jangan lengah terhadap Daha walaupun rajanya mempersembahkan patung Joko Dolok."
Hampir mulut Aragani meluncurkan kata-kata yang sudah siap berada diujung lidah, namun pada lain kilas dia teringat apa yang pernah ia nasehatkan kepada putera menantunya Kuda Panglulut "Rama dapat meni ke puncak tangga kedudukan seper hari ini adalah karena rama pandai menguasai perasaan, ucap dan ulah.
Rama selalu tenang menghadapi segala keadaan betapapun buruknya."
"Ah,"
Teringat hal itu Araganipun tersipu-sipu dalam ha . Cepat dia segera menguasai keguncangan hatinya.
"Bagaimana pendapatmu, pa h?"
Ba- ba baginda menegur karena sampai beberapa saat belum juga pa h itu membuka suara. Hal itu agak mengherankan baginda karena biasanya Aragani lincah bicara.
"Suatu persembahan yang tepat dan layak diterima, gus ,"
Aragani serentak menghaturkan sembah walaupun sesungguhnya tanpa patung itupun paduka tentu kuasa menangkal tulah dendam Empu Bharada itu.
Namun agar jangan mengecewakan ha akuwu Jayakatwang, kiranya bukan apa-apa apabila paduka ber-kenan menerimanya."
Baginda Kertanagara kerutkan dahi "Bagaimana engkau dapat mengatakan demikian, patih ?"
Patih Aragani yang julig dan licin dalam waktu yang singkat telah menemukan akal bagaimana dia harus menghadapi baginda saat itu.
Maka dengan mengiring senyum tawa pada sembahnya, dia berkata "Betapa dak, gus ? Adakah tanpa patung itu paduka tak mampu mengatasi tulah dendam kutuk Empu Bharada itu ? Tidak, gus sesembahan seluruh kawula Singasari.
Hamba mohon mempersembahkan seuntai kata, kata tak bermadu puji tetapi kata yang bercermin pada kenyataan."
"Katakanlah, Aragani."
"Paduka telah berkenan menitahkan upacara pentahbisan sebagai Janabajra di makam Wurare beberapa waktu yang lalu. Abiseka pentahbisan paduka adalah Sri Jejanabadreswara, Jina batara Syiwa-Buddha yang telah mengejawantah di arcapada ini. Jina yang dak hanya menguasai kekuatan gaib di alam semesta, pun juga menguasai kerajaan besar dan jaya di nusantara. Adakah martabat agung paduka sebagai Jina itu, harus direndahkan dengan kekuatan daya sak sebuah patung belaka ? Tidak, gus . Bila terjadi hal itu maka Araganilah manusia pertama yang akan tampil untuk menghancur leburkan musuh sehina itu. Demi dewa dan demi batara, demi segala mahluk di mayapada maupun di arcapada, baik yang tampak maupun yang tak tampak, Aragani bersumpah akan mempertaruhkan jiwa raga demi menjaga keagungan Sri Jejanabadreswara, Jina yang kami agungkan dalam kemuliaan sembah puji."
"Duhai pa h Aragani, betapa nggi andika menjunjung rajamu,"
Seru baginda dengan nada ceria "semoga kerajaan Singasari akan selalu jaya dan sejahtera di bawah pimpinan pa h Aragani yang bijaksana."
Patih Aragani tersipu-sipu menghaturkan sembah.
"Tetapi pa h,"
Ujar baginda "patung Joko Dolok itu adalah lambang dari kebesaran peribadiku. Biarlah mereka percaya bahwa patung yang memperlambangkan kebesaran peribadiku itu, pun mempunyai sakti yang kuasa untuk menangkal bala kutuk empu Bharada."
"Benar, gus ,"
Cepat Aragani menanggapi "hambapun telah menghaturkan kata, bahwa ada halangan apabila paduka berkenan menerima persembahan itu.
Apa yang hamba haturkan ini, hanyalah sekedar curahan isi kalbu hamba, agar segenap kawula Singasari dan terutama hamba sendiri, jangan sampai terhanyut dalam perasaan lain, jangan sampai tergoda pada persembahan patung itu, serta tetap harus percaya dan yakin bahwa hanya paduka Sri Jnanaba-dreswara, Jina batara Syiwa Buddha, nata binatara dari kerajaan Singasari yang sesungguhnya memiliki sak lebih dari segala patung dan bahkan lebih unggul dari sak kutuk Enpu Bharada.
Berbahagialah Singasari karena mempunyai seorang raja besar sebagai paduka.
Berbahagialah seluruh kawula Singasari karena bernaung di bawah duli junjungannya yang mulia."
"Ah, pa h Aragani, di kala mendengar persembahan kata-katamu itu, serasa aku melayang di awang-awang langit ke tujuh,"
Baginda Kertanagara makin terbuai "malam ini akan kuajak engkau bersama menikmati arak som sampai sepuas-puasnya."
"Ah."
Aragani menghaturkan sembah.
"Mengapa ?"
"Ampun beribu ampun hamba mohonkan ke bawah duli paduka,"
Kata pa h Aragani "sungguh suatu kebahagiaan yang ada ranya bahwa paduka berkenan menitahkan hamba untuk mengiringkan paduka menikmati arak itu. Tetapi hamba mohon ampun, gusti, badan hamba malam ini benar-benar kurang sehat."
"O, baiklah, engkau boleh pulang beristirahat. Nanti akan kutitahkan sentana untuk mengirim dua guci arak som itu kepadamu." ~dewi.kz^ismo^mch~ II Dengan lidahnya yang tajam, pa h Aragani berhasil menikamkan senjata 'sanjung pujian' kepada baginda Kertanagara sehingga mengaburkan penghargaan baginda terhadap persembahan patung Joko Dolok dari Jayakatwang. Aragani dapat menanamkan suatu kesadaran dalam sanubari seri baginda, bahwa martabat seri baginda itu jauh lebih nggi dari segala insan dan mahluk yang berada di nusantara. Bahwa patung Joko Dolok itu hanya kecil sekali artinya. Namun Aragani yang licin juga pandai melihat gelagat. Agar jangan semata-mata dianggap tidak menyetujui persembahan patung itu, diapun menganjurkan agar baginda menerima. Hanya saja sifat penerimaan itu bukanlah seperti yang dikehendaki Jayakatwang untuk melengahkan perhatian baginda terhadap Daha, melainkan bersifat sekedar basa-basi agar tidak merusak hubungan Daha dengan Singasari. Entah berapa lama Jayakatwang mencari upaya rnenciptakan suatu siasat untuk melenyapkan perha an bahkan kecurigaan baginda Kertanagara terhadap Daha yang saat itu sedang giat menyusun kekuatan pasukannya. Dan entah berapa lama juru pahat harus menyelesaikan karyanya membuat sebuah patung sesuai yang di tahkan raja Jayakatwang. Tetapi, kesemuanya itu ba' panas setahun dihapus hujan sehari. Dalam sekejab saja, pa h Aragani telah dapat menyapu lenyap tujuan siasat Jayakatwang. Malam itu pa h Aragani masih duduk termenung-menung. Walaupun sudah berhasil menegakkan kepercayaan baginda atas diri peribadinya, namun Aragani masih gelisah memikirkan peristiwa patung itu.
"Aku hanya seorang pa h dan nggal di luar keraton,"
Ia menimang-nimang dalam pemikirannya "sedang pangeran Ardaraja adalah putera menantu baginda dan nggal dalam keraton.
Pangeran itulah yang telah menjadi penghubung dalam persoalan patung itu.
Tentu Jayakatwang menitahkan puteranya agar baginda terbujuk untuk menerima persembahan patung Joko Dolok dan makin berkurang kecurigaan baginda terhadap Daha.
Tak mungkin tidak begitu."
Aragani menilai ndakan Jayakatwang terhadap Ardaraja, seper halnya kalau dia mengatur siasat bersama menantunya, Kuda Panglulut.
Serta membayangkan bagaimana pertalian antara baginda dengan pangeran Ardaraja dan bagaimana pula dekatnya hubungan pangeran itu dengan baginda, menggigillah hati Aragani "Berat, benar-benar berat,"
Ia mengeluh dalam hati.
Sejak seri baginda memungut pangeran Ardaraja sebagai putera menantu, ha Aragani sudah limbung.
Ia kua r pengaruhnya akan terdesak oleh pangeran itu.
Maka dengan jerih payah dia berusaha keras untuk mempertahankan kedudukannya.
Syukur akhirnya ia berhasil mempertahankan kepercayaan seri baginda melalui hidangan tuak yang dengan berbagai cara, dapatlah ia mengajarkan baginda untuk menggemarinya.
Dengan tuak, bukan saja ia dapat mempertahankan kepercayaan baginda, pun bahkan lebih dari itu, dia telah dianggap sebagai kawan minum baginda yang paling menyenangkan.
Namun sekalipun sudah berhasil memperkokoh kedudukannya, diam-diam dia tetap memata- matai gerak-gerik Daha.
Dia mulai cemas lagi ke ka mendapat laporan tentang kegiatan Daha membentuk kekuatan pasukannya.
Berulang kali dalam kesempatan minum tuak berdua dengan baginda, dia menyinggung-nyinggung hal itu, namun baginda tetap tak acuh bahkan mentertawakannya "Ah, mana mungkin, pa h, bukankah sekarang Jayakatwang itu sudah terikat keluarga sebagai besanku? Ardaraja pun sudah menghaturkan laporan tentang kegiatan ramanya di Daha.
Bahwa Daha membangun kekuatan pasukan itu tak lain untuk membantu Singasari apabila setiap saat kedatangan musuh dari luar."
Namun Aragani tetap membicarakan peris wa itu kepada pa h Mahesa Anengah yang menguasai pasukan Singasari, agar tetap waspada terhadap gerak gerik Daha.
Kini Daha melancarkan 'serangan' baru lagi, serangan yang berupa suatu siasat halus untuk membuai perha an baginda Kertanagara.
Untunglah dia dapat menggagalkan siasat Jayakatwang itu.
Namun ia masih belum lepas pikiran sama sekali.
Ia faham akan perangai baginda yang mudah tergoyah oleh buaian sanjung puji.
Walaupun di keraton tadi dia dapat mengingatkan baginda agar dak terlalu terbuai oleh persembahan patung yang tak berar itu tetapi mana ia dapat menjamin bahwa baginda takkan berobah pendirian manakala nan berhadapan dengan putera menantunya, pargeran Ardaraja? "Bagaimanapun aku harus mencari upaya untuk menggagalkan rencana akuwu Daha itu,"
Akhirnya ia menyimak kesimpulan.
Seketika terbayanglah dia akan seseorang yang dapat membantu melaksanakan rencananya.
Malam itu juga ia segera menuju ke candi Bentar, menemui maharsi Dewadanda yang menjadi sahabat karibnya.
Maharsi Dewadanda terkejut dan gopoh menyambut "Wahai, ki pa h, angin apakah gerangan yang menerbangkan tuan berkunjung kemari pada hari semalam ini ?"
Tegur kepala candi Bentar itu. Sempat pula Aragani menyambut dengan seloroh juga "Angin takkan berhembus apabila ada goncangan di dirgantara, maharsi."
"O,"
Desus sang maharsi Dewadanda "mengapa dirgantara goncang? Adakah para dewa sedang bermusyawarah di kahyangan ?"
Pa h Aragani tertawa karena selorohnya disambut dengan seloroh juga oleh maharsi tua itu "Benar, maharsi, rupanya para dewa sedang bermusyawarah dan menitahkan angin supaya menyampaikan kepadaku."
"Wahai, tuan patih yang mulia,"
Seru maharsi Dewadanda "rupanya tuan seorang kekasih dewa."
"Ah, bagaimana maharsi memberi puji setinggi itu?"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukankah tuan dipercayakan untuk mendampingi sang Syiwa-Buddha yang mengejawantah menjadi yang dipertuan di kerajaan Singasari ?"
"Ah,"
Patih Aragani tertawa riang dan riuh. Maharsi tua itupun ikut tertawa. Rupanya keduanya amat gembira dengan seloroh mereka itu.
"Tetapi maharsi yang bijaksana,"
Sesaat kemudian patih Araganipun berkata "tuan lupa."
"O, apa yang kulupakan ?"
"Bahwa angin itu tentu akan berhembus pergi apabila tidak tuan pelihara."
"O, ha, ha, ha,"
Maharsi Dewadanda tertawa gelak-gelak "benar, benar, maa an aku, ki pa h. Mari silakan masuk dan bicara dalam ruangku."
Setelah berada dalam ruang peribadi maharsi, maka mulailah maharsi itu bertanya "Ki pa h, jika dak berada-ada, masakan burung tempua bersarang rendah. Jika ada masalah pen ng, masakan tuan akan memerlukan berkunjung ke mari pada hari semalam ini."
"Benar, maharsi,"
Jawab Aragani "tuanlah tempat hamba menimba nasehat, meneguk buah pikiran untuk membahas masalah yang kuhadapi dewasa ini."
"O, mengapa ki pa h sedemikian sungkan sebagai sikap seorang asing kepadaku? Bukankah tuan telah banyak memberi bantuan kepada candi Bentar ini. Tak ada yang dapat kami persembahkan untuk membalas jasa tuan kecuali tenaga dan pikiran resi tua seperti diri kami ini."
"Ah, terima kasih maharsi. Apa yang kulakukan hanya sekedar melaksanakan dharma bak ku kepada Hyang Syiwa yang melalui pengabdian maharsi dalam mengembangkan ajaran-ajarannya yarg luhur telah memberi sinar penerangan kepada seluruh kawula Singasari."
"Kamipun hanya menetapi dharma kewajiban kami sebagai sebagai resi, ki pa h,"
Balas maharsi Dewadanda. Berhen sejenak, pa h Aragani melantang pula "Maharsi Dewadanda, sebelum menapak lanjut pada masalah yang akan kumohonkan pendapat tuan, maaf, terlebih dahulu idinkan Aragani untuk menghaturkan sebuah pertanyaan kepada tuan."
"O, silakan, ki patih."
"Maharsi, bagaimanakah pandangan dan anggapan tuan sebagai guru besar agama Syiwa- Buddha terhadap kerajaan Daha ?"
"Daha yang dahulu ataukah Daha yang sekarang, ki patih?"
"Dahulu dan sekarang jua."
"Prabu Dandang Gendis atau. Kertajaya dari kerajaan Daha dahulu, seorang junjungan yang suka menonjolkan sikap hadigang hadigung. Baginda memaksa supaya kaum pandita dan resi menyembah kebawah duli baginda. Baginda merasa lebih nggi martabatnya dari kaum pandita. Karena hal itu tak sesuai dengan ajaran dalam agama maka para pandita itupun menolak. Menu!ut urut-urutan dalam ajaran mereka, pandita mempunyai kedudukan martabat yang lebih nggi dari raja dan ksatrya. Prabu Dandang Gendis murka dan menindak kaum pandita itu dengan semena- mena. Karena tak tahan atas perlakuan sang prabu, banyaklah kaum pandita dan brahmana yang mengungsi mencari pengayoman ke Singasari."
"Dengan demikian jelas bahwa Daha hendak menindas kaum pandita brahmana, bukan ?"
Tanya Aragani.
"Demikianlah sejarah Daha yang lalu, ki patih."
"Dan adakah suatu perobahan yang tampak pada kerajaan Daha dibawah pimpinan raja Jayakatwang yang sekarang ini, maharsi ?"
Maharsi tua itu terdiam tak lekas menyahut.
"Maksudku, adakah sikap raja Jayakatwang terhadap kaum pandita dan brahmana sudah berobah baik ?"
Aragani menyusuli penjelasan.
Dengan ha -ha maharsi Dewadanda memberi jawaban "Masa beredar, jeman berobah.
Sikap dan pandangan manusiapun ikut terhanyut dalam keadaan.
Apa yang kami dengar dari laporan- laporan selama ini, memang sudah banyak perobahan di Daha terhadap kaum pandita dan brahmana.
Mungkin hal itu disebabkan karena Daha sudah insyaf akan kekhilafan yang telah dilakukan oleh rajanya yang terdahulu.
Atau mungkin pula karena terkesan akan kewibawaan baginda Kertanagara yang menaruh perindahan besar kepada kaum pandita.
Segala kemungkinan dapat terjadi sesuai dengan perkembangan keadaan.
Namun sekalipun demikian, kami para pandita Syiwa-Budha.
tak pernah melupakan pengalaman- pengalaman pahit dalam sejarah yang lampau itu."
Aragani tersenyum "Berprasangka,"
Katanya "tak dibenarkan dalam ajaran agama, maharsi."
Maharsi Dewadanda balas tertawa "Bukan berprasangka, ki pa h, melainkan kesan-kesan lama yang masih menggores dalam ha mereka.
Kesan itu makin terasa setelah mereka menemukan pengayoman yang benar-benar menenangkan ba n mereka dalam bumi Singasari.
Bumi yang dipimpin oleh seorang raja binatara yang patuh melaksanakan segala ajaran Hyang Syiwa-Buddha."
"Dengan demikian tentulah para pandita brahmana takkan merelakan apabila bumi pengayoman mereka itu sampai terganggu ketenangannya,"
Makin balah pa h Aragani pada sasaran pembicaraannya.
"Ya, tentulah demikian."
"Terima kasih, maharsi,"
Kata patih Aragani. Menganggap telah tiba saatnya maka dia lalu menuturkan semua pembicaraan waktu menghadap baginda malam tadi. Maharsi Dewadanda mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Bagaimana pendapat maharsi akan hal itu?"
"Apa yang ki pa h haturkan ke hadapan paduka, sungguh tepat sekali,"
Kata maharsi Dewadanda "memang hendaknya janganlah mudah seri baginda terpikat oleh persembahan yang mengandung maksud tertentu."
"Artinya maharsi mendukung pernyataanku itu?"
"Demikianlah, ki patih."
"Terima kasih, maharsi,"
Kata pa h Aragani "aku merasa gembira sekali karena ternyata kjta telah seiring dan sejalan dalam menilai sikap Daha terhadap Singasari."
"Yang pen ng kita harus berha -ha menanggapi se ap ndakan Daha terhadap Singasari. Kami kaum pandita dan brahmana ada menghendaki suatu apa kecuali hanya ketenangan dan kedamaian hidup yang sejahtera."
"Benar, maharsi,"
Kata pa h Aragani "bukan maksudku hendak mengusik ketenangan ha tuan. Tetapi keadaan telah mengusik kita."
"Apa maksud, ki patih?"
Maharsi tua itu terkejut.
"Berkenankah maharsi mendengarkan sebuah berita yang mungkin saja akan mengejutkan tuan?"
"Berita apakah itu, ki patih,"
Maharsi Dewadanda terkejut.
"Sembah puji ke hadirat Batara Syiwa-Buddha yang agung, karena telah melimpahkan berkahNYA melindungi Singasari dari malapetaka."
Aragani memulai penuturannya dengan mengucapkan sembah puji "secara tak terduga-duga putera menantuku si Kuda Panglulut telah berhasil membongkar suatu persekutuan besar untuk merobohkan kerajaan Singasari."
"O,"
Mahursi tua itu mendesuh kejut "bagaimana peristiwa itu? "
Setelah dapat menggugah semangat maharsi, Aragani baru mulai bercerita.
Ibarat orang menggoreng ikan, minyak harus dipanaskan dulu, baru ikan dimasukkan.
Demikian cara Aragani hendak melontarkan persoalan yang dibawanya itu kepada maharsi.
Ia menghendaki agar semangat maharsi terhentak baru dia menceritakan tentang surat dari adipati Wiraraja kepada raja Daha.
Isi surat itu ditekankan kepada ajakan Wiraraja kepada raja Jayakatwang untuk bersiap-siap menunggu ketempatan yaag baik untuk mencetuskan pemberontakan bersenjata terhadap Singasari.
Dengan licin dan pandai, Aragani menyembunyikan tujuan isi surat Wiraraja yang menganjurkan Jayakatwang untuk melenyapkan dirinya.
Dia hanya menekankan bahwa tujuan Wiraraja bersekutu dengan Jayakatwang itu adalah untuk menumbangkan kekuasaan baginda Kertanagara.
Sekali merangkai cerita, Aragani tak mau kepalang tanggung.
Ditambahkannya pula bahwa dalam suratnya itu, Wiraraja juga menganjurkan kepada Jayakatwang, agar apabila berhasil menumbangkan kekuasaan baginda Kertanagara maka kaum pandita dan brahmana juga harus dibasmi.
Pengaruh kaum pandita dan brahmana Syiwa Buddha makin bertumbuh besar.
Mereka dak terbatas dalam mengembangkan ajaran agama, pun telah ber ndak lebih jauh untuk menyusupkan pengaruhnya dalam pemerintahan.
Demikian surat Wiraraja.
"Keadaan ini sesuai dengan kekua ran kaum pandita dan brahmana sebagaimana tuan ungkapkan tadi. Bukankah persekutuan jahat itu merupakan suatu ancaman bagi kaum pandita dan brahmana yang selama ini telah mengenyam kehidupan yang tenang dan damai di Singasari ?"
Aragani menutup penuturannya dengan suatu peringatan untuk membangkitkan kegelisahan maharsi Dewadanda. Maharsi mendengarkan penuturan itu dengan penuh perha an. Berulang kali tampak dahinya mengeriput.
"Memang hal itu layak mendapat perha an, ki pa h,"
Jawab maharsi dengan sikap ha -ha "namun ada sesuatu yang kupikirkan."
"Baginda Kertanagafa adalah seorang Jina yang melindungi agama Syiwa-Buddha. Wiraraja dan Daha tak mungkin dapat meniru jejak mendiang prabu Dandang Gendis."
"Ha, ha,"
Pa h Aragani tertawa lepas "barangsiapa merasa kuat, dia lengah.
Yang merasa puas, dia lena.
Dalih ini telah diresapi oleh Wiraraja dan dihaturkan kepada Daha untuk mempergunakannya sebagai senjata kepada Singasari.
Rupanya raja Daha setuju untuk melaksanakannya.
Raja Jayakatwang tahu bahwa baginda Kertanagara itu senang disanjung suka didamba dambakan,"
Agak tergetar nada suara Aragani waktu mengucapkan kata-kata yang terakhir itu. Dia dibayangi oleh bayang- bayang hitam dari perbuatannya membuai baginda.
"Hm,"
Maharsi Dewadanda hanya mendesah.
"Bertolak pada landasan itulah maka raja Jayakatwang akan menciptakan suatu iklim yang penuh pesona bagi kegemaran baginda. Daha akan menghaturkan sebuah patung "
"Patung?"
Maharsi tua itu mengulang heran "patung apakah gerangan yang membuat baginda terpesona ?"
"Patung Joko Dolok, maharsi,"
Sahut Aragani.
"Patung Joko Dolok ? Apakah patung itu ? Dan apa kaitannya dengan seri baginda ?"
"Lambang sakti peribadi seri baginda."
"O,"
Desuh maharsi "bagaimana keterangannya maka sak seri baginda dilambangkan sebagai Joko Dolok, ki patih ?"
"Joko Dolok ar nya pemuda yang termenung. Menung diar kan sebagai menung cipta-semedhi yang dalam. Itu kata orang Daha."
Sejenak maharsi Dewadanda kerutkan dahi, kemudian berkata "Tetapi, ki pa h, dakkah ar kata Dolok itu juga dapat ditatarkan sebagai termenung-menung ? Dan termenung-menung biasanya orang yang melamun atau berkhayal sehingga mengabaikan kenyataan disekelilingnya ?"
"Ah, benar,"
Sambut pa h Aragani "tetapi seri baginda lebih mempercayai akan tafiiran ar 'termenung'."
"Tetapi ki pa h,"
Sanggah maharsi "seri baginda seorang Jnana yang putus akan sad-paramita dan segala ilmu falsafah agama.
Tak mungkin seri baginda akan puas apabila Daha yang menghaturkan tafsiran ar dari patung Joko Dolok itu sebadai 'termenung2.
Tentulah ada ar yang lebih mendalam pula."
Sejenak pa h Aragani memejamkan mata, mengerut dahi seper tengah menggali ingatan "O, benar, maharsi,"
Serunya beberapa saat kemudian "memang terdapat suatu iringan tafsiran yang mempermegah tafsiran patung itu.
Kata raja Daha, patung Joko Dolok itu harus ditafsirkan dari ajaran Tri-parartha.
Berkenankah maharsi memberi uraian kepada hamba tentang tafsiran itu?."
Maharsi Dewadanda mengangguk "O, tri-parartha ?"
"Ya."
"Tri-parartha juga disebut Tri-para martha, yaitu ga tujuan utama dalam ajaran Buddha, yalah Asih, Punya dan Bhak . Asih yalah Kasih sayang, Punya berar dermawan dan Bhak adalah taat mengabdi atau sujud kepada Hyang Maha Agung. Ke ga- ganya itu diwujutkan dengan sifat hakekat Bodhisatwa dengan nama tersendiri. Bhatara Wairocana adalah Asih. Bhatara Amithaba adalah Punya. Dan Bhatara Aksobhya adalah Bhakti."
"O, benar, benar, maharsi,"
Seru pa h Aragani "raja Daha mengatakan bahwa patung itu adalah lambang dari Bhatara Aksobhya."
"Jika demikian,"
Kata maharsi Dewadanda "Joko Dalok itu ditafsirkan sebagai termenung dalam cipta-semedhi sebagai hakekat Bhak , yaitu yang selalu berbuat sesuai dengan ajaran agama.
Teguh memegang tapa-brata.
ibadah dan ketentuan-ketentuan agama, tak pernah jemu mendalami ajaran Dharma."
Aragani mengangguk-angguk.
"Ki pa h,"
Kata maharsi Dewadanda "lalu apakah tujuan raja Jayakatwang mempersembahkan patung Joko Dolok itu kepada seri baginda?"
"Untuk penangkal tulah kutuk Empu Bharada."
"O,"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maharsi Dewadanda terkejut "untuk penangkal tulah kutuk Empu Bharada? Apakah yang dimaksudkan raja Daha ?"
Patih Aragani menuturkan tentang sejarah kerajaan Singasari dengan Daha yang sejak dahulu selalu tak pernah rukun.
Hal itu diakibatkan pada waktu empu Bharada mengguriskan air kendi sakti dari udara untuk membagi kerajaan Panjalu, bajunya telah tersangkut batang pohon kamal.
Empu murka dan seketika itu mengeluarkan kutuk sehingga pohon kamal itu berobah menjadi pandak selama-lamanya.
Kutuk itu memberi pengaruh pada tugas empu yang sedang melaksanakan amanat baginda untuk membagi atau memecah kerajaan Panjalu.
Dan selanjutnya kedua kerajaan Daha dan Jenggala itu menjadi pecah.
"Itulah yang dimaksud oleh raja Daha dengan persembahan patung Joko Dolok itu. Patung itu akan diletakkan di makam Wurare, tempat dahulu empu Bharada menghimpun sak ,"
Pa h Aragani mengakhiri penuturannya.
"Hm,"
Desuh maharsi Dewadanda "itu suatu ulasan pada persembahannya tetapi adakah maksud lain yang tersembunyi dalam persembunyian itu, ki patih ?"
"Tentu, maharsi,"
Sahut pa h Aragani dengan nada yakin "seper kata tuan tadi 'burung tempua takkan terbang rendah apabila tak berada ada'.
Demikian dengan peris wa itu.
Tak mungkin raja Jayakatwang akan mempersembahkan patung yang berhiaskan ulasan kata sedendkian luhur, apabila tiada mempunyai maksud tertentu."
"Maksud ki patih, raja Daha bermaksud melelapkan perhatian seri baginda ?"
"Apa pula kalau dak begitu, maharsi,"
Seru Aragani "dengan persembahan itu, diharapkan agar hilanglah kecurigaan baginda terhadap maksud terselubung dari Daha. Yang jelas, aku telah menerima laporan dari orang-orangku bahwa secara diam-diam Daha membangun pasukan."
Dewadanda terkesiap. Sekilas pikirannya membangun ingatan akan peris wa kerajaan Daha semasa diperintah prabu Dandang Gendis dahulu "Tetapi berkenankah baginda menerima persembahan patung itu?"
Beberapa saat kemudian ia bertanya.
"Telah kukatakan,"
Sahut pa h Aragani "bahwa baginda terlalu yakin akan kekuasaan, kekuatan dan kesak annya.
Pun baginda tak pernah mau percaya bahwa kebaikan yang dilimpahkan kepada Jayakatwang dengan mengangkatnya sebagai raja Daha dan puteranyapun dipungut sebagai menantu, akan dibalas dengan air tuba oleh raja Daha itu."
Maharsi Dewadanda menghela napas kecil "Tetapi ki pa h, dakkah andika seorang kepercayaan baginda? Apakah andika tak pernah berusaha untuk menyadarkan pikiran baginda?"
Aragani tertawa hambar "Kiranya tak kurang-kurang usahaku untuk menyadarkan seri baginda.
Baik secara bertalaran maupun berterus terang, telah kuusahakan untuk menyinggung ancaman- ancaman yang tak pernah padam di ha orang Daha terhadap Singasari, Namun baginda selalu mentertawakan dan mengatakan aku seorang yang banyak berprasangka."
Maharsi diam merenung. Sampai beberapa saat baru dia bicara pula "Ki pa h, menarik dari kecemasan tuan, tentulah tuan sudah dapat membayangkan betapa akibat daripada ndakan raja Daha itu terhadap Singasari."
"Hal itu sudah jelas, maharsi,"
Jawab Aragani "apabila Daha sampai dapat menguasai Singasari, sejarah akan terulang pula.
Sejarah dari prabu Dandang Gendis terhadap para pandita dan brahmana khususnya.
Karena jika Daha tak pernah mau melupakan dendam terhadap Singasari, tentulah tak mungkin mereka akan melupakan kaum pandita dan brahmana yang melarikan diri mencari pengayoman ke Singasari kemudian dengan setya ikut serta membangun dan menyejahterakan kerajaan Singasari dalam bidang keagamaan.
Tidakkah demikian pendapat, andika maharsi ?"
"Harimau walaupun berselimut bulu domba, akhirnya dapat diketahui juga karena bunyinya,"
Kata resi Dewadanda "demikian pula dengan setiap perbuatan yang berselubung kebaikan."
"Tuan telah memberi tamsil yang tepat sekali,"
Sambut pa h Aragani "dan siapa yang mengetahui bahwa dalam selubung kulit domba itu bersembunyi harimau tetapi dak lekas bertindak untuk membasminya, dia akan ditelan oleh harimau itu."
Maharsi Dewadanda terhentak mendengar ucapan pa h itu. Ia mencurah pandang kepada tetamunya.
"Maharsi,"
Cepat pula patih Aragani berkata "membasmi musuh Singasari sama halnya dengan membasmi musuh agama Syiwa-Buddha.
Karena Singasari dipimpin oleh seorang Jina yang menaungi kesejateraan agama Tripaksi.
Soal perbedaan aliran dalam agama itu, hanyalah soal falsafahnya saja.
Beda sekali dengan kebebasan perkembangan agama di Singasari dengan dibawah kekuasaan Daha.
Di Singasari kaum pandita dan brahmana menjunjung baginda Kertanagara sebagai Jina, pelindung Syiwa-Buddha.
Di Daha, rajanya hendak memaksa para pandita dan brahmana menyembah dibawah kekuasaan raja."
"Sudah jelas sekali, bagai burung dara terbang di siang hari,"
Sambut maharsi Dewadanda "lalu apakah yang harus kita lakukan? Kurasa ki patih tentu sudah membawa rencana."
Pa h Aragani mengangguk girang "Benar, maharsi. Namun rencana itu wajib kumintakan pertimbangan tuan karena hal itu menyangkut kepentingan kita bersama."
"Baiklah. Silakan ki patih menguraikan."
"Satu-satunya jalan yang terbaik untuk menggagalkan siasat raja Daha itu tak lain hanyalah mencuri patung Joko Dolok itu dari tempat pembuatnya."
"Mencuri?"
Ulang resi Dewadanda. Rupanya pa h Aragani cepat dapat menyadari kelepasan kata yang diucapkannya itu. Mencuri, suatu perbuatan yarg dilarang dan pantang dilakukan oleh kaum pandita dan brahmana "Maharsi, - maksudku kita hancurkan saja patung itu,"
Cepat ia menyusuli penjelasan.
"Hm."
Maharsi Dewadanda mendesuh dalam-dalam.
"Dengan hancurnya patung itu, baginda Kertanagara tentu akan murka dan menganggap bahwa raja Daha hanya berolok-olok. Meningkat lebih berat lagi, baginda tentu akan berkesan bahwa raja Daha hendak menghinanya. Menghina raja, berat hukumannya."
"Tidakkah raja Daha akan memberi keterangan bahwa patung itu telah diambil atau dirusak orang?"
Tanya maharsi Dewadanda.
"Itu urusan raja Daha sendiri. Baginda Kertanagara tentu takkan mempedulikan hal itu. Yang pen ng bagi baginda yalah patung itu sebagai buk dari pernyataan raja Daha hendak mempersembahkan suatu tanda bulubekti kepada baginda."
"Ya,"
Maharsi Dewadanda mengangguk.
Legalah ha pa h Aragani mendengar pernyataan maharsi tua itu "Peris wa itu dapat kita pertajam pula dengan penjelasan-penjelasan kepada baginda bahwa Daha harus dihukum.
Sekurang-kurangnya akan kutanam kesan kepada baginda bahwa Daha jangan terlalu dimanja dengan kepercayaan."
Maharsi Dewadanda mengangguk-angguk. Ia tahu akan ketajaman lidah Aragani. Tahu pula akan kepercayaan baginda terhadap pa h itu. Ia dapat menerima saran pa h itu. Kemudian ia menanyakan bagaimana langkah selanjutnya.
"Empu Paramita nggal di desa Panawijen, lereng gunung Kawi. Menurut kata orang, empu itu cucu keturunan dari empu Parwa, ayah Ken Dedes. Empu Paramita ahli dalam seni pahat membuat patung. Patung yang dibuatnya, juga mempunyai tuah sebagaimana keris pusaka. Nah, pelaksanaan dari rencana kita untuk menghancurkan patung itu, kuserahkan kepada maharsi."
Aragani menutup kata-katanya.
Maharsi Dewadanda merenung diam.
Ada beberapa pertimbangan yang terpaksa ia harus menerima.
Pertama, uraian patih Aragani tentang akibat dari persembahan patung kepada seri baginda, memang memberi gambaran yang suram pada kewaspadaan baginda terhadap Daha.
Kedua, apabila Daha sampai dapat merobohkan Singasari, betapapun raja Jayakatwang itu tidak sekejam prabu Dandang Gendis terhadap kaum pandita dan brahmana, tetapi tentu takkan lebih baik dari perlakuan yang diberikan seri baginda Kertanagara terhadap kaum pandita dan brahmana.
Dan ketiga, candi Bentar memang telah menerima banyak sekali bantuan dari patih Aragani.
"Baiklah ki pa h,"
Akhirnya maharsi candi Bentar itu menerima "akan kuusahakan perintah tuan."
"Terima kasih, maharsi "
Demikian setelah tercapai sepakat antara kedua orang itu maka Araganipun segera pamit.
Sedang maharsi Dewadandapun segera memanggil dua orang muridnya, pandita Lowara dan Uttungka.
Lowara dan U ungka, murid tertua dari maharsi Dewadanda.
Kedua pandita itu memiliki ilmu kesak an yang nggi disamping ajaran-ajaran agama.
Terutama Lowara, sebagai murid yang tertua sendiri, dialah calon pengganti maharsi Dewadanda apabila kelak maharsi itu sudah muksha.
Kedua pandita itu terkejut dan bergegas menghadap gurunya "Guru, ada peris wa apakah yang penting sehingga guru menitahkan kami pada tengah malam ini ?"
"Benar,"
Sahut maharsi Dewadanda "kita menghadapi suatu peris wa yang memperiha nkan sekali."
"O, sudilah kiranya guru memberi petunjuk kepada kami,"
Kata Lowara.
"Tadi aku habis menerima kunjungan ki patih Aragani,"
Kata maharsi Dewadanda.
"O, tentulah suatu berita yang amat pen ng sekali mengapa sampai ki pa h memerlukan berkunjung pada hari semalam ini, guru."
"Ya,"
Sahut maharsi Dewadanda "ki pa h membawa berita tentang peris wa raja Jayakatwang hendak mempersembahkan sebuah patung kepada seri baginda Kertanagara."
"Sebuah patung?"
Lowara terkejut.
"Ya,"
Maharsi Dewadanda lalu menuturkan tentang patung Joko Dolok seper yang diberitakan pa h Aragani tadi "sayang persembahan itu mengandung maksud tertentu.
Kemungkinan dengan tujuan untuk mengambil ha dan melengahkan perha an baginda sehingga Daha leluasa bergerak menyusun kekuatan."
"O,"
Lowara dan U ungka mendesah kejut "jika memang demikian, memang suatu persembahan yang berselubung maksud buruk. Lalu bagaimana titah guru kepada kami berdua?"
"Telah kurenungkan hal itu,"
Kata maharsi Dewadanda "bahwa betapapun halnya, kita kaum pandita dan brahmana, merasa lebih sejahtera dan tenang hidup dibawah naungan seri baginda Kertanagara daripada Daha. Ingat betapa tindakan prabu Dandang-Gendis dahulu, terhadap kaum pandita."
"Guru,"
Ba ba U ungka berkata "tetapi itu peris wa dulu. Mungkinkah raja Jayakatwang yang sekarang juga akan bertindak seperti prabu Dandang Gendis dahulu, guru ?"
"Benar, memang mungkin dak,"
Kata maharsi Dewadanda "tetapi betapapun indahnya, sesuatu yang baru dalam taraf mungkin itu, masih indah jua kenyataan yang sudah nyata sekarang."
"Guru maksudkan bahwa ....
"
"Sebaik-baik kemungkinan dari raja Jayakatwang terhadap kaum pandita dan brahmana, masih lebih baik perlakuan baginda Kertanagara terhadap kaum pandita, dan brahmana seper yang kita alami sekarang ini. Bukankah demikian Uttungka ?"
"Benar, guru,"
Jawab U ungka. Kemudian dia mohon petunjuk apa yang akan di tahkan kepadanya.
"Aku telah berunding dengan ki pa h Aragani,"
Kata maharsi Dewadanda "dan mencapai suatu kesepakatan langkah, bahwa satu-satunya jalan untuk meniadakan kemungkinan, haruslah membasmi kemungkinan itu.
Agar maksud raja Jayakatwang jangan sampai terlaksana, haruslah patung Joko Dolok itu dihancurkan."
Resi Lowara mengiakan "Benar, guru. Lebih baik kita menjaga penyakit daripada mengoba nya. Lalu bagaimana langkah selanjutnya, guru."
"Patung Joko Dolok itu dibuat oleh empu Paramita di desa Panawijen. Kalian berdua kuserahi tugas untuk melaksanakan rencana itu. Usahakanlah mengambil patung itu dan kemudian hancurkanlah agar gagal rencana raja Daha,"
Kata maharsi Dewadanda.
"Baik guru,"
Resi Lowara dan resi U ungka menyatakan kesediaannya. Kemudian merekapun mohon diri.
"Kakang Lowara,"
Kata Uttungka setiba di asrama "mengapa rakryan patih Aragani membebankan tugas ini kepada kita?"
"Ada beberapa sebab,"
Jawab Lowara "pertama, rakryan pa h gagal untuk membujuk seri baginda supaya jangan menerima persembahan patung itu.
Kedua, jika dia yang ber ndak untuk menggagalkan rencana Daha, tentu mudah diketahui dan akibatnya membahayakan kedudukan rakryan pa h.
Ke ga, guru bersahabat baik dengan rakryan pa h.
Dan candi kita banyak sekali menerima bantuan dari rakryan Aragani.
Guru sukar untuk menolak.
Keempat, memang kalau di pikir lebih lanjut, kepen ngan ini menyangkut juga peri-kehidupan kita kaum pandita dan brahmana di Singasari.
Kita tentu akan mengalami perobahan apabila Daha berhasil menguasai Singasari.
Dan kelima, ini suatu kepercayaan dari rakryan pa h kepada kita, disamping suatu kesempatan bagi kita para pandita candi Bentar untuk membangun suatu pahala yang naninya akan membawa pengaruh besar bagi candi kita."
"Tetapi kakang Lowara,"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masih U ungka berkata "
Dakkah dengan demikian kita ini merupakan alat dari rakryan patih, paling tidak sebagai sekutu yang berfihak kepadanya?"
"U ungka,"
Kata Lowara "ketahuilah, bahwa dalam kehidupan ini tak dapat kita memisahkan diri dari alam sekeliling kita.
Pun tak ada sesuatu langkah yang tak punya kaitan dengan kehidupan kita, yaitu orang maupun keadaan di sekeliling kita.
Kita mengembangkan ajaran ajaran agama dengan membangun candi dan vihara, memberi uraian tentang ayat- ayat dan kitab kepada penganut-penganut agama kita, mengapa kita dak berusaha untuk mengamankan kehidupan beragama itu? Kita kaum pandita dan brahmana menghendaki kehidupan yang tenang dan damai, mengapa kita tak berusaha untuk menyejahterakan kehidupan itu.
Misalnya, apabila candi atau vihara kita mbul kebakaran, kita berusaha untuk memadamkan.
Kalau rusak, kitapun berusaha untuk memperbaiki.
Mengapa kalau mbul gangguan baik yang berasal dari kecelakaan alam maupun dari ndakan ndakan manusia yang tak bertanggung jawab, kita tak berusaha untuk melenyapkannya?"
"Kita tak ingin apa yang telah kita tanam, bina dan kembangkan selama ini, akan rusak binasa apabila terjadi suatu perobahan dalam pemerintahan Singasari,"
Kata Lowara pula "oleh karena itu, U ungka, kurasa ada yang harus kita ragukan lagi dalam ndakan kita ini, demi menunaikan kewajiban kita terhadap kesejahteraan agama dan sebagai seorang kawula Singasari."
Uttungka mengangguk "Baik, kakang. Lalu bagaimana rencana kita ini?"
"Besok kita berangkat ke Panawjen. Kita selidiki dahulu tempat kediaman empu Paramita."
"Siapakah empu Paramita itu, kakang?"
"Cucu keturunan dari empu Parwa."
"O, empu Parwa ayah Ken Dedes yang termasyhur itu?"
Uttungka terkejut.
"Ya. Dia seorang ahli pahat yang pandai."
"Tentu bukan sembarang ahli pahat saja, pun tentu memiliki ilmu kesak an sebagaimana empu Parwa dahulu."
Lowara mengangguk "Se ap empu, tentu mempunyai ilmu yang nggi. Menurut keterangan guru, Paramita juga memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Oleh karena itu kita harus hati-hati bertindak."
"O, jika begitu tugas kita ini berat sekali."
Lowara tersenyum "Seharusnya engkau dapat menduga apa sebab guru memilih kita berdua untuk melaksanakan hal itu. Kalau guru menganggap hal itu mudah tentulah guru akan menitahkan lain saudara kita."
U ungka mengangguk. Memang dalam kalangan anak murid candi Bentar yang berjumlah ribuan itu, Lowara dan Uttungka adalah yang tertinggi. Lowara murid pertama dan Uttungka yang kedua.
"Malam hari baru kita bertindak,"
Kata Lowara dengan setengah berbisik "aku akan memasuki rumah empu Paramita sebagai seorang pencuri.
Tetapi akan kuatur sedemikian agar, empu mengetahui dan mengejar aku.
Nah, pada saat itulah engkau harus cepat masuk kcdalam rumahnya dan mengambil patung Joko Dolok itu."
"O, kakang hendak menggunakan siasat untuk memancing harimau tinggalkan sarangnya?"
"Ya,"
Sahut Lowara "jika harimau itu tetap berada di sarangnya, bagaimana mungkin kita dapat menangkap anaknya ? Maka harimau itu harus dipikat supaya keluar dan mengajar aku."
"Tetapi kakang,"
Uttungka meragu "tidakkah empu Paramita itu seorang sakti ? "
"Engkau mengua rkan dia dapat menangkapku ?"
Balas Lowara "ah, dak, U ungka. Akan kupikat dia kearah lembah gunung Kawi. Aku kenal baik tempat itu, tak mungkin dia dapat mengejarku."
"Baik. kakang, tetapi kuharap kakang bertindak hati-hati,"
Kata Uttungka.
Keesokan harinya mereka segera berangkat.
~dewi.kz^ismo^mch~ III Malam itu ada rembulan.
Cakrawala hanya dimeriahkan beribu bintang.
Angin berhembus menimbulkan suara rin h pada ran ng dan daun.
Menjelang tengah malam, sayup-sayup terdengar suara burung kulik bersahut-sahutan.
Ada sesuatu yang berbeda dengan malam-malam biasanya.
Demikian apabila orang menyempatkan diri untuk merasakan suasana malam itu.
Tetapi pada umumnya rakyat di desa pegunungan seperti desa Panawijen yang terletak di lereng gunung Kawi, lebih senang melepaskan diri dalam kelelapan tidur yang berhias impian.
Sehari memeras tenaga di ladang dan kebun, cukup meletihkan badan.
Hanya tidurlah tempat pelepasan lelah, keluhan, pikiran dan segala sesuatu derita maupun gembira dan peristiwa yang dialaminya hari itu.
Tidurpun merupakan suatu sarana untuk memulihkan tenaga dan semangat yang telah lapuk diperas pekerjaan.
Mungkin ada seorang dua orang dari rakyat desa Panawijen yang masih terjaga.
Entah karena resah pikiran, entah karena terjaga dari mimpi yang buruk.
Dan mereka yang bangun pada malam itu tentulah mendengar suara burung kulik menyeruak kelelapan malam.
Namun mereka terus dur lagi.
Bukan karena tak tahu bahwa burung kulik itu pada galibnya, seper yang diterimanya dari cerita-cerita orang-orang tua, burung peronda malam yang tajam selera.
Karena dia selalu memberi tanda kepada manusia apabila malam itu penjahat akan datang menggerayang rumahnya.
Bagi rakyat desa, burung kulik selalu menjadi perhatian.
Sayang perhatian itu tidak disalurkan kearah rasa syukur ataupun suatu rasa kesayangan atas jasa burung itu memberi tanda kepada mereka.
Karena kenyataannya, setiap kemunculan burung kulik, hanya menimbulkan rasa perihatin yang cenderung pada rasa takut-takut seram.
Bahkan terpercik juga suatu rasa enggan mendengar suara burung itu.
Tetapi untunglah burung itu tak mengerti perasaan manusia terhadap dirinya.
Dia tak mengharap balas jasa dari manusia.
Apapun tanggapan manusia, suka atau benci, burung itu tetap melakukan tugasnya, membahanakan suaranya yang menukik- nukik hati, mengabarkan tentang datangnya orang atau gerombolan penjahat.
Beberapa penduduk yang "kebetulan pada tengah malam itu belum dur atau terjaga dari mimpinya, mendengar juga suara burung kulik itu dan menger akan maknanya.
Tetapi mengapa mereka bersikap tak acuh dan dur lagi untuk melanjutkan mimpinya? Hal itu tak lain karena mereka merasa mempunyai ang andalan yani sesepuh desa yang amat dihorma dan ditaa .
Sesepuh itu bukan lain adalah empu Paramita.
Seluruh rakyat desa Panawijen taat dan patuh kepada empu Paramita.
Menurut cerita dari kakek mereka dan orang-orang tua di desa Panawijen, dahulu desa itu pernah dilanda malapetaka yang hebat.
Sumur-sumur dan sumber-sumber air di laladan Panawijen telah kering.
Panen gagal, sawah dan ladang menjadi tanah lapang yang bongkah, paceklik mengamuk, rakyat dicekik kelaparan.
Malapetaka itu tak lain akibat dari kutuk empu Parwa yang marah karena rakyat desa Panawijen tak memberitahu kepadanya tentang peris wa puteri-nya, Ken Dedes, dilarikan Tunggul Ametung, akuwu Tumapel.
Bencana itu baru berakhir setelah rakyat menyadari kesalahannya.
Mereka memohon ampun kepada empu Parwa.
Tetapi empu Parwa tak dapat berbuat apa- apa kecuali menganjurkan mereka mengadakan sembahyang dan sesaji memohon pengampunan kepada Hyang Widdhi.
Namun masih bertahun-tahun desa itu tetap tandus.
Baru setelah Tunggul Ametung binasa dan empu Parwa meninggal, mulailah sumur dan sumber air di desa itu mengeluarkan air lagi.
Sejak peris wa itu, keturunan empu Parwa sangat disegani dan ditaa rakyat.
Sampai pada empu Paramita yang sekarang ini, rakyat tetap menganggapnya sebagai sesepuh desa.
Tetapi empu Paramita bukan seorang yang gila hormat.
Dia seorang empu yang bijaksana dan berilmu.
Dia seorang ahli pahat yang pandai.
Dibawah pimpinannya, desa Panawijen makin makmur.
Selain bercocok tanam, pun mereka menghasilkan kerajinan patung, baik dari batu maupun kayu.
Mereka merasa beruntung mempunyai seorang pengayom seperti empu Paramita.
Selain makmur, pun rakyat Panawijen hidup sejahtera.
Selama bertahun-tahun keamanan berjalan amat tertib.
Tak pernah terjadi pencurian, pembunuhan dan kejahatan.
Memang agak ganjil bahwa dalam sebuah desa tak pernah terjadi peristiwa pencurian.
Rakyat percaya bahwa hal itu disebabkan kesaktian empu Paramita sehingga kaum penjabat tak berani mengganggu desa itu.
Dengan kepercayaan itulah mereka menyerahkan keamanan desa kepada empu Paramita.
Itulah sebabnya walaupun mereka mendengar suara burung kulik, mereka tidur lagi.
Diantara dua kepercayaan yani terhadap burung kulik sebagai pewarta datangnya pencuri dengan kepercayaan akan kesaktian empu Paramita, mereka memilih kepercayaan terhadap empu Paramita.
Saat itu empu Paramita sedang bersemedhi.
Memang menjadi kebiasaannya, dia belum dur sebelum lewat tengah malam.
Dan pada waktu menjelang dur dia akan bersemedhi dahulu.
Dia mendengar juga suara burung kulik melengking- lengking di kesunyian malam itu.
Segenap indriyanya segera dipertajam.
Tak lama kemudian ia berhasil menangkap suara benda mendebur tanah.
Suara debur itu terdengar ringan sekali, seringan daun gugur ke tanah.
Empu Paramita terkesiap.
"Mengapa sedemikian ringan debur itu ?"
Pikirnya "daun berguguran ke tanah? Ah, jika daun gugur, tentu segera lenyap dan dak sederas seper ini. Dan lagi, angin ada keras saat ini. Apakah debur langkah orang? Ah, mustahil seringan itu."
Penolakan empu Paramita bahwa debur itu langkah kaki orang, diperkokoh pula akan keyakinannya selama ini.
Bahwa selama belasan tahun, tak pernah terdapat bangsa pencuri yang berani datang ke desa situ.
Tiba- ba terkilas sesuatu dalam alam pikiran empu Paramita "Mungkinkah binatang buas?"
Ia menimang-nimang lebih lanjut.
Dibayangkannya jenis binatang buas yang sering berkeliaran pada malam hari "Ah, apabila harimau, tentu akan mengaum dan menimbulkan suara berisik ke ka berjalan menerjang semak pohon.
Dan dari kesiur angin yang berhembus, rasanya tiada terdapat bau yang anyir."
Kemudian pikirannya beranjak pada babi hutan yang memang banyak terdapat di laladan gunung Kawi "Ah, babi hutan dak selambat itu jalannya. Dan pula biasanya babi hutan jarang mengganggu rumah orang."
Setelah membayangkan beberapa jenis binatang yang lain akhirnya ia ba pada suatu kesan bahwa kemungkinan tentu bangsa ular yang suka berkeliaran pada malam hari untuk mencari mangsa binatang ternak.
Tetapi diapun masih meragu "Ular dak berjalan tetapi menjalar.
Debur suara itu seperti langkah kaki orang atau binatang berkaki empat."
Debur suara itu makin lama makin dekat dan empu Paramitapun tak mau menduga-duga lagi.
Yang pen ng ia harus meningkatkan kewaspadaan dan bersiap-siap menghadapi se ap kemungkinan.
Karena jelas pendatang itu, entah manusia entah binatang buas, tentu dak bermaksud baik.
Empu Paramita bersiap-siap.
Suara itu makin lama makin dekat dan suara debur itu dari ringan makin berat "Hm, kurang ajar, kiranya langkah manusia,"
Ba n empu Paramita. Namun dia tak lekas beranjak melainkan tetap duduk bersemedhi. Memang ia hendak membiarkan pencuri itu masuk baru ditangkapnya. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi berkeri kan dari batu kerikil yang menggelinding diatap.
"Hm, dia hendak menyelidiki apakah aku sudah tidur pulas,"
Pikir empu Paramita pula.
Beberapa saat kemudian mulai terdengar gerendel jendela diguris dengan senjata tajam dan pada lain saat jendelapun terbuka lalu sesosok tubuh berpakaian warna hitam dan mukanya ditutup dengan kain hitam masuk.
Melihat itu empu Paramita segera turun dari balai-balai "Hm, besar sekali nyalimu pencuri, berani masuk kedalam rumahku,"
Serunya seraya loncat menerjang. Tetapi orang itu ternyata amat gesit. Pada saat empu Paramita beranjak dari tempat durnya, dia sudah loncat keluar dari jendela dan berseru menantang.
"Empu Paramita, kalau engkau memang sakti, hayo, kejarlah aku ! "
Dan segera pada larut malam yang hanya diterangi bintang kemintang itu, tampak dua sosok tubuh berkejaran seperti orang yang tengah berlomba lari.
Tak lama kemudian merekapun lenyap di telan hutan yang gelap.
Tetapi pada saat itu pula, sesosok bayangan muncul dari balik gerumbul pohon di pekarangan rumah empu Paramita.
Dengan gerak yang gesit, orang itupun segera masuk kedalam rumah.
Tak lama kemudian dia keluar lagi dengan memanggul sebuah benda sebesar manusia.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benda itu ditutup dengan kain selubung hitam sehingga tak diketahui macamnya.
Orang itupun cepat meninggalkan tempat kediaman empu Paramita dan masuk kedalam hutan.
Sementara dalam pengejaran itu, diam-diam empu Paramita terkejut heran.
Sejak berpuluh- puluh tahun nggal di desa Panawijen, belum pernah desa itu didatangi pencuri bahkan berani masuk kedalam rumahnya.
Ia sudah mempunyai dugaan bahwa penjahat itu tentu bukan sembarang penjahat dan tentu mempunyai tujuan tertentu.
Oleh karena itu empu sangat bernafsu untuk menangkap agar dapat diketahui siapa dan apa gerangan tujuannya.
Namun betapa ia menggunakan aji Tapak-angin untuk mempercepat larinya, tetap ia tak mampu memperpendek jaraknya dengan pencuri itu "Hai, ki sanak, apabila engkau benar seorang jantan, berhentilah,"
Karena kesal hatinya, empu Paramita berseru.
"Iku lah aku, empu, apabila sudah mendapat tempat yang sesuai, baru aku berhen untuk mengadu kesaktian dengan engkau,"
Sahut orang itu dengan nada mencemoh.
Empu Paramita makin panas.
Namun adakah sang kaki yang menolak kehendak ha nya ataukah memang penjahat itu yang sak , tetapi yang jelas jarak mereka tetap terpisah beberapa tombak.
Ternyata penjahat itu lari menuruni lembah Kawi dan menuju kearah bengawan Brantas dan pada waktu tiba disebuah tikung jalan, mendadak penjahat itu hilang.
Memang sukar bagi empu.
Paramita untuk mencari penjahat ditempat yang penuh dengan batu dan pohon seper tempat itu.
Apalagi saat itu bintang pun mulai memudar sehingga cuaca makin kelam.
Setelah menimang beberapa jenak, terpaksa ia harus pulang dengan membawa kekecewaan hati.
Se ba di rumah, diperha kan bahwa keadaan dalam ruang masih seper biasa.
Tak tampak sesuatu yang hilang.
Dilihatnya di sudut ruang dekat jendela, patung Joko Dolok yang diselubungi dengan kain hitam masih berada ditempatnya.
Patung itu belum seluruhnya jadi tetapi sudah mendeka selesai.
Karena kua r penjahat itu akan datang kembali maka empu Paramitapun tak tidur melainkan duduk bersemedhi sampai pagi.
Siapa gerangan pencuri sak itu dan siapa pula orang yang mengambil benda sebesar orang dan bertutup selubung hitam itu ? Mereka tak lain adalah resi Lowara dan resi U ungka dari candi Bentar.
Sesuai dengan rencana mereka maka resi Lowara yang pura-pura menjadi pencuri untuk memikat agar empu Paramita keluar meninggalkan rumah untuk mengejarnya.
Kemudian resi U ungka yang masak untuk mengangkut patung Joko Dolok.
Ternyata rencana mereka telah berhasil.
Resi Lowara berhasil memikat empu Paramita mengejarnya sampai jauh kebawah lembah.
Dan resi U ungkapun berhasil mengangkut patung Joko Dolok.
Dalam bekerja untuk mengangkut patung Joko Dolok itu, U ungka mempunyai akal yang cerdik.
Di rumah empu Paramita terdapat batu-batu untuk bahan pembuatan patung.
Ia melihat batu yang bentuk dan ngginya sama dengan patung Joko Dolok, lalu ditempatkan di tempat patung Joko Dolok dan diselubungi dengan selubung kain hitam yang digunakan untuk menutup patung Joko Dolok.
Sedang patung itu sendiri, diselubungi dengan kain hitam yang sudah disiapkannya.
Sedemikian rupa ia merancang penggan patung itu sehingga apabila dak membuka kain selubungnya, orang tentu mengira kalau patung Joko Dolok.
Resi U ungka bergegas menuju ke sebuah hutan di kaki gunug Kawi.
Dia sudah bersepakat dengan resi Lowara untuk bertemu di tempat itu.
Ke ka resi U ungka ba, ternyata resi Lowara sudah menunggu di situ.
"Bagaimana Uttungka ?"
Tegur Lowara.
"Berhasil, kakang,"
Sahut U ungka seraya meletakkan benda berselubung kain yang dipanggulnya "inilah patung Joko Dolok itu."
"Bagus, U ungka,"
Seru resi Lowara "guru menitahkan, untuk sementara waktu patung itu supaya disembunyikan dulu. Bila keadaan memaksa, barulah boleh dihancurkan."
"Baik, kakang,"
Sahut Uttungka "tetapi di mana kita akan menyembunyikan patung itu? "
"Tempat persembunyian yang paling aman adalah didalam tanah."
"O, ditanam, maksud kakang ?"
Resi Lowara mengiakan. Segera keduanya mencari tempat yang sesuai untuk menanam patung itu. Diatas tempat itu diberi segunduk batu untuk tanda pengenal. Setelah selesai, merekapun melanjutkan perjalanan pula.
"U ungka,"
Ba- ba resi Lowara berkata "pulanglah engkau dahulu ke Singasari untuk menghadap guru dan melaporkan hasil pekerjaan kita."
"Aku seorang diri?"
Uttungka heran.
"Ya."
"Lalu kakang resi? "
"Tiba- ba saja aku mendapat pikiran,"
Sahut resi Lowara "bahwa empu Paramita tentu akan marah, gelisah dan berusaha untuk mencari jejak kita. Aku akan menyaru sebagai seorang pandita yang sedang menjalankan tapabrata berkelana. Aku hendak menemui empu Paramita."
Resi Uttungka heran "untuk apa kakang resi hendak menemuinya?"
"Akan kuhapus peristiwa hilangnya patung itu dari isi hatinya ....
"
"O, bagaimana caranya ?"
Tukas resi Uttungka.
"Akan kubisikkan kepadanya ilham yang kuterima dari renungan persemedhianku. Bahwa pemujaan baginda Kertanagara yang akan diujutkan dalam bentuk patung Joko Dolok itu, tak direstui dewata."
"Ah, apakah empu Paramita akan mudah percaya?"
"Tentu,"
Sahut resi Lowara "empu Paramita tentu tak mau menerima begitu saja keterangan itu. Tetapi akupun sudah siap mengunjukkan beberapa ilmu kesaktian kepadanya."
"Maksud kakang hendak adu kesaktian dengan empu Paramita?"
"Bila perlu, U ungka,"
Sahut resi Lowara "tetapi kurasa cukup memberi penger an kepadanya akan ilmu kesaktian yang kumiliki."
"Lalu apa tindakan kakang resi selanjutnya?"
"Akan kupersilakan dia untuk memilih salah satu dari jalan yang kutunjukkan kepadanya. Yani, menghadap raja Jayakatwang dan melaporkan kehilangan patung itu. Atau menyingkir dari desa Panawijen agar tidak menderita murka raja Daha."
"Itu berarti suatu paksaan halus."
Lowara mengangkat bahu "Terserah bagaimana penilaiannya. Yang pen ng aku melaksanakan apa yang telah menjadi rencanaku."
"Bagaimana kalau dia menolak, kakang?"
"Dia harus sanggup adu kesaktian dengan aku."
"Apabila dia yang menang ?"
"Masih ada lain jalan yang dapat memaksanya harus menurut anjuranku tadi. Yalah, aku akan menghadap raja Jayakatwang dan memberitahukan peristiwa hilangnya patung itu."
"Hai, benarkah kakang hendak menghadap raja Jayakatwang? Tidakkah hal itu membahayakan kita juga?"
Lowara geleng geleng kepala "Ah, Uttungka, masakan aku tak memaklumi hal itu. Sudah tentu hal itu hanya akan kukatakan dihadapan empu Paramita untuk mengancamnya. Itu jalan yang terakhir apabila sampai adu kesaktian dan aku kalah."
U ungka tertegun sejenak "Apakah maksud kakang dengan menganjurkan empu Paramita salah sebuah jalan yang kakang tunjukkan itu ?"
"Jalan berbeda tetapi tujuan sama,"
Sahut resi Lowara yang mengenakan kerudung muka warna hitam "Menghadap raja Jayakatwang dan melaporkan peris wa hilangnya patung itu, empu Paramita tentu akan mendapat murka raja Daha.
Mungkin dia akan dihukum atau diperintah untuk membuat patung Joko Dolok lagi."
"Kurasa empu Paramita tentu malu untuk menghadap raja Daha,"
Kata Uttungka.
"Ya,"
Sambut resi Lowara "dia tentu merasa tersinggung perasaannya karena dianggap tak dapat menjaga patung buatannya.
Dan menurut penyelidikan yang telah kulakukan, selama berpuluh- puluh tahun desa Panawijen tak pernah terganggu keamanannya.
Apabila rakyat desa itu mendengar, empu Paramita tentu malu."
"Jika demikian,"
Kata resi U ungka "kemungkinan besar empu Paramita tentu memilih jalan kedua, tinggalkan Panawijen dan mengembara."
"Benar,"
Sahut resi Lowara.
"Tetapi kakang resi,"
Masih resi U ungka meragu "bagaimana andaikata empu Paramita diam- diam lalu membuat patung lagi? "
Resi Lowara gelengkan kepala "Lucu."
Resi Uttungka kerutkan dahi "Mengapa lucu? "
"Telah kukatakan tadi,"
Kata resi Lowara "bahwa apabila dia tak mau menerima anjuranku maka aku dapat memberi ancaman, bahwa peris wa hilangnya patung di rumahnya itu akan kulaporkan kepada raja Daha.
Dan kedua, kita dapat memohon kepada guru agar memberitahu kepada rakryan pa h Aragani.
Supaya rakryan pa h menganjurkan baginda mendesak raja Daha segera menghaturkan patung itu.
Dengan demikian raja Dahapun tentu akan mendesak empu Paramita agar lekas menyelesaikan patung itu dalam waktu yang singkat.
Sudah tentu empu Paramita tak sanggup."
"Bagaimana andaikata empu Paramita mengerahkan orang-orangnya untuk beramai ramai mengerjakan pembuatan patung itu secara serempak?"
"Jangan lupa, U ungka,"
Resi Lowara tersenyum "engkau dan aku masih mampu mengganggunya dengan mengambil atau menghancurkan patung itu lagi "
Uttungka mengangguk-angguk.
"Apabila empu Paramita memilih jalan kedua, nggalkan desanya dan mengembara, tentulah Daha akan kehilangan seorang ahli pahat yang pandai. Pembuatan patung Joko Dolok akan terbengkalai. Raja Daha pasti gelisah dan takut murka baginda."
U ungka mengangguk-angguk dalam rasa heran dan kagum.
Tak pernah disangkanya bahwa resi Lowara yang biasanya seorang pendiam ternyata dapat menguraikan suatu siasat yaog begitu hebat.
Diam-diam ia merasa malu dalam hati.
Sebenarnya hal itu tak perlu harus dirasakan U ungka.
Orang tak perlu harus malu karena kalah pandai dalam mengatur siasat untuk mencelakai orang lain.
Tetapi karena U ungka memandang hal itu sebagai suatu tugas yang diberikan oleh gurunya, diapun terhanyut dalam kepudaran pikiran.
"Dan engkau U ungka,"
Kata resi Lowara pula "mohonlah petunjuk kepada guru. Bagaimana langkah yang baik untuk mengembangkan peris wa hilangnya patung Joko Dol'ok sedemikian rupa, agar dapat membangkitkan kemurkaan seri baginda kepada fihak Daha."
"Baik, kakang,"
Kita U ungka seper kerbau tercocok hidung.
Segera ia minta diri dan berangkat ke Singasau, Tiba di kaki gunung, ia masih terkesan akan kelincahan bicara dari resi Lowara "Benar- benar tak pernah kusangka bahwa dalam menghadapi tugas pen ng, kakang Lowara ba- ba pandai bicara dan tepat sekali mengatur rencana "
Diam-diam ia merasa malu ha lagi.
Dalam kehidupan sehari hari di candi, dia lebih banyak dan lebih tangkas bicara dari pada resi Lowara.
Tetapi dalam menghadapi de k-de k melaksanakan tugas yang pen ng, mengapa dia kalah bicara bahkan hampir tak dapat bicara lagi "Tetapi ....
"
Sekonyong konyong ia terhenyak dan hen kan langkah "ya, benar, baru saat ini aku dapat merasakan bahwa nada suara kakang Lowara itu lain dengan biasanya.
Walaupun dia berusaha untuk bicara dengan pelahan, tetapi nadanya beda dengan nada suara kakang Lowara,"
Ia kerutkan dahi, merenung.
"Mungkinkah .... ah, tetapi perawakan dan pakaiannya sama dengan kakang resi,"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tersendat dalam keraguan "tetapi bagaimana dengan nada suaranya yang kedengaran renyah seper anak muda itu? Nada suara kakang resi tidak begitu."
Terlintas dalam benaknya untuk naik ke gunung lagi menemui resi Lowara.
Ia hendak bertanya mengapa resi Lowara ba- ba saja nada suaranya berobah.
Tetapi baru beberapa langkah ia berhen lagi "Ah, andaikata kakang resi mengatakan kalau dia sedang gembira karena berhasil dalam melaksanakan tugas atau karena agak terganggu kesehatannya berkeliaran sepanjang malam di tengah udara terbuka yang dingin, dakkah dia akan mencemoh atau mungkin bahkan akan marah kepadaku karena membuang waktu yang tak berguna dalam kecurigaan yang tak berdasar sama sekali? Ah"
Ia menghela napas "jika sampai demikian, dakkah aku harus lebih makin malu lagi kepada kakang resi ? Dia dengan tangkas dan tepat telah menyelesaikan tugas, sedang aku hanya membuang-buang waktu tak berguna untuk mencurigainya."
Resi U ungka menampar mukanya sendiri "U ungka, U unggka ! Kemanakah kecerdikanmu selama ini? Mengapa engkau sampai pada kecurigaan yang sedemikian menggelikan itu ? Bukankah resi Lowara itu memiliki ilmu kesak an yang hebat? Adakah ergkau kira resi Lowara itu bukan resi Lowara ? Siapakah yang mampu mencelakainya lalu mengenakan jubahnya dan menyaru sebagai dirinya? Uh, uh ...."
Didera oleh suara dalam ba n yang mencemoh pikirannya tadi, resi U ungka segera ayunkan langkah dan berjalan pesat menuju ke Singasari.
la hendak menebus dosa dan berjanji akan melakukan perintah resi Lowara secepat mungkin.
Pikiran orang memang sering terpengaruh oleh kepercayaan, adat kebiasaan dan sesuatu yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian halnya resi U ungka.
Ia mendapatkan bahwa nada suara resi Lowara itu berbeda dengan hari-hari biasa.
Tetapi pikiran itu cepat terhapus oleh kesan, kepercayaan dan adat kebiasaan yang didapatinya dari resi Lowara dalam kehidupan sehari-hari.
Andaikata dalam menilai masalah nada aneh dari resi Lowara itu, U ungka membebaskan diri dari kesan dan pengaruh pergaulan sehari-hari dengan resi Lowara, andaikata pula ia tak takut akan ditertawakan dan dimarahi resi Lowara apabila ia menemuinya lagi untuk membuk kan kecurigaannya.
Kemungkinan dia tentu akan mendapat suatu peris wa yang akan menggoncangkan hatinya.
Karena setelah resi U ungka turun gunung, resi Lowara telah ber ndak aneh.
Ia mengatakan kepada resi U ungka untuk menekan empu Paramita tetapi ternyata saat itu dia dak menuju ke desa Panawijen melainkan kembali lagi ke tempat penanaman patung Joko Dolok dalam hutan tadi.
Setelah menemukan batu pertandaan itu, iapun segera menggali.
Cukup dalam juga liang itu sehingga ia harus terjun ke dalamnya untuk mengambil patung.
Setelah bekerja keras membuang bongkah-bongkah tanah ke atas, akhirnya ia menemukan patung itu.
Untuk meringankan beban, ia lemparkan patung itu keatas tepi liang, setelah itu ia baru loncat keluar.
"Hai ....! "
Ba- ba ia menjerit kaget sekali, lebih terkejut dari orang disambar halilintar "patung .... patung itu ke mana! "
Memang tak mengherankan kalau ia terkejut setengah ma itu.
Patung Joko Dolok yang dilemparkan ke atas tepi liang itu, telah lenyap.
Ia mengeliarkan mata memandang ke sekeliling.
Mungkin saja tadi ia terlampau keras melemparkan patung itu sehingga sampai melayang jatuh jauh dari liang itu.
Tetapi ternyata ia tak melihat barang sesuatu.
Sesaat ia terlongong longong seperti patung ....
"Ah, dak, dak mungkin!"
Sesaat kemudian ia menggeram "tak mungkin patung itu akan hilang begitu saja. Tentu ada orang jahil yang mengambilnya."
Serentak ia pusatkan segenap indriya, mempertajam kewaspadaan untuk mengama keadaan di sekeliling tempat itu.
Dan cepat ia dapat mendengar sesuatu yang tak wajar.
Setelah menghimpun semangat, sekonyong-konyong ia melompat kearah sebuah gerumbul pohon, krak, krak ....baberapa batang pohon sebesar lengan orang, berderak-derak tumbang, roboh menimpa lain pohon sehingga menimbulkan bunyi yang bergemuruh dan hamburan debu yang tebal.
Apa yang telah terjadi ? Ternyata Lowara telah mendengar segerumbul semak bergetar-getar tak wajar.
Pada hal daun-daun pohon yang berada di sekelilingnya diam tak bergerak.
Angin ada berhembus.
Maka cepatlah ia melimpat kearah gerumbul pohon itu untuk menyergap penyebab semak bergetar, yang diperkirakannya tentulah orang.
Tetapi ia hanya menyergap angin.
Dlbalik gerumbul pohon itu ada terdapat barang seseorang maupun sesuatu benda kecuali batang-batang pohon jua.
"Hi, hi, hi, hik ....
"
Keheranan Lowara bergan rasa kejut yang hebat ke ka ia mendengar suara orang tertawa. Nada tawanya seperti berasal dari suara anak perempuan.
"Hai, siapa engkau! "
Resi Lowara cepat berbalik tubuh dan terus loncat kearah segunduk batu besar yang diduganya sebagai asal dari suara tawa itu.
"Hi, hi, hi, hik ....
"
Terdengar pula suara tawa itu seperti menggelitik telinga Lowara.
Dua kali gagal menyergap, segera Lowara menyadari kesalahannya.
Ia terlalu dirangsang kemarahan sehingga gerakannya selalu dikuasai oleh pikiran yang diburu nafsu.
Nafsu amarah berkuasa, pikiranpun gelap.
Kini ia mengendapkan kemarahannya dan tenangkan diri, hampakan pikiran, mempertajam indriya pendengarannya.
Segera ia dapat menyadari apa yang telah terjadi.
Ternyata orang yang tertawa mencemoh dengan nada mengikik itu telah menggunakan ilmu aji Genta-kaleleng.
Ilmu itu dapat menghernbuskan suara kearah tempat yaig berlawanan.
Orangnya berada di sebelah timur maka suaranya akan terdengar di sebelah barat.
Demikian selanjutnya.
"Kurang ajar"
Tiba-tiba Lowara terhentak manakala teringat sesuatu. Dan sesuatu itu segera "Siapa engkau! "
Hardik resi Lowara sambil menatap orang aneh tajam-tajam.
"Sama dengan engkau !"
Sahut orang aneh itu dengan nada yang dibuat-buat serupa nada orang lelaki. Namun ia bersikap tenang.
"Hi, hi, hi, hik ....
"
Ba- ba suara tawa mengejek itu terdengar pula.
Sepintas seper berasal dari balik sebuah gerumbul sebelah utara.
Lowara tetap diam.
Dia tak mau lekas terpancing oleh nafsu melainkan mempertajam indriya pendengarannya.
Ia dapat menangkap guncang-guncang halus dari daun pepohonan kecil disebelah utara karena dihembus oleh angin.
Gelombang angin itu lembut tetapi kuat arusnya.
Secepat kilat ia menyelinapkan pandang kearah hembusan angin itu.
Ternyata hembusan angin itu berasal dari sebatang pohon kamal.
"Hm, akan kubalas punya dengan pu juga,"
Diam-diam ia sudah merancang rencana. Sekonyong-konyong ia bergerak kearah gerumbul semak disebelah selatan itu tetapi tak disangka- sangka mendadak ia membuang tubuh ke belakang dan melayang kearah pohon kamal disebelah utara itu.
"Maling liar, kembalikan patungku ! "
Hardiknya seraya menerkam ke balik pohon.
"Ih ....
"
Terdengar suara mendesis kejut dan sesosok tubuh berguling-guling ke tanah sampai berapa langkah.
Ke ka terbentur pada sebatang pohon, orang itu terus melen ng bangun, berdap- siap.
Resi Lowara tak mau memburu melainkan tegak berdiri menatap orang.
Ia terkejut.
Orang itu juga mengenakan jubah warna hitam dan memakai kain penutup muka dan kepala warna hitam, hampir mirip dengan pakaian yang dikenakannya.
Ia sempat memperha kan bahwa orang itu bertubuh kecil langsing.
Dari lubang kain penutup mukanya, tampak sepasang matanya memancarkan sinar yang bening.
"Hm, akhirnya ketahuan juga,"
Gumam Lowara. Orang itu dak menyahut melainkan mendesuh juga.
"Siapa engkau! "
Hardik resi Lowara.
"Sama dengan engkau ! "
Sahut orang aneh itu dengan nada suara yang sengaja dibuat- buat agar membesar seperti nada lelaki.
"Kurang ajar! "
Geram Lowora.
"Siapa yang kurang ajar? "
Sahut orang aneh itu pula.
"Engkau, maling liar! "
"Mengapa aku kurang ajar ? Karena mengenakan jubah hitam dan penutup muka ini ? Uhr, bukankah engkau juga begitu ? "
"Eagkau maling kurang ajar ! "
"Jangan lancang mulut mengatakan aku maling. Apa yang kumaling ? "
Balas orang aneh itu melantang.
"Engkau mencuri patungku,"
Seru Lowara.
"Mencuri ? "
"Ya."
"Aku mengambil bukan mencuri."
"Itu patungku ! "
"Patungmu ?"
Orang aneh itu menegas lalu tertawa mencemoh "ha, ha, jangan tekebur, ki sanak. Engkau pembohong besar ! "
"Pembohong ? "
"Jelas "
"Aku berbohong soal apa ? "
"Kalau benar patung milikmu, aku tentu tak mau mengambilnya. Tetapi kutahu jelas bahwa patung itu bukan milikmu."
Lowara terbeliak.
"Engkau maling akupun maling. Engkau maling kesatu dan aku maling kedua. Celakanya, terjadilah peris wa yang lucu seper ini. Ini namanya maling kemalingan' "
Orang aneh itu melanjutkan cemohnya. Merah muka Lowara. Untung tertutup kain kerudung sehingga tak tampak "Jangan mengumbar keliaran, lekas kembalikan patung itu."
"Kepada siapa ? "
"Kepadaku."
"Milikmukah patung itu ?"
"Ya."
"Bohong! "
"Patung itu sudah berada di tanganku, lekas serahkan kembali."
"Kalau aku tak mau menyerahkan kepadamu?"
"Terpaksa engkau akan kuringkus begini ....
"
Lowara menutup kata-katanya dengan sebuah gerak menyambar lengan orang aneh itu.
Tetapi ia hanya menyambar angin karena orang itu sudah cepat menyurut dua langkah ke belakang.
Pada saat Lowara kejarkan sambarannya, tiba tiba orang itu dengan suatu gerak yang bukan olah-olah cepatnya sudah mendahului menampar mukanya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terpaksa Lowara harus menyurut mundur.
"Hm, apakah engkau benar-benar hendak bersikap keras kepala,"
Seru Lowara menatap orang itu tajam-tajam.
"Hm, apakah engkau juga sungguh-sungguh berkeras kepala hendak menangkap aku ?"
Balas orang aneh itu dengan gaya dan nada seperti Lowara. Lowara tak mau berbanyak kata lagi. Kesabarannya sudah habis "Baik, jika begitu, terpaksa engkau harus kutangkap,"
Ia ayunkan tubuh menerkam.
Tetapi orang aneh itu juga teramat gesit dan tangkas.
Ia selalu mampu menghindar dari terjangan Lowara, baik terjangan itu merupakan sambar atau terkaman ataupun pukulan.
Bahkan sesekali ia mampu balas memukul Lowara.
Lowara makin kesal hatinya.
Ia tak mau memberi kesempatan lagi.
Apabila dia mau bertindak kejam, mungkin ia sudah dapat merobohkan orang aneh itu.
Tetapi maksudnya bukan hendak melukainya melainkan hendak menangkapnya saja dan memaksanya supaya mengembalikan patung itu.
Orang aneh itupun juga bersitegang untuk mengimbangi permainan Lowara.
Tetapi diam-diam Lowara tertawa dalam ha .
Ia faham semua gerak dan tata-kelahi orang itu.
Maka dengan mudah dapatlah ia menguasainya.
Namun ia tak mau cepat-cepat mengalahkan.
Ia hendak memperpanjang pertempuran itu agar lawan kehabisan napas.
Disamping diapun ingin melihat sampai tataran manakah la han orang itu dalam ilmu tata-kelahi yang dimilikinya "Sekedar untuk melatihnya juga,"
Pikir Lowara.
"Hm, tata Kala nantang dapat difahaminya. Tata Sanggar-waringan juga dimainkan dengan bagus. Tata Bantala-rengkah, juga dikuasainya. Tetapi mulai tata Macam-ketawang, dia mulai sibuk ....
"
Diam-diam Lowara memperha kan dan menilai gerak kanuragan lawan "nan pada jurus terakhir Nujupati, dia tentu akan menyerah."
Memang pada saat itu permainan orang aneh itu mulai ricuh dan kehilangan ketenangan. Berulang kali hampir saja Lowara berhasil menerkam lengan orang itu.
"Celaka, tata Macan-ketawang ini aku belum faham sekali. Apabila menginjak jurus terakhir nanti, aku belum mempelajari sama sekali. Hm, mengapa guru pilih kasih dan tak mau mencirikan pelajaran tata terakhir itu kepadaku ....
"
Tepat pada saat ia berpikir begitu, tata Macan-ketawang telah selesai dan setelah itu tentu dilanjutkan dengan tata yang terakhir yani Nuju-pa yang dahsyat.
Sekali, dua kali, masih orang aneh itu dapat menghindar tetapi pada gerak yang keempat dan kelima, runtuhlah daya perlawanannya.
Lowara berhasil menerkam bahu kiri orang itu lalu secepat kilat tangan kanannya menyambar kain penutup muka orang itu.
"Ah .... ah ....
"
Terdengar dua buah suara yang hampir serempak keluar dari mulut kedua orang yang tengah bertanding itu.
Kemudian keduanya berdiri tegak seperti patung yang saling berhadapan.
Kiranya pada saat tangan Lowara menyingkap kain penutup muka orang itu, tanpa disangka- sangka, orang aneh itu pun dengan gerakan secepat kilat, ayunkan tangan kirinya yang masih bebas untuk menarik kain penutup muka Lowara.
Hampir serempak waktunya, keduanya terbuka kain penutup mukanya dan ....
"Engkau Sedayu ... , ! "
Seru Lowara.
"Kakang Ludira . ....!"
Orang aneh itupun serempak berteriak.
Kini bukanlah lagi dua dua orang aneh yang mukanya bertutup kain hitam, melainkan dua orang anak-muda.
Yang mengenakan dandanan seper resi Lowara itu bukanlah resi Lowara dari candi Bentar, melainkan seorang pemuda yang berwajah cakap.
Sedangkan orang aneh lawannya itu bukan seorang insan yang berwajah menyeramkan, melainkan seorang remaja puteri yang can k, berusia sekitar enambelas tahun.
"Hm, memang sudah kuduga kalau engkau,"
Desuh anakmuda yang menyaru sebagai resi Lowara.
"Uh, akupun sudah tahu kalau engkau,"
Sahut dara yang disebut dengan nama Sedayu itu.
"Apa katamu ? Engkau sudah tahu?"
Pemuda yang disebut Ludira itu menegas.
"Heran? "
"Tetapi Sedayu,"
Kata Ludira "bukankah engkau masih berada di pertapaan Karoalasana bersama guru? Mengapa tiba-tiba engkau berada disini? "
"Heran ?"
"Eh, jangan ber ngkah segenit itu. Ingat, engkau seorang murid dari seorang maharsi yang termasyhur, Sedayu."
"Cukup kakang Ludira,"
Balas Sedayu seraya menunjuk ke arah sebatang pehon anjiluang yang rindang "aku tak membutuhkan nasehat, tetapi aku butuh beris rahat karena le h. Mari kita duduk di bawah pohon itu."
Ludira hanya geleng geleng kepala "Sudah gadis remaja masih kekanak-kanakan. Dasar anak perempuan manja,"
Gerutunya dalam ha . Namun ia mengiku juga langkah Sedayu menuju ke pohon anjiluang itu.
"Sedayu, bagaimana keadaan guru?"
Selekas duduk berhadapan dengan perawan itu, Ludira segera mengajukan pertanyaan.
Sukma Pedang -- Gu Long Rahasia Benteng Kuno Karya Chin Yung Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long