Dendam Empu Bharada 34
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 34
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
Semula tumenggung Wirakre masih tenang-tenang dan tak tergoyah oleh ucapan Ardaraja yang jelas hendak mengajaknya bersekutu untuk menentang pa h Aragani.
Tetapi pada saat Ardaraja, dengan ketajaman lidahnya dapat mengupas kemungkinan-kemungkinan yang akan menimpa diri tumenggung itu sehingga akan dapat menghapus dharma-bak nya mengabdi kepada Singasari, seketika mereganglah perasaan tumenggung itu.
"Ah, apa yang diucapkan putera menantu baginda ini memang benar. Apabila menilik watak Aragani yang serakah dan haus kedudukan, bukan suatu hal yang tak mungkin apabila dia akan ber ndak lebih lanjut untuk menyapu bersih diriku dan kakang empu Raganata dari Singasari,"
Pikirnya.
Sebagaimara halnya dengan luka yang sudah hampir tertutup, sekali dikoyak maka luka itu akan merekah dan mengalirkan darah pula.
Dan apabila darah mengalir maka perasaan orangpun segera dibawa melayang pada peris wa terjadinya luka itu.
Membayangkan pada peris wa yang menyakitkan itu tentulah akan terbayang pada oiang atau benda yang telah menyebabkan luka itu.
Demikian halnya dengan tumenggung Wirakre .
Sesaat perasaannya dihentak kata-kata Ardaraja, seketika terbayanglah ia akan patih Aragani yang telah menggeser kedudukannya itu.
Perobahan cahaya airmuka tumenggung itu diiku dengan seksama oleh Ardaraja.
Diam-diam pangeran Daha itu girang dalam ha ke ka serapan perasaan tumenggung Wirakre akan ucapannya tadi, terpantul pada kerut dahinya yang meregang "Maaf, paman menggung,"
Katanya "apabila ucapan hamba tadi tak berkenan di hati paman."
"Tidak raden. Bahkan aku telah mendapat penerangan dari kegelapan yang selama ini mengabut pikiranku,"
Kata tumenggung Wirakreti "lalu bagaimana maksud raden?"
Ardaraja menceritakan tentang rencananya untuk menculik pa h Aragani.
Tetapi tumenggung Wirakre tak setuju "Bukan paman kasihan terhadap pa h itu tetapi paman rasa se ap rencana harus dilaksanakan cergan ha -ha menurut garis-garis yang teratur.
Dan dalam hal ini, janganlah kita terlalu menuruti nafsu tetapi harus bertindak dengan tenang."
"Bagaimana sebaiknya, paman? "
"Seyogyanya jangan ditujukan langsung terhadap rakryan Aragani tetapi pada orang kepercayaannya,"
Kata tumenggung Wirakreti.
"O,"
Desuh Ardaraja "lalu siapakah kiranya orang yarg paman maksudkan itu?"
"Putera menantu patih Aragani."
"O, Kuda Panglulut?"
Ardaraja terkesiap. Tumenggung Wirakre mengangguk "Ya, kiranya tindakan pertama adalah putera menantu patih itu dulu."
"'Baik, paman menggung,"
Sahut Ardaraja "akan hamba laksanakan rencana itu,"
Ia diam beberapa saat seperti ada sesuatu yang dipikirkan. Rupanya tumerggung Wirakre memperha kan sikap raden. Ia bertanya, apakah yang sedang dipikirkan pangeran itu.
"Hamba ingin, mengajukan pemohonan kepada paman menggung. Mungkin permohoran itu terlalu lancang dan kurang tata maka lebih dahulu hamba mohon maaf, paman."
"O,"
Tumenggung Wirakre heran "mengapa raden mengatakan demikian.
Apabila hal itu dalam rangka melaksanakan rencana tadi, silakan raden mengatakan kepada paman.
Andaikata paman tak setuju, pun per mbangan paman bukan berdasar karena permohonan raden itu kurang tata dan lancang, melainkan karena paman anggap takkan membawa hasil pada rencana itu."
"Terima kasih paman menggung,"
Ucap Ardaraja "paman, kudengar puteri paman baru-baru ini telah pulang dari berguru pada seorang pertapa."
Tumenggung Wirakreti terkesiap.
"Hamba percaya paman,"
Kata Ardaraja pula.
"bahwa darah seorang tua itu akan mengalir pada putera puterinya. Ayahnya seorang senopati, puteranya tentu juga seorang ksatrya sakti mandraguna. Ayah seorang pujangga, puteranya tentu juga mahir dalam ilmu sastra. Bahwa puteri paman menggung berguru di sebuah pertapaan itu, membuktikan bahwa puteri paman itu juga mewarisi darah seorang prajurit dari paman."
"Ah, janganlah raden menyanjung-nyanjung."
"Paman menggung,"
Kata Ardaraja pula "hamba hendak mohon bantuan dari puteri paman itu agar rencana yang akan hamba lakukan itu dapat berhasil."
"O,"
Tumenggung Wirakre terkejut "bagaimana hal itu dapat terjadi, raden? Bukankah raden dan pengiring-pengiring raden cukup mampu untuk menangkap Kuda Panglulut ?"
"Benar, paman menggung,"
Sahut Ardaraja "tetapi maksud hamba, penculikan itu harus berlatar suatu alasan yang akan didukung dan disambut gembira oleh para kawula. Dan apabila rama prabu mendengar peristiwa itu, tentu akan melontarkan teguran keras kepada patih Aragani."
"O,"
Tumenggung Wirakre makin terkejut.
"sukalah.raden menjelaskan rencana itu agar paman mendapat gambaran yang terang."
"Seluruh kawula pura Singasari kenal akan ulah Kuda Panglulut yang congkak dan gemar mengganggu wanita. Jika kita culik dia dalam peris wa wanita, ar nya pada waktu dia sedang mengganggu wanita, tentulah rakyat tak mau membelanya bahwa bersyukur atas tindakan kita."
"Ya,"
Tumenggung Wirakre mengangguk.
Pada waktu akhir-akhir ini dia memang sering menerima laporan tentang perbuatan Kuda Panglulut yang suka mengganggu wanita itu.
Tetapi dia dak menyelidiki lebih lanjut bahwa yang diganggu Kuda Panglulut itu kebanyakan adalah orang- orang Daha yang bermukim di Singasari.
Yang laki di ndas dan yang perempuan diganggu.
Waktu mendengar keterangan Ardaraja, dia-pun menganggap hal itu sesuai dengan laporan yang diterima dari anakbuahnya maka tanpa bertanya lebih lanjut tentang diri wanita-wanita itu, iapun menyetujui langkah Ardaraja.
"Dalam rangka itulah, apabila paman menggung berkenan, hamba hendak mohon bantuan puteri paman untuk membantu hamba,"
Kata Ardaraja lebih lanjuut.
"Maksud raden apakah si Sedayu itu yang akan menjadi umpan supaya diganggu si Panglulut? "
"Hamba mohon maaf paman menggung,"
Cepat Ardaraja menyusuli kata "hamba berani menjamin atas keselamatan puteri paman. Apabila selembar rambut Rara Sedayu sampai diganggu Kuda Panglulut, hamba akan mempertaruhkan jiwa hamba untuk membunuhnya, paman."
Demikianlah dengan pertanggungan jawab yang meyakinkan itu, tumenggung Wirakre pun meluluskan permintaan Ardaraja.
Dan saat itu Ardaraja telah siapkan anakbuahnya menunggu di jalan dimana menurut laporan anakbuahnya, Kuda Panglulut tentu akan lalu disitu.
"Hm, Panglulut itu memang makin hari makin congkak,"
Katanya dalam renungan panjang di kala menunggu di balik gerumbul pohon "makin tampak sekali bagaimana dia memusuhi orang-orang Daha yang berada dalam telatah pura Singasari.
Yang lelaki di ndas, yang perempuan dipermainkan.
Dan pernah kudengar orang mengatakan bahwa dia sumbar-sumbar tak takut kepadaku ....
"
Demikian pangeran itu makin tenggelam dalam laut renungannya.
Dan karena hendak mencari- cari kesalahan orang maka penyelamannya ke dalam laut renungan itu sedemikian dalam hingga hampir mencapai ke dasar yang terdalam.
Apabila raden itu sedang asyik merenung, pun orang bertubuh kecil langsing dan yang disebut ayu oleh raden itu, juga tengah bercengkerama dalam renungan pula.
Dia tak lain adalah Rara Sedayu, puteri tumenggung Wirakreti.
Ketika ramanya memberitahu dan meminta kesediaannya untuk membantu rencana Ardaraja yang hendak menangkap Kuda Panglulut, sebenarnya dia tak setuju.
Ia memperingatkan kepada ramanya agar jangan mudah percaya pada omongan orang "Rama, kumohon hendaknya rama jangan tergesa menerima permintaan pangeran itu."
"Ah, Sedayu,"
Desuh tumenggung Wirakre "rama sudah tua, sudah cukup kenyang meneguk pengalaman yang manis maupun yang pahit."
"Benar rama,"
Sanggah Sedayu "tetapi pengalaman itu dak sama satu dengan yang lain karena keadaan, waktu, tempat dan manusia-manusianya telah berganti."
"Sedayu,"
Seru tumenggung Wirakre "rama telah menyanggupi permintaan pengeran Ardaraja.
Apabila rama mencabut kembali, apakah rama takkan tercela? Dan yang pen ng nini, tujuan utama dari rencana itu tak lain yalah demi menyelamatkan seri baginda dari cengkeraman patih Aragani."
"Tetapi rama,"
Masih Sedayu membantah "kita harus ingat bahwa pangeran Ardaraja itu adalah putera raja Daha, bahkan dialah putera mahkota yang kelak akan menjadi raja di Daha.
Jika rama hendak menyelamatkan seri baginda, mengapa rama harus bekerja sama dengan pangeran itu? Mengapa rama dak bekerja sama dengan putera-putera Singasari saja? Bukankah banyak putera- putera Singasari yang bersedia mengorbankan jiwa raga untuk kerajaan Singasari?"
Tumenggung Wirakreti terkesiap mendengar sanggahan yang bernada celaan dari puterinya.
Setelah beberapa saat terdiam akhirnya dia berkata "Sedayu, apa yang engkau katakan itu memang benar.
Tetapi engkaupun harus menyelamatkan muka rama dari celaan raden Ardaraja.
Oleh karena itu kuminta engkau dapat membantu rama.
Apabila engkau menyangsikan kejujuran pangeran itu, justeru dengan menggabung pada mereka, engkau akan dapat menyingkap apa sesungguhnya tujuan mereka itu.
Apabila memang ada udang dibalik batu', engkau dapat bertindak menurut keadaan dan laporkanlah hal itu kepada rama."
Kata-kata terakhir dari ramanya itu menyentuh dalam kesan ha Sedayu "baik, rama. Apabila aku tak ikut dalam kalangan mereka, memang takkan dapat mengetahui rahasia mereka .....
"
Demikian terlintas dalam renung Sedayu pada saat la telah menggabungkan diri dengan rombongan Ardaraja dan bersembunyi dibalik gerumbul untuk menunggu kedatangan Kuda Panglulut. Tiba-tiba dari gerumbul sebelah muka terdengar suara burung kulik.
"Sura,"
Seru orang yang disebut raden tadi yang tak lain adalah raden Ardaraja sendiri "Patra telah memberi pertandaan, lekaslah engkau bersiap."
Kemudian iapun minta kepada orang yang bertubuh kecil langsing atau Rara Sedayu supaya berkemas-kemas.
Sura dan Sedayu segera keluar dari tempat persembunyian dan menuju ke jalan.
Diantara kegelapan malam, sayup-sayup tampak ga sosok tubuh tengah berjalan mendatangi.
Tampaknya mereka memang bergegas-gegas sekali.
Mereka dari arah pura Singasari dan menuju ke luar kota.
Memang tempat rombongan raden Ardaraja itu bersembunyi, terletak di sebuah hutan di luar pura.
Setelah melihat ke ga orang itu berada pada jarak sepelepas anakpanah jauhnya, Sura segera memanggul Sedayu dan dibawanya berjalan pelahan-lahan.
"Tolongngng ....... ! Tolongng ....... ! "
Sesuai dengan rencana maka Sedayupun berteriak senyaring nyaringnya. Malam kelam, jalan sunyi. Suara teriakan meminta tolong itu berkumandang jelas sekali. Ke ga orang itupun tersentak kaget.
"Raden, rupanya ada wanita yang dibawa lari penjahat,"
Salah seoang dari mereka be ga, berkata.
"Ya, biarlah saja,"
Sahut orang yang dipanggil raden itu.
"Tetapi raden,"
Kata orang yang pertama itu pula "jelas itu suatu perbuatan jahat yang wajib kita berantas."
Raden itu berpaling kepada yang berkata "Krepa, siapakah yang memberi perintah, aku atau engkau ?"
"Ah, tentu saja raden,"
Orang yang dipanggil Krepa itu tersipu-sipu menjawab "maaf, raden, hamba hanya menghaturkan laporan dan sama sekali tak bermaksud hendak melanggar kewibawaan raden."
"Hm,"
Dengus raden itu "tetapi aku tidak tuli dan juga mendengar teriak perempuan itu."
Krepa mengkeret nyalinya.
Ia tahu siapa raden itu dan betapa pengaruhnya di pura Singasari.
Setelah berjalan beberapa langkah, suara jeritan minta tolong itupun makin melengking-lengking mengoyak kesunyian malam.
Krepa makin gelisah Bumi yang dipijaknya itu seper tumbuh duri yang tajam.
Tetapi dia tak berani membuka mulut lagi.
"Krepa, tahukah engkau apa sebab aku tak lekas menolong perempuan itu?"
Ba- ba raden itu bertanya.
"Maaf, raden, hamba tak mengerti "
"Engkau harus ingat Krepa,"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata raden itu pula "dewasa ini dalam pura Singasari penuh dengan mata-mata musuh dan orang-orang yang hendak mengail di air keruh.
Yang penting kita harus mengantarkan ki Siborang ini keluar dari lingkungan pura Singasari.
Lain-lain hal tak perlu kita acuhkan dulu"
"Baik, raden,"
Sahut Krepa. Tiba- ba orang yang ke ga yang sejak tadi hanya berdiam diri, tertawa "Heh, heh, raden. Tetapi kukira akupun kasihan juga mendengar lolong jeritan perempuan. Apakah begini sekarang suasana di pura Singasari itu ?"
"Tidak,"
Raden itu cepat membantah "memang terjadi juga kekacauan keamanan semacam itu tetapi berkat penjagaan anakbuahku, hal semacam itu sudah jarang terjadi."
"Jarang berar bukannya tak ada. Masih ada,"
Kata orang itu "kukira dalam usaha untuk merebut ha rakyat, raden perlu menunjukkan ndakan yang bersifat melindungi mereka agar mereka senang. Mari kita tolong wanita itu, raden. Soal diriku, aku masih dapat menjaga diri."
Mendengar ucapan orang itu malulah raden itu dalam hati.
Ia mengiakan dan merekapun segera membiluk ke jalan yang diperkirakan arah tempat perempuan, tadi meminta tolong.
Segera mereka melihat seorang lelaki nggi besar sedang memanggul seorang wanita yang meronta-ronta dan menjerit-jerit.
Ketiga orang itupun cepat berlari mengejar.
"Lepaskan! bentak orang yang disebut raden itu seraya loncat hendak memukul orang nggi besar.
"Perempuan sial .......
"
Orang nggi besar itu menurunkan dukungannya dan mendorong wanita itu ke tepi jalan dan ia sendiripun loncat menghindar.
"Keparat ! "
Teriak orang nggi besar itu. Dia adalah yang dipanggil dengan nama Sura oleh raden Ardaraja tadi "engkau berani mengganggu kesenanganku ! "
Saat dia dekat dengan Krepa maka dia pun segera menyerang Krepa. Melihat itu pemuda yang disebut raden tadi, segera loncat menerjang Sura lagi "
Penjahat bernyali besar, engkau berani melawan! "
"Ho, Kuda Panglulut, engkau anggap dirimu itu orang baik ? Huh, sudah berapa banyakkah wanita-wanita baik-baik yang telah menjadi korbanmu selama ini?"
Seru Sura. Raden itu terkesiap "Mengapa dia tahu namaku? Siapakah dia? Hm, orang ini berbahaya, harus kuringkus,"
Katanya dalam hati. Dia memang Kuda Panglulut yang malam itu bersama Krepa sedang mengantar seorang yang bernama Siborang keluar dari pura kerajaan.
"Siapa engkau !"
Bentak Kuda Panglulut seraya nyalangkan mata memandang tajam-tajam seolah hendak menembus kain penutup yang menyelubungi hidung sampai ke mulut orang itu.
"Aku seorang anakbuah gerombolan penjahat yang mengganas wanita-wanita muda terutama wanita dari Daha. Bukankah sealiran dengan eagkau? Kalau engkau sendiri juga begitu, - mengapa engkau hendak melarang aku berbuat semacam itu? "
Merah muka Kuda Panglulut. Untung saat itu pada malam hari dan tak ada orang yang memperha kaa raut mukanya "Hm, dak gampang mengaku sealiran dengan aku, sebelum kuuji ilmu kesaktianmu !"
Kuda Panglulut terus hendak bergerak tetapi Krepa segera tampil "Raden, idinkanlah hamba yang menghajarnya."
Belum Kuda Panglulut menyahut, orang yang bernarra Siborang itupun mendahului "Raden, untuk menyingkat waktu, mari kita tumpas penjahat ini."
"Ha, ha,"
Sura tertawa mengejek "aku bukan ayam yang begitu mudah kalian sembelih. Coba saja kalian maju kalau kalian sudah jemu hidup."
Kuda Panglulut menganggap ucapan Siborang memang benar. Untuk menyingkat waktu, penjahat itu harus lekas dilenyapkan "Baik, mari kita cincang babi hutan ini."
Mereka ber ga segera berhamburan memburu Sura sehingga orang nggi besar itu kelabakan.
Duk ....
sebuah pukulan telah menyambar bahunya.
Ia terhuyung-huyung.
Krepa menerjang pula lalu Siborang dan Kuda Panglulut.
Tetapi secepat itu pula dari balik gerumbul pohon berhamburan melompat ga sosok tubuh yang terus menyerang Kuda Panglulut bertiga.
"Kuda Panglulut, bukan dia musuhmu tetapi hadapilah aku!"
Seru orang yang menangkis pukulan Kuda Panglulut. Kuda Panglulut terkesiap. Rasanya ia pernah mendengar nada suara orang itu tetapi ia lupa entah di-mana "Siapa engkau!"
Bentaknya.
"Aku kepala gerombolan ini,"
Sahut orang itu dengan nada berobah agak besar. Rupanya ia menyadari keraguan Kuda Panglulut.
"Sebutkan namamu! "
"Nanti apabila engkau mampu merubuhkan aku."
"Hm, tahukah engkau apa hukumannya orang yang berani melawan aku,"
Kuda Panglulut menggertak pula.
Orang itu tertawa datar "Yang berwewenang menjatuhkan hukuman adalah seri baginda atau gus mentri Angabaya yang dipercayakan seri baginda untuk menjaga keamanan pura Singasari.
Engkau? Huh, bukankah engkau hanya Kuda Panglulut yang menumpang kekuasaan ayah mentuamu patih Aragani itu ?"
Bukan main marah Kuda Panglulut menderita hinaan yang sedemikian tajam "Keparat! Kurobek mulutmu! "
Sebuah serangan dahsyat segera dilancarkan.
Pukulannya amat keras dan cepat, sasarannya mengarah bagian tubuh yang berbahaya.
Benar-benar sebuah serangan yang dapat membawa bencana maut.
Tetapi lawannya itupun tak kalah tangkasnya.
Menyurut mundur selangkah, cepat ia menyelinap ke samping dan serempak kedua tangan bergerak menyilang untuk menggun ng tangan Kuda Panglulut.
Kuda Panglulut terkejut melihat gaya serangan lawan yang sedemikian tangkas dan menurut tata kanuragan yang tepat.
Cepat ia menyurutkan nju ke belakang lalu secepat kilat meluncurkan pula ke perut lawan.
Krakkkk.....
Dua kerat tulang saling beradu keras.
Kuda Panglulut tersurut mundur setengah langkah.
Orang itupun tergetar tangannya.
Ternyata Kuda Panglulut telah termakan pu siasat lawan.
Gerak menggun ng lawan itu hanya sebuah gerak kosong.
Ke ka Panglulut menarik nju dan menghantam lagi, orang itupun sudah tiap menyongsongnya.
Kekalahan dalam gebrak pertama itu memaksa Kuda Panglulut harus bersikap ha -ha .
Ia tak berani memandang enteng lawan.
Ia tumpahkan seluruh semangat dan tenaganya untuk menghadapi lawan.
Dan makin lama makin mbullah kesadarannya bahwa kepala gerombolan yang dihadapinya itu, bukan gerombolan biasa tetapi seorang yang memiliki ilmu kanuragan tinggi.
Sementara itu ba- ba terdengar Sura menggeram keras lalu menerjang Krepa "Sekarang rasakanlah pembalasanku, bedebah! "
Rupanya orang nggi besar itu marah dan hendak membalas lawan yang telah memukul bahunya tadi.
Sementara itu kedua kawan Sura, yani Sargula dan Patra, pun segera menyergap orang yang bernama Siborang itu.
Demikian di malam yang kelam, dijalan sepi di luar pura Singasari, telah berlangsung pertempuran seru antara Kuda Panglulut ber ga melawan rombongan Ardaraja yang berjumlah empat orang.
Rupanya pertempuran yang paling menarik dan seru adalah antara kedua orang yang disebut raden oleh anakbuahnya.
Dibalik kecongkakan dan kesombongannya, ternyata Kuda Panglulut memang digdaya.
Bukan saja gerak serangannya itu menurut ilmu kanuragan tataran nggi, pun ap gerak pukulan dan tendangannya selalu menghamburkan tenaga yang dahsyat.
Untunglah lawannya itu yang tak lain adalah pangeran Ardaraja, mampu mengimbangi permainan Kuda Panglulut.
Andaikata Sura atau Sargula atau Patra yang menjadi lawannya, tentulah dalam beberapa jurus saja sudah dapat dirubuhkan.
Diam-diam kedua raden itu saling merasa heran dalam ha .
Mereka saling mengagumi dan memuji kepandaian lawan dan tak beranilah mereka memandang rendah pada lawan.
Beberapa saat kemudian tampak Kuda Panglulut mengerahkan seluruh kepandaian untuk mendesak lawan.
Rupanya ia mulai dibayangi rasa cemas.
Tiga melawan empat, dirasakan sudah cukup berat.
Mana kala fihak gerombolan itu bertambih lagi jumlahnya dengan beberapa orang, bukankah fihaknya akan menderita kekalahan? Bayang-bayang kecemasan itu makin mengabut tebal dan akhirnya membentuk suatu rasa kegelisahan dalam ha Kuda Panglulut.
Kekalahan akan membawa akibat yang mengerikan.
Dia dan kedua kawannya akan dibunuh atau ditawan oleh gerombolan itu.
Dan yang paling mencengkam perasaannya adalah keselamatan Siborang .....
Dalam pertempuran, orang harus mencurah segenap pikiran dan perhatian.
Sedikit saja pikiran terganggu memikirkan lain-lain hal, permainannya tentu kacau.
Demikian dengan Kuda Panglulut.
Jika tadi dia masih dapat menangkis dan balas menyerang dengan gerak-gerak yang mantap dan teratur, adalah setelah dicengkam kegelisahan itu mulailah serangannya agak bernafsu seolah-olah dia ingin memaksakan agar pertempuran itu cepat cepat selesai.
Permainannya cepat, hatinya gopoh.
Tetapi sebelum berhasil mencapai yang diinginkan sekonyong-konyong dari arah hutan terdengar suara bergersik -gersik dari semak-semak yang tersiak tangan orang.
Menilik riuhnya suara itu tentulah yang datang berjumlah beberapa belas orang.
Jelas tentu kawan-kawan dari gerombolan lawan, pikir Kuda Panglulut.
Pemikiran itu berdasar bahwa ia tak merasa memerintahkan anakbuahnya datang.
Dan ba- ba pula si nggi besar Sura serentak gembira "Bagus, kawan-kawan, bala bantuan kita datang, hayo ringkuslah babi-babi hutan ini.
Nanti kita sembelih mereka untuk makanan gagak! "
Teriakan orang tinggi besar yang nama lengkapnya adalah Suramenggala itu, benar-benar meledakkan nyali Kuda Panglulut, Krepa dan Siborang.
Mereka makin gugup dan makin keras berusaha untuk meloloskan diri.
Tetapi gerombolan Suramenggala itu bahkan lebih memperhebat serangannya untuk mengepung mereka sedemikian ketat.
Bluk ....
bluk ....
Terdengar bunyi susul menyusul menghunjam tubuh dan jerit mengaduh lalu tubuh-tubuh yang bergedebukan jatuh.
Krepa dan Siborang mendahului rubuh.
Melihat itu Kuda Panglulut makin gelisah.
Akhirnya mbul suatu keputusan dalam ha .
Ia harus dapat lolos dulu setelah itu akan membawa pasukan untuk mengejar jejak gerombolan itu dan membasminya habis-habisan.
Jika ia sendiri juga rubuh, celakalah semua nan .
Tentulah pasukannya tak tahu bahwa dia telah jatuh di tangan gerombolan yang tak diketahui ciri-cirinya.
Akhirnya ia memutuskan, harus dapat meloloskan diri.
Dan keputusan itu segera dilaksanakan.
Setelah melancarkan sebuah pukulan dahsyat yang memaksa lawan mundur, Kuda Panglulut cepat loncat ke belakang.
Orang itu rupanya tahu akan maksud Kuda Panglulut.
Tetapi sebelum ia sempat bergerak, Suramenggala sudah mendahului "Hai, hendak lari kemana engkau Panglulut! "
Serunya seraya mengejar. Sekonyong-konyong Kuda Panglulut berputar tubuh dan ayunkan tangan kanan "Hem, manusia yang sudah jemu hidup !"
Suramenggala terkejut ke ka sebatang pisau berkilat-kilat melayang deras ke arah mukanya.
Bahkan rasa kejut itu meningkat menjadi rasa gugup yang mencengkam ke ka sebatang pisau yang lain menyusul pisau yang pertama.
Lurah prajurit dari Daha itu cepat meliukkan tubuh ke samping.
Gerakan itu memang berhasil menyelamatkan mukanya dari taburan pisau.
Tetapi layang pisau yang kedua ternyata lebih cepat dari pisau yang pertama.
Pada saat tubuh Suramenggala sedang mencondong ke samping, bahunyapun tertekam pisau itu.
"Aduh ...
"
Suramenggala menjerit kesakitan dan terhuyung hampir rubuh apabila tak lekas disanggapi orang berkerudung kain yang menjadi lawan Kuda Panglulut tadi "Bagaimana Sura?"
Tegur orang itu.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keparat si Panglulut !"
Tiba-tiba Suramenggala mencabut pisau dari bahunya lalu lari mengejar lagi. Tetapi baru beberapa langkah, iapun rubuh. Pandang matanya serasa gelap karena darahnya banyak mengalir.
"Sura ...
"
Orang itu cepat lari menghampiri dan mengangkat tubuh Sura ke bawah pohon.
"Hai, kemanakah lawan Sura tadi ?"
Serunya terkejut ke ka ia berbangkit hendak menangkap orang itu.
Lawan Sura semula adalah Krepa.
Karena Sura hendak menyergap Kuda Panglulut yang hendak meloloskan diri itu maka ia meninggalkan Krepa.
Krepa menyadari bahwa fihaknya terancam kekalahan.
Maka cepatlah ia loncat ke dalam gerumbul pohon dan melenyapkan diri.
Itulah sebabnya orang yang menolong Sura atau raden Ardaraja, berseru kaget karena Krepa tak tampak.
Sejenak Ardaraja tertegun.
Sesaat kemudian hampir saja ia ayunkan langkah hendak mengejar jejak Krepa manakala pandang matanya tak tertumbuk pada orang yang sedang bertempur melawan Sargula dan Patra.
Dalam keremangan cuaca malam, ia dapat memperha kan keadaan lawan dari Sargula dan Patra itu.
Ternyata dandanan orang itu beda dengan orang Singasari ataupun Daha.
Orang itu mengenakan baju dan ikat kepala yang tak lazim dipakai rakyat Singasari atau Daha.
Seke ka mbullah kecurigaan Ardaraja.
Cepat pula ia merangkai suatu rencana.
Ia batalkan niatnya mengejar Krepa lalu beralih mengarahkan langkah kepada orang itu.
Rupanya orang yang dicurigai itu atau Siborang tahu akan gerak gerik pangeran Ardaraja.
Diam- diam ia mengeluh dalam ha .
Sebelum lawan bertambah seorang lagi, ia harus cepat-cepat meloloskan diri.
Sargula dan Patra memang bertenaga kuat dan perkasa.
Tetapi menghadapi tata gerak yang aneh dari lawannya, keduanya agak bingung.
Itulah sebabnya sekalipun mereka maju berdua namun sampai sekian lama belum juga mereka dapat merubuhkan lawan yang hanya seorang itu.
Tiba- ba Sargula terkejut ke ka orang itu loncat menerkam matanya.
Pada hal saat itu Sagula terlanjur membuka kedua tangannya karena karena hendak melakukan serangan.
Dengan demikian ia tak sempat untuk menangkis maupun menghindar.
Melihat kawannya terancam, Patrapun memberingas.
Ia loncat menerkam dari belakang, duk .....
uh .....
terdengar suara benturan dua sosok tubuh yang kemudian menggedebuk terhempas ke tanah.
Ternyata Siborang telah berhasil dengan gerak pu yang bagus.
Ia tahu bahwa hamburan angin yang melanda dari belakang tentulah berasal dari gerak serangan Patra.
Maka selicin belut menyelinap, iapun cepat melen ng ke samping sehingga Patra harus menerkam Sargula sendiri.
Akibatnya keduanya jatuh bertumpang tindih.
Secepat melibat kedua lawannya terguling di tanah, Siborangpun cepat berputar tubuh dan hendak melarikan diri.
Tetapi sebelum ia sempat mengayun kaki, bahunya telah dicengkeram oleh sebuah tangan yang kuat dan disentakkan ke belakang sekeras-kerasnya.
Sedemikian kuat tenaga orang itu hingga Siborang terseok-seok bagai kura-kura hendak bertelur.
Tiba- ba pula kakinya terantuk pada tubuh Patra yang saat itu kebetulan hendak menggeliat bangun.
Bluk ....
Siborang terpelan ng rubuh terjerembab ke belakang.
Sementara Patrapun mengeluh kesakitan karena perutnya terpaacal tumit kaki Siborang.
Saat itu Sargula sudah bangun tetapi masih duduk sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit.
Belum sempat ia berdiri, tubuh Siborang sudah menimpanya pula.
Auh ....
Sargula mengerang dan terdampar rubuh lagi.
"Keparat engkau Patra!"
Sargula marah, meronta dan ayunkan njunya menghantam Siborang yang disangkanya Patra.
Ia benar-benar kehilangan sabar.
Walaupun Patra itu kawan tetapi sudah dua kali ia harus menderita kesakitan.
Pertama, ia telah diterkam sekuat-kuatnya sehingga jatuh terguling.
Sekarang baru mau berdiri sudah ditimpa lagi.
Siborang tak dapat mengerang.
Ia pingsan seketika menerima tinju Sargula yang berat itu.
"Bagus, Sargula, ringkuslah orang itu,"
Seru orang berkerudung atau yang menyentakkan Siborang ke belakang tadi, sembari tertawa geli melihat Sargula meringis kesakitan.
"Siapakah dia, raden?"
Sargula cepat bangun "bukankah dia kakang Patra? Mengapa raden suruh meringkusnya?"
Terdengar suara orang tertawa gelak-gelak. Sargula terkesiap dan memandang mereka "Hai, engkau Patra .... tetapi "
Ba- ba ia berpaling memandang kearah orang yang dihantamnya tadi "lalu siapa dia? "
"Lawan yang menyiasati , engkau tadi,"
Orang berkerudung itu berseru "ikatlah dia! "
Selesai mengikat tangan Siborang, Sargula bersungut-sungut "Ah, kita hanya berhasil sedikit raden. Kuda Panglulut dapat meloloskan diri dan yang seorang-pun juga lolos ....
"
"Siapa yang bilang?"
Ba- ba dari balik gerumbul pohon terdengar suara seorang dara melengking dan pada lain saat muncullah seorang lelaki yang digusur oleh seorang anak perempuan.
"Sedayu, engkau ....
"
"Ya, raden,"
Sahut dara itu atau Rara Sedayu seraya bersenyum "inilah anakbuah Kuda Panglulut yang berusaha melarikan diri tadi."
Lelaki yang digiring Sedayu itu bukan lain memang Krepa.
Kedua tangannya telah diikat oleh Sedayu, Memang naas bagi Krepa.
Ke ka dia menyelinap dalam gerumbul pohon hendak melarikan diri, disitu Sedayu sudah siap menunggu.
Dia tak menyangka sama sekali bahwa sebatang kayu akan melayang ke tengkuknya, duk ....
tanpa sempat melihat siapa yang telah menyerangnya, ia harus rubuh dan tahu-tahu tangannya diteliku ke belakang dan diikat kencang-kencang.
"Sial,"
Gumamnya ke ka mengetahui bahwa yang menangkapnya itu hanya seorang anak perempuan. Namun hal itu sudah menjadi kenyataan dan dia harus berusaha untuk menghadapi kenyataan pahit itu.
"Engkau minta hidup atau mati ?"
Tegur orang berkerudung yang disebut raden itu.
"Hamba mohon hidup, raden,"
Kata Krepa yang menyadari bahwa jiwanya sedang berada diujung tanduk.
"Kalau minta hidup, engkau harus memberi jawaban yang sejujurnya."
"Baik."
"Siapa namamu ?"
"Krepa."
"Mengapa pada waktu semalam ini engkau keluar dari pura? "
Krepa terkesiap tak lekas menjawab "Meronda,"
Sahutnya sesaat kemudian.
"Patra,"
Tiba-tiba raden itu berseru memberi perintah "potong lidahnya! "
"Baik, raden,"
Patra mencabut pedang terus mencengkeram mulut Krepa. Krepa meronta.
"Ya, ya, akan kukatakan sejujurnya,"
Serunya ketakutan. Namun Patra tetap ngotot menekan mulut Krepa supaya lidahnya menjulur keluar .... ~dewi.kz^ismo^mch~
Jilid 29 Persembahan . Dewi KZ
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .
MCH I Taat pada perintah.
Demikian salah sebuah ketentuan dari beberapa tata-ter b bagi seorang prajurit.
Tanpa rasa ketaatan maka segala peraturan, perintah dan tata-ter b, akan semrawut bagai beras ditampi.
Hakekat daripada ar Taat itu adalah Percaya.
Percaya bahwa perintah dari pimpinan itu adalah benar dan bermanfaat.
Namun untuk menumbuhkan rasa Taat atau Percaya, harus ditanamkan suatu tatacara yang gigih, terutama dalam diri yang memberi perintah atau pimpinan itu sendiri.
Tatacara hidup, sikap, ulah dan ucap, harus mencerminkan rasa tanggung jawab yang penuh kesadaran.
Perintah adalah tanggung jawab.
Taat pada perintah adalah memiliki kesadaran akan tanggung jawab.
Patra ber ndak mentaa perintah junjungannya.
Selama raden itu belum menarik perintahnya, dia tetap hendak memotong lidah Kreta, orang yang mengaku peronda malam.
Raden itu terkejut namun ia menyadari bahwa Patra itu seorang yang lugu tetapi taat "Patra, lepaskan !"
Cepat ia memberi perintah. Dan Patra yang selalu taat akan tuannya, segera melepaskan orang itu.
"Sekarang berilah keterangan yang jujur,"
Seru orang berkerudung muka yang disebut raden oleh Patra.
"Baik, raden,"
Kata Kreta. Tetapi sampai beberapa jenak barulah dia berkata "Raden Kuda Panglulut hendak mengantar orang ....
"
"Siapa? "
Kembali agak tersekat kerongkongan Kreta sesaat hendak memberi keterangan tentang soal itu. Tetapi ke ka melihat Patra memberingas hendak maju menghampiri, cepat japun berkata "Seorang utusan ....
"
"Utusan?"
Raden itu terkesiap "dari mana ? "
"Dari ..... dari ...
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"
Katakan yangjelas !"
Hardik raden itu.
"Sriwijaya ...."
"Sriwijaya ?"
Raden itu terperanjat "dari raja Sri Tribhuana Mauliwarman?"
"Bu ..... kan, raden. Tetapi dari De .... mang .... Lebar Daun ". Raden itu terkejut namun ia berusaha untuk menekan perasaannya "Apakah utusan itu sudah menghadap baginda Kertanagara ?"
Tanyanya dergan penuh perhatian.
"Tidak raden,"
Sahut Kreta. Rupanya ia menyadari betapa akibat dari keterangannya itu. Ia tahu siapa raden Kuda Panglulut. Maka sengaja ia menjawab dengan singkat dan membatasi menurut apa yang ditanyakan saja.
"Mengapa? "
"Karena bukan bermaksud menghadap baginda."
"Lalu apa maksudnya? "
"Menghadap ..... gusti patih ...
"
"Patih siapa? "
"Patih Aragani."
Raden itu makin terbelalak "Apa maksudnya ?"
"Maaf, raden,"
Sahut Krcta "dalam hal itu aku tak tahu apa yang dibicarakan."
"Apakah Kuda Panglulut tahu soal itu? "
"Mungkin tetapi aku tak tahu jelas."
Raden itu termenung sejenak lalu berkata pula.
"Baik, karena engkau mau memberi keterangan yang jujur, jiwamu dapat kuampuni. Tetapi masih ada sebuah soal lagi yang harus engkau lakukan."
Diam-diam Kreta girang karena dirinya dibebaskan. Iapun segera meminta supaya raden itu memberi perintah.
"Jawablah pertanyaanku ini."
Kata raden ini.
"adakah engkau mendengar ke ka aku memanggil gadis itu,"
Ia menunjuk ke arah Sedayu. Terlanjur sudah memberi keterangan yang jujur dan merasa bahwa raden itu pas akan mengampuni jiwanya maka Kretapun menjawab dengan sesungguhnya "Ya, mendengar."
Kreta merenung sejenak, katanya "Rasanya memang pernah mendengar nama itu tetapi lupa siapakah dia. Namun tak sukar untuk mencari keterangan tentang dirinya."
"Patra, potong lidahnya !"
Tiba-tiba raden itu berseru kepada Patra.
Bukan saja Kreta yang akan menerima hukuman, bahkan Patra yang diperintah itupun terkejut heran.
Bukankah Kreta sudah memberi ketelengan dengan jujur ? Mengapa raden itu tetap hendak memotong lidahnya ? Namun ia taat akan perintah tuannya dan segera hendak menghampiri Kreta.
"Raden,"
Teriak Kreta setengah menjerit "mengapa raden hendak menghukum aku ? Bukankah aku sudah mentaati perintah raden untuk memberi keterangan yang jujur ? "
"Ya,"
Sahut raden itu dingin "aku pun takkan membunuhmu."
"Tetapi mengapa raden hendak memotong lidahku ?"
Kreta masih penasaran.
"Karena engkau telah mendengar nama gadis itu,"
Kata raden itu.
"Apakah itu salah ? "
"Tidak salah untuk lain orang tetapi salah besar untuk engkau !"
"Mengapa, raden ?"
Seru Kreta makin tidak mengerti.
"Apabila kulepaskan engkau pulang, engkau tentu akan melaporkan hal itu kepada Kuda Panglulut. Dengan demikian jiwa gadis itu pas terancam bahaya. Oleh karena itu agar engkau tak dapat memberi laporan, lidahmu harus dipotong !"
"O.
"
Kini Kreta baru tahu alasan hukuman itu "tetapi raden salah. Walaupun lidahku dipotong, aku masih dapat memberi laporan dengan tulisan."
"Jika begitu tanganmupun harus dipotong."
"Aku masih dapat menulis dengan kaki, raden."
"Kakimu harus dipotong juga."
"Ah,"
Desah Kreta "dengan demikian raden ingkar janji hendak membebaskan aku. Dengan mencincang tubuhku sedemikian rupa, bukankah berarti raden hendak membunuh nyawaku ?"
"Demi menyelamatkan jiwa gadis itu, aku terpaksa harus bertindak begitu."
"Ah, tetapi itu kurang luhur, raden,"
Kata Kreta "bagaimana kalau aku bersumpah bahwa aku takkan melaporkan nama gadis itu kepada Kuda Panglulut atau kepada siapa juga."
"Apa hukumanmu apabila engkau melanggar sumpahmu?"
"Semoga Hyang Syiwa menurunkan tujuh petir untuk menghancur leburkan nsayatku."
"Ah, aku kuatir Hyang Syiwa tak sempat mengurus diri seorang yang melanggar sumpah."
"Baik, raden,"
Kata Kreta dengan nada bersungguh "jika Kreta melanggar janji, bunuhlah hamba."
Raden itu mengangguk "Ingat Kreta, kalau engkau berani melanggar janji, engkau tentu kubunuh!"
Raden itu lalu suruh Patra membuka tali pengikat tangan Kreta kemudian berkata "Sekarang engkau bebas pulang ke Singasari."
Kreta meragu.
Benarkah raden itu akan membebaskan dirinya hanya atas dasar janji saja ? Adakah semudah itu ia memperoleh kebebasan dari suatu kekalahan yang harus dimenangkan musuh dengan susah payah ? Sejenak ia memandang raden itu.
Tiada suatu gerakan apa-apa.
Ia segera ayunkan langkah dan ternyata tetap tak mendapat tegur maupun rintangan.
Tiba- ba ia teringat sesuatu "Raden,"
Ia hen kan langkah "bagaimana dengan ki Siborang yang raden tangkap itu ?"
"Katakan kepada Kuda Panglulut,"
Sahut raden itu dengan nada tenang "selekas patung Joko Dolok kembali ke padepokan empu Paramita di gunung Kawi, selekas itu pula utusan Sriwijaya itu akan kubebaskan di tempat ini."
"Baik, raden,"
Kretapun terbata-bata melanjutkan largkah menuju ke dalam pura. Tak berapa lama bayangannyapun lenyap dalam kegelapan malam. Sementara di tempat pertempuran terdengar raden itu berkata "Terima kasih nini, atas bantuanmu."
"Lalu bagaimana dengan aku, raden Ardaraja,"
Kata Sedayu "berbahayakah kalau aku pulang ke dalam pura ?"
"Silakan pulang nini,"
Sahut raden itu yang tak lain adalah pangeran Ardaraja "jangan kua r, akan kutitahkan orangku untuk melindungi keselamatanmu."
Sedayu menghaturkan terima kasih lalu minta diri.
Tiba di rumah, ia menceritakan semua peristiwa yang terjadi kepada ramanya, tumenggung Wirakreti.
Keterangan Sedayu itu memberi gambaran yang jelas kepada tumenggung Wirakre , siapa, bagaimana dan apa tujuan yang hendak di arah patih Aragani.
"Sedayu,"
Katanya "apa pesan gurumu empu Santasmer ? Adakah beliau p pesan juga kepadaku?"
"Benar rama "
Sahut Sedayu "guru mengatakan kepadaku, Nini, bagaimana cita-cita setelah engkau memperoleh ilmu di pertapaan ini ? Kujawab bahwa aku ingin membak kan diri kepada kerajaan Singasari."
"Bagus, Sedayu,"
Kata tumenggung Wirakreti "lalu bagaimana kata empu ?"
"Beliau memuji juga,"
Nini, jika engkau memang sudah teguh niatmu, akupun tak ragu lagi untuk melepas engkau ke kancah pergolakan yang sedang bergolak di bumi Singasari.
Ketahuilah nini, bahwa sudah menjadi garis ketentuan Hyang Purasa bahwa kerajaan Singasari akan mengalami badai gempa yang dahsyat."
"Maksud guru, akan terjadi peperangan besar di kerajaan Singasari ?"
Aku menegas dengan berdebar-debar.
"Kodrat Prakitri tak dapat dipungkiri, nini. Kesemuanya tak lain adalah karena ulah manusia sendiri. Patah tumbuh, hilang bergan . Yang tua akan lapuk, yang muda akan meremajakannya. Bila nafsu dan klesa sudah meluap ruah, pas akan datang badai besar untuk menyapu dan membersihkan kekotoran itu."
"Namun jangan engkau cemas nini, menghadapi badai dan gempa dahsyat itu. Karena hal itu memang tak dapat dihindari lagi, janganlah engkau lari dari kenyataan. Apapun yang akan terjadi,"
Kata empu Santas merti." ' "Guru, dimanakah aku harus berada ?"
Tanyaku.
"Engkau harus berpijak pada landasan yang kokoh, jangan silau, jangan cemas dan jangan goyah."
"Dimanakah landasan yang kokoh itu, guru ?"
Tanyaku pula.
"Dalam ba nmu sendiri, nini. Tiada landasan yang lebih kokoh daripada ba n kita sendiri ini. Tetaplah berdiri pada cita-citamu. Jangan silau terhadap kekuatan musuh, jangan cemas menghadapi bahaya dan jangan goyah menderita kekalahan."
"Terima kasih, guru,"
Kataku. Ke ka hendak berangkat guru berkata pula "Sampaikan kepada ramamu, nini. Bahwa segala apa yang akan terjadi nan , memang sudah ketentuan yang digariskan dewata. Tetaplah melaksanakan bakti seorang ksatrya."
"Hanya itu pesan empu, nini ?"
Tumenggung Wirakreti menegas. Sedayu mengiakan.
"Baik, kakang Santasmre , aku akan setya pada sumpah keksatryaanku, walau apapun yang akan terjadi nan ,"
Ucap tumenggung Wirakre seorang, diri.
Pandang matanya jauh menerawang ke langit-langit pendapa ke-tumenggungan, seolah ingin menembus ke cakra-wala luas.
Setelah beberapa hari nggal di kediaman ramanya, Sedayu dengan berat ha pamit kepada ramanya "Rama, seharusnya sebagai anak puteri, aku nggal di rumah melayani rama.
Tetapi rama, aku telah terlanjur tenggelam dalam cita cita lain.
Suatu cita-cita yang rama sendiri juga ingin mencapainya.
Perkenankanlah rama, Sedayu melanjutkan cita-cita itu sebagai persembahan bak Sedayu terhadap rama."
Tersentuh ha tumenggung Wirakre di kala menerima permohonan diri puterinya.
Dalam ha kecilnya memang merupakan suatu pukulan bathin yang maha berat untuk berpisah dengan puteri yang amat dicintainya itu.
Apalagi apabila terkenang bagaimana telah lama ibu Sedayu berpulang ke alam baka sehingga ia harus lebih mencurahkan perha an untuk merawat anak itu.
Kini setelah dewata, anak itu mempunyai cita-cita yang berbeda dengan para puteri priagung umumnya.
Sedayu suka akan ilmu kanuragan dan tata baris keprajuritan dan akhirnya ia relakan gadis itu berguru pada empu Santasmerti di pertapaan.
Tumenggung Wirakre juga sibuk dengan tugas-tugas sebagai mentri angabhaya.
Sudah tentu sukar baginya untuk menilik perkembangan puterinya yang sedang menginjak alam kedewasaannya itu.
Maka ia tak ragu lagi untuk mempercayakan pendidikan Sedayu kepada empu Santasmer , bekas pujangga keraton Singasari yang menjadi sahabat baiknya.
Mendengar pesan empu Santasmer yang di pkan Sedayu, makin tenggelamlah pikiran tumenggung Wirakre dalam menung yang semakin tumbuh di ba nnya.
Ia melihat kenyataan keadaan Singasari dengan penuh keperiba nan.
Seri baginda makin tenggelam dalam laut sanjung dan genangan tuak yang dipersembahkan pa h Aragani.
Dan kini setelah tahu ke mana gerangan arah yang dituju patih Aragani, timbullah beringas dalam hatinya.
"Kakang empu Santasmer telah memberi perlambang bahwa apa yang akan menimpa pada kerajaan Singasari memang sudah digariskan dewata. Namun apapun yang akan terjadi, aku Wirakre akan mempersembahkan seperangkat tulang belulangku yang sudah rapuh ini untuk tetap merebahi keutamaanku sebagai seorang mentri setya,"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diam-diam ia berikrar dalam batin.
"Baik, nini. Engkau anak rama tetapi engkau adalah puteri bumi Singasari. Laksanakanlah cita citamu untuk berbak kepada bumi per wi. Semoga Hyang Isywara selalu melindungimu,"
Dengan kata-kata yang singkat dari hati yang tersekat, tumenggung Wirakreti melepas Sedayu.
Sedayu menuju ke Tumapel untuk memenuhi janji dengan Singa Ludira, kakang seperguruannya.
Tiba di gedung kadhyaksan, Sedayu disambut oleh Lembu Mandira, putera empu Raganata.
Setelah memperkenalkan diri maka bertanyalah Sedayu kepala Lembu Mandira "Kakang, dimanakah kakang Ludira?"
"Ludira?,"
Lembu Mandira terkejut "siapakah yang nini maksudkan itu?"
"Oh,"
Sedayu terkesiap "adakah kakang tak kenal dia ?"
"Tidak,"
Lembu Mandira gelengkan kepala. Sedayu tertegun. Adakah Ludira hendak membohonginya? Ah, tak mungkin. Ia cukup faham akan perangai kakang seperguruannya itu. Namun mengapa Lembu Mandira tak kenal kepadanya ? "O,"
Ba- ba mulut Sedayu mendesis keras, pikirannya yang cerdas dapat mengungkap kabut keanehan saat itu.
Ia cepat merangkai dugaan.
Demi untuk keamanan diri tentulah Ludira tak mau memberitahukan namanya kepada Lembu Mandira.
Itulah sebabnya maka putera empu Raganata itu tak kenal siapa Ludira.
Gadis itu segera mendapat akal, tanyanya "Apakah selama ini kakang pernah menerima kunjungan seorang yang aneh ? "
"Aneh? Apa yang engkau maksudkan aneh itu?"
"Misalnya seorang tetamu yang gerak gerik maupun dandanannya serba aneh."
"O, ya, ya, benar."
Kata Lembu Mandira. Karena tahu dara itu puteri tumenggung Wirakre yang bersahabat baik dengan ramanya, maka tanpa ragu-ragu lagi Lembu Mandirapun segera menceritakan peristiwa yang telah terjadi dalam rumahnya beperapa hari yang lalu.
"Itulah,"
Teriak Sedayu sesaat Lembu Mandira menuturkan tentang seorang tetamu yang mengenakan kerudung muka hitam "orang yang menutup muka dengan kain hitam itulah yang kucari."
"O,"
Desuh Lembu Mandira "dia tak datang kemari. Apakah dia berjanji hendak bertemu dengan engkau disini ?"
Belum Sedayu menjawab ba- ba Lembu Mandira terkejut ke ka melihat sesosok tubuh terbungkus pakaian hitam tegak di ambang pintu. Sama sekali ia tak mengetahui dan mendengar gerak kedatangan orang itu.
"Itulah dia, nini,"
Teriaknya sesaat ia teringat akan persamaan bentuk dan corak pakaian orang itu dengan orang yang diceritakan kepada Sedayu tadi. Sedayupun serentak berpaling.
"Maa an, Sedayu, aku terlambat datang,"
Tampak mulut orang itu bergerak-gerak melantang ucap.
"O, engkau kakang,"
Seru Sedayu gembira serta maju menyongsong.
Lembu Mandira mempersilakan kedua taruna itu masuk dan duduk di dalam.
Setelah duduk maka orang berkerudung kain hitam itu atau Singa Ludira namanya "Sedayu, bagaimana suasana pura selama kau tinggal di sana? "
"Seper api dalam sekam,"
Sahut Sedayu. Kemudian ia berpaling ke arah Lembu Mandira lalu memandang Singa Ludira pula "adakah kita harus bicara di sini ? "
Singa Ludira dapat menangkap ar pandang mata Sedayu. Ia tertawa "Ya, di sinilah tempat yang aman. Katakanlah apa yang engkau alami selama berada dalam pura. Adi Mandira ini kawan kita sendiri."
Lembu Mandira tertawa.
Namun diam-diam ia memuji akan sikap Sedayu yang hati-hati itu.
Setelah mendapat keterangan maka Sedayupun menceritakan tentang pengalamannya mengiku rombongan Ardaraja menyergap Kuda Panglulut.
Singa Ludira dan Lembu Mandir terkejut.
"Kiranya ke Sriwijayalah pa h Aragani akan berkiblat,"
Kata Singa Ludira "nini, apakah raden Ardaraja tak berhasil mengetahui apa yang dibicarakan utusan Demang Lebar Daun dengan pa h Aragani?"
"Sayang, tidak,"
Sahut Sedayu... Singa Ludira geleng-geleng kepala "Ah, betapa sayangnya! Pada hal itulah suatu kesempatan yang baik untuk menerkam kelemahan patih Aragani."
"Mungkin raden Ardaraja hanya terpancang untuk mendapatkan kembali patung itu,"
Lembu Mandira ikut buka suara.
"Hm, mungkin demikian,"
Kata Singa Ludira "dan semoga begitulah. Dalam hal itu kitalah yang memperoleh keuntungannya."
"Keuntungan?"
Kata ha Lembu Mandira dan Sedayu yang mengerut dahi dan mencurah pandang kepada Singa Ludira. Pandang yang menuntut penjelasan.
"Benar"
Singa Ludira melanjutkan "memang kita yang memperoleh keuntungan.
Kesatu, kita, mendapat gambaran tentang gerak-gerik pa h Aragani yang nyata-nyata bermain mata dengan Demang Lebar Daun.
Kedua, kitapun memperoleh kesan dari sikap raden Ardaraja.
Menilik betapa gigih dia berusaha untuk merebut kembali patung Joko Dolok itu, dapatlah kita merangkai suatu dugaan bahwa raden itu tentu mempunyai ikatan erat dengan ndakan ayahandanya, raja Jayakatwang.
yang hendak mempersembahkan patung itu kepada srri baginda Kertanagara."
"O,"
Tanpa terasa Lembu Mandira dan Sedayu serempak mendesuh.
"Kalau kita mengambil perumpamaan maka baik pa h Aragani maupun raden Ardaraja itu keduanya merupakan bisul pada tubuh kerajaan Singasari."
"Ah, tetapi aku belum dapat menerima ulasanmu secara keseluruhan, kakang,"
Seru Sedayu.
"Dalam hal apa? Tentang bisul itu ? "
"Benar,"
Sahut Sedayu "jika kakang mengumpamakan pa h Aragani itu sebagai bisul, itu memang dapat kumenger .
Dia memang musuh dalam selimut.
Seorang penghianat.
Tetapi mengapa kakang juga mengatakan raden Ardaraja itu sebuah bisul, walaupun kecil sekalipun ? Aku sungguh belum mengerti, kakang."
"Bertanya adalah sikap seorang yang ingin mencapai kemajuan,"
Kata Singa Ludira "dan pertanyaanmu itu baik sekali, ini. Suatu pertanda bahwa engkau benar-benar menaruh minat besar tentang keadaan tubuh pemerintahan Sicgasari."
"Cukup kakang,"
Tukas Sedayu "aku bertanya karena ingin mendapat keterangan bukan meminta puji."
Singa Ludira mengangguk, katanya "Siapakah yang menitahkan raden Ardaraja untuk merebut kembali patung Joko Dolok itu ?"
"Ayahandanya raja Jayakatwang,"
Seru Sedayu.
"Tepat,"
Sahut Singa Ludira "tak lain tentulah raja Daha. Dengan begitu jelas Jayakatwang itu masih menanam pengaruh atas diri puteranya. Mengapa engkau masih menyangsikan akan keterlibatan Ardaraja dalam peristiwa itu, nini?"
Sedayu tertegun.
"Kesangsianmu itu,"
Kata Singa Ludira lebih lanjut "tentu engkau dasarkan bahwa raden Ardaraja itu adalah putera menantu seri baginda Kertanagara. Tak mungkin raden itu akan sampai ha untuk menghianati rama mentuanya. Bukankah begitu ?"
Sedayu mengangguk.
"Memang saat ini belum tampak tanda-tanda itu,"
Kata Singa Ludira pula "tetapi menurut pengamatan yang kulakukan selama ini, raja Jayakatwang tak pernah melepaskan suatu kesempatan yang memberi kemungkinan kepadanya untuk menyerang Singasari.
Rasa hina atas kekalahan Daha terhadap Singasari lebih menimbulkan dendam dalam ha nya daripada rasa taat dan berterima kasih kepada seri baginda Singasari."
"Apakah dasar daripada penilaian kakang itu ?"
Tanya Sedayu.
"Ada suatu rasa yang terdapat dalam diri manusia. Rasa martabat harga diri yang sering cenderung pada rasa ke-Aku-an. Garis antara martabat dengan rasa ke-Aku-an itu pada umumnya dipertajam dan dipertebal oleh keadaan manusia itu sendiri... Keadaan dalam hidup keduniawiannya, yani harta dan pangkat. Makin banyak orang itu berharta, makin nggi dia berpangkat, makin tebal garis antara martabat dengan rasa ke-Aku-an yang dimilikinya. Martabat yang hakekatnya menunjukkan harkat harga kemanusiannya, dikaburkan dengan rasa keangkuhan dan kemudian lahirlah rasa ke-Aku-annya. Sapa sira sapa ingsun ...
"
"Duh, bapa guru yang mulia. Bukan di sinilah tempat paduka memedar wejangan,"
Serentak Sedayu mengerat kata-kata Singa Ludira yang dianggapnya memberi wejangan tentang sifat kemanusiaan.
"Eh, jangan buru-buru mengerat omonganku, Sedayu,"
Bantah.
Singa Ludira "aku bukan memberi wejangan melainkan hendak memberi isi daripada dasar pembicaraan yang hendak kukatakan kepadamu nan .
Maksudku, pada umumnya rasa ke-Aku-an itu dimiliki oleh orang-orang yang berada, berpangkat dan berkuasa.
Jangan memotong dulu .....
"
Cepat ia mencegah di kala melihat bibir Sedayu hendak bergerak.
"Apalagi seorang putera raja seper Jayakatwang. Walaupun baginda Kertanagara yang melan knya menjadi raja Daha, walaupun baginda Kertanagara berusaha memikat ha dengan mengambil putera Jayakatwang yani pangeran Ardaraja sebagai putera menantu, tetapi raja Jayakatwang tetap memiliki rasa ke-Aku-an. Hanya ke-Aku-an raja Jayakatwang itu bersumber pada asal keturunannya dan binaan yang diderita kakek moyang raja-raja di Daha yang telah dikalahkan Singasari. Jayakatwang tetap berpegang teguh pada martabat harga diri sebagai raja Daha, sebuah kerajaan yang pernah jaya dan besar pada masa yang lampau."
"Tetapi kakang,"
Sanggah Sedayu "salahkah kalau dia memiliki rasa itu ?"
Singa Ludira dengan tegas menggeleng "Tidak, nini. Aku tak dapat menyalahkan dia. Dia memang layak dan harus mempunyai perasaan itu. Hanya saja patut disayangkan bahwa dia tak mau melihat kenyataan."
"Apa maksud kakang ?"
"Kenyataan bahwa seri baginda Kertanagara telah banyak melimpahkan budi kebaikan kepadanya. Kenyataan pula, bahwa puteranya pun diambil putera menantu oleh seri baginda Kertanagara."
"Raja Jayakatwang, bukan seorang raja yang bodoh, kakang,"
Sanggah Sedayu "dia tentu tahu bahwa segala ndakan seri baginda Kertanagara itu dak lain hanya suatu siasat untuk merebut hati Jayakatwang agar tidak mendendam lagi kepada Singasari."
"Benar, nini,"
Kata Singa Ludira "memang segala tindak dan perbuatan itu sesungguhnya memang merupakan upaya atau yang engkau katakan siasat.
Tetapi upaya atau siasat yang dilakukan seri baginda itu bukanlah suatu muslihat yang buruk tetapi demi kebaikan dan kerukunan kedua kerajaan yang terikat dendam bebuyutan.
Salahkah kalau seri baginda Kertanagara hendak mengadakan persatuan, bukan melainkan Daha -Singasari, pun persatuan seluruh nusantara ?"
Sedayu terdiam.
"Dan lagi,"
Kata Singa Ludira pula "tanpa raja Jayakatwang harus menyalakan api dendam bebuyutan terhadap Singasari, bukankah karena seri baginda Kertanegara tak berputera lelaki, kelak kalau seri baginda wafat, maka raden Ardaraja yang akan menggan kan kedudukannya di tahta Singasari ? Tanpa harus menumpahkan darah, melalui puteranya, raja Jayakatwang akan dapat merebut kembali kedaulatan Daha bahkan menguasai Singasari juga."
"Ih, engkau benar, kakang,"
Kata Sedayu.
"Mungkin raja Daha itu mempunyai pendirian lain, kakang,"
Ba- ba Lembu Mandira membuka suara.
"Jika raja Jayakatwang memiliki martabat harga diri sebagai seorang raja keturunan raja Daha, dia tentu juga memiliki rasa dan sifat keksatryaan yang luhur. Bahwa bagi ksatrya seja , ar suatu kemenangan atau hasil itu bukan terletak pada besar kecilnya kemenangan itu, melainkan terletak pada harga dari cara memperoleh kemenangan itu."
Singa Ludira cepat dapat menanggapi dengan menganggukkan kepala. Tetapi Sedayu belum jelas "Apa maksud kata- kata kakang itu ?"
Tanyanya.
"Cobalah engkau terangkan, adi Mandira,"
Kata Singa Ludira tersenyum.
"Rara,"
Kata Lembu Mandira "dimisalkan engkau ingin makan buah jambu. Engkau memilih jambu yang sudah berguguran jatuh di tanah karena ter up angin atau jambu yang dipe kkan orang ?"
"Jambu yang dipetikkan orang."
"Mengapa ? "
"Rasanya tentu lebih manis dan segar."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus,"
Lembu Mandira tersenyum "sekarang jawab lagi. Engkau menyukai mana, jambu yang dipetik orang dan diberikan kepadamu atau engkau sendiri yang memetik ?"
"Lebih menyukai aku sendiri yang memetik."
"Mengapa? "Karena rasanya paling manis."
"Itulah, rara,"
Seru Lembu Mandira "memang segala yang berasal dari jerih payah usaha kita sendiri, akan terasa nikmat sekali. Itu baru jambu, apalagi sebuah tahta kerajaan."
"O, kakang maksudkan raja Jayakatwang hendak merebut dan membangun kerajaan Daha dengan tangannya sendiri ?"
"Bagi seorang ksatrya. hasil dari jerih payah perjuangannya, akan terasa sah dan syahdu."
"Aku teringat sekarang !"
Tiba-tiba dara itu melengking sehingga Lembu Mandira tertegun.
"Engkau ini mengapa, Sedayu? "
Tegur Singa Ludira yang juga ikut terkejut.
"Aku ingat cerita yang pernah dibawakan oleh guru,"
Kata Sedayu "apakah engkau lupa, kakang ? "
"Cerita apa? "
"Cerita Mahabarata tentang kissah kaum Pandawa yang terlunta-lunta di hutan akibat raden Puntadewa di pu kalah main dadu dengan prabu Suyudana dari kaum Korawa. Pada waktu itu dewi Kun , ibunda Pandawa lapar dan menitahkan kedua puteranya raden Bratasena dan raden Permadi untuk mencari makanan. Kedua ksatrya itupun berhasil membawa makanan untuk ibundanya. Tetapi sebelum dahar, dewi Kun sempat bertanya dari manakah makanan itu diperoleh. Raden Permadi mengatakan bahwa makanan itu diperolehnya sebagai tanda terima kasih atas jasanya telah 'meng-atut-kan' atau merukunkan mempelai wanita yang tak mau atut kepada suaminya. Seke ka dibuanglah makanan itu oleh sang Dewi.
"Makanan yang diperoleh dengan cara demikian, tak layak dimakan."
"Hamba memperoleh makanan itu karena dapat mengalahkan seorang jago dari prabu Kangsa,"
Demikian hatur kata sang ksatrya Bratasena.
"Duh, puteraku, makanan yang demikianlah yang layak dipersembahkan seorang ksatrya,"
Kata ibundanya dan seketika didaharnya makanan itu.
"Wah, wah, kalau soal cerita, engkau memang pandai menirukan, Sedayu,"
Goda Singa Ludira.
"Apakah sari pelajaran dari cerita itu tak sama dengan pambek dari raja Jayakatwang seper yang dikatakan kakang Mandira tadi ?"
Kata Sedayu.
"Walaupun sifatnya agak berbeda, tetapi hakekatnya sama. Keduanya menandaskan bahwa hasil dari perjuangan jerih payah secara ksatrya, itulah yang paling syahdu dan nikmat,"
Singa Ludira memberi kesimpulan. Sedayu dan Lembu Mandira mengangguk.
"Kembali pada pembicaraan yang tadi,"
Kata Singa Ludira pula "bahwa persembahan patung Joko Dolok oleh raja Jayakatwang itu hanya suatu siasat pengaburan saja.
Agar baginda Kertanagara terlena dan menghapus kecurigaan terhadap Daha.
Karena jelas, selama beberapa hari meninjau ke Daha, kulihat Daha sedang giat membentuk dan melatih pasukan."
"Tetapi adakah seri baginda Kertanagara dak mendapat laporan tentang gerak-gerik Daha itu ?"
Tanya Sedavu.
"Ya, benar, kakang,"
Seru Lembu Mandira pula "jika menilik bahwa pa h Aragani cenderung berkiblat ke Sriwijaya, tidaklah patih itu akan melaporkan gerak gerik Daha kepada seri baginda ?"
"Pertanyaan adi berdua itu rasanya tentu sudah diperhitungkan raja Jayakatwang,"
Kata Singa Ludira "mereka tentu sudah merancang siasat sedemikian rupa sehingga tak mudah bagi pa h Aragani akan melaporkan kegiatan mereka sebagai suatu persiapan menyerang Singasari.
Pertama, raja Jayakatwang mempersembahkan patung Joko Dolok kepada seri baginda Kertanagara.
Kedua, Daha akan memberi alasan bahwa pembentukan kekuatan itu tak lain untuk memperkuat keamanan Daha dan apabila perlu dapat membantu Singasari dalam menghadapi musuh dari luar.
Nah, apakah seri baginda Kcrtanagara takkan menerima alasan itu ?"
Lembu Mindira mengangguk. Tetapi Sedayu masih mengejar pertanyaan "Bagaimana dengan raden Ardaraja nanti, kakang ?"
"Apabila sampai saatnya,"
Kata Singa Ludira "dia akan menghadapi suguhan 'buah simalakala'. Kalau dimakan, rama mentuanya binasa. Tidak dimakan, rama kandungnya yang mati."
"Lalu menurut pendapat kakang, raden Ardaraja akan memakan buah itu atau tidak?"
"Kurasa, menilik peribadi raden Ardaraja, dia tentu akan memilih memakan buah itu."
"Salahkah itu, kakang ?"
Tanya Sedayu.
"Aku tidak mengatakan salah atau benar."
"Tetapi bagaimana pandangan kakang peribadi ?"
Masih Sedayu mengejar terus.
"Ada ga pandangan,"
Sahut Singa Ludira "dari sudut kepen ngan Daha, ndakan raden Ardaraja itu benar.
Karena dia seorang pangeran Daha yang kelak akan menggan kan tahta ayahandanya.
Tetapi dari pandangan orang Singasari, dia seorang menantu raja yang berhianat.
Tak tahu membalas budi."
"Lalu pandangan yang ketiga?"
Desak Sedayu.
"Dari pandangan orang luar, bukan orang Daha juga bukan orang Singasari. Ardaraja itu seorang yang lemah pendirian. Mudah goyah dan takut kehilangan kenikmatan hidup."
"Bagaimana kakang dapat mengatakan begitu ?"
"Sebagai seorang putera, dia harus dapat menunaikan bhak kepada ayahandanya raja Jayakatwang."
"Maksud kakang dia harus mendukung rencana Jayakatwang atau memakan buah semalakala itu.? "
"Sedayu,"
Kata Singa Ludira "guru telah mengajarkan kita akan berbagai bak .
Di antaranya bak kepada orangtua.
Tetapi beliaupun menandaskan bahwa bak yang murni haruslah berpijak pada Kebenaran.
Memberi penerangan akan pandangan atau pendirian yang keliru dari orangtua, termasuk bak yang murni.
Mendukung perbuatan yang salah, sekalipun yang melakukan itu orangtua, termasuk bak yang salah.
Ardaraja harus berani memberi penerangan dan penjelasan kepada ayahandanya bahwa antara Daha - Singasari sudah tak ada persoalan lagi.
Tanpa peperangan, Singasari pas akan jatuh ketangannya apabila kelak seri baginda Kertanagara wafat.
Untuk meyakinkan ayahandanya, Ardaraja harus berani memberi pertanggungan jawab."
"Andaikata Ardaraja sudah ber ndak demikian namun Jayakatwang tetap berkeras melaksanakan cita-citanya menghancurkan Singasari?"
Tanya Sedayu.
"Jika dia berpijak pada Kebenaran, dia harus mengundurkan diri dari peperangan antara Daha - Singasari nanti. Tidak membela Singasari, tidak berfihak Daha."
"Mungkin dia takut kepada ayahandanya Jayakatwang kalau tak tak mau membantu rencana Daha."
"Itulah yang kukatakan, dia takut kehilangan kenikmatan hidup sebagai putera mahkota Daha."
Kali ini Sedayu tak mengejar pertanyaan lagi. Lembu Mandira juga tertegun. Diam-diam ia memuji ulasan yang tajam dari orang yang pernah menolong ramandanya empu Raganata.
"Lalu bagaimana langkah kita sekarang, kakang ?"
Sesaat kemudian Sedayu bertanya.
"Marilah kita rundingkan,"
Jawab Singa Ludira seraya berpaling kepada Lembu Mandira "Adi Mandira, mengapa empu Raganata tak tampak ?"
Lembu Mandira terbeliak dari menung "O, rama dititahkan menghadap baginda ke Singasari."
"Mengapa ? "
"Utusan raja Kubilai Khan akan datang ke Singasari,"
Kata Lembu Mandira "baginda berkenan menitahkan rama, paman adipa Wiraraja dan adipa -adipa di daerah ikut dalam penyambutan itu agar menyemarakkan kewibawaan seri baginda, setelah itu seri bagindapun akan berkenan menghadiri upacara penegakan patung Joko Dolok."
Singa Ludira terkejut "Ah, tentu akan terjadi peris wa lagi dalam penyambutan perutusan raja Kubilai Khan itu nanti."
"Benar,"
Lembu Mandira menanggapi "rama-pun mengua rkan hal itu, kakang. Seri baginda sedang dimabuk keagungan, mudah terkecoh oleh anjuran-anjuran pa h Aragani yang tentu akan berusaha untuk memperuncing suasana hubungan Singasari dengan negara Cina."
Sedayu ikut buka suara "Menurut rama, raja Tartar Kubilai Khan itu memang seorang raja yang berwatak amangkara, haus kekuasaan.
Dia berasal dari suku Tartar, keturunan maharaja Jengis Khan yang pernah menguasai hampir seper ga bagian jagad.
Setelah dapat menguasai negeri Cina, Kubilai Khan masih hendak meluaskan kekuasaannya ke daerah selatan.
Singasaripun hendak dipaksanya supaya menghaturkan upeti."
"Memang,"
Kata Singa Ludira "dalam mempertahankan kedaulatan dan kewibawaan negara, tepat sekali apabila seri baginda Kertanagara menolak tuntutan raja Kubilai Khan itu.
Bukankah kalian sendiri juga demikian? Relakah engkau adi Mandira dan engkau nini Sedayu, apabila Singasari menyerah tunduk pada Kubilai Khan ?"
"Tidak ! "
Sahut Lembu Mandira dan Sedayu serempak "selama kami masih bernapas, tak ingin kami melihat peris wa itu. Sebagai tebusan tekad kami, kami akan mempersembahkan jiwa dan raga kepada bumi Singasari."
Singa Ludira mengangguk "Bagus, adi berdua. Berbahagialah negara dan bangsa yang mempunyai putera puteri seperti kalian."
Hening beberapa saat. Singa Ludira diam merenung.
"Apabila seri baginda menolak permintaan raja Kubilai Khan,"
Katanya beberapa saat kemudian "memang sudah selayaknya. Tetapi aku kua r, penolakan itu akan dilakukan dengan cara yang kurang layak sehingga pendirian yang layak itu akan rusak."
"Apa maksud kakang ?"
Tanya Sedayu.
"Bukankah patih Aragani akan berusaha untuk memperuncing hubungan antara Singasari dengan Kubilai Khan ? Oleh karena itu patut kita kuatirkan bahwa seri baginda Kertanagara akan termakan hasutan patih itu untuk bertindak di luar kewajaran tata kenegaraan dalam memperlakukan seorang utusan. Dan hal itu tentu akan menimbulkan kemarahan raja Kubilai Khan. Bukankah hal itu akan mengundang bahaya bagi Singasari?"
Lembu Mandira kerutkan dahi.
"Se ap ndakan yang menimbulkan kemarahan Kubilai Khan, tentu akan berakibat panjang. Bukan mustahil Kubilai Khan akan mengirim pasukan untuk menuntut balas atas hinaan yang diterima utusannya itu,"
Kata Singa Ludira. Sejenak ia melepaskan pandang ke arah Lembu Mandira dan Sedayu, lalu berkata pula "hal ini bukan berar bahwa kita takut berperang melawan pasukan Tartar."
"Kalau memang harus demikian, terpaksa Singasari tentu akan mengangkat senjata. Dan kalau kakang berpendapat bahwa kita tak takut berperang melawan orang Tartar, lalu apa yang kakang kuatirkan lagi ?"
Kembali Sedayu tampil dengan pertanyaannya yang tajam. Singa Ludira mengangguk.
"Takut pada bangsa awak sendiri,"
Kata Singa Ludira raja Jayakatwang seper kutu busuk yang menggerago dari dalam. Suatu peperangan dengan pasukan Kubilai Khan akan membuka kesempatan luas bagi kedua musuh dalam selimut itu untuk melaksanakan rencananya."
"Tepat sekali ulasan kakang itu,"
Seru Lembu Mandira "ramapun berpendapat begitu."
"Lalu bagaimana tindakan kita ?"
Tanya Sedayu.
Singa Ludira menghela napas kecil "Untuk sementara ini, kita iku saja perkembangan suasana dulu.
Dalam se ap kemungkinan yang memungkinkan, kita harus berusaha untuk mencegah hal-hal yang membahayakan negara.
Setelah empu Raganata pulang, kita nan berunding lagi dengan beliau."
Lembu Mandira dan Sedayu mengangguk-angguk.
"Sedayu, apakah engkau hendak kembali ke pertapaan ?"
Tanya Ludira. Sedayu mengatakan bahwa ia akan kembali ke pura Singasari saja agar dapat mengiku perkembangan yang akan terjadi.
"Dan engkau sendiri bagaimana kakang?"
Sedayu balas bertanya.
"Kakang,"
Serentak Lembu Mandira berkata "apabila dak menampik, sukalah kakang nggal di sini saja.
Jarak Tumapcl - Singasari dekat sekali, se ap saat dapatlah kakang menyelidiki suasana dalam pura.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan kedua kali, sambil beristirahat kita tunggu kedatangan rama."
"Baik, adi Mandira,"
Kata Singa Ludira "tetapi kita harus ingat bahwa musuh se ap saat siap untuk menerkam kita.
Janganlah kita sampai lengah untuk berjaga diri.
Oleh karena itu, walaupun aku menerima tawaran adi menginap di sini tetapi janganlah adi mengatakan hal itu kepada siapapun juga.
Dan lagi akupun dak terus berada di sini, melainkan akan bergerak mencari berita.
Oleh karena itu, janganlah adi risaukan tentang kehadiran dan kepergianku yang tak menentu di rumah adi ini." ~dewi.kz^ismo^mch~ II Berita tentang kedatangan utusan maharaja Kubilai Khan, tersebar luas menjadi buah bibir seluruh rakyat Singasari.
Sudah umum bahwa se ap peris wa itu akan menimbulkan berbagai macam pembicaraan.
Pembicaraan yang berisi tafsiran dan penilaian, dilanjutkan pula dengan sikap dan tanggapan atas peristiwa itu.
Kebanyakan orang menyangka bahwa maharaja Tartar itu tentu hendak memaksa Singasari supaya menghaturkan gelondong pengareng-areng atau bulu-bekti kepada kerajaan Cina.
Sudah dua tiga kali utusan Kubilai Khan berkunjung ke Singasari untuk mengadakan hubungan, kemudian menjalin persahabatan dan lalu meningkatkannya dengan permintaan supaya Singasari mengakui kekuasaan Kubilai Khan sebagai maharaja di-raja atau raja dari sekalian raja.
Dan sebagai tanda pengakuan itu, raja-raja harus menghaturkan bulubekti kepada Kubilai Kuan.
Dalam menanggapi maksud perutusan Kubilai Khan itu, sudah berulang kali beri baginda Kertananara menolak tuntuian itu.
Singasari sebuah kerajaan besar yang berdaulat.
Hubungan dengan kerajaan Kubilai Khan hanya atas dasar persahabatan bukan sebagai negara yang di bawah kekuasaannya.
Tetapi ada pula lain tafsiran yang menyimpang dari tafsiran umum.
Yalah bahwasanya perutusan Kubilai Khan itu tak lain hanya bermaksud hendak meminang puteri-puteri seri baginda Kertanagara yang termasyhur can k jelita itu.
Bukankah ap kali Singasari mendapat kunjungan dari raja-raja mancanagara yang berkeinginan untuk mempersun ng puteri can k yang menyemarakkan kemasyhuran pura Singasari ? Demikian alasan mereka.
Bahkan ada pula yang memberi tafsiran lebih aneh, makin menyimpang dari pikiran orang.
Yalah bahwasanya raja Kubilai Khan mengagumi kebijaksanaan seri baginda Kertanagara dalam membina kerukunan hidup ke ga aliran agama menjadi agama Tripaksi.
Oleh karena itu Kubilai Khan hendak mengaji pelajaran itu dari Singasari.
Memang segala tafsiran boleh mbul dan segala kemungkinan dapat terjadi.
Tetapi yang jelas mbulnya gairah penafsiran itu merupakan suatu gejala .yang menggembirakan bahwa rakyat Singasari amat menaruh perha an akan peris wa yang menyangkut kepen ngan negara.
Gairah itulah yang menjadi landasan kuat pada semangat rakyat untuk ikut serta memikirkan negara.
Hari itu pura Singasari bagai digenangi lautan manusia.
Seluruh kawula, tua muda, besar kecil, lelaki perempuan dari seluruh lapisan dan golongan, bertumpah ruah memenuhi alun-alun keraton.
Tampaknya penyambutan utusan Cina itu akan dilakukan dengan upacara kebesar yang mewah.
Balairungsari yang terletak di alun-alun, dihias megah sekali.
Umbul-umbul janur kuning, panji-panji beraneka warna, patak-pataka lambang berbagai kelompok pasukan kerajaan Singasari, tegak berjajar jajar dengan perkasa.
Kemeriahan barisan itu disemarakkan pula oleh gaba-gaba dari kain sutera warna merah dan putih.
Beberapa hari sebelumnya, para bintara telah berkeliling ke seluruh pelosok negeri, memalu bende dan canang, mewartakan kepada seluruh kawula akan kedatangan perutusan dari negara Cina.
Maka tak mengherankan apabila pada hari penyambutan itu ba, hampir seisi negara berdesak-desak memenuhi halaman balairungsari.
Tak berapa lama terdengarlah sangsakala meraung-raung dan bendepun gegap gempita mendengung-dengung dalam irama yang bersemarak.
Berhenti sejenak maka seorang bintara prajurit segera memukul bende dan memaklumkan tentang datangnya rombongan utusan dari mancanagara.
Seusai pengumuman, gamelanpun menggelegar pula mengalunkan irama penyambutan yang meriah.
Tak lama kemudian muncullah sebuah iring-iringan prajurit bertubuh nggi besar tegap perkasa, bersenjata tombak dan pedang, mengiringkan lima pria a-sing yang berbusana indah megah.
Gegap gempita rakyat menyambut perutusan itu dengan tampik sorak yang seolah menggetar angkasa.
Beribu-ribu pasang mata mencurah ruah pada iring-iringan perutusan kerajaan Cina itu.
Seragam keprajuritan dari para prajurit pengawal, senjata dan potongan tubuh mereka, mendapat sorotan yang tajam dari seluruh rakyat yang berada di alun-alun itu.
Terutama kelima pria setengah baya yang berpakaian indah, mengenakan kopiah kain penutup kepala yang terbuat dari sutera alam atau ulat sutera warna hitam.
Jika rambut dari orang Singasari disanggul ke atas kepala, tetamu agung dari negeri Cina itu lain lagi.
Mereka melingkarkan rambutnya dalam rangkaian berbentuk kuncir yang menggelantung di belakang tengkuk kepala.
Setelah ba di balairungsari, rombonaan utusan Kubilai Khan itu tegak menghadap ke arah persada agung yang akan menjadi tempat seri baginda Kertanagara menyambut mereka.
Utusan maharaja Kubilai Khan itu dikepalai Meng Ki, seorang mentri kerajaan Cina yang termasyhur cerdik cendekia, fasih merangkai kata, memiliki pengalaman luas dalam mengarungi empat penjuru buana dalam rangka melaksanakan tah maharaja Kubilai Khan yang hendak menguasai dunia.
Kubilai Khan memilih Meng Ki sebagai mentri yang mengepalai perutusan ke Singasari.
Kapal mereka berlabuh di perairan Ujunggaluh dan setelah mengirim bentara untuk menghaturkan warta kehadapan seri baginda Kertanagara di Singasari maka seri bagindapun berkenan menitahkan mereka menghadap.
Meng Ki disertai lima orang mentri pembantu dan sepuluh prajurit pilihan, menghadap seri bginda Kertanagara di Singasari.
sementara awak kapal yang terdiri dari prajurit- prajurit di tahkan nggal di kapal.
Kedatangan mereka ke Singasari itu membawa pesan persahabatan dari raja Kubilai Khan.
"oleh karena itu kurang layak kalau, membawa serta pasukan bersenjata mengbalap ke Singasari. Namun sekalipun demikian, Meng Ki tetap menghias rombongan perutusannya itu dengaa kewibawaan yang megah seper yang terlihat dari corak pakaian seragam kesepuluh prajurit pengawal dan keagungan busana yarg dikenakannya sendiri bersama keempat pembantunya. Tak berapa lama dari kehadiran utusan Cina itu maka terdengarlah sangsakala meraung-raung membelah dirgantara sebagai tanda penyambutan kehadiran angkatan perang Singasari yang mengiring seri baginda Kertanagara, raja yang dipertuan dari kerajaan Singasari. Seri baginda duduk diatas sebuah tandu yang dihias indah, bersalutkan ukir-ukiran naga bersisik kencana, dipikul oleh delapan prajurit perkasa. Seorang bentara menyanggah sebuah payung kebesaran, terbuat dari kain sutera warna kuning emas, bertabur sulaman bunga padmanaba, menaungi sang Jaana kekasih dewata dari sengatan surya di pagi hari. Di belakang usungan tandu agung itu beriringlah para mentri, gus , tanda, senopa , nayaka, tamtama dan perwira, bersenjata lengkap dalam busana seragam angkatan masing-masing.
"Dhirgahayu sang nata yang mulia ! "
Gegap gempita para kawula bersorak menyambut iring- iringan baginda.
Dan tatkala seri baginda tiba di balairungsari maka bagaikan lautan padi yang merunduk ditiup angin, beribu-ribu rakyat di sekeliling bangsal kencana itu serempak menundukkan tubuh memberi sembah.
Meng Ki dan rombongannya benar benar terkesiap dan terkesan menyaksikan kepatuhan rakyat Singasari kepada rajanya.
Mereka merasa bahwa baginda Kertanagara itu lebih mempunyai wibawa pada rakyatnya daripada raja Kubilai Khan di mata rakyat Cina.
Dari tata cara iring iringan yang membawa seri baginda Kertanagara ke balairungsari, Meng Ki mendapat kesan bahwa Singasari memang memiliki tata keprajaan yang rapi dan tertib.
Setelah baginda naik keatas persada maka gemuruhlah sorak sorai para kawula mengalunkan puji persembahan "Dhirgahayu sang Nata Singasari! Semoga Hyang Syiwa-Buddha selalu melindungi Singasari!"
Kemudian para mentri, tanda, gus dan segenap senopa dan bhayangkara duduk bersimpuh sila seraya mengunjuk sembah ke bawah duli baginda.
Setelah upacara peradatan selesai maka tampillah utusan Kubilai Khan kehadapan seri baginda.
Mereka dak duduk bersila melainkan membungkukkan tubuh dalam-dalam hingga kepala hampir menyentuh lantai lalu merangkapkan kedua tangan memberi hormat kepada baginda.
Rupanya memang demikianlah adat istiadat di negeri mereka apabila menghadap raja.
Baginda Kertanagara mengamat-amati tingkah laku para utusan Cina itu dengan perasaan kurang puas.
Para mentri dan senopatipun tak senang hati.
Mereka menganggap tingkah para utusan itu kurang menghormat terhadap seri baginda.
Namun karena tetamu, seri bagindapun tak menegur mereka.
Diantara rombongan mentri yang ikut hadir dalam upacara peayambutan itu tampak pula pa h Aragani, adipa Wiraraja, kepala Angabhaya tumenggung Wirakreri, empu Raganata sebagai kepala dharmadyaksa dan pangeran Ardaraja putera menantu baginda.
Mereka duduk berjajar-jajar di kedua sisi baginda.
"Paman Aragani,"
Ujar baginda "tanyakanlah kepada utusan raja Kubilai Khan itu, apa gerangan maksud mereka menghadap kami."
Araganipun segera menyampaikan titah seri baginda kepada kepala perutusan Meng Ki. Kepala perutusan Kubilai Khan itu membungkukkan tubuh sebagai persembahan hormat menyambut tisah itu.
"Tuanku pa h kerajaan yang mulia,"
Seru Meng Ki dengan suara lantang "kami diutus maharaja Kubilai Khan yang dipertuan dari negeri Cina, raja yang sak keturunan Jengis Khan.
Putera langit yang direstui dewa untuk menguasai bumi naga, raja dari sekalian raja, untuk menghaturkan bingkisan ke hadapan baginda Singasari yang mulia.
Sebagai tanda hubungan tali persahabatan antara kedua raja yang berkuasa di kerajaan Cina dan Jawadwipa."
Berhen sejenak maka Meng Kipun melanjutkan pula "Adalah suatu kenyataan yang bersejarah bahwa sejak dahulu kala kerajaan-kerajaan di Jawadwipa selalu melanjutkan hubungan dengan raja dari benua Cina.
Dan raja-raja di Jawadwipa dengan sangat bijaksana mengakui akan adanya kekuasaan dan perlindungan yang telah diberikan kerajaan Cina sehingga kerajaan yang terbentang luas di laut selatan sebagai untaian ratna mutu manikam dari beribu-ribu pulau besar dan kecil, selalu aman dan sentausa.
Dan sebagai tanda persahabatan yang kekal itu maka raja-raja Jawadwipa selalu menghaturkan upeti kepada raja Cina."
"Maka baginda Kubilai Khan berkenan mengirim hamba sebagai perutusan yang hendak menyampaikan harapan agar adat yang elok bijaksana dalam hubungan antara raja Jawadwipa dengan kerajaan Cina dan yang telah berlangsung ratusan tahun itu, seyogianya di langsungkan pula. Agar kerajaan Jawadwipa senan asa mendapat naungan dari kebesaran maharaja Kubilai Khan yang menguasai seper ga belahan bumi dan yang menjadi pusat peradaban dunia. Seri baginda yang mulia, hamba persembahkan bingkisan tanda persahabatan dari baginda kami seri maharaja Kubilai Khan. Semoga seri baginda Singasari yang mulia berkenan menerima maksud yang diharapkan baginda Kubilai Khan."
Meng Ki segera menghaturkan sebuah bungkusan kain sutera warna kuning yang dipateri dengan lak merah berlukis huruf-huruf Cina, ke hadapan pa h Aragani.
Pa h itupun segera meyambu dan mempersembahkan ke bawah duli baginda Kertanagara.
Tetapi seri baginda hanya ber tah dengan nada datar "Bukalah paman, agar sekalian mentri, senopati kami mengetahui apa isi bingkisan itu."
Patih Aragani segera melakukan titah baginda. Bingkisan itu berisi sepucuk sampul warna merah dan dua bentuk tusuk kundai dari batu pualam putih bertabur permata yang memancarkan tujuh cahaya pelangi.
"Bacalah surat itu keras-keras paman agar seluruh narapraja dan hulubalang kami mengetahui bunyinya,!"
Titah baginda Kertanagara.
Maka pa h Araganipun segera membaca surat itu dengan suara yang lantang.
Suasana hening senyap.
Seluruh perha an para mentri, senopa dan para kawula yang berada di sekitar balairungsari itu tertumpah mendengarkan bunyi surat dari maharaja Kubilai Khan itu.
Kami, maharaja Kubilai Khan, putera langit yang menguasai seluruh benua Cina dan penguasa dari seper ga daratan dunia, melayangkan nawala ini ke hadapan Kertanagara, raja Jawadwipa yang berpusat mamerintah di Singasari.
Mendengar kata-kata yang termaktub dalam pembukaan surat itu, gemuruhlah seluruh rakyat yang memenuhi sekeliling balairungsari.
Para mentri, gusti, tanda, rakryan dan hulubalang meregangkan kepala, menggigil geram.
Berapa sombonglah raja Kubilai Khan itu menganggap dirinya sedemikian agung dan memandang rendah kepada baginda Kertanagara.
Pa h Aragani cepat memberi isyarat dengan mengangkat tangan, meminta rakyat tenang dan mendengarkan pembacaannya lebih lanjut.
Pertama-tama, kami menyampaikan salam hangat kepada raja Kertanagara sahabat kami yang berkuasa di Singasari.
Sebagai mana raja-raja Jawadwipa dahulu kala selalu menjadi sahabat kami dan selalu setya melangsungkan persahabatan itu karena merasa aman sejahtera menjadi sahabat dalam naungan kekuasaan kami.
Semoga persahabatan yang telah terjalin dari zaman ke zaman itu akan tetap lestari kekal sampai ke akhir zaman.
Adapun maksud kami mengutus mentri kami yang bernama Mi Yetsimu beserta rombongan untuk menghadap yang mulia di Singasari, tak lain hanya bermaksud hendak melangsungkan kelestarian daripada tali persahabatan kita itu, Dimana sebagai tanda persahabatan, kerajaan Jawadwipa selalu menghibur kami dengan mempersembahkan bulubekti tanda kenang-kenangan ......
Membaca sampai disitu, pa h Aragani terpaksa harus berhen karena merasa terganggu oleh hiruk-pikuk teriakan rakyat yang marah.
"Usir utusan Cina !"
"Singasari tak sudi tunduk pada raja asing! "
"Bunuh saja utusan raja Kubilai Khan orang kurang ajar itu! "
"Ya, bunuh ! Bunuh ! Bunuh ...."
Demikian pekik teriakan sekelompok anak muda yang segera disambut dengan gegap gempita oleh segenap rakyat.
Mereka mengacungkan tinju keatas dan menggeram-geram.
Suasana makin genting dan panas karena amarah rakyat yang meluap- luap.
Walaupun tak menger bahasanya tetapi melihat sikap dan gerak tangan segenap rakyat yang mengelilingi balairungsari itu, rombongan perutusan menyadari akan hangatnya suasana.
Kesepuluh prajurit Tartar yang bertubuh nggi kekar, berpakaian seragam keprajuritan warna kuning dan merah, mengenakan topi baja berhias bulu merak itu, serempak tegak bersiap untuk menghadapi se ap kemungkinan.
Mereka bertugas untuk melindungi keselamatan mentri Mi Yetsimu atau Meng Ki dan rombongannya.
Meng Ki sendiri tetap tenang.
Pa h Aragani mengangkat tangan nggi, memberi perintah agar rakyat di sekeliling tempat itu tenang.
Kemudian ia melanjutkan pembacaannya .
Dan sebagai tanda persahabatan itu, kerajaan Singasari diharap dengan segala kerelaan dan kepatuhan, akan menghaturkan upe kepada kami sebanyak lima karung perak, lima karung emas dan seratus karung rempah-rempah hasil keluaran bumi Jawadwipa ....
"Tidak! .... Tidak! Kami tak sudi memberikan sekian banyak barang kepada Kubilai Khan! "
"Persetan Kubilai Khan, kami bukan hambamu! "
"Singasari jaya ! .... Kubilai Khan sirna ...!"
Kembali pekik jeritan rakyat menggelegar bersahut-sahutan.
Mereka makin panas sekali mendengar permintaan Kubilai Khan yang terlalu congkak itu.
Karena terdapat gejala-gejala yang akan menimbulkan gerakan yang sukar terkendalikan maka prajurit-prajurit penjaga keamanan segera ber ndak untuk menenangkan mereka.
Prajurit-prajurit itu telah mendapat perintah, betapapun yang akan terjadi, yang pen ng rakyat harus dicegah jangan sampai bertindak menurut kehendaknya sendiri.
Setelah suasana tenang maka patih Araganipun membaca lagi.
Selain barang barang persembahan itu, kami-pun berkenan hendak meningkatkan persahabatan itu menjadi tali kekeluargaan.
Maka dengan ini kami mengirim dua bentuk tusuk kundai yang terbuat daripada batu pualam kumalasari yang amat berkhasiat, dihias dengan seikat intan bahaduri tak ternilai indahnya, sebagai persembahan maksud kami uptuk meminang kedua puteri paduka.
Agar lengkaplah istana kami berseni arakkan ratu-ratu kembang dari segala penjuru kerajaan yang bernaung di bawah perlindungan kami.
Semoga paduka berbahagia.
Kami, Khan agung penguasa sepertiga belah jagad, KUBILAI Apabila gunung Arjuna dan gunung Kelud serta Bromo meletus dengan serempak, rasanya dak segempar itu bagi kawula Singasari yang sedang berada memenuhi balairungsari alun-alun Singasari pada saat mereka mendengar isi surat Kubilai Khan yang hendak meminang kedua puteri seri baginda Kertanagara.
Betapa kurang ajar raja Tartar itu berani mengatakan bahwa kedua puteri seri baginda Kertanagara itu hendak dijadikan penghias istana.
Ar nya bukan menjadi permaisuri melainkan hanya sebagai selir.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seke ka bangsal balairungsari bergetar-getar seper hendak roboh ke ka beribu-ribu rakyat bergerak hendak menyerbu ke dalam bangsal.
Mereka hendak membunuh rombongan Meng Ki.
"Bunuh utusan raja Tartar !"
"Bunuh Kubilai Khan si angkara murka ! "
"Bunuh ..... ! Bunuh ....."
"Gantung saja orang-orang biadab itu !"
Betapa susah payah prajurit-prajurit keamanan berusaha untuk merintangi rakaat yang hendak mengamuk, menyerbu ke dalam bangsal agung.
Mereka benar-benar kalap.
Suasana seperti geger.
Melihat itu gemetarlah kelima utusan Kubilai Khan.
Mereka tahu betapa besar kemarahan rakyat.
Kesepuluh prajurit pengawal yang gagah perkasa itupun merasa ngeri juga.
Mereka menyadari, walaupun dapat membunuh beratus-ratus rakyat Singasari, tetapi akhirnya mereka tentu tak mampu melindungi keselamatan mentri junjungannya dari amukan rakyat kalap itu.
Bahkan mereka sendiripun pasti akan kehilangan jiwa.
Segenap mentri.
hulubalang yang berada dalam balairungsari itupun ikut terhanyut dalam gelombang amarah rakyat.
Mereka menganggap surat raja Kulilai Khan itu sangat menghina sekali kepada seri baginda Kertanagara, menganggap remeh pada Singasari.
Baginda Kertanagara sendiripun merah wajahnya.
Sepasang mata bundar baginda tampak membulat dan memancarkan api.
Diantara suasana yang panas dibara api kemaahan itu, hanya adhyaksa empu Raganata yang masih tampak tenang.
Rupanya baginda memperhatikan sikap empu Raganata itu.
"Patih Aragani, tenangkanlah para kawula,"
Titah baginda.
Aragani menuju ke pintu, mengangkat tangan ke atas dan berteriak nyaritg-nyaring "Para kawula Singasari yang peiwira, tenanglah, tenanglah, tenanglah .......
Kami tahu bagaimana perasaan kalian tetapi tenanglah.
Kami dapat mengatasi persoalan itu, percayalah .......
!"
Namun rupanya di mata kawula Singasari, pa h itu tak mempunyai pengaruh.
Rakyat tetap tak mengindahkan seruan pa h Aragani.
Mereka tetap hiruk-pikuk, hingar bingar meluapkan amarah dengan mengacungkan tinju.
Akhirnya baginda Kertanagara sendiri terpaksa beranjak dari persada lalu berjalan menuju ke pintu.
Belum baginda melantangkan titah maka sekalian rakyatpun sudah diam.
"Kawula Singasari yang gagah perwira,"
Seru baginda "kami tahu betapa perasaan kamu sekalian.
Surat dari raja Tartar itu memang amat menghina kami, raja Singasari, junjungan yang kamu horma sebagai pengayom sekalian kawula Singasari dan sebagai Jina yang memberi sinar gemilang pada agama Tantrayana.
Tenanglah dan persembahkanlah ketaatanmu kepada rajamu.
Berbesar ha lah hai kawula Singasari sekalian bahwa raja sesembahanmu takkan tunduk pada kekuasaan raja Kubilai Khan."
Mendengar tah itu sekalian rakyat menundukkan kepala memberi sembah ke arah seri baginda seraya mempersembahkan doa puji "Jayalah sri Batara Syiwa-Buddha yang mulia !"
Demikian dengan turun tangannya baginda Kertanagara rendiri maka suasana yang gawat itu dapat dikuasai lagi.
Namun setelah duduk di atas persada pula, tampak wajah baginda merah membara.
Permintaan raja Kubilai Khan supaya Singasari menghaturkan upe benar-benar menggeramkan.
Dan peminangan raja Kubilai Khan kepada kedua puteri baginda, amat menyakitkan ha sekali.
Suatu hinaan yang takkan terhapus selama lamanya.
Baginda Kertanagara juga seorang raja yang bersikap ahangkara.
Dia menganggap dirinya sebagai penjelmaan dari Syiwa-Buddha.
Dia telah melakukan pentahbisan sebagai Jnana.
Diapun merasa memiliki kesaktian dan kekeramatan yang tiada taranya.
Sudah tentu dia tak sudi tunduk pada kekuasaan Kubilai Khan.
Lebih lebih menyerahkan kedua puterinya untuk dijadikan selir raja Kubilai Khan.
"Kubilai Khan terlalu menghina aku!"
Pikirnya. Segera ia memberi isyarat kepada pa h Aragani supaya maju ke hadapannya.
"Bagaimana pendapat paman Aragani atas sikap yang kurang tata dari raja Tartar itu ?"
Ujar baginda.
"Gus junjungan seluruh kawula Singasari yang hamba horma ,"
Sembah pa h Aragani "sesungguhnya mereka hanyalah utusan belaka.
Tetapi mengingat yang mengutus itu amat pongah dan sedemikian berani menghina paduka maka hendaknya paduka menjatuhkan hukuman kepada utusan itu agar Kubilai Khan sadar akan kesalahannya."
"Hm,"
Desuh baginda "memang kurasa juga demikian.
Aku ingin menghajar adat kepada Kubilai Khan supaya janganlah dia terlalu memandang rendah kepada singasari.
Tetapi bagaimana kira-kira hukuman yang layak tetapi yang dapat memberi kesan kepada raja Tartar itu, patih?"
"Menurut hemat pa h,"
Sembah. Aragani "hukuman itu tak perlu suatu pidana yang berat, misalnya pidana ma tetapi cukup yang ringan namun mengesankan agar mereka dapat pulang untuk membawa hukuman itu kehadapan raja mereka."
"Apa misalnya ? "
"Cacah muka mereka atau potong salah sebuah indera mukanya, daun telinga atau hidung atau mata, tentu akan memberi kesan kepada rajanya."
Sebelum baginda memberi keputusan dan sebelum rasa kejut yang menyesak dada para mentri hulubalang sempat menyeruak keluar, ba- ba terdengarlah sebuah suara yang parau berdatang sembah "Duh, gus junjungan hamba dan seluruh kawula Singasari yang mulia.
Hendaknya hamba mohon paduka jangan, berkenan menerima usul-rakryan patih itu .....
"
Kertanagara berpaling kearah orang yang berkata itu. Ah, empu tua Raganata. Seke ka baginda mengerut dahi dan merasa tak senang. Para mentripun meregang wajah.
"Mohon diampunkan atas kelancangan hamba mempersembahkan pendapat ini, gusti,"
Kata empu Raganata pula "namun telah menjadi pendirian Raganata yang hina dina ini, bahwa selama hayat masih terkandung dalam tubuh yang sudah bertulang rapuh ini, Raganata tetap akan berbicara demi menjaga kepentingan kerajaan paduka.
Mereka hanyalah utusan belaka yang tak tahu hitam putihnya tugas yang dilaksanakan.
Mereka hanya melakukan titah raja mereka untuk mempersembahkan nawala kebawah duli paduka.
Setiap utusan, menurut hukumnya, harus diperlakukan dengan layak ....
"
"Utusan adalah duta atau wakil dari raja dan negara yang mengutusnya. Betapapun dia wajib bertanggung jawab atas isi dan maksud tugas perutusan itu."
"Menurut pengetahuan Raganata yang picik, sekalipun utusan itu membawa surat tantangan perang, pun harus jangan diganggu ....
"
"Sekalipun utusan itu menghina seri baginda ?"
Cepat Aragani menukas "ah, jika demikian halnya, adakah empu menghendaki agar seri baginda menjamu mereka dengan kehormatan besar dan memberi hadiah yang berharga karena mereka membawa perutusan yang menghina baginda?"
Wajah baginda bertebar merah.
"Bukan demikian ki patih,"
Sahut empu Raganata "aku tidak pernah mengatakan bahwa utusan itu supaya dijamu dengan penuh kehormatan dan diberi hadiah yang berharga.
Kurasa para rakryan mentri dan senopati yang hadir disini tentu tak mendengar ucapanku begitu dan akupun juga tak bermaksud begitu."
"Lalu bagaimana kehendak empu ? "
"Aku hendak mempersembahkan permohonan kepada baginda agar baginda berkenan melepas mereka pulang dengan membawa surat balasan kepada raja Kubilai Khan."
"Empu Riganata yang bijaksana,"
Seru pa h Aragani tanpa menghiraukan bahwa saat itu yang berkuasa menitahkan se ap mentri berbicara adalah baginda.
Sebelum mendapat perkenan baginda, dak diberarkan mentri siapapun yang bicara.
Apalagi tanya jawab sendiri seper yang dilakukan pa h Aragani terhadap empu Raganata itu "sungguh tuan luhur budi terhadap seorang utusan yang jelas menghina seri baginda.
Tetapi apakah tuan menutup mata akan kenyataan yang terjadi di luar balairungsari dimana rakyat sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi ? Mereka dak merelakan utusan itu menghina junjungan yang mereka muliakan.
Adakah tuan hendak menentang kehendak rakyat ? Adakah kebaikan tuan terhadap utusan Kubilai Khan itu lebih tuan memberatkan daripada kecintaan tuan kepada para kawula dan kesetyaan tuan terhadap seri baginda ?"
Menyadari bahwa serangan kata-kata tajam dari pa h Aragani itu dapat membahayakan keselamatan empu Raganata maka tumenggung Wirakre segera mempersembahkan kata "Gus junjungan hamba yang mulia, sesembahan seluruh kawula Singasari.
Mohon gus memperkenankan hamba, Wirakreti, menghaturkan sembah kata ke bawah duli paduka, gusti."
Sekaligus tumenggung Wirakre juga memberi peringatan halus kepada pa h Aragani bahwa dalam sidang kerajaan lengkap bahkan yang dihadiri oleh perutusan dari mancanagara, segala tata ter b peraturan harus dijunjung.
Bahwa yang hadir sebagai penguasa persidangan itu adalah seri baginda maka se ap mentri yang hendak menghaturkan pendapat harus mendapat perkenan dari seri baginda lebih dulu.
Tidak layak kalau sahut menyahut seolah tak menghiraukan kewibawaan seri baginda.
Baginda memberi perkenan.
"Menurut hemat pa k yang hina dina ini, surat dari raja Kubilai Khan memang terlampau melewa batas. Seyogyanyalah apabila paduka hendak membalas hinaan itu. Namun apabila cara membalas hinaan itu dengan memberi hukuman kepada utusannya, tentulah raja Kubilai Khan akan marah dan kemungkinan tentu akan mengirim pasukan untuk menyerang Singasari. Rupanya pa h Aragani tak jera walaupun secara halus telah diperingatkan tumenggung Wirakre . Tanpa menunggu seri baginda berucap, pa h Aragani terus menyahut.
"Ki tumenggung Wirakre mentri Angabaya"
Sengaja ia memberi tekanan suara pada kata-kata yang terakhir "kerajaan Singasari di bawah keagungan dan kekeramatan Batara Syiwa-Buddha, telah tumbuh menjadi sebuah kerajaan yang besar.
Pengaruh kekuasaan seri baginda meluas sampai ke tanah Malayu dan Campa.
Angkatan perang Singasari termasyhur gagah berani.
Pahang, Malayu, Gurun dan Bakulapura, pun menyembah duli Batara Syiwa-Buddba.
Bagaikan sinar sang surya cahaya kemuliaan seri baginda itu menerangi nusantara.
Tak mungkin apabila raja Kubilai Khan tak mendengar hal itu.
Tetapi apa sebab raja Cina itu masih berani mengirim surat sedemikian menghina martabat luhur seri baginda ?"
Baginda Kertanagara meregak, tertarik akan ucapan Aragani dan segera ber tah "Apakah tujuan yang sesungguhnya dari raja Kubilai Khan itu, patih Aragani ?"
"Gusti,"
Sembah Aragani "menurut hemat hamba, tak lain raja Cina itu sebenarnya hanya hendak mencari alasan agar dapat menyerang kerajaan paduka.
Diantara kerajaan-kerajaan yang tersebar di kawasan laut selatan daratan Cina, hanya Singasarilah yang paling kuat dan paling disegani.
Kubilai Khan menganggap Singasari itu sebagai duri dalam mata ' .......
"
Pa h Aragani berhen sejenak untuk mengambil napas sembari mencuri kesempatan memperha kan sikap baginda. Diperha kannya bahwa seri baginda makin menaruh perha an maka diapun segera melanjutkan pula.
"Pengiriman pasukan Pamalayu dari kerajaan Singasari, makin menggetarkan ha Kubilai Khan. Dia tentu cemas apabila Singasari akan bertambah besar dan kuat karena telah menguasai tanah Malayu sampai ke Campa. Mumpung belum semakin bertumbuh kuat maka Kubilai Khan bergegas mengirim utusan ke Singasari dengan membawa surat yang sengaja menghina seri baginda. Dengan demikian jelas sudah bahwa raja Kubilai Khan itu memang hendak mencari alasan agar dapat menyerang Singasari. Dia sudah memperhitungkan bahwa seri baginda tentu akan menolak dan mengharap agar seri baginda murka kepadanya."
"Benar,"
Baginda Kertanagara mengangguk. Kemudian berpaling kearah Wirakre "Wirakre , apa katamu sekarang? "
Mentri angabhaya dari kerajaan Singasari itu cepat mempersembahkan kata "Memang tepat sekali ulasan dari ki pa h Aragani itu gus . Bukankah ki pa h mengatakan bahwa raja Kubilai Khan memang sengaja mencari alasan agar dapat menyerang Singasari? "
"Ya "
"Dan bukankah rakryan pa h mengatakan pula bahwa Kubilai Khan itu sengaja menghina seri baginda agar baginda menolak tuntutannya dan bahkan Kubilai Khan mengharap agar paduka murka atas surat yang dihaturkan ke hadapan paduka?"
"Bukankah begitu, Aragani ?"
Titah baginda.
"Demikianlah gusti,"
Sembah Aragani.
"Gus sesembahan hamba yang mulia,"
Tumenggung Wirakre berdatang sembah "apabila sudah mengetahui bahwa surat itu hanyalah sarana dari Kubilai Khan untuk memasang perangkap agar dia mempunyai alasan untuk menyerang kerajaan paduka, mengapa pula rakryan pa h menganjurkan agar paduka menghukum utusan dari negeri Cina? Bukankah hal itu berar kita masuk kedalam perangkap Kubilai Khan? Atau apakah memang demikian yang dikehendaki rakryan patih yang terhormat itu ?"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pasukan Singasari terkenal gagah berani. Pasukan Pamalayu telah berhasil mengamankan kerajaan-kerajaan Malayu yang tak mau berlindung dibawah pengayoman seri baginda Kertanagara yang agung....."
Karena pa h Aragani langsung memberi tanggapan tanpa menghiraukan kehadiran seri baginda, tumenggung Wirakre pun bersitegang "Itu apabila pasukan Singasari yang dikirim ke Malayu berada di pura Singasari.
Tetapi bukankah padukan Pamalayu itu kini sedang berada jauh di tanah Malayu ? Bukankah saat ini pura Singasari sedang kosong dari inti kekuatan angkatan perang ?"
"Ki tumenggung Wirakre ,"
Sabut Aragani "tuan telah dipercaya oleh seri baginda sebagai mentri Angabhaya yang bertugas menjaga keamanan dan keselamatan kerajaan Singasari.
Apabila tuan mencemaskan Kubilai Khan akan mengirim pasukan menyerang Singasari, bukankah ki tumenggung seharusnya segera memikirkan bagaimana seyogyanya untuk mempersiapkan kekuatan pasukan Singasari.! Bahkan apabila ki tumenggung anggap perlu, dapatlah ki tumenggung lebih dahulu memanggil angkatan perang Singasari yang berada di Malayu itu? Ingin kuingatkan bahwa se ap mentri narapraja harus menjunjung tah seri baginda dan harus berusaha untuk melaksanakan kepercayaan yang telah dilimpahkan baginda.
Mempersiapkan kekuatan pertahanan untuk menjaga Singasari adalah wewenang dan kewajiban mentri Angabhaya."
Baginda Kertanagara mengangguk-angguk.
"Gus ,"
Ba- ba adipa Wiraraja atau Banyak Wide dari Sumenep yang sejak tadi diam, membuka suara "perkenankanlah hamba, Wiraraja, yang hina dan ada berguna ini, menghaturkan persembahkan kata kebawah duli paduka."
"Ya, engkau boleh bicara, Wiraraja."
"Apa yang telah diuraikan ki patih Aragani memang benar semua"
Kata Wiraraja "jelas bahwa dibalik tujuan mengirim surat itu, tersembunyi maksud raja Kubilai Khan yang hendak mencari alasan menyerang Singasari.
Sudah tentu Kubilai Khan takkan melaksanakan maksudnya apabila paduka meluluskan permintaannya.
Tetapi hamba yakin, tak mungkin seorang nata yang agung perbawa, luhur martabat dan digdaya sakti seperti paduka akan sudi meluluskan permintaan yang sehina itu.
Mengenai dua pendapat tentang cara paduka hendak membalas hinaan Kubilai Khan itu, dengan memberi hukuman kepada utusan mereka atau membebaskan mereka kembali ke negerinya, menurut hemat hamba tiada bedanya.
Utusan itu dihukum, Kubilai Khan tentu marah.
Namun kalau tidak dihukum, adakah Kubilai Khan akan puas dan senang hati menerima surat balasan paduka ?"
Pa h Aragani tertawa "Ha, ha, hanya anak kecil atau orang yang berpikiran seper anak kecil, yang akan menganggap bahwa Kubilai Khan akan senang menerima surat balasan seri baginda yang menolak permintaannya, walaupun utusannya selamat tidak diganggu apa-apa."
"Dengan demikian,"
Lanjut Wiraraja "utusan itu diberi hukuman atau dibebaskan, akan sama ar nya.
Kubilai Khan tentu tetap akan marah karena seri baginda menolak permintaannya dan tentu akan mengirim pasukan menyerang Singasari.
Oleh karena itu hamba setuju dengan pendapat rakryan patih Aragani yang mempersembahkan usul agar menghukum utusan itu.
Dengan demikian Kubilai Khan tentu akan terbuka matanya bahwa Sri Lukawijaya Kertanagara mahaprabu kerajaan Singasari yang jaya, adalah san dari Hyang Batara Syiwa-Buddha yang keramat dari segala hinaan."
Terkejutlah sekalian mentri senopa yang hadir dalam balairungsari itu ke ka mendengar ucapan bekas demung kerajaan Singasari yang kini dilorot dan dipindah menjadi adipa di Sumenep itu.
Empu Raganata, demung Wiraraja dan tumenggung Wirakre , merupakan ga orang mentri Singasari yang digeser kedudukannya oleh seri baginda karena hasutan pa h Aragani.
Dan diketahui pula bahwa ke ga mentri itu adalah mentri-mentri besar dari pemerintahan rahyang ramuhun Wisnuwardhana dahulu sehingga waktu puteranya, baginda Kertanagara dinobatkan sebagai raja, ketiga mentri itu masih menjabat kedudukan yang penting.
Yang mengejutkan sekalian mentri saat itu tak lain yalah mengapa adipati Wiraraja mendukung patih Aragani dan menentang tumenggung Wirakreti? Bukankah patih Aragani itu yang menghasut baginda supaya menggeser ketiga mentri itu? Dan bukankah tumenggung Wirakreti itu sahabat baik dari adipati Wiraraja sendiri? Perasaan kejut dan heran itu mencengkam hati sekalian mentri.
Lebih pula empu Raganata dan terutama tumenggung Wirakreti sendiri.
Berbagai tafsiran timbul dalam hati sanubari setiap mentri dan senopati.
Mengapa adipati Wiraraja bersikap demikian ? Adakah dia sudah berobah kiblat ? Ataukah dia menyembunyikan maksud tertentu? "Memang sama tetapi berbeda,"
Rupanya empu Raganata tak kuasa menahan luap ha nya "sama artinya, beda nilai martabatnya."
"O, bagaimana maksud empu ?"
Seru patih Aragani.
"Apabila utusan itu dihukum, berar Singasari sudah membalas hinaan Kubilai Khan. Tetapi apabila utusan itu dilepas sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang duta, jika kemudian Kubilai Khan marah dan mengirim pasukan menyerang Singasari, martabatnya tentu akan jatuh di mata raja-raja yang bernaung di-bawah kekuasaannya, maupun raja-raja yang masih berdaulat. Mereka tentu akan makin membenci Kubilai Khan dan mendukung Singasari. Martabat baginda sebagai Jma man Batara Syiwa-Buddha akan lebih semarak. Karena bukankah demikian luhur dan agung sifat sang Batara Syiwa-Buddha yang maha pemurah dan tiada tara kebesarannya? "
Baginda Kertanagara kali ini tampak mengangguk pelahan.
Memang se ap sanjung puji yang mengagungkan seri baginda sebagai san Batara Syiwa-Buddha tentu bersambut dalam sentuhan hati seri baginda.
Melihat keraguan baginda, kua rlah pa h Aragani.
Cepat ia bersambut kata "Benar, rakryan empu yang terhormat.
Empu memang seorang yang tak pernah goyah pendirian.
Lepas dari benar daknya pendirian empu itu tetapi Aragani yang picik pengetahuan ini, mempersembahkan hormat yang setinggi-tingginya kepada empu."
Baginda terkesiap. Demikian sekalian mentri senopa . Mereka heran akan kata-kata pa h Aragani yang masih kabur maksudnya bagi mereka.
"Ah, janganlah rakryan pa h bermadu kata merangkai sanjung puji kepada Raganata yang sudah tua renta ini."
"Memang dapat dimaklumi,"
Kata Aragani, suatu kata-kata yang jelas bukan menjawab ucapan empu Raganata "bahwa seorang yang telah mengabdikan diri pada kerajaan selama berpuluh- puluh tahun, sejak rahyang ramuhun sang nata prabu Wisnuwardana sehingga seri baginda Kertanagara yang sekarang tentu akan mbul rasa kejenuhan dan mendambakan ketenangan.
Demikianlah alam nurani dari seorang yang telah digenangi usia nggi seper rakryan empu Raganata.
Kita masih ingat, betapa beliau gigih menentang kehendak seri baginda dalam masalah pengiriman pasukan Singasari ke tanah Malayu dahulu ....
"
Berhen sejenak, pa h yang fasih menarikan lidah itu melanjut pula "Tetapi sayang rakryan empu Raganata tak mau menyimak pada peris wa-peris wa gaib yang telah mbul di kerajaan Singasari.
Bahwa Hyang Batara Agung telah menentukan garis kodrat, bahwasanya Singasari akan tumbuh menjadi sebuah kerajaan besar yang ada bandingannya dalam sejarah kerajaan Jawadwipa pada masa-masa sebelumnya.
Buk daripada wahyu yang telah dilimpahkan Hyang Batara Agung kepada negara Singasari yalah diturunkannya seorang raja san Hyang Batara Syiwa-Buddha....."
"Hidup adalah gerak dan tumbuh,"
Kata pa h Aragani setelah berhen sejenak "tanpa gerak tak mungkin ada hidup, tak mungkin ada pula tumbuh.
Kodrat prakitri, yang tua akan rapuh, yang muda tumbuh.
Patah tumbuh, hilang bergan .
Tetapi nampaknya alam pikiran rakryan empu Raganata yang sudah sepuh usia itu dak dapat menyertai irama kodrat Prakitri.
Ketenangan dan kedamaian yang didambakan rakryan Raganata hanya ibarat sekelumit kuku hitam dari tubuh Singasari, kerajaan yang akan menjelang cahaya kejayaan yang gilang gemilang.
Keinginan yang terpendam dalam ha empu Raganata yang senan asa mendambakan ketenangan dan kedamaian itu, ibarat hanya kelip sebuah bintang yang hendak menjajari kemilau bulan purnama yang akan memancar di langit Singasari."
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long