Dendam Empu Bharada 35
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 35
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
"Rakryan patih Aragani,"
Tiba tiba pula adipati Wiraraja berseru "pendirian tuan, sesuai dengan pendirianku.
Memang benar, mengapa kita takut kepada Kubilai Khan ? Dia jelas seorang raja yang angkara murka.
Bukankah sudah cukup luas negara yang telah dikuasainya itu ? Mengapa dia masih menginginkan menjajah kita, bahkan menghina kewibawaan junjungan kita ? Kita memang ingin hidup damai tetapi kita takkan takut berperang apabila ada kerajaan mancanagara yang hendak mengganggu kedaulatan negara kita.
Wiraraja dan beribu-ribu prajurit Madura akan siap membela Singasari dari serangan pasukan Kubilai Khan, raja yang haus kekuasaan itu.
Rakryan patih, tak perlulah kiranya berbanyak kata, sikap kita sudah tegas, pendirianpun jelas.
Baiklah, kita persembahkan masalah ini kebawah duli tuan kita, seri baginda."
Sebelum pa h Aragani menjawab, seri bagindapun sudah cepat memberi tah "Pa h Aragani, perintahkan senopati ....
"
Pa h Aragani menyongsong sembah "Mana-mana tah paduka, pas akan hamba laksanakan ....
"
Tiba-tiba ia terjerembab jatuh hingga kepalanya hampir terbentur lantai.
"Aragani .... !"
Baginda berteriak kejut.
Demikianpun dengan sekalian mentri senopa yang hadir di balairungsari saja.
Bahkan rombongan Meng Ki juga terbelalak kejut.
Pangeran Ardaraja yang selama pembicaraan tadi berlangsung, tak ikut bicara, saat itu ke ka melihat Aragani terjatuh dari tempat duduknya, cepat loncat menyanggapi tubuh pa h itu "Paman patih .......
"
"Ah, terima kasih raden. Paman tak kurang suatu apa, hanya sedikit pening saja,"
Kata pa h Aragani seraya duduk tegak pula.
Baginda dan sekalian mentri senopa menghela napas longgar.
Berbahaya bagi seorang yang sudah tua kalau sampai jatuh.
Tetapi pada lain kilas, mereka mendengar keluh erang yang mendesuh kejut di tengah balairungsari.
Serentak seri baginda mengisar pandang ke-arah suara itu.
Beliau terkesiap ketika melihat apa yang terjadi di ruang balairungsari itu.
Apakah yang telah terjadi? Ternyata pada saat itu kepala perutusan Meng Ki dan keempat pembantunya serta kesepuluh prajurit Tartar yang gagah perkasa itu telah dikuasai oleh prajurit-prajurit Singasari yang dipimpin oleh seorang tamtama muda.
Penyergapan itu dilakukan secara ba- ba dan tak terduga-duga dikala Meng Ki dan rombongannya tengah mencurahkan perha an kearah pa h Aragani yang akan terjatuh tadi.
Sedemikian cepat prajurit-prajurit Singasari itu ber ndak sehingga kesepuluh prajurit Tartar tak sempat lagi untuk membela diri.
"Aragani, apakah artinya itu,"
Titah baginda agak heran.
"Hamba telah melakukan apa yang paduka titahkan, gusti "
Sembah Aragani.
"O, tetapi kulihat engkau belum memberi perintah kepada mereka."
Pa h Aragani tertawa bangga "Sudah, gus . Hamba terjatuh dari tempat duduk hamba tadi, merupakan perintah hamba kepada mereka."
"O."
"Hamba terpaksa menggunakan siasat begitu agar prajurit-prajurit Tartar itu tak sempat melawan, gusti."
"O, bagus Aragani,"
Baginda melimpahkan pujian "tetapi siapakah tamtama muda yang tangkas itu tadi? "
"Tamtama muda itu adalah Kuda Panglulut, anak menantu hamba sendiri."
"O "
Baginda mengangguk "putera menantumu sendiri ? Bagus, Aragani. Tetapi apakah jabatannya sekarang ?"
"Atas kemurahan hati rakryan tumenggung Wirakreti, dia telah diangkat sebagai wakilnya."
"Ya, memang tepat"
Ujar seri baginda "lalu bilamana engkau memberi perintah kepada menantumu itu?"
"Sebelum menghadiri pasewakan agung ini, hamba memang telah merundingkan hal itu dengan dia. Karena hamba mendapat firasat bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang tak berkenan pada hati paduka dalam menerima utusan raja,Tartar ini."
"Hm, baiklah Aragani,"
Ujar baginda "akan kuper mbangkan diri putera menantumu itu kelak. Sekarang bagaimana pendapatmu tentang utusan Cina itu?"
"Adakah paduka berkenan melimpahkan kepercayaan kepada hamba untuk mengurus mereka ?"
"Ya,"
Baginda mengangguk.
Sekalian mentri senopa tertegun.
Empu Raganata dan tumenggung Wirakre tampak tegang.
Kedua mentri itu dapat membayangkan bahwa Aragani tentu akaa melakukan sesuatu yang merugikan utusan Kubilai Khan itu.
Akibatnya tentu Kubilai Khan akan marah.
Setelah menghaturkan terima kasih kepada baginda maka Araganipun berpaling kepada Meng Ki atau Mi Yetzimu.
"Hai, Mi Yetzimu, kepala utusan raja Kubilai Khan,"
Serunya "adakah engkau menyadari bahwa engkau telah ber ndak menghina seri baginda Kertanagara dengan mempersembahkan surat dari rajamu itu? "
"Kami menyadari bahwa kami telah melaksanakan tah dari raja kami untuk menghaturkan surat kehadapan seri baginda raja Singasari,"
Sahut Mi Yetzimu.
"Apakah engkau dak menyesal karena melaksanakan perintah rajamu yang jelas menghina seri paduka junjungan kami ?"
"Tidak,"
Sahut Mi Yetzimu dengan- tenang "
Tah maharaja kami adalah nyawa dan kehormatan kami sendiri.
Kami adalah utusan yang mewakili peribadi junjungan kami.
Kami tak gentar menghadapi segala bahaya demi melaksanakan tah yang kami terima dari raja kami.
Kami hendak bertanya, mengapa prajurit-prajurit Singasari menangkap kami? Apakah kedosaan kami ? "
"Sekarang engkau harus menyadari Mi Yetzimu, bahwa surat dari rajamu itu sangat menghina martabat seri baginda kami. Dan dengan pernyataanmu bahwa engkau mewakili peribadi junjunganmu itu, maka tepatlah kalau engkau harus ditangkap dan dihukum."
"Dihukum ?"
Mi Yetzimu terkesiap "di negeriku dan sepanjang pengetahuan serta pengalamanku sebagai mentri kerajaan di negeriku, tak pernah raja kami melakukan hukuman kepada seorang utusan dari raja negeri lain, sekalipun raja yang bermusuhan dengan kerajaan kami.
Adakah kerajaan Singasari tak kenal dengan peraturan itu ataukah memang demikian tata peraturan di kerajaan Singasari ini ? "
"Jangan tekebur Mi Yetzimu,"
Seru Aragani "adakah hanya negerimu yang mempunyai adab dan memiliki tata-peraturan hubungan antar negara itu ? Tidak, kerajaan Singasaripun memiliki tata perundang-undangan yang nggi.
Tetapi ketahuilah wahai mentri Tartar, bahwa rajamu memang benar-benar sengaja hendak menghina junjungan kami.
Kemungkinan rajamu memang hendak mencari alasan untuk menyerang Singasari.
Oleh karena itu, seluruh kawula dan segenap mentri hulubalang dan prajurit Singasari, tak gentar menerima tantangan itu.
Dan sebagai jawaban yang tegas, maka seri baginda kami akan menjatuhkan hukuman kepada rombonganmu."
Mi Yetzimu mengangguk "Telah kukatakan tadi, bahwa sebagai mentri yang mengemban tah raja, kami tak gentar menghadapi bahaya apapun.
Kami bersedia menghadapi hukuman apapun yang hendak engkau jatuhkan dengan dalih yang engkau adakan itu.
Hanya aku merasa kecewa atas tindakan ini."
"Kecewa ?"
Ulangi patih Aragani "engkau menyesal karena berani datang ke Singasari?"
"Tidak,"
Seru Mi Yetzimu "bukan itu yang kumaksudkan.
Aku kecewa atas peris wa yang kulihat dan alami pada saat ini.
Kudengar seri baginda Kertanagara dari kerajaan Singasari itu seorang raja yang besar dan bijaksana.
Singasaripun termasyhur memiliki senopa dan ksatrya-ksatrya yang gagah perwira, prajurit-prajurit yang terkenal akan keberaniannya.
Tetapi mengapa mereka menggunakan pu muslihat yang kerdil untuk menangkap rombonganku ? Adakah begini sifat ke- ksatry-aan dan keberanian ksatrya dan prajurit Singasari itu ?"
"Jangan lancang ucap, Mi Yetzimu,"
Seru Aragani "
Ndakanku iiu dak lebih hina dari hinaan yang kalian telah lontarkan kepada junjungan kami.
Jangan terburu-buru menyatakan kekecewaan dulu.
Ketahuilah bahwa junjungan kami Sri Batara Syiwa-Buddha yang menjadi sesembahan seluruh kawula Singasari, adalah seorang Jina yang amat pelapang dan pengasih.
Apabila engkau sudah menyadari kesalahanmu, segeralah engkau dan rombonganmu mohon ampun ke bawah duli seri baginda!"
Mi Ytezimu tertegun. Namun wajahnya tak mengunjuk suatu perobahan "Tuan pa h kerajaan Singasari, mohon tuan pa h memberi penjelasan kepadaku, mengapa aku harus memohon ampun atas kesalahan yang tak pernah kulakukan?"
"Hm, engkau pandai bersilat lidah,"
Dengus Aragani "bukankah tadi engkau menyatakan bahwa tah dari rajamu itu adalah nyawamu sendiri? Bukankah engkau sudah menyatakan akan menanggung segala akibat dari tah rajamu itu? Mengapa sekarang engkau mengatakan tak bersalah ?"
"Tuan pa h kerajaan Singasari,"
Kata Mi Yetzimu "sebagai pa h dari sebuah kerajaan sebesar Singasari, kukira tuan tentu faham akan hukum peraturan antar negara. Diantaranya mengenai kedudukan seorang duta ....
"
"Hm, engkau kira bangsamu sendiri yang mengerti hal itu ?"
Ejek patih Aragani.
"Tetapi nyatanya tuan tak menger hal itu,"
Sahut Meng Ki alias Mi Yetzimu "dalam surat maharaja kami, apabila dianggap menghina, pun hinaan itu hanya terdapat dalam surat.
Bukan dengan perbuatan.
Bahkan sebagai tanda penghormatan kepada raja Singasari, maharaja kami telah memilih aku seorang mentri yang khusus di tahkan untuk mengunjungi kerajaan-kerajaan besar saja.
Dan selama menjelajah hampir seper ga bagian dunia, aku selalu mendapat sambutan yang layak dari kerajaan yang kukunjungi.
Baru pertama kali ini, aku mendapat perlakuan yang begini kotor! "
"Itulah yang menjadi tujuan kami,"
Seru pa h Aragani "dengan ketemu batunya di Singasari sini, biarlah dapat menyadarkan maharajamu agar jangan melanjutkan ndakannya yang congkak dan angkara murka."
"Tuan patih,"
Meng Ki menanggapi "apa yang engkau sebut congkak dan angkara itu?"
"Rajamu berani meminang puteri junjunganku, bukan sebagai permaisuri tetapi sebagai hiasan istananya. Apakah hal itu bukan suatu perbuatan yang congkak ? Rajamupun berani menitahkan agar Singasari menghaturkan upeti, tidakkah hal itu Siatu tindakan yang angkara murka ?"
"Setiap peminangan, adalah hak bagi yang meminang. Tetapi keputusan adalah hak dari yang dipinang. Adakah peminangan seorang raja terhadap puteri raja itu suatu perbuatan yang congkak ?"
"Tetapi peminangan itu bukan sebagai permaisuri tetapi sebagai selir!"
Teriak Aragani.
"Maharaja kami mempunyai banyak isteri. Sudah tentu dak semua isteri itu diberi gelar sebagai permaisuri. Yang diangkat sebagai permaisuri adalah hanya seorang, yalah isteri yang pertama. Tetapi tapi sekalipun demikian, raja kami memperlakukan dan memberi kasih sayang yang sama dan adil kepada semua isterinya."
"Dan soal permintaan raja kami yang engkau anggap angkara murka itu, ingin aku bertanya kepada tuan. Mana yang lebih angkara, kerajaan Singasari yang mengirim pasukan untuk menundukkan raja-raja di Malayu atau raja Kubilai Khan yang hanya dengan surat meminta agar singasari menghaturkan upeti ?"
Kata Meng Ki lebih lanjut.
"Singasari mengirim pasukan ke Malayu, hanyalah bertujuan untuk mempersatukan dan merukunkan kerajaan-kerajaan di seluruh kawasan nusantara. Tetapi raja Kubilai Khan dengan baginda Kertanagara adalah lain rumpun, lain bangsa. Jelas rajamu itu bertindak menghina seri baginda kami ! "
Jawab Meng Ki "Hinaan dalam surat, harus dibalas hinaan dalam surat pula. Karena itu percayalah tuan pa h, walaupun dengan balasan surat saja, tentulah raja kami akan murka dan bertindak."
"Hm, suatu pembelaan bagus untuk mencari keselamatan diri,"
Seru patih Aragani.
"Bukan pembelaan melainkan suatu uraian dari kenyataan yang lazim dianut oleh negara-negara yang tahu menghormati peraturan,"
Sahut Meng Ki "Jadi engkau tak mau mohon ampun kepada baginda ? Ingat, hukumanmu itu akan tergantung pada sikapmu sendiri."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meng Ki tetap menolak untuk minta ampun.
"Baik,"
Seru pa h Aragani dengan nada tandas "atas tah seri baginda Kertanagara yang tegak dengan gelar agung Batara Syiwa-Buddha, yang memerintah seluruh Jawadwipa, yang kekuasaannya melipu tanah Malayu, Campa, Pahang, Gurun, Bakulapura dan seluruh kepulauan di nusantara, engkau kepala perutusan raja Kubilai Khan, akan dijatuhi pidana yang sesuai dergan sifat perutusan yang engkau lakukan dan sikap yang engkau unjukkan selama menghadap seri baginda.
Yalah dahimu akan di-cap dengan besi panas.
Hukuman itu akan dilaksanakan besok pagi di tengah alun-alun Singasari."
Baginda Kertanagara mengangguk. Mentri-mentri dan senopa terkesiap dalam berbagai tanggapan masing-masing. Hanya empu sepuh Raganata dan tumenggung Wirakreti yang gemetar.
"Mengundang bahaya kehancuran,"
Keluh empu Raganata dalam hati.
"Menjagakan macan tidur,"
Gumam hati Wirakreti.
Tetapi apa daya.
Kedua mentri setya itu tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah keputusan Aragani.
Mereka heran mengapa sampai sedemikian besar kekuasaan Aragani untuk menjatuhkan hukuman pada seorang utusan mancanagara.
Walaupun baginda telah menyerahkan persoalan itu kepadanya tetapi sekurang-kurangnya Aragani harus meminta ijin kepada baginda lebih dahulu.
Dan yang menyakitkan ha kedua mentri setya itu, tampaknya seri bagindapun merestui ndakan Aragani.
Kebalikannya, tampak tenang-tenang saja Meng Ki menyambut keputusan itu.
Diapun heran mengapa patih Aragani sedemikian besar kekuasaannya.
"Tuan pa h,"
Serunya "kami telah jatuh ke dalam perangkapmu dan saat ini menjadi tawanan yang tak berdaya. Berbuatlah sesuka hati tuan menurut perataran di negeri tuan ini."
"Tetapi ingatlah tuan pa h,"
Ba- ba Meng Ki melanjut dengan suara lantang "Khan kami yang perkasa, pas murka mendengar kekejaman ini dan bersedialah untuk menerima pembalasan maharaja kami.
Sejak sekarang bersiap-siaplah mengerahkan seluruh kekuatan Singasari untuk menghadapi gelombang pasukan negeri kami yang akan melakukan pembalasan lebih hebat dari kekejaman yang tuan lakukan kepada utusannya.
Bumi kerajaan ini akan bersimbah darah.
Rakyatmu yang lelaki akan menjadi mayat tanpa kepala, bergelimpangan menganak bukit.
Wanita- wanita akan menjadi barang rebutan untuk pemuas nafsu prajurit-prajurit kami.
Dan engkau tuan patih, pasti akan merasakan hukuman seperti yang engkau jatuhkan kepada rombongan kami!"
Laksana halilintar meledak di angkasa, menggelegarlah ancaman Meng Ki itu, menimbulkan getar dahsyat dalam hati sekalian mentri dan hulubalang yang berada dalam balairungsari...
"Bedebah engkau Meng Ki! "
Ba- ba pangeran Ardaraja berteriak marah "biasanya anjing yang besar nyalak tentu tak menggigit.
Dan andaikata kawanan anjing Tartar itu hendak datang menggigit, akulah yang akan menumpasnya.
Sampaikan kepada rajamu Kubilai Khan, bawa di Singasari ada seorang ksatrya muda bernama Ardaraja yang siap menunggu kedatangannya untuk bertempur secara ksatrya."
"Bagus, puteraku,"
Baginda berseru girang.
Meng Ki menjawab "Memang tepat kata sebuah peribahasa di negeriku, bahwa 'anak domba tentu tak takut pada harimau'.
Wahai ksatrya muda, setampan wajahmu, segarang ucapmu.
Tetapi aku merasa sayang akan usiamu yang masih muda belia.
Simpan sajalah ucapan yang garang itu.
Karena ketahuilah, bahwa Kubilai Khan itu benar- benar seorang maharaja yang sak digdaya, ada lawannya di seluruh permukaan bumi.
Jangankan, bertempur, baru berhadapan saja, nyalimu tentu sudah beiantakan."
"Kuda Panglulut, lekas bawa mereka ke luar,"
Serentak pa h Aragani berseru memerintahkan putera menantunya.
Rupanya ia sudah jemu adu lidah dengan utusan raja Kubilai Khan yang keras kepala itu.
Kuda Panglulut cepat maju hendak mengikat kedua tangan Meng Ki dan rombongannya.
Tetapi Meng Ki membentak "Aku seorang duta raja.
Jangan keliwat menghina ? Aku sudah bersedia menerima hukuman patihmu.
Hendaknya jangan engkau bertindak terlalu semena- mena agar jangan membangkitkan kemarahan rombonganku.
Ketahuilah, bahwa ksatrya2 Tartar itu lebih baik mati daripada dihina melampaui batas."
Kuda Panglulut tertegun dan cepat berpaling ke arah ayah mentuanya.
Araganipun memberi sebuah anggukan kepala.
Demikian setelah melucu senjatanya, di iring ujung pedang dan tombak yang mengacung di belakang punggung, rombongan Meng Ki segera dibawa keluar.
Di luar balairungsari, rakyat bersorak-sorak memaki dan mengejek.
Bahkan ada sekelompok anak muda .yang hendak menyerbu mereka.
Kuda Panglulut terpaksa melakukan pengawalan yang ketat.
Setelah rombongan utusan Kubilai Khan pergi maka ber tahlah baginda Kertanagara "Bagus, pa h Aragani.
Tindakanmu itu sesuai benar dengan kehendakku.
Hukuman itu ringan tetapi cukup berkesan sebagai pembalasan atas tingkah Kubilai Khan."
"Engkau adipa Wiraraja,"
Ujar baginda pula "tampaknya sudah memiliki berobahan dalam pendirian ha mu. Baik paman adipa . Kuberikan wewenang supaya engkau menyusun pasukan orang Madura untuk menghadapi serangan Kubilai Khan."
"Terima kasih, gus ,"
Sembah Wiraraja "mana-mana tah paduka pas akan hamba junjung di atas kepala hamba."
Kemudian ber tah pula seri baginda kepada empu Raganata "Empu Dharmadhyaksa, rupanya usia andika sudah makin meningkat nggi sehingga andika amat mendambakan ketenangan.
Apabila andika merasa tugas-tugas ke-dharmayaksan di Tumapel itu masih mengganggu ketenangan jiwa ndika, akupun takkan menyiksa ba n ndika.
Katakanlah, empu di asrama kepanditaan yang manakah yang ndika ingin mendiami.
Keinginan ndika pasti akan kululuskan."
"Duh, gus junjungan seluruh kawula Singasari"
Seru empu Raganata "hamba memang tak mampu menolak kodrat hidup dimana usia tua makin menggerogo tulang-tulang hamba yang rapuh.
Tetapi hamba sudah terlanjur mengabdikan diri kepada kerajaan paduka Singasari.
Sejak dari ramanda seri baginda Wisnuwardhana hingga pemerintahan paduka sekarang.
Bagi hamba, bukanlah pangkat dan kedudukan yang hamba cita-citakan, melainkan kepen ngan kerajaan dan rakyat Singasari.
Apapun yang paduka berkenan hendak mendudukkan diri hamba, di tempat dan jabatan apapun, asal hamba masih dapat mengabdikan tenaga hamba kepada kerajaan, hamba pasti bersyukur hati.
Karena itulah cita-cita hidup Raganata."
Sesungguhnya baginda hendak menggeser kedudukan empu Raganata dari adhyaksa Tumapel ke suatu nama pandita.
Tetapi demi mendengar persembahan kata empu tua itu, tergetarlah ha keci1 baginda.
Betapapun empu Raganata itu telah berjasa kepada kerajaan Singasari.
Seorang mentri yang telah membuk kan kesetyaannya sejak jeman pemerintahan ayahanda baginda Wisnuwardhana hingga sekarang.
Apabila ia menggeser kedudukan empu itu, dikua rkan rakyat tak senang.
Hai itu memberi akibat akan berkurangnya kesetyaan rakyat kepada baginda.
Lebih- lebih dalam suasana dewasa itu, kesetyaan dan kepatuhan rakyat amat diperlukan sekali.
"Sebenarnya empu memang sangat diperlukan untuk mengepalai ke dhardhyaksaan Tumapel,"
Ujar baginda. Kemudian baginda cepat beralih titah kepada tumenggung Wirakreti.
"Tumenggung Wirakre ,"
Ujar baginda "rasanya, sudah terlalu lama paman menggung mengabdi kepada kerajaan Singasari. Seharusnya paman sudah kuperkenakan beris rahat untuk menikma kehidupan hari tua yang tenang. Tetapi ternyata tenaga paman masih dibutuhkan oleh. Kerajaan."
"Terima kasih, gus ,"
Tumenggung Wirakre menghaturkan sembah "memang raga hamba sudah makin lapuk, tetapi jiwa hamba selalu tegak untuk mengabdi kepada kerajaan paduka. Cita-cita itu telah bersenyawa dengan hayat yang masih terkandung dalam diri hamba, gusti."
"Hm, baik paman,"
Ujar seri baginda "tetapi sungguh pun demikian demi kelanjutan dari- kepentingan kerajaan Singasari di masa mendatang, kuharap paman berkemas-kemas untuk memilih calon pengganti yang paman pandang cakap dan sesuai.
Bila pada suatu saat kululuskan paman beristirahat.
Kukira paman dapat memberi kesempatan-kepada tamtama muda tadi."
Tumenggung Wirakreti terkejut namun tenang-tenang ia menyambut baik titah, seri baginda.
~dewi.kz^ismo^mch~ Malampun ba.
Langit bertabur bintang kemintang, mewakili tugas sang Dewi Malam yang agak malam keluarnya.
Sunyi senyap menyelubungi seluruh pura Singasari.
Rupanya para kawula amat penat menyaksikan peris wa siang tadi.
Mereka berusaha untuk dur lebih sore agar keesokan harinya tak terlambat datang ke alun-alun pula untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman atas diri rombongan perutusan Cina.
Keraton Singasaripun sunyi.
Hanya para prajurit penjaga masih berjaga di balai Manganti yang terletak di sebelah timur keraton.
Gedung itu digunakan untuk tahanan rombongan utusan Kubilai Khan.
Empat penjuru dikelilingi pagar tembok dan dijaga prajurit bersenjata lengkap.
Sebenarnya balai itu tempat tahanan bagi priagung yani keluarga raja, mentri praja maupun tentara yang berpangkat.
Tahanan rakyat biasa, bukan disitu melainkan di sebuah rumah penjara lain.
Rombongan utusan Kubilai Khan diperlakukan sebagai tawanan negara maka di Balai Mangantilah mereka ditempatkan.
Malam belum berapa lama ke ka prajurit penjaga pintu gerbang Balai Mangan dikejutkan oleh kemunculan ga orang suami isteri dan anak gadisnya.
Suaminya seorang lelaki setengah tua, isterinya seorang perempuan yang perutnya besar dan anaknya seorang dara can k yang membawa dua buah keranjang.
"Kami ber ga nggal di dekat luar pura,"
Kata lelaki setengah tua itu menjawab pertanyaan prajurit penjaga "adapun kedatangan kami anak beranak, tak lain hanyalah akan mohon pertolongan kepada tuan di sini."
Penjaga itu mengerut keheranan "Pertolongan apa ?"
"Ki prajurit,"
Kata lelaki setengah tua itu "bukankah andika sudah beristeri ?"
"Ya."
"Apakah andika sudah mempunyai anak?"
"Hm, ya."
"Kiranya andika tentu pernah mengalami hal aneh di kala isteri andika sedang hamil, bukan ?"
"Apa maksudmu ?"
Tegur prajurit penjaga.
"Pada waktu isteri andika hamil muda, tentulah pernah nyidam. Isteri andika akan minta sesuatu yang aneh-aneh. Misalnya, kepingin makan buah-buahan segar, ingin makan daging burung kepedang, ikan lele, daging rusa dan lain-lain yang tak pernah dimintanya sebelum hamil."
"Hm,"
Dengus prajurit itu pula.
"Demikianpuh yang kualami dengan isteriku ini. Tetapi apa yang dimintanya itu sungguh luar biasa anehnya. Bukan ingin makan buah atau ikan tetapi ingin melihat orang ....
"
"Orang ?"
Tanpa disadari prajurit itu terhanyut dalam keheranan "siapa saja? "
"Orang dari atas angin ....
"
"Hai, paman,"
Tukas prajurit itu "bukankah paman ini seorang yang masih waras pikiran ?"
"Tentu nak, tentu,"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata lelaki setengah tua itu "aku masih waras, aku tidak gila."
"Kalau masih waras mengapa bicara tak keruan?"
"Bicara tak keruan bagaimana, nak ?"
"Apa yang paman maksudkan orang dari atas angin itu ?"
"O, paman maksudkan orang mancanegara."
"Siapa ?"
Tanya prajurit itu.
"Isteriku mendengar bahwa di keraton Singasari siang tadi telah menerima utusan dari raja Kubilai Khan. Raja dari Tartar yang berkuasa di negeri Cina."
"Hm,"
Dengus prajurit itu "lalu ?"
"Karena dia sedang mengandung maka dia tak dapat melihat ke alun-alun pagi tadi. Oleh karena itu tiba-tiba dia kepingin sekali melihat perwujutan dari utusan negeri Cina itu."
"Gila!"
Bentak prajurit itu "jangan diturutkan keinginan binimu yang kegila-gilaan itu."
"Memang bermula akupun menaseha supaya jangan meminta begitu,"
Kata lelaki setengah tua "tetapi dia tetap merengek-rengek menghendaki hal itu. Dia kepingin sekali melihat bagaimana raut wajah dan bentuk tubuh orang-orang Tartar itu. Apakah juga sama dengan kita orang Singasari."
"Manusia tentu sama dengan manusia. Jika berbeda hanyalah warna kulitnya saja. Mereka berkulit kuning dan kita kebitam hitaman."
"Susah nak untuk menerima keterangan begitu saja,"
Kata lelaki setengah tua "seumur hidup dia hanya tinggal di desa, tak pernah melihat orang mancanagara.
Ia kepingin sekali melihat bagaimana perwujutan mereka itu, walaupun hanya sejenak saja.
Katanya, itu bukan menjadi keinginannya, tetapi timbul dari keinginan jabang bayi yang berada dalam kandungannya."
"Aneh, mengapa dak pagi tadi atau tunggu saja besok pagi apabila mereka akan dibawa ke alun-alun untuk menerima hukuman,"
Kata prajurit pula.
"Ah, nak prajurit, kasihanilah isteriku. Perutnya sudah besar, ia takut berdesak-desakan dengan sekian banyak orang. Dan kata orang tua, permintaan dari seorang wanita yang sedang hamil, harus dituruti. Kalau tidak, akan berakibat tak baik bagi bayi yang akan dilahirkannya. Nak prajurit tentu sudah pernah mengalami sendiri hal itu dari isterimu. Bagaimana rasanya seorang suami yang tak dapat memenuhi permintaan isterinya yang sedang nyidam itu ? "
Prajurit itu kerutkan alis.
"Dan ini hak prajurit,"
Kata lelaki setengah tua itu pula sambil meminta bakul dari anak perempuannya "kami bawakan sekedar makanan dan minuman untuk kawan bergadang."
Prajurit itu tak lekas menerima melainkan membuka kain penutup bakul. Serentak matanya menyalang lebar-lebar ke ka mendapatkan bakul itu antara lain berisi beberapa buah guci "Apakah ini ?"
Tanyanya walaupun ia sudah dapat menduga isinya.
"Tuak dan brem buatan kami sendiri,"
Kata lelaki setengah tua seraya membuka penyumbat salah sebuah guci. Setiup hawa harum-harum segar segera menyeruak menabur hidung prajurit itu.
"Baiklah,"
Kata prajurit penjaga "tetapi kalian harus kuperiksa dulu."
Setelah memeriksa ke ga orang itu tak membckal suatu benda yang mungkin dapat digunakan sebagai senjata maka dibawanyalah mereka masuk ke halaman, menuju sebuah bangunan yang berdinding kokoh, berpintu terali besi.
Pintu dijaga dua orang prajurit bertubuh nggi kekar dan menyanggul tombak terhunus.
Prajurit penjaga pintu gerbang tadi segera menemui kedua prajurit yang berjaga di tempat itu.
Dengan bisik2 dia menuturkan tentang maksud kedatangan ke ga orang anak beranak itu.
Sebagai penutup cerita, prajurit itu menyerahkan beberapa guci tuak wangi dan brem kepada kedua prajurit penjaga disitu.
Rupanya di kalangan prajurit terdapat dua macam kesenangan yang paing digemari.
Wanita dan tuak.
Dua lapis penjagaan, diluar dan didalam, akhirnya dapat juga dibotolkan dengan kekuatan tuak wangi.
Pada hal para penjaga sudah menyadari sesadar-sadarnya, bahwa perbuatan mereka untuk memperbolehkan orang luar menjenguk tawanan utusan raja Kubilai Khan itu, dapat diancam dengan hukuman mati.
Demikian setelah dikawal oleh kedua prajurit penjaga, ketiga anak beranak itu dibawa masuk.
Tetapi mereka tidak boleh masuk melainkan hanya melihat dari luar terali besi.
Beberapa saat kemudian, merekapun disuruh pulang.
Malam kelam dan makin kelam.
Anginpun mulai menggigit tulang.
Para prajurit yang menjagapun makin meliukkan tubuh.
Mereka telah menghabiskan tuak dan brem pemberian suami isteri tadi dan saat itu kepala merekapun mulai merasa pening, mata berbinar-binar.
Mereka adalah prajurit- prajurit yang bertubuh kuat dan kuat pula minum tuak.
Tetapi tuak dari suami isteri tadi telah kuasa menundukkan mereka dalam kelelapan yang lunglai.
Di kala kesunyian mencengkam suasana, ba- ba muncullah dua sosok tubuh ke pintu regol.
Dengan gerak setangkas kucing melompat, kedua sosok tubuh itupun menyelinap masuk melalui kedua penjaga pintu yang duduk bersandar pada tiang pintu.
Kedua sosok pendatang itu mukanya berselubung kain hitam.
Mereka lari melintas hahaman, menuju ke sebuah bangunan gedung.
Tampak dua orang penjaga pintu gedungpun serupa dengan yang berada di pintu regol.
Mereka duduk sandarkan tubuh pada dinding.
Salah seorang dari kedua pendatang yang bertubuh lebih nggi dan besar, segera menghampiri penjaga itu dan mengambil kunci dari saku baju penjaga itu.
Lalu membuta pintu terali besi.
"Kuncilah dan simpan anak kuncinya,"
Kata orang itu kepada kawannya yang bertubuh kecil langsing "aku akan masuk menemui Meng Ki."
"Tetapi bagaimana kalau kedua penjaga ini sampai bangun ?"
Seru orang yang bertubuh kecil itu dalam nada seperti seorang anak perempuan.
"Hantam saja kepalanya supaya pingsan !"
Sahut orang yang bertubuh nggi seraya menyerahkan anak kunci.
Setelah itu dia melangkah masuk.
Setelah melalui sebuah lorong yang cukup panjang akhirnya balah dia di sebuah ruang yang diterangi dengan lampu.
Ruang itu sunyi-sunyi saja.
Segera pandang mata orang itu tertumbuk pada sosok tubuh lelaki yang masih duduk diatas balai-balai dalam sikap seper orang bersemedhi.
Kelima orang itu mengenakan busana yang indah.
Sedang di lantai tampak sepuluh orang prajurit terhampar, tidur mendengkur.
Kelima orang yang duduk bersemedhi itu adalah Meng Ki dan pembantunya.
Mereka terkejut melihat kemunculan seorang yang mukanya bertutup kain hitam.
"Siapa engkau!"
Tegur salah seorang dari kelima lelaki yang duduk di tengah-tengah. Orang berkerudung itu mengangkat tangan selaku memberi salam "Jangan takut, aku seorang teruna Singasari "
"O,"
Desuh orang Tartar itu "hendak membunuh kami? "
"Tidak, aku bukan seorang pembunuh pengecut,"
Sahut orang berkerudung lalu balas bertanya "siapakah engkau. Apakah engkau yang bernama Meng Ki?"
"Ya, orang menyebut demikian atau Mi Yetzimu."
"Hm, engkau tenang sekali."
Meng Ki tertawa hambar "Terima kasih atas pujianmu. Dan mengapa aku harus gelisah? Bukankah aku dan rombonganku sudah terpedaya oleh siasat yang keji dari rajamu? Lihat,"
Serempak terdengar suara bergemerincing ke ka Meng Ki mengangkat kedua tangannya "sekalipun sudah ditawan, rajamu masih menitahkan supaya merantai tangan kami! "
Orang berselubung kain hitam itu mendesuh pelahan "Engkau salah tafsir. Bukan raja Singasari yang mencelakai kamu tetapi baginda telah dihasut oleh pa h Aragani yang bertubuh, pendek dan perut buncit itu."
"Adakah di Singasari itu patih lebih berkuasa dari raja ?"
Meng Ki bertanya heran.
"Tidak,"
Sahut orang berselubung "raja adalah yang paling berkuasa. Tetapi baginda telah dipengaruhi patih Aragani."
"Hm,"
Dengus Meng Ki "lalu apa tujuanmu datang kemari ? "
"Pertama-tama, ingin membawakan suara rakyat Singasari. Bahwa ndakan yang dikenakan kepadamu dan rombonganmu itu, bukanlah kehendak rakyat Singasari melainkan perbuatan dari segelintir mentri kerajaan yang menginginkan kekacauan dalam kerajaan Singasari."
"Hm, rupanya engkau sudah menyadari akibat-akibat dari kekuatan balatentara Kubilai Khan yang menguasai sepertiga jagad ini "
Dengus Meng Ki.
Tiba- ba orang yang mukanya bertutup kain hitam itu berseru tegas "Engkau salah tafsir! Tindakan Kubilai Khan mengirim surat kepada baginda Singasari itu memang suatu hinaan.
Kami seluruh rakyat Singasari akan berjuang di belakang baginda untuk mempertahankan kedaulatan negara kami! "
Orang itu berhen sejenak. Tampak dari kedua lubang kain kerudung, sinar berkilat-kilat tajam memancar dari kedua matanya.
"Yang tak kami setujui yalah cara-cara baginda memperlakukan utusan Kubilai Khan itu. Hendaknya jangan tuan tafsirkan bahwa Singasari takut kepada rajamu Kubilai Khan. Itu tak benar"
Kata orang itu pula "ketahuilah wahai tuan Meng Ki.
Bahwa Singasari itu sebuah negara besar yang mempunyai kekuatan jauh sampai menjangkau ke tanah Malayu.
Singasari sebuah negara yang beradab budaya tinggi, pusat perkembangan agama.
Sudah tentu kami dapat menghormati tata peraturan antara negara.
Dan itulah sebabnya pula kami tak setuju akan tindakan seri baginda yang dijatuhkan pada diri tuan dan rombongan tuan."
Meng Ki -tertegun lalu mengangguk-angguk "Itukah tujuan langkah tuan datang kemari ? "
"Yang pen ng memang begitu,"
Sahut orang berkerudung kain hitam "agar tuan dapat gambaran tentang keadaan rakyat Singasari yang sebenarnya dan dapat menghaturkan pernyataan kami ini ke hadapan rajamu Kubilai Khan.
Disamping itu, sebagai salah satu cara yang dapat kami tempuh untuk menyatakan tak setuju atas ndakan baginda, kami akan memperingan penderitaan tuan dan rombongan tuan."
Meng Ki terkesiap penuh dugaan.
"Adakah tuan hendak menolong membebaskan diriku dan rombonganku ?"
Serunya meragu.
"Ingin sebenarnya kulakukan hal itu.
"
Kata orang aneh itu pula "tetapi ada dua pertimbangan yang menghalang keinginanku.
Pertama, kemungkinan mengingat peribadi keksatryaan tuan, tuan tentu segan menerima pertolongan orang.
Kedua, telah kami pertimbangkan bahwa janganlah hendaknya pertolongana itu bahkan akan menrcelakai kawan-kawan tuan.
Jelasnya, apabila kubebaskan, tuan pasti akan diserang oleh beratus-ratus prajurit yang bersenjata lengkap.
Kemungkinan rakyatpun akan ikut mengeroyok.
Bukankah akan sia-sia belaka pertolonganku itu? "
"Benar,"
Sahut Meng Ki "kamipun menyadari hal itu maka kamipun tak mengharapkan pertolongan itu."
"Mungkin tuan tak mengharapkan,"
Sambut orang berkerudung kain hitam itu pula "tetapi sesungguhnya kami ingin sekali melakukan pertolongan itu manakala tak terbentur oleh akibat yang akan merugikan perjuangan kawan-kawan kami."
Meng Ki memandang lekat.
"Bahwa sebenarnya kerajaan Singasari sedang menghadapi bahaya yang tak tampak. Kerajaan ini sedang terancam oleh penghianatan beberapa mentrinya. Tujuan mereka menghasut baginda supaya menindak tuan tak lain hanyalah supaya terjadi peperangan dan kekacauan dalam kerajaan Singasari. Mereka akan , menggunakan kesempatan itu untuk melaksanakan rencana penghianatannya."
Meng Ki mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kami menyadari bahwa kali ini mereka telah berhasil menimbulkan landasan kuat untuk menghasut baginda dan mengobarkan kemarahan rakyat terhadap perutusan yang tuan lakukan. Apabila kubebaskan tuan, rakyat tentu marah dan kami para pejuang Singasari tentu akan kehilangan dukungan rakyat kami. Maka kami minta hendaknya tuan dapat memaklumi hal ini dan jauhkanlah pikiran tuan dari kesan yang menganggap bahwa para ksatrya Singasari itu tak berani bertindak membela keadilan dan kebenaran."
"Ya, kumaklumi hal itu,"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut Meng Ki "dan memang akupun tak memerlukan pertolongan yang akan merugikan kedua belah pihak. Lalu apa maksud kedatangan anda kemari?"
"Kami datang untuk memberi pertolongan sekedar untuk meringankan derita kesakitan yang tuan alami. Kami hendak menghaturkan obat penghilang rasa sakit akibat hukuman yang tuan dan rombongan tuan akan menerima besok pagi."
Orang yang mukanya berselubung kain hitam itu segera menyerahkan sebuah bungkusan.
"Ksatrya Singasari,"
Kata Meng Ki setelah menerima dan mengucapkan terima kasih "bukan bagaimana macam dan khasiat obat itu yang kuterima tetapi sikap dan pernyataan anda itulah yang benar-benar berkesan dalam ha kami.
Sesungguhnya akupun sudah membekal obat yang mujarab untuk segala macam luka terbakar, terbacok senjata tajam serta terkena segala jenis racun."
"Ketahuilah tuan,"
Tukas orang berselubung itu "luka yang tuan akan derita besok pagi cukup mengerikan. Wajah anakbuah tuan akan di cap dengan besi panas dan mungkin akan dicacah juga."
"Jangan kua r ksatrya,"
Sahut Meng Ki tertawa "ketahuilah bahwa untuk menghadapi siksa hukuman besok pagi, sebelumnya kami akan menelan obat yang berkasiat menolak rasa sakit dan setelah itu kamipun akan melumuri luka-luka kami itu dengan bubukan obat yang kuasa mengeringkannya.
Setelah kering, luka itu akan terkupas dari kulit tanpa meninggalkan bekas- bekas.
Ilmu ramuan daun obat, sudah sedemikan maju di negeri kami sehingga telah diketemukan berbagai ramuan daun-daun obat yang dapat menyembuhkan bermacam-macam penyakit luar dan dalam."
Orang aneh itu mengangguk.
"Tetapi kami takkan menghapus luka itu melainkan akan membawanya pulang agar raja kami dapat mengetahui keadaan wajah kami yang telah dirusak itu,"
Kata Meng Ki pula.
"Tuan,"
Kata tetamu aneh itu "sebagai kepala perutusan yang melaksanakan tugas sebagai seorang duta raja, tentulah tuan memiliki ilmu kesak an yang is mewa. Mengapa tuan tak berusaha untuk meloloskan diri saja ?"
"Inginkah anda menyaksikan sedikit tentang ilmu kesaktian yang kumiliki itu ?"
Tanya Meng Ki.
Dan tanpa menunggu jawaban orang, dia terus pejamkan kedua mata.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia menggeliatkan kedua tangannya, tringngng ....
Tetamu aneh yang mukanya tertutup kain hitam itu terbeliak kaget ke ka melihat rantai yang memborgol tangan kepala perutusan Cina itu, berkerontangan menghambur ke lantai.
"Nah, lihatlah ksatrya. Kini tanganku sudah bebas,"
Seru Meng Ki "apabila aku mau, dengan mudah pula dapatlah kubebaskan rantai yang mengikat tangan rombonganku ini."
"Mengapa tuan tak melakukannya ?"
Tanya orang itu dengan heran.
"Ksatrya,"
Kata Meng Ki "pikiranku sejalan dengan pikiran anda.
Prajurit-prajurit pengawalku memang prajurit-prajurit yang gagah perkasa, bertenaga besar dan mahir dalam peperangan.
Tetapi ilmu kesaktian seperti yang kumiliki tadi, mereka masih belum mampu melakukan.
Apabila kubebaskan mereka, mereka tentu akan menghadapi bahaya maut apabila diserang oleh prajurit-prajurit Singasari yang berjumlah puluhan ribu itu.
Tidakkah hal itu berarti aku bahkan malah mengantar jiwa mereka ?"
Orang berkerudung itu mengangguk. Sesaat kemudian mulutnya mendesis pujian "Hebat benar ilmu kesaktian tuan."
Meng Ki tertawa datar "Ya, ilmu semacam itu di negaraku disebut Soh-kut-kang atau ilmu Menyusut-tulang."
"O,"
Sambut orang aneh itu "di negcriku sini juga terdapat semacam ilmu itu. Guruku mengatakan bahwa dalam ilmu kesak an di tanah Jawadwipa, terdapat suatu ilmu yang disebut aji Pangluluh "
"Ya, ku percaya,"
Kata Meng Ki "memang ksatrya dari Jawadwipa memiliki ilmu kesak an yang nggi.
Seper kulihat pada candi-candi di pura ini bangunannya mirip dengan candi negeri kami.
Dan candi-candi semacam itu adalah candi aliran Hindu dan Buddha.
Kurasa sumbernya adalah di Jambudwipa, (India)."
Orang aneh itu mengangguk "Ya, memang agama yang saat ini dianut oleh kerajaan Singasari adalah aliran Tripaksa, ga aliran yani Syiwa, Buddha dan Brahma yang dipersatukan oleh seri baginda"
"Agama Buddha juga berkembang luas di negeriku. Di sana banyak didirikan kelenteng-kelenteng sebagai tempat pemujaan agama itu."
Orang aneh itu mengangguk-angguk.
"Baiklah ksatrya,"
Kata Meng Ki pula "pernyataanmu tadi akan kukabarkan kepada seluruh ksatrya di negeriku dan akan kulaporkan kepada rajaku.
Bahwa Singasari memiliki juga ksatrya - ksatrya yang menjunjung nggi keadilan dan kebenaran.
Pemberian obat dari anda ini akan merupakan kenangan yang paling berkesan dalam hidupku."
"Baiklah,"
Akhirnya orang aneh itu hendak mohon diri "kalau begitu akupun tak dapat berada di sini lebih lama lagi ...
"
"Tunggu,"
Cepat Meng Ki mencegah ke ka orang aneh itu hendak pergi "bolehkah kuajukan sebuah permohonan kepada anda ?"
"Silakan."
"Agar dapat kukenang siapa ksatrya Singasari yang berani menerjang pagar tombak barisan pedang dari penjaga-penjaga gedung tawanan, karena perlu hendak menemui rombonganku maka kuminta anda suka membuka kain kerudung penutup muka anda agar aku dapat menyemayamkan wajah anda dalam bingkai taman hatiku ....
"
Orang berselubung kain hitam itu tertawa pelahan "Baiklah,"
Ia terus menyingkap kain hitam yang menutup wajahnya.
"Ah .... bukan main,"
Meng Ki menghambur puji "tak pernah kusangka sedemikian elok wajah tuan. Ah, andaikata baginda Kubilai Khan melihat wajah tuan, tuan pas akan diambil sebagai putera menantu."
"Terima kasih,"
Ksatrya berwajah tampan itu segera menutup mukanya pula "yang kuharapkan dari raja Kubilai Khan bukanlah puteri jelita atau hadiah permata berharga, melainkan suatu harapan agar baginda dapat memiliki penger an yang dalam tentang kerajaan dan rakyat Singasari.
Kami adalah rakyat sebuah kerajaan yang cinta damai dan cinta kemerdekaan."
"Baiklah. Akan kuusahakan untuk mempersembahkan laporan kehadapan rajaku agar janganlah sampai mbul peperangan dengan Singasari. Andaikata hal itu tak dapat dicegah, pun akan kuusahakan hanya mereka-mereka yang bersalah sajalah yang harus dihukum, jangan sampai mengorbankan kepentingan dan jiwa rakyat yang tak berdosa."
"Cukup tuan Meng Ki, aku mohon diri,"
Dengan sebuah lompatan yang gesit, orang berkerudung itupun sudah menghilang dari pandang mata. ~dewi.kz^ismo^mch~
Jilid 30 Persembahan . Dewi KZ
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .
MCH I Kulit manusia memang berbeda-beda dan dari perbedaan kulit dan tempat maka timbullah pengelompokan bangsa.
Tetapi manusia itu tetap satu jenis.
Jenis mahluk yang memiliki perasaan yang talus dan pikiran yang tajam.
Persamaan sifat-sifat manusia itu, menimbulkan pandangan, perasaan dan pemikiran yang sama pula.
Kejahatan, di mana-mana dan di kalangan bangsa apa pun dianggap jahat.
Demikian halnya dengan kebaikan dan kesucian.
"Ah, kiranya sifat ksatrya Singasari itu tak beda dengan ksatrya di negeriku,"
Terlintas suatu penilaian, dalam benak Meng Ki setelah ksatrya yang mukanya ditutup dengan kerudung hitam itu, menghilang dari pandang matanya.
Dia masih tercenung, tercengkam dalam resung bayang-bayang peribadi ksatrya tadi.
Tutur katanya yang halus, keberaniannya yang luhur dan ketampanan wajahnya, masih melekat dalam kesan.
Namun apabila ia teringat akan perlakuan yang dideritanya dalam bangsal kencana pagi tadi, meluaplah darahnya.
Walaupun surat dari Kubilai Khan itu memang suatu hinaan tetapi daklah pada tempatnya raja Singasari menumpahkan kemurkaan kepada seorang utusan.
Dan yang makin menimbulkan geram adalah ulah pa h Singasari yang bernama Aragani itu.
Betapa lancang pa h itu ber ndak tanpa mengindahkan kewibawaan raja.
Dan yang membuatnya heran, mengapa tampaknya raja Singasari menurut saja apa yang diputuskan pa h itu.
Sebagai seorang mentri kerajaan yang berpuluh tahun mengabdi junjungan, ia cepat memiliki pengamatan yang tajam.
Bahwa antara raja Singasari dengan pa hnya itu memang telah terjalin dalam hubungan yang erat.
Suatu hubungan yang melampaui batas-batas seorang pa h dengan raja junjungannya.
Apabila menuruti nafsu amarah, memang saat itu ingin ia melepaskan diri dari kungkungan terali besi yang mengurung dirinya untuk kemudian meloloskan diri kembali kepada pasukannya yang masih berada di perahu.
Tetapi ia mempunyai lain pertimbangan.
Ia ingin tahu sampai di mana ndakan raja Singasari nan .
Dengan buk -buk yang dideritanya itu ia akan menghadap raja Kubilai Khan "Apabila melihat hukuman yang kuderita, tentulah raja akan marah dan baru akan ber ndak menghukum raja Singasari.
Kutahu bagaimana perangai seri baginda Kubilai Khan itu.
Beliau menghargai seorang mentri yang berani menderita bahaya waktu melakukan tugas."
Di samping per mbangan itu, kunjungan seorang ksatrya berkerudung muka tadi juga amat mempengaruhi pikirannya.
"Ah, apapun yang akan terjadi, akan kuhadapi dengan ha rela. Karena hal itu sudah menjadi tanggungan dari seorang menteri yang diutus sebagai duta kerajaan,"
Ia pejamkan mata bersemedhi.
~dewi.kz^ismo^mch~ Demang Lebar Daun tengah bermusyawarah dengan para pujangga, sasterawan dan menteri- menteri cendekia untuk memperbincangkan sikap Sriwijaya dalam menghadapi kedatangan rombongan utusan Singasari yang dikepalai raden Wijaya.
Jauh hari Demang Lebar Daun sudah menerima laporan dari mata-mata Sriwijaya yang sengaja ditanam di Singasari tentang keberangkatan rombongan utusan Singasari ke tanah Malayu untuk menyerahkan pemberian baginda Kenanagara yani patung Amogapasha.
Apakah sesungguhnya yang tersimpul pada tujuan pengiriman utusan dari Singasari itu ? Demikian pertanyaan yang mencengkam hati Demang Lebar Daun.
Demang Lebar Daun itu seorang pa h mangkubumi yang luas pengalaman, nggi pengetahuun dalam masalah tata kenegaraan dan memiliki pandangan yang jauh dan naluri tajam.
Jika dahulu kerajaan Singasari mempunyai seorang pa h yang bernama empu Raganata, adalah ibarat kerajaan Sriwijaya mempunyai seorang patih Demang Lebar Daun.
Tetapi walaupun terdapat persamaan dalam hal kepandaian, daklah demikian dalam nasib mereka.
Bila Demang Lebar Daun mendapat kepercayaan penuh dari raja Tribuana Mauliwarman, raja Sriwijaya, daklah demikian dengan nasib pa h Raganata.
Baginda Kertanagara lebih menaruh kepercayaan kepada pa h Aragani daripada empu Raganata yang setya.
Empu Raganata telah dipindah menjadi Adhyaksa di Tumapel dan kedudukan patih diberikan kepada Aragani.
Bila air keruh, ikanpun tak tampak.
Demikian apa yang dirasakan Demang Lebar Daun saat itu.
Perasaan resah gelisah, menyebabkan pikirannya merasa gelap untuk mengulas, menilai dan menarik kesimpulan dari makna kedatangan utusan Singasari ke tanah Malayu itu.
Sebenarnya Demang Lebar Daun seorang yang pandai dan cendekia.
Namun ia tak kuasa untuk menyegarkan kembali pikirannya yang sudah lesu lusuh akibat ap malam tak dapat dur karena memikirkan masalah itu.
Akhirnya mbullah hasrat Demang Lebar Daun untuk memanggil seorang ahlinujum.
Di depan musyawarah mentri hulubalang dengan Demang Lebar Daun, ahlinujum itu diminta memberikan keterangan tentang nujum yang disimpulkannya menurut peredaran bintang.
"Tuanku,"
Kata nujum itu "kerajaan Sriwijaya akan diserang oleh sebuah kerajaan besar dari Jawa-dwipa. Serangan itu tak mungkin ditolak Sriwijaya ...
"
"Tidak mungkin,"
Seru Demang Lebar Daun "selama hayat masih dikandung badan, Demang Lebar Daun bersumpah takkan merelakan Sriwijaya dikuasai kerajaan Singasari atau kerajaan lain dari Jawadwipa.
Bahkan kebalikannya, kerajaan Singasari saat ini sedang diambang pintu keruntuhan."
Demang Lebar Daun tak kuasa menahan luap perasaannya sehingga di depan sidang musyawarah itu ia sampai mengatakan tentang keadaan Singasari.
Sesungguhnya, ia hendak membantah nujum yang diucapkan ahlinujum itu dan tanpa disadari diapun telah meluncurkan kata-kata tentang Singasari.
"Dhirgayu Sriwijaya ! Dhirgayu Darmasraya! "
Terdengarlah ledakan teriak dari beberapa hulubalang menyambut ucapan Demang Lebar Daun. Bahkan hulubalang-hulubalang itu serempak menyertakan tangan yang dikepal dan diacungkan ke atas seraya melantang.
"Lebih baik mayat kami menimbuni bumi Sriwijaya daripada bumi ini diinjak orang Singasari."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ahlinujum yang putus dalam ilmu perbintangan itu mendesuh.
"Tetapi, ah ....."
"Mengapa maharesi ?"
"Kodrat dewata Agung tak mungkin diingkari. Sudah menjadi kehendak Hyang Maha Agung bahwa orang-orang Singasari akan dapat menginjakkan kakinya di bumi Sriwijaya ....
"
"Maharesi ?"
Seru Demang Lebar Daun "tidakkah khilaf wiwaaan tuan itu?"
Maharesi itu hanya gelengkan kepala.
"Sudilah kiranya tuan melihat lagi nujum tuan itu. dengan seksama, maharesi."
"Sudah tuanku,"
Sahut maharesi perujum itu "rasanya tak mungkin akan salah. Kulihat sebuah bintang bersinar dari arah tenggara, dengan di bawah lindungan Jiwa dan telah masuk perumahan bulan Pusya .... ah, tak mungkin bintang itu dicegah pula. Tetapi tuanku ....
"
"Bagaimina maharesi ? "
Demang Lebar Daun agak terkejut.
"Bintang itu tidak bersinar merah, pertanda takkan membawa pertumpahan darah."
"Maksud tuan?"
Demang Lebar Daun menegas.
"Walaupun bintang bersinar itu akan masuk ke perumahan bulan namun takkan terjadi peperangan. Melainkan suatu serangan yang akan membawa kebahagiaan bagi kerajaan Sriwijaya, tuanku."
Demang Lebar Daun terbeliak. Dahinya mengerut kesal "Aku tak menger apa yang tuan maksudkan."
"Apabila ada bintang bersinar yang nyelonong keluar dari garis Yoga atau garis lingkaran tempat matahari dan rembulan, kemudian bintang bersinar itu memasuki perumahan bulan, pas lah akan terjadi suatu peristiwa besar,"
Menerangkan maharesi ahlinujum itu.
"O."
"Apabila bintang itu memancarkan sinar merah darah, pertanda akan mbul peperangan. Tetapi apabila bintang bersinar itu memancarkan sinar pu h kebiru-biruan, pertanda akan terjadi ikatan hubungan antara penyerang dengan yang diserang atau tetamu dengan tuanrumah."
"Hubungan bagaimana yang tuan maksudkan?"
"Ikatan hubungan keluarga, tuanku."
Seri wajah Demang Lebar Daun berobah, serunya "Engkau maksudkan kedatangan rombongan orang Singasari yang dikepalai raden Wijaya itu akan meminang cucuku puteri Candra Dewi ?"
"Demikianlah sudah menjadi kehendak takdir, tuanku,"
Kata ahli nujum "raden Wijaya seorang ksatrya utama, gagah perkasa dan berbudi luhur. Dia adalah keturunan Batara Narasingamurti, cucu sang Rajasa Amurwabhumi rajakulakara kerajaan Singasari."
"Bintang bersinar gilang gemilang dilindungi oleh Jiwa,"
Maharesi itu melanjut pula "berar bahwa ksatrya yang akan berkunjung ke Sriwijaya itu kelak akan menjadi manusia besar."
"O,"
Demang Lebar Daun terkejut "manusia besar. Raja maksud tuan ?"
"Ya,"
Sahut maharesi "seorang raja besar yang akan memerintah seluruh Jawadwipa bahkan kekuasaannya akan meliputi seluruh nusantara."
"Ah,"
Desah Demang Lebar Daun "benarkah dia akan meminang cucuku ?"
"Kiranya hamba tak meragukan hal itu, tuanku,"
Sahut maharesi "tuan puteri Candra Dewi kelak akan menjadi permaisuri dan akan menurunkan putera yang akan menjadi raja besar dari kerajaan Jawadwipa."
"Ah,"
Demang Lebar Daun tertegun sejenak lalu bertanya "dan bagaimana dengan cucuku Dara Jingga ?"
"Kedua tuan puteri itu akan dibawa ke Singasari semua."
"Akan di peristeri raden Wijaya ?"
"Pinangan itu diperuntukkan raja Singasari."
"Ah, raden Wijaya bukan raja, dia hanya seorang ksatrya,"
Tanggap Demang Lebar Daun "adakah raja Singasari itu yang akan meminang?"
"Demikian apabila menurut nujum hamba,"
Kata maharesi "tetapi nasib akan menentukan lain."
"Ah."
Demang Lebar Daun terperangah "sukalah tuan memberi keterangan."
"Sebelum raja Singasari dapat melaksanakan hajat untuk menikahi kedua puteri cucu tuanku, Singasari mengalami perang besar dan raja Singasari itu akan gugur. Kerajaan Singasari akan musnah dan akan timbul pula sebuah kerajaan baru yang lebih besar dan lebih jaya."
"Jika demikian kedua cucu puteriku itu akan menjadi permasuri dari raja baru itu ?"
Maharesi gelengkan kepala "Se ap insan sudah membawa nasib sendiri-sendiri.
Walaupun saudara sekandung, daklah akan sama nasibnya.
Hamba lihat tuan puteri Candra Dewilah yang kelak akan menerima wahyu dari dewata sehingga tuan puteri akan menjadi permaisuri dan kelak puteranyapun akan dinobatkan sebagai putera mahkota."
"Ah,"
Demang Lebar Daun menghela napas longgar dan haru.
Ia merasa gembira dan bersyukur akan nasib puteri Candra Dewi.
Tetapi ia terharu apabila memikirkan nasib cucunva yang lain, puteri Dara Jingga "Ah, betapa iba ha ku akan nasib cucuku yang seorang itu,"
Gumamnya penuh haru.
"Mengapa tuanku bersedih ha ?"
Kata maharesi itu "kita harus menerima dan bersyukur atas segala ketentuan yang telah dilimpahkan dewata Agung.
Akan diri tuan puteri Dyah Dara Jingga, kelak pun akan menikah dengan seorang dewa dari bumi Malayu ini.
Puteripun akan menurunkan seorang putera utama yang kelak akan mencuatkan keharuman nama yang menyerbak ke seluruh jagad."
"Ah,"
Kembali Demang Lebar Daun menghela napas. Kali ini bernada longgar. Kemudian ia bertanya lebih lanjut tentang nama kerajaan yang akan timbul menggantikan kerajaan Singasari.
"Soal nama, hamba belum pas . Tetapi yang jelas kerajaan baru itu akan lebih besar dan lebih jaya."
"Benarkah raden Wijaya itu kelak yang akan mendirikan kerajaan baru Itu?"
"Sesungguhnya rahasia alam itu tak dibenarkan untuk diungkap. Cukuplah kiranya hamba katakan bahwa raden Wijaya itu kelak akan menjadi seorang mahanusia yang termasyhur. Dan telah digariskan oleh Hyang Dewata Agung bahwa tuan puteri Candra Dewi akan menjadi jodoh dan raden Wijaya. Mereka akan dikaruniai seorang putera yang akan memerintah Jawadwipa."
Walaupun tidak jelas. Demang Lebar Daun yang arif, pun sudah dapat mengetahui apa yang tersimpul dalam jawaban maharesi itu. Namun, rupanya ia masih belum puas dan menanyakan pula akan kelanjutan dari kerajaan baru itu nanti.
"Ampun tuanku,"
Kata maharesi "nujum hamba hanya terbatas sampai di situ. Jika tuanku berkeniat hendak mengetahui, hamba mohon diberi waktu barang sepurnama untuk memohon ilham kepada Dewata."
"Baik, maharesi,"
Kata Demang Lebar Daun "tuan amat berjasa memberikan keterangan kepadaku. Keterangan tuan itu besar sekali gunanya bagi kepentingan Sriwijaya."
Kemudian Demang Lebar Daun menitahkan sentana untuk mengantarkan maharesi itu ke pertapaan.
Sepeninggal maharesi ahlinujum dari balairung maka masuklah seorang sentana ke hadapan Demang Lebar Daun.
Sentana itu melaporkan tentang kedatangan dua orang mata-mata Sriwijaya yang ditugaskan ke Singasari.
"Bawa mereka kemari,"
Titah Demang Lebar Daun. Tak lama prajurit masuk dengan mengiring dua orang yani Siborang dan kawannya.
"Adakah berita dari Singasari yang hendak engkau haturkan?"
Tegur Demang Lebar Daun.
"Benar, tuanku,"
Kata Siborang "hamba berhasil menemui pa h Aragani dan beliau telah menyerahkan sepucuk surat ke hadapan paduka."
Demang Lebar Daun menitahkan seorang pengawalnya untuk menerima surat itu dan membacanya.
Pengawal itupun menerima surat dari Siborang lalu-membacanya .
Surat menjelang ke hadapan sahabat kami, Demang Lebar Daun di negara Sriwijaya puraresi.
Atas anjuran kami, baginda Kertanagara telah mengirim dua rombongan perutusan yang terdiri dari mentri, hulubalang dan pasukan kerajaan Singasari.
Rombongan kesatu, dipimpin oleh pa h Kebo Anengah untuk menghantarkan tuan puteri Dyah Tapasi adinda baginda, kepada raja Campa.
Rombongan kedua, dikepalai raden Wijaya, calon menantu baginda Kertanagara, mengantarkan arca Amoghapasa kepada raja Warmadewa di negeri Malayu.
Dengan keberangkatan kedua rombongan besar itu maka pura Singasari dewasa ini dapat dikata kosong.
Bagindapun telah menyetujui usul kami untuk mengirim pangeran Ardaraja, putera raja Daha yang menjadi putera menantu baginda Singasari, membawa pasukan yang masih tersisa di Singasari, berangkat ke Bali untuk menenteramkan pemberontakan di sana.
Pangeran Ardaraja diragukan kesetyaannya terhadap baginda Kertanagara.
Pangeran itu lebih cenderung akan berfihak kepada ramandanya sendiri, raja Jayakatwang.
Hanya raden Wijaya seorang yang paling gigih dan setya membela Singasari.
Maka lelapkan perha an raden itu dengan sambutan yang mewah di negeri tuan.
Dan segeralah siapkan pasukan untuk menerkam Singasari.
Janganlah tuan berbanyak ha akan laporan yang sungguh-sungguh dari Aragani gelar Kebo Tengah sang Apanji, sahabat tuan yang setya.
Demikian semoga tuan berkenan menerima usul dari kami, sahabat sekutu Sriwijaya Aragani gelar Kebo Tengah sang Apanji.
Demang Lebar Daun mengangguk dalam-dalam.
Ia menganggap laporan yang mengandung anjuran untuk menyerang Singasari itu memang pen ng sekali tetapi pun amat gawat.
Ia tak mau tergesa bertindak sebelum mendapat keterangan yang meyakinkan.
Menggerakkan pasukan besar untuk berperang, bukan suatu gerakan mengerahkan pasukan untuk berbaris di alun-alun seperti pada tiap hari upacara kerajaan.
Perang bukan suatu permainan anak-anak.
Perang adalah suatu gerakan besar yang akan menelan beaya besar dan pengorbanan dahsyat.
Menyerang Singasari tidaklah semudah yang dibayangkan patih Aragani dalam anjurannya itu.
Singasari adalah sebuah kerajaan yang terbesar di Jawadwipa.
Pasukan Pamalayu dari Singasari telah menunjukkan keperkasaan dalam tugas untuk menguasai raja-raja Malaya.
Sebuah kerajaan yang mampu mengirimkan pasukan besar dengan mutu yang tinggi, tentulah bukan suatu kerajaan yang lemah.
Walaupun seperti yang dikatakan patih Aragani bahwa dewasa itu pura Singasari kosong dan lemah kekuatannya, namun masih ada seri baginda Kertanagara yang sakti dan pandai.
Apabila serangan ke Singasari itu gagal maka tak terperikan akibatnya.
Berpuluh ribu jiwa prajurit Sriwijaya akan hilang.
Dan rasanya tidak akan habis sampai di situ.
Pun kerajaan Singasari tentu akan mengirim pasukan untuk balas menyerang Sriwijaya.
Bukankah pasukan Pamalayu dibawah pimpinan senopati Kebo Anabrang sekarang masih berada di Swamadwina? Bukankah pasukan Pamalayu itu setiap taat dapat dititahkan raja Kertanagara untuk menyerang Sriwijaya ? Demang Lebar Daun menghela napas dalam -dalam.
Layang pikirannya melanjut pula untuk memawas keadaan dalam negeri Sriwijaya sendiri.
Ia menyadari bahwa selama ini ia memang kurang memperha kan untuk membangun kekuatan Sriwijaya.
la lebih banyak mencurahkan tenaga dan pikiran untak membangun vihara dan rumah-rumah suci dalam rangka mengembangkan agama Buddha aliran Hinayapa.
Di atas Bukit Siguntang telah didirikan sebuah candi yang megah, sebagai lambang pemujaan aliran Hinayana.
Kemegahan kebesaran Bukit Siguntang yang merupakan candi terbesar di seluruh Sriwijaya, memakan beaya, tenaga dan pikiran yang dabsyat.
Hampir harta benda dalam gudang negara, telah tercurah mengalir ke Bukit Siguntang.
Segala anggaran belanja untuk berbagai kementerian, telah susut dihisap ke arah anggaran mengembangkan agama Buddha-Hinayana dengan Bukit Siguntang sebagai pusat lambang kebesarannya.
Hanya Demang Lebar Daun yang tahu akan hal itu.
lapun bimbang memper mbangkan anjuran patih Aragani.
Anjuran itu memang cukup menarik, memiliki daya rangsang yang memikat.
"Siborang, benarkah pada saat ini pura Singasari kosong ?"
Demang Lebar Daun mencari penegasan kepada Siborang, mata-mata yang diutus menyelundup ke Singasari untuk menemui patih Aragani.
"Benar tuanku"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sembah Siborang "dewasa ini Singasari tak ubah seper kayu yang dimakan bubuk.
Di luar tampak kokoh tetapi di dalam lapuk.
Sekali di up angin, tentu akan roboh.
Raja Kertanagara telah dilelapkan dalam sanjung puji, merangkai syair dan menikma tuak oleh pa h Aragani.
Tiap ha baginda hanya bermabuk-mabukan, mengikat syair dan membenamkan diri dalam sumber falsafah agama Tantrayana dimana baginda telah mengangkat diri sebagai Jina."
"Sedemikian dalamkah baginda terbenam dalam kesenangan duniawi? "
"Benar tuanku,"
Sembah Siborang "dan apa yang dikatakan pa h Aragani memang benar. Saat ini pura Singasari memang kosong melompong bagai rumah tiada penghuni."
Demang Lebar Daun pejamkan mata, membawa keterangan pengalaman itu ke dalam lubuk pertimbangan.
"Benarkah terjadi perobahan dalam tubuh pemerintahan Singasari dengan dilorot dan dipindahkannya beberapa mentri tua ?"
Tanya Demang itu pula.
"Benar tuanku,"
Sahut Siborang "Demang Banyak Wide telah dipindah ke Sumenep, tumenggung Wirakre pimpinan pasukan kerajaan, dilorot menjadi mentri Angabaya.
Dan yang paling parah adalah pemecatan pa h tua empu Raganata, pa h yang setya, bijaksana dan berpengaruh di kalangan kawula singasari, pun telah digeser menjadi adhyaksa di Tumapel.
Pada hal ke ga mentri itu merupakan tulang punggung kerajaan Singasari yang setya."
"Ah,"
Desah Demang Lebar Daun "pa h empu Raganata itu seorang pa h yang setya dan bijaksana, luas pengetahuan dan cendekia. Mengapa baginda tak menghargai jasanya ?"
Walaupun keadaan itu bagi Sriwijaya merupakan pcrobahan yang baik, namun dalam ha nurani Demang Lebar Daun dia amat menyesalkan ndakan baginda Kertanagara yang tak dapat menghargai seorang mentri setya.
Diam-diam pula Demang bersyukur dalam ha , bahwa dia tak usah mengilami nasib seperti patih Raganata.
"Benarkah raden Wijaya diutus ke Malayu dan pangeran Ardaraja hendak dikirim ke Bali lagi ?"
Tanya Demang lebih lanjut.
Siborang membenarkan keterangan itu "Menurut wawasan hamba, pangeran Ardaraja memang lebih cenderung berfihak kepada ramandanya raja Daha.
Hanya raden Wijayalah satu-satunya banteng Singasari yang menakutkan.
Namun raden itu atas usul pa h Aragani, pun telah diutus ke Malayu.
Pada hemat hamba saat inilah yang terbaik apabila paduka tuanku hendak menyerang Singasari."
Laporan Siborang cukup jelas.
Setelah menitahkan pengatasan itu pulang maka Demangpun melanjutkan pula permusyawarahannya dengan para mentri dan hulubalang.
Laporan Siborang itu telah mendapat gema tanggapan yang lebih hebat daripada nujum miharesi tadi.
Baik laporan Siborang maupun nujum sang maha-resi, memiliki persamaan dalam memberitakan tentang kedatangan utusan Singasari yang dikepalai raden Wijaya ke tanah Malayu.
Jadi berita kedatangan itu tak perlu disangsikan lagi.
Hanya dalam langkah yang harus diper mbangkan Sriwijaya terhadap kedatangan utusan Singasari itu, terdapatlah dua arah berlainan antara laporan Siborang dengan nujum sanj resi.
Laporan Siborang mengumandangkan suara raung sangsakala agar Sriwijaya segera mempersiapkan pasukan dan menyerang Singasari.
Sedangkan nujum sang resi mengatakan bahwa kedatangan raden Wijaya itu takkan membawa malapetaka pertumpahan darah melainkan kebalikannya malah akan membawa kebahagiaan pada kerajaan Sriwijaya.
Menurut sang resi, raden Wijaya itu kelak bakal menjadi raja besar dan menurut kodrat yang ditentukan Hyang Batara Agung, puteri Candra Dewi atau Dara Petak itu memang akan menjadi jodoh raden Wijaya.
Setelah beberapa mentri dan senopa memberi ulasan dan pendapat mengenai persoalan itu maka Demangpun segera menentukan siasat.
"Untuk mengirim pasukan menyerang Singasari, memang berbahaya. Pasukan Pamalayu dari Singasari yang kini berada di Malayu, merupakan ujung tombak yang selalu mengancam Sriwijaya. Pasukan Pamalayu itu berkekuatan besar. Jarak antara Sriwijaya dengan Singasari terpisah dengan lautan yang cukup jauh, sedang pasukan Pamalayu itu sudah berada di balik punggung kita. Sebelum kita sempat bergerak, mereka tentu sudah menikam kita,"
Kata Demang. Sekalian mentri dan hulubalangpun tertegun dalam ha . Apa yang diuraikan pa h mangkubumi itu memang suatu kenyataan.
"Oleh karena itu adalah suatu kebijaksanaan yang tepat apabila kita dapat bersikap tenang. Yang pen ng adalah menjaga keselamatan negara kita. Untuk sementara ini, pemikiran untuk menyetujui anjuran pa h Aragani dan laporan Siborang, baik kita tangguhkan dulu sampai ba waktunya yang sesuai. Dengan demikian kita dapat terhindar dari malapetaka. Yang dikandung berceceran, yang diburu tiada dapat!"
Keputusan Demang itu telah disambut dengan penuh dukungan oleh para mentri hulubalang.
Demang pun mengeluarkan perintah untuk mengerahkan seluruh prajurit Sriwijaya bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi dari kedatangan rombongan utusan Singasari itu.
Apabila utusan itu membawa i kad baik, mereka akan disambut dengan penuh persahabatan dan bahkan raden Wijaya akan dielu-elu dalam suatu penyambutan yang sedemikian rupa sehingga raden itu akan terlelap pikirannya di bumi Sriwijaya.
"Segala sesuatu akan tergantung pada perkembangan suasana nan ."
Demang Lebar Daun mengakhiri pembicaraannya dan membubarkan perapatan.
Demang itu masih termangu mangu walaupun ruang persidangan sudah sunyi orang.
Tiba- ba mbul keinginannya untuk beriziarah ke gunung Dapunta Hyang atau Bukit Siguntang.
Di puncak Bukit Siguntang terdapat sebuah asrama vihara yang terbesar di seluruh Sriwijaya.
Vihara itu dinamakan Cundamani- warman dan di kepalai oleh abimana- uttungga Smaranatha.
Demang Lebar Daun seorang penganut setya dari Buddha Hinayana.
Dia percaya bahwa Sang Hyang akan memelihara dan melindungi kerajaan Sriwijaya yang menjadi pusat kemurnian agama Buddha.
Dia hendak bersemedi memohon berkah.
Demang itu hampir enampuluh tahun usianya.
Tubuhnya kurus lampai.
Rambut dan jenggotpun sudah memu h.
Hidung mancung tetapi bukan sebagai orang Arab melainkan bentuk orang Hindu.
Darahnya keturunan campuran Funifi dan Arya.
Pandang matanya amat tajam bila menatap orang.
Ia naik tandu yang dipikul empat orang pengawal dan diiring enam prajurit berpakaian biasa, ke ka mendaki ke puncak Bukit Siguntang yang keramat.
Kelengangan suasana gunung yang sunyi, meluangkan pikiranya untuk merenungkan kesimpulan dari makna kunjungan raden Wijaya ke tanah Malayu itu.
"... ada dua tujuan yang tersimpul dari perutusan Singasari itu. Raja Kertanagara mempunyai tujuan dan raden Wijaya juga mempunyai maksud sendiri. Dengan mengirimkan arca Amogapasa itu raja Kertanagara hendak berusaha memperluas perkembangan, aliran Mahayana di bumi Sriwijaya. Apabila rakyat Sriwijaya sudah bergan pada aliran Mahayana maka merekapun tentu akan menganggap Kertanagara sebagai Jina. Tanpa suatu peperangan yang mengucurkan darah, Sriwijaya pasti akan tunduk kepada Singasari....
"
".... sedang raden Wijaya menerima tugas mengepalai perutusan itu karena akan mendapat kesempatan untuk melahirkan renung hatinya kepada puteri Candra Dewi ....
"
"... aliran Buddha Hinayana telah kuresapkan kepada seluruh rakyat Sriwijaya. Beberapa tahun ini, hampir kesibukan kehidupanku dalam usaha untuk mengembangkan agama itu. Lebih kupen ngkan pembangunan vihara, kuil dan candi daripada memperbesar pasukan. Lebih kunikmatkan ngkat kehidupan para resi dan pandita daripada kaum perwira dan prajurit. Hirayana tak boleh lenyap dan Sriwijaya yang akan menjadi sumber pancaran aliran itu. Kiranya sukar bagi Kertanagara untuk merembeskan aliran Mahayana ke bumi ini .....
"
Demang itu kerutkan dahi, kencangkan geraham sebagai pantulan dari keyakinan hatinya.
".... tetapi kedatangan raden Wijaya itu, ah ..... apabila kutentang maksud hatinya terhadap cucuku Candra Dewi, tentulah akan terjadi pertumpahan darah yang besar. Jika nujum dari sang resi itu jelas mengatakan bahwa kelak raden Wijaya itu akan menjadi manusia besar di Jawadwipa. Apalagi yang dimaksud dengan manusia besar kalau bukan raja yang berkuasa besar. Dan kata nujum sang resi itu, kerajaan Singasari akan hancur dan diganti dengan sebuah kerajaan baru yang jauh lebih besar dan jaya. Daha bukan kerajaan baru. Yang dimaksudkan kerajaan baru yalah kerajaan yang belum ada dan akan timbul. Ah, jika demikian, raden Wijaya itulah yang kelak mendirikan kerajaan baru di Jawadwipa setelah Singasari hancur. Apabila Candra Dewi menjadi permaisuri, kelak tentu puteranya akan diangkat sebagai putera mahkota. Seorang putera mahkota keturunan darah raja Malayu akan berkuasa memerintah sebuah kerajaan besar di Jawadwipa. Ah, telah meresap dalam kalbu hati Candra akan ajaran agama Hinayana itu namun akan kupesan kepadanya agar kelak dia dapat mempengaruhi puteranya untuk menegakkan faham Hinayana. Hinayana tetap berkembang di Sriwijaya dan akan tumbuh menyubur di kerajaan Jawadwipa, ah ...
"
Demang itu mengakhiri renungannya dengan helaan napas panjang.
Helaan napas yang longgar walaupun masih belum bersih sama sekali dari bayang-bayang kecemasan.
Perjalanan iring-iringan tandu makin mencapai puncak bukit.
Dan tak berapa lama tibalah Demang di candi yang ditujunya.
Candi Cundamani-warman merupakan pusat sumber agama Buddha aliran Hinayana di seluruh kerajaan Sriwijaya.
Pembangunan candi itu memakan waktu hampir seratus tahun lamanya.
Se ap raja yang memerintah di Sriwijaya tentu akan membina dan melanjutkan pembangunan candi itu.
Pemeluk agama Hinayana dari segenap negeri atas angin, berbondong bondong mengunjungi candi besar itu.
Mereka datang untuk menuntut ilmu dan mempersembahkan dana, patung, arca dan benda- benda kelengkapan candi yang jarang terdapat di dunia.
Kesemuanya itu dipersembahkan untuk menyemarakkan kebesaran dan keagungan candi agung di Bukit Siguntang.
Asrama vihara di candi Cundamani-warman itu diperuntukkan tempat kediaman berpuluh ribu pandita yang diketuai maharesi Smaranatha.
Beratus ratus pondok pun dibangun untuk menampung beribu-ribu murid yang berdatangan dari negeri Cima, Kamboja dan negeri -negeri sekitar gunung Himalaya atau Mahamcru.
Ke ka malam itu Demang Lebar Daun menginjakkan kaki di halaman candi, tertegunlah ia sejenak menyaksikan kemegahan patung dan arca yang berjajar menghias halaman candi, la mengangguk bahagia.
Tiba- ba pandang matanya terbentur pada sebuah patung besar yang belum selesai pahatannya.
Seketika menyalanglah matanya .....
patung Aksobya ! Aksobya adalah salah satu dari kelima Buddha-Dhyana yang dipuja oleh kaum Mahayana.
Sedangkan kaum Hinayana tak memuja lain Buddha kecuali sang Buddha Gautama sendiri.
Tetapi mengapa di candi Bukit Siguntang yang menjadi pusat perkembangan aliran Hinayana terdapat pula sebuah patung Aksobya? Terkesiaplah Demang Lebar Daun, penganut, setya, pendukung kokoh dan penegak gigih dari Mahayana ....
Lebih terkejut pula ke ka pada saat itu, telah muncul beberapa belas pandita berjubah kuning yang berjajar tegak dihadapannya dengan sikap yang menghormat.
Rupanya merekapun terkejut atas kedatangan Demang yang tak mengabarkan lebih dahulu.
Memang sudah berbulan-bulan lamanya Demang tak pernah berkunjung ke candi situ.
Apalagi kunjungan Demang saat itu dilakukan pada waktu tengah malam.
"Kami menghaturkan hormat selamat datang ke hadapan paduka, tuan pa h,"
Seru para pandita itu dengan hormat. Demang Lebar Daun membalas dengan ucapan dan sikap yang dingin.
"Rupanya banyak terjadi perobahan pada candi ini, tuan-tuan pandita "
Seru Demang Lebar Daun "
Sa yang perobahan itu dilakukan secara diam-diam untuk meloloskan diri dari pengetahuanku."
Walau diucapkan dengan nada datar dan tenang namun para pandita itu cukup maklum apa yang dimaksud Demang, patih mangkubumi yang memegang pusara pemerintahan Sriwijaya itu.
"Tuan pandita sekalian,"
Kata Demang pula seraya menghampiri ke tempat patung Aksobya yang belum selesai pembuatannya itu "patung apakah gerangan yang tuan-tuan hendak tegakkan sebagai lambang pemujaan ini ? "
Para pandita itu tertegak bagai patung.
Mereka menjawab pertanyaan Demang dengan pandang mata paserah.
Mereka menyadari bahwa pembuatan patung Aksobya itu jelas bertentangan dengan perintah Demang Lebar Daun yang menganut faham Hinayana.
Demang Lebar Daun memandang lekat pada patung itu.
Walaupun bentuk wajahnya belum selesai keseluruhannya namun Demang sudah cukup mengetahui apa bentuk patung itu.
Sejenak kemudian terdengar demang menghela napas panjang dan dalam.
"Ah, rupanya letusan gunung Mahameru di Jawadwipa telah terbawa pawana sehingga debunya berhamburan jatuh di bukit Siguntang ...
"
Kemudian Demang menundukkan kepala berdiam diri.
Ia menyadari apa yang dihadapinya saat itu.
Jelas bahwa pengaruh aliran Mahayana telah menyusup secara diam-diam ke asrama vihara Bukit Siguntang pusat sumber aliran Hinayana.
Tanpa berkata sepatah pun, Demang segera ayunkan langkah menuju ke pesanggrahan Sri- Kashitra.
Keenam prajurit pengiringnya, pun segera mengiringkan langkah sang Demang.
Pesanggrahan Sri-Kashitra terletak di luar lingkungan candi agung Cundamani-warman.
Sebuah pesanggrahan yang khusus diperuntukkan apabila baginda, Demang Lebar Daun atau tetamu agung dari manca-nagara berkunjung ke Bukit Siguntang.
Pesanggrahan itu dilengkapi dengan taman bunga yang indah asri, kolam-kolam bunga padma dan dilingkungi alam pemandangan yang sejuk damai.
Maka duduklah Demang di beranda sebuah pagoda kecil yang terletak di tengah kolam.
Rupanya ia ingin mendinginkan api kemurkaannya terhadap peristiwa di candi Cundamani-warman tadi.
Pelayan yang menjaga pesanggrahan segera mempersembahkan seperangkat alat minum terbuat daripada ukiran perak yang indah.
Dan sebuah kotak kayu cendana bersalut ukiran emas.
Kotak itu berisi berpuluh batang rokok lin ngan daun nipah muda dan tembakau daun candu.
Itulah kegemaran Demang di kala dia sedang kusut pikiran dan hendak mencari ketenangan.
Pa h mangkubumi dari kerajaan Sriwijaya itu duduk termenung seorang diri.
Berulang kali dihembuskannya asap rokok ke permukaan air kolam.
Ia mengiringkan pandang matanya ke arah gulung-gulung asap berbentuk lingkaran yang melayang-layang bagaikan tebaran bunga di permukaan air.
Seolah dia hendak mencari sesuatu dalam gumpalan asap itu.
Sesuatu yang mungkin akan memberi jawaban pada persoalan yang tengah menghimpit rongga dadanya.
Demikianlah adat kebiasaan Demang di kala ia menghadapi persoalan yang mempepat pikirannya sampai buntu.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia akan menyingkir dan menyendiri, tak mau diganggu.
Dayang dan para pengiringnya tak berani mengusik.
Mereka sudah tahu akan kebiasaan Demang.
Mereka hanya menunggu di luar.
"Ah,"
Ia menghembus napas "ternyata raja Kertanagara sudah berhasil menembus kekuatan Sriwijaya.
Dia dak mengirimkan pasukan besar untuk memerangi melainkan dengan mengirim utusan-utusan yang membawa bingkisan dan patung Syiwa kepada Sriwijaya.
Untuk mempererat persahabatan dan memperkokoh perdamaian diantara Singasari dan Sriwijaya, demikian ucapan yang dipersembahkan para utusan itu kepada baginda Tribuana Mauliwarman.
Tetapi di balik ucapan-ucapan yang manis itu bukanlah madu yang kita dapatkan melainkan tuak yang beracun.
Memang manis rasanya tuak tetapi akhirnya hancurlah kesadaran pikiran kita.
Salah satu buk dari siasat Singasari ialah keadaan para pandita dari candi Cundamani-warman ini.
Mereka telah terminum tuak beracun.
Mereka kehilangan pegangan, kabur pendirian dan goyah keyakinannya ....
"
Setelah menemukan sesuatu dalam penilaiannya atas maksud kunjungan perutusan Singasari maka Demangpun melanjutkan renungannya pula.
"Apabila aliran Mahayana berhasil menebarkan pengaruh kepada para pandita dan rakyat maka akan terjadilah suatu pemberontakan tanpa berdarah di kerajaan Sriwijaya. Rakyat Sriwijaya tentu akan berpaling ke Singasari dan menganggap Kertanagara sebagai jina. Tanpa melakukan serangan, tanpa mengobarkan peperangan, Sriwijaya dapat ditundukkan Singasari. Rakyat tak menghiraukan baginda Tribuana dan akan mendepak pula pa h .... aku ! Hai, betapa berbahaya serangan halus dari Kertanagara itu. Jauh lebih berbahaya daripada serangan dengan kekuatan senjata."
Demang Lebar Daun terperangah dalam cengkam kesiap dan kejut, di kala menemukan tabir yang menyelimu maksud Kertanagara mengirim utusan ke tanah Malayu itu.
Jika demikian, benarlah pendapat hulu-balang Hang Balbila tadi yang mengnjurkan agar menuru anjuran pa h Aragani "Siasat pertahanan yang paling baik adalah menyerang,"
Demikian keterangan hulubalang Hang Balbila di dalam persidangan tadi.
"Mengapa tak kuterima pendapat hulubalang itu? Mengapa aku mencemaskan kekuatan pasukan Sriwijaya sendiri? Jika Singasari kuserang, rombongan utusan Singasari itu tentu akan bergegas pulang ke Singasari. Perembesan aliran Mahayana tentu dapat dibendung. Soal kalah? Ah, sudah wajarlah kalau dalam peperangan itu, jika dak menang tentu kalah. Tetapi yang pen ng ma membela agama adalah ma syahid,"
Demikian luap perasaan Demang yang memberontak dalam hatinya.
Demang membiarkan luap kegeraman, kemarahan dan kedengkian berhamburan bagaikan air bah yang menggenangi lubuk hatinya.
Setelah beberapa saat kemudian dan luap perasaannya itu agak reda, pikirannya pun makin tenang.
Lalu ia teringat akan surat pa h Aragani yang disampaikan Siborang.
Setelah meni kembali bunyi surat itu, perha annyapun terpaku pada anjuran pa h Aragani mengenai raden Wijaya "Ya, benarlah pa h itu.
Raden Wijaya harus di benam dalam buaian asmara.
Dia harus disiksa ba nnya sehingga seluruh perha annya lenyap kecuali hanya merindukan cucuku puteri Candra Dewi.
Apabila pimpinannya sudah lupa daratan maka mudahlah membenamkan anak pasukan Singasari itu ke dalam lumpur sungai Musi ....
"
Wajah Demang memercik sinar terang dan gundu matanyapun berkilat.
Berulang kali rokok dihisap panjang panjang lalu dihembuskan ke permukaan air kolam.
Dalam sekejap saja permukaan kolam itupun penuh dengan kabut asap.
Rokokpun makin pandak hampir mendeka pangkal.
Tiba - ba ia menjen kkan putung rokok itu ke udara dan ccsss ....
putung jatuh ke dalam air, apinyapun padam seketika.
"Ya, betapalah pelik dan gelap siasat yang dilakukan Singasari seper kabut asap yang menyelubungi permukaan kolam itu,"
Katanya seorang diri "namun akhirnya sebagaimana halnya putung rokok akan padam di dalam air, juga siasat-siasat Singasari itu tentu akan lenyap ditelan uap sakti gunung Dapunta Hyang."
"Sriwijaya jaya siddhayatra! Sriwijaya menang karena perjalanan suci,"
Seru pula Demang seraya mengepalkan tangan sebagai tanda memeteri suatu tekad "ya, Sriwijaya aya siddhayatra, akan kuperintahkan menjadi doa wajib bagi segenap kaum pandita dan rakyat Sriwijaya se ap saat mereka bersembahyang memanjat doa! "
Sambil berkemas bangun dari duduknya, Demang itu mengingau dalam ha "Kata nujum itu memang benar, aku harus menurutkan nujum sang resi untuk menganjurkan baginda Tribuana agar berkenan menerima pinangan raden Wijaya.
Apabila kelak cucuku puteri Candra Dewi menjadi permaisuri raden Wijaya yang menurut nujum itu kelak akan menjadi seorang manusia besar di tanah Jawadwipa, tanpa peperangan dan penumpahan darah, Sriwijaya akan dapat memerintah Jawadwipa karena darah keturunan Mauliwarman-dewalah yang akan menguasai kerajaan baru itu.
Singasari hendak menguasai Sriwijaya melalui perembesan aliran Mahayana tetapi Sriwijaya akan dapat memerintah Jawadwipa melalui darah keturunan baginda Mauliwarman.
Mana yang lebih menentukan, kita lihat saja kelak ....
"
Melihat Demang keluar dari pagoda pamujan di tengah kolam, bergegaslah dayang dan pengiring menyambutnya "
Titahkan kepala candi Cundamani-warman menghadap aku di pesanggrahan,"
Katanya. Prajurit segera melakukan perintah.
"Dang Acarrya Kanakanauni,"
Ujar Demang Lebar Daun ke ka kepala candi Cundamani warman menghadap "tahukah tuan apa maksud Dang Acarrya kuminta datang kemari ? "
Dang Acarrya Smaranatha, seorang maharesi yang nggi pengetahuan dalam agama Buddha, menyahut tenang dan paserah "Hamba menyadari tuanku.
Dan hambapun siap menerima hukuman yang tuan hendak jatuhkan kepadaku.
Hanya apabila tuan berkenan menerima permohonanku, tak lain hamba hanya mohon agar hukuman itu tuan jatuhkan atas diri Smaranatha seorang.
Karena kesemuanya itu hambalah seorang diri yang bertanggung jawab.
Limpahkanlah kebijaksanaan tuan untuk memberi ampun kepada para pandita di candi agung Cundamani.
Mereka tidak bersalah."
Demang terkesiap mendengar untaian kata yang lantang dan berani serta penuh tanggung jawab dari maharesi yang sudah tua renta itu.
Demang menyadari bahwa maharesi tua itu mempunyai pengaruh besar atas beribu-ribu pandita dalam candi Cundamani-warman.
Demang Lebar Daun seorang ahli pikir dan ahli siasat yang pandai.
Ia tak mau menambah kabut yang menyelimu Sriwijaya akan bertambah gelap lagi.
Hukuman atau ndakan menyingkirkan maharesi Smara-natha dari candi Gundamani, tentu akan menimbulkan akibat yang menggoncangkan para pandita di candi itu maupun di seluruh Sriwijaya.
Demangpun menyadari bahwa utusan Singasari yang dipimpin raden Wijaya itu segera akan ba.
Sriwijaya harus bersatu, luar dan dalam.
Secercah retak, se k kelemahan akan memberi sepercik kesempatan kepada Singasari untuk menghancurkan Sriwijaya.
Tidak.
Demang Lebar Daun tak mau dirangsa nafsu kemarahan untuk sekaligus menghadapi dua masalah gawat.
Ia telah menentukan siasat bagaimana harus menghadapi kedua hal itu.
"Dang Acarrya Smaranatha,"
Serunya kepada maharesi tua itu "tuan seorang maharesi yang perwira dan jujur.
Sayang kejujuran tuan itu terlumur suatu cemar yang menimbulkan keheranan dan keraguan orang.
Walaupun belum selesai tetapi patung besar itu jelas akan berbentuk wajah Batara Aksobya.
Apakah tuan hendak menyangkal hal itu ? "
"Tidak, tuan patih,"
Sahut Smaranatha tenang.
"O, tuan mengakuinya ? "
"Demikianlah, tuan."
"Adakah hal itu tidak bertentangan dengan faham Hinayana yang berkembang di Sriwijaya dan yang kita anut bersama ? "
"Tidak bertentangan, tuanku,"
Jawab Smaranatha "melainkan hanya berbeda dalam penjelasannya."
"O, dapatkah maharesi menjelaskan kepadaku? "
"Hinayana,"
Kata maharesi tua itu "hanya menganut ajaran Buddha Gautama sang Amitabha.
Sedang Mahayana menganut bahwa Buddha Pertama yang merupakan sumber segala mahluk akan menjelma menjadi lima Bhyani Buddha, yani Vairocana yang menjelma dalam kerangka manusia Krakucchana.
Kedua, Aksocya yang menjelma dalam bentuk manusiawi Kanakamuni.
Ke ga, Ratnasambhava yang menjelma dalam badan kasar manusia Kasyapa.
Keempat, Amitabha yang mengejawantah dalam manusia Siddarta Gautama.
Dan kelima atau terakhir, masih akan ada pola dhyani-buddha Amoghasiddhi yang akan menjelma dalam buddha-nianusia Maitreya ....
"
"Ah, jangan pula tuan menguraikan buddha-buddha yang khayal itu,"
Tukas Demang "kenyataan yang ada dan yang benar-benar kita tahu hanyalah sang Buddha Gautama yang dengan ajaran ajaran yang murni dapat membawa kita ke alam bathin yang suci dan pikiran tenang."
Dang Acarya Smaranatha terdiam.
"Ingat dang acarrya,"
Kata Demang pula "tuan kami angkat sebagai kepala candi Cundamani- Warman yang menjadi sumber aliran Hinayana di Sriwijaya.
Kiranya tuan tentu maklum bahwa candi Cundamani -warman itu bukan candi yang menganut aliran Mahayana.
Tindak tuan untuk menyebarkan aliran Mahayana dan memahat patung Aksobya di pusat pemujaan Hinayana ini, dapat ditafsirkan sebagai langkah hianat terhadap kerajaan Sriwijaya.
Apa tindakan baginda Tribuana Mauliwarman apabila mendengar peristiwa di Bukit Siguntang ini ? Kiranya hukuman pancungpun masih terlalu ringan atas kesalahan tuan yang berat itu."
"Tuanku Demang Lebar Daun yang mulia,"
Sahut Dang Acarrya Smaranatha dengan tenang "akibat-akibat dari tindak hamba itu memang telah hamba pikirkan. Hamba telah menyediakan jiwa hamba untuk menerima hukuman apapun juga."
Demang terkesiap. Ditatapnya maharesi tua itu lekat- lekat. Disadarinya bahwa resi tua itu seorang yang keras ha , kukuh dalam pendirian. Sia-sia jualah untuk memaksanya merubah pendiriannya.
"Dang Acarrya Smaranatha,"
Kata Demang sesaat kemudian "jika tuan memang telah bertekad untuk beralih kiblat dan bergan kepercayaan, itu hal tuan dan tuan bebas melakukannya.
Tetapi ingat, hendaknya hal itu hanya tuan batasi pada diri tuan sendiri saja.
Janganlah tuan berusaha untuk membujuk dan menyebarkan faham itu kepada lain orang terlebih pula kepada para pandita di candi ini."
"Tuanku Demang Lebar Daun yang mulia,"
Seru Dang Acarya Smaranatha "adakah hanya demikian keputusan tuanku ?"
"Ya."
"Mengapa tuanku tak menjatuhkan hukuman kepada diri resi tua ini ? Bukankah Smaranatha telah melakukan kesalahan besar ? "
"Hal itu tergantung dari perbuatan tuan nanti "
"Adakah hamba masih diperkenankan mengepalai candi Cundamani ? "
"Selama resi masih ingat dan mematuhi permintaanku tadi, ada alasan mengapa Lebar Daun harus ber ndak 'menghapus panas setahun dengan hujan sehari'? Bagaimanapun Sriwijaya takkan melupakan jasa tuan selama berpuluh tahun membina perkembangan agama Buddha Hinayana di candi Cundamani ini."
Demang Lebar Daun memang seorang negarawan yang pandai dan lincah. Untuk mengabut kelemahannya dak mau menindak resi tua itu, sengaja dia menggunakan dalih karena menghargai jasa resi itu selama ini. Ternyata siasatnya berhasil.
"Baiklah, tuanku. Smaranatha akan setya membalas budi kerajaan Sriwijaya yang telah memberi naungan selama berpuluh tahun kepada hamba,"
Kata maharesi tua itu.
"Baik, dang acarya,"
Kata Demang "masih ada pula sebuah permohonanku kepada tuan."
"Biik, katakanlah tuanku."
"Kuminta"
Kata Demang "resapkanlah doa 'Sriwijaya jaya siddhayatra' dalam se ap doa yang dilakukan dalam candi Cundamani dan dalam setiap upacara resmi maupun peiibadi."
Dang Acarya Smaranatha menyanggupi hal itu.
Dan berakhirlah pertempuran itu Denang Lebar Daun yakin bahwa dengan cara yang dilakukan tadi terhadap Dang Acarya Smaranatha yang amat berpengaruh di seluruh Sriwijaya terutama di Bukit Siguntang, maka aliran Mahayana yang akan dirembeskan melalui maharesi tua itu, tentu akan dapat dibatasi.
Beberapa hari kemudian, terpikirlah oleh Demang Lebar Daun untuk menghadap baginda Tribuana Maulawarman di Darmairaya.
Dahulu baginda Tribuana Maulawarman bertahta di Sriwijaya.
Tetapi tambah lanjut usia baginda maka mbullah keinginan baginda untuk meninggalkan keramaian dunia, kesibukan pemerintahan.
Baginda mensucikan diri dalam naungan keagungan Buddha Hinayana.
Baginda hendak mencari ketenangan dan kedamaian dalam sisa hidupnya.
Baginda Tribuana Maulawarman menerima laporan bahwa di Singasari dan dapat dikatakan di seluruh Jawadwipa, paham Mahayana telah berkembang pesat, brahmana-brahmana menganut paham Hinayana diusir dan dipencilkan sehingga banyaklah dari mereka yang melarikan diri.
Suasana pertentangan agama itulah yang menyebabkan baginda hendak mengundurkan diri dari tampuk pimpinan pemerintahan dan mencurahkan sisa hidupnya untuk mengepalai usaha menegakkan agama Brahma Hinayana di Sriwijaya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan kebetulan pula baginda telah merdapat seorang pa h mangkubumi bernama Demang Lebar Daun yang pandai.
Demang Lebar Daun itu seorang ahli tatanegara yang ada tolok bandingnya pada jeman itu.
Baginda Tribuana Maula warman sangat percaya kepada pa h itu sehingga puteri Demang Lebar Daun yang bernama Wan Sendari telah diambil sebagai permaisuri oleh baginda.
Setelah itu bagindapun pindah tempat ke pura kerajaan yang baru di Darmasraya.
Istana pura Darmasraya didirikan di dierah Sungai Langsat, Jambi.
Pembuatannya makan waktu tak kurang dari duapuluh tahun lamanya.
Istana kediaman baginda Tribuana, menduduki setengah bagian dari pura Darmasraya.
Pura itu penuh dengan candi-candi, vihara yang jarang terdapat bandingannya walau di negeri Gangga sekalipun.
Setelah baginda pindah ke Darmasraya maka pemerintahan bandar di Sriwijaya diserahkan kepada Demang Lebar Daun.
Juga di Sriwijaya sendiri, beratus ratus asrama dan candi, bertebaran di segenap penjuru.
Rakyat setya kepada Demang Lebar Daun.
Baginda terkejut menerima laporan dari puhavam atau kepala bandar yang mengabarkan tentang sebuah iring -iringan perahu layar dengan panji warna Ungu -perang sedang menuju ke Darmasraya.
Panji itu jelas lambang kerajaan Sriwijaya yang dipercayakan di bawah perintah Demang Lebar Daun.
Dengan diiring oleh mentri senopa , baginda Tribuana menuju ke bandar untuk menyambut kedatangan pa h mangkubumi yang juga menjadi mamakanda atau mentua baginda.
Prajurit bersenjata lengkap dan rakyatpun ikut bersiap-siap.
Bandar Darmasraya acapkali dilanggar oleh tentara Singasari yang sedang berada di tanah Malayu.
Itulah sebabnya maka se ap kemunculan perahu ke bandar, selalu disiapkan penjagaan yang kuat.
Saat itu surya sudah terbenam.
Baginda Tribuana menyambut Demang Lebar Daun dengan saling berpelukan sebagai layaknya ayah dengan putera.
Sorak sorai bergemuruh dari lapisan rakyat karena legah perasaannya bahwa yang datang itu ternyata patih mangkubumi Sriwijaya sendiri.
Baginda dan Demang segera naik tandu pulang ke istana, langsung dibawa ke dalam balairung agung.
Ternyata disitupun telah siap menan permaisuri baginda, puteri Wan Sendari beserta kedua puteri yang jelita, Kembang Dadar atau yang bergelar Dara Jingga dan puteri Candra Dewi atau Dara Petak.
Setelah duduk di kurgi gading bersalut ukiran, ratu Wan Sendari segera menjalankan adat penghormatan menyambut ayahandanya.
Permaisuri itu berlutut dan mencium tangan Demang Lebar Daun.
Kemudian berturut-turut kedua puteri Kembang Dadar dan Candra Dewipun bersimpuh di hadapan Demang Lebar Daun, mencium tangan nenekanda mereka.
Demangpun mengecup ubun- ubun kepala kedua puteri cuejnya.
Kepada permaisuri Wan Sendari dan kedua puteri Candra Dewi dan Kembang Dadar, Demang Lebar Daun mencurah terangkai kata-kata pelepas rindu.
Kemudian Demang memberi kedua puteri masing-masing sebuah bingkisan "Hanya sekedar mainan anak-anak yang tak berharga, cucuku,"
Katanya sambil tertawa.
"Ah, mana-mana buah tangan nenekanda yang mulia, tentu hamba junjung sebagai pusaka keramat,"
Kata kedua puteri jelita seraya menghaturkan sembah terima kasih.
Ke ka puteri Candra Dewi membuka bingkisan itu, iapun berbeliak.
Sebuah bola sebesar genggam tangan, terbuat daripada gading.
Dalam bola itu terdapat pula selapis bola gading lagi.
Dan di dalam lapis bola gading yang kedua itu berisi sebuah bola yang ke ga.
Bola yang ke ga berisi bola keempat, bola keempat berisi bola kelima dan bola kelima berisi lagi bola keenam.
Dalam bola yang keenam itu bukan lagi berisi bola melainkan berisi sebuah ukir-ukiran pagoda kecil.
Bola gading dalam bola gading sehingga sampai tujuh bu r bola itu satu sama lain dak bersambung.
Semua terbuat dari sebatang gading yang diukir.
Demikian pula pagoda kecil yang berada di bagian paling dalam atas pusar bola.
"
O ....
"
Desis puteri Candra Dewi demi memeriksa buah tangan yang diterimanya dari Demang Lebar Daun "bukan main elok dan mengagumkan karya ukiran dalam gading ini, nenekanda."
Demang Lebar Daun tertawa cerah "Nenek memperolehnya dari utusan raja Kubilai Khan yang singgah di Sriwijaya untuk meninjau perkembangan agama di Sriwijaya.
Kata mereka, ukiran gading tujuh bola itu disebut Pagoda Suci di langit ke tujuh.
Merupakan salah satu dari tujuh pusaka ajaib di dunia, cucuku."
Puteri Candra Dewi amatlah bersukacita. Demikian pula puteri Kembang Dadar atau Dara Jingga ke ka membuka bingkisan buah tangan dari nenekandanya, puteri itupun berseru kaget "
Ih ... ? gerangan kaca ajaib apakah ini, nenekanda? "
"Cermin Panca Skanda, cucuku,"
Sahut Demang Lebar Daun "terbuat daripada batu pualam pu h hasil keluaran tanah Persia.
Digosok dan dibentuk menjadi lima susun.
Apabila engkau berccrmin pada kaca itu, cucuku, engkau akan melihat lima buah wajahmu dalam lima cahaya warna, pu h, merah, biru, lembayung dan kuning.
Cermin Itu persembahan dari saudagar Persia yang berkunjung ke Sriwijaya.
Sebuah cermin yang tiada keduanya lagi di dunia."
Puteri Kembang Dadar bersyukur amat gembira.
Kemudian permaisuri Wan Sendari segera menitahkan dayang untuk menyajikan hidangan dan minuman yang lezat.
Selama menikma hidangan, baginda Tribuana menunggu apakah gerangan yang hendak diucapkan Demang Lebar Daun itu nan .
Tak mungkin mangkubumi akan menyempatkan diri berkunjung karena sekedar hendak melepaskan rindu kepada puteri dan cucunya.
Namun sampai perjamuan selesai, tetap belum jua Demang mengutarakan sesuatu.
Bagindapun menitahkan supaya tari -tarian segera dimulai untuk menghibur Demang.
Dalam kesempatan itu dan menurut adat istiadat maka puteri bagindapun ikut mempertunjukkan keahliannya menari.
Karena Dara Jingga berhalangan untuk menari maka Dara Petak atau Candra Dewilah yang menari.
Ke ka puteri Candra Dewi tampil di tengah para penari istana, terkesiaplah mata sekalian hamba sahaya, biti perwara yang berada di balairung.
Bahkan Demang Lebar Daun sendiripun tertegun.
Bagaikan burung merpa pu h diantara kerumun burung gagak atau sebagai sebu r intan bahaduri diantara tebaran batu-batu kerikil.
Demikian apabila hendak melukiskan pemandangan saat itu di mana sang puteri jelita sedang berada di tengah-tengah para penari.
Wajah yang berseri gilang-gemilang laksana bulan purnama siddhi, sepasang alis yang hitam melengkung bagai busur direntang, menaungi sepasang bola mata yang bergemerlapan bagai bintang kejora.
Hidung mancung tcrsanggah sepasang bibir yang merekah merah basah.
Pinggang ramping yang mengiring gerak tubuh semampai dalam liuk-liuk mengiku irama tari gending Sriwijaya yang halus menambat kalbu, benar-benar amat mempesonakan.
"Dewi Kama Ra h ...
"
Ba- ba meluncurlah kata-kata dalam ha Demang Lebar Daun, seorang penganut gigih dari aliran Hinayana yang tak percaya akan dewa-dewa, saat itu di luar kesadaran pikirannya, telah menumpahkan perasaan ha nya.
Dalam pandang mata Demang tua itu, cucunya puteri jelita Candra Dewi saat itu tak ubah seper Dewi Ra h, isteri batara Kamajaya, sedang turun ke arcapada.
"Permata Sriwijaya inilah yang kelak akan menguasai kerajaan Jawadwipa. Pantas raden Wijaya di-mabuk kepayang ...
"
Gumang Demang itu dalam hati. Sampai jauh malam barulah upacara penyam butan itu selesai. Baginda dan Demang Lebar Daun masuk ke sebuah ruang yang disediakan sebagai tempat peraduan Demang.
"Mamanda,"
Ujar baginda setelah duduk berdua dengan Demang Lebar Daun "kiranya tentu ada sesuatu yang amat penting pada kunjungan mamanda ke Darmasraya ini."
"Benar, ananda baginda,"
Sahut Demang Lebar Daun "memang mamanda hamba perlu mempersembahkan laporan tentang keadaan yang meliputi kerajaan tuan hamba."
"Adakah mamanda hendak melaporkan tentang sepak terjang pasukan Singasari yang telah menjelajah di tanah Malayu itu ?"
Tanya baginda pula.
"Sumbernya memang pada itu, tuanku,"
Sahut Demang "hanya alirannya yang bergan -gan . Berbentuk sebuah aliran yang deras arusnya, ada pula yang merembes di bawah tanah."
Kemudian dengan singkat dan jelas Demang menuturkan tentang peris wa yang telah dijumpainya di candi Cundamani-warman.
"Yang berbentuk sebagai arus sungai deras yalah serangan pasukan Singasari yang dipimpin hulubalang Mahisa Anabrang di bumi Malayu ini. Dan yang merembes dibawah tanah yalah timbulnya, gejala baru dalam aliran agama yang berlaku di Sriwijaya,"
Kata Demang.
"Mengapa mamanda tak menghukum kepala brahmana candi Cundamani itu,"
Tegur baginda. Demang Lebar Daun mengemukakan alasan dan siasatnya untuk menggunakan pengaruh maharesi Smaranatha agar menghen kan penyebaran aliran Mahayana "Menghen kan aliran sungai,"
Kata Demang Lebar Daun "
Daklah dengan membendung arusnya, melainkan dengan menimbuni sumbernya."
Baginda Tribuana mengangguk.
"Dan kabar yang hamba terima dari surat pa h Aragani,"
Kata Demang itu melanjut "tentang keadaan Singasari yang dewasa ini kosong dan lemah kekuatannya.
Sebagian besar dari pasukan Singasari telah dikirim ke tanah Malayu dan Bali.
Dalam beberapa hari lagi, utusan Singasari yang dikepalai raden Wijaya akan ba di Sriwijaya untuk mempersembahkan sebuah benda yang jelas menunjukkan warna dari tujuan mereka."
"O, apakah persembahan mereka itu, mamanda?"
"Sebuah arca Amoghapasa, tuanku. Salah sebuah lambang pemujaan dari kaum Mahayana."
"Hai, benar-benar Kartanagara hendak menghina kami, mamanda. Tangkap dan bunuh sajalah Wijaya itu !"
Bagindapun mulai murka.
Demang Lebar Daun tertegun sejenak lalu berkata "Raden Wijaya seorang ksatrya yang gagah perkasa, sak mandraguna.
Dialah banteng Singasari yang paling ditaku musuh.
Oleh karena itu maka pa h Aragani mengatur siasat untuk menyingkirkan raden itu dari Singasari dengan mengusulkan kepada raja Singasari supaya raden Wijaya diangkat sebagai kepala rombongan perutusan Singasari ke Malayu.
Setelah dia pergi maka lemahlah pertahanan Singasari dan pa h Aragani menganjurkan hamba agar segera menyerang Singasarl "
"Itulah kesempatan yang bagus, Mamanda,"
Seru baginda gembira "baiklah mamanda kerahkan pasukan kita untuk segera menggempur Singasari."
Namun Demang Lebar Daun tak lekas menanggapi tah baginda.
Setelah beringsut mengemasi letak duduknya, ia berkata "Betapapun besar keinginan hamba untuk melakukan hal itu tuanku, namun kita telah dihadapi dengan kenyataan yang memerlukan per mbangan dan keputusan yang tepat."
"Apa maksud mamanda ?"
"Kini Sriwijaya sedang dilingkupi oleh ancaman-ancaman bahaya,"
Kata Demang Lebar Daun "Pasukan Pamalayu dari Singasari sudah menancapkan kaki di bumi sini.
Beberapa kerajaan Malayu telah dikuasai mereka.
Apabila kita mengirim pasukan untuk menyerang Singasari, bukankah panglima pasukan Pamalayu Singasari itu akan dapat segera menyerbu Sriwijaya yang sudah kosong itu? Dengan demikian akan terjadi suatu keganjilan.
Kira menyerbu Singasari yang kosong tetapi pasukan Pamalayu Singasari juga akan menyerbu Sriwijaya."
"O,"
Baginda terkesiap.
"Dan bahaya kedua yang hamba namakan sebagai perembesan gelap dari faham Mahayana itu,"
Kata Demang Lebar Daun pula "pun merupakan bahaya yang tak dapat kita abaikan.
Apabila aliran Mahayana dapat mendesak aliran Mahayana maka akan goyahlah kesetyaan rakyat terhadap kerajaan paduka.
Rakyat akan lebih taat kepada Kertanagara daripada kepada paduka."
Baginda Tribuana terbeliak.
"Kenyataan yang ke ga,"
Demang Lebar Daun masih melanjut "yalah kedatangan dari utusan Singasari nan .
Apabila kita hadapi raden Wijaya dengan kekerasan, tentu akan terjadi pertumpahan darah yang hebat.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan apabila panglima pasukan Pamalayu mendengar hal itu, dia tentu segera cepat- cepat akan membawa pasukannya untuk membantu raden Wijaya."
Wajah baginda Tribuana tampak memberingas "Apakah pasukan Sriwijaya yang gagah berani itu tak mampu mengalahkan mereka, mamanda ? "
"Maaf tuanku,"
Kata Demang Lebar Daun "bukan sekali-kali mamanda bermaksud hendak memuji kekuatan lawan dan meremehkan kekuatan kita sendiri.
Tetapi terus terang, selama beberapa tahun terakhir ini hamba memang tak memperbesar kekuatan pasukan kita melainkan mencurahkan perha an dan tenaga hamba untuk mengembangkan agama Buddha Hinayana.
Pagoda, candi, vihara dan asrama-asrama telah hamba bangun sebanyak-banyaknya.
Hamba lebih utamakan pembangunan agama daripada angkatan perang."
Baginda diam.
"Dalam menghadapi kedatangan perutusan Singasari yang dikepalai raden Wijaya ini, hamba telah mengundang seorang maharesi yang sidik dan ahli dalam ilmu perbintangan. Hamba minta kepada resi tua itu untuk memberikan nujum."
"O, lalu? "
"Menurut nujum sang resi, raden Wijaya itu kelak akan menjadi manusia besar dan bahwasanya di Jawadwipa akan timbul sebuah kerajaan baru yang jauh lebih besar dan jaya daripada Sugasari."
"Lalu apa hubungan raden Wijaya dengan kerajaan besar yang baru itu ?"
"Resi tak dapat memberikan gambaran yang jelas. Namun hamba menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan manusia besar itu tak lain adalah raden Wijaya itu kelak akan menjadi raja."
"Ah,"
Baginda gelengkan kepala "bukankah Singasari dalam pimpinan Kertanagara merupakan sebuah kerajaan yang besar dan kuat? Mungkinkah Singasari akan hancur ?"
"Tiada yang langgeng dalam kehidupan dunia ini, tuanku,"
Kata Demang Lebar Daun "jika hal itu sudah ditakdirkan oleh Hyang Batara Agung, gunung yang gagah perkasa akan dapat roboh, samudera yang dahsyat dapat kering."
Baginda tertegun sejenak lalu bertanya "Siapakah gerangan yang akan mengalahkan Singasari nanti?"
"Itu rahasia alam, demikian kata resi itu, tuanku. Dan dia tak mau memberi keterangan karena takut akan menerina kutuk dewa,"
Kata Demang Lebar Daun "namun hamba lebih cenderung untuk menilai bahwa Dahalah yang akan mengalahkan Singasari."
Baginda kerutkan dahi "Tetapi mamanda, bukankah sudah sejak beberapa keturunan, sejak raja Kertajaya dikalahkan Ken Arok maka Daha telah dikuasai Singasari? Bagaimana mungkin Daha akan bangkit untuk meruntuhkan Singasari? Apakah dak mungkin.....
"
Demang Lebar Daun cepat dapat menangkap ke arah mana baginda hendak menjatuhkan dugaan. Maka diapun segera menanggapi lebih dahulu "Tetapi kuharap janganlah Sriwijaya kerajaan paduka yang mengalahkan Singasari."
"Mengapa, mamanda berkata demikian ?"
Baginda terkejut.
"Karena menurut nujum sang resi, kelak di Jawa dwipa akan mbul sebuah kerajaan baru yang lebih besar dan jaya dari Singasari. Dengan kata kerajaan baru itu jelas dapat kita tafsirkan, bukanlah Daha melainkan suatu kerajaan baru yang akan didirikan raden Wijaya yang kelak disebut dalam nujum sang resi sebagai manusia besar kekasih dewata,"
Kata Demang Lebar Daun "maka kalau Sriwijaya yang akan mengalahkan Singasari, tentulah Sriwijaya akan dikalahkan pula oleh kerajaan baru itu."
"Ah,"
Desuh baginda Tribuana dalam nada ragu "benarkah nujum sang reii itu ?"
"Se ap mbul peris wa yang menyangkut kepen ngan Sriwijaya tentu hamba panggil resi itu. Resi itu bukan sekedar menujum menuiut ilham melainkan berdasarkan atas perhitungan peredaran bintang atau yang disebut ilmu Falak. Dan kenyataannya selama ini apa yaag dinujumkan memang benar. Oleh karena itu hamba terpaksa menaruh kepercayaan. Dan tentang nujumnya mengenai keadaan Singasari dan maksud pengiriman utusan Singasari ke tanah Malayu, baiklah kita buktikan keadaannya."
Baginda tertegun. Sesaat kemudian bagindapun berujar pula "Lalu apa kelanjutan dan nujum resi itu, mamanda ?"
"Mata-mata yang hamba kirim ke Singasari telah kembali dengan membawa surat dari pa h Aragani yang mengatakan bahwa kedatangan raden Wijaya itu membawa dua tujuan. Pertama, hendak mempersembahkan arca Amoghapasa, Kedua, hendak meminang puteri paduka ....
"
"Meminang? Siapa yang meminang?"
"Raden Wijaya."
"Hm,"
Desuh baginda "bukankah dia sudah menjadi putera menantu raja Kertanagara ?"
"Benar, tuanku,"
Kata Demang "oleh karena itu raden Wijaya dak meminang untuk dirinya melainkan meminang puteri paduka untuk permaisuri raja Kertaragara ....
"
"Bedebah !"
Teriak baginda Tribuana murka "Kertanagara yang sudah setua itu hendak meminang puteriku? Tidak, dak, mamanda! Selama aku masih bernafas takkan kuidinkan hal itu terjadi.
Biarlah bumi Sriwijaya merah dengan darah, biarlah pura Darmasraya menjadi lautan api, tetapi takkan kuserahkan puteriku kepada raja Singasari yang tak tahu diri itu!"
Harimau Kemala Putih -- Khu Lung Dendam Sejagad Legenda Kematian Karya Khu Lung Legenda Kematian -- Gu Long