Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 37


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 37



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Wijaya datang bersama sepuluh orang prajurit.

   Ia menyesuaikan diri dengan apa yang tertulis dalam surat undangan itu.

   Ia menghadiri pertemuan itu sebagai seorang senopati Singasari bukan sebagai kepala perutusan kerajaan Singasari.

   Tampak sekalian hadirin berbangkit ketika raden Wijaya dengan rombongan pengawal, memasuki ruang perjamuan.

   Seluruh mata perwira dan bintara pasukan Sriwijaya menumpah ruah kepada raden Wijaya.

   Raden Wijaya dengan sikap yang tenang dan ramah memberi hormat kepada sekalian hadirin.

   Waktu diterima menghadap baginda Mauliwarman di istana, dak semua perwira dan bintara pasukan kerajaan Sriwijaya yang diperkenankan hadir maka mereka-mereka yang tak hadir kini mendapat kesempatan untuk melihat peribadi senopa yang menjadi kepala rombongan perutusan Singasari.

   Juga mereka yang ikut hadir waktu Wijaya menghadap seri baginda di istana, juga tak mempunyai kesempatan yang longgar untuk menatap wajah dan sikap Wijaya.

   Dan apa yng mereka dapatkan pada diri senapa muda dari Singasari itu menimbulkan kesan yang menggores lubuk ha mereka.

   Mereka mempunyai kesan bahwa Wijaya itu seorang senopa muda yang memiliki wibawa besar.

   "Selamat datang, raden Wijaya senopa yang gagah perkasa dari kerajaan Singasari,"

   Sambut panglima Hang Balbila "sungguh tak terperikan kegembiraan kami menerima kehadiran tuan. Kami merasa mendapat kehormatan besar."

   "Ah, tuan panglima Sriwijaya yang gagah berani. Sudah lama aku mendengar kemasyhuran nama tuan sebagai panglima kerajaan Sriwijaya. Adalah aku yang merasa bersyukur karena mendapat kehormatan untuk berkenalan dengan tuan,"

   Balas Wijaya.- Kedua panglima itu saling memberi hormat lalu sama-sama duduk di kursi yang telah disediakan. Hang Balbila memperkenalkan Wijaya kepada sekalian hadirin.

   "Raden Wijaya,"

   Kata panglima Balbila setelah selesai memperkenalkan "walaupun dalam surat undangan telah kami haturkan namun perlulah sekali lagi kami nyatakan di sini bahwa perjamuan itu semata-mata adalah suatu perjamuan yang diadakan oleh pimpinan pasukan kerajaan Sriwijaya untuk menghormat kunjungan seorang senopa termasyhur, dari kerajaan Singasari.

   Agar kami dapat menerima petunjuk dan pengalaman berharga dari kebesaran pasukan kerajaan Singasari yang tiada taranya itu."

   "Ah, jangan tuan panglima merendah diri. Bagaimana mungkin hamba yang masih muda akan mampu memberi petunjuk kepada tuan panglima Hang Balbila yang termasyhur kegagahan dan keberaniannya dalam medan pertempuran,"

   Kata Wijaya. Hang Balbila tertawa "Jangan raden merendah diri. Apa ar kegagahan seorang panglima apabila kenyataannya angkatan perangnya makin lemah sehingga lain kerajaan berani memandang rendah ?"

   Raden Wijaya terkesiap.

   Kata-kata panglima Sriwijaya itu amat tajam.

   Bukankah panglima bermaksud mengecam secara halus akan ndakan raja Kertanagara yang telah mengirim pasukan Pamalayu dan bahkan sekarang berani pula mengirim utusan ke kerajaan Sriwijaya dengan membawa dua tugas ? Pengiriman arca Amogapasha, salah seorang buddha dari aliran Mahayana ke kerajaan Sriwijaya yang jelas masih mempertahankan aliran Hinayana, merupakan suatu ndakan yang bertentangan dari seorang tetamu kepada tuan rumah.

   Kemudian maksud baginda Kertanagara untuk meminang kedua puteri kerajaan Sriwijaya, lebih mengunjukkan sikap yang cenderung dianggap menghina pada raja Sriwijaya.

   "Tidaklah seper kerajaan Singasari,"

   Panglima Hang Balbila melanjutkan "dengan raden sebagai salah seorang senopa , angkatan perang Singasari makin kuat dan kokoh sehingga berani menolak tuntutan raja Kubilai Khan bahkan mengembalikan utusan raja Kubilai Kban dengan membawa cacat pada wajah mereka.

   Tidakkah kesemuanya itu mengunjukkan bahwa senopa Singasari, terutama raden Wijaya, adalah ksatrya-ksatrya yaug sak mandraguna ? Kiranya takkan salah tempat apabila aku akan mohon pengalaman dan petunjuk raden mengenai krida kanuragan dan tata barisan perang."

   Wijaya terkejut dalam ha namun ia berusaha untuk menekan perasaannya "Ah, perang bukanlah tujuan hidup utama bagi sebuah negara maupun kerajaan, demikian pula umat manusia.

   Perang takkan membawa berkah dan manfaat.

   Kebalikannya malah akan membawa kehancuran dan kesengsaraan."

   "Ah,"

   Hang Balbila terkejut ke ka mendengar kata-kata Wijaya "tetapi dakkah kuat lemahnya, jaya surutnya negara itu tergantung pada angkatan perangnya ?"

   "Angkatan perang memang perlu dan penting, tuan panglima,"

   Kata Wijaya "tetapi bukanlah ditujukan untuk menyerang lain negara atau meluaskan kekuasaan, melainkan untuk mempertahankan kedaulatan dan tegaknya negara itu dari serangan musuh.

   Selama pimpinan dan raja-raja lain negara masih dihinggapi rasa angkara murka semisal raja Kubilai Khan, angkatan perang itu masih mutlak diperlukan bagi keselamatan negara."

   Panglima Hang Balbila terkejut dan heran mengapa ucapan senopa Singasari itu selalu bernada damai.

   Suatu hal yang tak pernah diduga semula.

   Karena ia membayangkan bahwa sebagai seorang senopa kerajaan yang diangkat sebagai duta sang nata, tentulah sikap dan kata-kata raden Wijaya itu serba tekebur dan congkak.

   Ternyata raden Wijaya yang dihadapinya itu seorang senopati muda yang ramah, bersahabat dan penuh kedamaian.

   "Ah, mungkin dia menyadari suasana saat ini dak menguntungkan dirinya maka ia berputar haluan kearah sikap yang lunak,"

   Pada lain saat Hang Balbila timbul dugaan lain.

   Timbulnya dugaan itu, menggelorakan pula rencana yang telah disepaka dalam pertemuannya dengan para perwira pasukan Sriwijaya semalam.

   Perjamuanpun segera dihidangkan.

   Suasana perjamuan tampak meriah, tak tampak sedikitpun akan rasa permusuhan pada sikap panglima Hang Balbila dan para hadirin dari pihak tuan rumah.

   Kecurigaan Wijaya dan rombongannyapun makin berkurang.

   Setelah silih bergan hidangan beredar, minuman tuak bertuang maka panglima Hang Balbilapun menyuguhkan rokok.

   Wijaya terkejut.

   Rokok itu serupa dengan rokok rpemberian puteri Caadra Dewi.

   Adakah memang demikian bentuk rokok orang Sriwijaya? "Silakan mencoba rokok ini, raden,"

   Kata Hang Balbila seraya menghaturkan kotak bersalut emas yang berisi rokok "mungkin di negeri tuan tak terdapat rokok semacam ini."

   Rokok pemberian Candra Dewi belum sempat di isapnya.

   Dan memang Wijaya tak mau mengisap karena disimpan sebagai kenangan Oleh karena itu dia tak tahu bagaimana rasa rokok berbungkus daun tembakau itu.

   Karena tak ingin dikata sebagai seorang tetamu yang kurang sopan maka diapun menjepput sebatang rokok.

   Demikian pula Hang Balbila juga mengambil sebatang.

   Kedua senopati itu mulai mengisap.

   "Ah, sungguh nikmat sekali, tuan panglima."

   Kata Wijaya setelah beberapa saat menikma rokok itu.

   Ia mengakui bahwa rasa rokok itu memang berlainan sekali dengan rokok yang pernah diisapnya di Singasari.

   Dilihatnya rombongan anakbuahnya juga menikma rokok yang dihidangkan oleh pelayan.

   Suasana saat itu benar-benar amat akrab dan bersahabat.

   "Raden, sebagai pelengkap daripada perjamuan kehormatan yang kami adakan demi menghormat kunjungan raden ke Sriwjaya, idinkanlah kami menghaturkan sejenis permainan ulah raga yang lazim digemari oleh rakyat Sriwijaya."

   "Ah, tuan panglima,"

   Kata Wijaya "janganlah tuan keliwat memanjakan diri Wijaya. Kiranya perjamuan ini sudah suatu kehormatan yang ada terhingga bagi Wijaya- Semoga kelak kami mendapat kesempatan untuk menjamu tuan apabila tuan berkunjung ke Singasari."

   Hang Balbila segera memberi perintah untuk memulai pertunjukan ulah raga.

   Dua orang lelaki tampil ke tergah medan perjamuan.

   Setelah saling bersiap keduanya lalu mulai.

   Ternyata apa yang disebut permainan olahraga itu tak lain adalah semacam gumul di-mana kedua orang itu saling cengkam mencengkam, himpit menghimpit, ban ng memban ng dan kait mengait untuk merobohkan lawan.

   Siapa, yang taboh, dialah yang kalah.

   Setelah berlangsung beberapa kali, tampak ada seorang perwira yang paling menang.

   Sudah dua tiga lawannya dapat dirobohkan, perwira itu tak lain adalah Arbangir.

   "Hayo, siapa lagi saudara-saudara yang ingin menjajal kekuatanku, silakan maju,"

   Serunya bagai seekor jago sabung yang berkokok. Sampai beberapa saat ada yang maju menghadapi Arbangir. Tiba- ba seorang prajurit maju ke hadapannya "Ho, engkau Bagan, apakah tulangmu sudah kaku?"

   Prajurit yang disebut dengan nama Bagan menyahut "Sebenarnya aku sudah merasa takkan menang melawanmu.

   Tetapi aku seorang prajurit, masakan aku tak merasa terhina apabila dianggap bahwa dalam pasukan Sriwijaya itu sudah tiada prajurit yang berani tampil."

   "O, tetapi bukankah masih banyak yang hadir di sini ?"

   "Benar, tetapi mereka bukan jantan."

   "Hus, jangan menghina orang, Bagan,"

   Seru Arbangir "di ruang perjamuan ini selain prajurit Sriwijaya juga terdapat prajurit-prajurit gagah perkasa dari kerajaan Singasari."

   "Memang benar,"

   Sahut Bagan "dan kabarnya memang prajurit-prajurit Singasari itu terkenal gagah berani. Tetapi apa yang kusaksikan malam ini, ternyata dak sesuai dengan kenyataan. Bukankah permainan ulahraga ini tidak terbatas hanya untuk prajurit Sriwijaya saja?"

   Arbangir tertawa "Tentu saja dak.

   Di dalam ruang perjamuan ini ada lagi prajurit Sriwijaya atau prajurit Singasari.

   Se ap lelaki yang bernyali jantan boleh ikut serta.

   Sudahlah Bagan, menyingkirlah saja.

   Masih banyak pria gagah yang berada di ruang perjamuan ini."

   "Jangan menghina,"

   Seru Bagan "lebih baik tulangku remuk daripada bersikap seper anak ayam yang menggigil ketakutan dan bersembunyi di bawah dada induknya karena melihat elang."

   "Bagan, jangan menyinggung perasaan orang."

   "Tidak, aku tak menyinggung perasaan orang tetapi hanya mengatakan keadaan yang sebenarnya. Bukankah selain aku yang sudah tua ini, tak ada seorang pun yang berani tampil ?"

   "Ah, Bagan, jangan bicara keras-keras, ada tetamu dari negara Singasari."

   "Dalam penyambutan sebagai tuan rumah, kita telah melakukan kewajiban dengan baik. Tetapi sebagai orang yang terlibat dalam suasana ulahraga ini, tak pandang bulu. Orang-orang Sriwijaya sudah kehabisan lelaki tetapi orang Singasaripun pengecut!"

   "Bagan!"

   Teriak Arbangir.

   Terdengar gema desuh dan dengus dari tempat duduk rombongan Singasari.

   Pramudya yang duduk tak jauh dari Wijaya panas telinganya.

   Segera ia berbangkit dan menghadap raden Wijaya "Raden, perkenankanlah hamba tampil untuk bermain-main dengan ki perwira itu."

   "Aha, benar tuan prrwira. Silakan tuan maju dan memberi hajaran kepada orang itu agar prajurit-prajurit Sriwijaya dak berani menghina. Mereka sudah dimabuk tuak,"

   Sebelum Wijaya memberi jawaban, panglima Hang Balbila sudah mendahului, menganjurkan Pramudya supaya- maju. Sebenarnya Wijaya hendak melarang tetapi karena tuan rumah sudah berkata begitu, terpaksa diapun mengidinkan.

   "Bagan, enyah engkau!"

   Bentak Arbangir seraya menerkam tubuh prajurit tua itu dan mendorongnya hingga terlempar beberapa langkah.

   "Ah, kawan, aku gembira sekali menerima perhatianmu. Dengan demikian dapatlah kita lebih mempererat persahabatan kita,"

   Kata Arbangir "Ah, engkau telah memberi sambutan yang hangat kepada kami, sudah tentu aku harus memenuhi harapanmu sebagai tanda terima kasih kami,"

   Kata Pramudya.

   "Terima kasih kawan "

   Leru Arbangir "marilah kita brrmain-main sekedar untuk menambah kemeriahan suasana perjamuan. Engkau tahu akan cara permainan ini?"

   Pramudya gelengkan kepala "Belum."

   "Ulahraga ini disebut gumul. Orang boleh mencengkam, mencengkeram, memban ng dan mengait dengan kaki tetapi tak boleh memukul. Barangsiapa jatuh dan punggungnya menyentuh tanah, dia dianggap kalah. Tetapi kalau jatuh, belum punggung menyentuh tanah, dia sudah mampu melenting bangun lagi, dia belum kalah."

   "O, baiklah,"

   Kata Pramudya.

   Keduanya lalu terlibat dalam tarik menarik dan cengkam mencengkam yang makin lama makin seru.

   Bermula Pramudya tampak menguasai lawan dan dalam beberapa waktu lagi tentu dapat merobohkan pertahanan lawan.

   Dahi perwira Arbangir tampak tegang, otot-otot membenjul.

   Rupanya dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk bertahan.

   Suasana dalam ruang peijamuan itu ba- ba berobah sunyi bahkan napaspun tak kedengaran.

   Rupanya sekalian hadirin dihanyut ketegangan dalam mengiku pertandingan gumul antara kedua perwira itu sehingga mereka sama menahan napas.

   Beberapa waktu kemudhn, ba- ba terjadi perobahan yang tak pernah diduga.

   Pramudya yang berada di atas angin sebagai fihak yang menekan, sekonyong-konyong seper kehilangan tenaga sehingga dalam waktu beberapa kejab, kedudukan berobah seratus delapan puluh derajad.

   Arbangir yang semula menjadi fihak yang ditekan, kini berbalik dapat menguasai lawan.

   Wajah Pratriudya tampak menderita.

   Tiba- ba Arbangir membalik tubuh ke belakang, membelakangi lawan.

   Tangannya yang mencekal tangan lawan segera bergerak menarik sehingga tubuh Pramudya melekat pada punggung Arbangir.

   Dan sebelum tahu apa yang terjadi, ba ba pula Arbangir mengendapkan bahu ke bawah dan dengan meraung keras, ditariknya tubuh Pramudya ke atas bahu dan bum Pramudya diban ng ke lantai.

   "Ah .....

   "

   Teriak rombongan prajurit Singasari seraya berbangkit. Ada dua orang yang terus maju ke tengah gelanggang dan menolong Pramudya, menggotongaya ke samping. Seorang prajurit Singasari berpangkat lurah melangkah lebar ke hadapan Arbangir.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Gadu, jangan,"

   Teriak Wijaya. Ia melarang lurah itu untuk menghadapi Arbangir. Diketahuinya perwira Pramudya yang lebih kuat dari Gadu, masih kalah dengan Arbangir. Apa lagi Gadu.

   "Raden, perkenankanlah hamba menuntut bela kepada adi Pramudya,"

   Sahut Gadu.

   "Benar raden,"

   Sabut Arbangir "ini hanya bermain-main saja. Bahkan apabila raden berkenan di hati, hamba mohon raden suka memberi pelajaran kepada hamba."

   Memberi pelajaran ilmu kedigdayaan. Demikian yang dimaksud dengan Arbangir. Memang kata-kata itu sepintas suatu sikap yang merendah diri. Tetapi sebenarnya merupakan suatu tantangan halus kepada Wijaya.

   "Ki sanak, jangan menghina junjunganku. Hadapilah aku dahulu sebelum engkau layak meminta kepada raden Wijaya seru Gadu.

   "Ah, aku gembira mendapat kawan bermain seper engkau,"

   Kata Arbangir "engkau seorang yang tegas bicara, tangkas bertindak. Baiklah, mari kawan, kita bermain-main."

   Keduanya lalu saling cengkeram-mencengkeram, tarik-menarik dan jegal-menjegal. Sekonyong- konyong dengan sebuah gerak yang tak diduga duga lawan, Gadu berhasil memasukkan kaki kanan ke belakang kaki lawan lalu membanting tubuh Arbangir.

   "Hu .....

   "

   Terdengar rombongan prajurit Sriwijaya berteriak kaget, ke ka melihat tubuh-Arbangir menggelantung di kaki Gadu.

   Dalam lain kejab, tentulah Arbangir akan jatuh.

   Tetapi ternyata tubuh Arbangir masih tetap menggelantung di atas kaki lawan dan kedua tangannya masih mencengkeram dan menolak tangan Gadu yang hendak menekan ke bawah.

   Dan beberapa saat kemudian terjadilah suatu keanehan.

   Pelahan-lahan tetapi tentu, tubuh Arbangir mulai terangkat ke atas dan tangan Gadupun makin terdorong ke belakang.

   Dan pada lain saat-, Arbangir ayunkan tubuh berdiri tegak.

   Gerakan itu menyebabkan Gadu tertelungkup ke belakang kemudian dengan amat cekatan sekali Arbangir sudah mengangkat tubuh Gadu terus di banting ke lantai, blukkkk .......

   Terdengar tepuk sorak dari rombongan tuan rumah.

   Kebalikannya rombongan tetamu berteriak kaget, ban ngan Arbangir terhadap Gadu dilakukan lebih keras daripada terhadap Pramudya tadi.

   Akibatnya Gadu pingsan dan kepalanya memar berdarah.

   Marahlah sekalian prajurit rombongan pengantar Wijaya.

   Seorang prajurit bertubuh nggi besar, hendak maju tetapi pada saat itu, Wijaya berseru "Jangan, rawatlah ki lurah Gidu."

   "Ah, rupanya raden hendak memberi hajaran kepada perwira congkak itu,"

   Kata panglima Balbila "ya, memang perlu sesekali dia meadapat pelajaran, raden."

   "Adakah tuan panglima mengidinkan aku untuk turun ke gelanggang ?"

   Tanya Wijaya.

   "Betapa dak, raden?"

   Kata Balbila "jika raden berkenan, sunggguh suatu kehormatan besar bagi prajurit Sriwijaya apabila raden berkenan memberi pelajaran kepada mereka."

   Wijaya merah atas ndakan perwira Arbira yang telah memban ng semena-menanya kepada Pramudya dan Gadu.

   Namun sebagai seorang ksatrya, apalagi seorang duta sang nata, dia harus membawa sikap yang sesuai dengan martabat kedudukannya.

   Maka dengan langkah yang tenang, dia menuju ke muka Arbangir."

   "Ah, raden berkenan hendak memberi petunjuk kepadaku ?"

   Seru Arbangir "sungguh tak terperikan suka hati hamba. Hamba mohon raden suka memberi muka kepada hamba."

   "Kedua prajurit yang engkau kalahkan tadi, adalah prajurit pilihan dari Singasari. Bahwa engkau dapat mengalahkan mereka, jelas engkau tentu memiliki ilmu kedigdayaan yang hebat. Mungkin akulah yang harus menerima petunjuk, bukan engkau."

   "Ah, janganlah raden merendah diri. Kudengar sudah kemasyhuran nama raden sebagai senopa pe ndih angkatan perang Singasari yang gagah berani. Bagaimana perwira rendah semacam Arbangir ini mampu bertanding dengan raden."

   "Biiklah, mari kita mulai saja,"

   Kata Wijaya.

   Demikian keduanya segera saling cengkeram mencengkeram lengan masing -masing dan mulai menjajagi kemungkinan dari kelemahan fihak lawan.

   Arbangir dapatkan bahwa tangan Wijaya terasa biasa saja, tak mengunjukkan pengembangan tenaga dan pemancaran kekuatan.

   Maka setelah memas kan suatu kesempatan, dia terus hendak memban ng Wijaya "

   Uh ....

   "

   Terdengar mulutnya mendesis keras dan wajahnya tampak merah sebagai penampilan dari upayanya untuk mengerahkan tenaga hendak memban ng Wijaya. Tetapi ternyata sedikitpun tubuh Wijaya tak tergerak. Kedua kakinya bagai tumbuh akar.

   "Hayo, kerahkan seluruh tenagamu, perwira yang perkasa,"

   Bisik Wijaya.

   Arbangir benar-benar heran.

   Jelas dirasakannya lahwa Wijaya dak mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri tetapi mengapa tubuhnya sekokoh batu karang yang tak bergeming di hempas ombak laut? Memang dia tak pernah menduga dan mungkin tak tahu bahwa saat itu raden Wijaya sedang memancatkan apa yang disebut aji Pengantepan.

   Suatu aji yang dapat membuat tubuh seberat gunung karang.

   Arbangir makin penasaran.

   Dikerahkannya seluruh tenaga untuk meliukkan tubuh Wijaya ke arah kakinya yang sudah disilangkan.

   Apabila maksudnya tercapai, pas lah Wijaya akan terban ng.

   Tetapi sampai mukanya menyeringai seper orang yang tengah menahan derita kesakitan, tetap dia tak mampu melaksanakan keinginannya.

   Sesungguhnya apabila mau, Wijaya dengan mudah dapat menindih tubuh Arbangir kemudian menekannya supaya jatuh ke lantai.

   Tetapi dia tak mau.

   Dia memang ingin mempermainkan Arbangir yang congkak.

   Setelah Arbangir kehabisan tenaga, barulah dia akan bertindak.

   Beberapa saat telah berlangsung dan kini tenaga Arbangirpun sudah makin habis.

   Setelah tahu akan kesempatan itu maka bergeraklah Wijaya.

   Tangan kiri mencengkeram pinggang dan tangan kanan menyiak cengkeraman orang, lalu cepat mencengkeram tengkuk Arbangir dan laksana menjinjing seorang anak kecil, diangkatnya tubuh Arbangir lalu dilemparkannya ke luar, brak ....

   Terdengar teriak kejut yang melengking dari prajurit dan perwira Sriwijaya ke ka menyaksikan tubuh Arbangir seper terbang meluncur ke pintu.

   Pintu ruang itu dijaga oleh dua orang prajurit.

   Melihat layang tubuh Arbangir, keduanya berusaha untuk menyanggapi.

   Tetapi jatuhnya tubuh Arbangir itu terlalu kuat sehingga kedua prajurit penjaga itu bahkan ikut terdampar ke luar pintu dan jatuh bersama-sama.

   "Hebat,"

   Seru seorang perwira Sriwijaya yang terus loncat ke hadapan Wijaya "raden, engkau menghina seluruh jajaran prajurit Sriwijaya. Mari, akulah yang melayani."

   Ternyata orang itu adalah Sipora, perwira yang keras dan penaik darah.

   Dia tak tahan lagi melihat kawannya dilempar sampai sedemikian parah.

   Namun mereka segera melihat tangan panglima Balbila memberi isyarat supaya mereka tenang.

   Beberapa perwira maju ke hadapan panglima Balbila "Tuanku,"

   Kata mereka "kami mohon keadilan untuk Arbangir."

   "Apa maksud kalian?"

   Tegur Balbila.

   "Kami mohon dengan sangat agar tuanku panglima berkenan turun ke gelanggang "

   "Ah, layakkah hal itu ? Aku adalah tuan rumah, dan raden itu sebagai tetamu terhormat yang kuundang untuk kita hormati. Bagaimana kalian meminta supaya aku bertanding dengan beliau ?"

   "Tuanku,"

   Sanggah Sipora "dalam kewajiban sebagai tuan rumah, tuanku telah menunaikan dengan baik bahkan terlampau baik.

   Tetapi sebagai tetamu ternyata mereka tak mau menghormati martabat, tuan rumah.

   Mereka tak sungkan untuk menganiaya seorang perwira anakbuah tuanku.

   Apakah hal itu tak layak mendapat perhatian tuanku ?"

   Tampak panglima Balbila agak terkesiap. Ia seper bimbang "Baiklah jika kalian menghendaki demikian,"

   Akhirnya ia memberi keputusan. Setelah beberapa perwira itu kembali ke tempat duduk masing-masing maka Hang Balbila lalu beranjak dari tempat duduk dan menghampiri ke hadapan Wijaya.

   "Raden, sungguh berat nian rasa hatiku ....

   "

   "Ah, tak apa, tuan panglima,"

   Sahut Wijaya "apa yang dikatakan para perwira tuan tadi memang benar.

   Aku harus menghaturkan maaf karena telah berlaku kurang menghormat.

   Tetapi kurasa tentulah keadaan perwira tadi tak sampai membahayakan jiwanya.

   Apabila sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan aku bersedia untuk mempertanggungjawabkan kesemuanya."

   "Terima kasih raden,"

   Kata Balbila "tetapi seper raden ketahui. Rasanya mereka tentu masih belum puas walaupun raden sudah menghaturkan maaf"

   "Ah, maksud tuan panglima?"

   Wijaya agak terkejut.

   "Apabila raden berkenan memberi muka kepadaku terpaksa kita harus bermain-main barang beberapa saat demi melenyapkan rasa tak puas dari mereka."

   Wijaya tertegun.

   Ia tahu bahwa panglima itu hendak mengajak adu ulahraga.

   Tindakan hal itu cukup gawat ? Apabila sampai terjadi sesuatu yang tak diharapkan tentulah akibatnya akan menjalar luas.

   Kemungkinan bahwa angkatan perang Sriwijaya akan menyerang dan menangkapnya, bukanlah sesuatu yang mustahil.

   Dan hal itu akan menimbulkan peris wa besar antara kedua kerajaan.

   Apabila sampai terjadi hal yang sedemikian, dakkah tujuan daripada tugasnya sebagai perutusan Singasari, akan gagur.

   Dan ....

   ah, dakkah hal itu akan membawa pengaruh juga akan hubungannya dengan puteri Candra Dewi,yang sedang akan bertumbuh itu ? "Ah,"

   Wijaya mendesah dalam ha "namun apabila kutolak tawaran Balbila, aku merasa kasihan kepadanya. Bukankah dia akan kehilangan kepercayaan dari anak pasukannya ?"

   Setelah mempertimbangkan segala sesuatu, akhirnya Wijaya menentukan keputusan.

   Ia akan menerima ajakan panglima Balbila tetapi ia akan mengalah.

   Sedapat mungkin ia akan menjadikan adu tenaga itu agar tiada fihak yang merasa kalah, demi menyelamatkan kehormatan masing-masing.

   "Baiklah tuan panglima,"

   Katanya beberapa saat kemudian "tetapi janganlah kita bersungguh- sungguh. Cukup sekedar main-main saja."

   Balbila mengiakan.

   Keduanya lalu saling berhadapan dan mulai saling berpegangan tangan.

   Sebagaimana waktu berhadapan dengan Arbangir tadi, Wijayapun tak mau berusaha untuk mendorong lawan.

   Ia membiarkan dirinya didorong lawan tetapi ia tetap memancarkan aji Pengantepan untuk bertahan diri.

   Panglima Balbila terkejut.

   Ia merasakan tubuh Wijaya itu seperti sebuah karang yang kokoh.

   Setelah usaha untuk meliukkan tubuh Wijaya tak berhasil maka teralihlah ia untuk menguasai pergelangan lengan Wijaya.

   Setelah dapat mencengkeram kedua pergelangan lengan lawan, panglima Balbila segera menekan sekeras-kerasnya.

   Bahwa pergelangan lengan yang dicengkeram kuat-kuat tentu akan menghilangkan daya tenaga orang, telah dibuktikan panglima Balbila dalam berpuluh kali bertanding gumul ketika ia masih mada dahulu.

   Tetap! ia terkejut ke ka cengkeramannya itu sukar menemukan sasaran.

   Lengan Wijaya selalu bergeliat melejit dari cengkeraman sehingga tangannya selalu mencengkeram kekosongan.

   Semula Hang Balbila hanya ingin menjajal betapa kesak an ksatrya Singasari yang dipercaya rajanya menjadi kepala perutusan ke Sriwijaya.

   Tetapi setelah berulang kali gagal dalam usahanya menyengkelit, mendorong dan mencengkeram, timbullah penasaran dalam hati Hang Balbila.

   "Hm, rupanya dia hendak mempermainkan aku supaya aku mendapat malu,"

   Pikirnya. Dan pemikiran yang salah arah itu telah membangkitkan rangsang amarahnya. Jika semula ia hendak menguasai lengan kini panglima itu beralih mencengkeram kedua bahu Wijaya lalu diremas sekuat- kuatnya.

   "Uh"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ba- ba ia mendesuh kejut karena cengkeramannya itu luput. Bahu Wijaya menjadi licin sekali. Diulangi dan diulanginya pula sampai beberapa kali tetapi ia tak mampu mencengkeramnya.

   "Ah, dia benar-benar hendak memperolok diriku,"

   Bukan menyadari bahwa Wijaya bersikap mengalah kebalikannya panglima Balbila malah makin naik pitam.

   Sekonyong-konyong ia menggelincirkan tangannya ke bawah dan mencengkeram ketiak orang.

   Wijaya terkejut.

   Ia tidak menduga kalau Hang Balbila akan berbuat demikian.

   Dia hendak memancarkan aji Belut putih untuk melepaskan diri dari cengkeraman namun terlambat.

   Wijaya gugup, Apabila dia membiarkan ke aknya dicengkeram, jelas dia tentu akan kehilangan tenaga dan akan dapat diban ng Hang Balbila.

   Tiada lain jalan yang dapat ditempuhnya kecuali balas mencengkeram pergelangah lengan Balbila.

   Demikian keduanya segera terlibat dalam cengkeram mencengkeram yang seru.

   Beberapa saat kemudian entah bagaimana mendadak Wijaya rasakan kepalanya pening.

   Pandang matanyapun mulai kabur dan makin gelap.

   Sedang rasa peningpun makin keras sehingga kepalanya terasa berdenyut-denyut.

   Makin ia mengerahkan tenaga, makin keras denyut yang menempa kepalanya.

   Sekalian orang mengiku pertandingan itu dengan penuh perha an.

   Baik fihak prajurit Sriwijaya maupun rombongan prajurit Wijaya, semua melihat jelas bahwa raden Wijaya saat itu tampak menderita sesuatu.

   Dahinya mengeriput dan bibirnyapun gemetar.

   Sedang tubuhnya makin lama makin tampak lemas.

   "Celaka,"

   Pikir rombongan prajurit Singasari "kalau raden Wijaya sampai menderita kekalahan pastilah akan menimbulkan aib yang besar. Orang Sriwijaya tentu akan melontarkan cemoohan."

   Karena lurah Gadu dan pengawal Pramudya terluka maka ada lagi pimpinan yang memberi perintah kepada anggauta rombongan Wijaya.

   Namun prajurit-prajurit itu sudah mendapat tempaan yang keras.

   Kepada mereka Wijaya telah menanamkan penger an bahwa dalam suatu rombongan, kelompok dan barisan, semua, anggauta adalah pen ng.

   Pimpinan hanyalah sebagai arah yang harus diturut.

   Tetapi apabila pimpindn tak ada, maka se ap anggauta harus tahu dan dapat menentukan arah sendiri.

   Antara yang memimpin dan yang dipimpin harus memiliki swadaya berpikir dan bertindak sendiri untuk kepentingan kelompok atau barisannya.

   Maka demi melihat raden Wijaya dalam keadain yang berbahaya, beberapa prajurit cepat menghunus senjata dan siap untuk menyerbu.

   Biarlah suasana menjadi gadug, pikir mereka.

   Dan mereka siap untuk mempertanggung jawabkan ndakannya baik terhadap raden Wijaya maupun kepada tuan rumah.

   Andai mereka yang dipersalahkan, mereka akan menerima apapun hukumannya.

   Tetapi asal jangan raden Wijaya yang menderita hinaan.

   Pada saat ketegangan mencapai puncaknya, sekonyong-konyong terdengar derap langkah memasuki ruangan dan seke ka gemparlah sekalian prajurit Sriwijaya "Yang mulia tuanku pa h Demang Lebar Daun hadir ....

   "

   Serempak sekalian prajurit Sriwijaya berdiri memberi hormat.

   Hang Balbilapun terkejut sekali, Bagaikan disengat kala, dia cepat lepaskan cengkeramannya dan menyusur mundur, berbalik tubuh dan memberi hormat kepada tetamu yang datang.

   Tetamu itu dak lain memang pa h Demang Lebar Daun yang diiring oleh dua orang pengawal.

   "Ah, maaf tuan pa h Demang Lebar Daun yang mulia atas kelalaian hanba menyambut kunjungan paduka,"

   Seru panglima Hang Balbila.

   "Hai, panglima, mengapa tuan saling berhadapan dengan raden Wijaya ?"

   Tegur pa h Demang Lebar Daun.

   "Ah, kami sedang bermain-main, tuanku,"

   Kata Balbila "rupanya raden Wijaya berkenan ha untuk memeriahkan perjamuan yang hamba selenggarakan untuk menghormat kunjungannya ke negeri ini."

   "O,"

   Seru Demang Lebar Daun legah. Kemudian menghampiri Wijaya "raden, apakah terjadi sesuatu ?"

   Demang Lebar Daun yang bermata tajam segera dapat melihat keadaan Wijaya yang mencurigakan.

   Raden itu tampak berdiri tegak dan pejamkan mata maka diapun lalu menegurnya.

   Ke ka Wijaya diam saja, pa h Demang Lebar Daun makin terkejut dan gopoh menghampirinya "Raden .......

   "

   Wijaya mengerut dahi. Demang Lebar Daun segera memegang bahu pemuda itu dan bertanya cemas "Raden apakah engkau terluka ?"

   Wijaya gelengkan kepala "Tidak, paman patih ....."

   "Lalu mengapa tuan diam saja dan pejamkan mata ?"

   "Kepala hamba terasa pening sekali sehingga bumi yang hamba pijak ini seolah berputar."

   "Oh,". Demang Lebar Daun gopoh memimpin Wijaya duduk "tentulah raden mabuk."

   Wijaya diam saja, Demang Lebar Daun segera perintahkan seorang prajurit untuk meminta air yang dicampur dengan perasan jeruk. Setelah menerima yang diminta lalu meminta Wijaya meminumnya.

   "Minum dan beristirahatlah, raden."

   Beberapa waktu kemudian Wijaya tampak membuka mata dan mengebas-kebaskan kepala seper mengusir rasa pening pada kepalanya "Ah, terima kasih tuanku Demang yang mula,"

   Katanya.

   "Ah, dak apa-apa, raden,"

   Kata Demang Lebar Daun "mungkin tadi raden terlalu banyak minum tuak, bukan ?"

   Wijaya gelengkan kepala "Memang hamba minum beberapa teguk arak tetapi dak melewa batas, tuanku.

   Hamba heran mengapa secara ba- ba kepala hamba teresa pening dan berdenyut denyut sakit sekali.

   Hamba merasa benda-benda disekeliling seolah berputar-putar deras sekali."

   "Ah, raden tentu minum atau makan sesuatu yang memabukkan dalam perjamuan tadi."

   "Hamba tak makan sesuatu yang.....ah, benar, tadi hamba telah menghisap rokok. Mungkinkah itu ?"

   Seru Wsjaya.

   "Rokok ? Adakah dalam perjamuan ini dihidangkan rokok?"

   Wijaya mengangguk. Demang Lebar Daun segera meminta hidangan rokok tadi. Setelah memeriksa, iapun mencobanya "Ah, benar.. Bagaimana rasa rokok berbalut daun tembakau ini, raden ?"

   "Nikmat sekali, tuanku."

   "Ah, tentu saja,"

   Kata Demang Lebar Daun "tahukah raden jenis tembakau apa yang menjadi bahan rokok ini ?"

   "Hamba tak tahu, tuanku."

   "Bahan dari rokok ini bukanlah tembakau biasa melainkan sejenis tanaman yang menurut pedagang-pedagang dari Jambudwipa dan Cina, disebut candu. Rasanya memang nikmat sekali. Tetapi bagi orang yang tak biasa, beberapa saat setelah merokok tentu akan menderita sakit pening kepala yang hebat."

   "O, hamba sungguh tak tahu akan hal itu."

   Pa h Demang Lebar Daun kerutkan dahi lalu berpaling menegur panglima Balbila "Panglima, mengapa tuan menghidangkan hidangan rokok semacam ini ?"

   "Rokok itu amat mahal dan jarang benar hamba hidangkan kepada tetamu kecuali tetamu agung yang hamba pandang, tuanku."

   "Tetapi rokok ini memabukkan dan akan mencengkeram penghisapnya. Sekali orang menghisap rokok ini tentu akan ketagihan untuk merokok lagi. Dan telah kami siarkan bahwa penanaman jenis tanaman ini supaya dilarang. Adakah tuan tak mengetahuinya ?"

   "Tahu, tuanku,"

   Jawab panglima Hang Balbila agak gugup "rokok itu adalah sisa simpanan hamba dari beberapa tahun yang lalu. Maksud hamba, demi menghormat raden Wijaya maka hamba menghaturkan hidangan rokok itu, tuanku."

   Wijaya diam-diam terkejut.

   Dengan demikian jelas panglima Hang Balbila mempunyai maksud tersembunyi dalam menghidangkan rokok itu.

   Kenyataan pada waktu bertanding adu tenaga tadi, ia merasa pening dan kehilangan tenaga.

   Apabila pa h Demang Lebar Daun dak keburu datang, tentulah dia akan dapat dibanting oleh panglima Hang Balbila.

   Wijaya mengangguk dalam ha .

   Ia mempunyai prasangka tentang pemberian rokok tembakau dari panglima Balbila namun dia tak mau terlekat pada prasangka itu.

   Ia gembira karena semuanya telah berlangsung tanpa ada fihak yang merasa dirugikan.

   Ia tak dapat membayacgkan betapa kesudahannya apabila dalam pertandingan adu kekuatan tadi, ia sampai dirobohkan panglima Balbila.

   Mungkin akan terjadi peris wa yang tak diharapkan.

   Ia kua r tak dapat mengendalikan perasaannya sebagai mana telah terjadi pada peris wa lurah Gadu dan Pramudya.

   Ia tak tahu bagaimana keadaan perwira Arbangir yang dilontarkan ke luar pintu tadi.

   "Terima kasih tuan pa h,"

   Katanya kepada Demang Lebar Daun "tetapi bagaimana maka tuan tiba2 berkunjung kemari? "

   "Sesungguhnya aku hendak berkunjung ke tempat raden,"

   Kata patih Demang Lebar Daun.

   "tetapi seorang prajurit tuan mengatakan kalau raden mengunjungi pesta yang diadakan panglima Hang Balbala untuk menghormat kedatangan raden ke Darmasraya maka akupun bergegas datang kemari."

   Kemudian pa h Demang Lebar Daun berpaling "Panglima, mengapa anda mengadakan perjamuan ini tanpa memberitalu kepada istana? "

   "Maaf, tuanku pa h yang mulia,"

   Panglima Balbala memberi hormat "sebenarnya niat itu mbul seke ka saja dimana hamba merasa sebagai seorang panglima wajib menjamu kunjungan seorang senopa dari mancanagara, Dalam hal ini hamba menghorma raden Wijaya dalam kedudukan sebagai seorarg senopati, bukan sebagai kepala perutusan Singasari, tuanku."

   Demang Lebar Daun mengangguk "Baik, maksud anda memang baik sekali.

   Tetapi bagaimanapun raden Wijaya berkunjung ke Darmasraya adalah sebagai pimpinan perutusan Singasari maka dia adalah tamu kerajaan Darmasraya.

   Darmasraya bertanggung jawab penuh atas keselamatannya."

   "Baik, tuanku,"

   Kata Hang Balbila yang tersipu-sipu mendapat peringatan dari Demang Lebar Daun.

   "Raden Wijaya,"

   Kata pa h Lebar Daun "ada sebuah hal yang ingin kubicarakan dengan raden. Marilah kita kembali ke wisma."

   Begitulah rombongan Wijaya dan Demang Lebar Daun segera nggalkan tempat kediaman panglima Balbila, menuju ke Wisma tempat penginapan Wijaya.

   Sementara Hang Balbila yang masih berada dengan anak buahnya, memperbincangkan peris wa yang telah terjadi beberapa saat yang lalu.

   "Tuanku,"

   Kata perwira Sipora "mengapa tuan dak meremukkan tubuh senopa Singasari itu? Bukankah tuanku sudah berhasil menguasainya?"

   Panglima Balbila menghela napas pelahan "Sebenarnya ada sesuatu yang kurasa aneh pada diri senopa itu.

   Sudah jelas dia dapat kukuasai.

   Pada umumnya, se ap lawan yang telah kucengkeram ke aknya tentu hilang tenaga kekuatannya.

   Tetapi dak demikian dengan raden itu.

   Dia tetap kokoh sekali pertahanannya."

   "Tetapi apakah rokok yang tuanku hidangkan kepadanya itu tidak membawa pengaruh apa-apa?"

   Tanya Sipora pula.

   "Ada,"

   Kata Balbila "yalah ke ka adu kekuatan itu berlangsung beberapa waktu, akhirnya kurasakan dia sudah mulai kehilangan tenaga. Tetapi suatu peris wa gaib telah terjadi dikala akan kutekuk tubuhnya ....."

   "Ah, tuanku pa h Demang Lebar Daun itulah penyebabnya. Apabila tuan pa h tak datang tentulah tuan sudah dapat merobohkan senopati Singasari itu."

   "Bukan, bukan karena kehadiran tuan patih Demang Lebar Daun."

   Sipora dan beberapa perwira yang lain terkejut mendengar keterangan panglima "Lalu apa yang telah terjadi, tuan?"

   Sipora bergegas mengajukan pertanyaan.

   "Apakah itu hanya khayal atau memang benar-benar sesungguhnya, aku belum jelas,"

   Kata Hang Balbila "tetapi kurasakan pada saat dia sudah lemas kehabisan tenaga dan hendak kudorong, aku seper melihat asap pu h bergulung-gulung dari kepalanya dan asap itu lalu membentuk sebuah gumpalan yang menyerupai bentuk sekuntum bunga."

   "Sekuntum bunga? Bunga apakah itu, tuan?"

   "Pu h warnanya, mekar sebesar pinggan. Entah mengapa karena selama ini aku belum pernah melihat bunga semacam itu. Sepintas mirip bunga teratai tetapi jelas bukan bunga itu."

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lalu apa yang terjadi selanjutnya?"

   "Bunga itu menyerbakkan bau yang harum sekali, menyengat hidungku dan ba- ba akupun kehilangan tenaga. Apa yang kalian lihat pada waktu aku hampir dapat merobohkannya?"

   "Memang kami merasa heran mengapa ba- ba tuan tak melanjutkan tangan tuan yang sudah hampir dapat merobohkan senopati itu,"

   Kata Sipora yang diperkuat oleh beberapa perwira.

   "Itulah,"

   Kata Balbila "karena aku tak punya tenaga lagi."

   "Aneh,"

   Seru Sipora "apakah dia ....

   "

   "Aku sendiri juga heran,"

   Kata Balbila "adakah Wijaya mempunyai ilmu gaib.

   Buk nya, ada lagi.

   Yalah kalian tentu melihat betapa santai dia ke ka berhadapan dengan Arbangir.

   Kalian tentu menyaksikan bagaimana Arbangir begitu tegang mengerahkan tenaga untuk merobohkannya tetapi tetap tak berhasil.

   Demikianpun aku.

   Sampai beberapa saat, aku tak dapat mendorongnya.

   Adalah karena pengaruh rokok itu dan dia mulai kehilangan tenaga maka barulah aku mampu menekuk tubuhnya.

   Dan dikala hampir berhasil merobohkan maka menyemburlah asap bunga aneh itu dari kepalanya."

   "Ya, memang aneh sekali, tuan."

   "Memang kudengar ksatrya-ksatrya Jawadwipa itu gemar bertapa untuk mencari ilmu kesaktian."

   "Ah, kiranya hal itu masih perlu dibuktikan, tuan,"

   Kata seorang perwira tua yang bernama Baligi.

   "Mengapa anda mengatakan demikian?"

   Tegur panglima Balbila.

   "Karena dalam keyakinan hamba akan ajaran dan ilmu agama Hinayana, adalah kesak an yang berdasar aliran hitam itu mampu mengalahkan aliran putih."

   "Jadi engkau anggap kesak an yang diperoleh para ksatrya Jawadwipa itu termasuk aliran hitam, kakang Baligi?"

   "Hamba dak menganggap semuanya hitam. Tetapi pada umumnya kesak an-kesak an yang diperoleh dengan ilmu gaib, lebih cenderung digolongkan pada aliran hitam. Yang hamba maksudkan aliran hitam bukanlah hitam yang jahat tetapi hitam yang terpecah dari putih."

   "Bagaimana yang kakang maksudkan itu? "

   "Ajaran yang menuju kepada kesucian ba n, peningkatan kesadaran dan kesempurnaan hidup, itulah aliran pu h. Apabila dalam mencapai kearah itu, kita tergelincir untuk menggunakan kesadaran dan kewaspadaan daripada indriya kita kearah suatu ilmu kesak an yang tujuannya tentulah tak menyimpang dari suatu rasa kelebihan diri dengan orang lain, maka hamba cenderung mengatakan itulah hitamnya putih, tuanku "

   Panglima Balbila mengangguk "Ya, memang benar di kalangan orang-orang yang nggi kesadaran ba nnya sering memiliki ilmu yang menakjubkan.

   Dan apabila dia terpikat oleh daya ilmu kewaspadaan itu sehingga memanfaatkannya dalam kepen ngan yang merugikan orang, dia tergolong aliran hitam."

   "Dan se nggi- nggi ilmu kesak an, walau dikatakan sebagai aliran pu h sekalipun, namun karena masih terikat oleh pamrih dan kepen ngan, maka ilmu itu pas gugur apabila berhadapan dengan kesucian yang tulus dan mulus."

   "Prajurit,"

   Ba- ba panglima Balbila mengalihkan pembicaraan kepada seorang prajurit "bagaimana keadaan Arbangir."

   "Mohon diampunkan tuanku,"

   Prajurit itu memberi hormat "tuan perwira Arbangir menderita luka yang parah. Hingga saat ini belum sadarkan diri."

   "Hm,"

   Dengus panglima Balbila "sungguh lancang benar Wijaya. Pada hal kedua prajuritnya yang terluka tidak separah itu. Kedua orang itu sudah dapat berjalan bersama rombongannya."

   "Tuanku panglima,"

   Seru Sipora "hamba ingin menuntut balas terhadap senopa dari Singasari itu."

   Panglima Balbila gelengkan kepala "Dia sudah pulang bersama patih Demang Lebar Daun."

   "Tetapi bukan berarti kita tak dapat melaksanakan niat kita itu, tuanku."

   Panglima Balbila terkesiap "Apa maksudmu?"

   Rupanya Sipora terkejut melihat sinar mata panglima Balbila yang menatapnya "Ah, maaf, tuanku. Hamba akan membicarakan hal ini pada lain kesempatan."

   Demikian pembicaraan berlarut kelain arah tetapi tetap berkisar pada diri Wijaya.

   Seluruh perwira dan prajurit yang hadir dalam perjamuan itu bersatu tekad untuk menuntut balas kepada Wijaya.

   Tetapi oleh karena belum ada usul yang nyata maka mengingat hari sudah larut malam panglima pun membubarkan perjamuan itu.

   Namun Hang Balbila masih duduk seorang diri walaupun ruang itu sudah kosong.

   Dia masih memikirkan peristiwa yang telah terjadi pada malam itu.

   Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kemunculan sesosok tubuh yang tanpa tegur salam sudah berada dalam ruangan itu.

   "O, engkau Sipora,"

   Seru panglima Balbila setelah mengetahui siapa yang datang.

   "Maaf, tuanku,"

   Sipora memberi hormat "bahwa hamba masuk tanpa mengucap perkenan tuan."

   "O, lalu apa maksud kedatanganmu?"

   Tegur panglima Balbila.

   "Hamba hendak melanjutkan apa yang hendak hamba haturkan kepada tuan tadi,"

   Kata Sipora.

   "Soal apa?"

   "Dalam pembicaraan tadi sebenarnya hamba hendak menghaturkan rencana hamba terhadap Wijaya. Tetapi ba- ba hamba sadar bahwa hal itu kurang layak apabila hamba utarakan di depan umum."

   "Engkau mempunyai rencana bagaimana?"

   "Begini, tuanku,"

   Kata Sipora "pertama, demi melampiaskan dendam ha hamba terhadap ndakan senopa Singasari yang telah melukai Arbangir.

   Kedua kali, demi membuk kan sampai dimanakah ilmu kesak an yang dimiliki orang Singasari itu maka hamba hendak mohon perkenan kepada tuanku untuk membunuhnya."

   "Membunuhnya? Hm, jangan berkata sembarangan Sipora. Seper telah engkau dengar sendiri bahwa pa h Demang Lebar Daun telah menyatakan bahwa kerajaan Sriwijaya - Darmasraya bertanggung jawab sepenuhnya akan keselamatan rombongan dari Singasari itu karena rombongan perutusan itu dianggap sebagai duta raja Singasari."

   "Hamba memaklumi hal itu, tuanku,"

   Kata Sipora "oleh karena itu apa yang hendak hamba lakukan nanti adalah menjadi tanggung jawab hamba sepenuhnya. Sekali-kali hamba takkan melibatkan nama pasukan tuanku dan kerajaan Darmasraya."

   "Coba uraikan bagaimana rencanamu itu."

   "Rencana hamba adalah membunuh raden Wijaya secara diam-diam. Hamba akan menyaru sebagai seorang penjahat dan akan memasuki wisma penginapan raden itu untuk membunuhnya."

   "Ah,"

   Panglima Balbila mendesah "memang baik rencana itu tetapi pelaksanaannya dak semudah seper yang engkau ucapkan.

   Ketahuilah Sipora, bahwa rombongan prajurit yang menyertai raden Wijaya ke kerajaan Darmasraya ini, tentulah prajurit pilihan.

   Demikian pula raden itu.

   Bahwa dia dipercayakan tugas segawat itu oleh seri baginda Singasari, tentulah Wijaya itu sudah terpilih sebagai senopa yang terbaik dari Singasari.

   Maka mungkinkah engkau mampu menyelundup masuk ke dalam wisma penginapannya ?"

   Sipora mengangguk "Hamba menyadari hal itu, tuanku.

   Tetapi hamba percaya akan diri hamba akan dapat masuk ke dalam wisma penginapan itu.

   Apabila hamba tak mampu maka hamba akan menghadap kepada tuanku untuk menyerahkan batang kepala hamba yang hanya sebu r ini.

   Apa yang hamba mohon hanya perkenan paduka agar mengidinkan hamba melaksanakan rencana itu."

   Sejenak panglima Balbila berpikir kemudian berkata "Ada dua syarat yang harus engkau penuhi sebelum aku mengidinkan permintaanmu."

   "Baik tuanku."

   "Pertama, engkau dak boleh menunjukkan siapa dirimu. Ar nya, engkau harus menyaru. Kedua, baik rencanamu itu gagal atau berhasil, adalah menjadi tanggung jawabmu sendiri seluruhnya. Jangan sekali-kali menyangkut nama angkatan perang Sriwijaya."

   "Baik, tuanku,"

   Kata Sipora "memang demikianlah maksud hamba karena hamba memang hendak menjaga nama baik angkatan perang kita."

   "Jika demikian halnya. Akupun tak keberatan,"

   Akhirnya panglima Balbila meluluskan.

   "Terima kasih, tuanku."

   "Tetapi bagaimana apabila engkau sampai tertangkap, Sipora."

   "Mohon paduka jangan mencemaskan hal itu. Hamba sudah membekal bubuk racun. Apabila sampai tertangkap akan hamba telan bubuk beracun itu agar nyawa hamba lenyap seketika."

   Panglima Balbila mengangguk.

   Maka Siporapun segera mohon diri dan pulang ke rumahnya.

   Dia memang mempunyai rencana yang hebat.

   Dia hendak menemui gurunya untuk meminta bekal-bekal yang diperlukan dalam usahanya untuk memasuki wisma dan membunuh raden Wijaya.

   II Sepeninggal dari gedung kediaman panglima Balbila, rombongan Wijaya mengiringkan pa h Demang Lebar Daun yang berkenan berkunjung ke wisma penginapan Wijaya.

   Keheranan yang dilipu oleh berbagai duga dan terka akan maksud kunjungan pa h perdana dari kerajaan Sriwijaya itu, cepat menghapus kesan buruk yang diperoleh Wijaya di gedung kediaman panglima Balbila.

   "Tentulah ada sesuatu yang pen ng maka tuan pa h berkenan berkunjung ke penginapan hamba ini."

   Wijaya membuka pembicaraan.

   "Benar, raden,"

   Sahut Demang Lebar Daun tenang "namun janganlah raden merisaukannya karena hal yang hendak kubicarakan dengan raden itu, bukanlah sesuatu yang layak dirisaukan."

   "Terima kasih, tuan patih."

   "Bagaimana kesan raden dalam kunjungan ke negeri-puri Darmasraya ini?"

   Demang Lebar Daun memulai pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.

   "Amat indah dan menyengsamkan, tuan patih."

   Demang Lebar Daun tertawa "Ah, janganlah raden berbahasa tuan kepadaku. Sebutlah paman saja."

   Wijaya menghaturkan terima kasih.

   "Raden,"

   Kata Demang Lebar Daun pula "di-antara yang indah tentu ada yang paling indah. Diantara yang menyengsarakan. Lalu apakah kiranya menurut pendapat raden hal yang paling indah dan paling menyengsamkan di kerajaan puri Darmasraya ini ?"

   Wijaya terbeliak. Ia tak menyangka akan menerima pertanyaan yang sedemikian dari pa h Demang Lebar Daun. Apakah gerangan maksud pa h itu ? Dipandangnya demang itu dan tampak dia hanya mengulum senyum.

   "Semuanya paman pa h. Keindahan puri kerajaan Darmasraya yang berhiaskan beribu kuil dan taman, budi bahasa rakyatnya yang ramah dan terutama keindahan istana seri baginda Mauliwarman yang megah,"

   Kata Wijaya akhirnya.

   "Baiklah, raden,"

   Kata pa h Demang Lebar Daun "mungkin raden berat ha untuk mengatakan apa yang terkandung dalam ha raden. Tetapi sebenarnya aku sudah tahu peri hal dayang Cumbita yang datang menghadap raden siang tadi."

   "Paman pa h "

   Seru Wijaya terkejut. Ia duga kedatangan pa h itu tentu akan membicarakan soal itu. Kemungkinan bahkan akan memberi teguran "adakah dayang Cumbita ...

   "

   "Secara kebetulan kulihat dayang itu berjalan di lorong yang menuju ke istana maka kupanggilnya dan atas pertanyaanku dia menceritakan apa yang telah dilakukannya."

   "Maaf, paman patih, hamba ....

   "

   "Kutahu raden,"

   Tukas pa h Demang Lebar Daun pula "bahwa raden tak bersalah. Hal itu adalah perbuatan cucuku si Candra Dewi sendiri."

   "Ah,"

   Wijaya menghela napas longgar "tetapi paman patih, tuan puteri Candra Dewi juga tak bersalah. Hamba rela menerima hukuman apabila hal itu dianggap sebagai suatu kesalahan tuan puteri."

   Demang Lebar Daun tertawa "Apa yang hendak kubicarakan bukan untuk mencari kesalahan melainkan untuk memperbaiki kesalahan itu.

   Raden, aku tak mempersalahkan cucuku Candra Dewi, demikian pula raden.

   Tetapi apabila harus diadakan sasaran untuk menumpahkan kesalahan itu maka aku menyalahkah pada keadaan."

   Wijaya tertegun memandang Demang Lebar Daun.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Memang tak dapat disalahkan apabila cucuku si Candra Dewi memiliki suatu perasaan terhadap raden. Demikian mungkin raden terhadap anak itu. Tetapi aku tak berani memastikan."

   "Paman pa h,"

   Seru Wijaya serenjak "

   Ada hal yang perlu Paman ragukan betapa perasaan hamba terhadap tuan puteri Candra Dewi itu."

   "O, benarkah itu ?"

   "Sejak pertama kali berjumpa pandang, ada yang melekat pada ha hamba daripada bayangan tuan puteri Candra Dewi, paman."

   "Ah,"

   Demang Lebar Daun tertawa "

   Dakkah di kerajaan Singasari penuh dengan puteri-puteri nan can k jelita yang melebihi kecan kan si Candra Dewi? Jangaulah raden memanjakan Candra Dewi dengan sanjung pujian yang berkelebihan."

   "Tidak paman pa h,"

   Wijaya makin ngotot "memang banyaklah puteri Singasari yang can k tetapi kesemuanya itu tiada yang dapat menyamai kecantikan tuan puteri Candra Dewi."

   Demang Lebar Daun gelengkan kepala "Janganlah raden terangsang oleh pandang mata yang cepat menimbulkan puji. Karena si Candra Dewi itu jelek tabiatnya."

   "Bagaimana paman patih mengatakan demikian?"

   "Sudah banyak para raja di negara Swarnadwipa bahkan sampai ke Campa yang menghasratkannya tetapi ha nya seolah-olah beku terhadap mereka. Ha nya keras dan sukar ditundukkan. Maka aku heran mengapa dia sampai mau mengutus dayang pengasuhnya mengirim sirih dan rokok kepada raden."

   Wijaya tersipu-sipu. Diam-diam ia merata bahagia.

   "Adakah hal itu memang sudah kehendak Hyang Isywara, aku tak tahu. Tetapi kenyataannya memang dia benar. Siapakah puteri yang tak berkenan dalam ha terhadap raden, seorang ksatrya muda, tampan, gagah dan berpangkat senopati kerajaan?"

   "Ah, hamba hanya seorang senopa . Jauh kiranya nilai diri hamba apabila dibandingkan dengan para raja-raja Malaya."

   "Itulah yang kumaksudkan dengan kata-kataku tadi bahwa apakah memang demikian suratan takdir yang telah digariskan Dewata Agung,"

   Kata Demang Lebar Daun. Wijaya tertegun.

   "Tetapi mbul perbantahan dalam ha ku sendiri, raden,"

   Kata pa h Demang Lebar Daun pula "ah, mungkinkah tafsiranku itu benar? Andaikata benar, mengapa lain dengan kenyataannya?"

   Wijaya terkesiap lalu bertanya "Mohon paman memberi penjelasan apa yang panan maksudkan."

   "Bahwa kenyataan raden hanyalah sebagai seorang utusan nata,"

   Kata Demang Lebar Daun "yang dipercayakan untuk meminang kedua puteri cucuku. Bagaimana mungkin raden ditakdirkan berjodoh dengan si Candra Dewi. Tidakkah tafsiranku itu keliru?"

   Wijaya terkesiap.

   "Maka akupun hanya menghela napas karena merasa iba akan nasib cucuku si Candra Dewi. Hampir tak berani aku membayangkan betapa hancur ha nya apabila cita-citanya itu akan hampa karena raden akan memboyongnya untuk dipersembahkan kepada raja Kertanagara junjungan raden?"

   Lama Wijaya tenggelam dalam kemenungan.

   "Oleh karena itu raden maka kedatanganku kemari ini tak lain adalah untuk memberi nasehat. Hendaknya lebih bijaksana lagi untuk memadamkan api itu sebelum membakar hayat raden,"

   Kata Demang Lebar Daun. Makin terjuruslah dugaan Wijaya ke arah mana ucapan pa h mangkubumi dari kerajaan Sriwijaya akan mengarah "Adakah paman pa h menasehatkan hamba agar dak melanjutkan hubungan hamba dengan puteri Candra Dewi?"

   Pa h Demang Lebar Daun menghela napas "Ah, sesungguhnya dalam ha paman, ada se kpun terpercik oleh keinginan itu.

   Demikian pula seri baginda Mauliwarman karena seri baginda amat memanjakan sekali kepada puterinya yang tercinta itu.

   Tetapi kenyataan akan menghapus segala keinginan itu, raden."

   "Maksud paman patih hamba hanya seorang utusan sang nata Singasari ?"

   "Kiranya tak perlu paman jelaskan hal itu, tentulah raden sudah memakluminya ....

   "

   Wijaya tertegun.

   Apa yang diucapkan patih Demang Lebar Daun itu telah menjadi renungannya pada saat dia menerima kedatangan dayang Cumbita siang tadi.

   Dan dalam itu, iapun sudah berkemas kemas meletakkan persoalan itu di tempat yang layak harus diletakkan.

   Ia tahu siapa dirinya, siapa Candra Dewi dan siapa prabu Kertanagara.

   Iapun tahu apa tugas seorang duta, tugas seorang ksatrya dan tugas seorang pria muda.

   "Terima kasih paman pa h,"

   Akhirnya meluncurlah seuntai kata dari mulut Wijaya yang tampak bergetar "tetapi paman, akan menjadi suatu kenangan indah yang membahagiakan ha hamba apabila hamba mendapat sesuatu hadiah dari paman patih yang mulia."

   "Apa maksud raden?"

   "Bahwa nasehat paman pa h itu pas akan hamba junjung di atas kepala,"

   Kata Wijaya "namun bagaimana langkah hamba selanjutnya, akan tergantung pada kesan-kesan yang hamba terima. Kesan itu akan membentuk keadaan dan kearah keadaan itulah langkah akan hamba arahkan."

   "Katakanlah raden."

   "Berkenankah paduka melimpahkan pandangan paduka peribadi akan terciptanya suatu jalinan batin antara puteri Candra Dewi dengan hamba ?"

   Rupanya pa h Demang Lebar Daun sudah siap menghadapi pertanyaan itu "Lepas dari lingkung keadaan diri raden saat ini, paman sebagai seorang nenek Candra Dewi, akan menyerahkan soal itu sepenuhnya kepada anak itu.

   Kecintaan seorang nenek terhadap cucunya, mungkin lebih besar dari seorang ayah terhadap puterinya.

   Demikian dengan perasaan paman.

   Apapun yang menjadi pilihan ha anak itu, akan menjadi pendirian paman dan pas akan paman usahakan sampai terlaksana, betapapun besar pengorbanannya.

   Seluruh rakyat dan kekuatan Sriwijaya akan berdiri di belakang pendirian paman."

   "Terima kasih paman pa h,"

   Ucap Wijaya "adalah demikian pula kiranya pendirian seri baginda Mauliwarman?"

   "Baginda juga akan memanjakan puterinya. Dan paman merasa bahagia bermenantukan tuanku Mauliwarman yang walaupun sebagai yang dipertuan dari kerajaan Sriwijaya, tetapi amat menghormat dan mendengar setiap kata paman."

   "Baik paman, terima kasih,"

   Kata Wijaya "akan hamba tanam ucapan paman itu dalam lubuk ha hamba."

   "Tetapi raden Wijaya,"

   Seru pa h Demang Lebar Daun "akan raden lanjutkan juakah keinginan raden terhadap si Candra Dewi itu ?"

   "Jika hamba dak bertepuk sebelah tangan, paman pa h, maka akan hamba songsongkan kedua tangan hamba untuk melindungi puteri Candra Dewi dari segala gangguan siapapun juga."

   "Tetapi tidakkah raja Singasari akan murka kepadamu, raden ?"

   "Itu akan menjadi tanggung jawab hamba."

   "Tidakkah hal itu amat berbahaya ?"

   "Jiwa dan raga hamba akan hamba pertaruhkan."

   "Ah,"

   Demang Lebar Daun menghela napas dan geleng-geleng kepala "jiwa muda, darah muda, semangat muda dain segala-galanya muda.

   Muda lambang cita perkasa, hasrat menyala.

   Akupun pernah muda raden.

   Tetapi daklah Seberat beban yang pernah kuhadapi dengan raden saat ini.

   Apa daya raden terhadap seri baginda ? Tidakkah akan hancur jua ha cucuku si Candra Dewi? O, Sang Tatagata, lindungilah cucu hamba dari segala mala petaka ....

   "

   Terkesiap Wijaya mendengar ucap patih itu.

   Serentak diapun memberi janji "Janganlah paman patih kecewa.

   Duka puteri Candra Dewi adalah lara hamba.

   Tawa puteri Candra Dewi adalah bahagia hamba.

   Tidaklah hamba relakan duka menggoda puteri, akan hamba persembahkan bahagia ke haribaannya.

   Ini pasti, paman patih.

   Karena inilah sumpah hati hamba .....

   "

   "Raden !"

   Teriak pa h Demang Lebar Daun terkejut "jangan kiranya raden bermain sumpah. Karena langit dan bumi, para dewa yang tengah melanglang buana, akan mendengar dan menjadi saksi utama."

   "Maaf, paman pa h"

   Sahut Wijaya "sumpah telah hamba ucapkan. Hamba takkan menariknya kembali dan hambapun tak menyesal bahkan merasa bahagia karena telah menumpahkan isi ha hamba."

   Ahkimya setelah mengucapkan doa, berkatalah pa h Demang Lebar Daun "Sebagai seorang tua, wajiblah aku memberi nasehat kepada raden.

   Apabila raden tetap pada pendirian raden, akupun tak dapat berbuat apa-apa.

   Namun karena hal itu menyangkut cucuku yang tercinta maka kuminta janganlah raden ber ndak sembarangan sebelum yakin bahwa ndakan raden itu tentu berhasil.

   Kehancuran cucuku Candra Dewi adalah kehancuran ha ku, kehancuran baginda Mauliwarman dan kehancuran seluruh rakyat kerajaan Sriwijaya.

   Camkanlah ini, raden."

   "Baik paman pa h. Jika tak dapat melaksanakan janji, seorang ksatrya akan mempertaruhkan jiwanya untuk penebus dosa."

   Patih Demang Lebar Daun minta diri.

   Dalam ruang peraduannya, pa h itu masih merenungkan pembicaraannya dengan Wijaya "Lengkap sudah kiranya rangkaian kelengkapan dalam merelakan si Candra Dewi diboyong ke Singasari.

   Tentu akan mbul pertentangan hebat antara Wijaya dengan raja Kertanagara dalam memperebutkan Candra Dewi.

   Rupanya Wijaya sudah sedemikian mabuk kepayang akan Candra Dewi, tak mungkin dia akan mau mempersembahkan anak itu ke hadapan rajanya.

   Dan sudah tentu apabila raja Kertanagara melihat Candra Dewi, dia tentu akan terpikat dan tentu akan ngotot."

   "Hm,"

   Desuh pa h itu pula "keberangkatan Candra Dewi akan menimbulkan ketegangan di kalangan istana Singasari. Jika tak ada penyelesaian yang memuaskan, mungkin akan mbul suatu pemberontakan untuk menumbangkan kekuasaan Kertanagara."

   Demang Lebar Daun membayangkan pula akan nujum sang resi bahwa bahwa utusan yang berkunjung ke Sriwijaya itu, akan menjadi manusia besar dalam percaturan kekuasaan di Singasari.

   Dengan demikian, jika Candra Dewi dapat berjodoh dengan Wijaya, kemungkinan besar tentu akan mengalami nasib yang baik.

   "Andaikata dalam perebutan si Candra Dewi itu, Wijaya kalah, Candra Dewi tetap akan diangkat sebagai permaisuri Singasari. Dan raja Kertanagara akan kehilangan seorang senopa yang perkasa, seorang tulang punggung kerajaan yang meyakinkan."

   Demang Lebar Daun mengakhiri per mbangan tentang diri Candra Dewi yang akan diboyong ke Singasari itu dengan suatu kesimpulan yang menyenangkan ha nya.

   Nasib cucunya, Candra Dewi, akan selalu jatuh ke atas atau jatuh ke tempat yang beruntung.

   Namun di samping perhitungan-perhitungan yang menyertai penyerahan Candra Dewi kepada permintaan Singasari, dalam ha kecil pa h mangkubumi itu, dia lebih cenderung apabila cucunya dapat berjodoh dengan Wijaya.

   Dalam diri senopa muda itu ia merasakan sesuatu.

   Sesuatu yang sukar di kata tetapi dapat dirasakan, bahwa kelak pemuda itu tentu akan menjadi manusia besar.

   Perasaan tentang diri Wijaya, seolah seper makin diyakini setelah dalam persemedhiannya selama beberapa malam, ia seperti mendapat suatu sabda gaib mengenai diri Wijaya.

   "Ah, tanggung jawab terhadap kepen ngan negara itu maha berat. Sering aku ber ndak menyalahi suara ha nuraniku. Aku berdosa tetapi apa boleh buat. Apapun karma yang akan kuterima sebagai akibat ndakanku terhadap Wijaya, akan kuterima dengan segala kelapangan dada, asal ndakan itu membuahkan suatu keselamatan dan kesejahteraan bagi rakyat dan kerajaan Sriwijaya ....

   "

   Dalam berkata-kata seorang diri ditengah kelelapan malam yang sunyi itu, ia terbayang pula akan lintasan peristiwa dari langkahnya yang telah dilakukan terhadap Wijaya......

   Bahwa Cumbita itu sesungguhnya bukan diutus oleh puteri Candra Dewi, tetapi pa h Lebar Daun sendiri yang menitahkannya.

   Sayang Wijaya tak dapat menghaya betapa nilai martabat seorang puteri raja seper Candra Dewi itu.

   Candra Dewi baru pertama kali bertemu dengan Wijaya dalam pasowanan agung ke ka Wijaya diterima ayahandanya di istana.

   Puteri itu memang terkesiap melibat wajah senopa muda yang memancarkan cahaya keagungan dan kewibawaan.

   Pun puteri itu tahu juga betapa tajam dan nekad mata Wijaya memandangnya.

   Dan puteripun tahu kalau sikap Wijaya menjadi tegang dan seperti kehilangan faham pada saat itu.

   Tetapi betapa dan bagaimanapun kesan yang melintas dalam ha puteri, barulah terbatas pada rasa terkesiap, belumlah meningkat pada rasa tersentuh.

   Dalam keadaan seper itu dan dalam kedudukan sebagai seorang puteri raja, mungkinkah Candra Dewi akan mengutus dayangnya untuk mengirim sirih dan rokok kepada Wijaya? Karena sifat manusia dan dunia itu serba aneh dan mungkin, maka kemungkinan terjadinya peristiwa semacam itu memang mungkin.

   Tetapi yang jelas, puteri Candra Dewi tidak merasa mengutus dayang Cumbita ke tempat Wijaya.

   Membayangkan akan rencana yang telah dilaksanakannya terhadap Wijaya, bibir Demang Lebar Daun tersenyum walaupun ha nya mengeluh.

   Kepen ngan negara harus didahulukan dengan kepentingan lain-lain, bahkan kepentingan menegakkan kejujuran dan keutamaan.

   Apabila rencana itu berhasil, dapat dipas kan Wijaya tentu akan nekad melanggar tah rajanya.

   Dan apabila Kertanagara tak bijaksana mengambil langkah maka Singasari tentu akan kehilangan seorang senopati yang saat itu paling diandalkan.

   Tanpa terasa lalu lalang renungan dan pemikiran yang melintas dalam benak pa h Demang Lebar Daun, telah melelahkan urat syaraf sehingga Demang itu terkulai lemas dalam lena yang pulas.

   Sementara di wisma penginapan, Wijayapun menderita keadaan yang serupa dengan pa h Demang Lebar Daun.

   Rasanya sehari itu penuh dengan peris wa yang mendebarkan perasaannya.

   Undangan dari panglima Balbila, dayang Cumbita yang katanya diutus puteri Candra Dewi, perjamuan yang menghebohkan di gedung kediaman panglima Balbila dan pembicaraannya dengan pa h Demang Lebar Daun mengenai hubungannya dengan puteri Candra Dewi.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kini peris wa itu telah lalu namun masih meninggalkan kesan-kesan yang menggores lubuk hatinya.

   "Ah, aku sudah melangkah terlalu jauh,"

   Katanya dalam hati "aku sudah mengucapkan sumpah di hadapan pa h Demang Lebar Daun.

   Jika tak dapat melaksanakan sumpahku untuk melindungi puteri Candra Dewi, lebih baik aku tak hidup.

   Duh, Dewata Agung, hamba serahkan jiwa dan raga hamba ke hadapan paduka.

   Apabila tak dapat memenuhi sumpah hamba, lebih baik paduka sirnakan Wijaya ....

   "

   Agak longgarlah kesesakan napas yang menghimpit dada Wijaya setelah menyerahkan diri kepada sang Maha Pencipta.

   Dan ketenanganpun mulai bertebaran di bumi hatinya.

   Sayup-sayup ia pemunculan bayang-bayang wajah Candra Dewi nan cantik jelita.

   Beberapa saat kemudian, bersama dengan bayang-bayang wajah sang dyah ayu Candra Dewi, terbuailah kesadaran pikiran Wijaya dalam kclelapan tidur yang tenang.

   Tidur merupakan peris rahatan dari gerak indriya dari jasmani manusia.

   Sumber daripada pemberhen an gerak indriya itu adalah pada penyerapan dan kemudian pantulan daya kesan dan pemikiran dari perasaan ha dan pikiran.

   Apabila perasaan dan pikiran sudah terhen maka terhen pula segala daya gerak berpikir, berkesan dan menyerap.

   Dan di situlah tempat peristirahatan kita berlabuh.

   Saat itu sudah lewat tengah malam...

   Malampun kelam.

   Cakrawala makin tenang, hanya sesekali dua terusik oleh luncur sinar bintang yang pada masa itu dianggap orang sebagai bintang berkisar.

   Di antara kegelapan suasana yang melingkupi wisma agung tempat Wijaya dan tetamu-tetamu agung, mancanagara menetap apabila berkunjung ke kerajaan puri Darmasraya, mencuatlah dua pasang gundu mata yang berkilat-kilat memancarkan sinar.

   Dua pasang gundu mata itu milik dua insan manusia yang mukanya bertutup kain hitam tetapi pada bagian mata diberi lubang.

   Rupanya kedua orartg itu Sudah sejak lama bersembunyi merunduk di bawah gcrumbul pohon yang gelap dan tampaknya mereka sudah mulai gelisah tidak dapat menahan kesabaran hatinya.

   Salah seorang menjemput sebutir batu kerikil dan dilontarkan ke atas atap.

   Di tengah kesunyian malam buta, kerikil itu berkelitikan meluncur turun di sepanjang permukaan atap.

   "Mereka sudah tidur, kakang,"

   Bisik orang yang melontarkan kerikil beberapa saat kemudian. Kawannya mengangguk "Kita bergerak sekarang?"

   Orang itu mengiakan dan mulai ayunkan langkah.

   Keduanyajmenghampiri ke samping gedung, berhen pada sebuah jendela.

   Dikoreknya daun jendela setelah jendela terbuka maka kedua orang itupun loncat masuk ke dalam ruang.

   Mereka bergerak cepat dan gesit.

   Seolah seper tahu keadaan wisma itu, mereka terus langsung menuju, ke tempat peraduan Wijaya.

   Pun daun pintu dapat mereka buka dengan mudah dan merekapun terus melangkah masuk.

   Tampak Wijaya sedang dur telentang di atas peraduan.

   Tampaknya senopa Singasari itu amat berbahagia.

   Kesan itu tampil dari wajahnya yang tenang dan mulut yang mengulum senyum.

   Kedua orang itupun dengan langkah yang amat ha -ha sekali maju menghampiri.

   Sejenak mereka berhen di depan tempat dur.

   Keduanya mencabut parang dan rencong.

   Sejenak keduanya bertukar pandang jfan saling mengangguk.

   Tiba-tiba keduanya serempak mengayunkan rencong dan parang itu ke tubuh Wijaya .........

   ~dewi.kz^ismo^mch~

   Jilid 32 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .

   MCH I Menurut cerita maka raden Burisrawa, puteri prabu Salya dari negeri Madraka, amat tergila -gila kepada dewi Wara Sumbadra.

   Tetapi dia hanya bertepuk sebelah tangan.

   Karena walaupun seorang putera raja, Burisrawa itu berwajah raksasa karena dia adalah keturunan dari begawan Bagaspa .

   Eyangnya itu yani begawan Bagaspa juga seorang pandita raksasa.

   Apalagi Wara Sumbadra itu sudah diperisteri seorang ksatrya linuwih raden Pamadi yang cakap dan sak mandraguna.

   Namun raden Burisrawa tak pernah surut dari keinginan ha nya menghasratkan sang dewi jelita.

   Takkan seumur hidup ia menikah dengan wanita kecuali dengan dewi Wara Sumbadra, demikian sumpahnya.

   Tekad itu senjata maha ampuh yang mampu menghancurkan segala rintangan dari berlapis-lapis tembok baja.

   Tentu mampu pula memaksa dewa untuk meluluskan kehendaknya.

   Demikian tekad yang dibekal raden Burisarawa ketika dia bersemedhi membangun tapa.

   Pancaran tekad yang membara dari jasmani pangeran yang sedang dilanda asmara itu, bagaikan api unggun yang bergulung gulung membentuk suatu lidah api yang menjilat jilat kahayangan tempat para dewa benuayam.

   Panaslah hawa kahayargan dan turunlah sang Batari Darga, permaisuri Hyang Guru untuk menemui raden Burisrawa.

   "Baiklah, kulup, karena tekad itu adalah mus ka milik tah dewata yang tak dapat diganggu gugat dan bahkan para dewapun diperkenankan untuk meluluskan, maka permohonanmu akan kukabulkan,"

   Kata sang Batari setelah mendengar persembahan kata raden Burisrawa.

   "Terima kasih, pukulun,"

   Sembah raden Burisrawa.

   "Tetapi engkau harus tahu, kulup,"

   Kata sang Batari "bahwa kodrat yang sudah digariskan dewata itu tak dapat diubah lagi. Wara Sumbadra itu bukan jodohmu. Ini garis yang sudah dikodratkan dewata."

   "Jika demikian, pukulun,"

   Rin h raden Burisrawa "mohoa paduka lebur saja Burisrawa ini menjadi abu ....

   "

   Batari Durga tertawa "Apakah engkau benar- benar bertekad untuk mencapai keinginan ha mu, kulup ?"

   "Burisrawa telah bersumpah, takkan memangku wanita kecuali Wara Sumbadra. Lebih baik Burisrawa lebur tanpa dadi apabila tak dapat bersanding dengan Mbok Badra, pukulun."

   "Kodrat dewata tak dapat diganggu gugat lagi, kulup,"

   Sabda sang Batari dengan nada sarat "aku mau membantu keinginanmu asal engkau mau berjanji kepadaku."

   Burisrawa bersedia.

   "Akan kuhias dirimu bersalin rupa sehingga engkau dapat berhadapan dengan Wara Sumbadra tetapi engkau tak dibenarkan untuk menjamahnya. Apakah engkau setuju ?"

   Bagi Burisrawa yang sudah dimabuk kepayang itu, jangankan menjamah bahkan walaupun dapat memandang wajah dewi pujaannya itu, apa lagi dapat berhadapan, sudah puaslah rasa ha nya.

   Serentak dia menerima apa yang dijanjikan sang Batari.

   Demikian berhasillah raden Burisrawa berhadapan dengan sang dewi jelita.

   Tetapi bara asmara yang telah terpendam dalam sanubari putera raja itu dak kuasa lagi ditahannya.

   Ke ka berhadapan Wara Sumbadra meletuslah dendam birahinya dan lupalah ia akan janjinya kepada Batari Durga.

   Wara Sunsbadra seorang puteri utama.

   Lebih baik ma daripada tercemar dan akhirnya dalam keadaan terdesak puteri jelita Itupun bunuh diri ....

   Demikian perkasanya Tekad manusia, demikian pula kekuasaan Kodrat.

   Manusia dengan mengerahkan segenap Kemauan dan Tekad, mengusahakan segala daya dan upaya, dibenarkan untuk mencapai apa yang dicita -citakan.

   Namun kalau hal itu melanggar kodrat yang telah ditentukan oleh dewata, akan sia-sia jua.

   Dalam melaksanakan kesanggupannya di hadapan panglima Balbila, perwira Siporapun telah menghadap gurunya, pandita Aru Perpa yang sidik.

   Sipora menjelaskan rencananya dan memohon petunjuk serta bantuan pandita Perpa agar dapat melaksanakan rencananya untuk membunuh raden Wijaya.

   Pandita Aru Pcrpa yang sidik, menolak permohonan muridnya.

   Tetapi dengan tekad yang membaja sampai ga hari ga malam Sipora tak mau berkisar dari tempat duduknya di luar sanggar Pamujan sang pandita.

   Akhirnya kasihan juga pandita Aru Pcrpa melihat keadaan muridnya yang selama ga malam itu dicurah hujan lebat, tidak makan dan minum.

   Dipanggilnya Sipora ke dalam sanggar.

   "Sipora, tampaknya engkau benar-benar bertekad bulat untuk melaksanakan rencanamu,"

   Tegur pandita Aru Perpati.

   "Hamba seorang perwira, guru,"

   Sahut Sipora "dan hamba telah menyanggupkan janji di hadapan panglima Balbila. Tidakkah muka hamba tercontreng malu apabila hamba tak dapat melaksanakannya?"

   Pandita Aru Pefpa mengangguk "Memang Sipora. Hal rasa malu itu besar sekali. Ma taruhannya. Oleh karena itu janganlah kita tergesa-gesa mengucapkan kesanggupan."

   "Tapi guru,"

   Bantah Sipora "kesanggupan hamba itu demi menyelamatkan kepen ngan negara kita. Tidakkah guru merestui akan kesanggupan hamba itu ?"

   "Kutahu"

   Jawab pandita Aru Perpa "dalam kedudukannya sebagai seorang perwira kerajaan Sriwijaya, engkau akan mengunjukkan suatu pengabdian untuk menyelamatkan Sriwijaya.

   Engkau tak salah.

   Siapapun tak ada yang salah.

   Tetapi engkaupun dak benar.

   Yang benar adalah kodrat Hyang Widdhi."

   "Hamba tak mengerti apa yang paduka maksudkan, guru."

   "Ketahuilah Sipora,"

   Kata pandita Aru Perpa "bahwa selama rombongan utusan Singasari berkunjung ke Sriwijaya - Darmasraya, seorang diri dalam kesunyian malam aku duduk di luar untuk memandang cakrawala.

   Menurut wawasan yang kuperoleh ada sebuah bintang bersinar yang memancarkan cahaya terang di cakrawala bumi Sriwijaya.

   Aku terkejut karena selama ini, belum pernah kulihat bintang itu.

   Jelas bintang itu sebuah bintang pendatang baru.

   Dan lalu kuhubungkan dengan utusan Singasari.

   Ah, ternyata bintang itu adalah pria-gung yang memimpin perutusan Singasari."

   "Raden Wijaya ?"

   "Dapat dipas kan begitu,"

   Jawab pandita Aru Perpa "bintang itu bersinar sedemikian terang. Namun masih belum penuh pancaran sinarnya itu. Itu berar bahwa dia belum mencapai puncak kejayaan melainkan sedang meningkat ke atas. Maka sia-sialah apabila engkau hendak membunuhnya."

   Sipora terkesiap tetapi pada lain saat cepat dia membantah lagi "Guru, apakah paduka menitahkan hamba menghentikan rencana hamba?"

   "Sipora, apakah engkau tak percaya kepadaku ?"

   Balas pandita Aru Perpati.

   "Ampun, guru,"

   Serta merta Sipora memberi sembah "kepercayaan dan kesetyaan hamba kepada paduka adalah sebuah buluh. Hamba tak bermaksud menyangsikan keterangan paduka, guru."

   "Lalu ?"

   "Hamba hanya teringat akan pesan paduka dahulu bahwa kita manusia itu harus berusaha karena sifat manusia itu adalah berupaya. Tanpa memiliki sifat itu kita akan kehilangan daya kemanusiaan kita, guru."

   Pandita Aru Perpa menghela napas "Yah, memang demikianlah sifat manusia.

   Dan engkau benar-besar seorang manusia, Sipora.

   Baiklah, akan kuberimu Sebuah ilmu mantra di mana engkau nan pas dapat memasuki wisma penginapan raden Wijaya dan dapat melaksanakan kehendakmu.

   Tetapi ingat, Sipora, apabila dalam pelaksanaan itu engkau tertumbuk akan sesuatu yang merintangi usahamu, janganlah engkau memaksakan diri.

   Engkau harus mengakui bahwa apa yang kupaparkan kepadamu tadi mengenai bintang dan kodrat Hyang Widdhi itu, adalah benar.

   Jangan engkau memaksakan untuk melanggar kodrat atau engkau nan akan mendapat kutuk dewata."

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sipora setuju dan pandita Aru Perpa pun segera membekali muridnya dengan mantra yang dapat melelapkan para penjaga wisma terlena pulas, itulah sebabnya maka dengan mudah dapatlah Sipora bersama kawannya masuk ke dalam wisma dan menyelinap ke dalam bilik peraduan raden Wijaya lalu mengayunkan parang dan rencongnya.

   Saat itu Wijaya masih dur pulas dan parang serta rencong melayang bebas menuju ke sasarannya.

   "Uhhhhh,"

   Ba- ba mulut Sipora mendesis kejut ke ka dalam pandangannya dan pandangan kawannya, dari ubun-ubun kepala Wijaya memancar asap pu h yang berbentuk bunga padma itu.

   Sipora menghimpun seluruh tenaga untuk membelah asap kelopak itu.

   Namun makin mengerahkan tenaga makin hilanglah kekuatannya.

   Hal itupun dialami oleh kawannya.

   Cek, cek, cek ....

   Kesunyian malam yang lelap, sekonyong-konyong terbelah oleh decak seekor cicak di sudut dinding ruangan.

   Jelas itu decak suara cicak namun suara itu menimbulkan riak gelombang yang dahsyat yang menggoncangkan jantung Sipora dan kawannya.

   "Ah ...

   "

   Sipora lepaskan parangnya dan loncat mundur.

   Demikian pula kawannya.

   Mereka terus menyelinap ke luar dan menghilang dalam kegelapan.

   Kawan Sipora itu bernama Dampu, seorang yang terkenal sak dan berani.

   Sengaja Sipora mengajak orang itu dengan janji upah yang banyak apabila berhasil membunuh Wijaya.

   "Bagaimana Dampu,"

   Kata Sipora ke ka mereka beris rahat ditebuah tempat yang sepi "apa yang engkau lihat dan alami ?"

   "Aneh sekali, tuan,"

   Kata Dampu "selama ini hamba sudah menghajar berpuluh puluh orang bahkan beberapa kali membunuh.

   Tetapi belum pernah hamba mengalami peris wa yang seaneh ini.

   Ke ka hamba ayunkan rencong, serasa rencong hamba itu tertahan oleh gumpalan asap yang berbentuk seper bunga teratai.

   Ke ka hamba kerahkan tenaga untuk menebas, malah tenaga hamba merana."

   "Ya,"

   Sipota mengangguk.

   "Apakah tidak kita ulangi lagi ke sana, tuan?"

   Tanya Dampu Sipora gelengkan kepala "Tak perlu."

   "Tetapi rencong hamba tertinggal di sana. Tidakkah mereka akan tahu kalau itu milik hamba? "

   "Tidak, Dampu,"

   Saut Sipora "tak perlu engkau takut. Sstelah kuberimu uang, engkau dapat lekas lekas tinggalkan Darmasraya untuk bersembunyi ke lain daerah dulu."

   Malam itu juga Dampu terus meninggalkan Darmasraya. Sedang Sipora menghadap pandita Aru Perpa lagi. Dia memberikan laporan apa yang dialaminya dan mohon maaf karena tak menurut peringatan pandita itu.

   "Apakah engkau sudah percaya, Sipora ?"

   Sipora mengiakan.

   "Lalu apa kehendakmu sekarang? "

   "Hamba telah berjanji di hadapan panglima Balbila. Karena hamba tak dapat memenuhi janji untuk membunuh raden Wijaya maka hamba akan meyerahkan diri hamba atas keputusan yang akan diberikan panglima."

   "Ya,"

   Kata pandita Aru Perpa "memang demikianlah keadaannya. Apabila panglima tak percaya, tiada sesuatu yang dapat mencegahnya apabila dia hendak mencoba sendiri."

   Sebenarnya maksud Sipora adalah hendak meminta gurunya untuk bersama diajak menghadap panglima Balbila.

   Agar pandita itu dapat memberi kesaksian tentang sebab musabab dari kegagalan Sipora melaksanakan janjinya itu.

   Tetapi rupanya pandita Aru Perpa enggan turun dari pertapaan.

   "Jika panglima percaya, sampaikanlah apa yang kuterangkan kepadamu mengenai diri raden Wijaya itu,"

   Kata pandita Aru Perpa "bahkan kalau panglima berkenan menerima nasehatku, baiklah ia mengikat hubungan yang erat dengan raden Wijaya agar kelak tercipta suatu hubungan baik antara Sriwijaya dengan Singasari.

   Jangan merintangi keberangkatan tuan puteri Candra Dewi dan tuan puteri Kembang Dadar yang akan diboyong raden Wijaya ke Singasari."

   "Namun itu hanya pesanku,"

   Kata pandita Aru Perpa sesaat kemudian "apabila panglima menghendaki lain, akupun tak dapat mengatakan apa-apa kecuali bahwa barang siapa melanggar kodrat, dia akan tergilas oleh kodrat itu."

   Demikian Sipora kembali menghadap panglima Balbila melaporkan hasil usahanya untuk membunuh raden Wijaya.

   Panglima Balbila tertegun sampai beberapa saat dikala mendengar cerita Sipora tentang keajaiban yang mbul pada diri raden Wijaya.

   Lebih terpana pula ia manakala mendengar keterangan dari pandita Aru Perpa tentang bintang bersinar yang disenyawakan sebagai lambang peribadi Wijaya.

   *** Langkah kanan, demikian kata maharsi tua pada taat Wijaya berkunjung ke candi Syiwa untuk bersemedhi memohon restu agar perjalanan melaksanakan tugas seri baginda Kertanagara ke Sriwijaya dapat berhasil.

   Maharsi tua itu mengatakan bahwa langkah Wijaya adalah langkah kanan.

   Bahkan pada saat itu berkat, kesak an sang maharsi, Wijaya dapat 'menyaksikan' apa yang akan dialaminya selama mengadakan kunjungan ke Sriwijaya.

   Namun sesuai dengan pesan sang maharsi dan berkat kesak annya maka apa yang dilihat dan didengar oleh Wijaya saat itu, di kala dia ke luar dari candi akan lenyap tak berkesan lagi.

   Itulah sebabnya maka tak teringat Wijaya segala apa yang telah diramalkan oleh maharsi, walaupun kesemuanya itu telah terbukti dalam kenyataan.

   Baginda Teribuana Mauliwarman setelah mendengar dan merenungkan anjuran pa h mangkubumi Demang Lebar Daun yang juga menjadi mamak atau rama mentua baginda, telah berkenan meluluskan pinangan raden Wijaya atas kedua puterinya.

   Memang berat nian perasaan sang baginda untuk melepaskan puteri kesayangannya, berangkat jauh ke pulau Jawadwipa.

   Lebih tertusuk pula keagungan seri baginda karena kedua puteri baginda itu akan dipersunting oleh sang prabu Kertanagara yang telah berusia lanjut.

   Namun Demang Lebar Daun dapat meyakinkan baginda akan sasmita hasil renungan dan penilaian Demang Lebar Daun tentang sejarah yang akan terjadi di kerajaan Jawadwipa kelak.

   Ombak menggelegak, menebarkan alun warna pu h gemerlap.

   Langit cerah, bulanpun meriah.

   Angin berhembus datar, mengantar lima buah iring-iringan perahu besar yang melayari laut Jawa.

   Malam purnama di tengah laut.

   Seyojana mata memandang, hanya warna biru yang tampak lepas bebas.

   Tiada beda laut dengan cakrawala.

   Sukar membedakan mana laut mana cakrawala.

   Perahu besar yang memimpin di muka iring-iringan itu amat indah bentuknya.

   Haluan perahu berbentuk kepala ular naga.

   Badan perahu berhias ukiran sisik naga dan bagian buritan perahu merupakan ekor ular, dilingkari gelang warna kuning emas.

   Bulan, angin dan laut seolah-olah mengantar perjalanan kelima perahu itu dengan tenang gembira.

   Alam dan laut seolah-olah menyambut sebuah armada perang yang pulang membawa kemenangan.

   Memang armada kecil yang terdiri dari lima buah perahu besar itu adalah angkatan perang Singasari yang dipimpin raden Wijaya ke tanah Malayu.

   Senopa muda itu telah berhasil menunaikan tugas kerajaan Singasari dengan gemilang.

   Memang demikianlah keadaannya.

   Raden Wijaya telah berhasil melaksanakan pesan baginda Kertanagara di tanah Malayu.

   Pengiriman patung Amogapasha dan perembesan ajaran aliran Mahayana di kalangan para resi dan pandita di Sriwijaya, telah mempercepat rapuhnya dinding ketahanan Sriwijaya sebagai pusat agama Budha Hinayana.

   Demang Lebar Daun, pa h mangkubumi dari kerajaan Sriwijaya, lebih mencurahkan perha an untuk membendung serangan aliran Mahayana yang hendak dilancarkan perutusan Singasari melalui pengiriman patung Amogapasha, daripada mengua rkan akibat-akibat lain yang mungkin akan mbul dari kunjungan perutusan Singasari itu.

   Memang apabila mengenai soal faham agama maka pa h Demang Lebar Daun seper membela jiwanya.

   Bagi pa h itu, aliran Hinayana adalah pendirian hidup yang tak dapat ditawar lagi.

   Disadari pula oleh pa h itu betapa kekuatan yang tersimpan dalam angkatan Singasari pimpinan raden Wijaya itu.

   Walaupun hanya terdiri dari lima buah perahu besar namun prajurit-prajurit yang dibawanya adalah prajurit pilih tanding, gagah perkasa.

   Dan senopa nya sendiri, raden Wijaya, memang termasyhur sakti mandra guna.

   Masih ada suatu kenyataan lain yang harus diperhitungkan Demang Lebar Daun.

   Pasukan Pamalayu dari kerajaan Singasari yang dipimpin senopa Mahesa Anabrang, sudah belasan tahun berada di tanah Melayu menguasai daerah-daerah kedatuan yang tersebar di Swarnadwipa.

   Pengaruh dan kekuasaan pasukan Pamalayu itu amatlah besar.

   Dengan adanya tombak di muka pintu, demikian kiasan bagi ancaman pasukan Pamalayu yang menduduki beberapa daerah di Swarnadwipa, dengan mudah mereka akan segera menyerang Sriwijaya dan Darmasraya untuk membantu raden Wijaya apabila rombongan perutusan Singasari itu terancam bahaya.

   Merenungkan kesemuanya itu, mbullah tolak pemikirannya yang berkabut rasa sesal akan kelengahannya selama ia memimpin tampuk pemerintahan kerajaan Sriwijaya selama ini.

   Ia mengakui bahwa ia lebih meni k beratkan pada usaha pembangunan candi, pagoda dan rumah- rumah suci untuk mengembangkan aliran Hinayana, untuk makin meresapkan ajaran aliran agar benar- benar dihayati rakyat dan menjadi landasan haluan, negara.

   Sedemikian gigih ia memperjuangkan perkembangan aliran agama yang dianutnya sehingga membuahkan hasil yang gemilang.

   Dari negara negara atas angin antara lain Jawana, Faunan, Kedah, Puni bahkan Jambudwipa atau India dan Cina, berdatanganlah utusan-utusan untuk meninjau candi di Bukit Siguntang Mahameru yang megah dan lengkap dengan perpustakaannya.

   Beratus bahkan beribu pelajar berdatangan dari empat penjuru mancanagara untuk meneguk ilmu agama di pusat perkembangan budaya aliran Hinayana di bukit itu.

   Kunjungan perutusan kerajaan Singasari yang dikepalai raden Wijaya telah merobohkan pintu gerbang cita-cita Demang Lebar Daun untuk membentuk mahligai pusat keagungan aliran Hinayana.

   Kini dia harus melihat kenyataan dari beberapa derita perasaan dan keluh penyesalan.

   Derita perasaan karena dua peristiwa besar yang dibawa raden Wijaya ke Sriwijaya.

   Kesatu, pengiriman arca Amogapasa sebagai pengukuhan dari kekuatan aliran Mahayana yang telah menyusup di pusat jantung kerajaan Sriwijaya.

   Kedua, pinangan terhadap kedua puteri baginda.

   Dengan menahan rasa perih dalam hati sanubari, Demang Lebar Daun harus menerima kenyataan itu.

   Sebagai kelanjutannya, kini dia mulai menyadari akan kelengahan-kelengahannya selama menjalankan tampuk pimpinan pemerintahan Sriwijaya.

   Namun kesemuanya itu sudah terlambat.

   Ia harus menghadapi kenyataan itu menurut apa adanya.

   Dan dalam menerima kenyataan pahit itu, ia tetap berusaha untuk merobah keadaan.

   Ia hendak merebut kemenangan dalam kekalahannya.

   Suatu ndakan telah diputuskan dengan berani.

   Ia menggunakan apa yang disebut siasat 'dampar kencana'.

   Ia menyadari bahwa menggunakan ndakan kekerasan hanya akan menimbulkan kerusakan pada negara dan kesengsaraan pada rakyat.

   Ia merasa telah bertanggung jawab atas segala yang diderita Sriwijaya dari kerajaan Singasari.

   Rakyat dak bersalah.

   Bahkan mereka menjalankan dengan patuh dan taat atas segala yang telah diperintahkannya.

   Maka apabila harus menderita, janganlah hal itu sampai menimbulkan malapetaka kepada rakyat melainkan biarlah dia sendiri yang menanggungnya.

   Dalam rangka itu, terpaksa ia harus mengorbankan kebahagiaan kedua cucunya, puteri Candra Dewi dan puteri Kembang Dadar.

   Dampar kencana atau permadani emas, halus dan lunak.

   Kuasa untuk membuat dan melelapkan orang dalam mimpi dari seribu satu macam keindahan dan kenikmatan.

   Siasat Dampar-kencana itu daklah akan lengkap apabila dak berisi bidadari yang can k.

   Dan bi dadari yang akan menyempurnakan siasat itu tak lain hanyalah kedua cucunya atau puteri baginda Teribuaana Mauliwarman itu.

   Untunglah jerih payahnya untuk memberi penjelasan dan meyakinkan kepercayaan baginda Mauliwarman, telah berhasil.

   Baginda menyetujui rencana Demang itu.

   Maka kedatangan raden Wijaya di bumi Sriwijaya itu, amatlah menggembirakan.

   Dia berpijak di atas dampar kencana yang bergemerlapan, kemudian berhasil memboyong kedua puteri can k dari istana Darmasraya.

   Langkahnya disebut langkah kanan.

   Langkah yang menjelang sinar gemilang.

   Namun apa yang gemilang itu sering menyilaukan mata, melelapkan pikiran dan membutakan hati.

   Sesungguhnya raden Wijaya masih berat untuk meninggalkan kerajaan Sriwijaya.

   Karena di kerajaan pura arca Darmasraya, ia bagaikan hidup dalam impian dari seribu khayal dan kenyataan.

   Ia tak ingin khayal harapannya itu terusik oleh kerisauan dan kesibukan tugas-tugas pemerintahan apabila dia harus lekas-lekas pulang ke Singasari.

   Bukan melainkan soal tugas di pemerintahan saja, pun apabila dia pulang ke Singasari tentulah dia akan menghadapi kenyataan yang tak menyedapkan.

   Bukankah ia harus mempersembahkan puteri Candra Dewi kepada baginda Kertanagara ? Apakah ia mampu menahan perasaan apabila menghadapi kenyataan puteri juwita yang didamba dambakan itu akan duduk bersanding dengan baginda Kertanagara ? Ah .....

   Namun bagai kegelapan malam terusik dengan kehadiran sang fajar hari, pun raden Wijaya terusik pula dari kelelapan impiannya.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pada hari itu datanglah seorang perwira yang diutus senopa Mahesa Anabrang untuk menghaturkan surat kepada Wijaya.

   Ke ka membaca isi surat itu, terbeliaklah Wijaya bagai orang yang terjaga dari mimpi.

   "Benarkah berita itu, kakang ?"

   Tegurnya kepada perwira yang menjadi bentara senopa Mahesa Anabrang.

   "Demikianlah raden, gus senopa telah memberitahukan kepada hamba bahwa suatu armada yang kuat dari raja Kubilai Khan sudah tampak berlayar melintasi Laut Cina dan kemungkinan besar menempuh perjalanan ke Jawadwipa."

   "Apa lagi pesan paman Anabrang ?"

   "Rakryan senopa mengharap agar raden dapat segera kembali ke Singasari. Gus senopa sendiri tak mungkin meninggalkan tugasnya di Malayu maka hanya padukalah raden yang dapat diharapkan gus senopa untuk menghalau pasukan Tartar apabila mereka benar-benar menyerang Singasari. Gusti hamba benar-benar amat perihatin sekali akan peristiwa ini, raden."

   Raden Wijaya mengeluh dalam ha .

   Bagai awan dihembus angin, demikianlah Wijaya yang sedang dibuai dalam taman impian yang indah itu, seper disadarkan oleh suatu letusan.

   Letusan dari suatu kenyataan bahwa kerajaan Singasari sedang terancam bahaya besar.

   Tentulah maharaja Kubilai Khan murka sekali atas tindakan baginda Kertanagara yang telah mencacah muka Meng Ki, utusan kerajaan Tartar, ketika berkunjung ke keraton Singasari beberapa waktu yang lampau.

   Teringat akan peristiwa itu, Wijaya membayangkan pula saat- saat yang menegangkan pada waktu itu.

   "Hm, jelas pa h Araganilah yang mendesak baginda untuk menindak utusan Kubilai Khan itu,"

   Terlintas kenangan pada peris wa itu, terpampanglah dalam bayang-bayang pandangan Wijaya tentang ulah ngkah pa h Aragani "ah, bahkan hampir pula aku menjadi korban tuduhan pa h itu karena telah menerima surat dari Meng Ki atau Ikemetsu."

   Te ngat pada pa h Aragani serentak Wijayapun seper disadarkan "Ah,"

   Ia mengeluh "mengapa aku melalaikan pesan paman adhyaksa Raganata ?"

   Memang dalam kesempatan ke ka berkunjung ke Tumapel, secara tak langsung Wijaya seper mendapat isyarat dari empu Raganata agar menyelidiki, adakah dalam kerajaan Sriwijaya, di kalangan narapraja maupun senopa , terutama pa h Demang Lebar Daun, tampak jejak-jejak yang menandakan adanya hubungan mereka dengan pa h Aragani.

   Demikian pula, ksatrya muda yang serba aneh gerak geriknya yani Jaka Ludira, pernah menerangkan bahwa pemuda itu telah menemukan suatu bukti dari jalinan hubungan antara patih Aragani dengan Demang Lebar Daun.

   Tetapi Wijaya seper orang yang dilalaikan ke ka kakinya menapak pada permadani indah yang terbentang mengalas lantai balairung keraton Darmasraya.

   Bukan permadani, bukan pula bentuk bangunan balairung yang penuh dengan ukir-ukiran nan indah, bukan pula hiasan balairung yang bertabur ratna nan berkilau-kilauan, melainkan arca yang menghias balairung itu.

   Ya, arca bukan sembarang arca tetapi arca yang bernyawa, yang berbentuk tubuh seorang bidadari dengan segala kesempurnaan bentuk tubuh yang tak mungkin dibuat manusia kecuali karya dewata.

   Arca bidadari hidup yang berwujut sebagai puteri Candra Dewi atau Dara Petak.

   Pada saat pandang mata tertumbuk, Wijaya seolah kehilangan kesadaran pikirannya.

   Bayang- bayang sang puteri jelita selalu melekat pada pelapuk matanya.

   Dan karena itulah maka ia tak teringat lagi akan pesan empu Raganata dan ksatrya Ludira tentang usaha penyelidikan itu.

   Wijaya resah.

   Jika harus menyelidiki hal itu, tentulah dia harus nggal beberapa waktu lagi di Darmasraya.

   Pada hal senopa Mahesa Anabrang telah mempercayakan seluruh harapan kepadanya agar ia lekas-lekas pulang ke Singasari karena adanya ancaman dari pasukan Kubilai Khan yang saat itu sudah dalam perjalanan menuju ke Singasari.

   "Ah, aku menyesal karena telah melalaikan pesan empu Raganata dan adi Ludira. Biarlah kelak aku meminta maaf kepada mereka,"

   Katanya dalam ha "yang pen ng aku harus lekas-lekas berangkat pulang...Singasari harus kuselamatkan dari kehancuran yang ngeri."

   Demikian dipersingkatlah kunjungan raden Wijaya di kerajaan Darmasraya.

   Kini dia barsama kedua puteri, Candra.

   Dewi dan Kembang Dadar, berada di tengah laut dalam sebuah perahu megah yang dinamakan Rajanaga.

   Perahu Rajanaga merupakan lambang kebesaran dari sang manggalayuda atau senopa pe ndih pasukan.

   Di perabu Rajanaga itulah maka raden Wijaya menempatkan kedua tuan puteri beserta rombongannya yang terdiri dari sedomas atau empatpuluh dayang pariwara dan duabelas inang pengasuh.

   Malam purnama di tengah samudra.

   Sunyi dan hampa.

   Hanya deru ombak beriak, gemercik alun mendampar perahu, menimbulkan buih gelombang yang berisik.

   Di kala itulah raden Wijaya naik ke atas geladak, tegak termenung bersandar pada ang pasak.

   Mata memandang ke seluruh penjuru alam namun suatu pandangan yang hampa.

   Langit cerah, bulan purnama dan bintang kemintang bertaburan, seolah tak pernah singgah dalam pandangannya.

   Yang tampak pada gundu mata hanya bayangan puteri Candra Dewi nan can k jelita ilu.

   Sejak beberapa hari berlayar, ia sudah berusaha untuk mengendapkan bara asmara dalam hatinya.

   Ingin ia mengalihkan pikirannya ke Singasari membayangkan apa yang terjadi di pura kerajaan itu selama ia tinggalkan.

   Ingin ia membayangkan para pembantu-pembantunya .

   Sora, Nambi dan lain-lain.

   Namun keinginannya itu selalu ditolak oleh pikirannya.

   Dia tak dapat memperkosa batinnya dan harus menerima apa yang dirasakannya.

   Wajah puteri Candra Dewi selalu melekat pada pelapuk matanya.

   Ia gelisah tetapi tak tahu apa yang digelisahkan.

   Duduk salah, berdiripun enggan.

   Makan tetapi tak dapat merasakan apa yang dimakannya.

   Tidur namun mata hatinya tak mau dibawa ikut tidur.

   Tiba-tiba ia mendengar bunyi kecapi beralun, halus dan teduh.

   Dan sesaat kemudian terdengarlah suara orang bernyanyi mengalunkan nada lembut dan merdu ....

   Hujan di malam, hujan di hati hujannya mimpi.

   Duhai hujan Hujan di bumi, hujan di laut hujannya nasib.

   Duhai nasib Hujan air mata, hujan lara Hujannya awak.

   Duhai awak Hujan di rantau, hujan di Sriwijaya hujannya kenangan.

   Duhai kenangan Sayup-sayup terpandang nusaku taman puspa menyerbak restu Nori, merak berkicau merdu Mahligai puri megah nan syahdu .....

   Raden Wijaya terhentak dari kemenungan ke ka nyanyian itu tersela oleh suara isak tangis.

   Walaupun pelahan tetapi karena malam sunyi, ia dapat juga menangkapnya.

   Siapakah gerangan yang mencurah isak duka lara ha itu, pikiran?.

   Dan bergegaslah ia turun ke bawah, langsung menuju ke ruang tempat kedua puteri.

   Ia mendapat kesan bahwa isak tangis itu berasal dari kedua puteri.

   Dan apa yang diduganya memang benar.

   Ia terkesiap menyaksikan pemandangan dalam bilik ruang kedua puteri itu.

   Dua orang dayang tengah memegang alat kecapi dan seruling.

   Tetapi mereka menghen kan permainannya.

   Demikian pula dengan beberapa dayang muda yang mengenakan pakaian penari.

   Memang kerja para dayang perwara dan inang pengasuh itu se ap harinya yalah melayani dan terutama menghibur kedua puteri yang selalu di rundung kemurungan.

   Candra Dewi dan Kembang Dadar adalah sekar-kedaton atau bunga keraton Darmasraya.

   Mereka digenangi dengan kemanjaan kasih sayang oleh baginda Teribuana Mauliwarman dan permaisuri Wan Sendari, Mereka di mang- mang bagaikan bu r mu ara mus ka yang ada tara nilainya.

   Mereka disanjung dan dijunjung dengan segala kemesraan dan kehormatan oleh para dayang pengasuh bi perwara.

   Mereka dihorma oleh segenap rakyat di seluruh kerajaan.

   Kini mereka harus berpisah dengan segala kemewahan, kenikmatan dan kehangatan kasih sayang ayahanda dan ibunda tercinta.

   Bagai pisau yang dicabut dengan paksa dari daging maka bercucuranlah darah menghambur dari ulu-hati kedua puteri itu.

   Nyanyian dari biduan yang mengalun lagu-lagu kenangan pada bumi tanah-air dan segala yang mencinta dan dicintainya, telah membangkitkan rasa pilu dalam ha kedua puteri itu.

   Dan bagaikan awan hitam yang sarat, tak tertahan lagilah hujan airmata mencurah dari bola mata bak' bintang kejora itu.

   "Nurila, jangan engkau membawakan lagu-lagu yang memilukan semacam itu,"

   Seru seorang inang pengasuh menegur biduanita yang bernyanyi tadi.

   "Ampun bibi,"

   Kata biduanita yang bernama Nurila "aku tak sengaja bermaksud hendak merisaukan kesedihan hati tuanku puteri."

   "Tetapi lagu yang engkau ...

   "

   Ba- ba inang pengasuh yang marah itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu pandang matanya tertumbuk pada sesosok tubuh seorang pria, tegak di ambang pintu "Oo, raden Wijaya ....

   "

   Serunya lirih.

   "Tenang-tenanglah, bibi,"

   Seru pendatang yang bulan lain memang raden Wijaya seraya mengulum senyum. Ia melangkah masuk, langsung berhenti di hadapan kedua puteri.

   "Wahai, tuan puteri yang mulia, apakah kiranya yang menyedihkan ha tuanku ?"

   Serunya dengan nada yang ramah menyayang. Puteri Candra Dewi cepat menghapus bintik bintik airmata dan mencerahkan seri wajahnya.

   "Adakah sesuatu yang kurang memuaskan dalam pelayanan orang orangku kepada tuan puteri? atau siapakah gerangan yang berani menyakiti hati tuanku? Jika ada, katakanlah tuan puteri agar aku mempunyai kesempatan untuk membaktikan pengabdian di bawah duli tuan puteri."

   "Ah, dak,"sahut Candra Dewi dengan lembut "

   Ada yang kekurangan pada pelayanan di sini. Tiada pula seseorang yang menghina aku."

   "Lalu mengapa tuanku mengucurkan airmata? Duhai, puteri Candra Dewi, Wijaya lebih senang mengucurkan darah daripada, melihat butir-butir mutiara itu menitik dari pelapuk tuan."

   Candra Dewi tersipu-sipu.

   "Tuan puteri,"

   Seru raden Wijaya pula "airmata itu penaka sumber yang syahdu. Wijaya berharap hendaknya tuan puteri berkenan untuk dak sembarang mengucurkannya. O, adakah karena lagu dari biduanita itukah yang menyedihkan hati tuanku?"

   "Jangan mencari lantai berjuangkat, raden ksatria,"

   Balas puteri Candra Dewi "dia telah menunaikan tugas membawakan lagu kegemaranku. Lagu kenangan mendambakan kebesaran bumi kelahiranku ....

   "

   "

   O, maa an puteri."

   Wijaya berseru gopoh "mengapa lagu itu memercikkan kesan sedih pada hati tuan ?."

   "Raden,"

   Kata puteri Candra Dewi pelahan "raden seorang ksatrya yang gagah perkasa.

   Raden mungkin hanya mengenal ujung pedang dan tombak yang dapat mengucurkan darah di tubuh musuh.

   Tetapi mungkin raden tak dapat menyerap bahwa lagupun memiliki daya tajam yaug dapat mengucurkan darah, airmata dan isak tangis.

   Lagu tadi adalah sebuah lagu kenangan akan nasib seorang di rantau orang yang terpisah jauh dari bumi kelahirannya.

   Tidakkah raden pernah merasakan hal itu ?"

   Wijaya bukan melainkan pandai dalam mengatur siasat dan tata barisan di medan perang.

   Pun juga cerdik mengatur siasat dalam medan asmara.

   Sebelumnya kepala, dari para inang, pengasuh meherima hadiah-hadiah yang berharga dari raden Wijaya, sehingga se ap kali raden itu berjumpa dengan puteri Candra Dewi, kepala dayang itu segera mengajak anakbuahnya menyingkir agar raden itu mempunyai kesempatan untuk berdua dengan tuan puteri.

   Demikian pula pada saat itu.

   Ia segera memberi isyarat kepada para dayang supaya ke luar.

   Dan berbondong-bondonglah para dayang perwara itu melangkah ke luar.

   Baik selama berada di Darmasraya maupun di waktu berlayar, puteri Kembang Dadar atau Dara Jingga, memiliki suatu naluri tajam bahwa raden Wijaya itu telah jatuh ha kepada ayundanya, puteri Candra Dewi.

   Sebagai seorang puteri yang halus peker , ia dak memiliki se kpun rasa iri cemburu.

   Dan bahkan se ap kali ia juga berusaha menyingkir manakala raden Wijaya berhadapan dengan ayundanya.

   Maka saat itu hanya tinggal raden Wijaya yang berhadapan dengan puteri Candra Dewi.

   "Pernah, bahkan beberapa kali se ap kali membawa pasukan Singasari ke seberang laut,"

   Jawab Wijaya "namun daklah separah kali ini di kala berada di bumi kerajaan Seribu candi Darmasraya, tuan puteri."

   Puteri Candra Dewi terkesiap. Diam-diam ia merasa heran mengapa lain pula kefasihan mulut raden itu berbicara waktu berada di Darmasraya dengan di atas perahu pada saat itu.

   "Mengapa ?"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tegurnya.

   "Di negara-negara atas angin, di daerah-daerah seberang laut, ha ku tak pernah gelisah resah seper ke ka berada di Darmasraya. Serasa diriku mengindap sejenis penyakit tetapi entah apa namanya. Tubuh serasa lunglai, ha gelisah, pikiran merana. Makan tak enak, durpun tak nyenyak. Duduk berdiri serba salah ngkah. Duhai, tuan puteri, tuan seorang puteri yang amat bijak bestari. Kiranya tuan tentu berkenan memberikan petunjuk, apakah gerangan penyakit yang menghinggapi diri hamba itu? Dan moga kiranya tuan puteri bermurah ha untuk menganugerahkan obatnya."

   Puteri Candra Dewi tersipu-sipu merah wajahnya. Dalam pandang mata Wijaya, puteri itu tampak semakin ayu "Duh, dewata, bidadarikah gerangan yang paduka titiskan pada diri puteri ini,"

   Iapun meratap dalam hati.

   Selama di Darmasraya, puteri Candra Dewi tahu juga akan gerak-gerik Wijaya terhadap dirinya.

   Dan bagaimanapun juga, terusiklah ketenangan ha nya.

   Tanpa disadari mulai mbul juga suatu perasaan yang belum pernah dialaminya sepanjang hidup.

   Candra Dewi tak tahu perasaan apakah namanya yang mengusik ha nya itu.

   Ia sendiripun heran, mengapa perasaannya selalu dibayangi oleh wajah ksatrya dari Singasari itu.

   Ingin ia berusaha untuk menjernihkan bin k-bin k yang memercik kejernihan langit ha nya dengan jalan melepaskan diri dalam renung semedhi.

   Berkat la han-la han yang dimulai sejak bertahun-tahun, dapatlah ia menghapus bayang-bayang itu.

   Namun selekas ia menyudahi semedhinya, selekas itu pula bayang-bayang wajah Wijaya hinggap pula pada pelapuknya, ah .....

   Pernah ia membangun keinginan untuk menghadap maharesi Mahanatha, guru yang telah mengajarkan berbagai ilmu agama kepadanya.

   Untuk meminta petunjuk tentang keanehan yang menghinggapi perasaannya itu.

   Namun ia urungkan niatnya.

   Ia malu mengatakan hal itu kepada siapapun juga, bahkan terhadap dirinya sendiri.

   Dan ke ka ia diboyong Wijaya ke Singasari, mbullah rasa kebimbangan dalam ha nya.

   Antara rasa sedih berpisah dengan kedua orangtua, bumi kelahirannya, dengan suara ha yang selalu menggema dalam kalbu.

   Suara ha yang mendambakan suatu kebahagiaan apabila berhadapan dengan ksatrya Singasari itu.

   "Raden,"

   Jawabnya atas pertanyaan Wijaya "sesungguhnya segala sesuatu itu tentu mempunyai sumber. Demikian pula dengan penyakit yang raden derita itu."

   "Benar tuan puteri,"

   Kata raden Wijaya makin mendapat angin "memang telah kuketahui sumbernya itu. Tetapi ah, jauh nian tempatnya."

   "Di mana ?"

   Tanpa disadari puteri Candra Dewi terhanyut oleh ayunan kata Wijaya.

   "Di dalam rembulan, tuan puteri."

   Candra Dewi meliukan kening "Di dalam rembulan ?"

   Wijaya mengangguk "Benar, tuan puteri. Hanya di rembulanlah sumber pengobat lara hamba itu terdapat."

   "O,"

   Candra Dewi mendesis lembut "benarkah demikian, raden.? "

   "Benar, tuan puteri,"

   Wijaya memberi penegasan dengan nada yang tampak bersungguh "memang hanya di rembulan itu akan hamba temui obatnya."

   Candra Dewi bukan tak menger ke mana arah tujuan ucapan senopa muda itu.

   Namun melihat kesungguhan nada dan wajah Wijaya, iapun agak ber-sangsi "Ah, raden berolok.

   Bagaimana mungkin raden tahu bahwa di rembulan terdapat sumber penyembuh lara raden itu ?"

   "Berkenankah tuan puteri mendengar penjelasan hamba?"

   Candra Dewi termenung sejenak, katanya "Asalkan hal itu benar-benar sesungguhnya, ingin hamba mendengarkan."

   "Baiklah, tuan puteri,"

   Kata Wijaya "marilah tuan ke luar sejenak ke atas geladak agar dapat memandang rembulan dengan seksama ...

   "

   "Ah, janganlah raden bergurau,"

   Kata Candra Dewi.

   "Tidak, tuan puteri. Wijaya dak bergurau. Hamba mohon tuan puteri suka menjenguk barang sejenak saja. Agar apa yang hamba ceritakan nanti, benar-benar dapat tuan puteri saksikan."

   Wijayapun mendahului melangkah ke luar.

   Tiba di ambang pintu ia berpaling ke belakang, menyongsong pandang ke arah Candra Dewi.

   Entah bagaimana, pandang mata senopa Singasari itu bagai kilatan pedang yang menikam serabut ha sang jelita.

   Mendenyutkan debur kalbu dan bagaikan kena pesona maka berayunlah kaki sang puteri melangkah ke pintu.

   "Lihatlah tuan puteri,"

   Kata Wijaya sambil menunjuk ke cakrawala "bukankah pada permukaan bulan itu terdapat gumpal-gumpal warna hitam yang menyerupai gunung dan di tengah-tengah lembah gunung terdapat belahan sebuah sungai ?"

   Bagaikan kerbau tercocok hidungnya, puteri Candra Dewipun menengadahkan kepala memandang ke arah rembulan yang saat itu tengah menampakkan seluruh wajahnya dengan gilang gemilang.

   Entah berapa puluh kali sudah ia menikma rembulan purnama.

   Menumpahkan doa harapan, mencurahkan suara ha , mendambakan kelana kalbu.

   Memanjatkan doa puji bagi kesejahteraan negara, keselamatan ayahbunda dan kebahagiaan diri peribadinya.

   Namun tak pernah ia sempat memperha kan akan lukisan-lukisan seper yang diuraikan Wijaya.

   Dan tatapan sinar matanyapun jauh membubung ke cakrawala, mendarat di permukaan rembulan gemilang.

   "Ah, menyerupai,"

   Desisnya pelahan.

   "Gunung Candrapura, demikian nama gunung itu, tuan puteri,"

   Kata Wijaya lebih lanjut "di situ terdapat sebuah kawah Kamandanu yang berairkan Tirta Amerta. Hanya air Tirta Amerta itulah yang sanggup mengobati penyakit hamba ini, tuan puteri."

   "Tirta Amerta ?"

   


Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id

Cari Blog Ini