Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 38


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 38



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Candra Dewi terkejut "bukankah Tirta Amerta itu merupakan sari kehidupan alam maya ini ?"

   "Demikian, tuan puteri,"

   Wijaya tersenyum "Tirta Sari Amerta itu daklah berupa cairan air. Melainkan aliran hawa yang memancarkan sari kehidupan keseluruhan alam semesta. Hawa itulah yang memantulkan cahaya gilang gemilang dari rembulan ....

   "

   "O,"

   Desis Candra Dewi pula "tetapi tidakkah saat ini raden sudah menikmati sinar itu ?"

   "Belum tuan puteri,"

   Sahut Wijaya berkesungguhan "sinar yang meningkah diriku saat ini hanyalah sinar rembulan belaka. Bukan sinar Tirta Sari Amerta."

   Candra Dewi kerutkan alis.

   "Sinar Tirta Sari Amerta itu, adalah milik dewi yang memiliki gunung Candrapura itu "

   "Ih,"

   Desis Candra Dewi "apakah dewi penunggu Candrapura itu ?"

   "Benar tuan puteri."

   "Siapakah gerangan namanya ? "

   "Sinar rembulan yang kita rasakan saat ini, hanya sinar yang menerangi jagadraya. Ssdang sinar Tirta Sari Amerta itu sinar yang menghidupkan kehidupan dan penghidupan. Sinar yang akan menyirnakan segala duka nestapa, menyembuhkan luka dan lara, menghidupkan layu dan kuyu ....

   "

   "Ah,"

   Candra Dewi mendesah "sedemikiankah kekuasaan Tirta Sari Amerta itu ?"

   "Benar, tuan puteri,"

   Sahut Wijaya "hanya dengan air Sari Amerta itulah penyakit hamba akan sembuh."

   "Ih,"

   Desuh Candra Dewi tiada berketentuan nadanya. Wijaya tersenyum "Itulah sebabnya hamba mengatakan bahwa penyakit hamba itu sukar-sukar mudah. Sukar sembuh kecuali mendapat percikan dari sari tirta itu."

   "Bagaimanakah cara untuk mendapatkan tirta sari, raden ?"

   Suatu kesempatan bagus yang telah terbuka itu tak disia-siakan Wijaya, katanya "Mohon kepada Dewi itu dengan panjatan doa."

   "Bukankah raden dapat melakukannya ?"

   "Tidak dapat, tuan puteri. Dewi itu hanya berkenan menerima doa permohonan dari kaum puteri."

   "Puteri?"

   Candra Dewi mengulang.

   "Benar,"

   Wijaya mengiakan "adakah tuanku sudi menolong Wijaya untuk memanjatkan doa permohonan kepada sang dewi Rembulan ?"

   "Ah, raden mengada-ada belaka."

   "Tidak, tuan puteri,"

   Kata Wijaya dengan nada bersungguh "demi Isyawara Agung, Wijaya bersumpah akan kebenaran ucapan hamba tadi."

   Candra Dewi termenung sejenak "Ah, mengapa raden gemar bersumpah? Ringan menyebut- nyebut Hyang Isyawara ?"

   "Maaf, tuan puteri,"

   Wijaya agak tersipu "bukan maksud hamba beringan mulut menyebut Hyang Batara Agung untuk hal-hal yang kecil. Namun kali ini terpaksa hamba lakukan karena hamba ingin akan tuan puteri benar-benar mau mempercayai keterangan hamba."

   Candra Dawi mengangguk pelahan. Sejenak kemudian berkata pula "Adakah doa itu akan benar- benar menyembuhkan penyakit raden ?"

   "Pasti, tuan puteri, pasti,"

   Sahut Wijaya "sepasti kepastian ucapan tuan puteri."

   Candra Dewi tersapu merah wajahnya "Ah, janganlah raden bergurau. Siapakah nama puteri Rembulan itu ?"

   "Dewi Candra, tuan puteri."

   "Ah....."

   Candra Dewi mendesis kesipuan "engkau berolok, raden."

   "Tidak, tuan puteri,"

   Kata Wijaya "memang demikianlah nama dewi penguasa gunung Candrapura itu. Dan dia sering turun ke arcapada menjelma sebagai seorang insan manusia bumi."

   "Sudahlah, raden, hentikanlah olok-olok tuan."

   "Baiklah,"

   Kata Wijaya tersenyum "adakah tuan puteri benar-benar mau menolong hamba untuk memanjatkan doa kepada dewi Candra ?"

   "Ih."

   Caadra Dewi mendesis pelahan dan lembut.

   "Tetapi berat nian syaratnya, tuan puteri."

   Candra Dewi meliuk kerut di dahi "

   Syarat ?"

   "Benar,"

   Sahut Wijaya "permohonan itu pas dikabulkan oleh sang dewi apabila tuan puteri juga berkenan meluluskan permintaannya."

   Makin heran tampaknya Candra Dewi mendengar keterangan Wijaya "O, adakah dewi Candra akan menurunkan amanat ?"

   Wijaya mengangguk "Ya. Melalui suara bisikan yang halus, tuan puteri akan mendengarkan amanat sang dewi."

   Candra Dewi menundukkan kepala. Wijaya tersenyum. Sebagai seorang muda, banyaklah ia berkelana di padang asmara. Dan tahu pula bahwa sikap diam dari seorang dara itu, berarti menyetujui.

   "Terima kasih, tuan puteri,"

   Kata Wijaya "sekarang silakan tuan memejamkan mata dan berdoa menurut apa yang hamba ajarkan."

   Tanpa berkata sepatahpun Candra Dewi segera pejamkan mata dalam sikap bsrsemedhi. Dan mulailah terdengar Wijaya berseru pelahan ....

   "Duh, dewi Candra, dewi Pengasih dan Penyayang. Dewi penguasa gunung Candrapura, pemilik telaga Kamandanu, penyimpan air kehidupan Tirta Sari Amerta. Hamba mohon, berkenanlah kiranya dewi melimpahkan percikan air Sari Amerta kepada Wijaya agar penyakitnya sembuh ....

   "

   "Hanya demikianlah doa itu, tuan puteri,"

   Kata Wijaya "sukalah kiranya tuan puteri memanjatkan doa itu."

   Cindra Dewi menurut.

   Walaupun dak terdengar jelas namun sepasang bibirnya yang memerah delima merekah itupun tampak bergerak-gerak ....

   Berhadapan dengan seorang puteri can k jelita yang duduk bersemedhi memejamkan mata dalam keagungan yang paserah, hampir Wijaya tak kuasa lagi menahan gejolak ha nya.

   Ingin ia mendekap puteri jelita itu dan mengecup bibirnya, membelai rambut, yang ikal mayang dan merebahkan kepalanya dalam pelukan yang mesra.

   Wijaya benar-benar diamuk prahara rindu, diguncang badai asmara sehingga tak kuasa lagi ia menahan langkahnya yang mulai berayun menghampiri dan terus hendak meraihkan kedua tangannya.

   Tiba- ba Candra Dewi hen kan getar-getar bibirnya.

   Rupanya ia sudah selesai berdoa.

   Seketika terhenyaklah Wijaya bagaikan kejut pagutan ular.

   "Ah,"

   Ia mengeluh dalam ha "hampir saja aku tergelincir dalam kelelapan pesona. Tidak, dak boleh aku ber ndak menuru rangsang nafsu. Puteri agung lelembut peker seper dia, harus kutundukkan pula dengan persembahan rayu yang lembut pula."

   Wijaya segera teringat akan keterangannya tadi bahwa Dewi Candra akan menurunkan tahnya. Maka buru-buru ia menenangkan diri, mengendapkan gejolak ha lalu dengan menggunakan ilmu mantra yang disebut Aji Pameling, ia segera meluncurkan bisikan.

   ".....Candra Dewi, puteri utama kerajaan Darmasraya. Ketahuilah, bahwa aku dewi Candra, telah mendengar semua doa permohonanmu.....ya, nini dewi, kukabulkan permohonanmu itu karena engkau telah menyertai permohonan itu dengan rasa kesujudan yang tulus ikhlas. Tetapi ada sebuah pesanku nini yang harus engkau laksanakan apabila engkau sungguh-sungguh menghendaki apa yang engkau katakan dalam permohonanmu itu. Apakah engkau sanggup?"

   Kembali tampak bibir Candra Dewi bergetar-getar seper mengucap perkataan yang tak terdengar.

   "Baik, nini dewi, engkau puteri utama, aku percaya kepadamu. Begini nini dewi. Sari Tirta Amerta itu bukanlah air sembarang air melainkan air suci yang merupakan sari dari seluruh kehidupan. Tidak sembarang saja ku kkan air kepada se ap orang yg memohon. Hanya kepada mereka yang benar-benar insan kekasih dewa, akan mendapat percikan air itu. Dan barang siapa menerima percikan air itu harus bersedia menerima apa saja dari orang yang dimintakan air itu. Kutahu bahwa Wijaya berkenan ha kepadamu. Maka engkau harus bersedia menerima curahan ha . Apabila engkau berjanji mau menyambut curahan ha Wijaya, segera akan kupercikkan sari rta itu kepada dirimu. Aku segera akan meni s ke dalam dirimu untuk memberikan air syahdu itu kepadanya .......

   "

   Sekonyong konyong Candra Dewi membuka mata, beranjak bangun lalu tergopoh lari turun ke bawah dan masuk ke dalam bilik peraduannya ....

   Wijaya terlongong-longong.

   Sesaat kemudian ia menyadari bahwa Candra Dewi tentu mengetahui permainannya.

   Maka dengan tersenyum iapun segera menyusul turun ke bawah.

   Ia mendebur pintu bilik puteri Candra Wulan dengan pelahan "Tuan puteri, mengapa tuan puteri tiba-tiba lari meninggalkan hamba?"

   Tiada penyahutan suatu apa. Wijaya mengetuk pula "Tuan puteri, maafkanlah apabila hamba bersalah. Tetapi inginlah hamba mengetahui apakah gerangan kesalahan hamba sehingga tuan puteri sedemikian murka ?"

   Masih tiada penyahutan dari dalam bilik.

   "Duh, tuan puteri, adakah tuan tak berkenan menemui Wijaya dan mengatakan apa kesalahannya ? Apabila tuan puteri tak berkenan, betapa aib dan malu Wijaya. Wijaya merasa telah menanggung dosa besar karena telah menyaki ha tuan puteri maka lebih baik Wijaya sirna saja dari arcapada ini ..... Bluk ..... ba ba terdengar benda berat macam tubuh manusia yang roboh, ke lantai geladak. Sedemikian keras getar suara itu menggedebuk sehingga menimbulkan guncangan pada dinding bilik peraduan Candra Dewi. Terdengar pintu berderit dan menyembullah wajah puteri Candra Dari balik daun pintu.

   "O, gus .....

   "

   Candra Dewi melengking kejut dan terus bergegas ke luar, menghampiri kepada sesosok tubuh yang rebah terkapar di lantai. Tubuh itu bukan lain adalah Wijaya .....

   "Raden, o, mengapa engkau?"

   Puteri jelita itu segera menjamah kepala Wijaya, menggolek- golekkannya pelahan.

   Lalu jari jemari yang halus runcing bak duri landak, merabah pernapasan hidung dan mengusap dada Wijaya pula "O, Batara Agung, mengapa raden Wijaya ini....

   raden, o, raden Wijaya, mengapa engkau begini .....

   mengapa engkau sampai ha meninggalkan aku ...o, mengapa engkau tak tahu bahwa sesungguhnya aku mendengarkan kata-katamu tadi.....

   "

   Namun Wijaya tetap tak bergerak.

   "Raden, raden ...

   "

   Mulai puteri Candra Dewi terisak-isak "benarkah .... benarkah ..... engkau rela meninggalkan ..... aku ..... maa an, raden ..... sebenarnya aku hanya bergurau untuk membalas olok olokmu ..... mengapa engkau bersungguh hati dan putus asa ....."

   Candra Dewi makin bingung. Raden Wijaya dak bergerak dan dirasakannya pula denyut pernapasan pemuda itu sudah berhenti. Tiba-tiba Candia Dewi hentikan isaknya. Wajahnya mengerut suatu keputusan yang mantap.

   "Baiklah, raden Wijaya, ksatrya Singasari yang gagah perkasa,"

   Katanya dengan nada mantap "engkau telah merelakan jiwamu karena putus asa.

   Engkau mengira bahwa ratapan hatimu tiada bersambut.

   Engkau telah menyatakan tekad hatimu untuk mengorbankan jiwamu demi mempersembahkan hatimu kepadaku.

   Jika demikian raden, apa guna aku harus hidup di dunia ini .........

   nantikanlah raden, aku segera akan menyusulmu .....

   tunggulah aku di pintu Nirwana kakang ...

   "

   Tiba-tiba Candra Dewi berbangkit dan terus ia masuk ke dalam bilik.

   "Celaka,"

   Sekonyong konyong tubuh Wijaya yang semula membeku seper mayat itu, bergerak dan terus melenting bangun dan cepat-cepat mengintai lubang pintu.

   "Hai ...

   "

   Hampir menjeritlah Wijaya ke ka melihat bahwa puteri itu habis meneguk semacam bubuk putih dengan seteguk air .....

   Bagaikan terpagut ular, Wijaya terus hendak menerobos masuk ke dalam bilik untuk menolong puteri.

   Tetapi serempak pada saat itu, Candra D;wipun sudah ayunkan langkah hendak ke luar.

   Wijaya gugup, dak tahu apa yang harus dilakukan.

   Tetapi di luar kesadarannya, dia kembali ke tempat semula dan terus rebahan diri dilantai lagi.

   Candra Dewi melangkah ke luar dan menghampiri ke tempat Wijaya.

   "Raden, telah kuminum sebungkus obat yang segera akan mengantarkan aku ke alam tempat peris rahatanmu. Tunggulah raden di pintu Nirwana. Aku takut masuk seorang diri ....

   "

   Habis berkata ia terus rebahkan diri di sisi Wijaya. Belum berapa saat Candra Dewi rebah, maka bergeraklah tubuh Wijaya bangun "Candra Dewi, oh .....

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"

   Ia menjamah muka puteri itu, menggolek-golekkan dan merabah pernapasan hidungnya.

   "Candra Dewi ..... Candra Dewi ... o, kekasihku ..... mengapa engkau ..... engkau ...

   "

   Bagai seorang ibu kema an anaknya maka melolong dan melengking-lengkinglah Wijaya seper orang gila "Candra Dewi, o jiwa ha ku .....

   mengapa engkau senekad ini, aku .....

   aku hanya memperolokmu .....

   aku dak ma sesungguhnya .....

   kututup pernapasanku dengan ilmu Prana.

   Mengapa engkau mengira aku ma sesungguhnya ...

   o, Candra Dewi .....

   pujaanku ....

   akulah yang berdosa .....

   dosa yang tak patut diberi ampun .......

   aku manusia yang tak layak hidup lagi .....

   "

   Tiba-tiba Wijaya mencabut pedang dan berseru "Candra Dewi, dengarkanlah, di seluruh jagad, di segenap permukaan laut dan bumi, ada puteri kecuali dikau yang kucintai dengan segenap jiwa ragaku .....

   Jika engkau sudah mendahului berangkat ke Nirwana, apa guna aku hidup berkepanjangan? Apa guna segala kebanggaan kemenangan dan kemuliaan hidup ? Hidup tanpa dikau, dewi pujaanku, adalah ar nya bagi Wijaya .....

   baiklah Candra Dewi .....

   sekarang aku benar hendak menyusul engkau ke Nirwana.

   Pedang pusaka, aku hendak minta kesetyaan bak mu .....

   antarkanlah aku menyusul dinda Candra Dewi ...

   "

   Habis berkata Wijaya terus mengangkat pedangnya ke atas dan serentak hendak ditanamkan ke dadanya "Tunggulah, dinda kekasihku ...."

   "Raden Wijaya .... ! "

   Ba- ba menjeritlah Candra Dewi demi menyaksikan kilat pedang melayang turun ke arah dada Wijaya. Dan serentak puteri itupun meregang bangun dan mendekap lengan Wijaya.

   "Candra Dewi, engkau . , . engkau ..... masih hidup ..... ? "

   Wijaya berseru kaget, lepaskan pedang dan terus mendekap sang puteri. Tetapi Candra Dewi cepat menyiak tubuh Wraya, beringut mundur lalu berbangkit dan hendak lari ke dalan bilik lagi.

   "Tuan puteri, ampunilah hamba"

   Wijaya berlutut menghadang jalan Candra Dewi. Candra Dewi tertegun.

   "Engkau .... engkau pembual ...."

   "Duh, sang puteri, san dewi Candra. Hanya tuanlah yang berkuasa melimpahkan air Tirta Sari Amerta itu untuk menyembuhkan penyakit ha Wijaya, penyakit yang kian hari kian melayu ha menjadi gersang. Tidakkah tuan beriba kepada Wijaya, tuan puteri?"

   Candra Dewi tertegun pula.

   "Tuan puteri,"

   Kata Wijaya seraya menyambar pedangnya yang terkapar di lantai "apabila tuanku tak rela memberikan air sari kehidupan itu, bunuhlah Wijaya si pembual bedebah ini .....

   "

   "Raden,"

   Teriak puteri Candra Dewi terkejut "janganlah raden berpikir segelap itu, bertekad sedangkal itu .....

   "

   Di luar kesadaran puteri Candra Dewi meraihkan jarinya mencekal tangan Wijaya.

   Bagai tersengat kala, serentak berhamburlah darah di tubuh Wijaya sehingga jantungnya serasa meloncat ke luar.

   Bukan karena ia tak pernah bersentuhan, dengan kaum wanita.

   Tetapi benar- benar belum pernah ia merasakan suatu sentuhan yang memiliki daya getar sedemikian besar seperti halnya pancaran daya dari jari puteri Candra Dewi.

   Berpuluh sinar pedang, beratus kilang ujung tombak yang pernah mengancamkan maut yang menghen kan jiwa, pernah Wijaya hadapi di medan pertempuran.

   Tetapi belum pernah rasanya ia merasakan suatu getaran yang begitu dahsyat seper ke ka tersentuh jari Candra Dewi.

   Ancaman pedang dan tombak hanya menghen kan debur jantung menyesakkan napas untuk beberapa jenak.

   Tetapi sentuhan jari sang puteri jelita itu laksana gempa bumi yang memberantakkan seluruh isi dinding kalbunya ....

   "Duh, tuan puteri,"

   Kata Wijaya lunglai "apa guna tuan mencegah Wijaya apabila tuan tak mau menghidupkan kelayuan jiwa hamba."

   "Ksatrya,"

   Kata Candra Dewi seraya tersipu-sipu menarik pulang tangannya "mempergunakan pedang raden kepada musuh. Pedang bagi seorang kiatrya adalah jiwa dan kehormatannya. Mengapa raden hendak menghancurkan jiwa raden dengan kehormatan raden sendiri? "

   "Hampa, tuanku,"

   Kata Wijaya "hampa rasanya Wijaya hidup tanpa meneguk air Sari Kehidupan itu. Gelap, tuanku, segelap malam tanpa rembulanlah dalam buana diri Wijaya."

   "Ah, bukanlah masih ada bintang kemintang yang menerangi jadad raya ini? Mengapa raden mengatakan hanya rembulan yang menerangi bumi?"

   Wijaya menghela napas anggun "banyak bintang di langit tetapi tak menang dengan rembulan satu. Banyak jelita di dunia tetapi tiada menangkan tuanku satu."

   Candra Dewi tersipu-sipu malu.

   "Ah, bilakah ksatrya dari Singasari itu dapat bergan pedang dengan bermain sajak? Bilakah raden tiba-tiba menjadi seorang penyair?"

   Wijaya tertawa.

   "Bagai desau angin tuanku, kita tak tahu bilakah datangnya. Kita baru tahu apabila merasakannya. Demikian pula dengan perasaan ha kita. Entah dia itu seorang raja, seorang brahmana, ksatrya, waesya atau sudra. Sebagai insan yang memiliki perasaan ha , tentu akan tergetar ha nya apabila merasakan suatu sentuhan syahdu. Dan untuk meluapkan getar sentuhan nurani itu, tak perlulah kita harus menjadi penyair. Karena rangkaian kata-kata itu akan mbul sendiri sesuai dengan irama dalam kalbunya ....

   "

   "Dan apabila tuanku bertanya bilakah Wijaya menjadi penyair,"

   Kata Wijaya lanjut "maka jawab hamba, sejak hamba menginjakkan kaki hamba di bumi Sriwijaya dan menemukan bahwa dewi dari gunung Candrapura telah turun ke. bumi menjelma dalam istana Darmasraya."

   Candra Dewi tersipu merah wajahnya pula. Sesaat kemudian ia termenung bermuram durja.

   "Raden Wijaya,"

   Katanya kemudian "memang demikianlah nasib seorang puteri boyongan seper diri Candra Dewi ini....."

   "Hai, mengapa tuanku mengatakan demikian?"

   Teriak Wijaya penuh kejut.

   "Madu atau bisa, ataupun madu berbisa yang raden berikan, Candra Dewi tentu akan meminumnya. Karena radenlah yang menguasai nasib puteri tawanan ......

   "

   "Tuan puteri!"

   Teriak Wijaya "mengapa tuanku berkata demikian? Adakah kata-kata dari Wijaya yang tak berkenan dalam hati tuanku?"

   Candra Dewi menggeleng kepala.

   "Tiada yang salah pada ucapan raden karena berhak mengatakan apapun jua....."

   Ba- ba Candra Dewi tersekat dalam nada sendu. Wijaya makin terbelalak.

   "Tuan puteri, mengapa ba- ba tuan puteri bermuram durja, bermurka kata kepada Wijaya? Tuan puteri, janganlah tuanku menyiksa Wijaya berkelarutan ....

   "

   "Ksatrya Singasari,"

   Jawab Candra Dewi "sesungguhnya siapakah yang menyiksa itu? Candra Dewi puteri boyongan ataukah ksatrya Wijaya yang menjadi utusan raja Singasari?"

   Wijaya tertegun.

   "Maaf,"

   Katanya "tuan puterilah yang menyiksa Wijaya."

   "Tidak,"

   Jawab Candra Dewi "radenlah yang menyiksa aku."

   Wijaya kerutkan alis.

   "Mohon tuanku suka memberi penjelasan akan kesalahan Wijaya. Wijaya bersedia menebus kesalahan dengan jiwa raga."

   Cindra Dewi bersenyum anggun.

   "Bukan jiwa raga raden yang ingin kusaksikan menjadi korban sia-sia dari pedang ksatrya Singasari, melainkan janganlah raden berkepanjangan mendendangkan kicau burung hantu di siang hari."

   "Kicau burung hantu?"

   Ulang Wijaya mengerut dahi.

   "Burung hantu berbunyi di malam hari di tengah- tergah kuburan. Janganlah raden paksakan burung itu berkicau di pagi hari."

   "Tuan puteri,"

   Seru Wijaya "andai hamba seorang anak kecl, pis lah saat ini Wjaya akan menangis sekeras-kerasnya. Namun saat ini Wijaya hanya dapat menangis dalam ha karena merasa tersiksa hati. Apakah sesungguhnya yang terkandung dalam tamsil ucapan tuan puteri?"

   Candra Dewipun berkemas-kemas.

   "Raden Wijaya,"

   Katanya "siapakah yang mengutus raden ke Sriwijaya?"

   "Baginda Kertanagara."

   "Apakah titah raja Singasari kepada raden?"

   "Mempersembahkan patung Amogapasha sebagai tanda persahabatan kepada baginda Mauliwarman yang dipertuan dari kerajaan Sriwijaya."

   "Selain itu? "

   Wijaya tertegun. Sanpai beberapa jenak tak dapat menjawab.

   "Apakah maksud raden membawa kami berdua ke Singasari ini?"

   Tegur Candra Dewi.

   "Hamba hanya melakukan titah baginda Kertanagara."

   "Bukankah baginda Singasari itu hendak mempersunting puteri kerajaan Sriwijaya?"

   "Be ..... nar,"

   Wijaya agak tersendat.

   "Dan siapakah yang diinginkan raja Singasari itu?"

   Wijaya terpukau.

   "Bukankah raja Singasari menginginkan puteri Sriwijaya yang bernama Candra Dewi yang bernama pula Dara Petak?"

   Wijaya menunduk bagai ayam sabung yang kalah.

   "Raden, apakah hukum seorang senopati yang mengingkari titah raja?"

   Tanya Candra Dewi pula. Wijaya masih terdiam.

   "Tidakkah layak kukatakan bahwa raden sedang mendendangkan suara burung hantu di siang hari? Tidakkah tepat apabila raden hendak menghidangkan madu berbisa kepada seorang puteri boyongan? Dan tidakkah benar apabila raden sedang menikmati kekuasaan raden sebagai seorang senopati yang berkuasa terhadap orang tawanan raden?"

   Se ap patah kata dari puteri jelita itu bagaikan ujung pedang yang menyayat ha Wijaya. Tiada luka yang pernah dideritanya sesakit sengatan kata-kata puteri itu. Dadanya serasa terhimpit gunung yang maha berat.

   "Candra Dewi!"

   Sesaat kemudian meletuplah mulut Wijaya manakala ia tak kuasa lagi menahan luap ha nya. Sedemikian keras luapan itu menggema sehingga Candra Dewipun tersurut mundur. Puteri itu hendak berputar tubuh masuk kedalam bilik peraduannya.

   "Maaf, tuan puteri,"

   Wijaya menyadarj dan cepat pula meraih daun pintu agar puteri itu jangan melanjutkan maksudnya "terjadi gempa di bumi ha Wijaya, tuan puteri. Hamba menderita guncangannya yang dahsyat. Tetapi mohon jangan tuan puteri cemas."

   "Ih,"

   Desih Candra Dewi "letupan ha raden lebih dahsyat dari aun harimau yang banyak terdapat di bumi Sriwijaya."

   "Mungkin demikian tuan puteri,"

   Jawab Wijaya "namun hamba mohon tuan memberi kesempatan kepada hamba untuk beibicara."

   "Raden berhak penuh."

   "Tidak benar Wijaya memaksakan burung hantu berbunyi di pagi hari. Burung yang tuan puteri sangka sebagai burung hantu karena bulunya serupa itu sesungguhnya bukan burung hantu melainkan burung murai. Burung hantu mengguguk seram di waktu malam hari tetapi burung murai berkicau menghimbau kehadiran fajar hari."

   Candra Dewi diam.

   "Kesahduan bunga seroja di taman Iswaraloka keraton Darmasraya telah kuasa menjadikan burung hantu itu seekor burung murai. Tidakkah layak burung itu berkicau mempersembahkan himbauan sukacita kepada sang bunga?"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tidak layak,"

   Sahut Candra Dewi "karena dia hanya di tahkan untuk merenggut bunga itu dari batangnya dan membawanya kehadapan sang burung hantu. Murai itu dak dibenarkan untuk mengganggu bunga."

   "Tidak tuan puteri,"

   Sahut Wijaya "bunga itu teramat agung dan tak layak dipersembahkan kepada burung hantu."

   "Hanya karena alasan itu?"

   "Bukan,"

   Jawab Wijaya cepat "karena sudah lama, jauh sebelum menerima tah, burung murai itu sudah merindukan sang bunga jelita."

   "Titah burung hantu si raja burung tak dapat ditolak."

   "Tetapi burung murai itu tak kuasa pula menolak suara hatinya, tuan puteri."

   "Dia menghianati titah raja."

   "Karena dia setya pada titah hatinya. Apapun yang akan terjadi, dia bersedia menebus dengan jiwa raganya."

   Candra Dewi tertegun.

   "Raden seorang senopa yang sedang melaksanakan tah raja. Raden seorang putera menantu yang telah menyanggupkan janji kepada rama mentua. Sebagai seorang senopa , raden menghiana tah raja. Sebagai seorang putera menantu, raden culas janji. Tidakkah raden takut akan cela dan hukuman yang akan menimpah diri raden?"

   "Seribu cerca, selaksa ujung pedang, daklah kuasa untuk menyurutkan tekad Wijaya mempersembahkan pengabdian kepada puteri Candra Dewi."

   Candra Dewi terdiam pula.

   "Janganlah tuan puteri mengandung pikiran bahwa tuan ini seorang puteri boyongan. Wijaya bukan membawa pulang puteri boyongan, melainkan merasa telah mendapat sekuntum bunga rahmat yang akan menghidupkan jiwa Wijaya."

   "Ah, raden hanya bermain madu di bibir,"

   Ucap Candra Dewi tersenyum sendu "bukankah di Singasari telah menan puteri baginda yang merindukan belaian raden? Bukankah tuan puteri siang malam berdoa untuk keselamatan raden dan semoga raden kembali dengan membawa kemenangan?"

   Wijaya terdiam.

   "Tidakkah tuan rela menyaksikan kehancuran ha tuan puteri apabila mengetahui raden tak setya kepadanya?"

   Wijaya mengangguk.

   "Cukup kukaji keluhuran jiwa puteri-puteri baginda Kertanagara. Puteri kerajaan Singasari itu seorang puteri utama. Puteri utama dalam arti yang luas dalam pengabdiannya terhadap suami, ayah bunda dan negara. Tidaklah puteri itu akan murka bahkan akan berbahagia karena akan mendapat kawan hidup bersama."

   Candra Dewi agak tersipu.

   Ia malu dalam ha karena telah menyatakan suatu prasangka yang tak layak.

   Diam-diam iapun terkejut dalam ha , mengapa ba- ba saja ia dapat mengutarakan hal semacam itu.

   Bukankah ucapan itu bernadakan rasa cemburu? "Tuan puteri, murai telah berkicau pertanda fajarpun telah ba.

   Janganlah tuan puteri bermuram durja.

   Langit di Singasari akan makin cerah.

   Suryapun makin gemilang menyambut kehadiran puteri agung nan cantik jelita."

   "Bagiku, bumi Sriwijaya itulah yang paling indah."

   "Benar, tuan puteri,"

   Sambut Wijaya "tetapi keindahan Sriwijaya itu bukan karena alam buminya.

   Maaf, tuan puteri, kiranya bumi Singasari itu takkan kalah dengan keindahan alam Sriwijaya.

   Sriwijaya lebih indah karena kehadiran titisan dewi penguasa dari Candrapura bersemayam di dalam pura.

   Apabila mustika itu berada di Singasari, pastilah Singasari akan bersemarak, bahkan jauh lebih gemilang dari Sriwijaya."

   Candra Wulan mendesis h dalam hati.

   "Ah, tak kira kalau seorang senopa pandai pula merangkai kata bagai seorang pujangga,"

   Serunya.

   "Telah kukatakan,"

   Kata Wijaya "bahwa sesungguhnya tuan putcrilah yang memberi ilham, yang menjadi sumber dari ilham yang melahirkan getar-getar kalbu yang kuasa memancarkan untaian kata indah."

   "Ah, betapapun aku masih samar akan nasibku. Seindah-indah Singasari, masih kalah indah dan bahagia dari Sriwijaya. Di bumi Sriwijaya itulah aku digenangi dengan kasih sayang ayahbunda, asuh layan para biti perwara dan sanjung hormat para kawula."

   "Tidak tuan puteri,"

   Sanggah Wijaya "Wijaya bersumpah, demi Batara Agung, akan membahagiakan kehidupan tuan puteri di Singasari.

   Apabila ada orang yang berani mengganggu kesenangan tuan puteri ataupun memperlakukan yang tak berkenan di ha tuan, Wijaya akan mempersembahkan jiwa dan raga untuk melindungi tuanku."

   Candra Dewi terbeliak.

   "Adakah benar murai yang berkicau itu menyambut kehadiran fajar hari?"

   Serunya menegas.

   "Wijaya mempersembahkan sumpah tekadnya ke bawah duli tuan puteri,"

   Kata Wijaya. Candra Dewi menghela napas.

   "Ksatrya,"

   Ba- ba ia menjamah jari lalu melolos sebentuk cincin pualam "untuk menyatakan betapa syukur ha ku karena engkau berjanji akan melindungi keselamatan diriku, sukalah raden menerima cincin ini."

   Wijaya terbeliak kaget.

   "Mengapa engkau diam saja, raden?"

   Tegur Candra Dewi demi melihat Wijaya terlongong "adakah engkau merasa hina karena menerima pemberianku ini?"

   "Tuan puteri,"

   Wijaya gopoh berseru "

   Dak pernah Wijaya bermimpi akan ter mpah rembulan jatuh.

   Dan andai benar akan kejatuhan rembulan, daklah Wijaya akan merasa lebih bahagia daripada menerima pemberian cincin tuan puteri ini.

   Benarkah tuan puteri hendak menganugerahkan cincin itu kepada Wijaya ?"

   "Batu pualam putih itu disebut orang Biduri-bulan. Tetapi sesungguhnya berasal dari tanah Gujarat, persembahan seorang musafir kepada nenekanda Demang Lebar Daun. Khasiatnya akan membuat sipemakai riang hati, mempunyai keyakinan pada diri sendiri dan diindahkan orang ....

   "

   "Tuan puteri, mengapa tidak tuan pakai sendiri cincin pusaka seperti itu ?"

   "Tidak lain raden,"

   Kata Candra Dewi lembut "agar raden dapat melaksanakan janji raden untuk melindungi kami."

   Wijaya segera mengulurkan kedua tangan untuk menyambu pemberian cincin itu.

   Tetapi ke ka tangannya bersentuhan dengan jari jemari Candra Dewi yang sehalus beludru, seke ka melayanglah, semangat Wijaya ke alam yang disebut Langit-lapis-ketujuh.

   Dan tak terasa iapun mendekap tangan sang jelita.

   "Ih,"

   Candra Dewi mendesis kejut dan dengan tersipu-sipu ia segera menarik menarik tangannya.

   "Puteri ....

   "

   Wijaya berbangkit hendak mendekap sang jelita tetapi Candra Dewipun mendahului beringsut mundur lalu menutup daun pintu bilik peraduannya.

   "Tuan puteri,"

   Seru Wijaya beriba-iba "mengapa tuan menutup pintu ? "

   "Ingat raden,"

   Sahut Candra Dewi dari dalam "janganlah raden melanggar kepercayaan yang diberikan raja Singasari kepada raden."

   "O, puteri Candra Dewi,"

   Seru Wijaya setengah memohon "

   Dakkah tuan percaya akan sumpah Wijaya ? Yang menghadap baginda Tribuana Mauliwarman adalah Wijaya utusan nata Singasari. Tetapi yang berhadapan dengan puteri Canara Dewi saat ini, adalah Wijaya peribadi, bukan utusan nata."

   "Jika demikian,"

   Kata Candra Dewi "Wijaya duta sang nata Singasari itu lebih dapat menghorma kehormatan kaum puteri, daripada Wijaya peribadi. Adakah demikian laku raden Wijaya peribadi itu?"

   Tersipu merah wajah Wijaya mendengar ucapan Candra Dewi.

   "Tuan puteri, Wijaya seorang ksatrya jantan. Apapun yang akan terjadi takkan mundur setapakpun untuk mencapai tuntutan suara ha nya. Tidakkah tuan puteri merasa kasihan kepada diri Wijaya?"

   "Kasihan menurut yang engkau kehendaki, bukanlah kasihan yang murni. Adakah raden kuatir bahwa rembulan hanya bersinar pada malam ini? Justeru kasihan kepada raden maka tak kumanjakan raden berbuat hal yang tak layak."

   "Adakah seorang ksatrya yang mendambakan suara ha nya kepada seorang puteri, itu yang tuan puteri anggap tak layak?"

   "Tidak,"

   Seru Candra Dewi "hal itu memang layak pada ksatrya lain tetapi dak pada ksatrya Wijaya. Karena tak ingin melihat nama Wijaya tercemar maka kugariskan tajam-tajam batas yang layak yang wajib kita hormati."

   "Tuan puteri,"

   Seru Wijaya pula "adakah hal itu berar suatu batas penutup perasaan tuan puteri terhadap Wijaya, semisal dengan penutupan daun pintu yang tuan lakukan ini?"

   "Pintu bilik ini, bukanlah pintu ha ku. Marilah kita serahkan kelanjutan nasib kita kepada Hyang Isywara."

   "Tidak, tuan puteri,"

   Teriak Wijaya "aku tak mau menyerahkan nasib kepada Batara Agung.

   Dan tentulah Hyang Isywara juga dak menghendaki tahNYA untuk berpaserah- paserah diri.

   Sesuai dengan amanatnya bahwa kita se ap manusia harus dan wajib berusaha maka akupun akan berusaha dengan sekuat jiwa raga dan akan memohon restu kepada Hyang Batara Agung."

   Terdengar suara helaan napas lembut dari dalam bilik.

   "Tuan puteri, mengapa tuan menghela napas?"

   Wijaya terkejut.

   "Hari sudah malam,"

   Sahut Candra Dewi "silakan raden kembali agar jangan sekalian awak perahu dan bawahan raden menduga sesuatu kepada kita."

   "Baik, tuan puteri,"

   Sahut Wijaya "tetapi sebelum pergi, bolehkah Wijaya mengharap sepatah kata tuan puteri bahwa Wijaya takkan bertepuk sebelah tangan ?"

   "Ah ....

   "

   Terdengar desah yang dalam.

   "Tuan puteri, janganlah tuan menjadikan Wijaya seperti 'pungguk merindukan bulan'."

   Tiada penyahutan lagi.

   "Tuan puteri, apabila tuan sampai ha menolak harapan Wijaya, lebih baik Wijaya sirna dari arcapnda ini....."

   Tetap tiada suara apa-apa.

   "Tuan puteri, mengapa tuan diam jua ?"

   Berulang kali Wijaya mengulang seruannya namun ada jawaban lagi.

   Akhirnya iapun terpaksa ke luar dengan hati gundah kelana.

   Dia naik ke atas geladak dan memandang cakrawala dan permukaan laut.

   Cakrawala terang benderang.

   Bulan bersinar bagai mencurahkan restu kepadanya.

   Bintang berkelap kelip melontar senyum kepadanya.

   Dan seluruh permukaan laut tampak berkilau-kemilau bagaikan permadani perak yang mengerutkan cahaya gemerlap.

   Wijaya tegak terpaku menyaksikan suasana itu.

   Malam purnama di tengah samudera yang bergelombang, merupakan suatu suasana alam yang indah permai.

   Namun keindahan itu tak pernah dirasakan Wijaya walaupun mata memandang.

   Pandangan matanya itu hampa karena seluruh perha an dan segenap indriya perasa, tengah berpusat dalam suatu renung yang membentuk suatu khayal impian indah.

   Malam itu dia benar-benar merasa amat bahagia walaupun kebahagiaan itu masih dalam khayal.

   *** Candra Dewi menghela napas sendu manakala mendengar Wijaya sudah melangkah ke luar.

   Memang ia sengaja tak mau menyahut seruan Wijaya yang melolong-lolong seper serigala kelaparan itu.

   Sesungguhnya ia kasihan tetapi terpaksa ia harus menguatkan ha agar dak runtuh di bawah buaian rayu ksatrya yang sedang dimabuk kepayang itu.

   Beberapa saat setelah suasana hening maka teringatlah ia akan sesuatu.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Segera ia mengeluarkan sehelai lipatan kain dari dalam baju.

   Lipatan kecil dari kain itu berisi secarik kertas yang bertulis.

   Kertas itu adalah azimat pemberian dari Mahanatha, maharesi kerajaan Sriwijaya yang menjadi guru Candra Dewi.

   Tatkala Candra Dewi hendak meninggalkan Darmasraya maka maharesi Mahanathapun memberi sebuah azimat bertuah untuk menolak segala bala bencana dan malapetaka.

   "Duh, guru maharesi Mahanatha yang hamba horma . Tidakkah guru kuasa menolong diriku dari kesengsaraan ini ?"

   Kata Candra Dewi di kala berhadapan dengan gurunya.

   Maharesi Mahanatha mengangguk "cemas itu suatu rasa ketakutan yang menghuni dalam pikiran kita karena ke dak-tahuan kita dalam menghadapi sesuatu.

   Apakah sesungguhnya yang engkau cemaskan, puteri ? Bukankah puteri merasa cemas karena membayangkan kesengsaraan nasib tuan apabila berada di kerajaan Singasari ? Dan rasa sengsara itu timbul karena pengaruh suatu rasa lain yani rasa kebahagiaan yang tuan nikmati di Darmasraya ? "

   Candra Dewi terdiam.

   "Jelas,"

   Kata maharesi Mahanatha pula "bahwa kecemasan tuan puteri itu berdasarkan per mbangan bahwa kelak di Singasari tuan puteri takkan menikma kebahagiaan seper di Darmasraya.

   Bayang-bayang akan kehilangan kebahagiaan itulah yang menimbulkan rasa cemas dalam ha mu.

   Demikian berlaku pada se ap orang yang dibayangi rasa takut.

   Tetapi ketahuilah wahai, anakku puteri Candra Dewi.

   Bahwa baik dari hasil ilmu perhitungan bintang maupun dari hasil renungan semedhi, telah kulihat suatu gambaran garis hidup bagi dirimu.

   Bahwa kelak engkau akan menjadi permaisuri tersayang dari sebuah kerajaan besar di Jawadwipa ....

   "

   "Percayalah kepadaku, anakku,"

   Kata Mahanatha pula "jangan engkau cemas atau samar lagi. Kepergian tuan puteri ke Singasari bukan sebagai batu yang dilemparkan ke laut. Melainkan sebagai intan yang dilontarkan ke langit dan menjadi sekuntum bintang yang amat cemerlang."

   Candra Dewi terkesiap.

   "Kelak tuan puteri akan menjadi seorang permaisuri yang besar pengaruh didalam kerajaan baru di Jawadwipa itu. Kelak tuan puteri pun akan menurunkan seorang putera yang akan mewarisi tahta kerajaan itu. Berbesar hatilah tuan puteri dan bertawakallah tuan memanjatkan doa puji syukur kepada Hyang Tata-gatha karena darah keturunan Mauliwarman akan menguasai sebuah kerajaan besar di Jawadwipa. Sebuah kerajaan yang lebih besar dan lebih jaya daripada kerajaan ayahanda baginda Mauliwarman sekarang."

   Dan sebagai peneguh hati Candra Dewi, maharesi pun menyerahkan azimat penangkal bala.

   "Apabila tuan puteri merasa cemas dan duka, asapilah azimat ini dan sebutlah nama mahanatha dalam ciptamu. Mahanatha akan menampakkan diri di hadapanmu, tuan puteri....."

   Demikian pesan maharesi Mahanatha yang sak pada waktu memerahkan azimat kepada Candra Dewi.

   Saat itu Candra Dewi merasa dalam kebingungan.

   Walaupun sudah tak kurang-kurang maharesi Mahanatha memberi petuah dan penerangan namun puteri itu masih merasa kehilangan pegangan di kala menghadapi cumbu rayu Wijaya yang bertubi-tubi.

   "Ah, terpaksa akan kucipta kehadiran guru maharesi"

   Akhirnya Candra Dewi mengambil keputusan.

   Ia mempersiapan perasapan.

   Sambil menjerang azimat diatas perasapan, ia pejamkan mata, menyatukan seluruh pikiran menciptakan suatu bentuk perwujutan sang maharesi.

   Sungguh ajaib sekali.

   Kepulan asap pedupaan itu melingkar lingkar, menggembung besar dan membentuk satu bentuk tubuh manusia dan sesaat kemudian berobahlah gumpal asap itu menjadi bentuk seorang orang tua berjanggut putih ......

   maharesi Mahanatha! "Duh, maharesi, guru hamba yang mulia .....

   "

   Serta merta Candra Dewipun berjongkok memberi sembah. Bayang bayang Mahanatha itupun tampak tersenyum memandang sang puteri.

   "Adakah sesuatu yang meresahkan pikiranmu, anakku? "

   Tak terdengar suara berkumandang namun dalam telinga Candra Dewi seolah telah mendengar maharesi berkata dengan lembut.

   "Bapa guru yang arif budi,"

   Seru Candra Dewi "saat ini perjalanan yang kutempuh dengan perahu sudah menjelang ba di Jawadwida.

   Entah besok entah lusa, tentu akan ba di Singasari.

   Guru mengatakan bahwa aku akan mendapatkan seorang ksatrya yang bersedia mengabdikan jiwa raganya kepadaku.

   Dapatkah guru memberi petunjuk, siapakah gerangan ksatrya itu? Dan bilakah kiranya dia akan menjumpahi aku?"

   "Duhai anakku, belumkah engkau bersua dengannya?"

   "Belum, guru."

   "Benar? Cobalah engkau ingat-ingat, anakku. Tidaklah ada seorang muda yang telah bersumpah akan mengorbankan jiwa raganya untuk melindungi dirimu dan patuh akan segala titah, tuan?"

   "Ah,"

   Desah Candra Dewi "dia pernah mengucapkan sumpah itu ..... adakah dia?"

   "Siapa? "

   "Raden Wijaya."

   "Itulah ksatrya itu, anakku,"

   Ucap Mahanatha "adakah tuan masih risau? "

   "Tetapi guru,"

   Sanggah Candra Dewi "dia hanya mengemban tugas untuk memboyong kami berdua kepada raja Singasari.

   Duh, bapa guru yang mulia ..

   raja Kertanagara itu sudah lanjut usia, telah memiliki beberapa permaisuri dan telah berputera puteri yang sebaya usia dengan hamba.

   Adakah hamba harus jatuh ke tangannya pula? Tidak, guru, rasanya Candra Dewi tak sanggup menerima nasib serupa itu."

   Maharesi Mahanatha tertawa anggun.

   "Ah, mengapa tuan puteri harus bercemas ha ? Raden Wijaya telah jatuh ha kepada tuan puteri. Dia adalah keturunan Narasingamur yang masyhur dan dia adalah jodoh tuan puteri yang kelak akan memerintah sebuah kerajaan besar di Jawadwipa."

   "Akan tetapi, guru, raden itu adalah putera menantu raja Kertanagara dan dia adalah senopa yang diutus untuk memboyong kami. Bagaimana dia berani mengingkari titah junjungannya?"

   "Ketahuilah, anakku Candra Dewi,"

   Kata Mahanatha "cinta itu suatu anugerah yasg keramat dari Hyang Batara Agung.

   Jika ada cinta kasih maka Buddhapun takkan meni s berulang-ulang ke arcapada lagi.

   Cinta itu adalah mahkota agung bagi manusia.

   Bila dia dihinggapi cinta maka dia akan merasa lebih mulia daripada raja, lebih perkasa dari halilintar dan lebih berani dari Kesava.

   Raden Wijaya pasti akan memiliki perasaan itu."

   "Sedemikian besarkah pengaruh cinta itu, guru."

   "Benar, anakku,"

   Kata Mahanatha "jangankan engkau suruh dia mencium duli telapakmu ataupun suruh menentang raja Kertanagara, bahkan engkau suruh dia menyerahkan Singasari kepada Sriwijaya sekalipun, pasti akan dilakukannya jua."

   "Ah, guru ....

   "

   Candra Dewi menghela napas "tetapi hamba takut takkan terlindung dari rayuan raden itu."

   Mahanatha tertawa.

   "A a hi a ano ga . Diri sendiri adalah pelindung dari diri sendiri,"

   Kata maharesi "

   Ada lain orang yang sanggup melindungi diri tuan puteri kecuali tuan puteri sendiri. Jernihkan pikiran, tenangkan ha dan sucikan ba n. Tiada perisai yang betapapun kokohnya, dapat melebihi perisai ketiga senjata diri kita peribadi itu."

   "Tetapi ....

   "

   Candra Dewi tersipu-sipu hentikan kata.

   "Tetapi mengapa, anakku? "

   Seru maharesi "katakanlah apa yang masih merisaukan hatimu."

   "Tetapi dia terlalu tergopoh dan melanggar batas-batas kesusilaan. Aku malu dilihat para dayang."

   Maharesi tertawa pula.

   "Air bengawan akan mengalir terus apabila ada bersua dengan wadah lautan. Demikian pula dengan cinta seorang anakmuda. Dia akan berkobar merangsang dan gelisah resah apabila tak mendapat kesempatan untuk menumpahkan rayuannya. Oleh karena itu anakku, mengapa tuan tak berkenan meluangkan kesempatan untuk bercengkerama dengan raden itu ?"

   "Ah, bapa guru, hamba malu."

   "Kodrat Prakitri menjelmakan sifat lelaki itu berpasangan dengan sifat wanita. Mengapa tuan puteri harus malu? Dan pula memang raden itulah garis pasangan yang akan menjadi guru-laki bagi tuan puteri."

   Candra Dewi kerutkan kening.

   "Tetapi bagaimana mungkin hal itu berlangsung di bilik ini, bapa guru ?"

   Maharesi tersenyum "Memang bukan di bilik ini tempatnya, anakku. Tetapi akan kubawa kalian ke taman Inderaloka yang indah."

   "Taman Indera-loka? Di manakah itu, guru?"

   "Jauh di awang-awang, disebuah taman parahiyangan di mana burung burung berkicau sepanjang hari, bunga-bunga berkembang sepanjang tahun dan air bergemericik sepanjang masa."

   "Ah, bagaimana hamba dapat menuju ke taman itu?"

   "Tenangkanlah ha mu, anakku. Hampakan pikiran, pusatkan perha an dan pandanglah mataku,"

   Kata maharesi Mahanatha.

   Candra Dewipun segera melakukan perintah.

   *** Burung berkicau, bunga bermekaran seolah berlomba menampilkan kecan kan.

   Angin berhembus lembut, menebarkan bau harum semerbak.

   Air mendesir, tersibak riak menyegar sesosok tubuh yang pu h halus.

   Berhamburan mencurah keatas mahkota berupa rambut ikal mayang yang bertebaran menjulai ke atas sepasang bahu teraju yang indah.

   Bu r-bu r air itupun bergembira ria berhamburan melumat sepasang pipi dan hidung serta bibir dari sebuah insan yang can k ada cela.

   Turun pula hamburan air itu singgah ke sepasang buah dada yang ba' pepaya ranum, menelusur ke bawah lalu berhamburan gemuruh terjun ke sebuah kolam air.

   Ah, betapakah bahagia air itu .....

   Wajah secantik bidadari dan tubuh yang ramping itu adalah milik scorang dara berusia enambelas tahun.

   Bukan dara sembarang dara melainkan seorang puteri yang tengah dijenjang remaja ria.

   Puteri itu senang bergenang diri mandi dalam telaga dalam sebuah taman loka yang indah asri.

   Ia hanya mengenakan kain pis yang menutup paha hingga sampai ke dada.

   Wajahnya bagai langit cerah yang baru lepas dari selubung awan.

   Hidung mancung, gigi yang membiji ke mun tampak pu h berkilap seper mu ara.

   Bibir merekah merah, dagu berhias sebuah tahi lalat.

   Apabila tertawa maka pipipun melipat lesung pipit.

   Tengah puteri jelita itu bersuka ria, ba- ba terkejutlah ia kala pandang matanya tertumbuk akan sebuah pemandangan yang tak disangka-sangkanya.

   Tatkala ia menghias wajah berkaca pada air yang bening, tampak pada bayang-bayang pohon bunga yang merebah di permukaan air itu, seorang anakmuda yang tengah berdiri terlongong- longong.

   "Ih,"

   Puteri itu mendesah kejut dan cepat naik ke tepi telaga.

   Maksudnya hendak mengambil busana yang terletak di dekat gerumbul bunga.

   Tetapi alangkah kejutnya ke ka dilihatnya anakmuda itu sudah berada di tempat tumpukan busana dan tengah bersenyum kepadanya.

   "Hai, pemuda yang tak sopan, enyahlah engkau dari sini,"

   Seru puteri dengan wajah tersipu merah karena marah dan malu "siapa yang memberi idin kepadamu datang kemari? Inilah taman Indera-loka para dewa."

   "Benar tuan puteri,"

   Pemuda itu menyahut dengan kata lembut "memang hamba tahu bahwa taman ini adalah taman Indera-loka "

   "Mengapa pula engkau berani masuk kemari? "

   "Karena Batara Inderalah yang membawa hamba kemari, tuan puteri."

   "Batara Indera? Siapakah engkau?"

   Seru puteri.

   "Hamba Wijaya, cucu Batara Narasinga,"

   Sejenak puteri itu tertegun.

   "O, kiranya engkau keturunan ksatrya Batara Narasinga,"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata puteri "tetapi beda benar darah keturunanmu dengan ngkah lakumu. Kedatanganmu secara bersembunyi-sembunyi itu telah mengejutkan ikan-ikan dalam telaga, menaku unggas-unggas dalam taman dan menerbangkan semangatku."

   "Benar tuan puteri,"

   Sahut ksatrya muda itu "hambapun mengaku salah dan hamba hanya meran hukuman paduka. Apapun yang paduka hendak jatuhkan kepada diri hamba, tentu akan hamba terima dengan tulus hati."

   Puteri mengernyit alis "Aku tak kuasa menjatuhkan hukuman kepadamu. Andai berkuasa, pun aku tak mau menghukummu. Sifat keksatryaanmu akan menghukum hatimu sendiri. Lekas berikan pakaianku itu dan segeralah engkau tinggalkan tempat ini."

   Ksatrya itu tertawa "Hamba mohon tuan puteri memberi hukuman kepada Wijaya, asal tuan puteri jangan meminta busana ini."

   "Ih,"

   Desis puteri terkejut "janganlah pikiranmu makin dak senonoh. Berikan busanaku itu dan lekaslah engkau enyah."

   "Tidak tuan puteri, hukumlah hamba asal jangan meminta busana ini."

   "Apakah keperluanmu dengan busana itu ?"

   "Perlu sekali tuan puteri,"

   Sahut Wijaya "seperlu bumi dengan rembulan."

   "Coba katakanlah, apa yang engkau sebut perlu sekali itu?"

   "Tiga buana tujuh samudera telah hamba jelajah, akhirnya di sinilah hamba beremu dengan yang hamba idam-idamkan. Busana ini, tuan puteri, akan hamba simpan sampai pada akhir hayat hamba."

   Puteri kerutkan kening "Aneh, untuk apakah busana itu?"

   "Tiap malam akan hamba pandang dan kenang,"

   Sahut Wijaya "karena dengan memandang dan mengenang busana itu sama dengan mengenang pemiliknya ....

   "

   Puteri tersipu-sipu merah mukanya.

   Tiba- ba pandang matanya tertumbuk akan sebentuk cincin perdata yang berwarna merah, melingkar di jari manis ksatrya itu.

   Tanpa disadari puteripun memandang ke arah jarinya sendiri yang juga memakai sebentuk cincin pualam warna pu h bercahaya.

   Rupanya gerak gerik puteri jelita itu tak lepas dari perhatian Wijaya.

   "Benar, tuan puteri,"

   Ba- ba Wijaya berseru di situlah sumber rahasia dari langkah hamba ini,"

   Kemudian Wijaya mengangkat tangannya "cincin hamba ini telah menemukan pasangannya ....

   "

   "Jangan membual,"

   Seru puteri.

   "Benar tuan puteri,"

   Wijaya memberi penegasan "cincin yang hamba pakai ini adalah cincin pusaka dari nenek hamba Batara Narasinga.

   Pesan nenek hamba, cincin ini berasal dari mus ka buah delima.

   Nenek hamba memperoleh cincin ini dari pesan gaib dalam mimpi ke ka nenek hamba sedang bertapa di dalam guha.

   Kelak apabila mus ka merah delima ini bertemu dengan sebuah batu mus ka lain yang dapat menghapuskan warna merahnya menjadi warna pu h cemerlang maka disitulah hamba akan memperoleh jodoh.

   Kelak bersama puteri itu, hamba akan memerintah sebuah kerajaan yang besar."

   Puteri terkejut.

   Namun sebagai seorang puteri utama yang halus peker , ia tak mudah terperangsang oleh sesuatu yang mengguncanggan hati.

   Wijaya melolos cincin mus ka delima dan dipersembahkan ke hadapan puteri "Tuan puteri, sukalah tuan puteri melolos cincin tuan dan padukan kedua cincin itu.

   Tuan tentu percaya apa yang hamba katakan."

   Seper kena pesona maka disambu nya pemberian cincin itu dan puteripun segera melolos cincin pualam pu h yang melingkar pada jari manisnya.

   Kemudian kedua cincin itupun dipadunya.

   Seketika ia terlongong-longong ....

   Ke ka sinar merah dari mus ka delima berpadu dengan sinar pu h dari pualam Biduri-bulan milik puteri maka ba- ba sinar keduanya berobah menjadi segulung asap pu h.

   Asap hilang dan muncullah wajah maharesi Mahanatha tersenyum riang seraya mengangguk-angguk kepala.

   Sesaat kemudian maharesi pun lenyap berganti dengan pemandangan yang mentakjubkan ....

   Talam sebuah ruang indah gemilang laksana sebuah balairung, tampak seorang raja yang masih muda duduk di pelaminan bersanding dengan seorang permaisuri yang can k jelita.

   Mentri hulubalang duduk bersila menghaturkan sembah kepada baginda dan permaisuri.

   Sangsakala meraung-raung, genderang berdentam-dentam.

   Tak lama kemudian terdengar bunyi seperangkat gamelan Lokananta berdengung-dengung membahana merdu dari awang awang ....

   Serempak hujanpun turun rin k-rin k.

   Bukan hujan air melainkan hujan bunga warna warni yang menyerbakkan bau harum mewangi.

   Seke ka terdengar sorak yaig gegap gempita.

   Sorak sorai yang menggetarkan bumi dari beratus ribu rakyat yang berada di luar balairung.

   "Dirgahayu baginda dan permaisuri ....... ! "

   Demikian sorak yang menggema di luar balairung.

   Terbelalaklah pandang puteri ke ka mengama dengan seksama bahwa yang menjadi baginda raja itu tak lain adalah ksatrya Wijaya yang saat itu sedang berada di hadapannya.

   Sedangkan yang jadi permaisuri cantik itu adalah dirinya sendiri ....

   "Tuan puteri, mengapa tuan terpesona ? Apakah yang tuan saksikan ?"

   Puteri tersentak kaget lalu tersipu-sipu merah mukanya.

   "Bukankah hamba tak bohong ?"

   Tanya Wijaya pula. Puteri diam saja.

   "Nenek hamba Batara Narasinga sudah seper setengah dewa. Tak mungkin beliau ingkar kata. Kini cincin mus ka delima telah menemukan pasangannya. Adakah tuan masih menyangsikan kebenarannya ?"

   Puteri tak dapat menjawab.

   Ia menyerahkan cincin kepada Wijaya kembali, Di luar kehadirannya, puteri telah keliru menyerahkannya.

   Yang diterimakan kepada Wijaya yalah cincin Biduri bulan, sedang yang dipakainya adalah cincin mustika-delima milik Wijaya.

   Wijaya tahu namun diam dan tertawa girang.

   "Ksatrya, berikanlah busana itu kepadaku,"

   Seru puteri pula.

   "Adakah tuan puteri berkenan meluluskan harapan Wijaya? Wijaya akan menyerahkan jiwa raga mengabdi kepada tuan puteri ?"

   "Ah, jika dalam soal kecil untuk menyerahkan busana saja engkau sudah membantah, bagaimana aku dapat mempercayai ucap janjimu tadi ?"

   "Tetapi ....

   "Apakah engkau menginginkan aku kedinginan karena tak mengenakan busana? Demikianlah pengabdianmu, hai ksatrya?"

   "Baiklah tuan puteri,"

   Wijaya bergesa kata "silakan tuan naik ke tepi telaga."

   "Undurkanlah dirimu sampai lima langkah dan berpalinglah ke belakang di kala aku mengenakan busana."

   Wijaya menurut.

   Dalam saat berputar tubuh setelah ia mundur beberapa langkah itu, berdebar- debarlah ha nya kala membayangkan sesuatu.

   Beberapa saat kemudian ia merasa malu sendiri.

   Mengapa ia harus membayangkan sesuatu yang belum menjadi haknya? Bukankah kelak puteri jelita itu akan menjadi miliknya jua? Ah, segera ia pejamkan mata.

   Namun sampai cukup lama menan , belum juga puteri itu memberi perintah lagi.

   Karena tak kuasa menahan rangsang ha nya, Wijayapun berputar diri ke arah tepi telaga.

   Ah, kiranya puteri itu sudah mengenakan busananya dan saat itu tengah duduk memandang ikan-ikan yang berenang-renang dalam telaga.

   "Tuan puteri....."

   "Siapa suruh engkau menghadap kemari?"

   Tukas puteri itu.

   "Bukankah tuan sudah berbusana, mengapa tuan tak memerintahkan hamba berpaling lagi? "

   "Jika dalam soal sekecil itu saja engkau sudah melanggar janji, bagaimana mungkin engkau hendak mengabdi kepadaku?"

   "O, tuan hendak menghukum hamba?"

   "Bukankah amat ringan hukuman itu untuk kesalahanmu masuk kemari tanpa seijin itu?"

   "Terlampau berat, tuan puteri."

   "Berat?."

   "Hukumlah hamba seberat-beratnya asal jangan melarang hamba menghadap pandang kepada tuan puteri serasa gelaplah bumi ini."

   Puteri tersipu sipu menundukkan kepala.

   Benar-benar ia tak berdaya menghadapi seorang ksatrya muda yang begitu tampan, gagah dan lincah bicara.

   Ia terkejut ketika ekor matanya tertumbuk pada sepasang kaki yang duduk bersila dekat sekali di sampingnya.

   Cepat puteri mengangkat muka dan .....

   dan bertemulah dua pasang mata.

   "Engkau berani ...

   "

   Akhirnya dapat juga puteri memaksakan lidahnya yang serasa kelu, bersuara.

   "Hamba telah menemukan jodoh yang telah digariskan pada cincin pusaka nenek hamba. Untuk menjadi permaisuri dalam kerajaan yang akan hamba bangun."

   "Ih,"

   Desis puteri "aku tak ingin menjadi permaisuri. Aku lebih senang bermain-main di taman dan bercengkerama di telaga ini. Tiada yang kurang bagiku di sini. Unggas, margasatwa, ikan, burung dan bunga selalu setya menemani dan menghibur hatiku."

   "Tuan puteri,"

   Kata Wijaya "tidakkah tuan sesekali merasa rindu untuk bersenda- gurau/bercakap-cakap dan bercengkerama dengan seorang mahluk titah dewata yang lain? Tuan merasa senang tetapi tuan hanya tertawa seorang diri, bercakap-cakap seorang diri, berkecimpung dalam telaga seorang diri pula.

   Adakah kehidupan yang tiada berbalas itu takkan menjemukan hati tuan puteri?"

   Tiba- ba Wijaya ulurkan tangan menjamah tangan puteri lalu menunjuk pada sepasang burung belibis yang tengah berenang-renang berpasangan di tengah telaga.

   "Lihatlah tuan puteri! Betapa bahagia sepasang burung belibis itu. Mereka menyelam bersama, berenang berpasang. Ah, itulah ... yang jantan sedang mematuki kepala yang betina dengan penuh kemesraan. Yang betinapua balas mematuki sayap dan tubuh yang jantan. Rupanya mereka sedang berkasih-kasihan dengan asyik sekali. Dan o, cobalah tuan pandang itu! "

   Puteri menyalangkan pandang ke tengah telaga.

   Tampak kedua ekor belibis itu saling berpadu paruh.

   Rupanya yang jantan telah mendapat sesuatu dan diberikan kepada yang betina.

   Puteri tundukkan kepala tersipu-sipu.

   Sejenak puteripun tak menyadari bahwa saat itu sebelah tangannya masih didekap tangan Wijaya.

   Dan tersentaklah ia dari kemanguan ketika merasakan jari tangannya tiba-tiba basah- basah hangat.

   Dan ketika mengangkat muka ternyata tangannya telah dikecup oleh mulut Wijaya.

   "Duhai puteri pujaan hamba, daklah tuan iba ha kepada Wijaya yang dirundung derita rindu ....

   "

   Tiba- ba puteri rasakan kepalanya telah didekap oleh tangan yang kokoh dan seke ka itu pula pandang matanyapun tertutup oleh sebuah wajah, makin merapat wajah itu dan ah .....

   Rasanya sesak napas puteri karena hidungnya terhimpit oleh sepu h daging lunak dan mulutpun terlumat oleh sepasang bibir yang hangat.

   Bertebaranlah darah dalam tubuh puteri.

   Hangat, panas, mendidih dan menggelora, menimbulkan asap yang membawa terbang semangatnya, melambung nggi dan makin nggi, penuh kenikmatan dan kesyahduan ....

   Entah kendang berapa lama, ia tak kuasa pula untuk menahan kesesakan napasnya dan tanpa disadari, ia menyiak tubuh yang memeluknya itu ke belakang, blugg.....

   "Raden ....

   "

   Puteripun menjerit kejut ketika melihat Wijaya terlempar jatuh kedalam telaga. Dan serentak dengan jeritan itu, iapun terjaga.

   "Ah, aku bermimpi "

   Katanya. Namun ia heran mengapa napasnya masih terengah-engah .... *** "Cumbita, mengapa engkau berada disini? "

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tegur puteri Candra Dewi ke ka ia terjaga dan melihat dayang Cumbita berada dalam biliknya.

   "Hamba mendengar tuan puteri menjerit maka hambapun bergegas masuk kemari,"

   Kata dayang itu "adakah tuan puteri mengelami sesuatu? "

   Candra Dewi terkejut. Kemudian menyadari bahwa impian itulah yang menyebabkan ia menjerit.

   "Ah, tak apa-apa Cumbita. Aku hanya bermimpi,"

   Sahut puteri.

   "O, syukur tuan puteri,"

   Seru Cumbita lcgah.

   "tetapi berkenankah tuan puteri memberi tahu hamba akan mimpi paduka itu?"

   Candra Dewi tersipu merah wajahnya "Ah, tak apa-apa, Cumbita. Apakah kita sekarang dalam pelayaran di tengah samudera? "

   "Benar tuan puteri,"

   Sahut Cumbita "menurut keterangan nakhoda, saat ini kita sedang melalui kepulauan Karimun dan besok tentu akan tiba di bandar Tuban, bandar dari kerajaan Singasari."

   Mendengar keterangan itu seke ka berobahlah wajah puteri Candra Dewi. Dua hari lagi ia tentu akan tiba di pura Singasari.

   "Cumbita, dimanakah raden Wijaya?"

   Serunya.

   "Hamba disini tuan puteri,"

   Seke ka pintu terentang dan masuklah Wijaya dengan langkah gontai.

   "Ih,"

   Desih Candra Dewi "mengapa raden berada di luar pintu bilik ini? Adakah raden mendengar jeritanku tadi?"

   "Mendengar, tuan puteri,"

   Sahut Wijaya tersenyum "tuan memanggil Wijaya."

   Candra Dewi menunduk. Tiba- ba pandang matanya terpikat oleh cincin sinar pu h yang memancar pada jari tangan Wijaya. Serentak ia memberi isyarat kepada Cumbita supaya meninggalkan bilik itu.

   "Raden,"

   Seru Candra Dewi sesaat kemudian.

   "adakah cincin pualam Biduri-wulan itu, cincin yang kuberikan kepadamu?"

   "Maaf, tuan puteri,"

   Sahut Wijaya "cincin pemberian tuan puteri, hamba simpan dalam baju hamba. Cincin ini adalah cincin peninggalan nenek hamba."

   "Cobalah raden ambil cincin pemberianku itu,"

   Wijaya melakukan perintah. Segera ia mengambil keluar sehelai saputangan sutera dari dalam bajunya. Kemudian membukanya.

   "Hai ....... ! "

   Seketika memekiklah Wijaya.

   "Mengapa?"

   Seru Candra Dewi ikut terkejut.

   "Cincin itu hilang, tuan puteri!. Pada hal jelas hamba bungkus dengan saputangan ini,"

   Kata Wijaya.

   "Tidak,"

   Seru Candra Dewi "cincin itu tidak hilang, melainkan engkau pakai."

   Wijaya terbeliak "Tidak, tuan puteri. Cincin yang hamba pakai ini adalah cincin pusaka dari nenek hamba Batara Narasinga."

   "Cobalah raden periksa,"

   Candra Dewi berujar. Wijaya menurut, Hampir ia menjerit lebih keras lagi ke ka memeriksa cincin yang melingkar pada jarinya "Hai, ajaib sekali! Mengapa cincin mus ka delima yang berwarna merah ba- ba bergan warna putih!"

   Candra Dewi tertawa "Tidak, raden. Itu memang cincin pemberianku, engkau pelupa sekali."

   "Demi Batara Agung, tuan puteri, hamba berani bersumpah bahwa cincin yang hamba pakai ini semula adalah cincin mustika delima dari nenek hamba."

   Candra Dewi kerutkan dahi kemudian tertawa kecil "Itu berar bahwa cincin Biduri bulan harus engkau pakai. Bila engkau tak percaya, baiklah kuambilkan lagi. Aku masih mempunyai sebentuk cincin Biduri-bulan yang menjadi pasangan cincin di jarimu itu."

   Candra Dewi terus beringsut dari tempatnya, mengambil kotak emas dari dalam almari. Kemudian kembali ke hadapan Wijaya.

   "Cobalah raden padu cincin ... hai! "

   Tiba-tiba pula puteri itu menjerit ketika mengambil cincin dalam kotak dan memeriksanya.

   "Mengapa, tuan puteri?"

   Wijaya ikut terkejut.

   "Aneh benar,"

   Seru Candra Dewi "mengapa pualam pada cincin ini berobah merah warnanya?"

   "Benarkah?,"

   Wijaya ikut terbeliak "cobalah tuan puteri berikan kepada hamba."

   Ke ka Wijaya menerima cincin dari puteri dan memeriksanya, dia menjerit keras "Inilah cincin mustika delima milik hamba ....

   "

   "Ih, janganlah raden berkata demikian. Jelas cincin itu kusimpan dalam kotak dan kutaruh dalam almari."

   "Tetapi tuan puteri, cobalah tuan lihat. Bukankah permata cincin ini merah warnanya ? Bukankah cincin tuan puteri pualam Biduri- bulan itu putih warnanya? Tak salah lagi, tuan puteri, inilah mustika Delima peninggalan nenek hamba."

   "Tetapi mengapa berada dalam kotak simpanan-ku?"

   "Itulah tuan puteri, hamba sendiri juga bingung,"

   Kata Wijaya "karena jelas cincin itu hamba pakai mengapa tiba-tiba pula cincin hamba berganti menjadi pualam Biduri-bulan ?"

   Mau tak mau Candra Dewi harus mengakui bahwa permata cincin yang diambilnya dari kotak emas itu, memang bermatakan merah delima.

   Lain sekali dengan pualam Biduri bulan.

   Candra Dewi dan Wijaya terlongong-longong kehilangan faham.

   Namun Candra Dewilah yang lebih cepat menyadari apa yang telah terjadi.

   Keras dugaannya bahwa penukaran kedua cincin itu tentu dilakukan oleh kekuasaan gaib dari maharesi Mahanatha yang sakti.

   Wijayapun menganggap hal itu suatu peristiwa yang langka.

   Namun dia mempunyai kesimpulan lain.

   "Tuan puteri, jelaslah sudah kini,"

   Katanya dengan nada riang "bahwa penukaran cincin itu telah dilakukan oleh suatu kekuasaan gaib yang hendak mempertemukan kita. Prakitri telah menggariskan bahwa kita harus menjadi .... pasangan hidup ....

   "

   Candra Dewi tersipu merah dan menundukkan kepala.

   Sikap itu ditafsirkan Wijaya sebagai sikap paserah dari seorang gadis maka tanpa membuang waktu lagi, Wijaya segera melangkah, se ndak demi setindak dan tiba-tiba ia memeluk puteri itu.......

   Seiring dengan perahu yang dinaikinya, kedua priagung muda itupun berlayar dalam bahtera- asmara yang membawa keduanya serasa mencapai sebuah pulau yang indah, di mana sinar surya terasa hangat, bunga-bunga memancarkan beraneka ragam warna dan airpun bergemerisik merdu .....

   "Raden ...

   "

   Karena tak kuat menahan kesesakan mulutnya yang terlumat rapat-rapat oleh mulut Wijaya, Candra Dewipun mengisar ke samping, melepaskan diri dari pelukan Wijaya.

   "Mengapa tuan puteri?"

   Seru Wijaya.

   "Ah, raden,"

   Candra Dewi mencubit lengan Wijaya "janganlah menyebut aku tuan puteri. Sebutlah namaku saja."

   "Baiklah, adinda,"

   Kata Wijaya tersenyum "tetapi adindapun jangan memanggil aku raden."

   Candra Dewi mengangguk "Raden .....eh, kakangmas, saat ini kita sudah melalui kepulauan Karimun. Besok tentu akan tiba di Tuban, bukan?"

   Wijaya mengiakan.

   "Bagaimanakah nasib adinda nanti? Adakah seperti tebu, habis manis sepahpun dibuang?"

   "Ya, benar, memang seper tebu, Candra Dewi,"

   Sahut Wijaya "manisnya akan kuisap, sepahnya- pun kutelan agar tumbuh bersemi dalam putih hatiku."

   "Ah, janganlah kakang mas berolok senan asa,"

   Desuh puteri "

   Dakkah kakangmas merasa puas akan kemasyukan yang kita lakukan tadi?"

   "Puas? Ha, ha,"

   Wijaya tertawa "hanya apabila air dari Tujuh Samudera telah kering barulah aku puas meneguk madusari dari bibirmu."

   "Sudahlah kakangmas, jangan berkelakar berkelanjutan,"

   Kata puteri Candra Dewi agak bersungguh "hari masih amat panjang dan duniapun masih lama berputar.

   Takkan kakangmas kehabisan waktu untuk menyampaikan keinginan ha .

   Tetapi yang pen ng, saat ini kita harus bertindak, kecuali kakangmas memang tak bersungguh-sungguh kepadaku."

   "Aku tak mengerti maksud ucapanmu,"

   Wijaya agak heran. Sejenak mengemas diri maka berkatalah puteri Candra Dewi "Besok atau lusa, kita sudah mencapai bandar Tuban. Bukankah kakangmas akan membawa aku dan adinda Kembang Dadar kehadapan raja Kertanagara."

   "O, tentulah kedatangan kita nan cepat akan dilaporkan ke hadapan sang nata Singasari,"

   Jawab Wijaya.

   "Dengan demikian kakangmas tentu akan menghaturkan kami berdua ke hadapan raja?"

   "O, tidak, tidak,"

   Wijaya menjawab serentak.

   "takkan kuserahkan dinda kepada baginda!"

   Candra Dewi tersenyum gelisah "Itu keinginan kakangmas, tetapi bukan kenyataan yang ada padamu. Karena kenyataan, kuasa raja Kertanagara akan menitahkan engkau untuk menghaturkan diri kami berdua kepadanya."

   "Tidak, Candra Dewi!"

   Teriak Wijaya "aku seorang ksatrya. Apa yang telah kujanjikan kepadamu, takkan kuingkari."

   "Tetapi bagaimana kakangmas hendak melaksanakan hal itu?"

   Candra Dewi makin resah. Wijaya tersenyum "Tenangkanlah ha adinda,"

   Katanya "akupun sudah merencanakan hal itu dan hanya menunggu persetujuan dinda."

   "Benarkah?"

   Seru Candra Dewi bergairah.

   "katakanlah, kakangmas, apa rencanamu itu."

   "Mengapa aku harus berbohong kepadamu, dinda?"

   Balas Wijaya "

   Hal itu telah kupikirkan masak-masak dan malam ini juga kita laksanakan siasat itu."

   "Siasat?"

   Ulang puteri Candra Dewi agak terkejut "apakah kakangmas bermaksud hendak membawa perahu kita ini berlayar ke lain negara?"

   Wijaya tertawa "Tidak, dinda. Kita tetap akan menghadap baginda Kertanagara dan tetap pula menghaturkan adinda berdua kehadapannya ....

   "

   "Wijaya!"

   Teriak Candra Dewi menukas. Dadanya tampak berombak dan wajahnya merah "adakah engkau hendak memperdayakan kami?"

   Sedemikian kejut perasaan puteri itu sehingga ia serentak berbangkit. Tetapi cepat Wijaya menarik tangan puteri dan didudukkan di sisinya pula.

   "Sabarlah adinda,"

   Katanya "dengarkanlah dahulu rencanaku sampai selesai, barulah adinda boleh memberi kesimpulan."

   "Kakangmas, kuminta janganlah ccgkau berolok-olok,"

   Puteri setengah mengeluh "janganlah menyiram minyak lagi pada hati yang sedang membara gelisah."

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Wijaya tenenyum "Demi Batara Agung, Wijaya memang bersungguh-sungguh dalam hal ini.

   Apa yang kukatakan sebagai rencana itu tak lain yalah .....

   kita terpaksa akan meminta bantuan dan kerelaan tuan puteri berdua.

   Tanpa kesediaan tuan puteri berdua, rencana itu tentu tak dapat teilaksana."

   "Kami berdua?"

   Puteri menegas.

   "Ya."

   "O,"

   Desuh Candra Dewi "katakanlah."

   "Setelah kurenungkan dan kumenungkan, rasanya ada lain jalan yang lebih baik kecuali harus membujuk kerelaan ha puteri Kembang Dadar, agar berkenan menjadi penggan diri adinda. Kumaksudkan, agar puteri Kembang Dadar mengaku sebagai adinda Candra Dewi dan adinda mengaku sebagai puteri Kembang Dadar."

   Candra Dewi terkesiap.

   "Bukankah puteri Kembang Dadar mengandung cita-cita menjadi seorang permaisuri? Bukankah kesediaan tuan puteri Kembang Dadar ke tanah Jawadwipa itu karena akan mendapat jodoh raja Jawadwipa? Inilah suatu kesempatan yang baik, dimana dinda dapat membantu melaksanakan cita cita puteri Kembang Dadar itu."

   Seke ka wajah puteri Candra Dewi berseri girang "Benar, kakangmas. Akupun juga mempunyai pemikiran begitu. Dengan demikian kami berdua saudara akan dapat mencapai apa yang kami cita- citakan."

   "Tetapi adakah puteri Kembang Dadar akan berkenan untuk melakukan hal itu?"

   "Kurasa tiada halangan,"

   Jawab puteri Candra Dewi "serahkan hal itu kepadaku. Dia amat kasih kepadaku. Tentulah dia akan meluluskan keinginanku."

   "Tetapi tuan puteri ....

   "

   "Masihkah kakangmas meragukan hal itu?"

   Tukas Candra Dewi. Wijaya mengangguk "Ya, aku masih meragukan engkau, dinda."

   "Aku?"

   Candra Dewi mengerut alis.

   "Ya, tidakkah engkau kecewa melaksanakan hal itu? "

   "Mengapa kecewa?"

   "Karena baginda Kertanagara seorang raja besar dan Wijaya hanya seorang ksatrya ....

   "

   Belum Wijaya menyelesaikan kata katanya, ia menjerit tertahan karena lengannya dicubit tajam-tajam oleh Candra Dewi.

   Dan habis mencubit, puteri itupun segera masuk ke dalam bilik peraduan, mendapatkan puteri Kembang Dadar.

   Setelah beberapa lama berbincang-bincang, akhirnya berhasillah Candra Dewi membujuk Kembang Dadar untuk meluluskan permintaannya.

   Memang agak berbeda pendirian kedua puteri itu, walaupun mereka saudara sekandung.

   Candra Dewi dak memen ngkan keturunan maupun kedudukan, apalagi kekayaan.

   Dia menginginkan seorang suami yang benar-benar mencintainya dan dicintainya.

   Sedang puteri Kembang Dadar tetap berpegang pada martabat keturunannya.

   Seorang puteri raja harus mendapat jodoh seorang raja.

   Demikian pendiriannya.

   Maka dalam permusyawarahan dengan ayundanya tentang rencana penukaran nama dan diri itu, Kembang Dadarpun dapat menyetujui.

   Disamping ia memang menghendaki menjadi seorang permaisuri raja, pun ia merasa kasihan kepada ayundanya apabila keinginannya untuk bersuami raden Wijaya tak terlaksana.

   Segenap dayang pengiring dipanggil masuk.

   Kepada mereka diberitahukan tentang hal itu dan dipesan wan -wan agar jangan sampai membocorkan rahasia itu.

   Barangsiapa yang berhianat akan dihukum mati.

   Demikian sejak saat itu maka bergan lah puteri Kembang Dadar menjadi puteri Candra Dewi dan Candra Dewi menjadi Kembang Dadar.

   Memang prabu Kertanagara belum pernah melihat wajah kedua puteri dari kerajaan Sriwijaya itu.

   Dan baginda tentu percaya penuh pada keterangan Wijaya.

   II Menjelang unggas dan margasatwa sibuk berkemas menuju ke sarang peris rahatan, menjelang kelelawar ber-siap2 meninggalkan cerobong daun tempat persembunyiannya, suasana rembang petang di jalan yang merentang ke pura Daha, tampak makin tegang lengan.

   Bukan melainkan bangsa unggas dan margasatwa, pun daun-daun, bunga-bunga dan pohon- pohon bahkan debu-debu di jalan itu, sudah mulai merunduk hening, menghen ngkan kesibukan- kesibukan di kepanjangan siang hari.

   Hari merayap-rayap menuju ke kegelapan.

   Tiba- ba dari arah jauh di balik bukit, sayup-sayup terdengar derap kuda berlari.

   Riuh dan gemuruh.

   Suara itu makin dekat dan makin jelas.

   Bukan hanya seekor melainkan beberapa ekor kuda.

   Tak berapa lama kemudian muncullah lima penunggang kuda.

   Seolah-olah berpacu dengan kehadiran sang malam, kelima penunggang kuda itupun melintas dengan cepat.

   Debu dan pasir tersiak, berderai dan bertebaran bagai gelombang air pasang.

   Sesaat hamburan debu itu turun ke bumi pula maka kelima penunggang kuda itupun ludah merupakan titik-titik kecil yang jauh sekali.

   Tak berapa lama kemudian, salah seorang yang naik kuda tegar bulu kelabu, berseru "Ah, pintu gapura hampir ditutup ....

   "

   Ia memacu kudanya makin kencang.

   Keempat kawannya pun terpaksa mengiku .

   Saat itu mereka ba di muka sebuah pintu gapura yang berdaun pintu besi dan dijaga oleh empat orang prajurit.

   Keempat prajurit penjaga gapura itu sudah berkemas hendak menutup pintu.

   "Tunggu, prajurit,"

   Teriak penunggang kuda bulu kelabu seraya mencongklangkan kudanya sepesat anak panah lepas dari busur.

   Jarak antara penunggang kuda bulu kelabu dengan pintu gapura masih berpuluh tombak tetapi pada saat orang itu mengatakan ucapannya yang terakhir, iapun sudah tiba di muka gapura.

   Keempat prajurit itu terkejut dan cepat bersiap.

   "O, raden Ardaraja,"

   Salah seorang prajurit serentak berseru lalu cepat-cepat memberi hormat kepada penunggang kuda bulu kelabu itu.

   Tetapi penunggang kuda yang disebut Ardaraja itu tak menyahut melainkan terus lajukan kudanya masuk ke dalam pura.

   Keempat penunggang kuda tetap mengiring di belakangnya.

   Tiba di pintu keraton, raden Ardaraja loncat turun dari kudanya.

   Sejenak berpaling memberi isyarat agar keempat pengiringnya menunggu di situ, ia terus bergegas masuk.

   "O, engkau Ardaraja, puteraku"

   Seru Jayakatwang ketika menerima kedatangan raden Ardaraja. Serta-merta raden Ardaraja memberi sembah, menelungkup dan mencium duli baginda Jayakatwang. Raja Daha itu atau sebenarnya akuwu, menyuruh puteranya duduk di hadapannya.

   "Ardaraja,"

   Kata akuwu Jayakatwang "engkau tentu terkejut mengapa ku tahkan engkau pulang ke Daha ini. Ada suatu hal yang amat penting sekali yang hendak kubicarakan dengan engkau."

   Ardaraja terkesiap. Bila ayahanda baginda sedemikian bersungguh nada, tentulah masalah itu amat pen ng sekali "Silakan rama baginda,"

   Katanya "putera paduka Ardaraja siap melakukan tah paduka."

   Jayakatwang mengeluarkan sebuah sampul dari dalam baju kebesarannya dan diserahkan kepada Ardaraja "Bacalah."

   Tampak airmuka pangeran itu berubah-ubah di kala membaca surat itu. Kemudian ia mengunjuk pandang ke arah ramanda baginda.

   "Bacalah agak keras, Ardaraja,"

   Tiba-tiba akuwu Jayakatwang memberi titah.

   Ardaraja membaca pula.

   Dengan segala hormat dan tulus ha serta kesetyaan, Wiraraja mempersembahkan surat ini kebawah duli paduka Jayakatwang, junjungan yang syah dan raja yang berhak penuh atas tahta kerajaan Daha, turun temurun.

   Hamba mohon diperkenankan untuk menghaturkan laporan ke hadapan sang prabu.

   Paduka nata yang sedang berburu, hendaklah waspada memilih saat dan lapangan yang setepat tepatnya.

   Pergunakanlah saat yang sebaik-baiknya.

   Sekarang inilah saat yang paling baik dan paling tepat.

   Tegal sedang tandur, ada rumput, ada lalang.

   Daun-daun sedang gugur, berhamburan ke tanah.

   Bukitnya kecil-kecil, jurangnyapun tak berbahaya.

   Hanya dihuni oleh harimau yang sama sekali tak menakutkan.

   Tak ada lembu, mahesa dan rusa yang bertanduk.

   Jika mereka sedang menyenggut, baiklah mereka itu diburu, pas dak berdaya.

   Satu-satunya harimau yang nggal hanyalah harimau guguh, sudah tua renta, harimau empu Raganata yang sudah ompong.

   Pengukuhan atas kebenaran surat ini, berdasar pada kesetyaan dan tanggung jawab sepenuhnya dari .

   Wiraraja Adipati Sampang, tahun Saka 1214.

   Ardaraja melipat dan memasukkan surat itu kedalam sampul lagi dan diserahkan kembali kepada ramandanya.

   "Bagaimana pendapatmu, Ardaraja?"

   Tegur akuwu Jayakatwang sesaat kemudian "dapatkah kita percaya surat laporan dari Wiraraja itu?"

   Ardaraja tersentak kaget.

   Sebenarnya saat itu ia sedang termenung mengingat peris wa yang belum berapa lama dialaminya.

   Ke ka beberapa waktu yang lalu ia mendapat tah dari ramanda akuwu Jayakatwang supaya kembali ke pura Singasari untuk mengadakan gerakan memperlemah keadaan Singasari, di tengah jalan ia telah bertemu dengan seorang pengalasan yang menurut pengakuannya, disuruh mengantarkan surat oleh adipati Wiraraja kepada akuwu Jayakatwang.

   Adapun isi surat itu berbunyi bahwa adipa Sampang itu mengajak bersekutu kepada pa h Aragani untuk menghadapi akuwu Jayakatwang yang dikatakan sebagai musuh dalam selimut yang paling berbahaya dari kerajaan Singasari.

   Sekarang mengapa ba- ba adipa Wiraraja mempersembahkan surat kepada akuwu Daha dalam nada yang sedemikian beda dengan surat yang ditujukan kepada patih Aragani? "Siapakah yang diutus adipa Wiraraja untuk menghaturkan surat ini kepada paduka?"

   Tanyanya.

   "Wirondaya,"

   Sahut Jayakatwang. Ardaraja mohon agar utusan dari Sampang itu dititahkan menghadap.

   "Hai, utusan Sampang,"

   Ba- ba Ardaraja menghardik lantang setelah seorang pria yang menyebut dirinya sebagai Wirondaya menghadap "mengapa adipa Wiraraja berani menganjurkan surat itu kepada ramanda baginda? Bukankah kalian hendak bermaksud menjerumuskan Daha supaya ibarat anai-anai menyerbu api?"

   Wirondaya terkesiap.

   Sejenak ia menatap putera akuwu Daha itu, lalu berkata "raden, apakah manfaatnya gus adipa Wiraraja hendak menjerumuskan kerajaan Daha ? Apakah yang diharap adipa dari raja Kertanagara yang telah melorot kedudukan adipa dan memindahkannya ke Sampang Madura?"

   "Urusan peribadi tak dapat dicampurkan dengan masalah negara,"

   Kata Ardaraja.

   "Benar, raden,"

   Jawab Wirondaya yang tangkai bicara "gus adipa memang menyadari hal itu. Tetapi gus adipa memang benar-benar tak merelakan kerajaan Singasari akan rusak di tangan seorang raja yang sudah terbius oleh patih Aragani."

   "Jika begitu,"

   Sanggah Ardaraja "mengapa adipati Sampang tak bergerak sendiri untuk menyerang Singasari ?"

   "Ah, raden,"

   Kata Wirondaya "gus Adipa sudah menyadari dirinya.

   Beliau merasa bukan manusia yang mempunyai wahyu sebagai raja.

   Demikian pula, beliaupun sudah tua.

   Asal melihat Singasari sudah berada di bawah pemerintahan seorang raja yang bijaksana, beliau sudah puas.

   Gus Adipa ada mempunyai cita -cita yang lebih besar daripada hidup yang tenteram dan tenang."

   "Yakinkah adipa Wiraraja akan kebenaran suratnya bahwa keadaan Singasari sedang kosong dan yang ada hanyalah seekor harimau guguh yaitu empu Raganata ?"

   Tanya Ardaraja pula.

   "Beberapa waktu yang lalu,"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Wirondaya "gus Adipa telah mengutus hamba untuk menyelidiki keadaan pura Singasari.

   Memang surat gus Adipa itu sesuai dengan laporan hamba.

   Singasari saat ini memang kosong.

   Beribu-ribu prajurit telah dikirim ke tanah Malayu di bawah pimpinan senopa Kebo Anabrang.

   Raden Wijaya, senopa yang diandalkan Singasari itu, saat inipun masih berada di Sriwijaya.

   Tiap hari kerja baginda hanya bersenang-senang minum tuak dan merangkai syair bersama pa h Aragani.

   Rakyat morat-marit ada terurus.

   Judi dan tuak membudaya di kalangan rakyat."

   "Ya, benar, raden seddiripun tentu akan tahu sendiri hal itu apabila raden berada di pura Singasari."

   Wirondaya menyusuli tambahan keterangan lagi.

   "Tetapi Singasari masih mempunyai beberapa perwira muda lagi sak seper Nambi, Sora, Lembu Peteng, Medang Dangdi, Gajah Pagon dan lain-lain,"

   Kata Ardaraja.

   "Ah, mereka tak lain hanya anakbuah raden Wijaya. Baik kesak an maupun kepandaian mengatur barisan, masih kalah jauh dengan raden Wijaya. Senopa -senopa Daha tak memerlukan banyak tenaga untuk menumpas mereka."

   "Tetapi apa sebab Adipa sedemikian ketakutan terhadap empu Raganata ? Bukankah empu sepuh itu sudah dipindahkan menjadi adhyaksa di Tumapel ?"

   "Memang benar,"

   Jawab Wirondaya "tetapi empu tua itu mempunyai pengabdian yang luar biasa besarnya kepada Singasari. Walaupun berada di Tumapel namun dia masih sering berkunjung ke keraton Singasari dan menghadap baginda ....

   "

   Berhen sejenak memulangkan napas, berkata pula Wirondaya "Empu tua itu tak jemu-jemu menghaturkan buah pikiran dan memperingatkan baginda supaya memperha kan keadaan praja, walaupun se ap kali menghadap baginda, dia harus menerima cemohan dan sindiran dari pa h Aragani."

   Tiba-tiba wajah Ardaraja membesi. ~dewi.kz^ismo^mch~

   Jilid 33 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor . MCH I Setelah mendengar pembicaraan Wirondaya, ada sesuatu yang terkilas dalam ingatan putera mahkota dari kerajaan Daha itu.

   "Wirondaya,"

   Ba- ba Ardaraja berseru bengis "pernahkah adipa Wiraraja mengirim pengalasan yang membawa surat ke Daha ?."

   Wirondaya terbeliak "Sepanjang pengetahuan hamba, dak pernahlah gus Adipa mengirim pengalasan kecuali baru hamba kali ini."

   Kini Ardarajalah yang terkesiap.

   Selintas teringatlah ia akan peris wa dua orang Madura yang mengaku sebagai utusan adipa Wiraraja ke Daha.

   Tetapi kedua pengatasan itu telah memberikan surat adipa kepada seorang yang mengaku sebagai pangeran Ardaraja.

   Karena marah ia membunuh kedua pengalasan itu.

   Teringat pula betapa karena peris wa itu, ia telah mencurigai pa h Aragani sehingga hampir saja terbit bentrokan.

   Kini ia telah mendapat gambaran jelas bahwa ada seseorang yang sengaja hendak mengadu domba antara Daha dengan patih Aragani.

   Pemikiran itu menimbulkan kesan bahwa, walaupun raden Wijaya sedang berada di tanah Malayu tetapi di Singasari telah muncul seorang pembela Singasari yang cerdik, licin dan sakti.

   Pangeran itu seorang yang banyak curiga, berhati bimbang, berpendirian tak menentu.

   Dia putera raja Jayakatwang tetapi pun putera menantu baginda Kertanagara.

   Dalam hal rencana ayahanda Jayakatwang untuk menyerang Singasari, sesungguhnya Ardaraja masih bimbang.

   Ke arah manakah ia hendak bersandar ? Memang apabila menilik keadaan kerajaan Singasari yang ibarat istana di atas pasir, di luar tampak megah raya tetapi di bawah atau di dalam kerajaan telah rapuh digerogo kutu-kutu, keinginan ayahanda Jayakatwang itu tentu akan tercapai.

   Dan pangeran itu memang sedih dan geram atas baginda Kertanagara yang sudah tak menghiraukan urusan negara karena terbius sanjung pujian dan tuak oleh pa h Aragani.

   Keadaan itu harus diakhiri.

   Dan pengakhirannya ada lain cara yang lebih baik kecuali harus dirobohkan.

   Sungguhpun demikian, pangeran itu tak mau ber ndak ceroboh.

   Ia menghendaki perobahan itu harus dilakukan dengan cara yang sempurna dan cepat.

   Jangan sampai menimbulkan banyak korban terutama jiwa baginda Kertanagara yang betapa buruknya adalah ayah mentuanya.

   Keterangan Wirondaya untuk meyakinkan isi surat adipa Wiraraja.

   memang sesuai dengan kenyataan yang terjadi di Singasari.

   Namun teringat akan kekuatan orang sak yang selama ini belum diketahuinya pas , ia harus mengekang keinginan untuk cepat-cepat mempercayai Wirondaya.

   "Wirondaya,"

   Seru Ardaraja "ayahanda baginda Jayakatwang berkenan sekali akan bantuan dan anjuran adipa Wiraraja.

   Kamipun menyadari betapa pen ng dan gawatnya urusan ini.

   Oleh karena itu, perlu kuperingatkan kepada adipa Wiraraja, bahwa hendaknya segala laporan itu harus sungguh berdasar kenyataan dan maksud baik.

   Apabila kami dapatkan suatu celah keculasan dalam maksud adipati itu, Sumenep pasti akan kujadikan karang-abang!."

   Wirondaya tertawa menyambut "Apabila gus adipa mengandung maksud yang dak baik terhadap sang prabu Daha, hamba Wirondaya bersedia mempersembahkan batang kepala hamba ke hadapan raden."

   "Batara Agung yang menjadi saksi atas sumpahmu,"

   Seru Ardaraja "kelak tentu besar ganjaranmu apabila engkau setya kepada kami."

   Demikian pembicaraan itu selesai dan Wirondaya-pun dipersilakan menunggu di luar. Raja Jayakatwang berpaling ke arah pa h Kebo Mundarang dan menanyakan pendapat pa h Daha itu.

   "Moyang paduka, prabu Dandang Gendis binasa karena pemberontakan anak petani dari Pangkur, anak ni Ndok. Itulah Ken Angrok raja Singasari yang pertama dan bergelar raja Rajasa. Balatentara Kediri sirna seper gunung disambar halilintar. Prabu Kertajaya beserta balatentara Kediri musnah karena ndakan Ken Angrok itu. Dan Daha sejak itupun dijajah oleh Singasari,"

   Kata patih Kebo Mundarang dengan berapi api. Tampak raja Jayakatwang tertegun mendengar persembahan kata pa h Kebo Mundarang yang membangkitkan lembaran hitam sejarah kerajaan Daha. Sepasang bola mata raja itu tampak berkilat-kilat tajam.

   "Padukalah gus yang mempunyai kewajiban untuk membangun kerajaan Daha dan membalas kekalahan moyang paduka rahyang ramuhun prabu Kertajaya,"

   Pa h Kebo Mundarang cepat menambah minyak ke dalam api. Kata-kata patih itu cepat termakan dalam hati Jayakatwang.

   "Puteraku Ardaraja,"

   Seru raja Jayakatwang "adakah suatu keberatan yang engkau rasakan apabila kita segera lancarkan serangan kepada Singasari?."

   Ardaraja tertegun. Sejenak kemudian memberi jawaban "Tidak ada yang hamba kualirkan kecuali hanya seorang."

   "Wijaya?."

   "Benar, menurut laporan mata-mata yang hamba utus, Wijaya dan rombongannya sudah mulai meninggalkan Sriwijaya."

   "Hm,"

   Desuh raja Jayakatwang "adakah dia seorang mampu memberi pengaruh kepada semangat bertempur pasukan Singasari?."

   "Demikianlah letak kekua ran hamba,"

   Kata Ardaraja "dia bukan melainkan pandai mengatur barisan dan sak mandraguna tetapi diapun memiliki perbawa sebagai seorang pemimpin yang ditaati anak buahnya."

   "Hm,"

   Jayakatwang mendesuh. Kemudian bertanya pula kepada Mundarang "Kakang pa h, bagaimanakah rencanamu untuk menyerang Sirgasari?."

   Patih Mundarang sudah bersiap untuk pertanyaan itu "Menurut pendapat hamba, penyerangan itu harus segera dilakukan secara serentak dan cepat.

   Pura Singasari sebagai jantung kekuatan lawan harus kita duduki secepat mungkin.

   Kita serang pura itu dari empat penjuru dengan kekuatan pasukan yang besar.

   Dengan demikian raden Wijaya tak sempat lagi masuk ke dalam pura."

   "Maksud kami begini,"

   Kata raja Jayakatwang "Ardaraja, puteraku, lekas engkau kembali ke Singasari malam ini juga.

   Besok selambat lambatnya pada saat seper ini, engkau harus mengirim pengatasan ke mari untuk memberi tahu tentang Wijaya.

   Adakah dia sudah ba di bandar Tuban ataukah masih jauh."

   Ardaraja memberi hormat lalu berangkat ke Singasari.

   "Kakang pa h,"

   Berkata pula raja Jayakatwang "kurasa baiklah kita tunggu laporan puteraku Ardaraja.

   Apabila Wijaya masih jauh, aku setuju akan rencanamu tadi.

   Tetapi bila Wijaya Sudah hampir ba di Tuban, kurasa baiklah kita pecah pasukan Daha menjadi dua.

   Yang kesatu, untuk memikat perha an Wijaya lalu melumpuhkannya.

   Pasukan kedua, langsung menyerang pura Singasari."

   Patih Mundarang terkesiap. Diam-diam ia kagum akan buah pikiran sang akuwu Jayakatwang.

   "Baik, gus ,"

   Katanya "tetapi hamba mohon maaf apabila hamba lancang hendak menghaturkan pendapat kehadapan paduka."

   "O, tentu saja aku gembira mendengar pendapatmu kakang pa h. Mengapa aku harus marah?"

   Kata Jayakatwang pula "katakanlah apa yang hendak engkau unjukkan. Kurasa pandanganmu itu tentu akan berguna."

   "Terima kasih, gusti,"

   Patih Mundarang berdatang lembah "tak lain yang hendak hamba haturkan adalah mengenai raden Wijaya."

   "O, bagus. Bagaimana dengan Wijaya?."

   "Siasat yang paduka tahkan,"

   Kata pa h Mundarang "memang amat sempurna.

   Karena menurut laporan dari para kadehan yang hamba tugaskan menyusup ke pura Singasari, memang hanya raden Wijaya seorang yang benar-benar merupakan lawan yang patut hamba peihitungkan.

   Soal patih Aragani, bukan menjadi persoalan lagi.

   Dan raja Kertanagara sudah dikuasai oleh patih itu."

   "Ya, menurut Ardaraja memang demikian juga,"

   Ujar Jayakatwang "kepemimpinan dan kewibawaan Wijaya dalam anak prajurit Singasari memang tampak menonjol sekali. Bukankah begitu, Ardaraja?."

   "Keluhuran sabda paduka, gus "

   Cepat raden Ardaraja menjawab "dia mempunyai banyak kadehan yang setya dan gagah pula."

   "Menurut pendapat hamba, raden Wijayalah sesungguhnya lawan kita. Oleh karena itu dia harus dihancurkan sebelum ba di Singasari. Apabila dia sampai dapat bergabung dengan para kadehan dan induk pasukan yang menjaga Singasari, kekuatan mereka tentu lebih besar, gusti."

   Jayakatwang mengangguk "Bagus, ki patih. Aku setuju. Bagaimana persiapan-persiapan kearah itu, kuserahkan kepadamu untuk melaksanakannya."

   Pa h Mundarang menghaturkan terima kasih.

   Dan sidang darurat dalam balairung keraton Dahapun usai.

   Wirondaya diperintahkan pulang ke Madura lagi.

   *** Apabila dak mendengar suara orang berbicara, pas lah orang menganggap bahwa gunduk- gunduk hitam yang berderet di tepi sepanjang jalan di malam gelap itu, batu-batu karang dari aluran urat kaki sebuah pegunungan.

   "Sedayu, apakah engkau yakin bahwa Ardaraja akan mengirim orang ke Daha pada malam ini ?"

   Kedengaran suara orang itu berkata. Nadanya besar seperti yang dimiliki kaum lelaki.

   "Sudah tentu aku sangat berha -ha untuk melakukan tugas yang kakang berikan itu,"

   Jawab sebuah suara yang bernada seorang wanita muda "

   Dak pernah aku lowong untuk mengama gerak-gerik Ardaraja. Bagaimana dua hari yang lalu dia pulang ke Daha lalu kemarin kembali ke Singasari pula dan malam ini akan mengirim seorang pengatasan ke Daha, tak mungkin lepas dari pengawasanku, kakang."

   "Bagus, Sedayu,"

   Seru orang yang bertanya "memang berat nian tugas perjuangan itu. Kalau kupikir.."

   "Kakang Ludira,"

   Seru anak perempuan yang disebut Sedayu "mengapa tak engkau lanjutkan kata-katamu ? Apakah yang engkau pikir?."

   Memang yang tengah tercakap cakap di balik gunduk batu karang itu adalah Jaka Ludira dan Sedayu.

   "Kupikir aku merasa kasihan, Sedayu."

   "Mengapa ?"

   Tanya Sedayu.

   "Engkau puteri paman tumenggung Wirakre . Selayaknya engkau berada dalam gedung tumenggungan di hadap dan dilayani oleh para hamba lahaya. Tidak selayaknya pada malam begini engkau duduk membungkuk pada punggung batu padas yang kotor."

   "Kakang Ludira,"

   Tukas Sedayu "mengapa engkau mengucapkan kata-kata begitu ? Adakah engkau bermaksud hendak menghina kaum wanita?."

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ludira gelagapan "Tidak, Sedayu, aku dak bermaksud menghina engkau. Bahkan aku merasa kasihan dan menyayangkan."

   "Kasihan yang dak pada tempatnya. Menyayangkan dak tepat arahnya,"

   Sambut Sedayu "kutahu kakang bahwa perasaanmu itu masih dilipu oleh pandangan dan anggapan yang meremehkan kau wanita itu sebagai kaum yang lemah."

   Jaka Ludira terbeliak.

   "Bukankah engkau hendak maksudkan bahwa kaum wanita itu lebih layak bertempat di dapur daripada di medan perjuangan ? Lebih tepat berhias bedak pupur daripada bermain pedang ? Lebih sesuai mencincang daging gulai daripada membunuh musuh ?."

   "Ah, Sedayu, engkau salah fuham!."

   "Tidakkah kakang pernah mendengar cerita pewayangan bahwa wara Srikandi, puteri raja Cempala yang diperisteri raden Janaka itu, juga seorang prajurit wanita yang ditakuti musuh ?."

   "Sedayu, maksudku hanya ..."

   "Sedayu, puteri Singasari yang merasa berhutang jiwa dan hidup pada bumi Singasari. Tanah Singasari-lah yang telah membesarkan Sedayu. Air Singasari yang telah menjadi darah dalam tubuhku dan padi di tegal bumi inilah yang menjadi daging tubuhku. Tidakkah layak kalau Sedayu harus membalas budi kepada ibu Pertiwi bumi Singasari ini?"."

   "Sedayu ..."

   "Ibu Per wi dak hanya berputera cuman lelaki seper Jaka Ludira saja tetapipun berputeri insan-insan wanita seper Sedayu. Tidakkah putera dan puteri sama hak dan kewajibannya terhadap ibu?."

   Melengking-lengking mulut dara ayu itu melantangkan semangatnya yang berjiwa prajurit.

   "Maa an aku, Sedayu, sekira perkataanku tadi menyinggung perasaan ha mu. Tetapi sekali kali aku tak bermaksud begitu,"

   Kata Jaka Ludira.

   "Lalu apa maksud kakang ?."

   "Kumaksudkan,"

   Agak menenung sejenak Jaka Ludira "untuk meringkus pengalasan yang dikirim Ardaraja itu, tak perlu engkau turun tangan. Cukup serahkan saja kepadaku."

   "Kakang Ludira, mengapa engkau jilat pula ludah yang sudah engkau hamburkan ke tanah ?"

   Tegur Sedayu.

   "Apa maksudmu? "Jaka Ludira terkesiap.

   "Kakang telah menugaskan aku untuk memata-matai gerak gerik raden Ardaraja. Pengiriman pengalasan itu berar masih dalam lingkungan tugas yang kulakukan. Mengapa kakang hendak menarik kembali ? Bukankah aku yang wajib menyelesaikan orang itu ?."

   Jaka Ludira menghela napas.

   Ditatapnya wajah dara itu.

   Ayu dan tegas, penuh pengabdian.

   Saat itu Sedayupun mengangkat muka dan memandang.

   Sepasang mata beradu pandang.

   Bagaikan dua bilah pedang yang saling beradu, seke ka menghamburlah percikan api dan dering yang nyaring, beralun dan membahana dalam lubuk kalbu mereka.

   Rara Sedayu tersipu-sipu menundukkan kepala.

   Namun adu pandang mata itu sudah berbicara banyak.

   Jaka Ladira terlongong longong seperti merasakan sesuatu yang belum pernah dialaminya seumur hidup.

   Ia tak tahu apakah perasaan itu.

   Namun ia merasa bahagia.

   Tiba-tiba kesunyian malam terpecah oleh suara derap kaki kuda mencongklang di kegelapan jalan.

   Dan cepat sekali sudah tampak dari tempat persembunyian Jaka Ludira dan Sedayu.

   "Sedayu, engkau menyelesaikan penunggang kuda bulu merah dan aku yang bulu hitam,"

   Bisik Ludira.

   "Tidak usah,"

   Di luar dugaan, Sedayu menolak "ini tugasku dan kewajibanku. Apabila aku tak kuasa melakukan barulah kakang turun tangan."

   "Ah, Sedayu ....

   "

   Keluh pemuda itu. Diam-diam ia menyesal karena telah kelepasan kata sehingga membangkitkan hati dara itu mendidih. Kedua penunggang kuda itupun makin dekat.

   "Sedayu jangan engkau menurutkan kepanasan ha mu. Kutahu engkau tentu penasaran atas kata-kataku tadi. Tetapi janganlah engkau pikirkan dalam ha . Dan yang kita hadapi ini tugas penting, kalau .."

   Tiba- ba tubuh dara itu merangkak maju ke gunduk karang yang dekat dengan tepi jalan.

   Ludira cemas dan hendak menyusul.

   Tetapi pada saat itu kedua penunggang kudapun sudah lalu di dekat tempat Sedayu.

   Terpaksa Ludira hentikan gerakannya karena kuatir diketahui musuh.

   Singngng ....

   Terdengar desir suara yang halus dari sebuah lingkaran tali yang melayang.

   Apabila tak memperha kan tentu orang takkan tahu layang tali yang berwarna hitam dan kecil.

   Apalagi malam gelap.

   "Huh, apakah ini .....

   "

   Ba- ba salah seorang penunggang kuda berteriak karena menyangka lehernya telah dililit oleh sebuah benda kecil panjang.

   Dalam persangkaannya tentulah binatang ular.

   Tetapi sebelum orang itu sempat melanjutkan kata-katanya, ia menjerit kejut ke ka lehernya mengencang keras dan tubuhnya tertarik ke belakang, bum, bum ....

   Bagaikan batang pisang ditebang, kedua penunggang kuda itupun terpelan ng jatuh dari kuda.

   Sebelum mereka sempat tahu apa yang terjadi, kepalanya telah dihunjam dengan tongkat, prak, prak .......

   ' "Beres,"

   Seru Sedayu seraya menarik napas longgar. Tangan kiri dara itu masih memegang seutas tali hitam sedang tangan kanannya menggenggam tongkat pandak.

   "Bagus, Sedayu,"

   Jaka Ludira cepat loncat menghampiri dan terus berjongkok untuk meneli isi baju kedua orang itu.

   "Aneh,"

   Gumamnya.

   "Mengapa ?"

   Tanya Sedayu.

   "Mereka dak membawa surat,"

   Jawab Ludira "apakah mereka bukan pengatasan yang dikirim Ardaraja?."

   Sedayu terkejut "Tetapi kakang, jelas kudengar bahwa Ardaraja hendak mengirim pengalasan ke Daha. Mengapa dia tidak menyertakan surat kepada orang pengatasannya?."

   Jaka Ludira tahu bahwa Sedayu itu seorang dara yang cerdik dan hati-hati. Oleh karena itu ia mempercayakan tugas memata-matai Ardaraja kepada dara itu. Dan ia percaya dara itu tak mungkin khilaf.

   "Bagaimana kakang Ludira? "

   Sedayu mulai meragu.

   "Baik kita ikat kedua orang ini dan membawanya ke dalam hutan. Usahakan supaya mereka sadar agar dapat kita tanya,"

   Kata Ludira. Setelah diletakkan di atas rumput yang membelukar di hutan, Ludira menolong kedua orang itu supaya sadar.

   "Hai, siapa engkau ....

   "

   Kedua pengalasan itu tersentak, berteriak dan hendak melonjak bangun ketika menghadapi dua orang yang mukanya berselubung kain hitam.

   Tetapi kedua penunggang kuda itu harus meringis kesakitan karena tubuh terban ng pula ke tanah, akibat kaki dan tangan mereka terikat tali.

   "Kalau ingin bangun, silakan mencobanya,"

   Kata Ludira.

   "Siapa engkau!"

   Bentak salah seorang yang berkumis.

   "Serahkan uangmu atau jiwamu."

   Ludira balas menghardik seraya mengacungkan belati.

   "O, engkau penyamun?"

   Kata penunggang kuda itu "sayang aku tak membawa bekal apa-apa."

   "Kalau begitu, berikan nyawamu,"

   Ludira terus melekatkan ujung belati ke kerongkongan orang. Orang itu pucat "Nanti dulu,"

   Serunya gopoh "apa kepentinganmu membunuh aku?."

   "Karena engkau tak punya harta."

   "Memang aku tak membekal apa-apa. Kami hendak pulang ke Daha, Tolong lepaskan saja kami berdua ini."

   "Tidak."

   "Mengapa ? Andai aku membawa uang tentu dengan senang hati akan kuberikan kepadamu."

   "Itulah,"

   Kata Ludira "engkau telah mengecewakan harapan dan tenagaku untuk mencari na ah. Untuk pelipur kecewa, kepalamu akan kuambil ......."

   "Jangan ki sanak, jangan,"

   Orang itupun merin h minta hidup "kalau engkau ingin pakaian atau apa saja yang ada padaku, ambillah asal jangan nyawaku."

   "Milikmu yang berharga hanya kuda ..."

   "Jangan ki sanak "

   Kembali orang itu meratap "apa saja engkau boleh ambil kecuali nyawa dan kudaku itu."

   "Aneh,"

   Gumam Ludira "kita ini bukan jual beli. Dan akulah yang menentukan keputusan."

   Habis berkata Ludira terus berbangkit dan menghampiri ke tempat kuda.

   "Tunggu ki sanak bergegas-gegas orang itu berseru.

   "Mengapa ? "

   Ludira hentikan langkah berpaling.

   "Mari kita bersama ke Daha. Di sana aku dapat memberimu uang yang engkau kehendaki."

   Ludira tertawa ejek "Aku bukan anak kecil. Di sana engkau tentu akan menyerahkan aku kepada petugas keamanan "

   Ludira terus lanjutkan langkah.

   "Ki sanak,"

   Teriak orang itu makin gopoh "aku takkan mencelakai engkau. Antarkanlah kami ke Daha nanti akan kuhadiahi engkau sejumlah uang."

   "Siapa engkau ? Apakah engkau orang kaya atau orang berpangkat ?"

   Tegur Ludira.

   "Percayalah, ki sanak,"

   Kata orang itu "aku pasti takkan mengecewakan harapanmu."

   Ludira tertawa "Kenalpun dak, bagaimana engkau memaksa aku harus mempercayai omonganmu ?."

   Kedua orang itu saling bertukar pandang. Yang seorang gelengkan kepala. Tetapi ba- ba mereka terkejut ketika melihat Ludira lanjutkan langkah pula.

   "Tunggu ki sanak,"

   Teriak orang yang memelihara kumis. Kemudian berpaling kepada kawannya dan menggumam "apa boleh buat ..."

   "Jika engkau mengoceh tak keruan, akan kupotong lidahmu,"

   Bentak Ludira.

   "Ki sanak, dengarkanlah,"

   Kata orang itu "kami orang pengalasan Singasari yang hendak menghadap baginda Jayakatwang di Daha ..."

   "O"

   Desuh Ludira dengan sikap agak terkejut.

   "Jika engkau membunuh kami atau melarikan kuda kami, tentu keselamatan jiwamu terancam. Apabila gus kami mengetahui, engkau tentu dibunuh. Tapi apabila engkau mau mengantar kami ke Daha, tentu akan kami mohonkan hadiah kepada baginda Daha."

   "O,"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ludira mengangguk-angguk. Tampaknya ia terkesan tetapi ba- ba ia berseru keras "

   Dak, jangan coba membohongi aku!."

   "Sekali-kali tidak, ki sanak."

   "Ketahuilah,"

   Kata Ladira bengis "aku dan kawanku itu, kawula Singasari yang sakit ha kepada baginda Kertanagara maka aku segera masuk ke hutan menjadi penyamun. Aku memang lebih senang bernaung pada Daha."

   "Bagus, kawan,"

   Seru orang itu gembira "apabila engkau membantu kami, akan kuusulkan kepada gusti kami ajar engkau kelak diterima menjadi orangnya."

   "Tetapi jangan tertawa dulu, kawan,"

   Kata Ludira "

   Dak semudah itu aku segera menumpahkan kepercayaanku selama engkau tidak memberi keterangan yang meyakinkan."

   "Ah "

   Desah orang itu "apa maksudmu ?."

   "Engkau harus memberi keterangan yang jujur, siapakah gus yang mengutusmu ke Daha. Dan apakah maksud tujuan perutusan itu ? Apabila se k saja terdapat kelemahan pada keterangmu itu, aku segera tak mengacuhkan kalian lagi."

   Kedua orang itupun bertukar pandang pula.

   Tugas yang mereka lakukan membutuhkan penyelesaian segera.

   Dan berkesanlah kedua orang itu akan keterangan Ludira tadi.

   Serentak mbul suatu harapan untuk mempengaruhi pikiran Ludira.

   Dan jalan satu-satunya hanyalah memberitahu kepada Ludira, apa yang ditanyakannya itu.

   "Adakah setelah kuterangkan sejujurnya, engkau bersedia ikut pada kami ?"

   Masih orang itu bertanya dalam keraguan.

   "Pasti,"

   Sahut Ludira tegas.

   "Gustiku adalah pangeran Ardaraja ..."

   "O, putera mahkota Daha?"

   Teriak Ludira dengan nada gembira sehingga menimbulkan kesan kalau dia menyukainya. Diam-diam orang itupun gembira "Ya, raden Ardaraja"

   Katanya "raden telah mengutus kami berdua untuk menghadap baginda Jayakatwang."

   Tiba- ba Ludira kerutkan dahi "Ah, jangan main-main, ki sanak. Mengapa engkau tak membawa surat dari raden Ardaraja ?."

   Orang itu tertawa.

   "Engkau tentu maklum"

   Katanya "bahwa saat ini suasana pura Singasari sedang diliputi kemelut ketegangan.

   Tugas yang diberikan pangeran Ardaraja kepadaku sangat rahasia sekali.

   Bila aku sampai tertangkap oleh mata-mata fihak lawan, bukankah akan mencelakakan pangeran Ardaraja ?."

   "Tidak,"

   Bantah Ludira "bagaimana mungkin raja Jayakatwang percaya kepadamu ?."

   "Sudah tentu baginda akan percaya."

   "Apa alasannya ?."

   "Karena apa yang akan kuhaturkan itu sesuai dengan janji yang telah di tahkan baginda kepada puteranda pangeran Ardaraja."

   "Bagaimana janji itu ? "

   Desak Ludira yang diam-diam terkejut dalam hati.

   "Pangeran akan menghaturkan laporan kepada raja Jayakatwang tentang keadaan pura Singasari saat ini, agar Daha ......."

   "Eh, mengapa engkau berhen ? "

   Cepat Ludira mendesak pula kala orang itu hen kan kata katanya "agar raja Daha bagaimana ?."

   Sejenak orang itu tersipu-sipu. Rupanya la merasa telah kelepasan bicara. Ia memandang kawannya dan kawannya itupun tertegun.

   "Ki sanak, maaf, janganlah engkau keliwat mendesak. Pokok, percayalah bahwa akan segera terjadi suatu perobahan yang akan memenuhi keinginanmu. Bukankah engkau berfihak kepada Daha ?."

   "Tentu,"

   Sahut Ludira "tetapi karena engkau tak percaya kepadaku, akupun tak dapat mempercayai engkau juga. Nah, lebih baik aku pulang saja."

   "Tunggu,"

   Teriak orang itu gugup ke ka melihat Ludra hendak nggalkan mereka "ah, mengapa engkau begitu ingin sekali mengetahui persoalan yang sedang kulakukan ini ?."

   "Tadi engkau mengatakan bahwa suasana negara Singasari saat ini ibarat api dalam sekam,"

   Kata Ludira "dalam suasana sedemikian itu banyak sekali cumi cumi berkeliaran, ibarat ap pohon dan ap benda yang kita hadapi, selalu akan menangkap pembicaraan kita. Dan kitapun dak boleh mudah mempercayai orang."

   "Hm."

   "Tetapi aku telah menyatakan pendirianku akan setya kepada Daha. Sebenarnya hal ini sudah suatu kesalahanku. Oleh karena itu, aku hendak memutuskan begini. Apabila engkau percaya kepadaku dan yakin bahwa engkau ini benar benar utusan raden Ardaraja, aku pas akan membantumu. Tetapi kalau engkau tak percaya kepadaku, bagaimana aku harus percaya kepadamu. Untuk membuk kan kebenaran dari dirimu sebagai utusan pangeran Ardaraja, aku harus tahu jelas semua persoalannya. Apabila engkau tak mau menerangkan sejelas-jelasnya, berarti engkau tak percaya kepadaku. Lalu perlu apa aku membantumu ?."

   Orang itu mengeluh dalam ha . Namun karena sudah terlanjur melangkah jauh, terpaksa ia menerangkan juga walaupun dengan rasa yang berat hati.

   "Agar raja Daha dapat menitahkan keputusan untuk menyerang Singasari ..."

   "O, hebat,"

   Seru Ludira "Daha segera akan menyerang Singasari ? O, Dewa Agung, semoga hal itu lekas terjadi agar cita-citaku segera terlaksana. Bilakah raden Ardaraja memberi ancar- ancar penyerangan itu kepada ayahandanya?."

   "Menurut laporan dalam dua hari lagi rombongan raden Wijaya segera akan ba di bandar Tuban. Oleh karena itu Daha harus lekas ber ndak menyerang Singasari untuk mendahului kedatangan raden Wijaya."

   "Oh,"

   Kembali Ludira mendesuh kejut "

   Jika begitu, besok tentara Daha harus sudah menyerang Singasari ! Bagus, makin lekas makin baik !."

   Mendengar sikap dan nada Ludira, kedua orang pengalasan itu tampak gembira "Ki sanak, lekas buka ikatanku agar jangan sampai terlambat menghadap raja Jayakatwang."

   "Baik,"

   Sahut Ludira lalu berseru kepada Sedayu "Sedayu, lekas bantu membuka tali ikatan kakang itu."

   Ludira dan Sedayu lalu menghampiri kedua orang itu dan mengisar ke belakang mereka untuk membuka tali Sedayu terkejut karena perintah Ludira tadi tapi dia seorang dara yang cerdik.

   Pada waktu berada di belakang orang itu, cepat ia berpaling memandang Ludira.

   Ludira memberi anggukan kepala.

   "Aduh .... aduh ....

   "

   Terdengar kedua pengalasan itu mengaduh kesakitan dan terus pingsan karena tengkuk mereka ditebas sekeras-kerasnya oleh Ludira dan Sedayu.

   "Jangan Sedayu,"

   Teriak Ludira ketika Sedayu hendak menahas kepala pengalasan itu.

   "Mengapa engkau melarang? "

   Tanya Sedayu.

   "bukankah lebih baik mereka dilenyapkan ?."

   "Tidak perlu,"

   Jawab Ludira "cukup dimasukkan dalam gua."

   "Tapi kakang,"

   Bantah Sedayu "ini urusan negara, tak perlu kita memberi ampun kepada musuh."

   "Benar,"

   Jawab Ludira "tetapi kedua orang ini hanya pengatasan. Yang perlu kita berantas adalah biangkeladlnya, Ardaraja dan Jayakatwang."

   "Lalu akan kita mengapakan orang ini ?."

   "Taruh dalam sebuah guha yang tersembunyi, karena kaki dan tangan mereka diikat, tak mungkin mereka dapat lolos. Kita sediakan minum didekatnya. Mereka takkan mati karena tak makan selama empat lima hari. Dua hari kemudian keadaan sudah tidak berbahaya karena kakang Wijaya sudah tiba."

   Sedayu menurut.

   "Bagaimana rencana kita sekarang kakang ?"

   Tanya dara itu setelah selesai menempatkan kedua pengalasan di sebuah guha.

   "Engkau kembali ke pura dan lanjutkan tugasmu untuk memata-matai Ardaraja,"

   Kata Ludira.

   "Dan engkau ?"

   Tanya Sedayu..

   "Aku akan menghadap Jayakatwang ke Daha sebagai pengalasan Ardaraja. Akan kusampaikan laporan kepada raja Daha itu bahwa penyerangan sebaiknya dilakukan ga hari lagi. Dua hari kemudian kakang Wijaya sudah pulang. Dengan begitu kita sudah dapat menyusun pertahanan."

   "Apakah tidak berbahaya? Bagaimana kalau raja Daha tak percaya ?."

   "Jangan kua r, Sedayu. Akan kutumpahkan seluruh kepandaian bicaraku untuk menarik kepercayaan raja Daha."

   "Kalau gagal ?."

   "Sedayu, tugas menanti. Mari kita segera berangkat."

   Sedayu mengangguk penuh arti.

   *** Surya pagi itu tampak lebih cemerlang, lebih panas.

   Namun hal itu dak dihiraukan oleh rakyat Singasari yang saat itu tengah dilanda oleh berita yang menggemparkan.

   Berita tentang kembalinya raden Wijaya dari tanah Malayu.

   Kumandang berita itu bagai sangsakala yang meraung-raung, membahana cakrawala Singasari.

   Seluruh rakyat, tua muda, besar kecil, wanita maupun lelaki, terpesona mendengar berita itu.

   Rumah rumah, jalanan-jalanan, pekan bahkan gelanggang adu ayam yang pada waktu akhir ini menjadi pusat keramaian rakyat mengadu untung, hari itu tampak sepi.

   


Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long Rase Emas Karya Chin Yung Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long

Cari Blog Ini