Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 39


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 39



Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana

   

   Tiada lain bahan pembicaraan kecuali pulangnya raden Wijaya itu.

   Se ap hal, tentu menimbulkan dua macam pengaruh atau penilaian.

   Bagi kaum botoh atau penjudi, kaum pemabuk, kaum yang gemar wanita, kaum jagoan yang suka menindas yang lemah dan kaum penjahat serta terlebih pula musuh-musuh dalam selimut yang hendak menggerogo kerajaan Singasari, menyambut berita itu dengan deadam dan kecemasan.

   Sedangkan rakyat yang mencemaskan keadaan Singasari sejak kepergian raden Wijaya ke tanah Malayu, menyambut berita itu dengan gembira, lega.

   Mereka menaruh harapan penuh bahwa ksatrya itulah yang akan sanggup untuk mengatasi kekacauan akhlak, keamanan dan kehidupan yang makin merosot.

   Dan kesibukan-kesibukan pun tampak di kalangan narapraja kerajaan.

   Walaupun kesibukan itu tak lepas dari dua jenis warna.

   Mereka yang menginginkan kehancuran Singasari dan mereka yang setya pada Singasari.

   Tetapi dak demikian suasana dalam keraton Singasari sendiri.

   Karena ke ka empu tua Raganata, bergegas berangkat dari Tumapel untuk menghadap baginda, tampak baginda sedang duduk dihadap patih Aragani.

   Tampaknya raja dan patih itu sedang dalam suasana santai..

   "Hai, mengapa bergegas benar tampaknya paman menghadap kepada kami. Apakah gerangan yang hendak paman persembahkan ?"

   Tegur baginda Kertanagara.

   "Ampun, gus , hamba hendak mempersembahkan sebuah berita gembira ke hadapan paduka,"

   Kata empu Raganata.

   "O, berita gembira ?"

   Ulang baginda "apakah itu ?."

   "Raden Wijaya, putera paduka, telah tiba di Tuban."

   "Bagus,"

   Seru baginda tertawa gembira "bukankah dia berhasil melaksanakan titah kami ?."

   "Binar gus ,"

   Sembah empu Raganata "raden Wijaya pulang dengan membawa dua orang puteri jelita dari kerajaan Sriwijaya."

   "Hai, benarkah itu ?"

   Seru baginda.

   "Dhirgahayu Seri Lokawijaya, Sri Jnana Bajres-wara yang menyinarkan restu ke seluruh nuswantara!"

   Tiba-tiba patih Aragani berseru lantang. Baginda kisarkan pandang mata ke arah patih itu.

   "Telah menjadi keyakinan hamba, bahwa pengiriman arca Amoghapasa dan peminangan atas puteri tanah Malayu itu pas akan berhasil. Karena tuanku adalah Jina, Seri Lokawijaya yang berkemenangan,"

   Seru patih Aragani. Baginda Kertanagara bergelak tawa "Untunglah aku menerima persembahan usulmu. Bila mendengarkan kata-kata paman Raganata, tiadalah akan tiba hari segemilang ini."

   "Ah,"

   Aragani pura -pura menghela napas "mungkin karena empu Raganata sudah diusia-usia lanjut atau mungkin bahwa empu Raganata masih belum yakin akan kebesaran paduka gusti."

   "Ho, jika demikian,"

   Kata baginda "patutlah paman Raganata kuberi kitab Rajapa Gundala ciptaanku yang menguraikan secara luas ilmu pengetahuan tentang falsafah dan tata susunan agama Syiwa-Buddha.

   Agar pikiran dan pandangan paman Raganata daklah sepicik .....

   sepicik apa, Aragani?."

   "Katak dalam tempurung, gusti,"

   Sahut Aragani.

   "Ha..ha,"

   Baginda tertawa "benar, benar.

   Katak dalam tempurung tentu mengira bahwa dunia ini hanyalah seluas tempurung.

   Demikian pula dengan pikiran paman Raganata, agar jangan menganggap bahwa dunia ini hanyalah Singasari.

   Karena tujuanku, kerajaan Singasari itu harus mencakup seluruh nuswantara dengan Singasari sebagai pusat pemerintahannya."

   Dengan menahan debur warna merah pada muka akibat gejolak rasa malu menerima ejekan itu, empu Raganata menerima kitab Rajapati Gundala seraya menghaturkan terima kasih.

   "Dua orang puteri raja Sriwijaya kata paman?"

   Tegur baginda pula. Empu Raganata mengiakan.

   "Cantikkah puteri itu? Mana yang lebih cantik di antara keduanya ?."

   "Hamba dengar puteri itu merupakan Sekar kedaton Darmasraya yang ada tolok bandingannya. Namanya puteri Candra Wulan."

   "Candra Wulan ? Ah, baiklah kami beri nama Dara petak,"

   Kata baginda "segera tahkan Wijaya menghaturkan puteri itu ke hadapan kami."

   "Baik, gusti,"

   Empu Raganata memberi sembah lalu hendak mengundurkan diri.

   "Tunggu, paman,"

   Ba- ba baginda berseru beberapa narapraja telah menghaturkan laporan bahwa pada waktu akhir-akhir ini pura Singasari sering mbul kekacauan dan kerusuhan. Judi dan tuak menjadi sumber perkelahian dan pembunuhan. Benarkah itu, paman?."

   Raganata terkejut. Namun diam-diam ia girang. Bahwa betapapun pa h Aragani hendak menyelimuti, akhirnya sampai juga laporan-laporan itu kjpada baginda.

   "Ampun, gus ,"

   Kata empu tua itu "memang suasana pura Singasari sejak kepergian raden Wijaya, makin hari makin rusuh. Prajurit kehilangan bhak kewajibannya, rakyat kehilangan pegangan ..."

   Baginda kerutkan dahi "Aneh, bukankah paman kuangkat sebagai Adhyaksa yang berwewenang untuk menjatuhkan hukuman kepada mereka yang melanggar hukum?."

   "Tetapi gus ,"

   Kata empu Raganata "prajurit-prajurit penjaga keamanan pura hanya tunduk pada perintah Kuda Panglulut. Sedangkan hamba sebagai adhyaksa, ada mempunyai tenaga-tenaga untuk melaksanakan keputusan hamba. Hamba tiada berdaya mengatasi."

   "Siapakah Kuda Panglulut itu ? "

   Tanya baginda.

   "Menantu ki patih Aragani."

   "O,"

   Bagipda beralih pandang kepada Aragani "benarkah, Aragani ?."

   "Benar, gus ,"

   Sembah Aragani "anak menantu hamba itu memang giat sekali untuk menjaga keamanan pura.

   Sampai-sampai jauh malam baru dia pulang.

   Dan nyatanya rakyat memang lebih tunduk kepadanya daripada kepada empu Raganata.

   Bahkan menantu hamba marah apabila rakyat memberi gelar Harimau ompong kepada empu Raganata..."

   "Ha, ha, ha,"

   Baginda tertawa gelak-gelak "harimau ompong? Wahai, tepat benar gelar itu untuk paman Raganata yang sudah tua dan merasa tak berdaya mengatasi kerusuhan..."

   Empu Raganata tenang-tenang mendengarkan cemohan itu.

   Ia sudah terlalu kenyang akan ejek cemooh yang dilontarkan pa h atau yang dibuat oleh pa h itu agar diucapkan baginda.

   Sejak ia dilorot menjadi adhyakia Tumapel memang ia harus menebalkan kulit mema kan perasaan.

   Namun hal itu daklah mengurangkan semangat dan jiwa pengabdiannya kepada negara Singasari yang ia cintai.

   "Paman Raganata,"

   Seru baginda pula "hendaknya paman berterima kasih kepada Kuda Panglulut menantu patih Aragani yang banyak membela dan membantu pekerjaan paman."

   "Baik, gus ,"

   Sahut empu tua Raganata.

   Kemudian mengulangi pula permohonannya untuk mengundurkan diri dari keraton.

   Pada saat melangkah ke luar, masih terdengar pa h Aragani berkata kepada baginda 'ah kasihan empu tua itu, benar-benar seperti harimau ompong'.

   Dan bagindapun tertawa gelak-gelak.

   "Ah, sial,"

   Gumam baginda seraya mengambil daun lontar yang terletak di sisinya "bait terakhir dari syair pengagung kebesaran Batara Wisnu yang sudah terlintas dalam angan-anganku tadi, lenyap lagi karena kedatangan empu Raganata ..."

   Pa h Aragani tertawa "Tuak, gus , akan melayangkan renungan paduka ke angkasa nggi tempat segala sumber ilham."

   "Bagus, Aragani,"

   Seru baginda seraya menyambar piala di hadapannya. Melihat itu Aragani bergegas-gegas menuangkan tuak yang harum baunya .... Baru baginda Kertanagara mengangkat piala itu, ba- ba ia terkejut mendengar derap langkah orang dan ....

   "Hai, empu Raganata, mengapa engkau menghadap lagi ?"

   Tegur baginda dalam nada agak mengkal.

   "Ampun gus ,"

   Sembah Raganata "hamba hendak mempersembahkan sebuah berita yang penting. Musuh telah menyerang telatah Singasari !."

   "Musuh,"

   Sejenak baginda terkesiap lalu tertawa "ah, mungkin engkau bermimpi paman ? Musuh dari mana ? " "Benar, gus ,"

   Kata empu Raganata dengan nada bersungguh "musuh dari Daha. Pasukan Daha tiba-tiba menyerang telatah perbatasan Singasari."

   "Bohong !"

   Baginda memekik keras-keras "pasukan Daha? Bukankah pasukan Daha itu di bawah pimpinan akuwu Jayakatwang ? Bagaimana mungkin dia menyerang Singasari ?."

   "Hamba dapat menghadapkan saksi, gusti,"

   Jawab Raganata.

   "Siapa ?."

   "Lurah desa Sideman."

   "Titahkan dia masuk,"

   Seru baginda seketika.

   "Hai, lurah Sideman,"

   Tegur baginda ketika lurah itu dibawa menghadap "apa laporanmu ?."

   Lurah dari desa Sideman itu serta merta menghunjuk sembah "Baginda junjungan seluruh kawula Singasari,"

   Katanya "kemarin desa kami telah menderita sambaran 'haliliatar di tengah hari'. Tanpa diketahui, ba- ba datanglah balatentara Daha menyerang desa kami, merusak perumahan dan menganiaya rakyat yang tak mau menyerah."

   "Lurah ! "

   Bentak baginda serentak "siapakah yang engkau hadap saat ini!."

   "Paduka yang mulia, sang prabu Kertanagara yang menguasai seluruh jaga dibumi Singasari,"

   Sembah lurah itu agak menggigil.

   "Hm, kiranya engkau sudah tahu,"

   Gumam baginda "mengapa engkau berani menghaturkan laporan palsu ?."

   "Gus ,"

   Dengan nada gemetar lurah desa itu menghaturkan sembah pula "memang benar balatentara Daha telah menyerang desa Sideman yang menjadi perbatasan Daha dengan Singasari. Apabila laporan hamba ini salah, hamba mohon dihukum penggal kepala."

   Masih baginda tak percaya "Mungkin engkau salah lihat, lurah. Gerombolan penyamun engkau sangka tentara Daha."

   "Mohon gus menitahkan prajurit untuk meneli laporan hamba,"

   Kata lurah desa Sideman "apabila hamba memang tak mampu membedakan mana gerombolan penyamun mana prajurit Daha, hamba bersedia dipancung kepala hamba."

   Baginda menguarkan pandang ke arah patih Aragani "Apa kata paman Aragani ?."

   Diam-diam Aragani memang terkejut dalam ha .

   Yang diharap dari Sriwijaya tak kunjung ba, mengapa yang muncul serangan dari Daha.

   Cepat pula Aragani menyelami lubuk renungannya.

   Bahwa sejak beberapa waktu, pernah ia menerima laporan dari menantunya, Kuda Panglulut, tentang gerak gerik Daha yang mencurigakan.

   Terutama raden Ardaraja sering mondar mandir pulang ke Daha.

   Namun ia masih belum dapat mempercayai sepenuhnya.

   Karena akuwu Jayakatwang itu telah terikat keluarga dengan baginda Kertanagara.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bagaimana mungkin akan menyerang Singasari.

   Mendengar berita yang dibawa lurah Sideman itu, mbullah gejolak dalam ha pa h Aragani.

   Apabila hal itu benar, memang amat berbahaya sekali.

   Untuk menyerang Singasari, tentulah Daha sudah lama mengadakan persiapan dan menunggu kesempatan.

   Dan saat ini memang suatu kesampatan yang sebaik-baiknya.

   Ah, apabila Daha berhasil merobohkan Singasari, bukan hanya baginda Kertanagara yang akan jatuh, pun ia juga tentu akan dibunuh.

   Ia tahu Daha tak menyukai dirinya.

   "Menurut hemat hamba"

   Demikian ia mempersembahkan jawab kepada baginda "kemungkinan apa yang dihaturkan lurah Sideman itu memang layak mendapat perha an. Mohon paduka menitahkan prajurit untuk menyelidiki ke desa Sideman."

   "Tetapi adakah engkau mempercayai bahwa akuwu Jayakatwang akan ber ndak demikian, paman?"

   Baginda menegas.

   "Mudah-mudahan dak, gus Agar hamba dapat memancung kepala lurah desa ini,"

   Kata pa h Aragani.

   "Gus ,"

   Ba ba empu Raganata berkata "di samping saran baik dari rakryan pa h Aragani, hamba mohon paduka segera memanggil raden Wijaya menghadap ke keraton Singasari. Agar raden Wijaya sempat untuk menyusun kekuatan menghadapi Daha."

   Sebelum baginda memberi keputusan, dengan amat lancang pa h Aragani sudah mendahului "Ya, pergilah empu menjemputnya.

   Dia cepat datang atau dak, daklah mempengaruhi pertahanan Singaiari yang telah diatur sebaik-baiknya oleh Kuda Panglulut.

   Janganlah tuan selalu membayangkan suasana ketakutan dan suasana kegelisahan di balairung ini sehingga dapat mengganggu kesenangan baginda yang tengah mencari ilham bagi syair karya baginda."

   Empu Raganata terkejut mengapa sampai sekian jauh pengaruh pa h Aragani kepada baginda.

   Ia menghela napas lalu mohon diri bersama lurah desa Sideman meninggalkan balairung.

   Tujuan empu tua itu hendak menuju ke tempat kediaman tumenggung Wirakre untuk merundingkan masalah penyambutan raden Wijaya.

   "Empu Raganata ....

   "

   Ba- ba ia mendengar suara memanggil namanya. Cepat ia berpaling. Dari balik sebatang pshoa yang tumbuh di tepi jalan, muncullah seorang pemuda cakap.

   "O, engkau Ludira,"

   Kejut empu tua itu bergan kegembiraan ke ka melihat pemuda itu "mengapa engkau di sini ?."

   "Sudah lama aku menunggu, paman,"

   Kata pemuda itu "

   Kuperhitungkan sepeninggal paman dari keraton, tentu akan mengambil jalan ini."

   "Apa keperluanmu ?."

   "Tampaknya paman amat bergegas langkah. Hendak menuju ke manakah paman sekarang ? "

   Balas pemuda itu.

   "Tumenggung Wirakre ,"

   Jawab empu Raganata lalu menuturkan pembicaraan yang telah berlangsung dengan baginda. Jaka Ludira meminta empu itu berhenti di bawah pohon.

   "Paman, memang beberapa hari yang lalu, sudah kuketahui tentang rencana Daha hendak menyerang Singasari,"

   Kata Ludira lalu menuturkan peris wa pencegatannya kepada dua orang pengalasan dari raden Ardaraja.

   "Dan aku sendiri paman yang menghadap akuwu Jayakatwang. Dengan mengaku sebagai pengalasan dari Ardaraja, kukatakan bahwa sebaiknya empat hari lagi barulah Daha boleh memulai gerakan menyerang Singasari."

   "Dan akuwu Jayakatwang percaya ?"

   Tanya Raganata.

   "Percaya."

   "Adakah keesokan harinya, raden Ardaraja menuju ke Daha atau mengirim pengalasan lagi ke sana?."

   "Tidak."

   "Tetapi mengapa Daha sudah bergerak lebih cepat ?."

   Ludira tertegun.

   "Memang aneh,"

   Gumamnya kemudian "pada hal Sedayu telah mengawasi gerak-gerik pangeran Ardaraja itu dengan ketat.

   Ah, kiranya hanya dua kemungkinan.

   Kalau bukan kedua pengalasan yang kuikat dalam hutan itu ditolong orang, tentulah Ardaraja mempunyai saluran lain untuk menyampaikan laporan ke Daha."

   "Ah, untuk melaksanakan rencana, tentulah raden Ardaraja tak kurang akal,"

   Kata Raganata "dan bagaimanapun, hal itu sudah menjadi kenyataan yang harus kita hadapi. Daha sudah menyerang perbatasan Singasari dan kita harus cepat cepat menyusun perlawanan."

   Ludira mengangguk "Serahkan tugas paman untuk menjemput raden Wijaya kepadaku. Paman boleh merundingkan hal-hal yang perlu dengan tumenggung Wirakreti."

   Empu Raganata memandang wajah pemuda itu dengan pandang yang luas ar nya. Seolah-olah hendak menembus isi hati Ludira.

   "Paman empu,"

   Kata Ludira "saat ini Singasari benar-benar terancam bahaya.

   Dalam saat inilah para putera Singasari dituntut untuk membak kan dharma kesetyaannya kepada negara.

   Dan di saat ini pula akan dapat diketahui mana yang emas mana loyang.

   Kita harus memutuskan cepat, mempercayai cepat dan bertindak cepat.

   Jika paman percaya kepadaku ..."

   "Ludira, marilah kita berangkat,"

   Cepat empu Raganata memeluk pemuda itu dan mencium ubun- ubun kepalanya "tugas melindungi Singasari, kuletakkan di atas bahumu."

   Keduanya segera berangkat. Malam itu raden Wijaya mendapat laporan dari awak perahu bahwa mereka sedang memasuki bandar Tuban.

   "Mohon raden memberi tah, apakah kita lanjut menghampiri bandar atau berhen di sini,"

   Kata awak perahu.

   Mengingat saat ini tengah malam maka raden Wijaya memutuskan untuk berhen di tengah laut.

   Besok pagi baru merapat ke bandar.

   Tak berapa lama setelah sauh diturunkan, raden Wijayapun kembali ke ruang peristirahatannya.

   Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang menegangkan hati.

   Sesosok tubuh manusia duduk di atas kursi.

   Siapa orang itu tak diketahui karena mukanya tertutup oleh kain selubung hitam.

   Wijaya cepat meraba senjata dan menghardik "Siapa engkau !."

   "Aku raden,"

   Kata orang itu "masakan engkau lupa !."

   "O, engkau ....

   "

   Seru Wijaya heran-heran kejut.

   "Ya."

   "Bagaimana engkau dapat berada di sini ?."

   "Biasa saja,"

   Sambut orang itu "naik sebuah perahu kecil lalu loncat ke perahu ini dan menunggu raden di sini."

   "Tanpa diketahui oleh anak perahu ini ?."

   "Ah, mereka tentu le h. Dan mungkin ditegangkan oleh rasa gembira karena akan segera mendarat di tanah air."

   "Hebat juga engkau, Ludira,"

   Puji Wijaya "jika engkau seorang musuh, seluruh awak perahu ini tentu sudah engkau bunuh atau kauberi hukuman."

   "Maafkan, kelancanganku, kakang,"

   Kata Ludira.

   "Engkau tak bersalah. Bahkan aku merasa gembira karena engkau telah memberi pelajaran yang baik kepada kami,"

   Wijaya tertawa lalu beralih pertanyaan "tentulah amat pen ng berita yang adi hendak berikan kepadaku."

   "Bukan penting lagi tetapi gawat, kakang."

   Ludira lalu menceritakan keadaan Singasari sepeninggal Wijaya "kini Daha sudah mulai bergerak maka itulah sebabnya aku terpaksa menghadap kemari karena dak sabar menan sampai kakang merapat ke dermaga besok pagi."

   Wijaya seperti dipagut ular.

   "Jika demikian, sekarang juga kita harus bergerak. Selangkah terlambat, kita tentu terlambat,"

   Serentak Wijaya memutuskan untuk mendarat pada malam itu juga. Tetapi sesaat kemudian ia tertegun "

   Tetapi ..."

   Rupanya Ludira tahu apa yang meresahkan Wijaya.

   "Menurut hematku"

   Katanya "baiklah kedua tuan puteri dari Sriwijaya itu kita selamatkan dahulu. Kemudian kita cepat-cepat ke Singasari."

   "Maksudmu kedua puteri itu kita tinggalkan di Tuban ?."

   "Lebih baik kakang tahkan berlayar pulang ke Sriwijaya dulu dan serahkan kepada senopa Mahesa Anabrang untuk mengantarkan ke Singasari selekas keadaan Singasari sudah mengidinkan."

   Wijaya menerima saran itu. Menilik Singasari dalam bahaya yang sudah sedemikian gawat, peperangan tentu tak dapat dihindarkan. Seketika itu juga ia memanggil kepala awak perahu.

   "Bawalah tuan puteri kembali ke Sriwijaya,"

   Kata Wijaya lalu menyerahkan sepucuk sampul "selekas ba di negeri itu, segeralah engkau menghadap senopa Mahesa Anabrang dan haturkan surat ini."

   Diputuskan bahwa perahu yang membawa kedua puteri Sriwijaya itu kembali ke tanah Malayu. Sedang prajurit-prajurit yang berada dalam dua buah perahu lainnya, menyertai raden Wijaya turun ke darat.

   "Bagaimana dengan Sora, Nambi dan yang lain ?"

   Tanya Wijaya di tengah perjalanan.

   "Saat ini mereka telah di tahkan oleh baginda untuk menumpas sisa-sisa pemberontak di gunung Butak,"

   Sahut Ludira.

   "Celaka! "

   Tiba-tiba Wijaya berteriak "mereka tak berada di pura Singasari?."

   "Sejak beberapa waktu mereka menuju ke gunung Butak."

   "Muslihat yang licin!"

   Seru Wijaya pula "jelas musuh telah mengatur rencana yang cerdik untuk merapuhkan pertahanan Singasari."

   "Daha?."

   "Daha baru sekarang ini menampakkan warnanya. Sebelumnya kuduga patih Aragani."

   Cepat Ludira memberi tanggapan "Keduanya adalah ibarat harimau dan buaya.

   Yang tampak mengaum aum melalui ulah pa h Aragani, yalah fihak Sriwijaya.

   Tetapi mereka ibarat buaya yang berada di laut.

   Jauh dengan Singasari.

   Ternyata yang lebih cepat muncul yalah harimau dari hutan Daha.

   Ibarat memelihara anak harimau, jika besar tentu akan menerkam.

   Betapapun raja Kertanagara hendak memelihara si anak harimau Ardaraja, pada akhirnya ia akan menyambut induk semangnya untuk menerkam baginda."

   "Menurut kesan yang kuterima dari laporan adi tadi,"

   Wijaya memberi ulasan "bukan salah harimau dan anak harimau yang menerkam orang yang memelihara itu. Melainkan orang itu sendiri yang memasukkan kepalanya ke mulut harimau."

   "Suatu pelajaran yang pahit tetapi berharga,"

   Kata Ludira.

   "Asal jangan yang berharga itu ada dapat dinikma karena sudah terlanjur diambil orang,"

   Wijaya berkata hambar.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagaimana rencana kakang menghadapi serangan Daha itu?"

   Tanya Ludira.

   "Aku belum tahu jelas bagaimana keadaan pura Singasari,"

   Kata Wijaya "setelah menghadap baginda barulah dapat kuatur rencana."

   "Raja Kertanagara sudah terlalu parah dibius tuak dan pujian oleh Aragani. Tak banyak yang dapat kita harapkan dari beliau,"

   Sambut Ludira "dan perjuangan negara Singasari ini adalah milik putera-putera Singasari."

   Wijaya mengangguk "Paling dak kita harus mempertahankan kewibawaan baginda karena bagindalah raja yang berkuasa di Singasari."

   "Adakah kakang Wijaya hendak mempertahankan baginda sebagai yang dipertuan negara Singasari ?"

   Tiba-tiba Ludira mengajukan pertanyaan aneh.

   "Eh, adi,"

   Wijaya kerutkan alis "bukankah kita ini berjuang untuk membela baginda ?."

   "Siapa yang kakang maksudkan kita ini ?"

   "Sudah tentu para mentri senopati, prajurit dan kawula Singasati, termasuk aku dan adi."

   "Tepatnya hanya terbatas pada mentri senopa dan para prajurit,"

   Sambut Ludira "bukan seluruh kawula Singasari."

   Wijaya menyalangkan mata memandang ke arah pemuda yang mukanya tertutup kain selubung hitam itu.

   "Dan adi?"

   Tanyanya kemudian.

   "Aku termasuk kawula Singasari yang tidak membela baginda."

   "Adi ..... apa maksudmu ?"

   Wijaya tergagap "bukankah engkau berjuang keras untuk membela kerajaan Singasari?."

   "Benar,"

   Sahut Ludira "tetapi yang kubela yalah negara Singasari, bukan raja Kertanagara."

   Wijaya makin terkejut "Apakah maksud adi ?."

   "Telah kukatakan bahwa aku berjuang untuk mempertahankan kelangsungan negara Singasari, bukan untuk membela raja Kertanagara. Dan karena kakang, para senopa dan prajurit juga berjuang untuk mengenyahkan musuh yang menyerang Singasari, maka kami dapat kerja-sama, berjuang bau-membau."

   "Apakah adi tidak senang kepada baginda Kertanagara ?."

   "Soal itu mempunyai latar sejarah tersendiri. Maaf, sekarang belum dapat kuterangkan kepadu kakang,"

   Kata Ludira "kelak pada saatnya kakang tentu mengetahui sendiri."

   "Lalu bagaimana tindakan adi sekarang ?."

   "Oleh karena tak terikat pada raja Kertanagara, maka aku pun akan ber ndak menurut caraku sendiri. Silakan kakang bersama pasukan pengiring, menuju ke Singasari."

   "Dan adi ?."

   "Akan ke Tumapel, untuk meminta Lembu Mandira, putera empu Raganata menuju ke gunung Butak. Sora dan Nambi serta kawan-kawannya harus lekas kembali ke Singasari bergabung dengan kakang."

   "Bagus, adi,"

   Seru Wijaya seper tersadar "kita masih memiliki pemuda-pemuda gagah seper Sora, Nambi, Gajah Biru, Pamaniana, Lembu Pawagal, Jabung Tarewes, Ikal-ikalan Bang, Gajah Lembana dan lain-lain.

   Andai adi Ludira mau bergabung dengan kami, betapalah gembira hatiku."

   Ludira tertawa hambar.

   "Telah kukatakan,"

   Kata pemuda itu "walau pun tujuan lain, kakang membela raja Kertanagara dan aku negara Singasari, tetapi cara kita bersatu yalah menghancurkan se ap musuh dari manapun yang hendak menyerang Singasari.

   Oleh karena itu, marilah kita bekerja menurut cara masing-masing."

   Dengan berat ha Wijaya melepas pemuda berselubung kain hitam itu, melenyapkan diri dalam kegelapan malam.

   "Siapakah sesungguhnya pemuda itu ?"

   Mulai timbul pertanyaan dalam hati Wijaya.

   Tetapi ia tidak dapat mencurahkan perhatiannya untuk memecahkan rahasia itu.

   Yang penting ia harus segera menghadap baginda.

   Paling tidak pemuda aneh itu sudah memberi janji untuk bekerja- sama menghalau penyerangan Daha.

   Sebenarnya Wijaya hendak merahasiakan kedatangannya ke pura Singasari.

   Agar musuh jangan mengetahui gerak-geriknya.

   Tetapi dalam perjalanan ia telah menerima laporan-laporan tentang keadaan rakyat Singasari yang sudah semakin morat marit.

   "Kabarkan kepada pa h Aragani akan kedatanganku,"

   Wijaya memberi perintah kepada seorang prajurit. Dan kepada prajurit lain ia menyuruhnya menghadap empu Raganata untuk mengabarkan tentang kedatangannya.

   "Semoga berita itu akan membangkitkan semangat rakyat untuk membela pura Singasari,"

   Pikir Wijaya.

   Dan memang gemparlah seluruh pura Singasari demi mendengar berita kembalinya raden Wijaya.

   Hanya kepada ksatrya muda itulah rakyat menggantungkan harapannya untuk memperbaiki keadaan Singasari.

   Hampir dikata seluruh kawula pura Singasari ke luar untuk menyambut dan mengelu -elu rombongan raden Wijaya ketika memasuki gerbang pura kerajaan Singasari.

   Wijaya menitikkan beberapa butir airmata haru.

   "Dengan memiliki rakyat yang masih menyala semangatnya itu, kerajaan Singasari tentu takkan roboh,"

   Diam-diam ia berkata dalam ha dan diam-diam ia berjanji pada diri sendiri untuk berjuang sekuat tenaga memenuhi harapan mereka.

   Ke ka masuk ke balai Manguntur tempat baginda menerima mentri nayaka menghadap, raden Wijaya dipeluk dengan mesra oleh empu Raganata.

   "Raden, Daha menghiana baginda. Akuwu Jayakatwang menggerakkan pasukan untuk menyerang tanah perbatasan Singasari ..."

   "Raden, jangan hiraukan gangguan empu Raganata. Silakan menghadap baginda,"

   Ba- ba terdengar suara orang berseru dan ke ka Wijaya berpaling ternyata pa h Aragani. Tampak wajah patih itu kurang gembira.

   "Baiklah, empu,"

   Wijaya tak menghiraukan Aragani melainkan memberi jawaban kepada Raganata "hamba berjanji akan menghalau mereka."

   Tetapi agak terkesiap Wijaya demi mendengar nada sambutan baginda yang se kpun dak menggambarkan kegelisahan, melainkan penuh kegembiraan.

   "Wahai puteraku Wijaya, kabarkanlah segera bagaimana kebesaran dari penyambutan raja Malayu akan kedatanganmu sebagai utusan raja Singasari. Bukankah mereka terpesona akan kejayaan Singasari ?"

   Leru baginda.

   Wijaya berusaha menindas keheranannya.

   Bukankah saat ini Singasari sudah diserang musuh ? Mengapa baginda tak cepat-cepat menitahkan supaya menggempur musuh tetapi ingin mendengar sesuatu yang membanggakan hati baginda ? "Daulat tuanku,"

   Wijaya memberi sembah "memang baginda raja Darmasraya yang memerintah kerajaan Sriwijaya, amat berkesan dan bersyukur menerima tanda persahabatan baginda. Utusan Singasari telah disambut dengan penuh kehormatan dan kebesaran."

   "Bagus, putcraku,"

   Baginda Kertanagara tertawa ria "negeri manakah yang tak mengindahkan kebesaran Singasari ? Bukankah begitu, paman patih ?."

   "Dhirgahayu Seri Lokawijaya,"

   Serentak pa h Aragani berseru lantang "siapakah negara di seluruh bumi dunia yang tidak tahu akan kemuliaan nama paduka ?."

   "Puteraku,"

   Tiba-tiba baginda berseru pula "lupakah dikau akan pesanku dahulu ?."

   "Bagaimana mungkin hamba berani melalaikan titah paduka."

   "O, jadi engkau telah membawakan buah tangan untukku ?."

   "Daulat tuanku."

   "Buah tangan yang tiada terdapat dalam kerataan Singasari, bukan ?."

   "Demikian, gusti."

   Bagi ada Kertanagara tertawa makin gembira "Bagus, puteraku, kiranya engkaulah Wijaya, putera menantuku yang tahu akan keinginan ha ku. Sekarang sebutkanlah, Wijaya, apakah buah tangan yang paling berharga untukku itu ?."

   "Puteri Sriwijaya yang sesuai dengan namanya, bagaikan sang Dewi Rembulan yang bersinar gemilang menerangi seluruh kerajaan Sriwijaya."

   "Bagus, puteraku,"

   Seru baginda Kertanagara makin bermanja tawa "seluruh jagadraya hanya memiliki sebuah rembulan. Sedang kerajaan Singasari pun mempunyai rembulan tersendiri, ha, ha, ha ....."

   Wijaya terlongong-longong. Mengapa baginda makin berobah sifatnya. Beberapa tahun yang lalu, baginda tampak berwibawa, jarang tertawa. Tetapi kiai tampaknya baginda amat periang dan jenaka.

   "Wijaya,"

   Ba- ba baginda berseru pula "siapakah nama puteri secan k rembulan itu? Namanya serupa dengan rembulan pula?."

   "Candra Dewi, gusti. Dan yang seorang bernama Kembang Dadar."

   "Bukankah kecan kan puteri Candra Dewi itu bagaikan merpa yang terbang di siang hari, amat menonjol sekali?."

   "Demikianlah, gusti."

   "Hm,"

   Baginda merenung "cobalah akan kucari suatu rangkaian puji yang mengiaskan kecan kan seorang puteri..."

   Wijaya heran mengapa saat itu baginda banyak berobah perangainya. Serentak ia teringat akan laporan Jaka Ludira bahwa baginda telah makin terbius dalam puji sanjung pa h Aragani yang ap hari menemani baginda minum tuak sambil merangkai syair.

   "Nah, ketemulah,"

   Ba- ba baginda berseru gembira "cobalah engkau dengarkan, puteraku.

   'Bagai burung merpa pu h di antara kerumun burung gagak.

   Merpa akan tampak pu h memukau apabila dikerumuni oleh kawanan gagak berbulu hitam.

   Mengiaskan keelokan yang gilang gemilang dari seorang puteri.

   Tepatkah tamsil itu, paman Aragani?."

   Aragani bergegas menyambut "Ilham paduka makin indah. Tamsil itu amat mengena, gus ,"

   Baginda Kertanagara tertama gembira.

   "Wijaya,"

   Ujarnya pula "kuhadiahkan sebuah anugerah nama untuk Candra Dewi, yani Dara Petak.

   Candra sudah lazim dipakai tetapi Dara masih jarang dan mengandung makna yang damai.

   Dan untuk puteri Kembang Dadar kuanugerahi nama baru Dara Jingga.

   Semoga dengan kehadiran kedua Dara itu, perdamaian antara Singasari dan Sriwijaya akan tercipta sepanjang masa."

   "Apapun tah paduka tentu akan hamba laksanakan,"

   Kata Wijaya lekas-lekas hendak menyelesaikan pembicaraan itu.

   "Di manakah kedua puteri itu, Wijaya ?."

   "Masih hamba persilakan berada didalam perahu gusti."

   "Mengapa ?"

   Tegur baginda.

   "Hamba mendengar berita bahwa Daha telah menyerang Singasari. Oleh karena, itu hamba bergegas menghadap ke hadapan gus lebih dahulu. Apabila memang keadaan aman, akan hamba jemputlah puteri itu."

   Baginda tertawa "Ah, memang bcrkelebihanlah kiranya cerita empu Raganata kepadamu.

   Memang lurah desa di perbatasan membawa laporan bahwa desanya telah diserang oleh pasukan Daha, Tetapi aku masih tak percaya, mungkin lurah itu khilaf menyangka gerombolan pengacau sebagai pasukan Daha.

   Bagaimana mungkin akuwu Daha yang teli terikat keluarga dengan aku itu akan menyerang Singasari?."

   Wijaya kerutkan kening.

   "Dan andaikata hal itu benar terjadi, kiranya tak perlulah raden bergopoh ha . Menantu paman, Kuda Panglulut, telah mempersiapkan pasukan untuk menghadapi se ap kemungkinan, raden,"

   Tiba-tiba patih Aragani ikut membuka suara.

   "O, terima kasih paman,"

   Terpaksa Wijaya mengucap syukur "tetapi bagaimanakah dengan adi- mas Ardaraja? Tidakkah selama aku ke tanah Malayu, adi mas Ardaraja yang bertugas menjaga, pura Singasari ?."

   "Ya, memang Ardartja telah menggan kan tugasmu, Wijaya,"

   Ba- ba baginda berseru "ya, mengapa hari ini dia tak tampak menghadap ?."

   Wijaya memperha kan bahwa cuping hidung pa h Aragani mengempis mengiring mulutnya yang menyeringai ketika mendengar ucapan baginda.

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Puteraku Wijaya, segeralah engkau menjemput kedua puteri itu ke pura kerajaan,"

   Baginda berseru pula.

   "Tetapi gus , sepanjang perjalanan dan ke ka masuk ke pura, hamba sempat memperha kan kabar-kabar yang menggelisahkan para kawula Singasari. Bahwasanya Daha memang telah menggerakkan pasukan untuk menyerang telatah Singasari."

   "Ah, soal itu tak usah engkau resah,"

   Tah baginda pula "bukankah paman Aragani sudah mengirim pasukan ke desa Sideman untuk menyelidiki berita itu? "

   Baginda berapling ke arah Aragani.

   "Daulat tuanku,"

   Pa h Aragani menghatur sembah "menantu hamba si Kuda Panglulut telah berangkat melaksanakan titah paduka, gusti."

   "Bagus, paman,"

   Seru baginda "sekarang tahkanlah suatu penyambutan besar untuk menyongsong puteraku Wijaya yang akan membawa kedua puteri dan barang-barang persembahan dari raja Sriwijaya."

   Setelah patih Aragani menerima titah maka baginda segera menitahkan Wijaya pula "Pura Singasari aman dan tenang. Berangkatlah engkau Wijaya ke Tuban pula. Dua hari kemudian, engkau bersama kedua puteri itu harus tiba di pura lagi."

   Masih dicengkam keheranan ke ka Wijaya turun dari balairung dan ayunkan langkah di sepanjang lorong pura.

   Mengapa baginda tampaknya masih tenang dan gembira bahkan menginginkan suatu upacara keramaian besar untuk menyambut kedatangan kedua puteri itu? Tiba- ba ia teringat akan Ardaraja.

   Ke manakah gerangan raden itu maka tak menghadap baginda? Segera ia ayunkan langkah menuju ke gedung kediaman putera menantu baginda itu.

   Saat itu menjelang senja hari.

   Keadaan dalam pura tampak sepi.

   Rumah rumah mulai berkemas menyalakan penerangan.

   Dan gedung kediaman Ardarajapun mulai tampak menggunduk di kejauhan.

   Tengah ia menimang-nimang sesuatu mengenai diri Ardaraja, ba- ba nalurinya yang tajam cepat dapat merasa bahwa ada seseorang yang bersembunyi di balik gerumbul pohon tak jauh dari tepi jalan.

   Sekeliling tempat itu merupakan sebuah lorong jalan yang sepi, jauh dari perumahan orang.

   Seseorang yang bersembunyi di balik gerumbul di jalan sepi pada waktu petang hari, tentulah mencurigakan.

   Dan Wijayapun hentikan langkah, mengisar arah dan melangkah maju.

   Rupanya orang yang bersembunyi itupun memiliki indera yang tajam.

   Sebelum Wijaya ba, ia sudah menyelinap meloloskan diri.

   "Hai, berhenti!"

   Teriak Wijaya.

   Namun orang itu tak menghiraukan dan bahkan pesatkan lari, Kecurigaan Wijayapun makin meningkat.

   Tindakan orang itu menimbulkan kesan bahwa dia tentu seorang yang mengandung maksud jahat.

   Wijaya mengejar dan terjadilah kejar mengejar mengejar yang cukup menegangkan.

   Akhirnya orang itu berhenti ketika perada di sebuah tempat sepi di luar pura.

   "Siapa engkau !"

   Tegur Wijaya.

   "Apa pedulimu !"

   Balas orang itu. Seorang pemuda yang berwajah amat cakap.

   "Mengapa engkau bersembunyi di balik gerumbul pohon?"

   Tegur Wijaya pula.

   "Aku bebas untuk berada di mana saja."

   "Mengapa engkau melarikan diri?."

   "Mengapa engkau mengejar ?"

   Balas orang itu pula. Wijaya menggeram. Namun ke ka pandang matanya mencurah kewajah orang itu, ia mendapat kesan lain.

   "Ki sanak, katakanlah, mengapa engkau bersembunyi di balik pohon dan mengapa pula engkau melarikan diri ke ka aku menghampirimu ?"

   Agak menurun nada Wijaya yang keras "aku takkan mengganggumu manakala gerak gerikmu itu tak menimbulkan kerugian pada orang lain."

   "Hm,"

   Desuh orang itu "engkau maksudkan aku bangsa pencuri atau penjahat?."

   "Mudah-mudahan tidak,"

   Kata Wijaya.

   "Mudah-mudahan benar,"

   Sambut orang itu. Kecurigaan Wijaya yang sudah mulai mereda, bangkit lagi dan seke ka mbullah suatu keinginan untuk memberi hajaran kepada pemuda yang congkak itu.

   "Jika demikian keteranganmu, aku harus menindak engkau,"

   Kata Wijaya.

   "Bukankah engkau sudah menindak dengan mengejar aku ini? Mengapa engkau hen kan tindakanmu lebih lanjut?' Wijaya makin geram "Hm, baiklah. Ingin kuketahui sampai di mana ilmu kesak an yang membuatmu sedemikian congkak itu."

   Suatu penjajagan sudah dibuka oleh Wijaya yang menyurut mundur selangkah dan melepaskan sebuah pukulan. Karena bersifat menjajagi maka pukulannya itupun terkekang.

   "Plakk ..!"

   Terdengar ketapan keras disusul dengan tubuh Wijaya yang menyurut mundur selangkah ke ka bahunya terkena tamparan orang itu.

   Ke ka pukulan dilayangkan, sekonyong konyong pemuda itu mengisar ke samping dan dengan gerak yang teramat cepat terus maju menyelinap dan menampar bahu Wijaya.

   "Tangkas benar engkau!"

   Wijaya terkejut dan memuji.

   Namun orang itupun tampak tertegun.

   Rupanya iapun terkejut karena tamparannya hanya berhasil mendorong tubuh lawan mundur selangkah.

   Serargan kedua dilancarkan Wijaya, dak lagi bersifat menjajagi, melainkan suatu gerak serangan yang cepat dan gencar.

   Dan pemuda itu tampak sibuk menghindar.

   Sedemikian sibuk sehingga tanpa disadari ia telah merelakan diri menjadi bulan-bulan sasaran tanpa dapat balas menyerang.

   Wijaya diam-diam memuji ketangkasan anakmuda itu.

   Seiring dengan rasa kagum, mbullah pula rasa untuk menundukkan lawan.

   Dalam sebuah kesempatan, ia telah meluangkan suatu gerak pu yang bagus sehingga lawan terpikat.

   Ke ka lawan terangsang untuk menerkam dadanya, secepat kilat ia mengisar ke samping lalu menerkam kepala pemuda itu.

   Maksudnya ia hendak menanggapnya saja.

   Sama sekali tak bermaksud hendak melukai.

   Pemuda itu amat terkejut.

   Untuk menangkis atau menghindar, jelas tak keburu lagi.

   Tangannya sudah terlanjur diulur ke muka untuk mencengkeram dada Wijaya.

   Dalam keadaan yang terdesak itu, mbullah kenekadannya.

   Ia memberikan kepalanya dicengkeram, tetapi iapun akan berhasil memukul dada lawan.

   Plak.....

   Ke ka nju pemuda itu mendarat di dada Wijaya, Wijayapun tersurut mundur selangkah.

   Tetapi serempak pada saat itu, Wijaya berteriak kejut "Hai, engkau seorang anak perempuan .......

   !."

   Kiranya walaupun dadanya terpukul, Wijaya tak menderita luka suatu apa karena sebelumnya ia sudah melambari diri dengan ilmu Lindung.

   Ilmu yang dapat mengeraskan tubuh seper baja dan kebal terhadap senjata.

   Karena terdorong ke belakang ia tak berhasil mencengkeram kepala lawan melainkan hanya dapat menyambar ikat kepalanya saja.

   "Setan engkau ....... ! "

   Pemuda yang ternyata seorang anak perempuan itu segera menggeram lalu loncat menerkam Wijaya. Rupanya ia malu karena rahasia dirinya terbuka. Rasa malu telah menimbulkan kemarahan yang meluap! "Berhenti, nini!"

   Wijaya loncat menghindar ke samping seraya berseru.

   Namun gadis itu tak menghiraukan.

   Bagai harimau be na yang kehilangan anak, ia menyerang dengan pukulan dan tendangan yang bertubi-tubi.

   Setelah berlincahan menghindar, akhirnya Wijaya berseru memberi peringatan "Nini, jika engkau tak mau mendengarkan permintaanku, terpaksa Wijaya akan bertindak ..."

   Mendengar Wijaya menyebutkan namanya, serentak dara itupun berhenti.

   "Siapa engkau ?"

   Ulangnya menegas.

   Wijaya telah merangkai kesimpulan.

   Seorang gadis yang menyaru sebagai seorang pemuda, tentu mempunyai alasan.

   Seorang gadis yang memiliki ilmu tata-kelahi, tentu bukan gadis sembarangan.

   Dan seorang gadis yang bersembunyi di balik gerumbul pohon, tentu mempunyai tujuan tertentu.

   Itulah sebabnya maka dengan terus terang ia memberitahukan namanya.

   "Wijaya? Engkau maksudkan raden Wijaya itu?"

   Seru dara cantik itu.

   "Adakah di pura Singasari terdapat seorang raden Wijaya yang lain ?"

   Sahut Wijaya tersenyum.

   "Oh,"

   Desuh gadis itu "tetapi .... hai, jangan engkau mengaku-aku sebagai raden Wijaya !."

   "Mengapa ?"

   Wijaya terbeliak.

   "Raden Wijaya sedang berada di Sriwijaya, bagaimana mungkin berada di sini ?."

   Wijaya terkejut. Ia menduga tentulah gadis itu dak mengetahui tentang kedatangannya di pura Singasari. Untuk mengetahui apa sebenarnya maksud Sedayu maka iapun membenarkan saja apa yang dikatakan gadis itu.

   "Engkau benar, nini,"

   Katanya sesaat kemudian.

   "Hm, jadi engkau hendak memalsu nama raden Wijaya?."

   "Bukan,"

   Kata Wijaya dengan tenang "aku memang raden Wijaya yang baru saja pulang dari Sriwijaya.

   Oleh karena mendapat laporan dari seorang ksatrya muda bahwa Singasari terancam bahaya serangan Daha maka secara diam-diam aku datang ke pura menghadap baginda.

   Tiada seorangpun yang tahu akan kedatanganku seorang diri ini."

   "Siapa ksatrya muda yang memberi laporan itu ?"

   Tiba-tiba gadis itu bertanya.

   "Sebelum kuberitahukan siapa ksatrya itu, lebih dahulu aku hendak meminta sepatah penegasan dirimu. Engkau puteri pembela Singasari atau musuh Singasari?."

   "Singasari adalah bumi yang kucintai!."

   "Bagus,"

   Seru Wijaya "akan kuberitahu siapa ksatrya ...."

   "Ih, apakah engkau percaya begitu saja akan keteranganku tadi?."

   "Kata adalah cermin ha . Aku menjunjung se ap kata orang seper aku percaya pada diriku sendiri. Kalau engkau bohong, engkau harus malu pada dirimu sendiri karena engkau membohongi dirimu sendiri. Yang malu bukan aku tetapi engkau, nini."

   "Ih,"

   Gadis itu mendesis lirih.

   "Ksatrya muda itu adalah pejuang Singasari yang menjadi kawan sefaham dengan aku. Dia bernama Jaka Ludira..."

   "Hai,"

   Ba- ba gadis itu menjerit. Serta merta ia merunduk tubuh memberi sembah kepada Wijaya "maafkan aku, raden ..."

   Wijaya terkejut dan tersipu-sipu mengangkat gadis itu berdiri "Mengapa engkau, nini? Siapakah engkau ini?."

   "Aku Rara Sedayu, puteri tumenggung Wirakreti, raden."

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "O,"

   Wijaya mendesuh kejut-kejut girang.

   "Kakang Ludira telah menugaskan aku menjaga dan mengawasi gerak gerik Ardaraja. Itulah sebabnya maka aku menyembunyikan diri di balik gerumbul pohon tak.jauh dari tempat kediaman Ardaraja."

   Tanpa diminta, Sedayu lalu menuturkan hasil pengamatannya selama ini.

   "Adakah saat ini Ardaraja berada dalam kediamannya?"

   Tanya Wijaya.

   "Itulah yang hendak kuselidiki, raden."

   "Ah, Sedayu, janganlah menyebut raden kepadaku. Panggillah kakang saja,"

   Kata Wijaya.

   Sedayu mengiakan lalu berkata "Dalam hal gerak gerik Ardaraja, kiranya kakang tentu sudah mendapat keterangan dari kakang Ludira.

   Dengan mencegat pengalasan dari Ardareja kemudian kakang Ludira menyaru menjadi pengalasan itu untuk menghadap raja Daha dan mengundurkan rencana penyerangan Daha.

   Tetapi penyerangan itu dilakukan juga secara tak sesuai dengan rencana kakang Ludira.

   Inilah raden, eh, kakang Wijaya, yang membingungkan ha kakang Ludira.

   Syukurlah kakang Wijaya telah datang ..."

   "Tetapi pasukan Daha sudah mulai menyerang perbatasan,"

   Tukas Wijaya kesal.

   "Masih belum terlambat,"

   Sahut Sedayu "asal kita cepat-cepat menyusun kekuatan. Bukankah kakang Ludira menuju ke gunung Butak untuk memanggil kakang Nambi, Sora dan lain-lain?."

   "Ya, memang kita harus lekas ber ndak dengan gesit,"

   Kata Wijaya "tetapi tahukah engkau Sedayu, apa titah baginda kepadaku?."

   "Mohon kakang menjelaskan."

   "Ah,"

   Wijaya memulai dengan menarik napas "baginda masih tak percaya bahwa Daha sudah bergerak menyerang perbatasan.

   Masih menyuruh Kuda Panglulut untuk menyelidiki kebenarannya.

   Dan yang lebih membuat dadaku sesak, Sedayu, baginda menitahkan supaya aku besok pagi segera kembali ke Tuban untuk menjemput kedua puteri dari Sriwijaya itu.

   Baginda telah menitahkan supaya kerajaan bersiap melangsungkan upacara penyambutan yang meriah."

   "O,"

   Sedayu mendesah seraya mengelus-elus dada.

   "Maka malam ini akan kugunakan untuk menyelidiki keadaan pura Singasari. Pertama aku hendak menjumpai Ardaraja. Akan kuwawas bagaimana gerak geriknya ....."

   "Kerbau pulang ke kandangnya,"

   Tukas Sedayu "Ardaraja cenderung untuk memilih fihak ayahnya, akuwu Daha."

   "Dia bebas menentukan pilihan,"

   Sahut Wijaya "asal jangan menjadi ular kepala dua atau musuh dalam selimut. Orang semacam itulah yang paling kubenci."

   Sedayu tertawa "Bukan salah musuh kalau dia berhasil menyusup dalam selimut. Itu menunjukkan kepintarannya dan menunjukkan kebodohan kita yang tak mengetahui."

   "Engkau benar, Sedayu,"

   Wijaya tertawa kecil "memang kesalahan adalah pada diri baginda dan sumbernya pada patih Aragani."

   "Jika sudah tahu sumbernya mengapa kita tak bertindak menimbuni sumber itu ?."

   Wijaya menghela napas "Sering mbul pertanyaan dalam ha ku. Adakah peperangan itu sesungguhnya suatu berkah yang terselubung ?."

   "Eh, bagaimana kakang tiba-tiba memiliki pertanyaan begitu."

   Sedayu kerutkan kening.

   "Cobalah engkau renungkan,"

   Kata Wijaya "dalam suasana aman, baginda merasa kerajaan Singasari aman tentausa.

   Makin merasa pula sebagai seorang sak bahkan seorang Jina yang ditaa seluruh kawula dari Singasari sampai ke tanah Malayu.

   Tuak akan memabukkan, demikian rasa tinggi diri dan sikap ahangkara telah memabukkan baginda ..."

   "Dan memang dimabukkan patih Aragani!"

   Selutuk Sedayu.

   "Dapat dikatakan begitu,"

   Sambut Wijaya "Aragani hanya unsur luar, yang pen ng adalah unsur dalam diri baginda sendiri.

   Itulah sebabnya maka kukatakan, mungkin peperangan ini akan merupakan berkah yang terselubung.

   Dapat memberi penerangan dalam ba n baginda, menyapu kotoran-kotoran yang melekat pada tubuh kerajaan Singasari dan akan membawa pembaharuan yang memuliakan Singasari."

   Sedayu mengangguk "Ih, benar juga."

   "Sedayu,"

   Ba- ba Wijaya berkata dengan perobahan nada yang tegas "kita harus berlomba dengan waktu. Aku akan menemui Ardaraja. Jagalah pengawasan di luar kediamannya."

   Wijaya terus kembali melanjutkan langkah menuju ke gedung kediaman pangeran Ardaraja. Sebagai putera menantu dari baginda, Ardaraja nggal di sebuah gedung yang termasuk dalam lingkungan keraton. Wijaya disambut oleh penjaga pintu.

   "Ah,. maaf, raden,"

   Kata penjaga itu "sejak pagi tadi gus pangeran telah mengiringkan tuan puteri ke keraton.

   "Mengapa ?"

   Wijaya heran karena tadi baginda mengatakan Ardaraja tak menghadap.

   "Ibunda gusti puteri gering."

   Dua buah rasa heran, menyelinap ke dalam pikiran Wijaya.

   Pertama, mengapa Sedayu tak mengetahui kepergian Ardaraja.

   Kedua mengapa pula baginda tak tahu Ardaraja bersama puteri baginda telah berada di keraton.

   Wijaya tak mau memaksa bertanya lebih lanjut.

   Ia segera mencari Sedayu lagi.

   Sebelum pergi ia memberi hadiah kepada penjaga pintu dan memesannya supaya jangan memberitahukan kedatangannya itu kepada pangeran Ardaraja.

   i "Aneh,"

   Gumam Sedayu setelah mendengar keterangan Wijaya "mengapa aku tak tahu sama sekali? Pada hal tak pernah kutinggalkan tempat ini."

   "Engkau tak percaya dia ke keraton ?"

   Tanya Wijaya.

   "Setitikpun tidak,"

   Sahut Sedayu "malam ini akan kuselidiki kebenarannya."

   Wijaya terbeliak "Engkau mau menyelundup ke tempat kediamannya ?."

   "Apabila tiada lain jalan."

   "Berbahaya,"

   Seru Wijaya "gedung itu penuh di jaga oleh prajurit-prajurit bersenjata lengkap."

   "Besok akan kuberi laporan kepada kakang,"

   Jawab Sedayu.

   "Ah ...

   "

   Wijaya mendesah keragu-raguan. Sedayu tahu bahwa Wijaya menyangsikan kemampuannya "Kakang Wijaya percaya pada kakang Ludira ?."

   "Percaya sebulat buluh."

   "Percaya kepada kakang Ludira berar percaya kepadaku. Demikian kebalikannya. Tetapi ....

   "

   Ba- ba dara itu nan kan kata-kata "perjuangan ini bukanlah milik seseorang melainkan milik semua putera puteri Singasari. Terserah bagaimana penilaian kakang Wijaya, tetapi aku tetap akan lanjutkan rencanaku."

   Tergerak hati Wijaya mendengar kasa-kata Sedayu.

   Serentak ia berseru "Sedayu, Singasari harus bangga mempunyai seorang puteri Srikandi seperti engkau.

   Baiklah, Sedayu, kita bagi tugas.

   Besok pagi-pagi aku harus sudah menuju ke Tuban.

   Sampaikan saja laporanmu kepada dimai Ludira."

   Wijaya lanjutkan perjalanannya untuk melihat-lihat keadaan Singasari.

   Ia mendapat kesan bahwa kehidupan para kawula makin merosot.

   Mereka lebih memen ngkan judi dan tuak daripada keadaan negara.

   Dan hal yang mengejutkan ha Wijaya, ternyata prajurit-prajurit yang masih berada dalam pura, daklah banyak jumlahnya.

   Kecuali hanya- melakukan tugas meronda dan menjaga keamanan sekedarnya, dak lagi mereka itu merupakan pasukan pertahanan dalam ar kata yang sebenarnya.

   "Hm, Sora dan Nambi membawa pasukan menumpas sisa pemberontakan gunung Batak. Kuda Panglulutpun membawa pasukan untuk menyelidiki perbatasan yang diganggu oleh prajurit Daha. Ardaraja tak pernah menerima prajurit baru dan membentuk pasukan. Pada hal sejak kepergian senopa Mahesa Anabrang dengan membawa pasukan Pamalayu yang besar jumlahnya. Kemudian rombonganku dan rombongan paman Mahesa Anengah yang diutus ke Malayu juga membawa pasukan. Dengan demikian jelas saat ini pura Singasari kosong, dak ada kekuatan pasukannya. Dan celakanya baginda masih menitahkan mengadakan upacara besar besaran untuk menyambut kedatangan kedua puteri Sriwijaya itu ....."

   Gelisah resah ketika Wijaya membayangkan peristiwa-peristiwa itu.

   "Dan yang jelas, Daha sudah mulai menyerang perbatasan,"

   Pikirnya lanjut "jika aku tak lekas- lekas ke Tuban dan kembali ke pura Singasari lagi, bahaya tentu akan menimpa pura kerajaan. Tapi........

   "

   Ba- ba ia terbeliak demi teringat sesuatu "kedua puteri itu sudah kusuruh mengantar kembali ke Sriwijaya. Tak mungkin besok aku dapat membawa mereka ke Singasari ......."

   Makin guguplah Wijaya memikirkah hal itu.

   "Jika demikian malam ini juga aku harus ke Tuban. Akan kuperintahkan orang untuk menyusul perahu kedua puteri,"

   Akhirnya ia mengambil keputusan.

   Malam itu segera Wijaya naik kuda menuju ke Tuban.

   Sepeninggal Wijaya dari Singasari, malam itu telah telah terjadi dua buah peris wa yang mengejutkan.

   Peris wa pertama yalah terjadi pada diri Sedayu.

   Malam itu ia tetap melaksanakan rencana untuk menyelidiki ke dalam geduag kediaman Ardaraja.

   Ia memang curiga pada Ardaraja.

   Sudah tentu dara itu tak berani mengambil jalan dari pintu melainkan lompat melampaui pagar tembok belakang.

   Ia mengenakan dandanan sebagai seorang pemuda dan mukanyapun diselubungi dengan kain hitam.

   Ia tak mau dirinya diketahui orang.

   Bagaikan seekor kucing hitam, ia melompa pagar tembok lalu menyusup ke taman.

   Tiada seorang penjaga bahkan seekor nyamukpun yang tampak.

   Sunyi senyap gedung putera menantu raja itu.

   Setelah menempatkan diri di balik sebatang pohon nagasari, ia menjumput sebu r batu kerikil lalu dilontarkan ke atap serambi-ruang belakang.

   Ia menunggu dengan berdebar bagaimana sambutannya.

   Tetapi tetap ada tampak suatu gerakan dari penjaga maupun bujang yang muncul.

   Seolah-olah penghuni geduag sudah lelap tidurnya.

   Namun masih terlalu ha -ha bagi Sedayu untuk segera menyelundup masuk.

   Ia teringat akan ajaran gurunya sebuah aji untuk membuat orang dur.

   Maka dicobanyalah untuk memantrakan aji sirep Begananda.

   Sepengunyah sirih setelah suasana tetap lelap senyap, barulah ia mulai bergerak dengan ha - ha .

   Dengan gerak seringan kucing loncat, ia menyusup ke dalam ruang peringgitan.

   Dari sebuah tiang saka, ia menyelinap untuk mencari ruang peraduan Ardaraja.

   Ketika tiba di sebuah ruang indah, ia berhenti "Yang ini tentu tempat peraduan Ardaraja,"

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pikirnya. Tetapi sesaat ia meragu. Mengapa ruang bilik itu sunyi senyap "apakah benar-benar Ardaraja berada di keraton ?"

   Ia menimang-nimang "ah, mungkinkah mereka telah terlelap dalam dur yang pulas akibat mantra aji sirep yang kulancarkan tadi?."

   Setelah beberapa saat berbantah dalam ha , akhirnya ia memutuskan.

   Karena sudah terlanjur menempuh bahaya, biarlah sekali ia melanjutkan penyelidikan itu sampai selesai.

   Dengan berjingkat-jingkat akhirnya ia menghampiri pintu bilik.

   Pintu terkunci, tetapi dengan ujung cundrik, ia dapat membuka dan terus menyusup masuk.

   Dalam penerangan yang remang masih ia dapat melihat bahwa di atas pembaringan yang terbuat dari pada kayu cendana berukir bunga dan naga, tampak dua sosok tubuh yang terselubung dalam selimut.

   Tujuan Sedayu masuk ke gedung kediaman Ardaraja hanyalah untuk membuk kan benarkah pangeran itu berada di keraton bersama puteri.

   Maka setelah merasa yakin bahwa Ardaraja ternyata masih berada di kediamannya, Sedayupun lalu cepat-cepat nggalkan ruang itu.

   Tetapi ketika ia melangkah dari pintu, kejutnya bukan kepalang "Ih,"

   Desuhnya. Tujuh orang lelaki sudah siap menunggu di luar pintu. Kanan, kiri dan muka pintu masing-masing dijaga oleh dua orang, sedang yang seorang, hanya beberapa langkah dari pintu, tegak menyilangkan tangan.

   "Menyerah atau melawan?"

   Tegur orang itu dengan nada bengis. Tiba- ba mbul pikiran pada Sedayu. Cepat ia menyurut mundur hendak menghampiri ke pembaringan. Tujuannya ia hendak membekuk Ardaraja untuk di-jikan sandera.

   "Ih .....

   "

   Kembali ia mendesuh bahkan kali ini lebih keras ke ka melihat Ardaraja sudah tegak berdiri menyambutnya.

   "Engkau raden Ardaraja? "

   Tegurnya.

   "Hm, kiranya engkau seorang yang sudah kenal aku,"

   Sahut Ardaraja.

   "Uh, engkau licik, menjebak dengan perangkap,"

   Seru Sedayu.

   "Tidak lebih licik dari seorang pembunuh gelap,"

   Sahut Ardaraja "siapa engkau?."

   Sedayu terkejut karena pertanyaan itu. Sejenak merenung, cepat ia menjawab "Seorang putera Singasari yang ingin membela buminya."

   "Mengapa engkau ke mari?."

   "Aku ingin tahu di manakah ular menyembunyikan diri."

   "Apa maksudmu?"

   Seru Ardaraja.

   "Ku dengar di pura Singasari terdapat seekor ular berkepala dua. ingin kusaksikan bagaimana ujud ular itu."

   "Tutup mulutmu! "

   Ardaraja serentak mendamprat marah dan terus menghantamnya.

   Memang itulah yang ditunggu Sedayu.

   Ia hendak membangkitkan orang agar menyerang.

   Dan ia ingin cepat-cepat membekuk Ardaraja untuk dijadikan sandera.

   Berkisar tubuh ke samping, Sedayu menyodok lambung.

   Tetapi Ardaraja bukanlah lawan yang empuk.

   Secepat kilat, Ardaraja sudah menyelinap ke belakang dan terus mencengkeram tengkuk Sedayu.

   "Uh ....

   "

   Tiba-tiba Ardaraja mendesis kejut ketika lututnya tiba-tiba terdupak ujung kaki Sedayu.

   Ternyata dengan sebuah gerak yang tak disangka-sangka, Sedayu mengendap ke bawah lalu mendupak lutut lawan..

   Ardaraja terhuyung-huyung dan Sedayu cepat loncat menerkam dadanya.

   Tetapi sebelum Sedayu sempat mencapai maksudnya, ba- ba punggungnya telah disekap orang dari belakang.

   Sedemikian kuat tenaga orang itu sehingga ia tak mampu berkutik lagi.

   "Setan,"

   Damprat Ardaraja dengan wajah merah. Ia menghampiri ke hadapan Sedayu "siapa engkau !."

   "Bunuhlah aku !"

   Teriak Sedayu.

   "Ya, tetapi sebelum itu aku hendak melihat mukamu,"

   Secepat berkata secepat itu pula tangan Ardaraja menarik kain hitam yang menyelubungi kepala dan muka Sedayu, brat.....

   "Hai!"

   Teriak Ardaraja "engkau seorang anak perempuan."

   Sedayu memandang Ardaraja dengan wajah kemarahan.

   "Siapa engkau!"

   Bentak Ardaraja sesaat kemudian.

   Tetap Sedayu tak menyahut.

   Diam-diam ia girang karena Ardaraja tak mengenalnya.

   Apapun yang terjadi, ia bersedia mempertanggungjawabkan sendiri.

   Jangan sampai terlihat ayahnya, tumenggung Wirakre .

   Mungkin karena sejak beberapa tahun ia ikut pada gurunya di gunung maka Ardaraja pun tak kenal padanya.

   Plak, tiba-tiba Ardaraja menampar pipinya "Bilang!."

   "Hm,"

   Desuh Sedayu menggeram "jika mau membunuh, bunuhlah. Tapi ingat, jika sampai esok hari aku tak keluar dari rumah ini, kawan-kawanku tentu menyerbu ke mari!."

   "Siapa kawan-kawanmu itu?."

   "Pejuang-pejuang Singasari yang hendak melenyapkan kawanan ular kepala dua."

   "Keparat!"

   Ardaraja serentak mencabut pedang dan terus diayunkan untuk memenggal kepala Sedayu. Melihat itu ba- ba Suramenggala, pengawal kepercayaan dari Ardaraja mencegah "Sabar, raden."

   Kemudian Suramenggala mengajak Ardaraja ke sudut ruangan dan berkata dengan bisik-bisik.

   Tampak Ardaraja mengangguk-angguk kepala.

   Ardaraja memerintahkan orangnya untuk mengikat kedua tangan gadis itu lalu dimasukkan ke sebuah ruangan tersendiri.

   Diam-diam Sedayu tertawa dalam hati.

   Bahwa gertakannya telah termakan oleh Suramenggala.

   Ia duga tentulah Suramenggala membisiki tuannya agar supaya menyimpan Sedayu sebagai umpan.

   Apabila sampai esok hari, Sedayu belum ke luar, tentulah kawan-kawannya akan menyerbu.

   "Sekaligus kita dapat menangkap mereka dalam jaring perangkap, raden,"

   Demikian yang dibisikkan Suramenggala kepada Ardaraja tadi.

   Itulah sebabnya mengapa Ardaraja setuju.

   Iapun memerintahkan supaya disiapkan barisan pendam untuk menyergap kawan-kawan Sedayu yang akan menyerbu itu.

   Entah esok hari entah malamnya.....

   Keesokan harinya, Ardaraja terkejut ke ka seorang bekel utusan baginda datang untuk mengundang pangeran itu menghadap ke istana.

   Tiba di istana Ardaraja mendapatkan pa h Aragani, tumenggung Wirakre bahkan empu Raganata telah siap di hadapan baginda.

   Beda dengan pasewakan pada hari-hari yang lalu, kali ini suasana tampak tegang dan genting.

   "Puteraku Ardaraja,"

   Titah baginda "bagaimana hal itu dapat terjadi ?."

   Ardaraja berdebar melihat wajah baginda merah padam.

   "Sudilah paduka berkenan menjelaskan kepada hamba apakah yang telah terjadi,"

   Cepat ia mengantarkan sembah permohonan.

   "Akuwu Daha, ayahandamu telah mengerahkan pasukan untuk menyerang Singasari!."

   Ardaraja terbeliak seperti orang disengat lebah "Ampun tuanku, salahkah pendengaran hamba akan titah paduka ?."

   "Memang benar, Ardaraja,"

   Ujar baginda pula.

   "memang akuwu Jayakatwang telah menitahkan pasukan Daha untuk menyerang perbatasan Singasari."

   Merah padam wajah Ardaraja tampaknya walau pun sesungguhnya ia sudah mengetahui hal itu.

   "Tidak mungkin, gusti,"

   Serunya serentak.

   "Memang bermula akupun tak percaya, tetapi ternyata laporan dari lurah desa Sideman itu benar,"

   Kata baginda lalu berpaling mengerling pandang kepada patih Aragani.

   "Ya, memang benar, raden,"

   Rupanya pa h-Aragahi cepat dapat menanggapi "Kuda Panglulut telah mengirim laporan bahwa yang menyerang desa perbatasan itu adalah tentara Daha."

   "Ah, bagaimana mungkin ?"

   Ardaraja mengeluh "mengapa rama bertindak sedemikian ..."

   Sesaat kemudian ia memberi sembah kepada baginda "Gus , junjungan hamba. Hamba mohon paduka melimpahkan titah kepada hamba untuk mengenyahkan pasukan Daha itu."

   "Justeru aku hendak minta pendapatmu, Ardaraja."

   "Demikianlah gus , pendirian hamba. Hamba berpijak pada kebenaran. Entah ayah, entah mentua, entah sanak atau kadang, apabila bersalah, dialah yang akan hamba hadapi,"

   Sembah Ardaraja pula.

   "Bagus, puteraku,"

   Baginda berseru memuji. Pa h Aragani, tumenggung Wirakre dan empu Raganatapun mengangguk. Namun berbedalah anggukan kepala mereka satu dengan lain.

   "Jadi maksudmu hendak membawa pasukan untuk mengusir mereka,"

   Baginda menegas.

   "Demikianlah gus ,"

   Kata Ardaraja "semoga paduka berkenan meluluskan permohonan hamba agar hamba dapat membuktikan kesetyaan hamba kepada paduka."

   "Baik, kukabulkan permohonanmu itu .....

   "

   Pa h Aragani terbeliak.

   Demikian pula empu Raganata dan tumenggung Wirakre .

   Ke ga orang itu kurang mempercayai kesetyaan Ardaraja dan menjatuhkan prasangka terhadap putera akuwu Daha itu.

   Bahkan pa h Aragani hendak mengajukan saran kepada baginda atau ba- ba baginda sudah melanjutkan kata-katanya pula.

   "Tetapi Ardaraja,"

   Ujar baginda "sebaiknya janganlah engkau menggunakan kekerasan sebelum engkau gagal untuk memberi penjelasan kepada mereka bahwa penyerangan itu, dak layak.

   Dapat membawa malu bagi dirimu.

   Apabila gagal, kuserahkan saja kepadamu bagaimana akan bertindak."

   "Hamba persembahkan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya atas kepercayaan yang paduka limpahkan terhadap diri Ardaraja, gusti,"

   Kembali Ardaraja memberi sembah "kepercayaan paduka pasti akan hamba junjung sungguh-sungguh. Apabila perlu, hamba akan menghadap rama akuwu di Daha untuk menyadarkan tindakan rama itu."

   Baginda amat gembira mendengar pernyataan putera menantunya. Tidaklah demikian dengan pa h Aragani dan empu Raganata. Dalam kesempatan untuk mengantar Ardaraja ke luar dari istana, patih Aragani bertanya dalam nada senda-gurau.

   "Apakah raden akan kembali ke pura lagi...."

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ardaraja terkesiap, memandang tajam-tajam pada patih itu lalu menjawab singkat "Ya."

   Aragani tertawa dalam nada yang sukar diduga. Girang-girang mencemoh.

   "Raden,"

   Empu Raganatapun mencari kesempatan untuk berbicara "tuan puteri tentu sangat mengharapkan agar raden cepat kembali ke pura."

   Ardaraja terkesiap pula.

   Sesaat ia tertawa.

   Ia cepat dapat menyelami apa yang tersembunyi dibalik pesan kedua orang itu.

   Apabila patih Aragani secara tersembunyi menuduh dia tentu takkan kembali ke pura Singasari, adalah empu Raganata memberi kisikan halus agar Ardaraja ingat akan isterinya yang berada dalam keraton.

   Namun keduanya mengandung makna sama.

   Memperingatkan agar dia jangan sampai menyeberang ke fihak Daha.

   Namun Ardaraja hanya tertawa.

   Tertawa yang menertawakan kedua mentri Singasari itu sebagai orang yang mengharapkan burung yang sudah terbang ke luar dari sangkarnya akan kembali ke dalam sangkar lagi.

   "Bagaimana pendapat empu tentang diri pangeran itu ?"

   Tanya Aragani sesaat Ardaraja sudah tinggalkan keraton.

   "Memang berat per mbangan yang harus diderita pangeran itu. Antara-ayah dan ayah mentua. Antara kewajiban sebagai seorang putefa mahkota Daha,"

   Sahut empu Raganata.

   "Benar,"

   Pa h Aragani mengangguk "namun apabila empu menjadi diri raden Ardaraja, fihak manakah yang akan empu pilih ?."

   Empu Raganata menghela napas.

   "Aku teringat akan sebuah cerita jeman dahulu,"

   Katanya "walaupun berbeda sedikit dengan keadaan sekarang tetapi maknanya sama."

   Aragani minta agar empu tua itu menceritakan.

   "Masalah berat menimpa pada pemikiran raden Wibisana dari kerajaan Alengka, ke ka prabu Ramawijaya menggerakkan pasukan kera untuk menggempur Alengka. Prabu Ramawijaya terpaksa menyerang Alengka karena isterinya, Dewi Shinta, telah dilarikan oleh prabu Rahwanaraja, raja Alengka yang menjadi kakak raden Wibisana."

   "Suatu ujian berat bagi raden Wibisana menghadapi peperangan itu. Alengka adalah kerajaan tumpah darahnya dan prabu Rahwanaraja adalah saudara kandungnya. Tetapi iapun tahu bahwa prabu Ramawijaya itu ksatrya yang luhur budi, titisan Hyang Wisnu. Terakhir raden Wibisana memilih berpihak kepada prabu Ramawijaya karena prabu itulah yang benar. Pilihan Wibisana didasarkan pada Kebenaran semata. Bukan pada ikatan saudara."

   "Adakah empu maksudkan raden Ardaraja seharusnya ber ndak sebagai raden Wibisana itu ?"

   Tanya patih Aragani.

   "Seyogyanya demikian, tetapi ..."

   "Tetapi bagaimana, empu?"

   Desak patih Aragani.

   "Dalam persoalan antara Daha dan Singasari itu, Kebenaran memang dapat dipersengketakan. Karena apa yang terjadi sekarang tak lepas dari hubungan sejarah antara kedua kerajaan itu."

   "Dengan demikian empu menyangsikan raden Ardaraja akan berpihak kepada Singasari?."

   "Menurut pendapat ki pa h ?"

   Empu Raganata mengembalikan pertanyaan itu kepada yang bertanya.

   "Kerbau pulang ke kandang,"

   Kata pa h Aragani "atau suatu hal yang lumrah. Dan oleh karena itu ....."

   "Oleh karena itu,"

   Empu Raganata mengulang "apa maksud ki patih."

   "Mari kita menghadap baginda, empu,"

   Cepat-cepat pa h Aragani mengalihkan persoalan itu dengan ayunkan langkah masuk ke dalam keraton. Baginda pun menanyakan tentang diri putera menantunya kepada patih Aragani.

   "Mudah-mudahan raden dapat memberi nasehat kepada ramandanya akuwu Daha, agar menghentikan tindakannya yang kurang layak itu."

   "Kurasa tentulah puteraku Ardaraja akan berhasil,"

   Kata baginda "karena sesungguhnya ada alasan bagi akuwu Daha untuk memusuhi Singasari. Akulah yang mendudukkan dia sebagai akuwu. Puteranya-pun kuambil menantu. Bukankah sudah tak ada lagi persoalan antara Singasari dengan Daha?."

   Demikian baginda Kertanagara terlalu yakin akan kebesaran dirinya, kesak an dan kewibawaannya.

   Saat itu baginda hendak membubarkan persidangan karena ia hendak menitahkan pa h Aragani untuk nggal di balairung, menikma acara se ap harinya.

   Minum tuak sambil membuat syair.

   Tiba- ba bekel Wregola, kepala prajurit pengawal keraton bergegas datang menghadap.

   Setelah memberi hormat gopoh, bekel prajurit itu menghaturkan laporan bahwa lurah desa Mameling datang ke pura Singasari untuk melaporkan tentang daerahnya yang telah diserang deh pasukin Daha.

   "Panggil lurah itu ke hadapanku,"

   Titah baginda. Setelah lurah Mameling menghadap maka bagindapun menitahkan supaya lurah itu mempersembahkan laporannya.

   "Pasukan besar dari Daha telah menyerang dan menduduki desa Mameling,"

   Kata lurah itu "hamba dan rakyat Mameling memberi perlawanan gigih tetapi karena jumlah mereka lebih besar dan lebih terla h serta lebih lengkap senjatanya, perlawanan rakyat Mameling sia-sia belaka.

   Banyak rakyat desa yang terbunuh dan luka parah.

   Rakyat yang melawan, rumahnya dibakar, orangnya disiksa.

   Keadaan desa Mameling porak poranda, gusti."

   "Benarkah itu?"

   Masih baginda meminta penegasan "baru saja ku tahkan puteraku Ardaraja untuk menghen kan serangan pasukan Daha di desa Sideman, mengapa kini mereka mengobrak abrik desa Mameling?."

   "Siapa yang menjadi senopati mereka?"

   Tanya baginda pula.

   "Senopa Jaran Guyang, gus ,"

   Sembah lurah desa itu "senopa itu telah mengumpulkan sisa rakyat Mameling yang masih hidup. Kepada mereka diwajibkan supaya setya kepada Daha saja daripada kepada baginda Kertanagara yang katanya ..."

   "Katanya bagaimana?"

   Seru baginda.

   "Apakah gusti takkan menghukum hamba?."

   "Katakanlah,"

   Seru baginda "engkau hanya menirukan apa yang dikatakan Jaran Guyang, mengapa aku menghukummu?."

   "Katanya baginda Kertanagara itu seorang raja yang gelap pikiran, dak mau mengurus kerajaan, tiap hari hanya bersenang-senang minum tuak dengan ki patih Aragani."

   "Setan!"

   Teriak patih Aragani "Jaran Guyang berani mengatakan begitu?."

   "Ampun gus ,"

   Lurah itu meratap "hamba hanya mengulang apa yang dikatakannya saja. Tidak lebih tidak kurang, gusti."

   "Aragani, siapkan pasukan untuk menghajar si mulut lancung Jaran Guyang!"

   Tah baginda dengan murka "dan bawalah patih itu ke hadapanku. Aku hendak menghukumnya sendiri."

   Pa h Aragani cepat berdatang sembah "Ampun, gus .

   Induk pasukan yang kuat telah tercerai berai.

   Setengahnya telah dibawa oleh senopa Mahesa Anabrang ke Malayu.

   Beberapa bagian dibawa raden Wijaya, pa h Kebo Anengah ke Sriwijaya, menyertai Kuda Panglulut ke Sideman, lalu terakhir dibawa oleh putera paduka pangeran Ardaraja.

   Yang ada dalam pura saat ini hanya sisa sebagian kecil, cukup untuk mempertahan diri."

   "Hai, mengapa engkau tak melaporkan hal itu sejak dulu ?"

   Tegur baginda. Serta merta pa h Aragani mengunjuk sembah.

   "Ampun, gus , menurut penger an hamba, urusan ketentaraan itu berada pada Mantri Angabaya sepenuhnya."

   Mendengar itu pucatlah wajah tumenggung Wirakreti.

   "Apa katamu, Wirakreti ?"

   Tegur baginda.

   "Hamba mengaku salah, gus ,"

   Sembah mentri Angabaya atau mentri urusan pertahanan negara itu.

   "tetapi pada hakekatnya hamba menerima jabatan itu setelah keadaan Singasari sudah lemah. Hamba tak berani menentang pengiriman pasukan Pamalayu secara besar-besaran karena hal itu adalah titah paduka yang mulia."

   "Bukankah engkau dapat membentuk pasukan baru pula ?."

   "Sebagai seorang demung yang telah dilorotkan kedudukannya, hamba harus tahu diri,"

   Kata tumenggung Wirakre "apa pula ki pa h Aragani telah mengatakan kepada hamba bahwa paduka telah merestukan pembentukan pasukan baru itu di tangan raden Wijaya.

   Dan setelah raden Wijayapun ke Malayu, lalu diserahkan kepada raden Ardaraja.

   Dengan demikian pada hakekatnya, kekuasaan tentara Singasari itu berada di tangan putera paduka raden Ardaraja."

   Baginda terkesiap. Hampir ia menyadari bahwa keadaan dalam pura Singasari memang kurang berkenan dalam hati.

   "Gus ,"

   Ba- ba pa h Aragani berdatang sembah "mengapa kita harus gentar menghadapi pasukan Daha ? Bukankah Daha itu di bawah perintah paduka ?."

   "Apakah maksudmu, Aragani ?"

   "Daha itu tunduk pada Singasari. Mohon paduka mengirim firman untuk memanggil akuwu Jayakatwang menghadap paduka. Jika dia menolak, barulah kita kerahkan pasukan kerajaan untuk menghukumnya."

   "Gus ,"

   Ba ba empu Raganata menyelinap kata "hamba rasa keadaan sudah jelas menunjukkan bahwa akuwu Daha hendak memberontak.

   Bahkan berani menyerang Singasari.

   Firman paduka untuk menitahkan datang, dapat mengecewakan keluhuran paduka.

   Jelas akuwu Jayakatwang akan menolak, kemungkinan bahkan akan memperolok utusan paduka."

   Baginda mengangguk pelahan.

   "Lalu bagaimana menurut pendapat paman?."

   "Setiap kebakaran harus cepat dipadamkan. Demikian tamsil yang hamba ulaskan akan keadaan kerajaan Singasari saat ini. Api peperangan telah disulut oleh akuwu Daha maka kitapun harus cepat-cepat memadamkannya agar jangan sampai terbit kebakaran besar."

   "Benar,"

   Seru baginda "lalu bagaimana tindakan kita?."

   Aragani diam-diam cemas karena baginda mulai memperha kan dan mendengar kata-kata empu tua itu. Ia harus merebut hati baginda.

   "Gus ,"

   Cepat-cepat ia berdatang sembah "menurut hemat hamba, adalah senopa dalam kerajaan Singasari yang lebih cakap dan sak kecuali putera paduka, raden Wijaya. Seyogyanya raden Wijaya diserahi tugas untuk menghadapi serangan Daha itu."

   Empu Raganata terkejut mengapa pa h Aragani mengusulkan ndakan semacam itu.

   Namun cepat pula empu tua itu dapat menyelami isi ha pa h Aragani.

   Pa h itu sebenarnya hendak menimbuni Wijaya dengan beban berat yaog mengandung bahaya.

   Apabila Wijaya gugur dalam peperangan, hilanglah sudah sebuah 'duri dalam daging ' bagi Aragani.

   Namun bila menang, tetap Aragani akan dianggap berjasa karena usul itu.

   "Hamba setuju dengan saran ki pa h Aragani,"

   Empu Raganata segera memberi jawaban atas pertanyaan baginda tadi. Bagi Raganata, keselamatan Singasari lebih pen ng dari segala. Soal-soal lain mengenal siasat Aragani, kelak dapat dihadapi pula.

   "Hm,"

   Desuh baginda "memang Wijaya amat gagah berani dan sak tetapi bagaimana dengan kedua puteri Sriwijaya itu?."

   "Kedua puteri itu baiklah paduka tahkan supaya berada di dalam perahu. Atau kalau makin gen ng, supaya dibawa pulang ke Sriwijaya lagi. Kelak apabila suasana sudah tenang, baru kita jemput,"

   Kata empu Raganata.

   "Baiklah,"

   Akhirnya baginda meluluskan.

   Kemudian ia menitahkan pa h Aragani supaya membatalkan segala persiapan untuk menyambut Wijaya dan kedua puteri Sriwijaya "undangkan kepada segenap kawula Singasari supaya bersiap mempertahankan daerahnya masing masing dari serangan musuh."

   "Dan engkau tumenggung Wirakre ,"

   Ujar baginda pula "

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tahkan pengalasan untuk menyusul puteraku Wijaya agar cepat pulang ke Singasari."

   Setelah pasewakan selesai, pa h Aragani bergegas pulang. Demikian tumenggung Wirakre pun segera menitahkan pengalasan menuju ke Tuban.

   "Hm, Ardaraja harus ditawan. Jangan sampai dia kembali ke Daha. Dengan menggunakan Ardaraja sebagai sandera, kita dapat memaksa Jayakatwang menghentikan serangannya. Jika tidak, puteranya akan kita bunuh,"

   Patih Aragani merancang-rancang suatu siasat di kala dalam perjalanan pulang.

   Di ketemukannya siasat secara ba- ba itu, diserempaki pula oleh perobahan arah langkahnya.

   Ia dak langsung pulang tetapi terus menuju ke candi Bentar.

   Maharesi Dewadanda mempunyai beribu-ribu murid yang berilmu.

   Maka harus diminta bantuannya.

   Setelah mendengar uraian dari pa h Aragani, maharesi Dewadanda terkejut.

   Apalagi pa h Aragani sempat pula untuk membayangkan bagaimana sikap di jeroan raja Dandang Gendis dahulu terhadap kaum brahmana.

   "Baik ki pa h,"

   Kata maharesi itu "akan kusuruh beberapa murid untuk mengejar raden Ardaraja."

   II "SURAMENGGALA "

   Kata raden Ardaraja kepada lurah prajurit Daha yang mengiringkan pangeran itu menyelundup ke dalam pura Singasari "engkau bersama Sargula, Sarika, Pitrang dan Jaladri, tetap nggal di pura sini.

   Aku hendak ke perbatasan Sideman untuk menyongsong pasukan Daha.

   Akan kuajak semua anakbuah dan sekelompok prajurit Singasari."

   "Baik, raden,"

   Sahut Suramenggala "siapakah yang memimpin pasukan Daha ke Sideman itu?."

   "Apabila tak salah, pasukan itu dipimpin oleh kakangmas Lembu Amiluhung."

   "Bukankah raden Kuda Panglulut juga sudah berangkat ke Sideman?."

   Ardaraja membenarkan "Putera menantu patih Aragani itu amat berharga bagi kita, Sura."

   Suramenggala kerutkan dahi "Raden maksudkan?."

   "Menguasai dia merupakan senjata yang baik untuk melumpuhkan Aragani. Patih itu tentu tak dapat bergerak bebas apabila putera menantunya menjadi sandera."

   "O, benar, benar,"

   Seru Suramenggala "lalu bagaimana dengan anak perempuan tawanan kita itu ?."

   "Apakah sejak pagi tadi tiada tampak gerakan kawan-kawannya?."

   "Belum tampak sesuatu yang mencurigakan, raden,"

   Kata Suramenggala "kemungkinan malam nanti. Lalu bagaimana langkah yang harus kuambil ?."

   "Tangkap mereka dan paksa mereka supaya memberi keterangan siapa dan apa tujuan mereka,"

   Kata Ardaraja "setelah itu bunuh sajalah mereka. Apalagi jika keterangan mereka itu mempunyai kaitan dengan penyerangan Daha, segera engkau menyusul aku ke Sideman."

   "Bagaimana bila kawan-kawannya itu tak muncul, raden?"

   "Tetap tahan anak perempuan itu. Selekas engkau mengetahui pasukan Daha sudah masuk ke pura Singasari, selesaikan saja anak perempuan itu dan segera engkau gabungkan diri pada pasukan Daha."

   Demikian setelah memberi pesan seperlunya maka Ardaraja segera berangkat dengan pengiringnya dan sekelompok prajurit Singasari.

   Oleh karena tengah hari baru selesai mempersiapkan rombongan yang akan dibawa, maka menjelang petang baru mereka ba dipersimpangan jalan yang menghubungkan ke desa Sideman.

   Ardaraja memerintahkan rombongannya berhenti untuk beristirahat.

   Kuda dilepas ke ladang rumput dan para prajurit pengiringpun melepaskan dahaga dan lapar di bawah pohon sebuah hutan.

   Selepas surya, turun ke peraduan, haripun cepat sekali gelap.

   Tiba- ba mereka dikejutkan oleh suara kuda meringkik hingar bingar dan pada lain kejab, derap lari kuda yang riuh segera menyusul.

   Serempak prajurit-prajurit itu melonjak dan memburu ke tempat kuda mereka "Hai .......kudaku,"

   Berhamburan prajurit-prajurit memekik nyaring karena kuda mereka hiruk pikuk hendak melarikan diri. Dalam sekejab berbondong-bondong kawanan prajurit dan pengiring Ardaraja memburu kuda mereka.

   "Aneh ....

   "

   Gumam Ardaraja "mengapa tiba-tiba binatang itu lari ketakutan?."

   "Heh, heh, heh bodoh ....

   "

   Ba- ba terdengar suara amat pelahan namun menyusup jelas ke telinga Ardaraja. Pangeran itupun cepat berpaling ke belakang dan berteriak "Hai, siapa engkau ....... !."

   Seorang lelaki bertubuh kurus, memelihara kumis dan bercelana hitam tengah berdiri lebih kurang lima enam langkah. Tentulah orang itu yang bicara tadi.

   "Heh, heh, aku penunggu hutan ini,"

   Sahut orang itu tertawa mengekeh.

   "Keparat, jangan banyak lagak !"

   Hardik Ardaraja "sebutkan dirimu. Orang Daha, orang Singasari atau penyamun ?."

   "Salah semua,"

   Seru orang itu "aku orang Bali."

   "Apa maksudmu datang kemari?."

   Orang itu tertawa "Engkau sudah tentu maklum sendiri, mengapa seorang Bali yang rajanya telah engkau kalahkan, datang mencegatmu di tempat serupa ini."

   "O, engkau hendak menuntut balas atas kekalahan negerimu ?."

   "Hm,"

   Dengus orang itu.

   "Salah, ki sanak,"

   Seru Ardaraja "engkau salah sasaran. Penyerangan ke Bali itu adalah tah baginda Kertanagara. Apabila mau menuntut balas, carilah baginda."

   "Heh, heh,"

   Orang itu tertawa mengekeh pula "yang menyerang Bali itu engkau, Ardaraja, mengapa baginda Singasari yang harus dibalas ?."

   "Tetapi baginda yang menitahkan."

   "Engkau putera menantu baginda Kertanagara, bukan ? Mengapa engkau mpakah kesalahan ssluruhnya pada ayah mentuamu? Singasari memang, bukankah engkau menikma kehidupan yang senang? Kertanagara jaya, bukankah Ardaraja juga ikut numpang kemuliaan ? Ha, ha, engkau hanya ingin makan nangkanya, getahnya engkau berikan orang yang telah memberimu seorang puteri ..."

   "Tutup mulutmu, keparat! "

   Ardaraja tak dapat menguaiai diri lagi.

   Sebuah lompatan sambil memukul arah dada, telah dilakukan dengan gaya dan gerak yang amat cepat.

   Dalam ilmu tata-kehhi dan jaya-kawijayan, Ardaraja telah mendapat gemblengan dari seorang resi yang sak .

   Jika hanya empat lima orang saja, kiranya tak dapat menandingi putera akuwu Daha itu.

   Tetapi orang tak dikenal itu lebih gesit dari Ardaraja.

   Cara dia menghindar lalu menyelinap ke samping Ardaraja lalu menerkam lengan raden itu, sungguh mengagumkan sekali.

   Untunglah Ardaraja sudah membekal penger an bahwa seorang yang berani menyergap sebuah rombongan prajurit yang dipimpinnya, tentulah seorang yang digdaya.

   Maka walaupun diam-diam ia terkejut atas gerakan orang, namun Ardaraja sudah siap.

   "Hebat!"

   Serunya seraya loncat mundur lalu menerjang maju pula.

   Orang tak dikenal itupun mengangguk sebagai tanda memuji ketangkasan Ardaraja.

   Ia melayani serangan pangeran itu dengan hati-hati dan cepat.

   Demikian keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang seru dan bermutu.

   Keduanya sama menggunakan tata-kelahi yang rapi dan dahsyat.

   Dalam pada itu diam-diam Ardaraja heran mengapa sampai sekian saat ada scorangpun dari pengiringnya maupun anggota rombongan prajurit yang muncul "Ke manakah gerangan mereka itu?"

   Diam-diam ia bertanya dalam hati.

   Adalah karena perha annya bercabang maka dalam sebuah serangan yang dilancarkan orang itu, Ardaraja agak terlambat menghindar.

   Akibatnya bahu kirinya terkena tamparan orang itu.

   Walaupun tak sampai terluka tetapi cukuplah tamparan itu membuat Ardaraja terhuyung dua langkah ke belakang.

   "Heh, heh,"

   Orang itupun mengekeh pula "jangan mengharapkan anakbuahmu akan menolong engkau! Mereka menghadapi nasib serupa dengan dirimu."

   Ardaraja terkejut.

   Tentulah penyergap itu membawa kawan banyak sehingga anakbuahnya terkurung.

   Demikian pikirnya.

   Dan pikiran itu cepat membangkitkan semangat ke angkuhannya.

   Sebagai seorang putera raja masakan ia harus kalah dengan seorang Bali.

   Sebagai seorang senopa yang menundukkan Bali, masakan ia harus ma di tangan seorang kawula dari negara yang dikalahkannya.

   "Keparat, Ardaraja akan menyabung nyawa dengan engkau,"

   Serentak msncabut keris, ia meloncat menikam lawan.

   "Ho, putera akuwu Daha, belum lagi lecet kulitmu mengapa sudah memakai senjata ?"

   Ejek orang itu sembari mengelak sambaran ujung keris lalu menebangkan telapak tangan kanannya ke pergelangan tangan Ardaraja.

   Ardaraja membiarkannya.

   Bahkan hingga telapak tangan orang hampir menyentuh tangannya, ia tetap diam.

   Hanya setelah tangan orang itu menimpa pergelangan tangannya, tak terduga-duga kaki Ardaraja berayun ke perut orang, plak ....

   Siasat yang digunakan Ardaraja itu memang berbahaya.

   Ia mengorbankan kerisnya jatuh ke tanah tetapi ia berhasil menendang orang itu hingga terlempar sampai setombak jauhnya.

   "Mampus engkau jahanam !"

   Sebuah gerak dalam gaya harimau menerkam mangsa, ia loncat menubruk korbannya. Ia curahkan seluruh tenaga untuk mencekik leher orang itu.

   "Uh ....

   "

   Ba- ba ia mendesuh kejut ke ka terkamannya mengenai tanah padas yang mengakibatkan hidung dan mulutnya berdarah.

   Orang tak dikenal itu segera hendak loncat untuk meringkus Ardaraja.

   Tetapi serempak pada saat itu terdengarlah derap kuda mencongklang pesat dan sesaat kemudian ba- ba sebatang tombak telah melayang ke arah orang itu "Hai, jangan mengganggu raden Ardaraja !."

   Orang itu terkejut ke ka se up angin tajam memenyambar ke punggungnya.

   Cepat ia berputar tubuh teraya menabalkan tangannya, plak ....

   tombak maut itupun terdampar ke lamping dan menyusup ke dalam semak.

   Seiring dengan terpukulnya tombak, dua sosok tubuh berhamburan loncat menerjang orang itu.

   Tetapi orang itupun dengan gerak yang amat tangkas, menyingkir ke samping.

   Dalam pada itu Ardarajapun melonjak bangun.

   "Engkau, Wirajamba,"

   Seru raden itu kepada salah seorang dari kedua pendatang yang bertubuh tinggi besar.

   "Benar, raden,"

   Sahut Wirajamba "apakah, raden terluka ?."

   "Sedikit dan tak berar ,"

   Jawab Ardaraja lalu melirik ke arah orang yang seorang "O, engkau Kuda Panglulut."

   "Bagaimana engkau dapat datang bersama, Wirajamba ?"

   Tanya Ardaraja pula.

   "Nan akan hamba ceritakan, raden,"

   Sahut Wirajamba "yang pen ng marilah kita basmi manusia pengacau ini!."

   Ardaraja seper disadarkan bahwa saat itu orang yang tak dikenal itu masih tegak di hadapannya.

   "Keparat, engkau menyerah atau melawan ?"

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seru Ardaraja. Tampak orang itu termangu-mangu. Pandang matanya penuh dengan rasa kecewa, marah dan menikam wajah Kuda Panglulut.

   "Engkau penghianat!"

   Hardik orang itu.

   "Penghianat ? Ho, orang Bali, jangan bermulut lancung. Lihat siapa yang berada di sekelilingmu !"

   Seru Ardaraja. Orang itu tertawa lusuh "Hm, kutahu. Mereka adalah pengiring pengiringmu dari Daha dan anakbuah si dungu Kuda Panglulut."

   "Tutup mulut!"

   Bentak Ardaraja. Orang itu tertawa nyaring "Agar si goblok Kuda Panglulut tak tahu akal bulus yang engkau lakukan ? Ardaraja, bukankah engkau hendak menggabungkan diri dengan tentara Daha ?."

   "Keparat, Ardaraja putera menantu baginda Singasari ..."

   "Tetapi akuwu Jayakatwang itu ayahmu !."

   "Aku hendak mendamaikan sengketa ini!"

   Orang itu bergelak tawa pula.

   "Hanya manusia-manusia sebodoh Kerbau macam Kuda Panglulut, mau percaya omonganmu,"

   Serunya.

   Kuda Panglulut terangsang kemarahannya.

   Tetapi sekilas terperciklah sesuatu dalam benaknya.

   Bahwa apa yang dikatakan orang tak dikenal itu memang perlu mendapat perhatian.

   Rupanya Ardaraja dapat menyelami perasaan Kuda Panglulut yang tampaknya goyah mendengar ucapan orang itu.

   "Bunuh babi itu !"

   Teriak Ardaraja.

   Serempak Wirajamba dan beberapa kawannya, berhamburan menyerang orang tak dikenal itu.

   Namun orang itu dengan gagah perkasa menyambut se ap penyerang dengan nju, tamparan dan tendangan.

   Ketangkasannya bermain silat mengejutkan Wirajamba dan kawan-kawannya.

   Bahkan dalam sebuah kesempatan, orang itu berhasil menyambar kaki seorang anakbuah Ardaraja, diangkat dan diputar-putar untuk menghantam penyerang yang berani mendekatinya.

   "Tutup semua jalan!"

   Perintah Ardaraja seraya mencabut cambuk dan loncat ke hadapan orang Itu "menyerah atau mati, engkau ?."

   "Jangan banyak bicara penhianat,"

   Teriak orang itu "bagiku ma lebih utama daripada menyerah di tangan seorang penghianat Singasari."

   Berulang kali orang itu memaki Ardaraja sebagai penghianat, mbullah keinginan ha Kuda Panglulut untuk mencari keterangan "Hai, ki tanak, siapakah engkau sesungguhnya?."

   "Walaupun aku bukan orang Singasari, tetapi perjuanganku untuk membela kerajaan itu, lebih besar dari engkau ..."

   "Bedebah, jangan banyak mulut!"

   Rupanya timbul juga lekuatiran Ardaraja apabila orang Bali itu sampai menguraikan rahasia dirinya kepada Kuda Panglulut. Maka cepat ia membentak dan ayunkan cambuknya, tar, tar, .......

   "Aduh .......ampun raden ....

   "

   Teriak anakbuah yang diputar-putar orang itu untuk menangkis cambuk Ardaraja.

   Ardaraja menggeram.

   Diulang dan diulang pula ia mengayunkan cambuk namun orang itu dengan labih licin telah menjadikan sanderanya sebagai perisai.

   Sejenak melepas napas, Ardaraja mencuri kesempatan untuk memberi isyarat mata kepada Wirajamba.

   Setelah itu iapun loncat menerjang pula, mengayunkan cambuk sederas hujan.

   Yang di arah khusus kepada orang itu.

   ~dewi.kz^ismo^mch~

   Jilid 34 Persembahan . Dewi KZ

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/

   Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .

   MCH I Segala yang hidup itu tentu bergerak.

   Termasuk ilmu.

   Karena ilmu itu hidup dalam pikiran manusia, maka ilmupun bergerak menurut kemajuan yang dicapai pikiran.

   Dengan memiliki sifat hidup itu, ilmupun harus diamalkan dan diterapkan menurut perkembangan keadaan.

   Semisal dengan ilmu kanuragan, hanya dengan cara menyesuaikan saat dan keadaan, barulah dapat membuahkan hasil yang diharapkan.

   Demikianlah yang dilakukan oleh orang yang menyerang rombongan pangeran Ardaraja.

   Walaupun hanya seorang diri namun dia mampu menghidapi beberapa belas anakbuah pangeran Ardaraja.

   Paling tidak dapat-mengacau perlawanan mereka.

   Di samping memiliki ilmu kanuragan yang sakti, orang itupun memiliki otak dan perhitungan yang tajam.

   Menghadapi serangan cambuk Ardaraja yang deras, dia mengangkat tubuh tawanannya ke atas untuk melindungi kepalanya yang terancam cambuk Ardaraja.

   Kesempatan itu tak disia-siakan Wirajamba dan anakbuahnya.

   Serempak mereka berebut hendak menombak dan menabas perut dan kaki orang yang tak terlindung.

   Orang itu terkejut.

   Apabila ia harus memperha kan serangan cambuk, jelas punggung dan kakinya tentu akan hancur.

   Namun kalau harus menangkis serangan dari belakang, kepalanya tentu akan berlumuran didera cambuk.

   Dalam menghadapi bahaya itu ia harus cepat menjatuhkan pilihan.

   Ia memutuskan, tombak dan pedang lebih berbahaya daripada cambuk.

   Maka secepat kilat ia berputar tubuh sambil menangkiskan tubuh tawanannya dan menyerempaki melemparkan tubuh orang itu kepada Wirajamba dan anakbuahnya, ia ayunkan tubuh melambung ke udara, tar .....

   Gerakan orang itu memang luar biasa cepat dan hebat.

   Se kpun Wirajamba dan anakbuahnya tak dapat menduga bahwa orang itu mampu meloloskan diri dalam cara yang luar biasa hebatnya.

   Namun sekalipun demikian, ujung cambuk Ardaraja masih sempat singgah dua kali di punggungnya.

   Menimbulkan pecahan kain dan kulit yang menggurat panjang di punggung baju orang itu.

   Orang itu menggeram tetapi tak berani lambatkan langkahnya menghilang dalam kegelapan malam.

   "Jangan,"

   Teriak Ardaraja mencegah Wirajamba dan anakbuahnya yang hendak mengejar "dia tentu sudah menderita. Luka yang di mbulkan cambuk Urat badak ini, akan membisulkan luka yang lama sekali sembuhnya."

   Kemudian Ardarajapun menitahkan untuk menanam mayat anakbuahnya yang menjadi korban keganasan orang itu.

   "Kuda Panglulut, bagaimana engkau dapat ba di sini tepat pada saat yang tepat ?"

   Ardaraja mengulang pertanyaannya pula.

   Kuda Panglulut menceritakan bahwa ke ka dalam perjalanan pulang dari desa Sideman, ba- ba ia melihat beberapa ekor kuda lari membinal, beberapa prajurit mengejarnya lalu seorang lelaki tak dikenal menyerang prajurit prajurit itu.

   "Hm, dia tentu kawan dari orang tadi,"

   Desuh Ardaraja "yang satu menggunakan siasat untuk memikat perhatian para prajurit, yang satu lalu menyergap aku."

   "Untunglah berkat bantuan raden Kuda Panglulut, kami dapat menghalau orang itu dan, bergegas-gegas menghampiri kemari,"

   Kata Wirajamba melanjutkan penuturan Kuda Panglulut.

   "Terima kasih Kuda Panglulut,"

   Ardaraja menghaturkan rasa terima syukurnya.

   "Ah, janganlah raden mengucapkan demikian. Sudah menjadi kewajibanku untuk menyelamatkan se ap prajurit Singasari, terutama putera menantu baginda,"

   Jawab Kuda Panglulut.

   "Kuda Panglulut, bagaimana hasil penyelidikanmu ke Sideman,"

   Ardaraja beralih pertanyaan. Kuda Panglulut mengatakan bahwa memang benar pasukan Daha telah menduduki Sideman dan mendirikan kubu-kubu.

   "Siapakah senopatinya ?."

   "Lembu Amilubung,"

   Sahut Kuda Panglulut "konon kabarnya dia putera menantu dari akuwu Daha, benarkah itu?."

   Dengan pertanyaan itu sesungguhnya secara dak langsung, Kuda Panglulut hendak mengatakan bahwa Lembu Amiluhung itu adalah kakak ipar dari Ardaraja. Namun ia masih sungkan mengatakannya.

   "Hm,"

   Ardaraja hanya mendesuh untuk menutupi kegirangan ha nya "mengapa engkau tak berusaha menghalau mereka ?."

   "Sebenarnya tugas kami hanyalah untuk menyelidiki kebenaran berita tentang pasukan Daha,"

   Kata Kuda Panglulut "namun setelah melihat memang benar pasukan Daha telah melanggar perbatasan Singasari, kami tak dapat mengendalikan diri dan menyerang mereka !."

   "Bagus, Kuda Panglulut,"

   Seru Ardaraja dengan nada sumbang "Kelak akan kulaporkan jasamu ke hadapan rama baginda."

   Kuda Panglulut tersipu-sipu "Ah, yang pen ng bagi kita asal Singasari terbebas dari gangguan luar, ha ku sudah gembira.

   Karena kalau menilik gelagatnya, penyerangan Daha kali ini, benar- benar telah direncanakan jauh-jauh hari secara rapi sekali.

   Singasari benar-benar terancam bahaya kehancuran!."

   Ardaraja menyambut dengan tawa cerah "Ah, Kuda Panglulut, tugas seorang senopati itu hanya berperang, mengenyahkan musuh.

   Bukan untuk menilai kekuatan mereka sehingga dapat mematahkan semangat kita sendiri.

   Adakah engkau rasa kali ini Singasari tentu kalah ?"

   "Keterangan Kuda Panglulut ini bukan bernada putus asa,"

   Sahut putera menantu patih Aragani itu "tetapi suatu kenyataan yang telah kubuktikan sendiri.

   Setelah melakukan penyerangan kepada mereka, barulah aku menyadari bahwa pasukan yang kubawa itu bukan layak menjadi tanding mereka.

   Pasukan Daha berjumlah lebih besar, lebih lengkap persenjataan dan lebih rapi barisannya.

   Memang benar kata raden,"

   Kata Kuda Panglulut pula "bahwa senopati itu hanya bertugas untuk berperang. Tetapi perang bukan berarti 'anai-anai terjun ke dalam api'."

   Ardaraja tertawa "Ya, benar. Akupun ada maksud menyuruh engkau harus menempur pasukan Daha yang jauh lebih kuat. Maka hendak kuajak engkau bersama-sama kembali ke Sideman untuk menggempur Daha."

   Kuda Panglulut terkesiap.

   "Dengan jumlah pasukan kita berdua ini ?"

   Ia menegas. Ardaraja mcngangguk.

   "Dalam sebuah peperangan, bukan jumlah pasukan besar yang menentukan kemenangan tetapi senopati dan semangat tempur dari para prajurit itulah kunci kemenangannya."

   "Ah,"

   Kuda Panglulut gelengkan kepala "janganlah kita ibarat 'anai-anai membentur api'. Bukan karena aku takut mati, raden. Tetapi kita harus pandai melihat kenyataan."

   "Tugas kita bukan disuruh melihat tetapi menghadapi kenyataan itu. Adakah engkau takut berhadapan dengan pasukan Daha?"

   Seru Ardaraja dengan nada keras "bertahun-tahun Singasari telah memelihara kalian. Mengapa pada taat tenaga kalian dibutuhkan, kalian hendak melarikan diri?."

   Merah wajah Kuda Panglulut.

   "Baiklah kita atur begini, raden,"

   Sesaat kemudian Kuda Panglulut berkata "Silakan raden membawa pasukan raden ke Sideman. Dan aku hendak cepat-cepat membawa bala bantuan dari Singasari."

   Ardaraja tertawa cemoh "Dan pada waktu engkau datang dengan bala bantuan itu, pasukanku tentu sudah kocar kacir. Bahkan kemungkinan sebelum engkau sempat membawa pasukan bantuan, pasukan Daha sudah tiba di pura Singasari."

   Kuda Panglulut terdiam.

   "Ketahuilah Kuda Panglulut,"

   Kata Ardaraja pula "musuh yang baru hendak menginjak bumi Singasari harus cepat-cepat kita halau. Jangan terlambat ber ndak sehingga mereka sempat masuk ke dalam kerajaan Singasari. Hal itu akan menimbulkan kerusakan praja dan kawula."

   Namun Kuda Panglulut tetap pada pendiriannya.

   Ia menyadari jumlah pasukan yang dibawa mereka berdua, tak dapat melawan pasukan penyerang Daha itu.

   Tetapi Ardarajapun berkeras hendak mengajaknya kembali ke Sideman.

   Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Karena mengkal, berkatalah Kuda Panglulut "Raden Ardaraja, yang menugaskan aku ke Sideman yalah baginda melalui rama patih Aragani.

   Aku tak merasa terikat pada lain orang."

   "Kuda Panglulut, tahukah siapa aku?."

   "Raden Ardaraja, putera mahkota Daha, adalah putera menantu baginda Singasari. Bagaimana Kuda Panglulut tak mengetahui hal itu?."

   Merah wajah Ardaraja manakala Kuda Panglulut menyinggung-nyinggung putera mahkota Daha. Jelas dia tentu mengandung maksud untuk menyindir.

   "Umum apabila maling itu akan berteriak maling,"

   Teriak Ardaraja "sebagaimana halnya dengan engkau. Dalam ha kecilnya engkau tentu menuduh aku akan berpihak kepada Daha. Tetapi andaikata aku berbuat demikian, itupun sudah selayaknya !."

   "Walaupun mengenakan kulit domba, harimau akhirnya akan dikenal juga suaranya,"

   Seru Kuda Panglulut.

   "Kuda Panglulut, jangan lancung mulut !"

   Bentak Ardaraja "enak saja engkau mengatakan begitu. Tetapi tahukah siapa sesungguhnya ayah mentuamu pa h Aragani itu ? Dialah kutu busuk yang menggerogo keraton Singasari. Daripada jatuh ke tangannya, lebih baik Singasari jatuh pada Daha !."

   "Ardaraja!"

   Teriak Kuda Panglulut meluap-luap "jangan menghina rama patih !."

   Ardaraja tertawa mencemoh "Jangan kira aku tak tahu akan perbuatan kotor dari ayah mentuamu itu, Kuda Panglulut.

   Dia telah membius baginda dengan sanjung pujian.

   Menganjurkan pengiriman pasukan ke Malayu, mengirimkan pasukan untuk menyertai kakang Wijaya dan paman Kebo Arema menghaturkan puteri dan patung Amoga.

   Apa maksudnya ? Tak lain tak bukan agar Singasari kosong dan lemah.

   Setelah itu dia hendak mengadakan hubungan dengan kerajaan Sriwijaya supaya memukul Singasari.

   Tetapi ha, ha, akhirnya ia harus menggigit jari karena telah kedahuluan oleh Daha.

   Jelas engkau akan pendirian rama mentuamu dan pendirianku ? Daripada ditelan rama mentuamu, lebih baik Singasari diambil Daha."

   Kuda Panglulutpun tak kuat menahan kemarahan lagi "Ardaraja, jika demikian tepatlah seper yang dikatakan orang tadi. Engkau memang seorang penghianat. Ya, orang itupun telah memaki aku dengan tepat sebagai seorang tolol."

   "Jika demikian, engkaupun harus mengakui bahwa ada tempat di bumi Singasari bagi seorang tolol semacam engkau !"

   Teriak Ardaraja. Kuda Pauglulut tertawa.

   "Ha, ha, memang sudah lama kutunggu kesempatan semacam ini. Karena aku memang ingin menguji sampai di manakah sesungguhnya kesak an dari putera akuwu Daha yang hendak berhianat itu !."

   "Tutup mulutmu, jahanam Panglulut!"

   Ardarajapun segera mulai menyerang, meninju dada orang.

   Sambil mendesah geram, Kuda Panglulut berkisar ke samping lata secepat kilat menyambar tangan lawan, terus hendak ditekuk ke belakang.

   Tetapi dak semudah itu Ardaraja cepat dikalahkan.

   Sebagai seorang putera raja, akuwu Jayakatwang telah menggembleng puteranya itu.

   Diundangnya wiku sak u uk memberi ilmu jaya- kawijayan kepada puteranya.

   Apabila dalam hidupnya akuwu Daha Itu tidak mendapat kesempatan untuk membalas dendam kepada Singasari, biarlah kelak puteranya yang akan melanjutkan perjuangan itu.

   Bahwa Ardaraja, dilepaskan ke ka dipungut menantu oleh baginda Kertanagara, pun dimaksudkan sebagai suatu siasat oleh Jayakatwang.

   Agar perha an dan kecurigaan baginda Kertanagara, lenyap.

   Ardaraja membiarkan tangannya dicengkeram karena iapun segera menyerempaki dengan sebuah tebasan telapak tangan ke leher Kuda Panglulut.

   Kalau kena, leher Kuda Panglulut pasti patah tulangnya.

   Kuda Panglulut terkejut.

   Karena kedua tangannya tengah mencekal tangan Ardaraja, ia tak sempat lagi untuk menagkis telapak tangan Ardaraja, Untunglah dalam saat-saat yang gen ng itu, ia tak sampai gugup.

   Kuda Panglulut mengendapkan tubuh untuk menghindar ancaman pada lehernya.

   Kemudian dengan seluruh tenaga ia menarik tangan Ardaraja.

   "Uh ....

   "

   Mulut Ardaraja mengesuh kejut ketika telapak tungannya menerpa angin dan tangannya ditarik ke muka sekuat-kuatnya.

   Ia kehilangan keseimbangan diri dan terhuyung ke muka.

   Rencana Kuda Panglulut dalam menarik lengan lawan itu, apabila lawan mendekat kepadanya, iapun hendak memberi sebuah pukulan yang mematikan ke arah dada.

   Tetapi ternyata Ardaraja tahu akan siasat itu.

   Karena sudah terlanjur menjorok ke muka, ia bahkan kerahkan tenaga untuk membentur dada lawan.

   Dengan demikian sebelum Kuda Panglulut sempat memukul, dia sudah terlanda oleh tangan Ardaraja.

   Bum ....

   Kedua ksatrya muda itu sama-sama jatuh.

   Tetapi Kuda Panglulut lebih menderita karena tertindih oleh tubuh Ardaraja.

   Ia berontak untuk mengalihkan tubuh Ardaraja ke bawah.

   Keduanya segera bergelut.

   Cengkam mencengkam, cekik mencekik, guling mengguling tubuh lawan ke bawah.

   Dalam sebuah kesempatan, Kuda Panglulut berhasil meronta ke atas dan menindih perut Ardaraja.

   Secepat kilat, putera menantu pa h Aragani itu mencabut pisau dan terus dihunjamkan ke dada Ardaraja.

   Duk ....

   Wirajamba terkejut melihat raden Ardaraja akan dibunuh.

   Ia lari hendak memberi pertolongan.

   Tetapi dilihatnya pisau Kuda Panglulut sudah diayunkan ke bawah.

   Karena gugup, Wirajamba sambitkan bindi besi ke punggung Kuda Panglulut yang menghadap kearah muka.

   Terdengar suara benturan keras dan rubuhlah Kuda Panglulut ke samping Ardaraja.

   Krak ....

   Wirajamba menyerempaki dengan sebuah tendangan sehingga tubuh Kuda Panglulut terlempar sampai setombak jauhnya, meregang-regang beberapa saat lalu diam tak bergerak lagi.

   "Bagus, Wirajamba,"

   Seru Ardaraja seraya melen ng bangun "kelak akan kuganjar jasamu hari Ini."

   "Apakah raden terluka ?"

   Tanya Wirajamba.

   "Tidak,"

   Sahut Ariaraja seraya memandang kian kemari keliling penjuru "ke mana mereka ?."

   "Siapa raden ?"

   Tanya Wirajamba.

   "Pengiring pengiring Kuda Panglulut."

   "O, mereka ?"

   Serentak Wirajamba teringat juga lalu lari mengejar. Tak selang beberapa saat ia kembali dan memberi laporan bahwa prajurit-prajurit yang menyertai Kuda Panglulut telah melarikan diri pulang ke Singasari.

   "Goblok,"

   Ardaraja mendamprat seraya menggentakkan kakinya ke tanah "mereka tentu melapor kepada patih Aragani."

   Wirajamba tak dapat menjawab kecuali tegak mematung menyadari kesalahannya. Perha annya tertumpah pada pertempuran raden Ardaraja lawan Kuda Panglulut sehingga ia lengah akan mengikut prajurit-pengiring Kuda Panglulut.

   "Tiada lain jalan lagi sekarang,"

   Kata Ardaraja "kecuali harus menggabung diri dengan kakangmas Lembu Amiluhung. Pa h Aragani tentu marah dan menganggap kita tentu sudah menyeberang ke Daha."

   Setelah berdiam beberapa jenak, Wirajamba berkata "Mungkin masih ada dua harapan, raden."

   "Bagaimana ?."

   "Kemungkinan pertama, Daha sudah menyerang ke pura Singasari sehingga pa h Aragani tak sempat lagi mengurus berita anak menantunya. Dan kemungkinan kedua, kita memberi laporan kepadanya bahwa Kuda Panglulut terluka dalam pertempuran melawan pasukan Daha."

   "Mana mungkin Aragani mau mempercayai!."

   "Apabila raden yang memberi keterangan, walaupun dalam ha tak percaya, tetapi dia tentu tidak berani tak percaya."

   Ardaraja berdiam diri.

   "Baiklah, nan kita lihat bagaimana perkembangannya. Apabila Daha kalah, aku terpaksa akan menjalankan siasatmu itu. Tetapi rasanya kali ini Daha tentu akan berhasil,"

   Katanya sesaat kemudian.

   Ardaraja segera mengemasi pengiringnya dan berangkat menuju ke Sideman.

   Dalam kesempatan berkuda di muka barisan, Wirajamba meminta keterangan mengapa Ardaraja memaksa Kuda Panglulut kembali ke Sideman.

   Ardaraja tertawa pelahan "Akan kujadikan dia seorang tawanan agar pa h Aragani kacau pikirannya."

   "Tetapi kudengar pa h itu seorang yang berha batu. Lebih memen ngkan cita-cita daripada sanak keluarga, apa pula hanya seorang anak menantu."

   "Jika perlu akan kukirimkan batang kepala Kuda Panglulut kepadanya. Coba saja, apakah dia takkan menderita kegoncangan batin yang hebat ?."

   Wirajamba hendak menanyakan sesuatu lain tetapi raden Ardaraja sudah mendahului.

   "Rusaknya kerajaan Singasari memang karena gara-gara patih Aragani. Tunggu saja, apabila kelak Daha berhasil menduduki Singasari dan mengambil alih pemerintahan Singasari, yang pertama-tama harus dihukum gantung adalah patih Aragani yang hianat itu,"

   Kata Ardaraja dengan bernafsu "Engkau telah mengetahui sendiri Wirajamba, bagaimana sepak terjang patih yang berbisa itu.

   Dilihat dari gelarnya, ia sangat memikirkan kemajuan kerajaan dan memperihatinkan bagi kesejahteraan para kawula Singasari.

   Kesetyaannya kepada baginda ditonjolkan dalam sanjung puji yang berkelebihan.

   Karena kemahirannya menarikan lidah dan keluwesan meragakan diri, sehingga baginda benar-benar dapat dimabukan.

   Mabuk akan kewibawa, mabuk akan keagungan, sehingga sehingga baginda merasa bahwa semua narapraja, semua kawula tetap setya dan menjunjung tinggi akan kebijaksaaaanya dalam memimpin tampuk pemerintahan.

   Kewaspadaan baginda menjadi kabur, ketelitian pengamatan keadaan negara menjadi samar karena disaput oleh rasa puas diri.

   Itu semua tak lain akibat lidah berbisa patih durhaka itu.

   Durhaka, karena di balik peragaan kesetyaannya itu, di balik sanjung puji yang mempesonakan itu telah tersusun rapi rencana untuk merongrong tubuh pemerintahan Singasari teristimewa bagi baginda sendiri,"

   Wirajamba mengangguk-angguk.

   "Oleh karena itu,"

   Kata Ardaraja lanjut "apabila aku berkata bahwa pa h Aragani harus dihukum gantung bahkan mungkin lebih berat lagi apakah itu tidak yang berlebih-lebihan ?."

   "Tidak, raden,"

   Sambut Wirajamba "sudah sepantasnya pa h Durna itu menerima hukumannya sesuai dengan ulah tingkahnya ....."

   "Marilah kita percepat perjalanan kita,"

   Tukas Ardaraja.

   Menjelang fajar mereka tiba di desa Sideman.

   ~dewi.kz^ismo^mch~ Tiba di keraton Singasari, Wijaya loncat dari kudanya dan bergegas lari masuk ke balairung.

   Tampak baginda Kertanagara sedang di hadap oleh pa h Aragani, empu Raganata, tumenggung Wirakreti dan beberapa mentri senopati kerajaan.

   Setelah memberi sembah kepada baginda maka Wijaya pun duduk bersila di hadapan raja menunggu titah.

   "Puteraku,"

   Seru baginda Kertanagara "rupanya si Jayakatwang sudah terbalik kiblatnya.

   Dia mengadakan kraman hendak merebut Singasari.

   Pada hal tak kurang-kurang kebaikan yang kulimpahkan kepadanya.

   Dia kuangkat menjadi akuwu Daha, puteranyapun kuambil putera menantu."

   "Memelihara harimau memang demikian. Apabila besar tentu akan memakan yang memelihara,"

   Sahut Wijaya.

   "Adakah manusia itu sama dengan harimau ?"

   Tegur baginda.

   "Bahkan melebihi, gusti,"

   Sembah Wijaya. Kertanagara kerutkan dahi.

   "Eh, mengapa tiba-tiba engkau fasih bicara, puteraku ? Adakah engkau menemukan guru sakti di tanah Malayu ? Cobalah engkau jelaskan perkataanmu itu !."

   
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wijaya tertawa.

   "Bukan guru, gusti, melainkan pengalaman hidup. Apa yang hamba alami, lihat, dengar dan rasakan, kesemuanya itu menjadi guru peribadi hamba. Yang hamba maksudkan manusia itu melebihi harimau, adalah sifat Keinginannya. Apabila harimau melaksanakan keinginannya dengan menerkam dan membunuh korbannya secara terang, tidaklah demikian dengan manusia. Untuk mencapai keinginannya, manusia tidak segan melakukan apa saja yang dapat dilakukan. Dan karena manusia dikaruniai pikiran oleh Dewata maka digunakanlah pikiran itu untuk menciptakan pelbagai tipu muslihat yang licin dan keji. Dapat merobah diri menjadi 'harimau berkulit domba', dapat pula menjelma menjadi 'musang berbulu ayam. Inilah kelebihan manusia, gusti."

   "Bagus, puteraku,"

   Seru baginda "baru sekarang kutahu engkau gemar akan tamsil yang berfalsafah. Kelak apabila sudah tenteram tentu akan kuajak engkau menemani aku membuat sajak. Bukankah begitu, patih Aragani?."

   Saat itu ha Aragani sedang berdebar keras dan wajahnya bertebar merah karena mendengar ucapan Wijaya, Walaupun pemuda itu menuduh Jayakatwang, tetapi ia merasa dirinya juga terkena sindiran itu.

   "Benar, gus , putera paduka raden Wijaya memang berbakat dalam seni sastra,"

   Tergopoh- gopoh patih itu menghaturkan jawaban.

   "Wijaya, marilah kita selesaikan persoalan yang menghadang di depan kita,"

   Ujar baginda pula "menurut usul para mentri dan menurut wawasanku sendiri, hanya engkaulah puteraku yang cakap untuk menghalau pasukan Daha di Mameling itu."

   "Hamba hanya menjunjung mana-mana titah paduka,"

   Kata Wijaya.

   "Bawalah pasukan dan basmilah orang-orang Daha yang berada di Mameling itu."

   "Baik, gusti,"

   Sembah Wijaya "adakah hamba diperkenankan memilih anakbuah hamba ?."

   Baginda meluluskan.

   "Baginda, Raganata hendak mempersembahkan sepatah kata ke hadapan paduka,"

   Ba- ba empu Raganata berdatang sembah.

   "O, silakan paman,"

   Seru baginda dalam nada yang ramah.

   "Menurut hemat hamba, peperangan ditentukan bukan semata dari jumlah besarnya pasukan atau kelengkapan persenjataannya. Ada dua hal yang menjadi kunci kemenangan. Pertama, semangat juang pasukan. Dan kedua, siasat."

   Baginda Kvtanagara mengangguk "Benar, paman. Lalu apa maksud paman ?."

   "Pertama-tama harus ditanam dalam sanubari setiap prajurit, pejuang dan kawula Singasari bahwa peperangan ini untuk mempertahankan kelangsungan Singasari sebagai kerajaan yang bebas dan jaya. Bahwa perjuangan para prajurit dan rakyat itu adalah demi kesejahteraan hidup mereka sendiri. Tanpa keyakinan itu mereka tentu akan ngeri melawan Daha."

   


Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long

Cari Blog Ini