Dendam Empu Bharada 42
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 42
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
Melihat prajuritnya banyak yang gugur, raden Ardaraja mulai bangkit kemarahannya.
Semula karena merasa bersalah sehingga baginda Kertanagara sampai menemui ajal, putera akuwu Daha itu ingin menebus dosa dengan menempuh jalan damai.
Tetapi demi melihat ketiga anakmuda itu sudah menutup pintu damai, pula melihat prajurit-prajurit Daha susul menyusul berguguran, akhirnya panaslah darah Ardaraja.
Cepat ia mencabut keris hendak menerjang.
Tetapi sebelum ia sempat bergerak, Ludirapun sudah merubuhkan beberapa prajurit yang menjaga di depan Ardaraja lalu menerjang ke hadapan putera akuwu Daha itu.
"Akhirnya kita berdua harus mengakhiri kesemuanya ini, Ardaraja,"
Seru Ludira sambil tersenyum maut.
"Ya,"
Sahut Ardaraja "walaupun sesungguhnya masih dapat ditempuh jalan lain .....
"
"Sudah kasip,"
Seru Ludira "hanya salah satu di antara kita berdua yang berhak mengenyam sinar matahari ....
"
"Sombong!"
Sekonyong-konyong seorang prajurit pengawal Ardaraja yang sudah rubuh, melonjak bangun dan menubruk Ludira.
Rupanya karena tahu bahwa dia takkan hidup, prajurit itu paksakan diri, kerahkan seluruh sisa tenaganya mencabut keris lalu menerkam.
Ia hendak mati bersama-sama dengan Ludira.
"Hahhhhh !"
Ardaraja menjerit kaget ketika tubuh pengawalnya melayang ke arahnya.
Karena jarak amat dekat dan tak terduga- duga, Ardaraja tak dapat menghindar lagi.
Keris yang dipegangnya telah terbenam ke punggung pengawalnya sendiri.
Ternyata pada saat hendak diterkam, Ludira berhasil menyiak tangan prajurit itu lalu dengan sekuat tenaga mendorong tubuh prajurit itu ke muka, tepat ke arah Ardaraja.
"Pengawal yang setya ! Dia hendak mengiring engkau ke alam baka, Ardaraja,"
Seru Ludira mengejek. Mata Ardaraja memerah darah.
"Ludira, jangan engkau anggap Ardaraja seorang penakut,"
Seru putera akuwu Daha itu "baik, aku menerima tantanganmu. Tetapi karena aku tak mempunyai kekuasaan untuk memberi perintah kepada pasukan Daha, maka dirikulah yang menjadi pertaruhan"
"Katakan cepat !"
Seru Ludira.
"Jika aku kalah, bunuhlah aku. Tetapi jika engkau segan membunuh, aku bersumpah takkan menginjak bumi Singasari selama-lamanya. Demikian halnya dengan dirimu."
"Baik, akupun malu untuk berdiri di bumi Singasari,"
Sambut Ludira.
Demikian kedua pria muda itu, yang satu putera akuwu Daha dan menantu raja Singasari, yang satu putera kemenakan baginda Kcrtanagara.
Keduanya sama-sama berdarah bangsawan, sama- sama cakap wajahnya pun sama-sama pula kedigdayaannya.
Ardaraja mainkan keris laksana seekor ular yang menyambar- nyambar dengan pagutan yang cepat dan dahsyat.
Lama atau lambat sedikit saja menghindar, tubuh lawan tentu akan di tembus ujung keris.
Keris Ludira menyambar nyambar bagaikan burung elang menerkam anak ayam.
Sedang kecepatan gerak keris itu, laksana kilatan petir, dahsyatnya bagaikan prahara.
Ardaraja terkejut sekali melihat gaya permainan keris lawan yang sedemikian sakti.
Pertarungan maut itu tak ubahnya seperti ular sanca bertempur lawan burung garuda.
Betapapun cepat ular bergerak, garuda tetap dapat melayang ke udara.
Dan apabila garuda balas menukik dan menerkam maka pontang pamtinglah sang ular menyelamatkan diri.
Berulang kali Ardaraja harus kehilangan semangat hatinya karena, kepala, muka dan dadanya hampir dilanda ujung keris lawan.
Bahkan pada suatu saat, ia menjerit kejut dan kucurkan keringat dingin sambil menyurut kebelakang manakala keris Ludira dalam kecepatan yang tinggi, menyambar kepalanya.
Walaupun kepalanya selamat, tetapi kain kepalanya telah terbang disambar keris Ludira.
Diam-diam Ardaraja mengeluh dalam hati.
Ia menyadari bahwa kedigdayaannya masih kalah tinggi setingkat dengan lawan.
Jika dilanjutkan, dalam waktu yang tak lama, tentulah ia akan terbunuh.
Ardaraja menyempatkan diri untuk menyelimpatkan pandang ke sekeliling.
Saat itu Lembu Mandira dan Sedayu masih tetap mengamuk para prajurit Daha.
Walaupun berjumlah berpuluh-puluh, tetapi prajurit-prajurit Daha itu tidak mampu membendung gelombang serangan kedua muda mudi yang sakti mandraguna.
Andai di tempat gelanggang yang lebih lapang, tentulah gerak serangan kedua muda mudi ....
itu jauh lebih tangkas dan dahsyat.
"Lima !"
Tiba-tiba Sedayu berteriak ketika menanamkan pedang ke perut seorang prajurit.
Memang sejak tadi, setiap membunuh seorang prajurit, ia tentu menghitung bilangannya.
Rupanya diam-diam puteri tumenggung itu telah bertekad untuk mencari seratus jiwa prajurit Daha sebagai tebusan dari kematian ayahandanya.
Dan saat itu ia baru berhasil membunuh lima orang.
"Enam ....
"
Secepat kilat ia berputar tubuh dan menusuk lambung seorang prajurit Daha. Tetapi pada saat pedangnya masih tertanam pada lambung musuh, sekonyong konyong setiup angin menyambar punggungnya dan serempak terdengar teriak terkejut "awis, Sedayu ....
"
Sedayu terkejut dan hendak berkisar ke samping.
Tetapi terlambat.
Saat itu bahunya terasa dicengkeram oleh sebuah tangan yang kuat sehingga lemaslah lengannya dan terpaksa melepaskan pedang.
Rencananya ia hendak sabatkan tangan kiri ke belakang untuk menggempur penyerang gelap itu.
Tetapi untuk yang kedua kalinya ia terlambat lagi.
"Berani bergerak, punggungmu tentu tembus dengan keris,"
Terdengar orang yang menguasai bahunya itu mengancam. Sedayu segera rasakan punggungnya dilekati ujung senjata yang tajam. Bahkan ujung senjata itu terasa menusuk kulitnya. Dan secepat itupun ia dapat mengenali nada suara penyerangnya yang licik itu.
"Jahanam, engkau licik sekali, Ardaraja .......
"
Sedayu melengking keras.
"Ardaraja, engkau ....
"
"Ludira, setengah langkah engkau berani bergerak maju, gadis yang engkau kasihi ini tentu akan menjadi mayat!"
Bentak Ardaraja. Ludira yang saat itu hendak menerjang, terpaksa hentikan langkahnya.
"Kakang Ludira, jangan peduli gertakannya. Ayo, seranglah kakang. Biar aku mati asal diapun mati juga !"
Sedayu menjerit jerit dan berusaha meronta.
Ardaraja benar-benar gemas kepada gadis itu.
Ia mencengkeram bahu Sedayu lebih keras lagi sehingga karena menahan sakit gadis itu sampai merah padam wajahnya.
Keringatpun mulai bercucuran membasahi tubuh.
Lembu Mandira terkejut mendengar suara Sedayu dan Ludira.
Ketika mencuri kesempatan untuk berpaling, ia terkejut.
Ternyata Sedayu telah dicengkeram dari belakang oleh Ardaraja.
Putera akuwu Daha itupun melekatkan ujung keris ke punggung Sedayu.
Tetapi Lembu Mandira tak mendapat banyak kesempatan untuk memandang lebih lama karena prajurit-prajurit Daha segera menyerangnya dengan gencar.
"Ardaraja, jika engkau berani mengganggu sehelai rambut saja dari Sedayu, aku bersumpah akan membunuhmu !"
Seru Ludira dengan nada bengis.
"Jangan kuatir, Ludira."
Ardaraja tersenyum ejek "aku tak akan membunuh kekasihmu yang cantik ini apabila engkau menurut perintahku."
"Apa perintahmu !"
Teriak Ludira.
"Buang kerismu dan suruh juga kawanmu yang satu itu melemparkan senjatanya. Kalian berdua lekas enyah dari sini."
"Dan Sedayu ?"
"Akan kuperintahkan prajuritku untuk mengantarkannya sampai di luar gapura barat,"
Seru Ardaraja.
"Jangan mau kakang Ludira !"
Teriak Sedayu "bunuhlah manusia hianat ini! Jangan percaya dengan segala janjinya !"
Ludira bersangsi. Betapapun besar keinginannya untuk membunuh Ardaraja namun masih besarlah rasa kecemasannya akan keselamatan jiwa Sedayu.
"Kakang, jangan hiraukan diriku,"
Teriak Sedayu pula.
"telah banyak prajurit dan rakyat Singasari yang telah berkorban. Mengapa kita harus hidup bercermin bangkai melihat Singasari diinjak-injak orang Daha!"
"Jika engkau masih banyak bicara, terpaksa akan kulenyapkan mulutmu !"
Hardik Ardaraja.
"Bunuhlah aku !"
Tantang Sedayu.
Tetapi dara itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena harus menahan kesakitan pada bahunya yang dicengkeram Ardaraja lebih keras.
Sesungguhnya Ludira masih menimang-nimang apakah ia harus membebaskan Sedayu dengan kekerasan atau dengan perundingan.
Demikian pula iapun sedang mempertimbangkan usul Ardaraja tadi yang mempersilakan ia bersama Lembu Mandira ke luar dari keraton.
Demi mendengar teriakan Sedayu, ia menyalangkan mata memandang gadis itu dengan seksama.
Ketika memperhatikan bahwa Sedayu tengah mengernyit dahi dan wajahnya menahan kesakitan, keringat bercucuran dan kepala, serentak Ludira menyadari bahwa Ardaraja tengah memperkeras tenaganya untuk menyiksa gadis itu.
Seketika meluaplah amarah Ludira.
Apabila Ardaraja memperlakukan Sedayu dengan baik, mungkin ia akan mempertimbangkan untuk menyetujui usul putera akuwu Daha itu.
Tetapi karena Ardaraja dlanggapnya telah mempersakit Sedayu, Ludira serentak menutup pintu pertimbangan lagi.
"Ardaraja, engkau manusia licik!"
Serentak Ludirapun ayunkan tubuh menerjang Ardaraja. Melihat itu Ardaraja terkejut. Cepat ia menarik Sedayu mundur selangkah lalu tiba-tiba menyongsongkan tubuh gadis itu sebagai perisai.
"Kakang Ludira ....
"
Sedayu berteriak kejut dan pejamkan mata menunggu ajal.
Hanya terpilah setengah depa, ujung keris Ludira akan tiba di dada gadis itu.
Ludira sendiripun terkejut.
Ia tak menyangka bahwa Ardaraja akan berbuat melicik itu.
Karena terjangannya dilakukan dengan sepenuh tenaga, maka sukarlah la menghentikannya.
Pada saat-saat yang genting dan berbahaya itu, sekonyong- konyong setiup angin mengiring sebuah suara yang nyaring dan berwibawa.
"Om, bajrodaka. Om, ah, om ....."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suatu peristiwa yang aneh telah terjadi.
Ludira yang sudah melaju untuk menusukkan ujung keris ke dada Sedayu, berhenti serentak, Sedayupun terhuyung-huyung beberapa langkah ke samping.
Sedang Ardaraja tersurut mundur dua tiga langkah.
Dia lepaskan cengkeramannya pada bahu Sedayu.
Demikian pula dengan prajurit-prajurit yang tengah bertempur dengan Lembu Mandira.
Mereka serempak berhenti semua.
Seolah olah terpana pesona.
Dan di ruang balairung itu muncullah seorang kakek tua yang rambut dan janggutnya putih.
Tangannya mencekal sebatang benda panjang, lebih kecil dari tongkat.
Besarnya hanya sama dengan sebuah jari tangan.
"Bapak guru ..... !"
Serentak Sedayu dan Ludira berseru kejut demi mengetahui siapa kakek itu. Serta meria kedua anakmuda itu memberi sembah hormat.
"Bangunlah anakku,"
Seru kakek berambut putih itu dengan nada yang bening dan wajah mengulum senyum ramah.
"Mengapa bapak guru berkunjung ke mari?"
Seru Sedayu.
"Bapak guru,"
Kata Ludira pula "keraton telah terkepung oleh pasukan Daha. Alun-alun banjir darah, bagaimana bapak guru dapat masuk ke dalam keraton ?"
Kakek berambut putih itu bukan lain adalah empu Santasmreti, pujangga keraton Singasari yang meninggalkan keraton untuk bertapa di pegunungan sunyi.
Dia tak tahan melihat keadaan kerajaan Singasari yang makin hari makin menyimpang dari kelurusan.
Diberhentikannya empu Raganata sebagai patih dan tumenggung Wirakreti sebagai demung, makin mempercepat langkah pujangga Santasmreti untuk meninggalkan kerajaan.
Dalam keheningan cipta dan ketenangan batin di alam pegunungan yang sunyi itu, makin tajamlah pikiran dan batin empu itu sehingga ia dapat mencapai tataran ilmu semedhi yang sempurna.
Walaupun mengasingkan diri di tempat yang sunyi, namun ia dapat mengikuti perkembangan perkembangan yang terjadi di keraton Singasari.
Bagi seorang sakti sebagai empu Santasmreti itu, jarak dan rintangan gunung maupun laut, bukan suatu halangan.
Dalam semedhi, ia dapat mengetahui keadaan Singasari.
Alangkah kejutnya ketika dalam semedhi itu, ia melihat keadaan pura Singasari yang amat menyedihkan.
Dan yang paling mengejutkan yalah pada saat diketahuinya baginda Kertanagara akan menemui peristiwa yang menyedihkan.
Bergegaslah empu itu turun gunung dan menuju ke pura Singasari.
Tetapi ia terlambat.
Pura Singasari telah diduduki pasukan Daha.
Alun-alun penuh dengan mayat dan kubangan darah.
Keraton dikepung prajurit-prajurit Daha.
Empu Santasmreti segera mengamanatkan aji mantra.
Beratus-ratus prajurit Daha yang sedang membunuh dan menyerang setiap prajurit Singasasi, seolah-olah tak menghiraukan munculnya seorang kakek berambut putih yang berjalan dengan tenang di tengah-tengah kancah pertempuran.
Juga prajurit-prajurit Daha yang mengepung keraton dengan ketat, seolah olah tak tahu kedatangan empu Santasmreti yang langsung masuk ke dalam balairung.
Dan munculnya di balairung, tepat pada saat hampir terjadi peristiwa yang mengejutkan.
Segera ia menamparkan tangannya ke muka serta mengucapkan Mantrayana Bajrodaka.
Akibatnya berhentilah semua pertempuran yang berlangsung dalam balairung itu dengan seketika.
"Anakku,"
Kata empu Santasmreti dengan tenang "adakah kekuatan di dunia ini yang betapa dahsyatnyapun, mampu menghalangi batin yang terang dan pikiran yang suci ? Janganlah berbuat jahat dan sucikan hati dan pikiranmu."
"Tetapi bapak guru .......
"
"Kutahu, anakku Ludira, isi hatimu,"
Sahut empu Santasmreti "tetapi kesemuanya itu memang sudah digariskan oleh Hyang Maha Agung."
"Bapak guru, berilah petunjuk kepadaku,"
Seru Ludira.
"Anakku, aku hanya dapat memberi penerangan tetapi tak kuasa membersihkan batinmu, membuat kebahagiaan untukmu. Tidak pula terdapat di dunia ini orang yang mampu akan menjadikan engkau seorang manusia yang sadar, suci dan benar,"
Kata empu Santasmreti "karena jalan menuju ke arah kesadaran, penerangan, kesucian dan kebenaran itu hanya terletak dalam diri peribadimu sendiri, anakku.
Aku hanya dapat memberi penerangan dan petunjuk, tetapi engkaulah yang harus menempuhnya sendiri."
"Baik, bapak guru,"
Kata Ludira.
"Dalam kitab Dhammapada dikatakan bahwa keadaan kita sekarang ini dibentuk, dibuat dan dikarenakan oleh fikiran kita yang dahulu, sekarang dan yang akan datang. Bila perbuatan kita baik, kebahagiaan akan selalu mengikuti kita. Kebalikannya kalau perbuatan atau, karma kita jahat, maka kesengsaraan akan selalu mengikuti kita seperti bayangan selalu mengikuti badan kita. Sebagai pedoman dari arah baik dan jahat, laksanakanlah mantrayana Ambek-temen. Artinya, kuatkanlah batinmu memegang kesucian dan kebenaran. Jangan dipengaruhi oleh kecemaran batin, hawa nafsu, nafsu aib dan kemabukan. Ketahuilah anakku. Bahwa semua apa yang dumadi itu tidak kekal. Demikian peribadi manusia, semua itu adalah maya, seperti bayangan dalam cermin. Dan semua keadaan yang dumadi itu digerakkan oleh karmanya ....
"
"Kerajaan Singasari, baginda Kertanagarapun tak lepas dari Cakra Panggilingan atau roda perputaran kodrat dan karma. Tetapi janganlah engkau bersedih karena hal itu. Akuwu Jayakatwang dari Daha, pun takkan terhindar dari roda Panggilingan itu. Apa yang ia dapatkan sekarang, akan lenyap juga kelak."
"Tetapi bapak guru,"
Sanggah Ludira "bagaimana keadaan itu akan berobah apabila kita tidak mengadakan usaha merobahnya ?"
"Dapatkah engkau merobah rembulan pada tanggal satu menunjukkan wajahnya yang penuh, angger? Tetapi tanpa engkau paksa, rembulan akan muncul penuh pada tanggal pertengahan bulan. Itulah yang kumaksudkan dengan roda perputaran kodrat. Anakku, bersabarlah."
"Lalu bagaimana kehendak bapak guru? Apakah yang harus kulakukan?"
Tanya Lidira pula.
"Pulang ke gunung dan perkeraslah penempaan dirimu lagi, lahir dan batin."
"Lalu bagaimana dengan keadaan di sini, bapak guru ?"
"Jenazah baginda, serahkan kepada raden Ardaraja agar diurus sebaik-baiknya. Jenazah empu Raganata, biarlah puteranya yang mengurus."
"Dan bagaimana dengan ayahku, bapak guru?"
Tiba-tiba Sedayu bertanya.
"Kita bawa ke gunung,"
Sahut empu Santasmreti. Ludira tertegun. Tanyanya sesaat kemudian "Adakah begitu penyelesaikannya, bapak guru? Bagaimana dengan raden Ardaraja dan prajurit-prajurit Daha yang telah menewaskan baginda itu? "
"Biarlah dia mengenyam apa yang ditanamnya sendiri, anakku. Saat ini surya sudah tenggelam. Engkau harus percaya bahwa esok hari, surya pasti terbit pula. Mari, angger, kita tinggalkan tempat ini."
Seolah kena pesona maka baik raden Ardaraja maupun prajurit- prajurit Daha yang memenuhi balairung, saat itu hanya tegak termangu-mangu ketika pujangga Santasmreti ayunkan langkah, meninggalkan balairung.
Tiga anakmuda segera mengiring di belakang pujangga tua itu.
Sedayu berjalan dengan langkah lunglai.
Kemudian diikuti oleh Lembu Mandira yang membawa jenazah empu Raganata.
Dan terakhir, Joko Ludira yang berjalan sarat dengan beban berbagai perasaan duka dan dendam.
Duka, karena baginda Kertanagara sebagai raja junjungannya dan sekaligus sebagai pamannya telah menutup mita di depan matanya, dia tanpa dapat memberi pertolongan apa-apa.
Dendam, ya, dendam terhadap baginda Kertanagara raja Singasari yang telah membunuh ayahandanya.
Tetapi dendam ini telah terhapus bersama mangkatnya baginda Kertanagara.
Kini dendam yang dalam beralih kepada Ardaraja, putera menantu baginda yang tidak tahu budi.
Putera akuwu Daha yang oleh raja Singasari diangkat menjadi putera menantu dan diberi kedudukan yang tinggi, tidak memberikan persembahan balasan yang layak, sebaliknya air tubalah balasannya.
Perasaan duka dan dendam campur aduk di benak Joko Ludira.
Empu Santasmreti, bekas seorang pujangga keraton Singasari yang telah mengasingkan diri di gunung, seorang yang telah putus segala ilmu, seorang sidik-paningal, awas penglihatannya, mengetahui apa yang sedang dirasakan oleh ketiga anakmuda itu.
Ia memohon kepada Hyang Batara Agung agar ketiga anakmuda itu dianugerahi terang dan ketenangan batin...
~dewi.kz^ismo^mch~ II Apabila pertahanan gapura selatan pura Singasari bobol oleh serangan pasukan Daha di bawah pimpinan patih Kebo Mundarang, adalah di desa Mameling raden Wijaya dan pasukannya berhasil memporak-porandakan barisan Daha yang dipimpin oleh senopati Jaran Goyang.
Siasat raden Wijaya untuk menjepit barisan musuh telah berhasil.
Tetapi ada suatu keanehan yang dirasakan oleh ksatrya muda itu.
Bahwa walaupun menderita kekalahan tetapi pasukan Daha itu tetap tak menderita kerusakan dan korban yang banyak.
Pun lari mereka seperti telah diatur, lari tercerai berai ke empat penjuru.
"Aneh,"
Gumam raden Wijaya dalam hati "mereka lebih besar jumlahnya tetapi mengapa mereka tak mau bertempur gigih? Mengapa cepat-cepat mereka tinggalkan gelanggang pertempuran ?"
Raden Wijaya segera mengeluarkan perintah, melarang anakbuahnya mengejar "Mungkin mereka menggunakan siasat untuk mencerai beraikan kekuatan kita. Kita harus waspada dan tetap berpusat dalam suatu kesatuan."
Memang titah akuwu Jayakatwang kepada senopati Jaran Guyang yaitu supaya menghisap kekuatan pasukan Singasari di Mameling.
Jika berhasil, boleh hancurkan pasukan Singasari yang menuju ke Mameling.
Tetapi apabila gagal, harus tetap memelihara induk kekuatan pasukan dan mundur.
Yang penting, demikian amanat akuwu Daha, adalah untuk menyiasati pasukan Singasari supaya memusatkan pasukan di Mameling.
Dengan demikian dapat memberi peluang bagi patih Kebo Mundarang untuk menggempur pura Singasari dari sebelah selatan.
Senopati Jaran Guyang terkejut ketika pasukannya telah dijepit dari empat jurusan oleh musuh.
Ia mendapat laporan bahwa yang memimpin patukan Singasari itu, calon menantu baginda Kertanagara yang bernama raden Wijaya.
Dan dia kenal raden Wijaya itu seorang ksatrya yang pandai mengatur barisan dan sakti mandraguna.
Jaran Guyang berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan induk kekuatan pasukannya.
Ia menggunakan siasat lari tercerai berai agar lawan mengejarnya untuk kemudian mudah dihancurkan.
Tetapi ternyata raden Wijaya tak mudah terperangkap.
Setelah memperhitungkan bahwa waktunya sudah cukup untuk memberi kesempatan kepada patih Kebo Mundarang melancarkan serangannya ke pura Singasari, maka Jaran Guyangpun memutuskan untuk menarik mundur pasukannya.
"Raden, idinkan hamba membawa pasukan untuk mengejar orang-orang Daha itu,"
Kata Medang Dangdi.
"Hamba akan menyertai kakang Medang untuk menggempur sampai ke Daha, raden,"
Kebo Kapetenganpun memohon idin kepada raden Wijaya.
"Apa alasan kalian berdua untuk mengejar mereka ? Bukankah lebih baik kita lekas-lekas kembali ke pura untuk mempertahankan pura kerajaan dari serangan musuh lebih lanjut ?"
Kata raden Wijaya.
"Raden,"
Kata Medang Dangdi "setiap kekalahan akan menimbulkan patah memangat pada anak-pasukan.
Kebalikannya akan memancarkan daya semangat menyala dari anakbuah kita yang menang.
Kata pandai besi 'tempalah besi di kala masih membara.
Kita harus memanfaatkan semangat para anak pasukan kita untuk menghancurkan musuh."
"Benar, raden,"
Seru Kebo Kapetengan pula pertahanan yang terbaik adalah menyerang. Dengan menyerang, musuh tak sempat melakukan serangan kepada kita. Kita tak perlu bertahan."
Raden Wijaya terdiam. Ada percik-percik keraguan dalam hatinya.
"Jangan raden,"
Tiba-tiba Lembu Sora berkata.
"jangan kita turuti hawa panas hati kita untuk menyerang musuh. Yang jelas, mereka lebih besar jumlahnya. Dan kitapun harus berpaling pada falsafah sifat setiap mahluk. Sekalipun kecil, kalau dipijak, semut tentu akan menggigit juga. Apabila kita terlalu mendesak, mereka tentu akan bangkit kemarahannya dan menyala lagi semangatnya untuk bertempur."
"Kurasa, kakang Sora,"
Seru Medang Dangdi.
"falsafah besi panas yang kukatakan dan falsafah semut yang engkau kemukakan, memang mempunyai nilai kebenaran sendiri-sendiri. Tetapi mana yang benar, tergantung pada keadaan. Dalam hal itu, kakang Sora, kurasa falsafah besi panas harus lekas ditempa itu, lebih mendekati kebenaran. Karena apabila tidak sekarang kita bergerak, di mana semangat musuh patah dan semangat kita bangkit, tentu kita akan kehilangan peluang yang baik. Apabila besi telah dingin, apabila semangat telah menurun, maka sukarlah untuk merebut kemenangan yang gemilang."
"Tetapi ingat Medang Dangdi,"
Tanggap Sora.
"kita harus tahu dan menyadari akan kelemahan pertahanan pura Singasari. Bagaimana akan terjadi apabila di saat kita mengejar pasukan Daha itu, tiba-tiba pasukan Daha yang lain menyerang pura ? Bukankah pertahanan pura akan berantakan?"
"Kakang Sora .......
"
Baru Medang Dangdi hendak melantangkan bantahan, tiba-tiba seorang pengalasan datang menghadap raden Wijaya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah, sungguh malang, raden,"
Serunya dengan wajah pucat dan napas terengah "pura kerajaan telah .... bobol ....
". Bagaikan mendengar petir berbunyi di tengah hari, Wijaya serentak loncat mencengkeram baju pengalasan itu.
"Apa katamu,? Pura Singasari telah dimasuki pasukan Daha ?"
Serunya amat tegang.
"Benar, raden,"
Sahut pengalasan itu dengan gemetar.
"Ah, celaka,"
Seru Lembu Sora pula "kita telah termakan siasat orang Daha, raden."
Merah wajah Wijaya karena malu dan marah.
"Apakah mereka sudah masuk ke pura ?"
Tanyanya pula kepada pengalasan itu.
"Pasukan Daha itu amat besar kekuatannya, dipimpin sendiri oleh patih Kebo Mundarang. Mereka menyerang gapura selatan. Dan pada saat hamba menyusul raden ke mari, pertempuran sedang berkobar dahsyat."
Serentak raden Wijaya memberi perintah kepada para senopati dan anak pasukannya agar lekas kembali ke pura Singasari.
Tetapi alangkah terkejut ksatrya muda itu ketika tiba di perbatasan kota, ia mendengar sorak sorai yang bergemuruh dari pasukan Daha yang telah berhasil menduduki pura Singasari.
"Serbu!"
Teriak Wijaya seraya bersiap-siap. Tiba tiba Sora menghadang di hadapan raden itu.
"Raden, hamba hendak menghaturkan pendapat kepada raden."
"Katakanlah."
"Menilik sorak-sorai mereka yang gegap gempita bagai gunung rubuh itu, jelas pasukan Daha yang menduduki pura Singasari itu berjumlah amat besar. Tentu lebih besar daripada pasukan Daha yang menyerang Mameling. Apabila hamba tak salah tafsir, orang Daha itu telah mengatur siasat. Kita dipancing supaya menuju ke Mameling tetapi mereka sudah siapkan pasukan yang kuas untuk menerkam pura selagi pura kosong."
"Hm,"
Raden Wijaya mendesah.
"Kali ini kita harus menjaga jangan sampai terperangkap siasat musuh untuk kedua kalinya,"
Kata Sora lebih lanjut "sebaiknya, kita berkemah di luar pura dulu. Nanti malam baru kita lakukan serbuan."
"Hm,"
Kembali raden Wijaya mendesuh.
"Dengan serangan malam itu musuh tentu tak dapat mengetahui betapa besar kekuatan kita. Bagaimana cara untuk mengatur barisan penyerang, hamba hanya menurut saja apa yang tuan perintahkan."
Wijaya memang masih berdarah panas.
Tetapi sepanas panas darahnya, ia masih memiliki kesadaran yang tinggi dan kebijaksanaan yang luas.
Apa yang dikatakan Sora itu memang benar.
Apabila hari itu ia menyerang, bukan saja sukar untuk merebut kemenangan, pun Daha tentu mengetahui akan kekuatan barisannya.
"Baik, Sora,"
Akhirnya ia memberi perintah supaya berkemah di luar pura.
Diputuskannya pula, bahwa penyerangan ke dalam pura pada malam nanti harus dilakukan secara berlapis dan dari beberapa arah.
Dengan demikian musuh pasti gelisah karena mengira pasukan Singasari itu besar sekali jumlahnya.
"Kita akan membalas orang Daha dengan siasat yang mereka gunakan terhadap kita,"
Kata raden Wijaya. Kemudian ia mulai mengatur barisan-barisan yang akan menyerbu.
"Barisan pertama merupakan barisan pelopor. Menyerang pintu gapura. Barisan kedua bersembunyi di luar gapura. Barisan pertama harus pura-pura kalah dan mundur. Pada saat itu barisan kedua harus ke luar untuk memotong barisan musuh. Barisan ketiga menyerang dari dinding pura sebelah timur, memancing perhatian musuh dengan menimbulkan kebakaran-kebakaran. Barisan keempat, memanjat tembok pura bagian barat dan terus menyerbu,"
Tata raden Wijaya.
Kemudian raden Wijayapun menentukan para senopati yang memimpin barisan itu.
Barisan pertama dipimpin oleh Gajah Pagon, Medang Dangdi dan Mahesa Pawagal.
Barisan kedua, dipimpin Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan.
Barisan ketiga dipimpin Wirota, Wiragati dan Pamandana.
Sedang barisan keempat yang akan memanjat tembok pura dan menyerbu ke dalam keraton dipimpin oleh raden Wijaya sendiri dengan dibantu oleh Sora.
Malampun tiba.
Maka bergeraklah pasukan yang telah disusun raden Wijaya itu menuju ke pura Singasari.
Barisan ketiga pimpinan Pamandana, Wirota dan Wiragati bergerak lebih dahulu menghampiri ke dinding tembok sebelah timur dari pura Singasari.
Oleh karena mereka berasal dari Singasari maka merekapun faham akan liku liku jalan yang mencapai tujuannya.
Pamandana memerintahkan untuk membuat tangga dari batang pohon.
Juga memintal kulit pohon untuk tali.
Selekas mencapai puncak tembok maka orang itu harus segera memasang tali agar kawan-kawannya dapat merayap naik.
Demikian setelah peralatan tangga kayu dan tali kulit pohon selesai dibuat, mulailah mereka bekerja.
Pekerjaan itu berhasil dan pasukan itu dapat turun ke dalam lingkungan pura.
Pamandana membawa anakpasukannya menuju ke asrama prajurit.
Tentulah tempat itu sekarang ditempati oleh prajurit-prajurit Daha.
Tetapi ternyata dugaannya keliru.
Asrama itu dijadikan tempat tawanan dari prajurit dan rakyat Singasari yang melawan serangan Daha dan tertangkap.
Demikian laporan dari seorang prajurit yang dikirim Pamandana untuk menyelidiki tempat itu.
"Bagaimana penjagaan di situ ?"
Tanya Pamandana.
"Tidak banyak, kurang lebih hanya belasan penjaga."
Diam-diam Pamandana merasa heran mengapa asrama tawanan hanya dijaga oleh beberapa orang saja.
"Kakang Pamandana, mari kita serbu asrama itu. Lepaskan saudara-saudara kita dan bakar asrama itu,"
Kata Wirota.
"Tetapi mencurigakan sekali keadaan asrama itu. Lebih baik kita berhati-hati,"
Kata Pamandana.
"Idinkanlah aku yang memimpin penyerbuan, kakang Pamandana siapkan bantuan apabila terjadi sesuatu,"
Wirota mendesak.
Dengan membawa sepuluh prajurit, Wirota menghampiri asrama.
Tampak penjaga-penjaga itu sedang bercakap-cakap santai.
Setelah memberi isyarat, Wirota, segera loncat menyerbu.
Para penjaga itu terkejut.
Mereka tak sempat lagi untuk melawan mereka karena dengan cepat anakbuah Wirota sudah menguasai mereka.
Yang masih melawan segera dihabisi jiwanya.
Tak lama kemudian, tibalah Pamandana dengan anakbuahnya.
Alangkah kejut Pamandana dan Wirota ketika mendapatkan bahwa asrama itu telah kosong.
Tiada seorang prajurit atau rakyat yang tampak.
"CeIaka, Wirota,"
Seru Pamandana terkejut "kita terperangkap!"
Wirotapun pucat. Segera ia memburu keluar dan ternyata apa yang dikatakan Pamandana memang benar. Beratus ratus prajurit Daha telah mengepung asrama itu.
"Hai, menyerahlah kamu orang Singasari !"
Teriak kepala pasukan Daha.
"Bagaimana kakang Pamandana?"
Tanya Wirota.
"Jalankan siasat mengulur waktu dengan ajak mereka berbantah, Wirota,"
Kata Pamandana "aku akan melepaskan pertandaan panah api agar Wiragati segera datang menyerang mereka."
Ternyata Pamandana cukup cerdik.
Sejak semula ia memang menaruh kecurigaan akan keadaan amrama tawanan itu.
Maka ia tinggalkan sebagian anakbuahnya bersama Wiragat dan ia sendiri bersama sebagian prajurit menyusul Wirota.
Naluri Pamandana memang tajam.
Ia telah masuk ke dalam perangkap musuh.
Tetapi diam-diam ia tertawa karena musuh tak akan mengira bahwa masih ada sebagian anak pasukan Singasari yang akan menerkam mereka dari belakang.
Setelah lepaskan panah api ke udara, Pamandana bergegas lari menggabungkan diri ke luar halaman.
Wirota masih bersitegang leher memaki-maki prajurit Daha.
"Jangan banyak mulut, pemberontak Singasari. Lekas menyerah atau mati!"
Teriak bekel yang memimpin pasukan Daha itu.
"Keparat !"
Balas Wirota "siapa yang memberontak, kamu orang Daha atau kami rakyat Singasari?"
"Raja Singasari sudah meninggal, kerajaan Singasari sudah menyerah pada Daha tetapi kamu masih berani memberontak !"
Mendengar itu kejut Pamandana dan Wirota bukan kepalang. Mendidihlah darah kedua arya kepercayaan raden Wijaya itu.
"Wirota, mari kita bela pati kepada baginda!"
Kata Pamandana dengan nada sarat. Wirota terkejut. Pamandana seorang yang tenang dan tak mudah terangsang kemarahan. Bahwa saat itu dia sampai melantangkan kata-kata itu, jelas tentu sudah bertekad untuk mati.
"Baik, kakang Pamandana. Memang kita harus menunaikan sumpah kita kepada pertiwi Singasari,"
Sambut Wirota yang terkenal berani dan berangasan.
"Tunggu sebentar, Wirota,"
Seru Pamandana ketika melihat Wirota hendak ayunkan langkah "sesuai dengan perintah raden Wijaya, kita harus menimbulkan kebakaran, untuk memancing perhatian musuh."
"Prajurit,"
Seru Pamandana kepada beberapa anakbuahnya "bakarlah asrama ini lalu ikutlah kami menyerbu musuh di luar itu !"
"Hm, mereka membakar asrama,"
Teriak prajurit-prajurit Daha ketika melihat asrama mulai berkobar api.
"Bunuh pemberontak itu!"
Bekel prajurit Daha berteriak marah dan terus menyerbu.
Pertempuran segera berlangsung.
Seru dan dahsyat.
Pasukan Daha menang jumlah tetapi pasukan Singasari menang pimpinan.
Pamandana, Wirota merupakan kadehan raden Wijaya.
Apalagi Pamandana dan Wirota telah bertekad untuk mati menuntut balas akan mangkatnya baginda Kertanagara.
Keduanya mengamuk hebat.
"Bekel Daha, akhirnya kita bertemu,"
Seru Wirota setelah berhasil merubuhkan beberapa prajurit.
Ia langsung loncat ke hadapan bekel prajurit Daha yang mengepalai pasukannya.
Bekel Daha, itu bertubuh perkasa, membekal senjata tombak trisula.
Tanpa banyak bicara, langsung ia membenamkan ujung trisula ke dada Wirota.
Tetapi hanya angin kosonglah yang ditombaknya.
Wirota sudah menyelinap ke samping dan menabas kepala lawannya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tring .....
Tangkas benar bekel prajurit Daha itu menarik trisula dan menyongsongkan ke arah Wirota.
Pada saat kedua senjata beradu, bekel itupun segera memutar trisulanya dan terus menariknya.
"Uh . .....
"
Wirota terkejut ketika pedangnya diputar sedemikian kuat sehingga tangannya ikut terpelintir. Iapun terpaksa harus melepaskan pedangnya ketika ditarik oleh lawan.
"Mampus engkau, pemberontak!"
Dengan geram bekel Daha itu segera menusuk perut Wirota.
"Wirota ....... !"
Saat itu Pamandana sedang menghindar dari tusukan pedang seorang prajurit Daha; Ketika mendengar suara berdenting keras dan erang-kejut dari Wirota yang bertempur di belakangnya.
Cepat ia menyempatkan diri untuk berpaling.
Tak kuasa lagi Pamandana untuk menahan rasa kejutnya ketika melihat pedang Wirota terlepas jatuh dan saat itu sedang terancam tusukan tombak dari bekel lawannya.
Pamandana menjerit dan terus hendak menolong Wirota.
Tetapi sebelum ia sempat melaksanakan tindakannya, tiba-tiba telah terjadi satu perobahan yang mengejutkan.
Dengan menggeliatkan tubuh, Wirota berhasil menghindar dari tombak maut.
Lalu dengan gerak secepat kilat ia loncat menerjang bekel itu.
Sebuah pukulan keras yang tepat bersarang di dada, telah membuat bekel itu menjerit dan rubuh.
Masih Wirota menyongsong dengan sebuah tendangan sehingga tubuh itu terlempar sampai beberapa langkah dan tidak bangun lagi untuk selama lamanya.
Gemparlah pasukan Daha ketika melihat bekel pimpinan tewas.
Dan lebih hiruk pula ketika dari belakang barisan, sekelompok barisan Singasari yang dipimpin Wiragati menyerang dahsyat.
Jerit lolong yang ngeri, darah dan tubuh yang susul menyusul menggedebuk di tanah, menyebabkan pasukan Daha yang ditugaskan untuk mengepung asrama itu, kocar kacir dan lari tunggang langgang.
"Hayo, kita serbu keraton!"
Seru Pamandana yang rupanya sudah diamuk kemarahan. Sisa-sisa anak buah kecil itu, segera menuju ke keraton. Sementara raden Wijaya dan anakbuahnya tidak mengalami kesulitan apa-apa ketika berhasil memanjat tembok pura dan turun ke bawah.
"Kita cari suatu tempat yang gelap,"
Kata raden Wijaya "untuk menunggu gerakan dari pasukan Pamandana dan serbuan pasukan Medang Dangdi yang akan menggempur gapura."
Raden Wijaya tidak memerlukan anakbuah yang besar. Dia cukup membawa duapuluh orang. Mereka segera mencapai tempat berlindung di balik pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang jalan yang menuju ke alun-alun.
"Sora"
Kata Wijaya "mengapa keadaan dalam pura tampak sepi ?"
"Mungkin prajurit-prajurit Daha itu masih letih karena pertempuran,"
Kata Sora.
"Hm,"
Dengus Wijaya tetapi tidak seharusnya mereka mengabaikan penjagaan dalam kota."
"Ada dua kemungkinan, raden,"
Jawab Sora.
"pertama mungkin mereka belum mengetahui bahwa pasukan kita sudah tiba di Singasari, Kemungkinan kedua, mereka terlalu percaya akan kekuatan pasukam penjagaan di gapura itu."
"Tidakkah terdapat kemungkinan yang ketiga?"
Tanya Wijaya, Sora terkesiap "Kemungkinan yang bagaimana raden maksudkan?"
"Bahwa mereka sedang mengatur perangkap untuk kita."
"Ah."
Sora mendesah agak kejut. Ia merenung beberapa jenak lalu berkata pula "memang kemungkinan itu dapat terjadi."
"Hm, jika demikian kita terjerat dalam perangkap mereka,"
Desuh Wijaya.
Memang setelah mendengar peringatan dari Wijaya, diam-diam Sora harus mengakui bahwa kemungkinan itu memang bukan sesuatu yang mustahil terjadi.
Apa pula setelah teringat betapa mudah tadi ia bersama anakbuahnya memanjat dan menuruni tembok pura.
"Ah, tak perlu kita gelisah, raden,"
Katanya walaupun dalam hati ia sendiri merasa agak gelisah.
"baiklah kita nantikan bagaimana perkembangan pasukan kita di sebelah timur dan yang menyerang gapura selatan. Dan yang penting kita harus selalu waspada dan siap."
Malam makin kelam.
"Sora, mengapa sampai sekian lama belum juga tampak tanda- tanda dari mereka ?"
Kata Wijaya yang mulai tidak sabar menunggu. Masih Sora berusaha untuk menenangkan hati raden itu dengan mengatakan bahwa mungkin kawan-kawan di sebelah timur dan selatan itu menantikan saat yang tepat."
Wijaya hanya mendesuh.
Beberapa saat kemudian ia mendongak memandang ke cakrawala.
Rembulan belum muncul.
Di langit hanya ditaburi bintang kemintang yang memancarkan cahaya berkelip-kelip bagai intan bahaduri berhamburan di atas permadani biru.
Memandang keindahan malam beribu bintang itu, melayanglah pikiran Wijaya dihanyut kenangan lampau.
Betapa pada malam- malam yang indah, ia sering bercengkerama di taman bunga dalam keraton bersama puteri-puteri baginda Kertanagara yang telah ditunangkan kepadanya.
Ataupun ia sering mengajak Sora dan Nambi berjalan-jalan berkeliling pura.
Dan di kala seperti itu banyaklah ia bersua dengan pemandangan yang menyedapkan.
Gadis-gadis mengintip dari balik jendela ataupun ke luar berkerumun dengan kawan-kawannya.
Mereka berkasak-kusuk memuji kecakapan raden itu.
Merekapun mengiri akan kebahagiaan puteri yang akan dipersunting raden keturunan Batara Narasinga itu.
Membayangkah peristiwa-peristiwa itu, tiba-tiba terlintas pada benak Wijaya akan wajah ...
...puteri Candra Dewi atau Dara Petak dan puteri Kembang Dadar atau Dara Jingga.
"Ah,"
Serentak tersiraplah darah Wijaya "bagaimanakah gerangan nasib puteri Candra Dewi dan adindanya ?"
Merenungkan nasib puteri Candra Dewi, mutiara jelita dari kerajaan Dharmasraya yang hendak diboyong ke Singasari, termangu-mangulah Wijaya dalam pesona asmara ....
"Raden,"
Tiba-tiba ia terkejut mendengar Sora berkata di belakangnya. Cepat ia berpaling dan menegur "Ya, mengapa? "
"Kudengar dari arah timur seperti berhamburan jerit teriakan orang, raden,"
Kata Sora "adakah raden tak mendengar sesuatu ?"
Wijaya tersipu-sipu malu. Ia sedang melamunkan puteri jelita Candra Dewi, bagaimana mungkin ia mendengar lain-lain suara ! "Benarkah?"
Katanya seraya memasang telinga.
"ya, benar engkau Sora, memang sayup-sayup kudengar sorak-sorak dari arah timur. Adakah Pamandana sudah bergerak?"
"Hamba mohon diidinkan untuk menyelidikinya."? Wijaya tak lekas menyahut melainkan merenung.
"Tetapi cobalah engkau dengarkan lebih seksama lagi, Sora. Suara itu seperti berasal dari arah timur tetapipun seperti dari utara."
Sora mempertajam pendengarannya. Sesaat kemudian ia mengangguk-angguk kepala "Ya, benar raden."
"Baiklah, Sora,"
Kata Wijaya "engkau boleh menghampiri ke arah timur dan aku hendak menyelidiki ke utara. Tetapi tak perlu jauh- jauh dan selekasnya engkau harus kembali ke sini lagi."
Dengan langkah hati-hati, Wijaya segera melangkah ke utara, berpindah-pindah menyelinap diantara satu ke lain pohon. Ketika hampir mendekati alun alun, tiba-tiba terkejut karena melihat sesosok bayangan hitam berjalan cepat melintas alun-alun.
"Mencurigakan,"
Desuh Wijaya dalam hati "apakah bayangan hitam itu? Mengapa seperti ke luar dari keraton ?"
Ia memandang pula dengan tajam, katanya dalam hati pula "dia berselubung kain hitam sehingga tak tampak wajahnya.
Tubuhnya langsing macam wanita.
Tetapi ah, tak mungkin seorang wanita ke luar dari keraton yang tentunya dijaga ketat oleh prajurit Daha."
"Ah, mungkin seorang prajurit atau pengalasan Daha yang habis menyampaikan berita ke dalam keraton,"
Katanya sesaat kemudian.
Tiba-tiba ia teringat akan pembicaraannya dengswa Sora tadi.
Bahwa fihak Daha telah memasang termasuk salah sebuah kemungkinan di antara beberapa kemungkinan.
Dalam kemungkinan itu, bukan mustahil apabila sosok hitam yang ke luar dari arah keraton itu seorang mata-mata musuh yang habis memberi laporan.
"Apabila ia benar seorang mata-mata, tentu dia membawa laporan-laporan yang penting,"
Diam-diam Wijaya menimang dan memutuska untuk menangkap orang itu. Diperhatikannya bahwa orang itu berjalan dengan gppoh tetapi langkahnya agak terhuyung. Sebentar-sebentar berpaling ke belakang seperti seorang yang takut dikejar.
"Hm, dia hendak menuju ke selatan."
Wijaya memperhatikan arah langkah orang itu.
Cepat tetapi hati-hati agar jangan menimbulkan suara, Wijaya bersembunyi di balik sebatang pohon di tepi jalan yang mengarah ke selatan.
Malam gelap sehingga walaupun orang itu sudah tiba pada jarak duapuluhan langkah dari tempat persembunyiannya Wijaya tetap belum dapat melihat jelas wajahnya.
Dan memang sukar untuk mengenali wajah itu karena terselubung kain hitam.
Hanya bagian mata saja yang tampak.
"Ah, peduli dengan wajahnya, yang penting aku harus dapat membekuknya,"
Diam-diam Wijaya sudah membulatkan keputusannya. Pada saat orang itu lalu di muka tempat persembunyiannya, dengan gerak harimau menerkam, Wijaya loncat seraya mengancamkan pedangnya ke muka orang itu "Berhenti!"
Orang itu melengking kejut, terhuyung mundur dam rutuh.
Rupanya dia menderita rasa kejut yang besar atau entah karena apa.
Tetapi yang jelas, nada jeritan orang itu kecil seperti seorang wanita.
Wijaya loncat menghampiri, menjuntaikan ujung pedang ke dada orang itu "Bangun ..,.!"
Hardiknya. Tetapi orang itu tak bergerak dan tetap rebah di tanah. Karena heran Wijaya membungkukan tubuh. Dengan ujung pedang masih melekat pada dada orang, ia gunakan tangan kiri untuk membuka selubung muka orang itu.
"Hai ..
"
Seketika menjeritlah Wijaya ketika melihat orang itu "adinda Tribuwana ...!"
Ternyata orang itu memang puteri Tribuwana yang telah ditunangkan oleh baginda Kertanagara kepada raden Wijaya.
Saat itu dia pingsan.
Wajahnya pusat lesi.
Wijaya cepat mengangkat tubuh puteri ke pangkuannya dan sibuklah ia menolong menyadarkan sang puteri.
Tak lama kemudian puteri itu dapat menarik napas dan membuka mata.
"O, engkau kakang ...."
Puteri Tribuwana terbeliak kaget ketika pandang matanya tertumbuk pada wajah raden Wijaya, Wijaya merekah senyum "Benar, adinda, Adakah adinda menderita luka? "
Puteri Tribuwana gelengkan kepala "Tidak, kakang, hanya penderita kejut saja."
"O, maaf adinda,"
Serta-merta Wijaya menghaturkan maaf "karena tak tahu kalau adinda maka aku telah mengejutkan adinda."
Tiba-tiba terdengar derap langkah orang berlari dalam keraton. Degup suara yang menggemuruh, menandakan bahwa yang berlari itu tentu beberapa belas orang.
"Tentu belum berapa jauh, hayo kejar ! Jangan sampai lolos!", kesunyian malam terpecah oleh suara seseorang yang tengah memberi perintah. Nadanya cemas. dan gugup.
"Kakang, mereka tentu prajurit prajurit Daha yang hendak mengejar aku,"
Puteri Tribuwana tampak gelisah. Wijaya terbeliak. Namun cepat ia menghibur puteri "Jangan takut, adinda. Selama Wijaya masih hidup, tak mungkin mereka dapat mengganggu adinda."
"Raden, baiklah kita menyelamatkan gusti puteri lebih dahulu."
Tiba-tiba terdengar seseorang berkata. Wijaya dan puteri Tribuwana berpaling "Ah, Sora, engkau,"
Seru Wijaya.
Pendatang itu memang Sora.
Karena mendengar suara hingar dari arah istana, Sora cepat-cepat kembali ke bawah pohon.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia terkejut katena raden Wijaya belum datang maka iapun segera mencarinya.
Ia makin menggegaskan langkah manakala melihat raden Wijaya tengah berjongkok di tanah menghadapi sesosok tubuh yang rebah.
Ia mengira raden Wijaya tengah bergulat dengan seorang musuh.
Sora tiba tepat pada saat Wijaya menyatakan tekadnya untuk melindungi jiwa puteri Tribuana.
Ia girang sekali melihat puteri telah bertemu dengan Wijaya.
"Raden, harap bawa gusti puteri lolos dari pura Hambalah yang akan menghadapi orang orang Daha itu,"
Sahut Sora.
"Sora , . , . !"
Wijaya berseru kejut ketika melihat Sora telah lari menyongsong prajurit Daha. Sora tetap lanjutkah langkahnya.
"Kakang bantulah Sora, berbahaya apabila dia hanya seorang diri menghadapi puluhan musuh,"
Puteri Tribuana berseru.
"Tetapi ....."
"Jangan kuatir, kakang. Aku dapat membawa diri."
"Empat penjuru pintu gapura telah dijaga prajurit-prajurit Daha. Bagaimana mungkin adinda dapat lolos. Tidak, adinda, aku akan melindungi di dampingmu."
Pada saat itu dari arah sebelah timur, terdengar derap orang berlari dan beberapa sosok tubuh berbondong-bondong mendatangi ke tempat Wijaya.
Wijaya makin cemas.
Bukan karena ia takut mati tetapi ia menguatirkan keselamatan puteri Tribuwana.
Baru saja berjumpa, apakah harus bercerai lagi.
Tetapi kecemasan itu cepat berganti rasa gembira manakala ia tahu siapa orang-orang yang tengah berlari mendatangi itu.
"Pamandana !"
Serunya girang.
"Raden ....
"
Balas orang orang yang berlari paling depan. Ternyata rombongan pendatang itu adalah Pamandana, Wirota dan Wiragati serta anakbuahnya.
"Pamandana, lindungilah puteri Tribuwana ini. Usahakan membawa puteri lolos dari pura."
"Baik raden,"
Sahut Pamandana tetapi serempak iapun bertanya "lalu bagaimana dengan raden sendiri?"
"Aku hendak menyusul Sora."
"Berbahaya, raden,"
Seru Pamandana, kemudian berpaling ke arah Wirota "Wirota, bawalah anak pasukan kita mengiring raden Wijaya. Dan Wiragati, ikutlah aku menyelamatkan gusti puteri."
Keadaan sangat mendesak.
Tak sempat untuk berbincang lebih lama.
Raden Wijaya bersama Wirota dan anakbuahnya segera bergerak menuju ke alun-alun.
Mereka terkejut ketika melihat Sora sedang dikepung oleh belasan prajurit Daha Sora dengan bersenjata tombak berkelahi laksana banteng mengamuk.
Tetapi barisan prajurit Daha makin lama makin meluap banyaknya.
Dan ketika Wijaya bersama Wirota tiba, dilihatnya Sora sudah amat sibuk sekali.
Walaupun ia berhasil menewaskan beberapa prajurit, tetapi lengan kirinya tertusuk.
Darah campur keringat, membasahi bajunya.
"Sora, mundurlah !"
Teriak raden Wijaya seraya mengayunkan pedang, menerjang prajurit-prajurit yang mengepung Sora.
Wirotapun terjun ke dalam gelanggang.
Sesaat pecahlah pertempuran seru.
Sora seperti mendapat semangat baru.
Tombaknya menyambar-nyambar laksana kilat.
Dering senjata beradu selalu diiring dengan pekik kejut dari mulut musuh.
Dan jerit kesakitan selalu disusul dengan sosok tubuh yang menggedebuk rubuh ke tanah.
Walaupun anakpasukannya kalah jumlah, tetapi Wijaya, Sora dan Wirota, merupakan senopati senopati yang pilih tanding dari Singasari.
Prajurit prajurit Daha porak poranda menghadapi ketiga jago itu.
Hampir Wijaya dapat membabat habis seluruh anak pasukan musuh apabila saat itu dari keraton tak muncul beratus- ratus prajurit Daha lagi.
Pasukan Daha itu dipimpin oleh Mahesa Antaka dan Pangeles, dua orang senopati yang menjadi tangan kanan patih Kebo Mundarang, pimpinan pasukan Daha yang saat itu telah menduduki keraton Singasari.
Terkejut ketika Mahesa Antaka dan Pangeles melihat tiga orang muda mengamuk prajurit-prajurit Dana.
Cepat kedua senopati Daha itu dapat melihat bahwa ketiga orang itu tentu bukan ksatrya sembarang ksatria.
Terutama mereka agak terpesona melihat wajah yang berseri terang dari raden Wijaya.
"Hai, berhenti!"
Mahesa Antaka berseru nyaring "siapa engkau!"
"Wijaya !"
"Wijaya? "
Mahesa Antaka terkesiap pula "apakah bukan raden Wijaya calon menantu raja Kertanagara itu?"
"Aneh,"
Sahut Wijaya "di Singasari jangankan mentri dan senopati, bahkan kawula biasapun tahu siapa Wijaya itu, Tetapi di Daha, sampai seorang senopati yang berkedudukan seperti engkau, tak tahu siapa diriku."
"Rakyat Daha tabu untuk mengenal orang orang Singasari, baik dia seorang mentri atau senopati. Yang dikenal hanyalah raja Kertanagara !"
"Mengapa?"
"Karena seluruh kawula Daha benci akan raja Kertanagara. Setiap orangtua diwajibkan memberi wejangan kepada anak-anak dan cucu-cucunya bahwa Daha telah dirampas oleh raja Singasari. Harus ditebus kembali."
Wijaya terkesiap.
"Suatu ajaran yang luhur dan utama,"
Serunya sesaat kemudian "walaupun yang menitahkan itu, akuwu Jayakatwang, seorang banci."
Kali ini Mahesa Antaka yang terbeliak "Banci? "
Serunya.
"Ya,"
Wijaya "jika tidak banci, tidak selayaknya dia bersikap demikian."
"Aku tak mengerti ucapanmu, jelaskan!"
"Dia memerintahkan agar kawula Daha menanamkan pengertian kepada anakcucunya bahwa baginda Kertanagara itu telah merampas Daha maka harus dianggap sebagai musuh besar. Tetapi kenyataannya, ia sendiri memberikan puteranya si Ardaraja diambil menantu baginda Kertanagara. Salahkah kalau kukatakan bahwa ia seorang akuwu banci?"
"Tutup mulutmu, keparat!"
Mahesa Antaka marah sekali sehingga ia terus mencabut pedang dan menyerang Wijaya.
Melihat itu senopati Pangeletpun segera menerjang Wirota, sementara prajurit prajurit Daha menyerbu Sora.
Seketika pecahlah pertempuran seru.
Mahesa Antaka terkejut ketika menyaksikan ilmu permainan pedang Wijaya.
Disertai dengan gerak langkah kaki yang menerjang berputar-putar tangkas sekali, pedangyapun menderu- deru menyambar lawan.
"Mahesa Antaka sibuk sekali. Ia tak mempunyai kesempatan lagi untuk balas menyerang. Bahkan untuk melindungi diri, terpaksa ia baerloncatan menghindar kian ke mari. Tetapi Wijaya tidak, memberi peluang lagi.. Didesaknya -senopati Daha dengan serangan bertubi-tubi yang menyesakkan napas. Mahesa Antaka harus mandi beringat di malam yang dingin.
"Wirota, awas!"
Tiba-tiba Sora berseru ketika melihat seorang prajurit Daha menusukkan tombak dari belakang Wirota.
Saat itu Wirota sedang menyabung nyawa dengan Pangelet.
Keduanya sama-sama menggunakan pedang.
Wirota terkejut mendengar teriakan Sora, Ia hendak berpaling tetapi terlambat.
Cret , .....
ujung tombak prajurit Daha itu tepat mengenai pinggang Wirata.
Saat itu Pangelet sedang-mengangkat pedang ke atas, siap hendak ditabaskan kepada lawan.
Tusukan tombak prajurit Daha pada punggung pinggang Wirota, menyebabkan pemuda Singasari itu terdorong ke muka dengan deras sekali.
Wirota merasa sakit.
Ketika tubuhnya terlempar ke muka, ia tak sempat berbuat apa-apa kecuali pejamkn mata, menunggu ajal.
Duk .
Tiba-tiba Pangelet menjerit keras dan tubuhnya terlempar jatuh terjerembab ke belakang.
Wirota bahkan dapat berdiri tegak dan terlongong-longong.
Untung ia segera dapat menyadari apa yang telah terjadi.
Ternyata ia masihh hidup.
Ujung tombak prajurit Daha tadi mengenai belikatnya yang terbuat dari kulit yang keras sekali.
Dan prajurit Daha itu tak sempat menumpahkan meluruh tenaganya karena segera bahunya tertusuk tombak Sora.
Namun tusukan tombak prajurit itu cukup keras sehingga mendorong tubuh Wirota ke muka dan tepat kepalanya menghantam dada Pangelet.
Pangelet terlempar ke belakang.
Walaupun beberapa prajurit dapat menyambuti tubuhnya tetapi senopati Daha itu sudah tak ingat diri lagi.
Hiruk pikuk yang timbul di kalangan prajurit yang tertimpa tubuh Pangelet menyebabkan Mahesa Antaka terpecah perhatian.
Ia tak kuasa menahan keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi.
Dalam suatu kesempatan, ia meluangkan diri untuk berpaling dan memandang ke arah prajurit-prajurit Daha yang hingar bingar itu.
Tetapi tindakan itu harus dibayar mahal.
Suatu gerak yang luar biasa cepatnya dari Wijaya, berhasil menabas pedang lawan sehingga terlepas.
Disusul dengan sebuah pukulan tangan kiri yang tepat mengenal leher, Wijaya.dapat membuat senopati itu menjerit dan rubuh.
Wijaya hendak menyelesaikannya dengan sebuah tabasan tetapi ia terpaksa batalkan maksudnya karena diserbu oleh belasan prajurit musuh.
Wijaya geram sekali.
Ia melihat beberapa prajurit Daha telah mengangkut Mahesa Antaka dan Pangelet menuju ke keraton.
Ah, mereka tentu akam melapor dan bala bantuan musuh tentu segera datang, pikirnya.
"Sora, Wirota dan saudara-saudara sekalian, mari kita habiskan musuh,"
Seru Wijaya.
Maka mengamuklah ketiga ksatrya Singasari itu.
Prajurit-prajurit anakbuah mereka, pun tambah bersemangat.
Mereka menyerang dan membunuh setiap lawan yang menghadang di hadapannya.
Mereka tidak menghiraukan luka bahkan kawan-kawan yang jatuh berguguran karena kalah besar jumlahnya dengan prajurit-prajurit Daha.
Wijaya telah mengwajukkan suatu perbuatan yang satu dengan ucapannya.
Ia memerintahkan anakbuahnya berjuang mati-matian dan ia sendiripun juga bertempur dengan semangat yang menyala- nyala.
Adalah karena melihat kewibawaan dan keperkasaan pemimpinnya itu maka prajurit prajurit Singasari bertempur tanpa menghiraukan suatu apa lagi.
Darah menggenangi alun-alun memerah bumi Singasari.
Sosok- sosok tubuh dari prajurit Daha maupun Singasari, bergelimpangan menelungkupi tanah merah.
Karena sudah kehilangan senopati walaupun lebih besar jumlahnya, tetapi pasukan Daha seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
Semangat tempur mereka menurun dan nyalipun pecah.
Akibatnya mereka pontang panting kebingungan seraya berusaha untuk melarikan diri.
Pada saat Wijaya hampir dapat memenangkan pertempuran itu, sekonyong-konyong dan arah istana dengar sorak sorai menggemuruh.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebuah pasukan yang berjumlah lipat jauh besarnya dari yang tadi serempak berhamburan menuju ke alun- alun.
Sora terkejut.
Dilihatnya Wijaya, Wirota dan sisa anakbuah Singasari yang tak berapa jumlahnya itu masih nekad mengamuk.
Memandang ke arah pasukan musuh yang sedang mendatangi itu, Sora cemas.
Akhirnya prajurit-prajurit Daha parah perlawanannya.
Mereka melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan yang datang itu.
"Sora, Wirota, mari kita songsong mereka!"
Wijaya, serentak hendak ayunkan langkah maju ke muka. Sora bergegas mencegah.
"Raden."
"Hah, Wijaya berpaling memandang Sora.
"mengapa engkau ?"
"Raden, lebih baik kita mundur ....
"
"Sora !"
Tukas Wijaya "engkau mengatakan begitu ?"
"Raden,"
Tenang-tenang Sora menjawab pandang mata kemarahan dari pimpinannya "marilah kita melihati kenyataan yang kita hadapi.
Pasukan Daha yang datang itu teramat besar jumlahnya.
Sedangkan kita, hanya tinggal beberapa orang saja.
Bukankah hanya seperti anai anai menyerbu api apabila kita nekad hendak menempur mereka?"
"Darah sudah terlanjur mengucur, saudara-saudara kitapun sudah banyak yang gugur adakah masih sayang jiwamu, Sora?"
Sora menghela napas.
"Jika Sora sayang jiwanya, takkan hamba berada di medan darah sini, raden,"
Sahutnya tenang "tetapi justeru karena hamba bertekad hendak merebut kembali bumi Singasari, maka hamba memberanikan diri untuk mencegah tindakan raden."
"Raden, sudilah menjenguk sejenak ke arah saudara-saudara kita. Betapa mereka telah bergelimpangan di tanah, betapa berlumuran darah mereka yang masih hidup, betapa sudah letih sisanya yang berada dengan kita,"
Kata Sora pula seraya menunjuk pada mayat-mayat prajurit Singasari dan sisa-sisa prajurit yang berada di sekelilingnya. Wijaya tertegun.
"Raden, lebih baik kita undurkan diri dahulu. Kita harus memikirkan kepentingan Mahesa Pawagal yang menyerbu pintu gapura. Betapa nasib mereka. Dan yang penting raden, kita harus menyelamatkan gusti puteri Tribuwana Mari kita mundur ke luar pura untuk menyusun kekuatan lagi. Takkan lari gunung dikejar, raden."
"Ah, Sora ....
"
"Kemenangan bukan harus ditentukan sehari dua. Selama bumi Singasari masih diduduki orang Daha, selama pemuda dan ksatrya Singasari masih memiliki rasa cinta kepada pertiwi, selama itu pula orang Daha takkan dapat tidur nyenyak, kecuali mereka enyah dari Singasari!"
Saat itu sorak sorai pasukan Daha makin mendekat.
Sora cepat memimpin tangan Wijaya yang masih berdiri tertegun.
Bagai seorang yang kehilangan semangat, maka Sora segera menuntun ksatrya muda itu dan mundur ke pintu gapura.
Tiba di gapura, mereka terkejut mendengar suara orang bertempur.
Pekik sorak, hardik makian dan deting gemerincing senjata beradu, seolah meledakkan kesunyian malam.
Wijaya terbeliak.
Serentak semangatnya bangkit kembali.
"Sora, Wirota, mari kita hancurkan mereka! Dengan diiring beberapa prajurit, ketiga ksatrya gagah itu segera lari menyerbu. Memang saat itu di luar pintu gapura sedang berlangsung pertempuran besar. Kelompok barisan pertama yang dipimpin Gajah Pagon, Medang Dangdi dan Mahesa Pawagal, menyerang pertahanan gapura. Karena dirangsang kemarahan, Medang Dangdi hampir lupa bahwa tugas kelompoknya hanyalah untuk memancing agar musuh mengejarnya. Anakmuda itu mengamuk dan membasmi setiap prajurit Daha sehingga mereka kocar-kacir. Pertahanan gapura dapat dihancurkan.
"Dangdi, engkau gila !"
Seru Gajah Pagon demi melihat Medang Dangdi hendak menyerbu masuk ke dalam pura "ingat, tugas kita hanya memikat musuh ke luar dari pura."
Belum selesai Gajah Pagon berkata, tiba-tiba terdengar sorak sorai yang gemuruh dari arah timur dan barat gapura luar.
Dan sesaat kemudian, berpuluh puluh obor menyala, menerangi sekeliling anakbuah Gajah Pagon.
Dari barat dan timur, beratus-ratus prajurit Daha bersorak-sorak menyerbu.
"Celaka, musuh hendak menjepit kita,"
Seru Gajah Pagon demi menyadap apa yang di hadapinya "lekas mundur !"
Gajah Pagon gesit mencium jejak dan gesit pula memutuskan perintah.
Anakbuahnya pun dengan gesit berhamburan mundur.
Tetapi ternyata kedua sayap kanan dan kiri dari pasukan Daha yang telah dipersiapkan di luar gapura itu, lebih gesit lagi.
Memang pihak pimpinan pasukan Daha telah mencium bau akan gerakan raden Wijaya.
Maka diaturlah sebuah siasat untuk membiarkan mereka masuk gapura, kemudian akan digunting' dari kanan dan kiri.
Kini Gajah Pagon dan anakbuah kelompok barisannya telah dikepung dan diserang dari dua arah oleh pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya.
Gajah Pagon, Medang Dangdi dan Mahesa Pawagal harus berjuang mati-matian untuk menyelamatkan anakbuahnya.
Terutama Medang Dangdi.
Ia merasa telah melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan berpuluh puluh anak-buahnya menderita luka dan binasa.
Ia mengamuk.
Ia tak menghiraukan bahwa bahu dan kakinya telah berlumuran darah akibat tusukan senjata musuh.
Ia akan menebus dosa membalas dendam kematian anakbuahnya.
Tetapi betapa gagah beranipun ketiga senopati Singasari itu, namun jumlah musuh jauh lebih besar dan lebih lengkap persenjataannya.
Kecuali Gajah Pagon, Medang Dangdi dan Mahesa Pawagal, hanya beberapa anakbuahnya yang masih hidup.
Sebagian besar telah dibabat musuh.
"Hai,, menyerahlah orang Singasari, nanti kami beri ampun. Jika kalian membangkang, tentu akan kami hancurkan semua!"
Teriak seorang prajurit pasukan Daha.
"Dengarkan pemberontak Daha, Kami hanya akan menyerah apabila sudah menjadi bangkai!"
Teriak Medang Dangdi. Tekanan pasukan Daha makin rapat dan berat, Tiada lain jalan bagi ketiga pejuang Singasari itu kecuali mati atau menyerah.
"Medang Dangdi, Pawagal"
Seru Gajah Pagon "nista bagi ksatrya Singasari kalau sampai tertawan orang Daha. Mari kita menyusul arwah anakbuah kita yang telah gugur mendahului kita."
"Baik, kakang Pagon,"
Serempak Medang, Dangdi dan Mahesa Pawagal mengiakan seraya terus bersiap-siap melakukan bunuh diri.
Tetapi di kala ketiga ksatrya itu hendak melaksanakan keputusannya, sekonyong konyong barisan belakang pasukan Daha berteriak-teriak hiruk pikuk "Orang Singasari mengamuk ....!"
Kekacauan itu mengejutkan pimpinan pasukan Daha.
Cepat ia memberi perintah agar separo dari pasukan, yalah sayap kanan, menggempur musuh yang datang itu.
Sedang sayap kiri tetap membasmi Gajah Pagon dan anakbuahnya.
Ternyata yang datang itu adalah kelompok barisan kedua yang dipimpin Nambi, Banyak Kapuk dan Kebo Kapetengan Karena menunggu sampai lama belum juga tampak kelompok barisan pertama pimpinan Gajah Pagon muncul, Nambi segera mengirim seorang prajurit untuk menyelidiki.
Prajurit itu bergegas pulang dengan membawa laporan bahwa kelompok barisan pertama telah dikepung oleh dua buah pasukan Daha.
Nambi segera mengerahkan seluruh anakbuahnya untuk memberi pertolongan.
Serangan kelompok Nambi memang mengurangkan tekanan musuh terhadap Gajah Pagon bertiga.
Pada saat pertempuran berlangsung seru itulah, raden Wijaya dan anakbuahnya tiba di gapura.
Melihat Gajah Pagon hanya tinggal bertiga dengan Medang Dangdi dan Mahesa Pawagal, meluaplah kemarahan Wijaya.
Kedatangan Wijaya, Sora dan Wirota, merupakan prahara yang meniup dan menyapu sayap kiri barisan Daha yang tengah mengepung Gajah Pagon; Walaupun hanya membawa beberapa anakbuah, tetapi Wijaya, Sora dan Wirota merupakan ksatrya- ksatrya sakti yang tak dapat dilawan oleh berpuluh prajurit musuh.
Dalam beberapa waktu saja, keenam macan Singasari itu telah menghabiskan berpuluh-puluh prajurit Daha.
Girislah nyali prajurit prajurit Daha melihat amukan keenam ksatrya itu.
Mereka berhamburan mundur.
Demikian pula yang terjadi setelah keenam orang itu menyerbu sayap kanan pasukan Daha yang menyerang Nambi, Hampir separo dari anakpasukan musuh yang mati.
Darah menggenang merah, mayat bertumpuk menganak bukit.
Dan patahlah nyali pasukan Daha melihat korban yang menyayat hati mereka.
Selama berperang ke Singasari, baru pertama kali itu pula, mereka harus lari meninggalkan gelanggang walaupun jumlah mereka masih jauh lebih banyak dan senjatapun masih lengkap.
Berkat tekad yang bulat dan keberanian yang menyala, walaupun menderita kehilangan banyak anakbuah, tetapi raden Wijaya memperoleh kemenangan atas kedua sayap barisan Daha yang berjumlah besar.
Tetapi tiba-tiba dari arah pura, sebuah pasukan besar muncul pula.
Bahkan kali ini merupakan pasukan inti dan dipimpin sendiri oleh patih Kebo Mundarang.
Karena mendapat laporan bahwa kedua sayap barisan yang telah dipersiapkan untuk menghancurkan sisa-sisa pemberontak Singasari ternyata menderita kekalahan, patih Mundarang segera mengerahkan segenap anakpasukan tempur.
Hampir setengah malam bertempur, letih mulai mencengkam tubuh dan nyeri sakit pada luka-luka pun mulai menusuk tulang tulang.
Keadaan raden Wijaya dan kadehan atau orang kepercayaannya itu, sudah hampir tak dapat menuruti keinginan semangat tempurnya lagi.
Mereka pantang mundur.
Mereka masih ingin bertempur lagi.
Mereka masih merasa belum puas dengan hasil kemenangan yang diperolehnya selama prajurit Daha masih menduduki Singasari.
Namun tenaga mereka sudah lelah.
Mereka tak gentar menghadapi pasukan Daha yang baru muncul itu.
Bahkan matipun mereka sudah merelakan.
Mereka iklas mati pabila sudah dapat memporak-porandakan pasukan musuh.
Tetapi dalam keadaan selelah itu, dapatkah mereka memperoleh imbalan jiwa musuh atau kematian mereka? Di tengah medan laga yang penuh dengan bunuh membunuh, dimana tangan menanamkan senjata ke tubuh musuh, dimana mata menyaksikan darah merah menyembur dari tubuh-tubuh manusia dan dimana telinga pekak dengan jerit lolong ngeri dari sosok-sosok tubuh yang rubuh menggelegar ke tanah.
Rasa kemanusiaanpun kabur, rasa kasihan membeku.
Yang dirasakan mencengkam pikiran, hanya rasa harus membunuh atau akan dibunuh.
Demikian perasaan raden Wijaya dan para kadehannya yang setya.
Walaupun tahu bahwa pasukan Daha yang muncul dari pura itu lebih besar dan kuat, namun mereka tetap tegak menggagah, siap menempur.
Tiba-tiba dari arah barat dan timur terdengar pula sorak sorai yang menggemuruh.
Sayap kanan dan kiri dari barisan Daha yang telah lari tadi, kembali menyerang lagi setelah mengetahui bahwa induk pasukan yang dipimpin patih Kebo Mundarang telah menyerang musuh.
"Raden, mari kita undurkan diri,"
Tiba-tiba seseorang berkata dari arah samping. Ketika Wijaya berpaling ternyata Sora yang berkata itu "Sudah dua kali engkau membujuk aku menjadi pengecut, Sora."
Sora geleng-geleng kepala.
"Setitikpun hamba tak bermaksud demikian, raden,"
Sahutnya "tetapi hamba menggunakan pikiran yang dingin untuk menilai keadaan musuh dan kekuatan fihak kita. Dapatkah kita yang berjumlah belasan orang ini menghadapi gelombang serangan dari pasukan Daha yang sedemikian besarnya ?"
"Ya, hamba tahu bahwa raden bersedia mati. Demikian pula hamba,"
Cepat-cepat Sora mendahului Wijaya yang hendak membuka mulut "tetapi kita harus menyadari, bahwa perjuangan Singasari pada saat ini, hanya mengandalkan tenaga raden.
Tugas untuk membangun kerajaan Singasari, terletak pada bahu raden.
Adakah pengorbanan raden pada saat ini akan dapat menolong Singasari dari kehancuran ? Tidakkah pengorbanan raden itu berarti mengecewakan harapan baginda Kertanagara dan seluruh kawula Singasari ? Tidakkah raden merasa berdosa apabila hal itu sampai terjadi ?"
Wijaya tertegun diam.
Kata-kata Sora telah menikam hatinya dan menyadarkan kegelapan pikirannya.
Ia segera hendak memerintahkan anakbuahnya mundur.
Tetapi terlambat.
Pasukan Daha yang dipimpin patih Kebo Mundarang telah menyerang bagai air bah menumpah.
"Kawan kawan, mari kita loloskan diri,"
Seru Sora seraya loncat memelopori membuka sebuah jalan berdarah pada prajurit-prajurit Daha yang menghadang penjalanan.
Wijaya, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Pawagal; Banyak Kapuk, Kapetengan, Wirota dam beberapa belas prajurit anakbuahnya, segera mengamuk untuk meloloskan diri.
Tiada prajurit Daha yang mampu menahan amukan perwira perwira muda dari Singasari itu.
Setelah terlepas dari kepungan, Wijaya dan pengikutnya segera lari ke selatan.
Karena macan-macan yang hendak dijaring dalam perangkap itu berhasil meloloskan diri lagi, bahkan sempat pula mengoyak tubuh berpuluh prajurit Daha pula, maka murkalah patih Kebo Mundarang.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kejar pemberontak itu !"
Perintah Kebo Mundarang "tangkaplah mereka mati atau hidup !"
Bahkan untuk menumpahkan kemarahannya karena beberapa kali pasukannya menderita kehilangan prajurit, patih Daha itu memimpin sendiri pengejaran itu.
Patih itu naik seekor kuda tegar dan mengajak pasukan berkuda berjumlah seratus orang untuk mengejar raden Wijaya.
Betapapun lari seseorang, apalagi habis bertempur setengah malam dan menderita luka-luka, tentu tidak mungkin menang cepat dengan kuda yang lari kencang.
Tak berapa lama kemudian, pasukan Daha itu tiba di sebuah hutan pegunungan.
Dalam kepekatan cuaca dinihari yang masih berselimut kabut malam, samar-samar patih Mundarang melihat sosok-sosok tubuh manusia menyusup ke dalam hutan.
"Itulah mereka !"
Serunya seraya melarikan kudanya memburu ke arah hutan.
Memang patih Daha itu tajam sekali penglihatannya.
Sosok- sosok tubuh yang terseok-seok menyelinap ke dalam hutan adalah raden Wijaya dan para pengikutnya.
Mereka menyadari jika melanjutkan perjalanan di jalan, tentu segera akan tertangkap.
Maka mereka pun memutuskan untuk masuk ke dalam hutan.
Serbuan seratus ekor kuda, benar-benar mengejutkan penghuni hutan.
Bahkan pohon dan daun-daun yang masih melentuk, ikut hingar bingar.
Tiba-tiba patih Mundarang melihat seorang anak-muda, berpakaian bagus sedang melarikan diri hendak melintasi sebuah tegal.
Cepat patih Daha itu mencongklangkan kudanya.
"Wijaya!"
Seru patih itu dalam hati. Ia girang sekali karena dapat menangkap dengan tangannya sendiri, macan Singasari yang paling ditakuti prajurit-prajurit Daha.
"Hai, senopati Singasari, jangan engkau lari seperti seekor babi hutan,"
Teriak patih Kebo Mundarang seraya siapkan tombak, menerjang ke arah Wijaya.
Wijaya saat itu benar-benar letih.
Namun ia masih merasa sanggup untuk menghadapi patih Daha itu.
Apalagi mendengar dirinya dihina sebagai seekor babi hutan.
Hampir meledaklah kemarahannya.
Tetapi pada lain saat terngianglah kata-kata Sora tadi.
Bahwa harapan seluruh kawula Singasari terletak pada bahunya untuk membangun kembali kerajaan dari cengkeraman Daha.
Apabila ia menuruti nafsu kemarahan dan bertempur dengan patih Daha itu, tentulah anakbuah patih itu akan berhamburan mengepungnya.
Maka ia memutuskan untuk lolos saja.
Segera ia lari sehingga ia ke luar dari ujung hutan.
Tetapi saat itu ia berhadapan dengan sebuah tegal yang sedang dibajak tanahnya dan masih digenangi air.
Dan pada ujung tegal di sebelah muka, merupakan sebuah gerumbul pohon.
Adakah ia dapat melanjutkan perjalanan apabila tiba di ujung tegal itu? Tetapi ia tak dapat berpikir lebih lanjut karena saat kuda patih Mundarang sudah muncul di belakangnya.
Sekali memacu, kudapun loncat ke tegal.
Cret.
Pada saat kaki kuda menginjak tegal, sebongkah tanah lumpur muncat dan melayang tepat menghantam mukanya "Uh..
"
Patih itu berteriak kaget dan cepat-cepat berusaha untuk membersihkan mukanya.
Tanah basah itu tepat menghantam gundu matanya sehingga untuk beberapa saat ia tak dapat melihat apa-apa.
Cukup lama juga waktu yang digunakan patih itu untuk membersihkan lumpur yang masuk ke dalam kelopak matanya.
Setelah dapat melihat, ia segera memandang ke muka.
"Hai, ke manakah gerangan si Wijaya tadi ?"
Serunya terkejut.
Memandang ke sekeliling penjuru, ia tak dapat melihat sesuatu kecuali alam yang masih terbungkus kabut pagi.
Dengan meluapkan sumpah serapah kemarahan, terpaksa patih Mundarang kembali pada pasukannya dan pulang ke pura lagi.
Memang suatu keajaiban telah terjadi.
Pada saat Wijaya terkejut karena melihat patih Mundarang meloncatkan kudanya dan menjujukan tombak ke arahnya, Wijaya loncat menghindar ke muka.
Karena cuaca gelap, ia tak tahu bahwa yang dipijaknya itu segunduk tanah dalam pematang tegal yang basah tergenang air.
Sebongkah tanah basah itu mencelat, melayang menimpa muka patih Mundarang, masuk ke dalam mata sehingga patih itu tak dapat melihat dan hentikan kudanya.
Berkat segumpal tanah tegal, maka terhindarlah Wijaya dari kejaran tombak maut patih Kebo Mundarang.
Setelah melintasi ujung tegal, Wijaya menyeberang sebuah sungai kecil dan berhasil bertemu pula dengan para kadehannya.
Mereka segera menuju ke pangkalan tempat mereka berkubu.
Ternyata Pamandana dan Wiragati pun sudah berada di situ.
Mereka lebih dahulu tiba dengan membawa puteri Tribuwana.
Amat beriba-iba suasana perterauan antara raden Wijaya dengan para kadehan.
Terutama dengan pu-teri Tribuwana.
Wijaya seperti disayat hatinya demi menyaksikan keadaan para kadehan.
Menderita luka-luka, compang-cam-ping pakaiannya, ber-lumuran debu dan kotoran muka mereka.
Diantaranya Gajah Pagon yang menderita luka agak parah.
Pahanya telah tertusuk tombak.
"Dinda Tribuwana,"
Setelah memerikra keadaan para kadehan, Wijaya pun masuk ke dalam kubu untuk menemui puteri Tribuwana "bagaimana dengan dinda Gayatri? Dimanakah ia sekarang?"
Sesungguhnya pertanyaan itu sudah ia ajukan ketika bertemu dengan puteri Tribuwana di alun alun tadi.
Tetapi karena musuh keburu menyerbu, terpaksa ia tunda sampai saat itu.
Bercucuran air mata putri itu ketika mendengar pertanyaan itu.
Dengan nada terisak, puteri menjawab "Telah kukatakan bahwa aku dan dinda Gayatri telah ditempatkan secara terpisah, tentu ia masih berada dalam keraton."
Wijaya tertegun.
Pikiran resah- hati gundah gulana.
Melihat keadaan puteri Tribuwana saat itu hampir ia tak kuasa menahan luap airmatanya.
Puteri yang selalu hidup dalam kemewahan dan kegelimangan kehidupan yang nikmat, dilayani berpuluh dayang perwara.
Saat itu sangat mengenaskan sekali keadaannya.
Wajah pucat, rambut kusut dan pakaian lusuh, tiada seorang dayang yang mengiringkannya.
"Benarkah ayahanda tuan puteri sudah ....
"
Tiba-tiba puteri Tribuwana berbangkit, mengusap airmata dan menukas dengan nada bersemangat "Benar, kakanda Wijaya, rama baginda telah tewas dan keraton Singasari telah diduduki orang Daha.
Mengapa engkau berlinang -linang airmata, kakanda ? Kasihan melihat diriku? Ah, tidak, kakanda.
Janganlah mengira bahwa Tribuwana seorang puteri yang manja.
Tidak kakanda, sudah sejak hidup di keraton, aku biasa dengan laku keprihatinan.
Mengurangi makan, tidur, berpuasa dan setiap malam berdoa kepada Hyang Batara Agung untuk keselamatan dan kejayaan kerajaan Singasari."
Wijaya terkesiap dan mengangguk.
"Tetapi ternyata doaku tak terkabul. Hyang Batara Agung telah menurunkan kemurkaan, menumpas kerajaan Singasari,"
Kata puteri Tribuwana pula.
"Ah, Hyang Batara Agung itu maha murah maha pengasih, dinda."
"Benar kakanda,"
Sahut puteri Tribuwana "Hyang Batara Agung selalu mengabulkan permohonan setiap insan, apabila insan itu mau berdaya."
"Adinda Tribuwana .......
"
"Kakanda Wijaya,"
Tukas puteri itu pula "saat ini bukanlah saat untuk bcriba-iba.
Lihatlah kakanda, keraton Singasari telah membara api.
Api kemarahan karena diinjak-injak kaki orang-orang Daha.
Tidakkah kakanda sanggup untuk menghalau mereka ? Marilah, kakanda, adinda akan menyertai kakanda untuk belapati kepada rama baginda."
Wijaya terkejut ketika melihat puteri itu serentak hendak ke luar.
Ia mencegahnya tetapi puteri itu sudah mendahului melangkah ke luar kubu, menghampiri para kadehan.
Terpaksa Wijaya mengikuti.
Terkejut sekalian kadehan yang sedang beristirahat itu.
Bergegas mereka berbaugkit dan menghaturkan hormat kepada sang puteri.
"Paman sekalian,"
Ujar puteri Tribuwana "kerajaan Singasari telah dirampas orang Daha. Kita sudah kalah. Silakan paman sekalian pulang ke rumah masing-masing."
Sudah tentu para kadehan itu terbeliak kaget.
"Apakah yang gusti puteri titahkan kepada hamba sekalian ?"
Cepat Sora bertanya.
"Pura Singasari sudah diduduki orang Daha. Kami sudah kehilangan negara. Pulanglah paman sekalian ke rumah masing- masing agar jangan dikejaf musuh. Janganlah paman sekalian mengiringkan aku seorang puteri pelarian. Aku tak sampai hati membahayakan jiwa paman sekalian. Sudah banyak korban prajurit dan rakyat Singasari yang jatuh."
"Tidak, gusti putri,"
Sahut Lembu Sora "hamba sekalian dilahirkan di bumi Singasari, dibesarkan dan dihidupkan oleh air dan bumi Singasari.
Hamba pun bersumpah akan mati demi Singasari dan berkubur di bumi Singasari; Gusti puteri, bunuhlah hamba apabila gusti menolak hamba iringkan."
Lembu Sora serentak mencabut keris dan serta merta mempersembahkan ke hadapan puteri Tribuwana. Gemetar tubuh sang puteri demi menyaksikan persembahan Sora. Airmatanya berderai-derai membasahi bumi.
"Dalam jaya, semua tampak bersinar emas. Tetapi dalam duka, barulah tampak mana yang emas mana yang loyang,"
Ujar puteri penuh haru "simpanlah kerismu, paman. Pergunakanlah keris itu untuk menuntut hutang darah dari orang orang Daha."
"Terima kasih, gusti puteri. Apabila gusti menolak membunuh Sora, Sora hendak mempersembahkan sumpah darah ke hadapan gusti.
"
Gres, tiba-tiba Sora tusukkan ujung keris ke lengannya sehingga darahpun mengucur ke tanah.
"Sora"
Serempak puteri dan Wijaya berseru kejut.
"Darah telah mengucur, pertiwi Singasari menjadi saksi. Hamba Sora dan kawan-kawan, akan tetap setya kepada gusti puteri dan raden Wijaya, dalam suka dan duka,"
Seru Sora. Terdengar teriak bergemuruh dari para kadehan, mendukung pernyataan Lembu Sora.
"Terima kasih paman sekalian,"
Sambut puteri dengan nada keharuan "malam ini kami hendak menyerbu pura lagi. Bersediakah paman sekalian untuk bertempur?"
Kembali terdengar sorak gempita menyatakan bersedia.
Kehadiran puteri Tribuwana, merupakan semelir angin sejuk yang menyegarkan keletihan para kadehan itu.
Dan ucapan-ucapan puteri itu, benar-benar membangkitkan semangat juang mereka.
Sesungguhnya raden Wijaya tak sampai hati untuk mengajak para kadehannya menyerbu ke pura lagi.
Tetapi demi melihat betapa segar dan meluap-luap semangat mereka pada saat itu, tergeraklah hati Wijaya.
Ia segera membagi-bagikan cihna atau cawat geringsing kepada para kadehannya."
"Cawat adalah pakaian yang terakhir, yang ringkas. Artinya, kita telah mengakhiri dan meringkasi semua pikiran kita akan hal-hal yang lain,"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Wijaya selesai membagikan cawat kepada kadehannya "dan geringsing adalah corak rambut yang diikal. Maknanya, suatu penggelungan atau pengikalan tekad. Tekad untuk menang dan panti menang !"
"Dhirgahayu Singasari !"
Sambut para kadehan dengan semangat juang yang menyala-nyala.
"Berkemas-kemaslah kakang sekalian,"
Kata Wijaya pula "malam ini kita segera menyerbu pura."
Malam itu Wijaya mengumpulkan para kadehan dan prajurit yang tinggal beberapa orang saja. Mereka bersiap hendak berangkat. Wijaya meminta agar puteri Tribuwana jangan ikut serta karena berbahaya bagi keselamatan puteri. Tetapi puteri menolak getas.
"Apa yang kuberatkan lagi, kakanda,"
Ujar puteri "rama baginda telah wafat, keraton dirampas dan bumi Singasari diinjak injak musuh. Apabila kakanda sampai gugur pula, hamba akan menyertai di sisi kakanda .......
"
Terpaksa Wijaya meluluskan.
Namun ia memerintahkan Pamandana menjaga dan melindungi puteri.
Setelah itu merekapun berangkat.
Raden Wijaya dengan sepuluh kadehan.
Lembu Sora, Nambi, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Pawagal, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan, Winota, Wiragati dan Pamandana yang ditugaskan untuk melindungi puteri Tribuwana.
Hanya beberapa prajurit yang ikut serta.
~dewi.kz^ismo^mch~ III Untuk merayakan kemenangan atas Singasari dan untuk menghibur para prajurit setelah menunaikan tugas di medan laga, maka malam itu patih Kebo Mundarang senopati pasukan Daha, meluluskan untuk mengadakan perjamuan besar.
Keraton Singasari tampak terang benderang.
Penuh sesak paseban keraton dengan para tumenggung, rangga, bekel dan prajurit prajurit Daha yang tengah berpesta.
Gelak tawa berkumandang, hidangan lezat silih berganti dihidangkan.
Bau tuak berhamburan menusuk hidung.
Dan tak berapa lama, tingkah laku dan ucapan merckapun mulai binal.
Mulut serasa ringan, kata-kata meluncur bagai hujan mencurah.
Setelah itu, tangan mulai bergerak, kaki beringsut dan tubuh bergoyang-goyang.
Mereka menari dan menyanyi.
Di kala suasana pesta mencapai kemeriahan yang lepas bebas, di kala semangat dan pikiran para prajurit itu dibuai dalam pengaruh tuak, sekonyong-konyong mereka dikejutkan oleh suara teriakan yang gempar.
"Api.! Api! Keraton dibakar orang.!"
Demikian pekik jeritan yang sambut menyambut dari luar paseban dan dalam keraton.
Serentak buyarlah pengaruh tuak dalam pikiran mereka.
Mereka gelagapan dam berhamburan lari ke luar.
Tetapi tak kurang yang rubuh karena dicengkam rasa pening kepala yang erat.
Wijaya telah berhasil menyergap prajurit-prajurit penjaga pintu gapura.
Kemudian ia memecah orangnya untuk menimbulkan kebakaran di beberapa bagian puri keraton.
Bagiam yang tak mungkin dimasuki, supaya di bakar dengan anakpanah api.
Kegemparan bertambah menghebat ketika Wijaya melakukan merangan ke dalam pesta.
Bubarlah seketika pesta.
Gelak tawa bergamti pekik jeritan, hidangan berganti dengan kutungan anggauta tubuh dari prajurit Daha yang dibabat oleh ksatrya- ksatrya Singasari.
Tuakpun berganti dengan darah yang mengalir ke lantai.
Tetapi jumlah prajurit Daha yang berada dalam perjamuan itu teramat banyaknya.
Ratusan yang rubuh terluka dan mati tidak berarti bagi pasukan yang berjumlah ribuan orang.
Apalagi yang rubuh itu kebanyakan hanya prajurit biasa.
Paling-paling lurah prajurit.
Sedang perwira-perwira yang berpangkat rangga, tumenggung dan demang masih utuh.
Perjamuan itu dibagi dalam dua lapis.
Selapis bertempat di paseban muka, dan untuk para prajurit dengan lurah-prajurit.
Selapis pula bertempat di paseban dalam, untuk para demang, rangga dan tumemggung, termasuk pula patih Kebo Mundarang.
Kebo Mundarang terkejut.
Cepat ia memerintahkan beberapa pembantunya untuk memumpas kekacauan itu.
Demikian prajurit- prajurit yamg sempat melarikan diri dari amukan Wijaya yang menggunakan tombak trisula, Sora dengan pedang kangkam, Nambi dengan pedang dan kawan-kawannya yang menggunakan berbagai senjata.
"Hayo, prajurit Daha, panggillah senopatimu patih Mundrang!"
Teriak Wijaya.
"Pemberontak, tak perlu gusti patih, aku rangga Markara, cukup untuk menumpasmu!"
Seorang lelaki gagah, dada bidang dan bersenjata gada segera loncat ke tempat Wijaya.
"Kaupun tak layak bertanding dengan raden Wijaya. Akulah musuhmu."
Kebo Kapetengan cepat menyongsong rangga Markara dengan sabatan pedang.
Krak .......rangga Markara terkejut ketika setiup angin melanda punggungnya.
Cepat ia berpaling dan hantamkan gada.
Tetapi alangkah kejutnya, ketika sesosok tubuh prajurit Daha menyongsongnya.
Gada rangga Markara tak dapat dihentikan lajunya dan tepat bersarang di kepala prajurit itu.
Ketika rangga Markara berpaling mengayunkan gada, saat itu kebetulan Sora sedang menyambar bahu seorang prajurit Daha.
Cepat ia dorong tubuh prajurit itu ke arah rangga Markara.
Rangga itu terbeliak ketika yang dihantam gadanya itu kepala seorang prajurit Daha.
Pada saat ia tertegun, pedang Kebo Kapetenganpun segera menyambar pinggangnya.
Rangga itu menjerit dan rubuh mandi darah.
Ngeri prajurit-prajurit Daha menyaksikan pemandangan itu.
Nyali mereka yang sudah ciut karena menyaksikan tandang raden Wijaya dengan para kadehan, saat itu makin berantakan ketika Sora dan kawannya menyerang lebih gencar.
Paseban bergelimpangan mayat-mayat prajurit Daha, lantai bergenangan darah anyir.
Ksatrya-ksatrya Singasari itu seolah-olah berpesta pora dengan hidangan tubuh dan tuak darah orang orang Daha.
Ternyata cawat geringsing yang diberikan Wijaya, benar-benar merupakan senjata ampuh.
Para kadehan bertempur seperti orang yang kemasukan setan.
Paseban keraton telah diporak porandakan oleh raden Wijaya dan kesepuluh kadehannya.
Lurah bawahan pembantu-pembantu patih Kebo Mundarang yang diperintahkan untuk menumpas, kebalikannya malah ditumpas.
Pasukan Daha yang berjumlah sekian banyak, tak kuasa membendung ksatrya Singasari.
Dalam pertempuran acak-acakan yang hingar, orang-orang Daha mengira kalau musuh yang menyerang mereka itu berjumlah ratusan.
Pada hal sesungguhnya hanya sepuluh orang.
Wijaya dan kadehannya yang setya.
Ketika melihat orang-orang Daha pontang-panting seperti beras di tampi, semangat Wijaya dan para kadehannya itu semakin menyala.
Hampir saja mereka berhasil menyusul ke dalam keraton apabila suatu peristiwa yang tak terduga-duga muncul pada saat itu.
Dalam rencana mengadakan pesta merayakan kemenangan pasukan Daha dan sekalian untuk menghibur para prajurit, sebenarnya patih Mundarangpun telah mengirim pengalasan untuk mengundang senopati Jaran goyang dan pasukannya yang bertugas menyerang Mimeling.
Jaran Goyangpun membawa para pembantunya, Bango Dolok, Prutung, Pencok Sabang, Liking Kangkung, Kampinis dan seluruh anakpasukannya memenuhi undangan patih Mundarang.
Tetapi di tengah jalan, mereka telah tertimpa hujan lebat sehingga terpaksa meneduh.
Kelambatan itu menyebabkan mereka baru tiba di pura Singasari pada waktu malam.
Mereka mengira bahwa kegaduhan di paseban keraton itu tentulah dari anakpasukan patih Mundarang yang tengah berpesta bermabuk-mabukan.
Pergegas-gegas mereka menghampiri untuk ikut berpesta.
Tetapi alangkah kejut mereka ketika menyaksikan paseban menjadi sebuah medan pertempuran berdarah.
Setelah mendapat laporan tentang duduk perkaranya, Jaran Guyang segera memerintahkan anakbuahnya untuk menumpas pemberontak-pemberontak itu.
"Raden, pasukan Daha yang datang itu, besar sekali jumlahnya. Kita terkepung dari dalam dan luar keraton,"
Cepat Sora mendekati Wijaya dan membisiki kata-kata.
"Engkau hendak menganjurkan aku lari lagi?"
Dengus Wijaya.
"Raden,"
Sora tetap bicara "hamba ingin mengingatkan raden akan tugas yang terletak di bahu raden.
Seluruh rakyat Singasari menumpahkan harapan mereka kepada raden untuk membangun kerajaan Singasari lagi.
Perjuangan itu memakan waktu panjang.
Demikian puls dengan perjalanan hidup, manusia, kerajaan dan segala apa di arcapada ini.
Penyelesaiannya tidak tentu harus pada hari ini juga.
Semisal orang menanam benih, tak mungkin hari itu juga akan dapat tumbuh."
"Raden,"
Lanjut Sora pula "mati adalah kodrat setiap mahluk titah dewata, tetapi mati dan mati ada dua.
Daun karing yang gugur itu layu atau mati.
Tetapi keguguran yang tiada artinya dan manfaatnya.
Mati seorang ksatrya di medan bhakti, akan menjadi tumbal kejayaan bumi tumpah darahnya.
Akan menjadi perisai bagi keselamatan bangsanya.
Akan menjadi lambang keutamaan para ksatrya.
Akan menjadi petir yang akan menggetarkan nyali musuh agar musuh sadar bahwa kalau mereka hendak melanjutkan serangannya untuk menduduki bumi kita, mereka harus melalui mayat dari putera putera utama ibu Pertiwi.
Harus melalui barisan pagar maut yang terdiri dari ksatrya-ksatrya yang tak kenal takut dan rela merebahi bumi yang dicintainya dengan mayatnya daripada melihat musuh menginjak-injak bumi mereka."
"Raden,"
Seru Sora pula dengan berapi-api "kalau kita harus mati, biarlah kita mati dengan penuh arti.
Seluruh kawula Singasari telah menumpahkan harapan, jiwa dan raga mereka ke bahu kita.
Beban kita bukanlah kecil.
Kematian kitapuh harus dapat menyelamatkan mereka, menunaikan harapan mereka dan mengabdi kepada kepentingan mereka.
Tetapi kalau kita mati dan rakyat masih harus menderita, lahir dan batin, apa guna kematian kita itu.
Tidakkah hal itu, akan tiada artinya.
Bahkan kalau mempunyai arti, tak lain dan tak bukan, kita hendak menghindarkan diri dari tanggung jawab besar terhadap para kawula Singasari?"
Bagaikan petir berbunyi maka terhentaklah benak raden Wijaya mendengar rangkaian kata-kata Sora yang demikian tajam dan menusuk itu.
Seketika dia merasa gelagapan dari kegelapan pikirannya.
Untuk kesekian kalinya ucapan Sora itu telah memancarkan kilatam sinar yang menerangi lubuk kegelapan hatinya.
Namun sesaat darah ksatrya mudanya bergolak.
Melayang pikirannya jauh ke alam yang lampau ketika dia masih mengecup ilmu di pegunungan.
Ketika itu gurunya menitahkan dia bersumpah.
Bahwa ilmu kesaktian yang diperolehnya itu, harus diamalkan untuk kepentingan manusia, rakyat dan negara-negara.
Terkutuklah, angger, apabila angger melanggar sumpah itu.
Bumi, langit dan para dewa-dewa menjadi saksi.
Demikian pesan sang guru di kala mematerikan sumpah itu.
"Bukankah saat inilah aku harus mengamalkan ilmu kepandaian yang kuperoleh itu ?"
Sepercik pertanyaan mengilas dalam hatinya "bukankah saat ini rakyat Singasari sedang terancam bahaya kemusnahan? Adakah dia harus lari dan membiarkan rakyat sengsara?"
Ia pejamkan mata merenung.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia mulai membayangkan kekuatannya.
Sora, Nambi, Lembu Peteng, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Pamandana dan beberapa kadehannya semua hanya sepuluh orang.
Dengan begitu kekuatan fihaknya saat itu hanya terdiri dari sebelas orang termasuk dirinya.
Dia percaya bahwa para kadehannya itu gagah perkasa, setya dan tak takut mati.
Ya, mengapa takut? Serentak semangatnyapun bangkit.
Tetapi pada lain kejab, dia membayangkan keadaan musuh.
Pasukan Daha itu juga mempunyai senopati yang gagah dan prajurit yang lengkap persenjataannya.
Dan yang cepat meresahkan pikirannya adalah jumlahnya.
Pasukan Daha berjumlah ribuan.
Dapatkah sebelas orang itu mampu mengalahkan ribuan orang? "Ah,"
Wijaya serasa gelagapan bagai burung yang mengebaskan kepala dari curahan hujan.
Semangat keberanian bergetar ditempa kesadaran pikirannya.
Tekadnya untuk mengamuk bersumber pada perasaan hati.
Tetapi kenyataan akan apa yang bakal dihadapinya melawan kekuatan musuh, berpancar pada pikirannya.
Dan alam pikiran itupun makin terang dan sadar di kala terngiang ucapan Sofa tadi "Bagaikan anai-anai menyerbu api..
"
Sebuah helaan hati mengendapkan darah mudanya yang meluap-luap tadi.
"Sora memang benar,"
Kata hatinya "perjuangan itu tidak mesti harus selesai pada satu saat, sehari, secandra dan sewarsa.
Tetapi ada kalanya berpuluh tahun.
Bahkan ada kalanya sampai mati, pejuang itu belum sempat mengenyam hasilnya.
Tetapi semangat juangnya tetap menyala, turun temurun dari angkatan yang satu ke angkatan yang baru."
"Angger, keberanian itu bukan semata suatu sikap yang keras, yang kaku. Berani untuk mengambil langkah yang penuh kebijaksanaan, barulah keberanian yang benar-benar berani,"
Teringat pula wejangan bapa gurunya ketika di pertapaan dahulu.
Ya.
Aku harus menyelamatkan sisa kekuatan yang masih ada sekarang.
Kalau kuajak mereka bertempur, pasti hanya kehancuran yang akan kita hadapi.
Dan kehancuran itu berarti kehancuran dari harapan seluruh rakyat Singasari.
Akhirnya tibalah Wijaya pada suatu kesimpulan.
"Baik, Sora, aku setuju dengan pendapatmu. Mari kita lolos dari gapura timur,"
Kata Wijaya memberi perintah.
Adalah seperti sudah digariskan kodrat, bahwa di saat-saat yang gawat itu Sora telah berani mengeluarkan yang mungkin membawa akibat dia akan dituduh sebagai seorang pengecut.
Untung pula Wijaya dapat menyadari dan menerima pendapat Sora itu.
Karena pada saat Wijaya dan para kadehannya turun ke halaman paseban, pada saat itu pula pasukan Daha di bawah pimpinan senopati Jaran Guyang, pun sudah tiba di alun-alun.
Bagaikan gelombang pasang, mereka segera menyerbu rombongan Wijaya.
Wijaya terkejut ketika mengetahui bahwa pasukan Daha yang menyerang itu adalah pasukan yang pernah di tempurnya di Mameling.
"Bedebab,"
Tiba-tiba dia mengumpat "mereka telah menyiasati kita."
Ia menyadari bahwa pasukan Daha di Mameling itu hanya suatu siasat untuk memikat perhatian agar Singasari mengirim pasukan ke sana untuk menggempurnya.
Tetapi setelah Singasari kosong, pasukan Daha yang lain akan menyerang dari selatan.
Ia geram sekali namun apa mau dikata.
Bukan salah musuh untuk menggunakan siasat itu.
Yang salah adalah Singasari sendiri yang lengah sehingga mudah sekali termakan siasat musuh.
Demikian jalan pikran Wijaya apabila menghadapi musuh yang lebih sakti.
Dia tak menyalahkan musuh tetapi meneliti kekurangannya sendiri.
Mengapa dia tak berlatih keras agar mencapai tataran yang sempurna dalam ilmunya.
Namun dia tak sempat lagi untuk menyesali pimpinan pasukan Singasari karena pada saat itu pasukam Daha yang dipimpin senopati Jaran Guyang itu makin cepat mendekati ke arah tempatnya.
Wijaya hampir putus asa.
Dalam keadaan yang terdesak itu, tiada lain jalan baginya kecuali harus bertempur.
Maka diapun sudah mengemasi tekad dan- membulatkan keputusan untuk mengadu jiwa.
Kalau aku gugur aku harus gugur di medan pertempuran sesuai dengan martabat seorang ksatrya.
Para kadehahpun merasakan apa yang dirasakan Wijaya.
Merekapun sudah bersiap-siap untuk memberikan apa yang mereka dapat berikan kepada bumi pertiwi yang mereka cintai.
Dalam saat-saat yang meregangkan jiwa itu, sekonyong-konyong terjadi suatu peristiwa yang tak terduga-duga.
Pasukan Daha tiba- tiba berteriak-teriak kaget dan serempak hentikan pengejarannya.
Bahkan mereka tampak berdesak-desak mundur seperti menderita serangan hebat.
Apakah yang telah terjadi ? Wijaya dan para kadehannya heran.
Lebih terkejut pula ketika sekonyong-konyong muncul seorang lelaki tua, dalan busana kepanditaan.
Resi tua itu rambut dan janggutnya yang menjulai sampai kedada, putih mengkilab, Dia mencekal sebatang tongkat.
"O, Dang Arcaya Ratnamsa"
Serentak Wijaya pun berseru ketika mengetahui bahwa resi tua itu bukan lain adalah resi yang bertugas menunggu candi makam raja-raja Singasari.
Dang Acarya Ratnamsa demikian namanya, juga bertugas sebagai penyimpan catatan tentang silsilah raja-raja Singasari.
Dia berpangkat gotrasawala.
"Benar, raden,"
Sahut resi tua Dang Acaya Ratnamsa.
"harap raden tenang, tak perlu gopoh melarikan diri dari kejaran orang orang Daha."
"O,"
Wijaya terkejut. Ia merasa ada sesuatu dalam ucapan sang resi tua itu "apakah resi .........
"
"Demi kuasa Batara Agung, demi restu yang dilimpahkan dewata kepada raden beserta gusti puteri Tribuwana maka orang-orang Daha itupun telah terkocar-kacir."
Wijaya makin heran "Bagaimana mungkin hal itu terjadi, resi ?"
"Berkat kekuasaan Hyang Iswara telah dapat kuundang Hyang Bayu untuk memancarkan kekuasaannya. Orang Daha itu telah tersapu berantakan oleh angin prahara."
"Ah, terima kasih Dang Acarya yang budiman,"
Serta merta Wijaya menghaturkan terima kasih.
"Aku hanya menjadi sarana belaka dari kehendak Hyang Widdhi, raden. Persembahkan puji syukur raden kepada Yang Maha Agung yang mengatur kehidupan seluruh alam semesta ini."
Wijaya dengan diikuti oleh para kadehan, segera duduk bersila menjelangkan sembah syukur kepada Hyang Jagadnata yang telah melindungi jiwa mereka dari serangan pasukan Daha.
"Dang Acarya yang budiman,"
Sesaat kemudian Wijaya berkata "keadaan hamba dan kawan-kawan bagaikan layang-layang putus tali, tak tahu ke arah mana kami harus merana. Berilah petunjuk, o, Dang Acarya yang budiman."
"Raden,"
Kata resi tua itu dengan tenang "segala sesuatu dalam arcapada ini sudah ditentukan oleh Hyang Murbeng Dumadi.
Keruntuhan kerajaan Singasari adalah untuk menetapi lingkaran kodrat Prakitri.
Karena setiap yang lahir dan tumbuh pasti akan layu dan hancur."
Wijaya termenung.
"Namun,"
Lanjut pula sang resi tua "kehancuran itu bukanlah kehancuran yang sejati.
Melainkan suatu kehancuran yang bertumbuh.
Artinya, apabila setiap kelahiran pasti terdapat kematian maka setiap kematianpun akan menjadi awal daripada kelahiran.
Itulah sudah menjadi dharma daripada Cakrapanggilingan yang merupakan poros roda perputaran hidup."
"Kehancuran kerajaan Singasari merupakan pertanda akan turunnya wahyu agung yang akan diturunkan oleh Hyang Purusa ....."
Wijaya terkejut "Adakah kerajaan Daha itu bukan kerajaan yang mendapat wahyu dewata, sang resi?"
"Daha sudah lebih dahulu menerima wahyu agung itu sebelum kerajaan Singasari. Namun wahyu agung itu hanya sekali saja datangnya... Kemudian Singasari. Kemenangan Daha atas Singasari, bukan berarti bahwa wahyu agung itu tiba kembali pada Daha. Melainkan hanya suatu alat atau sarana untuk mengantar lenyapnya wahyu agung dari keraton Singasari. Tanda-tanda daripada hilangnya wahyu agung dari suatu kerajaan, bilamana raja sudah gelap pikiran, mabuk kesenangan. Mentri yang durna tertawa, yang setya merintih. Yang benar dianggap salah, yang salah dianggap benar. Peraturan negara, masyarakat, keluarga, tidak diindahkan lagi. Kemunculan beberapa kegaiban alam"
"Singasari mencerminkan suasana sedemikian. Dewata pasti takkah ingkar. Kodrat takkan hindar. Dan apa yang menimpah Singasari pada hari ini adalah hanya suatu letusan dari rangkaian peristiwa yang merupakan pengejawantahan dari kodrat. Kumohon janganlah raden bersedih hati."
"Tetapi puteri Gayatri masih berada dalam keraton, Dang Acarya,"
Tiba-tiba Wijaya berseru. Dang Acarya Ratnamsa menggeleng "tidak, raden, gusti puteri Gayatri telah dibawa orang ke Daha ....
"
"Dang Acarya ....!"
Wijaya berteriak.
"Sabarlah, raden,"
Kata resi Ratnamsa "janganlah raden terikat oleh sesuatu. Karena ikatan rasa kasih dan sayang itulah yang akan membelenggu raden dalam lembah kesedihan."
Wijaya meregang.
Dia teringat dahulupun pernah mendapat wejangan dari gurunya tentang sumber daripada penderitaan manusia itu.
Sumber itu tak lain adalah rasa atau perasaan.
Barangsiapa terikat atau mengikat diri pada rasa kesenangan kasih dan kesayangan, dia akan mengidap benih penderitaan yang setiap saat akan meletus manakala benda atau orang yang kita kasihi, sayangi itu akan meninggalkan kita.
Pada waktu itu Wijaya menganggap benar.
Tetapi kini setelah merasakan sendiri karena hilangnya puteri Gayatri maka lupalah dia akan wejangan gurunya.
Yang dirasakannya hanyalah bahwa puteri Gayatri itu adalah calon isteri yang sangat dipuja dan dikasihinya.
Katanya, hidup akan terasa hampa apabila tiada Gayatri di sampingnya.
Peringatan resi Ratnamsa akan musabab dari rasa gelisah dan kesedihannya, merentak membawa kembali ingatan Wijaya akan wejangan gurunya dahulu.
Tetapi dia tak kuasa membujuk perasaan hatinya, tak kuasa pula menindas luap rasa keresahannya.
Bagaimana tindak? Bukankah puteri Gayatri itu sudah merupakan bagian dari hidupnya ? "Tetapi Dang Acarya,"
Serunya "bagaimanapun halnya, aku tetap akan kembali ke keraton Singasari untuk mencari adinda Gayatri."
"Mengapa harus begitu, raden ?"
"Jika demikian aku akan mengamuk ke Daha,"
Meru Wijaya makin menggelora. Resi gelengkan kepala "Kurasa kurang perlu, raden. Memang gusti puteri Gayatri telah dibawa ke Daha tetapi janganlah raden risaukan hal itu. Serahkanlah segala perjalanan hidup raden kepada Hyang Widdhi Agung."
"Maksud tuan, puteri Gayatri takkan tertimpah suatu melapetaka?"
Masih Wijaya menegas.
"Puteri Gayatri adalah puteri agung yang kelak akan menurunkan raja besar. Kurasa tidak mungkin puteri akan menderita bahaya."
Legah hati Wijaya mendengar keterangan itu.
Sekalipun belum merasa puas sepenuhnya namun karena melihat kenyatan yang dihadapi saat itu, terpaksa ia harus menerima keterangan resi tua itu sebagai pegangan "Lalu bagaimana yang harus hamba lakukan sekarang, resi?"
Tanyanya.
"Raden,"
Kata Acarya Ratnamma "telah kukatakan tadi bahwa kodrat Prakitri itu tak mungkin diubah.
Kehancuran dan kemunculan, kematian dan kelahiran.
Kehancuran Singasari akan menjadi titik tolak dari kelahiran sebuah kerajaan baru yang kelak akan muncul di bumi sebelah utara.
Kerajaan itu akan lebih besar dan lebih jaya dari Singasari maupun Daha.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wahyu agung yang diturunkan dewata sudah mulai memancar ke bumi.
Raden harus berusaha untuk mendapatkan wahyu agung itu karena raden termasuk insan mangsakala yang mendapat restu Hyang Jagadnata untuk mewujutkan timbulnya sebuah kerajaan baru di bumi yang akan disinari surya gilang gemilang."
Wijaya terpukau...
"Waktu amat mendesak sempit, raden. Tak lama lagi pasukan Daha tentu akan datang mengejar raden. Putar arah dan loloslah dari pintu gapura utara "
"Tetapi Arcarya sendiri ?"
Wijaya meragu.
"Aku akan tetap berada di sini untuk menyesatkan pandangan musuh. Semoga Hyang Batara Agung melindungi perjalanan raden"
Kata resi Ratnamsa.
Wijaya terpaksa mengiakan.
Ia menghaturkan terima kasih dan minta diri.
Dengan membawa puteri Tribuwana dan sepuluh kadehannya yang setya, sesuai dengan petunjuk sang resi tua, dia meloloskan diri dari gapura utara.
Benar juga.
Dia tak menemukan suatu rintangan apapun juga.
Tiba di luar gapura, sejenak dia berhenti dan berpaling memandang ke arah pura.
Pura dari sebuah kerajaan besar yang pernah memancarkan kejayaan di seluruh nusantara, yang pernah menggemparkan maharaja Kubilai Khan dari kerajaan Tartar dan raja-raja di Melayu.
Kini masih menggunduk perkasa di tengah kabut dan lautan api.
Wijaya menghela napas penuh kenangan.
Ia terbenam dalam menung dan renung.
Seolah hampir dia tak percaya bahwa yang dilihatnya saat itu memang suatu kenyataan.
"Raden, mari kita lanjutkan perjalanan,"
Tiba-tiba Lembu Sora berseru penuh getar. Rupanya para kadehan itu juga merasakan apa yang dirasakan Wijaya. Tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok. Wijaya tersadar dan mengangguk "Baik, Sora "
Wijaya segera mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan ke utara.
Ia mengharap fajar segera menyingsing.
Fajar yang memancarkan sinar harapan.
S E L E S A I .
PENUTUP KATA.
Dengan ditandai jatuhnya kerajaan Singasari dan tewasnya seri baginda Kertanagara maka selesailah cerita EMPU BHARADA.
Ketika mahayogin Empu Bharada sedang menjalankan titah baginda Airlangga, melayang di udara sembari mencurahkan air kendi untuk membagi watek-bhumi kerajaan Panjalu menjadi dua, jubahnya telah terkait pada dahan pohon kamal.
Empu murka dan mengeluarkan kutukan sehingga pohon kamal yang tinggi itu serentak menjadi pandak.
Namun kutukan sang mahayogin itupun memancarkan tulah pada tugasnya.
Panjalu benar-benar terbagi dua, tak mungkin bersatu lagi.
Dan terjadilah peperangan yang tak putus-putusnya antara Singasari dan Daha.
Tetapi akhirnya kutuk Empu Bharada itupun akan berakhir manakala terjadi keajiban alam.
HALILINTAR DI AMBANG FAJAR.
demikian judul baru sebagai kelanjutan dari Dendam Empu Bharada.
Halilintar di ambang fajar, menyongsong kelahiran sebuah kerajaan baru.
Kerajaan Majapahit yang besar, jaya dan gilang gemilang.
S.
Djatilaksana.
Document Outline Seri Dendam Empu Bharadha Daftar Isi .
Dendam Empu Bharada Prahara PRASASTI KERTANEGARA 1289
Jilid 1 I II
Jilid 2 I II III
Jilid 3 I II
Jilid 4 I
Jilid 5 I II
Jilid 6 I II III
Jilid 7 I II
Jilid 8 I II
Jilid 9 I II
Jilid 10 I II
Jilid 11 I II III
Jilid 12 I II
Jilid 13 I
Jilid 14 I II
Jilid 15 I II
Jilid 16 I II III
Jilid 17 I II
Jilid 18 I II
Jilid 19 I II
Jilid 20 I
Jilid 21 I II
Jilid 22 I II
Jilid 23 I II
Jilid 24 I II III
Jilid 25 I II
Jilid 26 I II
Jilid 27 I II III
Jilid 28 I II
Jilid 29 I II
Jilid 30 I II
Jilid 31 I II
Jilid 32 I II
Jilid 33 I II
Jilid 34 I II III
Jilid 35 I
Jilid 36 Tamat I II III PENUTUP KATA.
Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung Legenda Kematian -- Gu Long Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id