Ceritasilat Novel Online

Harpa Iblis Jari Sakti 4


Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Bagian 4



Harpa Iblis Jari Sakti Karya dari Chin Yung

   

   Sepasang matanya menyorot tajam, maka tidak dapat mengelabuhi Han Giok Shia, pemuda itu juga adalah kaum rimba persilatan.

   Dalam waktu setengah bulan ini, boleh dikatakan setiap malam Han Giok Shia pasti bertemu pemuda itu, namun belum pernah saling menyapa.

   Han Giok Shia tidak tahu siapa pemuda itu, tapi kini setelah mendengar pembicaraan Hwe Hong Sian Kouw dengan ayahnya, maka dalam benaknya muncul bayangan pemuda itu.

   Si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw tetap duduk diam.

   Han Giok Shia memberi hormat kepada mereka.

   "Ayah, Guru! Aku mau pergi!"

   Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut.

   "Ah Shia, setelah kau tiba di kaki gunung Hui Yan, pasti akan muncul murid Hui Yan Bun. Mereka akan menanyakan identitasmu. Asal kau memperlihatkan senjata Liat Hwe Soh Sim Lun, dan mengatakan mau bertemu ketua, tentu ada orang membawamu ke sana. Yang penting kau harus ingat, katakan bahwa aku masih ingin pesiar, maka menyuruhmu ke puncak gunung Hui Yan belajar ilmu silat!"

   Padahal sesungguhnya, Han Giok Shia sama sekali tidak berniat pergi ke Hui Yan Bun. Namun ia tetap menyahut "Ya", lalu melangkah pergi. Mendadak si Pecut Emas-Han Sun berseru memanggilnya.

   "Ah Shia!"

   Han Giok Shia segera menolehkan kepalanya seraya menyahut.

   "Ya, Ayah."

   Kemudian ia berlari mendekati si Pecut Emas-Han Sun, dan mendekap di dadanya.

   Sebelum mendekap di dada ayahnya, gadis itu melihat sepasang mata ayahnya bersimbah air, dan tak lama air mata itu pun meleleh.

   Belum pernah Han Giok Shia melihat ayahnya mengucurkan air mata seperti itu.

   Ayahnya berkepandaian tinggi dan tergolong pendekar gagah, namun kini justru mengucurkan air mata.

   Ketika adiknya menghilang mendadak dan boleh dikatakan dalam bahaya, ayahnya hanya tampak tidak gembira, tapi sama sekali tidak mengeluarkan air mata.

   Kini, ayahnya justru mengucurkan air mata, maka membuat Han Giok Shia merasa sedih.

   "Kenapa Ayah menangis?"

   Tanyanya sambil mendongakkan kepala. Si Pecut Emas-Han Sun segera tertawa.

   "Anak bodoh! Kenapa ayah harus menangis? Jangan omong sembarangan!"

   Gadis itu amat cerdik. Ia tahu bahwa ayahnya begitu, lantaran mengkhawatirkan dirinya. Maka, ia segera memanggil ayahnya dengan air mata bercucuran.

   "Ayah! Ayah!"

   Si Pecut Emas-Han Sun menjulurkan tangannya untuk membelai putrinya dengan penuh kasih sayang, kemudian berkata sepatah demi sepatah.

   "Nak, jarak dari sini ke gunung Hui Yan amat jauh. Kau harus ingat, dalam perjalanan jangan bertarung dengan siapa pun. Rubahlah sikapmu yang agak buruk!"

   Han Giok Shia manggut-manggut dan menyahut agak terisak-isak.

   "Aku tahu."

   Berselang sesaat, si Pecut Emas-Han Sun berkata lagi.

   "Setelah kau tiba di puncak gunung Hui Yan, janganlah menelantarkan Ilmu Pecut yang kuajarkan dan ilmu Gelang Api yang diajarkan gurumu, berikut Lweekang Sim Hoat (Ilmu Melatih Tenaga Dalam). Kau hanya memperoleh sedikit kulitnya, maka harus terus berlatih dengan giat. Tiga lima tahun kemudian, kau pasti akan berhasil menguasai semua ilmu itu. Aku tidak akan pergi menengokmu, kau pun tidak perlu merindukan kami. Pecut Emas ini sudah kubawa sejak kecil, juga merupakan benda pusaka dalam rimba persilatan, kuhadiahkan kepadamu."

   Begitu mendengar perkataan ayahnya, timbullah rasa duka dalam hati Han Giok Shia, karena seakan berpisah selamanya dengan ayahnya.

   Pada dasarnya dia adalah gadis yang keras hati, maka dia dapat menekan rasa dukanya.

   Ia manggut-manggut, lalu menerima Pecut Emas tersebut.

   Namun ketika baru dililitkan pada pinggangnya, mendadak teringat sesuatu.

   "Ayah tidak menggunakan Pecut Emas untuk menjaga diri?"

   Si Pecut Emas-Han Sun menggeleng-gelengkan kepala.

   "Aku tidak perlu menggunakannya lagi."

   Han Giok Shia mendongakkan kepala.

   la menatap ayahnya dengan tertegun, karena ayahnya tampak bertambah tua.

   Kematian adiknya amat mendukakan hati ayahnya, kini ditambah berbagai masalah, maka si Pecut Emas-Han Sun menjadi kelihatan bertambah tua.

   Diam-diam gadis itu menghela nafas panjang.

   Si Pecut Emas-Han Sun berpikir sejenak, lalu berkata.

   "Masih ada, adikmu...."

   Hubungan Han Giok Shia dengan adiknya amat baik dan akur.

   Oleh karena itu begitu ayahnya menyinggung adiknya, air matanya tak terbendung lagi, langsung berderai-derai.

   Kemudian ia mengarah tempat lain sambil berkertak gigi.

   Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas.

   "Yang mencelakai adikmu dapat dipastikan bukan Lu Sin Kong. Sebetulnya siapa pembunuh itu, masih sulit dipastikan. Setelah kau berkepandaian tinggi, jangan lupa menyelidiki hal ini, agar dia terlepas dari tuduhan!"

   Han Giok Shia mengangguk. Si Pecut Emas-Han Sun mengibaskan tangannya.

   "Pergilah!"

   Han Giok Shia membalikkan badannya, sekaligus melesat keluar.

   Sampai di halaman, air matanya berderai-derai lagi.

   Dia tidak membuka pintu pagar, namun malah mengambil jalan samping menuju halaman belakang yang mana terdapat pohon bambu.

   Dia duduk di situ sambil menangis meraung-raung.

   Karena sifatnya yang keras, maka biasanya ada masalah apa pun, tidak akan membuatnya mengucurkan air mata.

   Namun saat ini, dia justru merasakan kedukaan itu, sehingga air matanya mengucur deras tak terbendung lagi.

   Apakah musuh ayahnya begitu tangguh dan lihay, maka merasa percuma menjaga diri dengan Pecut Emas itu, dan hanya tinggal pasrah saja? Meskipun si Pecut Emas-Han Sun maupun Hwe Hong Sian Kouw tidak memberitahukan apa pun, namun Han Giok Shia dapat mendengar dari nada ucapan ayahnya, yang kedengarannya seperti akan berpisah selamanya.

   Gadis itu terus menangis.

   Setelah puas menangis, barulah dia bangkit berdiri.

   Halaman belakang itu amat luas.

   Sedangkan jumlah anggota keluarga si Pecut Emas-Han Sun tidak begitu banyak.

   Maka tiada seorang pun melihat Han Giok Shia ada di situ.

   Dia berdiri termangu-mangu, sementara sang surya mulai condong ke barat.

   Han Giok Shia meraba senjata Liat Hwe Soh Sim Lun di punggungnya dan Pecut Emas yang di pinggangnya.

   la berkertak gigi dan wajanya memperlihatkan kekerasan hatinya, kemudian melesat pergi melalui tembok belakang.

   Dalam hatinya ia sudah mengambil keputusan, tidak akan ke Hui Yan Bun, melainkan ke Hou Yok menemui Tam Goat Hua untuk bertanya sejelas2nya.

   Oleh karena itu, Han Giok Shia langsung menuju bukit Hou Yok.

   Bukit itu tidak begitu tinggi, namun merupakan bukit yang amat terkenal di luar kota Su Cou.

   Konon raja Gouw dimakamkan di Hou Yok.

   Biasanya para pelancong ramai bagaikan semut.

   Tapi saat ini, hari sudah mulai malam, maka para pelancong sudah pulang ke rumah masing-masing, sehingga jalanan tampak sepi.

   Beberapa mil kemudian, Han Giok Shia sudah merasa angin malam menerpa-nerpa wajahnya.

   Di saat bersamaan, hujan gerimis pun mulai turun.

   Hati gadis itu tercekam oleh berbagai macam masalah, dan itu membuat hatinya tertekan sekali.

   Kini ia menghadapi cuaca demikian, sehingga membuat perasaannya tidak enak.

   Ia memandang jauh ke depan.

   Dilihatnya bayangan menara di puncak bukit itu.

   Han Giok Shia memperlambat langkahnya.

   Ia sudah sampai di Hou Yok, sekaligus ingin tahu pemuda yang sering memandangnya, apakah benar adalah kakak Tam Goat Hua.

   Perlahan-lahan ia memasuki bukit Hou Yok.

   Tak berapa lama kemudian gadis itu sudah sampai di sekitar Telaga Pedang.

   Mendadak terlihat sosok bayangan kecil berkelebat di sisi sebuah batu.

   Saat ini, bukan hanya hari sudah gelap, bahkan turun gerimis pula.

   Sudah barang tentu tempat itu jadi sepi sekali.

   Maka ketika melihat sosok bayangan kecil itu, dia tertegun.

   "Siapa?"

   Bentaknya. Bayangan kecil itu sudah berada di balik batu itu. Tapi begitu mendengar suara bentakan, dia justru berkelebat keluar seraya menyahut.

   "Kakak Tam, kau sudah kembali? Paman Tam menyuruhku menunggumu di sini!"

   Begitu mendengar suara sahutan itu, tergeraklah hati Han Giok Shia. Ia menoleh kepalanya ke belakang, namun tidak tampak orang lain datang.

   "Tidak salah, memang aku yang ke mari. Sudah Lama kau menungguku di sini?"

   Sahutnya.

   Han Giok Shia sungguh cerdik.

   Ketika mendengar suara itu, ia yakin bahwa yang bersuara itu adalah seorang pemuda.

   Dalam kegelapan pemuda itu mengira dirinya itu adalah Tam Goat Hua, maka bertanya begitu.

   Oleh karena itu, Han Giok Shia menggunakan siasat untuk bercakap-cakap dengannya guna mengorek sedikit keterangan.

   Walau gelap tapi Han Giok Shia dapat melihat dengan jelas wajah pemuda itu, ternyata masih remaja dan setinggi Han Giok Shia.

   Usianya sekitar empat lima belas tahun, namun tampak gagah dan sepasang matanya bersinar terang.

   Han Giok Shia sama sekali tidak kenal siapa dia.

   Pemuda itu menunggu Tam Goat Hua di tempat ini, tentunya punya hubungan dengan gadis tersebut.

   Tapi nada perkataannya kedengarannya belum pernah bertemu Tam Goat Hua.

   Karena itu, Han Giok Shia hendak menyamar sebagai Tam Goat Hua, itulah siasatnya untuk mengorek sedikit keterangan dari mulut anak remaja tersebut.

   Gadis itu tersenyum-senyum.

   "Tentu! Selain kau menunggu di sini, sudah pasti tiada orang lain."

   Anak remaja itu tersenyum. Sungguh mengherankan, senyumannya menyerupai senyuman anak dewasa.

   "Kakak Tam, kata Paman Tam kau pergi menengok ayahku, apakah ayahku sudah tiba di Su Cou? Sudah setengah bulan aku meninggalkan rumah, ayahku pasti panik sedikit. Apakah ayahku pernah menanyakan tentang diriku?"

   Sesungguhnya Han Giok Hua amat gembira, sebab anak remaja itu sama sekali tidak tahu identitasnya. Akan tetapi, ketika anak remaja itu berkata begitu, justru membuatnya tertegun.

   "Sebetulnya siapa kau?"

   Tanyanya. Pertanyaan tersebut nyaris dilontarkan, namun masih dapat ditahan dalam tenggorokan, kemudian menyahut.

   "Sudah sampai, dia amat rindu kepadamu."

   Anak remaja itu segera bertanya.

   "Ibuku juga sudah datang? Dia tidak memarahiku? Kini mereka berada di mana? Bolehkah kau membawaku pergi menemui mereka?"

   Han Giok Shia semakin tertegun.

   Ia merasa nada perkataan anak remaja itu mengarah pada Lu Sin Kong, tapi dia masih kurang yakin.

   Saat ini, anak remaja itu menyinggung tentang ibunya, membuat Han Giok Shia menjadi bercuriga.

   Karena menyamar sebagai Tam Goat Hua, tentunya tidak bisa bertanya tentang asal-usul anak remaja itu.

   Tapi dalam hatinya justru timbul suatu ide, maka ia berkata dengan suara rendah.

   "Adik kecil, di sini bukan tempat untuk bercakap-cakap, lebih baik kau ikut aku!"

   Han Giok Shia menjulurkan tangannya menarik lengan anak remaja itu untuk diajak pergi.

   Mereka baru berjalan beberapa depa, tiba-tiba terdengar suara langkah yang tergesa-gesa dari kejauhan.

   Han Giok Shia segera memandang ke arah datangnya suara.

   Dilihatnya dua sosok bayangan yang tinggi dan pendek berkelebat.

   Bayangan yang tinggi membopong seseorang.

   Begitu melihat, Han Giok Shia sudah tahu bahwa sosok bayangan tinggi itu adalah Lu Sin Kong, yang dibopongnya adalah mayat Sebun It Nio.

   Ada pun bayangan pendek tentunya Tam Goat Hua.

   Hati Han Giok Shia tersentak, sedangkan anak remaja itu pun telah melihat mereka.

   
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Han Giok Shia segera berbisik.

   "Adik kecil, pendatang itu bukan orang baik, kau tidak boleh bersuara!"

   Anak remaja itu menyahut dengan suara rendah.

   "Kakak Tam, salah satu dari mereka mirip ayahku!"

   Kini Han Giok Shia sudah mengerti, bahwa anak remaja itu memang putra kesayangan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio yang bernama Lu Leng.

   Seketika juga, muncullah berbagai macam urusan dalam benak Han Giok Shia.

   Ia, teringat akan kematian adiknya yang mengenaskan.

   Usianya sebaya dengan Lu Leng, tinggi dan besar badan mereka sama pula.

   Akan tetapi, adiknya telah binasa.

   Berdasarkan apa yang dikatakan Lu Sin Kong, kedengarannya juga kehilangan anak kesayangannya.

   Namun, putra Lu Sin Kong itu bukankah masih hidup segar bugar dan berada di sisinya? Dalam hati Han Giok Shia memang telah menganggap Lu Sin Kong dan isterinya yang mencelakai adiknya.

   Mereka menaruh kepala itu ke dalam kotak kayu, kemudian diantar ke rumahnya.

   itu sematamata hanya ingin membunuh si Pecut Emas-Han Sun ayahnya dan dirinya.

   Kini, Lu Leng muncul mendadak di bukit Hou Yok, membuatnya lebih yakin, bahwa 251 apa yang dikatakan Lu Sin Kong, semua itu hanya bohong belaka.

   Api kebencian dalam hatinya, makin lama makin berkobar.

   Dia sungguh ingin turun tangan seketika juga untuk menghabiskan nyawa Lu Leng.

   Sedangkan Lu Leng di saat ini, sama sekali tidak berjaga-jaga, maka boleh dikatakan tidak sulit membunuhnya.

   Perlahan-lahan Han Giok Shia mengangkat tangannya, tapi justru tidak untuk memukulnya.

   Mendadak gadis itu ingin tahu satu hal, yakni keluarga Lu dan keluarga Han punya dendam apa, kenapa Lu Sin Kong begitu tega membunuh adiknya? Lagipula Lu Sin Kong dan Tam Goat Hua sudah berada di sekitar tempat tersebut.

   Begitu menotok, Han Giok Shia justru menotok jalan darah Tay Pai Hiat di tubuh Lu Leng, sehingga membuatnya tak bisa bergerak sama sekali.

   Han Giok Shia pun merebahkan dirinya, lalu bersama-sama bersembunyi di tempat itu.

   Di saat bersamaan, Tam Goat Hua dan Lu Sin Kong telah tiba di tempat itu, hanya terpisah beberapa depa saja.

   Sampai di situ, Tam Goat Hua berhenti.

   Itu membuat jantung Han Giok Shia menjadi berdebar tidak karuan, takut tempat persembunyiannya mereka ketahui.

   Terdengar Tam Goat Hua berkata.

   "Lu Cong Piau Tau, tidak baik kau terus membopong mayat Lu Hujin, lebih baik kuburkan saja di sini!"

   Lu Sin Kong menyahut dengan suara parau.

   "Tidak! Biar bagaimanapun aku harus membawa mayat isteriku ke Tiam Cong, biar Tiam Cong Pai yang menguburnya di Hun Lam."

   Tam Goat Hua menghela nafas panjang.

   "Lu Cong Piau Tau, aku lihat lukamu telah sembuh. Kalau kau ingin melanjutkan perjalanan, aku pun tidak akan menghalangi waktumu. Tapi apakah kau sama sekali tidak mau menemui ayah dan saudaraku?"

   Lu Sin Kong menyahut.

   "Nona Tam, maksud baikmu kuterima dalam hati. Tapi dendam kematian putra dan isteriku masih belum terbalas, itu membuatku tidak bisa lama-lama di sini."

   Tam Goat Hua segera berkata.

   "Lu Cong Piau Tau, kalau bukan kalian suami isteri yang menyelamatkan diriku di rumah Kim Kut Lau, mungkin saat ini aku masih dirantai. Hanya saja...."

   "Nona Tam mau mengatakan apa, katakanlah!"

   Sahut Lu Sin Kong cepat. Tam Goat Hua segera berkata.

   "Lu Cong Piau Tau, maafkan aku berterus terang! Siang tadi ketika kita meninggalkan rumah si Pecut Emas-Han Sun, aku melihat ada beberapa jago tangguh dari Hoa San Pai, berjalan mondar-mandir di depan rumah itu karena kau kelewat berduka, maka tidak melihat mereka. Aku sengaja memutar dan kembali ke halaman belakang rumah Han Sun, menunggu sampai malam di taman bambu yang rimbun itu, 253 barulah ke mari. Kalau kau seorang diri melanjutkan perjalanan ke Tiam Cong dan Go Bi, yang begitu jauh, aku khawatir akan terjadi sesuatu atas dirimu. Lu Sin Kong tertawa.

   "Ha ha! Nona Tam, terimakasih atas perhatianmu! Mereka itu sama sekali tidak berada dalam mataku. Harap Nona sudi menyampaikan salamku kepada ayah dan saudaramu, aku mau pamit sekarang!"

   Usai berkata begitu, Lu Sin Kong melesat pergi.

   Dalam waktu sekejap, dia telah lenyap ditelan kegelapan malam.

   Walau pembicaraan mereka tadi tidak begitu keras, namun Han Giok Shia dapat mendengarnya dengan jelas.

   Setelah Lu Sin Kong pergi, barulah Han Giok Shia berpaling untuk memandang Lu Leng.

   Di saat bersamaan, Han Giok Shia juga teringat akan kematian adiknya yang begitu mengenaskan, maka diapun amat gusar.

   Sudah barang tentu mereka berdua saling menatap dengan penuh kebencian, lama sekali barulah Han Giok Shia mendongakkan kepala.

   Tampak Tam Goat Hua duduk di atas sebuah batu.

   Tak lama dia bangkit kembali, lalu berjalan mondar-mandir.

   Kelihatannya dia sedang menunggu seseorang dengan tidak sabaran.

   -ooo0ooo- Bab 11 Han Giok Shia mengintipnya sambil menahan nafas.

   Tak Beberapa lama kemudian, di sebelah barat laut terdengar suara yang amat nyaring, yaitu suara orang membaca syair.

   Asap tebal di dalam rimba, gunung dingin hati berduka, ada orang merana di loteng, burung-burung berterbangan, di mana adalah tempat tinggal....

   Itu adalah syair Lie Thet Pek yang amat terkenal.

   Suara belum sirna, orangnya sudah mendekat.

   Bukan main cepatnya gerakan orang itu, bahkan tak mengeluarkan suara sedikit pun Han Giok Shia memandang si pendatang itu.

   Seketika juga hatinya berdebar-debar.

   Si pendatang itu tidak lain pemuda kurus yang tampan itu, yang sering dilihatnya setiap malam dalam waktu setengah bulan ini.

   Setelah mendekat, Tam Goat Hua menyapanya seraya memanggil.

   "Kakak!"

   Hati Han Giok Shia tertegun. Ternyata dugaannya tidak meleset, pemuda itu memang kakak Tam Goat Hua. Oleh karena itu, dia terus menahan nafas sambil pasang kuping, karena ia yakin bahwa mereka berdua akan membicarakan sesuatu.

   "Eh? Adik, kenapa kau ke mari seorang diri?"

   Tam Goat Hua menghela nafas panjang.

   "Lu Cong Piau Tau sudah pergi."

   Gadis itu memberitahukan. Pemuda itu segera bertanya.

   "Apakah mereka tetap akan pergi ke Tiam Cong dan Go Bi untuk mengundang para jago tangguh, membuat perhitungan dengn Liok Ci Siansing?"

   Tam Goat Hua tampak tercengang.

   "Tentu! Memangnya kenapa?"

   Pemuda itu kelihatan terkejut.

   "Hah? Adik, kau tidak bertemu ayah?"

   Tam Goat Hua menyahut.

   "Tidak."

   Gadis itu menggelengkan kepala.

   "Ayah ke mana?"

   "Celaka!"

   Seru pemuda itu.

   "Kakak! Apa yang celaka?"

   Tam Goat Hua menatapnya.

   "Ada kejadian apa, cepatlah beritahukan!"

   Pemuda itu segera menyahut.

   "Kini tiada waktu untukku menutur, karena kita harus segera pergi mencari Lu Sin Kong."

   Tam Goat Hua terheran-heran. Dia menatap pemuda itu dengan tidak mengerti.

   "Mengapa?"

   Tanyanya kemudian. Pemuda itu menyahut.

   "Putranya tidak mati. Kalau kita tidak segera pergi menyusulnya, bukankah akan terjadi pertarungan mati-matian antara Bu Yi San, Tiam Cong dan Go Bi?"

   Tam Goat Hua tampak tertegun.

   "Putra Lu Sin Kong tidak mati? Bagaimana kau tahu? Legakanlah hatimu, pasti belum jauh dia pergi! Tuturkanlah dulu kejadian itu!"

   Pemuda itu tersenyum.

   "Kenapa kau tidak sabaran? Mengenai kejadian itu, aku pun tidak begitu jelas. Sore ketika kau pulang, juga tidak memberitahukan pergi ke mana selama setengah bulan ini. Sebetulnya kau pergi ke mana dan kenapa sepasang lenganmu terbelenggu sepasang rantai? Dengarkanlah! Lu Sin Kong dan isterinya ke tempat tinggal si Pecut Emas-Han Sun, kemungkinan besar mereka akan bertarung. Karena aku melihat Nona Han tergesa-gesa dan dalam kemarahan besar mengundang Hwe Hong Sian Kouw, gurunya. Kau tidak dapat bersabar sama sekali, langsung pergi sih! Kalau kau bersabar sedikit sampai ayah pulang, bukankah kau akan tahu itu?"

   Tam Goat Hua mengendus dingin.

   "Hm! Masih bilang aku tidak sabaran? Aku justru telah terlambat selangkah sampai di sana, Sebun It Nio telah 257 binasa. Apabila terlambat lebih lama lagi, nyawa Lu Sin Kong pun sulit diselamatkan."

   Pemuda itu tampak terkejut sekali.

   "Adik, benarkah perkataanmu itu?"

   "Mengapa aku harus membohongimu?"

   Sahut Tam Goat Hua. Pemuda itu menghela nafas panjang.

   "Kalau begitu, antara Lu Sin Kong, si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw sudah mengikat suatu permusuhan."

   "Memang begitu,"

   Sahut Tam Goat Hua. Pemuda itu berjalan mondar-mandir sejenak dengan kepala tertunduk. Han Giok Shia yang mengintipnya dapat melihat wajahnya yang muram sekali. Terdengar Tam Goat Hua berkata.

   "Kakak, terus terang Lu Sin Kong dan isterinya pernah menyelamatkanku. Tidak hanya mereka dengan si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw terikat suatu permusuhan, tapi aku dengan mereka juga telah terjadi suatu pertikaian pula. Tadi aku telah bertarung dengan putri Han Sun."

   Pemuda itu tampak terkejut sekali. Kemudian ia menjulurkan tangannya untuk menggenggam lengan Tam Goat Hua.

   "Adik, kau... kau melukainya?"

   Han Giok Shia dapat mendengar, nada pertanyaan itu penuh mengandung perhatian, itu membuat hatinya berbunga-bunga. Terdengar Tam Goat Hua tertawa dingin.

   "Kakak, tidak begitu lama aku pergi, apakah kau telah berkenalan dengan dia?"

   Pemuda itu segera menyahut.

   "Tidak, Dik. Kau... kau telah melukainya?"

   Tam Goat Hua menyahut dingin.

   "Kalau aku melukainya, kau mau apa?"

   Sepasang alis pemuda itu terangkat sedikit.

   "Aku akan mengantar obat kepadanya, agar dia lekas sembuh."

   Katanya.

   "Mungkin dia tahu kau adalah kakakku, tidak mau menerima kebaikanmu lho!"

   Kata Tam Goat Hua. Pemuda itu tersenyum getir.

   "Aku mengantar obat ke sana setulus hati, kenapa dia tidak mau terima?"

   Mendengar sampai di situ, hati Han Giok Shia bergejolak, bahkan terasa hangat pula.

   Di saat seorang gadis remaja tahu ada orang mencintainya, tentunya akan berperasaan demikian.

   Itu adalah perasaan cinta mulai bersemi.

   Gembira, 259 hangat, malu-malu dan lain sebagainya, begitu pula Han Giok Shia.

   Dengan tertegun dia memandang pemuda itu, dan dalam hatinya berseru-seru.

   "Kau mengantar obat untukku, aku pasti menerimanya!"

   Di saat bersamaan, wajah Tam Goat Hua justru berubah.

   "Kakak! Bagaimana seandainya dia telah mati di tanganku?"

   Wajah pemuda itu langsung berubah pucat pias, lalu menyurut mundur beberapa langkah dan mem.bentak.

   "Adik!"

   Tam Goat Hua tertawa geli.

   "Kakak! Kenapa kau begitu cemas? Legakanlah hatimu, aku cuma merebut senjata Liat Hwe Soh Sim Lun saja, sama sekali tidak melukainya."

   Pemuda itu menghela nafas lega. Wajahnya pun mulai kembali normal.

   "Dasar! Adik, jangan omong yang bukan-bukan lagi, kita harus segera pergi menyusul Lu Sin Kong, memberitahukannya bahwa putranya belum mati."

   Tam Goat Hua mengangguk.

   "Baik."

   Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mereka berdua lalu berjalan pergi sambil bercakap-cakap. Sayup-sayup masih terdengar pemuda itu berkata.

   "Kata ayah, tidak lama lagi dalam rimba persilatan akan terjadi badai. Ayah akan berusaha mencegah badai itu, tapi khawatir kemampuannya terbatas...."

   Kata-kata berikutnya, sudah tidak terdengar lagi oleh Han Giok Shia, namun tetap tampak punggung kedua orang itu, karena rembulan sudah mulai bersinar.

   Han Giok Shia terus memandang punggung pemuda itu.

   Di saat bersamaan terdengar suara kereta yang datangnya sungguh cepat sekali.

   Tak Beberapa lama kemudian tampak sebuah kereta kuda mewah berpacu cepat sekali.

   Saat ini, Tam Goat Hua dan kakaknya sudah sampai di sebuah tikungan.

   Kereta kuda itu justru mengarah ke sana, lalu menghadang mereka.

   Di saat bersamaan, terdengarlah suara harpa yang amat nyaring menusuk telinga.

   Sungguh mengherankan, suara harpa itu entah berasal dari mana.

   Di saat itu pula kereta kuda tersebut pun berjalan dengan perlahan-lahan.

   Tentunya membuat Han Giok Shia tercengang, tapi dia justru menyaksikan suatu keanehan.

   Begitu mendengar suara harpa itu, Tam Goat Hua dan kakaknya mendadak membalikkan badannya, lalu melesat ke tempat persembunyian Han Giok Shia.

   Gadis itu memang tidak mau bertemu Tam Goat Hua, namun ingin sekali menjumpai pemuda itu.

   Di saat hatinya sedang bertentangan, barulah diketahuinya bahwa Tam Goat Hua dan kakaknya tidak mengarah kepadanya, melainkan bergerak cepat berputar-putar membentuk sebuah lingkaran besar.

   Tercekat hati Han Giok Shia, kemudian mendengar dengan seksama suara harpa itu, sepertinya berasal dari kereta, namun kedengarannya juga berasal dari empat penjuru.

   Sementara wajah Tam Goat Hua dan kakaknya, tersirat suatu penderitaan, tapi masih terus berputar2 di tempat itu.

   Mengenai kepandaian Tam Goat Hua, Han Giok Shia telah merasakannya, sudah pasti kepandaian kakaknya tidak akan berada di bawahnya.

   Walau usia mereka berdua belum begitu besar, tapi kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tinggi.

   Melihat keadaan mereka, jelas keduanya masih tidak tahu bahwa dirinya terus berputar di situ, melainkan mengira berlari ke depan.

   Kekuatan apa yang telah mempengaruhi mereka? Padahal mereka memiliki Lweekang yang cukup tinggi, namun masih dapat dikendalikan orang.

   Apakah suara harpa itu yang mempengaruhi mereka? Han Giok Shia mencoba mendengarkan suara harpa itu dengan seksama.

   Tak lama dia pun merasa semangatnya agak terbetot.

   Kini dia berani memastikan, bahwa orang yang memetik harpa memiliki Lweekang yang amat tinggi sekali.

   Segeralah dia menghimpun hawa murninya, setelah itu barulah dia bisa merasakan agak tenang.

   Dia memandang ke depan lagi.

   Dilihatnya Tam Goat Hua dan kakaknya masih terus berputar-putar, sedangkan kereta kuda itu bergerak perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, namun kusirnya tidak terlihat, entah berada di mana.

   Dalam hati Han Giok Shia tahu, suara harpa itu bukan ditujukan kepadanya, maka dia tidak terpengaruh.

   Berdasarkan situasi itu, Tam Goat Hua dan kakaknya tidak akan mengalami suatu luka, lagipula ayah mereka tentunya bukan orang biasa.

   Lebih baik cepat-cepat meninggalkan tempat ini.

   Setelah mengambil keputusan tersebut, dia pun mengapit Lu Leng lalu melesat pergi.

   Tujuannya ke menara Hou Yok.

   Sayup-sayup dia masih mendengar suara harpa itu.

   Berselang beberapa saat mereka sudah sampai di menara tersebut, kemudian langsung masuk dan naik ke tingkat teratas, yaitu tempat tinggal Hwe Hong Sian Kouw.

   Han Giok Shia telah faham keadaan di menara itu.

   Maka begitu mendorong daun pintu tingkat teratas itu, dia pun langsung masuk sekaligus menaruh Lu Leng di Iantai, dan membalikkan badannya untuk melihat keluar.

   Menara itu sangat tinggi, lagipula terletak di atas bukit.

   Maka dari menara tersebut, orang bisa memandang sejauh sepuluh mil, Tampak di tempat tadi Tam Goat Hua dan kakaknya masih terus berputar-putar.

   Dalam hati Han Giok Shia semakin merasa heran.

   Dia tidak mempedulikan Lu Leng yang tergeletak di lantai, hanya terus memandang Tam Goat Hua dan kakaknya.

   Berselang 263 beberapa saat kemudian, terlihat sebuah lengan terjulur keluar dari dalam kereta itu.

   Plaaak! Sebuah pecut bergerak mengeluarkan suara.

   Kereta kuda itu berpacu cepat ke depan, sedangkan suara harpa itu makin rendah.

   Setelah suara harpa itu berhenti, Tam Goat Hua dan kakaknya pun berhenti berputar.

   Mereka berdua tampak tertegun, kemudian melesat pergi.

   Dalam sekejap keduanya sudah lenyap dari pandangan Han Giok Shia.

   Sementara Han Giok Shia masih tetap berdiri di dekat jendela.

   Ia terus memandang ke tempat itu sambil melamun.

   Ternyata dia sedang mengingat kembali kata-kata pemuda itu, sehingga hatinya merasa kehilangan sesuatu.

   Setelah pemuda itu lenyap dari pandangannya, barulah ia membalikkan badannya.

   Kini hari sudah mulai terang.

   Namun ketika ia membalikkan badannya, di depan matanya tetap gelap gulita.

   Han Giok Shia menghela nafas panjang.

   Kemudian ia mengeluarkan sebuah batu api, dan menyalakan lampu yang tergantung di ruangan itu.

   Dalam waktu setengah tahun ini, setiap malam dia pasti ke mari, namun tidak pernah memperhatikan bangunan menara itu.

   Tingkat teratas menara itu menyerupai sebuah kamar.

   Di dalamnya terdapat sebuah meja, sebuah kursi dan boleh dijadikan tempat tinggal.

   Setelah lampu dinyalakan, gadis itu tampak tertegun, bahkan sepasang matanya terbelalak lebar.

   Dia ingin berteriak tapi tidak dapat mengeluarkan suara.

   Wajahnya penuh diliputi kedukaan.

   "Ayah! Ayah!"

   Ia menubruk ke depan.

   Ternyata ia melihat di dinding ruangan itu muncul sosok bayangan.

   Bayangan itu tinggi besar, jelas bukan Lu Leng.

   Lagipula ia menaruh Lu Leng di lantai, sedangkan bayangan itu berdiri bersandar di dinding.

   Rambut orang itu awut-awutan, dadanya tampak terluka dan darahnya belum kering.

   Sepasang matanya mendelik memandang ke depan, namun sudah redup.

   Begitu melihat orang itu, Han Giok Shia mengenalinya, yang tidak lain si Pecut Emas-Han Sun, ayahnya.

   Sungguh tak terduga, dia akan bertemu ayahnya di tempat ini, tapi ayahnya telah mati.

   Han Giok Shia memeluk erat-erat mayat ayahnya, lama sekali barulah meledak isak tangisnya.

   Adiknya telah binasa, ayah pun telah mati, ibu sudah lama tiada, kini dia hanya tinggal sebatang kara.

   Kali ini, Han Giok Shia jauh lebih sedih dari kesedihannya ketika berada di halaman belakang rumahnya.

   Ia terus 265 menangis hingga cahaya mentari menyorot ke dalam melalui jendela, ternyata hari sudah mulai siang.

   Han Giok Shia mendongakkan kepala.

   Wajahnya murung dan kusut, rambutnya awut-awutan tidak karuan, bibirnya berbekas gigitan dan terdapat noda darah.

   Dapat dibayangkan betapa sedihnya hati gadis itu.

   Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu merapihkan rambutnya.

   Dia termangu-mangu lagi.

   Di dinding tempat Han Sun bersandar tadi, tampak dua huruf yang ditulis dengan tangan.

   Yakni huruf "Lu"

   Dan huruf "Tam".

   Kira-kira tiga kaki di atas kedua huruf itu, terdapat pula bekas sebuah telapak tangan yang cukup dalam, di jempol bercabang sebuah jari, maka telapak tangan itu berjumlah enam jari.

   Padahal Han Giok Shia sudah berhenti menangis, namun ketika melihat itu dia mulai menangis lagi.

   "Ayah! Ayah! Aku sudah tahu! Yang membunuhmu adalah Lu Sin Kong dan orang bermarga Tam itu! Aku sudah tahu! Aku sudah tahu!"

   Gadis itu cuma memperhatikan kedua huruf itu, sama sekali tidak melihat bekas telapak tangan tersebut.

   Gadis itu pun yakin, kedua huruf itu ditulis ayahnya, agar orang tahu pembunuh itu adalah orang bermarga Lu dan bermarga Tam.

   Walau malamnya dia melihat Lu Sin Kong membopong mayat isterinya pergi namun dalam hatinya telah menganggap 266 Lu Sin Kong yang membunuh ayahnya, maka dia sama sekali tidak bercuriga.

   Sebab terhadap Lu Sin Kong, dia memang amat benci.

   Kini melihat kedua huruf itu, sehingga semakin yakin Lu Sin Kong adalah pembunuh ayahnya, sama sekali tidak bercuriga akan keganjilan itu.

   Maklum! Gadis itu masih muda dan belum berpengalaman.

   Lama sekali dia berdiri mematung di situ, kemudian perlahan-lahan memandang Lu Leng dengan penuh kebencian.

   Jalan darah Tay Pai Hiat di tubuh Lu Leng telah ditotok.

   Walau anak itu terus menerus menghimpun hawa murninya untuk membuka totokan itu, namun tidak berhasil sama sekali.

   Sorotan mata Han Giok Shia yang penuh kebencian itu, ditujukan pada Lu Leng.

   Berselang beberapa saat, perlahanlahan dia menjulurkan tangannya untuk meraih senjata Liat Hwe Soh Sim Lun yang di punggungnya, lalu diayunkannya sehingga gelang bergerigi yang ada di ujung rantai itu, melayang ke dada Lu Leng, dan menancap di situ tapi tidak begitu dalam.

   Walau merasa sakit, tapi Lu Leng sama sekali tidak menjerit.

   Sebaliknya dia malah berusaha tenang, setelah itu berulah berkata perlahan-lahan.

   "Aku dan Nona sama sekali tidak saling mehgenal, tapi kenapa Nona ingin merenggut nyawaku? Harap dijelaskan!"

   Saat ini dalam hati Han Giok Shia, justru sedang berpikir harus dengan cara bagaimana membuatnya mati perlahan-267 lahan dalam keadaan tersiksa.

   Akan tetapi, perkataan Lu Leng barusan malah membuat-nya tertegun.

   Di saat bersamaan, Lu Leng pun mengerahkan seluruh Lweekangnya totokan seketika itu juga terbuka dan mendadak melancarkan sebuah pukulan.

   Pukulan itu tidak diarahkan pada Han Giok Shia, melainkan ditujukan pada senjata Liat Hwe Soh Sim Lun.

   Dalam keadaan tertegun, Han Giok Shia merasakan adanya serangkum tenaga yang amat kuat menerjang ke atas, sehingga membuat badannya terhuyung-huyung ke belakang, dan gelang bergerigi yang menancap di dada Lu Leng pun tercabut.

   Perubahan yang sekejap itu, justru merupakan suatu kesempatan bagi Lu Leng untuk menyelamatkan diri.

   Tiba-tiba sebelah tangannya menekan lantai, dan seketika juga badannya mencelat sejauh tiga depaan.

   Kini Han Giok Shia baru sadar, di saat Lu Leng membuka mulut berbicara, ternyata dia berhasil membuka totokan itu dengan hawa murninya.

   Oleh karena itu, ketika melihat Lu Leng mencelat, dia pun menggerakkan senjata Liat Hwe Soh Sim Lun untuk menyerangnya, dengan jurus Thian Lung Hwe Yun (Langit Menurunkan Awan Api).

   Di saat gelang bergerigi itu hampir mengenainya, mendadak Lu Leng berkelit ke samping.

   Dikarenakan kematian ayahnya, maka timbul kebenciannya yang amat dalam di hatinya, maka ketika menyerang, dia menggunakan sembilan bagian tenaganya.

   Plaaak! Senjata Liat Hwe Soh Sim Lun menghantam lantai, sehingga membuat lantai itu berlobang.

   Lu Leng yang berhasil berkelit, cepat-cepat menyambar sebuah kursi sekaligus menyerang Han Giok Shia.

   Padahal luka di dadanya cukup berat, namun dia tahu kalau tidak bertahan mati-matian, nyawanya pasti akan melayang.

   Oleh karena itu, dia pun menggunakan tenaga sepenuhnya untuk menyerang gadis itu, hingga kursi itu mengeluarkan suara menderu-deru.

   Han Giok Shia tidak sempat lagi mencabut senjatanya yang menancap di lantai.

   Dilepaskannya senjata itu sambil meloncat ke belakang sekaligus meraih Pecut Emas yang melilit di pinggangnya.

   Gadis itu menyentakkan Pecut Emas itu, sehingga menimbulkan suara "Taar", dan itu sungguh mengejutkan Lu Leng.

   "Kau adalah puteri Han Sun?"

   Tanya Lu Leng tertegun.

   Han Giok Shia tidak menyahut, melainkan terus menggerakkan Pecut Emas itu untuk menyerang Lu Leng.

   Taaar! Ujung Pecut Emas itu mendarat di bahu kiri Lu Leng, membuat bajunya tersobek dan meninggalkan bekas 269 memerah.

   Walau kini bahunya telah terluka, namun Lu Leng tetap mengajukan pertanyaan tadi.

   Lu Leng amat membutuhkan jawaban, sebab penting sekali bagi dirinya.

   Semalam jalan darahnya ditotok oleh Han Giok Shia, tapi tetap dapat mendengar pembicaraan Tam Goat Hua, Lu Sin Kong dan kakak Tam Goat Hua.

   Saat itu, dia tahu dirinya tidak becus, maka dipecundangi orang.

   Lagipula dia pun kurang berpengalaman, sehingga mengira gadis itu adalah Tam Goat Hua.

   
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Selain itu, dia pun tahu ibunya telah binasa di rumah Pecut Emas-Han Sun.

   Betapa sedihnya hati Lu Leng saat itu, namun masih belum terpikirkan, gadis yang menotok jalan darahnya, justru puteri si Pecut Emas-Han Sun.

   Hingga saat ini, Han Giok Shia mengeluarkan Pecut Emasnya, barulah dia terpikirkan tentang itu.

   Apabila benar gadis itu adalah puteri si Pecut Emas-Han Sun, berarti gadis tersebut dan dia merupakan musuh besar.

   Meskipun bahu Lu Leng terluka oleh Pecut Emas, tapi dia tetap mengajukan pertanyaan tadi.

   Han Giok Shia tertawa panjang.

   "Tidak salah, aku memang puterinya!"

   Usai menyahut, mendadak badannya melesat ke depan sambil mengayunkan Pecut Emasnya.

   Serrr! Gadis itu mengeluarkan jurus Toh Lang Cih Thian (Ombak Menyapu Langit) menyerang Lu Leng.

   Itu adalah jurus andalan ayahnya yang diwariskan kepadanya.

   Begitu Pecut Emas itu diayunkan, terdengar suara menderu-deru bagaikan suara ombak.

   Sedangkan dada Lu Leng telah terluka, ditambah lagi luka di bahu, itu membuatnya terasa sakit sekali, tapi dia terus berkelit ke sana ke mari.

   Tar! Taar! Tak henti-hentinya Pecut Emas itu mengeluarkan suara yang mengguncangkan jantung.

   Walau sudah berkelit ke sana ke mari, namun badannya tak luput dari hantaman Pecut Emas itu.

   Terasa sakit sekali ketika Pecut Emas itu mendarat di badannya.

   Sementara rambut Han Giok Shia sudah awut-awutan, keadaannya bagai orang gila, terus memecut Lu Leng.

   Lu Leng sudah tidak mampu berkelit lagi.

   Namun kebetulan dia berada di dekat senjata Liat Hwe Soh Sim Lun yang tertancap di lantai.

   Dia menggigit gigi sambil menyambar senjata itu, sekaligus mencabutnya.

   Kemudian dengan senjata itu dia menangkis Pecut Emas yang terus menyambar-nyambar dirinya.

   Cring! Kedua senjata itu beradu.

   Di saat bersamaan Lu Leng meloncat ke samping.

   Han Giok Shia tertawa dingin lalu membentak.

   "Binatang kecil, kau mau kabur ke mana?"

   Setelah menggenggam senjata Liat Hwe Soh Sim Lun, Lu Leng berusaha bangkit berdiri, akan tetapi sekujur badannya terasa sakit sekali, sehingga membuatnya tak mampu bangun.

   Ketika Han Giok Shia tertawa dingin itu bagaikan sembilu menyayat hatinya, maka sekuat tenaga dia berusaha bangkit berdiri dan berhasil, namun tidak bisa berdiri tegak, sebab badannya terus bergoyang-goyang.

   Dia terpaksa menghimpun hawa murninya, sekaligus mengayunkan senjata Liat Hwe Soh Sim Lun untuk menyerang gadis itu, kemudian mendadak dilepaskannya senjata itu dan menerjangnya ke arah jendela.

   Lu Leng saat ini, sudah tentu akan binasa.

   Justru dalam hatinya merasa, dari pada terus dipecut oleh musuh, lebih baik meloncat keluar lewat jendela, itu akan mati secara menyenangkan.

   Ketika badannya mulai meluncur ke bawah, tiba-tiba terdengar suara "Ser", ternyata Han Giok Shia telah mengayunkan Pecut Emasnya untuk melilit badannya.

   Tujuan gadis itu tidak menyelamatkannya, hanya saja tidak menghendakinya mati terhempas di bawah, sebab gadis itu masih ingin menyiksanya.

   Di saat Pecut Emas itu melilit badan Lu Leng, membuat Lu Leng nyaris tak dapat bernafas, sehingga sepasang tangannya menggapai ke sana ke mari, kebetulan menggapai pinggir jendela.

   Pada waktu bersamaan, dia mendengar suara tawa Han Giok Shia, kemudian Pecut Emas itu mulai memecutnya.

   Tadi Lu Leng tidak mempedulikan apa pun, karena dia telah mengambil keputusan untuk mati terhempas, namun kini hatinya justru berubah keras.

   Biar bagaimana pun juga, dia sudah tidak ingin mati lagi.

   Asal ada sedikit kesempatan hidup, dia harus berjuang untuk hidup.

   Itu demi membalas dendam ibunya, dan saat ini dia justru menemukan kesempatan itu.

   Ketika badannya berayun-ayun di pinggir jendela, dia melihat tingkat bawah hanya berjarak dua tiga kaki.

   Dia tahu, asal hatinya tenang pasti dapat meloncat ke ujung wuwungan tingkat bawah itu, kemudian dengan jurus Toh Kua Kim Ceng (Lonceng Emas Bergantung), dia bisa menerobos ke dalam ruang tingkat bawah itu melalui jendela untuk sementara menghindari siksaan Han Giok Shia.

   Lu Leng berkertak gigi menahan rasa sakit Pecut Emas yang terus menghujani badannya, dia memperhatikan ke bawah.

   Di saat bersamaan Pecut Emas itu mengarah jalan darah yang di punggungnya, itu merupakan jalan darah yang amat penting.

   Lagipula Han Giok Shia menyerangnya dengan jurus Liu Sing Sam Tah (Meteor Membuat Tiga Lingkaran), mengarah tiga jalan darah penting di punggung Lu Leng.

   Apabila ketiga jalan darah itu tertotok, nyawa Lu Leng pasti melayang seketika.

   Oleh karena itu, dia menarik nafas dalam-dalam sambil melepaskan tangannya yang memegang pinggir jendela, 273 membiarkan badannya merosot ke bawah, kemudian melintangkan kaki kanannya untuk menggaet ujung wuwungan.

   Maka badannya bergantung di situ dan bergoyang-goyang, sekaligus mengayunkan badannya untuk menerjang ke dalam jendela.

   Buuk! Badannya terhempas di lantai, sedangkan ujung wuwungan yang telah menyelamatkan dirinya pun roboh jatuh ke bawah.

   Untung di bawah tidak terdapat seorang pun.

   Kalau ada pasti tertimpa oleh ujung wuwungan itu.

   Begitu terhempas di lantai, sekujur badan Lu Leng terasa sakit lagi.

   Tapi dia tahu, kalau masih ingin hidup, haruslah memanfaatkan kesempatan yang sekejap itu untuk meloloskan diri.

   Karena itu, dia langsung bangkit berdiri.

   Setelah bangkit berdiri, seketika juga dia merasa merinding.

   Ternyata di ruang itu terdapat beberapa buah patung dewa yang tampak angker, balikan seperti hidup.

   Sungguh aneh sekali, di ruangan itu terdapat begitu banyak Barang laba-laba, namun patung-patung dewa itu justru kelihatan bersih sekali.

   -ooo0ooo- Bab 12 Di saat itulah terdengar.

   suara bentakan Han Giok Shia, dan itu sungguh mengejutkan Lu Leng.

   "Binatang kecil! Jangan harap dapat meloloskan diri, kecuali menuju ke alam baka!"

   Lu Leng tahu tidak mungkin dirinya bisa lari ke bawah, maka dia bersembunyi di belakang sebuah patung dewa.

   Baru saja dia bersembunyi, hatinya merasa menyesal sekali, karena jejak kakinya berada di lantai, bahkan menuju ke arah patung tempat dia bersembunyi.

   Siapa yang melihat jejak itu, pasti tahu ada orang bersembunyi di tempat itu.

   Namun di saat itu Lu Leng sudah tidak sempat bersembunyi di tempat lain, sebab suara Han Giok Shia sudah semakin mendekat.

   Sesungguhnya dari tingkat atas ke tingkat bawah, tidak begitu membutuhkan waktu.

   Akan tetapi, beberapa tingkat atas menara itu sudah lama tidak diperbaiki, dan tangganya pun sudah lapuk, maka Han Giok Shia harus berhati-hati melangkah turun, sudah barang tentu memberi sedikit waktu untuk Lu Leng bernafas.

   Lu Leng saat ini semakin panik, karena tahu sulit baginya untuk meloloskan diri, sehingga membuatnya lupa akan rasa sakit di sekujur badannya.

   Justru di saat itu, suatu hal yang luar biasa terjadi mendadak.

   Lu Leng nyaris tidak percaya akan matanya sendiri, mengira itu hanya merupakan halusinasinya lantaran sekujur badannya terluka.

   Dia menggoyang-goyangkan kepala, apa yang terjadi itu memang nyata, bukan halusinasinya.

   Ternyata dia melihat salah satu patung dewa yang di ujung, sekonyong-konyong bangkit berdiri, kemudian bergerak cepat berputar-putar di ruang itu, dan berhenti di dekat jendela, setelah itu mencelat ke tempat semula.

   Betapa cepatnya gerakan patung dewa itu, sehingga membuat mata Lu Leng menjadi kabur.

   Ketika dia menundukkan kepala, memang benar patung dewa itu pernah bangkit berdiri, sekaligus berputar-putar di ruang itu.

   Sebab jejak kakinya telah terhapus semua, malah muncul jejak kaki lain menuju ke arah jendela.

   Dalam hati Lu Leng tahu, kalau Han Giok Shia muncul pasti akan melihat jejak kaki itu, dan mengira dirinya telah meloncat keluar melalui jendela.

   Di saat dia berpikir, terdengar suara "Blam", gadis itu sudah menerobos ke dalam.

   Sebelah tangannya menggenggam Pecut Emas, yang sebelah lagi memegang senjata Liat Hwe Soh Sim Lun.

   Padahal gadis itu berparas cantik, namun saat ini dia tampak beringas dan bengis sekali.

   Lu Leng segera menahan nafas, tak berani bergerak sama sekali.

   Han Giok Shia yang telah masuk itu, langsung menengok ke sana ke mari.

   Dilihatnya jejak kaki di lantai mengarah jendela, maka dia lalu melesat ke jendela itu.

   Seketika juga Lu Leng menarik nafas lega.

   Namun kemudian berkeluh lagi, sebab dia melihat Han Giok Shia membalikkan badan setelah memperhatikan jejak kaki di lantai.

   Sedangkan apabila Han Giok Shia memperhatikan patung-patung dewa yang di ruang itu, dia pasti akan menemukan Lu Leng.

   Justru di saat inilah hal aneh terjadi lagi.

   Ternyata mendadak jubah patung dewa itu mengembang menutupi badan Lu Leng.

   Di saat itu pula terdengar suara dengusan Han Giok Shia yang amat dingin.

   "Hm! Bocah busuk, aku mau melihat kau kabur ke mana!"

   Kemudian gadis itu melesat keluar menuju tingkat bawah.

   Sampai di situ Han Giok Shia sama sekali tidak menemukan jejak kaki.

   Karena itu, dia terus memeriksa ke bawah.

   Tercium wangi dupa dan tampak beberapa Hweeshio sedang membaca doa.

   Apa yang telah terjadi di lantai atas, para Hweeshio itu sama sekali tidak mengetahuinya.

   Han Giok Shia juga tidak punya waktu untuk berbicara dengan mereka, namun segera bertanya.

   "Maaf! Apakah kalian dapat melihat seorang anak remaja melarikan diri dari sini?"

   "Omitohud!"

   Sahut salah seorang Hweeshio.

   "Seorang anak remaja? Tidak."

   Han Giok Shia mendekati jendela dan memandang ke bawah, namun tidak tampak ada orang terhempas di bawah sana, dan itu membuatnya tidak habis pikir.

   Setelah termangu-mangu beberapa saat, gadis itu kembali ke atas lagi.

   Beberapa Hweeshio itu tahu bahwa Hwe Hong Sian Kouw tinggal di tingkat teratas, adalah orang dunia persilatan, maka tidak merasa heran menyaksikan gadis itu naik ke sana.

   Han Giok Shia memeriksa setingkat demi setingkat, namun sampai di tingkat itu dia pun tertegun.

   Padahal tadi di tingkat itu terdapat tujuh delapan buah patung dewa, namun kini sudah Ienyap semuanya.

   Menyaksikan keadaan itu, sadarlah Han Giok Shia bahwa dirinya telah terjebak oleh siasat orang.

   Maka dia bersiul panjang seraya bertanya.

   "Kurcaci dari mana, beranikah memperlihatkan diri?"

   Walau dia berseru beberapa kali, tapi tetap tiada sahutan sama sekali.

   Tiba-tiba dia teringat akan mayat ayahnya yang masih bersandar di dinding ruangan tingkat atas.

   Maka segeralah dia berlari ke tingkat teratas itu.

   Han Giok Shia melihat mayat ayahnya sudah tidak bersandar di dinding lagi, melainkan terbaring di ranjang.

   Dia langsung menghampiri mayat itu.

   Dilihatnya selembar kertas menempel di dada mayat ayahnya yang terluka.

   Pada kertas tersebut terdapat beberapa baris tulisan.

   Diambilnya surat itu lalu dibacanya.

   Dada saudara Han, dilukai oleh Hou Jiau Kou (Cakar Harimau) tiada hubungan dengan orang itu.

   Keponakan tidak boleh bertindak sembarangan terhadap orang baik! Pada surat itu tidak tercantum siapa yang menulisnya, hanya terdapat tujuh macam gambar.

   Yakni sebuah Holou (Semacam Kendi), sebatang suling, sebatang Pit, sebuah buku, sebuah kipas, sebuah gelang besi dan sebuah lempengan besi.

   Gambar-gambar tersebut mewakili apa, Han Giok Shia sama sekali tidak mengetahuinya, bahkan terheran-heran pula.

   Tadi di lantai bawah dia melihat tujuh delapan buah patung dewa, tapi tidak memperhatikannya secara seksama.

   Kini dia melihat ketujuh gambar itu, dapat diduga itu mewakili tujuh orang.

   Mengenai ketujuh orang tersebut Han Giok Shia pun tidak kenal maupun tidak mengetahuinya.

   Saat ini, dia masih dalam keadaan gusar, maka tidak begitu memperhatikan bunyi tulisan itu.

   Kematian ayahnya justru dilukai oleh Hou Jiau Kou, semacam senjata yang amat ganas.

   Dalam hatinya dia menduga, bahwa ketujuh orang tersebut telah menyelamatkan Lu Leng.

   Oleh karena itu, dirobekrobeknya kertas tersebut, lalu dipeluknya mayat ayahnya sambil menangis meraung-raung dan akhirnya pingsan.

   Tak Beberapa lama kemudian, dia siuman dari pingsannya.

   Ketika ia membuka mata, keadaan di sekelilingnya gelap gulita, hanya tampak satu titik sinar.

   Itu bukan berarti hari sudah gelap, melainkan sepasang matanya tertutup sehelai kain.

   Han Giok Shia tidak tahu dirinya berada di mana, dan itu membuat hatinya menjadi "gugup dan panik.

   Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mendadak terdengar suara "Ting! Ting! Ting", yaitu suara harpa, tapi cepat sekali suara berhenti, kemudian terdengar lagi suara tawa.

   "Ha ha ha!"

   Tak seberapa lama, suara tawa itu pun hilang lenyap, barulah Han Giok Shia menghimpun hawa murninya untuk membuka jalan darahnya yang tertotok.

   melepaskan kain yang menutupi mukanya.

   ternyata dia masih tetap berada di tingkat atas menara tersebut dan mayat ayahnya pun tetap terbujur di atas ranjang.

   Dia terus menatap mayat itu dengan wajah murung.

   Berselang beberapa saat, dia mulai berpikir.

   Ayahnya mati di sini, lalu di mana Hwe Sian Siau Kouw, gurunya? Apakah gurunya juga telah binasa? Kalau tidak, bagaimana mungkin gurunya tidak ke mari? Padahal ketika dia meninggalkan rumah, ayahnya dan gurunya masih duduk di ruang besar, tapi kenapa malam harinya ayahnya sudah menjadi mayat dan berada di sini sedangkan gurunya tidak kelihatan sama sekali? Berpikir sampai di sini, dia langsung menutupi mayat ayahnya dengan selimut, kemudian segera turun ke tingkat bawah.

   Keluar dari menara itu, dia langsung melesat menuju kota.

   Sampai di depan rumahnya dia tidak membuka pintu pagar lagi, melainkan meloncat ke dalam melalui tembok.

   Rumah yang begitu besar, tampak sepi sekali, tiada suara sedikit pun.

   Han Giok Shia berseru memanggil pembantu tua, kemudian berseru memanggil gurunya, namun tidak terdengar suara sahutan.

   Dia langsung menerobos memasuki ruang besar.

   Keadaan ruangan itu pun sama seperti kemarin ketika dia pergi, tidak terdapat perubahan apa pun.

   Han Giok Shia berputar ke sana ke mari, tapi tidak melihat pembantu.

   Entah pergi ke mana pembantu itu.

   Gadis itu membatin, mungkin gurunya belum mati.

   Hanya karena musuh amat tangguh, maka gurunya pergi mengundang jago tangguh untuk menghadapi musuh itu.

   Gurunya punya hubungan baik dengan Hui Yan Bun, tentunya gurunya pergi ke sana.

   Tapi kemudian Han Giok Shia berpikir lagi, ayahnya dan Hwe Hong Sian Kouw berada di ruang besar ini, sudah pasti tidak ada musuh tangguh ke mari, maka Hwe Hong Sian Kouw berpamit.

   Sedangkan ayahnya bukan mati di rumah, melainkan di menara Hou Yok, bahkan juga meninggalkan tulisan, yakni Lu dan Tam.

   Lu tentunya menunjukkan Lu Sin Kong, sedangkan Tam sudah pasti menunjukkan ayah Tam Goat Hua....

   Mendadak dalam benak Han Giok Shia kembali muncul sosok bayangan, yaitu pemuda kurus yang tampan itu.

   Bayangan pemuda itu justru membuatnya tersenyum getir, sebab dia tahu jelas pemuda itu mencintainya, dan dia pun terkesan baik terhadapnya.

   Padahal kalau urusan terus berkembang, pasti akan baik dan indah sekali.

   Akan tetapi kini apa pula yang harus dikatakannya? Han Giok Shia terus berpikir, setelah itu mengambil keputusan, bahwa malam harinya dia akan kembali ke menara itu.

   Walau dia tidak tahu jejak musuh, namun paling tidak bisa menurunkan mayat ayahnya dan memakamkannya, kemudian setelah itu baru menyusun suatu rencana untuk membalas dendam.

   Sesudah mengambil keputusan tersebut, barulah Han Giok Shia merebahkan dirinya ke tempat tidur, tapi dia sama sekali tidak bisa pulas.

   Sulit sekali menunggu hari gelap.

   Walau tidak begitu lama menunggu, namun dia merasa lama sekali.

   Ketika hari mulai gelap, gerimis pun mulai turun.

   Di saat itulah Han Giok Shia berangkat ke gunung Hou Yok.

   Tak seberapa lama kemudian, dia sudah berada di sekitar gunung Hou Yok tersebut.

   Hujan pun makin lama makin lebat, sehingga rambut dan pakaiannya telah basah kuyup, tapi dia sama sekali tidak merasakannya.

   Dia hanya berharap bertemu kembali dengan Tam Goat Hua dan kakaknya, agar dapat menyelidiki siapa ayah mereka, barulah membalas dendam.

   Han Giok Shia mendatangi tempat semalam di mana dia bersembunyi bersama Lu Leng, lalu duduk di atas sebuah batu, membiarkan hujan turun terus mengguyur dirinya.

   Ketika tengah malam, dia melihat dua sosok bayangan berkelebat.

   Cepat-cepat dia bersembunyi di balik batu itu.

   Kedua sosok bayangan itu sudah semakin mendekat, mereka memakai topi rumput lebar.

   Walau muka mereka ditutup oleh topi rumput lebar itu, namun Han Giok Shia mengenali mereka berdua, yang tidak lain Tam Goat Hua dan kakaknya.

   Dia langsung menahan nafas dan tidak bergerak sama sekali di tempat persembunyiannya, tak lama terdengar suara Tam Goat Hua.

   "Heran, sebetulnya ayah pergi ke mana, kok sudah malam begini masih belum datang?"

   Kakaknya menyahut.

   "Adik, apakah kau khawatir ayah akan dicelakai orang?"

   Tam Goat Hua tertawa.

   "Tentunya ayah tidak akan dicelakai orang, sebab dalam rimba persilatan tidak banyak pesilat yang dapat bertahan sepuluh jurus melawan senjata Hou Jiau Kounya. Aku cuma merasa heran, kenapa ayah tidak datang?"

   Usai Tam Goat berkata, sekujur badan Han Giok Shia menggigil.

   Bukan karena kedinginan, melainkan teringat akan sesuatu.

   Hou Jiau Kou (Cakar Harimau)! Ternyata itu yang membuatnya menggigil, bahkan juga menyerupai jarum menusuk ke dalam hatinya.

   Teringat akan tulisan yang tertera di kertas itu, berbunyi demikian.

   "Dada Saudara Han, dilukai oleh Hou Jiau Kou..."

   Pada waktu itu dia masih ragu, tapi kini sudah berani memastikan siapa yang dimaksudkan "Tam"

   Itu.

   Itu membuat darahnya langsung mendidih.

   Rasanya ingin segera memecut putra putri musuh besarnya itu, tapi dia justru tahu, seorang diri tidak mungkin dapat melawan mereka berdua.

   Lagipula...

   bagaimana mungkin dia turun tangan terhadap pemuda kurus tampan itu? Oleh karena itu hatinya manjadi bimbang.

   Di saat bersamaan, terdengar pemuda itu menyahut.

   "Ayah tidak datang, tentunya ada urusan. Adik, kau jangan mengira orang yang berkepandaian tinggi pasti ternama, itu belum tentu. Seperti halnya apa yang kita alami semalam, kau sudah lupa itu?"

   "Kalau tidak diungkit masih tidak apa-apa. Tapi kalau diungkit, justru hingga hari ini aku masih merasa gusar dan penasaran sekali."

   Pemuda itu tertawa.

   "Adik, apa gunanya gusar dan penasaran. Suara harpa itu dapat mempengaruhi kita, bahkan membuat kesadaran kita kabur. Kalau si pemetik harpa itu mau mencelakai kita, boleh dikatakan gampang sekali. Aaah! Dalam hal ilmu silat, memang tiada batasnya!"

   Tam Goat Hua juga tertawa.

   "Kakak, kalau malam ini ayah tidak datang, kelihatannya kita tidak bisa terus berdiam di Hou Yok. Kita harus segera berangkat ke gunung Bu Yi, menunggu Lu Sin Kong membawa para jago tangguh dari kedua partai pergi mencari Liok Ci Siansing untuk membuat perhitungan. Kita memunculkan diri dan asal mengatakan sesuatu, mereka pasti tidak akan bertarung mati-matian."

   Pemuda itu menyahut.

   "Gampang sekali kau bicara. Kemarin kita bersama pergi menyusul Lu Sin Kong, suara harpa itu datang dari langit, membuat kita kehilangan banyak waktu, sehingga kita tidak berhasil menyusulnya. Lagipula Lu Leng masih hidup, itu hanya ucapan ayah, aku juga tidak bertemu Lu Leng. Sampai saat ini kedua pihak menghunus pedang bertarung kalau kita juga mengucapkan begitu apakah Lu Sin Kong dan para jago kedua partai itu akan percaya?"

   Tam Goat Hua menghela nafas panjang.

   "Menurutmu, tidak ada yang harus kita lakukan?"

   Pemuda itu menyahut, kemudian menghela nafas panjang.

   "Juga tidak begitu. Kita harus ke gunung Bu Yi. Kalau sampai saatnya mereka tidak percaya, asal kita menyebut julukan ayah, mungkin untuk sementara mereka tidak akan bertarung."

   Tam Goat Hua bertepuk tangan.

   "Ide yang bagus! Mari kita berangkat, jangan membuang waktu lagi!"

   Pemuda itu tertawa.

   "Kau memang tidak sabaran!"

   Tam Goat Hua juga tertawa.

   "Kakak, jangan berkata begitu! Bagaimana kau sendiri semalam? Begitu mendengar aku melukai gadis itu, kau pun tampak begitu gugup dan panik. Kak, perlukah kita ke rumahnya untuk berpamit?"

   Pemuda itu memukul Tam Goat Hua.

   Gadis itu langsung berkelit, kemudian mereka berdua tertawa lagi.

   Begitu mendengar suara tawa mereka, hawa kegusaran yang berada di rongga dada Han Giok Shia makin menyala, tapi dia terpaksa bertahan kemudian terdengar lagi pemuda itu berkata.

   "Kita pun harus meninggalkan beberapa kata agar ayah tahu ke mana tujuan kita. Kalau ayah berhasil membawa Lu Leng bukankah baik sekali?"

   Tam Goat Hua mengangguk.

   "Betul apa yang kau katakan."

   Mereka berdua menengok ke sana ke mari.

   Tampak batu besar tempat Han Giok Shia bersembunyi.

   Mereka berdua mempunyai maksud yang sana, lalu melesat ke arah batu besar itu.

   Begitu melihat mereka berdua melesat ke arahnya, Han Giok Shia langsung menahan nafas dan tak berani bergerak sedikit pun.

   Ketika Tam Goat Hua dan pemuda itu sampai di hadapan batu besar, Han Giok Shia dapat mendengar desah nafas mereka, kemudian terdengar pula suara.

   Sert! Serrrt!, kedengarannya seperti suara semacam senjata tajam mengukir sesuatu di batu besar itu.

   Berselang sesaat, Tam Goat Hua berkata.

   "Kakak, biar aku yang mengukir namaku!"

   Terdengar lagi suara "Serrt! Serrrt!". Setelah itu, Tam Goat Hua berkata lagi.

   "Beres! Kalau ayah ke mari pasti melihat ini!"

   Badan mereka bergerak, kemudian perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.

   Setelah mereka tidak kelihatan, barulah Han Giok Shia keluar dari tempat persembunyiannya.

   Dia ke hadapan batu besar itu.

   Dilihatnya dua Baris tulisan diukir di atas batu, yang berbunyi demikian.

   ayah, Anak telah berangkat ke gunung Bu Yi, Ayah boleh menyusul.

   Berdasarkan ukiran huruf itu, dapat diketahui bahwa Lweekang pemuda itu lebih tinggi, sebab ukirannya lebih dalam.

   Tam Goat Hua tadi mengatakan mengukir namanya sendiri, terlihat ukiran nama tersebut tidak begitu dalam.

   Han Giok Shia berdiri termangu-mangu di depan batu besar itu.

   Sampai lama sekali barulah dia mengambil keputusan, yakni untuk berangkat kegunung Bu Yi juga.

   Lu Sin Kong mau ke gunung Bu Yi membuat perhitungan.

   Tam Goat Hua dan kakaknya bernama Tam Ek Hui serta ayah mereka juga mau ke gunung Bu Yi.

   Itu berarti kedua pembunuh ayahnya berada di gunung Bu Yi, maka Han Giok Shia mengambil keputusan untuk berangkat ke sana.

   Walau gadis itu tidak kenal Liok Ci Siansing, Tiat Cit Songjin dan lainnya, namun apabila dia membantu mereka menghadapi musuh, tentunya mereka pasti gembira sekali dan akan menyambutnya dengan baik.

   Begitu ingat akan dendam tersebut, Han Giok Shia tampak bersemangat sekali, lalu ke menara Hou Yok untuk mengambil mayat ayahnya.

   Setelah dibawa pulang, hari berikutnya dia membeli sebuah peti mati, kemudian menaruh mayat ayahnya ke dalam peti mati itu, sekaligus dimakamkan di halaman belakang.

   Isak tangisnya pun meledak di situ.

   Setelah puas menangis barulah dia berangkat ke gunung Bu Yi.

   Sementara ini tidak mengikuti perjalanan Han Giok Shia yang sedang pergi ke gunung Bu Yi, sebaliknya kita harus tahu bagaimana keadaan Lu Leng yang terluka malam itu.

   Dia bersembunyi di belakang sebuah patung dewa.

   Ketika Han Giok Shia memasuki lantai itu, patung dewa itu pun menutupi badannya dengan jubahnya.

   Lu Leng adalah anak cerdik, seketika juga dia dapat menduga, bahwa patung dewa itu adalah orang.

   Orang-orang itu bersedia menyelamatkannya, tentunya tidak akan mencelakainya, maka dia berlega hati.

   Walau dia sudah terluka, namun masih terus bertahan karena ingin hidup.

   Di saat dia merasa lega, justru sudah tidak kuat bertahan lagi.

   Dia merasa matanya gelap lalu pingsan.

   Di saat dia pingsan, kebetulan Han Giok Shia meninggalkan lantai itu menuju lantai bawah.

   Mendadak ketujuh patung dewa itu bangun serentak, kemudian bergerak cepat bagaikan terbang menuju tingkat teratas.

   Salah satu patung itu masih menggendong Lu Leng.

   Tidak begitu lama berada di tingkat teratas itu, mereka segera turun ke tingkat bawah menggunakan Ginkang.

   Sampai di bawah, mereka langsung melesat pergi laksana kilat.

   Segala yang berlangsung itu, Lu Leng sama sekali tidak mengetahuinya.

   Ketika dia siuman dan perlahan-lahan membuka matanya, dia merasa badannya bergoyang-goyang.

   Ternyata dirinya berada di dalam sebuah perahu yang cukup besar.

   
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Begitu siuman, sekujur badannya terasa sakit sekali.

   Maka dia merintih-rintih tak tertahan.

   Dia baru saja mengeluarkan suara rintihan, tampak seseorang menjulurkan kepalanya ke dalam.

   "Bocah, kau sudah siuman? Perutmu pasti sudah lapar, mau makan?"

   Orang itu bertelinga lebar dan tampak ramah, sehingga Lu Leng terkesan baik. Dia berusaha bangun tapi tak mampu bergerak, sebaliknya sekujur badannya bertambah sakit, maka merintih lagi.

   "Bocah!"

   Si Gendut itu menggeleng-gelengkan kepala.

   "Merasa sakit ya sudahlah! Jangan terus merintih, kau masih hidup kok."

   Lu Leng berkertak gigi. Walau sekujur badannya masih terasa sakit sekali, tapi dia sama sekali tidak mengeluarkan suara rintihan lagi. Si Gendut mengacungkan jempolnya sambil manggut-manggut.

   "Bagus! Hatimu memang tabah!"

   Katanya. Ketika si Gendut mengacungkan jempolnya, Lu Leng melihat sebuah gelang berukuran cukup besar di lengannya. Sementara Lu Leng terus menahan rasa sakitnya, sehingga membuat wajahnya tampak meringis-ringis.

   "Kau tidak usah cemas, kawan-kawanku itu sedang pergi mencari obat untukmu. Tak lama mereka pasti ke mari. Lukamu itu cukup berat, namun kau memiliki Lweekang yang cukup tinggi, maka tidak apa-apa."

   Kata si Gendut. Bagian 06

   "Terimakasih atas pertolongan para Cianpwee,"

   Ucap Lu Leng. Si Gendut kemudian mendadak menjulurkan tangannya untuk mengambil sebuah topeng tembaga. Dipakainya topeng itu tapi kemudian dilepaskan lagi.

   "Tidak mengejutkanmu?"

   Katanya. Topeng tembaga itu memang aneh, justru adalah salah satu patung dewa yang dilihatnya di dalam menara Hou Yok. Saat ini walau sekujur badan masih terasa sakit, namun kelakuan si Gendut yang lucu itu membuat Lu Leng tertawa geli.

   "Tidak terkejut, hanya saja kenapa para Cianpwee menyamar sebagai patung dewa di menara Hou Yok itu?"

   Si Gendut menghela nafas panjang.

   "Panjang sekali kalau diceritakan. Setelah lukamu sembuh, barulah kuceritakan. Ingat, saat ini kau tidak boleh gusar, sebab akan menambah parah lukamu!"

   Lu Leng mengangguk, lalu memandang keluar. Tampak sedikit kabut di luar sana. Ternyata perahu tersebut berada di pinggir sebuah telaga. Bukan main indahnya panorama di tempat itu. Setelah memandang keluar sejenak, dia bertanya kepada si Gendut.

   "Bolehkah aku tahu, siapa Cianpwee sekalian?"

   Si Gendut tertawa gelak.

   "Ha ha ha! Kami berjumlah tujuh orang, maka untuk mengingat nama kami, mungkin sulit bagimu."

   Begitu mendengar mereka berjumlah tujuh orang, hati Lu Leng tergerak.

   "Apakah Cianpwee sekalian adalah Tujuh Dewa dalam rimba persilatan?"

   Walau Lu Leng tidak pernah berkecimpung dalam rimba persilatan, namun kedua orangtuanya sudah berpengalaman, maka pernah mendengar dari kedua orangtuanya mengenai orang-orang aneh berkepandaian tinggi dalam rimba persilatan.

   Dia masih ingat akan penuturan ayahnya, selain para ketua partai besar, masih terdapat tujuh orang aneh yang berkepandaian amat tinggi sekali.

   Karena merasa cocok satu sama lain, maka ketujuh orang aneh itu selalu bersama dan dijuluki Tujuh Dewa dalam rimba persilatan.

   Jejak ketujuh orang aneh itu tidak menentu, kadang-kadang berada di dalam perahu, di pegunungan dan di pinggir laut, bertindak sesuatu pun berdasarkan kemauan hati, sama sekali tidak terikat oleh peraturan rimba persilatan.

   Kalau berjodoh bertemu mereka dan mau menyebut sebagai "Teecu" (Murid), pasti akan memperoleh keuntungan besar.

   Teringat akan ini, barulah Lu Leng dapat menduga identitas mereka.

   Si Gendut tertawa lagi.

   "Bocah, pengetahuanmu cukup luas, kami memang Tujuh Dewa."

   Lu Leng justru tidak tahu, sejak hari itu dia melihat seorang piausu yang berlumuran darah, begitu masuk ke dalam ruangan langsung mati, karena itu dia membawa golok pendek meninggalkan rumah.

   Sejak itu pula dia terus menghadapi berbagai macam bahaya, bahkan juga mengalami hal-hal yang aneh.

   Begitu pula apa yang dialami kedua orangtuanya, sebab menemukan mayat anak tanpa kepala di dalam gudang batu, maka mengira dia telah binasa, lantaran bekas telapak tangan berjari enam, sehingga menganggap itu adalah perbuatan Bu Yi San Liok Ci Siansing, Tiat Cit Songjin dan Tujuh Dewa sebagai pembunuh.

   Lu Leng sama sekali tidak tahu akan urusan itu.

   Begitu pula Tujuh Dewa tersebut, sama sekali tidak tahu bahwa Lu Sin Kong pergi mengundang para jago tangguh Tiam Cong Pai dan Go Bi Pai, ke gunung Bu Yi guna membuat perhitungan terhadap Liok Ci Siansing.

   Ketika Lu Leng tahu bahwa Tujuh Dewa yang menyelamatkan dirinya, maka hatinya menjadi lega.

   Di saat itulah justru dia teringat akan kedua orangtuanya.

   Sudah sekian lama dia tidak berjumpa, bahkan kini ibunya telah binasa.

   Tak disangka hari itu meninggalkan rumah, malah berpisah selamanya dengan ibunya.

   Lu Leng merupakan anak yang berperasaan, begitu teringat hal itu, air matanya meleleh.

   Sedangkan si Gendut sudah kembali ke geladak.

   Lu Leng memandang keluar, tampak permukaan telaga sedikit bergelombang, dan itu membuat pikirannya menjadi menerawang.

   Setelah meninggalkan rumah, Lu Leng mengalami berbagai macam kejadian.

   Ternyata dia pergi mengejar kereta mewah itu.

   Apa yang dialaminya, akan dituturkan di sini.

   Hari itu setelah meninggalkan rumah, Lu Leng terus mengejar kereta mewah itu.

   Dia terus mengejar sampai di luar kota, tapi sama sekali tidak menemukan jejak kereta mewah tersebut.

   Lu Leng berpikir, apakah dirinya terlambat selangkah, sehingga kereta mewah itu telah pergi jauh? Ketika dia baru ingin kembali ke rumah untuk berunding dengan kedua orangtuanya, mendadak terdengar suara kereta.

   Lu Leng segera meloncat ke semak-semak dan bersembunyi di situ lalu mengintip.

   Tampak sebuah kereta mewah yang dihiasi dengan bermacam-macam permata, terus melaju ke arah luar kota.

   Setelah kereta mewah itu melewati tempat persembunyiannya, dia segera melesat keluar, ke arah belakang kereta mewah itu, sekaligus meraih pinggirnya, maka dia bergantungan di situ.

   Walau Lu Leng bernyali besar, tapi saat itu hatinya merasa tegang juga.

   Sebelah tangannya memegang erat-erat pinggiran atap kereta, tangan yang sebelah lagi bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

   Sementara kereta mewah itu terus melaju dengan mengeluarkan suara "Tik Tak Tik Tak", tak Beberapa lama kemudian, sudah tiba di pinggir sebuah sungai.

   Begitu tiba di pinggir sungai itu, kereta mewah tersebut berhenti.

   Hati Lu Leng bertambah tegang, sebab kereta mewah itu berhenti di pinggir sungai, sudah barang tentu mau menyeberang, itu berarti orang yang ada di dalamnya akan keluar.

   Hati Lu Leng terus berkebat-kebit.

   Akan tetapi, sudah lewat sekian lama, tiada suara gerakan apapun.

   Lu Leng merasa heran.

   Kebetulan di belakang kereta mewah itu terdapat sebuah jendela kecil, yang ditutup dengan 294 sehelai gordyn warna keemasan.

   Karena tidak mendengar suara gerakan apapun, maka dia mengeluarkan golok pendek yang dibawanya untuk merobek sedikit gordyn itu, sekaligus mengintip ke dalam.

   Begitu melihat ke dalam, hatinya tersentak, karena ternyata kereta itu kosong melompong.

   Betapa heran hati Lu Leng, sebab kereta mewah itu kosong.

   Keberaniannya pun menjadi bertambah.

   Dia segera menghimpun hawa murninya lalu menerobos ke dalam.

   Ketika sepasang kakinya menginjak, terasa menginjak sesuatu yang amat lunak.

   Ternyata kereta mewah itu beralas semacam kulit bulu binatang.

   Suasana di dalam kereta itu agak gelap, tercium pula semacam bau harum yang amat aneh.

   Lu Leng menyingkap sehelai gordyn, seketika di dalam kereta mewah itu pun menjadi terang.

   Sungguh indah dekorasi di dalam kereta mewah itu.

   Terdapat sebuah meja kecil, tampak sebuah teko dan sebuah pedupaan yang mengepulkan asap harum.

   Di sini pedupaan terdapat sebuah harpa kuno berwarna agak kehitam-hitaman.

   Lu Leng memang sering melihat berbagai macam harpa, maka tahu ada berapa banyak tali senar harpa.

   Namun harpa kuno yang satu itu, justru punya dua puluh satu tali senar yang sehalus rambut.

   Menyaksikan harpa kuno itu, dia merasa tercengang, karena itu dia menjulurkan tangannya untuk memetik tali senar harpa itu.

   Akan tetapi, jari tangannya sama sekali tidak mampu menggerakkan tali senar itu, sehingga sedikit suara pun tak terdengar.

   Mulut Lu Leng ternganga lebar.

   Padahal tadi dia telah menggunakan tenaga yang cukup besar untuk memetik tali senar harpa itu, namun tak berbunyi sama sekali.

   Kalau begitu, si pemiliknya harus menggunakan tenaga besar untuk memetik tali Benar harpa tersebut? Maklum! Lu Leng masih bersifat anak-anak, maka ingin sekali membunyikan harpa kuno tersebut.

   Dia menghimpun hawa murni, kemudian disalurkan ke jari tangannya untuk memetik tali senar itu.

   Tali senar harpa kuno itu bergerak dan mendadak mengeluarkan suara bagaikan halilintar.

   Lu Leng sama sekali tidak menyangka harpa kuno itu akan mengeluarkan suara yang begitu keras memekakkan telinga, membuat jantungnya tergetar dan badannya terpental jatuh.

   Di saat bersamaan, terdengar pula suara ringkikan kuda, kemudian kereta mewah itu tergoncang-goncang lalu meluncur laksana kilat.

   Saat itu, Lu Leng mengerti bahwa dirinya telah menimbulkan suatu bencana.

   Dia segera menuju tempat duduk kusir, lalu dengan sekuat tenaga ditariknya tali les kuda itu, agar kuda itu berhenti.

   Akan tetapi, kuda itu terus meringkik dan mengamuk berjingkrak-jingkrak seperti gila, mulut mengeluarkan busa.

   Bagaimana mungkin tali les itu dapat menahan amukan kuda tersebut? Tiba-tiba terdengar suara "Plaak", tali les itu telah putus.

   Begitu tali les itu putus, kuda tersebut berlari kencang ke depan.

   Lu Leng ingin meloncat turun, tapi ketika melihat ke bawah, kepalanya langsung terasa pusing dan pandangannya kabur.

   Itu dikarenakan saking kencangnya kuda itu berlari.

   Kalau dia meloncat, pasti akan terluka berat.

   Kini sekujur badannya mengeluarkan keringat dingin.

   Sedangkan kuda itu terus berlari kencang.

   Lu Leng berteriakteriak, namun kuda itu tidak mau berhenti.

   Kuda itu terus berlari, tak terasa hari mulai gelap.

   Lu Leng memandang ke depan, dilihatnya sebuah telaga besar.

   Permukaan telaga itu menyatu dengan langit, dan kemerah-merahan pula.

   Itu sungguh indah sekali! Lu Leng dibesarkan di kota Lam Cong, tentunya tahu bahwa dirinya telah tiba di telaga Hoan Yang Ouw.

   Sampai di pinggir telaga itu, kuda tersebut berhenti lalu terkulai dengan mulut mengeluarkan busa.

   Kalau bukan terhalang oleh telaga itu, kuda tersebut entah akan berlari sampai ke mana? Begitu sampai di telaga Hoan Yang Ouw, Lu Leng tertegun, karena dari Lam Cong ke tempat itu paling sedikit harus menempuh jarak seratus mil lebih.

   Maka dapat diketahui, bahwa kuda itu sangat jempolan.

   Lu Leng meloncat turun dari kereta.

   Ketika itu hari sudah agak gelap.

   Dalam hati Lu Leng merasa, kereta mewah itu amat aneh dan misterius pula.

   Maka, dia tidak berani lama-lama berada di tempat itu.

   Dia membalikkan badannya, kemudian berlari kencang ke arah kota Lam Cong.

   Dia ingin pulang untuk memberitahukan 297 kepada kedua orangtuanya tentang apa yang dialaminya, juga mengenai harpa kuno itu.

   Namun ketika dia baru berlari tujuh delapan mil, mendadak terdengar suara kereta di belakangnya, seakan mengejarnya.

   Tersentak hati Lu Leng, tapi kemudian berpikir mungkin kereta lain sedang melakukan perjalanan malam, maka dia tidak begitu cemas lagi, juga tidak berpaling ke belakang.

   Setelah berlari beberapa mil, suara kereta itu tetap terdengar di belakangnya, dan itu membuat Lu Leng berpaling ke belakang.

   Begitu berpaling, sekujur badannya langsung mengeluarkan keringat dingin.

   Ternyata kereta yang berada di belakangnya, justru kereta mewah itu.

   Saat ini, kereta mewah tersebut telah bertambah seorang kusir yang berpakaian serba hitam, tangannya memegang pecut kuda.

   Di malam nan gelap itu, kereta mewah tersebut kelihatan mirip arwah gentayangan menerjang ke arahnya.

   Lu Leng cepat-cepat meloncat ke samping, tapi kereta mewah itu pun bergeser ke samping seakan menindihnya.

   Betapa terkejutnya hati Lu Leng.

   Ia langsung membentak sambil mengeluarkan golok pendek.

   "Hei! Kau buta ya? Kau tidak melihat di depan ada orang?"

   Kereta mewah itu berhenti, dan si kusir mendengus dingin.

   "Hmmm!"

   Dengusan itu membuat orang merinding mendengarnya.

   Saat ini, jarak kereta mewah tersebut dan Lu Leng begitu dekat, sehingga Lu Leng dapat melihat dengan jelas kusir itu berpakaian serba hitam.

   Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Wajahnya kehijau-hijauan, sama sekali tidak terdapat warna darah.

   Sepasang bola matanya tak bergerak, namun menyorot dingin.

   Terkejut Lu Leng menyaksikannya, sehingga tanpa sadar ia menyurut ke belakang.

   "Kau... kau siapa?"

   Tanyanya.

   Si kusir itu mendengus dingin lagi, kemudian mengangkat pecut kuda yang di tangannya.

   Kemudian pecut itu meliuk-liuk ke arah Lu Leng.

   Lu Leng ingin berkelit, namun terlambat, tahu-tahu pecut itu sudah mendarat di bahunya.

   Tar! Taaar! Bahu Lu Leng terpecut dua kali.

   Itu membuat Lu Leng gusar sekali.

   Dia langsung mengayunkan golok pendek yang di tangannya untuk menyerang si kusir dengan jurus It Coh Keng Thian (Sekali Menyerang Mengejutkan Langit).

   Si kusir tetap duduk tak bergeming, tapi mendadak menggerakkan pecut kuda itu untuk menangkis golok pendek yang mengarahnya.

   Golok pendek itu tertangkis sehingga arahnya menjadi miring ke kiri.

   Di saat bersamaan pecut kuda itu menghantam lengan Lu Leng yang menggenggam golok pendek.

   Lengan Lu Leng terasa sakit sekali, sehingga golok pendek yang digenggamnya terlepas, jatuh ke tanah.

   Lu Leng terkejut bukan kepalang, karena hanya dua jurus bergebrak dengan kusir itu, dia sudah kehilangan golok pendeknya.

   Mendadak dia menjatuhkan diri, sekaligus menyambar golok pendek yang tergeletak di tanah.

   Dia berhasil menyambar golok pendek itu, namun punggungnya terasa sakit sekali.

   Ternyata pecut kuda itu telah menyambar punggungnya.

   Dia terguling-guling beberapa depa, namun tiba-tiba ada tenaga lunak menahan dirinya, sehingga dia tidak berguling lagi.

   Lu Leng tertegun, lalu mendongakkan kepalanya.

   Tampak tiga orang berbadan tinggi besar berdiri di hadapannya.

   Dandanan ketiga orang itu sungguh aneh.

   Mereka mengenakan pakaian kuno dan topi tinggi.

   Di pinggang masing-masing bergantung sebilah pedang panjang.

   Salah seorang dari mereka mengangkat Lu Leng bangun dengan sebelah kakinya, kemudian melemparkannya beberapa depa, membuat Lu Leng berdiri.

   Terhadap apa yang telah terjadi dan siapa pula yang dijumpainya, Lu Leng sama sekali tidak paham, hanya merasa tercengang.

   Kemudian orang itu menjura ke arah kereta kuda mewah seraya berkata.

   "Jago tangguh dari partai mana yang berada di dalam kereta, harap memberitahukan!"

   Kusir itu perlahan-lahan menoleh. Sepasang bola matanya tetap tak bergerak memandang ketiga orang itu. Kemudian ia mengeluarkan suara dengusan dingin namun sama sekali tidak berbicara. Ketiga orang itu maju selangkah, lalu berkata serentak.

   "Kalau kau masih tidak berbicara, kami akan membuka pintu kereta melihat dalamnya!" -ooo0ooo- Bab 13 Lu Leng tidak kenal dengan ketiga orang itu. Namun dia amat berterimakasih kepada mereka karena mereka telah menyelamatkannya. Dia ingin memberitahukan bahwa kereta itu kosong, tidak ada orangnya. Namun ketika dia baru mau membuka mulut, mendadak tampak sosok bayangan meloncat keluar dari kereta mewah itu. Lu Leng terkejut sekali, sebab ketika dia meninggalkan kereta mewah itu, di dalamnya tidak terdapat seorang pun. Dia sudah merasa heran karena kereta mewah itu mengejarnya, bertambah seorang kusir, kini bahkan tampak seseorang meloncat keluar dari dalamnya, membuatnya bertambah heran. Entah kapan kedua orang itu berada di kereta mewah tersebut. Orang yang meloncat keluar berdandan sebagai pengurus rumah. Wajahnya lumayan, tidak seperti wajah si kusir yang menyeramkan itu. Setelah meloncat keluar, orang itu memberi hormat kepada ketiga orang tersebut seraya berkata.

   "Aku bernama Ki Hok, entah ada urusan apa kalian bertiga ingin menemui majikanku?"

   Salah seorang dari mereka menyahut.

   "Tahukah kau siapa kami bertiga?"

   Ki Hok tertawa.

   "Harap beritahukan!"

   Wajah ketiga orang itu berubah gusar, kemudian salah seorang dari mereka membentak.

   "Kau berani menggunakan kereta ini ke mana-mana menimbulkan urusan, tentunya majikanmu punya asal-usul yang luar biasa, tapi kenapa tidak kenal kami bertiga?"

   Semula Lu Leng tidak tahu kenapa ketiga orang itu marah-marah.

   Setelah mendengar ucapan itu, barulah ia tahu bahwa mereka bertiga pasti amat terkenal dalam rimba persilatan.

   Namun Ki Hok justru tidak kenal mereka, maka mereka bertiga menjadi gusar sekali.

   Oleh karena itu, Lu Leng memperhatikan ketiga orang itu, hatinya tergerak dan membatin.

   Apakah mereka bertiga adalah Bu Tong Sam Kiam (Tiga Pedang Dari Bu Tong) yang amat tersohor itu? Bu Tong Pai memang mempunyai jago-jago tangguh, maka nama Bu Tong Pai amat cemerlang dalam rimba 302 persilatan.

   Ketiga orang itu memang Bu Tong Sam Kiam, karena apabila mereka turun pasti bersama pula.

   Mereka bertiga telah menguasai ilmu pedang Sam Cay Kiam Hoat, yakni ilmu pedang Langit, Bumi dan Manusia.

   Ketiga macam ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang tingkat tinggi, yang amat lihay dan dahsyat.

   Ki Hok tertawa.

   "Aku cuma keluyuran mengikuti majikanku ke empat penjuru. Mengenai kaum rimba persilatan yang terkenal, aku memang tidak mengetahuinya, harap kalian bertiga memaafkanku!"

   Wajah ketiga orang itu penuh kegusaran, sedangkan wajah Ki Hok tampak berseri-seri.

   "Hmm!"

   Ketiga orang itu mendengus dingin, kemudian salah seorang dari mereka berkata.

   "Dengar-dengar ada sebuah kotak kayu yang punya hubungan dengan kereta ini. Kami ingin melihatnya!"

   Ucapan tersebut agak bernada angkuh, namun Ki Hok sama sekali tidak tersinggung maupun marah.

   "Sungguh tidak kebetulan kedatangan kalian bertiga, sebab majikanku telah menitipkan kotak kayu itu kepada Thian Hou Piau Kiok yang di kota Lam Cong untuk diantar ke Su Cou, kini sudah tidak berada di dalam kereta."

   Apa yang dikatakan Ki Hok membuat Lu Leng menyadari satu hal, maka dia berseru dalam hati.

   "Hah! Ternyata yang datang mencari ayahku di siang hari, adalah Ki Hok ini!"

   Karena berkaitan dengan ayahnya, maka Lu Leng pun mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketiga orang itu tertawa.

   "Ha ha! Kalian dapat mengelabui orang lain, namun tidak dapat mengelabui kami bertiga!"

   Ki Hok tampak tertegun.

   "Apa maksud ucapan kalian bertiga itu?"

   Tanyanya kemudian. Salah seorang dari Bu Tong Sam Kiam itu tertawa panjang, lalu menyahut.

   "Kalian menyiarkan berita ke mana-mana, bahwa kotak kayu itu telah dititipkan kepada Lu Sin Kong, tentunya akan membuat para jago terkenal pergi mencarinya! Tapi sesungguhnya, kotak kayu itu justru masih berada di tangan kalian! Ya, kan?"

   Ki Hok tertawa.

   "Kalian bertiga salah! Kotak kayu itu memang benar sudah berada di tangan Lu Sin Kong, siapa pun tahu itu!"

   Ketiga orang itu maju selangkah.

   Mendadak terdengar suara "Tring! Tring! Tring", ternyata mereka telah menghunus pedang masing-masing dan langsung mengurung Ki Hok.

   Usia Lu Leng masih muda.

   Tapi ibunya adalah ahli ilmu pedang, dan mengajarnya ilmu pedang Tiam Cong Pai, bahkan juga menjelaskan ilmu pedang partai lain.

   Maka ketika menyaksikan cara ketiga orang itu menghunus pedang, Lu Leng sudah tahu bahwa mereka bertiga memiliki ilmu pedang tingkat tinggi.

   Setelah terkurung oleh ketiga bilah pedang itu, wajah Ki Hok mulai berubah, namun tetap tersenyum.

   "Kalian bertiga mengurungku, sebetulnya bermaksud apa?"

   Ketiga orang itu tertawa dingin.

   "Sesungguhnya kau bukan bermarga Ki, melainkan adalah Sun San, Hian Hiang Tongcu dari Hoa San Pai. Kami tidak salah bicara bukan?"

   Air muka Ki Hok langsung berubah, tapi hanya sekejap sudah normal kembali seperti semula.

   "Itu hanya merupakan jabatanku sehari di Hoa San Pai, lalu aku meninggalkan Hoa San. Kalian bertiga dapat mengenaliku, itu membuatku salut sekali!"

   Ketiga orang itu tertawa gelak.

   "Dua belas Tongcu dari Hoa San Pai, berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan. Sejak kapan kau rela meninggalkan Hoa San, menjadi seorang pengurus rumah?"

   Ki Hok menyahut hambar.

   "Setiap orang punya kemauan sendiri, kalian bertiga tidak perlu banyak bertanya!"

   Ketiga orang itu tertawa lagi.

   "Jangan macam-macam! Yang kau maksudkan majikan itu adalah si Tua Liat Hwe, bukan? Bicaralah!"

   Mendengar sampai di sini, Lu Leng semakin yakin bahwa ketiga orang itu adalah Bu Tong Sam Kiam.

   Sedangkan ketua Hoa San Pai adalah Liat Hwe Cousu, kedudukannya sangat tinggi dalam rimba persilatan.

   Namun dalam dua puluh tahun ini, beliau tidak begitu gampang menginjakkan kakinya di rimba persilatan.

   Akan tetapi, nada ucapan ketiga orang itu kedengarannya tidak memandang sebelah mata kepada Liat Hwe Cousu.

   Ki Hok menggeleng-gelengkan kepala seraya menyahut.

   "Kalian bertiga keliru, majikanku bukan Liat Hwe Cousu!"

   Salah seorang Bu Tong Sam Kiam bernama Mok Pek Yun. Dia adalah saudara tertua. Ketika dia baru mau bertanya lagi, yang di sampingnya yaitu Mok Cong Hong, saudara kedua sudah tidak sabar lagi.

   "Kakak, untuk apa banyak bicara dengan dia? Hoa San Pai memang tidak karuan, lebih baik dia kita habiskan dulu!"

   Mok Kui Ih, yang bungsu itu menyelak.

   "Betul. Dia tidak punya majikan, cuma berlagak dan macam-macam saja! Kotak kayu itu pasti menyimpan sesuatu yang amat penting, bagaimana mungkin akan dititipkan kepada orang lain?"

   Mok Pek Yun memberi isyarat kepada kedua adik seperguruannya, kemudian berkata kepada Ki Hok.

   "Kau mendengar itu?"

   Ki Hok tertawa hambar.

   "Kalau kalian bertiga mau turun tangan, aku pun tidak bisa apa-apa. Namun kalau kalian bertiga menjadi pecundang, jangan mempersalahkanku!"

   Usai Ki Hok berkata, si kusir mengeluarkan tawa dingin.

   Di saat itulah Bu Tong Sam Kiam sudah mulai bergerak.

   Tampak sinar pedang berkelebatan ke arah Ki Hok.

   Sungguh cepat sekali gerakan ketiga pedang itu! Kemudian ketiga orang itu mundur serentak.

   Sekujur badan Ki Hok telah terluka oleh ketiga pedang itu, dan darah segarnya pun mengucur.

   Ki Hok sama sekali tidak berkelit maupun menangkis.

   Kalaupun dia berkelit atau menangkis, juga percuma karena gerakan ketiga pedang itu amat cepat, lihay dan dahsyat sekali.

   Menyaksikan kejadian itu, Lu Leng merasa tidak senang akan tindakan Bu Tong Sam Kiam.

   Walau dia pernah bergebrak dengan si kusir sehingga badannya tercambuk, namun Ki Hok adalah orang yang sedang dicarinya karena membunuh salah seorang piausu Thian Hou Piau Kiok.

   Meskipun Bu Tong Sam Kiam telah menyelamatkannya, tapi Lu Leng berjiwa gagah, maka merasa tidak adil mereka bertiga mengeroyok satu orang.

   "Tiga lawan satu, itu tidak adil sama sekali. Kalau mau bertarung, satu lawan satu!"

   Serunya lancang. Bu Tong Sam Kiam berpaling. Mereka menatap Lu Leng dengan penuh kegusaran, sedangkan Ki Hok justru tertawa sambil memandangnya.

   "Saudara kecil, terimakasih atas ucapanmu yang gagah itu! Dengarlah perkataanku, cepat tinggalkan tempat ini!"

   Lu Leng sungguh salut terhadap sikap Ki Hok yang begitu tenang, pertanda orang gagah. Lu Leng masih kecil, maka dia tidak tahu sama sekali, bahwa Ki Hok begitu tenang karena tahu akan perkembangan selanjutnya. Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala.

   "Aku tidak mau pergi."

   Ki Hok berpaling ke arah si kusir, lalu memberi isyarat.

   Si kusir berwajah seram itu langsung tertawa dingin, mendadak mencelat ke atas dari tempat duduknya, berputar di udara kemudian melayang turun.

   Di saat bersamaan, terdengar pula suara "Sert! Sert! Sert", pecut kuda yang di tangannya telah 308 mengarah Lu Leng.

   Sungguh cepat dan indah sekali gerakannya pecut itu.

   Lu Leng terkejut sekali.

   Tanpa ayal lagi dia segera meloncat ke belakang.

   Akan tetapi, ujung pecut kuda itu masih tetap mengarah padanya, sehingga membuat Lu Leng harus meloncat lebih jauh lagi.

   Tak terasa dia sudah meloncat mundur sekitar dua tiga puluh depa.

   Disaat bersamaan, sekonyong-konyong si kusir itu melesat pergi, kembali ke tempat duduknya.

   Lu Leng menarik nafas lega.

   Dia bersandar dipohon sambil memandang ke depan.

   Dilihatnya Bu Tong Sam Kiam masih berdiri di situ mengurung Ki Hok, sedangkan Ki Hok masih berdiri tak bergeming di tempat itu.

   Dalam hati Lu Leng tahu, si kusir aneh sama sekali tidak bermaksud mencelakai dirinya, melainkan menuruti perintah Ki Hok untuk mendesaknya keluar dari tempat itu.

   Seandainya si kusir aneh itu ingin mencelakai dirinya, tidak mungkin pecut kuda itu tidak mengenai badannya.

   Kini melihat Ki Hok terkurung di situ, dia bermaksud maju.

   
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di saat bersamaan, mendadak telinganya menangkap suara harpa yang amat halus.

   Tergerak hati Lu Leng dan teringat dirinya ketika berada di dalam kereta mewah itu, melihat sebuah harpa kuno dan memetik tali senarnya, justru menimbulkan suara yang amat menggetarkan jantung.

   Kini terdengar suara harpa kuno itu, kedengarannya seperti berasal dari langit, namun Lu Leng tahu suara itu pasti 309 berasal dari dalam kereta mewah.

   Akan tetapi.

   Ki Hok telah keluar dari dalam kereta itu, bagaimana mungkin masih ada orang lain di sana? Lu Leng berpikir sambil memandang.

   Begitu suara harpa mengalun, Bu Tong Sam Kiam mulai menyerang.

   Lu Leng amat mengkhawatirkan Ki Hok.

   Namun setelah diperhatikan dengan seksama, dia justru terheran-heran hingga tak percaya akan pandangannya, ternyata mereka mengayunkan pedang masing-masing ke arah orang lain, yang ternyata Mok Kui Ih.

   "Aaaakh!"

   Dia menjerit menyayat hati dan nyawanya melayang seketika.

   Setelah Mok Kui lh binasa, kedua orang itu mulai bertarung lagi.

   Berselang sesaat, gerakan pedang mereka mulai melemah.

   Suara harpa berhenti, kereta mewah itupun mendadak meluncur pergi.

   Kedua orang itu masih saling menyerang.

   Setelah kereta mewah itu hilang ditelan kegelapan, perkelahian mereka barulah berhenti.

   Walau Lu Leng berada di tempat yang agak jauh, namun dapat melihat kedua bilah pedang itu terlepas dari tangan mereka, kemudian mereka berdua terkulai.

   Lu Leng tahu bahwa apa yang dilihatnya itu merupakan kejadian yang amat aneh dan besar dalam rimba persilatan.

   Ketika melihat kedua orang itu terkulai, dia segera berlari menghampiri mereka.

   Ternyata mereka berdua telah terluka parah.

   Dada masing-masing berlobang dan darah segar tak henti-hentinya mengucur dari luka itu.

   Di saat bersamaan, tampak kedua orang itu membalikkan badan, lalu memandang Lu Leng seraya berkata.

   "Sa... sahabat kecil... beritahukan kepada Bu Tong Pai... kami bertiga...."

   Berkata sampai di situ, mata kedua orang itu mendelik, dan nafasnya pun putus seketika.

   Lu Leng termangu-mangu, Bu Tong Sam Kiam amat terkenal dalam rimba persilatan, namun kini malah mati secara mengenaskan di tempat ini.

   Kalau tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, tentu tidak akan percaya apabila orang lain menceritakannya.

   Sebelum menghembuskan nafas penghabisan, mereka berpesan.

   Walau pesan itu tidak lengkap, namun Lu Leng tahu, mereka berdua menghendakinya ke Bu Tong Pai mengabarkan tentang kejadian ini.

   Lu Leng berdiri termangu-mangu dekat ketiga sosok mayat itu, kemudian membatin.

   Karena pesan itu mau tidak mau dia harus pergi ke Bu Tong Pai.

   Namun tidak bisa membiarkan mayat-mayat itu tergeletak di situ, harus dikubur.

   Oleh karena itu, dengan sebilah pedang mulailah dia menggali sebuah lobang besar.

   Di saat bersamaan, justru terdengar suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu, lalu berhenti.

   Lu Leng berpaling.

   Dilihatnya seorang lelaki meloncat turun dari kuda, lalu menghambur mendekati mayat-mayat itu.

   Setelah melihat sejenak ketiga sosok mayat itu, dia mendadak menerjang ke arah Lu Leng seraya membentak.

   "Bangsat! Cara bagaimana kau melukai ketiga paman guruku?"

   Usai membentak, lelaki itu meng ayunkan goloknya menyerang Lu Leng.

   Lu Leng gusar tapi juga ingin tertawa.

   Bu Tong Pai tergolong salah satu partai besar dalam rimba persilatan, namun punya murid yang begitu tak becus berpikir.

   Dia menangkis golok pendeknya, mengeluarkan jurus Siang Hong Cak Yun (Sepasang Puncak Menembus Awan).

   "Trang!"

   Suara kedua senjata itu beradu.

   Golok pendek milik Lu Leng dibuat dari baja murni.

   Walau tidak tergolong golok pusaka, namun golok itu amat tajam.

   Tangkisan Lu Leng membuat lelaki tersebut terhuyung-huyung ke belakang bahkan goloknya telah somplak.

   Setelah dapat berdiri, lelaki itu langsung membentak.

   "Bangsat kecil, siapa kau?"

   "Namaku Lu Leng!"

   Lu Leng? Laki-laki tertegun, sebab sama sekali tidak pernah mendengar nama tersebut.

   "Siapa orangtuamu?"

   Tanyanya lagi.

   "Thian Hou Lu Sin Kong!"

   Lu Leng memberitahukan.

   "Hah?"

   Lelaki itu tampak terkejut dan mendadak meloncat ke punggung kudanya seraya berseru.

   "Ternyata Lu Sin Kong bangsat tua itu yang membunuh ketiga paman guruku!"

   Usai berseru, dia memacu kudanya.

   Hati Lu Leng tersentak.

   Kalau tidak menjelaskan padanya, Bu Tong Pai pasti akan salah paham terhadap ayahnya.

   Oleh karena itu, dia melesat pergi mengejar lelaki itu, dan berhasil meraih ekor kudanya.

   Lu Leng berteriak-teriak.

   "Bu Tong Sam Kiam saling membunuh! Mereka bertiga saling membunuh!"

   Lelaki itu mengayunkan goloknya. Terdengar suara "Sert", ekor itu telah putus. Lu Leng terjatuh, tapi masih sempat berteriakteriak.

   "Bu Tong Sam Kiam...!"

   "Omong kosong!"

   Sahut lelaki itu lantang.

   "Suruh bangsat tua itu tunggu, Bu Tong Pai pasti mencarinya!"

   Lu Leng meloncat bangun, tapi kuda itu sudah jauh sekali, tidak mungkin dapat mengejarnya.

   Lelaki itu memanggil Bu Tong Sam Kiam sebagai "Paman Guru", tentunya dia murid tingkat rendah.

   Tapi dia begitu pulang ke Bu Tong Pai, sudah pasti akan menceritakan yang bukan-bukan.

   Lu Leng menyesal sekali, karena telah membocorkan identitas dirinya.

   Setelah termangu-mangu sejenak, barulah dia mengubur mayat Bu Tong Sam Kiam.

   Setelah itu Lu Leng berpikir, akhirnya dia keputusan untuk pulang ke rumah dulu.

   Saat itu sudah tengah malam, Lu Leng terus melesat ke arah kota Lam Cong, tak seberapa lama kemudian mendadak di hadapannya tampak beberapa orang, ada yang tinggi dan pendek.

   Mereka berdiri di tengah-tengah jalan, tak bergerak sama sekali.

   Malam ini, Lu Leng telah mengalami begitu banyak kejadian aneh yang menegangkan.

   Ketika melihat ada orang, hatinyapun tersentak.

   Ketika dia baru mau memperhatikan orang-orang itu, tiba-tiba ada suatu benda meluncur ke arahnya.

   Lu Leng tahu adanya gelagat tidak baik.

   Dia langsung mengayunkan golok pendeknya untuk menangkis.

   Namun benda itu amat lembut sekali, tidak mempan dibacok dan Lu Leng pun merasa matanya gelap, ternyata benda itu telah menutupi dirinya.

   Betapa gusarnya Lu Leng, dia langsung membentak-bentak.

   "Sobat dari mana, kenapa melakukan serangan gelap?"

   Terdengar suara tawa dingin dan terkekeh-kekeh. Suara tawa itu bernada seperti menangis dan sungguh tak sedap didengar.

   "Sampai waktunya, kau akan tahu sendiri, sabarlah sedikit!"

   Lu Leng bertambah gusar. Dia merasa dirinya terjaring oleh jala, maka dia meronta-ronta. Tapi kemudian, dia merasa berkesemutan, ternyata salah satu jalan darahnya telah tertotok.

   "Kini bocah ini sudah jatuh di tangan kita. Ayahnya pasti akan menyerahkan kotak kayu itu kepada kita!"

   Kata salah seorang dari mereka.

   "Tentu! Namun berdasarkan maksud Kauwcu, alangkah baiknya terlebih dahulu kita mengantar bocah ini ke Istana Setan Pak Bong San, barulah membuat rencana."

   Sahut yang lain. Beberapa orang segera mengangguk.

   "Tidak salah!"

   Lu Leng merasa badannya terangkat ke atas, lalu dibawa pergi.

   Gelap gulita di dalam jala itu, sama sekali tidak dapat membedakan Timur, Barat, Utara maupun Selatan, juga tidak tahu siapa mereka.

   Dia hanya mendengar Pak Bong San, dan itu membuatnya tertegun, sebab di Pak Bong San terdapat golongan sesat, Istana Setan merupakan tempat tinggal si Datuk Setan-Seng Ling.

   Beberapa saat kemudian, Lu Leng merasa agak terang di luar.

   Dia tahu bahwa saat itu hari sudah terang.

   Dia mulai menghimpun hawa murni, namun tiada gunanya sama sekali, maka dia pasrah.

   Hingga malam, dia dapat bahwa dirinya masih dalam perjalanan.

   Tiba-tiba terdengar salah seorang diri mereka berkata.

   "Jangan sampai bocah ini mati kelaparan, buka saja totokan itu!"

   "Tapi...,"

   Sahut salah seorang lainnya ragu-ragu.

   "Jangan khawatir, dia berada di dalam jala pusakaku, tidak mungkin bisa melarikan diri. Buka saja totokan itu!"

   Kata salah seorang yang lainnya lagi sambil tertawa.

   Lu Leng bergirang dalam hati.

   Di saat bersamaan, dia pun merasa punggungnya ditepuk orang.

   Seketika itu juga sekujur badannya menjadi ringan dan dapat bergerak, sehingga membuatnya meronta2 ingin keluar dari jala tersebut.

   Terdengar orang berkata.

   "Bocah, jangan terus meronta, sebab sama juga mencari penyakit!"

   Lu Leng berpikir, percuma dia meronta-ronta, karena tak dapat lolos dari jala pusaka itu, lebih baik pasrah dan terserah mereka mau membawanya ke mana.

   Tak Beberapa lama, justru ada makanan kering masuk ke dalam jala pusaka itu, entah dimasukkan dari mana.

   Lu Leng memang sudah lapar, maka langsung menyantap makanan kering itu dengan lahap sekali.

   Setelah kenyang, dia memejamkan mata untuk tidur.

   Hari berikutnya ketika Lu Leng merasa haus, jala itu dicemplungkan ke sungai.

   Sesudah dia puas minum, jala itu diangkat.

   Kini dia sama sekali tidak tahu dirinya berada di mana, hanya tampak agak terang di luar, pertanda hari sudah siang.

   Kalau gelap berarti hari sudah malam, tak terasa sudah melakukan perjalanan empat hari lamanya.

   Dalam waktu empat hari itu, Lu Leng sama sekali tidak tahu dirinya jauh ke tangan siapa, juga tidak tahu dirinya akan dibawa ke mana.

   Empat hari lalu dia dijaring ke dalam jala itu, dan sejak itu pula seperti dirinya dipisahkan dengan dunia.

   Dia hanya tahu, bahwa yang membawanya tidak hanya satu orang, melainkan beberapa orang.

   Akan tetapi, dalam perjalanan mereka sama sekali tidak pernah berbicara, maka Lu Leng tidak tahu identitas mereka.

   Dia pun merasa, kadang-kadang berada di dalam kereta, di punggung kuda, melalui rimba, lembah dan jalan yang berliku-liku.

   Suatu kali dia pun merasa bergoyang-goyang, ternyata berada di dalam perahu.

   Lu Leng yang berada di dalam jala, hanya bisa pasrah, tidak dapat berbuat apa-apa.

   Pada sore di hari keempat, mendadak Lu Leng merasa berhenti.

   Di saat bersamaan, terdengar suara menderu-deru, yaitu suara angin yang amat menusuk telinga.

   Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Lu Leng tahu, mungkin akan terjadi suatu perubahan.

   Maka, dia terus pasang kuping untuk mendengar penuh perhatian.

   Mendadak di depan mata, muncul sedikit cahaya, sepertinya cahaya obor, bukan cahaya mentari.

   Walau ada sedikit cahaya di depan matanya, namun Lu Leng sama sekali tidak bisa melihat apa pun.

   Tak seberapa lama kemudian, terdengar suara lonceng yang amat nyaring memekakkan telinga.

   "Tang! Tang! Tang!"

   Lu Leng tidak tahu apa yang terjadi.

   Berselang sesaat, terdengar suara "Ser, Ser", dia diangkat orang lagi menuju depan.

   Di depan mata menjadi gelap kembali, terasa angin dingin menerpa2, dan kemudian terdengar suara batuk.

   Merasakan suasana yang meremangkan bulu roma di sekitar tempat itu, Lu Leng dapat menerka bahwa dirinya berada di dalam sebuah goa.

   Di dalam goa itu terdengar suara batuk.

   Kedengarannya memang aneh dan menyeramkan, bahkan membuat Lu Leng merinding, juga merasa tegang.

   Tak lama kemudian Lu Leng merasa dirinya ditaruh ke bawah, lalu mendengar suara langkah meninggalkannya.

   Lu Leng tahu, bahwa kini dirinya mereka tinggalkan seorang diri.

   Itu membuatnya merasa takut, cemas dan gelisah.

   Maklum! Usia Lu Leng masih kecil, tentunya punya perasaan takut.

   Oleh karena itu, dia berusaha bangkit berdiri.

   Mendadak jala itu terbuka sendiri.

   Dapat dibayangkan, betapa gembiranya hati Lu Leng.

   Namun dia merasa heran, kenapa orang-orang itu membawanya ke tempat itu, lalu meninggalkannya begitu saja? Kini Lu Leng telah bebas, tentunya dapat melihat, sebetulnya tempat apa ini.

   Dia berusaha menenangkan hatinya.

   Kemudian digenggamnya golok pendek yang diselipkan di pinggangnya.

   Dia mulai menengok ke sana ke mari, tapi tidak dapat melihat apa pun, karena tempat itu gelap gulita.

   Dia hanya dapat merasakan adanya angin dingin yang menerpa-nerpa wajahnya.

   Lu Leng berteriak beberapa kali, namun tiada sahutan sama sekali, hanya terdengar suaranya sendiri yang berkumandang.

   Dapat diketahui bahwa dirinya berada di dalam sebuah goa.

   Beberapa saat kemudian matanya perlahan-lahan dapat melihat dalam kegelapan itu.

   Dia telah melihat sesuatu, dan itu membuat keringat dinginnya langsung mengucur.

   Bahkan dia lalu berdiri mematung, tak berani bergerak sama sekali.

   Ternyata entah berapa banyak orang tinggi dan pendek berdiri di sekitarnya.

   Padahal sebelumnya, Lu Leng mengira bahwa dirinya berada di dalam goa itu seorang diri, maka dia merasa takut.

   Kini dia melihat begitu banyak orang berdiri di sisinya, bukannya menjadi berani, tapi sebaliknya malah bertambah takut.

   Seketika itu juga hatinya terasa dingin, dan sekujur badannya menjadi lemas, sehingga membuat-nya nyaris tak kuat menggenggam golok pendeknya.

   Tak berapa lama, barulah hatinya merasa agak tenang.

   Kemudian mendadak dia memekik keras sambil mengayunkan golok pendeknya.

   Serrr! Dikeluarkannya jurus Heng Hong Sin Ih (Angin Melintang Hujan Miring) untuk menyerang orang-orang itu.

   Lu Sin Kong ahli ilmu golok, sudah barang tentu, Lu Leng pun mahir ilmu golok.

   Maka, serangannya itu amat lihay dan dahsyat.

   Akan tetapi, dia tidak melihat orang-orang itu bergerak, juga tidak berkelit sama sekali.

   Golok pendeknya berhasil membacok orang itu.

   Bersamaan dengan terdengarnya suara "Trang", terpercik juga bunga-bunga api, sehingga membuat tempat itu agak terang, Lu Leng pun segera melihat.

   "Hah?"

   Dia menjerit kaget dan golok pendeknya terlepas dari tangannya. Kemudian dia menutup mukanya sambil menjerit-jerit.

   "Ayah! Ibu!"

   Badannya termundur beberapa langkah, menubruk sosok yang berdiri di belakangnya.

   Cepat-cepat Lu Leng membungkukkan badannya untuk menyambar golok pendek itu, tetapi dia justru sudah tiada keberanian untuk bangun lagi.

   -ooo0ooo- Bab 14 Ternyata ketika golok pendeknya membacok mengeluarkan suara "Trang"

   Dan mengeluarkan percikan bunga api, itu membuat Lu Leng terkejut bukan main.Karena dia tahu, kalau golok pendeknya tidak membacok batu, tentunya tidak akan begitu kejadiannya.

   Berarti yang berdiri di 320 sekitarnya itu semuanya patung batu, maka tidak perlu ditakuti.

   Namun ketika terjadi percikan bunga api, dia melihat wajah-wajah yang menyeramkan.

   Wajah-wajah itu bukan wajah patung batu, melainkan wajah manusia.

   Bagaimana menakutkan wajah-wajah itu, sesaat itu sulit diuraikan dengan kata-kata, sehingga membuatnya merinding dan tanpa sadar dia pun menjerit ketakutan memanggil kedua orangtuanya.

   Lu Leng telah menggenggam golok pendeknya, tapi posisinya tetap jongkok di tempat itu, sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

   Di saat itulah, terdengar suara tawa dingin berasal dari empat penjuru, bahkan kedengaran amat jauh, juga seakan keluar dari mulut orang yang berwajah menyeramkan tadi.

   Lama sekali barulah Lu Leng berdiri tegak, kemudian bertanya.

   "Si... siapa kau?"

   Tiada sahutan, namun suara tawa dingin itu masih terdengar.

   Sesaat kemudian suara tawa itu berhenti, dan dalam waktu yang bersamaan tiba-tiba di depan matanya muncul seberkas sinar terang.

   Perlahan-lahan dia mendongakkan kepala, memandang ke depan.

   Dia tertegun, ternyata di hadapannya, sejauh lima depaan terdapat cahaya lampu berbentuk bulat bergoyang-goyang di tengah udara.

   Cahaya Iampu itu kehijau-hijauan, mirip api setan, sehingga membuat Lu Leng menjadi merinding.

   Katakanlah itu api setan, namun telah menerangi tempat itu, maka Lu Leng dapat melihat jelas keadaan di sekitarnya dan di mana dia berada.

   Memang tidak salah, ternyata dia berada di dalam sebuah goa, tersorot oleh cahaya lampu itu, sehingga dinding-dinding goa memantulkan sinar remang-remang.

   Akan tetapi, goa itu telah kosong.

   Orang-orang berwajah menyeramkan yang berdiri di tempat itu tadi, kini telah menghilang entah ke mana.

   Lu Leng mengerutkan kening, apa yang dilihatnya tadi mungkinkah hanya merupakan halusinasinya? Tapi dia segera tahu bahwa itu bukan halusinasi, sebab apa yang terjadi tadi masih terasa dalam benaknya.

   Apabila itu hanya merupakan suatu halusinasi, tentunya tidak akan merasa begitu.

   Lu Leng berusaha menerangkan hatinya, kemudian berpikir.

   Sebelumnya terdengar suara batuk, kemudian suara tawa dingin, itu pertanda ada orang di tempat itu.

   Kalau dia terus ketakutan, bukankah akan ditertawakan orang? Berpikir sampai di situ, rasa takutnya berkurang, kemudian dia berteriak sekeras-kerasnya.

   "Tempat apa ini? Kenapa kalian membawaku ke mari? Ayoh! Cepat lepaskan aku?"

   Setelah Lu Leng berteriak berulang kali, barulah terdengar suara tawa dingin yang amat menyeramkan.

   Bersamaan itu, cahaya lampu yang bergantung di tengah udara pun mulai menari.

   Sesungguhnya Lu Leng sudah 322 merasa heran, bagaimana mungkin cahaya lampu itu bisa bergantung di tengah udara.

   Kini dia bertambah heran dan terkejut, karena cahaya lampu itu menari-nari.

   Tak seberapa lama, suara tawa dingin itu berhenti, namun kemudian disusul oleh suara orang bernada parau.

   "Kaukah Lu Leng?"

   Suara itu mengalun, cahaya lampu itu pun menari lebih cepat.

   Cahaya lampu itu menerangi goa itu, tapi Lu Leng tidak melihat apa pun.

   Suara itu kedengarannya seperti berasal dari cahaya lampu tersebut.

   Cahaya lampu bisa berbicara, itu memang tak masuk akal dan amat aneh.

   Lu Leng telah mengalami berbagai macam kejadian aneh, maka tidak merasa aneh lagi tentang itu.

   "Tidak salah!"

   Sahut Lu Leng.

   "Aku Lu Leng, siapa kau?"

   Terdengar suara tawa dingin lagi, lalu menyusul suara sahutan.

   "Siapa aku, bukankah kau sudah melihatnya? Kenapa masih bertanya?"

   Lu Leng mendengarkan dengan penuh perhatian, namun tetap tidak dapat memastikan, suara itu berasal dari mana.

   Tapi nadanya kedengaran bahwa yang berbicara itu adalah cahaya lampu tersebut.

   Lu Leng tidak merasa takut, sebaliknya malah merasa amat gusar.

   "Apa maksudmu menyamar sebagai setan?"

   Terdengar suara tawa gelak.

   "Ha ha! Lu Leng, tahukah kau, nyawamu telah berada di telapak tanganku?"

   Lu Leng langsung membentak.

   "Kentut! Kenapa kau tidak berani memunculkan diri bertarung denganku?"

   Terdengar suara sahutan.

   "Kepandaianku sudah mencapai tingkat tertinggi, kau tidak dapat melihat diriku, bahkan kaupun tidak tahu jejakku? Cobalah kau pikir, apakah kau lawanku? Lagipula tadi aku telah berubah seribu macam, kau sama sekali tidak tahu!"

   Walau usia Lu Leng masih kecil, tapi tidak seperti anak sebayanya, mudah dibohongi.

   Dia tahu, bahwa orang yang bersuara itu memang berkepandaian amat tinggi.

   Namun orang itu bisa berubah seribu macam, itu omong kosong belaka.

   Lu Leng tidak mempercayainya.

   Dia tertawa dingin, kemudian berkata.

   "Kau tidak perlu omong yang bukan-bukan, aku tidak akan percaya!"

   Hening sejenak suasana tempat itu. Kemudian terdengar suara tawa dingin lagi.

   "Aku mau bertanya, inginkah kau meninggalkan goa ini berkumpul kembali dengan kedua orangtuamu?"

   Lu Leng segera menyahut.

   "Tentu, cepatlah lepaskan aku!"

   "Itu tidak sedemikian gampang!"

   Suara itu mengalun lagi.

   "Kau harus mengabulkan satu hal, barulah kulepaskan!"

   Ketika bercakap-cakap dengan orang yang tak kelihatan itu, Lu Leng memperhatikan keadaan di sekitarnya.

   Selain apa yang dilihatnya tadi, di dalam goa itu tidak tampak apa pun, juga tidak terlihat tempat aneh.

   Namun itu malah amat menyeramkan, mungkin dikarenakan ada angin dingin berhembus-hembus di tempat itu.

   Yang lebih aneh lagi adalah cahaya lampu itu, masih tak henti-hentinya menari-nari di tengah udara.

   Kini nyali Lu Leng sudah bertambah besar, maka dia segera bertanya.

   "Hal apa? Katakanlah!"

   Terdengar suara sahutan.

   "Kedua orangtuamu...."

   Lu Leng tidak menunggu suara itu berlanjut.

   Mendadak dia melesat ke arah cahaya lampu.

   Diayunkannya golok pendeknya mengeluarkan jurus Meteor Mengejar Bulan untuk menyerang cahaya Lampu itu.

   Ternyata dalam hatinya telah mengambil suatu keputusan, harus tahu jelas kenapa cahaya lampu itu terus menari-nari.

   Suara itu berhenti dan di saat golok pendek itu hampir menyentuh cahaya lampu tersebut, tiba-tiba cahaya lampu itu meluncur ke atas, lalu berhenti di langit-langit goa.

   Setelah itu, suara tadi terdengar lagi.

   "Bocah busuk, kau ingin melawanku, bukankah berarti kau bermimpi di siang hari bolong?"

   
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lu Leng segera berhenti lalu mendongakkan kepalanya. Tinggi goa itu hampir tiga empat depa, karena merasa Ginkangnya tidak bisa mencapai langit-langit goa, maka dia berteriak.

   "Aku benci cahaya lampu itu! Kau boleh melanjutkan!"

   Sembari berkata, otaknya terus berputar untuk mencari ide yang bagus. Terdengar suara itu melanjutkan.

   


Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id Lembah Nirmala -- Khu Lung Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long

Cari Blog Ini