Ceritasilat Novel Online

Harpa Iblis Jari Sakti 6


Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Bagian 6



Harpa Iblis Jari Sakti Karya dari Chin Yung

   

   Tangan laki-laki membawa sebuah obor, yang entah 416 dibuat dari apa.

   Obor itu tampak membara dan asapnya terus membubung.

   Walau pun dia sudah berada di tempat itu, namun tiada seorang pun yang menghiraukannya.

   Maka lelaki itu kelihatan gusar sekali.

   Dia memandang semua orang-orang itu kemudian berkata dengan suara keras.

   "Aku Duta Api Obor dari Hwa San, mendapat perintah guru, untuk sementara tinggal di tempat ini. Maka aku terlebih dulu memberitahukan, agar tidak kehilangan penghormatan!"

   Semua orang memandangnya dengan acuh tak acuh, dan Tiat Cit Song Jin yang tak sabaran itu, langsung meloncat bangun sambil membentak.

   "Kentut! Kalau kami semua datang di Hwa San dan bersikap demikian, apakah Cousu tua bangka itu tidak akan mencak-mencak?"

   Si Duta Api Obor menatap Tiat Cit Song Jin dengan dingin, lalu bertanya.

   "Andakah tuan rumah di sini?"

   Liok Ci Siansng segera memberi isyarat kepada Tiat Cit Song Jin, setelah itu berbisik.

   "Diam! Saat ini kita tidak boleh emosi!"

   Tiat Cit Song Jin langsung diam.

   "Kalau Hwa San Liat Hwe Cousu mau ke mari, tentunya akan kusambut dengan baik. Silakan Anda cari tempat beristirahat!"

   Kata Liok Ci Siansing.

   Si Duta Api Obor tertawa dingin.

   Dengan sikap angkuh dia berjalan ke tempat kosong, lalu menancapkan obornya dan berdiri di situ dengan bertolak pinggang.

   Semua orang tahu, Hwa San Pai tergolong partai besar, maka amat angkuh.

   Terutama Liat Hwe Cousu ketua Hwa San Pai, karena kedudukannya dalam rimba persilatan amat tinggi, maka tak memandang sebelah mata pun terhadap orang lain.

   Si Duta Api Obor berdudukan cukup tinggi dalam partai itu, yakni di atas kedudukan dua belas Tongcu.

   Kepandaiannya tinggi sekali membuatnya menjadi angkuh.

   Tak Beberapa lama, terdengar suara musik sayup-sayup, mengalun ke tempat itu.

   Sesaat kemudian tampak empat bocah berpakaian merah berjalan menuju ke tempat itu sambil memainkan alat musik masing-masing.

   Di belakang keempat bocah baju merah itu terlihat tiga lelaki yang melangkah mantap dan bertenaga.

   Dapat diketahui bahwa mereka bertiga berkepandaian tinggi, adalah Tongcu dari Hwa San.

   Terakhir tampak seorang tua berjubah merah.

   Badannya kurus tinggi bagaikan sebatang bambu, dan rambutnya merah.

   Dia berjalan paling belakang dengan mata memandang ke atas.

   Sampai di puncak Sian Jin Hong, mereka mendekati obor yang tancap di tanah itu lalu melemparkan sesuatu ke obor tersebut.

   Bum! Bum! Bum! Terdengar suara ledakan dan seketika tampak asap membubung.

   Liok Ci Siansing memandang dengan kening berkerut-kerut, kemudian bangkit berdiri seraya berkata.

   "Lebih baik kita ke dalam gubuk saja!"

   Tujuh Dewa menggeleng-gelengkan kepala.

   "Takut apa di sini?"

   Berselang beberapa saat, mendadak terdengar suara tangisan yang amat menyeramkan. Si Sastrawan Se Chi tertawa.

   "Bagus! Segala macam setan iblis akan berkumpul di sini!"

   Suara tangisan itu kedengaran makin dekat, nada-nya bergelombang amat menusuk telinga. Ketika suara itu hampir mencapai puncak, tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang gadis, yang disusul oleh suara sahutan parau yang tak sedap didengar.

   "Apa? Cepat minggir, aku mau lewat!"

   Semua orang yang berada di puncak Sian lin Hong, langsung memandang ke sana.

   Tampak empat sosok bayangan berkelebat ke atas sambil bertarung.

   Dua orang di antara mereka adalah Kou Hun Su Seng Cai dan Sou Mia Su Seng Bou, anak si Setan-Seng Ling, sedangkan dua orang lagi adalah seorang pemuda dan seorang gadis.

   Pemuda itu berusia dua puluhan, sedangkan si gadis berusia lima belasan.

   Mereka berdua berpakaian aneh.

   Senjata yang di tangan Seng Cai dan Seng Bou, terus menghujani mereka dengan totokan, kelihatannya ingin mendahului mereka sampai di puncak.

   Namun si pemuda dan si gadis itu bergerak laksana kilat, dalam waktu sekejap sudah tiba di puncak.

   Begitu tiba di puncak, gadis itu membalikkan badannya seraya membentak.

   "Arwah gentayangan berani berebut jalan dengan kami, kalian harus tahu kelihayan kami!"

   Gadis itu berkata sampai di situ, senjata Seng Cai menderu-deru mengarah kepalanya.

   Di saat bersamaan, senjata Seng Bou juga bergerak mengarah dadanya.

   Namun walau diserang dua orang, gadis itu tampak tenang sekali, sama sekali tidak gugup maupun panik.

   Yang mengherankan, yakni pemuda yang bersamanya, bukannya membantu sebaliknya malah melangkah pergi dengan sepasang tangan ditaruh ke belakang, sepertinya tahu gadis itu dapat menghadapi lawan-lawannya.

   Saat ini yang berkumpul di puncak Sian Jin Hong, adalah jago-jago tangguh yang amat terkenal, misalnya Liat Hwe 420 Cousu dan Yok Kun Sih.

   Keduanya tahu bagaimana kepandaian Seng Cai dan Seng Bou.

   Akan tetapi, tiada seorang pun tahu akan asal-usul pemuda dan gadis tersebut, maka banyak orang mengkhawatirkannya.

   Di saat semua orang memandang gadis itu, tampak gadis itu membentak sambil mencelat ke belakang beberapa depa.

   Seng Cai dan Seng Bou juga bergerak menyerangnya sambil mengeluarkan tangisan seram.

   Si Sastrawan Se Chi sudah siap membela gadis tersebut, namun sekonyong-konyong terdengar gadis itu tertawa nyaring lalu membentak.

   "Setan liar! Kalian berdua sudah terjebak!"

   Di saat bersamaan, terdengar pula suara aneh kemudian tampak dua rantai besi muncul dari dalam lengan baju gadis itu, mengeluarkan suara menderuderu penuh tenaga mengarah kepala Seng Cai dan Seng Bou.

   Betapa terkejutnya kakak beradik itu.

   Mereka hendak meloncat ke belakang, namun mendadak gadis itu melancarkan empat buah pukulan.

   Di saat gadis itu melancarkan pukulan-pukulannya, sepasang rantai besi itu pun ikut bergerak-gerak, sehingga pukulan-pukulan itu tampak aneh sekali.

   Dalam keadaan gugup dan terdesak, Seng Cai dan Seng Bou lupa, bahwa berapa depa di belakang mereka ada jurang.

   Mereka serentak meloncat ke belakang.

   Setelah meloncat, barulah mereka tahu tidak beres, karena menginjak tempat 421 kosong.

   Bersamaan itu, gadis tersebut pun tertawa cekikikan, lalu mengayunkan sepasang rantai besi yang melekat di lengannya.

   Seng Cai dan Seng Bou berteriak kaget.

   Mereka berdua jatuh ke jurang, bagaimana mungkin mereka berdua akan bernyawa lagi? Wajah gadis itu berseri-seri.

   Dia menghampiri pemuda itu seraya berkata.

   "Kak, aku telah mengusir kedua setan liar itu!"

   Pemuda itu tertawa.

   "Aku sudah tahu!."

   Sikap mereka berdua sungguh tenang sekali, sepertinya tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka berdua tenang, namun orang lain amat mencemaskan mereka. Pit Giok Sen berseru.

   "Kalian berdua telah membuat petaka besar!"

   Siapa pemuda dan gadis itu? Ternyata Tam Goat Hua dan kakaknya. Mendengar seruan Pit Giok Sen, gadis itu bertanya.

   "Membuat petaka besar? Harap Cianpwee menjelaskan!"

   Pit Giok Sen menyahut.

   "Kedua setan muda itu telah mati, setan tua pasti membuat perhitungan dengan kalian!"

   Tam Goat Hua tertawa.

   "Kalau setan tua itu ke mari, aku akan bersembunyi di belakang Cianpwee!"

   Mendengar sahutan itu, Pit Giok Sen tertawa gelak.

   Di saat bersamaan terdengar suara "Ser Ser", meloncat ke atas dua orang, yang tidak lain adalah Kou Hun Su Seng Cai dan Sou Mia Su Seng Bou.

   Tercengang semua orang, sebab tadi kedua orang itu terpukul ke jurang tapi kini meloncat ke atas tanpa kurang suatu apa pun.

   Bersamaan terdengar suara tawa yang parau.

   "Ha ha ha! Liok Ci Siansing, yang datang adalah tamu! Walau anak cucu setan yang menyebalkan, namun memukul anjing harus memandang majikannya! Pandanglah muka setan tua, biar mereka berada di puncak Sian Jin Hong ini menambah pengetahuan!"

   Tampak sosok yang amat gemuk berkelebat ke puncak Sian Jin Hong, ternyata Yu Lao Pun, ketua Tay Chi Bun.

   Begitu melihat kemunculan si Gemuk itu, Tujuh Dewa langsung tersenyum dingin.

   Itu dikarenakan perbuatan Yu Lao Pun tempo hari.

   Namun si Gemuk bersikap biasa-biasa.

   Dia mendekati orang-orang Hui Yan Bun, kemudian menaruh pikulan batunya dan duduk sambil memandang Seng Cai dan Seng Bou seraya berkata.

   "Belum lama ini, ayah kalian pernah merugikan diriku. Sesungguhnya aku tidak ingin menolong kalian, tapi hatiku merasa tidak tega menyaksikan kalian berdua mati, maka aku menyelamatkan kalian. Cepatlah kalian pergi ke tempat lain, jangan berdiri di situ!"

   Ucapan Yu Lao Pun penuh wibawa.

   Tapi hari yang lalu itu, apa yang dilakukannya terhadap Lu Leng, di kedai teh, sungguh merupakan perbuatan rendah! Seng Cai dan Seng Bou amat gusar dan penasaran.

   Namun mereka tahu bahwa orang-orang yang ada di puncak Sian Jin Hong ini, semuanya jago tangguh, termasuk pemuda dan si gadis itu.

   Oleh karena itu, mereka berdua terpaksa diam, lalu berjalan ke tempat lain sambil mendengus dingin.

   Tam Goat Hua dan kakaknya juga mengayunkan kaki.

   Namun baru beberapa langkah, mendadak terdengar suara orang memanggil mereka, ternyata pihak Hwa San Pai.

   "Gadis kecil, cepat ke mari!"

   Orang yang bersuara itu memiliki Lweekang tinggi.

   Suaranya nyaring dan menusuk telinga, siapa pun mendengarnya.

   Walau tidak menyebut nama, namun di situ hanya ada seorang gadis kecil, maka tentu gadis itu yang dipanggilnya.

   Akan tetapi, Tam Goat Hua dan kakaknya pura-pura tidak mendengar.

   Mereka berdua tertawa sambil melangkah ke depan.

   Yang bersuara tadi adalah Tongcu keenam dari Hwa San Pai.

   Ketika melihat mereka berdua tak menggubrisnya, air mukanya langsung berubah.

   Badannya bergerak cepat, tahu-tahu dia sudah berada di hadapan Tam Goat Hua dan kakaknya.

   "Gadis kecil, aku menyuruhmu, tapi kenapa kau pura-pura tidak dengar?"

   Bentaknya gusar.

   Tongcu keenam itu bertanya dengan cara membentak, itu sudah tidak sesuai dengan peraturan dalam rimba persilatan.

   Tapi Hwa San Pai memang angkuh, maka tindakan ini dalam anggapan mereka malah benar.

   Di saat bersamaan, Tujuh Dewa dan Pit Giok Sen telah bangkit berdiri.

   Kelihatannya mereka ingin membantu Tam Goat Hua, apabila gadis itu bertarung dengan pihak Hwa San Pai.

   Tam Goat Hua justru tertawa ke arah mereka, kemudian menoleh untuk memandang Tongcu keenam.

   "Oh! Ternyata Anda memanggilku, namaku bukan gadis kecil lho!"

   Tongcu keenam mendengus dingin.

   "Hm! Gadis kecil, aku tidak bergurau denganmu! Cepat ikut aku, Cousu akan bertanya sesuatu kepadamu!"

   Tam Goat Hua terheran-heran.

   "Cousu? Cousu apa?"

   Sikapnya memang sengaja dibuat-buat, dan dia pun tertawa cekikikan.

   Di antara semua orang, ada yang tak tertahan hingga tertawa gelak.

   Seng Cai dan Seng Bou tertawa paling keras.

   Mereka berdua amat girang melihat pihak Hwa San Pai mencari gara-gara dengan gadis itu, dan mereka berdua sengaja tertawa keras untuk memanasi hati pihak Hwa San Pai.

   Tongcu keenam itu tak dapat menahan kegusarannya lagi.

   Maka dia lalu menghardik sambil melotot.

   
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kini Cousu berada di puncak Sian Jin Hong ini. Kau berani bertingkah?"

   Usai menghardik, dia langsung menjulurkan tangan kanannya untuk mencengkeram bahu Tam Goat Hua.

   Akan tetapi, di saat bersamaan, pemuda yang berdiri di samping Tam Goat Hua menjulurkan tangannya memegang bahu Tongcu keenam.

   Tongcu keenam merasakan adanya tenaga yang amat kuat menekan ke bawah, membuat lengannya yang telah dijulurkan itu merasa berkesemutan, dan akhirnya terkulai ke bawah.

   Pemuda itu tersenyum hambar.

   "Kawan, ada apa katakan saja! Kenapa harus turun tangan?"

   Wajah Tongcu keenam berubah tak sedap dipandang, namun dia tak mampu bersuara. Pemuda itu tertawa.

   "Kawan, silakan kembali ke tempat!"

   Katanya.

   Pemuda itu mendorongnya perlahan, namun membuat Tongcu keenam itu terhuyung-huyung ke belakang beberapa depa, kemudian jatuh gedebuk di tanah.

   -ooo0ooo- Bab 19 Begitu jatuh, keangkuhannya menjadi lenyap, bahkan wajahnya tampak meringis-ringis.

   Tam Goat Hua tertawa geli.

   "Kakak turun tangan harus ringan dikit, orang punya Cousu di sini, jangan main-main lho!"

   Kakaknya tertawa.

   "Siapa sangka tadi dia begitu angkuh, tapi malah tak berguna sama sekali!"

   Mereka berdua terus bercakap-cakap, kelihatannya tak memandang sebelah mata pun terhadap Hwa San Pai.

   Dalam beberapa tahun ini, Hwa San Pai memang amat menonjol.

   Kedudukannya dalam rimba persilatan pun bertambah tinggi.

   Maka orang-orang Hwa San Pai itu angkuh sekali.

   Kini Tongcu itu dipermalukan di hadapan semua orang, tentunya menggembirakan mereka semua.

   Akan tetapi, mereka mencemaskan kakak beradik itu.

   Karena Liat Hwe Cousu, sudah pasti tidak akan membiarkan pihaknya dipermalukan begitu, otomatis akan turun tangan.

   Bagaimana kepandaian Liat Hwe Cousu, semua orang yang berada di tempat itu tahu jelas, tentunya Tam Goat Hua dan kakaknya akan celaka.

   Terhadap mereka berdua, Pit Giok Sen sudah terkesan baik, maka segera berkata.

   "Kalian berdua duduk di sini saja! Sebentar lagi menonton keramaian, bagaimana?"

   Tam Goat Hua langsung memberi hormat kepada Pit Giok Sen, kemudian menyahut.

   "Terimakasih atas kebaikan Cianpwee,"

   Namun gadis itu tidak mau menerima maksud baik Pit Giok Sen. Yang di sebelahnya, Tiat Cit Song Jin langsung berseru.

   "Gadis kecil, kalian berdua ingin mencabut kumis macan?"

   Tam Goat Hua dan kakaknya hanya tertawa, tak menjawab sama sekali.

   Di saat bersamaan, pihak Hwa San Pai telah melangkah keluar tiga orang Tongcu, sedangkan Tongcu keenam yang terjatuh itu bangkit berdiri.

   Ketiga Tongcu itu melesat ke hadapan Tam Goat Hua dan kakaknya, kemudian tertawa terkekeh-kekeh.

   "Kepandaian Nona cukup lumayan. Sebulan yang lalu, beberapa Tongcu kami terluka di sekitar daerah Ciat Kang, apakah Nona yang turun tangan? Mohon petunjuk Nona!"

   Tam Goat Hua tahu apa sebabnya pihak Hwa San Pai mencari gara-gara dengannya, ternyata sebulan yang lalu, gadis itu yang ingin membalas budi kepada Lu Sin Kong suami isteri, maka di dalam rimba waktu itu dia mengusir beberapa Tongcu Hwa San Pai.

   Akan tetapi, Tam Goat Hua justru pura-pura tidak tahu.

   Dia tersenyum seraya berkata.

   "Aku tidak tahu apa maksud kalian. Lagipula aku pun tidak mengerti apa itu Tongcu. Sebulan yang lalu, ketika aku berada di Ciat Kang, memang pernah berkelahi dengan beberapa orang, sebab mereka sedang berunding cara bagaimana merampok barang kawalan. Kupikir mereka dari golongan hitam, maka aku langsung turun tangan terhadap mereka. Apakah mereka sehaluan dengan kalian?"

   Ucapan Tam Goat Hua yang amat tajam itu membuat wajah ketiga Tongcu berubah menjadi kehijau-hijauan.

   "Hmm! Ternyata benar kau! Cousu yang akan menangani itu, mari ikut kami!"

   Tam Goat Hua tertawa.

   "Tadi orang itu telah jatuh hingga pantatnya terasa sakit sekali, apakah kalian bertiga juga ingin merasakan itu?"

   Salah seorang Tongcu berseru.

   "Untuk apa banyak bicara dengan gadis sialan itu?"

   Kedua Tongcu lain langsung menyerang Tam Goat Hua dari kiri dan kanan, Tam Goat Hua bergerak cepat mencelat ke belakang.

   Di saat bersamaan, rantai yang melekat di lengannya pun bergerak.

   Gadis itu sudah beberapa kali bertarung dengan para Tongcu Hwa San Pai itu.

   Dia merasa Hwa San Pai hanya bernama kosong, sebab Tongcu-tongcu itu masih bukan lawannya.

   Namun dia justru tidak tahu, bahwa kedudukan Hwa San Pai amat tinggi dalam rimba persilatan, tentunya tidak bernama kosong.

   Lagipula tidak semua Tongcu berkepandaian rendah.

   Misalnya ketiga Tongcu itu, mereka berasal dari See Sia.

   Ketika masih kecil pernah mengalami suatu kemujizatan, akhirnya berguru kepada Liat Hwe Cousu, maka kepandaian mereka tinggi sekali.

   Ketika melihat rantai itu mengarah pada mereka, seketika itu juga mereka tertawa gelak.

   "Ha ha ha!"

   Kemudian mereka mundur selangkah dan badan mereka pun bergerak aneh.

   Tampak dada mereka cekung ke dalam, itu adalah ilmu Menyusutkan Tulang.

   Rantai Tam Goat Hua memang mengarah ke dada mereka, namun tidak mengenai sasaran.

   Menyaksikan itu, tersentak hatinya, tahu tidak gampang menghadapi kedua orang itu.

   Di saat dia baru ingin menarik kembali rantainya, kedua orang itu serentak menjulurkan tangan untuk menyambar rantai tersebut dan berhasil.

   Tam Goat Hua merasakan adanya serangkum tenaga dari kiri kanan mengarah kepadanya, dan itu membuatnya terkejut bukan main.

   "Kakak!"

   Serunya cepat.

   Pemuda itu langsung menggerakkan jari tangannya untuk menotok jalan darah Tay Pai Hiat di tubuh salah seorang lawannya.

   Akan tetapi, seorang Tongcu segera meraih ke pinggang, dan sebuah golok besar sudah berada di tangannya, dan langsung menyerang bahu pemuda itu dengan jurus Gerimis Di Saat Angin Berhembus.

   Pemuda itu berkelit ke samping, maka jarinya menotok tempat kosong.

   Pada saat bersamaan terdengar kedua Tongcu itu berseru.

   "Satu! Dua! Tiga!"

   Mereka berdua menarik rantai besi itu. Tam Goat Hua tak dapat bertahan, maka tertarik ke tempat di mana Liat Hwe Cousu duduk bersila. Ketika menyaksikan pihak Hwa San Pai mengeroyok Tam Goat Hua, dalam hati Tiat Cit Song Jin merasa tidak senang.

   "Gadis kecil, jangan takut!"

   Serunya.

   Tam Goat Hua memiliki Lweekang yang cukup tinggi, namun kedua Tongcu itu menariknya sekuat tenaga, sehingga dirinya terlempar beberapa depa.

   Ketika badannya melayang, dia menghimpun hawa murninya, membuat badannya menjadi ringan.

   Begitu mendengar seruan Tiat Cit Song Jin, Tam Goat Hua bergirang dalam hati.

   Tampak Tiat Cit Song Jin mengangkat senjatanya, kemudian melangkah lebar ke arah Tam Goat Hua, sekaligus menggerakkan senjatanya itu, membuat badan Tam Goat Hua yang melayang itu tertahan, akhirnya jatuh ke bawah.

   Begitu jatuh, gadis itu segera meraih Tiat Cit senjata aneh milik Tiat Cit Song Jin.

   Sedangkan kedua Tongcu itu terhuyung-huyung ke belakang tersambar angin senjata tersebut.

   Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat sosok bayangan tinggi besar ke hadapan Tiat Cit Song Jin, yang langsung melancarkan sebuah pukulan.

   Siapa orang yang tinggi besar itu, tidak lain adalah Duta Api Obor Hwa San Pai.

   Saat itu, Tiat Cit Song Jin sedang mengangkat senjatanya, maka dadanya terbuka.

   Pukulan si Duta Api Obor justru mengarah dadanya.

   Seketika juga Tiat Cit Song Jin tahu kelihayan pukulan itu.

   Apabila terkena pukulan itu, kalaupun batu pasti akan hancur.

   Tiat Cit Song Jin tidak melihat jelas siapa orang itu, tapi sudah sekian lama dia berkecimpung dalam rimba persilatan, tentunya sudah berpengalaman.

   Baginya sudah sulit untuk menolong Tam Goat Hua, namun dia bersifat solider, tetap menolong gadis itu.

   Sebelah tangan Tiat Cit Song Jin menurunkan senjatanya, yang sebelah lagi melindungi dadanya sambil menangkis.

   Dia berharap Tam Goat Hua dapat melesat pergi menggunakan ilmu Ginkang, agar tidak terjatuh ke tangan Liat Hwe Cousu.

   Akan tetapi, Tiat Cit Song Jin justru tidak tahu, bahwa si Duta Api Obor menggunakan ilmu pukulan Hian Bun Sin Ciang.

   Hian Bun Sin Ciang merupakan salah satu ilmu andalan Hwa San Pai, khususnya menggunakan Gwakang (Tenaga Luar).

   Kalau berhasil mencapai tingkat kesepuluh, maka orang akan kebal terhadap senjata tajam apa pun.

   Tapi sejak dulu hingga kini, tiada seorang pun yang berhasil mencapai ke tingkat sepuluh.

   Orang bisa mencapai tingkat keenam, juga sudah luar biasa.

   Si Duta Api Obor melancarkan pukulan itu, dengan tujuan membuat Tam Goat Hua melayang ke tempat Liat Hwe Cousu.

   Itu justru menyangkut nama Hwa San Pai, maka dia melancarkan pukulan itu dengan sepenuh tenaga.

   Blaaam! Terdengar suara benturan yang memekakkan telinga.

   Tiat Cit itu merupakan senjata pusaka, maka suara benturan mendengung sampai ke mana-mana.

   Tiat Cit Song Jin juga merasakan adanya tenaga yang amat dahsyat mengarah dadanya, maka dia cepat-cepat menyurut mundur.

   Kalau tidak, dia pasti terluka.

   Di saat Tiat Cit Song Jin menyurut mundur, tenaga itu justru mengarah ke Tam Goat Hua.

   Kebetulan gadis itu mengerahkan ilmu Ginkang, Turun Di Pasir Datar untuk melesat pergi.

   Itu membuat badan Tam Goat Hua melayang ke atas, sedangkan si Duta Api Obor bergerak cepat mendorong badan gadis itu dengan ilmu Hian Bun Sin Kang.

   Tam Goat Hua tak bisa berbuat apa-apa, sebab dia sedang berada di udara.

   Maka, Hian Bun Sin Kang yang dilancarkan si Duta Api mendorong badan gadis itu ke arah Liat Hwe Cousu lalu jatuh.

   Semua kejadian itu hanya berlangsung sekejap.

   Pemuda itu pun tidak dapat menolong adiknya.

   Tam Goat Hua yang jatuh di hadapan Liat Hwe Cousu, segera berguling agar dapat meninggalkan tempat itu.

   Akan tetapi, Liat Hwe Cousu yang dari tadi duduk diam dengan mata terpejam itu, mendadak membuka matanya.

   Tam Goat Hua yang sedang berguling juga melihat Liat Hwe Cousu membuka matanya.

   Sudah barang tentu mereka berdua beradu pandang.

   Tam Goat Hua merasa dalam mata Liat Hwe Cousu menyorot sinar yang amat aneh, maka seketika gadis tersebut menjadi tertegun.

   Di saat itu lengan Liat Hwe Cousu bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu sudah mencengkeram nadi gadis itu.

   Tam Goat Hua tak berkutik sama sekali.

   Perlu diketahui tadi Liat Hwe Cousu telah mengerahkan ilmu Hian Sin Hoat, yaitu salah satu ilmu rahasia Hwa San Pai.

   Kalau Tam Goat Hua tidak memiliki Lweekang tinggi, pasti sudah pingsan, ketika dicengkeram nadinya.

   Namun ilmu Hian Sin Hoat hanya membuatnya tertegun.

   Begitu nadinya dicengkeram, dia merasa sekujur badannya berkesemutan, dan itu membuatnya tercengang, sebab Liat Hwe Cousu memiliki Lweekang yang amat tinggi.

   Ketika nadinya dicengkeram, seharusnya dia merasa tersiksa, bukan merasa berkesemutan.

   Tam Goat Hua cuma tercengang sebentar, tapi kemudian mengerti sebab musababnya.

   Ternyata ketika Tam Goat Hua tertangkap oleh Kim Kut Lau, sepasang lengannya dibelenggu dengan semacam gelang, yang disambung dengan rantai besi.

   Kalau Lu Sin Kong tidak menggunakan golok pendek yang amat tajam itu, tentunya rantai itu tidak dapat diputuskan.

   Setelah meloloskan diri, Tam Goat Hua tidak mau memutuskan sisa rantai yang melekat di lengannya, sebab gadis itu menggunakan sepasang rantai itu sebagai senjata.

   Maka ketika Liat Hwe Cousu mencengkeram nadinya, justru mencengkeram gelang yang di lengannya, maka nadinya terlindung oleh gelang itu.

   "Duta Api Obor!"

   Panggil Liat Hwe Cousu. Suaranya begitu perlahan, namun amat bertenaga, sehingga yang mendengarnya, seperti terpukul oleh sesuatu yang amat berat.

   "Ya!"

   Sahut si Duta Api Obor. Dia membalikkan badan, lalu menghampiri Liat Hwe Cousu. Pada waktu bersamaan, kakak Tam Goat Hua pun melesat ke hadapan ketua Hwa San Pai itu, lalu berdiri dengan tenang di situ dan berkata.

   "Liat Hwe Cousu, meskipun adikku bersalah, tapi kalau Cousu turun tangan sendiri, bukankah itu merupakan lelucon?"

   Liat Hwe Cousu hanya mendengus, sama sekali tidak menyahut, kemudian memandang si Duta Api Obor.

   Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bawa gadis ini ke samping! Setelah urusan di sini usai, barulah kita hukum."

   "Ya!"

   Si Duta Api Obor mengangguk, lalu menjulurkan tangannya untuk mencengkeram bahu Tam Goat Hua.

   Saat itu, gadis tersebut tampak panik.

   Sebab dia tahu, di Bu Yi San akan terjadi urusan besar.

   Apabila dia tidak bisa mengatasi urusan itu ya sudahlah! Namun kalau dia ditangkap orang di hadapan begitu banyak jago tangguh, kelak dia bagaimana jadi orang? Maka sebelum tangan si Duta Api Obor sampai di bahunya, dia sudah meronta sekuat tenaga.

   Tapi dia sudah jatuh ke tangan Liat Hwe Cousu, tidak mungkin begitu gampang dapat meloloskan diri.

   Di saat meronta, dia justru merasa sekujur badannya bertambah berkesemutan.

   Sedangkan tangan si Duta Api Obor telah menekan jalan darah Hu Keng Hiat di bahunya, dan itu membuatnya tak bisa bergerak, namun masih bisa berseru memanggil kakaknya.

   "Kakak...!"

   Kakaknya segera memberi isyarat.

   Tam Goat Hua tahu bahwa kakaknya sangat pintar, maka sudah pasti mempunyai perhitungan dalam hati.

   Kalau tidak, tentunya tidak akan memberi isyarat kepadanya.

   Maka gadis itu bersabar.

   Di saat itulah si Duta Api Obor melemparnya ke samping di tengah-tengah para murid Hwa San Pai dan beberapa murid Hwa San Pai segera mengikatnya.

   Kakak Tam Goat Hua diam saja, namun di saat gadis itu sedang diikat, mendadak dia bersiul panjang dan badannya berkelebat menubruk ke arah api obor tersebut.

   Sementara si Duta Api Obor dan kedua Tongcu menjaga Tam Goat Hua, maka pemuda itu menggunakan kesempatan itu untuk menubruk api obor itu.

   Perlu diketahui, api obor itu merupakan tanda kepercayaan Liat Hwe Cousu.

   Si Duta Api Obor yang membawa obor tersebut, sebelumnya telah bersumpah.

   "Api nyala orang hidup, api padam orang mati". Kalau obor itu jatuh ke tangan orang lain, dia pasti akan mendapat hukuman berat. Oleh karena itu, obor itu boleh dikatakan merupakan nyawa si Duta Api Obor. Kini melihat ada orang menubruk ke arah obor, guguplah hatinya. Kemudian dilepaskannya Tam Goat Hua dan langsung melesat ke arah obor itu. Begitu si Duta Api Obor melesat pergi, Tam Goat Hua menjadi bebas. Dia langsung menggerakkan sepasang tangannya, sehingga kedua rantai yang melekat di lengannya menyambar cepat ke arah kedua Tongcu. Plak! Plak! Menghantam punggung mereka.

   "Uaakh! Uaakh!"

   Kedua Tongcu itu memuntahkan darah segar.

   Sedangkan kakak Tam Goat Hua yang menubruk obor itu, hanya memancing si Duta Api Obor.

   Dia tahu, apabila dia menubruk ke sana, si Duta Api Obor pasti mengejarnya.

   Di saat si Duta Api Obor melesat ke arahnya, dia cepat-cepat berputar.

   Ketika si Duta Api Obor sampai di sisinya, dia telah melesat ke sisi Tam Goat Hua.

   Ketika itu Tam Goat Hua sudah melepaskan tali yang mengikat kakinya.

   Kemudian mereka kakak beradik melangkah ke belakang dengan bergandengan tangan.

   Itu membuat si Duta Api Obor tahu dirinya terjebak.

   Ketika dia baru mau melesat ke arah Tam Goat Hua dan kakaknya, Tujuh Dewa telah maju semua, sekaligus mengelilingi mereka berdua.

   Menyaksikan itu, gusarlah si Duta Api Obor, sehingga wajahnya berubah menjadi kehijau-hijauan.

   Dia tahu, Tujuh Dewa masing-masing berkepandaian amat tinggi, maka tidak berani bertindak sembarangan, sebaliknya malah memberi hormat kepada Liat Hwe Cousu seraya berkata.

   "Cousu, tahanan itu telah lepas, harap Cousu beri petunjuk!"

   Perlahan-lahan Liat Hwe Cousu membuka matanya. Namun ketika dia baru mau membuka mulut, tiba-tiba si Sastrawan Se Chi telah melangkah maju ke hadapannya.

   "Liat Hwe Cousu, berdasarkan kedudukanmu dalam rimba persilatan, apakah di hadapan sekian banyak orang, kau masih 438 punya muka menangkap kembali gadis kecil yang telah meloloskan diri itu?"

   Liat Hwe Cousu menyahut perlahan.

   "Tujuh Dewa, apakah kalian ingin membelanya?"

   Si Sastrawan Se Chi tertawa.

   "Berdasarkan apa kami harus membelanya? Tapi Liat Hwe Cousu harus memikirkan nama dan kedudukan! Kalau dalam wilayahmu sendiri, kau mau membakarnya dengan pukulan Liat Hwe Ciang pun tiada urusan dengan kami!"

   Si Sastrawan Se Chi tahu jelas bagaimana sifat Liat Hwe Cousu, angkuh dan tak memandang sebelah pun mata pada orang lain.

   Tapi kalau dia mau turun tangan, itu sungguh merepotkan, maka dia mencetuskan perkataan tajam menusuk perasaan Liat Hwe Cousu, agar ketua Hwa San Pai itu tidak turun tangan.

   Liat Hwe Cousu tertawa terkekeh-kekeh.

   "He he he! Baiklah! Karena kau pandai berbicara, maka aku tidak akan turun tangan lagi! Duta Api Obor dan Tongcu semua, segera kembali ke tempat masing-masing!"

   Betapa penasaran si Duta Api Obor dan beberapa Tongcu, namun Liat Hwe Cousu telah memerintahkan begitu, maka mereka harus menurut.

   Seketika juga mereka kembali ke tempat masing-masing.

   Sedangkan Tujuh Dewa menggiring Tam Goat Hua dan kakaknya ke sisi batu hijau.

   Tam Goat Hua tertawa.

   "Terimakasih atas pertolongan Cianpwee sekalian!"

   Ucapnya sambil memberi hormat. Si Gendut Lim Hau tertawa gelak.

   "Ha ha ha! Gadis kecil, kau jangan menganggap gampang menghadapi Liat Hwe Cousu. Turun dari puncak Sian Jin Hong itu, kau pasti akan celaka lho!"

   Tam Goat Hua meleletkan lidahnya.

   "Kalau begitu, selamanya aku tidak akan turun dari puncak Sian Jin Hong ini!"

   Katanya.

   Ucapannya itu membuat semua orang tertawa.

   Di saat bersamaan mereka pun berpikir, tidak salah "Ombak Belakang Mendorong Ombak Depan", generasi muda akan menggantikan generasi tua.

   Siapa sangka mereka berdua yang masih begitu muda, tapi justru berani mencabut kumis macan.

   Di saat semua orang sedang tertawa, mendadak di puncak itu telah bertambah seorang berkaki satu, mengenakan pakaian serba hitam.

   Orang berkaki satu itu, memiliki raut wajah aneh.

   Sepasang pipinya cekung ke dalam, mata cuma sebesar kacang tanah, tampak hitam tak tampak putihnya, tangannya membawa sebatang tongkat yang hitam mengkilap.

   Yang mengejutkan adalah kemunculannya, karena tiada seorang pun tahu dari mana dia muncul.

   Orang berkaki satu itu memandang semua orang dengan dingin sekali, lalu badannya mendadak melambung ke atas dan berputar-putar sejenak di udara, setelah itu melesat ke arah sebuah pohon.

   Badannya melambung lagi ke atas setinggi tiga depaan, kemudian duduk di atas sebatang dahan sambil memejamkan matanya.

   Yang kenal orang berkaki satu itu, tentunya tahu bahwa dia adalah makhluk aneh dari golongan sesat, Thay San Hek Sin Kun.

   Saat ini Lu Sin Kong masih belum muncul, tontonan menarik belum mulai, maka para pendatang itu tidak saling menghiraukan.

   Hari itu, hingga hari sudah gelap, tidak ada yang muncul lagi.

   Para tamu yang berada di puncak Sian Jin Hong, tidur di sembarangan tempat, di bawah pohon, di tanah kosong atau di dalam tenda, makan pun masing-masing.

   Para tamu itu terdiri dari golongan sesat, lurus dan lainnya.

   Mereka ke tempat tersebut dengan maksud yang berbeda.

   Setelah tiba di tempat itu, kecuali terhadap orang sendiri, mereka sama sekali tidak bercakap-cakap dengan pihak lain, tapi justru tidak terjadi bentrokan.

   Keesokan paginya, tampak dua orang berkelebat ke puncak Sian Jin Hong, yang seorang adalah Kim Kut Lau.

   Sungguh mengherankan, begitu Kim Kut Lau sampai di situ, Hek Sin Kun yang sedang duduk santai di dahan pohon, langsung berseru.

   "Saudara Kim!"

   Kim Kut Lau manggut-manggut, lalu melesat kedahan pohon itu dan duduk di sebelah Hek Sin Kun.

   Bagaimana asal-usul Kim Kut Lau, dalam rimbapersilatan jarang ada orang mengetahuinya.

   Biasanya dia bergerak seorang diri, tapi justru kenal Hek Sin Kun yang telah tersohor itu, maka semua orang terheran-heran.

   Orang yang satu lagi adalah Sen Hong Kiam Kek Ouw Yang Seh, yakni jago tangguh kelas dua dari Bu Tong Pai.

   Seng Hong Kiam Kek (Pendekar Pedang Penimbul Angin) Ouw Yang Seh tiba di tempat itu hanya memberi hormat kepada Yu Lao Pun dan Tujuh Dewa, lalu duduk di atas sebuah batu.

   Berselang beberapa saat, tampak dua orang wanita melesat ke arah puncak Sian Jin Hong.

   Begitu mereka berdua muncul di tempat itu, pihak Hui Yan Bun langsung berdiri semua.

   Si Walet Hijau-Yok Kun Sin melesat dengan ringan ke arah mereka, kemudian bertanya dengan suara dalam.

   "Hong Kouw, kenapa sekarang baru sampai?"

   Ternyata Hwe Hong Sian Kouw, yang kemudian menyahut dengan suara lantang.

   "Panjang kalau diceritakan! Panjang...."

   Mereka berdua lalu masuk ke lingkaran yang di bentuk dengan belasan batang besi.

   Yang berjalan di belakang Hwe Hong Sian Kouw adalah Toan Bok Ang.

   Gadis itu memandang ke arah Tujuh Dewa sambil memperlihatkan muka aneh, lalu meleletkan lidahnya ke arah 442 Yu Lao Pun.

   Itu membuat Tam Goat Hua tertawa geli, sehingga membuat Toan Bok Ang memandangnya.

   Begitu melihat gadis yang sebaya dengannya itu, seketika timbul kesan baik di hatinya, kemudian dia tersenyum-senyum kepadanya.

   Di saat bersamaan dia pun melihat pemuda yang terdiri di sisi gadis itu.

   Wajahnya langsung memerah kemudian dia cepat-cepat memalingkan kepalanya dan berjalan ke dalam lingkaran itu.

   Tak Beberapa lama kemudian, muncul lagi seorang anak gadis, yang tangannya membawa sebuah senjata aneh, dan di pinggangnya terselip sebuah Pecut Emas.

   Dia berdiri sejenak, kemudian menangis seraya berseru.

   "Guru!"

   Hwe Hong Sian Kouw segera bangkit berdiri dan menatap gadis itu dalam-dalam.

   "Eh? Ah Shia, kau tidak ke Hui Yan San?"

   Gadis itu Han Giok Shia, putri si Pecut Emas-Han Sun. Dia langsung mendekap di dada Hwe Hong Sian Kouw.

   "Guru, ayah sudah meninggal, Guru tahu siapa yang mencelakainya?"

   Hwe Hong Sian Kouw menghela nafas panjang.

   "Han Tayhiap sudah meninggal? Aaah! Guru pun nyaris tewas. Siapa yang mencelakainya, kini masih sulit dipastikan. Dendam memang harus dibalas, namun tidak perlu terburu-buru."

   Apa yang dikatakan Hwe Hong Sian Kouw itu membuat semua orang tertegun dan terperangah, sebab siapa yang mampu membunuh si Pecut Emas-Han Sun dan melukai Hwe Hong Sian Kouw? Sekonyong-konyong terdengar suara yang amat dingin, berasal dari atas pohon.

   "Siapa yang mencelakai si Pecut Emas-Han Sun, jangan berpura-pura tidak tahu urusan!"

   Semua orang memandang ke atas pohon itu.

   Ternyata yang bersuara itu adalah Kim Kut Lau, yang duduk di sebelah Hek Sin Kun.

   Nada suaranya, sepertinya sudah tahu siapa yang mencelakai si Pecut Emas-Han Sun.

   Seharusnya Hwe Hong Sian Kouw segera bertanya lebih jelas kepada Kim Kut Lau.

   Akan tetapi, ketika Hwe Hong Sian Kouw mendongakkan kepala, seketika juga wajahnya berubah gusar seraya membentak.

   "Siapa kau?"

   Kim Kut Lau tertawa terkekeh-kekeh.

   "He he he! Kau peduli amat aku siapa? Jelas yang mencelakai si Pecut Emas-Han Sun bukan aku!"

   Wajah Hwe Hong Sian Kouw tampak semakin gusar.

   Nafasnya pun memburu.

   Namun berselang sesaat, wajahnya yang merah padam itu berubah menjadi pucat pias, kegusarannya yang tersirat di wajahnya pun hilang lenyap, akhirnya wajahnya berubah menjadi kelabu.

   Perubahan itu membuat semua orang tercengang, namun Kim Kut Lau malah tertawa gelak.

   "Ha ha ha! Nona kecil, kau harus pasrah! Di masa hidupnya, ayahmu adalah seorang gagah, tapi pergaulannya kurang luas. Kini dia telah binasa, sedangkan kau seorang diri, bagaimana mungkin dapat membalaskan dendamnya? Lebih baik kau pergi saja!" -ooo0ooo- Bab 20 Perkataan Kim Kut Lau itu menimbulkan kecurigaan Han Giok Shia.

   "Siapa kau? Kenapa kau tidak mau berterus terang?"

   Kim Kut Lau tertawa lagi dan menyahut.

   "Nona kecil, ada orang dari Cing Sia Pai ke mari! Di masa hidupnya, ayahmu punya hubungan baik dengan partai itu, maka kau boleh minta bantuan mereka untuk membalas dendam ayahmu!"

   Tentunya Han Giok Shia tahu, almarhum punya hubungan baik dan akrab dengan Cing Sia Pai. Namun kini dia ingin tahu jelas, sebetulnya siapa yang membunuh ayahnya! Oleh karena itu, dia bertanya lagi.

   "Katakan, sebetulnya siapa musuh ayahku?"

   Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara siulan yang amat panjang, merdu dan amat harus, membuat orang merasa nyaman mendengarnya.

   Kemudian tampak cahaya keperakan berkelebat, muncul seorang Tosu tua berwajah kemerah-merahan.

   Tangan Tosu itu menggenggam sebatang pedang yang bergemerlapan.

   Dia memakai Gin Koan (Topi Perak), tidak lain adalah Gin Koan Tojin yakni ketua Cing Sia Pai.

   Tampak empat Tosu berusia pertengahan mengikutinya dari belakang.

   Mereka bertangan kosong, namun di pinggang masing-masing bergantung suatu benda berbentuk bulat, entah benda apa itu.

   
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Begitu sampai di situ, Tosu tua itu tersenyum.

   "Sobat yang mana tadi yang menyinggung partaiku?"

   Kim Kut Lau segera menyahut.

   "Tidak berani. Karena si Pecut Emas-Han Sun dicelakai orang, maka aku memberi petunjuk kepadanya, agar minta bantuanmu, agar bisa membalas dendam ayahnya."

   Wajah Gin Koan Tojin berubah. Kemudian dia menolehkan kepalanya memandang Han Giok Shia seraya bertanya.

   "Nona Han, kapan ayahmu meninggal? Kenapa aku tidak tahu?"

   Pertanyaan Gin Koan Tojin justru membangkitkan kesedihan dan kegusaran Han Giok Shia, sehingga sepasang matanya tampak membara.

   "Gin Koan Tojin, ayahku meninggal sebulan yang lalu. Aku... aku seorang diri memakamkannya, kemudian ke mari mencari pembunuh ayahku, maka belum mengabarkan kepada kawan baik ayahku!"

   Wajah Gin Koan Tojin berubah murung tapi tampak serius, kemudian dia berkata.

   "Kalau begitu, kau pasti sudah tahu siapa pembunuh ayahmu. Apakah pembunuh itu berada di puncak ini?"

   Sesungguhnya Han Giok Shia tidak begitu jelas tentang siapa pembunuh ayahnya, karena pada waktu itu dia telah meninggalkan rumah.

   Tapi dalam hatinya justru menganggap musuh besar itu adalah Lu Sin Kong, lagipula kini orang tersebut belum muncul, maka Han Giok Shia berkertak gigi seraya menjawab.

   "Menurut aku, pasti Lu Sin Kong...."

   Berkata sampai di sini, Han Giok Shia mendongakkan kepala.

   Dilihatnya Tam Goat Hua dan kakaknya berdiri tak jauh dari dirinya.

   Kesan Han Giok Shia terhadap kakak Tam Goat Hua amat dalam sekali.

   Lagipula hari itu, ketika dia berscmbunyi di balik batu di Hou Yok, mendengar pembicaraan mereka kakak beradik, sehingga membuat cintanya semakin bersemi.

   Akan tetapi, akhirnya justru timbul suatu masalah, hingga Han Giok Shia tidak bisa berpikir lebih teliti.

   Kini Tam Goat Hua dan kakaknya berdiri di situ, itu membuat hati Han Giok Shia menjadi agak kacau.

   Namun begitu teringat akan kematian ayahnya, dia tidak bisa tidak membenci Tam Goat Hua.

   Hari itu, dia bertarung dengan Tam Goat Hua di hadapan ayah dan gurunya, dia terjungkal dan bahkan Tam Goat Hua pun berhasil membawa pergi Lu Sin Kong.

   Oleh karena itu, Han Giok Shia pun menganggap Tam Goat Hua sebagai musuh ayahnya.

   Sedangkan Gin Koan Tojin justru tidak tahu bahwa hati gadis tersebut sedang begitu kacau.

   Dia menatapnya dalam-dalam seraya berkata.

   "Walau Thian Hou Lu Sin Kong berkepandaian tinggi, namun setanding dengan ayahmu, tentunya masih ada orang lain, siapa orang itu?"

   Tanpa berpikir panjang lagi, Han Giok Shia langsung menunjuk Tam Goat Hua.

   "Mungkin dia."

   Gin Koan Tojin segera menolehkan kepalanya.

   Dilihatnya sepasang muda-mudi berdiri di situ.

   Mereka berwajah tampan dan cantik, bertulang bagus dan berbakat.

   Lagipula wajah mereka berdua tidak menyiratkan sedikit hawa sesat pun.

   Kelihatannya mereka tidak berhati jahat.

   Walau Gin Koan Tojin berpikir demikian, namun si Pecut Emas-Han Sun adalah kawan baiknya.

   Sebelum menyucikan diri, dia senang memakai topi perak, maka mereka berdua disebut Pecut Emas Topi Perak.

   Kemudian Gin Koan Tojin menyucikan diri menjadi Tosu, sehingga mereka berdua jarang kunjung-mengunjungi.

   Akan tetapi, jalinan hubungan mereka tetap baik dan akrab.

   Kini begitu mendengar tentang kematian si Pecut Emas-Han Sun, hatinya berduka sekali dan dia mengambil keputusan untuk membalas dendam kawan baiknya itu.

   Oleh karena itu, walau dia telah melihat Tam Goat Hua dan kakaknya bukan orang jahat, tapi tetap membentak.

   "Gadis kecil, siapa gurumu dan kenapa kau mencelakai si Pecut Emas-Han Sun?"

   Sesungguhnya Tam Goat Hua juga ingin mendengar dari mulut Kim Kut Lau, siapa yang membunuh si Pecut Emas-Han Sun, karena Han Sun merupakan seorang pendekar yang gagah bijaksana.

   Hari itu ketika Lu Sin Kong suami isteri tiba di rumahnya, begitu melihat mereka berdua terkena pukulan Im Si Ciang, langsung memberikan mereka obat Kiu Coan Siau Hoan Tan yang amat berharga, padahal Han Sun dengan mereka tidak punya hubungan apa pun.

   Berdasarkan itu, dapat dibayangkan betapa besarnya jiwa si Pecut Emas-Han Sun.

   Akan tetapi, Tam Goat Hua justru tidak menyangka, bahwa di hadapan Gin Koan Tojin, Han Giok Shia malah menuduh dirinya dan Lu Sin Kong yang membunuh ayahnya.

   Dalam hati Tam Goat Hua, memang tidak terkesan baik terhadap Han Giok Shia.

   Karena Gin Koan Tojin bertanya dengan cara membentak, itu membuatnya langsung naik darah dan kemudian tersenyum dingin seraya menyahut.

   "Sungguh menggelikan pertanyaan Tojin! Aku sendiri pun ingin tahu, kenapa aku pergi membunuh Han Tayhiap? Seandainya Nona Han menunjuk Tojin sebagai pembunuh, apakah orang juga akan berpikir demikian?"

   Gin Koan Tojin tertegun dan membungkam seketika. Han Giok Shia melototi Tam Goat Hua, kemudian berkata kepada Gin Koan Tojin.

   "Tojin, gadis liar itu banyak akalnya, Tojin jangan sampai terjebak."

   Sebetulnya Tam Goat Hua masih memandang muka kakaknya, maka dia tidak mau ribut mulut dengan Han Giok Shia.

   Akan tetapi, Han Giok Shia justru mencacinya sebagai gadis liar, maka membuatnya tak dapat bersabar lagi.

   Dia melangkah maju beberapa langkah dengan wajah muram.

   "Nona Han, ayahmu adalah seorang pendekar yang gagah bijaksana! Kau adalah putri satu-satunya, kalau bicara jangan sembarangan!"

   Begitu melihat Tam Goat Hua melangkah maju, mata Han Giok Shia langsung membara, maka mana mendengar apa yang diucapkannya? "Hm!"

   Dengusnya dingin. Kemudian mendadakdia menggerakkan Liat Hwe Soh Sim Lun, jurus Burung Gagak Api Menari dikeluarkan menyerang bagian dada Tam Goat Hua. Tam Goat Hua tertawa dingin beberapa kali.

   "Kau pernah terjungkal di tanganku, kini masih ingin mempermalukan diri sendiri?"

   Gadis itu berkelit ke samping. Namun di saat dia baru mau membalas, mendadak terdengar suara kakaknya.

   "Adik, Nona Han mungkin salah paham, kau tidak boleh balas!"

   Padahal Tam Goat Hua sudah menjulurkan tangannya untuk mencengkeram lengan Han Giok Shia.

   Tapi begitu mendengar suara kakaknya, dia langsung menarik kembali tangannya, sekaligus meloncat kebelakang beberapa langkah.

   Betapa gusarnya Han Giok Shia.

   Di saat dia mau mengejar Tam Goat Hua, justru dicegah Gin Koan Tojin.

   "Tojin...."

   Han Giok Shia mengerutkan kening dengan dada turun naik karena menahan kegusarannya.

   Ternyata Gin Koan Tojin melihat kepandaian Tam Goat Hua jauh di atas kepandaian Han Giok Shia.

   Namun Tam Goat Hua malah mundur ketika mendengar suara kakaknya, itu membuktikan dia berhati bajik, maka belum tentu dia pembunuh si Pecut Ernas-Han Sun.

   Oleh karena itu, Gin Koan Tojin segera menahan Han Giok Shia.

   "Nona Han, dendam ayahmu akan kupikul. Pokoknya Cing Sia Pai akan menuntut balas dendam ayahmu."

   Mendengar ucapan itu, Han Giok Shia langsung berlutut di hadapan Gin Koan Tojin.

   Dengan demikian, Gin Koan Tojin 451 sudah tidak bisa menarik omongannya lagi, harus dilaksanakannya.

   Semua orang merasa gelombang yang satu belum tenang, tapi gelombang lain sudah muncul.

   Justru di saat itulah, mendadak terdengar suara Kim Kut Lau yang duduk di dahan pohon.

   Semua orang tidak begitu kenal Kim Kut Lau, begitu pula mengenai kepandaiannya.

   Yang tahu jelas hanya Yu Lao Pun yakni ketua Tay Chi Bun dan Tam Goat Hua.

   Mereka berdua tahu bahwa kepandaian Kim Kut Lau di atas mereka.

   Terutama Tam Goat Hua, dia pernah ditangkap dan dibelenggu oleh Kim Kut Lau.

   Namun kini dia bersama Tujuh Dewa, maka tidak merasa takut pada Kim Kut Lau.

   Sebelum suara tawa Kim Kut Lau sirna, Tam Goat Hua sudah membentak.

   "Kenapa kau tertawa?"

   Kim Kut Lau berhenti tertawa. Dia memandang Tam Goat Hua sejenak, lalu manggut-manggut, dan setelah itu menolehkan kepalanya seraya berkata.

   "Yang membunuh si Pecut Emas-Han Sun, kalau tidak mau mengaku sendiri, aku akan membongkarnya di hadapan semua orang!"

   Apa yang dikatakan Kim Kut Lau, justru mendapat perhatian dari semua orang, terutama Han Giok Shia.

   Oleh karena itu, Han Giok Shia segera mendongakkan kepala memandang Kim Kut Lau.

   Begitu memandang, hatinya tertegun seketika.

   Sebab saat ini, Kim Kut Lau tidak hanya memandang Han Giok Shia seorang.

   Justru itu, membuat semua orang dan Han Giok Shia merasa heran sekali.

   Karena seusai berkata, Kim Kut Lau terus menatap satu orang dengan sorotan aneh.

   Siapa orang itu? Tidak lain adalah Hwe Hong Sian Kouw.

   Yang lebih mengherankan lagi adalah sikap Hwe Hong Sian Kouw, dia terus menundukkan kepala dan wajahnya tampak kelabu.

   Semua orang tahu bahwa Hwe Hong Sian Kouw beradat keras, galak dan berangasan, namun amat jujur dan lurus.

   Lagipula Hwe Hong Sian Kouw dan si Pecut Emas-Han Sun merupakan kawan baik, dan itu siapa pun tahu.

   Tiga puluh tahun yang telah lampau, Hwe Hong Sian Kouw dan si Pecut Emas-Han Sun, merupakan sepasang kekasih.

   Tapi karena Hwe Hong Sian Kouw beradat tidak karuan, maka mereka berdua sering ribut, akhirnya berpisah, yang satu ke Utara, yang satu lagi ke Selatan.

   Beberapa tahun kemudian, karena perintah dari orangtuanya, maka Han Sun memperisteri seorang gadis, melahirkan seorang putra dan putri.

   Han Sun memperisteri gadis itu bukan berdasarkan kemauan sendiri, melainkan mentaati perintah orangtuanya.

   Lewat beberapa tahun kemudian orangtua dan isteri Han Sun meninggal.

   Sejak itulah dia tidak berkecimpung dalam rimba persilatan lagi, menetap di kota Su Cou.

   Tidak disangka sama sekali, mendadak muncul Hwe Hong Sian Kouw.

   Begitu berjumpa, membuat mereka teringat akan masa lalu.

   Mereka berdua pun merasa, gara-gara ketika masih muda tidak mau saling mengalah, akhirnya jalinan cinta kasih mereka menjadi berantakan, dan merusak jodoh mereka.

   Tiga puluh tahun kemudian, Mereka justru berjumpa kembali, namun keduanya sama-sama sudah tua, tentunya tidak mungkin menjadi suami isteri Lagi.

   Maka Han Sun menyuruh Han Giok Shia, putrinya mengangkat Hwe Hong Sian Kouw sebagai guru.

   Semua itu diketahui jelas oleh kaum rimba persilatan tingkatan tua.

   Maka ketika melihat Kim Kut Lau terus menatap Hwe Hong Sian Kouw, semua orang itu terheran-heran.

   Lama sekali baru Han Giok Shia membuka mulut.

   "Katakan saja siapa pembunuh itu! Kenapa harus dia mengaku sendiri?"

   "Ha ha!"

   Kim Kut Lau tertawa, sekaligus mematahkan sebatang ranting kecil, lalu dilempar ke udara. Ketika melayang turun, ranting kecil itu jatuh di depan Hwe Hong Sian Kouw. Setelah itu, Kim Kut Lau berkata lagi.

   "Nona Han, ranting kecil itu jatuh ke mana, dialah pembunuh ayahmu."

   Begitu ucapan tersebut dicetuskan, terperangahlah semua orang.

   Tadi Kim Kut Lau hanya menatap Hwe Hong Sian Kouw, seakan menunjuknya sebagai pembunuh, saat ini malah mengatakannya secara terang-terangan.

   Kalau Kim Kut Lau ingin mengeruhkan urusan, pertanda dia amat bodoh, sebab tiada seorang pun akan mempercayainya.

   Han Giok Shia termangu-mangu.

   Di saat bersamaan, terdengar si Walet Hijau-Yok Kun Sih bertanya dengan dingin.

   "Sebetulnya kau siapa?"

   Ketika Kim Kut Lau baru mau menjawab, mendadak Hwe Hong Sian Kouw mendongakkan kepala. Air mukanya begitu tak sedap dipandang, namun menyiratkan penderitaannya yang teramat dalam.

   "Kim Kut Lau!"

   Bentaknya.

   "Kau... kau... kau...."

   Tiga kali berturut-turut menyebut "Kau", tapi tak dapat melanjutkannya. Dari itu dapat diketahui bahwa kini perasaan Hwe Hong Sian Kouw kacau sekali. Sedangkan Kim Kut Lau masih tetap duduk didahan pohon sambil menggoyang-goyangkan kakinya.

   "Kau ingin bertanya, bagaimana aku mengetahuinya? Terus terang, aku amat tertarik akan barang kawalan Lu Sin Kong, maka aku ke rumah Han Sun. Ha ha! Aku justru menyaksikan Hwe Hong Sian Kouw menusuk dada Han Sun dengan patahan kaki kursi."

   "Itu omong kosong!"

   Terdengar suara seruan semua orang. Hwe Hong Sian Kouw menggoyang-goyangkan tangannya ke arah semua orang, kemudian berkata sengit kepada Kim Kut Lau.

   "Kim Kut Lau! Ketika itu kau menyaksikan kejadian tersebut, kenapa kau tidak mencegahku?"

   Apa yang diucapkan Hwe Hong Sian Kouw, membuat hening suasana di puncak Sian Jin Hong. Kim Kut Lau tertawa.

   "Lucu sekali! Bagaimana hubunganmu dengan Han Tayhiap, semua orang pasti tahu! Kau mementingkan keuntungan tapi melupakan persahabatan, mau membunuhnya, tentunya Han Tayhiap akan mati secara ikhlas di tanganmu! Untuk apa aku harus turun tangan mencegahmu?"

   Sekujur badan Hwe Hong Sian Kouw gemetar, lama sekali barulah dia bertanya.

   Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Siapa yang mementingkan keuntungan melupakan persahabatan?"

   Kim Kut Lau menyahut dengan lantang.

   "Kalian dengar semua, dia bilang bukan mementingkan keuntungan melupakan persahabatan, tentunya ada sebab lain! Kita adalah orang luar, tidak bisa banyak bicara! Kalau kita banyak bicara, berarti akan turut campur urusan pribadi orang!"

   Seusai Kim Kut Lau berkata begitu, Han Giok Shia dan Gin Koan Tojin sudah maju mengepung Hwe Hong Sian Kouw.

   Di saat bersamaan, Gin Koan Tojin pun memberi isyarat kepada keempat Tosu yang mengikutinya.

   Begitu melihat isyarat itu, keempat Tosu itu pun berpencar mengepung Hwe Hong Sian Kouw.

   Justru di saat itulah mendadak si Walet Hijau Yok Kun Sih melesat ke arah Hwe Hong Sian Kouw.

   Begitu melihat ada orang melesat ke arah Hwe Hong Sian Kouw, keempat Tosu itu pun bergerak menyambutnya.

   Di saat keempat Tosu itu baru bergerak, terdengar suara "Ser", si Walet Hijau telah berhasil melewati mereka menerobos ke sisi Hwe Hong Sian Kouw.

   Air muka keempat Tosu itu berubah menjadi hebat, kemudian mereka serentak menjulurkan tangan untuk menepuk benda bulat yang bergantung di pinggang mereka masing-masing.

   Plak! Trang! Mendadak muncul sebatang pedang di tangan masing-masing.

   Keempat pedang itu bergemerlapan, dan tampak amat lemas.

   Mereka berempat maju selangkah, kemudian menggerakkan pedang masing-masing.

   Ser! Ser! Ser! Ser! Keempat pedang itu berkelebatan ke arah Yok Kun Sih.

   Tapi di saat bersamaan, terdengar suara seruan Gin Koan Tojin.

   "Jangan kurang ajar!"

   Begitu mendengar suara seruan itu, keempat Tosu tersebut segera mundur, lalu melingkarkan pedang masing-masing sehingga berbentuk bulat. Setelah keempat Tosu itu mundur, Gin Koan Tojin memandang Yok Kun Sih dengan dingin.

   "Yok Kun Sih, sudah lama aku mendengar nama besarmu, tapi kita tidak pernah berjumpa. Setahuku kau amat bijaksana, tapi kenapa sekarang mencegah kami turun tangan? Harap dijelaskan!"

   Dalam golongan lurus, ketua Hui Yan Bun, si Walet HijauYok Kun Sih dan ketua Cing Sia Pai Gin Koan Tojin, berkedudukan tinggi dalam rimba persilatan.

   Karena itu, sudah ada beberapa orang mau tampil mendamaikan mereka, tapi si Walet Hijau-Yok Kun Sih justru berkata.

   "Tojin, tunggu aku tahu sampai jelas dulu persoalan itu!"

   Dia menjulurkan tangannya untuk memegang lengan Hwe Hong Sian Kouw, kemudian bertanya.

   "Hong Kouw, apakah benar apa yang dikatakan orang itu?"

   Hwe Hong Sian Kouw menyahut dengan suara lantang.

   "Tidak salah, Kun Sih! Kau tidak usah mempedulikan diriku, biar mereka turun tangan!"

   Gin Koan Tojin segera berkata.

   "Yok Kun Sih harap mundur!"

   Yok Kun Sih membentak gusar.

   "Tojin! Kenapa kau tidak bisa bersabar sebentar?"

   Wajah Gin Koan Tojin berubah menjadi dingin sekali.

   "Dia telah mengaku, apakah Hui Yan Bun ingin bentrok dengan Cing Sia Pai?"

   Saat itu, pihak golongan sesat semuanya ingin menyaksikan keramaian tersebut.

   Sedangkan golongan lurus, justru tidak habis pikir kenapa Hwe Hong Sian Kouw mencelakai si Pecut Emas-Han Sun? Asal Hwe Hong Sian Kouw menyangkal, semua orang pasti mempercayainya.

   Akan tetapi, Hwe Hong Sian Kouw malah mengakuinya.

   Semua orang yakin, bahwa kejadian itu pasti terselip sesuatu, maka Pit Giok Sen segera berseru.

   "Gin Koan Tojin, hitam atau putihnya persoalan ini masih belum jelas, tapi kenapa kau begitu terburu-buru? Bersabarlah sedikit!"

   Sementara Yok Kun Sih cepat-cepat berkata.

   "Hong Kouw, aku yakin pasti ada sebab lain, jelaskanlah!"

   Hwe Hong Sian Kouw menghela nafas panjang.

   "Kalau kujelaskan, tiada seorang pun akan percaya! Untuk apa aku menjelaskan?"

   Yok Kun Sih segera menyahut.

   "Hong Kouw, aku mempercayaimu!"

   Si Sastrawan dan lainnya juga berkata dengan serentak.

   "Kami juga mempercayaimu!"

   Hwe Hong Sian Kouw tampak terharu, lalu berkata sekeras-kerasnya.

   "Kalau begitu, akan kukatakan!"

   Dia berhenti sejenak, kemudian barulah melanjutkan.

   "Hari itu, Lu Sin Kong ditolong oleh gadis itu...."

   Hwe Hong Sian Kouw menunjuk Tam Goat Hua.

   "Setelah dia membawa pergi Lu Sin Kong, kami anggap kepandaian yang diperlihatkannya sedikit mirip dengan kepandaian pemilik Cit Sat Sin Ciang di masa lampau, yaitu ilmu Hian Bu Sam Na, maka aku dan Han Tayhiap terkejut bukan kepalang."

   Mendengar sampai di situ, Tujuh Dewa pun mengeluarkan "Hah"

   Dan mereka langsung teringat akan orang yang memakai kain penutup muka. Si Sastrawan menolehkan kepala untuk memandang Tam Goat Hua seraya bertanya.

   "Gadis kecil, apa margamu?"

   Tam Goat Hua tertawa.

   "Aku bermarga Tam!"

   Si Sastrawan Se Chi tertegun.

   "Nona Tam, siapa yang mengajarmu ilmu Hian Bu Sam Na?"

   Tam Goat Hua menyahut.

   "Apa itu ilmu Hian Bu Sam Na, aku tak tahu sama sekali."

   Saat ini walau hati Hwe Hong Sian Kouw amat kacau, tapi pembicaraan mereka tidak terlepas dari pendengarannya. Dia segera berkata.

   "Kau merebut senjata Ah Shia dengan jurus aneh, bukankah itu adalah ilmu Hian Bu Sam Na?"

   Tam Goat Hua tertawa.

   "Heran! Bagaimana mungkin aku tidak tahu akan ilmu silat sendiri? Itu memang ilmu Kin Na Ciu (ilmu Mencengkeram), tapi tentang ilmu Hian Bu Sam Na, aku tidak pernah mendengarnya."

   Yok Kun Sih memandang sejenak Tam Goat Hua dan kakaknya, kemudian berkata kepada Hwe Hong Sian Kouw.

   "Kau lanjutkan saja, tidak usah mempedulikan mereka!"

   Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut lalu melanjutkan.

   "Setelah kami berdua terkejut, aku menyuruh Ah Shia ke Hui Yan San belajar ilmu silat kepadamu."

   Yok Kun Sih manggut-manggut.

   "Oooh! Tapi dia tidak pernah datang di Hui Yan San menemuiku."

   Saat ini, Han Giok Shia tahu bahwa orang yang membunuh ayahnya, tidak lain adalah gurunya sendiri, dan itu membuat hatinya menjadi berduka dan kacau balau. Apa yang dibicarakan orang-orang disekelilingnya sama sekali tidak masuk ke telinganya.

   "Dia pernah ke sana atau tidak, kami tidak mengetahuinya,"

   Kata Hwe Hong Sian Kouw.

   "Kami tahu pihak lain tidak bersenjata, maka kami memberikan senjata kami kepada Ah Shia, agar dia dapat melindungi dirinya dengan kedua senjata itu. Lagi pula kami pun tahu bahwa pihak lawan berkepandaian amat tinggi, percuma kami memiliki senjata, maka kami menunggu kemunculannya dengan tangan kosong."

   "Apakah dia muncul?"

   Tanya Yok Kun Sih.

   "Tidak"

   Sahut Hwe Hong Sian Kouw.

   "Mungkin kami salah mengenali ilmu silat gadis ini. Berselang beberapa saat, terdengar suara harpa...."

   Ketika Hwe Hong Sian Kouw berkata sampai di situ, beberapa orang langsung bertanya.

   "Terdengar suara harpa?"

   Orang-orang yang bertanya itu termasuk Han Giok Shia, Tam Goat Hua dan kakaknya. Wajah Hwe Hong Sian Kouw tampak menderita sekali, kemudian dia menyahut sambil berkertak gigi.

   "Benar. Aku mendengar suara harpa. Setelah itu aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku hanya mendengar suara jeritan, dan itu membuatku tersentak sadar, bahwa aku telah terluka parah, sedangkan Han Tayhiap telah mati di tanganku."

   Mendengar itu, Yok Kun Sih menjadi diam. Dia memang ingin membela Hwe Hong Sian Kouw. Namun apa yang dituturkan Hwe Hong Sian Kouw, amat sulit untuk dipercaya. Ketika melihat Yok Kun Sih diam saja, Gin Koan Tojin berkata dingin.

   "Yok Kun Sih, kau sudah boleh mundur."

   Yok Kun Sih bersifat aneh, namun hubungannya dengan Hwe Hong Sian Kouw amat baik. Saat itu, walau dia tidak begitu percaya akan penuturan Hwe Hong Sian Kouw, tapi dia tetap membelanya, maka dia tertawa dingin.

   "Kenapa aku harus mundur? Siapa berani turun tangan terhadap Hwe Hong Sian Kouw, berarti dia mau cari gara-gara dengan Hui Yan Bun!"

   Begitu mendengar ucapan itu, wajah Gin Koan Tojin langsung berubah, lalu dia tertawa panjang.

   "Ha ha haaaa! Bagus! Bagus!"

   Kemudian dia menghunus pedangnya "Trang", setelah itu dia langsung menyerang Yok Kun Sih.

   Tidak tampak Yok Kun Sih bergerak, tapi badannya justru telah mencelat ke belakang, bahkan sempat membawa Hwe Hong Sian Kouw.

   Melihat itu, Han Giok Shia segera berseru dengan penuh dendam.

   "Harap Tojin membalas dendam ayahku!"

   Gin Koan Tojin menyahut.

   "Tenanglah Nona Han, aku pasti membalas dendam ayahmu!"

   Seketika suasana menjadi tegang mencekam.

   Orang lain sudah tidak bisa berbuat apa-apa.

   Cing Sia Pai dan Hui Yan Bun sama-sama golongan lurus.

   Kini kedua ketua itu, justru telah bentrok dan kelihatannya sudah siap bertarung.

   Terdengar Hwe Hong Sian Kouw berkata.

   "Kun Sih, untuk apa kau membelaku sehingga menimbulkan bentrokan dengan Cing Sia Pai?"

   Yok Kun Sih menyahut sungguh-sungguh.

   "Hong Kouw, kau tidak perlu mempedulikanku. Kau mendengar suara harpa itu, tentunya ada orang lain yang menimbulkan kejadian itu. Kini hatimu sedang kacau lebih baik pergi beristirahat sejenak!"

   Kemudian dia berpaling seraya memanggil.

   "Ang!"

   Toan Bok Ang segera menghadap.

   "Ya, Guru."

   "Bawalah Hong Kouw pergi beristirahat!"

   Pesan Yok Kun Sih.

   Toan Bok Ang mengangguk, lalu menarik Hwe Hong Sian Kouw meninggalkan tempat itu.

   Saat ini, pikiran Hwe Hong Sian Kouw memang amat kacau.

   Ketika Toan Bok Ang menariknya pergi, dia pun ikut.

   Setelah menyaksikan semua itu, mendadak Han Giok Shia berseru dengan hati hancur.

   "Guru!"

   Hwe Hong Sian Kouw memandangnya, kemudian tersenyum getir seraya bertanya.

   "Ah Shia, kenapa kau masih memanggilku guru?"

   Sepasang mata Han Giok Shia tampak membara.

   "Tentunya aku tetap memanggilmu guru. Asal kau masih mempunyai rasa sebagai seorang guru, saat ini kau harus...."

   Toan Bok Ang tahu bahwa Han Giok Shia akan mengatakan apa, sudah pasti akan menyuruh Hwe Hong Sian Kouw membunuh diri.

   Toan Bok Ang khawatir Hwe Hong Sian Kouw akan menurutinya.

   Oleh karena itu, secepat kilat dia menggerakkan pecutnya ke arah Han Giok Shia, dan ujung pecut itu berhasil menotok jalan darah Hu Keng Hiat di tubuh gadis itu, maka tidak dapat melanjutkan ucapannya.

   Sementara Gin Koan Tojin dan si Walet HijauYok Kun Sih, berdiri berhadapan dalam jarak beberapa depa, sama sekali tanpa ada yang bergerak.

   Mereka berdua adalah jago tangguh kelas satu masa kini.

   Kalau mereka mau bertarung, tentunya berbeda dengan orang lain.

   Mereka akan mencari kelemahan pihak lawan untuk merebut kemenangan.

   Karena itu, mereka berdua berdiri diam di tempat.

   
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Angin berhembus ke arah mereka, membuat pakaian mereka berkibar-kibar.

   Ketika Toan Bok Ang menotok jalan darah Han Giok Shia, itu tidak terlewat dari mata Gin Koan Tojin, namun Tosu tua itu tidak dapat berbuat apa pun.

   Tapi empat Tosu lain murid Gin Koan Tojin, langsung melesat ke hadapan gadis itu.

   Trang! Trang! Trang! Trang! Keempat Tosu itu menghunus pedang masing-masing, kemudian mendadak menyerang Toan Bok Ang.

   Setelah berhasil menotok jalan darah Han Giok Shia, sehingga membuat gadis itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, Toan Bok Ang merasa puas sekali.

   Akan tetapi, pedang keempat Tosu itu telah mengarah kepadanya.

   Betapa terkejutnya hati gadis itu.

   Dia mau balas menyerang, tapi sudah terlambat, karena itu dia mengerahkan ilmu Ginkang perguruannya untuk menghindar.

   Gerakan Induk Walet Mencari Makanan dikeluarkan, badannya melambung kemudian melesat keluar laksana kilat.

   Seketika Toan Bok Ang sudah berada sejauh beberapa depa.

   Kemudian disusul dengan gerakan Sekali Terbang Menembus Langit.

   Akan tetapi, ketika dia berdiri barulah tahu ujung lengan bajunya telah tersobek oleh pedang, bahkan bahu dan kakinya pun tergores sedikit.

   Ternyata keempat pedang itu tidak menyerang tempat kosong.

   Itu membuat Toan Bok Ang gusar sekali.

   Dia memandang keempat Tosu itu sambil mendengus.

   "Tosu bau, sungguh hebat ilmu pedang kalian!"

   Salah seorang Tosu tertawa dingin.

   "Tidak sebanding dengan gerakan Nona yang begitu indah dan aneh!"

   Toan Bok Ang maju selangkah sambil menuding keempat Tosu itu seraya membentak.

   "Kalian berempat, maju semua!"

   Tiga Tosu itu malah mundur. Hanya satu Tosu tetap berdiri di situ. Mereka berempat tak pernah berbicara, tapi gerak-gerik mereka justru sesuai dengan kemauan hati. Tosu yang berdiri tak bergerak itu, menatap Toan Bok Ang dengan dingin seraya berkata.

   "Aku seorang diri, mohon petunjuk ilmu cambuk Nona!"

   Tadi Toan Bok Ang telah kehilangan muka, kini dia harus merebut kembali itu, maka tidak peduli kedua pihak sama-sama dari golongan lurus.

   Apabila mereka bertarung, tentunya akan menjadi bahan tertawaan golongan sesat.

   Ketika melihat cuma satu Tosu itu, bergiranglah Toan Bok Ang dalam hati dan berkata.

   "Baik, aku akan memberi pelajaran kepadamu!"

   Usia Toan Bok Ang jauh lebih muda dari keempat Tosu itu, namun derajatnya justru sama.

   Kini kedua beiah pihak sudah jadi musuh, omong sombong sedikit tidak akan keterlaluan.

   Usai berkata begitu, Toan Bok Ang maju selangkah, dan cambuk yang di tangannya sudah meliuk-liuk ke arah Tosu itu.

   Cambuknya itu juga bergemerlapan seperti Pecut Emas milik Han Giok Shia, ketika bergerak memancarkan cahaya.

   Kebetulan Tosu itu pun menggunakan pedang perak yang memancarkan cahaya.

   Tampak cahaya putih berkelebatan, mereka berdua sudah bertarung tiga jurus.

   Dalam gulungan cahaya yang satu, tampak seorang Tosu.

   Dalam gulungan cahaya lain, tampak seorang gadis cantik jelita.

   Bukan main indahnya gerakan mereka, sesekali terdengar pula suara benturan dan bunga api pun berpijar-pijar.

   Sungguh indah pemandangan itu! Kelihatannya mereka berdua setanding, sebab belum ada yang terdesak maupun di bawah angin.

   Ketika Toan Bok Ang baru bertarung dengan Tosu itu, kakak Tam Goat Hua segera mendekati Han Giok Shia, sekaligus membebaskan totokan itu.

   Setelah totokan itu bebas, Han Giok Shia bisa bergerak dan bersuara.

   Dia ingin mencaci, namun begitu lihat yang membebaskan totokannya adalah pemuda pujaan hatinya, wajahnya langsung berubah kemerah-merahan.

   Seseorang gadis walau bersifat keras, namun di hadapan pemuda pujaan hatinya, pasti menjadi lembut sekali, begitu pula Han Giok Shia.

   Dia menundukkan wajahnya dalam-dalam.

   Pemuda itu menatapnya, kemudian berkata dengan suara rendah.

   "Nona Han, meskipun gurumu mengakui mencelakai ayahmu, tapi pasti ada sebab lain."

   Han Giok Shia bertanya dengan air mata berderai-derai.

   "Bagaimana... kau tahu ada sebab lain?"

   Pemuda itu menghela nafas panjang.

   "Aku akan memberitahukan satu hal, kau pasti akan lebih mengerti."

   Han Giok Shia merasa nada suara pemuda itu mengandung suatu kekuatan yang tak dapat dilawannya, bahkan nada suara itu pun membuatnya terasa nyaman dan lega, terutama di saat ini, hatinya menjadi agak tenang.

   "Mengenai hal apa?"

   Tanyanya perlahan. Pemuda itu tertawa.

   "Panjang sekali kalau diceritakan. Bagaimana kalau Nona Han ke tempat kami untuk beristirahat sejenak?"

   Han Giok Shia mendongakkan kepala memandang Tam Goat Hua, kemudian berkata.

   "Aku khawatir adikmu...."

   Pemuda itu tertawa lagi.

   "Adikku berhati lurus, lambat laun Nona Han akan mengerti."

   Setelah mengatakan begitu, wajah pemuda itu justru kemerah-merahan.

   Han Giok Shia yang mendengar, seketika juga hatinya berbunga-bunga, kemudian mereka berdua ke sisi Tujuh Dewa.

   Dalam hati Han Giok Shia dan Tam Goat Hua memang sudah ada ganjelan, maka ketika bertatap muka, mereka berdua cuma berbasa-basi dengan hambar.

   Di saat bersamaan, suasana di tempat itu bertambah tegang, karena Gin Koan Tojin dan si Walet Hijau-Yok Kun Sih sudah mulai bertarung.

   Akan tetapi, gerakan mereka tampak lamban sekali, kelihatannya seperti sedang berlatih.

   Tentu, sebab dalam pandangan seorang ahli, mereka berdua bertarung menggunakan Lweekang, maka berjarak beberapa depa.

   Walau kelihatan lamban, namun setiap gerakan disertai dengan tenaga.

   Di pihak lain, pertarungan antara Toan Bok Ang dengan Tosu itu justru semakin cepat.

   Dalam waktu sekejap, sudah melewati dua puluh jurus.

   Diam-diam Toan Bok Ang penasaran sekali.

   Menghadapi salah seorang Tosu itu saja tak mampu merobohkannya, apalagi mereka berempat maju serentak? Karena itu, gadis tersebut merasa malu sekali.

   Dia terus berpikir cara bagaimana merobohkan Tosu itu, mendadak timbul suatu ide dalam hatinya.

   Setelah pertarungan mereka melewati dua puluh empat jurus, sekonyong-konyong Toan Bok Ang mengeluarkan jurus Burung Walet Beterbangan.

   Tapi baru mengeluarkan setengah jurus, tiba-tiba Toan Bok Ang berhenti, tidak melanjutkan jurus itu.

   Jurus Pik Yan Hun Hui merupakan jurus andalan ilmu cambuknya, yang setiap jurusnya mengandung sembilan gerakan.

   Ketika mempelajari jurus tersebut, dia membutuhkan waktu hampir setengah tahun, barulah dapat menguasai jurus itu.

   Maka, dapat dibayangkan betapa lihay dan dahsyatnya jurus tersebut.

   Bagian 09 Bab 21 Begitu jurus tersebut dikeluarkan, Tosu itu sudah tahu akan kedahsyatannya, maka segera menyurut mundur.

   Ketika Tosu itu mundur, Toan Bok Ang justru tidak melanjutkan jurus itu, hanya berdiri diam saja.

   Tentunya membuat Tosu itu terheran-heran, dan sudah barang tentu penjagaannya menjadi lengah.

   Akan tetapi, Toan Bok Ang tetap tidak menyerangnya.

   Tosu itu bergirang dalam hati, dan langsung menggerakkan pedangnya untuk menyerang.

   Toan Bok Ang mundur, namun Tosu itu menyerang lagi dengan jurus Pelangi Menutupi Matahari.

   Pedangnya berkelebatan dan menderu-deru mengarah Toan Bok Ang.

   Di saat Tosu itu mengeluarkan jurus tersebut, ketiga Tosu lain langsung berseru.

   "Suheng hati-hati!"

   Ternyata ketiga Tosu itu telah melihat jurus yang dikeluarkan Toan Bok Ang tadi belum semuanya, maka ketika Tosu itu menyerang dengan jurus Ciang Hong Koan Jit, mereka bertiga berseru memperingatkannya.

   Namun sudah terlambat, karena badan Toan Bok Ang telah bergerak ke belakang Tosu itu.

   Gadis itu bergerak menggunakan Ginkang andalan Hui Yan Bun, maka gerakannya cepat laksana kilat dan ringan bagaikan kapas.

   Betapa terkejutnya Tosu itu, sebab mendadak Toan Bok Ang menghilang dari hadapannya.

   Di saat Tosu itu mengetahui adanya gelagat tidak beres, Toan Bok Ang justru telah menyerang punggungnya dengan jurus tadi, Burung Walet Beterbangan.

   Plak! Plak! Plak! Terdengar suara itu dan disusul dengan suara jeritan Tosu itu.

   Ternyata badannya terpental ke depan beberapa depa, dan punggungnya telah terluka cukup berat.

   Toan Bok Ang berdiri di tempat, menatap ketiga Tosu lain seraya bertanya dingin.

   "Siapa lagi yang akan maju?"

   Ketiga Tosu itu maju serentak. Seketika juga Toan Bok Ang tertawa, kelihatannya gadis itu sudah siap bertarung. Di saat bersamaan, mendadak jago tangguh tingkat kedua Bu Tong Pai, Sen Hong Kiam Kek Ouw Yang Seh berseru.

   "Nona dari Hui Yan Bun dan Tosu dari Cing Sia Pai, kalian tidak perlu bertarung lagi!"

   Sembari berseru dia mendekati mereka, lalu berdiri di tengah-tengah mereka pula.

   Jago tangguh dari Bu Tong Pai itu, sejak berada di situ tidak pernah berbicara dengan siapa pun.

   Namun kini mendadak dia tampil ke tengah-tengah mereka, maka amat mengherankan semua orang.

   Sedangkan Toan Bok Ang tahu jelas akan dirinya sendiri, kalau terus bertarung satu persatu, tenaganya justru akan terkuras habis.

   Dalam hatinya memang menghendaki kemunculan seseorang, kebetulan Sen Hong Kiam Kek Ouw Yang Seh tampil ke depan.

   Ketiga Tosu Cing Sia Pai segera bertanya serentak.

   "Apa artinya tidak perlu bertarung lagi, harap dijelaskan!"

   Sen Hong Kiam Kek Ouw Yang Seh tidak menyahut, melainkan memandang Yok Kun Sih dan Gin Koan Tojin yang sedang bertarung itu seraya berkata.

   "Kalian berdua adalah ketua partai, kenapa kalian masih terus bertarung? Setiap orang yang datang di puncak Sian Jin Hong, masing-masing punya maksud tertentu, tapi tidak untuk bertarung!"

   Ketiga Tosu Cing Sia Pai membungkam. Di saat itulah terdengar suara seruan lantang.

   "Memang benar perkataan Saudara Ouw Yang!"

   Suara seruan itu amat nyaring dan tajam, maka menarik perhatian semua orang.

   Kemudian orang-orang itu memandang ke arah datangnya suara dan tertegun.

   Ternyata wajah orang yang bersuara itu, aneh sekali.

   Dia mengenakan pakaian pendek, dan tangannya memegang sebuah kipas rombeng.

   Yang mengherankan, dia 474 memakai sebuah kedok besar yang tampak tersenyum-senyum, yakni kedok Buddha Berwajah Tertawa.

   Sesungguhnya dandanan orang itu tidak aneh, sebab sejak Dinasti Han, dandanan tersebut sudah populer, khususnya untuk menghibur anak-anak setiap tahun, agar anak-anak bergembira ria.

   Akan tetapi, dengan dandanan seperti itu muncul di puncak Sian Jin Hong, justru membuat semua orang terheran-heran dan merasa di luar dugaan.

   Walau kedok itu tersenyum-senyum, namun tampak sepasang mata orang itu menyorot dingin.

   Siapa yang menyaksikan sorotan matanya, pasti merasa merinding.

   Hal lain yang mengherankan, yaitu kapan datangnya orang itu, tiada seorang pun tahu.

   Liat Hwe Cousu tampak berbisik-bisik dengan kedua Tongcunya, kelihatannya dia pun tidak tahu kapan orang itu muncul di puncak Sian Jin Hong.

   Hanya kini terlihat orang itu duduk di atas sebuah batu besar yang tajam, tapi seakan duduk di tanah datar.

   Semua orang memandangnya, kemudian mulai berbisik-bisik membicarakannya.

   Akan tetapi, tetap tiada seorang pun tahu asal-usul orang tersebut.

   Karena tak ada yang tahu, maka orang-orang itu mulai tidak memperhatikannya lagi.

   Orang-orang yang berkumpul di puncak Sian Jin Hong itu baik dari golongan lurus maupun golongan sesat rata-rata 475 sudah terkenal dalam rimba persilatan.

   Maka begitu bertemu mereka saling mengenal, termasuk Kim Kut Lau.

   Namun orang itu, justru tiada seorang yang mengenalnya, pertanda dia bukan orang terkenal, maka sengaja berdandan aneh seperti itu untuk menarik perhatian semua orang.

   Di saat semua orang sedang berpikir demikian, mendadak orang itu meloncat turun dari batu besar yang didudukinya.

   Plak! Terdengar suara sepasang kakinya menginjak tanah, sepertinya tidak mengerti ilmu Ginkang.

   Setelah meloncat turun, orang itu berseru.

   "Gin Koan Tojin, Yok Kun Sih, kalian berdua tidak perlu bertarung lagi!"

   Gin Koan Tojin dan Yok Kun Sih baru bertarung belasan jurus dan belum ada yang kalah, bagaimana mungkin mereka berdua menyudahi pertarungan itu? Oleh karena itu, mereka berdua sama sekali tidak menghiraukan seruan orang itu, melainkan terus melancarkan pukulan.

   Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Blam! Terdengar suara benturan, membuat mereka berdua mundur selangkah.

   Ketika mereka berdua baru mau melancarkan pukulan lagi, kedua-duanya sama-sama tertegun.

   Ternyata entah sejak kapan, tahu-tahu orang berkedok itu sudah berdiri di tengah-tengah mereka.

   Gin Koan Tojin dan Yok Kun Sih merupakan jago tangguh tingkat tertinggi dalam rimba persilatan di masa itu.

   Namun mereka berdua justru tidak tahu, sejak kapan orang berkedok itu berdiri di tengah-tengah mereka berdua, dan itu membuat mereka berdua tidak jadi melancarkan pukulan.

   Terdengar orang berkedok itu berkata.

   "Kalian berdua ingin tahu siapa yang menang dan yang kalah. Tapi kalau kalian bertarung dengan cara demikian, sampai lima ratus jurus pun belum tentu ada hasilnya. Bahkan itu akan menghabiskan waktu kalian sekaligus menelantarkan pokok urusan. Menurut aku, kalah dan menang dapat segera diketahui."

   Kini Yok Kun Sih dan Gin Koan Tojin, sudah tahu bahwa orang berkedok itu berkepandaian amat tinggi.

   "Ada cara apa agar bisa tahu siapa menang dan kalah?"

   Tanya mereka serentak. Orang berkedok itu menggeleng-gelengkan kepala.

   "Dalam hal ilmu silat, tentunya berpokok pada Lweekang. Kini banyak jago tangguh di sini. Kalian berdua boleh memperlihatkan Lweekang masing-masing, tetapi harus ada orang yang menjadi saksi. Jadi kalian tidak perlu bertarung tidak karuan menghabiskan waktu."

   Gin Koan Tojin menyahut sengit.

   "Apa yang Anda katakan memang tidak salah, namun aku dengan dia bukan ingin tahu siapa yang menang dan yang 477 kalah, melainkan berhubungan dengan kematian si Pecut Emas-Han Sun."

   Orang berkedok itu tertawa aneh.

   "Aku tahu, siapa yang menang tentunya boleh berbuat sesukanya."

   Gin Koan Tojin berkata dingin.

   "Aku kira Anda tidak dapat mengambil keputusan itu."

   Orang berkedok itu tertawa gelak.

   "Ha ha ha!"

   Suara tawanya tak sedap didengar.

   Sebelum suara tawanya lenyap, dia sudah mencelat ke belakang.

   Gerakannya cepat sekali, tahu-tahu dia sudah berada di sisi sebuah batu besar, lalu mendadak mengayunkan kipas rombengnya.

   Blam! Terdengar suara yang memekakkan telinga.

   Bukan main! Batu besar itu terbelah menjadi dua.

   Kemudian orang itu kembali ke sini Gin Koan Tojin dan Yok Kun Sih seraya bertanya.

   "Aku boleh mencampuri atau tidak?"

   Usai bertanya, mendadak terdengar suara ledakan "Blam", ternyata batu besar yang terbelah tadi meledak hancur.

   Betapa terkejutnya semua orang, termasuk Gin Koan Tojin dan Yok Kun Sih.

   Mereka semua terbelalak menyaksikan kejadian itu.

   Tam Goat Hua juga merasa heran dalam hati.

   "Kakak, Lweekang orang itu telah mencapai tingkat tertinggi. Entah siapa dia?"

   Tanyanya kemudian kepada kakaknya. Kakak Tam Goat Hua menggeleng-gelengkan kepala.

   "Aku pun tidak tahu, sebab banyak orang aneh berkepandaian tinggi dalam rimba persilatan."

   Setelah batu besar itu hancur, semua orang mulai membicarakan orang berkedok itu.

   Dalam hati Gin Koan Tojin, walau tidak terkesan baik terhadap orang berkedok itu, tapi amat kagum kepadanya, sebab orang berkedok itu menghantam batu besar itu, cuma menggunakan kipas rombeng.

   Setelah berpikir sejenak, Gin Koan Tojin pun berkata.

   "Anda tidak menghendaki kami bertarung di sini, baiklah. Setelah meninggalkan tempat ini, barulah kami lanjutkan."

   Orang berkedok itu menggoyang-goyangkan kipasnya.

   "Kalau begitu memang baik sekali. Namun kalian semua yang datang di tempat ini, belum tentu cuma ingin menonton keramaian. Mungkin pada saatnya, kalian masing-masing pun harus turun tangan. Bagi yang berkepandaian rendah, harus cepat-cepat mengambil keputusan, agar tidak mempermalukan diri sendiri nanti!"

   Apa yang diucapkannya justru ditujukan kepada semua orang, dan bernada besar. Liat Hwe Cousu membuka matanya perlahanlahan, kemudian membentak.

   "Siapa Anda?"

   Orang berkedok itu tertawa dingin.

   "Aku adalah aku!"

   Sahutnya.

   Usai menyahut, orang itu melangkah pergi.

   Tapi ketika melewati Tam Goat Hua dan kakaknya ia berhenti sejenak sambil menatap mereka berdua dengan sorot mata tajam.

   Kemudian dia berjalan lagi dan berhenti di dekat sebuah batu.

   Saat itu tengah hari, masih banyak orang datang di puncak Sian Jin Hong.

   Ketika hari mulai sore, muncullah si Setan-Seng Ling bersama Setan Kepala Kerbau dan Setan Kepala Kuda.

   Kou Hun Su Seng Cai dan Sou Mia Su Seng Bou segera menyapanya, kemudian mereka lalu bercakap-cakap dengan suara rendah.

   Si Setan-Seng Ling segera memandang Tujuh Dewa, Tam Goat Hua dan kakaknya dengan sorotan tajam, setelah itu barulah duduk.

   Tam Goat Hua tertawa.

   "Kak, setan tua tiba, setan kecil langsung mengadu."

   Kakak Tam Goat Hua menyahut.

   "Diam! Entah kenapa ayah masih belum muncul? Lebih baik kita jangan cari gara-gara!"

   Tam Goat Hua meleletkan lidahnya, tapi diam tak bersuara lagi.

   Tak lama setelah si Setan-Seng Ling duduk, muncul lagi seorang setan dari Istana Setan, yang langsung menghampiri si Setan-Seng Ling, kemudian berbisik-bisik.

   Si Setan-Seng Ling mendongakkan kepala memandang Tam Goat Hua dan kakaknya.

   "Benarkah urusan itu?"

   Tanyanya dingin.

   "Tidak salah,"

   Sahut setan itu.

   Semua orang tidak tahu apa yang mereka bisikkan, namun Tam Goat Hua dan kakaknya tahu, apa yang mereka bisikkan itu pasti berkaitan dengan dirinya.

   Kini mereka berdua bersama Tujuh Dewa, Liok Ci Siansing, Pik Giok Sen dan Tiat Cit Song Jin, tentunya tidak merasa takut kepada si Setan-Seng Ling.

   Hari itu walau sudah begitu banyak jago tangguh berkumpul di puncak Sian Jin Hong, namun tidak terjadi suatu apa pun.

   Ketika menjelang malam, muncul lagi dua jago tangguh dari Bu Tong Pai.

   Mereka memberitahukan bahwa di tengah jalan mereka melihat ketua Tiam Cong Pai bersama belasan jago tangguh telah menuju ke puncak Sian Jin Hong.

   Lalu tampak dua nenek berpakaian aneh membaur di situ.

   Di leher kedua nenek itu melingkar seekor ular berkembang-481 kembang.

   Siapa pun tidak tahu asal-usul kedua nenek itu.

   Mendengar pemberitahuan itu semua orang yakin, bahwa tidak lama lagi pihak Go Bi Pai pasti akan menyusul.

   Hari sudah malam, keadaan tetap tenang, tak terjadi suatu apa pun.

   Namun semua orang tahu, ketenangan itu justru merupakan awal dari suatu badai.

   Sejak Tam Goat Hua kecil, dia hanya mengikuti ayahnya tinggal di sebuah goa untuk belajar ilmu silat.

   Beberapa tahun ini baru pindah ke daerah Su Cou.

   Maka dia sama sekali tidak pernah menghadapi situasi seperti itu.

   Menurutnya, alangkah baiknya berjalan-jalan ke sana ke mari dan bercakap-cakap dengan partai lain, sebab itu akan menambah pengetahuannya.

   Akan tetapi, ketika dia sampai di situ, justru telah bentrok dengan Seng Cai dan Seng Bou.

   Kini si Setan-Seng Ling sudah berada di situ, sehingga membuatnya tidak berani sembarangan pergi.

   Lagipula pihak Hwa San Pai amat membencinya, maka kalau dia meninggalkan Tujuh Dewa, mungkin pihak Hwa San Pai akan menangkapnya Iagi.

   Oleh karena itu, dia terpaksa tiduran di atas tanah.

   Sayup-sayup dia mendengar percakapan lirih, ternyata kakaknya bercakap-cakap dengan Han Giok Shia, namun tidak terdengar jelas apa yang mereka bicarakan.

   Di saat bersamaan, mendadak telinganya mendengar suara yang amat lirih.

   "Anak gadis kecil! Anak gadis kecil!"

   Namun karena seruan itu tidak menyebut nama, maka Tam Goat Hua tidak menghiraukannya.

   Tapi terdengar lagi suara seruan itu.

   Tam Goat Hua terheran-heran karena suara itu amat lirih, namun terdengar jelas dalam telinganya.

   Lagipula suara itu langsung menerobos ke dalam telinganya, sepertinya ada orang berbisik-bisik di telinganya.

   Tergerak hati Tam Goat Hua, karena ayahnya pernah memberitahukan tentang Ilmu Penyampai Suara.

   Apakah ada orang berkepandaian tinggi sedang memanggilnya? Karena itu, Tam Goat Hua segera bangun, dan kemudian menengok ke sana ke mari.

   Dilihatnya di kejauhan beberapa depa, orang berkedok yang duduk di sisi batu sedang melambaikan tangannya ke arah dirinya.

   Tam Goat Hua tercengang dan bingung, sebab tidak tahu mau apa orang berkedok itu memanggilnya.

   Justru di saat itu tiba-tiba suara lirih itu kembali terdengar.

   "Anak gadis kecil, di tempat ini tiada seorang pun yang tahu identitasku. Tapi ayahmu pasti tahu. Kau boleh berlega hati, aku tidak akan mencelakaimu."

   Tam Goat Hua tahu jelas, apabila orang berkedok itu mau mencelakainya, gampangnya bagaikan membalikkan telapak tangan. Lagipula dia tidak akan dapat menghindar. Maka, perlahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu mendekati orang berkedok itu.

   "Ada urusan apa Cianpwee memanggilku?"

   Orang berkedok itu tertawa.

   "Mulutmu cukup manis, langsung memanggilku Cianpwee! Aku tanya kau, maukah kau melaksanakan satu urusan?"

   Tam Goat Hua tercengang, tapi segera bertanya.

   "Urusan apa itu?"

   Orang berkedok itu tertawa lagi.

   "Berdasarkan nyalimu, memang cocok sekali. Setelah kau menyelesaikan urusan itu, aku pasti tidak akan merugikanmu. Kau bersedia melaksanakannya?"

   Tam Goat Hua tersenyum.

   "Cianpwee menghendaki aku melaksanakan apa? Bolehkah aku tahu?"

   Orang berkedok itu menggoyang-goyangkan kipas rombengnya.

   "Kukatakan memang gampang dan sederhana sekali...."

   Orang berkedok itu menghentikan ucapannya, kemudian menggunakan kipas rombengnya menulis di bawah.

   "Lu Leng putra Lu Sin Kong, kini dikurung dalam Neraka Delapan Belas Lapis di Istana Setan, kau ke Pak Bong San membawanya kemari menemuiku!"

   Temangu-mangu Tam Goat Hua mendengar itu, karena dari puncak Sian Jin Hong ke Pak Bong San pergi pulang, itu ribuan mil jaraknya.

   Seandainya berhasil membawa Lu Leng ke mari, di tempat ini pun sudah tiada siapa-siapa.

   Lagipula Istana Setan Pak Bong San, merupakan markas penting si Setan-Seng Ling, tentunya banyak jebakan dan jago tangguh menjaga di sana.

   Bagaimana mungkin dapat memasuki Istana Setan itu? Oleh karena itu, Tam Goat Hua diam saja.

   Tiba-tiba mata orang berkedok itu menyorot aneh, kemudian dia berkata.

   "Para jago tangguh Istana Setan, semuanya berkumpul di sini. Asal kau berhati-hati, sudah pasti dapat mencapai tujuan. Kenapa kau tidak berani ke sana?"

   Tam Goat Hua menyahut.

   "Bukan aku tidak berani pergi, tapi ayah memerintah kami menunggunya di sini. Maka kalau ayah belum ke mari, aku tidak berani meninggalkan tempat ini."

   Orang berkedok itu tertawa dingin.

   "Sejak kapan kau begitu menurut kata?"

   Wajah Tam Goat Hua langsung memerah, sebab gadis itu berani membangkang terhadap ayahnya, tadi dia mengatakan begitu hanya alasan belaka. Orang berkedok itu berkata lagi.

   "Legakanlah hatimu, kalau ayahmu ke mari, aku akan memberitahukan kepadanya, agar dia tidak memarahimu."

   Hati Tam Goat Hua tertarik.

   "Apa yang dikatakan Cianpwee memang masuk akal, tapi bolehkah aku bertanya sesuatu?"

   Tanyanya.

   "Tentang apa? Tanyalah!"

   Sahut orang berkedok itu.

   
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Cianpwee akan memberitahukan kepada ayah, namun aku justru tidak tahu siapa Cianpwee. Kalau ayah tahu aku mengerjakan sesuatu atas perintah Cianpwee, tapi aku tidak tahu siapa Cianpwee, bukankah itu menggelikan sekali?"

   Orang berkedok itu tertawa.

   "Ha ha ha! Anak gadis kecil, kau memang boleh dikatakan licik! Kalau pun aku beritahukan namaku, juga percuma!"

   Tam Goat Hua tersenyum.

   "Kalau begitu, aku terpaksa menolak."

   Orang berkedok itu berkata hambar.

   "Itu terserah kau, aku tidak akan memaksamu. Tapi ingat, kau jangan menyesal kelak!"

   Tam Goat Hua tertawa.

   "Cianpwee, seandainya aku bersedia pergi ke Istana Setan Pak Bong San, pergi pulang akan memakan waktu sebulan. Apakah di sini belum bubar?"

   Orang berkedok itu menyahut.

   "Kau tidak perlu tahu tentang itu, yang penting aku tetap berada di sini menunggumu. Kau mau pergi tidak? Katakanlah!"

   Dalam hati Tam Goat Hua sama sekali belum ada keputusan.

   Siang hari tadi, dia telah menyaksikan kepandaiannya, tentunya orang berkedok itu adalah seorang Cianpwee dalam rimba persilatan, mungkin tingkatannya lebih tinggi dari ayahnya.

   Padahal Tam Goat Hua terhadap ayahnya, juga tidak begitu jelas.

   Tentang julukannya pun tidak tahu sama sekali.

   Akan tetapi, kini Tam Goat Hua telah mengalami dan menyaksikan begitu banyak kejadian, maka tahu ayahnya adalah jago tangguh tingkat tinggi.

   Sedangkan nada suara orang berkedok itu, kedengarannya amat kenal ayahnya, sehingga gadis itu berkesimpulan bahwa orang berkedok itu bukan orang sembarangan.

   Lagipula, dia pun tidak memaksa Tam Goat Hua.

   Dia pun mengatakan gadis tersebut akan memperoleh suatu keuntungan, tentunya bukan merupakan suatu keuntungan biasa.

   Berpikir sampai di situ, Tam Goat Hua sungguh ingin pergi ke Istana Setan Pak Bong San.

   Akan tetapi, dia teringat pula kalau Tiam Cong dan Go Bi Pai tiba, pasti akan terjadi keramaian, sayang sekali tidak menyaksikannya.

   Selanjutnya pasti tidak akan ada keramaian serupa itu lagi, itu membuatnya merasa enggan pergi.

   Sedangkan di dalam Istana Setan, pasti banyak jebakan dan berbagai racun, sebab si Nabi Setan-Seng Ling mahir 487 menggunakan racun.

   Itu amat membahayakan dirinya, kemungkinan besar dia akan mati keracunan di sana.

   Di saat Tam Goat Hua sedang berpikir, orang berkedok itu memandang ke langit tanpa bersuara, lama sekali barulah membuka mulut.

   "Kau sudah berpikir jelas?"

   Tam Goat Hua tersenyum getir.

   "Aku sungguh sulit mengambil keputusan."

   Orang berkedok itu tertawa.

   "Ha ha! Aku tahu kau ingin sekali menyaksikan keramaian di sini! Tapi mungkinkah juga kau takut akan kelihayan Istana Setan Pak Bong San?"

   Tam Goat Hua segera menyahut.

   "Tentunya aku tidak takut akan kelihayan Istana Setan Pak Bong San. Kalau itu merupakan telaga naga atau sarang harimau, aku juga akan ke sana."

   Orang berkedok manggut-manggut.

   "Bagus! Bagus! Kini dalam rimba persilatan banyak kekacauan, masih banyak keramaian seperti di sini. Kau ingin tidak menyaksikannya, itu pun tidak bisa."

   Tam Goat Hua terus berpikir, kemudian berkata.

   "Bolehkah aku berunding dulu dengan kakakku?"

   Orang berkedok itu menggelengkan kepala.

   "Tidak perlu. Kau mau pergi siapa pun tidak boleh tahu. Kau tidak mau pergi, juga tidak boleh memberitahukan kepada siapa pun. Sebab aku akan cari orang lain. Kepandaian gadis Hui Yan Bun itu cukup Iumayan, bahkan mungkin dia jauh bernyali darimu. Kalau aku menyuruhnya pergi, dia pasti segera pergi."

   Begitu mendengar ucapan itu, panaslah hati Tam Goat Hua.

   "Baik, aku setuju!"

   Orang berkedok itu manggut-manggut.

   "Ini baru benar. Hari ini kau mengabulkannya, aku pun mengatakan, kau tidak akan menyesal kelak."

   Tam Goat Hua tertawa.

   "Kalau pun aku menyesal kelak tidak jadi masalah."

   Orang berkedok itu juga ikut tertawa.

   "Itu bergantung pada dirimu sendiri, harus bagaimana melaksanakannya. Aku berkata sejujurnya, di dalam Istana Setan amat membahayakan. Kurang berhati-hati, nyawa pasti melayang, maka kau harus berhati-hati dan waspada setiap saat!"

   Tam Goat Hua mengangguk.

   "Apakah Cianpwee boleh memberi petunjuk, agar aku dapat terhindar dari bahaya-bahaya itu?"

   Orang berkedok itu menggeleng-gelengkan kepala.

   "Aku pun tidak dapat memberi petunjuk, karena tidak tahu tentang Istana Setan itu. Aku hanya tahu, di dalam Istana Setan terdapat dua buah peta. Salah sebuah peta itu berada pada Seng Ling, yang sebuah lagi berada di dalam Istana Setan. Kalau kau punya kepandaian, boleh mencuri dari badan Seng Ling, atau sampai di Istana Setan, barulah mencari peta itu, agar kau lebih leluasa bergerak di sana."

   Setelah mendengar ucapan itu, Tam Goat Hua menarik nafas dingin.

   Coba pikir, Sebun It Nio dan Lu Sin Kong yang berkepandaian tinggi, masih bukan tandingan si Setan-Seng Ling.

   Bagaimana mungkin Tam Goat Hua berani mencuri peta tersebut dari badan si Datuk Sesat? Lebih baik berangkat ke Istana Setan Pak Bong San dulu, setelah itu barulah mengambil keputusan.

   Berpikir sampai di situ, Tam Goat Hua berkata.

   "Kalau begitu, aku akan berangkat esok pagi."

   Orang berkedok itu menggelengkan kepala.

   "Tidak, kau harus berangkat malam ini!" -ooo0ooo- Bab 22 Begitu mendengar orang berkedok itu menyuruhnya berangkat malam ini, Tam Goat Hua menjadi tertegun.

   "Cianpwee, jarak sini ke Pak Bong San, laksaan mil, kenapa harus buru-buru berangkat malam ini?"

   "Gadis liar!"

   Kata orang berkedok seakan menegurnya.

   "Kau mau berangkat silakan, tidak mau ya sudahlah!"

   Begitu mulai bercakap-cakap dengan orang berkedok itu, dalam hati Tam Goat Hua sudah tahu, bahwa kalau dia tidak menuruti perkataannya, dalam hidupnya yang akan datang pasti akan terpengaruh besar.

   Karena kepandaian orang berkedok itu amat tinggi, sedangkan dia telah berjanji akan memberikan suatu kebaikan, tentunya amat bermanfaat bagi dirinya.

   Kepandaian ayahnya sudah begitu tinggi, namun dalam bidang ilmu silat memang tiada batasnya.

   Oleh kaerna itu, dia mau berangkat atau tidak, itu amat mempengaruhi dirinya.

   Gadis itu termangu-mangu, lama sekali baru berkata.

   "Baik, malam ini aku berangkat."

   Sepasang mata orang berkedok itu tampak bersinar-sinar. Dia menatap Tam Goat Hua dalam-dalam lalu berkata.

   "Gadis baik, setelah kau sampai di Istana Setan, segalanya harus berhati-hati!"

   Tam Goat Hua tahu jelas, bahwa Istana Setan itu merupakan markas penting si Setan-Seng Ling.

   Kaum golongan lurus, tiada seorang pun berani meremehkan Istana Setan tersebut.

   Istana Setan itu berada di dalam perut gunung yang alami.

   Dulu Seng Ling dikejar-kejar oleh musuhnya, tanpa sengaja dia masuk ke dalam perut gunung tersebut.

   Ketika itu, dia berjalan beberapa hari di dalam perut gunung itu, tapi tidak bisa keluar.

   Di saat yang amat genting itu, dia justru memperoleh sebuah peta.

   Ternyata ratusan tahun lampau, pernah ada orang tinggal di situ, bahkan meninggalkan sebuah buku pelajaran ilmu silat dan Lweekang sesat, akhirnya dia berhasil menguasai ilmu-ilmu tersebut.

   Sejak itu, dia menamai tempat tersebut Istana Setan.

   Dia pun menjuluki dirinya sebagai Setan.

   Puluhan tahun kemudian, Istana Setan amat terkenal dalam rimba persilatan.

   Si Setan-Seng Ling juga memperbarui Istana Setan.

   Orang luar sama sekali tidak bisa masuk, sebab Istana Setan merupakan tempat yang amat bahaya, siapa yang berani masuk pasti mati.

   "Cianpwee, aku berangkat sekarang,"

   Kata Tam Goat Hua yang telah membulatkan tekadnya. Orang berkedok itu manggut-manggut.

   "Kau mewakiliku pergi melaksanakan suatu urusan, tentunya aku tidak berharap kau mati di Istana Setan. Tapi mengenai semua jebakan di sana, aku tidak tahu sama sekali. Untung kini para jago tangguh Istana Setan, semuanya berada di sini, itu akan mengurangi hambatan. Sekarang aku menghadiahkan suatu barang kepadamu. Kalau kau merasa pusing dan mual setelah memasuki Istana Setan, pertanda kau telah terkena racun. Cepatlah keluarkan barang ini dan taruhlah ke dalam mulutmu pasti dapat memunahkan berbagai macam racun! Namun kau harus ingat, sebelum kau terkena racun, janganlah kau membuka kotak ini melihat isinya, agar tidak direbut orang!"

   Usai berkata begitu, orang berkedok itu merogoh ke dalam bajunya, untuk mengeluarkan sebuah kotak kecil warna hitam, lalu diberikan kepada Tam Goat Hua.

   Gadis itu menerimanya.

   Kotak itu amat ringan seakan tidak berisi apa-apa.

   Karena merasa heran, maka dia mengambil keputusan untuk membuka kotak itu dan melihat isinya.

   Akan tetapi, apabila Tam Goat Hua membuka kotak itu di hadapan orang berkedok, tentunya orang itu akan marah, maka lebih baik setelah meninggalkan tempat itu, barulah membuka kotak tersebut dan melihat isinya.

   Tam Goat Hua menyimpan kotak kecil itu ke dalam bajunya, kemudian menoleh untuk memandang kakaknya.

   Dilihatnya kakaknya masih tetap bercakap-cakap dengan Han Giok shia.

   Gadis itu berpikir, kini ada Han Gik Shia mendampingi kakaknya.

   Maka, dalam beberapa hari, tentu kakaknya tidak akan memperhatikannya.

   Dia bangkit berdiri, dan orang berkedok itu segera berkata.

   "Bagaimana aku kalau mengantarmu sejenak?"

   Tam Goat Hua menggelengkan kepala.

   "Tidak usah!"

   Badan Tam Goat Hua bergerak, lalu melesat sejauh beberapa depa.

   Dia bersembunyi sebentar di balik sebuah batu, setelah itu barulah dia melesat pergi.

   Dalam waktu sekejap, dia sudah menghilang dalam kegelapan....

   Malam itu, di puncak Sian Jin Hong sama sekali tidak terjadi apa-apa.

   Keesokan harinya, juga tidak terjadi sesuatu.

   Ketika hari mulai senja, tampak kabut tebal mulai menutup puncak Sian Jin Hong.

   Mendadak tampak beberapa sosok bayangan berkelebat menerobos kabut tebal itu.

   Berturut-turut tujuh bayangan itu melesat ke atas puncak Sian Jin Hong.

   Begitu ketujuh bayangan itu sampai, terdengarlah suara seruan dari orang yang berada di puncak.

   "Ketua Tiam Cong datang!"

   Tampak tujuh orang melayang turun.

   Orang yang melayang turun duluan berbadan agak kurus.

   Dia memakai jubah kelabu.

   Di pinggangnya bergantung sebilah pedang panjang, yang bentuk sarungnya amat aneh.

   Kalau melihat pedang tersebut, para kaum rimba persilatan pasti tahu bahwa pemiliknya adalah Chu Liok Khie yakni ketua Tiam Cong Pai.

   Enam orang yang menyertainya, berusia lebih muda satu sama lain, tapi yang paling muda sudah berusia empat puluhan.

   Keenam orang itu, semuanya jago tangguh Tiam Cong Pai, saudara seperguruan Chu Liok Khie.

   Mereka bertujuh juga adik seperguruan Sebun It Nio.

   Chu Liok Khie ketua Tiam Cong Pai memandang semua orang yang berada di situ, kemudian pandangannya berhenti pada Liok Ci Siansing dan kawan-kawannya.

   Setelah itu mengarah pada Hwe Hong Sian Kouw dan pihak Hui Yan Bun, 494 lalu mendengus "Hm"

   Sambil melangkah ke depan lewat di sisi lingkaran Hui Yan Bun.

   Saat itu, semua orang sudah tahu Sebun It Nio mati di tangan Hwe Hong Sian Kouw.

   Maka ketika melihat Chu Liok Khie melangkah ke arah Hui Yan Bun, mereka merasa tegang.

   Mereka mengira kedua pihak itu akan segera bertarung, namun Chu Liok Khie dan keenam saudara seperguruannya, hanya melewati sisi lingkaran Hui Yan Bun saja.

   Si Walet Hijau-Yok Kun Sih mendongakkan kepala untuk memandang mereka dengan dingin sekali.

   Setelah melewati sisi lingkaran Hui Yan Bun, mereka bertujuh lalu melangkah ke arah si Setan-Seng Ling.

   Dari mata mereka, dapat diketahui bahwa hati mereka penuh diliputi kegusaran.

   Salah seorang diantara mereka, yang penuh brewok berkata dengan suara keras.

   "Toa Suheng (Saudara Seperguruan Tertua), mau turun tangan terhadap siapa duluan?"

   Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Chu Liok Khie menyahut dengan suara dalam.

   "Tunggu Go Bi Pai datang, baru dibicarakan!"

   Sembari menyahut dia berjalan ke sebuah batu besar.

   Mendadak badannya berputar, tahu-tahu dia sudah menghunus pedangnya.

   Tampak cahaya putih berkelebatan dan seketika terdengar suara benturan yang amat nyaring.

   Trang! Trang! Trang! Batu besar itu telah hancur berterbangan ke mana-mana.

   Hanya sekejap pedang itu sudah masuk ke dalam sarungnya.

   Gerakan Chu Liok Khie begitu cepat laksana kilat, sehingga semua orang tidak dapat melihat jelas, bagaimana bentuk pedangnya itu.

   Setelah itu, mereka bertujuh pun duduk di situ.

   Wajah lelaki bewok tampak penuh kegusaran.

   Dia tak henti-hentinya menatap si Setan-Seng Ling dan Hwe Hong Sian Kouw, sambil mulutnya mengoceh tidak karuan.

   Mendadak si Walet Hijau-Yok Kun Sih mendongakkan kepala untuk memandang lelaki bewok itu seraya bertanya.

   "Lam Kiong Seh, kau sedang buang kentut apa?"

   Ternyata lelaki bewok itu bernama Lam Kiong Seh, julukannya Pek Lek Kiam (Pedang Halilintar).

   Namanya cukup terkenal dalam rimba persilatan.

   Dia mahir Hong Lui Pek Lek Kiam Hoat (Ilmu Pedang Angin Halilintar), yakni ilmu pedang andalan Tiam Cong Pai.

   Dia pun mahir ilmu pedang lain.

   Sifatnya amat berangas dan tidak sabaran.

   Kalau tidak ada yang menegurnya ketika dia mengoceh, dia pun tidak berani sembarangan melampiaskan kegusarannya, karena harus menjaga nama Chu Liok Khie ketua Tiam Cong Pai.

   Tapi si Walet Hijau-Yok Kun Sih ketua Hui Yan Bun justru menegurnya dengan dingin, sebab mendengar ocehannya menyinggung Hui Yan Bun.

   Begitu ada orang menegurnya, Pek Lek Kiam Lam Kiong Seh bergirang dalam hati, dan dia langsung melotot sekaligus membentak.

   "Busuk tak dapat dicium, kau sedang buang kentut?"

   Kedudukan si Walet Hijau-Yok Kun Sih dalam rimba persilatan amat tinggi, tapi kini di hadapan begitu banyak orang dimaki Lam Kiong Seh. Dapat dibayangkan betapa malunya dirinya. Wajah langsung berubah dan kemudian dia berkata dingin.

   "Lam Kiong Seh, cepat atau lambat kita pasti bertarung, bagaimana kalau sekarang saja?"

   Walau Lam Kiong Seh bersifat berangasan dan tidak sabaran, namun dia pun amat cerdik. Ketika si Walet HijauYok Kun Sih menantangnya, dia malah tertawa gelak.

   "Ha ha ha! Kau memang berpengertian, tahu diri sendiri melindungi seorang pembunuh, maka tahu pula kami tidak akan melepaskanmu!"

   Yok Kun Sih tertawa panjang. Ketika baru mau menyahut, mendadak Hwe Hong Sian Kouw sudah bangkit berdiri.

   "Karena sebelumnya terkena pukulan Im Si Ciang, maka kemudian mati di tanganku! Aku yang bertanggung jawab, kenapa kau cari urusan dengan orang lain?"

   Lam Kiong Seh tertegun, sehingga tak dapat mengucap sepatah kata pun. Di saat bersamaan, sekonyong-konyong Gin Koan Tojin tertawa panjang, lalu berkata.

   "Si Pecut Emas-Han Sun, mati di tangan siapa?"

   Kali ini, giliran Hwe Hong Sian Kouw tak dapat berkata apa pun.

   Begitu Gin Koan Tojin menyinggung si Pecut Emas-Han Sun, wajah Han Giok Shia langsung berubah murung.

   Tam Ek Hui kakak Tam Goat Hua yang berada di sisinya melihat itu, sepasang alisnya yang berbentuk golok terangkat sedikit.

   Dia tahu gadis itu berhati keras, maka kalau dia menasihatinya juga tiada gunanya, namun tetap memanggilnya dengan suara rendah.

   "Nona Han...."

   Han Giok Shia langsung membanting kaki, kemudian menyahut sengit.

   "Saudara Tam, kau tidak perlu membela orang lain! Dia sudah mengaku, lagipula di hadapan mayat ayahku, aku telah bersumpah akan membalas dendam! Kalau Kim Kut Lau tidak memberitahukan itu, aku... aku nyaris menuduh orang baik!"

   Ketika Han Giok Shia melihat mayat ayahnya di menara Hou Yok, di dinding pun terdapat tulisan "Tam Lu".

   Di saat itu, dia menganggap Tam Sen dan Lu Sin Kong, yang membunuh ayahnya.

   Namun kemudian dia teringat Tam Ek Hui, maka hatinya jadi kacau.

   Kini dia sudah tahu siapa pembunuh ayahnya, maka dalam hatinya sudah tidak ada ganjalan terhadap pemuda itu.

   Usai Han Giok Shia berkata, hati Tam Ek Hui pun tergerak dan kemudian dia berseru dengan suara nyaring.

   "Semuanya jangan ribut mulut!"

   Di puncak Sian Jin Hong, Tam Ek Hui tidak terhitung jago tangguh nomor satu. Tapi ketika dia berseru nyaring sekaligus tampil, justru amat menarik perhatian semua orang, dan seketika suasana pun menjadi hening. Dia bertanya kepada Han Giok Shia.

   "Nona Han, di mana kau menemukan mayat ayahmu?"

   Han Giok Shia berkertak gigi seraya menyahut.

   "Di tingkat teratas menara Hou Yok!"

   Begitu mendengar sahutan Han Giok Shia, Hwe Hong Sian Kouw langsung meloncat bangun.

   "Ah Shia, betulkah begitu?"

   Han Giok Shia mendengus, tapi tidak menjawab. Tam Ek Hui segera berkata.

   "Nona Han, pasti ada sesuatu di balik itu. Kemarin Kim Kut Lau bilang, dia melihat Hwe Hong Sian Kouw menusuk mati ayahmu, lalu bagaimana mayat ayahmu bisa lari ke tingkat teratas menara Hou Yok?"

   Han Giok Shia tertegun ketika mendengar ucapan itu.

   Ternyata kemarin, begitu tahu Hwe Hong Sian Kouw membunuh ayahnya, hatinya menjadi kacau, maka tidak memikirkan itu.

   Lagipula semua orang sama sekali tidak tahu, bahwa mayat si Pecut Emas-Han Sun berada di menara Hou Yok.

   Masalah yang begitu penting, baru diungkap Tam Ek Hui karena ketelitiannya.

   Semua orang tidak menyangka urusan itu begitu aneh, maka semuanya menjadi tertegun.

   Han Giok Shia berkata.

   "Mungkin setelah membunuh ayahku, dia lalu membawa mayat ayahku ke menara itu."

   Hwe Hong Sian Kouw langsung berseru.

   "Ah Shia...!"

   Ucapannya belum selesai, Kim Kut Lau yang duduk di dahan pohon sudah memotongnya.

   "Nona Han, itu bukan tuduhan! Aku menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, setelah menusuk mati ayahmu, dia langsung berlari keluar!"

   Tam Ek Hui cepat-cepat berkata.

   "Nona Han, aku menyinggung urusan ini justru ada sesuatu lain!"

   Han Giok Shia menyahut dingin.

   "Itu ada hubungan apa? Yang jelas ayahku mati di tangannya!"

   Tam Ek Hui menghela nafas panjang lalu membungkam.

   Tadi si Walet Hijau-Yok Kun Sih dan Lam Kiong Seh sudah mau bertarung, tapi terhambat oleh pembicaraan itu, maka mereka berdua sudah tidak punya alasan untuk bertarung.

   Lagipula Chu Liok Khie juga memberi isyarat kepada Lam 500 Kiong Seh agar tidak banyak urusan.

   Maka suasana di puncak Sian Jin Hong menjadi hening seketika.

   Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama, karena mendadak terdengar suara pujian Sang Buddha.

   "Omitohud!"

   Suara itu bagaikan halilintar di siang hari bolong, menggetarkan jantung semua orang.

   Betapa terkejutnya hati semua orang yang berada di puncak Sian Jin Hong.

   Yang mengejutkan bukan suara itu, melainkan semua orang sudah tahu siapa yang datang.

   Sejak tadi Liat Hwe Cousu Hwa San Pai berada di sana dan berusaha menangkap Tam Goat Hua, gadis itu terus duduk diam di tempat, tak bergerak sama sekali.

   Ketika suara pujian Sang Buddha mengalun, dia segera membuka matanya dan badannya langsung bergetar.

   Seketika suasana di puncak Sian Jin Hong, bertambah hening.

   Berselang sesaat, barulah tampak sosok yang tinggi besar, yang ternyata seorang Hweeshio tua berwajah kemerahmerahan melayang ke sana.

   Hweeshio tua itu mengenakan jubah bhiku warna putih keperakan.

   Di lehernya melingkar seuntai tasbih dan di wajahnya tersirat rasa belas kasih.

   Sampai di puncak Sian Jin Hong, Hweeshio tua itu menyebut "Omitohud"

   Lagi dan berkata.

   "Siancai! Siancai! Ternyata kalian sudah tiba duluan!"

   Di saat Hweeshio tua itu berkata, muncul lagi tiga bhiku ke puncak Sian Jin Hong.

   Ketiga bhiku itu berusia pertengahan.

   Yang dua tampak mirip sekali, dan keduanya bersikap hambar.

   Yang satu lagi berwajah besi, namun badannya kurus sekali dan kelihatan akan roboh bila terhembus angin gunung.

   Begitu keempat bhiku itu muncul, semua orang tahu bahwa urusan sudah semakin membesar.

   Padahal mereka hanya mengira Lu Sin Kong akan mengundang beberapa jago tangguh Go Bi Pai ke puncak Sian Jin Hong.

   Namun tak disangka, dia juga mengundang ketua Go Bi Pai aliran bhiku, Sui Cing Siansu.

   Sui Cing Siansu sudah datang, tentunya ketua Go Bi Pai Sok Bun (Aliran Yang Tidak Menyucikan Diri) pasti akan muncul pula.

   Di saat semua orang berpikir demikian, mendadak terdengar suara siulan, kemudian tampak seseorang berkelebat menuju ke puncak Sian Jin Hong.

   Dia adalah Lu Sin Kong.

   Begitu Lu Sin Kong tiba, suasana di tempat itu langsung tegang mencekam.

   Di belakang Lu Sin Kong tampak empat orangtua.

   Salah seorang dari mereka penuh brewok dan tampak gagah sekali.

   Semua orang mengenalinya, yang tidak lain Ang Eng Leng Long, ketua Go Bi Pai aliran tidak menyucikan diri.

   Begitu mereka muncul, pihak Tiam Cong Pai langsung menyapa.

   "Saudara Chu sudah datang duluan!"

   Seru Lu Sin Kong. Chu Liok Khie menyahut.

   "Kami pun baru tiba, saudara Lu, tentunya kita selesaikan dulu urusan isterimu!"

   Lu Sin Kong manggut-manggut.

   "Tidak salah! Satu persatu harus diselesaikan semua!"

   Usai berkata, Lu Sin Kong membalikkan badannya untuk memandang Hwe Hong Sian Kouw seraya membentak.

   "Sian Kouw, jangan berpura-pura tidak ada urusan!"

   Tangan Lu Sin Kong bergerak, golok yang berkilau-kilau itu sudah berada di tangannya. Chu Liok Khie ketua Tiam Cong Pai segera berkata.

   "Saudara Lu, kalian baru tiba pasti lelah, biar aku saja yang turun tangan duluan membalas dendam Suci (Kakak Seperguruan Perempuan)!"

   Lu Sin Kong menyahut.

   "Sebun It Nio adalah isteriku, harus aku pula yang turun tangan membalas dendamnya!"

   Lu Sin Kong berjalan ke tanah kosong, kemudian menuding Hwe Hong Sian Kouw dengan goloknya seraya membentak.

   "Ayoh keluar!"

   Dia menuding Hwe Hong Sian Kouw dengan golok.

   Padahal dalam rimba persilatan terdapat satu peraturan, kalau bukan punya dendam kesumat, tidak boleh berlaku demikian.

   Apabila Hwe Hong Sian Kouw keluar untuk bertarung, berarti pertarungan antara mati dan hidup.

   Padahal Lu Sin Kong dan Hwe Hong Sian Kouw adalah jago tangguh dari golongan lurus, tapi kini mereka justru terikat akan suatu dendam kesumat.

   Itu membuat kaum golongan lurus merasa sakit di hati.

   Tapi pihak golongan sesat, malah bersorak kegirangan dalam hati.

   Terdengar Chu Liok Khie berkata.

   "Saudara Lu akan menghadapi Hwe Hong Sian Kouw, kami akan mencari setan iblis untuk membuat perhitungan !"

   Chu Liok Khie membalikkan badannya, untuk memandang si Setan-Seng Ling seraya membentak.

   "Setan tua, masih tidak mau keluar?"

   Trang.

   Dia telah menghunus pedangnya.

   Tam Ek Hui yang menyaksikan itu, menjadi gugup sekali.

   
Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena dia tahu, ayahnya justru ingin meleraikan pertikaian itu, akan tetapi, ayahnya malah belum muncul, entah berada di mana? Apabila mereka mulai bertarung, sudah pasti sulit dileraikan lagi.

   Berpikir sampai di situ, Tam Ek Hui teringat akan tugasnya, biar bagaimanapun harus menenangkan suasana itu.

   Oleh karena itu, pemuda tersebut segera bangkit berdiri seraya berkata dengan lantang.

   "Chu Tayhiap, Lu Cong Piau Tau! Bisakah kalian berdua mendengar perkataanku?"

   


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung Legenda Kematian -- Gu Long

Cari Blog Ini