Kiang Chu Gie 2
Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien Bagian 2
Kiang Chu Gie Karya dari Siao Shen Sien
"Teman-teman lainnya pada pergi ke 'Pulau Menjangan Putih' Taysu, mereka berupaya untuk menyusun 'barisan gaib'.
Setelah siap, nantinya akan digunakan membantu Toyu dalam menumpas lawan", Kie Sian menerangkan.
"Toyu dapat menemui mereka di pulau itu".
Bun Taysu mengucapkan terima kasih, langsung berangkat ke pulau yang dimaksud dan berhasil menemui 9 Tosu (Pendeta Taois) yang menjadi sahabatnya.
"Liatwi Toyu (para sahabat Taois)", sapanya kegirangan.
Para Tosu menghampiri Bun Taysu dengan wajah berseri.
"Sungguh kebetulan Toheng ke mari", kata salah seorang di antara mereka.
"kami memang bermaksud menemui Toheng setelah berhasil menyusun barisan gaib, membantumu menggempur pihak See-kie".
"Saya bersyukur kalian bersedia membantu saya", girang benar hati Bun Taysu.
"Sudah selesaikah Toyu menyusun barisan gaib itu?"
"Baru saja rampung"
Sahut Tosu yang berkata tadi.
Kesembilan Tosu yang berada di pulau Menjangan Putih itu, masing- masing bernama Chin Wan, Tio Kiang, Tong Choan.
Wan Kak, Sun Liang, Pek Lip, Yao Pin, Ong Ek dan Thio Sao.
Mereka berangkat ke See-kie dengan naik awan, dalam sekejap telah tiba di tempat tujuan.
Kie Lek, Shin Hoan, Thio Kiat dan lain-lainnya menyambut kembalinya Bun Taysu bersama sembilan sahabatnya.
Semula Bun Taysu bermaksud segera menyerang See-kie lagi, tapi telah dicegah oleh Chin Wan, yang meminta sang Taysu bersabar,sebab Kim Kong Sengbo, seorang pertapa wanita yang jadi sahabat mereka, belum datang.
"Masih lamakah ia menyusun barisan gaibnya?", tanya Bun Taysu.
"Aku yakin takkan lama lagi", sahut Chin Wan Tojin.
"Kini dia sedang menyiapkan barisan gaibnya di pulau Mega Putih".
Nyatanya, tak lama kemudian Kim Kong Sengbo telah muncul di hadapan mereka.
Setelah kesepuluh orang sahabatnya kumpul, Bun Taysu membawa pasukannya ke depan kota See-kie lagi, membangun kemah dan menempatkan 10 barisan gaib di situ.
Pada pagi harinya Bun Taysu menantang Kiang Chu Gie berperang tanding.
Mendengar dirinya ditantang, Chu Gie keluar pintu gerbang dengan menunggang 'See Put Siang', didampingi oleh Na Cha, Oey Thian Hoa, Lui Chin Cu dan Yo Chian.
Terlihat oleh Chu Gie, di pihak musuh terdapat beberapa Tosu.
Masing-masing kulit Tosu itu berbeda satu dengan lainnya.
Ada yang berkulit kuning, hitam, putih, hijau dan merah.
Masing-masing menunggang Menjangan.
Sebelum Chu Gie sempat berkata, Chin Wan tampil ke depan dan bertanya.
"Kenapa kau memusuhi para Taois?".
"Toyu salah paham, aku sama sekali tidak memusuhi pihak manapun", Chu Gie coba menerangkan.
"Tapi nyatanya kau telah membunuh empat Taois dari pulau Sembilan Naga dan juga Mo bersaudara! Kedatangan kami ke mari adalah ingin mengadu kepandaian denganmu, bukan memakai prajurit atau kekerasan, tapi dengan kesaktian".
Ujar Chin Wan, yang tampaknya ingin membalas sakit hati temanteman sealirannya.
"Semua itu sudah merupakan kehendak Thian", tetap sabar sikap Chu Gie.
"Touw Ong sangat kejam, selalu memburu kesenangan tanpa menghiraukan penderitaan para Menteri dan pembantu lainnya yangsetia, tapi lebih percaya pada orang yang pandai menjilat, tamak lagi keji hatinya.
Membuat roda pemerintahan amat kacau dan kehidupan rakyat amat mende rita".
"Jadi menurutmu, Chiu Bu Ong patut dijadikan junjungan? Tapi sebaliknya kami akan membela Tiu Ong (Touw Ong) dan menumpas Bu Ong --- Untuk menghindari jatuhnya banyak korban, sebaiknya kita mengadu kesaktian".
"Caranya?", tanya Kiang Chu Gie.
"Mudah saja", Chin Wan tersenyum luar biasa.
"Kami akan membentuk 10 barisan gaib, bila kau mampu menghancurkannya, kami menyerah kalah.
Tapi bila kau gagal, kalian harus takluk pada Touw Ong".
"Aku tak keberatan", sahut Chu Gie segera.
"Silakan kau ikut aku untuk melihat-lihat barisan kami.
Setelah itu kau boleh cari cara untuk menghancurkannya", tantang Chin Wan.
Kiang Chu Gie mengajak Na Cha, Yo Chian, Oey Thian Hoa dan Lui Chin Cu untuk memeriksa ke-10 barisan gaib lawan.
Di muka 'Tin' (Barisan) itu masing-masing diberi nama.
Barisan pertama dinamakan 'Thian Kut Tin' (Barisan Pemusna Langit); ke dua Tee Liat Tin' (Barisan Perkosaan/Pemecah Bumi); ke tiga 'Hong Hou Tin' (Barisan Angin Merintih/Me nangis); ke empat 'Han Peng Tin' (Barisan Dinginnya Es); ke lima 'Kim Kong Tin' (Barisan Sinar Emas); ke enam 'Hoat Soat Tin' (Barisan Lebur Jadi Darah); ke tujuh 'Liat Yam Tin' (Barisan Api Membara); ke delapan 'Lok Hun Tin' (Barisan Pencabut Arwah); ke sembilan 'Ang Sui Tin' (Barisan Air Merah) dan ke sepuluh 'Ang Sha Tin' (Barisan Pasir Merah).
Kiang Chu Gie heran campur kaget menyaksikan barisan gaib lawan, berjanji akan datang lagi beberapa hari kemudian.
Namun sesungguhnya Chu Gie bingung menghadapi 'Tin' lawan, kembali ke dalam kota See-kie dengan sikap murung.
Di luar tahu Kiang Chu Gie dan teman-temannya, di kubu pasukanTouw, Yao Pin telah berhasil menarik anasir arwah Chu Gie dari atas barisan gaibnya, membuat Perdana Menteri See-kie itu seperti orang kebingungan, bahkan sekembalinya ke rumah, dia langsung jatuh pingsan.
Keadaan itu membuat orang-orang Bu Ong jadi amat gugup, segera melaporkannya pada Raja mereka.
Bu Ong amat terperanjat ketika mendengar kabar itu, segera datang ke tempat Chu Gie.
Pada saat itu Yao Pin telah berhasil menarik dua dari ketiga anasir arwah Hun dan enam dari ketujuh anasir arwah Pe-nya Chu Gie.
Sedang anasir terakhir dari arwah Chu Gie telah pula meninggalkan jasadnya, hingga tubuh Kiang Chu Gie menjadi kaku, seakan telah meninggal dunia.
Bu Ong amat sedih menyaksikan keadaan itu.
Para pejabat lainnya banyak yang diam-diam mengucurkan air mata.
"Kematian Paman-guru tidak wajar", kata Yo Chian sambil bersedu- sedan.
"Pasti dikerjai lawan".
Sementara itu, anasir terakhir dari arwah Chu Gie telah melayang ke 'Hong Sin Tay' (Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat), tapi Malaikat Po Chian yang tahu Chu Gie belum waktunya meninggal, menolak arwah tersebut masuk ke pesanggrahan.
Kebetulan pada saat itu Lam Khek Sian Ang sedang memetik daun obat di kaki gunung tersebut.
Begitu melihat arwah Chu Gie, dia langsung menangkapnya, memasukkannya ke dalam Buli-buli (Cupu), kembali ke istana Giok Sie, menyerahkan Buli-bulinya pada Chi Ching Cu sambil memberitahukan ada arwah Chu Gie di dalamnya.
Chi Ching Cu langsung berangkat ke See-kie dengan menempuh jalan bawah tanah, tak lama tibalah dia di rumah Perdana Menteri.
Yo Chian yang menyambut kedatangannya.
Setelah menjalankan penghormatan, Yo Chian memohon Chi Ching Cu berusaha menyelamatkan nyawa Chu Gie."Di mana Chu Gie sekarang?", tanya Chi Ching Cu.
Yo Chian segera mengantar Ching Cu ke kamar Chu Gie.
Terlihat olehnya Kiang Chu Gie berbaring kaku dengan mata terpejam.
"Dia masih dapat diselamatkan", kata Ching Cu setelah memeriksa keadaan Chu Gie.
Keterangan itu melegakan hati orang-orang yang berkumpul di ruang tersebut.
Setiba kentongan ketiga, Chi Ching Cu berangkat ke luar kota.
Terlihat olehnya, dari dalam sepuluh barisan gaib lawan mengepulkan asap hitam yang melambung tinggi ke angkasa.
Di sana-sini ramai terdengar tangisan hantu, membuat suasananya amat menyeramkan.
Chi Ching Cu menudingkan jari ke tanah sambil berkemakkemik membaca mantera.
Di permukaan tanah segera muncul dua kuntum bunga Lotus (Teratai).
Chi Ching Cu naik ke atas bunga teratai tersebut, agar dirinya terhindar dari pengaruh ilmu hitam lawan.
Perlahan-lahan bunga teratai itu terangkat naik dan melayang di angkasa.
Dari angkasa Chi Ching Cu dapat melihat jelas apa yang sedang dilakukan Yao Pin di dalam barisan gaibnya.
Yao Pin membiarkan rambutnya terurai lepas, telanjang kaki dan tangan kanannya memegang sebilah pedang.
Di hadapannya terdapat sebuah altar.
Di atas altar itu berdiri boneka rumput, yang di bagian kepala dan kakinya terdapat sebuah pelita.
Selang sesaat terlihat Yao Pin mengetuk 'Leng Pay' (Papan/ tanda perintah) ke altar, tapi lentera tidak padam dan arwah tak pula buyar.
Melihat Yao Pin cukup sakti, Chi Ching Cu tak berani mengusik, apa lagi menempurnya.
Dia segera kembali ke Kun Lun-san dengan mengambil jalan bawah tanah, menemui Lam Khek Sian Ang, menceritakan apa yang dilihatnya.
Lam Khek Sian Ang mengajak Chi Ching Cu menemui Goan Sie TianChun, menuturkan apa yang telah terjadi.
Goan Sie Tian Chun menyuruh Chi Ching Cu menemui Loo Cu di istana Pat Cheng.
Chi Ching Cu pamit, berangkat ke goa Hian Tu, menemui Hian Tu Toa Hoatsu, memintanya untuk menyampaikan kedatangannya pada Loo Cu.
Toa Hoatsu mengajaknya masuk ke istana Pat Cheng Begitu bertemu, Chi Ching Cu berlutut di hadapan Loo Cu, memohon pada Loo Cu agar sudi membantunya menyelamatkan nyawa Kiang Chu Gie.
Loo Cu menitah Hian Tu Toa Hoatsu mengambil 'Thay Khek Tu' (Gambar Thay Khek), menyerahkannya pada Chi Ching Cu serta mengajarkan cara menggunakannya, agar dapat menyelamatkan nyawa Chu Gie.
"Sekarang cepatlah kau kembali ke See-kie", kata Loo Cu kemudian.
Chi Ching Cu pamit setelah mengucapkan terima kasih, bergegas kembali ke See-kie.
Kedatangan Chi Ching Cu disambut oleh Bu Ong dan para perwiranya, mengajaknya masuk ke dalam istana.
Chi Ching Cu menceritakan pertemuannya dengan Loo Cu, yang memberi harapan pada Chu Ge (Chu Gie) akan dapat hidup kembali.
Hati Bu Ong dan para pembantunya merasa lega seusai mendengar penuturan Chi Ching Cu .......
Setiba tengah malam, Chi Ching Cu berangkat ke luar kota, terlihat Yao Pin masih berlutut di muka altar.
Chi Ching Cu membuka 'Thay Khek Tu', yang lantas berubah menjadi jembatan emas.
Ching Cu turun dari angka sa dengan meniti jembatan emas tersebut, mengambil boneka rumput dan segera melayang ke angkasa lagi.
Ketika melihat Chi Ching Cu berhasil menerobos masuk ke dalam barisan gaib dan merampas boneka rumputnya, sejenak Yao Pinterperanjat, tapi kemudian menjadi marah.
"Sungguh besar nyalimu, begitu berani merampas boneka rumputku", makinya sambil menimpukkan pasir hitam.
Chi Ching Cu berteriak kesakitan, terluka tangan kirinya hingga 'Thay Khek Tu' lepas dari pegangannya dan jatuh ke dalam barisan gaib lawan.
Untungnya dia masih sempat menyelamatkan boneka rumput itu dengan memeganginya eraterat.
Dia turun di tempat yang aman dengan nafas tersengalsengal, mengeluarkan dua anasir arwah Hun dan enam anasir arwah Pe-nya Chu Gie, memasukkannya ke dalam Buli-buli.
Setelah itu barulah dia kembali ke See-kie.
Kembalinya Chi Ching Cu disambut gembira oleh para perwira, mengiringinya masuk ke ruang dalam.
Chi Ching Cu menceritakan apa yang dialaminya.
"Sayang sekali pusaka Loo Cu jatuh ke dalam 'Tin' lawan", kata Lam Kong Koa selesai mendengar penuturan Ching Cu.
"Kita dapat berikhtiar untuk mencarinya nanti", ujar Chi Ching Cu.
"yang penting sekarang menyelamatkan nyawa Chu Gie dulu".
Dia menghampiri pembaringan, menekankan mulut Bulibuli (Cupu) ke kening Chu Gie, menepuk Buli-buli itu 3 - 4 kali, semua anasir arwah Chu Gie masuk ke dalam jasadnya.
Tak lama Chu Gie sadarkan diri, merasa aneh ketika melihat Oey Hui Houw dan lain-lainnya berkumpul di kamar tidurnya.
"Apa yang telah terjadi sebenarnya?", tanyanya.
Oey Hui Houw menerangkan apa yang telah terjadi.
"Kita harus berdaya menghancurkan '10 barisan gaib' lawan", kata Chu Gie setelah jelas duduk soalnya.
Tapi Chi Ching Cu meminta Chu Gie agar beristirahat dulu, setelah pulih benar kesehatannya, barulah mereka merundingkan cara untuk menghancurkan barisan gaib lawan.
Chu Gie menerima saran itu.*** Baru saja pulih kesehatan Chu Gie, masuk seorang pemban tunya yang mengabarkan kedatangan Oey Liong Cin-jin dari gunung Jie Sian- san, ingin bertemu dengannya.
Chu Gie segera menyilakan tamunya masuk.
"Senang sekali To-heng sudi datang ke mari", Chu Gie memberi hormat pada tamunya, lalu menyilakannya duduk.
"Pinto ke mari untuk menyampaikan sebuah kabar gembira", Oey Liong Cin-jin menerangkan.
"Senang sekali saya mendengarnya", berseri wajah Chu Gie.
Pinto bersama beberapa sahabat dari kalangan To sengaja datang ke mari untuk menghancurkan 10 barisan gaib'.
Tapi sebagai orang yang menyucikan diri, suasana dalam kota kurang cocok bagi kami.
Apalagi beberapa di antaranya telah menjadi Dewa".
"Maksud To-heng?".
"Bila mungkin, tolonglah dirikan panggung peristirahatan di luar kota untuk tempat beristirahat kami", Oey Liong Cin-jin menerangkan.
Kiang Chu Gie lantas menitah Lam Kong Koa dan Bu Kie membangun panggung secepatnya.
Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lam Kong Koa mengerahkan beberapa tukang kayu yang benar-benar trampil, hingga tidaklah mengherankan kalau panggung peristirahatan, yang sederhana bentuknya tapi kokoh, rampung dalam tempo kurang dari sehari.
Keesokan harinya, Chu Gie dengan ditemani oleh Chi Ching Cu, Oey Liong Cin-jin beserta beberapa orang muridnya, berangkat ke panggung peristirahatan yang baru selesai dibangun.
Penjagaan kota See-kie dipercayakan pada Oey Hui Houw dibantu beberapa perwira lainnya.
Belum lama Chu Gie berada di panggung peristirahatan, beruntun telah tiba orang pertapaan/suci, bahkan beberapa di antaranya yang telah berhasil mencapai tingkat kesempurnaan, jadi Dewa .
Kong SengCu dari gunung Kauw Sian-san; Kie Liu Sun dari gunung Kia Liong-san; Tay It Cin-jin dari gunung Chian Goan-san; Leng Po Toa Hoatsu dari gunung Kong Tong-san.
Bun Chiu Kong Hoat Tian Chun dari gunung Bu Liong-san (Di kemudian hari Bun Chiu dikenal sebagai salah satu dari 18 Lohan (Arhat).
Dalam bahasa Sanskrit Bun Chiu disebut Manju'sri, Dalam 'The Encyclopaedia Sinica' karangan Samuel Couling, dinyatakan Manju'sri adalah yang terpenting antara Bodhisattva, merupakan pewujudan pikiran dan pengetahuan.
Maka sering terlihat ia memegang pedang dan buku.
Ia dapat dikenal karena duduk di atas seekor Singa dan memiliki Teratai Biru.
Manju'sri dipuja di India.
Tapi I Ching mengungkapkan, bahwa orang Hindu percaya Manju'sri datang dari daratan Tiongkok --- Pen.).
Pouw Hian Cin-jin dari gunung Chiu Kong-san (Kelak Pouw Hian dikenal sebagai salah satu dari 18 Arhat, dalam bahasa Sanskritnya dikenal sebagai Samantabhadra.
Samuel Couling! menuturkan, bahwa Samantabhadra menempati posisi sedangsedang saja dalam Budhisme India.
Tapi di Tiongkok la sangat populer.
Ia dilukiskan dengan wajah bersorot hijau dan menunggang seekor gajah dan disebut 'Pouw Hian Pousat'); Kwan Im Taysu (Dewi Kwan Im) dari pulau Pu-to; Giok Teng Cin-jin dari gunung Bu Choan- san; To Heng Tian Chun dari gunung Chin Teng-san; Cheng Hie To Tek Cin Kun dari gunung Cheng Hongsan dan beberapa lainnya lagi.
Setelah saling berbasa-basi sejenak, para Dewa dan orang suci menyatakan kesediaannya membantu Chu Gie untuk menghancurkan '10 barisan gaib' lawan.
Chu Gie keberatan dijadikan pimpinan para Dewa dan orang sakti itu, dengan mengemukakan alasan, bahwa kemampuannya amat terbatas.
Namun para Dewa dan orang suci itu pun menolak jadi pemimpin dalam menggempur barisan gaib lawan, sebab kedatangan mereka hanya sekedar membantu.
Selagi Chu Gie dan para Dewa itu saling menolak untuk dijadikanpemimpin, tiba-tiba telah datang Jian Teng Tojin dari gunung Leng Loan-san.
Dia datang dengan naik Bangau Sakti.
Munculnya Jian Teng Tojin telah memberi jalan pemecahan.
Baik para Dewa maupun orang suci, juga Chu Gie, setuju memilih Jian Teng jadi pemimpin dalam menghancurkan barisan gaib lawan.
Pada mulanya Jian Teng Tojin juga menolaknya, tapi setelah didesak oleh semua pihak, akhirnya Jian Teng bersedia menerima jabatan tersebut.
(Di kemudian hari Jian Teng Tojin banyak dipuja orang sebagai Jian Teng Hud-couw, baik di Tiongkok maupun di Indo Cina).
"Setelah dipercayakan sebagai pemimpin, aku harap saudara Chu Ge (Chu Gie) sudi menyerahkan Cap Kebesaranmu pada ku", kata Jian Teng Tojin kemudian.
Kiang Chu Gie memberikan benda yang diinginkan Jian Teng sambil berlutut.
Jian Teng Tojin menerimanya.
"Dalam menggempur barisan gaib musuh, akan ada orangorang di pihak kita yang jadi korban", kata Jian Teng kemudian sambil menghela nafas.
Mereka mulai merundingkan cara menggempur barisan lawan.
Pada malam harinya, dari kepala Dewa dan orang suci me mancarkan sinar terang, membuat sepuluh Tosu di kemah Bun Taysu berseru kaget .
"Pihak See-kie telah dibantu para Dewa, juga murid-murid Kun Lun-san yang tinggi kepandaiannya".
"Lalu langkah apa yang harus kita tempuh?", tanya Bun Taysu, agak cemas.
"Kita tak usah cemas, kami yakin barisan gaib kami cukup ampuh, biar Dewa sekalipun sulit menghancurkannya!", kata Chin Wan.
Para Dewa dan orang sakti ikut Jian Teng Tojin menuju ke depan 'Tin' lawan.Pintu "Tin' terbuka, keluar seorang berwajah biru dan berambut kasar dengan menunggang Macan.
Orang itu adalah Chin Wan, yang memimpin "Tin' pertama dari 10 barisan gaib.
Biasanya dia menunggang Menjangan, tapi sekali ini menunggang Macan.
Jian Teng memperhatikan orang di sekitarnya, tapi dia tak melihat ada orang yang ditakdirkan jadi korban dalam menggempur barisan gaib pertama lawan.
Selagi Jian Teng dalam kebingungan, tiba-tiba dari angkasa meluncur turun seseorang, yang bukan lain dari Teng Hoa.
Teng Hoa merupakan salah seorang murid dari istana Giok Sie di Kun Lun-san, yang mendapat perintah untuk membantu menghancurkan barisan gaib tersebut.
"Rupanya ini merupakan kehendak Thian", kata hati Jian Teng Tojin.
Pada saat itu Chin Wan telah menantang .
"Siapa dari perguruan Giok Sie yang berani menyerang barisanku!?".
"Aku!", seru Teng Hoa sambil melancarkan serangan.
Chin Wan menangkisnya tanpa melakukan serangan balasan, tampaknya dia tak ingin bertempur di luar barisan gaibnya.
Ini terbukti tak lama kemudian dia memutar binatang tunggangannya, masuk ke dalam 'Tin'.
Teng Hoa mengejarnya.
Begitu berada di dalam barisan gaibnya, Chin Wan segera turun dari binatang tunggangannya dan melompat ke atas panggung.
Di panggung itu terdapat sebuah meja yang terpancang tiga panji.
Chin Wan mencabut ketiga panji itu, menggerak-gerakkannya beberapa kali, lalu menuding ke bawah.
Segera terdengar suara gledek yang sambung menyambung, disusul dengan jatuh tergulingnya Teng Hoa, tak dapat bangkit lagi, hingga dengan mudah Chin Wan memenggal kepalanya.
Setelah berhasil membunuh Teng Hoa, Chin Wan yang telah berada di muka barisan gaibnya, menantang .
"Siapa menyusul?"Sekali ini Jian Teng Tojin meminta Bun Chiu Kong Hoat Tian Chun yang menyerang barisan gaib tersebut.
Bun Chiu majukan diri.
Chin Wan langsung menusukkan pedangnya.
Bun Chiu menangkis serangan itu dengan pedang pula.
Setelah bertanding beberapa jurus, Chin Wan lari masuk ke dalam barisan gaibnya.
Bun Chiu mengejarnya.
Sebelum masuk ke dalam barisan gaib lawan, dia menudingkan sebuah jarinya ke tanah seraya membaca mantera.
Dari dalam tanah muncul dua kuntum bunga Lotus (Teratai) putih.
Bun Chiu memasuki barisan gaib lawan dengan naik Teratai putih.
Seperti juga sebelumnya, Chin Wan melompat naik ke atas panggung, mencabut tiga panji yang tertancap di atas meja, menggerak- gerakkannya.
Namun sekali ini usahanya tidak membawa hasil seperti yang diharapkan.
Bun Chiu tetap berdiri tegak di atas Teratai putih, melontarkan 'Teng Liong Chun' dan senjata pusakanya itu mampu membuat Chin Wan tak berkutik lagi, hingga dengan mudahnya Bun Chiu menamatkan riwayat lawannya.
Maka musnalah 'Barisan Gaib Pemusna Langit'.
Terdengar bunyi lonceng yang cukup keras, disusul dengan seruan Tio Kiang yang memimpin Barisan Gaib Pemerkosa Pembelah Bumi' .
"Siapa yang berani masuk ke 'Tin-ku!?".
Bun Chiu tak menghiraukannya, meninggalkan medan tempur.
Tio Kiang mengejarnya sambil mengumpat caci.
Jian Teng Tojin memerintahkan Han Tok Liong menandingi lawan.
Han Tok Liong maju berhadapan dengan Tio Kiang, yang kala itu ada di luar barisan gaib.
Tio Kiang menusuk Han Tok Liong dengan pedang, yang langsung ditangkisnya.
Terjadilah saling menyerang dan menangkis.
Baru bertanding beberapa jurus, Tio Kiang lantas melarikan diri,masuk ke dalam barisan gaibnya.
Han Tok Liong memburunya.
Tio Kiang naik ke atas panggung, menggerak-gerakkan 'Ngo Hong Kie' (Panji Lima Arah)-nya.
Segera terdengar suara halilintar yang disertai samberan api.
Kasihan Han Tok Liong, tak dapat menghindari serangan tersebut, dalam sekejap tubuhnya lebur jadi debu.
Tio Kiang tersenyum puas, semakin percaya akan kesaktian dirinya, keluar dari dalam barisan gaibnya, bersumbar.
"Siapa lagi yang ingin mencoba keampuhan barisan gaibku!?".
Jian Teng Tojin menitah Kie Liu Sun menghadapi lawan yang angkuh itu.
Kie Liu Sun maju.
Tio Kiang segera menyerang dengan pedangnya.
Secepat kilat Kie Liu Sun menangkisnya dan secepat itu pula balas menyerang.
Serang dan tangkis silih berganti, namun tak berlangsung lama, sebab Tio Kiang telah kabur masuk ke dalam barisan gaibnya.
Kie Liu Sun terus mengejar lawannya.
Seperti sebelumnya, Tio Kiang naik ke panggung, mengibarngibarkan 'Panji Lima Arah'-nya.
Kie Liu Sun tampak tenang-tenang saja, dirinya dilindungi oleh mega- mega berwarna yang keluar dari kepalanya.
Kemudian dia mengeluarkan tali wasiatnya, melontarkannya ke arah lawan.
Di lain saat tubuh Tio Kiang terikat erat oleh tali wasiat tersebut.
Kie Liu Sun meminta bantuan Malaikat Oey Cheng Lek Su untuk membanting Tio Kiang kuat-kuat hingga remuk tubuhnya, tewas seketika.
Dengan demikian bobollah barisan gaib lawan yang ke dua dan pertarungan hari itu hanya sampai di situ.
Jian Teng Tojin kembali ke panggung peristirahatan.
Para Dewa dan orang suci bertanya padanya, siapa yang akan ditugaskan untuk memusnakan Hong Hou Tin', yaitu barisan gaib lawan yang ke tiga.
''Untuk menghancurkannya, kita harus meminjam "Teng Hong Chu'(Mutiara Penenang Angin) milik Tu Nie Cin-jin yang bersemayam di goa Pat Po Leng Kong-tong di gunung Kauw Teng Thi Che-san".
Kiang Chu Gie mengutus Shan Gie Seng dan Chiao Tian untuk meminjam benda pusaka milik Tu Nie Cin-jin.
Shan Gie Seng dan Chiao Tian segera berangkat ke goa Pat Po Leng Kong-tong, menemui sang pertapa.
Mendengar Mutiara Pusakanya akan digunakan untuk menggempur barisan gaib dan hal itu diperkuat dengan adanya surat dari sahabatnya, Jian Teng Tojin, maka Tu Nie Cin-jin bersedia meminjamkannya.
Shan Gie Seng dan Chiao Tian mengucapkan terima kasih, lalu berpamitan dan bergegas kembali ke See-kie.
Tapi setiba di tepi Huang-ho (Sungai Kuning), tak ada perahu yang menyeberangkan mereka.
Ketika mereka menanyakan pada penduduk di sekitar tempat itu, diperoleh keterangan, bahwa belakangan ini telah muncul dua jagoan di daerah tersebut, ganas sikapnya, sering melakukan pemerasan, membuat tukang perahu tak berani menambangkan perahunya di situ.
Dengan susah payah akhirnya mereka berhasil menemukan tukang perahu yang bersedia menyeberangkan mereka, tapi si tukang perahu meminta imbalan yang tinggi.
Mendengar biaya penyeberangan yang mencekik leher, Shan Gie Seng bermaksud melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda saja.
Namun Chiao Tian seakan pernah melihat kedua tukang perahu itu, begitu lebih ditegaskan, ternyata Phuy Pek dan Phuy Siang, yang dulunya telah melarikan diri dari kota-raja dengan membawa dua putera Kaisar.
Timbullah harapan di hati Chiao Tian, berkata.
"Bantulah kami ke seberang sana.
Kami ditugaskan untuk membawa Mutiara Pusaka ke See-kie".Mendengar Chiao Tian membawa benda pusaka, kedua saudara Phuy saling lirik sambil tersenyum.
"Boleh kami melihat pusaka itu?", tanya Phuy Siang.
Shan Gie Seng yang mengira kedua orang itu kurang yakin akan keterangan Chiao Tian sebelum melihat bukti, dia segera memperlihatkannya pada mereka.
Tak tahunya, Phuy Pek segera merampasnya dan membawa kabur.
Mereka bermaksud mempersembahkan Mutiara Pusaka itu pada Tiu Ong (Touw Ong), sebagai penebus dosa mereka tempo hari, dengan harapan Kaisar bukan saja bersedia mengampuni, bahkan memulihkan pangkat mereka.
Shan Gie Seng sangat menyesal telah memperlihatkan benda pusaka tersebut pada manusia berhati tamak lagi keji itu.
Untuk menolak dia tak berani, sebab menyadari kalau dirinya bersama Chiao Tian tak mampu menandingi Phuy bersaudara.
Karenanya Gie Seng bermaksud menceburkan diri ke sungai, namun sempat dicegah oleh Chiao Tian.
"Kita tak perlu berputus asa", ujar Chiao Tian.
"Apapun yang terjadi, harus kita laporkan pada Perdana Menteri".
Shan Gie Seng menganggap ucapan temannya cukup beralasan, membuatnya membatalkan maksudnya semula, meneruskan perjalanan dengan memacu kudanya, agar cepat sampai ke See-kie.
Tapi baru sekira 15 li mereka melanjutkan perjalanan, telah bertemu dengan Oey Hui Houw yang sedang mengangkut bahan makanan ke See-kie.
Ketika mendengar Mutiara Pusaka dirampas oleh Phuy bersaudara, Oey Hui Houw segera melakukan pengejaran dengan menunggang kerbau saktinya, yang dalam sehari dapat menempuh jarak 800 li.
Beberapa waktu kemudian Hui Houw telah kembali dengan membawa Mutiara Pusaka, disertai kedua saudara Phuy.
Hui Houw ternyata berhasil membujuk mereka untuk mengabdi pada Bun Ong.
Lantas mengembalikan benda pusaka itu pada Shan Gie danChiao Tian, untuk diserahkan pada Kiang Chu Gie.
Sedang Hui Houw bersama Phuy Pek dan Phuy Siang menyusul kemudian.
Dengan demikian Mutiara Pusaka selamat sampai di tangan Chu Gie.Oey Liong Cin-jin .Dewi Kwan Im Pouw Hian Cin-jin Bun Chiu Kong Hoat Thian-cunLIMA Jian Teng Tojin memimpin para Dewa dan pendeta sakti ke depan 'Hong Hou Tin'.
Namun saat itu dia menemui kesulitan untuk mencari orang yang tepat sebagai pembuka jalan menggempur barisan gaib tersebut.
Sementara itu Tong Choan terus menantang pihak See-kie dari depan 'Tin'-nya.
Selagi Jian Teng Tojin dalam kesulitan itulah, telah datang Oey Hui Houw yang mengajak Phuy bersaudara menghadap Kiang Chu Gie.
Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jian Teng Tojin segera menitah Phuy Pek untuk memukul barisan gaib lawan.
Phuy Pek di samping besar tenaganya, tinggi pula kepandaian silatnya.
Dia merupakan perwira yang dapat diandalkan di medan perang.
Tapi sekarang dia harus berhadapan dengan Tong Choan yang memiliki ilmu hitam, yang selalu mencelakai lawannya melalui barisan gaibnya.
Dia menantang dengan tujuan memancing lawan masuk ke dalam 'Tin'-nya.
Itu sebabnya, setelah bertanding sejenak, dia segera melarikan diri ke dalam barisan gaibnya.
Phuy Pek memburunya.
Terlihat Tong Choan turun dari Menjangan tunggangannya, cepat melompat ke atas panggung, menggerak-gerakkan panji hitam.
Segera meluncur ratusan pisau yang menyerang Phuy Pek.
Phuy Pek tak berdaya menangkis serangan senjata tajam yang serentak datangnya, dalam sekejap tubuhnya telah tersayat lumat, yang tinggal hanyalah tulang-belulangnya.
Arwahnya melayang ke Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat.
Poh Chian membimbingnya masuk ke dalam Pesanggrahan.Tong Choan menyuruh prajurit kerajaan Touw menyingkirkan tulang- belulang Phuy Pek ke luar barisan gaibnya.
"Siapa lagi yang ingin coba-coba masuk ke dalam barisan gaibku?", tantangnya angkuh.
Sekali ini Jian Teng Tojin meminta bantuan Kwan Im Taysu (Dewi Kwan Im) untuk menghancurkan 'Hong Hou Tin' musuh sambil menyerahkan Mutiara Pusaka pada sang Dewi.
Dewi Kwan Im menghampiri barisan gaib lawan.
Tong Choan menyabetkan pedang ke diri sang Dewi.
Namun Dewi Kwan Im yang terkenal sakti itu, mudah saja mematahkan serangan lawan.
Setelah menyerang beberapa kali tanpa hasil, Tong Choan segera melarikan diri ke dalam barisan gaibnya.
Dewi Kwan Im (Avalokites'vara) mengejar masuk.
Tong Choan naik ke atas panggung, menggerak-gerakkan panji hitamnya, yang menimbulkan gulungan asap hitam, disertai angin kencang yang meluncurkan ratusan pisau.
Tapi berkat kesaktian sang Dewi, yang membawanya juga "Teng Hong Chu' sebagai penangkal ilmu hitam lawan, Dewi Kwan Im tetap berdiri tenang di tempatnya.
Kemudian dia mengangkat jambang (vas), seketika asap hitam berikut diri Tong Choan tersedot ke dalam jambang.
Dewi Kwan Im menutup rapat mulut jambang.
Dalam tempo tujuh hari tujuh malam, tubuh Tong Choan akan hancurlebur menjadi cairan darah! Arwah Tong Choan melayang ke 'Hong Sin Tay'.
Kehadirannya disambut oleh Malaikat Cheng Hok Sin Poh Chian, yang segera mengajaknya masuk ke dalam Pesanggrahan.
Menyaksikan temannya tewas di tangan Dewi Kwan Im, Wan Kak yang memimpin barisan gaib 'Han Peng Tin', langsung menantang Jian Teng Tojin berperang tanding.Jian Teng menitah Sie Ok Houw, murid To Heng Tian Chun, untuk menggempur barisan gaib ke 4 dari lawan.
Sie Ok Houw maju seraya menghunus pedang.
Wan Kak langsung menusuk Ok Houw dengan pedangnya.
Sie Ok Houw menangkis, balas melancarkan serangan.
Terjadilah pertempuran cukup seru dan setelah berlangsung belasan jurus, tiba- tiba Wan Kak melarikan diri ke dalam barisan gaibnya.
Sie Ok Houw terus mengejarnya.
Seperti juga teman-teman lainnya, begitu berada di dalam barisan gaibnya, Wan Kak segera melompat ke atas panggung, menggerak- gerakkan panji putihnya.
Dari atas turun pecah anpecahan es, mirip senjata tajam dan dari bawah bermunculan pula serpih-serpih es yang menyerupai tombak, hingga tubuh Sie Ok Houw hancur tertusuk dan tercincang.
Setelah berhasil menamatkan riwayat Ok Houw, Wan Kak keluar dari barisan gaibnya, menantang Jian Teng Tojin lagi.
Jian Teng meminta bantuan Pouw Hian Cin-jin menghancurkan barisan gaib lawan.
Pouw Hian Cin-jin maju, Wan Kak langsung menyerangnya, kembali terjadi pertarungan seru.
Setelah bertanding beberapa saat, Wan Kak berpura-pura kewalahan, lari masuk ke dalam barisan gaibnya.
Pouw Hian mengejar masuk.
Wan Kak telah berada di atas panggung sambil menggerakgerakkan panji.
Pouw Hian Cin-jin menudingkan jari telunjuk ke atas, dari ujung jarinya memancarkan cahaya putih mirip benang panjang, di ujungnya tersembur mega berwarna-warni yang tingginya sampai beberapa kaki.
Di atas mega tersebut terdapat sebuah lampu emas bertaburkan mutiara, yang melindungi diri sang Cin-jin dari serpih-serpih es yang lancip tajam, sekali gus melumerkannya.
Dengan demikian hancurlahbarisan gaib yang dikendalikan Wan Kak.
Wan Kak bermaksud melarikan diri, tapi kepalanya telah keburu dipisahkan dari tubuhnya oleh pedang terbang Pouw Hian Cin-jin.
Arwah Wan Kak menuju ke 'Hong Sin Tay' (Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat).
Menyaksikan temannya tewas, Kim Kong Sengbo kelur dari barisan gaibnya dengan menunggang Macan tutul, sepasang tangannya masing-masing memegang pedang.
"Siapa yang berani menggempur 'Kim Kong Tin'-ku?", serunya begitu muncul.
Jian Teng Tojin memperhatikan orang di sekitarnya, tapi dia tak melihat orang yang tepat sebagai pembuka jalan dalam menggempur barisan gaib lawan.
Tiba-tiba dari angkasa turun Siauw Chin, salah seorang murid dari istana Giok Sie, yang diperintahkan oleh gurunya untuk membantu pihak See-kie melenyapkan barisan gaib lawan.
Baru saja Siauw Chin menginjakkan kaki di bumi, langsung diserang dengan pedang oleh Kim Kong Sengbo.
Siauw Chin segera menangkisnya.
Setelah bertanding beberapa jurus, Kim Kong Sengbo masuk ke dalam barisan gaibnya.
Siauw Chin mengejar musuhnya.
Kim Kong Sengbo melepaskan cahaya emas, menyorot diri Siauw Chin hingga tewas.
Jian Teng Tojin meminta bantuan Kong Seng Cu menghancurkan barisan gaib lawan.
Begitu Kong Seng Cu maju, tak ayal lagi Kim Kong Sengbo menyerang dengan sepasang pedangnya.
Kong Seng Cu menyambut serangan lawan, kemudian balas menyerang.
Kim Kong Sengbo lari masuk ke dalam barisan gaibnya, bersiasatmemancing lawan.
Kong Seng Cu mengejarnya dengan lebih dulu melindungi kepala dan tubuhnya dengan jubah Pat-kwa wasiat.
Terlihat olehnya Kim Kong Sengbo naik ke panggung, menarik tali yang diikatkan pada 21 tiang, nampak cermin-cermin yang dipasang di masing-masing tiang.
Kim Kong Sengbo melepaskan suara petir, cermin-cermin itu berputar- putar serta memancarkan cahaya emas ke arah diri Kong Seng Cu.
Kong Seng Cu yang mengenakan jubah Pat-kwa wasiat, terhindar dari tembakan-tembakan cahaya emas cermin.
Diam-diam dia melontarkan 'Poan Thian Eng' (Cap Membalikkan Langit) ke atas panggung, berhasil menghancurkan 19 cermin wasiat musuh.
Kim Kong Sengbo amat terperanjat, juga penasaran, bermaksud memanfaatkan sisa dua cermin yang masih utuh, melancarkan 'tembakan-tembakan sinar emas'-nya.
Tapi cap wasiat Kong Seng Cu telah lebih dulu menghantam kepalanya hingga remuk, darah campur otak mengalir ke luar.
Sun Liang amat marah ketika melihat sahabatnya tewas, se gera keluar dari dalam barisan gaib dengan menunggang Menjangan, menantang bertanding.
Jian Teng Tojin meminta bantuan Thay Khek Cin-jin membereskan lawan.
Thay Khek Cin-jin tampil ke muka, segera terjadi pertempuran sengit.
Tapi beberapa jurus kemudian Sun Liang lari ma suk ke dalam barisan gaibnya.
Thay Khek Cin-jin menuding ke tanah, segera muncul dua tangkai teratai biru.
Dengan berdiri di atas kedua teratai itu, dia memasuki barisan gaib lawan.
Sun Liang segera menebarkan segantang pasir hitam ke arahnya.
Thay Khek Cin-jin menuding ke atas, dari ujung jarinya ke luar sinarputih yang tingginya lebih kurang dua kaki, dengan mega berwarna- warni di atasnya.
Semua pasir hitam lenyap begitu membentur mega tersebut.
Saking penasaran, Sun Liang menimpuk Thay Khek Cinjin dengan gantang wadah pasir hitam, tapi gantang itu ikut lenyap juga.
Terperanjat sekali Sun Liang melihat perkembangan itu, bermaksud melarikan diri.
Namun Thay Khek Cin-jin sempat melepaskan 'Sembilan Naga yang menyemburkan Api Suci', membakar diri Sun Liang hingga jadi debu! Bun Taysu amat sedih atas kematian beruntun para sahabatnya, meminta sahabat lainnya menunda dulu pertandingan.
Dia akan berikhtiar untuk mencari bantuan teman-teman lainnya.
Kepala Bun Taysu serasa mau pecah, tak tahu apa yang sebaiknya dilakukannya!? Untuk beberapa saat dia hanya berdiam diri sambil memijat-mijat keningnya.
Kie Lek dan Yu Cheng yang terus mendampinginya, ikut bingung.
Selang beberapa saat, wajah Bun Taysu mulai berseri, tersenyum.
Sebab tiba-tiba saja dia teringat pada Tio Kong Beng yang bersemayam di goa Lo Houw di gunung Go Bie-san.
Kalau saja Tio Kong Beng bersedia membantunya, segala keruwetannya tentu akan terpecahkan.
Maka diputuskan untuk berangkat ke gunung Go Bi, menitah Kie Lek dan Yu Cheng menjaga perkemahan.
Bun Taysu berangkat ke goa Lo Hou dengan menunggang Kie Lin hitamnya, melayang di angkasa.
Beberapa waktu kemudian, tibalah dia di atas gunung yang dimaksud.
Indah nian panorama di sekitar gunung tersebut, bunga-bunga bermekaran di sana-sini, terdapat pula air terjun, juga pohon-pohon Siong (Pinus).
Amat cocok keadaannya bagi tempat bermukimnya seorang pertama atau manusia yang ingin menyucikan diri.
Namun Bun Taysu tak berselera menikmati segalanya, dia ingin cepat-cepat bertemu dengan Tio Kong Beng, mengharapkan bantuannya menggempur pertahanan pihak See-kie.
Dia turun di lereng gunung tersebut, menuju ke mulut goa Lo Hou, berkata pada seorang Totong (murid pertapa) yang berdiri di situ .
"Aku datang dari ribuan li, ingin bertemu dengan gurumu".
"Bapak siapa?", tanya Totong.
"Namaku Bun Tiong".
"Baiklah, akan segera saya sampaikan kedatangan bapak pada Suhu", kata si Totong, masuk ke goa.
Bun Taysu berdiri di muka pintu goa.
Ketika mendengar yang datang adalah Bun Taysu, Tio Kong Beng bergegas ke luar goa.
"Senang sekali Taysu sudi datang ke tempat saya yang buruk ini", katanya sambil memberi hormat pada Bun Taysu.
"Maaf saya terlambat menyambut kedatangan Taysu''.
"Siao-teelah yang seharusnya memohon maaf, karena telah mengganggu ketenangan Toheng", kata Bun Taysu sambil membalas hormat si pertapa.
Setelah berbasa-basi sejenak, Tio Kong Beng menyilakan Bun Taysu masuk.
"Taysu tampak murung", ucap Tio Kong Beng setelah masing-masing mengambil tempat duduk.
"apa yang telah terjadi sesungguhnya?".
"Kalau diceritakan sungguh memalukan", sahut Bun Taysu dengan suara agak parau.
"rendahnya kepandaian Siao-tee, telah mengakibatkan sering menderita kekalahan dalam menghadapi musuh.
Maksud Siao-tee ke mari adalah ingin memohon bantuan To- heng untuk menghajar lawan.
Saya takkan melupakan budi To-heng".
Tio Kong Beng adalah seorang yang berwatak jujur, selalu bersedia membantu memecahkan kesulitan orang lain tanpa pamrih.
"Taysu tak usah khawatir, selama saya masih mampu melakukan, akan saya bantu", katanya.
"Terima kasih To-heng", Bun Taysu segera menyojanya sebagaipengungkapan rasa terima kasihnya.
Tio Kong Beng menyilakan Bun Taysu berangkat duluan, dia akan menyusul kemudian.
Bun Taysu amat bersyukur akan kesediaan Tio Kong Beng membantunya, pamit.
Sepulang Bun Taysu, Tio Kong Beng memanggil dua orang muridnya, Tan Kauw Kong dan Yao Siao Sie, mengajak mereka ke See-kie.
Di tengah jalan mereka bertemu seekor Macan.
Kong Beng berhasil menaklukkan raja hutan' itu dengan menggunakan ke saktiannya, lalu menjadikannya sebagai tunggangannya.
Berkat kesaktian Tio Kong Beng, perjalanan selanjutnya mereka lakukan dengan naik awan.
Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka telah tiba di perkemahan pasukan kerajaan Touw.
Bun Taysu ke luar kemah, menyambut kedatangan tamu agungnya.
Keesokan harinya Tio Kong Beng ke luar kemah dengan menunggang Hek Houw (Macan Hitam) dan membawa sepasang ruyung, menantang Kiang Chu Gie berperang tanding.
Seorang prajurit melaporkannya pada Kiang Chu Gie.
Chu Gie menyambut tantangan lawan dengan menunggang See Put Siang', didampingi oleh Na Cha, Lui Chin Cu, Oey Thian Hoa, Yo Chian, Bu Kie dan beberapa perwira gagah lainnya lagi.
Begitu berhadapan, tanpa banyak bicara lagi Tio Kong Beng menghantam Chu Gie dengan ruyungnya.
Chu Gie segera menangkis serangan lawan dengan pedangnya, kemudian balas menyerang.
_Pertandingan telah berlangsung sampai beberapa puluh jurus, tapi masih sulit diduga siapa yang akan memperoleh kemenangan akhir.
Tio Kong Beng di samping gagah, juga cukup kuat, biarpun telah cukup lama bertanding, dia masih tampak segar.
Namun dia tak ingin pertempuran itu berlangsung terlalu lama, maka diam-diam dia melontarkan sebuah ruyungnya ke atas, membarengi menyerang ChuGie dengan senjata ruyung satunya.
Chu Gie menangkis serangan musuh, tapi dia tak menyangka akan muncul serangan ruyung lainnya dari angkasa, membuatnya tak keburu mengelak atau menangkis, hingga tubuhnya terhajar telak, jatuh terguling dari binatang tunggangannya dan tewas.
Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Na Cha segera maju, menyerang Kong Beng dengan menusukkan tombaknya.
Sementara itu Kim Cha membopong tubuh Chu Gie, membawanya ke dalam kota.
Namun Na Cha bukanlah lawan yang seimbang bagi Tio Kong Beng, setelah bertanding belasan jurus, Kong Beng berhasil melukai Na Cha dengan ruyungnya hingga jatuh dari Roda Angin dan Apinya.
Menyaksikan temannya terluka, Oey Thian Hoa yang menunggang 'Giok Kie Lin' (Kie Lin Kumala), menyerang Tio Kong Beng dengan sepasang gadanya.
Sedang Lui Chin Cu ikut menyerang Kong Beng dari angkasa dengan menghantamkan 'Huang Kim Kun' (Pentungan Emas)- nya.
Dalam pada itu Yo Chian telah pula melepaskan Anjing Menyalak Langit-nya dan binatang itu berhasil menggigit dan melukai bahu Tio Kong Beng, membuatnya terpaksa harus melarikan Macannya ke perkemahan .....
Kong Seng Cu di panggung peristirahatan para Dewa dan orang suci, mengetahui kalau Kiang Chu Gie tewas oleh pukulan ruyung Kong Beng, segera masuk ke kota See-kie, berhasil menghidupkan kembali Chu Gie dengan pil mujizatnya.
Di lain fihak, di kubu pasukan kerajaan Touw, Tan Kauw Kong dan Yao Siao Sie segera mengambil obat mujarab dari dalam Buli-buli untuk mengobati luka guru mereka.
Dan berhasil disembuhkan tak lama kemudian.
Keesokan paginya Tio Kong Beng bermaksud menantang perang lagi.
Tapi telah dicegah oleh Bun Taysu.
"Luka To-heng baru saja sembuh,sebaiknya beristirahatlah dulu.
Setelah sehat benar barulah kita gempur lagi pihak See-kie".
"Kesehatan Pinto telah pulih seperti sedia kala", kata Kong Beng.
"Inilah saat yang paling tepat bagi kita untuk menyerang lawan, jangan kita beri mereka kesempatan menyusun kekuatan kembali".
Melihat tekad Kong Beng, Bun Taysu tak mencegah lebih jauh.
Tio Kong Beng keluar dari perkemahan dengan menunggang macan hitamnya, menantang Jian Teng Tojin.
Jian Teng Tojin menyambut tantangan musuhnya dengan naik Menjangan dan siap pula dengan pedang terhunus di tangannya.
Begitu berhadapan dengan lawan, tanpa berkata lagi Tio Kong Beng menghantamkan ruyungnya.
Jian Teng menangkis senjata lawan dan cepat pula balas menyerang.
Setelah bertempur beberapa jurus, Kong Beng melontarkan 'Teng Hay Chu' (Mutiara Penentram Laut), yaitu untaian mutiara yang terdiri sebanyak 24 butir.
Jian Teng Tojin memperhatikan senjata pusaka lawan yang tengah melayang di angkasa, memancarkan cahaya aneka warna dan menyilaukan pandang.
Biarpun dia tak tahu senjata macam apa itu, tapi telah dapat menduga, pasti sangat ampuh! Tak ingin dia menyerempet bahaya, segera memacu Menjangannya ke Barat Daya.
Merasa dirinya berada di atas angin, Kong Beng tak sudi melepaskan musuhnya begitu saja, terus mengejarnya sampai di sebuah bukit.
Tak jauh dari bukit itu, terlihat ada dua orang yang sedang main catur di bawah pohon Siong (Pinus; Cemara); yang satu berjubah hijau, lainnya merah.
Kedua orang itu berpaling ketika mendengar suara derap Menjangan menuju ke arah mereka.
Setelah dekat, mereka menanyakan maksud kedatangan Jian Teng Tojin ke situ.
Jian Teng tak kenal mereka, tapi dia berterus terang menyatakankeadaan dirinya dan menceritakan prihal Tio Kong Beng yang hendak menghancurkan kota See-kie.
"Menyisilah Loosu (Guru), biar nanti kami tanyakan padanya", kata mereka hampir bersamaan.
Selang sesaat Tio Kong Beng telah pula tiba di situ, bertanya .
"Siapa kalian?".
"Aku Cho Po dan temanku ini Siauw Seng, kami dari Ngo Ie-san", sahut orang berjubah hijau.
"Kau terus menyudutkan Jian Teng Loosu".
Tio Kong Beng tak ingin banyak bicara, langsung saja menyerang mereka dengan ruyungnya.
Cho Po dan Siauw Seng cepat menangkis dengan pedang mereka.
Setelah bertanding beberapa jurus, tiba-tiba Tio Kong Beng melontarkan 'Po Liong So' (Tali Pengikat Naga).
Siauw Seng segera mengeluarkan sekeping uang emas yang bersayap dari dalam kantong Macan tutul.
Melontarkan juga ke angkasa.
Terlihat kemudian.
"Po Liong So' mengikuti keping uang emas yang jatuh ke tanah.
Cho Po segera memungut benda pusaka itu.
Tio Kong Beng amat marah benda pusakanya jatuh ke tangan lawan, cepat mengeluarkan Teng Hay Chu'-nya, melontarkannya ke angkasa, memancarkan sinar aneka warna yang menyilaukan pandang.
Siauw Seng menimpukkan lagi keping uang emas bersayapnya.
Seperti juga Tali wasiat tadi, Teng Hay Chu'-nya Tio Kong Beng mengikuti keping uang emas meluncur turun ke tanah.
Cho Po bergegas memungutnya.
Tio Kong Beng bertambah berang kehilangan kedua senjata pusakanya, lalu menimpukkan ruyungnya ke diri Siauw Seng, Serangan itu dilakukan begitu cepat dan di luar dugaan lawan, hingga Siauw Seng tak sempat mengelak, pecah kepalanya terkena ruyung sakti Tio Kong Beng.Jian Teng Tojin yang menyaksikan pertandingan dari tempat tinggi, segera melontarkan Kan Kun Chi' (Elo/Alat Pengukur Jagad)-nya.
Tio Kong Beng yang tak bersiaga, kena dihantam oleh alat pengukur wasiat itu, yang membuatnya nyaris terguling dari binatang tunggangannya.
Dia cepat-cepat melarikan diri ke Selatan sambil menahan sakit.
Jian Teng Tojin turun dari Menjangan, menyoja pada Cho Po sebagai pengungkapan rasa syukurnya.
Cho Po menyerahkan kedua benda pusaka milik Tio Kong Beng pada Jian Teng Tojin.
Jian Teng menerima pemberian itu sambil mengucapkan terima kasihnya, kembali ke See-kie.
Setelah memakamkan jenazah Siauw Seng, Cho Po menyusul Jian Teng Tojin ke See-kie, mengabdi pada Bu Ong.
Jian Teng menceritakan pertemuannya dengan Cho Po dan Siauw Seng kepada para Dewa dan orang sakti yang berkumpul di panggung peristirahatan.
Kemudian dia memperlihatkan 'Teng Hay Chu' pada mereka.
Para Dewa dan orang suci kagum ketika melihat benda pusaka tersebut.
Tio Kong Beng yang kehilangan 'Teng Hay Chu' dan 'Po Liong So', jadi uring-uringan setibanya di kemah.
Kemudian dia memanggil Tan Kauw Kong dan Yao Siao Sie, meminta mereka menjaga kemah, sedangkan dia sendiri akan pergi ke Sam Sian To (Pulau Tiga Dewi) untuk meminjam pusaka pada tiga adik perempuannya yang kini telah jadi Dewi Dia bermaksud merebut kembali kedua benda wasiatnya dari tangan lawan, dengan menggunakan senjata pusaka milik adik perempuannya.
Selesai memesan, dia berangkat dengan menunggang Macan hitamnya, kemudian melanjutkannya dengan naik awan.Dalam waktu relatif singkat sampailah di mulut goa 'Sam Sian Tong' (Goa Tiga Dewi).
Kong Beng turun dari tunggangannya, sedianya hendak langsung masuk ke dalam goa, tapi tiba-tiba dia melihat Tan Kauw Kong dan Yao Siao Sie.
Ternyata kedua muridnya itu telah mengikuti sang guru dengan menempuh jalan bawah tanah.
"Kenapa kalian ke mari juga?", tanya Tio Kong Beng.
"Kami ingin terus mendampingi Sucun", sahut Tan Kauw Kong.
"agar sewaktu-waktu siap menerima perintah Sucun".
Tergerak juga hati Tio Kong Beng ketika mendengar kesetiaan muridnya.
"Tunggulah kalian di luar", kata Kong Beng.
"Tapi ingat, jangan sekali- kali ikut masuk".
"Baik Sucun".
Kedua muridnya mengangguk.
Tio Kong Beng masuk, di tengah goa bertemu seorang Totong.
"Aku Tio Kong Beng, ingin bertemu dengan Sam Wi Nio Nio (Tiga Dewi).
Ada persoalan penting yang ingin kubicarakan".
Sang Totong lantas memberitahukan kedatangan Tio Kong Beng pada ketiga Dewi.
Ketiga adik perempuan Kong Beng yang telah jadi Dewi itu, segera ke luar menyambut kedatangan sang kakak.
Mereka adalah In Siao Nio Nio, Kiong Siao Nio Nio dan Pek Siao Nio Nio.
Tio Kong Beng disilakan masuk ke ruang dalam.
"Angin apa yang membawa kakak ke mari?", tanya In Siao Nio Nio pada Kong Beng setelah masing-masing mengambil tempat duduk.
"Angin malam yang membuatku kangen sama kalian", sahut Kong Beng sambil memaksakan diri tersenyum.
Setelah berbasa-basi sebentar, barulah Tio Kong Beng menceritakan kesulitan yang sedang dihadapinya dan bermaksud ingin meminjam'Gunting Naga Emas'.
Dengan senjata pusaka itu dia mengharapkan dapat merebut kembali kedua benda wasiatnya yang jatuh di tangan musuh.
"Kami tidak keberatan", kata Pek Siao Nio Nio.
"Tapi setelah berhasil usaha kakak, harus segera mengembalikannya pada kami".
"Itu pasti", Tio Kong Beng menyanggupi dengan wajah berseri Pek Siao Nio Nio memberikan gunting wasiatnya.
Tio Kong Beng menerimanya, kemudian pamit pada ketiga adik perempuannya.
Ketiga adiknya mengantar sampai ke luar goa.
Kong Beng menunggang macan hitamnya, kemudian melayang ke angkasa dengan naik awan, menuju ke perkemahan pasukan Tiu Ong (Touw Ong).
Bun Taysu menyambut gembira kembalinya.
Dengan didampingi oleh Tio Kong Beng, pada esok paginya Bun Taysu keluar dari kemah, menantang Jian Teng Tojin.
Na Cha melaporkan tantangan itu pada Jian Teng, Jian Teng menyambut tantangan lawan dengan naik Menjangan.
Begitu berhadapan dengan Jian Teng Tojin, Tio Kong Beng meminta si Pendeta mengembalikan kedua benda pusakanya.
Jian Teng menolaknya, hingga terjadi perang tanding yang sengit di antara mereka.
Pertempuran telah berlangsung beberapa puluh jurus, namun masih belum dapat dipastikan siapa yang akan jaya.
Tio Kong Beng tak dapat bersabar lebih lama lagi, segera melontarkan 'Gunting Naga Emas'.
Gunting wasiat itu sesungguhnya adalah penjelmaan dari dua ekor Naga yang telah menyedot sari Langit dan Bumi, juga Cahaya Matahari serta Bulan.
Kedua Naga itu masing-masing selalu bergerak dengan arah yang berlawanan, menyerupai gerakan menggunting.
Jangankan manusia, Dewa pun akan terpotong dua olehnya.
Jian Teng Tojin menyadari akan bahaya itu, maka begitu Tio KongBeng melontarkan benda wasiat tersebut, dia cepat melarikan diri dengan menempuh jalan melewati anasir kayu.
Menjangannya yang jadi korban, terpotong dua! Jian Teng Tojin yang berhasil menyelamatkan diri, kembali ke panggung peristirahatan para orang suci dan Dewa, memberitahukan akan keampuhan 'Gunting Naga Emas' lawan.
Mereka segera merundingkan cara menghadapi gunting wa siat tersebut.
Tiba-tiba datang Na Cha memberitahukan, bahwa ada seorang Tojin yang ingin bertemu dengan Jian Teng dan lain-lainnya.
Jian Teng menyilakan tamunya masuk.
Tojin itu memperkenalkan diri sebagai Liok Ya, berasal dari gunung Kun Lun-san Barat.
Kedatangannya khusus ingin menyingkirkan Tio Kong Beng yang telah menggunakan gunting wasiat untuk membantu pihak yang salah dan menghancurkan pihak yang benar.
Keesokan harinya Tio Kong Beng menantang Jian Teng berperang tanding.
"Biar Pinto yang menghadapinya", Liok Ya majukan diri.
Begitu bertemu lawan, Tio Kong Beng langsung menghantamkan ruyungnya.
Liok Ya cukup waspada, menangkis dengan pedangnya.
Setelah bertarung beberapa jurus, Kong Beng lantas melontarkan 'Gunting Naga Emas'-nya ke angkasa, yang secepat kilat, meluncur ke diri Liok Ya, menggunting leher Tojin itu hingga kepalanya pisah dengan tubuhnya.
Namun terjadi suatu keajaiban, kepala dan tubuh yang telah pisah itu tidak jatuh, seakan ada yang menahannya pada posisi semula, malah kemudian sirna dari hadapan lawan.
Perkembangan yang luar biasa itu benar-benar berada di luar dugaan Tio Kong Beng, membuatnya untuk sesaat hanya berdiam diri dengan mata terbelalak.Ternyata Liok Ya amat sakti, dia tahu akan keampuhan "Gunting Naga Emas', maka begitu melihat Tio Kong Beng melontarkan benda wasiat itu, dia langsung menciptakan duplikatnya, sedang dirinya sendiri telah berubah menjadi sinar terang, melarikan diri ke dalam kota See- kie.
Kiang Chu Gie menyambut kedatangannya, menyilakannya duduk.
Liok Ya mengambil keranjang bunga, dari dalamnya dikeluarkan se
Jilid buku.
Di dalam buku itu terdapat 'Hu' (Kertas jimat) dan mantera, menyerahkannya pada Kiang Chu Gie.
"Pergilah kau ke gunung Kie-san, dirikan panggung di sana, letakkan sebuah boneka rumput yang bagian dadanya ditempelkan nama 'Tio Kong Beng'.
Di atas kepala dan di bawah kakinya kau letakkan sebuah pelita dan bakarlah 'Hu' ini.
Kau harus bersembahyang selama 21 hari di depan boneka rumput itu.
Setiap harinya bersembahyang 3 kali.
Aku akan datang pada hari terakhir untuk membantumu menyelesaikan persoalan.
Dengan demikian Tio Kong Beng akan binasa".
Kiang Chu Gie menuruti saran Liok Ya.
Pek Lip yang memimpin barisan gaib 'Liat Yam Tin' (Barisan Api Membara), tak lagi dapat menahan sabar, hingga melupakan pesan Bun Taysu yang melarangnya menantang lawan.
Hari itu Pek Lip dengan menunggang Menjangan keluar dari barisan gaibnya, menantang pihak See-kie.
Liok Ya menyambut tantangan tersebut.
Terjadilah pertarungan sengit di antara mereka.
Setelah berlangsung belasan jurus, Pek Lip lari masuk ke dalam barisan gaibnya.
Liok Ya tak membiarkan musuhnya lolos, terus mengejarnya.
Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pek Lip menggerak-gerakkan tiga panji merah, melepaskan Api Langit, Api Bumi dan Api Asli! Namun ketiga api itu tak berhasil melukai Liok Ya, sebabsesungguhnya Liok Ya termasuk dalam anasir/unsur api.
Dia tetap berdiri tenang, kemudian mengeluarkan Buli-buli (Cupu), membuka penyumbatnya.
Dari mulut Buli-buli keluar cahaya yang menyilaukan pandang.
Dari tengah-tengah sinar itu melayang sebilah pedang, yang langsung menabas putus kepala Pek Lip.
Arwah Pek Lip segera melayang ke 'Hong Sin Tay'.
Liok Ya menyimpan kembali Buli-bulinya.
Mendengar temannya tewas, Yao Pin yang menguasai 'Liok Hun Tin' (Barisan Pencabut Nyawa), segera ke luar dengan naik Bangau, menantang lawannya.
Jian Teng Tojin menitah Phuy Siang menggempur barisan gaib musuh.
Phuy Siang maju dengan bersenjatakan tombak, terjadilah pertarungan sengit dengan Yao Pin di luar barisan gaib.
Yao Pin tak ingin bertarung terlalu lama, setelah beberapa jurus, dia kabur ke dalam 'Liok Hun Tin-nya.
Phuy Siang memburu lawannya.
Yao Pin menimpukkan pasir hitam ke diri Phuy Siang.
Phuy Siang tak sempat mengelak, dagingnya hancur oleh timpukan pasir hitam tersebut.
Arwahnya segera melayang ke Hong Sin Tay..
Melihat Phuy Siang tewas di tangan lawan, Jian Teng Tojin meminta Chi Ching Cu menggempur barisan gaib musuh.
Chi Ching Cu maju seraya menghunus pedang.
Yao Pin langsung menyerang Ching Cu dengan pedang pula.
Chi Ching Cu menangkisnya, kemudian balas menyerang.
Ilmu pedang Chi Ching Cu ternyata jauh lebih unggul dari ketangkasan Yao Pin, hingga tak sampai empat jurus, Yao Pin melarikan diri, masuk ke dalam barisan gaibnya.
Chi Ching Cu mengejar masuk, terlihat olehnya Yao Pin telah berdiri di atas panggung, menebarkan segantang pasir hitam.
Chi Ching Cu yang mengenakan jubah Pat-kwa, tak mempan ditembus pasir sakti lawan.Yao Pin penasaran, bermaksud melompat turun dari panggung, untuk melancarkan serangan berikutnya.
Tapi Chi Ching! Cu telah mengeluarkan 'Im Yang Ceng (Cermin Pusaka Negatif dan Positif), menyorot diri Yao Pin.
Yao Pin jatuh dari atas panggung, hingga dengan mudahnya kepalanya ditabas putus oleh Ching Cu.
Chi Ching Cu meninggalkan barisan gaib itu setelah berhasil mengambil kembali gambar Thay Khek yang tempo hari jatuh di barisan gaib musuhnya, membawanya ke goa Hian-tu dan mengembalikannya pada pemiliknya.
Menyaksikan kekalahan yang diderita oleh kedua temannya, sisa pemimpin barisan gaib, Ong Ek dan Thio Sao tak berani gegabah menantang lawan bertempur, segera menemui Tio Kong Beng, mengharapkan bantuannya.
Tapi yang mereka dapati, justru sikap Tio Kong Beng yang amat lesu, maunya tidur melulu.
Kong Beng sendiri heran kenapa dirinya jadi begitu!? Ong Ek dan Thio Sao mengajak Kong Beng melaporkan keadaan aneh tersebut pada Bun Taysu.
Bun Taysu segera menujum, selang sesaat dia berseru kaget.
"Celaka! Liok Ya di gunung Kie-san bermaksud membinasakan Tio Toheng dengan kesaktian buku wasiatnya!".
Tio Kong Beng amat terperanjat mendengar ramalan Bun Taysu, memohon sang Taysu membantu menyelamatkan dirinya.
"Jangan khawatir Tio Toheng", kata Bun Taysu.
"Malam nanti kita suruh Tan Kauw Kong dan Yao Siao Sie ke Kie-san untuk mencuri buku wasiat itu".
Liok Ya yang sedang bersamadhi, tiba-tiba perasaannya tak keruan.
Melalui kesaktiannya, terungkaplah sebab-musababnya.
Dia langsung menyuruh Na Cha dan Yo Chian berangkat ke gunung Kie-san, untuk memberitahukan Kiang Chu Gie agar berhati-hati, karena akan munculmusuh yang hendak mencuri *Thian Su' (Buku Wasiat)-nya.
Na Cha mendahului berangkat dengan naik 'Hong Hwe Lun' nya.
Yo Chian menyusul kemudian.
Sementara itu Bun Tay su telah memerintahkan Tan Kauw Kong dan Yao Siao Sie berangkat ke Kie-san untuk mencuri buku pusaka milik Liok Ya.
Tan Kauw Kong berdua segera berangkat ke gunung itu dengan naik awan.
Tak lama tibalah mereka di tempat tujuan.
Dari angkasa mereka melihat Kiang Chu Gie sedang membaca mantera yang terdapat di buku wasiat milik Liok Ya.
Kemudian dia berlutut di depan meja sembahyang.
Tan Kauw Kong dan Yao Siao Sie menggunakan kesempatan itu, segera meluncur turun dari angkasa, merampas buku pusaka yang diletakkan di atas meja, lalu cepat-cepat melarikan diri.
Chu Ge (Chu Gie) yang sedang sembahyang dengan khusuknya, tak tahu kalau buku tersebut telah dicuri orang.
Baru setelah Na Cha datang dan memberitahukannya akan muncul orang yang bermaksud mencuri buku, Kiang Chu Gie amat terperanjat ketika tak melihat lagi buku wasiat tersebut di atas meja.
"Celaka! Buku pusaka itu telah dicuri orang", serunya.
Na Cha segera naik 'Hong Hwe Lun'-nya, mengejar musuh.
Belum jauh dia berlalu, dilihatnya Yo Chian tengah bertempur dengan Tan Kauw Kong dan Yao Siao Sie.
Na Cha langsung terjun ke medan laga, pada suatu kesempatan dia berhasil menghunjamkan tombaknya ke tenggorokan Yao Siao Sie dan tewas seketika.
Sementara itu Yo Chian telah pula berhasil menusuk iga Tan Kauw Kong, menjadikannya menyusul arwah Siao Sie ke 'Hong Sin Tay'.
Yo Chian dan Na Cha kembali ke gunung Kie-san, mengembalikan buku wasiat kepada Chu Gie.
Mulai saat itu Kiang Chu Gie lebih hati-hati menjaga buku pusakatersebut.
Bun Taysu dan lain-lainnya menanti kembalinya Tan Kauw Kong dan Yao Siao Sie.
Namun sampai dua hari, orang yang ditunggu belum juga kembali.
Bun Taysu menyuruh beberapa orang pembantunya menyusul mereka.
Kemudian diperoleh kabar, bahwa Kauw Kong dan Siao Sie telah tewas.
Bun Taysu sangat prihatin mendengar kabar itu, langsung menyampaikannya pada Tio Kong Beng.
Tio Kong Beng amat murung, sadar kalau tak lama lagi akan tiba ajalnya.
Dia lalu meminta Bun Taysu untuk membungkus "Gunting Naga Emas' dengan jubahnya.
Ong Ek ikut terharu menyaksikan keadaan itu, dia langsung menantang lawan untuk menghadapi 'Ang Sui Tin' (Barisan Air Merah)-nya.
Jian Teng Tojin menitah Cho Po untuk menandingi Ong Ek.
Cho Po segera maju, namun dia kalah sakti, hingga tewas tenggelam di Air Merah.
Melihat kegagalan usahanya, Jian Teng meminta To Tek Chin Kun yang menghadapi lawan.
Setelah bertanding sejenak, Ong Ek lari masuk ke dalam barisan gaibnya.
Chin Kun mengejarnya.
Ong Ek yang telah berada di atas panggung, segera menuang Air Merah dari dalam Buli-bulinya.
Setetes saja Air Merah itu mengenai tubuh lawan, pasti akan mencair menjadi darah.
To Tek Chin Kun yang berdiri di atas teratai dan di atas kepalanya keluar Mega-mega berwarna yang melindungi dirinya, membuatnya terhindar dari percikan maupun genangan Air Merah tersebut.
Kemudian dia mengeluarkan 'Ngo Hwe Cit Chin Shan' (Kipas Lima Api dan Tujuh Burung), mengebutkannya ke diri Ong Ek.Seketika tubuh Ong Ek lebur menjadi debu.
*** Telah 21 hari Kiang Chu Gie bersembahyang di gunung Seekie.
Pagi itu Liok Ya datang menemui Chu Gie, menyerahkan busur beserta tiga batang anak panah pada Perdana Menteri Seekie itu dengan pesan, agar Chu Gie membidikkan ketiga panah itu pada boneka rumput pada jam Ngo-sie (selewat jam 11.00 sampai jam 13.00).
Chu Gie menuruti petunjuk itu, begitu tiba jam Ngo-sie, dia segera membidikkan panah pertama ke mata kiri boneka rumput.
Bersamaan, mata kiri Tio Kong Beng menjadi buta.
Panah ke dua diarahkan ke mata kanan boneka rumput, maka mata kanan Kong Beng langsung buta.
Ketika Chu Gie membidikkan panah ke tiga ke jantung boneka rumput, Tio Kong Beng langsung tewas.
Arwahnya segera melayang ke 'Hong Sin Tay'.
Bun Taysu sangat berduka atas kematian Tio Kong Beng.Goan Tu Toa Hoatsu Thay Siang Loo-kunENAM Thio Sao yang menciptakan barisan gaib 'Ang Sha Tin' (Barisan Pasir Merah), tampil di medan tempur menantang Jian Teng Tojin.
Mendapat tantangan itu, Jian Teng berkata pada Chu Gie .
"Untuk dapat menghancurkan barisan gaib lawan, kita harus meminta bantuan orang yang memperoleh banyak karunia dari Thian".
"Siapa dia, Toyu?", tanya Chu Gie.
"Bu Ong, junjungan kita", Jian Teng Tojin menerangkan.
"Tapi Raja kita tak pandai silat", Chu Gie agak cemas.
"Kita tak boleh membuang-buang waktu", ujar Jian Teng.
"Lekaslah menghadap beliau dan mempersilakan datang ke mari".
Walau agak ragu, Chu Gie terpaksa mengundang Bu Ong.
Setibanya Bu Ong, Jian Teng Tojin meminta sang Raja membuka 'jubah kebesaran', menulis 'Hu' di dada dan punggung sang Raja dengan jari tangannya.
Setelah itu, Bu Ong disilakan mengenakan jubahnya kembali, menempelkan selembar 'Hu' (Surat jimat) di baju kerajaannya.
Na Cha dan Lui Chin Cu diminta untuk melindungi Bu Ong menggempur barisan lawan.
Na Cha yang mengendarai Roda Api dan Angin, di tangannya memegang tombak 'Sinar Api', bersama Lui Chin Cu menyerang Thio Sao.
Thio Sao yang menunggang Menjangan Bunga Bwe', menangkis serangan kedua lawannya dengan pedangnya.
Setelah bertanding beberapa jurus, Thio Sao lari masuk ke dalam barisan gaibnya.
Na Cha dan Lui Chin Cu melindungi Bu Ong memasuki 'Ang Sha Tin'.
Melihat ketiga lawan mengejarnya, Thio Sao segera meraup Pasir Merah dari atas meja, menimpuk lawannya.Bu Ong bersama kudanya terperosok ke dalam lobang.
Na Cha berusaha melarikan diri ke angkasa, tapi tak berhasil, karena timpukan Pasir Merah Thio Sao telah membuatnya jatuh terpelanting dari Roda Angin dan Apinya, masuk ke dalam liang.
Lui Chin Cu mengalami nasib yang sama.
Kiang Chu Gie jadi gugup dan prihatin atas kejadian tersebut, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Bu Ong memang telah ditakdirkan harus menderita beberapa waktu dalam barisan gaib lawan, tapi janganlah kuatir", hibur Jian Teng.
Sin Kong Pa datang ke Sam Sian To (Pulau Tiga Dewi), memberitahukan prihal kematian Tio Kong Beng pada ketiga adik perempuannya.
Dewi Kiong Siao, Dewi Pek Siao segera berangkat ke Seekie dengan naik bangau, untuk melakukan pembalasan.
Dewi In Siao mendampingi kedua saudaranya dengan naik burung Ceng-loan.
Di tengah jalan mereka bertemu dua wanita pertapa, Han Cit Sian dan Chai In Siancu, yang memang diminta oleh Sin Kong Pa untuk membantu ketiga adik perempuan Tio Kong Beng menggempur pihak See-kie.
Bun Taysu menyambut kedatangan mereka dengan sikap sedih, menceritakan prihal kematian Kong Beng, kemudian meletakkan bungkusan gunting pusaka di atas meja.
Ketiga adik Kong Beng membuka bungkusan tersebut dan mereka tak kuasa menahan tangisnya.
"Di mana peti mati kakak kami, Taysu?", tanya Pek Siao.
Bun Taysu mengajak mereka ke tempat disemayamkannya jenazah Tio Kong Beng.
Ketika tutup peti mati dibuka, ketiga Dewi itu melihat kedua mata dan jantung kakaknya masih mengalirkan darah.
Pek Siao menjerit, hampir pingsan dia.
"Akan kami balas perbuatan Liok Ya!", ujar In Siao penuh dendam."Tapi yang melakukannya Kiang Chu Gie", Bun Taysu menerangkan "Kiang Chu Gie hanya sekedar melaksanakan perintah Liok Ya", kata In Siao.
"Biar bagaimana kami harus membalas sakit hati ini!".
Keesokan harinya, ketiga adik perempuan Tio Kong Beng menantang Liok Ya berperang tanding.
Liok Ya menyambut tantangan mereka dengan bersenjatakan pedang.
Begitu saling berhadapan, Dewi In Siao tak dapat lagi menahan emosi, langsung menusukkan pedang pada lawannya.
Liok Ya cepat menangkis, kemudian balas menyerang.
Pertempuran berlangsung seru.
Biarpun telah berlangsung hampir tigapuluh jurus, In Siao Nio Nio belum juga berhasil menjatuhkan lawan.
Melihat saudaranya tak dapat mengungguli lawan, Pek Siao Nio Nio ikut menyerang Liok Ya.
Namun ilmu pedang Liok Ya ternyata cukup tinggi, sekalipun dikerubuti berdua, tapi dia mampu bertahan, bahkan sering melancarkan serangan balasan.
Melihat keadaan yang demikian, maka Dewi Kiong Siao turut turun tangan, membantu kedua saudaranya mengeroyok Liok Ya.
Sekalipun telah berlangsung beberapa puluh jurus lagi, ketiga Dewi itu tetap belum mampu mengalahkan Liok Ya.
Kiong Siao Nio Nio tak sabar lagi bertanding dengan ilmu pedang, diam-diam mengeluarkan 'Kun Goan Kim Tauw' (Gantang Emas Pembuta Asal), menimpuk Liok Ya dengan senjata wasiatnya itu.
Liok Ya Tojin tak sempat mengelak, jatuh terguling.
Pek Siao menggunakan kesempatan itu untuk mengikat diri sang Tojin, menempelkan 'Hu' di kepalanya, agar tak dapat meloloskan diri.
Kemudian tubuh Liok Ya diikat pada tiang bendera, memerintahkan 500 prajurit membidikkan panah ke diri si pendeta sakti.
Biar dihujani panah, tapi tak sebatang pun anak panah yang berhasil melukai tubuh Liok Ya, karena sebelum anak panah itu mengenaisasaran, telah lebur menjadi abu! Para prajurit amat terperanjat menyaksikan keadaan luar biasa itu, melaporkannya pada ketiga Dewi.
Bun Taysu terkejut pula ketika mendengar kabar itu, taktahu apa yang harus dilakukannya!? "Jangan khawatir Taysu, kami pasti dapat membereskannya", In Siao mewakili kedua saudaranya membesarkan hati Bun Taysu.
Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian dia mengeluarkan gunting wasiatnya untuk membinasakan Liok Ya.
Liok Ya Tojin terkejut melihat gunting wasiat itu, berseru.
"Lebih baik aku pergi saja!".
Lalu dirinya berobah menjadi sinar, lenyap dari hadapan lawan- lawannya.
Liok Ya kembali ke panggung peristirahatan para Dewa dan orang suci, menceritakan apa yang baru dialaminya.
Kemudian berpamitan dan berjanji pada suatu ketika kelak akan datang membantu lagi.
Pada esok harinya ketiga Dewi itu menantang pihak See-kie lagi.
Tantangan mereka sekali ini disambut oleh Kiang Chu Gie dengan menunggang 'See Put Siang', didampingi oleh Oey Thian Hoa dan Yo Chian.
Kiong Siao langsung melancarkan serangan begitu berhadapan dengan lawan.
Kiang Chu Gie menangkisnya, Yo Chian segera membantunya menghadapi musuh.
Melihat saudaranya dikeroyok dua lawan, In Siao lalu menyerang dengan menunggang burung saktinya.
Namun kehadirannya langsung disambut oleh sabetan ruyung Chu Gie.
In Siao tak keburu mengelak, terhajar jatuh dari burungtunggangannya.
Pek Siao bergegas menolong saudaranya.
Kala itu Yo Chian telah melepaskan 'Anjing Langit', yang langsungmenggigit bahu Pek Siao, sebagian dari pakaiannya koyak, namun dia tidak mengalami cidera.
Chai In Siancu yang sejak semula menyaksikan pertarungan di sisi, segera melepaskan 'Lu Bhok Chu' (Mutiara Perusak Mata), berhasil melukai kedua mata Chu Gie.
Kiang Chu Gie cepat melarikan diri ke panggung peristirahatan para Dewa.
Jian Teng mengambil obat mujizatnya dan berhasil menyembuhkan mata Chu Gie.
Di lain pihak In Siao yang terluka akibat hajaran ruyung Chu Gie dan Pek Siao yang koyak pakaiannya terkena gigitan 'Anjing Langit', sangat panas hatinya, bertekad ingin membalas dendam.
Demi tercapainya maksud itu, mereka menciptakan sebuah barisan gaib, yang berhasil dirampungkan dalam tempo sehari.
Barisan gaib itu mereka namakan 'Kauw Khek Huang Ho Tin' (Barisan Sungai Kuning).
Hari berikutnya mereka menantang Kiang Chu Gie untuk menandingi barisan gaib tersebut.
Chu Gie mengajak Kim Cha, Bhok Cha, Oey Thian Hoa, Yo Chian dan Lui Chin Cu, mendatangi barisan gaib lawan.
Ketika mereka tiba, Pek Siao Nio Nio langsung menantang Yo Chian .
"Yo Chian, sekarang coba keluarkan lagi 'Anjing Langit'-mu!".
Yo Chian tidak mengeluarkan 'Anjing Langit-nya, tapi menusukkan tombaknya.
Pek Siao menangkis dengan pedangnya, ingin rasanya dia mencincang tubuh Yo Chian untuk melampiaskan sakit hatinya.
Namun ilmu tombak Yo Chian begitu mahir, hingga sulit bagi Pek Siao untuk memenangkan pertandingan, In Siao yang sejak semula menyaksikan jalannya pertandingan, diam- diam mengeluarkan 'Kun Goan Kim Tauw', melontarkannya ke angkasa.'Gantang Emas Pembuta Asal itu memancarkan sinar keemasan, menghantam kepala Yo Chian hingga ia terguling dari kudanya, jatuh ke dalam barisan gaib 'Sungai Kuning'.
Kim Cha dan Bhok Cha datang membantu, tapi mereka dibuat tak berdaya oleh kesaktian In Siao, jatuh juga ke dalam barisan gaib.
Menyaksikan perkembangan itu, Chu Gie mengajak Thian Hoa cepat- cepat meninggalkan kubu lawan, melaporkannya pada Jian Teng Tojin.
Jian Teng Tojin kemudian berangkat ke Kun Lun-san untuk menemui Goan Sie Tian Chun.
Setiba di gunung yang dituju, Jian Teng Tojin bertemu dengan Pek Hok Tongcu yang sedang menjaga kursi pusaka Goan Sie Tian Chun, yang rupanya telah disiapkan untuk berangkat ke suatu tempat.
Pek Hong Tongcu meminta sang Tojin untuk kembali lagi ke See-kie, sebab gurunya akan berangkat ke sana.
Jian Teng bergegas meninggalkan Kun Lun-san....
*** Bersama dengan Kiang Chu Gie, Jian Teng memasang dupa wangi untuk menyambut Goan Sie Tian Chun, yang datang bersama Lam Khek Sian Ang dan Pek Hok Tongcu.
Malam harinya, dari kepala Goan Sie Tian Chun memancarkan sinar lima warna, amat agung keadaannya.
"Besok aku akan melihat-lihat barisan 'Sungai Kuning lawan", katanya.
Keesokan harinya Jian Teng Tojin berjalan di muka, mengajak Goan Sie Tian Chun masuk ke dalam barisan gaib lawan.
Kiang Chu Gie mengiringi di belakang.
Terlihat oleh mereka, bahwa di tengah-tengah barisan gaib tersebut terbaring Bhok Cha, Kim Cha dan Yo Chian, keadaan mereka mirip dengan orang yang tidur nyenyak.
Goan Sie Tian Chun memperhatikan sejenak, kemudian meninggalkanbarisan gaib lawan.
Chai In Siancu menimpuk Tian Chun dengan 'Lu Bhok Chu' nya, tapi sebelum mengenai sasaran, Mutiara Wasiat itu telah lebur menjadi debu! Goan Sie Tian Chun terus ke luar sambil duduk di kursi pusakanya.
"Kenapa setelah Suhu masuk ke dalam barisan musuh, tidak sekalian menghancurkannya?'', tanya Jian Teng Tojin sambil mengiringi Tian Chun.
"Aku masih menanti seseorang", sahut Goan Sie Tian Chun.
Jian Teng Tojin tak bertanya lebih jauh.
Belum lama mereka berada di panggung peristirahatan, datanglah laporan, bahwa Loo Cu dari istana Pat Cheng ingin bertemu Jian Teng dan lain-lainnya.
Jian Teng Tojin dan Kiang Chu Gie segera berlutut sambil memasang dupa wangi dalam menyambut kedatangan Loo Cu.
Sedang Goan Sie Tian Chun tetap duduk di kursi pusakanya.
Loo Cu muncul dengan menunggang Kerbau Hijau, diiringi oleh Hian Tu (Touw) Toa Hoatsu.
Jian Teng lalu mengajak Loo Cu dan Hian Tu Toa Hoatsu memasuki barisan gaib lawan.
Begitu melihat Loo Cu masuk, Kiong Siao segera menimpukkan 'Gunting Naga Emas'-nya.
Melihat dirinya diserang, Loo Cu mengangkat lengan bajunya.
"Gunting Naga Emas' tersebut meluncur masuk ke dalam lengan jubahnya, tak keluar lagi.
Ketika menyaksikan senjata wasiat saudaranya lenyap di dalam lengan jubah Loo Cu, Pek Siao segera melontarkan Gantang Emasnya.
Loo Cu balas menimpukkan 'Hong Hwe Po Toan' (Tikar Angin dan Api), menggulung benda wasiat lawan.
Kemudian meminta bantuan Malaikat Oey Cheng Lek Su untuk membawa 'Gantang Emas' tersebut ke istana Giok Sie.Ketiga adik perempuan Tio Kong Beng penasaran, serentak mereka menyerang Loo Cu dengan pedang.
Loo Cu menitah Malaikat Oey Cheng Lek Su menangkap In Siao dan menekannya hingga mati di lembah Kie Lin di gunung Kun Lun-san.
Pek Hok Tongcu menghancurkan kepala Kiong Siao dengan 'Sam Po Giok Ju Ie' (Tongkat Kumala Tiga Wasiat).
Pek Siao bersama burungnya tersedot masuk ke dalam kotak wasiat milik Goan Sie Tian Chun dan dalam sekejap telah berobah menjadi darah.
Sama halnya dengan Tio Kong Beng, arwah ketiga adik perempuannya juga masuk ke dalam pesanggrahan Penganugrahan Malaikat (Hong Sin Tay).
Dengan demikian leburlah barisan gaib Huang Ho.
Loo Cu menuding ke tanah, segera terdengar suara gemuruh.
Oey Thian Hoa dan lain-lainnya terbebas dari pengaruh sihir, sehat seperti sedia kala, segera berlutut di hadapan Loo Cu.
Loo Cu mengajak Goan Sie Tian Chun meninggalkan tempat itu, kembali ke tempat kediaman masing-masing.
Sedangkan Lam Khek Sian Ang dan Pek Hok Tongcu tetap berdiam di kubu See-kie, untuk membantu Jian Teng Tojin dan Kiang Chu Gie menggempur lawan.
Jian Teng Tojin berpendapat, telah tiba waktunya untuk menghancurkan 'Ang Sha Tin' (Barisan Pasir Merah).
Keesokan harinya, Lam Khek Sian Ang dan Pek Hok Tongcu mendatangi barisan gaib, menantang lawan.
Thio Sao keluar dari dalam barisan gaibnya dengan naik Menjangan.
Begitu melihat Lam Khek Sian Ang dan Pek Hok Tongcu, dia langsung melancarkan serangan dengan pedangnya.
Lam Khek Sian Ang menangkis, kemudian balas melancarkan serangan.
Selang beberapa jurus, Thio Sao melompat masuk ke dalam barisangaibnya.
Lam Khek Sian Ang dan Pek, Hok Tongcu mengejarnya.
Thio Sao turun dari Menjangan, naik ke atas panggung, mengangkat gantang yang berisi Pasir Merah, menaburkan pasir itu ke arah kedua musuhnya.
Lam Khek Sian Ang mengeluarkan 'Ngo Hwe Cit Yu San'! (Kipas Lima Api dan Tujuh Helai Bulu), mengipas ke arah pasir merah.
Sungguh ajaib, pasir itu tersapu bersih.
Kala itu Pek Hok Tongcu telah melontarkan senjata wasiat 'Sam Po Giok Ju Ie', yang tepat menghantam Thio Sao hingga jatuh terguling ke bawah panggung, pecah kepalanya, darah segar berbaur dengan otaknya! Lam Khek Sian Ang melepaskan gledek dari telapak tangannya.
Suara gledek itu membuat Lui Chin Cu dan Lo Chia (Na Cha) sadar dari pingsangnya.
Begitu sadar, Na Cha berusaha membangunkan Bu Ong, tapi ternyata Bu Ong telah meninggal.
Jian Teng Tojin yang sejak tadi berdiri di luar barisan gaib, ketika melihat 'Ang Sha Tin telah berhasil dihancurkan oleh Lam Khek Sian Ang dan Pek Hok Tongcu, segera mengajak Kiang Chu Gie masuk ke dalam barisan tersebut.
Kemudian ditemukannya junjungan mereka yang sudah tak bernyawa itu dan segera diangkut ke luar Tin.
Setelah diberinya pil mujizat, tak lama berselang Bu Ong hidup kembali.
Chu Gie menitah beberapa orang pembantunya untuk mengawal Bu Ong kembali ke istananya.
Seusai menghancurkan semua barisan gaib lawan, para Dewa dan orang sakti berpamitan.
Tapi Jian Teng Tojin memohon kesediaan Kong Seng Cu, Kwan Im Taysu dan Chi Ching Cu untuk sementara menunda keberangkatan mereka, sebab dalam beberapa hal, Jian Teng Tojin masih mengharapkan bantuan mereka.Jian Teng mengembalikan pedang dan cap kebesaran pada Kiang Chu Gie.
Kini komando berada di tangan Chu Gie lagi.
Kiang Chu Gie mulai mengatur siasat untuk menggempur kubu pertahanan kerajaan Touw.
Oey Hui Houw diperintahkan membawa 5000 prajurit, menggempur sektor kiri kubu pertahanan lawan.
Lam Kong Koa memimpin pasukan dalam jumlah yang sama, menggempur sektor kanan.
Kim Cha, Bhok Cha, Liong Sie Houw dan lain-lainnya mendapat tugas lainnya.
Serangan mendadak itu telah membuat pasukan Bun Taysu, yang memang sedang jatuh mentalnya, jadi kalang kabut.
Maka tidaklah mengherankan, kalau dalam waktu singkat bobollah pertahanan pasukan kerajaan Touw.
Han Cit Sian bermaksud menimbulkan angin ribut dengan menggunakan kantong anginnya, tapi dapat dimusnakan oleh 'Mutiara Penentram Angin'-nya Dewi Kwan Im.
Cit Sian hendak melarikan diri setelah usahanya gagal, tapi tiba-tiba kepalanya terkena pukulan ruyung wasiat Kiang Chu Gie, tewas seketika.
Di lain pihak, Chai In Siancu menemui ajalnya di tangan Na Cha.
Bun Taysu terpaksa melarikan diri dengan dilindungi oleh Shin Hoan dari angkasa dan Teng Tiong di belakangnya.
Mereka buron ke arah Chia Beng-koan.
Tapi setiba di bukit To Hoa-leng, mereka telah dihadang oleh Kong Seng Cu.
"Kenapa kau menghadangku?", hardik Bun Taysu.
"Gara-gara ulahmu yang menentang kehendak Thian, telah mengakibatkan jatuh banyak korban".
Tenang sekali sikap Kong Seng Cu.
"Itu sama sekali tak ada hubungannya denganmu!", Bun Taysu semakin marah."Pinto memang tak ingin bertikai denganmu, tapi takkan mengizinkan kalian melewati jalan ini", ujar Kong Seng Cu.
Dalam keadaan seperti itu, Bun Taysu enggan untuk bertengkar, apa lagi berkelahi.
Dia ingin cepat-cepat kembali ke kota-raja, untuk dapat menghimpun kembali kekuatan.
Maka dia segera memutar kuda, bermaksud menempuh jalan raya lainnya yang menuju ke gunung Yan-san.
Namun belum sampai dia di tempat yang dituju, di tengah jalan telah berdiri Chi Ching Cu, yang menghalangi jalan majunya.
"Ini bukan jalan yang harus kau lewati", kata Chi Ching Cu.
"Sebaiknya kau tempuh jalan semula".
Bun Taysu naik pitam, segera menyerang Chi Ching Cu dengan ruyungnya.
Chi Ching Cu mundur selangkah sambil menangkis dengan pedangnya.
Bun Taysu tak ingin bertanding terlalu lama, maka setelah beberapa jurus, dia memutar binatang tunggangannya, melarikan diri ke lain arah.
Belum jauh dia kabur, tiba-tiba di hadapannya tertancap dua panji merah.
Menyusul Na Cha meluncur turun dari angkasa dengan mengendarai Roda Angin dan Apinya seraya membentak .
"Jangan harap kau bisa kabur, Bun Tiong!"
Memuncak kemarahan Bun Taysu, langsung menghantam Na Cha dengan ruyungnya.
Teng Tiong, Shin Hoan, Kie Lek dan Yu Cheng datang membantu mengeroyok Lo Chia (Na Cha).
Na Cha sama sekali tak gentar menghadapi mereka, menggerakkan 'Hwe Kong Tiang' (Tombak Sinar Api)-nya cepat sekali, dirinya seakan dikelilingi ratusan tombak, yang melindunginya dari setiap serangan lawan.
Bahkan setiap ada kesempatan, dia balas melancarkan serangan.
Akibatnya Kie Lek jatuh terjungkal dari kudanya tertusuk tombak.
Selang sesaat Na Cha telah pula menewaskan Teng Tiongdengan timpukan 'Kan Kun Choan'-nya.
Bun Tay su tak ingin melanjutkan pertarungan lebih lama lagi, dia kabur ke arah lain.
Sekali ini ingin menuju ke Huang Hoa-san.
Namun belum beberapa jauh, kembali telah dihadang oleh Thian Hoa yang duduk di atas Kie Lin kumalanya.
"Mau kabur ke mana Bun Tiong!?", ujarnya sambil menyerang Bun Taysu dengan sepasang gadanya.
Bun Taysu menangkis dengan ruyungnya.
Setelah pertarungan berjalan lebih dari 20 jurus, Yu Cheng dan Shin Hoan datang membantu pimpinan pasukan kerajaan Touw.
Oey Thian Hoa kewalahan dikerubuti bertiga, terpaksa melarikan diri.
Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yu Cheng terus mengejarnya.
Oey Thian Hoa memegang sepasang gadanya dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya melontarkan 'Choan Sim Teng' (Paku Penembus Jantung), tepat menancap di dada Yu Cheng.
Yu Cheng roboh dari kuda tunggangannya dan tewas.
Shin Hoan mengejar Thian Hoa dari angkasa.
Thian Hoa kembali melontarkan 'Choan Sim Teng ke lawannya, tepat menancap disay ap Shin Hoan, yang mengakibatkannya tak lagi dapat terbang, jatuh terbanting ke bumi menemui ajalnya.
Melihat kedua pembantunya tewas, Bun Taysu cepat-cepat kabur meninggalkan pertempuran.
Oey Thian Hoa tidak mengejarnya.
Bun Taysu terus melarikan binatang tunggangannya sampai di kaki sebuah pegunungan.
Tiba-tiba terdengar dentuman meriam.
Ia mendongak, terlihat olehnya Bu Ong dan Kiang Chu Gie sedang makan-minum di atas gunung tersebut.
Bun Taysu menyerbu ke atas gunung, tetap duduk di atas Kie Lin hitamnya.
Mendadak terdengar suara gledek, disusul dengan lenyapnya Kiang Chu Gie dan Bu Ong.Bun Taysu mengerotkan gigi, dongkol campur penasaran dan untuk beberapa saat lamanya dia duduk bengong di atas binatang tunggangannya.
Tak lama kembali terdengar dentuman meriam, sang Taysu mengarahkan pandang ke bawah, terlihat olehnya banyak sekali tentara See-kie yang mengurung gunung itu.
Pikirnya, pihak lawan terlalu mendesaknya.
Bun Taysu amat gusar, memacu Kie Lin hitamnya menuruni gunung, hendak menggempur lawan.
Baru saja dia tiba di kaki gunung, pasukan yang mengurung, gunung mendadak lenyap dan seketika itu muncul Lui Chin Cu yang langsung menghantam Kie Lin hitam sang Taysu dengan tongkatnya.
Karena begitu kerasnya pukulan itu, akibatnya binatang tunggangan tersebut terbelah dua.
Bun Taysu sempat melompat menyingkir, bila tidak, pasti dirinya akan binasa oleh hajaran tongkat Lui Chin Cu.
Bun Taysu terpaksa melanjutkan buronnya dengan berjalan kaki, diiringi oleh beberapa puluh prajurit yang berhasil meloloskan diri dari serangan pihak See-kie.
Maksudnya ingin menuju ke Cheng Liong- koan, tapi tanpa disadari, telah sesat jalan.
Bun Taysu lantas menitah para prajurit pengiringnya berhenti, sementara dia mengingat-ingat arah mana yang harus ditempuhnya!? Tiba-tiba terdengar suara orang menebang pohon.
Bun Taysu menghampiri asal suara itu, terlihat seorang Kiauw-hu (pencari kayu) yang sedang menebang pohon.
Bun Taysu menanyakan jalan yang menuju ke Cheng Liongkoan pada si penebang kayu.
"Kira-kira 15 li dari sini", sahut Kiauw-hu sambil menuding ke Barat Daya.
Sang Taysu tak mengira kalau pencari kayu itu adalah penyamaran Yo Chian, yang sengaja menyesatkan jalan Bun Taysu.
Arah yang ditunjuknya bukanlah menuju ke Cheng Liongkoan, tapi ke bukit KutLiong-leng (Bukit Membunuh Naga)! Bun Tiong mengucapkan terima kasih, berjalan ke arah yang ditunjukkannya.
Setelah berjalan beberapa waktu, tibalah dia di Kut Liongleng.
Saat itu, tak jauh di depannya terlihat seorang Tojin berdiri di tengah jalan dan ketika ditegaskan, ternyata In Tiong Cu.
"Telah cukup lama aku menantimu di sini", kata In Tiong Cu.
"Apa maksudmu?", tanya Bun Taysu.
"Jian Teng yang memintaku berada di sini", In Tiong Cu menerangkan.
"Tempat ini bernama Kut Liong-leng dan kau tentu takkan pernah lupa akan pesan gurumu bukan? Begitu kau melihat huruf 'Kut', maka tibalah apesmu, kau akan mengalami mala-petaka.
Sebaiknya kau menyerah saja!".
"Tidak!", cukup keras suara Bun Taysu, walau sesungguhnya agak gentar juga hatinya.
"Ingin kulihat, apa yang dapat kau lakukan terhadapku!?".
"Janganlah kau berkeras kepala, akan menyesal kau nanti!", In Tiong Cu memperingatkannya.
"Apapun yang terjadi, aku takkan menyesal", ujar Bun Taysu.
"Bila kau benar-benar jantan, majulah!".
Tantang In Tiong Cu.
Bun Taysu melangkah maju.
In Tiong Cu melepaskan gledek dari telapak tangannya.
Dari dalam tanah segera muncul 'Pat Ken Tong Thian Sin Hwe Chu' (Delapan Tiang Api Penembus Langit).
Posisi tiang itu membentuk Pat-kawa (Delapan Trigram), yang mengurung diri Bun Taysu.
Namun Bun Taysu tak gentar sedikitpun.
In Tiong Cu kembali melepaskan gledek dari telapak tangannya, mendadak tiang itu terbuka, dari dalam setiap tiang mun cul 49 Naga Api, yang menyembur-nyemburkan api ke setiap penjuru.
Bun Taysu membaca mantera, agar dirinya kebal terhadap api.
Dia berjalan di atas api seraya berkata.
"Kau takkan dapat mencegahku berlalu dari sini".
Tapi nyatanya dia tak bisa ke luar dari kurungan tiang api tersebut, sebab sebelumnya In Tiong Cu telah menyiapkan 'Kim Po' (Mangkuk Emas Wasiat) yang melayang-layang di atas 'Delapan Tiang Api Penembus Langit', setiap kali sang Taysu hendak keluar, kepalanya disambar oleh 'Kim Po', membuatnya terpaksa harus turun kembali ke dalam kurungan tiang api.
Lama-kelamaan Bun Taysu merasa kepanasan, juga gelisah, akhirnya dia memaksakan diri untuk menerobos keluar.
Tapi Kim Po' lantas menyambar kepalanya, yang mengakibatkan topinya jatuh dan tubuhnya terpelanting ke bawah seraya menjerit memilukan, dirinya hangus terbakar! Kesetiaan yang sangat besar terhadap Kaisar, membuat arwah Bun Taysu tidak segera melayang ke 'Hong Sin Tay', tapi lebih dulu melayang ke kota-raja.
Pada saat itu Kaisar Tiu Ong (Touw Ong) terlena akibat kebanyakan minum arak.
Tiba-tiba dia bermimpi bertemu Bun Taysu.
"Maaf Baginda, hamba tak sanggup menghancurkan See-kie, malah kini diri hamba telah tewas di tangan musuh.
Kedatangan hamba ke mari ingin menyampaikan harapan terakhir, sudilah Baginda merobah prilaku yang sekarang.
Jalankanlah roda pemerintahan sebaik-baiknya demi kemakmuran negeri dan keadilan.
Carilah orang-orang yang pandai lagi bijaksana dalam membantu melaksanakan tugas pemerintahan, agar rakyat tidak merasa tertekan seperti sekarang, tapi sebaliknya merasa aman dan tenteram.
Hamba tak dapat lama- lama berdiam di sini, agar tidak terlambat masuk ke dalam 'Hong Sin Tay'.
Selesai meninggalkan pesan, arwah Bun Taysu yang setia itupun melayang pergi.
Touw Ong segera terjaga dari tidurnya, sekujur tubuhnya basah oleh peluh.
Dia khawatir mimpinya itu menjadi kenyataan.
Lalumenceritakannya pada Souw Tat Kie.
Tat Kie berusaha menghibur Kaisar dengan menyatakan, bahwa mimpi hanyalah sekedar 'bunganya tidur', tak perlu dicemaskan benar.
Mungkin dikarenakan Touw Ong selalu memikirkan Bun Taysu, jadi bermimpi seperti itu.
Agak tenang perasaan Kaisar setelah mendengar penuturan Permaisurinya.
Di lain pihak, In Tiong Cu yang telah melaksanakan tugasnya, segera kembali ke tempat persemayamannya di Chong Lam-san.ie Liu SunYo ChianoTouw Heng SunTUJUH Para prajurit kerajaan Touw yang sempat meloloskan diri dari Kut Liong-leng, segera pergi ke kota Sie Sui-koan, menceritakan prihal kematian Bun Taysu pada Kolonel Han Yong, penguasa kota tersebut.
Han Yong langsung berangkat ke kota-raja, untuk melaporkan pada Kaisar peristiwa tragis yang menimpa Bun Taysu.
Touw Ong amat terperanjat campur sedih ketika menerima kabar buruk tersebut, kembali teringat akan mimpinya.
Untuk beberapa saat Kaisar berdiam diri, tak dapat memutuskan siapa yang dianggap paling tepat menggantikan posisi Bun Taysu.
Semalam suntuk sang Kaisar tak dapat tidur, menjelang pagi baru dia ingat Teng Kiu Kong, seorang perwira-tinggi yang perkasa lagi setia padanya, yang dipercayakan menjaga kota Sam San-koan.
Keesokan harinya dia mengutus seorang pejabat ke Sam San-koan dengan membawa surat perintahnya.
Teng Kiu Kong menyambut hormat utusan Kaisar, berlutut ketika sang utusan membacakan surat perintah Kaisar.
Setelah dijamu, utusan Kaisar kembali ke kota-raja.
Selagi Teng Kiu Kong bersiap-siap untuk berangkat ke Seekie, seorang pembantu memberitahukannya, bahwa ada pemuda cebol yang ingin bertemu dengannya.
Teng Kiu Kong menyuruh si cebol masuk.
Pemuda cebol itu, yang tingginya hanya 4,5 elo, mengaku bernama Touw Heng Sun.
"Dari mana asalmu?", tanya Teng Kiu Kong.
Touw Heng Sun memberitahukannya, bahwa dia adalah murid Kie Liu Sun, lalu menceritakan juga sebabnya sampai dia menghadap Teng Kiu Kong.
------ Sesungguhnya Kie Liu Sun mempunyai tiga orang murid, yaitu HweTong, Touw Heng Sun dan Sui Tong.
Pada suatu hari Kie Liu Sun turun gunung untuk suatu keperluan.
Ketiga muridnya menggunakan kesempatan itu untuk keluar dari goa, sekedar menikmati keindahan panorama di seputarnya.
Setelah berjalan beberapa waktu, mereka menempuh arah masing- masing.
Hwe Tong (Bocah Api) berjalan ke arah Timur; Sui Tong (Bocah Air) mengambil arah Barat; sedang Touw Heng Sun tetap menempuh jalan lurus ke muka.
Selagi Touw Heng Sun asyik menikmati panorama di seputarnya, telah bertemu seorang Tojin yang menunggang Macan.
Tojin itu tak lain adalah Sin Kong Pa.
Siapa kau, Siao To-heng?", sapa Sin Kong Pa sambil me natap tajam.
"Nama saya Touw Heng Sun".
"Siapa gurumu?"
"Kie Liu Sun".
Setelah mengetahui, bahwa Touw Heng Sun murid Kie Liu Sun, Sin Kong Pa dengan maksud tertentu, memberitahukan, bahwa Heng Sun tak memiliki 'Tulang Dewa', hingga percuma saja dia ikut Kie Liu Sun, sebab biar bagaimana tekunnya dia menuntut ilmu, tak mungkin jadi Dewa.
"Lalu apa yang sebaiknya saya lakukan?", tanya Touw Heng Sun.
"Sebaiknya kau turun gunung untuk mencari pangkat dan kekayaan, dengan demikian sepanjang hayatmu akan menikmati kesenangan", sahut Sin Kong Pa.
"Benarkah itu?", tanya Touw Heng Sun lagi, mulai tergerak hatinya.
"Aku tidak berdusta", ujar Sin Kong Pa.
"Asal kau bersedia menuruti kata-kataku, hidupmu selanjutnya pasti akan bergelimang kesenangan".
"Apa yang harus saya lakukan?", tanya Heng Sun pula.
"Bawalah suratku ini pada Jenderal Teng Kiu Kong, pengua sa kota Sam San-koan.
Kau akan diterimanya sebagai pembantu.
Mulai saat itu akan senang hidupmu".
Touw Heng Sun benar-benar terpengaruh oleh bujukan Sin Kong Pa,menerima suratnya seraya mengucapkan terima kasih.
Sin Kong Pa meninggalkan pemuda cebol yang masih polos jiwanya itu sambil tersenyum luar biasa.
Diam-diam Touw Heng Sun kembali ke dalam goa, terlihat Hwe Tong dan Sui Tong telah lebih dulu pulang.
Kala itu mereka sedang tidur nyenyak.
Girang hati Touw Heng Sun melihat keadaan itu, lalu mencuri beberapa utas 'Kun Sian So' (Tali Dewa) dan beberapa butir pil mujizat milik gurunya, diam-diam meninggalkan goa.
Dia menuju ke Sam San-koan dengan menggunakan kesaktiannya berjalan di bawah tanah.
Dengan mengikuti petunjuk Sin Kong Pa, tak lama tibalah dia di tempat yang dimaksud.
Begitu keluar dari permukaan tanah, terlihat olehnya Teng Kiu Kong sedang menyiapkan pasukan.
Touw Heng Sun tak berani langsung menemui Teng Kiu Kong pada saat seperti itu, masuk lagi ke dalam tanah, muncul di luar markas penguasa kota itu.
Sesuai dengan peraturan, dia meminta pada seorang penjaga untuk menyampaikan maksudnya hendak menghadap Teng Kiu Kong.
---- Teng Kiu Kong yang telah berkenan menerimanya dan membaca surat Sin Kong Pa, selanjutnya menanyakan ilmu yang dimiliki Touw Heng Sun.
Touw Heng Sun sengaja mengagulkan kepandaiannya.
Namun Teng Kiu Kong yang melihat bentuk tubuh Heng Sun, kurang yakin kalau si cebol memiliki kepandaian tinggi, menempatkannya di bagian ransum.
Esok paginya Teng Kiu Kong berangkat ke See-kie dengan membawa pasukan pilihan.
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di luar kota See-kie.
Teng Kiu Kong memerintahkan mendirikan kemah dan setelahberistirahat semalam, pagi harinya dia membawa pasukan ke muka pintu gerbang See-kie, menantang Kiang Chu Gie berperang tanding.
Kiang Chu Gie menyambut tantangan tersebut dengan menunggang 'See Put Siang', didampingi Oey Hui Houw, Na Cha dan lain-lainnya.
Begitu saling berhadapan, tanpa banyak bicara lagi Teng Kiu Kong membacok Kiang Chu Gie dengan goloknya.
Oey Hui Houw yang berada di sisi Chu Gie langsung menangkis serangan tersebut, hingga terjadi pertarungan sengit di antara mereka.
Serangan-serangan Teng Kiu Kong amat ganas, namun Oey Hui Houw pun sangat mahir memainkan senjata tombaknya.
Maka tidaklah mengherankan, biarpun telah berlangsung lebih dari 30 jurus, namun belum dapat diketahui siapa yang akan ke luar sebagai pemenang.
Menyaksikan keadaan itu, Na Cha melajukan 'Hong Hwe Lun' (Roda Angin dan Api)-nya, membantu Oey Hui Houw menempur Teng Kiu Kong.
Teng Sian Giok, anak gadis Teng Kiu Kong, amat gusar melihat ayahnya dikeroyok, mengeluarkan 'Ngo Kong Cio' (Batu Panca Cahaya), menimpuk Na Cha dan tepat mengenai sasaran.
Na Cha terpaksa kembali ke sisi Chu Gie, bengkak mukanya.
Oey Thian Hoa mengoloknya.
"Kau sih melongo saja bila menghadapi gadis cantik".
Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Na Cha hanya tersenyum kecut.
Kala itu telah gelap cuaca, kedua belah pihak menarik mundur pasukan masing-masing, menunda pertempuran.
Gelisah sikap Kiang Chu Gie sekembalinya ke markas, mengajak para pembantunya merundingkan siasat menghadapi lawan ....
Teng Kiu Kong kembali menantang perang pada keesokan harinya.
Kabar itu segera disampaikan pada Kiang Chu Gie.
"Siapa di antara kalian yang bersedia menghadapi lawan?".
tanya ChuGie kepada para pembantunya.
Na Cha yang penasaran atas kekalahannya kemarin, langsung memajukan diri untuk menghadapi lawan.
Chu Gie menyetujuinya.
19 Biarpun dalam perang tanding sekali ini Na Cha berhasil melukai Teng Kiu Kong dengan gelang wasiatnya, tapi dirinya kembali harus merasakan timpukan batu Teng Sian Giok, membuatnya terpaksa kembali ke induk pasukan dengan wajah matang biru.
Teng Sian Giok berusaha mengejarnya, tapi telah disambut oleh Lam Kong Koa, hingga terjadi pertempuran seru, yang ke mudian memaksa Sian Giok harus menarik mundur pasukannya.
Keesokan harinya Teng Sian Giok yang mewakili ayahnya, menantang pihak See-kie.
"Siapa yang bersedia menghadapinya?", tanya Kiang Chu Gie.
"Saya", sahut Oey Thian Hoa.
Kiang Chu Gie mengangguk.
Oey Thian Hoa memimpin pasukan ke luar pintu gerbang See-kie dengan menunggang Kie Lin kumalanya.
Begitu lawan muncul, Teng Sian Giok segera menyerang dengan goloknya.
Oey Thian Hoa menangkis dengan Gadanya.
Setelah bertempur lebih dari 20 jurus, Teng Sian Giok memutar kudanya, melarikan diri.
Oey Thian Hoa mengejarnya.
Teng Sian Giok memegang sepasang golok dengan tangan kiri dan menggunakan tangan kanannya menimpuk Thian Hoa dengan 'Ngo Kong Cio'-nya.
Oey Thian Hoa yang tak menyangka dirinya diserang de ngan batu Panca Cahaya, tak sempat mengelak atau menangkis, membuat wajahnya terhajar telak hingga matang biru, lebih parah lukanya dari yang diderita Na Cha, kabur meninggalkan medan tempur.
Kini giliran Na Cha balas mengoloknya.Teng Sian Giok tidak mengejar lawannya, kembali ke perke mahan dengan wajah berseri.
Teng Kiu Kong turut gembira ketika mendengar anak perempuannya berhasil mengalahkan Oey Thian Hoa.
Hari berikutnya kembali Teng Sian Giok menantang perang.
Berhubung Teng Sian Giok memiliki senjata wasiat berupa batu, maka pihak See-kie menjagoi Liong Sie Houw.
Liong Sie Houw membawa sejumlah pasukan menyambut tantangan Teng Sian Giok.
Segera terjadi pertarungan sengit dan setelah berlangsung lebih dari delapan jurus, Liong Sie Houw menimpukkan batu secara beruntun ke diri Sian Giok.
Teng Sian Giok yang menyadari kehebatan timpukan itu, cepat-cepat melarikan diri.
Liong Sie Houw mengejarnya.
Tiba-tiba Teng Sian Giok membalikkan diri, menimpuk Liong Sie Houw dengan 'Ngo Kong Cio', tepat mengenai bahu Sie Houw.
"Aduh!", Sie Houw menjerit kesaktian, jatuh terguling.
Teng Sian Giok memutar kuda tunggangannya, menghampiri Sie Houw, bermaksud menamatkan riwayat lawannya.
Untung Yo Chian cepat datang menolong, menangkis golok Sian Giok yang nyaris menabas batang leher Sie Houw.
Berlangsunglah pertarungan sengit antara Yo Chian dengan Teng Sian Giok.
Pertempuran telah berlangsung lebih dari 30 jurus, tapi belum dapat dipastikan siapa yang akan unggul.
Seperti juga sebelumnya, Teng Sian Giok memutar kuda, melarikan diri.
Yo Chian terus memburu lawannya yang seorang itu.
Tiba-tiba Sian Giok menimpukkan batu wasiatnya dan terdengar 'prang', kaca pelindung dada Yo Chian pecah, namun Yo Chianterhindar dari luka.
Yo Chian segera melepaskan 'Anjing Langit-nya, yang berhasil menggigit leher Teng Sian Giok.
Kalau saja leher Sian Giok tidak dilindungi selempang kulit, tentu akan terluka parah.
Sekalipun demikian, selain selempang kulitnya putus, leher puteri Teng Kiu Kong agak terluka juga, membuatnya menjerit kesakitan.
Cepat-cepat melarikan diri.
Sesampainya di perkemahan, meledaklah tangis Sian Giok.
Teng Kiu Kong gelisah, tak tahu apa yang sebaiknya dilakukan nya!? Selagi Kiu Kong tengah kebingungan, masuklah Touw Heng Sun.
Sebelumnya Touw Heng Sun telah mendengar keterangan dari salah seorang prajurit, bahwa pimpinan mereka dan anak gadisnya dilukai lawan.
Setelah memberi hormat, Touw Heng Sun berkata .
"Panglima tak usah khawatir, luka Panglima dan nona Sian Giok dapat saya sembuhkan".
Touw Heng Sun mengeluarkan sebutir Kim Tan (Pil Emas) dari dalam Buli-buli, menghancurkannya dengan sedikit air, lalu memborehkannya ke luka Teng Kiu Kong dan anak gadisnya.
Dalam waktu singkat hilanglah rasa nyeri yang mereka derita.
Teng Kiu Kong amat senang, segera menyuruh pembantunya menyiapkan hidangan untuk menjamu Touw Heng Sun.
Teng Kiu Kong mempercayakan Touw Heng Sun pada hari berikutnya, untuk memimpin pasukan menempur pihak Seekie.
Kiang Chu Gie memerintahkan Na Cha menghadapi lawan.
Begitu berhadapan, Na Cha menusuk Heng Sun dengan tombaknya.
Touw Heng Sun menangkis dengan Toya (Tongkat)-nya dan terjadilah pertarungan sengit untuk beberapa waktu lamanya, belum dapat dipastikan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Na Cha bersiap-siap hendak melontarkan 'Kan Kun Choannya, namun Touw Heng Sun telah mendahului melontarkan tali wasiatnya.Lo Chia (Na Cha) tak sempat mengelak, kena diringkus.
Touw Heng Sun kembali ke perkemahan dengan kemenangan.
Teng Kiu Kong memerintahkan untuk mengurung Na Cha di kemah belakang, kemudian merayakan kemenangan tersebut.
Kala itu luka Teng Sian Giok telah sembuh.
Ketika melihat Touw Heng Sun berhasil menawan Na Cha, dia berniat memimpin pasukan menggempur pihak See-kie keesokan harinya.
Namun Teng Kiu Kong membujuk anak gadisnya, agar me nunda dulu niatnya itu sampai kesehatannya pulih benar.
Touw Heng Sun tetap dipercayakan memimpin pasukan untuk menggempur kubu Chiu (See-kie).
Kiang Chu Gie kembali memerintahkan Oey Thian Hoa untuk menghadapi lawan.
Thian Hoa ke luar pintu gerbang kota dengan menunggang 'Giok Kie Lin' (Kie Lin Kumala), bersenjatakan sepasang Gada.
Begitu saling berhadapan, tanpa banyak bicara lagi mereka langsung baku hantam.
Touw Heng Sun mengimbangi serangan Thian Hoa dengan menggerak- gerakkan Toyanya.
Biarpun telah berlangsung belasan jurus, belum terlihat siapa yang berada di bawah angin, maka Touw Heng Sun menggunakan siasat berpura-pura kewalahan, lalu melarikan diri.
Oey Thian Hoa mengejarnya.
Mengetahui lawannya terpancing siasatnya, Touw Heng Sun melontarkan tali wasiatnya.
Oey Thian Hoa yang tak menyangka akan diserang dengan cara itu, tak sempat mengelak, kena diringkus.
Touw Heng Sun membawa tawanannya ke perkemahan.
Betapa gembiranya Teng Kiu Kong menyaksikan keberhasil an Heng Sun, kembali dia menjamu bawahannya yang perkasa itu.
Sampai kentongan ketiga perjamuan itu belum juga usai.
Pada saat itu Teng Kiu Kong telah setengah mabuk, berkata padaTouw Heng Sun .
"Seandainya kau dapat menghancurkan kubu pertahanan See-kie, akan kujodohkan kau dengan anak gadisku".
"Benarkah itu Jenderal?", berseri wajah Touw Heng Sun.
"Aku tak pernah menjilat ludah kembali", sahut Teng Kiu Kong.
Touw Heng Sun tambah bersemangat menggempur pihak See-kie setelah mendengar janji tersebut.
Keesokan harinya dia kembali menantang pihak See-kie.
Sekali ini Kiang Chu Gie sendiri yang menyambut tantangan itu, ke luar pintu gerbang dengan didampingi oleh Yo Chian, Oey Hui Houw, Lam Kong Koa, Kim Cha, Bhok Cha dan lainlainnya.
Begitu melihat Chu Gie, Touw Heng Sun langsung melompat maju seraya memukulkan Toyanya.
Chu Gie menangkis dengan pedangnya.
Menyerang dan menangkis silih berganti dilakukan kedua belah pihak.
Dalam sekejap pertarungan telah berlangsung lebih dari 30 jurus, tapi belum dapat diketahui siapa yang bakal keluar sebagai pemenang.
Beberapa saat kemudian, Touw Heng Sun mendadak melontarkan 'Kun Sian So' (Tali Pengikat Dewa)-nya dan berhasil meringkus Chu Gie hingga jatuh dari 'See Put Siang'.
Oey Hui Houw dan lain-lainnya cepat memajukan diri, me nyelamatkan pimpinan mereka dengan membawanya kembali ke dalam kota dalam keadaan terikat.
Mereka berusaha melepaskan tali wasiat yang mengikat tubuh Chu Gie, tapi semakin diusahakan, semakin erat tali itu melibat diri Kiang Chu Gie.
Yo Chian meneliti tali tersebut, tapi dia tak berhasil menemukan cara untuk menguraikannya.
Selagi orang-orang gagah di pihak See-kie kebingungan, tibatiba masuk seorang pembantu, memberitahukan ada seorang Totong ingin bertemu dengan Perdana Menteri.
Chu Gie menyuruh pembantunya menyilakan Totong itu masuk.
Ternyata yang datang adalah Pek Hok Tongcu (Bocah Bangau Putih)Begitu berada di hadapan Chu Gie, Pek Hok Tongcu memberi hormat seraya memanggil .
"Susiok (Paman guru)".
Kedatangan Pek Hok Tongcu adalah atas titah gurunya, untuk membebaskan Chu Ge (Chu Gie) dari ikatan tali wasiat, Setelah menerangkan maksud kedatangannya, Pek Hong Tongcu menempelkan sehelai 'Hu' (Surat jimat) di ujung tali, kemudian menudingkan jari ke lantai.
Tali wasiat itu mengendor, lalu jatuh ke lantai.
Kiang Chu Gie segera berlutut ke arah gunung Kun Lun, sebagai pengungkapan rasa terima kasihnya.
Pek Hok Tongcu pamit.
"Sejak semula saya telah curiga, bahwa tali ini adalah 'Kun Sian So' milik Kie Liu Sun", ujar Yo Chian sepergi Pek Hok Tongcu.
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long