Pedang Bengis Sutra Merah 3
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin Bagian 3
Pedang Bengis Sutra Merah Karya dari See Yan Tjin Djin
"Tidak mungkin begitu, kesatu aku tidak mengizinkan!"
Hati Pui Cie tidak menentu rasanya, sesudah dipikir-pikir, lihat saja nanti belakangan.
Begitu melompat langsung dia mengejar, dia tidak mau lawannya kabur.
Kalau tidak dia nanti akan menemui kesulitan dikemudian hari.
Diam-diam Yipha Yauci juga meninggalkan tempat itu.
Sepanjang jalan Pui Cie berlari sekencang-kencangnya.
Menyebrang gunung, membalik bukit dan menyebrang sungai, menerobos hutan.
Tapi tidak terlihat bayangan si Baju Putih, dengan membabi buta mengejar kira-kira tujuh sampai delapan mil, sesudah cukup lelah dia menghentikan larinya.
Timbul perasaan kesalnya sampai giginya gemertakan.
Gunung berderet-deret, sungai berbaris-baris.
Hutan tiada tepi.
Si Baju Putih badannya ringan seperti setan, untuk mencarinya bukan sebuah pekerjan yang mudah, kalau bukan karena kemunculan Hie Ki Hong urusan ini pasti sudah selesai.
Pui Cie terbengong tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Di depan mata bergoyang bayangan Hie Ki Hong yang susah dilupakan.
Istrinya seperti orang asing, perkawinan apakah ini? Ingin melupakan! Tapi apa bisa dilupakan? Perasaan sedih mencengkram kencang hati Pui Cie.
Tiba-tiba si Baju Putih seperti malaikat muncul di depan mata.
Pui Cie tersentak.
Pihak lawan ternyata masih berani menampakan dirinya.
Benar-benar diluar dugaan.
Beberapa saat mereka berdiam saling berpandangan, akhirnya Pui Cie berbicara duluan.
"Saat ini hanya ada kau dan aku, terus terang sajalah siapa sebenarnya dirimu?"
"Kau juga, siapa dirimu sebenarnya?"
"Si Baju Ungu!"
"Ha., ha., ha., kau boleh dipanggil si Baju Ungu tapi kenapa aku tidak boleh dipanggil Pui Cie?"
"Lancang benar mulutmu!"
"Kalau begitu, aku harus bagaimana?"
"Cabut pedangmu! Pedang akan memberimu jawaban!"
"Aku tidak mau bertarung denganmu!"
"Omong kosong!"
"Si Baju Ungu, kau lupa kalau tidak ada aku, Phiphanya Yauci sudah membekas di punggungmu?"
"Aku tidak minta dirimu membantu!"
"Ha.. Ha., ha.."
Si Baju Putih tertawa.
"Aku juga tidak mau memjadi Pui Cie lagi! Sandiwara ini cukup sampai disini!"
Sambil bicara dia melepas baju putihnya, dan membuang pedangnya pula. Pui Cie membelalakan mata, tidak tahu pihak lawan mau berbuat apa. Si Baju Putih memegang saputangan penutup muka, tertawa-tawa bilang.
"Bagaimana kalau kau tetap sebagai Pui Cie?"
Pui Cie kaget bukan kepalang sepatah katapun tak bisa diucapkan.Saputangan lepas ditarik, muncul sebuah muka yang tidak asing.
Yang menyamar sebagai Pui Cie ternyata adalah Bo Ta Su Sheng, Sastrawan Pengecut Hu Sing Yi, yang sudak kembali ke suara aslinya berkata.
"Twako, aku terpaksa melakukan semua ini!"
Pui Cie dengan suara bergetar bertanya.
"Mengapa?"
Sastrawan Pengecut merendahkan suaranya berkata.
"Aku melihat sendiri ketua Shin kiam memakai tali menurunkan pendekar-pendekar kedalam jurang mencari Twako, kesimpulannya ternyata terbukti Twako tidak mati. Tentu sekarang mereka semua akan mengerahkan tenaga mencari Twako, aku pikir lebih baik aku menyamar sebagai Twako, suara maupun rupa. Dua kali menampakkan diri. Ini sangat membantu bagi jati diri twako sekarang. Mereka tidak akan menyangka dan mencurigai Twako lagi."
Pui Cie teringat peristiwa berdarah Khang-Khang Mui dengan suara rendah berkata.
"Adik Hu, apakah dulu juga pernah menyamar sebagi diriku?"
Bo Ta Su Seng dengan sungguh-sungguh berkata.
"Belum pernah! Ini pertama kali dan juga akan jadi terakhir kali."
Pui Cie tidak langsung percaya lalu bertanya.
"Adik Hu kenapa mau berbuat begitu?"
"Membantumu!"
"Apakah tidak takut bertemu dengan musuhku?"
"Masalah ini aku percaya, aku tak berani bertarung dengan orang lain. Tapi bila mencari jalan untuk kabur. Ini adalah kepandaianku yang paling istimewa, sampai sekarang tidak ada orang bisa menangkap aku."
"Benar... begitukah?"
I "Tiap huruf itu semuanya benar."
Pui Cie tidak bisa berkata apa-apa, kenyataannya tidak percaya pun harus percaya. Sastrawan pengecut berkata lagi.
"Barusan yang memakai baju keraton apakah istri Twako?"
Dengan nafas tersendat, Pui Cie mengatupkan giginya.
"Aku tidak mau membicarakan soal ini."
Sastrawan Pengecut berkata lagi.
"Maaf, Siaute lancang bicara!"
Suaranya mendadak jadi agak sedih.
"Twako sudah mencoba mencari tahu bagaimana meninggalnya almarhum ayahku?"
Pui Cie mendesah, hatinya berfikir, haruskah ceritakan saja sejujurnya? Kalau dia sudah tahu sebenarnya, bisa terjadi bagaimana? Akankah membalas dendam pada Bo Yu Sien Cie? Belum habis pikir, Sastrawan Pengecut dengan pelan berkata.
"Ada orang datang, silahkan twako hadapi?"
Habis berkata itu dia langsung bergerak menghilang.
Pui Cie mencoba mendengar, ternyata ada suara yang sangat ringan menerobos ranting menyisikkan daun-daun.
Dia sangat memuji ketajaman pendengaran Sastrawan Pengecut, Dia berfikir lagi, kalau sekarang yang datang adalah istrinya Hie Ki Hong, harus bagaimana nanti menghadapinya?"
Suara itu bertambah dekat, Pui Cie pikir lebih baik menghindar saja, tapi hatinya tak mengizinkan, setelah dipikir lagi, dengan terpaksa dihadapinyalah.
Dia sengaja jalan dengan suara keras.
Sesosok bayangan muncul, yang datang ternyata adalah Yipha Yauci, orang ini tidak jemu-jemunya mengejar.
Pui Cie menghentikan langkah, Yipha Yauci sudah tidak sabar lagi, begitu bertemu langsung bertanya.
"Pui Cie terkejar tidak?"
Pui Cie menjawab dengan asal.
"Sudah!"
"Mana orangnya?"
"Sudah pergi!"
"Kalian sudah bertarung pedang?"
"Em!"
"Hasilnya bagaimana?"
"Bertarung sepuluh jurus, tidak ada yang kalah dan menang!"
"Artinya kau sama-sama kuat?"
"Ya begitulah!"
Yipha Yauci matanya berbinar, dengan suara keras berkata.
"Aku tidak percaya!"
Hati Pui Cie tergerak.
"Kau tidak percaya? Kenapa?"
Kata Yipha Yauci.
"Kau sama sekali bukan tandingannya." -- Menempuh bahaya Hati Pui Cie tergerak lagi.
"Nona, berdasarkan apa kau berkata bahwa aku bukan lawan Pui Cie?"
Yipha Yauci menyunggingkan bibirnya.
"Tidak berdasarkan apa-apa, aku bisa berpendapat kau bukan lawannya."
Perkataannya memang sangat egois.
Tapi hati Pui Cie malah jadi bergolak, perkataannya menyatakan bahwa dia sudah tidak malu-malu dengan cintanya kepada Pui Cie.
Wanita macam apapun kalau hatinya sudah terpaut cinta selalu bersikeras tidak bisa dirobah, karena itu dendam Pui Cie terhadap dirinya menjadi berkurang banyak.
Saat itu dia sengaja asal berkata.
"Boleh juga, tapi pertarungan malam ini hanya dibatasi sepuluh jurus saja. Mungkin lain kali... harus sampai menentukan siapa yang kalah dan menang."
Yipha Yauci menghela nafas.
"Kearah mana dia pergi?"
Pui Cie dengan asal-asalan berkata.
"Keluar gunung!"
Yipha Yauci bergumam sendiri.
"Aku tahu dia mau berbuat apa, aku mau menyusulnya."
Tiba-tiba ada suara seorang perempuan mencibir.
"Perempuan murahan! berdasarkan apa kau mau pergi mengejarnya?"
Mendengar suara ini Pui Cie sudah tahu siapa yang datang. Dia ingin sekali menghindar... Tapi Hie Ki Hong telah muncul. Yipha Yauci berkata.
"Oh, ternyata kau...kau memaki siapa?"
Hie Ki Hong berkata.
"Memaki dirimu! Karena kau tidak tahu malu!"
Yipha Yauci karena marah malah balik tertawa.
"Kau tahu malu, kau kebagian nomor ke berapa?"
"Aku istrinya! Kau mau apa?"
"Benarkah? Setahu aku bukan begitu!"
"Apa maksudmu?"
"Kalau kau istrinya, kenapa waktu di gunung fadi dia tidak mau menyapamu?"
Perkataan ini seperti sebilah pisau menusuk hati Hie Ki Hong, betul, kelakuan Pui Cie tidak seperti suami terhadap istrinya.
Kedua belah pihak telah bertemu tapi seperti orang yang tidak kenal sama sekali.
Pui Cie sendiri merasa merinding, betul-betul tidak tahu harus berbuat bagaimana.
Hie Ki Hong dengan gemas memandang Yipha Yauci dan berkata.
"Masalah kami suami istri tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu!"
Yipha Yauci sedikitpun tidak mau mengalah, lalu berkata.
"Memang tidak ada sangkut pautnya denganku, tapi aku merasa lucu saja!"
Hie Ki Hong dengan tajam berkata.
"O, lucu? Aku mau sekarang kau menangis pun tak bisa!"
Sebenarnya Yipha Yauci marah sekali, tapi setelah dipikir-pikir dia menahan diri. Dengan suara dingin dia berkata.
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudahlah! Aku tidak mau ribut denganmu, memboroskan waktu saja!"
Habis berkata itu dia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya melayang terbang kemudian menghilang.
Hie Ki Hong memandang kemana hilangnya bayangan punggung Yipha Yauci, sambil menghentakkan kakinya dia terus memutar badan menghadap Pui Cie dan berkata.
"Kau barusan berkata jurus pedangmu dengan Pui Cie hampir sama?"
Pui Cie menggigit mulut.
"Ya, memang begitu!"
"Apakah dia benar sudah keluar gunung?"
"Em!"
"Dia... kenapa dia menghindariku?"
Hie Ki Hong menggumam sendiri.
Hati Pui Cie bergetar, dia sendiri berfikir, kenapa tidak menggunakan kesempatan ini untuk menyatakan sikapnya? Tapi setelah dipikir lagi, dia merasa kurang tepat waktunya.
Sekarang masih ada tugas berat yang disandangnya.
Jati diri tidak boleh dibuka dulu.
Kalau istrinya mau membenci apa boleh buat.
Hie Ki Hong memutar badannya lalu pergi dengan hati sedih.
Tidak terasa Pui Cie menghela nafas sedih, dia sendiri adalah sebagai salah satu pemeran drama yang menyedihkan ini.
Bo Ta Su Seng muncul lagi, dia tidak menanyakan masalah kedua perempuan tapi, dia langsung menyeletuk.
"Twako, tolong kasih tahu cerita tentang almarhum ayahku."
Pui Cie hatinya belum merasa tenang. Lama sekali baru dia berkata.
"Masalah ini...aku...entah harus bagaimana mengatakannya..."
Sastrawan Pengecut memberi hormat lalu berkata.
"Harap Twako jangan menutup-nutupi lagi. Kalau aku belum jelas dengan cerita yang sebenarnya, aku siang malam tidak bisa tenang!"
Pui Cie tidak bisa berkata apa-apa lagi, lalu menceritakan kembali semua yang dia dengar dari Bo Yu Sien Ce tentang ayah Sastrawan Pengecut.
Sesudah mendengar selesai cerita itu, Sastrawan Pengecut menengadahkan kepala memandang langit malam.
Badannya tak henti-hentinya gemetaran.
Manusia, semua ingin punya nama baik.
Terutama orang tua.
Di hati anak-anak selalu terlihat luhur, tidak mau ada kejelekan.
Tapi kesalahan ayahnya semasa hidupnya sangat memalukan, memang sepuluh tahun kemudian dia sudah menyadari kesalahannya tetapi sudah terlambat.
Siapa yang harus dia benci? Ayahnya? Bo Yu Sien Ce? Perguruan ayahnya? Semuanya tidak benar! Pui Cie bisa mengerti perasaan Sastrawan Pengecut tapi dia tidak punya kata- kata yang cocok untuk menghiburnya.
Yang paling dia kuatirkan, Bo Ta Su Seng menjadi marah dan malu, lalu bermusuhan dengan Bo Yu Sien Ce, itu akan bertambah gawat.
Lama sekali Bo Ta Su Seng baru berkata.
"Terimakasih Twako telah mau memberitahuku semua ini!"
Dia tidak menjelaskan isi hatinya, membuat orang menjadi kuatir. Pui Cie pelan- pelan berkata.
"Adik Hu, orang bukan Tuhan. Mana ada yang tidak salah? Ayahmu terakhir bisa menyesali dan minta diampuni, itu perbuatan orang bijak. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Adik Hu jangan terlalu risau dan sedih lagi."
Dengan tersendat-sendat Bo Ta Su Seng berkata.
"Terima kasih Twako atas sarannya. Kita yang menjadi anak tidak berhak mengomentari mereka, hanya Twako tadi mengatakan mengenai Giok Ju Yi, adik akan cari kembali barang itu, meneruskan cita-cita ayah yang belum kesampaian, menyelesaikan tugas yang belum tercapai sebagai seorang anak berbakti."
Muka Pui Cie berubah, dia berkata.
"Aku sangat mengagumi kebijakan adik, mengenai masalah Giok Ju Yi, bagaimanapun juga aku akan bantu kakak, guruku dan ayahmu ada hubungan. Jadi kita berdua tidak termasuk orang luar."
Bo Ta Su Seng mengangguk. Dengan suara yang rendah dia berkata.
"Giok Yu Yi ada di Shin Kiam Pang, aku terikat perintah perguruan. Tidak bisa terus bersama Twako. Tapi aku bisa membantu secara tidak langsung. Sekarang perkumpulan itu ada maksud mengacaukan dunia persilatan, Twako, bagaimana rencanamu?"
Dengan lantang Pui Cie berkata.
"Aku mau menggunakan kesempatan ini untuk menyelidikinya."
Bo Ta Su Seng setelah menghirup udara lalu berkata.
"mata-mata perkumpulan itu ada dimana-mana, supaya urusan lancar, kita tidak boleh berhubungan dengan terang-terangan. Terpaksa secara sembunyi saja. Bagaimana kalau sekarang kita berpisah?"
Pui Cie mangangguk.
"Benar kata-kata adik, silahkan jalan duluanl"
Bo Ta Su Seng memberi hormat dengan kedua belah tangannya, lalu melayang pergi.
Pui Cie juga segera keluar gunung.
-- Di Cau Yang Pui Cie mencari losmen untuk tinggal sementara.
Dia sedang menunggu kabar dari Ti Kuang Beng, dia bersiap masuk Shin Kiam Pang di bawah arahan Ti kuang beng, masuk ke perkumpulan itu, untuk mendekati Phei Chen.
Menunggu kesempatan untuk menghukumnya dengan peraturan perguruan.
Di daerah ini semua ada dalam kekuasaan Shin kiam Pang.
Begitu Pui Cie tiba, pasti sudah ada mata-mata yang menyampaikan berita.
Sekali menunggu, sampai tiga hari belum juga ada kabar apa-apa.
Ti Kuang Beng sudah berjanji 10 hari lagi bertemu di Cau Yang.
Tiga hari sudah menunggu.
Di dihitung-hitung dengan perjalanan sudah lewat sepuluh hari.
Mungkinkah Ti Kuang Beng belum meninggalkan hutan pinus? Atau apakah terjadi sesuatu? Mereka berada di gunung untuk membasmi Ma Gwe Kiau, atau malah balik dibunuh oleh Ma Gwe Kiau...? Tengah malam, sinar bulan seperti lukisan.
Pui Cie berdiri di atas loteng dari jendela memandangi bulan.
Losmen ini adalah bangunan paling ujung, sejauh mata bisa memandang, kelap-kelip lampu rumah-rumah di bawah sinar rembulan membuat redup suasana.
Tiba-tiba sesosok bayangan orang melayang seperti asap mendekat ke jendela.
Hati Pui Cie kaget sekali, dia mundur dua langkah, bersiap-siap untuk bertarung.
Orang itu berhenti di bawah jendela.
Hanya bergelayutan saja, setelah dipandang dengan teliti yang datang ternyata adalah Bo Ta Su Seng alias Sastrawan Pengecut.
Pui Cie baru bisa menghela nafas ringan berkata-kata.
"Adik Hu, masuklah!"
"Tidak, disini banyak mata-mata Shin Kiam Pang, siang malam mengawasi gerak- gerik Twako, aku tidak boleh masuk."
"Ada kabar apa?"
"Aku mendapat kabar, khusus kesini beritahu Twako supaya Twako ada persiapan."
"Berita apa?"
"Malam ini Ti Kuang Beng akan datang menemui Twako. membahas masalah masuk keperkumpulan, tapi mereka masih menyangsikan asal usul Twako. Kemungkinan akan menyelidikinya lagi, harap Twako bersiap diri menjawabnya."
"O., terimakasih atas kabarnya."
"Aku harus pergi, kalau ada masalah kita baru berhubungan lagi."
Kemudian dia langsung menghilang.
Pui Cie tidak terlalu risau.
Dia pikir berani mencoba, tidak masalah asal mereka tidak tahu dia sudah merobah rupa, entah dengan apa mereka mau menguji? Ketika sedang melamun, terdengar suara ketukan pintu, lalu pintu didorong.
Masuklah seorang laki-laki tak dikenal, sesudah memberi hormat lalu berkata.
"Aku sudah mendapat perintah dari pengurus utama kesini menjemput anda. Diluar sudah disiapkan kuda silakan tuan ikut aku berangkat."
Pui Cie tegang sendiri, sekuat tenaga dia menenangkan diri. Lalu berkata.
"Harap bawa jalan!"
Dia mengikuti pesuruh Shin Kiam Pang itu, naik kuda di depan losmen, meninggalkan kota menuju arah barat.
Pui Cie mengingat-ingat jalan yang menuju kepusat perkumpulan Shin Kiam Pang.
Berjalan kira-kira empat lima mil di bawah sinar bulan, ada seseorang berdiri menghadang di tengah jalan.
Hati Pui Cie bergetar.
Sesudah jarak semakin dekat, jelas kelihatan orang itu berbaju hitam memakai topeng, tangannya memegang sebilah pedang yang berkilauan di bawah sinar rembulan.
Orang yang membawa jalan itu memecut kudanya berlari kencang, setelah dekat dengan orang yang bertutup muka.
Membentak dengan suara keras.
"Siapa disitu?"
Orang bertopeng itu balik bertanya,"Yang datang apakah orang Shin Kiam Pang?"
Pesuruh itu menjawab.
"Betul, sahabat dari golongan mana?"
Orang bertopeng itu tidak menjawab.
Tangan kanannya diangkat dihantamkan kepada orang di atas kuda itu.
Angin dari pukulan itu menderu mengerikan, kudanya kaget, meringkik sehingga mengangkat kedua kakinya, orang di atas kuda terguncang dan terlempar dari pelananya.
Jatuh di kejauhan 7 meteran, sedangkan kudanya sudah berlari pergi sekencang-kencangnya.
Pui Cie segera menarik kudanya, dia turun dari pelana.
Melompat ke depan dengan suara masam, bertanya.
"Sahabat, apa maksudmu berbuat demikian?"
Orang bertutup muka dengan suara keji berkata.
"Tidak perlu tanya, aku telah bersumpah mau membunuh habis semua penjahat persilatan, membalas dendam bagi teman-temanku yang telah mati konyol!"
Kata-kata belum habis, sinar pedang sudah berkelebat dan telah di tusukkan. Pui Cie manghindar, pedangnya juga sudah di tangan, dia berfikir dalam hati.
"Kalau orang ini musuhnya Shin Kiam Pang, aku harus berhati-hati, jangan sampai melukainya."
Orang yang bertopeng melihat serangan pertama meleset, langsung menggempur dengan jurus kedua, jurus pedangnya sangat hebat, tentu dia seorang ahli pedang.
Pui Cie mangangkat pedang menyongsongnya, jurus dari perguruannya segera dikeluarkan.
Orang bertutup muka seperti menghadapi musuh bebuyutan, bergerak dengan ganas dan dengan jurus mematikan, tiap tusukan mengarah nadi utama, Pui Cie terpaksa menghadapinya dengan segenap kemampuan, tapi tidak berniat membunuh pihak lawan.
Pesuruh Shin Kiam Pang yang tadi terjatuh dari kudanya berdiri di kejauhan, lukanya tidak ringan.
Orang bertopeng itu gerakan pedangnya menakjubkan, karena Pui Cie tidak berniat melukai lawannya, tiap jurusnya sangat berhati-hati, menjadikan dia berada di pihak yang terdesak.
Di dunia persilatan jarang ada jurus pedang sehebat ini, dia pasti ini bukan orang sembarangan.
Pui Cie sambil bertarung sambil berkata.
"Sahabat, sebutkan namamu!"
Orang bertopeng dengan keras berkata.
"Nama! Aku mau kau segera mati!"
Serangannya bertambah gencar, seperti angin kencang dibarengin petir.
Pui Cie tak berdaya, sekarang dia tidak segan-segan lagi.
Secara berturut-turut dia melancarkan 3 jurus mematikan, mencari kelemahan lawannya, tapi anehnya orang bertopeng ini seperti mengenali jurus-jurus pedangnya, menyerang dan menjaga diri sama sekali tidak kewalahan.
Sekilas tiga puluh jurus sudah lewat.
Pui Cie tambah merasa tidak tenang, dia berniat baik, pihak lawan malah menginginkan nyawanya, kalau begini terus dia bisa celaka.
Hawa pedang bergulung-gulung naik keatas, dalam suara besi beradu yang memekakkan telinga, orang bertopeng itu terdorong mundur tiga meteran.
Saat itu tiba-tiba seekor kuda tunggangan dengan kencang tiba, kuda belum sampai, orangnya melayang sudah meninggalkan pelananya terbang menuju ke tengah lapang.
Pesuruh tadi cepat-cepat pergi memegang kudanya.
Orang yang tiba-tiba datang itu ternyata adalah Ti Kuang Beng.
Orang bertutup muka itu seperti tahu keadaan tiak menguntungkan baginya, tidak berbasa-basi lagi langsung kabur.
Ti Kuang Beng dengan marah berkata.
"Orang bertopeng ini sudah membunuh puluhan orang anak buah perkumpulan kita, cepat atau lambat harus ditangkap."
Pui Cie menyimpan pedang lagi sambil berkata.
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapakah pihak lawan itu?"
Ti Kuang Beng berkata.
"Tidak jelas, sejak kemunculannya sampai sekarang kira- kira sudah dua bulanan, terus bertentangan dengan perkumpulan kita."
Berhenti sebentar, dia berkata lagi.
"Dengan kepandaian adik seharusnya dia sudah dibunuh, kenapa..."
Pui Cie menjawab dengan asal-asalan, berkata.
"Kalau dia tidak kabur, mungkin."
Ti Kuang Beng berkata.
"Sudahlah, masih banyak kesempatan lagi nanti. Adik, Pangcu menyuruh aku menyampaikan selamat datang dan menyinggung terbunuhnya komandan pengawal Siau Ta Chi di gunung pinus. Sekarang jabatan itu menjadi kosong, mungkin sementara boleh di si oleh adik, sekarang kita naik kuda dulu, sesudah sampai di pusat perkumpulan, kita bahas lagi semua. Pui Cie senang sekali, bisa menjadi komandan pengawal tentu ada kesempatan mendekati Phei Chen. Ini benar-benar leluhur yang memberi restu, si pengkhianat sudah mendekati hari akhirnya. Dalam hatinya senang, di muka tidak tampak perubahan sedikitpun. Dengan suara rendah dia berkata.
"Aku mana sanggup mendapat jabatan seberat itu?"
Ti Kuang Beng tertawa terbaha-bahak. Lalu berkata ,"Adik pasti sanggup, Ayo naiklah ke kudamu!"
Pesuruh itu segera membawakan kuda, mereka berdua naik kuda lalu pergi bersama, pesuruh itu berjalan kaki karena kudanya sudah lari karena ketakutan tadi.
Di perjalanan, Pui Cie tegang sekali, sekarang dia mau memasuki sarang macan lubang buaya, hanya boleh berhasil, tidak boleh gagal, perkembangannya masih sulit ditebak.
Sesudah masuk ke wilayah penting, penjagaan bertambah ketat sekali.
Sampai di pusat perkumpulan, Pui Cie dipersilahkan masuk asrama di samping ruang eksekusi.
Ti Kuang Beng cukup menghormatinya.
Setelah istirahat tidak begitu lama, disiapkan makanan dan minuman untuk menyambut kedatangannya.
Mereka makan sampai jam tiga subuh, tidak ada mengganggu mereka berdua.
Pui Cie dalam hati merasa geli, dia sebenarnya tamu agung atau musuh bebuyutan? Keadaan ini benar-benar aneh..
Tiga hari berturut-turut Pui Cie tinggal dan dilayani dengan sangat baik.
Pihak perkumpulan sama sekali tidak lagi mempersoalkan dia masuk perkumpulan dan menerima jabatan, juga dia tidak dipanggil menemui ketua perkumpulan.
Dia merasa sangat gelisah tapi dia juga tidak enak bertanya.
Malam hari ketiga, rembulan terang seperti siang hari.
Pui Cie mengikuti kakinya berjalan-jalan santai.
Keluar dari pintu kecil di belakang sampailah di sebuah halaman kecil yang rimbun dengan pohon-pohon dan bunga-bunga, di belakangnya terdapat sebuah rumah mungil.
Suasananya begitu nyaman adem.
Ada lampu menyala dari rumah mungil itu.
Rumah siapa itu, pasti pangkatnya tidak rendah.
Pui Cie mondar-mandir di jalan kecil penuh bunga, tidak terasa sampailah di rumah mungil itu.
Pintu di rumah mungil itu.
setengah terbuka.
Begitu matanya memandang dia terkejut sekali! Mukanya menjadi merah, hatinya berdebar, cepat-cepat dia membalikan badan dan pergi.
Yipha Yauci ternyata yang berada dalam rumah mungil itu.
Malam itu baru selesai menyelesaikan menghapus bedaknya, rambutnya terurai sebahu, mengenakan baju seadanya.
Selendang tipis seperti sayap capung tidak terkecuali ada di atas pundaknya.
Di bawah sinar lampu, kulitnya putih seperti salju, merah putih saling berlawanan, menyilaukan mata, membuat hati melayang, sangat menggoda sekali.
Pui Cie baru jalan beberapa langkah, di belakang tiba-tiba terdengar suara Yipha Yauci berkata.
"Siapa itu? Berhenti!"
Pui Cie berhenti, hatinya berdebar-debar, dia menyesal sekali sembarangan berjalan sampai bisa tiba ke kamar wanita. Bau harum segera menyengat hidungnya. Pui Cie tahu dia sudah di belakangnya. Suara yang sangat manja berkata.
"Ternyata kau. Mau apa kesini?"
Pui Cie tidak membalikan badan, menjawab dengan tersendat-sendat,"Maaf.. aku... karena terlalu kesal, melihat bulan begitu indah jadi keluar jalan-jalan. Tidak tahunya ini tempat tinggal kouwnio."
"Kau tidak melihat di pojok pintu itu ada tempelan .Tidak diundang dilarang masuk'.
"O! ini... aku teledor, aku tidak melihatnya.."
"Tidak apa-apa., kebetulan aku mau mencarimu!"
"Ooo!"
"Bagaimana kalau berbicara di dalam saja?"
Pui Cie pelan-pelan membalikkan badan, nafas menjadi agak sesak.
Dia tetap dengan dandanan semula yang begitu menggoda, tidak menambah satu potong baju luarpun.
sangat berani, juga tidak tahu malu, benar-benar sesuai dengan namanya Yipha Yauci.
Pui Cie tidak berani melihat langsung, dengan matanya lihat ke bawah berkata.
"Bicara disini saja!"
Yipha Yauci sedikitpun tidak merasa malu, seperti tidak merasa apa-apa dan berkata.
"Aku ingin bertanya kepadamu satu persoalan, apakah Pui Cie benar- benar sudah menikah?"
Hati Pui Cie tergerak, dia menjawab.
"Ya, dia sudah berkeluarga."
Yipha Yauci sepertinya sangat kecewa, dia menundukkan kepala, berfikir sesaat lalu dia berkata.
"Waktu di dalam gunung aku melihat keadaan mereka sepertinya tidak harmonis..."
Pui Cie tahu maksudnya, dia menggeleng-gelengkan kepalanya menjawab.
"
Masalah ini aku tidak jelas."
Yipha Yauci menjawab.
"Kau seharusnya tahui"
Gentar hati Pui Cie, dia mengerutkan alisnya berkata.
"Kenapa aku harus tahu?" -- BAB 11 Menapak enteng menjelang yang dalam Yipha Yauci mengangkat tangannya meraba rambutnya yang terurai ke belakang. Genitnya bukan main.
"Kau tidak bersedia beritahu aku?"
Pui Cie asal-asalan menjawab.
"Aku hanya bisa bertarung pedang, untuk membuktikan keahlianku, tidak ada pembicaraan, masalah dia berkeluarga hanya sebatas tahu saja. Soal masalah pribadinya aku sama dengan kouwnio, sama sekali tidak tahu."
Yipha Yauci mememiringkan kepala berkata.
"Betulkah begitu?"
Pui Cie merasa curiga, aneh sekali perkataan Yipha Yauci, Apakah dia telah menemukan sesuatu yang mencurigakan? Tapi tak mungkin.
Dia tidak mencurigai dirinya sebagai Pui Cie.
Hanya dia merasa dirinya ada hubungan dengan Pui Cie.
semua harus dijelaskan, kalau tidak bisa-bisa mengganggu urusan besarnya.
Sesudah berfikir sebentar, dia berpura-pura kaget, berkata.
"Aku sama sekali tidak mengerti maksud kouwnio."
Yipha Yauci dengan sikap dingin berkata.
"Menunggu kau mengerti, semua sudah terlambat."
Perkataan ini lebih sulit dimengerti.
Tidak tahu apa maksudnya, sepertinya mengandung suatu arti yang dalam.
Apa maksudnya? Sekarang dia dalam sarang macan segala tindakannya harus luar biasa hati-hati dan cermat, tiap langkahnya harus diperhitungkan.
Pui Cie langsung pura-pura bingung berkata.
"Aku bertambah tidak mengerti, kouwnio bisakah menerangkan dengan lebih jelas?"
Saat ini tiba-tiba terdengar suara lonceng. Yipha Yauci melambaikan tangannya.
"Silakan kau pergi! Pangcu ada urusan mengumpulkan semua anak buahnya!"
Hati Pui Cie mendadak tegang, dia spontan merasakan telah terjadi penting, masalah seperti apa dia tidak bisa membayangkan, sesudah beri hormat dia cepat-cepat pergi, ketika sampai kekamarnya, Ti Kuang beng sudah menunggu, hatinya tambah terguncang, langsung berkata.
"Pengurus utama malam-malam begini datang kesini. Ada urusan apakah?"
Ti Kuang Beng tertawa-tawa.
"Selamat dik! Ada kabar gembira!"
Pui Cie tercengang berkata.
"Kabar gembira? Kabar gembira apakah?"
Ti Kuang Beng mengangkat alisnya.
"Pangcu sudah peintahkan semua anak buah hadir menyaksikan adik menerima pengangkatan jabatan malam ini, sebagai komandan pengawal, apa ini bukan suatu kabar gembira?"
Dengan menahan perasaan yang bergejolak Pui Cie berusaha menenangkan diri. Dengan suara rendah dia berkata,"A...aku merasa kurang mampu menerima tugas berat ini!"
Ti Kuang Beng berkata.
"Adik tak usah sungkan-sungkan, Pangcu sangat mengerti menggunakan orang sesuai kemampuannya, tidak akan salah. Tapi ada satu hal yang harus dijelaskan dulu kepada adik..."
Pui Cie diam-diam menggerakan gigi-giginya dan berkata.
"Silakan memberi petunjuk!"
Ti Kuang Beng matanya bersinar berkata.
"Menurut aturan perkumpulan kami, sebelum acara serah terima jabatan dimulai, harus melihat merah dulu."
Hati Pui Cie bergetar, dia lalu berkata.
"Melihat merah? Apa itu melihat merah?"
"Melihat darah artinya, menyatakan kesetiaan masuk perkumpulan."
"Ini., bagaimana caranya?"
"Adik harus mengeksekusi seorang narapidana."
Pui Cie dengan suara gemetar berkata.
"Aku harus membunuh orang?"
Ti Kuang Beng dengan sikap dingin berkata.
"Mengeksekusi orang hukuman tidak sama dengan membunuh orang, ini disebut menjalankan tugas."
Pui Cie sedapat mungkin menenangkan diri. Lalu dia bertanya.
"Orang hukuman, orang yang macam apa?"
"Musuh yang mencoba menerobos masuk ke perkumpulan kami."
"Oo!"
"Adik rapikan dulu pakaianmu, kita segera ke ruang eksekusi!"
Masuk perkumpulan, menerima jabatan harus membunuh orang dulu, aturan darimana? kurang ajar, Phei Chen selalu melanggar peraturan alam dan agama.
Orang begini matipun tak perlu dikasihani, untung hari akhirnya sudah dekat, hanya tidak tahu yang bakal jadi korban ini siapa? Yang berani menyerang perkumpulan dan bermusuhan dengan Shin Kiam Pang, tentu bukan orang sembarangan, mungkin orang dari golongan lurus, hati Pui Cie menjadi kusut, demi mencapai maksudnya membasmi kejahatan, apalah harus mengalirkan dulu darah orang yang tidak berdosa? Ti Kuang Beng mendesak.
"Adik, hayo cepat sedikit! Tidak enak teman-teman terlalu lama menunggu!"
Pui Cie segera merapikan baju dan mengencangkan tali pinggang, lalu dia berkata.
"Ayolah!"
Dalam ruangan eksekusi, ada lampu yang sangat terang menyoroti segala macam alat eksekusi yang masih ada bercak-bercak darah, alat-alat itu terlihat sangat mengerikan.
Delapan orang pengawal berjajar dikiri kanan, masing-masing berdiri dekat pintu keluar, membelakangi meja sidang.
Di sebuah bangku besar yang spesial, di kat seseorang membelakangi berbaju compang-camping, tubuhnya penuh bercak- bercak darah, sekali pandang sudah kelihatan pernah disiksa, kepala orang tua itu ditutupi sehelai kain merah, seperti seekor kambing yang hendak disembelih, dua orang algojo yang kekar besar berdiri di dua sisi bangku kayu itu.
Diatas meja sidang ada sebuah baki bercat merah, terdapat sebuah pisau penebang kayu yang berkilau .
Di kiri kanan ruangan masing-masing berdiri berderetan laki-laki dan perempuan tua muda.
Yipha Yauci juga berdiri dalam barisan sebelah kanan paling depan, semua hening dan tertib, tidak kalah dengan gaya persidangan pemerintah.
Dibelakang meja sidang ada sebuah bangku yang bersandaran tinggi yang saat masih kosong, di belakang banyak bangku tertutup tirai kain.
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pui Cie dan Ti Kuang Beng tiba di depan pintu, segera delapan pengawal itu memberi hormat.
Ti Kuang Beng memiringkan badan ke samping dan berkata,"Silakan masuk kedalam ruangan!"
Pui Cie belum pernah menerima kehormatan seperti ini, sedapat mungkin menenangkan hati, tetapi tetap tak bisa menguasai perasaan yang terus bergelora, apalagi maksud dia datang adalah untuk membunuh, dia melangkah masuk, matanya ditujukan dulu ke orang hukuman yang sepertinya dia mengenalinya, dari cara berpakaiannya, bisa dipastikan dia adalah seorang tua.
Ti Kuang Beng hanya mengantar ke dalam dua langkah, dengan suara halus dan kecil berbisik.
"Silakan menunggu perintah!"
Mata Pui Cie memandang semua orang didalam ruangan itu, sengaja dia memandangi Yipha Yauci lebih lama, terlihat mukanya dingin tanpa ekspresi, seperti tertawa tapi tidak tertawa, di bawah selendang merah yang melilit tubuhnya telah ditambah sebuah baju, rambutnya terurai hanya di kat asal-asalan.
Yipha Yauci setiap saat selalu menebarkan pesona yang menggiurkan setiap laki- laki yang melihatnya.
Pandangannya kembali ke orang hukuman.
Siapakah dia? Siapa dia...
Pui Cie terus menerus bertanya dalam hati, hatinya berdebar-debar terus, sulit diatasi.
Saat ini masuk seorang tua, bertubuh tinggi, sorotan matanya tajam, dengan langkah perlahan masuk ke dalam ruangan, menuju langsung ke belakang meja sidang dan berdiri disana, pelan-pelan dia memandang sekeliling ruangan.
Bertambah hebat berdebarnya jantung Pui Cie.
Siapakah orang tua ini? meli hat potongan tubuhnya tidak mirip dengan Phei Chen...
Tangan orang tua tadi sudah menggenggam sebuah belati kecil.
Laki perempuan yang berbaris di kedua sisinya membungkukkan badan memberi hormat.
Orangtua itu berkata.
"Perintah pangcu, supaya pendekar yang baru diangkat sebagai komandan yang bernama Ong Giok, menurut aturan segera mengeksekusi terpidana, sebagai sumpah darah kesetiaan, laksanakan segera!"
Suaranya tidak besar tapi agak sedikit memekakkan telinga, kelihatan kungfunya sangat tinggi.
Hati pui Cie tambah tenggelam, tidak disangka Phei Chen tidak hadir memimpin upacara yang sadis ini.
Salah satu dari dua orang algojo itu memberi hormat, lalu kedua tangannya mengangkat baki pisau di atas meja, dam berjalan ke depan Pui Cie, dengan hormat berkata,"Silakan terima pisau eksekusi!"
Pui Cie menggigit bibirnya kemudian dia mengambil pisau itu, algojo itu pun mundur kembali, tangan Pui Cie kembali bergetar, dua tidak boleh jadi pembunuh, tapi bagaimana harus bertindak? Oang tua segera memberi perintah dengan suara keras berseru.
"Buka topeng merahnya!"
Salah satu algojo membuka kain merah penutup muka terpidana.
Dua mata terpidana tertutup rapat, kepalanya menunduk ke atas dada.
Tergetar hati Pui Cie seiring dibukanya penutup muka itu, begitu matanya memandang, membuat darah disekujur tubuhnya berhenti berputar, nafasnya seakan terhenti, dia hampir mau menjerit sekeras-kerasnya.
Orang yang mau dihukumnya ternyata adalah Thu Sing Sien, bagaimana dia bisa jatuh ke tangan orang Shin Kiam Pang? Orang tua yang memberi perintah memekik keras.
"Laksanakan hukuman!"
Kedua algojo di pinggir bangku itu mundur 3 langkah. Ti Kuang Beng dengan suara rendah berbisik pada Pui Cie.
"Berdirilah dibelakang bangku, potong kepalanya." Pui Cie tidak bergerak, badannya mengigil, dia seperti sudah mau gila, bagaimana tidak? Menolong Thu Sing Sien saat ini pasti tidak mungkin, dia sendiri bisa lolos dari sarang macan ini masih menjadi teka-teki. Lawan. Perubahan yang drastis mimpipun tidak bisa terbayang, perencanaan yang begitu rumit semua menjadi sia-sia, seluruh pandangan mata yang hadir tertuju pada diri Pui Cie. Orang yang beri perintah sekali lagi memekik.
"Laksanakan hukuman!"
Ti Kuang Beng membantu berkata.
"Ong Giok! Cepat, laksanakan perintah!"
Pui Cie menggertak giginya dengan keras, baru terlontar sebuah kata.
"Tidak!"
Satu kata tidak' membuat orang dalam ruangan seluruhnya merubah air muka.
Hati Pui Cie kusut seperti tali jerami, terpikir olehnya setengah jam yang lalu pertanyaan aneh dari Yipha Yauci.
Ternyata dia sudah tahu semua urusan dalam ini.
Apakah Thu Sing Sien sudah disiksa habis-habisan dan sudah mengaku? Ti Kuang Beng dengan suara seram berkata.
"Ong Giok, apa maksudmu? Apa mau melawan perintah."
Pui Cie mendadak membuat keputusan. Bunuh! Habisi pusat perkumpulan Shin Kiam, cuci dengan darah! Thu Sing Sien pelan-pelan mengangkat kepalanya, sepasang mata sangat lesu, dia memandangi muka Pui Cie, dengan lemas berkata.
"Ong Giok, kau mau membunuhku?"
Pui Cie bibirnya bergetar, tak bisa berkata-kata, orang tua yang memberi perintah menaruh belati emas dan menggertak.
"Ong Giok, kau mau melawan perintah?"
Pui Cie teringat nasihat gurunya semasa hidup, dalam situasi genting harus bertambah tenang. Setelah berusaha menekan emosi dia berkata lagi.
"Aku tidak berani membunuhnya!"
"Kenapa?"
"Dia adalah sahabatkul"
"Sahabat macam apa?"
"Hubungan yang lama, sahabat sehidup semati!"
"Ooo! Kau., tidak berani melakukan?"
"Ya!"
"Kau relakan lepaskan hakmu untuk masuk perkumpulan?"
Perkataan ini diutarakan oleh pihak mereka, tentu saja Pui Cie merasa girang, tidak dipikir lagi dia langsung menjawab.
"Ya!"
Orang tua yang memberi perintah dengan suara datar berkata.
"Persoalan ini harus diajukan, biar Pangcu yang ambil keputusan."
Pui Cie sudah membikin perhitungan terburuk, tapi belum sampai waktu untuk menyerang secara mendadak.
Dia mengharap Phei Chen bisa segera muncul.
Dia bersiap-siap setiap saat mencabut pedang.
Thu Sing Sien yang tenaganay sudah berkurang tapi dengan keras berkata.
"Ong Giok, aku orang tua... menerima nasib., kau..."
Saat itu seseorang bertopeng berbaju indah dengan tidak bersuara tiba-tiba telah berada di belakang Pui Cie.
Dia adalah ketua Shin Kiam Pang Phei Chen, karena Pui Cie dalam keadaan kalut dan tegang, maka dia tidak merasakan ada orang menghampirinya.
Orang tua pemberi perintah dengan suara rendah berkata.
"Baiklah, hamba segera pergi, mohon petunjuk!"
Mendadak Shin Kiam Pang Cu seperti kilat mengeluarkan jarinya menotok, jaraknya hanya beberapa senti dari tubuh Pui Cie, umpana Pui Cie seperti dewa mau menghindar juga sudah tidak mungkin, hanya mengeluarkan sedikit suara mengaduh dia sudah roboh.
Kesal, benci, marah, dan lain-lain perasaan sekejap saja lewat.
Dia sudah tidak sadarkan diri.
Dalam kurungan gelap bawah tanah, tubuh Pui Cie tergeletak di lantai.
Ingatannya sedikit demi sedikit mulai kembali.
Pertama-tama yang dia rasakan ilmu silatnya sudah lenyap.
Dendam dan kekesalan bercampur putus asa masuk kedalam sanubarinya.
Dia lebih suka tadi dia dibunuh mereka, dia sekarang sudah tidak mempunyai jalan lain.
Banyak sekali masalah yang harus diselesaikannya, dia sudah tidak bisa berpikir lagi.
Otaknya terasa kosong melompong .
Phei Chen telah membunuh gurunya, meracuni kakak seperguruannya, sekarang dia bisa menawan satu-satunya musuh yang paling menakutkannya yaitu keponakan seperguruannya?dia tidak mau banyak berpikir lagi, tapi setelah agak lama pikiran itu datang kembali semua.
Dia tidak mungkin untuk tidak berpikir.
Dia meronta-rinta berusaha duduk, sambil meraba-raba dia berhasil duduk di tepi tembok, dia sudah beberapa kali menghadapi maut, mengalami ancaman maut semuanya bisa lolos, tapi dia berpikir kali ini tidak mungkin menemukan keajaiban lagi.
Yang tidak dia mengerti, sekarang dirinya menyamar sebagai si Baju Ungu, kenapa bisa dicurigai pihak lawan? Anggaplah Thu Sing Sien tertangkap, tapi kenapa pihak lawan bisa terpikir dan memaksa untuk mencari tahu jati dirinya.
Tiba-tiba terpikir satu permasalahan ketika berada di ruang eksekusi itu.
Thu Sing Sien menyebut dirinya Ong Giok.
Nama ini sebenarnya dikarang sendiri sewaktu dia masih di dalam gunung dan yang tahu hanya Ti Kuang beng saja.
Thu Sing Sien sendiri tidak mungkin tahu, dia juga tidak menyebut nama Pui Cie.
Kenapa dia tidak mau mengaku? Apakah ini hanya kecurigaan pihak lawan saja? Terpikir olehnya sewaktu kejadian di gunung, dia ditolong orang dari dalam jurang dengan memakai rotan liar.
Siapa yang menolong itu? Teka teki ini akan terkubur dalam tanah bersama dirinya.
Ada lagi urusan Hie Ki Hong dengan dirinya tidak berkesudahan dan akan selesai dengan sendirinya...
Semua pikiran ini masuk kedalam lamunannya, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki.
Karena ilmusilat sudah lenyap pandangan matanya juga berkurang.
Hanya bisa membedakan suara langkah kaki itu lebih dari satu orang.
Saat ini, dia malah jadi tenang, perasaan khawatirpun hilang semua, mendadak lampu bertambah terang.
Dia menjadi susah melihat, dia memejamkan sebentar lalu membukanya lagi, sekarang pandangan matanya menjadi jelas Yang datang ternyata adalah Shin Kiam Pangcu, Yipha Yauci dan Ti Kuang Beng.
Melihat Shin Kiam Pangcu, dendamnya bergelora lagi didalam dadanya, hatinya seperti tercabik-cabik oleh pisau tajam.
Didalam ruangan penjara itu ada satu meja, satu bangku, satu dipan.
Shin Kiam Pangcu segera duduk di bangku, Ti Kuang Beng dan Yipha Yauci berdiri disampingnya.
Tiga manusia dengan enam mata masing-masing memandang Pui Cie dengan sinar yang berbeda.
Shin Kiam Pangcu tetap bertopeng, sorotan mata yang keluar dari lobang kecil di mukanya tajam seperti pisau.
Gigi Pui Cie gemeretukan, kekesalan dan kemarahan membuat dia menjadi sesak nafas.
Shin Kiam Pangcu membuka mulut, berkata.
"Ong Giok, apa hubunganmu dengan Pui Cie?"
Ini adalah pertanyaan yang diluar dugaan Pui Cie. Ternyata identitas dirinya yang asli masih belum ketahuan. Sulit dipercaya. Ti Kuang Beng dengan sinis berkata.
"Hayo jawab pertanyaan Pangcu!"
Karena identitas dirinya belum terbongkar, Pui cie memperhitungkan lagi keadaannya, sesudah berpikir beberapa kali, dan memandang musuhnya. Dengan suara gemetar dia berkata.
"Dari mana datangnya perkataan ini?"
Shin Kiam Pangcu mendehem berkata.
"Menyangkal juga tidak ada gunanya, apa kau juga penerus Ko Liang? Pertanyaan ini lebih aneh lagi. Pui Cie menghela nafas dan berkata dengan gemas.
"Kenapa kau bisa menghubungkan aku pada orang teragung dari persilatan?"
"Kau tidak mau bicara?"
"Aku tidak bisa menjawabnya!"
"Apakah kau mau bukti?"
"Bukti?"
"Ya!"
Pui Cie menarik nafas dengan suara gemetar berkata.
"Bukti apa?"
Shin Kiam Pangcu pelan-pelan mengangkat tangannya, terlihat kedua tangan sudah menjepit sepotong papan nama hitam.
Pui Cie mendadak terkejut, papan nama hitam itu adalah bukti *Bu Wei Wen' siapapun yang memilikinya adalah sama dengan hadirnya sang Couwsu, Tidak disangka Phei Cen telah menggeledah dirinya.
Ini adalah bukti yang jelas, sama sekali tidak bisa dibantah.
Pui Cie meraba sakunya, ternyata yang hilang bukan hanya papan nama hitam itu saja, tapi juga setengah buku pusaka yang tiada taranya dan pedangnya, semuanya sudah disita.
Semua sudah jatuh ke tangan Phei Cen, sehingga akan menambah kejahatannya.
Sekarang dia mati juga tidak akan bisa menutup mata.
Phei Cen menyimpan papan nama hitam itu, sambil tertawa sinis berkata.
"Tidak disangka ahli waris Ko Liang tidak hanya seorang, ternyata kau juga penerusnya."
Pui Cie merasa kesal dan marah bercampur aduk. Dengan mengeluarkan suara.
"Wah!"
Menyemburlah darah dari mulut. Shin Kiam Pangcu berkata lagi.
"Ong Giok, kau berpura-pura mau bertarung pedang dengan Pui Cie untuk menutupi dirimu yang sebenarnya, kemudian menyusup masuk ke perkumpulanku, sebenarnya mau apa?"
Pui Cie hampir saja mau menyumpahi Phei Cen.
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi setelah dipikir lagi perkataan yang sudah sampai ketenggorokan akhirnya ditelan lagi.
Identitas musuh dia sudah tahu dari Ke Co Ing ketika menjelang ajal.
Musuhnya tidak tahu bahwa rahasianya sudah bocor.
Sekarang lebih baik jangan diungkap dulu, siapa tahu urusan ini ada perubahan lain yang masih bisa diandalkan.
Sesudah berpikir begitu dengan gemas dia berkata.
"Hanya mengandalkan sepotong papan nama, bagaimana bisa memastikan persoalan?"
"Kau menyangkal?"
"Aku kan belum pernah mengakui?"
"Kalau begitu kau dapat darimana barang-barang itu?"
"Aku dapat memungutnya, aku sama sekali tidak tahu dari mana asalnya." -- BAB 12 Siasat dilawan siasat "Ha.. Ha.. Ha., kujelaskan padamu, supaya kau tidak mati penasaran. Sebelum masuk perkampungan ini, ditengah jalan bukankah ada seseorang berbaju hitam memakai topeng bertarung denganmu, kau menggunakan jurus pedang apa?"
Gemetarlah seluruh tubuh Pui Cie, udara dingin terasa menguap dari dalam hatinya.
Kelicikan Phei Cen sampai begini dalam, ternyata orang yang bertopeng itu adalah dirinya.
Pantas ilmusilatnya begitu lihay.
Dia langsung teringat nasihat Sastrawan Pengecut yang mengatakan bahwa pihak lawan memcurigai asal usulnya dan akan akan dicobanya.
Dan tidak disangka dicoba dengan cara yang seperti itu.
Dia terlalu ceroboh tidak menyadari ada siasat seperti ini.
Sekarang menyesal pun sudah terlambat.
Shin Kiam Pangcu berkata lagi.
"Kau masih mau berkata apalagi?"
Pui Cie berkata dengan suara menggila.
"Ada satu patah kata, benci. Aku ingin membunuhmu dengan tanganku sendiri."
Shin Kiam Pangcu dengan suara bengis berkata.
"Nanti kalau kau sudah mati baru kebencianmu hilang., ha..ha..ha... kalau bukan aku yang teliti semua akan terkecoh olehmu. Sekarang kau terus terang saja menceritakan semuanya, kalau tidak mau tubuhmu akan tersiksa!"
Pui Cie menunjuk Shin Kaim Pangcu.
"Phei Cen, kau bisa mengelabui mata telinga orang didunia persilatan tetapi tidak bisa lari dari hukuman alam dan keadilan. Kau akan memdapat ganjaran!"
Sesudah membuka diri Phei Cen yang sebenarnya, Yipha Yauci dan Ti Kuang Beng menjadi kaget. Shin Kiam Pangcu tiba-tiba berdiri, menendang meja dan bangku berteriak dengan suara keras.
"Kau sudah tahu diriku yang sebenarnya?"
"Memang!"
"Bagaimana bisa tahu?"
"Kau tidak perlu tahu! Perbuatan jahatmu membuat langit menjadi marah dan orangpun menjadi benci. Hari kematianmu sudah tidak lama lagi."
"Hahaha.."
Dalam gemuruh suara ketawanya dia melepas selendang penutup mukanya. Berkata lagi.
"Boleh kau lihat wajah asliku, supaya matipun kau akan puas. Hahaha.."
Pertama kali ini Pui Cie melihat wajah asli si pengkhianat.
Kelihatan umurnya antara empat puluh lima lebih lima puluh kurang.
Selain sorotan matanya yang tajam, ada sedikit kebengisan, panca indera normal, romannya lumayan, bisa termasuk lelaki tampan.
Yipha Yauci dan Ti Kuang Beng bersama-sama mengkerutkan keningnya.
Mata Shin Kiam Pangcu mengeluarkan sinar iblis dan dia berkata.
"Aku akan membunuhmu dengan kedua tanganku!"
Pui Cie dengan geram berkata.
"
Bunuhlah! Aku adalah generasi ketiga yang menjadi korban keganasanmu. Arwah couwsu akan mengawasimu!"
Itulah rahasia perguruan.
Orang luar luar pasti tidak mengerti.
Yipha Yauci dan Ti Kuang Beng wajahnya terlihat bimbang, bingung oleh perkataan si Baju Ungu.
Shin Kiam Pangcu mulai menggerakkan kaki...
Ilmu silat Pui Cie sudah lenyap, sama sekali tidak bisa mengadakan perlawanan, hanya bisa pasrah menunggu mati.
Tiba-tiba luar penjara datang suara berkata.
"Lapor!"
Shin Kiam Pangcu berhenti berjalan, dipasang lagi penutup mukanya. Ti Kuang Beng bertanya dengan suara keras.
"Siapa itu?"
Suara di depan pintu itu menjawab.
"Penguus Utama, perkumpulan kita bagian luar Lao Cao ada urusan penting mau melapor ke Pangcu!"
Shin Kiam Pangcu dengan suara rendah berkata.
"Suruh dia masuk!"
Seorang laki setengah baya masuk dengan langkah besar setelah memberi hormat lalu berkata.
"Salam untuk Pangcu!"
Pui Cie melihat orang setengah baya ini adalah orang yang datang ke losmen menjemput dirinya kemudian ditengah jalan dijatuhkan dari kudanya itu, tak disangka dia menjabat sebagai Pengurus Utama juga. Shin Kiam Pangcu bertanya.
"Urusan penting apa?"
Pengurus Utama cabang yang bermarga Lao Cao itu membungkukkan badan berkata.
"Menurut berita dari anak buah, Pui Cie telah muncul di Cao Yang."
Pui Cie terharu hatinya, dia tahu ini pasti perbuatan Bo Ta Su Seng. Shin kiam Pangcu mengibaskan tangannya berkata.
"Ya, sudah tahu pergilah! Perintahkan awasi dia dengan cermat!"
Pengurus Utama cabang Lao Cao berlalu dengan hormat,"Terima perintah!"
Yipha Yauci matanya bersinar, mukanya berobah tapi orang lain tidak memperhatikannya. Pui Cie yang duduk bersandar tepat di depannya bisa melihat semua itu. Shin Kiam Pangcu memandang Ti Kuang Beng, berkata.
"Pengurus Utama!"
"Hamba disini!"
"Segera atur! Siapkan operasi malam."
"Menurut perintah!"
Sorotan mata Shin Kiam Pangcu yang bengis memandang Pui Cie yang sedang duduk bersandar di tembok, dengan suara menyeramkan dia berkata.
"Pergilah selangkah lebih dulu dari Pui Cie!"
Seraya mengangkat tangannya. Pui Cie sepasang mata melotot, tidak berkedip dengan amat benci dan dendam dia memandang musuhnya. Yipha Yauci matanya berputar, dengan cepat-cepat berkata.
"Pangcu! Jangan bunuh dulu dia sekarang!"
Shin Kiam Pangcu memutar kepalanya berkata.
"Kenapa?"
"Aku ada sebuah akal."
"Penasihat Utama ada akal apa?"
"Pangcu silakan kemari! Aku akan katakan!"
Shin Kiam Pangcu menurunkan telapak tangannya. Dia berjalan ke tepi pintu penjara, Yipha Yauci mendekat dan berbisik di tepi telinganya. Shin Kiam Pangcu merenung agak lama baru berkata.
"Ini terlalu beresiko."
Yipha Yauci ketawa dan berkata.
"Aku yakin, ini tidak akan meleset, dijamin!"
Shin Kiam Pangcu terdiam lama, matanya memandang Pui Cie, Lalu dia menganggukan dan berkata.
"Baiklah! Penasihat Utama boleh mencoba, tapi hati- hati."
Yipha Yauci tertawa dan berkata.
"Hamba akan hati-hati menjalankan tugas ini."
Shin Kiam Pangcu mata berkedip-kedip dengan suara rendah berkata.
"Orang ini aku serahkan padamu!"
Habis bicara, dia angkat kaki meninggalkan tempat itu.
Pui Cie bingung sekali.
Entah siasat apa yang disusun Yipha Yauci.
Karena ilmu silatnya sudah lenyap, dan dirinya berada dalam tahanan bawah, banyak berpikir juga percuma.
Yipha Yauci menutup rapat-rapat pintu penjara, lalu membalikan badan mendekati Pui Cie.
Dengan suara kecil berkata.
"Si Baju Ungu, kelihatannya kau seperguruan dengan Pui Cie?"
Hati Pui Cie tergugah, dia langsung bilang.
"Ya!"
Yipha Yauci matanya berputar, mengerutkan kening mengangguk, lalu berkata.
"Apakah kau tahu, kau mau dihukum mati?"
Pui Cie menggigit bibir berkata.
"Apakah artinya mati, aku sudah tidak perduli."
Yipha Yauci alis halusnya terangkat. Berkata dengan suara yang lebih rendah lagi.
"Aku bisa menolongmu, asal kau mau membantu aku menyelesaikan sebuah urusan."
Mencari kesempatan hidup adalah watak setiap manusia.
Apalagi bagi seorang pesilat, mati juga harus pada tempatnya, mendengar perkataan Yipha Yauci tergerak juga hati Pui Cie.
Dia berpikir, barusan dia berbisik-bisik dengan Shin Kiam Pangcu mungkin mau menjalankan suatu siasat.
Dia berkata dengan suara masam.
"Kau mau melakukan permainan apalagi?"
"Perkataan yang benar!"
"Aku bukan anak umur tiga tahun!!"
"Kau sekarang adalah kura-kura dalam guci, takut apa untuk bertaruh nyawa sekali lagi? Anggap saja berjudi, kau sekarang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk kalah. Bukankah begitu?"
Betul juga, orang sudah pasti harus mati, apalagi yang harus ditakuti? Setelah dipikir-pikir lalu Pui Cie berkata.
"Baiklah, katakan saja apa yang kau inginkan?"
"Bawa aku menemui Pui Cie!"
"Kau mau bertemu dengan Pui Cie?"
"Emm!"
"Kenapa?"
"Sebab... aku..."
"Kau bisa berjasa luar biasa membantu perkumpulan Shin Kiam Pang, melenyapkan satu musuh kuat."
"Kau salah. Aku., beritahumu sebenarnya, aku belum pernah jatuh cinta pada seseorang, tapi begitu aku bertemu dengan Pui Cie, aku... tak bisa menahan perasaanku. Aku suka padanya."
Hati Pui Cie bergetar keras, dinilai dari perbuatannya dan pertama sampai sekarang, perkataannya bisa dipercaya, niat untuk mencari jalan hidup bertambah lagi.
Dia bukan takut mati, tapi belum boleh mati, sesudah berfikir begitu, dengan perlahan dia berkata.
"Bagaimana caramu menolongku?"
Sepasang mata Yipha Yauci bersinar, dengan sangat girang dia berkata.
"Kau setuju mempertemukan aku dengan Pui Cie?"
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan tidak ragu-ragu Pui Cie menjawab.
"Bisa!"
Tentu bisa sebab yang di nginkannya adalah dirinya sendiri. Sepasang mata Yipha Yauci bersinar indah, ditarik-tariknya selendang sutra merah di pundaknya, dia berkata dengan genit.
"Kau juga harus beritahu tentang masalah perkawinannya..."
Ini seperti duri menusuk tempat sakitnya Pui Cie, dengan menggigit bibir berkata.
"Tidak ada apa-apa yang bisa diberitahu padamu, perkawinnanya hanyalah sebuah sandiwara yang menyedihkan."
"Sandiwara menyedihkan?"
"Ya!"
"Kalau begitu dia tidak mencintai istrinya?"
"Aku hanya bisa berkata begitu saja."
Yipha Yauci menengadah kepalanya, berpikir dengan serius, dibawah sorotan lampu, potongan wajahnya sangat memikat, boleh dibilang salah satu perempuan cantik di dunia persilatan.
Tidak terasa hati Pui Cie ikut melamun, lama sekali Yipha Yauci memandang Pui Cie dengan tegas berkata.
"Disini kita tidak boleh berkata banyak, sekarang aku pulihkan dulu ilmu silatmu..."
Pui Cie merasa senang sekali., selagi mau bicara Yipha Yauci dengan isyarat tangannya melarang, secepat kilat dia menjulurkan jarinya, ditotoknya beberapa kali tubuh Pui Cie.
Segera udara pernafasan yang utama mulai berputar tenaga murninya sudah pulih, Pui Cie senang luar biasa.
Dengan suara amat kecil, Yipha Yauci berkata.
"Ingat, kau tidak boleh menunjukan bahwa tenaga dalammu sudah pulih, harus berpura-pura seperti yang masih le,mah, tetapi harus terus waspada, sedikitpun tidak boleh kecolongan sekali gagal habislah semua. Sekarang kau tunggu sebentar, aku mau mengatur dulu semua!"
Habis berkata dia membuka pintu penjara lalu pergi.
Orangnya sudah menghilang, tapi bau wanginya masih tersisa.
Pui Cie merasa semua diluar dugaan, tapi hati juga kusut, Yipha Yauci berbuat begitu karena cinta.
Apakah dirinya bisa menerima cintanya? Apakah akibatnya? Diri sendiri sudah menikah, meskipun melakukan perkawinan yang menyedihkan.
Tapi nama suami istri tetap ada.
Bagaimana menyelesaikannya? Kalau dia ditolak, harapan hidup di depan mata hilang, harapan almarhum suhu dan janji- janjinya dengan orang lain semua tak akan terlaksana...
Semua bertentangan, kesusahannya tidak akan dapat dipecahkannya.
Di dunia ini untung dan rugi, baik dan buruk sama seperti satu barang dua muka menyatu.
Susah dinilai juga susah dibuang dan diambil.
Dalam keadaan melamun, sesosok bayangan muncul.
Dia ketua Shin Kiam Pang, Phei Cen.
Darah Pui Cie mendadak menjadi bergolak, dia ingin sekali menyergap Tapi setelah dipikir lagi dengan mengandalkan tangan kosong mana bisa menangkap musuhnya? Thu Sing Sien masih di tangan musuh, adalagi Pa kiam, papan nama hitam kecil, buku pusaka, Giok Ju Yi semua, tentu sulit diambil kembali.
Ada pepatah mengatakan, selama gunung masih hijau tidak takut kehabisan kayu bakar.
Urusan kecil tidak bisa disisihkan, pasti akan merusak semua urusan besar, pesan Yipha Yauci masih mengiang di telinganya.
Akhirnya dia bisa menahan diri dengan terpaksa, pura-pura seperti bodoh.
Shin Kiam Pangcu mendekat, memandang Pui Cie lama sekali.
Kemudia Pangcu mengangguk, dia merasa puas.
Balik badan dan pergi.
Pui Cie geram sampai hampir menyemburkan darah, untung semua masih bisa teratasi.
Sejam kemudian Yipha Yauci yang pergi sudah kembali lagi, dia sudah berganti pakaian.
"Aktingmu bagus sekali!"
Katanya. Yipha Yauci menyodorkan Pa kiam berkata.
"Pasangkan, kita pergi!"
Pui Cie memasang pedangnya di pinggang, tegang, terharu juga ada sedikit penyesalan sebab dirinya membohongi Pipha Yau Ci. Pipha Yayci berkata lagi.
"Kalau kau keluar harus bunuh satu orang!"
Pui Cie spontan terperanjat berkata dengan suara bergetar ,"Bunuh satu orang?"
"Ya!"
"Siapa?"
"Thu Sing Sien!"
Pui Cie membelalakan mata menyorotkan sinar yang menakutkan. Dengan kesal berkata ,"Tidak bisa!" ,'Jangan keras-keras! Kau mau merusak rencana? Suruh kau membunuh itu hanya pura-pura seolah-olah kau masih dalam genggamanku..."
"Bunuh Thu Sing Sien tidak bisa!"
"Dia bukan Thu Sing Sien sebenarnya!"
"Apa? Dia..."
"Dia adalah anak buah yang melanggar aturan didandan seperti Thu Sing Sien, waktu kau masuk keruang sidang, Pertunjukan itu hanya mau mengujimu saja!"
Satu lagi kejadian yang diluar dugaan, Pui Cie pelan-pelan bertanya.
"Benarkah?"
Yipha Yauci berkata lagi.
"Ini tidak bohong. Kalau aku membohongimu apakah Pui Cie akan memaafkanku?"
Pui Cie menghela nafas dalam-dalam dari perbuatan ini, bertambah kelihatan betapa keji dan kurang ajarnya Phei Cen itu, dia langsung mengangguk.
"Ya, bagaiman kau saja!"
Yipha Yauci berkata.
"Ingat, kau hanya boleh mendengar perintahku saja. Aku bilang apa kau lakukan saja."
Pui Cie mengatupkan gigi.
"Aku sudah mengerti!"
Dia membuntuti Yipha Yauci keluar dari penjara bawah tanah, naik ke tangga, diluar sana ternyata adalah ruang sidang, ternyata Thu Sing Sien gadungan masih seperti semula terikat, di bangku kayu dijaga oleh dua orang algojo.
Karena sudah tahu keadaan sebenarnya, terlihatlah dia hanya dirias saja.
Pui Cie teringat kejadian tiga hari yang lalu pada saat itu Thu Sing Sien menyebut dirinya Ong Giok.
Ternyata dari Phei Cen sampai bawahannya tidak ada yang tahu jati dirinya.
Waktu itu dia merasa aneh ternyata hanya begitu saja kejadiannya.
Yipha Yauci berkata.
"Si Baju Ungu, bunuhlah dia!"
Tangannya menunjuk Thu Sing Sien gadungan di atas bangku kayu.
Pui Cie sama sekali tidak ragu lagi dia mencabut Pa Kiam nya.
Thu Sing Sien gadungan tidak berekspresi, mungkin dia telah ditotok.
Pui Cie angkat pedang langsung ditusukkan ke ulu hatinya, tidak ada suara mengerang.
Ketika pedang dicabut, darah menyembur seperti pancuran, pedang sudah dimasukkan lagi ke dalam sarungnya.
Peristiwa ini dari mula sampai akhir hanya berlangsung dalam sekejap mata saja.
Air muka Pui Cie pun tidak berubah sama sekali karena yang dia bunuh adalah orang Shin Kiam Pang.
Terdengar suara Shin Kiam Pangcu dari balik tirai kain.
"Bagus, jalankan rencara seperti semula!"
Yipha Yauci mengangkat muka, memberi aba-aba supaya Pui Cie mngikutinya.
Diluar sudah disiapkan dua ekor kuda, dengan seorang satu tunggangan,, mereka secepatnya meninggalkan perkampungan Shin Kiam Pang, sinar bintang di langit sudah teringgal sedikit sekali, sekarang sudah mendekati waktu subuh.
Sepanjang jalan Pui Cie merasa kesal dan benci campur aduk.
Tadinya permainan catur yang bagus sudah diatur, tak disangka masuk gunung, pusaka hilang, pulang dengan tangan hampa, dengan kondisi yang begini, selanjutnya entah bagaimana..
Keluar dari persimpangan sungai sampai di jalan umum, di ufuk timur mulai memutih, hari mulai terang.
Yipha Yauci berkata.
"Mulai sekarang gerak gerik kita diawasi, Pui Cie sebenarnya ada dimana?"
Sudah dipikir-pikir Pui Cie berkata,"Belum tahu, harus mencari orang yang bisa menghubunginya."
Yipha Yauci bierkata lagi.
"Baiklah! Sekarang kita cepat-cepat menuju ke Utara, Nanti baru belok ke kiri, kita lihat apa bisa menghindar dari orang-orang yang membuntuti." -- Gurauan menjadi serius Pui Cie dan Yipha Yauci melarikan diri beberapa puluh li ke Utara, kemudian mereka berbelok ke Barat, Tengah hari, sampailah di sebuah kota kecil di tepi sungai Tang. Yipha Yauci kemudian membuat rencana. Dua ekor kudanya di kat di depan sebuah toko besar dijalan utama, dengan cara diam-diam pergi ke ujung kota, mereka berdua pergi dengan berjalan kaki. Setelah mereka berdua jauh meninggalkan kota, masuklah kedalam kota tiga ekor kuda dengan penumpang satu orang tua dan dua orang anak muda, orang tua itu memberi isyarat menyuruh dua anak muda itu turun terlebih dahulu. Dia menunjuk kedua ekor kuda yang di kat di depan sebuah toko, kemudian mengangguk dan langsung masuk kedalam kedai kopi untuk mengintai, mereka memilih tempat didepan pintu agar mudah melihat sasarannya. Setengah jam kemudian orang tua itu memukul meja, dan berkata.
"Celaka, kita telah terkecoh."
Dua anak pemuda itu terkesiap, hampir bersamaan berkata.
"Terkecoh?"
Orang tua dengan muka penuh kemarahan berkata.
"Di depan penginapan itu bukan kedai kopi, hanya sebuah toko keperluan sehari-hari tidak mungkin mereka membeli barang-barang keperluan seperti itu, kita sudah tertipu siasat keong melepas cangkang! Tentu mereka sudah kabur!"
Salah satu pemuda itu berkata.
"Mana mungkin! Itu penasihat..."
Orang tua itu berkata lagi.
"Aku semalam dapat kabar kilat dari pusat, bahwa harus berhati-hati dengan Penasihat Liu, tidak disangka benar-benar terjadi!"
Salah satu pemuda dengan perasaan tegang berkata.
"Kepala cabang... Mungkinkah?"
Orang tua itu melotot, berkata.
"Bukan soal mungkin tak mungkin, kenyataan sudah terjadi di depan mata., dua jam yang lalu mereka tiba-tiba merubah arah perjalanan tanpa meninggalkan tanda, Sudah tentu mereka ingin lolos dari pantauan kita..."
Pemuda yang satu lagi berkata.
"Ini... apakah Penasihat Liu menyukai si Arang Hitam itu?"
Orang tua dengan geram berkata.
"Kau tahu apa? Si Baju Ungu memang seperti arang hitam tapi adik seperguruannya Pui Cie tampan luar biasa!"
Si pemuda menjadi kuatir, bertanya.
"Sekarang kita harus bagaimana?"
Orang tua itu berfikir sejenak lalu berkata lagi.
"Kalian berdua salah seorang menuju ke Utara, satu lagi ke Barat terus mengejar, aku akan mengirim berita darurat dulu ke pusat, nanti baru menuju ke Selatan, ingat jangan menggoyang rumput mengagetkan ular, kalau ada titik terang, kirim berita secara rahasia! Sekarang langsung berangkat." -- Pui Cie dan Yipha Yauci setelah menyebrang sungai Tang terus membelok menuju ke Utara, mereka memilih jalan yang kecil dan sunyi, matahari sudah turun ke Barat, di depan mata mereka terlihat sebuah kelenteng yang sudah terlantar. Yipha Yauci menunjuk ke depan dan berkata.
"Kita tak perlu lari membabi buta lagi, istirahatlah dulu di dalam kelenteng."
Pui Cie mau tidak mau mengangguk.
Mereka berdua segera masuk ke dalam kelenteng, terlihat rumput ilalang tumbuh setinggi orang, semua terlihat sangat terlantar, ruang utamanya penuh dengan sarang laba-laba, keadaan di dalam juga terlihat sangat parah, tidak ada tempat untuk berteduh, mereka berdua hanya bisa duduk-duduk saja di tangga.
Yipha Yauci tertawa-tawa dan berkata.
"Kelenteng ini kelenteng Budha lapar atau Dewa Miskin?"
Pui Cie tidak ada selera untuk bercanda, hatinya terasa tertekan, tindakannya kali ini telah gagal total, ditambah lagi hutang budi kepada Yipha Yauci, yang mau tidak mau harus diterimanya, dia merasa tidak tahu harus berbuat bagaimana.
Yipha Yauci berkata lagi.
"Si Baju Ungu, bagaimana caranya mencari Pui Cie?"
Pui Cie dengan pelan menjawab.
"ini... sekarang aku belum bisa memberitahu nona."
Yipha Yauci berujar lagi.
"Kalau begitu bukankah aku menjadi bunga dalam kaca bulan dalam air?"
Pui Cie berkata.
"Tidak juga begitu, malah., nona demi diriku telah mengkhianati Shin Kiam Pang.."
Yipha Yauci dengan kalem berkata.
"Bukan demi dirimu, tapi demi diri Pui Cie."
Kata-kata yang blak-blakan ini membuat muka Pui Cie menjadi panas. Tiba-tiba Yipha Yauci memukul Phipanya dengan keras.
"Kita telah bebuat salah!"
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pui Cie terkejut.
"Apa yang salah?"
"Kita tidak boleh terlalu cepat menhindari orang yang membuntuti kita!"
Kata Yipha Yauci.
"Pangcu sebenarnya mau bunuhmu, berhubung pengintai berkata bahwa di Cao Yang telah menemukan Pui Cie, maka aku memutar otak dan memberi ide memakai dirimu untuk memancing Pui Cie dan membiarkan dirimu pergi melawan Pui Cie. Jago-jago di Shin Kiam Pang semua sudah setuju dan akan memberi bantuan dalam gerakan ini. Waktu kita berangkat pergi semua sebenarnya hanya sandiwara saja, dan sekarang malah terjadi yang sebenarnya. Begitu kita meloloskan diri dari penguntip, mereka akan segera menyadari dan akan memburu kita sekuat tenaga..."
"Aku malah takut pihak musuh tidak muncul!"
"Mata-mata musuh ada di mana-mana, kemana pun kita pergi kita akan tertekan. Bagaimana bisa mencari Pui Cie?"
"Jangan khawatir!"
Yipha Yauci tiba-tiba berdiri, dengan geram berkata.
"Apa kau sedang membohongiku?"
Pui Cie balik terkejut.
"Membohongimu?Apa maksud perkatannmu?"
Yipha Yauci dengan wajah dingin berkata.
"Aku5 ingat, sewaktu di penjara bawah tanah kau menyanggupi membawaku menemui Pui Cie, Pui Cie telah muncul di Cao Yang, kau juga mengiyakan, sekarang kita malah berjalan kearah yang berlawanan. Apa maksudmu?"
Pui Cie berdiri perlahan-lahan, dia ingin menjelaskan semuanya tapi kata-katanya susah diucapkan.
Sastrawan Pengecut yang sengaja muncul sebagai Pui Cie maksudnya tentu untuk membingungkan pandangan dan pendengaran musuh sehingga dirinya leluasa menjalankan rencana.
Rahasia ini mana boleh diberitahu? Berpikir sejenak dia lalu berkata.
"Aku jamin diriku sama sekali tidak membohongi nona!"
Yipha Yauci sama sekali tidak mau mengerti.
"Baiklah! Kita segera balik ke Cao yang!"
"Bukankah kau berkata tidak perduli!"
"Memang, tapi di Cao Yang pun belum1 tentu bisa bertemu dengan Pui Cie.."
"Pui Cie musuh bebuyutan Shin Kiam Pang, Cao Yang markasnya Shin Kiam Pang, jika Pui Cie muncul disana pasti ada sebabnya, dia tak mungkin berlama- lama disana..."
"Perkataanmu ini tidak masuk diakal. Dia muncul di Cao Yang pasti ada mauya. Mana mungkin cepat-cepat pergi lagi, kau jangan asal bicara saja, aku tidak ngerti apa maksudmu..?"
Pui Cie tidak bisa menjawab memang apa yang dia katakan bukan alasan yang tepat, hatinya sedang mempertimbangkan apakah harus membuka jati diri yang sebenarnya? Tapi kalau jati dirinya sudah terbuka, harus bagaimana menghadapinya? Dia begitu mencintai Pui Cie.
Kalau tidak ada hutang budi atas pertolongannya, tentu dia tidak perduli, tapi...sekarang tidak boleh...
Yipha Yauci mendekati Pui Cie, menengadahkan lehernya dan bertanya.
"apakah kau benar tidak membohongi aku?"
Nafasnya begitu dekat. Suaranya yang mendesah begitu membingungkan. Pui Cie pelan-pelan berkata.
"
Nona Liu, aku harus berkata apa supaya kau baru per..."
Perkataaan belum habis, dia merasa tulang rusuknya kesemutan.
"bluk"
Dia terjatuh, peristiwa lama terulang lagi, tenaga dalamnya sudah tersumbat lagi, hati dan perasaan Pui Cie tersentak, dia sama sekali tidak berpikir Yipha Yauci bisa bertindak begitu tiba-tiba, dengan suara yang bergetar dia berkata.
"Nona liu, kau., kau apa-apaan?"
Yipha Yauci ketawa kecut beberapa kali lalu berkata.
"Si Baju Ungu, aku telah membohongimu. Aku menempuh bahaya, menolongmu dikarenakan mau bertemu Pui Cie. mati hidupmu tidak ada sangkut pautnya denganku, karena kau tidak menepati janjimu, lebih baik kau kubawa pulang lagi dan kuserahkan kepada pihak musuh."
Urusan sudah memdesak, rasanya tidak mungkin lagi tidak membuka rahasia dirinya, kalau tidak ada bukti yang nyata, biar lidah tergantung bunga terataipun dia tidak akan percaya. Setelah menghela nafas, Pui Cie terpaksa bertanya.
"Nona Liu, apakah kau pernah memdengar sebuah barang yang namanya pil pengubah rupa?"
Perkataan dari Si Baju Ungu membuat Yipha Yauci menjadi bingung, sambil mengurut jidat dia berkata.
"aku pernah mendengar, apa maksudnya berkata begitu?"
"Aku sedang menyamar!"
"Ow! Kau... benar sedang menyamar?"
"Aku... adalah Pui Cie!"
Yipha Yauci yang berbadan mungil tergetar hebat, dia mundur beberapa langkah, dengan suara gemetar dia berkata.
"Aku tidak percaya!"
"Betul!"
"Suaramu..."
"Berubah karena obat juga!"
"Yipha Yauci melangkah lagi ke hadapannya, meneliti beberapa kali pada Pui Cie, dengan terharu dia berkata.
"Melihat romannya sih mirip. Tapi... tapi aku tidak percaya!"
"Harus bagaimana baru kau percaya ?"
"Yang muncul di Cao Yang apakah rohmu?"
"Ini... perbuatan temanku, dia sengaja berdandan miripku dan menampakan dirinya dengan maksud untuk mengelabui identitasku."
"Benarkah begitu?"
"Sedikitpun tidak bohong."
"Buktikan padaku!"
Pui Cie memasukkan tangannya ke dalam kantong baju mencari-cari, syukurlah...
dia masih dilindungi oleh Thian, Pil Putih untuk mengembalikan wajah aslinya tidak hilang, pil itu tidak ikut disita oleh Phei Chen.
Pil itu diambilnya lalu langsung dimasukkan ke dalam mulutnya.
Yipha Yauci yang berdiri di sisi melihat dengan seksama dengan tertegun.
Bulan sudah mulai mnampakkan dirinya dari balik genting kelenteng, cahayanya menyinari halaman yang terlantar.
Hanya sebentar saja, Yipha Yauci menjadi girang sekali dan berseru.
"Benar ternyata dirimu!"
Pui Cie manghela nafas.
"Cepat buka totokan nadiku!"
Yipha Yauci sepasang mata indahnya bersinar-sinar, diam-diam memandangi muka Pui Cie yang terlihat sangat tanpam, perasaan dan pandangan matanya yang bergelora hampir tidak terlampiaskankan, lama sekali. Baru bertanya dengan suara manja.
"Perlahan saja, aku mau bertanya dulu sepatah kata denganmu!"
Yipha Yauci menggigit bibir bawahnya, dengan suara yang bisa mengundang orang terpesona dia bertanya.
"Kau suka aku tidak?"
Hati Pui Cie melayang, lama tak bisa menjawab, saat itu mendadak muncul satu suara yang amat dingin berkata.
"Nona Liu, kau benar-benar tidak tahu malu!"
Pui Cie dan Yipha Yauci bersamaan tersentak, Yipha Yauci menyentak berkata.
"Siapa itu?"
Pui. Cie segera merasa keadaan menjadi tidak beres, dengan suara mendesak berkata.
"Cepat buka totokanku!"
Yipha Yauci juga segera sadar, dia memutar badannya mengulur tangan...
dalam waktu yang bersamaan segulung angin dari telapak tangan yang amat keras menerjang, Yipha Yauci terdorong sampai beberapa langkah, Pui Cie ikut terguling ke bawah tangga.
Sesosok bayangan orang muncul dari dalam ruangan kelenteng yang butut itu, seorang tua berambut putih yang bermuka sadis, sepasang matanya bersinar seperti aliran listrik.
Yipha Yauci merasa terkejut dan memekik.
"Penasihat Utama!"
Orang tua berambut putih itu tertawa terbahak-bahak dan berkata.
"Liu Siang E, tidak disangka kau adalah perempuan yang begitu murahan! Berani sekali mengkhianati perkumpulan, kalau aku tidak membawa kau pulang untuk dihukum sesuai dengan aturan perkumpulan, anggota yang lain tentu tidak akan bisa menerima!"
Muka Yipha Yauci menjadi amat jelek, badannya yang mungil bergoncang keras, dia mendekati Pui Cie ingin mencoba membuka totokannya, tapi orang tua berambut putih itu dengan satu tangan mendorong sambil memekik.
"Kembali!"
Terdengar suara angin telapak tangan bercampur suara gemuruh, sangat menakutkan, Yipha Yauci terhempas dan terguling kembali.
Pui Cie cemas sekali, totokannya tidak bisa terbuka, dia tidak bisa menolong Yipha Yauci, juga tidak bisa menolong dirinya sendiri.
Dalam suara angin yang menderu beberapa puluh orang seperti kilat telah tiba, mereka segera berpencar mengepung, Ti Kuang Beng juga berada disana.
Diantara orang yang datang ada juga seorang yang seperti orang terpelajar, begitu masuk Pui Cie langsung dicengkramnya.
Yipha Yauci sekali lagi mencoba memburu.
"Pang", terdengar suara mengaduh, Yipha Yauci sudah dihempas lagi oleh satu dorongan tangan orang tua berambut putih. Dua orang pengawal segera maju, kesebelah kiri dan kanan mengapit Pui Cie di kedua sisi. Pui Cie cemas dan marah bercampur aduk, hampir dia pingsan. Yipha Yauci segera memetik phipanya. Suara phipa segera terdengar memekakkan telinga dan mengalun disekitar tempat itu. Selain si tua berambut putih, semua muka orang ditempat itu menjadi pucat, suara phipa begitu cepat dan keras, seperti hujan angin tiba, juga seperti gelombang air laut yang menggulung. Orang tua berambut putih itu memekik keras.
"Hentikan suara phipa bututmu!"
Berbareng itu sepasang tangannya mendorong seperti gelombang ganas memecah pantai. Terdengar suara mengaduh suara phipa pun berhenti mendadak, tubuh Yipha Yauci pun kembali terhempas dilantai. Orang tua berambut putih itu memekik lagi.
"Cepat bawa tawanan yang penting itu, Pengurus Bu, kau yang bertanggung jawab."
Orang terpelajar yang menangkap Pui Cie, segera maju mengapit Pui Cie keluar pintu kelenteng.
Hati Pui Cie seperti mau hancur, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Yipha Yauci segera bangun dan duduk lagi, suara phipa yang memekik dengan keras berbunyi lagi, suaranya lebih kencang lebih memekakkan seperti mau memisahkan roh orang dari badannya masing-masing, orang tua berambut putih itu segera memberi perintah darurat lagi.
"Semua cepat-cepat mundur!"
Bersama Ti Kuang Beng semua orang mundur keluar, ada tiga orang pengawal yang tenaga dalamnya masih kurang, langsung bergelimpangan rubuh di tempat itu.
Orang tua berambut putih itu langsung duduk, mengerahkan tenaga dalam untuk melawan suara phipa.
Pui Cie dibawa kepala cabang Bu ke dalam hutan kira-kira setengah lie dari kelenteng rusak itu, didalam hutan itu terikat puluhan ekor kuda tunggangan yang ditunggangi mereka sewaktu datang ketempat itu, kepala cabang bermarga Bu itu melemparkan Pui Cie di tanah lalu di kat dengan seutas tali, dengan wajah dingin berkata.
"Pui Cie, sekarang kau harus terima nasib!"
Pui Cie tidak peduli dengannya, dia sedang mencari akal untuk menolong dirinya, pengalaman terakhir yang dia alami adalah dia bisa memakai ilmu istimewa membuka totokan urat nadi seperti yang tercantum dalam buku pusaka yang tidak ada taranya, sekarang yang diperlukan hanya waktu saja.
Sebuah bayangan manusia menyelinapi masuk ke hutan itu, segera kepala cabang Bu menghardik.
"Siapa?"
"Aku."
"Ow! Pengurus Utama, bagaimana keadaan dalam kelenteng?"
"Penasihat Utama sedang menghadapi si wanita murahan itu."
"Pengurus Utama ada petunjuk apa?"
"Ada perintah rahasia, mendekatlah kemari!"
"Ya!"
Terdengar suara mengaduh keluar, pengurus cabang marga Bu ternyata sudah jatuh terjungkal.
Pui Cie kaget sekali, kenapa Ti Kuang Beng membunuh orangnya sendiri? Ti Kuang Beng mendekati Pui Cie, kemudian menggunakan jarinya memutuskan tali pengikat dirinya dan berkata.
"Pui Cie, cepat lari!"
Habis berkata begitu dia langsung pergi.
Pui Cie heran luar biasa, kenapa Ti Kuang Beng membunuh anak buahnya sendiri dan menolong dirinya? Karena tidak bisa dipecahkan teka-teki ini maka dia tidak mau banyak memikirkan lagi.
Dia harus cepat membuka totokan untuk menolong dirinya dan Yipha Yauci, dia tidak boleh diam berlama-lama disitu, kalau ada orang yang datang lagi, bagi dia sama dengan sebuah jalan kematian.
Ilmu silatnya belum pulih tapi tenaga untuk berjalan masih ada.
Pui Cie berusaha berdiri dengan sempoyongan dia meninggalkan tempat ini masuk ke rimbunan pohon, mencoba membuka totokan.
Didalam kelenteng, orang tua berambut putih itu hampir berhasil mengalahkan Yipha Yauci, keringat bercucuran seperti hujan, mukanya terlihat pucat.
Muka Yipha Yauci juga terlihat menderita, kedua sisi mulutnya mengalir darah segar, suara phipa sudah menjadi pelan dan lemas, tenaga dalamnya sudah terlihat habis.
Kalau dilihat situasi pertarungan, orang tua berambut putih tampaknya mempunyai tenaga dalam lebih tinggi.
Yipha Yauci segera akan mati karena kehabisan tenaganya.
Dia telah mempertaruhkan nyawanya demi Pui Cie, tapi Pui Cie sejak semula tak pernah menyatakan cinta padanya.
Pantaskah dia? Di luar kelenteng, Ti Kuang Beng dengan puluhan jagoan, merasa suara phipa sudah hilang kemampuan membunuhnya, mereka beramai-ramai masuk ke dalam kelenteng, dari jauh-jauh mengurung Yipha Yauci.
Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pui Cie telah berhasil membuka totokannya, tenaga dalamnya sudah pulih, tanpa sadar dia mencopot baju ungunya, langsung terlihatlah baju putihnya, lalu dia langsung memburu ke dalam kelenteng rusak itu.
Orang tua berambut putih itu bersiul keras, lalu dia berdiri, suara phipa juga sudah berhenti.
Yipha Yauci mennyemburkan darah lagi.
Orang tua berambut putih tenaga dalamnya juga sudah terkuras banyak, badannya oleng, dengan mengangkat tangan dia berkata.
"Bawa pulang perempuan hina ini ke markas!"
Terdengan suara jawaban, dua orang prajurit dengan langkah besar mendekat ke tempat robohnya Yipha Yauci. Tapi tiba-tiba didepan badan Yipha Yauci muncul seseorang yang berbaju putih. Terdengar seruan kaget muncul disana sini.
"Pui Cie!"
"Pui Cie!"
"Pedang bengisku tidak mengenal ampun!"
Terdengar suara pekikan, sinar pedang yang angker memecah angkasa, sesaat kemudian terdengar jeritan yang memilukan.
Satu suara, dua suara...
bayangan orang-orang pun berhamburan...
Pui Cie sekali gerak sudah membinasakankan enam orang pengawal, sisanya segera melarikan diri, Pui Cie membalikkan badannya untuk membereskan orang tua berambut putih itu, tapi ternyata sudah melarikan diri, dengan geram sampai mengigit mulut, dia kembali ke sisi Yipha Yauci, begitu melihat, hatinya menjadi sakit, hampir dia meneteskan air mata.
Orang cantik itu seperti telah menjadi hantu.
Yipha Yauci yang terhempas ke sudut, mulut dan dadanya semua terlihat berwarna merah, bergelimpangan di lantai, mukanya pucat seperti kertas.
Sekujur tubuh Pui Cie menjadi gemetaran, telinganya berdenging, dengan gemetar dia memanggil.
"Nona Liu, Nona..."
Tidak ada reaksi. Apakah dia sudah meninggal dunia? Hanya karena cinta sepihak, bayaran yang dia keluarkan terlalu mahal. Mata Pui Cie mulai basah, mukanya buram sepasang kakinya menekuk, dia duduk berlutut dan memanggil dengan suara sedih.
"Nona Liu.. kau tidak boleh mati begitu saja., kau tidak..." -- Dapat besar balas kecil Pui Cie segera mengangkat tangan Yipha Yauci dan memeriksa, terasa nadinya sangat lemah dan terputus-putus. Apakah bisa hidup masih belum pasti. Karena lukanya bukan dari luar, tapi karena melawan musuh sampai kehabisan tenaga. Tangannya begitu halus mulus, empuk seperti tidak bertulang, untuk pertama kali Pui Cie menyentuh kulitnya. Tapi keadaan itu sedikitpun tidak menimbulkan pikiran yang bukan-bukan. Kalau dipikir-pikir terasa aneh sekali, Yipha Yauci pernah melawan dirinya bersama Phei Cen dan kawan-kawannya, sampai berniat membunuhnya. Tapi sekarang dia malah bertarung mempertaruhkan nyawanya untuk membela dirinya. Dulu Pui Cie berniat membunuhnya, tapi sekarang malah berniat menolongnya. Urusan di kolong langit selalu berubah-ubah dan tidak abadi! Kalau sampai tidak bisa menolongnya Pui Cie akan menyesal seumur hidup, sebab dia telah menolong Pui Cie keluar dari cengkeraman Phei Cen sekarang demi Pui Cie juga dia berada diantara hidup dan mati. Apa yang harus di perbuat? Luka semacam ini Pui Cie belum sanggup mengobatinya, kalau bertindak sembarangan malah akan mempercepat kematiannya, sebab nafasnya sudah teramat lemah, setiap saat bisa putus. Dan yang pasti Phei Cen segera akan mengumpulkan lagi jagoan-jagoan dari Shin Kiam Pang. Pui Cie merupakan duri ditubuhnya, bila tidak bisa membunuhnya hidupnya tidak akan tenang. Kalau bukan Yipha Yauci terluka parah dan terancam jiwanya, Pui Cie ingin sekali menunggu mereka kembali. Tapi karena sekarang dia harus menolongnya dia tak ingin terganggu. Pui Cie bersikap sangat tegas. Pedangnya disimpan. Alat musik phipa dia pungut dan disandang miring diatas pundak. Lalu dia menggendong badan Yipha Yauci yang mungil keluar kelenteng menysuri sungai terus pergi. Bulan begitu indah, tapi hati Pui Cie begitu kelam, dia tidak tahu harus bagaimana menolong perempuan yang sedang mabuk cinta ini. Badannya yang lemah berada dalam pelukan. Dia tidak bereaksi apa-apa, seperti sudah mati saja rasanya. Berlarian kira-kira satu jam Yipha Yauci tetap tidak hidup tidak mati. Sama sekali tidak ada perubahan. Kemudian sampailah dia di sebuah cekungan sungai. Air yang mengalir menjadi satu kubangan besar, disisi cekungan itu ada satu rumah gubuk, dengan tiang- tiangnya setengah terendam dalam air, kelihatan seperti barak ikan, tubuh Pui Cie mulai terasa lelah, jika berlari terus juga tidak baik, dengan adanya gubuk ini, sangat baik untuk tempat istirahat. Pui Cie menggendong Yipha Yauci mendekat ke dalam gubuk itu, gubuk itu tidak ada pintu di dalamnya kosong, hanya ada sebuah dipan yang terhampar, rumput kering yang terhampar diatas dipan itu sudah hancur, tapi kondisinya cukup memuaskan, segera Pui Cie membaringkan Yipha Yauci di atas dipan itu. Apa yang harus diperbuat sekarang ?Orangnya tidak bisa tidak harus ditolong... Dalam kerisauan ini membuat keningnya berkeringat, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam keadaan sama sekali tidak berdaya terpaksa dia mencoba-coba dengan cara yang umum, badan mungil itu dia putarkan kesamping supaya miring, kemudian dia duduk dipinggir dipan itu, namanya juga dipan hanya ada sekadar 2 batang kayu sebagai palang diatasnya, tingginya kira-kira setengah meteran, setelah duduk terasa pas sekali. Pui Cie menjulurkan tangannya ditempelkan di urat nadi mati hidup, bersiap-siap menyalurkan tenaga dalamnya supaya Yipha Yauci mendapatkan kembali kesadarannya, kalau dia sudah bisa siuman, yang lain akan menjadi lebih mudah. Sewaktu dia mau menyalurkan tenaga dalamnya saat itulah muncul sebuah suara yang berkata.
"Jangan mengusiknya dulu!"
Pui Cie terkejut, segera menarik tangannya dan membalikkan badan, tangannya juga sudah memegang tangkai pedang.
Seorang sastrawan berbaju biru berdiri di pintu tempat masuk rumah gubuk, ternyata dia adalah Sastrawan Pengecut.
Pui Cie mendapatkan kebahagiaan dari langit.
Tidak tahan berkata.
"Adik Hu! Bagus sekali kau datang!"
I Bo Ta Su Seng lihat ke dalam ruangan, memandang Yipha Yauci dan berkata.
"Siaute mendengar Shin Kiam Pang sedang mengumpulkan jagoan-jagoannya untuk mengepung twako kemari, semua kejadian itu siaute tahu!"
"Oh!"
"Twako tahukah siapa orang tua berambut putih yang melukai dia?"
"Siapa?"
"Penasihat Utama Shin Kiam Pang namanya Mei Ang San, bergelar Thong Tih Chiu (Tangan mencapai langit)."
"Dewa Ling Nan ini kungfunya tidak kalah dari almarhum gurumu, paling lebih rendah sedikit saja."
"Darimana dia?"
"Em! Aku nanti akan membikin perhitungan dengannya. Barusan adik Hu mencegah..."
"Ya! Jangan apa-apakan dia!"
"Kenapa?"
"Dia melawan Mei Ang San dengan suara phipanya, karena tenaga dalamnya kalah setingkat, jadi melukai dirinya sendiri, aku mencuri dengar si tua itu berkata, darahnya sudah mengalir berbalik arah sehingga menggempur jantungnya. Dewapun tak akan sanggup menolongnya..."
Pui Cie membelalakkan matanya, berkata dengan gemetar.
"Kalau begitu kita harus bagaimana?"
Kata Bo Ta Su Seng.
"
Keadaan darurat begini mau mencari tabib sakti sangat susah. Hanya satu cara..."
"Cara apa?"
"Mohon pertolongan suhunya!"
"Suhunya?"
"Ya. Yipha Yauci yang tulen."
"suhunya tinggal dimana?"
"Thi Ceng Tong!"
"berapa jauh jaraknya dari sini?"
"Siang malam tanpa berhenti, dua hari dua malam sampai!"
Pui Cie menarik nafas dalam-dalam, dengan menggeleng-gelengkan kepalanya berkata.
"Dia tak bisa menunggu begitu lama!"
Kata Bo Ta Su Seng.
"Tapi tidak ada jalan lain!"
Pui Cie dengan susah berkata.
"Kuatkah dia menahan goncangan selama dua hari dua malam?"
Bo Ta Su Seng mengerutkan alisnya berpikir keras.
"Begini saja, aku pergi menemui suhunya, twako tetap disini menunggu, dalam empat hari aku pasti kembali. Selain ini tidak ada jalan lain, aku punya beberapa butir pil untuk menjaga jantung dan nadi supaya jangan melemah. Sehari satu butir, semoga dia tahan sampai aku kembali."
Dengan gugup Pui Cie berkata.
"Apakah suhunya pasti bisa menolongnya?"
Bo Ta Su Seng menjawab.
"Sepertinya dia sanggup, aku pernah mendengar orang tua itu berkata.
"Yipha Yauci yang asli adalah kakak seperguruannya Kong Sun Bo Wei, seorang yang ahli dalam ilmu pengobatan yang mempunyai gelar Tangan Suci, jadi dia pun pasti paham ilmu pengobatan."
Pui Cie menggigit mulutnya berkat.
"Kalau begitu jalankan saja rencana kita!"
Bo Ta Su Seng mengeluarkan empat butir pil kepada Pui Cie, sesudah itu dia berkata lagi.
"Aku bawa phipanya sebagai bukti!"
Pui Cie mengangguk.
"Baik, kalau... dia sampai tidak bisa disembuhkan, phipa ini sama dengan kembali ketangan pemiliknya."
Bo Ta Su Seng mengambil phipa itu dan berangkat.
Pui Cie mengantar Bo Ta Su Seng, setelah itu dia segera balik ke sisi dipan, memberi satu butir pil ke dalam mulut Yipha Yauci, diusapnya urat nadi leher supaya pil itu lancar turun ke perut.
Empat hari betul-betul waktu yang cukup lama, apa boleh buat, dia harus menunggu, yang sangat dikuatirkan adalah apakah dia bisa bertahan selama empat hari? Bulan dan bintang mulai menghilang.
Langit sudah memutih.
Angin yang bertiup membuat badan terasa dingin.
Pui Cie tiba-tiba terpikir masalah makanan selama empat hari ke depan, dia sama sekali tidak boleh meninggalkan.tempat ini.
Dan gubuk ini bukan tempat yang tidak bertuan, hari sudah terang si pemilik gubuk pasti datang, rahasia tempat dia bersembunyi apabila sampai diketahui oleh kaki tangan Shin Kiam Pang akan banyak mendapat kerepotan, disekitar ini adalah hutan belantara yang belum dibuka, kalau dia berganti tempat terlalu jauh, Bagaimana bila Bo Ta Su Seng kembali ? Hari sudah terang, Pui Cie mencelupkan sapu tangannya dengan air sungai, kemudian membersihkan bercak darah di mulut Yipha Yauci agar bersih.
Matahari sudah terbit, dipermukaan sungai tampak seperti sisik emas berkilauan.
Dalam suara riak air sungai terdengar suara mengayuh perahu, dengan perlahan- lahan mendekat ke gubuk yang ditempati Pui Cie.
Pui Cie menjulurkan kepala memandang kepada sebuah perahu yang sudah sampai di tiang gubuk tersebut, seorang tua berbaju hitam dengan topi hijau sedang mengikatkan perahunya.
Pikiran Pui Cie secepat kilat berputar.
"Bagaimana mengatur cerita kepada nelayan ini?"
Nelayan tua setelah menambatkan perahunya dia meloncat ke atas tiang, menutar badan lalu masuk kedalam. Begitu dia melihat apa yang berada didalam dia memekik.
"Siapa kalian...kenapa begini...?"
Pui Cie mau berkata... Nelayan tua itu memutar kepalanya memandang Pui Cie, mukanya tiba-tiba berubah, mulut dan jenggotnya terus bergetar. Pui Cie membungkukan badannya dan memberi hormat, dengan tidak perasaan tidak enak bertanya.
"Apakah gubuk ikan milik bapak?"
Nelayan tua itu mengangguk dan berkata.
"Ya, gubuk ini punyalu."
Pandangannya seketika berubah ketika memandang Yipha Yauci yang berada diatas dipan. Pui Cie dengan malu-malu dan tertawa berkata.
"Maaf, aku tadi liwat didaerah sini karena kemalaman jadi..."
Nelayan tua dengan wajah dingin memotong perkataan Pui Cie.
"Wanita ini siapamu?"
Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Pisau Kekasih Karya Gu Long Hancurnya Sebuah Kerajaan Karya Siao Shen Sien