Ceritasilat Novel Online

Pendekar Riang 15


Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id Bagian 15




   "Kalau memang begitu, baiklah kupenuhi keinginanmu itu!"

   Sambil membalikkan badannya, tongkat berkepala naga yang berada di tangannya itu menusuk ke dalam Lim Tay-peng dengan jurus Hu-hoa-hud-liu (memisah bunga menyambar pohon liu).

   Yang dipergunakan untuk menyerang ternyata adalah gerakan jurus ilmu pedang.

   Bukan saja merupakan ilmu pedang, lagi pula merupakan semacam ilmu pedang yang paling enteng.

   Tongkat yang begitu panjang dan begitu berat, dalam permainan sepasang tangannya yang kecil dan putih itu ternyata berubah seakan-akan sedikitpun tidak berat.

   Kwik Tay-lok segera membentak keras.

   "Penyakitmu belum sembuh, biar aku saja yang menghadapinya!"

   Tapi sayang sekalipun dia ingin turun tangan menggantikan Lim Tay-peng, namun keadaan sudah terlambat.

   Gadis berbaju merah sudah melancarkan tujuh buah serangan berantai ke arah Lim Tay-peng, semua serangan dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, mana gerakannya enteng, arahnya juga tak menentu.

   Seluruh tubuh Lim Tay-peng segera terkurung dibalik ilmu lapisan pedang lawan yang amat dahsyat itu.

   Tampaknya kondisi badannya belum pulih kembali seperti sedia kala, maka ia tak punya kekuatan untuk melancarkan serangan balasan.

   Namun, ilmu pedang si nona berbaju merah yang demikian ketat dan dahsyatnya itu justru tak sanggup untuk menempel di tubuhnya, bahkan menjawil ujung bajunya pun tak dapat.

   Mendadak terdengar suara pekikan nyaring berkumandang memecahkan keheningan, tongkat panjang sembilan depa sudah menancap di atas tanah, sementara gadis berbaju merah itu bagaikan baling-baling cepatnya berputar di ujung tongkat itu dan menggulung ke tubuh Lim Taypeng dengan hebatnya.

   Dengan tindakannya ini, ternyata ia telah mempergunakan tongkat tersebut sebagai pangkal dari kekuatannya, sedangkan tubuhnya di gunakan sebagai senjata, jurus-jurus serangannya dilancarkan dengan penuh perubahan yang aneh dan sakti, semuanya jauh di luar dugaan.

   Lim Tay-peng bergerak ke sana ke mari dengan lincahnya, secara beruntun ia sudah mundur sejauh sembilan langkah lebih.

   Mendadak gadis berbaju merah itu berpekik nyaring, tubuhnya melejit ke tengah udara tongkatnya masih menancap di tanah, tapi di tangannya telah bertambah dengan sebilah pedang pendek yang memancarkan sinar tajam.

   Pedang itu sebenarnya memang disembunyikan di dalam tongkat tersebut, begitu berada di tangan, tubuh dan pedangnya segera melebur menjadi satu, kemudian orang berikut pedangnya secepat kilat menyambar ke tubuh Lim Tay-peng.

   Serangannya kali ini dilakukan amat ganas, lihay dan berbahaya sekali...

   Keringat dingin telah jatuh bercucuran membasahi seluruh tubuh Kwik Tay lok, bila dia yang menghadapi ancaman semacam itu, maka harapannya itu untuk meloloskan diri tidaklah besar.

   Tapi Lim Tay-peng seakan-akan sudah hapal sekali macam perubahan dari jurus serangannya itu.

   Walaupun pedang nona itu menyambar-nyambar dengan lihaynya, namun setiap kali tiba di hadapan Lim Tay-peng, tiba-tiba tubuh anak muda itu sudah berputar ke samping untuk menghindar.

   Suatu ketika, mendadak Lim Tay-peng melejit ke depan lalu mencabut tongkat yang menancap di atas tanah itu.

   Si nona berbaju merah itu segera berpekik nyaring, badannya melejit ke udara, kemudian setelah berjumpalitan di udara, dia membalikkan pedangnya sambil melepaskan tusukan.

   Lim Tay-peng sama sekali tidak berpaling, toyanya diputar sedemikian rupa menyongsong datangnya ancaman itu.

   "Cringgg....!"

   Letupan bunga api berhamburan, ternyata pedang pendek itu sudah terbenam sama sekali didalam tongkat tersebut.

   Nona berbaju merah segera melejit kembali ke udara, badannya berjumpalitan berulang kali, kemudian baru melayang turun ke atas tanah dan tepat di depan tandunya itu.

   Dengan pandangan tertegun dan melongo dia awasi wajah Lim Tay-peng tanpa berkedip.

   Kwik Tay-lok juga memandang kesemuanya itu dengan pandangan tertegun.

   ********************************* Halaman 53 hilang ********************************* Dia seakan-akan berubah menjadi amat emosi, bahkan kaki dan tangannya turut gemetar keras.

   Lim Tay-peng ragu-ragu sebentar, akhirnya pelan-pelan dia membalikkan badannya sambil bertanya.

   "Kau ingin bagaimana?"

   "Aku.... aku.... aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan saja."

   "Kalau begitu, tanya saja !"

   Nona berbaju merah itu mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, lalu berkata.

   "Kau adalah....!"

   "Benar!"

   Tukas Lim Tay-peng tiba-tiba. Nona berbaju merah itu segera mendepak-depakkan kakinya ke atas tanah, kemudian serunya.

   "Baik, kalau begitu aku ingin bertanya lagi, kenapa kau kabur pada waktu itu?"

   "Aku senang."

   Nona berbaju merah itu mengepal tinjunya semakin kencang, bibirnya turut memucat saking emosinya, dengan gemetar dia berseru.

   "Bagian mana dari tubuhku yang tidak mencocoki hatimu ? Kenapa kau harus membuatku malu ?"

   "Aku yang tak pantas mendapatkan kau, yang mendapat malu juga aku, bukan kau."

   Tukas Lim Tay-peng ketus.

   "Kini, kau telah kutemukan kembali, apa yang hendak kau lakukan sekarang ?"

   "Aku tak akan berbuat apa-apa."

   "Kau tidak bersedia untuk pulang ke rumah ?"

   "Kecuali kau membunuhku, dan menggotong mayatku pulang, kalau tidak, jangan harap"

   Sepasang mata nona berbaju merah itu menjadi merah padam, bibirnya berdarah karena digigit terlalu keras, serunya dengan gemas.

   "Baik, kau tak usah kuatir, aku tak akan menyuruh orang untuk memaksamu pulang, tapi suatu hari, aku akan menyuruhmu berlutut di depanku sambil memohon kepadaku, ingat saja pokoknya ada suatu hari seperti itu...."

   Ucapannya terakhir menjadi sesenggukan, ia seperti sudah lupa kalau kedatangan untuk mencari Lamkiong Cho, mendadak setelah mendepak-depakkan kakinya di tanah, ia melejit ke udara dan melayang keluar dari halaman tersebut.

   Semua pengikutnya juga turut pergi dari sana, sekejap mata kemudian bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan mata.

   Yang tertinggal hanya permadani berwarna merah penuh bertaburkan bunga indah.

   Malam semakin kelam, cahaya lentera semakin redup, dalam kegelapan sulit untuk menyaksikan bagaimanakah perubahan mimik wajah Lim Tay-peng.

   Ada sementara persoalan memang tak leluasa untuk ditanyakan, lebih-lebih tak perlu untuk ditanyakan.

   Lewat lama kemudian, Lim Tay-peng baru berpaling dan tertawa paksa kepada Kwik Tay lok, kemudian bisiknya.

   "Terima kasih."

   "Seharusnya akulah yang berterima kasih kepadamu, mengapa malah kau yang berterima kasih kepadaku?"

   "Sebab kau tidak bertanya kepadaku siapakah dia, juga tidak bertanya kepadaku mengapa bisa kenal dengannya."

   Kwik Tay-lok segera tertawa.

   "Bila kau bersedia untuk mengatakannya, sekalipun tidak kutanyakan kau juga akan berkata sendiri, sebaliknya bila kau tak bersedia untuk mengatakannya, mengapa pula aku mesti banyak bertanya?"

   Lim Tay-peng menghela napas panjang.

   "Ada sementara persoalan memang paling baik kalau tidak dibicarakan lagi....."

   Bisiknya.

   Pelan-pelan dia membalikkan badannya dan berjalan kembali ke dalam kamarnya.

   Memandang bayangan punggungnya yang kurus kering itu, timbul perasaan menyesal dalam hati kecil Kwik Tay-lok.

   Ia tidak bertanya, karena ia telah menduga siapakah gadis berbaju merah itu, apa yang dia ketahui, sesungguhnya jauh lebih banyak daripada apa yang diduga Lim Tay-peng.

   Ada sementara persoalan, sesungguhnya dialah yang mengelabuhi Lim Tay-peng, bukan Lim Tay-peng yang mengelabuhinya.

   Misalnya saja dengan peristiwa yang dialaminya bersama Yan Jit tempo hari, dimana mereka telah berjumpa dengan ibunya Lim Tay-peng, sampai sekarang Lim Tay-peng masih belum tahu apa-apa.

   Walaupun mereka berbuat demikian dengan maksud baik, namun dalam hati kecil Kwik Taylok selalu merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal dan amat tak enak rasanya.

   Selama ini, belum pernah dia merahasiakan sesuatu apapun di hadapan temannya, walau disebabkan oleh alasan apapun juga.

   Angin berhembus lewat, menghamburkan hancuran bunga yang berserakan di atas tanah.

   Kemudian dia mendengar suara dari Yan Jit.

   "Sekarang, tentu kau sudah tahu bukan, siapa gerangan gadis berbaju merah itu?"

   Tanyanya.

   Kwik Tay-lok mengangguk.

   Tentu saja ia dapat menduga kalau nona itu adalah calon istrinya Lim Tay-peng.

   Justru karena Lim Tay-peng enggan mendapatkan seorang istri macam begini, maka ia baru kabur dari rumahnya.

   Yan Jit menghela napas panjang, ujarnya.

   "Sampai sekarang, aku baru mengerti jelas, apa sebabnya dia kabur dari rumahnya"

   Kwik Tay-lok tertawa getir.

   "Aku saja tak tahan menghadapi gadis semacam itu, apalagi Siau-lim....?"

   Katanya.

   "Ooooh.... rupanya kaupun tak tahan juga menghadapi gadis macam begitu..?"

   "Tentu saja !"

   "Cantikkah wajahnya ?"

   "Sekalipun cantik, apa gunanya ? Syarat utama bagi seorang lelaki untuk mencintai seorang gadis bukan atas dasar selembar wajahnya belaka."

   "Lalu syarat-syarat apa pula yang menjadi dasar bagi seorang lelaki untuk memilih perempuan ?"

   Tanya Yan Jit sambil mengerdipkan matanya berulang kali.

   "Harus dinilai dulu apakah dia halus berbudi, lemah lembut dan pintar, lalu dinilai juga apakah dia pandai melayani suaminya. Kalau tidak, sekalipun wajahnya cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, apa pula gunanya ?"

   Yan Jit mengerling sekejap ke arahnya, lalu berkata.

   "Bagaimana dengan kau ? Kalau kau menyukai seorang gadis macam apa ?"

   Kwik Tay-lok segera tertawa.

   "Gadis yang kucintai sama sekali berbeda dengan pilihan lelaki lain "

   Katanya.

   "Oya ?"

   "Bila ada seorang gadis benar-benar bisa memahami diriku, menaruh perhatian kepadaku, sekalipun tampangnya sedikit rada jelek, atau sedikit rada galak, aku masih tetap akan mencintainya dengan sepenuh hati"

   Yan Jit tertawa manis, dengan kepala tertunduk dia berjalan lewat sisinya dan menuju ke depan pot bunga di sudut pekarangan sana.

   Udara yang dingin, seakan-akan berubah menjadi lebih hangat.

   Bunga mawar di ujung dinding sana sedang mekar dengan indahnya, dengan lembut ia membelai bunga tersebut, sampai lama kemudian ia baru berpaling kembali.

   Tiba-tiba dia menyaksikan Kwik Tay-lok masih mengawasinya dengan sorot mata tak berkedip.

   Keningnya segera berkerut, lalu serunya.

   "Aku toh bukan perempuan, apanya yang bagus dilihat ? Kenapa kau menatapku terus menerus ?"

   "Aku.... aku merasa caramu berjalan pada hari ini sedikit agak berbeda dengan keadaan dihari-hari biasa"

   "Bagaimana bedanya ?"

   "Caramu melangkah hari ini seperti istimewa bagusnya, bahkan jauh lebih indah dari pada lenggangnya seorang anak gadis"

   Paras muka Yan Jit seperti berubah agak memerah, tapi sengaja dia menarik muka, lalu berkata dengan dingin.

   "Belakangan ini aku lihat kau seperti banyak mengalami perubahan."

   "Oya ?"

   "Aku lihat kau seperti mengidap suatu penyakit yang sangat aneh sekali, sebab kau selalu melakukan tingkah laku yang membingungkan pikiran orang saja, ucapan juga selalu membingungkan pikiran orang, agaknya aku harus mencarikan seorang tabib untuk memeriksakan keadaanmu itu."

   Kwik Tay-lok menjadi tertegun, sorot matanya segera memancarkan kemurungan dan perasaan takut, seperti ia merasa dirinya telah kejangkitan suatu penyakit menular. Sambil tertawa, kembali Yan Jit berkata.

   "Tapi kau tak usah kuatir, sebab sedikit atau banyak, setiap manusia pasti pernah kejangkitan penyakit semacam itu."

   "Oya ?"

   "Tahukah kau, penyakit siapa yang paling besar?"

   "Tidak."

   "Nona Giok itulah orang yang paling besar kejangkitan penyakit aneh."

   "Nona Giok yang mana?"

   "Nona Giok adalah gadis yang barusan datang kemari itu, dia she Giok bernama Giok Linglong"

   "Giok Ling long?"

   "Dulu, apakah kau belum pernah mendengar namanya?"

   "Belum."

   Yan Jit menghela napas panjang dan segera menggelengkan kepalanya berulang kali. (Bersambung ke

   Jilid 26)

   Jilid 26 TAMPAKNYA pengetahuanmu benar-benar amat cetek, sedikit keterangan tentang soal ini tidak dimiliki"

   "Aku juga tahu kalau penyakitnya tidak kecil, tapi mengapa aku harus pernah mendengar tentang dirinya?"

   "Sebab sejak berumur sembilan tahun, dia sudah merupakan orang yang ternama di dalam dunia persilatan"

   Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Umur sembilan kau maksudkan berumur sembilan?"

   Yan Jit mengangguk.

   "Dia berasal dari suatu keluarga persilatan kenamaan, lagi pula semenjak kecil sudah termasyhur sebagai seorang bocah perempuan ajaib. Konon ketika umurnya belum mencapai dua tahun, dia sudah mulai belajar ilmu pedang, umur lima tahun telah berhasil mempelajari ilmu pedang Hui-hong-hu-liu-kiam (ilmu pedang angin puyuh menggoyangkan pohon Liu) yang terdiri dari empat puluh sembilan jurus dan merupakan ilmu pedang yang paling sulit untuk dipelajari itu."

   "Dia bilang sejak berumur sembilan tahun telah membunuh orang, kedengarannya apa yang dia ucapkan itu bukan cuma bualan belaka ?"

   "Yaa, memang bukan hanya bualan belaka, bukan saja ia benar-benar telah membunuh orang sejak berumur sembilan tahun, bahkan orang yang dibunuhpun merupakan seorang jago pedang yang amat ternama dalam dunia persilatan pada waktu itu."

   "Sejak saat itu, apakah setiap bulan dia tentu membunuh orang ?"

   "Yaa, benar, diapun tidak membual."

   Kwik Tay-lok tak tahan untuk tertawa tergelak.

   "Aaah, masa di dunia ini terdapat begitu banyak orang yang menghantarkan diri untuk menerima kematian di tangannya?"

   "Bukan orang lain yang datang menghantarkan diri, adalah dia sendiri yang pergi mencari mereka."

   "Pergi kemana untuk mencarinya ?"

   "Kemanapun dia pergi, asal dia dengar di suatu tempat terdapat seorang yang telah melakukan perbuatan yang pantas dibunuh, maka dia segera berangkat kesana untuk membuat perhitungan dengan orang tersebut."

   "Apakah setiap kali turun tangan, dia selalu berhasil merobohkan musuhnya....?"

   Tanya Kwik Tay-lok lagi.

   "Sampai dimanakah kelihaian ilmu silat yang dimilikinya, aku rasa kau telah membuktikannya sendiri barusan, apalagi dia dibantu oleh dua orang lelaki suku asing dan dua orang perempuan suku asing yang semuanya merupakan jago-jago kelas satu dalam dunia persilatan, malah ke empat orang dayang pembawa lenterapun konon berilmu silat amat tinggi, bayangkan saja andaikata dia telah mendatangi rumah seseorang, apakah masih ada orang yang dapat meloloskan diri dari cengkeraman mautnya ?"

   "Apakah tak ada orang yang mengurusinya...."

   "Ayahnya telah meninggal dunia cukup lama, sedangkan ibunya merupakan seorang harimau betina yang paling sukar dilayani dalam dunia persilatan dewasa ini, rasa sayangnya terhadap putri tunggalnya ini boleh dibilang melebihi apapun jua, apa saja yang dia inginkan segera dipenuhi dengan segera, sekalipun orang lain berani mengusiknya, belum tentu berani mengusik ibunya."

   Setelah menghela napas panjang, kembali dia melanjutkan.

   "Apalagi orang yang dibunuhnya memang merupakan orang-orang yang pantas di bunuh, maka orang-orang dunia persilatan dari angkatan tua bukan saja tak seorangpun yang menegurnya malahan mereka memuji dirinya setinggi langit"

   "Maka dari itu, penyakit yang diidapnya juga makin lama semakin besar?"

   Sambung Kwik Taylok.

   "Itulah sebabnya pada usia yang ke tiga empat belas tahunan, ia sudah merupakan manusia yang paling besar lagaknya dalam dunia persilatan, juga merupakan gadis yang berilmu paling tinggi.... orang yang dibunuhnya makin lama semakin banyak, ilmu silat yang dimilikinya juga secara otomatis makin lama semakin tinggi"

   "Justru karena begitu, maka sampai-sampai manusia macam Lamkiong Cho pun tahu, bila ia sudah mulai datang mencari gara-gara maka jalan terbaik adalah menyembunyikan diri dan jangan sampai menjumpai dirinya...?"

   "Tepat sekali jawabanmu itu."

   "Tentunya Lamkiong Cho juga tahu kalau dia mempunyai hubungan yang akrab dengan siau- Lim, maka dia baru kabur ke tempat kita ini untuk menyembunyikan diri?"

   "Kembali jawabanmu tepat sekali."

   "Tapi jika Lamkiong Cho bukan seseorang yang seharusnya pantas dibunuh, diapun tak akan datang untuk mencarinya ?"

   "Benar, dahulu ia tak pernah salah mencari orang."

   Kwik Tay-lok menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir.

   "Oleh sebab itu yang salah, bukanlah dia melainkan aku."

   "Kau juga tidak salah,"

   Jawab Yan Jit. Dengan lembut dia melanjutkan.

   "Ada budi harus dibalas, ucapan seorang lelaki harus dipegang teguh, itulah prinsip dari seorang pria sejati, oleh sebab itu apa yang kau lakukan itu tepat sekali, tak seorangpun yang akan menyalahkan dirimu."

   "Tapi ada seorang yang akan menyalahkan diriku."

   "Siapa ?"

   "Aku sendiri."

   Fajar sudah hampir menyingsing.

   Sambil mengenakan jubah panjang itu, Kwik Tay-lok masih duduk seorang diri di sana, memandang fajar di ufuk timur pelan-pelan terbit, mendengarkan kokokan ayam di kejauhan sana.

   Kemudian diapun mendengar suara pintu kamar yang dibuka orang.

   Ia tidak berpaling, wajahnya pun tidak menunjukkan perubahan apa-apa.

   Suara langkah kaki manusia yang enteng, pelan berkumandang datang, ketika tiba di belakang tubuhnya, ia berhenti.

   Ia masih belum juga berpaling, hanya tanyanya dengan hambar.

   "Nyenyakkah tidurmu...."

   Orang berbaju hitam itu berdiri tepat di belakang tubuhnya, mengawasi tengkuknya dan menyahut.

   "Selama sepuluh tahun belakangan ini, belum pernah aku tidur senyenyak dan setenang malam ini."

   "Kenapa ?"

   "Sebab belum pernah kujumpai seorang manusia seperti kau, menjagakan pintu kamarku semalam suntuk."

   Kwik Tay-lok segera tertawa.

   "Apakah kau tak dapat tidur bila tiada orang yang menjagakan pintu kamarmu ?"

   "Sekalipun ada orang yang menjaga pintu kamarku, juga belum tentu aku bisa tidur."

   "Mengapa ?"

   "Sebab aku tak pernah mempercayai siapapun."

   "Tapi kau tampaknya seperti amat mempercayai diriku."

   Tiba-tiba orang berbaju hitam tertawa.

   "Agaknya kaupun seperti amat mempercayai diriku ?"

   Katanya.

   "Dari mana kau bisa berpendapat demikian?"

   "Sebab kecuali kau, belum pernah ada orang yang membiarkan aku berdiri di belakang tubuhnya."

   Ujar orang berbaju hitam itu pelan.

   "Oya ?"

   "Aku bukanlah seorang Kuncu, aku seringkali membunuh orang dari belakang punggungnya."

   Pelan-pelan Kwik Tay-lok mengangguk.

   "Yaa, membunuh orang dari belakang memang merupakan sebuah cara yang paling sederhana dan gampang"

   "Apalagi jika orang itu sedang mengangguk"

   "Kenapa harus sewaktu mengangguk ?"

   "Di belakang tengkuk setiap orang pasti terdapat suatu bagian yang paling ideal untuk umpan golok, asal kau berhasil menemukan tempat itu dan membacoknya, niscaya batok kepala korbanmu akan terkena, teori ini pasti akan dipahami oleh para algojo yang berpengalaman"

   Sekali lagi Kwik Tay-lok manggut-manggut.

   "Ehmm, teori ini memang bagus, teori ini memang sangat bagus"

   Kembali orang berbaju hitam itu termenung beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan ia baru bertanya lagi.

   "Apakah selama ini tidak tidur ?"

   "Bila aku sudah tertidur, apakah kau dapat tidur?"

   Kembali orang berbaju hitam itu tertawa. Suara tertawanya tajam, lengking lagi pula pendek, seakan-akan mata pisau yang sedang diasah. Mendadak ia berjalan ke hadapan Kwik Tay-lok.

   "Mengapa kau membiarkan aku berdiri di belakangmu ?"

   Anak muda itu segera menegur.

   "Sebab aku tak ingin menerima pancinganmu."

   "Pancingan ?"

   "Bila aku berdiri di belakangmu dan menyaksikan kau menganggukkan kepalamu, tanganku akan terasa menjadi gatal sekali."

   "Apakah kau akan membunuh orang setiap kali tanganmu terasa menjadi gatal ?"

   "Hanya satu kali tidak."

   "Kapan ?"

   "Barusan."

   Selesai mengucapkan perkataan itu, mendadak tanpa berpaling lagi ia pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar. Kwik Tay-lok memandang bayangan tubuhnya, hingga dia berjalan ke luar dari pintu gerbang, kemudian secara tiba-tiba berseru.

   "Tunggu sebentar !"

   "Perkataan apa lagi yang hendak kau bicarakan ? Apa yang seharusnya diucapkan toh telah habis kau utarakan semua."

   "Aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan lagi kepadamu."

   "Tanyalah !"

   Pelan-pelan Kwik Tay-lok bangkit berdiri lalu sepatah demi sepatah dia menegur.

   "Benarkah kau adanya Lamkiong Cho?"

   Orang berbaju hitam itu tidak menjawab juga tidak berpaling, tapi Kwik Tay-lok dapat melihat kulit di atas bahunya seakan-akan menjadi kaku secara tiba-tiba.

   Anginpun serasa ikut berhenti secara tiba-tiba, mendadak suasana dalam halaman itu berubah menjadi hening, sepi, tak kedengaran sedikit suarapun.

   Lewat lama sekali, Kwik Tay-Iok baru berkata.

   "Bila kau tidak bersedia untuk berbicara manggutkan saja kepalamu, tapi kau tak usah kuatir, aku tidak mempunyai pengalaman untuk memenggal batok kepala orang, juga tak akan membunuh orang dari belakang tubuh orang lain."

   Belum juga ada suara, tak kedengaran ada jawaban. Kembali lewat lama sekali, orang berbaju hitam itu, baru berkata .

   "Sepuluh tahun belakangan ini, kau adalah orang ke tujuh yang mengajukan pertanyaan semacam itu kepadaku."

   "Apakah enam orang sebelumnya telah tewas semua ?"

   "Benar."

   "Apakah mereka mati karena mengajukan pertanyaan itu ?"

   "Setiap orang, yang berani mengajukan pertanyaan seperti ini, dia harus membayar pertanyaan itu dengan suatu pengorbanan yang amat besar, oleh karena itu, pertimbangkanlah baik-baik sebelum kau ajukan pertanyaan tersebut....!"

   Kwik Tay-lok menghela napas panjang.

   "Aai.... sebenarnya aku memang ingin mempertimbang-kannya lebih dahulu, sayang sekali, aku telah mengajukan pertanyaan itu sekarang."

   Mendadak orang berbaju hitam itu membalikkan tubuhnya, lalu dengan sorot mata setajam sembilu mengawasinya tak berkedip, bentaknya dengan suara keras.

   "Andaikata aku adalah Lamkiong Cho mau apa kau ?"

   "Semalam aku telah mengabulkan permintaanmu, asal kau telah melangkah masuk ke dalam pintu gerbang rumah ini, maka kau adalah tamuku, aku tak akan mencelakaimu, aku pun tak akan mengusirmu."

   Kata Kwik Tay lok.

   "Dan sekarang ?"

   "Sekarang, perkataanku itupun masih tetap berlaku, aku hanya ingin menahanmu beberapa saat lagi."

   "Menunggu sampai kapan ?"

   "Tinggal di sini sampai kau menyadari bahwa apa yang telah kau lakukan dimasa lalu adalah perbuatan yang tidak benar, tinggal di sini sampai kau merasa malu, menyesal dan bertobat, nah saat itulah kau baru boleh pergi meninggalkan tempat ini."

   Kelopak mata orang berbaju hitam itu seakan-akan sedang berkerut kencang, tiba-tiba dia membentak lagi.

   "Bila aku tak bersedia untuk mengabulkan permintaanmu itu, pula akibatnya ?"

   "Ooooh..... itu mah sederhana sekali"

   Jawab Kwik Tay-lok sambil tertawa lebar. Pelan-pelan dia berjalan mendekatinya, kemudian sambil tersenyum dia berkata.

   "Bukan di belakang tengkukku terdapat suatu bagian yang paling gampang untuk di penggal ?"

   "Setiap orang tentu memilikinya.."

   "Bila kau dapat menemukan bagian tersebut di atas tengkukku, silahkan kau penggal dahulu batok kepalaku sebelum pergi meninggalkan tempat ini.."

   Orang yang berbaju hitam itu segera tertawa dingin, jengeknya.

   "Bagiku mah tak usah dicari lagi"

   "Oooh, jadi sendiri kau telah berhasil menemukannya?"

   "Tapi aku tidak turun tangan karena aku hendak membalas budi kebaikanmu semalam, tapi sekarang . ."

   Mendadak tubuhnya melesat mundur ke belakang dan meluncur keluar dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.

   Kwik Tay-lok ikut melesat pula ke depan.

   Berada ditengah udara, orang berbaju hitam itu telah meloloskan pedangnya, sebilah pedang panjang tujuh depa yang memancarkan cahaya gemerlapan.

   Mendadak....

   "Criiiing !"

   Di atas pedang yang gemerlapan itu telah bertambah dengan sebuah sarung pedang.

   
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sarung pedang itu diambil keluar dari bawah jubah panjang dari Kwik Tay-lok.

   Orang berbaju hitam itu segera melompat mundur ke belakang, tapi dia turut mengejar ke depan, begitu orang berbaju hitam itu meloloskan pedangnya maka diapun mengeluarkan sarung pedang dari bawah jubahnya, kemudian ditusukkan ke depan persis menyongsong datangnya tusukan dari musuhnya.

   Panjang pedang tujuh depa, sarung pedang itu hanya tiga depa tujuh inci persis.

   Tapi, begitu pedang si orang berbaju hitam itu kena disarungkan kembali, kontan saja ia tak sanggup mengembangkan permainan pedangnya lebih jauh....

   Tubuhnya masih mundur terus ke belakang, sebab ia sudah tiada cara lain untuk menghadapi situasi semacam itu selain mundur....

   Sepasang tangan Kwik Tay-lok mencekal sarung itu erat-erat dan mendorongnya ke muka kuat-kuat, bila ia tidak melepaskan pedangnya, maka hanya mundur terus mengikuti gerakan dorongan tersebut.

   Sebaliknya jika dia melepaskan pedangnya, berarti gagang pedang sendiri akan menghajar di atas dadanya.

   Tubuhnya mundur terus ke belakang, dia berusaha untuk berganti arah sedikit ke samping kemudian mendorong ke depan, sayang hal itu tak mungkin lagi, maka pada saat ini ia telah terjepit, gerak-geriknya sudah tidak bebas lagi.

   Bila Kwik Tay-lok mendesaknya maju se depa, terpaksa dia harus mundur sedepa pula.

   "Blaaaamm....!"

   Tubuhnya telah terdorong sehingga menumbuk di atas dinding pekarangan.

   Kwik Tay-lok masih menggenggam sarung pedang itu dengan sepasang tangannya, kemudian menekan tubuh musuhnya itu keras-keras di atas dinding.

   Dalam keadaan begini, ia sudah tak mungkin mundur lagi, pedangnya juga tak mungkin dilepaskan lagi, asal dia lepas tangan, gagang pedang itu akan segera menghantam dadanya keras-keras.

   Situasi ketika itu begitu luar biasanya sehingga bila tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri, belum tentu orang akan mempercayainya....

   Kwik Tay-lok segera tertawa, tegurnya.

   "Keadaan seperti ini tentunya tak pernah kau sangka bukan ?"

   "Kepandaian silat macam apaan ini ?"

   Seru orang berbaju hitam itu sambil menggigit bibirnya menahan diri.

   "Tindakan semacam ini sama sekali tak bisa dianggap sebagai suatu kepandaian"

   Jawab Kwik Tay-lok tertawa.

   "sebab kecuali dipakai untuk menghadapi dirimu, cara semacam ini sama sekali tak ada manfaatnya apa-apa."

   Dia seperti kuatir kau orang berbaju hitam itu tidak mengerti, maka sambungnya lebih jauh.

   "Sebab di dunia ini, kecuali kau seorang, tiada orang lain yang akan mencabut pedangnya dengan cara seperti ini."

   "Jadi kau secara khusus menciptakan cara tersebut untuk digunakan menghadapi diriku?"

   Seru orang berbaju hitam itu dengan suara yang dingin seperti es.

   "Benar sekali."

   "Padahal kau memang berniat untuk menahan diriku di tempat ini ?"

   "Sesungguhnya tinggal di sinipun tak ada yang jelek, paling tidak setiap hari kau dapat tidur dengan hati yang tenteram"

   Sambung Kwik Tay-lok sambil tertawa.

   "Hmmm.....!"

   "Asal kau bersedia untuk tinggal di sini, aku segera akan lepas tangan dan memberikan kebebasan untukmu."

   "Hmmm...!"

   "Hmmm itu apa artinya ?"

   Orang berbaju hitam itu tertawa dingin.

   "Sekarang, sekalipun aku tak dapat membunuhmu, tapi kaupun tak bisa berbuat apa-apa terhadap diriku, asal kau mengendorkan tanganmu, aku masih mampu untuk menggerakkan pedangku guna membunuh kau."

   "Ehmmm.... memang keadaan semacam itu bisa saja terjadi setiap saat.."

   Kwik Tay-lok manggut-manggut.

   "Oleh sebab itu jangan harap kau bisa mengancamku dengan cara seperti ini, sekalipun aku bersedia mengabulkan permintaanmu itu, hal mana juga akan kulakukan setelah kau lepas tangan nanti."

   Kwik Tay-lok memandangnya beberapa saat, mendadak ia berkata sambil tertawa.

   "Baik, boleh saja aku mempercayai dirimu untuk kali ini saja, asalkan saja kau...."

   Belum habis perkataan itu diucapkan, dan belum lagi dia lepas tangan, mendadak ia saksikan ada semacam benda yang menerobos keluar dari dada orang berbaju hitam itu.

   Itulah sebilah ujung pedang yang tajam.

   Di ujung pedang itu masih ada darah yang menetes keluar.

   Ketika orang berbaju hitam itu memandang ujung pedang yang menembusi dadanya, sorot mata yang terpancar keluar persis seperti sorot mata yang diperlihatkan Kui kongcu menjelang kematiannya.

   Kwik Tay-lok menjadi tertegun menyaksikan kejadian itu.

   Terdengar orang berbaju hitam itu memperdengarkan suara "Grook"

   Yang aneh sekali dari tenggorokannya, dia seakan-akan hendak mengucapkan sesuatu, namun sudah tak sanggup diutarakan lagi.

   Tiba-tiba Kwik Tay-lok membentak keras, dia melejit ke tengah udara dan melompat keluar dari dinding pekarangan tersebut.

   Betul juga, pedang itu ditusuk masuk dari balik dinding pekarangan sebelah luar, pedang tersebut menembusi dinding dan menembusi dada orang berbaju hitam itu, hingga kini gagang pedang itu masih berada di luar dinding.

   Tapi hanya ada gagang pedangnya belaka, tak nampak sesosok bayangan manusiapun.

   Angin berhembus lewat, rumput di atas tanah perbukitan itu bergoyang kesana kemari, namun tak nampak sesosok bayangan manusiapun.

   Di atas gagang pedang itu terdapat secarik kain putih, kain itu sedang berkibar pula terhembus angin.

   Kwik Tay-lok ingin mencabut keluar pedang tersebut, tapi segera menemukan tulisan yang tertera di atas kain putih itu.

   Ketika diambil kain tadi, maka terbacalah tulisan itu berbunyi demikian.

   "Mati untuk yang mencatut nama ! tertanda . Lamkiong Cho."

   Noda darah di ujung pedang itu telah mengering, orang berbaju hitam itu seakan-akan sedang menundukkan kepalanya memperhatikan ujung pedang yang menembusi dadanya, seperti juga sedang termenung.

   Keadaannya itu seperti keadaan Kui kongcu setelah menemui ajalnya tertembus pedang.

   Yan Jit, Ong Tiong, Lim Tay-peng masih berdiri di serambi jauh di belakang sana, berdiri sambil mengawasi jenasahnya.

   Ia datang secara tiba-tiba, kini mati secara tiba-tiba pula.

   Tapi yang lebih aneh lagi adalah ternyata ia bukan Lamkiong Cho.

   Kwik Tay-lok berdiri disampingnya, memperhatikan ujung pedang yang menembusi dadanya, seakan-akan sedang termenung pula.

   Pelan-pelan Yan Jit menghampirinya, lalu menegur.

   "Hei, apa yang sedang kau pikirkan ?"

   Kwik Tay-lok menghela napas panjang, katanya.

   "Aku sedang berpikir, kalau toh dia bukan Lamkiong Cho, mengapa harus menerima semua hangus dari Lamkiong Cho ?"

   "Hangus apa maksudmu ?"

   "Bila ia bukan Lamkiong Cho yang sebenarnya, Giok Ling-long tak akan membunuh dan ia tak usah menyembunyikan diri ditempat ini, sekarang, tentu saja diapun tak usah mati di sini ?"

   "Apakah kau sedang merasa sedih atas kematiannya ?"

   "Ya, sedikit."

   "Tapi aku justru merasa sedih untuk Lamkiong Cho."

   "Mengapa ?"

   "Dengan mencatut nama Lamkiong Cho, entah berapa banyak orang yang telah dibunuhnya dalam dunia persilatan, entah berapa banyak kejahatan pula yang telah dia kerjakan?, mungkin Lamkiong Cho sendiri sama sekali tidak tahu menahu akan hal ini, kau seharusnya berkata bahwa Lamkiong Cho lah yang telah menerima akibatnya dari ulah orang ini, bukan dia yang mendapat hangus dari Lamkiong Cho."

   Kwik Tay-lok termenung dan berpikir sebentar, akhirnya dia manggut-manggut, sahutnya setelah menghela napas panjang.

   "Tapi, bagaimanapun juga dia toh masih terhitung juga tamu kita, aku tak ingin melihat tamuku mati di dalam halaman rumah kita."

   "Oleh sebab itu kau masih bersedih hati bagi kematiannya ?"

   "Yaa, sedikit."

   "Bila kau lepas tangan tadi, entah pada saat ini masih akan bersedih hati untuknya atau tidak ?"

   "Bila aku lepas tangan tadi, apakah dia berkesempatan itu untuk membunuhku ?"

   "Kau anggap dia tak dapat berbuat demikian"

   Kwik Tay-lok menghela napas panjang, katanya.

   "Bagaimanapun kau berbicara, aku tetap merasa bahwa manusia tetap manusia, sedikit banyak manusia itu masih mempunyai rasa perikemanusiaan, walaupun kau tak melihatnya, atau dapat merabanya, tapi mau tak mau harus kau akui akan kehadirannya, kalau tidak, apalah artinya hidup sebagai manusia ?"

   Yan Jit menatapnya lekat-lekat, mendadak diapun turut menghela napas panjang, katanya dengan lembut.

   "Padahal akupun berharap sekali agar pandanganmu itu jauh lebih tepat daripada pandanganku..."

   Kwik Tay-lok mendongakkan kepalanya memandang awan yang melayang jauh diangkasa sana, lama sekali dia termenung, lalu berkata lagi secara tiba-tiba.

   "Sekarang, akupun berharap bisa mengetahui akan satu hal."

   "Kau berharap apa ?"

   "Aku hanya berharap, suatu ketika aku dapat bertemu dengan Lamkiong Cho yang sesungguhnya, melihat bagaimanakah bentuk wajah orang itu..."

   Dengan mata mencorongkan sinar tajam, pelan-pelan dia melanjutkan.

   "Aku rasa, ia pasti jauh lebih misterius, jauh lebih menakutkan daripada orang-orang yang pernah kujumpai sebelumnya."

   Tapi apakah di dunia ini benar-benar terdapat seorang manusia yang bernama Lamkiong Cho ? Siapapun tidak tahu, siapapun tak pernah melihatnya.

   Sampai sekarang ada atau tidaknya Lamkiong Cho si manusia misterius itu dalam dunia masih tetap merupakan suatu tanda tanya besar, suatu teka-teki besar yang hingga kini belum terpecahkan....

   Yaa, siapa yang tahu dia itu ada atau tidak? Tiada seorang manusiapun yang tahu akan kabar berita Lamkiong Cho, seperti juga tak ada orang yang tahu ke mana perginya musim semi.

   Tapi, musim semi akan datang kembali, sebaliknya Lamkiong Cho sama sekali tiada beritanya.

   Sekarang, musim sudah hampir berlalu.

   Walaupun aneka bunga dalam halaman telah mekar dengan indahnya, namun bagaimanapun indahnya bunga, tak akan bisa menahan musim semi itu untuk berlangsung lebih lama.

   Lambat laun udara mulai menjadi panas.

   Sekalipun luka yang diderita Ong Tiong telah sembuh, namun orangnya berubah makin malas, sepanjang hari dia hanya berbaring saja, hampir sama sekali tak bergerak.

   Kecuali ketika mereka mengubur jenasah orang berbaju hitam tempo hari....

   Waktu itu, walaupun sudah mendekati Ceng-beng, namun tiada hujan yang turun sepanjang hari.

   Udara cerah dan sangat baik, pulang dari kuburan, seperti biasanya Ong Tiong berjalan dipaling belakang..

   Ang Nio-cu tidak datang.

   Walaupun luka yang dideritanya telah hampir sembuh, namun sepanjang hari dia mengurung diri dalam kamarnya....

   sekarang bukan Ong Tiong yang menghindarinya, justru agaknya dialah yang berusaha menghindari Ong Tiong.

   Hati perempuan memang selamanya sukar diraba ke arah mana tujuannya....

   Ini masih tak aneh, yang aneh adalah belakangan ini Kwik Tay-lok juga seakan-akan selalu menghindari Yan Jit.

   Yan Jit dan Lim Tay-peng berjalan di muka, sedang dia dan Ong Tiong mengikuti di belakang dengan kemalas-malasan.

   Di tengah jalan, Ong Tiong mencari sebuah tempat yang rindang dan duduk, kemudian menggeliat dan menguap berulang kali.

   Maka diapun turut duduk, menggeliat dan menguap berulang kali.

   Ong Tiong segera tertawa, sambil memandang wajahnya, ia berkata sambil tersenyum.

   "Belakangan ini tampaknya kaupun berubah menjadi lebih malas daripada diriku?"

   "Siapa yang membuat peraturan kalau hanya kau seorang yang boleh menjadi malas ? Dapatkah aku lebih malas sedikit dari pada dirimu ?"

   "Tidak dapat."

   "Kenapa tidak dapat?"

   "Sebab belakangan ini kau seharusnya lebih bersemangat daripada siapapun juga."

   "Mengapa?"

   "Masih ingatkah kau dengan ucapan Yan Jit yang disampaikan kepadamu tempo hari?"

   "Tidak ingat, tidak ingat lagi, mengapa aku harus mengingat selalu perkataannya ?"

   Seakan-akan baru saja menelan tiga butir obat peledak, kata-katanya membara seperti bahan peledak yang setiap saat bakal meledak. Ong Tiong sama sekali tidak menggubris akan hal itu, sambil tersenyum kembali dia berkata.

   "Dia bilang, diantara kita berempat, sebenarnya ia mengira kepandaian silatmu paling rendah."

   "Kalian semua mempunyai guru yang baik sedang aku tidak, tentu saja kepandaianku lebih rendah."

   "Tapi, semenjak kau bertarung melawan orang berbaju hitam itu, dia baru menemukan kalaupun ilmu silat yang kami miliki jauh lebih hebat daripada kepandaianmu, namun bila sungguhsungguh sampai terjadi pertarungan, mungkin semuanya bukan tandinganmu."

   "Apa yang dia katakan, mungkin dia sendiripun tak akan mempercayainya....."

   Ucap Kwik Tay lok dingin.

   "Tapi aku percaya seratus persen, sebab pandanganku pun sama persis seperti pandangannya itu."

   "Oya..."

   "Sekalipun ilmu silatmu tak bisa menandingi kami, namun bila sedang bertarung melawan orang, kau bisa menghadapinya menurut situasi yang ada di depan, menaklukkan musuh terlebih dahulu dan menguasahi posisi strategis, jika di umpamakan dengan kata-kata kuno, maka kau adalah seorang manusia yang pintar dan berbakat bagus untuk melatih ilmu silat, oleh sebab itu...."

   Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Oleh sebab itu kita harus bertarung untuk mencobanya bukan ?"

   Katanya semakin meledak-ledak, seperti ada tiga ton bahan peledak yang tertanam dalam perutnya. Namun Ong Tiong masih juga tidak ambil perduli, katanya lebih jauh sambil tersenyum.

   "Oleh sebab itu kau harus menggantikan semangatmu dan melatih kepandaian silat yang kau miliki semakin giat, bila dapat menemukan guru yang baik, mungkin saja di kemudian hari akan menjadi seorang tokoh silat disegani dalam dunia persilatan"

   Tiba-tiba Kwik Tay-lok menghela napas panjang katanya.

   "Sekarang aku tak ingin mencari guru yang paling baik, aku hanya ingin mencari seorang lebih yang baik"

   "Mengapa?"

   Kwik Tay-lok menggigit kuku jari tangannya keras-keras, lalu jawabnya lirih.

   "Sebab... sebab aku punya penyakit"

   "Kau punya penyakit? Penyakit apa?"

   Tanya Ong Tiong dengan wajah agak berubah.

   "Semacam penyakit yang aneh sekali"

   "Tampaknya kau tak pernah membicarakan soal-soal ini denganku?"

   "Sebab.... sebab aku.... aku tak dapat mengatakannya"

   Wajah pemuda ini memang tampak sangat menderita sekali, sama sekali tidak mirip orang yang sedang bergurau.

   Ternyata Ong Tiong juga tidak bertanya lebih lanjut.

   Sebab dia tahu, semakin cepat dia mengajukan pertanyaan, semakin enggan Kwik Tay-lok membicarakannya.

   Begitu ia tidak bertanya, ternyata Kwik Tay-lok malah mendesak terus, kembali dia bertanya.

   "Apakah kau tidak merasakan bahwa belakangan ini aku telah berubah sama sekali?"

   Ong Tiong berkerut kening lalu termenung beberapa saat lamanya, setelah itu dia baru mengangguk.

   "Ehmm, agaknya memang sedikit berubah."

   "Aaai.... hal itu disebabkan aku berpenyakit"

   Kata Kwik Tay-lok sambil menghela napas panjang. Dengan nada menyelidik Ong Tiong bertanya lagi.

   "Tahukah kau dimana terletak penyakit yang kau derita itu"

   "Disini !"

   Kata Kwik Tay-lok sambil menuding ke hati sendiri.

   "Oooh.... kalau begitu kau terkena penyakit hati ?"

   Seru Ong Tiong sambil berkerut kening. Mimik wajah Kwik Tay lok semakin menunjukkan penderitaan yang lebih menghebat.

   "Penyakit hatipun terdiri dari beraneka macam, menurut apa yang kuketahui, yang paling hebat adalah penyakit rindu.... apakah kau terkena penyakit rindu ?"

   Kwik Tay-lok tidak menjawab, dia hanya menghela napas berulang kali. Sambil tertawa kembali Ong Tiong berkata.

   "Penyakit rindu bukan suatu penyakit yang memalukan, mengapa kau enggan untuk mengutarakannya ? Siapa tahu aku masih bisa membantumu untuk menjadi mak comblang?"

   Sekuat tenaga Kwik Tay-lok menggigit bibirnya kencang-kencang, lewat sekian lama kemudian tiba-tiba ia cengkeram bahu Ong Tiong dan berseru keras.

   "Benarkah kau adalah teman baikku?"

   "Tentu saja benar"

   "Sebagai sahabat karib, apakah harus saling menutup rahasia...?"

   "Aku mempunyai suatu rahasia, sudah lama rahasia ini ku simpan didalam hati, tapi bila tidak ku utarakan lagi, bisa jadi aku akan menjadi gila, tapi.... tapi bila ku utarakan keluar, aku pun takut kau mentertawakan diriku"

   "Kau.... kau... jangan-jangan kau kena penyakit sypilis?"

   Bisik Ong Tiang ragu-ragu.

   "Tidak !"

   Ong Tiong segera menghembuskan napas lega, ujarnya.

   "Asal tidak kena penyakit Sypilis saja, tak menjadi soal, katakan saja berterus terang, aku tak akan mentertawakan dirimu"

   Kembali Kwik Tay-lok ragu-ragu setengah harian lamanya, setelah itu dengan wajah yang murung dia berkata.

   "Penyakit rindu pun tidak terdiri dari semacam saja, justru yang ku alami adalah suatu macam penyakit yang paling memalukan"

   "Kenapa memalukan sekali ? Perempuan suka lelaki, lelaki suka perempuan, hal ini sudah lumrah dan semua orang juga mengalaminya, sekalipun gagal didalam bercinta juga bukan suatu kejadian yang terlalu memalukan...."

   "Tapi.... tapi penyakit rindu yang ku alami ini bukan terhadap kaum perempuan"

   Ong Tiong tertegun, sampai lama kemudian dia baru bertanya lagi dengan nada menyelidik.

   "Apakah kau jatuh hati kepada seorang lelaki ?"

   Kwik Tay-lok manggut-manggut, wajahnya meringis seperti setiap saat akan menangis. Agaknya Ong Tiong juga merasa takut sekali, sengaja dia merendahkan suaranya sambil berbisik.

   "Bukan aku bukan ?"

   Kwik Tay-lok memandang wajahnya lekat-lekat, dia tak tahu ingin menangis ataukah ingin tertawa, terpaksa sambil menarik wajahnya ia menjawab cepat.

   "Penyakitku belum sampai separah ini."

   Agaknya Ong Tiong segera menghembuskan napas lega, katanya kemudian sambil tertawa.

   "Asal bukan aku, itu mah tak menjadi soal."

   Mendadak dia merendahkan lagi suaranya sambil bertanya.

   "Apakah Siau-lim ?"

   "Sudah bertemu setan tampaknya kau ini"

   Ong Tiong kembali berkerut kening dan berpikir beberapa saat lamanya, tapi tak lama kemudian katanya sambil tertawa.

   "Aaaah... mengerti aku sekarang, bukankah kau mencintai Yan Jit....?"

   Kali ini Kwik Tay-lok tidak berbicara lagi, ia membungkam dalam seribu bahasa. Dengan senyuman dikulum kembali Ong Tiong berkata.

   "Padahal sudah lama aku mengetahui akan hal ini, kau selalu suka berkumpul dengannya."

   Sambil bermuram durja Kwik Tay-lok berkata lagi.

   "Dulu aku masih belum merasakan sesuatu yang tak beres, aku masih mengira hal mana mungkin disebabkan kami adalah sahabat karib tapi kemudian.... kemudian...."

   "Kemudian bagaimana?"

   Tanya Ong Tiong sambil mengerdipkan matanya berulang kali.

   "Kemudian.... kemudian aku merasakan sesuatu yang tak beres."

   "Dimana ketidak beresannya ?"

   "Aku tak dapat menerangkan dimanakah letak ketidak beresan tersebut, pokoknya asal aku berada bersamanya, perasaanku akan menjadi lain daripada yang lain."

   "Bagaimana lain daripada yang lain itu?"

   Tampaknya ia betul-betul hendak mengorek semua persoalan sampai sejelas-jelasnya sama sekali, tak mau mengendor dengan begitu saja.

   "Lain daripada yang lain, yaa lain dari pada yang lain, pokoknya.... pokoknya tidak sama seperti keadaan biasa."

   Sekalipun sudah dikatakan namun kenyataannya sama juga seperti tidak berkata apa-apa. Tampaknya Ong Tiong seperti mau meledak rasa gelinya, tapi untung saja ia masih dapat menahan diri, ujarnya kemudian dengan wajah serius.

   "Padahal kejadian seperti inipun bukan termasuk suatu kejadian yang memalukan."

   "Tidak memalukan ?"

   Teriak Kwik Tay-lok.

   "kalau lelaki semacam aku ternyata menyukai lelaki juga, apa namanya ? itu namanya Homoseks, mengerti ? Apakah Homoseks tidak memalukan....."

   "Toh di dunia ini bukan kau seorang yang mengidap penyakit seperti ini? Bahkan sang Kaisar pun, ada kalanya merasakan juga tubuh lelaki, apa salahnya kalau rakyatpun mengikuti jejaknya? Aku lihat, lebih baik lanjutkan saja hubunganmu dengannya...."

   Kwik Tay-lok segera mencak-mencak seperti orang yang kebakaran jenggot, dengan mata melotot teriaknya amat gusar.

   "Ternyata kau bukan sahabatku, aku telah salah menilai dirimu."

   Sambil membalikkan badannya ia siap berlalu dari situ. Tapi Ong Tiong segera menariknya kembali seraya berkata.

   "Eeeh.... jangan marah dulu, jangan marah dulu, aku tak lebih hanya ingin mencoba dirimu saja, sesungguhnya akupun sudah melihatnya bahwa Yan Jit manusia tersebut sedikit kurang beres"

   "Bagaimana kurang beresnya?"

   Tanya Kwik Tay-lok tertegun. Ong Tiong harus bersusah payah menahan diri agar jangan sampai meledak rasa gelinya, sambil menarik muka dia berkata.

   "Apakah kau tidak melihat orang ini rada sedikit berhawa sesat."

   "Hawa sesat ? Hawa sesat apa?"

   "Walaupun kita sudah sekian lama menjadi sahabat karib, namun dia selalu waspada seperti terhadap maling saja, bila mendadak tidur, ia selalu menutup semua pintu, semua jendela yang ada rapat-rapat, bukan begitu?"

   "Betul !"

   "Setiap kali dia keluar rumah, kepergiannya selalu dilakukan secara diam-diam, seakan-akan kuatir bila kita akan menguntilnya, begitu....?"

   "Betul."

   "Dia selalu tak pernah mandi, tapi tubuhnya tak pernah berbau busuk, walaupun pakaian yang dikenakan dekil dan penuh berlubang, namun kamarnya jauh lebih bersih daripada kamar siapapun.... coba kau bilang, berdasarkan beberapa masalah ini bukankah dia tampak amat sesat rasanya...?"

   Paras muka Kwik Tay-Iok segera berubah menjadi pucat pias, dengan agak ragu-ragu katanya.

   "Maksudmu, apakah dia...."

   "Aku tidak berkata apa-apa, juga tidak mengatakan kalau dia adalah anggota Mo-kau"

   Mendadak dia berbatuk-batuk keras, sebab kalau tidak dibatukkan lagi, bisa jadi suara tertawanya akan meledak-ledak. Paras muka Kwik Tay-lok berubah semakin pucat pias lagi, bibirnya menjadi gemetar keras, terdengar ia bergumam tiada hentinya.

   "Orang Mo-kau.... orang Mo-kau ?"

   Ong Tiong harus berbatuk sekian lama sebelum akhirnya berhasil meredakan rasa geli dalam hatinya, kembali dia berkata.

   "Aku hanya pernah mendengar orang bercerita, katanya dalam Mo-kau terdapat beberapa pasang suami istri yang sangat aneh."

   "Bagaimana anehnya ?"

   "Beberapa pasang suami istri itu, sang suami adalah laki-laki, sang istripun laki-laki."

   Bagaikan terkena bidikan panah yang telak mengenai ulu hatinya, Kwik Tay-Iok segera melompat bangun dari atas tanahnya, kemudian sambil memegang bahu Ong Tiong kencangkencang, pintanya dengan wajah hampir menangis.

   "Kau.... kau harus... membantuku.... kau.... kau harus membantuku."

   "Bagaimana membantunya ?"

   "Kau harus membantuku untuk bercekcok hebat dengan diriku."

   "Bercekcok ? Bagaimana cekcoknya"

   "Terserah bagaimanapun cekcoknya, pokoknya aku minta kita bercekcok hebat, semakin hebat semakin baik."

   "Kenapa harus bercekcok ?"

   "Sebab setelah bercekcok aku bisa kabur lari sini untuk mengambil langkah seribu !"

   Paras muka Ong Tiang agak berubah, tampaknya dia merasa gurauannya sudah terlampau berlebihan, maka setelah lewat sesaat lamanya dia baru berkata sambil tertawa paksa.

   "Sesungguhnya kau tak perlu pergi, sebab sebenarnya dia...."

   Dia seperti hendak mengungkapkan rahasia tersebut, tapi Kwik Tay-lok segera menukas katakatanya.

   "Padahal akupun bukan benar-benar akan minggat, aku hanya akan meninggalkan tempat ini untuk sementara waktu saja"

   "Kemudian?"

   "Kemudian akan menunggunya di bawah bukit sana, asal dia sudah pergi maka secara diamdiam aku akan menguntilnya, akan kulihat dia pergi kemana dan berjumpa dengan siapa saja"

   Setelah menghela napas panjang, ia melanjutkan.

   "Bagaimanapun juga, aku harus menyelidiki dirinya sampai jelas, aku ingin tahu sebenarnya ia mempunyai rahasia apa?"

   Ong Tiong termenung sebentar, kemudian katanya.

   "Mengapa kau tidak menunggu saja di rumah?"

   "Sebab bila aku akan menguntilnya dengan begitu saja, niscaya jejakku akan diketahui olehnya"

   "Apakah kau hendak merubah wajahmu setibanya di bawah bukit sana ?"

   "Kau mengerti ilmu menyaru muka ?"

   "Tidak, tapi aku mempunyai cara sendiri."

   Sambil miringkan kepalanya Ong Tiong mempertimbang-kan hal tersebut beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan ia berkata.

   "Kalau toh kau telah bertekad untuk berbuat demikian, baiklah kau lakukan saja, cuma...."

   "Cuma bagaimana ?"

   "Bila kita hendak bercekcok, maka cekcok itu harus dilangsungkan seperti yang sesungguhnya, kalau tidak, tentu dia tak akan percaya."

   "Betul."

   "Oleh karena itu kita harus menunggu kesempatan, kita tak boleh bercekcok tanpa sebab musabab yang kuat."

   
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tapi, kita harus menunggu sampai kapan?"

   Ong Tiong segera tertawa, katanya.

   "Walaupun aku tidak terlalu suka bercekcok dengan orang, namun bukan suatu pekerjaan yang sulit untuk mencari kesempatan guna bercekcok."

   "Kenapa ?"

   "Sebab kau memang seringkali mengucapkan kata-kata yang tak bisa diterima oleh manusia biasa."

   Kwik Tay-lok turut tertawa, katanya.

   "Bila Yan Jit berada di sini, sekarang juga aku dapat bercekcok dengan dirimu."

   "Kini, aku hanya menguatirkan satu persoalan."

   "Apa yang kau kuatirkan ?"

   "Aku hanya kuatir bila ia membantumu untuk bercekcok denganku, kemudian sehabis bercekcok pergi bersamamu."

   Kwik Tay-lok mengerdipkan matanya berulang kali, katanya kemudian.

   "Kau tak usah menguatirkan tentang persoalan ini."

   "Oya ?"

   "Kalau toh aku dapat bercekcok dengan dirimu, apakah tidak bisa bercekcok pula dengan dirinya?"

   "Tentu saja dapat"

   Jawab Ong Tiong sambil tertawa.

   "ada kalanya, perkataanmu bisa menggemaskan orang sekota, siapapun yang bercekcok denganmu, aku pasti tak akan merasa keheranan"

   Belum habis berkata dari Kwik Tay-lok itu, mendadak terdengar jeritan kaget berkumandang dari balik hutan di sebelah depan sana. Seorang gadis sedang berteriak-teriak dengan suara yang lantang.

   "Tolong.... tolong...."

   Bila seorang lelaki mendengar seorang gadis meneriakkan kata "tolong", kebanyakan mereka segera akan memburu ke tempat kejadian dan memberikan pertolongannya.

   Sekalipun ia tidak berniat sungguh-sungguh untuk memberi pertolongan, paling tidak juga akan mendekatinya mengetahui apa gerangan yang telah terjadi.

   Dalam kehidupan seorang pria, sedikit banyak ia tentu akan mengkhayalkan untuk menjadi seorang pahlawan yang menolong gadis cantik, hanya sayangnya kesempatan itu jarang terjadi.

   Kini, kesempatan itu sudah tiba, sudah barang tentu Kwik Tay-lok takkan melepaskannya dengan begitu saja.

   Tidak menanti Ong Tiong melakukan suatu gerakan, Kwik Tay-lok telah melompat bangun dan menyerbu ke arah mana berasalnya suara teriakan tersebut....

   Sayang dia seakan-akan datang terlambat selangkah.

   Baru saja dia melompat bangun, tampaklah sesosok bayangan manusia telah menerjang masuk ke dalam hutan.

   Gadis yang meneriakkan minta tolong, kebanyakan tak akan berparas jelek, tapi gadis secantik orang yang berteriak minta tolong sekarang, tidak banyak jumlahnya.

   Gadis itu tidak begitu tua, paling banter usianya baru tujuh delapan belas tahunan, rambutnya dikepang dua dan kelihatan lincah serta polos....

   Di tangannya membawa sebuah keranjang bunga, wajah yang berbentuk kwaci telah berubah menjadi pucat pias seperti mayat, ia sedang berlarian mengitari sebuah pohon.

   Seorang lelaki berkumis yang bertubuh kekar, dengan membawa senyuman menyeringai mengejarnya dari belakang.

   Ia tidak mengejar terlalu cepat, sebab ia tahu gadis itu sudah merupakan hidangan lezat di depan mata, jangan harap dara tersebut dapat meloloskan diri lagi dari cengkeramannya.

   Tentu saja mimpipun ia tak menyangka kalau dari tengah jalan bisa muncul seorang Thia Kaukim.

   Untung saja Thia Kau-kim yang munculkan diri tak lebih hanya seorang pemuda yang masih ingusan paling banter umurnya sebaya dengan nona tersebut.

   Maka sebelum Lim Tay-peng buka suara, ia telah membentak lebih dahulu dengan suara menggelegar.

   "Kau si anakan kelinci, siapa yang suruh kau datang kemari? Bila sampai menggagalkan urusan baik locu, hati-hati kupenggal batok kepala anjingmu itu."

   "Urusan baik apa ?"

   Tegur Lim Tay-peng dengan wajah dingin.

   "Apa yang hendak locu lakukan, memangnya kau si bangsat cilik tak dapat melihatnya sendiri ?"

   Sementara itu si nona telah menyembunyikan diri di belakang Lim Tay-peng, dengan napas tersengkal-sengkal dan suara gemetar katanya.

   "Dia bukan orang baik, dia.... dia hendak menganiaya aku."

   "Tak usah kuatir,"

   Ucap Lim Tay-peng hambar.

   "sekarang, tak ada orang yang berani menganiaya dirimu lagi."

   "Hmmm.... anak monyet, tampaknya kau hendak mencampuri urusanku?"

   Bentak lelaki itu dengan gusar.

   "Agaknya memang begitu !"

   Dengan gusar lelaki itu membentak keras, bagaikan harimau lapar yang siap menerkam domba, dengan garangnya ia terjang diri Lim Tay-peng.

   Sayang sekali musuh yang dihadapinya Lim Tay-peng telah berhasil menghajarnya sampai menggelinding ke tanah, kemudian ditendangnya tubuh lelaki itu seperti lagi menyepak anjing saja.

   Kejut dan gusar lelaki itu dibuatnya, kontan saja dia mencaci maki kalang kabut, tampaknya ia sedang bersiap-siap untuk merangkak bangun dan menerkam lagi dengan garang.

   Siapa tahu seseorang telah mencengkeram bajunya dari belakang, kemudian mengangkat tubuhnya ke udara.

   Bukan saja orang itu mempunyai tenaga yang besar, perawakan tubuhnya juga tidak lebih pendek daripada dirinya sekalipun hanya dicengkeram dengan tangan sebelah, ternyata ia tak sanggup untuk memberikan perlawanan lagi...

   Kedatangan Kwik Tay-lok tepat pada waktunya, sambil mencengkeram orang itu menuju ke depan Lim Tay-peng, katanya sambil tersenyum.

   "Menurut pendapatmu, bagaimana kita harus memberi pelajaran kepada bangsat ini?"

   Ia membentak.

   "Lebih baik kita menanyakan pendapat dari nona ini saja,"

   Kata Lim Tay-peng cepat-cepat. Waktu itu, belum hilang rasa kaget si nona, tubuhnya malah masih gemetar keras. Kwik Tay-lok segera menghampiri nona itu, kemudian setelah mengerdipkan matanya ia berkata.

   "Orang ini berani menganiaya dirimu, bagaimana kalau kita jagal dia, kemudian diberikan kepada anjing ?"

   Nona cilik itu menjerit kaget, hampir saja ia jatuh pingsan, tubuhnya segera roboh ke dalam pelukan Lim Tay-peng. Kwik Tay lok tertawa terbahak-bahak.

   "Haaahh.... haaahhh.... haaahhh jangan takut nona manis, aku hanya bergurau saja, manusia busuk macam dia jangan toh manusia, anjing liarpun enggan mengendus badannya yang busuk itu."

   Kemudian sambil mengulapkan tangannya.

   "Enyah kau dari sini, lebih cepat lebih baik, lebih jauh lebih baik, jangan sampai kena kami bekuk lagi !"

   Sekalipun tak usah diperingatkan, lelaki itu sudah melarikan diri terbirit-birit, diam-diam ia menyumpahi orang tua sendiri, kenapa dilahirkan dengan dua kaki saja.

   Sepeninggal lelaki tadi, si nona kecil itu baru menghembuskan napas lega, dengan wajah merah karena jengah ia bangkit berdiri, lalu sambil menjura katanya.

   "Terima kasih atas bantuan siangkong, kalau tidak.... kalau tidak....."

   Matanya kembali menjadi merah, kata-kata selanjutnya tak sanggup dilanjutkan lagi, seakanakan kalau bisa dia ingin memeluk sepasang kaki Lim Tay-peng dan menyatakan betapa meluapnya rasa terima kasih yang berkobar didalam dadanya.

   Paras muka Lim Tay peng juga berubah menjadi merah padam.

   Melihat itu, Kwik Tay lok segera berseru sambil tertawa.

   "Yang menolong kau toh bukan cuma kongcu ini seorang, aku juga turut ambil bagian, mengapa kau tidak berterima kasih kepadaku?"

   Paras muka nona cilik itu berubah semakin merah padam ia semakin tak tahu apa yang harus dilakukan. Untung saja Yan Jit datang tepat pada waktunya, sambil melotot ke arah Kwik Tay-lok tegurnya.

   "Orang sudah menderita, kau hendak menganiaya dirinya lagi...."

   Ia segera menarik bangun nona cilik itu, kemudian katanya lagi.

   "Orang inipun tadi punya penyakit, kau tak usah menggubris dirinya...."

   "Te... terima kasih."

   Nona cilik itu menundukkan kepalanya semakin rendah.

   "Kau seorang anak dara, mengapa mendatangi tempat yang tak ada orangnya seperti tempat ini ?"

   Nona cilik itu menundukkan kepalanya semakin rendah, sahutnya agak tergagap.

   "Aku adalah seorang penjual bunga, ia bilang di suatu tempat ada orang yang hendak memborong semua bunga yang kumiliki, maka.... maka akupun mengikutinya datang ke mari."

   "Yan Jit menghela napas panjang, katanya kemudian.

   "Lelaki di dunia ini lebih banyak yang jahat daripada yang baik, lain kali kau mesti bersikap lebih berhati-hati lagi."

   Mendadak Lim Tay-peng bertanya.

   "Berapa sih harganya sekeranjang bunga?"

   "Tiga.... tiga....."

   "Baik, kuberi kau tiga tahil perak, kuborong semua sekeranjang bungamu itu."

   Nona menjual bunga itu mendongakkan kepalanya menatap wajahnya, dibalik sinar matanya yang lembut terpencar rasa terima kasih yang meluap.

   Dengan wajah merah padam karena jengah, buru-buru Lim Tay-peng melengos ke arah lain, seakan-akan ia tak berani bertatapan mata dengan dara tersebut.

   Kwik Tay-lok memandang sekejap ke arah Lim Tay-peng, lalu memandang pula ke arah si dara penjual bunga itu, tiba-tiba ia bertanya.

   "Nona cilik, siapa namamu ?"

   Dara penjual bunga itu seperti merasa takut sekali, begitu ia membuka suara, nona itu mundur dua langkah dengan ketakutan.

   "Apakah kau tinggal di bawah bukit sana? Apakah barusan pindah ke mari? Dulu mengapa aku tak pernah melihat dirimu ?"

   Tanya Kwik Tay-lok lebih lanjut. Dengan wajah merah padam jengah, dara penjual bunga itu menundukkan kepalanya rendahrendah, sambil menggigit bibir, ia membungkam diri dalam seribu bahasa.

   "Hei, kenapa hanya membungkam saja ? Apakah kau mendadak menjadi bisu ?"

   Kwik Tay-lok tertawa terkekeh.

   Dara penjual bunga itu seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian diurungkan, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dan berlalu dari sana.

   Tampak sepasang kepangnya bergoyang-goyang di belakang punggungnya, setelah berlari agak jauh, tiba-tiba ia berpaling dan mengerling sekejap ke arah Lim Tay-peng, kemudian mengambil keluar semua bunga dari keranjangnya dan diletakkan di atas tanah.

   "Bunga ini semuanya untukmu"

   Dia berkata. (Bersambung ke

   Jilid 27)

   Jilid 27 BELUM lagi ucapannya selesai diucapkan, wajahnya semakin memerah, larinya semakin cepat, seakan-akan takut kalau sampai dikejar orang.

   "Kecil amat nyali nona cilik ini,"

   Kata Kwik Tay-lok kemudian sambil tertawa.

   "Melihat tampangmu yang buas dan seram, gadis yang bernyali besarpun akan ketakutan juga dibuatnya,"

   Sela Yan Jit dingin.

   "Aku toh tak lebih hanya bertanya beberapa patah kata kepadanya, apa salahnya kalau bertanya melulu?"

   "Apa pula urusannya nama orang, tinggal dimana dengan urusanmu? Kenapa kau mesti banyak bertanya?"

   "Aku toh bukan bertanya untuk diriku sendiri,"

   Jawab Kwik Tay-lok tertawa.

   "Lantas kau bertanya untuk siapa?"

   Kwik Tay-lok menunjuk ke arah Lim Tay-peng dengan ujung bibirnya, lalu berkata sambil tertawa.

   "Apakah kau belum melihat bagaimanakah tampang dari kongcu kita yang romantis itu?"

   Lim Tay-peng seakan-akan tidak mendengar apa yang dia katakan, sepasang matanya masih menatap ke arah mana bayangan tubuh nona cilik itu melenyapkan diri, ia tampak seperti agak terpesona dibuatnya.

   Musim semi belum pergi jauh, angin yang berhembus di pagi hari itu masih membawa udara yang segar.

   Kwik Tay-lok membuka pintu dan menarik napas panjang-panjang, angin sejukpun segera berhembus lewat menerpa tubuhnya.

   Setiap hari pasti dialah yang bangun paling awal, sebab dia merasa bertiduran di atas ranjang dalam udara segar seperti itu hanyalah suatu pekerjaan yang menghambur-hamburkan waktu.

   Tapi hari ini, ketika ia membuka pintu dan melangkah keluar halaman, tiba-tiba dijumpainya Lim Tay-peng sudah berdiri di tengah halaman.

   Ia sedang berdiri termangu-mangu di tengah halaman.

   Kwik Tay-lok segera mendehem pelan, tapi ia tidak mendengar, Kwik Tay-lok mengetuk tiang pagar, diapun tidak mendengar.

   Sepasang matanya hanya menatap bunga mawar di sudut halaman saja, entah apa yang sedang dipikirkan ? Pelan-pelan Kwik Tay-lok berjalan menghampirinya, kemudian secara tiba-tiba berseru keras.

   "Selamat pagi !"

   Akhirnya Lim Tay-peng mendengar juga, tapi iapun tampak seperti amat terperanjat, ketika berpaling dan melihat orang itu adalah Kwik Tay-lok, ia baru tertawa paksa.

   "Selamat pagi !"

   Sahutnya. Kwik Tay-lok menatap wajahnya lekat-lekat, kemudian berkata.

   "Kalau kulihat matamu yang merah, tampaknya semalam tidak nyenyak tidurmu?"

   "Ehhmmm....."

   "Tampaknya kau seperti mempunyai rahasia hati, sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan ?"

   "Aku sedang berpikir.... agaknya musim semi telah berlalu."

   "Yaa betul, musim semi telah berlalu, agaknya baru kemarin berlalunya"

   Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sahut Kwik Tay-lok sambil manggut-manggut.

   "Baru kemarin berlalunya ?"

   Kwik Tay-lok segera tersenyum.

   "Masa kau tidak tahu ?"

   Serunya.

   "ketika si nona cilik lari pergi kemarin, musim semi telah lari pula mengikutinya"

   Kontan saja paras muka Lim Tay-peng berubah menjadi merah padam. Sengaja Kwik Tay-lok menghela napas panjang, gumamnya.

   "Heran, kemana perginya musim semi ? Siapa yang tahu....? Bila ada orang yang tahu ke mana perginya musim semi, apa salahnya kalau dicari kembali ?"

   "Dapatkah kau kurangi beberapa patah katamu yang tak beraturan itu?"

   Pinta Lim Tay-peng dengan paras muka merah padam. Kembali Kwik Tay-lok tertawa.

   "Masa aku telah salah berbicara? Apakah kau tak ingin menahan musim semi itu beberapa waktu lamanya?"

   "Aku...."

   Mendadak ia membungkam, sebab pada saat itulah tiba-tiba berkumandang suara nyanyian dari kejauhan sana.

   "Nona cilik bangun di pagi hari. Membawa keranjang bunga, menuju ke pekan. Melewati jalan besar, menelusuri lorong kecil. Bunga, bunga, teriaknya. Meski bunga indah, meski bunga harum. Bagaimana bila tak ada yang beli, Menenteng keranjang, berkantung kosong. Pulang bertemu ayah dan bunda."

   Nyanyian itu manis, indah dan agak bernada pedih, bukan cuma Lim Tay-peng yang dibikin terperana, Kwik Tay-lok pun ikut terpesona dibuatnya. Lewat lama kemudian ia baru menghela napas panjang, gumamnya.

   "Tampaknya musim semi belum pergi jauh, buktinya sekarang ia telah balik kembali."

   Tiba-tiba di dorongnya Lim Tay-peng ke teras, kemudian ujarnya sambil tertawa.

   "Kenapa belum beranjak keluar? Buat apa berdiri termangu-mangu saja di situ?"

   "Keluar mau apa?"

   Tanya Lim Tay-peng dengan wajah memerah karena amat jengah. Kwik Tay-lok segera mengerdipkan matanya berulang kali.

   "Kemarin, orang toh sudah menghadiahkan begitu banyak bunga untukmu, paling tidak hari ini kau harus merasakan terima kasih itu."

   Lim Tay-peng masih ragu-ragu, tapi akhirnya di bawah dorongan Kwik Tay-lok, ia keluar juga dari pintu.

   Kabut telah buyar, sang surya memancarkan cahayanya menerangi seluruh jagad.

   Seorang nona cilik yang membawa keranjang bunga sedang pelan-pelan berjalan mendekat, cahaya matahari telah memancarkan sinarnya menerangi seluruh angkasa.

   Ketika ia mendongakkan kepalanya dan tiba-tiba melihat wajah Lim Tay-peng, sinar matahari seakan-akan memancar semua di atas wajahnya.

   Mungkin juga masih ada separuhnya menyinari wajah Lim Tay-peng.

   Kwik Tay lok memandang sekejap ke arahnya lalu memandang pula ke arah nona cilik itu, diam-diam ia mengundurkan diri dari situ, menutup pintu dan membiarkan mereka tetap berada di luar pintu.

   Hembusan angin musim semi yang lembut, seakan-akan kerlingan mata sang kekasih.

   Kwik Tay-lok tersenyum, ia merasa girang sekali, sambil bergendong tangan pelan-pelan ia berjalan mundar mandir ditengah halaman.

   Sebenarnya ia tidak bermaksud mencari Yan Jit, tapi mendongakkan kepalanya, tiba-tiba dijumpainya ia telah berada di depan kamarnya Yan Jit.

   Cahaya musim semi begitu indah, mengapa tidak membiarkan teman yang lainpun ikut merasakannya? Akhirnya Kwik Tay-lok mengulurkan tangan dan pelan-pelan mengetuk pintu.

   Tiada jawaban dari dalam ruangan.

   Ia mengetuk lebih keras lagi, namun belum juga ada suara sahutnya.

   Masa tidur Yan Jit bagaikan mayat saja? Kwik Tay-lok segera berteriak keras-keras.

   "Hei, matahari sudah berada ditengah kepala kita, masa kau belum juga bangun?"

   Suasana dibalik pintu masih tetap hening, tak ada suara barang sedikitpun juga. Tiba-tiba dari belakang tubuhnya kedengaran suara orang berbicara, itulah suara Ong Tiong.

   "Dia tidak ada di halaman belakang, juga tidak berada di dapur"

   Demikian ucapnya.

   Paras muka Kwik Tay-lok agak berubah, tak tahan lagi ia segera mendorong pintu keras-keras.

   Pintu itu memang tidak dikunci, begitu didorong pintupun terbuka lebar....

   Tapi bersama dengan terbukanya pintu, cahaya musim semi di halaman tadipun seakan-akan turut terdorong keluar.

   Dalam kamar itu tak ada orang.

   Pembaringan masih teratur rapi, seperti bersih dan licin, jelas semalam tidak diguna-kan, kecuali itu di sana nampak barang apapun jua.

   Bukan saja Yan Jit tak ada dalam kamar segala sesuatu benda miliknya juga ikut lenyap tak berbekas.

   Kwik Tay-lok berdiri tertegun di sana, kaki dan tangannya segera berubah menjadi dingin seperti es.

   Ong Tiong mengerutkan pula dahinya, lalu bergumam.

   "Tampaknya dia sudah pergi sejak kemarin malam!"

   "Ehem...."

   "Kali ini, mengapa dia pergi dengan membawa serta segenap benda miliknya? Kenapa ia pergi tanpa pamit atau meninggalkan pesan barang sepatah katapun juga ?"

   Tiba-tiba Kwik Tay-lok membalikkan badannya dan mencengkeram bahu Ong Tiong kencangkencang, serunya.

   "Semalam, kau tidak mengatakan apa-apa kepadanya bukan ?"

   "Menurut pendapatmu apa yang kuberitahukan kepadanya ?"

   "Maksudku semua perkataan yang kuucapkan kepadamu itu!"

   "Kau anggap aku adalah manusia macam apa ?"

   "Kau benar-benar tidak mengucapkan apa-apa"

   Ong Tiong menghela napas panjang, lanjutnya.

   "Sekarang, kitapun tak usah cekcok lagi, kalau tidak, cukup dengan perkataan itupun aku bisa mengajakmu cekcok hebat."

   Kwik Tay-lok tertegun beberapa saat lamanya, kemudian dia menghela napas panjang dan pelan-pelan melepaskan cengkeramannya. Sambil tertawa paksa Ong Tiong berkata lagi.

   "Padahal kau tak usah cemas, dulu ia pernah kabur selama banyak waktu, tapi kemudian bukankah dia telah balik kembali?"

   Kwik Tay-lok segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya sambil tertawa getir.

   "Bukankah barusan kau juga berkata, kali ini berbeda?"

   "Tapi dia sama sekali tak punya alasan untuk pergi tanpa pamit."

   Kwik Tay-lok menundukkan kepalanya rendah-rendah, katanya kemudian.

   "Mungkin.... mungkin dia seperti aku juga merasa gelagat semakin tidak beres maka.... maka dia merasa lebih baik angkat kaki dari sini..."

   "Padahal kalian seharusnya tidak melakukan suatu kesalahan apa-apa,"

   Ucap Ong Tiong agak sangsi.

   "Masih belum?"

   Kata Kwik Tay- Iok sambil tertawa getir.

   "Padahal dia.... dia...."

   "Dia kenapa ?"

   Ong Tiong memandangnya dengan ragu, lewat beberapa saat kemudian tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya berulang kali..

   "Aahhh, tidak apa-apa...."

   Tidak menanti ucapan tersebut diselesaikan, ia telah membalikkan badan dan berlalu dari sana.

   "Kau hendak ke mana?"

   Tegur Kwik Tay-lok.

   "Mencari barang secawan arak."

   Sesungguhnya Ong Tiong juga merupakan seseorang yang tak dapat menyimpan rahasia dalam hatinya, dia hanya merasa, ada sementara persoalan yang lebih baik jangan dibicarakan saja.

   Karena ia merasa, ada sementara persoalan lebih baik tidak diketahui oleh Kwik Tay-lok, sebab bila ia mengetahui terlalu banyak, hal mana justru akan mendatangkan kemurungan baginya.

   Sayang dia tak tahu kalau hal itu sama saja mendatangkan kemurungan baginya.

   Sekarang musim semi baru benar-benar telah pergi jauh.

   Ke mana perginya musim semi? Tak pernah ada orang yang tahu.

   Nona cilik bangun di pagi hari...

   Membawa keranjang bunga, menuju ke pekan.

   Melewati jalan besar, menelurusi lorong kecil...

   Nyanyian yang merdu itu hampir dapat di dengar setiap hari bila fajar baru menyingsing.

   Asal mendengar suara nyanyian tersebut, Lim Tay-peng segera merasa musim seminya telah tiba.

   Tapi, musim semi bagi Kwik Tay-lok tak pernah kembali lagi.

   Yan Jit seakan-akan pergi bersama berlalunya angin sepoi, pergi untuk tak kembali lagi, tiada kabar beritanya, tidak nampak pula bayangan tubuhnya.

   "Dia telah kemana? Mengapa sepatah katapun tidak ditinggalkan ?"

   Kwik Tay-lok bertekat hendak menemukan alasannya. Maka diapun berangkat meninggalkan tempat itu. Sebelum pergi, dia hanya meninggalkan sepatah kata.

   "Sebelum menemukan dirinya, aku tak akan pulang kembali !"

   Gelak tertawa dalam perkampungan Hok-kui-san-ceng semakin berkurang, walaupun udara makin hari semakin panas, namun dalam perasaan Ong Tiong, tempat itu hari bertambah hari semakin dingin.

   Tiada kabar berita dari Kwik Tay-lok, tiada kabar berita dari Yan Jit, juga tiada kabar berita dari musim semi.

   Yang ada hanya suara nyanyian merdu yang tiap fajar dapat terdengar dengan indahnya.

   Selain itu, satu-satunya yang membuat hati orang menjadi girang dan lega adalah makin sembuhnya luka yang diderita Ang Nio cu.

   Suatu hari, dia dan Lim Tay-peng menemani Ong Tiong berdiri di bawah wuwungan rumah.

   Langit sebenarnya bersih dan cerah, tapi secara tiba-tiba awan hitam menyelimuti seluruh angkasa.

   Menyusul kemudian, petir menyambar-nyambar dan geledek menggelegar membelah angkasa, hujan turun dengan derasnya.

   Air hujan turun membasahi seluruh jagad, bunga di sudut halaman sana berguguran tertimpa air, entah mengalir sampai ke sana.

   Memandang air hujan yang membasahi atap rumah, tiba-tiba Ong Tiong menghela napas panjang, gumamnya.

   "Musim semi benar-benar telah pergi.... aaaai, entah sampai kapan ia akan kembali lagi ?"

   Ang Nio-cu segera menghibur dengan suara lembut.

   "Walaupun sekarang ia telah pergi, tapi dengan cepatnya dia pasti akan kembali lagi."

   "Benar,"

   Sambung Lim Tay-peng.

   "bagaimanapun jauhnya musim semi itu berlalu, suatu ketika dia pasti akan kembali lagi."

   "Pasti ?"

   "Ya, pasti."

   Lim Tay-peng mengangguk.

   Ong Tiong menatap wajahnya pelan-pelan memandang-nya lama sekali, kemudian ia menggelengkan kepalanya dam menghela napas panjang, untuk beberapa saat lamanya menjadi hening.

   Tiada orang yang berbicara lagi, tiada orang yang memecahkan keheningan di sana.

   Yang terdengar hanya suara hujan yang membasahi jagad.

   Petir menyambar-nyambar, geledek membelah bumi, hujan turun dengan amat derasnya.

   Seluruh tubuh Kwik Tay-lok telah basah kuyup tertimpa air hujan, akhirnya ia mendusin.

   Ketika ia mendusin, baru diketahui kalau tubuhnya sedang berbaring di sudut dinding rumah di atas tanah berlumpur, sedang mengenai apa sebabnya ia bisa tertidur di sini, berapa lama ia telah berada di situ, pemuda itu sama sekali tidak tahu.

   Dia masih ingat, semalam dia mengikuti saudara-saudara dari kota timur bermain judi di rumah perjudian milik lotoa di kota barat, berjudi sampai ludes seluruh uang milik bandar.

   Kemudian lotoa dari kota timur pun menyelenggarakan pesta kemenangan dirumah pelacuran milik Siau Tang-kwe, dua tiga puluh orang saudara secara bergilir menghormatinya dengan secawan arak.

   Bahkan di hadapan orang banyak, lotoa dari kota timur telah menepuk dada sambil menyatakan asal dia dapat menghajar remuk perkumpulan di kota barat itu, untuk selanjutnya daerah sebelah barat kota itu akan menjadi miliknya, kemudian kedua orang itupun agaknya menyembah di depan meja sembahyang dan mengangkat saudara.

   Kejadian selanjutnya sudah tidak diingat lagi olehnya dengan jelas, agaknya Siau mi-tho adik perempuan Siau tang-kwe membimbingnya pulang, baru saja akan melepaskan sepatunya dan melepaskan pakaiannya, tiba-tiba ia menolak, kemudian dia hendak pergi, pergi mencari Yan Jit.

   Siau mi-tho ingin menariknya, malahan perempuan itu kena ditampar olehnya.

   Kemudian diapun menemukan dirinya berbaring di sana, diantara kejadian terakhir sampai apa yang dialaminya sekarang, sama sekali sudah tidak teringat lagi.

   Atau tegasnya saja, selama setengah bulan lebih ini, dia sendiripun tidak jelas penghidupan macam apakah yang dialaminya.

   Sebenarnya dia keluar rumah hendak mencari Yan Jit, tapi dunia begini luas, dia harus pergi kemana untuk menemukannya ? Maka diapun tinggal di situ setibanya di kota ini, setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan, berjudi, main perempuan....

   Suatu hari setelah mabuk hebat, ia telah bentrok dengan lotoa dari kota timur, tapi akibat dari pertarungan itu, ternyata mereka malah menjadi bersahabat.

   Waktu itu lotoa dari kota timur sedang ditekan terus oleh perkumpulan di kota barat sehingga tak dapat bernapas, Kwik Tay-lok segera menepuk dada sambil memberi jaminan bahwa ia sanggup membalaskan dendam.

   
Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Maka diapun bergaul dengan saudara dari kota timur, setiap hari kerjanya hanya minum arak, berjudi, berkelahi, mencari perempuan, tiap hari berteriak sambil tertawa tergelak, kehidupannya tiap hari dilewatkan dengan riang gembira.

   Tapi mengapa setiap kali setelah mabuk, ia selalu pergi seorang diri, bila sadar kembali keesokan harinya, kalau bukan terkapar di tengah jalan, tentu berbaring dalam pecomberan.

   Bila seseorang ingin menyiksa orang lain, mungkin hal ini agak susah, tapi bila ingin menyiksa diri, hal mana gampangnya bukan kepalang.

   Apakah ia memang sengaja sedang menyiksa diri ? Hujan yang turun hari ini deras sekali, ketika air hujan menimpa di atas tubuhnya, terasa bagaikan ditimpuk oleh batu.

   Kwik Tay-lok meronta dan berusaha keras untuk bangun berdiri, kepalanya terasa sakit sekali bagaikan mau merekah, lidahnya kaku bagaikan sudah tumbuh cendawannya.

   Penghidupan semacam ini benarkah suatu penghidupan yang berarti....? Ia enggan untuk memikirkannya.

   Persoalan apapun enggan dia pikirkan, paling baik lagi bila segera ada arak dan minum lagi, paling baik lagi bila setiap hari tak pernah ada saat yang sadar.

   Sambil menengadah dia membuka mulutnya menghirup air hujan, walaupun air hujan banyak dan rapat, berapa banyakkah yang dapat masuk ke dalam mulutnya ? Bukankah banyak kejadian di dunia inipun sama halnya dengan kejadian tersebut ? Sesuatu yang dengan jelas dapat diperoleh, justru kenyataannya tak bisa didapat.

   Kau ingin marah, menderita, menumbukkan kepala sendiri ke atas dinding, tapi apalah artinya penyiksaan terhadap diri sendiri ? Kwik Tay-lok berusaha membusungkan dadanya, dalam dadanya, ulu hatinya seakan-akan terdapat jarum yang sedang menembusinya.

   Persoalan yang jelas tak ingin dipikirkan mengapa justru selalu muncul didalam benaknya? Petir menyambar membelah angkasa, kemudian terdengarlah suara gemuruh yang menggelegar.

   Sambil menggigit bibir dia berjalan dengan langkah lebar, belum lagi dua langkah, tiba-tiba ia menyaksikan sebuah pintu kecil di hadapannya sana dibuka orang.

   Seorang dayang cilik berbaju hijau berdiri di depan pintu sambil membawa sebuah payung, ia sedang memandang ke arahnya sambil tertawa, ketika tertawa, tampak sepasang lesung pipinya yang dalam.

   Bila ada seorang nona cilik yang begitu manis tertawa kepadamu, bagaimana pun juga, setiap lelaki pasti akan manfaatkan kesempatan ini untuk mendekatinya.

   Tapi sekarang Kwik Tay-lok sudah tidak mempunyai gairah untuk berbuat demikian, gairahnya sekarang boleh dibilang sudah hancur musnah tak karuan tujuannya lagi.

   Siapa tahu nona cilik itu segera maju menyongsong kedatangannya, kemudian sambil tertawa manis katanya.

   "Aku bernama Sim-Sim!"

   Belum lagi orang lain berbicara, kata pertama yang diucapkan ternyata adalah memperkenalkan nama sendiri, kejadian seperti ini jarang sekali dijumpai. Kwik Tay-lok memandangnya beberapa kejap, kemudian pelan-pelan mengangguk.

   "Sim-sim, bagus.... bagus sekali namamu,"

   Katanya. Tidak sampai habis ucapan tersebut diutarakan, dia hendak melanjutkan kembali perjalanannya. Siapa tahu Sim-sim lama sekali tidak bermaksud untuk melepaskan dirinya dengan begitu saja, kembali ujarnya sambil tertawa.

   "Aku kenal dengan dirimu!"

   Sekarang Kwik Tay-lok baru merasa agak keheranan, sambil membalikkan badannya dia menegur.

   "Kau kenal dengan aku?"

   "Bukankah kau adalah toa-sauya dari keluarga Kwik?"

   Ucap Sim-sim sambil mengedipkan matanya. Kwik Tay-lok bertambah heran lagi, tak tahan dia lantas bertanya.

   "Dulu kau pernah berjumpa denganku di mana?"

   "Belum pernah"

   "Lantas darimana kau bisa kenal diriku?"

   Sim-sim segera tertawa.

   "Asal kau tanyakan persoalan ini kepada siocia kami, maka segala sesuatunya akan menjadi terang"

   "Siapa pula nona kalian?"

   "Setelah bertemu dengannya nanti, kau akan segera tahu"

   "Sekarang dia berada dimana?"

   Sim-sim segera tertawa.

   "Ikuti saja aku, segala persoalan kau akan mengetahui dengan sendirinya...."

   Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan berjalan masuk lewat pintu kecil itu, kemudian sambil berpaling kembali dan menggape ke arah Kwik Tay-lok, katanya.

   "Marilah !"

   Kwik Tay-lok tidak berkata apa-apa lagi, dengan langkah lebar dia segera berjalan masuk ke dalam, kini rasa ingin tahunya telah terpancing keluar, sekalipun kau suruh dia tidak masukpun, belum tentu permintaanmu itu akan dikabulkan.

   Dibalik pintu terdapat sebuah halaman kecil, bunga aneka warna yang ditimpa air hujan tampak amat mengenaskan sekali.

   Di bawah atap rumah tergantung tiga buah sangkar burung, si burung nuri sedang berkicau dengan merdunya, seakan-akan sedang menegur majikannya yang tidak terlalu memperhatikan dirinya, sebaliknya membawa orang lain masuk ke dalam rumah.

   Sim-sim berjalan melewati serambi rumah, kemudian dengan jari tangannya yang kecil dia menyentil sangkar itu pelan, serunya dengan mata mendelik.

   "Setan cilik, ribut amat kau, hari ini siocia ada tamu, bila kalian ribut lagi, jangan salahkan kalau dia tak akan menggubris kalian lagi."

   Kemudian sambil berpaling ke arah Kwik Tay-lok, ujarnya lebih lanjut sambil tertawa.

   "Coba kau lihat, belum lagi kau masuk, mereka telah cemburu lebih dulu....."

   Terpaksa Kwik Tay-lok ikut tertawa.

   Sekarang, selain rasa ingin tahunya yang berkobar, ia mempunyai pula suatu perasaan aneh yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, seakan-akan suatu perasaan manis yang mempesonakan hati.

   Tapi apa gerangan yang telah terjadi? Ia masih berada dalam keadaan tanda tanya besar, sedikit bayanganpun tak dapat meraba.

   "Jangan-jangan aku ketimpa rejeki ?"

   Cuma, walaupun dayangnya cakep, bukan berarti nonanya pasti cantik jelita.

   Bila nonanya jelek bagai kuntilanak, lantas bagaimana ? Di atas pintu terdapat sebuah tirai bambu yang tipis, tentu saja tirai tersebut baru diganti setelah musim panas tiba.

   Tak seorang manusiapun yang berada dibalik pintu, Sim-sim menyingkap tirai itu dan berkata sambil tersenyum.

   "Silahkan duduk didalam, aku akan segera mengundang kedatangan siocia kami."

   Dibalik tirai bambu sana adalah sebuah ruang tamu yang mungil tapi indah, di atas lantai tampak permadani indah dari Persia.

   Melihat keindahan permadani tersebut, tanpa terasa Kwik Tay-lok membersihkan lumpur pada alas sepatunya lebih dulu sebelum melangkah masuk ke dalam.

   "Tuan rumah semacam ini, mengapa mengundang kedatangan seorang tamu macam diriku ?"

   Tentu saja hal ini disebabkan ada maksud-maksud tertentu.

   Tapi apakah maksud-maksud tertentunya itu? Kwik Tay-lok memperhatikan diri sendiri dari atas sampai ke bawah, lima tahil perakpun tak laku rasanya....

   Sambil tertawa getir akhirnya dia mencari sebuah kursi yang paling nyaman dan paling bersih untuk duduk.

   Di atas meja terdapat poci teh, air tehnya baru saja dibuat.

   Di atas beberapa buah piring kecil terdapat makanan kecil teman milik teh.

   Kwik Tay-lok memenuhi secawan air teh dan sambil minum sambil makan hidangan kecil yang tersedia, seakan-akan dia adalah tamu lama dari tempat itu, sama sekali tak perlu sungkansungkan.

   Kemudian, iapun mendengar suara "Ting tang, ting tang"

   Yang nyaring, Sim-sim telah muncul kembali sambil membimbing nonanya.

   Kwik Tay-lok hanya mendongakkan kepalanya memandang sekejap, sepasang matanya segera terbelalak lebar.

   Kwik sianseng bukan seorang bocah muda yang belum pernah bertemu perempuan, tapi gadis secantik itu betul-betul amat jarang di jumpai dalam dunia saat ini.

   Yaa, kalau bukan perempuan secantik itu, mana pantas berdiam ditempat semegah ini? Dalam mulut Kwik Tay-lok masih menggigit sepotong kueh, ia lupa menelannya dan lupa menariknya keluar, sehingga tampang wajahnya itu kelihatan lucu sekali.

   Entah sedari kapan, nona itupun telah duduk, tepat duduk di hadapan mukanya, selembar wajahnya yang cantik kelihatan bersemu merah, entah bedak entah malu, sepasang biji matanya yang jeli sedang memandang ke arahnya dengan sorot mata yang lembut.

   Kwik Tay-lok mulai merasa duduknya menjadi tak tenang, dia ingin buka suara untuk berbicara, siapa tahu karena kurang berhati-hati, makanan yang ada di mulutnya menyumbat tenggorokan....

   Sim-sim segera tertawa cekikikan karena geli, begitu tertawanya dimulai, ia tertawa terpingkalpingkal tiada hentinya sampai harus memegangi perutnya yang sakit.

   Si nona itu segera melotot ke arahnya, seolah-olah menegurnya mengapa harus tertawa, namun dia sendiripun tak tahan turut tertawa terpingkal-pingkal.

   Kwik Tay-lok memandang mereka berdua dengan termangu, tapi secara tiba-tiba dia ikut tertawa pula.

   Suara tertawanya jauh lebih keras daripada siapapun juga, asal kau mendengar suara tertawa itu, maka akan kau rasakan sesungguhnya kalau dialah Kwik Tay-lok yang sebetulnya.

   Bagaimana seriusnya suasana, bagaimanapun rikuhnya keadaan, asal Kwik Tay-lok sudah tertawa, maka suasananya segera akan mengendor kembali...

   Si nona yang tersipu kemalumaluan itu akhirnya buka suara juga, suaranya amat lembut dan halus, selembut wajahnya.

   "Walaupun tempat ini tak bagus, tapi setelah Kwik toaya sampai di sini, rasanya kau pun tak perlu sungkan-sungkan lagi....."

   Katanya.

   "Menurut pendapatmu, apakah aku mirip orang yang sungkan-sungkan?"

   Tukas Kwik Tay lok sambil tertawa.

   "Tidak mirip!"

   Nona itu tersenyum. Sim-sim juga tertawa, tambahnya.

   "Air teh itu baru saja nona pesan dari bukit Bu-oh-san di propinsi Im-lam, silahkan Kwik toaya meneguk beberapa cawan, agar pengaruh arak tubuhnya toaya pun bisa berkurang"

   "Air tehnya sih lumayan, tapi kaulah yang keliru"

   "Dimana letak kesalahanku ?"

   Tanya Sim-sim tertegun.

   "Bagaimanapun baiknya mutu air teh, tak ada yang bisa dipakai untuk menghilangkan pengaruh arak."

   "Lantas apa yang bisa dipakai untuk menghilangkan pengaruh arak?"

   "Arak !"

   "Kalau minum arak lagi, bukankah kau akan bertambah mabuk ?"

   Seru Sim-sim sambil tertawa.

   "Lagi-lagi kau keliru, hanya arak yang dapat dipakai untuk menghilangkan pengaruh arak, itulah yang dinamakan Huan-bun-ciu (arak pengembali pengaruh sukma)."

   "Sungguh ?"

   Seru Sim-sim sambil mengerdipkan matanya berulang kali.

   "Cara ini telah kupelajari selama puluhan tahun lamanya, aku rasa tak bakal salah lagi."

   Si nona turut tertawa katanya.

   "Kalau memang begitu, mengapa tidak kau siapkan arak untuk Kwik Toaya..?"

   Arak telah dihidangkan, araknya arak wangi.

   Tentu saja sayur yang dihidangkanpun merupakan sayur yang lezat dan mewah.

   Kwik Tay-lok mulai minum dengan lahapnya, ia benar-benar menganggap nona itu seperti teman lamanya saja.

   Ternyata si nona pun bisa meneguk dua cawan arak, sepasang pipinya telah memerah karena pengaruh arak, tapi hal mana justru menambah kecantikan wajahnya.

   Kwik Tay-lok memperhatikannya, dengan sorot mata yang tajam, bahkan sampai arakpun lupa untuk diteguk.

   Si nona cepat-cepat menundukkan kepalanya kemudian berbisik dengan lirih.

   "Kwik toaya, silahkan meneguk tiga cawan lagi, aku akan menemanimu meneguk secawan lagi."

   Tiga cawan arak dalam waktu singkat telah masuk ke perut, tiba-tiba Kwik Tay-lok berkata.

   "Ada beberapa persoalan ingin kuberitahukan kepadamu."

   "Katakan."

   "Pertama, aku tidak bernama Kwik Toaya, teman-temanku menyebut diriku sebagai Siau-Kwik tapi lambat laun aku makin menua, maka sekarang aku telah menjadi lo-kwik (kwik tua)!"

   "Ada sementara orang yang selamanya seperti tak pernah menjadi tua,"

   Ucap si nona sambil tersenyum.

   "Ada pula sementara orang yang selamanya tak bisa menjadi toaya."

   Setelah meneguk dua cawan arak, ia baru melanjutkan.

   "Aku tak lebih hanya seorang yang miskin, tak punya apa-apa, lagi pula dekil dan bau, sebaliknya kau adalah nona yang anggun, lagi pula tidak kenal dengan diriku, mengapa kau mengundang diriku untuk minum arak bersama?"

   Si nona mengerlingkan matanya yang jeli, lalu menjawab.

   "Kita sama-sama orang perantauan, bila berjodoh, mengapa harus berkenalan lebih dulu?"

   "Nona kami she Sui bernama Loan-kim, sekarang kalian telah saling mengenal bukan,"

   Timbrung Sim-sim dari samping.

   "Sui Loan-kim, suatu nama yang amat bagus, pantas untuk menghabiskan tiga cawan arak"

   Kwik Tay-lok bertepuk tangan sambil tertawa terbahak-bahak.

   "Terima kasih"

   Sahut Sui Loan-kim sambil menundukkan kepalanya rendah-rendah. Kwik Tay-lok meneguk habis isi cawannya, lalu menatapnya lekat-lekat, lewat lama kemudian ia baru berkata lagi.

   "Ususku berbentuk lurus, apa yang hendak kuucapkan tak pernah kusimpan didalam hati, aku harap kau suka memakluminya."

   "Aku telah melihatnya, kau memang seorang lelaki sejati yang polos, dan jujur."

   "Kalau begitu aku ingin bertanya kepadamu, apakah ada orang yang telah menganiaya dirimu, sehingga kau berharap aku bisa melampiaskan rasa mangkelmu ?"

   "Nona kami tak pernah keluar rumah, mana mungkin ada orang yang menganiaya dirinya ?"

   Sela Sim-sim.

   "Apakah kau telah menjumpai suatu masalah yang pelik sehingga meminta bantuanku untuk pergi menyelesaikannya ?"

Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long Pendekar Cacad Karya Gu Long Pukulan Si Kuda Binal -- Gu Long

Cari Blog Ini