Ceritasilat Novel Online

Pendekar Satu Jurus 10


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Bagian 10


inya.

   Semua orang saling pandang seolah-olah mereka pun terlibat dalam pertaruhan ini dengan jantung berdebar mereka memandang keluar pintu, mereka tak tahu harus menunggu berapa lama lagi dan apakah Hui-taysianseng akan masuk kembali ke ruangan itu? Di mata sekian banyak orang hanya Cian Hui yang tak pernah menengok ke pintu walau hanya sekejap saja, sebab dia tahu dengan jelas bahwa mengharapkan masuknya kembali Huitaysianseng melalui pintu tersebut sama dengan menantikan munculnya seekor ikan paus di daratan, hakikatnya tidak mungkin terjadi.

   Demkianlah, di tengah ketegangan itu, malam terasa tiba lebih cepat daripada hari biasa, cahaya lampu sudah menerangi seluruh ruangan.

   Tiba-tiba dan luar muncul sesosok bayangan, suasana jadi semakin tegang, orang ingin tahu Hui Giok yang muncul atau Leng-kok-siang-bok yang kembali, tapi orang itu ternyata tak lain daripada Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong.

   Begitu melangkah masuk ke dalam ruangan dia lantas berseru sambil tertawa nyaring- "Sungguh berbahaya, hampir saja aku ketinggalan dalam permainan yang menarik ini!"

   "Benar, benar!"

   Jawab si Ayam emas sambil berbangkit, tampaknya hari ini Cian-cengcu sedang keranjingan bertaruh, bila Na-heng tidak ikut serta dalam pertaruhan ini, mungkin di kemudian hari kau tak akan menemukan lagi kesempatan bertaruh sebagus ini."

   Na Hui-hong tertawa, sebetulnya aku bukan seorang penjudi, tapi ketika mendengar kabar, kakiku seperti tiba-tiba tumbuh sayap dan tanpa kusadari terus berlari kemari.

   Ketika ia menengadah, Cian Hui sedang memandangnya dengan senyuman kaku, hal ini membuat gelak tertawanya bertambah nyaring, pikirnya.

   "Cian Hui, wahai Cian Hui, orang cerdik seperti kau juga bisa berbuat tolol. Hmm, jika tidak kubikin kau bangkrut, hehehe mulai detik ini jangan panggil aku sebagai Jit-giau-tui-hun. Maka dengan tersenyum dia berkata.

   "Barusan, ketika Yu-koankeh mengumpulkan jago berani mati di luar, baru ku tahu Siang-heng telah menemukan sistem taruhan yang unik ini, sayang sekali Siaute tidak memiliki modal taruhan semacam itu, maka aku hanya membawa lima ratus selongsong perak untuk bertaruh dengan Cian heng, tapi apabila Cian-heng merasa jumlah ini terlalu sedikit, di kota Soh-ciu aku masih punya sebidang tanah dan bangunannya, sekalipun kalah besarnya dengan Long bong-san-ceng, tapi rasanya cukup sebagai modal taruhan Nah, Biar kusodorkan semua itu untuk bertaruh denganmu!"

   Dia bicara dengan seenaknya, seakan-akan seorang anak nakal yang bertaruh dengan kacang saja.

   Tapi semua orang lantas berseru kaget.

   malahan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng juga berubah air mukanya.

   Maklumlah, lima ratus longsong perak sama dengan lima puluh laksa tahil perak, ditambah lagi perkampungan Jit-giau-san-cengnya yang termasyhur di dunia persilatan, nilainya sungguh sangat mengejutkan.

   Na Hui-hong melirik sekejap sekitarnya, lalu ujarnya lagi sambil tertawa.

   "Selama hidupku tak pernah berjudi, tapi sekali berjudi harus berjudi sampai puas, sekalipun hartaku ludes semua juga rela, paling banter bekerja keras sepuluh tahun lagi ... Hahaha, saudara Cian, kenapa kau tidak berbicara?"

   Cian Hui melengak. seperti baru sadar dari impian dia berpaling dan tertawa.

   "Hahaha, meskipun taruhan yang kuselenggarakan ini hanya bersifat iseng, rupanya kalian semua telah bertaruh dengan sungguh-sungguh "

   "Memangnya kau anggap taruhanku tidak sungguh-sungguhan."

   Tanya Jit-giau-tui-hun dengan kurang senang.

   Meski Cian Hui masih bersenyum, tari sorot matanya penuh rasa benci, andaikata sinar matanya dapat melukai orang, mungkin Na Hui hong sudah mati beberapa kali.

   Maklumlah, kalau taruhan tadi belum menjadi soal bagi Cian Hui, tapi taruhan Na Hui hong sekarang cukup membuat seseorang menjadi bangkrut dan jatuh miskin, sekalipun Cian Hui terhitung seorang tokoh Lok-lim yang kaya, tapi oleh karena dia sangat royal, maka tabungannya tidak seberapa banyak, dalam gudang paling banyak juga cuma tersedia hanya puluh laksa tahil perak.

   Na Hui-hong ini seakan-akan dapat menaksir kekayaan yang dimilikinya maka dia mengajukan pertaruhan seperti itu, dengan tujuan supaya Cian Hui jatuh pailit, bahkan dia ingin menangkan pula tempat tinggal Cian Hui sehingga kalau bisa lawannya akan dibikin tidur di emper rumah orang Cian Hui bukan orang bodoh, sudah tentu dia paham maksud lawannya, bisa dibayangkan betapa gemas dan bencinya, dalam hati dia menyumpah.

   "Na Hui-hong, wahai Na Hui-hong aku tak pernah bermusuhan dengan dirimu, mengapa kau bertindak sekeji itu kepadaku? Hmm, bila suatu ketika kau terjatuh ke tanganku , .. hnim, hm..."

   Tapi dia lantas tertawa, katanya.

   "Aku tak bermaksud demikian, masa tidak percaya pada Na heng, tapi kau pun harus tahu, medan judi sama seperti medan tempur sekali orang terjun ke gelanggang pertaruhan, sekalipun saudara sekandung juga harus membuat perhitungan dan lagi di medan judi yang diutarakan adalah taruhan nyata kalau cuma omong kosong tanpa bukti hitam di atas putih. rasanya rasanya tidak masuk hitungan..."

   Tiba-tiba ia menemukan alasan yang tepat untuk menolak tantangan Na Hui-hong maka ia tertawa senang.

   "Ucapan Cian-heng memang tepat, taruhan harus ada barangnya,"

   Na Hui hong tertawa, Maka kebetulan sudah kubawa lima puluh laksa tahil perak itu, meskipun tidak berada dalam sakuku, tapi dalam waktu satu jam sudah bisa dibawa kemari sedangkan mengenai perkampunganku itu sekarang juga akan kubuatkan surat kontrak, para jago persilatan lain boleh bertindak menjadi saksi untuk ini ingin kuminta bantuan Tham-lopiautau dan Siang pangcu agar suka menjadi wasit, siapa yang kalah, dalam waktu setengah bulan harus mengosongkan perkampungannya dan menyerahkan kepada pihak yang menang...

   Hahaha, ucapan saudara Cian memang benar siapa yang terjun ke arena perjudian, sekalipun saudara sekandung juga mesti bikin perhitungan Hahaha..."

   Kim-keh Siang It-ti merasa mendapat kesempatan, segera ia menimpali.

   "walaupun Siaute bukan orang yang suka mencari urusan, tapi jabatan sebagai penengah ini pasti kuterima."

   "Betul, bila Na-tayhiap menghargai diriku tentu saja aku pun tidak menolak."

   Sambung Liong heng-pat-ciang Tham Beng sambil tersenyum.

   Sin-jiu Cian Hui berdiri tertegun seperti patung, tiba-tiba ia cabut kipasnya dan menggoyangkannya dengan keras lalu menyimpan kembali kipasnya terus menenggak beberapa cawan arak.

   Sekalipun dia seorang tokoh persilatan yang hebat, tapi harta benda yang dikumpulnya dengan susah payah selama bertahun-tahun bakal ludes di atas meja pertaruhan dan jelas tak ada harapan untuk menang, bagaimanapun tebal imannya tidak urung berubah juga air mukanya.

   Semua orang memandangnya dengan menahan napas, demikian tegangnya sehingga suara bisik-bisik pun ikut lenyap, keadaan menjadi sunyi, Mendadak Cian Hui terbahak-bahak.

   "Baik baik! Kalau saudara Na berniat untuk bertaruh tentu saja aku akan mengiringimu dengan senang hati."

   Sambil mengulapkan tangannya dia berseru lagi.

   "Siapkan alat tulis..."

   Seorang Piautau yang terkenal bertulisan bagus didorong keluar untuk menulis surat kontrak tapi sewaktu dia mengambil pit dan mulai menulis, jelas tangannya gemetar keras.

   Cian Hui berdiri kaku menyaksikan di samping, meski pengaruh arak memperkuat ketabahannya tak urung keringat membasahi jidatnya.

   Apalagi ketika tiba gilirannya untuk membubuhi tanda tangan, butiran keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar, hal ini membuat para jago yang hadir itu merasa tercengang.

   "Heran, biasanya Cian Sin-jiu selalu tenang, kenapa sikapnya sekarang tampak gugup?"

   Andaikan mereka tahu bagaimana perasaan Cian Hui ketika itu, mungkin tak ada orang yang berpendapat demikian, Sampai-sampai Liong-heng-pet-ciang juga merasa heran.

   Setelah surat kontrak diteken, dua lembar kertas itu berikut kedua lembar cek tadi ditaruh di bawah nampan yang berisi uang emas itu.

   Cian Hui kelihatan gelisah, sebentar duduk dan sebentar berdiri.

   Sinar mata kawanan jago pun tak berkedip mengawasi pintu.

   Yu Peng, si kepala rumah tangga Long bong san-ceng mendadak lari masuk, sekalipun jelas tahu siapa yang muncul toh jantung semua orang berdebar keras.

   Maka setiap ada bayangan orang muncul dan luar, semua orang lantas menjadi tegang.

   Sesudah berlari masuk, segera Yu Peng berseru.

   "Saudara kita semuanya siap jual nyawa bagi Cengcu, lantaran jumlahnya terlalu banyak maka hanya kupilihkan sembilan orang. Jit-giau-tui-hun tertawa dingin.

   "Hehe, Cian heng memang disayang anak buah . hehe..."

   Padahal ia saksikan sendiri di luar kebanyakan anak buahnya enggan mempertaruhkan nyawa secara sia-sia. Merah wajah Cian Hui mendengar sindiran itu dia lantas berteriak, Suruh mereka masuk."

   Terdengar sembilan orang laki-laki berbaju hitam mengiakan dan berlari masuk ke dalam ruangan dan tepat berhadapan muka dengan kesembilan orang berbaju warna-warni tadi, ketika delapan belas pasang mata saling bertemu, terjadilah saling pandang dan entah apa yang mereka pikirkan di dalam hati.

   Kim-keh Siang It-ti memperhatikan wajah ke sembilan orang itu, sekilas pandang saja dia tahu bahwa Sin-jiu Cian Hui memang tidak malu sebagai seorang tokoh persilatan, kekuatan yang terhimpun di pihaknya ternyata bukan kaum keroco.

   Gerak-gerik kesenbilan laki-laki berbaju hitam nampak tangkas, hanya saja mereka tidak setenang anak buahnya.

   "Bagus... bagus..."

   Cian Hui mengangguk berulang kali, dia berpaling dan membisikkan sesuatu kepada Yu Peng. Kim-keh Siang lt-ti lantas tertawa dingin.

   "Hehe, saudara Na, tahukah kau, apabila hari ini aku kalah urusan masih mendingan, tapi kalau menang hem, untuk keluar dan sini mungkin akan jauh lebih sukar daripada waktu masuk kemari tadi!"

   Hebat perubahan air muka Cian Hui, ia pun tertawa dingin.

   "Hehehe, saudara Siang, masa kau begitu pandang hina atas diriku ini?"

   "O, niat jahat untuk mencelakai orang jangan sekali kali ada, tapi hati-hati terhadap segala kemungkinan jangan sekali lengah, itulah ajaran kuno yang sudah kita ketahui bersama."

   Berkerutlah kening Cian Hui, katanya dengan lantang.

   "Yu Peng, coba jelaskan kepada mereka, apa yang barusan kukatakan kepadamu?"

   "Cengcu memerintahkan pada hamba agar mempersiapkan ganti rugi untuk keluarga ke sembilan saudara ini!"

   Sahut Yu Peng dengan kepala tertunduk.

   Mendadak Jit-giau-tui-hun terbahak-bahak "Hahaha., ..

   menang atau kalah belum jelas, kenapa Cian-heng malahan sudah mengharapkan kemenangan bagi orang lain dan melenyapkan wibawa pihak sendiri?" - Habis berkata kembali ia menengadah dan terbahak-bahak.

   Jit-giau-tongcu Go Beng-si juga ikut sedih meski ia tak senang pada sifat Cian Hui yang jelek tapi iba juga menyaksikan keadaannya dipandang nya sekejap barang taruhan di meja, lalu ditatapnya juga kedelapan belas orang itu kemudian ia berkata sambil menghela napas panjang.

   "Terlepas dari siapa yang akan menang, tapi selama hidup Cian cengcu bisa bertaruh sebesar ini, betapapun engkau harus merasa bangga!"

   Cian Hui tersenyum dengan perasaan berterima kasih.

   "Go-siauhiap..."

   Belum lanjut ucapannya.

   Tiba-tiba dari samping berkumandang suara tertawa dingin yang tak enak didengar serentak para jago mengalihkan perhatian mereka ke arah sana, ternyata suara tertawa dingin itu berasal dan Tham Bun-ki, puteri kesayangan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, di bawah cahaya lampu wajahnya yang jelita itu rada pucat tapi matanya yang hening tampak buram.

   Dengan termangu-mangu ia memandang tangan sendjri yang halus, sorot mata ratusan orang itu seperti tidak dirasakannya sama sekali.

   "Kalau pertaruhan ini disebut pertaruhan terbesar hm, kukira pertaruhan terbesar di dunia ini akan terlampau banyak?"

   Katanya dingin.

   Dia seperti bergumam sendiri, seakan-akan tak tahu kalau beberapa patah-katanya yang singkat itu telah menghebohkan semua orang.

   Air muka Sin-jiu Cian Hui berubah hebat, Kim-keh Siang It ti dan Jit-giau Lui hun Na Hui-hong saling berpandang dengan bingung, sementara Liong-heng pat-ciang mengernyitkan alis.

   Akhirnya Liong-heog pat-ciang juga yang menegur puterinya.

   "Anak Ki, jangan sembarangan berbicara?"

   Dia sangat menyayangi Bun-ki, betapapun ia merasa berat untuk mengomelinya di depan umum.

   Tak terduga Bun-ki tetap kaku, sikapnya tetap dingin seakan-akan tidak mendengar teguran sama sekali.

   Jit-giau tui-hun Na Hui-hong tak sabar lagi dia lantas berseru- "Jadi maksud nona Tham masih ada cara taruhan lain yang jauh lebih hebat?"

   "Ya, benar"

   Gadis itu menyahut dengan dingin dan perlahan bangkit berdiri.

   "Duduk"

   Kembali Tham Bcng membentak. Tapi keadaan Bun-ki sekarang bagaikan orang linglung, pelahan ia menghampiri Sin-jiu Cian Hui. Tampaknya pemilik Long-bong-san-ceng ini pun terpengaruh oleh sikap si nona yang aneh itu serunya.

   "Nona Tham, kau ...."

   "Aku hendak bertaruh sesuatu denganmu, ba rang taruhan itu jauh lebih berharga daripada benda apapun, beranikah kau terima tantanganku ini?"

   Sekali lagi Na Hui-hong dan Siang It-ti saling pandang, sorot mata mereka terpancar rasa gembira yang meluap, sementara para jago yang memenuhi ruangan itu pun ikut berdiri semua, malahan Tonghong-ngo-hengte yang selama ini cuma berpeluk tangan belaka juga ikut bangkit, beratus pasang mata sama tertuju ke atas tubuh si nona yang aneh itu.

   Dengan pandangan setengah bertanya Sin-jiu Cian Hui berpaling sekejap ke arah Tham Beng.

   Tapi dalam keadaan demikian Tham Beng sendiri tak dapat memaksa puteri kesayangannya pergi dan situ, apalagi ia pun mengharapkan Cian Hui jatuh bangkrut maka setiap tindakan yang bisa mendatangkan kerugian bagi Cian Hui semakin baik baginya, ditambah lagi dia yakin Cian Hui tiada harapan untuk memenangkan pertaruhan tersebut, maka bukan saja ia tidak memberikan reaksi, bahkan mengerling pun tidak.

   Dengan dingin Bun-ki menatap Cian Hui, ketajaman matanya seperti seekor kucing di tengah kegelapan yang sedang memandang hina dan mengejek seekor tikus yang sudah tak berdaya.

   Karena terdesak, akhirnya Cian Hui menghela napas panjang.

   "Nona. kalau kau berminat untuk bertaruh, katakan saja apa barang taruhannya!"

   "Jika kau setuju bertaruh baru akan kusebut kan!"

   "Bila nona tidak menerangkan lebih dulu, darimana orang she Cian bisa menjawab mau atau tidak?"

   Menyaksikan kegugupan orang, Bun-ki tertawa dingin "Hehehe? jadi kau tidak ada keberanian untuk menerima tantangan bertaruh dan seorang perempuan?"

   Cian Hui mengusap keringat yang membasahi jidatnya, tokoh persilatan yang tersohor ini entah sebab apa ternyata merinding menghadapi tantangan nona ini.

   Setelah termenung sebentar, tanyanya dengan gugup seandainya aku tidak memiliki benda itu? "Kau pasti punya?"

   Tukas Bun-ki singkat.

   Kontan kawanan jago yang hadir di situ merasa jantung berdebar keras seakan-akan mau melompat keluar dan rongga dadanya.

   Dengan pandangan tajam Sin-jiu Cian hiu menyapu pandang sekejap sekeliling ruangan, tibatiba ia membusungkan dada, ia pikir masa aku kena di gertak oleh puteri musuh bebuyutanku?"

   Berpikir demikian, ia lantas berseru dengan tantang "Kalau begitu, baiklah! Apa pun yang hendak nona pertaruhkan pasti akan kuterima.

   Di luar ia berkata demikian dalam hati ia berpikir "Bagaimanapun juga pertaruhan tadi sudah cukup untuk bikin aku bangkrut bila ditambah lagi juga tak menjadi soal!"

   Bun-ki tertawa dingin.

   "Hehe. yang hendak kupertaruhkan denganmu adalah..."

   Ia sengaja berhenti sebentar, matanya yang dngin itu menyapu pandang sekeliling ruangan. Semua orang menahan napas, sementara nona itu melanjutkan ucapannya sepatah demi sepatah "Yang hendak kupertaruhkan adalah sepasang matamu!"

   Kawanan jago yang menakut napas serentak berseru kaget.

   Air muka Tham Bun-ki yang pucat tapi cantik masih tetap kaku tanpa perubahan katanya, lebih jauh dengan dingin, pertaruhan kita ini berakhir sampai tengah hari esok, pada waktu itu pertarungan antara Hui Giok dengan Leng-kok-siang bok tentu sudah berakhir begitu bukan?"

   Dengan ragu Cian Hui menjawab Ya, kukira... kukira memang begitulah!"

   Perhatian pura jago kembali beralih ke wajah Tham Bun-ki, gadis itu berkata lagi dengan dingin "Pada saat Hui Giok muncul kembali di ruangan ini kedua mataku segera akan kucukil keluar dan kupersembahkan kepadamu, tapi bila sebaliknya yang terjadi , hm, sekalipun tidak kuterangkan tentunya kau pun tahu..."

   Kata itu diucapkan dengan suara dingin kaku tanpa emosi, seakan-akan sepasang mata yang dipertaruhkannya itu bukan miliknya sendiri.

   Semua orang sama menarik napas dingin, kendatipun mereka adalah manusia yang mencari sesuap nasi di ujung golok, tapi sepanjang hidupnya belum pernah menemui seorang gadis sedingin itu, segera ada yang melirik ke arah Liong-heng-pat-ciang, mereka mengira Tham Beng pasti akan terkejut setelah mendengar taruhan yang diajukan puteri kesayangannya itu.

   Ternyata Tham Beng tetap tenang saja, malahan ia duduk sambil mengelus jenggotnya, tentu saja tak seorang pun yang bisa menebak apa yang sedang dipikir tokoh persilatan ini.

   Tham Beng bukan orang yang ceroboh, justeru karena dia yakin Hui Giok pasti bukan tandingan Leng-kok-siang-bok, maka ia hanya membungkam saja, malahan kalau ada orang hendak bertaruh kepalanya juga dia akan menerimanya.

   Karena itulah ia tidak kaget atau menegur tindakan puterinya itu, malah diam-diam ia memuji kebagusan ide itu ia merasa gadis itu pandai memanfaatkan kesempatan, keenceran otaknya sedikit pun tidak di bawahnya.

   Padahal, tokoh persilatan yang tersohor ini mana dapat menebak isi hati puterinya yang sebenarnya.

   Hanya Jit-giau tongcu Go Beng-si saja yang diam-diam menghela napas, pikirnya.

   "Ai, agaknya kepergian saudara Hui tadi telah sangat menyakiti hati nona ini, andaikata dia menang, mungkin nona ini benar-benar akan mengorek keluar sepasang matanya, sebab ia sudah tak ingin berjumpa lagi dengan pemuda itu!"

   Seperti orang yang kehilangan semangat, lama sekali Sin jiu Cian Hui berdiri termangu-mangu tapi akhirnya dia tertawa terkekeh-kekeh.

   "Hehehe sebenarnya buat apa nona pertaruhan sepasang matamu itu dengan diriku? Ketahuilah bahwa sepasang mataku ini tidak seberapa berharga, tapi bila Hui-taysianseng menang dan nona harus mengorek matamu yang jeli itu, O sungguh bikin hatiku tak tega! Hehehe . bukankah begitu saudara sekalian?"

   Ia berharap dengan kata2 yang ringan itu dapat menutupi perasaan sendiri yang tegang, ia pun berharap dengan kata2 itu bisa menggerakkan hati Tham Bun-ki agar membatalkan niatnya, selain daripada itu ia pun berharap bisa memancing simpati orang lain terhadapnya.

   
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Benarkah demikian..."

   Jengek Bun-ki, tiba-tiba air mukanya berubah hebat, serunya.

   "Andaikata Hui Giok menang, bukan saja mataku akan kukorek keluar lidahku juga akan kupotong, sebab aku tak sudi bertemu dan berbicara lagi dengan dia. Semua orang tercengang, siapa pun tak tahu apa sebabnya sikap nona itu mendadak berubah begitu? Hanya Jit-giau-tongcu Go Beng-si saja yang memahami duduknya perkara, hanya dia yang menghela napas penuh rasa iba. Karena dia tahu, gadis yang biasa dimanja, gadis yang berwatak keras dan suka menang itu, akhirnya mengutarakan juga perasaan yang sebenarnya. Waktu itu, perhatian semua orang dalam ruangan sama tertuju kepada Tham Bun-ki seorang orang-orang yang ada di halaman juga berkerumun ke depan pintu ruangan, beratus pasang mata tertarik oleh si nona, siapapun tidak memperhatikan bahwa dari luar diam-diam telah muncul sesosok bayangan, bayangan yang bergeser perlahan seperti badan halus. Karena ucapan Tham Bun-ki itu, dia telah menghentikan langkahnya, lantaran ucapan si gadis pula ia menghela napas sedih, bintang yang bertaburan di angkasa, cahaya lampu dalam ruangan menyinari raut wajahnya. Itulah wajah yang pucat, wajah yang putih seperti wajah badan halus ia berdiri ragu di luar pintu lama dan lama sekali. Akhirnya dia membusungkan dada, ia menyisihkan kerumunan orang di sekitar pintu dan perlahan masuk ke dalam ruangan. Semua orang yang berada dalam ruangan masih memandangi Tham Bun-ki dengan kesima, kemudian entah siapa yang mulai dulu, tiba-tiba terdengar jeritan kaget memecah kesunyian.

   "Hui... ..Hui...."

   Walau hanya satu kata, tapi daya teriaknya jauh melebihi berita dunia kiamat, pandangan setiap orang, termasuk juga Tham Bun-ki, seperti orang kena sihir, semuanya beralih ke arah pintu.

   Orang yang berkerumun waktu itu sudah menyingkir seperti kena tenung, dalam sekejap terbukalah sebuah jalan lewat yang lebar.

   Lalu seorang pelahan berjalan masuk melalui jalan yang lebar dan lengang itu.

   Meski langkahnya sangat pelahan tapi suara langkah kakinya yang pelahan seolah-olah berubah menjadi suara kapak raksasa yang membelah bukit menggetar hati mereka.

   Setelah keheningan, akhirnya meledak sorak-sorai yang gegap gempita, beratus orang serentak berseru.

   "Hui taysianseng!"

   Kejutan yang tak terkirakan dahsyatnya itu membuat Kim keh Siang It-ti dan Jit giau-tui-hun Na Hui-houg lupa akan kekecewaan mereka, membuat Sin-jiu Cian Hui lupa bersorak kegirangan membuat Jit-giau-tongcu Go Beng-si lupa menyongsong rekannya dan membuat Tham Bun-ki lupa atas taruhannya.

   Air muka Hui Giok tampak pucat, dirundung kekecewaan, seperti juga air muka Tham Bun-ki tadi.

   Hanya sorot matanya tidak seterang mata Tham Bun-ki, sebab perasaan Bun-ki waktu itu adalah gusar dan benci sebaliknya perasaan Hui Giok sekarang hanya kecewa dan putus asa.

   Sin-jiu Cian Hui memandang pemuda itu dengan termangu, ia tak tahu harus bergembira atau kecewa, meski taruhan tadi merupakan suatu jumlah pertaruhan yang luar biasa, tapi sampai detik terakhir ia belum pernah mengharapkan kemenangan Hui Giok, seperti juga Tonghong-ngo-heogte yang tidak mengharapkan dia kalah dan mati.

   Tapi akhirnya Cian Hui bersorak juga dengan gembira.

   Siang It-ti dan Na Hui-hong saling pandang dengan lesu, Liong-beng-pat-ciang bangkit berdiri, Go Beng-si lari ke depan menghampiri rekannya dan Tham Bun-ki, dengan tangan yang gemetar segera hendak mencolok kedua biji matanya sendiri.

   "Anak Ki!"

   Bentak Liong-heng-pat ciang, dengan cepat ia tutuk jalan darah di pinggang puteri kesayangannya.

   Bun-ki berkeluh tertahan pelahan ia roboh ke dalam pangkuan ayahnya.

   Keadaan Hui Giok waktu itu bagaikan sebuah planet yang jatuh ke bumi, semua perhatian, pandangan semua orang sama tertuju padanya, sampai berkumandangnya suara bentakan dan keluhan tertahan, orang2 itu baru sama-sam berpaling.

   Sin-jiu Cian Hui menjapu pandang sekeliling, katanya dengan dingin.

   pertaruhan tadi bukanlah usulku, harap Tham-lopiautau jangan melupakan nya dengan begitu saja!"

   "Apa maksudmu?"

   Jengek Liong heng-put-ciang dengan air muka berubah hebat.

   "Hahaha, memangnya Tham-tay enghiong yang mengutamakan kebajikan dan kebenaran tak takut ditertawakan oleh setiap umat persilatan?"

   Cian Hui tertawa bergelak. Sambil tertawa ia berpaling dan ujarnya lagi "Hui-heng, ada beberapa orang yang punya mata tapi tak bisa melihat, mereka tidak percaya engkau dapat mengalahkan Leng kok siang-bok"

   Selangkah demi selangkah Hui Giok maju ke depan, air mukanya kaku tanpa emosi, tiba-tiba tukasnya dengan dingin.

   "Siapa bilang aku menang?"

   "Habis, apakah Hui heng kalah?"

   Cian Hui berseru kaget.

   Perasaannya sekarang sungguh sukar dilukiskan oleh siapa pun, ketika mendengar Hui Giok menang hatinya merasa agak kecewa, tapi dalam kekecewaan tersebut ia pun merasa sedikit gembira, sekarang demi mendengar Hui Giok kalah, iapun merasa kecewa, meski dibalik kekecewaan terdapat pula sedikit rasa gembira, jadi perasaannya ketika itu sebetulnya gembira atau kecewa, dia sendiripun tidak dapat menjawabnya dengan pasti.

   Perasaan para jago waktu itu pun sebentar sedih sebentar girang, hanya Liong-heng pat-ciang Tham Beng saja diam-diam mengembus napas lega setelah didengarnya Hui Giok tidak menang.

   Didengarnya Kim-keh Siang It-ti dan Jit-giau tui-hun Na Hui hong sekali lagi saling pandang, wajah mereka pun mengunjuk rasa girang.

   Siapa tahu Hui Giok lantas menjawab lagi dengan dingin "Siapa bilang aku kalah?"

   Kembali terjadi kegaduhan suasana, ruangan yang semula sunyi senyap bagaikan kuburan itu kini berubah jadi gaduh sekali.

   "Tenang! Tenang! Harap saudara sekalian tenang dulu"

   Teriak Cian Hui. Meskipun bentakan itu cukup berhasil namun nasib banyak juga orang bersuara di sana sini Sin-jiu Cian Hui menunggu cukup lama, akhirnya dia menghela napas dan bertanya.

   "Hui-heng, sebenarnya kau menang atau kalah"

   "Menang. Menang?"

   Jawab Hui Giok kaku seketika Tham Beng, Siang It-ti dan Na Hui hong merasa cemas.

   "Eh, kalah, kalahl"

   Sambung Hui Giok pula tiba-tiba jawaban yang tak keruan ini membuat Cian Hui berkerut kening, diam-diam ia menyumpah Sialan, mungkin orang ini sudah sinting?"

   "Ya menang, ya kalah...."

   Hui Giok menambahkan dengan senyuman yang aneh dan sukar diraba -ooOoo- - ooOoo- Kiranya setelah meninggalkan Long-bong-san ceng tadi, Hui Giok tidak pedulikan apakah Leng kok-siang-bok akan menyusulnya atau tidak, dia hanya berjalan dengan kepala tertunduk seperti seorang yang sedang berjalan-jalan mencari angin sedangkan Leng-kok-siang-bak yang berwatak aneh itu mengintilnya di belakang, sama sekali tidak mendesaknya.

   Setelah mengitari tempat pemberhentian kereta di depan pintu perkampungan dia kembali menuju ke hutan yang sepi dan rimbun itu.

   "Cuaca dalam bulan lima benar-benar menawan hati!"

   Ia memandang burung yang berkicau di dahan pohon, diam diam ia bergumam, perasaannya terasa tenang, sama sekali tidak rasa gugup akan menghadapi maut, juga bukan ketenangan semacam orang yang pasrah nasib ketenangannya waktu itu adalah ketenangan yang sangat aneh.

   Leng-kok-siang-bok saling pandang dengan heran bahwa anak muda itu sedemikian tenangnya Tiba-tiba Hui Giok berpaling dan berkata.

   "Apakah kalian setuju bila kita bertarung di sini saja?"

   Leng Ko-bok berdehem, setelah mengerling sekejap kearah Leng Han-tiok, jawabnya "Tempat ini sangat bagus!"

   Bagus, jika demikian kalian berdua boleh segera turun tangan!"

   Ucap Hui Giok dengan tersenyum.

   "Baik..."

   Leng Han-tioJc juga berdehem sambil berpaling dan menatap Ko-bok lekat-lekat, meski tidak mengucapkan sepatah katapun, tapi dari pandangan tersebut dapat diketahui bahwa meminta agar Leng Ko-bok yang maju lebih dulu.

   Dengan suara berat Leng Ko-bok berseru "Oh, lebih baik kau saja yang maju!"

   "Aku?"

   Leng Han-tiok tergagap.

   "Ya, kau yang harus turun tangan lebih dulu!"

   Ternyata kedua bersaudara itu tak seorangpun yang bersedia melaksanakan tugas batas dendam yang pada hakikatnya adalah suatu perbuatan yang pantas sekalipun mereka sendiri tahu bahwa untuk mewujudkan keinginan tersebut dapat dicapainya dengan sangat mudah.

   Leng Han-tiok seperti terpaksa, dengan perasaan apa boleh buat ia menghela napas panjang "baiklah biar aku yang maju saja!" - selangkah demi selangkah dia lantas maju ke depan pemuda itu.

   "Silahkan!"

   Ujar Hui Giok sambil tersenyum.

   Waktu Leng Han-tiok menengadah dilihatnya betapa gagah dan wajar sikap anak muda itu dengan mengulum senyum, seakan-akan seorang jago kelas tinggi yang sedang berhadapan dengan seorang musuh yang tak tahu diri, seandainya dia tidak mengetahui sampai di manakah kelihaian Kungfu anak muda itu, tentu dia akan menghadapi lawannva dengan lebih hati-hati.

   Tapi.

   sikapnya sekarang seakan-akan tidak bergairah untuk berkelahi katanya dengan tak acuh kenapa kau tidak menyerang dulu?"

   Hui Giok tersenyum "Aku tiada bermaksud berkelahi dengan kalian, adalah kalian yang menantang aku bertarung, tentu saja kau yang harus turuno tangan duluan"

   Leng Han-tiok mengangguk, agaknya ia setuju dengan alasan lawan "Kalau begitu, biarlah aku menyerang dulu"

   Katanya kemudian.

   Setelah berdehem, dia maju selangkah ke muka, lalu ayun telapak tangannya dan memukul pemuda itu, serangannya ini sama sekali tak bertenaga, bahkan arah serangan dan ketepatan waktu juga tidak diperhatikan seperti seorang ibu yang enggan memukul putera-puterinya, yang ia sendiri sebenarnya sayang untuk memukulnya.

   Hui Giok tertegun dia angkat tangannya untuk menangkis, Leng Han tiok pun menarik kembali serangannya, lalu mengangkat tangan yang lain untuk memukul lagi dengan tak bersemangat.

   Hui Giok melenggong tapi ia menangkis juga dengan pelahan seperti apa yang dilakukan semula.

   Leng Han-tiok ganti tangan dan memukul lagi tanpa semangat.

   Hui Giok mundur selangkah, sekali ini ia pun enggan menangkis.

   "Eh, kenapa tidak kau balas seranganku?"

   Leng Han-tiok segera berteriak "Bukankah sudah kulepaskan serangan balasan!"

   Sahut Hui Giok, segera ia melancarkan suatu pukulan balasan.

   Leng Han-tiok menangkis, hanya sekali bergerak saja tangannya telah mengunci urat nadi pergelangan tangan Hui Giok.

   Tapi ia cuma membentuk saja, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia putar badan dan berlalu dari situ.

   Setibanya di depan Leng Ko bok.

   ia berdiri termangu sekian lamanya, kemudian berkata dengan suara keras.

   "Bila kau hendak membalas sakit hati, kenapa tidak turun tangan sendiri Aku . aku... lelah sekali..."

   Di balik sinar mata Leng Ko-bok yang tajam seakan-akan terlintas secercah senyuman, dia mengangguk.

   "Baik, baik, biar aku yang maju!"

   Setibanya di depan Hui Giok, pelahan ia menggulung lengan bajunya, tapi sama sekali tidak ada niat untuk turun tangan Melihat tingkah laku kedua orang itu, Hui Giok merasakan kehangatan, ia tak menyangka di balik tubuh kedua orang aneh yang dingin dan kaku itu terdapat juga perasaan hangat insani.

   Lama sekali Leng Ko-bok menggulung lengan bajunya seakan-akan pekerjaan menggulung lengan baju adalah pekerjaan yang lebih sulit daripada pekerjaan apa pun jua.

   Melihat itu, sorot mata Leng Han-tiok juga memancarkan setitik senyuman, tapi ia menegur dengan dingin.

   "Tanpa gulung lengan baju kan juga bisa bertarung?"

   Leng Ko-bok berpaling sambil melotot sekejap, akhirnya dia mengangkat juga telapak tangannya dan menyerang.

   Kali ini Hui Giok memandangi datangnya telapak tangan itu dengan termangu, ia tidak berkelit atau menangkis.

   Ketika serangan itu mencapai tengah jalan tiba-tiba Leng Ko-bok menarik kembali telapak tangannya, lalu bergumam "Tak bisa, tidak bisa Lebih baik kami bunuh habis semua orang yang berada di Long-bong-san-ceng daripada mengadu kepandaian dengan seorang yang tak mengerti ilmu silat Loji, betul tidak ?"

   "Betul... betul!"

   Sambil maju Leng Han-tiok membenarkannya. Setelah melenggong sejenak, tiba-tiba Leng Ko-boh berkata lagi dengan suara lantang.

   "Tapi Leng-kok-siang-bok adalah jagoan terhormat kami rela dihina orang dengan begitu saja, gurunya tak ditemukan muridlah yang dituntut hal ini adalah kejadian yang umum. Betul tidak Loji?"

   "Betul, betul...

   "

   Kembali Leng Ko bok mengangguk.

   "lalu bagaimana sekarang?"

   Setelah termenung lagi sejenak akhirnya dia berpaling dan berkata kepada Hui Giok "Meski kau tak pandai bersilat tapi kepandaian lain tentunya ada bukan?"

   Hui Giok mengangguk tanpa sadar."

   "Kalau begitu pilihlah salah satu jenis kepandaian yang kau kuasai untuk dipertandingkan dengan kami"

   Ucap Leng-Ko-bok pula.

   "baik kepandaian main kecapi, main catur, melukis atau menulis pendek kata baik soal Bun (sastra) maupun Bu (silat), boleh kau pilih secara bebas!"

   Sekarang kedua bersaudara itu benar-benar tidak berniat lagi mencelakai jiwa Hui Giok, maka mereka sengaja mengusulkan cara lain untuk menyelesaikan perkasa mereka.

   Padahal, kecuali ilmu silat kepandaian lain tak banyak yang mereka kuasai.

   Tapi setelah Hui Giok termenung, disadarinya bahwa kecuali ilmu silat ia pun tidak menguasai kepandaian lainnya, Sejak kecil ia hidup sebatangkara, sampai dewasa pun berkat kebaikan orang-orang Hui-liongpiaukiok yang memeliharanya.

   Sebagai orang persilatan, kecuali ilmu silat pemuda itu tak pernah mendapat kesempatan untuk belajar kepandaian bermain khim bermain catur bersyair dan lain sebagainya.

   Selama ini, kecuali dua tiga

   Jilid kitab yang pernah dibaca kecuali pekerjaan kasar yang dilakukannya, setiap hari sebagian besar waktunya hanya dihabiskan dengan berduduk di undak2an rumah dan memandang awan di udara sambil melamun.

   Kemudian, setelah ia minggat dan Hui-liong-piaukiok, hidupnya makin sengsara, ia harus bergelandangan banting tulang untuk menyambung hidup, dalam lingkungan kehidupan yang serba susah begitu tentu saja lebih-lebih tak mungkin baginya untuk belajar kepandaian apa pun, kalau pun ada, siapa yang bersedia mengajarnya.

   Lama sekali ia berdiri dengan termangu, makin dipikir makin sedih, ia benci pada ketidak becusan sendiri, ia benci pada kebodohannya, begitu benci sehingga hati terasa sakit.

   Ketidak becusan, ketidak tahuan sungguh sesuatu yang mengerikan.

   Tak aneh kalau pemuda itu membenci terhadap diri sendiri, tapi pemuda itu melupakan sesuatu, bahwa meski dia tidak memiliki kepandaian dan pengetahuan seperti orang lain, sebenarnya ia memiliki sebuah hati yang bajik dan bijak.

   Dengan sedih pemuda itu menghela napas.

   "Ai terus terang kukatakan, selama hidupku ini, aku... aku..."

   Ia tak mampu meneruskan ucapannya sebab air mata hampir saja bercucuran.

   "Masa kau tidak bisa apa-apa?"

   Tanya Leng Ko-bok dengan melengak.

   Hui Giok berusaha menahan cucuran air matanya, ia mengangguk pelahan.

   Leng kok-siang-bok saling pandang sekejap ketika sorot mata mereka beralih lagi ke arah Hui Giok, selain rasa heran dan kagum tadi, kini bertambah pula dengan perasaan hangat dan kasihan.

   Ketika angin berembus sepoi-sepoi, kedua orang bersaudara itu tiba-tiba duduk bersila di tanah mereka memandang ke dalam hutan dengan termangu.

   Sejak kecil nasib mereka berdua sangat buruk karena itu terciptalah watak yang menyendiri dan benci kepada sesamanya, tercipta juga sikap dingin kaku dan aneh.

   Tapi sekarang, mereka melihat penderitaan anak muda ini ternyata lebih mengenaskan daripada nasib mereka, tapi pemuda itu menerima semua itu dengan pasrah nasib, dia hanya bersedih bagi dirinya sendiri, tiada rasa dendam pada orang lain padahal semestinya jauh memiliki perasaan dendam kepada orang lain seperti apa yang mereka rasakan.

   Daun hijau yang masih segar rontok terembus angin, memandangi daun yang gugur ini, tibatiba ia merasakan kehidupan pribadinya seperti daun yang rontok sebelum waktunya itu.

   "Asal aku diberi kecerdikan dalam sehari saja, agar aku dapat menikmati betapa indahnya kehidupan ini. sekali pun harus mati aku akan mati dengan tertawa."

   Senja sudah hampir tiba, ketiga orang tua dan muda sedang meresapi apa artinya kehidupan, mereka lupa akan waktu yang berlalu dengan cepat.

   Ketika terdengar bunyi burung gagak yang tebang kembali ke sarangnya, tiba-tiba satu ingatan terlintas dalam benak Leng Han-tiok.

   Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   wajahnya yang dingin kaku menampilkan rasa gembira.

   Akhirnya dia teringat pada sesuatu masalah yang menggirangkan.

   Malam pun menyelimuti bumi, bintang bertebaran melancarkan sinarnya yang redup.

   Dengan wajah berseri Leng Han tiok berpaling.

   "Apa yang kau girangkan?"

   Leng Ko-bok menegur dengan dingin.

   "Jika kita tak dapat beradu silat dengan dia, kitapun tak dapat mengampuni dia dengan begitu saja..."

   Teriak Leng Han tiok.

   "tapi selain ilmu silat dia tak bisa apa-apa..."

   "Ya benar,"

   Leng Ko-bok menjawab dengan tak bersemangat "aku tak habis mengerti, urusan apa yang membuat hatimu bergirang?"

   Sekarang aku berhasil menemukan satu cara yang sangat bagus sekali!"

   Ucap Leng Han-tiok dengan tersenyum. Ia bangkit dan menepuk pelahan bahu Hui Giok, katanya lebih jauh.

   "Kulihat meski usiamu masih muda, tapi perkataanmu sangat jujur. tak nanti kau berbohong bukan?"

   Dengan tercengang Hui Gjok menengadah.

   "selamanya ini belum pernah berbohong"

   Katanya dengan tergagap.

   "Bagus!"

   Leng Han-tiok mengangguk tentunya kau pun benar-benar tak bisa apa-apa bukan?"

   Kembali Hui Giok mengangguk sedih.

   "Walau begitu, kami tetap akan bertanding denganmu!"

   Ujar Leng Han tiok lebih jauh.

   "bila kau kalah bertaruh, maka sebagaimana mestinya kau harus membayar penghinaan yang pernah dilakukan gurumu terhadap kami itu."

   Hui Giok membusungkan dada, tapi sebelum menjawah, Leng Ko-bok berkerut dahi sedang Leng Han-tiok tersenyum, tiba-tiba katanya lagi.

   "Sejak hari ini, setiap waktu setiap saat kami akan mengajarkan pelbagai kepandaian padamu, jika kau tak dapat mempelajarinya dalam waktu paling singkat, maka kaulah yang kalah dalam pertaruhan ini."

   Leng Ko-bok berkerut kening pula, sedang Hui Giok dengan wajah berseri segera berteriak "Benarkah itu?"

   Senyum yang semula menghiasi wajah Leng Han tiok tiba-tiba berubah dingin dan kaku pula katanya lagi.

   "Jangan keburu senang dulu, tidak gampang urusan ini dikerjakan. Ketahuilah pelajaran yang hendak kami ajarkan bukan melulu ilmu silat saja tapi termasuk juga kepandaian lain seperti memetik khim, bermain catur, membuat sajak dan melukis. pokoknya semua kepandaian yang kami ajarkan harus dapat kau kuasai dalam waktu paling singkat, kalau tidak maka siksaan dan penderitaan yang akan kau terima mungkin lebih parah daripada apa yang kau bayangkan sekarang,"

   Hui Giok berpaling.

   ia tahu hati kedua orang ini tidak sedingin wajah mereka, apalagi dengan menggunakan kesempatan itu mereka bermaksud merangsang semangatnya agar maju ke depan, siapa yang akan percaya kalau kehangatan semacam ini muncul dari Leng-kok-siang bok yang termasyhur"

   Betapa pun pemuda itu merasa berterima kasih dan juga gembira di samping rasa kuatir, ia tak tahu apakah dengan kebodohannya, dapat mempelajari pengetahuan baru itu? Leng-kok-siang-bok saling pandang sekejap, lalu berkatalah Leng Han-tiok.

   "Bersediakah kau menerima cara bertanding semacam itu?"

   Sedapat mungkin Hui Giok mengendalikan pergolakan perasaannya, sebab dia tak ingin menunjukkan rasa gembira dan terima kasihnya di hadapan kedua orang aneh ini.

   "Baik!"

   Katanya kemudian, walaupun hanya sepatah kata, namun di situlah seluruh perasaannya dilimpahkan keluar.

   "Kalau begitu, mulai sekarang kau harus ikut kami,"

   Kata Leng Ko-bok.

   "Ya, aku tahu!"

   Anak muda itu mengangguk.

   "Adakah urusan yang perlu kau selesaikan dulu di Long-bong-sanceng?"

   Leng Han-tiok bertanya. Sebenarnya Hui Giok ingin mengatakan "Tidak ada!"

   Sebab ia hanya sebatangkara, tiada sanak tanpa keluarga. Tapi kemudian ketika ia teringat akan kekuatiran Go Beng-si dan Tham Bun-ki atas dirinya, segera sahutnya "Harap kalian tunggu sejenak di sini, sebentar aku akan kembali!"

   Pergilah pemuda itu diiringi pandangan Leng kok-siang-bok dengan senyuman hangat.

   "Aku merasa kehidupan kita belakangan ini terlalu kesepian,"

   Kata Leng Ko-bok kemudian sambil tersenyum.

   "memang ada baiknya kalau kita bawa serta bocah ini. ia tidak punya sanak tanpa keluarga, lagipula seorang anak laki-laki, berbeda dengan Bun ki, meski dia seorang anak baik, namun sayang banyak peraturan mengalangi hubungan kita dengan dia!"

   "Bukan cuma begitu saja..."

   Sambung Leng Han tiok sambil tersenyum "kitapun dapat menyelamat kan bocah itu dari rencana busuk si Cian Hui.

   Bayangkan sendiri, mereka telah mengangkat seorang bocah seperti dia menjadi Kanglam Bengcu.

   mustahil di balik semua itu tiada rencana busuk namanya? kulihat bocah itu seorang yang berbakat tentu banyak yang bisa dia pelajari selama mengikuti kita berdua."

   Leng Ko-bok termenung sejenak, lalu berkata "Padahal, kalau kita tinjau dari watak serta caranya menghadapi orang, bocah itu memang lebih cocok menjadi Lok-lim-bengcu daripada siapa pun jua."

   "Ya. dia memang cocok menjadi Bengcu"

   Tukas Leng Han-tiok.

   "sayang dia terlalu ramah, terlalu bajik, mana bisa menghadapi kelicikan manusia2 licin itu!"

   Tiba-tiba Leng Ko-bok tertawa.

   "Tahukah kau betapa licik dan busuknya suatu rencana keji mungkin berguna terhadap orang lain tapi dihadapan kebajikan dan kemuliaan, kebusukan itu justru akan musnah dengan sendirinya, ibaratnya.... Ibaratnya..."

   Ia merenung sesaat rupanya sedang putar otak untuk mencari ungkapan yang dirasakan paling cocok.

   "ibaratnya salju bertemu dengan matahari maksudmu?"

   Sambung Leng Han-tiok sambil tertawa "Ya, betul!"

   Leng Ko-bok ikut tertawa.

   "Ibaratnya salju bertemu matahari. Tiba2 mereka teringat akan sesuatu, bukankah hati mereka yang dingin dan beku dibuat cair setelah berjumpa dengan Hui Giok? Senyum yang menghiasi wajah mereka pun tambah cerah. Pembicaraan mereka berdua di depan orang dan pada waktu tiada orang lain memang sangat berbeda, sayang Hui Giok telah pergi jauh dan tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Dengan langkah lebar dan penuh kegembiraan anak muda itu meneruskan perjalanan teringat akan betapa banyak pengetahuan baru yang akan didapatkan ingin rasanya kakinya bersayap sehingga perjalanan bisa dilakukan secepatnya. Angin malam di bulan lima terasa sejuk dan nyaman, semua peristiwa yang tidak menyenangkan seolah-olah ikut menjadi buyar musnah mengikuti embusan angin itu. Terhadap kesedihan, ketidak beruntungan dan sakit hati ia paling mudah melupakannya. mungkin hal ini dikarenakan ia masih muda, memiliki hati yang bajik dan bijak. Ketika memasuki perkampungan Long-hon san-ceng, ia temukan suasana yang begitu tenang begitu hening, walau kereta dan kuda masih memenuhi di luar pintu perkampungan namun keheningan yang mencekam terasa sangat aneh, terasa begitu banyak manusia vang berjubel di depan pintu ruangan. Dia heran, apa gerangan yang terjadi di dalam peristiwa apa yang sedang berlangsung di situ. Seketika suatu perasaan tak enak timbul dalam hatinya, tiba-tiba ia mendengar suara Tham Bun-ki, mendengar perkataannya yang menyakitkan hati meski ia suka memaafkan kesalahan orang lain, meski ia dapat menahan penderitaan namun ucapan Tham Bun-ki yang tak berperasaan itu dirasakannya se-akan2 berpuluh batang jarum tajam menancap di hatinya. Akhirnya dia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan membawa perasaan yang terluka. -oo0oo~ - oo0oo- Kini ia berdiri di tengah ruangan itu, untuk pertama kalinya selama hidup hatinya merasa terluka. Cinta memang paling mudah melukai dibandingkan urusan lain. Luka yang dirasakannya sekarang berbeda dengan kesedihan yang dirasakannya tadi, sedih karena ketidak becusannya... meski kedua-duanya sama-sama menimbulkan sakit yang menyiksa, tentu saja semua orang tidak memahami perasaannya, mereka hanya memandangnya dengan terbelalak, memandang bibirnya yang gemetar dan menunggu keterangannya, menangkah atau kalahkah. Saat penantian tentu saja merupakan saat yang mendebarkan dan menggelisahkan, terutama bagi Siang It-ti dan Cian Hui sekalian/ "Menangkah? atau kalahkah? Hui Giok memandang sekejap wajah orang yang diliputi kegelisahan itu, tiba-tiba dari lubuk hatinya timbul semacam perasaan yang memandang hina, perasaan yang memandang rendah terhadap sesama manusia yang selama ini belum pernah di rasakannya.

   "Dalam tiga tahun, kalian tidak akan tahu hasil pertarungan ini!"

   Katanya kemudian dengan tenang. Semua orang melenggong, mereka tak mengerti apa yang dimaksudkan pemuda itu.

   "Sebab aku sendiri pun belum tahu hasilnya!"

   Hui Giok menyambung kata katanya dengan kaku. Kemudian ia beranjak seakan-akan hendak tinggalkan ruangan itu. Sin-jiu Cian Hui, Kim-keh Siang It ti dan Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong serentak membentak dengan singkat mereka bertanya.

   "Apa yang terjadi sebenarnya?"

   Secara ringkas Hui Giok lantas menerangkan sebab-sebabnya, ia beranggapan, setelah terjadi pertaruhan yang besar dan luar biasa ini mereka berhak untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.

   Dia ingin menjadi seorang yang adil.

   Untuk sesaat, semua orang sama termangu-mangu, melongo tercengang.

   Pertaruhan mereka memang kejadian yang luar biasa, tapi cara pertarungan antara Hui Giok dengan Leng kok-siong-bok lebih hebat lagi.

   Semua orang hanya bisa saling pandang, siapa pun tak tahu bagaimana harus menyelesaikan urusaan ini.

   Liong-heng-pat-ciang berkerut kening, ia memandang sekejap barang pertaruhan di atas meja, lalu melirik putrinya yang berada dalam rangkulannya, kemudian, sesudah berdehem ia berkata dengan suara yang berat.

   "Kalau memang begitu lebih baik kita batalkan saja semua pertaruhan ini! Anggaplah uang perak di meja itu adalah sumbanganku untuk anak buah Cian-cengcu!"

   Kemudian sambil berpaling ke arah Hui Giok ia menambahkan "Lebih baik kau batalkan pertandinganmu yang aneh itu! ikut pergi saja padaku."

   "Ucapan yang telah keluar dari mulut tak mungkin dijilat kembali janji tetap tinggal janji"

   Kata Hui Giok dengan tegas Cian Hui melirik sekejap Bun-ki yang mendekap di pangkuan Tham Beng itu, tiba-tiba sorot matanya berubah jadi kejam seperti ular berbisa.

   "Ya, betul"

   Teriaknya cepat.

   "janji yang telah diucapkan tak bisa ditarik kembali!"

   Dengan cepat Siang lt-ti dan Na Hui-hong bertukar pandang sekejap, lalu ikut berteriak, Betul, pertaruhan ini tak dapat dibatalkan lagi, harus dilanjutkan sampai akhir!"

   Air muka Liong-heng-pat-ciang berubah kelam, sedangkan Go Beng-si berbisik-bisik bicara dengan Hui Giok.

   Suasana kembali menjadi gaduh, semua orang ramai membicarakan persoalan ini.

   Jit-giau-tui-hun Na Hui Hong merenung sejenak, tiba-tiba dia berseru dengan lantang, Sebelum menang atau kalah menjadi jelas, semua barang mestika yang dijadikan taruhan harus disimpan oleh seseorang, siapapun dilarang menyentuhnya sebelum keputusan terakhir."

   Ia melirik sekejap ke arah Siang It ti, kemudian melanjutkan "ltu berarti termasuk juga kedelapanbelas saudara yang dijadikan taruhan, mereka tak boleh sembarangan bergerak, seperti benda mestika lainnya, mereka diawasi dan diserahkan kepada seseorang, sampai menang atau kalah akhirnya diketahui."

   Berbicara sampai di sini, dia menjura keempat penjuru dan berseru lagi dengan lantang.

   "Sahabat-sahabat sekalian. adilkah usulku ini?"

   Para jago kembali berbisik ada yang mempertahankan kebetulannya ada pula yang segera berteriak.

   "Pertaruhan beginilah baru menarik hati!"

   "Ya, pertaruhan seperti inilah baru pertaruhan yang paling adil."

   Sambung yang lain. Tapi ada orang yang bertanya.

   "Lantas bagai mana caranya untuk menyelesaikan bendabenda mestika itu?"

   Dengan pandangan tajam Jit-giau-tui-hun memandang ke arah Tonghong-ngo-hengte yang duduk tenang di sudut kemudian sahutnya segera dengan senyum, Nama besar Tonghong-ngohengte sudah tersohor didunia persilatan, Hui-leng-po juga merupakan tempat suci bagi umat persilatan, apalagi nama besar Tonghong-lopocu dikenal siapa pun, kalau bukan mereka berlima yang kita serahi tugas ini.

   siapa lagi yang cocok? Meskipun pertaruhan ini hanya suatu permainan, tapi kurasa Hui-leng-po adalah tempat yang paling aman dan adil untuk menyimpan barang taruhan itu setuju tidak?"

   Pertanyaan itu tidak diajukan kepada Tham Beng, tidak juga kepada Cian Hui dan lain-lain, tapi langsung diajukan kepada kawanan jago yang memenuhi seluruh ruangan, sebab dia tahu suara yang terbanyak itulah keputusan sehingga sukar di bantah lagi.

   Benar juga, kawanan jago itu segera memberikan dukungan sepenuhnya, Tonghong-ngohengte berbangkit untuk menyatakan rasa terima kasihnya, mereka hendak menolak tapi melihat wajah berseri semua orang, terpaksa mereka menerimanya tanpa banyak bicara.

   Keadaan Sin-Jiu Cian Hui paling serba salah waktu itu, ia merasa dirinya betul-betul mencari penyakit buat diri sendiri tapi nasi sudah menjadi bubur, terpaksa sambil bertepuk tangan ia berseru dengan lantang.

   "Kalau begitu, lantas bagaimana dengan pertaruhan nona Tham?"

   Air muka Liong-heng-pat-ciang Tham Beng berubah hebat, cepat ia menyela.

   "Dia masih muda, masa perkataannya yang melantur juga kalian anggap sungguh-sungguh?"

   "Jika dia bicara melantur mengapa Tham-piautau tidak mencoba untuk mengalanginya tadi?"

   Tukas Sm-jiu Cian Hui dengan ketus.

   "apakah lantaran tadi Tham-lopiautau yakin benar akan menang, maka sengaja membungkam dan sekarang setelah tiada keyakinan untuk menang lantas ingin memungkir ucapannya?"

   "Kurang-ajar!"

   Teriak Liong-heng pat-ciang dengan gusar.

   "selama puluhan tahun belum pernah ada orang berani berbicara sekasar ini terhadapku, Cian-cengcu jangan lupa, aku sudah kelewat sungkan padamu"

   Perkataan Cian Hui barusan secara telak mengenai sasarannya, memang demikianlah jalan pikiran Tham Beng tadi, betapa malu dan mendongkolnya Tham Beng setelah isi hatinya dibongkar secara blak-blakan di hadapan orang banyak.

   dari malu ia jadi murka.

   Koay-be-sm-to Kiong Cing-yang dan Pat-kwa-ciang Liu Hui yang berdiri di sebelah majikannya juga bersiap siaga.

   Sungkan? Hahaha..

   "Sin jui Cian Hui terbahak-bahak.

   "Hehehe, tentunya para hadirin mendengar apa yang telah diucapkan Tham-lopiautau yang berbudi luhur dan dapat pegang janji ini"

   Di tengah heboh terdengarlah suara ejekan berkumandang dan sana sini, suasana bertambah panas.

   Seperti diketahui sebagian besar jago yang hadir dalam pertemuan ini adalah jago-jago dan kalangan Lok-lim, tentu saja mereka berada di pihak yang memusuhi Liong-heng pat ciang Tham Beng sebagai seorang jago kawakan, Tham Beng sendiri memaklumi situasi yang dihadapinya sekarang.

   Selagi ia hendak mengucapkan sesuatu, Siang It-ti dan Na Hui-hong tiba-tiba membentak "Hui heng, harap tunggu sebentar!"

   Rupanya di tengah kegaduhan itu secara ringkas Hui Giok lelah mengutarakan isi hatinya kepada Go Beng-si ia merasa tempat itu tiada sesuatu yang pantas dikenang lagi, lalu ia hendak tinggal pergi.

   Siang It li menutul tongkat besinya dan melayang ke udara, dengan suatu gerakan cepat ia menghadang jalan pergi pemuda itu.

   "Apa yang hendak kau lakukan?"

   Tegur Hui Giok ketus.

   Meski dia seorang pemuda yang baik hati, tapi hadiah pukulan Siang It-ti tempo hari belum dilupakannya sekalipun ia berusaha tidak mengingatnya lagi.

   Dalam keadaan seperti ini, Kim-keh Siang It-ti tak berani unjuk sikap kurang hormat ia merenung sejenak, lalu menjura, katanya.

   "Jika Anda pergi, bagaimana caranya kami dapat mengetahui hasil pertarunganmu nanti?"

   "Jika aku tidak pergi, bagaimana pula menang kalah bisa ditentukan?"

   Hui Giok balik bertanya dengan dingin.

   Sementara Siang lt-ti dibikin melenggong, Hui Giok terus lewat di sampingnya dan keluar dari ruangan itu.

   Setelah menang kalah diketahui kalian tentu akan mendapat kabar tersebut, terdengar suara yang lembut nyaring berkumadang dari luar pintu.

   
Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Beberapa orang bermaksud menyusul pemuda itu, tapi Sin-jiu Cian Hui segera menghardik.

   "Siapa berani berbuat kurang-ajar terhadap Bengcu?"

   Meskipun bentakan itu nyaring berwibawa, pada hakekatnya dalam hati ia sangat berharap Hui Giok dapat cepat-cepat pergi dari situ.

   Si Ayam Emas Siang It ti termangu sejenak, tiba-tiba ia berteriak pula, Bagaimana pun juga tetap akan kukirim orang untuk mengikuti jejaknya.."

   "Ya, benar!"

   Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong ikut berseru "Aku juga akan berbuat demikian."

   Sin-jiu Cian Hui merenung sebentar, lalu menjawab.

   "Kalau begitu, lebih baik kita masingmasing mengirim seorang utusan untuk mengikuti jejaknya, dengan begitu kitapun akan lebih cepat mengetahui hasil pertarungannya."

   Berbicara sampai di sini sorot matanya pertama-tama dialihkan ke arah Tonghong-ngo-hengte untuk menanyakan pendapatnya, terpaksa kelima bersaudara itu mengangguk perlahan.

   Agak lega Sin-jiu Cian Hui setelah mengetahui bahwa kelima bersaudara itu tidak berdiri dipihak Tham Beng, maka ujarnya lagi dengan dingin- "Bagaimana pendapat Tham lopiautau?"

   Tham Beng tertawa dingin "Sombong amat ucapanmu sekarang, jangan kau kira aku sudah jatuh di bawah kekuasaanmu!"

   "Hahaha..."

   Si Tangan Sakti tertawa, aku tak berani berniat demikian. tapi fakta berbicara demikian. Liong-heng-pat-ciang Tham Beng memandang sekejap sekitar tempat itu lalu ia pun bergelak.

   "Hahaha, sudah puluhan tahun aku malang melintang di dunia persilatan. memangnya kau anggap hari ini aku datang ke Long-bong-san ceng ini tanpa persiapan?"

   Ketika ia mulai bergelak Cian Hui berhenti tertawa, tertampak Liong-heng-pat-crang menyapu pandang seluruh ruangan dengan sorot matanya yang tajam berkilat.

   "Cian Hui!"

   Serunya lebih jauh, dengan cara apa kau sambut kedatanganku. dengan cara yang sama pula kau harus mengantar kepergianku kalau tidak, aku akan membikin Long-bong-san-ceng ini banjir darah dan berubah menjadi puing-puing!"

   Tokoh persilatan ini tadi bersikap halus.

   Dengan bicara keras, sikapnya jadi lebih kereng, lebih berwibawa dan membuat orang keder.

   Air muka Sin-jiu Cian Hui berubah sedingin es.

   Bayangan orang berseliweran di luar sana menjadi tegang.

   Pelahan Tonghong-ngo-hengte bangkit berdiri suasana dalam ruangan seketika tenggelam dalam keheningan yang luar biasa, entah berapa banyak tangan yang secara diam-diam meraba senjata masing-masing.

   Di antara sekian banyak jago, hanya Jit-giau-tougcu Go Beng-si saja yang tetap tersenyum, diam-diam ia menyelinap keluar ruangan tatkala suasana berubah tegang.

   Liong-heng-pat-ciang Tham Beng memondong puteri kesayangannya yang tertidur nyenyak karena tutukannya tadi, ia menyapu pandang sekejap ke arah kawanan jago ini dengan sorot mata dingin dan sikapnya yang amis dan angkuh dapat ditarik kesimpulan bahwa dia tak pandang sebelah mata terhadap ratusan jago yang berkumpul di situ.

   Sinar matanya yang dingin berubah menjadi lembut tatkala tertuju ke wajah puteri kesayangannya, walaupun perawakan yang kekar sudah termakan usia, tapi masih tetap sekeras baja, siapapun tak dapat menebak berapa besar kekuatan yang tersimpan di dalam tubuh yang tegap itu.

   Air muka Sin-jiu Cian Hui tampak kelam, dari sorot matanya jelas dia sedang mempertimbangkan sesuatu, yaitu harus Cian (perang) atau Hui (kabur)? Sebelum keputusannya diambil, siapa pun tak tahu bagaimana kejadian selanjutnya.

   Suasana yang hening dan tegang tak berlangsung lama, tapi bagi pandangan semua orang, masa tersebut adalah masa yang terpanjang dalam hidup mereka.

   Air muka Sin-jiu Cian Hui kelihatan tenang tapi diam-diam lagi berpikir "Meninjau dan situasi sekarang ini, kekuatan musuh jauh lebih lemah daripada kekuatan kami, Tonghong-ngo-hengte bisa jadi berpihak pada mereka, namun kehadiran mereka juga tidak berarti suatu bantuan besar baginya.

   Jika Long-heng-pat-ciang dapat kubunuh dalam pertarungan ini, lain waktu aku tak perlu meminjam lagi tenaga orang lain dan dapatlah kujadi Kanglam Bengcu.

   Waktu itu pengaruh Huiliong piaukiok otomatis akan runtuh, apalagi sekarang adalah kesempatan yang paling baik bagiku untuk membunuhnya, orang persilatan tak akan menyalahkan diriku karena peristiwa ini, Jika aku tetap sangsi untuk mengambil keputusan, kesempatan baik ini sukar didapat lagi di kemudian hari!"

   Tangannya mengepal semakin kencang matanya memancarkan cahaya makin tajam, tapi ingatan lain segera melintas dalam benaknya.

   "Tapi sampai sekarang sikap Liong-heng-pat-ciang tetap tenang sekalipun orang yang memiliki ilmu silat tinggi tentu juga akan keder berhadapan dengan lawan begini banyak serta jago panah yang siap di luar halaman. Wah, jangan-jangan seperti apa yang dikatakannya tadi, dia memang sudah menyiapkan bala bantuan di luar perkampunganku. Kepalanya makin mengendor, sinar matanya ikut menjadi pudar pikirnya lebih jauh "Konon ilmu silat Liong-heng-pat-ciang lihaynya bukan kepalang, sekalipun dia bakal mampus di sini bila dia sudah berniat beradu jiwa denganku, rasanya sulit bagiku untuk melepaskan diri dari bencana. Berpikir sampai di sini, semangat tempur makin kendur, dia lantas memutuskan untuk mengalihkan situasi tegang itu dengan kata-kata yang lain. Tapi, sebelum dia berucap di pihak lain Jit giau-tui-hun Na Hui-hong telah mengalihkan pandangnya ke tengah arena, selain siap sedia menghadapi musuh ia pun memperhatikan situasi dihadapannya dan berpikir "Sepintas lalu posisi Sin jiu Cian Hui se-akan2 lebih tangguh tapi sesungguhnya posisi Liong-heng-pat-ciang juga tidak lemah, sebab itulah kedua pihak terus ngotot sampai sekarang. Cian Hui tak berani bergerak disebabkan kuatir bala bantuan tersembunyi dan Liong-heng pat-ciang, mungkin ia pun jeri terhadap kungfu musuh yang luar biasa dan kuatir dalam keadaan terdesak mengajak adu jiwa padanya. Tapi bagaimana dengan aku? segenap kekuatan inti ku tidak berada di sini, tujuan lawan juga bukan diriku setiap saat aku bisa kabur saja dari sini. Berpikir demikian ia lantas tertawa dingin, pikirnya lebih lanjut "Kalau posisinya menguntungkan bagiku, kenapa tidak kumanfaatkan kesempatan ini untuk mengadu domba mereka hingga ke dua belah pihak sama-sama hancur berantakan. Siapa yang menang atau kalah bagiku hanya ada keuntungan dan tanpa ada kerugian apa yang meski kutunggu pula?"

   Hawa napsu membunuh segera terpancar dari matanya, diam-diam dia sudah mengambil keputusan.

   Dalam pada itu Liong-heng-pat-ciang Tham Beng tetap bersikap tenang, tangan yang satu digunakan merangkul puterinya, sedang tangan yang lain seakan-akan sudah siap dengan kekuatan penuh untuk melancarkan serangan.

   Kakek yang perkasa itu pun sedang berpikir jika ditinjau situasi sekarang, Sin-jiu Cian Hmuipasti tak berani berbuat sesuatu padaku di tempat ini, dia licik dan bisa berpikir panjang, tak nanti dia mau jadi orang berdosa dunia persilatan.

   Salahku sendiri datang tanpa membawa bala bantuan, gertak sambalku mungkin bisa menciutkan hati Cian Hui, tapi bisakah menciutkan juga hati Jit giau-tui hun Na Hui-hong dan Kim-keh Siang It ti.

   Di dalam keadaan seperti ini mereka pasti ingin menarik keuntungan secara tidak langsung, mereka tentu berharap terjadinya suatu pertumpahan darah di antara kami berdua!"

   

   Jilid ke- 13 Diam-diam ia melirik Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang serta Pat-kwa-ciang Liu Hui yang berada do sisinya, kemudian berpikir lagi.

   "Dua orang ini meski setia padaku, tapi kungfu mereka bukan jago kelas tinggi, apalagi dalam keadaan seperti ini tak banyak bantuan yang bisa kuharapkan dari mereka untuk lolos keluar dari sini rasanya tidak menjadi soal mengingat kungfuku tapi bagaimana dengan..."

   Kembali ia tundukkan kepala memandang puteri kesayangannya, Tham Bun ki yang terlelap dalam pangkuannya. Melihat mukanya yang pucat bersemu merah, Tham Beng menghela napas, pikirannya.

   "Ai bagaimana dengan anak ini ? seandainya bukan lantaran dia, tentu aku takkan datang ke Kanglam, juga tak mungkin mengalami posisi yang tidak menguntungkan seperti sekarang ini!"

   Tiba-tiba ia membatin pula "Rupanya Na Hui hong berniat mengadu domba, banjir darah segera akan terjadi Ah, aku punya akal! jika sampai pertempuran berkobar, serahkan saja anak Ki kepada tiga Tonghong hengte agar mereka mautak-mau harus turun tangan untuk melindunginya.

   Hmm.

   aku yakin tak seorangpun berani memusuhi orang Hui leng-po."

   Demikianlah, tatkala Sin Jiu Cian Hui berusaha melunakkan suasana yang semakin tegang, Jit giau tui hun Na Hui Hong sebaliknya memanfaatkan kesempatan itu dengan baik.

   Sambil tertawa dingin ia berseru "Saudara-saudara sekalian, apa yang kalian tunggu lagi? Mari kita hancurkan tua bangka yang keji ini untuk membalaskan dendam Cian toako kita."

   Dengan licin ia melimpahkan lagi semua tanggung jawab terjadinya peristiwa ini ke pundak Cian Hui.

   Sudah tentu Cian Hui terperanjat, seketika itu suasana menjadi kalut, suara bentakan, suara senjata yang dicabut, suara terbaliknya meja kursi dan pecahnya cawan mangkuk berdentingan...

   Malah ada yang membentak.

   "Tutup pintu keluar, jangan beri kesempatan sasaran kita meloloskan diri."

   Berbareng dengan suara bentakan tadi, Jit giau tui hun segera ayun telapak tangannya ke muka, tiga titik cahaya hitam secepat kilat langsung menyambar tubuh Pat kwa ciang Liu Hui.

   Hampir bersamaan waktunya Kim-keh Siang It ti memutar tongkatnya dan menghantam kepala Koay be sin to Kiong Cing-yang.

   Begitulah sifat kelicikan mereka, yang berat diberikan kepada orang lain, yang ringan dihadapi sendiri, pertarungan serupun segera berkobar.

   Dengan demikian, tersisalah Liong heng pat ciang Tham Beng seorang yang khusus akan menghadapi Sin Jiu Cian Hui.

   Liong heng pat ciang sendiri tidak berani bertindak gegabah, mendadak ia mendorong puteri kesayangannya ke tangan Tonghong Ceng seraya berseru.

   "Kuserahkan tanggung jawab atas puteriku ini kepada keponakan sekalian."

   Sebelum mendapat jawaban, segera ia bergerak lebih lanjut dengan memukul rontok tiga batang anak panah yang tertuju kepadanya.

   Selagi Tonghong Ceng melenggong, tahu-tahu nona cantik itu sudah berada di dalam pelukannya.

   Tonghong Tiat berkerut kening, ujarnya.

   "Losam, baik-baik menjaga nona Tham, tampaknya kita tak dapat berpeluk tangan belaka menghadapi pertarungan ini."

   Liong heng pat ciang sempat menangkap ucapan itu, seketika semangatnya berkobar, kedua tangan direntangkan sambil membentak.

   "Tham Beng ada disini, siapa yang ingin menantang aku? Cian Hui! Wahai Cian Hui kau dimana?"

   Bentakan itu amat nyaring ibarat guntur membelah bumi di siang hari bolong, seketika itu ratusan orang yang berada dalam ruangan merasakan telinganya mendengung keras dan terasa sakit, tapi tak seorangpun diantara mereka itu berani turun tangan secara gegabah.

   Menghadapi situasi seperti ini, Sin jiu Cian Hui hanya bisa menghela napas belaka, rasa bencinya terhadap Jit giau tui hun betul-betul merasuk tulang sumsum.

   Rasa bencinya itu semakin menjadi ketika dilihatnya Na Hui hong tidak bertempur secara sungguhan, walaupun sedang bertarung melawan Pat kwa ciang Liu Hui, namun jurus serangannya amat kendur, dan tidak tampak menggunakan tenaga penuh, apalagi langkahnya makin lama semakin bergeser ke arah jendela, Cian Hui semakin memahami niat jahat orang.

   Sambil mengetak gigi Cian Hui menyumpah.

   "Na Hui-hong, setelah mengadu domba kau ingin kabur?"

   Sambil mencabut kipasnya dan membanting keras-keras ke lantai, ia membentak.

   "Saudara sekalian, pertarungan hari ini menyangkut mati hidup kita di wilayah Kanglam, barang siapa yang merasa dirinya anggota Liok-lim daerah Kanglam tidak diperkenankan angkat kaki lebioh dulu dari sini. Sobat-sobat sekalian cukup menjaga pintu dan jendela saja, dengan begitu sudah berarti membantu aku orang she Cian. Dengarkan rekan yang berada di luar halaman! Bilamana ada yang kabur dari ruangan ini, baik kawan maupun lawan, hujani anak panah tanpa ampun."

   Kemudian sambil melepaskan jubah panjangnya, ia menerjang Liong heng pat ciang dengan ganas, ia telah mengambil keputusan, menang atau kalah pokoknya Jit giau tui hun tetap akan dilibatkan dalam pertarungan ini!"

   Jit giau tui hun sendiri menjadi gugup setelah mendengar bentakan itu, sambil melepaskan pukulan gencar ia berpikir.

   "Ah, tampaknya Cian Hui akan memaksa aku untuk tetap tinggal di sini!"

   Karena berpikir, serangannya jadi kendur.

   Pat kwa ciang Liu Hui segera manfaatkan kesempatan itu, sambil membentak ia menerjang ke muka, secepat kilat melancarkan empat kali pukulan berantai.

   Terkesiap Jit-giau tui hun, cepat dia mengegos dan mundur dua langkah, tapi terus menubruk maju pula.

   Hanya beberapa kali gebrakan, Pat-Kwa-ciang sudah terdesak hingga hanya bisa menangkis dan tak mampu melancarkan serangan balasan.

   Tapi justeru dalam keadaan itulah, Jit-giau tui-hun lantas mengendurkan pula serangannya.

   Meski keheranan Liu Hui tak berani manfaatkan kesempatan itu untuk melancarkan serangan balasan lagi.

   Demikianlah, ketika Jit-giau tui-hun merasa kemenangan pasti akan berada di tangannya, lalu ia mengalihkan perhatiannya ke sana, di mana Liong heng-pat-ciang sedang bertarung sengit melawan si Tangan Sakti Cian Hui Jika Cian Hui berhasil menangkan pertarungan ini, dia akan segera binasakan Pat-kwa-ciang, kalau sebaliknya, tentu saja dia harus pikir-pikir dulu untuk menyesuaikan keadaan.

   Orang ini licik dan lihay, dia tak ingin menjadi musuh Liong-heng pat ciang yang disegani itu.

   Berbeda dengan Kim-keh Siang It-ti di sebelah sana, meski kaki pincang, permainan tongkatnya betul-betul luar biasa.

   Dasar kungfu Koay-be-sin to tak terlalu tinggi, lagi sesudah lengan kanannya buntung dan sekarang bertarung tanpa senjata, beberapa gebrakan ia sudah terdesak, ia merasa tongkat si Ayam emas menyambar dari kiri kanan, depan dan belakang, mengurungnya dengan rapat.

   Lewat beberapa jurus kemudian, jangankan menyerang, untuk menangkispun ia merasa kewalahan.

   Dalam keadaan demikian.

   ia hanya berusaha bertahan dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya.

   Ia sadar bila tiada bantuan yang datang tepat waktunya, bencana maut pasti sukar dihindari lagi.

   Ketika itu air mukanya sudah berubah merah napasnya tersengal, peluh membasahi sekujur badannya dan gerak tangannya semakin lamban.

   Meski jago yang hadir dalam ruangan itu banyak jumlahnya tapi orang yang betul betul terlibatn dalam pertarungan ini hanya enam orang saja.

   Meja kursi sudah tersingkir ke samping, bahkan ada yang terlempar keluar jendela.

   porak poranda keadaannya sementara kawanan jago ada yang berdiri dengan senjata terhunus, ada pula yang menutup jendela dan pintu dengan meja kursi setiap kali Sin-jiu Cian HUi atau Kim-keh siang It-ti ataupun Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong kelihatan terdesak, banyak di antara mereka bersiap sedia untuk memberi bantuan.

   Kesembilan orang laki-laki berbaju perlente tadi, kesembilan bersaudara ekor ayam beserta ke sembilan laki-iaki berbaju hitam anak buah Cian Hui, masih berdiri berjajar di sudut ruangan.

   Agaknya kedelapan belas orang itu tahu bahwa mereka telah menjadi barang taruhan dan tidak bebas lagi, ternyata tak seorang pun di antara mereka berniat ikut turun tangan.

   Seandainya kedelapan belas orang itu ikut turun tangan juga percuma, karena kehadiran mereka tidak akan mempengaruhi situasi pertarungan, perhatian ratusan pasang mata kawanan jago tentu saja tercurahkan pada pertarungan antara Liong-heug pat-ciang Tham Beng melawan si Tangan sakti Cian Hui, sebab menang atau kalah di antara mereka selain mempengaruhi situasi hari itu, mempengaruhi juga keadaan dunia persilatan pada umumnya.

   Pada hakikatnya, sebelum terjadi pertarungan melawan Tham Beng tadi, si Tangan Sakti Cian Hui sudah timbul rasa jeri kepada lawannya.

   Sebagaimana diketahui Liong-heng-pat ciang termasyhur karena ilmu pukulan telapak tangannya sejak terjun ke dunia persilatan di masa mudanya sampai sekarang ia sudah mempunyai pengalaman selama tiga puluh tahun, bukan saja namanva harum, pengaruhnya luas, biarpun sangat jarang turun tangan sendiri, namun belum pernah ia menderita kalah satu kali pun.

   Sin jui Cian Hui juga bukan anak kemarin sore, namanya sudah lama termashur dalam dunia persilatan, tapi kalau dibandingkan jago tua itu, maka dia masih terhitung seorang angkatan muda.

   Namun tokoh kaum penyamun ini juga mempunyai pengalaman yang cukup luas, rasa takutnya dapat ia sembunyikan sebaik-baiknya, kewaspadaan dipertingkat, sekarang dia cuma mencari kesempatan dan tidak terlalu bernafsu merobohkan lawan.

   Dengan alasan inilah, maka sejak pertarungan berkobar Cian Hui lantas memperketat pertahanannya.

   Terlihatlah angin pukulan menyelimuti sesosok tubuh berwarna merah dengan rapatnya sehingga setetes airpun sukar menembusnya.

   Liong-hong-pat-ciang melayani musuh dengan kelincahan yang luar biasa entengnya, jangan dilihat tubuhnya tinggi besar, kelincahannya malah lebih gesit dan pada seorang anak kecil.

   Hanya saja tenaga pukulan jago tua itu ternyata tidak lebih dahsyat dari apa yang dibayangkan Cian Hui, perubahan serangannya juga tidak setajam dan secepat apa yang diduganya semula.

   Kalau hendak dinilai secara tepat, maka serangan telapak tangan tokoh ini tak lebih cuma lebih "lincah"

   Belaka.

   Kenyataan ini tentu saja di luar dugaan Cian Hui, demikian pula kawanan jago lainnya.

   Meski indah gerakan tubuh kedua orang jago itu namun tak satu juruspun pernah terjadi benturan secara kekerasan benturan yang mendebarkan hati dan dinantikan oleh setiap jago yang hadir di situ.

   "Huh, Liong-heng-pat-ciang yang tersohor masa tak becus dan bernama kosong belaka? Berpikir demikian keberanian Sin-jiu Cian Hui semakin tebal, mendadak kedua telapak tangannya menyodok ke atas, telapak tangan kiri di depan dan telapak tangan kanan di belakang. Kedua serangan mencapai tengah jalan cepat tangan kanan ditarik menerobos ke bawah lewat telapak tangan kiri, dengan kuat dia sodok jalan darah Siang-ci hiat di bawah iga kanan Tham Beng Dalam serangan ini bukan saja tenaga serangannya sangat kuat, bahkan ketepatan waktu, ketepatan sasaran dan ketepatan perubahan betul-betul luar biasa, tak disangkal lagi Cian Hui telah menggunakan jurus maut Hong-peng-ciang, ilmu pukulan andalannya. Pada dasarnya ilmu pukulan Cian Hui adalah ilmu silat aliran Kanglam yang mengutamakan kelincahan serta kegesitan, tapi lantaran tenaga dalamnya cukup sempurna, maka ilmu pukulan yang mengutamakan kegesitan itu dapat dimainkan dengan kuat pula. Liong-heng-pat-ciang Tham Beng memutar tubuh dan bergeser ke samping, tampaknya ia selain menghindari benturan secara kekerasan. Melihat itu, Cian Hui membentak keras, menubruk maju, telapak tangan kiri membacok ke depan, sementara telapak tangan kanan membacok secara melintang ....

   "Sret! Sret!"

   Beruntun ia lepaskan serangan dengan jurus Yok-sui-siang-peng (sepasang daun mengapung di atas air), masing2 mengarah jalan darah Hun-sui dan Ciau-keng di tubuh Tham Beng.

   Tham Beng memutar tubuh dan menyelinap ke samping kanan Cian Hui, jari tangannya setajam pedang balas menutuk jalan darah Sang-hai hiat di dada lawan.

   Meskipun serangan ini dilancarkan secara tepat dan indah, tapi tetap bukan serangan adu muka secara terang-terangan.

   Sin-jiu Cian Hui semakin geram, semangatnya berkobar, ia menyerang secara keras lawan keras dengan gerakan Tay-sui-pay-jiu (ilmu pegang dan banting) yang dahsyat.

   Sekali lagi Liong-heng pat-ciang menarik diri dan kembali dia menyurut mundur.

   Setelah tiga jurus berlalu.

   para jago mulai bersorak-sorai "Cian-loji, ayo perketat seranganmu""

   Seorang berteriak dengan suara keras.

   Orang itu adalah seorang bandit yang selalu bekerja seorang diri di wilayah Cuan-tiong, namanya Pa-san-hou (harimau bukit Pasan) Ui Tay-hu Sejak permulaan tadi ia sudah merasa gatal tangan dan ingin turun tangan sendiri untuk menghajar Liong-heng-pat-ciang yang "bernama kosong"

   Itu.

   Tonghong ngo hengte berdiri di sisi gelanggang, tegang dan siap siaga, mereka saling pandang sekejap, rupanya mereka enggan menyaksikan pertarungan itu lagi se akan2 kecewa oleh ketidak becusan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, juga se-akan2 yakin Liong heng-pat-ciang pasti dapat menangkan pertarungan itu, maka tak perlu mereka perhatikan lagi.

   "Kiong Cing-yang mungkin tak tahan lagi"

   Tonghong Kiam berbisik setelah memandang sekejap sekitar arena.

   "biar kugantikan dia!"

   Tapi Tonghong Tiat segera menggeleng kepala sambil berbisik.

   "Kita tak boleh bertindak gegabah agar keadaan tidak semakin kalut. Coba lihat sudah jelas dalam beberapa gebrakan saja paman Tham dapat membereskan Sin Jiu Cian Hui, tapi nyatanya dia tidak menggunakan kungfu yang sebenarnya, dia takut bila Cian Hui dikalahkan, tentu lebih banyak orang yang akan maju. Ya, bila sampai Cian Hui kalah, pertarungan massal pasti akan terjadi. waktu itu tentu lebih banyak korban yang akan berjatuhan, paman Tham sendiri saja tak berani yakin dapat lolos dan sini, apalagi kita?"

   "Masa kungfunya lebih lihay daripada kita?"

   Tanya Tonghong Kiam sesudah merenung sebentar Tonghong Tiat mendengus.

   Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kungfu orang ini sukar diukur, setiap kali bertarung dia tak pernah menggunakan segenap kepandaiannya jangankan kita, ayah sendiripun tak dapat menilai berapa dalam kungfu nya yang sebenarnya"

   Sementara mereka blcara, bahu kanan Koay-be sin to Kiong Cing-yang telah terhajar oleh tongkat Siang lt-ti.

   Sambil mengaduh kesakitan orang she Kiong itu memberikan perlawanan yang gigih Tonghong Kiam mengerutkan dahi seraya berseru "Kita harus bertindak, bila terlambat Kiong Cing-yang pasti akan mampus di ujung tongkat Siang lt-ti""

   "Ai, tampaknya kita bersaudara memang harus turun tangan,"

   Kata Tonghong Tiat sambil menghela napas.

   "

   Bagaimanapun kita tak boleh membiarkan Kiong Cing-yang mampus di tangan orang"

   Semenjak tadi, Tonghong Kang dan Tonghong Ouw sudah habis kesabarannya, begitu mendengar perkataan Toakonya, semangat mereka segera berkobar.

   "Jika mau turun tangan, kita jangan membuang waktu lagi."

   Seru Tonghong Kiam dengan penuh semangat Air muka Tonghong Tiat berubah serius tak lama ia memberi komando.

   "Serbu!"

   Diiringi suara dentingan nyaring, cahaya senjata gemerdep menyilaukan mata, hawa pedang serasa menyayat badan, serentak Tonghong Tiat, Tonghong Kiam, Tonghong Kang dan Tonghong Ouw melolos senjata masing-masing.

   Tindakan ini segera di sambut dengan kehebohan di pihak lain, belasan laki-laki kekar yang semula berdiri di atas meja dan kursi serentak melompat mundur bersiap siaga.

   Dari sudut kiri melompat maju pula belasan laki-laki dengan senjata lengkap, disusul munculnya belasan cahaya mengkilat di sudut kanan.

   Pi-san hou Ui Tay-hu sendiri juga melolos kapak besar dari pinggang dengan mata melotot.

   Liong-heng pat-ciang Tham Beng melihat gawatnya situasi segera ia berpekik nyaring dan bertindak cepat, kedua telapak tangannya direntangkan dan melepaskan serangan maut.

   Di Waktu itu Cian Hui sedang menyerang dengan liong ciong jiu (pukulan berantai), ketika dilihatnya songsongan telapak tangan Tham Beng membawa angin serangan yang kuat, ia jadi kaget.

   "Celaka!. teriaknya di dalam hati, sekarang ia baru menyadari akan kelihayan Tham Beng, jelas selama ini jago tua itu hanya berpura-pura belaka, namun sudah terlambat, suatu benturan keras tak bisa dihindarkan lagi.

   "Plak!"

   Cian Hui merasa sekujur badan bergetar keras, ia tak mampu berdiri tegak lagi dan terpental sejauh lima depa dari posisi semula.

   Walaupun tubuhnya berhasil ditegakkan kembali, darah kental tak urung meleleh di bibirnya dalam keadaan begini seandainya Tham Beng menambahi dengan suatu pukulan lagi niscaya dia tak mampu menangkis.

   Di pihak lam, Kim-keh Siang It-ti telah memutar tongkat dan siap membinasakan Koay-be sinto Kio.ig Cing yang.

   Cepat Tonghong-hengte menerjang maju untuk memberi bantuan, tapi kawanan jago yang lain menyongsong kedatangan mereka suasana jadi gawat.

   Di tengah ketegangan inilah tiba-tiba terdengar suara derap kuda yang ramai berkumandang dari luar disusul seorang berteriak nyaring "Congpiautau, kami telah siap semua di sini, apakah engkau mengalami apa-apa"? Bagaimana apakah kami perlu masuk ke situ?"

   Suara itu sangat keras, sepatah demi sepatah dapat terdengar dengan jelas ini membuat para jago dalam ruangan jadi terperanjat. Diam-diam Sin jiu Cian Hui mengeluh "Wah, ternyata dugaanku tidak meleset!"

   Tham Beng memang sudah mempersiapkan diri, Tonghong-hengte juga berpikir "Tak tersangka paman Tham bisa bertindak secermat ini, rupanya sudah mempersiapkan diri sebelum datang ke mari, kalau begitu percumalah bantuan kami berempat."

   "Siapakah yang datang?"

   Demikian Liong-heng pat ciang sendiri juga sedang berpikir keheranan, kedatanganku kemari sama sekali tidak diketahui orang2 dari cabang kantor di daerah Kanglam, lagi logat orang itu terasa asing bagiku, siapakah dia?"

   Dengan sendirinya rasa herannya tak sampai diperlihatkannya seketika itu semua orang sama merandek, tidak ada yang berani turun tangan lagi secara gegabah, sementara itu suara derap kuda di luar masih terdengar, entah berapa orang dan berapa banyak kuda yang datang!"

   Yang pasti di antara derap kaki kuda yang ramai terdengar suara bentakan nyaring yang bertenaga, jelas kawanan yang dikirim pihak "Hui-liong-piaukiok"

   Ini rata-rata berkepandaian tinggi.

   Setajam sembilu sinar mata Liong-heng-pat-ciang menyapu sekeliling tempat itu, ternyata tak seorang di antara para jago itu berani beradu pandang dengan dia, mereka semua menundukkan kepalanya rendah-rendah.

   Kim-keh Siang it-ti dan Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong yang sebetulnya ingin menggagap ikan di air keruh juga tak berani berkutik atau berbicara bahkan setelah mendengar suara bentakan tadi mereka sama kuatir tak bisa mengundurkan diri dari situ dengan selamat.

   Sin jiu Cian Hui sendiri masih berdiri tegak namun air mukanya hijau kelam noda darah masih membekas di ujung bibirnya, dibawah cahaya lampu tertampaklah perkasanya tokoh yang terdesak ini.

   Padahal barisan panah sudah siap di luar halaman, senjata juga sudah dilolos dari sarungnya namun setelah mendengar derap kaki kuda yang ramai di luar itu, tak seorangpun berani berkutik malah mereka yang berdiri dekat jendela diam-diam menggeser ke ruang tengah, tak seorangpun di antara mereka berani melongok keluar.

   "Tham-congpiautau!"

   Suara di luar kembali berteriak.

   "Perlukah kami menyerbu ke dalam?"

   Tiba-tiba Liong-heng-pat-ciang terkejut sekarang ia dapat mendengar kejanggalan suara teriakan tersebut.

   Dia tahu dengan jelas, semua Piautau yang bekerja di perusahaan Hui-hong-piaukiok baik di kantor pusat atau kantor cabang, tak seorangpun yang menyebut dia dengan "Tham-congpiautau"

   Itu berarti orang yang berada di luar itu harus disangsikan.

   Sekalipun menemukan kejanggalan tokoh sakti dari dunia persilatan ini masih bersikap dingin di mana sorot matanya memandangi kawanan itu sama menunduk dengan takut.

   Satu ingatan cepat melintas dalam benaknya, hahaha ia tertawa dingin, lalu berseru.

   "Selama hidup aku tak pernah membunuh musuhku sampai ke-akar2nya, biarlah hari ini kuampuni jiwa kalian semua"

   Lalu sambil berpaling, serunya lagi "Tonghong-siheng, Ciong-yang, kita mundur"

   Tonghong ngo-hengte saling pandang sekejap diam-diam mereka mengagumi kebijaksanaan Liong-heng-pat ciang ini, tanpa banyak bicara serentak mereka beranjak dari situ.

   Ketika Liong-heng-pat-ciang melangkah keluar ruangan, para jago sama menyingkir ke samping dan memberi jalan, mereka menunduk lesu, tak seorangpun berani angkat kepala bertatap pandang dengan dia.

   Menyaksikan semua itu.

   Sin-jiu Cian Hui menghela napas panjang, sepucat mayat wajahnya, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia berpaling ke belakangm ditatapnya sepasang "lian"

   Di atas dinding itu dengan termangu.

   Lama sekali, matanya berkaca-kaca dan akhirnya titik air mata jatuh membasahi pipinya, air mata itu berbaur dengan noda darah di bibir dan membasahi jenggotnya.

   Sekokoh batu karang dan tegap langkah Liong heng-pat-ciang ketika melewati halaman luar, tiba-tiba ia berseru "Tonghong-si-heng, lewat sini!"

   Segesit burung walet dia melambung ke atas dinding pekarangan lalu melayang kekuar, Tonghong-hengte tertegun, namun cepat juga mereka menyusul dari belakang.

   Di antara gulungan debu yang beterbangan di udara, kuda berlarian ke sana kemari.

   Hanya saja, semua pelana kuda itu kosong tak berpenunggang, di kejauhan tiga sosok bayangan abu-abu sedang menggerakkan kuda-kuda itu sekilas pandang dapat diketahui mereka adalah tiga bersaudara Mo dari Pak-to-jit-sat.

   Mereka tidak ayal lagi masing-masing melompat ke atas kuda dan melarikan kudanya sekencang-kencangnya meninggalkan tempat tersebut.

   -o0o- ooo -oOo- Begitulah, meskipun dalam pertemuan Toan-yang di perkampungan Long bong-san-ceng tidak menghasilkan keputusan apa-apa, pertarungan yang mendebarkan hatipun tidak menghasilkan keputusan siapa menang dan siapa kalah, tapi pertarungan itu telah menggetarkan dunia persilatan dan juga sangat besar mempengaruhi dunia persilatan.

   Sejak tokoh misterius berkedok di masa lampau meruntuhkan beberapa Piaukiok dengan tokoh pimpinannya di utara dan selatan sungai besar, dunia persilatan yang tenang kembali bergolak oleh terjadinya peristiwa itu, dan pergolakan itu ternyata mempunyai hubungan yang sangat erat dengan seorang pemuda yang lemah dan amat sederhana.

   Demikian rendahnya mutu ilmu silat pemuda itu bahkan boleh dibilang sama sekali tak berkepandaian silat.

   Akan tetapi tersiar di dunia Kangouw sebagai seorang tokoh maha sakti dan berilmu tinggi yang sukar diukur.

   Pemuda itu berasal dan keluarga yang biasa dengan kehidupan yang penuh penderitaan tapi dalam dunia persilatan tersiar kabar bahwa dia adalah keturunan dan keluarga ternama, atau murid dari seorang tokoh maha sakti yang hidup mengasingkan diri di luar samudera.

   Pemuda yang berhati mulia, bijaksana dan jujur itu ternyata dikabarkan sebagai seorang pemuda yang licin dan berotak tajam, sebab dengan usianya yang masih begitu muda ternyata ia sanggup menjadi Kanglam-lok-lim-bengcu.

   Pemuda yang menghebohkan itu bernama Hui Giok.

   Tapi orang persilatan tak pernah menyebut namanya secara langsung, mereka menghormatinya dengan sebutan Hui Taysianseng, tuan besar Hui.

   Begitulah, Hui Giok yang masih muda belia dan sederhana dilukiskan sebagai tokoh yang misterius oleh orang2 di dunia persilatan ini/ -oo0oo- -oo0ooKoleksi

   KANG ZUSI Seusai pertempuran di Long bong san-seng Tonghong-hengte segera pulang ke benteng Huilengpo.

   Keesokan harinya setelah mereka tiba di rumah, muncul delapan belas orang laki-laki kekar yang membawa harta kekayaan bernilai sepuluh laksa lebih dan mohon bertemu dengan Siaupocu (tuan muda) dari Hui-in-po.

   Rupanya setelah pertarungan sengit itu pihak Long-bong san-ceng, Kim keh pang dan Jit-giau tui-hun masih belum melupakan taruhan mereka yang luar biasa itu.

   Bagaimana dengan Liong-heng pat-ciang Tham Beng? Sejak pertarungan berakhir, ia segera pulang ke Tionggoan, untuk sementara waktu ia tidak melakukan gerakan apa pun.

   Tapi semua orang tahu, tokoh persilatan yang luar biasa ini tak nanti akan melepaskan Sin jiu Cian Hui dengan begitu saja, pertarungan sengit yang kedua kalinya cepat atau lambat pasti akan berlangsung lagi, dan di dalam pertarungan tersebut baik mungkin akan berakhir seperti pertama kalinya, sebelum menang atau kalah diketahui.

   Selain daripada itu, dalam pertarungan tersebut nanti kecuali akan melibatkan orang-orang Hui-liong-piaukiok dan Long-bong-san-ceng, kawanan jago dari kedua belah tepi sungai besarpun akan terlibat karenanya setiap umat persilatan sama menunggu tibanya saat pertarungan itu dengan hati berdebar.

   Tentang keberhasilan Liong-heng pat-ciang mengundurkan diri dari perkampungan Long-bongsanceng pun dalam dunia persilatan tersiar beberapa macam isyu, tapi apa gerangan yang sebenarnya terjadi, sampai saat terakhir belum juga terungkap maka nama besar Liong-heng-patciang semakin tersohor.

   makin disegani dan makin cemerlang.

   Kejadian semacam itu cukup menggembirakan, cukup menggemparkan tapi perhatian orang persilatan tidak terletak pada peristiwa itu.

   Perhatian dan kegembiraan mereka terletak pada...

   -0- -0 - -0- Bulan sembilan telah tiba namun hawa masih terasa panas.

   Angin musim rontok mulai berhembus, langit cerah dan bersih dan gumpalan awan.

   Jalan besar antara kota Ki-bun sampai bukit Hong-san yang pada hari2 biasa sangat jarang dilalui orang, tiba-tiba saja berubah menjadi rama


Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Si Pedang Kilat -- Gan K L

Cari Blog Ini