Rahasia 180 Patung Mas 10
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bagian 10
amping sampan.
Cepat Kiam-eng mengayun pengayuh dan mengepruk sekerasnya pada kepala buaya itu.
"Blang", dengan tepat kepala buaya kena dikemplang. Akan tetapi kulit buaya memang sangat tebal, agaknya buaya itu tidak mengalami cedera apa pun, ia cuma berguling satu kali di dalam air, lalu menerjang lagi ke arah sampan dengan cepat sekali. Keh-ki juga menirukan cara Su Kiam-eng, ia angkat pengayuh dan mengemplang kepala buaya namun tetap tidak ada gunanya setelah berguling dalam air buaya itu mengejar lagi terlebih pesat. Cepat Kiam-eng melolos pedang dan berkata.
"Coba kau hantam lagi sekali kepalanya!"
Tanpa ayal Keh-ki angkat pengayuh dan mengepruk lagi kepala buaya, kembali buaya bergulingan di dalam air.
Selagi tubuh buaya itu terbalik di dalam air, kesempatan itu cepat digunakan oleh Kiam-eng untuk menusuk tenggorokan buaya dengan pedangnya.
Serangan itu tempat mengenai titik lemah buaya itu, tertampak badan buaya yang besar itu berguling kian-kemari di dalam air, dari bagian luka di tenggorokan itu tersembur ke luar darah segar, setelah meronta sekian lama, akhirnya buaya itu tidak bergerak lagi dan tenggelam ke bawah.
Keh-ki menghela napas lega, ucapnya "Busyet, selama hidup tidak pernah aku lihat buaya sebesar ini."
Kiam-eng memandang sekeliling rawa, dilihatnya dari kanan-kiri sana kembali meluncur tiba pula dua ekor buaya, cepat ia berseru.
"Awas, dua ekor buaya datang lagi."
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Haya, sekali ini celakalah kita!"
Keluh Keh-ki kuatir.
"Jangan takut,"
Ucap Kiam-eng.
"Lekas lolos pedangmu, kita bunuh mereka menurut cara tadi!"
Belum lenyap suaranya, ke dua ekor buaya itu sudah meluncur sampai di samping perahu mereka.
Dengan tangan kanan Kiam-eng memegang pedang dan tangan kiri mengangkat pengayuh ia incar benar hidung buaya terus mengemplang sekerasnya.
Siapa tahu buaya ini berbeda dengan buaya tadi, meski kena dikepruk kepalanya, dia tidak bergulingan di dalam air, sebaliknya cepat ia menyelam ke bawah air, setelah berputar di bawah air lalu ia menerjang lagi ke arah sampan.
Agaknya buaya itu hendak menggunakan siasat menumbuk terguling sampan itu, habis itu baru akan pesta makan daging manusia.
Buaya yang menjadi lawan Keh-ki itu juga sama licinnya, sejak awal tidak mau memperlihatkan bagian kelemahannya, meski beberapa kali Keh-ki menghantam kepala buaya itu, tetap buaya tidak mau membalik tubuh.
Seketika nona itu menjadi kehabisan akal, teriaknya kuatir.
"wah, kakak Eng, buaya ini tidak mau membalik tubuh, sukar untuk menusuk tenggorokannya, bagaimana baiknya ini?"
Cepat Kiam-eng menjawab.
"Tahan saja dengan sabar, tunggu setelah aku bereskan dulu buaya ini, nanti aku bantu ..,.
"
Ia tidak meneruskan ucapannya, sebab dayungnya mendadak digigit buaya lawannya.
Cuma perbuatan buaya ini justru memberi kesempatan kepada Kiam-eng untuk menyerang bagian kelemahannya, segera ia tarik sekuatnya dayungnya dan karena buaya itu tidak rela melepaskan gigitnya, dengan sendirinya sebagian tubuhnya ikut terseret ke atas air sehingga tenggorokannya terlihat dengan jelas.
Cepat Kiam-eng menusuk dengan pedangnya dan tepat mengenai tenggorokan buaya, lalu ia lepaskan dayung dari gigitan buaya dan cepat berputar ke sebelah sana, katanya kepada Keh-ki.
"Jangan memukul dia lagi, biarlah dayungmu digigit olehnya"
Keh-ki masih gugup dan bingung, ia tidak tahu cara bagaimana Kiam-eng membunuh buaya lawannya, maka ia menjawab dengan heran.
"Biarkan buaya menggigit dayungku bagaimana! Wah, kan bisa celaka? Jangan-jangan aku akan terseret ke dalam air"
Sembari bicara ia masih terus mengemplang kepala buaya dengan pengayuh.
"Jangan kuatir, biarlah dayungmu digigitnya olehnya, serupa memancing ikan nanti kau tarik dia ke permukaan tadi!"
Kata Kiam-eng.
Keh-ki memang gadis cerdas, segera ia paham maksud Kiam-eng, cepat ia menuruti petunjuknya ia sodorkan pengayuhnya ke arah buaya, dengan sendirinya buaya itu tidak tahu akan akal manusia kontan ia membuka mulut dan menggigit pengayuh sekuatnya dan segera pula Keh-ki menarik pengayuhnya sehingga kepala buaya ikut terbetot ke atas.
Tanpa ayal pedang Kiam-eng lantas menusuk dan tepat mengenai leher buaya ...
"
Begitulah tiga ekor buaya dapat mereka binasakan dalam waktu yang singkat. Akan tetapi keadaan mereka sekarang menjadi letih sekali dan lemas lunglai,"
Keh-ki menaruh pedang dan pengayuhnya, katanya dengan menghela napas panjang.
"Oo, bisa mati lemas aku."
"Kalau datang lagi dua ekor buaya mungkin aku tidak sanggup melawannya lagi."
Kiam-eng tahu di sekitar rawa pasti masih banyak mengintai kawanan buaya yang lain, maka ia tidak berani berhenti di situ, cepat ia mendayung sekuatnya sehingga sampan itu meluncur lagi ke depan.
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Mungkin nasib mereka lagi baik sehingga tidak diketahui kawanan buaya yang lain, maka perjalanan selanjutnya dirawa-rawa itu dapat dilalui dengan aman.
Malam tiba pula, akhirnya sampan mereka pun mencapai ujung rawa-rawa sana.
Di dekat tepi rawa sana mereka menemukan sampan pertama yang ditumpangi Poan-ti-lo-jin itu Kiam-eng menduga mereka tentu sudah pergi jauh dan sukar disusul lagi.
"Coba kau duduk menunggu sebentar di sini biar aku cari di sekitar sini, barangkali dapat menangkap seekor kelinci atau binatang kecil lain,"
Kata Kiam-eng kepada Keh-ki.
"Jangan kau pergi jauh-jauh, berada sendirian di sini sungguh aku agak takut,"
Ujar si nona.
"Baiklah, aku hanya akan mencari sejauh ratusan meter di sekitar sini, bilamana terjadi sesuatu bahaya, boleh kamu berteriak dan segera aku buru kembali."
Habis berkata ia lantas menuju ke tengah hutan yang hebat.
Ia berputar sebentar di tengah hutan dan ternyata tiada menemukan sejenis binatang kecil yang sekiranya dapat dimakan.
Ia tahu setelah malam tiba, binatang kecil umumnya tentu sudah sembunyi di sarangnya dan sukar dicari lagi.
Segera ia ganti haluan dan mencari buah-buahan di atas pohon.
Akan tetapi, hasilnya tetap nihil, tiada menemukan buah apa pun.
Ia menghela napas dan terpaksa putar balik ke tempat semula.
Namun dilihatnya Ih-Keh-ki tidak berada lagi dalam sampan, keruan ia terkejut dan cepat berteriak.
"Keh-ki, di mana kamu, Keh-ki!"
Namun keadaan sekitar sunyi senyap, mana ada suara jawaban Ih-Keh-ki? Tentu saja Kiam-eng bingung dan tegang, kembali ia berteriak.
"Keh-ki, di manakah kau, Keh-ki?!"
Tetap tidak ada jawaban. Ada juga suara jawaban, namun jelas itulah suara auman binatang buas sebangsa harimau. Keruan hati Kiam-eng terkesiap, pikirnya kuatir.
"Celaka, jangan-jangan dia kena digondol lari harimau?"
Terpikir demikian, sungguh tidak terperikan bingung pikirannya, segera ia melolos pedang dan menerjang ke tengah hutan secepat terbang, ditujunya tempat suara harimau mengaum itu.
Baru beberapa puluh langkah ia lari, sekonyong-konyong ia dipapak sesosok bayangan besar yang menerjangnya dari depan.
Ia tidak peduli apakah bayangan ini harimau atau singa, sebelum bayangan besar itu menubruk tiba, cepat ia mendak setengah berjongkok ke bawah, pedang dipegang erat dengan ke dua tangan dan sekuatnya menusuk ke atas.
Binatang yang menubruk tiba itu memang benar seekor harimau buas, lantaran Su-Kiam-eng mendadak berjongkok ke bawah, harimau itu tidak keburu menahan daya tubruknya, pada saat dia menyambar lewat di atas kepala Kiam-eng itulah perutnya tepat tertusuk oleh pedang.
Maka terdengarlah suara raungan yang mengerikan, bagian perut harimau terobek dan tubuh yang besar itu terbanting di belakang Kiam-eng, ke empat kaki berkelojotan sebentar, lalu tidak bergerak lagi.
Menghadapi situasi begitu, sikap Su-Kiam-eng tidak kalah buasnya daripada binatang, serentak ia membalik tubuh dan melompat ke depan bangkai harimau, sekuatnya ia pentang mulut harimau dan ternyata tiada terdapat bekas darah pada gigi binatang buas itu, hatinya rada lega.
Segera ia berlari lagi kian kemari untuk mencari si nona, berulang ia pun berteriak.
"Keh-ki, di mana kau?"
Hampir satu jam anak muda itu mencari ubek-ubekan dan hampir menjelajahi setiap jengkal tanah beberapa ratus meter di sekitar situ, namun bayangan si nona tetap lenyap tanpa bekas, Keh-ki telah menghilang secara misterius.
Semangat Su-Kiam-eng sekarang sungguh runtuh seluruhnya, dengan langkah yang berat ia putar kembali ke tepi rawa-rawa sana dan duduk di tepi sampan.
Ia patah semangat dan berduka, ke dua matanya memandang nanar kegelapan malam yang menyelimuti jagat raya sambil bergumam perlahan.
"Keh-ki, O, Keh-ki, ke mana kau pergi? Ke mana kau pergi?"
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Tanpa terasa air mata pun bercucuran membasahi pipinya.
Di tengah hutan yang gelap dan menakutkan itu, seorang nona yang selama ini selalu berdampingan dengan dia telah menghilang secara mendadak, tidak perlu disangsikan bagaimana nasibnya.
Maka biarpun watak Su-Kiam-eng biasanya sangat teguh pendirian dan kuat imannya, sekarang pun goyah dan sukar menahan perasaannya.
Mengapa mendadak Ih-Keh-ki bisa menghilang? Apakah benar nona itu digondol binatang buas dan mengalami nasib malang? Tidak, Keh-ki adalah nona yang mahir kung-fu cukup tinggi, biarpun dalam keadaan lapar dan letih sekalipun datang seekor harimau buas juga si nona cukup kuat untuk menghadapinya, paling tidak ia pun dapat berteriak minta tolong.
Akan tetapi Kiam-eng sendiri tidak terlalu jauh meninggalkan si nona, andaikan Keh-ki pernah berteriak minta tolong, rasanya dirinya pasti akan dapat mendengarnya.
Jika begitu, apakah Keh-ki juga masuk ke dalam hutan untuk mencari makanan? Juga tidak.
Meski dia menguasai kung-fu tinggi namun nyalinya kecil, di tengah hutan yang gelap ini jelas dia tidak berani sendirian masuk ke tengah hutan pula, seumpama benar ia sendiri masuk ke dalam hutan untuk mencari makanan, tadi Kiam-eng sendiri sudah berteriak-teriak memanggilnya, seharusnya si nona dapat mendengar dan memburu kembali ke sini.
Atau jangan-jangan ia diculik orang? Berpikir demikian, seketika semangat Kiam-eng terbangkit.
Tapi setelah dipikir lagi, kembali ia menunduk lesu.
Sebab ia pun merasa Keh-ki tidak mungkin diculik orang, alasannya, bilamana Keh-ki diculik orang, tentu tujuan orang itu adalah peta kota emas dan obat anti racun.
Padahal peta dan obat sudah lebih dulu dirampas oleh Poan-ti-lo-jin bertiga.
Kejadian itu sepantasnya tidak sama sekali tidak diketahui oleh pihak lawan, lalu untuk apa lagi dia menculik Keh-ki? Pula, andaikan pihak lawan tidak tahu bahwa peta dan obat telah dibawa lari oleh Poan-ti-lo-jin, sekarang setelah lawan menguasai Keh-ki, seharusnya lawan memperlihatkan dirinya untuk mengancam Kiam-eng agar menyerahkan peta dan obat.
Dan mengapa sejauh ini lawan tidak pernah menampakkan diri?"
Oleh karena itu, setelah dipikir bolak-balik, ia merasa lebih besar kemungkinan Ih-Keh-ki digondol oleh binatang buas.
Hal ini membuat hati Kiam-eng serasa disayat-sayat sembilu, begitu pedih hingga sekujur badan sampai gemetar.
Perlahan ia berdiri, ia kumpulkan seikat rumput kering, ia keluarkan alat ketik api dan menyalakan rumput kering Itu, berkat cahaya obor itu ia coba mencari lagi di sekitar situ.
Sekali ini yang diperhatikan oleh Kiam-eng adalah permukaan tanah, sebab ia pikir bila Keh-ki benar digondol binatang buas, tentu akan meninggalkan bekas darah di permukaan tanah.
Meski obor itu sudah habis terbakar, namun tetap tidak menemukan sesuatu tanda.
Ia masih penasaran, menyusul ia membuat lagi segebung rumput untuk obor, begitulah berturut-turut ia membakar lima gebung obor dan untuk kedua kalinya ia mengelilingi tempat itu seluas ratusan meter dan hasilnya tetap sia-sia belaka.
Ia menghela napas panjang dan putar balik ke tempat sampan, ia duduk termenung.
Kini ia benar-benar lelah lahir batin, ia pikir semoga hari lekas terang ...
Dan akhirnya fajar menyingsing juga, pagi sudah tiba dan hari terang.
Ia mulai mencari lagi dengan lebih teliti, dari pagi melacak hingga siang, lingkungan pencarian diperluas sekali lipat hasilnya ditemukan sebuah gua.
Tiba-tiba terlihat bayangan orang berkelebat di mulut gua, Kiam-eng kegirangan, cepat ia memburu ke sana.
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Setiba di depan gua ia berhenti dan membentak menegur.
"Siapa itu yang sembunyi di dalam gua?"
Namun tiada suara jawaban di dalam gua.
Segera Kiam-eng melolos pedangnya, perlahan ia melangkah ke dalam gua.
Ternyata gua itu sebuah gua alam dengan jalanan yang berliku dan melingkar makin ke dalam makin lebar, di dinding atas penuh batu dinding berbentuk payudara, stalaktit, cahaya di dalam gua agak guram, namun Su-Kiam-eng sangat berani, ia masuk terlebih dalam, kira kira sekian puluh meter jauhnya, mendadak di depan muncul sebuah terowongan raksasa, di sekitar terowongan yang luas itu penuh dinding batu yang berlapis-lapis seperti bangunan berlingkar, ternyata di situ ada lagi sebuah gua raksasa yang aneh.
Kiam-eng memeriksa sekeliling kaki dinding gua raksasa itu, setiba di bawah sebuah kaki dinding, mendadak ditemukan seorang gadis bertiarap di situ.
Gadis ini ternyata seorang suku Pek-ih, usianya sekitar 17-an, wajah cantik, terlihat dia bertiarap di kaki dinding dengan wajah ketakutan dan minta dikasihani.
Meski setiap saat Kiam-eng selalu waspada, tidak urung ia terkejut juga ketika mendadak menemukan gadis itu, cepat ia menyurut mundur dua langkah, lalu menegur.
"Hei, kamu siapa?"
"Ssst!"
Gadis itu, memberi tanda agar jangan bersuara, lalu berucap lirih.
"Jangan bersuara keras mereka akan mencari ke sebelah sini."
"Siapa yang akan mencari kemari?"
Tanya Kiam-eng bingung.
"Orang Santo,"
Jawab si gadis. Kiam eng tahu orang Santo adalah suatu rumpun suku bangsa yang masih biadab, wataknya jauh lebih kejam dan buas daripada orang Kawa. Ia terkesiap oleh keterangan gadis Pek-ih, cepat ia tanya.
"Apakah orang Santo hendak menangkap dirimu?"
Nona itu mengangguk.
"Ya, Sinba, putra kepala suku Santo hendak merampas diriku ..."
Dengan sangsi Kiam-eng mengamati gadis suku Pek-ih yang jelita itu, tanyanya pula.
"Apakah kamu ini gadis Pek-ih?"
Kembali nona itu mengangguk dan menjawab "Ya, namaku Kalina!"
Diam-diam Kiam-eng merasa heran ketika mengetahui nama si nona mirip dengan nama istri su-heng nya, yaitu Kalana. Ia coba tanya lagi "Sebab apa orang Santo hendak menangkapmu"
"Mereka hendak merampas diriku dan bukan hendak menangkapku,"
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tutur gadis Pek-ih yang mengaku bernama Kalina itu.
"Memangnya apa bedanya merampas dan menangkap?"
Tanya Kiam-eng dengan tidak mengerti.
"Soalnya Sinba hendak merampas diriku untuk dijadikan istrinya, sekarang kau paham tidak?"
Kata Kalina.
"Oo, kiranya begitu,"
Seru Kiam-eng setelah tahu duduknya perkara.
"Sebab apakah ia perlu pakai merampas segala?"
"Semula mereka datang melamar secara baik-baik,"
Tutur Kalina.
"Namun ayahku tidak suka aku menjadi istri orang Santo, aku sendiri tidak suka pada Sinba, maka lamarannya telah kami tolak. Sinba sangat marah, ia mengancam hendak merampas atau menculik diriku. Maka ayah menyuruhku bersembunyi, sudah tiga hari aku sembunyi di sini."
"Aneh, mengapa orang Santo tidak tahu aturan?"
Ucap Kiam-eng penasaran.
"Tidak, memang ada kami ada peraturan boleh kawin paksa, apabila aku sampai direbut oleh Sinba, mau tak mau aku harus menurut untuk menjadi istrinya,"
Tutur Kalina.
"Ahh, kiranya ada adat istiadat seaneh itu,"
Ujar Kiam-eng.
"Dan waktu dia hendak merebut dirimu, apakah kalian tidak dapat melawannya?"
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Lawan memang bisa, namun kami bukan tandingan orang Santo, terpaksa aku lari dan bersembunyi,"
Kata Kalina. Kiam-eng manggut-manggut, tanyanya pula "Ada berapa jauh dari sini ke tempat tinggalmu?"
"Kira-kira 50 li lebih."
"Jika begitu, mungkin setiap saat Sinba dapat menemukan dirimu."
"Betul, makanya aku minta engkau jangan bicara dengan suara keras ... Eh, apakah engkau bangsa Han?"
Tanya Kalina tiba-tiba.
"Ya, namaku Su-Kiam-eng ..."
"Untuk keperluan apa kau datang ke tempat seperti ini?"
"Mencari bahan obat-obatan ... Oya, numpang tanya, apakah kau lihat ada seorang nona lewat di sini?"
"Seorang nona ..."
Kalina bergumam dengan melengong.
"Betul ia datang bersamaku, semalam mendadak dia menghilang."
"Aku tidak melihat dia. Mungkinkah dia dimangsa harimau?"
"Semula aku pun berpikir begitu, akan tetapi sudah sekian lama aku cari dia dan tidak menemukan sesuatu tanda bekas darah ..."
Kiam-eng menghela napas, lalu meneruskan.
"Entah apakah diculik oleh orang Santo atau tidak?"
"Tidak bisa jadi,"
Ujar Kalina.
"Meski orang Santo memang buas, namun mereka tidak berani memasuki rimba raya itu pada waktu malam hari."
Kembali Kiam-eng menghela napas, dengan lesu ia duduk di samping si nona. Kalina menatapnya sejenak, lalu tanya pula.
"Nona itu ada hubungan apa dengan dirimu?"
"Dia kawan baikku,"
Jawab Kiam-eng lesu "Cuma diam-diam kami sudah mengikat janji, apabila dia tidak meninggal, pada suatu hari tentu dia akan menjadi istriku."
Kalina bersuara simpatik, ia coba menghibur.
"Mungkin ia cuma tersesat jalan saja, nanti tentu akan kau temukan dia."
Kiam-eng cuma menyengir saja tanpa menanggapi.
Ia pikir kecuali Ih-Keh-ki hanya diculik orang saja, kalau tidak jelas dirinya takkan bertemu lagi dengan dia untuk selamanya.
Dan sekarang betapa dia berharap Keh-ki hanya diculik orang, dengan begitu si nona masih ada harapan tetap hidup di dunia ini.
Akan tetapi apakah benar Keh-ki hanya diculik orang saja? Siapa yang menculiknya? Mungkinkah orang Santo yang menculik Keh-ki?...
Tapi Kalina bilang orang Santo tidak berani keluyuran pada waktu malam, apa lagi masuk ke dalam hutan lebat itu.
Maka Keh-ki pasti bukan diculik oleh suku bangsa yang masih biadab itu.
Kalau dikatakan nona itu diculik oleh orang persilatan Tiong-goan yang ikut berusaha mencari kota emas itu, ini pun tidak masuk di akal, sebab tujuan menculik Ih-Keh-ki tiada lain kecuali hendak digunakan sebagai sandera untuk memaksa Kiam-eng menyerahkan peta dan obat.
Sekarang si nona sudah diculik, mengapa pihak penculik belum lagi memperlihatkan diri untuk mengajak berunding dengan dia? Melihat anak muda itu diam saja, Kalina coba tanya.
"Sebenarnya obat apa yang kalian cari di tengah rimba raya ini?"
"Jian-lian-hok-leng,"
Tutur Kiam-eng.
"Hah, jadi kalian juga hendak mencari Jian-lian-hok-leng?"
Kalina menegas dengan heran dan kejut. Terbangkit semangat Kiam-eng demi mendengar nada suara Kalina yang kejut dan heran itu, cepat ia
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ tanya.
"Jadi kau pun tahu obat yang mana Jian-lian-hok-leng?"
"Tahu,"
Kalina mengangguk.
"Sebelum kalian sudah ada seorang bangsa Han juga pernah datang kemari untuk mencari Jian-lian-hok-leng ..."
"Oo. siapakah orang itu?"
Berdebur jantung Kiam-eng dan cepat tanya. Tiba-tiba Kalina menghela napas duka, tuturnya.
"Ia bernama Gak-Sik-lam, kalau dibicarakan ini masih terhitung kakak iparku."
Kiam-eng melonjak girang, serunya.
"Aha, kiranya kamu ini adik Kalana?"
Kalina juga melengak, ucapnya dengan terkesiap.
"Dari ... dari mana kau kenal kakak perempuanku itu?"
"Ya, aku kenal dia, sebab Gak-Sik-lam adalah su-heng ku dan dengan sendirinya kakak perempuanmu juga kakak iparku,"
Kata Kiam-eng. Kalina seperti belum percaya kepada apa yang didengarnya, perlahan ia berdiri dan bertanya pula setengah bergumam.
"Apakah ... apakah benar engkau su-te Gak-Sik-lam?"
"Betul,"
Kiam-eng mengangguk.
"Atas perintah guruku, su-heng ku sengaja mendatangi daerah yang masih terasing ini untuk mencari Jian-lian-hok-leng. Kemudian, entah mengapa dia mengalami cacat totol kaki dan tangan, Jian-lian-hok-leng yang berhasil ditemukannya disembunyikannya disembunyikan di kota emas. Kedatanganku sekarang justru hendak mencari kota emas itu untuk mengambil Jian-lian-hok-leng."
"Jika sudah pernah kau lihat kakakku, mengapa engkau tidak tahu sebab musabab cacatnya su-heng mu?"
"Soalnya setelah su-heng ku pulang ke Tiong-goan, hanya secara kebetulan di suatu tempat pernah berjumpa sejenak dengan mereka suami-istri ... ai, beginilah ihwalnya ..."
Begitulah lalu ia menceritakan sejak ia menyamar sebagai Sai-hoa-to untuk mencari su-heng kemudian banyak mengalami berbagai peristiwa dan akhirnya su-heng dan Kalana diculik pula oleh musuh, semuanya ia ceritakan dengan jelas.
Bercucuran air mata Kalina mengikuti kisah sedih itu, katanya kemudian dengan tersendat "Sungguh malang nasib kakak, semua ini gara-gara per ...
perbuatan Sinba."
"Sinba?"
Kiam-eng menegas dengan bingung "Maksudmu orang Santo yang hendak merebut dirimu untuk dijadikan istrinya itu?"
"Betul,"
Kalina mengangguk.
"Semula yang diincar Sinba adalah kakak, maka kakak lari ke tengah hutan, apa yang terjadi serupa yang aku alami sekarang. Waktu itu kaki su-heng mu luka tergigit ular berbisa dan merangkak masuk ke dalam gua, kebetulan kakak juga sembunyi di gua itu maka kakak berusaha menolong su-heng mu dengan menghisap racun ular dari lukanya. Kemudian mereka pun jatuh cinta dan kawin di dalam gua.
"Ketika ayah mengetahui kakak mendapatkan suami seorang Han, ayah juga sangat gembira. Tapi kuatir Sinba akan mencari perkara lagi pada kakak, maka ayah menyuruh mereka tinggal sementara dulu di dalam gua dan diam-diam menyuruh orang membawakan makanan kepada mereka. Akan tetapi selang tidak lama, entah dari mana Sinba mendapat laporan rahasia itu ia bawa beberapa ratus orang Santo ke gua itu dan hendak membunuh su-heng mu ..."
Berkisah sampai di sini, Kalina mengusap air matanya dengan lengan baju, lalu menyambung lagi.
"Ternyata su-heng mu sangat lihai, beberapa ratus orang Santo itu dilabrak su-heng mu hingga kocar-kacir. Namun kemudian entah sebab apa, mendadak su-heng mu roboh terguling dan tertawan oleh Sinba."
"Maksudmu su-heng ku tidak mampu melawan mereka?"
Kiam-eng menegas dengan sangsi.
"Tidak,"
Kalina menggeleng.
"Menurut cerita su-heng mu kemudian, katanya selagi dia melabrak orang Santo itu, tiba-tiba ia tersambit oleh sepotong batu dan kena hiat-to kelumpuhannya. Ia yakin orang Santo tidak mahir ilmu silat, yang menyerangnya secara menggelap itu sangat mungkin orang dari Tiong-goan."
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Su-heng ku tidak melihat siapa orang yang menyerangnya itu?"
Tanya Kiam-eng.
"Ya, tidak. Waktu itu ia sedang bertempur dengan gagah perkasa, pada hakikatnya ia tidak menduga ada orang kosen bersembunyi di sekitar situ."
"Aneh juga,"
Ucap Kiam-eng sambil berpikir.
"Waktu itu su-heng sudah menemukan letak kota emas itu belum?"
"Belum, kota emas itu baru ditemukannya sesudah dia cacat total."
Tutur Kalina.
"Jika begitu, mengapa dia dibuntuti oleh orang persilatan Tiong-goan?"
"Ya, su-heng mu juga tidak habis mengerti, maka ia pun sangsi jangan-jangan batu itu secara kebetulan saja dibentur oleh senjata orang Santo melejit serta tepat mengenai hiat-to kelumpuhannya ...
"
"Aku tidak percaya, mana mungkin terjadi hal demikian?"
Kiam-eng menggeleng kepala.
"Mungkin Sinba tahu duduk perkara yang sebenarnya,"
Ujar Kalina.
"Boleh coba kau tanya dia ..."
Kiam-eng mengangguk, tanyanya pula.
"Kemudian kaki dan tangan su-heng ku lantas dikutungi oleh Sinba?"
"Tidak,"
Tutur Kalina lebih lanjut.
"Sinba menawan dan membawanya pulang ke tempat bermukim sukunya, ia memberi perintah anak buahnya menindih kaki dan tangan su-heng mu dengan empat potong batu besar. Konon setiap potong batu itu bobotnya melebihi dua-tiga ratus kati ...
"
Kiam-eng pikir bilamana hiat-to su-heng tidak tertutuk jangankan cuma batu sebesar dua-tiga ratus kati, biarpun batu ribuan kati juga takkan berguna.
Tapi dalam keadaan hiat-to tertutuk, batu dua-tiga ratus kati pun cukup untuk menindih remuk tulang kaki dan tangannya.
Maka cerita itu membuat Kiam-eng sangat murka, ucapnya dengan menggertak gigi.
"Hm, kejam amat si Sinba itu, sungguh ingin aku mampuskan dia!"
Terdengar Kalina melanjutkan ceritanya.
"Ketika ayahku mendengar berita tertawannya su-heng mu oleh Sinba, ayah tahu urusan bisa celaka, segera ia memilih ribuan pemuda tangkas dan kuat, pada malam itu juga diam-diam diselundupkan ke tempat pemukiman orang Santo dan berhasil menyelamatkan su-heng mu. Akan tetapi kaki dan tangan su-heng mu sudah hancur tertindih batu, ia bilang kalau dalam tiga hari dapat menemukan Som-ong (raja kolesom), Ho-siau-oh atau Jian-lian-hok-leng, mungkin cacat tangan dan kakinya dapat disembuhkan."
"Maka ayah sendiri lantas membawa sepuluh orang pemuda pilihan dan kakak dengan menggotong suheng mu menjelajahi rimba raya untuk mencari obat yang diperlukan itu. Dua hari kemudian, dapatlah sebatang Jian-lian-hok-leng ditemukan, namun su-heng mu menolak lagi untuk makan obat mujarab itu, katanya boleh ditunda satu hari dengan harapan akan menemukan pula sebatang Jian-lian-hok-leng. Apabila berhasil menemukan lagi Jian-lian-hok-leng yang lain barulah dia mau makan obat itu ...
"
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiam-eng paham sebab apa sang su-heng tidak mau makan Jiau-lian-hok-leng itu, saking terharu ia mencucurkan air mata, katanya.
"Kemudian berhasil menemukan Jian-lian-hok-leng yang lain atau tidak?"
"Tidak,"
Jawab Kalina lemah.
"Memangnya kau kira Jian-lian-hok-leng itu gampang dicari?"
"Dan pada hari ke tiga, su-heng ku tetap tidak mau makan Jian-lian-hok-leng itu bukan?"
Kiam-eng menegas dengan gegetun.
"Betul, dan kebetulan pada hari ke tiga juga mereka tiba di kota emas itu,"
Tutur Kalina.
"Tentang kota emas itu sebenarnya sudah lama kami mengetahuinya. Cuma sejak aku mulai remaja, tidak pernah aku dengar ada orang berani masuk ke kota emas itu, sebab menurut cerita, kota emas itu pernah dihuni setan iblis, barang siapa masuk ke sana tiada seorang pun pernah keluar lagi dengan hidup ...
"
"Apakah benar terjadi begitu?"
Tanya Kiam-eng kuatir.
"Aku sendiri tidak tahu apakah benar atau tidak,"
Jawab Kalina.
"Yang jelas, di sini, biarpun suku Santo yang paling ganas itu pun tidak berani masuk ke kota kuno itu. Semua orang sama memandang kota emas sebagai setan iblis, konon di dalam kota kuno itu masih terdapat banyak benda-benda yang
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ menakutkan."
"Jika begitu, mengapa ayahmu berani membawa su-heng ku ke sana?"
Tanya Kiam-eng.
"Itu atas permintaan su-heng mu,"
Tutur Kalina.
"Mungkin hal itu disebabkan rasa ingin tahu su-heng mu saja. Cuma ia bilang di dalam kota emas pasti ada Jian-lian-hok-leng dan obat-obat mujarab yang lain. Dengan harapan menyembuhkan cacat tubuh su-heng mu ke kota misterius itu. Sesudah masuk ke sana, su-heng mu minta semua orang berusaha mencari Jian-lian-hok-leng ke berbagai arah, hanya tersisa seorang saja untuk menjaganya ...
"
"Lalu apa yang terjadi,"
Tanya Kiam-eng.
"Orang yang disisakan untuk menjaganya adalah seorang yang agak bodoh."
"Oo, orang itu melalaikan tugasnya menjaga su-heng ku?"
"Tidak. Soalnya mengenai Jian-lian-hok-leng yang dipegang su-heng mu itu, pada waktu semua orang sudah pergi, su-heng mu menyuruh penjaga yang bodoh itu agar menyembunyikan Jian-lian-hok-leng itu. Kemudian, ayah dan lain-lain tidak berhasil menemukan lagi barang lain di dalam kota kuno itu, mereka putar balik dan minta su-heng agar makan Jian-lian-hok-leng yang tersedia itu.
"Dengan sendirinya su-heng mu menolak. Maka ayah bertekad akan memaksanya makan obat itu, namun Jian-lian-hok-leng itu sudah hilang. Setelah ditanya akhirnya baru diketahui obat mujarab itu telah disembunyikan oleh su-heng mu. Penjaga itu pun mengaku dia yang menyembunyikannya atas permintaan su-heng mu, akan tetapi karena dia orang bodoh, ia tidak ingat lagi di mana ia menyembunyikan Jian-lian-hok-leng itu."
"Ai, apakah kau tahu sebab apa su-heng ku tidak mau makan Jian-lian-hok-leng itu?"
Tanya Kiam-eng.
"Pernah ia katakan bahwa Jian-lian-hok-leng itu akan dibawanya pulang untuk mengobati penyakit hilang ingatan seorang nona. Apa betul?"
"Betul. Jian-lian-hok-leng itu adalah obat mujarab yang sukar dicari boleh dikata cuma dapat diperoleh secara kebetulan dan sukar diperoleh jika sengaja dicari. Sebab itulah su-heng ku rela dirinya berubah cacat dari pada makan Jian-lian-hok-leng yang sangat berharga itu ...
"
"Eh, mengapa engkau menangis!"
Tanya Kalina.
"Masa tidak kau rasakan kebesaran jiwa su-heng ku itu?"
Kata Kiam-eng.
"Ya, memang. Kakakku bilang su-heng mu rela mengorbankan diri sendiri demi keselamatan orang lain, sungguh kebesaran jiwanya sangat mengharukan dan harus dipuji. Maka kemudian meski ke dua kaki dan ke dua tangannya dipotong supaya tetap bertahan hidup, cinta kakak terhadap su-heng mu juga tambah kuat dan rela mendampingi dan melayaninya selama hidup."
"Kemudian mengapa su-heng ku tidak membawa pulang Jian-lian-hok-leng itu?"
Tanya Kiam-eng.
"Setelah ayahku memotong ke dua tangan dan ke dua kakinya, tiba-tiba diterima laporan bahwa Sinba dan anak buahnya menyusul tiba. Cepat ayah membawa su-heng mu meninggalkan kota emas secara tergesa-gesa. Waktu itu su-heng mu dalam keadaan tak sadar, maka tidak sempat lagi membawa serta Jian-lian-hok-leng itu."
"Dan begitulah ayahmu lantas membawa su-heng ku meninggalkan rimba raya purba ini!"
"Ya, ayah merasa jalan paling aman adalah mengantar mereka suami-istri pulang ke Tiong-goan saja, kalau tidak, tentu Sinba tetap akan selalu mencari perkara padanya."
"Oo, tapi ... tapi rasanya ada satu hal yang terasa agak ganjil ...
"
"Hal apa?"
Tanya Kalina.
"Kau bilang ketika su-heng ku tiba di kota itu ke dua tangan dan kakinya sudah remuk tertindih batu. Jika begitu, cara bagaimana dia dapat melukis sebuah peta untuk dikirim kembali ke Tiong-goan melalui merpati pos?"
"Oo, kau bilang dia pernah melukis sehelai peta dan dikirim pulang ke Tiong-goan?"
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Betul, peta itu dapat aku kenali benar-benar gaya tulis su-heng ku."
"Wah, jika begitu ... sungguh aku pun tidak mengerti apa sebabnya ...
"
"Aku kira, pasti sebelum su-heng bertemu dengan kakakmu, lebih dulu ia sudah menemukan kota emas itu."
"Ya, mungkin begitulah."
"Burung merpati terakhir yang dia kirim pulang itu membawa surat dengan berita bahwa ajal su-heng sudah dekat, sangat mungkin peta itu dikirim kembali ketika tiba-tiba ia diserang ular berbisa, karena ia tidak tahu cara menawarkan bisa ular, ia sangka ajalnya sudah dekat, maka cepat-cepat melepaskan merpati pos yang terakhir itu. Tak tersangka sesudah dia merangkak masuk ke gua itu dapat bertemu dengan kakakmu dan kakakmu yang menolongnya daripada mati kena gigitan ular."
"Betul, tentu begitulah adanya."
"Kau tahu dari sini ke kota emas masih ada berapa jauh?"
"Aku pun tidak tahu jelas. Mungkin perlu perjalanan selama beberapa hari."
Sungguh aku ingin segera mendatangi kota emas itu. Akan tetapi semalam kawanku itu mendadak hilang hal ini membuatku bingung dan entah apa yang harus aku lakukan ..."
"Adakah sesuatu barangnya berada padamu sekarang?"
Tanya Kalina.
"Hanya ada pedang ini."
"Coba aku cium bau pedang itu."
"Bau pedang?"
"Ya, dengan begitu mungkin dapat aku bantu menemukan dia."
Kiam-eng pikir si nona pasti memiliki daya cium yang melebihi orang biasa, dengan girang ia sodorkan pedang kepadanya dan bertanya.
"Dari pedang ini dapat kau cium baunya dan akan menemukan dia?"
Kalina menerima pedang itu, dengan senyum memikat ia menjawab.
"Pada umumnya suku bangsa terasing kami ini memiliki kepandaian khas seperti ini. Cuma apakah dapat menemukan dia tidak berani aku jamin."
Sembari bicara ia terus mengangkat pedang itu dan diciumnya berulang pada batang pedang dan bagian tangkainya, katanya kemudian dengan tertawa.
"Ehm, bau batang pedang dan bagian tangkainya tidak lama, aku pikir bau yang terdapat pada kain hias tangkai pedang ini pasti bau kawanmu itu ... Dia menghilang di mana?"
"Di tepi rawa sana, kira-kira beberapa ratus meter dari sini,"
Tutur Kiam-eng. Kalina melangkah ke luar gua, katanya.
"Jika begitu, marilah coba kita melihat ke sana."
Kiam-eng membawanya ke rawa sana, ia menunjuk sampan yang masih berada di situ.
"Semalam dia berada di dalam sampan ini, aku pergi ke sekitar sini untuk mencari makanan, waktu aku kembali dia sudah hilang."
Kalina mendekati sampan itu dan berjongkok untuk mengendus bau yang terdapat di sampan itu lalu mengitar satu keliling sampan terus menuju ke hutan sana.
Tapi baru dua-tiga langkah, ia berhenti dan berjongkok serta mengendus lagi kemudian ia menengadah dan berkata.
"Kawanmu itu mungkin dibawa pergi oleh seorang Han."
"Hah, apa betul?"
Seru Kiam-eng kejut dan girang. Kalina mengangguk.
"Ya, sebab dapat aku cium bau seorang bangsa Han yang lain."
Kiam-eng pikir bilamana benar Ih-Keh-ki diculik oleh orang Han, maka untuk sementara keselamatan jiwanya tentu tidak perlu dikuatirkan. Maka ia merasa lega dan bertanya pula dengan girang.
"Menurut
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ dugaanmu mereka menuju ke arah mana?"
Kalina menuding ke depan dan melangkah maju ke sana, setiba di bawah sebatang pohon besar dan mengitar dua kali, mendadak wajahnya menampilkan rasa bingung dan berucap.
"Aneh, entah mengapa baunya mendadak lenyap setiba di sini?"
Terkesiap hati Kiam-eng, serunya.
"Ahh, tentu mereka melompat ke atas pohon."
"Maksudmu, orang itu pun serupa su-heng mu, mahir ilmu silat yang tinggi?"
Tanya Kalina dengan terheran-heran.
"Betul, kalau tidak, mana mungkin kawanku itu dapat diculik olehnya,"
Ucap Kiam-eng dengan mengangguk Kalina menengadah, memandang pohon itu, katanya.
"Pohon setinggi ini betapapun aku tidak mampu merambatnya ke atas."
Kiam-eng mendekati si nona, katanya dengan tertawa kikuk.
"Dapat aku gendong dirimu untuk meloncat ke atas, apabila tidak keberatan ..."
Wajah Kalina yang cantik dan putih halus itu bersemu merah katanya lirih dengan tersenyum malu.
"Dahulu, pernah ayah mengundang seorang guru sekolah dan mengajarkan kami menulis dan membaca, sebab itulah aku tahu ada adat bangsa Han yang membatasi kebebasan antara lelaki dan perempuan. Tapi sekarang demi untuk menolong orang terpaksa tidak perlu mempersoalkan adat begitu lagi."
Mendengar ucapan si nona, Kiam-eng berbalik tidak enak hati untuk menyentuhnya, katanya dengan serius.
"Sungguh memalukan, justru tidak aku pikirkan hal ini. Jika begitu biarlah kita tidak perlu naik ke atas pohon."
Kalina melengak malah.
"Masa engkau tidak paham ucapanku?"
"Paham, tapi kamu kan seorang gadis, betapapun tak dapat aku bikin susah padamu hanya karena ingin menolong kawanku itu."
"Ai, janganlah terlampau serius, lekas menggendongku ke atas pohon,"
Ucap Kalina dengan tertawa.
"Tidak, aku pikir untuk sementara ini kawanku itu takkan mengalami bahaya dan tidak perlu terburu buru untuk menolongnya."
"Dari mana kau tahu dia takkan mengalami bahaya?"
Tanya si nona.
"Apabila orang yang menculiknya itu mau membikin susah padanya, tentu dia tak perlu dibawa lari. Kalau sekarang kawanku telah dibawa pergi, ini menandakan kawanku tidak akan diganggu keselamatannya."
"Namun, meski orang itu tidak membikin celaka kawanmu, bisa jadi dia akan menganiaya fisiknya sehingga membuatnya jauh tersiksa daripada mati."
Terkesiap juga Kiam-eng oleh ucapan itu, pikirnya.
"Ya, betul juga, jika Keh-ki jatuh dalam cengkeraman beberapa bangsat cabul anak murid Tok-pi-sin-kun, tentu ...
"
Ia tidak berani berpikir lagi, segera ia berkata pula.
"Jika begitu, jadi benar nona tidak ..."
"Tidak apa-apa, gendong saja diriku,"
Sambung Kalina tanpa ragu.
Maka Kiam-eng tidak sangsi lagi, segera ia rangkul si nona.
Tak terduga, baru saja ia hendak meloncat ke atas pohon, tiba-tiba terdengar suara mendenging dari belakang, suara samberan senjata rahasia.
Keruan Kiam-eng terkejut dan cepat mengegos terus berputar ke balik pohon.
"Crat", tahu-tahu sebatang tombak menancap batang pohon pada saat ia menggeser ke balik pohon itu. Melihat tombak panjang itu, seketika air muka Kalina berubah pucat, serunya kuatir.
"Wah, celaka! Orang Santo datang!"
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Betul juga baru lenyap suaranya, belasan orang suku Santo sudah muncul beberapa meter di depan sana.
Belasan orang Santo itu semuanya bertelanjang bulat, hanya bagian tertentu ditutup oleh sepotong kain, bentuk mereka rata-rata buas dan menakutkan.
Yang menjadi pemimpinnya seorang pemuda berusia likuran dengan tubuh kekar kuat, dengan wajah penuh rasa gusar, ia lagi melotot terhadap Su-Kiam-eng dan Kalina yang sembunyi di balik pohon, ia berterima dalam bahasa yang tak dikenal, entah apa yang diucapkannya.
Kiam-eng dapat meraba siapa pemuda kekar itu, segera ia menurunkan Kalina ke tanah, tanyanya dengan tertawa.
"Apa dia ini Sinba?"
"Betul, dia sangat ganas, engkau harus hati hati"
Ucap Kalina agak gemetar. Kiam-eng mengangguk, tanyanya pula.
"Apa yang ia katakan?"
"Ia bilang kakakku diperistri orang Han, sekarang aku pun hendak dibawa pergi orang Han, maka dia hendak menangkap kita untuk dijadikan santapan buaya,"
Tutur Kalina. Kiam-eng tertawa.
"Jika aku bunuh dia, bagaimana akibatnya nanti?"
"Wah, jangan! Dia, putra kepala suku, jika kau bunuh dia, segenap suku bangsanya tentu akan menuntut balas terhadap suku Pek-ih kami."
"Jika hanya aku lukai dia bagaimana akibatnya?"
"Mendingan begini saja ...
"
"Kalau begitu, boleh kau katakan padanya bahwa aku ingin duel dengan dia, barang siapa menang akan mendapatkan dirimu. Yang kalah dilarang merecoki lagi urusan ini."
"Kau yakin akan dapat mengalahkan dia?"
Tanya Kalina ragu.
"Mutlak dapat."
"Baik, akan aku katakan padanya ...
"
Habis itu Kalina lantas bicara beberapa kalimat bahasa setempat terhadap Sinba. Tampak Sinba berjingkrak murka, mendadak ia lemparkan golok melengkung yang dibawanya ke tanah. Segera Kalina berkata kepada Su-Kiam-eng.
"Ia terima tantanganmu, cuma ke dua pihak dilarang pakai senjata, ia ingin duel dengan bertangan kosong.
"Bagus sekali. Mungkin dia agak gentar pada pedangku, ia sangka asalkan aku tidak menggunakan pedang tentu akan mengalahkan aku. Hahaha ...
"
Chapter 14.
Rahasia 180 Patung Mas Kalina lantas bicara lagi terhadap Sinba bahwa Su-Kiam-eng terima tantangan duel dengan bertangan kosong.
Kelihatan, Sinba merasa girang, segera ia menggosok-gosok kepalanya dan melangkah ke depan.
Selagi Kiam-eng hendak tampil untuk duel dengan Sinba, mendadak Kalina menariknya dan memberi pesan dengan suara lirih.
"Hati-hati ya!"
Kiam-eng tertawa.
"Jangan kuatir, orang semacam ini mungkin terhitung pahlawan di daerah terasing ini, tapi di dunia persilatan Tiong-goan kami tidak termasuk hitungan, setiap orang persilatan pun dapat mengalahkan dia."
"Bukan dia yang aku maksudkan melainkan supaya engkau hati-hati terhadap segala sesuatu yang mungkin terjadi,"
Ujar Kalina.
"Baiklah, tentu aku akan waspada,"
Kata Kiam-eng. Habis bicara, langsung ia menyongsong ke arah Sinba.
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Menghadapi suku Santo yang masih biadab ini, sungguh Kiam-eng ingin sekali hantam mengirim dia pulang ke akhirat untuk membalas sakit hati sang su-heng yang telah dibuat cacat total itu.
Tapi sekarang ia justru tidak berani membunuhnya, sebab seperti telah dikatakan Kalina tadi, Sinba ini adalah putra kepala suku, bila dia mati, orang Santo pasti akan dendam terhadap suku Pek-ih, dengan demikian, biarpun sakit hati pribadinya terlampias, namun juga akan membawa malapetaka bagi suku Pek-ih, dan ini jelas bukan kehendak Su-Kiam-eng, maka ia cuma akan memberi hajaran setimpal saja kepada pemuda Santo yang congkak itu.
Namun Sinba justru kelihatan nekat dan bernapsu membunuh, ketika melihat Su-Kiam-eng mendekat, seketika ia melotot serupa ayam jago aduan sambil mengeluarkan suara teriakan aneh langsung ia menerkam lawan, ke dua tangannya terbentang seperti tanggam, dengan cepat dan ganas leher Su-Kiam-eng terus hendak dipitengnya.
Meski cara berkelahi Sinba itu merupakan gerakan maut bagi orang biadab umumnya, namun bagi orang persilatan cara itu justru cara yang paling bodoh.
Dalam keadaan demikian, kalau Kiam-eng mau membunuhnya boleh dikatakan terlampau mudah, cukup ia tutuk perlahan sekali saja Sinba dapat dirobohkan dengan segera.
Namun Su-Kiam-eng tidak bertindak demikian, ia tunggu ketika tubuh lawan sudah mendekat, mendadak ia mengelak ke samping, berbareng sebelah kaki menyerampang ke bagian dengkul lawan."
"Blang", kontan Sinba jatuh terjerembab. Keruan Sinba malu dan murka, sambil mengerang, seperti kerbau gila ia lompat bangun terus menyeruduk lagi ke arah Kiam-eng. Akan tetapi berbunyi "blang"
Lagi kembali, ia kena diserampang oleh kaki Su-Kiam-eng dan jatuh terkapar.
Oleh karena tanah di tengah hutan berselimutkan daun rontok yang amat tebal, meski terbanting dua kali dia tidak mengalami luka apa pun.
Namun sesudah melompat bangun lagi, sekali ini ia sudah tambah pengalaman dan tidak berani main seruduk secara membabi-buta lagi, hanya ke dua tangannya terpentang dan mata mendelik, perlahan ia mendesak maju ke arah Kiam-eng.
Dengan tersenyum Kiam-eng hanya berdiri diam saja untuk menunggu lawan bergerak lebih dulu.
Selangkah demi selangkah Sinba mendesak maju, melihat lawan tetap diam saja, mendadak ia berteriak aneh, ke dua tangan terus mencengkeram dada lawan.
Sekali ini cengkeramannya tidak meleset, dengan tepat baju dada Su-Kiam-eng terpegang erat olehnya.
Segera ia berteriak aneh pula, sekuatnya ke dua tangan menarik dan ditolak lagi sekuatnya, tujuannya hendak merobohkan Su-Kiam-eng.
Tak terduga, daya tolaknya ternyata tidak mempan, tubuh Kiam-eng serupa patung baja saja tetap berdiri tegak di tempatnya tanpa bergeming sedikit.
Pada dasarnya Sinba memang orang yang masih sederhana, begitu merasa tidak mampu mendorong roboh Su-Kiam-eng, seketika ia sangka anak muda itu menguasai ilmu gaib, maka ia terkejut dan cepat hendak melompat mundur.
Akan tetapi sudah terlambat.
"plak-plok"
Dua kali, tahu-tahu mukanya kena ditempeleng oleh lawan.
Dua kali tempelengan Su-Kiam-eng itu dilakukan dengan cukup keras, seketika gigi Sinba sama koyak dan hampir rompal, darah pun mengucur ke luar dari mulutnya, ia terhuyung dan tanpa kuasa berputar satu kali, habis itu baru roboh terbanting.
Melihat pemimpin mereka terbanting jatuh belasan orang Santo serentak berteriak dan mengangkat tombak terus hendak disambitkan.
Tapi ketika melihat Su-Kiam-eng tidak bertindak lebih lanjut, tombak mereka pun urung dilemparkan.
Di samping ingin menghajar setimpal terhadap lawan, sebenarnya Kiam-eng juga sengaja hendak mematahkan kepongahannya, untuk itu jalan paling baik adalah bila lawan hendak menyerang, segera didahuluinya dengan serangan dahsyat dan membuatnya menggeletak.
Begitulah ketika melihat Sinba roboh dan tidak sanggup bangun lagi, Kiam-eng tidak melancarkan serangan pula, ia berpaling dan berkata kepada Kalina.
"Nona Ka, coba kau tanya dia mau menyerah
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ atau tidak, kalau tidak ..."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong Sinba yang menggeletak di tanah itu melompat bangun terus merangkul sekuatnya ke dua kaki Su-Kiam-eng.
Akan tetapi anak muda itu sudah siap, mendadak ia meloncat ke atas sehingga Sinba menubruk tempat kosong, waktu tubuh Kiam-eng menurun ke bawah, dengan tepat anjlok di atas punggung Sinba malah.
Keruan Sinba meraung kesakitan, tangannya meraih serabutan dengan maksud membuat Su-Kiam-eng jatuh terbanting, namun cara bagaimana pun dia berontak, tubuhnya tetap terinjak oleh Su-Kiam-eng sehingga mirip seekor kura-kura yang ditindih oleh sepotong batu besar, betapapun sulit membebaskan diri.
Menyaksikan keperkasaan Su-Kiam-eng serupa malaikat dewata sehingga Sinba yang disanjung sebagai pahlawan besar di antara suku bangsa mereka itu dipermainkan seenaknya oleh Su-Kiam-eng, sungguh girang Kalina tak terperikan, terasa ia berteriak.
"Nah, Sinba, kamu sudah kalah, kenapa tidak lekas mengaku kalah dan menyerah saja?!"
Ia berkata dalam bahasa daerah mereka, namun cukup membuat gusar dan malu Sinba, mendadak ia berteriak murka.
"Semuanya turun tangan, binasakan bocah Han keparat ini."
Serentak belasan orang Santo itu berteriak dan melemparkan tombak yang sudah mereka siapkan tadi.
Sudah tentu Su-Kiam-eng tidak gentar terhadap tombak semacam itu, tapi pada saat ia hendak meloncat ke atas itulah, tiba-tiba dirasakan ada serangkum angin tajam menyambar dari belakang, segera ia tahu ada orang menyergapnya dengan senjata rahasia.
Keruan ia terkejut, ia tidak berani lagi melompat ke atas, cepat ia berputar dan melompat ke samping.
Sungguh berbahaya sekali, belasan tombak tajam itu menyerempet lewat beberapa senti di sisinya.
Sebaliknya senjata rahasia penyergap dari belakang itu justru mengenai mata seorang Santo seketika orang itu menjerit kesakitan dan roboh terguling-guling di tanah.
Sekarang Su-Kiam-eng baru mengerti sebab apa dahulu sang su-heng dapat ditawan oleh Sinba rupanya di tengah rimba raya purba sejauh ini bersembunyi seorang tokoh persilatan yang sangat menakutkan.
Tokoh tidak kelihatan ini jelas bukan si orang berkedok hitam yang berhasil lolos itu, juga bukan orang persilatan yang ikut mengincar kota emas itu, melainkan seorang tokoh kosen dunia persilatan yang misterius dan tidak jelas maksud tujuannya.
Bisa jadi dia sengaja membantu Sinba secara diam-diam, mungkin pula tindakannya itu tidak ada sangkut pautnya dengan Sinba, tujuannya tidak lebih hanya untuk merintangi tercapainya tugas su-heng dan dirinya saja ...
Kiam-eng tidak berpikir lebih lanjut, sebab ketika ia melompat ke samping, segera pula ia membentak ke arah datangnya senjata rahasia itu.
"Tampil ke depan saja kawan, terhitung orang gagah macam apa jika sok main sergap secara menggelap?"
Akan tetapi di tengah hutan itu selain suara lolong ngeri orang Santo yang matanya buta kena senjata rahasia itu, ternyata tiada suara jawaban lain lagi.
Mendingan Sinba, sesudah melengong sejenak segera melompat bangun dan meraih sebatang tombak, lalu seperti orang gila ia menerjang ke arah Su-Kiam-eng.
Sesudah tahu ada seorang musuh yang menakutkan sedang mengintai di samping, tentu saja sekarang Su-Kiam-eng tidak berani mempermainkan Sinba lagi, segera ia sambar tombak Sinba yang sedang menikamnya itu, menyusul sebelah kakinya lantas mendepak hiat-to kelumpuhan lawan.
Sinba tidak mampu menghindar, kontan ia terdepak roboh dan tak berkutik lagi.
Beramai-ramai belasan orang Santo itu lantas menghunus parang masing-masing yang berbentuk melengkung itu, serentak mereka menyerbu maju.
Su-Kiam-eng putar tombak rampasannya dan berhasil menyampuk jatuh beberapa parang lawan yang paling depan, lalu ia pun menerjang ke tengah musuh, hanya beberapa gebrakan dengan pukulan dan tendangan, belasan orang Santo itu dapat dirobohkan seluruhnya.
Selesai membereskan belasan orang Santo kembali ia membentak gusar pula ke arah hutan "Nah, kawan, lekas tampakkan dirimu!"
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Kalina muncul dari balik pohon sana, tanyanya dengan bingung.
"Hei, siapa yang kau teriaki?"
Kiam-eng mendengus.
"Ha, siapa lagi kecuali manusia yang suka main sembunyi dan pengecut itu, baru saja ia menyambitkan sepotong batu dan hampir membuatku mati di bawah hujan lembing musuh."
"Oya, siapa dia?"
Seru Kalina kaget.
"Hm, tidak perlu di sangsikan lagi dia itulah orang yang mencelakai su-heng ku secara pengecut itu,"
Jengek Kiam-eng.
"Meng ... mengapa dia sengaja membikin susah kalian saudara seperguruan?"
Tanya Kalina bingung. Kiam-eng tidak menjawabnya, mendadak ia melompat ke sana dan menerjang ke tengah hutan ia coba memeriksa di sekeliling sana, namun tidak terlihat jejak musuh, lalu ia putar balik dan berkata.
"Nona Ka, coba kau tanya Sinba ini, katakan padanya bila tidak mengaku terus terang, segera aku binasakan dia."
Kalina lantas berpaling dan tanya Sinba.
"Hai Sinba, siapakah orang yang diam-diam membantumu itu?"
Hiat-to kelumpuhan Sinba tertutuk, namun mulut dapat bebas bicara, dengan gusar ia menjawab.
"Hm, kau bilang apa? Siapa yang diam-diam membantuku?"
"Tadi waktu anak buahmu menyambitkan lembing. berbareng itu ada orang menimpuk batu bermaksud mencelakai kawanku ini, masa kamu tidak tahu?"
Ujar si nona.
"Aku memang tidak tahu,"
Jawab Sinba tegas dan penasaran.
"Tidak, kamu pasti tahu. Dahulu sebabnya Gak-Sik-lam dapat kau tawan juga lantaran ada orang melempar batu membantumu sehingga dengan leluasa dia dapat kau tawan."
"Omong kosong!"
Teriak Sinba, tidak urung kelihatan juga rasa sangsinya. Namun ia tetap ngotot dan menambahkan.
"Orang Han itu memang aku tawan berdasarkan kepandaian yang sejati."
"Dia itu su-te Gak-Sik-lam,"
Ucap Kalina sambil menuding Kiam-eng.
"Sebaliknya kau bicara sejujurnya, kalau tidak, bisa dia membinasakan dirimu."
Mendengar bahwa Su-Kiam-eng adalah su-te Gak-sik-lam, seketika air muka Sinba berubah pucat, namun dia tetap bicara dengan gusar.
"Aku tidak takut. Kau bilang tidak dibantu orang, memang begitulah keadaan sebenarnya."
Kalina lantas menerjemahkannya kepada Kiam-eng.
"Oo, tidak mengaku bahwa ada orang membantunya secara diam-diam."
"Mungkin dia berdusta?"
Tanya Kiam-eng dengan wajah masam. Kembali Kalina tanya Sinba.
"Hai, Sinba, apakah kamu berani bersumpah demi perdana menteri Cu-kat-Liang bahwa kamu benar-benar tidak dibantu orang?"
"Mengapa aku tidak berani?"
Jawab Sinba tegas.
"Baik, coba kamu sumpah!"
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Kalina.
"Jika ada orang membantuku, biarlah aku dihukum penggal kepala oleh Yang Mulia Cu-kat-Liang,"
Seru Sinba.
Kiranya berbagai suku bangsa di daerah selatan yang masih liar itu paling menghormat dan memuja Cu-kat-Liang, yaitu perdana menteri pada jaman Sam Kok yang terkenal pula dengan nama Khong-Beng.
Dahulu Khong-Beng pernah melakukan ekspedisi ke daerah selatan dan mengajarkan penduduk setempat bercocok tanam, maka ia dipandang sebagai malaikat dewata di berbagai tempat didirikan rumah pemujaan untuk memperingati jasanya.
Maka kendatipun suku bangsa terasing di daerah selatan itu masih biadab hidupnya, namun pada umumnya mereka sangat takut kepada Khong-Beng maka bila mereka disuruh bersumpah demi Cu-kat-Liang alias Khong-Beng, siapa pun tidak berani berdusta.
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Begitulah Kalina lantas tanya Su-Kiam-eng.
"Dia sudah bersumpah dan menyatakan benar-benar tidak tahu ada orang membantunya secara diam-diam."
Kiam-eng pikir pemuda suku terasing itu memang tidak mungkin dapat bersahabat dengan seorang tokoh kosen dunia persilatan maka ia mengangguk dan berkata.
"Baiklah sekarang boleh kau tanya dia mau menyerah atau tidak kalau dia berjanji takkan merecoki diriku lagi segera aku lepaskan dia pulang."
Kembali Kalina berpaling dan berkata.
"Sinba tanya kamu menyerah atau tidak. Jika kamu berjanji takkan cari perkara lagi padanya segera kamu akan dilepaskan pulang, kalau tidak biar kamu dibunuh olehnya."
Dengan gusar Sinba tidak memberi jawaban.
"Tadi kan sudah disetujui, barang siapa menang boleh mengambilku sebagai istri, begitu bukan?"
Tanya Kalina. Mendadak Sinba mengunjuk rasa duka dan berkata.
"Apa benar kau mau menjadi istrinya."
"Sudah tentu, kan dia sudah mengalahkanmu?"
Ujar Kalina. Seharusnya kamu menjadi istriku, aku kan pahlawan terkuat di sini?"
Ujar Sinba. Kalina tertawa.
"Bila benar kamu pahlawan paling kuat, mengapa kamu tidak mampu mengalahkan dia?"
"Dia pakai ilmu gaib, maka aku tidak sanggup melawannya,"
Ucap Sinba dengan gusar.
"Omong kosong, mana dia pakai ilmu gaib segala?"
Semprot si nona.
"Memang pakai ilmu gaib,"
Bantah Sinba.
"coba kau lihat, aku tidak terluka apa pun, tapi aku bergerak. Jelas karena terkena ilmu sihirnya."
"Oo, kamu salah,"
Kata Kalina dengan geli.
"Ini ilmu silat orang Han mereka, aku tahu."
"Akan lebih baik menjadi istriku saja, aku sering memburu dan memperoleh harimau, aku kan pahlawan pembunuh yang termashur, pula kelak aku akan menjadi kepala suku menggunakan kedudukan ayahku, menjadi istriku tentu kamu akan senang dan bahagia,"
Bujuk Sinba.
"Tidak, tidak dapat aku jadi istrimu,"
Jawab Kalina.
"Hm, jika begitu tentu kamu akan menyesal,"
Ucap Sinba dengan rasa dendam.
"Huh, memangnya kau mau apa? Kau bilang kamu seorang pahlawan, mengapa tidak mau menyerah sesudah kalah?"
Sinba diam saja tanpa menjawab. Kalina menggertak kaki dan berucap pula.
"Lantas kau mau apa sebenarnya?"
Sinba memandang Kiam-eng sekejap, melihat wajah anak muda itu penuh napsu membunuh, diam-diam ia kuatir juga, katanya.
"Baiklah, biar aku terima saja."
"Hanya omong saja untuk bukti, kamu, masih perlu bersumpah terhadap yang Mulia Cu-kat-Liang,"
Kata Kalina.
"Tidak, aku tidak mau sumpah lagi,"
Jawab Sinba.
"Itu membuktikan kamu tidak terima dengan sesungguh hati. Kalau begitu, terpaksa biar aku suruh dia membunuhmu saja,"
Lalu Kalina berkata kepada Su-Kiam-eng.
"Ia tidak mau bersumpah, boleh kau gunakan pedangmu untuk menggertak dia."
Perlahan Kiam-eng melolos pedangnya, dengan muka masam ia tatap Sinba, mendadak, ia angkat pedangnya terus menusuk tenggorokannya.
Ketika melihat Su-Kiam-eng melolos pedang kening Sinba sudah mulai berkeringat, apalagi mendadak ujung pedang lawan menyambar ke arah lehernya, keruan ia menjerit ketakutan.
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Akan tetapi baru saja ujung pedang menyambar sampai di depan leher Sinba, serentak Kiam-eng menahan daya tusukannya, ucapnya dengan menyeringai.
"Apa yang kau teriakkan?"
"Sinba, ia tanya apa yang kau teriakkan?"
Sambung Kalina. Tampaknya nyali Sinba pecah ketakutan, ia tatap ujung pedang yang mengancam leher itu, ucapnya dengan gemas.
"Baiklah, aku ... aku akan bersumpah."
"Jika begitu, ayolah mulai,"
Seru Kalina.
"Aku bersumpah bila ... bila aku cari perkara lagi kepada kalian, biar ... biarlah kepalaku dipenggal oleh Yang Mulia,"
Ucap Sinba, habis itu ia seperti mengalami penasaran maha besar, mendadak ia menangis tergerung-gerung. Kiam-eng jadi melengong malah, ia tanya Kalina.
"Aneh, mengapa dia menangis?"
"Ia mengangkat sumpah secara tidak rela, saking dukanya ia jadi menangis,"
Tutur Kalina.
"Jangan urus dia, setelah bersumpah tentu dia takkan berani mengganggu kita lagi. Boleh kau bebaskan dia pulang saja."
Kiam-eng menarik kembali pedangnya, ia buka hiat-to kelumpuhan Sinba, lalu ia bebaskan juga hiat-to belasan orang Santo.
Merasa anggota badannya sudah dapat bergerak, segera Sinba melompat bangun dan pergi membawa anak buahnya dengan menanggung malu.
Setelah kawanan Sinba itu sudah pergi, dengan gembira Kalina berkata kepada Su-Kiam-eng.
"Sebenarnya Sinba adalah pujaan suku bangsa di sini, tapi engkau telah menghajarnya hingga tak bisa berkutik, sungguh engkau sangat hebat."
Kiam-eng tersenyum, perlahan ia berputar tubuh dan memandang ke tengah hutan, sampai lama ia diam saja tanpa berucap. Kalina mendekati anak muda itu, tanyanya dengan tersenyum manis.
"Apa yang sedang kau renungkan?"
Perlahan Kiam-eng menjawab.
"Sedang aku pikirkan orang tadi ..."
"Kau tahu siapa dia?"
Tanya Kalina pula.
"Kiam-eng menggeleng.
"Tidak tahu. Cuma, aku tahu sebab apa diam-diam ia mencelakai kami bersaudara seperguruan."
"Memangnya sebab apa?"
"Hm, jelas ia kuatir kami menemukan Jian-lian-hok-leng dan membawanya pulang ke Tiong-goan untuk menyembuhkan penyakit sakit ingatan nona itu."
Kalina merasa tidak paham tanyanya.
"Sebab apa ia kuatir kalian menyembuhkan penyakit ingatan nona yang lain kau maksudkan itu?"
Perlahan Kiam-eng menghela napas, dengan khidmat ia berkata.
"Ayah nona itu bernama Bu-tek-sian-pian In-Giok-san, terhitung satu di antara ke-18 tokoh terkemuka dunia persilatan kami. Entah mengapa mendadak ke-18 tokoh besar itu mati dibunuh orang.
"Nona In itu, menurut dugaan kami, mungkin menyaksikan peristiwa terbunuhnya ke-18 tokoh Bu-lim itu, saking kejut dan takutnya dia jatuh sakit dan kehilangan daya ingatan. Sebab itulah guruku pikir, asalkan dapat memulihkan daya ingatan nona In, bisa jadi akan diketahui juga sesungguhnya siapa si pembunuh ke-18 tokoh terkemuka itu. Dan itulah alasan kami bersaudara seperguruan datang ke wilayah terasing ini untuk mencari Jian-lian-hok-leng.
"Setelah mengetahui rencana keberangkatan kami, dengan sendirinya si pembunuh merasa kuatir. Maka diam-diam ia mencelakai su-heng ku sehingga su-heng jatuh tertawan oleh Sinba dan dibuat cacat total. Kemudian, pembunuh itu masih kuatir, diam-diam ia mendatangi Ciok-lau-san tempat kediaman perguruan kami, ia sebarkan ular berbisa dalam jumlah banyak dengan tujuan hendak membunuh nona In. Untung hal itu keburu diketahui guruku dan sempat membawa lari nona In ... Hm, lantaran maksud
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ kejinya gagal, maka pembunuh itu menyusul pula ke sini hendak menyergap diriku, jelas dia sengaja hendak merintangi tujuanku untuk mengambil Jian-lian-hok-leng. Kalina mengangguk, tanyanya kemudian.
"Tapi kalau orang itu hendak merintangimu menyembuhkan nona In, mengapa dia tidak mendahului pergi ke kota emas untuk mencuri Jian-lian-hok-leng saja?"
Kiam-eng tersenyum.
"Kamu mempunyai jalur pikiran ini suatu tanda kamu ini seorang nona yang pintar. Sungguh harus dipuji."
"Ah, aku merasa hal ini tidak apa yang luar biasa, sebab kalau benar orang itu sengaja merintangi menyembuhkan nona In, dengan mendak dia debat mendahului mencuri Jian-lian-hok-leng tidak perlu membikin celaka dirimu. Sebab kalau dia ingin mencelakaimu kan belum pasti berhasil, sebaliknya untuk mencuri Jian-lian-hok-leng boleh di katakan sangat gampang, betul tidak?"
Kiam-eng mengangguk.
"Ya, tahu soalnya. dia hanya tahu Jian-lian-hok-leng disembunyikan di kota emas, tersembunyi di tempat mana justru tidak diketahuinya."
Kalina melengak, wajahnya yang cantik bersemu merah, ucapnya.
"Wah, tampaknya aku tidak sepintar sebagaimana kau katakan, persoalan sederhana begini ternyata tidak pernah terpikir olehku ...
"
"Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan pintar dan bodoh,"
Ujar Kiam-eng dengan tertawa.
"Sebab kau kira orang itu sudah mengetahui tempat tersimpannya Jian-lian-hok-leng."
Kalina menengadah memandang pohon besar yang hendak dipanjatnya tadi, katanya dengan tertawa.
"Baiklah, bolehlah kita meneruskan melacak jejak sahabatmu tadi."
"Baiklah, aku yakin yang menculik Keh-ki pasti juga orang tadi,"
Ucap Kiam-eng.
"Tujuannya menculik Keh-ki adalah ingin menanti setelah berhasil aku ambil Jian-lian-hok-leng kepadanya ..."
Sembari bicara ia terus mendekat dan mengangkat Kalina dan di bawa meloncat ke atas pohon.
Setelah mencapai sebuah dahan pohon yang tingginya kira-kira empat-lima meter dari permukaan tanah, Kalina lantas mengendus-endus lagi di situ, lalu berkata dengan kening berkerenyit.
"Baunya makin menipis, coba loncat lagi ke sana."
Kiam-eng menurut, ia loncat ke dahan yang lain, segera Kalina mengendus-endus pula, katanya kemudian sambil menggeleng kepala.
"Aneh sampai di sini bahkan sama sekali tidak ada baunya lagi."
"Tentu orang itu menggunakan gin-kang yang tinggi untuk melintasi pucuk pepohonan sehingga tidak meninggalkan bau apa pun,"
Ujar Kiam-eng.
"Jika demikian halnya, daya ciumku jadi tidak ada gunanya lagi,"
Kata Kalina.
Kiam-eng memandang sekelilingnya, yang tertampak hanya dedaunan belaka, ia tahu bilamana ingin menemukan Ih-Keh-ki di tengah rimba raya.
Ini jelas tidak mudah.
Segera ia bawa Kalina dan melompat turun ke bawah dan melepaskan si nona bertanya.
"Tidak soal biarpun sukar menemukannya. Yang pasti cepat atau lambat orang itu tentu akan membawa Keh-ki kepadaku."
"Maksudmu, apabila Jian-lian-hok-leng itu sudah berhasil kau ambil?"
Tanya Kalina.
"Betul, maka sebelum berhasil aku dapatkan Jian-lian-hok-leng, aku yakin Keh-ki takkan mengalami sesuatu bahaya,"
Ucap Kiam-eng.
"Pada waktu Jian-lian-hok-leng sudah kau dapatkan, bila orang itu minta kau serahkan obat itu kepadanya baru nona Ih akan dibebaskan, apakah kau mau?"
"Demi menyelamatkan jiwa Keh-ki, terpaksa aku serahkan Jian-lian-hok-leng yang diminta,"
Sahut Kiam-eng setelah termenung sejenak.
"Namun dengan begitu, cara bagaimana pula akan kau sembuhkan penyakit In?"
Kening Kiam-eng berkerenyit, ucapnya dengan menyesal.
"Ya, apa boleh buat, terpaksa aku cari lagi Jian-lian-hok-leng yang lain. Aku kira di tengah rimba raya yang luas ini tentu masih ada Jian-lian-hok-leng ke dua dan ke tiga."
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan aku bantu cari, kini aku tahu apa itu Jian-lian-hok-leng."
Kata Kalina.
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Kiam-eng terkesiap, cepat katanya.
"Jangan, biar aku cari sendiri, seyogianya kau pulang saja ke tempat ayah-ibumu."
"Sebab apa?"
Tanya Kalina heran.
"Di tengah rimba raya ini, bisa jadi aku terlena tahu di tempat mana terdapat Jian-lian-hok leng yang kau cari."
"Oo, kau tahu di tempat mana ada Jian-lian-hok-leng?"
Kiam-eng menegas.
"Di bawah pohon sing tua,"
Tutur Kalina.
"Jian-lian-hok-leng yang sudah ditemukan itu dahulu juga didapatkan di bawah pohon siong.
"Betul,"
Kiam-eng manggut-manggut.
"Getah pohon siong yang menetes dan meresap ke dalam tanah, setelah beribu tahun akan berubah menjadi Hok-leng, memang cuma di bawah pohon sing saja dapat ditemukannya. Akan tetapi, coba kau lihat di hutan lebat ini di mana-mana terdapat pohon siong, memangnya dari mana kau tahu di bawah pohon siong yang mana terdapat Jian-lian-hok-leng?"
"Ai, kiranya engkau terlebih tahu dari padaku,"
Ucap Kalina dengan agak malu.
"Semula aku sangka engkau tidak tahu Jian-lian-hok-leng itu tumbuh di bawah pohon siong."
"Makanya tidak dapat aku terima bantuanmu, lebih baik kau pulang saja,"
Ujar Kiam-eng.
"Tidak, aku tidak mau pulang!"
Jawab Kalina.
"Aneh, mengapa tidak mau pulang?"
Tanya Kiam-eng heran.
"Aku ingin ikut pergi ke kota emas,"
Jawab Kalina dengan tersenyum manis.
"Tidak boleh,"
Kiam-eng menggeleng.
"Kamu tak mahir ilmu silat."
"Cukup memiliki keberanian dan keberanian memang ada padaku."
"Salah caramu berpikir,"
Ucap Kiam-eng dengan tegas.
"Untuk mencapai kota emas itu, mesti tidak perlu mahir ilmu silat, namun sekarang sudah banyak jago silat yang mendatangi tempat maka tempat itu bukan lagi tempat yang boleh didatangi sembarang orang."
"Pergi bersamamu, bukankah engkau wajib membelaku?"
Kata Kalina. Kiam-eng tersenyum kecut.
"Tidak, biarpun ingin aku bela dirimu juga mungkin tidak cukup tenagaku. Coba kau pikir, cara bagaimana nona itu hilang?"
Tiba-tiba Kalina merasa sedih, mata pun basah, ucapnya lirih.
"Tidak peduli apa pun juga tetap engkau harus membawa serta diriku."
"Harus mem ... membawa serta dirimu? Kiam-eng menegas dengan bingung.
"Ya, engkau harus membawa serta diriku."
"Apa ... apa alasanmu?"
Tanya Kiam-eng gugup.
"Sebab ... sebab aku sudah menjadi istrimu,"
Jawab Kalina dengan menunduk malu.
"Hahh, apa katamu?"
Kiam-eng terperanjat "Kau bilang kamu ... kamu sudah menjadi istriku?"
"Ya, masa engkau sudah melupakan apa yang kau katakan kepada Sinba tadi?"
Jawab Kalina dengan malu-malu. Seketika Su-Kiam-eng merasa kepalanya seperti dua kali lebih besar, ucapnya dengan tergagap.
"Ah, kamu salah ... salah paham. Apa yang telah aku katakan itu cuma ... cuma ...
"
"Bukankah jelas kau katakan, barang siapa menang, dia akan mendapatkan diriku,"
Tukas Kalina.
"Sekarang Sinba telah kau kalahkan maka aku sudah menjadi istrimu."
"Tidak, apa yang aku katakan itu seluruhnya demi kepentingan dirimu, yaitu agar kamu terlepas dari gangguan Sinba,"
Seru Kiam-eng.
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Perlahan Kalina mengangkat kepalanya, dua butir air mata lantas menitik, ucapnya pedih.
"Jika begitu, jadi ... jadi engkau sengaja menipu diriku?"
Kiam-eng menggeleng kepala, katanya.
"Tidak tidak, bukan maksudku hendak menipumu melainkan justru ingin aku bantu dirimu."
"Tapi di tempat kami sini, cara duel semacam itu tidak cuma untuk bantu membantu saja, apabila engkau tidak mengambil diriku, tentu setiap orang akan mentertawai diriku sebagai seorang nona yang ditolak orang, untuk ini nasibku tiada lain kecuali bunuh diri saja."
Keringat mengucur membasahi kening Su-Kiam-eng, katanya.
"Ah, aku tidak tahu adat kalian ini. Sama sekali tidak aku pikirkan akan hal ini, biarlah aku minta maaf padamu, aka ...."
"Su-heng mu telah mengambil kakakku sebagai istri, mengapa engkau tidak dapat memperistrikan diriku?"
Tanya Kalina dengan tersenyum getir.
"Biarpun aku tidak secantik kakak, namun aku rela meladeni dirimu selama hidup, akan aku puja dirimu dan aku layani dirimu sebagai pangeranku."
Kiam-eng menggeleng.
"Tidak, aku kira engkau justru lebih cantik daripada kakakmu. Namun aku sudah mempunyai Ih-Keh-ki, kami sudah mengikat janji."
"Dia boleh menjadi istrimu, aku pun dapat menjadi istrimu,"
Ujar Kalina.
"Wah, mana boleh jadi? mana boleh sekaligus aku mengambil dua istri?"
"Aku dengar, di daerah Tiong-goan kalian juga ada kebiasaan seorang lelaki mempunyai beberapa istri?"
"Ya, tapi aku tidak boleh bertindak demikian. Kamu tidak tahu, pasti Keh-ki akan cemburu, dia takkan mengizinkan aku nikahi pula dirimu."
"Mengapa tidak boleh, biar dia menjadi istri pertama dan aku rela menjadi istri muda."
"Wah, ini bukan soal istri tua dan muda, tapi menyangkut harga diri. Tidak nanti dia membagi diriku dengan orang lain, dia ....
"
Mendadak Kalina membalik tubuh dan menangis dengan mendekap mukanya terus berlari ke tengah hutan. Kuatir nona itu akan membunuh diri, cepat Kiam-eng melompat dan mencegat di depannya berkata.
"Nona Ka, kamu hendak ke mana?"
Kalina membuang muka dan menjawab dengan menangis.
"Engkau tidak perlu urus!"
"Ai, apakah kamu hendak ... hendak membunuh diri?"
Tanya Kiam-eng kuatir.
"Habis, untuk apa hidup, menjadi nona yang tidak dikehendaki orang, lebih baik mati saja dari pada hidup,"
Sahut Kalina dengan menangis.
"Wah, janganlah engkau membunuh diri, jika kamu mati, aku menjadi serba susah."
Kalina tidak menanggapi lagi, ia putar tubuh berlari pula ke sana. Kiam-eng memburu dan menariknya, katanya "Sudahlah, jangan lari, biar aku terima permintaanmu."
Perlahan Kalina menoleh, tanyanya dengan malu dan girang.
"Betul? Engkau tidak bohong padaku?"
Dengan muka merah Kiam-eng menjawab.
"Aku, terima permintaanmu untuk ... untuk ikut pergi ke kota emas, urusan ... urusan lain biarlah kita bicarakan lagi kelak. Boleh?"
Dari menangis Kalina berubah tertawa, katanya.
"Baiklah, asalkan engkau sudah menyanggupi aku pun tidak tergesa-gesa ...
"
Kiam-eng menengadah dan memandang cuaca, katanya.
"Jika begitu, besok kita masih harus menempuh perjalanan cukup jauh. Marilah kita berangkat sekarang."
Begitulah mereka lantas melanjutkan perjalanan bersama. Kira-kira beberapa li mereka menyusuri hutan lebat itu, selagi Kiam-eng merasa sangat lapar tak tertahankan, tiba-tiba dilihatnya ada seekor kelinci liar
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ sedang makan rumput di bawah pohon sana. Segera ia menarik Kalina agar berhenti, perlahan ia pungut sepotong batu terus disambitkan dengan cara melempar senjata rahasia.
"Plok,"
Dengan tepat batu itu mengenai kepala kelinci. Binatang kecil itu menggelepar dan berkelojotan beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi.
"Hei, untuk apa kau serang dia?"
Tanya Kalina dengan tercengang. Secepat terbang Kiam-eng memburu ke sana untuk menjemput kelinci buruannya itu, katanya dengan tertawa.
"Sudah dua hari aku tidak makan apa pun, sungguh bisa bejat perutnya saking laparnya."
Habis berkata segera ia lolos belati dan hendak menyembelih kelinci itu. Kalina mendekat dan mengambil belati Kiam-eng itu, katanya dengan tertawa.
"Biarkan aku kerjakan bagimu, boleh kau bikin api."
Kiam-eng tahu si nona pasti lebih pandai memotong kelinci itu daripada dirinya, segera ia mencari ranting kayu kering, dikeluarkan alat ketikan untuk membuat api.
Setelah membuat segundukan api unggun, sementara itu Kalina juga sudah selesai menyembelih kelinci itu dan membeset kulitnya dengan bersih dengan sepotong kayu ia tusuk tubuh kelinci, lalu dipanggang di atas api unggun.
Tidak lama kemudian, kelinci panggang itu pun sudah masuk dan mengeluarkan bau sedap.
Kalina memotong sebelah paha kelinci, dikeluarkan pula sebungkus kecil garam dan dibubuhkan pada paha kelinci panggang itu, habis itu baru disodorkan kepada Su-Kiam-eng, katanya dengan tertawa.
"Nan, silakan makan!"
"Hei, dari mana garam itu?"
Tanya Kiam-eng heran girang.
"Aku bawa dari rumah,"
Tutur Kalina tertawa.
"Untuk hidup di tengah rimba raya seperti ini garam adalah benda yang tidak boleh absen."
"Sebenarnya kami pun membawa garam yang cukup cuma bersama rangsum lain kemarin malam telah direbut musuh,"
Habis berkata, dengan lahap ia makan kelinci panggang itu. Kalina juga menyobek daging kelinci panggang itu dan dimakan sambil bertanya pula.
"Eh, begitu tinggi ilmu silatmu, siapa pula yang mampu merebut barangmu?"
"Mereka adalah para pemimpin Hoa-san-pai. Kong-tong-pai, Tiam-jong-pai dan Thai-kek-bun, mereka licik dan licin, pada waktu kami kelelahan sehabis membuat sebuah sampan, maka dengan leluasa mereka dapat merebut peta, rangsum dan sampan kami itu."
"Nona Ih itu sangat cantik bukan?"
Tanya Kalina dengan tertawa. Kiam-eng tersenyum kikuk.
"Ya, dia seorang nona yang sangat menyenangkan ...
"
"Aku kira dia pasti jauh lebih cantik dari padaku,"
Ucap Kalina.
"Tidak, kalian masing-masing mempunyai kelebihan sendiri-sendiri."
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat paha kelinci itu hampir habis dimakan anak muda itu, segera Kalina memotong lagi bagian paha kelinci yang lain dan disodorkan padanya, katanya pula.
"Di tengah suku bangsa kami, semua orang sama memuji kami kakak beradik sangat cantik. Namun aku merasa diriku sangat buruk muka."
Kiam-eng menerima paha kelinci panggang yang diberikan itu, selagi hendak menanggapi ucapan Kalina itu, tiba-tiba ada orang menukas tengah hutan bagian belakang sana.
"Hei, Su-siau-hiap, sisakan sedikit untuk kami!"
Suara orang rasanya seperti sudah dikenal, keruan Kiam-eng terkejut, cepat ia buang paha kelinci dan melolos pedang lalu membentak sambil menoleh.
"Siapa itu?"
Dari balik pohon sana segera muncul dua orang, kiranya Bok-tian dan Ni-kik-bu-siang, ke dua setan
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ jangkung dan pendek itu.
"Oo, kiranya kalian!"
Ucap Kiam-eng meski dalam hati merasa was-was. Dengan tubuhnya yang gemuk buntek si setan lempung melangkah maju dan menjawab dengan tertawa.
"Betul, memang kami adanya Su-siau-hiap merasa sangat di luar dugaan bukan?"
Sedapatnya Kiam-eng berlagak tenang, katanya dirimu tertawa.
"Betul sebab aku sangka kalian sudah pulang ke Tiong-goan."
Si setan lampung berdiri beberapa meter di sebelah sana, ucapnya.
"Setelah kami merasa tertipu, mana kami mau telan mentah-mentah dikerjai orang? Makanya kami putar kembali ke sini."
"Kalina memberikan sehelai peta palsu kepadaku, yang tertipu seharusnya kan diriku dan bukan kalian?"
Ujar Kiam-eng.
"Tidak, yang tertipu adalah kami berdua,"
Kata si setan lempung.
"Sebab pada waktu kami memberikan peta palsu itu, peta yang asli kan berada padamu, betul tidak?"
Tiba-tiba si setan kayu mendengus.
"Hm, buat apa banyak omong dengan dia, Lo-ji, lekas turun tangan saja!"
Si setan lempung mengangguk, katanya pula sambil menatap tajam pada Su-Kiam-eng.
"Nah bagaimana, kamu ingin peta atau ingin nyawa?"
Kiam-eng dapat melihat keadaan kedua lawan itu sudah penuh napsu membunuh meski kelihatannya mereka masih tersenyum simpul, ia pikir peta sendiri sudah diambil orang, buat apa mengadu dengan kedua setan ini, maka ia pun menjawab.
"Sudah tentu aku ingin nyawa saja."
"Jika begitu, serahkan petanya,"
Ujar si setan lempung dengan tertawa.
"Wah, kedatangan kalian agak lambat sedikit,"
Sahut Kiam-eng.
"Apabila kemarin malam kalian menyusul ke sini, tentu peta itu akan menjadi milik kalian."
"Kau bilang apa? Memangnya peta itu tidak berada lagi padamu?"
Tanya si setan lempung dengan melengak.
"Betul peta sudah direbut lari oleh ke tiga ketua Hoa-san, Tiam-jong dan Thai-kek-bun,"
Tutur Kiam-eng. Dengan sendirinya si setan lempung tidak mau percaya, jengeknya.
"Hehe, ke tiga ketua kentut busuk itu terhitung jagoan apa, masakah mereka mampu merebut barang dari tangan Su-siau-hiap?"
"Bicara tentang ilmu silat memang mereka jangan harap akan dapat merebut barangku. Tapi mereka mengerubutku pada saat kami tidak berdaya karena kelelahan habis kerja berat, maka dengan mudah peta itu dapat mereka rebut."
"Huh, jangan percaya kepada obrolannya, Lo-ji,"
Jengek si setan ukiran kayu dengan tak sabar.
"Sudahlah, turun tangan saja!"
Si setan lempung lantas menggulung lengan baju dan berucap.
"Nah, majulah, anak muda. Kami sudah berunding sebelum ini bahwa selanjutnya takkan percaya lagi kepada ocehanmu yang muluk-muluk, sudah menjadi keputusan kami, yaitu serahkan peta dan urusan pun selesai, kalau tidak, biarlah kita berkelahi saja."
"Untuk berkelahi masakah aku jeri kepadamu?"
Jawab Kiam eng.
"Soalnya, peta itu memang sudah tidak berada padaku lagi, untuk apa kita berdua pihak mesti membuang tenaga percuma?"
Si setan lempung terkekeh dua kali, mendadak sebelah tangan menyodok ke depan membawa angin pukulannya yang dahsyat, pada saat daun kering ikut berterbangan tersapu oleh angin pukulannya, serentak ia mendesak maju dan menghantam ke arah Su-Kiam-eng.
Cepat Kiam-eng menarik Kalina dan melompat mundur beberapa tindak, lalu berseru.
"He setan pendek tua bangka, cara bagaimana agar kau mau percaya peta itu tidak berada lagi padaku."
Kembali si setan lempung menghantam sambil terkekeh.
"Hehe, boleh tanggalkan pakaianmu dan aku geledah baru aku mau percaya."
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Kiam-eng menjadi gusar, ia rangkul dan bawa Kalina melompat mundur lagi, lalu ia lepaskan si nona, segera ia lolos pedang dan memapak musuh.
Maka terjadilah pertarungan seru antara seorang muda di tengah hutan lebar.
Meski kung-fu Kui-kok-ji-bu-siang tidak setinggi Sam-bi-sin-ong, namun bagi Su-Kiam-eng, pertarungan ini boleh dikatakan pertempuran paling sengit sejak dia berkecimpung di dunia kang-ouw.
Setelah bergebrak beberapa puluh jurus, lambat laun Kiam-eng terdesak mundur oleh tenaga pukulan si setan lempung yang dahsyat itu.
Kalau saja lawan tidak gentar juga terhadap ilmu pedang halilintar perguruannya tentu sejak tadi Kiam-eng, tidak mampu melawannya.
Dan karena rasa jeri si setan lempung itulah, maka seketika dia tidak dapat mengalahkan anak muda itu.
Melihat kawannya sukar memperoleh kemenangan dalam waktu singkat si setan kayu menjadi tidak sabar, segera ia menggeser ke tempat berdiri Kalina, tujuannya hendak menawan gadis itu untuk memaksa Su-Kiam-eng agar mau menyerah.
Melihat si setan kayu menuju ke arahnya apalagi wajah orang yang serupa hantu itu, keruan Kalina ketakutan, tanpa terasa ia menyurut mundur selangkah demi selangkah sambil berseru "Hei, kamu ...
kamu mau apa?"
Si setan kayu menyeringai seram, sekonyong-konyong sebelah tangannya meraih dan bermaksud mencengkeram pergelangan tangan si nona.
Dengan kepandaian si setan kayu yang tinggi itu, jangankan Kalina yang tidak mahir ilmu silat biarpun jago kelas tinggi juga pasti akan tertangkap olehnya.
Siapa tahu justru pada saat tangan si setan hampir menyentuh pergelangan tangan Kalina itu, tiba-tiba tubuh si nona menggeliat, serupa ditarik orang dari belakang, dengan cepat dapat menghindarkan cengkeraman si setan kayu itu.
Keruan setan kayu bersuara heran, selagi hendak mencengkeram pula, tahu-tahu Kalina sudah menyelinap ke balik sebatang pohon besar menyusul sesosok bayangan orang lantas berkelebat mendadak dari balik pohon muncul seorang kakek berambut putih.
Siapa lagi dia si kakek ini kalau bukan Sam-bi-sin-ong Pek-li-Pin.
Dengan sendirinya si setan kayu kenal kakek yang terkenal sebagai jago nomor lima di dunia itu.
Keruan ia terkejut dan berteriak aneh serentak ia melompat mundur dua-tiga meter sambil berseru.
"Ha, Pek-li-heng, engkau juga datang ke mari?"
Sam-bi-sin-ong terbahak-bahak.
"Percaya atau tidak terserah padamu, aku justru sudah datang dulu daripada kalian Kui-kok-ji-bu-siang."
Mendengar suara gelak tertawa Sam-bi-sin-ong itu barulah Su-Kiam-eng dan si setan lempung yang sedang bertempur dengan sengit itu tahu kedatangan tokoh persilatan lain, tanpa terasa mereka sama melompat mundur dan berpaling ke sana.
Sekali pandang yang diam-diam mengeluh tentu saja Su-Kiam-eng.
Apa yang dilakukan di Tiong-ciong tempo hari mustahil Sam-bi-sin-ong dan Cu-kat-Siong mau tinggal diam, sekarang mereka sudah menyusul tiba, akibatnya bagaimana sungguh tidak sulit untuk dibayangkan.
MISSING PAGES 42-43 nya kemudian.
"Jika kalian tidak gentar terhadap Yan-mo-tan ku, terpaksa aku tampilkan pembantu yang bukan kawanku."
"Siapa yang kau maksudkan? Apa barangkali tongkat kepala ular yang kau pegang itu?"
Tanya si setan lempung.
"Bukan,"
Sahut Sam-bi-sin-ong sambil menuding ke hutan di depan sana.
"Yang aku maksudkan adalah dia!"
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Waktu si setan lempung menoleh baru dilihatnya dari balik pohon sana perlahan muncul seorang kakek lain, siapa lagi dia kalau bukan rase tua Cu-kat-Siong. Keruan ia terkejut dan berseru kepada saudaranya.
"Hei, Lo-toa, bagaimana pandanganmu"
Si setan kayu mengangkat pundak, jawabnya.
"Biasanya saudaramu ini paling hormat dan kagum terhadap si rase tua Cu-kat-Siong sekarang kalau Cu-kat-heng sudah datang kemari, terpaksa kita harus mengalah dan mencari kesempatan lain lagi."
Habis berkata, ia memberi hormat kepada Sam-bi-sin-ong dan Lau-ho-li, lalu meloncat ke atas pohon dan melayang pergi secepat terbang.
Si setan lempung juga tidak mau bertempur jika tidak yakin akan menang, segera ia pun melompat ke atas dan dalam sekejap saja menghilang di tengah hutan.
Apa yang terjadi ini sungguh di luar dugaan Kiam-eng.
Semula ia sangka di antara Kui-kok-ji-bu-siang di suatu pihak dan Sam-bi-sin-ong serta Lau-ho-li di lain pihak pasti akan terjadi pertarungan, tentu dirinya akan sempat meloloskan diri.
Sekarang Ji-bu-siang ternyata kabur begitu saja tanpa bertempur, hal ini sungguh merupakan suatu akhiran yang paling buruk baginya.
Benar saja, melihat Ji-bu-siang yang senantiasa tertawa itu mendadak lenyap dan berubah menjadi dingin kaku, ia tatap Su-Kiam-eng dan mendengus.
"Nah, anak muda, susah juga kami menarikmu kian kemari!"
"Ah, masakah susah?"
Jawab Kiam-eng tersenyum.
"Yang jelas, aku kira kota emas itu bukanlah barang yang harus diperoleh kalian."
Memangnya kau kira siapa yang berhak mendapatkan kota emas itu?"
Jengek Sam-bi-sin-ong.
"Yaitu ribuan orang perempuan cacat yang tinggal di Li-hun-to itu,"
Tutur Kiam-eng.
"Mereka MISSING PAGES 46-47 itu, katanya kemudian dengan tertawa.
"Nona ini sangat molek, bukan?"
Kiam-eng tahu tujuan ucapan si kakek, dengan gusar ia menjawab.
"Ingat, kamu Sam-bi-sin-ong juga seorang tokoh yang terkemuka dan terhormat."
Sam-bi-sin-ong tertawa.
"Jangan kuatir, asalkan kau serahkan peta dan obat yang aku minta, tidak nanti aku bikin susah dia."
"Hm, peta sudah dirampas oleh para ketua Hoa-san-pai dan begundalnya, berulang-ulang hal ini sudah aku katakan, apakah kamu tuli?"
Dengus Kiam-eng.
"Jika begitu, biarlah aku geledah tubuhmu."
Sam-bi-sin-ong tetap ngotot. Watak Su-Kiam-eng cukup bandel, ia merasa tubuhnya digeledah orang adalah semacam penghinaan, maka ia menggeleng dan menjawab.
"Tidak, kalau berani boleh coba kita berkelahi saja."
"Huh, memangnya kau kira aku tidak mampu mengatasimu?"
Jengek Sam-bi-sin-ong.
"Aku yakin begitu,"
Ucap Kiam-eng.
"Betapapun kamu Sam-bi-sin-ong juga tidak banyak lebih hebat daripada Kui-kok-ji-bu-siang. Kalau tidak percaya boleh saja kita coba-coba."
"Haha, bagus, bagus!"
Sam-bi-sin-ong terbahak.
"Kamu sungguh anak muda yang tidak menghormati orang tua. Biarlah hari ini juga aku hajar adat padamu."
Begitu lenyap suaranya, tongkat kepala ular bergerak, langsung ia sodok ke arah Su-Kiam-eng.
Anak muda itu menyadari pertarungan ini sukar untuk menang, maka dia tidak merasa tegang dengan pedang melintang untuk menangkis segera ia geser ke samping, berbareng dengan gaya "Hwe-liong-tiam-cu"
Atau naga melingkar mencaplok mutiara, pedangnya kontan balas menusuk perut lawan.
Biarpun Sam-bi-sin-ong terhitung salah satu tokoh terkemuka dunia persilatan, namun ia pun tidak berani meremehkan kung-fu andalan Lok-cing-hui, maka ketika tusukan Su-Kiam-eng menyambar tiba, segera ia mengelak, tongkat ditarik menyusul lantas menyerampang kaki lawan.
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Kalau bicara tentang kepandaian sejati, paling-paling Su-Kiam-eng hanya sanggup bertahan 50 jurus saja.
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi setelah saling gebrak, dalam sekejap saja 70 jurus sudah lalu dan anak muda tetap belum ada tanda tanda akan kalah.
Dengan sendirinya hal ini membuat Lau-ho-li yang menonton di samping merasa terkesiap dan terheran-heran.
Rupanya setelah Su-Kiam-eng menyadari bukan tandingan Sam-bi-sin-ong, akhirnya dirinya pasti kalah, maka perasaannya tidak merasa tegang melainkan berubah sangat tenang dan bertarung secara santai, namun setiap jurusnya teratur rapi tanpa memberi titik lemah bagi lawan.
Sebab itulah lawan tangguh sebagai Sam-bi-sin-ong seketika sukar menaklukkan anak muda itu.
Sebaliknya makin lama makin dirasakan tidak enak oleh Sam-bi-sin-ong, ia pikir kalau dalam seratus jurus dirinya tidak dapat mengalahkan anak muda ini, bila kejadian ini tersiar ke dunia kang-ouw, maka gengsinya pasti akan runtuh habis-habisan.
Maka ketika sudah mendekati seratus jurus mendadak ia pergencar serangan, sekaligus ia melancarkan tujuh serangan tongkat maut.
Namun Su-Kiam-eng bertambah tangkas menghadapi serangan gentar itu, ia bersuit panjang, pedangnya berputar cepat, sekaligus ia pun menggunakan berbagai gerakan Sam-bi-sin-ong.
Akan tetapi pada tangkisan terakhir, lantaran gerak pedangnya kurang tepat, maka bagian bahu terserempet juga oleh musuh.
Keruan ia tergeliat dan cepat melompat mundur.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sam-bi-sin-ong, sambil mendesak maju jari tangan kiri lantas menutuk Ciang-bun-hiat bagian pinggang Kiam-eng.
Karena tidak sempat mengelak, Kiam-eng bersuara tertahan dan kontan roboh terjungkal.
Sam-bi-sin-ong seperti habis menyelesaikan satu tugas berat, ia menghela napas panjang, katanya terhadap Lau-ho-li dengan tersenyum getir.
"Tak tersangka bocah ini sedemikian hebat, dasar murid raja pedang, ternyata tidak bernama kosong."
"Betul,"
Jawab Lau-ho-li dengan tertawa.
"Bila bocah ini tidak dilenyapkan, tiga atau lima tahun lagi kita pasti akan terdesak ambles ke bawah."
Sam-bi-sin-ong melengong oleh ucapan itu.
"Maksudmu ..."
"Pek-li-heng kan orang pintar, masakah ingin meninggalkan bencana di kemudian hari?"
Tukas Lau-ho-li dengan terkekeh. Sam-bi-sin-ong menggeleng sembari menatap.
"Su-Kiam-eng yang menggeleng tak berkutik itu katanya.
"Tidak, aku mau berbuat hal seperti ini."
Lau-ho-li tersenyum licik, ucapnya.
"Apa alasan Pek-li-heng tidak mau membunuhnya."
"Tidak ada sakit hati atau dendam kesumat antara dia dan aku,"
Kata Sam-bi-sin-ong.
"Tapi apakah anak muda ini juga berpikir seperti dirimu?"
Tanya Lau-ho-li.
"Apalagi bocah ini pasti akan melaporkan apa yang terjadi sekarang ini kepada gurunya, dan bila kelak Lok-Cing-hui mencarimu, cara bagaimana akan kau beri penjelasan padanya?"
Sam-bi-sin-ong termenung dengan kening berkerenyit.
"Ya, urusan pada waktu itu tentu agak repot, cuma ... ah, peduli dia, lihat saja keadaan nantinya."
"Di sini sekarang hanya ada kita berdua, aku kira janganlah Pek-li-heng membuang kesempatan baik ini, kalau tidak, bahaya di kemudian tentu takkan habis-habis."
Mendadak Sam-bi-sin-ong tersenyum.
"Jika begitu, boleh engkau saja yang membereskan dia."
Terkesiap juga Lau-ho-li, katanya dengan tertawa kikuk.
"Hehe, kan sama saja Pek-li-heng yang turun tangan?"
"Tidak sama,"
Kata Sam-bi-sin-ong.
"Bila aku bunuh anak muda ini, tentu gurunya akan tahu, tatkala itu ... hehe, mungkin setengah bagian kota emas yang aku peroleh itu akan jatuh keseluruhannya di tanganmu si rase tua ini."
KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Lau-ho-li tampak kurang senang oleh olok-olok itu.
"Cara begini bicara Pek-li-heng, apakah karena kau kuatir akan aku laporkan kejadian ini kepada Lok-Cing-hui."
"Betul, aku cukup kenal kepribadianmu si tua ini."
"Ai, padahal sekarang kita sudah sepakat bekerja sama dan bersekutu sehidup semati. Tak sangka Pekli-heng masih saja tetap tidak percaya padaku. Sungguh harus disesalkan."
"Tidak sulit bila ingin aku percaya padamu,"
Dengus Sam-bi-sin-ong.
"Sekarang juga boleh kau turun tangan membunuh Su-Kiam-eng ini dan seterusnya pasti aku percaya penuh padamu."
"Tidak, kalau Pek-li-heng tidak percaya padaku, ada ubi ada talas, dengan sendirinya aku pun tidak percaya padamu,"
Jawab Lau-ho-li sambil menggeleng.
Sam-bi-sin-ong terbahak dan segera berjongkok untuk menggeledah tubuh Su-Kiam-eng.
Sampai sekarang ia tetap masih mengira peti dan obat masih berada pada anak muda itu, sebab itulah setelah sekujur badan Kiam-eng digeledah seluruhnya dan tidak menemukan barang yang diharapkannya, seketika air mukanya berubah hebat.
"Wah, peta dan obat ternyata benar tidak berada pada bocah ini lagi,"
Katanya dengan kecewa. Lau-ho-li juga merasa tidak terduga, ucapnya bingung.
"Oo, jangan-jangan memang benar telah di bawa lari ke tiga ketua Hoa-san-pai dan lain-lain."
Sam-bi-sin-ong mendengus perlahan, sorot matanya beralih ke arah Kalina yang menggeleng di tanah itu dan bertanya.
"Apakah juga sudah kau geledah tubuh anak dara itu?"
"Sudah, juga tidak menemukan apa pun,"
Jawab Lau-ho-li. Langsung Sam-bi-sin-ong menjambret baju dada Su-Kiam-eng dengan marah, bentaknya.
"Ayo lekas katakan, peta dan obat telah kau sembunyikan di mana? Hiat-to kelumpuhan Kiam-eng tertutuk hingga tak bisa berkutik, namun pikirannya masih jernih mulut dapat bicara, segera ia mendengus.
"Hm, bukankah tadi sudah aku katakan,"
"Omong kosong!"
Teriak Sam-bi-sin-ong.
"Maka ke tiga ketua ciang-bun-jin apa segala mampu merampas peta dan obat dari tanganmu?"
"Hal ini kan tadi juga sudah aku jelaskan?"
Ucap Kiam-eng tak acuh. Dengan gemas Sam-bi-sin-ong mengentakan tubuh Kiam-eng, tanyanya pula.
"Kapan mereka merampas peta dan obat darimu?"
"Kemarin malam!"
Jawab Kiam-eng.
"Mengapa tidak kau kejar mereka?"
Tanya Sam-bi-sin-ong pula.
"Tidak dapat aku susul mereka, sebab mereka membawa lari sebuah sampan kecil yang baru saja kami bikin ..."
Sam-bi-sin-ong berdiri, ia terdiam sebentar, tanya lagi.
"Nona Ih yang semula datang bersama itu
Bulu Merak -- Gu Long Tiga Maha Besar -- Khu Lung Renjana Pendekar -- Khulung