Ceritasilat Novel Online

Rahasia 180 Patung Mas 5


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bagian 5


ia menyamar sebagai Peng-Tai-siu dengan sangat mirip.

   Menyusul ia lantas memakai baju dan sepatu Peng-Tai-siu, lalu tanyanya kepada Ih-Keh-ki dengan suara perlahan.

   "Coba lihat, mirip tidak?"

   Keh-ki mengangguk tersenyum.

   "Ehm, cukup mirip. Hari pun sudah gelap, tentu sukar dikenali lagi."

   Kiam-eng lantas menutuk hiat-to tidur Peng-Tai-siu dan mendorongnya ke kolong ranjang, lalu berkata.

   "Aku pergi sebentar boleh kau datang lagi."

   "Apakah perlu membawa rangsal?"

   Tanya Keh-ki. Kiam-eng mengangguk, baju sendiri dikeluarkan dan ditaruh di tempat tidur, katanya.

   "Coba tolong bebenah bagiku, taruh saja di kamarmu, setelah berhasil menyelamatkan orang segera kita berangkat."

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Habis bicara ia lantas meninggalkan kamar. Ketika sampai di halaman tengah segera kepergok si pelayan tadi. Dengan sendirinya pelayan itu tidak tahu "Peng-Tai-siu"

   Di depannya ini bukan Peng-Tai-siu asli si tukang kuda itu, ketika melihat Su-Kiam-eng, segera ia mencegatnya.

   "He, A-Peng ada urusan apa kamu dipanggil ke kamar tuan tamu sana?"

   Kiam-eng sengaja bisik-bisik di telinga si pelayan.

   "Ia tanya padaku bilakah kuda betina paling aman dikawinkan agar bisa segera hamil."

   "Haha, aku kira urusan apa, rupanya tanya persoalan ini,"

   Seru si pelayan dengan tergelak.

   "Lalu bagaimana kau jawab?"

   Dengan tersenyum Kiam-eng berkata perlahan "Aku katakan padanya apabila kuda jantan sedang berahi, pada saat itulah paling mudah hamil bagi kuda betina."

   Si pelayan terpingkal-pingkal geli, katanya.

   "Hahaha, sialan, bisa saja kamu ...

   "

   "Mereka sudah makan kenyang yang lelaki lagi keluar berak lekas kamu bebenah meja makannya,"

   Ujar Kiam-eng sambil mendorong si pelayan, ia sendiri lantas tinggal pergi.

   Sekeluar hotel dan membelok ke gang kecil sebelah kanan baru puluhan langkah, benarlah terlihat sebuah pekarangan tempat parkir yang cukup luas.

   Pada saat itu terlihat dua buah kereta dan enam ekor kuda berada di situ, kedua ekor kuda di antaranya dengan sendirinya adalah kuda Kiam-eng dan Keh-ki.

   Setelah masuk ke halaman parkir, Kiam-eng melihat seorang kakek berusia 50-an berbaju hitam sedang berdiri di depan kuda putih miliknya itu, agaknya selagi menikmati kegagahan kuda perkasa itu.

   Kiam-eng tahu si kakek pasti salah satu di antara ke enam orang penumpang kereta segera ia mendekat ke sana dan menyapa dengan tersenyum "Ke dua ekor kuda ini sangat bagus bukan?"

   Si kakek menoleh, ia mengangguk dan tersenyum demi melihat "Peng-Tai-siu", jawabnya.

   "Betul, ke dua ekor kuda ini telah aku lihat dalam perjalanan siang tadi. Tak tersangka mereka pun bermalam di hotel kalian ini."

   "Tadi tuan tamu itu memberi pesan padaku agar merawat baik-baik kudanya, padahal tanpa dipesan juga pasti aku kerjakan tugasku dengan baik. Menghadapi kuda bagus sehebat ini masakah hamba berani sembarangan?"

   "Apa pekerjaan orang itu?"

   Tanya si kakek.

   "Tidak jelas melihat tampangnya, seperti seorang piau-su (tukang kawal barang),"

   Tutur Peng-Tai-siu palsu. Si kakek menunjuk kuda hitam dan berkata pula.

   "Dan siapa pemilik kuda hitam ini?"

   "Seorang nona cilik,"

   Jawab Peng-Tai-siu gadungan.

   "Konon adik pcrempuan tuan tamu seperti piau-su itu. Entah mengapa kedua kakak beradik seperti lagi bertengkar ..."

   "Betul siang tadi kami melihat si pemuda lebih dulu membedal kudanya ke depan, lalu si nona mengejarnya dengan cepat kemudian terjadi susul menyusul kuda tunggangan mereka pun satu hitam dan satu putih semuanya kuda perkasa, sungguh sangat mengagumkan ... Eh, mereka tinggal di suatu kamar atau dua kamar?"

   "Dua,"

   Jawab Kiam-eng alias Peng-Tai-siu gadungan.

   "Dari nada pembicaraannya mereka, aku yakin mereka pasti kakak beradik."

   Bicara sampai di sini ia coba ganti pokok pembicaraannya, ia tanya.

   "Eh, mengapa tuan belum masuk untuk istirahat?"

   "Ah, masih sore ..."

   "Silakan mengaso saja, jangan kuatir, hamba akan jaga di sini, tanggung takkan terjadi apa-apa"

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Tidak, kami berenam akan bergiliran jaga,"

   Ujar si kakek baju hitam.

   "Jika begitu, sampai kapan Tuan dinas jaga di sini?"

   Tanya Kiam-eng.

   "Selang setengah jam lagi akan giliranku untuk istirahat,"

   Tutur si kakek.

   "Apakah Tuan sudah makan?"

   Tanya Kiam-eng pula. Si kakek mengunjuk rasa sangsi, katanya.

   "Baru saja habis makan, bukankah kau lihat tadi?"

   Cepat Kiam-eng menukas.

   "Oya, hamba lupa ... Eh, mengapa tuan tamu itu pun datang kemari!"

   Waktu si kakek berpaling ke sana, secepat kilat Kiam-eng menyerangnya, dengan telak belakang kepala si kakek dipotongnya, menyusul ia tutuk pula hiat-to tidur orang, lalu menyeretnya ke lantai sebuah kandang kuda yang gelap dan kosong segera pula ia keluar dari situ dan mendekati kereta yang memuat peti mati.

   Pada saat itulah sesosok bayangan kecil menyelinap ke tengah halaman, melihat pendatang ini Ih-Keh-ki, dengan suara keras Kiam-eng menegur "Kau mau apa, nona?"

   "O, aku datang untuk menjenguk Naga Hitam ku, apakah sudah kau beri makan?"

   Jawab Ih-Keh-ki.

   "Sudah,"

   Jawab Kiam-eng alias Peng-Tai-siu palsu.

   "Cuma napsu makannya kurang baik, hanya sedikit saja yang dimakannya."

   Sesudah dekat Keh-ki lantas bertanya dengan suara tertahan.

   "Bagaimana, sudah berhasil?"

   "Beres!"

   Jawab Kiam-eng. Keh-ki memandang sekitarnya dan bertanya pula.

   "Di mana orangnya?"

   "Tidur di dalam sana!"

   Kiam-eng menunjuk kandang kuda yang gelap itu.

   "Jika begitu lekas menolong su-heng mu,"

   Desis Keh-ki sambil melompat ke arah kereta kuda.

   Sesudah keduanya mendekati kereta, dari depan seorang segera menerobos masuk ke dalam bak kereta, seorang lagi menerobos masuk dari belakang, mereka coba meraba peti mati dan terasa tutup peti terpantek dengan kuat, cuma di bawah tutup peti terdapat beberapa lubang kecil.

   Kiam-eng tahu itulah lubang hawa untuk napas orang di dalam peti.

   Segera ia tanya dengan mulut di dekat lubang hawa.

   "Hei, apakah yang di dalam peti ini Gak-su-heng?"

   Orang di dalam peti tidak menjawab.

   "Aku Su-Kiam-eng,"

   Desis Kiam-eng pula.

   "Apakah yang di dalam peti Gak-su-heng adanya?"

   Tetap tidak ada jawaban apa pun.

   "Tentu hiat-to bisunya tertutuk,"

   Ujar Keh-ki "Tidak perlu tanya lagi, buka saja tutup peti."

   Kiam-eng tahu urusan tidak boleh ayal segera ia pegang tutup peti dan bermaksud mengungkapnya sekuat tenaga. Siapa tahu pada saat itulah tiba tiba terdengar orang berseru di ujung pelataran sana.

   "Go-cek! Go-cek!"

   Tergetar hati Kiam-eng ia tidak tahu siapa yang dipanggil "Go-cek" (paman ke lima) cepat ia membisiki Ih-Keh-ki.

   "Lekas, ayo mengeluyur pergi dari depan sana!"

   Muka kereta itu menghadap ke dalam, maka ke dua orang lantas menerobos ke luar melalui depan kereta agar tidak kepergok pendatang itu.

   Ih-Keh-ki dapat bertindak cepat, sebelum di suruh lagi ia sudah melompat keluar kereta dan sembunyi di tempat gelap.

   Dalam pada itu terdengar orang lagi berseru.

   "Go-cek! Go-cek, di mana engkau?"

   Pendatang ini seorang lelaki kekar berusia 40-an, perawakan tinggi besar dan gagah sekali, namun

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ berdandan sebagai saudagar, cara berjalannya juga berlagak hampa tak bertenaga.

   Kiam-eng mengikuti jejak Ih-Keh-ki dan menerobos keluar kereta serta sembunyi di tempat gelap, lalu menggeser maju beberapa langkah.

   Kemudian tampil dan menegur.

   "Siapa itu?"

   Melihat "Peng-Tai-siu", lelaki kekar itu bertanya.

   "Eh, kawan, kau lihat ke mana perginya Go-cek kami tadi?"

   Kiam-eng menuding kereta dan berkata.

   "Apakah Tuan maksudkan paman tua yang menjaga peti mati itu ?"

   Lelaki kekar itu tampak sangsi dan menjawab.

   "Betul, ke mana dia?"

   "O, dia pergi berak,"

   Tutur Kiam-eng.

   "Ia memberitahukan padamu?"

   Tanya lelaki itu dengan pandangan tajam.

   "Betul, ia bilang mau berak dan hamba disuruh mewakilkan dia jaga sebentar dan orang luar dilarang mendekati kereta."

   "Sudah berapa lama ia pergi?"

   Tanya pula si lelaki kekar.

   "Baru saja, belum lama,"

   Jawab Kiam-eng. lelaki itu manggut-manggut, lalu bergumam sendiri.

   "Hm, mana boleh berlaku seceroboh itu, Go-cek sungguh terlalu gegabah, mau pergi kan harus memberitahukan lebih dulu ..."

   Dengan tertawa Kiam-eng menukas.

   "Padahal kan juga tidak menjadi soal, hanya sebuah peti layon saja dan bukan benda berharga segala, apa halangannya ditinggalkan pergi sebentar?"

   Lelaki itu tampak melengak, segera ia menjawab dengan tertawa.

   "Oya, betul juga ...

   "

   Sembari bicara ia terus melangkah mendekati kereta. Kiam-eng mengikut di belakangnya dan bertanya.

   "Apa barangkali Tuan ingin bicara apa-apa dengan paman tua tadi?"

   "Betul, ingin aku bicarakan sesuatu dengan dia ...

   "

   Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Jika Tuan tamu tidak dapat menunggu, katakan saja kepada hamba dan akan aku sampaikan padanya,"

   Ujar Kiam-eng.

   "O, tidak, biarlah aku tunggu dia di sini,"

   Kata lelaki itu.

   Sementara itu dia sudah sampai di belakang kereta ia singkap ujung tabir kereta dan melongok ke dalam sekejap pada saat ia menarik kembali kepalanya itulah segera Su-Kiam-eng memotong pula belakang kepala orang, kontan lelaki itu pun roboh.

   Cepat pula Kiam-eng menutuk hiat-to tidurnya dan diseretnya ke tempat gelap, lalu buru-buru ia menyusup lagi ke dalam kereta.

   Segera Kiam-eng bermaksud membuka tutup peti mati lagi sekuatnya ia angkat tutup peti sehingga menimbulkan suara keriat-keriut suara terlepasnya pantek akhirnya tutup peti mati itu dapat dibuka.

   Akan tetapi apa yang masuk dalam pandangannya, seketika membuat Su-Kiam-eng terkesiap.

   Sebab orang yang berada di dalam peti mati itu sama sekali bukan su-heng nya, yaitu Gak-Sik-lam melainkan seorang kakek yang berkaki dan bertangan lengkap.

   Usia si kakek antara 60-an, mukanya pucat dan pakaiannya rajin, tiada ubahnya serupa mayat yang didandani.

   Cuma kakek itu bukan mayat melainkan orang hidup, saat itu matanya lagi melotot dan menatap Kiam-eng dan Keh-ki dengan terkejut.

   Sejak mula Kiam-eng menyangka orang di dalam peti mati pasti sang su-heng Gak-Sik-lam, setelah diketahui bukan orang yang dicari, tentu saja Kiam-eng sangat kecewa dan duduk lemas serupa balon gembos, ia menghela napas panjang kesal.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Bahwa yang terisi di dalam peti mati bukan Gak-Sik-lam, namun seorang kakek disembunyikan dalam peti mati, hal ini pasti merupakan suatu rahasia besar yang tidak boleh diketahui orang luar.

   Sebab itulah Keh-ki lantas tanya lebih dulu.

   "Eh, pak tua, engkau ini siapa? Mengapa ditaruh di dalam peti mati oleh mereka?"

   Si kakek tidak menjawab, air mukanya juga kaku tanpa emosi, hanya sorot kedua matanya menampilkan rasa heran dan kaget. Karena orang tidak menjawab, Keh-ki bertanya pula.

   "Hei, pak tua, mengapa engkau tidak bicara?"

   Dan melihat si kakek tetap tiada gerak hendak buka mulut kembali Keh-ki berkata.

   "Jangan kuatir lekas kau ceritakan seluk-beluk urusanmu kepada kami, tentu akan kami tolong dirimu."

   Namun si kakek tetap saja diam.

   "Ai, kan sudah kau katakan hiat-to bisunya tertutuk, kenapa kau sendiri lupa?"

   Ujar Kiam-eng. Baru Keh-ki menyadari urusannya, cepat ia membuka hiat-to bisu si kakek dan berkata pula.

   "Nah, sudah baik sekarang, lekaslah bicara!"

   Si kakek menghembus napas perlahan, lalu buka mulut.

   "Dan hiat-to kelumpuhanku belum lagi dibuka, harap nona menolongku sekalian."

   Segera Keh-ki hendak membuka pula hiat-to kelumpuhan orang, namun mendadak Su-Kiam-eng mencegahnya dan berkata.

   "Nanti dulu, tanya dulu sejelasnya baru menolongnya kan belum lagi terlambat."

   "Sebab apa?"

   Tanya Keh-ki dengan melengong. Perlahan sorot mata Su-Kiam-eng berpindah ke muka si kakek, jengeknya.

   "Mereka menutuk hiat-to kelumpuhan kakek ini, jelas memandang si kakek memiliki kung-fu yang tinggi. Sekarang aku tanya lebih dulu, siapakah nama Lo-tiang (pak tua) yang terhormat?"

   Air muka si kakek tetap kaku tanpa emosi namun dapat bersuara, ucapnya dengan tersenyum kecut.

   "Tadi aku dengar kamu mengaku sebagai Su-Kiam-eng, bilamana kamu benar Su-Kiam-eng adanya, seharusnya kau kenal suaraku."

   Tergetar hati Kiam-eng, tanyanya dengan tatapan tajam.

   "Eh, Lo-tiang kenal diriku?"

   "Tentu saja aku kenal,"

   Ujar si kakek dengan menyengir.

   "Sudah dua kali kamu menyamar sebagai diriku, masakah aku tidak kenal lagi akan dirimu?"

   "Hah, jadi engkau ... engkau ini Sim-lo-cian-pwe?"

   Tanya Kiam-eng terkejut.

   "Betul masakah tidak kau lihat mereka memasang selapis kedok pada wajahku?"

   Kata si kakek. Dalam kegelapan memang Kiam-eng tidak memperhatikan wajah orang, cepat ia membuka hiat-to kelumpuhan si kakek sembari bertanya.

   "Siapa mereka itu? Mengapa Lo-cian-pwe bisa jatuh dalam cengkeraman mereka?"

   Si kakek Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho masih tetap berbaring tanpa bergerak, tuturnya.

   "Siapa mereka itu sampai saat ini pun aku sendiri belum lagi jelas. Mengenai maksud tujuan mereka menculik diriku, jelas karena ingin mencari kota emas misterius itu. Apa yang terjadi dan aku alami tidak dapat aku jelaskan dalam waktu singkat, sekarang harus kita siap menghadapi musuh lebih dulu Kung-fu ke enam lawan rata-rata sangat tinggi seorang yang baru kau robohkan itu berbaju hijau bukan?"

   "Bukan ia pakai baju hitam, serupa si kakek pertama tadi,"

   Jawab Kiam-eng.

   "Jika begitu, orang yang berbaju hijau adalah pemimpin nya, bisa jadi dia yang membawa peta kota emas itu,"

   Tutur Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho "Sekarang, lekas kau tutup kembali peti mati ia lalu ke dua orang kau hantam pingsan itu diseret ke pelataran sana, kemudian berteriak-teriak untuk memancing kedatangan mereka.

   Dengan begitu akan dapat aku robohkan orang yang menjadi pemimpin mereka itu di luar dugaan mereka."

   Kiam-eng masih ingin tanya lagi, tapi Sim-Tiong-ho lantas mendesaknya agar lekas mengerjakan pesannya tadi. Kiam-eng pikir memang benar lebih penting menghadapi musuh lebih dulu, maka cepat ia

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ tutup peti mati itu sesuai perintah Sim-Tiong-ho, paku pantek ditancapkan lagi, lalu desisnya kepada Ih-Keh-ki.

   "Nona Ih, lekas sembunyi, nanti kalau serangan Sim-lo-cian-pwe sudah berhasil baru boleh kau keluar!"

   Keh-ki merasa perangkap ini cukup menarik dan menyenangkan, dengan tertawa ia mengiakan dan melompat ke luar kereta bersembunyi di tempat gelap.

   Kiam-eng juga melompat ke luar kereta, diseretnya si kakek baju hitam dan lelaki kekar tadi tengah pelataran, melihat Keh-ki sudah sembunyi dengan baik, lalu ia berteriak-teriak.

   "Wah, celaka! Ada maling! Maling! Lekas tangkap pembunuh! Ada pembunuh!"

   Karena gemboran ini, para tamu hotel dan penduduk sekitar hotel sama terkejut, serentak orang banyak sama memburu ke pelataran parkir ramai-ramai.

   Ketika semua orang sudah berkerumun di pelataran dan melihat di situ menggeletak dua sosok mayat, mereka sama mengira kedua orang itu mati menjadi korban keganasan si maling, banyak yang merasa takut sehingga mereka cuma menonton belaka tanpa ada yang berani mendekat.

   Tidak lama kemudian barulah sisa ke empat orang berpakaian berkabung dan menginap di hotel itu memburu tiba.

   Usia ke empat orang ini yang dua sebaya dengan lelaki kekar tadi, sama-sama setengah umur dua lagi lebih tua sedikit, kira-kira di atas 50-an.

   Seorang di antaranya berbaju hijau, wajahnya cerah, berdandan serupa seorang hartawan pedusunan.

   Namun sinar matanya berkilat, jelas seorang tokoh persilatan kelas tinggi.

   Begitu tiba dan melihat di situ menggeletak dua orang kawannya, seketika air muka si baju hijau ini berubah hebat, sorot matanya yang tajam laksana sinar kilat itu menyapu pandang sekejap ke arah penonton yang berkerumun itu lantaran tidak menemukan jejak musuh, segera ia pandang "Peng-Tai-siu"

   Dan menghardik.

   "Di mana malingnya!"

   Sekenanya Kiam-eng menuding rumah penduduk dan berkata.

   "Sudah lari ke sana! Sehabis merobohkan kedua tuan tamu ini segera maling itu lari ke arah kereta, ketika hamba berteriak teriak maling, dia hanya sempat memegang peti mati, lalu lari dan melompat ke atas rumah penduduk"

   Mendengar peti mati sempat dipegang si penyatron, air muka si kakek baju hijau tampak agak berubah, tanpa menghiraukan keadaan kedua kawannya yang menggeletak itu segera ia memburu ke tempat kereta yang bermuatan peti mati.

   Ke tiga kawannya yang lain juga ikut memburu ke sana tanpa memikirkan kawan yang menggeletak dan entah mati atau hidup itu.

   Segera si kakek baju hijau mendahului melompat ke atas kereta dan cepat membuka tutup peti mati.

   Ketika dilihatnya mata Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho yang terbujur di dalam peti mati itu terpejam dan kepala agak tergolek miring, dada pun bergerak naik turun dengan keras seperti terkena pukulan orang dari luar peti keruan ia terkejut dan kuatir cepat ia menjulurkan tangan dengan maksud mengangkat keluar Sim-Tiong-ho untuk diberi pertolongan.

   Di luar dugaan, mendadak sebelah kaki Sim-Tiong-ho mendepak dan tepat mengenai dada si kakek baju hijau.

   "Blang", kontan kakek baju hijau menjerit tertahan, darah segar pun tersembur dari mulutnya dan terguling di samping peti mati. Kedua lelaki setengah baya dan kakek satunya lagi sama sekali tidak menyangka Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho yang tertutuk hiat-to bisu dan kelumpuhannya itu mendadak dapat bergerak, bahkan menyerang. Tentu saja mereka terkejut. Melihat pemimpin mereka roboh terguling serentak mereka berteriak dan membentak, berbareng mereka menghantam Sim-Tiong-ho yang masih terbaring di dalam peti itu. Pada detik gawat itu, syukur Su-Kiam-eng pun bertindak, dari belakang mereka segera sebelah kakinya menendang dan sebelah tangan menghantam pinggang si kakek.

   "Blang, bluk", kedua lelaki setengah umur tersapu oleh kaki Kiam-eng hingga terjungkal. Si kakek juga terkena pukulan dan tergetar beberapa tindak ke samping. Akan tetapi mereka tidak terluka parah, dengan cepat mereka melompat bangun dan siap tempur pula. Tentu saja, ketika mereka mengenali lawan yang menyergap mereka ternyata "Peng-Tai-siu"

   Adanya mereka sama melongo dan tidak sanggup bersuara.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Sementara itu Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho sudah melompat bangun dari peti mati, Ih-Keh-ki yang sembunyi di tempat gelap juga melompat ke luar.

   Namun si kakek tidak memandang Sim-Tiong-ho dan Ih-Keh-ki, ia hanya menatap Su-Kiam-eng dengan terbelalak sambil membentak.

   "Engkau ini siapa?"

   Kiam-eng mengusap mukanya sehingga obat rias tersapu bersih, lalu menjawab dengan tertawa.

   "Cai-he Su-Kiam-eng adanya, Kiam-ho-Lok-Cing-hui adalah guruku!"

   Muka si kakek sebentar pucat sebentar hijau.

   Sorot matanya yang beringas berubah guram, lalu beringas lagi.

   Sekonyong-konyong ia berteriak murka, ke dua tangan terpentang bagai tangan iblis, langsung ia menerkam ke arah Su-Kiam-eng.

   Diam-diam Kiam-eng sudah siap tempur, ketika orang menerjang tiba, cepat ia menggeser ke kiri, berbareng sebelah tangan memotong ke pinggang lawan.

   Meski kung-fu Lok-Cing-hui terletak pada ilmu pedangnya, dalam hal ilmu pukulan juga cukup tangguh.

   Dengan sendirinya Su-Kiam-eng pun serba mahir berbagai kung-fu tersebut.

   Maka sekali dua serangan segera ia sudah merebut posisi mendahului.

   Namun kung-fu si kakek juga bukan jago rendahan, begitu diserang, ia tidak gugup dan juga tidak mengelak, ia hanya mendak sedikit berbareng tangan kanan balas memotong pergelangan tangan Su-Kiam-eng yang menyerangnya, malahan dua jari tangan kiri sekaligus digunakan menyolok mata Kiam-eng.

   Begitulah dalam sekejap terjadi pertarungan sengit antara seorang tua dan seorang muda.

   Setelah menyaksikan beberapa jurus serang menyerang mereka Sai-hoa-to manggut-manggut merasa lega, segera ia pun mendekati salah seorang lelaki setengah baya dan mendengus.

   "Hehe, kawan, sekian jauh menempuh perjalanan, sesungguhnya di manakah ibumu yang katanya sakit keras itu?"

   Orang itu tidak menjawab, mendadak ia lolos sebilah pedang lemas, secepat kilat ia mendahului menyerang.

   Pedang lemas itu dibuat dari baja asli, lemas serupa sabuk, kalau tidak digunakan dapat dililitkan sebagai tali pinggang pemakainya harus seorang yang memiliki lwe-kang tinggi kalau tidak tentu akan terluka sendiri.

   Sekarang orang itu dapat memainkan pedang lemas itu dengan sangat lincah, sekali menyendal, pedang lemas berubah lurus keras dari gerakan ini dapat diketahui orang ini pun pasti bukan jago rendahan.

   Meski Sai-hoa-to bertangan kosong, lantaran berhati welas asih dan suka menolong sesamanya sehingga dia tertipu dan tertawan, sudah setengah bulan ia terbaring di dalam peti mati, sudah sekian lama ia menahan rasa gemas, sekarang semangat tempurnya berkobar dengan hebat, mana dia gentar terhadap pedang lawan yang lemas itu.

   Ketika lawan mulai menyerang, ia tertawa panjang, dengan kung-fu tangan kosong melawan senjata tajam ia hadapi lelaki itu dengan tangkasnya.

   lelaki setengah baya lain bermuka tirus, segera ia pun melolos pedang lemas, maksudnya hendak mengerubut Sai-hoa-to, namun Keh-ki keburu membentaknya.

   "Hai, kamu kemari dulu!"

   Lelaki itu agaknya tidak menyangka Ih-Keh-ki adalah rombongan Su-Kiam-eng, ia menoleh oleh seruan si nona dan bertanya dengan bingung.

   "Kau mau apa?"

   Tangan kanan Ih-Keh-ki tersembunyi di belakang, tangan kiri menggapai, katanya dengan tertawa manis.

   "Engkau kemari dulu, ingin aku bicara denganmu!"

   Melihat seorang nona cantik tertawa dan bicara ramah padanya, lelaki itu mengira Keh-ki menaksirnya, dengan kikuk ia mendekatinya dan bertanya.

   "Nona ingin bicara apa?"

   "Engkau bernama siapa?"

   Tanya Keh-ki dengan tertawa. lelaki muka tirus itu, menjawab.

   "Cai-he Kim-ci-pa (si macan tutul) Tong-hong-Beng, ada keperluan apa nona tanya namaku?"

   "Pedang lemas yang kau pegang itu tampaknya sangat bagus, cuma tidak tahu bisa digunakan atau tidak?"

   Ujar Keh-ki.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Kenapa tidak bisa digunakan? Apakah nona ingin mencobanya?"

   Kata Tong-hong-Beng.

   "Betul, aku memang tertarik kepada pedangmu,"

   Sahut Keh-ki.

   "Aku dengar Tok-pi-sin-kun (si malaikat sakti tangan satu) Pau-Thian-bun dari Thian-ti di Hun-lam sangat lihai dengan Pan-liong-kiam-hoat nya, aku justru ingin belajar kenal!"

   Habis berkata, secepat kilat Keh-ki melolos pedang yang disandangnya dan menyabet ke depan.

   Kim-ci-pa Tong-hong-Beng tidak menyangka si nona juga salah seorang lawan, terlebih tidak mengira begitu melihat senjata sendiri lantas dapat menyebut asal-usulnya.

   Keruan ia terkejut dan cepat melompat mundur.

   Walaupun cukup cepat lompatan mundurnya namun kung-fu andalan Ih-Keh-ki tidak memberi kesempatan menghindar baginya, terdengar suara "crit", lengan baju kanan Tong-hong-Beng tertusuk robek.

   Kembali Tong-hong-Beng terkejut dan melompat mundur lagi beberapa langkah, damprat dengan mendelik.

   "Budak busuk, kamu ini siapa?"

   Keh-ki menarik pula, dengusnya.

   "Hm, setelah rasakan kelihaian nona tentu kamu akan tahu sendiri, buat apa banyak bertanya?"

   Dengan sendirinya Tong-hong-Beng tidak mau dipandang lemah, sekali pedang lemas menyendal langsung ia menerjang maju.

   Ia pikir seorang nona cilik saja betapa tinggi kung-fu nya juga terbatas, cukup beberapa jurus saja satu dapat beres, siapa tahu setelah beradu senjata, makin lama makin terperanjat.

   
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika mendekati belasan jurus, mendadak ia menarik pedang dan melompat mundur, ucapnya dengan terkejut.

   "Nanti dulu! Kamu ini apanya Kiam-ong?"

   Keh-ki tertawa ngikik.

   "Anak murid Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun memang berpandangan tajam, nonamu bernama Pek-ih-sian-li Ih-Keh-ki, Kiam-ong adalah kakek guruku. Nah, mau apa?"

   Kim-ci-pa Tong-hong-Beng tambah tercengang, katanya.

   "Guruku dan kakek gurumu tidak pernah bermusuhan apa pun, mengapa sekarang nona ikut campur urusanku?"

   Kiranya Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun di provinsi Hun-lam juga terhitung tokoh kelas satu dunia persilatan jaman ini, pada pertandingan besar dahulu untuk menentukan urut-urutan tokoh, dengan pedang Poan-liong-kiam andalannya telah mengalahkan belasan jago pedang daerah Tiong-goan akhirnya ia berhadapan dengan Kiam-ho-Lok Cing-hui, terjadi pertarungan seru dari pagi hingga sore, alhasil Lok-Cing-hui menangkan satu jurus.

   Para tokoh yang hadir menyaksikan pertarungan pada waktu itu sama mempunyai suatu perasaan, yaitu bilamana Pau-Thian-bun tidak buntung sebelah tangannya, hasil dari pertandingan itu mungkin takkan diraih oleh Lok-Cing-hui.

   Walaupun begitu, sebagian besar tokoh dunia persilatan sama gembira karena Lok-Cing-hui dapat mengalahkan Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun, soalnya Pau-Thian-bun dikenal sebagai tokoh iblis besar berhati keji yang dibenci orang persilatan juga jahanam pengganggu kaum wanita yang ditakuti kaum hawa itu.

   Konon apabila dia penujui seorang nona, tidak peduli apa pun asal-usul dan kedudukan si nona tetap dia akan berdaya mendapatkannya.

   Sebab itulah tidak sedikit jumlah nona baik-baik yang pernah dinodai olehnya.

   Tapi lantaran ilmu silatnya sangat tinggi, anak muridnya juga banyak, maka tokoh terkemuka seperti Kiam-ong dan Kiam-ho juga merasa sungkan padanya.

   Dengan sendirinya, kebalikannya Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun juga cukup jeri terhadap Kiam-ong dan Kiam-ho, maka sering dia memperingatkan anak muridnya agar jangan bentrok dengan anak murid kedua tokoh tertinggi tersebut.

   Karena itulah ketika Kim-ci-pa Tong-hong-Beng mengetahui Ih-Keh-ki adalah cucu murid Kiam-ong Ciong-Li-cin, seketika ia menjadi ragu, sebab ia harus mempertimbangkan kemungkinan akibatnya.

   Sebab perguruannya sudah cekcok dengan Kiam-ho-Lok-Cing-hui jika sekarang cekcok lagi dengan Kiam-ong dan anak muridnya apabila Kiam-ho dan Kiam-ong bergabung datang minta pertanggung jawabannya, lalu cara bagaimana pihaknya akan menghadapinya.

   Bilamana dia merasa sangsi dan ragu, Ih-Keh-ki justru tidak perlu banyak pikir, ia tuding Su-Kiam-eng yang sedang menempur si kakek, katanya dengan tertawa.

   "Biar aku katakan padamu, aku datang untuk

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ membantu dia."

   Kim-ci-pa Tong-hong-Beng adalah murid kesayangan Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun, ilmu pedangnya sudah mewarisi segenap kepandaian sang guru, andaikan tidak lebih kuat daripada Ih-Keh-ki, sedikitnya juga pasti lebih ulet daripada si nona.

   Sebab itulah ia tidak merasa jeri terhadap Keh-ki, maka ia balas mendengus melihat sikap Keh-ki yang meremehkan dia.

   "Hehe, jadi maksud nona sengaja hendak mencari perkara terhadap Thian-ti-pai kami?"

   "Boleh juga dikatakan demikian,"

   Ujar Keh-ki dengan tertawa.

   "Apa pun kakek guru kami kan tokoh nomor satu di dunia, memangnya perlu takut terhadap gurumu?"

   "Hm, kamu harus ingat benar-benar terhadap ucapanmu ini,"

   Jengek Tong-hong-Beng.

   "Memangnya mau apa?"

   Jawab Keh-ki dengan sikap menghina.

   "Aku minta kamu ingat pihakmu yang lebih dulu mencari perkara padaku dan bukan kami yang mencari perkara padamu, cukup begitu saja,"

   Jengek Tong-hong-Beng.

   "Sudahlah, buat apa bicara bertele-tele, kau mau apa, silakan mulai saja,"

   Kata Keh-ki dengan ketus. Tong-hong-Beng tidak banyak omong lagi, segera ia menerjang maju, pedang lantas menebas sambil membentak.

   "Terima serangan ini!"

   Maka berlangsunglah pertarungan sengit.

   Pada saat itu di sebelah sana Su-Kiam-eng justru sudah berhasil, sekali hantam tepat mengenai dada si kakek sehingga lawan tumpah darah dan jatuh terkapar tak bangun lagi.

   Kakek itu juga murid Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun, meski usianya lebih tua daripada Tong-hong-Beng, tapi kung-fu nya bukan ajaran langsung sang guru melainkan belajar dari salah seorang pembantu kepercayaan gurunya jago kelas menengah seperti dia dengan sendirinya bukan tandingan Su-Kiam-eng.

   Setelah serangannya berhasil, waktu Kiam-eng memandang ke sana, dilihatnya Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho yang sedang menghadapi serangan gencar lelaki setengah baya itu rada-rada kewalahan, segera ia melompat ke sana dan berseru.

   "Silakan mundur dulu, Sim-lo-cian-pwe, biar aku bereskan bangsat ini!"

   Sebabnya Sim-Tiong-ho agak kewalahan menghadapi serangan lawan adalah karena dia bertangan kosong, ia pikir kalau Su-Kiam-eng juga bertangan kosong rasanya juga sukar mengalahkan musuh, maka cepat ia menjawab.

   "Tidak, hendaknya kau cari sebatang pedang dahulu!"

   Kiam-eng dapat melihat kung-fu yang dimainkan lelaki setengah umur itu adalah Poan-liong-kiam-hoat andalan Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun, ia pun menyadari bila bertangan kosong juga akan sukar mengalahkan lawan, maka cepat ia lari ke kamar Ih-Keh-ki untuk mengambil pedang sendiri, lalu lari kembali ke pelataran parkir dan berseru.

   "Silakan mundur, Sim-lo-cian-pwe, sekarang biar aku hadapi dia!"

   Saat itu Sim-Tiong-ho lagi tercecer dan berulang menghadapi serangan bahaya, melihat Su-Kiam-eng datang kembali dengan bersenjata, cepat ia melompat mundur agar digantikan oleh anak muda itu.

   Dengan pedang terhunus Kiam-eng memapak lelaki setengah umur itu, tanyanya dengan tersenyum.

   "Apakah Anda ini anak murid Tok-pi-sin-kun?"

   "Hm, memang betul,"

   Jengek orang itu.

   "Aku Pek-hui-hou (si harimau putih terbang) Ji-Liang."

   "Peta kepunyaan su-heng ku itu cara bagaimana diperoleh kalian?"

   Tanya Kiam-eng pula.

   "Cara bagaimana memperolehnya, aku kira hal tidak penting, yang paling penting adalah kami memang sudah mendapatkan peta itu,"

   Jawab Ji-Liang dengan tersenyum licik.

   Kiam-eng merasa jarak Thian-ti tidak jauh dari Mo-pan-san, bilamana peta wasiat itu jatuh ke tangan Tok-pi-sin-kun, mungkin sekali bukan direbut dari orang lain, tapi diperoleh dengan mencegat burung merpati sang su-heng yang dilepas pulang ke Tiong-goan itu.

   Apabila betul demikian, cacat badan sang su-heng bukan mustahil ada sangkut-pautnya dengan pihak Thian-ti-pai, maka ia mengajukan pertanyaan seperti tadi.

   Maka jawaban Ji-Liang yang mencurigakan itu menambah rasa sangsi Kiam-eng, dengan dingin ia

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ mengangguk.

   "Baik, boleh kita mulai!"

   Habis berkata, langsung pedangnya mendahului menusuk ulu hati lawan.

   Ilmu pedang andalan Kiam-ho-Lok-Cing-hui bernama "Peng-lui-kiam-hoat", ilmu pedang sambaran geledek, permainan pedang ini mengutamakan kekuatan sejati dan sejenis ilmu pedang yang mengutamakan kelincahan dan kegesitan.

   Dengan sendirinya Pek-hui-hou Ji-Liang cukup kenal kelihaian Peng-lui-kiam-hoat, maka ketika tusukan Su-Kiam-eng tiba, ia tidak berani meremehkannya dan menangkis dengan penuh perhatian dan segenap kepandaiannya.

   Begitulah terjadi pertarungan sengit, makin lama Kiam-eng makin tangkas.

   Bicara sejujurnya, sebenarnya Pan-liong-kiam-hoat Thian-ti-pai tidak kalah hebat daripada Peng-lui-kiam-hoat andalan Kiam-ho-Lok-Cing-hui, namun setelah berlangsung ratusan jurus, terlihatlah Peng-lui-kiam-hoat terlebih kuat dan Su-Kiam-eng sudah menduduki posisi tak terkalahkan.

   Hal ini ada dua sebab.

   Pertama, yang jahat tidak bisa lebih unggul dari yang baik.

   Ke dua, bakat Su-Kiam-eng memang lebih tinggi.

   Karena ke dua unsur itu, dengan sendirinya Pek-hui-hou Ji-Liang kelihatan jauh lebih lemah.

   Sekuatnya ia bertahan beberapa puluh jurus lagi, mendadak ia melompat jauh ke samping sambil berseru.

   "Lo-ji, ayolah kita pergi saja!"

   Belum lenyap suaranya segera ia mendahului lari ke luar pelataran parkir dan kabur dengan cepat.

   Melihat su-heng nya kabur, Kim-ci-pa Tong-hong-Beng yang sedang bertempur sengit melawan Ih-Keh-ki juga tidak berani terlibat lebih lama lagi, sekali melompat mundur, secepat terbang ia pun lari.

   Ih-Keh-ki suka menang, ia merasa kurang gemilang kalau lawan tidak langsung dijatuhkan olehnya, maka ketika melihat Kim-ci-pa melompat mundur, segera ia membentak dan memburu ke sana dengan maksud mencegahnya.

   Namun Kiam-eng keburu berteriak.

   "Tidak perlu dikejar lagi, nona Ih, kembalilah sini!"

   Keh-ki menahan gerak larinya dan berputar balik, dia memang seorang nona berwatak keras tapi sekarang dia mau menurut pada ucapan Su-Kiam-eng, sungguh suatu perubahan yang agak luar biasa. Sembari menyimpan kembali pedangnya, ia tanya dengan tertawa.

   "Ada apa? Tampaknya hatimu menjadi lunak terhadap anak murid Tok-pi-sin-kun?"

   "Bukan lunak melainkan kehendak ada tapi tenaga kurang,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Apa maksudmu? Memangnya engkau tidak mampu menawannya?"

   Tanya Keh-ki dengan melengak.

   "Betul,"

   Kiam-eng mengangguk.

   "Sebab jika pertarungan berlangsung lebih lama lagi, untuk menang memang tidak menjadi soal, untuk menawan mereka itulah yang sulit"

   "Tetapi kita kan dapat mengejar mereka, apabila mereka pun kehabisan tenaga, dengan mudah tentu dapat kita bekuk mereka,"

   Ujar Keh-ki. Kiam-eng tersenyum, ia tunjuk ke empat orang yang menggeletak itu dan berkata.

   "Kita juga harus membereskan ke empat musuh ini bukan?"

   Keh-ki pikir memang benar juga, maka tidak bicara pula.

   Segera Kiam-eng menyongsong ke tempat Sai-hoa-to, dilihatnya orang tua itu baru melompat ke luar dari kereta, ia tahu tujuan orang masuk ke dalam kereta tentu ingin menggeledah tubuh si kakek baju hijau apakah membawa peta kota emas atau tidak, sesudah dekat ia lantas tanya.

   "Ada tidak?"

   "Tidak ada,"

   Sai-hoa-to menggeleng.

   "semula aku sangka peta berada padanya..."

   "Tak mungkin peta itu dibawa olehnya melainkan pasti berada pada Tok-pi-sin-kun,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Tidak nanti ia berikan peta itu kepada muridnya untuk dibawa ke Tiong-goan untuk kemudian dibawa pulang lagi ke Thian-ti."

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Betul juga,"

   Kata Sai-hoa-to.

   "Tapi sebelum ini aku kan tidak tahu mereka ini anak murid Tok-pi-sin-kun?"

   Tengah mereka bicara, seorang pelayan hotel dengan gemetar ketakutan mendekat dan bertanya dengan kaget.

   "Apa ... apa yang terjadi, Tuan?"

   Melihat sekitarnya sudah berkerumun banyak orang, Kiam-eng tahu tidak leluasa lagi untuk bermalam di hotel, segera ia mengeluarkan beberapa tahil perak kepada pengurus hotel dan berkata.

   "Ah, tidak ada apa-apa, hanya urusan percekcokkan orang kang-ouw saja. Ini ongkos hotel kami, harap pelayan disuruh membawa kemari barang-barang kami, segera kami akan berangkat."

   Pengurus hotel menerima uang sebanyak itu dengan terima kasih tak habis-habis, lalu bertanya pula.

   "Dan di mana ... di mana itu Peng-Tai-siu si tukang kuda, Tuan tadi memanggilnya dan menyuruhnya ke mana?"

   "O, dia berada di kamarku, mungkin sudah hampir siuman,"

   Jawab Kiam-eng.

   "Ini, berikan padanya sedikit persen ini."

   Lalu Kiam-eng memberi lagi sedikit uang perak.

   Pengurus hotel tentu saja berharap orang-orang kang-ouw itu lekas pergi agar dia terbebas dari tanggung jawab, maka ia mengucapkan terima kasih pula dan cepat memberi perintah kepada pelayan agar membawakan barang-barang tetamunya ke situ.

   Dua pelayan mengiakan dan berlari pergi dengan cepat.

   Kiam-eng coba memeriksa keadaan luka beberapa musuh itu, diketahuinya si kakek berbaju hijau yang terkena tendangan Sai-hoa-to dan kakek berbaju hitam yang tumpah darah terkena pukulannya tadi terluka lebih parah, dua orang lainnya hanya terluka ringan saja dan tak berbahaya.

   "Sim-lo-cian-pwe,"

   Kata Kiam-eng.

   "Apakah mereka dapat disembuhkan?"

   "Dapat,"

   Jawab Sim-Tiong-ho.

   "Cuma, aku kira anak murid Tok-pi-sin-kun tidak ada harganya untuk disembuhkan."

   Namun Kiam-eng mempunyai pertimbangan lain, ia angkat ke empat musuh itu ke atas kereta, lalu berseru terhadap orang yang berkerumun itu.

   "Di mana kusir ke dua kereta ini?"

   Ke dua kusir kereta bercampur di antara orang banyak dan tidak berani memperlihatkan diri, kini mendengar seruan Su-Kiam-eng, terpaksa mereka tampil ke muka dan memberi hormat, katanya.

   "Tuan. sama sekali hamba berdua tidak ada hubungan apa pun dengan mereka kami cuma tukang kereta dari Ha-yang ..."

   "Lekas bangun,"

   Kata Kiam-eng.

   "Mulai sekarang biarlah kami yang menyewa tenaga kalian, asalkan kalian mengendarai kereta dengan baik, setibanya di tempat tujuan pasti akan kami beri hadiah besar."

   
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Biarpun enggan rasanya, namun kedua kusir itu tidak berani menolak, terpaksa mereka mengucapkan terima kasih dan berbangkit, lalu mengeluarkan kuda dari kandang dan siap untuk memberangkatkan kereta.

   Tidak lama kemudian pelayan pun datang membawa rangsal, Kiam-eng lantas berkata kepada Sai-hoa-to "Sim-lo-cian-pwe, bagaimana kalau kita berangkat saja sekarang dan boleh kita bicara lagi dalam perjalanan?"

   "Betul, setuju, marilah berangkat!"

   Jawab Sai-hoa-to sembari melompat ke dalam kereta.

   Kiam-eng dan Keh-ki juga lantas mencemplak ke atas kuda tunggangan masing-masing dan dibedal ke luar pekarangan hotel, malam-malam juga mereka meninggalkan kota.

   Kuda Kiam-eng mendahului lari ke depan.

   Beberapa li meninggalkan kota, tampaknya ke depan lagi hanya tanah ladang belaka dan tidak ada sesuatu tempat pondokan, segera anak muda itu putar balik dan berkata kepada Sai-hoa-to di dalam kereta.

   "Sim-lo-cian-pwe, tampaknya di depan tidak ada sesuatu kampung, marilah kita berhenti saja di bawah pepohonan yang rindang."

   "Baik, terserah saja kepadamu,"

   Jawab Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Segera Kiam-eng merintis ke depan lagi, beberapa li kemudian dilihatnya di tepi jalan ada sebidang hutan yang cukup baik untuk berteduh, segera ia suruh kusir kereta membelok ke tepi jalan.

   Sesudah kedua kereta berhenti di dalam hutan Kiam-eng menyusup ke dalam kereta untuk memeriksa keadaan luka kedua kakek.

   Agaknya Sai-hoa-to dapat meraba maksud tujuan Su-Kiam-eng, katanya dengan tertawa.

   "Tadi sudah aku bagi mereka sedikit obat luka dalam, aku yakin mereka takkan mati."

   "Sim-lo-cian-pwe bilang kakek berbaju hijau ini adalah pemimpin kelompok mereka, berdasarkan apa engkau menarik kesimpulan demikian?"

   Tanya Kiam-eng.

   "Setelah mereka menculik diriku, sepanjang perjalanan selalu kakek baju hijau ini yang memberi perintah terhadap mereka,"

   Tutur Sai-hoa-to.

   "Jika begitu, sangat mungkin kakek berbaju hijau ini adalah murid pertama Tok-pi-sin-kun yang bernama Jing-liong-ong Su-go-Hiong"

   Kata Kiam-eng.

   Jin-liong-ong Su-go-Hiong, si raja naga hijau, meski murid utama Tok-pi-sin-kun, namun nama sendiri sudah terkenal di dunia persilatan selama lebih 20 tahun, kung-fu nya tidak lebih rendah daripada Kui-kok-ji-bu-siang, malahan kejahatannya terkenal melebihi mereka, sebab itulah Sai--hoa-to merasa girang demi mendengar ucapan Kiam-eng itu, katanya.

   "Aha, jika begitu, secara tidak sengaja telah aku tangkap seekor naga jahat."

   Jika melulu bicara tentang ilmu silat, Sai-hoa-to jelas bukan tandingan Jing-liong-ong Su-go-Hiong, sebab itulah ia merasa serangannya tadi kalau tidak dilakukan secara mendadak sehingga berhasil, mungkin yang roboh dan tumpah darah bukan Su-go-Hiong melainkan ia sendiri.

   Kiam-eng berkata pula sambil menunjuk lelaki setengah baya yang tertutuk pingsan itu.

   "Yang paksa mereka tampil ke muka dan memberi yaitu Oh-tok-hong Ki-Se-ki, yang terkenal sebagai penjahat cabul suka merusak kaum wanita itu. Pada umumnya anak murid Tok-pi-sin-kun memang terkenal busuk dan sangat disegani orang kang-ouw, dengan sendirinya Sai-hoa-to juga pernah mendengar nama busuk Oh-tok-hong Ki-Se-ki, si kumbang hitam berbisa. Maka ia menggeleng kepala dan berkata.

   "Ah, untung kita menyergap mereka di luar dugaan dan berhasil merobohkan mereka, kalau tidak, bukan mustahil pihak kita yang akan kecundang dalam pertarungan tadi."

   Tiba-tiba Ih-Keh ki menunjuk kedua kakek berbaju hitam yang lain dan bertanya.

   "Dan siapa ke dua orang ini? Tampaknya kepandaian mereka jauh dibandingkan Kim-ci-pa Tong-hong-Beng dan Pek-hui-hou Ji-Liang ..."

   "Betul,"kata Kiam-eng,"ke dua orang ini mungkin cuma anak buah biasa Tok-pi-sin-kun. Setiap anak murid langsung Tok-pi-sin-kun pasti bersenjata pedang lemas, ke dua orang ini justru tidak ada.

   "Sebenarnya Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun itu mempunyai berapa orang murid?"

   Tanya Keh-ki pula.

   "Kabarnya berjumlah sembilan orang,"

   Tutur Kiam-eng.

   "Tapi di antaranya konon orang perempuan, semuanya tergolong tokoh lihai."

   Melihat ke dua kusir kereta berdiri melongo di bawah pohon sana, segera Sai-hoa-to berseru terhadap mereka.

   "Hai, lekas kalian mengeluarkan kereta, tidur saja di bawah pohon, malam ini tidak meneruskan perjalanan lagi."

   Dengan gugup kedua kusir itu mengiakan dan mengeluarkan jok kereta, mereka lantas berbaring di bawah pohon tanpa berani bicara lagi.

   "Kalian jangan kuatir, kami bukan orang jahat pasti takkan membikin susah kalian,"

   Kata Sai-hoa-to pula dengan tertawa. Sampai di sini ia menoleh dan tanya Ih-Keh-ki.

   "Apakah ayah nona adalah Hong-lui-kiam-hiap Ih-Kik-pin?"

   "Oo, Lo-cian-pwe kenal ayahku?"

   Jawab Keh-ki dengan mengangguk.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Meski belum kenal muka, namun siapa pun pasti kenal nama kebesaran Hong-lui-kiam-hiap,"

   Sai-hoa-to dengan tertawa. Lalu ia tanya Kiam-eng.

   "Cara bagaimana kalian bisa berkenalan."

   Kiam-eng lantas bercerita pengalamannya berjalan dengan Ih-Keh-ki, lalu menuturkan pula kisahnya sesudah diculik Hu-kui-ong Liong-Ih-kong dan seterusnya. Sai-hoa-to tidak habis heran oleh cerita anak muda itu, katanya.

   "Sungguh aneh, lantas siapakah orang yang memalsukan peta dan dijual kepada Hu-kui-ong itu? Apa maksud tujuannya dengan berbuat demikian?"

   "Tidak perlu disangsikan lagi, orang itu pasti anak buah To-pi-sin-kun,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Karena kuatir orang banyak akan datang ke belantara selatan untuk mencari kota emas, maka Tok-pi-sin-kun sengaja mengirim orang itu dengan membawa Peta palsu untuk dijual kepada Hu-kui-ong habis itu dia sengaja pula menyiarkan bahwa peta kota emas telah jatuh di tangan Hu-kui-ong, orang banyak dipancing agar mencari Hu-kui-ong untuk merebut peta pusaka, dengan begitu Tok-pi-sin-kun dapat mendahului menuju ke daerah selatan untuk mencari kota emas."

   Chapter 7. Rahasia 180 Patung Mas Sai-hoa-to merasa cerita Kiam-eng itu cukup masuk akal, katanya sambil mengangguk.

   "Ya, betul. Jadi selama ini kita sama tertipu oleh akal Tok-pi-sin-kun!"

   "Betul, sekarang peta palsu itu berada di tangan Kui-kok-ji-bu-siang, Li-hun-nio-nio dipaksa membawa mereka untuk mencari Sim-lo-cian-pwe, sekarang para tokoh Hoa-san-pai, Tiam-jong-pai, Thai-kek-bun dan lain-lain juga ikut menguntit dengan ketat dengan harapan akan dapat merebut peta itu."

   "Hahahaha, tak tersangka di dunia persilatan terdapat manusia keblingar sebanyak itu, aku kira akhirnya mereka bisa mampus semua gara-gara peta palsu itu,"

   Ucap Sai-hoa-to dengan tergelak.

   "Manusia mati karena harta burung binasa lantaran pangan,"

   Ujar Kiam-eng dengan gegetun.

   "Sejak rahasia Kota Emas tersiar di dunia persilatan hingga sekarang, sudah cukup banyak orang menjadi korban gara-gara ikut berebut peta itu. Namun masih banyak orang yang belum menyadarinya mereka tetap memandang emas terlebih penting daripada nyawa mereka, sungguh sukar untuk dimengerti ..."

   Setelah termenung sejenak, kemudian ia tanya Sai-hoa-to.

   "Dan mengapa Lo-cian-pwe bisa jatuh dalam cengkeraman mereka?"

   "Cukup panjang bila diceritakan,"

   Tutur Sai-hoa-to.

   "Tempo hari, setelah kau tinggalkan Bu-lim-teh-co dan mengunjungi gubukku, berturut-turut selama dua-tiga hari tidak aku lihat kemunculanmu di warung minum itu dengan menyamar diriku. Maka Wi-ho-Lo-jin menduga pasti terjadi sesuatu atas dirimu maka diam-diam bersama gurumu kami memeriksa keadaan gubukku dan diketahui kamu memang sudah tidak berada di situ lagi.

   "Lantaran kepergianmu tidak meninggalkan suatu pesan tertulis di gubuk itu sebagaimana telah kita atur, maka kami memastikan kamu diculik orang dengan kekerasan yang tak dapat kau lawan. Cuma kami yakin orang yang menculik dirimu itu tiada lain tujuannya hanya memaksamu membawanya ke daerah selatan sini untuk mencari harta karun, apa pun juga keselamatanmu tidak perlu dikuatirkan, maka kami pun tidak cemas bagimu.

   "Sejak itu, mau-tak-mau aku harus main sembunyi terlebih ketat, setiap hari aku sembunyi di dalam kamar dan main catur dengan gurumu. Selang beberapa hari pula, pada suatu petang hari, tiba-tiba warung minum kedatangan seorang setengah umur berwajah murung, dia mencari keterangan kepada Wi-ho-Lo-jin tentang jejakku, katanya ibunya sakit keras dan bermaksud memohon pertolongan tabib sakti Sim-Tiong-ho untuk mengobati sakit ibunya.

   "Orang itu menyamar seperti orang awam yang sama sekali tidak kenal ilmu silat, namun Wi-ho-Lo-jin tetap menjawab bahwa dia tidak tahu tempat tinggalku. Lain orang itu tanya Wi-ho-Lo-jin apakah Sai-hoa-to sering minum teh di warung itu. Wi-ho-Lo-jin mengiakan. Karena itulah orang itu menyatakan hendak menunggu kedatanganku di warung minum itu, sebelum menemui diriku dia tidak mau pulang ..."

   "Hm, orang itu ternyata cukup sabar juga, sehari aku tidak muncul, tiap hari dia tetap menunggu di warung minum itu. Berturut-turut tiga hari telah lalu, Wi-ho-Lo-jin lantas berunding denganku untuk tanya dulu di mana tempat tinggal orang, kemudian akan mengirim orang untuk menyelidikinya. Jika benar di rumahnya ada ibunya yang lagi sakit keras barulah dapat dipastikan dia, memang bukan orang

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ persilatan.

   "Jika begitu halnya barulah akan aku terima! undangannya untuk mengobati ibunya yang sakit. Aku setuju atas gagasan Wi-ho-Lo-jin itu. Maka Lo-jin lantas bicara iseng dengan orang itu dan memancing keterangannya. Orang itu mengaku tinggal di Teng-keh-kau, namanya Teng-Hian-an, bekerja sebagai penjual minyak dan macam-macam keterangan lain.

   "Wi-ho-Lo-jin merasa Teng-keh-kau terletak tidak jauh, diam-diam ia minta seorang kepercayaannya ke sana untuk menyelidiki orang she Teng itu. Hasilnya membuktikan bahwa di Teng-keh-kau memang betul ada seorang penjual minyak bernama Teng-Hin-an, malahan ibunya yang dikatakan sakit keras itu pun ditemukannya. Maka tanpa ragu aku ikut orang itu ke rumahnya untuk mengobati ibunya.

   "Sebelum berangkat malahan aku sudah menyamar dan Wi-ho-Lo-jin memberi penjelasan sekadarnya kepada orang itu apa alasannya aku menyamar. Setiba di tempat tinggal Teng-Hin-an hari pun sudah gelap. Setelah istirahat sekadarnya segera aku diundang Teng-Hin-an untuk memeriksa ibunya. Tanpa sangsi aku duduk di pinggir tempat tidur untuk memeriksa denyut nadi nenek yang sakit itu. Tapi siapa duga, hehe coba kau terka, apa yang terjadi kemudian?"

   Kiam-eng tertawa dan menjawab.

   "Mendadak nenek itu membalik tangannya dan berhasil mencengkeram urat nadimu?"

   "Hah, memang betul begitu,"

   Seru Sai-hoa-to.

   "Rupanya mereka sengaja mengatur perangkap licik begitu. Kemudian baru aku ketahui Teng-Hin-an memang betul ada, ibunya juga betul lagi sakit keras. Bedanya orang-orang tersebut yang ditemui orang kepercayaan Wi-ho-Lo-jin memang betul sebaliknya orang-orang yang aku temui palsu seluruhnya."

   "Hihi, tipu akal mereka itu sungguh sangat bagus!"

   Seru Keh-ki dengan tertawa.

   "Memang,"

   Ujar Sai-hoa-to.

   "Waktu itu aku tidak habis mengerti meski sudah memeras otak untuk memikirkannya entah cara bagaimana mereka mengetahui aku sembunyi di Bu-lim-teh-co, sampai malam ini barulah aku paham duduknya perkara. Rupanya mereka itu adalah anak murid Tok-pi-sin-kun. Kiranya peta pusaka yang diperebutkan antara Hu-kui-ong, Bu-lim-sam-koai, Li-hun-nio-nio Kui-kok-ji-bu-siang dan lain-lain, semua itu adalah sandiwara yang telah mereka atur. Pantas juga mereka mau meninggalkan dirimu yang menyamar sebagai Sai-hoa-to gadungan untuk dibekuk oleh Hu-kui-ong, namun diam-diam berusaha lagi menculik diriku Sai-hoa-to yang tulen ini."

   "Dan siapa pula nenek yang menyaru sebagai ibu yang sakit keras itu?"

   Tanya Su-Kiam-eng. Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho menuding si kakek baju hitam yang pertama dipukul pingsan oleh Su-Kiam-eng itu, tuturnya.

   "Samaran tua bangka ini. Waktu itu hari sudah gelap, di dalam kamar juga tidak ada lampu, maka aku kena dipukuli mereka.

   "Kemudian mereka lantas menyembunyikan lo-cian-pwe di dalam peti mati?"

   Tanya Kiam-eng pula.

   "Betul, sepanjang jalan mereka tidak bicara, selama itu juga tidak pernah memperlihatkan senjata khas mereka, yaitu pedang lemas, sebab itulah sejauh ini aku tidak tahu mereka adalah anak murid Tok-pi-sin-kun."

   "Dan sekarang semuanya menjadi jelas,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Akhirnya kita tahu bahwa peta kota emas itu berada di tangan Tok-pi-sin-kun. Ada niatku hendak memperalat ke empat orang ini untuk memaksa Tok-pi-sin-kun menyerahkan peta, entah jalan ini dapat ditempuh atau tidak?"

   "Aku kira rencanamu hanya akan sia-sia belaka, ujar Sai-hoa-to dengan menggoyang kepala.

   "Tok-pi-sin-kun pasti tidak mau menolong ke empat muridnya dengan melepaskan peta pusaka."

   "Betul."

   Tukas Ih-Keh-ki.

   "Menurut pendapatku, lebih baik bunuh saja ke empat orang ini dan segera kita berangkat ke Thian-ti, sedapatnya kita berusaha mencuri peta itu dari Tok-pi-sin-kun, aku kira cara ini lebih baik."

   "Bunuh ke empat orang ini? ..."

   Kiam-eng berkerenyit kening.

   "Ke empat orang ini bukan manusia baik-baik apa halangannya dibunuh saja?"

   Ujar Keh-ki. Kiam-eng merasa serba susah katanya.

   "Membunuh ke empat orang ini sebenarnya berarti menumpas

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ empat bibit bencana bagi dunia persilatan, kalau perlu mestinya dapat aku binasakan mereka sejak tadi.

   Tapi sekarang, aku rasa keadaan sudah berbeda, mereka tidak mampu melawan lagi bila dibunuh dalam keadaan begini rasanya rada-rada ..."

   "Betul, sekarang masih ada suatu cara lain,"

   Tukas Sai-hoa-to.

   "Jalan lain apa?"

   Tanya Kiam-eng.

   "Musnahkan ilmu silat mereka, lalu bebaskan mereka,"

   Sambung Sai-hoa-to.

   "Betul,"

   Seru Kiam-eng girang.

   "Punahkan ilmu silat mereka dan jadilah mereka orang cacat yang tak berguna serta selamanya tidak mampu berbuat kejahatan lagi."

   "Tapi sebelum kita kerjai mereka lebih dulu boleh kita minta pengakuan mereka,"

   Ujar Sai-hoa-to.

   Kiam-eng menyatakan setuju.

   Lebih dulu ia seret keluar Hek-tok-hong Ki-Se-ki, dibukanya hiat-to untuk menyadarkan dia, lalu menutuk pula hiat-to kelumpuhannya agar setelah siuman orang tidak dapat melawan.

   Tidak lama kemudian perlahan si kumbang hitam berbisa itu mulai siuman.

   Seperti diceritakan tadi, ia pingsan kena pukulan Su-Kiam-eng di bagian belakang kepala ketika ia baru masuk ke tempat parkir itu, maka dia tidak tahu segala apa yang terjadi.

   Setelah siuman sekarang, ketika melihat di depannya berdiri Sai-hoa-to dan Su-Kiam-eng bertiga, seketika air mukanya berubah, serunya kaget "Hei cara ...

   cara bagaimana aku ditawan kalian?"

   Kiam-eng tersenyum.

   "Coba kau pikir, sebelum kamu jatuh pingsan, apa yang sedang kau lakukan"

   Dengan bingung Ki-Se-ki menjawab.

   "Aku, aku... Ah, ingatlah aku. Waktu itu aku datang ke sini hendak mencari paman guru, Peng-Tai-siu yang menjaga tempat ini bilang paman guruku tidak berada di sini, kemudian ... kemudian aku pergi menjenguk peti mati di dalam kereta dan.. dan mendadak belakang kepalaku dipukul orang dan... Hm, jangan-jangan kamu inilah yang menyamar sebagai Peng-Tai-siu?"

   Kiam-eng tertawa.

   Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Betul. Apakah kau tahu aku ini siapa?"

   Ki se-ki coba mengamat-amati Sai-hoa-to dengan wajah heran, kejut dan bingung, tapi segera ia pun menyadari duduknya perkara, tiba-tiba ia menjawab dengan ketus.

   "Hm, sudah tentu aku tahu siapa kamu ini."

   "Sekarang kamu sudah jatuh dalam cengkeraman kami, kamu ingin hidup atau mati?"

   Tanya Kiam-eng.

   "Biarpun aku minta mati, apakah kamu Su-Kiam-eng berani membunuh aku?"

   Jengek Ki-Se-ki.

   "Memangnya kau kira aku tidak berani?"

   Kiam-eng menegas dengan tertawa.

   "Jika kau tahu siapa diriku, apakah kau berani."

   "Aku tahu kamu ini murid ke lima Tok-pi-sin-kun, namamu Ki-Se-ki alias Oh-tok-hong, betul tidak?"

   Potong Kiam-eng. Seketika air muka Oh-tok-hong berubah pucat.

   "Jadi ... jadi semuanya sudah kau ketahui?"

   "Betul,"

   Kiam-eng mengangguk.

   "Meski bagus akal main selundup kalian ini, namun sayang kalian bernasib sial."

   Seketika Oh-tok-hong merasa gelisah, tanyanya.

   "Dan di manakah ke tiga su-heng ku?"

   "Sudah mampus semua, tersisa kamu ini seorang,"

   Jawab Kiam-eng.

   "Apa betul?"

   "Kenapa tidak? Apakah kau kira aku perlu berdusta?"

   Oh-tok-hong mulai kelihatan ada maksud menyerang, ucapnya dengan lunak.

   "Baiklah, apa yang ingin kau ketahui?"

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Ada dua,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Pertama, peta yang dikirim su-heng ku melalui merpati pos itu cara bagaimana diperoleh gurumu? Ke dua, di mana gurumu menyimpan peta itu?"

   "Setelah aku katakan, apakah akan kau bebaskan diriku?"

   Tanya Oh-tok-hong.

   "Ya, cuma kamu harus mengaku dengan sejujurnya kalau tidak, nasibmu akan serupa Ke tiga su-heng mu, setelah merasakan siksaan baru binasa."

   Muka Oh-tok-hong berubah pucat, katanya.

   "Baik, akan aku katakan terus terang. Peta yang dikirim suheng mu dari wilayah selatan itu diperoleh kami secara tidak sengaja. Pada suatu hari, su-heng kami yang ke dua menemukan seekor merpati pos yang hinggap di atas pohon di dekat Thian-ti, pada kaki burung merpati terikat sebuah bumbung bambu kecil. Karena tertarik su-heng ku lantas membidik dan menangkap merpati pos itu.

   "Hasilnya ditemukan sehelai peta di dalam bumbung bambu dalam peta itu terlukis dengan jelas oleh suheng mu maka dapatlah kami ketahui bahwa dia menemukan sebuah kota emas purba di tengah hutan belukar pegunungan sana.

   "Setelah mendapatkan peta pusaka itu, dengan sendirinya guru kami ingin memilikinya sendiri. Tapi lantaran tanah pegunungan tempat kota emas itu diketahui banyak gas racun yang jahat kalau tidak pergi bersama seorang yang ahli menawarkan gas racun tentu sulit untuk mencapai tempat tujuan. Sebab itulah guru kami memerintahkan kami berempat bersama Ca dan Co berdua mencari tabib sakti Sim-Tiong-ho. Inilah seluk-beluk urusan ini bilamana ada yang dusta biarlah aku mati secara tidak layak."

   Lantaran dalam surat Gak-Sik-lam memang pernah menyatakan peta telah dikirimkan melalui merpati pos, maka Kiam-eng tidak sangsi terhadap keterangan Oh-tok-hong tentang peta itu diperoleh secara tidak sengaja. Segera ia tanya pula.

   "Lalu di mana gurumu menyimpan peta itu?"

   "Mungkin guru kami menyembunyikan peta itu di kamar tidurnya yang terkenal sebagai Soan-kiong,"

   Tutur Oh-tok-hong. Kening Su-Kiam-eng berkerenyit demi mendengar istilah "Soan-kiong"

   Atau istana putar. Pikirnya.

   "Ternyata tidak terlepas dari dugaanku. Tapi urusan menjadi agak sulit sekarang."

   Kiranya Soan-kiong atau istana putar yang terkenal itu adalah tempat berfoya-foya Tok-pi-sin-kun bersama anak muridnya, istana dibangun serupa istana raja, megah dan mewah.

   Banyak pesawat rahasia di dalam istana dan aneka macam gerak perubahannya, biarpun tokoh silat kelas wahid, kalau tidak paham seluk-beluk pesawat rahasia di dalam istana juga sukar menerobos ke dalam istana.

   Sudah lama Su-Kiam-eng mendengar cerita tentang keajaiban dan kelihaian istana putar itu, sejak mula juga dia kuatir kalau Tok-pi-sin-kun akan menyimpan peta pusaka di tengah istana rahasia itu.

   Dari keterangan Oh-tok-hong sekarang terbukti dugaannya itu memang benar, keruan diam-diam ia mengeluh.

   Setelah termenung sejenak, kemudian ia tanya lagi.

   "Kamu kan murid kesayangan Tok-pi-sin-kun aku kira kamu sangat apal terhadap seluk-beluk istana putar itu"

   "Tidak, sangat terbatas pengetahuanku mengenai istana itu,"

   Jawab Oh-tok-hong.

   "Selain guruku, rasanya tidak ada orang ke dua yang tahu jelas peralatan rahasia di dalam istana putar itu."

   "Hm, aku kira tidak masuk akal,"

   Jengek Kiam-eng.

   "Tapi sesungguhnya memang begitu,"

   Kata Oh-tok-hong.

   "Istana itu dibangun langsung oleh guruku, waktu itu kami belum lagi masuk ke perguruan, sejauh ini guru kami juga tidak pernah menceritakan seluk-beluk pesawat rahasia di dalam istana, cuma selama beberapa tahun kami sering keluar-masuk istana, maka kenal sekadarnya keadaan di sana."

   "Jika sekarang kamu dibebaskan pulang, dapatkah langsung kamu mendatangi kamar tidur gurumu di tengah istana putar itu?"

   Tanya Kiam-eng.

   "Tidak dapat. Selamanya Su-hu tidak pernah menerima kami di kamar tidurnya, pula letak kamar tidurnya juga berubah tempat setiap hari, biasanya guru menerima kami di ruang Cip-gi-tia (pendopo pertemuan besar), untuk masuk ke sana diperlukan pula perintahnya langsung."

   "Jika begitu, jadi kalian pun tidak dipercaya penuh oleh gurumu?"

   Tanya Kiam-eng.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Boleh juga dikatakan demikian,"

   Ujar Oh-tok-hong.

   "Su-hu kami memang berbeda daripada orang umumnya, beliau hanya menyuruh kami tunduk mutlak padanya, soal di dalam hati kami tidak menghormat dan tidak suka padanya, itu urusan lain dan tidak dipedulikannya."

   Kiam-eng tertawa dan berkata kepada Sai-hoa-to.

   "Sim-lo-cian-pwe, kau kira keterangannya dapat dipercaya atau tidak?"

   "Aku kira ada bagian yang tidak benar,"

   Ujar Sai-hoa-to. Kiam-eng lantas menjengek terhadap Oh-tok-hong.

   "Hm, apa barangkali kamu ingin mencicipi rasanya tersiksa baru mau bicara sejujurnya?"

   Muka Oh-tok-hong tampak pucat pasi, jawabnya dengan gusar.

   "Sialan! Sudah aku katakan sejujurnya, jika ada yang bohong, biarlah aku mati disambar geledek!"

   "Ya, sudahlah sekarang boleh kau katakan lagi tokoh-tokoh penting di bawah gurumu, habis itu dapatlah aku lepaskanmu pulang,"

   Ujar Su-Kiam-eng.

   "Selain kami ber sembilan saudara seperguruan yang ikut, di samping guruku ada lagi Thian-ti-it-koai Pau-Hai-san dan Tok-po-po Biau-Kim-ki, ditambah lagi Hiat-pit-kui-su Oh Bun-an ..."

   Ia menuturkan semua anak buah gurunya, seakan-akan kalau Su-Kiam-eng mau mengampuni jiwanya, maka setiap rahasia gurunya juga pasti akan diceritakannya.

   Kiam-eng mengingat dengan baik setiap keterangan Oh-tok-hong itu, akhirnya ia membelejeti pakaian orang sehingga tersisa baju dan celana dalam saja, habis itu dikeluarkannya belati untuk memotong otot tangan kanan dan otot kaki kiri.

   Oh-tok hong tidak menyangka Su-Kiam-eng akan membuatnya cacat baru kemudian dibebaskan, seketika ia sangat berduka, ratapnya.

   "Oo, alangkah kejinya kamu, Su-Kiam-eng!"

   "Hm, sedikit pun tidak keji,"

   Jengek Kiam-eng.

   "Manusia kotor dan rendah semacam dirimu ini, andaikan jatuh di tangan orang lain, bagaimana nasibmu tentu dapat kau bayangkan sendiri."

   Habis berucap ia buka hiat-to kelumpuhan orang dan membentaknya.

   "Nah, sekarang lekas enyah! Dengan sebelah tangan dan sebelah kaki tentu kamu masih dapat bergerak. Andaikan kau yakin gurumu masih mau menerima orang cacat seperti dirimu, maka bolehlah kau pulang saja ke Thian-ti."

   Terpaksa Oh-tok-hong menahan sakit pada lukanya, ia dapatkan sebatang ranting kayu untuk digunakan sebagai tongkat, lalu terpincang-pincang meninggalkan hutan itu. Sesudah Oh-tok-hong pergi jauh, dengan suara tertahan Sai-hoa-to tanya Kiam-eng.

   "Kau belejeti pakaiannya, apakah kau ingin menyamar sebagai dia untuk menyelundup ke Thian-ti?"

   Kiam-eng mengangguk.

   "Ya, memang begitulah maksudku."

   "Tindakan ini mungkin sangat berbahaya,"

   Ujar Sai-hoa-to dengan kening berkerenyit.

   "Tok-pi-sin-kun bukan orang yang mudah direcoki. Istana putarnya juga bukan sembarangan tempat yang dapat diterobos begitu saja, apabila ...

   "

   "Kalau tidak masuk sarang harimau cara bagaimana bisa memperoleh anak macan?"

   Tukas Kiam-eng dengan tersenyum. Setelah termenung sejenak, akhirnya Sai-hoa-to berkata.

   "Kan lebih baik aku saja yang pergi ke sana. Jika tiada bersama diriku toh dia takkan pergi ke selatan, maka dapat aku gunakan diriku untuk tawar menawar dengan dia."

   "Tidak, tadi Lo-cian-pwe sudah bergebrak dengan Pek-hui-hou Ji-Liang, tentu Tok-pi-sin-kun takkan percaya lagi kepada kesungguhan hati Lo-cian-pwe, maka lebih baik aku saja yang pergi ke sana dengan menyamar sebagai Oh-tok-hong, aku kira harapan untuk berhasil akan lebih besar."

   "Tapi cara bagaimana kau mampu masuk ke istananya yang hebat itu?"

   Tanya Sai-hoa-to.

   "Menurut pengakuan Oh-tok-hong tadi, biar pun anak murid Tok-pi-sin-kun juga diperlukan perintah langsungnya baru diperbolehkan masuk ke istana putar itu."

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Tapi ia pun mengatakan Tok-pi-sin-kun tidak pernah menerima anak muridnya di kamar tidur nya. Lalu cara bagaimana kamu dapat memasuki kamarnya untuk mencari peta?"

   "Biarlah aku lihat gelagatnya nanti untuk bertindak seperlunya,"

   Ujar Su-Kiam-eng.. Mungkin juga pada waktu aku dekati Tok-pi-sin-kun, secara di luar dugaan dapat aku atasi dia dan memaksanya menyerahkan peta."

   Sai-hoa-to tetap menggeleng tanda tidak setuju, katanya.

   "Namun tetap aku rasakan tindakan demikian terlampau besar risikonya ...

   "

   "Bila Lo-cian-pwe juga ingin pergi ke Thian-ti maka harus kita atur sedemikian rupa, yaitu pada saat Wan-pwe tertawan umpamanya, saat itulah baru Lo-cian-pwe menampilkan diri untuk bertemu dengan dia dan minta kebebasanku sebagai syarat imbalan membawa mereka ke hutan purba di selatan. Dengan begitu tentu keselamatanku pun akan terjamin."

   "Bagus juga cara ini,"

   Ujar Sai-hoa-to.

   "Cuma, cara bagaimana supaya aku tahu kamu tertawan musuh?"

   "Boleh kita gunakan batas waktu tiga hari,"

   Tutur Kiam-eng.

   "Selewatnya tiga hari dan Wan-pwe belum ke luar dari istana Tok-pi-sin-kun, itu menandakan aku telah ditawan mereka."

   "Baiklah, boleh kita coba,"

   Kata Sai-hoa-to.

   "Namun satu hal harus selalu kau ingat, Tok-pi-sin-kun adalah iblis yang membunuh orang tanpa berkedip. Bilamana asal-usulmu diketahui dan tertangkap, hendaknya cepat kau katakan kau datang bersamaku. Dengan begini tentu dia tidak berani membunuhmu.

   "Baik, akan aku ingat pesan Lo-cian-pwe ini,"

   Sahut Kiam-eng. Lalu Sai-hoa-to memandang Ih-Keh-ki dan bertanya.

   "Dan bagaimana dengan nona Ih?"

   "Setiba di dekat Thian-ti, kalau dia masuk istana Tok-pi-sin-kun dengan menyamar sebagai Oh-tok-hong, dengan sendirinya aku tinggal bersamamu,"

   Jawab Keh-ki. Sai-hoa-to menggeleng.

   "Tidak, lebih baik nona Ih pulang saja sekarang!"

   "He, ada apa?"

   Tanya Keh-ki kurang senang.

   "Lo-cian-pwe tidak suka padaku?"

   "Bukan begitu soalnya."

   Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jawab Sai-hoa-to.

   "Kamu ini putri kesayangan Hong-hun-kiam-hiap, apabila terjadi sesuatu halangan atas dirimu, wah, aku tidak berani bertanggung jawab."

   "Hmm, tampaknya aku perlu juga menulis suatu surat pernyataan suka rela padamu,"

   Ujar Keh-ki dengan tertawa.

   "Surat pernyataan apa maksudmu?"

   Tanya Sai-hoa-to bingung.

   "Sebab aku sudah menulis suatu surat pernyataan untuk dia,"

   Kata Keh-ki sambil menuding Kiam-eng. Sai-hoa-to tidak mengerti ia coba tanya Su-Kiam-eng.

   "Sesungguhnya bagaimana persoalannya?"

   "Begini,"

   Tutur Kiam-eng dengan tertawa "Tempo hari ketika ia tahu aku hendak pergi ke wilayah selatan, ia ribut dan minta ikut bersamaku.

   Aku bilang tidak berani menjamin keselamatannya.

   Lalu ia menulis sepucuk surat pernyataan untukku bilamana kelak harus berhadapan dengan ayahnya, supaya ayah ibunya tahu kepergiannya adalah atas kehendaknya sendiri dan tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku.

   Karena itulah terpaksa aku terima permintaannya untuk ikut serta."

   Sai-hoa-to tampak serba susah, katanya kemudian.

   "Ai, sebenarnya untuk apa kamu ikut menyerempet bahaya ke daerah purba di selatan sana."

   "Karena aku suka,"

   Ujar Keh-ki dengan tertawa.

   "Apakah kau kira hutan purba itu sangat menyenangkan?"

   Kata Sai-hoa-to.

   "Ai, sebenarnya tempat itu sangat berbahaya, setiba di sana tentu kamu akan tahu rasa ...

   "

   "Biarlah, sekalipun tempat itu berbentuk gunung berapi juga tetap aku mau pergi,"

   Kata Keh-ki cepat.

   "Jika begitu, aku pun minta diberi surat pernyataanmu,"

   Ujar Sai-hoa-to sambil mengangkat bahu.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Baik, pada waktu bermalam di hotel tentu akan aku berikan surat pernyataanku,"

   Kata Keh-ki dengan girang. Lalu Sai-hoa-to berkata kepada Su-Kiam-eng.

   "Masih ada persoalan ingin aku tanya padamu. Jika kamu harus menyamar sebagai Oh-tok-hong, apakah tidak kau kuatirkan Oh-tok-hong akan pulang ke Thian-ti dan membongkar rahasia penyamaran?"

   "Hal ini sudah aku pertimbangkan lebih dulu,"

   Sahut Kiam-eng.

   "Sekarang Oh-tok-hong sudah cacat, biarpun dia pulang ke Thian-ti juga sukar memperoleh kepercayaan Tok-pi-sin-kun, maka aku yakin dia takkan pulang lagi ke Thian-ti."

   "Hal ini sukar dipastikan,"

   Ujar Sai-hoa-to "Betapa kejinya Tok-pi-sin-kun masa tega membunuh lagi anak murid yang jelas sudah cacat?"

   "Ya, memang, tapi sekalipun Oh-tok-hong pulang ke Thian-ti, sekarang dia baru terluka dan memerlukan waktu untuk merawat lukanya itu, bilamana sembuh barulah dia dapat meneruskan perjalanan, dengan begitu sedikitnya memakan waktu belasan hari. Sebaliknya keberangkatanku menggunakan kuda cepat, sekalipun dia segera berangkat dengan menyewa kereta, sedikitnya aku akan sampai di tempat tujuan beberapa hari lebih dulu."

   Sai-hoa-to pikir uraian Su-Kiam-eng itu cukup beralasan, katanya kemudian.

   "Baiklah, jika begitu, ke tiga orang di dalam kereta itu pun boleh dibereskan sekalian."

   Segera Kiam-eng menyeret keluar si kakek baju hitam yang tertutuk pingsan itu, ia buka hiat-to nya dan menutuk pula membuatnya lumpuh. Tak lama kemudian kakek itu pun siuman dan membuka mata, lalu Kiam-eng tanya dengan tertawa.

   "Apakah kau kenal aku?"

   Kakek baju hitam itu adalah orang pertama yang disergapnya hingga pingsan maka dia tidak tahu segala apa yang terjadi kini setelah melihat jelas yang berdiri di depannya adalah Su-Kiam-eng yang anak murid Kiam-ho-Lok-Cing-hui dan Sai-hoa-to yang semula ditawan dan disembunyikan dalam peti mati itu, keruan dia terkejut tak terhingga dan menjerit kaget.

   "Hahh ... ka ... kalian ...

   "

   Ia hanya sanggup mengucapkan "kalian"

   Saja lalu terlongong-longong seakan-akan sangsi apakah dirinya bukan dalam mimpi.

   Untuk menguji apakah pengakuan Oh-tok-hong itu benar atau dusta, Kiam-eng memutuskan akan memeriksa juga dan mengorek keterangan si kakek baju hitam ini.

   Maka dengan tertawa ia berkata.

   "Mungkin sampai kini kau belum lagi jelas induknya perkara biarlah sekarang juga aku beritahukan padamu seluk-beluk apa yang terjadi. Dalam perjalanan tanpa sengaja kami menemui rahasia kalian maka aku lantas menyamar sebagai Peng-Tai-siu dan menyusup ke tempat parkir ini untuk merobohkan dirimu. Habis itu kalian ber enam juga dapat kami tawan satu per satu.

   "Tadi Oh-tok-hong ber empat sudah mengaku segala sesuatu yang mereka lakukan dan sesudah kami musnahkan kung-fu nya kini mereka sudah kami lepaskan. Kini tersisa dirimu yang terakhir. Jika, kau mau mati segera juga dapat aku kirim dirimu ke tempat nenek moyangmu. Bilamana kau ingin hidup maka kamu harus menjawab terus terang pertanyaanku. Nah, katakan sekarang, kau mau mati atau ingin hidup?"

   Ke dua mata si kakek baju hitam terbelalak serunya dengan bingung.

   "Hah, apa betul kami ber enam telah kalian tawan seluruhnya?"

   "Betul,"

   Kiam-eng mengangguk.

   "Nah, katakan, kamu she Ca atau she Coh?"

   "Coh,"

   Jawab si kakek.

   "Coh-Jian-po, itulah namaku."

   "Bagus, dan sekarang bagaimana keputusanmu, mau mati atau ingin hidup?"

   "Jika benar Oh-tok-hong ber empat sudah memberi pengakuan duduknya perkara, untuk apa pula aku banyak omong. Cuma, cara bagaimana supaya aku percaya pada apa yang kau katakan?"

   "Kamu tidak perlu sangsi, cukup percaya sepenuhnya saja,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Kan ke empat kawanku sudah memberi pengakuan yang sebenarnya, buat apa kau tanya lagi padaku?"

   "Aku suka kepada orang yang jujur, jika apa yang kau katakan sama dengan pengakuan mereka itu

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ menandakan kamu memang orang jujur dan segera akan aku bebaskan dirimu."

   Meski Coh-Jian-po ini bukan tokoh persilatan kelas wahid, tapi ia pun cukup berpengalaman urusan dunia kang-ouw, ia tahu apa yang diuraikan Su-Kiam-eng itu pasti ada sebagian tidak benar, tapi demi mencari selamat, ia memutuskan akan memberi pengakuan yang sebenarnya, maka jawabnya.

   "Baiklah, boleh kau tanya."

   "Pertama, mengenai peta pusaka, peta yang ditemukan su-heng ku itu, cara bagaimana bisa jatuh di tangan Tok-pi-sin kun?"

   Tanya Kiam-eng dengan tersenyum.

   "Peta itu didapatkan Ji-Liang di hutan dekat Thian-ti."

   Tutur Coh-Jian-po.

   "Secara kebetulan ia lihat seekor burung merpati hinggap di atas pohon pada kaki burung terikat sebuah bumbung bambu mini, ia tahu itulah merpati pos, maka burung itu ditimpuknya dengan batu dan ditangkapnya."

   Kiam-eng mengangguk dan bertanya pula.

   "Dan sekarang peta itu berada di mana?"

   "Kalau tidak selalu dibawa oleh Sin-kun kami tentu tersimpan di kamar tidurnya,"

   Tutur Coh-Jian-po.

   "Jawabanmu semuanya cocok,"

   Ujar Kiam-eng dengan tertawa sambil melolos belati.

   "Sekarang bolehlah aku beri jalan hidup bagimu."

   Coh-Jian-po mengira orang hendak membunuhnya, ia ketakutan hingga muka pucat, teriaknya "Tapi semua ...

   semua itu memang betul, aku tidak dusta.

   Apabila pengakuan mereka tidak sama dengan keteranganku, itu menandakan mereka lah yang bohong dan bukan ...

   diriku!"

   Kiam-eng tertawa.

   "Jangan cemas, aku cuma memusnahkan saja kung-fu mu dan tidak bermaksud membunuhmu."

   Habis berkata, langsung goloknya memotong urat kaki orang.

   Maka Coh-Jian-po pun menjadi orang cacat selamanya, dengan pincang ia pun pergi menerima nasib.

   Yang tersisa sekarang adalah Jing-liong-ong si kakek she Cah.

   Tanpa memeriksa mereka lagi segera Kiam-eng memusnahkan juga ilmu silat mereka dan melemparkan mereka di bawah pohon, lalu mendekati si kusir tua yang berjongkok di sana dengan gemetar itu, tanyanya.

   "Kalian sudah menerima ongkos sewa kereta belum?"

   Ke dua kusir kereta itu menyembah berulang-ulang dan menjawab dengan suara gemetar.

   "Ti ... tidak, belum ... cuma kami ini tidak berani minta lagi, kami hanya mohon ... mohon jiwa kami diampuni saja!"

   Kiam-eng mengeluarkan belasan tahil perak dan dilemparkan kepada mereka, ucapnya dengan tertawa.

   "Ambil dan bagilah uang perak ini, sekarang kalian boleh pergi atau mau bermalam dulu di sini boleh terserah kalian, kami sendiri segera akan pergi."

   Kedua kusir itu terkejut girang dan bingung, tanya mereka.

   "Jadi ... jadi benar Tuan sudi mengampuni jiwa kami?"

   "Aneh, kalian sudah sebegini tua, masakah masih tidak tahu urusan,"

   Kata Kiam-eng dengan kurang senang.

   Cepat kedua kusir tua itu menyembah lagi, lalu memungut belasan tahil perak pemberian Kiam-eng itu dan cepat berlari pergi untuk membenahi keretanya, kemudian menyelamatkan diri dengan girang.

   Kiam-eng lantas mengeluarkan alat rias dan diserahkan kepada Sai-hoa-to, katanya dengan tertawa.

   "Silakan Lo-cian-pwe menyaru sekadarnya, kalau tidak bilamana dalam perjalanan nanti kepergok orang-orang yang ingin rebut peta itu, bisa jadi mereka akan mengincar dirimu lagi."

   Sai-hoa-to sendiri juga menyadari dirinya sangat bernilai bagi orang persilatan sekarang, maka ia terima tawaran Kiam-eng itu dan mulai menyamar.

   Setiap tokoh dunia persilatan umumnya tidak asing terhadap ilmu rias, maka tidak seberapa lama selesailah Sai-hoa-to menyaru sebagai seorang kakek yang tidak menarik.

   Lalu ia membuat kotor bajunya, kedua lengan baju digulung pula, katanya dengan tertawa.

   "Coba lihat macam orang apa sekarang diriku ini?"

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Kiam-eng merasa tabib sakti sekarang lebih mirip seorang jongos, cuma dia tidak enak untuk bicara terus terang. Sebaliknya Keh-ki yang ceplas-ceplos itu lantas menanggapi dengan tergelak.

   "Haha, engkau mirip seorang jongos!"

   "Betul,"

   Kata Sai-hoa-to dengan tertawa.

   "Maka mulai malam ini jadilah diriku budak pribadi nona."

   Keh-ki jadi melengak malah, ucapnya dengan rikuh.

   "Ah, mana ... mana boleh jadi?"

   "Tidak apa,"

   Ujar Sai-hoa-to.

   "Kalau bicara tentang kung-fu, mungkin aku pun belum memenuhi syarat untuk menjadi jongosmu."

   "Begini saja,"

   Tukas Kiam-eng dengan tertawa. Di depan umum, bolehlah Lo-cian-pwe mengaku sebagai budaknya, tapi dalam hubungan pribadi Lo-cian-pwe adalah kakek angkatnya, dengan demikian kedua pihak sama-sama tidak dirugikan."

   "Boleh juga,"

   Kata Keh-ki dengan tertawa. Tapi sekarang masih kekurangan seekor kuda, lalu bagaimana baiknya?"

   "Biarlah besok jika kita melewati sesuatu kota bolehlah kita membeli kuda untuk Sim-lo-cian-pwe,"

   Ucap Kiam-eng. Lalu ia berpaling dan berkata kepada Sai-hoa-to.

   "Dari sini menuju ke Thian-ti kira-kira memerlukan berapa hari perjalanan?"

   "Kuda tunggangan kalian adalah kuda pilihan apabila perjalanan dilakukan secara biasa saja mungkin setengah bulan akan tiba di sana,"

   Jawab Sai-hoa-to.

   "Dan bagaimana bila menggunakan kuda biasa?"

   Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanya Kiam-eng pula.

   "Untuk itu diperlukan beberapa hari lebih lama,"

   Sahut si tabib sakti.

   "Jika demikian, biarlah aku berangkat lebih dulu, nanti setelah Lo-cian-pwe sudah membeli kuda bolehlah berangkat bersama nona Ih. dengan begitu, tiga-empat hari setelah aku tiba di Thian-ti tentu Lo-cianpwe berdua juga akan menyusul tiba."

   Diam-diam Keh-ki merasa gugup karena Kiam-eng menyatakan hendak berangkat lebih dulu, cepat ia berkata "Buat apa begitu? Apa salahnya kita bertiga berangkat bersama saja?"

   "Kalau berangkat bersama, bilamana Oh-tok-hong menyewa kereta dan pulang ke Thian-ti, tentu kita akan ketinggalan mencapai tempat tujuan,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Asalkan perjalanan kita dipercepat sedikit, masakah kita kuatir ketinggalan?"

   Kata Keh-ki.

   "Kudamu dapat diandalkan, tapi kuda yang akan dibeli untuk Sim-lo-cian-pwe apakah dapat mengikuti lari kudamu?"

   "Tapi bila perjalananmu terlampau cepat dan mendahului Ji-Liang dan Tong-hong-Bing, hal ini kan juga ganjil dan tidak masuk akal bukan?"

   Ujar Keh-ki.

   Kiam-eng melengak dan membenarkan alasan si nona, pikir pada waktu Ji-Liang berdua kabur tadi sudah mengetahui Oh-tok-hong berempat tertawan olehku, apabila begitu saja aku dahului mereka sampai di Thian-ti dengan menyamar sebagai Oh-tok-hong, akibatnya tentu runyam ..."

   Sai-hoa-to juga merasa ucapan Ih-Keh-ki itu cukup beralasan, katanya dengan serba susah.

   "Ai terlampau cepat perjalanan kita, dikuatirkan akan mendahului Ji-Liang berdua malah. Terlalu lambat kuatir lagi disusul oleh Oh-tok-hong, bicara kian kemari, soalnya terletak pada kesalahan kita kenapa tidak membunuh saja si kumbang hitam berbisa itu. Apabila tadi kita bereskan dia, tentu takkan timbul persoalan sulit begini."

   Su-Kiam-eng tidak menyesal Oh-tok-hong tidak dibunuhnya tadi, baginya membunuh seorang yang tidak mampu melawan terasa bukan perbuatan seorang lelaki sejati.

   Melihat pemuda itu mengalami kesulitan oleh soal itu, padahal Keh-ki sangat ingin perjalanan bersama Su-Kiam-eng, maka dalam hati ia merasa senang, namun ia berlagak berkata dengan serius.

   "Sudahlah, biarlah kita bertiga tetap menempuh perjalanan bersama saja. Setiba di Thian-ti, apabila jelas Oh-tok-hong belum lagi tiba di sana barulah engkau menyaru sebagai dia."

   Tiba-tiba Sai-hoa-to tertawa, katanya.

   "Begini, ada akalku yang lebih bagus."

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Akal bagus apa?"

   Tanya Kiam-eng cepat.

   "Kau pernah berkunjung ke Thian-ti tidak?"

   Tanya si tabib sakti.

   "Belum pernah,"

   Kiam-eng menggeleng kepala.

   "Tapi aku tahu jalan menuju ke sana."

   "Baiklah jika begitu,"

   Ujar Sai-hoa-to.

   "Di dekat Thian-ti ada sebuah kota besar, namanya Kun-ming. Di tengah kota ada sebuah hotel besar bernama Kun-ming-lau-can, dahulu pernah aku tinggal di hotel itu, sekali ini aku pikir juga mondok saja di hotel itu ...

   "

   Kiam-eng merasa ucapan si tabib sakti ada sedikit aneh, ia melengong dan bergumam.

   "Wah, lantas bagaimana selanjutnya."

   "Maksudku, rasanya tidak mungkin dapat aku beli kuda sebagus kuda kalian itu,"

   Ujar Sai-hoa-to dengan tersenyum.

   "Sebaliknya jika membeli seekor kuda biasa, sukar pula untuk menempuh perjalanan bersama kalian. Sebab itulah aku putuskan takkan menjadi pengikut nona Ih, biarlah kalian berdua meneruskan perjalanan lebih dulu setelah aku dapatkan kuda baru menyusul ke sana. Setiba di sekitar Thian-ti nanti boleh kalian bersembunyi dulu, apabila melihat Ji-Liang berdua sudah pulang barulah kau temui Tok-pi-sin-kun dalam penyamaran sebagai Oh-tok-hong, sedangkan nona Ih tetap sembunyi di sekitar Thian-ti, kalau melihat Oh-tok-hong juga pulang ke sana, boleh langsung kau bekuk dia habis itu nona boleh menungguku di hotel Kun-ming-lo-can."

   Keh-ki berseru girang.

   "Aha, bagus! Cara ini paling baik, syukur Sim-lo-cian-pwe dapat memikirkannya."

   Diam-diam Sat-hoa-to merasa geli ucapnya penuh arti.

   "Aku kan orang tua yang sudah berpengalaman, masakah tidak dapat memikirkannya?"

   Muka Keh-ki menjadi merah, dengan malu-malu ia melirik sekejap si tabib sakti, lalu menunduk tanpa bicara lagi.

   Sai-hoa-to tergelak, mendadak ia menjauh ke sana dan berlari pergi secepat terbang.

   Melihat kelakuan si tabib sakti betapapun Kiam-eng paham juga arti ucapannya tadi tanpa terasa mukanya pun merah, katanya kemudian terhadap Ih-Keh-ki.

   "Marilah kita pun berangkat!"

   Segera mereka mencemplak ke atas kuda masing-masing dan dilarikan ke selatan di bawah sinar bulan purnama.

   Sepanjang jalan mereka tidak menemukan jejak Ji-Liang dan lain-lain, juga tidak timbul perkara lagi.

   Setengah bulan kemudian sampailah mereka di kota Kun-ming, dari kota ini ke Thian-ti sudah sangat dekat jaraknya.

   Sampai di tengah kota, dengan mudah mereka mendapatkan Kun-ming-lo-can yang disebut Sai-hoa-to itu.

   "Sekarang lebih dulu kita masuk hotel atau pergi ke Thian-ti?"

   Tanya Keh-ki.

   "Masuk hotel saja lebih dulu,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Aku pikir Ji-Liang berdua tentu sudah jauh kita tinggalkan di belakang, paling cepat dua hari lagi baru mereka dapat tiba di sini."

   Begitulah mereka hendak berhenti di depan hotel dan menyerahkan kuda kepada pelayan, lalu masuk ke hotel.

   Waktu itu sudah malam hari, setelah pesan dua kamar dan cuci badan serta makan, Kiam-eng melihat dandanan penduduk setempat agak berbeda dengan orang Tiong-goan, segera ia panggil pelayan agar membelikan dua perangkat pakaian.

   Setelah pelayan pergi, dengan tertawa Keh-ki berkata.

   "Aku lihat kota ini cukup ramai, kenapa kita tidak beli baju sendiri, sekaligus dapat melancong dan menikmati keramaian kota."

   "Tidak,"

   Kata Kiam-eng.

   "Kota ini terlalu dekat dengan Thian-ti, bisa jadi anak buah Tok-pi-sin-kun banyak berkeliaran di sini, nanti setelah kita ganti baju baru yang dibelikan si pelayan barulah kita ke luar melancong."

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Entah Ji-Liang berdua akan lalu di sini atau tidak kalau mereka pulang ke Thian-ti?"

   Gumam Keh-ki.

   "Besar kemungkinan akan lalu di sini,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Cuma mulai besok pagi, lebih baik kita menunggu mereka saja di dekat Thian-ti sana."

   "Bila mana melihat mereka sudah pulang, segera engkau akan mulai operasi?"

   Tanya si nona.

   "Tidak, harus aku tunggu lagi satu-dua hari baru akan pergi ke sana dengan menyamar sebagai Oh-tok-hong."

   "Aku dapatkan suatu akal baik, entah kau setuju atau tidak?"

   "Apabila kau minta ikut masuk ke istana putar musuh, maka lebih baik jangan kau katakan saja,",ujar Kiam-eng dengan tertawa.

   "Huh, sok pintar,"

   Keh-ki mencibir.

   "Mau tidak mendengarkan?"

   "Baiklah coba katakan,"

   Kata Kiam-eng. Dengan suara tertahan Keh-ki bertutur.

   "Kita tunggu dulu bilamana sudah jelas Oh-tok-hong takkan pulang ke Thian-ti barulah engkau menyamar sebagai Oh-tok-hong dan aku menyaru sebagai anak gadis yang kau culik ...

   "

   Cepat Kiam-eng menggeleng kepala dan memotong.

   "Tidak, tidak mungkin, nonaku yang baik!"

   Keh-ki memohon dengan sangat.

   "Memangnya kenapa? Masakah kurang baik cara begitu? Apabila aku ikut masuk istana putar itu bersama-mu, jika ada bahaya kan dapat aku bantu?"

   "Tidak mana boleh jadi,"

   Kiam-eng tetap menggeleng.

   "Ini tidak, itu pun tidak lalu apa alasanmu?"

   Omel Keh-ki.

   "Alasanku cuma satu, yaitu kamu tidak boleh ikut menyerempet bahaya."

   "Engkau pergi sendirian, bukankah itu pun menyerempet bahaya?"

   "Ada kepentinganku untuk menyerempet bahaya kamu tidak,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Mengapa tidak,"

   Jawab Keh-ki.

   "Aku kuatirkan bahaya yang akan menimpa dirimu, maka ingin aku bantu."

   Mendadak Kiam-eng merangkul si nona dan berbisik di tepi telinganya.

   "Keh-ki, aku paham maksudmu, namun perlu kau pikirkan, apabila penyamaranku ketahuan, sekalipun kamu berada di sampingku, apakah dapat kau tolong diriku?"

   Walaupun sejauh ini Keh-ki sangat mengharapkan "pernyataan perasaan"

   Su-Kiam-eng terhadap dirinya, sekarang mendadak anak muda itu merangkulnya, betapapun ia merasa malu juga cepat ia berseru.

   "He, apa-apaan ini, lekas lepaskan."

   Namun Kiam-eng merangkulnya semakin erat ucapnya dengan tertawa.

   "Tidak, harus menyatakan takkan ribut lagi baru aku lepaskan kamu."

   Meski ingin melepaskan diri, namun tenaga merasa sukar dikerahkan, Keh-ki menjadi gugup, serunya dengan muka merah.

   "Ayolah lepaskan kalau tidak segera aku berteriak."

   "Silakan berteriak, aku tidak takut,"

   Kata Kiam-eng dengan tertawa.

   "Berani kau ganggu diriku, akan aku minta ayah menghajarmu,"

   Ancam si nona. Kiam-eng dapat melihat si nona cuma main manja saja, maka rangkulannya bertambah kencang katanya.

   "Kau lapor kepada kakek gurumu pun aku tidak takut. Yang penting, kamu harus berjanji lebih dulu."

   "Berjanji apa?"

   Keh-ki berlagak pilon.

   "Kamu harus berjanji takkan ribut dan ingin ikut ke istana putar musuh."

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Tidak!"

   Jawab si nona.

   "Kalau begitu, terserah. Aku kira si pelayan sudah hampir pulang."

   Baru selesai ucapan Kiam-eng, benar juga di luar kamar terdengar suara langkah orang. Keh-ki menjadi gugup, ia meronta-ronta dan berteriak tertahan.

   "Lekas lepaskan! Kalau dilihat si pelayan kan malu!"

   "Kamu berjanji dulu."

   Kata Kiam-eng tertawa.

   "Tek-tek-tek", terdengar pintu kamar diketuk orang. Muka Keh-ki menjadi pucat, cepat ia berkata.

   "Baik, aku berjanji takkan ribut lagi."

   Barulah Kiam-eng melepaskan si nona, lalu berseru.

   "Siapa itu?"

   Terdengar pelayan menjawab di luar kamar.

   Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hamba sudah pulang membeli pakaian!"

   "Masuk!"

   Sahut Kiam-eng.

   Pintu terdorong dan si pelayan melangkah masuk serta menyerahkan sebungkus pakaian kepada Su-Kiam-eng, sisa uang perak pun akan dikembalikan, namun Kiam-eng memberi tanda agar ambil saja sisa uang itu.

   Dengan tertawa gembira si pelayan mengucapkan terima kasih dan mohon diri.

   Kiam-eng membuka bungkusan pakaian dan memberikan baju orang perempuan kepada Keh-ki, katanya.

   "Nah, boleh coba kau pakai, apakah cocok atau tidak."

   "Aku tidak mau."

   Omel Keh-ki dengan lagak marah.

   "Hee ada apa?"

   Kiam-eng melengak.

   "Kau ganggu aku,"

   Ucap si nona dengan menggigit bibir. Kiam-eng tertawa, ia menggeser ke belakang orang dan memegang pundaknya perlahan, ucapnya.

   "Mengapa kau bilang aku ganggu dirimu."

   "Habis kau ... kau rangkul sebegitu erat, apa namanya kalau bukan mengganggu?"

   Kata Keh-ki.

   "Jika hal itu kau anggap sebagai mengganggu, baiklah selanjutnya aku takkan mengganggumu cara begitu, sekarang silakan kau coba memakai baju ini."

   "Tidak aku tidak mau."

   Jawab Keh-ki dengan lagak manja.

   "Lantas, kamu tidak ingin melancong dan melihat keramaian kota?"

   "Mengapa tidak, tentu saja aku mau!"

   "Jika mau ikut, lekaslah ganti baju ini,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Coba katakan dulu, mengapa kau rangkul diriku,"

   Pinta Keh-ki. Terpaksa Kiam-eng berbisik pula di tepi telinga si nona.

   "Soalnya aku ... aku suka padamu."

   Keh-ki sangat girang, cepat ia berpaling menghadapi anak muda itu dan menegas dengan tertawa.

   "Apa betul ucapanmu ini?"

   "Tentu saja betul,"

   Jawab Kiam-eng. Keh-ki sangat gembira, langsung ia memeluk Kiam-eng dan membenamkan kepala di depan dadanya dan berkata.

   "Aku juga, ketika untuk pertama kali aku lihat dirimu lantas suka padamu."

   Kiam-eng juga tergiur, tanpa tertahan ia menunduk dan mengecup perlahan pada leher si nona yang

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ lembut itu, ke dua nya saling peluk dengan mesra dibuai asmara. Selang agak lama, perlahan Keh-ki mengangkat wajahnya yang agak malu-malu, ucapnya dengan tatap mesra.

   "Engkau sudi ... sudi berdampingan selamanya denganku?"

   "Mengapa tidak?"

   Jawab Kiam-eng dengan tertawa riang.

   "Aku kuatir ayahmu yang keberatan dan bisa jadi akan menghajarku ..."

   "Mana bisa ayah menghajarmu?"

   Kata Keh-ki dengan melengak.

   "Kalau ayahmu tidak suka padaku, bukankah aku bisa dihajarnya?"

   "Tidak, tidak, ayah pasti sangat suka padamu dan takkan menghajarmu!"

   Kiam-eng menyodorkan lagi pakaian tadi katanya.

   "Nah lekas ganti dan segera kita pesiar ke luar."

   Keh-ki tidak segera menerima baju itu, katanya dengan tertawa manis.

   "Nanti dulu, aku bicara lagi."

   "Ai, apa yang hendak kau katakan lagi?"

   Omel Kiam-eng.

   "Bagaimana kalau kita saling tukar tanda mata lebih dulu?"

   Ucap si nona dengan bergairah. Kiam-eng melengong, jawabnya kemudian dengan tertawa.

   "Ai, mengapa perlu berbuat demikian."

   "Aku merasa perlu,"

   Kata si nona dengan serius.

   "Dengan saling tukar tanda mata untuk menandakan kesungguhan hati kita."

   "Akan tetapi padaku sekarang tidak terbawa sesuatu benda tanda mata apa pun yang berharga."

   Ujar Kiam-eng.

   "Ada, boleh gunakan pedangmu sebagai tanda mata. Kau beri pedangmu dan aku beri pedangku."

   "Baiklah, boleh begitu,"

   Ujar Kiam-eng dengan suka ria. Maka kedua orang lantas saling tukar pedang dengan begitu barulah Keh-ki mendorong Kiam-eng keluar kamar, katanya dengan tertawa.

   "Ayo keluar, kau pun kembali ke kamarmu untuk ganti pakaian."

   Setelah keduanya ganti baju, lalu mereka meninggalkan hotel dan pesiar menyusuri kota, kemudian keluar kota, menuju ke Se-san atau bukit barat, Se-san terletak di tepi danau Thian-ti, pepohonan purba menjulang tinggi dengan lebatnya, di atas bukit ada bangunan kelenteng, pemandangan indah permai, merupakan salah satu tempat tamasya terkenal di kota Kun-ming.

   Malam belum larut, angin meniup semilir, ke dua orang melangkah ke atas bukit.

   Sebelum meninggalkan hotel Kiam-eng sudah mencari keterangan kepada pelayan hotel tentang berbagai tempat tamasya termashur di sekitar kota, maka ia tahu di Se-san ada biara terkenal bernama Hoa-ting-si yang indah, langsung ia lantas menuju ke biara tersebut.

   Setiba di depan biara itu, ternyata bangunan memang sangat megah dengan cat warna emas yang cemerlang dan tidak kalah dibandingkan biara besar di daerah Tiong-goan.

   Di depan pintu gerbang biara itu ada dua patung penjaga pintu, di dalam pintu terdapat Su-tai-thian-ong, empat malaikat raksasa, di ruang tengah ada patung Budha gemuk dan Wi-to si pengawal.

   Pada ruang pendopo terpuja 500 patung Lo-han yang mengelilingi patung Budha bercat emas setinggi belasan meter, tinggi patung lain rata-rata juga beberapa meter semua tiang dan bendera biara terukir gambar kisah sejarah yang menarik, sungguh bangunan dengan arsitektur yang mengagumkan.

   Para hwesio penghuni biara tidak ambil pusing terhadap tetamu pelancong, suasana terasa khidmat sehingga kawanan hwesio itu pun serupa Budha hidup yang agung.

   "Sekitar Thian-ti ini adalah wilayah kekuasaan Tok-pi-sin-kun, mengapa di atas gunung ini terdapat sebuah biara semegah ini dengan penghuni para hwesio sebanyak ini?"

   Kata Keh-ki dengan tidak mengerti.

   "Istana putar Tok-pi-sin-kun terletak di selatan Thian-ti, dari sini masih berjarak lebih seratus li

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ jauh


Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung

Cari Blog Ini