Ceritasilat Novel Online

Kesatria Berandalan 3


Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Bagian 3



Kesatria Berandalan Karya dari Ma Seng Kong

   

   Kie Yam-ke segera merubah topik pembicaraan.

   "Siau-ih, ayahmu sudah tua, kau harus banyak-banyak merawatnya."

   Dengan penuh kasih sayang Oh Ta-siok memandang putrinya, tertawa-tertawa berujar.

   "Kie Ke-ji, Siau-ih amat berbakti, semua urusan selalu diambil dan dikerjakan olehnya, alasannya agar aku tidak terlalu lelah, kalau bukan aku yang melarang, dia berbakat untuk membantu aku berdagang di warung!"

   Kie Yam-ke memandang Siau-ih dengan penuh mata, kebetulan juga Siau-ih mengangkat mata memandang dia.

   4 mata bertemu, bagaikan terkena stroom hati masing-masing tergetar hebat, sorotan mata dialihkan, muka Siau-ih menjadi merah lagi.

   Kie Yam-ke terbatuk-batuk ringan, dengan tegas berkata.

   "Oh Ta-siok, berbakat dagang tentu baik bagi Siau-ih, tapi demi menghindari hal yang kurang baik, turuti perkataan ayahmu, hari-hari nanti jangan terlalu sering menampakkan diri."

   Siau-ih menunduk, dengan pelan mengiyakan.

   "Siau-ih, kata-kata Kie Ke-ji sangat betul, lain kali kau harus menurut, jangan ribut saja denganku mau membantu di warung, ayahmu belum tua benar sampai tidak bisa bergerak, Kau lihat, ayah masih kuat!"

   Habis berkata, segera mau memindahkan kacang seberat 25 kati.

   Orang kalau sudah tua tidak menerima pun tidak bisa, mukanya sudah merah tetap tidak bisa memindahkan kacang itu, hanya pinggangnya yang bungkuk dan terengah-engah selanjurnya batuk-batuk.

   Kie Yam-ke segera ke depan memapahnya.

   "Oh Ta-siok, duduk dan istirahat dulu,"

   Dia memapahnya duduk di bangku. Saat itu juga Siau-ih dengan suara halus memanggil.

   "Ayah tidak apa-apa?"

   Cepat-cepat maju dari sisi lain, bantu memapah ayahnya duduk.

   Dalam kesempatan itu, keduanya jadi berdekatan, hanya terhalang orang tua Oh di tengah, saking dekatnya sampai bisa tercium bau pihak lawan.

   Kie Yam-ke merasakan bau harum yang menyebar dari tubuh Siau-ih, hatinya entah kenapa menjadi berdebar-debar.

   Siau-ih sekali lagi mengangkat mata memandang Kie Yam-ke.

   Kebetulan Kie Yam-ke juga sedang memandang dia.

   Sinar mata berdua bentrok lagi.

   Kali ini saling tidak menghindar lagi, tetapi, saling melengket, bagaikan magnet bertemu besi.

   Ketika orang tua Oh sudah berhenti batuk-batuk, mereka belum sadar, berdua mereka bertukar perasaan dengan saling memandang secara cepat.

   Oh Ta-siok yang sudah berhenti batuk-batuk, merasa mereka berdua masing-masing memegang satu sisi tapi sesudah dia duduk mereka tetap tidak mau melepaskan tangan yang memapah, tidak mendengar mereka bercakap-cakap, juga tidak ada reaksi apa-apa, mula-mula dia merasa aneh, tapi dengan cepat dia sadar dan mengerti, hati tuanya merasa lega, diam-diam tersenyum, dia tidak mau mengganggu mereka.

   Memang dia amat menyukai pemuda Kie Yam-ke ini, meski dia berbaur dan bergaul akrab dengan berandalan, tetapi dia tidak pernah mengganggu orang sekampung atau para tetangga.

   Dia juga tidak pernah melakukan pencurian dan lain-lain pekerjaan kotor yang melanggar hukum, sebaliknya, dia selalu membantu semua tetangga dan orang-orang sedaerah, ada masalah apapun dia pasti membela habis-habisan dan bantu menyelesaikan dengan sebaik-baiknya, juga memberi pengertian agar berandalan-berandalan itu tidak boleh mempersulit dan mengganggu orang-orang sekampung dan sedaerah.

   Pemuda macam begini memang langka, dia hanya memiliki putri satu-satunya ini, mau memilih menantu yang model apalagi? Dari lubuk hatinya yang paling dalam, dia berharap Kie Yam-ke bisa menjadi menantunya.

   Sangat tidak diinginkan tapi benar-benar sudah tidak tahan lagi, Oh Ta-siok jadi keselek dan batuk-batuk lagi, tentu saja membuat Kie Yam-ke dan Siau-ih yang sedang menjalin perasaan baru menjadi terputus.

   "Ayah, sudah agak baikan?"

   Siau-ih agak terkejut, mukanya menjadi merah, dia cepat-cepat menundukkan kepala, dengan ringan-ringan memijit lan menepuk-nepuk punggung ayahnya penuh kasih sayang. Kie Yam-ke menuangkan secangkir teh panas, menyajikan ke hadapan Oh Ta-siok.

   "Minumlah dulu tehnya."

   Setelah Oh Ta-siok minum beberapa teguk teh panas, dia jadi agak enakan, tidak batuk-batuk lagi. Kie Yam-ke merasa sudah terlalu lama disini. Diapun berpamitan.

   "Oh Ta-siok, Siau-ih, aku masih banyak urusan yang harus diselesaikan. Aku pamit dulu, nanti kalau ada waktu aku pasti mampir lagi menengok kalian."

   Habis bicara segera mau angkat kaki. Siau-ih dengan amat berat memandang Kie Yam-ke.

   "Kie Ke-ji, jangan pulang dulu."

   Oh Ta-siok menahan Kie Yam-ke, balik pada Siau-ih yang masih bengong memandang Kie Yam-ke dan berkata.

   "Siau-ih, bukankah kau sudah membuatkan baju untuk Kie Toako? Cepat ambil dan serahkan padanya."

   Muka Siau-ih menjadi merah, dengan malu menyahut sambil masuk ke dalam pelan-pelan. Sebentar saja tirai kain bergoyang Siau-ih sudah muncul lagi, di tangannya memegang sebuah baju baru. Dengan 2 tangan memberikan pada Kie Yam-ke.

   "Kie Toako, pulang ke rumah cobalah dulu, kalau tidak pas bawalah kembali kemari, biar Siau-moi perbaiki lagi."

   Hangat nian dalam hati Kie Yam-ke, dua tangannya menerima baju itu, tapi dalam kesempatan ini dia menangkap tangan Siau-ih yang halus dan mulus itu. Dia berkata.

   "Pasti cocok, tidak perlu dirobah. Pasti cocok..."

   Sebelah tangan Siau-ih dipegang oleh Kie Yam-ke membuat hati berdetak keras, muka bagaikan lembayung, elok, manja, dan malu-malu sekali. Siau-ih mendengar Kie Yam-ke yang seperti bloon, beberapa kali mengucapkan "pasti cocok"

   Tidak tahan tertawa cekikikan dan berkata.

   "Kie Toako, kau belum mencoba bagaimana tahu pasti cocok?"

   Tertawa dan pertanyaannya membuat Kie Yam-ke sadar, dia lupa diri dan membuat penyimpangan dari biasanya. Dengan kikuk dia tertawa dan berkata.

   "Siau-ih, terima kasih, aku pergi dulu."

   Tentu saja Siau-ih tidak rela berpisah secepat ini, dua orang ini saling berpandangan. Akhirnya Kie Yam-ke berkata.

   "Masuklah Siau-ih. Aku pulang dulu!"

   Dia mau berpamitan pada Oh Ta-siok, tapi entah kapan Oh Ta-siok sudah menghilang masuk ke dalam.

   Memandang dengan penuh kasih sayang, Kie Yam-ke akhirnya pergi dengan langkah besar meninggalkan Siau-ih.

   Tapi Siau-ih tetap saja berdiri di depan pintu, menatap terus tubuh Kie Yam-ke yang kian lama kian jauh itu.

   Sampai dia lenyap di belokan jalan Siau-ih masih tetap berdiri disitu tidak bergerak.

   Hatinya sudah terbawa oleh Kie Yam-ke yang pergi itu.

   Di rumah keluarga Kian tetap tidak ada perubahan, selangkahpun Liu Yam-yo tidak meninggalkan rumah itu, Kie Yam-ke menjadi kesal.

   Keluarga Kian adalah orang kaya di kota Yang-punya kedudukan dan banyak harta, kota ini punya peraturan kerajaan, dia tidak berani sembarangan menerobos masuk ke dalam keluarga itu untuk membunuh Liu Yam-yo, dalam waktu dekat, Kie Yam-ke tidak bisa apa-apa.

   Memang banyak teman-teman yang mengawasi rumah keluarga Kian, tapi dengan kelihayan Liu Yam-yo, gampang saja bagi dia menghindar dari pengawasan dan mengambil tindakan pada Kie Yam-ke, tapi sejak dari mencari tahu berita Liu Yam-yo akan menyerang dia dimana dan kapan saja, dia selalu hati-hati dan waspada setiap langkah! Liu Yam-yo benar-benar seorang tokoh yang sulit diatasi.

   Siau Ke-cu melihat Kie Yam-ke, cepat-cepat mengajak dia duduk di sebuah meja menghadap ke jalan, sibuk menyiapkan cangkir dan sumpit.

   "Kie Toako, sudah lama sekali tidak minum-minum disini, sekarang mau makan apa?"

   Dengan tersenyum Kie Yam-ke berkata.

   "Siau Ke-cu, terserah kau, bawakan saja makanan apa, sekarang minta 2 teko arak dulu."

   Siau Ke-cu mengiyakan, dengan cepat menghantarkan 2 teko arak, dengan gesit menuangkan untuk Kie Yam-ke.

   "Kie Toako, minum dulu 2 cawan untuk membasahi tenggorokan, aku ke dapur dulu, minta koki membuatkan beberapa macam sayur yang enak untukmu."

   Selesai perkataannya bagaikan angin sudah pergi jauh.

   Kie Yam-ke minum secawan, menjilat-jilat bibir sambil melihat-lihat pemandangan di luar jendela dan orang yang lalu lalang di jalanan.

   Dia kesal, beberapa hari berturut-turut tinggal di rumah, membuat Kie Yam-ke yang suka bergerak itu tidak tahan, seorang diri dia jalan-jalan keluar untuk minum arak.

   Menuang arak sendiri minum sendiri, memandang macam-macam orang di jalanan, Kie Yam-ke merasa tertarik dan senang.

   Tiba-tiba dia melihat Kian Ta lenggak-lenggok berjalan di tengah orang-orang banyak, di sisinya ada 2 orang jongos tua mengikutinya, sambil tertawa-tawa dan menunjuk-nunjuk mengganggu wanita-wanita di jalanan.

   Tampaknya Kian Ta juga seperti dia, sudah kesal berada di rumah, akhirnya keluar untuk jalan-jalan.

   Mata Kie Yam-ke tidak lepas dari Kian Ta, sampai Siau Ke-cu mengantarkan 3 macam makanan yang panas dan wangi pun dia tidak merasakannya.

   "Kie Toako, cepat cicipi mungpung panas, ini dibuat special untukmu."

   Suara Siau Ke-cu menarik kembali perhatian Kie Yam-ke. Kie Yam-ke berputar kepala, tertawa pada Siau Ke-cu.

   "Siau Ke-cu, mari, kau juga cicipi dan minum secawan."

   Siau Ke-cu menggoyang-goyangkan tangan.

   "Kie Toako, kau makan saja, aku masih mau melayani tamu-tamu lain."

   Dia berlalu menambahkan arak dan makanan bagi tamu lain.

   Kie Yam-ke tersenyum dia tidak makan tapi berputar kepala melihat lagi keluar jendela, untung, Kian Ta masih terlihat luntang lantung di jalanan.

   Kebiasaan buruk Kian Ta sulit berubah, dia tetap saja menggoda wanita di tengah jalan.

   Kemarahan Kie Yam-ke mulai berkobar, ingin sekali dia menerobos jendela terjun ke jalan untuk menghajarnya.

   Tiba-tiba hatinya teringat perkataan yang dia ucapkan ketika menyelinap masuk ke rumah Kian Ta.

   Yaitu Liu Yam-yo akan menyerang dia kapan saja dan dimana saja.

   Kalau begitu Kian Ta berada dalam keadaan begini tetap menggoda wanita di tengah jalan mungkinkah ini sebuah jebakan? Tujuannya untuk memancing Kie Yam-ke keluar menghajar Kian Ta, sedangkan Liu Yam-yo menyembunyikan diri di sekitar situ, mencari kesempatan yang paling baik untuk menyerang dia dari belakang.

   Kemungkinan itu yang paling benar.

   Terpikir sampai masalah ini, Kie Yam-ke sekuatnya menekan emosi, dia tidak mengambil tindakan apa-apa, duduk di bangku, diam-diam mengamati Kian Ta dan keadaan di sekitar situ.

   Dia memutuskan dengan diam mengatasi perubahan.

   ooo0dw0ooo Memang Kie Yam-ke anak berandalan, tapi dia paling benci orang yang tidak bermoral, yang kurang ajar, dia sudah beberapa kali ingin membunuh Kian Ta bajingan ini, tapi mengingat dia tidak punva dosa yang luar biasa, maka selalu membiarkannya, hanya dihajar saja beberapa kali.

   Memandang Kian Ta yang terus menggoda perempuan di jalan, kemarahan Kie Yam-ke yang sudah di tekan berkobar lagi, tapi dia bisa lebih keras lagi menekannya, dia maklum Kian Ta berani kurang ajar begini pasti ada maksud lain.

   Saat dia penuh perhatian memandang kelakuan buruk Kian Ta itu, tiba-tiba genting rumah rubuh dan mengeluarkan suara keras, di tengah pecahnya genting dan tanah abu berhamburan jatuh itu, seberkas sinar merah gelap bagaikan meteor jatuh dengan cepat ke atas meja tempat duduk Kie Yam-ke.

   Mendengar suara, Kie Yam-ke menoleh, sekilas melihat di dalam genting hancur dan debu itu mengikuti segumpal sinar merah melesat dengan cepat, dia sudah tidak ada waktu lagi untuk berpikir, dia yang duduk di pinggir jendela, langsung berteriak keras, tubuh bagian atas dengan keras menerobos, dalam suara ramainya genting berjatuhan itu, dia telah mendobrak pecah daun jendela, mengikuti genting, debu, dan kayu patah yang berjatuhan, bergelinding, bersalto menjatuhkan diri ke jalan raya! Waktu dia menubruk pecah kaca jendela, bersamaan waktu dia menjatuhkan tubuh di luar loteng dan jatuh ke jalanan, di tengah genting pecah dan debu itu gumpalan sinar merah juga jatuh di atas mejanya.

   "poppp"

   Bersuara keras, segera memancar gumpalan api yang berkobar.

   Hanya sekejap saja seluruh tingkat 2 rumah makan itu sudah dikepung dan dilahap oleh si jago merah.

   Tamu-tamu yang duduk di lantai 2 termasuk Ciang-kui (pemilik perusahaan), Siau Ke-cu dan pelayan-pelayan yang lain terlihat payah semua, tidak satupun yang keburu menghindar, semua terkepung oleh kobaran api di loteng.

   Tamu di tingkat bawah masih sempat tergopoh-gopoh kabur keluar, dalam keadaan terkejut sekali berebutan keluar.

   Kie Yam-ke sudah tidak peduli dengan debu dan pasir yang melekat di tubuhnya, kakinya baru menapak ke tanah, langsung meluncur lagi, bagaikan mencabut bawang di tanah kering, sekujur tubuh membubung naik dan meloncat masuk ke dalam loteng yang sedang dilahap si jago merah.

   Tetapi kobaran api terlalu besar, baru tiba di jendela yang dia pecahkan itu, segumpal asap tebal bercampur dengan segumpal lidah api bagaikan ular beracun menjulurkan lidah berkobar keluar, terpaksa dia melayang kembali ke jalan, memang dia melayang cepat tapi tetap saja baju dan rambutnya terjilat lidah api menimbulkan bau gosong.

   Kie Yam-ke turun ke jalan, dia berusaha untuk kedua kalinya melompat naik lagi ke loteng, tetapi waktu itu juga suara yang amat keras terdengar, seluruh bangunan loteng itu roboh, untuk cepat-cepat menolong Siau Ke-cu dan lain-lain sudah tidak keburu, mereka semua sudah pasti terkubur dalam lautan api.

   Kie Yam-ke memandang loteng yang roboh terbakar dalam lautan api, matanya yang gemas sampai rnau meledak, sekujur tubuhnya gemetaran.

   Kalau bukan karena dia minum arak di rumah makan Te-it-lou ini, Siau Ke-cu dan lainnya tidak akan mati terpanggang.

   Beberapa kali dia ingin meloncat masuk ke kobaran api untuk menemani mereka, mati bersama, tetapi sebuah niat lain muncul dalam hatinya kuat sekali.

   Sehingga dia tidak mampu mengatasi hatinya, dia memutarkan tubuhnya langsung berlarian ke rumah Kian Ta.

   Dia hendak membalas dendam, membalas dendam untuk orang-orang yang mati itu! Sudah tidak perlu diragukan lagi, semua ini pasti dilakukan Liu Yam-yo, Kian Ta juga mengambil bagian, dalam perjalanan ke rumah Kian Ta, dia baru terpikir, Kian Ta begitu berani menggoda wanita di tengah jalan yang ramai, tujuannya untuk mengalihkan perhatian dia, agar Liu Yam-yo mudah naik ke atap te-it-Liu, mengambil kesempatan saat dia tidak perhatian, memecahkan genting melemparkan bahan peledak mesiu itu.

   Andaikata dia tidak kebetulan duduk di sisi jendela, reaksi dia juga tidak secepat dan semutlak itu, kemungkinan besar dia juga bernasib sama dengan Siau Ie Cu, terpanggang menjadi arang.

   Demi membasmi dirinya, Liu Yam-yo dan Kian Ta tidak segan-segan juga tidak peduli di atas loteng banyak orang yang tidak berdosa termasuk dirinya, tega melakukan kekejaman yang amat jahat! Kie Yam-ke dendam sekali pada Liu Yam-yo, Ia bersumpah dalam hati bagaimanapun juga tidak akan mengampuni Liu Yam-yo! Kian Ta juga tidak akan diberi pengampunan! Kie Yam-ke terburu-buru bagaikan kuda berlari kencang, setelah berbelok di sebuah sudut jalanan, sudah tampak gerbang rumah Kian Ta.

   Saat dia belok dari sudut jalanan, dia dihadang oleh orang yang kurus kecil Andaikata Kie Yam-ke tidak cekatan, pasti orang yang kurus kecil itu akan lintang pukang ditubruk olehnya di tikungan jalan tadi.

   Saat terpepet itulah, Kie Yam-ke cepat-cepat menyisi dan menghindar, begitu cepat berpapasan dengan orang yang kurus dan kecil itu sambil merengtangkan tangan meraih sebuah lengan orang itu.

   Sesaat baru bisa berhenti.

   "Kie Toako, ga...gawat..."

   Ternyata Siau Hek-cu yang menghadang perjalanan dia.

   Melihat Kie Yam-ke, dia tergagap-gagap tidak bisa meneruskan perkataannya.

   Dari roman muka Siau Hek-cu yang gusar, Kie Yam-ke sudah menebak pasti terjadi lagi masalah, hatinya tiba-tiba merasa tenggelam.

   "Siau Hek-cu, ada apa sampai tergesa-gesa begini?"

   Dari luar dia seolah-olah tenang sekali. Menarik 2 kali napas kasar. Siau Hek-cu masih tetap gagap berkata.

   "Siau...Siau-ih Kouwnio ...di...disandera orang!"

   "Blennng!"

   Kepala Kie Yam-ke bagaikan mau meledak, sekujur tubuhnya terasa dingin, tidak terasa tangan yang menangkap lengan Siau Hek-cu bertambah keras, dia bertanya dengan nada terkejut dan gusar.

   "Siau Hek-cu, siapa? Siapa yang menyandera Siau-ih Kouwnio?"

   Air mukanya pucat menakutkan.

   Dari dulu Siau Hek-cu belum pernah melihat air muka Kie Yam-ke yang menakutkan begini, lengan yang dipegang sakit bagaikan mau putus, membuat dia menggigit bibir menahan, dia tidak berani bilang sakit, tubuhnya gemetaran dengan gusar berkata.

   "Aku pun tidak jelas. Tadinya aku ke rumah mencarimu, tetapi tidak ada, aku mengira kau ke rumah Oh Ta-siok, sampai disana Oh Ta-siok pun tidak tampak, saat aku mau mencari ke tempat lain, dari dalam warung terdengar suara rintihan, mengikuti suara aku mencari ke dalam, terlihat Oh Ta-siok terjatuh di lantai, banyak darah disana. Oh Ta-siok bernapas dengan sulit, dalam keadaan terkejut aku memapah Oh Ta-siok. Di depan dadanya terdapat lubang darah yang masih meneteskan darah segar, udara yang masuk sedikit yang keluar lebih banyak. Aku takut sampai menangis, entah harus bagaimana tapi Siau-ih tidak tampak. Terdengar Oh Ta-siok dengan suara terputus-putus mengatakan bahwa Siau-ih telah disandera, dia memohon kau bagaimana pun harus menolong Siau-ih, lalu diapun putus nafasnya."

   Sambil bercerita Siau Hek-cu meneteskan air mata lagi.

   "Oh Ta-siok apa bilang siapa yang menyandera Siau-ih?"

   Karena tegang Kie Yam-ke tambah keras memegangi lengan Siau Hek-cu.

   "Auuu..."

   
Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kali ini Siau Hek-cu sudah tidak tahan, dia mengaduh. Kie Yam-ke baru sadar dalam keadaan tegang dan kalang kabut, dia kehilangan kontrol, membuat lengan Siau Hek-cu kesakitan, cepat-cepat dia melepas lengan itu. Dengan penuh penyesalan dia bertanya.

   "Siau Hek-cu, apa tanganmu sakit sekali?"

   Siau Hek-cu menarik napas, sambil menahan sakit berkata.

   "Tidak apa-apa Kie Toako, Oh Ta-siok belum mengatakan siapa yang menyandera Siau-ih Kouwnio sudah keburu meninggal, mungkin dia tidak sempat mengatakan."

   Dua mata Kie Yam-ke memandangi gerbang mewah rumah Kian, sambil memegang kencang-kencang kepalan, dengan keras dipukulkan ke tembok. Dia berucap dengan suara rendah.

   "Ini pasti perbuatan Liu Yam-yo! "

   Siau Hek-cu juga dengan sorotan mata yang dendam memandang gerbang rumah Kian, berujar dengan geram.

   "Pasti disarankan oleh Kian Ta!"

   Kie Yam-ke menegakkan pinggangnya, dengan mata menyorotkan hawa membunuh, dia berucap.

   "Aku bersumpah akan membasmi Liu Yam-yo dan Kian Ta!"

   Siau Hek-cu dengan sewot ikut berkata.

   "Betul! Betul! Kie Toako, mari kita kerumahnya membuat perhitungan. Hmmm.... Awas! Kalau mereka sampai tidak menyerahkan Siau-ih Kouwnio!"

   "Krekk, krekk"

   Kie Yam-ke geram hingga giginya gemeretak, lalu menghela napas panjang, katanya.

   "Mereka tidak akan begitu bodoh menyandera orang lalu disimpan di rumahnya!"

   "Kalau begitu kita melapor saja pada yang berwajib!"

   Siau Hek-cu berkata dengan marah.

   "Kalau sudah diadukan kepada yang berwajib, segede apapun nyali mereka, mau tidak mau harus melepaskan orang yang disandera."

   Kie Yam-ke berkata sambil tertawa pahit.

   "Siau Hek-cu, jangan lupa keluarga Kian punya banyak uang juga berpengaruh, mereka sudah biasa sekongkol dengan pejabat, diadukan pada yang berwajib juga tidak berakibat apa-apa, keluarga Kian banyak duit, asal dijejali dengan setumpuk uang semua masalah akan beres sendiri, malah kita akan dikatakan membuat laporan palsu, urusan tidak beres malah mendapat tambahan masalah!"

   Siau Hek-cu tambah gusar dan bimbang.

   "Lalu kita harus bagaimana?"

   Kie Yam-ke berkata dengan mantap.

   "Jika ingin menolong Siau-ih Kouwnio cuma bisa mengandalkan tanaga kita sendiri, dan dengan cara kita sendiri pula."

   Kie Yam-ke bertanya.

   "Kenapa tidak ada orang datang melaporkan tentang gerak-gerik Kian Ta? Tadi aku melihat Kian Ta mengganggu wanita di jalan raya. Ketika api melahap Le-it-lou, Kian Ta pun menghilang!"

   Mata Siau Hek-cu berair, dengan menangis berkata.

   "Kie Toako, entah kenapa anak-anak yang mengawasi rumah Kian Ta dengan tiba-tiba menghilang eniua, karena masalah inilah aku datang mencarimu."

   Dengan amat pedih Kie Yam-ke berkata.

   "Akulah yang mencelakai mereka, aku terlalu meremehkan Liu Yam-yo. Beberapa saudara kita itu kebanyakan telah dicelakai oleh Liu Yam-yo, harapan selamatnya agak tipis."

   Lalu menarik Siau Hek-cu.

   "Ayo jalan, kita kerumah Oh Ta-siok, mungkin ada petunjuk yang bisa diambil."

   Siau Hek-cu mengangkat tangan menghapus air mata di muka.

   Mengangguk lalu mengikuti di belakang Kie Yam-ke, tergesa-gesa menuju rumah Oh Ta-siok.

   Berdua baru keluar dari lorong, dari depan tergopoh-gopoh datang seseorang, Kie Yam-ke yang melihat segera berhenti.

   Mata menyorot sinar dingin memandangi orang yang mendekat.

   Siau Hek-cu berdiri dekat sekali dengan Kie Yam-ke.

   Orang itu cepat sekali sudah tiba didepan.

   Merangkapan dua tangan pada Kie Yam-ke berkata.

   "Anda Kie Yam-ke bukan?"

   Kie Yam-ke mengamari orang ini, tidak menjawab malah balik bertanya.

   "Anda siapa?"

   Dengan asal tertawa orang itu berucap.

   "Siapa aku tidak penting, tidak perlu disebutkan. Yang penting apa anda ingin mengetahui keberadaan seorang gadis?"

   Hati Kie Yam-ke berdebar keras, sinar mata yang tajam bagai pisau menyoroti muka orang itu, dengan suara dingin bertanya.

   "Apa anda tahu?"

   Orang itu mengangguk.

   "Tadinya aku tidak tahu. Setelah seseorang minta aku menyampaikan berita ini, aku baru tahu."

   Kie Yam-ke menatapi orang itu, dengan suara tajam bertanya.

   "Liu Yam-yo?"

   Orang itu berkata dengan tertawa.

   "Dia siapa aku tidak tahu. Aku pun tidak bertanya, aku hanya melihat dia mengenakan sebuah jubah merah!"

   "Ternyata betul dia!"

   Ujar Kie Yam-ke tegas. Lalu dia bertanya.

   "Liu Yam-yo minta anda menyampaikan berita apa?"

   Orang itu berpikir sebentar katanya.

   "Katanya, kalau ingin bertemu dengan nona itu. anda segera ke hutan pinus belakang wihara Thian-ning yang berada di luar kota."

   Kie Yam-ke dengan asal-asalan berujar.

   "Terima kasih anda sudah menyampaikan berita ini."

   Dia membiarkan orang ini pergi. Siau Hek-cu maju ke depan berebut berkata.

   "Kie Toako, dia orang Liu Yam-yo. Jangan biarkan dia pergi!"

   Orang itu pura-pura tidak mendengar, terus saja pergi. Siau Hek-cu segera mengejar tapi Kie Yam-ke menahannya.

   "Tidak ada gunanya menahan, dia bukan orang Liu Yam-yo!"

   Siau Hek-cu paling percaya dan menurut pada Kie Yam-ke, dia pun terdiam. Kie Yam-ke berpikir sejenak lalu berkata pada Siau Hek-cu.

   "Pergilah bantu soal penguburan Oh Ta-siok, biar aku yang menolong Siau-ih."

   Dengan gusar Siau Hek-cu berkata.

   "Aku ikut, kau seorang diri terlalu berbahaya!"

   Dengan tegas Kie Yam-ke berkata.

   "Siau Hek-cu, kalau kau ikut perhatianku jadi terpecah, penguburan Oh Ta-siok harus segera diurus. Pergilah, aku bisa hati-hati, tidak akan ada bahaya"

   Siau Hek-cu yang mendengar merasa ada benarnya, segera mengangguk.

   "Baiklah, tapi Kie Toako harus berhati-hati!"

   Kie Yam-ke mengangguk.

   "Jangan kuatir, aku akan hati-hati."

   Setelah tidah terlihat lagi bayangan Siau Hek-cu, Kie Yam-ke memutar tubuhnya dan mengejar keluar kota.

   ooo0dw0ooo Dalam hutan pinus terasa sunyi, sedikit kegiatanpun tidak ada.

   Hanya ada suara "SHAAA, SHAAA, SHAAAA"suara angin meniup pohon pinus.

   Kie Yam-ke berdiri lama diluar hutan, sepasang mata mengamati keadaan sekitarnya, lalu dia menarik napas memekik ke dalam hutan.

   "Liu Yam-yo, aku kemari memenuhi janjimu. Keluarlah!"

   Suara seruan masuk ke dalam hutan dan bergema dalam hutan. Dalam hutan tidak ada reaksi sedikit pun. Kie Yam-ke menunggu sebentar lalu memekik lagi.

   "Liu Yam-yo, kalau kau tidak mau keluar juga, aku akan pergi."

   Kali ini ada reaksi, dari dalam hutan terdengar suara tertawa Liu Yam-yo, tertawanya menggoncang dahan-dahan pinus.

   "Kie Yam-ke, kupuji keberanianmu!"

   Suara tertawanya masih bergema dalam hutan.

   Tampak bayangan merah berkelebat dari dalam hutan, Liu Yam-yo sudah berjalan keluar hutan.

   Dia tidak datang seorang diri, tapi membawa seseorang.

   Orang yang satunya itu adalah Siau-ih yang amat dikuatirkan oleh Kie Yam-ke.

   "Siau-ih!"

   Begitu melihat Siau-ih, Kie Yam-ke tanpa sadar berseru. Diapun selangkah maju ke depan.

   "Berhenti! Selangkah lagi kau maju, aku tidak akan segan-segan bertindak!"

   Pedang pendek Liu Yam-yo dengan ketat menyentuh punggung Siau-ih yang pucat pasi dan rambutnya acak-acakan itu.

   Mendengar itu Kie Yam-ke pun berhenti, tidak berani maju lagi.

   Sinar matanya terlihat penuh perhatian dan sayang memandangi Siau-ih.

   Siau-ih yang melihat Kie Yam-ke, hatinya merasa senang luar biasa, dia ingin sekali mendekat Kie Yam-ke, ikan tetapi ditarik oleh Liu Yam-yo, sambil berkata.

   "Kalau belum mau mampus jangan berbuat macam-macam!"

   Tubuh mungil Siau-ih tergetar, dia segera berhenti dengan memelas berseru.

   "Kie Toako!"

   Kie Yam-ke memandangi Siau-ih yang sedih dan gugup. Hati Kie Yam-ke memanas, segera berujar.

   "Siau-ih kau tidak apa-apa?"

   Liu Yam-yo berebut menjawab.

   "Jangan kuatir. Aku tidak memperkosa dia. Dia tetap masih perawan!"

   Kie Yam-ke dengan marah menghardik.

   "Liu Yam-yo, kau bukan manusia, dengan cara yang keji berani menahan gadis yang lemah!"

   "He...he...he"Liu Yam-yo berujar.

   "Asal tujuan tercapai, aku akan menghalalkan segala cara!"

   Kie Yam-ke berisaha meredakan amarahnya, dengan dingin berkata.

   "Apa yang kau inginkan?"

   Sorotan mata Liu Yam-yo tambah keras.

   "Asal kau memenuhi satu syarat, aku akan segera melepaskan dia!"

   Kie Yam-ke yakin pasti syaratnya yang sulit diterima. Tapi demi Siau-ih, orang yang pertama kali di sayangi seumur hidupnya ini, dia tidak ragu-ragu, tanyanya.

   "Apa syaratnya?"

   Liu Yam-yo tidak merasa khawatir sebab ada Siau-ih dalam genggamannya. Dia sudah yakin diatas angin.... Tertawa dingin bagai menusuk tulang, sinar api dalam mata menyorot tajam, berkata dengan sehuruf-huruf.

   "Asal kau mau bunuh diri disini, aku akan segera melepaskan nona ini.!"

   Perkataan Liu Yam-yo bagaikan martil memukul hati Kie Yam-ke dan Siau-ih. Siau-ih berkata sambil menangis.

   "Kie Toako, kau tidak boleh mati, jangan penuhi kemauannya!"

   Pedang pendek yang ditekankan pada punggung Siau-ih tambah keras.

   Ujung pedangnya sudah masuk ke dalam daging, Siau-ih kesakitan sampai bergetar dan memekik.

   Kie Yam-ke melihat Siau-ih memekik kesakitan.

   Dia bagaikan terkena sabetan pisau, hatinya bertambah kesal, matanya menyorot nafsu membunuh.

   Dengan dingin ia berkata.

   "Liu Yam-yo, kalau kau berani mengusik dia barang sedikit saja, aku pasti membunuhmu!"

   Liu Yam-yo yang merasa punya pegangan, jadi tidak gentar dan dengan suara keras berkata.

   "Kie Yam-ke untuk apa kau galak-galak, kalau kau macam-macam, dia dulu yang aku bunuh!"

   Kie Yam-ke tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia menghela napas, bibir bergoyang-goyang, dia ingin mengatakan sesuatu, tapi Siau-ih berebut menghalangi.

   "Kie Toako, jangan menuruti. Dia tidak akan melepaskan aku. Dia telah menyanggupi Kian Ta, kau mati dan dia akan menyerahkan aku pada Kian Ta!"

   Kie Yam-ke mengaum seperti singa ngamuk.

   "Betul begitu Liu Yam-yo?"

   Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Liu Yam-yo terkejut setengah mati melihat rupa muka Kie Yam-ke, dengan sulit dia berkata.

   "Bukan begitu. Kau jangan dengar bualannya. Tapi kalau kau ragu-ragu, aku akan betul-betul menyerahkan dia pada Kian Ta!"

   Dalam mata Kie Yam-ke penuh hawa membunuh.

   "Coba saja kalau berani!"

   "Kenapa tidak berani, masalah apapun aku berani lakukan!"

   Sedikit agak mengalah Kie Yam-ke bertanya.

   "Liu Yam-yo, kenapa kau ingin membunuhku terus?"

   Sinar membara mata Liu Yam-yo berloncatan.

   "Karena kau teman Kao Ceng, mungkin Kao Ceng mengetahui rahasiaku dan mengatakan padamu. Maka aku bagaimana pun harus membantaimu!"

   Kie Yam-ke mendesah.

   "Kalau aku mengatakan aku tidak tahu rahasiamu, Kao Ceng juga tidak tahu, kau percaya tidak?"

   Dengan tertawa Liu Yam-yo berkata.

   "Aku bisa percaya, tapi demi menghindarkan kesalahan, terpaksa tidak percaya, sampai manapun tidak percaya!"

   Kie Yam-ke cepat-epat menyambung.

   "Apa benar kalau aku mati. kau baru mau melepas Siau-ih?"

   Liu Yam-yo dengan pasti menjawab.

   "Betul!"

   Dua alis Kie Yam-ke melayang, dengan tegas berkaa.

   "Baik aku setuju, tapi aku juga punya satu syarat!"

   Sinar mata Liu Yam-yo tambah ganas, dia bertanya.

   "Katakan apa syarat kau itu?"

   Dengan tegas Kie Yam-ke berkata.

   "Gampang saja, Lepaskan dulu Siau-ih!"

   Siau-ih meronta-ronta sambil memekik.

   "Kie Toako, kau tidak bqleh mati, jangan mengikuti kemauannya. Jangan demi aku kau menuruti syaratnya. Kau harus menuntut balas demi Liu Pau dan lainnya!"

   Tiba-tiba Liu Yam-yo menotok titik nadi bisu Siau-ih, membuat sekujur tubuhnya bergetar, tidak sanggup memekik, sepasang mata terlihat memohon. Kie Yam-ke marah.

   "Kenapa kau totok titik nadi bisu dia?"

   "Agar tidak ribut terus, mengganggu pembicaraan kita!"

   Kie Yam-ke tidak bisa apa-apa, katanya.

   "Kau setuju tidak syaratku?"

   Dengan suara melengking Liu Yam-yo berkata.

   "Kalau aku melepaskan dia, dan kau mengingkari janji, bukankah aku kecolongan?"

   Kie Yam-ke dengan kukuh berkata.

   "Perkataanku berat bagaikan gunung, apa yang telah diucapkan pasti dilakukan, tidak akan mengingkari janji!"

   Sepasang mata Siau-ih dengan sangat memohon dan memandangi Kie Yam-ke tapi tidak bisa menyampaikan perasaannya, hatinya terasa gusar, dia ingin sekali menabrakan dirinya, mati di depan Kie Yam-Ke agar Kie Yam-ke tidak akan bunuh diri demi dirinya, sayang, dia tidak bisa bergerak sedikitpun, saking gusarnya, hatinya hancur berkeping-keping.

   Tapi Kie Yam-ke sengaja meneguhkan hati tidak mau memandangi Siau-ih.

   Lama sekali Liu Yam-yo memandangi Kie Yam-ke akhirnya membuka suara.

   "Baiklah aku setuju melepaskan dia dulu!"

   Mulut-nya berkata demikian, lain pula rencana hatinya, lama berpikir setelah melepaskan Siau-ih, menunggu sesudah Kie Yam-ke bunuh diri, dia bisa menangkap siau-ih lagi, dan dipersembahkan pada Kian Ta.

   Ini bakal sempurna kedua-duanya, kenapa tidak segera menerima? Waktu itu Kie Yam-ke sudah mampus, dia menyesalpun sudah tidak bisa apa-apa lagi.

   Itulah pendapat dan pemikirannya.

   Akhirnya jalan darah bisu Siau-ih diurainya.

   Sebelum Siau-ih berkata, dia telah mendorong Siau-ih sambil berkata.

   "Nona kau boleh pergi, pergilah sejauh mungkin!"

   Luar dugaan, Siau-ih bukan saja tidak menjauh, malah membalikan tubuh menubruk pedang pendek yang tadi menekan di punggungnya itu! Liu Yam-yo tidak menyangka Siau-ih tidak mencari kehidupan malah mencari kematian, dia terkejut, hingga terlambat sedikit menarik pedangnya.

   Pedang pendek yang masih dipegang di tangannya sudah menusuk di antara dada dan perut Siau-ih yang datang menubruk itu, terbenam hingga tangkai pedang, ujung pedang dengan sedikit muncungnya membawa darah tembus sampai punggung Siau-ih! Kie Yam-ke bagaimana pun tidak menduga Siau-ih mengorbankan kematiannya untuk mencegah dan membatalkan perjanjian mautnya dengan Liu Yam-yo, karena peristiwa datang mendadak ini, mau menolong pun sudah tidak keburu.

   Dengan mata terbelalak memandang Siau-ih menubrukan tubuhnya pada pedang pendek Li Yan Yang, dia amat terguncang, bagaikan disambar petir terpaku di tempatnya! Liu Yam-yo pun dibuat tercengang dan membelalakkan mata oleh perbuatan nekat Siau-ih.

   Dia bengong di tempat dan lupa mencabut pedang pendek yang tertancap di tubuh Siau-ih itu.

   "Kie Toako, balaskan dendam Lu Pau... Ayah... dan Aku..."sebelum menghembuskan napas terakhir, Siau-ih masih sempat berpesan pada Kie Yam-ke. Pesan terakhir yang terputus-putus dan lemah mi bagaikan petir di siang hari bolong, menggetar hebat tubuh Kie Yam-ke, tiba-tiba dia terbangun dari bengongnya, memekik dengan suara parau dan sedih.

   "Siau-ih... kau tidak boleh mati, kau jangan meninggalkan aku...! "seperti macan gila menerjang dan menyerbu Siau-ih yang pelan-pelan rubuh ke tanah itu. Liu Yam-yo pun tergetar oleh perkataan -perkataan Siau-ih yang terputus-putus itu, secepat pula dia mencabut pedang pendeknya dan meloncat mundur! Muka Kie Yam-ke memucat mata memerah, lipat waktu menangkap dan menggendong Siau-ih, mendekap kencang-kencang tubuh Siau-ih yang lemah lunglai itu di depan dadanya. Bergumam sendiri.

   "Siau-ih, Siau-ih, janji padaku kau tidak akan meninggalkan aku...tidak, tidak akan meninggakan aku... ..........Tapi Siau-ih selamanya sudah tidak bisa menjawab lagi! Kie Yam-ke sudah seperti orang cingong (bodoh sekali), terus saja mendekap kencang-kencang mayat Siau-ih, berdiri bengong, tidak jelas bergumam apa, sorotan matanya hampa. ..........Sebenarnya hatinya sedang menetes darah! Liu Yam-yo berdiri beberapa meter di sana, melihat Kie Yam-ke dalam keadaan kosong, mukanya resah dan risau tidak menentu, bola mata berputar-putar. Dia berpikir untung rugi dalam hati, sebaliknya saat ini paling baik menyerang Kie Yam-ke sebab saat ini dia seperti kota yang tidak berpengangan kalau diserang pasti hancur. Akhirnya dalam hatinya mendapatkan sebuah keputusan. Seperti seekor rubah tua yang licik, Liu Yam-yo bergeser dengan pelan-pelan, terus sampai sisi belakang Kie Yam-ke, dia baru berhenti, lalu bagaikan ular berbisa sama sekali tidak bersuara menyelinap dekat pada Kie Yam-ke. Kie Yam-ke bagaikan kerangka tubuh yang tanpa nyawa, bengong berdiam disitu, sama sekali tidak merasakan dengan gerak-gerik Liu Yam-yo. Apakah begitu? Hanya dia sendiri yang tahu. Paling sedikit luarnya terlihat begitu adanya. Akhirnya Liu Yam-yo sudah mendekat ke tubuh Kie Yam-ke, dalam jarak dekat secepat kilat pedangnya menusuk Kie Yam-ke! Sebuah serangan pedang yang mematikan menusuk titik nadi punggung Kie Yam-ke! Pedang dengan cepat menusuk, sudah mengenai baju yang dikenakan! Kie Yam-ke tetap seperti yang tidak merasakan! Dalam hati Liu Yam-yo amat gembira, tusukannya tambah di percepat! Moncong pedang telah menyentuh daging! Kegirangan Liu Yam-yo mau tertawa keras. Sekejap itulah Kie Yam-ke seperti terkena stroom, tubuhnya bagaikan ikan dalam air meluncur, sekali pelintir sekali memilin. Sekali pelintir sekali memilin membuat semua harapan Liu Yam-yo meleset, entah bagaimana pedang pendek yang sudah menyentuh daging Kie Yam-ke pun tahu-tahu melesat hanya menggores sedikit punggung Kie Yam-ke, baju sobek lukapun berdarah. Pedangnya meleset ke pinggir tidak mengenai sasaran dengan telak! Kie Yam-ke berputar tubuh seperti angin berpusing, sambil tetap memeluk tubuh Siau-ih yang mulai mendingin, melayang dengan mata yang geram. Dengan wajah menakutkan menggaur keras seperti geledek.

   "Liu Yam-yo, aku bersumpah hari ini aku harus membunuhmu!"

   Orang seperti Liu Yam-yo, bisa terkejut sampai mundur selangkah oleh wajah dan pekikan Kie Yam-ke, setelah bergidik sebentar, mundur lagi selangkah.

   Dia ingin sekali memutar tubuhnya segera kabur! Kie Yam-ke melihat pun tidak padanya, memandang dalam-dalam Siau-ih dalam pelukannya yang bagai sudah tertidur nyenyak, seperti takut dia terkejut dan bangun pelan-pelan membungkukkan tubuh, dengan amat hati-hati menaruh tubuh mungil Siau-ih di tanah.

   Saat ini belakang punggung Kie Yam-ke kosong! Sinar tajam di mata Liu Yam-yo menyorot tidak menentu, muka berubah-ubah, tidak bisa mengambil keputusan dalam kesempatan ini kabur atau bertarung hidup mati, satu lawan satu! Kesempatan yang sekilat sudah berlalu.

   Waktu Liu Yam-yo selesai mengambil keputusan, kesempatan telah berlalu, tiba-tiba Kie Yam-ke berdiri, mukanya menghadap Liu Yam-yo.

   Kie Yam-ke bagai berubah menjadi orang lain.

   dia berdiri mantap seperti sebuah gunung.

   Sinar matanya seperti pisau tajam menusuk muka Liu Yam-yo.

   Suara yang mendalam dan rendah membuat hati Liu Yam-yo menyembul perasaan ngeri.

   "Liu Yam-yo, sudah boleh dimulai!"

   Dia berkata sambil mengeluarkan Liang-thian-cinya (mistar)! Liu Yam-yo pernah kalah oleh Kie Yam-ke, dia mengerti hanya mengandalkan Lie-yang-sin-kang tidak akan bisa mengatasi Kie Yam-ke, pedang pendeknya segera diacungkan.

   "Kie Yam-ke, jangan dikira aku takut padamu!"

   Kie Yam-ke tidak menjawab, mistarnya menekan alis, dua mata diam memandang tubuh Liu Yam-yo yang bagaikan api menyala, diam tidak bergerak.

   Liu Yam-yo pun tidak sembarangan bergoyang.

   Saat ini dari dalam hatinya muncul perasaan ngeri, menelan seteguk udara, sekuatnya menekan perasaan itu, sepenuh hati memandang Kie Yam-ke.

   Dua orang sudah saling berhadapan.

   Tapi -hawa membunuh dari keduanya terasa amat kental dan memenuhi udara, mereka sedang beradu kekuatan yang tidak berujud! Akhirnya Liu Yam-yo yang sudah tidak tahan.

   Sambil meraung keras, tubuhnya bagaikan roket meluncur miring dekat sekali dari Kie Yam-ke, tiba-tiba meluncur ke atas, tubuhnya melintir berputar menyembur cepat keatas sampai beberapa meter, lalu bersalto menukik kebawah seperti segumpal awan berapi menutup ke bawah membawa pedang api yang merah menyala, bergoyang-goyang semua menyelubungi kepala Kie Yam-ke! Kie Yam-ke bagai tidak melihat serentetan gaya yang berubah terus dari Liu Yam-yo ini.

   Tubuhnya tetap tidak bergerak sampai awan berapi bintang-bintang dan titik-titik merah menyala sudah mendekat, saat itulah mistar yang menekan dua alisnya itu tiba-tiba mengangkat dan menari-nari di udara.

   Terlihat sinar merah bertitik-titik dan awan hitam saling baradu tepat diatas kepala Kie Yam-ke, mengeluarkan serentetan suara keras dan cepat.

   "CRINGGG, CRINGGG, CRINGGG!"

   Suara belum berhenti, sinar merah titik menyala tiba-tiba lenyap, awan hitam juga mengikuti lenyap.

   Mistar menekan lagi di atas dua alis Kie Yam-ke, tapi Liu Yam-yo seperti selembar awan merah melayang jatuh ke tanah yang jauh.

   Kie Yam-ke tetap tidak bergerak.

   Tapi Liu Yam-yo seperti anak panah meluncur ke depan, pedang pendek dalam tangannya menekan dan memuntahkan kobaran api, dengan menggila menyerang Kie Yam-ke.

   Tepat saat itulah Kie Yam-ke pun mulai bergerak! Bergerak bagai kelinci lepas, menyongsong gempuran Liu Yam-yo.

   Sebentar saja, keduanya sudah saling bergumul.

   "CHIANGGG, CHIANGGG, CHIANGGG!"

   Terdengar serentetan suara senjata beradu, pedang pendek seperti bara api gila-gilaan menggulung Liang-ihian-ci, juga bagaikan naga hitam melonjak-lonjak dan membumbung sinar merah dan bulir hitam mengikuti labuh keduanya, bergerak bergoyang seperti terbang saling bergumul dan bertempur, tenaga keras memukul menimbulkan angin ribut, hawa membunuh sudah bertambah kental saja.

   ooo0dw0ooo Akhirya sinar merah bulir hitam cepat melenyap dan buyar semua.

   Dua bayang orangpun dengan cepat berpisah.

   Kie Yam-ke berdiri dengan mistarnya tetap menekan di alisnya.

   Pedang pendek Liu Yam-yo mengacung agak serong.

   Romannya amat bengis, dadanya naik turun, tangan kiri terjuntai ke bawah, pundaknya ada darah menetes.

   Bagaian bawah baju Kie Yam-ke robek-robek.

   Sepintas tampak Liu Yam-yo menderita kalah lagi.

   Sinar mata Liu Yam-yo berkedip-kedip agak lama.

   Tiba-tiba dia memekik keras, tubuhnya mulai bergerak.! .........Bukan menyerang dan menyerbu Kie Yam-ke, tapi sekali membalik meloncat, lari tunggang langgang masuk ke dalam hutan pinus.

   Dia ingin kabur.

   Bagaimana pun Kie Yam-ke tidak rela membiarkan dia kabur, sambil meraung keras tubuhnya bagaikan anak panah lepas dari busurnya, melejit dan mengejar Liu Yam-yo.

   Dua bayangan orang, satu merah satu hitam, sekejap saja sudah hilang di dalam hutan itu.

   Begitu Liu Yam-yo masuk ke dalam hutan, tangannya membalik dengan pedangnya dia langsung memapas putus sebuah pohon pinus, dia terus meloncat menerobos masuk ke tengah hutan.

   Pohon yang roboh, tepat menghalangi Kie Yam-ke yang kencang mengejar.

   Kie Yam-ke tidak peduli lagi, dia mengangkat lelapak memukul terbang pohon roboh itu, sedikitpun tidak berhenti pengejarannya! Sambil berloncatan kabur pedang pendek Liu Yam-yo terus-terusan membabat pohon di dua sisi di sepanjang jalan, dia berusaha menghambat pengejaran Kie Yam-ke! Kie Yam-ke menggunakan telapak menghantam, dengan mistar memukul, semua pohon pinus yang roboh ke depannya ditangkis terbang.

   Dengan paksa membuka sebuah jalan, bukan saja dia tidak terhambat malah bisa bergerak cepat, terlihat lawannya sudah akan terkejar! Melihat siasatnya tidak bisa menghambat Kie Lam-ke, Liu Yam-yo menjadi gusar.

   Tiba-tiba dia menegakkan tubuh dengan pedang pendeknya membuat sebuah lingkaran sinar api yang menyala-nyala.

   dipalangkan dengan memapas pinggang dan perut Kie Lam-ke yang datang mengejar! Kie Yam-ke terpaksa berhenti, mistarnya dengan cepat dipukulkan.

   "TENGGG", pedang pendek lawannya bentrok dengan keras! Meskipun pedangnya terpental, Liu Yam-yo berhasil menghentikan langkah Kie Yam-ke, melihat maksudnya tercapai, ujung kakinya menghentak, tubuh melompat ke aras sebuah pohon pinus, menginjak dahan berlari cepat! Dilihat sekilas seperti segumpal awan merah bergelinding si udara! Kie Yam-ke sudah memutuskan harus membunuh Liu Yam-yo, bagaimanapun tidak akan membiarkan dia kabur, sekali berhenti dia menerjang lagi. Kali ini dia merubah cara mengejarnya, tidak mengikuti melompat dan mengejar ke pucuk pohon, tapi cepat melayang melompat sambil menghantamkan telapak dan menyabetkan mistarnya mengejar Liu Yam-yo yang berlompatan di pucuk pohon, dia merobohkan pohon-pohon di depan memaksa Liu Yam-yo turun lagi ke tanah! Karena Kie Yam-ke menginjak tanah tentu saja gerakannya lebih cepat dari Liu Yam-yo yang melompat di pucuk pohon, sebentar saja Liu Yam-yo sudah terkejar! Satu diatas pohon yang sarunya di atas tanah, setelah terkejar, pinus di depan langsung dihantam dengan mistar, kebetulan Liu Yam-yo sedang menyeberang dari pohon ini ke pinus yang dirobohkan Kie Yam-ke ini, dengan begini hilanglah pohon pinus tempat injakan Liu Yam-yo. Liu Yam-yo tidak menyangka pohon yang akan di injaknya lebih dulu patah, tubuhnya di udara tidak ada topangan lagi, terus terjatuh ke bawah. Kie Yam-ke sudah menunggu di bawah. Liu Yam-yo terkejut luar biasa. Tangan melayang, segumpal sinar merah meluncur dari tangannya dan dihamburkan pada tubuh Kie Yam-ke yang berdiri di bawah sedang menunggu dia jatuh ke tanah! Waktu itu juga dia mengangkat hawa murninya, tubuh yang jatuh tersentak, dia melayang ke pinggir menuju pohon pinus yang lain! Bayangan hitam berkilat menerpa "BOOMMM"

   Terdengar suara keras, meledak di tempat tadi Kie Yam-ke berdiri.

   Kobaran api melonjak-lonjak, rumput dan pohon terbakar meluas sampai jauh.

   Kalau Kie Yam-ke tidak keburu menghindar tapi tetap berdiri di situ tentu sudah hangus oleh api dan ledakan itu menjadi arang! Untung Kie Yam-ke sudah menghindar bagaikan iblis, sebelum bahan peledak amunisi itu menyentuh tanah, seperti mengetahui Liu Yam-yo akan melayang ke samping pohon, sekali bergoyang dia lebih dulu selangkah di depan, melompat ke depan pohon pinus itu dengan mistarnya menghantam tubuh pohon, dirinya meluncur dan melompat ke atas.

   Tepat Liu Yam-yo mau menginjak pucuk pohon itu.

   "KREKKK"

   Pohon pinus itu patah dari tengah, tentu saja Liu Yam-yo jadi menginjak kosong, saat ini napas udah habis, tubuhnya sudah tidak mampu mengangkat lagi, dia meluncur terus ke bawah! Kebetulan bertemu Kie Yam-ke yang sedang meluncur ke atas! Saat Liu Yam-yo sadar mau menghindar sudah terlambat! Bulir-bulir hitam muncul dan berkilau.

   Liu Yam-yo mengerang mengenaskan dan memilukan, tubuhnya ang meluncur jatuh tiba-tiba terlempar ke kiri "BRUMMM!"

   Dia sudah tidak keburu menghindar langsung menghantam sebuah pohon pinus, terdengar "KRRAAKKKK"

   Pohon pinus itu pun tumbang. Liu Yam-yo bagaikan seonggok batu meteor, cepat sekali terhempas ke tanah! "POPPP!"

   Tubuh Liu Yam-yo sudah seperti setumpuk tanah becek terlempar dan terjatuh di tanah, sudah tidak bisa bergerak lagi.

   Tadi mistar Kie Yam-ke berhasil menghantam punggung Liu Yam-yo, mematahkan pinggangnya, tulang pinggang remuk dihantam sampai tidak tertahan, tubuhnya pun menghantam tubuh pohon hingga roboh.

   Jeroannya pasti terluka parah sekali, dia terlempar jatuh di tanah, sudah tidak akan hidup lagi! Kie Yam-ke cepat-cepat melayang ke sampingnya, cepat-cepat menunduk, membalikan tubuh Liu Yam-yo.

   Tampak mukanya yang merah semua sudah berubah menjadi ungu gelap, dari sudut mulutnya mengeluarkan serat-serat darah, dua mata sudah mau meram, tubuhnya sudah lesu, udara yang keluar banyak yang masuk sedikit, pasti tidak bisa hidup lagi! Kie Yam-ke menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan keras bertanya.

   "Liu Yam-yo, jawablah, kau punya rahasia apa sampai membunuh banyak orang, katakan cepat!"

   Di bawah goncangan dan pekikan Kie Yam-ke, Liu Yam-yo agak membuka matanya, payah dan tidak bertenaga memandang Kie Yam-ke, bibir bergerak-gerak, dengan suara terputus-putus dan lemah berkata.

   "Aku... tidak akan... mem... memberi tahu... padamu, sampai aku... aku matipun... rahasia ini... akan dibawa... ke bawah tanah... kau... selamanya... tidak akan tahu..."

   Tiba-tiba dia muntah darah, matanya pun menutup, kepalanya belok ke samping, tubuh kejang-kejang, akhirnya mati. Pelan-pelan Kie Yam-ke menaruh Liu Yam-yo, menegakkan tubuh memandangi api besar yang membumbung dan membakar. Bergumam sendiri.

   "Hanya demi rahasia yang diketahui olehmu seorang, kau membunuh banyak orang, membunuh Lu Pau, Siau Li-cu, Siau-ih, Ya Tuhan, bukankah ini sudah keliwat kejam?"

   Dengan muka sempoyongan muka bimbang, Kie Yam-ke berjalan keluar hutan pinus.

   Dengan enteng-enteng menggendong mayat Siau-ih, selangkah-selangkah berjalan menjauh! Di belakang tubuhnya api membakar hutan pinus, sinar api membumbung ke langit berbunyi.

   "POPPP POPPP"

   Cepat sekali seluruh hutan pinus sudah menjadi lautan api, tentu saja mayat Liu Yam-yo juga lerkubur dalam lautan api yang dibuat oleh dirinya sendiri.

   Orang yang main api pasti akan terbakar sendiri, pass sekali untuk menyimpulkan kondisi Liu Yam-yo.

   Liu Yam-yo sudah mati, rahasianya mengikuti kematiannya, terkubur dalam kobaran api, selamanya tidak ada orang yang mengetahuinya.

   Dia tidak mau ada orang yang mengetahui rahasianya, terlaksana sudah keinginannya! Kira-kira 10 hari sesudahnya, tersiar berita Kian Ta anak tunggal orang terkaya kota Yang-ciu Kian Jit-san secara aneh telah meninggal diatas ranjang dalam kamar tidurnya, di depan dadanya menancap sebilah pisau yang mengkilap.

   Di gagang pisau terikat secarik kertas yang bertuliskan.

   
Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kie Yam-Ke yang membunuh Kian Ta!"

   Anak tunggal Kian Jit-san terbunuh, tentu saja dia sedih bukan main seperti ditinggal orang tua meninggal.

   Dendam kepada Kie Yam-ke yang membantai Kian Ta, seperti ingin mengupas kulit dan menelan dagingnya, akhirnya dia adukan pada yang berwajib! Pihak yang berwajib segera mengirim orang, mendatangi rumah Kie Yam-ke ingin menangkap, tapi Kie Yam-ke sudah menghilang! Kian Jit-san tidak mau sudah, sogok keatas kebawah, akhirnya yang berwajib membuat poster ke seluruh kota untuk menangkap Kie Yam-ke dan hebohlah seluruh kota Yang-ciu.

   Sebenarnya dimana Kie Yam-ke berada, tentu banyak orang ingin mengetahuinya, paling sedikit Kian Jit-san ingin mengetahuinya, yang berwajib juga ingin mengetahuinya, demi uang hadiah penangkapan sebesar 50 ribu tail siapapun ingin mengetahuinya.

   Ternyata Kian Jit-san demi untuk menangkap Kie Yam-ke dari kocek peribadi mengeluarkan uang hadiah penangkapan sebesar 50 ribu tail! 50 ribu tail bukan uang sedikit, untuk ukuran waktu itu ini adalah sebuah hitungan yang menakutkan, sebuah kekayaan, maka banyak orang kemana-mana mencari tahu keberadaan Kie Yam-ke! Kalau dikatakan kota Yang-ciu tidak ada orang yang mengetahui keberadaan Kie Yam-ke, pasti tidak ada yang percaya, tapi kenyataannya memang begini adanya.

   Sebab Siau Hek-cu saja tidak mengetahui dimana Kie Yam-ke berada.

   Dia hanya tahu semalam sebelum Kian Ta terbunuh, Kie Yam-ke pernah bilang mau berkelana kemana-mana, mau pergi ke tempat yang jauh! Bumi dan langit besar begitu, dibandingkan seseorang, hanya kecil bagaikan setetes air dalam samudra raya.

   Kalau benar Kie Yam-ke sudah pergi, itu sama dengan mencari jarum dalam lautan, tidak akan menemukan jejaknya! Membawa hati yang linglung dan sedih Kie Yam-ke benar-benar telah meninggalkan kota Yang-ciu, meninggalkan tempat yang menyedihkan, membuat dia kehilangan seorang gadis yang amat dicintainya, kasihan dia seorang diri menempuh perjalanan sampai telaga yang tidak bertepi dan penuh bahaya.

   ooo0dw0ooo BAB Dikejar, diburu mau ditangkap dan dibunuh.

   Menghajar habis-habisan 6 orang pemecah gunung.

   Kie Yam-ke kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh, dia sudah berkelana kemana-mana, hari ini sampailah di sebuah kota kecil di bawah kaki Tai-san, karena sudah lapar tidak tertahankan, begitu menemukan sebuah kedai arak kecil, dia segera melangkah masuk.

   Kedainya benar-benar kecil, hanya ada 4 buah meja, salah satu mejanya pincang lagi dan disandarkan di samping tembok.

   Kie Yam-ke duduk di samping meja ini, tiga meja lainnya tampak sudah penuh.

   Kie Yam-ke minta seteko arak murahan, sebab kedai ini hanya menjual semacam arak ini saja, sepiring mantou (bapau tidak berisi tapi manis rasanya), sepiring daging kepala babi asin, sepiring kacang tanah, dan dia mulai makan.

   Dia sudah lapar sekali karena semalaman berjalan di jalan gunung, sebentar saja arak, sayuran, dan mantou sudah habis dilahapnya.

   Sambil menyandar di tembok kekenyangan sambil menghela napas, dia bersiap-siap membayar lalu pergi lagi, Saat inilah seorang laki-laki yang bertubuh kekar bagaikan seekor lembu masuk ke dalam kedai arak ini.

   Matanya menyapu pada 4 buah meja yang sudah penuh dengan tamu, keningnva berkerut, mulut bersungut-sungut ingin mundur kembali.

   Tapi terdengar seseorang memanggilnya dengan suara riang.

   "Lie Ta-gu!"

   Mungkin orang yang bertubuh kekar ini bernama Lie Ta-gu, begitu mendengar panggilan itu dia terkejut cepat-cepat mencari sumber suara.

   Terlihat olehnya seorang pemuda berumur 27 tahun-28 tahunan sedang duduk dekat tembok, mukanya terlihat kelelahan setelah berjalan jauh, dia mengenakan baju hitam, bermuka jernih bersih, rambutnya diikat di atas kepala, sedang tersenyum dan mengangguk-angguk kepadanya.

   Keadaan yang tiba-tiba begini membuat dia tidak terpikir siapa orang yang memanggil dia, maka dengan bengong dia berjalan ke meja itu sambil bertanya.

   "Kau yang memanggil?"

   Tapi sebentar saja matanya jadi bersinar, dengan selangkah maju ke depan, dia merentangkan dua lengan yang kekar dengan suara lantang berseru.

   "Ternyata kau Kie Yam-ke!"

   Kie Yam-ke berdiri, juga merentangkan lengan menyongsong dia.

   Sebentar saja dua orang ini sudah kencang berpelukan, menggunakan kepalan saling beradu punggung lawannya, saking senangnya hingga meloncat-loncat dan tertawa, tidak perduli lagi dengan tamu-tamu meja lain yang menyorotkan pandangan aneh pada mereka.

   Mereka terlalu gembira, bertemu kenalan lama di kampung lain siapa tidak akan terharu dan senang? Apalagi Kie Yam-ke yang sedang berkelana orang diri, bisa bertemu teman baik di tempat asing, senangnya bukan main.

   "Kie Yam-ke, kau bukan di Yang-ciu? Gimana bisa sampai terdampar ke kampung terpencil seperti ini?"

   Setelah saling duduk, Lie Ta-gu yang merasa gembira, terus memegang sebelah tangan Kie Yam-ke. Kie Yam-ke juga erat-erat memegang tangan Lie Ta-gu. Dengan tertawa berkata.

   "Yang-ciu memang ramai, tapi lama-kelamaan juga jenuh, maka aku keluar untuk jalan-jalan. Tidak disangka bisa bertemu denganmu di kota kecil di kaki Tai-san ini, sungguh aku senang sekali!"

   Lalu menyambung lagi.

   "Selama ini bagaimana kabarmu? Kenapa bisa di tempat ini? seingatku waktu aku meninggalkan ibukota kau masih disana."

   Sambil tertawa renyah Lie Ta-gu berujar.

   "Ingatanmu baik sekali, setelah kau meninggalkan ibukota, kelompok temanku juga terpencar. Aku seorang diri di ibukota juga tidak kerasan, tidak bisa kemana-mana. Akhirnya aku memutuskan untuk balik ke kampung halaman, kota kecil ini adalah kampung halamanku. Sudah lama sekali aku tinggal disini, semua baik-baik saja, makanan sehari-hari sih tidak kurang, tapi tidak bisa dibandingkan dengan Yang-ciu kota besar begitu."

   "Masih ingat tidak, ketika kita beramai-ramai berkumpul diatas jembatan gantung?"

   Kie Yam-ke amat gembira memandang rupa kasar tapi penuh bersahaja ini. Sorotan mata Lie Ta-gu segera cerah, dia menepuk pahanya berkata.

   "Tentu, tidak akan lupa, saat itu, gerombolan kita anak muda berkumpul di tengah kota besar, minum-minum sambil bernyanyi-nyanyi, kita melakukan dengan suka-suka, tidak berpura-pura, tidak perlu menutup-nutupi, kita bebas menjunjung kesatriaan dan keadilan, bebas dan merdeka, senang luar biasa!"

   Tiba-tiba matanya menjadi redup, dengan suara rendah berkata.

   "Tapi sejak kau pergi, teman-teman yang lain pun terpencar, aku balik lagi ke tempat ini, aku merasa kesal sekali, sering terkenang masa-masa bahagia dulu!"

   Sorotan mata Kie Yam-ke pun agak bimbang. Dia menepuk-nepuk bahu Lie Ta-gu berkata.

   "Ta-gu, bukankah kita sudah bertemu lagi? Ayo, kita minum sepuasnya!"

   Mata Lie Ta-gu menjadi cerah kembali, dengan senang berkata.

   "Betul, harus minum sepuasnya! Minum sepuasnya! karena hari ini aku gembira sekali!"

   Maka mereka menyuruh pelayan kedai menyiapkan lagi sayur dan arak.

   Mereka berdua juga tidak menggunakan cawan tapi diganti dengan mangkuk besar.

   Kelakuan dulu yang bebas, terus terang dan blak-blakan itu muncul lagi.

   Kau semangkuk, Aku emangkuk minum sampai 7-8 mangkuk.

   "Ta-gu! Beberapa tahun ini kau usaha apa?"

   Setelah minum lumayan banyak, Kie Yam-ke memandang muka memerah Ta-gu mulai bertanya.

   "Orang seperti aku ini bisa usaha apa? Masih tetap yang aku bisa, yaitu membuka tempat perjudian kecil-kecilan untuk mencari sesuap nasi."

   Belum habis Ta-gu berkata, Kie Yam-ke menyela.

   "Sama, aku di Yang-ciu juga membuka beberapa tempat perjudian untuk hidup."

   Lie Ta-gu tertawa senang, katanya.

   "Kau lebih hebat, masalah ini aku sudah tahu, mengandalkan kepandaianmu, mau berusaha apapun tidak sulit, tidak usah memandang pentingnya harta kekayaan!"

   Kie Yam-ke tertawa getir, berkata.

   "Ta-gu, sekarang aku baru merasa pentingnya uang!"

   Sambil membelalakan mata Lie Ta-gu bertanya.

   "Yam-ke, bagaimna ceritanya?"

   Dengan tertawa kikuk Kie Yam-ke berkata.

   "Sebab sekarang aku hanya memiliki uang 2 tail saja. Tapi harus pergi ke banyak tempat, kalau sampai kehabisan uang, bukankah harus kelaparan dan tidur di emper toko?"

   "Yam-ke, bukankah dari dulu kita sahabat yang amat akrab?"

   Kata Lie Ta-gu sambil tertawa lepas.

   "Betul, akrab sampai boleh berkorban untuk membela sahabat!"

   Angguk Kie Yam-ke.

   "Beres!! "

   Lie Ta-gu antusias berkata.

   "Kita sahabat akrab, kalau sahabat harus saling membantu. Yam-ke, bagaimana pun aku akan membantumu. Jangan cemas dengan masalah keuangan! Ayo! Kita minum 3 mangkuk lagi!"

   Dia mengangkat mangkuk mengajak minum.

   Kie Yam-ke pun orang yang berjiwa terbuka dan lapang dada.

   Dia juga mengangkat mangkuk, arak di minum sampai habis diteguknya, dua orang itu minum 3 mangkuk lagi berturut-turut.

   Setelah 3 mangkuk, keduanya sudah agak mabuk, dibawah ajakan Lie Ta-gu, Kie Yam-ke memutuskan tinggal beberapa hari di kota kecil ini.

   Lie Ta-gu membayarkan bon-bon makan minum, saling merangkul meninggalkan kedai minum itu.

   Rumah Lie Ta-gu di utara kota kecil ini, rumah tembok yang terpisah, lumayan kokoh, di depan rumah ada halaman yang berpagar tembok pula.

   Lie Ta-gu belum berkeluarga, masih hidup seorang diri, orang tuanya sudah meninggal, jadi tidak ada beban, tidak ada kungkungan hidupnya lumayan nyaman.

   Lie Ta-gu mengajak Kie Yam-ke duduk di tengah rumah, dia juga duduk di atas sebuah bangku, memandang Kie Yam-ke, tiba-tiba dia bertanya.

   "Yam-ke, kau punya masalah?"

   Tampaknya Lie Ta-gu orangnya serampangan, tapi hatinya teliti, dia sudah melihat dari muka Kie Yam-ke yang lelah dan kusut itu, tentu ada apa-apanya.

   Kie Yam-ke pun tidak merahasiakan pada Lie Ta-gu, hanya tadi tidak leluasa berbicara dalam kedai arak, melihat dia bertanya, maka tidak segan-segan lagi dia mengangguk-angguk.

   "Betul, betul bermasalah! Ta-gu, bukan aku tidak percaya padamu......"

   Lie Ta-gu memotong perkataan Kie Yam-ke.

   "Yam-ke, kalau keberatan jangan diceritakan."

   "Ta-gu, aku membunuh orang di Yang-ciu!"

   Kie Yam-ke terus terang berkata.

   "Sebab itu, aku terpaksa meninggalkan Yang-ciu!"

   Lie Ta-gu tampak maklum, katanya.

   "Menurut adatmu, orang yang kau bantai pasti amat jahat dan kurang ajar!"

   Kie Yam-ke menghela napas panjang, lalu menceritakan, dia membantai Yo-kun Liu Yam-yo dan malam-malam masuk ke rumah orang terkaya di Yang-Ciu yang bernama Kian jit-san, membunuh anak tunggalnya Kian Ta yang mengakibatkan terbunuhnya kekasih dia, Siau-ih.

   Dari semula sampai terakhir dia membeberkan pada Lie Ta-gu.

   Akhirnya dengan tertawa getir dia berkata.

   "Sekarang aku adalah seorang pembunuh. Tentu pihak yang berwajib telah menempelkan poster dimana-mana, dan menggambar mukaku untuk menangkap aku!"

   Lie Ta-gu dengan tenang mendengar cerita Kie Yam-ke, lalu memukul pahanya dengan suara tegas berkata.

   "Sungguh puas! Jahanam itu patut dibantai! Kalau jatuh padaku pasti aku pun akan melakukan hal yang serupa! Yam-ke, kau tenang saja diam disini, disini tempat terpencil, orangnya sedikit, yang berwajib tidak akan sampai kemari, tidak akan ada bahaya. Tunggu setelah masalah ini mereda, yang berwajib tidak lagi gencar menangkap dirimu, waktu itu terserah kau mau disini atau mau pergi, begitu saja!"

   Dengan amat berterima kasih Kie Yam-ke berkata.

   "Ta-gu, aku tidak mau kau terseret masalah ini!"

   Sambil membelalakan mata Lie Ta-gu berkata.

   "Jangan bicarakan soal terseret tidak terseret. Kita kan teman akrab. Sudah cukup, jangan bicara lagi, kalau diteruskan sama dengan tidak menganggap aku sebagai teman baik, teman akrab lagi!"

   Kie Yam-ke dari kalangan berandalan, mengerti sekali orang-orang gembel lebih mengutamakan rasa setia kawan.

   Hidup mati dianggap masalah ringan, kalau dia berkata lagi, itu sama dengan tidak menganggap dia teman baik, teman akrab, maka dengan cerah dan segar dia berkata.

   "Kalau begitu aku tidak sungkan-sungkan lagi numpang tinggal disini!"

   Lie Ta-gu baru senang dan tertawa lepas.

   "Ini baru teman baikku, teman akrabku!"

   Lalu dia berkata lagi.

   "Yam-ke, nanti aku akan membawa teman-temanku untuk dikenalkan padamu supaya ramai dan meriah!"

   Dengan senang hati Kie Yam-ke berkata.

   "Baik, aku juga ingin berkenalan dengan mereka."

   Lie Ta-gu orang yang tidak sabaran, dia segera berdiri dan berkata.

   "Kau duduk-duduk dulu, aku pergi beritahu anak-anak tutup setengah hari tempat perjudian itu. Siapkan makanan dan arak, kita bergembira ria nanti!"

   Selesai berkata orangnya pun sudah keluar, seperti angin sekejap saja sudah tidak kelihatan lagi.

   "Masih tetap seperti dulu, ceroboh, tidak sabaran tapi menyenangkan!"

   Kie Yam-ke memandang sampai Lie Ta-gu menghilang di kejauhan, lalu bergumam sendiri. ooo0dw0ooo Duduk sendiri di dalam rumah, pikiran Kie Yam-i datang bergelombang, terpikir masalah yang timbul dalam waktu dekat ini bagaikan bermimpi buruk.

   "Siau-ih....Siau-ih...."

   Dia memanggil dalam ..hati, depan mata samar-samar muncul bayangan Siau-ih mg malu-malu, sepasang mata memendam perasaan, ayu, dan molek, hatinya merasa amat pedih dan sakit.

   Siau-ih demi dia tidak terancam oleh Liu Yam-yo, memilih mengorbankan dirinya.

   Memang dia telah membantai Liu Yam-yo juga telah membunuh Kian Ta dengan tangan sendiri, tapi tetap tidak bisa membuat Siau-ih hidup kembali.

   Dan sesudah bisa membalaskan dendam untuknya, sebuah percintaan selesai sudah.

   Sebenarnya bukan selesai tapi dipendam dalam hati yang paling dalam.

   Siau-ih telah meninggal, Kian Ta pun dibunuh.

   Yang-ciu, sudah tidak ada yang perlu dia rindukan lagi.

   Sebenarnya dia pun tidak mungkin tinggal di Yang-ciu lagi, kalau tidak dia bisa ditangkap, terpaksa dia angkat kaki meninggalkan Yang-ciu yang ramai dan meriah, juga meninggalkan saudara baiknya di alam baka seperti Lu Pau, Siau Li-cu dan lain-lain, pergi mengembara.

   Tapi di manakah dia bisa tinggal? Terpikir sampai disini, dia menghela napas panjang.

   Memang dia bisa tinggal disini untuk beberapa waktu, tapi nanti...

   Dia tidak berani berpikir lagi, dia tidak tahu dimana dia harus tinggal dan hidup.

   Dunia memang besar, tapi dia merasa bimbang tidak ada pegangan.

   Dalam keadaan bingung, dia berdiri sambil berjalan ke halaman luar.

   Halaman sepi hanya dia seorang yang berdiri.

   Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tangannya dibalik tubuh menerawang ke langit biru.

   Tiba-tiba dia menunduk memandang pagar yang setinggi setengah tubuh itu dengan tenang berkata.

   "Teman di luar pagar, berdirilah, berjongkok terus nanti kaki bisa kesemutan, kalau bertarung akan rugi sendiri."

   Segera terdengar suara tertawa yang riuh dari balik pagar, bersamaan dengan suara itu, muncul 6 orang yang mengenakan jubah kuning berambut merah, tinggi besar seperti tower besi setengah tiang, setiap orang memegang kampak besar, terpisah berdiri di dua sisi luar pagar, dua belas sorotan mata yang tajam itu semua terkumpul di tubuh Kie Yam-ke.

   Postur tubuh Kie Yam-ke yang tinggi tegap hanya mencapai pundak mereka saja, bisa dibayangkan tinggi besarnya mereka.

   Mata Kie Yam-ke menyapu sekali pada 6 orang raksasa ini, seraya berkata.

   "Kai-san-liok-teng, Coh bersaudara?" (6 orang penghancur gunung) Emam orang itu dengan riuh menjawab.

   "Betul, itu kami bersaudara!"

   Suaranya keras bagaikan geledek.

   Lalu 6 orang besar ini berbareng mengayunkan kampaknya.

   Pagar pendek yang menghadang mereka bagaikan terbuat dari kertas, runtuh semua.

   Sekali melangkah 6 orang itu sudah masuk ke dalam halaman, berdiri mengelilingi Kie Yam-ke! Diam-diam Kie Yam-ke terkejut, tapi matanya tidak dikedipkan.

   'Kai-san-liok-teng' Coh bersaudara sangat tersohor di dunia persilatan, mereka menggemparkan daerah Tai-hang-san, dengan kebesaran namanya, tidak ada orang berani berbuat macam-macam pada mereka.

   Adapun urutan 6 bersaudara itu adalah.

   'Kai-san-pek-lek-hu' (Kampak halilintar pemecah gunung) Coh Liong.

   'Kai-san-sin-lek-hu' (Kampak sakti pemecah gunung) Coh Jio.

   'Kai-san-lie-tee-hu' (Kampak pemecah gunung pembongkar tanah) Coh Houw.

   'Kai-san-sen-thian-hu (Kampak pemecah gunung penggetar langit) Coh Pa.

   'Kai-san-po-long-hu (Kampak pemecah gunung pembuyar gelombang) Coh Sai.

   'Kai-san-coan-hong-hu (Kampak pemecah gunung penahan angin puyuh) Coh Long.

   6 bersaudara ini karena postur tubuhnya tinggi besar, tenaganya luar biasa, sangat berbeda dengan orang pada umumnya.

   Mereka juga tidak diketahui berguru pada siapa, dan dari aliran mana, setiap orangnya menggunakan kampak yang berat sekali.

   Satu seri jurus kampak 'Kai-san' karena tenaga besar sekali tampak cukup memecah gunung, membelah tanah, buas tidak tertahankan, orang-orang tidak berani mengusik mereka.

   Enam bersaudara ini secara khusus berlatih bersama jurus kampak 'Kai-san-liok-teng' kekuatannya sangat dasyat, siapapun yang menantang pasti hancur lebur.

   Pernah satu kali, 6 orang itu bersama-sama memecah bukit.

   Betul saja, puncak bukitnya sampai ambles bermeter-meter dalamnya, membuat orang-orang yang melihat tercengang sampai tidak percaya dengan kenyataan yang terjadi di depan mata.

   Sejak itulah 6 bersaudara mendapat gelar 'Kai-san-liok-teng'.

   Saudara paling sulung dari 'Kai-san-liok-teng' Coh Liong bersuara bagaikan suara godam memukul, katanya.

   "Kau Kie Yam-ke? Di Yang-ciu yang membunuh anak tunggal orang terkaya itu?"

   Kie Yam-ke tetap tenang dibelakang, dengan asal-asalan berkata.

   "Betul itu aku!"

   Suara Coh Pa yang menggetarkan gunung, dengan lantang berkata.

   "Tidak disangka kau sangat berani. Di depan kami berenam sedikit pun tidak gemetar."

   Dengan alis mengangkat Kie Yam-ke berkata.

   "Kita sama-sama manusia, bukan setan bukan iblis, apa yang perlu ditakuti?"

   Coh Long bagaikan angin puyuh dengan suara kasar dan cepat berkata.

   "Apa kau tidak takut mati?"

   Kie Yam-ke mengangkat bahu.

   "Lebih baik susah hidup daripada mati, siapa yang mau mati, tentu kalianpun tidak mau bukan? Kalau hal mati itu susah dikata, paling sedikit aku tidak ingin mati juga tidak takut mati!"

   Coh Jio dengan aksi berkata.

   "Perduli kau mau tidak mau mati, takut atau tidak takut mati, hari ini kau pasti mati!"

   Kie Yam-ke berkata.

   "Betulkah? Tetapi kenapa? Aku yang rendah percaya belum pernah kenal kalian, belum pernah berlemu, apa lagi ada perselisihan, bukan?"

   Dengan keras Coh Houw berkata.

   "Karena kau telah membunuh Kian Ta. Orang tuanya Kian Jit-san memberi hadiah 50 ribu tail perak, bersumpah ingin mengambil kepalamu. Kami bersaudara demi uang perak yang berkilau-kilau sudah pasti mau membunuh kau, memenggal kepalamu untuk ditukar dengan uang!"

   Ternyata demi membalas dendam anaknya, dari hadiah dari 30 ribu tail sudah dinaikkan menjadi 50 ribu tail, untuk membujuk orang-orang Bu-lim kalau ingin mendapatkan hadiah ini harus mengejar dan menangkap Kie Yam-ke.

   Jurusnya memang ampuh, 'Kai-san-liok-teng' Coh bersaudara tidak sayang jauh-jauh dari Tai-hang-san mengejar dan mencari sampai kesini.

   Sebab setelah membantai Kian Ta, Kie Yam-ke malam itu juga meninggalkan Yang-ciu, sama sekali tidak mengetahui Kian Jit-san tidak sayang uangnya.

   Berani membeli kepala Kie Yam-ke dengan harga semahal itu, mendengar dari mulut Coh Houw, hatinya menjadi resah, dia berpikir, 'mulai sekarang, kelihatannya kehidupanku tidak akan tentram lagi seumur hidup!' mukanya pura-pura tenang berkata.

   "Tidak disangka kepalaku begitu berharga, lebih tidak disangka lagi kalian berenam yang menyandang nama besar, demi 50 ribu tail perak, mau dibujuk oleh Kian Jit-san yang hina itu untuk membunuh orang seprofesi, amat disayangkan dan amat menyedihkan!"

   Coh Sai seperti singa menggaur dengan keras berkata.

   "Kie Yam-ke, kalau kau mengerti baik-baiklah menyerahkan diri, kalau tidak, dengan jurus kampak 'Liok-teng' dijamin kepalamu akan berpisah dengan tubuhmu!"

   Kie Yam-ke tersenyum, dengan acuh berkata.

   "Kalian berenam terlalu banyak bicara, kenapa belum juga segera mengambil kepalaku?"

   Coh bersaudara sama-sama memekik keras, seperti langit mau runtuh, bumi mau terbelah, bergerak serempak.

   Sama-sama mengangkat kampak bergaya akan memecah gunung membelah batu.

   Gerakan keenam bersaudara ini membuat Kie Yam-ke tidak bisa berkutik, jangankan bertarung, melihat keadaannya saja orang yang agak gentar sudah terkencing-kencing lemas di tempat.

   Gaya Coh bersaudara mengangkat kampak, persis enam orang jenderal utusan dewa turun ke bumi, sangat menakutkan! Jangan melihat Kie Yam-ke santai-santai saja, sebenarnya sekujur tubuhnya, dari atas kebawah, sudah mendapatkan tekanan yang amat sangat, terus datang menghanpiri dirinya.

   Kie Yam-ke mengeluarkan mistar Liang-thian-ci yang hitam mengkilap.

   Saat itu pula Coh bersaudara menghantamkan satu ayunan kampak yang akan membuat bumi dan langit berubah warna, jurusnya adalah "Pan Gu Kai-lhian-tee"(Pan Gu membelah bumi dan langit)! Jurus "Liok-teng-kai-san"

   Adalah jurus kampak yang paling dahsyat! Sejak Coh bersaudara terjun ke dunia persilatan, ini kali ke duanya mereka memakai jurus "Pan Gu Kaili lian-tee", yang pertama ketika melawan Kim-kong taysu, Kim-kong Taysu mirip dengan Coh bersaudara, Romannya beringas dan bertubuh tinggi besar persis sebuah patung yang kokoh.

   Kepandaiannya kabarnya hanya sedikit di bawah dari Hong-tiang Siauw-lim-sie.

   Telapak Tay-pan-ji, telunjuk Kim-kong, kepalan sakti seratus langkah, dan lain-lain keahlian langka Siauw-lim-sie, sudah dilatihnya dengan sempurna.

   Tapi saat bentrok dengan Coh bersaudara ini, menghadapi "Pan Gu Kai-thian-tee"

   Yang dimainkan bersama ini! Kim-kong Taysu berhasil dibelah menjadi 9 potong, langsung mati di tempat itu juga, dengan ini terlihat betapa hebatnya jurus "Pan Gu Kai-thian-tee"

   Ini.

   Tokoh no 2 Siauw-lim-sie, Kim-kong Taysu saja tidak kuat menahan jurus "Pan Gu Kai-thian-tee"ini, tapi Kie Yam-ke sama sekali tidak menghindar, pun tidak menepi, mistar hitam mengkilap membuat sebuah lingkaran sinar hitam, menyongsong 6 buah kampak yang datang menghantam kepalanya! Hanya dengan mistar yang pendek dan enteng, menahan 6 buah kampak pembelah bumi yang beratnya ratusan kati, persis bagaikan Tang-pi-tang-ce (Lengan Belalang menahan Kendaraan) kalau bukan Kie Yam-ke memang mau mencari mati, pasti Kie Yam-ke sudah gila! Timbul kejadian aneh, Kim-kong Taysu dari Siauw-lim-sie, seorang pengawal Budha yang hebat kepandaiannya, tidak mampu menahan pukulan "Pan Gin Kai-thian-tee"

   Tapi Kie Yam-ke secara ajaib dan luar dugaan berhasil menahan! 6 buah kapak besar secara paksa dapat di tahan dan dikurung oleh Kie Yam-ke, sedikitpun tidak dapat dihantamkan! Kalau bukan dihadapi oleh mereka 6 orang bersaudara, sampai mati pun tidak ada yang percaya, sebuah mistar kecil dapat mengurai ayunan 6 buah kapak besar bahkan terhadap jurus kampak "Pan Gu Kai-thian-tee"

   Coh bersaudara yang mengayunkan kampaknya, melihat Kie Yam-ke tidak tahu diri berani menantang dengan mistarnya yang kecil, muka mereka terlihat berseri-seri, mereka yakin Kie Yam-ke pasti tidak akan bisa lolos! Ketika terdengar 2 macam logam beradu, 6 kampak bagaikan menghantam tembok besi, lengan mereka semua tergetar hingga kesemutan.

   Mereka seakan melihat hantu saja, tawanya membeku, mukanya segera berganti dengan rasa tercengang dan terkejut! Anak muda yang penampilan biasa-biasa saja ternyata bisa mengungguli Kim-kong Taysu dari Siauw-lim-sie, malah dengan enteng saja menahan jurus yang mematikan ini! 6 orang bersaudara ini membelakan mata yang sebesar kelengkeng, dengan perasaan takjub memandang Kie Yam-ke yang lebih pendek dari mereka itu! Sebenarnya Kie Yam-ke pun ragu-ragu, apa dia sanggup menahan jurus "Pan Gu Kai-thian-tee"

   Yang dahsyat tiada tandinganya ini? tapi apa boleh buat, jurus yang dikeluarkan mereka sudah menutup semua jalan mundurnya, menghindarpun sudah terlambat, dalam Keadaan yang gawat, demi mencari kehidupan dalam bahaya, Kie Yam-ke terpaksa dia menahan dengan mistarnya.

   Memang dia bisa bertahan, tapi sebelah lengannya tergetar hingga terasa sakit dan kaku, darah di dalam dada seperti bergolak, dia mengambil nafas panjang, memaksakan diri bertahan terus.

   Kepahitan ini hanya bisa ditelan sendiri olehnya.

   Coh bersaudara tidak mau sudah begitu saja, mereka menambah tekanan pada kampak mereka.

   Kie Yam-ke bertambah payah, bagaikan menopang sebuah gunung besar, keringat sebesar kacang kedelai sudah bercucuran di dadanya.

   Kalau Coh bersaudara terus menambah tenaganya, pertahanan Kie Yam-ke pasti akan runtuh.

   Ini adalah pertarungan yang amat besar perbedaannya, keringat Kie Yam-ke sudah bercucuran, terus menetes kebawah.

   "Kie Yam-ke kami bersaudara terlalu meremehkanmu, jurus maut yang tidak sanggup ditahan oleh Kim-kong Taysu dari Siauw-lim-sie, ternyata kau sanggup menahannya. Tapi kau tetap harus MAMPUS!"

   Coh Liong bersaudara seperti geledek.

   "Kita lihat, dia masih sanggup bertahan berapa lama lagi?"

   Coh Long bersaudara bagai rubah.

   "Ini hanya masalah waktu, cepat atau lambat 50 ribu tail yang berkilau-kilau pasti menjadi milik kita!"

   Coh Pa ganas seperti macan tutul kelaparan.

   "Kie Yam-ke terimalah nasibmu, relakanlah demi tujuan kami!"

   Coh Jio berkata dengan jujur "kami akan mengakhirimu disini"

   "Karena kau sanggup menahan jurus "Pan Gu Kai-thian-tee"

   Kami, matipun kau tidak perlu menyesal, paling tidak kau lebih hebat dari Kim-kong Taysu dari Siauw-lim-sie"

   Coh Houw seperti macan mengaum.

   "Kau orang pertama yang sanggup menahan jurus "Liok-teng-ku-teng" (6 orang berkumpul di puncak) Coh Sai terus mengaum. Sesudah 6 orang itu masing-masing selesai bicara, keringat Kie Yam-ke mengucur terus, mukapun memerah. Detik setelah mereka berenam selesai bicara, Kie Yam-ke seperti sudah mendapat jalan, tiba-tiba dia memekik keras, rupanya dia sudah tidak mau bertahan lagi, tubuhnya segera memendek ke bawah! 6 kampak besar Coh bersaudara pun mengikuti gerakannya, turun menghantam! Kali ini Kie Yam-ke seperti sulit lolos dari nasib tubuhnya dihantam kampak! Muka Coh bersaudara serentak berseri. 6 kampak serempak menghantam tubuh Kie Yam-ke yang sudah berjongkok di tanah, tapi tubuh Kie Yam-ke secepat kilat tiba-tiba bergulung bagaikan sebuah bola. Saat 6 kampak sudah mendekat ke tubuhnya, dengan lebih cepat sedikit dia bergelinding dari celah-celah kampak itu menuju arah Coh Long dan Coh Sai. 6 kampak tajam itu bersama-sama menghantam, menimbulkan suara yang menakutkan, bumi seperti terbelah, debu berterbangan, dalam waktu yang bersamaan terdengar jeritan berturut-turut yang memekikan telinga dari Coh Sai dan Coh Long, tubuh mereka oleng ke samping dan roboh "BENGCG, BENGGG"

   Mengikuti suara terlempar mereka terduduk di tanah, ketika itu sebuah bayangan hitam melejit dan menggelinding keluar.

   Hantaman 6 kampak Coh bersaudara ini betul-betul mengerikan, dimana mulut kampak menghantam tanah, segera muncul 6 buah celah retak yang dalam dan panjang, kalau tubuh Kie Yam-ke yang terhantam, pasti terpotong jadi 7-8 bagian.

   Untung, dia dengan cerdik bisa menghindar dan dapat lolos dari tekanan mereka.

   Kepala Kie Yam-ke masih bercucuran keringat.

   Tapi dia sudah berdiri di belakang Coh Sai dan Coh Long.

   sedang menyeka keringatnya.

   Coh Sai dan Coh Long tidak bisa berdiri, paha mereka berlumuran darah.

   Antara paha dan betis mereka tersapu putus dan remuk oleh mistar, saat ketika Kie Yam-ke menggelinding kearah mereka! Betul Kie Yam-ke sudah terlepas dari bahaya.

   Tapi ketika sorot matanya melihat ke tempat dimana dia berdiri tadi, diam-diam hatinya menciut, mukanyapun berobah, dia menghela nafas dalam-dalam.

   Kie Yam-ke memandangi 6 orang yang berdiri dengan mendesak, katanya.

   "Teman, bawa pergi saudara kalian yang terluka. Persoalan ini kita hentikan sampai disini saja, bagaimana?" 4 orang yang tidak terluka sama-sama terkejut dan bengong, memandang dia seperti seorang siluman. Mereka masih belum percaya Kie Yam-ke dapat menghindar dengan tidak kurang sesuatu apa terhadap serangan mereka bersama. Tapi kenyataan yang ada di depan mata, mereka tidak bisa tidak harus percaya. Coh Liong bagaikan naga melengking, bersuara.

   "Kie Yam-ke, kalau hari ini kami tidak bisa membunuhmu, bagaimana kami dapat melanglang buana di sungai telaga nanti?"

   Perkataanpun belum selesai, sebuah kampak bagaikan halilintar dengan cepat dibabatkan, menyabet pinggang Kie Yam-ke.

   Kampak Coh Jio pun ikut menyabet kepala Kie Yam-ke! Kampak Coh Houw diayunkan miring membabat dada Kie Yam-ke! Sedangkan kampak Coh Pa terayun menyabet punggung Kie Yam-ke! 4 orang itu masing-masing menghantam satu sabetan, sebentar saja Kie Yam-ke dikurung rapat lagi di tempatnya! Tapi Kie Yam-ke memang hebat, entah dengan cara apa seperti siput berputar, sudah tidak ada mampu berkelit secepatnya dari sambaran Coh Liong ke arah pinggangnya, mistar dipukulkan "CRINGG!!"mengenai mulut kampaknya Coh Jio.

   Kampaknya pun sontak sebagian, dan kampak besar ini pun terlontar keatas.

   Dalam waktu bersamaan, satu kaki Kie Yam-ke menyepak gagang kampak Coh Houw, mistar dari atas ke bawah membuat Vi lingkaran, saat kampak Coh Pa mengenai pundak dan punggungnya, mistar hanya lebih cepat sedikit menggores pergelangan lawannya, Coh Pa merasa tangan yang memegang kampak menjadi kaku dan kampaknya terlepas, mulut kampak yang menempel dengan dibahu tergelincir ke tanah, menancap dalam ke tanah dan hanya menyisakan gagangnya saja.

   Hanya sekejap mata Kie Yam-ke dengan ajaib udah mengurai serangan yang dahsyat dari 4 orang Coh bersaudara dan melukai Coh Pa.

   Jurus dan gaya yang menakjubkan ini membuat Coh Liong dan lainnya berhenti tanpa sadar, tidak berani menggempur lagi.

   3 orang dari 6 sudah terluka, dihitung orang dan kekuatannya sudah hilang setengah.

   Tadi 6 orang bersatu saja tidak sanggup melukai Kie Yam-ke, kalau sekarang memaksa bertarung lagi, sama dengan mencari mati.

   Sambil menanggung malu Coh Liong berniat untuk mundur.

   "Teman-teman coba dengar perkataan Cayhe, berdasarkan kedudukan dan nama besar kalian di sungai telaga, apa artinya demi uang 50 ribu tail perak tapi nama kalian tercoreng? Kalian pergilah!"

   Saat ini Kie Yam-ke dengan tenang memandang Coh Liong dan lainnya yang masih tidak bisa menentukan tindakannya.

   Seumur hidup mereka baru pertama kali ini mereka menghadapi orang yang hebat seperti ini.

   Juga pertama kali bertarung mengalami kekalahan, dalam hati timbul perasaan ngeri dan takut.

   6 bersaudara itu saling pandang, saling memahami isi hati sendiri.

   Dari isyarat mata sudah saling paham.

   Maka Coh Liong angkat bicara.

   "Kie Yam-ke kau hebat, sampai kami 6 bersaudara harus menerima kekalahan. Boleh tahu siapa gurumu, dan dari aliran mana?"

   Dari pembicaraan Coh Liong, Kie Yam-ke sudah bisa menangkap maksud mereka akan mundur. Tapi tidak enak langsung angkat kaki jadi bertanya dulu asal usul dan gurunya, agar pantas untuk mundur, maka dengan tertawa asal dia berkata.

   "Teman-teman aku berasal dari kalangan berandalan di kota Yang-ciu, belakangan puluhan tahun bergumul di ibukota. Lalu kembali lagi ke Yang-ciu, sebelum kalian mengejar aku, tentu sudah menyelidiki dulu dengan baik, Aku tidak perlu lagi bercerita, soal guru.... maaf, aku tidak bisa memberitahu kalian"

   Air muka Coh Liong berobah-robah, dengan tertawa payah dia buka suara.

   "Anda orang hebat yang tidak mau menampakan diri, kami bersaudara menerima kekalahan di bawah tanganmu, jalan masih panjang pada suatu hari kita bertemu pula!"

   Selesai berkata dia menyuruh Coh Jio dan Coh Houw masing-masing memapah 1 orang, lalu pergi dengan cepat.

   Kie Yam-ke tidak berkata apa-apa, berdiri diam ampai tidak tampak bayangan mereka lagi, dia masih berdiri disitu tidak bergerak, seperti sedang memikirkan sesuatu.

   Lie Ta-gu membawa beberapa orang temannya dan kembali dengan gembira, masih jauh dia melihat Kie Yam-ke berdiri sudah memekik-mekik "Yam-ke!!"

   
Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kie Yam-ke terbangun dari melamun, melihat muka dan diri Lie Ta-gu yang mekar dan jujur, diam-diam dia mengambil suatu keputusan, dia tersenyum memanggil Lie Ta-gu dan kawan-kawannya yang datang mendekat.

   Begitu masuk halaman Lie Ta-gu sudah tidak ibar dengan keras berkata pada Kie Yam-ke.

   "Kie Yam-ke ini teman-temanku"

   Satu per satu diperkenalkan pada Kie Yam-ke dan ke-4 orang itu masing-masing membawa bungkusan makanan dan seteko arak. Lie Ta-gu tergesa-gesa menarik lengan baju Kie Yam-ke dengan keras dan berkata.

   "Ada daging, ada arak, kita harus minum sepuasnya Yam-ke!"

   Dia segera masuk ke dalam. Baru beberapa langkah berjalan, dia melihat di depannya seperti jurang saja, cepat-cepat dia berhenti. Dengan bingung dia berbalik muka dan bertanya dengan cepat.

   "Yam-ke ada apa ini? Apa ada orang menguntit dan mencarimu sampai kemari?"

   Kie Yam-ke memandang tanah di halaman yang pecah-pecah dan tenggelam itu dengan tenang dia mengangguk.

   "Betul tadi ada orang yang mencariku kemari, tapi semua sudah pergi lagi!"

   Dengan amat kuatir Lie Ta-gu bertanya.

   "Siapa saja mereka?"

   "Kai-san-liok-teng Coh Bersaudara!"

   Kie Yam-ke berkata sambil mengerutkan alis. Dia mengerutkan alis sambil berpikir akan ada banyak orang yang mencarinya sampai kemari. Begitu mendengar, air muka Lie Ta-gu berubah. Cepat-cepat bertanya.

   "Coh bersaudara yang merajalela da Tai-hang-san itu?"

   Kie Yam-ke mengangguk. Tiba-tiba Lie Ta-gu merasa gembira memegang satu lengan Kie Yam-ke berkata.

   "Yam-ke katanya Coh bersaudara sangat hebat, mereka punya kampak tajam yang mampu membelah gunung, memecah batu, kalau bisa dipukul mundur olehmu seorang, malah ada yang sampai cedera segala, berarti kau sangat hebat, aku sangat gembira!"

   Lie Ta-gu sudah melihat noda darah di tanah, maka dia tahu ada orang yang cedera.

   4 orang teman-teman Lie Ta-gu mendengar Kie Yam-ke seorang diri sanggup memukul mundur 6 orang Coh bersaudara, semua menjadi kagum padanya.

   Kie Yam-ke melihat Lie Ta-gu amat antusias dan polos, hatinya terharu, dia juga membalas memegang kencang-kencang lengan Lie Ta-gu.

   Selanjurnya Lie Ta-gu bertanya.

   "Yam-ke, apa mereka datang mencarimu demi uang hadiah dari yang berwajib?"

   Kie Yam-ke mengeleng-gelengkan kepala.

   "Bukan, uang dari yang berwajib hanya sedikit, mereka tertarik, tapi demi 50 ribu perak dari Kian Jit-san, mereka kemari ingin mengambil kepalaku"

   "Keji sekali, mereka sama sekali tidak peduli rasa setia kawan dunia persilatan! "

   Lie Ta-gu marah dan memekik-mekik.

   "kenapa kau tidak bunuh saja mereka semua?"

   Kie Yam-ke mengeluh, sebelah tangannya ditumpangkan di atas pundak Lie Ta-gu berucap.

   "Kalau sudah dibunuh bagaimana? Perbuatan ini tidak bisa menyelesaikan semua masalah, hanya akan menambah dosa saja. Kalau dugaanku tidak salah, akan ada orang demi 50 ribu tail perak, datang kemari mau mengambil kepalaku lagi"

   Sambil membelalakan mata Lie Ta-gu berkata.

   "Yam-ke, jangan terlalu kuatir, orang-orang yang tergiur oleh upah 50 ribu tail itu kalau datang lagi mencari masalah aku belah saja menjadi 2 potong"

   Kie Yam-ke terharu, berkata.

   "Ta-gu, ini yang disebut Lai-cia-put-san, san-cia-put-lai (yang datang tidak baik, yang baik tidak datang) yang akan datang mencari kemari pasti bukan orang lemah, apalagi aku telah mengalahkan Coh bersaudara, jika kabar ini sampai tersiar luas ke sungai Telaga yang datang kesini pasti yang lebih kuat lagi, tentu tokoh-tokoh yang sulit diatasi, Ta-gu aku tidak mau kau terlibat, aku mau segera pergi dari sini!"

   Lie Ta-gu terkejut, meloncat dan memekik.

   "Yam-ke ini sama dengan tidak menganggap aku teman!"

   Dengan menepuk-nepuk bahu Lie Ta-gu dengan enteng Kie Yam-ke berkata.

   "Ta-gu, justru kaulah teman baikku, maka aku tidak ingin melibatkanmu menjadi korban, kau harus tahu ke depan pasti orang-orang yang sulit dihadapi akan datang, aku tidak mau kau kehilangan nyawamu demi aku"

   Dengan bandel Lie Ta-gu berkata.

   "Biar gampang atau susah dihadapi, pokoknya kau teman baikku, teman sedang kesulitan, masa aku tidak peduli?"

   Kie Yam-ke terharu, dengan suara meninggi berkata.

   "Ta-gu ada yang perlu aku tanyakan"

   Lie Ta-gu membelalakan mata memandang Kie Yam-ke.

   "Kungfumu melebihi Coh bersaudara tidak?"

   Lie Ta-gu tidak mengerti mengapa Kie Yam-ke bertanya begitu, dengan bingung dia memandang Kie Yam-ke, lalu dengan terus terang berkata.

   "Kungfuku yang seperti kucing kaki 3 begini, sama sekali tidak mampu menerima satu jurus pun dari salah satu Coh bersaudara itu!"

   Kie Yam-ke mengangguk.

   "Ta-gu maafkan aku yang bicara sembarangan, dengan kungfumu yang seperti ini, sama dengan membuang nyawa, kau kira aku tega?"

   Lie Ta-gu terperanjat, setelah dipikir-pikir betul juga kalau dirinya memaksa menahan Kie Yam-ke tinggal disini itu hanya tenang sebentar saja, setelah Coh bersaudara datang mencari masalah, pasti berturut-turut ada orang datang lagi, dirinya tentu tidak akan membiarkan saja kalau dia bertarung, akibatnya harapan hidup dirinya menjadi tipis sekali.

   Kie Yam-ke akan susah kalau aku mati, tidak ada kebaikan untuk masalah ini.

   maka dia harus membiarkan Kie Yam-ke pergi saja.

   Akhirnya dengan berat hati dia berkata.

   "Baiklah, aku merelakan-mu pergi. Tapi kau harus minum puas dulu bersama kami!"

   Kie Yam-ke memegang kedua tangan Lie Ta-gu dengan suara terharu berkata.

   "Baiklah, kita minum sampai sepuasnya!"

   Berpegangan tangan mereka bersama masuk ke dalam rumah.

   4 orang teman Lie Ta-gu sudah menyiapkan makanan dan arak, 6 orang duduk mengelilingi meja dan makan dan minum sepuasnya.

   ooo0dw0ooo BAB Malarat dikampung orang.

   Disandera, diikat, diringkus.

   Langit baru tampak memutih.

   Lie Ta-gu bersama 4 orang temannya mengantar Kie Yam-ke sampai ujung jalan kampung, terasa engggan benar untuk berpisah.

   Kie Yam-ke mengepuk pundak Lie Ta-gu berkata dengan amat berat.

   "Ta-gu, tunggu setelah masalah ini berlalu. Aku pasti kembali lagi kemari, kita minum lagi sampai sepuas-puasnya!"

   Lie Ta-gu membelalakan mata, terus memandang Kie Yam-ke. Baru dengan suara rendah berkata.

   "Betul Yam-ke, aku pasti menunggumu pulang untuk minum bersama"

   Percakapan yang pendek ini sudah mencakup semua kehangatan, perhatian dan harapan di dalamnya. Kie Yam-ke orang yang amat perkasa hatinya terharu, air mata sudah berlinang, dia sekuatnya menahan perasaan yang bergejolak.

   "Ta-gu, selamat tinggal, jaga dirimu baik-baik!"

   Lie Ta-gu pun berujar dengan nada berat.

   "Selamat jalan Yam-ke!"

   Sambil menepuk pundak Lie Ta-gu memandangnya dalam-dalam, Kie Yam-ke berpamitan dengan 4 orang temannya, Kie Yam-ke memutar tubuh, tanpa bersuara pergi secepatnya dengan langkah yang mantap! Lie Ta-gu berdiri tidak bergerak memandang Kie Yam-ke tambah lama tambah jauh.

   Tiba-tiba dia memekik keras.

   "Yam-ke, ingat aku menunggu janjimu!"

   Kie Yam-ke yang terus bertahan tidak mau memalingkan kepala, akhirnya tidak tahan memutar rubuh dan mengangkat tangan menyahut.

   "Aku pasti pulang!"

   Menyongsong matahari yang mulai nampak, hati Yam-ke terasa amat berat tapi langkahnya tetap gesit dan terus berjalan cepat.

   Jujur saja dia juga tidak ingin berpisah dengan teman yang amat setia, teman yang sejati.

   Seorang diri kesepian, dia terus berjalan, masa lalu terus bermunculan dalam pikirannya, dari orang tua yang meninggalkanya, saudara-saudara yang amat baik pada dirinya, Siau-ih yang suka padanya sayang dicelakai oleh Kian Ta.

   Berpikir dan berpikir terus, berjalan sambil berpikir, hampir saja dia menubruk seseorang.

   Untung saja dia masih sempat berhenti, maka lidak sampai menubruk orang yang berdiri di tengah jalan ini.

   Kie Yam-ke ingin sekali berkata "Maaf!", begitu melihat orang setengah umur yang memandang dirinya dengan bengis sambil tertawa sinis.

   Dia pun menelan kembali perkataan maaf yang sudah dimulut.

   Dia mundur selangkah, dengan dingin memandang orang yang berdiri di tengah jalan ini.

   Orang setengah umur ini mengenakan jubah sutra ungu, rambutnya pun diikat dengan kain ungu, pinggang bersoreng sebilah pedang panjang.

   Mukanya pulih kelimis dan pantas seperti seorang terpelajar yang kalem dan sopan, kalau matanya tidak bersorot keji.

   Memang Kie Yam-ke tidak banyak bergerak di sungai telaga, tapi selalu bergumul dengan para gembel dan gelandangan, orang yang macam apa yang dia tidak pernah lihat? Tentu saja dia mampu membedakan orang di depan mata ini yang seperti kalem dan sopan.

   Dia bukan orang yang terpelajar yang tulen.

   Tapi seorang pesilat, pesilat yang akan mengancam dirinya, ini semua terlihat dari sinar matanya.

   Dalam hati Kie Yam-ke penuh perhitungan, dia tidak mau berbicara, diam berdiri menunggu orang setengah umur ini membuka mulut duluan.

   Setelah tertawa keji orang setengah umur itu dengan sinis, ringan dan pelan berkata.

   "Pasti kau yang bernama Kie Yam-ke itu?"

   Kie Yam-ke tahu masalah yang akan menimpa dia lagi, maka dengan lantang berkata.

   "Tentu anda demi 50 ribu tail perak kemari mau memenggal kepalaku bukan?"

   Orang setengah umur itu tertawa ngakak.

   "Anda betul, aku mau memengggal kepalamu!"

   "Siapa namamu?"

   Kie Yam-ke ingin tahu jati dirinya.

   "To Giam-Lian!"

   Orang itu berkata sekata-sekata.

   "Si-jit-kiam (Pedang panah matahari) To Giam-Lian!"

   Kie Yam-ke berkata lepas.

   "Apa kabar?"

   "Si-jit-kiam"

   To Giam-Lian sebuah nama yang amat tenar di dunia persilatan.

   Dia termasuk pesilat utama dari pesilat kelas satu.

   Si-jit malang melintang si selatan dan utara sungai besar, 2 pesisir Huang-ho (sungai kuning) tidak pernah menemukan musuh yang seimbang, dia benar-benar seorang tokoh yang lihai.

   Ketika di ibu kota Kie Yam-ke pernah mendengar nama ini, tapi tidak pernah bertemu, maka meskipun sudah bertemu dia tidak mengenalinya.

   "Kalau sudah tahu aku To Giam-Lian, tentu mengerti aturanku!"

   Kata To Giam-Lian dengan sombong.

   "Kie Yam-ke aku menghargaimu seorang laki-laki, aku tidak mau mempersulitmu, kau lakukanlah sendiri!"

   Dengan mantap Kie Yam-ke berkata.

   "Nama Si-jit-kiam To Giam-Lian memang seram, tapi aku Kie Yam-ke tidak takut, kau mau memengggal kepalaku, silahkan coba saja!"

   Betul To Giam-Lian master di dunia persilatan, tapi Kie Yam-ke tidak dapat menghargai dia, demi uang S0 ribu tail perak sampai mau membunuh dirinya, dia merasa lawan amat tidak bijak dan tidak bermoral, sehingga perkataan dia tidak seramah tadi lagi.

   To Giam-Lian tertawa panjang 3x ke langit, suara tertawanya merdu dan bergema tidak berhenti sampai Lima, tentu saja tenaga dalamnya amat kuat.

   "Kalau begitu aku terpaksa melakukannya sendiri"

   Perkataannya amat meremehkan Kie Yam-ke. Sulit menyalahkan dia memandang remeh Kie Yam-ke, sebab dia mengira seorang pemuda gembel, sebaik apapun kungfunya tentu amat terbatas, kalau dia ndah mendengar "Kai-san-liok-teng"

   Saja kalah oleh Kie Yam-ke, pasti dia tidak akan semena-mena begini. Kie Yam-ke paham To Giam-Lian tidak mudah di hadapi. Dia mengambil nafas panjang, mengeluarkan mistarnya dan dipegang erat-erat, dengan tawar berkata "Coba saja!"

   Tergesa-gesa To Giam-Lian mencabut pedang panjangnya, memasang sebuah gaya pedang sambil berkata.

   "Berhati-hatilah!"

   Pedangnya mulai bergerak, suara pedangnya berderu-deru seperti kilat menusuk muka Kie Yam-ke.

   Pedang belum tiba sudah terasa ada hawa dingin yang menyambar, sinar pedang yang berkelebatan itu membuat mata Kie Yam-ke kabur.

   Kie Yam-ke tidak bergerak, dia menunggu setelah ujung pedang sudah amat dekat kemukanya.

   Sesudah memastikan tidak ada lagi gaya pedang To Giam-Lian, dan tidak ada lagi perubahan, baru dia mengangkat mistarnya menahan.

   Mistarnya bagaikan kilat menempel di antara alis langsung diangkat "Crriiinggg..!!"

   Terdengar suara nyaring dan merdu bergema.

   Mistar itu dengan tepat menahan ujung pedang yang menusuk dari To Giam-Lian.

   To Giam-Lian tertawa rendah, pedang panjang di tarik sedikit lalu ditusukan kembali.

   Kie Yam-ke bungkam tidak bersuara, dalam kelebatan sinar hitam, berturut-turut menahan 32 tusukan pedang lawannya.

   Selanjurnya mistar Kie Yam-ke bagaikan naga hitam yang muncul dari dalam gua juga seperti awan gelap bergulung-gulung sangat cepat, lansung menotok tenggorokan To Giam-Lian Ternyata To Giam-Lian tidak bisa menahan mistar Kie Yam-ke.

   Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tidak ada jalan lain, dia terpaksa mundur dan meloncat.

   Kie Yam-ke tidak mengejar dalam kesempatan ini.

   bayangan hitamnya menyusut, dia tetap berdiri di tempat, bersoja pada To Giam-Lian yang telah mundur beberapa meter jauhnya, katanya.

   "To Tayhiap, kita hentikan sampai di sini saja, bagaimana?"

   To Giam-Lian sama sekali tidak terduga hanya dibalas satu jurus sudah membuat dia mundur beberapa meter jauhnya, diam-diam dia kagum dan terkejut sekali.

   Saat akan melancarkan jurus Si-jit-kiam yang membuat dia mendapat nama harum, tidak disangka Kie Yam-ke malah mengajak dia berhenti, dia terkejut dan tertawa panjang seraya berkata.

   "Kie Yam-ke, rupanya aku salah melihat, terlalu memandang rendah dirimu, tidak terduga kau seorang jago yang membenamkan diri dalam gembel-gembel, hari ini aku mesti mencobanya"

   Selesai berkata, dia memainkan pedang maju mendesak.

   Kie Yam-ke terpaksa melayaninya dengan ekstra hati-hati.

   ooo0dw0ooo Tiba-tiba siulan panjang menggema.

   To Giam-Lian, orang dengan pedang bagaikan sinar mentari menyorot keras, ganas dan cepat menusuk kepada Kie Yam-ke.

   Kilauan pedang yang tajam mula-mula seperti di ikat, lalu terbencar kemana-mana bagaikan sinar matahari yang terik menyirami bumi, sekujur tubuh Kie Yam-ke dari atas kebawah semua terkurung di dalamnya.

   Kie Yam-ke bersiul ringan, dia bergeser selangkah, mistarnya di gerakan menari-nari bagaikan ahli sulap, menimbulkan riak ribuan gelombang bintik-bintik hitam, menyonsong dan menantang berjuta-juta titik kilatan pedang yang ganas.

   Kilatan cahaya terang yang menyilaukan mata berseliweran dan beradu dengan bintik-bintik hitam yang semarak, bagaikan manikam yang melorot jatuh ke dalam piring kemala menimbulkan suara logam beradu yang renyah dan jernih beruntaian yang sambung menyambung.

   Hanya dalam satu kali bentrokan ini saja, keduanya sudah mengeluarkan beratus-ratus jurus pedang dan mistar.

   Mula-mula bintik hitam beradu dengan kilauan terang masih dapat terlihat rupa kedua orang ini, selanjurnya tubuh kedua orang ini lenyap menyatu dengan bintik-bintik hitam dan kilauan cahaya terang itu.

   Terlihat bintik-bintik hitam dan kilauan terang saling bergumul.

   Berputar-putar dengari cepat menari-nari keatas kebawah, dilihat sekilas bagaikan naga hitam dan naga putih sedang bertarung dan bergulung-gulung indah dan menabjubkan sekali.

   Saat keduanya bertarung sengit, tidak henti hentinya terdengar suara logam bentrok yang terus menerus, lama kelamaan tiap mengeluarkan suara logam beradu selalu keras, jernih dan mantap seperti gada sekali-sekali memukul diatas pelat besi.

   Dari suara-suara yang timbul itu dapat diduga, keduanya mengerahkan tenaga dalamnya, tidak saja pertarungan jurus, juga pertarungan tenaga dalam.

   Suara bentrokan terus terdengar, tiap pukulan menggetarkan hati, bintik-bintik hitam dan kilauan cahaya terang saling bergumul, berputar cepat dan menari-nari, sedikitpun tidak mengendur.

   Pertarungan dan pergumulan sudah sampai puncak titik didih tertinggi! Tiba-tiba dalam suara bentrokan yang keras dan berat itu, cahaya yang menyilaukan melejit dan terlontar bagaikan roda berputar, menggelinding mengeluarkan cahaya terang di tanah, setelah berhenti sejenak, kembali melayang miring, menyembur lagi keatas seperti pelangi meluncur, menggoreskan seberkas kilauan yang amat terang bagaikan meteor melayang di udara, secepat halilintar menyambar pada Kie Yam-ke yang berdiri tegak, padahal baru saja dia menarik kembali mistarnya yang menebarkan bintik-bintik hitam itu.

   Kie Yam-ke melirik pada seberkas cahaya yang berkelebatan secepat halilintar datang menyambar padanya, matanya menyorot sinar tajam, tubuhnya langsung melambung, begitu kakinya menghentak dia sudah melambung setinggi 2 meter, lalu melepaskan pukulan sambil melipat kakinya, segumpal angin pukulan segera membungkus sekujur tubuhnya dari atas sampai ke bawah, tubuhnya seperti berhenti di udara, tidak melorot turun! Cahaya terang akibat dari perubahan ilusi tubuh dan pedang To Giam-Lian bagaikan besi bertemu sembrani, cahaya terang itu begitu muncul, tampak bergerak miring langsung menyembur pada bintik-bintik hitam yang berhenti di udara! Setelah cahaya terang yang keras dan menyilaukan itu terhenti di udara, segera itu muncul suara dan getaran yang keras, cahaya terang yang menyembur bintik-bintik hitam itu bagaikan meteor lalu jatuh meluncur ke bawah.

   Sinarnya buyar dan orangnya pun muncul.

   Terlihat To Giam-Lian meluncur miring terlentang di tanah, pedang panjang yang dipegang di tangan kanan sudah putus di bagian tengahnya, rambutnya acak-acakan, muka pucat, bernafas terengah-engah, di sudut mulut terlihat sedikit tetesan darah.

   Tidak lama, bintik-bintik hitam yang berhenti di udara tiba-tiba lenyap, baju hitam Kie Yam-ke berkibar bagaikan kepinis menari-nari kian kemari.

   Serong-serong turun ke bumi, saat tubuhya menyentuh tanah, kakinya agak tersendat, tubuhnya oleng sedikit lalu berdiri tegak tidak bergerak, air mukanya pucat pasi.

   Jelas To Giam-Lian sudah menderita kalah! Kie Yam-ke menghela nafas beberapa kali, menahan darah yang bergolak dalam dadanya, berkata pada To Giam-Lian yang belum sanggup berdiri.

   "Jurus pedang panah mentari memang hebat, jurus yang tadi anda pergunakan apa betul jurus maut 'Pedang Sakti Memanah Matahari' yang tiada tandingannya?"

   Sambil menghela nafas panjang To Giam-Lian memaksakan menahan tubuh berdiri, dalam matanya penuh rasa terkejut dan curiga, bersuara serak.

   "Betul itulah jurus 'Pedang Sakti Memanah Matahari'!"

   Katanya lagi.

   "jurus yang kau pergunakan pun sangat hebat, bisa mengatasi jurus pedang ku, boleh tahu apa nama jurusnya?"

   "Nama jurusnya 'Kelinci Kemala Bergantung di Udara' "

   Jawab Kie Yam-ke dengan datar. To Giam-Lian mengangkat lengan baju mengusap darah di sudut mulut dengan serak berkata.

   "Jurus 'Kelinci Kemala Bergantung di Udara' yang hebat, aku sudah kalah di tanganmu, tidak bisa berkata apa-apa lagi, kau ingin berbuat apa padaku silahkan saja!"

   Perbuatan To Giam-Lian di dunia persilatan tidak terlalu buruk. Kie Yam-ke pun tidak ingin membunuh orang, dia menggelengkan kepala berkata.

   "Aku tidak ingin membunuhmu, pergilah!"

   To Giam-Lian yang kalah dibawah di tangan Kie Yam-ke, dalam hati sangat senang, dia bersoja dengan kedua belah tangan di rangkapkan, katanya.

   "Anda berjiwa besar, aku tentu akan membalas budi ini di kemudian hari, permisi!"

   Tubuhnya berputar, dengan langkah besar tapi gontai dia pergi secepatnya.

   Kie Yam-ke berdiri sesaat, menggeleng-gelengkan kepala lalu cepat-cepat melangkah pergi.

   Karena sudah tahu pemerintah telah menempelkan pengumuman penangkapan dirinya, demi menghindari kerepotan, Kie Yam-ke berjalan tidak mengambil jalan besar tapi memilih jalan kecil atau jalan hutan, lengan membawa makanan kering untuk mengisi perut di perjalanan, dia pun menghindar beristirahat di dalam kota, kalau malam dia hanya mencari tempat yang dapat menahan angin atau hujan untuk menginap.

   Vihara rusak dan gubuk ilalang tempat terbaik baginya untuk menginap.

   Beberapa hari ini, sambil berjalan dia berfikir, tapi tidak terpikir harus pergi kemana, dia hanya merasa dunia begitu besar dia tidak tahu di mana tempat untuk dia menitipkan diri, tadinya, dia ingin ke ibukota, mencari teman berandalan yang dulu, tapi setelah tahu Kian Jit-san menyediakan hadiah 50 ribu tail perak untuk mengambil kepalanya, pemerintah pun membuat pengumuman penangkapan untuk memburu dirinya, sehingga dia membatalkan niatnya untuk pergi ke ibukota dia tidak ingin membawa kesulitan pada teman-temannya.

   Sekarang dia hanya terus melangkah tanpa tujuan.

   Beberapa kali, dia ingin sekali masuk ke dalam gunung atau rawa-rawa, tidak muncul lagi ke masyarakat membenamkan diri selama-lamanya.

   Tapi setelah dipikir ulang dia merasa sayang, dia masih muda, bertenaga memiliki kepandaian pula, kalau dia menghilang dari peredaran manusia, dia menyia-nyiakan capai lelah gurunya yang sudah mengajarkan ilmu silat.

   Berfikir begitu dia membatalkan pikiran yang menjurus ke pertapaan.

   Dia sebatang kara tidak perlu merasa khawatir pada apapun, kenapa tidak mencari pengalaman saja di dunia persilatan yang ganas ini? Akhirnya dia mengambil keputusan.

   Saat senja, Kie Yam-ke tergesa-gesa berjalan di sebuah gunung, diam-diam dalam hatinya gelisah sekali.

   Kalau sebelum gelap dia tidak mendapat tempat untuk menginap.

   Terpaksa dia harus tidur dikolong langit atas tanah tandus ini, rasanya tidak enak.

   


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Pendekar Cacad Karya Gu Long Dendam Sejagad Legenda Kematian Karya Khu Lung

Cari Blog Ini