Kesatria Berandalan 4
Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Bagian 4
Kesatria Berandalan Karya dari Ma Seng Kong
Memang dia bukan anak orang kaya yang bertubuh lemah, tapi rasa digigit nyamuk, dicocol ulat, dia pernah mengalami.....
Sambil berjalan matanya mencari-cari, berharap bisa menemukan sebuah kuil tua, sebuah gubuk reot atau sebuah keluarga, tapi...
satupun tidak tampak, lambat laun cuaca gelap mulai menghinggap.
Langkahnya pun dipercepat, senja pelan-pelan menjadi malam, Kie Yam-ke sudah putus asa dia menghela nafas dalam-dalam, siap untuk mencari tempat untuk bermalam.
Tapi saat ini pandangannya menjadi terang.
Dia melihat di balik hutan dalam kegelapan ada setitik cahaya yang bergoyang-goyang! Itulah sinar lampu! Sinar lampu orang yang tinggal dipegunungan! Semangat Kie Yam-ke bertambah, dia segera berlari menuju sinar lampu yang berkedip-kedip.
Setelah menembus sebuah hutan, akhirnya lerlihat di atas bukit kecil samar-samar ada bayangan sebuah rumah, sinar lampu yang tambah lama tambah inang itu memancar keluar melalui sebuah jendela yang terbuka.
Kie Yam-ke girang segera berlari naik ke atas bukit itu.
Sampailah di depan sebuah rumah yang pendek, mengangkat tangan mengetuk pintu rumah itu.
Mendengar suara ketukan pintu, dari dalam iiimah segera ada suara tua berkata.
"Siapa itu?"
Kie Yam-ke menjawab.
"Aku Kie Yam-ke, karena tergesa-gesa belum mendapat penginapan. Apa aku boleh bermalam disini? Tolonglah!"
Dari dalam rumah terdengar suara.
"Ki-ji bukakan pintu biar tamunya masuk"
Terdengar suara orang berjalan lalu pintu dibuka, 2 daun pintu pun terkuak. Sinar lampu yang menguning segera menyembur keluar dari terbukanya 2 daun pintu. Sorotan mata Kie Yam-ke jatuh pada nona yang membukakan pintu, katanya.
"Silahkan masuk!"
Suaranya lembut dan nyaring, matanya bersinar-sinar.
Sinar lampu tidak terang.
Nona itu berdiri di tempat gelap membelakangi lampu.
Kie Yam-ke tetap bisa memandang dengan jelas wajah nona itu.
Biar pun tidak berdandan, bajunya pun asal-asalan, tetap tidak menutupi keayuan wajahnya, di rumah gubuk dalam hutan, ternyata berdiam seekor merak.
Kie Yam-ke bukan orang yang kurang ajar, melihat pada gadis yang menundukan kepala itu sambil berkata.
"Maaf merepotkan"
Dia langsung masuk ke dalam rumah. Seorang bapak kira-kira berumur 60 tahun-an kebetulan berdiri, bertatap muka dengan Kie Yam-ke yang masuk ke dalam rumah. Kie Yam-ke segera maju lalu memberi salam.
"Maaf, malam-malam cayhe kemari merepotkan lopek"
Orang tua itu mengenakan baju katun biasa, rambutnya sudah beruban, sepasang matanya memicing ke atas ke bawah mengamati Kie Yam-ke, lalu membalas salam berkata.
"Tidak usah sungkan-sungkan! Duduk-lah!"
Kie Yam-ke mengucapkan terima kasih, duduk di bangku kayu lalu berkata.
"Terima kasih lopek"
Orang tua itu tertawa, berkata.
"Jangan sungkan-sungkan, memberi kemudahan orang lain sama dengan memberi kemudahan bagi dirinya sendiri, pendengaranku kurang baik, siapa namamu?"
Cepat-cepat Kie Yam-ke menjawab.
"Cayhe bernama Kie Yam-ke"
Lalu bertanya lagi.
"boleh tahu lopek bermarga apa?"
Orang tua itu tertawa lagi, berkata.
"Kie Yam-ke, sebuah nama yang bagus, bapak bermarga Toan"
Kie Yam-ke berdiri kembali memberi salam sambil berucap.
"Toan lopek"
Orang tua itu mengamati Kie Yam-k.
"Anak, rupanya kau belum makan ya? "
Makanan kering yang di bawa tidak banyak, tadi siang sudah habis dimakan, sekarang pemt sedang keroncongan, ditanya begitu dengan malu Kie Yam-ke menjawab.
"Terus terang cayhe....."
Orang tua itu memotong perkataan Kie Yam-ke, himbil menghadap ke dalam berser.
"Ki-ji, apa masih ada makanan?"
Kemudian gadis itu menutup pintu lalu masuk ke dalam.
"Ayah, aku segera menyiapkan makanan untuk tamu"
Suara gadis yang dipanggil Ki-ji begitu merdu bagaikan burung berkicau, dia melirik sekilas pada Kie Yam-ke, lalu menuju dapur.
Dilirik sekilas oleh Ki-ji, entah ada penyebab apa tiba-tiba hati Kie Yam-ke jadi berdebar-debar, batinnya pun berguncang, lalu berkata pada orang tua bermarga Toan.
"Anda ayah dan putri tinggal di tempat terpencil begini, apa tidak merasa kesepian?"
Sambil menghela nafas orang tua itu berkata.
"Kami sudah dua turunan tinggal disini, karena miskin, mau tidak mau terpaksa tinggal disini terus"
Kie Yam-ke merasa gadis itu terlalu cantik, sama sekali tidak seperti nona yang tinggal di kampung, dia juga menyayangkan gadis itu lalu berkata.
"Lopek, Cayhe punya sedikit uang, anggap saja sebagai biaya menginap satu malam, harap bisa diterima"
Setelah berkata, dia membuka bungkusan baju, menyerahkan semua uang perak 50 tail pemberian Lie Ta-gu pada orang tua itu Orang tua itu menolak.
"Jangan, ambil kembali, bagaimana pun aku tidak boleh menerima uangmu"
Kie Yam-ke melihat ayah dan putri berdua ini amat terkucil, dia berniat untuk membantu mereka, maka bersikeras mohon orang tua ini menerimanya, bapak ini tidak kuasa menolak, terpaksa dengan mengucapkan banyak terima kasih menerimanya.
Mereka berdua berbincang-bincang sebentar, setelah Ki-ji menyiapkan santapan, maka membawa keluar dengan beralas baki kayu dan ditaruh di atas meja.
Kali ini Kie Yam-ke bisa melihat jelas wajah Ki-ji, tidak tahan Kie Yam-ke memuji dalam hati.
Di bawah sorotan lampu, alis Ki-ji bagaikan dilukis, persis seperti dewi turun dari khayangan, susah dilukiskan dengan kata-kata.
Diam-diam Kie Yam-ke membandingkannya dengan Siau-ih.
Kalau Siau-ih perawan ayu di keluarga sederhana, tapi Ki-ji adalah itu bunga di antara bunga.
Meskipun begitu, Kie Yam-ke tetap suka Siau-ih, memang Siau-ih telah tiada, tapi Siau-ih adalah gadis pertama yang menyelinap masuk ke lubuk hatinya yang paling dalam, selamanya akan terkenang dan tidak akan terlupakan.
Dia hanya terkesima oleh kecantikan Ji-er bukan tergoda hatinya.
Tapi rupanya Ki-ji berminat pada dirinya, dia tidak masuk lagi ke ruangan dalam, begitu saja duduk di depan Kie Yam-ke, sebentar menundukan kepala, sebentar mengangkat kepala melirik dirinya.
Hal ini membuat Kie Yam-ke jadi kikuk.
Sesudah kikuk tentu saja makan pun menjadi kurang nyaman, sampai tidak bisa membedakan enak tidaknya makanan yang disantap ini, hanya asal-asal saja masuk ke dalam perut.
Akhirnya perutnya pun kenyang.
Kie Yam-ke yang dari tadi tidak berani mengangkat kepala, menunda mangkok dan sumpitnya, ngangkat mata, pandangannya langsung bentrok dengan pandangan Ki-ji, lalu segera bersama-sama mengalihkan sorotan matanya, hati Kie Yam-ke berdebar-debar lagi.
Untung orang tua yang duduk di atas dipan, entah kapan, tahu-tahu sudah menyandar di dinding dan tertidur pulas, pantas saja Ki-ji berani menatap terus pada Kie Yam-ke.
Kie Yam-ke tidak berani berhadapan dengan Ki-ji, terlalu kikuk juga terlalu memikat, dia berdiri dengan batuk-batuk ringan berkata.
"Cayhe sudah berjalan seharian, dan merasa letih, apa nona boleh...."
Ki-ji berdiri dengan senyum manis berkata.
"Mari ikut kesini"
Dia membawa Kie Yam-ke berjalan menuju kamar dekan pintu rumah. Dalam kamar lampu sudah terang, ada ranjang dan selimut bersih dan rapih, Ki-ji dengan cepat melirik lagi pada Kie Yam-ke seraya dengan suara rendah berkata.
"Silahkan beristirahat dan selamat malam"
Dia menunduk mundur keluar sambil menutup pintu.
Kie Yam-ke memang sudah lelah sekali, tapi tidak bisa tidur dengan cepat, dia sedang memikirkan dua orang, ayah dan putrinya ini, dia merasa aneh.
Seorang gadis yang lemah, satunya orang tua, kenapa menetap di tempat sepi dan terpencil? Apa usahanya? Membuat orang tidak habis berpikir.
Mungkin karena putri orang tua ini terlalu cantik, takut orang yang tidak karuan mengggangu, maka memilih tinggal di tempat terpencil begini.
Kie Yam-ke mendapatkan alasan yang kuat kenapa ayah dan putrinya tinggal di tempat begini.
Tapi di tempat terpencil begini kalau ada penjahat mau minta tolong kemana? Kie Yam-ke terus berpikir tentang ke-2 orang ini, tidak terasa dia pun tertidur.
Dia pun tidak merasa sudah tertidur berapa lama.
Pokoknya tidurnya amat nyaman dan lelap.
Dalam mimpinya tidak sengaja dia bertemu Siau-ih, tapi lebih banyak melihat si gadis Ki-ji.
Tidurnya enak dan lelap, tapi setelah sadar Kie Yam-ke merasa ada yang kurang beres, dia merasa tidak nyaman, dia kesakitan.
Tentu saja tidak beres dan kesakitan, sebab begitu dia bangun dia menemukan dirinya seperti ketupat diringkus orang, diikat amat kuat, hingga tidak dapat bergerak.
Dia tidak mengerti kenapa dirinya bisa diikat kencang-kencang diatas ranjang, tapi tidak lama kemudian dia pun mendapat jawabannya.
Pintu kamar terkuak, ayah dan putri berdua masuk bersama ke dalam kamar, wajah orang tua itu sudah tidak menunjukan roman ramah seperti semalam, sekarang digantikan dengan senyuman yang keji.
Putrinya Ki-ji sudah tidak lagi tersenyum malu-malu seperti semalam, tapi digantikan dengan senyum genit, bagaikan kain kasar masih menempel di dirinya, dia sedang main mata pada Kie Yam-ke.
Melihat ke-2 orang ini Kie Yam-ke sudah mengerti, tali ini pasti kedua orang ini yang mengikatnya, dia menghela nafas, dalam hati, hanya bisa menyalahkan diriya yang ceroboh, dia memuji ke-2 yang ini yang bisa berpura-pura dengan hebat sekali, persis orang miskin yang tinggal dalam pegunungan.
Sekarang dia sudah terperangkap, apa boleh buat, tapi dia tetap bertanya.
"Kenapa kalian mengikatku? Di tubuhku sudah tidak punya uang lagi"
Dengan tertawa sinis orang tua itu berkata.
"Karena kau adalah Kie Yam-ke"
Begitu mendengar, Kie Yam-ke balik menarik nafas dalam-dalam, dia sudah mengerti semua yang terjadi. Tapi dia tetap bertanya-tanya "karena aku adalah Kie Yam-ke, maka kalian meringkus aku untuk menukar 50 ribu tail perak?"
Ki-ji yang cantik bagai dewi turun dari khayangan itu tertawa terkekeh-kekeh, katanya.
"Betul, menukarmu dengan 50 ribu tail perak!"
Kie Yam-ke menghela nafas panjang lagi, sekarang dia baru melihat dengan jelas wajah asli wanita cantik bagaikan ular dan kalajengking ini.
Aneh sekali, dalam hatinya segera terpikir Siau-ih, tubuh dan wajah Siau-ih yang ayu itu muncul jelas ke depan mukanya, dia memekik dalam hati.
"Siau-ih, Siau-ih, kau tidak akan menyendiri dan kesepian lagi, aku akan segera menyusul. Kita akan bersama lagi"
Hati yang tadinya bergejolak keras, sebentar lagi saja sudah tenang bagaikan air yang tidak beriak.
"7 nadi utamamu telah kutotok, bagaimanapun kau berusaha tidak akan berhasil, maka jangan befikir macam-macam!"
Ki-ji maju selangkah mencubit keras-keras lengan Kie Yam-ke yang sedang melamun. Karena lengannya dicubit Kie Yam-ke tersadar kembali, lalu memandang sekilas pada Ki-ji yang dibuat-buat genit "Phuihhh!"
Dia meludahinya.
Dia tidak habis pikir, Ki-ji semalam dan sekarang perubahan begitu besar, kalau bukan tubuh dan wajah yang sama dia tidak akan menyangka dia adalah orang yang sama.
Diludahi Kie Yam-ke, Ki-ji bukan saja tidak marah malah tertawa keras sampai tubuh bergoyang-goyang, lalu dengan suara manja berkata.
"Yo, jangan marah begitu, memang kau tidak akan luput dari kematian, tapi aku akan mengenangmu untuk selamanya."
Diam-diam Kie Yam-ke melatih pernapasan tapi sedikit tenaga pun tidak dapat diangkat, dia percaya perkataan Ki-ji, maka dia tidak berencana memberontak, lapi dia mau mencari tahu siapa kedua orang ini sebenarnya.
"Boleh tahu siapa sebenarnya kalian berdua?"
Sambil terkekeh-kekeh orang tua itu mengusap lenggotnya dengan pelan berkata.
"Agar kau tidak mati penasaran aku beritahu. Namaku Toan Keng-cai, orang menjuluki aku "Melihat Harta Mata Membelalak!"
Ki-ji menyambung dengan genit.
"Aku Toan Ki-ji, orang-orang menyebutku Thian-cu-ih-ki."(Angrek suci rupawan) Gelarnya memang tepat, orangnya sangat cantik, amat memikat. Mendengar mereka masing-masing menyebutkan nama dan gelarnya, Kie Yarn-ke menarik nafas panjang, dia merasa dirinya pasti mati, tidak ada harapan lagi. Toan Keng-cai dan Toan Ki-ji betul adalah ayah dan anak, Kie Yam-ke bisa memastikan karena dia pernah mendengar temannya menceritakan masalah 2 orang ayah dan putrinya ini. Bapak dan anak ini muncul dalam dunia persilatan Tionggoan membuat banyak masalah, banyak pesilat babak belur roboh di tangan mereka. Orang-orang dunia persilatan yang kalah oleh mereka adalah orang-orang kaya yang bergelimangan harta, 2 orang ini menggunakan kungfu dan kecantikan Ki-ji membuat mereka bankrut dan nama baik hancur lebur. Sehingga mereka bapak dan anak ini banyak mengeduk kekayaan. Mereka tetap seperti buaya rakus tetap berusaha mencari harta sebanyak mungkin, asal ada kesempatan dan dengan cara apa saja berusaha merebut harta itu sampai dapat. Cara Ki-ji itu cara yang paling mujarab. Dia mempergunakan modal alaminya, kecantikannya yang memikat para lelaki. Apakah di kolong langit ini ada pria yang tidak terpikat oleh kecantikannya? Sebab itu bapak dan anak ini hartanya bertambah banyak terus, mereka tambah hari tambah menyukai kekayaan. Dalam mata mereka hanya ada satu kata yaitu uang. Hanya uang yang bisa memikat mereka. Orang dunia persilatan pun merasa aneh, bapak dan anak ini mendapatkan uang sebanyak ini untuk apa? tempat mana yang bisa untuk menumpuk begini banyak harta? Dari orang kaya di utara Coh Thian-ci saja, harta yang didapat cukup untuk mereka hidup sampai 8 keturunan, cukup menumpuk menjadi satu rumah besar. Coh Thian-ci yang terpikat oleh kecantikan Ki-ji akhirnya bangkrut, namanya hancur berantakan dan menjadi gelandangan di tengah kota. It-siau-ceng-seng, Cai-siau-ceng-kok (sekali tersenyum meruntuhkan kota, tersenyum lagi meruntuhkan negara) perkataan ini jika dipakai untuk diri Ki-ji rasanya cocok sekali. Harta orang dunia persilatan yang mana jika di incar oleh ke-2 orang ini, sudah barang tentu hartanya akan habis semua di raih oleh mereka. Ayah dan putri ini begitulah keadaanya. Kie Yam-ke pun jatuh ke tangan mereka, sebab Kie Yam-ke laku 50 ribu tail perak! "Kenapa kalian masih belum mau memenggal kepalaku untuk ditukarkan dengan uang 50 ribu tail perak?"
Tanya Kie Yam-ke. Muka Toan Keng-cai dan Ki-ji berseri-seri, tertawa renyah dan cekikikan, lalu berkata-kata.
"Kenapa harus memenggal kepalamu? itu akan menyusutkan uang setengah nya"
Toan Keng-cai mengusap-usap janggut yang memutih, sepasang matanya seperti menikmati etumpuk uang perak yang putih berkilau-kilau, dia mengamat-amati Kie Yam-ke, lalu berkata.
"Aku tidak menyangka dirimu akan berharga begini tinggi, kau tahu? Kepalamu saja sudah senilai 50 ribu tail, kalau bisa mendapatkan dirimu hidup-hidup dan diserahkan pada Kian Jit-san, nilainya bisa bertambah menjadi seharga 100 ribu tail perak, tentu saja kami akan menyerahkanmu hidup-hidup, sehingga kami akan mendapatkan lebih dari 50 ribu tail perak."
Selesai berbicara, dengan rakus menelan ludahnya.
"Apakah Kian Jit-san telah menambah lagi hadiahnya?"
Kie Yam-ke bertanya dengan suara datar.
"Betul!"
Kata Ki-ji sambil menjulurkan pinggangnya. Gayanya saja akan memabukan banyak orang-orang yang mata keranjang, dia tertawa renyah berkata.
Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kian Jit-san sudah menambah 50 ribu tail perak bagi yang dapat menangkap hidup-hidup untuk sembahyang putranya, tapi kalau tidak kepalanya saja tetap dihargai 50 ribu tail perak"
Kie Yam-ke terkejut, dia tidak menyangka Kian Jit-san dendam sekali padanya, tidak saja mengeluarkan uang membeli nyawanya, sampai mau dibuat menjadi kurban hidup untuk sembahyang putranya yang mati! Sepasang mata Toan Keng-cai bersinar-sinar, dengan ramah berkata pada Kie Yam-ke.
"Bagaimanapun kau jangan menyalahkan aku dan anakku. Kalau ingin menyalahkan harus pada Kian Jit-san sebab dia mau mengeluarkan upah 100 ribu tail perak untuk membeli nyawamu!"
Tiba-tiba Kie Yam-ke bertanya.
"Kenapa kalian yakin aku pasti akan datang mencari tempat menginap"
Toan Ki-ji dengan lancang mengusap muka Kie Yam-ke, berkata.
"Apa kau tahu? demi 100 ribu tail perak itu. Aku dan ayah sudah 5 hari 5 malam mengikutimu, juga sudah mengintip kau bertarung dengan To Giam-Lian, wah... tidak disangka kungfumu sangat tinggi, sehingga kami merubah rencana, menangkapmu dengan siasat lebih baik dari pada dengan kekerasan. Tadi malam, melihat kau berjalan di pengunungan, ayahku segera berjalan memutar mendahuluimu, Diam-diam menyelidiki keadaan di depan jalan dan sekitarnya, ternyata hanya ada satu keluarga. Ayah lalu berunding denganku, kami memutuskan memancingmu dengan rumah keluarga itu, kami mendahulimu ke rumah itu. Setelah kami bantai pemburu tua dan cucu perempuannya, kami memakai pakaian mereka, hari mulai gelap kami sengaja memasang lampu lebih terang dan di tempatkan di depan jendela yang terbuka, memancingmu mendekat, ternyata kau akhirnya terperangkap juga."
Dia bercerita kembali dengan santai dan tenang, seolah-olah sedang mengobrol masalah rumah tangga sehari-hari, masalah membunuh bagaikan menginjak semut.
seperti membunuh pemburu tua dengan cucu perempuannya, Toan Ki-ji ini boleh dikata parasnya lebih cantik dari dewi, tapi hati lebih kejam dari ular dan kalajengking.
"Sekarang kau sudah puas?"
Toan Keng-cai seperti tutup mata membiarkan kelakuan putrinya yang centil. Kie Yam-ke tidak bisa berkata-kata tapi dia tidak tahan atas kekurang ajaran Toan Ki-ji, maka dengan nara rendah dia berteriak.
"Nona sopan sedikit, tarik kembali tanganmu!". Sebab saat ini tangan lembut dan halus Toan Ki-ji telah menyusuri leher Kie Yam-ke terus menjulur masuk ke dalam kerah leher bajunya mulai meraba dada dia yang kekar dan berisi itu. Toan Ki-ji tidak menarik kembali tangannya, dengan mimik muka yang menggoda terus meraba-raba.
"Ayoyoo... tidak perlu berpura-pura, semalam kau merasa kesal tidak bisa tidur bersamaku bukan?"
Muka Kie Yam-ke hijau membesi marah oleh celoteh Toan Ki-ji yang sembarangan itu, kalau saja dia bisa bergerak, sudah dia tampar perempuan siluman yang kurang ajar ini.
Dia merasa berdebatpun tidak ada gunanya, dia menelan semua kekesalannya, menutup mata tidak berkata kata lagi.
Dia diam tapi tangan Toan Ki-ji tetap merayap di atas dada Kie Yam-ke, membuat Kie Yam-ke merasa nyaman dan bergairah, lama-lama tumbuh gejolak yang tidak tertahankan dalam tubuhnya.
Saat ini Toan Keng-cai sudah keluar kamar.
"Nyaman tidak?"
Suara cabul Toan Ki-ji membuat orang merasa gatal sekujur tubuh, tubuhnya yang ideal pelan-pelan menempel ke Kie Yam-ke. Kie Yam-ke sudah tidak tahan, kalau keadaan berlangsung terus begini sulit untuk dibayangkan, tiba tiba dia memekik keras.
"Mengingkirlah!"
Bersamaan waktunya, dari luar rumah terdengar suara Toan Keng-cai memekik kesakitan.
Toan Ki-ji seperti tersengat listrik, secepat kilat tangannya ditarik kembali, wajahnya yang penuh nafsu birahi seketika berubah menjadi bengis bagaikan es dan salju, setelah ragu-ragu sejenak, tubuhnya sekali melintir sudah menerjang keluar rumah.
Kie Yam-ke tidak bisa bergerak.
Hanya berbaring diatas ranjang, membelalakan ke dua matanya, entah apa yang terjadi.
Saat Toan Ki-ji menerjang keluar rumah, daun jendela berbunyi ringan.
Bubuk kayu beterbangan, sesosok bayangan manusia menerobos masuk, mengikuti suara melayang ke depan ranjang Kie Yam-ke tidak berkata-kata, sekali meraih Kie Yam-ke sudah dipanggulnya, kakinya sekali menejeh sudah menerobos jendela pergi dengan cepat.
"To Giam-Lian!"
Ketika orang itu menundukkan tubuh merangkul, Kie Yam-ke bisa melihat dan mengenali, dia Si-jit-kiam To Giam-Lian, tidak tertahan tanpa sadar berseru.
"Kau jangan pergi To Giam-Lian!"
Saat To Giam-Lian mengapit Kie Yam-ke dan menerobos keluar dari jendela, dari pintu kamar terdengar suara hardikan.
Kie Yam-ke tidak perlu melihat, sudah tahu dia pasti Toan Ki-ji yang tadi pergi sudah kembali lagi.
Ilmu meringankan tubuh To Giam-Lian sangat hebat, suara hardikan Toan Ki-ji baru terdengar, dia sudah menggendong Kie Yam-ke, menerobos jendela yang hancur sudah menapakkan kakinya ke tanah diluar jendela.
Baru saja kakinya menapak, segera pula berlari terbirit-birit meloncat lagi, bagaikan segumpal asap mengapit Kie Yam-ke berlari menuruni bukit.
Ketika Toan Ki-ji menerobos keluar rumah, sekilas melihat Toan Keng-cai tergeletak di pojok rumah menyandar di dinding.
Sebelah tangannya memegang dada yang penuh berlumuran darah.
Ketika dia mau mendekat, sambil menahan sakit Toan Keng-cai mengayunkan tangan memekik.
"Aku tidak akan mati, cepat jaga Kie Yam-ke."
Toan Ki-ji jadi sadar, tubuhnya bagaikan kincir angin, berputar cepat, seperti angin puyuh menyerbu lagi ke dalam rumah. Baru sampai depan pintu, mendengar Kie Yam-ke menyebut "To Giam-Lian"
Dia melihat seseorang mengenakan jubah ungu sedang mengapit Kie Yam-ke.
Hanya sekali meloncat, sudah terlontar menuju jendela yang hancur.
Diapun menghardik.
Sebenarnya dia tidak kenal dengan To Giam-Lian, melihat To Giam-Lian membawa kabur Kie Yam-ke, Toan Ki-ji gusar sekali, wajahnya yang rupawan pun berubah, tubuh mungilnya melesat, mengikuti menerobos keluar jendela, tapi To Giam-Lian membawa Kie Yam-ke sudah berlari jauh.
Melihat bebek yang sudah dimasak matang di gondol orang, sama dengan kehilangan ratusan ribu tail perak, wajah Toan Ki-ji berobah menjadi hijau membesi, kakinya sekali melesat, segera mengikuti To Giam-Lian, sedikitpun tidak berani lengah.
Sambil melompat dan melesat, dia mengangkat tangan melemparkan segenggam Amgi berwarna perak yang bersinar terang.
Inilah Am-gi miliknya yang disebut Gin-lian-cu (Biji teratai perak).
To Giam-Lian membawa lari Kie Yam-ke dengan ilmu meringankan tubuh yang paling tinggi, seperti peluru terbang terus berlari menuruni gunung., sedikitpun tidak mengendur meskipun membawa beban, mendengar di belakang tubuhnya ada suara yang memecah udara diapun tidak perduli lagi, mengikuti keadaan berlari, tiba-tiba tubuhnya merendah ke tanah bergelinding bagaikan batu gunung terus meluncur ke bawah bersama Kie Yam-ke.
Gin-lian-cu yang ditimpukan oleh Toan Ki-ji berdesir-desir bunyinya tapi semua tidak mengenai sasaran, semua meluncur jatuh ke kaki bukit.
Melihat Am-ginya tidak mengenai sasaran, gigi Toan Ki-ji gemertak, dia gemas sekali pada To Giam-Lian, pengejaran pun dipercepat.
To Giam-Lian memang hebat, sambil mengapit Kie Yam-ke, dia menggelinding bersama sampai jauh.
Tiba-tiba dia bangun dengan miring menyembur sampai berpuluh-puluh meter jauhnya, selanjutnya berlari lagi dengan cepat menuruni bukit.
Tapi bagi Kie Yam-ke bertambah payah.
Karena jalan darahnya tertotok, sedikit tenagapun tidak ada, dia seperti orang biasa saja, tidak ada daya menangkal, saat bergelinding tadi sekujur tubuhnya sakit, kepala pening mata berkunang-kunang terbentur batu-batu gunung.
Dari awal Toan Ki-ji tetap tidak sanggup mengejar To Giam-Lian dan Kie Yam-ke, sebab jaraknya terlalu jauh.
To Giam-Lian sudah menerobos masuk hutan di bawah bukit, sekejap sudah menghilang.
Toan Ki-ji melompat dan menerjang sampai di depan hutan segera berhenti.
Sepasang mata yang ayu dengan penuh kebengisan mengamati ke dalam hutan, tapi tidak berani mengejar masuk ke dalam hutan.
Ada teori berkata, bertemu hutan jangan berani masuk.
Toan Ki-ji tentu mengerti teori ini, maka dia tidak berani gegabah masuk ke hutan ini, dia berjaga-jaga agar tidak terkena siasat To Giam-Lian.
Karena ragu-ragu, jadi memberi kesempatan bagi To Giam-Lian lebih leluasa kabur.
Di hutan bagian lain, akhirnya To Giam-Lian berhenti juga.
Kie Yam-ke pun dibaringkan di tanah.
Karena berlari dalam waktu yang lama.
Kie Yam-ke pun hampir pingsan, setelah terlentang di atas tanah, dia baru bisa menghela napas keras-keras, hingga terasa enakan.
To Giam-Lian pun terkuras habis banyak tenaganya, nafasnya terengah-engah dalam waktu panjang.
Lama tidak bersuara, To Giam-Lian mengamati Kie Yam-ke yang diringkus dan diikat kencang-kencang.
Kie Yam-ke pun memandang To Giam-Lian, dia merasa aneh kenapa dia tahu dirinya jatuh ke tangan Toan Keng-cai dan Toan Ki-ji.
Apa maksudnya menolong dia terlepas dari tangan mereka? "Apa anda bermaksud menyerahkan aku pada Kian-Jit-san?"
Kie Yam-ke tidak terpikir alasan apa To Giam-Lian menolong dirinya. To Giam-Lian berdiri diam, mengeleng-geleng-kan kepala.
"Kalau begitu kau mau membunuh aku untuk membalas kekalahanmu?"
Kie Yam-ke merasa alasan ini lebih yakin. Muka To Giam-Lian timbul sedikit senyuman, dia menggeleng-geleng lagi kepalanya, katanya.
"Tidak juga."
Kie Yam-ke bingung, dia tidak habis berpikir sebab apa To Giam-Lian mau menolong dirinya dari tangan Toan Keng-cai dan putrinya itu, akhirnya dia tidak mau bertanya lagi.
Tawa To Giam-Lian tambah kental, semua di luar dugaan Kie Yam-ke, To Giam-lian berkata.
"Aku mengambilmu dari bapak dan putri itu karena ingin menolongmu."
Lalu dia berjongkok, membukakan tali yang mengikat Kie Yam-ke. Kie Yam-ke bertanya.
"Aku pernah mengalahkanmu, kau juga pernah mau memenggal kepalaku untuk ditukar hadiah, kenapa tiba-tiba ingin menolongku?"
Sambil mengurai tali To Giam-Lian berkata.
"Kau sudah mengalahkan aku, dan aku merasa terhina, tapi saat ada kesempatan membunuh kau tidak mau melakukannya. Nyawa ini adalah hadiah darimu, orang sungai telaga paling mementingkan budi dan dendam, kau sudah menanamkan budi padaku, aku pasti membalas kebaikan itu."
Sambil berkata dia membuka totokan jalan darah Kie Yam-ke.
Sekarang Kie Yam-ke baru mengerti kenapa To Giam-Lian menolong dirinya, terhadap kelakuan To Giam-Lian dia jadi punya pengertian baru.
Dia jadi bertambah hormat.
Setelah melemaskan kaki tangannya sebentar dia segera melompat bangun, memegang ke dua tangan To Giam-Lian, berkata tulus.
"To Toako. Aku amat berterima kasih padamu, moga kita bisa menjadi teman akrab."
To Giam-Lian pun balik memegang tangan Kie Yam-ke.
"Kie-heng, sejak kau mengizinkan aku pergi, aku sudah menganggapmu sebagai teman."
Tentu saja Kie Yam-ke menangkap arti perkataan To Giam-Lian, dia menggenggam tangan To Giam-Lian sambil digoyang-goyang, mereka berdua segera menjadi teman akrab.
"To Toako, bagaimana kau bisa tahu aku jatuh ke tangan kedua orang ini?"
Tanya Kie Yam-ke.
"Sebab aku mengikutimu terus, maka aku tahu"
To Giam-Lian menjelaskan.
"Dua hari yang lalu, aku melihat dua siluman itu mengikutimu, aku merasa pasti mereka akan berbuat jahat padamu. Tapi aku tidak enak campur tangan, hanya diam-diam mengawasi dari kejauhan. Ternyata kau terjebak jatuh ke tangan mereka. Aku khawatir tidak bisa mengalahkan mereka berdua. Jadi aku menunggu kesempatan, akhirnya aku mendapatkan kesempatan itu. Ketika aku tusuk dia dengan pedang. ternyata dia terluka dan meraung memancing perempuan siluman itu meninggalkanmu..."
Sekarang Kie Yam-ke sudah mengerti semua dari awal sampai akhir "Kalau tidak ada kau, mungkin aku sudah.."
To Giam-Lian sambil tertawa memotong.
"Sudahlah, lebih baik kita cepat-cepat meninggalkan tempat ini."
Kie Yam-ke diam, mengikuti To Giam-Lian keluar dari hutan, dengan cepat pergi menuju ke arah timur laut.
ooo0dw0ooo BAB Tidak ada jalan maju dan mundur Pura-pura mengikuti ajaran sesat.
Siang-hie-ki (Pasar sepasang ikan) adalah pasar kecamatan yang tidak telalu besar.
Di kota kecamatan ini seperti biasa, ada rumah makan dan penginapan, tentu saja penginapan Tai-ki adalah yang paling baik, sedangkan jika bertanya kedai arak yang paling kecil, anak muda miskin di kota kecil ini semua akan mengatakan Lo-ciu-ki.
Kie Yam-ke tidak perlu bertanya jalan, dengan mudah saja sudah menemukan kedai arak Lo-ciu-ki ini.
Kedai ini tidak salah disebut kecil.
Pemilik, pelayan, kasir, koki semua dirangkap satu orang.
Yaitu pemilik kedainya, Coh Lo-ciu.
Hanya ada satu meja kayu yang panjang dan asalan, dua sisi meja panjang tiga meter lebih itu penuh dengan bangku kayu asalan pula.
Semua tamu yang hadir berapapun banyaknya, semua duduk di bangku itu.
Kie Yam-ke datang mau makan, bukan kerena makanannya istimewa enak tapi dikarenakan harganya paling murah di selurah kota kecil ini.
Sejak Kie Yam-ke berpisah di jalan dengan To Giam-Lian, dia hanya mempunyai uang kurang dari 6 kati lagi, kalau tidak di irit-irit khawatirnya nanti akan tidur di kolong langit atau di pinggir jalan, maka dia menghemat dan terpaksa makan minum di kedai murah ini.
Kalau bukan 50 tail perak pemberian Lie Ta-gu disita Toan Keng-cai, dia tidak akan menyiksa dirinya sampai begini rupa.
Untung dia orangnya gampang di atur, bisa maju dan mundur.
Hari ini dia sudah datang yang 3 kalinya ke kedai arak Lo-ciu-ki ini.
Kemarin datang 2 kali.
Sekarang sudah saatnya makan siang.
Begitu Kie Yam-ke masuk ke kedai, dia merasa ada yang tidak beres.
Biasanya suasana ramai, orang-orang duduk berbaris-baris, kedai arak yang wangi arak dan bau keringat yang menyengat, hari ini sunyi sekali, sepi luar biasa.
Biasanya kedai arak ini sudah penuh oleh orang miskin di kota kecil ini, makan minum berbincang bincang ribut sekali.
Sekarang meja panjang di tengah kedai pun tidak tampak lagi, di ganti dengan sebuah meja antik dan besar terbuat dari kayu mahal.
Kedai yang kotor menjadi bersih, biasanya gelap sekarang jauh lebih terang, sampai Kie Yam-ke mengira telah salah sasaran.
Sebelah kaki yang sudah menginjak ke dalam pun ditarik kembali, dia mengangkat kepala mengamati bendera butut yang bertuliskan merkj arak Lo-ciu-ki 3 huruf hitam yang sudah memudar, agak buram tapi masih bisa dikenali, Kie Yam-ke agak bingung, ragu-ragu tidak berani masuk.
Dia siap mau bertanya apa sebabnya dalam satu malam Lo-ciu-ki bisa berubah jadi begini.
Kebetulan dari dalam kedai keluar taoke (Bos)nya Coh Lo-ciu yang tidak berubah.
Begitu melihat Kie Yam-ke, Coh Lo-ciu bagaikan sudah kenal dia, segara maju dengan tersenyum menyapa.
"Kong-cu bermarga Kie?."
Mendengar itu Kie Yam-ke terkejut, aneh kenapa taoke kedai bisa mengenal dirinya, dia hanya pernah berkunjung 2 x, tidak pernah mengatakan namanya pada semua tamu atau pada taokenya.
Dia mengamati lagi dirinya yang hanya mengenakan baju hitam yang sudah lusuh dan butut.
Bagaimana dilihatpun tidak mirip seorang tuan muda.
Kenapa hari ini taoke kedai arak bisa menyebut dirinya begitu, apa hari ini dia kesurupan?.
Dengan tertawa Kie Yam-ke berkata.
Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cayhe betul bermarga Kie, tapi bukan Kong-cu, mungkin taoke salah mengenali orang?"
Coh Lo-ciu sedikitpun tidak seperti orang gila, dia tertawa ramah berkata.
"Kalau Kong-cu betul bermarga Kie, pasti tidak akan salah. Kong-cu silahkan masuk."
Tidak terasa Kie Yam-ke mengerutkan alis, tidak mengerti Coh Lo-ciu sedang berguyon apa.
Tapi dia tetap masuk ke dalam di bawah arahan dengan amat terhormat dan disanjung-sanjung.
Kie Yam-ke mau masuk, karena ingin melihat Coh Lo-ciu mau berguyon apa.
Coh Lo-ciu mendahului selangkah, mengangkat lengan baju untuk mengusap bangku seraya berkata.
"Kong-cu silakan duduk'"
Kie Yam-ke juga tidak sungkan-sungkan, seraya duduk saja.
"Kong-cu silahkan minum,"
Baru saja Kie Yam-ke baru duduk, Coh Lo-ciu bagaikan sulap, 2 tangannya sudah memegang cangkir warna warni yang halus dan menaruhnya di depan Kie Yam-ke. Alis Kie Yam-ke tambah mengkerut, dia ingin bertanya, Coh Lo-ciu sudah mendahului berkata.
"Kong-cu duduklah dulu tunggu sebentar, hamba segera menyiapkan makanan dan arak"
Tidak menunggu Kie Yam-ke menjawab, dia bagaikan asap mengepul sudah tidak tampak lagi dirinya.
Kie Yam-ke tidak tahu harus bagaimana harus bertindak atas perubahan yang dramatis ini, dia tertawa kecut membuka tutup cangkir antik yang putih dan halus itu.
Segumpal hawa panas ikut mengepul keatas, semerbak wangi tercium kehidung, tidak usah dicicipi lagi Kie Yam-ke sudah tahu, teh yang diseduh adalah daun teh yang baik, dia pernah minum sekali ketika di ibu kota.
Kie Yam-ke hanya memandang teh itu tidak berani meminumnya, dia berjaga-jaga takut dalam teh itu dibubuhi racun.
Segalanya masih belum jelas, dia memutuskan berhati-hati lebih aman.
Harga dirinya dinilai 100 ribu tail perak, tentu banyak orang sungai telaga yang ingin menangkap dia untuk ditukarkan dengan hadiah menarik ini.
Pernah mengalami masalah Toan Keng-cai dan Toan Ki-ji itu membuat dia tambah waspada lagi.
Saat dia melamun di depan cangkirnya, tercium wangi arak dan sayur, lalu dikepalai Coh Lo-ciu, dari belakangnya mengikuti 3 orang koki masing-masing membawa 3 macam sayur dan satu teko arak berjalan ke depan Kie Yam-ke, dengan cekatan menatakannya diatas meja, juga menyiapkan 2 setel mangkok, cangkir dan sumpit!, sepasang diletakkan didepan Kie Yam-ke, sepasang lagi di seberang dia.
Kie Yam-ke baru melihat di depan mejanya ada sebuah bangku.
Dia sekarang mengerti, ini semua tentu telah diatur oleh orang yang menggunakan seperangkat alat makan di depannya ini.
Dua alisnya mengangkat.
Kie Yam-ke berkata pada Coh Lo-ciu.
"Taoke, pemiliknya belum tiba, makanannya kenapa sudah....."
"Tidak apa-apa, bukankah aku sudah datang?"
Orang mengikuti suaranya sudah muncul, seseorang mengenakan jubah merah, dengan roman keras, berumur setengah baya, berjalan dengan tenang memasuki kedai, langsung duduk di bangku itu.
Kie Yam-ke melirik, dia mengira Liu Yam-yo hidup kembali, sebab jubah yang dikenakan orang setengah baya ini persis baju yang dipakai Liu Yam-yo semasa hidupnya.
Setelah ditilik-tilik lagi baru terlihat perbedaannya.
Jubah yang dikenakan oleh orang ini, di depan dadanya ada sulaman sekuntum lidah api, warnanya sangat mencolok, persis lidah api yang membara!.
Baru saja orang setengah baya berjubah merah duduk.
Coh Lo-ciu segera menuangkan 2 cangkir arak, lalu mundur bersama ketiga koki.
Sambil mengangkat cangkir orang itu berkata.
"Silahkan!"
Dia mengangkat kepala, arak sudah habis diteguknya.
Kie Yam-ke sedikitpun tidak bergerak, dengan dingin mengamati orang setengah baya yang berjubah merah, dia sedang berpikir darimana datangnya orang ini, kenapa repot-repot mengatur pertemuan ini? Setelah menaruh cangkir, orang ini tersenyum pada Kie Yam-ke berkata.
"Kie Kong-cu, apa curiga di dalam arak ada racunnya?"
Kie Yam-ke diam seribu basa. Orang berjubah merah menyambung.
"Jangan kuatir, dalam sayur dan arak sama sekali tidak ada racun."
Sambil berkata, dia mengambil sedikit sayur dari tiap piring, lalu dikunyah dan dimakannnya. Kie Yam-ke tetap tidak bicara pun tidak berusik. Tiba-tiba tidak ada ujung pangkal sekonyong-konyong dia bertanya.
"Anda tentu ada hubungan dengan Liu Yam-yo bukan?"
Dia tertawa keras dan bertepuk tangan, berkata.
"Hebat! Kie Kong-cu memang bukan orang sembarangan."
Kie Yam-ke dengan dingin bertanya.
"Kau mengakuinya bukan?"
Orang berjubah merah minum lagi secangkir sambil mengangguk berkata.
"Apa karena aku tidak menyangkal?"
Mendadak Kie Yam-ke mengangkat teko arak menuang secangkir dan diteguk sampai habis, lalu makan dengan lahap. Orang berjubah merah minum lagi secangkir, memandang Kie Yam-ke.
"Kau tidak takut dalam arak ada racun?"
Sambil makan minum Kie Yam-ke berkata.
"Arak dan makanannya enak, tidak dimakan juga sayang, perduli amat beracun atau tidak."
Orang berjubah merah bertepuk tangan berkata.
"Cukup tegar!"
Kie Yam-ke memang sedang lapar sekali. Dia terus makan dengan enaknya. Orang berjubah merah tidak berkata-kata lagi hanya terus memandang Kie Yam-ke. Tiba-tiba Kie Yam-ke berhenti minum, mengelap mulut sambil berkata.
"Kau mengatur apik begini, tidak bermaksud membunuhku bukan?". Dengan kagum dan tertawa memandang Kie Yam-ke, orang berjubah merah berkata.
"Kau cerdas sekali, tepat tebakanmu, betul aku bukan mau membunuhmu!"
Sesaat dia diam, lalu menyambung.
"Betul Liu Yam-yo adalah orang kami, tapi dia sudah meninggal, kau dibunuhpun tidak ada faedah apa-apa."
"Kalau begitu apa maksudmu?"
Kie Yam-ke mengangkat cangkir ditempelkan dibibir.
"Gampang saja, kau membunuh Liu Yam-ke, kami kehilangan satu orang, kalau kau bergabung, kerugian kami pun tertutupi!"
Orang berjubah merah lurus memandang Kie Yam-ke.
"Kululuk, kululuk, kululuk"
Kie Yam-ke minum beiteguk-teguk arak, balik memandang orang berjubah merah.
"Kalau aku tidak setuju bagaimana?"
Orang berjubah merah tidak langsung menjawab pertanyaan ini, dia melengkungkan jari tangan mengetuk meja berkata.
"Kalau kau bergabung dengan kami, segala kesulitanmu akan beres. Pejabat pemerintah tidak lagi menguber. Kian Jit-san pun tidak akan menangkapmu dengan embel-embel berhadiah tinggi, kalau kau sudah tidak dikejar orang untuk dibunuh, kau sudah tidak perlu berkelana kemana-mana lagi, juga tidak perlu lagi hidup susah dengan setail perak uang makan sepiring daging asap, sepiring bakpau kukus dan seteko arak saja. Mau apa ada apa, membuat usaha yang cemerlang sesuai dengan apa yang kau pelajari."
Dengan sabar Kie Yam-ke mendengar sampai selesai, lalu bertanya sekali lagi.
"Kalau tidak setuju bergabung, apa kalian akan membunuhku?"
Orang berbaju merah berhenti mengetuk meja, memandang tegas pada Kie Yam-ke.
"Pasti dibunuh"
Lalu bertanya lagi.
"sebenarnya kau mau bergabung atau tidak?"
Kie Yam-ke mengangkat bahu.
"Aku belum tahu perkumpulan kalian macam apa, siapa yang berperan, sampai siapa nama andapun belum tahu. Masa aku bisa serampangan begini bergabung dengan perkumpulan kalian?"
Tadinya sinar mata orang berjubah merah itu bagai api membara menatap Kie Yam-ke. Setelah mendengar perkataan Kie Yam-ke, jadi mereda dengan senyum merendah berkata.
"Ya, aku ceroboh, lupa memberitahukan namaku!"
Lalu dia mengenalkan diri.
"Aku Ang Lie-hwee."
Kie Yam-ke mengangguk-angguk, sementara menunggu dia melanjutkan perkataannya. Ang Lie-hwee melanjutkan perkataannya.
"Nama perkumpulan kami adalah Sin-hwee-kau. (Perkumpulan api sakti) nama Kaucu kami Sin-hwee-mo-kun (Tuan besar api sakti)."
Kie Yam-ke ingin mengetahui lebih banyak soal perkumpulan api sakti ini, dia lalu bertanya lagi.
"Tapi aku belum pernah mendengar soal perkumpulan anda."
Ang Lie-hwee seperti sudah yakin Kie Yam-ke akan masuk perkumpulan mereka, dia tidak merahasiakan apa-apa dengan terus terang berkata.
"Aliran perkumpulan kami datang dari See-ih (Tibet) membangun perkumpulan di Tionggoan baru dalam 1-2 tahun ini, karena peraturan perkumpulan kami beda dengan perkumpulan di Tionggoan, kami khawatir tiap pintu tiap aliran di Tionggoan dalam waktu singkat tidak dapat menerimanya atau mendapat pemboikotan mereka, maka kegiatannnya selalu dirahasiakan. Nanti sesudah kekuatan perkumpulan kami sudah kuat, sudah mampu berdiri di dunia persilatan Tionggoan, baru diumumkan pada dunia luar."
Mendengar ini semua Kie Yam-ke baru tahu, Sin-hwee-kau ini baru masuk dari See-ih Tibet ke Tionggoan. Pantas saja belum pernah terdengar, melihat Liu Yam-yo sangat aneh, Kie Yam-ke bertanya.
"Apa maksud dan tujuan anda mendirikan perkumpulan di Tionggoan?"
Dengan membusungkan dada, Ang Lie-hwee berkata.
"Tentu saja untuk merajai dunia persilatan Tionggoan, agar dunia persilatan Tionggoan berada di bawah kendali Sin-hwee-kau, tentu harus di kerjakan setahap-tahap, pertama mencari tokoh-tokoh Bulim bergabung dengan perkumpulan kami, sesudah tenaga kami kuat, baru kami mulai bertahap mencaplok tiap pintu dan tiap aliran, lama-lama akan menguasai seluruh dunia persilatan Tionggoan."
Setelah minum secangkir arak dia melanjutkan.
"Perkumpulan kami saat ini amat membutuhkan orang hebat sepertimu. Mula-mula ketika ketua kami mendapat kabar kau telah membunuh Liu Yam-yo, beliau marah sekali, bersumpah akan membalas membunuhmu pula, belakangan setelah dipikir kembali, perkumpulan kami butuh orang-orang ahli, lalu berubah pikiran ingin mengajakmu bergabung dengan perkumpulan kami."
Mendengar perkataan Ang Lie-hwee, Kie Yam-ke diam-diam terkejut sekali, tidak disangka perkumpulan yang masuk dari Tibet ini berambisi tinggi, mengintip seluruh dunia persilatan di Tionggoan,.
Bermimpi bisa menguasai seluruh Bulim, ini bukan masalah enteng-enteng saja, demi keselamatan seluruh dunia persilatan Tionggoan, diam-diam Kie Yam-ke sudah membuat keputusan sendiri.
Tapi masih ada satu pertanyaan yang belum dia mengerti, rahasia apa yang takut diketahui orang sehingga Liu Yam-yo membunuh banyak orang yang dituduh mengetahui rahasia itu, akhirnya dia bertanya.
"Ceritakan rahasia yang dijaga sehingga Liu Yam-yo banyak membunuh orang."
Mula-mula Ang Lie-hwee terkejut, lalu mengangkat kepalanya, tertawa keras.
"Sebenarnya itu bukan rahasia, dia hanya mendapat perintah dari ketua perkumpulan saja. Hal itu dibikin alasan olehnya untuk menumpas orang-orang itu, agar tujuan melemahkan kekuatan dunia persilatan di Tionggoan berhasil."
Kie Yam-ke sedikit curiga, bertanya.
"Dengan tenaga Liu Yam-yo seorang, biar dia tidak sampai dibunuh oleh aku, dia sanggup membantai berapa banyak orang? Dunia persilatan Tionggoan amat kuat, orangnyapun banyak sekali, perbuatannya tidak akan maksimal bukan?"
Ang Lie-hwee berkata.
"Kalau hanya Liu Yam-yo seorang yang pergi membunuh orang pasti hasilnya tidak akan maksimal, Juga tidak akan mencapai sasaran melemahkan kekuatan dunia persilatan di Tionggoan, tapi kalau semua orang bergerak bersama, bayangkan bagaimana hasilnya? Penyebab kami tidak serempak bergerak tapi hanya memutuskan Liu Yam-yo sebagai ujung tombak untuk mencoba reaksi dari Bulim, hasilnya sangat memuaskan. Tiap aliran tiap pintu perguruan tidak ada reaksi apa-apa kau yang tidak punya nama pun tidak ada harapan, Jangan iseng mencampuri urusan ini, ketua kami sudah berencana dalam waktu dekat ini mulai bergerak!"
Mendengar semua ini hati Kie Yam-ke terguncang, diam-diam berpikir, kalau Sin-hwee-kau ini benar mulai bergerak, dunia persilatan akan terjebak ke dalam angin yang bau amis dan hujan darah, akan sangat mengerikan, bagaimanapun harus dicegah dan dihalangi!.
Tapi di muka dia tidak bereaksi apa-apa, katanya.
"Apa tenaga dalam perkumpulan sudah cukup untuk melakukan pergerakan ini?"
Ang Lie-hwee ragu sesaat, katanya.
"Belum, maka ketua kami sangat mengharapkan kau yang dapat kemana-mana mengajak orang untuk bergabung, setelah kekuatan memadai segera niatnya baru dilaksanakan!"
Perkataan Ang Lie-hwee ini secara sepihak sudah menganggap Kie Yam-ke sebagai orang sendiri.
"Kenapa memilih aku?"
Kie Yam-ke bertanya.
"Aku orang yang belum punya nama, kenapa tidak mencari jago-jago Bu-lim yang sudah punya reputasi keluar untuk mengumpulkan pengikut-pengikutnya?"
Ang Lie-hwee tertawa berujar.
"Siapa bilang kau tidak punya nama besar, sebenarnya sejak Kian Jit-san memberi hadiah 100 ribu tail perak untuk menangkapmu, namamu sudah menggetarkan dunia persilatan. Apalagi setelah mengalahkan "Kai-san-liok-teng"
Bersaudara, mematahkan "Si-jit-kiam"
To Giam-Lian, semua orang sudah mengenali kau dengan baik, di dunia persilatan sekarang siapa yang tidak tahu Kie Kong-cu!"
Setelah berhenti sebentar, dia menyambung lagi.
"Menurut ketua, kau adalah orang pilihan yang paling ideal."
Kie Yam-ke tidak menyangka namanya bisa tersiar di seluruh dunia persilatan, dalam waktu yang tidak terlalu lama dia sudah menjadi tokoh yang diperhitungkan. Dia berpikir sebentar, lalu dengan tertawa kecut berkata.
"Tapi cayhe jarang bergerak di dunia persilatan, tidak banyak mengenal orang, cayhe khawatir tidak sanggup menanggung beban yang kalian serahkan."
Ang Lie-hwee seperti sudah yakin dengan dia.
"Dengan nama Kie Kong-cu sekarang ini, siapa yang tidak ingin berhubungan denganmu? Asal kau memberi mereka keuntungan dan kebaikan, aku percaya dalam waktu yang singkat kau akan mendapatkan banyak orang-orang dunia persilatan."
Setelah berpikir sebentar Kie Yam-ke sudah mengambil keputusan, dengan tegas berkata pada Ang Lie-hwee.
"Kalau aku tidak mau menuruti keinginan perkumpulan anda bagaimana?"
Ang Lie-hwee tidak menjawab, hanya mengangkat tangan membunyikan 3 x jari-jari tangannya.
Begitu suara jepretan jari tangannya hilang, di depan pintu belakang kedai seperti dari dalam tanah, muncul puluhan orang berbaju merah berjalan, menutup semua jalan mundur dan mengelilingi Kie Yam-ke.
Diam-diam Kie Yam-ke terkejut tapi romannya sedikitpun tidak berubah, seperti tidak merasa dengan santai mengambil cangkir minumnya.
Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ang Lie-hwee tetap tersenyum.
"Kie Kong-cu, kau tahu apa yang mereka pegang?"
Sorotan mata Kie Yam-ke bersinar, dia melihat tangan tiap orang berbaju merah memegang suatu benda bulat seperti bola berwarna hitam, dia dapat menebak tapi tetap bertanya.
"Boleh tahu........."
"Itu adalah Sin-hwee-tan (Bom api sakti) milik perkumpulan kami yang paling hebat."
Dengan bangga Ang Lie-hwee berkata lagi.
"Sebuah Sin-hwee-tan dapat meratakan kedai ini menjadi tanah datar, mungkin Kie Kong-cu tidak mau mencobanya sendiri bukan?"
Kie Yam-ke pernah melihat dan merasakan kehebatan bom api dari Liu Yam-yo, jadi sudah tahu kehebatannya, dia mengerti Ang Lie-hwee bukan menggertak dia dengan omong kosong, dia mengerenyitkan dahinya berkata.
"Aku sudah tidak ada pilihan, mau tidak mau harus masuk ke perkumpulan anda."
Ang Lie-hwee menggosok telapak berkata.
"Betul saja Kie Kong-cu orang yang cerdik. Ayo, aku mewakili Kaucu bersulang untukmu, mengucapkan selamat bergabung dengan perkumpulan kami."
Kie Yam-ke terpaksa mengangkat cangkir, dua orang itu lalu minum bersama. Setelah menaruh cangkir, Kie Yam-ke bertanya.
"Apa kedudukan anda di perkumpulan?"
"Aku menjabat sebagai Sin-hwee-tong Tong-cu (Kepala devisi Sin-hwee)."
Kie Yam-ke segera memberi salam.
"Salam untuk Ang Tong-cu! "
Ang Lie-hwee berkata sambil menggoyangkan tangan.
"Orang sendiri tidak perlu sungkan-sungkan!". Sambil menatap Ang Lie-hwee, Kie Yam-ke bertanya.
"Apa kedudukanku nanti di perkumpulan?"
Dengan tidak enak Ang Lie-hwee tertawa.
"Masalah ini akupun tidak bisa memastikan, nanti sesudah bertemu Kaucu, kau akan tahu sendiri."
Kie Yam-ke ingin sekali melihat Kaucu yang berambisi besar dari perkumpulan asal Se-ih ini. Diapun melanjutkan.
"Kapan aku bisa bertemu Kaucu?"
"Aku akan segera membawamu ke pusat perkumpulan menemui Kaucu."
Kie Yam-ke berdiri dan berkata.
"Kapanpun aku siap."
Ang Lie-hwee berdiri lalu mengayunkan tangan, segera puluhan orang berbaju merah membungkukkan tubuh memberi hormat dan mundur keluar dari kedai arak. Ang Lie-hwee baru berkata pada Kie Yam-ke.
"Kita segera ke pusat perkumpulan!"
Mereka segera meninggalkan kedai arak itu.
Sambil berjalan, Ang Lie-hwee menceriterakan banyak masalah intern perkumpulan pada Kie Yam-ke.
Dalam perkumpulan, selain Kaucu, ada 2 devisi.
yaitu Sin-hwee-tong dan Kim-gin-tong (Devisi emas perak) Sin-hwee-tong khusus bertanggung jawab atas keselamatan dalam perkumpulan serta operasi pembenahan diluar.
Sedangkan Kim-gin-tong khusus mengurus keluar masuk keuangan dalam perkumpulan, tugas paling utama adalah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk biaya-biaya mengembangkan perkumpulan.
Dibawah 2 devisi itu ada 4 bendera, di bagi merah kuning biru hitam, tiap devisi mengatur 2 bendera untuk melaksanakan tugasnya.
Dari mulut Ang Lie-hwee, Kie Yam-ke tahu anggota perkumpulan mereka baru ada kurang lebih 100 orang.
Kekuatannya masih kecil, sehingga belum berani bergerak di Tionggoan.
Yang paling membuat Kie Yam-ke muak adalah dalam perkumpulan tidak ada larangan hubungan antara laki-laki dan perempuan, laki atau perempuan kalau saling menyukai boleh tidur bersama, siapapun tidak boleh protes, termasuk Kaucunya juga.
Pusat perkumpulan Sin-hwee-kau dibangun di pinggir sebuah gunung, di atas sebuah tanah belantara yang tersembunyi dan terhalang oleh hutan.
Karena di depan terlindung oleh hutan, dan di belakang tertutup oleh gunung, maka sulit ditemukan orang luar.
Pusat perkumpulan ini adalah sebuah rumah berhalaman besar dengan pagar tembok setinggi 3 meteran.
Jika berdiri diluar sulit melihat keadaan di dalam kecuali masuk dari pintu utama.
Setelah masuk di bagian dalam ada halaman yang luasnya 15 tombak di tengah-tengahnya ada sebuah panggung dengan lebar 1 tombak lebih, dibagi 3 susun.
Tiap susun ada 3 undak-undakan yang tingginya 1,5 tombak.
Melewati halaman ada sebuah ruangan yang tinggi dan besar, ruangannya kosong melompong, 2 dinding tembok serta tiang yang tinggi besar ada lukisan berwarna-warni bergambar api menyala, bagian depan menjuntai tirai sutra berwarna merah menyala, di depan tirai ada kursi besar warna merah tua bagaikan gumpalan api, sandaran bangkunya juga merah seperti api, sehingga orang yang berada disana merasa berada di dunia api.
Tidak ada sumbernya tapi merasa seperti ada udara panas menyerang.
Kie Yam-ke yang berada di ruangan ini, juga ada perasaan seperti ini.
Akhirnya Kie Yam-ke berada di pusat perkumpulan Sin-hwee-kau.
Saat ini dia berdiri di ruangan besar ini menunggu diterima oleh Kaucu.
Ang Lie-hwee pun menemani di sampingnya, dia telah menyuruh orang melapor pada Kaucu soal kedatangan mereka.
Suara nyaring berbunyi 3 kali, suaranya menggema di udara ruangan tidak hilang-hilang, lalu terdengar suara keliningan yang nyaring dan enak didengar, belum lagi suara keliningan itu belum berhenti, tirai sutra berwarna merah bergoyang dan menggulung, berturut-turut keluar 8 orang gadis muda belia yang mengenakan gaun ringan merah menyala, waktu melangkah, gaun dan selendangnya melayang-layang.
Tubuh padat berisi yang lembut kadang tampak dibawahnya, memikat dan menggoda sekali.
Setelah melihat hati Kie Yam-ke tidak tahan berdebar-debar.
Delapan gadis itu bertelanjang kaki, dengan ringan berjalan ke belakang kursi besar merah, seperti kipas membuka diri berdiri terpisah di belakang kursi besar itu.
Tangan 8 orang gadis itu masing-masing memegang sebuah kipas bergambar sekuntum bara api yang menyala, jika disatukan menyerupai tirai sekat pelindung api, menyala indah sekali.
Tidak lama, dari belakang tirai sutra merah yang menggulung, berjalan keluar seorang berambut merah, muka merah, alis dan kumisnya juga merah.
Mengenakan baju penuh sulaman berkuntum-kuntum bara api, dilihat sepintas seperti bara api yang terbang menggelundung.
Begitu Ang Lie-hwee melihat orang setengah umur seperti segumpal api membara, segera menghormat dengan 2 tangan menjuntai disisi dan membungkukkan tubuh, sorotan mata melihat ke bawah, tidak berani memandang langsung.
Kie Yam-ke tidak perduli, dia tetap berdiri tegap, memandang lurus orang setengah umur itu.
Orang itu duduk diatas kursi besar, matanya menyapu Kie Yam-ke.
Ketika sorotan mata Kie Yam-ke beradu dengannya, dia segera merasa sepasang matanya sakit seperti terbakar api, dia cepat-cepat menunduk, tidak berani memandang langsung dengannya lagi.
"Lapor Kaucu, hamba sudah membawa Kie Yam-ke kemari. Harap Kaucu memakai sesuai dengan kemampuannya,"
Pantas saja Ang Lie-hwee tidak berani mengangkat kedua matanya, ternyata sorotan mata Kaucu seperti api membakar, membuat mata orang merasa sakit.
"Kau Kie Yam-ke?"
Suara Kaucu bagaikan api membakar "palipolo, pilipolo"
Berbunyi.
"Kau mau bergabung dengan perkumpulan kami?"
Sudah dalam keadaaan begmi dia terpaksa membungkuk-bungkuk berkata.
"Hamba ingin bergabung!!"
Sambil mengangkat kepalanya melihat. Begitu bentrok dengan pandangan Kaucu, timbul kembali perasaan sakit pada matanya bagaikan tersulut api, membuat dia tidak kuasa cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
"Bagus, perkumpulan kami sedang membutuhkan orang. Apalagi orang seperti engkau, kami sangat butuh sekali, kakau kau mau bergabung, aku senang sekali."
Ketua Sin-hwee-kau tertawa sambil memandang Kie Yam-ke.
"Lapor Kaucu, Kie Yam-ke sudah bergabung dengan perkumpulan kita, sudah menjadi orang sendiri. Masalah dia dikejar-kejar pejabat pemerintahan dan masalah Kian Jit-san mengeluarkan hadiah tinggi........."
Ang Lie-hwee amat peduli pada Kie Yam-ke, dia melaporkan pada Kaucu apa yang dia janjikan pada Kie Yam-ke saat di kedai arak.
"Ang Tong-cu, kesulitannya semua harus kita bantu selesaikan. Masalah ini serahkan saja pada Kim-gin Tong-cu yang mengurus!"
Lalu dia berkata pada Kie Yam-ke.
"Kau tenang saja, mulai sekarang kau boleh tenang, kemana pun pergi tidak akan ada yang menggangu, orang birokrasi tidak lagi akan menangkapmu, Kian Jit-san pun tidak akan menangkapmu lagi dengan hadiah yang menggiurkan."
Terpaksa Kie Yam-ke dengan suara lantang berkata.
"Terima kasih Kaucu".
"Lapor Kaucu, masalah jabatan Kie Yam-ke......"
Ang Lie-hwee mengajukan. Sin-hwee Kaucu bagaikan api melayang, tertawa panjang.
"Masalah jabatan dia, aku telah siapkan. Mulai sekarang kita tambah satu devisi baru. Kie Yam-ke adalah ketua Gwa-si-tong (Devisi urusan luar) kekuasaannya sama dengan Sin-hwee-tong dan Kim-gin-tong. Khusus mengurus pengembangan perkumpulan dan penerimaan tenaga-tenaga ahli."
Suara Sin-hwee Kaucu bergema dalam ruangan yang tinggi besar dan terdengar sampai keluar. Ang Lie-hwee yang berdiri disamping melihat Kie Yam-ke tetap tegak di sana, diam-diam menarik dia, berbisik.
"Cepat berlutut mengucapkan terima kasih!"
Sebenarnya Kie Yam-ke enggan berlutut, tapi keadaan sudah begini, maka dengan terpaksa dia berlutut juga sambil berkata.
"Terima kasih Kaucu, hamba akan berusaha sekuat tenaga untuk memajukan perkumpulan kita!".
"Bangunlah Kie Tong-cu,"
Sin-hwee Kaucu berdiri memandangi Ang Lie-hwee.
"Ang Tong-cu, bawa Kie Tong-cu berkeliling di pusat perkumpulan ini dan siapkan jamuan selamat datang untuk Kie Tong-cu."
Sambil mengangkat lengan baju, dia sudah masuk lagi ke dalam, hilang di belakang tirai sutra merah itu.
Ang Lie-hwee menunggu sampai gadis terakhir menghilang di balik tirai, lalu menarik lengan baju Kie Yam-ke, pergi meninggalkan ruangan itu.
Baru saja keluar dari ruangan, sudah banyak anggota Sin-hwee-kau yang berkumpul di luar, mereka serempak membungkuk memberi salam.
"Salam untuk Kie Tong-cu."
Begitulah Kie Yam-ke menduduki ketua salah satu devisi di Sin-hwee-kau.
Pusat perkumpulan Sin-hwee-kau amat besar.
Ada lima bangunan utama 2 sisi ada 4 halaman.
Semua tidak kurang dari seratus rumah yang dapat menampung ratusan orang.
Ang Lie-hwee membawa Kie Yam-ke mengelilingi semua sudut pusat perkumpulan.
Lalu membawa dia ke bangunan ke 3 yang tinggi dan besar.
Di bangunan yang tinggi dan besar itu sudah siap perjamuan mewah.
4 orang yang mengenakan baju merah, kuning, biru, hitam dengan hormat menunggu di sepanjang ruangan, melihat Kie Yam-ke dan Ang Lie-hwee datang mereka segera menyapa "Salam untuk Ang Tong-cu dan Kie Tong-cu."
Sambil mengayunkan tangan Ang Lie-hwee berkata.
"Bersikaplah bebas!"
Sambil mengenalkan satu persatu pada Kie Yam-ke.
"Ha-su kepala bendera merah. Ho-tong kepala bendera biru. Auw-san kepala bendera kuning. Mong-lie kepala bendera hitam."
Kie Yam-ke dengan mudah membedakan mereka dari warna baju yang dikenakan, mereka semua bukan orang dari Tionggoan, mungkin mereka orang See-ih Tibet, sebab Sin-hwee-kau datang dari Tibet.
Selesai mengenalkan.
Kie Yam-ke dan Ang Lie-hwee bersama-sama masuk kebangunan tinggi dan besar itu diikuti 4 orang kepala bendera.
Setelah minum 3 cangkir.
Kie Yam-ke berhenti minum, tanyanya.
"Ang Tong-cu, kenapa tidak terlihat Kim-gin Tong-cu, apa dia tidak berada di pusat perkumpulan?"
Setelah minum seteguk Ang Lie-hwee berkata.
"Betul Kim-gin Tong-cu sedang tidak ada di sini. Dia bergerak kemana-mana di sungai telaga mencari dana bagi perkumpulan kita, setahun hanya pulang 4 x kalau tidak ada urusan penting dia tidak akan pulang kemari."
"Kalau begitu apa aku pun boleh bergerak seorang diri di sungai telaga untuk mencari anak buah?, tidak dibatasi agar leluasa mengumpulkan orang-orang?"
Ang Lie-hwee mengangguk, berkata.
"Boleh, kau juga tidak akan dibatasi dan bebas bergerak diluar, masalah dana kau boleh mengambil di bank Ban-tong yang dikelola perkumpulan kita. Kau boleh merengkrut siapa saja orang dunia persilatan untuk masuk ke perkumpulan kita, kau putuskan sendiri, pokoknya kau usahakan semaksimal mungkin merekrut orang dari dunia persilatan dari aliran hitam dan putih, asal mereka mau bergabung jangan ditolak, harus terima terus."
"Apakah Kaucu setuju?"
Tanya Kie Yam-ke.
"Tentu,"
Ang Lie-hwee menepuk pundak Kie Yam-ke.
"Rupanya Kaucu sangat mempercayaimu, asal kau mau bekerja keras, dihari yang akan datang kedudukanmu bakal lebih tinggi dari aku."
Kie Yam-ke tertawa, katanya.
"Ang Tong-cu, aku malu kalau dikatakan begitu, aku sudah bergabung, aku sudah menjadi salah satu anggota perkumpulan ini, harus bekerja sebaik-baiknya demi perkumpulan."
"Kalau Kaucu mendengar ini pasti sangat senang."
Ang Lie-hwee berkesan baik pada Kie Yam-ke.
"Kalau ada orang sungai telaga tidak mau bergabung dengan kita, harus bagaimana?"
Tanpa ragu-ragu Ang-lie-hwee berkata.
Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau dia sudah mengetahui rahasia perkumpulan kita tapi tidak mau bergabung, tidak ada kecuali siapapun harus dibunuh!". Selanjurnya dia memberi penjelasan lagi.
"Karena tenaga kita belum cukup, maksud Kaucu sementara ini kita tetap saja berjalan secara rahasia, setelah kekuatan kita sudah memadai, sudah bisa menahan serangan dari kelompok orang-orang dunia persilatan manapun. Baru kita mengumumkan ke dunia persilatan tentang keberadaan kita. Sekarang ini jangan sampai masalah kita tersiar dulu keluar, untuk menjaga serangan bersama masing-masing kelompok atau partai di dunia pesilatan ini."
Kie Yam-ke mendengar sambil mengangguk tanda paham. Setelah Ang Lie-hwee selesai berbicara. Dia mengajukan lagi pertanyaan yang lain.
"Kalau sampai aku sendiri tidak mampu mengatasinya harus bagaimana?"
"Masalah ini kau tidak perlu kuatir,"
Ang Lie-hwee menghabiskan secangkir arak, baru berkata.
"kalau ada yang tidak mampu diatasi sendiri, buatlah tanda yang menarik di tempat yang mencolok, pasti ada orang-orang perkumpulan kita yang menghubungimu, jadi kau tidak perlu kuatir urusan pasti bisa diselesaikan dengan baik!"
Setelah meneguk arak Kie Yam-ke berkata.
"Kalau begitu aku tidak perlu kuatir, urusan pasti bisa diselesaikan dengan baik!"
"Kalau masih ada yang tidak mengerti, tanya saja."
Kie Yam-ke tertawa sambil menggelengkan kepala.
"Sementara ini cukup. Ang Tong-cu, banyak terima kasih atas bantuan anda."
Ang Lie-hwee tertawa keras berkata.
"Kie Tong-cu, kau tidak perlu bersungkan-sungkan lagi, kalau sudah tidak ada pertanyaan lagi, kita minum-minum sampai puas."
Tiba-tiba Kie Yam-ke bertanya.
"Maaf, tiba-tiba aku berpikir lagi satu pertanyaan mau minta petunjuk."
Cangkir yang telah diangkat ditunda lagi oleh Ang Lie-hwee.
"Katakan saja Kie Tong-cu."
Agak ragu sebentar Kie Yam-ke lalu bertanya.
"Maafkan aku lancang, sepertinya Kaucu bukan orang Tionggoan bukan?"
Dengan tertawa keras Ang Lie-hwee berkata.
"Memang bukan orang Tionggoan, semua orang perkumpulan tahu hal ini, sudah bukan rahasia lagi. Aku beritahu, dan atas mulai Kaucu, ke bawah sampai 4 bendera, kebanyakan orang See-ih. hanya sedikit saja anggota dan Tong-cu baru yang orang Tionggoan."
"Oh, begitu."
Lalu Kie Yam-ke mengangkat cangkir.
"Ang Tong-cu, aku bersulang untukmu!" 4 orang kepala bendera yang mendampingi juga berseru.
"Kami juga bersulang untuk Tong-cu berdua!"
Secangkir dan secangkir lagi, tidak terasa Kie Yam-ke pun sudah mabuk dan tertidur.
Bagitu bangun, Kie Yam-ke masih terasa sakit kepala, dia ingin bangun untuk minum teh.
Tapi baru saja menggerakan tubuhnya, dia menyentuh sesosok tubuh yang hangat dan empuk, dia terkejut dan tidak berani berusik lagi.
Dengan sedikit sinar lilin yang bergoyang dari luar kelambu dia menatap dengan seksama, tidak terasa mukanya menjadi merah tubuhnya pun terasa panas, kerongkongan terasa lebih kering, hatinya juga berdebar-debar keras.
Ternyata yang menempel kencang di sampingnya, sesosok tubuh yang telanjang bulat, kulitnya tampak halus, rambut agak keriting menutupi bahu dan leher halus seorang gadis.
Gadis itu garis potongannya indah, 2 pahanya panjang dan langsing.
Buah dadanya montok berisi, bulu mata panjang dan lentik agak menutup.
Mulut mungilnya samar-samar tampak tersenyum mengembang.
Laki-laki manapun yang waras tentu tidak akan mampu menahan keadaan yang menggoda begitu.
Karena kekuatan arak di tubuh Kie Yam-ke belum hilang semua, matanya memandangi tubuh bulat yang amat menggoda.
Tanpa sadar segumpal hawa panas muncul dari dalam tubuh dan diikuti pula timbulnya dorongan sex yang paling primitif datang mengguncang.
Saat ini dia pun baru sadar dirinya pun telanjang bulat, dari atas ke bawah tidak ada sehelai benang penutup pun.
Penemuan ini membuat dia gugup, cepat-cepat dia menarik selimut menutupi tubuhnya sambil mencari-cari bajunya dengan sepasang matanya.
Tapi gadis yang meringkuk tertidur itu jadi terbangunkan oleh gerakan dia.
"Emmm"
Bersuara, bulu matanya yang lentik panjang bergerak dengan lucu melirik Kie Yam-ke, tubuh yang bugil bergerak.
Kaki tangannya diluruskan, sebentar saja seperti lintah menempel lagi ke tubuh Kie Yam-ke.
Dipeluknya Kie Yam-ke dengan kencang.
Kie Yam-ke ingin menghindar sudah tidak keburu.
Tubuh yang saling menempel bagaikan sengatan listrik, membuat Kie Yam-ke timbul perasaan aneh yang belum pernah dia alami.
Kie Yam-ke ingin melepaskan diri dari pelukan dan gulungan gadis itu.
Tapi tenaganya seperti hilang.
Di bawah sadar dia terus memberi peringatan tidak boleh melakukan itu, tapi reaksi sebagian tubuh membuat dia tidak bisa bertahan dan tidak bisa mengatasinya, ditambah masih ada sisa pengaruh arak, dia tidak sanggup untuk mengatasi keadaan.
Akhirnya nafsunya mengungguli kesadaran.
Setelah hujan badai berlalu, segalanya kembali menjadi tenang.
Kie Yam-ke berbaring di atas ranjang membelalakan mata, tidak bersuara menatap lurus langit-langit kelambu.
Entah bagaimana di langit-langit kelambu seperti terlihat muka Siau-ih yang ayu dan memukau.
Kie Yam-ke seperti sudah berobah menjadi orang dungu, dengan beku menatap langit-langit kelambu sampai lama sekali.
Tidak bergerak pun tidak bersuara.
Setelah melakukan perbuatan yang begini dia merasa tidak enak pada Siau-ih, memandang muka Siau-ih seperti ilusi muncul di langit-langit kelambu, dalam hari memohon maaf pada Siau-ih.
"Kie Tong-cu, anda bukan tidak senang pada hamba bukan?"
Gadis yang meringkuk dalam pelukannya itu menggoyangkan tangan mengelus-ngelus Kie Yam-ke.
Begitu dia bergerak, Kie Yam-ke jadi kembali dari kebingungan atas kenyataan yang ada didepan mata, dia menarik kembali sorotan mata dan menatap muka cerah gadis itu.
Dia menemukan gadis ini mirip dengan Siau-ih, tidak terasa dia jadi terus bengong menatap muka gadis itu.
Melihat Kie Yam-ke diam saja memandang dirinya, tidak terasa mukanya menjadi merah, lalu dia membenamkan mukanya ke atas dada Kie Yam-ke.
Dalam hati Kie Yam-ke mengeluh, tumbuh rasa menyesal dan malu.
Dia malu pada Siau-ih Kouwnio yang telah meninggal, menyesal sekarang telah merusak gadis ayu dan suci ini, dia tidak bisa apa-apa karena kesalahan telah terjadi.
Sebelah tangannya dengan lembut membelai rambut panjang gadis ini dengan suara rendah berkata.
"Kouwnio, siapa namamu?"
Gadis ini seperti anak kucing menempel dalam pelukan Kie Yam-ke, agak mengangkat kepala, mata gede yang berbulu panjang dan lentik itu berkedip-kedip dengan halus dan kalem berkata.
"Nama hamba Jit-ih."
Setelah mendengar hati Kie Yam-ke terguncang, kebetulan sekali, satu bernama Siau-ih, dia bernama Jit-ih, hanya beda satu huruf. Dia berguman.
"Siau-ih, Jit-ih, Siau-ih, Jit-ih....."
Jit-ih memandang Kie Yam-ke, melihat dia berguman sendiri, tidak tahan dengan suara lembut berkata.
"Kie Tong-cu. Anda tidak apa-apa?"
Kie Yam-ke berhenti berguman, memandangi Jit-ih berkata.
"Kenapa kau melakukan semua ini?"
Secepat itu pula Jit-ih menjadi merah malu sekali, dia menutup mukanya berkata.
"Ini.....ini semua perintah Kaucu. Menyuruh hamba melayani anda."
Tiba-tiba Kie Yam-ke merasa dirinya amat menyukai Jit-ih, Jit-ih juga memang pantas disayangi dan disukai orang.
"Jit-ih, apa kau boleh menolak semua kemauan Kaucu?"
Jit-ih diam dan tenang, lalu menghela nafas.
"Tidak boleh, kalau Kaucu lagi gembira, kita bisa diberikan pada siapa saja, kalau melawan berarti mati!"
Kie Yam-ke emosi. Tragis benar nasib seorang gadis, seenaknya dia diatur dan tidak boleh melawan. Suka tidak suka harus mengikuti orang itu, kebahagiaan dirinya telah digadaikan.
"Apa kedudukanmu dalam perkumpulan?"
Kie Yam-ke dengan rasa sayang merangkul Jit-ih dalam pelukannya. Jit-ih berkata dengan sedih.
"Hamba adalah salah saru pelayan Kaucu."
"Rupamu bukan orang Tionggoan"
Kie Yam-ke dengan halus mengelus rambut ombak Jit-ih.
"Hamba orang See-ih. Diurus oleh Kaucu sejak kecil, dibawa ke Tionggoan pun oleh Kaucu."
Jit-ih bagaikan anak burung bersandar dalam pelukan Kie Yam-ke.
"Kau adalah alat dalam tangan Kaucu untuk memanjakan aku?"
Kie Yam-ke menopang dagu Jit-ih, menatap lurus Jit-ih.
"sambil mengawasi aku bukan?"
Jit-ih ditopang sampai mukanya menengadah ke atas, tapi dia menghindar sorotan mata Kie Yam-ke, mukanya terlihat gugup, dia mengatupkan bibir tidak berkata.
"Betul?"
Kie Yam-ke dengan dingin dan keras mendesak. Tubuh mungil Jit-ih tersentak dan bergetar dalam pelukan Kie Yam-ke, dengan memelas berkata.
"Jangan mendesak hamba, kalau hamba mengata-kan terus terang, nanti akan dihukum mati oleh Kaucu."
Setelah mendengar ini, Kie Yam-ke tidak tega memasang muka masam. Bagimana pun Jit-ih adalah perempuan pertama yang mendapat kemesraan dirinya, cinta atau tidak ini sudah menjadi kenyataan, apalagi Jit-ih sangat manis.
"Jit-ih kau jangan takut, ada aku kau tidak akan dilukai, katakanlah!"
Kata Kie Yam-ke halus.
"Hamba takut,"
Jit-ih bergetar dalam pelukan Kie Yam-ke.
"Tidak perlu takut!"
Tangan Kie Yam-ke mendekap Jit-ih lebih erat.
"apa kau tidak ingin meninggalkan tempat ini dan memulai kehidupan baru?"
Dengan yakin Kie Yam-ke mengangguk.
"Jit-ih, kau sudah menjadi orangku, asalkan aku tidak mati, aku pasti akan membawamu meninggalkan tempat ini."
Mata besar Jit-ih yang bening tidak berkedip-kedip memandang Kie Yam-ke agak lama. Tanpa ragu -ragu lagi berkata.
"Baiklah, hamba mau memberitahu."
Kie Yam-ke membetulkan cara bicaranya.
"jangan merendahkan diri lagi, kau juga manusia, lain kali jangan lagi menyebut dirimu "Hamba"
Tapi sebutlah aku atau saya."
Malu-malu Jit-ih berkata.
"Ham....aku... aku sudah terbiasa berkata begitu sesaat sulit merubahnya. Apalagi didepan atau belakang orang jika tidak menyebut hamba, akan dihukum oleh Kaucu!"
Kie Yam-ke menghela napas panjang berujar.
"Sekarang katakanlah!"
Jit-ih memandang lama Kie Yam-ke baru memberanikan diri berkata.
"Ham....betul, aku diutus Kaucu untuk mengawasi kau, juga sebagai alat memanjakan setiap orang yang berkedudukan dalam perkumpulan. Seperti Ang Tong-cu dan lain lain, disamping setiap orang, semua punya pelayan seperti aku, mereka semua dididik oleh Kaucu, dibawah kekerasan yang berlebihan, tidak ada seorang pun yang berani melanggar"
"Sekarang sudah ada satu orang,"
Kata Kie Yam-ke tersenyum. Jit-ih sesaat tidak sadar, dia bertanya ringan.
"Siapa orang itu?"
"Kau."
Kie Yam-ke dengan telunjuk menyentuh sedikit hidung Jit-ih yang kecil mungil dan lucu itu. Muka Jit-ih memucat, dengan suara gugup berkata.
"Aku serahkan segala sesuatuku padamu."
Kie Yam-ke pun menghela napas panjang-panjang tanyanya.
"Jit-ih, siapa sebenarnya Kim-gin Tong-cu itu?"
Alis Jit-ih berkerut.
"Kim-gin Tong-cu adalah Kim-gin Tong-cu. Aku tidak tahu siapa dia."
Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tidak pernah melihat dia!"
Kie Yam-ke bertanya dengan perasaan aneh.
"Tidak pernah,"
Jit-ih mengernyitkan hidung berkata lagi.
"Selangkahpun Kaucu tidak mengizinkan kami keluar dari ruangan dalam, juga tidak mengizinkan siapapun masuk selangkah ke ruangan dalam. Aku pun baru pertama kali ini berjalan keluar ruangan, selain Kaucu, kau adalah laki-laki pertama yang aku dekati."
Setelah berkata, mukanya terlihat malu, ayu dan manis.
Memandang keadaan begini hati Kie Yam-ke pun berdebar-debar tidak terasa diapun menciuminya.
Di bawah ciuman mesra Kie Yam-ke tubuh mungilnya yang bugil bagaikan ular bergerak-gerak.
Kie Yam-ke masih seorang pemuda yang bernafsu tinggi, mana bisa menahan ini semua.
Apalagi sudah melakukan satu kali, tentu saja menyusul kali yang ke 2.
Akhirnya mereka berdua sekali lagi berlarut dalam kesenangan.
Kie Yam-ke 3 hari berada di pusat perkumpulan.
Selama waktu itu Sin-hwee Kaucu 2x memanggil dia.
Selama bertemu dia di ruangan yang tinggi dan lega itu.
Yang diperbincangkan tidak lain minta dia rajin-rajin membela Sin-hwee-kau, juga bertanya dia suka Jit-ih tidak, kalau suka biar dia saja terus melayani, kalau tidak suka boleh ganti yang lain.
Kie Yam-ke mengiyakan semua perkataan Sin-hwee Kaucu.
Tidak ada sepatah katapun yang tidak berguna di tanyakan.
Dalam kesempatan ini dia bertanya pada Sin-hwee Kaucu kapan dia boleh meninggalkan pusat perkumpulan untuk bergerak di dunia persilatan.
Menurut Sin-hwee Kaucu lebih cepat lebih baik, dia mengatakan Jit-ih adalah pendamping dan pembantu yang baik, kalau dia mau boleh dibawa untuk menemani saat melanglang buana.
Kie Yam-ke mengerti perkataan Sin-hwee Kaucu itu hanya basa-basi.
Dia suka atau tidak, orang itu Jit-ih atau yang lain, maksudnya agar mudah mengontrol gerak gerik Kie Yam-ke.
Dia sekalian saja mengatakan suka sekali dengan Jit-ih, kalau Kaucu mengizinkan dia akan membawa Jit-ih turut serta.
Mendengar Kie Yam-ke ingin begitu, Sin-hwee Kaucu rupanya amat senang dan lega.
Setelah memberi sedikit dorongan lalu menyudahi pertemuan itu.
Hari ke 4, sambil membawa serta Jit-ih Kie yam-ke meninggalkan pusat perkumpulan memulai gerakannya.
Setelah Kie Yam-ke meninggalkan pusat perkumpulan, orang pertama yang terpikir dan harus dicari adalah "Si-jit-kiam"
To Giam-Lian.
Saat berpisah dengan To Giam-Lian dulu.
Kie Yam-ke mendengar To Giam-Lian akan ke Ki-lam, maka dia membawa Jit-ih menuju kesana.
Jit-ih yang selangkahpun tidak pernah meninggalkan ruang dalam dan tidak pernah meninggalkan pusat perkumpulan, seperti seekor burung kecil yang lepas dari sangkarnya, dia terlihat sangat santai dan lincah.
Masalah apapun yang terlihat di perjalanan, dia sangat kagum, aneh dan berhasrat sekali.
Tanya ini tanya itu, seperti gadis cilik yang pertama kali melihat dunia luar.
Kie Yam-ke terpaksa memberi penjelasan satu persatu agar perasaan anehnya puas dan senang.
Sambil merangkul Kie Yam-ke, dia berloncat-loncat dan memekik riang, wajahnya yang lucu dan manja membuat Kie Yam-ke tambah suka padanya.
Jit-ih pun tambah lemah lembut, tambah mesra pada Kie Yam-ke, persis seperti seorang istri pada suami, semua perhatian dan perasaannya dicurahkan pada diri Kie Yam-ke.
Dalam kenyataannya hubungan mereka memang sudah seperti hubungan suami istri.
Sejalan jalan tidak terjadi masalah yang berarti, tidak ada orang yang mempersulit atau menghalangi perjalanan mereka, apalagi mau menangkap Kie Yam-ke untuk ditukarkan dengan uang hadiah Kian Jit-san.
Tapi semua ini membuat Kie Yam-ke tambah tidak mengerti.
Dia berpikir, 'apa orang-orang sungai telaga yang berminat uang hadiah itu sudah mengetahui sulit menghadapi Kie Yam-ke sehingga mereka mundur teratur, atau....' Di perjalanan yang begitu aman Kie Yam-ke malah merasa kurang tenang.
Di perjalanan dia banyak bertemu orang-orang sungai telaga, dari sorotan mata memandang dan mimik muka, terlihat jelas mereka mengenal betul Kie Yam-ke.
Tapi seorangpun tidak ada yang mau menghampiri dia, mencari masalah padanya.
Semua baik-baik saja, hingga Kie Yam-ke merasa bingung, dia memikirkan masalah yang membuat dia tidak habis pikir ini.
Mula-mula Jit-ih tidak memperhatikan ekpresi Kie Yam-ke, belakangan melihat dia lama tidak bicara dan berjalan sambil menunduk.
Sepertinya dalam hatinya banyak pikiran.
Tidak tahan dia bertanya.
"Yam-ko, kau sedang pikir apa? Katakanlah biar aku turut merasakan."
Ditanya begitu Kie Yam-ke baru sadar dia sudah lupa diri, maka dia tertawa pada Jit-ih dan berkata.
"Jit-ih, aku sedang memikirkanmu."
"Memikirkanku? Aku kan ada disisimu,"
Mula-mula Jit-ih bengong belakangan dia sadar. Mukanya menjadi merah, dia menghentakkan kakinya.
"Emmm, kau jahat."
Kie Yam-ke memandang muka manis Jit-ih, tidak tahan dia memegang lengannya berkata dengan gembira.
"Dipikirin tidak senang? Kalau aku jahat. Ya sudah tidak mau dipikir lagi."
Lalu dia tertawa dengan gembira. Melempar tangan Jit-ih dengan manja berkata.
"Kau jahat."
Tapi cekikikan tertawa, memutar tubuh, dia lari pergi.
Kie Yam-ke memandang tubuh Jit-ih yang luwes dan elok, dengan tertawa dia mengejar.
Mereka berdua seperti sudah lupa segala, di perjalanan tertawa dan berkejar-kejaran, bagaikan anak kecil yang nakal dan bandel.
Untung dijalan tidak ada orang kalau tidak akan terlihat memalukan.
"Yam-ko, kota Ki-lam itu besar, ramai dan banyak orang ya?"
Mereka berdua saling bergandengan tangan, berjalan bersama, hati mereka sangat gembira. Kie Yam-ke melirik Jit-ih yang ada di samping, yang polos dan ayu itu berkata dengan lembut.
"Betul, Ki-lam memang kota besar yang amat ramai, tapi ibu kota lebih besar lebih ramai, banyak sekali hal yang bagus dan menyenangkan."
Jit-ih berkata dengan penuh idam-idam.
"Yam-ko, janji ya bawa aku jalan-jalan ke ibu kota."
Selanjutnya Kie Yam-ke dengan penuh kasih sayang berkata.
"Nanti kalau ada kesempatan aku pasti membawa kau melancong ke ibu kota."
Jit-ih girang sambil berloncatan, dengan suara girang berseru.
"Yam-ko, aku sangat senang, kau baik sekali padaku!"
Kie Yam-ke mengamati depan belakang kiri kanan sebentar, melihat di sekitarnya tidak ada orang. Tiba-tiba suaranya rendah dan tegas berkata pada Jit-ih yang sedang gembira itu.
"Jit-ih, dengar baik-baik, aku mau bicara."
Jit-ih melirik ke samping dengan centil berkata.
"Yam-ko, kau......"
Tiba-tiba dia merasa muka Kie Yam-ke amat serius tidak seperti orang sedang bergurau, maka dengan sedikit terkejut melanjutkan.
"Apakah penting sekali?"
Kie Yam-ke mengangguk serius, lalu menarik Jit-ih lebih dekat, dengan sungguh-sungguh berkata.
"Dengar, kalau suatu hari aku bertentangan dengan Kaucu, kau memihak Kaucu atau aku?"
Begitu Jit-ih mendengar, dia tidak mampu menjawab, dengan tercengang berkata.
"Yam-ko, kau sudah masuk perkumpulan, mana mungkin bertentangan dengan Kaucu?"
Kie Yam-ke melihat Jit-ih belum mengerti maksudnya. Dia menjelaskan lagi.
"Jit-ih, maksudku kalau satu hari aku meninggalkan Sin-hwee-kau, Kaucu tentu akan membunuhku, kau mau membela siapa?"
Dengan mimik ketakutan Jit-ih berkata.
"Tidak mungkin, kalau sampai terjadi, aku juga tidak tahu harus membela siapa, aku juga tidak tahu harus bagaimana? kalau aku melawan dan membangkang pada Kaucu, aku pasti dibunuhnya!"
Kie Yam-ke maklum Jit-ih selama hidupnya berada dibawah kekerasan Sin-hwee-kau yang kelewat keras. Dalam waktu yang singkat sulit unutk mengambil sikap yang ekstrim, akhirnya dia menghela napas berkata.
"Jit-ih. Apa kau tahu sejak malam itu kau mengatakan bahwa kau orang yang diutus oleh Kaucu untuk mengawasi aku, itu sudah melanggar dan membangkang pada Kaucu. Apa kau paham?". Jit-ih sama sekali tidak menyangka, dengan mengungkapkan jati diri yang sesungguhnya pada orang yang dikasihi, sudah membangkang pada Kaucu. Dia sangat terkejut, selanjutnya dengan gugup berkata.
"Kalau sudah begitu bagaimana?"
Kie Yam-ke menghiburnya.
"Jit-ih, aku kan pernah bilang aku pasti akan melindungimu, masih ingatkan?"
Lalu berkata lagi.
"Apa kau tidak ingin bersama aku? Tidak mau terlepas dari kehidupan yang tidak bebas dan terkungkung itu?"
Muka Jit-ih masih terlihat gugup tapi degan tegas dia berkata.
"Aku ingin bersamamu selamanya. Aku tidak mau kehidupan seperti dahulu lagi!"
Lalu dengan keras merangkul lengan Kie Yam-ke, seperti Kie Yam-ke segera akan menginggalkan dirinya saja. Kie Yam-ke merentangkan tangan merangkul erat-erat Jit-ih dengan suara lembut berkata.
"Kalau kau tidak mau berpisah denganku, tidak mau balik lagi ke samping Kaucu menjalani kehidupan yang dulu lagi, kau harus mendengar aku, berdiri dipihak aku."
Di bawah rangkulan erat Kie Yam-ke, Jit-ih merasa nyaman dan aman yang luar biasa tidak terasa dia berkata.
"Yam-ko aku tidak mau berpisah denganmu, mau bersamamu untuk selama-lamaya, aku mau mendengar perkataanmu, membantu kau, berdiri dipihakmu."
Kie Yam-ke girang sekali, dia tahu Jit-ih sudah berhasil dibujuk, selanjutnya dia bisa leluasa menjalankan pekerjaan yang dia kehendaki tidak perlu menghindar Jit-ih lagi.
"Duri"
Yang Kaucu simpan disisinya telah tercabut oleh Kie Yam-ke .
Akhirnya mereka sampai di kota Ki-lam, karena tidak tahu apakah To Giam-Lian masih berada di Ki-lam, juga tidak tahu dia ada dimana? Kie Yam-ke memutuskan menginap dulu, baru bertanya-tanya keberadaan To Giam-Lian.
Kie Yam-ke membawa Jit-ih menginap di penginapan terbesar di Ki-lam yaitu Ban-an-ciam, dan mendapat sebuah kamar utama.
Sekarang Kie Yam-ke bisa mengambil uang sesukanya di bank yang dikelola oleh Sin-hwee-kau, tidak melarat seperti ketika dia meninggalkan Yang Ciu.
Setelah mendapatkan kamar, waktu masih pagi, dia membawa Jit-ih jalan-jalan sekalian mencari tempat untuk makan.
Di jalan yang panjang dan ramai, membuat sibuk Jit-ih, melihat yang ini dan itu.
Tiap barang dan hal baru selalu membangkitkan minatnya, selalu merasa heran dan aneh, hal ini tidak bisa menyalahkan dia, sejak kecil dia tumbuh besar di lingkungan kecil Sin-hwee-kau.
Tidak pernah mengecap dunia luar yang luas, apalagi kota Ki-lam yang megah, luas dan ramai.
Dia tidak pernah lihat apalagi mendatanginya, tentu saja jadi merasa aneh.
Melewati toko jual alat-alat kecantikan dan perhiasan.
Jit-ih bengong sampai lupa berjalan.
Kie Yam-ke terpaksa membawa dia masuk, membiarkan dia melihat sepuasnya dan membelikan yang dia suka.
Tentu saja Jit-ih senang sekali, sebesar ini baru pertama kali dia memiliki barang-barang pribadi sebanyak ini.
Di toko pakaian sutra, Kie Yam-ke membelikan juga banyak bahan kain yang Jit-ih suka.
Setelah bungkusan besar kecil bertumpuk, mereka tidak bisa belanja lagi, terpaksa pulang dulu ke penginapan, setelah menaruh barang-barang itu lalu keluar lagi melancong.
Tay-beng-lou berada disisi Danau Tay-beng) banguannya bertingkat 3.
Inilah rumah makan terbesar dan terbaik di kota Ki-lam.
Sekarang Kie Yam-ke dan Jit-ih duduk di meja sisi jendela menghadap danau yang berada di tingkat 2.
sambil minum sambil menikmati pemandanagn Tay-beng-ouw yang indah permai.
Jit-ih memandang keindahan gunung dan danau Tay-beng-ouw yang sangat memikat, sekali-kali berseru, dia pun meminta Kie Yam-ke menjelaskan pemandangan di tiap sudut.
Kie Yam-ke pun terpikat oleh pemandanagn indah Tay-beng-ouw ini, dia pun memberi penjelasan sambil menunjuk-nunjuk ke gunung dan danau itu.
Saat mereka membicarakan dan menikmati pemandangan yang indah mereka sampai lupa makan minum, tiba-tiba ada orang yang merusak keasyikannya.
Muncul dan berdiri di depan meja mereka, dengan suara keras menghardik.
"Hei, kau berandalan dan bajingan yang bernama Kie Yam-ke?"
Kie Yam-ke dan Jit-ih yang sedang mengeluarkan kepala keluar jendela melihat pemandangan.
Mendengar suara itu cepat-cepat memutar tubuh melihat siapa yang datang mencari masalah pada mereka.
Orang ini tulangnya menonjol kurus, mengenakan jubah biru tua.
Rambutnya diikat tali biru sampai mukanya, matanya menyorot sinar ganas, pedang panjang tersoren di pinggang.
Seorang terpelajar kira-kira berumur 30an, dengan dua matanya berputar-putar memandang tubuh molek Jit-ih.
Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu melihat orang ini hati Kie Yam-ke merasa muak dan berkata.
"Kau membuka mulut langsung melukai orang. Pasti mau mencari masalah denganku. Atau Kian Jit-san sudah menambah lagi hadiahnya?"
Kie Yam-ke hanya melirik sekilas saja pada orang terpelajar ini dengan sikap pongah, sama sekali tidak menganggap keberadaan dia.
Orang terpelajar ini memang terpancing emosinya oleh kepongahan Kie Yam-ke ini, dia menunjuk Kie Yam-ke dengan suara geram.
"Kau salah taksir, Aku marga Yo, datang kemari bukan demi hadiah 100 ribu tail itu. Apalagi hadiah hebat Kian Jit-san sudah dihapus. Aku kemari ingin mencoba kelihaianmu. Apa betul seperti yang diperbincangkan orang-orang sungai telaga!"
Sambil berkata, sepasang mata tidak henti-hentinya memandang Jit-ih yang kebetulan melihat ingin mencari tahu apa yang terjadi.
Orang pintar sekali lihat juga mengerti, orang bermarga Yo ini hanya mau mencari gara-gara, sebetulnya bermaksud pada Jit-ih.
Tentu Kie Yam-ke juga mengerti, dengan suara dingin berkata.
"Kau mau mencari gara-gara padaku. Banyak bicara juga percuma, sebutkan saja apa maumu!"
Suara ribut mereka membuat terkejut tamu-tamu di loteng, mereka ramai-ramai melihat ke arah Kie Yam-ke, orang yang berani, malah mendekat ingin menonton keramaian, sebagian tamu hanya melongo dari tangga saja.
Orang terpelajar itu terus saja melihat Jit-ih, sampai Jit-ih juga merasa orang ini punya niat busuk pada dirinya, dia marah dan geram lalu mengomel dan berputar muka menyandar di tubuh Kie Yam-ke.
"Kie Yam-ke kau congkak dan pongah sekali!."
Kata orang terpelajar bermuka hijau pucat dan mengeras.
"Hari ini akan kuberi pelajaran!"
Kie Yam-ke mencibirkan bibir berkata.
"Aku pun ingin melihat setinggi apa kemampuanmu!"
Lalu berkata lagi.
"tidak usah bertele-tele, disini tempat orang berusaha, kalau mau bertarung di sebelah barat kota ada tempat yang lapang."
Selesai berkata, melirikpun tidak pada orang itu, dia menarik Jit-ih berjalan turun tangga.
Orang terpelajar itu terlihat kesal sampai mukanya berubah warna oleh kepongahan Kie Yam-ke.
Dia menggertakan gigi, dengan sorotan mata yang buas mengikuti dari belakang.
"Kie Yam-ke!"
Ada orang berseru dari loteng pada Kie Yam-ke yang berjalan menuju tangga itu.
Ketika mendengar, Kie Yam-ke mengira ada lagi orang yang mau mencari masalah padanya, dia berhenti melangkah, membalikan tubuh, menoleh ke tangga yang menuju tingkat 3.
Di mulut tangga berdiri seorang laki-laki setengah tua mengenakan jubah sutra ungu, dengan gembira memandang Kie Yam-ke.
Begitu Kie Yam-ke melihat, dia girang bukan main.
Dia berseru.
"To Toako...."
Lalu menarik Jit-ih, cepat-cepat berjalan menuju mulut tangga naik.
"Kie Yam-ke, tidak menyangka bisa bertemu kau disini!"
Orang setengah tua berbaju ungu itu ternyat adalah To Giam-Lian yang sedang dicari itu, dapat bertemu disini betul-betul luar dugaan.
"Deng, dengg, denggg "
Seperti angin To Giam-Lian sudah menyerbu ke tangga dan turun, begitu bertemu Kie Yam-ke yang datang tergesa-gesa 2 pasang tangannya segera dirangkapkan menghormat.
"Apa kabar To Toako?"
Kie Yam-ke atas bawah mengamati-amati To Giam-Lian. To Giam-Lian tertawa memandang Kie Yam-ke.
"Aku tetap seperti dulu, tapi kau adik sepertinya banyak rejeki! Siapa ini?"
To Giam-Lian mengamati Jit-ih yang berdiri di samping Kie Yam-ke. Kie Yam-ke tidak tahu harus bagaimana menjawab, dia tertawa kikuk, akhirnya memaksakan diri menjawab.
"Dia istriku Toako, Jit-ih,"
Lalu berkata pada Jit-ih.
"cepat beri salam pada To Toako."
To Giam-Lian merangkapkan kedua tangan membalas.
"Terima kasih, selamat adik, selamat pada kalian suami istri."
Kie Yam-ke tidak tahu bagaimana harus menjelaskan jati diri Jit-ih pada To Giam-Lian.
Dalam keadaan terdesak paling baik langsung mengakui hubungan mereka.
Dan dalam kenyataan dia sudah mengakui Jit-ih sebagai istrinya.
Memang kenyataannya mereka sudah seperti suami istri.
Tapi mereka belum punya tercatat sebagai suami istri resmi.
Setelah disebutkan dia pun malu, mukanya menjadi merah.
"To Toako, senang sekali bisa bertemu, sebenarnya kami khusus ke Ki-lam mencari Toako,"
Kie Yam-ke cepat-cepat mengalihkan perkataan.
"Aku pun senang,"
Kata To Giam-Lian tertawa.
"Kie Yam-ke, kau mau mengulur waktu sampai kapan? Kalau takut katakan pada semua orang. Aku yang bermarga Yo tidak akan mempersulit kalian. Aku bisa pergi segera!"
Orang terpelajar yang di abaikan itu sudah tidak tahan, dia meraung, tapi sepasang matanya tetap saja menatap Jit-ih.
Kie Yam-ke dan To Giam-lian memang lupa terhadapnya karena rasa senang dapat bertemu To Giam-Lian, setelah mendengar teriakannya, dia baru sadar, segera dia berkata pada To Giam-Lian.
"Toako tunggulah sebentar, setelah urusanku beres dengan orang itu kita minum sepuasnya nanti!". To Giam-Lian melirik Kie Yam-ke sebentar, dengan agak terkejut berkata.
"Adik, jadi suara ribut yang ingin bertarung itu adalah kalian berdua?"
Kie Yam-ke mengangguk, dengan ringkas lalu menceritakan kejadian tadi.
Sambil To Giam-lian mendengar Kie Yam-ke berceritera sambil melirik orang itu, tidak terasa dia mengerenyitkan keningnya berpikir, setelah Kie Yam-ke selesai bercerita, dia berkata pada orang terpelajar itu.
"Apa anda yang dijuluki "See-hoa-kong-cu" (Tuan muda pengagum kecantikan) Yo Siau-ling?"
Orang terpelajar itu tertawa sinis sambil mengangkat alis, dengan angkuh berkata.
"Betul!"
Lalu dengan angkuh bertanya lagi.
"bukankah kau Si-jit-kiam To Giam-Lian?"
"Betul,"
Jawab To Giam-Lian sambil merangkapkan kedua tangannya. Saat ini tiba-tiba anak tangga berbunyi, 2 orang sedang berjalan turun dari tangga atas lalu menyapa To Giam-Lian.
"To Toako belum pergi?"
Dengan senyum To Giam-Lian berkata.
"Aku bertemu teman akrab.........."
Lalu dia mengenalkan pada Kie Yam-ke.
"Adik inilah Sin-jiang" (Tombak sakti) Lie Goan.
"Thiat-jiu" (Tangan besi) Pui Han."
"Senang bertemu kalian."
Kie Yam-ke memberi salam Lie Goan Dan Pui Han juga membalas salam berkata.
"Bukankah anda Kie Yam-ke? Kami sering mendengar namamu."
Nama Kie Yam-ke sudah terkenal di seluruh sungai telaga.
Ditambah lagi pejabat pemerintah sudah melukis gambar dia disebarkan keseluruh negri untuk ditangkap.
Di Ki-lam juga banyak ditempel gambar dirinya, maka tidak perlu To Giam-Lian menjelaskan lagi, mereka sudah tahu.
Ketika Kie Yam-ke masuk ke kota, dia tidak melihat ada gambar dirinya yang menempel di gerbang kota.
Dia merasa aneh.
Tapi juga tidak diperhatikan.
Yo Siau-ling berdiri disana, melihat semua orang mengacuhkan keberadaannya, bahkan masing-masing mengobrol dengan asyiknya.
Dalam hatinya kesal sekali, sebab nama "See-hoa-kong-cu"
Juga ternama di sungai telaga ini, dia belum pernah di pandang rendah seperti ini. Dia lantas berteriak.
"Kie Yam-ke kapan selesainya urusanmu?"
Kie Yam-ke membencinya dalam hati, dengan dingin berkata.
"Kenapa ribut terus dan tidak berjalan kemari, padahal kami sudah menunggu disini!"
Perkataan ini membuat Yo Siau-ling hampir meledak amarahnya, sinar matanya ganas berkedip-kedip. Dengan kesal memandang Kie Yam-ke, cepat-cepat berjalan menuju tangga turun.
"Tidak berani datang itu anak kura-kura!"
Kie Yam-ke tertawa kecut, berkata pada To Giam-Lian bertiga.
"Kalian bertiga tunggu sebentar disini. Setelah aku bereskan masalahku pasti kembali kemari, kita minum sampai puas."
To Giam-Lian dengan serius berkata pada Kie Yam-ke.
"Orang itu mata keranjang, tapi kungfunya hebat. Apalagi Am-gi nya sangat beracun, kalau bertarung harus hati-hati jangan sampai terjebak."
Kie Yam-ke berterima kasih, berkata.
"Terima kasih Toako mengingatkan aku, aku pasti berhati-hati."
"Ayo jalan, kita semua ikut memberi semangat pada Kie Yam-ke."
Kata To Giam-Lian. Lie Goan, Pui Han serempak berkata.
"Ayo kita mau melihat sehebat apa orang itu!". Tadinya Kie Yam-ke ingin To Giam-Lian sekalian jangan ikut, tapi dipikir kembali pasti mereka tidak bisa dibujuk, maka dia diam saja, dengan membawa Jit-ih bersama To Giam-Lian bertiga, mereka bersama-sama menuruni tangga. Mereka meninggalkan Tay-beng-ouw, pergi ke sebelah barat kota. Di daerah barat luar kota, rumput-rumputan dan pohon bergoyang-goyang keadaan sunyi senyap satu orangpun tidak tampak. Di atas sebuah tanah lapang, Kie Yam-ke dan To Giam-Lian sekelompok orang berdiri di pinggir.
"See-hoa Kong-cu"
Yo Siau-ling berdiri disisi lain, berjarak 2 tombak. Kie Yam-ke maju 3 langkah, berdiri tegap memandang Yo Siau-ling berkata.
"Mau bertarung menggunakan senjata atau dengan tangan kosong?"
Yo Siau-ling tertawa keji, matanya terus melirik Jit-ih berkata.
"Kalau berduel harus sampai puas, jadi dengan senjata!" .
"Chiangggg!"
Dia sudah mencabut keluar pedang panjangnya.
Dibawah sinar matahari, batang pedangnya memantulkan seberkas sinar biru, jelas batang pedangnya sudah direndam racun! Kie Yam-ke yang melihat diam-diam tambah waspada.
Dia juga mengeluarkan Liang-thian-ci (mistar) dan di genggamnya.
Keduanya sudah siap-siap, ketegangan sudah memuncak.
Setelah diam-diam tidak bersuara, Yo Siau-ling bagaikan macan kelaparan, tiba-tiba menerkam Kie Yam-ke, pedang panjang bersinar biru ditangannya lurus menusuk tenggorokan Kie Yam-ke.
Kie Yam-ke tidak bergerak, mistarnya menempel di tengah alis, berkedip pun tidak memandang ujung pedang Yo Siau-ling yang datang menusuk.
Sesudah Kie Yam-ke sudah pedang Shao Ling tidak ada perkembangan lagi, dia baru mulai bereaksi.
Saat perhatian Kie Yam-ke tertujukan pada ujung pedang, tiba-tiba Yo Siau-ling memekik keras, lalu melengkungkan pinggang menundukkan kepala dan "Cesss cessss cessss"
Seberkas sinar yang kehitam-hitaman menyembur keluar dari kerah di belakang leher Yo Siau-ling, menyerang Kie Yam-ke!.
Gerakan Yo Siau-ling benar-benar ganas dan sadis, dia memancing perhatian Kie Yam-ke dengan menusuk kerongkongannya memakai pedang panjang, memekik keras untuk mengacaukan pikiran Kie Yam-ke.
Lalu melepaskan Am-gi, dan Am-ginya bukan satu buah tapi satu telapak tangan! Dalam pikirannya, Kie Yam-ke pasti tidak dapat menghindar serangan Am-gi nya dalam keadaan ini.
Jit-ih merasa khawatir sampai berteriak "Awas!"
To Giam-Lian bertiga pun terkejut dan ikut berteriak tertahan.
Saat itulah segenggam Am-gi yang belakangan dilepas sudah tiba duluan, semua senjata itu mengurung dada dan perut Kie Yam-ke, sedangkan arah pedang panjangnya tetap tidak berubah, cepat sekali menusuk kerongkongan Kie Yam-ke.
Tapi Kie Yam-ke memang hebat, dalam keadaan yang tidak di sangka ini, dan tidak dapat menahan karena jaraknya terlalu mendesak, dia dapat dengan tenang berputar seperti baling-baling, seperti angin puting beliung, berputar bergeser sejauh 1 tombak dan berhasil menghindar 2 lapis serangan Yo Siau-ling.
Yo Siau-ling sengaja mencari masalah pada Kie Yam-ke memang berniat busuk.
Dia tertarik oleh kemolekan tubuh Jit-ih, sehingga dari awal dia ingin membunuh Kie Yam-ke, tidak disangka taktik jahatnya meleset.
Am-ginya tidak behasil, pedangnya pun sama telah menusuk angin!.
Tubuh Kie Yam-ke berputar malang, mengikuti arah putaran tubuh, berputar setengah lingkaran, menerkam Yo Siau-ling yang agak terkesima, mistarnya bergetar mengibas, menimbulkan perubahan yang ajaib, beratus-ratus, beribu-ribu bayangan mistar bergulung-gulung dan memantul ke samping punggung Yo Siau-ling!.
Saat pedangnya gagal menusuk, Yo Siau-ling jadi kehilangan sasaran.
Dia sudah merasa ada yang kurang beres, ketika ingin menarik pedangnya dia sudah tidak keburu lagi.
Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beratus-ratus, beribu-ribu berkas angin pukulan yang dahsyat yang ditimbulkan dari getaran mistar sudah bertubi-tubi mendesak samping punggungnya.
Dia terkejut, tidak ingat lagi melukai musuh, yang ada dalam pikirannya adalah menyelamatkan dirinya.
Sambil mendehem kesal, tubuhnya merendah ke tanah langsung menggelinding bermeter-meter jauhnya.
Tanpa mengubah jurus Kie Yam-ke menotok tubuh Yo Siau-ling yang sedang menggelinding cepat itu.
Yo Siau-ling yang menggelinding di tanah, sambil menggelinding dari tubuhnya menyemburkan bermacam-macam Am-gi, dalam 3 x menggelinding dia melepaskan 3 genggam Am-gi yang berlainan! Am-gi pertama bersinar biru berkilauan, Am-gi kedua mengeluarkan sinar putih, dan yang ke 3 adalah berupa pasir beracun yang mengaburkan pandangan.
To Giam-Lian yang mengawasi di pinggir, diam-diam mengkhawatirkan keselamatan Kie Yam-ke, hatinya terasa terangkat sampai ke tenggorokan.
Kie Yam-ke yang sedang menyerang, melihat serangan senjata rahasia lawannya, segera menarik nafas dalam-dalam, kakinya menjejak keras, tubuhnya terlontar terbang ke atas.
Sejumlah jarum baja beracun yang dilempar Yo Siau-ling lewat begitu saja di samping dada dan perut Kie Yam-ke.
Lalu mistarnya di putar "Cring ering ering"
Terdengar 3x suara.
Liu-yap-to tipis tersusun dalam bentuk segi tiga yang menyembur ke arahnya semua berhasil dipukul jatuh, tapi pasir beracun yang mengaburkan pandangan sudah mengurung dirinya.
Pasir beracun adalah Am-gi yang tidak berbentuk seperti debu, sehingga sama sekali tidak bisa ditahan dan dihalangi, saat pasir beracun itu melayang mendekat.
Kie Yam-ke menekuk kakinya menekan tanah.
Kaki kanan melilit ke kaki kiri "Shuttt"
Tubuh meluncur ke udara, pasir beracun itu tepat menyapu lewat dari bawah kaki Kie Yam-ke.
Jit-ih, To Giam-Lian dan lainnya melihat kejadian itu jadi merasa lega.
Jantungnya yang berdebar mulai mereda....
tetapi tidak lama menegang lagi.
Ternyata Yo Siau-ling yang menggelinding sambil menyeburkan 3 macam Am-gi beracun, ketika Kie Yam-ke menerjang ke udara, tubuh dia sudah bangun berdiri.
Tangannya terangkat dan digetarkan langsung melepas-kan segenggam kabut pelangi.
Sebentar saja kabutnya sudah memenuhi udara, warnanya kelihatan sangat menarik, udara yang berwarna-warni ini datang menggulung ke arah Kie Yam-ke yang sudah habis daya luncurnya dan mulai meluncur turun!.
Melihat asap berwarna-warni menggulung ke arah Kie Yam-ke, To Giam-Lian dan lainnya terkejut bersama-sama berteriak.
"Hati-hati jangan tersentuh, bila tersentuh bisa membuat tubuh jadi air darah, itulah Jit-se-cang (Racun 7 warna)."
Sambil berteriak tubuh To Giam-Lian ikut menyerbu.
Kie Yam-ke tidak mengenal kabut pelangi itu.
melihat kabut yang berwarna-warni bagaikan pelangi, terlihat aneh seperti main sulap saja.
Bersamaan itu tercium bau wangi bercampur anyir.
Dalam hatinya menduga pasti asap beracun, begitu terdengar To Giam-Lian dan lainnya berteriak, dia baru tahu asap berbahaya sekali.
Dia pun segera menahan napas, luncuran tubuhnya dipercepat, mistarnya di putar mengelilingi tubuh membuat gulungan sinar hitam yang membungkus sekujur tubuhnya.
Sekarang rubuhnya sudah menghilang terbungkus kabut hitam.
Kabut pelangi itu dalam sekejap menggulung tiba, sedangkan tubuh Kie Yam-ke yang meluncur turun tidak secepat kabut pelangi.
Sebentar saja tubuh Kie Yam-ke yang di tutup gulungan hitam habis ditelannya!.
Bersamaan waktu itu Yo Siau-ling dengan pedangnya secepat kilat menusuk ke arah tubuh Kie Yam-ke yang digulung kabut pelangi itu!.
To Giam-Lian yang melambung dan menyerbu keluar, tiba-tiba berhenti di tengah jalan, turun ke tanah.
Dia tahu saat ini sudah tidak keburu memberi pertolongan bagi Kie Yam-ke.
Menyerbu kesana bukan saja tidak berguna, tapi hanya mencari mati!.
Entah sudah berapa banyak nyawa jago-jago Bu-lim yang melayang oleh senjata beracun yang diandalkan oleh Yo Siau-ling, dengan racunnya dia pun sering kali berbuat jahat.
Jit-ih melihat diri Kie Yam-ke ditelan asap beracun sambil berteriak-teriak dia sudah tidak mempedulikan lagi keselamatannya langsung menyerbu.
Baginya Kie Yam-ke sudah dianggap seperti suaminya, sebagai istri bagaimanapun dia harus menolong, kalau tidak mati pun harus bersama!.
Tetapi To Giam-Lian tepat waktu menariknya, dia tidak mungkin membiarkannya mencari mati.
Lie Goan dan Pui Han pun tidak terasa sudah maju selangkah mau menolong Jit-ih juga.
Kabut pelangi itu sudah menelan sekujur tubuh Kie Yam-ke.
Yo Siau-ling dan pedang bersama-sama terbang menyerbu dan menusuk pada Kie Yam-ke, tampak kesempatan hidup Kie Yam-ke amat tipis! Tetapi keajaiban tiba-tiba muncul.
Kabut pelangi yang menelan tubuh Kie Yam-ke tiba-tiba seperti tertiup angin berpindah dan berbalik melayang.
Waktu itu juga terdengar dentingan halus tapi jelas terdengar suara logam beradu, Yo Siau-ling dengan pedangnya yang menyerbu dan menusuk ke dalam kabut itu, tiba-tiba terpental keluar dari dalam kabut pelangi, jatuh terbanting dengan keras ke tanah dan menggelepar- gelepar.
Bersamaan waktu itu, segumpal sinar hitam bagaikan meteor jatuh dengan cepat ke bumi, dari dalam kabut hitam begitu berpencar muncul tubuh Kie Yam-ke, mukanya pucat tubuh sempoyongan seperti tidak kuat bertahan lagi.
Jit-ih yang melihat segera berlari menghampiri, memapah Kie Yam-ke, tergesa-gesa bertanya.
"Yam-ko, bagaimana keadaanmu?"
Begitu melihat bagian dada sampai bahunya berdarah, dan darahnya sedikit-sedikit menetes ke bawah, cepat-cepat dengan tangannya dia menutup luka itu.
To Giam-Lian bertiga tidak menyangka Kie Yam-ke bisa lolos dari kepungan racun 7 warna dan lmelukai Yo Siau-ling.
Mereka terkejut dan gembira, bersama-sama mengerumuni Kie Yam-ke, tidak bertanya apa-apa lagi tapi mencoba membalut lukanya dulu.
"Adik, ada merasa tidak enak?"
To Giam-Lian sambil membubuhi obat dan membalut sambil bertanya. Dia kuatir Kie Yam-ke menghiruk asap beracun. Kie Yam-ke menghela napas panjang-panjang, sebab dia tadi menutup napas terlalu lama, hampir saja dia tidak tahan ingin menarik napas.
"To Toako aku baik-baik saja, tidak apa-apa, hanya terlalu lama menahan napas. Bagaimana keadaan orang itu?"
Jit-ih, To Giam-lian dan lainnya setelah mendengar itu baru merasa lega. To Giam-Lian melihat sekilas pada Yo Siau-ling yang sedang tergeletak itu berkata.
"Orang itu terluka parah, tergeletak di tanah tidak bisa bangun."
Jit-ih mengusap rambut dipelipis Kie Yam-ke, dengan penuh kasih sayang. Dia berkata.
"Yam-ko. Tadi aku amat kuatir, mengira....."
Kie Yam-ke tertawa, berkata.
"Sekarang sudah tidak apa-apa, lihat, bukankah aku baik-baik saja?"
"Kau terluka, sakit tidak?"
Jit-ih bertanya pelan, tapi dijawab sendiri.
"Tentu sakit sekali!"
Setelah To Giam-Lian selesai membalut luka Kie Yam-ke, dia menghela napas, berkata.
"Mari kita melihat si bangsat itu."
Jit-ih memapah Kie Yam-ke, berlima berjalan menuju tempat Yo Siau-ling terkapar.
Mungkin Yo Siau-ling sudah terlalu banyak berbuat kejahatan, terlalu banyak dosa.
Maka dia mendapat luka yang sangat parah.
Dada depannya melesak, bercak darah terdapat dimana-mana.
Muka yang berkulit tidak berdaging itu mengkerut sekali, terlihat sangat jelek.
Di sudut bibirnya mengalir darah, berbaring sendirian terengah-engah.
Udara yang keluar lebih banyak dari pada yang masuk, kemungkinan besar dia tidak bisa hidup lebih lama lagi.
Kie Yam-ke, To Giam-Lian berlima berdiri di depan Yo Siau-ling yang sekarat, satupun tidak ada yang merasa kasihan padanya.
Pendekar Kembar Karya Gan KL Pendekar Setia Karya Gan KL Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen