Meteor Kupu Kupu Dan Pedang 1
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Bagian 1
METEOR, KUPU-KUPU DAN PEDANG I Semasa hidupnya, Gu Long pernah mengakui bahwa dirinya sangat terpengaruh oleh para pengarang Barat, antara lain Mario Puzo dengan Godfathernya, Ian Fleming dengan James Bond, dan Agatha Cristie dengan kisah teka-teki pembunuhannya.
Ramuan dari para pengarang Barat itulah yang bisa kita rasakan dari karya-karyanya di luar kisah Pendekar Binal (Jue Dai Shuang Jiou/The Remarkable Twins/Legendary Sibling) yang masih terbawa pakem "cersil lama"
Ala Jin Yong atau Liang Yusheng. Dari para pengarang Barat itu Gu Long meracik resep, melahirkan karya yang sangat digemari pembaca dan kemudian menjadi "genre"
Baru dunia cersil, sekaligus menjadi "trade mark"-nya Meteor, Butterfly, and Sword (Liu Xing Hu Die Jian, 1974) merupakan salah satu karya "masterpiece"
Gu Long, yang juga telah membawa ketenaran dirinya di kalangan elit perfilman Hong Kong.
Kisah ini diangkat ke layar lebar dengan judul Killer Clans (Shaw Brothers, 1976) Meteor, Butterfly, and Sword adalah cerita yang kelam, sarat dengan intrik, konspirasi, tipu muslihat, darah, sex, dan kekerasan.
Di sini Gu Long sangat terpegaruh oleh gambaran seorang Godfather ala Mario Puzo.
Konon, mantan Presiden Soeharto (alm) sangat menyukai kisah ini dan menonton filmnya berkali-kali.
PARA TOKOH Kisah ini akan melibatkan banyak tokoh.
Sulit membedakan mana kawan mana lawan.
Untuk memudahkan pembaca, berikut ini diberikan daftar para tokoh yang akan di-update sesuai kemunculan pada setiap babnya.
Meng Xin Hun Pembunuh bayaran berdarah dingin yang mulai jenuh dengan profesinya.
Pedangnya sangat mematikan.
Gao Lao Da Kakak tertua.
Di usia tiga belas ia telah membuat empat keajaiban.
Ia menyelamatkan empat nyawa.
Ye Xiang, Shi Qun, Xiao He, dan Meng Xin Hun.
Dalam melakukan segala sesuatu, Gao Lao Da memang hanya menuruti hati kecil.
Ia tidak tahu batasan benar dan salah karena tidak seorang pun memberitahunya.
Pokoknya, asalkan bisa bertahan hidup, perbuatan apa pun boleh dilakukan.
Ye Xiang Pembunuh bayaran yang sudah tiga kali gagal dan kini hanya bisa bermabukkan.
Ia sangat mengkhawatirkan nasib Meng Xin Hun.
Sun Yu Bo Ia senang membantu orang, dan orang-orang memanggilnya Paman Bo.
Ia bangga dan senang membantu seperti ia menyukai bunga-bunga yang bermekaran.
Han Tang Ia galak tapi sopan, matanya selalu memancar dingin.
Tidak ada yang mau berteman dengannya.
Ia sendiri tidak mau dekat dengan orang lain.
Ia sudah melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan orang, juga tidak akan ada orang lagi yang akan melakukannya Sun Jian Anak Sun Yu Bo.
Seperti ayahnya, ia juga senang menolong.
Sifat Sun Jian sangat keras seperti bara, berangasan, setiap saat dapat meledak.
Sifat seperti ini sering membuatnya salah langkah.
Karena itu juga ia sering kehilangan teman.
Lu Xiang Chuan Tangan kanan Sun Yu Bo, sekaligus sudah dianggap anak sendiri.
Ia tidak memerlukan senjata karena sanjatanya adalah senjata rahasia.
Ia terlihat sangat terpelajar, terkadang musuh meremehkannya, menganggap ia tidak bisa apa-apa.
Ini adalah kesalahan sepele yang bisa berakibat fatal.
Wan Peng Wang Musuh terbesar dan terkuat Sun Yu Bo.
Sebelum berumur tujuh belas, tidak ada yang tahu asalnya.
Sesudah berumur tujuh belas, ia sudah bekerja pada sebuah perusahaan.
Setengah tahun kemudian, ia sudah naik jabatan.
Pada umur sembilan belas, ia membunuh bos perusahaannya dan menjadi bos perusahaan itu.
Setahun kemudian ia menjual perusahaan dan menjadi seorang polisi.
Dalam tiga tahun, ia menangkap dan membunuh sejumlah penjahat.
Semenjak itu, ia punya dua puluh satu pembantu yang sangat setia padanya.
Waktu berumur dua puluh empat, ia keluar dari kepolisian dan mendirikan perkumpulan Da Peng.
Mula-mula hanya memimpin 100 orang, tapi sekarang anak buahnya sudah mencapai puluhan ribu orang.
Kekayaanya sudah tidak terhitung lagi.
Xiao Tie Gadis setan arak, sangat cantik.
Biasanya gadis cantik yang tahu dirinya cantik selalu menebar pesona pada sekelilingnya.
Tapi gadis ini tidak seperti gadis lain, seakan ia tidak perduli dirinya cantik atau tidak.
Xiao He Paling kecil di antara empat bocah yang diselamatkan Gao Lao Da.
Waktu Gao Lao Da mengangkat tiga bocah lain, ia iri dan marah, dan karenanya sering mengadu domba mereka.
1.
Meng Xin Hun 1.
Meng Xin Hun Meski cahaya meteor hanya singkat, tak satu pun isi semesta yang mampu menandingi pendar gemilangnya.
Manakala meteor muncul ke permukaan, bahkan bintang abadi yang paling terang pun tak mampu menandingi kemilaunya.
Hidup seekor kupu-kupu begitu rapuh, bahkan lebih rapuh dari setangkai bunga yang luruh.
Kupu-kupu hanya hidup di musim semi.
Ia begitu indah, bebas melayang kemana pun terbang.
Dalam usianya yang singkat, kupu-kupu tetap abadi dikenang.
Hanya pedang yang sejatinya mendekati keabadian.
Hidup mati seorang pendekar sangat tergantung pada pedangnya.
Jika pedang memiliki perasaan, haruskah hidup mati seorang pendekar sesingkat meteor? Tatkala meteor jatuh, ia sedang berbaring di atas sebuah batu cadas.
Ia senang berjudi dan minum arak.
Pun ia senang main perempuan.
Selama ini dalam hidupnya ia sudah mencicipi berbagai macam perempuan.
Juga membunuh orang.
Namun manakala meteor muncul ke permukaan, ia tidak pernah melewatkannya.
Ia selalu berbaring di sana menanti meteor membelah angkasa.
Selama ia bisa merasakan pendar cahayanya, menikmati kilatan pesonanya, ia akan berbaring di sana.
Itulah saat terindah bagi dirinya.
Ia tidak ingin melewatkan kesempatan itu sedikit pun karena itu merupakan satu-satunya kesenangan dalam hidupnya.
Pernah ia bermimpi menangkap meteor.
Mimpi itu sudah lama berselang.
Sekarang mimpinya sudah tidak banyak lagi, malah hampir tidak ada.
Karena kini bagi orang semacamnya, bermimpi semata perbuatan yang menggelikan dan sia-sia.
Dan di sinilah ia tengah berbaring, di atas sebuah cadas di puncak bukit, tempat terdekat bagi jatuhnya meteor.
Di bawah sana terlihat sebuah rumah kayu, lampunya masih menyala.
Saat bayu berhembus, sayup-sayup terdengar suara tawa dan orang bersulang terbawa angin.
Itulah rumah kayunya, araknya, juga perempuannya.
Namun ia lebih suka berbaring di sini, memilih menyendiri di tempat ini.
Cahaya meteor sudah lama menghilang.
Air di pinggiran batu masih mengembang.
Waktu sudah lewat untuk bersenang-senang.
Sekarang ia harus kembali menjadi dingin dan tenang.
Benar-benar dingin dan tenang.
Sebab, sebelum membunuh, seseorang memang harus bersikap dingin dan tenang.
Dan ia harus membunuh orang.
Tapi ia tidak suka membunuh orang.
Setiap kali pedangnya menusuk jantung dan darah menetes di ujung pedangnya, ia tidak merasa senang.
Ia justeru menderita.
Walau ia sangat menderita, ia berusaha menahannya karena ia harus membunuh.
Bila tidak membunuh, ia yang akan dibunuh.
Terkadang manusia hidup bukan untuk menikmati kesenangan, melainkan menanggung penderitaan, karena hidup adalah sebuah perjuangan.
Juga tanggung jawab.
Siapa pun tidak ada yang bisa lari dari tangung jawab itu! Maka ia pun mulai mengenang saat pertama membunuh orang.
Luo Yang.
Sebuah kota besar.
Di kota itu terdapat berbagai macam orang.
Ada pahlawan, ada pesilat.
Ada orang orang kaya, ada orang miskin.
Ada berbagai macam perkumpulan dan nama besar lainnya.
Namun nama-nama mereka tidak ada yang seperti Jin Qiang Li.
"Li si Tombak Emas". Orang yang bagaimana kaya pun belum tentu bisa menyamai setengah dari kekayaan Jin Qiang Li. Juga tidak ada yang bisa menahan jurus Qi-qi-si-shi-jiu dari Jin Qiang Li. Musuhnya sangat banyak hingga Jin Qiang Li sendiri sulit mengingatnya. Tapi selama ini tidak ada yang berani mencoba membunuh Jin Qiang Li. Bahkan sekedar berpikir untuk membunuhnya pun tidak ada yang berani. Anak buah Jin Qiang Li sangat tangguh, kungfu mereka sangat terkenal, juga terdapat dua "raksasa"
Berbadan sangat besar yang selalu membopong tandu Jin Qiang Li "si Tombak Emas"
Ke mana pun pergi.
Dan masih ada lagi.
tubuhnya selalu dibalut pakaian yang kebal dari pedang dan parang.
Maka mustahil untuk membunuhnya.
Jadi, walau kungfumu lebih hebat dari Jin Qiang Li, tapi bila ingin membunuhnya, kau harus melewati tujuh lapis penjagaan dari para penjaga yang memiliki kungfu teramat tinggi.
Supaya berhasil, sekali menyerang kau harus mengarah tenggorokannya dan harus sekaligus membunuhnya.
Bila meleset, kau tidak punya kesempatan untuk membunuh lagi, dan bahkan kaulah yang akan terbunuh.
Maka tidak ada seorang pun yang coba membunuhnya.
Tidak seorang pun yang sanggup untuk membunuhnya.
Kecuali, satu orang.
Orang itu adalah Meng Xin Hun.
Meng Xin Hun menghabiskan waktu setengah bulan pertama untuk sekedar menyelidiki kehidupan Jin Qiang Li.
Semua gerak geriknya diamati, semua tindak tanduknya dicatat dengan teliti.
Selanjutnya Meng Xing Hun menghabiskan waktu satu bulan untuk bisa mendapatkan kesempatan memasuki rumah Jin Qiang Li, menyamar sebagai tukang pikul air di belakang dapur.
Setelah itu pun Meng Xing Hun masih harus menghabiskan waktu setengah bulan lagi untuk menanti waktu yang paling tepat, saat yang benar-benar tepat! Setelah terlaksana, semua terdengar akan begitu mudah.
Tapi, menunggu dan menentukan waktu yang tepat, benar-benar tidaklah mudah.
Sungguh Jin Qiang Li ibarat perawan dingin, tidak memberi kesempatan untuk didekati.
Saat mandi atau ke kamar kecil pun selalu ada yang menemani.
Namun bila sabar menunggu, kesempatan itu pasti datang.
Bukankah perawan, betapa pun dinginnya, bila waktunya tiba juga harus menjadi isteri dan ibu? Setelah menunggu dan menanti, akhirnya kesempatan itu datang juga.
Pada suatu hari, angin bertiup sangat kencang dan membuat topi Jin Qiang Li terlepas.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empat orang pengawal berebut mengambil topinya.
Pandangan Jin Qiang Li mengkuti kemana topi itu terbang terbawa angin.
Di saat tidak ada yang memperhatikan, itulah satu-satunya kesempatan, karena kecerobohan para pengawalnya mereka meninggalkan sang majikan begitu saja, merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Di saat itulah Meng Xing Hun sudah berada di belakang Jin Qiang Li dan langsung menusuknya.
Hanya satu kali tusukan.
Tidak lebih tidak kurang.
Satu tusukan.
Tusukannya langsung menikam dari belakang leher dan keluar dari tenggorokan.
Ketika pedang dicabut, darah muncrat seperti kabut.
Kabut darah menutupi pandang setiap orang.
Kilat pedang mencabut nyawa satu orang.
Nyawa Jin Qiang Li.
Begitu kabut darah menghilang, Meng Xin Hun sudah jauh dari para pengawal Jin Qiang Li.
Tidak ada yang bisa melukiskan kecepatan tangan dan pedangnya.
Menurut cerita, ketika Jin Qiang Li dimasukan ke dalam peti mati, matanya masih terbuka dan menyorotkan rasa curiga tak percaya.
Ia tidak percaya dirinya bisa mati dan ia tidak percaya bahwa ada yang mampu membunuhnya.
Kematian Jin Qiang Li menggegerkan dunia persilatan.
Tapi, nama Meng Xin Hun tidak ada yang mengetahui.
Karena tidak ada yang mengetahui siapa yang membunuh Jin Qiang Li, maka tidak ada yang berani bersumpah akan membalaskan dendam bagi Jin Qiang Li.
Sebaliknya, ada pula yang menganggap pembunuh Jin Xiang Li "bintang penyelamat".
Begitu menemukan mereka berjanji akan berlutut mencium kakinya untuk berterima kasih karena telah menyingkirkan seorang penjahat.
Juga ada sejumlah pesilat muda yang ingin terkenal mencari nama, coba menemukan pembunuh Jin Qiang Li untuk bertarung membuktikan pedang siapa yang paling cepat.
Tapi semua tidak diperdulikan oleh Meng Xin Hun.
Sesudah membunuh ia biasanya seorang diri berlari ke pondok kayunya yang kecil di kaki bukit dan bersembunyi di pojok sana sambil menangis dan mengeluarkan segala isi perutnya.
Muntah! Tapi sekarang ia sudah tidak menangis lagi.
Air matanya sudah lama mengering.
Namun setiap kali habis membunuh orang dan melihat darah yang tersisa di ujung pedangnya, ia masih terus lari sembunyi.
Dan muntah.
Sebelum membunuh, ia tampak dingin dan tenang.
Namun setelah membunuh, ia tidak lagi bisa bersikap dingin dan tenang.
Maka ia harus berjudi, minum arak hingga mabuk, kemudian mencari perempuan guna melupakan kejadian saat ia mencabut nyawa.
Namun tetap sulit baginya untuk melupakan dan terus terbayang setiap memejamkan mata.
Karenanya ia harus terus berjudi, terus mabuk, dan terus main perempuan, hingga membunuh lagi.
Dan setelah itu ia akan kembali melarikan diri ke gunung, berbaring di sebuah batu cadas, tidak mau memikirkan apa-apa, tidak mau berpikir apa-apa.
Ia hanya memaksakan diri untuk tenang dan siap membunuh lagi.
Orang yang ia bunuh tidak ia kenal, juga tidak ada dendam, bahkan seringkali belum pernah bertemu.
Orang itu hidup atau mati tidak ada hubungan dengannya.
Namun, ia tetap harus membunuhnya.
Ia harus membunuh karena begitulah perintah Gao Lao Da.
2.
Gou Lou Da Ia memanggilnya Kakak Tertua Gou.
"Gou Lou Da". Saat pertama ia bertemu Gou Lou Da, usianya baru enam tahun. Waktu itu ia sudah tidak makan selama tiga hari tiga malam. Rasa lapar bagi anak berusia enam tahun lebih mengerikan daripada kematian. Sebagai anak berusia enam, ia telah tahu bagaimana rasanya kematian. Ia terkapar lapar hingga pingsan di tengah jalan. Waktu itu ia merasa sudah benar-benar mati. Mungkin ia memang sebaiknya mati. Namun ia tidak mati karena ada sepasang tangan yang menolongnya, sepasang tangan yang berbentuk indah walau agak sedikit kebesaran. Tangan itu memberinya setengah kerat bakpau karena setengah kerat lagi tetap dimakan oleh sang pemilik tangan. Sepasang tangan milik Gou Lou Da. Bakpau itu dingin lagi keras. Begitu ia menerima sepotong bakpau dari tangan Gou Lau Da, air matanya bercucuran seperti mata air di musim semi, membasahi bakpau itu. Selamanya ia tidak akan pernah melupakan rasa air mata yang asin dan pahit bercampur dengan rasa bakpau yang keras dan dingin. Ia pun selamanya tidak akan pernah melupakan tangan Gou Lou Da. Kelak kemudan hari, sepasang tangan itu tidak lagi semata memberi sekerat bakpau keras dan dingin, melainkan uang, emas, dan permata. Berapa pun yang ia minta, apa pun yang ia minta, asalkan dirinya meminta, Gou Lou Da pasti akan memberikan. Dan terkadang sepasang tangan itu juga memberinya secarik kertas. Di atas kertas biasanya tertulis nama orang, tempat, dan jangka waktu Kertas itu adalah kertas tagihan nyawa. Kali ini kertas itu berbunyi. Sun Yu Bo, Shu Zhou, 4 Bulan. Artinya, dalam empat bulan Sun Yu Bo dari kota Shu Zhou harus mati di tangan Meng Xin Hun. Semenjak Meng Xin Hun membunuh Jin Qiang Li, ia tidak perlu menghabiskan waktu hingga tiga bulan untuk mencabut nyawa orang. Sejak membunuh Jin Qiang Li, waktu terlama yang ia perlukan sebagai malaikat pencabut nyawa cukup 41 hari. Tidak kurang, tidak lebih. Itu bukan berarti karena pedangnya cepat, tapi karena hatinya dingin. Dan tangannya terlebih dingin lagi. Sejak itu ia tahu, sebagai pembunuh berdarah dingin tidak perlu menghabiskan waktu tiga bulan dalam menyelesaikan pekerjaan. Dan Gou Lou Da pun mengetahui itu. Namun sekarang waktu yang diberikan Gou Lou Da padanya adalah empat bulan. Artinya, Sun Yu Bo adalah orang yang hebat. Membunuh orang ini pasti sangat sulit. Nama Sun Yu Bo bagi Meng Xin Hun tidaklah terlalu asing lagi. Setiap orang di dunia persilatan pasti tahu siapa Sun Yu Bo. Bagi yang tidak mengenal Sun Yu Bo, ibarat pengikut Budha yang tidak mengenal Dewa Ru Lai. Dalam pandangan para tokoh dunia persilatan, Sun Yu Bo adalah Dewa Ru Lai, dewa kematian, dalam wujud manusia. Bila ia sedang baik, ia bisa mengemong dengan sabar seorang anak yang tidak ia kenal selama tiga hari tiga malam. Akan tetapi di kala murka, dalam tiga hari ia bisa meratakan tiga buah gunung. Namun nama Sun Yu Bo yang terkenal itu bagi Meng Xin Hun tiada arti. Karena, baginya, nama itu hanya berarti satu kata. mati! Terbayang oleh Meng Xin Hun saat pedangnya menusuk jantung Sun Yu Bo. Ia pun dapat merasakan pedang Sun Yu Bo menusuk jantungnya. Bila bukan Sun Yu Bo yang mati, maka dirinyalah yang mati. Baginya tidak ada pilihan, membunuh atau dibunuh. Siapa yang akan mati, ia tidak terlalu perduli. Subuh tiba. Ia masih berbaring di atas cadas. Matahari mulai datang menyapu bintang dan rembulan. Di ufuk timur, cahayanya semakin gemilang. Kabut pagi terlihat menggumpal, perlahan menipis buyar terhembus angin dan matahari yang menyinarinya. Tak seorang pun tahu asap kabut itu akan menghilang ke mana, seperti juga tak seorang pun tahu kabut itu datang dari mana. Apakah kehidupan Meng Xin Hun pun seperti kabut? Entah datang dari mana dan menghilang entah kemana? Di antara kabut tipis yang tersisa perlahan ia berdiri di atas cadas, berjalan perlahan menuruni kaki bukit. Di bawah sana terlihat sebuah rumah kayu, lampunya masih tetap menyala. Saat bayu berhembus, sayup-sayup terdengar tawa dan suara orang bersulang terbawa angin. Itulah rumahnya, araknya, juga perempuannya. Orang di dalam rumah itu tidak mengetahui bahwa kegembiraan mereka sudah akan berakhir mengikuti hilangnya malam yang telah berganti pagi, menghadirkan kesedihan nyata mengikuti datangnya hari ini. Meng Xin Hun mendorong pintu, berdiri di sana, dan melihat sekitarnya. Mereka yang berada di dalam tinggal empat atau lima orang. Sebagian hampir telanjang, sisanya sudah sepenuhnya telanjang. Ada yang tertidur, ada yang meniduri, ada yang mabuk, ada juga yang termenung semata. Saat melihat kedatangannya, orang yang mabuk mulai setengah sadar, yang tidur tetap tertidur, yang meniduri berhenti meniduri, yang termenung tidak lagi termenung. Dua perempuan telanjang berlari menghampiri Men Xin Hun. Dua pasang payudara yang hangat kenyal menempel ke tubuhnya. Mereka sangat cantik lagi muda, payudaranya putih lagi besar. Sedemikian putih dan kenyalnya hingga urat-urat darah yang kebiruan samar membayang indah mengikuti setiap geletarnya. Bagi mereka, menjual diri bukan hal memalukan, pun memamerkan keindahan tubuh justeru membanggakan. Karenanya, tanpa sungkan mereka tertawa riang berlompatan menimbulkan geletar yang menggairahkan.
"Kemana saja? Kami di sini tak bisa minum tanpamu,"
Kata salah seorang perempuan itu dengen kenes.
Meng Xin Hun memandangnya dingin.
Wanita-wanita ini sengaja datang ke rumahnya untuk bertemu dengannya.
Demi wanita-wanita ini uang Meng Xin Hun mengalir sederas air.
Setengah hari yang lalu mungkin ia masih bisa memeluk para gadis itu, bagai seseorang pembaca buku cerita-cerita manis yang bahkan ia sendiri pun tidak mempercayainya.
Tapi sekarang ia hanya ingin berkata satu patah saja.
"Keluar!"
Bentaknya.
Lelaki yang tadi meniduri dan masih berbaring di atas ranjang tiba-tiba berdiri.
Tubuhnya yang telanjang seperti tembaga, berkilau layaknya ikan.
Pakaiannya telah terlempar entah ke mana.
Namun di sisinya nampak sebilah golok.
Seperti tubuh telanjangnya, golok itu berwarna tembaga, batang goloknya berkilauan seperti sisik ikan, sementara kelelakiannya telah separuh tertidur masih berkilat kelelahan.
Bagi lelaki itu, mengenakan atau tidak mengenakan pakaian sama saja.
Malahan jika sebilah golok tidak berada di tangannya, ia juseru merasa telanjang.
Meng Xin Hun dingin menatapnya, sesaat kemudian bertanya.
"Kau siapa?"
Lelaki itu tertawa kemudian menjawab.
"Kau sudah mabuk. Aku ini siapa pun kau lupa. Aku adalah tamu yang kau udang. Kita awalnya minum arak lalu berkenalan. Kau sendiri yang mengajakku ke mari."
Tiba-tiba seperti teringat sesuatu ia murka dan berkata.
"Aku ke sini karena ada perempuanmu. Mengapa pula kau usir mereka?"
Dingin tatapan Meng Xin Hun.
"Kau pun keluar!"
Wajah lelaki itu berubah seketika. Tangannya yang besar dan kasar seketika menarik goloknya keluar.
"Apa kau bilang?"
Bentaknya sangat marah. Begitu cahaya golok diayun, orangnya sudah meloncat dan berteriak.
"Bila kau mabuk dan melupai aku itu tidak mengapa. Tapi, jangan lupakan golok sisik ikanku!"
Golok sisik ikan bukan golok sembarangan, harganya mahal, pun golok itu sangat berat.
Hanya orang kaya yang bisa memilikinya, hanya pesilat tangguh yang bisa menggunakannya.
Di seantero dunia persilatan hanya tiga orang yang menggunakan golok semacam itu.
Tapi Meng Xin Hun tidak perduli siapa orang ini.
Meng Xin Hun hanya bertanya.
"Apa pernah kau gunakan golokmu membunuh orang?"
"Ya!"
"Sudah berapa membunuh orang?"
Dengan sombong orang itu menjawab.
"Dua puluh, mungkin lebih! Tidak ada gunanya mengingat hal itu."
Men Xin Hun mendelik padanya.
Tubuhnya serasa terbakar mendengar jawaban itu.
Meng Xin Hun merasa membunuh merupakan hal menyedihkan.
Ia tidak mengerti mengapa ada manusia yang sudah membunuh pun masih merasa bangga dan begitu angkuh.
Ia membenci orang seperti itu seperti ia membenci seekor ular beracun.
Wajah seperti tembaga itu tertawa dingin.
"Hari ini aku sedang tidak ingin membunuh, apalagi tadi aku sudah minum arak dan main dengan tiga perempuanmu."
Meng Xing Hun seketika meloncat ke depan lelaki itu.
Begitu orang sadar bahwa Meng Xin Hun sudah di depannya, sebuah kepalan keras telah menghajar wajahnya.
Para gadis menjerit ketakutan.
Lelaki itu seketika merasa langit runtuh, tanah terbelah.
Ia tidak lagi merasakan pukulan kedua.
Bahkan sakit dan takut pun sementara ia tidak rasakan lagi.
Setelah lama ia baru merasakan angin dingin menerpa wajahnya.
Angin itu terasa seperti jarum menusuk tulang dan menyengat otaknya.
Tidak sengaja ia meraba mulutnya, terasa lembut seperti sepotong daging yang remuk; tapi tidak teraba bentuk bibir, juga tidak gigi, tidak pula hidung.
Sekarang ia baru merasa takut.
Rasa takut yang keluar dari hatinya yang paling dalam.
Kemudian ia berteriak sekerasnya.
Teriakannya sedemikian menyayat seperti lolong anjing hutan yang digorok pisau pemburu.
* Di rumah kecil itu kini tinggal ia seorang serta sebotol arak di atas meja.
Meng Xin Hun meraihnya, membawanya berbaring di ranjang, kemudian menaruh botol itu di dada dengan posisi miring ke tepi bibirnya.
Arak secara perlahan mengalir ke mulutnya, setengah lagi mengalir seperti sungai tumpah ke dadanya.
Arak yang pahit mencecap lidah, naik ke tenggorokan, dan terus hingga menendang ke kepala.
Seketika seperti dirinya tenggelam di lautan arak.
Pun tiba-tiba ia merasa pening.
Sebelum membunuh, Meng Xing Hun selalu berada dalam keadaan sadar dan tidak pernah mabuk.
Namun kali ini berbeda.
Ia merasa tidak sanggup membunuh Sun Yu Bo.
Ia merasa Sun Yu Bo akan membawa kesialan baginya.
* Tujuh poci arak sudah ia minum.
Mata perempuan itu semakin besar dan berbinar.
Orang yang meminum arak bisa dibedakan atas dua macam.
Pertama, bila sudah meminum arak matanya jadi merah dan suram.
Kebanyakan orang adalah tipe seperti ini.
Namun perempuan itu tidak seperti kebanyakan orang, tidak masuk kategori pertama.
Begitu ia meminum poci kesembilan, matanya semakin seperti bintang.
Jelas ia masuk kategori kedua.
Di rumahnya ada enam hingga tujuh orang sedang melempar dadu.
Suara dadu di kocok seperti genta bertalu.
Lampu terbuat dari perak.
Cahaya lampu menyinari baran-barang antik dan mewah di seluruh ruangan, juga menyinari meja besar yang seluruhnya terbuat dari giok itu.
Wajah-wajah mereka berkeringat di bawah cahaya lampu.
Dan perempuan itu merasa sangat puas.
Iniah rumahnya.
Semua barang mewah di rumah ini miliknya.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan semua ini hanya sebagian dari kekayaannya.
Mereka yang berada di rumahnya adalah orang-orang kaya, ternama, dan berpengaruh.
Dulu mereka sama sekali tidak memandang sebelah mata padanya.
Tapi sekarang mereka semua adalah temannya.
Perempuan itu tahu, begitu ia membuka mulut, mereka akan rela memenuhi segala permintaannya.
Karena, mereka pun sering meminta bantuan kepadanya.
Kapan pun, ia siap meladeni permintaan mereka, yang paling aneh sekali pun.
Orang yang duduk di dekat pintu adalah lelaki setengah baya.
Kota ini bernama Lu Dong.
Dan lelaki itu adalah orang paling kaya dan berpengaruh di Lu Dong.
Pernah suatu kali di kala mabuk lelaki itu berkata.
"Semua makanan pernah kucicipi, hanya belum pernah kumakan daging unta yang utuh dipanggang."
Hari kedua ketika membuka mata, ia melihat empat orang masuk menggotong sarapannya, yaitu seekor unta utuh yang sudah matang dipanggang.
Di rumah perempuan itu siapa pun boleh meminta yang aneh-aneh, dan barang sekali pun ia tidak pernah mengecewakan.
Sepuluh tahun yang lalu perempuan itu tidak memiliki apa-apa.
Pakaian utuh pun ia tidak punya.
Ia terpaksa membiarkan mata lelaki melihat bagian-bagian tubuhnya yang tidak tertutup sempurna.
Waktu itu siapa pun yang memberinya selembar pakaian pasti akan mendapat semua miliknya, yang paling berharga sekali pun.
Namun sekarang ia sudah memiliki segalanya.
* Bila mata perempuan itu sudah semakin terang berarti ia sudah banyak meminum arak.
Bila dadu terus berdenting berarti barang taruhan pun semakin banyak.
Melihat wajah orang-orang itu ia merasa lucu.
Lelaki yang biasanya terlihat sangat sopan manakala sudah berjudi dan main perempuan seketika berubah menjadi segerombolan anjing dan babi.
Ingin muntah ia melihatnya.
Tiba-tiba ada yang berteriak.
"Aku yang jadi bandar, apakah Nyonya Besar ingin bertaruh?"
Perempuan itu menghampiri dan menaruh selembar cek di atas meja.
Yang menjadi bandar adalah seorang kaya.
Biasanya ia selalu memamerkan tubuhnya yang tinggi besar di hadapan para perempuan.
Juga sering memamerkan cincin gioknya yang mahal.
Ia melakukan semua itu untuk membuktikan bahwa dirinya adalah seorang kaya raya bertubuh kekar.
Perempuan itu tahu lelaki ini sedang menggodanya.
Ia sudah sering digoda, tapi itu dulu.
Sekarang ialah yang memilih lelaki, bukan lelaki yang memilihnya.
Ia yang menggoda lelaki, bukan lelaki yang menggodanya.
Lelaki bandar itu melempar dadu, yang keluar angka sebelas.
Ia tertawa seperti anjing lapar hingga terlihat giginya berwarna kuning dan hitam.
Perempuan itu mengambil dadu, mengocoknya, dan yang keluar angka 4 merah.
Dalam keterpaksaannya, sang Bandar masih coba tertawa.
Ia kalah total! Ketika ia meraih cek di atas meja, angka yang tertulis adalah 50.000 tail.
Wajah lelaki itu berubah lebih hitam dan lebih kuning daripada giginya.
Perempuan itu tertawa renyah.
Katanya.
"Janganlah terlalu dibuat serius, ini hanya permainan. Bila Tuan tidak cukup membawa uang, cukuplah diganti dengan dua kali gongngongan anjing. Semua kami di sini pasti senang."
Siapa pun rela mengganti 50.000 tail dengan dua kali salakan anjing asalkan dianggap lunas.
Namun dengan cepat perempuan itu membuka pintu dan segera berlalu.
Ia takut jika tetap di ruangan itu akan muntah di hadapan tamu-tamunya.
* Subuh tiba.
Matahari mulai datang menyapu bintang dan rembulan.
Di ufuk timur, cahayanya semakin gemilang.
Kabut pagi yang terlihat menggumpal perlahan menipis buyar terhembus angin dan matahari yang menyinarinya.
Tak seorang pun tahu asap kabut itu akan menghilang ke mana.
Seperti juga tak seorang pun tahu kabut itu datang dari mana.
Perempuan itu menelusuri jalan kecil membelah kabut, melewati pegunungan, hingga akhirnya tiba di sebuah rumah kayu di kaki bukit.
Begitu masuk, ia menjumpai sosok Meng Xin Hun yang berbaring entah tertidur entah mabuk.
Perlahan perempuan itu menghampiri dan mengulurkan tangannya.
Sebenarnya Meng Xin Hun tidak tertidur, juga tidak mabuk.
Ia hanya tidak mau tahu akan keadaan sekitarnya.
Mendengar langkah orang ia membuka sedikit mata dan melihat tangan perempuan itu, sepasang tangan berbentuk indah walau agak sedikit kebesaran.
Pemilik tangan seperti itu pasti mempunyai sikap yang keras, hati yang keras.
Siapa pun tidak akan percaya bahwa tangan itu pernah menggali tanah untuk mendapat ubi jalar, juga pernah bekerja di tambang batu bara.
Perempuan itu menatap Meng Xing Hun dan mengamil botol arak dari dadanya.
"Kau tidak boeh minum terlalu banyak,"
Katanya.
Suara perempuan itu lembut namun nadanya memerintah.
Memang hanya perempuan ini yang bisa memerintah Meng Xin Hun.
Perempuan itulah yang pernah menolong jiwanya ketika berusia enam, ketika sekerat bakpau dingin lagi keras lebih mewah daripada emas permata.
Itulah jaman perang saat banyak orang mati kelaparan.
Di masa itu lumrah jika ada orang mati kelaparan.
Sebaliknya, jika ada yang tidak mati kelaparan, itulah kejadian luar biasa.
Tanpa rumah, tidak ada ayah, tidak ada ibu, namun anak berusia enam tahun bisa bertahan hidup benar-benar suatu mukjizat yang luar biasa.
Mukjizat itu diciptakan oleh Gao Lao Da.
Gao Lao Da bukan berarti "kakak lelaki paling besar", melainkan "kakak perempuan paling besar".
Ia menciptakan empat mukjizat.
Empat anak telah ia selamatkan dan mengikutinya.
Yang paling kecil berusia lima tahun, sementara usia Gao Lao Da saat itu baru 13 tahun.
Demi menghidupi empat anak dan dirinya, semua pekerjaan sudah pernah ia kerjakan.
Ia pernah mencuri, mencopet, menipu.
Ia juga pernah menjual diri.
Saat usianya 14 tahun, ia tukar keperawanannya dengan dua kilo daging.
Ia tidak pernah melupakan wajah si tukang daging.
Lima belas tahun kemudian ia datang kembali ke tukang daging itu dan memasukkan sebilah pedang panjang.
Tepat ke dalam rongga mulutnya.
3.
Dewi Musim Semi Matahari terus merangkak semakin tinggi di permukaan.
Seiring halimun yang menguap terbakar matahari, silau cahayanya menerawangi kertas jendela.
Dan Gao Lao Da menarik tirai jendela.
Ia tidak menyukai cahaya matahari, karena cahaya matahari selain membuat kulit cepat tua juga memperjelas garis-garis yang mulai muncul di wajahnya.
Tiba-tiba Meng Xing Hun bertanya.
"Kau datang untuk memerintahkanku melakukan hal itu?"
Gou Lou Da tertawa.
"Kau tidak perlu diperintah, karena kutahu kau tidak akan mengecewakanku"
"Namun kali ini"
"Mengapa kali ini?"
"Kalau aku tidak pergi, bagaimana?"
Gao Lao Da sejenak memelototi Meng Xin Hun, tanyanya.
"Kenapa? Apa kau takut pada Sun Yu Bo?"
Meng Xing Hun tidak menjawab, sebab ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia semata terdiam, mencoba mencari jawab pada diri sendiri.
"Kau takut?"
Ulang Gao Lao Da lagi.
Sekarang ia sudah tahu jawabannya.
ia tidak takut! Ia tidak takut mati karena ia sudah pernah mati saat berusia enam.
Kalau seseorang sudah tidak takut mati, apa lagi yang harus ditakuti? Jawaban yang benar adalah.
kejenuhan! Kejenuhan yang sudah merasuk tulang dan bercampur dengan darah.
Ya, bukan kematian yang menakutkannya, tapi kejenuhan yang merasuki dirinya.
Kejenuhan yang telah menghilangkan segala semangat dan gairah pada kehidupan.
"Aku tidak mau pergi!"
Ucap Meng Xin Hun lirih. Gao Lao Da membeku, sesaat kemudian baru berkata.
"Tidak bisa, kau harus pergi! Kau tahu, Shi Qun sedang di Utara, Xiao He ada di Ibu Kota. Dua saudara-mu itu tidak bisa pulang. Maka, hanya kau saja yang bisa melakukannya. Hanya kau yang bisa menghadapi Sun Yu Bo."
Gao Lao Da saat berusia 13 tahun sudah membuat empat keajaiban, empat anak telah ia selamatkan dan mengikutinya hingga sekarang.
"Bagaimana dengan Ye Xiang?"
Tanya Meng Xin Hun.
"Ye Xiang sekarang hanya bisa membopong anak."
"Ye Xiang dulu bisa melakukan ini!"
"Tapi Ye Xiang dulu tidak sama dengan Ye Xiang sekarang,"
Ujar Gao Lao Da keras. Tapi perlahan ia mulai melembut, katanya.
"Aku sudah memberinya kesempatan tiga kali, tapi tiga kali pula dia mengecewakanku."
Wajah Meng Xin Hun tetap tanpa ekspresi, tapi mata kanannya mulai berkedut.
Manakala ia merasa sakit di hati atau marah, sudut mata kanannya selalu berkedut.
Hubungannya dengan Shi Qui, Xiao He, dan Ye Xiang ibarat saudara sekandung.
Sebenarnya Ye Xiang adalah pemimpin di antara mereka empat lelaki.
Usianya paling tua, paling pintar, paling kuat.
Tapi, sekarang "Aku lelah"
Kata Meng Xin Hun lirih memejam mata. Gao Lao Da menarik nafas, kemudian duduk merapatkan diri di sisinya.
"Aku tahu kau sudah lelah, sudah jemu. Tapi kehidupan memang begini. Bila kita ingin bertahan hidup, kita tidak boleh berhenti."
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hidup? Siapa yang perduli dengan hidup? Tapi ia tahu, dalam hidup tetap ada hal yang harus diperdulikan. Maka ia berkata dengan terpejam.
"Baiklah, jika kau menyuruhku pergi, aku akan pergi."
Gao Lao Da memegang lengan Meng Xin Hun.
"Kutahu kau tidak akan mengecewakanku."
Tangan Gao Lao Da terasa lembut dan hangat.
Sejak Meng Xin Hun berusia enam, tangan itu sudah memegang lengannya.
Gao Lao Da adalah temannya, kakak perempuannya, juga merangkap ibunya.
Namun sekarang ia merasa sepasang tangan itu menggenggam tidak seperti biasa.
Tak tahan ia membuka mata, melihat sepasang tangan yang indah walau agak kebesaran, masih tangan Kakak Gao yang dulu.
Kemudian pandangannya perlahan beralih naik ke pangkal lengan, dan terus ke atas pada dadanya, hingga akhirnya bertemu mata Kakak Gao.
Sepasang mata itu begitu jernih dan terang.
Tapi wajah Meng Xin Hun justeru muram seperti pelita kehabisan minyak.
* Matahari sudah lama bersinar terang.
Lampulampu entah kapan sudah mati kehabisan minyak.
Meng Xin Hun tiba-tiba merasa Kakak Gao-nya seperti orang yang lain.
Seorang perempuan yang cantik dan lain.
Saat itu Kakak Gao juga sedang menatapnya.
Setelah lama baru berkata perlahan.
"Kau sudah bukan anak kecil lagi."
Meng Xin Hun memang bukan anak kecil lagi. Sejak usia tiga belas, ia sudah bukan anak-anak lagi.
"Kutahu, kau sering mencari perempuan"
"Benar, banyak sekali,"
Jawabnya.
"Apa kau pernah menyukai mereka?"
"Tidak pernah,"
"Jika kau tidak menyukai mereka, artinya mereka tidak bisa memuaskanmu. Bila lelaki selalu tidak puas, lama-lama ia pasti akan jenuh"
Kakak Gao tertawa, begitu lembut dan feminin. Perlahan ia melanjutkan.
"Sebagai lelaki mungin kau tidak memahami perempuan, seperti juga kau tidak tahu betapa perempuan bisa mendukung dan memotivasi lelaki"
Meng Xin Hun tidak bicara, ia hanya menatap Kakak Gao Kakak Gao berdiri perlahan, gerakannya anggun, begitu lembut menawan.
Lengannya bergerak ke dada, mulai membuka kancingnya satu persatu.
Gao Lao Da membiarkan pakaiannya tanggal, jatuh ke bawah.
Ia memang tidak muda lagi, tapi juga tidak seperti wanita yang telah kehilangan masa remaja, ia tahu bagaimana cara merawat tubuh.
Berdiri di bawah matahari pagi yang mengintip dari balik jendela, ia seperti Dewi Musim Semi.
Dadanya yang terbuka membusung indah dengan putik-putik pada pucuknya telah mengeras kaku.
Nafasnya selembut angin musim semi membawa harum memabukkan.
Apakah Gao Lao Da sudah mabuk dengan araknya? Mabuk atau tidak mabuk, tidakkah ia tetap wanita? Dan Meng Xin Hun adalah lelaki! * Angin menderu.
Dedaunan berterbangan.
Apakah musim gugur sudah tiba? Ataukah itu sekedar pertanda hujan yang akan tiba? Akankah cerahnya matahari hari ini berlalu begitu saja? Meng Xin Hun berlari sekencangnya membelah deru angin pagi seperti hewan yang terluka mengejar matahari.
Ia terus berlari dan berlari seakan enggan berhenti, sementara air matanya terus mengalir seperti ribuan mutiara menetes terbang ke belakang terbawa angin.
Ia ingin.
Ia mau.
Tapi, ia tidak bisa! Pernah saat mereka masih berkelana dulu, di umurnya yang baru tiga belas itu, mereka harus beristirahat di sebuah gudang entah milik siapa.
Musim semi baru tiba.
Cuaca terasa begitu panas dan gerah.
Sedemikian gerah dan panasnya hingga ia terbangun di tengah malam dan tanpa sengaja melihat Kakak Gao sedang mandi di pojok gudang sana.
Sinar bulan mengintip dari jendela, menyinari tubuh putih halus yang basah tersiram air segayung demi segayung.
Tubuh itu berkilauan.
Air itu mengalir pada setiap lekuknya, pada celah bukit dadanya, menetes melalui perut dan pusarnya, pada lembah subur di bawah sana, sebelum akhirnya membasahi jenjang paha dan betisnya.
Seketika Meng Xin Hun merasa bara api di perutnya, atau lebih tepat lagi.
di bawah perutnya! Membuat ia memejam mata, namun keringat sudah membasahi pakaiannya.
Usianya tiga belas.
Tapi sejak itu ia menjadi lelaki! Mulai saat itu ia sering memikirkan Kakak Gao, memikirkan kilau tubuhnya, lekuk tubuhnya, keindahan yang terpampang di hadapannya.
Dewi Musim Semi! Sejak itu pula setiap tidur malam ia selalu membalik tubuh ke arah tembok, tidak berani sembarang memejam mata.
Karena setiap kali matanya terpejam, yang terbayang adalah Dewi Musim Semi.
Manakala bayangan itu datang padanya ia merasa berdosa, melarang dirinya membayangkan hal itu lagi.
Hingga akhirnya ia menyimpan sebuah jarum.
Setiap kali bayangan itu datang padanya, ia mengambil jarum guna menusuk kakinya.
Usianya semakin bertambah.
Bekas tusukan jarum di kakinya pun semakin bertambah.
Hingga ahirnya ia memiliki wanitanya sendiri.
Tapi, tetap saja manakala matanya terpejam di atas tubuh wanita itu, yang terbayang adalah Kakak Gao.
Dan akhirnya di hari ini ia benar-benar bisa mendapatkan Kakak Gao.
Sungguh ia tidak pernah menduganya, tidak percaya.
Walau tidak percaya, ia harus percaya.
Ia ingin.
Ia mau.
Tapi, ia tidak bisa! Sewaktu Meng Xin Hun berlari dari rumah kayu itu ekspresi wajah Kakak Gao seperti ditampar kencang sekali.
Bagi seorang wanita, ditinggal lelaki seperti itu adalah penghinaan terbesar.
Dan Meng Xin Hun tahu perasaan Kakak Gao.
Tapi ia tetap harus menolaknya.
Baginya, Kakak Gao adalah kakak perempuannya, ibunya, temannya.
Ia tidak mau merusak hubungannya dengan Kakak Gao.
Juga tidak mau menggeser kedudukan Kakak Gao di hatinya.
Tempat di hati itu tidak akan pernah tergeser oleh siapa pun.
Siapa pun! 4.
Ye Xiang Meng Xin Hun masih berlari sekencangnya membelah angin seperti hewan yang terluka mengejar matahari hingga ia kelelahan dan akhirnya berhenti.
Sebatang pohon besar berkulit kasar berdiri kekar di sana.
Ia menangis menggerung memeluk pohon itu erat-erat, menggosokkan wajahnya ke kulit pohon kuat-kuat.
Ia merasa wajahnya basah, entah oleh air mata atau darah? Matahari semakin tinggi.
Mendung hilang entah kemana.
Di luar hutan tampak sebuah rumah di sisi kali.
Pemandangan begitu menawan.
Seindah lukisan.
Seakan di dunia ini tak ada yang lebih indah selain pemandangan di tempat itu.
Ke tempat itu bermacam orang dari berbagai lokasi datang bertandang, ibarat lalat melihat segumpal darah di atas sekerat daging telanjang, berbondong menghampiri.
Di situ mereka rela menghabiskan uang sebanyak-bayaknya karena itulah sebuah rumah pelesiran.
Di tempat itu kau bisa membeli arak, memilih perempuan yang paling cantik, juga membeli mimpi yang tidak bisa kau raih.
Bahkan bila kau berani mengeluarkan banyak uang, kau bisa membeli nyawa seseorang.
Di sana tidak ada barang yang tidak bisa dibeli.
Pun tidak ada barang yang bisa dibeli tanpa uang.
Pokoknya, setiap orang yang datang harus membawa uang, tanpa pengecualian, termasuk Meng Xin Hun.
Itulah rumah milik Gao Ji Ping, biasa dipangil Gao Lao Da.
Hidup berkelana selama 20 tahun mengajarkan Gao Lo Da satu hal.
lebih baik mempunyai uang daripada mempunyai anak.
Tidak ada yang bisa menyalahkan Gao Lao Da atas prinsipnya.
Pengalaman telah mengajarkan padanya, kehidupan yang miskin lebih menyakitkan daripada memotong sekerat daging sendiri.
* Beberapa lelaki terlihat ke luar dari rumah plesiran itu.
Mereka memeluk pinggang perempuan masing-masing sambil membicarakan hasil perjudian tadi.
Berjudi semalam suntuk terkadang lebih melelahkan daripada pertarungan hidup dan mati.
Meng Xin Hun mengenali lelaki yang pertama keluar, bermarga Qing, tengah memeluk wanita yang lebih cocok menjadi cucunya.
Orang bermarga Qing itu bertubuh kuat, masih terawat, semangatnya masih menggebu.
Setiap musim gugur ia datang ke tempat itu dan menginap selama beberapa hari.
Meng Xin Hun bertanya dalam hati, Tidak banyak yang mampu membeli nyawa Sun Yu Bo, diakah salah satunya? Nyawa Sun Yu Bo berharga sangat tinggi.
Dulu setiap Meng Xin Hun membunuh orang, ia tidak perduli siapa yang membeli.
Tapi kali ini lain, ia ingin tahu.
Sepertinya malam tadi Qing menang besar, tawanya keras tergelak-gelak, tapi tiba-tiba terhenti.
Ia melihat seseorang melintas mendatangi.
Orang itu bertubuh tinggi besar, gagah, mengenakan jubah panjang berwarna hijau, rambutnya mulai memutih, dan tangannya memegang dua lempengan besi.
Dari posisi Meng Xin Hun di tepi hutan di belakang sana, ia tidak bisa melihat wajah lelaki itu dan hanya bisa melihat wajah si Qing.
Di dunia persilatan marga Qing lumayan terkenal, namun begitu melihat wajah lelaki yang mendatangi dari depannya, seketika si Qing berubah hormat, menyingkir ke tepi, memberi jalan sambil membungkuk.
Lelaki itu hanya menganguk, mengucapkan dua kata, dan terus berlalu.
Siapakah dia? Meng Xin Hun ingin tahu, tapi tidak bisa! Di tempat itu Meng Xin Hun ibarat setan tanpa bayangan.
Ia tidak boleh mempunyai nama maupun marga, tidak boleh mengenal orang, juga tidak boleh dikenal orang.
Gao Lao Da telah memerintahkannya agar tidak seorang pun boleh mengenalnya.
Maka, ia tidak boleh memiliki perasaan, teman, dan juga kehidupan pribadi.
Bahkan, nyawa sendiri pun bukan miliknya.
Ia hanya mempunyai tugas.
Tugasnya hanya satu.
mencabut nyawa.
* Meng Xin Hun coba berdiri tegak dengan tetap memeluk pohon itu.
Tiba-tiba dari atas pohon terjulur sebuah tangan, gemetar menawarkan seguci arak, di kuti datangnya sebuah suara serak.
"Sepagi ini sudah bangun, bukan hal yang baik, mari minum bersama!"
Meng Xin Hun menyambut guci arak tanpa menengadah.
Walau ia tidak mengenal suara seraknya, tapi ia bisa mengenali sepasang tangannya.
Tangan itu sangat besar dan tipis, artinya bisa memegang benda apa pun dengan kuat dan cepat.
Maka, bila tangan itu memegang pedang, pastilah tiada seorang pun yang luput dari pedangnya.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itulah tangan Ye Xiang.
Namun tangan itu sudah lama tidak memegang pedang.
Pedangnya sudah lama ia gantungkan.
Dulu, sekali pedang Ye Xiang berkelebat, selamanya mengenai sasaran dengan tepat.
Gao Lao Da mempercayai Ye Xiang.
Ye Xiang pun penuh percaya diri.
Tapi sekarang untuk memegang seguci arak pun tangannya terlihat gemetar.
Di tangan itu tampak bekas luka yang panjang dan dalam, luka yang ia dapat saat terakhir bertugas membunuh orang.
Orang itu bernama Yang Yu Ling, seorang kroco yang tidak terkenal.
Sebelumnya, semua yang dibunuh Ye Xiang jauh lebih lihai daripada Yang Yu Ling.
Gao Lao Da menyuruh Yeng Xiang membunuh Yang Yu Ling semata untuk memulihkan kepercayaan dirinya karena ia sudah dua kali gagal.
Tapi kali ini pun ia tetap gagal.
Yang Yu Ling nyaris memotong putus tangan Ye Xiang.
Semenjak itu Ye Xiang tidak pernah membunuh lagi, kerjanya seharian hanya bermabukan semata.
* Arak itu terasa pahit dan pedas.
Hanya sekali tenggak, alis Meng Xin Hun langsung berkerut.
Ye Xiang tertawa.
"Ini memang bukan arak bagus, tapi tidak ada arak bagus tetap lebih baik daripada tanpa arak."
Ia kembali tergelak sebelum melanjutkan.
"Gao Lao Da masih mengijinkanku meminum arak pun sudah suatu kebaikan. Orang sepertiku pantasnya menenggak kencing kuda!"
Meng Xin Hun tidak tahu harus berkata apa, sementara Ye Xiang sudah melorot turun dari pohon dan tersenyum memandangnya.
Namun Meng Xing Hun tidak mau melihatnya.
Ia tidak tega.
Orang yang pernah mengenal Ye Xiang pasti tidak tega melihat ia berubah drastis seperti ini.
Sebenarnya Ye Xiang adalah lelaki yang ganteng dan kuat, tenaganya besar, suaranya berat berwibawa.
Tapi sekarang pedangnya sudah berkarat, wajahnya kuyu, suaranya berubah serak.
Ye Xiang menenggak araknya lagi sambil menghela nafas.
"Sekarang semakin jarang kita berjumpa. Biar pun kau menghina diriku, itu pantas bagiku. Bila tidak ada dirimu, aku sudah mati di tangan Yang Yu Ling."
Terakhir kali Gao Lao Da menyuruh Ye Xiang membunuh orang, ia menyuruh Meng Xin Hun menguntit dari belakang. Ye Xiang tertawa.
"Sebenarnya hari itu kutahu kau ada di belakangku, karena itu"
Meng Xing Hun seketika menyela.
"Seharusnya aku memang tidak pergi!"
"Kenapa?"
Tanya Ye Xiang.
"Gao Lao Da menyuruhku mengikutimu karena ia menghawatirkanmu. Kau tahu itu! Karena itu, kau tidak percaya diri. Bila saat itu aku tidak mengikutimu, kau pasti bisa membunuh Yang Yu Ling."
Ye Xiang tertawa sedih.
"Kau salah! Waktu aku gagal membunuh Lei Lao San, aku tahu selamanya tidak bisa membunuh lagi."
Lei Lao San adalah kegagalan pertamanya. Meng Xin Hun menatap Ye Xiang dalam-dalam.
"Lei Lao San seorang tengkulak, biasanya kau paling benci orang macam ini. Aku heran, kenapa kau tidak bisa membunuhnya?"
Ia tertawa kecut.
"Aku pun tidak tahu mengapa, yang kutahu aku merasa sangat lelah. Sedemikian lelahnya hingga enggan melakukan apa pun."
Setelah terdiam sesaat, Ye Xiang menghela nafas.
"Kau tidak akan pernah mengerti perasaan seperti ini"
Lelah! Kata itu tajam menusuk ulu hati Meng Xin Hun, sudut matanya mulai berkedut. Lama ia baru berkata.
"Aku mengerti!"
"Kau mengerti apa?"
"Aku sudah membunuh sebelas orang!"
"Kau tahu berapa orang yang kubunuh?"
Meng Xin Hun tidak tahu. Kecuali Gao Lao Da tidak ada yang tahu. Setiap kali menjalankan tugas, itulah misi rahasia, tidak ada orang lain yang boleh tahu.
"Aku sudah membunuh tiga puluh orang. Tidak lebih tidak kurang, tiga puluh!"
Tangannya gemetar, ia cepat-cepat menenggak araknya.
"Kau pun akan membunuh dalam jumlah banyak, mungkin lebih banyak dariku. Karena jika tidak, kau akan menyerupai nasibku"
Lagi, seolah tendangan keras menghantam ulu hati Meng Xin Hun. Ia sudah benar-benar merasa mual, ingin muntah. Ye Xiang adalah cermin dirinya. Sementara Ye Xiang melanjutkan berkata.
"Setiap orang memiliki nasib dan takdirnya sendiri, jarang ada yang bisa menghindari dan mengubahnya. Sebetulnya aku pernah memiliki kesempatan untuk mengubah takdirku"
"Kau pernah miliki kesempatan itu?"
Ye Xiang membuang pandang jauh-jauh.
"Pernah suatu kali aku bertemu dengan seorang wanita, ia membantuku sepenuh hati. Kalau waktu itu aku bertekad pergi dengannya, mungkin hidupku tidak begini. Seandainya pun mati, matiku jauh lebih baik daripada begini"
"Kenapa kau tidak pergi dengannya?"
Mata Ye Xiang menyorot sedih, perlahan ia berkata lirih.
"Karena aku seorang bodoh. Sangat goblok. Goblok sekali! Aku tidak berani"
"Bukannya tidak berani,"
Meng Xin Hun menatap penuh simpati.
"mungkin karena kau tidak tega."
"Tidak tega pun suatu kebodohan!"
Hentaknya.
"Kuharap kau tidak sebodoh diriku."
Ia memegang tangan Meng Xin Hun, menatapnya dalam-dalam.
"Kesempatan hanya datang sekali. Jika sudah lewat, ia tidak akan kembali. Dalam hidup setiap orang pasti akan datang satu kesempatan! Karena itu kumohon padamu, bila kesempatan itu datang padamu, janganlah kau sia-siakan."
Sehabis berkata ia membalik tubuh, ia tidak mau Meng Xin Hun melihat air matanya.
Ia mengucapkan semua itu bukan hanya demi Meng Xin Hun, tapi juga untuk dirinya.
Ia tahu seumur hidupnya sudah tidak punya kesempatan lagi, karenanya ia berharap Meng Xin Hun dapat melanjutkan hidup dengan lebih baik daripada dirinya.
Sementara Meng Xin Hun hanya terdiam.
Ia tidak bicara karena tidak bisa mengutarakan isi hatinya.
Perasaannya pada Gao Lao Da hanya dirinya yang tahu.
Demi Kakak Gao, ia rela mati.
Ye Xiang kembali bertanya.
"Apa kau akan membunuh lagi?"
Meng Xin Hun mengangguk.
"Kali ini siapa yang akan kau bunuh?"
"Sun Yu Bo."
Itulah rahasianya. Tapi, dihadapan Ye Xiang, ia tidak bisa menyimpan rahasia itu.
"Sun Yu Bo? Apakah Sun Yu Bo yang tinggal di Jiang Nan?"
"Kau mengenalnya?"
Meng Xin Hun balik bertanya.
"Aku pernah bertemu dengannya!"
"Dia seperti apa?"
"Tidak ada yang tahu dia seperti apa. Aku hanya mengetahui satu hal saja."
"Apa?"
"Jika aku adalah kau, aku tidak akan pergi membunuhnya."
Meng Xin Hun menghela nafas, berkata perlahan.
"Aku juga hanya mengetahui satu hal saja."
"Apa?"
"Aku harus membunuhnya!" 5. Lao Bo Ketika Fang You Ping pulang, ia sudah mabuk seperti melayang. Ia tidak ingat di mana minum arak, juga tidak tahu bagaimana ia bisa pulang. Yang pasti, jika ia tidak mabuk, ia tidak akan pulang. Sebenarnya ia punya keluarga yang hangat dan bahagia. Tapi tujuh bulan yang lalu rumah tangganya tidak hanya hangat, melainkan sudah sangat panas. Sedemikian panasnya hingga ibarat neraka membuatnya enggan pulang. Ketika malam ini ia pulang, seisi rumah sudah tertidur lelap. Di tangannya masih ada setengah botol arak yang masih ia coba tenggak. Belum lagi terminum, ia malah muntah. Setelah muntah ia jadi agak sadar. Sebenarnya ia tidak mau sadar. Setelah sadar, keadaannya malah lebih runyam daripada mabuk. Karenanya, ia memilih mabuk daripada sadar. Ia segera menenggak setengah botol arak yang tersisa di tangannya. Sesungguhnya ia lelaki yang punya uang dan nama. Lelaki yang punya uang dan nama pasti memiliki istri yang mempesona. Istrinya memang cantik, sangat cantik malah. Boleh dikata, kecantikan istrinya begitu menggoda. Tapi ia paling tidak tahan jika kaum lelaki memandang istrinya dengan mesum, serasa ingin ia cungkil setiap pandangan lelaki seperti itu. Sayangnya, ia pasti tidak akan sanggup melakukannya. Karena kalau ia sanggup, entah berapa banyak mata lelaki yang harus ia cungkil. Namun istrinya sangat suka dengan pandangan binal seperti itu, suka bila lelaki menatapnya dengan mesum. Semakin mesum, semakin baik malah. Walau di luaran wajah istrinya sedingin es, tapi ia tahu di dalam hati istrinya sedang membayangkan naik ranjang bersama lelaki yang memandang mesum itu. Pada malam pertama pernikahannya, ia hampir mencekik mati sang istri. Tapi begitu melihat sepasang mata yang besar dan lincah, memandangi mulut yang ranum merekah, tangannya yang terjulur mencekik seketika berubah jadi pelukan. Ia hanya bisa menangis di dada istrinya. Entah berapa banyak lelaki yang sudah naik ke ranjang sebelum dirinya, ia tidak mau tahu. Tapi belakangan yang ia tahu hanya satu. jika istrinya tidak ada di tempat tidur, berarti tengah berada di tempat tidur lelaki lain. Begitu sadar ia pasti mengingat hal itu. Maka Fang You Ping segera lari ke ruang tamu, setengah arak tersisa tidak cukup membuatnya mabuk. Ia mencari sebotol arak lagi, itu pun kalau masih ada. Tiba-tiba terdengar suara di luar jendela, kibar pakaian diterpa angin. Sebelum menikah dengannya, istrinya adalah seorang maling perempuan yang lumayan ternama, bernama Zhu Qing. Ilmu meringankan tubuh isterinya bahkan lebih lihai daripadanya. Setelah menikah ternyata ilmu meringankan tubuh Zhu Qing tetap berguna, ia bisa keluar dari jendela kapan pun mau dan pulang menjelang pagi. Sejak menikah, Zhu Qing tidak lagi mencuri barang karena suaminya sudah cukup menyediakan barang. Ia hanya perlu mencuri lelaki. Lilin hampir padam. Fang You Ping sudah separuh mabuk separuh sadar. Tiba-tiba Zhu Qing muncul dengan pandangan menghina.Wajahnya terlihat pucat, bola matanya hitam, penampilannya dingin tapi anggun.
"Kau dari mana?"
Tanya Fang You Ping. Sebetulnya ia sudah tahu jawabannya, tapi tetap bertanya. Zhu Qing menjawab dengan nada menghina.
"Mencari seseorang."
"Mencari siapa?"
"Mencari Mao Wei."
Di kota itu semua kenal Mao Wei.
Harta Mao Wei sangat banyak.
Dalam hitungan sepuluh orang, paling sedikit enam di antaranya membeli pakaian di toko Mao Wei.
Beras pun dibeli dari toko Mao Wei.
Kalau berjalan entah ke mana, tanah yang kau pijak mungkin masih dimiliki Mao Wei.
Bila kau melihat seorang perempuan cantik, kemungkinan perempuan itu milik Mao Wei atau sudah pernah dipermainkan Mao Wei.
Pokoknya, di tempat itu, apa pun yang kau lakukan, apa pun yang kau lihat, seputar mata memandang, pasti ada hubungan dengan Mao Wei.
Wajah Fang Yao Ping terlihat merah, marah ia bertanya.
"Untuk apa kau cari Mao Wei?"
"Kau mau tahu jawabnya?"
Mata Shu Qin menyorot sinar menggoda. Wajahnya yang pucat mulai memerah, kemudian melanjutkan berkata.
"Ia juga minum arak sepertimu. Tapi, tidak sepertimu, walau mabuk ia masih bisa melakukannya."
Tiba-tiba Fang You Ping meloncat dan mencekik leher Zhu Qing.
"Kubunuh kau!"
Teriaknya. Meledak tawa Zhu Qing. Ia cekikikan.
"Silahkan bila ingin membunuhku, tidak ada yang kubuat kagum padamu. Bila kau memarahi Mao Wei, barulah kukagum padamu."
Fang Yaou Ping tidak berani memarahi Mou Wei, juga tidak berani mencekik mati istrinya karena Mao Wei pasti akan mencarinya.
Dalam keadaan mabuk pun ia tidak berani melakukannya! Tangan Fang You Ping gemetaran kemudian ia mulai melonggarkan cekikannya.
Namun begitu melihat wajah Zhu Qing yang menghina, tangannya kembali mencengkram erat.
Tiba-tiba Zhu Qing berteriak.
"Jangan memukuli wajahku!"
Walau ia berteriak, tapi tidak terlihat ketakutan dalam nadanya, malah terdengar tawa dalam suaranya.
Fang You Ping memukul perut Zhu Qing hingga terjatuh.
Zhu Qing mengait leher Fang You Ping, menariknya supaya ikut terbaring di lantai dan membiarkan Fang You Ping menghirup aroma tubuhnya.
Fang You Ping terus memukuli dada Zhu Qing yang kenyal.
Tapi, ia memukul terlalu ringan.
Zhu Qing malah tertawa cekikikan, ia mengangkat gaun panjangnya tinggi-tinggi, mengeluarkan sepasang kakinya yang jenjang dan putih, juga menunjukkan bahwa ia tidak mengenakan apa-apa lagi di balik gaunnya.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fang You Ping seperti sapi yang terengah.
Ia membenamkan wajahnya dalam-dalam di sana.
Menghirup seluruh aroma kewanitaan istrinya.
Kemudian ia mengangkat tubuhnya, meletakkan persis di bawahnya.
Dan Fang You Ping mulai coba memasuki diri istrinya.
Ia merasa betapa kewanitaan istrinya sudah begitu basah.
Namun betapa pun mencoba, ia tetap tidak mampu.
Akhirnya ia berguling dari atas tubuh Zhu Qing, jatuh ke samping persis pada bekas muntahnya sendiri.
Ia kembali ingin muntah, tapi tidak bisa.
Yang bisa ia lakukan hanya menangis.
Zhu Qing perlahan berdiri, merapikan rambutnya yang kusut.
Hanya dalam waktu sekejap ia berubah dari perempuan genit menjadi perempuan anggun.
Dengan dingin ia menatap Fang You Ping.
"Aku tahu, sekali mabuk kau tak dapat melakukannya dan selalu mengecewakanku. Sekarang aku mau tidur, jangan coba ganggu, karena aku harus tidur nyenyak supaya besok punya tenaga buat menemui Mao Wei."
Ia membalik tubuh, masuk ke kamar tidur. Sebelum masuk ia masih sempat berkata.
"Kecuali kau membunuh Mao Wei, setiap malam aku akan tetap mencari dia."
Fang You Ping mendengar pintu dikunci.
Dan ia terus menangis.
Hingga akhirnya nama itu melintas dalam benaknya.
Seseorang dapat membantunya.
Ya, hanya seorang saja yang bisa membantunya.
Lao Bo! Begitu teringat nama Lao Bo, hatinya seketika tentram karena ia tahu Lao Bo akan membereskan masalahnya.
Hanya Lao Bo.
Tidak ada yang lain! * Zhang Lao Tou, si "Pak Tua Zhang", berdiri di dekat tempat tidur memandangi anak perempuannya yang cantik dengan air mata bercucuran.
Ia adalah seorang tua yang memiliki penghidupan susah, seumur hidup membantu orang bekerja di sawah, saat panen pun hasilnya masih milik orang lain.
Hanya anak perempuan satu-satunyalah yang bisa membahagiakannya, yang ia banggakan dan perlakukan sebagai putri raja.
Namun sekarang putrinya telah dirusak oleh segerombolan bejat.
Semenjak pulang kemarin malam putrinyanya pingsan dan belum sadarkan diri hingga sekarang.
Sewaktu di gendong ke dalam, semua pakaiannya sobek, memperlihatan kulit putih mulus yang penuh lebam.
Mengapa ia bisa mengalami kejadian seperti ini? Zhang Lao Tou tidak habis pikir.
Ia pun tidak tega memikirkannya.
Sewaktu megambil air kemarin anak itu masih tampak polos dan gembira, masih punya mimpi-mimpi indah.
Tapi saat ia pulang kehidupannya sudah berubah menjadi mimpi buruk.
Sebelum pingsan ia masih sempat menyebut nama dua orang.
Jiang Feng dan Jiang Ping.
Zhang Lao Tou ingin mencekik leher mereka, namun ia tidak sanggup.
Jiang Feng dan Jiang Ping adalah tamu dari Xu Qing Song yang kaya raya.
Xu Qing Song adalah teman baik ayah kedua pemuda itu.
Selain itu, kedua kakak beradik ini lumayan punya nama di dunia persilatan.
Mereka pernah membunuh harimau tanpa senjata.
Rasanya mustahil bagi Zhang Lao Tou yang miskin dan renta untuk membalaskan dendamnya.
Namun Xu Qing Song dikenal sebagai orang yang sangat adil.
Karenanya, Zhang Lao Tou datang kepadanya.
Ia percaya Xu Qing Song pasti akan membela dirinya.
Xu Qing Song tengah berdiri di depan Jiang bersaudara.
Mukanya merah.
Ia menggulung lengan baju seakan ingin mencekik mati kedua pemuda itu.
Walaupun Jiang bersaudara menunduk sangat dalam, tapi dari sorot mata mereka sama sekali tidak menunjukkan rasa takut sama sekali.
Jiang yang lebih muda menunduk melihat sepatunya sendiri yang ternoda darah perawan putri Zhang Lao Tou.
Ia merasa sayang karena sepatu itu baru dibeli di Ibu Kota Binatang jahat! Maki Zhang Lao Tou dalam hati, ia gemetar menahan geram, namun tetap mencoba menahan diri karena percaya Xu Qing Song akan memberi keadilan padanya.
Suara Xu Qing Song sangat tegas ketika berkata.
"Apa kalian yang melakukan ini? Jawab dengan jujur!"
Jiang bersaudara mengangguk. Xu Qing Song sangat marah dan membentak.
"Tidak kusangka kalian bisa melakukan hal ini. Apa kalian melupakan begitu saja ajaran orangtua? Aku adalah sahabat orangtua kalian, paling sedikit harus menggantikan dia menghajar kalian! Apa kalian bisa menerima?"
Jiang bersaudara mengiyakan. Wajah Xu Qing Song tidak marah lagi dan berkata.
"Kelakuan kalian walau sangat memalukan tapi masih mau mengakui kesalahan. Di depanku pun kalian berkata jujur. Anak muda seperti kalian karena sudah mengaku bersalah, tentu masih bisa ditolong dan dimaafkan. Untunglah Nona Zhang lukanya tidak seberapa"
Zhang Lao Tou seketika pening. Kata-kata Xu Qing Song sulit didengarnya lagi. Xu Qing Song masih melanjutkan berkata.
"Sekarang kutanya pada kalian, kelak apa masih berani melakukan perbuatan seperti ini?"
Jiang bersaudara mengeluarkan senyum licik, mereka tahu masalah sudah beres. Dengan cepat si kakak berkata.
"Tidak berani Tidak berani lagi."
Xu Qing Song melanjutkan.
"Karena kalian baru pertama melakukannya dan berani mengakui kesalahan, maka hukumannya agak ringan. Kalian dihukum selama tujuh hari di rumahku, dan semua upah kalian diberikan kepada Nona Zhang."
Xu Qing Song sejenak merapikan lengan bajunya.
"Kalau lain kali kalian masih berani melakukan hal ini, aku tidak akan mengampuni lagi!"
Zhang Lao Tou merasa darahnya terhisap habis, untuk marah pun ia tidak bisa.
Ia hanya terkulai lemas.
Bila sehari mendapat tiga tail perak, dalam tujuh hari ada dua puluh satu tail.
Dua puluh satu tail bagi Jiang bersaudara seperti setitik debu, dan itulah nilai yang ditukar untuk membeli kebahagiaan anak perempuannya seumur hidup.
Jiang bersaudara berjalan sambil menunduk dan terus keluar.
Saat melalui Zhang Lao Tou mereka meliriknya, penuh kemenangan.
Zhang Lao Tou orang yang sabar, selama hidup menanggung kesulitan.
Ia tetap sabar ketika menerima banyak siksaan dan penghinaan, namun sekali ini ia tidak kuat menanggungnya.
Zhang Lau Tou menggeram.
Ia berlari menghampiri dan menjambak baju di dada Jiang Feng.
"Aku juga punya dua pulus satu tail perak, bawa adik perempuanmu ke sini. Aku juga mau melakukanya!"
Jiang Feng dingin menatapnya, tidak bergerak sedikit pun.
Pukulan Zhang Lau Tou di dadanya seperti lalat menggoyang penglari.
Dua orang pelayan datang menarik tangan Zhang Lao Tou dan langsung menyeretnya pergi, membuat ia merasa diperlakukan seperti seekor monyet.
Seumur hidup ia biasa dihina, tapi tidak pernah terhina seperti ini.
Xu Qing Song justeru marah dan berkata.
"Kalau bukan anak peremuanmu yang menggoda duluan, mana mungkin Jiang bersaudara akan melakukan hal itu? Mengapa mereka tidak melakukannya pada perempuan lain? Perempuan di desa ini bukan hanya anakmu saja, tahu!"
Xu Qing Song mengebas tangannya.
"Cepat pulang, ajari anak perempuanmu. Jangan marah-marah seperti orang gila di sini!"
Zhong Lau Tou merasa air pahit keluar dari tenggorokannya, ia ingin muntah tapi tidak bisa.
Maka ia mengikat tali di atas penglari rumah.
Ia marah karena dirinya tidak berguna, marah pada dirinya karena tidak bisa mencari keadilan bagi anaknya yang diperkosa.
Ia rela mengorbankan segalanya demi sang anak, tapi sekarang ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Bila hidup seperti ini, tidakkah lebih baik mati? Ia mengikat tali dan memasukkan kepala pada lubang simpulnya.
Saat itulah ia melihat di pojok ruangan beberapa labu dan setumpuk anggur.
Setiap panen musim gugur ia akan memilih labu yang paling besar dan anggur yang paling manis, kemudian mengantarkannya kepada orang itu.
Ia melakukan karena rasa hormat dan cinta pada orang itu.
Dan sekarang ia memikirkan nama itu.
Lao Bo! Begitu teringat Lao Bo, hatinya seketika tentram karena ia percaya Lao Bo akan mengembalikan keadilan untuknya.
Hanya Lao Bo.
Tidak ada yang lain! * Tujuh Pemberani, itulah gelar mereka.
Mereka tujuh pemuda, berani, dan penuh tenaga kehidupan.
Tapi mereka sendiri tidak begitu mengerti makna kata berani pada gelar mereka.
Yang mereka tahu, mereka berani mengatakan dan melakukan apa pun.
Mereka tidak tahun bahwa berani berkata dan berbuat pun suatu kebodohan.
Yang tertua di antara ketujuh pemuda pembrani itu adalah Tie Cheng Gang.
Ia berbeda dengan keenam pemuda lainya, ia bukan anak piatu.
Persamaan dirinya dengan keenam pemuda lainnya adalah mereka senang berpetualang.
Salah satu petualangan yang mereka suka adalah berburu.
Dan musim gugur merupakan saat tepat untuk berburu.
Hari itu Tie Cheng Gang membawa keenam temannya buat berburu.
Mereka baru mendapat dua ekor rusa, seekor kucing gunug, dan beberapa kelinci.
Tiba-tiba mereka melihat sebuah rumah terbakar di kaki bukit.
Rumah Duan Si Ye.
Duan Si Ye adalah paman Tie Cheng Gang.
Ketika mereka tiba, api sudah besar melalap rumah.
Tidak tampak seorang pun yang berusaha memadamkannya.
Ke mana tujuh puluh hingga delapan puluhan penghuninya? Mereka berlari masuk ke dalam rumah dan menemukan jawabannya.
Di rumah itu semua lelaki, perempuan, tua, muda, semua sudah jadi mayat.
Total, tujuh puluh sembilan mayat, dan salah satunya adalah mayat Duan Si Ye.
Tombak perak yang biasa digunakan Duan Si Ye telah putus menjadi dua.
Ujung tombak menancap di dadanya, namun gagang tombak tidak ada di tangannya.
Sepasang tangan Duan Si Ye justeru mengepal dengan keras, hingga urat-urat nadi di tangannya merongkol seperti ular mati berwarna hijau kebiruan.
Barang apa yang digenggam Duan Si Ye begitu erat hingga mati pun ia tidak rela melepaskannya? Tidak ada yang tahu, bahkan sepertinya Duan Si Ye pun tidak memiliki kesempatan untuk mengetahuinya hingga mati pun ia tidak sempat menutup mata.
Melihat keadaan mayat sang paman, hati Tie Cheng Gang sakit sekali, lambung pun terasa menciut.
Ia berjongkok dan menutup kelopak mata Duan Si Ye, kemudian berusaha membuka genggaman tangan sang paman.
Gengaman itu sangat sulit dibuka.
Tangan Duan Si Ye menggengam terlalu erat, dan kini otot dan tulangnya sudah mengeras kaku.
Api semakin mendekat, mulai memanggang wajah Tie Cheng Gang.
Dari rambutnya pun mulai tercium bau hangus.
Teman-temannya berteriak.
"Cepat lari! Kita keluar dulu baru bicara lagi!"
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan menggigit bibir Tie Cheng Gang mencabut golok dan memengal sepasang tangan pamannya untuk kemudian ia simpan dalam pakaiannya serta berlari ke luar sana. Sesampai di luar, teman-temanya merasa heran.
"Jika kau ingin melihat apa yang digengamnya kenapa tidak kau bopong saja tubuhnya keluar?"
Tie Cheng Gang mengeleng kepala.
"Mending paman sekalian dikremasi saja."
Ia tidak pernah berbohong pada teman-temannya, tapi kali ini ia tidak mengatakan yang sejujurnya. Sebetulnya ia merasa firasat tidak enak, membuatnya memutuskan membiarkan mayat pamannya tetap di dalam. Teman-temannya menatap dengan heran.
"Apa kita biarkan keadaan seperti ini?"
"Habis bagaimana lagi?"
Tien Cheng Gang balik bertanya.
"Paling sedikit kita harus tahu siapa yang membakar rumah ini."
Tie Cheng Gang belum menjawab, ia melihat kedatangan tiga biksu mengenakan baju berwarna biru.
Di pedang mereka terlihat pita berwarna kuning berkibar tertiup angin seiring dengan jengot mereka yang belang dan juga terkibarkan angin.
Mereka sepeti tiga dewa yang baru turun dari langit.
Ketiganya pasti bukan pembunuh.
Entah mengapa melihat mereka hati Tie Cheng Gang terasa berat.
Sebaliknya, teman-temannya malah merasa senang.
Huang Shan San You sudah datang.
Asalkan ada tiga biksu sepuh itu semua masalah pasti beres.
Huang Shan San You adalah sebutan untuk Yi Shi, Yi Yun, dan Yi Qiang.
Walau mereka adalah biksu, namun ilmu pedangnya sangat tinggi.
Mereka juga sangat adil.
Tidak heran jika banyak anak muda yang belajar pedang mengidolakan mereka.
Tidak terduga wajah Huang Shan San You terlihat marah.
Begitu berhadapan, Yi Qiang si "Satu Mata Air"
Berseru.
"Kalian sangat berani!"
Yi Yun si "Satu Awan"
Menyahuti.
"Kutahu kalian biasa melakukan hal-hal yang berani, tidak disangka kalian juga berani melakukan ini!"
Yi Shi si "Satu Batu"
Selalu jarang bicara. Ia diam seperti sebongkah batu. Lebih keras dan lebih dingin daripada batu. Enam orang dari Tujuh Pemberani itu wajahnya sudah berubah. Mereka bukan takut, tapi kaget setengah mati.
"Memangnya kami sudah melakukan apa?"
Tanya salah satunya, sementara yang lain berkata.
"Perbuatan ini bukan kami yang melakukan!"
Yi Qiang murka.
"Kalian masih berani menyangkal?"
Yi Yun pun marah.
"Bila bukan kalian, lantas siapa? Darah di pisau kalian pun belum dibersihkan!"
Keenam pemuda dari kaget menjadi heran dan gelisah.
Mata Huang Shan San You begitu jeli, masakah tidak bisa membedakan darah manusia atau hewan? Tapi Tie Cheng Gang terlihat tenang, ia sudah melihat permasalahanya dan tahu bahwa tiada seorang pun yang bisa membela mereka dari tuduhan itu.
Ia tidak mau mati sebagai kambing hitam.
Lebih-lebih ia tidak mau keenam kawan setianya menemaninya mati.
Karena itu, ia harus tenang.
Yi Qiang bertanya.
"Apa lagi yang ingin kalian bicarakan?"
Tie Cheng Gang tiba-tiba menukas.
"Aku semua yang lakukan ini! Mereka tidak tahu apa-apa."
"Apa kau suruh aku melepas mereka?"
Tanya Yi Qiang. Tie Cheng Gang menjawab.
"Asal kalian melepas mereka, kujamin satu patah pun tak kan kubantah!"
Mata Yi Shi menyipit.
"Satu pun tidak bisa dilepaskan. Bunuh semua!"
Pedangnya lebih cepat daripada suaranya.
Saat kilatan pedang berayun, satu nyawa sudah melayang.
Tujuh Pemberani tidak seperti orang lain.
Mereka bersatu bukan karena teman sekedar minum arak dan daging.
Di antara mereka benar-benar terjalin perasaan yang erat.
Bila ada yang mati, yang lain matanya akan memerah karena marah.
Sekarang mata mereka sudah merah karena marah.
Walau mereka tahu bukan tandingan Huang Shan San You, mereka tidak takut mati.
Mereka adalah anak muda yang darahnya mudah bergolak, tidak mengerti arti kehidupan dan makna selembar nyawa yang mahal.
Mereka juga tidak mengerti ketakutan dan kematian.
Karenanya, mereka pantang lari dari masalah.
Tie Cheng Gang adalah yang tertua di antara mereka.
Tiba-tiba ia justeru membalikka
Perguruan Sejati -- Khu Lung Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen