Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 11


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 11


merugikan tak akan kulakukan"

   "Apa yang dia pertaruhkan dengan kalian?", tanya Cia Siau-hong kemudian.

   "Kau tahu soal Thian-cun?", Le Peng-cu bertanya. Cia Siau-hong tertawa getir dan mengangguk.

   "Ya, aku tahu!"

   "Belakangan ini kekuasaan Thian-cun makin hari semakin besar dan luas, tujuh partai pedang tak dapat berpeluk tangan belaka membiarkan dia berulah seenaknya sendiri, walaupun angkatan tua sudah banyak yang mengasingkan diri, tapi kami anak muridnya berhasrat untuk berkumpul di bukit Thay-san dan membentuk suatu persekutuan tujuh partai!"

   "Ini memang suatu ide yang sangat bagus!", puji Cia Siau-hong.

   "Dalam pertemuan tersebut, sudah barang tentu kami harus memilih seorang Bengcu!"

   "Jadi bila kalian kalah darinya, maka dia harus diangkat sebagai Bengcu......?" ~Bersambung ke Jilid-18 Jilid-18

   "Tepat sekali"

   Dengan suara lembut Lei Tin-tin berkata.

   "Sekalipun kalian mengangkat diriku sebagai bengcu, apa pula jeleknya........?"

   "Hanya ada satu hal yang tidak baik", jawab Le Peng-cu dengan cepat.

   "Hal yang mana?"

   "Kau terlalu cerdik, jika kami mengangkat dirimu menjadi bengcu, maka Persekutuan Bukit Thaysan ini mungkin akan berubah menjadi Thian-cun kedua!"

   "Sekarang dalam waktu singkat, pihak Kun-lun-pay, Khong-tong-pay, Tiam-cong-pay, sudah kalah di ujung pedang Sam-sauya secara mengenaskan, apakah kau yakin sanggup menerima ke tiga jurus serangannya?"

   "Aku tidak merasa yakin!"

   Setelah tertawa dingin lanjutnya.

   "Justru lantaran aku tak berkeyakinan, maka aku telah bersiap-siap untuk menganggap pertaruhan kali ini sebagai kentut busuk"

   Lei Tin-tin segera menghela napas panjang.

   "Padahal akupun sudah lama tahu jika kau adalah seorang siaujin yang tak bisa dipercaya perkataannya, untung saja orang lain tidak demikian"

   "Aku juga!", tiba-tiba Ouyang Im-hok berseru. Kali ini Lei Tin-tin baru benar-benar merasa terkejut, serunya tertahan.

   "Kau? Kau juga seperti dia?"

   "Aku tak bisa tidak harus berbuat demikian", ujar Ouyang Im-hok dengan wajah serius dan berat.

   "karena aku tak ingin dalam dunia persilatan muncul kembali Thian-cun kedua!"

   Pelan-pelan ia berjalan ke depan, berjalan ke sisi tubuh Le Peng-cu. Le Peng-cu tertawa terbahak-bahak sambil menepuk bahunya, dia berseru.

   "Sekarang walaupun kau tak bisa dianggap lagi sebagai seorang kuncu yang sebenarnya, tapi kau pantas disebut sebagai seorang lelaki perkasa!"

   Ouyang Im-hok menghela napas panjang, gumamnya.

   "Mungkin sesungguhnya aku memang bukan seorang kuncu!"

   Belum lagi perkataan itu selesai diutarakan, ia telah turun tangan, sikut dengan telak menghajar di atas sikut kanan Le Peng-cu.

   Bunyi tulang sikut yang hancur baru saja berkumandang, pedang tajam telah diloloskan dari sarungnya.

   Begitu cahaya pedang berkelebat lewat, darah segar telah berhamburan ke empat penjuru.

   Biji mata Le Peng-cu seakan-akan melotot keluar, melotot sangat besar dan melotot ke wajah Ouyang Im-hok Sampai kini dia baru tahu bahwa Ouyang Im-hok sesungguhnya berdiri sekelompok dengan Lei Tin-tin.

   Sekarang dia baru tahu siapakah siaujin yang sesungguhnya.

   Tapi sayang segala sesuatunya telah terlambat.

   Darah kental masih menetes dari ujung pedang.

   Chin To-siu, Bwe Tiang-hoa serta Thian Cay-liong berdiri kaku seperti patung, paras muka mereka pucat pias seperti mayat.

   Dengan sinar mata dingin ditatapnya mereka sekejap, kemudian Ouyang Im-hok berkata.

   "Selama hidup aku Ouyang Im-hok paling benci dengan manusia rendah yang tak bisa dipercaya perkataannya seperti dia, kalau bisa aku ingin mereka semua mampus di ujung pedangku, tiada halangannya bagiku untuk menggorok leher guna menebus dosa"

   "Mereka semua tahu akan tabiatmu, tak nanti mereka berpendapat demikian", ujar Lei Tin-tin lembut.

   "menang ya menang, kalah ya kalah, kalian semua adalah kuncu, tentu saja tak akan mengingkari janji terhadap apa yang dikatakan sendiri....."

   Tiba-tiba Thian Cay-liong berteriak keras.

   "Aku bukan kuncu, sekarang aku merasa muak sekali mendengar kata-kata tersebut!"

   Sambil menarik muka, kata Ouyang Im-hok.

   "Maksud Thian suheng......?"

   "Aku tidak bermaksud apa-apa, cuma akupun tak ingin pergi ke bukit Thay-san lagi, terserah kalian hendak mengangkat siapa sebagai bengcu, hal tersebut sudah tiada hubungannya lagi dengan diriku!"

   "Kalau kau tak pergi, akupun tak pergi!", sambung Chin To-siu.

   "Aku lebih-lebih tak akan pergi", Bwe Tiang-hoa menambahkan. Thian Cay-liong merasa semangatnya berkobar, serunya kemudian.

   "Baik kita pergi bersama, coba kita lihat siapa yang sanggup menghalangi kepergian kita?"

   Dengan langkah lebar ke tiga orang itu berlalu bersama-sama meninggalkan tempat itu.

   Thian Cay-liong berjalan di tengah, sedangkan Bwe Tiang-hoa dan Chin To-siu mengiringi di kiri kanannya.

   Mendadak mereka menjepit ke arah tengah.

   Menanti mereka berpisah kembali, iga kiri dan kanan Thian Cay-liong telah mengucurkan darah segar.

   Ia berusaha meronta ingin mencabut keluar pedangnya.

   Tapi sebelum pedang itu sempat diloloskan, ia sudah roboh terkapar di atas tanah.

   "Kalian sungguh amat keji!", hanya kata-kata itu saja yang sempat diucapkan. Kata-kata yang terakhir. Tidak terdengar suara apapun, lama sekali tak terdengar sedikit suarapun. Setiap orang sedang memandang ke arah Cia Siau-hong, setiap orang ingin mengetahui bagaimana reaksinya. Cia Siau-hong sendiri sebaliknya sedang memperhatikan pedang yang berada di tangannya. Itulah pedang milik Bwe Tiang-hoa.

   "Itulah sebilah pedang bagus!", tiba-tiba Bwe Tiang-hoa berkata memecahkan keheningan.

   "Ya, memang sebilah pedang bagus!", Cia Siau-hong membenarkan.

   "Pedang ini sudah turun temurun berada di tangan Hoa-san-pay selama tiga ratus tahun lebih, selama ini belum pernah terjatuh ke tangan orang lain"

   "Aku percaya!"

   "Jika kau beranggapan bahwa barusan aku tidak pantas membunuh Thian Cay-liong, tak ada salahnya bila kau gunakan pula pedang tersebut untuk membunuh diriku, biar mati aku akan mati dengan mata meram!"

   "Dia memang sepantasnya mati, akupun lebih-lebih pantas untuk mati, karena kita sudah salah melihat orang!"

   Pelan-pelan ia membelai mata pedang itu dengan lembut, kemudian mendongakkan kepalanya seraya berkata.

   "Sekarang Go To dari Tiam-cong-pay sudah pergi karena marah, Le Peng-cu dari Hay-lam-pay sudah mati dibunuh, setelah Thian Cay-liong ikut mati, maka anak murid partai Kun-lun pun otomatis akan terjatuh pula ke tangan kalian, dengan sendirinya pertemuan di bukit Thay-san pun sudah akan menjadi dunianya kalian"

   "Penyelesaian semacam ini sesungguhnya memang merupakan salah satu bagian dari rencana kami", kata Ouyang Im-hok dengan suara dalam.

   "Tentu saja kalian juga sudah tahu kalau aku adalah seorang yang hampir mati!"

   "Ya, kami memang sudah mengetahui bahwa kau paling banter hanya bisa hidup selama tiga hari lagi"

   Lei Tin-tin menghela napas panjang, timbrungnya.

   "Berita yang tersiar dalam dunia persilatan hakekatnya memang cepat bagaikan sambaran kilat, apalagi berita mengenai dirimu!"

   "Kalian tentunya juga mengetahui bukan, di saat kulancarkan serangan tadi, mulut lukaku telah merekah kembali?"

   "Sekalipun kami tidak melihatnya sendiri, dapat pula kuduga akan hal itu!"

   "Oleh sebab itu kalian tentu beranggapan bahwa manusia semacam aku sebenarnya tak pantas untuk mencampuri urusan orang lain lagi!"

   "Tapi kami masih tetap menghormatimu!", kata Ouyang Im-hok.

   "entah kau masih hidup atau sudah mati, kami pasti akan melindungi nama baik dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng!"

   "Paling tidak kami semua akan mengaku kalah, kalah di tanganmu!", sambung Lei Tin-tin.

   "Aku tahu, dalam hal ini akupun merasa berterima kasih sekali, hanya sayang kalian melupakan satu hal", ucap Cia Siau-hong.

   "Hal yang mana?", gadis itu cepat bertanya.

   "Selama aku berada di sini, semestinya Thian Cay-liong dan Le Peng-cu tak pantas di bunuh mati"

   "Karena kau beranggapan sepantasnya kau dapat menolong mereka berdua?"

   "Benar!"

   "Oleh karena itu, kau beranggapan, walaupun kau tidak membunuh mereka, tak bisa disangkal lagi mereka mati lantaran kau?"

   "Benar!"

   "Maka kau ingin membalaskan dendam bagi kematian mereka berdua?", seru Lei Tin-tin lebih jauh.

   "Mungkin dikarenakan ingin membalaskan dendam bagi mereka, aku hanya ingin membuat hatiku menjadi tenteram saja"

   "Aku dapat memahami maksudmu, bagaimanapun juga kau sudah hampir mati, kau bisa mati dengan hati yang tenang, karena tidak merasa telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan suara hati sendiri!"

   Setelah menghela napas panjang, pelan-pelan gadis itu melanjutkan.

   "Sayang kau masih ada banyak persoalan yang tidak memahaminya!"

   "Oya?"

   "Semua kejadian yang kau saksikan saat ini tak lebih hanya lapisan yang paling atas saja, padahal duduk perkara di balik kesemuanya itu hakekatnya tidak ingin kau ketahui, bahkan bertanyapun tidak"

   "Apa yang harus kutanyakan?"

   "Paling tidak kau harus bertanya apakah Le Peng-cu dan Thian Cay-liong juga mempunyai alasan untuk mati?"

   "Apakah mereka pantas mati?"

   "Tentu saja!"

   "Sudah seharusnya mereka mati!", Ouyang Im-hok menambahkan.

   "Kenapa?"

   "Sebab jika mereka tak mati, maka persekutuan tujuh partai tak akan bisa terwujud untuk selamanya!", Lei Tin-tin menerangkan.

   "sebab jika mereka tak mati, orang yang bakal mati akan lebih banyak lagi"

   "Le Peng-cu berjiwa sempit, terlalu mementingkan diri sendiri, ia bukan tipe seorang manusia yang bisa bekerja, lebih banyak gagalnya daripada berhasil jika bekerja sama dengan manusia seperti ini", Lei Tin-tin kembali memberi komentar. Ouyang Im-hok tak mau kalah, katanya pula.

   "Bila kita menginginkan masalah besar bisa berhasil dengan sukses, mau tak mau kita harus mengorbankan manusia semacam ini!"

   "Terhadap kematian Le Peng-cu, sedikit banyak aku merasa agak sedih, tapi terhadap Thian Cayliong.........", Ouyang Im-hok kembali menyambung.

   "sekalipun Thian Cay-liong mampus sepuluh kali juga belum dapat menebus dosa-dosanya!"

   "Kenapa?"

   "Karena dia sesungguhnya adalah seorang mata-mata!"

   "Seorang mata-mata?"

   Lei Tin-tin tertawa. Ia sedang tertawa, tapi jauh lebih serius daripada sewaktu tidak tertawa, katanya kembali.

   "kau tidak paham dengan arti kata mata-mata? Mata-mata adalah semacam manusia yang suka berkhianat!"

   "Ia telah berkhianat kepada siapa?"

   "Ia telah berkhianat kepada kami, berkhianat pula terhadap dirinya sendiri!"

   "Lantas ia berkhianat untuk siapa?"

   "Untuk Thian-cun!"

   "Tentu saja Thian-cun"

   Lei Tin-tin berkata lebih jauh.

   "Kau seharusnya dapat menduga, hanya Thian-cun yang cukup berkemampuan untuk membeli manusia semacam Thian Cay-liong!"

   "Kau punya bukti?"

   "Kau ingin melihat buktinya?"

   "Ya, aku ingin!"

   "Buktinya berada di sini!"

   Tiba-tiba gadis itu memutar badannya sambil mengeluarkan jari tangannya. Jari tangannya ramping, halus dan indah, tapi sekarang kelihatan bagaikan sebilah pedang, bagaikan sebatang jarum. Yang dituding ternyata adalah Kian Po-sia.

   "Orang inilah buktinya! Dia buktinya!"

   Kian Po-sia masih tetap tenang, namun paras mukanya telah berubah hebat.

   "Kau adalah Sam-sauya dari keluarga Cia, kau adalah seorang jago pedang yang tiada tandingannya di dunia ini, tentunya kau bukan seorang telur busuk yang goblok bukan?", kata Lei Tin-tin. Tentu saja Cia Siau-hong tak akan mengakui dirinya sebagai seorang telur busuk yang goblok, diapun tak dapat menyangkal.

   "Kalau memang begitu, kenapa kau tidak mencoba untuk berpikir, darimana kami bisa tahu kalau paling banter kau hanya bisa hidup tiga hari lagi.....?", ujar Lei Tin-tin. Cia Siau-hong tak perlu berpikir lagi. Cepat atau lambat persoalan ini pasti akan diketahui orang, akhirnya semua orang di seantero jagad akan mengetahuinya semua. Tapi orang yang mengetahui persoalan ini hingga kini belumlah terlalu banyak. Siapakah yang paling jelas mengetahui akan persoalan ini? Siapa pula yang paling memahami akan kemana saja Cia Siau-hong pergi dalam dua hari ini? Cia Siau-hong tertawa. Dia sedang tertawa tapi semua orang tak akan menganggap dia benarbenar sedang tertawa. Ia telah menatap wajah Kian Po-sia. Kian Po-sia menundukkan kepalanya rendah-rendah.

   "Memang aku, akulah yang berkata!", bisiknya.

   "Aku adalah orang Thian-cun, Thian Cay-liong juga!"

   "Aku pula yang memberitahukan hal ini kepada Thian Cay-liong, maka mereka baru mengerti akan hal ini"

   Kata-kata seperti itu tidak ia ucapkan, pun tak perlu dia katakan.

   "Aku telah salah menilai dirimu!"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku telah menganggapmu sebagai teman, aku telah berpandangan salah atas persoalan ini"

   Kata-kata seperti itupun tidak diucapkan oleh Cia Siau-hong, ia lebih-lebih tak perlu mengutarakannya. Cia Siau-hong hanya mengucapkan empat patah kata saja.

   "Aku tidak menyalahkan kau!"

   Kian Po-sia pun hanya mengucapkan sepatah kata.

   "Kau benar-benar tidak menyalahkan diriku?"

   "Aku tidak menyalahkan kau, karena kau sebetulnya tidak kenal dengan aku!"

   Lama sekali Kian Po-sia termenung, akhirnya pelan-pelan dia berkata lagi.

   "Ya, sebenarnya aku tidak kenal dengan dirimu, sedikitpun tidak kenal......!"

   Sesungguhnya perkataan ini adalah sepatah kata yang amat sederhana, tapi mengandung suatu maksud yang amat rumit.

   Tidak kenal artinya tidak mengenal.

   Tidak kenal artinya sama sekali tidak tahu manusia macam apakah dirimu.

   Cia Siau-hong dapat memahami maksudnya, dapat pula memahami perasaan hatinya.

   Oleh karena itu Cia Siau-hong hanya mengucapkan tiga patah kata.

   "Kau boleh pergi!"

   Kian Po-sia telah pergi, pergi sambil menundukkan kepalanya rendah-rendah. Setelah ia pergi, lama sekali, Ouyang Im-hok baru menghela napas panjang, katanya.

   "Cia Siau-hong memang benar-benar tak malu disebut sebagai Cia Siau-hong"

   Kata-kata inipun merupakan sepatah kata yang amat sederhana, bahkan sangat umum. Tapi arti yang terkandung di balik ucapan tersebut justru tidak sederhana, pun tidak sangat umum. Lei Tin-tin menghela napas, pelan dan panjang sekali.................

   "Kalau aku adalah kau, tak akan kulepaskan dia pergi meninggalkan tempat ini", katanya.

   "Sayang, kau bukanlah aku!", jawab Cia Siau-hong.

   "Kaupun bukan aku, juga bukan Ouyang Im-hok, Bwe Tiang-hoa ataupun Chin To-siu"

   Tentu saja Cia Siau-hong bukan.

   "Justru karena kau bukan, maka kau baru tidak memahami akan keadaan kami", kata Lei Tin-tin lagi.

   "Oleh sebab itu kau baru merasa bahwa kami tidak seharusnya membunuh Le Peng-cu serta Thian Cay-liong", sambung Ouyang Im-hok.

   "Kami telah bertekad, asal bisa mencapai tujuan, tak segan-segan kami akan pergunakan cara keji apapun!"

   "Tujuan kami tercakup dalam tujuh patah kata!", kata Ouyang Im-hok kembali. Sebelum Cia Siau-hong sempat bertanya, Lei Tin-tin telah berkata lebih dulu.

   "Melawan Thian-cun, mempertahankan keadilan dan kebenaran!"

   Sesudah berhenti sebentar, ia berkata lebih jauh.

   "Mungkin cara yang kami pergunakan tidak benar, tapi pekerjaan yang ingin kami lakukan tak mungkin bakal salah"

   "Oleh karena itu", kata Bwe Tiang-hoa pula.

   "jika kau beranggapan bahwa kami telah salah membunuh orang, tak ada salahnya untuk membunuh kami dengan pedang ini"

   "Bukan saja kami tak akan membalas, bahkan matipun tak akan menyesal........"

   "Aku adalah seorang perempuan", sambung Lei Tin-tin.

   "kaum wanita biasanya jauh lebih takut mati, tapi akupun tidak menyesal untuk mati!"

   Di tangan Cia Siau-hong masih menggenggam sebilah pedang.

   Entah pedang milik siapapun, entah pedang bentuk seperti apapun, setelah berada di tangan Sam-sauya dari keluarga Cia, segera akan berubah menjadi sebilah pedang pembunuh.

   Manusia macam apapun dapat terbunuh di tangannya, persoalannya sekarang......

   pantaskah orang ini dibunuh? Senja telah menjelang, kabut menyelimuti seluruh jagad.

   Sebenarnya kabut tak akan muncul di kala senja, tapi kali ini sang kabut justru telah muncul.

   Selapis kabut tebal bagaikan dalam impian belaka.

   Umat manusia seharusnya tidak bermimpi, tapi justru mereka selalu bermimpi.

   Cia Siau-hong berjalan masuk ke balik kabut, berjalan masuk ke balik alam impian.

   Impian bagaikan selapis kabut, ataukah kabut bagaikan selapis impian? Kalau dibilang kehidupan manusia bagaikan kabut atau bagaikan impian, perkataan semacam ini bisa dianggap sebagai terlampau umum? Ataukah terlampau polos? "Kami semua adalah manusia, orang-orang persilatan, karenanya kau harus tahu mengapa kami sampai berbuat demikian?"

   Itulah perkataan dari Lei Tin-tin.

   Oleh karena itu ia tidak membunuh Lei Tin-tin, juga tidak membunuh Bwe Tiang-hoa, Chin To-siu serta Ouyang Im-hok.

   Karena dia tahu apa yang mereka katakan adalah kata-kata yang sejujurnya.

   Sesungguhnya dalam dunia persilatan memang tiada perselisihan tanpa sesuatu tujuan tertentu, seringkali orang persilatan melakukannya tanpa memikirkan keselamatan orang lain.

   Di kala mereka hendak melakukan sesuatu pekerjaan, seringkali bahkan mereka sendiri pun tidak mempunyai pilihan lain.

   Tiada seorangpun yang bersedia mengakui akan hal ini, lebih-lebih tak ada orang yang berusaha untuk menyangkalnya.

   Inilah nyawa dari orang persilatan juga merupakan kejadian yang paling memedihkan bagi orang persilatan.

   Dalam dunia persilatan selalu akan terdapat manusia semacam Lei Tin-tin, apa pula gunanya ia membunuh seorang Lei Tin-tin? Apa pula yang bisa dirubahnya? "Kami memilihnya sebagai bengcu, karena kami merasa hanya dia seorang yang sanggup menandingi Buyung Ciu-ti dari Thian-cun!"

   Perkataan itu diucapkan oleh Ouyang Im-hok.

   Itupun merupakan sebuah kata-kata yang benar.

   Tiba-tiba ia merasa bahwa Lei Tin-tin dengan Buyung Ciu-ti sebenarnya adalah manusia dari jenis yang sama.

   Manusia macam ini agaknya memang ditakdirkan sebagai pemenang, sebab di dalam melakukan pekerjaan apapun, dia akan selalu berhasil dengan sukses.

   Sebaliknya ada sementara orang yang agaknya memang sejak dilahirkan sudah ditakdirkan sebagai pihak yang kalah, perduli berapapun yang berhasil mereka menang, pada akhirnya toh tetap kalah juga sampai ludas.

   Tak tahan ia mulai bertanya pada diri sendiri.

   "Bagaimana pula dengan aku? Manusia macam apakah diriku ini?"

   Ia tidak menjawab pertanyaan itu, sebab jawaban dari pertanyaan itu memang sama sekali tak ingin diketahui.

   Kabut yang menyelimuti jagad di mana dingin tebal lagi, sedemikian tebalnya sehingga membuatnya seolah-olah terpisah dalam sebuah dunia yang lain.

   Cuaca semacam ini memang paling cocok dengan perasaannya sekarang, sebenarnya dia tak ingin berjumpa dengan siapapun.

   Tapi pada saat itu, dari balik kabut yang tebal justru muncul sesosok bayangan manusia.

   Raut wajah Kian Po-sia muncul dari balik kabut, seakan-akan sukma gentayangan yang baru saja lolos dari dalam neraka.

   "Oh, kiranya kau!", kata Cia Siau-hong sambil menghela napas.

   "Ya, memang aku!", Kian Po-sia membenarkan. Suaranya parau, lagi pula penuh kesedihan.

   "Aku tahu kau tak ingin berjumpa lagi denganku, tapi aku harus datang kemari untuk bertemu lagi denganmu!"

   "Kenapa?"

   "Karena dalam hatiku terdapat banyak persoalan yang ingin kuucapkan kepadamu, perduli kau bersedia, untuk mendengarkan atau tidak, aku tetap akan mengutarakannya kepadamu"

   Cia Siau-hong memandang sekejap ke atas wajahnya yang pucat, akhirnya ia manggut-manggut.

   "Jika kau bersikeras ingin mengutarakannya juga, akupun akan mendengarkan dengan seksama"

   "Aku betul-betul adalah orangnya Thian-cun, karena aku tak dapat menampik mereka, karena aku masih tak ingin mati!"

   "Aku mengerti bahkan manusia macam Thian Cay-liong saja tak dapat menampik mereka, apalagi kau!"

   "Posisiku jauh berbeda dengannya, yang dia pelajari adalah pedang, sedang yang kupelajari adalah ilmu pertabiban, ilmu pertabiban dipakai untuk menolong umat manusia, kami harus memandang berharga nyawa setiap manusia!"

   "Aku mengerti!"

   "Baru beberapa bulan aku bergabung dengan pihak Thian-cun, tapi ilmu pertabiban ini sudah kupelajari hampir dua puluh tahun lamanya, cara berpandangku terhadap nyawa manusia boleh dibilang sudah berakar dalam hatiku, sudah mendarah daging"

   "Aku percaya!"

   "Oleh sebab itu apapun yang disuruh Thian-cun lakukan, aku tak dapat menganggap nyawa manusia sebagai barang permainan, asal dia adalah pasienku, aku pasti akan berusaha dengan sepenuh tenaga untuk mengobatinya entah siapapun itu orangnya!"

   Ditatapnya Cia Siau-hong lekat-lekat, kemudian ia menambahkan.

   "Begitu pula terhadap dirimu!"

   "Sayang sekali, lukaku memang tak bisa ditolong lagi!"

   "Asal aku merasa masih ada sedikit harapan, aku tak akan lepas tangan dengan begitu saja", ujar Kian Po-sia sedih.

   "Aku tahu bahwa kau telah berusaha sepenuh tenaga, aku sedikitpun tidak menyalahkan dirimu!"

   "Thian Cay-liong betul-betul orang dari Thian-cun, pula sebetulnya mereka suruh aku mengatur segala sesuatunya agar ia dapat membinasakan dirimu!"

   Cia Siau-hong segera tertawa.

   "Masakah persoalan semacam inipun dapat diatur?", ia bertanya.

   "Orang lain mungkin tak bisa, tapi aku bisa!"

   "Bagaimana caramu mengatur segala sesuatunya?"

   "Asal kuberi sedikit obat pembusuk tulang lagi di atas mulut lukamu, maka di saat kau berjumpa dengan Thian Cay-liong, sedikit tenaga untuk melancarkan serangan balasanpun tak akan kau miliki, maka asal kuberi tanda kepadanya, dia akan berebut untuk turun tangan lebih dahulu!"

   Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan.

   "Siapapun yang bisa mengalahkan Sam-sauya dari keluarga Cia, peristiwa ini pasti akan menggetarkan seluruh dunia persilatan dan namanya akan termashur sampai di mana-mana, apalagi di antara mereka masih diembel-embeli pula dengan suatu pertaruhan!"

   "Siapa mampu membunuh Cia Siau-hong, siapa pula yang akan menjadi Bengcu dalam pertemuan bukit Thay-san", kata Cia Siau-hong.

   "Benar!"

   "Seandainya Thian Cay-liong bisa membunuh aku di hadapan murid-murid tertua dari tujuh partai besar, Lei Tin-tin pun terpaksa harus menyerahkan kursi Bengcu tersebut kepadanya, maka Persekutuan Tujuh Partai besarpun akan berubah menjadi benda dalam saku dari Thian-cun!"

   "Betul!"

   Cia Siau-hong menghela napas ringan, katanya lagi.

   "Sayang kau sama sekali tidak berbuat demikian"

   "Aku tak dapat berbuat demikian, aku tak tega untuk melakukannya!"

   "Sebab jiwa mulia dari seorang tabib telah berakar dan mendarah daging dalam hatimu!"

   "Benar!"

   "Sekarang aku masih ada satu hal yang belum begitu mengerti", ucap Cia Siau-hong kemudian.

   "Hal yang mana?"

   "Lei Tin-tin sekalian kenapa bisa tahu kalau aku paling banter hanya bisa hidup tiga hari lagi? Padahal rahasia semacam ini seharusnya hanya diketahui oleh Thian-cun seorang?"

   Paras muka Kian Po-sia tiba-tiba berubah hebat, serunya tertahan.

   "Masakah Lei Tin-tin juga orang Thian-cun?"

   Cia Siau-hong menengok ke arahnya, ternyata ia masih tetap tenang seperti sedia-kala, hanya tanyanya hambar.

   "Kau benar-benar tak tahu kalau diapun orangnya Thian-cun?"

   "Aku.......?"

   "Padahal sepantasnya kau bisa berpikir sampai ke situ, bila seorang jago lihay sedang bermain catur, setiap langkah mereka pasti siapkan pula langkah mundurnya, itu berarti di belakang kesemuanya ini mereka pasti telah menyiapkan pula seorang pembunuh tersembunyi yang jauh lebih lihay, padahal Buyung Ciu-ti merasa tidak yakin dengan kemampuan yang dimiliki Thian Cayliong, maka bisa diduga dalam permainan catur kali ini pembunuh yang sesungguhnya telah dia persiapkan adalah Lei Tin-tin"

   "Rupanya kau telah berpikir sampai ke situ!"

   Cia Siau-hong tersenyum.

   "Tentu saja!", jawabnya.

   "aku toh bukan manusia yang terlalu bodoh"

   Kian Po-sia menghembuskan napas lega.

   "Kalau begitu, tentunya kau telah membinasakan dirinya, bukan?"

   "Tidak!"

   Sekali lagi paras muka Kian Po-sia berubah hebat, serunya tertahan.

   "Mengapa kau lepaskan dirinya?"

   "Karena hanya dia yang sanggup menghadapi Buyung Ciu-ti"

   "Tapi dia.......?"

   "Meskipun sampai kini dia masih orangnya Thian-cun, tapi dia tak akan terlalu lama bercokol di bawah perintah Buyung Ciu-ti, di atas bukit Thay-san merupakan kesempatan yang terbaik baginya, asal ia sudah menduduki jabatan Bengcu, ia pasti dapat mempergunakan kekuasaannya untuk menghadapi Thian-cun dengan sepenuh tenaga!"

   Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan.

   "Aku telah memahami perasaan semacam ini, dia pasti tak akan melepaskan kesempatan baik semacam ini dengan begitu saja!"

   Peluh dingin telah membasahi sekujur badan Kian Po-sia, telapak tangannya ikut berkeringat. Diapun bukan seorang manusia yang bodoh, tapi persoalan semacam ini tidak pernah dipikirkannya. Cia Siau-hong berkata.

   "Selama ini Buyung Ciu-ti selalu mempergunakan dirinya padahal ia tak tahu, diapun selama ini selalu mempergunakan Buyung Ciu-ti. Ia bersedia menggabungkan diri dengan pihak Thian-cun, mungkin hanya dikarenakan dia ingin mempergunakan kekuatan Thian-cun untuk melangkah ke atas jalur seperti apa yang diharapkan"

   Setelah menghela napas panjang, katanya lagi.

   "Permainan catur Buyung Ciu-ti kali ini ibaratnya seekor ular berbisa, sekalipun ular berbisa dapat membinasakan orang lain, tapi setiap saat siapapun dapat memalingkan kepalanya memagut diri sendiri"

   "Apakah pagutannya juga mematikan?", tanya Kian Po-sia.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ia sanggup membuat Buyung Ciu-ti menaruh kepercayaan kepadanya, tentu saja dapat pula menyelidiki di mana letak nadi mematikan dari pihak Thian-cun, andaikata pagutannya persis mengenai letak tempat yang mematikan Thian-cun, sudah barang tentu pagutannya itu tidak terhitung enteng!"

   "Tapi ular berkaki seratus kalu mati tak akan kaku, bila dia ingin memagutnya secara telak, aku rasa bukan suatu pekerjaan yang terlalu gampang!"

   "Oleh sebab itulah kita harus menggunakan racun untuk melawan racun, membiarkan mereka saling bunuh membunuh, menanti kedua belah pihak sama-sama sudah lemas dan kehabisan tenaga, maka orang lainlah yang tinggal memungut keuntungan"

   "Siapakah yang kau maksudkan sebagai orang lain?"

   "Tentu saja salah seorang Enghiong dari dunia persilatan! Dari setiap generasi pasti akan muncul seorang yang luar biasa, siapakah orang itu, siapapun tak akan tahu!"

   Setelah menghela napas panjang, terusnya.

   "Inilah nasib dari orang-orang persilatan, yang hidup dalam dunia persilatan, maka nasibnya ibarat selembar daun kering yang terombang-ambing di tengah hembusan angin, seringkali mereka harus berbuat tanpa bisa di cegah, mereka berbuat tanpa ada kebebasan. Asal kita tahu bahwa Persekutuan Tujuh Partai maupun Thian-cun pasti kalah, rasanya ini sudah lebih dari cukup, apa gunanya musti banyak bertanya lagi......?"

   Kian Po-sia tidak bertanya lagi, dia bukan orang persilatan, tak dapat memahami watak dari orang persilatan, lebih-lebih tak dapat memahami watak dari Cia Siau-hong.

   Tiba-tiba saja ia merasa bahwa orang ini bukan saja bagaikan daun kering yang terombangambing di tengah hembusan angin, bahkan ia mirip sekali seperti kabut malam yang datang lebih awal, begitu lembut, enteng dan sukar ditangkap.

   Kadangkala orang ini bersikap santai, kadangkala bersikap murung, ada kalanya gembira, ada kalanya sosial dan mulia, tapi kadangkala berubah menjadi dingin, keji dan tak berperasaan.

   Belum pernah Kian Po-sia menjumpai manusia dengan watak yang begini kalut seperti Cia Siauhong.

   Mungkin disebabkan karena wataknya yang banyak perubahan dan kacau inilah maka dia baru bernama Cia Siau-hong.

   Kian Po-sia menatapnya lekat-lekat, tiba-tiba ia menghela napas panjang, lalu berkata.

   "Dengan kedatanganku kali ini, sebenarnya masih ada satu hal yang kuberitahukan kepadamu!"

   "Apa yang hendak kau katakan?"

   "Walaupun aku tak dapat menyembuhkan lukamu, bukan berarti lukamu itu sudah tak mungkin bisa di tolong lagi"

   Sinar tajam mulai memancar keluar dari wajah Cia Siau-hong. Jika seseorang mengetahui bahwa dia masih ada harapan untuk hidup lebih jauh , siapakah yang tak ingin hidup lebih jauh? Tak tahan lagi diapun bertanya.

   "Masih ada orang yang bisa menolongku?"

   "Hanya seorang!"

   "Siapa?"

   "Diapun seorang manusia yang aneh, seperti juga kau, perasaannya mudah berubah-ubah, sikapnya sukar diraba dan diikuti, bahkan kadangkala dia akan bersikap pula seperti kau, dingin, keji dan tak berperasaan!"

   Cia Siau-hong tak dapat menyangkal, dia hanya menghela napas.

   Orang yang paling berperasaan kadangkala dapat pula berubah menjadi orang yang paling tak berperasaan.

   Sesungguhnya dia adalah tipe manusia yang amat perasa? Ataukah sama sekali tak berperasaan? Bahkan dia sendiripun tak dapat mengetahuinya secara jelas.

   Kian Po-sia memandang ke arahnya, tiba-tiba ia menghela napas panjang lagi.

   "Perduli siapakah orang ini sekarang, kau tak akan dapat menemukan dirinya lagi untuk selamalamanya"

   Sepatah demi sepatah kata, ia melanjutkan.

   "Karena aku tak akan memberitahukan kepadamu, siapakah orang tersebut?"

   OoooOOOOoooo Bab 34.

   Hari Terakhir Selama ini Cia Siau-hong tak pernah takut mati.

   Setiap orang, di kala ia masih kanak-kanak tak akan takut dengan kematian, karena waktu itu siapapun tak tahu bagaimana menakutkannya kematian tersebut.

   Apalagi Cia Siau-hong.

   Di kala masih kanak-kanak dulu, sudah banyak ia dengar kisah cerita tentang pahlawan-pahlawan gagah serta orang-orang berjiwa ksatria, seorang pahlawan, seorang laki-laki ksatria, tak pernah takut menghadapi sesuatu kematian.

   Enghiong tidak takut mati, kalau takut mati berarti bukan Enghiong.

   Sekalipun.........."Kraaaas!", batok kepala lantas bergelinding di tanah, juga tidak terhitung seberapa, toh dua puluh tahun kemudian tetap seorang hohan.

   Pandangan semacam ini sudah berakar dan mendarah daging dalam hatinya semenjak dulu.

   Menanti ia sudah menginjak dewasa, ia lebih-lebih tidak takut mati lagi, karena yang mati biasanya selalu orang lain, bukan dia.

   Asal pedangnya masih berada dalam genggamannya, maka mati hidup pun selalu berada dalam cengkeramannya.

   Sekalipun dia bukan malaikat, tapi ia dapat memutuskan mati atau hidup orang lain.

   Kenapa ia musti takut mati? Kadangkala bahkan dia sendiripun berharap bisa merasakan bagaimana rasanya seseorang yang menghadapi kematian, sebab rasa semacam itu belum pernah dialaminya selama ini.

   Cia Siau-hong juga tak ingin mati.

   Ia mempunyai keluarga yang terhormat, nama yang termashur dan kedudukan yang tinggi, kemanapun ia pergi orang selalu menghormatinya.

   Semenjak masih kecil, ia sudah mengetahui akan hal ini.

   Otaknya memang cerdas, sejak berusia empat tahun ia telah disebut orang sebagai bocah ajaib.

   Ia menawan hati.

   Dalam pandangan kaum wanita ia selalu adalah seorang malaikat yang suci bersih tanpa dosa, entah dalam pandangan perempuan terhormat atau hanya seorang babu pencuci pakaian.

   Dia adalah seorang manusia yang berbakat alam untuk belajar silat.

   Ilmu pedang yang bagi orang lain sepuluh tahun pun belum tentu berhasil dilatihnya, ia hanya cukup menggunakan waktu sepuluh hari untuk menguasainya secara sempurna.

   Selama hidup belum pernah ia menderita kekalahan.

   Orang-orang yang pernah bertarung dengannya adalah kawanan jago pedang yang menakutkan, ada pula para petaruh yang cekatan.

   Tapi ia belum pernah kalah.

   Baik dalam bertaruh pedang, bertaruh arak, bertaruh gundu, bertaruh apapun, ia belum pernah kalah.

   Manusia semacam ini, mana mungkin dia ingin mati? Dia tidak takut mati, mungkin dikarenakan ia belum pernah menerima ancaman kematian.

   Hingga hari itu, pada detik itu, sewaktu mendengar ada orang yang mengatakan bahwa paling banter dia hanya akan hidup tiga hari lagi.

   Pada detik itulah, dia baru tahu akan betapa menakutkannya kematian tersebut.

   Walaupun dia masih tak ingin mati, tapi ia sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi.

   Mati hidup seseorang memang bukan bisa ditentukan oleh diri sendiri, entah siapapun juga sama saja.

   Ia dapat memahami akan hal itu.

   Maka walaupun dia tahu kalau bakal mati, diapun hanya menantikan tibanya saat kematian tersebut.

   Sebab diapun sama juga seperti orang lain, apa boleh buat!.

   Tapi sekarang keadaannya jauh berbeda.

   Ketika seseorang yang mengetahui dirinya pasti akan mati, tiba-tiba mendapat tahu kalau masih ada harapan untuk hidup lebih jauh, harapan itupun secara tiba-tiba dipotong pula oleh orang di tengah jalan, maka luapan rasa gembira sampai luapan rasa sedih yang dialaminya boleh dibilang berlangsung semua pada saat yang bersamaan.

   Siapakah yang sanggup menerima pukulan batin seberat ini? Kian Po-sia masih berdiri tak berkutik di tempat itu, seakan-akan sedang menunggu Cia Siau-hong mencekik lehernya.

   .......Kau tidak memberi kesempatan hidup kepadaku, tentu saja akupun tak akan memberi kesempatan hidup untukmu.

   Sesungguhnya teori tersebut adalah teori kerja yang dipegang teguh orang-orang persilatan, akibat semacam inipun, ia telah bersiap-siap untuk menerimanya.

   Siapa tahu Cia Siau-hong tidak berkutik, dia hanya berdiri tenang di sana, memandangnya dengan dingin.

   "Kau boleh membunuh aku, tapi sekalipun kau bunuh aku sampai mati, akupun tak akan bicara!", demikian Kian Po-sia berkata. Suaranya telah berubah menjadi gemetar karena tegang.

   "Karena sampai kini aku baru benar-benar mengerti manusia macam apakah dirimu itu"

   "Manusia macam apakah aku ini?", tanya Cia Siau-hong.

   "Kau jauh lebih tidak berperasaan daripada apa yang dibayangkan oleh orang lain!"

   "Oya?"

   "Bahkan mati hidup diri sendiripun tidak kau pikirkan di hati, tentunya kau lebih-lebih tidak memandang berharga nyawa orang lain"

   "Oya?"

   "Bila kau merasa berkepentingan dengan seseorang, setiap saat kau dapat mengorbankan orang lain, tak perduli siapapun orang tersebut!"

   Tiba-tiba Cia Siau-hong tertawa ujarnya.

   "Oleh sebab itu daripada aku hidup terus di dunia, lebih baik aku mati saja"

   "Aku tidak ingin menyaksikan kau mati, aku tak ingin menyebutkan namanya, karena aku melindungi keselamatan orang itu"

   "Untuk melindungi keselamatannya?", Cia Siau-hong mengulangi dengan tidak habis mengerti.

   "Aku tahu kalau dia pasti akan menolongmu, tapi jika kau tidak mati, maka dia pasti akan mati di tanganmu!"

   "Kenapa?"

   "Sebab bila kalian berdua saling bertemu muka, maka salah seorang di antaranya harus mati di ujung pedang lawan, tentu saja orang yang bakal mampus tak mungkin adalah kau!"

   Pelan-pelan ia melanjutkan.

   "Karena aku tahu di dalam keadaan macam apapun kau tak akan mengaku kalah, sebab selama Sam-sauya dari keluarga Cia masih hidup, dia tak akan kalah di ujung pedang orang lain!"

   Cia Siau-hong termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian plan-pelan dia mengangguk.

   "Perkataanmu memang betul, aku lebih baik mati sebab tak nanti aku akan membiarkan diriku kalah di ujung pedang orang lain"

   Sambil memandang ke tempat kejauhan, dia menghembuskan napas panjang, seraya tambahnya.

   "Karena aku adalah Cia Siau-hong!"

   Kemungkinan besar perkataannya itu adalah perkataannya yang terakhir karena sekarang kemungkinan sekali adalah hari terakhir baginya untuk hidup di dunia ini.

   Setiap saat setiap waktu kemungkinan sekali dia akan roboh terkapar di atas tanah.

   Sebab sehabis mengucapkan perkataan itu, tanpa berpaling lagi ia telah pergi meninggalkan tempat itu.

   Walaupun dia tahu dengan jelas, dengan kepergiannya itu, maka tak akan ditemui lagi kesempatan baik yang bisa memberikan kehidupan lebih lanjut baginya.

   Tapi dia tidak memaksa, lebih-lebih tidak merengek.

   Seperti juga ia sedang menggapai-gapai tangannya menghantar kepergian sang senja, tidak terasa sedih, pun tidak merasa berat hati.

   Karena meski ia tak dapat dikalahkan, ia bisa mati.

   Malam semakin kelam, kabut makin tebal menyelimuti seluruh permukaan tanah.

   Dengan termangu-mangu Kian Po-sia menyaksikan bayangan punggungnya yang kurus dan letih itu lambat laun lenyap di balik kegelapan malam yang mencekam.

   Ternyata ia tidak berpaling untuk memandang sekejap lagi kepadanya.

   Seseorang yang terhadap diri sendiripun dapat begitu tak berperasaan, apa lagi terhadap orang lain? Kian Po-sia mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, kemudian sambil mengertak gigi, katanya.

   "Aku tak dapat bicara, aku tak boleh memberitahukan kepadanya........"

   Ucapan tersebut amat tegas dan teguh, tapi tubuhnya telah menerjang ke muka sambil berteriak keras.

   "Cia Siau-hong, harap tunggulah aku sebentar!"

   Dari balik kegelapan malam yang diliputi kabut, tak nampak sesosok manusiapun, tak terdengar pula suara jawaban.

   Tiada hentinya ia berlarian ke depan, berteriak, hingga ia merasa hampir roboh ke tanah.

   Tanah lumpur itu becek dan lembab, membawa rasa asin seperti air mata.......

   Tiba-tiba ia menjumpai sepasang kaki manusia, berdiri tetap di depan matanya.

   Cia Siau-hong berdiri tegak dihadapannya menundukkan kepala dan sedang menatap wajahnya.

   Kian Po-sia tidak bangkit berdiri, dia berkata dengan air mata bercucuran.

   "Aku tak dapat bicara, karena jika kukatakan kepadamu, maka berarti aku telah berbuat salah kepadanya!"

   "Aku mengerti!"

   "Tapi jika tidak kukatakan kepadamu, berarti aku telah berbuat salah kepadamu!"

   Ia tak bisa menyaksikan Cia Siau-hong mati lantaran dirinya, ia tak bisa berpeluk tangan belaka membiarkan dia mati tanpa ditolong.

   Bukan saja tindakan ini telah melanggar liangsim-nya, berarti dia mengingkari pula nasehat yang tak pernah dilupakan barang seharipun selama dua puluh tahun belakangan ini.

   Dikarenakan rontaan dan pergulatan hati kecilnya, ia mulai mengejang keras menahan penderitaan, katanya kembali.

   "Untung saja kau berhasil menemukan sebuah cara yang paling baik untuk mengatasi semuanya ini"

   "Apakah caramu itu?"

   "Hanya ada satu cara yang dapat membuat hatiku menjadi tenang, dan hanya satu cara pula yang dapat membuat aku menyimpan rahasia tersebut untuk selamanya!"

   Pisau belatinya tahu-tahu sudah menembus ulu hatinya.

   Cahaya pisau yang lemah dan redup hanya melintas lirih di tengah kabut yang tebal.

   Sebilah pisau belati yang pendek, tipis tapi tajam dengan mata pisau sepanjang tujuh inci telah menembusi ulu hatinya dalam-dalam.

   Seseorang jika mempunyai liangsim biasanya sampai matipun tak sudi melakukan perbuatan yang mengingkari bisikan hatinya.

   Dia masih mempunyai liangsim.

   Kabut masih tebal, air dalam selokan mengalir tenang.

   Beraneka macam bunga tumbuh dengan suburnya di sepanjang tepi sungai.

   Air sungai mengalir tenang di balik kegelapan, kabut tebal menyelimuti sungai bagaikan asap, sungai yang suram, udara yang mendatangkan kemurungan......

   Seorang diri Cia Siau-hong duduk di tepi sungai di antara bebungaan yang tumbuh di sekitar sana.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suara air yang mengalir pelan seakan-akan dengusan napas seseorang yang telah mendekati ajalnya.

   Ia sedang mendengarkan suara air yang mengalir, sedang mendengarkan dengusan napas sendiri.

   Air mengalir itu tak akan berhenti untuk selamanya, tapi napasnya setiap saat kemungkinan sekali bisa berhenti.

   Betapa suram dan sedihnya suasana seperti itu........

   Siapa yang bisa menduga Cia Siau-hong yang termashur namanya bisa duduk seorang diri di tepi sungai untuk menantikan datangnya ajal? Kematian bukan suatu kejadian yang patut disedihkan.

   Yang pantas disedihkan adalah caranya menemui ajal.....

   Ia memilih cara kematian semacam ini lantaran ia sudah terlalu letih, semua kekuatan untuk berjuang dan meronta bagi kehidupannya, kini sudah lenyap tak berbekas.

   Konon bila seseorang sudah mendekati saat-saat kematiannya, maka dia selalu akan terkenang kembali banyak kenangan-kenangan lama yang aneh, persoalan-persoalan yang sebenarnya telah ia lupakan pun seringkali bisa akan terkenang kembali dalam keadaan seperti ini.

   Tapi ia untuk berpikir pun tak berani.

   Sekarang dia hanya ingin mencari seseorang untuk di ajak berbicara entah siapapun itu orangnya.

   Tiba-tiba saja ia merasakan kesepian yang luar biasa.

   Kadangkala kesepian akan dirasakan jauh lebih menyiksa daripada kematian itu sendiri, kalu tidak mana mungkin ada orang di dunia ini yang mati karena kesepian? Angin malam berhembus sepoi-sepoi.

   Di tengah sungai di antara kabut tebal yang menyelimuti angkasa, tiba-tiba melayang datang sebercak sinar cahaya yang lemah dan bergoyang-goyang terhembus angin.

   Itu bukan cahaya lentera, hanya cahaya obor.

   Sebuah sapuan sampan yang kecil sekali berlayar mendekat, sebuah obor kecil memancarkan sinarnya yang redup menyinari seorang kakek yang duduk di ujung perahu, dia telah berambut uban, memaki topi lebar terbuat dari bambu dan baju jas hujan.

   Ketika angin berhembus lewat, terendus bau harum yang segar, tapi membawa kegetiran, entah air teh atau obat yang sedang di masak di atas tungku? Sebuah sampan dan setitik cahaya obor serta seorang kakek yang kesepian.

   Baginya semua kesepian kesenangan perpisahan berkumpul telah dirasakan secara komplit dalam kehidupannya, tapi sekarang kesemuanya sudah lewat tinggal segulung asap tipis.

   Apakah diapun sedang menantikan kematian? Menjumpai kakek tersebut tiba-tiba Cia Siau-hong merasakan suatu sentuhan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Mendadak ia melompat bangun kemudian sambil menggapai teriaknya.

   "Lotiang di atas perahu, dapatkah kau jalankan perahumu datang kemari.......?"

   Kakek itu seakan-akan tidak mendengar teriaknya, tapi terdengar suara jawabannya.

   "Mau apa kau?"

   "Kau duduk termenung seorang diri di ujung perahu, sedang aku duduk termenung seorang diri di atas daratan, kenapa kita berdua tidak duduk bersama sambil bercakap-cakap? Siapa tahu dapat mengusir malam yang gelap dan panjang ini!"

   Kakek itu menjawab tapi diiringi suara ombak yang memecah ke tepian, sampan itu pelan-pelan bergerak mendekati pantai.

   Cia Siau-hong tertawa.

   Dari balik kabut tebal yang dingin dan lembab, tiba-tiba saja dalam hatinya timbul kembali suatu perasaan hangat yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Air di dalam teko kecil di atas tungku sudah mulai mendidih, bau harum yang segar tapi membawa kegetiran itu terendus makin tebal.

   "Air tehkah? Atau obatkah yang sedang kau masak?", tanya Cia Siau-hong tiba-tiba.

   "Air teh!. Air teh yang amat getir!"

   Ia memandang sekejap bunga api yang sedang berkedip-kedip itu, kemudian dengan wajahnya yang tua menunjukkan suatu perubahan sikap yang aneh, pelan-pelan ia melanjutkan.

   "Kau masih muda, mungkin masih belum mengerti untuk merasakan pahit getirnya air teh"

   "Tapi aku sudah tahu harus merasa getir lebih dulu kemudian baru muncul rasa manisnya"

   Kakek itu berpaling memandang ke arahnya dan tiba-tiba tertawa, setiap kerutan di atas wajahnya seakan-akan telah dihiasi semua oleh senyuman tersebut. Kemudian sambil mengangkat teko tembaga itu dia berkata.

   "Baik, minumlah secawan!"

   "Kau sendiri?"

   "Aku tidak minum!"

   "Kenapa?"

   Kakek itu memicingkan matanya kemudian menjawab.

   "Sebab pahit getirnya kehidupan yang beraneka macam di dunia ini telah kurasakan semua!"

   Sesungguhnya kata-kata tersebut adalah suatu kata-kata kesedihan namun sewaktu diucapkan keluar dari mulutnya ternyata membawa suatu perasaan yang lain daripada yang lain.

   "Kalau toh kau tidak ingin meminumnya, kenapa harus memasak air teh.....?, tanya Cia Siau-hong.

   "Orang yang membuat air teh belum tentu harus meminumnya"

   Matanya yang sipit seakan-akan kerdipan cahaya api, pelan-pelan ia melanjutkan.

   "Banyak kejadian di dunia ini adalah demikian, kau masih muda tentu saja belum kau pahami halhal semacam itu"

   Cia Siau-hong menyambut cawan yang berisi teh getir itu, hampir saja ia tak tahan ingin tertawa terbahak-bahak.

   Dia tidak tertawa, diapun tak ingin mendebat ataupun membantah.

   Dianggap sebagai seorang pemuda oleh orang lain bukan suatu kejadian yang tidak menguntungkan, yang tidak menguntungkan justru adalah pemuda tersebut sudah hampir mati.

   Air teh itu panas sekali, cawan air tehpun kecil sekali, sekali teguk dia telah menghabiskan isinya.

   Entah minum air teh atau arak, ia selalu meneguknya dengan cepat, entah melakukan pekerjaan apapun, dia selalu mengerjakannya pula dengan amat cepat.

   Apakah kesemuanya ini dikarenakan ia sudah merasa kalau jiwanya juga akan berakhir dengan cepatnya pula? Akhirnya ia tak tahan juga untuk tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba ujarnya.

   "Ada sepatah kata, bila kuucapkan nanti kau pasti akan merasa sangat terkejut"

   Kakek itu memandang ke arahnya dengan senyum penuh ejekan, ia sedang menunggu Siau-hong melanjutkan kata-katanya.

   "Aku sudah merupakan seorang manusia yang hampir mati!", kata Cia Siau-hong. Kakek itu sama sekali tidak terkejut, paling tidak rasa kaget barang sedikitpun juga tidak diperlihatkan di atas wajahnya.

   "Aku berbicara sesungguhnya", kata Cia Siau-hong lagi.

   "Aku dapat melihatnya", jawab kakek itu.

   "Kau tidak bermaksud untuk mengusirku turun dari sampan ini?"

   Kakek itu menggeleng.

   "Tapi setiap saat aku bisa mati di sini, mati tepat di hadapan mukamu!", seru Cia Siau-hong lebih jauh.

   "Akupun sudah pernah bertemu dengan orang yang mati"

   "Jika aku adalah kau, aku pasti tak ingin membiarkan seorang manusia asing untuk mati di atas perahuku"

   "Aku bukan kau, dan kaupun bukan aku, kau tak akan mati di atas sampanku"

   "Kenapa?"

   "Sebab kau telah berjumpa denganku!"

   "Setelah berjumpa denganmu, apakah aku tak akan mati?"

   "Benar!"

   Suaranya tetap dingin dan hambar, tapi nada ucapannya amat meyakinkan.

   "Setelah berjumpa denganku, sekalipun ingin mati juga tak akan berhasil....."

   "Kenapa?"

   "Karena akupun tak ingin membiarkan seorang asing mati di atas perahuku ini!"

   Cia Siau-hong segera tertawa.

   "Kau anggap aku tak sanggup menyelamatkan dirimu........?", tanya kakek tersebut.

   "Kau hanya melihat lukaku, tidak melihat racun yang bersarang di tubuhku, maka dari itu kau baru menganggap kau bisa menolong jiwaku"

   "Oya?"

   "Walaupun lukaku hanya berada di kulit depan, tapi racunnya sudah merasuk ke dalam tulang"

   "Oya?"

   "Tak seorangpun dapat memunahkan racun yang bersarang di tubuhku ini........!"

   "Seorangpun tak ada?", kakek itu bertanya.

   "Mungkin masih ada seorang lagi!"

   Cia Siau-hong menepuk bajunya dan bangkit berdiri, pelan-pelan sambungnya lebih jauh.

   "Tapi yang pasti orang itu tak mungkin adalah kau!"

   "Sebab itu kau hendak pergi?"

   "Ya, terpaksa aku harus pergi!"

   "Kau tak akan berhasil pergi meninggalkan tempat ini!"

   "Apakah setelah berjumpa denganmu, maka untuk pergi dari sinipun tak mungkin?"

   "Tak mungkin"

   "Kenapa?"

   "Sebab kau telah meneguk secawan air teh getir milikku!"

   "Apakah kau hendak menyuruh aku untuk mengganti air teh tersebut?"

   "Kau tak akan mampu untuk membayarnya"

   Cia Siau-hong kembali ingin tertawa, namun ia tak mampu mentertawakannya. Tiba-tiba ia merasa jari tangan serta pangkal kakinya sudah mulai menjadi kaku, bahkan lambat laun mulai merambat semakin ke atas.

   "Tahukah kau air teh macam apakah yang telah kau minum tadi?", tanya si kakek. Cia Siau-hong menggeleng.

   "Itulah bubuk Ngo-mo-san!", kakek itu menerangkan.

   "Bubuk Ngo-mo-san?"

   "Resep obat ini merupakan resep rahasia dari Hoa To, setelah kematiannya resep ini sudah banyak tahun lenyap dari dunia pertabiban"

   Pelan-pelan ia melanjutkan kembali.

   "Tapi ada seseorang ternyata bertekad untuk menemukan kembali resep yang sangat rahasia itu, ia telah membuang waktu selama tujuh belas tahun untuk merasakan setiap macam rumput obat yang dijumpainya di seluruh kolong langit, bahkan tidak sayangnya untuk mempergunakan isteri dan puterinya sebagai bahan percobaan!"

   "Ia berhasil?"

   Kakek itu mengangguk dengan pelan.

   "Ya, dia memang berhasil, tapi sepasang mata putrinya telah menjadi buta, sedangkan istrinya juga sudah mulai menjadi gila"

   Dengan terkejut Cia Siau-hong memandang ke arahnya, kemudian bertanya pelan.

   "Orang itu apakah kau?"

   "Orang itu bukan aku, cuma sebelum ia terjun ke sungai, resep rahasia ini telah diwariskan kepadaku"

   "Jadi dia telah melompat ke dalam sungai?"

   "Istrinya, putrinya menderita menjadi begitu rupa karena ulah dan perbuatannya, jika kau mengalami keadaan yang sama, maka kaupun akan terjun pula ke sungai"

   Dengan dingin ia menanti datangnya jawaban Cia Siau-hong sekejap, lalu lanjutnya.

   "Secawan air teh semacam ini, sanggupkah kau untuk membayarnya?"

   "Aku tidak sanggup!"

   Setelah tertawa getir, katanya kembali.

   "Cuma seandainya aku tahu kalau air teh ini adalah air teh macam begitu, aku tak akan meneguknya sampai habis"

   "Sayang kau telah meneguknya sampai habis!"

   Cia Siau-hong tertawa getir.

   "Oleh sebab itu", kata si kakek lebih lanjut.

   "saat ini ke empat anggota badanmu tentu sudah mulai menjadi kaku, sekalipun ku iris kulit tubuhmu, kau juga tak akan merasakan sakit"

   "Kemudian?"

   Kakek itu tidak menjawab, tapi pelan-pelan mengeluarkan sebuah kotak kulit yang berwarna hitam.

   Kotak kulit itu gepeng tapi datar, meskipun sudah kuno tapi lantaran seringkali tergosok oleh tangan sehingga memantulkan semacam cahaya yang sangat aneh.

   Pelan-pelan kakek itu membuka kotak kulit tersebut, dari dalam kota segera memancar keluar semacam cahaya tajam yang berwarna hijau muda.....

   Itulah sinar tajam dari mata pisau.

   Tiga belas bilah pisau kecil.

   Tiga belas macam pisau yang berbentuk aneh dan istimewa, ada yang berbentuk kaitan, ada yang berbentuk bergerigi, ada pula yang berbentuk sempit lagi panjang, ada pula yang berbentuk melengkung.

   Hanya ada satu persamaan dari ke tiga belas macam pisau tersebut.....mata pisaunya tipis sekali, tipis tapi tajam.

   Kakek itu menatap mata pisau dari ke tiga belas bilah pisau tersebut tajam-tajam, sinar matanya yang redup dan tua tiba-tiba memancarkan sinar yang jauh lebih tajam daripada mata pisau, katanya lebih jauh.

   "Kemudian aku akan mempergunakan benda-benda itu untuk menghadapimu"

   Ia berhenti sejenak, lalu terusnya.

   "Menggunakan ke tiga belas bilah pisau ini!"

   Cia Siau-hong telah duduk kembali.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Rasa kaku yang menakutkan itu seakan-akan telah menjalar ke seluruh tubuhnya, hanya sepasang matanya yang masih bisa digunakan untuk memandang.

   Diapun dapat memandang ke tiga belas bilah pisau tersebut.

   Ia tidak bisa tidak harus melihatnya.

   Air sungai mengalir dengan tenangnya, api di dalam tungku sudah mulai menjadi lemah.

   Kakek itu mengambil pisaunya yang sempit dan panjang....sebilah pisau sepanjang sembilan inci dengan lebar tujuh hun.

   "Pertama-tama aku hendak mempergunakan pisau ini untuk memotong daging disekitar tubuhmu" ,kata si kakek.

   "memotong daging-daging yang sudah mulai membusuk itu"

   "Kemudian?"

   "Kemudian aku akan menghadapimu dengan pisau yang ini!"

   Kakek itu memperlihatkan pisau yang berbentuk kaitan tersebut.

   "Kugunakan pisau ini untuk membelah daging dalam kulitmu!"

   "Selanjutnya?"

   "Kemudian kugunakan pisau ini untuk membelah tulang tubuhmu", ujar kakek itu sambil memperlihatkan pisau yang lain.

   "akan kukorek keluar semua racun yang berada dalam tulangmu, sampai seakar-akarnya......"

   Sekalipun ada orang ingin merobek kulitnya, memotong dagingnya dan mengorek-ngorek tulangnya, ternyata Cia Siau-hong tetap tenang, bahkan matanya berkedip pun tidak. Kakek itu memandang ke arahnya, lalu berkata lagi.

   "Tapi aku jamin pada saat itu kau tak akan merasakan kesakitan, sedikitpun tidak!"

   "Oleh sebab aku telah minum secawan bubuk Ngo-mo-san tersebut?", tanya Cia Siau-hong.

   "Benar, di sinilah kegunaan dari bubuk Ngo-mo-san itu!"

   "Hanya dengan cara ini saja racun dalam tubuhku baru dapat dipunahkan......?"

   "Sampai detik ini, agaknya cuma ada sebuah cara ini saja"

   "Kau sudah tahu kalau aku terkena racun ini, maka kau telah mempersiapkan pula cara tersebut?"

   "Benar!"

   "Darimana kau bisa tahu?"

   "Karena selama ini aku selalu menguntit dirimu!"

   "Kenapa?"

   "Sebab aku hendak menggunakan selembar nyawamu untuk ditukar dengan selembar nyawa yang lain"

   "Bagaimana caranya tukar itu dilangsungkan?"

   "Aku hendak menyuruh kau untuk membantuku membunuh seseorang"

   "Siapa yang harus kubunuh?"

   "Seseorang yang gemar membunuh orang!"

   "Siapa? Siapa saja yang telah dibunuhnya?"

   "Ada yang seharusnya pantas dibunuh, ada pula yang seharusnya tidak pantas untuk dibunuh!"

   "Oleh karena itu dia harus dibunuh?"

   "Orang yang tidak seharusnya dibunuh, aku tidak akan suruh kau untuk pergi membunuhnya, kaupun tak akan pergi membunuhnya!"

   Suatu sorot mata yang sangat aneh memancar keluar dari balik matanya, ia melanjutkan.

   "Kujamin setelah kau bunuh dirinya, kau tak akan merasa menyesal"

   Cia Siau-hong tidak berbicara lagi. Tiba-tiba ia merasakan kaku yang menakutkan itu sudah menjalar ke otaknya, menjalar ke dalam hatinya. Ia masih sempat mendengar kakek itu bertanya.

   "Kau ingin mati atau tidak?"

   Diapun masih sempat mendengar suara jawaban sendiri.

   "Aku tak ingin!"

   Suara terakhir yang terdengar olehnya adalah semacam suara ketika pisau yang tajam sedang mengorek tulang tubuh.

   Tentu saja tulang tubuhnya sendiri.

   Tapi sedikitpun ia tidak merasakan sakit.

   Fajar telah menyingsing.

   Cahaya matahari memancarkan sinarnya menerangi seantero jagad.

   Hari mulai gelap.

   Rembulan telah muncul di angkasa, bintang bertaburan di mana-mana.

   Entah hari gelap atau fajar baru menyingsing dalam kehidupan manusia tentu terdapat lembaran yang paling indah, jika seseorang masih bisa hidup, kenapa harus mati? Cia Siau-hong tidak mati! Ketika perasaan pertama muncul kembali dalam tubuhnya, ia merasa ada sepasang tangan sedang menguruti ulu hatinya dengan pelan.

   Sepasang tangan itu amat mantap, terlatih dan kasar penuh bertenaga.

   Kemudian ia mendengar detak jantungnya berbunyi amat lirih dan lemah, lambat laun menjadi mantap dan tenang.

   Dia tahu sepasang tangan itulah yang telah menyelamatkan jiwanya.

   Si kakek sedang memandang ke arahnya, sepasang mata yang tua lemah dan letih telah berubah menjadi terang dan jeli sekali, seakan-akan cahaya bintang yang berkedip di tengah kegelapan malam.

   Tiba-tiba ia merasakan bahwa kakek ini jauh lebih muda dari usianya daripada apa yang dibayangkan semula.

   Akhirnya kakek itu menghembuskan napas panjang.

   "Sekarang kau sudah dapat hidup lebih jauh", katanya.

   "tulang belulangmu sekarang telah berubah menjadi bersih dan segar bagaikan jagung yang baru dipetik dari ladang!"

   Cia Siau-hong tidak membuka suara.

   Tiba-tiba saja ia teringat dengan perkataan dari Kian Po-sia.

   ......Dalam dunia dewasa ini hanya ada seorang yang bisa menyelamatkan dirimu.

   ......Tapi jika ia menolongmu, maka dia pasti akan mati di ujung pedangmu.

   ~Bersambung ke Jilid-19 Jilid-19 Kian Po-sia tentu salah besar sekali.

   Ia tidak mempunyai alasan apapun untuk membunuh kakek ini, sekalipun punya alasan yang kuat, diapun tak akan turun tangan.

   Yang dimaksudkan Kian Po-sia tentu orang lain, mungkin juga ia sama sekali tidak tahu kalau di dunia ini masih terdapat seorang kakek semacam ini, lebih-lebih tak tahu kalau resep rahasia dari Hoa To telah diwariskan kepadanya.

   Cia Siau-hong menghembuskan napas panjang, ia merasa puas sekali terhadap penjelasan yang diperolehnya itu.

   "Ada semacam orang yang agaknya semenjak dilahirkan sudah jauh lebih beruntung daripada orang lain, bahkan Thian (Tuhan) lah yang selalu melindunginya secara khusus dan istimewa", kata kakek itu. Kemudian setelah menatap wajah Cia Siau-hong, dia melanjutkan.

   "Kau adalah manusia macam begitu, kesembuhan yang kau alami jauh lebih cepat daripada apa yang kuduga semula"

   Cia Siau-hong tak dapat menyangkal akan kebenaran ucapan tersebut, siapapun tak dapat menyangkalnya, karena kekuatan tubuhnya memang jauh lebih tangguh daripada siapapun juga.

   Ada sementara kejadian bila terjadi pada tubuh orang lain sebagai suatu kejadian aneh, maka setiap saat dapat pula ditemukan pada tubuh sendiri.

   "Asal lewat dua-tiga hari lagi, maka kau akan sembuh kembali seperti sedia-kala!", kata si kakek.

   "Kemudian aku harus membantumu untuk membunuh orang tersebut?"

   "Inilah syaratku untuk menolong selembar nyawamu!"

   "Maka dari itu aku harus pergi?"

   "Ya, harus!"

   Cia Siau-hong segera tertawa getir.

   "Aku pernah membunuh orang, aku sama sekali tak ambil perduli untuk membunuh seorang lebih banyak"

   "Aku tahu!"

   "Tapi orang ini jangankan pernah berjumpa, melihat wajahnya saja belum pernah"

   "Aku akan mengaturnya agar kau bisa berjumpa dengannya"

   Tiba-tiba kakek itu tertawa, tertawanya amat misterius, sambungnya lebih jauh.

   "Asal kau telah berjumpa dengannya, kaupun pasti akan membunuhnya juga!"

   "Kenapa?"

   "Sebab dia pantas mati!"

   Tiba-tiba senyuman di wajahnya lenyap tak berbekas, kesedihan dan rasa dendam yang tak terlukiskan dengan kata-kata segera memancar keluar dari balik matanya.

   "Kau sungguh begitu benci kepadanya?", tanya Cia Siau-hong.

   "Aku membencinya, jauh melebihi dugaan orang lain"

   Ia mengepal tangannya kencang-kencang, kemudian pelan-pelan melanjutkan.

   "Sebab selama hidupku aku telah dicelakai olehnya, kalau bukan lantaran dia, aku pasti akan hidup lebih senang dan bahagia daripada saat ini"

   Cia Siau-hong tidak bertanya lagi. Tiba-tiba iapun terbayang kembali akan kehidupannya selama ini. Bahagiakah kehidupannya selama ini? Ataukah suatu ketidak mujuran? Tak tahan ia bertanya pada diri sendiri.

   "Kehidupanku di dunia ini, mengapa bisa berubah menjadi begini rupa?"

   Ruang perahu itu kecil lagi sempit, tapi daun jendelanya terbuka lebar-lebar. Sinar rembulan memancarkan cahayanya di atas permukaan sungai. Kakek itu memandang sekejap rembulan di luar jendela, kemudian berbisik lirih.

   "Hari ini sudah tanggal tiga belas"

   "Tiga belas?"

   Cia Siau-hong nampak merasa amat terkejut dan tercengang, sebab sampai sekarang dia baru tahu kalau sudah dua hari ia tertidur pulas.

   "Pada malam bulan purnama nanti, kau dapat berjumpa muka dengannya"

   "Ia bakal datang kemari?"

   "Dia tak akan kemari, tapi kau dapat ke sana untuk menjumpainya"

   "Ke sana?"

   Kakek itu menuding ke luar jendela sana sambil menjawab.

   "Lewatilah jalan ini menuju ke depan sana!"

   Sampan itu telah berlabuh di tepi sungai, benar juga di bawah sinar rembulan tampak sebuah jalan setapak yang membentang jauh ke depan sana, sebuah jalan setapak yang ditutup oleh rerumputan.

   "Kau boleh berjalan terus ke depan sana", kata si kakek.

   "tempat itu akan kau jumpai sebuah pohon waru, di luar pohon waru terdapat sebuah rumah makan kecil, tak ada salahnya kau berdiam di situ dan tidurlah baik-baik selama dua hari"

   "Kemudian?"

   "Bila malam tanggal lima belas menjelang tiba, di saat rembulan telah muncul di angkasa, kau boleh menelusuri sebuah jalan setapak di luar warung itu untuk menembusi hutan pohon waru, maka di tempat itulah akan kau jumpai orang yang harus kau bunuh itu"

   "Darimana aku bisa mengenali kalau orang itulah yang harus kubunuh?"

   "Asal kau telah berjumpa dengannya, maka dalam sekilas pandangan saja, orang itu akan segera kau kenali!"

   "Kenapa.....?"

   "Karena diapun sedang menunggu di situ untuk membunuh orang, kau pasti dapat merasakan hawa pembunuhan yang terpancar keluar dari tubuhnya......", kata si kakek. Cia Siau-hong tak dapat menyangkal akan kebenaran dari perkataan itu. Walaupun hawa pembunuhan tak terlihat dengan mata, tak bisa diraba, tapi manusia seperti dia pasti dapat merasakannya. Dan cuma manusia macam dia yang dapat merasakannya.

   "Ketika kau bertemu dengannya nanti, pasti akan ia rasakan pula hawa pembunuhan dari tubuhmu, maka sekalipun kau tidak turun tangan, dia sama saja akan turun tangan untuk membunuhmu!"

   Cia Siau-hong tertawa getir.

   "Agaknya aku sama sekali tidak mempunyai pilihan lain lagi", keluhnya lirih.

   "Ya, kau memang tidak memiliki pilihan lain lagi"

   "Tapi darimana kau bisa tahu kalau dia berada di situ?"

   Pelan-pelan kakek itu menjawab.

   "Sebetulnya kami telah berjanji akan bertemu muka di sana, bila ia tidak mati, maka aku bakal mati di tangannya, di balik kesemuanya itu sudah tiada pilihan lain lagi bagiku"

   Suaranya begitu rendah dan aneh, rasa sedih dan pedih kembali terpancar keluar dari balik matanya. Lewat lama sekali dia baru berkata lagi.

   "Inilah nasib kita semua, siapapun jangan harap bisa meloloskan diri dari kenyataan ini!"

   Cia Siau-hong dapat memahami maksud hatinya.

   Bagi sementara orang takdir mungkin kejam dan mengenaskan, tapi kakek ini tidak mirip manusia semacam itu.

   Apakah dia memiliki kenangan lama yang penuh dengan kesedihan dan duka nestapa? Dulu sebetulnya manusia apakah dia? Sekarang, manusia apa pula dirinya? Cia Siau-hong ingin bertanya, tapi pertanyaan tersebut tak pernah disampaikan.

   Dia tahu kakek ini tak akan mengatakannya keluar, bahkan iapun tidak menanyakan siapa nama kakek tersebut.

   Nama tidak terlalu penting baginya, yang terpenting, kakek ini telah menyelamatkan jiwanya.

   Bagi dirinya, asal hal tersebut telah diketahui, itu sudah lebih dari cukup.

   Kakek tersebut menatap terus wajahnya tajam-tajam, mendadak dia berkata.

   "Sekarang kau boleh pergi dari sini!"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sekarang kau suruh aku pergi?"

   "Ya, sekarang juga kau harus pergi dari sini!"

   "Kenapa?"

   "Karena kontrak kerja di antara kita telah disetujui"

   "Apakah kita tak boleh bersahabat?"

   "Tidak!"

   "Kenapa?"

   "Sebab ada sementara orang yang sejak dilahirkan memang tak boleh punya sahabat"

   "Apakah kau adalah manusia macam itu?"

   "Entah aku adalah manusia semacam itu atau bukan, semuanya adalah sama saja, karena kau adalah manusia macam begitu"

   Cia Siau-hong dapat memahami pula maksud perkataannya itu. Ada semacam orang memang agaknya sejak dilahirkan harus hidup menyendiri, inilah nasib mereka berdua. Pelan-pelan kakek itu melanjutkan.

   "Tak seorang manusiapun dapat merubah nasib sendiri, kalau kau ingin merubahnya, maka akan berakibat suatu ketidak beruntungan"

   Dari balik matanya kembali terpancar keluar sinar mata macam bunga api, katanya lebih jauh.

   "Kau harus ingat baik-baik perkataanku ini, inilah pelajaran yang berhasil kutarik setelah mengalami pelbagai penderitaan dan kesedihan"

   Malam itu tidak mendekati kegelapan total, tapi kegelapan yang berwarna biru tua. Ketika Cia Siau-hong berjalan melewati papan penyeberang yang sempit dan naik ke daratan yang lembab, ia merasakan kakinya masih sangat lemah.

   "Kaupun harus ingat baik-baik", kata si kakek kembali.

   "kau harus tidur senyenyak-nyenyaknya selama dua hari!"

   Nada perkataannya itu seakan-akan penuh mengandung nada kuatir dan perhatian yang tinggi.

   "Sebab orang itu adalah seorang manusia yang tidak mudah dihadapi, kau perlu mengembalikan kembali seluruh tenaga badanmu!"

   Perhatian yang tumbuh dari hati yang tulus ini benar-benar membuat hati seorang gelandangan jadi kecut dan iba. Cia Siau-hong tidak berpaling, tapi tak tahan ia bertanya juga.

   "Apa yang masih kuperlukan?"

   "Kau masih memerlukan sedikit kemujuran dan sebilah pedang, sebilah pedang yang cepat!"

   OoooOOOOoooo Bab 31.

   Takdir Sampan dari kakek itu sudah tak nampak dari pandangan mata.

   Air yang mengalir terasa biru kelam, malam yang pekat pun diliputi warna biru yang gelap.

   Akhirnya Cia Siau-hong berjalan menelusuri jalan setapak yang telah tertutup oleh rumput ilalang itu dan berjalan terus ke depan.

   Apapun sudah tidak dipikirkan lagi olehnya, dia hanya ingin cepat-cepat tiba di rumah makan di luar hutan pohon waru, ingin cepat-cepat melihat bulan purnama muncul di awang-awang.

   Manusia macam apakah yang akan menantinya di luar hutan pohon waru di bawah sinar bulan purnama itu? Apakah ia dapat memperoleh sedikit kemujuran yang dibutuhkan? Serta sebilah pedang yang cepat itu? Ia tidak mempunyai keyakinan.

   Sekalipun dia adalah Cia Siau-hong yang tiada keduanya di dunia ini, ia sama juga tak punya keyakinan.

   Secara lamat-lamat ia sudah mulai merasakan, siapa sesungguhnya orang itu.

   Hanya macan tutul yang bisa melacaki jejak dari seekor macan tutul yang lain.

   Hanya macan tutul yang dapat merasakan tempat persembunyian macan tutul yang lain.

   Karena mereka adalah serumpun, sejenis! Kecuali mereka, di dunia ini tak ada binatang buas lainnya yang dapat melalap mereka.

   Di dunia ini tidak terdapat pula binatang buas macam apapun yang berani mendekati mereka, bahkan kelinci yang gesit dan rase sekalipun.

   Oleh karena itu, mereka seringkali merasa kesepian.

   "Selama hidupku di dunia ini, berapa banyak teman yang kumiliki? Berapa banyak pula teman perempuan yang kupunyai?", Cia Siau-hong sedang bertanya kepada diri sendiri. Tentu saja dia pernah mempunyai teman, juga punya perempuan. Tapi berapa orang temankah yang selalu setia kepadanya? Berapa orang perempuan yang benarbenar menjadi miliknya? Ia teringat kembali akan diri Thi Kay-seng, teringat Kian Po-sia, teringat Lo Biau-cu. Diapun teringat si Boneka dan Buyung Ciu-ti. Adakah orang lain yang berbuat salah kepadanya? Ataukah ia yang telah berbuat kesalahan terhadap orang lain? Ia tak berani berpikir lagi. Hatinya begitu sakit sehingga air pahitpun meleleh keluar dari mulutnya. Kembali ia bertanya kepada diri sendiri.

   "Selama hidupku ini berapa banyak pula musuh besar yang kumiliki?"

   Jawabnya kali ini ternyata jauh lebih meyakinkan lagi.

   Ada orang takut kepadanya, hampir tidak berdasarkan alasan lain, mereka takut karena dia adalah Cia Siau-hong.

   Orang yang membencinya juga tidak sedikit, tapi selamanya dia tak pernah ambil perduli.

   Mungkin dia hanya memperdulikan seseorang.

   Orang ini selamanya menciptakan sesosok bayangan kabur yang tak pernah membuyar dalam hatinya.

   Ia selalu berharap bisa berjumpa dengan orang ini, orang itupun pasti berharap pula dapat berjumpa dengannya.

   Ia tahu cepat atau lambat, suatu hari mereka pasti dapat saling berjumpa muka.

   Bila di dunia ini telah muncul seorang Cia Siau-hong dan seorang Yan Cap-sa, maka cepat atau lambat, mereka pasti akan saling berjumpa muka.

   Jika mereka telah bertemu, maka darah dari tubuh seorang di antaranya pasti akan menodai pula ujung pedang seorang yang lain.

   Inilah takdir untuk mereka berdua.

   Agaknya hari seperti itu sudah kian mendekati dirinya.

   Hutan pohon waru terbentang sangat luas.

   Betul juga, di luar hutan terdapat sebuah rumah penginapan kecil merangkap warung penjual arak.

   Orang yang sedang berpergian biasanya merasa kesepian, bila kesepian sudah mulai menyelimuti para pelancong, mereka pasti akan membeli arak untuk menghilangkan kesepian, sebab itu di rumah penginapan besar atau kecil selalu tersedia arak.

   Di dunia ini masih terdapat benda apa lagi yang bisa menangkan arak untuk menghilangkan kesepian? Pemilik rumah penginapan itu adalah seorang kakek yang gemuk lagi lamban, namun memiliki seorang bini yang masih muda, matanya besar tapi sayu itu selalu memancarkan kemurungan dan keletihan yang luar biasa................

   Sebelum atau setelah senja, istri mudanya selalu akan duduk di belakang meja kasir sambil termangu-mangu, ia selalu mengawasi jalanan di luar seolah-olah sedang menantikan tibanya sang pangeran berkuda putih yang akan membawanya melepaskan diri dari penghidupan yang serba kaku dan membosankan.

   Penghidupan semacam ini sebenarnya tidak sesuai bagi orang-orang muda yang bergairah kerja dan bertenaga besar, tapi di situ justru terdapat dua orang pelayan yang masih muda dan memiliki gairah kerja yang amat besar.

   Mereka memelihara rumah penginapan itu seperti seorang ibu yang merawat anaknya, penuh tanggung jawab, disiplin dan kasih sayang tanpa mengharapkan balas jasa, pun tidak mengharapkan bayaran yang tinggi.

   Setiap kali sorot mata mereka memandang ke arah nyonya mudanya, sorot mata mereka segera akan memancarkan kehangatan serta gairah seks yang meluap-luap.

   Mungkin dikarenakan kegenitan dan kecantikan sang nyonya mudalah yang menyebabkan mereka betah untuk tetap tinggal di sana.

   Dengan cepatnya Cia Siau-hong dapat membuktikan akan hal tersebut.

   Tiba-tiba ia menemukan bahwa di balik sepasang matanya yang besar dan bimbang, terselip pula suatu daya pesona, suatu daya rangsang yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Pada senja hari itu juga, sejak dia tiba di rumah penginapan tersebut dan berdiam di sana, ia telah menjumpai akan hal tersebut.

   Tentu saja ia masih menemukan pula hal-hal lainnya.

   Senja itu, ia dengan membawa empat macam sayur dan semangkuk bubur panas menghantarkan sendiri hidangan tersebut ke dalam kamar Cia Siau-hong.

   Di hari-hari biasa, ia tak pernah melakukan pekerjaan semacam itu, entah mengapa, ternyata hari ini dia telah melanggar kebiasaannya itu.

   Cia Siau-hong memperhatikannya meletakkan semacam demi semacam nasi dan sayur itu ke atas meja.

   Sekalipun sepanjang tahun ia selalu duduk di belakang meja kasir, pinggangnya masih begitu ramping dan halus, baju yang lembut tampak mengetat pada bagian pinggang ke bawa, membuat setiap lekukan tubuhnya yang sensitif terpampang jelas di depan mata Cia Siau-hong, bahkan bagian yang paling rahasia dari tubuh seorang perempuan pun tak terkecuali.

   Punggungnya menghadap ke arah Cia Siau-hong, agaknya sengaja dia hendak memamerkan hal tersebut kepadanya.

   Sengajakah ia berbuat demikian? Ataukah tanpa sengaja? Perduli bagaimanapun juga, jantung Cia Siau-hong mulai berdebar keras, bahkan keras sekali.

   Ia sudah terlalu lama tak pernah mendekati perempuan, terutama perempuan seperti ini.

   Pada mulanya dia tidak begitu memperhatikan, sampai sekarangpun ia masih belum terlalu mempercayainya.

   Tapi perempuan yang sederhana, agak lamban dan bahkan sedikit kerdil ini betul-betul seorang perempuan tulen, setiap bagian tubuhnya seakan-akan memancarkan semacam daya tarik yang amat merangsang menimbulkan daya pesona dan nafsu birahi yang panas di hati setiap orang.

   Ia masih teringat ketika suaminya memanggil perempuan itu dengan namanya, dia memanggilnya dengan panggilan.

   "Cing-cing!"

   Sesungguhnya Cing-cing (si hijau)? Atau Cing-cing (si merah)? Bila membayangkan tubuh si kakek yang gembrot dan lamban itu menindih di atas tubuhnya yang masih muda dan montok sambil tiada hentinya mengucapkan kata "Cing-cing" (sayang, sayang), tiba-tiba timbul suatu perasaan tak sedap di hati Cia Siau-hong.

   Entah sedari kapan, ia telah berpaling dengan sepasang matanya yang besar dan sayu sedang menatapnya tak berkedip.

   Cia Siau-hong sudah tidak terhitung seorang anak kecil lagi, ia sama sekali tidak berusaha untuk menghindari tatapan matanya.

   Lelaki semacam dia, biasanya tak dapat menyembunyikan kobaran birahinya terhadap perempuan lain.

   Ia hanya tertawa hambar sambil berkata.

   "Lain kali apabila kau hendak mendatangi kamar tamu lebih baik kenakanlah pakaian yang agak tebal!"

   Cing-cing tidak tertawa, wajahnyapun tidak berubah menjadi merah. Sinar matanya pelan-pelan beralih ke bawah dan akhirnya berhenti pada bagian tubuh Siau-hong yang sudah mulai terjadi perubahan itu, tiba-tiba katanya.

   "Kau bukan orang baik!"

   "Sesungguhnya aku memang bukan!", jawab Cia Siau-hong sambil tertawa getir.

   "Kau sesungguhnya tak ingin menyuruh aku untuk tukar pakaian yang lebih tebal, kau hanya ingin menanggalkan semua pakaian yang kukenakan sekarang!"

   Ia betul-betul seorang perempuan yang luar biasa, tapi apa yang dikatakan justru merupakan ucapan yang tak dapat disangkal.

   "Walaupun dalam hatimu berpikir demikian, di mulut kau tak berani berbicara", kata Cing-cing.

   "karena aku adalah bini orang lain!"

   "Apakah kau bukan?"

   "Aku adalah bini orang lain atau tidak, bagiku adalah sama saja"

   "Sama saja?"

   "Ya, sebab tujuanku hanya untuk memancing kedatanganmu kemari!", jawab Cing-cing. Mendengar perkataan itu, Cia Siau-hong hanya tertegun.

   "Karena kau bukan orang baik, tampangmu cukup ganteng, karena kaupun tampaknya tidak amat miskin, sebaliknya aku sangat membutuhkan yang untuk digunakan, terpaksa aku harus menggunakan cara ini untuk mencari keuntungan, kalau bukan menggaet kau lantas musti menggaet siapa?"

   Cia Siau-hong tertawa, namun tak mampu tertawa.

   Dulu diapun pernah mendengar seorang perempuan berbicara dengan kata-kata semacam itu, tapi tak pernah ia jumpai seorang perempuan bisa mengucapkan kata-kata tersebut dengan sikap demikian.

   Sikapnya begitu serius dan bersungguh-sungguh seperti seorang pedagang jujur yang sedang mengadakan suatu transaksi secara jujur pula.

   "Suamiku mengetahui juga tentang hal ini", kata Cing-cing.

   "uang yang berhasil diperolehnya tak cukup untuk memelihara seorang manusiapun, terpaksa aku harus mempergunakan cara ini untuk mencari keuntungan, bahkan dua orang pelayan muda itupun tak perlu diberi upah, aku menggunakan cara ini pula untuk membayar upah mereka!"

   Jika perempuan lain yang berbicara dengan memperlihatkan sikap seperti itu, maka orang pasti akan merasa muak sekali.

   Tapi perempuan ini lain daripada yang lain.

   Sebab semenjak dilahirkan, dia memang sudah perempuan semacam itu, seakan-akan memang telah ditakdirkan untuk melakukan pekerjaan semacam ini.

   Seperti pula daging babi tetap daging babi, entah dengan cara apapun untuk memasak daging babi tersebut, sama saja tetap akan membikin orang yang sedang lapar meneteskan air liurnya.

   Akhirnya Cia Siau-hong tertawa pula.

   Bila dalam keadaan begini seorang lelaki sudah tertawa, biasanya ini pertanda kalau transaksi dagang telah tercapai kata sepakat.

   Tiba-tiba Cing-cing maju ke depan dan menindih tubuhnya dengan badannya yang montok dan panas penuh daya rangsang itu, pinggangnya yang ramping mulai bergesek-gesek mengikuti irama gesek yang teratur.

   Tapi ketika Cia Siau-hong hendak memeluknya, ternyata ia menghindar kembali dengan suatu gerakan yang gesit.

   Sekarang dia tak lebih hanya memperlihatkan contohnya saja sembari berpesan.

   "Malam nanti aku akan datang kembali, buka pintumu dan padamkan lampu lentera dalam kamarmu!"

   Malam sudah larut.

   Cia Siau-hong telah memadamkan lampu lentera di kamarnya.

   Tubuhnya seakan-akan masih membawa bau harum semerbak yang ditinggalkan dari tubuh Cingcing, namun hati kecilnya sedikitpun tidak merasa berdosa atau bersalah.

   Sebetulnya dia memang bukan seorang manusia biasa, pandangannya terhadap setiap persoalanpun biasanya jauh berbeda bila dibandingkan dengan orang lain.

   Apalagi transaksi macam itu adalah suatu transaksi yang kuno dan jujur.

   Perempuan itu butuh biaya untuk hidup.

   Kebetulan diapun butuh perempuan untuk menghibur hatinya.

   Sebagian besar orang persilatan beranggapan bahwa sebelum suatu pertarungan dilangsungkan, mereka harus pantang mendekati perempuan......

   Bermain perempuan selalu hanya menghilangkan tenaga dan semangat orang saja.

   Tapi cara berpikir Cia Siau-hong ternyata jauh berbeda daripada cara berpikir orang lain.

   Ia beranggapan bahwa pekerjaan tersebut bukan suatu kerugian melainkan suatu penyesuaian.

   Arak tak boleh di minum bersama air, tapi arak Li-tin yang berusia tua, harus diberi air agar tersiar bau harumnya yang semerbak.

   Keadaannyapun sekarang sama.

   Kemungkinan besar pertarungannya kali ini adalah pertarungannya yang terakhir.

   Musuh yang menjadi tandingannya dalam pertarungan ini besar kemungkinan adalah musuh yang paling tangguh yang pernah dijumpainya selama ini.....

   Karena itu sebelum pertarungan dilangsungkan, dia harus membuat semua ketegangan otot dan pikirannya mengendor kembali.

   Hanya perempuan yang dapat memberikan semuanya itu kepadanya.

   Dia adalah Cia Siau-hong.

   Cia Siau-hong tak boleh kalah! Oleh sebab itu asal perbuatannya demi meraih kemenangan, apapun yang harus dilakukan akan dikerjakannya tanpa ragu.

   Jendelapun berada dalam keadaan tertutup.

   Kertas jendela mana tebal, kasar lagi, sehingga sinar rembulanpun tak dapat menyinari ruangan itu.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bulan purnama tapi suasana dalam kamar gelap-gulita.

   Seorang diri Cia Siau-hong berbaring tenang dalam kegelapan.

   Ia sedang menunggu.

   Ia tidak menunggu terlalu lama.

   Pintu pelan-pelan dibuka orang, sinar rembulan ikut menyorot ke dalam.

   Sesosok bayangan manusia yang ramping dengan mengenakan jubah yang lebar melintas lewat di balik sinar rembulan dan pintu segera di tutup kembali.

   Bayangan manusiapun segera tertelan dibalik kegelapan tersebut.

   Cia Siau-hong tidak bersuara, si diapun tidak.

   Malam itu amat hening, bahkan suara langkah kakinya juga tak kedengaran, agaknya ia tidak bersepatu, masuk ke dalam ruangan dengan kaki telanjang.

   Tapi Cia Siau-hong dapat merasakan kalau perempuan itu makin lama makin mendekati pembaringan, iapun merasakan pula jubah yang lebar itu sedang terlepas dari atas tubuhnya yang bugil.

   Ia berani bertaruh, di balik jubahnya yang lebar itu pasti tidak terdapat sehelai benangpun.

   Dia bukanlah perempuan yang suka memberikan kerepotan buat orang lain, diapun tak suka merepotkan diri sendiri.

   Tubuhnya hangat, empuk lembut, ramping tapi montok dan padat berisi.

   Mereka belum juga mengucapkan sepatah katapun.

   Pembicaraan yang bertele-tele dalam keadaan seperti ini hanya suatu tindakan yang berlebihan.

   Mereka menggunakan cara yang paling kuno dan paling lama sejarahnya bagi umat manusia untuk saling melahap.

   Kehangatan dan kegairahan seks-nya, ternyata jauh di luar dugaannya semula.

   Ia suka dengan kehangatan serta kegairahan seks yang meluap-luap seperti ini, meskipun dia telah tahu kalau dia bukanlah perempuan yang bernama "Cing-cing"

   Itu.

   Dia bukanlah perempuan itu.

   Lalu siapakah dia? Tapi dia benar-benar seorang perempuan, seorang perempuan tulen, perempuan dari antara perempuan.

   Siapakah dia? 'Bekerja' di atas pembaringan selalu akan menimbulkan suatu denyitan yang menjemukan pendengarannya, maka merekapun mengalihkan 'pekerjaan' mereka ke atas lantai.

   Lantai yang dingin dan atos, tak akan menimbulkan suara apa-apa.

   Apa yang kemudian diterima ternyata jauh dari dugaannya, tapi apa yang harus di bayar pun jauh di luar dugaan.

   Ia sedang tersengal-sengal karena hajadnya telah terlampiaskan.

   Saat dengusan napas itu telah berhenti, kembali ia menghela napas panjang.

   "Rupanya kau!"

   Pelan-pelan perempuan itu bangun berduduk, suaranya mengandung nada ejekan yang aneh dan istimewa, entah tertuju kepadanya? Atau terhadap diri sendiri? "Ya, memang aku!", dia menjawab.

   "aku tahu bahkan mimpipun kau tak akan mengira kalau aku yang bakal kemari!"

   OoooOOOOoooo Bab 32.

   Pedang Yan Cap-sa Rembulan sudah hampir purnama.

   Ia membuka daun jendela.

   Di tepi jendela, rambutnya yang hitam terurai di atas bahunya yang bugil.

   Di bawah sorot sinar rembulan, ia mirip sekali dengan seorang gadis muda yang baru mengenal cinta.

   Tentu saja ia sudah bukan seorang gadis muda lagi.

   "Aku tahu kau pasti membutuhkan hiburan seorang perempuan, setiap kali kau berada dalam keadaan tegang, kau pasti akan melakukan perbuatan tersebut"

   Perempuan itu memang selalu dapat memahami dirinya.

   "Tapi aku tahu kau pasti tak akan maui diriku", pelan-pelan ia menghela napas.

   "kecuali aku, perempuan macam apapun tak akan kau tampik, tapi kau pasti akan menampik diriku!"

   "Oleh karena itu kau baru berbuat demikian!"

   "Hanya dengan cara ini, aku baru dapat membuat kau maui diriku!"

   "Karena apa kau berbuat begini?"

   "Karena aku masih menyukai dirimu!"

   Dia berpaling dan menatap Cia Siau-hong, kejelian matanya lebih bening dari sinar rembulan, lebih lembut dan halus.

   Perkataan yang diucapkan perempuan itu adalah kata-kata yang jujur, iapun mempercayainya.

   Kedua belah pihak memang terlalu memahami jalan pemikiran lawannya, di antara mereka berdua memang tiada keharusan untuk berbohong.

   Mungkin dikarenakan alasan inilah maka dia mencintainya, maka dia menginginkan dia mati.

   Karena dia adalah Buyung Ciu-ti, tapi bukan bunga di tengah hembusan anggun musim gugur, sebaliknya adalah bunga sakura di tengah salju atau bunga Ing-lip yang keras, beracun dan lagi banyak durinya.

   Duri yang lebih tajam dari jarumnya kalajengking.

   "Kau dapat melihat kalau aku sedang tegang?", tanya Cia Siau-hong.

   "Aku tak dapat melihatnya, tapi aku tahu jika kau tidak merasa tegang, tak akan kau tertarik oleh perempuan dengan mata yang mirip mata ikan mati itu?"

   Ia duduk kembali di sisinya, kemudian melanjutkan.

   "Tapi aku tidak habis mengerti, kenapa kau bisa setegang ini......?"

   "Apakah kaupun mempunyai persoalan yang tak pernah disangka?"

   Buyung Ciu-ti menghela napas panjang, katanya kembali.

   "Mungkin saja aku telah menduganya, cuma kau tak ingin mempercayainya dengan begitu saja"

   "Oya?"

   "Aku selalu memahami perasaanmu, hanya rasa takut yang dapat membuat kau merasa tegang!"

   "Apa yang kutakuti?"

   "Kau takut dikalahkan di ujung pedang orang lain!"

   Suara perempuan itu penuh dengan nada ejekan dan cemoohan.

   "Karena Sam-sauya dari keluarga Cia selamanya tak boleh menderita kekalahan di tangan orang!"

   Walaupun permukaan lantai sudah diberi selimut yang tebal sebagai alas, namun permukaan lantai itu masih terasa dingin lagi keras.

   Buyung Ciu-ti menggeserkan sedikit posisi duduknya dan menyandarkan sebagian besar berat badannya di atas paha Cia Siau-hong.

   Setelah itu baru melanjutkan.

   "Tapi orang yang bisa mendatangkan rasa takut bagimu di dunia ini tidaklah terlalu banyak jumlahnya, mungkin juga hanya seorang!"

   "Siapa?"

   "Yan Cap-sa!"

   "Darimana kau bisa tahu kalau orang yang bakal datang kali ini adalah dia?"

   "Aku tentu saja tahu, karena kau adalah Cia Siau-hong, sedang dia adalah Yan Cap-sa, cepat atau lambat, kalian berdua bakal bersua juga satu sama lainnya, cepat atau lambat tentu ada seorang di antaranya yang bakal mati di ujung pedang lawan"

   Ia menghela napas panjang kemudian melanjutkan.

   "Itulah takdir untuk kalian, siapapun tak dapat merubah garis-garis takdir tersebut, bahkan akupun tak sanggup untuk merubahnya!"

   "Kau?"

   "Sebenarnya aku ingin sekali membunuh kau di tanganku, tak nyana masih ada juga orang yang menolongmu!"

   Setelah tertawa getir, Buyung Ciu-ti melanjutkan.

   "Andaikata semenjak awal aku sudah tahu kalau di dunia terdapat manusia seperti dia, dari dulu aku telah membunuhnya"

   "Kau tahu siapakah orang itu?", tanya Cia Siau-hong. Buyung Ciu-ti menghela napas panjang.

   "Aaaai.....! Meskipun sekarang aku sudah tahu, sayang sudah terlalu terlambat"

   "Sekarang kau sudah tahu siapakah dia?"

   "Ya, dia bernama Yan Cap-sa, dia mempunyai tiga belas pisau, pisau untuk menyelamatkan jiwa orang!"

   "Belum pernah aku mendengar tentang nama orang ini!"

   "Tentu saja kau tak pernah mendengar tentang dirinya, sebab Yan Cap-sa hendak membunuhnya, sebab selama Yan Cap-sa masih hidup, maka dia tak berani menampakkan diri"

   Tiba-tiba Cia Siau-hong menghembuskan napas panjang, seakan-akan telah meletakkan suatu beban yang sangat berat dari atas bahunya.

   "Sekarang hatiku merasa amat lega!", katanya.

   "Apa yang kau legakan?"

   "Aku selalu menaruh curiga kalau dia adalah Yan Cap-sa, dia menolong jiwaku karena dia ingin mengajak aku untuk berduel dan membuktikan kepandaian siapa lebih tinggi!"

   "Tapi dia justru telah menyelamatkan pula jiwamu, maka bagaimanapun juga kau tak akan membiarkan ia mati di ujung pedang, bukan?"

   "Benar!"

   "Seandainya apa yang menjadi bahan kekuatiranmu adalah persoalan ini, mulai sekarang kau bisa benar-benar berlega hati!"

   Buyung Ciu-ti membelai dada Cia Siau-hong yang bidang, kemudian melanjutkan.

   "Aku tahu Yan Cap-sa sudah pasti bukan tandinganmu, kau pasti dapat membinasakan dirinya!"

   Cia Siau-hong menatapnya lekat-lekat, tak tahan dia bertanya lagi.

   "Apakah kedatanganmu kemari hanya ingin membuat hatiku menjadi lega.....?"

   "Aku datang kemari karena kau masih mencintaimu", jawab Buyung Ciu-ti dengan suara yang lembut dan halus. Luapan rasa cinta yang menyala-nyala terselip nyala di balik ucapannya itu, ia berkata lebih jauh.

   "Walaupun kadangkala aku masih membencimu, membencimu setengah mati sehingga menginginkan kematianmu, tapi jika orang lain ingin mengusikmu, aku tetap akan marah, karena aku menghendaki kau mati di tanganku......"

   Apa yang dia katakan memang merupakan ucapan yang sejujurnya.

   Kehidupannya selama ini mungkin dilewatkan dalam kehidupan yang penuh penderitaan, siksaan batin dan pertentangan.

   Diapun ingin menemukan kebahagiaan hidup, setiap orang berhak menemukan kebahagiaan hidupnya, hanya sayang cara yang ia tempuh adalah suatu cara yang keliru besar.

   Cia Siau-hong menghela napas panjang, pelan-pelan ia menyingkirkan tangannya yang lembut.

   Mungkin mereka berdua sama-sama bersalah, tapi ia enggan untuk berpikir jauh, tiba-tiba saja ia merasakan tubuhnya amat penat dan letih sekali.......

   "Apa yang sedang kau pikirkan?", tiba-tiba Buyung Ciu-ti menegur dengan suara lembut.

   "Aku hanya berpikir bagaimana caraku mencari suatu tempat yang nyaman untuk tidur sejenak"

   "Kau tidak tidur di sini saja?"

   "Selama kau berada di sisiku, aku tak bisa tidur!"

   "Kenapa?"

   "Sebab akupun tak ingin mati di tanganmu, paling tidak sekarang aku masih belum ingin!"

   Sesungguhnya Buyung Ciu-ti tak akan menahan dirinya.

   Sudah barang tentu dia cukup memahami watak lelaki itu, di kala dia hendak pergi, siapapun jangan harap bisa menahannya.

   Andaikata kau menggenggam tangannya erat-erat, sekalipun lengan itu harus dikutungi, dia tetap pergi juga.

   Bila kau kutungi kakinya, maka sekalipun harus merangkak, diapun akan pergi dengan jalan merangkak.

   Tapi hari ini dia telah menarik tangannya yang kekar sambil berkata dengan mesra.

   "Hari ini kau boleh tidur di sini dengan hati yang lega"

   Setelah berhenti sejenak, ia menjelaskan lebih jauh.

   "Sekalipun di masa yang lalu aku pernah membencimu setengah mati dan berharap kau bisa mampus di tanganku, tapi hari ini aku tak ingin berbuat demikian, paling tidak hari ini aku tak ingin!"

   Cia Siau-hong segera tertawa.

   "Aaaahh....masakah hari ini adalah suatu hari yang istimewa.....?", katanya.

   "Hari ini bukan hari baik yang istimewa, tapi ada seorang yang istimewa bakal datang kemari"

   "Siapa?"

   Pelan-pelan Buyung Ciu-ti duduk kembali, dengan gerakan yang lembut dia menggulung rambutnya ke atas kepala, setelah itu baru ujarnya dengan lembut.

   "Seharusnya kau masih ingat bukan, bahwa kita mempunyai seorang anak...?"

   Tentu saja Cia Siau-hong masih ingat.

   Selama beberapa hari belakangan ini dia sudah mulai belajar bagaimana caranya melupakan segala persoalan yang tidak seharusnya dipikirkan dalam hati.

   Tapi ada beberapa persoalan dia tak ingin melupakannya, diapun tak dapat melupakannya.

   Hampir saja dia melompat bangun saking kagetnya, jeritnya tertahan.

   "Apa? Dia juga telah datang?"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pelan-pelan Buyung Ciu-ti mengangguk.

   "Akulah yang telah membawanya datang kemari", ia menerangkan. Cia Siau-hong menggenggam tangan Buyung Ciu-ti kencang-kencang lantaran emosi, serunya kembali tertahan.

   "Sekarang dia berada di mana?"

   "Ia sama sekali tak tahu kalau kau berada di sini, kaupun jangan harap bisa menemukan dirinya"

   Tiba-tiba ia menghela napas panjang, katanya kemudian lebih jauh.

   "Sekalipun berhasil kau temukan juga apa gunanya? Apakah kau tak tahu kalau dia amat membencimu? Membenci dirimu karena semenjak masih kecil kau tak pernah menganggapnya sebagai putramu, selamanya tak pernah bertanggung jawab sebagai seorang ayah yang baik?"

   Ia menatap Cia Siau-hong lekat-lekat kemudian ujarnya lagi.

   "Apakah sekarang kau sudah mempunyai keberanian untuk memberitahukan kepadanya bahwa kau adalah ayahnya?"

   Cia Siau-hong mengendorkan genggamannya dan melepaskan cekalannya pada lengan perempuan itu.

   Tangannya dingin dan kaku, sedingin salju.

   Hatinya jauh lebih dingin lagi seakan-akan gumpalan es yang sudah terpendam selama banyak tahun di dasar lapisan salju di bukit salju nun jauh di sana.

   Terdengar Buyung Ciu-ti berkata lagi.

   "Tapi jikalau kau sanggup mengalahkan Yan Cap-sa, maka aku akan membawanya datang kemari untuk berjumpa denganmu bahkan akan kuberitahukan pula kepadanya bahwa kau adalah ayah kandungnya"

   Nadanya datar dan rendah, seakan-akan ucapan tersebut diutarakan tanpa luapan suatu emosi.

   Tapi siapapun dapat melihat pancaran sinar, juga penderitaan dan kesedihan yang menyorot keluar dari balik matanya itu.

   Siapapun tahu bahwa ucapan tersebut diucapkan dengan suatu tekanan batin yang amat berat.

   Untuk sesaat Cia Siau-hong hanya tertunduk membungkam dalam seribu bahasa.

   ooooOOOOoooo Bab 33.

   Tindakan Yang Terencana Seorang anak lelaki, jika selamanya tak tahu siapakah gerangan ayahnya sendiri, bukan saja dia pasti akan menderita sepanjang hidupnya, ibunya juga sama saja akan turut menderita.

   "Oleh sebab itu kaupun selama ini tak pernah memberitahukan kepadanya, bahwa kau adalah ibu kandungnya?", sambung Cia Siau-hong.

   "Ya, tak pernah!", Buyung Ciu-ti mengakuinya. Dengan wajah yang memancarkan sinar penderitaan, ia melanjutkan.

   "Tapi sekarang usiaku lambat laun kian bertambah besar, apa yang ingin kudapatkan sebagian besar telah berhasil kudapatkan, sekarang aku hanya ingin mempunyai seorang putra, seorang putra macam dia!"

   "Apakah kau telah bertekad untuk menceritakan semua kejadian yang ada kepadanya?"

   "Bahkan aku akan memberitahukan kepadanya bahwa kau sama sekali tidak bersalah, yang salah adalah aku!"

   Cia Siau-hong tak dapat percaya, diapun tak berani percaya. Tak tahan lagi dia bertanya.

   "Kalau toh kau telah mengambil keputusan untuk berbuat demikian, kenapa pula musti kau tunggu sampai aku berhasil mengalahkan Yan Cap-sa baru memberitahukan kepadanya?"

   "Sebab jika kau tidak berhasil menang, berarti kau harus mati!"

   Cia Siau-hong tak bisa menyangkal kebenaran dari perkataan itu. Yang ada hanya Cia Siau-hong yang mati di medan laga, tak mungkin ada Cia Siau-hong yang kalah dalam pertempuran. Buyung Ciu-ti berkata lebih jauh.

   "Seandainya kau tewas di ujung pedang Yan Cap-sa, buat apa kau musti memberitahukan kepadanya bahwa dia mempunyai seorang ayah macam kau? Buat apa aku musti menambah kemurungan, penderitaan dan kesengsaraannya....?"

   Kemudian dengan sepatah kata demi sepatah kata, ia menambahkan.

   "Buat apa pula aku membicarakan dia pergi menghantar kematiannya dengan percuma?"

   "Menghantar kematiannya?"

   "Seandainya dia tahu kalau ayah kandungnya telah tewas di ujung pedang Yan Cap-sa, tentu saja dia akan pergi membalas dendam, dengan kepandaian silatnya, mana mungkin ia bisa menandingi kelihaian Yan Cap-sa? Kalau bukan pergi menghantar kematiannya apa pula namanya?"

   Cia Siau-hong terbungkam dalam seribu bahasa.

   Ia tak bisa tidak harus mengakui bahwa perkataannya memang sangat masuk di akal, tentu saja diapun tidak mengharapkan putranya pergi menghantar kematian secara sia-sia.

   Sekali lagi Buyung Ciu-ti tertawa dengan lembut, katanya lagi.

   "Tapi aku percaya tentu saja kau tak akan menderita kekalahan, semestinya kau sendiripun sudah mempunyai keyakinan yang tebal"

   Cia Siau-hong termenung tanpa bicara. Lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru berkata.

   "Kali ini aku tidak mempunyai keyakinan!"

   Buyung Ciu-ti seakan-akan merasa kaget bercampur tercengang oleh jawaban tersebut, serunya tertahan.

   "Masakah kau sendiripun tak mampu mematahkan Toh-mia-cap-sa-kiam nya itu?"

   "Toh-mia-cap-sa-kiam itu sendiri tidak terlalu menakutkan, justru yang menakutkan berada pada jurus yang ke empat belas"

   "Aaahh...., darimana datangnya jurus yang ke empat belas?"

   "Yang pasti jurus ke empat belas itu ada!"

   "Maksudmu kecuali tiga belas jurus ilmu pedang perenggut nyawanya, masih terdapat pula perubahan yang ke empat belas?"

   "Betul sekali!"

   "Aaaah, sekalipun benar-benar ada, mungkin dia sendiripun tidak mengetahuinya"

   "Sekalipun dulu ia tak tahu, sekarang dia sudah pasti telah mengetahuinya"

   "Tapi aku percaya, meskipun dia memiliki perubahan jurus yang ke empat belas, belum tentu ia sanggup mengalahkan dirimu"

   Agaknya terhadap lelaki ini dia selamanya menaruh perasaan percaya yang penuh. Cia Siau-hong termenung, lewat lama sekali dia baru menjawab kembali.

   "Tapi diapun belum tentu bisa menangkan dirinya!"

   Buyung Ciu-ti kembali merasa amat gembira, serunya.

   "Aku pikir siapa tahu kalau sekarang kau berhasil menemukan cara yang paling baik untu


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini