Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 4


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 4


it menyelesaikan kata-katanya, seperti harimau lapar yang menerkam mangsanya Thi-tau sudah mencengkeram bahunya, lalu diangkat ke udara seperti mengangkat meja beralas batu marmer tadi.

   Thi-tau bukan saja kepalanya hebat, tangannya juga hebat, beberapa macam gerakan tubuhnya itu bukan saja dilakukan dengan kecepatan luar biasa, ketepatannya juga mengagumkan, dia tahu yang akan ditumbuk olehnya sekarang bukan meja, melainkan seorang manusia hidup yang mempunyai tangan dan kaki.

   Oleh sebab itu begitu turun tangan dia lantas mencengkeram jalan darah Cian-keng-hiat di atas bahu A-kit, agar orang itu tak mampu berkutik, kemudian baru menumbuk dengan kepalanya.

   Tak seorang manusiapun sanggup menahan terjangan dari batok kepala bajanya, agaknya A-kit yang tak berguna segera akan berubah menjadi A-kit yang tak bernyawa.

   Sekali lagi semua begundal dan anak buahnya bersorak sambil memuji tiada hentinya.

   Tapi sorak-sorai mereka kali ini terhenti dengan segera, sebab A-kit sama sekali tidak remuk tertumbuk, sebaliknya batok kepala Thi-tau Toa-kang yang lebih keras dari baja itu telah dihajar sampai hancur, hancur dalam sekali pukulan.

   Perduli siapapun orangnya, bila jalan darah Cian-keng-hiat pada bahunya sudah dicengkeram, maka sepasang tangannya tak mungkin bisa digunakan lagi, sungguh tak disangka sepasang tangan A-kit ternyata masih bisa bergerak dengan leluasa.

   Batok kepala Thi-tau Toa-kang yang sebenarnya tak mempan dipukul dengan martil seberat ribuan katipun, kali ini harus menyerah oleh sebuah pukulan telapak tangan yang sangat pelan.

   Jeritan ngeri yang menyayatkan hati serta rontaan telah berhenti, seluruh ruangan seakan-akan tercekam dalam suasana yang tegang dan menyesakkan napas.

   Tanpa bergerak sedikitpun jua A-kit tetap berdiri di tempat semula, sepasang biji matanya yang coklat sama sekali tanpa perasaan, seolah-olah seperti sebuah jurang yang tiada tara dalamnya.

   Setiap orang sedang memperhatikannya, setiap orang menggembol senjata di tubuhnya, akan tetapi tak seorang manusiapun yang berani bergerak dari tempat semula.

   A-kit yang tak berguna ternyata telah mendatangkan suatu perasaan ngeri dan seram yang mendirikan bulu roma bagi semua orang yang tiap hari kerjanya bergelimpangan di ujung golok dan percikan darah manusia ini.

   ........Sesungguhnya siapakah orang itu? ........Setelah membunuh orang, mengapa sikapnya masih setenang itu? ........Berapa banyak manusia yang pernah dibunuhnya di masa lalu? Apa pula yang sedang dipikirkan dalam hatinya? Ternyata tak seorangpun yang tahu bahwa batinnya waktu itu sedang menjerit.

   "Lagi-lagi aku membunuh orang, mengapa aku harus membunuh orang lagi......?"

   Angin musim gugur mengibarkan kertas penutup jendela.

   Akhirnya A-kit mendongakkan kepalanya, ia baru merasa kalau seorang perempuan sedang berdiri dihadapannya.

   Dia adalah seorang perempuan yang sangat cantik, seorang perempuan cantik yang membawa daya pikat serta daya pesona yang membawa daya pikat serta daya pesona yang cukup menggetarkan perasaan siapapun.

   Ia tahu, perempuan itu pastilah gundik nomor tiga dari Thi-tau Toa-kang.

   Begitu dekat ia berdiri dihadapannya, begitu lama ia menatap wajahnya di balik sorot matanya yang jelis terlintas suatu perasaan yang aneh sekali, perasaan itu bukan kesedihan, bukan pula perasaan benci dan dendam, tapi lebih mendekati rasa kaget, tercengang dan bimbang.

   Secara diam-diam semua orang yang berada dalam ruangan itu telah mengundurkan diri dan kabur terbirit-birit.

   Kini tinggal dia seorang yang belum angkat kaki dari sana.

   "Aku telah membunuh laki-lakimu!", kata A-kit kemudian dengan suara dingin dan kaku.

   "Aku tahu! Sekalipun kau tidak membunuhnya, cepat atau lambat pada suatu ketika dia pasti akan mati pula di tangan orang lain!"

   Suara perempuan itu amat datar, tenang bahkan mendekati keketusan, kembali katanya.

   "Manusia macam dia, semenjak dilahirkan sudah ditakdirkan sebagai seorang pemburu nyawa manusia!"

   "Mungkin saja aku akan membunuh pula dirimu, sebetulnya sejak tadi kau harus pergi dari sini", kata A-kit pula.

   "Tidak, bukan aku yang harus pergi tapi kaulah yang musti angkat kaki dengan segera dari sini"

   A-kit tertawa dingin. Tapi Sam-ih-thay berkata lagi.

   "Setelah kau bunuh si kepala baja, toa-tauke tak akan melepaskan dirimu dengan begitu saja"

   "Aku memang sedang menunggu dirinya", sela A-kit dengan cepat. Sam-ih-thay kembali menatap wajahnya tajam-tajam, mimik wajahnya berubah makin aneh dan makin istimewa, tiba-tiba katanya.

   "Aku kenal denganmu, dahulu aku pasti sudah pernah berjumpa denganmu!"

   "Kau pasti telah salah melihat orang"

   "Tidak, aku tak bakal salah melihat"

   Dengan nada yang meyakinkan, perempuan itu berkata lebih jauh.

   "Aku adalah seorang pelacur, sejak berusia empat belas tahun sudah mulai menjadi pelacur, entah berapa ratus ribu lelaki yang pernah kujumpai, tapi tidak banyak laki-laki macam kau yang pernah kujumpai!"

   Tiba-tiba sorot mata A-kit-pun memancarkan suatu pergolakan emosi yang aneh sekali, pelanpelan ia memutar tubuhnya dan berjalan keluar dari ruangan itu.

   Memandang bayangan punggungnya, tiba-tiba mencorong sinar terang dari balik mata Sam-ihthay, teriaknya keras-keras.

   "Aku sudah teringat, aku sudah teringat, kau adalah......."

   Perkataan itu tak sempat diselesaikan.

   Sebab A-kit secepat kilat telah memutar badan, menyumbat bibirnya dan memeluk pinggangnya erat-erat.

   Ia tak ingin membunuh perempuan ini, tapi mulutnya harus segera disumbat.

   Ia tidak mengijinkan siapapun mengetahui rahasia pribadinya.

   Cahaya lampu dalam kamar tidur amat lembut dan sejuk.

   Ia melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan dan dia (perempuan) berbaring sambil menatap ke arahnya, sepasang matanya telah berkaca-kaca, lalu ujarnya dengan sedih.

   "Mengapa kau berubah menjadi begini? Mengapa begitu banyak perubahan yang kau alami?"

   "Sebab setiap orang pasti sedang berubah!", jawab A-kit.

   "Tapi perubahan apapun yang kau alami, aku masih dapat mengenali dirimu!"

   Sambil menahan air mata yang bercucuran, kembali katanya.

   "Tahukah kau bahwa satu-satunya pria yang benar-benar kucintai sepanjang hidupku hanya dirimu......,yaa, kau pasti tidak akan tahu, sebab aku tak lebih hanya salah seorang di antara sekian banyak perempuan yang kau kenali, apalagi aku tak lebih cuma seorang pelacur yang rendah martabat dan akhlaknya"

   Lama sekali A-kit termenung, mendadak suaranya berubah menjadi halus dan lembut.

   "Akupun masih ingat denganmu, kau bernama Kim Lan-hoa!"

   Kim Lan-hoa memandangnya dengan pesona, tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu, sambil memeluk ke dalam pangkuannya, ia berseru.

   "Ooooh....aku puas, aku puas! Asal kau masih teringat selalu akan diriku, sekalipun harus mati akupun akan mati dengan mata meram"

   "Tapi aku justru berharap agar orang lain dapat melupakan diriku!"

   Perempuan itu memeluk tubuhnya semakin kencang, seperti anak sungai air matanya jatuh bercucuran.

   "Aku tahu, aku pasti akan menuruti perkataanmu, rahasiamu tak akan kukatakan kepada siapapun, sekalipun harus mati, rahasiamu tak akan kukatakan kepada orang lain"

   Sepanjang hidupnya, toa-tauke mempunyai tiga macam benda yang merupakan kebanggaannya, salah satu di antaranya adalah sebuah pembaringan terbesar di dunia ini.

   Bukan paling besar saja, pembaringan itupun paling istimewa dan paling megah, kemanapun kau pergi, jangan harap bisa ditemui pembaringan kedua kecuali itu.

   Ini bukan mengibul.

   Sekarang masih tengah hari, toa-tauke masih berbaring di atas pembaringan, sembilan orang gundiknya yang paling disayangi menemaninya di atas pembaringan.

   Pelan-pelan seorang dayang munculkan diri dalam ruangan, lalu dengan napas agak tersengal ia berbisik.

   "Kata Hoa-sianseng, dia ada urusan penting yang harus disampaikan kepada loya!"

   Toa-tauke ingin duduk, tapi akhirnya berbaring lagi.

   "Suruh dia masuk!", katanya kemudian. Tapi gundik-gundinya segera memprotes.

   "Tapi keadaan kami setengah bugil, mana boleh kau suruh pria lain masuk kemari!"

   Toa-tauke tersenyum.

   "Kalau cuma pria ini sih tak menjadi soal!"

   "Kenapa?", ada yang bertanya.

   "Sebab bagiku dia jauh lebih berguna daripada kalian bersembilan digabungkan menjadi satu!"

   Sekalipun semalaman bergadang, wajah Tiok Yap-cing masih tampak cerah dan bersinar, seakanakan sama sekali tidak lelah.

   Toa-tauke seringkali memuji akan kehebatan tenaga serta semangatnya, ibaratnya sebuah mesin tenun, asal toa-tauke minta berjalan, dia tak akan berhenti.

   Ia berdiri di depan pembaringan toa-tauke dengan kepala tertunduk, sinar matanya tidak liar, meski ada sembilan orang perempuan cantik setengah bugil berada dihadapannya, namun baginya perempuan-perempuan itu seakan-akan patung-patung arca yang sama sekali tiada harganya.

   Terhadap soal ini, toa-tauke pun merasa puas sekali.

   Ia mempersilahkan Tiok Yap-cing untuk duduk, kemudian baru bertanya.

   "Kau bilang ada urusan penting hendak disampaikan kepadaku, urusan penting apakah itu?"

   Sekalipun baru saja duduk Tiok Yap-cing segera bangkit kembali sambil menundukkan kepalanya.

   "A-kit telah menemukan mata-mata yang kusiapkan disekitar sana, ia telah kabur bersama Biau-cu kakak beradik"

   Dengan kepala yang tertunduk lebih rendah ia melanjutkan.

   "Akulah yang teledor, akulah yang gegabah, aku sudah menilai terlampau rendah A-kit yang tak berguna itu, silahkan toa-tauke menjatuhkan hukuman berat atas keteledoranku ini!"

   Mula-mula ia menjelaskan dulu duduknya persoalan dengan kata-kata paling singkat dan sederhana, kemudian segera mengakui akan kesalahan sendiri serta mohon dijatuhi hukuman, beginilah cara kerjanya yang selalu disiplin, ia tak pernah menutupi kesalahan sendiri, lebih-lebih tak pernah menghindari segala pertanggungan jawabnya.

   Toa-tauke paling suka dengan sikapnya yang bertanggung-jawab serta jujur itu, maka walaupun keningnya berkerut, ucapannya sedikitpun tidak keras.

   "Setiap orang pasti pernah berbuat salah, duduklah lebih dahulu sebelum berbicara lebih jauh!"

   "Baik!"

   Setelah ia duduk, toa-tauke baru bertanya lagi.

   "Peristiwa ini kapan terjadinya?"

   "Kemarin malam sekitar jam sebelas sampai jam dua belas!"

   "Hingga kini apakah kau masih belum berhasil menemukan mereka?"

   "Jejak A-kit sudah berhasil kami ketahui, tapi Biau-cu kakak beradik seakan-akan lenyap dengan begitu saja, sampai sekarang jejaknya belum kita temukan"

   "A-kit berada dimana?"

   "Selalu berada dalam kamarnya Sam-ih-thay dari Toa-kang!"

   Paras muka toa-tauke berubah membesi, katanya cepat.

   "Kau maksudkan si kepala baja telah.........."

   "Ya!"

   "Kapan ia ke situ?"

   "Tak lama setelah lewat tengah malam!"

   Paras muka toa-tauke berubah semakin tak sedap dipandang, katanya kemudian.

   "Dalam setengah jam saja ia berhasil menyembunyikan Biau-cu heng-te dua orang manusia hidup secara begitu rahasia, mengapa kalian dengan waktu semalaman suntuk masih juga tidak berhasil menemukannya?"

   Tiok Yap-cing kembali bangkit berdiri sambil menundukkan kepalanya.

   "Tidak terlalu banyak tempat yang bisa digunakan sebagai tempat persembunyian kedua orang bersaudara itu di kota ini, aku telah mengirim orang untuk memeriksa setiap pelosok tempat yang kemungkinan besar bisa digunakan sebagai tempat persembunyian, tapi tak seorangpun yang berhasil menemukan kedua orang itu!"

   Toa-tauke segera tertawa dingin tiada hentinya.

   "Heeeehhh....... heeeehhhh......... heeeeehh..... sungguh tak kusangka kalianpun tak mampu untuk menandingi si A-kit yang tak berguna"

   Tiok Yap-cing tak berani bersuara. Kali ini toa-tauke pun tidak mempersilahkan kepadanya untuk duduk kembali. Lewat lama sekali pelan-pelan ia baru bertanya.

   "Benarkah si kepala baja mampus di tangannya?"

   "Menurut cerita orang yang menyaksikan sendiri jalannya peristiwa itu, hanya dalam sekali pukulan saja batok kepala si kepala baja yang kuat dan keras itu telah hancur berkeping-keping"

   Sekali lagi paras muka toa-tauke berubah hebat.

   "Berhasil kalian mengetahui ilmu silat aliran manakah yang dipergunakannya?"

   "Tidak!"

   Kemudian tambahnya lagi.

   "Justru karena tak ada orang yang mengetahui asal usul ilmu silatnya, hal ini semakin membuktikan bahwa orang itu pasti mempunyai asal usul yang besar sekali!"

   "Belakangan ini adakah seorang jago lihay dalam dunia persilatan yang tiba-tiba melenyapkan dirinya?"

   "Tentang soal ini akupun telah mengadakan penyelidikan, di antara sekian banyak jago persilatan, hanya Tay-to (Pembegal ulung) Tio Tok-heng, Thian-sat-seng (Bintang langit pembunuh) Cian Gong serta Yan Cap-sa yang tiba-tiba lenyap dari peredaran dunia!"

   Kembali toa-tauke mengernyitkan alis matanya, sudah barang tentu ia pernah mendengar juga nama-nama dari ketiga orang itu. Sementara ia masih merenung, Tiok Yap-cing telah berkata lagi.

   "Akan tetapi bila kita bandingkan perawakan, tampang wajah serta usia mereka bertiga, ternyata tak sedikitpun yang mirip dengan tampang wajah serta perawakan A-kit"

   Kontan saja toa-tauke tertawa dingin.

   "Heeeehhhh.......... heeeehhh....... heeeehhhh..... masa orang itu datang dari langit? Atau tumbuh dari tanah?"

   Tiba-tiba ia mengepal sepasang tinjunya dan dihantamkan keras-keras di atas meja kecil di ujung pembaringan, lalu katanya dengan suara menyeramkan.

   "Perduli dari manapun asalnya, tangkap dulu orang itu, baru berbicara kemudian, sebab bila orang sudah mati, maka ia tak perlu diketahui asal usulnya lagi"

   "Benar!"

   "Perduli dengan cara apapun, perduli berapa besar biaya yang harus dikeluarkan, aku menginginkan selembar jiwanya itu!"

   "Baik!"

   Perintah dari toa-tauke biasanya akan segera dilaksanakan tanpa membantah, akan tetapi kali ini Tiok Yap-cing tidak beranjak, ia tetap berdiri di tempat semula.

   Gejala semacam ini belum pernah ia perlihatkan sebelumnya.

   Dengan gusar toa-tauke lantas menegur.

   "Apakah kau masih ada perkataan lain yang hendak diucapkan?"

   Tiok Yap-cing masih agak ragu-ragu, tapi akhirnya sambil memberanikan diri katanya.

   "Meskipun dia hanya seorang diri, meskipun tidak sulit bila kita menginginkan jiwanya, tapi korban di pihak kita pasti akan parah sekali, aku rasa cara ini sedikit kurang berharga!"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lantas menurut maksudmu!"

   "Orang itu ibaratnya sebilah golok yang telah diloloskan dari sarungnya, tergantung di tangan siapakah golok tersebut tergenggam".

   "Ooh....maksudmu kau minta aku membeli golok tersebut untuk kepentingan kita?"

   "Ia bersedia menjual nyawa untuk Biau-cu bersaudara, manusia macam itu karena dia merasa pernah berhutang budi kepada mereka, sebaliknya jika toa-tauke pun bersedia memberi sedikit kebaikan kepadanya, siapa tahu kalau diapun bersedia menjual nyawanya untuk toa-tauke?"

   Toa-tauke termenung dan berpikir sesaat lamanya, pelan-pelan paras mukanya berubah menjadi lebih lembut dan kalem, katanya kemudian.

   "Menurutmu, sanggupkah kita membelinya?"

   "Setiap orang mempunyai harga yang berbeda-beda, paling sedikit kita harus pergi mencobanya lebih dahulu!"

   "Pergi mencobanya?"

   "Ya, aku ingin pergi ke sana sendiri untuk melihat keadaan!", sahut Tiok Yap-cing sambil membungkukkan badan memberi hormat.

   "Kau toh sudah tahu bahwa dia adalah sebilah golok yang telah lolos dari sarungnya, siapa tahu hanya sedikit terbentur saja darahmu akan bercucuran? Apa gunanya kau musti menyerempet bahaya?"

   "Sekujur badanku dari atas sampai bawah adalah menjadi milik toa-tauke, apa artinya beberapa tetes darah bagiku?"

   Tiba-tiba toa-tauke melompat turun dari pembaringannya dan menggenggam erat-erat tangannya.

   "Aku tidak berputra dan kaulah putraku, kau harus berhati-hati dalam tugas ini!", katanya. Tiok Yap-cing menundukkan kepalanya seakan-akan air mata bercucuran dari kelopak matanya, jangankan dia, orang yang berada di sekeliling sanapun ikut terharu oleh adegan tersebut. Menunggu ia telah mengundurkan diri, toa-tauke baru menghembuskan napas panjang-panjang, kepada para gundiknya ia berkata.

   "Sekarang tentunya kalian sudah mengetahui bukan, bagiku dia jauh lebih berharga daripada kalian bersembilan digabungkan menjadi satu?"

   Seorang perempuan yang bertahi lalat di ujung bibirnya, tiba-tiba menyela dengan genit.

   "Aku hanya sempat mengetahui satu hal"

   "Hal yang mana?"

   "Sesungguhnya dia jauh lebih pandai menjilat pantat daripada kami bersembilan digabungkan menjadi satu!"

   Mendengar ucapan tersebut, toa-tauke tertawa terbahak-bahak.

   "Haaahhhh.........haaahhhh......haaaahhhhh......bagus sekali perkataanmu itu, bagus sekali perkataanmu itu!"

   Mendadak ia menghentikan gelak tertawanya, perempuan itu ditatapnya lekat-lekat, kemudian bertanya.

   "Seandainya kusuruh kau lakukan suatu pekerjaan, bersediakah kau untuk melaksanakannya?' Menggunakan kesempatan itu perempuan tadi mulai merayu dan menjeratnya seperti seekor ular.

   "Pekerjaan apa yang harus kulakukan?", bisiknya lirih.

   "Sejak malam ini, aku minta kau menemaninya tidur!", kata toa-tauke dengan dingin. A-kit masih tidur. Ia terlalu lelah, ia membutuhkan tidur yang nyenyak, sebab banyak pekerjaan yang sedang menanti untuk dia kerjakan, dan tenaga badannya harus dipulihkan kembali secepatnya. Ketika ia mendusin dari tidurnya, Kim Lan-hoa masih berbaring disisinya, dengan mata terpentang lebar, ia sedang mengawasi ke arahnya, mengawasi dengan tatapan mata yang lembut dan penuh perasaan cinta. A-kit kembali memejamkan matanya.

   "Adakah seseorang yang datang kemari semalaman kemarin?", ia bertanya.

   "Tidak ada!"

   A-kit merasakan seluruh otot badannya mengendor, tapi perasaannya justru makin mengencang.

   Ia tahu sesaat menjelang tibanya badai angin dan hujan yang deras, biasanya suasana ketika itu paling sepi dan sumpek, seperti juga sesaat menjelang tibanya fajar, biasanya merupakan waktu yang paling gelap.

   Perubahan apakah yang kemudian bakal terjadi? Akibat apa yang pada akhirnya bakal dijumpai? Ia sama sekali tidak tahu! Ia cuma tahu bahwa persoalan itu telah membelenggu dirinya, ia tak mungkin dapat lepas tangan lagi.

   Ya, andaikata dia lepas tangan, maka Lo Biau-cu, si Boneka dan Kim Lan-hoa segera akan mati mengenaskan.

   Yang paling penting adalah dia juga tahu bahwa dalam kota masih terdapat banyak manusia macam mereka, menantikan bantuannya di tepi liang api neraka yang membara.

   Dari luar ruangan tiba-tiba terdengar suara langkah manusia.

   Langkah manusia itu sangat berat, seakan-akan sengaja dibuat agar kedengaran orang, kemudian A-kit pun mendengar ada orang sedang berbatuk ringan.

   Ia menunggu orang itu masuk ke dalam, lama sekali ia menanti, tapi suasana di luar sana justru sebaliknya, malah menjadi hening dan tak kedengaran sedikitpun suara.

   Paras muka Kim Lan-hoa pucat pias bagaikan kertas, dia tak bisa menebak manusia macam apakah di luar sana, tapi bila ditinjau dari keberaniannya untuk menghadapi seseorang yang mampu menghancurkan kepala si kepala baja dalam sekali pukulan, dapat diketahui bahwa orang itu pasti bukan manusia sembarangan.

   A-kit menepuk-nepuk bahunya lalu pelan-pelan bangkit berdiri dan mengenakan pakaian.

   Ia telah merasakan bahwa orang yang sedang menunggunya di luar itu pasti seseorang yang paling susah dihadapi.

   Jenazah si kepala baja telah diangkut pergi, akan tetapi kartu 'ci-cun-po' terakhir yang dipegangnya masih tertinggal di meja.

   Tiok Yap-cing duduk di tepi meja itu sambil membelai kartu-kartu tersebut dengan jari tangannya, kemudian sambil tersenyum ia berkata.

   "Konon kesempatan seseorang untuk mendapatkan kartu semacam ini hanya seper-sepuluh laksa bagian, atau maksudnya sekalipun kau bertaruh Pay-kiu selama lima puluh tahun dan tiap hari bertaruh terus menerus, kesempatan untuk peroleh kartu semacam inipun paling banter tak akan melebihi tiga puluh kali"

   Ia bukan bergumam seorang diri, ia tahu A-kit telah berjalan keluar dan sedang mengawasinya dengan tenang. Sambil tersenyum ia berpaling, lalu ujarnya lagi.

   "Oleh karena itu barang siapa berhasil mendapatkan kartu semacam ini, nasibnya pasti mujur sekali!"

   "Sayang orang yang mendapatkan kartu tersebut semalam mempunyai nasib yang kurang mujur!", sambung A-kit. Tiok Yap-cing menghela napas panjang.

   "Apa yang telah kau ucapkan sesungguhnya merupakan kata-kata yang ingin kukatakan pula, perubahan nasib seseorang dapat terjadi dalam sekejap mata, siapakah yang mampu menjaga terus nasib mujurnya sendiri?"

   Ia mendongakkan kepalanya menatap wajah A-kit, kemudian pelan-pelan berkata lagi.

   "Oleh karena itu jika seseorang telah memperoleh kesempatan, dia harus baik-baik menggunakan kesempatan tersebut dan jangan membuangnya dengan begitu saja!"

   "Apa lagi yang ingin kau katakan?", kata A-kit kemudian tenang.

   "Kesempatan baik untuk saudara, kini telah datang!"

   "Kesempatan macam apakah itu?"

   "Apa yang dicari seorang manusia setelah berjuang dan bergumul dengan nasib sepanjang hidupnya? Aku rasa yang dicari tak lebih hanya nama serta kedudukan"

   Ia tersenyum, setelah berhenti sejenak, sambungnya.

   "Kini saudara telah menemukan kesempatan semacam itu, hal ini sungguh merupakan suatu kejadian yang patut diberi selamat dan patut digirangkan........!"

   A-kit menatapnya tajam-tajam, seakan-akan paku yang memantek di atas dinding tembok, tiba-tiba tegurnya.

   "Kaukah yang bernama Tiok Yap-cing?"

   Tiok Yap-cing masih saja tersenyum.

   "Aku she Yap bernama Yap Cing-tiok, tapi orang lain lebih suka memanggilku sebagai Tiok Yapcing!"

   Ia masih juga tersenyum, malah senyuman tersebut kelihatan aneh sekali.

   "Apakah toa-tauke yang suruh kau datang kemari?", kembali A-kit menegur pelan. Tiok Yap-cing mengaku.

   "Kalau begitu akupun ingin memberitahukan satu persoalan kepadamu!", ujar A-kit lebih jauh.

   "Persoalan apakah itu?"

   "Kadangkala perjuangan seseorang melawan kehidupan bukan lantaran ingin mendapatkan nama serta kedudukan!"

   "Kecuali kedua macam itu, apa pula yang bisa dicari manusia?"

   "Kehidupan bebas!"

   "Kehidupan bebas?", ulang Tiok Yap-cing. Ia benar-benar tidak mengerti makna dari dua patah kata tersebut, kembali ia bertanya.

   "Sesungguhnya apa yang kau harapkan?"

   "Aku menginginkan setiap orang dapat melewatkan penghidupannya menurut pikiran dan selera masing-masing secara bebas dan leluasa!"

   Ia tahu Tiok Yap-cing lebih-lebih tak akan memahami makna dari perkataannya itu, maka ia menjelaskan lagi.

   "Meskipun ada sementara orang lebih suka menjual diri, tapi ada pula sementara orang yang lebih suka hidup miskin dan menderita daripada menurunkan moral hidupnya sendiri, karena bagi anggapan mereka selama dirinya masih bisa hidup dengan hati tentram, sekalipun sedikit menderita juga tidak menjadi soal!"

   "Benarkah di dunia yang lebar ini terdapat manusia semacam itu?"

   "Banyak sahabatku adalah manusia semacam ini, masih ada pula banyak orang lain yang begini juga, sayang kalian justru tidak memperbolehkan mereka melewatkan penghidupan menurut selera serta keinginan mereka sendiri, maka......"

   "Maka kenapa?", tukas Tiok Yap-cing.

   "Maka bila kalian menginginkan aku pergi dari sini, hanya ada satu syarat yang harus dipenuhi!"

   "Apa syaratmu itu?"

   "Asal kalian melepaskan orang-orang itu, maka akupun akan melepaskan kalian, asal toa-tauke menyanggupi sendiri permintaanku ini dan berjanji tak akan memaksa siapapun untuk melakukan pekerjaan apapun yang tidak diinginkan, akupun segera angkat kaki dari sini!"

   "Apakah kau bersikeras menginginkan toa-tauke menyanggupi sendiri permintaanmu itu?"

   "Ya!"

   "Sepuluh laksa tahil perak tak dapat merubah jalan pikiranmu itu?"

   "Tidak dapat!"

   Tiok Yap-cing mempertimbangkan sebentar usul itu, kemudian pelan-pelan ia bertanya.

   "Jadi kau benar-benar ingin bertemu dengan toa-tauke?"

   A-kit manggut-manggut tanda membenarkan.

   "Hari ini juga aku ingin bertemu dengannya!"

   Tiok Yap-cing menatapnya sekejap kemudian bertanya.

   "Kau ingin bertemu dengannya dimana?"

   "Terserah dimanapun dia menghendaki!"

   "Bagaimana kalau di gedungnya Han toa-nay-nay?"

   "Di sanapun boleh juga!"

   "Bagaimana kalau pertemuan itu diselenggarakan pada saat malam, malam nanti.....?"

   "Baik!"

   Tiok Yap-cing segera bangkit berdiri dan siap meninggalkan tempat itu, tapi sebelum beranjak, tiba-tiba dengan sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya, ia bertanya.

   "Oya, aku belum sempat menanyakan namamu.......dapatkah kau memberitahukannya?"

   "Aku bernama A-kit......"

   Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan lagi.

   "A-kit yang tak berguna!"

   Memang hingga bayangan punggung Tiok Yap-cing lenyap dari pandangan mata, A-kit kembali menundukkan kepalanya memandang kartu 'ci-cun-po' tersebut sambil termenung.....

   Lama sekali ia termenung dengan mulut membungkam, ia sedang mengingat kembali perkataan dari Tiok Yap-cing itu serta mencoba untuk mengupasnya satu demi satu.

   ........Kesempatan baik telah datang, kesempatan semacam ini harus baik-baik dipergunakan dan tak boleh dilepaskan dengan begitu saja........tapi kesempatan macam apakah yang telah mereka berikan kepadanya itu.......? Ia tidak berpikir lebih lanjut.

   Ya, ia tidak meneruskan kembali pemikirannya karena secara tiba-tiba teringat olehnya akan suatu peristiwa yang mengerikan.

   Menanti ia menyerbu masuk ke dalam kamar, Kim Lan-hoa telah lenyap tak berbekas.

   ooooOOOOoooo Bab 8.

   Siapakah A-kit? Toa-tauke duduk di atas kursinya yang besar dan lebar dengan amat santai, memandang Tiok Yap-cing yang berdiri dihadapannya, tiba-tiba timbul perasaan salah dan minta maaf dalam hati kecilnya.

   Sudah enam tahun ia bekerja baginya, pekerjaannya selalu paling beres dan sengsara dari siapapun, tapi kenikmatan hidup yang berhasil dicicipinya justru jauh lebih sedikit dari orang lain.

   Sekarang bukan saja semalam suntuk ia bergadang, setitik air dan sebutir nasipun belum masuk ke dalam perutnya, namun ia masih mampu melakukan tugasnya untuk toa-tauke tanpa menunjukkan sikap lelah atau mengantuk barang sedikitpun jua, seakan-akan asal toa-tauke suka dengan pekerjaannya, hal ini sudah merupakan suatu kebanggaan serta kepuasan baginya.......

   .........Pada jaman sekarang, makin sedikit memang menjumpai manusia yang bekerja begitu giat dan tekun serta begitu setia kepada majikannya.

   Toa-tauke menghela napas di hati kecilnya, lama kemudian ia baru bertanya dengan suara lirih.

   "Kau telah berjumpa dengan A-kit?"

   Tiok Yap-cing manggut-manggut.

   "Orang itu benar-benar adalah sebilah golok yang telah diloloskan dari sarungnya, bahkan sebilah golok cepat".

   "Kau berhasil membelinya untuk kita?"

   "Sekarang belum berhasil!"

   "Apakah lantaran harga yang dimintanya terlampau tinggi!"

   "Aku telah membawa sepuluh laksa tahil perak untuknya, tapi setelah kujumpainya, aku segera tahu bahwa sepuluh kali lipat uang yang kubawapun tak ada gunanya"

   "Kenapa?"

   "Sewaktu aku ke sana, di atas meja masih bertumpukan uang-uang perak, bukan saja ia tidak menyentuh uang-uang tersebut, bahkan memandang sekejappun tidak"

   Untuk mencegah toa-tauke tidak mengerti, kembali ia menambahkan.

   "Sebenarnya ia sudah sedemikian miskinnya sehingga uang untuk membeli makananpun tak punya, tapi dalam keadaan demikian toh ia masih tidak memandang sekejappun ke arah uang perak sebanyak itu. Dari sini dapat diketahui bahwa yang diinginkan olehnya bukanlah bendabenda tersebut!"

   "Lantas apa yang dia inginkan?", tanya toa-tauke ingin tahu.

   "Dia hanya mempunyai satu permintaan, ia minta agar kita membiarkan setiap orang melakukan penghidupannya sesuai dengan selera serta keinginan masing-masing"

   "Apa maksud perkataannya itu?"

   "Maksudnya ia minta agar kita lepas tangan dan menghentikan semua kegiatan dagang yang sedang kita lakukan sekarang ini"

   Paras muka toa-tauke segera berubah membesi. Tiok Yap-cing kembali berkata.

   "Selain daripada itu diapun berharap bisa berjumpa muka dengan toa-tauke, ia minta toa-tauke menyanggupi sendiri syarat yang dimintanya itu!' "Bagaimana jawabanmu?"

   "Aku telah membuatkan perjanjian untuk toa-tauke malam nanti kita bertemu dengannya di gedung Han toa-nay-nay!"

   Hawa amarah segera terpancar ke luar dari balik sorot matanya, dengan dingin ia menegur.

   "Semenjak kapan kau telah berhak mengambilkan keputusan bagiku?"

   "Tak seorangpun yang berhak mengambil keputusan bagi toa-tauke!", jawab Tiok Yap-cing cepatcepat sambil menundukkan kepalanya.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dan kau?"

   "Aku tidak lebih hanya mewakili toa-tauke untuk membuatkan sebuah tali jeratan agar ia menghantarkan tengkuknya sendiri ke dalam lubang jeratan tersebut"

   Toa-tauke membenarkan kembali gaya duduknya di kursi, wajahnya tampak jauh lebih lembut dan tenang.

   "Sewaktu aku bercakap-cakap dengannya di luar, tiba-tiba kutemukan suatu kejadian aneh!", kata Tiok Yap-cing lebih jauh.

   "Kejadian apakah itu?"

   "Kutemukan gundik ke tiga dari Thiat-tau sedang mengintip keluar ruangan dari celah-celah pintu, lagi pula ia selalu mengawasinya dengan wajah yang tegang dan penuh perasaan kuatir"

   "Thiat-tau mendapatkan perempuan itu dari mana?", tanya toa-tauke sambil menggenggam kencang-kencang sepasang kepalannya.

   "Perempuan itu bernama Kim Lan-hoa, dulu adalah seorang pelacur kenamaan di sekitar Hweeyang, banyak sekali jago persilatan kenamaan yang menjadi tamu kehormatan dalam ranjangnya!"

   Mencorong sinar tajam dari balik mata toa-tauke, katanya dengan segera.

   "Maksudmu dahulu dia pasti kenal dengan A-kit yang tak berguna itu...."

   "Bukan cuma kenal, mereka pasti mempunyai hubungan yang akrab sekali! Hubungan istimewa!"

   "Oleh sebab itu dia pasti mengetahui tentang asal usul A-kit?"

   "Ya, pasti!"

   Toa-tauke kembali menatapnya tajam-tajam.

   "Sekarang tentunya ia sudah tidak berada di tempat A-kit sana, bukan?", tanyanya.

   "Ya, sekarang ia tidak berada di sana!"

   Toa-tauke menghembuskan napas penuh kepuasan.

   "Lalu dia berada di mana?", tanyanya lagi.

   "Di luar bersama Biau-cu kakak beradik!"

   Sinar mata toa-tauke semakin bersinar tajam pekiknya.

   "Darimana kau berhasil menemukan mereka?"

   "Setiap pelosok kota yang mungkin bisa mereka gunakan sebagai tempat persembunyian telah kugeledah semua", kata Tiok Yap-cing.

   "tapi jejak kedua orang itu tetap lenyap tak berbekas......"

   "Maka kaupun mulai mencari dari tempat yang paling tak mungkin?", sambung toa-tauke sambil mengerdipkan matanya. Dari balik sorot mata Tiok Yap-cing segera memancarkan keluar rasa kagum dan memuji yang sangat tebal, katanya.

   "Apa yang dapat kupikirkan, tentu saja telah berada pula dalam perhitungan toa-tauke!"

   "Di...manakah kau berhasil menemukan mereka berdua?"

   "Salah satu diantara dua orang yang kukirim sebagai mata-mata itu bernama Toa-gou, meskipun ia sangat cekatan dan pintar, sayang nyalinya sangat kecil, lagipula dia adalah seorang lelaki yang amat menyayangi keluarganya, hampir sebagian besar uang yang berhasil diperolehnya selalu dibawa pulang untuk dipakai oleh seluruh keluarganya!"

   "Maka kaupun lantas berpendapat, besar kemungkinan A-kit telah mempergunakan titik kelemahannya itu untuk menindas Toa-gou agar ia mau menerima Biau-cu kakak-beradik untuk bersembunyi dalam rumahnya?"

   "Aku hanya berpendapat bahwa dua orang manusia hidup yang begitu besar tak mungkin bakal lenyap tak berbekas seperti uap yang membuyar di angkasa!"

   Toa-tauke segera tertawa.

   "Sesungguhnya tindakan yang diambil A-kit cukup pintar, sayang dia tak mengira kalau di tempatku sinipun masih terdapat seseorang yang jauh lebih pintar daripadanya!"

   Sikap Tiok Yap-cing semakin merendah dan menghormat, sambil menundukkan kepalanya lebih rendah, ia berkata.

   "Aku dapat berhasil karena selamanya tak berani kulupakan setiap nasehat serta petunjuk yang toa-tauke berikan kepadaku tiap-tiap harinya!"

   Gelak tertawa toa-tauke semakin gembira, katanya lagi.

   "Sekarang asal kita dapat mengetahui asal usulnya dari mulut Kim Lan-hoa, kemudian mempergunakan Biau-cu kakak beradik sebagai umpan, maka masakan ia tidak akan mengantarkan tengkuk sendiri masuk ke dalam tali jeratan?"

   "Aku hanya kuatir kalau Kim Lan-hoa tak bersedia mengaku terus terang.....!", kata Tiok Yap-cing mengemukakan kekuatirannya.

   "Bukankah dia seorang pelacur?", tanya toa-tauke.

   "Benar!"

   "Pernahkah kau jumpai seorang pelacur yang benar-benar setia kepada cintanya terhadap seorang pria?"

   "Tidak pernah!"

   "Pernahkah kau jumpai seorang pelacur yang benar-benar tak mau uang dan tak mau nyawanya lagi?"

   "Tidak pernah!"

   Toa-tauke segera tertawa terbahak-bahak.

   "Dan aku sendiripun tidak pernah!", sambungnya. Seprei itu putih bagaikan salju, bahkan membawa bau harum bunga anggrek yang sedap..... A-kit merobek kain tersebut dan dibuatnya menjadi kain pembalut untuk membalut luka-luka bacokan di tubuhnya. Dia tahu toa-tauke tak akan menerima syarat yang diajukan itu, diapun tahu malam nanti pasti akan terjadi suatu pertempuran yang amat sengit. Akan tetapi dia tidak ambil perduli. Namun, mau tak mau ia harus memikirkan kembali keselamatan Kim Lan-hoa. ........Aku pasti akan menuruti perkataanmu, sekalipun harus mati, rahasiamu tak akan kuberitahukan kepada siapapun. Meskipun bekas air mata yang ditinggalkan di atas wajahnya telah mengering, tapi suaranya seakan-akan masih berkumandang dari sisi telinganya. Dapatkah dipercaya kata-katanya itu? Seseorang apabila dirinya sendiripun dapat diperjual-belikan, siapakah yang akan percaya bahwa dia rela mati daripada menjual orang lain.......? A-kit mengikat kencang-kencang robekan kain itu di atas dadanya. Dalam hatinyapun muncul simpul mati, beribu-ribu macam simpul mati yang sukar dibebaskan, sebagai ia bukan datang dari langit, tentu saja diapun mempunyai masa silamnya yang kelabu. Dalam waktu-waktu yang sudah lewat itu dia pernah bersedih hati, ia pernah bergembira, tentu saja diapun mempunyai perempuan. Ia tidak pernah percaya kepada perempuan macam apapun. Dalam pandangannya perempuan tidak lebih hanya semacam perhiasan, semacam alat pemuas dikala kau membutuhkan mereka, mereka akan bersikap seperti seekor kucing, dengan jinak-jinak merpati masuk ke dalam pelukannya........ Tapi di kala ia merasa jemu, mereka akan dicampakkan dengan begitu saja bagaikan sampah. Terhadap masalah ini tak pernah merahasiakan, diapun tak pernah menyesal, sebab ia selalu beranggapan bahwa ia memang telah ditakdirkan untuk merasakan kenikmatannya seorang perempuan. Bila ada perempuan mencintainya, mencintainya setengah mati, bahkan saking cintanya sampai rela mati dalam pelukannya, maka ia selalu beranggapan bahwa perempuan semacam ini memang pantas hidup sengsara. Oleh sebab itu, apabila sekarang Kim Lan-hoa menghianati dirinya, dia akan menganggap hal tersebut sebagai kesialan buat dirinya. Iapun sama sekali tidak ambil perduli. Karena ia telah bersiap sedia untuk beradu jiwa. Seorang manusia dengan selembar nyawa, entah manusia macam apapun itu, entah nyawa apakah itu, asal ia sendiri telah bersiap sedia untuk beradu jiwa, maka apa lagi yang mesti diperdulikan. ..........Tapi benarkah ia sungguh-sungguh tak ambil perduli? ...........Benarkah dalam hatinya terdapat suatu keluhan yang tak dapat diutarakan kepada orang lain? ..........Benarkah ia pernah menderita suatu luka yang selamanya tak dapat disembuhkan kembali? Siapa yang tahu? Bahkan dia sendiripun telah lupa......paling sedikit dengan hati yang bersungguh-sungguh dia berharap dapat melupakan kesemuanya itu........ Ya, kalau dia sendiripun telah melupakan kesemuanya itu, siapa lagi yang mengetahuinya? Di atas meja terdapat sesuatu mutiara dan sebilah pisau. Di samping meja duduk tiga orang..... Toa-tauke, Tiok Yap-cing dan Kim Lan-hoa. Toa-tauke tidak berbicara apa-apa. Bilamana tidak perlu, ia tak pernah bersuara.........jika ada orang telah mewakilinya untuk berbicara, buat apa dia musti buka suara sendiri. Orang yang buka suara lebih dahulu tentu saja Tiok Yap-cing. Suara pembicaraannya selalu lembut dan halus.

   "Untaian mutiara tersebut merupakan mutiara yang paling bagus, bila dikenakan oleh seorang perempuan cantik, tentu saja akan kelihatan bertambah cantik, sekalipun dikenakan oleh seorang perempuan tidak cantik, banyak juga laki-laki yang akan merasa bahwa secara tiba-tiba ia berubah menjadi amat cantik"

   "Aku tahu!", kata Kim Lan-hoa.

   "Kau adalah seorang perempuan yang amat cantik, tapi setiap perempuan tentu akan tiba pula saatnya menjadi tua!"

   "Aku tahu!"

   "Bagaimanapun cantiknya seorang perempuan di kala usianya sudah tua, dia pasti akan berubah menjadi tidak cantik lagi!"

   "Aku tahu!"

   "Setiap perempuan selalu membutuhkan laki-laki, tapi setelah tiba pada saat itu, kau akan merasakan bahwa mutiara selamanya jauh lebih penting dan berharga daripada seorang laki-laki"

   "Aku tahu!"

   Pelan-pelan Tiok Yap-cing membelai mata pisau yang tajam, kemudian katanya lagi.

   "Benda ini adalah sebilah pisau, sebilah pisau yang dapat dipakai membunuh orang"

   "Aku tahu!"

   "Bagaimanapun cantiknya seorang perempuan, apabila pisau itu sampai menembus ulu hatinya, maka mutiara tak berguna lagi baginya, laki-lakipun tak berguna pula baginya"

   "Aku tahu!", kembali Kim Lan-hoa menjawab.

   "Jika kau disuruh memilih, maka kau lebih suka ditusuk oleh pisau ini atau lebih suka mengenakan mutiara tersebut?"

   "Mutiara!"

   Tiok Yap-cing menatapnya lekat-lekat, lama, lama sekali, pelan-pelan ia baru bertanya lagi.

   "Tahukah kau A-kit yang tak berguna itu She apa? Dan bernama siapa? Ia datang darimana?"

   "Aku tidak tahu!"

   Tiok Yap-cing tertawa.

   Pada saat ia mulai tertawa, pisau di tangannya ikut menyambar ke depan dan menyobek telinga kiri Kim Lan-hoa.

   Sambaran tersebut bukan cuma gertak sambal belaka, ia tahu hanya kenyataan yang disertai dengan cucuran darah baru benar-benar dapat menimbulkan rasa ngeri dan takut bagi perempuan itu.

   Betul juga badan Kim Lan-hoa menyusut ke belakang karena ngeri dan takut.

   Ia telah menyaksikan darahnya yang merah, diapun menyaksikan pula separuh bagian telinganya yang rontok bersama cucuran darah tersebut.

   ~Bersambung ke Jilid-7 Jilid-7 Akan tetapi ia tidak merasa sakit, perasaan ngeri dan seram yang mencekam perasaannya waktu itu hampir saja membuat dia lupa akan arti kata dari sakit.

   Paras muka Tiok Yap-cing masih tenang tanpa emosi, katanya dengan suara hambar.

   "Kalau cuma telinga hilang separuh, cacat tersebut masih dapat ditutup oleh rambut, tapi bila hidung yang terpapas separuh, wah! Jelek sudah wajahmu waktu itu!"

   "Baik, aku akan berbicara.....", tiba-tiba Kim Lan-hoa berteriak keras-keras. Tiok Yap-cing segera tersenyum dan menurunkan kembali pisau tajamnya dari wajah perempuan itu, ujarnya.

   "Asal kau bersedia berbicara terus terang, untaian mutiara itu akan menjadi milikmu!"

   "Padahal sekalipun tidak kujelaskan, seharusnya kalian juga tahu siapakah dia!"

   "Oya? Lantas siapakah dia?"

   "Dia adalah raja akhirat yang menghendaki nyawa kalian!"

   Sebelum ucapan tersebut diutarakan habis, tubuhnya telah menerjang ke arah meja, dengan sepasang tangannya ia menggenggam pisau di meja itu, kemudian di tusukan ke dada sendiri.

   Paras muka toa-tauke berubah hebat, sambil menjambak rambutnya, ia membentak keras-keras.

   "Kau tidak lebih cuma seorang pelacur busuk, kenapa kau musti mati lantaran seorang pria?"

   Wajah Kim Lan-hoa telah berubah menjadi pucat pias bagaikan mayat, darah kental masih meleleh menodai ujung bibirnya, meski begitu dia masih hidup, ia masih sempat mengutarakan suara hatinya.

   "Karena hanya dialah seorang pria sejati, kalian tak lebih cuma segerombolan anak jadah yang lebih rendah martabatnya daripada seekor anjing budukan atau seekor babi. Aku bisa mati deminya, aku.....aku sudah merasa gembira sekali"

   Dalam ruangan tak kedengaran suara, sedikit suarapun tidak ada. Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba toa-tauke bertanya.

   "Janji yang kau buat dengannya apakah berlangsung malam nanti?"

   "Benar!", jawab Tiok Yap-cing.

   "Kalau begitu, sekarang juga kau harus menyusul ke sana dan aturlah segala persiapan di sekitar tempat itu"

   "Toa-tauke benar-benar hendak ke situ?"

   Toa-tauke manggut-manggut.

   "Ya, aku ingin bertemu dengannya!", ia menyahut. Kemudian ia menjelaskan lebih jauh.

   "Karena aku benar-benar tidak menyangka kalau dalam dunia ini masih terdapat seorang pria yang dapat membuat seorang pelacur mengorbankan selembar jiwanya dengan rela demi menutup rahasianya. Aku ingin tahu sesungguhnya keistimewaan apakah yang dimiliki orang itu?"

   Tiok Yap-cing menutup mulutnya rapat-rapat. Ia tahu semua keputusan yang telah diambil oleh toa-tauke selamanya tak dapat dirubah oleh siapapun jua. Tapi toa-tauke justru bertanya lagi kepadanya.

   "Bagaimana pendapatmu?"

   Tiok Yap-cing tidak segera menjawab.

   Masalah tersebut mempunyai sangkut paut yang amat besar dengan situasi di sekelilingnya, ia tidak boleh teledor atau melakukan kesalahan walau sekecil apapun, dia harus menganalisa serta mempertimbangkannya kembali sebelum mengambil keputusan.

   "Menurut pendapatmu, berbahayakah keadaanku waktu itu?, toa-tauke kembali bertanya. Tiok Yap-cing termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan ia menjawab.

   "Selama Biau-cu kakak beradik masih berada dalam cengkeraman kita, mungkin saja ia tak berani bertindak secara gegabah"

   "Soal itu akupun telah memikirkannya!"

   "Tapi bila seseorang sanggup menyuruh seorang pelacur mampus baginya, mungkin saja perbuatan macam apapun sanggup pula dilakukan olehnya!"

   "Misalnya perbuatan apa?", tanya toa-tauke.

   "Ada sekelompok manusia, walaupun di hari-hari biasa selalu setia kawan dan berjiwa kesatria, akan tetapi setelah tiba pada saat yang dibutuhkan, seringkali ia tak segan-segan untuk mengorbankan temannya bagi keberhasilan dari tujuannya"

   "Kapankah saat yang dibutuhkan itu akan tiba?"

   "Di saat ia memutuskan untuk melakukan suatu usaha besar!"

   Toa-tauke tidak bertanya lebih jauh. Tentu saja ia dapat memahami maksud dari Tiok Yap-cing, barang siapa sanggup membinasakan dia, maka kejadian tersebut pasti akan merupakan suatu peristiwa besar yang akan menggetarkan seluruh dunia persilatan.

   "Sebelum malam hari menjelang tiba nanti, aku pasti akan membawa seluruh jago terbaik kita untuk berkumpul di gedungnya Han toa-nay-nay. Jago terbaik kita masih dapat digunakan paling sedikit masih ada tiga puluh orang"

   "Belum cukupkah jago-jago sebanyak itu untuk melindungi keselamatan jiwaku?", kata toa-tauke.

   "Mungkin lebih dari cukup, mungkin juga belum cukup, selama hal ini masih ada kemungkinan membahayakan jiwamu, aku tak akan berani untuk melakukannya!"

   "Asal mereka semua menghadang di hadapanku, paling sedikit aku kan bisa mengundurkan diri dari sana!"

   "Tapi tujuan sasarannya hanya toa-tauke seorang, asal kami sedikit teledor, maka kemungkinan besar dia akan segera turun tangan, serangannya itu mungkin tak bisa ditahan oleh siapapun"

   Ia menghela napas panjang, kemudian terusnya.

   "Andaikata Thi-hou (Harimau baja) berada di sini, tentu keadaannya sama sekali berbeda"

   "Jadi maksudmu, aku tak boleh ke sana?"

   "Seandainya toa-tauke bersikeras ingin menjumpainya, tentu saja kau boleh pergi ke situ, cuma........."

   "Cuma kenapa?"

   "Kita toh tidak musti membiarkan ia berjumpa dengan toa-tauke!"

   Tiok Yap-cing tidak menjelaskan lebih jauh, dia tahu toa-tauke segera akan memahami maksudnya.

   Barang siapa dapat menangkap macam toa-tauke tersebut, jelas hal itu bukan dilakukan secara untung-untungan, ia harus mempunyai kepandaian serta kecerdasan yang melebihi orang lain.

   Betul juga, ternyata toa-tauke tidak membuatnya menjadi kecewa, demikian ia berkata.

   "Oleh karena ia belum pernah bertemu denganku, maka kita boleh sembarangan mencari seseorang untuk menyaru sebagai diriku guna menjumpainya, sedang aku dengan menyaru sebagai pengikutnyapun sama saja masih dapat bertemu dengannya"

   "Ya, seandainya dia hendak turun tangan, sebagai sasarannya pasti orang itu, sedang toa-tauke sendiri dapat mengundurkan diri dari situ dengan selamat"

   "Bagus, suatu ide yang sangat bagus!", puji toa-tauke sambil tersenyum.

   "Tidak bagus, sedikitpun tidak bagus!", tiba-tiba seseorang berseru dari luar pintu. Tempat itu merupakan kamar baca dari toa-tauke, juga merupakan tempat paling rahasia yang biasanya dipergunakan sebagai tempat perundingan rahasia dengan pembantu-pembantu setianya. Tanpa seijin toa-tauke, siapapun tidak berani menerjang masuk ke pintu luar. Tapi orang itu telah berada di luar pintu. Maksud hati toa-tauke selamanya tak pernah dibantah oleh siapapun, jika toa-tauke sudah mengatakan 'baik', maka hal itu pasti baik, selamanya tak ada orang yang berani berdebat. Tapi orang itu terkecuali. Selama berada di hadapan toa-tauke, hanya orang ini yang berani melakukan perbuatan yang tidak berani dilakukan orang lain, hanya dia pula yang berani mengucapkan kata-kata yang tak berani diucapkan orang lain.......... Sebab pekerjaan yang dapat ia lakukan bagi toa-tauke tak mungkin bisa dilakukan pula oleh orang lain. Begitu mendengar suaranya, dengan wajah berseri Toa-tauke segera berteriak.

   "Thi-hou telah pulang!"

   Semangkuk besar mie daging sapi yang masih panas dan mengepulkan asap baru saja dihidangkan, kuahnya kental dan diatasnya ditambah dengan dua butir telur serta dua batang tulang bay-kut, tampaknya nikmat sekali rasanya.

   Tapi A-kit tidak tahu bagaimanakah perasaan hatinya pada waktu itu........? Sudah lama tak pernah ia nikmati makanan selezat ini, baginya hidangan semacam itu sudah merupakan suatu kenikmatan, diapun ingin sekali mengajak teman-temannya untuk merasakan pula kenikmatan tersebut.

   Ia ingin sekali pergi ke rumah Toa-gou untuk menjumpai Biau-cu dan si Boneka.

   Akan tetapi ia tak berani menyerempet bahaya.

   Ketika meninggalkan rumah perjudian milik Thi-tau (si kepala baja), di atas meja masih bertumpuk uang perak hasil taruhan semalam.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia hanya membawa pergi setahil perak yang terkecil.

   Dia harus makan sedikit untuk mengembalikan tenaga dalam tubuhnya, dan dia harus memaksakan diri untuk menghabiskan semangkuk mie itu.

   Warung penjual mie itu kecil, berada di lorong sempit dan sangat gelap.

   A-kit duduk di sebuah sudut ruangan yang paling gelap sambil menundukkan kepalanya, pelanpelan makan mie.

   Ia tak ingin melihat orang lain, diapun tak ingin orang lain melihatnya.

   Dia hanya ingin menghabiskan semangkuk mie tersebut dengan tenang, tetapi ia belum menghabiskan mie itu.

   Pada saat dia mulai melahap telur yang kedua, tiba-tiba dari atas atap rumah yang terbuat dari papan-papan kayu lama itu berhamburan segenggam debu yang segera mengotori mangkuk berisi mie itu.

   Menyusul kemudian......"Kreteeek"

   Atap rumah terbuka sebuah lubang besar dan seseorang melayang turun ke bawah, sambil mendekam di belakang tubuhnya ia berbisik lirih.

   "Jangan bergerak, jangan bersuara, kalau tidak kuhabisi segera selembar nyawamu!"

   A-kit tidak bergerak pun tidak berbicara apa-apa.

   Satu-satunya pelayan yang berada dalam warung mie itu berdiri dengan kaki lemas saking takutnya, sebab ia telah menyaksikan sebilah golok yang memancarkan sinar tajam dalam genggaman orang itu, diapun menyaksikan pula sepasang mata bagaikan binatang buas yang liar dan menggidikkan hati.

   Ya, mata itu seperti mata binatang buas yang sedang diburu-buru oleh pemburu dan terpojok tak sanggup kabur lagi, sebab di balik sinar matanya yang liar terselip juga rasa ketakutan ngeri serta hawa pembunuhan yang menggidikkan hati.

   "Kau duduk, pelan-pelan duduk!", perintah orang itu lagi kepada pelayan warung mie tersebut.

   "berlagaklah seakan-akan tak pernah menyaksikan sesuatu apapun"

   Pelayan segera duduk di atas sebuah bangku bobrok dan tak berani berkutik, sekujur badannya hampir lemas karena ketakutan. Orang itu lagi-lagi memberi perintah kepada A-kit.

   "Lanjutkan makan mie mu itu, makan sampai habis!"

   A-kit melanjutkan kembali daharnya melahap mie sapi di hadapannya......

   Bakpao yang telah terjatuh ke dalam tinjapun dia makan, apalagi dalam mangkuk mie hanya kejatuhan abu, sudah barang tentu ia lebih-lebih tak ambil perduli.

   Ia dapat merasakan ketegangan serta kengerian yang mencekam orang di belakangnya itu, entah apa yang sedang ditakuti orang itu? Tapi dia tak ingin tahu.

   Setelah menyaksikan laki-laki tinggi besar itu, sebagian besar orang yang berlalu lalang di atas jalan raya segera membungkukkan badannya sambil menundukkan kepalanya rendah-rendah.

   Dengusan napas orang yang bersembunyi di belakang A-kit bertambah memburu, bahkan sekujur badannya seakan-akan ikut gemetar tiada hentinya......

   ......Laki-laki tinggi besar inikah yang sedang ia takuti? ......Siapakah laki-laki kekar itu? Kenapa begitu banyak orang yang jeri kepadanya? A-kit kembali menundukkan kepalanya sambil mulai makan mie.

   Di saat ia sedang menundukkan kepalanya itu, seakan-akan dilihatnya laki-laki kekar itu melirik sekejap ke dalam warung mie, sinar matanya terasa begitu tajam bagaikan sambaran petir.

   Untung dia hanya melirik sekejap, kemudian dengan langkah lebar berlalu dari sana.

   Pada waktu itulah A-kit baru melihat bahwa di pinggangnya tergantung seutas tali, pada ujung tali itu terikatlah enam orang manusia.

   Pakaian yang dikenakan ke enam orang itu sangat perlente dan mewah, bahkan ikat pinggang, topi, sepatu dan kaus kakipun merupakan benda-benda mewah yang mahal harganya.

   Akan tetapi raut wajah ke enam orang itu sudah babak belur, ada yang matanya bengkak, hidungnya berdarah, bahkan ada pula tangan dan kakinya patah, namun orang-orang itu bagaikan anjing jinak dengan tenangnya mengikuti helaan tali laki-laki tersebut ke manapun ia pergi.

   Menanti ke enam orang itu sudah berlalu, orang yang bersembunyi di belakang A-kit baru menghembuskan napas lega, genggamannya pada gagang golok ikut mengendor.

   Tiba-tiba A-kit bertanya.

   "Apakah orang-orang itu adalah sahabatmu?"

   "Tutup mulut!", dengan marah orang itu malah membentak.

   "A-kit tidak membungkam, sebaliknya malahan berkata lagi.

   "Kalau kau memang berhasil melarikan diri, kenapa tidak kau tolong pula rekan-rekanmu itu?"

   Belum habis ucapan tersebut diutarakan, mata golok telah ditempelkan di atas tengkuknya, menyusul kemudian dengan marah orang itu mengancam.

   "Jika kau berani bersuara lagi, segera kucabut selembar jiwamu!"

   Belum lagi ucapannya itu selesai diucapkan, kembali ada seseorang menyambung dengan suara dingin.

   "Sekalipun kau tidak bersuara, aku tetap menginginkan selembar jiwamu itu!"

   Laki-laki tinggi besar yang tampak dengan jelas telah keluar dari pintu warung, tiba-tiba telah berjalan kembali, dan secara tiba-tiba ia telah berdiri di hadapan A-kit.

   Sepasang matanya memancarkan serentetan sinar yang lebih tajam dari petir, tulang jidatnya tinggi menonjol keluar, hidungnya mancung seperti elang dan mulutnya sangat lebar.

   Sambil menundukkan kepalanya A-kit masih melanjutkan santapannya untuk melahap mie itu.

   Tiba-tiba orang yang bersembunyi di belakangnya itu menempelkan goloknya di tengkuk orang, lalu ancamnya.

   "Jika kau berani turun tangan, akan kubunuh orang ini lebih dahulu!"

   "Kalau orang itu kau bunuh, maka aku tak akan membunuh dirimu", jawab laki-laki tersebut tenang. Kemudian dengan suara yang lebih berat dan seram ia menambahkan.

   "Paling sedikit akan kusuruh kau hidup tiga tahun lebih lama, agar kau merasakan tiga tahun siksaan hidup"

   A-kit masih saja menundukkan kepalanya sambil makan mie.

   Mendadak orang yang bersembunyi di belakangnya itu melompat ke muka, goloknya secepat sambaran kilat langsung dibacokkan ke atas batok kepala laki-laki kekar itu.

   Laki-laki tersebut sama sekali tidak bergerak, kepalanya juga tidak bergerak, tangannya hanya dijulurkan ke muka dan tahu-tahu pergelangan tangan orang itu sudah tergenggam.

   "Kreeekkk.....!", tulang pergelangan tangan orang itu segera remuk dan.......

   "Traaang.......!", golok dalam genggamannya terjatuh ke tanah, menyusul kemudian orang itu ikut berlutut ke tanah. Di tatapnya kemudian orang itu dengan dingin, lalu laki-laki tadi berkata dengan dingin.

   "Mau ikut aku tidak?"

   Saking sakitnya air matapun ikut bercucuran membasahi wajah orang itu, ia menganggukkan kepalanya berulang kali.

   "Aku mau ikut! Aku mau ikut!"

   Laki-laki itu tertawa dingin, sebelum menyeretnya keluar dari warung, tiba-tiba ia berpaling dan melotot kepada A-kit. A-kit masih menundukkan kepalanya sambil makan mie. Tiba-tiba laki-laki itu tertawa dingin sambil mendesis.

   "Saudara, pandai benar kau menahan diri!"

   A-kit sama sekali tidak mendongakkan kepalanya, dia hanya berkata.

   "Aku lapar sekali, aku hanya ingin makan mie!"

   Kembali laki-laki itu melotot ke arahnya sekian lama, akhirnya berpaling kepada pelayan warung tersebut sambil berkata.

   "Masukkan ongkos mie itu ke dalam rekeningku!"

   "Baik!", jawab sang pelayan cepat sekali.

   "Terima kasih!", A-kit mendesis.

   "Tidak usah!"

   Pada ujung tali telah bertambah lagi dengan seorang manusia, tujuh orang diikat menjadi satu dengan seutas tali, keadaan mereka mirip sekali dengan segerombolan anjing yang dituntun oleh seorang manusia.

   Akhirnya A-kit menghabiskan semangkuk mie daging itu.

   Setelah kenyang ia baru bangkit berdiri dan berjalan ke hadapan pelayan warung itu seraya bertanya.

   "Siapakah orang itu?"

   Rupanya rasa kaget di hati pelayan itu belum hilang, ia balik bertanya dengan suara gemetar.

   "Orang yang mana?"

   "Orang yang barusan membayarkan rekening mie-ku!"

   Pelayan tersebut segera celingukan ke sana kemari, kemudian sambil merendahkan suaranya, ia berbisik.

   "Dia adalah seorang manusia yang paling susah dilayani!"

   "Siapa namanya?"

   "Thi-hou, si Harimau Baja, badannya lebih keras dari baja dan sikapnya lebih garang daripada seekor harimau!"

   A-kit tertawa getir, dibalik tertawanya itu terseliplah nada mengejek yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   "Orang yang dapat menuntun tujuh ekor serigala bagaikan menuntun anjing, tentu saja ia akan lebih garang daripada seekor harimau!"

   Tiba-tiba suara pelayan itu semakin di rendahkan bisiknya lagi.

   "Kau kenal dengan dia?"

   "Tidak, aku tidak kenal!"

   Senyuman di ujung bibirnya berubah semakin aneh, pelan-pelan lanjutnya lebih jauh.

   "Tapi aku tahu, bahwa dengan cepat kami akan segera berkenalan!"

   "Thi-hou telah pulang!"

   Sekarang ia berdiri di hadapan Toa-tauke, meskipun pinggangnya ditekuk dalam-dalam namun sikapnya menunjukkan kesombongan serta rasa hormatnya yang tak mungkin dibuat-buat.

   Ia sombong karena dia telah menyelesaikan suatu pekerjaan besar bagi orang yang dihormatinya.

   "Kau telah kembali jauh lebih awal daripada apa yang kami bayangkan semula!", demikian toatauke berkata.

   "Ya, karena gerombolan serigala itu sesungguhnya bukan serigala, melainkan hanya anjing-anjing budukan!", jawab Harimau Baja. Toa-tauke segera tersenyum.

   "Selama berada di hadapanmu, sekalipun mereka benar-benar seekor serigala juga akan berubah menjadi seekor anjing!"

   Thi-hou ikut tertawa, ia bukan seorang manusia munafik, ia suka mendengarkan pujian orang lain, terlebih pujian dari toa-tauke nya yang paling dihormati.

   "Dimanakah gerombolan anjing-anjing itu sekarang?", kembali toa-tauke bertanya.

   "Enam ekor anjing mati sudah kuberikan kepada serigala, sedang tujuh ekor anjing hidup telah kubawa pulang!"

   "Seekorpun tidak ada yang terlepas?"

   "Sebenarnya di tengah jalan tadi ada seekor diantaranya yang hampir saja lolos, aku tidak menyangka kalau dalam celananya masih tersembunyi sebilah golok"

   "Dimanakah golok itu sekarang?"

   "Sekarang golok itu sudah kutusukkan ke dalam lubang pantatnya"

   Toa-tauke terbahak-bahak setelah mendengar perkataan itu. Ia paling suka dengan cara kerja Thihou, karena cara kerjanya beraneka ragam, semua tindakan yang dilakukan Thi-hou selalu paling langsung, paling sederhana dan paling manjur.

   "Siapa yang hendak kau temui tadi?", tiba-tiba Thi-hou bertanya.

   "Dia bernama A-kit!"

   "A-kit?"

   "Aku tahu nama tersebut pasti belum pernah kau dengar, sebab hakekatnya itu bukan nama aslinya, dan lagi ia paling suka kalau orang lain menganggapnya sebagai seorang manusia yang tak berguna"

   "Padahal ia berguna sekali?"

   "Bukan saja berguna, bahkan mungkin saja sangat ternama, sebab seringkali ada sementara orang yang tak ingin orang lain menyebut nama aslinya lantaran nama tersebut terlampau ternama dalam dunia persilatan"

   Thi-hou dapat memahami maksud ucapan tersebut, karena ia sendiripun demikian, ia sudah puluhan tahun menyembunyikan nama aslinya.

   "Sebenarnya kami telah berjanji akan berjumpa muka malam nanti, tapi Siau-yap kuatir aku ketimpa musibah!", kata toa-tauke lagi. Thi-hou segera tertawa dingin.

   "Heeeehhhh..... heehhhh..... heeeehhhhh.... nyali Siau-yap selamanya memang lebih kecil daripada selembar daun"

   "Kau tak dapat menyalahkan dia, bila seorang bisa melakukan pekerjaan dengan teliti dan berhatihati, tak akan ia jumpai hal-hal yang kurang menyenangkan hati"

   Tiok Yap-cing selama ini hanya sebagai seorang pendengar setia, ia hanya tersenyum belaka. Menunggu Thi-hou sudah tidak bersuara lagi, ia baru berkata.

   "Pada waktu itu mau tak mau aku harus bertindak lebih berhati-hati, sebab Hou-toako belum pulang kemari"

   "Bagaimana sekarang?", Thi-hou bertanya.

   "Sekarang tentu saja berbeda!"

   Ia masih saja tertawa, tapi suara tertawanya membuat orang yang mendengarkan menjadi tak enak badan, katanya lagi.

   "Sekarang apabila toa-tauke ingin bertemu dengan seseorang, asal Hou-toako mau turun tangan, dengan segera orang itu berhasil ditangkapnya!"

   "Kau kira aku tidak sanggup?", seru Thi-hou dengan mata mendelik.

   "Kalau Hou-toako sendiripun tak sanggup, lantas siapakah manusia di dunia ini yang sanggup melakukannya?"

   Sepasang kepalan Thi-hou telah menggenggam kencang.

   "Kau sudah lelah!", tiba-tiba toa-tauke berkata. Kepada Tiok Yap-cing kembali ujarnya.

   "Kini Thi-hou telah pulang, tak ada salahnya kalau kau pulang dulu dan tidurlah barang dua jam!"

   "Baik"

   "Seandainya di atas pembaringanmu ada orang sedang menunggumu untuk menemani kau tidur, kaupun tak usah kaget, lebih-lebih lagi tak usah sungkan-sungkan"

   "Baik!"

   "Tidak terbatas siapapun orang itu!"

   "Baik!"

   Tiok Yap-cing segera mengundurkan diri, ia tidak bertanya siapakah orang itu, diapun tidak menanyakan yang lain.

   Setiap ucapan toa-tauke selamanya ia hanya menuruti tanpa membantah, iapun tak pernah banyak bertanya.

   Hingga Tiok Yap-cing keluar dari pintu ruangan, Thi-hou masih mendelik ke arahnya, sepasang kepalannya masih tergenggam kencang-kencang sehingga otot-otot hijaunya pada menonjol ke luar, biji matanya ikut berputar dengan liar.

   Sebagian besar orang yang kebetulan menyaksikan biji matanya berkeliaran liar, biasanya mereka akan menyingkir jauh-jauh, bahkan semakin jauh semakin baik.

   Toa-tauke mengawasi biji matanya yang berkeliaran itu tajam-tajam, tiba-tiba ia bertanya.

   "Sudah berapa lama kau mengikuti aku?"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Lima tahun!"

   "Belum, belum lima tahun. Yang tepat adalah empat tahun sembilan bulan dua puluh empat hari"

   Biji mata Thi-hou tidak jelalatan lagi, sinar kagum dan hormat segera memancar keluar dari balik matanya, ia tak menyangka kalau toa-tauke dapat mengingat-ingat segala persoalan kecil itu sedemikian jelasnya, biasanya orang yang memiliki daya ingatan yang bagus, selalu akan mendatangkan perasaan kagum dan hormat bagi orang lain.

   Toa-tauke kembali bertanya.

   "Tahukah kau sudah berapa lama Siau-yap mengikuti diriku?"

   "Ia jauh lebih lama daripadaku"

   "Benar, ia sudah enam tahun mengikuti aku, tepatnya enam tahun tiga bulan tiga belas hari!"

   Thi-hou tidak berani bersuara. Kembali Toa-tauke bertanya.

   "Selama kau mengikuti diriku, sudah empat puluh tujuh laksa uang perak yang kau hamburkan dan tujuh puluh sembilan orang perempuan yang kau cicipi, tapi dia?"

   Thi-hou tidak tahu.

   "Aku telah memberitahu kepada kasir, bahwa berapapun yang kalian berdua gunakan, aku akan melayani terus, tapi dalam enam tahun ini seluruhnya dia hanya menggunakan uang sebesar tiga ribu tahil perak"

   Thi-hou si harimau baja berusaha menekan sabar, tapi akhirnya meledak juga kesabarannya itu, dia berseru.

   "Maklumlah tauke, ada orang yang pandai menghamburkan uang, tapi ada pula yang tidak mampu.........?"

   "Diapun tidak mempunyai perempuan!", kembali toa-tauke berkata. Thi-hou kembali bersabar agak lama, toh akhirnya ia tak tahan juga, kembali serunya.

   "Siapa tahu kalau hal ini disebabkan dia pada hakekatnya bukan seorang pria jantan?"

   "Akan tetapi pekerjaan yang ia lakukan bagiku tidak bisa dikatakan lebih sedikit dari apa yang telah kau kerjakan untukku!"

   Thi-hou tak mau mengakuinya, tapi diapun tak berani menyangkal. Kembali toa-tauke berkata.

   "Pekerjaan yang ia lakukan bagiku bukan termasuk pekerjaan yang dapat mengangkat nama atau mempopulerkan nama baiknya, dia tak suka uang dan tak mau main perempuan pula, coba pikirlah apa yang ia tuju selama ini.......?"

   Thi-hou lebih-lebih tak berani membuka suara.

   "Kecuali nama, kekayaan dan perempuan, masih ada perbuatan apa lagi di dunia ini yang bisa menggerakkan perasaan seorang pria?", tanya toa-tauke lebih lanjut. Thi-hou mengetahuinya, tapi ia tak berani mengutarakannya keluar.

   "Itulah kekuasaan!", akhirnya toa-tauke mengucapkannya sendiri. Apabila seorang pria telah berhasil memegang tampuk kekuasaan, apapun yang diinginkan dapat segera diperoleh, apa lagi yang merisaukan hatinya? "Apapun tidak ia inginkan", kata toa-tauke lagi.

   "siapa tahu karena dia hanya mengincar kedudukanku ini!"

   Mencorong sinar tajam dari balik mata Thi-hou, katanya.

   "Asal toa-tauke mengucapkan sepatah kata, setiap saat aku dapat membekuk batang leher keparat itu!"

   "Kau yakin sanggup membekuk batang lehernya?"

   "Aku........"

   "Aku tahu akan kepandaian silatmu, akupun tahu banyak orang kenamaan yang pernah keok di tanganmu selama ini!", kata toa-tauke. Thi-hou tidak menyangkal, iapun tidak menunjukkan perasaan puasnya.

   "Selama enam tahun ini, belum pernah kuutus Siau-yap untuk turut serta dalam suatu gerakan atau suatu operasi, karena aku sendiripun selalu menganggap bahwa ia adalah seorang manusia yang tidak memiliki kepandaian silat!", ucap toa-tauke menyengir.

   "Pada dasarnya ia memang tidak memiliki kepandaian apa-apa"

   "Keliru......! Keliru........! Kau keliru, akupun keliru!"

   "Oya?", si macan baja kurang percaya.

   "Ya, hingga hari ini aku baru tahu bahwa diapun seorang jago silat kelas satu!"

   "Jago silat macam apakah dia itu?", tidak tahan Thi-hou bertanya.

   "Toa-tauke pernah menyaksikan ia mempergunakan goloknya?"

   "Ya, hari ini aku baru menyaksikan sendiri, kepandaiannya mempergunakan golok jauh lebih bagus dari kepandaian golok manapun yang pernah kujumpai selama ini!" ......Mata golok baru saja berkelebat, separuh telinga Kim Lan-hoa telah tersayat kutung menjadi dua.

   "Bukan cuma cepat saja gerakan goloknya, lagi pula sangat tepat dan mantap, tapi hingga kini dia selalu menyembunyikan kepandaian lihaynya itu, mungkin saja hingga kini dia masih menganggap aku tidak mengetahuinya"

   Sesudah tersenyum, kembali ujarnya.

   "Tapi diapun keliru besar, sekalipun aku tak pernah makan daging babi, paling tidak aku toh pernah menyaksikan babi yang sedang berjalan"

   Senyumannya masih begitu tenang, begitu santai, seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu apapun. Thi-hou mulai gusar, agak kesal ia setelah mendengar kata-kata tersebut, katanya kemudian.

   "Aku bukannya tak pernah bertemu dengan orang yang pandai mempergunakan golok!"

   "Aku tahu jago-jago lihay yang berasal dari Ngo-hou-toan-bun-to (Golok sakti panca harimau pemutus nyawa), Ban Sin-to, Jit Ciau-to dan Tay-heng-kuay-to, semuanya pernah keok di tanganmu, paling tidak jumlahnya telah mencapai dua sampai tiga puluh orang lebih"

   "Ya, termasuk Hui-long-to (Golok serigala terbang) Kang Tiong yang ku bekuk hari ini, jumlahnya persis mencapai tiga puluh orang"

   "Akupun tahu bahwa kau pasti masih sanggup untuk melenyapkan dari muka bumi!"

   "Setiap waktu setiap saat aku sanggup melaksanakan tugas ini!"

   "Tapi sekarang masih belum perlu!"

   "Mengapa?"

   "Sebab aku tahu paling tidak hingga kini ia masih belum berniat untuk menghianati diriku"

   "Bila harus menunggu sampai toa-tauke mengetahui hal ini, aku kuatir waktu itu keadaan sudah terlalu lambat!"

   "Tidak, tidak mungkin terlalu terlambat!"

   "Kenapa?"

   "Sebab diapun seorang pria, bagaimanapun macam pria tersebut, biasanya ia tak akan sanggup menyimpan rahasia hatinya, apabila berada di hadapan perempuan yang disukainya"

   Di atas meja kecil terletak sebuah pot bunga, dalam pot ada beberapa kuntum bunga, dipetiknya sekuntum lalu diciumnya sebentar, kemudian katanya kembali.

   "Jika perempuan itu cukup pintar, dan lagi seringkali berada di sisi pembaringannya, maka sekalipun tidak ia katakan, perempuan itupun akan mengetahuinya juga"

   "Masa ada perempuan yang disukainya?"

   "Tentu saja ada!"

   "Siapa?"

   "Ki-ling!"

   Toa-tauke tahu bahwa Thi-hou pasti tidak kenal siapakah Ki-ling tersebut, maka ia menjelaskan lebih jauh.

   "Ki-ling adalah perempuan yang mempunyai tahi lalat pada ujung bibirnya dan kubawa pulang dari Chin-hui-ho itu"

   Thi-hou memang bukan termasuk orang bodoh, ia segera paham.

   "Oh, dan dia pula perempuan yang sedang menantinya tidur pada malam nanti di atas pembaringannya!"

   Toa-tauke tersenyum, ia tahu dia telah membuat Thi-hou memahami dua persoalan.

   ......Toa-tauke adalah seorang manusia yang tidak gampang dihadapi, ia tak akan mengijinkan orang lain membohonginya.

   ......Orang yang benar-benar dipercayai toa-tauke dan betul-betul menjadi orang kepercayaannya hanya Thi-hou seorang.

   Ia tahu hanya mengandalkan dua hal tersebut sudah cukup untuk memperoleh imbalan berupa kesetiaan Thi-hou terhadapnya.

   Sambil tersenyum ia memejamkan matanya, diam-diam Thi-hou telah mengundurkan diri, ia percaya si harimau baja ini pasti mempunyai akal bagus untuk menghadapi A-kit.

   Selain itu diapun tahu bahwa Thi-hou pasti pergi menjumpai Thi-jiu (tangan baja) A-yong untuk menanyakan cara apa yang telah dipergunakan A-kit.

   Di kala mengerjakan tugas lain, meskipun orang ini seringkali menunjukkan sikap serta cara kerja yang gegabah dan sembrono, akan tetapi bila bertemu dengan musuh yang tangguh dan lihai, maka ia akan berubah jauh lebih cerdik, jauh lebih cekatan dari siapapun jua.

   Sejak angkat nama pada sepuluh tahun berselang, jarang sekali korbannya bisa lolos dalam keadaan selamat.

   Walaupun toa-tauke sedang memejamkan matanya, seakan-akan ia menyaksikan A-kit roboh terkapar di ujung pedang Thi-hou dan sedang bermandikan darah kental sendiri.

   ooooOOOOoooo Bab 9.

   Duel Ruangan itu nyaman dan bersih.

   Toa-tauke tak pernah menelantarkan atau mencemooh anak buahnya, A-yong pun belum kehilangan nilai keseluruhan dari kepentingannya untuk melaksanakan suatu tugas.

   Hanya saja tangannya masih dibalut, apalagi sakitnya setengah mati.

   Sewaktu Thi-hou masuk ke dalam ruangan, ia sedang berbaring di atas pembaringan, ia berharap Han toa-nay-nay bisa mencarikan seorang perawan baginya untuk menghilangkan kekesalannya selama ini.

   Tapi dia tahu, orang yang masuk ke dalam kamarnya sekarang pastilah Thi-hou.

   Selamanya hanya Thi-hou seorang yang berani memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu lebih dulu.

   Kendatipun ia merasa sangat tidak puas terhadap sikapnya ini, namun ketidak puasannya itu tidak pernah diutarakan kepada siapapun.

   Ia membutuhkan seorang sahabat macam Thi-hou, terutama dalam keadaan seperti ini, teman semacam itu lebih-lebih lagi dibutuhkan, kendatipun demikian, seandainya Thi-hou mati, diapun tak akan melelehkan setitik air matapun.

   Dengan pandangan tajam Thi-hou mengamati tangannya yang dibungkus rapat oleh kain putih itu, kemudian sambil mengernyitkan dahi tegurnya.

   "Parahkah lukamu itu?"

   A-yong hanya bisa tertawa getir.

   Tentu saja luka yang dideritanya amat parah, bahkan mungkin lengannya tak bisa dipergunakan lagi selamanya, tapi tentang soal ini, dia harus merahasiakan sebaik-baiknya.

   Ia tahu toa-tauke tak akan memelihara seorang manusia tak berguna yang sudah tak ada harapannya dalam suatu jangka waktu yang lama.

   "Siapakah yang telah melukaimu?", Thi-hou mulai membuka pembicaraan.

   "Ia mengatakan dirinya bernama A-kit, A-kit yang tak berguna!"

   "Tapi ia telah melukai dirimu, membinasakan Toa-kang!"

   A-yong tertawa getir.

   "Mungkin ia tak berguna dalam hal lain, tapi ilmu silatnya jelas sangat berguna"

   "Dengan benda apakah ia melukai dirimu?"

   "Dengan apa lagi? Tentu saja menggunakan tangannya!"

   Sebenarnya dia ingin mengatakan dilukai dengan sebuah benda yang terbuat dari besi, tapi ia tak berani berbohong, sebab masih terdapat banyak orang yang menyaksikan peristiwa tersebut dengan mata kepalanya sendiri ketika itu.

   Sepasang alis mata Thi-hou yang tebal berkernyit semakin kencang.

   Ia tahu ilmu silat A-yong terutama dalam hal telapak tangan bajanya mempunyai kesempurnaan yang meyakinkan.

   Bukan suatu pekerjaan yang gampang bila seseorang ingin melukai telapak tangan bajanya hanya mempergunakan tangan telanjang.

   "Aku tahu kau pasti ingin bertanya kepadaku ilmu slat apakah yang telah ia gunakan?", kata Ayong. Thi-hou mengakuinya, sebab ia memang bukan datang untuk menjenguk si sakit.

   "Sayang aku sendiripun tidak tahu, ilmu silat dari aliran manakah yang telah ia pergunakan"

   Hawa gusar memancar keluar lewat sorot mata Thi-hou, katanya.

   "Sudah hampir dua-tiga puluh tahun kau melatih ilmu silatmu, tidak sedikit pula manusia yang telah kau bunuh, selama dalam dunia persilatan reputasimu cukup baik, tapi sekarang orang lain telah menghajarmu sedemikian rupa, sebaliknya kau malah tidak tahu dengan ilmu silat apakah orang melukai dirimu"

   "Serangannya terlampau cepat, hingga sulit diikuti dengan pandangan mata.....", keluh A-yong. Thi-hou tertawa dingin, tiba-tiba ia mencengkeram tangan A-yong yang terluka dan melepaskan kain pembalut tangannya itu.

   "Hei, mau apa kau?", A-yong segera menegur dengan paras muka berubah hebat.

   "Aku ingin memeriksanya"

   A-yong segera tertawa paksa.

   "Sebuah lengan yang sudah rusak, masa ada yang menarik untuk dilihat.....?", katanya.

   "Ada!"

   "Menurut tabib dari Ciang-po-thong, mereka telah membalutkan tanganku ini sebaik-baiknya, ia minta kepadaku agar dalam dua hari ini jangan sekali-kali menyentuhnya"

   "Aaaahhh.....! Telur busuk maknya!", damprat Thi-hou. Terpaksa A-yong menutup kembali mulutnya, sebab kain pembalut yang membalut tangannya kini sudah terlepas semua. Menyaksikan telapak tangannya itu, paras muka Thi-hou ikut berubah hebat....... Telapak tangan baja yang pernah dilatih selama hampir dua puluh tahun, kini boleh dibilang sudah hancur remuk dan tak ketolongan lagi.... Tangan itu jelas dihancurkan dengan hanya menggunakan tiga batang jari tangan, sebab pada punggung tangannya masih tertinggal tiga bekas jari tangan yang berwarna semu hitam. ....Ilmu silat apakah yang sesungguhnya dilatih oleh A-kit yang tak berguna? Tiba-tiba Thi-hou menghela napas panjang, ujarnya.

   "Bagaimanapun juga, kita masih terhitung bersahabat!"

   "Ya, sejak dulu sampai sekarang kita memang bersahabat!", A-yong menimpali sambil tertawa paksa.

   "Sebab itu kau tak usah kuatir, aku tak akan memberitahukan peristiwa ini kepada siapapun"

   "Peristiwa apa?", suara tertawa A-yong kedengaran makin dipaksakan.

   "Sejak kini tanganmu sudah cacad seumur hidup dan tak bisa dipakai lagi........"

   Senyuman A-yong segera membeku, kelopak matanya menyusut dan wajah wajahnya berubah menjadi pucat pias.

   "Sayangnya, sekalipun aku telah merahasiakan peristiwa ini bagimu, cepat atau lambat toa-tauke pasti akan mengetahuinya juga, sebab itu..........lebih baik susunlah rencana baru untuk menghadapi kehidupanmu di masa mendatang........!"

   A-yong tertunduk lemas, tiba-tiba ia berteriak dengan suara lantang.

   "Aku masih tetap dapat membunuh orang bagi toa-tauke walaupun hanya mempergunakan tangan sebelah!"

   Thi-hou tertawa dingin.

   "Membunuh manusia macam apa? Membunuh manusia yang lebih tak berguna daripada dirimu?"

   Dari sakunya dia ambil keluar setumpuk uang kertas, lalu tanpa dihitung lagi diangsurkan ke hadapan A-yong, katanya.

   "Cepat atau lambat uang ini pasti kau butuhkan, baik-baiklah kau simpan dan tak usah digunakan terlalu royal"

   Selesai mengucapkan kata-kata itu, tanpa berpaling lagi ia keluar dari ruangan tersebut.

   Ketika Tiok Yap-cing masuk ke ruangan, uang kertas itu masih tergeletak di atas pembaringan.

   A-yong masih memandang tumpukan uang kertas itu dengan mata mendelong dan wajah termangu.

   "Aku datang khusus untuk menengok keadaan penyakitmu", kata Tiok Yap-cing dengan lembut.

   "secara kebetulan juga kudengar pembicaraan kalian"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau telah mendengarnya? Itu memang lebih baik!"

   "Bagaimanapun juga ia memang masih cukup baik sikapnya kepadamu......", Tiok Yap-cing menambahkan.

   "Ya, ia memang bersikap baik kepadaku, bahkan baik sekali, maka dia suruh aku menyimpan baik-baik tumpukan uangnya itu"

   Tiba-tiba ia tertawa tergelak.

   "Haaaahhhhh......haaaahhhhh.....haahhhh......disimpan untuk apa? Memangnya aku akan pergunakan sedikit uang busuknya itu untuk berdagang kecil-kecilan? Atau membuka sebuah kedai kecil penjual daging sapi?"

   Seperti orang gila ia tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba disambarnya uang di pembaringan itu dan dibantingnya keras-keras di atas tanah.

   Kemudian ia menjatuhkan diri ke atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu.

   Tiok Yap-cing cukup memahami perasaannya ketika itu, ia membiarkannya menangis sekian lama, kemudian baru berbisik dengan lembut.

   "kau tak usah kuatir, baik-baiklah merawat lukamu, apapun yang bakal terjadi, aku pasti akan carikan akal bagimu untuk menghadapinya"

   Toa-tauke memejamkan matanya, ia menerima semangkuk kuah jinsom dari sebuah tangan yang hangat, halus dan lembut. Pelan-pelan ia menghirup kuah tersebut dua tegukan, lalu bertanya.

   "Di mana Ki-ling?"

   "Sudah pergi ke tempat tinggalnya Yap-sianseng!"

   "Apakah Yap sianseng telah melakukan......?"

   "Ya, mereka telah mengadakan hubungan satu kali!"

   Toa-tauke tersenyum. Ia percaya Tiok Yap-cing tak akan berani membangkang perintahnya, perintah apapun yang diturunkan Toa-tauke kepada seseorang, belum pernah ada yang berani membangkangnya. Maka Toa-tauke kembali bertanya.

   "Di mana Thi-hou?"

   "Ia sedang keluar!"

   "Tidak bilang mau kemana?"

   "Katanya dia akan menengok A-yong, tapi sekarang mungkin ia sedang menuju ke gedungnya Han toa-nay-nay!"

   Toa tauke mengerutkan dahinya, tapi dengan cepat ia mengerti maksud dan tujuannya melakukan tindakan tersebut.

   Tentu saja ia bukan pergi mencari perempuan.

   ........Ketika A-kit muncul dalam kota untuk pertama kalinya, ia muncul di gedung milik Han toanay- nay.

   Untuk menyelidiki asal usul A-kit, tentu saja ia harus mencari Han toa-nay-nay, sebab paling tidak apa yang diketahuinya tentang A-kit akan jauh lebih banyak bila dibandingkan orang lain.

   Ia biasa berpikir sampai ke situ, hal ini membuktikan bahwa persiapan yang dilakukan Thi-hou jauh lebih teliti dan sempurna dibandingkan sebelumnya.

   Maka tertawa toa-tauke pun jauh lebih cerah, jauh lebih riang..........

   Sekarang setiap persoalan telah berada di bawah pengaruhnya, setiap orang telah berada dalam cengkeramannya.

   Perduli siapapun yang berani mengganggunya, perduli siapapun berani membohonginya, jangan harap mereka dapat lolos dari hukumannya.

   Hukuman yang ia jatuhkan selamanya adil, tapi cukup mengerikan.

   Thi-hou duduk di hadapan Han toa-nay-nay sambil menatap matanya tajam-tajam, ketika ia merasa bahwa sinar mabuk yang terpancar keluar dari matanya sudah jauh berkurang, pelanpelan ia baru berkata.

   "Kau seharusnya tahu kenapa aku datang kemari?"

   Han toa-nay-nay memicingkan sepasang matanya sehingga tinggal satu garis, sahutnya.

   "Aku tahu tugas yang kau kerjakan kali ini cukup payah, kebetulan saja aku menerima kiriman barang baru diantaranya ada seorang masih asli dan orisinil!"

   "Aku bukan datang untuk mencari perempuan!"

   "Oh, jangan-jangan selera Hou-toaya belakangan ini sudah mengalami perubahan dan kau ingin mencari orang lelaki untuk mencicipinya!"

   Paras muka Thi-hou berubah membesi, katanya dengan dingin.

   "Jika kau masih mabuk, aku mempunyai cara untuk membuatmu menjadi sadar kembali!"

   Senyuman yang menghiasi ujung bibir Han toa-nay-nay segera berubah membeku.

   "Sekarang apakah kau sudah sadar kembali?", tegur Thi-hou kemudian.

   "Ya!"

   "Sekarang tentunya sudah kau ketahui siapakah yang sedang kucari?"

   "Orang yang sedang kau cari pastilah A-kit, A-kit yang tak berguna!"

   "Konon ia pernah bekerja di sini dan keluar dari tempat ini...........!"

   "Ya, ia memang pernah mengendon beberapa waktu di tempatku ini!"

   "Ia datang darimana?"

   "Siapapun tidak ada yang tahu dari mana dia berasal, ketika sampai di sini ia sudah mabuk hebat, ia mabuk sampai beberapa hari lamanya dan dalam keadaan tidak sadar"

   Thi-hou menatapnya tajam, menatap hingga ia merasa bahwa perempuan itu bukan lagi berbohong, pertanyaan baru dilanjutkan.

   "Secara bagaimana kau telah menerimanya bekerja di sini?"

   "Aku menerimanya lantaran ia tak punya uang untuk membayar rekening, dan lagi kelihatannya ia cukup mengibakan hati orang!"

   "Ditambah lagi ia masih muda, tampangnya cakep lagi!", sambung Thi-hou menyindir. Agak merah jengah selembar wajah Han-toa-nay-nay, serunya dengan cepat.

   "Sekalipun dia tampan, tapi aku sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa dengannya"

   "Ya, tentu saja tiada hubungan sebab ia sama sekali tidak tertarik kepadamu!"

   Han toa-nay-nay menghela napas panjang.

   "Aaaai......jangankan aku, perempuan yang lebih cantik dan bahenolpun tidak merangsang gairahnya, ia sepertinya tidak tertarik sama sekali oleh perempuan macam apapun"

   "Selama berada di sini pekerjaan agak istimewa apakah yang pernah ia lakukan?", kembali Thihou bertanya. Setiap pertanyaan ia ajukan dengan amat cepat, ini menunjukkan bahwa sebelumnya semua pertanyaan tersebut telah disusun olehnya secara cermat dan teliti. Namun Han-toa-nay-nay mau tidak mau harus memikirkan dahulu sebelum menjawab, karena ia tahu hanya sepatah kata saja salah berbicara maka akibatnya akan mempengaruhi selembar jiwanya sendiri.

   "Sesungguhnya ia tidak melakukan suatu pekerjaan istimewa selama berada di sini", demikian jawabnya kemudian.

   "apa yang dilakukan tidak lebih hanya mencucikan mangkuk buat kami, mengambilkan air teh......."

   Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu pekerjaan yang agak istimewa, segera tambahnya.

   "Iapun telah mewakiliku untuk menerima beberapa kali tusukan pisau!"

   "Siapa yang melakukan tusukan tersebut?"

   "Agaknya saudara cilik dari si kusir kereta!"

   "A-kit telah membunuh mereka?"

   "Tidak, ia sama sekali tidak melancarkan serangan balasan"

   Tiba-tiba kelopak mata Thi-hou menyusut menjadi kecil sekali, serunya tertahan.

   "Masa ia hanya berdiri belaka sambil menerima tusukan-tusukan pisau setan cilik itu?"

   "Ya, jangankan membalas, bergerak sedikitpun tidak!"

   Biji mata Thi-hou mulai melompat.

   Di kala biji matanya sedang melompat, bukan berarti dia hendak membunuh manusia, kadangkala hal ini merupakan pertanda jelek bagi dirinya sendiri.

   Ia dibesarkan dari lingkungan yang miskin dan serba kekurangan, semenjak kecil ia sudah berkeliaran di antara kaum berandal dan pencoleng-pencoleng kota, tentu saja ia pernah merasakan tusukan pisau orang.

   Sebelum ia merasakan tusukan yang pertama, biji matanya telah melompat pula seperti kali ini.

   Karena waktu itu dia telah berani menantang lotoa yang berkuasa di wilayah tersebut, ia tahu bahwa dirinya akan berhadapan dengan seorang musuh tangguh yang sangat menakutkan.

   Kini lompatan biji matanya hampir sama seperti lompatan yang pernah dirasakan ketika itu.

   .......Sebenarnya manusia macam apakah yang akan dihadapinya kali ini? .......Dia adalah seorang jago tangguh yang sanggup mengetuk hancur telapak tangan baja A-yong dengan ketiga buah jari tangannya, tapi mengapa dia hanya berdiri di sana saja untuk menerima tusukan-tusukan pisau dari setan-setan cilik itu? .......Kenapa ia harus merasakan penderitaan, penghinaan serta rasa malu yang sesungguhnya tak usah ia rasakan? Han toa-nay-nay masih juga menghela napas kembali ujarnya.

   "Waktu itu mimpipun kami tidak menyangka bahwa dia adalah seorang manusia macam begini!"

   "Menurut pendapatmu, manusia macam apakah dia?"

   "Sepintas lalu ia seperti seorang manusia yang benar-benar tak berguna, bagaimanapun kau aniaya dan cemooh dirinya, ia seperti tak ambil perduli, iapun tak mau tahu berapa besar penderitaan dan penghinaan yang bakal dihadapinya, pokoknya ia menerima semua yang menimpa dirinya dengan rela dan pasrah"

   "Sebenarnya ia boleh saja tak usah menerima penderitaan dan siksaan seperti ini!"

   "Ya, akupun mendengar bahwa semalam ia berhasil membinasakan Thi-tau toa-ya!"

   "Menurut pendapatmu, apa sebabnya ketika itu dia rela menerima tusukan orang tanpa melancarkan serangan balasan?"

   Han-toa-nay-nay termenung dan berpikir sebentar, lalu sahutnya.

   "Mungkin pada waktu itu dia masih tak ingin membiarkan orang lain tahu bahwa ia pandai bersilat, diapun tak ingin membiarkan orang lain mengetahui pengalamannya di masa lampau"

   Setelah berpikir sebentar, kembali ujarnya.

   "Mungkin saja di masa lampau dia pernah melakukan suatu perbuatan yang memalukan dan tak ingin diketahui orang lain"

   "Tidak benar!", kata Thi-hou.

   "Tidak benar?"

   "Ia berdiri di sana tanpa bergerak sambil mewakilimu menerima beberapa tusukan pisau, coba bayangkan kebaikan apa yang berhasil ia dapatkan dari perbuatannya itu?"

   "Sama sekali tak ada kebaikan apa-apa!", sahut Han-toa-nay-nay dengan cepat.

   "Ya, memang tak ada manfaat apa-apa, sebab sekalipun ia tidak mewakilimu untuk menerima tusukan-tusukan tersebut, kau masih tetap bersikap baik kepadanya!"

   "Bagaimanapun aku bersikap kepadanya, ia sama sekali tak ambil perduli.......!"

   "Sekarang lantaran Biau-cu kakak beradik ia bersedia adu jiwa dengan toa-tauke, coba pikirkan manfaat apa yang berhasil diperolehnya?"

   "Lebih-lebih tak ada lagi!"

   "Manusia semacam ini, mungkinkah ia bisa melakukan perbuatan memalukan yang tak ingin diketahui orang lain?"

   Han toa-nay-nay tidak berbicara lagi, sebab ia sudah tahu bahwa dugaannya keliru besar.

   "Ia bisa berbuat demikian pasti lantaran pernah mendapat pukulan batin yang cukup berat, pukulan batin tersebut membuat pandangannya terhadap segala persoalan menjadi berubah, ia menjadi putus asa dan kecewa, sehingga dengan hati rela menerima semua penderitaan, semua penghinaan serta cemoohan yang dilimpahkan atas dirinya, diapun pasti berbuat demikian lantaran keluarganya atau namanya terlampau termashur, sekarang lantaran ia telah berubah menjadi begini, maka ia tak akan membiarkan orang lain mengetahui masa silamnya"

   Perkataan tersebut bukan ia ucapkan untuk di dengar Han-toa-nay-nay, sebaliknya tak lain sedang memberi keterangan dan analisa pada diri sendiri tentang manusia yang bernama A-kit.

   Kendati begitu Han-toa-nay-nay telah mendengar semua perkataan itu dengan jelas.

   Ia selalu menganggap Thi-hou sebagai seorang manusia yang garang, ganas dan berangasan, belum pernah ia jumpai sikapnya setenang hari ini, lebih-lebih tak disangka olehnya kalau ia dapat berpikir secermat dan seteliti sekarang ini.

   Sudah banyak tahun ia kenal dengan manusia yang bernama Thi-hou ini, tapi hingga sekarang dia baru merasakan bahwa dia masih mempunyai raut wajah lain.

   Kebengisan serta keberangasannya mungkin hanya sejenis tameng, sejenis pelindung yang melindungi watak serta karakter yang sebenarnya, agar orang lain tak dapat mengetahui kecerdasan dan kenekatannya dalam menghadapi setiap persoalan agar orang lain tidak berjagajaga terhadap dirinya.

   Menyaksikan wajahnya yang tenang serta sepasang matanya yang tajam bagaikan sembilu, tibatiba Han toa-nay-nay merasakan suatu kengerian dan keseraman yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Bahkan secara diam-diam ia mulai merasakan kuatir bagi keselamatan jiwa manusia yang bernama A-kit.

   Terlepas manusia macam apakah A-kit itu, tapi yang pasti musuh tangguh yang dihadapinya sekarang jelas jauh lebih menakutkan daripada apa yang diduganya semula.

   Pertarungan yang bakal berlangsung kali ini mungkin saja merupakan pertarungannya yang terakhir, semua kejayaan, kecemerlangan serta nama besar yang pernah diperolehnya dulu kemungkinan akan segera terkubur untuk selamanya di dalam tanah.

   ........Mungkin itulah akibat dari harapan yang selalu mencekam perasaannya selama ini.

   ........Orang yang mati di sini tidak lebih hanya A-kit yang tak berguna, nama baik serta kejayaannya di tempat kejauhan masih tetap utuh dan bertahan untuk selamanya.

   Han toa-nay-nay menghela napas dalam hatinya, ketika ia menengadah kembali tampak Thi-hou dengan sepasang matanya yang lebih tajam dari sembilu sedang mengawasinya lekat-lekat.

   Tiba-tiba Thi-hou berkata.

   "Padahal kau tak perlu menguatirkan keselamatan jiwanya!"

   "Aku.........."

   "Begitu turun tangan ia berhasil membinasakan Thi-tau, menghancurkan tangan Thi-ciang, bahkan kepandaian apakah yang dipergunakan juga tidak diketahui orang, ini membuktikan bahwa kepandaian silatnya benar-benar telah mencapai puncak kesempurnaan. Setelah aku pikir pulang pergi akhirnya kurasakan bahwa orang yang berhasil melatih ilmu silatnya hingga mencapai tingkatan seperti ini tak lebih dari lima orang dan diantara ke lima orang ini, hanya satu orang yang mempunyai usia semuda dia!"

   "Siapakah orang itu?", tanya Han toa-nay-nay tanpa terasa.

   "Sebenarnya orang itu sudah mati, tapi aku selalu menganggap dia tak akan mati secepat itu!"

   "Kau anggap A-kit adalah orang itu?"

   Pelan-pelan Thi-hou mengangguk.

   "Seandainya A-kit benar-benar adalah orang itu, dalam pertarungan tersebut akulah yang bakal mati!"

   Han toa-nay-nay menghembuskan napas lega dalam hatinya, meski perasaan tersebut tak sampai diperlihatkan pada wajahnya.

   Ia adalah seorang perempuan yang cukup berpengalaman, tentu saja ia mengerti pada saat apakah dan cara bagaimanakah dia harus menyatakan kuatir serta simpatiknya kepada orang lain.

   Pelan-pelan ia menggenggam tangan Thi-hou, lalu katanya dengan lembut.

   "Kalau sudah tahu demikian, kenapa kau musti menjual nyawamu demi kepentingan orang lain? Kenapa kau harus pergi mencarinya?"

   Thi-hou menundukkan kepalanya memandang tangan Han-toa-nay-nay yang gemuk dan penuh gajih itu, lalu sahutnya lirih.

   "Aku belum tentu harus pergi ke situ!"

   Kali ini Han toa-nay-nay benar-benar dapat menghembuskan napas lega. Kedengaran Thi-hou berkata lebih jauh.

   "Meskipun aku tidak pergi, tapi ada seseorang lain yang harus pergi ke sana"

   "Siapakah orang itu?"

   "Kau!"

   Han toa-nay-nay kelihatan amat terkejut.

   "Kau suruh aku pergi mencari A-kit?"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya, kau harus membawanya menjumpaiku!"

   Han toa-nay-nay ingin tertawa paksa, tapi ia tak mampu tertawa.

   "Darimana aku bisa tahu saat ini dia berada di mana?", katanya dengan jantung berdebar keras. Seperti mata elang Thi-hou menatapnya dengan dingin dan menyeramkan, sejenak kemudian baru ujarnya lagi.

   "Kau pasti mengetahuinya, sebab pada saat ini hanya ada satu tempat yang bisa ia datangi!"

   "Tempat manakah itu?"

   "Di sini!"

   "Kenapa dia pasti dapat datang ke mari?"

   "Karena ia telah berjanji dengan toa-tauke bahwa malam ini akan berjumpa di tempat ini, tentu saja dia akan datang lebih dulu ke mari untuk melihat keadaan di sini, dia harus tahu perangkap dan jebakan apakah yang telah disiapkan toa-tauke di sini!"

   Menyusul kemudian kembali ujarnya.

   "Dalam kota ini hanya tempat ini merupakan tempat yang paling dikenal olehnya, aku lihat setiap orangpun menaruh kesan yang cukup baik kepadanya, ia bisa mencari sembarangan tempat untuk menyembunyikan diri, orangnya toa-tauke pasti tak akan menemukannya, sebab kalau aku, mungkin saja akupun dapat berbuat demikian!"

   Han-toa-nay-nay menghela napas panjang.

   "Aaaaaiii.....sayang dia bukan Hou-toaya, ia tidak secermat dan seteliti Hou-toaya, jadi belum tentu dia akan berbuat demikian!"

   Thi-hou tertawa dingin.

   "Hou toaya, jika kau tidak percaya, silahkan mengadakan penggeledahan sendiri di seluruh gedungku ini", kata Han toa-nay-nay. Ia tertawa paksa, lalu terusnya.

   "Bukankah Hou-toaya juga hapal sekali dengan gedung ini?"

   Thi-hou menatapnya tajam-tajam, selang sesaat kemudian tegurnya.

   "Ia benar-benar tidak datang kemari?"

   "Seandainya ia telah datang, masa aku tidak tahu?"

   Sekali lagi Thi-hou menatapnya lama sekali, tiba-tiba ia bangkit berdiri, lalu dengan langkah lebar berlalu dari situ.

   Sang surya telah condong ke langit barat.

   Han toa-nay-nay duduk seorang diri di situ sambil termangu-mangu, hingga ia merasa yakin kalau Thi-hou sudah jauh meninggalkan tempat itu.

   Pelan-pelan dia baru bangkit berdiri, menghela napas dan bergumam seorang diri.

   "A-kit wahai A-kit, sebenarnya siapakah kau? Masih belum cukupkah kesulitan yang kau cari buat dirimu sendiri? Kenapa kau masih mencarikan begini banyak kesulitan bagi orang lain?"

   Di belakang dapur terdapat sebuah rumah kayu kecil dan bobrok, dalam rumah kayu itu hanya terdapat sebuah pembaringan, sebuah meja dan sebuah kursi.

   Inilah rumah tinggal si koki yang bisu, meskipun kotor dan sempit, baginya sudah merupakan sebuah sorga-loka yang nyaman.

   Setelah bekerja keras seharian penuh, di tempat inilah mereka akan berbaring dengan tenang dan tenteram serta melakukan pekerjaan yang mereka inginkan.

   Di atas pembaringan itulah mereka telah lewatkan masa penghidupan yang paling manis, paling indah dan paling syahdu.

   Sekalipun suaminya jelek dan kasar, sekalipun istrinya ceking dan kecil, akan tetapi mereka dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan bagi lawan jenisnya, sebab mereka tahu hanya dengan berbuat demikianlah mereka baru dapat meraih kebahagiaan yang didambakan.

   Apa yang mereka miliki akan mereka nikmati pula sepuas mungkin.

   Terhadap penghidupan mereka yang serba pas-pasan dan sederhana, merekapun merasa sangat puas.

   Sekarang mereka suami isteri berdua duduk di atas pembaringan mereka, sepasang tangannya yang berada di atas meja saling menggenggam dengan kencangnya.

   Memandang kemesraan mereka berdua, A-kit menghela napas panjang dalam hatinya, ..........kenapa aku selalu tak dapat merasakan penghidupan yang tenang dan penuh kedamaian seperti yang mereka alami? Di atas meja tersedia tiga piring hidangan kecil, di situpun tersedia poci berisi arak.

   Ketika si bisu menuding poci arak, istrinya lantas menjelaskan.

   "Arak itu bukan arak baik, tapi benar-benar arak asli, si bisu tahu kalau kau paling suka minum arak!"

   A-kit tidak berbicara.

   Tenggorokannya seakan-akan telah tersumbat, dia tahu penghidupan yang mereka lewatkan sudah cukup payah dan menderita untuk memperoleh dua poci arak ini, mungkin mereka harus mengorbankan satu stel mantel dingin yang dimilikinya.

   Ia sangat berterima kasih atas maksud baik mereka terhadapnya, tapi hari ini ia tak boleh minum arak, setetes arakpun tak boleh membasahi bibirnya.

   Ia cukup memahami keadaan sendiri, asal ia mulai minum arak maka tak akan berhenti sebelum ia benar-benar mabuk.

   Jika ia mabuk hari ini, maka jiwanya pasti akan melayang di tangan toa-tauke dan ia tak akan lolos dari cengkeramannya dalam keadaan hidup.

   Si bisu mengernyitkan alis matanya dan sang istripun menjelaskan.

   "Kenapa kau tidak minum? Meskipun arak kami bukan arak berkwalitet baik, paling tidak bukan kami peroleh dengan jalan mencuri!"

   Bentuk tubuhnya persis seperti sebuah gurdi, apalagi sewaktu berbicara, tajamnya melebihi sebuah gurdi.

   A-kit tidak menjadi marah atau tak senang hati, karena di tahu perempuan itu seperti pula suaminya mempunyai sebuah ha


Pukulan Si Kuda Binal -- Gu Long Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL

Cari Blog Ini