Pendekar Gelandangan 7
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 7
ahami malaikat, maka ia baru mendapat penghormatan serta sembahan dari umat manusia di dunia ini.
Dalam pandangan dan perasaan di dunia, Cia Siau-hong hakekatnya sudah mendekati malaikat.
Tapi bagaimana dengan A-kit? A-kit tidak lebih hanya seorang gelandangan dari dunia persilatan, ia tak lebih hanyalah A-kit yang tak berguna.
Bagaimana mungkin Cia Siau-hong bisa berubah menjadi manusia seperti A-kit? Tapi sekarang justru ia berkata demikian.
"Akulah Cia Siau-hong!"
Benarkah itu? Hweesio tua itu tertawa. Ia tertawa terbahak-bahak.
"Haaaaahhhh..... haaaahhhhh...... haaahhhh.... engkaukah Cia Siau-hong, Sam sauya dari keluarga Cia?"
"Ya, akulah orangnya!", jawab A-kit. Ia tidak tertawa. Persoalan ini sebenarnya adalah rahasianya, juga merupakan penderitaannya, sebenarnya ia lebih suka mati daripada mengutarakannya kembali, tapi sekarang ia telah mengucapkannya. Sebab ia tak dapat membiarkan Siau Te mati, hal ini jelas tak akan boleh sampai terjadi. Akhirnya hweesio tua itu menghentikan gelak tertawanya, dengan dingin ia berkata.
"Tapi sayang, setiap umat persilatan telah mengetahui bahwa ia telah mati!"
"Dia belum mati!"
Sinar matanya penuh pancaran rasa sedih dan penderitaan, katanya lebih lanjut.
"Mungkin perasaannya telah mati, tapi orangnya sampai sekarang belum mati!"
"Justru oleh karena perasaannya telah mati, maka ia telah berubah menjadi A-kit?", tanya hweesio tua itu sambil menatapnya lekat-lekat. Pelan-pelan A-kit mengangguk, sahutnya dengan sedih.
"Sayang sekali perasaan A-kit belum mati, oleh karena itu mau tak mau Cia Siau-hong harus hidup lebih lama!"
"Aku percaya kepadanya!", tiba-tiba Ciu Ji sianseng berkata.
"Kenapa kau percaya?", tanya si hweesio tua.
"Karena kecuali Cia Siau-hong, tak ada orang kedua yang dapat membuat Mao It-leng bertekuk lutut!"
"Akupun percaya!", Lui Kok-tiok melanjutkan.
"Kenapa?", kembali si hweesio tua bertanya.
"Karena kecuali Cia Siau-hong, aku betul-betul tak dapat menemukan orang kedua yang bisa merampas pedangku dalam satu gebrakan saja?"
"Dan kau?"
Yang ditanya si hweesio tua itu adalah Hok-kui-sin-sian-jiu (Tangan dewa rejeki dan kemuliaan).
Sin-sian-jiu tidak bersuara, tapi tangannya yang seperti tangan nyonya kaya itu pelan-pelan diturunkan ke bawah, kuku-kukunya yang lebih tajam daripada pedangpun ikut menjadi lemas.
Hal itu sudah merupakan jawabannya yang terbaik.
Cia Siau-hong sekali membalikkan tangannya, pedang Kok-tiok-kiam telah disarungkan kembali, disarungkan ke dalam sarung pedang yang terselip di pinggang Liu Kok-tiok.
Siau Te telah memutar badannya dan berhadapan muka dengannya, memandang wajahnya itu tiba-tiba sinar matanya menunjukkan suatu perubahan aneh yang sukar dilukiskan dengan katakata.
Hok-kui-sin-sian-jiu telah menggunakan kembali sepasang tangannya yang mirip tangan nyonya kaya itu untuk menepuk bahunya, lalu sambil tersenyum berkata.
"Apakah kau telah lupa untuk melakukan suatu perbuatan? Lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Sam sauya atas budi pertolongannya untuk menyelamatkan jiwamu?"
Siau Te menundukkan kepalanya, akhirnya pelan-pelan ia maju ke depan, lalu pelan-pelan menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.
Cia Siau-hong menarik tangannya, wajah yang semula layu dan penuh kerutan lelah, seakan-akan telah bersinar kembali.
Tiba-tiba Siau Te menengadahkan kepalanya dan bertanya.
"Mengapa kau.....kau menolongku?"
Cia Siau-hong tidak menjawab, dia hanya tertawa, tertawa penuh kegirangan, tapi seakan-akan juga penuh kepedihan hati.
Senyumannya masih menghiasi ujung bibirnya, tapi ternyata urat nadi pada lengan kanannya telah dicengkeram.
Siau Te lah yang mencengkeram urat nadinya, yang digunakan adalah salah satu ilmu cengkeraman yang terlihay dari Jit-cap-ji-siau-ki-na-jiu-hoat (Tujuh puluh dua macam ilmu mencengkeram).
Pada saat yang bersamaan itulah Tam Ci-hui telah melayang ke udara dan melepaskan sebuah tendangan ke arah Cia Siau-hong.
"Criiing.....!", mendadak dari balik kaki kayunya memantul ke luar sebilah pedang, dan baru saja tubuhnya melayang ke udara, pedang itu sudah menusuk ke atas bahu Cia Siau-hong. Itulah pedangnya yang kedua. Dan itu pula alat pembunuhnya yang sesungguhnya dan telah mengangkat namanya selama ini. Cia Siau-hong tidak menghindarkan diri dari tusukan pedang itu. Sebab pada detik itulah ia sedang memperhatikan Siau Te, dibalik sinar matanya sama sekali tiada pancaran sinar kaget, gusar atau ngeri, yang ada hanya rasa sedih, kecewa dan penderitaan. Hingga ujung pedang itu menembusi bahunya dan darah segar berhamburan ke mana-mana, sinar matanya masih belum juga bergeser dari posisinya semula. Waktu itu Ciu Ji sianseng dan pedang Liu Kok-tiok telah menusuk datang pula, selain itu masih ada pula tangan maut yang lembut seperti tangan nyonya kaya itu, Hok-kui-sin-sian-siu-hun-jiu. Cia Siau-hong masih belum juga berkutik, berkelitpun tidak. Walaupun urat nadi pada tangan kanannya telah dicengkeram, tapi ia masih mempunyai tangan yang lain. Tapi kenapa ia belum juga berkutik? Apakah jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit ini tak mampu membebaskan diri dari cengkeraman seorang bocah kecilpun? Pedang milik Ciu Ji sianseng jauh lebih cepat daripada pedang milik Liu Kok-tiok. Yang ditusuk adalah lutut kiri Cia Siau-hong, sekalipun lutut kiri bukan tempat yang mematikan di tubuh manusia, namun cukup membuat seseorang tak mampu bergerak lagi. Serangannya itu tepat dan ganas, kalau ingin melukai tempat mematikan di tubuh Cia Siau-hong, percayalah serangannya tak bakal meleset. Mereka sama sekali tidak ingin mencabut jiwanya dengan segera. Tapi terhadap tusukan itupun Cia Siau-hong tidak menghindar, di mana pedangnya berkelebat lewat, percikan darah segar segera menodai seluruh wajah Siau Te. Menyusul kemudian pedang dari Liu Kok-tiok pun menusuk tiba. Tiba-tiba Siau Te meraung keras, ia melepaskan cengkeramannya pada tangan Cia Siau-hong dan mendorongnya dengan sekuat tenaga, kemudian dengan mempergunakan lengan sendiri menangkis datangnya tusukan pedang Kok-tiok-kiam itu, secara tepat ujung pedang menusuk persendian tulangnya........
"Kau gila?", bentak Liu Kok-tiok dengan gusar, ia mencoba untuk mencabut pedangnya tapi tidak berhasil. Tam Ci-hui melejit ke udara dan berjumpalitan beberapa kali, pedang pada kaki kayunya dan pedang di tangan serentak direntangkan dan menyerang dengan jurus andalannya, Yan-cu-sianghui. Berbareng itu pula pedang Ciu Ji sianseng menyabet dari samping memapas wajah Cia Siauhong. Tiga bilah pedang dari tiga arah yang berlainan secepat sambaran kilat dan sekeji ular berbisa menerobos masuk ke depan.
"Taaaakk......!", tiba-tiba pedang Ciu Ji sianseng miring ke samping karena terhantam suatu kekuatan besar hingga menancap pada kaki kayu dari Tam Ci-hui. Karena kehilangan keseimbangan tubuhnya, kontan saja tubuh Tam Ci-hui terjatuh dari tengah udara.
"Kraaaak.....", lengannya patah menjadi dua dan pedangnya lenyap tak berbekas. Pedang Kok-tiok-kiam telah dijepit oleh Siau Te, tetapi Siau Te sendiripun terpantek oleh pedang Kok-tiok-kiam. Dalam keadaan inilah, tangan-tangan maut dari Hok-kui-sin-sian-jiu telah muncul kembali di tenggorokan dan alis mata Siau Te. Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat lewat, sepasang sepuluh jari tangan nyonya kaya yang tajam itu sudah tersayat kutung, satu demi satu rontok ke tanah, darah kental berceceran sampai di mana-mana. Cahaya pedang sekali lagi berkelebat lewat, darah segar kembali memancar ke empat penjuru, ketika Liu Kok-tiok roboh terkapar ke tanah, Siau Te sudah melayang ke luar dari pintu. Tak seorangpun yang mengejar ke depan, karena di depan pintu telah berdiri seseorang. Setelah merampas pedang, mengayun pedang, membacok kuku, menusuk orang serta mendorong Siau Te keluar dari pintu tadi, Cia Siau-hong telah menghadang di depan pintu dengan tubuhnya. Sekarang, setiap orang sudah tahu bahwa dia adalah Cia Siau-hong. Dalam genggamannya masih ada pedang, siapa yang berani sembarangan berkutik bila di tangan Sam sauya dari keluarga Cia masih menggenggam sebilah pedang? Sekalipun ia sudah terluka, sekalipun darah kental masih bercucuran dari mulut lukanya, tak seorangpun berani sembarangan berkutik. Menunggu ia sudah mundur lama sekali dari situ, hweesio tua baru menghela napas panjang, katanya.
"Benar-benar suatu ilmu pedang yang tiada ke duanya di dunia ini, benar-benar dia adalah Cia Siau-hong yang tiada bandingannya di kolong langit.......!"
Tiok Yap-cing kena dirobohkan tadi dan selalu tergeletak dengan tubuh kaku di tanah itu mendadak berkata.
"Ilmu pedangnya memang sungguh bagus dan indah, tapi belum tentu sudah tiada ke duanya lagi di dunia ini!"
Pelan-pelan ia bangun dan berduduk, sekulum senyuman bahkan menghiasi ujung bibirnya. Ternyata si hweesio tua tidak terperanjat, dia hanya melotot sekejap ke arahnya lalu berkata dengan ketus.
"Ilmu pedang yang dimiliki Yan sianseng tentu saja bagus pula, kenapa kau tidak mencabut pedang dan menyerangnya tadi? Seharusnya kau menantang dia untuk berduel satu lawan satu!"
Tiok Yap-cing kembali tersenyum.
"Aku tak mampu menandinginya!", ia mengakui.
"Masa kau tahu ada yang dapat menandingi dirinya?"
"Paling tidak masih ada seorang!"
"Hujin maksudmu?"
Tiok Yap-cing hanya tersenyum dan tidak menjawab, sebaliknya ia malah bertanya.
"Kau pernah menyaksikan hujin (nyonya) turun tangan?"
"Belum pernah!"
"Itulah disebabkan hujin tak perlu turun tangan sendiri, sekalipun dia ingin membunuh seseorang!"
"Tapi siapakah yang mampu mewakilinya untuk membinasakan Cia Siau-hong.....?"
"Yan Cap-sa!"
Hweesio tua itu termenung lama sekali, kemudian kembali menghela napas panjang.
"Aaaai....betul, Yan Cap-sa! Orang itu seharusnya memang Yan Cap-sa......!, bisiknya kemudian.
"Dalam dunia dewasa ini, kecuali hujin mungkin dia seorang yang mengetahui titik kelemahan dari ilmu pedang yang dimiliki Cia Siau-hong!"
"Tapi semenjak ia mengukir tanda di perahu dan menenggelamkan pedangnya ke dasar telaga Liok-sui-oh, belum pernah ada seorang manusiapun yang pernah menyaksikan jejaknya dalam dunia persilatan, mana mungkin dia mencari Cia Siau-hong demi kepentingan hujin?"
"Ya, ini memang tak mungkin!"
"Maksudmu Cia Siau-hong yang akan mencarinya?"
"Inipun tak mungkin!", sahut Tiok Yap-cing. Setelah tersenyum, ia menambahkan.
"Tapi aku yakin, dalam suatu kesempatan yang tak terduga, mereka pasti akan saling berjumpa muka!"
"Benarkah suatu perjumpaan yang tak terduga?"
Tiok Yap-cing mengebaskan ujung bajunya sambil beranjak, sahutnya dengan hambar.
"Apakah ada rasa cinta? Ataukah tiada rasa cinta? Ada maksud? Ataukah tiada maksud? Siapa yang dapat membedakan ke dua hal tersebut dengan tenang dan jelas?"
Malam telah tiba, seluruh halaman rumah itu berada dalam suasana yang hening dan gelap, tapi Cia Siau-hong berjalan dengan langkah cepat, ia tak memerlukan cahaya lampu, tapi ia dapat menemukan jalanan yang terbanting di sana.
Di dalam halaman rumah itulah, di saat malam yang sama heningnya, entah berapa kali ia telah bangun dari tidurnya dan berdiri di tengah hembusan angin malam yang dingin dan merasakan kesepian.
Bintang-bintang yang tersebar di langit malam ini jauh lebih suram daripada kemarin, demikian pula Cia Siau-hong yang kini bukanlah A-kit yang tak berguna kemarin.
Semua kejadian dalam dunia ibaratnya buah-buah catur, sering berubah dan sering berganti, siapakah yang dapat meramalkan kejadian apa yang bakal dialaminya besok? Kini satu-satunya orang yang paling ia kuatirkan adalah orang yang berada di sampingnya sekarang.
Siau Te berjalan di sampingnya dengan mulut membungkam, sesudah menembusi halaman rumah yang gelap, mendadak ia berhenti sambil berkata.
"Kau pergilah!"
"Kau tidak pergi?"
Siau Te gelengkan kepalanya berulang kali, di tengah kegelapan malam, wajahnya tampak pucat pasi seperti mayat, lewat lama sekali pelan-pelan ia baru berkata.
"Jalan yang kita tempuh sesungguhnya bukanlah sebuah jalan yang sama, lebih baik kau melewati jalanmu dan aku menempuh jalananku!"
Cia Siau-hong memperhatikan kembali paras mukanya yang pucat, ia merasakan hatinya sakit sekali. Setelah lewat agak lama ia baru bertanya lagi.
"Apakah kau tak dapat beralih ke jalanan lain?"
"Tidak dapat!", Siau Te berteriak keras sambil mengepal sepasang tangannya kencang-kencang. Tiba-tiba ia memutar badannya sambil menerjang keluar, tapi baru saja tubuhnya melompat, ia sudah terjatuh kembali dari tengah udara. Wajahnya semakin memucat, peluh dingin mengucur keluar bagaikan hujan, dia ingin meronta dan bangun berdiri tapi untuk berdiri tegakpun ia sudah tak mampu. Sebenarnya dia mengira tusukan dari Liu Kok-tiok tadi masih sanggup ditahan olehnya, tapi sekarang ia merasakan bahwa mulut lukanya makin lama semakin sakit, semakin dirasakan semakin tak tahan. Akhirnya diapun jatuh tak sadarkan diri. Ketika sadar kembali, ia dapatkan dirinya sedang berbaring dalam sebuah ruangan yang kecil dengan lampu yang redup. Cia Siau-hong duduk di bawah sinar lampu sambil memperhatikan sepotong ujung pedang yang panjangnya setengah inci. Itulah ujung pedang dari Kok-tiok-kiam. Ketika Kok-tiok-kiam dicabut keluar tadi, masih tertinggal sepotong ujung pedang dalam sendi tulangnya, rasa sakit tersebut sungguh amat berat untuk dirasakan. Andaikata Cia Siau-hong tidak memiliki sepasang tangan yang kuat, mana mungkin kutungan ujung pedang itu dapat dicabut keluar? Tapi pakaiannya hingga kini belum mengering, telapak tangannya masih berkeringat, hingga kini tangannya baru mulai gemetar. Siau Te memandang ke arahnya, tiba-tiba ia berkata.
"Tusukan pedang ini sebenarnya ditujukan ke tubuhmu!"
"Aku tahu", Cia Siau-hong tertawa getir.
"Oleh karena itulah meski kau telah mengobati lukaku, akupun tak usah berterima kasih kepadamu!"
OoooOOOOoooo Bab 15. Benang Cinta Yang Tak Mudah Putus "Yaaa, kau memang tak perlu berterima kasih........", Cia Siau-hong berbisik.
"Oleh karena itulah bila aku hendak pergi meninggalkan tempat ini, kaupun tak usah menahan diriku lagi!"
"Kapan kau akan pergi?"
"Sekarang!"
Tapi Siau Te tak dapat pergi, karena ia masih belum memiliki tenaga untuk berdiri. Pelan-pelan Cia Siau-hong bangkit berdiri dan berjalan ke ujung pembaringan, sambil mengawasi tajam-tajam mendadak ia bertanya.
"Dulu, pernahkah kau berjumpa denganku?"
"Walaupun orang yang belum pernah berjumpa denganmu, pasti pernah menyaksikan lukisanmu yang dibuat khusus oleh orang lain!"
Cia Siau-hong sama sekali tidak bertanya siapa yang telah melukis wajahnya. Ia sudah tahu siapakah orang ini.
"Aku hanya pernah memberitahukan kepada seseorang!"
"Siapa?"
"Thian-cun!"
"Ooooh....karena itu diapun menyusun rencana tersebut untuk membinasakan diriku?", kata Siauhong.
"Iapun tahu, bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk membinasakan dirimu!"
"Kalau begitu, Tam Ci-hui, Liu Kok-tiok, Hok-kui-sin-sian-jiu serta hweesio tua adalah orangorangnya Thian-cun?"
"Ciu Ji sianseng juga orang mereka!", Siau Te menambahkan. Lama sekali Cia Siau-hong termenung, ia seperti lagi memikirkan suatu persoalan penting, kemudian pelan-pelan baru bertanya.
"Apakah Thian-cun adalah ibumu?"
Sesungguhnya pertanyaan ini sudah lama sekali ingin diajukan, hanya selama ini ia tak berani untuk menanyakannya. Jawaban dari Siau Te ternyata cepat sekali.
"Benar, Thian-cun adalah ibuku. Sekarang akupun tak perlu merahasiakan lagi di hadapanmu!"
"Seharusnya kau tak perlu merahasiakan persoalan itu di hadapanku, karena di antara kita berdua tidak seharusnya mempunyai rahasia lagi!", kata Cia Siau-hong dengan sedih.
"Kenapa?", Siau Te menatapnya lekat-lekat. Kesedihan dan penderitaan kembali memancar ke luar dari balik mata Cia Siau-hong, gumamnya.
"Kenapa? Kenapa? Masakah kau benar-benar tidak tahu kenapa?"
Siau Te kembali menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu aku ingin bertanya kepadamu, kalau toh ibumu hendak membunuhku, kenapa kau malah menyelamatkan diriku?"
Siau Te masih juga gelengkan kepalanya, rasa sedih dan bingung menyelimuti juga wajahnya, tiba-tiba ia melompat bangun dari pembaringan, mengerudungi kepala Cia Siau-hong dengan kain selimutnya dan sekali tendang pintu depan ia telah menerjang ke luar dari sana.
Seandainya Cia Siau-hong ada niat untuk melakukan pengejaran, sekalipun mempergunakan seribu atau selaksa lembar selimut untuk mengerudungi kepalanya juga tak akan mampu untuk menghalangi niatnya.
Tapi ia tidak melakukan pengejaran, sebab ketika melepaskan selimut dari kepalanya, ia telah menyaksikan Buyung Ciu-ti.
Di bawah sinar bintang yang dingin dan terang, di tengah malam yang cerah dan bersih dan di dalam halaman kecil yang sepi dan tenang, tumbuhlah sebatang pohon Pek yang telah layu.
Di bawah pohon itulah tampak seseorang berdiri seorang diri di sana, pakaiannya berwarna polos dan sederhana.
Tak ada yang tahu dari mana ia datang, tak ada pula yang tahu sejak kapankah ia datang.
Di kala ia (perempuan) hendak datang, diapun datang, di kala dia hendak pergi, siapapun tak dapat menghalangi.
Ada orang mengatakan bahwa ia adalah bidadari dari khayangan, ada pula yang mengatakan bahwa dia adalah peri cantik dari bumi, tapi terlepas apapun yang dikatakan orang banyak, selamanya ia tak pernah ambil perduli.
Sudah ada lima belas tahun lamanya.
Dalam lima belas tahun yang panjang, empat ribu hari yang tak panjang tak pendek, panas ya dingin, manis dan getir, masih ada berapa banyak orangkah yang tetap hidup? Ada berapa pula yang telah mati? Ada berapa orang tetap biasa saja? Ada berapa pula yang telah berubah? Akan tetapi ia tidak berubah.
Lima belas tahun berselang, ketika untuk pertama kali berjumpa dengannya, ia sudah berada dalam keadaan seperti sekarang ini.
Tapi berapa banyak perubahan yang telah ia (lelaki) alami? Pepohonan di tengah halaman bergoyang terhembus angin, lampu lentera dalam ruanganpun bergoyang-goyang dimainkan angin.
Ia tidak masuk ke dalam ruangan, dan iapun tidak keluar dari ruangan, mereka hanya saling berpandangan dengan tenang.
Hubungan di antara mereka berdua selalu memang demikian, sukar untuk di raba oleh siapapun.
Tak ada yang bisa memahami perasaan cinta kasihnya kepadanya, dan tak ada pula yang tahu apa yang sedang ia pikirkan.
Perduli apapun yang sedang ia pikirkan, paling tidak tiada tanda-tanda sedikitpun yang bisa kau temukan di atas wajahnya.
Sudah sejak lama ia belajar menyembunyikan perasaan di hadapan orang lain, terutama terhadap lelaki ini.
Ia menggerakkan tangannya dan membenahi rambutnya yang kusut terhembus angin, tiba-tiba ia tertawa, jarang sekali ia tertawa.
Senyuman itu seperti juga dengan orangnya, begitu cantik, anggun dan mengambang, seperti pula angin lembut di musim semi, siapakah yang dapat menangkapnya? Suaranya seperti juga kelembutan angin di musim semi, katanya lirih.
"Sudah berapa lama? Lima belas tahunkah? Atau sudah enam belas tahun?"
Ia tidak menjawab, karena dia tahu bahwa perempuan itu pasti mengingat lebih jelas daripadanya, mungkin saja iapun dapat mengingat-ingat setiap peristiwa yang terjadi setiap harinya dulu. Senyuman perempuan itu makin lembut dan hangat.
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Agaknya kau masih belum berubah", katanya masih seperti dulu, tidak begitu suka berbicara. Dengan dingin Cia Siau-hong menatap wajahnya lama, lama sekali, ia baru bertanya dengan ketus.
"Masih ada persoalan apa lagi yang hendak kita bicarakan?"
Tiba-tiba senyumannya lenyap, kepalanya ditundukkan rendah-rendah.
Ya.......sudah tak ada lagi.......sudah tak ada lagi......
Benarkah sungguh-sungguh tak ada? Apapun tak ada lagi? Tidak, tidak mungkin! Tiba-tiba perempuan itu mendongakkan kepalanya dan menatapnya tajam-tajam, katanya.
"Seandainya di antara kita berdua benar-benar sudah tiada persoalan lagi, kenapa aku musti datang mencarimu?"
Sesungguhnya kalimat semacam ini lebih pantas diajukan Cia Siau-hong kepadanya, tapi sekarang ia telah mengajukannya bagi diri sendiri. Kemudian iapun memberi jawaban bagi dirinya sendiri.
"Aku datang, karena aku hendak membawa pergi bocah itu, dahulu kalau toh kau sudah tidak mau dirinya lagi, kenapa musti kau ganggu dirinya sekarang, sehingga mendatangkan kepedihan dan penderitaan baginya?"
Kelopak matanya menyusut kencang, seakan-akan di tusuk oleh jarum yang tajam secara tibatiba. Perempuan itupun menyusupkan kelopak matanya, ia berkata lebih jauh.
"Aku datang karena aku hendak memberitahukan kepadamu bahwa kau harus mati!"
Suaranya berubah menjadi dingin seperti es, seakan-akan berubah menjadi seseorang yang lain secara mendadak.
"Begitu pula aku hendak membuat kau mati di tanganku kali ini", Cia Siau-hong mendengus dingin.
"Hmmm! Jika Thian-cun ingin membunuh orang, kenapa musti turun tangan sendiri?"
"Untuk membunuh orang lain, selamanya aku tak pernah melakukannya sendiri, tapi terkecuali bagimu!", Buyung Ciu-ti menegaskan. Segulung angin kembali berhembus lewat dan sekali lagi mengacaukan rambutnya yang panjang. Angin itu belum lagi berhembus lewat, ia telah menubruk ke depan, menubruk seperti seorang gila, seakan-akan ia telah berubah lagi menjadi seperti orang yang lain. Sekarang ia sudah bukan seorang gadis yang anggun, cantik dan lembut bagaikan hembusan angin di musim semi lagi. Diapun tidak mirip Buyung hujin yang cerdik, keji dan berkekuasaan besar serta disegani tiap umat persilatan lagi. Sekarang ia tak lebih hanya seorang perempuan biasa, perempuan yang terbelenggu oleh benang cinta, dan menjadi bingung karena tak sanggup mengendalikan diri. Ia tidak menunggu sampai Cia Siau-hong turun tangan lebih dulu, diapun tidak menunggu sampai ia memperlihatkan titik kelemahannya yang mematikan itu lebih dahulu. Bahkan tubrukannya kali ini dilakukan secara mengawur, kepandaian silat yang dimilikinya sama sekali tak digunakan. Sebab ia amat mencintai laki-laki itu, tapi membenci pula laki-laki itu, cintanya setengah mati, tapi bencinya juga setengah mati. Oleh karena itu dia hanya ingin beradu jiwa dengannya, sekalipun tak mampu, diapun akan tetap beradu dengannya. Terhadap perempuan semacam ini, darimana mungkin Cia Siau-hong dapat mengembangkan ilmu pedangnya yang tiada tandingan di dunia itu? Sudah beratus-ratus pertarungan yang dialami, sudah bermacam-macam jago lihay dunia persilatan yang pernah di hadapi, sudah berulang kali pula mengalami masa krisis yang mengancam jiwanya. Tapi sekarang, pada hakekatnya dia tak tahu apa yang musti dilakukan untuk menghadapi kejadian ini. Lentera di atas meja ditendang hingga terbalik. Buyung Ciu-ti seperti perempuan gila telah menyerbu ke dalam ruangan, kalau dilihat dari sikapnya sekarang, seakan-akan dia hendak menggigit setiap bagian tubuh Siau-hong dengan geram. Jika Siau-hong mau, sekali pukulan yang dilontarkan pasti dapat merobohkan dirinya, karena seluruh tubuhnya sekarang sudah penuh dengan titik kelemahan. Tapi ia tak dapat turun tangan, iapun tak tega untuk turun tangan. Bagaimanapun juga ia tetap seorang pria, bagaimanapun juga dia adalah perempuan yang pernah menjadi istrinya. Maka dia hanya dapat mundur ke belakang. Tidak banyak tempat dalam ruangan yang dapat dipakai untuk mengundurkan diri, sekarang ia terpojok dan tak sanggup menghindar lagi. Pada saat itulah sekilas cahaya pedang tiba-tiba muncul dari tangan Buyung Ciu-ti, lalu bagaikan seekor ular beracun menusuk tubuhnya. Tusukan itu bukan tusukan pedang seorang perempuan sinting, tusukan itu adalah tusukan dari pedang pembunuh. Tusukan itu bukan saja amat cepat, ganasnya bukan kepalang, apalagi datangnya pada saat dan keadaan yang sama sekali tak terduga oleh lawannya, menusuk datang ke bagian tubuhnya yang tak pernah di duga. Bukan saja tusukan itu menggunakan jurus pedang yang dahsyat, di sini juga terhimpun seluruh intisari dari jurus-jurus senjata yang paling ampuh di dunia ini. Tusukan itu sesungguhnya merupakan sebuah tusukan yang pasti akan bersarang telak, tapi sayangnya tusukan tersebut sama sekali tidak mengenai sasaran. Kecuali Cia Siau-hong, tak ada orang kedua di dunia ini yang sanggup menghindarkan diri dari tusukan semacam itu, karena tiada seorang manusiapun di dunia ini yang lebih memahami tentang Buyung Ciu-ti daripada dirinya......... Ia dapat menghindarkan diri dari tusukan tersebut, bukan dikarenakan ia telah memperhitungkan dengan tepat saat dan arah tusukan tersebut, melainkan ia telah memperhitungkan dengan tepat manusia macam apakah Buyung Ciu-ti itu? Sedemikian pahamnya dia tentang perempuan itu, mungkin jauh lebih banyak daripada ia memahami dirinya sendiri. Ia tahu bahwa perempuan itu bukan seorang perempuan gila, diapun tahu bahwa ia tak akan mungkin tak bisa mengendalikan diri. Ketika mata pedang menyambar lewat bawah ketiaknya, ia telah mencengkeram urat nadi di tangan perempuan itu, waktu dan arah serangannyapun tak kalah cepatnya. Pedang pendek itu segera rontok, tubuhnya pun ikut menjadi lemas, sekujur badannya jatuh lemas di dalam pelukannya. Terasa lembut, halus dan hangatnya tubuh perempuan itu. Cuma sepasang tangannya terasa dingin dan kaku. Malam yang panjang telah berakhir, fajarpun menyingsing dari ufuk timur, ketika sinar keemasemasan itu memancar masuk lewat jendela, tepat menyorot di atas wajahnya. Titik-titik air mata telah membasahi wajahnya, sepasang mata yang bening dan jeli sedang memandang ke arahnya dengan terkesima. Tapi Cia Siau-hong tidak melihatnya. Tiba-tiba Buyung Ciu-ti berkata.
"Masih ingatkah kau sewaktu kita berjumpa untuk pertama kalinya dulu, waktu itu akupun hendak membunuhmu, tapi kau telah merampas pedangku serta memelukku dengan cara seperti ini"
Cia Siau-hong masih juga tidak mendengarnya, tapi ia tak pernah melupakan hari semacam itu.........
Waktu itu adalah musim semi.
Di atas bukit yang berlapiskan rumput hijau bagaikan permadani, di bawah sebatang pohon besar yang rindang, berdirilah seorang gadis tanggung yang berbaju sederhana.
Ketika perempuan itu berjumpa dengannya, iapun tertawa, senyumannya lebih lembut dan lebih indah dari hembusan angin di musim semi.
Maka diapun balas tersenyum kepadanya.
Menyaksikan senyum yang lebih manis dan lebih menawan itu, diapun menghampirinya, memetik sekuntum bunga dan memberikan kepadanya, tapi perempuan itu justru memberi sebuah tusukan kepadanya.
Ujung pedang ketika menyambar lewat dari sisi tenggorokannya, ia cengkeram tangan perempuan itu.
"Kau adalah Sam-sauya dari keluarga Cia?", dengan terkejut gadis itu memandang ke arahnya.
"Darimana kau bisa tahu tentang aku?", dia balik bertanya.
"Sebab kecuali Sam-sauya dari keluarga Cia, tak seorang manusiapun yang sanggup merampas pedangku ini dalam satu gebrakan"
Ia tidak bertanya kepada gadis itu apakah sudah banyak orang yang terluka di ujung pedangnya, diapun tidak bertanya kepadanya kenapa ia harus melukai orang.
Sebab ketika itu musim semi sangat indah, bunga sedang mekar dan menyiarkan bau harum, ia merasakan betapa lembut dan halusnya tubuh dara itu.
Karena waktu itu, diapun sedang berusia muda remaja.
Bagaimana dengan sekarang? Sekarang, apakah dia masih mempunyai perasaan yang sama seperti apa yang telah dialaminya dulu? Buyung Ciu-ti masih saja berbisik dengan lirih.
"Aku tak ambil perduli apa yang sedang kau pikirkan sekarang, yang pasti aku tak akan melupakan hari itu, sebab pada saat itu juga aku telah mempersembahkan seluruh tubuhku untukmu, ya tanpa ku sadari dengan keadaan yang tak jelas, aku telah menyerahkan diri kepadamu, sebaliknya kau setelah pergi ternyata tak pernah ada kabar beritanya lagi!"
Cia Siau-hong masih saja membungkam, seakan-akan masih belum mendengar apa yang dia katakan. Perempuan itu berkata lebih lanjut.
"Menanti kami berjumpa kembali untuk ke dua kalinya, aku telah tukar cincin, kau datang khusus untuk menyampaikan selamat kepadaku.......!"
"Walaupun perasaanku amat membencimu ketika itu, tapi setelah berjumpa denganmu, aku merasa kehilangan pegangan dan tak tahu apa yang musti kulakukan"
"Maka malam kedua setelah aku tukar cincin, tanpa ku sadari aku telah pergi meninggalkan rumah untuk mengikutimu, siapa tahu kau telah meninggalkan aku dengan begitu saja, pergi untuk tak kembali lagi!"
"Sekarang walaupun hatiku merasa lebih benci kepadamu, tapi.........tapi......aku masih berharap kau dapat seperti dulu lagi, membohongi aku sekali lagi dan membawaku pergi, sekalipun kali ini kau akan membunuhku, akupun tak akan menggerutu lagi kepadamu!"
Suaranya masih tetap lembut dan merdu, benarkah ia dapat tidak mendengarkan? Benarkah ia tak mendengar? Ia memang sudah dua kali membohonginya, tapi perempuan itu masih begini baik kepadanya.
Bila ia begitu tak berperasaan, betulkah hatinya sudah sedingin salju? "Aku tahu, kau tentu mengira aku telah berubah!", dengan air mata bercucuran Buyung Ciu-ti berkata lagi.
"tapi sekalipun aku telah berubah menjadi manusia macam apapun di hadapan orang lain, terhadapmu aku selalu tak akan berubah!"
Tiba-tiba Cia Siau-hong mendorongnya ke belakang, lalu tanpa berpaling lagi pergi meninggalkan tempat itu.
Tapi Buyung Ciu-ti masih saja tak mau melepaskannya, ia masih membuntuti terus di belakangnya.
Sinar matahari di luar jendela telah memancar ke empat penjuru, di atas bukit nun jauh di depan sana tampak sebuah tanah berumput yang menghijau dan segar bagaikan permadani.
Tiba-tiba Siau-hong berpaling dan menatap perempuan itu dengan ketus.
"Apakah kau baru senang bila sudah kubunuh?", tegurnya. Air mata di atas wajah Buyung Ciu-ti belum mengering, tapi dia memaksakan diri untuk tertawa.
"Asal kau merasa gembira, bunuhlah aku!", sahutnya. Cia Siau-hong telah memutar badannya dan melanjutkan kembali perjalanannya. Perempuan itu masih mengikuti di belakangnya, tiba-tiba ia berkata.
"Coba lihatlah mulut lukamu itu masih mengucurkan darah, paling tidak kau harus membiarkan aku untuk membalut lukamu itu terlebih dahulu!"
Tapi Cia Siau-hong tidak memperdulikan. Perempuan itu kembali berkata.
"Walaupun aku yang menyuruh orang untuk pergi melukaimu, tapi kejadian itu adalah suatu kejadian yang lain, asal kau bersedia untuk buka mulut, maka setiap saat aku dapat pergi membunuh orang-orang itu demi kau.......!"
Langkah kaki Cia Siau-hong makin lambat, akhirnya tak tahan lagi ia berpaling, di antara sinar matanya yang dingin dan kaku telah muncul luapan perasaan.
Entah perasaan itu adalah perasaan cinta? Atau perasaan benci? Tapi yang pasti kesemuanya itu adalah suatu luapan perasaan yang telah merasuk ke tulang sumsum dan tak akan terlupakan untuk selamanya.
Bukit yang kokohpun bisa longsor, bukit salju yang keraspun dapat meleleh, apalagi hati manusia? Sekalipun semua tahu bila bukit sampai longsor, maka bencana akan segera timbul, di kala longsoran bakal terjadi, siapakah yang sanggup untuk mencegahnya? Perempuan itu lagi-lagi sudah membenamkan diri dalam pelukannya.
Musim semi kembali tiba, rumput-rumput mulai menghijau.
Pelan-pelan Cia Siau-hong duduk di atas tanah perbukitan itu dan mengawasi orang yang berbaring di sisinya.
Ia sedang bertanya kepada diri sendiri.
"Sesungguhnya aku telah menelantarkan dia? Ataukah dia telah menelantarkan aku?"
Tak seorang manusiapun bisa menjawab pertanyaan ini, termasuk pula dirinya sendiri.
Dia hanya tahu bagaimanapun baik atau jeleknya, perduli siapa yang telah menelantarkan dia, asal kedua orang itu berada menjadi satu, saat itulah merupakan saat yang paling aman dan tenteram, saat-saat bahagia untuk menghilangkan segala kesedihan dan duka nestapa.
Ia sendiripun tak tahu perasaan macam apakah ini, dia hanya tahu jika antara manusia dengan manusia sudah terikat oleh perasaan semacam ini, maka sekalipun menderita atau tertipu, diapun rela dan pasrah.
~Bersambung ke Jilid-12 Jilid-12 Sekalipun harus mati, rasanya juga tak menjadi soal.
Pelan-pelan perempuan itu mendongakkan kepalanya dan memandang ke arahnya dengan terpesona, kemudian bisiknya.
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan dalam hatimu?"
"Kau tahu?"
"Ya, kau hendak menyuruhku untuk membubarkan Thian-cun, membawa kembali bocah itu dan melewatkan penghidupan yang tenang dan tenteram selama beberapa tahun!"
Ia memang telah menebak tepat apa yang dipikirkan Cia Siau-hong kini........
Sekalipun dia adalah seorang gelandangan, dalam nadinya mengalir darah seorang petualang, tapi diapun mempunyai saat-saat bosan dan kesal.
Terutama di kala ia sadar dari mabuknya di tengah malam yang hening terbayang kembali kekasih hatinya, siapakah yang dapat menanggung derita dan kesepian seperti itu? Pelan-pelan perempuan itu menggenggam tangannya, kemudian bertanya lagi.
"Tahukah kau, apa yang sedang kupikirkan sekarang?"
Tentu saja dia tak tahu, hati perempuan memang sukar diduga, apalagi dia adalah perempuan semacam ini. Tiba-tiba perempuan itu kembali tertawa, suara tertawanya aneh sekali.
"Aku sedang berpikir, jangan-jangan kau memang benar-benar seorang dungu.......!"
"Seorang dungu?", Cia Siau-hong tidak mengerti.
"Tahukah kau, Thian-cun adalah suatu organisasi maha besar yang telah menyita banyak tenaga, pikiran dan keringatku untuk membangunnya. Kenapa aku musti memusnahkannya dengan begitu saja tanpa suatu hasil apapun yang berhasil ku dapat? Kalau toh kau sudah tidak maui bocah itu lagi, kenapa aku musti membawanya datang untuk diberikan kepadamu?"
Cia Siau-hong merasakan hatinya seperti terjatuh ke dalam jurang, sekujur badannya menjadi dingin dan kaku, hawa dingin yang menusuk tulang serasa muncul dari dasar telapak kakinya dan menyusup naik hingga ke atas kepalanya.
Menyaksikan mimik wajahnya itu, gelak tertawa Buyung Ciu-ti semakin keras dan makin menggila.
"Haaahhhhh....... haaaaahhhh...... haaaaahhhhhh.... paling tidak kaupun musti berpikir, apa kedudukanku sekarang? Apa pula jabatanku kini? Masakah aku kesudian untuk menanakkan nasi dan mencucikan pakaian bagimu?"
Ia masih saja tertawa tiada hentinya.
"Haaaahhhhhh..... haaaahhhh..... haaaahhhhhh sekarang ternyata kau suruh aku melakukan pekerjaan semacam ini, kalau kau bukan seorang yang dungu, lantas siapakah yang dungu?"
Benarkah Cia Siau-hong adalah seorang dungu? Sejak berusia lima tahun ia mulai belajar pedang, berusia enam tahun mulai mengupas intisari dari ilmu pedang, umur tujuh tahun dapat menghapalkan bacaan dan syair jaman Tong di luar kepala, padahal anak-anak lain yang sebaya dengannya masih belum bisa memakai celana sendiri.
Akan tetapi di hadapan Buyung Ciu-ti sekarang, ia berubah menjadi seakan-akan seorang dungu yang seratus persen orisinil.
Pelan-pelan Cia Siau-hong bangkit berdiri, setelah memandang sekejap ke arahnya ia bertanya.
"Sudah selesaikan perkataanmu itu?"
"Kalau sudah selesai lantas kenapa? Apakah kau hendak membinasakan diriku?"
Tiba-tiba suara tertawanya berubah menjadi isak tangis, sambil menangis tersedu-sedu serunya.
"Baik, baiklah, bunuhlah aku! Jika begini sikapmu kepadaku, bunuh saja diriku sekarang juga, sebab bagaimanapun juga akupun sudah tak ingin hidup lagi"
Tangisannya menyedihkan sekali, tapi wajahnya sedikitpun tidak menampilkan rasa sedih barang sedikitpun, mendadak ia merendahkan suaranya dan berbisik.
"Terlalu banyak perempuan yang menyukaimu, aku tahu lambat laun kau tentu melupakan diriku, sebab itu setiap lewat beberapa tahun aku harus baik-baik mereparasikan dirimu, agar selama hidup kau tak akan melupakan diriku lagi!"
Selesai mengucapkan beberapa patah kata itu, suara tangisannya makin diperkeras, tiba-tiba ia menempeleng muka sendiri sekeras-kerasnya hingga sembab merah dan membengkak besar, lalu teriaknya lagi keras-keras.
"Kenapa kau tidak sekalian membinasakan diriku? Kenapa kau memukuli aku hingga menjadi begini rupa? Buat apa kau menyiksa diriku terus menerus........?"
Sambil menutupi muka sendiri dan menangis tersedu-sedu, ia lari turun dari bukit tersebut, seakan-akan Cia Siau-hong benar-benar sedang mengejarnya sambil memukuli tubuhnya.
Padahal seujung jaripun Cia Siau-hong tidak menyentuh tubuhnya, tapi saat itulah tiba-tiba dari bawah bukit sana telah muncul beberapa sosok bayangan manusia.
Seorang nyonya berwajah anggun yang berada di paling depan segera menyongsong kedatangannya dan memeluk perempuan itu ke dalam rangkulannya.......
Di belakang perempuan anggun itu mengikuti tiga orang manusia, yang seorang adalah kakek yang rambutnya telah beruban semua, tetapi langkah kakinya masih tegap dan gagah, pinggangnya lurus seperti batang pit, di tangannya membawa sebuah kantong yang terbuat dari kain kuning.
Di belakang kakek itu adalah seorang laki-laki yang telah tua rengka meski usianya di antara setengah umur, mukanya kotor dan dekil oleh debu, rupanya baru saja melakukan perjalanan jauh.
Sedangkan orang yang berjalan di paling belakang adalah seorang nona kecil yang bertubuh ramping, sambil berjalan diam-diam ia membesut air matanya.
Hampir saja Cia Siau-hong tak dapat mengendalikan perasaannya untuk berteriak keras.
"Si Boneka!"
Nona cilik yang berjalan di paling belakang itu ternyata memang betul-betul adalah si Boneka yang selama ini keselamatan jiwanya selalu dikuatirkan.
Tapi ia tidak berteriak memanggilnya, sebab tiga orang lainnya juga dikenali olehnya, bahkan perkenalan mereka telah berlangsung sangat lama sekali.
Kakek berambut putih yang masih tampak kekar dan gagah itu adalah nku-tio (paman)nya yang bernama Hoa Sau-kun.
Dua puluh tahun berselang, Yu-siu-kiam-khek Hoa Sau-kun berhasil merobohkan delapan jagoan paling tangguh dari partai Thiam-cong dan Bu-tong tanpa pernah menderita kalah barang sekalipun, pamornya menjadi lebih tersohor setelah ia kawin dengan seorang adik misan dari ketua Sin-kiam-san-ceng generasi yang lalu Cia Ngo-cu, adik misannya itu bernama Hui-hong-likiam- kek (Jago pedang perempuan burung Hong terbang) Cia Hong-hong.
Sejak perkawinan itu, ilmu pedang naga dan burung hong mereka bersatu padu dan tak pernah menjumpai seorang musuhpun yang sanggup merobohkan mereka, semua orang persilatan.
Siapa tahu pada saat itulah di luar dugaan ia telah menderita kekalahan total di tangan seorang bocah ingusan yang baru berusia sepuluh tahun dan kebetulan sekali bocah yang merobohkannya itu tak lain adalah Cia Siau-hong.
Perempuan berwajah anggun yang sedang memeluk Buyung Ciu-ti dalam rangkulannya itu tak lain adalah ko-koh (bibi)-nya Cia Hong-hong.
Laki-laki gemuk bengkak berusia setengah umur itupun dari marga Cia juga, dia masih famili jauhnya dan lagi sejak kecil ia telah bermain dengan orang ini.
Sewaktu masih kecil dulu, seringkali ia ngeloyor ke rumah makan di pantai telaga sana untuk minum arak.
Laki-laki gemuk berusia setengah umur itu bukan lain adalah Cia ciangkwe dari warung arak itu.
Tapi mengapa mereka bisa sampai di situ? Kenapa si Boneka bisa melakukan perjalanan bersama mereka? Cia Siau-hong merasa tak habis mengerti, diapun tak dapat menduganya, apa yang dipikirkan sekarang hanyalah berusaha untuk kabur sejauh-jauhnya dari sana, dan jangan sampai ketahuan oleh mereka semua.
Sayang sekali mereka telah melihat kehadirannya di sana.
Hoa Sau-kun sedang memandang keadaannya sambil tertawa dingin, sedang si Boneka sedang memandang ke arahnya sambil mengucurkan air mata.
Cia ciangkwe dengan napas ngos-ngosan sedang merangkak naik ke atas bukit, begitu sampai di hadapan Cia Siau-hong, ia lantas membungkukkan badan dan memberi hormat, sapanya sambil tertawa.
"Sam Sauya, sudah lama tak berjumpa, baik-baikkah kau selama ini?"
Cia Siau-hong sesungguhnya hidup dalam keadaan tak baik, tapi terhadap orang baik yang secara diam-diam memberikan sedikit arak kepadanya semenjak ia berusia delapan-sembilan tahun ini, mau tak mau dia musti tertawa juga, kemudian balik bertanya.
"Kenapa kau bisa sampai di sini?"
Cia ciangkwe tak pandai berbohong, terpaksa dia harus berbicara terus terang.
"Nona Buyung yang mengajak kami semua datang kemari!"
"Mau apa dia undang kalian datang kemari?"
Cia ciangkwe agak ragu-ragu, dia tak tahu untuk menjawab pertanyaannya kali ini, dia musti bicara sejujurnya atau tidak. Untunglah sambil tertawa dingin Cia Hong-hong telah berseru.
"Mau apa lagi? Kami datang untuk menyaksikan perbuatan bagus yang sedang kau lakukan!"
Cia Siau-hong menutup mulutnya rapat-rapat.
Dia tahu bibinya ini bukan cuma wataknya tak baik, kesan terhadapnyapun kurang baik sebab tak seorang perempuanpun di dunia ini yang senang menyaksikan suaminya dikalahkan, walaupun orang itu adalah keponakannya sendiri ataupun bukan................
Sayang, bibi tetap adalah bibi, perduli bagaimanapun kesannya kepadamu, ia sama saja adalah bibimu.
Walaupun ia telah menutup mulutnya, tapi Cia Hong-hong tak mau melepaskannya dengan begitu saja.
"Sungguh tak kusangka kalau Cia kita bisa muncul seorang manusia semacam kau", demikian ia memaki.
"bukan saja pandai mempermainkan perempuan, bahkan anak sendiripun sudah tak mau!"
Lalu sambil menuding bekas-bekas jari tangan di atas wajah Buyung Ciu-ti, ia berkata lebih lanjut.
"Kau sudah menipunya dua kali, meninggalkannya dua kali, tapi ia masih mencintaimu dengan sepenuh hati, kenapa kau memukulnya pula sehingga menjadi begini rupa?"
"Dia....dia...tidak......", air mata bercucuran membasahi seluruh wajah Buyung Ciu-ti.
"Kau tak usah banyak bicara!", tukas Cia Hong-hong dengan marah.
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"semua pembicaraan kalian dalam rumah penginapan kecil itu telah kami dengar semua dengan amat jelasnya, kalau toh sepatah katapun ia tak berani menyangkal, mengapa kau harus membantunya untuk menghilangkan dosa-dosanya itu?"
Lalu setelah berhenti sebentar ia bertanya lagi.
"Cia ciangkwe, apakah semua pembicaraan tersebut telah kau dengar pula dengan jelas?"
"Benar!", Cia ciangkwe manggut-manggut.
"Kau suka mempermainkan perempuan bagi kami bukan urusan, kamipun enggan untuk mencarinya, tapi nona Buyung mempunyai hubungan yang luar biasa dengan keluarga Cia kami, sekalipun kau sudah tak mau anakmu lagi, kami keluarga Cia mau tak mau harus mengakuinya sebagai cucu kami, lebih-lebih terhadap menantu kita ini!"
Cia Siau-hong tidak bersuara, bibirnya sedang bergetar keras menahan emosi.
Sekarang, ia telah memahami semua intrik dan rencana busuk yang telah diatur Buyung Ciu-ti.
Rupanya sengaja ia mengundang datang orang-orang itu dan mengaturnya untuk bersembunyi di sekitar rumah penginapan kecil itu, kemudian sengaja mengucapkan kata-kata itu agar bisa mereka dengar, agar di kemudian hari ia tak dapat menyangkalnya lagi sekalipun ingin menyangkalnya.
Kini ia sudah merupakan pemilik dari perkampungan keluarga Buyung di wilayah Kanglam dan ketua Thian-cun, jelas perempuan itu belum puas, ia masih merencanakan terus untuk merampas pula perkampungan Sin-kiam-san-ceng yang tersohor itu.
Jikalau pihak keluarga Cia telah mengakui mereka ibu dan anak, tentu saja secara otomatis dia akan menjadi nyonya ketua perkampungan Sin-kiam-san-ceng, itu berarti perkampungan itu cepat atau lambat akan terjatuh ke tangannya.
"Apalagi yang hendak kau tanyakan?", Cia Hong-hong kembali bertanya. Cia Siau-hong tidak menjawab, walaupun semua kejadian telah terpikir olehnya, namun sepatah katapun ia tidak berbicara.
"Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, apakah peraturan pertama dari keluarga Cia kita?", teriak Cia Hong-hong. Paras muka Cia Siau-hong belum sempat berubah, air muka Cia ciangkwe telah berubah hebat. Diapun mengetahui akan peraturan rumah tangga dari keluarga Cia, peraturan pertama menyebutkan tentang soal berzinah.......'Barang siapa berani berzinah dengan istri orang atau memperkosa anak gadis orang lain, maka dia akan dijatuhi hukuman penggal sepasang kakinya'. Cia Hong-hong tertawa dingin, katanya.
"Sekarang kau telah melanggar peraturan yang pertama dari undang-undang rumah tangga kita, kendatipun toako akan membelamu, aku tetap tak akan mengampuni dirimu!"
Tangannya segera diulapkan, dari bawah bukit segera muncul seorang bocah cilik yang mempersembahkan sebilah pedang.
Ketika pedang itu diloloskan dari sarungnya, hawa dingin yang merasuk tulang segera menyebar ke empat penjuru.
Kembali Cia Hong-hong berkata dengan suara keras.
"Sekarang juga aku akan melaksanakan hukuman bagi keluarga Cia kita, kenapa kau masih belum juga berlutut untuk menerima hukuman?"
OoooOOOOoooo Bab 16. Senjata Dalam Buntalan Cia Siau-hong tidak berlutut. Sambil tertawa dingin Cia Hong-hong berseru kembali.
"Bukti dan saksi semua telah hadir di depan mata, apakah kau masih belum mengaku salah? Apakah kau hendak melanggar undang-undang rumah tangga?"
Perempuan itu tahu belum pernah ada orang yang berani menentang undang-undang rumah tangga.
Barang siapa menentang peraturan rumah tangga maka ia akan dicemooh dan dihina oleh setiap umat persilatan yang ada dalam dunia.
Kini di dalam genggamannya bukan cuma ada sebilah pedang melainkan masih ada seutas tali pula, seutas tali yang dibuat dari pelbagai peraturan umat persilatan yang sudah turun temurun selama ratusan tahun lamanya dan tali itu jelas telah membelenggu Cia Siau-hong kencangkencang.
Siapa tahu Cia Siau-hong justru tak mau tunduk.
Paras muka Cia Hong-hong berubah hebat.
Sesungguhnya dia adalah seorang perempuan yang beruntung, bukan saja memiliki keluarga yang baik, diapun mempunyai suami yang baik, tidak banyak jago persilatan yang berani pandang enteng dirinya.
Oleh sebab itulah dia angkuh, sombong dan selalu berwatak nyonya besar, selamanya tak pernah ia pandang sebelah mata kepada orang lain.
Apa yang dipikirkan segera akan dia laksanakan, pedangnya segera digetarkan dan siap melancarkan serangan.
Akan tetapi tak pernah ia sangka, Cia ciangkwe yang selalu terengah-engah dan gerak-geriknya selalu lamban itu mendadak menjadi cepat sekali, tahu-tahu ia sudah berada di hadapannya sambil tertawa paksa.
"Hoa hujin, harap jangan gusar dulu!", katanya.
"Apa yang hendak kau lakukan?", hardik Cia Hong-hong.
"Aku rasa mungkin juga Sam sauya mempunyai kesulitan yang tak dapat diterangkan kepada orang lain, sekalipun Hoa-hujin hendak menghukumnya dengan mempergunakan peraturan rumah tangga, paling tidak kau harus membicarakan dahulu persoalan ini dengan lo-tayya!"
Cia Hong-hong segera tertawa dingin tiada hentinya.
"Heeeehhhh....... heeeeehhhh...... heeeeehhhhh..... kau selalu membahasakan aku sebagai Hoahujin, apakah kau sedang memperingatkanku bahwa aku sudah bukan anggota keluarga Cia lagi?"
Tentu saja memang begitulah maksud dari Cia ciangkwe, cuma ia tak berani mengakuinya secara berterus terang, kepalanya segera digelengkan berulang kali.
"Hamba tidak berani! Hamba tidak berani!"
"Hmmm.....! Sekalipun aku sudah bukan anggota keluarga Cia lagi, pedang ini masih merupakan pedang dari keluarga Cia"
Pedangnya segera digetarkan dan bentaknya keras-keras.
"Pedang inilah peraturan rumah tangga!"
"Ucapan dari Hoa-hujin memang ada betulnya juga, hanya ada satu hal yang tidak siaujin pahami"
"Dalam hal mana?"
Cia ciangkwe masih saja tersenyum di kulum, katanya.
"Aku tidak habis mengerti kenapa peraturan rumah tangga dari keluarga Cia dapat sampai terjatuh ke tangan keluarga Hoa?"
Paras muka Cia Hong-hong kembali berubah hebat, lalu dengan gusar teriaknya.
"Sungguh besar amat nyalimu, berani bersikap begitu kurang ajar kepada nyonya besarmu?"
"Hamba tidak berani!"
Ketika ke tiga patah kata itu meluncur keluar dari mulutnya, tiba-tiba tangan kirinya mencengkeram tangan Cia Hong-hong, lalu tangan kanannya menumbuk dan menyambar, tahu-tahu pedang yang berada di tangan Cia Hong-hong itu sudah berpindah tangan dan ia segera mundur sejauh tiga kaki dari posisi semula.
Jurus serangan itu dipergunakan dengan amat sederhana, bersih, cepat dan tepat, perubahan gerakan yang terkandung di dalamnya amat sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Ketika Cia Siau-hong merampas pedang milik Liu Kok-tiok tempo hari, jurus serangan inilah yang telah dipergunakan.
Sekujur badan Cia Hong-hong telah menjadi kaku, saking gusarnya air muka nyonya itu berubah menjadi hijau membesi, teriaknya.
"Dari mana kau pelajari jurus serangan itu?"
Sambil tertawa lirih sahut Cia ciangkwe.
"Kalau Hoa-hujin masih kenal dengan jurus serangan ini, hal tersebut lebih baik lagi!"
Pelan-pelan ia melanjutkan.
"Jurus serangan itu diwariskan langsung dari Loya-cu kepadaku, dia orang tua berulang kali memesan kepadaku agar setelah mempelajari jurus ini, janganlah dipergunakan secara sembarangan, tapi bila melihat ada pedang keluarga Cia berada di tangan orang dari marga lain, maka kau harus pergunakan jurus ini untuk merampasnya kembali!"
Setelah tertawa ia menambahkan lebih jauh.
"Apa yang telah dipesan oleh Loya-cu sudah barang tentu tak berani ku ingkari!"
Saking jengkelnya Cia Hong-hong sampai tak mampu mengucapkan sepatah katapun, manikmanik dan mainan yang dikenakan di atas kepalanya bergoyang tiada hentinya hingga menimbulkan suara yang amat nyaring.
Diapun tahu bahwa jurus serangan ini memang benar-benar merupakan jurus simpanan dari keluarga Cia, lagi pula selamanya hanya diwariskan kepada anak lelaki dan tidak diwariskan kepada menantu laki-laki, diwariskan kepada menantu perempuan dan tidak diwariskan kepada anak perempuan.
Pedangnya berhasil dirampas orang dalam sekejap mata, hal ini disebabkan dia sendiripun tidak memahami intisari dari rahasia jurus serangan tersebut.
Tiba-tiba Hoa Sau-kun menegur.
"Apa hubunganmu dengan keluarga Cia?"
Walaupun orang itu berperawakan tinggi besar dan tampaknya seram, tapi caranya berbicara ternyata lemah lembut dan lirih sekali.
Sesungguhnya ia tidak bertampang semacam ini, sejak kalah di ujung pedang Sam sauya, selama banyak tahun ini rupanya ia tekun berlatih diri terus menerus sehingga tenaga dalamnya benarbenar sudah mencapai kesempurnaan, itu pula sebabnya dia selalu dapat mengendalikan diri.
"Kalau dihitung-hitung, sebenarnya siau-jin tak lebih hanya seorang keponakan jauh dari lo-tayya", sahut Cia ciangkwe.
"Kau tahu pedang apakah itu?"
"Pedang ini adalah salah satu dari empat bilah pedang mestika yang ditinggalkan oleh nenek moyang keluarga Cia"
Cahaya pedang berkelebat lewat, hawa pedang segera memancar ke empat penjuru.
"Pedang bagus!", Hoa Sau-kun segera berseru sambil menghela napas panjang.
"Ya, ini memang sebilah pedang yang bagus sekali!"
"Apakah kau pantas atau berhak untuk mempergunakan pedang mestika ini......?"
"Tidak pantas!"
"Kenapa kau tidak menyerahkan saja pedang ini kepada Sam-sauya mu itu.....?"
"Ya, siaujin memng ada maksud untuk berbuat demikian!"
Ia memang berbicara sesungguhnya, semenjak tadi sudah timbul maksudnya untuk melakukan hal tersebut, cuma saja ia tidak mengerti apa maksud Hoa Sau-kun berkata demikian.
Tapi ia dapat melihat bahwa Cia Hong-hong telah memahami maksud suaminya.
Mereka adalah suami isteri yang telah menanggung derita bersama, sudah hampir dua puluh tahun lamanya mereka hidup bersama, sekarang suaminya hendak menyuruh orang untuk menyerahkan pedang yang seharusnya menjadi miliknya itu kepada orang lain, tapi ia sama sekali tidak menampilkan rasa gusar atau mendongkol sebaliknya justru terpancar sinar kuatir dan kelembutan yang hangat.
Karena hanya dia seorang yang mengerti maksudnya, dan diapun tahu bahwa istrinya mengerti.
ooooOOOOoooo Bab 17.
Beradu Kepandaian Kini pedang itu sudah berada di tangan Cia Siau-hong.
Tapi mereka berdua tak seorangpun yang berpaling untuk memandang lagi barang sekejappun.
Mereka hanya saling berpandangan dengan mulut membungkam.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Hoa Sau-kun berkata.
"Lima beberapa hari lagi adalah bulan sebelas tanggal lima belas......."
"Ya, agaknya masih ada delapan hari lagi!", Cia Hong-hong membenarkan sambil mengangguk.
"Sampai hari itu, maka kau kawin denganku sudah genap dua puluh tahun lamanya"
"Ya, aku masih ingat!"
"Sejak kecil aku telah bersumpah, sebelum menjadi tenar aku tak akan kawin"
"Aku mengerti!"
"Aku menjadi tenar setelah berusia empat puluh tahun. Ketika menikah denganmu, usiaku menjadi dua puluh tahun lebih tua daripada usiamu waktu itu"
Cia Hong-hong segera tertawa.
"Sampai sekarang kau toh masih berusia dua puluh tahun lebih tua daripadaku", katanya. Di tempat itu, bukan cuma ada mereka berdua saja, tapi secara tiba-tiba kedua orang itu telah membicarakan tentang persoalan pribadi mereka berdua. Suara mereka begitu lembut dan halus, mimik wajahnyapun kelihatan aneh sekali, bahkan sewaktu tertawapun tampak sekali tertawanya sangat aneh..........
"Dalam dua puluh tahun ini, hanya kau seorang yang tahu penghidupan macam apakah yang telah ku jalani selama ini?"
"Aku tahu, kau........kau selalu merasa telah berbuat salah kepada diriku"
"Karena aku kalah, aku sudah bukan Hoa Sau-kun ketika mengawini dirimu tempo dulu walau ke manapun juga aku sudah tak punya muka untuk menampilkan diri lagi, tapi kau............."
Ia maju ke depan dan menggenggam tangan istrinya erat-erat, terusnya lebih jauh.
"Kau belum pernah menggerutu kepadaku, selalu menerima tabiat anehku dengan penuh kerelaan, tanpa kau, mungkin aku sudah mampus!"
"Kenapa aku musti menggerutu kepadamu selama dua puluh tahun ini, bila ku bangun setiap hari, aku dapat menyaksikan kau berbaring di sampingku. Bagi seorang perempuan, masih ada rejeki apa lagi yang melebihi keadaan semacam itu?"
"Tapi sekarang aku sudah tua, siapa tahu ketika suatu pagi kau bangun dari tidurmu, tahu-tahu kau jumpai aku sudah pergi meninggalkan dirimu.......?"
"Tetapi........"
Hoa Sau-kun tidak membiarkan ia melanjutkan kata-katanya, dengan cepat ia menukas.
"Setiap orang, cepat atau lambat, pasti akan mengalami keadaan seperti itu, selamanya akan memandang tawar terhadap kejadian semacam ini, tapi aku tak akan membiarkan orang berkata bahwa Ko nay-nay dari keluarga Cia telah kawin dengan seorang suami yang tak berguna, tak becus. Aku harus membuktikan ketidak-becusanku di depan orang lain"
"Ya, aku mengerti"
Hoa Sau-ya menggenggam tangannya lebih kencang.
"Kau sungguh-sungguh telah mengerti?", bisiknya. Cia Hong-hong mengangguk, air matanya telah jatuh bercucuran membasahi pipinya. Hoa Sau-kun menghembuskan napas panjang.
"Terima kasih", kembali bisiknya. Terima kasih. Itulah dua patah kata yang sederhana tapi mengandung maksud yang dalam. Pada saat semacam ini, dibalik ucapan yang sederhana itu justru tersembunyi suatu luapan perasaan cinta, luapan perasaan haru dan rasa sayang yang tak terlukiskan besarnya. Air mata si Boneka telah membasahi seluruh ujung bajunya. Sekarang bahkan dia sendiripun telah memahami maksudnya, bahkan diapun tak tega untuk bersedih hati bagi mereka berdua. Hoa Sau-kun telah duduk di atas rumput. Rumput-rumput itu telah menguning dan kering.....walaupun dalam pandangan muda-mudi, lapangan itu masih tetap hijau dan penuh keindahan, hal inipun tak lain disebabkan bahwa dalam perasaan setiap orang, musim semi yang indah selalu ada, tapi setiap kali musim kemaraupun akan dijumpai. Mereka sudah menjadi suami-isteri selama banyak tahun, cinta kasih mereka telah mempunyai dasar yang cukup kuat. Ia telah duduk, buntalan kain yang dibawanya itu telah diletakkan di atas lututnya, lalu pelan-pelan menengadah dan memandang ke arah Cia Siau-hong. Cia Siau-hong memahami pula maksud hatinya itu, cuma saja ia masih menunggu hingga ia mengatakannya sendiri. Akhirnya Hoa Sau-kun berkata juga.
"Yang kupergunakan sekarang sudah bukan sebilah pedang lagi!"
"Oya?"
"Semenjak kalah di ujung pedangmu, aku telah bersumpah tak akan mempergunakan pedang lagi seumur hidupku!"
Ia memandang sekejap buntalan di atas lututnya, lalu berkata lebih lanjut.
"Selama dua puluh tahun ini aku telah melatih sejenis senjata tajam lainnya, setiap hari setiap malam aku selalu berharap suatu ketika dapat melangsungkan kembali suatu pertarungan melawanmu!"
"Ya, aku mengerti!"
"Tapi aku sudah kalah di ujung pedangmu, prajurit yang telah kalah perang, biasanya tak cukup bernyali untuk bertarung kembali, maka bila kau tak akan menyalahkan dirimu....!"
Cia Siau-hong mengawasinya lekat-lekat, mendadak terpancar ke luar rasa kagum di balik wajahnya. Dengan wajah tanpa emosi, dia hanya mengatakan sepatah kata saja dengan hambar.
"Silahkan.....!"
Buntalan itu terbuat dari kain berwarna kuning dan dijahit secara rapat, di luarnya masih diselubungi pula dengan sebuah kain yang panjang, kain itupun diikat dengan rapat sekali.
Semacam tali simpul yang tidak gampang untuk memutuskannya.
Untuk membebaskan tali simpul semacam ini, satu-satunya cara yang paling cepat adalah menariknya hingga putus, atau sekali bacok memutuskan semua tali itu.
Tapi Hoa Sau-kun tidak berbuat demikian, dua puluh tahunpun dapat ia lewatkan dengan sabar, apalagi hanya waktu beberapa menit.
Ia lebih suka untuk membuang lebih banyak tenaga dengan melepaskan ikatan tali itu satu persatu.
Ataukah mungkin karena dia sudah tahu bahwa masa berkumpul lebih pendek dari masa berpisah, sehingga dia ingin berkumpul lebih lama lagi dengan istrinya? Cia Hong-hong memandang ke arahnya, tiba-tiba ia menyeka kering air matanya, lalu sambil berjongkok di sampingnya ia berkata.
"Mari kubantu!"
Kain itu sebetulnya ia juga yang mengikatnya, maka tentu saja ia dapat membukanya lebih cepat pula.
Dengan jelas dia tahu bahwa pertarungan suaminya kali ini adalah untuk mempertahankan mati dan hidup, kehormatan atau penghinaan.
Diapun tahu bahwa kepergian suaminya kali ini belum tentu bisa kembali lagi, tapi kenapa ia tak mau mengulur waktu untuk beberapa saat lebih lama? Karena ia tak ingin waktu yang cukup lama itu sampai melenyapkan keberanian serta kepercayaannya pada diri sendiri.
Karena ia berharap, pertarungan ini bisa dimenangkan oleh suaminya........
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hoa Sau-kun memahami maksud hati istrinya.
Cia Hong-hong pun tahu bahwa suaminya dapat memahami maksudnya itu.
Betapa sulitnya saling pengertian ini, tapi betapa bahagianya pula mereka.
Setiap orang agaknya telah dibuat terharu oleh gerak-gerik ke dua orang itu, hanya Buyung Ciu-ti seorang yang tidak memperhatikan mereka walau sekejap matapun, ia hanya mengawasi terus buntalan berwarna kuning itu..........
Dalam hati kecilnya ia sedang berpikir.
"Senjata rahasia macam apakah yang sebenarnya disembunyikan di balik buntalan itu? Dapatkah dipergunakan untuk mengalahkan Cia Siau-hong......?"
Sewaktu masih mudanya dulu, Hoa Sau-kun sudah diakui khalayak umum sebagai seorang jago yang berilmu tinggi.
Sejak dikalahkan Cia Siau-hong, mungkin saja kesehatan tubuhnya banyak merosot, dan sulit untuk dipulihkan kembali seperti kekuatan di masa jayanya dulu.
Apalagi ilmu pedang Cia Siau-hong adalah ilmu pedang yang menakutkan, ia dapat meresapi akan hal itu, maka jika ia telah memilih sebilah senjata lain sebagai pengganti pedang untuk menghadapi Sam sauya, maka hal mana sudah pasti bukan suatu kejadian yang gampang.
Di pandang dari sikapnya yang begitu sayang pada buntalan tersebut, dapat diketahui bahwa senjata yang dipilihnya ini pasti adalah suatu senjata yang jarang ditemui dalam dunia persilatan, lagi pula pasti tajamnya luar biasa.
Sudah dua puluh tahun lamanya ia melatih diri dengan tekun dan rajin, kini dengan memberanikan diri telah mempertaruhkan jiwa raganya, bahkan mempertaruhkan pula perpisahannya dengan sang istri yang sudah banyak tahun hidup sengsara bersamanya, hal ini menunjukkan bahwa tantangannya kepada Cia Siau-hong untuk berduel kembali pasti disertai dengan suatu keyakinan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Pelan-pelan Buyung Ciu-ti menghembuskan napas panjang, terhadap pertimbangan yang dibuatnya ia mempunyai keyakinan yang lebih mantap lagi.
Sekarang bilamana ada orang berani bertaruh dengannya, maka kemungkinan besar ia akan mempertaruhkan bahwa Hoa Sau-kun yang akan menangkan pertarungan ini.
Jika ingin mengetahui skor taruhannya, maka dia akan memegang Hoa Sau-kun dengan tujuh lawan tiga, atau paling rendahpun enam banding empat.......
Ia percaya dugaannya ini pasti tak akan keliru terlalu besar.
Akhirnya buntalan itu terbuka, senjata yang berada di dalam buntalan tersebut ternyata tak lain hanya sebuah tongkat kayu.
Tongkat itu adalah sebuah tongkat yang amat biasa, walaupun terbuat dari bahan yang bermutu tinggi, jelas tak dapat dibandingkan dengan tempaan pedang mestika yang tajamnya bukan kepalang.
Inikah senjata yang telah dilatihnya dengan tekun dan penuh keseriusan selama dua puluh tahun? Hanya mengandalkan tongkat tersebut, dia hendak menghadapi kecepatan pedang dari Sam sauya? Ketika menjumpai tongkat kayu itu, Buyung Ciu-ti entah harus merasa kaget dan tercengang, ataukah harus merasa kecewa? Mungkin setiap orang akan merasa terkejut dan kecewa sekali, tapi tidak demikian dengan Cia Siau-hong.
Hanya dia seorang yang mengerti bahwa pilihan Hoa Sau-kun adalah pilihan yang sangat tepat.
Tongkat sesungguhnya merupakan sejenis senjata yang paling kuno bagi umat manusia kita.
Sejak jaman dahulu kala, di saat manusia hendak berburu binatang untuk makan, atau sewaktu harus melindungi diri, mereka selalu mempergunakan senjata ini.
Justru karena benda itu merupakan sejenis senjata yang terkuno, lagi pula setiap orang selalu mempergunakannya untuk memukul orang atau mengusir anjing, maka sedikit banyak orang akan memandang remeh senjata tersebut, padahal mereka lupa bahwa semua senjata yang ada di dunia ini pada dasarnya berkembang dari benda tersebut.
Jurus-jurus serangan dari tongkat itu sendiri mungkin terlampau sederhana, tapi bila berada di tangan seorang jago silat yang benar-benar lihay, justru tongkat itu bisa dipakai sebagai tombak, sebagai pedang, sebagai senjata penotok jalan darah dan bisa juga digunakan sebagai senjata Poan-koan-pit.........
Pokoknya semua perubahan jurus serangan dari aneka senjata tajam yang ada di dunia ini, sesungguhnya dikembangkan dari jurus-jurus sederhana dari gerakan tongkat itu sendiri.
Hoa Sau-kun telah menyimpan sebuah tongkat yang sederhana sedemikian rapat dan rahasianya, inipun bukan cuma suatu perbuatan gila-gilaan, melainkan terhitung pula semacam pertarungan batin, bertarung terhadap batin sendiri.
Ia harus menaruh rasa hormat dan sayang terlebih dulu terhadap tongkat itu, kemudian baru akan tumbuh kepercayaannya terhadap senjata tersebut......
"Kepercayaan"
Sesungguhnya merupakan senjata ampuh lagi pula terhitung senjata paling tajam dan paling manjur.
Buyung Ciu-ti pun seorang yang pintar sekali, dengan cepat ia dapat memahami teori tersebut.
Tapi masih ada satu hal yang tidak ia pahami! Ia tidak mengerti kenapa Hoa Sau-kun tidak mempergunakan tongkat emas, tongkat perak atau tongkat besi, melainkan justru memilih sebuah tongkat kayu yang segera akan kutung jika di tebas.
Rasa percayanya kepadanya pun jauh tidak lebih mantap dari sebelum ini.
Sang surya baru terbit, mata pedang membiaskan sinar berkilauan ketika tertimpa sinar sang surya, hingga kelihatan jauh lebih tajam dan cemerlang daripada sinar sang surya sendiri.
Hoa Sau-kun telah bangkit berdiri, dia hanya memandang sekejap ke arah bininya dengan sinar mata terakhir, kemudian dengan langkah lebar berjalan menuju ke arah Cia Siau-hong.
Selama ini Cia Siau-hong hanya berdiri tenang di sana, berdiri menantikan kedatangannya, paras mukanya tenang tanpa emosi, seakan-akan hatinya tidak terpengaruh oleh semua peristiwa yang telah berlangsung tadi.
Untuk menjadi seorang pendekar pedang yang bagus dan luar biasa, maka syarat pertama adalah harus dingin, keji dan tidak berperasaan.
Terutama sesaat sebelum menjelang berlangsungnya pertarungan, ia lebih-lebih tak boleh terpengaruh oleh suasana ataupun keadaan macam apapun yang sedang terjadi di hadapannya.
.......Sekalipun binimu sedang tidur dengan laki-laki lain di hadapanmu, kaupun musti berpura-pura tidak melihatnya.
Ucapan itu sangat populer sekali di antara para pendekar pedang pada jaman tersebut, sekalipun tak ada yang tahu siapa yang memulai dengan kata-kata semacam itu, tapi semua orang mengakui bahwa perkataan itu memang betul dan masuk di akal, hanya mereka yang bisa berbuat demikian, dia pula yang bisa hidup jauh lebih panjang dari orang lain.
Agaknya Cia Siau-hong dapat berbuat demikian.
Hoa Sau-kun mengawasinya lekat-lekat, rasa kagum dan hormat terpancar keluar dari balik matanya.
Cia Siau-hong sedang mengawasi tongkat kayunya dengan termangu, tiba-tiba ia berkata.
"Ehmm, suatu senjata yang bagus sekali!"
"Ya, memang senjata yang bagus!"
"Silahkan!"
Hoa Sau-kun manggut-manggut, tongkat di tangannya telah dikebaskan ke luar, dalam waktu singkat ia telah melancarkan tiga buah serangan kilat.
Ke tiga serangan tersebut dilancarkan secara berantai dengan perubahan yang cepat tapi lincah, yang digunakan ternyata bukan jurus-jurus ilmu pedang.
Buyung Ciu-ti diam-diam menghela napas, ia dapat merasakan, asal Cia Siau-hong menggunakan sebuah jurus serangannya yang tangguh, niscaya tongkat kayu itu bakal kutung.
Siapa tahu kenyataannya jauh berbeda dengan apa yang diduganya semula, ternyata Cia Siaubong tidak mempergunakan jurus serangan seperti apa yang diduganya semula, melainkan memukul tangan Hoa Sau-kun dengan punggung pedangnya.
Mencorong sinar tajam dari balik mata Buyung Ciu-ti, hingga sekarang dia baru tahu kenapa Hoa Sau-kun mempergunakan tongkat kayu sebagai senjatanya.
Sebab ia tahu, tak nanti Cia Siau-hong akan memapas tongkat kayu itu dengan pedangnya, Samsauya dari keluarga Cia tak akan mencari keuntungan di atas senjata.
Bila ia tidak bersedia untuk memapas tongkat kayu itu dengan pedangnya, berarti dalam melancarkan seranganpun ia akan merasakan rintangan-rintangan yang menyulitkan diri sendiri.
Oleh karena itulah pilihan Hoa Sau-kun untuk menggunakan tongkat kayu sebagai senjatanya merupakan suatu tindakan cerdik yang sama sekali di luar dugaan siapapun.
Tak tahan lagi Buyung Ciu-ti tersenyum, ia maju ke muka dan mencekal tangan Cia Hong-hong yang dingin, kemudian bisiknya lembut.
"Jangan kuatir, kali ini Hoa Sianseng tak bakal kalah!"
Bila ada dua orang jago lihay sedang bertempur, seringkali menang kalahnya hanya ditentukan di dalam satu jurus gebrakan belaka, cuma jurus yang menentukan menang kalah itu tidak selalu harus jurus pertama, mungkin pada jurus yang ke sekian puluh, mungkin juga pada jurus yang ke sekian ratus.
Sekarang pertarungan telah berlangsung lima puluh gebrakan, Hoa Sau-kun telah melancarkan tiga puluh tujuh jurus ,sebaliknya Cia Siau-hong hanya membalas tiga belas jurus.
Sebab mata pedangnya setiap waktu setiap saat selalu harus berusaha untuk menghindari tongkat kayu dari Hoa Sau-kun.
.......Apa yang menjadi tujuan serta cita-cita dari seorang pendekar pedang adalah mencari kemenangan, seringkali mereka tidak memperdulikan cara licik apapun yang musti dilakukan, yang penting tujuan tersebut berhasil diraih.
Cia Siau-hong tidak melakukan hal tersebut, karena ia terlalu angkuh, terlalu tinggi hati.
'Barangsiapa tinggi hati, dia pasti kalah' Terbayang akan ucapan tersebut, Buyung Ciu-ti merasa hatinya makin gembira.
Pada saat itulah mendadak berkumandang memecahkan keheningan.
"Plaaakk!", tongkat kayu itu menghantam di atas punggung pedang dan menggetarkan pedang Cia Siau-hong sehingga bergetar keras dan mencelat ke atas udara. Cia Siau-hong mundur beberapa langkah dari situ dan kemudian mengucapkan dua patah kata yang selama ini belum pernah diucapkan olehnya.
"Aku kalah!"
Selesai mengucapkan kedua patah kata itu dia putar badan dan tanpa berpaling turun dari tanah gundukan tersebut.
Hoa Sau-kun tidak menghalangi, diapun tidak menyusulnya, justru Cia ciangkwe yang menyusulnya.
Si Boneka ingin menyusul pula, tapi Buyung Ciu-ti segera menarik tangannya sambil berkata dengan lembut.
"Mari ikut aku pulang, jangan lupa di tempatku sana masih ada seseorang yang menantikan kedatanganmu untuk merawatnya!"
Sementara itu pedang tersebut telah terjatuh ke tanah dan persis menancap di samping Cia Honghong dengan gagang pedang menghadap ke atas, asal dia menggerakkan tangannya, maka senjata tersebut segera akan tercabut olehnya, seakan-akan ada orang yang secara khusus mengirim kembali pedang itu kepadanya.
Cia Siau-hong telah pergi jauh, tapi Hoa Sau-kun masih berdiri di tempat tanpa berkutik barang sedikitpun jua.
Dalam pertarungan ini, ia telah mengalahkan Cia Siau-hong yang tiada tandingannya di kolong langit dan melampiaskan rasa dendam yang telah tertanam selama dua puluh tahun dalam dadanya, tapi tiada sinar kemenangan yang terpancar pada wajahnya, malah sebaliknya kelihatan begitu murung, sedih dan masgul.
Lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru berjalan balik, langkah kakinya tampak sangat berat, seakan-akan sedang menghela seuntai rantai besi yang beratnya bukan kepalang.
Cia Hong-hong tidak bersorak gembira bagi kemenangan suaminya, diapun tidak mencabut pedang yang menancap di tanah, dengan mulut membungkam perempuan itu hanya maju ke depan dan menggenggam tangannya.
Ia dapat memahami perasaan suaminya, diapun mengerti kenapa suaminya kelihatan sedih dan masgul setelah berhasil meraih kemenangan dalam pertarungan itu.
"Kau sudah tidak menghendaki pedang itu lagi?", tiba-tiba Hoa Sau-kun bertanya.
"Pedang itu milik keluarga Cia, sedang aku sudah bukan anggota keluarga Cia lagi!"
Hoa Sau-kun memandang ke arahnya, pancaran sinar lembut dan terima kasih mencorong ke luar dari balik matanya. Lewat lama sekali, tiba-tiba ia berpaling ke arah Buyung Ciu-ti dan menjura dalam-dalam, katanya.
"Aku ingin memohon bantuan tentang sesuatu dari hujin!"
"Katakan saja!", ucap Buyung Ciu-ti.
"Bersediakah hujin buatkan sebuah tugu batu di sisi pedang tersebut?"
"Tugu? Tugu macam apa yang kau maksudkan?"
"Cantumkan di atas tugu tersebut yang mengatakan bahwa pedang itu pedang Sam sauya, barang siapa berani mencabutnya untuk dipergunakan, maka Hoa Sau-kun pasti akan memburunya kembali, bukan saja pedang itu akan ku buru kembali, bahkan akan ku buru pula batok kepalanya sekalipun ia kabur ke ujung langit, aku tetap akan mengejarnya sampai dapat!"
Kenapa ia melakukan hal itu bagi musuh besarnya? Tidakkah hal ini suatu peristiwa yang aneh? Buyung Ciu-ti tidak bertanya, pun tidak merasa keheranan, segera sahutnya.
"Aku segera akan suruh orang buatkan tugu di sini, tak sampai setengah hari tentu sudah siap, cuma saja........"
"Kenapa?"
"Seandainya ada bocah nakal atau orang dusun yang kebetulan lewat di sini, lalu mencabut pedang tersebut dan membawanya kabur, bagaimana jadinya? Mereka toh tidak kenal dengan Sam sauya, tidak pula dengan Hoa sianseng, bahkan membaca tulisanpun belum tentu bisa, lantas apa yang musti dilakukan?"
Ia tahu bahwa Hoa Sau-kun belum sampai berpikir ke situ, maka diapun mengemukakan idenya.
"Biar kubangunkan sebuah gardu pedang di situ, lalu menyuruh orang menjaganya siang malam secara bergilir, entah bagaimana pendapat Hoa sianseng? Cocok dengan seleramu tidak!"
Cara tersebut memang terhitung cara yang paling bagus dan sempurna, kecuali rasa terima kasih dan terharu, apalagi yang bisa dikatakan Hoa Sau-kun? Kembali Buyung Ciu-ti menghela napas sedih, katanya.
"Kadangkala aku betul-betul merasa tak habis mengerti, perduli apapun yang ia lakukan terhadap orang lain, orang lain selalu bersikap sangat baik kepadanya"
Hoa Sau-kun termenung dan berpikir sebentar, kemudian sahutnya.
"Ya, mungkin hal ini disebabkan karena dialah Cia Siau-hong!"
Di belakang bukit sana merupakan sebuah hutan pohon Hong dengan daunnya yang berwarna merah membara seperti api.
Baru saja Cia Siau-hong mencari sebuah batu untuk duduk, Cia ciangkwe telah menyusul ke sana, tiada peluh yang membasahi tubuhnya, napaspun tidak tersengal-sengal.
Setelah menjadi ciangkwe siapapun selama puluhan tahun dalam rumah makan, siapapun pasti akan berubah menjadi pandai bersandiwara, cuma siapa saja tentu akan tiba saatnya untuk lupa bersandiwara.
Hingga kini, Cia Siau-hong baru merasakan bahwa dirinya belum pernah sungguh-sungguh memahami orang tersebut.
Tak tahan ia bertanya kepada diri sendiri.
"........Aku pernah sungguh-sungguh memahami siapa, Buyung Ciu-ti? Ataukah Hoa Sau-kun?"
Cia ciangkwe menghela napas panjang, katanya.
"Sejak kecil sampai kau menjadi dewasa, aku selalu mendampingimu, tapi hingga sekarang aku baru menemukan bahwa sesungguhnya aku sendiripun tak tahu manusia macam apakah dirimu itu, setiap perbuatan yang kau lakukan seakan-akan tak pernah kufahami!"
Cia Siau-hong tidak memberitahukan kepadanya apa yang hendak ia ucapkan dalam hatinya, hanya dengan suara hambar dia bertanya.
"Persoalan apakah yang tidak kau fahami?"
Cia ciangkwe menatapnya lekat-lekat kemudian balik bertanya.
"Kau benar-benar kalah?"
"Kalah ya kalah, benar-benar atau tidak toh sama saja!"
"Bibi ya bibi, perduli ia telah kawin dengan siapapun tetap sama saja!", sambung Cia ciangkwe.
"Kalau kau sudah mengerti, itu lebih baik lagi!"
Cia ciangkwe menghela napas panjang lalu tertawa getir.
"Mengertipun tidak lebih baik, jadi orang memang lebih baik rada bodoh dan dungu!"
Tampaknya Cia Siau-hong enggan untuk melanjutkan pembicaraannya tentang persoalan itu, dengan cepat ia mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, tanyanya.
"Sebenarnya bagaimana ceritanya sehingga kau bisa sampai di sini?"
"Aku mendengar orang bilang kau berada di sini, maka tanpa berhenti ku larikan kuda menyusul kemari, sebelum kau berhasil kutemukan, nona Buyung telah menemukan diriku lebih dulu!"
"Kemudian?"
"Kemudian ia membawaku menuju ke rumah penginapan kecil di bawah tebing sana. Ketika ia pergi menjumpai dirimu, kami disuruh menunggu di luar, tentu saja kami tak berani sembarangan menerjang masuk ke dalam sana!"
"Bukankah kalian tak berani masuk karena kuatir mengganggu perbuatan baik kami?", tegur Cia Siau-hong dingin. Cia ciangkwe segera tertawa getir.
"Terlepas dari semua persoalan, bagaimanapun jua hubungan kalian toh jauh lebih istimewa daripada orang lain"
Cia Siau-hong tertawa dingin tiada hentinya, tiba-tiba ia bangkit berdiri, lalu serunya.
"Sekarang kau telah bertemu denganku, sudah boleh pulang kau dari sini!"
"Kau tidak pulang?"
"Sekalipun aku hendak pulang, rasanya tak perlu kau membawakan jalan bagiku, aku masih cukup tahu jalan mana yang musti di tempuh untuk kembali ke rumah sendiri"
Cia ciangkwe menatapnya tajam-tajam, kemudian bertanya.
"Kenapa kau tidak pulang? Sesungguhnya kesulitan apakah yang terkandung di dalam hatimu sehingga enggan memberitahukannya kepada orang lain......?"
Cia Siau-hong tidak menjawab, ia telah bersiap-sedia untuk pergi meninggalkan tempat itu.
"Kau hendak pergi ke mana?", Cia ciangkwe segera bertanya.
"apakah masih seperti waktu-waktu yang lalu, pergi bergelandangan dan menyiksa diri sendiri?"
Pada hakekatnya Cia Siau-hong sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya lagi. Mendadak Cia ciangkwe melompat bangun, lalu serunya dengan suara lantang.
"Aku sama sekali tak ingin mengurusi persoalanmu, tapi ada satu hal yang bagaimanapun jua musti kau urusi"
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya Cia Siau-hong memandang juga sekejap ke arahnya, kemudian bertanya.
"Urusan apakah itu?"
"Bagaimanapun juga kau tidak seharusnya membiarkan anakmu mengawini seorang pelacur!"
"Pelacur?", bisik Cia Siau-hong sambil menyipitkan matanya.
"Aku tahu dua bersaudara dari suku Biau itu adalah sahabatmu, akupun tahu bahwa mereka berdua adalah orang baik, akan tetapi......"
"Darimana kau bisa tahu tentang kesemuanya itu?", tukas Ciau Siau-hong cepat. Sebelum Cia ciangkwe sempat buka suara, dari luar hutan kedengaran seseorang menimpali.
"Akulah yang memberitahukan kesemuanya itu kepadanya!"
Orang itu berada di luar hutan, suaranya masih amat jauh.
Secepat anak panah yang terlepas dari busurnya, Cia Siau-hong menyusup ke luar dari hutan dan mencekal tangan orang itu.
Tangan itu dingin sekali seperti seekor ular berbisa.........Bukankah Tiok Yap Cing adalah sejenis ular paling beracun di antara pelbagai jenis ular beracun yang ada? "Kau belum mampus.....?", tegur Cia Siau-hong sambil tertawa dingin tiada hentinya.
Tiok Yap-cing tersenyum.
"Hanya bukan orang baik yang berumur panjang. Aku bukan orang baik-baik!"
"Kau ingin mampus?"
"Tidak ingin!"
"Kalau begitu lebih baik kau cepat angkat kaki dan menyingkir jauh-jauh dari sini, selama hidup jangan sampai berjumpa lagi denganku......"
"Sebetulnya aku memang hendak pergi, cuma ada sebuah hadiah yang musti kusampaikan terlebih dulu sebelum pergi meninggalkan tempat ini!"
"Hadiah apa?", sekali lagi kelopak mata Cia Siau-hong menyipit menjadi kecil sekali.
"Tentu saja hadiah perkawinan untuk nona suku Biau itu dengan Siau Te, apalagi perkawinan ini diselenggarakan oleh Buyung Ciau-ti hujin dengan Yu-liong-kiam-kek suami isteri sebagai saksi, bagaimanapun juga hadiah ini harus dihantar sampai ke tempat tujuannya"
Sesudah tersenyum, kembali ia bertanya.
"Apakah Sam-sauya pun berminat untuk mengirim hadiah kepadanya?"
Sepasang tangan Cia Siau-hong telah berubah menjadi dingin bagaikan es......
"Hujin menaruh belas kasihan atas nasib dan penderitaan yang dialami nona Biau-cu selama ini", kata Tiok Yap-cing kembali.
"dia pun tahu bahwa Sam sauya amat menaruh belas kasihan kepada orang lain, maka akhirnya diputuskan untuk mengawinkannya kepada Siau Te"
Mendadak sepasang tangan Cia Siau-hong mengepal kencang. Peluh dingin segera bercucuran membasahi wajah Tiok Yap-cing, buru-buru ujarnya kembali.
"Tapi aku tahu bahwa Sam sauya pasti tak akan setuju dengan perkawinan tersebut!"
Dengan merendahkan suaranya ia berkata lebih jauh.
"Cuma sejak kecil Siau Te pun mempunyai tabiat yang keras kepala, bila ada orang yang melarangnya mengerjakan sesuatu, mungkin ia malah sengaja melakukannya, oleh karena itu jika Sam sauya ingin menyelesaikan persoalan ini, cara yang terbaik adalah melenyapkan sang pembawa perkara!"
Ada semacam manusia tampaknya sejak dilahirkan telah berbakat untuk menyelesaikan persoalan rumit dari orang lain, tak bisa disangsikan lagi Tiok Yap-cing adalah manusia semacam ini.
Tanpa kobaran api, tak mungkin makanan apapun yang di masak dalam kukusan dapat matang, tanpa pengantin perempuan, tentu saja pesta perkawinan tak mungkin bisa diselenggarakan.
Sepasang tangannya yang mengepal kini telah mengendor, Cia Siau-hong kembali bertanya.
"Sekarang mereka berada di mana?"
Tiok Yap-cing menghembuskan napas panjang, sahutnya.
"Betul semua orang di kota ini tahu bahwa di sini ada seorang manusia yang bernama Toa-tauke, tapi tidak banyak yang pernah berjumpa dengannya, lebih-lebih lagi yang mengetahui tempat tinggalnya"
"Kau tahu?", Cia Siau-hong bertanya. Sekali lagi Tiok Yap-cing memperlihatkan senyumannya.
"Untung saja aku tahu!"
"Mereka berada di situ?"
"Ciu Ji sianseng, Tam Ci-hui serta Yu-liong-kiam-khek suami isteri juga berada di situ, mereka semua amat setuju dengan perkawinan tersebut dan tak mungkin akan biarkan orang lain membawa kabur pengantin perempuannya!"
Setelah tersenyum ujarnya kembali.
"Untung saja mereka sudah lelah sekali, malam ini mereka pasti akan tertidur lebih awal, setelah malam tiba, asal ada aku yang membawa jalan, maka Sam sauya hendak pergi dengan membawa siapapun akan bisa kau lakukan dengan leluasa"
Cia Siau-hong menatapnya tajam-tajam, lalu berkata dingin.
"Kenapa kau musti menaruh perhatian yang begitu besar terhadap persoalan ini?"
Tiok Yap-cing menghela napas panjang.
"Aaaai......nona Biau-cu pasti menaruh kesan yang kurang baik kepadaku, sedangkan Siau Te justru adalah putra tunggal hujin, bila perkawinan ini jadi dilangsungkan, maka di kemudian hari aku kuatir tak akan ada kehidupan yang baik lagi bagiku!"
Setelah memandang sekejap mulut luka Cia Siau-hong, ia berkata lebih lanjut.
"Tapi penghidupanku sekarang masih terhitung lumayan, dalam setiap pelosok kota ini masih terdapat tabib pintar, masih ada arak bagus, dan aku mengetahui semuanya....."
Malam telah kelam.
Pelan-pelan Hoa Sau-kun merangkak bangun dari pembaringannya, mengenakan pakaian kemudian pelan-pelan membuka pintu dan berjalan keluar dari ruangan itu.
Cia Hong-hong sama sekali tidak tertidur, iapun tidak memanggilnya dan bertanya hendak ke mana ia pergi? Ia cukup memahami perasaan suaminya, ia tahu dalam keadaan seperti ini ia pasti ingin berjalanjalan seorang diri di tempat luaran.
Selama banyak tahun belakangan ini meski mereka amat jarang tidur bersama seperti hari ini, tapi setiap kali ia selalu dapat membuat istrinya merasa puas dan bahagia, terutama sekali pada hari ini, kelembutan dan kepuasan yang diberikan kepadanya, hakekatnya seperti pengantin baru saja........
Ia memang seorang suami yang baik, ia telah berusaha dengan keras untuk menunaikan semua kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami, bagi seorang kakek yang telah berusia enam puluh tahun lebih, hal itu sudah terhitung tidak gampang.
Memandang bayangan punggungnya yang tinggi besar dan kekar itu berjalan ke luar dari ruangan, luapan terima kasih dan sayang menyelimuti perasaan perempuan itu.
Ia berharap dirinyapun telah melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai seorang isteri dengan sebaik-baiknya, agar ia dapat hidup beberapa tahun lagi, dan melewatkan beberapa tahun penghidupan yang tenang dan penuh kegembiraan, melupakan perhatian dunia persilatan, melupakan Cia Siau-hong dan melupakan pertarungan di atas bukit tersebut.
Ia berharap di kala ia kembali nanti, semuanya telah terlupakan olehnya, ia sendiripun enggan untuk berpikir terlalu banyak.
Kemudian dalam kelelapan tersebut, iapun tertidur, tertidur lama sekali, tapi Hoa Sau-kun belum juga kembali.
Kebun bunga yang besar dan lebar berada dalam keheningan dan kegelapan luar biasa.
Seorang diri Hoa Sau-kun duduk dalam gardu persegi enam di luar jembatan Kui-ci-kiau, ia duduk lama sekali di sana.
Setelah melampaui suatu hubungan yang mesra dan penuh keriangan dengan istrinya, ia masih belum juga dapat tertidur.
Ia tak dapat melupakan pertarungan di atas bukit tersebut, perasaannya penuh diliputi penderitaan, penyesalan dan rasa sedih.
Malam semakin kelam, ketika ia hendak kembali ke kamarnya untuk tidur, tiba-tiba tampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat dari belakang bukit-bukitan sana, di atas bahunya seakan-akan membopong sesosok tubuh manusia.
Ketika ia menyusul ke situ, ternyata bayangan itu sudah lenyap tak berbekas.
Tapi dari gunung-gunungan sana, ia seakan-akan menangkap suara dari Tiok Yap-cing sedang berkata.
"Sekarang apakah kau telah percaya bahwa orang yang dibawa pergi olehnya itu adalah si Boneka?"
Suara Tiok Yap-cing masih penuh dengan nada pancingan, kembali katanya.
"Pada malam ibumu tukar cincin, ia telah membawa kabur ibumu dari sisi tunangannya, dan sekarang ia membawa kabur binimu, bahkan aku sendiripun tidak habis mengerti, kenapa ia senang melakukan perbuatan semacam itu?"
"Tutup mulut!", tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda membentak dengan penuh kegusaran. Tentu saja pemuda tersebut adalah Siau Te. Tiok Yap-cing tidak berusaha untuk tutup mulut, kembali ujarnya.
"Aku pikir saat ini mereka pasti telah kembali ke rumah si Boneka yang dulu, meskipun tempatnya kuno dan bobrok, tapi tenang dan bersih, mereka menyangka tak akan ada orang yang bisa menemukan mereka di situ, lebih baik kaupun ikut ke sana, sebab......."
Belum lagi ia menyelesaikan kata-katanya, sesosok bayangan tubuh telah meluncur ke luar dari balik gunung-gunungan secepat sambaran kilat.
Untung saja ketika itu Hoa Sau-kun telah melompat naik ke atas gunung-gunungan dan mendekam di atas puncaknya.
Ia kenali orang itu sebagai Siau Te, dan diapun kenali orang yang berjalan di belakangnya bukan lain adalah Tiok Yap-cing.
Tapi untuk sementara waktu ia masih belum menampakkan diri, karena ia telah bertekad untuk membongkar intrik keji ini hingga sama sekali terbuka.
Ia bertekad melakukan suatu perbuatan baik bagi Cia Siau-hong.
Sambil bergendong tangan Tiok Yap-cing berjalan cepat pelan-pelan menelusuri jalanan kecil dan dengan cepat menemukan ruangan tempat tidurnya yang bermandikan cahaya.
Ia tinggal dalam ruangan terpencil yang tak jauh letaknya dari gunung-gunungan itu, di luar bangunan tumbuh beratus-ratus batang bambu serta beberapa kuntum bunga seruni.
Bila kamar itu berlampu, berarti Ki Ling masih menantikan kedatangannya, hari itu setiap persoalan yang dilakukan seakan-akan semuanya berjalan lancar, ia berhak untuk menikmati malam itu dengan penuh kegembiraan dan keasyikan, bahkan mungkin diiringi dengan sedikit arak.
Pintu itu tak terkunci, orang yang tinggal di situpun tak perlu mengunci pintu, sebab dikuncipun tak ada gunanya.
Ia telah membayangkan bagaikan Ki Ling dengan tubuhnya yang bugil sedang berbaring di atas pembaringan menantikan kedatangannya, tapi tidak mengira kalau masih ada seseorang yang lain berada di situ.
Ternyata Ciu Ji sianseng pun sedang menantikan kedatangannya.
Di depan lampu ada arak, arak tersebut sudah habis di minum, agaknya tak sedikit yang diminum Ciu Ji sianseng, berarti pula sudah lama ia menanti di situ......
Duduk di sampingnya sambil menuang arak adalah Ki Ling.
Ia sama sekali tidak telanjang bulat, ia mengenakan pakaian, bahkan mengenakan dua stel.
Tapi, meskipun mengenakan dua stel pakaian, sekalipun digabungkan juga tak lebih tipis daripada selapis kabut.
"Ooooh.....tak kusangka kalau Ciu Ji sianseng pun pandai menikmati suasana", tegur Tiok Yapcing sambil tertawa. Ciu Ji sianseng meletakkan cawan araknya, kemudian berkata.
"Sayang sekali arak ini arakmu, perempuan itupun perempuanmu, sekarang kau telah kembali, maka setiap waktu setiap saat kau boleh menerimanya kembali"
"Oooh, tak perlu!"
"Tak perlu?"
Tiok Yap-cing tertawa, ujarnya.
"Sekarang arak itu arakmu dan perempuan itu perempuanmu, tak ada salahnya kalau kau memakainya dan menikmatinya pelan-pelan!"
"Dan kau sendiri......?"
"Aku akan menyingkir"
Ternyata ia benar-benar hendak menyingkir dari situ. Ciu Ji sianseng memandang ke arahnya, rasa kaget, tercengang dan curiga menyelimuti sorot matanya, menanti ia saksikan orang sudah akan keluar dari pintu, tiba-tiba serunya dengan keras.
"Tunggu sebentar!"
Tiok Yap-cing segera berhenti sambil bertanya.
"Masih ada perkataan apa lagi yang hendak kau katakan?"
"Aku hanya ingin berkata sepatah kata saja!"
Tiok Yap-cing memutar badannya menghadap ke arahnya dan menantikan jawabannya. Ciu-ji sianseng menghela napas panjang, katanya.
"Ada sementara persoalan sebetulnya tidak pantas untuk kutanyakan kepadamu, tapi aku amat ingin tahu sebenarnya manusia macam apakah kau ini? Dan sesungguhnya jalan pikiran apakah yang mendekam dalam ingatanmu itu.....?"
Tiok Yap-cing kembali tertawa, katanya.
"Aku tidak lebih hanya seorang manusia yang gemar bersahabat, terutama sekali bersahabat dengan seorang teman seperti kau!"
Ciu Ji sianseng pun ikut tertawa. Wajahnya masih tertawa, tapi kelopak matanya telah menyurut kecil, kembali ia bertanya.
"Masih ada berapa orang sahabatmu lagi yang telah kau jual?"
"Hei, apa yang sedang kau katakan?", seru Tiok Yap-cing hambar.
"sepatah katapun tidak kufahami?"
"Semestinya kau mengerti, karena hampir saja kau menghianati diriku satu kali!"
Ia tidak memberi kesempatan bagi Tiok Yap-cing untuk buka suara, kembali katanya.
"Hek-sat sebetulnya temanmu pula, tapi kau telah mempergunakan Mao It-leng untuk membunuh mereka. Tam Ci-hui, Liu Kok-tiok, Hok-kui-sin-sian-jiu serta hweesio tua itu bila datang membantu tepat pada saat yang telah direncanakan, Mao It-leng pun tidak akan sampai mati, tapi kau sengaja melepaskan tanda terlalu lambat, karena kau masih ingin meminjam tangan Cia Siauhong untuk membunuh Mao It-leng"
Tiok Yap-cing tidak membantah, pun tidak mendebat, ia malah menarik sebuah bangku dan duduk dengan santai sambil mendengarkan pembicaraan tersebut. Ciu Ji sianseng berkata lebih jauh.
"Siau Te sebenarnya juga sahabatmu, tapi kau telah menjualnya kepada Cia Siau-hong, sekalipun Cia Siau-hong tidak tega membunuhnya, tapi mungkin ia akan menumbukkan kepalanya sendiri ke atas dinding, apalagi melihat perempuannya sendiri dibawa kabur orang. Hmm...., kecuali kau yang sanggup menahan diri dalam keadaan semacam ini, tak ada orang lain yang bisa berpeluk tangan belaka semacam kau!"
Tangannya telah meraba gagang pedang di meja, katanya lebih lanjut.
"Oleh karena itu sengaja aku hendak bertanya kepadamu, sampai kapan kau baru akan menghianatiku? Dan kepada siapa akan hendak kau jual?"
Tiok Yap-cing kembali tertawa, sambil berdiri dan menoleh ke jendela, ujarnya.
"Di luar udara dingin mencekam, Hoa sianseng, kalau toh sudah kemari, kenapa tidak masuk untuk minum dulu beberapa cawan arak?"
OoooOOOOoooo Bab 18.
Senyuman Di Balik Pisau Daun jendela tidak bergerak, pintupun terbuka sendiri tanpa hembusan angin.
Lewat lama sekali, pelan-pelan Hoa Sau-kun baru berjalan masuk lewat ke dalam.
Empat puluh tahun berselang, sudah beratus-ratus kali pertarungan yang pernah ia alami, entah sudah berapa kali pula dipecundangi orang.
Hingga kini ia masih dapat hidup, hal ini disebabkan ia adalah seorang manusia yang selalu waspada dan berhati-hati.
Ditatapnya Tiok Yap-cing dengan dingin lalu katanya.
~Bersambung ke Jilid-13 Jilid-13
"Sebenarnya aku tak pantas datang, tapi sekarang telah datang, kata-kata semacam itu semestinya tak pantas kudengar, tapi sekarang telah kudengar, maka dari itu akupun ingin bertanya kepadamu, sesungguhnya manusia macam apakah kau ini? Perhitungan apa yang sesungguhnya telah kau rencanakan dalam hatimu?"
Tiok Yap-cing tersenyum, sahutnya.
"Aku tahu bahwa pada malam ini Hoa sianseng tentu tak dapat tidur, kau tentu masih teringat dengan pertarungan pagi tadi, maka sedari tadi aku sudah berencana untuk menghantar arak wangi bagi Hoa sianseng untuk menghilangkan kemasgulan dan kekesalan hatimu!"
Jawaban yang sama sekali tiada hubungan dengan apa yang ditanyakan tadi, seakan-akan ia tidak mendengar apa yang diucapkan Hoa Sau-kun barusan dan telah membebaskan dirinya secara mudah dari semua tuduhan yang dilontarkan kepadanya tadi.
Betul juga, paras muka Hoa Sau-kun segera berubah hebat, dengan suara lantang bentaknya.
"Kenapa aku tak bisa tidur? Kenapa aku musti menghilangkan kemasgulan dan kemurungan?"
"Sebab Hoa sianseng adalah seorang kuncu, seorang laki-laki sejati!"
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba senyuman di bibirnya berubah menjadi penuh kelicikan dan sindiran, ia menambahkan.
"Cuma sayang, kaupun bukan betul-betul seorang kuncu sejati!"
Sepasang tangan Hoa Sau-kun telah gemetar keras, jelas ia sedang berusaha keras untuk mengendalikan hawa amarahnya.
"Siapakah yang menang dan siapa yang kalah dalam pertarungan pagi tadi, aku pikir kau pasti lebih jelas dari pada siapapun"
Tangan Hoa Sau-kun gemetar semakin keras, tiba-tiba ia menyambar separuh guci arak di meja dan sekaligus meneguknya sampai habis.
"Jika kau adalah seorang kuncu sejati, kau sudah mengakui kekalahanmu ketika berada di hadapan binimu tadi"
Hoa Sau-kun mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, kemudian katanya dengan suara gemetar.
"Lanjutkan kata-katamu!"
"Bila kaupun seperti aku, seorang manusia siaujin yang tulen, mak
Bara Maharani -- Khu Lung Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long