Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 8


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 8


a tak akan kau pikirkan persoalan semacam itu dalam hati, sayang sekali kaupun bukan seorang siaujin tulen, oleh karena itu hatimu baru menderita dan tersiksa karena merasa malu, menyesal dan merasa dirimu telah berbuat kesalahan kepada Cia Siau-hong!"

   Setelah berhenti sebentar, dengan suara dingin ia melanjutkan.

   "Maka dari itu bila sekarang ada orang bertanya kepadamu, manusia macam apakah sesungguhnya dirimu, maka tiada halangan bagimu untuk memberitahu kepadanya bahwa kau bukan saja seorang kuncu gadungan, kau merupakan juga seorang munafik!"

   Hoa Sau-kun menatapnya tajam-tajam kemudian selangkah demi selangkah maju menghampirinya sambil berkata.

   "Benar, aku adalah manusia munafik, tapi aku toh sama saja dapat membunuh orang!"

   Tiba-tiba suaranya menjadi kabur dan tidak jelas, sorot matanya ikut membuyar dan menjadi sayu dan kuyu.........

   Menyusul kemudian iapun roboh terkapar di tanah.

   Dengan terkejut Ciu Ji sianseng memandang ke arahnya, dia ingin bergerak namun tidak bergerak sedikitpun.

   "Bukankah kau tidak habis mengerti kenapa secara tiba-tiba ia bisa roboh terkapar?", tanya Tiok Yap-cing tiba-tiba.

   "Dia mabuk.......?"

   "Dia sudah merupakan seorang kakek yang bertubuh lemah, apalagi minum arak begitu cepat, seandainya dalam arak itu tidak kucampuri dengan obat pemabuk, mungkin ia masih belum roboh juga"

   "Obat pemabuk?", seru Ciu Ji sianseng dengan paras muka hebat.

   "Walaupun obat pemabuk jenis ini berbau keras dan rasanya getir, namun bila dicampurkan ke dalam arak Tiok Yap-cing yang berusia tua, maka tidaklah gampang untuk membedakannya, aku telah mencobanya beberapa kali dan setiap kali rasanya cukup mendatangkan hasil yang diharapkan"

   Tiba-tiba Ciu Ji sianseng membentak gusar, dia ingin menubruk ke depan, tapi tubuhnya segera menumbuk meja hingga jatuh tertelungkup. Tiok Yap-cing tersenyum, katanya.

   "Padahal kaupun mestinya dapat membayangkan sendiri sebagai seorang siaujin semacam aku, masa dapat memberikan arak sebagus ini untuk dinikmati orang lain?"

   Ciu Ji sianseng yang tergeletak di tanah berusaha untuk berpegangan di sisi meja dan bangun berdiri, tapi baru saja bangun kembali ia sudah roboh ke tanah.

   "Sesungguhnya akupun musti berterima kasih kepadamu", kata Tiok Yap-cing kembali.

   "Hoa Saukun sudah tersohor karena ketelitian serta kewaspadaannya, andaikata ia tidak melihatmu minum arak tersebut, tak nanti dia akan minum juga arak tersebut, siapa tahu justru karena kau minum arak amat lambat, maka obat pemabuk itu baru bekerja pada saat ini........"

   Ciu Ji sianseng merasa ucapannya itu kian lama kian bertambah jauh, orang yang berdiri di hadapannya pun makin lama semakin jauh, kemudian apapun tak terdengar lagi olehnya, dan apapun tidak terlihat lagi olehnya.

   Tiba-tiba Ki Ling menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir.

   "Sebetulnya aku mengira ambisimu tak lain hanya ingin menjatuhkan Toa-tauke belaka, tapi sekarang.........sekarang bahkan aku sendiripun tak tahu manusia apakah sebetulnya dirimu ini dan apa saja yang kau rencanakan dalam hatimu?"

   "Ya, selamanya kau tak akan tahu!", Tiok Yap-cing tertawa. Ketika Cia Hong-hong terbangun dari impian buruknya, seluruh badannya basah kuyup oleh keringat dingin. Dalam mimpinya ia saksikan suaminya pulang dan berdiri di depan pembaringan dengan tubuh berlumuran darah, darah itu menindih tubuhnya hingga membuat ia tak sanggup bernapas. Ketika ia tersadar kembali hanya kegelapan yang menyelimuti sekitar tempat itu, lampu yang disulut suaminya tadi kini telah padam. ooooOOOOoooo Bab 19. Keturunan Keluarga Kenamaan Dalam ruangan tiada cahaya lampu, seorang diri Cia Siau-hong duduk dalam kegelapan, duduk di atas kursi di mana tempat itu selalu mereka kosongkan bila sedang bersantap dan khusus disediakan buat tuan putri. ......Semenjak dilahirkan, semestinya dia adalah seorang tuan putri, bila bertemu dengannya, maka kau pasti akan menyukainya, kami merasa bangga karena dia. Api dalam tungku telah padam, bahkan abupun telah dingin. Dapur nan sempit dan kecil, selamanya tak akan memancarkan kehangatan lagi seperti dulu, bau harum kuah daging yang dapat menghangatkan badan sampai ke lubuk hatipun selamanya tak akan terendus kembali. Tapi di tempat itulah ia pernah merasakan kepuasan dan ketentraman yang sebelumnya tak pernah ia rasakan atau jumpai. ......Aku bernama A-kit, A-kit yang tak berguna. ......Hari ini tuan putri kita pulang makan, kita semua akan mendapat daging untuk bersantap, setiap orang akan mendapatkan sepotong daging, sepotong daging yang besar, besar sekali. Ketika daging dihidangkan, sorot mata setiap orang mencorong tajam, setajam sinar pedang. Cahaya pedang berkelebat lewat, hawa pedang memancar ke empat penjuru, darah berhamburan ke mana-mana dan musuh besar roboh tak bernyawa. ......Aku adalah Sam sauya dari keluarga Cia, akulah Cia Siau-hong. ......Akulah Cia Siau-hong yang tiada keduanya dalam dunia ini. Sesungguhnya siapakah di antara kedua orang ini yang jauh lebih gembira dan bahagia? A-kit? Atau Cia Siau-hong? Pelan-pelan pintu didorong orang, sesosok bayangan tubuh yang ramping dan halus masuk ke dalam. Tempat itu adalah rumahnya, ia sangat hapal dengan setiap macam benda yang berada di sana, sekalipun tidak melihatnya, iapun dapat merasakannya. Orang yang membawanya pulang adalah seorang laki-laki asing yang bertubuh gemuk, tapi memiliki ilmu meringankan tubuh yang jauh lebih enteng daripada seekor burung walet, mendekam di atas tubuhnya bagaikan berjalan di atas awan. Ia tidak kenal dengan orang itu. Ia mau mengikutinya karena ia berkata ada orang sedang menantikannya, lantaran orang yang menunggu dirinya adalah Cia Siau-hong. Pelan-pelan Cia Siau-hong bangun berdiri lalu berkata.

   "Duduklah!"

   Tempat itu khusus mereka sediakan baginya, bila ia pulang maka tempat itu sepantasnya diberikan kepadanya.

   Siau-hong masih ingat, ketika untuk pertama kalinya melihat dia duduk di kursi itu dengan rambut yang hitam dan panjang terurai di bahu, sikapnya yang lembut dan anggun itu mengingatkan kita kepada seorang Tuan Putri sungguhan.

   Waktu itu ia hanya berharap sebelum perjumpaan tersebut mereka tak pernah berkenalan, ia berharap perempuan itu adalah seorang tuan putri sungguhan.

   .......Bagaimanapun juga kau tak dapat membiarkan keturunan keluarga Cia mengawini seorang pelacur sebagai istrinya.

   .......Ya, Pelacur! Lonte! Tanpa terasa ia terbayang lagi kembali kejadian ketika pertama kali bertemu dengannya, teringat pula rasa panas yang memancar ke luar dari selangkangan si nona ketika tangannya menekan tempat 'itu' nya, terbayang pula olehnya liuk-liuk tubuhnya ketika berbaring di tanah sambil memamerkan seluruh bagian tubuhnya yang terlarang itu.....

   .......Aku baru berusia lima belas tahun, cuma saja tampaknya jauh lebih besar dari orang lain.

   Siau Te masih seorang bocah.

   .......Tak ada orang yang suka melakukan pekerjaan semacam itu, tapi setiap orang membutuhkan hidup, setiap orang perlu makan.

   .......Gadis itu adalah satu-satunya harapan bagi ibunya dan kakaknya, ia harus memberi daging untuk mereka.

   Tapi Siau Te baru berusia lima belas tahun, Siau Te adalah darah daging keluarga Cia.

   Si Boneka telah duduk, ia duduk seperti seorang tuan putri sungguhan, sepasang matanya yang jeli memancarkan sinar terang di tengah kegelapan itu.

   Cia Siau-hong sangsi sejenak, akhirnya ia berkata.

   "Aku telah berjumpa dengan toako-mu!"

   "Aku tahu!"

   "Agaknya luka yang dideritanya telah mulai sembuh, sekarang tak nanti ada orang akan pergi mencarinya lagi!"

   "Aku tahu!"

   "Aku kuatir kau merasa kurang leluasa, maka kusuruh Cia ciangkwe untuk menjemputmu"

   "Aku tahu!"

   Tiba-tiba si Boneka tertawa lebar, katanya lebih jauh.

   "Akupun tahu kenapa kau membawaku ke mari"

   "Kau tahu?", tanya Cia Siau-hong keheranan.

   "Ya, kau minta aku kemari karena tak boleh kawin dengan Siau Te!"

   Ia masih tertawa. Pelan-pelan ia berkata lebih lanjut.

   "Karena kau merasa aku tak pantas untuk mendampinginya, kau sangat baik kepadaku, memperhatikan diriku, semuanya itu tak lebih karena kau kasihan kepadaku, menaruh belas kasihan kepadaku, tapi dalam hati sesungguhnya sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadaku"

   "Aku......."

   "Kau tak perlu memberi penjelasan kepadaku,"

   Tukas si Boneka.

   "aku cukup mengerti tentang keadaan yang sedang kuhadapi, orang yang benar-benar kau sukai masih tetap Buyung hujin tersebut, karena ia memang ditakdirkan bernasib seorang nyonya besar, karena ia tak perlu menjual diri untuk membiayai hidup keluarganya, ia tak perlu menjadi seorang pelacur...........!"

   Air matanya jatuh bercucuran amat deras, mendadak sambil menangis tersedu-sedu, katanya.

   "Tapi tak pernahkah kau berpikir bahwa pelacurpun manusia, pelacurpun berharap bisa memperoleh pasangan yang baik, berharap ada orang yang benar-benar mencintainya"

   Cia Siau-hong merasa hatinya amat sakit, seperti ditusuk-tusuk dengan pisau, setiap ucapannya seakan-akan sebatang jarum yang menghujam ulu hatinya.

   Tak tahan lagi ia maju menghampirinya dan membelai rambutnya yang lembut, dia ingin menghibur dengan kata-kata yang lembut, tapi ia tak tahu bagaimana harus berkata.

   Si Boneka tak kuasa menahan dirinya lagi, ia menubruk ke dalam pelukannya dan menangis tersedu-sedu.

   Baginya, bisa berbaring dalam pelukannya sudah merupakan suatu penghiburan yang paling besar baginya.

   Cia Siau-hong pun tahu, bagaimanapun jua ia tak tega untuk menyingkirkan gadis itu dari pelukannya.

   "Tiba-tiba....."Blaaang!", pintu di dorong orang keras-keras, seorang pemuda berwajah pucat tahutahu muncul di luar pintu, sorot matanya penuh pancaran rasa sedih, menderita dan penuh kebencian. Siapa yang tahu berapa besarkah kekuatan dari suatu dendam sakit hati, sehingga membuat orang melakukan berapa banyak peristiwa yang menakutkan? Siapa tahu kesedihan yang sebenarnya bagaimana rasanya? Mungkin Siau Te telah mengetahuinya. Mungkin Cia Siau-hong juga telah mengetahuinya. Mayat Hoa Sau-kun ditemukan orang satu jam berselang dalam gardu persegi enam. Tenggorokannya sudah digorok orang hingga kutung, bajunya, tangannya dan jenggotnya penuh berlepotan darah. Tak seorangpun yang bisa membayangkan bagaimanakah rasa sedih, menderita dan gusar yang mencekam perasaan Cia Hong-hong sewaktu menjumpai mayat suaminya. Dalam waktu singkat ia seakan-akan berubah menjadi seekor binatang liar yang sedang kalap. Ia menangis meraung-raung, berteriak seperti orang histeris, mencakar muka sendiri, menarik rambut sendiri, kalau bisa ia hendak mencabik-cabik tubuh sendiri, lalu membakarnya dengan api lalu menumbuknya menjadi bubuk dan memusnahkannya dari muka bumi. Ada tujuh-delapan pasang tangan yang kuat menahan tubuhnya, hingga satu jam kemudian ia baru dapat menenangkan kembali hatinya. Namun air mata masih jatuh bercucuran dengan deras. Hubungan suami isteri yang berlangsung selama dua puluh tahun, senang sama dicicipi, sengsara sama di atasi, hubungan batin tersebut hakekatnya telah meresap hingga ke dalam lubuk hati. ......Sekarang ia telah menjadi tua, kenapa ia musti mati duluan? Kenapa ia harus mati dalam keadaan yang mengenaskan? Kesedihan yang melewati batas ini tiba-tiba saja berubah menjadi dendam kesumat, katanya mendadak dengan suara dingin.

   "Kalian lepaskan aku, biarkan aku duduk sendiri!"

   Fajar sudah hampir menyingsing, lentera meja masih memancarkan sinarnya dan menerangi wajah Buyung Ciu-ti, paras mukanyapun tampak pucat pias.

   Cia Hong-hong telah duduk dihadapannya, air mata telah mengering, yang masih tertinggal di balik matanya hanya dendam kesumat.

   Kesedihan yang sungguh-sungguh melewati batas dapat membuat orang menjadi gila, dendam kesumat yang betul-betul meresap ke tulang dapat membuat orang menjadi tegang.

   Dengan pandangan dingin, dia awasi sinar lampu yang berkedip-kedip, lalu tiba-tiba berbisik.

   "Aku keliru, kaupun keliru!"

   "Mengapa kau keliru?"

   "Karena kita semua telah tahu bahwa pertarungan pagi tadi bukan dimenangkan Hoa Sau-kun, melainkan oleh Cia Siau-hong, tapi kita semua tidak mengutarakan keluar!"

   Buyung Ciu-ti tak dapat menyangkal.

   Seandainya pedang Cia Siau-hong betul-betul mencelat karena getaran tenaga, maka tak nanti senjata tersebut akan menancap persis di samping Cia Hong-hong.

   Ia dapat meminjam tenaga getaran orang untuk mengembalikan pedang tersebut ke tangan Cia Hong-hong, tenaga serta kemampuan semacam itu pada hakekatnya telah digunakan secara jitu dan hebat.

   "Sebetulnya bukan saja Cia Siau-hong dapat mengalahkannya, diapun dapat membunuhnya!", kata Cia Hong-hong lebih lanjut.

   "tapi Cia Siau-hong tidak berbuat demikian, maka orang yang membunuhnya pasti bukan Cia Siau-hong"

   Buyung Ciu-ti tak dapat menyangkal akan kebenaran ucapan tersebut. Cia Hong-hong menatapnya tajam-tajam, kemudian berkata lagi.

   "Oleh karena itu aku ingin bertanya kepadamu, kecuali Cia Siau-hong, masih ada siapakah di tempat ini yang sanggup menggorok kutung lehernya dengan pedang?"

   Buyung Ciu-ti termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, lewat lama sekali baru sahutnya.

   "Hanya ada seorang!"

   "Siapa?"

   "Dia! Dia sendiri!"

   Cia Hong-hong menggenggam tangan sendiri kencang-kencang, jari-jari tangannya sampai menembusi telapak tangan sendiri, serunya dengan suara tergagap.

   "Maksudmu......maksudmu dia.......dia bunuh diri?"

   "Ehmmm, begitulah!"

   Sekali lagi Cia Hong-hong gelengkan kepalanya berulang kali, teriaknya dengan suara keras.

   "Tidak mungkin, hal ini tidak mungkin, demi aku tak nanti ia akan berbuat demikian!"

   Buyung Ciu-ti menghela napas panjang.

   "Aaaaiii....siapa tahu kalau ia justru berbuat demikian demi dirimu?"

   Sebelum perempuan itu menjawab, ia telah berkata lebih jauh.

   "Karena ia telah tahu, bahwa kaupun mengetahui bila orang yang betul-betul kalah adalah dia, kau tak tega mengatakannya keluar, dia sendiri tentu saja lebih baik tak berkeberanian untuk menceritakannya keluar, penghinaan, penderitaan serta rasa malu itu selalu menyiksa hatinya, sekalipun ia gagah dan keras hati, tapi lama kelamaan mana sanggup untuk mempertahankan diri?"

   Cia Hong-hong menundukkan kepalanya rendah-rendah, ia berbisik.

   "Tapi......."

   "Tapi kalau tiada Cia Siau-hong, diapun tak akan mati", Buyung Ciu-ti melanjutkan. Ia sendiri adalah seorang perempuan, tentu diapun memahami perasaan seorang perempuan. Bila kaum perempuan sedang sedih dan marah dan kebetulan rasa sedih serta marahnya tiada tempat pelampiasan, seringkali semua hal tersebut akan dilampiaskan kepada orang lain. Betul juga, Cia Hong-hong segera mendongakkan kepalanya, lalu berkata.

   "Cia Siau-hong sendiripun cukup mengetahui wataknya, mungkin ia telah memperhitungkan sampai ke situ, maka ia sengaja berbuat demikian!"

   Buyung Ciu-ti menghela napas panjang, katanya.

   "Aaaaii.....berbicara sesungguhnya, keadaan semacam ini bukannya tidak mungkin terjadi"

   Lompatan kobaran api memancar ke luar dari balik mata Cia Hong-hong, ia menatap lama sekali wajah perempuan itu, tiba-tiba serunya.

   "Konon aku dengar kau seorang yang mengetahui titik kelemahan dalam ilmu pedang Cia Siauhong"

   Buyung Ciu-ti tertawa getir.

   "Aku memang tahu, tapi apa gunanya sekalipun aku mengetahuinya?"

   "Kenapa tak berguna?"

   "Sebab kekuatanku tidak cukup hebat, kecepatan gerakkupun tidak cukup meyakinkan, sekalipun dengan jelas ku tahu dimana letak titik kelemahan tersebut, menunggu serangan tersebut kulancarkan, mungkin keadaan sudah tidak sempat lagi"

   Setelah menghela napas panjang, ia berkata kembali.

   "Seperti juga walaupun dengan jelas kulihat ada seekor burung gereja di atas pohon, tapi menunggu aku memanjat pohon dan ingin menangkapnya, burung tersebut sudah keburu terbang"

   "Tapi paling tidak kau sudah tahu cara menangkap burung gereja itu, bukan?", seru Cia Honghong.

   "Ehm, benar!"

   "Sudahkah kau beritahukan rahasia ini kepada orang lain?"

   "Hanya memberitahukan kepada seseorang karena hanya pedang miliknya yang sanggup menghadapi Cia Siau-hong!"

   "Tapi siapakah orang itu?"

   "Yan Cap-sa!"

   Siau Te telah putar badan menerjang keluar, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia putar badan dan kabur dari situ.

   Dengan mata kepala sendiri ia saksikan mereka berangkulan, saling berpelukan dengan mesra, dalam keadaan begini, apa lagi yang dapat ia katakan.

   .......Sekalipun kejadian yang disaksikan dengan mata kepala sendiri, belum tentu hal itu merupakan kenyataan.

   Ia belum sempat memahami ucapan tersebut, pun tak ingin mendengarkan penjelasan itu, dia hanya ingin menyingkir sejauh-jauhnya, makin jauh semakin baik.

   Karena ia merasa dirinya telah tertipu, hatinya telah terluka, sekalipun terhadap si Boneka ia tak menaruh rasa cinta, tapi gadis itupun tidak seharusnya menghianati dia, lebih-lebih Cia Siau-hong, tidak seharusnya ia berbuat begini.

   Cia Siau-hong dapat memahami perasaan hatinya sekarang.

   Sebab ia pernah tertipu, pernah juga terluka hatinya, diapun pernah menjadi seorang pemuda berdarah panas yang keras hati dan penuh kobaran emosi.

   Dengan cepat ia mengejar keluar, dia tahu Cia ciangkwe dapat merawat si Boneka baginya, dan ia sendiri harus baik-baik mengawasi Siau Te.

   Hanya dia seorang yang dapat melihat kelemahan dalam perasaan pemuda yang tampaknya keras hati dan dingin tersebut.

   Maka dia harus melindunginya, tidak membiarkan ia menerima penderitaan maupun siksaan lagi.

   Walaupun Siau Te tahu bahwa ia mengikuti di belakangnya, namun ia sama sekali tak berpaling.

   Ia tak ingin berjumpa lagi dengan orang itu, tapi diapun tahu jika Cia Siau-hong telah bertekad untuk menguntil seseorang, maka siapapun kau jangan harap bisa lolos dengan begitu saja.

   Cia Siau-hong tidak buka suara.

   Karena diapun tahu bila pemuda tersebut telah bertekad tak akan mendengarkan penjelasan orang, perduli apapun yang kau katakan kepadanya juga percuma.

   Fajar telah menyingsing langit terang benderang dan sinar emas memancar ke empat penjuru.

   Dari lorong yang sempit mereka menuju ke jalan yang ramai, dari jalanan yang ramai memasuki pinggiran kota yang sepi, lalu dari pinggiran kota yang sepi menuju ke jalan raya menuju ke luar kota.

   Di atas jalan raya, para pejalan kaki sedang melakukan perjalanan masing-masing dengan cepat dan tergesa-gesa.

   Kini masa panen telah lewat, inilah saatnya semua orang memperhitungkan untung ruginya setelah membanting tulang sepanjang tahun.

   Ada sebagian orang yang buru-buru membawa pulang hasil jerih payah mereka untuk dinikmati bersama keluarganya.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ada pula yang membawa pulang hati yang kesal, badan yang penat serta segudang hutang.

   Tak tahan Cia Siau-hong bertanya kepada diri sendiri.

   ........Apakah selama setahun ini ia giat menanam budi kebaikan? Lalu apa hasilnya? ........Sepanjang setahun ini adalah aku merugikan orang lain, ataukah orang lain yang telah merugikan dirinya? Ia tak sanggup memberi jawabannya.

   Ada sementara hutang yang sesungguhnya memang tak mungkin bisa diselesaikan oleh siapapun.

   Tengah hari menjelang tiba.

   Mereka telah masuk kembali dalam sebuah kota dan menelusuri sebuah jalan yang teramat ramai di kota tersebut.

   Meskipun berbeda kota, tapi manusianya adalah sama saja, mereka bekerja keras demi nama dan kedudukan, merekapun dibikin pusing oleh dendam ataupun perselisihan.

   Tanpa terasa Cia Siau-hong menghela napas panjang, ketika mendongakkan kepalanya, ia baru menyaksikan Siau Te telah berhenti dan sedang memandang ke arahnya dengan dingin.

   Ia berjalan menghampirinya, tapi sebelum bersuara, tiba-tiba Siau Te bertanya.

   "Selama ini kau mengikuti terus diriku, apakah karena kau telah bertekad untuk baik-baik merawat dan memperhatikan diriku?"

   Cia Siau-hong mengakuinya. Secara tiba-tiba ia menemukan bahwa Siau Te memahami perasaannya, seperti juga ia memahami perasaan Siau Te.

   "Aku sudah lelah sekali melakukan perjalanan, lagi pula laparnya setengah mati", kata Siau Te lagi.

   "Kalau begitu mari kita bersantap!"

   "Bagus sekali!"

   Di mana ia berhenti adalah persis di bawah merek emas dari Cong-goan-lo. Baru saja putar badan, ciangkwe gemuk yang bermuka hok-kie itu telah membungkukkan badan kepada mereka sambil tersenyum simpul.

   "Siapkan delapan hidangan panas, empat masakan barang berjiwa, empat macam masakan barang tak berjiwa, siapkan dulu delapan piring kecil untuk teman minum arak, lalu hidangkan enam macam hidangan utama. Udang bago, Yan-oh, H-sit, ayam lengkap, bebek lengkap, semuanya siapkan komplit, jangan ada semacampun yang ketinggalan."

   Itulah sayur yang dipesan oleh Siau Te. Sambil tersenyum dan bungkukkan badan memberi hormat, ciangkwe gemuk itu segera menyahut.

   "Bukannya siaujin bicara ngibul, kecuali rumah makan kami, jangan harap bisa ditemukan hidangan sekomplit ini dalam waktu yang begini tergesa-gesa di tempat lain"

   "Ya, asal hidangan bisa dibikin sebaik mungkin dan secepat mungkin, uang persen tak akan lupa"

   "Entah berapa orang tamu yang hendak di undang? Sampai kapan baru tiba di sini?"

   "Tak ada tamu lainnya"

   "Hanya kalian berdua?", ciangkwe gemuk itu melototkan sepasang matanya bulat-bulat.

   "kenapa memesan sayur begini banyaknya?"

   "Asalkan aku lagi senang, tidak habis di makan, mau dibuang ke pecomberan pun urusanku, buat apa kau turut campur?"

   Ciangkwe gemuk itu tak berani bersuara lagi, dengan munduk-munduk ia lantas mengundurkan diri dari situ. Tapi saat itulah dari meja lain kedengaran ada orang sedang tertawa dingin sambil menyindir.

   "Heeeeehhhh....... heeeeehhhhh........ heeeeehhhhh..... entah bocah keparat itu lagi kaya mendadak? Ataukah sudah kelaparan hingga mendekati sinting?"

   Siau Te seakan-akan tak mendengar sindiran tersebut, hanya gumamnya seorang diri.

   "Sayur-sayur itu merupakan hidangan kegemaranku, cuma sayang dihari-hari biasa tidak mudah bagiku untuk menikmatinya!"

   "Asal kau lagi gembira, bisa makan berapa banyak makanlah!", Cia Siau-hong menimpali. Tak seorang manusiapun dapat menghabiskan hidangan sebanyak ini, setiap macam Siau Te hanya mencicipi sekerat, lalu sambil menggerakkan kembali sumpitnya ia berkata.

   "Aku sudah kenyang!"

   "Tidak banyak yang kau makan", kata Cia Siau-hong.

   "Jika sekepingpun sudah dapat dirasakan bagaimana rasanya, buat apa kita musti makan terlalu banyak?"

   Setelah menghembuskan napas panjang dan memukul meja, ia berseru dengan suara lantang.

   "Bawa rekeningnya ke mari!"

   Tidak terlalu banyak tamu semacam dia ini, semenjak tadi ciangkwe gemuk telah menunggu di sampingnya, segera ujarnya sambil tertawa paksa.

   "Hidangan semeja penuh yang dipesan adalah delapan tahil perak, ditambah arak wangi seluruhnya berjumlah sepuluh tahil empat mata uang"

   "Ehmmmm, tidak mahal!"

   "Rumah makan kami selamanya berdagang menurut aturan, tak pernah kami mengambil untung terlalu banyak untuk tamu-tamu kami", kata ciangkwe gemuk dengan cepat. Siau Te lantas berpaling ke arah Cia Siau-hong sambil berkata.

   "Bila ditambah dengan uang tip, bagaimana kalau kita bayar dua belas tahil perak saja?"

   "Ya, seharusnya memang demikian"

   "Kenapa kau belum juga membayarnya?"

   "Karena satu tahil perakpun tidak kumiliki!"

   Siau Te tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke meja di mana suara tertawa dingin tadi berasal.

   Di sekitar meja tersebut duduk empat orang tamu, kecuali seorang pemuda berbaju kasar yang kelihatan agak ketolol-tololan, minum arak paling sedikit dan berbicara paling sedikit, tiga orang lainnya merupakan pemuda-pemuda gagah yang berusia dua puluh tahunan, gagah, ganteng dan kelihatan amat perkasa.

   Di atas meja terdapat tiga bilah pedang, bentuknya sangat antik dan indah, sekalipun belum diloloskan dari sarungnya, tapi siapapun tahu bahwa pedang tersebut pastilah sebilah pedang yang tajam.

   Orang yang tertawa dingin tadi mengenakan baju paling perlente dan bersikap paling angkuh.

   Ketika menyaksikan Siau Te berjalan ke arahnya, sekali lagi ia tertawa dingin.

   Siau Te tidak memperhatikan wajahnya melainkan pedang antik yang berada di atas meja itu, tibatiba ia menghela napas panjang kemudian berbisik lirih.

   "Ehmm, sebilah pedang yang bagus!"

   "Kau juga mengerti tentang pedang?", ejek orang itu sambil tertawa dingin.

   "Konon dahulu ada seorang Si Lu-cu, Si taysu yang mempunyai kepandaian membuat pedang yang hebat dan tiada tandingannya di kolong langit, dengan air dari telaga pelepas pedang di bukit Bu-tong, ia telah menempa tujuh bilah pedang tajam, oleh sang ciangbunjin ke tujuh pedang tersebut diberikan kepada tujuh orang muridnya yang terlihay dengan pesan pedang ada orang hidup, pedang hilang nyawa lenyap, setelah mati pedang itu harus diserahkan kembali kepada ketuanya untuk dioperkan ke orang lain....."

   Setelah tersenyum iapun bertanya.

   "Entah pedang tersebut apa betul merupakan salah satu diantaranya?"

   Pemuda yang tertawa dingin itu masih juga tertawa dingin tiada hentinya, sedangkan seorang pemuda berbaju ungu yang ada disampingnya segera berseru memuji.

   "Suatu ketajaman mata yang luar biasa!"

   "Boleh aku tahu siapa nama margamu?"

   "Aku she Wan, juga she Cho!"

   "Jangan-jangan kau adalah murid yang termuda dan tertampan di antara tujuh orang murid Butong- pay yang disebut Cho Han-giok itu?"

   "Suatu ketajaman mata yang mengagumkan!", kembali orang berbaju ungu itu berseru.

   "Kalau begitu kau pastilah toa-kongcu dari keluarga Wan berbaju ungu itu dari kota Kim-leng?"

   "Bukan, aku adalah Lo-ji bernama Wan Ji-im, dialah toako kami, Wan Hui-im!", kata manusia berbaju ungu itu memperkenalkan diri. Wan Hui-im duduk tepat di sampingnya, jenggot sudah tumbuh pada janggutnya.

   "Dan yang ini?"

   Orang yang ditanya Siau-te adalah pemuda berbaju kasar yang kelihatan amat jujur itu, katanya lebih lanjut.

   "Burung Hong tak akan sudi terbang bersama burung gagak, aku pikir saudara inipun pastilah sauya kongcu dari keluarga kenamaan juga?"

   "Aku bukan!", pemuda berbaju kasar itu menjawab singkat.

   "Bagus sekali!"

   Di bawah dua patah kata tersebut jelas masih ada perkataan lain, pemuda berbaju kasar itu justru sedang menantikan kata-kata selanjutnya.

   Orang jujur biasanya tidak banyak berbicara, pun tidak banyak bertanya......

   Betul juga, ternyata Siau Te yang berkata lebih jauh.

   "Di tempat ini paling tidak masih ada orang yang tiada perselisihan maupun dendam sakit hati dengannya"

   "Siapakah dia?", tanya Wan Ji-im.

   "Itulah orang yang seharusnya membayar rekening, tapi nyatanya setahil perakpun tidak ia miliki"

   "Apakah kami semua mempunyai dendam kesumat dengannya?"

   "Agaknya memang ada sedikit!"

   "Dendam macam apakah itu? Dan perselisihan macam apa pula yang kau maksudkan?"

   "Bukankah kalian bersaudara mempunyai seorang paman yang disebut orang persilatan sebagai Cian-hong-kiam-kek (Jago pedang selaksa merah)?"

   "Benar!", sahut Wan Ji-im.

   "Bukankah Cho kongcu ini juga mempunyai seorang kakak yang bernama Peng......?, tanya Siau Te lebih jauh.

   "Benar!"

   "Bukankah mereka berdua telah tewas dalam perkampungan Sin-kiam-san-ceng....?"

   Paras muka Wan Ji-im segera berubah hebat.

   "Apakah orang yang kau maksudkan tadi adalah......."

   "Ya, dia tak lain adalah Sam sauya dari perkampungan Sin-kim-san-ceng di lembah Cui-im-kok, telaga Liok-sui-oh, atau yang lebih di kenal sebagai Cia Siau-hong!"

   "Criiiiing!", pedang Cho Han-giok telah diloloskan dari sarungnya, dua bersaudara Wan telah meraba pula gagang pedang mereka.

   "Kaukah Cia Siau-hong?"

   "Ya, benar!"

   Cahaya pedang berkelebat lewat, tiga bilah pedang telah mengurung rapat Cia Siau-hong.

   Paras muka Cia Siau-hong sama sekali tidak berubah, tapi ciangkwe gemuk itu sudah ketakutan setengah mati sehingga paras mukanya berubah menjadi pucat kehijau-hijauan.

   Tiba-tiba Siau Te maju ke depan dan menarik ujung bajunya, lalu bertanya dengan suara lirih.

   "Tahukah kau, cara apa yang terbaik untuk makan gratis tanpa digebuki orang lain?"

   Ciangkwe gemuk itu menggelengkan kepalanya berulang kali. Siau Te segera tertawa, jawabnya.

   "Caranya cukup sederhana, carilah beberapa orang untuk melangsungkan pertarungan sengit, bila suasana telah menjadi kalut, maka secara diam-diam kaupun kabur dari tempat itu!"

   OoooOOOOoooo Bab 20.

   Pemberani Tak Akan Jeri Siau Te telah ngeloyor pergi.

   Ketika ia mengatakan hendak kabur, ia betul-betul telah kabur dengan cepat, menunggu si ciangkwe gendut berpaling kembali, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.

   Dalam keadaan begini, ciangkwe gemuk itu tak bisa berbuat lain kecuali tertawa getir.

   Dia bukannya tidak tahu cara tersebut, dulu pernah ada orang yang melakukan cara yang sama, dan kemudian haripun pasti masih ada orang yang akan menggunakan cara tersebut.

   Sebab cara itu memang paling manjur untuk dipergunakan makan gratis.

   Tengah hari di sebuah jalan raya yang amat panjang.

   Dengan menyelusuri bayangan gelap di bawah wuwungan rumah, Siau Te berjalan menuju ke depan.

   Setelah melepaskan diri dari kuntitan Cia Siau-hong, sesungguhnya adalah suatu peristiwa yang patut digembirakan, tapi ia sama sekali tidak berperasaan demikian.

   Dia hanya ingin lari ke tana lapang yang luas dan berteriak-teriak seorang diri, diapun ingin lari ke puncak bukit yang tinggi dan menangis sepuas-puasnya.

   Mungkin hanya dia seorang yang tahu kenapa ia dapat berpikir demikian, bahkan mungkin dia sendiripun tak tahu.

   Dapatkah Cia Siau-hong melayani tiga orang anak jadah cilik yang sepasang matanya hanya berada di atas kepala? Siapa menang siapa kalah, apa pula sangkut pautnya dengan diriku? Sekalipun mampus semua, hanya bapak dan emak mereka yang akan menangisi kematiannya, tapi kalau aku mati, siapa pula yang akan meneteskan air mata bagiku? Tiba-tiba Siau Te tertawa, tertawa terbahak-bahak.

   Semua orang di jalanan berpaling ke arahnya, memandangnya dengan terperanjat, mereka menganggapnya sebagai orang gila.

   Tapi ia sendiri sedikitpun tidak ambil perduli, orang lain mau menganggap dirinya sebagai manusia macam apapun, dia tak akan ambil perduli.

   Sebuah kereta besar berjalan lewat dari tikungan jalan raya sebelah depan sana, kereta itu dihela oleh dua ekor kuda.

   Badan keretanya masih baru dan berwarna hitam, masih mengkilap seperti sebuah cermin.

   Sebuah panji kecil berwarna merah tersembul di antara daun jendelanya.

   Sang kusir yang mengenakan ikat pinggang berwarna merah duduk di tempatnya dengan angkuh dan jumawa, cambuknya di ayunkan berulang kali, gayanya sok benar.

   Tiba-tiba Siau Te menerjang ke depan menghadang di depan kuda, karena kemunculan yang tibatiba itu, sang kuda segera meringkik panjang dan mengangkat ke dua belah kakinya ke atas.

   Tentu saja kusirnya mencaci maki penuh kegusaran, sambil mengayunkan cambuknya ia berteriak.

   "Hei, bajingan cilik! Kau ingin mampus?"

   Siau Te masih belum ingin mampus, iapun tak ingin dimakan cambuk, maka tangan kirinya segera menahan gagang cambuk tersebut, kontan sang kusir terjengkang ke tanah dan keretapun berhenti.

   Dari balik jendela kereta muncul sebuah kepala manusia, itulah wajah yang garang dengan rambut yang tersisir rapi dan sepasang mata yang buas penuh keseraman.

   Siau Te maju menghampirinya, setelah menarik napas panjang-panjang ia bergumam.

   "Ehmm.....rambut yang indah, harum....semerbak.....seperti bunga melati!"

   "Mau apa kau, kunyuk kecil?", bentak orang itu sambil melotot gusar ke arahnya.

   "Aku mau mati!"

   "Heehhh..... heeehhh... heehhhh... itu mah gampang!", kembali orang itu berseru setelah tertawa dingin. Siau Te tersenyum.

   "Aku memang tahu bahwa aku sudah mencari tempat yang benar, menemukan orang yang benar"

   Kemudian ditatapnya sekejap sepasang tangan laki-laki kekar itu beserta otot hijau yang menonjol keluar serta jari tangan yang besar lagi kasar.

   Hanya manusia bertenaga gwakang yang sudah berpengalaman dalam melangsungkan pertarungan baru memiliki sepasang tangan semacam ini.

   Tangan tersebut mungkin tak becus untuk melakukan pekerjaan yang lain, tapi untuk mematahkan tengkuk orang, jelas hal ini bukan suatu pekerjaan yang menyulitkan.

   Siau Te menjulurkan lehernya dan membuka pintu kereta, lalu sambil tersenyum katanya.

   "Silahkan!"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Orang itu malah berubah agak sangsi, bagaimanapun jua memang tidak banyak manusia di dunia ini yang tanpa sebab datang menghantar kematiannya sendiri.

   Dalam ruang kereta masih terdapat seorang perempuan yang mendekam di lantai kereta bagaikan kucing, ia sedang memperhatikan Siau Te dengan sepasang matanya yang indah bagaikan sinar rembulan.

   Tiba-tiba sambil tertawa cekikikan perempuan itu berkata.

   "Kalau toh dia ingin mati, kenapa kau tidak penuhi saja harapannya itu? Sejak kapan sih Oh-toaya berubah menjadi seorang pengecut yang untuk membunuh orangpun tak berani?"

   Suaranya seperti pula orangnya, lemah lembut penuh kemanjaan, tapi di balik kelembutan itu justru terselip sindiran yang lebih tajam dari pada kucing. Sinar buas segera mencorong ke luar dari balik mata Oh-toaya, katanya kemudian dengan dingin.

   "Sedari kapan kau pernah menyaksikan aku Oh Hui membunuh seorang manusia tanpa nama seperti dia?"

   Si gadis seperti kucing itu tertawa cekikikan.

   "Dari mana kau bisa tahu kalau dia adalah manusia tanpa nama? Betul usianya masih muda, tapi tidak sedikit kan orang muda yang punya nama lebih besar darimu? Siapa tahu kalau dia adalah Cho Han-giok dari Bu-tong-pay, atau mungkin juga dia adalah Toa sauya dari keluarga Wan asal Kanglam? Ya, sudah pasti dalam hati kecilmu jeri kepadanya, maka kau tak berani turun tangan secara gegabah"

   Selembar wajah Oh Hui seketika berubah menjadi merah padam.

   Gadis itu memang lembut dan menggemaskan, tapi setiap patah katanya justru mengena dasar hatinya.

   Ia tahu Cho Han-giok dan dua bersaudara Wan telah tiba di situ, bila pemuda tersebut tak punya asal usul yang besar, kenapa ia berani kurang ajar dihadapannya? Tiba-tiba Siau Te berkata.

   "Bukankah Oh toaya ini adalah Thi-cing (Telapak tangan baja) Oh Hui dari perusahaan ekspedisi Hong-ki-piaukiok?"

   Oh Hui segera membusungkan dadanya dan menjawab dengan lantang.

   "Sungguh tak kusangka kalau kau masih mengenali juga diriku!"

   Bila seorang jago persilatan mendengar orang lain dapat menyebutkan nama besarnya, sedikit banyak dalam hatinya tentu akan timbul rasa bangga, apalagi kalau pihak lawan bisa di bikin merat setelah mengetahui nama besarnya, tentu saja hal ini jauh lebih baik lagi.

   Siau Te menghela napas panjang, katanya lagi.

   "Aku sendiripun tidak menyangka"

   "Tidak menyangka apa?"

   "Tidak menyangka kalau perusahaan ekspedisi Hong-ki-piaukiok bisa memiliki daya pengaruh yang begini besarnya dengan kekuasaan yang begini hebatnya, sehingga seorang piausu kecil dalam perusahaanpun berani memperlihatkan gaya yang begini soknya!"

   Ya, berbicara sesungguhnya, kuda jempolan dengan kereta yang indah ditambah gadis yang cantik, tak mungkin bisa dimiliki oleh seorang piausu biasa seperti dia.

   Betul, Hong-ki-piaukiok mempunyai nama yang besar, betul congpiautaunya Thi-khi-kuay-kiam (Si Pedang Kilat) Thi Tiong-khi dengan ilmu Tui-hong-jit-cap-ji-si (Tujuh puluh dua gerakan pengejar angin) dan Ji-cap-pwe-ci-cuan-im-cian (Dua puluh delapan batang panah penembus awan) nya menggetarkan dunia persilatan, tapi bekerja sebagai piautau dalam suatu perusahaan ekspedisi, paling banyakpun gaji bulanannya cuma beberapa puluh tahil perak saja.

   Paras muka Oh Hui semakin merah oleh ucapan tersebut, dengan gusar katanya.

   "Aku mau sok atau tidak, apa pula sangkut pautnya dengan dirimu?"

   "Ooooh....sama sekali tak ada sangkut pautnya!"

   "Kau she apa? Bernama siapa? Berasal dari mana?"

   "Aku tak punya she maupun nama, akupun tak punya asal usul, aku....aku......"

   Sebenarnya soal itu merupakan soal yang paling menyakitkan hatinya, walaupun perkataannya tidak menyinggung orang lain, tapi justru telah menyinggung diri sendiri.

   Seperti misalnya Cho Han-giok yang merupakan keturunan orang ternama, bila ia musti menyinggung soal asal-usul sendiri, tentu saja tak akan timbul perasaan pedih seperti yang dialaminya.

   Oh Hui segera merasakan hatinya lega, dengan suara keras bentaknya.

   "Walaupun aku tidak membunuh manusia tanpa nama, tapi hari ini bisa saja aku melanggar kebiasaan itu"

   Seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, ia melompat ke luar dari kereta itu, sepasang telapak tangannya di bacok bersama membabat tenggorokan Siau Te.

   "Walaupun kau bersedia melanggar kebiasaan, tapi sekarang aku telah berubah pikiran, aku jadi tak ingin mati!", seru Siau Te. Ketika beberapa patah kata itu selesai diucapkan, ia sudah menghindarkan diri dari ke dua puluh jurus serangan Oh Hui, tiba-tiba badannya berputar dan....."Criiit!", ketika jari tangannya disentil keluar, ujung jarinya segera menotok telak di atas pinggang Oh Hui. Seketika itu jua Oh Hui merasakan separuh badannya menjadi kaku, pinggang bagian bawah mana linu mana lemas, tak ampun lagi ia jatuh berlutut di atas tanah. Gadis seperti kucing itu kembali tertawa cekikikan, katanya tiba-tiba.

   "Oh toa-piautau, kenapa secara tiba-tiba kau jadi begitu banyak adat......?"

   "Kau.....kau perempuan rendah yang tak tahu malu.....pagar makan tanaman.....", jerit Oh Hui sambil menggigit bibir menahan rasa bencinya yang meluap.

   "Eeeehh....eeeeh....siapa yang pagar makan tanaman? Aku makan apamu?", seru gadis seperti kucing itu.

   "huuuuhh....cuma seorang piausu kecil yang tak punya apa-apa, kau kira mampu untuk memelihara aku?"

   Kemudian sambil berpaling ke arah Siau Te, ia berkata lebih jauh.

   "Barusan, hanya satu hal yang kau salah menduga!"

   "Oya?"

   "Selama ini adalah aku yang memeliharanya, bukan dia yang memelihara aku!"

   Oh Hui membentak amat gusar, dia ingin menubruk ke depan, tapi tubuhnya kembali roboh ke tanah.

   "Belakangan ini kau makan terlalu banyak, badan gemuk semacam kau paling baik kalau mengurangi naik kereta dan memperbanyak berjalan kaki", kata gadis seperti kucing itu. Lalu dengan sepasang matanya yang jeli seperti rembulan, ia melirik sekejap ke arah Siau Te, kemudian katanya.

   "Tapi akupun merasa takut jika musti naik kereta seorang diri, menurut kau apa yang musti kulakukan?"

   "Inginkah kau mencari seorang teman yang bersedia menemanimu?"

   "Tentu saja ingin, bahkan inginnya setengah mati, tapi di sini aku merasa sing, siapapun tidak kenal, kemana aku musti mencari seorang teman yang bersedia menemani aku?"

   "Tak usah jauh-jauh, di sinipun ada!"

   "Siapa?"

   "Aku!"

   Sambil berlutut di tanah, Oh Hui menyaksikan Siau Te naik ke dalam kereta, menyaksikan kereta itu pergi dengan menimbulkan debu yang tinggi, tapi tidak melihat kalau ada seorang lain, tanpa menimbulkan sedikit suarapun telah muncul di belakang tubuhnya.

   Ruangan kereta penuh dengan bau harum semerbak yang memabukkan.

   Sambil mengangkat sepasang kakinya ke atas Siau Te duduk di sebuah kursi yang empuk sambil memandang si gadis seperti kucing yang lagi mendekam di sudut kereta.

   Gadis itupun sedang memandang ke arahnya, tiba-tiba ia berkata.

   "Sebetulnya siapakah yang sedang mengejarmu dari belakang? Kenapa membuatmu sedemikian takutnya?"

   Siau Te sengaja berlagak tak mengerti, katanya.

   "Siapa yang bilang kalau aku sedang di kejar orang?"

   Gadis seperti kucing itu tertawa.

   "Walaupun kau bukan orang baik, tapi tak nanti merampas kereta orang tanpa sebab, kau sengaja mencari gara-gara dengan Oh Hui oleh karena kau justru tertarik oleh bendera merah di atas kereta tersebut. Bersembunyi di dalam kereta milik Hong-ki-piaukiok bagaimanapun jua jauh lebih aman dibandingkan bersembunyi di tempat lain"

   Sepasang matanya memang lebih tajam dari mata kucing. Dalam sekilas pandangan ia dapat menebak apa yang sedang direncanakan orang lain.

   "Dari mana kau bisa tahu kalau aku tertarik oleh panji merah di atas kereta, dan bukannya tertarik oleh kecantikanmu?", kata Siau Te sambil tertawa. Gadis seperti kucing itu ikut tertawa.

   "Bocah yang menyenangkan hati, sungguh manis selembar bibirmu itu!", bisiknya. Ia berkedip-kedip sambil mempermainkan bola matanya, kemudian ujarnya kembali.

   "Kalau kau memang tertarik olehku, mengapa tidak mendekatiku dan membopong tubuhku?"

   "Aku takut!"

   "Apa yang musti kau takuti?"

   "Aku takut di kemudian haripun kau akan meninggalkan aku, seperti kau lagi membuang ingus!"

   Gadis seperti kucing itu tertawa cekikikan.

   "Aku hanya membuang laki-laki yang pada dasarnya memang seperti ingus, apakah kau juga lakilaki seperti ingus?"

   "Agaknya tidak!"

   Tiba-tiba ia sudah duduk di sisinya dan sekejap kemudian telah membopong tubuhnya bahkan kemudian memeluknya erat-erat.

   Dengan pengalaman hidupnya yang penuh kesengsaraan dan penderitaan, semenjak kecil dalam hatinya telah tertanam rasa tak puasnya terhadap segala persoalan, karena itu setiap perbuatan yang dilakukan tanpa mempergunakan otak yang waras.

   Karena itu jangan heran kalau sepasang tangannya tidak jujur......

   Tiba-tiba gadis seperti kucing itu menarik muka, lalu berkata dengan dingin.

   "Sungguh besar amat nyalimu!"

   "Nyaliku selamanya memang tak pernah kecil!", jawab Siau Te.

   "Tahukah kau siapa aku ini?"

   "Kau adalah seorang gadis, seorang gadis yang cantik jelita!"

   "Gadis yang cantik kebanyakan sudah menjadi milik orang lelaki, kau tahu aku adalah perempuannya siapa?"

   "Aku tak perduli dulu kau milik siapa, pokoknya sekarang kau adalah mutlak milikku!"

   "Tapi....tapi.....bahkan siapa namamu pun aku tak tahu"

   "Aku tak punya nama, aku....aku adalah seorang anak jadah yang tak punya ayah tak punya ibu!"

   Menyinggung kembali persoalan ini, segulung rasa sedih dan benci kembali menyerbu ke luar dari dasar hatinya.

   Ia merasa di dunia ini belum pernah ada orang yang memandang berharga dirinya, lalu kenapa pula ia musti menghargai orang lain? Gadis seperti kucing itu memperhatikan terus perubahan wajahnya, muka yang tampan itu sudah memerah, seperti lagi malu, seperti juga lagi ketakutan, dengan suara gemetar ia lantas berbisik.

   "Apa yang sedang kau pikirkan dalam hatimu? Bukankah kau hendak memperkosa aku?"

   "Benar!"

   Kepalanya sudah dijulurkan ke depan, mencari bibirnya yang mungil........

   Tapi......"Kraaaak", daun jendela terbuka sendiri, seakan-akan terhembus angin, tapi menanti ia mendongakkan kepalanya, dihadapannya telah bertambah lagi dengan seseorang, wajahnya yang pucat tercermin rasa sedih yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Siau Te segera menghela napas panjang.

   "Aaaai.......lagi-lagi kau telah datang!", keluhnya.

   "Ya, aku telah datang kembali!", jawab Cia Siau-hong. Ruang kereta itu sangat luas, sebetulnya paling tidak bisa muat enam orang, tapi sekarang walau hanya tiga orangpun sudah terasa sesak sekali.

   "Aku tahu sejak kecil dulu kau adalah seorang kongcu romantis, perempuan simpananmu tak terhitung jumlahnya", kata Siau Te. Cia Siau-hong tidak menyangkal. Tiba-tiba Siau Te melompat bangun, kemudian teriaknya keras-keras.

   "Kenapa kau tak pernah mengijinkan akupun mempunyai seorang perempuan? Apakah kau berharap agar selama hidup aku menjadi seorang hweesio.....?"

   Mimik wajah Cia Siau-hong segera menampilkan suatu perubahan yang sangat aneh, lewat lama sekali ia baru berkata.

   "Kau tak perlu menjadi hweesio, tapi perempuan ini tak boleh kau jamah.......!"

   "Kenapa?", teriak Siau Te penasaran. Gadis seperti kucing itu mendadak menghela napas.

   "Aaaaai......karena aku adalah miliknya!", ia berbisik. Paras muka Cia Siau-hong pucat pias seperti mayat. Gadis seperti kucing itu sudah duduk kembali sambil meraba pipinya, dengan lembut ia berkata.

   "Beberapa tahun sudah kita tak bersua, kau lebih kurus dari dulu, apakah dikarenakan perempuanmu terlalu banyak? Ataukah kau menjadi kurus karena memikirkan aku?"

   Cia Siau-hong tidak bergerak, iapun tidak berbicara. Siau Te mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, memandang adegan di depan matanya, iapun tidak bergerak, iapun tidak bersuara. Gadis seperti kucing itu kembali berkata.

   "Kenapa kau tidak beritahu kepada adik kecil ini, siapakah aku dan apakah hubunganku denganmu?"

   Tiba-tiba Siau Te tertawa, tertawa terbahak-bahak.

   "Apa yang kau tertawakan?", tegur gadis seperti kucing itu.

   "Aku lagi mentertawakan kau sedari tadi aku sudah tahu siapakah kau, buat apa kau musti menyuruh orang lain yang memberitahukannya kepadaku?"

   "Kau benar-benar tahu siapakah aku?"

   "Ya, kau adalah seorang pelacur!"

   Kemudian sambil tertawa keras ia mendobrak pintu kereta dan melompat keluar.

   Sambil tertawa keras, ia kabur terus tanpa tujuan.

   Apakah Cia Siau-hong masih juga akan mengikutinya? Apakah orang di sepanjang jalan akan menganggapnya sebagai orang gila? Sekarang ia tak ambil perduli.

   Ia kabur kembali ke pusat kota, merek emas 'Cong-goan-lo' masih memancarkan sinarnya seperti sedia kala.

   Ia menerjang masuk ke dalam, menerjang naik ke atas loteng.

   Di atas loteng tiada darah, tiada mayat, pun tiada bekas-bekas suatu pertarungan, hanya ciangkwe gemuk masih berdiri di atas loteng, dan memandang keadaannya dengan terkejut.

   Barusan Cho Han-giok dan dua bersaudara dari keluarga Wan kena dihajar sampai kabur? Ataukah sama sekali tak sampai terjadi pertarungan? Siau Te tidak bertanya, ia lalu menyeringai kepada ciangkwe gendut sambil katanya.

   "Si tukang makan gratis kembali datang, tolong siapkan satu porsi sayur seperti apa yang pernah ku pesan tadi, atau kalau tidak, kuhancurkan rumah makan Cong-goan-lo ini. Meja perjamuan kembali dipersiapkan. Delapan macam sayur, empat hidangan daging, empat hidangan sayuran telah dihidangkan untuk teman minum arak, kemudian menyusul enam macam hidangan utama, yang terdiri dari Udang Bago, Yan-oh, Hi-sit, ayam komplit, bebek komplit dan babi komplit, semacampun tak ada yang kurang. Tapi kali ini hanya sesumpitpun Siau Te tidak mencobanya. Dia minum arak. Satu guci arak Tiok Yap-cing yang terdiri dari dua puluh kati, hampir diteguknya tinggal setengah guci dalam waktu singkat. Ia sudah hampir mabuk oleh arak. Tapi dimanakah Cia Siau-hong? Kenapa Cia Siau-hong tidak ikut datang? Apakah ia sedang menemani pelacur itu tidur? Ya, bila ada seorang perempuan macam begitu yang menemaninya, kenapa ia musti datang lagi? Siau Te tertawa lagi, tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba dari luar loteng berkumandang suara roda kereta yang amat nyaring, serombongan kereta perusahaan pengawalan barang sedang berjalan di jalan raya. Ada kereta barang, ada pula panji perusahaan. Piau-ki atau panji perusahaan merupakan pelindung bagi orang melakukan pengawalan, panji merupakan pula kebanggaan dari perusahaan pengawalan barang, panji yang berkibar pada kereta-kereta barang itu ternyata adalah Hong-ki (Panji merah). Merah sekali warnanya, jauh melebihi merahnya darah. Panji besar yang berkibar pada kereta barang pertama bersulamkan sebuah huruf "Thi"

   Yang sangat besar.

   Pada kebalikannya terukirlah sebilah pedang, pedang yang bersinar kilat serta dua puluh delapan batang panah penembus awan.

   Itulah panji komando dari congpiautau perusahaan pengawalan Hong-ki-piaukiok.

   Bila panji itu tampak berkilat, itu berarti barang kawalannya kali ini dikawal langsung oleh Thi-khi-kuay-kiam, si pedang kilat pribadi......

   Bila panji tersebut sedang berkibar, maka para orang gagah dari golongan rimba hijau yang berada di sekitar tempat itu, meski tak perlu menyingkir jauh-jauh, tiada orang pula yang mengusik atau mengganggu barang kawalannya.

   Justru karena ada panji itulah, maka pada delapan belas propinsi di utara dan selatan sungai besar berdiri sebaris kantor-kantor cabang dari perusahaan Hong-ki-piaukiok.

   Oleh sebab itulah dalam hal ini bukan cuma menyangkut martabat serta nama baik dari seseorang saja, tapi mempengaruhi juga mangkuk kehidupan dari dua ribu lebih anggota keluarga anak buahnya yang bekerja pada delapan belas perusahaan tersebut.

   Perduli siapapun berani mencemooh panji tersebut, maka dua ribu lebih anggota perusahaan Hong-ki-piaukiok akan mempertaruhkan jiwa raganya untuk melakukan pembelaan.

   Sebab, siapapun yang berani mengganggu perusahaan itu, berarti pula mengganggu nafkah pencarian dari dua ribu orang lebih, berarti mempengaruhi soal isi perut anggota keluarga dari dua ribu orang anggotanya, siapa yang tak akan beradu jiwa, siapa yang tak akan menjadi nekad, bila hal tersebut sudah menyangkut soal perut? Siau Te kembali tertawa, tertawa tergelak-gelak, seperti secara tiba-tiba saja ia teringat akan suatu kejadian yang lucu dan menarik hatinya.

   Di tengah gelak tertawa yang keras, ia telah melompat turun dari atas loteng itu dan menerjang masuk ke tengah barisan kereta barang, kemudian sekali tinju ia hajar piausu pelindung panji hingga terjungkal ke tanah.

   Belum puas sampai di situ, tubuhnya kembali melejit ke udara, disambarnya panji perusahaan itu, lalu sekali menggetarkan sepasang tangannya, panji kebesaran dari perusahaan Hong-ki-piaukiok yang sudah termashur namanya di utara dan selatan sungai besar itupun patah menjadi dua bagian.

   Ia membuang panji yang sudah patah itu dan diinjak-injak dengan kakinya hingga hancur.

   ooooOOOOoooo Bab 21.

   Membunuh Tiada Ampun Suara roda kereta yang berputar, suara derap kaki kuda yang ramai, suara teriakan petugas mencari jalan, tiba-tiba berhenti serentak dalam waktu yang hampir bersamaan.

   Awan gelap menyelimuti sang surya di angkasa, serentetan kilat melejit di balik awan, dan suara guntur menggelegar memecahkan kesunyian, menggetarkan perasaan orang dan memekakkan telinga siapapun.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tapi semua orang seolah-olah sudah tidak mendengar suara guntur lagi, semua orang berdiri tertegun dengan mata terbelalak lebar, dengan mata setengah melotot mereka awasi pemuda di atas atap kereta, serta panji kebesaran mereka yang patah dan robek akibat diinjak-injak.

   Tak seorangpun yang pernah menduga bahwa peristiwa semacam ini bisa menimpa diri mereka, tak ada orang yang bisa menduga kalau dalam dunia dewasa ini betul-betul masih terdapat manusia gila yang tak doyan hidup semacam dia, sehingga berani melakukan perbuatan semacam itu.

   Piausu pelindung panji yang kena ditinju hingga terjungkal dari pelana kudanya itu sudah meronta dan merangkak bangun dari tanah.

   Orang itu she Thio bernama Si, sudah dua puluh tahun melakukan pengawalan barang, selamanya ia melakukan pekerjaan dengan ulet dan teliti.

   Selama lebih dua puluh tahun hidup bergelimpangan di ujung golok, entah berapa banyak sudah kejadian besar yang pernah di alaminya, karena ketenangan dan keuletannya menghadapi setiap persoalan, maka rekan-rekannya menghadiahkan sebuah julukan Si-sim-bok-tau-jin (Manusia kayu berhati ulet) kepadanya.

   Itu bukan berarti dia bodoh, dungu dan tak berguna, tapi menunjukkan bahwa dalam menghadapi persoalan apapun, dia dapat menjaga ketenangannya dan menghadapinya dengan hati yang tenang.

   Tapi sekarang, Si-sim-bok-tau-jin sendiripun berdiri dengan wajah pucat dan sekujur tubuhnya gemetar keras.

   Peristiwa ini benar-benar di luar dugaan siapapun, terlalu mengejutkan hati orang, kejadian itu berlangsung begitu mendadak sehingga semua orang menjadi gelagapan serta tak tahu apa yang musti dilakukan.

   Waktu kejadian berlangsung, setiap orang merasakan hatinya sangat kalut, kalu tidak sekalipun Siau Te memiliki kepandaian silat yang luar biasapun, belum tentu akan berhasil dengan serangannya, sekalipun beruntung bisa membawa hasil yang diharapkan, sekarangpun tubuhnya pasti telah dicincang menjadi berkeping-keping.

   Menyaksikan perubahan paras muka dari orang-orang itu, bahkan Siau Te sendiripun tak mampu tertawa, dia cuma merasa ada segulung hawa dingin yang menusuk tulang muncul dari dasar alas kakinya dan menerjang naik ke atas kepala, seluruh tubuhnya menjadi dingin, kaku dan bahkan mulai menggigil.

   Kembali guntur menggelegar membelah angkasa.

   Di tengah menggelegarnya guntur yang keras, lamat-lamat seperti terdengar ada orang menyerukan kata "bunuh!", menyusul kemudian suara gemerincing berkumandang memecahkan keheningan, puluhan bilah golok dan pedang bersama-sama diloloskan dari sarungnya.

   Suara nyaring yang berkumandang kali ini, kedengarannya jauh lebih mengerikan dari pada suara guntur yang menggelegar di tengah hari tadi.........

   Cahaya golok mengkilap bersama, lalu meluncur datang dari depan, belakang, kiri, kanan, empat arah, delapan penjuru.

   Meskipun langkah kaki mereka amat cepat tapi teratur dan tidak kacau, dalam sekejap mata kereta kuda tersebut telah berada dalam kepungan.

   Cukup berdasarkan barisan penyerang yang melakukan pengepungan secara teratur ini, bisa diketahui bahwa nama besar Hong-ki-piaukiok bukan diperoleh secara kebetulan saja.

   Thio Si pun lambat laun dapat menenangkan kembali hatinya, empat puluh tiga orang piausu dan peneriak jalan dari perusahaannya sedang menunggu dirinya, asal ia memberi komando, maka golok dan pedang akan diayunkan bersama untuk mencincang tubuh lawan, darah segar segera akan berhamburan membasahi permukaan tanah.

   Dalam keadaan demikian, Siau Te malah tertawa.

   Ia sama sekali tidak takut.

   Pada hakekatnya dia memang datang untuk mencari kematian, walaupun tadi ia masih rada tegang dan takut, tapi sekarang perasaannya malah begitu kendor, begitu gembira hingga sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   .......Seluruh kejayaan, kenistaan, budi maupun dendam yang membuat pusing orang dalam jagad, kini sudah terbuang jauh-jauh dari pikirannya.

   .......Aku adalah seorang sinting juga boleh, seorang anak jadah yang tidak berayah dan beribu juga boleh, semuanya tak menjadi soal lagi baginya.

   Dengan amat santainya ia mulai duduk di atas atap kereta, kemudian sambil tertawa terbahakbahak serunya.

   "Senjata kalian telah diloloskan dari sarung, kenapa tidak datang ke mari untuk membunuhku?"

   Persoalan ini merupakan persoalan yang semua orang ingin tanyakan kepada Thio Si, sebab dalam perusahaan ia terhitung orang paling tua, paling berpengalaman, setiap kali congpiauthau tak di rumah, maka para piausu selalu menganggapnya sebagai pemimpin mereka.

   Thio Si masih agak sangsi, ia berkata.

   "Bukan suatu masalah yang sulit untuk membunuhmu, dalam sekali bergerak saja mungkin tubuhmu sudah akan kami cincang dan hancur berkeping-keping, cuma saja....."

   "Cuma saja kenapa?", seorang piausu bersenjata Siang-bun-kiam yang berada di sampingnya segera bertanya. Thio Si termenung sejenak, lalu sahutnya.

   "Aku lihat orang ini memang bermaksud datang untuk menghantar kematiannya sendiri!"

   "Kalau memang begitu, lantas apa yang musti kita lakukan?"

   "Bila orang itu berniat buruk untuk mati, maka di balik persoalan itu pasti ada rahasia lain yang bagaimanapun juga musti kita selidiki dulu sampai jelas, apalagi siapa tahu kalau di belakangnya masih ada orang lain yang mendalangi perbuatannya ini"

   Piausu bersenjata Siang-bun-kiam itu segera tertawa dingin.

   "Kalau begitu mari kita lenyapkan dulu sepasang tangan dan kakinya sebelum memikirkan yang lain"

   Pedangnya segera dikembangkan, lalu menerjang ke muka paling dulu.

   Ia menusuk jalan darah Huan-tiau-hiat di atas lutut Siau Te.

   Siau Te sedikitpun tidak takut mati, tapi sebelum ajalnya tiba, ia enggan dihina orang, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke udara, lalu menendang pedang lawan.

   ~Bersambung ke Jilid-14 Jilid-14 Tendangan yang dilancarkan secara tiba-tiba itu menyambar tanpa menimbulkan bayangan, itulah ilmu Hui-ti-liu-seng-tiok (Tendangan kilat kaki meteor), salah satu ilmu sakti dari tujuh ilmu sakti lainnya milik dari keluarga Buyung di daerah Kanglam, jangankan hanya manusia, ibaratnya meteorpun bisa ditendangnya, jadi bisa dibayangkan betapa cepatnya tendangan tersebut.

   Tapi kecuali pedang siang-bun-kiam tersebut, masih ada dua puluh tujuh bilah golok kilat dan lima belas bilah senjata tajam yang sedang menantikan dirinya.

   Sewaktu pedang siang-bun-kiam itu mencelat ke belakang, ada tiga bilah golok dan dua bilah pedang telah menusuk tiba, yang ditusuk adalah bagian-bagian tubuhnya yang mematikan.

   Cahaya golok beterbangan seperti menari, cahaya pedang menyambar seperti rantai, tiba-tiba terdengar........."Triiiiiing!", ketiga bilah golok dan dua bilah pedang itu mendadak telah patah semua menjadi dua bagian.

   Ujung golok mata pedang segera rontok jatuh ke bawah, menyusul menggelinding lewat dua biji benda bulat yang melejit-lejit di atas atap kereta dan menggelinding ke bawah.

   Ternyata dua biji benda bulat itu adalah dua biji mutiara.

   Sekarang, di atas atap kereta telah bertambah seseorang, dia berwajah pucat dan di tangannya masih membawa sekuntum bunga mutiara yang biasanya dipakai untuk menghias rambut kaum wanita, cuma bagi orang yang bermata tajam, dengan cepat akan diketahui bahwa butiran-butiran mutiara itu telah berkurang lima butir.

   Lima bilah senjata telah patah, tapi suara yang terdengar hanya sekali, ternyata orang ini telah mempergunakan lima biji mutiara yang kecil untuk mematahkan lima bilah senjata dalam waktu yang hampir bersamaan.

   Sebagian besar pekerja dalam perusahaan pengawalan barang rata-rata adalah jago kawakan yang luas dalam pengalaman, tapi kepandaian semacam itu bukan saja tak pernah dilihatnya, bahkan dibayangkanpun belum pernah.

   Suara guntur kembali menggelegar di udara, hujan deras mulai turun mengguyur seluruh permukaan tanah.

   Orang itu masih berdiri tak bergerak di tempat semula, wajahnya yang kaku seakan-akan sama sekali tidak beremosi.

   Dengan dingin Siau Te memandang ke arahnya, lalu berkata.

   "Lagi-lagi kau yang datang!"

   "Ya, lagi-lagi aku yang datang!", orang itu menyahut. Hujan deras turun dengan hebatnya, butiran-butiran air hujan menitik di atas wajah dan kepala mereka serta membasahi sekujur tubuhnya, wajah-wajah itu entah memancarkan rasa sedihkah? Gembirakah? Gusarkah? Atau benci? Siapapun tak dapat melihatnya. Semua orang hanya tahu bahwa orang itu pastilah seorang jago tangguh yang ilmu silatnya sukar diukur dengan kata-kata, orang itu pasti mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pemuda yang telah mematahkan panji perusahaan mereka. Thio Si berhasil menghalangi rekan-rekannya untuk maju, bahkan piausu bersenjata siang-bunkiam yang masih penasaranpun tak berani berkutik lagi secara sembarangan, dia hanya bertanya.

   "Sobat, siapakah namamu?"

   "Aku she Cia!"

   Paras muka Thio Si segera berubah hebat, jago lihay yang berasal dari marga Cia cuma satu.

   "Apakah kau datang dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng, lembah Cui-im-kok, telaga Liok-suioh?"

   "Benar!"

   "Apakah kau adalah Sam sauya dari keluarga Cia?", suara Thio Si kedengaran makin gemetar.

   "Ya, akulah Cia Siau-hong!"

   Cia Siau-hong Tiga suku kata ini bagaikan sebuah 'Hu' atau ajimat yang bisa mengusir gangguan dari pelbagai siluman.

   Ketika mendengar nama itu, tak seorang manusiapun berani berkutik lagi.

   Tiba-tiba seseorang berlarian datang di tengah curahan hujan deras sambil teriaknya keras-keras.

   "Congpiautau telah datang......congpiautau telah datang........."

   Tiga puluh tahun berselang, ketika para penyamun dari delapan belas markas bukit Lian-san sedang jaya-jayanya meraja-lela, tiba-tiba muncul seseorang dengan seekor kuda yang datang menyatroni bukit mereka.

   Dengan sebilah pedang perak dan dua puluh delapan panah penembus awannya ia berhasil menyapu rata delapan belas markas penyamun di bukit Lian-san rata dengan tanah, ada sembilan belas luka besar dan kecil yang di deritanya ketika itu.

   Tapi ia belum sampai mati, ternyata ia masih memiliki sisa tenaga untuk mengejar Pa Thian-pa, penyamun paling ganas dari gerombolan bukit Lian-san yang sempat melarikan diri.

   Setelah menempuh perjalanan sehari semalam lamanya, ia berhasil juga memenggal batok kepala Pa Thian-pa pada suatu tempat delapan ratus li jauhnya dari bukit semula.

   Orang itu bukan lain adalah Congpiautau dari perusahaan Hong-ki-piaukiok Thi-khi-kuay-kiam (si pedang kilat) Thi Tiong-khi, pemilik dari perusahaan pengawalan barang itu.

   Maka ketika mereka semua mendengar bahwa congpiautau-nya telah datang, empat puluhan orang piausu dan peneriak jalan bersama-sama menghembuskan napas lega.

   Mereka semua percaya bahwa congpiautau-nya pasti dapat menyelesaikan persoalan ini.

   Cia Siau-hong menghela napas pula dalam hatinya.

   Ia tahu, dalam peristiwa ini Siau Te-lah yang bersalah, tapi ia tak bisa mengatakan bahwa ia enggan mengurusi persoalan ini, sebab bagaimanapun juga, mau tak mau ia musti mengurusinya juga.

   Ia tak dapat membiarkan bocah itu tewas di tangan orang lain, karena orang itu adalah satusatunya orang yang ia merasa pernah berbuat hal yang tak wajar kepadanya......

   kepada anaknya.

   Butiran air hujan masih menyelimuti udara bagaikan sebuah tirai.

   Empat orang manusia dengan merentangkan payung berjalan lambat-lambat menembusi hujan deras, orang yang di paling depan adalah seorang pemuda berbaju hijau, berkaus kaki putih dengan sepatu hitam yang berwajah lebar.

   Ternyata dia adalah si pemuda polos yang duduk semeja dengan Cho Han-giok ketika berada di atas loteng Cong-goan-lo tadi.

   Kenapa Thi Tiong-khi tidak datang? Kenapa ia harus datang? Setelah bertemu dengan pemuda tersebut, semua piausu serta peneriak jalan dari perusahaan Hong-ki-piaukiok bersama-sama membungkukkan badan memberi hormat, wajah mereka semua menunjukkan sikap menghormat yang amat besar, semua orang tunduk kepadanya dan menyanjung dirinya.

   Kemudian dengan penuh rasa hormat, semua orang menyapa bersama.

   "Congpiautau!"

   Apakah Cong-piautau dari perusahaan Hong-ki-piaukiok telah diganti oleh seorang pemuda polos yang tampak agak kebodoh-bodohan ini? Dari atas sampai bawah dua ribu orang anggota perusahaan Hong-ki-piaukiok, kebanyakan terhitung jago-jago kenamaan yang sudah punya pengalaman luas serta reputasi yang hebat, apakah hanya mengandalkan seorang pemuda polos yang jujur semacam ini, maka semua jagojago kawakan tersebut bersedia mendengarkan perintahnya? Tak mungkin hal ini berlangsung dengan begitu saja, tentu saja ada alasan lain lagi.

   Bendera perusahaan di patah orang, piausu-piausunya dihina orang, sekalipun Thio Si adalah seorang jago kawakan, tak urung dibikin gelagapan juga oleh peristiwa tersebut.

   Tapi pemuda itu ternyata masih dapat berjalan mendekat dengan langkah yang sangat lambat, wajahnya yang lebar sedikitpun tidak menunjukkan rasa gusar, gugup atau kaget, ketenangan serta ketebalan iman yang dimilikinya sungguh luar biasa sekali, jarang ada seorang pemuda berusia dua puluh tahunan yang sanggup melakukan hal seperti ini.

   Hujan masih turun dengan derasnya, tanah mulai berlumpur dan kotor.....

   Pemuda itu masih berjalan amat lambat, namun di atas alas sepatunya yang hitam dengan kaus yang berwarna putih hanya sedikit yang ternoda oleh lumpur, bila tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, jangan hal ini bisa dilakukannya.

   Perasaan Cia Siau-hong mulai tertekan, mulai terasa tak enak, seakan-akan terjatuh dari suatu tempat yang tinggi.

   Ia telah mengetahui bahwa kemungkinan besar pemuda ini jauh lebih sukar dihadapi daripada Thi Tiong-khi.

   Untuk membereskan persoalan ini jelas bukan suatu pekerjaan yang gampang.

   Ternyata pemuda itu tidak menegurnya, bahkan melirik sekejap ke arah mereka pun tidak.

   Walaupun dengan jelas ia tahu kalau bendera perusahaannya dipatahkan orang, walaupun tahu kalau ada orang yang mematahkan bendera perusahaannya ada di depan mata, tapi dia seolaholah tidak mengetahuinya, seakan-akan tidak melihatnya.

   Sambil memegang payungnya, pelan-pelan ia berjalan mendekat, lalu bertanya dengan suara hambar.

   "Piausu manakah yang hari ini bertanggung jawab melindungi bendera perusahaan?"

   Thio Si segera menampilkan dirinya ke depan, setelah memberi hormat, menyahut.

   "Aku!"

   "Berapa usiamu tahun ini?", kembali pemuda itu bertanya sambil menatapnya lekat-lekat.

   "Aku termasuk shio sapi, jadi tahun ini genap berusia lima puluh tahun.....!"

   Pemuda itu manggut-manggut, lalu berkata lagi.

   "Sudah berapa tahun kau bekerja dalam perusahaan Hong-ki-piaukiok kita ini?"

   "Semenjak lo-piautau mendirikan perusahaan pengawalan barang ini, aku telah bekerja di sini!"

   "Ehmmm.....! Itu berarti sudah dua puluh enam tahun lamanya dari sekarang?"

   "Ya, sudah dua puluh enam tahun lamanya!"

   Pemuda itu menghela napas panjang.

   "Watak mendiang ayahku keras lagi berangasan, kau bisa berbakti kepadanya selama dua puluh enam tahun jangka waktu tersebut sudah terhitung tidak gampang"

   Thio Si menundukkan kepalanya rendah-rendah dan memperlihatkan wajah sedih, lama sekali ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.

   Mendengar sampai di situ, Siau Te pun telah mengetahui bahwa lo-piautau yang mereka maksudkan tak lain adalah Thi-khi-kuay-kiam Thi Tiong-khi yang mendirikan perusahaan Hong-kipiaukiok, pemuda itu menyebutnya sebagai "mendiang ayahku"

   Berarti pula dia adalah putranya.

   Ayah meninggal anak menggantikan, tak heran kalau dengan usianya yang masih muda ia telah memegang tampuk pimpinan dalam perusahaan tersebut.

   ooooOOOOoooo Bab 22.

   Hukum Yang Tegas Pengaruh Thi-lo-piautau masih tertanam dalam hati masing-masing orang, karena itu semua orang tak bisa tidak harus tunduk kepadanya.

   Yang mengherankan, kenapa dalam keadaan dan situasi seperti ini tiba-tiba saja ia menyinggung soal rumah tangganya, sedang soal bendera perusahaan yang patah dan piausu yang dihina malahan tidak disinggungnya sama sekali.

   Berbeda dengan Cia Siau-hong, ia dapat menangkap bahwa di balik pertanyaan sekitar rumah tangga perusahaannya itu, pemuda tersebut sesungguhnya mempunyai maksud yang mendalam.

   Kesedihan yang mencekam wajah Thio Si, tampak jelas bukan dikarenakan terkenang oleh budi kebaikan Thi lo-piautau, melainkan merasa murung dan menyesal karena ia telah melalaikan kewajiban serta tanggung jawabnya.

   Pemuda itu menghela napas panjang, tiba-tiba tanya lagi.

   "Bukankah kau menikah pada usia tiga puluh sembilan tahun?"

   "Benar!", jawab Thio Si.

   "Konon istrimu lemah lembut dan amat pintar, terutama dalam bidang masak memasak"

   "Beberapa macam sayur yang sederhana memang masih bisa dimasak olehnya dengan lumayan!"

   "Berapa anak yang kau peroleh darinya?"

   "Tiga orang, dua lelaki satu perempuan!"

   "Asal ada seorang ibu bijaksana yang mendidik anak-anaknya, di kemudian hari anak-anakmu itu pasti dapat sukses dalam usahanya"

   "Semoga saja demikian!"

   "Ketika mendiang ayahku meninggal dunia, ibuku selalu merasa kekurangan seorang pembantu di sisinya, bila kau tidak keberatan, suruhlah istrimu pindah ke ruang belakang untuk menemani dia orang tua"

   Thio Si jatuhkan diri berlutut, kemudian......."Blang, blang, blang!", menyembah tiga kali di hadapan pemuda tersebut seolah-olah ia merasa berterima kasih sekali atas kebijaksanaan dari si anak muda itu mengaturkan keluarganya.

   Pemuda itu tidak menghalangi perbuatannya, menunggu ia selesai menyembah, baru tanyanya lagi.

   "Apakah kau masih ada pesan lainnya?"

   "Tidak ada lagi!"

   Sekali lagi pemuda itu menatapnya lekat-lekat, kemudian setelah menghela napas, katanya sambil mengulapkan tangannya.

   "Kalau begitu, pergilah!"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Baik!"

   Ketika ucapan tersebut selesai diutarakan, tiba-tiba tampak butiran darah memercik ke manamana, menyusul kemudian Thio Si roboh terkapar di tanah.

   Tangannya masih menggenggam sebilah pedang, pedang yang telah menggorok leher sendiri.

   Sepasang tangan dan kaki Siau Te mulai dingin.

   Hingga sekarang ia baru mengerti kenapa pemuda tersebut mengajukan pertanyaan sekitar rumah tangganya dalam keadaan begini.

   Peraturan hukum dalam perusahaan Hong-ki-piaukiok memang ketat, siapapun di dunia ini mengetahuinya.

   Thio Si telah melalaikan tanggung-jawabnya untuk melindungi panji perusahaan, sudah sepantasnya kalau ia dijatuhi hukuman mati.

   Tapi bila kita lihat dari kemampuan pemuda tersebut untuk membuat seorang kakek yang susah payah bekerja selama dua puluh enam tahun dalam perusahaan menggorok leher sendiri dengan hati yang rela, bahkan berterima kasih, dapat diketahui bahwa kepintaran pemuda itu serta ketegasannya menghadapi persoalan jauh di luar dugaan siapapun.

   Darah yang berceceran di tanah dalam sekejap mata telah terguyur bersih oleh aliran hujan yang deras, namun rasa jeri dan ngeri yang terpancar di wajah piausu-piausu tersebut bagaimanapun derasnya hujan juga tak akan mengguyurnya hingga lenyap.

   Terhadap congpiautau yang masih muda belia ini, jelas orang menaruh perasaan jeri dan takut yang amat tebal.

   Air muka pemuda itu masih tetap tenang dan sama sekali tak beremosi, kembali ujarnya dengan tawar.

   "Oh piautau, di mana kau?"

   Seorang laki-laki yang selama ini berdiri di belakang sambil menundukkan kepala dan menutupi wajahnya dengan payung, segera menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar perkataan itu, berlutut di atas genangan air hujan yang bercampur dengan darah.

   "Oh Hui ada di sini!", sahutnya lirih. Pemuda itu sama sekali tidak berpaling untuk melihat sekejap ke arahnya, kembali tanyanya.

   "Sudah berapa lama kau bekerja di perusahaan kami?"

   "Belum sampai sepuluh tahun!"

   "Berapa banyak gaji yang kau terima setiap bulannya?"

   "Menurut peraturan seharusnya adalah empat belas tahil, tapi berkat kebaikan congpiautau, setiap bulannya aku mendapat tambahan sebesar enam tahil perak"

   "Berapa harga pakaian ditambah ikat pinggang dan topi yang kau kenakan sekarang?"

   "Dua......dua belas tahil!", jawab Oh Hui ragu-ragu.

   "Di belakang kota sebelah barat kau punya sebuah gedung besar, berapa besar biaya pengeluaranmu setiap bulannya?"

   Wajah Oh Hui mulai mengejang keras, air hujan dan peluh dingin bercucuran bersama membasahi sekujur badannya, bahkan suarapun ikut menjadi parau.

   "Aku tahu kau adalah seorang yang amat memperhatikan soal makan dan minum", kata pemuda itu lagi.

   "sampai dapur yang dipakai dalam rumahpun merupakan dapur rumah makan Cong-goanlo yang kau boyong pulang dengan membayar tinggi, tanpa dua tiga ratus tahil perak sebulannya aku rasa sulit bagimu untuk melanjutkan hidup"

   "Semua.......semuanya itu dibayar orang lain untukku, aku.....aku tak pernah ke luar ongkos sendiri, walau cuma satu-dua tahil pun!"

   Pemuda itu segera tertawa.

   "Tampaknya kepandaianmu cukup hebat juga, sehingga orang lain begitu rela mengeluarkan uang beberapa ratus tahil perak setiap bulannya untuk kau gunakan, cuma........."

   Senyuman yang menghiasi wajahnya lambat-laun menjadi lenyap, katanya lebih jauh.

   "Kawan-kawan dalam dunia persilatan mana bisa tahu kalau kau memiliki kepandaian sehebat ini? Ketika mereka saksikan seorang piausu dari perusahaan Hong-ki-piaukiok pun bisa hidup mewah semacam itu, di hati kecilnya mereka pasti keheranan, kenapa Hong-ki-piaukiok bisa begitu sosial dan punya uang banyak? Jangan-jangan mereka memang bersekongkol dengan para orang gagah dari golongan Liok-lim sehingga berhasil mendapat untung besar?"

   Oh Hui yang mendengar ucapan-ucapan tersebut menjadi menggigil saking takutnya, sambil menyembah berulang kali serunya.

   "Lain kali aku pasti tak akan melakukan perbuatan semacam itu lagi, aku sudah tobat, lain kali pasti tak akan diulang lagi"

   "Kenapa? Apakah disebabkan orang yang mengeluarkan uang bagimu itu sudah direbut orang lain?"

   Seluruh wajah Oh Hui telah berlumuran darah, tapi ia tak berani mengakui, juga tak berani menyangkal.

   "Ada orang mengeluarkan uang untukmu gunakan, memberi kepuasan bagimu, sesungguhnya hal ini merupakan suatu perbuatan yang baik", kata pemuda tersebut.

   "dan tidak semestinya perusahaan menguruskan urusan pribadimu, tapi kau ternyata membiarkan orang lain merampas milikmu dengan mata mendelong saja, bahkan membalas dendampun tak berani, bukankah perbuatanmu itu sama artinya dengan melenyapkan kegagahan sendiri dengan mengobarkan kehebatan orang lain?"

   Mencorong sinar tajam dari mata Oh Hui, dengan cepat ia berseru dengan suara lantang.

   "Bocah keparat itu bukan lain adalah orang yang telah menghancurkan panji perusahaan kita!"

   "Kalau memang begitu, kenapa kau tidak menghampirinya dan membunuh orang itu?"

   "Baik!"

   Sejak tadi ia memang sudah ingin melampiaskan rasa dendamnya, maka setelah congpiautau mereka menjadi tulang punggungnya, iapun tak usah takut-takut lagi.

   Maka sambil mencabut ke luar golok yang tersoren di pinggangnya, ia melompat ke depan.

   Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat lewat, sebilah pedang telah menusuk datang, tusukan tersebut agaknya tidak begitu cepat.

   Tapi menanti dia ingin menghindarkan diri, pedang tersebut sudah menusuk ketiak kirinya, hingga tembus ke dalam tenggorokan.

   Darah segar muncrat ke empat penjuru dan menyirami seluruh permukaan tanah.

   Bahkan ia hampir tidak melihat, siapakah yang telah melancarkan tusukan tersebut.

   Tapi orang lain dapat melihat kejadian tersebut dengan amat jelas.

   Baru saja Oh Hui melompat ke udara, tiba-tiba pemuda itu meloloskan pedang yang tersoren di pinggang salah seorang di belakangnya, kemudian pedang itu ditusukkan ke depan sekenanya, sejak permulaan sampai akhir, ia tak pernah berpaling untuk memperhatikan lawannya barang sekejappun.

   Meskipun demikian, tusukan itu dilakukan dalam waktu yang tepat dengan arah sasaran yang menakjubkan.

   Tapi, yang betul-betul menakutkan bukanlah tusukan pedangnya, melainkan kekejaman dan ketidak berperasaannya untuk melancarkan serangan tersebut.

   Tiba-tiba Siau Te tertawa, tertawa tergelak-gelak, kemudian berkata.

   "Kau membunuh anak buahmu sendiri, memang dianggap bisa membuat hatiku takut? Haaaaahhhh........ haaaaahhhhh...... haaaahhhhhh....... sekalipun kau bunuh ke dua ribu anak buah perusahaan Hong-ki-piaukiok hingga habis juga tiada sangkut pautnya dengan aku!"

   Pemuda itu sama sekali tidak memperdulikan dirinya, hingga sekarangpun ia tak pernah memandang sekejap ke arahnya, seakan-akan ia tak tahu kalau panji perusahaannya dipatahkan oleh orang itu. Kembali ia bertanya.

   "Apakah Cia Siau-hong, Cia tayhiap juga telah datang?"

   Piausu yang selama ini berdiri di belakang sambil memegangkan payung baginya itu segera menyahut.

   "Benar!"

   "Siapakah Cia tayhiap itu?"

   "Orang yang berdiri di atas kereta itu!"

   "Aaaahh, tidak benar!"

   "Tidak benar?"

   "Dengan kedudukan serta nama besar Cia tayhiap, bila ia telah berada di sini dan menjumpai peristiwa semacam ini, sejak tadi ia pasti sudah tampil ke depan dan melakukan penilaian terhadap peristiwa ini, kenapa ia cuma berdiri berdiam diri saja di sana? Cia tayhiap bukan seorang manusia yang suka melihat kemalangan orang lain!"

   Tiba-tiba Cia Siau-hong tertawa, katanya.

   "Majikan yang bagus!"

   Kereta itu sebenarnya berada empat kaki jauhnya dengan dihalangi oleh tujuh - delapan belas orang, tapi menunggu ia telah menyelesaikan kata-katanya itu, tahu-tahu ia sudah berada di hadapan pemuda tersebut, bahkan sedemikian dekatnya, sehingga bila ia ulurkan tangannya segera dapat menepuk bahunya.

   Walaupun paras muka pemuda itu agak berubah, tetapi dengan cepat pulih kembali dalam ketenangannya, ia telah mundur ke belakang meski cuma setengah langkahpun.

   "Apakah congpiautau juga she Thi?", Cia Siau-hong segera menegur.

   "Aku Thi Kay-seng!"

   "Akulah Cia Siau-hong!"

   Walaupun para piausu telah tahu kalau orang ini berilmu silat amat tinggi, walaupun mereka tahu Cia Siau-hong juga telah berada di situ, tapi setelah mendengar pengakuannya sendiri itu, tak urung wajah mereka berubah juga.

   Thi Kay-seng segera memberi hormat, lalu berkata.

   "Semasa masih hidupnya dulu, mendiang ayahku seringkali membicarakan soal jiwa pendekar yang dimiliki Cia Tayhiap kepada diri boanpwee, kata beliau dengan sebilah pedangnya Cia Tayhiap tak pernah menjumpai tandingan di dunia ini!"

   "Ilmu pedangmu juga tidak terhitung jelek!", kata Cia Siau-hong.

   "Tidak berani......."

   "Ilmu pedang yang bisa dipakai untuk membunuh orang adalah ilmu pedang yang baik"

   "Tapi membunuh orang, bukanlah bertujuan membunuh orang untuk menanam musuh, lebih-lebih tidak bermaksud membunuh orang untuk menyenangkan hati!"

   "Lantas, biasanya kau membunuh orang karena apa?"

   "Karena tiga hal yang ditanamkan mendiang ayahku kepada kita semua sewaktu mendirikan perusahaannya dahulu!"

   "Tiga hal mana?"

   "Tanggung jawab, prestasi dan kebanggaan!"

   "Bagus, ternyata kau memang gagah perkasa dan berjiwa ksatria, tak heran nama baik Hong Kipiaukiok selalu berdiri tangguh selama dua puluh enam tahun tanpa goyah sedikitpun"

   Thi Kay-seng segera membungkukkan badannya mengucapkan terima kasih, setelah itu ujarnya dengan serius.

   "Mendiang ayahku seringkali memberi nasehat kepada kami, bila hendak menggunakan nama perusahaan sebagai kebanggaan, maka setiap saat harus mengingat tiga hal itu di dalam hati, kalau tidak lalu apa bedanya dengan para pencoleng dan perampok!"

   Wajahnya berubah semakin serius, ujarnya lebih jauh.

   "Oleh karena itu, barang siapa berani melanggar ketiga hal tersebut di atas, maka dia harus dibunuh tanpa ampun!"

   "Ehmmmm......, suatu kata dibunuh tanpa ampun yang bagus!"

   "Thio Si terlalu teledor dan bertindak gegabah, melalaikan tanggung jawabnya melindungi panji perusahaan. Oh Hui menjerumuskan diri ke lumpur kehinaan, tidak mempertahankan prestasi diri, maka dari itu walaupun mereka adalah orang-orang lama mendiang ayahku, boanpwe tak akan pilih kasih untuk menghukum mereka juga"

   Dengan sorot mata yang tajam ia menetap Cia Siau-hong lekat-lekat, kemudian katanya lagi.

   "Nama besar Sin-kiam-san-ceng tersohor di seantero jagat, aku percaya kalianpun memiliki peraturan rumah tangga yang bisa dibanggakan!"

   Cia Siau-hong tidak dapat menyangkalnya.

   "Jika anak keturunan perkampungan Sin-kiam-san-ceng berani melanggar peraturan, apakah merekapun akan dihukum?", tanya Thi Kay-seng lebih jauh. Sekali lagi Cia Siau-hong tak dapat menyangkal.

   "Perduli peraturan dari perguruan manapun, bukankah semuanya tidak mengijinkan anak buahnya merusak peraturan persilatan dan berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat?", kata Thi Kay-seng kembali. Ditatapnya lawannya dengan sorot mata setajam sembilu, lebih-lebih lagi ketajaman lidahnya ketika berbicara.

   "Membuat huru-hara di tengah kota, tanpa sebab mencari urusan, bukan cuma melukai orang, merusak pula panji perusahaan yang merupakan kebanggaan orang lain dan dipertahankan dengan jiwa raga oleh segenap anggotanya, terhitungkah perbuatan semacam ini sebagai suatu perbuatan yang merusak peraturan dunia persilatan?"

   "Ya, benar!", jawaban Cia Siau-hong amat sederhana dan langsung. Dari balik sinar mata Thi Kay-seng untuk pertama kalinya memancarkan sinar kaget dan tercengang. Ia telah mempersiapkan kolong tali yang siap digunakan untuk menjirat tengkuk Siau Te, semestinya Cia Siau-hong memahami maksud tujuannya, kenapa ia tidak mencoba untuk menahan jiratan tali itu dari atas leher Siau Te? Tapi bagaimanapun juga, kesempatan yang sangat baik ini tak boleh dibiarkan lewat dengan begitu saja, segera desaknya lebih jauh.

   "Bila tidak memperdulikan keamanan orang banyak, tanpa sebab merusak peraturan dunia persilatan, manusia macam ini telah melanggar kesalahan apa?"

   "Kesalahan yang pantas dijatuhi hukuman mati!", jawaban dari Cia Siau-hong tetap singkat dan langsung. Thi Kay-seng segera menutup mulutnya rapat-rapat. Kini tali itu sudah menjirat tengkuk Siau Te, diapun telah memahami maksud Cia Siau-hong. Walaupun jiwa Siau Te berharga, nama baik Sin-kiam-san-ceng jauh lebih berharga, maka seandainya dia harus memilih salah satu di antaranya, terpaksa ia harus mengorbankan selembar jiwa Siau Te. Sekarang Thio Si dan Oh Hui telah mati oleh dosanya, maka sudah barang tentu Siau Te pun harus mati karena perbuatannya. Sebagai kawanan jago persilatan yang cukup kawakan, pengalaman dari para piausu perusahaan Hong-ki-piaukiok itu cukup luas, tentu saja merekapun dapat memahami akan hal tersebut, tanpa sadar tangan mereka mulai meraba gagang golok dan bersiap sedia melancarkan tubrukan ke depan. Thi Kay-seng kembali ulapkan tangannya berulang kali sambil berseru.

   "Mundur, mundur, kalian semua mundur dari sini!"

   Tak seorangpun yang mengerti kenapa ia berbuat demikian, tapi tak seorang pula yang berani membangkang perintahnya. Dengan hambar Thi Kay-seng berkata.

   "Dosa itu dijatuhkan sendiri oleh Cia tayhiap, maka selama Cia tayhiap masih berada di sini, buat apa kalian musti lakukan baginya?"

   "Siapapun tak perlu turun tangan!", tiba-tiba Siau Te berteriak keras-keras. Kemudian setelah menatap Cia Siau-hong lekat-lekat, ia tertawa tergelak, serunya.

   "Cia Siau-hong, kau memang tak malu disebut Cia Siau-hong, kau memang sangat baik menjaga diriku, aku merasa amat berterima kasih sekali!"

   Di tengah gelak tertawanya yang amat keras, ia melompat turun dari atap kereta dan menerjang ke tengah kawanan manusia......"Kraaak!", lengan seorang piausu telah dicengkeram dan dipatahkan olehnya, pedang yang berada di tangan orang itu segera berpindah tangan, kemudian tanpa berpaling lagi ke arah Cia Siau-hong, ia memutar mata pedang tersebut dan menggorok ke atas leher sendiri.

   Wajah Cia Siau-hong yang pucat pasi tetap tanpa emosi, tubuhnya dari atas sampai bawah sama sekali tak bergerak, tapi semua orang mendengar suara desingan tajam berkumandang memecahkan keheningan menyusul......."Kraaak!", pedang di tangan Siau Te tahu-tahu sudah tinggal gagangnya, sedang mata pedang yang tajam telah patah dan jatuh ke bawah menyusul sebuah benda lainnya.

   Ternyata benda itu adalah sebutir mutiara.

   Bunga mutiara yang berada di tangan Cia Siau-hong, lagi-lagi berkurang satu butir.

   Meskipun Siau Te masih memegang gagang pedang itu, tapi seluruh tubuhnya telah tergetar mundur sejauh dua langkah dari tempat semula.

   Tiga orang piausu yang berada di belakangnya segera saling berpandangan sekejap, kemudian dua bilah golok dan sebilah pedang hampir pada saat yang bersamaan menyambar ke depan secepat kilat.

   Tiga orang piausu itu merupakan piausu-piausu yang mempunyai hubungan paling akrab dengan piausu yang lengannya patah tadi, rasa dendam mereka sesungguhnya hanya tertanam di dalam hati, tapi setelah Cia Siau-hong turun tangan sekarang, berarti merekapun tidak melanggar perintah congpiautau sekalipun balas melakukan ancaman.

   Tentu saja serangan yang dilancarkan tiga orang ini adalah serangan-serangan pembunuh yang mematikan.

   "Criiiit....!", Cia Siau-hong kembali menyentilkan ujung jarinya, menyusul kemudian.

   "Kreeek....!", dua golok satu pedang tersebut sekali lagi patah menjadi dua bagian. Ketiga orang itu segera merasakan tubuhnya bergetar keras hingga mundur lima langkah lebih, bahkan gagang golokpun tak sanggup digenggam lagi. Sambil menarik muka, Thi Kay-seng segera berkata dengan suara dingin.

   "Sungguh kekuatan yang sangat hebat, sungguh kepandaian yang luar biasa!"

   Cia Siau-hong hanya membungkam diri dalam seribu bahasa. Thi Kay-seng tertawa dingin, kembali ujarnya.

   "Kelihaian kepandaian silat yang dimiliki Cia tayhiap telah diketahui oleh setiap umat persilatan di dunia, tapi ke tidak dapat percayanya ucapan Cia tayhiap mungkin belum ada beberapa orang yang tahu"

   "Apakah ucapanku tidak dapat dipercaya?", Cia Siau-hong bertanya.

   "Siapa yang telah menjatuhkan hukuman kepadanya tadi?"

   "Aku"

   "Hukuman apa yang telah kau jatuhkan kepadanya?"

   "Hukuman mati!"

   "Kalau kau memang telah menjatuhkan hukuman mati kepadanya, kenapa sekarang malah turun tangan menolongnya?"

   "Aku hanya menjatuhkan hukuman mati kepada seorang manusia, tapi hukuman tersebut bukan tertuju untuknya"

   "Kalau bukan dia lantas siapa?"

   "Aku!"

   Untuk ketiga kalinya Thi Kay-seng memperlihatkan sinar mata yang penuh dengan rasa kaget dan tercengang, katanya.

   "Kenapa bisa kau?"

   "Karena akulah yang mengajarkan kepadanya bagaimana caranya merusak peraturan persilatan dan bagaimana caranya membuat huru-hara di depan masyarakat"

   Dari sorot matanya kembali memancarkan penderitaan dan rasa sedih yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, pelan-pelan ia berkata lebih jauh.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau bukan karena aku, tak nanti dia akan melakukan perbuatan semacam itu, dosaku yang pantas dihukum mati, aku tak akan biarkan ia mati lantaran aku"

   Thi Kay-seng menatap wajahnya lekat-lekat, kelopak matanya kembali berkerut, mendadak ia mendongakkan kepalanya sambil menghela napas panjang.

   "Ketika kau dengan sebatang sumpit berhasil mematahkan ilmu pedang aliran Bu-tong dari Cho Han-giok ketika berada di loteng Cong-goan-lo, aku sudah tahu kalau kehebatan ilmu pedangmu sudah tiada tandingannya lagi di dunia ini"

   Hingga kini Siau Te baru tahu siapa yang menang siapa yang kalah dari pertarungan yang berlangsung di loteng Cong-goan-lo tersebut.

   Walaupun ia melirik sekejap ke arahnyapun tidak, namun hatinya menyesal, ia menyesal kenapa waktu itu tidak tinggal di sana dan menyaksikan kehebatan Sam sauya dari keluarga Cia mematahkan ilmu pedang orang hanya dengan sebatang sumpit.

   Kembali Thi Kay-seng berkata.

   "Waktu itu dua bersaudara dari keluarga Wan pun tahu, sekalipun sepasang pedang mereka bersatu juga bukan tandinganmu, oleh karenanya mereka bersedia mengundurkan diri sebelum mengalami kerugian. Sepasang matakupun belum buta, tentu saja akupun tahu akan hal tersebut, seandainya keadaan tidak terlalu terpaksa, aku benar-benar segan untuk bertempur denganmu"

   "Bagus sekali!"

   "Tapi sekarang, sekalipun kau berkata demikian, akupun telah bersiap-siap untuk melangsungkan pertarungan mati hidup denganmu"

   Setelah tertawa dingin, kembali ia melanjutkan.

   "Sesungguhnya masalah yang menyangkut soal dunia persilatan hanya bisa dibikin jelas di ujung senjata, kalau tidak begini buat apa semua orang harus melatih diri dengan tekun? Bila seseorang memiliki kepandaian yang amat tinggi, sekalipun perkataan yang salahpun akan menjadi perkataan yang benar, jadi hal yang demikian sudah bukan merupakan suatu kejadian aneh lagi"

   Cia Siau-hong menatapnya tajam-tajam, lewat lama sekali dia baru menghela napas panjang.

   "Kau keliru!", bisiknya.

   "Di mana letak kekeliruanku?"

   "Kalau aku sudah mengakui kesalahanku, dus berarti akupun tak perlu menyuruhmu untuk turun tangan"

   Walaupun selama hidupnya Thi Kay-seng amat angkuh, senang gusarnya sukar diketahui orang, tapi saat ini tak urung rasa kaget dan tercengangnya tercermin juga di atas wajahnya.

   Menerima penderitaan karena orang lain, menyiksa diri demi sahabat, hal semacam itu bukannya tak pernah dijumpai dalam dunia persilatan, akan tetapi dengan kepandaian serta kedudukan Cia Siau-hong saat ini, kenapa pula harus merendahkan derajat kehidupan sendiri? Sementara itu, Cia Siau-hong telah menghampiri Siau Te dan menepuk bahunya, lalu berkata.

   "Di sini sudah tak ada urusanmu lagi, pergilah!"

   Siau Te tidak berkutik, diapun tidak berpaling.

   "Selama ini aku tak pernah merawatmu secara baik", kata Cia Siau-hong lebih jauh.

   "sewaktu masih kecil dahulu, kau tentu sudah kenyang di cemooh dan dihina orang lain, aku hanya berharap kau bisa menjadi orang baik di kemudian hari, gila arak gila perempuan lebih baik........"

   Kata-kata selanjutnya sudah tidak terdengar lagi oleh Siau Te.

   Terbayang kembali penderitaan yang dialaminya di kala masih kecil, terbayang juga adegan di saat si Boneka dipeluk olehnya.

   Siau Te merasa ada segulung hawa amarah muncul dari dasar hatinya.

   Tiba-tiba ia berteriak keras.

   "Baik, aku akan pergi! Sekalipun bukan aku yang minta kau mengikutiku, sekalipun aku tidak berhutang apapun kepadamu!"

   Begitu ia bilang mau pergi, iapun pergi tanpa berpaling lagi.

   Tiada orang yang menghalangi kepergiannya, setiap orang hanya mengalihkan perhatiannya untuk mengawasi Cia Siau-hong.

   Hujan turun dengan derasnya, memabashi rambutnya yang kusut, membasahi matanya dan pipinya, ia tak bisa membedakan lagi manakah air hujan? Dan mana pula air mata? Tanpa bergerak barang sedikitpun ia berdiri di sana tak berkutik, seakan dalam jaga yang luas tinggal dia seorang saja.

   Entah sudah lewat berapa lama.....pelan-pelan ia baru memutar badan dan menghadap ke arah Thi Kay-seng.

   Thi Kay-seng tidak bersuara, iapun tidak perlu berbicara lagi.

   Setelah Sam sauya dari keluarga Cia menanggung dosa itu, siapa lagi dari anggota Hong-kipiaukiok yang bisa berbicara? Tiba-tiba Cia Siau-hong mengajukan suatu pertanyaan yang aneh sekali.

   "Konon belakangan ini Thi lo-piautau jarang sekali melakukan perjalanan lagi dalam dunia persilatan, apakah tujuannya adalah untuk membimbingmu menjadi seorang pemimpin yang sejati?"

   Pelan-pelan Thi Kay-seng mengangguk, sahutnya dengan sedih.

   "Sungguh tak beruntung dia orang tua telah tiada pada dua bulan berselang"

   "Tapi kau toh sudah berhasil menggantikan kedudukannya!"

   "Ya, hal ini disebabkan karena boanpwee tak berani melupakan semua nasehatnya!"

   Cia Siau-hong pun pelan-pelan menganggukkan kepalanya.

   "Bagus sekali, bagus sekali, bagus sekali.......", gumamnya. Entah sudah berapa puluh kali dia ulangi perkataan tersebut, suaranya makin lama semakin lirih, kepalanyapun makin lama tertunduk semakin rendah. Tangannya telah mengepal kencang-kencang. Lautan manusia telah berkerumun di sepanjang jalan raya, di antara mereka ada anggota Hong-kipiaukiok, ada juga yang bukan, tapi setiap orang dapat melihat bahwa pendekar kenamaan yang tiada tandingannya di dunia ini sedang diliputi oleh rasa sedih, murung dan menyesal, ia telah bersiap-siap menggunakan darahnya untuk mencuci bersih semua kekesalan hatinya. Pada saat itulah, tiba-tiba ada seseorang berteriak keras dari balik kerumunan orang banyak.

   "Cia Siau-hong, kau keliru, yang seharusnya mati adalah Thi Kay-seng, bukan kau karena........."

   Ketika berbicara sampai di situ, mendadak suaranya terhenti, seakan-akan tenggorokannya telah digorok orang secara tiba-tiba.

   Seorang laki-laki menerjang ke luar dari balik kerumunan orang banyak dengan mata melotot ke luar, ia mendelik ke arah Thi Kay-seng seperti hendak mengucapkan sesuatu.

   Tapi sebelum sepatah katapun sempat diucapkan, ia sudah roboh terjengkang di atas tanah, sebilah golok telah menancap di atas punggungnya, hingga tinggal gagangnya saja yang berada di luar.

   Tapi seseorang yang lain segera menyambung kembali kata-kata yang belum sampai habis diucapkan itu.

   "Karena panji kebesaran Hong-ki-piaukiok telah dinodai lebih dulu olehnya, panji itu sudah berubah menjadi sama sekali tak ada harganya, dia......."

   Ketika berbicara sampai di situ, kembali suaranya terpotong, seorang laki-laki muncul dari kerumunan orang banyak dengan tubuh bermandikan darah, ketika tiba di tengah arena iapun roboh dan binasa.

   Benar-benar tak disangka kalau dalam dunia masih ada juga orang yang tak takut mati, ternyata kematian tidak membuat mereka menjadi ketakutan.

   Dari arah depan sana, kembali ada seseorang berteriak keras.

   "Wajahnya saja tampak jujur dan gagah, sesungguhnya dia adalah manusia munafik yang berhati licik, bukan saja kematian dari Thi lo-piautau tidak jelas, lagi pula........."

   Orang itu sambil berteriak sambil lari keluar dari kerumunan orang banyak, tiba-tiba cahaya golok melintas lewat, tahu-tahu tenggorokannya sudah tertembus. Dari arah utara dengan cepat terdengar seseorang melanjutkan lagi kata-kata tersebut.

   "Lagi pula rumah emas berisi gadis-gadis cantik di belakang kota sebelah baratpun milik pribadinya, oleh karena lo-piautau baru meninggal mau tak mau dia harus menghindari kecurigaan dan belakangan ini jarang sekali berkunjung ke situ, karena itulah Oh Hui telah memanfaatkannya....."

   Agaknya orang yang berseru kali ini memiliki kepandaian silat agak tinggi, ia berhasil menghindari dua kali sergapan dan kabur ke atas wuwungan rumah, katanya lebih lanjut.

   "Tadi Oh Hui tak berani mengatakan sebab kuatir dibunuh olehnya, siapa tahu se


Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Gelang Perasa -- Gu Long Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini