Munculnya Seorang Pendekar 19
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id Bagian 19
Munculnya Seorang Pendekar Karya dari Tjan Id
Karena Tie Kheng Taysu yang mengira bahwa dia adalah murid Peng Hoan Siangjin, maka dia mesti menganggap Lie Siauw Hiong seorang Loo-cian- pwee, meski umur sipemuda belum berapa tua.
Tiba-tiba Lie Siauw Hiong berkata kepada Sun Ie Tiong.
"Sum Heng, aku mengucapkan selamat kepadamu, yang ternyata telah beruntung dipilih oleh Peng Hoan Siangjin Loo-cian-pwee sebagai muridnya, hingga kesempatan baik ini sungguh sukar sekali akan diperoleh oleh setiap orang .."
Ketika Sun Ie Tiong mendengar sipemuda she Lie menyebut Peng Hoan Siangjin dengan sebutan 'Loo-cian- pwee' tapi tidak memanggil 'Suhu' tidak terasa lagi ia menjadi heran dan bertanya.
"Kau mengapakah .."
Dengan tertawa Lie Siauw Hiong berkata.
"Aku mana mempunyai peruntungan yang sedemikian bagusnya untuk menjadi murid orang tua ini, sehingga Siangjin hanya memberi petunjuk-petunjuk saja kepadaku .."
Dengan perkataan ini, teranglah sudah, bahwa ia hendak mengatakan, bahwa dialah bukan murid Peng Hoan Siangjin. Oleh karena itu, Tie Kheng Taysu lalu berkata.
"Ie Jie, kau harus baik-baik mengikuti Couwsu mempelajari kepandaian asli yang hebat, kami sekalian pendeta dan murid-murid Siauw Lim semua mempertaruhkan seluruh harapan kami diatas pundakmu .. Couwsu, biarlah Teecu sekalian meminta diri darimu .."
Peng Hoan Siangjin hanya tersenyum saja sambil memanggut-manggukkan kepalanya. Setelah itu Tie Kheng lalu berkata kepada Lie Siauw Hiong.
"Lie Sicu, baiklah kami minta diri pula dan bila benar kita berjodoh satu sama lain, pasti dikemudian hari kita dapat saling berjumpa pula .."
Kemudian Tie Kheng dan rekan-rekannya dengan laku yang tergesa-gesa meninggalkan tempat tersebut.
Peng Hoan Siangjin setelah memandang para Houwshio itu sudah meninggalkannya, dengan perlahan dia menghela napas.
Sekonyong-konyong terdengar satu suara yang keras sekali, dan berbareng dengan itu, sebuah bayangan hitam telah melayang turun hendak menerkam kepala ketiga orang itu.
Ternyata batu raksasa yang tadi kena dipukul oleh Heng Hoo Sam Hut dan belakangan kena pukulan Bu Heng Seng pula, jika dilihat dari sebelah luar tidak tampak perubahan apa-apa, tapi dalamya ternyata sudah kopong sehingga kini gugur dengan menerbitkan suara yang bergemuruh sekali.
Lie Siauw Hiong berseru keras, lalu sepasang tangannya dirangkapkan, kemudian didorongkannya keluar untuk memukul batu raksasa yang roboh itu, hingga seketika itu juga batu raksasa itu telah kena dipukul hancur lebur dan kepingan-kepingannya beterbangan diudara.
Ternyata jurus yang dipakai oleh pemuda kita untuk memukul batu itu, adalah apa yang baru saja dapat diwariskan dari kepandaian Peng Hoan Siangjin, yaitu ilmu Kong Kong Ciang Hoat dengan jurus yang disebut 'Hui- long-pay-kong' (ombak yang bergelora sejajar dengan langit).
Menampak hal itu, Peng Hoan Siangjin berseru.
"Bocah, kekuatan pukulanmu itu sungguh hebat sekali!"
Orang yang paling terkejut menyaksikan kehebatan tenaga dalam pemuda kita, adalah Bu Lim Ci Siu Sun Ie Tiong, karena dua bulan yang lalu dia pernah bertempur dengannya, hingga sungguh tidak disangka sama sekali, ketika baru saja dua bulan tidak berjumpa, tenaga-dalam pemuda kita sudah maju demikian pesatnya.
Sang hari perlahan-lahan sudah menjelang pagi, dan sinar matahari pagi mulai menampakkan cahaya yang lembut menyinari pulau Siauw Ciap Too, sedangkan sinar puteri malam sudah mulai pudar.
Peng Hoan Siangjin dengan tangan kiri menggandeng Lie Siauw Hiong dan tangan kanannya menggandeng Sun Ie Tiong, dengan perlahan-lahan mereka berjalan menyusur pantai.
Setelah perahu mereka sampai dipulau Tay Ciap.
Too, Lie Siauw Hiong yang tinggal tetap berada diatas perahu menampak Peng Hoan Siangjin dan Sun Ie Tiong naik kedarat, maka dengan lantas ia berkata kepada Hweeshio tua itu.
"Boan-pwee karena mempunyai urusan yang penting dan harus buru-buru balik ke Tiong-goan, lain hari bila ada waktu yang senggang .."
Dengan tertawa Peng Hoan Siangjin lalu memotong bicara sipemuda sambil berkata.
"Bocah, jika memang kau mempunyai urusan yang penting, kau boleh segera pergi dan tak usah dengan bertele-tele engkau mengatakan bila ada waktu yang senggang sudahlah, Ie Jie, mari kita berangkat."
Sehabis berkata begitu, lalu dia menarik tangan Sun Ie Tiong, kemudian dengan dua kali lompatan saja dia sudah menghilang kedalam rimba yang berdekatan.
Lie Siauw Hiong setelah menantikan bayangan kedua orang itu lemyap dari pandangannya, barulah dia membalikkan tubuhnya dan mengayuh perahunya kembali menuju kedaerah Tiong-goan.
Angin pagi hari yang meniup dengan santar, membuat perahu pemuda kita laju terlebih pesat lagi.
Tidak antara lama kabutpun mulai naik dengan perlahan-lahan keudara, sehingga pemandangan diempat penjuru memjadi samar- samar kelihatannya.
Dalam waktu yang pendek itu, kabut yang tebal tampak memutih didelapan penjuru angin.
Kabut istimewa yang tebal serupa ini, sering timbul diselat Tong Hay dan menyukarkan sekali bagi para nelayan disekitar tempat itu untuk menangkap ikan.
Dalam hati Lie Siauw.
Hiong berpikir.
"Sekalipun kabut ini sangat tebal dan menjemukan, tapi karena angin meniup kejurusan yang ditujunya, maka asal aku mengemudikan perahuku dengan benar, pasti sekali akan dapat memasuki daerah Tiong-goan dengan tidak kurang suatu apa."
Oleh karena itu, dengan malas-malasan dia duduk mengendalikan kemudi perahunya, yang dengan secara mantap sekali meluncur maju dengan amat pesatnya.
Dalam pada itu, tiba-tiba pikiran Siauw Hiong kepada Ceng Jie yang berwajah ayu dan manis.
Tapi dimanakah sebenarnya sigadis jelita disaat itu? Didalam hati Siauw Hiong angat cemas memikirkan nasib sinona yang belum berpengalaman dan kini tengah berkelana dikalangan Kang-ouw.
Kabut dihadapannya kian lama kian menebal hingga dia hanya dapat memandang pada jarak sejauh lima tombak saja, sedanagkan diluar batas tersebut keadaan disekitarnya sudah menjadi samar-samar.
Terpisah dari kepala penahu dalam jarak sepuluh tombak jauhnya, terasa ada sesosok bayamgan hitam melewatinya, yang tampaknya seakan-akan sebuah perahu kecil juga.
Pada saat itu karena Lie Siauw Hiong sudah hampir mencapai pantai, maka siang-siang dia sudah turunkan layarnya, tapi dengan berbuat demikian, laju penahunyapun ternyata tidak menjadi berkurang.
Ketika itu dia hanya merasa sangat heran, mengapa ada lain orang yang berani melakukan perlayaran dalam kabut yang sedemikian tebalnya dengan kecepatan yang luar biasa sekali.
Selagi Siauw Hiong memikirkan keadaan yang aneh ini, sekonyong-konyong dari arah belakangnya tampak melewat sebuah perahu besar, yang rupannya tengah mengejar perahu kecil yang dilihat pemuda kita dimukanya itu.
Orang-orang yang berada diatas perahu besar itu karena terlampau memusatkan perhatian mereka kepada perahu kecil yang dikejar mereka itu, maka tak tahulah mereka, bahwa disamping mereka terdapat Lie Siauw Hiong yang sedang mengayuh perahunya.
Sementara Lie Siauw Hiong yang telah berhasil mengejar pada belakang perahu besar itu, dengan cepat dia menyekal tali diatasnya, sehingga dengam sendirinya tubuhnyapun maju mengikuti lajunya perahu besar tersebut.
Lajunya perahu besar ini jika dibandingkan dengan perahu kecil dimukanya, sudah tentu saja jauh lebih pesat lagi, karena tidak lama kemudiam perahu besar itu sudah mendatangi semakin dekat, hingga dari suara itu dapat ditetapkan, bahwa perahu itu hanya terpisah kira-kira tinggal lima tombak saja jauhnya.
Sekonyong-konyong dari sebelah dalam perahu besar itu terdengan suara orang laki-laki yang kasar, kaku dan parau dalam bahasa Han, katanya.
"Perempuan kecil, lekaslah dengan secara baik-baik menyerahkan dirimu dan jangan mencoba melarikan diri pula. Muridku yang telah menaksir terhadapmu, berarti bahwa kau memperoleh kebahagiaan yang tidak sedikit!"
Tatkala Lie Siauw Hiong mendengar suara tersebut, ia menjadi sangat terperanjat dan diam-diam berkata didalam hatinya.
"Aha, ternyata bahwa mereka itu adalah Heng Hoo Sam Hut! Tapi siapakah orang yang mereka kejar itu? Jika mendengar perkataan tadi, maka teranglah sudah bahwa orang yang tengah mereka kejar-kejar itu adalah seorang wanita."
"Perempuan manakah yang telah menarik perhatian murid Kinposuf itu?"
Lie Siauw Hiong bertanya pada diri sendiri.
Tapi orang yang berada dalam perahu kecil itu tidak meladeni teriakan Heng Hoo Sam Hut, selain mengayuh perahunya dengan lebih kerap dan cepat, tapi karena dia sudah menggunakan tenaga habis-habisan dan lama pula, maka perahunya tidak dapat laju terlebih pesat lagi, hingga ia sekarang telah semakin dekat jaraknya dengan perahu besar tadi.
Tidak antara lama kemudian, terdengarlah suara seorang pemuda yang berkata.
"Khonio, mengapa engkau harus melarikan diri dengan tergopoh-gopoh? Kita pasti sekali tidak akan mencelakaimu, maka kalau ada omongan sesuatu baiklah kita perbincangkan dengan secara baik-baik saja."
Lie Siauw Hiong yang mendengar suara itu, segera kenali bahwa pemuda yang berkata-kata itu adalah bukan lain daripada Kinlungo, hingga tidak terasa lagi dia menjadi agak jelas persoalannya dan diam-diam dia berpikir.
"Kecuali Kinlungo yang merasa tertarik dengan wanita diperahu kecil itu, masakah Heng Hoo Sam Hut masih mempunyai keinginan yang gila itu?"
Ternyata Tiga Buddha dari Sungai Gangga berlaku sangat keras terhadap murid-murid mereka, tapi terhadap murid mereka yang terakhir, yaitu Kinlungo, mereka berlaku amat sungkan serta menyayanginya melampaui batas.
Karena mereka mendapat kenyataan bahwa Kinlungo ini orangnya sangat cerdik dan pandai bermuka- muka, hingga diantara murid-murid mereka, dialah murid yang paling disayang oleh ketiga gurunya ini.
Oleh karena itu, apa saja yang diinginkannya, biasanya selalu tidak pernah tidak terwujud.
"Hm, bangsa liar ini cara bagaimana dapat dibandingkan dan dipersamakan dengan gadis Tiong-goan yang sopan- santun?"
Menggerutu Lie Siauw Hiong didalam hatinya. Oleh karena sipemuda pernah bertarung dengan Kinlungo, maka sudah tentu saja dia lebih bersimpati terhadap wanita tersebut Tidak antara lama terdengar pula suara Kinlungo yang berkata.
"Khonio, mengapa engkau masih mempertahankan adat-istiadat bangsa Han yang sudah usang itu? Jika ditilik lukanya yang sudah sedemikian beratnya, apakah kiranya masih ada harapan akan dia bisa hidup lagi? Lebih baik dilemparkan keluar saja untuk menjadi umpannya ikan-ikan! Aku Kinlungo dinegeriku sendiri Thian Tiok (sekarang Inda) adalah seorang yang kaya-raya, mengapakah Khonio tidak mau mengikutiku?"
Dengan berkata deikian, Kinlungo bermaksud untuk memancing pada wanita itu, karena dia mengira bahwa gadis di Tiongkok gampang saja tertipu dan kemaruk terhadap harta dunia seperti gadis-gadis dinegaranya sendiri.
Sedangkan orang yang tengah dikejar itu tetap mengayuh parahunya dengan terlebih keras pula, sehingga kini terdengar jelas suara wanita itu yang memaki.
"Anjing liar yang kejam dan telengas, nonamu pasti akan membalaskan sakit hati suamiku itu!"
Suara itu yang mengandung kesedihan yang amat sangat, menyebabkan Lie Siauw Hiong terpaku dan seolah-olah terkena pukulan martil yang angat berat, maka dengan memegang erat-erat pada tali tersebut, mulutnya terdengar menggerutu.
"Dia? Oh, benarkah dia?"
Kemudian dia dapat merasakan, betapa orang itu dapat melupakannya, dan perkara itu memang telah bersangkutan dengan dirinya saja, hingga dengan sekonygng-konyong dia mengenjotkan badannya, dan tubuhnya segera melayang kebelakang perahu besar itu.
Pada saat itu karena turunnya kabut yang sangat tebal, maka Heng Hoo Sam Hut yang berada diatas perahu bersama Kinlungo tidak dapat memergoki pemuda kita yang kini sedang bersembunyi dibelakang perahu mereka.
Lie Siauw Hiong dengan hati yang tabah segera melangkah maju setindak demi setindak, dan tatkala berjalan sampai lima tombak janhnya, tiba-tiba dihadapannya tampak empat bayangan manusia.
Yang berdiri ditengah-tengah adalah seorang yang bertubuh tinggi besar dan tak dapat disangsikan lagi tentulah Progota adanya, sedangkan orang yang berdiri disamping dan memakai pakaian sebagai seorang pelajar, tidak lain daripada Kinlungo sendiri.
Keempat orang ini sedang memusatkan perhatian mereka terhadap orang yang tengah melarikan diri dihadapan itu, sehingga sekali-kali mereka tidak pernah menyangka, bahwa dibelakang perahu besar mereka bersembunyi seseorang musuh besar mereka.
Orang yang melarikan diri dimuka mereka, tampaknya sangat paham sekali terhadap daerah perairan disekitarnya, dan pada saat itu pengayuh wanita didepannya itu telah membelok kekanan, sehingga Lie Siauw Hiong mengetahui, bahwa arah yang dituju wanita itu adalah menuju kedaratan.
Akan tetapi Heng Hoo Sam Hut tinggal tetap membututi wanita dihadapan mereka dengan sangat rapatnya.
Sekonyong-konyong Progota berbicara dalam bahasanya sendiri, dengan sepasang tangannya mengangkat jangkar hendak dilontarkannya kedepan, tapi Kinlungo buru-buru menghalanginya.
Pada saat itu kabut dihadapannya sekonyong-konyong menjadi demikian tebalnya, dan menurut pemberitahuan Peng Hoan Siangjin, Lie Siauw Hiong mengetahui bahwa dia sudah memasuki daerah pesisir, tapi karena selat ditiga gunung ini dikitari dengan daratan maka kabut demikian tidak mudah buyar, hingga seketika itu sampaipun lima jari bila diulurkan agak jauh kemuka, tidak terlihat sama sekali saking tebalnya kabut tersebut.
Dalam pada itu Lie Siauw Hiong telah menghampiri semakin dekat kearah keempat orang lawannya yang amat tangguh itu, hingga kini dia hanya terpisah tiga tombak saja jauhnya dari mereka, maka jika seandainya pada waktu itu ketiga pendeta asing tersebut tidak memperhatikan begitu sangat kepada wanita dihadapan mereka, apakah masih mungkin Lie Siauw Hiong bisa berlaku aman dalam tempat persembunyiannya? Hampir dalam saat itu juga sekonyong-konyong Kinlungo terdengar berseru.
"Khonio, lekas berhenti, kalau tidak, maka Supekku akan melontarkan jangkar kearahmu!"
Tampaknya diapun menginsyafi akan keadaan yang tidak menguntungkan bagi pihaknya sendiri, karena dalam kabut yang demikian tebalnya ini, sudah tentu saja pihak lawannya mudah sekali melenyapkan diri.
Tapi sekalipun orang yang dikejar itu dengan secara licin dapat melenyapkan dirinya dalam suasana kabut yang tebal itu, namun dengan mengikuti suara air dari pihak yang melarikan diri dan disertai tenaga-dalam mereka berempat yang sangat hebat, maka terus saja mereka mengikuti dibelakang wanita itu.
Progota yang bertabiat paling kasar serta berangasan, pada saat itu dia telah mengangkat jangkar itu tinggi-tinggi.
Jika dia tak berhasil menyandak pelarian dimukanya itu, dia sudah bersedia untuk menenggelamkan perahu lawannya itu, agar supaya orang-orang dikalagan Kang- ouw tidak mengetahui, bahwa mereka telah menghina seorang wanita sehingga menerbitkan tertawaan orang banyak.
Siapa tahu justeru dalam saat yang tegang ini, tiba-tiba perahu dihadapannya lenyap, dan dari empat penjuru datang ombak yang bergelombang mendampar perahu besar mereka, hingga kecuali suara ombak, tidak terdengar suara apa-apa lagi.
Buru-buru Kinposuf menarik pulang pergi sepasang tangannya, untuk mengurangi laju perahu besarnya itu.
Kinlungo yang berdiri digeladak perahu lalu berteriak dengan suara kenas.
"Awas, disebelah kanan terdapat batu karang!" (kata-kata ini sudah tentu saja telah diteriakkannya dalam bahasanya sendiri). Sekalipun laju perahu mereka sudah banyak berkurang, tapi maju perahu itu masih tetap pesat sekali, hingga perahu mereka pasti akan hancur tertumbuk dengan batu karang itu. Sekonyong-konyong terdengar suara bertumbukan yang keras sekali. Pada sebelum perahu mereka dapat ditahan, tubuh perahu mereka telah menyeruduk batu karang itu, hingga sekalipun Heng Hoo Sam Hut mempunyai kepandaian yang lebih tinggi sekalipun, mereka tidak berdaya untuk dapat mengelakkan pertumbukan tersebut. Progota baru saja berpikir hendak memaki, tetapi keburu dicegah oleh Kinposuf, yang mukanya menunjukkan senyum penuh kelicikan. Kemudian Kinposuf lalu berseru.
"Khonio, engkau benar pintar sekali, aku Kinposuf merasa sangat bangga sekali atas sepak terjangmu!"
Begitulah dia berbicara dalam bahasa Han yang kaku, sambil memberi isyarat kepada Progota, yang segera dapat menangkap apa arti isyarat kawannya itu.
Lie Siauw Hiong yang berotak sangat cerdik, siang-siang sudah mengetahui tipu muslihat Kinposuf, maka dengan separuh membungkukkan diri dia sudah maju tiga langkah, sehingga jaraknya terpisah dengan Kinposuf dan kawannya sudah sangat dekat sekali.
Tidak antara lama terpisah kurang lebih sepuluh tombak dari perahu besar mereka, terdengar suara wanita itu yang berkata dengan suara dingin.
"Anjing-anjing bangsa liar, sekarang barulah kalian dapat merasakan tindakanku. Tunggulah sampai kalian seorang demi seorang menjadi umpan ikan-ikan dan udang-udang yang kelaparan!"
Kinposuf tertawa bergelak-gelak, sedangkan tangan kanan Progota bergerak dan melemparkan jangkar kearah perahu wanita dihadapannya itu.
Tenaga Progota jika dibandingkan dengan tenaga Peng Hoan Siangjin, boleh dikatakan hampir bersamaan saja, maka sekali dia melemparkan jangkar itu, adalah dengan tenaga yang sehebat-hebatnya, hingga dengan mengeluarkan suara "sret, sret"
Jangkar tersebut telah melayang kearah perahu wanita itu.
Sementara Lie Siauw Hiong yang sudah siang-siang menduga akan terjadinya peristiwa demikian, dengan cepat dia mengejar pada jangkar yang tengah melayang mencari sasarannya itu.
Disamping itu, selagi tubuhnya melewati keempat lawannya itu Siauw Hiong tidak lupa memukulkan tinjunya pada keempat orang lawannya itu.
Kinposuf yang secara sekonyong-konyong merasakan ada angin dingin yang menyerang dari belakangnya, dengan tidak disadari dia sudah membalikkan tubuhnya, dengan sepasang tangannya menjaga dadanya.
Setelah itu, barulah dia ingin mengambil tindakan berikutnya.
Memang hal itu adalah apa yang diharapkan oleh Lie Siauw Hiong, karena dengan menggunakan kesempatan ini, dia sudah melewati kepala perahu mereka dan dengan cepat mengejar pada jangkar yang tengah melayang itu.
Waktu keempat orang itu menyadari bahwa diri mereka telah tertipu, ternyata mereka sudah terlambat untuk mencegah aksi Lie Siauw Hiong selanjutnya.
Sedang Kinlungo yang paling benci terhadap Lie Siauw Hiong, dalam waktu pendek dia sudah mengenali, bahwa orang yang menipu mereka itu adalah Lie Siauw Hiong sendiri, maka tidak terasa lagi dia sudah terlepasan omong sambil berkata.
"Dia? Bocah cilik itu!"
Dengan cepat dia beritahukan kepada gurunya tentang pemuda kita ini.
Perubahan yang telah terjadi sekejap mata itu telah membuat ketiga pendeta asing itu menjadi gusar dan memaki kalang kabutan kepada Lie Siauw Hiong dalam bahasa mereka sendiri, selagi Lie Siauw Hiong sendiri lompat melewati perahu mereka sehingga lima tombak jauhnya dan berhasil dapat mengejar jangkar tersebut.
Lie Siauw Hiong yang sudah mendengar dengan jelas suara melayangnya jangkar itu, buru-buru dia menghempos semangatnya dengan keras dan tendangan kakinya kearah jangkar itu sehingga dia sendiri dengan meminjam tenaga tendangan itu, telah melambungkan dirinya keatas dan membuat jangkar itu berubah arahnya menjadi miring dan jatuh kesebelah bawah.
Dengan mengeluarkan suara "Blung"
Yang amat nyaring, jangkar tersebut telah jatuh kecemplung kedalam laut.
Diantara suara jatuhnya jangkar itu, terdengar juga suara jeritan terkejut dari seorang wanita.
Bersamaan dengan itu, perahu itupun tampak dikayuh dengan tergopoh-gopoh dan memutar haluannya kekiri dan laju pula sehingga lima tombak pula jauhnya.
Lie Siauw Hiong buru-buru menarik kakinya yang sudah hampir mencapai permukaan air kurang lebih dua meter lagi, dan dalam keterkejutannya itu, sipemuda segera mengebutkan sepasang lengan bajunya kearah ombak yang terasa mendampar-dampar itu, dengan mana ia menggunaakan tenaga yang membalik untuk membuat tubuhnya melayang kembali keatas sehingga tiga tombak jauhnya, kemudian dengan cepat menuju keatas geladak perahu sambil berseru.
"Kun Moay? Apakah engkau ada disitu?"
Dalam pada itu, dari dalam perahu tampak ada dayung yang diulurkan kearahnya, hingga Siauw Hiong dengan berpedoman pada dayung tersebut, segera melayang turun kedalam perahu bagaikan selembar daun yang gugur tertiup angin.
Diantara kabut ysang demikian tebalnya, dia melihat sepasang mata yang besar sedang memandang kepadanya.
Lie Siauw Hiong berdiri diatas kepala perahu, tidak berani maju dan masuk kedalam perahu pada sebelum mendapat perkenan dari pemiliknya.
Oleh karena itu, ia merasa ragu-ragu cara bagaimana ia harus berbuat selanjutnya.
"Kun Moay, apakah engkau ini benar Kun Moay adanya? Apakah boleh aku turun masuk?"
Bayangan wanita dalam kabut itu memang mirip Phui Siauw Khun adanya, tapi ketika melihat sikapnya yang demikian dinginnya, ia menjadi ragu dan tidak berani membuka mulut sembarangan.
Wanita muda itu mula-mula tidak menjawab pertanyaan pemuda kita, hingga Lie Siauw Hiong pun terpaksa berdiri terpaku dikepala perahu.
Kemudian terdengar wanita tersebut menjawab dengan nada suara yang datar, katanya.
"Tidak salah! Hiong .. Lie Twako, aku ini memang benarlah Phui Siauw Khun. Tidak kunyana bahwa kita dapat saling berjumpa disini."
Tapi dari nada suara itu, jelas sekali kedengaran olehnya tentang perasaan kecewa dan pedih yang terkandung dalam hati wanita itu.
Lie Siauw Hiong jadi menghela napas panjang.
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah mendapat perkenan, barulah dia berani masuk dan menghampiri kepada sinona.
Ditengah-tengah perahu, benar saja ia menampak duduk seorang wanita muda, yang ternyata memang benar adalah nona Phui Siauw Khun, tapi sikapnya amat dingin dan berbeda jauh daripada sediakala.
Lie Siauw Hiong jadi kemekmek sesaat lamanya, kemudian ia tertawa getir lalu menjawab.
"Khun Moay, aku sungguh gembira sekali dapat berjumpa pula denganmu, kau selama hari-hari ini apakah .."
Waktu sipemuda berkata-kata sampai disitu, sekonyong- konyong dari arah yang jauh terdengar suara rintihan yang perlahan sekali, yang kemudian disusul dengan terdengarnya suara Kinlungo yang memanggil.
"Suhu! Lekas, lekas lompat keatas batu karang .."
Kemudian disusul dengan makian dalam bahasa asing yang lalu dilanjutkan dengan gerengan kemarahan dari Progota.
Pada saat itu, barulah Phui Siauw Khun menunjukkan senyumannya yang dingin.
Lie Siauw Hiong dengan menggunakan kesempatan baik ini, lalu berkata dengan memuji pada sinona itu.
"Khun- Moay, engkau sungguh cerdik sekali. Aku sangat kagum atas tipu muslihatmu yang berhasil itu."
Phui Siauw Khun yang mendengar pujian pemuda kita, hanya tersenyum tawar dan lalu berkata.
"Ah, Lie Twako, ternyata engkau telah memuji orang dengan secara berlebih- lebihan .."
Lie Siauw Hiong yang melihat orang yang berbaring diatas ranjang batu itu membelakangi tubuhnya Phui Siauw Kun, dia hanya melihat rambutnya yang kusut menutupi sebagian besar dari mukanya, pakaiannya tidak keruan macam dan sangat menyolok mata, hingga pemuda kita lalu berkata.
"Siapakah dia? Tampaknya dia menderita luka-luka yang sangat parah. Biarlah aku coba mengobatinnya."
Phui Siauw Kun lalu tertawa aneh, mukanya memperlihatkan perasaan yang luar biasa dan lalu berkata.
"Tak berani, aku menyibukkan Lie Tayhiap. Mengenai siapa gerangan orang ini. Tayhiap siang-siang sudah seharusnya mengetahuinya. Sekarang aku persilahkan engkau meninggalkan tempat ini selekas mungkin!"
Karena nona itu selalu menyebut-nyebut namanya dengan sebutan Tayhiap (pendekar agung), maka Siauw Hiong merasa amat canggung dan jengah.
Air mata tampak mengembang dikelopak mata pemuda kita, tapi jelas sekali bahwa itu bukan mencerminkan kesedihan, melainkan kemarahanlah yang meliputi hati sanubarinya, karena sekalipun benar tempo hari Siauw Hiong telah berlaku tidak selayaknya terhadap sinona, tapi setelah melampaui jangka waktu yang cukup lama, ia anggap itu sudah seharusnya jika dia dapat memaafkannya.
Oleh karena berpikir demikian, bibirnya Lie Siauw Hiong menjadi menggigil, dan setelah berdiam lama juga, barulah dia berkata.
"Kun Moay! Kau .. kau .. ai .."
Sehabis berkata begitu, mukanya menunjukkan perasaan kecewa dan jengkel, sedangkan pada sinar matanya terpancar sinar pandangan mata yang sangat suram. Kata-kata "Kun Moay"
Ini bagaikan palu godam yang menghantam lubuk hati sinona, hingga pada saat itu diapun tidak dapat lagi menahan perasaannya, dan dengan serta merta air matanya jatuh berderai-derai, maka tangannyapun terpaksa menutupi mukanya sambil kemudian berkata.
"Lie Siauw Hiong! Lie Siauw Hiong! Mengapakah kau membiarkan aku menjumpaimu?"
Lie Siauw Hiong lalu menunjukkan senyumnya, dengan mana perasaan terhiburpun melintas dimukanya, hingga senyuman ini seakan-akan tidak terlupakan oleh Phui Siauw Kun. Lalu dia berkata.
"Kun Moay! Sesungguhnya aku telah melakukan sesuatu yang tidak selayaknya terhadapmu,"
Kata sipemuda akhirnya.
"Tapi .. sudahlah .. Kejadian masa lampau tidak usah diungkat-ungkat lagi! Kau .. kau sudah .. sudah menikah, bukan?"
Sambil berkata begitu, Lie Siauw Hiong lalu menunjuk pada orang yang terluka dan terbaring diatas ranjang batu itu.
Phui Siauw Kun menganggukkan kepalanya, sedangkan pada wajahnya tertampak kesedihan yang nyata sekali.
Dengan perasaan heran Lie Siauw Hiong lalu berkata.
"Siapakah dia itu?"
Karena dengan sesungguhnya dia tak mengenalinya. Phui Siauw Kun seakan-akan menyesalkan Lie Siauw Hiong dan lalu menjawab dengan singkat dan tandas.
"Kim Ie!"
Mendengar jawaban si nona, tanpa terasa lagi Siauw Hiong mencekal kedua pundak sinona sambil bertanya dengan perasaan ragu-ragu.
"Kim Ie? Benarkah dia itu 'Tian Mo' Kim Ie?"
Dengan tidak menunggu lagi sehingga sinona mengiakan dengan anggukan kepalanya, ia telah membenarkan pertanyaannya sendiri dan memaksakannya untuk menghampiri kemuka ranjang itu.
Phui Siauw Kun mengira bahwa Lie Siau Hiong hendak membalas dendam kesumatnya yang lampau itu, hingga saking gugupnya dia segera berteriak.
"Hiong Ko! Engkau tidak boleh .. aku tidak membolehkan engkau untuk melukainya!"
Sambil berkata begitu, dia segera menarik tangan kiri pemuda kita.
Kemudian dengan menggunakan tangan kanannya Lie Siauw Hiong lalu menyingkapkan rambut yang menutupi muka orang itu, dan setelah rambut itu tersingkap, maka tampaklah muka yang sukar dilupakan dihadapannya ..
Orang itu ternyata bukan lain daripada Kim Ie! Melihat bekas goresan golok yang bersilang dengan dalam sekali dihidung orang itu, Siauw Hiong jadi teringat bagaimana tempo hari dia telah jatuh bersama-sama Gouw Len gong kedalam jurang, hingga tak terasa lagi dia menjadi bergidik mikirkan peristiwa tersebut.
Lie Siauw Hiong jadi menghela napas, kemudian mengulurkan tangannya.
meraba bidung Kim Ie, dengan mana ia mendapat kenyataan, bahwa orang itu masih bernapas, oleh karena itu, sambil menggoyang-goyangkan kepala dia berkata.
"Masih bagus! Lukanya tidak terlampau berat, barangkali setelah beristirahat beberapa jam lagi lamanya, dia pasti akan dapat siuman kembali."
Kemudian Lie Siauw Hiong mengalihkan pandangannya pada Phui Siauw Kun yang tengah memperhatikan Kim Ie, sedangkan didalam hatinya dia merasa heran, mengapakah kedua orang bisa terangkap menjadi jodoh satu sama lain? Dan mengapakah mereka dapat berdiam didalam guha yang demikian sunyi serta tempat yang liar begini? Phui Siauw Kunpun dapat merasakan bahwa Lie Siauw Hiong tengah memperhatikannya dengan perasaan heran, hingga tidak terasa lagi kedua pipinya menjadi merah, kemudian sambil tertawa kecil dia berkata.
"Bukankah kau tengah merasa heran mengapa aku dapat kawin dengannya?"
Sambil berkata begitu, dia melirik pada Kim Ie yang tengah berbaring diatas ranjang batu itu.
Lie Siauw Hiong mengiakan dengan menganggukkan kepalanya.
Phui Siauw Kun setelah tertawa getir, lalu mempersilahkan Siauw Hiong duduk dibangku disebelah kanannya, setelah itu barulah dia menceritakan kisahnya sebagai berikut .
"Tahukah kau setelah tempo hari aku menerjunkan diri kedalam laut dan kemudian .."
Phui Siauw Kun tatkala berkata sampai disitu, dia lalu memandang pada Lie Siauw Hiong dengan diotaknya terbayang sebuah peristiwa yang tidak mudah dilupakannya.
Lie Siauw Hiong tentu saja mengetahui apa yang dimaksudkannya, maka pada saat itu mukanya jadi merah karena kemalu-maluan, hal mana mengingatkannya akan peristiwa hilangnya Kim Bwee Leng ..
"Ai, Hiong Ko .."
Phui Siauw Kun segera mangetahui, bahwa hati pemuda itu tentulah merasa sangat terluka, karena dia sendiripun tempo hari pernah juga merasakannya.
Yaitu cara bagaimana pada waktu mereka bertemu untuk pertama kalinya, kemudian dilanjutkan dengan rasa senang dan jatuh hati kepada pemuda kita.
Ia merasa bertanggung jawab atas diri pemuda itu.
Tapi ketika berpikir lebih jauh, ia merasa agak menyesal dan bertanya pada diri sendiri.
"Bukankah dia telah menikah dengan orang yang paling dibencinya didalam dunia ini yaitu Kim Ie?"
"Leng Cici bagaimana?"
Phui Siauw Kun tidak mengetahui, mengapa dia menyebut 'Leng Cici', tapi dengan melihat wajah Lie Siauw Hiong dia segera mengetahui sebagian daripada apa yang telah dirasakan oleh pemuda kita ini.
Lie Siauw Hiong tidak menjawab pertanyaan orang, tapi dia hanya menggeleng-gelengkan kepala dan berdiri terpaku bagaikan orang-orangan penghalau burung ditengah sawah.
Dia merasa sangat berterima kasih terhadap kecintaan Phui Siauw Kun kepada Kim Bwee Leng.
Phui Siauw Kun tidak mau menanyakan soal-soal yang menyedihkan kepada pemuda kita, kemudian dia lanjutkan perkataannya.
"Tempo hari setelah aku terjun kedalam laut, aku sangat benci terhadap segala apapun, akupun membenci terhadap diriku sendiri. Oleh karena itulah maka aku mengambil jalan pendek hendak menamatkan riwayatku. Aku pikir, setelah aku menenggelamkan diriku kelaut, pasti aku akan mati tenggekam. Pada waktu itu dalam ombak yang sangat besar dan tak untuk ditahannya, aku telah jatuh pingsan dengan hanya meneguk berapa kali air laut saja .."
Mendengarkan kisahnya ini, pikiran Lie Sianw Hiong kemudian melayang pada waktu yang lampau itu, sewaktu Phui Siauw Kun menerjunkan dirinya kedalam laut, perlahan-lahan tubuhnya lenyap tidak berbekas ..
"Entah sudah lewat berapa lama, ketika aku siuman kembali seluruh badanku basah kuyup. Aku pikir, mungkin juga karena dinginnya, maka aku telah tersadar dari pingsanku."
Begitulah Phui Siauw Kun melanjutkan ceritanya.
"Pada saat itu langit sudah gelap, sinar bintang tampak berkelap-kelip diangkasa raya. Tatkala itu aku rasakan tangan dan kakiku lemas tak berdaya, seluruh badankupun terasa sangat lelah. Dalam kesunyian malam disekelilingku, aku tidak memikirkan pula segala sesuatu yang akan terjadi atas diriku. Seketika itu aku terbujur terlentang dan tak tahu, apakah diriku berada didalam air atau didaratan. Atau mungkin pula diatas perahu. Karena aku tidak menghiraukan pula nasib apa yang akan menimpa atas diriku. Sekonyong-konyong dari jarak yang terpisah agak jauh terlihat sinar api yang gilang-gemilang, yang kemudian disusul dengan suara seorang anak kecil yang berkata.
"Nay-nay, nona itu ada disini!"
Kemudian disusul dengan suara seorang wanita yang berkata.
"Anak yang pintar, coba kau lihat baik-baik, janganlah kau biarkan orang baik itu mati karena kedinginan."
Anak itu lalu melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh wanita itu dan dengan segera Phui Siauw Kun merasakan ada seseorang yang berdiri disamping tubuhnya.
"Nay-nay, dia sudah siuman! Oh, kau lihatlah seluruh tubuhnya basah kuyup."
Pada saat itu, wanita itupun sudah jalan menghampiri sinona yang sekujur badannya telah basah itu, hingga tidak terasa lagi dia berkata.
"Ai! Siauw Hok, engkau tentunya mengalami banyak kesukaran .. Khounio, apakah engkau merasa baikan?"
Ternyata diapun tahu bahwa sinona telah mendusin dari pingsannya.
Phui Siauw Kun merasa terharu sekali terhadap kebaikan wanita ini, tapi rasa putus asa yang ketika itu tengah meliputi dirinya, telah membuat segala sesuatu berubah menjemukan dalam pandangannya, hingga terhadap wanita yang demikian baik hati ini dia bersikap tawar sekali.
Tatkala Phui Siauw Kun bercerita sampai disitu, Lie Siauw Hiong sekonyong-konyong memotong pembicaraan orang sambil bertanya.
"Kau terdampar ketempat apa?"
Pada waktu Phui Siauw Kun memandang sipemuda yang mengajukan pertanyaan yang mengandung perasaan kuatirnya itu, hatinya merasa agak terhibur, terlebih-lebih ketika melihat pandangan matanya yang lembut itu.
Bukankah itu masih tetap sama seperti dahulu? Dengan perasaan terharu Phui Siauw Kun lalu menyahut.
"Pada saat itu aku baru mengetahui, bahwa diriku telah tertolong oleh isteri nelayan, dari siapa baru aku telah diberitahukan, bahwa diriku ini pada saat itu telah terdampar didesa 'Ciang Lo' yang letaknya terpisah seratus lie lebih dari Bu Han."
Sudah itu Lie Siauw Hiong lalu berkata.
"Nasibmu ternyata lebih baik daripadaku .. ai, aku .."
Airmata Phui Siauw Kun sudah mengembang pula dikelopak matanya, sedangkan perasaan bencinya siang- siang telah lenyap bagaikan awan tertiup angin, kemudian dia meraba-raba tangan pemuda kita sambil memaksakan dirinya tersenyum, dan berkata.
"Hiong-ko, sudahlah jangan memikirkan segala sesuatu yang sudah. Biarlah aku menceritakan lebih lanjut peristiwa yang telah menimpa atas diriku .."
Lie Siauw Hiong lalu menganggukkan kepalanya, sudah itu, diapun dengan pelahan-pelahan mengusap-usap rambut yang kusut serta halus dan panjang dari sinona dengan hati yang tak terkatakan gembiranya, karena dia mengetahui bahwa kini adiknya ini sudah mempunyai senderan, hingga tidak perduli siapa, sedikitnya perasaan kuatirnya telah menjadi berkurang juga.
Phui Siauw Kun lalu melanjutkan penuturannya.
"Sejak aku ditolong oleh isteri sinelayan, sinyonya tersebut karena merasa kasihan atas diriku yang sebatang kara, apa lagi cucu mereka telah sepakat dan menyenangiku pula, maka aku telah diijinkan akan tinggal bersama-sama mereka.
"Begitulah setelah berselang setengah tahun lamanya, pada waktu semua pengharapanku akan dapat hidup senang telah siang-siang terkubur untuk selama-lamanya, tiba-tiba pada suatu hari .. Kim Ie telah muncul dengan secara yang tidak terduga .."
Lie Siauw Hiong yang mendengar sampai disitu, tiba- tiba saja perasaannyapun menjadi tegang, sehingga badannyapun jadi bergemetar tanpa terasa pula.
"Ternyata rumah gubuk kecil itu .. adalah rumah isteri nelayan tersebut."
Phui Siauw Kun bercerita terus.
"Sekonyong-konyong saja muncul gelombang hesar."
"Hari itu sebenarnya aku tengah menemani isteri nelayan itu bekerja .."
Wajah Phui Siauw Kun jadi berubah suram karena pikirannya terpengaruh oleh kejadian yang lampau itu ..
"Tok!"
Terdengar suara ketukan pinto, kemudian disusul dengan suara seorang laki-laki yang berkata-kata.
"Buka pintu! Kun Moay, keluarlah!"
Aku yang mendengar suara orang itu, wajahku menjadi pucat lesi, sedangkan telingaku bagaikan mendengar suara sesuatu yang agak mengejutkan.
"Itulah 'Tian Mo Kim Ie'!"
Untuk melarikan diri, baginya sudah tak mungkin lagi.
Begitulah aku berpikir, tidak terasa lagi aku lalu menyekal badi-badi, kemudian dengan perlahan-lahan aku membuka pintu ..
Ternyata orang yang berdiri dihadapanku itu, adalah seorang pemuda yang tampaknya sangat lelah sekali, hingga aku seakan-akan tidak mengenalinya lagi, tapi memang benarlah bahwa dia itu 'Kim Ie' yang paling kubenci.
"Kun Moay .. Kun Moay! Kau telah menyebabkan aku sangat menderita!"
Nada suara Kim Ie demikian menyayatkan hati, kedua tangannya yang memegang pintu seakan-akan hendak terlepas dan badannya seperti hendak jatuh saja. Dengan suara dingin aku berkata.
"Kim Ie, lekas kau pergi dari hadapanku! Pergilah sejauh-jauhnya, aku tidak sudi melihat cecongormu lagi untuk selama-lamanya, lekas pergi!"
Aku sendiri tidak tahu dari mana datangnya keberanianku itu, sehingga aku demikian bersemangatnya telah mendampratnya.
Dengan mulut ternganga Kim Ie memandang kepadaku.
Rambutnya yang sudah lama tidak terurus menutupi mukanya yang dahulunya tampan, sehingga belum pernah aku mendengar dia berkata dengan suara yang begitu putus harapan.
"Kun Moay, orang yang harus mendapat hukuman darimu sebenarnya bukanlah aku, kau tidak sepatutnya terus-terusan membenciku. Agaknya Tuhan masih mengasihaniku sehingga aku dapat mencarimu, cintaku yang demikian tulus dan dalamnya, mengapakah kau balas dengan cara yang begitu menyakitkan hati?"
Dengan perasaan terharu aku lalu menangis terisak-isak sambil menutupi muka dengan kedua telapak tanganku, sedangkan mulutku berulang-ulang berkata.
"Aku benci .. aku benci sekali kalian berdua (yang dimaksudkan dengan kalian berdua olehku adalah. kau Kim Ie dan Lie Siauw Hiong) .. ah! Kau Kim Ie! Kau kenapa?"
Pada saat itu dengan sekonyong-konyong Kim Ie telah memegang dadanya, sedangkan wajahnya tampak pucat lesi dan dengan mendadak saja ia jatuh roboh dihadapanku .. (Oo-dwkz-oO)
Jilid 38 Lie Siauw Hiong berkata pada dirinya sendiri.
"Benar! Itulah akibat pukulanku, untuk mencari Kun Moay dia telah melakukan usaha yang sekeras-kerasnya dan terus mencari-cari. Oleh karena dia tidak pernah beristirahat dengan teratur, maka beginilah akibatnya. Maka dengan melihat gerak-geriknya yang demikian ini, teranglah bahwa dia sangat mencintai sekali terhadap Kun Moay."
Tapi ia membiarkan kata-kata itu terpendam didalam hatinya, hingga kini ia merasa lebih baik mendengarkan terus cerita Phui Siauw Kun.
"Kun Moay, aku .. aku telah menderita luka didalam tubuhku,"
Begitulah dengan suara yang harus dikasihani Kim Ie mengeluarkan rintihannya, sedangkan tangan kanannya diulurkan untuk meminta pertolongan ..
Seketika hatiku menjadi lemas.
Karena sekalipun Kim Ie bertabiat kurang mengenal perikemanusiaan, tapi terhadapku adalah dengan sejujurnya dia mencintaiku.
Oleh karena itu, buru-buru aku memayang tubuhnya dan membaringkannya diatas ranjang.
Setelah berapa hari mendapat pengobatan dengan secara teratur, akhirnya agak baikanlah lukanya itu.
Pada hari itu dia sudah mulai bisa duduk lagi, maka dengan suara sungguh-sungguh dan memohon-mohon dia berkata kepadaku.
"Aku tahu kau tentunya sangat membenciku, benci terhadap perbuatanku serta sifat-sifatku .. tapi .. tapi untukmu aku bersedia mengubah kelakuanku yang buruk itu, oleh karena itu, kau harus mengetahui betapa besarnya cintaku kepadamu .. Aku terpaksa harus berlaku pura-pura sangat dingin terhadapnya, sekalipun sifat-sifat jahatnya sudah banyak berkurang dan menimbulkan rasa kasihan didalam hatiku, tapi aku tetap menggelengkan kepalaku.
"Baiklah. Akupun tidak berani terlampau memakanmu, sekalipun tindakanku ini tidak menurut jalan pikiranku sendiri."
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitulah akhirnya Kim Ie berkata dengan nada suara yang biasa saja, sedangkan pada pandangan matanya yang biasanya sangat tajam dan beringas, kini tampaknya sangat suram, kemudian dia bertanya kepadaku.
"Hanya aku ingin sekali mengetahui, sebenarnya mengapakah engkau membenciku? Apakah kebencianmu terhadapku itu disebabkan oleh sibocah Lie Siauw Hiong?"
"Aku tidak mau mendengar dia menyebutkan namamu, sekalipun dalam hati kecilku perasaan tersebut ternyata kebalikannya."
Phui Siauw Kun berkata pada Lie Siauw Hiong.
"Apa lagi ketika teringat dalam pikiranku, cara bagaimana aku telah menyaksikan sendiri kematian ayah dan ibunya dengan cara yang demikian menyedihkannya itu, maka aku lalu memakinya habis- habisan."
"Kau .. kau begitu kejam sekali! Sampaikan ayah dan ibumu sendiri kau rela membunuhnya, maka cara bagaimana aku masih bisa mencintaimu?"
Muka Kim Ie jadi berubah ketika mendengar bicaraku itu, dan belum pernah aku menampak sikapnya yang demikian putus asanya, hingga semacam perasaan telah melonjak-lonjak mengalir didalam darahku.
Ayah dan ibu sekalipun mereka ini bukan ayah dan ibu kandungku sendiri, malahan mereka telah memaksaku untuk menikahkan aku dengan orang yang tidak kusukai sama sekali, tapi budi yang telah mereka lepas terhadapku selama sepuluh tahun lamanya, tidaklah dapat kuhilangkan dengan begitu saja! "Anak puthauw (tidak berbhakti), kau telah membunuh ayah dan ibu kandungmu sendiri! Aku tentu sekali tidak dapat memaafkan atas tindakanmu yang menyeleweng terampau yauh itu!"
Lalu aku berseru kepadanya.
"Kau telah mengatakan bahwa engkau mencintaiku, kau rela mengorbankan segala demi untukku, hm, asal kau berani menggoreskan dua kali dengan golok dimukamu itu, maka barulah aku suka kawin denganmu!"
Demikiannlah, karena amat marahnya, tak terasa lagi aku telah mengeluarkan kalimat seperti itu. Muka Kim Ie yang pucat lesi, sekonyong-konyong menunjukkan perasaan yang tercengang.
"Kun Moay!"
Katanya "perbuatanku yang nyeleweng itu sudah tentu adalah dosa yang tak berampun, tapi terhadap perkataan itu, apakah sesungguhnya telah keluar dari hatimu yang tulus dan tak dapat diubah pula?"
Mendengar pertanyaannya itu, aku jadi tertawa gemas dan lalu dari dalam dadaku aku keluarkan badi-badi yang kemudian aku angsurkan kepadanya sambil berkata.
"Goreslah ! Goreslah! Aku ingin sekali menyaksikan anak yang telah membunuh orang tuanya sendiri menggores mukanya sendiri!"
Kim Ie setelah menyambut badi-badi tersebut, lalu memandang sebentar kepadaku, kemudian dengan sekonyong-konyong dia membalikkan tangannya dan benar saja dia telah mencacah mukanya sendiri dengan menggunakan badi-badi tersebut dalam bentuk tapak jalak.
Begitu dia memanggil "Kun Moay", lantas saja darah segar mengalir dari kuka-lukanya itu.
Sedang badannya yang baru baik dari sakit, tidak dapat manahan pukulan jiwa yang demikian dahsyatnya, hingga dengan secara tiba-tiba badannyapun lalu jatuh kembali keatas ranjang ..
Menghadapi perobahan diluar dugaan itu, benar-benar aku menjadi sangat terkejut.
Aku lihat muka Kim Ie tergores luka oleh badi-badi tadi dalam bentuk tapak jalak yang dalam sekali, hingga darah segar terus mengucur keluar dari lubang luka-lukanya itu.
Hal mana, telah menyebabkan suatu perasaan berdosa menghinggapi lubuk hatiku seketika itu juga.
Perasaan berdosa itu terbayang didalam sanubariku dan berkata pada diri sendiri.
"Oh! Phui Siauw Kun! Perbuatan apakah yang telah kau perbuat itu?"
Hal itu sungguh mengerikan sekali pandanganku, hingga dengan tidak memperdulikan lagi kepada Kim Ie, aku telah berlari keluar dari dalam gubuk kecil itu dengan perasaan sangat berdosa ..
"Begitulah aku lalu mulai pergi mengembara .."
Setelah sinona berkata begitu, siang-siang air matanya telah mulai mengalir pula, sedangkan dadanya tampak turun naik dengan cepat sekali, seakan-akan seorang bocah yang telah lama kehilangan kasih sayang dan tiba-tiba bersua kembali dengan orang tuanya, yang lantas mencurahkan isi hatinya dengan kasih sayang kepada satu dengan yang lainnya.
Sementara Lie Siauw Hiong yang melihat sinona bersedih hati.
lalu menepuk-nepuk pundak Siauw Kun sambil menghiburnya dengan berkata.
"Tenang! ceritalah perlahan-lahan saja."
Karena sejak dia mengetahui bahwa Phui Siauw Kun sudah menjadi milik Kim Ie, maka sekarang terhadapnya tentu saja hanya tertinggal perasaan persahabatan saja. Dengan perasaan terharu nona itu lalu melanjutkan ceritanya.
"Kemudian aku mengembara dikalangan Kang- ouw, dimana aku mendengar bahwa Chit-biauw-sin-kun akan menghadiri pertemuan dipuncak gunung Thay San. Aku siang-siang memang menyangsikan, bahwa 'Chit- biauw-sin-kun' itu pastilah kau adanya. Oleh karena itu, tanpa tujuan yang tertentu aku lalu pergi ke Shoa-tang .."
"Akhirnya sesampainya aku dikaki gunung Thay San, ternyata pertemuan tersebut sudah bubaran, tapi disitu dengan secara sekonyong-konyong aku telah menjumpai Kim Ie. Kali ini deugan luka-luka parah dia merayap diantara batu-batu gunung, sedangkan pada bekas tanda luka dimukanya tampak sangat menkayatkan hati sekali .."
"Diapun dapat melihat aku, maka dengan tekun dia merayap terus, sedangkan mulutnya terus mengoceh.
"Kun Moay, ampunilah aku! Kun Moay, janganlah tinggalkan aku lagi!"
"Pada saat itu hatiku yang kaku telah hancur luluh seluruhnya. Oleh karena kecintaannya yang sungguh- sungguh terhadap diriku, akhirnya aku telah menyambut jua cintanya yang murni itu. Begitulah aku lalu membawanya keguha ini, dimana kami berdua tinggil bersama-sama sebagai suami isteri dan hidup kami disini adalah memang sengaja hendak menjauhi khalayak ramai .."
Dengan begitu, barulah Lie Siauw Hiong mengetahui dasar atau sebab musabab terangkapnya jodoh kedua orang ini, hingga didalam hati dia merasa senang sekali atas terangkapnya kedua orang ini sebagai suami-isteri. Kemudian dia bertanya.
"Tapi cara bagaimana engkau sampai dapat dikejar-kejar oleh 'Hang Hoo Sam Hut'?"
Selain dari itu, Siauw Hiongpun merasa heran, cara bagaimana Kim Ie telah kena dilukai oleh mereka? Phui Siauw Kun dengan muka merah lalu berkata.
"Jika bukannya dia, siapakah lagi?"
Sambil berkata begitu, ia menunjuk pada Kim Ie, kemudian dia bercerita terus.
"Dia mengatakan bahwa tinggal dalam guha begitu lama, pikirannya menjadi sangat pepat sekali. Oleh sebab itu, dia lalu mengajakku untuk keluar jalan-jalan melapangkan dada. Tapi siapa tahu akhirnya kita telah berpapasan dengan setan pejajaran bangsa asing itu, antara mana murid merekalah yang paling menjemukan sekali .."
Lie Siauw Hiong manggut-manggutkan kepalanya sambil berkata.
"Tidak salah! Murid ketiga pendeta biadab itu bernama Kinlungo. Dia terhadapmu ada persoalan apa?"
Phui Siauw Kun saking gemasnya sehingga dia gigit giginya kencang-kencang sampai mengeluarkan suara keretekan, lalu dia menjawab.
"Makhluk itu bukanlah orang baik-baik. Jika dia sampai terjatuh kedalam tanganku, pasti sekali akan kucingcangnya bagaikan bakso!"
Mendengar jawaban sinona, Lie Siauw Hiong sudah dapat menerka maksud orang asing itu, maka sambil tertawa dia berkata.
"Siapa suruh kau berparas secantik ini?"
Pada saat itu, diantara mereka telah terjadilah pula perasaan mesra sebagai sahahat seperti pada waktu-waktu yang lampau itu, tapi sudah tentu perasaan mesra itu kini mempunyai batas-batas yang tertentu, hingga Phui Siauw Kun yang dipukul sindir oleh pemuda kita jadi mengeluarkan suara.
"Hm, bocah tersebut seperti juga kodok buduk yang kepingin makan daging angsa langit!"
Justeru itu Kim Ie yang sedang tertidur tiba-tiba terdengar berseru dua kali.
"Kun Moay! Kun Moay! Air! Air!"
Lie Siauw Hiong yang tengah bercakap-cakap dengan sinona menjadi terkejut dan lalu tertawa sambil berkata.
"Lihatlah, angsa jantanmu dari langit telah siuman kembalil"
Phui Siauw Kun dengan perasaan malu lalu tertawa, sedangkan dalam tertawaannya itu mengandung perasaan yang gemhira dan nikmat, kemudian dengan tergesa-gesa dia mendapatkan suaminya.
"Kau lihatlah!"
Katanya.
"Dia telah dilukainya oleh pendeta yang bertubuh paling tinggi besar itu!"
Lie Siauw Hiong lalu menyahut.
"Oh, jadi ia telah dilukai Progota? Hm, ternyata Heng Hoo Sam Hut itu adalah manusia-manusia yang berwatak sangat rendah sekali!"
Kim Ie terus-terusan berteriak-teriak meminta air, dan setelah dia meminum air, maka diapun terus tidur kembali dengan nyenyaknya ..
"Oh!"
Sekonyong-konyong Lie Siauw Hiong berkata kepada Phui Siauw Kun.
"Kun Moay, mendengarkah kau suara tindakan kaki manusia yang sedang mendatangi itu? Rupanya Heng Hoo Sam Hut tengah mendatangi kearah sini!"
Kepandaian maupun tenaga-dalam Phui Siauw Kun terpaut jauh sekali dengan Lie Siauw Hiong, maka setelah dia memasang kupingnya sejenak, ternyata dia tetap tidak mendengar suara sesuatu, tapi dia sangat cerdik dan lekas mengerti keadaan, maka dia lalu berkata.
"Mungkin juga kabut sudah pada buyar, kalau tidak, sekalipun berdiri diatas batu karang yang terpisah dengan daratan kurang lebih delapan tombak jauhnya itu, cara bagaimana mereka dapat melompat kemari?"
Pada saat itu Lie Siauw Hiong masuk kesitu dengan berlari-lari mengikuti dibelakang Phui Siauw Kun, pada waktu itu adalah justeru turun kabut yang amat tebalnya, hingga keadaan disekelilingnya sukar sekali dikenali orang, oleh karena itu, dia segera mengajukan pertanyaan kepada sinona.
"Bagaimanakah keadaan mulut guha ini? Apakah itu mudah diketemukan orang?"
Phui Siauw Kun lalu menggelengkan kepalanya dan berkara.
"Kami dengan mengorbankan entah berapa banyak waktu dan tenaga, barulah berhasil dapat menemui guha ini. Tapi kini kami telah tinggal disini sudah lama juga, maka sudah tentu jalan-jalan yang kami lalui telah meninggalkan bekas-bekas yang sukar dihilangkan begitu saja. Apalagi Heng Hoo Sam Hut adalah tergolong pada jago-jago yang sudah kawakan, hingga mungkin sekali mereka akan segera menemui jejak kami."
Siauw Kun mengucapkan kata-kata itu dengan wajah yang menunjukkan kekuatiran yang bukan kecil adanya.
Lie Siauw Hiong lalu berpikir sejenak.
Ia tahu bahwa Kim Ie yang terluka parah tentu tidak mudah disingkirkan dari kejaran ketiga pendeta asing yang keji itu, maka akhirnya ia hanya mendapat suatu akal yang dianggapnya cukup sempurna dan lalu diterangkannya kepada sinona.
"Kun Moay! ikut aku. Kita harus bersiap-siap menghadapi kedatangan mereka, supaya lain kali bangsa asing yang keji itu mengetahui, bahwa kita bangsa Tionghoa dari daerah Tionggoan tidak mudah diperhinakan orang .."
Hampir dalam saat itu juga, benar saja (seperti apa yang telah dikatakan oleh Phui Siauw Kun tadi), kabut didepan guha kini sudah buyar sama sekali, hingga dihadapan mereka terbentang puncak-puncak gunung yang menjangkau langit layaknya.
Pegunungan ini berjejer sangat rapat satu sama lain, hingga Lie Siauw Hiong bersama Phui Siauw Kun lalu dengan sibuk mengatur segala sesuatunya didalam guha ini untuk menghadapi lawan-lawan yang sedang mendatangi itu.
Tidak antara lama, nun jauh disana diatas sebuah puncak gunung sekonyong-konyong berkelebat bayangan empat manusia, yang berlari-lari dengan cepat kearah tempat persembunyian mereka.
Keempat orang itu memang benarlah Heng Hoo Sam Hut dan Kinlungo adanya.
Kinposuf dan kawan-kawan ternyata telah tertipu oleh Phui Siauw Kun, yang telah membuat perahu mereka tertumbuk dengan batu karang, sehinga akhirnya perahu itu tenggelam, maka terpaksa keempat orang ini duduk diatas batu karang tempat dimana perahu mereka tenggelam tadi.
Batu karang itu terpisah dengan daratan hanya kurang lebih delapan tombak saja jauhnya, tapi karena pada slat itu kabut turun amat tebalnya, maka tidak heran jika mereka tidak berdaya untuk melakukan pengajaran terus seketika itu juga.
Terus mereka menanti sehingga kabut sudah buyar, barulah keempat orang itu dapat melihat daratan, yang kini tampak jelas dihadapan mereka.
Diantara mereka berempat orang, Progotalah yang merasa paling mendongkol dan geram, sehingga dia yang berlari dimuka, disusul dengan kawan-kawan dibelakangnya.
Mereka tampaknya gemas sekali kepada Lie Siauw Hiong.
Sudah tentu saja mereka segera dapat menemui jejak kaki yang ditinggalkan oleh Kim Ie dan Phui Siauw Kun, oleh karena itu, merekapun dengan cepat menyusul kedua orang itu, sehingga kini mereka terpisah dengan guha dimana Kim Ie dan Siauw Kun bersembunyi sudah tidak berapa jauh lagi.
"Suhu!"
Sambil berlari Kinlungo memohon kepada gurunya Kinposuf sambil berkata.
"Sebentar andaikata suhu dapat menangkap wanita tersebut, maka sudilah kiranya suhu mengampuni jiwanya."
Kinposuf dengan sikap dingin hanya menganggukkan kepalanya saja, suatu tanda bahwa dia telah mengabulkan permintaan muridnya itu.
Keempat orang itu kian lama kian mendekat kemulut guha tersebut, hingga sekonyong-konyong Kinposuf yang dapat mencari tempat persembunyian Kim Ie dan sinona lalu menunjuk pada mulut guha sambil bercakap-cakap dalam bahasanya sendiri yang berarti.
"Mereka tentu berada didalam guha itu!"
Progota dan Pantenpur sudah hendak menerobos masuk kedalam, ketika dengan sekonyong-konyong dari dalam guha tersebut terdengar suara orang yang membentak.
"Tamu-tamu bangsa asing yang biadab sudah tiba, aku Lie Siauw Hiong sudah lama menantikan kalian!"
Diantara keempat orang itu, hanya Kinlungo dan Kinposuf yang mengerti hahasa Han (Tionghoa).
Sedang Progota yang mengenali suara Lie Siauw Hiong, dia sudah mengangkat tangannya hendak melancarkan pukulannya.
Kinposuf sekalipun datang dari Thian-tiok, tapi dia cukup paham terhadap peraturan-peraturan dikalangan Kang-ouw, maka dengan mengandalkan nama 'Heng Hoo Sam Hut', ia hendak menggencet seorang yang berkedudukan rendah, tapi bila kabar ini sampai tersiar dalam kalangan Kang-ouw, sudah tentu saja tidak baik sekali bagi mereka, kecuali bila mereka dapat membinasakan ketiga-tiga lawannya itu.
Oleh karena itu, buru-buru dia mencegah atas tindakan yang semberono dari Progota, kemudian dengan menghadap kedalam guha dia berteriak.
"Bocah yang baik, bila kau benar-benar seorang jantan sejati, lekaslah engkau segera keluar!"
Dengan tertawa terbahak-bahak Lie Siauw Hiong lalu menyahut.
"Bangsa liar yang tak tahu mampus, ternyata kedatangan kalian ke Tionggoan hanya untuk belajar memaki orang saja, ya!"
Kinposuf yang mendengar perkataan pemuda kita yang bermaksud tidak memandang sebelah mata terhadapnya, dia menjadi geram sekali, tapi diantara mereka adalah kedudukan pemuda kita yang lebih menguntungkan, berhubung dia berada ditempat terang dan terbuka, sedangkan pihak lawannya berada ditempat yang gelap dan sembunyi didalam guha.
Kecuali mereka keluar dan bertempur dengan secara mati-matian, barulah mereka dapat bergerak dengan leluasa.
Jika mereka berempat mencoba menerobos masuk dengan seenaknya saja, mereka mungkin mengalami kerugian sehingga nama 'Heng Hoo Sam Hut' ambruk oleh karenanya.
Kinlungo dengan mengandalkan nama suhunya yang berpengaruh, ditambah dengan bahasa Han yang dimilikinya sangat lancar, lalu dia berteriak.
"Orang she Lie, lekas keluar! Marilah kita bertempur lagi sehingga tiga ratus jurus lamanya!"
Lie Siauw Hiang yang bersembunyi didalam guha dengan suara dingin hanya menjawab.
"Jika engkau mengingini aku keluar, itulah tidak terlampau sukar, asalkan omongan kalian boleh dipercaya kebenarannya!"
Kinposuf tidak mengetahui jelas maksud perkataan Lie Siauw Hiong itu, tapi dengan sungguh-sungguh dia menjawab.
"Kami yang memperoleh julukan 'Heng Hoo Sam Hut', selalu tak suka main gelap-gelapan atau berlaku secara sembunyi! Hai, bocah, kau mau main kayu apakah gerangan?"
Lie Siauw Hiong tidak menyahuti perkataan Kinposuf, tapi hanya meneruskan pertanyaannya.
"Kinlungo, bagaimanakah denganmu?"
Kinlungo tercengang sekali ditanya demikian, kemudian diapun menjawablah.
"Akupun sudah tentu saja demikian pula halnya!"
Dengan itu Lie Siauw Hiong telah mengeluarkan suara jengekan dari lobang hidungnya.
"Bagus! Omongan kalian benar-benar sebagai seorang kesatria sejati. Apabila kalian berbuat sesuatu yang melanggar perjanjian, maka kalian harus menurut sepatah perkataanku."
Kinlungo berpendapat, bahwa dalam perkataan pemuda kita ini tentulah mengandung sesuatu tipu-muslihat, maka ketika baru saja dia hendak memberitahukan hal itu kepada gurunya, tampak Kinposuf telah mendahului menjawab.
"Hm! Bila benar ada kejadian begitu, jangankan satu patah, sekalipun sepuluh patah pasti kami akan menurutinya."
Dia mengira bahwa kata 'sepuluh patah' yang diucapkannya itu adalah suatu perkataan yang bagus sekali fungsinya.
Lie Siauw Hiong yang melihat ketiga orang ini sudah masuk perangkapnya, tidak terasa lagi ia menjadi melonjak- lonjak dengan gembiranya berkata.
"Sungguh tidak memalukan nama 'Heng Hoo Sam Hut' yang demikian terkenalnya itu. Kinlungo, cobalah kau katakan ketika bertempur di Bu Wie Thia, apakah yang kau telah berjanji terhadapku? Ha ha ha."
Kimlungo tampak tercengang dan dengan suara tidak lancar lalu menjawab.
"Aku .. aku .. aku!"
Sekonyong- konyong dia ingat, bahwa jika dia kalah dalam pertempuran itu, maka dia tak akan datang lagi kedaerah Tiong-goan! Dengan ini, Lie Siauw Hiong mengetahui, bahwa tamu- tamu dari Thian-tiok ini tidak boleh dipercaya sepenuhnya.
Oleh karena itu, terpaksa ia menggunakan cara tersebut untuk menghadapi mereka.
Kemudian diapun berkatalah.
"Sekarang kalian boleh dengarkanlah perkataanku. Sekalipun dalam ilmu silat kami tidak menang terlampau gemilang daripada kalian, tapi barisan 'Kwie-goan-kouw-tin' kami pasti sekali kalian telah mengetahuinya."
Dalam kalimat yang diucapkan oleh Lie Siauw Hiong itu terang-terangan menyindir terhadap mereka yang mengandung arti.
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku orang she Lie,"
Demikianlah ia melanjutkan dengan menyindir.
"belum mempunyai kepandaian yang sempurna, tapi guruku telah mewariskan sebuah barisan terhadapku, untuk kau coba main-main denganrya. Sekarang aku berdiam dalam guha ini. Kalian boleh pilih seorang dari kalian berempat. Asalkan kalian tidak sembarangan merusak barang-barang yang telah kuatur ini, kalian boleh coba mencari tempat persembunyian kami."
Kinposuf yang mendengar begitu, dalam hatinya menjadi ragu-ragu.
Dia tak dapat mengambil keputusan dengan cepat, karena sesungguhnya juga dia telah berkenalan dengan barisan 'Kwie-goan-kouw-tin' tersebut.
Maka barisan yang kini dibuat oleh bocah she Lie itu, tentunya tidak akan lebih hebat daripada barisan yang tempo hari mereka telah jumpai.
Tapi sekarang ada suatu syarat, yaitu mereka tidak boleh merusak segala sesuatu yang terdapat didalam barisan tersebut.
Maka dengan mengandal kepada nama mereka yang sangat terkenal itu, sudah tentu saja mereka tidak mesti hilang muka terhadap sipemuda ini.
Jangankan Kinposuf yang tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat, sedangkan Kinlungo yang melihat Lie Siauw Hiong membuka mulut besar, dia sudah menjadi sangat geram sekali.
Maka tanpa menunggu pula jawaban gurunya, Kinlungo sudah mendahului berteriak.
"Suhu, ijinkanlah aku menangkap keluar bocah tersebut! Masakah dia mempunyai kepandaian yang hebat untuk mengurungku disitu?"
Sambil berkata begitu, dia sudah ingin menerobos masuk saja kedalam guha.
Kinposuf dan kawan-kawan jika dibandingkan dengan Lie Siauw Hiong, mereka terhitung satu tingkat lebih tinggi dalam derajat mereka.
Oleh karena itu, mereka tentu saja tidak enak untuk turun tangan sendiri, hingga terpaksa mereka mengijinkan Kinlungo untuk coba-coba memasuki guha itu.
Pada saat Kinlungo melangkahkan kakinya masuk kedalam guha tersebut, dia hanya melihat dalam guha itu diatur banyak sekali timbunan batu-batu yang merupakan hutan batu.
Batu-batu itu sudah tentu saja adalah hasil ciptaannya Lie Siauw Hiong, sedangkan suara Lie Siauw Hiong keluar diantara celah-celah batu-batu itu.
Dengan ini harus diketahui, bahwa Lie Siauw Hiong yang telah mewariskan kepandaian Chit-biauw-sin-kun, kecuali 'dalam hal membedakan sesuatu', pelajaran yang lain-lainnya boleh dikatakan dia sudah melampaui gurunya.
Lebih-lebih dalam soal barusan 'Kwie-goan-kouw-tin' dia sudah jauh melampaui kebiasaan gurunya sendiri.
Barisan yang sukar ini kini dia sudah dapat menguasainya, untuk mengatur dan mempergunakannya disembarang waktu tanpa mengalami kesulitan sesuatu.
Begitulah Kinlungo terpaksa berputar-putar beberapa puluh kali didalam guha tersebut, karena dia tidak diperbolehkan untuk merusakkan segala sesuatu yang terdapat disitu.
Pada bagian muka telah kita terangkan tentang jalan gunung disitu yang berbelit-belit.
Jika sekali saja orang salah jalan, maka dalam waktu sepuluh hari atau setengah bulan pasti tak dapat keluar dari jalan tersebut.
Maka Kinlungo yang telah dipersulit oleh Lie Siauw Hiong, dia hanya dapat berjalan dengan sekena-kenanya saja.
Lie Siauw Hiong dengan sengaja tertawa dingin dan mengejeknya dari dalam guha tersebut.
Hang Hoo Sam Hut' yang sudah menunggu-nunggu sehingga dua jam lamanya, tapi tidak melihat sang murid muncul kembali, mereka jadi tidak sabaran dan uring-uringan.
Lie Siauw Hiong yang menyaksikan kesempatan sangat baik ini, lalu tertawa terbahak-bahak dan berkata.
"Tiga manusia dogol bangkotan, murid kesayanganmu jangan harap akan dapat keluar pula!"
Diantara murid-murid Kinposuf, maka yang paling disayang adalah murid yang bungsu serta paling cerdik, yaitu Kinlungo, maka setelah kini menampak murid kesayangannya tidak muncul keluar lagi, dia mengira bahwa sang murid benar-benar telah mengalami kecelakaan, hingga saking gugupnya dia telah berteriak- teriak.
"Orang she Lie, lekaslah engkau keluar! Muridku Kinlungo jika kau berani melukakan seujung rambutnya saja, aka Kinpouf pasti akau mencabut nyawamu!"
Lie Siauw Hiong yang mendengar perkataan Kinposuf, diapun menjadi marah pula buru-buru dia melompat keluar dari dalam guha tersebut dan tepat tubuhnya jatuh dihadapan Heng Hoo Sam Hut, dimana sambil tertawa dingin dia berkata.
"Huh, omonganmu sungguh terlampau berlebih-lebihan! Aku orang she Lie sekalipun tidak begitu pandai, tapi masakan aku tidak dapat menyambut satu pukulanmu!"
Kimposuf sendiripun yang merasa sangat geram, diapun lalu berseru.
"Pukulanku yang tunggal ini jika tidak dapat membinasakan kau 'Heng Hoo Sam Hut' pasti tidak akan datang pula kedaerah Tiong-goan, jika kau masih hidup dialam dunia ini!"
Sambil tertawa riang Lie Siauw Hiong lalu berkata.
"Apakah omonganmu dapat dipercaya?"
Saking geramnya, Kinposuf dengan bernapsu sekali lalu mengiakan dengan jalan menganggukkan kepalanya. Lie Siauw Hiong lalu berseru kearah dalam guha tersebut sambil berkata.
"Kun Moay! Lekas bawa keluar sibocah biadab itu!"
Tidak antara lama benar saja Kinlungo sudah mengikuti Phui Siauw Kun berjalan keluar, agaknya karena dia telah kesasar entah sudah beberapa kali, maka wajahnya tampak mengandung kemarahan yang jelas sekali.
"Toasuhu silahkan bersiap-siap! Asal saja satu kali pukulanmu itu tidak berhasil menjatuhkanku, maka aku persilahkan kalian untuk segera mengangkat kaki dan pulang kembali kekampung halamanmu di Thian-tiok, kemudian untuk selama-lamanya kalian tidak boleh lagi memasuki daerah Tiong-goan!"
Heng Hoo Sam Hut dan Kinlungo melototkan mata mereka pada Lie Siauw Hiong, sedang Phui Siauw Kun yang menyaksikannya dari samping merasa tegang sekali. Sekonyong-konyong Lie Siauw Hiong berjalan kesamping Phui Siauw Kun sambil berbisik.
"Kun Moay! Lekaslah dengan menggunakan kesempatan ini engkau melarikan diri bersama-sama Kim Ie! Jika kalian tidak pergi sekarang juga, dikuatirkan bangsa liar ini akan mengubah haluan dan waktu itu pasti kalian tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melarikan diri dari mereka."
Dari perkataan dan pandangan mata Lie Siauw Hiong, Phui Siauw Kun telah mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkannya dahulu dalam cinta kasihnya terhadap pemuda kita itu, maka untuk kebaikannya Kim Ie, dia rela untuk melarikan diri, tapi atas kebaikan pemuda kita ini, dia harus membalasnya dengan cara apakah dikemudian hari? Lie Siauw Hiong pada saat ini bukan saja telah berniat akan berkorban untuk diri Phui Siauw Kun pribadi, tapi juga yang terpenting adalah berkorban untuk nama baiknya kalangan Bu-lim di Tiong-goan, maka ia telah menghadapi keempat jago silat asing itu tanpa menunjukkan perasaan gentar ataupun takut.
Dan tatkala melihat Phui Sianw Kun merasa ragu-ragu atas pertolongannya, tidak terasa lagi hatinya menjadi lemah dan dengan suara lemah lembut dia berkata.
"Kun Moay, lekaslah lari! Janganlah membuat hatiku gundah memikirkan keselamatan kalian! Pukulan bangsa liar ini aku pasti akan dapat menahannya. Aku hanya kuatir, bahwa perkataannya tidak dapat dipegang sepenuhnya. Oleh karena itu, lekaslah kalian melarikan diri sejauh mungkin!"
Dengan perasaan sangat berterima kasih, Phui Siauw Kun menganggukkan kepalanya.
Setelah itu, dengan air mata berlinang-linang dia berjalan masuk kembali dengan perlahan-lahan kedalam guhanya.
Sekalipun hal itu bukanlah menjadi tujuannya yang utama, tapi dia tak dapat tidak harus membawa pergi Kim Ie yang masih lupa daratan itu untuk menyelamatkan diri mereka.
Lie Siauw Hiong menunggu setelah Phui Siauw Kun telah berlalu lama juga, barulah pikirannya menjadi lega, maka sambil menghela napas panjang ia menghampiri kehadapan Kinposuf ..
Pelahan-lahan tangan kanan Kinposuf diangkat keatas, hingga bulu tangannya yang hitam berwarna merah dan berdiri karena penyaluran kekuatannya pada tangannya itu, sedangkan sepasang matanya yang tajam bagaikan mata burung elang yang mengintai lawannya ditatapkan pada wajah Lie Siauw Hiong dengan sorot mata tak berkesip, sehingga setiap gerak-gerik Lie Siauw Hiong tidak luput dari pandangannya ..
Sedangkan Lie Siauw Hiong sendiripun dengan diam- diam telah mengumpulkan seluruh kekuatannya pada sepasang tangannya.
Seketika itu hatinya tidak memikirkan segala sesuatupun, hanya dengan satu tujuan yang mantap ia bertekad untuk menyambuti satu pukulan lawannya itu.
Tidak antara lama Kinposuf terdengar berteriak keras sekali, sedang sepasang tangannya dengan beruntun, satu dimuka dengan disusul oleh tangannya yang lainnya dibelakangnya, dengan disertai angin yang menderu-deru keras sekali menghantam kearah tubuh pemuda kita.
Kekuatan sepasang pukulan Kinposuf pada saat itu, cukup hebat untuk dapat membelah batu-batu karang yang paling keras sekalipun ..
"Bek"
Begitulah telah terdengar satu suara.
Lie Siauw Hiong tanpa merasa ragu-ragu lagi sudah menyambuti serangan lawannya dengan keras lawan keras hingga pasir dan debu pada beterbanganan memenuhi angkasa, sehingga segala sesuatu seakan-akan tidak terlihat..
Dan tatkala debu dan pasir telah jatuh kembali kemuka bumi, barulah kelihatan tubuh Lie Siauw Hiong dan Kinposuf.
Pada saat itu muka Lie Siauw Hiong tampak pucat-lesi, badannya bergoyang-goyang seakan-akan hendak jatuh, tapi satu langkahpun dia tidak pernah berkisar dari tempat berdirinya semula.
Kinposuf sendiri dengan perasaan heran jadi menghela napas, kemudian dengan sekonyong-konyong ia ulapkan tangannya kepada kawan-kawannya, untuk selekas mungkin mengajak mereka lari menuju kepantai dan kembali pula kenegeri asal mereka.
Lie Siauw Hiong sendiri dengan sepasang tangan yang terkulai, perlahan-lahan dia mengangkat tangannya dalam gerakan hendak menyerang kembali kearah lawannya.
Pada saat itu sang malam telah menjelang datang, dengan ketenangan dimuka bumi ini telah kembali pula seperti sediakala.
Diatas langit, bintang pertama telah munculkan diri dan memancarkan sinarnya yang berkelap- kelip laksana pelita dibawah hembusan angin lalu, sinarnya tampak sangat pudar dan jauh ..
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara tindakan kaki yang sangat berat, hingga ini menyebabkan Lie Siauw Hiong buru-buru menghempas kembali sisa tenaganya, tapi karena udara gelap, maka dia belum dapat melihat sesuatu, sedang didalam hatinya diam-diam ia berpikir.
"Suara apakah itu? Bukankah itu suara Hang Hoo Sam Hut yang telah balik kembali? Ataukah Phui Siauw Kun yang telah kembali kesitu?"
Tidak antara lama, dari balik batu gunung kelihatan muncul seekor beruang yang besar sekali.
Mula-mula dengan matanya yang tajam dia memandang kearah Lie Siauw Hiong, mengangkat hidungnya dan mengendus- endus dua kali, kemudian lalu membalikkan kepalanya dan berjalan pergi.
Hati Lie Siauw Hiong menjadi lega kembali, tapi pukulan Kinposuf barusan, sesungguhnya terlampau berat dirasakannya, hingga akhirnya tak dapat ia mempertahankan dirinya lagi, ia memuntahkan darah segar dan jatuh roboh kemuka bumi dalam keadaan pingsan.
(Oo-dwkz-oO) Pada saat itu musim Ciu (rontok) sudah lama datang, dan pada senja hari itu tampak sinar pembunuhan yang memenuhi kota utara.
Pohon Yang-liu sudah lama gundul karena daun-daunannya sudah rontok ditiup angin utara yang amat tajam dan dinginnya, sedangkan burung walet sudah terbang kembali keselatan.
Dibawah sebuah jembatan kecil tampak air sungai yang mengalir dengan tenang kearah timur.
Pada saat itu haripun sudah mulai malam.
Bintang- bintang diangkasa raya telah mencorotkan sinarnya yang berkelip-kelip kemuka bumi yang luas ini.
Terpisah lima atau enam puluh lie disebuah daerah kecil dari kota Lok-yang, terdapat sebuah kuil yang sudah rusak, hingga jika angin gunung datang meniup, jendela-jendela kuil itu jadi berbunyi keresekan, suara mana sangat tidak sedap didengar karena menerbitkan perasaan yang pilu dan menakutkan.
Tatkala itu, dibawah sinar pelita tampak seorang laki-laki muka hitam yang bertubuh tinggi besar, sedang duduk berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang masih muda belia.
Anak ini wajahnya sangat tampan, tapi jika ditilik dari roman mukanya, paling banyak ia baru berumur dua atau tiga belas tahun.
Laki-laki muka hitam itu sekonyong-konyong berkata.
"Peng Jie, kami dari partai Kay Pang menyerahkan kedudukan Pangcu kepadamu, dengan pengharapan supaya kau memimpin mereka dengan penuh kebijaksanaan, sedang ilmu silat pusaka dari partai Kay Pang yang disebut 'Pek-kiat-ciang-hoat', itupun tentunya telah diwariskan kepadamu, bukan?"
Peng Jie menganggukkan kepalanya sambil berkata.
"Tempo hari waktu suhu mewariskan ilmu tersebut kepadaku, dia telah menderita luka-luka parah, tapi dengan memaksakan diri ia tetap mengajariku juga. Setelah itu, ia jatuh pingsan. Dan tatkala kemudian ia siuman kembali, dari dalam sakunya ia mengeluarkan se
Jilid buku kecil, yang diserahkan kepadaku, sambil menyuruh aku mempelajari isi buku tersebut untuk pedoman melatih diri. Apakah kiranya Kim Siok-siok, sudi melihat buku tersebut!"
Sambil berkata begitu, segera juga ia mengeluarkan se
Jilid buku dari dalam sakunya, yang lalu disodorkannya pada orang yang bermuka hitam itu. Tapi simuka hitam lalu menggoyang-goyang tangannya sambil berkata.
"Pelajaran silat itu adalah khusus diberikan pada orang yang diwariskan sebagai Ciang-bun-jin dari partai Kay Pang, sedangkan murid-murid Kay Pang sendiri siapapun tidak diperbolehkan mencuri belajar dari buku itu."
Peng Jie lalu berkata.
"Kim Siok-siok, sekarang baiklah kita mencari tempat yang baik untuk menyembunyikan diri dan kemudian kita belajar ilmu dengan giat serta tekun, agar jika sudah berhasil, kita dapat menuntut balas kepada musuh-musuh kita."
Kim Siok-siok lalu berkata.
"Peng Jie, aku mempunyai satu urusan yang hendak disampaikan kepadamu. Sekarang kau sudah berpikir belajar silat, kemudian baru menuntut balas setalah kau berhasil dalam latihanmu. Hal itu, memang sangat sesuai dengan rencanaku."
"Hanya belum tahu apakah adanya rencana itu?"
Peng Jie bertanya. Kim Siok-siok lalu berkata.
"Partai Kay Pang kita kini sudah lintang pukang, dimana-mana murid-murid kita sudah pada tercerai-berai. Tapi syukur juga diantara murid- murid partai kita, masih tidak sedikit jumlahnya yang tetap setia terhadap partai mereka. Maka kalau kau memanggil mereka kembali, pasti sekali kita akan dapat menyusun partai kita sehingga menjadi jaya lagi seperti waktu-waktu yang lampau itu. Hal mana, menurut pendapatku, tidak akan terlampau sulit untuk diselesaikannya."
Peng Jie yang mendengar rencana Kim Siok-sioknya mengenai kejayaan partainya kelak, diapun ketahui betapa beratnya tugas yang dibebankan diatas pundaknya itu, tetapi meski usianya masih muda, ternyata tetap bersemangat dan menjawab dengan suara yang mantap.
"Kim Siok-siok, bukankah kau ingin aku sebagai Pangcu memanggil kembali murid-murid partai kita yang sudah tercerai berai itu untuk membangkitkan pula kejayaan kita kembali seperti pada masa-masa yang lampau itu?"
Kim Siok-siok segera menggelengkan kepalanya sambil berkata.
"Sekarang umurmu masih terlampau muda, sedangkan kepandaian yang tinggi belum lagi dapat kau pelajari. Apabila kau berpikir untuk kini mempersatukan kembali murid-murid partai Kay Pang itu, itulah sama sekali masih belum mungkin. Adapun maksudku sekarang ini, bukan lain daripada hendak menitipkan kau pada salah seorang sahabatku yang bernama Pian-say-tay-hiap Hong Pek Yang, kepada siapa kau boleh belajar ilmu silat selama berapa tahun lamanya."
Dengan gugup Peng Jie bertanya.
"Kim Siok-siok, sedangkan kau sendiri bagaimana?"
Kim Siok-siok menjawab.
"Aturan partai Kay Pang kita sangat keras. Loo-pang-cu sudah wafat tentu saja segala kewajibannya harus dibebankan kepadamu, sedangkan kita berdua saudarapun sudah tentu bertugas juga untuk menjagamu."
Peng Jie lalu berkata.
"Kim Siok-siok, aku tak mau meninggalkanmu, juga tak mau pergi kerumah apa yang kau katakan Pian-say-tay-hiap itu. Lebih baik kau .. kau saja yang memberi pelajaran kepadaku, apakah itu tidak lebih dari cukup?"
Dengan suara lembut Kim Siok-siok menjawab.
"Anak bodoh, kepandaian Hong-Thay-hiap adalah sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada kepandaianku. Maka apabila kau belajar ilmu silat kepadanya, paling banyak akan memakai waktu lima tahun. Dengan begitu, bukan saja kepandaian Loo-pang-cu dapat kau wariskan seluruhnya, malah kepandaian Hong-tay-hiap yang tunggalpun dapat juga kau miliki. Apabila kau dapat berhasil mencangkok dua kepandaian silat yang amat tinggi itu, bukankah lebih menang jika umpama kau belajar dari aku saja?"
Tabiat Peng Jie sangat baik dan otaknya pun sangat cerdik, dia yang hidup sebatang kara, kecuali dua saudara she Kim, didunia ini dia tak mempunyai pamili lainnya lagi.
Kecintaan kedua saudara she Kim ini seperti juga ayah dan ibu kandungnya sendiri, yang sangat memperhatikan dirinya dan segala keperluannya.
Ketika disaat itu ia mendengar bahwa Kim Siok-sioknya akan meninggalkannya, hatinya merasa gugup dan sedih, maka dengan airmata berlinang-linang ia telah memaksakan dirinya untuk berkata.
"Kim-Siok-siok. Peng Jie telah melakukan pekerjaan apakah yang salah? Apakah kau tidak ingin menghiraukan lagi kepada Peng Jie?"
Dalam hati kecilnya, sesungguhnya Kim Siok-sioknya ini tidak sampai hati untuk meninggalkannya, tapi demi kemajuannya kelak, dia tak dapat tidak mesti berlaku keras terhadap diri sendiri, tetapi ketika baru saja ia ingin membuka mulut pula, sekonyong-konyong terdengar satu suara yang menyayatkan hati, hingga bulu roma mereka dirasakan berdiri tegak seketika itu juga.
Dengan gugup Kim Siok-siok berkata.
"Peng Jie, Loo-jie telah bertemu dengan lawan tangguh! Lekaslah kau lari kearah timur, segala sesuatu yang terjadi disini, akulah yang akan menanggungnya. Jika aku Kim Lo-toa beruntung dan tidak mati disini, aku pasti dapat menyusul dan menjumpaimu di Lok-yang. Peng Jie?"
"Peng Jie, ingatlah, jika kami berdua dalam tiga hari tidak datang mencarimu, kau seorang diri boleh pergi dan menjumpai Hong Tayhiap dikota Kim-ciu dalam propinsi Liao-tong. Katakanlah bahwa kedatanganmu adalah atas perintahku."
Peng Jie yang mendengar dia berkata begitu pasti dan tandas, hatinya sebenarnya tidak mau menurut, tapi dia tahu betul adat Kim Siok-sioknya, maka terpaksa dia tak berani membantah lagi dan lalu menganggukkan kepalanya.
Kim Loo-toa dengan suara yang lembut lalu memesan pula.
"Peng Jie, kau .. sejak hari ini, harus berlaku lebih hati-hati. Kim Siok-siokmu barangkali tidak mempunyai ketika lagi untuk menjagamu."
Selama setengah tahun Peng Jie mengikuti kedua saudara Kim ini, entah sudah berapa banyak bahaya yang telah dialaminya, tapi belum pernah ia melihat muka orang tua itu tampak begitu suram seperti sekarang ini.
Oleh sebab itu, diapun insyaf, bahwa orang tua ini sedang risau hatinya menghadapi lawan yang amat tangguh itu, yang mana ternyata, bahwa dia seorang masih merasa khawatir akan tidak cukup untuk melawannya, maka dengan cepat dia berkata.
"Kim Siok-siok, pergilah kau lekas membantu saudaramu! Peng Jie akan menantikan kedatangan kalian dikota Lok-yang."
Kim Loo-toa lalu memandang Peng Jie sejenak.
Ia hanya melihat muka bocah itu yang sangat mungil, dengan sifat kekanak-kanakannya masih melekat begitu menyolok sekali didalam dirinya, hingga ia jadi menarik napas panjang, kemudian lalu berlari dengan pesat meninggalkan anak itu.
Peng Jie berdiri terpaku sebentar sambil berpikir.
"Kalau aku pergi membantu Kim Siok-siok, bukan saja aku bisa memecah semangat mereka, tapi juga akan menyibukkan saja bagi mereka. Oleh karena itu baiklah aku menurut perkataannya saja, yaitu pergi ke Lok-yang untuk menjumpai Hong Tay-hiap."
Dengan langkah yang berat, ia menuju kearah Timur dengan perlahan-lahan.
Sekalipun dia sedang berjalan, tapi hatinya entah melayang kemana.
Sekonyong-konyong dari arah belakangnya datang menyambar angin dingin.
Waktu dia menolehkan kepalanya memandang, ternyata tampak seorang anak muda yang tampan sekali, sedang beristirahat mengawasinya.
Pemuda tersebut lalu berkata.
"Siauwtee, jalanmu ternyata kurang hati-hati, hingga hampir saja kau menubrukku."
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam hatinya Peng Jie berpikir.
"Kau sendiripun tidak terlampau hati-hati. Aku berjalan disebelah depan, cara bagaimana kau tidak melihatnya?"
Tapi pemuda tampan itu tampak ramah tamah sekali dan lalu menjawab.
"Aku sedang merisaukan sesuatu, sehingga aku tidak mengetahui, bahwa aku tengah berada dijalanan."
Pemuda tampan itu memang sedang risau memikirkan sesuatu, hingga dengan sesungguhnya juga dia tak melihat adanya Peng Jie disitu.
Tapi setelah dia hampir menubruk orang, barulah dia buru-buru menahan langkahnya.
Waktu kemudian dia menegur kepada Peng Jie, sebenarnya tegurannya itu tidak pada tempatnya, karena anak muda itu bukan saja telah mengalah, bahkan dia telah merendah dengan tingkah-laku yang sopan, sehingga hal itu membuat dia merasa malu sekali.
Oleh karena itu, diapun lalu berkata.
"Siauwtee (adik kecil), bila kau mempunyai ganjalan sesuatu, silahkan engkau beritahukan kepadaku. Aku pasti bersedia akan membantumu."
Dalam hati Peng Jie berpikir.
"Barusan ketika dia menghampri dipinggir badanku, belum juga aku mengetahuinya, suatu tanda bahwa kepandaiannya sudah sangat sempurna. Oleh karena itu, mengapakah aku tidak mohon bantuannya untuk menolong Kim Siok-siok?"
Karena dia masih muda, maka pengalamannyapun belum luas.
Pada sebelum menyelidiki keadaan orang yang baru dikenalnya itu, ia sudah berani meminta bantuannya.
Hal mama, sebenarnya terlampau gegabah sekali.
Tapi karena dia melihat bahwa pemuda itu sangat tampan dan ramah sekali, maka dia percaya bahwa orang muda ini pasti ada seorang ksatria sejati, maka dalam pada itu diapun segera menjawab.
"Kedua siok-siokku sedang dikeroyok oleh musuh-musuhnya, keadaannya sungguh berbahaya sekali. Cobalah saudara tolong bantu mereka itu."
Pemuda itu yang melihat Peng Jie bicara dengan secara mempunyai pekerjaan penting apapun yang harus diselesaikan.
Sekarang karena melihat kecintaan anak ini kepada Siok-sioknya, baiklah aku memberi bantuanku kepadanya.
Oleh karena itu, sipemuda lalu bertanya.
"Kedua siok- siokmu bertempur dengan orang jahat dimanakah? Dan siapa nama Kim Siok-siokmu?"
Peng Jie yang mendengar nada suara pemuda tampan ini, dia segera mengetahui bahwa orang ini telah mengabulkan permintaannya, maka hatinyapun menjadi gembira dan menjawab.
"Mereka adalah pelindung- pelindung dari partai Kay Pang (partai pengemis) yang umum dipanggil Kim Loo-toa dan Kim Loo-jie .."
Pemuda itu ketika mendengar keterangan demikian, lalu berseru.
"Lekas! Lekas! Segeralah bawa aku kepada mereka!"
Peng Jie dengan cepat berlari keluar dari jalan tersebut, sedang sipemuda dengan tidak sabaran sudah mencekal tangan Peng Jie dan diajaknya berlari-lari dengan membentangkan Ilmu Keng-sin-kangnya menuju ketempat pertempuran yang diunjuk oleh Peng Jie itu.
Setelah berlari-lari sipeminuman teh lamanya, mereka mulai dapat menangkap suara beradunya senjata tajam yang disertai dengan suara teriakan-teriakan orang yang sedang bertempur, hingga dengan mengempos semangatnya dia tarik Peng Jie lebih cepat pula untuk memasuki hutan kecil itu.
Tidak antara lama, disebidang tanah yang datar mereka dapatkan empat orang tosu (pendeta) sedang mengerabuti seorang laki-laki bertubuh jangkung, yang tampak sedang melayani bertempur tiga batang pedang dan sepasang kepalan lawannya dengan bertangan kosong, hingga keadaan dirinya kelihatan sangat berbahaya sekali.
Peng Jie yang melihat Kim Toa-sioknya dengan sendirian saja telah menempur empat orang musuh, sedangkan Kim Jie-sioknya tidak tampak berada disitu.
Dia ketahui sifat-sifat kedua saudara she Kim yang selalu bahu membahu dalam menghadapi lawan-lawannya, tapi kini dia tidak melihat Kim Jie-sioknya, hingga tanpa terasa lagi hatinya menjadi cemas dan buru-buru dia menganjurkan pemuda itu sambil berkata.
"Lekaslah kau bantu Kim Toa- siokku, sedangkan aku sendiri akan pergi mencari Kim Jie- siokku."
Pemuda tampan itu yang sedang memperhatikan jalannya pertempuran, seakan-akan tidak mendengar perkataannya, sehingga Peng Jiepun tidak berdaya.
Tapi tidak antara lama pertempuram itupun sudah terhentilah, dengan empat batang pedang ditujukan keempat jalan darah Kim Siok-sioknya, sedangkan salah seorang antara pendeta- pendeta itu dengan tertawa dingin lalu berkata.
"Kim Loo- toa, lekas keluarkan sarung pedang itu dan serahkan kepada kami, jika tidak, hm, pinto pasti tidak akan sungkan- sungkan lagi mengambil jiwamu!"
Baru saja pendeta itu berkata demikian, Peng Jie merasakan pemuda disampingnya telah melesat maju. Kemudian toosu itu sudah berkata pula.
"Kim Loo-toa, apakah kau masih berani membandel juga? Sebentar lagi Pangcu dari Kaypangmu pasti akan terjatuh kedalam tangan kami! Apakah kau mengira bahwa bocah pewaris partai pengemismu itu dapat melarikan diri sampai di Lok- yang? Ha ha ha, pintoo sudah siang-siang mengutus orang untuk dengan hormat menyambut kedatangannya, kau tahu? Jika kau tidak juga hendak mengeluarkan sarung pedang tersebut, engkau harus mengerti sendiri apa akibatnya!" (Oo-dwkz-oO)
Jilid 39 Peng Jie semakin mendengar semakin panas hatinya.
Tapi ketika dengan tidak sabaran dia sudah ingin membantu Kim Siok-sioknya, tiba-tiba dari sampingnya kedengaran suara angin yang menderu, dan bersamaan dengan itu, sipemuda tampanpun sudah mendahuluinya melewat maju.
Kelima orang yang sedang bertempur itu menjadi sangat terperanjat tatkala menampak kedatangan sipemuda itu.
Mereka ketika barusan sedang bertempur, ternyata tidak memperhatikan Peng Jie dan pemuda itu yang bersembunyi disuatu pinggiran.
Kemudian pemuda itu segera berkata.
"Pendeta bangsat Cek Yang, kau sungguh gagah sekali, ha? Dengan mengandalkan jumlah banyak orang kau mengeroyok seorang lawan, apakah perbuatanmu itu bisa dipuji orang?"
Sementara toosu itu begitu melihat pemuda tampan ini, mukanya segera berubah dan lalu berkata.
"Bagus, Gouw Siauw-cu, lagi-lagi aku bertemu denganmu! Sekarang baiklah kita menyelesaikan perhitungan lama disini saja!"
Pemuda tampan ini bukan lain daripada Gouw Leng Hong adanya! Sejak hari itu dia berpisah dengan Souw Hui Cie, terus dia mencari Ah Lan kesana kemari, dari Shoa-tang dia menuju ke Hoo-lam, setelah bolak-balik berapa kali, ternyata tidak juga ia berhasil mencari kemana perginya anak dara buta itu.
Hari ini kebetulan dia ingin pergi ke Lok-yang untuk mencari rumah penginapan, tidak tahunya ditengah jalan dia telah berjumpa dengan Peng Jie, maka dengan bersama-sama, menujulah mereka kehutan ini.
Keadaan dalam hutan ini sangat samar karena gelapnya, maka wajah kelima orang yang sedang bertempur itu tidak terlihat dengan jelas.
Tetapi ketika kemudian ia kenali bahwa pendeta itu adalah musuh pembunuh ayahnya sendiri yaitu Cek Yang Too- jin, maka buru-buru dia melompat keluar dari tempat persembunyiannya sambil membentak.
"Kalian dari partai Bu-tong rupanya sudah kebiasaan dengan jumlah banyak menggencet jumlah yang sedikit, maka sekarang silahkan kalian boleh maju dengan serentak!"
Muka Cek Yang Tojin menjadi merah tatkala mendengar tantangan itu, maka diam-diam dia berpikir.
"Waktu diadakan pertemuan digunung Thay San, kepandaiannya bocah ini masih sangat terbatas sekali, maka mengapakah aku harus turun tangan sendiri?"
Oleh karena itu, dengan tertawa dingin dia lalu berkata.
"Siauw-cu, kau jangan berlaku pongah, bila kau dapat menjatuhkan tiga muridku, aku akan melepaskan kau pergi dari sini!"
Gouw Leng Hong sekalipu sudah menerima pelajaran asli dari Sucouwnya yang bernama In Peng Jiok, tapi sesungguhnya dia belum pernah bertempun dengan lawan tangguhnya seperti Cek Yang ini, maka dalam hatinya ia merasa agak jerih dan lalu berpikir.
"Dia majukan murid- muridnya yang merupakan barang-barang rosokan, hal itu tidak ada halangan apa-apa baginya, bila aku sudah bikin kocar-kacir murid-muridnya, masakah gurunya tidak mau membelanya?"
Cek Yang Tojin lalu berseru.
"It Ho, lekas bawa pedangku, dan lawanlah bocah itu! Janganlah engkau sampai meruntuhkan nama baik partai Bu-tong kita!"
Sambil berkata begitu, dia sudah sodorkan pedangnya kepada pendeta yang bertangan kosong itu, kemudian dia sendiri lalu maju pula menghampiri Kim Loo-toa.
Hati Leng Hong gugup sekali, karena dia kuatirkan dengan menggunakan kesempatan ini, Cek Yang akan dapat mencelakai Kim Loo-toa, maka badannya segera bergerak untuk menghadangnya dimuka Kim Loo-toa, tangan kanannya dengan mengacungkan pedangnya dia lalu berseru.
"Silahkan engkau boleh maju!"
Perkataan itu baru saja habis diucapkan, ketika tiba-tiba dibelakangnya terdengar suara 'buk' yang nyaring sekali, kemudian disusul dengan robohnya tubuh Kim Loo-toa kemuka bumi.
Ternyata laki-laki jangkung itu sudah kehabisan tenaga, maka pada saat Leng Hong mengeluarkan pedangnya dan menampak sinar pedang yang sangat tajam dan berkeredap-keredap itu, kepalanya menjadi pusing dan lalu jatuh terduduk.
Sekonyong-konyong dari balik sebatang pohon lari keluar seorang bocah tanggung, yang sambil menangis lalu berkata.
"Kim Siok-siok, kau kenapa?"
Kim Loo-toa dengan memaksakan diri lalu menbuka matanya dan dengan suara bengis sudah mendamprat.
"Peng Jie, aku suruh kau lari, kenapa kau tidak dengar perkataanku?"
Dengan masih menangis Peng Jie berkata pula.
"Kim Sioksiok, aku tidak mau meninggalkan kau. Aku ingin mati bersamamu!"
Kim Loo-toa akhirnya menjadi cemas juga melihat keadaan Peng Jie disaat itu, maka kesudahannya ia berkata.
"Peng Jie, sudahlah, jangan menangis lagi, Kim Siok-siok mengabulkan untuk tidak meninggalkan kau pula!"
Mendengar perkataan itu, Peng Jie menjadi girang dan lalu menunjuk pada Gouw Leng Hong sambil berkata.
"Kim Siok-siok, dia pasti akan menang!"
Kim Toasiok lalu mengangkat kepalanya memandang. Dia hanya melihat tiga pendeta berdiri ditiga tempat yang berlainan, sedang mengurung kepada pemuda tampan itu. Sekonyong-konyong pendeta yang berdiri disamping kirinya telah berseru.
"Lihatlah serangan!"
Sambil terus dia menyerang bagian sebelah bawah, tubuh sipemuda.
Leng Hong segera mengelitkan dirinya kesamping.
Dia tidak mundur, melainkan terus saja maju kemuka, dengan pedangnya menyamber pada pendeta disebelah kanannya dengan gerakan secepat kilat.
Pendeta yang diserang itu ketika melihat datangnya serangan yang begitu cepat, keruan saja hatinya menjadi sangat terkejut dan lekas-lekas mundur sejauh dua langkah.
Leng Hong tidak menunggu sampai serangannya ini menemui sasarannya, dia sudah memutar tangannya dan dengan gerakan miring, menyerang lawan dihadapannya, dan ketika dua pedang saling beradu, karena tenaga Leng Hong lebih kuat, maka pedangnya terus menjurus pada pendeta disebelah kirinya dan menyabet kearah pinggang orang.
Karena bakatnya yang baik dan ditambah lagi dengan khasiat buah mustajab yang dimakannya, maka tenaga- dalamnya telah memperoleh kemajuan yang sangat pesat, maka kalau dibandingkan dengan Lie Siauw Hiong, dia hanya kalah setingkat saja.
Pada saat itu dia telah menggunakan lima bagian tenaga, hingga saking kerasnya tangkisannya maka menyebabkan telapak tangan pendeta itu merasa kesemutan yang hebat sekali, sehingga pedangnya itu hampir saja terlepas dari cekalannya.
Leng Hong terus merangsek maju.
Dengan menggunakan tangan kanannya, dia menyerang dari samping kearah lawannya, sedangkan tangan kirinya dengan menggunakan siasat 'Kay-san-sam-sek-po-giok-kun', dia sudah menerobos kesana kemari dengan amat gesitnya.
Ada kalanya ketiga pedang lawannya sama-sama menyerang bagian tubuh sebelah atasnya, tapi dengan lincah dan gesit dia dapat mengelitkannya dengan secara baik pula.
Sementara Cek Yang yang menyaksikan jalannya pertempuran dari samping, semakin lama dia merasa semakin jengkel saja, dalam hati dia berpikir.
"Bocah ini jika dibandingkan dengan ayahnya tempo hari, permainan pedangnya jauh lebih matang dan ganas. Dalam usia yang demikian mudanya, tidak tahu dia sudah berlatih dimana sehingga mencapai hasil seperti ini?"
Kim Loo-toa yang melihat gerakan Leng Hong begitu cepat bagaikan angin puyuh, sedangkan serangan-serangan yang dilancarkannya bagaikan gelombang sungai Tiang Kang yang tidak putus-putusnya, berikut kakinya yang menggunakan gaya Pat Kwa untuk menjaga dirinya dengan sangat rapat sekali, dengan pandangan sekilas saja dia segera mengetahui, bahwa pemuda itu sedang menggunakan kepandaian dari partai Thay Khek yang bernama 'Toan-hun-kiam', yang diam-diam ia jadi berpikir.
"Pemuda ini bila bukannya tengah melindunginya bersama Peng Jie, maka pendeta-pendeta busuk ini sudah siang-siang dapat dijatuhkannya."
Waktu ia memandang lebih lanjut, ia mendapatkan kenyataan bahwa suasana pertempuran sudah banyak berubah.
Kini Leng Hong sudah berada diatas angin.
Dengan pedangnya yang sebentar disabetkan kekiri dan sebentar ditusukannya kekanan, dia berhasil membikin tiga lawannya kucar kacir sehingga kepala mereka basah mandi keringat.
Dengan ini ternyatalah, bahwa untuk menjaga diri mereka sendiri saja sudah sedemikian sibuknya, apa lagi untuk menyerang dengan secara berbareng yang sudah jelas mereka tak mampu untuk melakukannya pula.
Pertempuran sudah mencapai babak yang menentukan, ketika dengan sekonyong-konyong Leng Hong mengangkat satu kakinya menendang, dengan mana ia berhasil dapat menendang salah satu pendeta yang segera terguling roboh ditanah, sedangkan tangan kanannya dengan menggunakan tiga jurus terakhir dari ilmu pedang Toan-hun-kiam yang disebut 'Jiok-si-piauw-hong' (bunga yang lemah tertiup angin), 'Tiam-tiam-hwan-seng' (bintang-bintang berkelip- kelip) dan 'Sek-po-thian-keng' (batu pecah mengejutkan langit), dia menyerang para lawannya, hingga dengan mengeluarkan dua kali suara jeritan ngeri, kedua pendeta lainnya berturut-turut telah jatuh roboh pula kemuka bumi.
Ternyata begitu Leng Hong mengeluarkan tiga jurus terakhir dari ilmu Toan-hun-kiam ini, kedua pendeta itu merasakan mata mereka berkunang-kunang, sedangkan pada muka mereka terasa hawa dingin yang menyamber- nyamber, hingga tidak terasa lagi, saking kagetnya, mereka pada mengeluarkan teriakan ngeri.
Kaki mereka tiba-tiba terasa lemas, berhubung mereka telah kena tertotok jalan darah 'Kong-sun-hiat' mereka.
Kim Loo-toa yang menyaksikan kejadian ini, didalam hatinya ia berpikir.
"Jurus yang berjumlah tiga yang terakhir dari pemuda ini, sebenarnya jika diteruskan, dia dapat membinasakan lawannya, hanya sewaktu pedangnya itu hampir menyentuh sasarannya, lekas-lekas segera ditariknya kembali, suatu tanda bahwa dia hanya menggores serta menotoki sepasang kaki mereka saja, tapi tidak bermaksud untuk mengambil jiwa mereka. Dengan ini aku segera ketahui, bahwa pemuda tampan ini bukan saja ilmunya sangat tinggi, tapi juga hatinya welas asih kepada sesamanya."
Tapi Cek Yang Tojin yang menyaksikan demikian, wajahnya segera berubah menjadi pucat, buru-buru dia maju membebaskan totokan ketiga muridnya itu. Sekonyong-konyong Peng Jie berkata.
"Kim Siok-siok, cobalah kau katakan, benar atau tidak pendapatku itu?"
Kim Loo-toa lalu bertanya.
"Pendapat apakah?"
Peng Jie menjawab.
"Siang-siang sudah kukatakan, bahwa pendeta-pendeta busuk itu pasti akan dibikin kucar- kacir olehnya!"
Kim Loo-toa menganggukkan kepalanya sebagai ganti kata-kata, tapi diam-diam ia berpikir.
"Tenaga-dalam Cek Yang Tojin sangat hebat sekali, sedangkan pemuda ini dengannya tampaknya terdapat permusuhan yang tidak dapat dikatakan kecil, maka dalam sekali bertempur ini, mereka pasti ada salah seorang yang mati atau terluka parah. Cek Yang sangat tidak tahu malu. Jika dia bersama- sama para muridnya sampai kejadian mengeroyoknya, pasti sangat membahayakan bagi pemuda tampan itu. Karena kini aku sendiri sudah kehabisan tenaga dan sudah tentu tak berdaya untuk membantu ia, hingga aku merasa kuatir sekali bagi keselamatan diri sipemuda tersebut."
Kim Loo-toa lalu berkata.
"Bangsat Cek Yang, kau pasti tidak dapat mengalahkannya, dari itu, baiklah murid- muridmu sekalian boleh kau ajak saja mengepungnya dengan serentak!"
Cek Yang Toajin mengetahui, bahwa lawannya tengah mengejeknya, maka diapun berpendapat, sekalipun permainan pedang Leng Hong cukup hebat, tapi tenaga dalamnya tentu sekali tidak dapat memenangkannya, terutama ia sudah berpengalaman banyak tahun, dari itu dengan mengambil keputusan yang pasti, ia lalu berseru.
"Pengemis pejajaran, kau jangan pentang bacot tidak keruan! Tenanglah. Untuk menghadapi seorang bocah ini, perlu apakah aku mohon bantuan orang?"
Leng Hong setelah berhasil menjatuhkan tiga lawannya, hatinya menjadi besar, dan ketika melihat Cek Yang ingin menghadapinya dengan seorang diri saja, malah ia menjadi marah dan lalu memaki.
"Bangsat Cek Yang, kau jangan omong dengan seenaknya saja, hari ini adalah hari kau menghadap pada Giam-loo-ong!"
Cek Yang menjadi gusar sekali, sambil berseru.
"Sambutlah seranganku", dia sudah menyarang pada lambung kanan Gouw Leng Hong. Leng Hong tidak berani berlaku ayal-ayalan, dia segera membentangkan jurus 'Kay-san-sam-sek-po-giok-kun' untuk menangkis serangan lawannya. Setelah bertempur beberapa jurus lamanya, Cek Yang yang melihat Leng Hong menggunakan hanya sepuluh jurus saja pulang pergi, tapi tenaganya ternyata kuat sekali, sekalipun serangannya bagaimana hebatnya dilakukannya, kenyataannya selalu kena ditangkis saja oleh sipemuda, sehingga untuk sementara dia tak berhasil menjatuhkan pemuda itu, maka tidak terasa lagi hatinya menjadi gugup sekali, kemudian dengan beruntun ia telah melancarkan serangan-serangan yang mematikan, yaitu dengan kepandaian paling diandalkannya dan bernama 'Bu-kek-sin- kong-kun'. Ilmu 'Bu-kek-sin-kong-kun' ini adalah serangan yang keras sekali. Begitu Cek Yang mengeluarkan tipunya ini, angin santer segera keluar menderu-deru menyerang lawannya. Maka sipemuda yang menampak pihak musuhnya berlaku nekat, iapun tidak berani memandang rendah dan segera melawan dengan sekuat tenaganya, kian lama kian cepat dan dahsyat saja agaknya. Dalam pada itu, Kim Loo-toa lalu memandang pada Peng Jie, yang ketika itu tengah memusatkan seluruh perhatiannya atas jalannya pertempuran kedua orang itu. Semangatnya tampak gagah sekali, seakan-akan ia sendiri saja yang sedang bertempur, hingga tidak terasa lagi ia jadi menghela napas, dan kemudian dengan diam-diam dia berpikir.
"Bocah ini ternyata masih sangat muda. Ia tak tahu akan bahaya yang sedang dihadapinya. Kedua orang yang sedang bertempur ini, bukan saja ingin menamatkan riwayat lawannya masing-masing, malahan pertempuran itu sendiri mempunyai sangkut-paut yang erat sekali dengan nasib partai Kay-pang. Andaikata pemuda itu terkalahkan, maka keadaan mereka menjadi berbahaya sekali, karena ia sendiri yang tenaganya belum pulih kembali, akan berarti musnahnya partai Kay-pang dalam tangannya bangsat Cek Yang ini."
Sekalipun Kim Loo-jie seorang yang kasar, tapi jalan pikirannya sangat jauh, maka karena perasaannya pada saat itu sangat tegang, tidaklah heran jika ia sampai mengeluarkan keringat dingin.
Kedua orang itu sudah bertempur hampir memasuki jurus keseratus.
Disatu pihak Leng Hong tenaganya penuh dan mantap, sedangkan lawannya Cek Yang licin dan berpengalaman serta penjagaannyapun sangat rapat pula, sehingga mereka berdua bertempur dalam keadaan berimbang.
Halmana, telah membuat Leng Hong menjadi tidak sabaran sekali dan berpikir didalam hatinya.
"Jika aku tak menggunakan tipu-tipu yang berbahaya, sukar sekali agaknya untuk memperoleh kemenangan dari bangsat tua ini."
Diapun dapat menyaksikan, bahwa tenaga-dalam Cek Yang Tojin tidak berada disebelah bawah daripada dirinya sendiri.
Tapi bila dia menggunakan tipu-tipu yang berbahaya, sekali saja berlaku kurang hati-hati, mungkin sekali akhirnya dia sendirilah yang akan menderita kerugian.
Oleh karena itu, diam-diam ia menjadi ragu-ragu untuk segera melaksanakan tindakannya.
Setelah lewat pula berapa jurus lamanya, Leng Hong lalu berseru sambil membentangkan dan merapatkan sepasang tangannya, pukulannya ini sebentar diulur dan sebentar pula ditarik, tangan kirinya dengan melintang menjaga dadanya, sedangkan tangan kanannya dengan menggunakan jurus 'Kay-san-sam-sek', kemudian telah diubahnya menjadi 'Toan-hun-kiam-cau'.
Jurus pelajaran yang disebut Toan-hun-kiam-cau adalah jurus pelajaran hebat yang pernah diwariskan oleh ayahnya Hoo-lok-it-kiam Gouw Ciauw In.
Begitu Gouw Leng Hong menggunakan jurus tersebut, dia segera merasakan, bahwa tenaga serangannya bertambah hebat, sehingga selanjutnya tampak jelas sekali, bahwa serangan-serangannya itu mengandung bahaya maut bagi lawannya.
Cek Yang Tojin tidak pernah menyangka, bahwa pemuda itu dapat mengubah serangannya begitu cepat dan berbahaya, maka sambil merangkapkan sepasang tangannya dia mundur satu langkah, bersiap sedia untuk melancarkan serangan yang sehebat- hebatnya.
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menampak hal itu, Gouw Leng Hong hanya mengeluarkan suara jengekan saja, tangan kirinya yang tadinya dipakai menjaga dadanya, kini dengan segera ditekankan kebawah.
Tangan kanannya bergerak secepat kilat dari serangan memancing diubah menjadi serangan sungguhan, hingga dengan berbareng diapun melancarkan serangan yang hebat itu kepada diri lawannya.
Dalam serangannya sekali ini, tenaga seluruhnya sudah disalurkan dengan sepenuh-penuhnya, sehingga kekuatannya seakan-akan dapat menghancurkan bukit dan memecahkan batu karang, hal mana sungguh amat mengejutkan sekali hati semua orang.
Pada waktu pertemuan dipuncak gunung Thay San, Cek Yang Tojin pernah bertempur dengan sipemuda, yang kiamhoatnya (ilmu pedangnya) biasa saja, hingga tidak cukup untuk menakutkannya.
Tapi kini, siapa tahu, ketika baru saja berpisah setengah tahun lamanya, kemajuan Gouw Leng Hong sudah sedemikian tingginya, sehingga itu semua sangat mengherankan dan berbareng mengejutkan sekali bagi dirinya.
Tapi dengan mengandalkan tenaga-dalamnya yang cukup dahsyatnya, diapun tidak menyerah mentah-mentah melainkan dengan tipu 'Twie-cong-bong-goat' (menolak jendela memandang rembulan) dia telah menyodokkan pedangnya kepada sipemuda.
Begitu kedua pedang itu saling beradu, Gouw Leng Hong rasakan serangan Cek Yang Tojin sama sekali tidak bertenaga, seakan-akan tenaganya sudah lenyap tidak berbekas, sedangkan dia sendiri sudah tidak keburu menarik kembali serangannya.
Disinilah letak kelicikan Cek Yang Tojin ini.
Begitu dia melihat pemuda kita tidak berhasil mencapai sasarannya, Kim Loo-toa yang menyaksikan pertempuran itu dari samping, tidak terasa lagi hatinya jadi terkesiap dan mengeluarkan teriakan terkejut.
Duel Dua Jago Pedang -- Khu Lung Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Kuda Putih Karya Okt