Munculnya Seorang Pendekar 23
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id Bagian 23
Munculnya Seorang Pendekar Karya dari Tjan Id
Kejadian diatas dunia ini, ada kalanya begitu kebetulan bagaikan sudah dituliskan oleh Takdir.
Andaikata Lie Siauw Hiong mengambil jalan yang sebelah kanan, penghidupannya pasti akan berubah menjadi lain kesudahannya.
Jalan disebelah kiri itu pada akhirnya menuju keatas sebuah bukit, dimana kedua orang pemuda ini setelah mencari-cari sebentar, sedikit jejakpun tidak mereka dapati, maka sambil menghela napas Lie Siauw Hiong berkata.
"Kebanyakan kita telah mengambil jalan yang salah .."
Sekonyong-konyong Leng Hong berseru.
"Hiong-tee, tengoklah, disana terdapat guha gunung, marilah kita coba memeriksanya."
Lie Siauw Hiong seakan-akan dari kegelapan telah berhasil dapat mencari setitik sinar terang, maka dengan langkah yang pesat ia hampiri guha tersebut.
Selama beberapa hari ini, entah sudah berapa kali dia dikecewakan, tapi dia masih tetap bersemangat dan kekecewaanpun banyak pula dia sudah rasakan, tapi semuanya itu dapat dipertahankan terus berkat cintanya yang besar terhadap orang yang sedang dicarinya itu.
Dari kejauhan sudah kelihatan berdiri dimuka guha yang dituju itu seorang laki-laki, yang itu seakan-akan melihat juga akan kedatangan mereka berdua, bahkan dari pinggangnya ia telah mencabut sebilah pedang untuk bersiap-siap.
Tatkala Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong tiba dihadapannya, mereka dengan serentak mengeluarkan suara "Oh", karena orang itu ternyata bukan lain daripada Bu-lim-cie-siu Sun Ie Tiong adanya.
Dalam hati Lie Siauw Hiong merasa bagaikan dibokong oleh ribuan anak panah yang menancap diulu hatinya, karena Sun Ie Tiong dan Ceng Jie tentu sekali tidak ada sangkut pautnya pada satu dengan yang lainnya, tapi dengan terpaksa dia berkata juga.
"Sun Heng, apakah engkau baik-baik saja?"
Sun Ie Tiongpun menjawab.
"Kalian berdua mengapa datang kemari?"
Sekonyon-konyong Leng Hong berseru.
"Hiong-tee, lihatlah, siapakah gerangan dia ini?"
Lie Siauw Hiong lalu memandang kearah yang ditunjuk oleh Leng Hong, dimana ia melihat seorang laki-laki dengan tenang berjongkok diatas salju yang putih, tengah meniupkan asap yang dimasukkan kedalam guha tanpa henti-hentinya, pada tangannya ia memegang segulungan hio wangi, hingga Lie Siauw Hiong yang sudah agak paham terhadap 'Racun', dengan sekali lihat saja dia sudah mengetahui, bahwa orang ini sedang mencari ular berbisa yang umum disebut 'Kim-siat-jie' atau ular lidah mas.
Dalam diwaktu ia memandang dengan cermat, tanpa terasa lagi ia menjadi tercengang, karena muka orang itu yang penuh bekas bacokan sehingga tidak keruan macam, sesungguhnya bukan lain daripada Thian-mo Kim Ie adanya.
Siauw Hiong jadi tergerak hatinya dan berpikir.
"Kim Ie ini dari tempat yang terpisah ribuan lie jauhnya telah datang kemari dengan hanya bermaksud untuk mencari ular 'Kim- siat-jie', tentulah dia ingin membikin 'Hiat-hun-tok-see' atau pasir darah beracun untuk mencabut nyawa."
Kepandaiannya ini, semuanya telah didapatinya dari kitab 'Tok Keng' (kitab racun).
Kim Ie adalah salah seorang manusia aneh yang terdapat didunia ini, sekalipun dia mengetahui dibelakangnya berdiri Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong berdua, tapi sekejappun dia tidak menolehkan kepalanya memandang kepada mereka.
Leng Hong yang kuatir Lie Siauw Hiong merasa kecewa, kembali dia sudah mendahului berkata.
"Hiong-tee, marilah kita pergi kedalam guha untuk menyelidikinya .."
Sun Ie Tiong sebaliknya dengan tergopoh-gopoh dan bersikap tegang telah mendahului berkata.
"Tidak mungkin!"
Lie Siauw Hiong merasa sangat aneh dan lalu balik bertanya.
"Mengapa tidak mungkin?"
Sun Ie Tiong sendiripun agaknya menginsyafi, bahwa dirinya sudah berlaku tegang tidak keruan, hingga ia lantas memberi penjelasan.
"Aku hanya ingin mengatakan, bahwa kalian berdua untuk sementara waktu jangan masuk kedalam guha itu."
Dengan tidak sabaran Lie Siauw Hiong berkata.
"Kenapa?"
Mungkin karena terlampau gugup, suaranya menjadi keras sekali, sehingga Sun Ie Tiongpun menjadi agak marah juga dibuatnya, tapi dia tidak menjawab pertanyaan orang.
Kecurigaan Lie Siauw Hiong kian bertambah besar dan dengan suara yang dalam ia bertanya.
"Mengapa? Katakanlah .."
Sun Ie Tiong dengan marahpun menjawab.
"Jika tidak karena apa-apa, kau mau apa?"
Sebenarnya Lie Siauw Hiong mengira, bahwa Ceng Jie pasti tidak ada dalam guha itu, tapi ketika mendengar jawaban orang ia jadi bertekad bulat untuk memasuki guha tersebut untuk melakukan pemeriksaan, maka dengan tidak mengeluarkan sepatah katapun, dia sudah bersiap-siap untuk memasuki guha itu.
Sun Ie Tiong segera menghadang dipintu masuk guha itu dengan menghunus pedangnya.
(Oo-dwkz-oO)
Jilid 46 (Tamat) Justeru tepat pada saat itu, sekonyong-konyong dari tempat gelap dari arah belakangnya terdengar suara orang yang tertawa dingin, hingga Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong buru-buru menolehkan kepalanya memandang, dimana mereka berdua melihat disuatu tempat yang terpisah tiga tombak jauhnya dari tempat mereka berdiri, terdapat lima orang yang wajah dan pengawakan badannya tidak rata.
Yang mengepalai rombongan itu adalah jago kelas satu dari Thian-tiok, yaitu Kinlungo.
Menampak hal itu, Lie Siauw Hiong jadi agak terperanjat, dan tatkala sinar mata mereka saling berbentrok, kedengaran Kinlungo berkata dengan suara dingin sambil melangkah maju dua tindak.
"Lie Tayhiap, apakah engkau baik-baik saja?"
Mendengar perkataan orang, Lie Siauw Hiong hanya bergelak gumam yang sukar diartikan lawannya.
Sedangkan Kim Ie sendiri yang sedang berjongkok menangkap ular, menolehpun tidak kearah mereka.
Dia tak melakukan gerak apa-apa, itulah sebabnya mengapa Kinlungo dan kawan-kawannya tidak melihat kepadanya.
Sementara Kinlungo yang melihat Lie Siauw Hiong tidak menghiraukannya, tidak terasa lagi ia menjadi murka, maka dengan suara dingin dia berkata.
"Hari ini aku bersama-sama saudara seperguruanku datang untuk memohon sesuatu kepadamu .. hm, agaknya pedangmu termasuk benda yang langka juga, ha?"
Lie Siauw Hiong yang melihat lawannya dengan hanya melihat gagang pedangnya saja sudah mengetahui bahwa pedangnya itu adalah pedang mustika, pandangannya yang tajam ini sungguh mengagumkan sekali, hingga dalam hati ia berpikir.
"Bocah ini ingin memohon apakah dariku? Ah, mungkin juga dia hendak memperdayaiku!"
Tapi dimulut dia hanya menjawab.
"Kenapa?"
Sambil berkata-kata Kinlungo lalu tertawa-tawa, dan berkata pula.
"Tidak ada apa-apa, selain untuk melaksanakan janji lama saja. Kami hanya ingin penegasan satu patah kata saja dari Lie Tayhiap, sudah itu, kamipun akan merasa bersyukur sekali .."
Dengan heran Lie Siauw Hiong balik bertanya.
"Mengakui apakah?"
Setelah berdehem dua kali, Kinlungo lalu berkata.
"Asal saja Lie Tayhiap mengakui bahwa kepandaian silat dari Thian-tiok berada diatas dari para pendekar di Tiong-goan, kamipun sudah cukup merasa puas .."
Lie Siauw Hiong lekas menjawab.
"Tempo hari kalian Heng-hoo-sam-hut dalam pertandingan dipulau Siauw Ciap To telah banyak memperoleh kemurahan, bila tidak, masakah kalian dapat berlalu demikian mudahnya? Hm!"
Sambil tertawa dingin, Kinlungo berkata pula.
"Guruku dengan secara sekonyong-konyong melihat Bu Kek Toocu telah terserang oleh penyakit, maka guru kami telah melepaskannya begitu saja, jika tidak, apakah hal itu Lie Tay-hiap menganggap bukan suatu kebaikan?"
Lie Siauw Hiong tidak dapat lagi menahan kemarahannya, maka dengan tertawa terbabak-bahak ia berkata.
"Apakah kedatangan kalian semata-mata disebabkan oleh hal itu sajakah?"
Dengan sombong Kinlungo manggutkan kepalanya.
Lie Siauw Hiong hanya merasakan dadanya hendak meledak, berhubung darahnya sudah naik sekian derajat, maka dengan tidak memperdulikan pula kepada dirinya sendiri dan berbareng melupakan juga usahanya untuk mencari Thio Ceng, juga dengan melupakan bahaya yang mengancam pada dirinya ia telah berteriak.
"Aku orang she Lie menjawab pertanyaanmu, yaitu kalian lekas enyahlah dari sini!"
Sesungguhnyalah, pada saat itu dia telah melupakan pada diri Ceng Jie ..
bila hal itu diingatnya kemudian, mungkin ia akan merasa heran juga ..
tapi sampai detik itu, hatinya yang menyinta ternyata jauh lebih kecil daripada tugasnya yang harus diselesaikan dengan segera disaat itu juga! Dengan tawar Kinlungo tertawa, diapun tampaknya tidak menghiraukan lawan bicaranya lagi, hanya dengan menunjuk pada seorang hweeshio (pendeta) katai ia berkata.
"Yang ini adalah Twa-suhengku, gelarnya disebut orang Mitopos."
Lie Siauw Hiong lalu memandang pada hweeshio katai itu, yang bentuk kepalanya agak muncul, sepasang matanya tajam bagaikan mata burung alap-alap, tapi sekalipun perawakannya agak kecil, semangatnya besar dan teguh sekali laksana sebuah gunung, hingga dengan perasaan tercengang Lie Siauw Hiong lalu berkata.
"Tenaga-dalam pendeta ini ternyata amat tinggi, hingga jika dibandingkan dengan guru mereka, mungkin juga terpautnya tidak jauh. Maka diantara kelima orang ini, dialah yang paling sukar dihadapi."
Sudah itu Kinlungo menunjuk pula pada seorang hweeshio berbaju kuning yang berdiri disebelah kirinya sambil berkata.
"Yang ini adalah Jie-suhengku cindu Arhat .."
Kemudian disusul dengan penerangan-penerangan selanjutnya, sambil menunjuk pada hweeshio yang kedua disebelah kiri.
"Yang ini Sam-suhengku Katar kalian berdua pasti sudah pernah saling berjumpa."
Paling aehir dia menunjuk pada hweeshio disebelah kanannya yang berjembros sambil berkata.
"Yang ini adalah sie-suhengku Unjenporo. Kami berlima disebut Poo-lo-ngo- kie .." (Lima orang aneh dari golongan Bhagawat). Lie Siauw Hiong sekonyong-konyong teringat akan penuturan dalam kitab Sansekerta itu, maka sambil tertawa dingin ia menjawab.
"Hm, mungkin kalian adalah Poo-lo- liok-kie?"
Muka Kimlungo berubah seketika, tapi sambil mengeluarkan suara dari lubang hidung ia menjawab.
"Lie Tayhiap sungguh pandai sekali berkelakar .. Omongan kosong dipersingkat saja, kedatangan kami bersaudara kemari adalah tetap untuk .."
Berkata sampai disitu, ia berhenti sebentar, lalu disambungnya pula.
"Lie Tayhiap tidak mau mengakui kepandaian kami melebihi daripada para pendekar di Tiong-goan, hal itu tidak menjadi halangan apa-apa. Hanya tempo hari kami yang pernah bertanding digunung Kwie- san, setibanya dinegeri kami, lalu kami menceritakan tentang kepandaian kalian pada guru kami, hingga mereka sesungguhnya mengagumi sekali terhadap kepandaian Lie Tayhiap dan kawan-kawan, oleh karena itu .. oleh karena itu, kami hendak mencari Lie Tayhiap untuk memohon pengajaran barang satu dua jurus saja .."
Setelah berkata sampai disitu, sepasang matanya yang tajam lalu diarahkan kepada diri Lie Siauw Hiong.
Dengan sikap tenang-tenang saja Lie Siauw Hiong melirikkan matanya selayang pandang kepada para musuhnya, tapi belum berhasil ia menemui satu cara untuk, meloloskan diri dengan secara sempurna.
Kemudian ia membalikkan kepalanya memandang pada Gouw Leng Hong, kepada siapa ia tersenyum sambil bertanya.
"Bagaimana?"
Mula-mula Gouw Leng Hong menggelengkan kepalanya, tapi kemudian dengan suara yang pasti ia berkata.
"Maju satu kita tempur satu."
Wajahnya yang tampan memperlihatkan sifat yang wajar, hingga sifat ini menambah kegagahannya sebagai seorang jantan sejati. Lie Siauw Hiong sambil mendongak ia tertawa panjang, sudah itu dengan lantang ia menjawab.
"Air bah melanda, angin puyuh menderu-deru. Seorang jantan sejati lebih suka mati daripada harus bertekuk lutut dihadapan bangsa asing. Mari, twako, kita berjoang sehingga titik darah kita yang terakhir .. Twako, lima orang bangsa liar ini, cara bagaimana dapat melawan kita?"
Kinlungo tertawa terkekeh-kekeh mendengar perkataan pemuda itu, maka dengan suara dingin ia berkata.
"Kalian hanya berduaan saja, cara bagaimana dapat menghadapi kami?"
Baru saja Lie Siauw Hiong ingin menjawab, sekonyong- konyong dari arah belakangnya terdengar suara orang yang berseru dengan nyaring.
"Tiga orang! bukan dua!"
Tatkala Kinlungo menolehkan kepalanya memandang, ternyata dalam jarak tiga tombak jauhnya ia melihat seorang pemuda berbaju biru yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang, sedangkan kuncir pedangnya yang tergantung dipinggangnya, melambai-lambai tertiup angin lalu, dan orang ini tidak lain tidak bukan adalah pemuda yang ia pernah jumpai digunung Kwie-San, yaitu Bu-lim- cie-siu Sun Ie Tiong adanya.
Kinlungo tertawa tengal sambil berkata.
"Baiklah, kalau begitu engkaupun terhitung masuk bilangan juga."
Hampir dalam saat itu juga, sekonyong-konyong dari arah kiri terdengar orang yang berkata dengan suara dingin.
"Hai, hei, jangan lupa, kawan, disini masih ada aku seorang pula!"
Poo-loo-ngo-kie buru-buru memutarkan badan mereka memandang pada orang tersebut, yang ternyata berdiri dibelakang salah satu batu besar dengan rambut awut- awutan dan pedang terhunus ditangannya.
Muka orang itu terdapat tanda bacokan golok yang bersilang, hidungnya tampak tidak sempurna, sedang keadaan orang itu sangat mengerikan, berhubung orang itu senantiasa melakukan kejahatan dimana-mana pada masa yang lampau, karena ia itupun bukan lain daripada Thian-mo Kim Ie adanya.
Kinlungo yang pernah berjumpa dengan Kim Ie, pada saat ini dia merasakan bahwa muka orang itu sungguh menakutkan sekali, hal mana tanpa terasa pula telah membuat hatinya jadi terkejut.
Lie Siauw Hiong sama sekali tidak menduga, bahwa kedua orang itu sudi mengeluarkan tenaga untuk bersama- sama menempur kelima orang lawan asing tersebut, hingga Siauw Hiong yang menampak hal itu menjadi girang sekali, sedangkan semangatnyapun jadi membumbung semakin tinggi, kemudian sambil tertawa nyaring iapun dengan sekonyong-konyong telah mencabut juga pedang Bwee- hiang-kiamnya.
Dengan demikian, Leng Hongpun segera menelad tindakan kawannya dan melangkah maju sambil menghunus pedangnya pula.
Lie Siauw Hiong dengan suara yang pelahan lalu berkata kepada Gouw Leng Hong.
"Twa-hweeshio yang katai yang menjadi pemimpin mereka, biarlah aku yang nanti hadapi .."
Akan tetapi pada sebelum ia selesai berkata, dengan memperdengarkan suara ser ser dua kali, tampak Kim Ie dan Sun Ie Tiong telah melesat tampil kemuka. Kinlungo dengan tertawa dingin telah berkata.
"Numpang tanya nama tuan-tuan yang terhormat berdua?" (Karena biarpun ia pernah berjumpa dengan kedua orang ini, tapi ia belum mengetahui she maupun nama mereka). Sambil tertawa terbahak-bahak Sun Ie Tiong lalu menjawab.
"Jika mau bertempur, boleh bertempur saja, buat apa banyak bertanya yang tidak-tidak?"
Sedangkan Kim Ie, tanpa bersuara apa-apa, tampaknya sama sekali tidak terlampau mengambil pusing akan tanya jawab tersebut.
Kinlungo saking mendongkolnya jadi tertawa panjang sambil menengadahkan kepalanya, kemudian setelah berhenti tertawa, dengan gemasnya ia berkata.
"Kalian ini sungguh keliwat temberang sekali, tahukah kalian, bahwa hari ini adalah hari kematian kalian?"
Bersamaan dengan diucapkannya perkataan tersebut, segera terdengar suara "brat"
Yang nyaring sekali, suara mana dibarengi melayangnya dengan seutas laso yang panjang dan berwarna hitam legam, menyamber kearah Lie Siauw Hiong dan kawan-kawannya bagaikan ular yang keluar dari dalam sarangnya.
Gouw Leng Hong dengan sebat segera menarik sebelah kakinya, kemudian tangannya diputar dan pedangnya dengan separuh melingkar telah dipergunakan untuk menyampok laso Kinlungo yang datang menyamber kejurusannya.
Lie Siauw Hiong dan kawan-kawannya yang melihat Kinlungo sudah mulai turun tangan, merekapun segera mencari tempat masing-masing dan bersiap sedia untuk menempur musuh.
Tatkala itu Lie Siauw Hiong dengan menghunus pedangnya lalu menolehkan kepalanya pada Sun Ie Tiong dan Kim Ie sambil memanggutkan kepalanya, kemudian segera membalikkan tubuhnya dan mencelat kehadapan pendeta asing yang menjadi kepalanya, yang dengan tak sungkan-sungkan lagi ia lalu tusuk dengan pedangnya.
Jurus serangan pemuda itu sungguh aneh sekali.
Karena pedang Bwee-hiang-kiam itu bagaikan pecut yang lemas, ujungnya yang membentuk lingkaran bergerak kekiri- kekanan, atas dan bawah, menyerang dengan ganasnya kearah empat jalan darah yang berbahaya didadanya Mitopos.
Pendeta asing itu sama sekali tidak mengira, bahwa lawannya dapat mengeluarkan serangan yang seaneh dan luar biasa itu, maka sambil mengeluarkan suara "Ih"
Lekas- lekas ia miringkan pundaknya, hingga dengan begitu ia berhasil dapat meluputkan serangan Lie Siauw Hiong yang maha dahsyat itu.
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selanjutnya dengan mengambil kesempatan selagi badannya Lie Siauw Hiong masih bergoncang, Mitopos telah pergunakan sepasang tangannya untuk memukul kepada pemuda kita, hingga tangan yang kurus kecil itu sama sekali tidak disangka akan mampu menerbitkan angin yang menderu-deru, diwaktu serangannya diarahkan pada jalan darah Sin-teng dan Hian- kie sipemuda.
Biar bagaimana cepatpun Lie Siauw Hiong berkelit, tidak urung dia tak keburu menarik kembali pedangnya, oleh karena itu, ia terpaksa menangkis serangan lawannya itu dengan tangan kirinya, sehingga beradunya tiga telapak tangan itu menerbitkan suara yang keras sekali, berbareng dengan mana Lie Siauw Hiong sampai mundur dua langkah jauhnya.
Diam-diam Lie Siauw Hiong berkata pada dirinya sendiri.
"Si Mitopos ini sungguh tidak kecewa menjadi kepala dari kelima orang aneh dari kaum bhagawat. Tenaga-dalamnya cukup tangguh dan ternyata lebih tinggi setingkat jika dibandingkan dengan Kinlungo sendiri."
Dengan menundukkan kepalanya, ia melihat sinar pedang Bwee-hiang-kiamnya berkilau-kilau memancarkan sinar dingin, kemudian dengan sepasang mata yang berapi- api ia telah menabaskan pedangnya keatas dan kebawah, membabat kepala Mitopos.
Buru-buru Mitopos memutar badannya, dan selagi ia berbuat demikian, tiba-tiba tangannya telah mencekal sebilah sabit kecil, yang ternyata bukan terbuat dari pada logam atau batu, sinarnya mengkeredep-keredep dan entahlah gegamannya itu terbuat dari bahan apa.
Dari serangan Lie Siauw Hiong ini, Mitopos seakan- akan timbal perasaan tidak enak yang bersarang pada dirinya, ..
karena dia rasakan seluruh jalan darahnya senantiasa dibawah ancaman totokan pedang Lie Siauw Hiong, hanya dia tak mengetahui jalan darah yang mana yang hendak diserang oleh pemuda kita itu.
Tak usah dikatakan lagi betapa lihaynya jurus tersehut, karena jurus yang dipergunakan oleh Lie Siauw Hiong itu adalah bukan lain daripada pelajaran Tay-yan-sip-seknya Peng Hoan Siangjin yang disebut jurus 'Hong-seng-put-sip', atau gerak yang tidak putus-putusnya.
Begitulah deugan cepat Mitopos telah memutarkan badannya, dengan sabit ditangannya ia telah membabat kekiri kanan tubuh Lie Siauw Hiong, dengan ujung sabit itu ia telah mencoba akan menotok jalan darah Co-bok-hiat dikepala kiri pemuda kita, sedangkan dengan gagang sabitnya dia hendak coba menotok jalan darah 'Yu-kiong- hiat' disebelah kanan kepala pemuda itu.
Jurus yang digunakannya ini adalah timbul dengan sewajarnya saja, tapi jurus ini justeru mengandung kehebatan yang tepat sekali, karena dengan jurus ini, berarti bahwa ia sudah menutup jalan mundurnya pemuda lawannya itu.
Siapa sangka Lie Siauw Hiong dengan berseru keras, badannya sudah berputar begitu rupa, sehingga ia dapat melejit dari babatan kiri dan kanan sabit musuhnya, dan bersamaan dengan itu, dengan lincahnya ia sudah menyerang Unjenporo, orang keempat diantara Po-lo-ngo- kie.
Sewaktu Lie Siauw Hiong telah mulai bertempur dengan Mitopos, ternyata yang lainnyapun sudah mulai bergebrak pula.
Diantara kelima ahli silat asing itu, orang ketiga yang bernama Katar tatkala melihat Sun Ie Tiong memandangnya dengan tersenyum dingin, ia menjadi murka sekali, maka sambil melangkah maju ia berhasrat untuk menempur si-pemuda itu.
Siapa tahu waktu dia melampau Kim Ie, tahu-tahu Katar telah ditotok jalan darah 'Tong-bun-hiat' diiganya dengan cara yang amat ganasnya.
Oleh karena itu, dengan tergopoh-gopoh Katar telah mengelitkan dirinya, sedang didalam hati tak pernah ia menyangka, bahwa didunia ini ada orang yang dapat berlaku demikian tidak tahu malunya, menyerang orang tanpa berkata-kata lagi, maka dengan menggereng keras telah membalikkan badannya dan memukul pada Kim Ie yang telah menyerangnya dengan secara menggelap itu, dan bersama dengan itu, diapun telah menghunus pula pedangnya dan dengan berbareng pula telah membacok lawannya dengan sekaligus.
Sun Ie Tiong yang menampak semua orang sudah mulai turun tangan, ia lalu tertawa terbahak-bahak, kemudian mementilkan pedangnya dengan rnengeluarkan suara "ting"
Yang nyaring dan berseru.
"Marilah siapa yang berani melawanku?"
Sudah itu ia menyerang Cindu Arhat dengan pedangnya itu.
Cindu Arhat yang diantara mereka berlima menempati kedudukan kedua, dengan pedangnya ia menangkis serangan lawan itu, hingga kini dalam gelanggang pertempuran itu hanya ketinggalan Unjenporo yang belum mendapatkan lawan, maka dengan tidak sabaran dan tanpa memperdulikan lagi peraturan yang berlaku dikalangan Rimba Persilatan, ia segera menjotos punggung Sun Ie Tiong dari sebelah belakang ..
Justeru bertepatan dengan kejadian tersebut, Lie Siauw Hiong yang dengan lincah dapat menerobos dari babatan Mitopos dari kiri dan kanan, kebetulan ia melihat penyerang secara membokong dari Unjenporo, maka secepat kilat ia telah menusukkan pedangnya untuk membebaskan bokongan ahli silat asing itu terhadap Sun Ie Tiong.
Demikianlah, dikatakan lambat tapi kenyataannya cepat sekali, karena ketika baru saja Unjenporo mengajukan serangannya, pedang Lie Siauw Hiong yang tajam disertai tenaganya yang keras telah menyerang sampai, sehingga Unjenporo tidak berani melanjutkan serangannya dan dengan segera menarik kembali serangan itu, akan kemudian tanpa menolehkan kepalanya lagi ia telah menyabetkan pedangnya kearah belakangnya.
Tapi Lie Siauw Hiong dengan tangkasnya lalu menyabet pulang pergi, sehingga ia berhasil dapat menangkis serangan para lawannya, kemudian dengan gerakan sama tangkasnya ia telah menyerang pada Mitopos dan Unjenporo dengan sekaligus.
Diseberang sana, Gouw Leng Hong yang mendapat lawan Kinlungo, keadaannya sudah tentu saja jauh berbeda dengan yang lain-lainnya, karena Kinlungo biarpun diantara kelima saudaranya terhitung yang paling kecil, tapi karena dia adalah murid mas dari gurunya, tentu saja pelajaran yang didapatkan dari gurunya adalah yang paling sempurna sendiri, maka pada ia datang bersama twa- suhengnya dan mengira, bahwa di Tiong-goan ini kecuali Lie Siauw Hiong seorang, yang lain tidak usah dikuatirkannya lagi, hingga barusan waktu dia melihat Gouw Leng Hong maju menyerangnya, dia hanya mengganda tertawa dingin saja.
Begitulah dengan lasonya dia telah mencoba menyerang dan melilit pedang lawannya, samhil berbareng menyabet keatas dan membabat kebawah dengan lasonya yang panjang itu, dengan berhasrat untuk menghina serta mempermainkan pihak lawanya itu.
Tapi dia mana sangka, bahwa ilmu pedang yang dipakai oleh Gouw Leng Hong itu adalah menggunakan ilmu keturunan pedang leluhurnya, yakni dengan jurus 'Kwie- ong-pa-ho', sehingga pedangnya dengan leluasa dapat menerobos lilitan lasonya, malah ujung pedangnya dengan cepat sudah hampir menusuk jalan darah dipahanya.
Dia sama sekali tidak menyangka, bahwa serangan Gouw Leng Hong begitu cepat dan ganas, sehingga ia harus berlompat tiga kali dengan berturut-turut barulah ia dapat membebaskan dirinya dari pada serangan pemuda lawannya itu.
Tempo dahulu Gouw Ciauw In ayah Leng Hong dengan jurus yang dipakainya telah melawan tiga orang musuhnya di Yong Kwan yang disebut 'Tiang-pak-sam-eng' atau tiga elang dari pegunungan Tiang-pek, dengan jurus mana ia telah berhasil melukai seorang lawannya, sehingga yang seorang lagi terpaksa melarikan diri, dan kini anaknya dengan menggunakan tipu yang sama telah menyerang Kinlungo, dan karena pada beberapa waktu yang lalu Leng Hong telah mendapat pelajaran gaib, maka tidaklah heran jika kepandaiannya jauh melampaui kepandaian ayahnya dahulu.
Kinlungo lalu mengangkat kepalanya memandang pada Gouw Leng Hong, yang ternyata berwajah amat tampan dan masih muda belia, sedangkan ditangannya menghunus pedang yang dilintangkan didepan dadanya.
Dengan lawannya ini baru saja beberapa bulan dia tak berjumpa, tapi ternyata pemuda lawannya ini sudah maju sedemikian pesatnya.
Oleh karena itu, lalu dia sapukan matanya memandang keempat penjuru.
Dia lihat jie-suhengnya sedang bertempur dengan Sun Ie Tiong, dengan kedua pedang mereka saling gulung-menggulung bagaikan sepasang naga yang sedang bertempur dalam lautan yang terbuka.
Pertempuran itu cukup hebat dan terbukti dengan pedang yang berkelebat- kelebat memancarkan sinarnya yang berkilau-kilauan, sehingga mata yang memandangnya terasa kabur.
Dalam hati ia merasa terkejut sekali, hingga diam-diam dia berpikir.
"Permainan pedang jie-suheng diantara kita berlima, hanya dialah yang tergolong paling pandai, tapi mengapakah dia belum berhasil dapat menjatuhkan lawannya? Apakah barangkali keempat lawan ini semuanya tergolong dalam tingkat atas?"
Dugaan Kinlungo ini memang sedikitpun tidak meleset, karena sesungguhnyalah bahwa keempat orang itu pada saat ini didaerah Tiong-goan tergolong sebagai orang-orang gagah memiliki kepandaian yang paling hebat.
Diantara Poo-loo-ngo-kie kecuali yang memegang sabit Mitopos dan Kinlungo yang menggunakan laso, Cindu Arhatlah Ceng-Tu yang terhitung paling menonjol dalam permainan pedang.
Karena dengan mengandalkan sebatang pedangnya ini, didaerahnya sendiri, yaitu Thian-tiok, dia pernah mengalahkan delapanbelas jago-jago pedang kenamaan, sehingga namanya disekitar Thian-tiok dan Tibet, setiap orang yang pandai menggunakan pedang pasti akan mengetahui sampai dimana Kelihayan Cindu Arhat itu.
Tapi pada saat ini Sun Ie Tiong baru saja dapat mempelajari ilmu pedang Pang Hoan Siangjin yang bernama 'Hui-pek-kiam-sek', hingga Cindu Arhat sekalipun telah menyerang lawannya bagaikan sinar kilat dahsyatnya, sedikitpun dia tak berdaya untuk menggempur daya pertahanannya Sun Ie Tiong.
Dan tatkala Kinlungo melirikkan matanya kearah kiri, ia melihat Katar dengan menggereng karena kemurkaannya yang memuncak hebat sekali telah menerjang bagaikan harimau edan kepada pemuda yang bermuka jelek bagaikan memedi, sedangkan pemuda yang berwajah jelek itupun tanpa sungkan-sungkan lagi segera membalas menyerang lawannya dengan tidak kalah hebat dan ganasnya.
Dan selama pertempuran itu berlangsung dengan amat hehatnya, dalam hatinya Kinlungo diam-diam merasa lega dan berpikir.
"Bocah berwajah jelek ini sekalipun tampaknya ganas dan telengas, tapi diantara lawannya yang berjumlah empat orang ini, adalah dia sendiri yang paling lemah kepandaiannya, hingga Katar masih sanggup menghadapinya. Asalkan aku bersama twa-suheng dapat memenangkan pertempuran ini perduli apa lagi terhadap yang lain-lainnya?"
Oleh karena itu, terpaksa dia melirikan matanya pada pertempuran hebat yang tengah berlangsung antara twa- suhengnya dengan Lie Siauw Hiong, tatkala pada saat itu telinganya sekonyong-konyong mendengar suara bentakan Gouw Leng Hong yang nyaring.
"Lihat pedang!"
Belum lagi Gouw Leng Hong berseru habis, pedangnya sudah menjurus sampai.
Kinlungo yang telah mengambil ketetapan yang pasti, maka hatinyapun menjadi mantap sekali, sambil tertawa dingin dan tanpa menolehkan kepalanya lagi, dia sudah membabatkan lasonya kebelakang.
Laso tersebut berputar ditengah udara dua kali dengan cepat sekali, sedangkan ujung laso yang melesat bagaikan kilat cepatnya telah mengancam jalan darah 'Kiok-tie-hiat' dipundak Gouw Leng Hong.
Leng Hong yang memperhatikan aksi lawannya, pedang yang terhunus ditangan kanannya lalu mengikuti putaran laso lawannya dengan membentuk lingkaran pula, sehingga diapun berhasil membebaskan sabetan laso lawannya, kemudian ia memainkan pedangnya dan lagi-lagi menyerang lawannya dengau menggunakan jurus 'Kwie- ong-pa-ho' kembali.
Kinlungo tidak menyangka bahwa Leng Hong sudah mahir sekali ilmu pedangnya, lagi pula gerakannya begitu lincah dan cepat, hingga diapun tidak berani berlaku ayal- ayalan, maka dengan menambah kekuatan pada lengannya, telah putarkan lasonya kembali.
Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan marah dari pihak lainnya lagi, karena diseberang sana katar yang bertempur dengan Kim Ie sudah mencapai babak yang menentukan ..
Katar belum pernah seumurnya menemui lawan yang lebih ganas daripada Thian Mo Kim Ie, yang pada saat itu dengan keras lawan keras telah menempur musuhnya, dan tiap-tiap serangan yang dilancarkannya selalu mengarah tempat-tempat yang berbahaya, sehingga Katar berteriak-teriak saking kalapnya.
Apa yang menyebabkan dia bertambah kalap, adalah muka Kim Ie yang dingin selalu seperti mengejek dirinya saja, ditambah dengan bekas bacokan dimukanya, yang menyebabkan orang sukar menahan kengerian dari wajahnya itu.
Begitulah dengan bayangan masing-masing yang tampak sebentar merapat sebentar berpencar, pundak kiri Kim Ie telah kena dilukai oleh Katar sehingga darahnya mengucur deras, tapi dia sendiri tidak pernah mengeluh.
Sepasang kakinya bergerak dengan lincahnya sambil menggunakan ilmu pedang 'Pek-ciok-kiam-hoat' pejaran gurunya Pak-kun Kim It Peng menggunakan jurus 'Tok-kong-heng-sek' (Kala jengking beracun melintangkan capitnya) dengan mana diapun telah berhasil menggores dada Katar dengan ujung pedangnya! Diatas gunung Liok-poan-san disitu, dimana buminya sudah putih meletak karena dialasi oleh salju, sedangkan dilangit penuh bunga-bunga berpijar api karena beradunya pedang-pedang satu sama lain, merupakan suatu pemandangan yang luar biasa dibalik keseraman serta maut yang tengah mengintai pihak masing-masing yang kurang bersiaga.
Begitulah dipuncak gunung tersebut sembilan jago-jago muda tingkat kelas satu sedang bertempur dengan mempertaruhkan nyawa mereka, suatu pertempuran yang sungguh mendebarkan serta mengerikan sekali barang siapa yang memandangnya.
Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan yang mengerikan.
Pada saat itu sekalipun mereka sedang memusatkan perhatian mereka terhadap pertempuran yang sedang mereka lakukan itu, tapi tidak urung diwaktu mendengar suara jeritan tersebut, mau tak mau mereka jadi berhenti sedetik, ternyata ahli pedang nomor wahid dari Thian-tiok yaitu Cindu Arhat yang sedang bertempur hebat dengan Sun Ie Tiong telah mengalami perubahan yang tidak disangka-sangka ..
Pada saat itu tampak bayangan kedua orang itu sedang mengapung ditengah-tengah udara, sinar pedang mereka bergulung-gulung dan terdapat dalam lingkaran sejauh tiga tombak jaraknya mengelilingi tubuh mereka masing- masing.
Cindu Arhat yang lama masih belum berhasil juga mengalahkan Sun Ie Tiong, dalam kemurkaannya yang memuncak terpaksa telah mengeluarkan kepandaian ilmu pedangnya yang paling diandalkannya, yaitu ilmu pedang 'Pek-hap-hui-kiam' (ilmu pedang ratusan rangkai).
Ilmu pedang Pek-hap-hui-kiam ini meski namanya disebut ratusan rantai tapi kenyataannya hanya terdiri dari sembilan macam saja.
Ilmu pedang ini adalah warisan dari golongan kaum beragama 'Hui-liong-kauw' di Thian-tiok, sekalipun Cindu Arhat memiliki ilmu pedang tersebut, tapi sesungguhnya kepandaiannya itu bukanlah diperoleh dari gurunya, yang dinegerinya disebut 'Heng-hoo-sam-hut' itu.
Cindu Arhat setelah berhasil mencangkok kepandaian ilmu pedang tersebut dan membuat namanya menjadi terkenal, selama hidupnya dia hanya baru menggunakan ilmunya itu satu kali saja.
Pada waktu itu, dia hanya mengeluarkan sampai jurus kesepuluh saja, dengan mana telah empat kali ia mengalahkan musuh-musuhnya yang kuat dan mengurungnya dengan hebatnya.
Tapi pada saat ini sekalipun dia telah menggunakan habis seluruh ilmu pedangnya itu, tidak urung dia tak berhasil dapat menggempur daya pertahanan Sun Ie Tiong, hingga dalam kemurkaannya ia terpaksa mengeluarkan ilmu yang paling diandalkannya ini untuk menjatuhkan lawannya yang tangguh itu.
Maka begitu dia keluarkan ilmu pedang 'Pek-hap-hui- kiam' itu, Sun Ie Tiong segera merasakan betapa hebatnya terjangan pihak lawannya itu, karena Cindu Arhat yang gerakannya kini menjadi sangat luar biasa cepatnya, tiap- tiap serangannya selalu mengalami kegagalan saja.
Dan tatkala dengan beruntun ia telah menyerang tiga kali dengan tak berhasil dan malahan dirinya sendiri hampir saja menemui maut, Sun Ie Tiong dalam sengitnya lalu bersiul panjang, dan setelah mengerahkan kekuatan pada lengannya dengan gerak menyabet dan mengacip, sinar pedangnya tampak bertambah hebat, karena dengan gerak itu kini dia telah mengeluarkan jurus dari pelajaran Tay- yan-sip-sek yang disebut 'Hong-seng-put-sip' (gerak tidak putus-putusnya), pelajaran mana telah ditemukan oleh Peng Hoan Siangjin, dari jurus yang sudah hilang dan disebut 'Pouw-tat-sam-sek'.
Jurus 'Hong-seng-put-sip' ini adalah jurus yang paling hebat dan luar biasa sekali, dan pelajaran ini sebenarnya adalah pelajaran dari kaum Budhis, yang didunia ini tidak ada keduanya.
Diwaktu pelajaran itu digunakan, kekuatannya luar biasa hebatnya, kini Sun Ie Tiong yang telah menggunakannya, sekalipun tidak sehebat dan sesempurna seperti yang diperlihatkan oleh Lie Siauw Hiong, tapi sebagai seorang anak murid golongan Budhis, ia dapat juga menggunakannya dengan cukup hebat dan sempurna.
Cindu Arhat yang melihat usahanya hampir saja berhasil, dengan cepat dia melancarkan kembali serangannya kekiri dan kanan, tapi siapa tahu begitu pedangnya saling beradu dengan pedang lawannya, sekonyong-konyong dia rasakan satu tenaga yang luar biasa hebatnya telah menindih pada dirinya.
Dalam kekagetan dan kemurkaannya, buru-buru dia keluarkan seluruh permainan pedang 'Pek-hap-hui- kiam'nya, dan dengan melompat-lompat kesana kesini laksana seekor kera yang lincah, ia menerjang kepada pihak lawannya dengan secara hebat sekali.
Sebaliknya Sun Ie Tiong setelah menggunakan ilmu 'Tay-yan-sip-seknya', ia telah berhasil dengan kecepatannya melampaui kecepatan lawannya, hingga dalam waku yang pendek sinar pedang kedua belah pibak tampak berkelebat- lebat laksana bunga api, berputar-putar mengelilingi tubuh mereka masing-masing ..
hal mana telah menyebabkan orang lain yang berada disekelilingnya jadi berteriak saking tegangnya menyaksikan pertempuran tersebut.
Kedua orang ini semakin lama telah bertempur semakin cepat dan dahsyat, sedangkan sinar pedang yang mengurung mereka tambah lama tambah meluas lingkaran disekelilingnya, hingga lingkaran itu kini telah mencapai jarak lima tombak jauhnya.
Orang lainnya karena takut akan terkena akibat yang tidak disangka-sangka dari pertempuran yang maha dabsyat ini, mereka dengan tidak berjanji terlebih dahulu telah menyingkir sejauh mungkin, sehingga melampaui jarak lima tombak itu.
Sedangkan Kinlungo sendiri yang tidak berhasil menjatuhkan Gouw Leng Hong, kini hanya mengharapkan agar salah seorang dari Twa-suheng atau Jie-suhengnya memperoleh kemenangan, tapi siapa tahu Cindu Arhat sekalipun sudah mengeluarkan ilmu pedangnya 'Pek-hap- hui-kiam' yang hebat itu, ternyata masih tetap saja tidak berhasil ia menjatuhkan lawannya, hingga dalam hatinya tidak terasa lagi menjadi sangat terkejut, oleh karena itu sewaktu dia memperoleh sedikit luang, buru-buru dia menolehkan kepalanya memandang pada Twa-suhengnya ..
Karena sikapnya ini, seakan-akan dia telah melupakan terhadap pertahanannya.
Sedang dipihak lainnya lagi Lie Siauw Hiong dengan seorang diri yang melayani Mitopos dan Unjenporo, ternyata masih sanggup melayani mereka dengan cukup tangkas dan sempurna, sebab dengan tangan kiri yang bertangan kosong dan tangan kanan menggunakan pedang, ditambah lagi dengan tindakan kakinya yang menuruti pelajaran 'Kit-mo-pouw-hoat' dengan lincahnya ia telah dapat melayani lawannya, sedangkan dengan tangan kirinya ia menggunakan jurus-jurus dari 'Kong-kong-ciang- hoat' (ilmu pukulan tangan kosong berjarak jauh), dengan mana ia berhasil dapat membuat lawan-lawannya tidak mudah untuk menyerangnya dengan seenaknya saja.
Dalam kegugupannya, Kimlungo hampir saja kena tertusuk oleh pedangnya Gouw Leng Hong, hingga dengan berteriak keras buru-buru ia putarkan lasonya dengan cepat sekali, dengan mana barulah ia dapat mempertahaukan dirinya terlebih jauh pula.
Sedangkan pihak lainnya lagi, tanpa terasa pula terdengar suara orang yang mengeluh, karena Katar yaug bertempur dengan Kim Ie, kini mereka masing-masing telah bertambah lagi dengan satu tusukan sehingga badan mereka penuh luka-luka.
Kedua orang ini buru-buru mundur beberapa langkah dengan muka pucat dan masing-masing mengeluh karena kesakitan.
Kinlungo yang menampak keadaan tidak menguntungkan bagi pihaknya setelah menangkis dua kali tusukan pedang Gouw Leng Hong, lalu dengan suara nyaring ia berseru.
"Orang she Lie, aku ada omongan yang hendak disampaikan kepadamu. Silakan berhenti sebentar."
Lie Siauw Hiong sambil tertawa dengan penuh keyakinan ia menjawab.
"Kenapa aku harus takut kepadamu?"
Hanya tampak tangan kiri dan tangan kanannya ditarik, sedang kakinya digeser sedikit, kemudian dengan cepat bagaikan bintang beralih, tubuhnya sudah mundur setengah langkah jauhnya.
Sementara orang-orang yang lainnya ketika melihat mereka sudah berhenti turun tangan, merekapun lalu turut pula berhenti.
Sudah itu, kedengaran Kinlungo tertawa getir sambil berkata.
"Ternyata para busu dari pibak Tiong-goan benar- benar hebat sekali, cuma kami bersaudara masih ada satu pelajaran yang hendak mobon pengajaran kepada kalian, yaitu asal saja kalian dapat memecahkan kurungan kami, maka kalian benar-benar terhitung sebagai seorang jago yang tidak ada tandingannya!"
Setelah berkata begitu, tampak Kinlungo membalikkan tubuhnya dan bercakap-cakap dengan Mitopos dalam bahasa asing.
Lie Siauw Hiong dan kawan-kawan hanya melihat mereka dengan melongo saja, karena dengan kecepatan luar biasa mereka telah dikurung ditengah-tengah oleh lawan mereka.
Halmana, sudah barang tentu sangat mengejutkan sekali Lie Siauw Hiong yang sudah kawakan, tapi akhirnya tidak urung ia memuji juga atas kecepatan pihak musuh- musuhnya itu.
Mitopos lalu berkata kepada Kinlungo, yang artinya lebih kurang sebagai berikut.
"Bocah ini hanya memiliki jurus yang aneh saja, tapi bila bertempur lebih jauh, pasti aku mempunyai akal untuk mengalahkannya."
Tampaknya karena tadi ia telah diabui oleh Lie Siauw Hiong, maka kini dia masih merasa kurang puas terhadap pemuda kita. Kinlungo dengan bahasanya sendiri juga menyahut.
"Tidak perduli bagaimana, kita harus menjauhkan mereka dengan kurungan kita ini."
Mitopos meski berkedudukan sebagai Twa-suheng dalam kalangan Po-lo-ngo-kie, tapi ia suka mengikuti petunjuk- petunjuk Kinlungo yang terhitung sebagai saudara yang termuda, berhuhung kecerdikan sutenya paling menonjol diantara mereka berlima saudara.
Lie Siauw Hiong, Gouw Leng Hong, Kim Ie dan Sun Ie Tiong berempat sekalipun belum pernah menampak sampai dimana kebebatannya kurungan bangsa asing ini, tapi dalam hati mereka yakin bahwa kurungan ini pasti akan hebat sekali.
Lie Siauw Hiong dengan sikap yang tenang melihat kurungan tersebut, kemudian dengan kecerdikannya ia segera dapat menduga, bahwa Mitopos menempati kedudukan 'Tin-cu' (pemimpin barisan), dengan Katar dan Unjengporo berdiri dikiri-kanannya, sedangkan Cindu Arbat dan Kinlungo berdiri dihadapannya! Dengan tekun ia memutar otak untuk memecahkan teka- teki barisan ini sambil berpikir didalam hatinya.
"Twako, Sun Ie Tiong dan Kim Ie, mereka bertiga sekalipun tidak mengetahui jelas tentang barisan ini, tapi terhadap dalil 'dengan tenang mengatasi gerakan lawan', pasti mereka dapat memahaminya, oleh karena itu, asal lawan tidak bergerak, kita pasti tidak akan bergerak juga, maka kini aku harus mencoba menempuh bahaya ini .."
Keadaan disekeliling mereka begitu sunyi dan senyap, sehingga jatuhnya salju dapat terdengar dengan nyata. Dalam pada itu Lie Siauw Hiong dengan tajam memandang pada barisan tersebut, sedangkan didalam hatinya ia menimbang-nimbang.
"Tidak perduli barisan apakah ini, pendeta katai itu pastilah 'pemimpin barisan' ini. Sebentar bila pertempuran sudah berlangsung, aku harus menjatuhkan serta membekuk sikatai ini .., bila dengan berbuat demikian ternyata tidak membawa hasil apa-apa, sedikitnya tindakanku ini akan dapat juga mengacaukan barisan ini .."
Kemudian dengan memperdengarkan suara "sret", ternyata sabit ditangan Mitopos telah dikibaskannya sehingga melayang keudara ..
Tatkala itu benar saja, Gouw Leng Hong, Sun Ie Tiong dan Kim Ie sambil menghunus pedang masing-masing, menatapkan mata mereka atas gerak-gerik lawannya itu ..
Lie Siauw Hiong yang mengetahui, bahwa ia tidak boleh menyia-nyiakan waktu, sambil menghempas semangat pedang Bwee-hiang-kiamnya dengan mengeluarkan sinar yang mengkeredep-keredep dengan ditimpali oleh gerakan kakinya yang pendek ia telah menggeser tubuhnya hingga setengah tombak jauhnya, sedang sinar pedangnya mengurung dalam jarak tiga tombak, dengan tangan kirinya diam-diam dipersiapkan unuk memukul lawannya dimana kesempatan terbuka.
Jurus yang dipakainya ini telah diambil dari pelajaran 'Tay-yan-sip-sek', yaitu yang disebut 'But-hoan-seng-ie' (benda-benda bertukar tempat dan bintang beralih arah), tapi ilmu yang dipergunakan oleh Lie Siauw Hiong ini jauh lebih hebat daripada apa yang pernah digunakan tadi oleh Sun Ie Tiong.
Pada saat itu Lie Siauw Hiong telah menggunakan tenaga sepenuhnya, dengan perhitungan bahwa disamping 'Tiga Dewa Diluar Dunia', pasti tidak ada orang yang dapat menyambut serangannya itu.
Orang-orang yang berada dalam gelanggang tersebut dan menampak Lie Siauw Hiong telah mulai bergerak, mereka jadi terkejut bukan kepalang, tatkala pedang Bwee-hiong- kiam Lie Siauw Hiong dengan kecepatan luar biasa telah membabat kearah para lawannya ..
Mitopos jadi berseru keras dan menghentikan gerakannya dengan sekonyong-konyong, sambil mempergunakan sabitnya bagaikan sebatang tombak bercagak saja agaknya.
Lie Siauw Hiong jadi terkejut juga, karena ia tahu bahwa tipu yang digunakannya itu mengandung banyak sekali perubahan, tapi cara penangkisan yang dilakukan oleh Mitopos itu sungguh aneh dan tepat sehingga ia merasa tidak leluasa untuk melancarkan serangannya selanjutnya.
Karena kemana saja serangan itu dilancarkannya, tusukan maupun babatannya selalu bagaikan dirintangi oleh dinding tembok baja yang tidak mudah untuk ditembusnya.
Dia yang sesudah menggunakan pelajaran 'Tay-yan-sip- sek' dan baru unuk pertama kalinya merasakan kejadian tersebut, tangan kanannya yang telah gagal menyerang musuh tentu saja tangan kirinyapun tidak berkesempatan untuk melancarkan serangannya pula, hingga dengan ini tak terasa lagi ia menjadi sangat gugup dan insyaf, bahwa tidak seharusnya ia menggencet tenaga-dalam sipendeta katai itu ..
Justeru pada waku itu, dibelakangnya ia mendengar ada suara senjata yang saling beradu, suatu tanda bahwa yang lainpun sudah mulai turun tangan.
Sedang Lie Siauw Hiong sendiri yang merasakan dibebokongnya ada angin keras yang menyampok dirinya, buru-buru ia mengenjot badannya melayang keatas guna menghindarkan bokongan gelap itu.
Tapi ketika baru saja ia berdaya unuk menggempur bagian bawah lawannya, sekonyong-konyong ia merasakan kearah kakinya ada angin pula yang menyambar, maka dengan tidak menoleh pula diapun segera mengetahui, bahwa laso Kinlungo itulah yang kini telah menyerangnya hingga dalam kekagetanuya ia memuji, betapa cepatnya perubahan pihak musuh yang mengatur barisan untuk mengepung mereka berempat.
Tapi ketika baru saja ia berhasil dapat menghindarkan dirinya dan ingin turun kembali kebumi, laso Kinlungo tiba- tiba sudah membabat sampai ..
inilah sesungguhnya suatu tipu hebat yang dipakai oleh Kinlungo, sehingga Lie Siauw Hiong hampir saja menemui kecelakaan.
Tapi sekonyong- konyong sepasang kaki sipemuda telah ditendangkan ke bawah, sedangkan badannya mengapung kembali keatas, dengan suara laso Kinlungo berjeter nyaring menyabet tempat kosong lewat dibawah tapak sepatu lawannya.
Dan begitu Lie Siauw Hiong kembali kebumi, dari kiri-kanannya senjata lawannya telah menyerang sampai, maka dengan penuh kekuatan ia menangkis serangan para lawannya, kemudian ketika baru saja ia menggeser kakinya setengah langkah, tiba-tiba laso panjang milik Kinlungo telah menyambar untuk memukul kepalanya.
Dengan terkejut dan nekad Lie Siauw Hiong telah melancarkan tiga kali serangan yang saling susul-menyusul, dan diwaktu ia melirikkan matanya memandang pada Gouw Leng Hong, Kim Ie dan Sun Ie Tiong, mereka inipun tampaknya sangat gugup sekali.
Barisan Po-lo-ngo-kie semakin berputar semakin cepat gerakannya, hingga laksana ratusan senjata yang mengurung mereka, dengan hanya mengandalkan tenaga seorang saja sudah tentu tak berdaya ia untuk mengungguli para lawannya.
Mitopos dengan berhadap-hadapan telah melancarkan penyerangannya, Kinlungo dan Cindu Arhat yang masing- masing menggunakan pedang laso lalu saling membantu diwaktu pemimpin mereka melakukan penyerangan, kemudian ditambah lagi dengan Katar dan Unjenporo yang dari samping yang maju dengan bergantian untuk membantu kawan-kawan mereka, sehingga barisan ini tampak sangat rapat sukar sekali untuk ditembusi.
Kian lama Lie Siauw Hiong merasakan tindihan pedang para lawannya kian bertambah berat saja, maka dengan sepenuh tenaganya ia telah melancarkan sepuluh kali penyerangan dengan beruntun.
Tapi, bukan saja cara itu tidak berhasil, malahan bertambah sibuk saja ia menghadapi para lawannya, karena ketika baru saja ia menangkis pedang yang satu, yang empat lainnya sudah menjurus datang, hingga ini sangat sulit untuknya akan dapat menembusi pertahanan lawan yang kokoh itu.
Oleh karena itu, sambil kertek gigi ia telah memutar otaknya, tapi unuk sementara belum berhasil ia dapat menemui jalan keluar dari dalam kepungan para musuhnya itu.
Mitopos dengan langsung menusukkan sabitnya pada Lie Siauw Hiong, hingga pemuda itu mundur kearah kanan setengah langkah, tapi dengan berbuat demikian, ia malah membentur punggung Gouw Leng Hong ...
Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ternyata kian lama mereka terkurung kian rapat oleh Po- lo-ngo-kie, karena jika tadinya mereka terpisah puluhan tombak jauhnya, sekarang mereka seakan-akan sudah saling belakang-membelakangi diantara mereka berempat.
Selama itu Lie Siauw Hiong yang berlaku agak lengah, sepotong baju dilengannya telah kena terbabat putus oleh sabetan laso Kinlungo.
"Sret!"
Terdengar pedang Sun Ie Tiong kena dibabat kutung oleh pedang Cindu Arhat, hingga dengan terhuyung-huyung ia mundur setengah langkah, dengan mana ia baru insyaf, bahwa pedang lawannya itu sesungguhnyalah sebilah pedang mustika yang tajam tiada taranya.
Sementara Gouw Leng Hong yang berlompat-lompat kekiri dan kanan, keringatnya mengucur deras bagaikan hujan, hingga lengan kanannya dirasakannya kian lama kian bertambah berat saja dan perlahan-lahan hampir tak tahan pula ..
Pada saat itu hujan salju sudah berhenti turun, langit tampak kelabu, gunung Ouw-kee-san tampak berdiri dengan tegak bagaikan seorang raksasa yang sangat menyeramkan sekali.
Barisan Po-lo-ngo-kie semakin lama semakin ciut, hingga Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong merasa agak tidak tahan, sedangkan Sun Ie Tiong yang sudah terbabat sepotong pedangnya, tampaknya sudah tidak mempunyai semangat unuk bertempur pula ..
Hanya Kim Ie saja, sambil membisu ia bertahan terus.
Diantara keempat orang ini, memang dialah yang paling banyak pengalamannya, malahan diapun paling kejam, apa lagi kini pertempuran sudah mencapai titik darah yang penghabisan, dia seakan-akan tidak terpengaruh oleh tiga kawan seperjuangannya, permainan pedang 'Pek-ciok-kiam- hoatnya' telah dilancarkannya begiu rupa, hingga jika ditimpali dengan mukanya yang seram, sesungguhnya telah membuat suasana jadi semakin mengerikan saja.
Begitu pedangnya tampak menyambar kekiri baru saja dilancarkannya setengah jalan, tiba-tiba ia sudah menariknya kembali dan diteruskan menusuk kesebelah kanannya, hingga Unjenporo disebelah kirinya yang tengah melancarkan serangan pada pundaknya, tampaknya sama sekali tidak diperdulikannya ..
Kemudian dengan mengerutkan sepasang keningnya dan memperdengarkan suara "bles!"
Yang agak nyaring, pahanya Katar telah tertusuk pedangnya, sedangkan pedang Unjenporo telah menusuk pundaknya sehingga setengah dim dalamnya.
Dilain pihak Mitopos dengan lincahnya coba menyerang pada Lie Siauw Hiong, dan tatkala Lie Siauw Hiong dengan acuh tak acuh menangkis serangan lawannya itu, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan Kim Ie yang penuh kemurkaan katanya.
"Orang she Lie, mengapa kau tidak berguna sekali?" (Oo=dwkz=oO) PENUTUP Lie Siauw Hiong dengan kerasnya menangkis serangan Mitopos hingga dengan memperdengarkan suara "trang"
Yang nyaring sekali, hampir saja pedang Bwee-hiang- kiamnya kena dibikin terpental oleh lawannya, maka dengan cepat ia putarkan badannya kekiri dan kanan, sedangkan kakinya dengan otomatis telah menggunakan pelajaran 'Kit Mo Pouw Hoat' warisan Hui Taysu.
Waktu dia menolehkan kepalanya memandang, ternyata pundak Kim Ie telah terluka dan dari situ darah segar telah mengalir bercucuran, sedangkan wajah Leng Hong telah penuh keringat.
Maka setelah melihat Sun Ie Tiong dengan pedang yang separuh sudah buntung tampaknya sudah kehilangan semangat bertempurnya, buru-buru dia menggunakan jurus 'Leng-bwee-kut-bian' (bunga bwee menyampok muka), yang kemudian disusul dengan tipu 'Ban-coan-hui-kong' (laksana mata air menyemperot kelangit) unuk menyerang musuhnya, sedangkan mulutnya lalu berteriak.
"Pada beberapa tahun terdahulu murid Siauw-lim urunan ketujuh Hui In Taysu dipuncak gunung Ciong-lam- san dengan menggunakan ilmu 'Pouw-tat-sam-sek' telah mengalahkan jago-jago ternama sebanyak dua puluh satu orang kegagahannya tersebut masakah kau orang she Sun tidak dapat menandinginya?"
Sementara Sun Ie Tiong yang mendengar perkataan tersebut, semangatnya jadi terbangkit kembali, kemudian dengan bersiul panjang ia berkata pada diri sendiri.
"Aku Sun Ie Tiong tidak boleh menodai nama baik kaum Siauw Lim!"
Lalu dia memusatkan kekuatannya pada lengannya, dengan mempergunakan pelajaran 'Tay-yan-sip-sek' ia serang lawannya dengan pedang yang sudah separuh buntung itu.
Lie Siauw Hiong dengan sekuat tenaganya telah menahan serangan dua pedang lawannya, kakinya digeser, dan ujung kakinya dengan erat menempel pada bumi kaki kanannya dengan gerak melintang membentuk separuh bundaran menyapu pada lawannya, sedangkan pedangnya dengan sekaligus menyerang kearah tiga orang lawannya.
Siapa tahu selagi dia menyerang, sekonyong-konyong matanya menjadi kabur, hingga dalam sekejap mata saja empat lima senjata lawannya telah meluruk pada dirinya dengan sekaligus, hingga buru-buru dia mundur dua langkah, kemudian dengan pedangnya ia mengeluarkan jurus-jurus 'But-hoan-seng-ie' (benda-benda bertukaran tempat dan bintang beralih arahnya) yang disusul dengan 'Hian-in-tam-eng' (lawan memperlihatkan bayangannya), dengan jurus-jurus mana barulah dapat dia mempertahankan diri dari pada serangan para lawannya itu.
Tapi sekonyong-konyong ia mendengar Mitopos berteriak dalam bahasanya sendiri.
Sebegitu lekas dia berteriak habis, lantas barisannya tampak berubah, sedangkan kelima orang itu yang barusan telah berputar-putar bagaikan kuda lari sekarang mereka telah menambah kecepatan gerakan mereka, hingga bagaikan angin cepatnya senjata-senjata mereka telah mengancam para lawan mereka.
Tapi bahasa asing Mitopos malah menyadarkan Lie Siauw Hiong yang lalu berteriak.
"Twako, marilah kita lawan cepat dengan cepat pula!"
Gouw Leng Hongpun menjadi sadar pula, maka setelah bersiul panjang, mereka segera membentangkan ilmu dari Thian-tiok yang langkah itu.
Tempo hari Peng Hoan Siangjin pernah mengatakan, bahwa ilmu meringankan tubuh dari Thian-tiok itu, pada suatu waktu pasti mempunyai kegunaan lainnya, hingga tampaknya hal inilah yang dimaksudkannya oleh paderi tua itu.
Hanya tampak sinar putih dan merah yang berputar- putar, karena Gouw Leng Hong dan Lie Siauw Hiong yang telah membentangkan ilmu meringankan tubuh dari Thian- tiok itu, ternyata kedua-duanya telah memasuki barisan musuh, hingga sekejap saja mereka telah bercampur-baur dengan orang para lawannya itu, yang kini barisan lima orang itu dalam waku sedetik telah menjadi tujuh orang.
Hal mana telah membuat Po-lo-ngo-kie bingung dan tidak mengetahui, apakah lebih baik mereka menyerang atau bertahan saja? Kinlungo menjadi sangat terkejut dan didalam hatinya ia berkata.
"Eh, mengapa kedua orang ini dapat mengetahui rahasia ilmu meringankan tubuh kita?"
Waktu memperhatikan terlebih cermat, dia bertambah kaget dan marah, karena sesungguhnyalah, ilmu meringankan tubuh kedua orang lawannya itu bukan saja mirip, malahan ilmu merekapun jauh melampaui kemampuan mereka berlima, hingga buru-buru dia berseru untuk menyuruh kawan-kawannya berlaku lebih hati-hati atas gerak- gerik musuh itu selanjutnya.
Begitu kedua sinar putih dan merah berkelebat, tahu-tahu tubuh Lie Siauw Hiong dan Gouw Leng Hong sudah keluar dari barisan mereka! Po-lo-ngo-kie saking herannya, memandang kepada kedua orang muda itu dengan bengong terlongong-longong.
Sekonyong-konyong Mitopos berteriak mengatakan sesuatu.
Lie Siauw Hiong sekalipun tidak mengerti bahasa mereka, namun dia masih sanggup menangkap maksud mereka yang kurang lebih berkata.
"Bocah, sambuti seranganku sekali lagi!"
Dalam hati dia berpikir.
"Sekalipun tenaga-dalammu cukup hebat, masakah aku takuti kepadamu? .. Tempo hari sampaikan pukulan gurumu masih dapat aku terima, konon lagi kau yang hanya menjadi muridnya .."
Tampak rambut Mitopos pada berdiri saking geramnya, sabit kecilnya disisipkan dipinggangnya, sedangkan sepasang tangannya yang satu dipakai menepok dan yang satunya lagi dipakai mendorong kearah Lie Siauw Hiong.
Lie Siauw Hiong rasakan dadanya seakan-akan digencet oleh angin yang keras sekali, tapi angin itu sungguh aneh sekali, karena sekalipun tidak tajam, tenaganya yang seberat ratusan kati terasa sampai dikulit bagaikan angin yang menusuk sampai ketulang dan sumsum saja.
Pukulan ini yang tidak diketahui oleh Siauw Hiong bernama 'Pek-to-han-sim-ciang' (pukulan unta alpaka) yang dia telah latih selama sepuluh tahun.
Ia tahu, asal saja kakinya tergeser setengah langkah saja, maka dialah yang berada dipihak yang kalah, Dia tidak berdaya unuk menangkis serangan lawannya, karena sesungguhnya tenaga-dalam lawannya berada disebelah atas dari pada kemampuannya.
Seluruh para hadirin yang menyaksikan pertempuran ini, menahan napas dengan hati berdebar-debar.
Kaki Lie Siauw Hiong dengan kokoh menancap ditanah, pedang Bwee-hiang-kiamnya membentuk separuh lingkaran, ketika seluruh bajunya berkibar-kibar tertiup angin pukulan pihak lawannya.
Jangan dipandang ringan terhadap ujung pedangnya yang hanya membentuk separuh lingkaran kecil itu, karena dengan pelajaran 'Tay-yan-sip-sek' itu ia telah mengeluarkan jurus 'Hong-seng-put-sip' (gerak tidak putus-putusnya), sudah itu jurus tersebut telah berganti dengan jurus 'But- hoan-seng-ie' (benda bertukaran tempat dan bintang-bintang beralih arah), dan sebelum jurus itu selesai, lalu diubahnya kembali menjadi 'Leng-bwee-kut-bian' (bunga bwee menyapu muka), hingga tiga jurus yang digabungkan menjadi satu itu sungguh hebat sekali akibatnya.
Para hadirin yang berkepandaian tinggi sekali dalam ilmu permainan pedang, mereka masing-masing sangat memuji atas kecerdikan dan kelihayan cara bersilat Lie Siauw Hiong itu.
Dan tatkala terdengar suara "bet!"
Yang nyaring sekali, ternyata angin pukulan Mitopos telah lewat melalui ujung pedang Lie Siauw Hiong, sehingga batu dan pasir yang berada disisi pemuda kita sama beterbangan dan hancur lebur, sedangkan pemuda kita selembar rambutnyapun tidak bergerak! Maka setelah termangu-mangu sebentar, Mitopos sekonyong-konyong menengadahkan kepalanya tertawa panjang dan begitu dia kibaskan tangannya, lalu dia menarik tangan saudara-saudara seperguruannya diajak pergi, hingga dalam berapa loncatan saja mereka telah lenyap dari pandangan orang banyak.
Sementara Lie Siauw Hiong yang melihat para lawannya telah kabur, lalu memasukkan kembali pedang Bwee-hiong- kiamnya kedalam sarungnya dan setelah disitu ia berdiam sejurus lamanya, barulah iapun membalikkan badannya.
Pada saat itu lagi-lagi Kim Ie telah berjongkok ditanah menantikan ular 'Kim-siat-jie', tapi bersamaan dengan itu, Leng Hong sendiripun tidak dapat menemukan Sun Ie Tiong yang barusan berada disampingnya.
Dan selagi Siauw Hiong keheran-heranan, tiba-tiba pundaknya terasa ada orang yang memegang, dengan satu suara yang merdu dan empuk menyapanya.
"Lie twako, ilmu pedangmu itu sungguh luar biasa sekali!"
Ketika dengan hati berdebar-debar Lie Siauw Hiong menolehkan kepalanya memandang, ternyata satu muka yang cantik dan mungil terlihat dihadapannya, sehingga tanpa terasa pula ia memanggil.
"Ceng Jie!"
Karena nona itupun bukan lain daripada sigadis jelita Thio Ceng adanya.
Dalam kegirangannya buru-buru dia maju memeluknya, ia mencekal tangan sinona yang kecil dengan empat mata mereka saling beradu, sehingga mereka seolah-olah sukar terpisahkan kembali.
Sejurus kemudian ia merasa bahkan dibalik tubuh Thio Ceng masih berdiri dua orang pula, yang satu adalah seorang pendeta tua kurus, sedangkan yang lainnya lagi adalah Sun Ie Tiong.
Terhadap pendeta tua ini Lie Siauw Hiong tidak merasa asing lagi, karena setelah berpikir sejenak dengan teliti, sekonyong-konyong dia teringat akan pendeta yang naik dipungung burung bangau dipulau Siauw-ciap-to dan memanggil pada Peng Hoan Siangjin itu.
Belum lagi dia membuka mulut, ketika Ceng Jie sudah mendahului berkata.
"Twako, tempo hari waktu aku bersama Gouw Twako berpisah, ternyata aku telah tertangkap oleh seorang setan tua, aku tidak dapat melawan padanya, karena aku telah tertotok olehnya. Dua kali aku telah mencobanya melarikan diri, tapi kesudahannya tetap saja aku tertangkap kembali olehnya."
Ketika baru saja Lie Siauw Hiong ingin menimbrung, Ceng Jie sudah meneruskan perkataannya.
"Setan tua itu ternyata bukan lain daripada suteenya Giok Kut Mo. Dia mengatakan bahwa ayahku telah membinasakan suhengnya, maka dia lalu menangkapku untuk memancing ayahku keluar untuk menolongku. Hm, dengan menggunakan ilmu totok yang aneh, ia telah menotok tiga puluh enam jalan darah besar dibadanku .."
Dalam kagetnya Lie Siauw Hiong hanya dapat mengeluarkan perkataan "
Aaaah"
Saja, kemudian dengan tidak henti-hentinya Ceng Jie bercerita pula.
"
Belakangan untung juga aku telah berjumpa dengan pendeta ini, dia begitu melihat rantai yang kupakai ini, segera mengetahui bahwa aku ini adalah anak ayahku, dia mengatakan pada setan tua itu bahwa dia dengan ayahku pernah berjumpa, belakangan sisetan itu telah melepaskan aku, tapi dia ternyata amat sombong dan mengatakan, agar supaya pendeta ini jangan turut campur tangan.
Tapi bila dia berani membandal, pasti dia akan dibinasakan ..
Tapi, hm! belakangan setelah pendeta ini menunjukkan kelihayannya ternyata sisetan tua itu telah kena dilukakan dan lari terbirit- birit.
Twako, kepandaian pendeta ini sungguh hebat sekali, aku kira jika dibandingkan dengan ayah, tidak banyak selisihnya .."
Sudah itu Lie Siauw Hiong segera bertanya.
"Setelah engkau tertotok, apakah yang telah terjadi selanjutnya?"
"Belakangan pendeta ini telah membawaku keguha ini, dimana ia menyuruh Sun Ie Tiong menjaga dimulut guha sambil mengatakan, bahwa siapapun tidak diijinkannya keluar masuk guha tersebut. Sudah itu ia telah menggunakan ilmu yang hebat untuk bantu membuka jalan darahku yang tertotok oleh setan tua itu,"
Thio Ceng mengakhiri penuturannya.
Lie Siauw Hiong waktu berpikir cara bagaimana Sun Ie Tiong telah melarangnya memasuki guha itu, kini barulah dia sadar apa sebab musababnya.
Begitulah Ceng Jie bercakap-cakap dengan penuh kelincahan, sehingga Lie Siauw Hiong yang mendengarnya merasa sangat tertarik sekali.
Sekonyong-konyong Sun Ie Tiong dari samping berkata.
"Couw-su-ya kau sekali-kali jangan pergi lagi .. teecu dengan susah payah barulah dapat mencarimu, maka pada kali ini kau harus pulang kekelenteng kami."
Lie Siauw Hiong dengan perasaan heran telah memandang dan mendapatkan Sun Ie Tiong tengah berlutut dihadapan pendeta tua itu, sedang hweeshio tua itu hanya tersenyum saja sambil menggelengkan kepalanya.
Oleh karena itu, maka kini barulah dia mengerti jelas dan lalu diapun berkata.
"Cian-pwee, bukankah Cian-pwee ini pendeta Siauw Lim yang bernama Leng Keng Taysu?"
Pendeta tua itu tertawa terbahak-bahak memutuskan perkataan sipemuda, setelah itu dia mendongakan kepalanya keatas dan bersiul panjang, tidak antara lama maka datanglah seekor burung bangau putih raksasa yang segera menghampiri kehadapannya.
Sekonyong-konyong Lie Siauw Hiong teringat sesuatu, buru-buru dia berkata pada Ceng Jie.
"Kita harus lekas-lekas pergi ke Ouw-lam untuk mencari ayahmu. Pada tiga hari yang lalu didunia Kang-ouw tersiar kabar bahwa ayahmu karena ingin mencarimu telah menerbitkan kegemparan besar didunia Kang-ouw .."
Dengan kegirangan Ceng Jie lalu berkata.
"Ayah juga mencariku? .. kau lihatlah!"
Waktu Lie Siauw Hiong menolehkan kepalanya, tampaknya ia menjadi terkejut, karena entah dari kapan Leng Hong secara diam-diam telah melenyapkan dirinya, dan diwaktu dia memperhatikannya dengan cermat, dia melihat disuatu tempat yang terpisah agak jauh terlihat sesosok bayangan manusia yang kecil sekali.
Lalu ia berniat akan mengejarnya, tapi skeonyong-konyong pendeta tua itu sudah berkata.
"Bocah, tidak usah engkau mengejarnya biarkan saja dia pergi .."
Lie Siauw Hiong jadi tercengang dan buru-buru membatalkan niatannya akan mengejar Leng Hong.
Diwaktu dia menolehkan kepalanya memandang kembali, dia lihat bayangannya Leng Hong sudah lenyap.
Ia pikir Leng Hong yang datang bersama-sama dengannya dari tempat yang ribuan lie jauhnya, kini setelah berhasil dapat menjumpai Ceng Jie, mengapakah diam-diam ia telah melarikan diri? Tatkala berpikir sampai disitu, tidak terasa lagi hatinya merasa tidak enak sekali.
Tapi pendeta tua itu (Leng Kheng Taysu) lalu menghela napas panjang dan berkata.
"Semuanya ini sudah ditakdirkan oleh Thian Yang Maha Kuasa. Ia berwajah tampan, tapi sayang sekali nasibnya buruk sekali. Akhirnya dia akan menjadi seorang murid sang Budha, yang karena otaknya yang cerdas, maka dibelakang hari ia pasti akan menjadi murid Budha yang pandai. Oleh karena itu, biarkanlah dan relakanlah kepergiannya itu .."
Leng Kheng Taysu lalu bersiul panjang dan naik keatas punggung burung bangau raksasa yang berbulu putih itu, yang segera membawanya melayang keangkasa raya.
Lie Siauw Hiong dengan perasaan terharu memandang pada kaki langit disebelah sana, dengan perasaan tidak mengerti mengapa Leng Hong telah melenyapkan diri dengan secara diam-diam? Lebih-lebih dia tidak mengerti, sebenarnya peristiwa celaka apakah yang telah menimpa atas dirinya? Sekonyong-konyong terdengar suara Ceng Jie yang merdu berkata.
"Gouw Twako pasti mempunyai uursannya sendiri, dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi, hingga kita tidak usah menguatirkannya .."
Lie Siauw Hiong merasa sedih sekali, karena kepergiannya itu mungkin juga berarti untuk selama- lamanya ia tak akan saling berjumpa kembali, maka diwaktu mendengar perkataan Ceng Jie, diapun tidak menjawab apa-apa, kecuali dalam lubuk hatinya ia menghadap.
"Hanya aku harapkan .. sekalipun entah kapan kita baru dapat berjumpa lagi, tapi aku berharap pada suatu hari akan dapat juga menemuinya kembali .." (Oo-dwkz-oO) Tatkala itu telah bulan tiga, dimana bunga-bunga liar menyiarkan wanginya yang sedap. Dibawah kaki gunung Kwie-san diluar kota Han Yang, dipinggir sebuah telaga tersembunyi dibalik gerombolan pohon-pohon bambu terletak sebuah kuil, didepan mana terpancang papan merek yang bertuliskan. 'Sui-goat-am'. Kuil ini letaknya sangat tersembunyi, hingga orang banyak jarang sekali sampai disitu. Tapi pada saat itu ada dua orang yang berpakaian bagaikan pengemis telah tiba dipintu kuil tersebut, dengan salah seorang antaranya yang berbadan gemuk tampak mengetuk pintu kuil itu. Dengan mengeluarkan suara terkuak, terbukalah pintu kuil itu, yang dibukakan oleh seorang pendeta wanita yang masih muda belia, ia berbaju putih bagaikan salju, wajahnya cantik, matanya hitam dan bagus, giginya putih bagaikan mutiara, bibirnya dadu dan mulutnya mungil bagaikan buah Tho, tapi amat disayangi, bahwa diantara kecantikannya ini tersembunyi kesedihan yang dapat dilihat jelas sekali. Kedua pengemis itu menjadi tercengang, karena tidak menyangka bahwa dihutan bambu yang demikian sunyinya itu terdapat seorang wanita muda belia yang demikian cantiknya .. apa lagi dia adalah seorang pendeta wanita. Tahukah pembaca mengapa wanita muda dan cantik begini suka berkawan dengan kesunyian dan menjadi muridnya Sang Budha? Kedua pengemis tersebut setelah tercengang sebentar, salah seorang yang umurnya lebih lanjut lalu berkata.
"Khonio, .. ah, bukan .. siauw-suhu (pendeta kecil) bolehkah kami mendapatkan sedikit air untuk kami minum? .. Kami terlampau haus karena melakukan perjalanan jauh .."
Pendeta wanita muda itu manggutkan kepalanya, lalu dia putarkan badannya masuk kembali untuk mengambil air yang diminta, kemudian barulah dia kunci pintu kuilnya kembali.
Kedua pengemis itu duduk dibawah sebuah pohon besar, dimana sambil minum mereka bercakap-cakap.
"Ai, didunia yang demikian luasnya serta banyak manusia sebagai penghuninya, kita disuruh mencari Kim Bwee Ling seorang. Ini sungguh sulit bagaikan mencari jarum ditengah lautan saja .."
Yang satunya lagi menjawab.
"Siapa suruh Lie Tayhiap menjadi tuan penolong partai kita? Mengenai urusan Lie Tayhiap, sekalipun kaki kita bisa patah, kita wajib mencarinya juga."
Yang berkata duluan itu lalu berkata lagi.
"Benar, kepandaian Lie Tayhiap yang begitu hebat, aku orang she Cian benar-benar merasa takluk. Jangan dia telah melepas budi yang demikian besarnya terhadap partai kita, sekalipun dia tidak pernah melepas budi terhadap partai kita, asal dia berlaku baik terhadapku dengan rela akan membantunya juga."
Mereka bercakap-cakap demikian asyiknya, sehingga mereka tidak menyangka, bahwa dibalik pintu kuil sipendeta wanita muda itu tengah mencuri dengar percakapan mereka berdua.
Dan diwaktu dia mendengar namanya disebut-sebut, mukanya yang pucat seketika menunjukkan semu merah, sesungguhnya perasaan dalam lubuk hatinya tengah berperang.
Dia seperti seorang yang sudah terjatuh dalam peristiwa yang lampau, mukanya tampak memerah, dimulutnya mengunjukkan senyuman yang manis, tapi senyuman itu lenyap dengan perlahan-lahan, akan kemudian pada muka itu terlihat kembali kesedihan hatinya, hingga barang siapa yang melihatnya, pasti ia akan merasa kasihan terhadap dirinya ..
Dengan menguatkan hati ia telah menahan keluar airmatanya, sambil dengan diam-diam berkata pada dirinya sendiri.
"Hiong Koko, kau seumur hidupmu pasti tak akan menjumpaiku kembali .., Hal ini mungkin juga sudah ditentukan oleh Thian Yang Maha Kuasa. Sejak aku dilahirkan, mungkin juga aku harus bernasib malang, tapi mengapakah engkau begitu kejam, hingga segala kecelakaan telah kau timpakan kepadaku seorang gadis yang lemah?"
Belakangan waktu dia terpikir pada kata-kata pengemis diluar itu, diam-diam ia telah menghibur dirinya sendiri.
"Hiong Koko belum tentu mengingatku senantiasa, hingga ini sudah cukuplah, dan biarlah kita putuskan perhubungan kita sampai disini saja .., karena tak ada jalan lain yang lebih 'baik' lagi daripada itu .. Hiong Koko, kau tak usah mencariku lagi, kau pasti tak kan dapat mencariku .. Aku senantiasa mendoakan atas keselamatan serta kebahagiaanmu .."
Begitulah dengan perlahan-lahan ia telah memutarkan badannya, ia memandang pada patung dewi Kwan Im.
Sinar matahari yang menerobos dari jendela telah memantulkan sinarnya diatas patung dewi tersebut, hingga ini memberi suatu pemandangan yang indah permai.
Lalu dia jatuhkan dirinya berlutut, kemudian menyulut hio wangi dan ditancapkannya dihiolouw, yang asapnya bergulung-gulung naik keatas dan lenyap dengan melalui sinar matahari.
Demikian juga suara doa pendeta wanita muda ini pelahan-lahan telah mengikuti naiknya asap hio menuju kesorga Sang hari perlahan-lahan telah mulai menjadi gelap, sedangkan mataharipun lambat-laun tenggelam pula memasuki awan ketempat peraduannya diufuk sebelah barat (Oo-dwkz-oO) TAMAT
Harimau Kemala Putih -- Khu Lung Mayat Kesurupan Roh -- Khu Lung Kuda Putih Karya Okt