Pahlawan Gurun 4
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen Bagian 4
Pahlawan Gurun Karya dari Liang Ie Shen
"Medali emas? Dimana? Coba lihat! Pinta Busu itu Su-lam sudah bertekad akan menyerempet bahaya, ia pikir bila Busu itu tidak mengetahui dirinya sedang buron, tentu dia tak berani membikin susah padanya bila sudah melihat medali emas. Maka medali emas pemberian Minghui itu lantas dikeluarkannya dan berkata.
"Boleh kau melihatnya, tapi jangan sampai orang lain juga mengetahui aku memegang medali emas ini."
Dibalik kata2nya se- akan2 memberi tanda bahwa iapun sudah tahu siapa Busu Mongol itu. Keruan Busu Mongol itu ter-sipu2, cepat dijawabnya.
"Ya, pahamlah aku, simpan kembali saja medali emas itu. Kita tahu sama tahu, aku takkan membocorkan rahasiamu, kau pun tidak perlu menyiarkan tentang pertemuanmu dengan aku. Kukira kau tentu paham maksudku."
Kiranya Busu Mongol ini mempunyai tugas rahasia di negeri Sehe.
Beberapa Busu Sehe itu telah kena dibeli olehnya dan telah berkomplot.
Setelah melihat medali emas dari Su-lam, Busu Mongol itu mengira Li Su-lam juag punya tugas rahasia seperti dia sendiri, hanya tugas masing2 berbeda, maka perlu sama2 pegang rahasia, kalau perlu saling membantu malah.
Busu Mongol itu pikir orang ini punya medali ksatria kemah emas, memagang busur pemberian Khan pula, tentu dia adalah utusan pribadi Khan, sebaliknya dia sendiri Cuma anak buah Mufali, jelas kedudukannya jauh dibawah Su-lam, sebab itulah dia tidak berani sembrono lagi kepada Su- lam.
Sebaliknya beberapa Busu Sehe itu tidak kenal medali emas "Ksatria kemah emas"
Segala,mereka malah mengomel, katanya pengungsi rudin masakah membawa emas begitu, tentu kedua muda mudi ini bukan manusia baik2. Busu Mongol itu lantas membentak dengan mendelik.
"Tutup bacotmu! Kalian buta semua, lekas kalian minta maaf!"
"Tidak apa, tidak tahu tidaklah salah, boleh suruh mereka pergi saja, aku mau tidur,"
Ujar Su-lam dengan tertawa.
"Ya, ya,"
Sahut Busu Mongol itu ter-sipu2. Lalu ia memberi tanda sambil membentak lagi.
"Lekas enyah semua!"
Kuatir titik2 darah dilantai tadi dilihat oleh Busu Mongol itu, maka Su-lam sengaja duduk bersandar dionggokan jerami untuk menutupi noda darah itu, katanya.
"Maaf aku tidak mengantar!"
"Orang Sehe memang kasar2, harap saudara jangan marah,"
Kata Busu Mongol itu akhirnya.
"Cuma kami memang sedang memburu seorang penting, orang ini berusia 30-an, pada pipi kiri ada bekas luka panjang, bila ketemu orang ini harap saudara bantu membekuknya."
"Baik, akan kuperhatikan bagimu,"
Jawab Su-lam. Seperginya Busu Mongol itu dengan tertawa Nyo Wan berkata.
"Tak nyana medali inipun berguna meski berada dinegeri Sehe. Cuma melihat sikapmu tadi, agaknya didalam rumah ini benar2 ada orang bersembunyi. Apakah tadi kau menemukan sesuatu?"
Kiranya Nyo Wan tidak melihat titik2 darah tadi. Ternyata Su-lam tidak menjawabnya, tapi lantas berseru.
"Silahkan keluar kawan!"
Belum lenyap suaranya, tiba2 terdengar suara mendesis, mendadak sebuah piau telah menyamber keluar dari onggokan jerami.
Untung sebelumnya Su-lam sudah siap sedia, cepat ia mendorong Nyo Wan disebelahnya, piau itu melayang lewat disebelah telinga Nyo Wan, dari bau langu yang tersendus, Nyo Wan yakin piau itu pasti berbisa.
Ketika menoleh Nyo Wan melihat seorang merangkak keluar dari onggokan jerami, segera Nyo Wan berseru memperingatkan Su-lam berbareng ujung pedangnya diancamkan pada leher orang itu sambil membentak.
"Siapa kau!"
"Hm, untung kalian tidak mati, boleh kau bunuh saja, kenapa banyak omong?"
Sahut orang itu dengan serak. Setelah rada tenang dan memperhatikan, ternyata orang sekujur badan berlumuran darah, usianya antara 30-an, pada pipi sebelah kiri ada bekas luka panjang. Sadarlah Nyo Wan, cepat ia tarik kembali pedangnya, katanya.
"Tentunya kau adalah buronan yang dicari orang tadi bukan?"
Kami telah menyelamatkan kau, kenapa kau malah memaki kami?"
"kalian adalah serigala satu sarang dengan orang2 tadi, memangnya kau sangka aku tidak tahu?"
Jengek orang itu.
"Hm, jangan kalian harap dapat menangkap aku, boleh majulah, paling sedikit seorang diantara kalian harus binasa bersama aku."
Ternyata tangan orang itu menggenggam sebuah piau pula dan mengeluarkan bau langu seperti piau tadi, jelas dia sudah bertekad akan mati bersama lawan bilamana Su-lam dan Nyo Wan mendekatinya.
Melihat piau yang dipegang orang itu serupa dan sebentuk dengan Tok-liong-piau milik To Pek- seng yang khas itu, Su-lam menjadi sangsi, katanya dengan tertawa.
"Kawan kau telah salah paham. Sejak tadi aku sudah mengetahui tempat sembunyimu, kalau aku mau menjual kau masakah kau bisa selamat sampai sekarang? Tempat ini bukan tempat aman bagimu, sebaiknya lekas kau katakan terus terang, pernah hubungan apa kau dengan To Pek-seng. Apa kau kenal Song Thi-lun dan istrinya?"
"Hm,"
Kembali orang itu mendengus.
"tidak perlu bermain lidah untuk memancing pengakuanku. Aku sudah melihat medalimu tadi, memangnya kau kira aku bisa kautipu?"
Rupanya didalam tempat sembunyinya tadi, orang itu telah mendengar semua percakapan Li Su- lam dengan NyoWan.
Ia mendengar Nyo Wan bicara tentang Putri Minghui, lalu dengar Su-lam bercerita tentang hadiah busur baja dari Jengis Khan itu, kemudian melihat pula medali emas, tentu saja ia curiga dan menganggap Li Su-lam sebagai pengkhianat yang menjual diri kepada orang Mongol.
Sebab itulah betapapun Su-lam memberi penjelasan tetap tak dipercaya oleh orang itu.
Selagi kehabisan akal, tiba2 terdengar pula suara derap kaki kuda yang riuh sedang mendatangi pula.
"Jangan2 Tartar tadi tidak percaya padamu dan datang lagi kembali,"
Kata Nyo Wan kuatir.
"Bukan rombongan tadi, yang datang sekarang hanya tiga penunggang kusa,"
Ujar Su-lam.
"sekarang baru kelihatan belangmu, coba ingin kulihat apa yang akan kau katakan lagi!"
Jengek orang tadi.
"Kau jangan bingung, lekas sembunyi lagi, akan kubereskan untukmu,"
Kata Su-lam. Belum lenyap suaranya, ketiga penunggang kuda sudah sampai didepan rumah gilingan, seorang diantaranya berteriak.
"Disinilah bocah itu!"
Ketiga orang yang datang itu terdiri dari seorang Lama, seorang laki2 dengan wajah bengis, seorang lagi berbadan pendek, dari muka dan dandanannya dapat dipastikan adalah orang Han. Laki2 bermuka bengis itu lantas berteriak.
"Haha, itu dia, sembunyi disitu bangsat cilik itu!"
Rupanya orang yang luka tadi belum sempat sembunyi sehingga terlihat dengan jelas dibawah cahaya api. Saat itu Li Su-lam telah menyingkir kesudut ruangan, ketika mendadak ia muncul dan siap diambang pintu, laki2 itu menjadi kaget dan membentak.
"Siapa kau?"
Apa kau minta mampus? Lekas enyah!" ~ Dia bicara dalam bahasa Sehe sehingga tidak diketahui apa artinya oleh Li Su-lam. Sebaliknya laki2 pendek tadi dapat mengenali Li Su-lam adalah orang Han, ia terkesiap dan berseru.
"Nanti dulu, sobat dari garis manakah kau?"
Si pendek itu adalah orang kangouw ulung, dia menduga Li Su-lam pasti bukan sembarang orang, maka suruh laki2 Sehe jangan bertindak dulu. Namun laki2 Sehe itu tidak ambil pusing padanya, dengan marah2 ia lantas memburu kearah Su-lam.
"Hm, apa kau tuan rumah disini, mengapa suruh kami pergi?"
Jengek Nyo Wan mendadak.
Tadi dia berdiri dibelakang Su-lam, dalam kegelapan laki2 Sehe itu tidak memperhatikan dibalik pemuda itu masih ada seorang lagi.
Melihat kecantikan Nyo Wan, laki2 Sehe itu terbelalak matanya, cepat ia menyingkir kesamping agar bisa memandang Nyo Wan dengan jelas, lalu katanya pula dengan suara lunak.
"Perempuan muda, yang hendak kami tangkap adalah bangsat cilik ini, boleh kau menyingkir saja disana."
Sipendek mendongkol akan kedunguan kawannya itu, kalau kedua muda-mudi itu berada bersama bocah she Liong yang sedang dicari itu, mustahil mereka tiada sangkut paut satu sama lain dan mau tinggal diam tidak ikut campur.
Ia tidak tahu bahwa laki2 Sehe itu bukanlah dungu, soalnya ia sudah kesemsem oleh kecantikan Nyo Wan sehingga otaknya sudah keblinger.
Lama yang berkasa (jubah) merah sejak datang tadi tidak bersuara, kini mendadak ia mendekati Su- lam, lalu tanya dalam bahasa Han yang kaku.
"Apakah kau Li Su-lam yang buron dari Holin?" ~ Dari logatnya jelas Lama itu adalah orang Mongol. Keruan Su-lam terkejut. Ia tidak pernah melihat Lama ini, tapi dapat menyebut namanya. Ia menduga Lama itu tentu datang dari Liong-sah-tui, mungkin ditempat Pangeran Tin-kok itulah dia telah melihat gambarnya. Karena sudah dikenali, Su-lam juga tidak perlu pura2 lagi, dengan angkuh ia menjawab.
"Benar, aku Li Su-lam adanya. Aku tidak senang tinggal di Holin, maka aku bebas untuk kemanapun. Kau ingin apa?"
"Kau tidak suka tinggal di Holin, tapi Khan inginkan kau kembali kesana!"
Seru Lama itu dengan tertawa.
"Haha, malam ini kita rupanya ketumplek rejeki besar. Bocah ini adalah buronan Khan, mungkin jauh lebih penting daripada bangsat cilik she Liong. Biar bocah ini serahkan padaku saja, kalian yang tangkap bangsat she Liong itu."
Habis berkata Lama itu terus putar tongkatnya yang bergelang sembilan dan menyodok iga Li Su- lam.
Dalam sekejap itu terdengarlah suara mendering nyaring disertai mengkilatnya sinar pedang.
Lama itu rada tercengang ketika tongkatnya kena ditangkis oleh pedang Li Su-lam .
Begitu tongkaynya bergerak pula, segera ia menyerampang kaki lawan.
Mendadak Su-lam angkat kakinya terus menginjak "sret", berbareng pedangnya menusuk leher lawan.
Berbahaya sekali jurus yang dimainkan Li Su-lam itu, bila tenaga kakinya tidak kuat menginjak tongkat timbel si Lama, seketika kakinya akan patah.
Sebaliknya kalau Lama itu tidak mampu menghindar, pasti lehernya akan tembus dan binasa.
Dalam detik yang menentukan mati hidup itulah, kedua pihak telah sama2 memperlihatkan kemahiran masing2.
Mendadak Lama kasa merah mendorongkan tubuhnya kebelakang sambil membentak.
"Roboh!" ~ Tongkatnya terus mengungkit, tertampaklah Li Su-lam mengapung ke atas, dia tidak roboh, tap malah mencelat keatas. Rupanya si Lama bermaksud membikin Li Su-lam terguling dalam keadan kehilangan keseimbangan badan. Tak terduga Li Su-lam memiliki ginkang yang tinggi, ia malah meloncat ke atas dengan tenaga ungkitan lawan. Si Lama sendiri meski sempat terhindar dari leher tertembus, tidak urung pecinya jatuh terserempet pedang. Dalam gebrakan ini terang si Lama telah kalah setengah jurus. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa, Li Su-lam yang mengapung di udara itu terus menggempur pula ke bawah. Cepat si Lama menangkis dengan tongkatnya. Pedang Su-lam menutul batang tongkat lawan, kembali ia berjumpalitan di atas, lalu tancap kaki dengan tegak diatas tanah. Melihat beberapa kali jurus pedang Li Su-lam itu, laki2 pendek tadi terkejut, serunya.
"Kiranya adalah murid Kok Peng-yang. Baik, aku ingin berkenalan dengan kau punya Tat-mo-kiam-hoat."
Meski perawakan orang itu pendek kecil, tapi sangat gesit, tahu2 ia sudah menubruk maju, senjatanya terdiri dari sepasang Boan-koan-pit, ditengah berkelebatnya sinar pedang dan bayangan tongkat tiba2 iapun menerjang maju.
Kedua senjata bentuk pensil menyerang sekaligus yang satu menotok "Ki-bun-hiat,"
Yang lain mengarah "Hian-hay-hiat". Kedua tempat ini adalah hiat-to mematikan di tubuh manusia.
"Ilmu Tiam-hiat yang keji!"
Bentak Su-lam. Cepat tubuhnya berputar, sekaligus ia sampuk tongkat di Lama, berbareng menangkis pula totokan pensil si pendek.
"Bagus!"
Mau tak mau di pendek memberi pujian atas ketangkasan lawan. Nyo Wan bermaksud membantu Su-lam, tapi laki2 Sehe yang bengis tadi telah mulai memburu ke tempat sembunyi orang yang terluka tadi.
"Cegah dia!"
Seru Su-lam. Tanpa ayal Nyo Wan lantas menjulurkan pedangnya sambil membentak.
"Mundur sana!"
Semula laki2 Sehe itu anggap sepele kepada sinona, dengan cengar cengir ia menjawab.
"Eh, nona cantik, kenapa begini galak?" ~ Dengan tangan kosong ia terus hendak merebut pedang Nyo Wan. Orang itu mengira Nyo Wan cuma nona cilik yang masih muda belia, betapapun kepandaiannya juga terbatas. Tak terduga ilmu pedang Nyo Wan adalah ilmu pedang Go-bi-pay ajaran kakaknya sendiri. Ilmu pedang Go-bi-pay mengutamakan kegesitan dengan gerak serangan yang lincah dan aneh2. Mendadak ujung pedang miring kesamping tahu2 menabas kembali dari arah yang tak tersangka. Sinar pedang berkelebat, sepotong jari laki2 itu telah tertabas. Keruan laki2 Sehe itu berjingkrak kesakitan, kaget dia dan gusar pula. Sebaliknya kawannya orang Han malah tertawa dan berkata.
"Makanya jangan kau sok merayu segala. Paling perlu bekuk dulu betina itu."
Orang Sehe itu lantas membentak dengan murka.
"Kurang ajar! Masakah kau mampu lolos dari genggamanku?" ~ Segera ia lolos goloknya terus menubruk ke rah Nyo Wan disertai pukulan dan bacokan. Rupanya ia telah menerima pendirian kawannya untuk membekuk Nyo Wan sekalipun nanti mesti melukai si nona.
"Biar kaupun kenal kelihaian nonamu!"
Jengek Nyo Wan, dengan gerak yang lincah pedangnya menyampuk golok lawan ke samping, berbareng ujung pedang terus menabas pergelangan lawan.
Semula laki2 Sehe itu anggap dirinya terlalu gegabah sehingga dilukai oleh Nyo Wan, ia tidak percaya nona cilik secantik ini mempunyai kepandaian tinggi.
Tapi sekarang dia baru tahu rasa oleh serangan Nyo Wan yang hebat itu.
Lekas2 ia menggeliat, menyusul sebelah kakinya lantas menendang.
Terdengar suara.
"bret", sarung tangan kulit laki2 Sehe itu tergores oleh ujung pedang, sebaliknya karena tendangan orang cukup ganas, terpaksa Nyo Wan menghindarinya. Sesudah itu keduanya lantas merapat untuk bergebrak lagi. Setelah dua kali kecundang, orang Sehe itu tiak berani sembrono lagi. Nyo Wan juga tidak berani gegabah karena tahu tenaga lawan jauh lebih kuat. Yang satu menang kuat dalam hal tenaga, yang lain lebih gesit dan bagus ilmu pedangnya, meskinya sukar menentukan kalah menang dalam waktu singkat. Tapi lantaran sekali gebrak laki2 Sehe itu sudah kecundang dengan terpotong sebuah jarinya, mau tak mau banyak mengurangi ketangkasannya, maka dalam beberapa jurus kemudian ia menjadi kewalahan malah diserang Nyo Wan secara gencar. Disebelah sana keadaan Li Su-lam juga terdesak karena satu harus lawan dua. Laki2 pendek itu sangat lincah, sepasang senjata pensil berputar cepat dan berani menyusup maju sitengah berkelebatnya sinar pedang Li Su-lam. Dalam dunia persilatan adalah pameo yang menyatakan "makin pendek, makin berbahaya", yang dimaksudkan semakin pendek senjata yang digunakan semakin berbahaya serangannya. Nyatanya Boan-koan-pit yang di pakai itu panjangnya Cuma dua kaki, tapi jauh lebih sukar dilayani dibanding dengan tongkat si Lama yang panjangnya lebih lima-enam kaki. Serangan dari jarak dekat itu selalu mengincar Hiat-to penting ditubuh Li Su-lam, sedikit meleng saja tentu bisa celaka. Namun serangan tongkat si Lama ternyata mempunyai caranya sendiri. Terdengar suara gemerincing dari sembilan gelang yang terpasang diujung tongkat itu semakin nyaring dan mengacaukan pikiran Li Su-lam. Beberapa kali hampir2 saja ia kena ditonjok oleh tongkat lawan itu. Melihat Su-lam terdesak, Nyo Wan menjadi kuatir. Segera ia melancarkan serangan susul menyusul sehingga laki2 Sehe tidak mampu menangkis dan terpaksa melompat mundur. Kesempatan ini lantas digunakan Nyo Wan untuk menyelinap lewat dan bergabung dengan Li Su-lam. Dengan posisi dua lawan tiga keadaan mereka menjadi lebih baik, tapi tetap terdesak dibawah angin. Tenaga Nyo Wan lebih lemah, belasan jurus lagi ia sudah mulai berkeringat dan ter-engah2.
"Haha, binasakan yang laki, tinggalkan perempuannya untukku,"
Seru laki2 Sehe itu.
"Hato Siangjin adalah orang suci, akupun tidak ingin rebutan perempuan dengan kau, kenapa kau tidak sabaran kan akhirnya pasti milikmu,"
Ujar laki2 Han itu dengan tertawa.
Begitulah kedua orang ber-olok2 sendiri se-akan2 Nyo Wan sudah pasti akan tertawan sebentar lagi.
Keruan hampir2 meledak jantung Nyo Wan saking gusarnya.
Pertarungan diantara jago2 silat paling pantang naik pitam, tapi saking gemasnya sekaligus Nyo Wan telah melancarkan belasan kali tusukan, namun semuanya dapat ditangkis oleh senjata pensil laki2 Han itu.
Sedangkan laki2 Sehe itu menggunakan kepandaiannya bergulat pula, ia melangkah maju hendak mencengkeram, untung luput.
Berbareng Li Su-lam sempat memaksa mundur orang Sehe itu setelah pedangnya menangkis tongkat si Lama.
Dalam keadaan terdesak dan semakin berbahaya itu, tiba2 terdengar suara kresekan, sekilas Su-lam melihat laki2 yang luka itu sedang merangkak keluar dari tempat sembunyinya.
Su-lam terkejut, ia pikir orang ini terluka parah, kalau merangkak keluar berarti mengantarkan nyawa belaka.
Tapi apa daya, terpaksa Su-lam balas menyerang mati2an dengan harapan dapat merintangi ketiga laan agar mereka tidak sempat menarik diri untuk membunuh buronan terluka itu.
Dengan me-rangkak2 akhirnya laki2 terluka itu dapat mencapai ambang pintu.
Si Lama tidak berani menarik diri dibawah serangan pedang Su-lam yang gencar, ia hanya berteriak.
"Jangan sampai bangsat itu lari!"
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan kuatir Siangjin, biar aku yang bekuk dia,"
Kata laki2 Han.
Kedua pensilnya bergerak dan menotok kanan kiri, tampak dada Su-lam terancam, tapi tahu2 pensilnya memutar balik kearah Nyo Wan.
Terpaksa Nyo Wan mengegos kesamping, kesempatan ini segera digunakan orang Han itu untuk melayang lewat samping Nyo Wan.
Karena mengira buronan she Liong itu sudah terluka parah, tentu dengan mudah dapat dibekuk.
Habis itu masih bisa kembali membantu kedua kawannya membekuk Li Su-lam dan Nyo Wan.
Sebagai jago kangouw ulung, orang itu tidak berani gegabah walaupun pihak lawan jelas terluka parah.
Maka sebelah pensilnya disimpan, hanya sebuah pensil lain yang masih dipegangnya, setiba disamping buronannya segera ia mencengkeram.
Rupanya ia tidak mau menikam lawannya dengan pensil saja sebab kuatir lawan yang terluka itu akan terus binasa.
Ia sudah siap siaga, tapi toh masih masuk perangkap laki2 terluka itu.
Ditangan orang itu sudah tergenggam sebuah Tok-liong-piau, ketika lawan mencengkeramnya segera iapun sambut dengan tangannya.
"plak", ujung Tok-liong-piau melukai telapak tangan orang han itu. Nyata meski memang betul buronan she Liong itu terluka tapi keadaannya yang parah itu hanya buatan belaka, hanya pura2 saja. Keruan orang han itu mengerang kesakitan, pensil ditangan kiri terus menikam kebawah, namun sudah terlambat. Bilamana sejak semula ia menotok Hiat-to lawan dengan senjatanya tentu lawan tak bisa berkutik. Sekarang dia baru menggunakan pensilnya, tapi baru saja pensilnya bergerak, mata sudah ber-kunang2. Kiranya racun Tok-liong-piau sangat lihai, selai masuk darah seketika pernapasan sang korban terganggu. Dalam keadaan demikian tikaman pensilnya menjadi meleset, laki2 terluka itu sempang menggelinding kesamping dengan sisa tenaganya yang masih ada. Orang han itu menjadi sempoyongan, Boan-koan-pit yang dipegangnya itu jatuh kelantai. Laki2 terluka itu cepat jemput pensil itu, disambitkan kearah lawan sambil membentak.
"Terima kembali barangmu sendiri!" ~ Kontan orang Han itu Terguling. Laki2 she Liong yang terluka itu merangkak kesamping orang Han itu, ejeknya.
"Kau bermaksud mencelakai aku, sekarang baru kau tahu rasanya Tok-liong-piau. Bagaimana enak tidak?"
Racun Tok-liong-piau kini telah bekerja hebat ditulang orang Han itu, dalam badannya terasa sakit ngilu laksana di-gigit2 oleh be-ratur2 ekor ular kecil.
Dengan mandi keringat dingin menahan derita orang Han itu berteriak Liong-ya aku mohon padamu, lekas kau bunuh aku saja.
"Bunuh kau?"
Hm, masakah begitu enak?"
Jawab orang she Liong.
"Bukankah kau murid Yang Thian-lui? Dimanakah jahanam gurumu itu? Lekas katakan."
"Guruku sudah lama pulang ke Taytoh (ibukota Kim) untuk merawat lukanya,"
Sahut orang Han itu.
"Hm, jadi kalian guru dan murid telah bersekongkol dengan Kim, sekarang mulai main mata lagi dengan Tartar Mongol,"
Jengek laki2 she Liong.
"Kalau berani boleh kau cari saja guruku, buat apa kau hanya menyiksa aku?"
Teriak orang Han.
"Aku mohon lekas kau bunuh aku saja."
"Kenapa buru2, kau masih ada waktu setengah jam, kalau racun sudah menyerang jantungmu barulah kau akan binasa,"
Dengus orang she Liong.
"Tapi ......tapi aku tidak tahan lagi!"
Orang itu merintih.
"Yang mencelakai guruku selain bangsat tua she Yang, siapa lagi komplotannya? Didalam Pang kami siapa2 saja yang menjadi mata2 kalian? Lekas kau mengaku dan aku akan membereskan jiwamu secara cepat."
Ia mengira orang itu pasti akan mengaku karena tidak tahan siksaan racun Tok-liong-piau, tak terduga orang itu mendadak berteriak.
"Aku toh tak bisa hidup lagi, apa yang kau bisa perbuat atas diriku? Hm, bangsat she Liong, jangan kau mimpi!" ~ se-konyong2 darah muncrat dari mulutnya sehingga kepala dan muka laki2 she Liong berlumuran darah. Rupanya orang Han itu tidak ingin menderita lebih lama, maka dengan nekat ia menggigit putus lidah sendiri sehingga buyarlah tenaga dalamnya, racun juga lantas meluas dengan cepat, seketika ia terkapar binasa. Darah yang disemburkan itu berbisa dan membasahi muka orang she Liong itu, walaupun tidak membahayakan jiwanya, tapi dasarnya ia sudah terluka berat, kena disemprot oleh darah yang berbau amis lagi , keruan ia tambah payah. Dalam hati ia hanya berharap sang Sumoay bisa lekas datang. Sementara orang she Liong itu menanyai korbannya, disebelah sana si Lama dan jago Sehe juga tak bisa berkutik meski ada maksud mereka hendak menolong kawannya, tapi mereka dilabrak Su-lam dan Nyo Wan dengan gencar. Sebagai badai membara, pedang Nyo Wan menyerang tanpa kenal ampun. Mendadak sinona membentak.
"Kena!" ~ Sret, pedang menembus leher jago Sehe itu, ketika pedang ditarik kembali, berlumuran darahlah batang pedangnya. Melihat kawannya terbunuh, didengarnya pula jerit ngeri kawannya orang han tadi, keruan si Lama menjadi pecah nyalinya, sekuat tenaga ia coba bertahan. Dibawah sinar api dilihatnya pedangnya Nyo Wan yang merah berlumuran darah itu menyamber lagi kearahnya, seketika semangat si Lama se-akan2 terbang ke-awang2, diam2 ia mengeluh.
"Matilah aku!"
Tapi jago silat pada umumnya tetap punya keinginan hidup meski menghadapi detik terakhir, secara otomatis si Lama juga meronta sekuatnya untuk mencari hidup.
Saat itu tongkat si Lama sedang menahan pedang Li Su-lam sehingga tidak sempat ditarik kembali untuk menangkis pedang Nyo Wan, tapi sebelah kakinya lantas digunakan menendang senjata lawan itu.
Dengan gerak serangan Nyo Wan dan tenaga yang dia gunakan mestinya kaki si Lama dapat tertabas kutung, si Lama sendiri juga menginsyapi resiko ini.
Tak tersangka tendangannya itu ternyata membawa hasil.
"trang", pedang Nyo Wan tepat tertendang jatuh, hal ini sungguh diluar dugaan si Lama. Kiranya selama hidup Nyo Wan baru pertama kali ini ia membunuh orang, pada waktu pedangnya menembus leher jago Sehe tadi Nyo Wan dalam keadaan gusar dan gemas. Tapi setelah itu, darah yang berlumuran itu telah mmbikin gugup padanya. Maka ketika dia menyerang si Lama, sesungguhnya hatinya sudah lemas, tenaganya kurang. Tentu saja si Lama sangat girang, cepat ia menerjang kearah Nyo Wan. Serentak Nyo Wan tersadar juga setelah pedangnya jatuh dan cepat berkelit kesamping.
"Lari kemana!"
Bentak Su-lam sambil mengudak.
Saat itu si Lama sudah melalui Nyo Wan, mendadak ia guncangkan tongkatnya kebelakang, terdengarlah suara mendering nyaring, sembilan glang tembaga sekaligus melayang tiba.
Kiranya gelang tembaga yang berada pada ujung tongkatnya itu dapat digunakan sebagai senjata rahasia, biasanya tidak sembarangan digunakan pada saat sekarang terpaksa ia mengeluarkan serangan terakhir itu.
Nyo Wan sudah kehilangan pedang, kuatir dia tidak mampu menghindar, cepat Su-lam putar pedangnya secepat kitiran untuk melindungi Nyo Wan.
Terdengarlah suara dering nyaring mengilukan, sembilan gelang itu terpukul jatuh semua, tapi Lama itupun sudah lari.
"Bagaimana kau, Wan-moay?"
Tanya Su-lam. Nyo Wan menjemput kembali pedangnya dan membersihkan lumuran darah, jawabnya.
"Tidak apa2, aku Cuma gugup karena membunuh orang untuk pertama kalinya."
"Asal kau berpegang pada pokok pikiran. Bila aku tidak membunuh dia, akulah yang dibunuh olehnya. Dengan demikian kau tentu takkan takut atau gugup lagi."
Lalu Su-lam membangunkan laki2 she Liong itu dan memberikan obat luka padanya.
"Sobat, tak perlu kau repot2, aku sudah tidak berguna lagi, Cuma ........Cuma ........"
Agaknya laki2 itu ingin memberi pesan apa2, tapi tenaga habis, suaranya menjadi ter-putus2.
"Wan-moay kita masih punya sepotong jinsom, lekas kau keluarkan dan potonglah kecil2,"
Kata Su- lam.
Nyo Wan mengiakan dan cepat mengeluarkan jinsom yang dimaksud dan dipotong menjadi lapisan kecil2, lalu dijejalkan mulut orang itu.
Khasiat jinsom paling baik untuk memulihkan tenaga dan memupuk kekuatan.
Selang tak lama.
Terbangkitlah semangat orang she Liong itu, katanya.
"Liong Kang mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian. Kiranya engkau adalah murid Kok-tay-hiap yang bernama Li Su-lam.
"Benar,"
Kata Su-lam.
"Sekarang dpatlah kiranya kau mempercayai aku? Agaknya sebelum ini kau pernah mendengar namaku?"
"Ya, nona beng mengatakan kau adalah orang baik, tampaknya Beng-tayhiap yang slah paham padamu,"
Ujar Liong Kang dengan menghela napas. Kejut dan girang Su-lam mendengar itu, ia menegas.
"Jadi engkau bertemu dengan Beng-tayhiap?"
"Benar. Beng-tayhiap dan putrinya baru pulang dari Mongol dan sengaja menyampaikan kabar ke gunung kami serta memberikan Tok-liong-piau, dari itu kami mengetahui suhu, beliau sudah mengalami nasib malang."
"O, kiranya kau adalah murid To Pek-seng, To-tayhiap , pantas kau mahir menggunakan Tok-liong- piau,"
Kata Su-lam. Nyo Wan lantas menyela.
"Dan sekarang dimanakah Beng-tayhiap?" ~ Yang ditanya Beng-tayhiap, tapi secara tidak langsung yang ditanya sebenarnya keadaan Beng Bing-sia. Beng-tayhiap ada urusna penting dan harus cepat kembali ke Kanglam, maka sesudah bermalam, esoknya beliau lantas berangkat sendirian."
"Berangkat sendirian,"
Jawaban ini membikin Nyo Wan ingin tahu, lalu dimanakah Beng Bing-sia sekarang? Tapi kuatir terlalu menyolok, terpaksa ia tidak jadi tanya lebih jauh. Dalam pada itu Su-lam telah bertanya pula.
"Liong-heng, kedatanganmu ini tentunya bermaksud menuntut balas bagi gurumu. Apakah kau Cuma datang sendiri?"
"Waktu Beng-tayhiap menyampaikan berita duka kepada kami, saat itu hanya aku dan seorang sute yang tinggal di Sanche (pangkalan di gunung), saudara2 seperguruan yang lain sedang bertugas keluar semua. Terpaksa kami berdua lantas berangkat sembari mengirim kabar kepada saudara2 seperguruan yang lain. Kami berangkat berempat, aku dan sisute (adik perguruan ke empat) dan dua Thaubak. Tapi sekarang hanya tinggal aku seorang." ~ bicara sampai disini wajah Liong Kang menjadi sangat pucat. Su-lam menduga teman2nya tentu telah mengalami bencana ditengah jalan, maka ia tidak tanya lebih lanjut. Ia menyodorkan kantong air kemulut Liong Kang dan berkata.
"Minumlah sedikit, nanti saja bicara lagi."
Setelah minum seteguk, lalu Liong Kang menyambung ceritanya.
"Kami bertekas menuntut balas bagi Suhu, tapi sebelum kami mengetahui siapakah musuh pembunuh Suhu itu, ditengah jalan kami sudah dikuntit oelh kawanan keparat ini. Coba kalau Li-kongcu tidak menolong mungkin saat ini jiwaku sudah melayang. Maafkan aku tidak mampu memberi hormat padamu, terpaksa hidup lain jaman barulah aku dapat membalas budimu."
"Kau jangan kuatir, kau tentu akan sembuh,"
Ujar Su-lam.
"Sebaiknya kita cari suatu tempat untuk merawat lukamu, kemudian akan kucarikan tabib bagimu." ~ Dengan jinsom tadi Su-lam yakin jiwa Liong Kang akan dapat dipertahankan dua hari lamanya. Lionh kang tersenyum getir, katanya.
"Aku cukup tahu keparahan lukaku, mumpung aku masih bernapas, biarlah kuceritakan segala apa yang dapat kukatakan padamu."
Karena Liong Kang tak mau diajak berangkat, terpaksa Su-lam berkata. Baiklah, jika demikian boleh kau istirahat disini. Nanti saja bercerita pula."
Namu Liong Kang melanjutkan ceritanya lagi.
"Setelah ketiga kawanku gugur dan akupun terluka parah, tapi akhirnya dapatlah kuselidiki siapa musuh pembunuh Suhu itu."
Tergetar hati Su-lam, cepat ia bertanya.
"Siapakah pembunuh itu?" ~ Maklum To pek-seng adalah tokoh terkenal, maka pembunuhnya tentu jago silat luar biasa, dari itu Su-lam sangat ingin tahu siapakah gerangan tokoh misterius itu.
"Yang Thian-lui!"
Tutur Liong Kang dengan kata demi kata.
"Yang Thian-lui?"
Su-lam mengulangi nama itu dengan menggumam.
"Nama ini seperti pernah kudengar."
Tiba2 Su-lam teringat suatu peristiwa dimana 12 tahun yang lampau, waktu itu belum lama ia masuk perguruan.
Suatu malam datanglah beberapa orang mencari gurunya secara ter-gesa2.
Lalu gurunya lantas berangkat bersama orang2 itu, Su-lamdisuruh menjaga rumah, katnya dua-tiga hari kemudian gurunya baru kembali.
Tapi ternyata tujuh hari kemudian gurunya baru kembali.
Bahkan dengan muka pucat, malahan bajunya juga berlepotan darah.
Waktu Su-lamtanya apa yang terjadi barulah diketahui malam itu sang guru telah diajak pergi mengerubut seorang iblis besar.
Menurut cerita gurunya, katanya iblis besar itu datang dari utara dan telah melakukan beberapa kejahatan didaerah Kanglam, beberapa tokoh Bulim terkenal di Kanglam telah menjadi korban, sebab itulah jago2 silat daerah Kanglam sama bergabung hendak membinasakan gembong iblis itu.
Tak terduga dalam pertarungan sengit itu gembong iblis itu sempat melarikan diri walaupun menderita luka.
Sebaliknya jago silat Kanglam juga belasan orang yang terluka.
Nama gembong iblis itu persis adalah.
"Yang Thian-lui."
Selesai Su-lam menguraikan kisah dulu itu, Liong Kang berkata.
"Memang betyul, ialah Yang Thian-lui ini. Ia terluka juga kena pukulan Tay-lik-kim-kong-ciang gurumu, setelah lari pulang keutara, lalu tiada kabar beritanya lagi. Selama belasan tahun tiada orang kangouw yang melihat jejaknya. Ada orang mengatakan dia telah mampus, ada yang bilang dia mengasingkan diri untuk berlatih sejenis ilmu silat berbisa untuk menuntut balas lagi. Baru sekarang aku mengetahui bahwa gembong iblis ini sebenarnya masih hidup, diapun tidak mengasingkan diri, tapi telah masuk istana Kim dan menjadi pentolan istana.
"Musuh2 yang kutemukan sepanjang jalan kali ini adalah begundal Yang Thian-lui, diantaranya ada muridnya, ada jagoan kerajaan Kim sendiri, bahkan ada jagoan dari Mongol. Padahal diantara negeri Kim dan Mongol saling bermusuhan, mengapa Busu Mongol campur bersama Busu Kim, hal ini sangat mengherankan, bukan mustahil secara diam2 Yang Thian-lui telah bersekongkol dengan tartar Mongol.
"Yang Thian-lui dengan dua pembantunya yang kuat telah kepergok guruku digurun Gobi, dalam pertarungan sengit itu kedua pembantu Yang Thian-lui telah dibinasakan oleh guruku, Yang Thian- lui sendiri juga terluka parah dan sekarang telah lari pulang ke Taytoh untuk merawat lukanya. Kasihan guruku dalam keadaan sendirian, setelah terluka parah tidak mendapat bantuan orang, akhirnya beliau meninggal di padang pasir. Hal ini kudapat tahu dari seorang tawanan kemarin dulu. Dari laki2 itu tadi kuketahui pula hal2 lain yang lebih banyak. Orang ini bernama Ing Jay, murid Yang Thian-lui."
Napas Liong Kang semakin memburu, suaranya juga makin lemah. Diam2 Su-lam terkejut, ia heran mengapa jinsom yang dia berikan tadi tiada membawa khasiat apa2. Cepat katanya.
"Liong-toako, ceritamu disambung lagi lain kali. Paling penting sekarang kita harus mencari suatu tempat aman untuk merawat lukamu."
Liong Kang mendongak keluar, dilihatnya subuh sudah tiba, ufuk timur sudah mulai remang2 terang. Tiba2 ia menghela napas dan berkata pula.
"Oarng yang kutunggu mungkin tidak keburu datang kemari, Li-kongcu, aku mohon bantuan dua urusan padamu."
"Jangan kau pikir hal2 yang tidak baik, kau tentu dapat bertemu dengan kawanmu nanti,"
Ujar Su- lam.
"Tidak, aku tidak sanggup menunggu lebih lama lagi,"
Kata Liong Kang lemah.
"Dua urusan ini sangat penting mumpung aku masih bernapas harus lekas kukatakan padamu."
Sesungguhnya Su-lam tidak percaya Liong Kang akan mati dalam waktu singkat, tapi mendengar ucapannya yang serius itu, agar perasaan orang bisa tenteram, terpaksa ia menjawab.
"Baiklah, boleh kau katakan padaku. Siapakah orang yang kau tunggu, cara bagaimana aku harus menghubungi mereka?"
"Seorang diantaranya sudah kau kenal, dia, dia adalah putri Beng-tayhiap, Beng Bing-sia,"
Tutur Liong Kang. Su-lam dan Nyo Wan bersuara kaget bersama. Orang yang ditunggu Liong Kang ternyata Beng Bing-sia termasuk diantaranya, hal ini sungguh diluar dugaan mereka.
"Sepanjang jalan aku telah meninggalkan kode , tentu mereka akan menguntit kesini. Urusan pertama aku mohon kalian suka memberitahukan nahwa musuh pembunuh guruku adalah Yang Thian-lui."
"Baik. Dan urusan kedua?"
Sahut Su-lam.
"Urusan kedua ini .. ai, cara bagaimana harus kukatakan ."
Liong kang menghela napas seperti ada apa2 yang sukar dijelaskan. Pada saat itu tiba2 terdengar suara derapan kuda yang cepat mendatangi.
"Dengarkan itu, apakah nona Beng yang datang?"
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seru Nyo Wan. Kejut dan girang Liong Kang bercampur aduk, serunya lega.
"Ah, akhirnya datanglah mereka!" ~ Entah karena lukanya yang parah atau pengaruh guncangan perasaannya itu mendadak matanya mendelik, lalu jatuh pingsan. Su-lam terkejut, Liong Kang dipegangnya dan digoyang goyangkan bahunya sambil berseru.
"Liong-heng, sadarlah!"
Sementara itu lari kuda tadi sudah sampai didepan rumah gilingan, ternyata penunggangnya adalah wanita muda berbaju merah. Su-lam merasa tidak kenal nona ini, ia ter-heran2 dan berpikir.
"Mengapa tadi Liong Kang bilang Beng Bing-sia? Jangan2 wanita ini hanya orang lalu biasa saja."
Sebaliknya Nyo Wan tidak pernah kenal Bing-sia, ia mengira yang datang ini benar nona Beng, dengan perasaan kacau ia memapaknya. Tak terduga mendadak nona baju merah itu lantas membentaknya.
"Kurang ajar, kalian berani mencelakai suhengku!" ~ Berbareng ia terus melemparkan senjatanya keatas kepala Nyo Wan, senjata itu berbentuk cengkeram tangan yang bertali. Sama sekali Nyo Wan tidak menduga dirinya akan diserang, keruan ia terkejut, terpaksa ia menjatuhkan diri dan berguling kesamping.
"ser", cengkeram bertali nona itu menyamber lewat atas kepalanya. Bahwa seorang perempuan muda dipaka ber-guling2 di atas tanah tentulah tidak sedap dipandang mata, maka Nyo Wan menjadi gusar, begitu melompat bangun, peang lantas dilolos. Tapi cepat luar biasa cengkeram tangan lawan kembali menyamber tiba. Dengan gusar Nyo Wan membentak.
"Bing-sia, mengapa kau tidak tahu aturan?" ~ "Trang", cengkeram orang kena disampuk oleh pedangnya sehingga memercikkan lelatu api. Nona baju merah itupun terkejut, serunya.
"Kau kenal beng Bing-sia!"
Saat itu Liong Kang kebetulan sudah siuman kembali serunya.
"Sumoay, berhenti! Mereka adalah penolong2ku."
Baru sekarang nona baju merah itu tahu telah terjadi salah paham. Cepat ia menyimpan senjatanya dan minta maaf kepada Nyo Wan.
"Ditengah jalan aku mendapat kabar buruk tentang Suheng, maka cepat memburu kemari, maka tadi aku mengira kalian yang mencelakai Suhengku. Harap cici jangan marah atas kekasaranku tadi."
"Tidak apa2, silahkan kau melihat keadaan Suhengmu,"
Jawab Nyo Wan walupun dalam hati kurang senang. Saat itu Liong Kang dapat bicara dengan lebih keras terdorong oleh rasa girang datangnya sang Sumoay, ia perkenalkan.
"Ini adalah Li-kongcu, Li Su-lam."
Nona baju merah itu tercengang dan menegas.
"Jadi kau ini Li Su-lam?"
"Ya, tapi sekali2 bukan Li Su-lam yang mau bantu kejahatan sebagaimana disangka,"
Sahut Su-lam.
"Semula akupun rada salah paham, baru sekarang aku tahu Li-kongcu sesungguhnya adalah orang baik,"
Ujar Liong Kang.
"Memangnya, orang yang dapat dipercayai nona Beng masakah bukan orang baik,"
Kata nona baju merah dengan tertawa. Liong Kang menoleh ke arah Nyo Wan lantas berkata.
"Dan ini nona .."
Tapi mendadak ia ingat nama Nyo Wan juga belum diketahuinya. Dengan hambar Nyo Wan lantas berkata.
"Aku she Nyo bernama Wan."
Kembali si nona baju merah terkesiap, pikirnya.
"Kiranya mereka bukan kakak beradik."
Dari air muka dapatlah Nyo Wan menerka apa yang sedang dipikirkan, tanpa terasa timbul rasa kecut dalam hatinya dan penasaran pula, sikapnya terhadap nona baju merah itupun menjadi lebih dingin lagi.
Entah tahu tidak nona baju merah itu, namun sama sekali ia tidak ambil perhatian dan masih memanggil.
"Nyo cici, aku she To bernama Hong. Banyak terima kasih atas pertolongan kalian terhadap Suhengku."
"Suhuku adalah ayahnya,"
Liong Kang menambahkan.
Baru sekarang Su-lam mengetahui bahwa nona baju merah bernama To Hong ini adalah putri To Pek-seng, pantas memiliki kepandaian sebagus itu.
To Hong tidak sempat banyak bicara dengan Su-lam berdua, habis memberitahukan namanya segera ia mendekati sang Suheng, katanya.
"Jisuko, bagaimana lukamu? Coba kulihat."
"Sudahlah Sumoay, tidak perlu kau repot2 lagi, aku sudah tidak berguna pula. Musuh pembunuh ayahmua adalah Yang Thian-lui,"
Kata Liong Kang dengan tersenyum getir. Lalu siapa lagi yang mencelakai kau? Aku akan menuntut balas bagimu,"
Kata To Hong.
"Aku sudah membalas dengan tanganku sendiri,"
Kata Liong Kang sambil menunjuk mayat Ing Jay.
"Tentu kau kenal dia bukan? Dia adalah murid Yang Thian-lui, aku telah membinasakan dia dengan Tok-liong-piau."
Nyo Wan adalah nona yang cermat, ia merasa apa yang dikatakan Liong Kang itu banyak ciri2 yang mencurigakan. Ia heran mengapa Liong Kang sengaja berdusta kepada sang Sumoay. Dalam pada itu terdengar To Hong sedang berkata.
"Aku tidak percaya, kepandaian Ing Jay terbatas, masakah dia mampu mencelakai kau?"
"Aku dikerubut oleh mereka,"
Kata Liong Kang. Tapi To Hong masih kurang percaya, katanya.
"Baiklah, akan kuobati kau, aku membawa Siau- hoan-tan yang mujarab untuk luka dalam." ~ Berbareng itu sebelah tangan To Hong sudah lantas memegang nadi Liong Kang untuk memeriksa keadaan lukanya. Liong Kang berusaha meronta, katanya.
"Lukaku sudah pasti tak bisa disembuhkan, kau ., kau .."
"Tak bisa disembuhkan juga akan ku periksa dulu, aku harus mengetahui siapakah musuh yang mencelakai kau!"
Ujar To Hong.
Bahwasanya Liong Kang tidak mau diperiksa keadaan lukanya, sebaliknya To Hong memaksanya, bahkan air mukanya menunjukkan perasaan yang aneh, seperti bingung, seperti kuatir; malahan bercampur pula perasaan marah.
Melihat itu Li Su-lam juga bingung dan merasa dibalik semua itu tentu ada hal2 yang ganjil.
Rupanya Liong Kang tak bisa meronta lagi, katanya kemudian dengan menghela napas.
"Sakit hatiku tak bisa dibalas, Sumoay, hendaklah kau melupakan soal ini saja."
Tiba2 wajah To Hong berubah pucat, teriaknya.
"Kiranya kakakku yang melukai kau! Dia melukai kau dengan Tok-ciang (pukulan berbisa) pada setengah bualan yang lalu dan racunnya baru sekarang bekerja. Dia, kenapa dia mesti berbuat sekeji inipadamu?"
"Sudahlah, Sumoay, kecuali ayahmu hidup kembali didunia ini tiada seorangpun yang sanggup menyembuhkan pukulan berbisa kakakmu. Sebab itulah kau tidak perlu repot2 lagi. Pada bajuku ada sepucuk surat berasal dari Samsute yang ditujukan kepadamu. Ambillah suratnya."
Ia tidak menjawab pertanyaan sang Sumoay tadi, tapi Tohong sendiri sudah jelas mendengar kata2nya itu. Segera To Hong ambil sepucuk surat itu, tangannya sampai gemetar dan air mata berlinang, katanya.
"Jisuko, semuanya ini gara2 kami sehingga kau yang menjadi korban. Kau tidak bersalah, mengapa sama sekali kau tidak membela diri."
Wajah Liong Kang yang pucat itu menampilkan senyum puas, katanya.
"Aku tidak anggap berbuat salah, kalian juga tidak salah. Aku merasa senang bisa berbuat sesuatu bagi kalian asalkan kalian dapat memahami perasaanku."
"Ya, aku paham,"
Jawab To Hong sambil memegang erat2 tangan Liong Kang.
"Jisuko, aku akan berterima kasih padamu untuk selamanya. Adakah urusanmu yang perlu kau pesankan?"
"Janganlah kau dendam kepada kakakmu, hanya kau mesti waspada padanya,"
Kata Liong Kang.
"Setelah aku mati, harap abu tulangku kau bawa pulang, aku tidak ingin terkubur ditanah asing. Sumoay, kau jangan kuatir Ciok-sute pasti akan kembali di sisimu." ~ Sampai kalimat2 terakhir itu suaranya sadah sangat lemah, To Hong mesti mendekatkan telinganya barulah dapat mendengarkan dengan jelas. Lambat laun To Hong merasa bibir sang Suheng sudah dingin, waktu diperiksa ternyata sudah berhenti bernapas. Pelahan2 To Hong meletakkan mayat Liong Kang. Ia memberi tanda agar Su- lam dan Nyo Wan menyingkir. Lalu dikeluarkannya sebutir benda hitam, ketika dilemparkan kemayat Liong kang mendadak benda hitam kecil itu meletus dan mengobarkan api. Dalam sekejap saja sekujur mayat Liong kang itu lantas terbakar dan menjadi abu. Kiranya benda hitam itu adalah salah satu senjata rahasia khas keluarga To, namanya "Hwe-liong- cu" (mutiara naga geni), terbuat dari bahan2 yang mudah terbakar dicampur dengan belerang. Nyo Wan sampai terkejut dan lekas berpaling kesana. Menurut kebiasaan pada jaman itu, orang mati harus dikuburkan, pembakaran mayat tak pernah dilihat Nyo Wan. Namun To Hong ternyata tidak merasakan apa2 untuk membakar jenazah Suhengnya. Habis itu barulah To Hong membuka sampul surat tadi, dengan menahan air mata ia membaca surat itu, lalu menggumam sendiri dengan menyesal.
"O, Jisuheng, maafkan atas kesalahanku, tanpa dosa kau telah menanggung tekanan batin selama ini."
Kemudian To Hong mengeluarkan kantong untuk mengisi abu jenazah Liong Kang dan digantung diatas pelananya, lalu mencemplak ke atas kuda.
"To-lihiap, apakah kau akan terus berangkat?"
Tanya Su-lam. kedua anak buah ayahmu, yaitu Song Thi-lun dan Liu Sam-nio sekarang masih berada di Mongol."
"Terima kasih atas beritamu ini, Cuma kami tiada rencana pergi ke Mongol,"
Jawab To Hong.
"Oya, ada sesuatu urusan harus kuberitahukan padamu." ~ Mendadak ia berhenti dan memandang sekejap ke arah Nyo Wan. Hati Su-lam ber-debar2 karena dapat menerka apa yang hendak dikatakan orang. Benar juga, segera terdengar To Hong berkata pula.
"Beng Bing-sia berada di tempat kami sana, tidak jauh dari sini. Bila kau ingin menemui dia boleh berangkat bersamaku."
Meski Su-lam sudah bertunangan dengan Nyo Wan, tapi terhadap Beng Bing-sia tetap belum terlupakan.
Kini tiba2 To Hong mengajaknya pergi menemui Bing-sia, keruan membuatnya serba kikuk.
Pertama To Hong tidak mengajak sekalian Nyo Wan, sudah tentu ia tidak bisa meninggalkan Nyo Wan untuk menemui Beng Bing-sia sendirian, kedua Su-lam kini sudah bertunangan, dalam keadaan demikian ia merasa ada lebih baik tidak menemui Bing-sia.
Sudah tentu juga ada manfaatnya jika menemui Bing-sia, yaitu dapat memberi penjelasan akan kesalahpahaman ayah nona Beng itu.
Namun soal ini To Hong dapat menceritakannya nanti dan dari hal ini dapatlah membuktikan bahwa Su-lam telah tidak mengecewakan harapan Bing-sia.
Apalagi kelak kalau mereka sudah bertemu dengan Song Thi-lun dan istrinya, tentu semua duduk perkara akan lebih jelas.
To Hong tidak tahu kekusutan pikiran Su-lam, ketika melihat pemuda itu tidak menjawabnya, ia menjadi tidak sabar dan menggerutu didalam hati.
Akhirnya bicaralah Su-lam.
"Kami buru2 ingin pulang, maka harap bantuanmu menyampaikan permintaan maafku kepada nona Beng saja."
"Hendaklah kau jangan salah wesel, bukan Beng-cici yang ingin bertemu dengan kau, tapi akulah yang tanya kau hendak menemui dia atau tidak karena aku tahu kalian pernah berkenalan,"
Kata To Hong dengan kurang senang.
"Jika kau tidak mau ikut, maka sudahlah urusannya, kenapa pakai minta maaf segala?"
Habis berkata , sekali pecut kudanya, segera To Hong meninggalkan Su-lam berdua. Keruan wajah Su-lam merah jengah oleh olok2 To Hong tadi. Katanya dengan tertawa kikuk.
"Aku memang tidak pandai bicara, nona To hong inipun bertabiat aneh."
"Ayahnya berjuluk Ek-pak-jin-mo, putri gembong iblis yang terkenal sudah tentu bertabiat lain daripada yang lain,"
Kata Nyo Wan dengan tertawa.
"Cuma untung kau takkan menjadi suaminya sehingga kau tidak perlu ribut tentang tabiatnya yang aneh itu. Nah hari sudah terang benderang, marilah kita berangkat saja."
"Kembali aku salah omong lagi,"
Su-lam menyengir.
"Baiklah."
Mereka melarikan kuda dengan berendeng, sampai sekian lamanya Nyo Wan tidak membuka suara lagi. Su-lam lantas meng-ada2, katanya.
"Sungguh tidak nyana Liong kang dicelakai oleh Suhengnya sendiri. Entah apa sebabnya."
"To Pek-seng berjuluk iblis, tentu anak-muridnya sedikit banyak juga ketularan bau iblis."
Ujar Nyo Wan.
"Perselisihan antara mereka sendiri tak perlu kita urus."
"Aku Cuma omong iseng saja, siapa yang mau urus persoalan mereka,"
Kata Su-lam tertawa.
"Cuma, meski To Pek-seng berjuluk iblis, sesungguhnya dia bukan tokoh Sia-pay."
"Aku tahu banyak pembesar Kim yang tewas dibunuh olehnya,"
Kata Nyo Wan.
"Tapi pribadinya tak menentu, perbuatannya juga ganas, betapapun tak bisa disamakan dengan kaum pendekar dari Cing-pay."
Rahasia apa yang menyelubungi sengketa antara anak-murid To Pek-seng? Dapatkah Li Su-lam mengikat jodoh dengan Nyo Wan secara kekal tanpa rintangan?
Jilid 04 bagian pertama Li Su-lam dan Nyo Wan meneruskan perjalanan pula, yang dibicarakan Su-lam hanya hal2 yang hambar.
Akhirnya Nyo Wan tidak tahan, dengan tertawa ia berkata .
Engkoh Lam, mengapa kau tidak ikut pergi ke tempat nona To itu.
Nona Beng senantiasa teringat padamu, mengapa kau sendiri melupakan orang ? "
"Ai, rupanya ganjelan hatimu masih belum lenyap, memangnya kau ingin keperlihatkan hatiku?"
Sahut Su-lam dengan sungguh2. Terharu juga Nyo Wan walaupun masih terasa cemburuan. Katanya kemudian .
"Engkoh Lam, aku tahu kau tidak mau pergi menjenguknya demi diriku, tapi akupun tahu kau sebenarnya ingin menemui dia. Aku tidak ingin kau menyesal, lebih2 tak ingin menimbulkan salah paham kepada nona Beng bahwa aku melarang kepergianmu. Menurut To Hong tadi, katanya tempat mereka tidak jauh dari sini, bolehlah kau pergi mencarinya, nanti kita dapat berjumpa pula pada suatu tempat didepan sana."
"Asalkan hati kita sudah sama2 paham, peduli apa dengan pndapat orang luar?"
Ujar Li Su-lam.
"Memang, aku ada utang budi kepada nona Beng Bing-sia dan harus mengucapkan terima kasih padanya. Tapi urusan ini bukan sesuatu yang maha penting yang mesti harus diselesaikan segera. Wan-moay, selama ini kau telah banyak menderita mendampingi aku, semoga kita selekasnya bisa sampai di kampung halaman barulah hatiku merasa lega. Maka dari itu marilah lekas kita melanjutkan perjalanan. Sesungguhnya Nyo Wan penuh menaruh kepercayaan kepada Li Su-lam, hanya secara samar2 ia merasa perasaan Li Su-lam terhadap Beng Bing-sia tentu belum lenyap sama sekali, tentu masih ada ikatan batin tertentu antara keduanya. Su-lam sendiri merasa tidak enak bilamana ddi tengah jalan ketemu dengan Bing-sia, maka ia terus melarikan kudanya secepat terbang, tentu saja Nyo Wan kewalahan mengikutinya. Sambil melarikan kudanya, pikiran Li Su-lam me-layang2 jauh dengan kesal. Pada saat yang sama To Hong juga sedang terombang ambing pikirannya oleh persoalan persahabatan dan cinta. Sambil melarikan kudanya terkenanglah kejadian2 dimasa dahulu kepada masa kanak2 nya. To Hong masih ingat jelas, Liong Kang, Jisuhengnya berguru kepada ayahnya ketika To Hong sendiri berusia tujuh tahun. Sedangkan Samsuhengnya, Ciok Bok, datang dua tahun kemudian. Sejak kecil mereka bertiga suka bermain dan berlatih bersama, ada satu tentu ada tiga, hampir2 tidak pernah berpisah. Kedua Suhengnya itu sangat baik kepadanya, To Hong juga sangat senang kepada kedua Suhengnya itu. Tapi sesudah ketiganya menanjak dewasa, dalam hati kecilnya mulai menaruh perasaan yang rada berbeda terhadap Samsuhengnya. Liong Kang lebih tua tujuh tahun daripada To Hong, sedangkan Ciok Bok Cuma dua tahun lebih tua daripadanya. Jadi usia Ciok Bok lebih berdekatan dengan dia, maka diwaktu berkumpul, tanpa terasa To Hong menjadi lebih akrab pula dengan Ciok Bok, namun juga lebih sering bercekcok. Sebaliknya dia tidak pernah bertengkar dengan Jisuhengnya. Liong Kang laksana kakaknya yang tertua, selalu mengalah padanya. Kalau kedua Suhengnya sama2 baiknya terhadap To Hong, adalah sebaliknya kakak kandungnya sendiri malah tidak cocok dengan dia. Kakak kandung To Hong bernama To Liong, seusia Liong Kang, sejak kecil sudah ikut belajar silat pada ayahnya, dasarnya memang pintar, maka waktu berumur 18 tahun To Liong sudah tamat belajar dan mulai menjelajahi Kangouw. Karena To Liong sangat muda sudah mengembara, yaitu selagi adik perempuannya dan kedua Sutenya masih tekun belajar, maka tidak lama dia sudah mulai terkenal didunia kangouw dan tidak sedikit mengikat persahabatan. Diantara sahabat2nya yang beraneka ragam itu ada beberapa diantaranya yang kurang baik tingkah lakunya. Pernah dia membawa pulang beberapa sahabatnya itu dan tidak sisukai To Hong. Selama itu To Liong juga tidak memusingkan adik perempuannya, oleh sebab itu dalam batin To Hong se-akan2 Liong Kang lebih menyerupai kakak kandungnya malah. Adapaun Ciok Bok dirasakannya seperti kakaknya, tapi terkadang mirip adikny ajuga yang memerlukan bimbingannya. Perasaan yang aneh ini kemudian menimbulkan rasa bingungnya setelah dia mulai menanjak dewasa. To Pek-seng sendiri rada kuatir cara bergaul putra tunggalnya itu. Tapi pertama To Liong sudah dewasa, kedua, To Pek-seng sendiri lebih sering keluar rumah, maka To Liong menjadi lebih bebas bergeraknya. Sang Waktu lalu dengan cepat. Dari seorang nona cilik ingusan To Hong telah berubah menjadi anak dara yang cantik menarik. Ibunya mulai me-nimbang2 soal perjodohan bagi anak perempuannya itu. Seringkali sang Ibu menanya anak perempuannya lebih menyukai siapa diantara kedua Suhengnya itu. Tapi selalu To Hong menjawab dengan muka merah .
"Entah, tidak tahu."
Atau Kedua Suheng sama saja bagiku."
Padahal dalam hatinya dia tahu tidaklah sama.
Liong Kang memang cekatan dan lebih dewasa sesuai dengan usianya, sedangkan Ciok Bok juga pintar dan polos.
Selamanya nyonya To memandang sama mereka tanpa pilih kasih, ia bermaksud memilih slah satu diantara mereka itu untuk dijadikan menantu, tapi lantaran anak perempuannya tidak mau menyatakan sikapnya secara jelas, mau tak mau nyonya To manjadi sukar ambil keputusan dan menunda soal ini sambil menunggu pulangnya sang suami yang kali ini mengadakan perjalanan ke Mongol.
Menurut pesan To Pek-seng pada waktu berangkat, katanya kepergiannya ke Mongol ini akan memakan waktu tiga bulan sampai setengah tahun.
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak terduga tiga bulan dengan cepat sudah lalu, bahkan setengah tahun juga sudah lewat, malahan ditambah lagi setengah tahun dan sang suami tetap belum pulang tanpa ada kabar berita dari negeri yang jauh itu.
Nyonya To mendengar kabar desas desus bahwa sang suami sudah mengalami nasib malang di Mongol, hanya saja belum bisa membuktikan berita buruk itu.
Karena makan pikiran, akhirnya nyonya To jatuh sakit.
Dalam keadaan demikian urusan perjodohan anak2 tentu saja tak terpikirkan lagi olehnya.
Kalau ibunya tak sempat memikirkan perjodohannya, sebaliknya kakak laki2 To Hong yaitu To Liong lantas ikut campur.
To Liong punya seorang kawan baik bernama Tun-ih Pin.
Ayah Tun-ih Pin bernama Tun-ih Ciu, juga seorang tokoh kalangan Hek-to yang disegani, namanya tidaklah kalah daripada To Pek-seng.
Hanya saja pribadi masing2 rada berbeda.
Tun-ih Ciu ganas dan culas, tidak punya patokan hidup yang tertentu, baik Hek-to maupun Pek-to tiada dihiraukan olehnya, mak dia tidak punya teman ataupun musuh yang terntentu pula.
Yang dia utamakan adalah keuntungan semata dan bertindak sesuka hatinya.
Pribadi Tun-ih Pin lebih buruk daripada ayahnya, dengan sendirinya To Pek-seng kurang senang putranya bergaul dengan pemuda begajul begitu, hanya saja lahirnya dia tidak menunjukkan apa2.
Namun begitu Tun-ih Pin cukup cerdik, ia tahu "paman"
Tuan rumah itu kurang menyukainya, maka selanjutnya iapun tidak pernah datang lagi.
Tanpa terasa tiga tahun sudah lalu, To Hong sudah hampir melupakan teman kakaknya itu.
Tak terduga dua hari sebelum berita duka meninggal ayahnya diterima, tiba2 To Liong pulang lagi bersama Tun-ih Pin.
Sekali ini rupanya ada maksud tujuan, terbukti To Liong lantas mengadakan kasak kusuk mengenai perjodohan adik perempuannya dengan Tun-ih Pin.
Berbeda seperti biasanya, sekali ini To Liong tampak memperhatikan To hong, bahkan membawakan oleh2 sebuah kalung mutiara dan sepasang tusuk kundai yang amat bagus.
Lebih lanjut To Liong mulai me- mancing2 persetujuan ibunya.
Akan tetapi sang ibu ternyata lebih condong memungut menantu salah seorang murid suaminya, yaitu Liong Kang atau Ciok Bok, dengan ketus orang tua itu menolak pemuda macam Tun-ih Pin yang sudah bejat moralnya.
Melihat sang ibu yang sukar dibujuk, To Liong lantas mengatakan adik perempuannya sendiri sudah setuju sebab sudah mau menerima "mas kawin"
Calon suami.
Keruan To Hong terkejut, tidak disangkanya perbuatan sang kakak sedemikian kotornya.
Ibunya juga berjingkrak marah dan berniat menghajar putranya, tapi baru dia angkat tongkatnya, dia terpeleset dan jatuh pingsan.
Setelah usahanya gagal, To Liong lantas mengatur langkah ke dua.
Dia sengaja mengadu domba antara Liong kang dan Ciok Bok, malahan sengaja memancing agar Liong Kang bertanding dengan Tun-ih Pin.
Syukur To Hong keburu mendapat laporan, cepat ia memburu keluar dan benar juga dilihatnya Liong Kang sedang bertempur melawan Tun-ih Pin, tampaknya Liong Kang dalam keadaan terdesak dan mulai payah.
To Liong sendiri tidak kelihatan berada disitu.
Yang lebih menjengkelkan To Hong adalah mulut Tun-ih Pin yang kotor, Liong Kang telah di-olok2 dengan macam2 kata yang menusuk perasaan.
Keruan To Hong menjadi gusar, segera ia membentak.
"Berhenti."
Baru sekarang Tun-ih Pin tahu To Hong telah berada disitu lebih dulu ia mendesak mundur Liong kang, lalu dengan cengar cengir ia berkata.
"Eh, kiranya nona To juga datang. Aku hanya main2 saja dengan Liong-heng. O, ya, sedikit oleh2ku yang kutitipkan kepada kakakmu itu entah cocok tidak bagi seleramu?"
Mendadak To Hong ayun sebelah tangannya, kalung mutiara itu telah disambitkan sambil membentak pula.
"Ini ambil kembali barangmu!"
Tidak kepalang kejut Tun-ih Pin, bahwasanya kalung mutiara yang tiada tara nilainya itu telah ditaburkan begitu saja oleh sinona, bahkan To Hong menyerangnya sebagasenjata rahasia dengancara "Thian-li-san-hoa"
Bidadari menabur bunga) yang hebat.
Mutiara itu seluruhnya terdiri dari 36 biji, sekarang sekaligus telah menyerang 36 tempat Hiat-to ditubuhnya.
Sebenarnya kepandaian Tun-ih Pin jauh lebih tinggi daripada To Hong, tapi lantaran tidak ter- duga2, pula dia terus menghadapi Liong Kang, maka ada tiga Hita-to tubuhnya tetap kena tertimpuk oleh mutiara2 itu meski dia sudah berusaha menjaga diri dengan rapay, bahkan menyusul pundaknya kena dilukai pula oleh pedang To Hong sehingga mengucurkan darah.
Untung Tun-ih Pin sempat melompat mundur, dengan murka ia mengancam.
"Bagus, selama hidup ini bila aku Tun-ih Pin tidak mampu mendapatkan dirimu, aku bersumpah tidak jadi manusia!" ~ Berbareng itu dia terus mengeloyor pergi.
"Hm, memangnya kau bukan manusia!"
Jengek To Hong. Habis itu iapun bertanya kepada Liong Kang.
"Dimanakah Ciok-suheng?"
"Tadi ikut pergi bersama Toasuko ( maksudnya To Liong),"
Jawab Liong Kang.
To Hong menjadi kuatir, ia cukup kenal kakaknya yang berhati culas dan keji itu, bukan mustahil Samsukonya akan terjebak olehnya.
Sebaliknya melihat sang Sumoay sedemikian menguatirkan diri Samsutenya, Liong Kang menyadari bahwa orang yang benar2 disukai sang Sumoay kiranya bukan diriku melainkan Ciok- sute adanya.
Dan baru saja To Hong hendak mengajak Liong Kang menyusul Ciok Bok, tiba2 dari belakang bukit sana Ciok Bok sudah muncul dengan pucat dan lesu.
"Kenapakah kau Ciok-suko? Apakah kau terluka? Dimanakah kakakku?"
Tanya To Hong dengan kuatir.
"Ah, tidak apa2,"
Jawab Ciok Bok dengan hambar.
"Toasuko sudah pergi bersama Tun-ih Pin, agaknya dia sudah mengetahui kau telah melukai kawannya itu."
"Sungguh tidak pantas perbuatan Toako, sebenarnya apa yang telah dia bicarakan padamu?"
Tanya To Hong.
"Tidak bicara apa2,"
Jawab Ciok Bok dengan kaku.
"Sudahlah, andaikan kakakmu bicara sesuatu padaku kau tentu akan tahu sendiri."
To Hong tertegun, ia menduga kakaknya tentu bicara urusan dirinya, terpaksa ia tidak tanya lebih lanjut karena Liong Kang masih berada disitu.
Gara2 perbuatan To Liong itu, To-hujin jatuh sakit memikirkan kelakuan putranya yang buruk itu.
Terpaksa To Hong mendampingi ibunya sehingga tidak sempat bicara lagi dengan Ciok Bok.
Tak terduga esok harinya Ciok Bok sudah menghilang tanpa pamit dan tidak meninggalkan secarik surat apapun.
Dan baru sekarang dari mulut Liong Kang dapatlah didengar kabar tentang Samsuko itu........
Begitulah kisah dimasa lampau itu ter-bayang2 kembali dibenak To Hong.
Sambil meraba kantong berisi abu jenazah yang tergantung dipelana kudanya, airmatapun bercucuran dengan perasaan seperti di-sayat2.
Ia tahu demi untuk menyempurnakan perjodohannya dengan Ciok Bok maka Liong Kang rela menerima pukulan maut kakaknya tanpa banyak omong.
To Hong dapat membayangkan betapa pilu hati Liong Kang ketika menerima pukulan berbisa kakaknya itu, sudah jelas Liong Kang tahu To Hong mencintai Ciok Bok, tapi demi menghindarkan Ciok Bok dari sangkaan jelek To Liong, ia rela mengakui segalanya dengan harapan Ciok Bok akan bebas dari incaran keji To LIong.
Alangkah baik hatimu, alangkah sucinya pengorbananmu Jisuko! Demikian To Hong meratap dalam hati.
Sekian lamanya To Hong Menangis, kemudian ia membaca pula surat yang ditulis Ciok Bok.
Panjang juga surat ini.
Bagian pertama Ciok Bok menyatakan tidak ingin keretakan antara To Liong dan To Hong kakak beradik, maka dahulu setelah mendapat teguran To Liong ia mau tinggal pergi.
Bagian surat yang lain mengatakan bahwa dia mengetahui Jisukonya juga mencintai sang Sumoay, andaikan tidak mendapat teguran dari To Liong juga maksudnya untuk mengalah kepada Jisuko itu.
Kemudian isi surat itu menguraikan pertemuannya dengan Liong Kang, katanya setelah mendengar isi hati Liong Kang yang timbul dari lubuk hatinya yang murni barulah diketahui bahwa pilihan sang Sumoay sebenarnya adalah Ciok Bok sendiri, berbareng dikatakan pula bahwa Liong kang telah memberitahu tentang kematian Suhunya, musuh pembunuh Suhu juga sudah diketahuinya, yaitu Yang Thian-lui.
Dengan tegas dalam suratnya Ciok Bok menyatakan pasti akan pulang untuk bantu To Hong menuntut balas.
Meski dalam surat tidak dinyatakan perubahan pikiran Ciok Bok akan kembali pada To Hong, tapi dia sudah menyatakan mau pulang, maka hal lebih lanjut kiranya tidak perlu dijelaskan lagi.
Beberapa kali To Hong mengulang baca isi surat itu, tanpa terasa airmata bercucuran pula.
Sungguh bodoh kau,Ciok-suko, cinta murni antara kita berdua mana boleh ditengahi oleh orang ketiga? Demikian pikirnya.
Tapi iapun kenal watak Ciok Bok yang keras, entah dengan kata2 macam apa kakaknya yang keji itu telah menusuk lukai hati Ciok Bok sehingga pemuda itu lantas menghilang begitu saja? Teringat kepada kakaknya, seketika bencidan geram pula hati To Hong.
Sudah memaksa pergi kekasihnya, sekarang membunuh lagi Liong kang yang selama ini dipandangnya sebagai kakak kandung sendiri itu.
"Jisuko, biarpun kau minta aku jangan membalas dendam, tapi paling tidak aku tak sudi mengakui lagi dia sebagai kakak,"
Demikian pikir To Hong.
Tanpa terasa hari sudah sore, To Hong telah berada kembali ditempat perkemahannya.
Tempo hari waktu Beng Siau-kang dan Beng Bing-sia menyampaikan berita duka meninggalnya To Pek-seng, saat itu To Hong sedang keluar memanggil tabib untuk mengobati ibunya, Liong kang dan dua-tiga anak buahnya lantas berangkat lebih dulu untuk mencari musuh pembunuh Suhunya.
Besoknya sesudah To Hong pulang dan melihat kesehatan ibunya rada baikan, barulah ia memimpin anak buah lain berangkat ke Mongol.
Sepanjang jalan mereka mengikuti kode2 yang ditinggalkan Liong Kang sehingga sampai di Sehe, selain itu dikirim pula suatu rombongan menuju ke Mongol untuk menemui Song Thi-lun.
To Hong dan rombongannya berkemah disuatu tempat yang bernama Oh-tiap-kok (lembah kupu2), To Hong dan beberapa Thaubak menyebarkan diri untuk mencari Liong Kang, sedangkan Beng Bing-sia dan beberapa Thaubak lain tinggal berjaga dilembah itu.
Ketika mendekati kemahnya, timbul pikiran dalam benak To Hong.
"Kemarin Beng-cici baru saja bicara padaku tentang Li Su-lam, dia tentu tidak menyangka bahwa hari ini juga lantas aku bertemu dengan pemuda itu."
Suah sejak kecil To Hong kenal Beng Bing-sia, Cuma tempat tinggal mereka terpisah jauh, yang satu diselatan dan yang lain diutara, mereka jarang kumpul, namun keduanya adalah sahabat karib dan sama2 kenal sifat masing2 seperti saudara sekandung.
Sebab itulah To Hong merasa penasaran bagi Bing-sia yang bertepuk sebelah tangan dalam hal percintaan dan anggap Li Su-lam berhati dingin, diam2 To Hong merasa dirinya lebih beruntung daripada Bing-sia.
Tengah To Hong berpikir sendirian, tiba2 didepan sana muncul Bing-sia yang menegurnya.
"Kenapa kau terlambat pulang? Hampir saja aku berangkat menyusul kau."
"Untung kau tidak jadi menyusul aku,"
Ujar To Hong.
"Kenapa?"
Tanya Bing-sia. Sekilas dilihatnya ada bekas2 airmata dimuka To Hong, ia terkejut dan tanya pula.
"Kenapa kau? Dimanakah Liong Kang? Sudah ketemu belum?"
"Liong-suko sudah meninggal,"
Jawab To Hong dengan sedih.
"Meninggal? Siapa yang membunuhnya?"
Bing-sia menegas.
"Kakakku sendiri,"
Jawab To Hong dengan kaku. Bing-sia mengetahui urusan percekcokan To Hong dan kakaknya, maka iapun dapat menduga apa sebabnya To Liong membunuh Liong Kang.
"Pembunuh ayahku adalah Yang Thian-lui, hal ini telah diselidiki jelas Jisuko,"
Kata To Hong pula.
"Baik, sakit hati ayahmu pasti akan kubantu menuntut balas, bila perlu akan kuminta bantuan ayahku,"
Ujar Bing-sia.
"Terima kasih,"
Kata To Hong sambil mengusap airmata.
Ia turun dari kudanya dan jalan bersama Bing-sia.
Saat itusang deqwi malam sudah mulai mengintip disebelah timur, puncak pegunungan yang penuh salju itu memutih bersih laksana bertaburan perak.
Untuk sekian lamanya mereka terdiam, kemudian To Hong membuka suara pula.
"Coba terka siapa yang kutemukan tadi?"
"Jika kau tidak terangkan, darimana aku tahu?"
Jawab Bing-sia.
"Waktu aku mencari Jisuko, kebetulan ada dua kawan yang sedang merawatnya. Rupanya setelah terluka Jisuko dikejar musuh lain lagi, untung kedua orang itu telah menolongnya sehingga Jisuko bisa bertahan sampai bertemu dengan aku.
"Kedua orang yang simpatik itu sungguh harus dipuji, tentu mereka adalah kenalanmu."
"Mereka bukan kenalanku, tapi kenalanmu. Tidak, hanya satu saja kenalanmu, yang seorang lagi mungkin belum pernah kau kenal."
"Siapakah kenalanku itu? Lekas katakan , jangan main teka teki lagi,"
Pinta Bing-sia.
"Dia adalah orang yang pernah ditolong olehmu, Li-kongcu, Li Su-lam."
"O, kiranya dia!"
Gumam Bing-sia kejut dan girang.
"Kenapa iapun berada di Sehe sini? Siapa lagi seorang yang lain?"
"Seorang perempuan muda, semula kukira saudaranya, setelah kutanya kemudian baru diketahui dia bernama Nyo Wan. Sikap nona Nyo itu agak angkuh dan tidak mengacuhkan diriku. Entah dia pernah apanya Li Su-lam. Kuberitahu Li Su-lam tentang dirimu dan mengundang dia menjenguk kau, tapi dia menolak, tampaknya dia kurang senang karena aku tidak mengundang serta nona Nyo itu."
"Ah, kau ini meng-ada2 saja, aku toh tidak perlu harus ditemui dia,"
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ujar Bing-sia.
"Dia kan utang budi padamu, sepantasnya dia mengunjungi kau sebagai tanda terima kasih."
"Ai, masakah aku mengharapkan balas jasanya? Aku menolong dia karena aku tahu dia pasti bukan orang jahat."
"Pandanganmu memang tidak salah, Beng-cici, Li Su-lam memang orang yang baik,"
Kata To Hong.
"Kiranya orang yang membudak kepada orang Mongol itu bukanlah ayahnya, tapi seorang pengkhianat yang memalsukan nama ayahnya." ~ Lalu iapun menuturkan apa yang didengarnya dari Li Su-lam. Bing-sia, merasa sangat terhibur, katanya.
"Jika betul demikian legalah hatiku. Untung aku telah mencegah maksud ayah tempo hari, kalau tidak tentu beliau akan salah membunuh orang baik."
"Akan tetapi dia tidak berbudi dan tidak punya perasaan, ini membuat aku mencela dia,"
Kata To Hong.
"Aku dan dia Cuma kenal secara kebetulan saja, kenapa mesti mengharapkan dia membalas budi segala? Makin tak keruan kata2mu ini."
Walupun begitu katanya, tapi aneh, bayangan Li Su-lam toh tetap menduduki sanubarinya dan sukar dihalau.
Untuk pertama kalinya Bing-sia merasakan rahasia hatinya sendiri, kiranya dirinya pun sedemikian terkenang kepada Li Su-lam, tanpa terasa wajahnya bersemu merah.
Tapi cepat ia mendusin dan segera meng-ada2, katanya.
"Eh, hampir juga aku melupakan suatu urusan penting."
"Urusan apa?"
Tanya To Hong.
"Jika kukatakan tentu akan membikin kau kaget juga,"
Ujar Bing-sia.
"Bukan Cuma kau saja ketemukan orang diluar dugaan, hari ini rombongan Tio Koa-lu juga ketemukan dua orang yang tak ter-duga2."
Tio Koa-lu adalah salah seorang Thaubak, anak buah To Hong, yang juga ditugaskan keluar mencari Liong Kang.
"Dua orang macam apa?"
Cepat To Hong bertanya.
"Seorang diantaranya sudah kau kenal, seorang lagi takkan kukatakan, biar kau menerkanya dulu."
"Siapa yang kukenal itu?"
"Tun-ih Pin. Tentu tak kau duga bukan? Rupanya dia telah menguber kau kesini."
"Hm. Kiranya keparat itu,"
Omel ToHong dengan muka masam.
"Seorang lagi kuyakin pasti kakakku yang busuk itu."
"Bukan. Tapi seorang Lama Merah, tak kau duga bukan?"
To Hong Melengak, katanya kemudian.
"Sehe bertetangga dengan Mongol, dibawah Jengis Khan ada suatu kelompok Lama yang mahir ilmu silat. Lama merah itu tentu datang dari Mongol. Hm, jika demikian, rupanya keparat Tun-ih Pin itu juga telah bersekongkol denganpihak Mongol. Aku harus membikin perhitungan dengan bangsat busuk itu."
"Kau tidak mencari dia juga dia akan mencari perkara padamu,"
Ujar Bing-sia.
"Apa dia bicara sesuatu tentang diriku?"
Tanya To Hong dengan gusar.
"Ketika rombongan Tio Koa-lu ketemu dia, katanya dia telah mendapat kabar tentang meninggalnya ayahmu, maka dia hendak datang menghibur kau."
"Hm, biarkan dia datang kalau aku tidak membinasakan dia,"
Kata To Hong dengan gemas.
"Tun-ih Pin menanyakan jejakmu kepada Tio Koa-lu, agaknya Tio Koa-lu cukup cerdik, dia tidak ingin menambah kesulitanmu pada saat ini karena dia tahu Tun-ih Pin telah berkomplot dengan pihak Mongol,"
Kata Bing-sia. Rasa gusar To Hong reda pada mereka, setelah berpikir sejenak, katanya.
"Ya, aku tahu Tio Koa-lu adalah orang yang bisa berpikir, tentu dia kuatir menghadapi lawan yang berjumlah lebih kuat. Cuma menurut pendpatku, kalau Tun-ih Pin sudah berniat mencari perkara padaku, pula sudah berkomplot dengan orang Mongol, maka sukar kiranya biarpun kita ingin menghindarinya."
"Hal ini dugaanmu memang tepat,"
Kata Bing-sia.
"Benar juga Tun-ih Pin lantas paksa Tio Koa-lu untuk mengatakan jejakmu, akibatnya terjadilah pertempuran sengit. Tio Koa-lu dan dua kawannya menderita luka dan berhasi lari pulang. Menurut Tio Koa-lu, Lama Merah kawan Tun-ih Pin itu tidak ikut bertempur, kalau tidak tentu mereka tak bisa meloloskan diri. Tapi tak urung salah seorang Thaubak lain tertawan oleh Tun-ih Pin."
To Hong terkejut.
"Orang kita ditawan mereka, apakah kita perlu menghindari dia lagi?"
"Memang kita perlu berembuk tentang persoalan ini. Menurut pendapat Tio Koa-lu, untuk menuntut bals tidak perlu ter-buru2, kita harus mencari kesempatan yang baik. Apalagi sekarang Liong- suheng sudah meninggal, Song Thi-lun dan istrinya belum kembali, Tio Koa-lu terluka pula. Sebaliknya kedatangan Tun-ih Pin sudah direncanakan, tentu dia tidak datang sendirian tanpa pembantu2. Maka menurut pendapatku juga lebih baik menghindarinya dahulu. Yang terang sekarang musuh pembunuh paman sudah diketahui adalah Yang Thian-lui, karena Yang Thian-lui setalh membudak kepada kerajaan Kim, tentu sekarang dia berada di Tay-toh (ibukota Kim)."
"Benar. Menurut berita yang diperoleh Jisuko, setelah membunuh ayah, Yang Thian-lui sendiri juga terluka parah dan saat ini tentu sedang merawat lukanya di Tay-toh."
"Maka dari itu kukira lebih baik kita pulang dahulu. Kalau sakit hati ayahmu sudah kita balas barulah kita membikin perhitungan dengan Tun-ih Pin. Sekarang Mongol sudah mulai mengerahkan pasukannya masuk ke negeri Kim, rasanya se-waktu2 kitapun ada kesempatan untuk bertempur dengan tartar Mongol."
"Jika begitu pendapat kalian, baiklah akupun setuju,"
Jawab To hong.
Sementara itu mereka telah memasuki lembah sunyi dan sudah dekat dengan perkemahan mereka yang berada diatas bukit.
Dari jauh kemah mereka sudah kelihatan.
Anehnya keadaan sunyi senyap.
Tergerak hati To Hong, ia heran mengapa Thaubak2 yang ditinggal di kemah begitu gegabah tanpa memasang pos penjaga.
Sebagai anak Kangouw yang cukup berpengalaman, To Hong merasa curiga terhadap suasana yang luar biasa itu.
Andaikan tiada penjaga, paling tidak suara keleningan kudanya tentu akan terdengar, masak sekarang tiada seorangpun yang namapk.
Belum lenyap rasa sangsinya, tiba2 dari semak2 rumput sana ada orang berseru.
"Awas, di depan ada perangkap, kemah kita sudah diduduki musuh!"
To Hong terkejut, waktu menoleh, dilihatnya seorang laki2 brlumuran darah merangkak keluar dari tengah semak2 rumput. Siapa lagi dia kalau bukan Tio Koa-lu.
"He, kenapakah kau, paman Tio?"
Tanya To Hong. Belum lenyap suaranya.
"serrr", tiba2 sebatang anak panah menyamber dari arah lain dan menembus leher sasarannya, kontan Tio Koa-lu binasa. Dalam sekejap saja dari tempat2 sekitar situ muncul musuh2 yang bersembunyi. Orang yang paling depan jelas adalah Tun-ih Pin. Kiranya pada waktu Bing-sia keluar mencari To Hong, secara diam2 Tun-ih Pin telah memimpin anak buahnya menyergap keatas gunung, dengan kepandaian Tun-ih Pin yang tinggi, dengan mudah saja para Thaubak yang jaga di perkemahan telah dibereskan, hanya Tio Koa-lu saja sempat melarikan diri dengan membawa luka. Ketika Tun-ih Pin dan anak buahnya sedang mencari Tio Koa-lu, terdengarlah suara keleningan kuda, tahulah mereka To Hong telah kembali, segera Tun-ih Pin menyebarkan anak buahnya bersembunyi di sekitar situ dengan memasang lubang perangkap dan tali penjegal. Kalau Tio Koa- lu tadi tidak keburu berteriak tentu To hong sudah tertangkap karena tidak jauh di depannya adalah sebuah perangkap. Meskipun gagal perangkapnya, namun Tun-ih Pin yakin pihaknya pasti menang, maka dengan senang ia tertawa dan berkata.
"Nona Hong, syukurlah sekarang kau sudah datang, anak buahmu ini tidak becus semuanya, manabisa mereka membantu kau menuntut balas dendam ayahmu. Asalkan kau sudah jadi istriku, tentu aku akan bantu kau menuntut balas."
"kemari sini!"
Seru To Hong dengan suara ketus.
"Baik, baik!"
Sahut Tun-ih Pin dengan lagak tengik yang di-buat2 sambil mendekati To Hong.
"Kini aku sudah berada disini, apa kehendakmu silahkan katakan."
"Aku hendak mencabut nyawamu!"
Bentak To Hong mendadak, sret, pedangnya terus menusuk.
"Hm, budak busuk, kau berani menyembelih suami sendiri?"
Jengek Tun-ih Pin sambil mengelak. Menyusul senjatanya berbentuk gaetan lantas bergerak sehingga ujung pedang To Hong terkunci.
"Turun kebawah!"
Bentak Tun-ih Pin sambil putar gaetan lain keperut kuda lawan.
Terpaksa To Hong menginjk pelana dan melompat pergi.
Pedangnya tidak sampai dirampas musuh, namun kudanya harus dikorbankan dan mati tertusuk oleh gaetan Tun-ih Pin yang berujung tajam.
Belum sempat To Hong berdiri tegak dari belakang Tun-ih Pin sudah menyerang tiba pula.
To Hong menjadi gemas, bentaknya.
"Biar kau yang mati atau aku yang binasa!" ~ Berbareng pedangnya susul menyusul menusuk tiga kali kebelakang, semuanyamenuju tempat2 mematika ditubuh Tun-ih Pin. Tun-ih Pin terkesiap dan mengakui ilmu pedang To Hong yang hebat. Tempo hari ketika dirumah To Hong ia telah dikalahkan sinona. Hal ini membuatnya sangat penasaran, dengan sendiriny pertempuran sekarang sudah berbeda daripada dahulu, sebelumnya Tun-ih Pin sudah bersiap, namun dalam dua-tigapuluh jurus ternyat sedikitpun dia taknisa mengungkuli sinona dan baru sekarang ia tahu To Hong memang punya kepandaian sejati dan tidak bolh dipandang enteng. Sementara itu disebelah sana Bing-sia juga sudah mulai bergebrak dengan Lama jubah merah. Ketika anak buah Lama itu menghujani Bing-sia dengan panah, terpaksa Bing-sia juga meninggalkan kudanya dan menerjang ketengah musuh, dengan cepat pedangnya telah merobohkan tiga Busu bangsa Mongol. Lama Merah itu menjadi gusar, senjatanya bentu Kiu-goan-sik-tiang, tongkat timah bergelang sembilan, ia memapak Bing-sia terus menghantam, ketika pedang beradu dengan tongkat, terdengarlah suara gemerantang riuh yang diterbitkn gelang2 tembaga diujung tongkat Lama itu.
"Hm, permainan apa ini?"
Jengek Bing-sia.
Pedangnya berkelebat diatas dan memancarkan titik2 putih perak.
Lama itu tidak tahu dari arah mana pedang lawan hendak menyerang, terpaksa ia putar tongkatnya dengan kencang.
Karena itu bunyi gelang pada ujung tongkatnya tambah ramai dan nyaring.
Semula Bing-sia tidak menaruh perhatian terhadap bunyi gelang tembaga itu, tak terduga lama2 hatinya menjadi gelisah, pikirannya menjadi kacau.
Kiranya suara yang diterbitkan oleh gelang2 tembaga itu telah merangkaikan suara2 yang kacau yang memang bisa menggoda pemusatan pikiran lawan, hal ini merupakan salah satu gaman si Lama untuk mengatasi lawan.
Ditengah pertarungan sengit itu, sedikit lengah saja hampir2 dia kena disabet oleh tongkat Lama.
Untung Bing-sia mempunyai ginkang yang tinggi, dengan enteng sekali pada detik yang paling berbahaya ia tutul ujung tongkat dengan pedangnya, lalu meloncat kesamping.
Pada saat itulah seorang laki2 bersenjata golok dan seorang Busu bersenjata tombak telah mengepungnya dari kanan kiri.
Yang pertama adalah jago kalangan Hek-to yang diundang Tun-ih Pin, yang kedua, adalah Busu Mongol, kepandaian mereka cukup tangguh, untuk mengalahkan mereka dalam waktu singkat rasanya sukar bagi Bing-sia.
Sebaliknya si Lama telah menguber pula dari belakang.
Dengan satu lawan tiga Bing-sia masih mampu bertahan, tapi lama kelamaan tentu kewalahan juga.
Namun disebelah lain keadaan To Hong ternyata lebih buruk daripada Bing-sia.
Semula ia dapat menandingi Tun-ih Pin dengan sama kuat, tapi kepandaian Tun-ih Pin sesungguhnya lebih tinggi daripadanya, setelah lima-enampuluh jurus, ilmu pedang To Hong sudah mulai dikenal dengan baik, maka Tun-ih Pin segera melancarkan serangan2 yang gencar.
To Hong kelabakan, hanya sanggup menangkis dan tidak mampu balas menyerang.
Dalam keadaan gawat itu, tiba2 terdengar suara derap kaki kuda yang ramai dan cepat sekali datangnya.
Dengan tertawa Tun-ih Pin berkata.
"Haha, baru sekarang mereka datang, namun permainan disini sudah hampir selesai. Hayo kawan2, cepat bekuk mereka. Tapi hati2, jangan sampai melukai istriku tercinta!"
Gemas dan kuatir pula To Hong dan Bing-sia.
Mereka pikir daripada mati konyol ditangan musuh, kalau bisa bunuh dulu satu-dua orang musuh, habis itu barulah membunuh diri.
Mereka mengira yang datang itu adalah bala bantuan musuh, tak tahunya bahwa diantara diantara bala bantuan musuh itu bintang penolong merekapun tiba.
Siapakah bintang2 penolong mereka itu? Tidak lain daripada Li Su-lam dann Nyo Wan.
Hari itu Li Su-lam dan Nyo Wan sedang melarikan kudanya dengan cepat, tanpa terasa sudah lewat lohor dan sudah berpuluh li meninggalkan rumah gilingan.
To Hong pernah mengatakan rombongannya berkemah di Oh-tiap-kok, maka menurut perkiraan Li Su-lam lembah kupu2 itutentu sudah dilaluinya.
Ia tidak tahu bahwa lembah itu justru berada didepan mereka, hanya saja tidak terletak pada jalan yang mereka tempuh.
Ditengah rasa bimbang oleh kecamuknya pertentangan batin, kebetulan saat itu mereka sampai disuatu persimpangan jalan tiga jurusan.
Tiba2 dari depan datang suatu rombongan kira2 enam- tujuh penunggang kuda.
Ternyata mereka adalah rombongan yang semalam datang kerumah gilingan untuk mencari buronan itu.
Melihat Li Su-lam, Busu Mongol yang memimpin rombongan lantas memapaknya, sambil berseru.
"Li-kongcu, kedatanganmu sangat kebetulan!"
Walaupun semalam Su-lam telah memperlihatkan tanda2 pengenalnya, maka sekarang ia merasa kebat kebit juga kalau2 rahasianya ketahuan. Dalam pada itu Busu Mongol itu sudah berada didepannya, terpaksa ia balas menyapa.
"Ya,sungguh sangat kebetulan. Kau ada urusan apa?"
"Ada kabar baik yang dapat kuberitahukan,"
Kata Busu Mongol itu.
"Buronan yang kami cari itu kini sudah diketahui jejaknya."
Su-lam tahu buronan yang dimaksudkna adalah Liong Kang, dalam batin ia merasa geli dan anggap ucapan orang Mongol itu sebagai omong kosong belaka.
Tapi timbul juga rasa sangsinya, karena tidak jelas apa yang dikehendaki orang.
Maka dengan tersenyum iapun menjawab.
"O, baik sekali kalau begitu, tentu kau telah berjasa besar. Dimanakah kalian berhasil membekuk buronanmu?"
"Bukan buronan yang telah kami bekuk, tapi suatu rombongan anak buah To Pek-seng telah datang ke Sehe sini, mereka berkemah di Oh-tiap-kok, diantara mereka terdapat dua dara, satu diantaranya adalah anak perempuan To Pek-sing. Li Su-lam yakin anak dara yang lain yang dimaksudkan itu tentu Beng Bing-sia adanya. Ia menjadi ragu2 apakah mesti ikut pergi atau tidak. Belum lagi ia menjawab, tiba2 Nyo Wan mendahului berkata.
"Kita sama2 mendapat tugas penting dari Khan Agung, kalau ada pekerjaan adalah sepantasnya kami ikut pergi membantu."
Mendengar Nyo Wan sudah berkata demikian, segera Su-lam ikut menyatakan setuju.
Busu Mongol itu sangat senang, be-ramai2 mereka lantas berangkat.
Begitulah kedatangan mereka sangat tepat karena saat itu To Hong dan Bing-sia lagi terdesak.
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka menjadi heran melihat diantara bala bantuan musuh yan datang itu terdapat Li Su-lam, terutama Bing-sia merasa tidak tentram dan sangsi jangan2 Li Su-lam benar telah berkhianat.
Iapun menduga wanita yang datang bersama itu tentu Nyo Wan seperti apa yang didengarnya dari To Hong.
Sementara itu rombongan pendatang itu sudah melompat turun dari kuda masing2 dan berlari keatas bukit.
Si Lama jubah merah segera pula dapat mengenali Li Su-lam.
Lama ini adalah Lama yang semalam ikut mendatangi rumah gilingan, disana dia telah dilukai Li Su-lam dan untung dpat menyelamatkan diri walaupun kedua kawannya terbinasa, habis itu barulah dia ketemu Tun-ih Pin.
Sekarang dilihatnya Li Su-lam datang bersama kawan2nya orang Mongol keruan kejutnya tidak kepalang, cepat ia berseru.
"He, ditengah kalian ada mata2 musuh!"
Tentu saja Busu Mongol itu merasa bingung, ia menjawab.
"Apa? Siapa "
Belum lanjut ucapannya, tahu2 punggungnya terasa ditusuk sesuatu.
Rupanya dengan cepat sekali Li Su-lam sudah menubruk dari belakang, sekali tusuk pedangnya telah menembus punggung Busu itu hingga keluar dada.
Berbareng dengan itu Nyo Wan juga lantas bertindak, ilmu pedangnya lebih ganas daripada Li Su- lam.
"sret, sret"
Dua kali, kontan dua busu bangsa Sehe kena dirobohkan dan terguling kebawah bukit. Su-lam cabut pedangnya dari tubuh korbannya, lalu membentak.
"Sebagai putra bangsa Han, masakah aku sudi mengekor pada pihak pengganas. Sekarang kau sudah jelas belum?"
Busu Mongol itu mendelik, ia menjerit keras sekali, lalu roboh binasa.
Dalam rombongannya itu Busu Mongol yang berkepandaian paling tinggi sudah mati, menyusul adalah kedua Busu Sehe, sekarang ketiga orang ini sudah mampus semua, sisanya tinggal empat orang menjadi bingung, mereka sama melarikan diri serabutan.
"Jangan kuatir, To-cici, aku datang membantu kau!"
Seru Nyo Wan.
Rupanya ia sengaja membiarkan Li Su-lam pergi membantu Bing-sia, maka ia sendiri mendahului berlari kearah To Hong.
Ketika mendadak mendengar samberan angin dari belakang, cepat Tun-ih Pin putar pedangnya untuk menangkis serangan Nyo Wan.
Kesempatan itu segera digunakan To Hong untuk melompat kesamping, bentaknya mendadak.
"Kena!" ~ Berbareng tiga buah Tok-liong-piau disambitkan susul menyusul dengan cara yang ber-beda2. Laki2 yang bergolok bertenaga lebih besar, tapi kurang lincah. Dengan goloknya ia bermaksud menyampuk sebuah Tok-liong-piau yang menyambar kearahnya. Tapi goloknya ternyata menyampuk tempat kosong. Ia menjadi gugup dan bermaksud mengelak, namun sudah terlambat. Terasa iganya menjadi sakit, nyata Tok-liong-piau telah menancap dipinggangnya, ia ter-huyung2, lalu terjungkal. Musuh yang bertombak itu lebih cekatan, ia sempat angkat senjatanya untuk memukul senjata rahasia yang menyamber tiba.
"trang", piau terbentur dan mental balik lewat diatas kepalanya. Terenduslah bau amis yang memusingkan kepala, keruan ia kaget, teriaknya.
"Tok-liong-piau!"
"Benar, rupanya tahu juga kau!"
Jengek To Hong.
Sementara itu Tok-liong-piau ketiga sedang menyamber keleher Tun-ih Pin.
Hebat sekali Tun-ih Pin, ketika gaetan kiri menahan dan gaetan kanan menepuk, seketika Tok- liong-piau berganti arah menuju Nyo Wan.
Nyo Wan juga tak kalah tangkasnya, pedangnya memuntir, piau itu berubah arah lagi dan tahu2 menyamber kearah laki2 bertombak.
Sekali ini dia tidak mampu mengelak lagi.
"cret", piau menancp dibahunya. Racun Tok-liong-piau adalah mematikan seketika bila kena pembuluh darah. Maka tanpa ampun bagi laki2 itu, belum sempat ia menjerit sudah roboh binasa.
"kerubut dia, jangan sampai dia sempat menggunakan senjata rahasia!"
Seru Tun-ih Pin sambil putar sepasang gaetan untuk menjaga diri.
Beberapa anak buahnya segera memburu maju dan menghujani To Hong dengan macam2 senjata rahasia, terpaksa To Hong putar pedangnya dengan kencang, bila ada kesempatan iapun balas menyerang dengan Tok-liong-piau.
Serang menyerang dengan senjata rahasia lebih menguntungkan To Hong sebab dia lebih lincah dan bagus pula ilmu pedangnya.
Dalam sekejap dua musuh kena dirobohkan pula oleh Tok-liong-piau, tapi beberapa orang lain sempat menerjang lebih dekat.
Dalam keadaan pertarungan dari jarak dekat dengan sendirinya senjata rahasia tidak banyak gunanya.
Di sebelah sana Li Su-lam juga telah berada disamping Beng Bing-sia.
Yang mengerubut Bing-sia ada tiga orang.
Datangnya Su-lam tepat pada waktunya, dengan cepat ia menabas dan menusuk sehingga kedua kawan Lama yang mengeroyok Bing-sia itu dipaksa mundur.
Maka Bing-sia menjadi longgar, ia putar pedangnya dengan penuh semangat untuk melabrak si Lama jubah merah.
Bagi Li Su-lam, kedua lawannya itu terlalu enteng baginya.
Dalam sekejap saja ia sudah dapat menjajaki kelemahan musuh, pada suatu ketika ia sengaja menyelinap ke belakang seorang lawan dan secepat kilat menotok Hiat-to yang membuatnya berdiri kaku.
Musuh satunya lagi Busu Mongol yang bertombak saat itu lagi menusuk, segera Su-lam menggunakan tawanannya sebagai tameng dan disodorkan ke ujung tombak musuh.
Busu Mongol itu terkejut dan lekas2 hendak menarik kembali senjatanya, namun terlambat sedikit, dada kawannya telah tembus.
Seketika ia menjadi melongo kesima, sedikit meleng saja pedang Li Su-lam sudah menyamber tiba pula dan menembus perut Busu Mongol itu.
"Nah, biar kalian menjadi teman saja di akhirat sana!"
Bentak Su-lam sambil tarik pedangnya.
Kontan kedua korbannya roboh terkapar.
Ketika melihat munculnya Li Su-lam memangnya si Lama sudah jeri, sekarang kedua temannya yang tangguh dibinasakan oleh Su-lam, tentu saja ia tambah gugup, seketika permainan tongkatnya menjadi kacau dan ngawur.
Kesempatan itu tidak di-sia2kan Bing-sia, ia menyerang dengan gencar, pedang berkelebat, darah muncrat, tahu2 bahu kanan Lama itu telah dilukai belasan senti panjangnya dengan darah mengucur deras.
Lama itu mengerang kesakitan, ia putar tubuh hendak melarikan diri.
"Mau lari kemana?"
Bentak Su-lam.
Mendadak Lama itu menggetarkan tongkatnya, kesembilan gelang tembaga pada ujung tongkat lantas terlepas dan menyamber ke arah Su-lam dan Bing-sia.
Gelang2 tembaga itu tidak Cuma mengacaukan pikiran lawan dengan suaranya yang berisik, tapi bila perlu dapat pula digunakan sebagai senjata rahasia.
Namun paduan pedang2 Su-lam dan Bing-sia laksana benteng baja yang tak tertembuskansuara gemerincing yang nyaring, gelang2 tembaga terpental semuanya dan ada yang terbelah menjadi dua.
"bersihkan sisa2 musuh lebih penting, lekas kau pergi membantu To Hong dulu!"
Seru Bing-sia sambil berlari kearah Nyo Wan.
Rupanya Bing-sia sangat ingin berkawan dengan Nyo Wan, maka kesempatan hendak digunakannya untuk bahu membahu menghalau musuh bersama Nyo Wan.
Beberapa orang yang mengerubut To Hong tadi sementara itu sudah ketakutan mereka berteriak terus lari.
To Hong juga tidak perduli mereka, segera ia mengejar si Lama jubah merah.
Untuk menjaga kemungkinan2 Li Su-lam lantas menyusul untuk membantunya bila perlu.
"Apakah Lama ini yang semalam hendak mencari Jisukoku?"
TanyaTo Hong.
"Benar,"
Jawab Su-lam.
"Dia sudah dilukai oleh Beng-lihiap."
"Jangan sampai dia lolos!"
Ujar To Hong dengan gemas.
Saat itu si Lama sudah berhasil merebut seekor kuda dan baru saja mencemplak ke atas kuda.
Cepat To Hong menyambitkan Tok-liong-piau susul menyusul.
Lantaran sebelah bahunya sudah terluka, gerakan tongkatnya menjadi kurang lincah, sebuah Tok-liong-piau kena dipukul jatuh, tapi Tok- liong-piau berikutnya telah mengenai punggungnya.
Kontan Lama itu terjungkal ke bawah kuda dan menjerit ngeri, iapun binasa bermandikan darah.
Saat mana Nyo Wan lagi kewalahan menandingi Tun-ih Pin, syukur Bing-sia memburu tiba, sekali serang segera menggunakan jurus mematikan.
Sudah tentu Tun-ih Pin bukan lawan enteng, ia putar gaetannya yang berujung tajam buat balas menusuk, serangan ini memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dahulu bila tidak ingin terluka bersama.
Cuma sayang perhitungan Tun-ih Pin rada keliru, yang dia hadapi bukan Cuma Bing-sia seorang, tapi di sebelahnya masih ada seorang Nyo Wan.
Kesempatan baik itu telah digunakan Nyo Wan, tahu2 ujung pedangnya telah mengancam dada musuh.
Dalam keadaan tergencet dari kiri-kanan, terpaksa Tun-ih Pin harus menyelamatkan diri lebih dahulu.
Namun betapa gesitnya Bing-sia, pedangnya putar membalik terus menabas miring ke bawah, kontan bahu kiri Tun-ih Pin terluka, untung Tun-ih Pin keburu melompat mundur, kalau tidak sebelah lengannya tentu sudah buntung.
"Tinggalkan nyawamu!"
Bentak To Hong.
Begitu gemasnya terhadap Tun-ih Pin, sekaligus tiga buah Tok-liong-piau lantas disambitkan secara susul menyusul.
Tun-ih Pin benar2 hebat, meski sebelah lengan terluka, dengan sebelah gaetannya, ia masih sanggup menyampuk, terdengar "trang-trang"
Dua kali, dua Tok-liong-piau kena disampuk dan mencelat balik sehingga membentur piau yang ketiga.
Tiga buah Tok-liong-piau jadinya jatuh semua ke tanah.
Dengan cepat sekali Tun-ih Pin lantas menyemplak keatas kuda dan dilarikan secepat terbang.
Kudanya juga kuda pilihan sehingga sukar bagi To Hong untuk mengejarnya.
Dengan menghela napas gegetun To Hong menyimpan kembali Tok-liong-piau yang lain, lalu menyapa kedatangan Su-lam.
Sementara itu terlihat Bing-sia sudah mulai berbicara dengan Nyo Wan.
Dengan sikap hormat Bing-sia berkata.
"Ini tentunya Nyo-cici bukan? To-cici telah mengatakan tentang dirimu, aku merasa menyesal tak dapat berjumpa dengan Nyo-cici, siapa tahu kalian telah datang menolong kami, sungguh kami harus berterima kasih padamu."
"Ah, adalah sepantasnya kami bertindak demikian, apa lagi Beng-lihiap sendiri telah pernah menolong engkoh Lam,"
Jawab Nyo Wan.
"Sungguh, akupun sangat ingin berjumpa dengan Beng- cici."
Walaupun Nyo Wan merasa rikuh untuk mengatakan dirinya bakal istri Su-lam, tapi dari ucapannya engkoh Lam"
Yang mesra itu sudah cukup mengatakan hubungannya dengan Su-lam yang berbeda daripada orang lain.
Su-lam sendiri merasa serba susah, tapi Beng Bing-sia bersikap sewajarnya saja sehingga suasana tidak terlalu kaku.
Su-lam lantas menghaturkan terima kasih kepada pertolongan Bing-sia tempo hari serta menceritakan pengalamannya di Mongol tempo hari.
Akhirnya ditambahkannya.
"Sungguh malang ayahku telah dicelakai musuh, untung adik Wan telah merawatnya sehingga kami ayah dan anak sempat bertemu pada saat terakhir."
Mendengar itu Bing-sia menjadi lebih jelas bahwa hubungan Su-lam dan Nyo Wan pasti tidak Cuma "kakak beradik"
Saja, hatinya rada masam, tapi bergirang juga bagi mereka. Pikirnya.
"Nona Nyo ini berasal dari keluarga ternama, cantik lagi pandai. Dia memang pasangan yang paling cocok dengan Su-lam."
Tengah bicara, tiba2 ditengah semak2 rumput sana suara orang merintih.
Kiranya adalah seorang Busu Sehe terluka parah dan sedang meronta menanti ajalnya.
Hati To Hong tergerak.
Segera ia mendekati Busu itu dan diseret keluar, diberinya obat luka padanya, lalu bertanta.
"Aku ingin tanya padamu, kau harus mengaku etrus terang."
Karena diberi obat, Busu itu mengira jiwanya dapat diselamatkan, maka ia lantas menjawab.
"Silahkan nona tanya, apa yang kuketahui tentu akan kukatakan."
"Lama ini kemarin berada bersama seorang Han yang bernama Eng jay, guru Eng Jay bernama Yang Thian-lui, pakah kau tahu?"
Tanya To Hong.
"Tahu,"
Jawab Busu itu.
"Yang Thian-lui adalah jago terkenal dinegeri Kim, meski kami tinggal jauh di Sehe sini juga sudah lama mendengar namanya."
"Nah, yang hendak kutanyakan adalah soal ini. Bukankah Mongol dan Kim sudah mulai perang, tapi mengapa Yang Thian-lui sebagai jago Kim malah mengirim anak muridnya bergaul dengan Lama negeri musuh?"
"Ini memang suatu rahasia besar. Lantaran nona sangat baik padaku, biarlah kuceritakan semuanya. Yang Thian-lui adalah manusia yang selalu mengikuti arah angin, pengaruh Mongol sekarang sangat besar, maka diam2 Yang Thian-lui sudah mengadakan hubungan rahasia dengan Cepe, suah siap untuk memberontak di kotapraja, Kim bilamana pasukan Mongol sampai dibenteng ibukota Kim itu."
"O, kiranya begitu. Tapi mengapa kaupun berada bersama mereka? Jangan2 kaupun sudah siap menjadi mata2 mereka dinegeri Sehe sini."
Wajah Busu itu menjadi merah, sahutnya dengan gelagapan.
"Hamba hanya . hanya seorang pelaksana saja, apa yang kulakukan adalah terpaksa."
Tiba2 Su-lam ikut bertanya.
"Kabarnya pasukan Mongol akan dialihkan kebarat untuk menyerbu negeri kalian ini, apakah betul?"
"Kiranya kongcu juga tahu?"
Jawab Busu itu terkejut. Padahal Li Su-lam hanya menerka saja berdasarkan kenyataan pasukan Mongol ditempatkan di Liong-sah-tui serta menurut gerak gerik pasukan musuh dan ternyata lantas terbukti dari pengakuan Busu Sehe itu.
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Rupanya kau juga sama2 pengkhianat yang menjual negara untuk kepentingan sendiri macam Yang Thian-lui,"
Jengek To Hong. Keruan Busu itu ketakutan.
"Nona, engkau mengatakan mau mengampuni jiwaku!"
Pintanya.
"Siapa yang berjanji mengampuni kau,"
Jawab To Hong.
"Dosa lain dapat diampuni, hanya pengkhianat tidak bisa diampuni," ~ Cret, kontan ia tikam Busu itu dengan pedangnya. Nyo Wan sampai terperanjat ole keganasan To Hong. Sungguh tak terduga olehnya bahwa nona secantik itu ternyata membunuh orang tanpa berkedip. Maklumlah asal usul Nyo Wan berbeda daripada To Hong dan Bing-sia, perangainya juga lain, maka sekalipun dalam hati ia mengagumi kegagahan mereka, namun terasa juga oleh Nyo Wan bahwa dirinya bukan sekaum dengan mereka dan tak mungkin bergaul dengan akrab. Tiba2 Nyo Wan merasakan sesuatu yang aneh, terasa dirinya seperti "orang luar"
Yang berada ditengah Li Su-lam dan Beng Bing-sia, meskipun Su-lam lebih banyak bicara padanya daripada dengan Beng Bing-sia. Tanpa terasa hari sudah terang, pagi sudah tiba. Su-lam berkata.
"Jika pasukan Mongol beralih kebarat, wilayah Sehe tentu akan menjadi medan perang. Tempat ini bukan tempat yang aman, lebih baik lekas kalian pulang saja."
"Kami hendak menunggu kembalinya Song Thi-lun dan istrinya, setelah bergabung segera kami kembali, biarlah kalian berangkat dulu,"
Jawab Bing-sia.
"Ah, kamipun tidak ter-buru2 hanya untuk beberapa hari saja, biarlah kita berombongan kan lebih ramai. Bukankah demikian, engkoh Lam?"
Ujar Nyo Wan. Belum lagi Su-lam menjawab tiba2 Bing-sia telah mendahului berkata.
"Tapi kami masih harus bergabung dengan beberapa tokoh kalangan Hek-to, mungkin kalian kurang biasa bergaul dengan mereka. Apalagi pihak Mongol sedang menguber Su-lam, kukira kalian tidak perlu tertunda disini lebih baik berangkat lebih dulu saja."
Agaknya Bing-sia kuatir Nyo Wan banyak menruh curiga, maka tidak ingin berombongan dengan mereka. Karena begitu ucapan Bing-sia, dengan sendirinya Nyo Wan tidak dapat memaksa. Katanya kemudian.
"Baiklah, jika begitu kami akan berangkat lebih dulu. Semoga sekembali di Tionggoan kita dapat berjumpa pula."
Begitulah mereka lantas meninggalkan lembah kupu2 itu.
Sepanjang jalan Nyo Wan dan Su-lam sama2 tercekam oleh perasaan masing2.
Dua hari kemudian mereka sudah mendekati perbatasan negeri Sehe dan Kim.
Tiba2 debu mengepul tinggi didepan sana, suatu rombongan besar kaum pengungsi membanjir tiba dalam keadaan ketakutan.
"Terjadi apa didepan sana?"
Su-lam tanya kepada salah seorang pengungsi itu.
Memang Li Su-lam sudah menduga pihak Mongol pasti akan mengalihkan pasukan nya kebarat, tapi serbuan yang begitu cepat sungguh diluar dugaannya.
Terpaksa Su-lam mengajak Nyo Wan untuk kembali kearah datangnya tadi untuk menghindari bahaya.
Sementara itu sepanjang jalan sudah penuh dengan pelarian pengungsi sehingga kuda mereka sukar melangkah.
Terpaksa Su-lam mengajak Nyo Wan menyimpang kepinggir jalan.
Tapi belum mereka keluar dari lautan kaum pengungsi, tahu2 pasukan Sehe yang kalah telah membanjir tiba pula.
Pasukan yang kalah itu hanya memikirkan menyelamatkan diri dan sama sekali tidak perduli mati- hidup rakyat jelata, kuda mereka terus menerjang ketengah lautan manusia, banyak kaum wanita, orang tua dan anak kecil ter-injak2 sehingga suara jeritan tangis gemuruh memekak telinga.
Prajurit yan tak berkuda juga tahunya menerjang untuk cari selamat, banyak rakyat jelata yang tidak sempat menyingkir telah menjadi korban.
Su-lam menjadi gusar melihat kelakuan prajurit2 Sehe itu, takut terhadap musuh, tapi mengganas terhadap rakyat sendiri.
Pantas pasukan Mongol dapat mengalahkan mereka dengan mudah.
Tiba2 suatu regu tentara kalah itu menerjang kearah mereka sambil ber-teriak2.
"aku mau kudamu! ~ Aku ambil betinanya!" ~ belum apa2 mereka sudah ribut mau membagi rejeki. Keruan Su-lam dan Nyo wan menjadi murka, mereka putar pedang membinasakan beberapa orang diantaranya, habis itu barulah tentara kalah itu kapok dan melarikan diri. Namun regu ini lari, regu yang lain sudah tiba pula. Dengan gusar Su-lam siap membereskan pula tentara2 pengecut itu. Tapi mendadak tentara pelarian itu berceri berai kabur serabuatan tanpa meng-utik2 mereka lagi. Semul a Su-lam heran, tapi ia memandang kesana barulah tahu apa sebabnya, kiranya sepasukan tentara Mongol sudah mengejar tiba.
"Kau ikut dibelakangku, adik Wan!"
Seru Su-lam.
Cepat ia rampas dua buah tombak panjang dan segera digunakan alat pembuka jalan lari.
Setiba dipadang yang sepi, ia memanggil Nyo Wan tapi tidak mendapat jawaban, ia menoleh, ternyata Nyo Wan sudah hilang.
Keruan kejut Su-lam tak terkatakan.
Disangkanya sejak tadi Nyo Wan selalu mengikuti si belakangnya, siapa tahu nona itu telah diterjang oleh kekacauan sehingga terpisah.
Su-lam mengeluh, ia bermaksud kembali kesana untuk mencari Nyo Wan,tapi tertampak debu mengepul setinggi langit, be-ribu2 kuda lari bergemuruh, rupanya pasukan induk Mongol sudah tiba pula.
Pasukan induk Mongol terus maju melalui jalan utama, kedua sayapnya terbagi dalam be- regu2 kecil sedang menyapu sisa2 musuh diladang belukar kedua tepi jalan.
Suatu regu kecil diantaranya telah mendekati tempat Li Su-lam.
Tanpa pikir Su-lam angkat busur pemberian Jengis Khan dan membidikkan tiga anak panah, kontan tiga prajurit Mongol terjungkal dari kudanya.
Dalam pada itu dengan cepat dua prajurit lain telah menerjang tiba.
Su-lam menggertak satu kali, dengan tepat ia samber tombak seorang prajurit itu kena ditarik meninggalkan kudanya sambil masih pegang kencang2 tombaknya, ketika Su-lam memutar dengan cepat terus dilepaskan, kebetulan prajurit itu menumbuk kawan sendiri yang saat itutelah menerjang tiba.
"Panah yang hebat!"
Tiba2 terdengar seruan seseorang.
Waktu Su-lam memandang kesana, tertampak sebuah panji besar ber-kibar2 tertiup angin, dibawah panji itu berdiri seorang panglima gagah berkuda sedang memandang kearahnya ditepi jalan sana.
Panglima perang ini bukan lain daripada sipanah sakti Cepe adanya.
Rupanya pasukan besar Mongol ini dibawah pimpinannya.
Karena sekujur badan Li Su-lam penuh debu kotoran, jaraknya rada jauh pula, maka Cepe tidak tahu siapa dia.
Hanya saja melihat kepandaian panah Su-lam itu, ia menjadi gatal tangan juga dan ingin mengadu kepandaiannya.
"Ser-ser-ser,"
Ber-turut2 iapun melepaskan tiga anak panah kearah Su-lam.
Ilmu memanah Cepe memang lebih tinggi daripada Li Su-lam.
Dengan gendewanya Su-lam napat menyampuk jatuh anak panah pertama, anak panah kedua dapat dielakkan pula, tapi anak panah ketiga telah mengenai kudanya.
Habis itu kontan Su-lam juga balas memanah satu kali.
Mendengar suara mendengingnya anak panah, Cepe terkesiap dan tahu itulah bidikan dengan busur baja nomor satu.
Perguruan Sejati -- Khu Lung Rahasia Iblis Cantik -- Gu Long Pukulan Si Kuda Binal -- Gu Long