Ceritasilat Novel Online

Pahlawan Gurun 5


Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen Bagian 5



Pahlawan Gurun Karya dari Liang Ie Shen

   

   Dengan tangkas iapun tangkap anak panah itu dengan tangannya.

   Busur panah Jengis Khan adalah buatan khusus, sekali lihat saja Cepe lantas tahu siapa adanya Li Su-lam.

   "Kiranya kau!"

   Bentak Cepe.

   "Hayo anak buahku, jangan sampai dia lolos!"

   Mendengar perintah panglimanya, regu tentara tadi yang masih dua-tiga puluh orang itu lantas be- ramai2 mengejar kearah Su-lam.

   Kuda Su-lam yang terkena panah tadi sedang lari kesakitan, tapi beberapa li jauhnya sudah tidak tahan dan roboh terguling.

   Cepat Su-lam berguling ditanah sambil putar pedangnya, belum berdiri tegak orangnya, lebih dahulu ia sudah babat putus delapan kaki kuda musuh sehingga ada empat prajurit pengejar itu jatuh kebawah.

   Cepe juga ikut mengejar, belum tiba orangnya lebih dulu ia membidikkan panahnya lagi.

   Su-lam cengkeram seorang prajurit musuh dan digunakan sebagai perisai, ber-ulang2 ia tangkis tiga panah, tapi mendadak ketiaknya terasa sakit, rupanya sebuah panah Cepe itu menembus badan prajurit dan ujung panah melukai Su-lam.

   Untung juga ada perisainya sehingga luka Su-lam itutidak parah.

   Akan tetapi Su-lam sudah kehilangan kuda, keadaannya menjadi sangat berbahaya.

   Jilid 04 bagian kedua Selagi Su-lam bertempur mati2an untuk mencari jalan lari, se-konyong2 suara angin men-deru2, debu pasir bertebaran memenuhi angkasa.

   Itulah "Liong-kwi-hong" (angin puyuh putaran naga) yang jarang terjadi di daerah tandus barat-laut, sungguh sangat keetulan, pada saat gawat demikian angin puyuh itu telah menyelamatkan Li Su-lam.

   Debu pasir yang dijangkitkan oleh angin puyuh itu laksana be-ratus2 lapis tabir yang menutupi angkasa dan menyelimuti bumi, ditengah kabut pasir itu hanya tampak bayangan2 manusia belaka, sukar untuk membedakan kawan atau lawan apalagi di ladang belukar yang terbuka itu angin sangat kencang, kedua pihak sama2 ingin mencari tempat sembunyi dan tidak pikir bertempur lagi.

   Menghadapi angin puyuh yang begitu hebat, posisi pasukan induk Mongol menjadi kacau juga.

   Sebagian tawanan menggunakan kesempatan baik itu untuk merampas senjata dan kuda buat melarikan diri ditengah keributan itu.

   Sebagai seorang panglima dengan sendirinya Cepe tak bisa meninggalkan pasukannya dalam keadaan kacau, terpaksa ia putar balik ke tengah pasukannya.

   Ia pikir Su-lam sudah terluka, nanti kalau angin sudah reda akan dilukis parasnya dan disebarkan agar dilakukan penangkapan oleh pos2 penjaga di perbatasan.

   Su-lam tidak pernah berhenti di tengah angin puyuh itu, dengan tekad yang teguh ia terus berlari meski beberapa kali hampir saja ia terguling.

   Angin puyuh itu berlangsung hampir satu tanakan nasi baru mereda.

   Habis itu Su-lam coba lihat sekitarnya, ternyata dirinya sudah berada di kaki gunung, di belakang tiada pengejar.

   Kedua kakinya terasa linu pegal, tulang2 sekujur badan se-akan2 retak, lukanya juga terasa sakit, ia cona meraba luka dekat ketiak itu, basah rasanya entah air keringat atau darah.

   Ia membawa rangsum kering serta obat luka, untung perbekalan itutidak jatuh.

   Segera ia robek bajunya, lukanya dibersihkan, lalu dibalut.

   Ia pikir bahaya belum lenyap seluruhnya, makin jauh masuk pegunungan akan makin baik.

   Maka dengan menahan haus, ia makan dua buah kue kering, dengan mengumpulkan semangat ia mendki gunung di depan.

   Sampai hari sudah magrib barulah ia mencapai diatas gunung.

   Untung diketemukan sebuah parit berair bening, setelah kenyang minum dan membersihkan bagdan, pulihlah semangatnya.

   Ia coba bersemadi untuk menghimpun tenaga dalam, akhirnya ia merasa lukanya tidak berhalangan barulah ia berbangkit.

   Sayup2 terdengar suara terompet, entah sudah sampai dimana prajurit kedua pihak yang berperang itu.

   Menghadapi bayangan sendiri dibawah sinar bulan, Su-lam menjadi berduka teringat kepada Nyo Wan yang hilang itu, terkenang macam2 kebaikan Nyo Wan, tapi sekarang dirinya tinggal sendirian dan sinona tak diketahui mati hidupnya.

   Ia pikir kepandaian Nyo Wan cukup tinggi, tentunya dapat menyelamatkan diri pula.

   Maka dalam hati ia bersumpah betapapun pasti akan mencari dan menemukan si nona.

   Tengah ngelamun, tiba2 didengarnya suara kresek2 ditengah semak2 rumput, Ia mengira ada binatang2 kecil sebangsa kelinci yang sembunyi disitu.

   Ia pikir sangat kebetulan akan dijadikan daharan.

   Segera ia jemput dua potong batu kecil, ia sambit semak2 rumput itu dengan maksud membikin binatang yang sembunyi disitu kaget dan lari keluar, lalu akan menyambit pula unutk menangkapnya.

   Diluar dugaan, yang melompat keluar bukanlah binatang kecil, tapi ada seorang laki2, sebelum batu kedua disambitkan Su-lam, orang itu sudah menubruk tiba.

   Dibawah sinar bulan kelihatan jelas laki2 itupun kotor badannya dan berlepotan darah, entah orang mana dan bangsa apa, yang jelas berpakaian orang Mongol.

   Su-lam menyangka orang suruhan Cepe untuk menangkapnya, tanpa pikir ia lantas lolos pedang terus menusuk.

   Serangan yang mengarah Hiat-to musuh ini menurut perhitungan Su-lam akan dapat merobohkan musuh dengan mudah.

   Siapa duga laki2 itu ternyata sangat gesit dan cekatan.

   "Trang", secepat kilat orang itupun sudah cabut pedangnya untuk menangkis, menyusul terus balas menyerang kemuka Li Su-lam. Sambil mengelak Su-lam sampuk pula pedang lawan. Tapi orang itu terus memutar kesamping Su- lam dan kembali pedangnya menusuk iga Su-lam dengan cepat luar biasa. Syukur Su-lam sempat menggeliat pada saat berbahaya sehingga melesetlah serangan musuh. Ia terkesiap akan tusukan musuh yang mengincar Hiat-to berbahaya itu, kini ia tidak berani memandang enteng lawannya lagi. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa orang itu menubruk maju pula dan ber-turut2 melancarkan belasan kali serangan. Sebenarnya kepandaian Li Su-lam tidak dibawah laki2 itu. Soalnya kalah tenaga, perutnya lapar lagi. Setelah menangkis belasan kali mulai terasa payah. Untungnya laki2 itupun seperti kekurangan tenaga juga, setelah melancarkan serangan2 tadi gerak pedangnya pun mulai kendur. Tiba2 hati Su-lam tergerak karena merasa ilmu pedang lawan seperti sudah dikenalnya. Baru saja bermaksud menegur, se-konyong2 lawannya melompat keluar kalangan dan membentak.

   "Siapa kau?"

   "Seorang laki2 sejati tidak perlu ganti she dan palsukan nama, aku adalah putra Han tulen Li Su- lam adanya, dan kau sendiri siapa?"

   "kau putra Han tulen, akupun putra han sejati,"

   Jawab orang itu ter-bahak2.

   "Kita tidak perlu berkelahi lagi. Li-heng, kalau aku tidak salah terka, tentunya kau dari Siau-lim-pay. Entah siapakah gurumu yang terhormat?"

   "Guruku adalah murid Siau-lim-pay dari kalangan preman, beliau she Kok bernama Peng-yang,"

   Jawab Su-lam.

   "O, kiranya Li-heng adalah murid Kok-tayhiap, pantas begini bagus Tat-mo-kiam-hoatmu,"

   Kata orang itu.

   "Dan cayhe sendiri belum lagi mengetahui nama saudara yang terhormat?"

   "Siaute she Ciok bernama Bok."

   "Ai, kiranya Ciok-heng adanya, pantas ilmu pedangmu tampaknya sudah kukenal."

   "Darimana Li-heng bisa mengenali ilmu pedang perguruanku?"

   "Gurumu bukankah To-tayhiap, To Pek-sing?"

   Jawab Su-lam.

   "Sumoaymu To Hong bahkan kemarin berada bersama kami."

   Terkejut dan girang sekali Ciok Bok, cepat ia menegas.

   "To-sumoay berada dimana? Masih ada seorang Jisuko kami, apakah Li-heng juga berjumpa dengan dia?"

   "Nona To dan seorang nona Beng berada dilembah kupu2 untuk menunggu kembalinya Song Thi- lun dan istrinya. Tentang Liong-suheng, dia ..... dia, sayang sudah meninggal."

   "Liong-suheng meninggal?"

   Ciok Bok menegas dengan terperanjat. Su-lam lantas menceritakan apa yang diketahuinya. Gemas dan duka hati Ciok Bok mendengar sebab kematian Liong Kang, dengan mengembeng airmata ia bacok sebuah batu padas dengan pedangnya dan bersumpah.

   "Jahanam Tun-ih Pin yang membikin celaka Liong-suheng, bila aku tidak membunuh keparat ini aku bersumpah tidak menjadi manusia."

   Sejenak kemudian Su-lambertanya.

   "Ciok-heng, mengapa kau berada disini dan sebab apa berdandan begini?"

   "Sungguh memalukan bila kuceritakan,"

   Jawab Ciok Bok.

   "Kemarin aku kepergok pasukan besar Mongol, karena kewalahan menghadapi jumlah musuh sekian banyak, akhirnya aku tertawan. Ditengah jalan tadi untung terjadi angin puyuh selagi pasukan Mongol mengejar pasukan Sehe yang melarikan diri, kesempatan itu telah kugunkakan untuk meloloskan diri.

   "benar2 sangat kebetulan, aku juga lolos dari kejaran musuh karena angin puyuh yang hebat tadi,"

   Ujar Su-lam dengan tertawa.

   "Ciok-heng tentunya sangat lapar, aku masih ada sedikit makanan kering."

   "Barusan aku dapat membunuh seekor kelinci, apakah Li-heng membawa batu api?"

   Kata Ciok Bok. Lalu dari semak2 dilekuarkannya seekor kelinci. Segera Su-lam membuat api unggun untuk memanggang kelinci. Selesai makan semangat mereka banyak terbangkit kembali. Su-lam menjadi teringat lagi kepada Nyo Wan, ia coba tanya.

   "Ditengah pasukan yang kacau balau tadi apakah Ciok-heng melihat seorang nona." ~ lalu ia menguraikan ciri2 Nyo Wan. Sebenarnya ia hanya tanya sekadarnya saja, sebab tahu sangat tipis harapan akan diketemukannya bakal istrinya itu. Tak disangka, setelah mendengar ciri2 Nyo Wan, tentang wajah dan pakaiannya, tiba2 Ciok Bok menjawab.

   "Aku melihatnya. Cuma, ai, sungguh malang nasib nona itu....." ~ tiba2 ia bertanya.

   "Entah nona itu pernah apanya Li-heng?"

   Berdebar jantung Su-lam, jawabnya kemudian.

   "O, kawanku seperjalanan. Kami sama2 hidup terlunta dinegeri orang yan sedang berkecambuk oleh peperangan, maka kami sama2 ingin pulang kekampung halaman, tak terduga ditengah kekacauan kemarin dia telah terpencar dariku. Entah bagaimana nasibnya, dapatkah kau menceritakan?"

   Ia kuatir Ciok Bok tidak mau menceritakan seluk beluk daripada apa yang dilihatnya, maka tidak dikatakan bahwa Nyo Wan adalah bakal istrinya. Begitulah maka Ciok Bok mulai menutur .

   "kejadian ini terjadi sebelum terjangkitnya angin puyuh. Ditengah barisan tawanan kaum wanita yang terpisah tidak jauh dari rombongan tawanan laki2 kulihat ada seorang nona baju merah yang mirip nona yang kau tanyakan itu."

   "benar, kemarin dia memang memakai baju merah jambon,"

   Kata Su-lam.

   "Kiranya dia telah tertawan musuh. Apa yang terjadi atas dirinya?"

   "hendaklah kau jangan berduka, dia ......dia mungkin tak bisa pulang lagi,"

   Kata Ciok Bok. Mendadak Su-lam mencengkeram bahu Ciok Bok dan berteriak.

   "Bagaimana duduk perkara? Lekas katakan padaku!"

   "Kulihat seorang perwira Mongol tertarik oleh kecantikan nona itu dan coba2 menggodanya, watak nona itu tampaknya sangat keras, dia mencabut sebilah belati, sekali tikam perwira itu telah dibunuhnya. Ketika prajurit2 Mongol mengepungnya, sinona lantas menikam ulu hati sendiri dengan belatinya. Dia telah membunuh diri."

   Kepala Su-lam seperti dikemplang dengan keras, seketika ia ter-mangu2 seperti orang gendeng dengan mata terbelalak, tapi tanpa airmata.

   "Li-heng! Li-heng! Kenapakah kau?"

   Ciok Bok coba menyadarkannya. Sejenak kemudian barulah Su-lamdapat menangis, ratapnya.

   "O, Wan-moay, alangkah malang nasibmu. Bila kau mati, mana aku dapat hidup sendiri?"

   Melihat keadaan Su-lam itu, Ciok Bok dapat menduga huibungan antara Su-lam dan Nyo Wan yang ditanyakan tentu tidak terbatas "kawan biasa"

   Saja. Segera ia menghiburnya.

   "Li-heng jangan sedih dulu, mungkin penglihatanku keliru, apalagi kejadian itu kulihat dari jauh, apakah nona baju merah itu betul sudah meninggal atau belum tidaklah diketahui denganpasti. Pula, kukira kaum kita harus berpandangan jauh dan berpikir luas, jangan cuma memikirkan kemalangan kawan atau sanak keluarga sendiri saja."

   Ucapan terakhir ini seperti kemplangan diatas kepala Li Su-lam, ia tersentak kaget, jawabnya kemudian.

   "Ya kata2 Ciok-heng memang benar, akulah yang salah."

   "Dalam pertempuran yang kacau entah betapa banyak jatuh korban rakyat tak berdosa,"

   Ciok Bok berkata pula.

   "Kalau nona baju merah yang gugur itu betul adalah nona yang dimaksud Li-heng, maka Li-heng justru harus berani hidup terus untuk menuntut balas baginya dan juga untuk membalas dendam bagi mereka2 yang tak berdosa itu."

   Muka Su-lam menjadi merah, katanya.

   "Banyak terima kasih atas nasihat emas Ciok-heng,"

   Kata Su-lam sambil mengusap air matanya. Waktu dia mendongak, ternyata hari sudah terang.

   "Aku harus berangkat sekarang, banyak terima kasih ata sberita Li-heng tentang diri Sumoay, aku ingin mencari mereka ke Lembah Kupu2,"

   Kata Ciok Bok.

   "Adakah Li-heng mempunyai rencana selanjutnya? Bila engkau tidak ter-buru2 harus pulang, bagaimana kalau kita berangkat bersama?"

   "pasukan berkuda Mongol pergi datang secepat angin, saat ini mereka tentu sedang menerjang ibukota Sehe, kesempatan ini akan kugunkan untuk melintasi perbatasan, kalau samapai pasukan Mongol putar balik tentu sukar melewati rintangan."

   Ciok Bok tahu Su-lam adalah buronan dari Mongol, karena alasannya memang tepat, segera ia menjawab. Baiklah. Kita sampai bertemu pula kelak."

   "pakaianmu yang berlepotan darah ini terlalu menyolok, kalau suka silahkan Ciok-heng pakai bajuku ini,"

   Kata Su-lam sambil menanggalkan baju dalamnya yang cukup bersih.

   Ciok Bok juga tidak menolak, perawakan merekapun hampir sama, maka cocok juga bagi Ciok Bok, ia mengucapkan terima kasih dan bertanya apakah Su-lam tiada pesan lain2.

   Su-lam seperti merenungkan sesuatu, sejenak kemudian baru menjawab.

   "Tidak ada pesan apa2, cukup sampaikan salamku saja kepada Sumoaymu dan nona Beng, katakan aku sudah pulang dengan selamat."

   Setelah Ciok Bok pergi, seorang diri Su-lam mengheningkan cipta dan berdoa.

   "Adik Wan, aku bersumpah bagimu, tak perduli engkau sudah meninggal atau masih hidup, yang pasti selama hidupku ini aku takkan menikah lagi. Jika engkau betul telah meninggal, maka aku pasti akan membunyh Tartar Mongol se-banyak2-nya untuk membalas sakit hatimu."

   Sumpah Su-lam ini bukannya ber-lebih2an, soalnya pada waktu berada bersama Nyo Wan telah diketahui nona itu paling menguatirkan hubungan Su-lam dengan Beng Bing-sia, hal ini cukup dipahami Su-lam sendiri.

   Sebabnya dia tidak mau ikut Ciok Bok kembali ke lembah kupu2 justru disebabkan hal itu.

   Jika Nyo Wan masih hidup umpamanya, baginya masih dapat mempertahankan persahabatannya dengan Bing-sia, ia sendiri tidak tahu apakah ia kuatir dirinya tidak sanggup mengatasi emosi sendiri atau karena takut menusuk hatinya yang sudah terluka lantaran kematian Nyo Wan itu? Sesungguhnya semua itu adalah rahasia yang tersembunyi didalam lubuk hatinya, bahkan ia sendiripun tidak berani mengeluarkan isi hatinya itu.

   Sekarang dia mengambil keputusan demikian hanya sekadar sebagai kompensasi penyesalannya terhadap Nyo Wan.

   Padahal apakah Nyo wan benar sudah mati atau masih hidup sesungguhnya masih suatu teka teki.

   Memang betul, nona baju merah yang dilihat Ciok Bok itu memang Nyo Wan adanya, pada saat dikerubut oleh kawanan prajurit Mongol yang ganas itu Nyo Wan memang betul juga rela membunuh diri daripada teraniaya.

   Tak terduga pada saat ujung belatinya menempel badan sendiri, tiba2 pergelangannya terasa sakit seperti digigit semut, ujung belati menjadi menceng ke samping.

   Ia terkejut, belati itupun jatuh ketanah.

   
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan pada saat itulah angin puyuh berjangkit dan mengamuk dengan hebatnya, terdengar jerit tangis yang memilukan, beberapa prajurit Mongol yang hendak mendekatinya juga mendadak terguling.

   Di tengah pertempuran kacau serta mengamuknya angin puyuh, terjai pula pemberontakan diantara kawanan tawanan dan sama berusaha melarikan diri.

   Kesempatan yang baik itupun digunakan Nyo Wan untuk lari.

   Memangnya kepandaiannya tidak lemah, ditambah ginkangnya sangat hebat, ditengah kekacauan itu dia dapat menyingkirkan perintang2nya dan berhasil meloloskan diri.

   Dalam kegelapan sukar dibedakan kawan atau lawan, ia tidak berani lari ke tempat yang banyak orangnya, tapi menuju ke tanah pegunungan yang sunyi.

   Sementara itu angin kencang sudah mulai mereda.

   Dengan bingung Nyo Wan memandang sekitarnya sambil berpikir.

   "Entah bagaimana keadaan engkoh Lam? Aku tidak kenal jalan disini, bagaimana baiknya sekarang?"

   Selagi serba susah, tiba2 dilihatnya seorang berlari datang dengan cepat luar biasa, tampaknya ginkang pendatang ini tidak kalah daripada Nyo Wan sendiri.

   Keruan ia terkejut, disangkanya musuh.

   Pedangnya sudah hilang ketika tertawan musuh, belatinya juga sudah jatuh ketika lari tadi, sungguh runyam menghadapi lawan tangguh tanpa senjata.

   Ditengah kecemasan Nyo Wan, sementara pendatang itu sudah berada didepannya.

   Diluar dugaan pendatang ini ternyata seorang pemuda tampan dengan perawakan yang gagah, tampaknya bukan orang jahat.

   Yang legih aneh, sudah pasti Nyo Wan tidak pernah lihat pemuda ini, tapi rasanya seperti sudah kenal mukanya.

   Pemuda tampan itupun cukup sopan, sampai didepan Nyo Wan lantas memberi hormat dan menyapa.

   "Maaf, ku kuatir nona tak bisa terhindar dari bahaya. Sekarang nona tampaknya tak apa2 bukan?"

   "Siapa kau?"

   Tanya Nyo Wan dengan ragu2.

   "Aku she Toh bernama Hiong,"

   Jawab pemuda itu.

   "Darimana kau mengetahui aku terancam bahaya?"

   Tanya Nyo Wan pula. Pemuda itu tidak menjawab, tapi mengeluarkan sebilah belati yang ada bekas kotoran darah, belati itu diangsurkan kepada Nyo Wan dan berkata.

   "Ini milik nona bukan? Nona telah melawan musuh secara ksatria, sungguh aku sangat kagum."

   Baru sekarang Nyo Wan sadar tentang apa yang terjadi tadi. Katanya.

   "O, kiranya kau adalah orang yang menolong aku tadi." ~ Cepat ia mengucapkan terimakasih pula.

   "Tadi akupun mencampurkan diri ditengah kaum tawanan, untung angin puyuh berjangkit secara kebetulan sehingga usahaku berhasil. Kita sama2 senasib, adalah pantas saling memberi pertolongan. Eh, belum kutanyakan nama nona yang terhormat, sudikah memberitahu?"

   Lalu Nyo Wan mengatakan namanya sendiri.

   "Sekarang nona Nyo hendak kemana?"

   Tanya Toh Hiong. Dari pada orang agaknya ada maksud mengajaknya menjadi teman perjalanan, Nyo Wan pikir orang telah menolongnya, pula tampaknya adalah kaumpendekar budiman, kalau bicara terus terang padanya mungkin tidak berhalangan, maka dijawabnya.

   "Mestinya kami suami istri sedang dalam perjalanan pulang kekampung halaman. Suamiku bernama Li Su-lam, kami terpencar ditengah medan perang yang kacau, entah engkau pernah melihat seorang macam dia?" ~ Lalu diuraikannya pakaian serta wajah Su-lam.

   "O, kiranya demikian,"

   Kata Toh Hiong sambil berpikir sejenak, lalu menghela napas gegetun dan berkata pula.

   "Ya, memang aku ada melihat seorang yang mirip suamimu itu. Waktu itu kami ber- sama2 menerjang kesana kemari ditengah pasukan musuh yang kacau, tapi hendaknya kau jangan berkecil hati atas apa yang terjadi. Kulihat seorang perwira Mongol sangat lihai, tampaknya dia sudah kenal suamimu dan terus mengejarnya dengan kencang, pada suatu ketika suamimu telah terbunuh oleh panahnya yang lihai."

   Ditengah pasukan musuh Nyo Wan juga pernah melihat panji kebesaran Cepe, sekarang Toh Hiong menyatakan seorang perwira Mongol, maka Nyo Wan yakin yang dimaksudkan tentu Cepe adanya.

   Ilmu panah Cepe cukup diketahui Nyo Wan, kalau Toh Hiong bilang Li Su-lam mati dipanah Cepe, hal ini dapat dipercaya Nyo Wan.

   Seketika itu Nyo Wan merasa langit dan bumi se-akan2 berputar, ia sempoyongan dan hampir2 tak sadar.

   Dalam keadaan setengah sadar itu tiba2 Nyo Wan merasa sebuah tangan yang kuat telah merangkulnya, seketika Nyo Wan terkejut, sekuatnya ia tolak tangan itu.

   Waktu membuka mata, dilihatnya Toh Hiong berdiri disampingnya dengan wajah merah dan berkata dengan tergagap.

   "Kukuatir engkau jatuh pingsan, maka . Maka aku telah memegangi kau."

   Sebagai keturunan keluarga ternama, biasanya Nyo Wan sangat mengutamakan adat istiadat yang sopan, ia pikir meski orang bermaksud baik, tapi mana boleh aku diladeni oleh orang laki2 yang belum kekenal.

   Aku harus bertahan dan jangan sampai pingsan.

   Syukur Nyo Wan punya pikiran demikian sehingga dia tidak sampai jatuh pingsan.

   Dengan menahan airmata kemudian Nyo Wan berkata.

   "Banyak terima kasih atas beritamu ini, maaf kalau aku tidak dapat membalas kebaikanmu. Sekarang bolehlah engkau pergi saja!"

   Melihat keadaan Nyo Wan yang sayu menawan itu, makin tertarik hati Toh Hiong, pikirnya.

   "

   Perempuan cantik seperti kau kemana harus dicari? Kalau aku dapat memperistrikan dia rasanya tidak sia2 hidupku ini.

   Aku tidak boleh ter-gesa2, lambat laun makanan ini toh menjadi milikku.

   Aku harus membuatnya menjadi istriku secara sukarela barulah kurasakan bahagianya."

   Kepandaian Toh Hiong sebenarnya diatas Nyo Wan, kalau dia mau pakai kekerasan tentunya Nyo Wan tak bisa membebaskan diri.

   Tapi lantaran dia telah mengetahui siapa Nyo Wan serta sikapnya yang agung, tanpa terasa timbul rasa segan dalam hati Toh Hiong, maka ia telah ubah pikirannya untuk mendapatkan Nyo Wan dalam jangka panjang secara sabar.

   "Sekarang Li-toaso hendak kemana?"

   Tanyanya kemudian.

   "Hendaklah Li-toaso teguhkan hati, kita harus melanjutkan perjuangan Li-toako yang belum selesai. Kini suasana kacau balau dilanda peperangan, Tionggoan masih be-ribu2 li jauhnya, tentunya tidak leluasa seorang diri Li-toaso menempuh perjalanan sejauh ini. Kebetulan akupun hendak kembali ke Tionggoan, bagaimana kalau kita menjadi teman perjalanan dan saling menjaga, entah engkau setuju tidak?"

   Nyo Wan pikir orang didepannya ini tampaknya adalah pemuda baik2, tapi seorang laki2 dan seorang perempuan menempuh perjalanan jauh bersama, betapapun kurang leluasa.

   Namun lantas terpikir lagi kepada siapa dirinya harus bersandar agar bisa membawanya pulang ke Tionggoan? Selagi ragu2, Toh Hiong seperti sudah meraba perasaan Nyo Wan, ia berkata.

   "Suasana kacau begini memang sulit untuk bicara tentang adat istiadat. Sebagai anak kangouw kitapun jangan terlalu kolot mengenai urusan laik2 dan perempuan. Asalkan kita pegang teguh tata adat yang baik apa halangannya kita berada bersama? Li-toaso, boleh kau anggap saja aku sebagai sanak keluargamu, bila ditanya orang katakan kita adalah ...."

   "Benar, kita dapat mengaku sebagai kakak beradik,"

   Sambung Nyo Wan.

   "Engkau menyelamatkan jiwaku, aku tidak bisa membalas, terpaksa menghormat dan anggap kau sebagai kakak sekadar membalas kebaikanmu."

   Toh Hiong tertawa, katanya.

   "Aku memang punya maksud begitu, syukur kaupun punya pikiran yang sama. Jika demikian biarlah aku memanggil kau adik." ~ Tapi dalam hati ia pikir sekarang aku panggil kau adik, kelak pada suatu hari tentu aku akan panggil kau sebagai istriku. Sejak itulah mereka menjadi teman seperjalanan. Beberapa hari pertama Nyo Wan selalu waspada dan menjaga diri dengan hati2, kemudian ia mulai merasa lega setelah kelakuan Toh Hiong tampak tetap sopan padanya. Agaknya Toh hiong sangat apal tempat2 yang mereka lalui, Nyo Wan diajaknya ber jalan diwaktu malam dan mengaso di siang hari, yang dilalui selalu jalan pegunungan. Diwaktu tidur di hutan belukar sunyi itu Toh Hiong selalu menyingkir agak jauh. Semula Nyo wan masih sangsi, tapi lama2 ia merasa syukur mempunyai seorang teman baik. Ia tidak tahu bahwa sikap Toh Hiong itu justru disengaja untuk memikat hatinya. Beberapa hari lagi hubungan mereka menjadi makin akrab, ketika Toh Hiong menanyakan pengalamannya di Mongol, apa yang Nyo Wan merasa boleh diceritakan lantas dituturkannya, hanya urusan kematian To Pek-sing, pertemuannya dengan To Hong dan sebagainya tidak diceritakan kepada Toh Hiong. Asal usul Toh Hiong sendiri juga diceritakan dengan samar2, Nyo Wan hanya mengetahui dia berasal dari keluarga Bulim, ayah meninggal, ibu sakit di rumah, punya adik perempuan, tapi satu sama lain tidak cocok, apa sebabnya, Nyo Wan merasa tidak enak untuk tanya lebih jauh. Sepanjang jalan tiada terjadi apa2, suatu hari mereka sudah melintasi wilayah Sehe dan sampai disuatu kota kecil yang belum terlanda api peperangan. Dengan gembira Nyo Wan berkata.

   "Akhirnya kita telah sampai di tanah leluhur. Entah di kota kecil ada toko pakaian jadi atau tidak? Kuingin beli beberapa perangkat pakaian."

   "Benar, selama belasan hari ini debu kotoran benar2 telah menyelimuti kecantikanmu,"

   Kata Toh Hiong tertawa.

   "Ku kira kau harus beli pula cermin dan sisir, kita mencari sebuah hotel, malam ini dapatlah kau mandi dan berdandan se-puas2nya."

   Watak Nyo Wan sebenarnya memang suka akan kebersihan, meski kata2 Toh Hiong itu rada2 berlebihan, tapi disangkanya karena hubungan mereka yang semakin akrab, maka pemuda itu sengaja berkelakar dengan dia. Maka dengan tertawa Nyo Wan menjawab.

   "Cermin dan sisir sih tidak penting, kukira harus membeli sebatang pedang atau golok."

   "Ya, akupun ingin membeli dua ekor kuda tunggangan,"

   Kata Toh Hiong.

   "Marilah kita coba cari ke sana."

   Kota ini sangat kecil, tapi berhubung banyak pengungsi yang pendah kesitu, suasana menjadi tambah ramai.

   Nyo Wan menemukan sebuah toko pakaian bekas, pemilik toko adalah kaum wanita.

   Nyo Wan merasa sangat kebetulan maka ia pesan agar Toh Hiong pergi mencari kuda dan senjata, nanti dirinya akan menyusul kesana.

   Toh Hiong merasa si nona sekarang sudah sangat jinak rasanya tak mungkin lari sendiri, maka tanpa sangsi iapun tinggal pergi.

   Selesai memilih beberapa pasang pakaian yang cocok ukuran dan warnanya, Nyo Wan bayar harganya, lalu keluar dari toko untuk mencari Toh Hiong.

   Di depan toko pakaian bekas itu ada seorang laki2 memakai sebuah caping yang bagian depannya hampir menutupi separoh wajahnya.

   Ketika Nyo Wan keluar, terdengar laki2 itu bersuara heran sangat perlahan.

   Mula2 Nyo Wan tidak menaruh perhatian, setelah berjalan sebentar, tiba2 ia merasa orang bercaping itu menguntit di belakangnya.

   Ketika Nyo Wan memutar ke sauatu gang kecil dan keluar jalanbesar pula, ternyata orang itu selalu mengintil saja.

   Dengan mendongkol mendadak Nyo Wan berhenti, keruan orang itu hampir2 menyeruduknya dan lekas2 berhenti.

   Dengan nada dingin Nyo Wan menegur.

   "Apa kehendakmu, mengapa kau terus mengikuti aku?"

   Berdiri berhadapan, laki2 itu merasa lebih pasti akan diri Nyo Wan, ia pikir di dunia ini masakah ada orang yang begini mirip? Tentu dia adanya.

   Padahal tempo hari kusaksikan sendiri dia sudah membunuh diri, mengapa dia masih hidup? Sebaiknya kupancing dia ke suatu tempat terpencil untuk berbicara dengandia.

   Demikan pikirnya.

   Melihat orang memandangnya dengan kesima, Nyo Wan tambah mendongkol.

   Baru saja ia hendk mendamprat tiba2 orang itu berkata dengan menghormat.

   "Aku adalah kaum pengungsi, aku kekurangan sangu, maka ingin menjual sebilah golok pusaka padamu. Apakah nona mau beli?"

   Memangnya Nyo Wan lagi ingin beli senjata, segera ia menjawab.

   "Mana goloknya? Coba lihat!"

   Dari pinggangnya orang itu menanggalkan sebilah golok dan diangsurkan kepada Nyo Wan, ketika golok itu dilolos keluar dari sarungnya, ternyata gemerlapan menyilaukan mata.

   Mau tak mau Nyo Wan memuji kebagusan golok itu.

   Tapi lantas timbul curiganya, tanyanya kemudian.

   "Dari mana kau tahu aku ingin membeli senjata?" ~ Pada umumnya tidaklah banyak kaum wanita membeli golok, maka ia merasa sangsi dan heran apakah percakapannya dengan Toh Hiong tadi telah didengar oran ini. Tiba2 orang itu balas bertanya.

   "Nona baru buron dari Sehe bukan? Adakah punya kawan?"

   "Ada apa kau tanya demikian,"

   Jawab Nyo Wan.

   "Seorang perempuan dapat menyelamatkan diri ditengah kekacauan perang, tentunya dia mahir ilmu silat, sebab itulah kupikir nona tentu ingin punya senjata untuk menjaga diri."

   Meski alasan yang dikemukan orang itu timbul secara mendadak, tapi cukup masuk diakal. Maka Nyo Wan tidak mendebatnya lagi dan bertanya.

   "Golok ini akan kau jual berapa duit?"

   "Yang kuharapkan adalah pembeli yang tepat dan bukan soal harganya, kalau pemakainya tidak tepat, biarpun seratus ribu tahil emas juga tidak kujual,"

   Kata orang itu. Cuma, sebelumnya aku ingin tanya sesuatu pada nona, apakah nona bisa singgah sebentar diwarung minum sana untuk bicara."

   Nyo Wan menjadi heran, tanyanya.

   "Kau hendak bicara apa? Boleh katakan saja disini."

   "Disini bukan tempatnya untuk bicara,"

   Ujar orang itu. Heran dan sangsi Nyo Wan, pikirnya.

   "Orang ini rada aneh, selamanya aku belum kenal dia, tapi apa yang hendak ia bicarakan padaku? Jangan2 dia bermaksud jahat padaku."

   Tapi setelah dipikir lagi ia merasa geli juga, masakah dirinya harus takut terhadap orang begini.

   Tertarik oleh rasa ingin tahu, segera Nyo Wan bermaksud menerima usul orang itu.

   Tapi sekilas bayangan Toh Hiong tampak berjubelan ditengah orang lalu lalang sana, segera ia berseru.

   "Toh- toako, lekas kemari, coba lihatlah golok ini bagus tidak?"

   Toh Hiong ber-lari2 mendatangi sambil berseru.

   "Dari mana kaumendapatkan golok bagus?"

   "Toako ini yang menjual padaku, dia tidak pasang harga, tapi kukira harus memberi penilaian yang pantas, kau taksir berapa harganya yang pantas?"

   Kata Nyo Wan. Tapi mendadak Toh Hiong terbelalak heran katanya.

   "Toako penjual siapa? Mana dia?"

   Nyo Wan menjadi terkejut ketika berpaling dan tahu2 laki2 penjual golok tadi ternyata sudah menghilang.

   "Sungguh aneh, mengapa golok ini ditinggalkan padaku tanpa minta uang, kemana perginya dia?"

   Ujar Nyo Wan dengan melongo heran. Setelah Toh Hiong menerima golok itu, iapun merasa herandan sangsi.

   "Ada apa, Toh-toako? Apakah sesuatu mencurigakan?"

   Tanya Nyo Wan. Toh Hiong ter-mangu2 sejenak, setelah agak tenang barulh menjawab.

   "Tidak apa2. Golok ini memang bagus, buatan sebuah toko senjata yang ternama di Lokyang. Tentunya penjualnya tadi adalah orang Tionggoan juga."

   "Benar, melihat bentuknya memang bangsa Han,"

   Kata Nyo Wan.

   "Apa saja yang dibicarakan padamu?"

   Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanya Toh Hiong.

   "Dia memang bermaksud mengajak bicara padaku, tapi belum sempat karena kau keburu datang,"

   Jawab Nyo Wan. Lalu diceritakan pula wajah serta dandanan orang itu.

   "Aku sudah penujui dua ekor kuda, dipojok sana itu penjualnya, coba kau periksa lagi, bila cocok boleh dibeli saja, ini uangnya. Kau tunggu saja disana, aku akancoba cari orang tadi,"

   Kata Toh Hiong sambil menyerahkan dua potong uang emas, lalu tinggal pergi dengan ter-gesa2.

   Nyo Wan menjadi sangsi mengapa Toh Hiong tidak mengajaknya bersama pergi mencari orang tadi.

   Terpaksa ia mendatangi pasar hewan, dilihatnya kuda2 pilihan Toh Hiong memang baik, setelah tawar menawar lantas dibayarnya.

   Sampai sekian lamanya ia menunggu barulah Toh Hiong kembali.

   "Bagaimana? Ketemu tidak?"

   Tanya Nyo Wan. Toh Hiong menggeleng. Jawabnya.

   "Tidak, sungguh aneh orang itu, entah lari kemana dia?"

   Nyo Wan menjadi bingung, katanya.

   "Entah dari aliran apakah orang itu? Harga goloknya malah belum kubayar."

   "Sudahlah, tak perlu urus dia,"

   Kata Toh Hiong tertawa.

   "Salah dia sendiri, bukan kita sengaja mengalap barangnya. Marilah kita pergi mencari hotel."

   Kota yang kecil ini biasanya sangat sepi, kini dalam suasana perang mendadak tambah makmur karena membanjirnya pengungsi, maka tidak sedikit rumah makan dan rumah penginapan yang baru dibuka.

   Namun hampir semuanya penuh dengan tamu.

   Dengan susah payah akhirnya mereka mendapatkan sebuah hotel besar dengan janji bayaran lipat.

   Pemilik hotel tanya mereka apakah suami istri.

   Dengan muka merah Nyo Wan menjawab bukan dan mengaku kakak beradik.

   "Tapi kami hanya tinggal sebuah kamar ini, kakak beradik juga tiada halangannya tidur sekamar,"

   Ujar pemilik hotel.

   "Mengapa hanya ada sebuah kamar?"

   Ujar Nyo Wan sambil mengerutkan kening. Cepat Toh Hiong me-narik2 lengan baju Nyo Wan sambil berkata.

   "Jika tiada kamar lebih, terpaksa kami gunakan satu kamar." ~ Lalu ia membayar uang sewa dan pelayan mengantar mereka kekamar yang dimaksud. Ternyata kamar itu adalah kamar yang paling baik dilengkapi dengan ruang terpisah, legalah hati Nyo Wan. Ia pikir Toh hiong adalah seorang ksatria sejati, tidur dihutan belukar saja menyingkir jauh2, apalagi tinggal di hotel, rasanya tiada halangannya Toh Hiong disuruh tidur diruangan tamu. Hanya dalam hal berdandan dan membersihkan badan memang rada repot. Rupanya Toh Hiong tahu pikiran Nyo Wan, setelah pelayan pergi, ia berkata.

   "Kamar sukar dicari, harap maafkan bila tadi aku menyewanya tanpa berunding dulu dengan kau. Tapi engkau boleh pakai dulu kamar ini, aku akan keluar sebentar untuk beli barang2 keperluan sambil mengawasi kalau2 ketemukan penjual golok tadi."

   Dalam hati Nyo Wan berterima kasih atas kebaikan Toh Hiong.

   Setelah pemuda itu pergi, segera ia suruh pelayan mengambilkan air dan mandi sepuasnya.

   Perlengkapan kamar itu cukup lengkap, ada sebuah cermin tembaga.

   (jaman dulu belum ada kaca) yang mengkilap.

   Menghadapi cermin Nyo Wan menghela naps gegetun, pikirnya.

   "Sayang engkoh Lam tak dapat mendampingi aku untuk menyaksikan aku bersolek."

   Ketika dalam cermin terbayang suatu titik merah, Nyo Wan sendiri tercengang, tanpa terasa ia menghela napas panjang. Kiranya titik merah itu adalah "Siu-kiong-she"

   Diatas lengannya yang putih itu.

   Siu-kiong-she artinya andeng2 merah cicak, yaitu titik merah yang ditisik oleh ibunya ketika dia akan meninggalkan rumah.

   Andeng2 merah itu tak bis dicuci atau dibusek.

   Sebaliknya akan lenyap sendiri bilamana sudah kawin.

   Dus kalau masih perawan suci andeng2 merah itu akan tetap "menyala"

   Diatas lengannya.

   Melihat titik merah itu ia menjadi teringat kepada ibunya, kepada kakaknya, dengan sendirinya terkenang pula kepada Li Su-lam.

   Bila engkoh Lam masih hidup, tentu dia akan percaya penuh padaku kalau melihat andeng2 merah ini, demikian pikirnya.

   Selagi Nyo Wan merasa gegetun, tiba2 diluar kamar ada orang mendehem, lekas is tenangkan dir dan menegur.

   "Apakah Toh-toako yang kembali?"

   "Benar, bolehkah saya masuk?"

   Tanya Toh Hiong.

   Nyo Wan membukakan pintu, lantaran pikiran kacau sehingga lengan baju lupa diturunkan, andeng2 merah sekilas sempat dilihat toh Hiong.

   Sebagai pemuda yang berpengalaman, ia tahu apa artinya andeng2 merah itu, ia tersenyum girang didalam hati.

   Untuk menutupi pikiran jahatnya, ia pura2 tak acuh dan berkata.

   "Tampaknya kau sudah selesai berdandan,nah apa kataku kan betul, kini engkau benar2 tambah cantik."

   Nyo Wan menurunkan lengan bajunya dan menjawab.

   "ah, aku sudah terhitung janda kematian suami, harap Toako jangan bergurau. Eh, bagaimana ketemu tidak orang itu?"

   Toh Hiong bersikap prihatin pula dan menjawab.

   "Tidak ketemu. Cuma aku telah memperoleh dua berita penting."

   "Berita2 penting apakah?"

   Tanya Nyo Wan.

   "Pertama mengenai ibukota Sehe yang telah dibobolkan oleh pasukan Mongol, raja Sehe takluk kepada musuh dengan menyerahkan putrinya yang cantik,"

   Kata Toh Hiong.

   "Berita kedua mungkin sama sekali diluar dugaanmu. Setelah menaklukkan Sehe, kini pasukan Mongol dengan cepat dialihkan keselatan lagi dan kembali menyusup ke wilayah Kim. Cuma bukan melalui jurusan ini, tapi bisa jadi membagi pasukannya kesini dan yang penting, coba terka siapakah panglima garis depan pasuka Mongol itu?"

   "Darimana aku tahu?"

   Sahut Nyo Wan.

   "Yang menjadi panglima pasukan garis depan adalah calon menantu Jengis Khan, yaitu pangeran Tin-kok dengan wakilnya orang Han keparat yang memalsukan nama Li Hi-ko tapi nama aslinya Sia It-tiong itu. Tentu tak kau duga bukan?"

   Tentang ayah Li Su-lam dicelakai oleh Sia It-tiong dan sebagainya memang telah diceritakan Nyo Wan kepada Toh Hiong. Maka dengan gregetan Nyo Wan berkata.

   "Ya, keparat Sia It-tiong itu pantas dimampuskan, memang tak terduga bahwa dia akan datang sedemikian cepatnya."

   "Setibanya di Tionggoan, kalau kita mau membinasakan bangsat she Sia itu akan jauh lebih gampang daripada di Mongol,"

   Ujar Toh Hiong.

   "Bila perlu aku dapat mengajak kawan2 pejuang untuk mencari kesempatan buat membunuh pengkhianat itu."

   Nyo Wan bergirang karena apa yang diucapkan Toh Hiong ini sesuai dengan rencana Li Su-lam sebelum "meninggal"

   Maka dengan terharu ia menjawab.

   "Pekerjaan ini teramat bahaya, apakah engkau benar2 rela melaksanakannya?"

   Dengan sikap ksatria To Hiong sengaja berkata.

   "Manusia berhati binatang seperti Sia It-tiong itu pantas dibunuh. Kutahu dia adalah musuh besarmu, hanya untukmu saja aku harus membunuhnya sekalipun harus mengorbankan jiwaku, apalagi dia juga musuh bersama bangsa kita."

   Kata2 Toh Hiong sangat mengharukan perasaan Nyo Wan, dengan airmata berlinang ia lantas memberi sembah, katanya.

   "Begini baik Toh-toako kepadaku, entah cara bagaimana aku harus berterima kasih padamu."

   Dengan tersenyum Toh Hiong membangunkan Nyo Wan, jawabnya.

   "Ah, jangan adik Wan berkata demikian se-akan2 kita ini baru kenal saja. Demi kau, kelautan api atau terjun keair mendidihpun aku tidak menolak. Tentunya kau paham perasaanku."

   Nyo Wan menjadi tercengang ole kata2 Toh hiong itu, ia heran ucapan pemuda itu malam ini agaknya berbeda daripada biasanya, apa artinya dia mengutarakan perasaannya kepadaku? Hanya demi persaudaraan saja atau masih ada kehendak lain? Kasihan Nyo Wan, dasar masi hijau dan polos, sampai asst demikian ia masih anggap Toh Hiong sebagai penolong yang baik hati dan tidak berani berprasangka buruk atas diri pemuda itu.

   Sementara itu Toh hiong berkata pula dengan tersenyum.

   "Adik Wan, apakah kau masih senantiasa teringat kepada mendiang suamimu?"

   Nyo Wan terkesiap, jawabnya dengan kereng.

   "Aku dan Su-lam telah bersumpah sehidup semati, soalnya sakit hatinya belum terbalas, maka aku bertahan hidup sampai sekarang."

   Toh Hiong geleng2 kepala, katanya pula.

   "Adik Wan, harap engkau dapat menerima nasehatku. Orang mati takkan bisa hidup lagi, yang masih hidup mana boleh berkorban masa muda selamanya bagi yang sudah mati? Engkau adalah pahlawan diantara kaum wanita, janganlah kau terlalu terikat oleh adat istiadat kolot yang membikin susah orang."

   "Apa maksudmu? Kau suruh aku menikah lagi dengan orang lain?"

   Jengek Nyo Wan. Dari sikap sinona dan padanya Toh Hiong sudah tahu gelagat jelek, tapi ia masih mencoba membujuk.

   "Adik Wan, sejak kenal kau sungguh aku sangat kagum terhadap keteguhan jiwamu dan kepintaranmu. Syukur engkau telah sudi mengikat persaudaraan denganku dan tampaknya kita cocok satu sama lain. Kini kita senasib pula, mati-hidup bersama, maka kupikir, kupikir apakah persaudaraan kita tak bisa ditingkatkan lebih maju selangkah, umpamanya kalau aku dapat membalaskan sakit hatimu dan untung akupun tidak tewas, lalu sudikah engkau menerima menerima .. Mendadak Nyo Wan berubah tidak senang, jawabnya ketus.

   "Ternyata kau memang punya maksud tertentu. Ingin kukatakan padamu, hidup atau mati aku sudah menjadi anggauta keluarga Li, tekadku ini tak bisa berubah. Karena kau ada tujuan tertentu, maka akupun tidak berani mengharapkan bantuanmu lagi. Biarlah sekarang juga aku mohon diri."

   "Nanti dulu, adik Wan!"

   Seru Toh Hiong cepat ketika melihat Nyo Wan melangkah pergi.

   Menyusul ia terus menampar pipi kanan kiri sendiri.

   Perbuatan Toh Hiong itu rada diluar dugaan Nyo Wan, tanpa terasa ia melengak dan tidak jadi melangkah pergi.

   Didengarnya Toh Hiong sedang berkata pula.

   "Adik Wan, rupanya otakku ini sudah kopyor sehingga tanpa sadar mengucapkan kata2 yang menusuk perasaanmu. Cuma, sesungguhnya aku memang sangat kesemsem padamu, mohon kau dapat memaafkan kecerobohanku tadi. Selanjutnya aku bersumpah akan mendampingi kau menurut adat, pasti tak berani mengucapkan kata2 yang kurang pantas."

   Pada umumnya kalau seseorang menyatakan jatuh hati kepada seorang gadis, maka betapapun akan diterima dengan senang oleh sigadis biasanya sigadis merasa jemu terhadap orang itu.

   Apalagi sekarang Nyo Wan memang sudah punya kesan baik kepada Toh Hiong, lebih2 ia merasa pernah ditolong olehnya.

   Maka setelah Toh Hiong menyatakan penyesalannya serta berjanji akan berlaku sopan padanya seterusnya, mau tak mau Nyo Wan merasa tidak tega dan duduk kembali ke tempatnya.

   Yang sudah ya sudahlah, akan kuanggap tidak pernah dengar kata2mu tadi dan kaupun tidak perlu menyinggungnya pula.

   Selanjutnya kita tetap bersaudara,"kata Nyo Wan.

   Dalam hati Toh Hiong sangat senang, tapi ia pura2 besikap likat, katanya kemudian.

   "Terima kasih, dengan demikian barulah lega hatiku. Tentang sakit hatimu tentu akan kubantu menuntut balas. Eh, hari sudah malam, tentunya kau sudah lapar bukan?"

   Untuk mengalihkan pokok pembicaraan, dengan terus terang Nyo Wan menjawab.

   "Ya, memang terasa agak lapar. Panggilkan pelayan dan pesan sedikit daharan saja."

   "Sudah sejak tadi kupesankan,"

   Kata Toh Hiong dengan tertawa. Lalu ia keluar, ketika kembali lagi, benar juga pelayan telah ikut datang dengan membawa daharan2 semeja penuh.

   "Ai, mengapa begini banyak, mana bisa habis termakan?"

   Ujar Nyo Wan.

   "Sudah cukup lama kita menderita, suah waktunya kita makan enak,"

   Kata Toh Hiong.

   "Silahkan makan saja mana yang kau sukai."

   Habis itu Toh hiong memberi tanda agar pelayan pergi, artinya tidak perlu melayani disitu.

   Maka setealh siapkan meja perjamuan itu dengan baik, lalu pelayan itupun keluar.

   Toh Hiong ber-ulang2 membujuk Nyo Wan agar makan yang banyak, beberapa kali ia menyumpitkan daging san sayur untuk si nona.

   Lalu ia menuang dua cawan arak, katanya.

   "Adi Wan, marilah kita habisi satu cawan sebagai tanda selamat telah lolos dari bahaya."

   "Aku tak bisa minum arak, kata Nyo Wan.

   "Arak ini tidak keras, hanya satu cawan saja tak bisa membikin mabuk,"

   Ujar Toh Hiong.

   "Selesai makan, aku akan mencari suatu tempat lain untuk bermalam. Sebagai laki2 , tidur di mana2pun jadi." ~ Kata2nya itu se akan2 hendak menghilangkan rasa sangsi Nyo Wan kepadanya. Nyo Wan menjadi rada rikuh, pikirnya selama alam perjalanan memang pemuda itu tidak perlu brbuat hal yang tidak sopan padanya, tampaknya dia masih terhitung seorang laki2 yang punya tata krama. Selagi Nyo Wan merasa ragu2, disana Toh Hiong suah menenggak habis isi cawannya, lalu katanya.

   "Aku telah minum lebih dahulu sebagai penghormatan padamu. Adik Wan bila kau tidak minum berarti kau masih marah padaku."

   Karena kata2 itu, terpaksa Nyo Wan angkat cawannya dan berkata.

   "Baiklah, sesungguhnya aku memang tidak bisa minum arak, tapi akan kuminum juga secawan ini bagimu."

   Girang Toh Hiong tak terkatakan melihat Nyo Wan sudah mau minum arak. Tapi bru saja Nyo Wan Angkat cawannya, baru cawan itu menempel bibir, se-konyong2 terdengar Trang"

   Satu kali, tahu2 dari luar jendela menyamber tiba sebuah senjata rahasia mata uang, kontan cawan arak yang dipegang Nyo Wan itu pecah berantakan. Keruan Nyo Wan terkejut. Terdengar seorang berseru di luar jendela.

   "Dalam arak dicampur obat tideu, jangan minum!" ~ dari suaranya itu Nyo Wan mengenalnya sebagai laki2 penjual golok siang hari tadi. Dengan gusar Toh Hiong terus menolak daun jendela dan melompat keluar sambil membentak.

   "Bagus, kiranya kau! Sudah kuampuni jiwamu, tapi kau masih berani mengacau padaku?"

   
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Orang itu terus melompat turun dari wuwungan rumah sambil berteriak.

   "Toasuko, perbuatanmu yang membinasakan Jisuko adalah terkutuk, sekarang kau memeras otak bermaksud menjebak pula seorang nona sebatang kara, apakah kau masih terhitung manusia? Nona Nyo, kau jangan percaya omongannya. Li Su-lam masih ."

   Belum habis omongannya Toh Hiong sudah mengejarnya dan secepat kilat menusuk dengan pedangnya. Orang itu menangkis denagn pedang juga, tapi tangannya terasa pegal kesemutan, hampir senjatanya terlepas, terpaksa ia lari pula secepat terbang.

   "Ciok Bok,"

   Dengan gusar Toh Hiong membentak dengan suara terathan, Kau sendiri yang cari mampus, malam ini tak bisa kuampuni kau lagi."

   Kiranya laki2 penjual golok itu bukan lain daripada laki2 yang dijumpai Li Su-lam diatas gunung tempo hari itu, ialah Ciok Bok, kekasih To Hong.

   Sedangkan Toh Hiong ini adalah nama samaran To Liong, kakak laki2 To Hong.

   Setelah berpisah dengan Li Su-lam tempo hari mestinya Ciok Bok bermaksud mencari Sumoaynya ke lembah kupu2, tapi karena jalanan masih kacau oleh pasukan2 musuh, terpaksa ia sembunyi sana sini sehingga tertunda beberapa hari, setiba di lembah tujuan sang Sumoay dan rombongannya sudah pergi.

   Terpaksa Ciok Bok bermaksud pulang ke Sanceh (perbentengan kayu digunung) untuk menjenguk ibu gurunya, tak terduga dikota kecil inilah dia ketemu dengan Nyo Wan.

   Semula iapun tak percaya Nyo Wan adalah nona baju merah yang pernah dilihatnya membunuh diri itu, tapi makin dipandang tampaknya makin mirip, akhirnya ia gunakan alasan hendak menjual senjata untuk mengajak bicara pada Nyo Wan.

   Sayang sebelum dia sempat menyampaikan kabarnya Li Su- lam sudah lantas kabur karena datangnya To Liong.

   Sebab itulah dengan menyerempet bahaya terpaksa ia mendatangi tempat penginapan mereka, maksudnya hendak memperingatkan Nyo Wam agar waspada, dan secara kebetulan sekali ia menyaksikan sandiwara permainan To Liong yang hendak menjebak si nona dengan arak beracun.

   Sudah tentu To Liong kuatir kalau2 Ciok Bok membeberkan lebih banyak tipu muslihatnya, maka begitu mengejar tiba segera ia melancarkan serangan2 maut.

   Tenaga dalam Ciok Bok tak bisa menandingi sang Suheng, tapi ginkangnya lebih tinggi, mak sambil bertempur iapun berusaha melarikan diri serta meneriakkan berita"

   Li Su-lam masih hidup."

   Dengan murka To Liong terus mengejar dan memaki.

   "

   Li Su-lam masih hidup, kaulah yang takkan hidup lagi!"

   Karena kalah tenaga dalam, setelah kejar mengejar belasan li jauhnya, akhirnya To Liong dapat menyusul Ciok Bok, terpaksa Ciok Bok mengadakan perlawanan sengit. Kalimat "Li Su-lam masih hidup"

   Tidak terdengar secara lengkap oleh Nyo Wan, tapi cercaannya terhadap To Liong telah didengar jelas olehnya, ia menjadi ter-mangu2 bingung, terutama disebutnya nama "Li Su-lam"

   Oleh "penjual golok"

   Itu.

   Jika demikian orang itu tentu kenal engkoh Lam.

   Dia mengatakan arak ini dicampur obat tidur, entah betul atau tidak? Apakah memang sedemikian kotor dan rendah pribadi Toh Hiong itu? Demikian pikir Nyo Wan.

   Selagi merasa sangsi, tiba2 ia dikejutkan oleh suara "meong", kiranya seekor kucing telah melompat masuk dari jendela.

   Rupanya kucing itu mencium bau ikan, maka mendekati Nyo Wan sambil mengeluarkan suara minta makan.

   Tergerak hati Nyo Wan, segera ia sumpit sepotong ikan dan dicelup lebih dulu arak yang tumpah tadi.

   Lalu diberikan kepada kucing.

   Sungguh luar biasa, sepotong kecil ikan itu tentunya tak bisa bikin kenyang si kucing, tapi setelah makan, mendadak kucing itu jatuh menggeletak dengan mulut berbuih.

   Keringat dingin seketika membasahi tubuh Nyo Wan, ia ter-mangu2 sejenak, mendadak ia melonjak bangun pula sambil berteriak.

   "Kiranya Toh Hiong benar2 menaruh obat tidur didalam arak!"

   Sesaat itu Nyo Wan merasa terkejut dan gusar karena merasa telah dibodohi Toh Hiong, sungguh tidak nyana pemuda cakap yang disangkanya orang baik kiranya adalah manusia berhati binatang. Serentak mengkirik juga Nyo Wan mengingat dirinya hampir2

   "termakan."

   "Orang tadi mencerca Toh Hiong dan menyebut nama engkoh Lam, rasanya dia tentu akan menyampaikan kabar apa2 tentang engkoh Lam padaku. Ya, benar, aku harus mencarinya. Pula aku harus bikin perhitungan kepada manusia berhati binatang itu,"

   Demikian pikir Nyo Wan.

   Segera ia melompat keluar jendela.

   Tapi ia tidak tahu Ciok Bok lari kearah mana, lebih dulu ia mencarinya ke arah timur, tak tahunya justru menuju jurusan sebaliknya Kita bercerita dulu tentang To Liong yang telah berhasil menyusul Ciok Bok.

   Begitu mendekat segera ia menyerangnya dengan Tok-liong-piau.

   Cepat Ciok Bok putar pedangnya ke belakang menyampuk.

   "trang", piau berbisa itu se-akan2 menyerempet dahinya. Rupanya tenaga To Liong sangat kuat, Ciok Bok hanya mampu memukul menceng Tok-liong-piau yang disambitkan olehnya dan tidak dapat memukulnya jatuh. Ciok Bok cukup kenal kelihaian Tok-liong-piau, ia tidak berani memberi kesempatan lagi kepada lawan untuk menyambitkan piau kedua, apalagi sudah kepepet, terpaksa ia mendahului melancarkan serangan. Segera ia menubruk maju sambil membentak.

   "Kau sudah menewaskan Jisuko dan sekarang hendak membunuh aku pula, hubungan sesama saudara perguruan kita sudah putus, hari ini kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang mati. Ini, lihat pedangku!"

   "Hm, kau telah menerima budi keluargaku, kau tidak tahu balas, sebaliknya menggoda adik perempuanku dan menyesatkan hidupnya, dosamu ini manabisa kuampuni,"

   Jengek To Liong.

   "Baiklah, jika kau ingin mengadu jiwa akan kusempurnakan maksudmu ini."

   Sembari bicara sedikitpun To Liong tidak kendurkan serangannya, pedangnya menusuk ke kanan dan ke kiri, dalam sekejap saja ia sudah melancarkan belasan kali tusukan, seluruhnya mengarah Hiat-to mematikan ditubuh Ciok Bok.

   Untung Ciok Bok cukup paham ilmu pedang perguruan sendiri sehingga sanggup bertahan sekuatnya.

   Namun tenaga dalam To Liong jauh lebih kuat, pengalaman tempurnya juga lebih luas, biarpun Ciok bok telah mengeluarkan segenap kepandaiannya tetap juga tidak sanggup balas menyerang.

   Selang 50-an jurus kemudian keadaan ciok bok tambah payah, ia sudah terkurung ditengah sinar pedang lawan.

   Tampaknya Cipk Bok tak sanggup bertahan lagi, baru saja ia bermaksud menggunakan suatu jurus hancur bersama musuh, tiba2 terdengar suara orang berseru.

   "Eh, bukankah itu dia Ciok Bok? Eh, Ciok Bok, mengapa kau berkelahi dengan Toasuhengmu?"

   Sekilas memandang, alangkah girangnya Ciok Bok.

   Kiranya yang datang ini adalah Song Thi-lun.

   Diantara beberapa Thaubak adalah Song Thi-lun yang ada hubungan paling baik dengan Ciok Bok, pula tiada sebulan yang lalu merekapun pernah bertemu disekitar lembah kupu2 sehingga urusan Liong Kang dicelakai To Liong telah didengarnya juga.

   Begitu Ciok Bok lantas berseru.

   "Song-toako, hendaklah kau memberi keadilan. Tadi dia hendak menjebak seorang wanita bersuami dan kepergok olehku, tapi lantas dia hendak membunuh aku."

   "Ngacau belo,"

   Bentak To Liong.

   "Aku menghajar dia karena dia telah melanggar peraturan perguruan."

   "Peraturan apa yang kulanggar? Hm, kau sendirilah yang mengkhianati ajaran Suhu, kau telah membinasakan Jisuko, kau berkomplotan pula dengan bangsa lain serta memaksa Sumoay kawin dengan orang yang tak disukainya "

   "Tutup mulutmu!"

   Bentak To Liong dengan gusar.

   "Dengan dasar apa kau menuduh aku membunuh Liong kang? Ayah sudah meninggal, maka akulah yang mengepalai Sanceh kita. Kau berani membangkang padaku, maka aku berhak menghukum mati kau." ~ Berbareng ia putar pedangnya lebih kencang dan menyerang denganlebih ganas. Melihat gelagat jelek, cepat Song Thi-lun menggunakan kedua rodanya untuk menahan pedang To Liong dambil berseru.

   "Siaucecu, ada urusan apa boleh dibicarakan secara baik2, jangan cekcok diantara orang sendir."

   To Liong menjadi gusar, teriaknya.

   "Song Thi-lun, apa kau ingin membantu bocah ini untuk melawan aku?"

   Watak Song Thi-lun sebenarnya sangat benci kepada kejahatan, tapi mengingat To Liong adalah tuan muda pimpinan, sebelum dosanya terbongkar dan mendapat celaan para bawahan, rasanya tidak enak Song Thi-lun hendak melawannya.

   Pula iapun tahu kepandaian To Liong, biarpun bergabung dengan Ciok Bok juga belum tentu mampu mengalahkannya.

   Dan kalau To Liong sudah nekad, bukan saja jiwa Ciok Bok akan melayang, bahkan jiwa Song Thi-lun sendiri juga bisa amblas.

   Maka dengan menahan perasaannya Song Thi-lun menjawab.

   "Siaucecu, aku hanya bantu pihak yang benar dan tidak pandang orang. Hendaklah kalian berhenti berkelahi dulu, nanti kalau urusan telah diusut dengan jelas, bila tuduhan Ciok Bok padamu memang betul, dusta, maka bukan saja engkautakbisa mengampuni dia, malahan aku juga tidak bisa melepaskan dia."

   Song Thi-lun cukup paham To Liong adalah pihak yang salah, apa yang dia katakan itu hanya membuka jalan bagi To Liong untuk menyudahi pertarungan.

   Bila betul harus mengusut persoalannya, tentunya akan memakan waktu cukup lama, sementara ini To Liong yang merasa berdosa tentu akan mengacir sendiri tanpa dipaksa.

   Tak terduga, biarpun berdosa masih juga To Liong belum mau ngacir.

   Sekarang dosanya telah dibongkar oleh Ciok Bok, mana bisa orang yang tahu rahasianya dibiarkan hidup.

   Begitulah pikiran "membunuh untuk menghapus saksi"

   Akhirnya menguasai benak To Liong. Dengan sekuatnya ia menolak pergi sepasang roda Song Thi-lun itu sambil membentak.

   "

   Song-thauleng, hendaklah kau jangan ikut campur selagi aku selaku Ciangbun-suheng mengadakan pembersihan dalam perguruan sendiri!"

   Tapi Song Thi-lun hanya mundur satu langkah, segera ia mengadang ketengah lagi ketika To Liong hendak menyerang pula. Serunya.

   "Nanti dulu!"

   "Song-thauleng, jadi kau sengaja merintangi aku?"

   Damprat To Liong.

   "Sudah kukatakan agar kau jangan ikut campur urusan ini."

   "Benar, memang urusan perguruan kalian aku tidak ikut campur,"

   Kata Song Thi-lun.

   "Tapi ada satu orang yang berhak ikut campur soal ini."

   "Siapa?"

   Tanya To Liong dengan membentak.

   "Adik perempuanmu, nona Hong. Dia sedang mencari Ciok Bok, iapun pernah pesan padaku agar bantu mencarinya. Sekarang kalian telah berkelahi sedemikian rupa, sukar bagiku untuk tinggal diam karena adanya pesan nona Hong itu."

   To Liong terkejut.

   "Dimana budak itu sekarang?"

   Tanyanya. Song Thi-lun tidak menjawab, tapi ia lantas melepaskan sebatang panah berapi (roket) keangkasa, lalu jawabnya.

   "Harap tunggu sebentar, segera nona Hong akan datang."

   "Hm, aku justru hendak memberi ajaran2 padanya, masakah dia berbalik hendak mencampuri urusanku?"

   Jengek To Liong dengan gusar.

   "Dimata budak itu hanya ada Ciok Bok seorang, mana dia ingat lagi pada kakak sendiri. Hm, aku justru tak ingin angan2nya terkabul. Song-thauleng, bila kau tahu aturan sebaiknya kau jangan ikut campur urusan dalam rumah tangga kami."

   "Aku telah dipesan oleh nona Hong, apapun kehendakmu boleh kau lakukan nanti bila adik perempuanmu sudah tiba,"

   Jawab Thi-lun tegas.

   To Liong menjadi ragu2.

   Bukannya ia takut kepada To Hong, soalnya dia sendirian, kalau benar sebentar To hong muncul dan mengeloni pihak sana, maka sukarlah baginya untuk membunuh Ciok Bok.

   Malahan kalau To Hong sudah datang, bukan mustahil To Liong sendiri yang sukar meloloskan diri.

   Teringat demikian, To Liong menjadi jeri, segera ia pura2 berlagak garang, jengeknya.

   Hm, siapa ada tempo buat menunggu budak itu.

   Baiklah, kalau dia datang nanti suruh dia dan Ciok bok menemui aku dihotel paling besar di kota ini."

   Habis berkata To Liong lantas mengeloyor pergi tanpa menghiraukan seruan Song Thi-lun.

   Melihat kelakuan To Liong itu, Thi-lun tertawa geli.

   Ciok Bok sendiri menantika datangnya sang Sumoay dengan tak sabar, ketika mendengar Song Thi- lun tertawa, ia melengak, tapi segera paham persoalannya, tanyanya.

   "Song-toako, apa kau cuma menggertak dia saja?"

   "Benar,"

   Jawab Thi-lun.

   "Bila aku bilang Sumoaymu akan datang masakah dia bisa digertak lari?"

   Dengan sendirinya Ciok Bok rada kecewa. Tapi Song Thi-lun lantas berkata pula.

   "Namun Sumoaymu memang benar2 pernah pesan aku agart mencari dirimu. Dia benar2 sangat menguatirkan kau."

   "kau bertemu muka dengan adik Hong?"

   Ciok Bok Menegas.

   "Ya, kira2 lima hari sesudah kita berpisah lantas bertemu dengan mereka, dia berada bersama nona Beng, Putri Beng-tayhiap. Aku telah menyampaikan berita tentang dirimu, dia sangat senang. Cuma dia dan nona Beng buru2 harus pulang, katanya hendak mengundang Beng-tayhiap untuk membantunya menuntut balas. Sebab itulah dia minta aku mencari kau lagi."

   Ciok Bok merasa girang karena telah mendapatkan berita yang pasti mengenai diri To Hong, tapi kecewa pua karena sang nona tak bisa datang sendiri. Dengan menghela napas ia berkata.

   "Tak apalah kalau Sumoay tak bisa datang, yang kukuatirkan adalah nona yang tertipu oleh To Liong itu, sekembalinya To Liong ke hotel mungkin nona itu sukar lolos dari cengkeramannya, kita berdua saja rasanya sulit untuk menolong dia."

   "Nona yang kau katakan itu apakah tunangan seorang kawan baikmu? Siapakah dia?"

   Tanya Song Thi-lun.

   "Yaitu Li Su-lam yang pernah kukatakan padamu,"

   Jawab Ciok Bok. Thi-lun ter-bahak2.

   "Haha, kiranya Li Su-lam, jika demikian tak perlu kau kuatir."

   "Sebab apa?"

   Tanya Ciok Bok heran.

   "Tunangannya bernama Nyo Wan, dia pernah bergebrak dengan aku, ilmu pedangnya sangat bagus. Kepandaian To Liong mungkin lebih tinggi sedikit dari nona itu, tapi tidak gampang untuk mengalahkannya. Apalagi kau telah membongkar tipu muslihat To Liong, masakah sinona tidak lekas2 kabur?"

   Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ciok Bok rada lega, katanya.

   "Walaupun begitu lebih baik kita coba mencarinya saja. Aku masih utang budi kepada Li Su-lam dan belum sempat membalas."

   "Baiklah, kita mencarinya dan bertindak menurut gelagat,"

   Kata Thi-lun.

   "Sebab apa kau pernah bertempur dengan Li Su-lam dan bakal istrinya?"

   Tanya Ciok Bok.

   "Sungguh memalukan kalau diceritakan,"

   Kata Thi-lun.

   "aku slah paham bahwa ayahnya menjadi pengkhianat, tak tahunya pengkhianat itu adalah seorang bangsat yang memalsukan nama ayah Li Su-lam. Duduk perkara ini aku baru tahu setelah bertemu dengan Sumoaymu."

   "Ya, Li Su-lam pernah katakan padaku bahwa dia pernah bertemu dengan Sumoay di lembah kupu2. Tentunya Sumoay juga kenal nona Nyo itu."

   "Tentu saja kenal,"

   Ujar Thi-lun dengan tertawa.

   "Malahan dia dan nona Beng sangat menyesalkan meninggalnya nona Nyo, siapa tahu berita yang kau sampaikan itu ternyata tidak betul."

   "Sekarang nona Nyo belum mendapatkan tempat tinggal yang tetap, kalau kita ketemukan dia lantas ajak dia ke Sanceh, biar Sumoay ikut bergirang nanti,"

   Kata Ciok Bok.

   Ciok Bok tidak tahu bahwa pada saat yang sama itu Nyo Wan juga sedang mencarinya.

   Waktu itu dengan murka Nyo Wan sedang mencari To Liong buat bikin perhitungan.

   Sekeluar dari hotel ia lantas ber-lari2 belasan li jauhnya dan masih belum menemukan To Liong, si penjual golok juga tak kelihatan batang hidungnya.

   Setelah ber-lari2 sejauh itu, teringatlah Nyo Wan, ia keluarkan saputangan untuk mengusap air keringat di dahinya.

   Cahaya bulan malam ini cukup terang, terlihatlah olehnya sepasang burung merpati yang tersulam diatas saputangan itu.

   Nyo Wan tertegun, teringat olehnya saputangan itu adalah tanda mata pemberian Karosi ketika mereka hendak berpisah.

   Saputangan itu selalu disimpannya dalam baju, sekarang tanpa sengaja telah dikeluarkan dan digunakan.

   Menghadapi saputangan itu, tanpa terasa timbul macam2 perasaan dalam benaknya.

   Teringat olehnya suara merdu biduanita padang pasir Karosi yang cantik itu ketika tertawan oleh jago2 Sehe dan dirinya dan Li Su-lam telah menyelamatkannya.

   Waktu itu Karosi sedang mengikuti sang kekasih yang sedang berangkat ke medan perang, gadis yang setia dan suci murni cintanya itu sungguh jarang ada ddi dunia ini.

   Nyo Wan menjadi terbayang akan nasib sendiri yang hampir sama, ia pikir nasibku mungkin lebih buruk daripada Karosi, selama hidup ini mungkin aku tak bisa bertemu pula dengan Su-lam.

   Tiba2 terkilas pula setitik sinar harapan baginya, sebab teringat olehnya apa yang diucapkan si penjual golok yang belum selesai lantas dipaksa kabur oleh To Liong itu.

   Penjual golok itu menyerukan agar dia jangan percaya pada To Liong dan menyebut pula nama Li Su-lam.

   Menurut jalan pikirannya, orang itu telah membongkar muslihat To Liong yang hendak memberi minum arak beracun padanya, maka yang dia anjurkan agar jangan percaya kepada To Liong tentu adalah suatu urusan lain atau ada hubungannya dengan Su-lam sebagaimana disebut olehnya.

   Ah, jangan2 Su- lam masih hidup si dunia ini dan keparat Toh Hiong"

   Itu sengaja mendustai aku. Dapatkah Nyo Wan menyelamatkan diri? Kemana perginya To Liong dan bagaimana dengan nasib Li Su-lam? Bagaimana akibatnya dengan penyerbuan pasukan Jengis Khan ke wilayah Kim?

   Jilid 05 bagian pertama Dengan berpegang pada titik harapan itu, Nyo Wan menjadi sangat mengharapkan bisa bertemu pula dengan si penjual golok untuk ditanyai se-jelas2nya.

   Maka cepat ia simpan kembali saputangan itu dan segera melanjutkan perjalanan ke barat.

   Tidak jauh, tiba2 terdengar didalam hutan sana ada suara lari kuda yang ramai walaupun rada jauh.

   Ia heran mengapa malam2 begini masih ada orang lalu lalang dan mengapa pula tidak mengambil jalan besar, tapi menyusur hutan ? Nyo Wan menduga besar kemungkinan adalah orang kangouw, karena rasa ingin tahu, segera iapun masuk kehutan itu untuk mengintai.

   Ternyata rombongan pendatang itu sangat cepat tibanya, baru saja Nyo Wan masuk hutan sudah tampak belasan penunggang kuda mendatangi dengan cepat.

   Dengan terkejut lekas2 Nyo Wan sembunyi dibalik sepotong batu besar.

   Akan tetapi tempat itu kebetulan tandus, bayangannya yang tersorot oleh cahaya bulan sudah keburu dilihat oleh kawanan pendatang itu.

   Seorang diantaranya berpakaian perwira lantas membentak .

   "Siapa yang sembunyi disitu ? Lekas keluar !"

   Ternyata yang diucapkan adalah bahasa Mongol.

   Rupanya rombongan ini adalah regu pengintai pasukan Mongol yang ditugaskan diwaktu malam sekaligus menjadi perintis bagi pasukan induknya yang sedang menyusup ke dalam wilayah Kim.

   Beitu perwira itu membentak, serentak belasan penunggang kuda itu menerjang ke tempat sembunyi Nyo Wan.

   Merasa tak bisa kabur lagi, apalagi jumlah musuh hanya belasan orang, Nyo Wan lantas menampakkan diri, pikirnya kebetulan dapat merampas seekor kuda mereka.

   Dalam pada itu dengan cepat sekali seorang penunggang kuda itu sudah menerjang tiba, kontan Nyo Wan mengaju tangannya, sepotong batu kecil lantas menyamber ke depan dan tepat mengenai Hiat-to di dada sasarannya.

   Tapi yang terdengar adalah suara "trang"

   Yang nyaring, batu itu malah terpental jatuh ketanah.

   Kiranya prajurit itu memakai baju perang dari baja, dengan sendirinya timpukan batu Nyo Wan itu tidak membawa hasil.

   Walaupun begitu prajurit Mongol itu kesakitan juga dan hampir2 jatuh dari kudanya, karena tak bisa menguasai tali kendali, kudanya lantas lari kepinggir.

   Menyusul dibelakangnya seorang lain lantas menerjang maju sambil berseru.

   "Awas, jangan meremehkan nona cilik ini!"

   Dalam pada itu Nyo Wan telah mencabut goloknya sambil melompat kesamping, berbareng goloknya lantas membabat kaki kuda musuh.

   Senjata prajurit itu adalah tombak panjang, dari atas tombaknya menusuk kebawah, terdengar suara nyaring disertai letika api, ujung tombak orang itu kena dikutungi oleh golok pusaka Nyo Wan, tapi Nyo Wan juga tidak berhasil memotong kaki kuda lawan, sedangkan kuda itu tetap mencongklang ke depan.

   Nyo Wan merasakan kesemutan juga tangannya dan diam2 mengakui beberapa lawan itu tidaklah lemah.

   Dalam pada itu kembali ada dua penunggang kuda menerjangnya dari kanan kiri, senjata2 yang mereka gunakan adalah tombak2 pula, sebaliknya Nyo Wan memakai golok pendek, meski tajam juga kurang menguntungkan.

   Apalagi musuh diatas kuda dan Nyo Wan ditanah, terang posisi demikian juga menguntungkan musuh.

   Sementara itu kedua penerjang itu sudah mendekat, melihat gelagat buruk, terpaksa Nyo Wan menggunakan ginkang untuk meloncat se-tinggi2nya keatas dan secara tepat pada saat yang paling gawat dapat menghindar tusukan tombak lawan.

   "Hebat sekali kepandaianmu, nona cilik!"

   Perwira Mongol tadi memuji.

   "Tapi kaupun tidak perlu mengadu jiwa, kami tidak ingin membikin susah padamu, hanya ingin menanya kau saja."

   Mana Nyo Wan mau percaya.

   Dalam pada itu seorang musuh menerjang tiba pula.

   Ia pikir sekali ini harus kurobohkan dia.

   Mendadak ia melompat ke atas lagi, kembali ia menggunakan ginkang yang tinggi, prajurit mongol yang menerjang tiba ini terus ditubruknya, belum kakinya menginjak pelana kuda lawan goloknya sudah menabas lebih dahulu.

   Diluar dugaan, selagi Nyo Wan menyerang, dari belakang iapun diserang.

   Belum lagi golok Nyo Wan mengenai sasarannya, tahu2 sesuatu benda menyamber dari belakang tubuh Nyo Wan sudah terjerat oleh tali laso.

   Kiranya perwira Mongol itu adalah bekas pemburu yang mahir, kepandaiannya yang khas adalah menangkap binatang buas dengan laso.

   Dalam keadaan terapung diatas,keruan Nyo Wan tak bisa berkutik terjerat oleh laso itu.

   Setelah jatuh ketanah, Nyo Wan meronta sekuatnya.

   Tak tahunya tali laso itu bukan tali tambang biasa, tapi adalah buatan kulit badak yang sangat kuat.

   Karen meronta2 dan tidak dapat melepaskan diri, akhirnya golok ditangan Nyo Wan juga terlepas jatuh.

   "Jika kau berani menyentuh diriku, sekaligus akan kugugur bersama kau,"

   Bentak Nyo Wan. Biarpun teringkus laso, namun Nyo Wan masih mahir Tiom-hiat dengan jarinya, maka bentakannya itu bukan hanya gertak sambel belaka. Perwira Mongol itu berkata.

   "Jangan kuatir, kami takkan menggangu kau, orang mongol tidaklah sejelek sebagaimana kau pikir. Tapi kau harus mengaku siapakah kau ini, dari mana kau memperoleh kepandaian tinggi ini dan mengapa tengah malam buta berada disini?"

   "Kau hanya ada dua pilihan, bunuh aku atau bebaskan aku, aku tidak sudi dipaksa mengaku,"

   Jawab Nyo Wan.

   "Bandel benar nona macam kau,"

   Ujar perwira itu dengan tertawa.

   "Aku takkan membunuh kau, tapi akupun tak dapat membebaskan kau sebelum kau diperiksa."

   Perwira itu merasa sudah kenal muka Nyo Wan, Cuma dimana tidaklah ingat, maka ia sangat heran dan coba mendekati Nyo Wan.

   Sebaliknya Nyo Wan sudah bertekad akan mati, maka iapun tidak ambil pusing.

   Sekilas perwira itu melihat saputangan yang terselip dipinggang Nyo Wan, tiba2 ia bersuara heran dan bertanya.

   "Darimana kau mendapatkan saputangan ini?"

   Nyo Wan melengak, jawabnya.

   "Buat apa kau tanya hal demikian?"

   Perwira itu merasa sangsi, ia tidak menjawab, tapi saputangan Nyo Wan itu dicukilnya dengan golok. Ketika dia memeriksa saputangan itu, dalam hati ia menarik kesimpulan.

   "Memang benar, saputangan ini adalah sulaman Kalusi sendiri." ~ Segera ia balas bertanya.

   "Kau harus memberitahukan padaku, siapakah yang memberi saputangan ini padamu?"

   Tergerak juga hati Nyo Wan, jawabnya.

   "Hendaklah kau beritahu lebih dulu, apakah kau juga memunyaio saputangan yang serupa ini?"

   "Darimana kau mengetahui?"

   Kata perwira itu terkejut.

   Cepat ia pun mengeluarkan sebuah saputangan dari bajunya, ternyata saputangan itu memang serupa dengan saputangan yang dimiliki Nyo Wan, sama2 tersulam sepasang burung merpati.

   Melihat itu barulah Nyo Wan memberi keterangan.

   "Saputangan ini kuterima dari seorang nona Mongol bernama Kalusi. Dia mengatakan seluruhnya membuat tiga saputangan macam begini, sebuah diberikan tunangannya, sebuah disimpannya sendiri dan yang ketiga diberikannya kepadaku ini."

   Perwira itu terkejut dan girang pula, katanya.

   "akulah Akai, tunangan Kalusi. Bila dan dimanakah engkau ketemu dengan Kalusi? Mengapa dia memberikan saputangan ini padamu?"

   Nyo Wan terkejut dan girang pula, sebab dari Kalusi telah diketahuinya pribadi Akai.

   Tapi ia sengaja hendak menjajalnya , maka sengaja tak menggubris pertanyaan Akai tadi dengan muka cemberut.

   Akai seperti tersadar, cepat ia membuka ikatan Nyo Wan dan memberi hormat.

   Maaf nona, sebelumnya aku tidak tahu bahwa nona adalah sobat baik kalusi."

   Maka berceritalah Nyo Wan tentang perkenalannya dengan Kalusi tempo hari. Akai terkejut, katanya.

   "O, kiranya adalah penolong jiwa Kalusi malah, sungguh aku terlalu sembrono." ~ Habis berkata ia terus berlutut dan menyembah kepada Nyo Wan. Nyo Wan tidak pantas membangunkan orang, terpaksa ia balas hormat dan berkata. Kau bertindak menurut disiplin, akupun tidak menyalahkan kau. Tapi sekarang bolehkan kau membebaskan aku pergi?"

   Akai ragu2 sejenak, katanya kemudian.

   "Aku tidak bermaksud menahan nona. Cuma, demi kebaikan nona, kukira jalanan ini tidak baik dilakukan oleh seorang perempuan. Oya, aku lupa menanyakan nama nona, mengapa datang kesini seorang diri? Bukankah nona tadi mengatakan punya seorang teman ketika menyelamatkan Kalusi tempo hari?"

   Melihat Akai adalah seorang yang jujur, pula telah menanam budi padanya, rasanya Akai takkan membikin susah padanya, maka Nyo Wan merasa tiada jeleknya mencari keterangan kepada Akai tentang Li Su-lam. Maka dengan suara oelahan ia berkata.

   "Dapatkah kau minta pengiring2 mu menyingkir dulu?"

   Akai tahu ada sesuatu yang hendak dibicarakan si nona, segera ia memberi tanda agar pengiring2nya menyingkir agak jauh. Lalu bertanya.

   "Adakah sesuatu yang hendak nona katakan padaku?"

   "Sebagai tunangan Kalusi, aku percaya penuh padamu,"

   Kata Nyo Wan.

   "Aku ingin tanya keadaan seorang padamu. Li Su-lam, pernahkah kau dengar nama ini?"

   "Li Su-lam?"

   Akai menegas dengan terkejut.

   "Apakah orang yang kini menjadi buronan panglima perang kami?"

   "Benar, tidak Cuma panglima perang kalian, bahkan Khan agung kalian juga hendak menangkapnya. Apakah kau tidak takut membicarakan soal orang ini?"

   "Jangan kuatir,"

   Jawab Akai sambil menepuk dada sendiri.

   "kau telah menyelamatkan Kalusi, biarpun jiwaku berkorban juga sukar membalas budi baikmu. Apa yang kau inginkan bantuanku, silahkan bicara saja, aku tidak takut akibatnya."

   "Aku bukan minta bantuan tanagamu, hanya ingin tanya kabar beritanya saja."

   "Aku Cuma mengetahui panglima telah menyebarkan perintah penangkapan dengan melukiskan gambar ini. Lebih dari itu aku tidak tahu. "Kabarnya Li Su-lam terpanah mati oleh ahli panah Mongol kalian yang terkenal, yaitu Cepe, apakah berita penting demikian juga tak kau dengar?"

   "Hah, masakah ada peristiwa begitu? Tapi aku belum pernah dengar kabar demikian? Ah, kukira kabar ini tidk betul."

   "berdasar apa kau mengatakan tidak betul?"

   Tanya Nyo Wan.

   "Sebab kalau peristiwa demikian benar terjadi, tentunya panglima mengirim perintah lanjutan lagi tentang pencabutan perintah penangkapan buronan itu. Namun samapi saat ini aku tidak pernah menerima perintah apa2 dari atasamku."

   
Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sungguh girang Nyo Wan tak terkatakan, pikirnya didalam hati.

   "Hah, jika demikian besar kemungkinan engkoh lam masih hidup di dunia ini."

   Dan baru saja ia hendak mohon diri, tiba2 Akai berkata.

   "Jangan berangkat dulu , nona NYO."

   Nyo Wan melengak, tanyanya.

   "Aku belum lagi memberi tahukan namaku, mengapa kau sudah tahu sekarang?"

   "Soalnya perintah penangkapan buronan tidak Cuma LI Su-lam saja, tapi masih ada gambar buronan seorang lagi, yaitu seorang wanita muda she Nyo bernama Wan yang lari bersama Li Su- lam, sebab itulah aku lantas tahu siapakah nona ketika engkau menyebut namanya Li Su-lam."

   "O, kiranya begitu,"

   Kata Nyo Wan.

   "Terus terang kuberitahukan, pasukan yang kupimpin ini adalah pelopor pasukan induk kami, kira2 besok pasukan induk kami sudah dapat sampai disini, bila kau melanjutkan perjalanan kedepan tentu akan ketemukan peperangan besar."

   "Jika betul begitu, ya, apa boleh buat,"

   Ujar Nyo Wan.

   "Tapi kalau nona ketemukan perwira2 pasukan kami yang kenal mukamu dari gambar, tentu mereka takkan melepaskan kau begitu saja. Nona telah menanam budi padaku, betapapun aku tiak bisa membiarkan nona menghadapi bahaya."

   "Lalu apa kehendakmu?"

   Tanya Nyo Wan.

   "Aku punya suatu usul, entah nona dapat terima atau tidak?"

   "Coba jelaskan dulu!"

   "Dimanakah kampung halaman nona?"

   "Di suatu kampung diluar kota Kiciu."

   "Kiciu? Itukan suatu tempat yang terletak tidak terlalu jauh dari Taytoh?"

   "Ya, kira2 empat ratusan li dari taytoh."

   "Jika begitu soalnya menjadi beres. Nanti bila pasukan kami maju terus menyerbu ke Taytoh tentu pula akan melalui kampung halamanmu itu. Maka aku bermaksud minta nona sudi bergabung dulu didalam pasukanku ini, dapat nona menyamar sebagai laki2 dan menjadi pelayanku. Setiba di kampung halamanmu nanti barulaj kau meninggalkan pasukanku. Sebagai buronan, tentunya perwira2 kami tidak menyanka kau justru sembunyi ditengah pasukan mereka sendiri. Dengan demikian kuyakin nona akan dapat pulang dengan aman."

   Nyo Wan pikir dirinya ada kaum wanita, mana boleh bercampur dengan kawanan prajurit. Setelah ragu2 sejenak, akhirnya ia berkata.

   "Kukira kurang leluasa, bahkan sukar mengelabui mata telinga orang lain sehingga bocor rahasia diriku, akibatnya pasti akan bikin susah padamu."

   "Aku tidak sependapat dengan nona. Pertama aku hanya seorang Pek-hu-tiang (pemimpin seratus prajurit, kira2 sama dengan komandan kompi), kukira para panglima takkan mengontrol kedalam kemahku. Kedua, semua anak buahku adalah sesama suku dengan aku, terutama belasan orang yang mengelilingi aku ini adalah seperti saudara saja dengan diriku, mereka pasti takkan membocorkan rahasiaku. Ketiga, kau akan kuberi sautu tenda tersendiri bila berkemah. Dengan demikian kujamin kau takkan diganggu oleh anak buahku."

   "Aku percaya penuh padamu,"

   Jawab Nyo Wan. Cuma untuk menyamar kukira agak ........"

   "Apa sukarnya jika mau menyamar? ujar Akai. Sebagai seorang bekas pemburu, rupanya Akai kenal macam2 rumput2an, segera ia mengajarkan Nyo Wan menggunakan air sejenis rumput untuk dipoleskan pada mukannya, lalu dipupuri dengan debu tanah, ketika Nyo Wan bercermin pada air sungai di tepi jalan, ternyata hampir tidak mengenal dirinya sendiri.

   "nah, bagaimana, siapa yang dapat kenal kau lagi? Tentunya nona dapat menerima usulku bukan?"

   Kata Akai. Tiba2 hati Nyo Wan tergerak, ia teringat sesuatu, tanyanya. Konon wakil panglima perang pasukan kalian ini adalah seorang Han, apakah betul?"

   "Benar, orang ini bernama Li Hi-ko, seorang kepercayaan Khan, apakah nona Nyo kenal orang ini?"

   "Tidak kenal. Soalnya jarang terjadi seorang Han bisa mendapat kedudukan begitu tinggi di tengah bangsa kalian, makanya aku heran dan bertanya. Apakah dia sekarang sudah ikut datang bersama pasukanmu?"

   "Dia berada dalam pasukan induk dan baru akan sampai disini beberapa hari lagi,"

   Jawab Akai tanpa curiga.

   Keterangan ini membikin Nyo Wan merasa mantap.

   Ia pikir mati hidup Su-lam belum jelas, yang pasti sakit hatinya harus kubalaskan baginya.

   Bila kucampurkan diri ditengah pasukan mongol tentu akan ada kesempatan buat membunuh Li Hi-ko palsu alias Sia It0tiong itu.

   Setelah ambil keputusan demikian, lalu katnay kepada Akai.

   "Banyak terima kasih atas saranmu yang baik ini, terpaksa juga aku mesti minta perlindunganmu. Cuma aku masih ada permintaaan2 lain, semoga engkau dapat memaklumi keadaanku. "Nona adalah penolong kalusi dan dengan sendirinya juga penolongku, ada persoalan apa silahkan nona bicara terus terang saja,"

   Jawab Akai.

   "Begini,"

   Kata Nyo Wan.

   Pertama aku minta aku diberi kebebasan dalam hal menentukan pergi atau tetap tinggal dalam pasukanmu pada setiap waku.

   Jadi bila perlu setiap saat aku bisa pergi biarpun belum sampai di kampung halamanku. "Yang kuharapkan hanya engkau terhindar dari bahaya, soal kau ingin berangkat se-waktu2, ya , tentu aku akan memberi bantuan sepenuhnya."

   "Permintaanku yang kedua adalah nanti bila kalian berperang dengan pasukan kim, maka aku akan ikut maju di medan perang. Tapi kalau kalian sembarangan membunuhi rakyat jelata, hal ini kutentang se-keras2nya. "kalusi juga pernah berkata demikian padaku,"

   Jawab Akai.

   "Terus terang kukatakan bahwa aku sendiripun anti perang, maka kau jangan kuatir, aku pasti takkan membunuh rakyat yang tidak berdosa."

   "Bicaramu yang blak2an harus dipuji. Tapi akupun ingin omong dimuka, meski negeri yang kalian serang adalah Kim, namun wilayah Kim yang luas itu adalah tanah air kami yang diduduki, sebagian besar rakyatnya juga bangsa Han kami, maka bukan mustahil pada suatu hari kita akan bertemu dimedan perang dan berhadapan sebagai musuh.

   "Menyerbu negeri orang, membunuh rakyatnya, memangnya ini adalah salah kami. Tapi kami hanya taat kepada perintah atasan, taat pada Khan. Maka demi membalas budi kebaikanmu, biarpun kelak aku mati ditanganmu juga aku tidak menyesali kau."

   Dalam hati Nyo Wan merasa Akai ini termasuk orang Mongol yang bisa menerima nasehatnya, Cuma seorang hendak disadarkan dengan segera adalah urusan yang tidak gampang, dipaksakan juga percuma, biarlah kelak kalau ada kesempatan lagi akan diberi nasehat pula, demikian pikir Nyo Wan.

   Begitulah setelah pembicaraan ini kedua pihak menjadi dapat saling maklum kesulitan masing2, Nyo Wan lantar terima juga saran Akai tadi dan menyamar.

   Sementara itu anak buah Akai sudah selesai mendirikan kemah.

   Ketika mereka melihat Nyo Wan berubah menjadi pemuda mereka ter- heran2.

   Maka Akai memberi penjelasan bahwa Kalusi pernah hutang budi kepada Nyo Wan, sekarang kebetulan mereka menuju ke arah yang sama, agar leluasa di tengah perjalanan, maka Nyo Wan disuruh menyamar sebagai laki2, hendaklah para anak buah itu menjaga rahasia ini.

   Anak buah kepercayaan Akai itu kenal juga Kalusi, merekapun tahu Nyo Wan berilmu silat tinggi dan sangat mengaguminya, maka dengan serentak mereka menyatakan taat atas perintah Akai.

   Kacung penjaga kuda Akai itu berusia enambelasan tahun, namun tubuhnya cukup kekar sehingga lebih tinggi sedikit dari Nyo Wan.

   Akai lantas suruh penjaga kuda itu mengambilkan seperangkat pakaiannya untuk Nyo Wan serta memberi pesan pula.

   "Selanjutnya kalian harus panggil Nyo- toako padanya dan dilarang panggil nona Nyo. Nah, sekarang silahkan Nyo-toako berdandan dulu ke dalam tenda, coba dulu pakaian itu cocok atau tidak. Tentang urusan2 lain akan kubicarakan pula dengan mereka."

   Melihat orang2 Mongol itu semuanya jujur dan tulus, diam2 Nyo Wan merasa lega dan bergirang. Pikirnya.

   "Apa yang dikatakan Akai memang tiak salah, di tengah orang Mongol terdpat juga orang baik. Padahal prajurit2 ini sebagian besar berasal dari keluarga rakyat jelata, mereka tidak menginginkan perang, mereka Cuma menuruti perintah pemimpinnya saja. Sungguh tidak nyana aku dapat menemukan suatu tempat berlindung yang aman disini, tapi engkoh Lam saat ini entah ter-lunta2 dimana? Dari keterangan Akai tadi telah terbukti apa yang dikatakan Toh Hiong itu sama sekali bohong, dengan demikian tentunya engkoh Lammasih hidup di dunia ini."

   Nyo Wan tidak tahu bahwa pada saat dia memikirkan Li Su-lam, pada saat yang sama Li Su-lam juga sedang mencarinya di kota kecil itu.

   Hari itu dengan susah payah dapatlah Li Su-lam terlepas dari pengejaran musuh dan dapat melintasi perbatasan Sehe dengan selamat, akhirnya iapun tiba dikota kecil yang pernah disinggahi Nyo Wan itu.

   Setiba disitu, urusan yang dilakukannya adalah mencari kabarnya Nyo Wan.

   Kota kecil itu adalah tempat yang mesti dilalui oleh kaum pengungsi yang melarikan diri dari Sehe, maka Su-lam pikir kalau beruntung Nyo Wan dapat menyelamatkan diri bukan mustahil nona itu akan dapat diketemukan atau diperoleh beritanya.

   Begitulah setelah membersihkan diri, mulailah Su-lam mengadakan penyelidikan.

   Ia mendapatkan hotel yang paling besar di situ,pikirnya.

   "Bila adik Wan pernah melalui tempat ini, besar kemungkinan dia akan mondok di hotel besar ini."

   Dugaan Su-lam memang tepat.

   Hotel itu adalah tempat menginap Nyo Wan dan To Liong semalam sebelumnya.

   Waktu Su-lam tiba adalah lohor keesokan harinya dan To Liong belum lagi kembali ke hotelnya semalam, tapi demi melihat potongan Li Su-lam yang gagah, terpaksa ia melayani dengan hormat.

   Kamar hotel mestinya sudah penuh semua, tapi ada sebuah kamar besar yang ditinggalkan tamunya semalam tanpa pamit, sekarang sudah mendekat lohor tamu itu masih belum nampak kembali.

   Namun pemilik hotel itu masih ragu2 untuk disewakan kepada Li Su-lam, terpaksa ia menyatakan keadaan sebenarnya.

   "Jangan kuatir,akan kuberi sewa kamar dua kali lipat, bila tamu lama kembali aku akan mengalah dan mencari hotel lain,"

   Kata Li Su-lam.

   Walaupun masih ragu2 dan rada takut terhadap penghuni kamar yang menghilang semalam, namun dasarnya manusia yang mata duitan, di-iming2 dengan sewa kamar dobel, pemilik hotel menjadi tertarik, apalagi Li Su-lam sudah berjanji akan mengembalikan kamarnya kalau penghuni semula pulang.

   Sesudah selesai persoalan sewa kamar, lalu Su-lam tanya apakah ada tamu wanita muda di hotel itu.

   Rupanya pemilik hotel salah wesel, disangkanya Li Su-lam iseng mau cari "tukang pijat".

   "O, ada saja, mau yang bagaimana? Yang kurus, yang gemuk? Yang muda atau setengah tua?"

   Tanya pemilik hotel. Keruan Su-lam melengak, cepat ia menjawab.

   "Tidak, tidak, bukan itu maksudku. Tapi aku Cuma mencari keterangan seorang kawan perempuan pengungsi yang mungkin pernah lalu disini."

   "O, siapakah dia? Coba ceritakan, mungkin aku masih ingat tamu2 wanita yang pernah bermalam disini,"

   Ujar pemilik hotel.

   "Perempuan muda usia 20-an,"

   Tutur Su-lam, lalu diuraikannya wajah dan dandanan Nyo Wan. Pemilik hotel terkejut mendapat penjelasan itu, ia ter-mangu2 bungkam, pikirnya dalam hati.

   "Kiranya yang dia tanya adalah bandit perempuan yang kabur semalam itu. Celakanya kamar yang kusanggupi justru kamar bandit perempuan itu. Apakah mesti keberitahu atau tidak?"

   Selagi pemilik hotel merasa sangsi, segera Su-lam menyodorkan lagi sepotong perak seberat beberapa tahil, katanya.

   "Sedikit uang capek ini buat minumteh, harap kau terima dulu."

   Dasar pemilik hotel ini memang tamak, biarpun dimulut masih sungkan2, eh, tangannya sudah tidak kuasa lagi, potongan perak itu lantas sudah diambilnya. Katanya.

   "Ah, untuk minum the juga tidak perlu biaya sebanyak ini."

   "Asalkan kau mau berteman dengan aku, maka secangkir teh ini akan kuhargai lebih daripada pemberianku ini,"

   Kata Su-lam tertawa.

   Berbareng I aputar sebuah cangkir the yang berada diatas meja di depannya, ketika cangkir itu diangkat, tertampak diatas meja telah mendekuk suatu lingkaran bekas pantat cangkir.

   Sungguh kaget pemilik hotel itu tak terkatakan, jelek2 dia juga berpengalaman kangouw, dengan sendirinya ia dapat menerima ucapan Li Su-lam yang terakhir itu sebagai tanda mengatakan.

   "Kalau kau mau berkawan, tentu kau akan mendapat persen lebih banyak. Tapi kalau kurang simpatik sehingga merugikan aku, maka kau akan tahu rasa nanti."

   Dibawah serangan "persen dan kekerasan"

   Li Su-lam, terpaksa pemilik hotel itu bicara terus terang.

   "Ya, memang ada seorang perempuan muda seperti apa yang kau tanyakan dan bermalam disini. Cuma dia tidak sendirian. Makanya tadi aku rada ragu2 sebab yang kau tanyakan adalah nona muda yang sendirian."

   "O, dia tidak sendirian?"

   Su-lam menegas dengan heran.

   "Lalu siapkah teman perjalanannya?"

   "Dia datang bersama seorang pemuda, katanya mereka kakak beradik,"

   Pemilik hotel itu menerangkan. Su-lam tambah heran, tanyanya pula.

   "bagaimana muka pemuda itu? Apa betul si nona mengakuinya kakak?"

   "Entah betul tidak kakaknya, yang jelas dia sendiri mengaku demikian, tentu tuan kenal asal usul mereka bukan?"

   "Ya, tapi kakaknya sudah lama meninggal,"

   Kata Su-lam.

   "O, pantas wajah mereka toh tidak mirip biarpun mengaku sebagai kakak adik."

   "Apakah sekarang mereka masih berada disini?"

   Cepat Su-lam bertanya pula. Baru sekarang pemilik hotel mengatakan.

   "Kamar yang kuberikan kepada tuan inilah kamar yang disewa mereka semalam. Terus terang, semalam mereka pergi tanpa pamit dan sampai sekarang belum nampak kembali."

   Pada umumnya kamar yang disewa akan kehilangan haknya kalau sudah lewat tengah hari, maka Su-lam lantas berkata.

   "Kini sudah lewat lohor, tentunya kamar yang kau janjikan dapat kumasuki bukan?"

   Kamar itu sejak ditinggalkan To Liong dan Nyo Wan semalam masih terkunci dengan rapat, pemilik hotel sendiri tidak berani memasukinya. Maka begitu dibuka, Su-lam lantas menyaksikan arak dan daharan memenuhi meja.

   "Alangkah senangnya mereka?"

   Jengek Su-lam dalam hati.

   Setelah memeriksa keadaan kamar, tiba2 pemilik hotel melihat kucing belangnya tergeletak tak berkutik disudut kamar, disangkanya kucing itu tidur disitu.

   Tak tahunya kucing itu telah makan sepotong ikan yang tercampur arak obat sehingga tak sadarkan diri.

   Sebaliknya perhatian Su-lam tertarik oleh sebuah buntalan di tempat tidur, buntalan itu dikenalnya sebagai milik Nyo Wan, di meja rias juga tertampak sisa pupur dan gincu yang dipakai Nyo Wan.

   Tanpa terasa timbul macam2 dugaan dan kecurigaan dalam hati Li Su-lam, pikirnya.

   Dia baru saja mengalami bencana dan berpisah dengan aku tanpa mengetahui mati hidup masing2, mengapa dia masih ada pikiran buat bersolek segala? Ai, apakah dia benar2 sudah berubah?"

   Sudah tentu Su-lam tidak tahu bahwa didalam daharan dn arak yang berserakan diatas meja itu tercampur obat tidur, sebab itulah dia tidak tahu tipu muslihat keji To Liong, sebaliknya menyangka Nyo Wan telah ber-foya2 mencari senang dengan teman lelakinya.

   Sementara itu pelayan datang membersihkan kamar.

   Kucing belang yang masih tidur lelap itupun dibawa pergi.

   Lantaran Su-lam lagi dirundung kemasqulan, maka terhadap kucing yang tidak wajar itupun tidak diperhatikannya.

   "Didalam kamar ini hanya ada buntalan ini dan kukira tiada sesuatu benda berharga lain, maka boleh kau tinggalkan buntalan ini disini, nanti kalau tamu perempuan itu pulang boleh kuserahkan kembali padanya,"

   Kata Su-lam.

   Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sudah tentu pemilik hotel lebih suka terhindar dari tanggung jawab, maka ia mengiakan saja, lalu mengundurkan diri.

   Setelah pemilik hotel pergi, Su-lam menutup pintu kamar dan coba membuka buntalan itu, isinya adalah dua perangkat pakaian Nyo Wan yang sudah tuan dan kotor, rupanya belum sempat dicuci.

   Pakaian2 itu dipakai Nyo Wan ketika masih bersama Su-lam, meski dia sudah ganti pakaian baru,namun dia tidak lupa pada kekasih yang hilang, pakaian lama tetap disimpannya sebagai kenangan2.

   Melihat barangnya menjadi teringat pula kepada orangnya, terasa pilu hati Su-lam, remuk redam rasanya.

   Terkenang kepada cinta kasih yang sudah terjalin, semakin pedih hatinya.

   Apakah mungkin cintanya hanya palsu belaka? Saking gemasnya mendadak ia lolos pedang dan menghancurkan sebuah cermin sebagai pelambang cermin yang sudah pecah sukar dibulatkan kembali.

   Setelah melampiaskan rasa gusarnya, kemudian Su-lam menjadi malu dan mencela diri sendiri, pikirnya.

   "Kenapa kau marah padanya?"

   Dia kan tidak utang sesuatu padamu, sebaliknya terlalu banyak kau berutang padanya.

   Dia pernah merawat ayahmu tanpa kenal capek, kakaknya mati demi membela kau.

   Sekarang kau tidak mampu melindungi dia, sedangkan dia sudah sebatangkara di dunia ini, kenapa kau menyalahkan dia mencari pasangan baru? Padahal dia juga belum menjadi istrimu secara resmi, iapun tidak tahu keadaanmu hidup atau mati, mana boleh kau anggap dia tidak setia padamu? Sebenarnya semula kaupun tidak ingin memperistrikan dia, mengapa sekarang kau merasa marah lantaran dia mencari pasangan lain? Sudahlah, anggap saja kau tidak pernah kenal dia."

   Selagi pikirannya bergolak tak teratasi, tiba2 terasa angin berkesiur,waktu Su-lam menoleh, tertampak seorang telah melompat masuk melalui jendela.

   Kiranya To Liong adanya.

   Kembalinya To Liong adalah mencari Nyo Wan.

   Dia tidak tahu apakah Nyo Wan sudah mengetahui rahasia arak yang ditaruh obat tidue, maka dalam hati kecilnya masih menaruh harapan semoga Nyo Wan belum pergi, tapi sedang menantikan pulangnya.

   Walaupun begitu, namun karena pikirannya masih ragu2 dan kuatir To Hong dan Ciok Bok menyusulnya, maka ia tidak mau kembali kekamarnya melalui pintu hotel, soalnya ia tidak mau buang tempo dan akan segera angkat kaki bila Nyo Wan masih menunggu dikamar hotel.

   Tak terduga, begitu berada didalam kamar Nyo Wan tidak kelihatan, yang ada Cuma seorang pemuda yang ter-mangu2 disitu.

   Sebelumnya To Liong tidak kenal Li Su-lam, tapi pernah melihat gambarnya, maka segera ia dapat menduga siapa yang dihadapinya.

   Tapi ia pura2 membentak.

   "Siapa kau? Mengapa kau berani memasuki kamarku?"

   Sejak dikamar itu memangnya Su-lam sudah siap untuk menghadapi kembalinya Nyo Wan dan kawan barunya, maka datangnya To Liong tidak membuatnay kaget.

   Hanya saja ia bingung juga dan ber-debar2 ketika pemuda yang sekamar dengan Nyo Wan ini mendadak muncul dihadapannya.

   To Liong pikir Su-lam adalah buronan dari Mongol, kalau aku dapat membekuknya tentu akan sangat dihargai oleh pangeran Tin-kok.

   Tapi diketahui pula Li Su-lam adalah murid kesayangan Kok Peng-yang, tentunya tidak gampang ditangkap begitu saja.

   Sebaliknya ia rada keder juga ketika melihat Su-lam melotot kearahnya dengan sikap menantang.

   Dengan mendengus segera To Liong berkata.

   "Apakah kau tuli, kau tidak dengar pertanyaanku tadi?"

   Su-lam tenangkan diri, lalu menjawab.

   "Dimanakah Nyo Wan? Suruh dia kemari, tentu kau tahu siapa aku?"

   "Hm, tidak tahu aturan! Kau pernah apanya Nyo Wan, berdasar apa harus kupertemukan dia denganmu?"

   Jengek To Liong.

   "Aku suaminya!"

   Teriak Su-lam dengan gusar.

   Baru sekarang To Liong yakin bahwa Li Su-lam belum bertemu dengan Nyo Wan.

   Segera timbul pikirannya untuk membikin gusar lawannya, jawabnya kemudian dengan menyindir.

   Hm, ngaco belo kau, ketika aku kenal Nyo Wan dia masih perawan yang suci bersih, darimana dia punya suami macam kau? Apakah kau tahu siapakah aku? Justru aku ini suaminya! Kamar inilah yang kami jadikan kamar pengantin semalam!"

   Hampir kelenger Li Su-lam saking gusarnya, tapi iapun tidak dapat sama sekali mempercayai ucapan To Liong itu, sebab kalau bukannya mereka sudah menjadi suami istri, darimana dan cara bagaimana To Liong mengetahui tadinya Nyo Wan masih perawan suci bersih? Selagi Li Su-lam tertegun saking murkanya, segera To Liong menyambitkan sebuah Tok-liong- piau.

   Serangan ini mestinya sukar dihindarkan Su-lam.

   Untung pada saat itu kebetulan pelayan hotel datang menanyakan tamunya apakah ada sesuatu pesanan, ketika dia mendengar ribut2 didalam kamar, ia coba melongok dan melihat tamu kemarin dengan galaknya sedang berhadapan dengan tamu baru, ia terkejut dan menjerit.

   Lantaran jeritan yang tepat pada waktunya inilah Su-lam terkejut sadar dan sempat melihat menyambernya Tok-liong-piau yang sudah mendekat.

   Tanpa ayal lagi ia menegos sambil mendekap meja sehingga piau itu menancap dimuka meja.

   Dalam pada itu dengan cepat sekali To Liong lantas menubruk maju.

   "Kurang ajar!"

   Damprat Su-lam dengan gusar.

   "kau telah merampas istriku, sekarang kau hendak membunuh aku pula!" ~ Trang, cepat ia melolos pedang menangkis pedang To Liong yang menabas kearahnya.

   "Hm, kau masih berani mengaku dia sebagai istrimu bentak To Liong sambil melancarkan serangan yang lebih gencar. Ilmu pedang keluarga To yang disebut "Tui-hun-toat-beng-kiam-hoat" (ilmu pedang penguber sukma dan perampas jiwa) sangat lihai, serangan gencar itu membuat Su-lam terpaksa hanya sanggup menangkis saja dan tidak sempat balas menyerang. Tapi Su-lam juga bukan kaum lemah, sebabnya terdesak adalah karena pikirannya yang kacau, setelah bergebrak dia menjadi tenang malah. Semakin gencar serangan To Liong, semakin rapat pula dia bertahan. Tat-mo-kiam-hoat dari Siau-lim-pay memangnya mengutamakan kemantapan, secara sabar Su-lam mematahkan setiap serangan lawan, maka meski To Liong selesaikan 36 jurus serangan "Tui-hun-toat-beng-kiam-hoat"

   Kedua pihak ternyata sama kuat. Setelah serangan lawan mulai longgar, Su-lam berseru.

   "Sekalipun kau benar sudah menjadi suami- istri dengan Nyo Wan juga aku akan bertemu dengan dia!"

   "Kurang ajar, jangan kau harap aka bertemu dengan dia, biar kuantar kau keneraka saja,"

   Jawab To Liong.

   "Hm, kau merintangi pertemuanku dengan dia, terpaksa aku mengadu jiwa dengan kau,"

   Jawab Su- lam dengan gemas.

   Karena ber-ulang2 menyerang tidak berhasil, To Liong mulai gugup.

   Maklum dia lari kembali ke hotel lantaran jeri terhadap Ciok Bok yang menggertaknya dengan nama To Hong, To Liong percaya gertakan Ciok Bok itu dan kuatir adik perempuannya benar2 akan menyusul tiba, sebab itulah ia pikir meski lekas2 angkat kaki dari tempat bahaya ini.

   Namun setiap kali To Liong menggeser langkah, setiap kali pula Su-lam membayanginya.

   "Mau lari kemana!"

   Bentak Su-lam sambil melancarkan serangan balasan. Tiba2 To Liong mendapat akal, katanya dengan mendengus.

   "Hm, apakah kau benar2 mencintai Nyo Wan?"

   "Persetan! Pertanyaan ini bukan menjadi hakmu, suruh Nyo Wan kemari, aku nanti yang akan bicara sendiri padanya,"

   Damprat Su-lam.

   "Aku adalah suaminya, mengapa aku tidak boleh tanya?"

   Kata To Liong.

   "Hm, kukira dasarnya kau memang tidak pernah cinta padanya. Jika kau benar cinta dia, seharusnya kau mesti mengutamakan kepentingannya."

   Su-lam melengak.

   "Apa katamu?"

   Ia menegas.

   "Kubilang kau harus mengutamakan kepentingannya bila benar kau cinta dia,"

   Jawab To Liong.

   "Coba kau pikir, dia sudah rela menjadi istriku, mengapa kau masih merecoki dia? Mau apa jika kau bertemu dengan dia? Paling2 hanya akan membikin susah padanya."

   Kata2 To Liong ini benar2 menusuk kedalam lubuk hati Li Su-lam, tergetar hati Su-lam pikirnya.

   "

   Ya, memang betul, aku mau apa bila bertemu dengan dia? Dia kan sudah menjadi milik orang lain."

   Belum lenyap pikirnya. Se-konyong2 To Liong menusuk dengan pedangnya. Karena hatinya sudah hancur, Su-lam tidak ingin banyak urusan lagi, ia berkelit kesamping sambil berkata.

   "Pergi saja kau!"

   Tanpa ayal lagi To Liong melompat keluar jendela.

   Dalam sekejap itu timbul macam2 pikiran Su-lam , semula ia bertanya pada diri sendir apa mesti membiarkan To Liong kabur begitu saja? Lalu terpikir lantas mau apa kalau To Liong ditahan disitu, apakah aku mesti membunuhnya? Sedangkan Wan-moay sudah menjadi istrinya, bila To Liong terbunuh berarti Nyo wan akan menjadi janda dan merana selama hidup.

   Berpikir sampai disini ia menjadi malu sendiri dan mencela diri sendiri.

   "Wahai Li Su-lam, kenapa jiwamu begini sempit? Jika kau benar2 mencintai Nyo Wan seharusnya kau mengutamakan kebahagiaannya. Jangankan kau tidak pantas mencelakai suaminya, sekalipun pikiran ingin bertemu denganmu juga seharusnya dihapuskan."

   Terpikir sampai disini, tiba2 diluar ada suara jerit ngeri.

   Kiranya waktu To Liong keluar, mendadak pelayan hotel tadi juga sedang berlari disebelahnya.

   Rupanya pelayan itu lagi mengintip apa yang terjadi dikamar, ketika To Liong melompat keluar, ia menjadi ketakutan dan bermaksud lari pergi.

   Namun sudah tidak keburu To Liong sudah kadung gemas karena jeritannya tadi sehingga Li Su- lam terhindar dari sambitan Tok-liong-piau, kini pelayan itu dipakai sebagai pelampias gemasnya, sekali pedangnya menabas segera jiwa pelayan itu melayang.

   Mendengar suara jeritan, Su-lam lantas keluar, menyaksikan adegan mengerikan itu, ia menggusar, bentaknya.

   "Keparat, aku sengaja melepaskan kau, tapi kau malah membunuh orang yang tidak berdosa!"

   Saat itu To Liong lagi membuka kandang kuda untuk mengambil kuda yang dibelinya kemarin, baru saja ia mencemplak keatas kuda dan dilarikan, Su-lam tampak memburu keluar.

   Segera To Liong menyambitkan sebuah Tok-liong-piau, menyusul sebuah Tok-liong-piau yang lain disabitkan kepantat kuda lain didalam kandang, maksudnya agar kuda itu tidak dapat ditunggangi oleh Li Su- lam.

   Dengan mudah dapatlah Li Su-lam menyampuk Tok-liong-piau yang menyamber kearahnya.

   Terdengar To Liong bergelak tertawa dan berseru dari jauh.

   "Hai Li Su-lam, menyesalpun sudah kasip kau!"

   Mampukah kau mengejar aku sekarang? Haha, hari ini kau lepaskan aku tapi lain hari bila bertemu jangan kau harap aku akan melepaskan kau!"

   Dengan murka Su-lam lantas menguber, tapi betapa ginkangnya sukar juga melampau lari kuda bagus itu.

   Setelah keluar kota kecil itu, dalam keadaan remang hanya kelihatan suatu titik hitam dikejauhan, To Liong sudah pergi jauh.

   Tertiup oleh angin malam yang dingin barulah pikiran Su-lam rada jernih kembali.

   Ia menghela napas dan berpikir.

   "Kiranya orang ini begini busuk, demi kebahagiaan Wan-moay aku telah mengampuni dia, tapi mendapatkan suami begini apakah adaik Wan bisa bahagia? Tahu begini tadi tentu takkan kuampuni dia." ~ Lantas terpikir lagi olehnya. Aneh, mengapa adik Wan bisa memilih pasangan seperti orang ini? Biasanya dia bisa berpikir panjang, masakah sama sekali dia tidak bisa menilai antara orang baik dan busuk?"

   Selagi Su-lam merasa gegetun bagi Nyo Wan, tiba2 terdengar suara derapan barisan kuda yang riuh.

   Waktu menoleh, dilihatnya sepasukan Mongol telah memasuki kota kecil itu.

   Panji pasukan Mongol yang bersulamkan gambar elang tertampak juga dari jauh.

   Ia terkejut, sungguh tak terduga pasukan tartar itu bisa tiba begitu cepatnya.

   Karena seorang diri, Su-lam tidak ingin terlibat alam pertempuran yang merugikan, terpaksa ia melarikan diri.

   Sudah tentu Li Su-lam tidak tahu bahwa yang memasuki kota kecil itu adalah pasukan yang dipimpin Akai yang bertugas sebagai pelopor dan pengintai.

   Bahkan Nyo Wan juga berada ditengah pasukan musuh itu.

   Karena larinya Su-lam, maka hilanglah kesempatannya untuk berjumpa kembali dengan Nyo Wan.

   Penduduk setempat jug apanik dan lari serabutan melihat kedatangan pasukan berkuda Mongol.

   Dari jauh Nyo Wan melihat juga bayangan seorang lari dengan cepat sekali diantara penduduk yang ketakutan.

   Karena hari sudah dekat magrib, keadaan mulai remang2, hanay dari bayangan belakang orang itu Nyo Wan merasa seperti orang yang dikenalnya.

   Namun dengan cepat orang itupun sudah menghilang.

   Ia pikir masakah bisa sedemikian kebetulan Li Su-lam berada disitu.

   Mungkin saking rindunya kepada Su-lam, maka timbul khayalannya.

   Ia tidak tahu bahwa yang lari paling depan itu memang benar2 Li Su-lam adanya.

   Nyo Wan juga telah memeriksa kembali ke hotel yang dipondokinya semalam, tentu mencari jejaknya To Liong saja.

   Pemilik hotel juga sudah melarikan diri, pelayan yang ketakutan juga sembunyi, tiada seorangpun yang berani menghadapi prajurit Mongol.

   Karena tidak mendapat keterangan apa2, terpaksa Nyo Wan tidak mencari lebih jauh.

   Besoknya pasukan Mongol yang lain ber-turut2 tiba, regu yang dipimpin Akai itu kembali ke pasukan induknya.

   Nyo Wan mencampurkan diri dengan anak buah Akai dan ternyata mendapat perlindungan Akai dengan baik.

   Dia menyamar sebagai tukang kuda dan mendiami sebuah tenda kecil sendirian, tugasnya cuma merawat kuda Akai, pekerja lain sama sekali bebas.

   Yang tahu dia adalah kaum wanita cuma belasan orang saja, tapi belasan orang itupun dapat menjaga rahasia.

   Semula Nyo Wan rada kebat-kebit, lama2 menjadi biasa juga.

   Pasukan Mongol maju dengan pesat se-akan2 tidak mendapatkan perlawanan, sampai di kaki gunung Liong-pan-san, karena panglima kerajaan Kim bertahan dengan gigih, beberapa kali pasukan Mongol menyerang selalu gagal, terpaksa pasukan Mongol Berkemah di kaki gunung sambil menunggu datangnya bala bantuan.

   


Maling Romantis -- Khu Lung Golok Bulan Sabit -- Khu Lung /Tjan Id Peristiwa Burung Kenari Karya Gu Long

Cari Blog Ini