Pendekar Aneh 13
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 13
Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen
"Sungguh pedang mustika!", pudjinja, kagum. Boe Hian Song sebaliknja berkata didalam hatinja.
"Pedangnja Lie It tidak dapat terdjatuh dalam tangan dia ini ". Lantas ia tertawa, dan berkata.
"Sri Baginda gagah, dengan mempunjai pedang ini tambahlah kegagahannja! Aku tidak kenal pedang akan tetapi dengan melihat sarungnja sadja, aku merasa pasti inilah pedang jang berharga sangat mahal ...". Sarung pedang itu berlapiskan emas dan ditabur mutiara jang bersorot berkilau. Hian Song memegang itu, untuk dilihat dan dilihat pula, agaknja tak ingin ia melepaskannja pula. Khan tertawa melihat kelakuan selirnja itu.
"Djikalau kau menjukainja, ambillah ini untukmu!", ia berkata.
"Ah, mana bisa?", kata si nona, beraksi.
"Dengan kau jang memakainja sama dengan kami jang memakai itu ", kata Khan.
"Bangsa Tionghoa mengatakan, pedang dihaturkan kepada orang gagah, kami djusteru menghadiahkannja kepada si tjantik! Ha ... ha ..., tidakkah ini bagus?". Hian Song tersenjum, ia terima pedang itu.
"Terima kasih!", ia mengutjap. Khan pun girang sekali, sembari tertawa, ia berkata.
"Bangsa Tionghoa bilang, satu kali si tjantik tertawa, dapat itu meruntuhkan negara dan kota, sekarang dengan sebuah pedang kami dapat merebut hatimu, hadiahku ini sungguh berharga!". Hian Song tertawa. Tapi sekarang ia terus menanja.
"Lie It itu sudah mengatjau, apakah Sri Baginda hendak menghukum mati padanja?".
"Tidak,"
Khan mendjawab.
"Aku hendak menahannja, ia ada harganja untuk kita. Ialah turunan kaisar Tong, djikalau dia suka menghamba padaku, kalau nanti kami menjerbu Tiongkok, menteri2 keradjaan Tong pastilah akan menjambut kita, tentu mereka akan membantu merobohkan si kaisar wanita. Kau tentunja pernah mendengar bahwa kaisar wanita dari Tiongkok jalah Boe Tjek Thian dan mahkota keradjaan Tong dialah jang merampasnja ".
"Ja ..., pernah ku mendengarnja. Sebagai wanita Boe Tjek Thian dapat mendiadi kaisar, boleh dikatakan dialah wanita gagah ".
"Memang! Maka itu kami hendak menggunai Lie It untuk melawan dia!".
"Entah bagaimana dengan Lie It itu. Maukah dia menjerah?".
"Inilah jang kami pikirkan. Lie It berkepala besar, pernah aku mengirim orang mengundangnja, dia menampik, sebaliknja hari ini dia datang mengatjau ...".
"Dia berani mengatjau dalam pertemuan persilatan besar, dia benar tidak takut mati. Karena dia berani mati itu, habis ada daja apa untuk membuatnja menjerah?".
"Biar dia tidak takut mati, masih ada dajaku ".
"Apakah itu ?".
"Dia mempunjai anak dan anaknja itu berada dalam genggamanku ", Khan menuturkan bagaimana dia mentjulik anaknja Lie It. Hian Song berdiam, ia beraksi seperti lagi memikir untuk membantu radja itu.
"Daja itu bagus ", katanja kemudian.
"Kalau sebentar dia diperiksa, baiklah anaknja dibawa kemari, supaja dia melihatnja. Orang tahu halnja tjinta ajah-ibu terhadap anaknja, kalau dia melihat anaknja itu, masa dia tidak mendjadi lemah hatinja?". Khan setudju, ia lantas menitahkan mengambil anaknja Lie It itu. Tidak lama seorang dajang muntjul bersama anak Lie It. Hian Song mendapatkan anak kurus tetapi matanja tjeli. la merasa berkasihan.
"Ah ..., anak ini manis ", katanja. Ia mengulur tangannja, niatnja menarik. Tiba2 anak itu menghampirkan sendiri, matanja menatap tadjam.
"Lihat, anak ini pun dibikin tersengsem ketjantikanmu ...!", kata Khan tertawa lebar. Anak itu tetap mengawasi. Bibi, aku mengenali kau !", katanja tiba2. Di dalam hatinja, Hian Song terperandjat.
"Ah, kuat sekali ingatannja anak ini ", pikirnja.
"Tjuma satu kali aku melihat ia dikaki gunung Thian-san, sang waktu sudah berselang sebulan lebih dan warna kulitku pun sudah berubah tetapi ia masih mengingatnja ...". Khan tertawa.
"Dasar botjah", katanja.
"Kapannja kau pernah melihat selirku ?". Khan merasa aneh berbareng lutju tetapi ia tidak bertjuriga. Anak itu menatap. Ia melihat orang berdandan sebagai permaisuri dan bitjaranja pun dalam bahasa Uighur. Hian Song tertawa, ia lantas merangkul, untuk mentjium pipinja, tetapi berbareng dengan itu, ia berbisik dengan bahasa Tionghoa .
"Djangan bilang kau mengenali aku. Kalau sebentar ajahmu datang, aku akan menolongi kamu. Mengerti ?". Anak itu mengangguk. Kepada Khan, ia kata.
"Dia tjantik seperti ibuku. Ah, aku suka padanja!".
"Begitu ?", kata Khan tertawa.
"Kau anggaplah dia sebagai ibumu itu ". Hian Song pudji ketjerdikan anak itu, ia pegangi tangan orang.
"Aku djugasuka padamu ", ia bilang.
"Kamu berdua berdjodoh sekali!", kata Khan, kembali tertawa.
"Kalau Lie It suka menakluk padaku, nanti aku membiarkan kau ambil anak ini sebagai anak-pungutmu ". Bitjara sampai disitu, dari luar terdengar suara rantai borgolan beradu, maka hati Hian Song bertjekat. Lantas terlihat seorang pengawal dengan tubuh tinggi besar menggiring Lie It masuk. Delapan tahun mereka telah berpisah, sekarang mereka bertemu didalam istana keradjaan Turki, itulah luar biasa. Itulah mereka berdua mengimpikan pun tidak. Lie It melihat Hian Song. Terpisahnja mereka tjuma tiga tombak. Ia bisa melihat tegas. Maka katanja dalam hatinja .
"Ah, tidak salah, dia memang Hian Song!". Tentu sekali ia heran, lebih lagi akan melihat anaknja menjender pada nona itu, seperti anak menjender pada ibunja sendiri.
"Ajah !", anak itu mendjerit seraja terus lari untuk menubruk ajahnja. Pedih hati Lie It melihat anaknja kurus.
"Anak Bin, ajahmu terlambat ", katanja.
"Kau tersiksa ...?". Diam2 Hian Song memperhatikan pangeran itu. Dia putjat mukanja tetapi tidak ada tanda2-nja bahwa dia terluka didalam badan. Dia mendapat beberapa luka dan luka dipunggungnja, meski telah dibalut, darahnja menembus keluar. Ia berkasihan, ia sakit hatinja. Ia pikir .
"Kedjam kawanan budak ini ! Dia telah terluka, dia masih dipakaikan borgolan berat!". Pengawal jang mengiring Lie It jalah Maitjan, ketika ia melihat anak Lie It mau menubruk ajahnja, ia hendak mentjegah.
"Biarkan ajah dan anak itu bertemu !", Khan kata. Maitjan membatalkan niatnja, tetapi ia berkata .
"Guru Budi kuatir terdjadi sesuatu, ia turut datang, apakah perlu ia dititahkan masuk ?".
"Mintalah ia menanti sebentar diluar, untuk mendjaga kalau2 ada pendjahat lainnja datang kemari ", mendjawab sang radja. Ia menghargai orang jang hendak diangkat mendjadi Guru Negara itu, jang di negaranja itu mendjadi orang kosen nomor satu. Sementara itu Hian Song berpikir keras, hatinja gelisah. Ia tahu Maitjan gagah sedang diluar ada Guru Budi.
"Bagaimana sekarang?", pikirnja.
"Ajah, mengapa mereka mengikat ajah?", si anak tanja.
"Aku ingin ajah mengempo aku !". Khan tertawa mendengar kata2 botjah itu.
"Anak jang baik ", katanja.
"kau budjuki ajahmu supaja dia mendengar kata2-ku, segera aku nanti melepaskan ikatan kepada ajahmu itu ".
"Anak Bin, djangan dengar perkataannja orang busuk!", Lie It kata kepada anaknja.
"Pasti aku tidak akan mendengar perkataannja!", sahut sang anak. Dan ia mengangkat dadanja, lantas ia teruskan berkata kepada Khan.
"Ajah telah mengadjari aku supaja aku djangan tunduk terhadap manusia djahat! Kau berlaku begini rupa terhadap ajahku, kau manusia busuk!". Wadjahnja Khan mendjadi guram, hanja sedjenak, ia tertawa.
"anak jang tjerdas!", katanja.
"Sajang kau masih terlalu muda, kau belum mengerti apa2. Terhadap ajahmu, aku bermaksud baik. Baiklah! Maitjan, kau singkirkan anak ini, hendak aku bitjara sama ajahnja !". Anak itu tidak suka berpisah dari ajahnja akan tetapi ia tidak dapat melawan pengawal itu.
"Djangan ganggu dia!", Hian Song berkata, lantas ia menarik anak itu, untuk berkata dengan perlahan.
"Anak jang baik, djangan bikin banjak berisik ". Anak itu mendengar kata, ia berdiri diam disamping si nona. Lie It heran hingga ia merasa ia seperti tengah bermimpi.
"Kenapakah Hian Song mendjadi selir Khan ?", pikirnja berulang kali.
"Kenapa si Bin dengar kata terhadapnja?". Ia menggigit lidahnja, tetapi ia merasakan sakit. Djadi ia bukan lagi mimpi. Karenanja, tidak dapat ia memetjahkan keanehan itu. Walaupun demikian, ia mempunjai kepertjajaan tetap tidak nanti Hian Song menghamba kepada Turki, dan terhadapnja, tidak nanti dia bermaksud djahat. Khan menuang arak dalam sebuah tjawan, ia kata pada seorang dajang di sisinja.
"Kau bersihkan darah dimukanja orang itu, lantas kau suguhkan ia arak ini". Perintah itu didjalankan, Lie It terbelenggu, ia membiarkan mukanja disusuti sabuk basah, disusuti dengan per-lahan2, maka dilain saat, bersihlah mukanja jang putih, hingga ia nampak tampan dan agung, sampai si dajang sendiri tertjengang.
"Kau tjukur kumisnja!", Khan memerintah pula. Dengan memberanikan diri, dajang itu melakukan pula perintah itu. Setelah kumis palsunja si pangeran disingkirkan, Khan tertawa lebar.
"Tidak salah, benarlah, Lie Tian-hee dari Keradjaan Tong! ", katanja.
"Surup sekali penjamaranmu, Tian-hee!". Khan ini mempunjai gambarnja Lie It, jang ia terima dari Boe Sin Soe, gambar mana dibawa oleh Hong Bok Ya. Dengan begitu, setelah penjamarannja disingkirkan, Lie It kelihatan mirip dengan gambarnja itu.
"Seorang laki2, djalan dia tidak merubah namanja, duduk dia tidak menukar she- nja ", kata Lie It, gagah.
"Aku memang Lie It, maka itu apakah halangannja untuk aku menghadapi kau dengan romanku jang asli ?".
"Aku kagum untuk njalimu jang besar ", kata Khan.
"Silahkan kau keringi tjawan itu, untuk menambah semangatmu!". Lie It berkata didalam hatinja.
"Dia hendak menggunai tenagaku,tidak nanti dia menaruh ratjun dalam araknja ini ". Ia menjambuti tjawan arak itu dari tangannja si dajang, ia bawa arak itu ke mulutnja, untuk lantas ditjegluk isinja. Kemudian ia berkata njaring .
"Satu laki2 tidak takuti gunung golok dan rimba pedang, dia tidak takut djuga terhadap arak jang wangi dan omongan jang manis! Nah, kau masih ada punja lain tjara, apa lagi ...?". Khan mengeluarkan djempolnja.
"Bagus, sungguh benar seorang laki2 !", katanja.
"Aku djusteru membutuhkan orang sematjam kau!".
"Hmmm ...!", Lie It mengedjek.
"Orang sematjam Boe Sin Soe dapat kau gunakan, tetapi aku bukannja orang sebangsa dia !".
"Nantilah kita omong dengan per-lahan2
", kata radja Turki itu.
"Kau telah bilang, terhadap manusia djahat kau tidak sudi tunduk, kata2-mu ini bagus sekali. Sekarang aku hendak tanja kau, Boe Tjek Thian itu manusia baik2 atau manusia busuk ?". Lie It melirik Hian Song, otaknja bekerdja.
"Dia manusia busuk atau tidak, belum dapat aku menetapkannja ", sahut Lie It.
"Sedikitnja dialah musuhmu, bukan ?", kata Khan.
"Tidak salah! Dia telah merampas mahkota keradjaan-ku, pasti dia musuhku ...!". Khan tertawa bergelak.
"Kau tertawakan apa?", Lie It tanja.
"Aku mentertawakan kau, jang telah tidak dapat membedakan apa jang baik, apa jang busuk!". Mata Lie It mentjilak.
"Tutup mulutl", Lie It bentak.
"Apa?", Khan tertawa.
"Apakah aku salah omong ?".
"Pasti kau salah!", kata Lie It, sungguh2.
"Meski benar kami pihak she Lie bentrok memperebuti negara dengan pihak she Boe, itu berarti kami Bangsa Tionghoa memperebuti Tiongkok! Dengan begitu apakah sangkut pautnja kita dengan kau ? Kau tjuma memakai alasan menghukum Boe Tjek Thian, jang benarnja ialah kau hendak merampas negaraku jang indah-permai dan kaja-raja. Maka itu siapa jang mengaku dirinja putera Keradjaan Tong, dia mesti bangkit mengangkat sendjata untuk membela negaranja, apa-lagi aku jang mendjadi turunan sah dari Keradjaan itu ?". Lega hati Hian Song mendengar kata2 gagah dari Lie It itu. Pikirnja.
"Meski benar dia masih memberati kepentingan pribadinja, dia insaf akan peri-kebenaran, dia sadar, pantas Bibi memikir untuk mengundang dia ...". Khan sebaliknja tertjengang, hingga ia terdiam. Beginilah pendirian kau memusuhi aku. Khan berkata.
"Kalau begitu, kau masih keliru!", katanja.
"Kau djangan lupa Boe Tjek Thian telah mengganti nama keradjaanmu dari Tong mendjadi Tjioe! Tahukah kau kenapa aku mengundang padamu?". Lie It tertawa dingin.
"Biar bagaimana, itu toh bukannja maksud baik, bukan?", sahutnja.
"Maka itu aku bilang kau salah!". Khan djuga tertawa.
"Kau selalu mentjurigai aku! Tahukah kau bahwa aku hendak menjerahkan tachta-keradjaan kepadamu? Apa jang aku hendak geraki adalah jang disebut angkatan perang maha adil. Buat kebaikkan Tiongkok kamu, aku hendak menjingkirkan wanita siluman jang mendjadi kaisar itu! Setelah nanti aku dapat merobohkan Boe Tjek Thian, aku akan bantu kau mengangkat diri mendjadi kaisar, untuk mempersatukan negara, untuk seluruhnja diserahkan kepada kau! Apa lagi jang kau kehendaki? Bukankah ini suatu kebaikan untukmu?". Lie it tertawa mengedjek.
"Kata2 ini tjuma dapat di pakai mengabui botjah umur tiga tahun ... Hmmm ...! Botjah umur tiga tahun djuga masih tidak dapat diperdajakan! Kau mengangkat sendjata untukku, untuk meminta aku mendjadi kaisar ?".
"Bagus, pertanjaan kau ini bagus!"
Katanja.
Djikalau aku bilang aku tidak memikir suatu kebaikan, kau tentunja tidak mau pertjaja.
Baiklah, mari aku omong terus-terang! Keinginanku jalah agar Tiongkok mendjadi djadjahanku, negara dan rakjat Tiongkok, tetap akan berada dibawah perintahmu, kaulah jang mengurusnja.
Bukankah dengan begitu, kebaikan jang kau peroleh mendjadi lebih besar daripada jang diperolehku ?".
Lie It tertawa sambil melenggak.
"Khan jang Agung, kau salah melihat orang!", bilangnja. Aku Lie It, aku bukannja orang jang suka mendjadi kaisar boneka!".
"Ah ..., kau tidak menghendaki kedudukan sebagai kaisar?", Khan bertanja.
"Habis, kau menghendaki apakah?".
"Aku orang bangsa Tionghoa, aku berdiam, di negaramu ini", ia menjahut.
"Apa jang aku kehendaki jalah agar kedua negara hidup rukun sebagai sahabat! Apa jang aku kehendaki jalah meminta kau menghentikan peperangan!".
"Hmmh ..., kau benar tidak tahu diri! Kau pikirlah baik2 sebelum nanti kau menjesal!". ---oo0oo--- -- halaman sobek/hilang -- ---oo0oo---LIE It girang berbareng kaget. Hian Song sudah lantas bekerdja terlebih djauh. Dengan hanja satu tabasan, belengguan putus, hingga ia mendjadi merdeka.
"Lekas, ambil pakaiannja Maitjan dan pakai itu!", kata Hian Song. Pangeran itu menurut, ia bekerdja tjepat sekali. Ia pun menutupi tubuhnja dengan mantelnja pengawal itu. Karena tubuh Maitjan terlebih besar, ia mendjadi berdandan tidak keruan. Tapi karena mantel itu besar, didalam situ Lie It dapat menjembunjikan anaknja. Boe Hian Song mengeluarkan obat peranti mengubah paras muka, ia serahkan itu pada Lie It. Pangeran itu dapat membade maksud orang, ia menjambuti obat itu, terus ia pakai, maka dilain saat, ia beroman mirip dengan pengawalnja Khan. Dimana didalam istana itu ada banjak pengawal lainnja, tidak gampang untuk mengenalinja. Boe Hian Song djuga meloloskan periasan rambutnja sebagai selir Khan, ia masuk kebelakang sekosol, maka ketika ia keluar pula, ia sudah dandan sebagai dajang.
"Mari kita pergi!", katanja perlahan pada si pangeran. Lie It heran. Ia telah berpikir.
"Diluar ada Pek Yoe Siangdjin dan Thian Ok Toodjin, tjara bagaimana mereka dapat dilewatkan ?". Tengah ia berpikir itu, Hian Song sudah bertindak ke samping pembaringan, disana dia merabah ke tembok dan menekan, maka ditembok itu segera terpentang sendirinja sebuah pintu rahasia. Itulah pintu kemana Hian Song diadjak masuk oleh Khan. Didalam situ ada kamar berias jang indah. Khan sengadja memperabotinja lengkap, untuk mengambil hatinja si nona bangsawan, jang ia sangka wanita biasa sadja. Padanja telah diberitahukan, djendela kamar itu menghadapi taman bunga, tempat untuk pesiar. Demikian Hian Song memasuki kamar rias itu, terus dia menolak daun djendela, untuk melongok keluar. Maka itu mereka mendjadi mendapat tahu, waktu itu waktu maghrib. Hanja ketika mereka melongok kesekitarnja, di situ tak dapat orang lain. Dengan mentjekal tangan orang, si nona mengadjak Lie It melompati djendela itu, untuk berlalu dari kamar rias. Mereka bertindak dengan tjepat.
"Siapa?", mendadak terdengar teguran. Baru sadja mereka itu bertindak beberapa langkah. Pula segera ternjata, penegur itu jalah Kakdu, pemimpin dari pasukan pengiring radja. Lie It mengulapkan kimpay kemuka pemimpin barisan itu sembari ia kata dengan perlahan.
"Aku tengah melakukan titahnja Sri Baginda untuk mengantarkan pelajannja selir jang baru keluar dari istana ". Kakdu kenal kimpay itu dan ia ketahui baik selir jang baru, Karosi, jalah puterinja radja dari sebuah negara ketjil, sedang menurut adat-istiadat Turki, kalau seorang puteri menikah, setibanja si puteri ditempat suaminja pelajannja harus diperintah pulang untuk membawa kembali pakaian pengantinnja, untuk ditundjuki kepada ibunja. Itulah tanda bahwa si puteri, dirumah ia mengandal pada orang-tuanja, setelah menikah ia mesti mengandal pada suaminja. Melihat demikian, tanpa sangsi lagi, Kakdu mengidjinkan orang berlalu. Tentu sekali ia tidak mendapat tahu jang Karosi, si selir baru, telah semendjak satu djam dimuka dengan menjamar djadi dajang, sudah membolos pulang dengan menaiki kereta asalnja. Hian Song dan Lie It bertindak setjepat bisa. Beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal2 pendjaga tetapi dengan Lie It selalu memperlihatkan kimpay mereka dapat lewat tanpa rintangan. Maka sebentar kemudian sampailah mereka dipintu belakang dari taman dimana ada istal kuda serta pendjaganja. Lie It menundjuki kimpay, ia minta dua ekor kuda. Permintaan itu diluluskan, setelah mana, ia perintah pendjaga istal itu untuk membukai mereka pintu.
"Berhenti!", tiba2 terdengar perintah. Si pendjaga istal terkedjut. Ia mengenali Kakdu, jang lari mendatangi. Tentu sekali ia tidak berani membukai pintu.
"Kau berani menghalangi aku?", membentak Lie It.
"Lekas buka!".
"Djangan keluar dulu!", Kakdu berteriak.
"Tunggu!", Lie It tidak mau bersabar, mendadak ia menotok pendjaga istal itu, sesudah mana, ia merampas anak kuntji. Tapi sekarang Kakdu telah keburu sampai, bahkan ini pemimpin pengawal sudah lantas melompat menerdjang si pangeran sambil dia berseru keras. Kakdu kembali karena ia bertjuriga begitu lekas Hian Song dan Lie It diidjinkan lewat. Ia telah menanja dirinja sendiri.
"Siapakah pengawal itu ? Kenapa aku tidak kenal dia ?". Kakdu jalah kepala pengawal, dari beberapa puluh pengawal, ia kenal semua, terutama sebab banjak pengawal diterima bekerdja menurut pudjiannja. Tadi tjuatja guram dan Lie It pun mengalingi mukanja dengan mantel, maka ia tidak dapat melihat tegas. Ia tjuma pertjaja sebab adanja kimpay. Baru lewat sesaat, ketjurigaannja timbul pula, ia pun lantas ingat, mantel itu milik Maitjan. Meski begitu, ia tetap bersangsi, maka itu, ia lari mengedjar untuk memperoleh kepastian. Ia terkedjut mendapatkan Lie It menotok orang, ketjurigaannja djadi keras, maka itu, ia lantas menjerang. Untuk negara Turki, Kakdu jalah orang gagah jang tersohor, serangannja itu hebat luar biasa, umpama-kata, batu dapat dihadjar petjah. Lie It tahu ia habis terluka, tidak berani ia menjambuti serangan itu, sebaliknja ia mengandalkan keringanan tubuhnja, untuk berkelit melompatan. Kakdu menjerang terus2-an, ia mendesak. Rangsakan ini membuatnja Lie It tak sempat menghunus pedangnja.
"Mana orang? Mana orang?", Kakdu berteriak ber-ulang2.
"Lekas ...! Lekas ...!". Melihat bahajanja sikap Kakdu ini, Hian Song berlaku tjerdik. Ia kata dengan dingin pada pemimpin pengawal itu.
"Kau mau bikin apa berdiam lama2 disini? Telah ada orang djahat lainnja jang sudah memasuki kamarnja Khan untuk membunuhnja! Kenapa kau tidak mau lekas menolongi radjamu?". Kakdu kaget.
"Apa kau bilang?", dia tanja. Tepat selagi orang menanja itu, tjepat luar biasa, Hian Song menjerang dadanja, mengenai djalan darah soan-kie. Tidak ampun lagi, robohlah pemimpin pengawal itu. Inilah Kakdu tidak sangka. Meski ia tidak dapat menandingi si nona, sedikitnja ia dapat bertahan sekian lama. Ia tidak menduga si "dajang"
Demikian liehay.
Lie It lompat kepintu, untuk membuka, setelah mana berbareng bersama Hian Song ia lompat naik atas kuda masing2, untuk dikaburkan keluar dari taman.
Dibelakang mereka datang rombongan pengawal, jang mengikuti Kakdu tadi, mereka itu menghudjani anak panah.
Dengan memutar pedangnja, Lie It meruntuhkan setiap anak panah, terus sadja ia lari, maka dilain saat, bersama Hian Song ia sudah bebas dari antjaman panah.
Tidak ada seorang pengawal djuga jang dapat menjandak mereka.
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakdu telah dapat bangun pula, ia mentjegah barisannja mengedjar terlebih djauh.
Ia terpengaruh kata2 Hian Song bahwa radja terantjam pembunuh gelap.
Ia pikir, meski belum pasti baiklah ia pertjaja keterangan itu.
Djiwa radja tidak dapat dibuat permainan.
Bukankah dua orang itu keluar dari dalam istana dan si "pengawal"
Memakai mantelnja Maitjan ?.
Maka sambil balik, ia mengasi perintah untuk mentjari orang atau orang2 djahat didalam istana.
Lie It dan Hian Song kabur terus.
Mereka bisa menghela napas lega setelah mendapat kenjataan mereka tidak dikedjar terlebih djauh.
Tapi masih mereka melarikan kuda mereka, jang dikasi berlari berendeng.
Satu kali Lie it menoleh kepada Hian Song, djusteru si nona pun menoleh kearahnja.
Dengan sendirinja sinar keempat mata bentrok satu pada lain.
Lekas2 mereka melengos, hati mereka bekerdja sendiri2.
Mereka sama2 merasa hati mereka kosong.
Segera didalam hati si pangeran berpeta pelbagai peristiwa jang telah lewat, umpama hal adu pedang dipuntjak Kim-teng dari gunung Ngo-bie-san dan pertemuan mereka didjalan pengunungan Kiong-lay-san.
Ia ingat bagaimana si nona, untuk minta obat dari Heehouw Kian, telah melakukan perdjalanan belasan hari.
Paling achir jalah perpisahan berat dipuntjak gunung Lie San.
Siapa sangka sekarang, disaat begini, mereka bertemu pula satu pada lain.
Bahkan sekali lagi si nona bangsawan sudah menolongi padanja!.
Saking gontjangnja hatinja, lagi sekali si pangeran berpaling kepada si pemudi, hingga sinar mata mereka bentrok pula.
"Terima kasih!", ia berkata perlahan. Hati Hian Song pun gontjang tak kalah kerasnja. Ia tidak dapat menjingkir djusteru dari orang siapa ia hendak mendjauhkan diri, bahkan sekarang ia berada berendeng dengannja. Tjuma keadaan sekarang beda dengan keadaan delapan tahun jang lalu. Orang itu sekarang lagi mengempo putera!.
"Buat apa mengutjap terima kasih?", sahutnja perlahan dan tunduk.
"Kau lolos dari bahaja, ini pun telah membikin hatiku lega". Suara itu tawar terdengarnja. Untuk Lie It, hebat suara itu, tubuhnja menggetar, diatas kudanja, ia terhujung dua kali, hampir ia jatuh. Hian Song melihat itu, ia tertedjut.
"Kau kenapa?", ia tanja.
"Apakah lukamu kambuh?".
"Tidak ", menjahut Lie It.
"Lukaku luka diluar, tidak berarti apa2. Mungkin aku letih sekali, hingga aku perlu beristirahat sebentar ". Hian Song menduga mereka sudah kabur belasan lie djauhnja.
"Baik, mari kita singgah diatas bukit didepan itu ", sahutnja, tangannja menundjuk. Lie It mengangguk. Sambil memondong anaknja, ia lompat turun dari kudanja. Hian Song djuga lompat turun, lalu tanpa bersuara, ia mengikuti mendaki bukit. Sampai diatas, belum lagi si nona berduduk, Hie Bin sudah lari menubruk memeluk padanja.
"Bibiku, kau benar pandai!", anak itu kata.
"Kau bilang kau hendak menolongi kami, benar2 kau telah menolong ...!".
"Apa jang aku bilang mesti terdjadi!", kata Hian Song tertawa.
"Ajah, bibi ini sangat baik!", kata anak itu kepada ajahnja.
"Tjuma ibu agaknja kurang menjukainja. Ketika itu hari bibi membagi makanan padaku, ibu melarang aku menerimanja. Ah, ibu mana ketahui bibi begini baik ? Aku sangat menjukainja !". Lie It tertjengang.
"Kau telah bertemu dengan Tiangsoen Pek?", ia tanja si nona, jang ia awasi.
"Ja ..., aku belum memberi selamat padamu!", kata Hian Song sambil tersenjum. Dimuka nona ini tertawa, didalam hati, ia merasa sangat sedih. Segera iamembajangi pula sinar mata djelus dari Tiangsoen Pek. Ia mentjoba menguasai dirinja. Katanja didalam hatinja.
"Aku mesti mendjaga supaja aku tidak mentjari keruwetan sendiri!".
"Dimana kau bertemu dengan Tiangsoen Pek?", Lie It tanja pula.
"Dikaki gunung Thian-san kita ", Hie Bin mendahului menjahut.
"didalam kemahnja orang Uighur. Ketika itu bibi tidak seperti sekarang ini. Ajah, kau tidak tahu, djusteru itu malam aku ditangkap kedua pengawal Khan ".
"Aku telah mendengar hal itu dari ibumu ", kata Lie It.
"Sekarang kita mengandal pertolongan bibimu maka kita bebas dari malapetaka. Kau masih belum menghaturkan terima kasih ". Anak itu mengerti, dia berlutut dan meng-angguk2 kepada Nona Boe.
"Bibi, terima kasih !", katanja.
"Sampai aku besar tidak nanti aku melupai kau! Sebenarnja paling baik djikalau kau dapat tinggal ber-sama2 kami! Djikalau ibuku mendapat tahu kau jang telah menolongi aku, pasti ia bakal djadi girang dan menjukai kau !". Hian Song tarik anak itu.
"Sungguh satu anak jang tjerdik!", katanja tertawa.
"siapakah namanja?".
"Hie Bin ", Lie It memberi tahu.
"Anak, aku djuga suka padamu!", si nona kata.
"Nanti setelah kau besar baru aku menemui pula padamu ". Anak itu nampak berduka.
"Bibi, adakah kau hendak pergi?", tanjanja. Hian Song mengangguk.
"Benar. Aku mau pergi sekarang!".
"Apakah bibi tidak mau menunggu sampai kau bertemu dengan ibu ?".
"Anak jang baik, aku minta kau sadja jang menjampaikan hormatku kepada ibumu itu! Dapatkah kau mengingatnja ?".
"Habis, apa aku mesti bilang pada ibu? Djikalau ibu ketahui kaulah jang telah menolongi aku, nanti ibu menjesalkan aku sudah tidak minta kau menanti. Djangan kau anggap ibu galak, sebenarnja dia sangat menjintai aku. Kau begitu baik terhadap aku, maka ibu tentunja akan bersjukur ".
"Aku tahu ", kata Hian Song bersenjum.
"Kau bilangi ibumu bahwa bibimu mengharap dia hidup berbahagia, agar segala keinginannja dapat terwudjudkan!". Anak itu mengangguk.
"Ja ..., aku nanti ingat ", sahutnja.
"Eh, ja, bibi, aku lihat kau tertawa tidak wadjar, apakah kau bukannja merasa kurang senang ?".
"Kau menerka keliru!", Hian Song tertawa.
"Aku senang sekali ". Tetapi botjah itu tidak menduga keliru. Lie It telah berdiam sekian lama, hatinja mendjadi sedikit tenang.
"Kalau orang tua lagi berbitjara, anak ketjil tidak boleh tjampur2,"
Katanja. Terus ia tanja si nona.
"Kau djadinja pernah pergi ke Thian-san?".
"Benar", Hian Song membilangi terus-terang.
"Disana aku bertemu adik Pek. Ketika itu si Bin sudah ditjulik. Malam itu adik Pek memakai obat untuk menukar warna kulitnja, baru di pertemuan jang kedua kali aku mengenali dia ".
"Oh ...!", kata Lie It seorang diri. Sekarang baru ia mengerti kenapa waktu ia mengambil keputusan pergi sendiri menolongi anaknja, Tiangsoen Pek nampak berkuatir, rupanja itu disebabkan dia kuatir ia nanti bertemu dengan Hian Song.
"Kalau begitu, untuk menolong si Bin, kau telah menjamar djadi selir Khan?", kata Lie It pula.
"Bagaimana duduknja itu?". Hian Song tuturkan apa jang ia atur dan kerdjakan. Lie It kagum mendengar tjeritera si nona. Girang Hie Bin mendengar sang bibi mempermainkan Khan Turki, dia saban2 tertawa.
"Meski begitu ", kata Hian Song kemudian.
"datangku ke negara Turki ini untuk mendjalankan titahnja bibiku buat mentjari kau, untuk mengadjak kau pulang ".
"Aku tahu itu. Aku tidak mau pulang!".
"Tetapi, kali ini keadaan lain ", Hian Song bilang.
"Bibiku itu telah mengambil keputusan untuk menjerahkan tachta-keradjaan kepada Louw Leng Ong dan kau diminta pulang untuk membantu pangeran itu. Bukankah kau ber-tjita2 supaja turunan sah dari Keradjaan Tong jang tetap memegang tampuk pemerintahan? Sekarang ini negara tetap milik Keluarga Lie, kenapa kau ingin berdiam dinegara asing sampai harimu jang terachir?".
"Selama beberapa tahun ini ludas sudah semangatku ", sahut Lie It menghela napas.
"Sekarang aku tidak perdulikan kaisar she Boe atau she Lie, dua2-nja djuga baik. Tak mau aku terlibat lagi urusan itu. Ah, kau tidak ketahui hatiku. Aku ingin dapat melupakan segala peristiwa dulu itu, dan djuga aku ingin orang tidak tahu akan diriku. Aku tidak mau pulang lagi!". Hian Song berdiam. Ia dapat mengerti hati pangeran ini. Lie It tidak mau pulang bukan sebab urusan siapa mendjadi kaisar, dia hanja ingin menjingkir darinja, menjingkir djuga dari Siangkoan Wan Djie, supaja dia tak terluka pula hatinja.
"Sebenarnja dua hari jang lalu, aku pernah memikir untuk pulang ", Lie It berkata pula.
"Sekarang aku bertemu sama kau dan kau mau pulang, tak usahlah aku turut. Djadi tak usah aku pulang sendiri!".
"Kenapa begitu?", si nona tanja.
"Kau telah ketahui sekongkolnja Boe Sin Soe, kakak sepupumu itu dengan Khan Turki, maka kau sadja jang pulang dan menjampaikannja kepada bibimu itu. Dia pasti bakal mempertjajaimu ". Hian Song berdiam.
"Berpisah tjara begini pun baik ", katanja kemudian.
"Achir2-nja kita bertemu djuga. Melainkan sajang Wan Djie, dia sangat ingin bertemu dengan kautetapi tidak dapat ...". Mendengar disebutnja Wan Djie, hati Lie It berdebaran.
"Bagaimana Wan Djie sekarang?", ia tanja.
"Katanja dia terang bintangnja dan bakal lekas menikah. Benarkah itu?".
"Siapakah jang membilangi kau hal dia itu?".
"Tiangsoen Tay ".
"Oh, kiranja dia pun datang kemari! Apa jang dia bilang bukannja tidak beralasan sama sekali. Hanja Wan Djie dia djusteru pusing karena urusannja itu. Sebenarnja Wan Djie telah memesan kata2 padaku untuk disampaikan kepada kau. Tapi sekarang ini baiklah aku tidak usah menjebutkannja ...", Lie It berduka.
"Tiangsoen Tay tidak dapat ditjela ", ia kata.
"Pada delapan tahun dulu aku telah mendo'akan agar Thian melindungi Wan Djie supaja dia mendapatkan pasangan jang tjotjok dengan hatinja. Tentang aku sendiri, biar bagaimana, aku memandang dia seperti adikku sendiri, semoga dia hidup berbahagia!". Hian Song menghela napas.
"Kau menduga keliru ", katanja.
"Orang dengan siapa Wan Djie dapat menikah bukannja Tiangsoen Tay. Maka itu dia ingin sekali dapat berbitjara dengan kau, agar dapat dia mengambil keputusannja. Tapi urusan ini baiklah kita djangan bitjarakan pula ". Lie It heran.
"Kalau dia bukannja Tiangsoen Tay, habis siapakah ?", ia tanja dalam hatinja.
"Kalau ia tidak menjintai orang itu, kenapa ia berduka sekarang? Ia berhati keras, ia pun pintar dan tjerdas, djikalau ia tidak mau menikah, siapa dapat memaksanja?". Heran Lie It. Sebenarnja ingin ia menanja Hian Song. Tapi ia ingat jang ia telah beristeri dan mempunjai anak, dan Hian Song pula tak sudi me-njebut2-nja pula, terpaksa ia berdiam sadja.
"Baiklah ", kata Hian Song. Sekarang pergi kau tjari adik Pek, aku pun mau pulang ke Tiang-an ". Meski ia berkata begitu, Hian Song pikir mau djuga memberitahukan si pangeran bahwa Tiangsoen Pek telah meninggalkan gunung Thian-san, atau ia mendjadi batal karena tiba2 ia melihat dua orang ber-lari2 keras bagaikan bergeraknja bajangan. Mulanja mereka itu nampak ketjil sekali, hitam belaka, atau dilain saat ia mendjadi terperandjat.
"Pek Yoe Siangdjin dan Thian Ok Toodjin!", serunja terkedjut. Baru kata2 itu habis diutjapkan atau kedua orang itu sudah sampai. Segera terdengar tertawanja Pek Yoe jang berkata.
"Aku mau lihat apakah kamu dapat kabur kelangit!". Mereka itu tertahan dimuka pintu, sia2 mereka menanti, panggilan Khan tetap tidak kundjung tiba. Mereka mengulangi minta bertemu, tetap mereka tidak memperoleh djawaban. Karena itu, mereka djadi heran. Pek Yoe habis sabar, dengan mengandal kepada kedudukannja sebagai Guru Negara, dia paksa membuka pintu, akan bersama Thian Ok nerobos masuk. Achirnja mereka mendjadi heran. Khan dan Maitjan kedapatan sebagai kurban2 totokan dan Lie It bersama selir jang baru tak nampak mata-hidungnja. Dalam kagetnja, mereka lantas menolongi dua orang kurban totokan itu. Baru Khan dapat ditolong, Kakdu muntjul bersama sedjumlah pengawal, maksudnja untuk melindungi djundjungan mereka, maka sekalian sadja mereka menuturkan bagaimana Lie It serta Hian Song dapat lolos dari istana. Khan kaget dan gusar, lantas dia menugaskan Pek Yoe Siangdjin dan Thian Ok Toodjjn menjusul kedua orang buronan itu. Mereka ini tjerdik, mereka menjusul dengan memperhatikan mengikuti tapak kaki kuda, sampai dikaki bukit, Thian Ok lantas mendapat lihat dan mengenali Hian Song sebagai si selir baru, dari itu, mereka mendaki gunung, untuk menjusul terus, hingga achirnja, mereka lantas mengambil sikap mengurung dua orang pelarian itu. Belum berhenti edjekannja Pek Yoe itu, mendadak terdengar suara menggelegar. Tahu2 ada batu besar seperti batu penggilingan menggelinding djatuh dari atas gunung. Sjukur ada suara berisik itu, Thian Ok mendjadi dapat lompat menjingkir. Dia baru bebas, atau turun pula batu jang kedua, disusul dengan jang ketiga, hingga dia mendjadi repot. Tentu sekali, biarnja gagah, imam ini tidak berani melawan batu itu. Itulah Lie It dan Hian Song jang meng-guling2-kan batu, untuk mentjegah Pek Yoe Siangdjin dan Thian Ok Toodjin datang dekat pada mereka. Berisik suara djatuhnja semua batu itu, jang menggelindingnja pun menggempur hantjur pada es, jang petjah dan muntjrat. Karena ini, Thian Ok lantas ber- kaok2. Dia tidak ketimpa batu tetapi terkena peletikan potongan es itu, jang mendatangkan rasa sakit, hingga dia kewalahan terkena belasan kali. Pek Yoe dapat membebaskan diri, dia bukan mendamprat, dia djusteru tertawa besar dan berkata njaring.
"Kamu menggunai batu! Dapatkah kamu mentjegah aku!". Lantas pendeta ini men-ngibas2 dengan djubahnja jang gerombongan. Hebat djubahnja itu, potongan es bisa disampok mental, sedang setiap batu jang menimpa kearahnja, sambil berkelit, ia tolak dengan tangannja, membikin batu menggelinding disampingnja. Sembari berbuat begitu, ia mendaki terus, ilmu ringan tubuhnja mahir sekali. Lie It dan Hian Song terkedjut menjaksikan liehaynja musuh itu, apa pula setelah tiba diatas, Pek Yoe lantas menjerang mereka dengan dia melompat sambil mementang kedua tangannja, untukmenungkrap dengan kedua djubahnja jang lebar itu. Sembari melompat itu, Pek Yoe Siangdjin tertawa berkakak. Dia rupanja pertjaja betul jang dia bakal berhasil dengan serangan jang dahsjat ini. Tepat dengan serangannja itu, disana tertampak berkelebatnja sinar pedang jang berwarna hidjau, disusul dengan seruannja Nona Boe. Hian Song tidak mau mengasikan dirinja ditungkrap lawan, dia melompat, kakinja mendjedjak udjung djubah pendeta itu, pedangnja sekalian menjambar kekepala gundul. Itulah tipu pedang "Ajam emas berebut gaba". Dalam penjerangannja ini, Pek Yoe Siangdjin menggunai tenaganja lima bagian. Ia mau mentaati titah Khan, untuk kedua orang itu ditangkap hidup. Tapi ini djusteru jang membuatnja gagal. Ia telah tidak perhitungkan pedangnja Lie It pedang mustika dari kaisar. Pedang itu dapat menembuskan djubahnja. Sedang Nona Boe mahir sekali ilmu enteng tubuhnja, hingga dia dapat bergerak sangat gesit dan lintjah. Sambil menolong diri, si nona membalas menjerang. Kaget djuga Pek Yoe melihat pedang si nona menjambar ke kepalanja, dengan sebat ia mengangkat sebelah tangannja, untuk menjentil pedang itu, maka disitu terdengarlah satu suara njaring, dan pedang kena dibikin mental. Hian Song terkedjut. Hampir pedang itu terlepas dari tjekalannja. Untuk menjelamatkan diri, ia lompat berdjumpalitan dengan tipu silatnja "Terbalik didalam mega", hingga ia dapat mendjauhkan diri dua tombak. Untuk menjentil itu, Pek Yoe menggunai tudjuh bagian tenaganja. Kesudahannja ia mendjadi heran. Pedang si nona tidak terlepas, si nona sendiri lolos dari bahaja. Ia djadi berkata didalam hatinja.
"Menurut katanja Thian Ok, botjah wanita ini muridnja Yoe Tan Sin-nie, agaknja dia terlebih liehay daripada Yang Thay Hoa ". Terus dia kata pada nona itu .
"Botjah, ilmu pedangmu tak ada ketjelaannja. Sajang gurumu sudah menutup mata, djikalau tidak tentulah aku bakal tjari padanja untuk men-tjoba2 kepandaiannja itu !". Hian Song tertawa dingin, dia berkata.
"Itu tandanja untungmu bagus ! Djikalau guruku masih ada, mana dapat dia membiarkan kau melakukan kedjahatanmu ini!".
"Anak muda, kau kurang adjar!", bentak Pek Yoe gusar.
"Sekarang kau keluarkan kepandaian gurumu, mari menjambut lagi dua djurusku!". Kembali si pendeta menggeraki djubahnja, hingga djubah itu mengasi dengar suara anginnja. Gerakan djubah pun hendak menutup djalan kabur si nona. Lie It dan Hian Song bekerdja sama menentang pendeta itu tapi segera mereka merasa bahwa lawan mereka berat sekali. Saking bekerdja keras, napas mereka rasanja sesak. Si nona masih mending, tidak demikian dengan Lie It, jang baru habis terluka. Ia mendapatkan kepalanja pusing dan matanja mulai kabur. Saking kaget ia kata dalam hatinja.
"Aku tidak sangka disini aku bakal mati bersama Hian Song ...". Ketika itu, karena tanpa rintangan lagi, Thian Ok Toodjin djuga berhasil sampai diatas. Ia tdak pergi membantui Pek Yoe Siangdjin, karena itu tidak ada perlunja, pendeta itu tjukup melajani sendiri kedua musuhnja. Ia mau tjari anaknja Lie It, jang lari bersembunji dalam rimbunan rumput dan pepohonan didekat mereka.
"Botjah bernjali besar!", ia kata dengan tertawa aneh.
"kenapa kau ber-lari2 ? Bukankah didalam istana ada banjak makanan dan tempatnja indah? Bukankah disana ada taman permai dimana kau dapat ber-main2 ? Kenapa kau buron? Mari turut aku pulang!".
"Aku tidak mau pulang! Aku tidak mau pulang", Hie Bin mendjawab berseru.
"Aku mau ikut ajahku!".
"Ajahmu djuga mau kembali kepada Khan jang agung!", Thian Ok berkata, membudjuk.
"Ha ..., kau masih bersembunji? Djikalau kau tidak dengan baik2 menurut kata2-ku, nanti aku bekuk padamu!". Lie It mendengar anaknja lagi dipermainkan, ia kaget berbareng gusar, tetapi ia lagi dirintangi Pek Yoe Siangdjin, tidak dapat ia melepaskan diri guna menolongi anaknja itu. Maka ia mendjadi masgul dan berkuatir. Djusteru itu, ia mendjadi ajal gerakannja, tatkala djubahnja si pendeta menjambar, ia rasakan dadanja sesak, sampai sukar ia bernapas.
"Ha ... ha ... !", tertawa Pek Yoe seraja dia mengulur tangannja, guna mentjekuk orang jang tengah tak berdaja itu. Selagi Lie It terantjam bahaja tertawan hidup2 itu, dari tempat sedikit djauh terdengar seruan jang keras dan pandjang, mendengar mana semangatnja Hian Song terbangun, segera ia menjerang hebat, untuk sekalian menolongi Lie It. Pek Yoe terkedjut mendengar seruan itu.
"Kiranja mereka ini mempunjai kawan jang liehay jang bersembunji didalam rimba ", pikirnja. Ia tahu, dari seruan itu, orang jang berseru itu mempunjai tenaga- dalam jang tak lemah. Tapi ia tidak takut, ia pertjaja Thian Ok masih dapat melajani orang itu. Thian Ok tengah selandap-selundup diantara semak dan gerumbulan pohon lebat mentjari Hie Bin, jang berlaku tjerdik, jang tidak lagi mengasi dengar suaranja, hanja mengumpat terus sambil mendekam, ketika dia mendengar seruan itu, jang membuatnja terkedjut. Dia lantas menoleh kearah rimba, dari mana suara itu datang. Djusteru tengah dia mengawasi itu, mendadakdia mendegar bentakan.
"Tidak tahu malu menghina botjah tjilik!". Lantas dia mendjadi kaget, sebab didepan matanja berkelebat sinar kuning ke-emas2-an. Itulah djarum emas dari Heehouw Kian, maka sebat dia mengebut, untuk menangkis. Dia kenali djarum itu kepunjaan siapa, dia menginsjafi bahajanja, dari itu, gentarlah hatinja. Kesudahannja itu membuatnja kaget. Meskipun kebutannja liehay, toh ada belasan lembar jang putus terkena djarum. Sjukur dia bebas dari tusukan djarum. Karena ini, tidak dapat dia mentjari terus pada Hie Bin, mesti dia menghadapi musuh jang berat itu. Dia lompat keluar dari gerumbulan, lantas dia berdiri dengan memasang matanja, kebutannja dilintangi didepan dadanja. Segera ternjata, Heehouw Kian bukan datang sendiri hanja berdua dengan seorang laki usia pertengahan, jang imam ini kenali sebagai kakak seperguruannja Boe Hian Song, jalah Pwee Siok Touw. Heehouw Kian tertawa dan berkata.
"Ketika kita bertempur didalam istana Khan, kita belum sempat memperlihatkan kepandaian kita! Maka mari ...! Mari aku si orang tua beladjar kenal pula dengan ilmu-mu jang liehay, Hoe Koet Sin Tjiang!". Pwee Siok Touw mendapat lihat adik seperguruannja terantjam bahaja, tanpa banjak omong lagi ia melompat kearah Pek Yoe Siangdjin, untuk menjerang dengan tikaman ke punggung si pendeta, mentjari djalan darah hong-hoe. Pek Yoe melihat datangnja serangan, tanpa memutar tubuh, ia menangkis ke belakang. Tepat tangkisan itu, pedangnja Siok Touw kena dibikin miring. Tapi tikaman itu liehay, meski miring, udjung pedang meluntjur terus. Mau atau tidak, terpaksa pendeta ini memutar tubuh, guna melajani depan berdepan. Ia lantas dapat kenjataan, orang ini lebih liehay daripada Hian Song. Siok Touw tidak berhenti dengan serangannja itu, ia mengulangi untuk kedua kalinja, terus untuk ketiga kalinja, setelah mana pedangnja kena disampok djubah si pendeta, sampai pedangnja mental balik, baru ia mendjadi terperandjat. Pikirnja . ,,Pantas soehoe menganggap Pek Yoe sebagai lawan liehay dan menjesal tak pergi menjingkirkannja, kiranja dia benar liehay sekali". Dengan datangnja Siok Touw, Hian Song mendjadi dapat bernapas, djuga Lie It, jang lolos dari bahaja, tetapi mereka tidak mau berhenti, mereka madju terus, untuk mengepung bertiga. Yoe Tan Sin-nie hidup menjendiri diatas gunung Thian-san untuk beberapa tahun, selama itu ia telah mejakini ilmu pedangnja, jang ia tjiptakan dari pelbagai ilmu silat pedang lain partai jang ia kumpulkan, kepandaian itu ia wariskan pada Siok Touw, hingga ia ini tinggal membutuhkan waktu latihannja sadja. Djuga Hian Song, setelah mendapatkan kitab pedang gurunja, telah memperoleh kemadjuan pesat, dari sang soeheng, kakak seperguruan, ia tjuma kalah sedikit. Maka itu sekarang, dengan dibantu Lie It, jang meskipun habis terluka, dapat mereka melajani dengan baik. Pek Yoe boleh gagah tetapi tidak dapat ia merebut kemenangan tjepat. Hian Song girang berbareng heran mendapatkan bantuan kakak seperguruannja ini. Ia berpikir.
"Soeheng telah terlukakan Thian Ok, untuk berobat setelah berpisah dari aku, ia membutuhkan waktu sedikitnja satu bulan, kenapa sekarang, belum lewat dua puluh hari, ia sudah sembuh. Kenapa, selagi ia mesti beristirahat, ia djusteru datang kemari? Kenapa ia nampaknja mendjadi lebih liehay? Kenapa ia berada bersama Heehouw Kian?". Ia lagi berkelahi, tidak sempat ia berpikir banjak. Maka ia terus berkelahi dengan keras. Pek Yoe djumawa, dia bangga akan kegagahannja, tak puas dia dipermainkan anak2 muda, maka itu, dia menggunai djubahnja dengan baik sekali, hingga suara anginnja berdeburan. Siok Touw dan Hian Song bekerdja sama, Lie It membantu dengan pedang mustikanja. Pangeran ini berkelahi sambil melindungi diri, karena ia ketahui liehaynja si pendeta. Mereka dapat melawan sampai enam puluh djurus, hingga Pek Yoe mendjadi heran dan penasaran. Ia kata dalam hatinja.
"Muridnja Yoe Tan begini liehay, djikalau dia masih hidup, mungkin aku bukan lawannja. Biar bagaimana, pendeta ini terlebih liehay, maka itu, mendekati djurus jang ke-seratus, dia lantas mendjadi terlebih unggul. Dengan djubahnja, dia seperti dapat menggulung ketiga pedang pengepung2- nja itu. Diantara tiga kawan itu, Siok Touw paling liehay, tetapi ia pun mulai gentar hatinja, pedangnja, umpama-kata, seperti tidak mau menuruti kehendak hatinja. Lie It, jang mengandalkan pedangnja, tjuma dapat mendjaga diri sadja. Dilain rombongan, Heehouw Kian menang diatas angin, tidak perduli Thian Ok liehay kebutannja dan liehay djuga tangannja, karena dengan kepandaiannja Hoe Koet Sin Tjiang, bila dia dapat menghadjar, dia bisa merusak tulang2 lawannja. Setiap lembar kebutannja, jang dari kawat halus, dapat dipakai menotok djalan darah musuh. Tangannja jang liehay itu, djuga dapat mengeluarkan bau amis jang memuakkan. Meski begitu, Heehouw Kian tetap melajani dia dengan sepasang tangan kosong. Dengan sentilan It Tjie Sian Kang, ia membikin lembaran2 kebutan terpental, sedangdengan totokannja, ia membikin musuhnja mesti waspada. Delapan tahun lamanja Thian Ok memahamkan Hoe Koet Sin Tjiang, sekarang hampir seratus djurus, dia tidak dapat menggunakannja. Lawannja itu tidak terpengaruhkan bau amisnja itu. Dia mendjadi gentar sebab dia tahu, dalam tenaga-dalam, dia kalah dari lawannja lni. Demikian, selagi Thian Ok terdesak Heehouw Kian, Lie it bertiga terkurung djubahnja Pek Yoe Siangdjin, dengan terpaksa mereka main mundur. Sjukur untuk mereka, disaat mereka terancam bahaja maut itu, kembali terdengar seruan jang njaring dan lama, disusul dengan tertawa dan kata-kata ini.
"Aku tidak sangka bahwa disini aku menjaksikan ilmu pedang Yoe Tan Sin-nie! Sungguh indah, sungguh indah!". Habis itu muntjullah orangnja, jalah Hoe Poet Gie. Pek Yoe heran kenapa orang tiba2 datang berkawan. Belum sempat ia mengambil sesuatu tindakan, Hoe Poet Gie sudah menudingnja sambil mengedjek.
"Ketjewa kau berkulit muka begini tebal! Djubahmu sudah berliang tudjuh, apakah kau masih enak2-an berkelahi terus?". Memang Pek Yoe menang unggul tetapi meski demikian, tudjuh kali djubahnja kena ditoblosi pedangnja ketiga lawannja itu. Hoe Poet Gie baru sadja sampai tetapi ia telah melihat ketudjuh lubang itu, maka ia lantas menggoda. Pek Yoe malu dan mendongkol. Ia dapat membade apa jang sebenarnja hendak dikatakan Poet Gie. Orang she Hoe ini seperti mau bilang.
"Tjuma sebab mengandalkan tenaga-dalam, kau menghina anak2 muda. Tjoba kau mengandalkan pedang, pasti siang2 kau sudah kalah!". Mana dapat ia menelan edjekan ini sedang semendjak meninggalnja Yoe Tan Sin-nie, ia telah menganggap dirinja djago nomor satu. Tapi dapat ia menguasai diri, maka ia tertawa dingin dan berkata.
"Kalau begitu baiklah kau si mahasiswa rudin sadja jang menggantikan mereka!". Hoe Poet Gie menerima baik tantangan itu, sembari meloloskan sepasang sepatunja, ia tertawa dan berkata.
"Kita memang belum bertempur hingga puas maka sekarang maulah aku melajani kau satu kali lagi!". Pek Yoe gusar melihat orang mau menggunai sepatu sebagai sendjata.
"Aku menantang kau satu lawan satu, itu tandanja aku memandang mata padamu!", dia kata sengit.
"Kenapa kau sebaliknja menghina aku?".
"Mana aku berani? Mana aku berani?", sahut Poet Gie tertawa.
"Aku si orang she Hoe jang tua tidak sanggup lantas mendapatkan sendjata jang tjotjok untukku, maka itu aku turut tjonto kau sadja, aku mengambil sekenanja barang jang berada ditubuhku! Aku tidak memandang enteng kepada djubahmu, dari itu mana dapat kau memandang ketjil sepatuku?". Panas hatinja Pek Yoe, jang biasa berkepala besar.
"Si lidah tadjam, djangan kau sesalkan aku keterlaluan!", dia berteriak, lantas dia menjerang dengan djubahnja. Hoe Poet Gie masih tertawa ketika ia kata.
"Benar2- kah kau berani tidak melihat mata pada sepatuku? Baiklah, kau lihat ". Selagi djubah Pek Yoe menungkrab, sepatu Poet Gie menangkis. Maka bentroklah kedua sendjata jang istimewa itu, suaranja terdengar seperti besi mengenakan kulit kerbau. Kedua pihak mengandalkan tenaga-dalamnja masing2, bentrokan itu membuat mereka sama2 kaget dan telapakan mereka sama2 njer2-an, diluar kehendak mereka, sama2 djuga mereka mundur tiga tindak. Hoe Poet Gie dojan bergurau, dia tertawa. Dia lantas menanja.
"Bagaimana? Bukankah sepatuku tak lebih lemah daripada djubahmu?". Kata2 ini disusul dengan mentjelat madjunja tubuhnja, untuk menjerang. Sepasang sepatu itu bergerak bagaikan pedang. Pek Yoe terkedjut djuga. Sungguh ia tidak sangka sepatu lawan demikian liehay. Maka ia djadi berkata dalam hati-ketjilnja.
"Pantas si mahasiswa rudin ini besar mulutnja, dia benar2 mempunjai kepandaian jang berarti!". Karena ini, ia djadi tidak berani memandang enteng terlebih djauh. Terpaksa ia melajani setelah memutar tjambuknja, untuk dibikin terlilit sebagai sebatang toja. Dengan satu tangkisannja, ia mempunahkan serangan orang she Hoe itu. Djubah atau ka-see si pendeta, dan sepatunja Hoe Poet Gie, dua2-nja benda biasa sadja, akan tetapi ditangan orang2 liehay sebagai mereka itu, dua2-nja mendjadi gegaman jang berbahaja. Pula, mereka itu telah berkelahi dengan sangat tjepat, hingga Hian Song hampir sukar membedakan mana Pek Yoe dan mana Poet Gie. Apa jang terlihat adalah sinar djubah jang merah jang bagaikan membungkus sepasang sepatu rumput. Didalam tenaga-dalam, Pek Yoe Siangdjin menang daripada Hoe Poet Gie, akan tetapi barusan ia telah mempergunakan tenaganja terhadap Hian Song bertiga, ia letih, karenanja sekarang mereka djadi berimbang. Setelah menonton sekian lama, sambil tertawa Pwee Siok Touw kata pada Hian Song.
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku rasa, sebelum lewat seribu djurus, sukar akan diketahui siapa diantara mereka ini jang terlebih unggul! Pek Yoe si keledai botak, kali ini dia menemui tandingannja!". Hian Song pertjaja keterangan soeheng itu, maka sekarang, sempatlah ia berbitjara, menanja tentang si soeheng.
"Sebenarnja tidak dapat aku sembuh begini tjepat", Siok Touw memberi keterangan.
"Sjukur sekali aku bertemu Heehouw Tjianpwee, jang menolongaku dengan menusuk dengan djarumnja hingga sisa2 ratjun dapat disingkirkan. Disamping itu, aku telah diberi makan obat ho-sioe-ouw jang umurnja seribu tahun. Demikian, dari menghadapi malapetaka, aku mendjadi memperoleh keberuntungan!".
"Djadi Heehouw Tjianpwee, pun tiba di Thian-san?".
"Ja ..., tiga hari setelah keberangkatanmu. Dia datang ber-sama2 Kok Sin Ong dan Hoe Poet Gie ". Heehouw Kian tidak mendapat tahu Yoe Tan Sin-nie sudah berpulang ke Dunia Barat, dia hanja mendengar setelah penjelidikannja banjak tahun bahwa pendeta wanita itu tinggal menjendiri di gunung Thian-san, maka dia mengadjak Kok Sin Ong dan Hoe Poet Gie untuk mendjenguk. Dia berhasil menemui Pwee Siok Touw, muridnja si bhiksuni. Baru sekarang dia mendapat tahu orang telah menutup mata, bahkan sekalian dia mendapat ketahui djuga hal-ichwalnja Hian Song, dan bahwa Lie It, untuk menolong anaknja, sudah pergi ke kotaradja Khan Turki. Kok Sin Ong menganggap Lie It seperti anak atau keponakan, tidak dapat ia membiarkan sadja. Heehouw Kian djuga ingin menjusul Hian Song jang katanja menjimpan warisan untuknja. Hoe Poet Gie suka turut mereka, karena ia ingin menjaksikan pertandingan orang2 gagah. Maka Siok Touw mengadjak mereka pergi bersama. Hanja, ketika dibikin pertandingan itu, Siok Touw tidak turut ambil bagian, dia berdiam dihotelnja.
"Bagaimana sebabnja kamu mengetahui aku menghadapi bahaja?", Hian Song tanja kemudian.
"Bukankah itu gampang sadja?", sahut Siok Touw tertawa.
"Ketika Heehouw Tjianpwee melihat kau, dia lantas mengenali kau sebagai selir Khan jang menjamar, jang memakai obat menjalin warna kulit muka, bahkan dia dapat menduga, penjamaranmu itu tjuma dapat bertahan se-waktu2 sadja, maka dia lantas mengatur untuk kami berempat bersiap untuk menolongimu. Isjarat kami jalah seruan. Siapa paling dulu menemui kau, dia mesti mengasi dengar seruannja, sebagai tanda untuk jang lainnja segera datang berkumpul. Maka itu aku rasa Kok Sin Ong bakal segera sampai disini ". Baru sekarang Hian Song djelas segala apa. Kapan ia ingat lelakonnja Oet-tie Tjiong dengan gurunja, ia mendjadi terharu, ia menghela napas. Ia lantas memandang kearah Thian Ok Toodjin dan Heehouw Kian. Ia mendapatkan pertempuran diantara mereka itu hebat sekali. Tangannja Thian Ok menjiarkan bau ratjunnja jang amis, jang nampak bergumpal bagaikan kabut. Siok Touw dan ia terpisah tjukup djauh dari mereka itu tetapi bau itu sampai djuga ke hidungnja masing2. Keduanja mendjadi heran dan kagum untuk liehaynja imam itu. Siok Touw merasa ngeri sendirinja kapan ia ingat peristiwa itu hari ia melajani Thian Ok. Katanja dalam hatinja.
"Sjukur soe-moay menggunai akal memakai soehoe untuk me-nakut2-i dia, djikalau aku bentrok tangan dengannja, tentu tjelakalah aku ". Hian Song menonton dengan perhatian. Thian Ok menjerang hebat, saban2 dia berseru. Heehouw Kian main mundur, selang dari batok kepalanja terlihat mengepulnja uap putih. Ia djadi berkuatir untuk orang tua itu. Maka ia kata pada Siok Touw.
"Soeheng, mari kita hadjar dia! Terhadap manusia sebagai imam ini tak usahlah kita pakai lagi aturan kaum Kang-ouw!". Kakak seperguruannja itu tertawa.
"Tjukup Heehouw Tjianpwee seorang diri!", katanja.
"Tetapi ...", kata Hian Song.
"tadi adalah Heehouw Tjianpwee jang menang unggul, sekarang ialah jang berbalik terdesak Thian Ok! Lihat, bagaimana imam itu merangsak, aku kuatir Heehouw Tjianpwee tidak dapat bertahan lama ".
"Kau keliru melihat, soemoay!", Siok Touw tertawa pula.
"Aku pertjaja, tak usah sampai sepuluh djurus lagi, Heehouw Tjianpwee bakal dapat merebut kemenangannja!". Hian Song mengawasi terus. Ia mau pertjaja soehengnja tidak omong melantur. Ia sekarang mendapat lihat sinar mata tadjam dari Heehouw Kian, dan sekalipun dia mundur terus, djago tua itu tidak katjau gerakan tangan dan kakinja. Baru sekarang ia berlega hati. Thian Ok merasa sulit merobohkan Heehouw Kian, jang menang tenaga-dalam. Ia tahu, lama2 ia bakal letih sendirinja. Karena ini, ia mengambil keputusan pendek. Lantas ia mengerahkan tenaganja ditangan, terus ia menjerang dengan hebat sekali. Ia mau mengandal Hoe Koet Sin Tjiang jang liehay itu. Heehouw Kian melihat orang mendjadi nekad, ia tidak mau melajani dengan sama kerasnja. Maka ia main mundur, untuk sekalian bersiasat. Ia mau menanti sampai orang telah mengurbankan tangannja. Kapan sang waktu sudah sampai, mendadak ia berseru.
"Thian Ok, telah habis tenaga dan kepandaianmu, apakah kau masih tidak sudi menjerah?". Lantas ia mulai melakukan penjerangan pembalasan dengan tenaga jang dikerahkan, senantiasa itu ditjampur dengan sentilan2 It Tjie Sian Kang. Dengan lantas keadaan mendjadi terbalik pula. Thian Ok segera kena didesak, hingga dia mendjadi repot. Dia kelabakan.
"Dengan tjara begini kau merebut kemenangan, meski aku kalah, aku tidak puas!", kata imam litjik ini. Heehouw Kian tertawa.
"Habis dengan tjara apa baru kau puas?", ia tanja.
"Beranikah kau menjambut aku keras dengan keras?", si imam balik menanja.
"Kenapa aku tidak berani? Bahkanaku bersedia diserang tanpa membalas! Beranikah kau? Hanja, djikalau dengan seranganmu itu kau tidak dapat merampas djiwaku, kau sendiri harus menjerahkan djiwamu! Akur?". Thian Ok tertawa bergelak.
"Aku tidak pertjaja dikolong langit ini ada orang jang sanggup menerima serangan Hoe Koet Sin Tjiang dari aku!", katanja.
"Djikalau karena aku gagal aku mesti membajar dengan djiwaku, aku puas! Hanjalah tua-bangka she Heehouw, djikalau kau mampus, djangan nanti kau sesalkan aku!", Heehouw Kian djuga tertawa.
"Itulah pasti! Tak usah kau banjak omong! Nah, kau pukullah ". Dengan menggendong tangannja, tabib liehay ini lantas memasang dadanja. Lie It beristirahat sambil memeramkan matanja ketika ia mendengar pembitjaraan diantara Thian Ok Toodjin dan Heehouw Kian itu, ia terkedjut dan lantas membuka kedua matanja. Ia berpikir.
"Saat delapan tahun dulu, Hoe Koet Sin Tjiang dari Thian Ok ini belum terlatih sempurna, ketika itu hari Heehouw Tjianpwee kena diserang dia, meski tjianpwee memakai badju lapis, dia masih perlu waktu banjak hari untuk beristirahat merawat diri, sekarang Thian Ok sudah mahir ilmu pukulannja itu, kenapa tjianpwee masih begini berani melawannja?". Tidak sempat Lie It berpikir lama, ia sudah lantas dengar seruannja si imam, jang membarenginja dengan serangannja. Ia mendjadi kaget, begitu djuga Hian Song. Nona ini pun berkuatir. Suara "Buk ...!", keras sekali segera terdengar, lalu terlihat tubuhnja Thian Ok Toodjin membal naik sendirinja dan berdjumpalitan. Menjaksikan itu Siok Touw jang ada seorang ahli mendjadi kagum. Ia tahu Thian Ok telah dilukai Heehouw Kian, dilukai dengan tenaga-balik, tetapi si imam masih dapat membelai diri dengan djumpalitannja itu. Itulah bukti dari ilmu ringan tubuh jang mahir. Tapi baru ia berpikir demikian, atau lantas ia kena dibikin heran sendirinja. Setelah berdjumpalitan itu, tubuh Thian Ok turun melajang seperti lajangan putus, djatuhnja langsung, ketika tubuh itu tiba di tanah, dia mengasi dengar djeritan jang menjajatkan hati, jang berkumandang diudara. Djeritan itu dapat membangkitkan bulu roma. Sebaliknja, apabila ia melihat Heehouw Kian, ia mendapatkan si tabib berdiri tegak bagaikan tihang pelatok, mukanja putjat seperti patung, hingga romannja itu mendatangkan rasa takut apalagi selama delapan tahun Thian Ok melatih terus Hoe Koet Sin Tjiang hingga ia berhasil memahirkannja, djuga Heehouw Kian mejakini terus ilmu menghalau ratjun. Ia pula dengan diam2 sudah menelan Kouw Pok Pwee Goan Tan, pel menguatkan tubuh, obat istimewa guna melawan pukulan beratjun dari si imam, sedangkan didada dan punggungnja ia telah memasang lapis katja pembela diri, lapisan mana terlebih tebal daripada lapisan kulit dulu-hari itu. Ini jang menjebabkan ia berani menjambut tantangan Thian Ok itu, apalagi ia tahu benar, mengenai tenaga dalam, ia menangkan si imam baru sadja berkelahi ratusan djurus hingga tenaganja masih kurang banjak. Thian Ok masih hendak menolong mukanja. Ketika ia terhadjar mundur oleh tenaga dalam Heehouw Kian, sekalian sadja ia membal dan djumpalitan, tetapi tenaganja habis segera, habis berdjumpalitan itu, habis djuga djiwa nahasnja, maka ketika ia djatuh, ia djatuhnja langsung, djatuh terus mati sebab rusak sudah semua anggauta dalam dari tubuhnja. Hingga tidak dapat ia terus melarikan diri. Pek Yoe Siangdjin berkelahi saban2 memasang mata dan telinganja. Ia telah mendengar pembitjaraan diantara Thian Ok sekawan dan Heehouw Kian, si tabib jang mendjadi lawan mereka. Ia merasa tidak enak, ingin ia mentjegah kawannja itu, tetapi terlambat. Ia melihat, Thian Ok sudah melakukan penjerangannja. Akan tetapi ia masih berseru, sambil meninggalkan Hoe Poet Gie, ia lompat kepada Heehouw Kian. Hoe Poet Gie djuga mengetahui hal Heehouw Kian dan Thian Ok itu,' dan ia pertjaja sahabatnja pun terluka, maka itu, melihat sepak terdjangnja Pek Yoe, ia lantas lompat, untuk menjusul. Ia bukan lagi mentjegah, ia menjerang dengan sepatu rumputnja. Pek Yoe mendapat tahu ia diserang, ia berseru seraja djubahnja disampokkan ke belakang, untuk menangkis, maka beradulah djubah dan sepatu, sampai sebuah sepatu terhadjar djatuh. Hoe Poet Gie pun melompat tinggi, kaki kirinja dipakai mendjedjak kaki kanan, guna menjingkir dari djubah jang liehay itu, jang terlilit bundar dan pandjang mirip toja.
"Bagus!", ia berseru.
"Mari sambut lagi satu sepatuku ini!". Kali ini serangan dilakukan dengan tenaga jang dikerahkan benar2. Pek Yoe menangkis pula. Sekarang sepatu tertangkis lengan, maka hantjur rusaklah sepatu itu, djatuh ke tanah. Akibatnja itu, si pendeta merasakan lengannja sakit. Beradu dengan sepatu, lengan itu mendjadi bengkak dan merah!. Segera djuga Pek Yoe Siangdjin datang dekat pada Heehouw Kian. Selama itu, walaupun ada rintangannja Hoe Poet Gie, dia madju terus.
"Orang tua she Heehouw, serahkan djiwamu!", dia berseru. Tapi karena dia tahu Hoe Poet Gie pasti akan merintangi terlebih djauh, dia memasang mata. Tiba2 sadja, dua sinar pedang berkelebat darisampingnja Heehouw Kian. Inilah Pek Yoe tidak sangka. Itulah serangan pedang dari Pwee Siok Touw dan Boe Hian Song, jang hendak melindungi si tabib pandai. Karena Hoe Poet Gie djuga menjerang, Pek Yoe mendjadi diserang tiga orang berbareng. Dia mengetahui itu, dia gusar, dia berseru njaring, tubuhnja mentjelat, djubahnja mengibas! Siok Touw dan Hian Song tidak dapat bertahan, keduanja terguling roboh. Pek Yoe terus mentjelat djauh, sampai lima atau enam tombak, dari sana terdengar suaranja jang keras dan bernada penasaran.
"Tjepat atau lambat, aku si pendeta tua nanti merampas djiwa kamu!". Lalu dengan didahului suara "Hmmm!"
Tanda menghina, dia melompat pergi, hingga sekedjab sadja lenjaplah ia dari pandangan mata.
Bentrokan barusan itu, walaupun hanja sekedjab, telah menundjuk bahaja hebat.
Hian Song dan Siok Touw mau menolongi Heehouw Kian, mereka menjerang dengan tipu silat mereka jang luar biasa, tikaman mereka menudju ke pelbagai djalan darah jang membahajakan.
Sjukur untuk Pek Yoe, dia liehay tenaga dalamnja, karena mana, dia tjuma berkurban djubahnja itu, jang mendjadi bolong disana-sini, sedang terlebih dulu daripada itu, badju sutji itu memang sudah mendapatkan beberapa lubang.
Untuk selandjutnja, tidak dapat djubah itu dipakai lagi.
Pek Yoe mendjadi djeri.
Dia mengerti, Hoe Poet Gie dibantu Siok Touw dan Hian Song bukanlah musuh2 jang dapat dilawan, maka malu atau tidak, meskipun sangat mendongkol dan penasaran, dia lantas mengangkat kaki, hingga dia melupakan Thian Ok si kawan!.
Hian Song dan Siok Touw lantas merajap bangun.
Sjukur mereka tjuma terpelanting, mereka tidak mendapat luka parah.
Dengan lantas mereka menghampirkan Heehouw Kian.
Tabib itu menjeringai, lalu mendadak dia muntah darah.
"Bagaimana, tjianpwee?", tanja si nona, berkuatir.
"Sjukur, sjukur, si imam tidak sampai merampas djiwaku!", sahut orang jang ditanja. Habis muntah itu, ia dapat tertawa. Lantas dengan sebat ia mengeluarkan tudjuh batang djarumnja, seorang diri ia menusuk ditudjuh djalan darahnja, jalah yang-leng, wie-too, kwie-tjhong, giok-tjoan, thian-kwat, kwan-goan dan beng- boen. Ketika selang beberapa menit ia tjabut semua djarumnja, setiap djarum emas itu berubah warnanja mendjadi hitam-gelap, lenjap tjahajanja. Maka kagetlah semua orang.
"Dengan latihan dari delapan tahun aku melawan Hoe Koet Sin Tjiang ", ia berkata kemudian.
"Aku tidak menjangka hebatnja pukulan Thian Ok itu berada diluar dugaanku, maka sjukurlah aku masih dapat melindungi tulang2-ku jang sudah tua ini. Mulai saat ini aku tidak mau lagi muntjul dalam dunia Kang- ouw!". Hoe Poet Gie berduka. Ia mengerti, meski dia tidak kurang suatu apa, sahabat ini telah men-sia2-kan tenaga-dalamnja jang terlatih sepuluh tahun.
"Kau berhasil menjingkirkan orang djahat, pengurbananmu sangat berharga ", ia menghibur.
"Tjelaka adalah aku si Hoe tua, sebab si keledai gundul sudah merusak sepasang sepatuku dan untuk itu aku tidak dapat menuntut balas. Aku malu sekali! Sjukurlah kedua keponakan sudah merusak hebat djubah dia, njata aku merasa terhibur djuga sedikit ".
"Lootjianpwee ", Hian Song berkata.
"guruku meninggalkan sebuah kotak untukmu. Inilah dia ", Nona ini menjerahkan barang jang ia sebutkan itu. Heehouw Kian menjambuti, dengan tjepat ia buka kotak itu, jang berisi beberapa tangkai soat-lian atau teratai saldju, serta beberapa rupa obat jang langka. Itulah semua obat jang ia pernah memberitahukan Yoe Tan Sin- nie bahwa ia belum berhasil mentjarinja sampai dapat. Siapa tahu, sekarang si biksuni telah berhasil mendapatkannja. Ia terharu hingga ia mengalirkan air- mata. Ia kata didalam hatinja.
"Meski dimasa hidupnja Keng Hiang tidak menerima baik lamaranku tetapi disaat adjalnja dia masih tidak melupakan aku sebagai sahabatnja. Maka itu, kenapa aku bolehnja tak puas?". Keng Hiang itu namanja Yoe Tan Sin-nie sebelum dia mendjadi pendeta wanita. Melihat sahabatnja menangis, Hoe Poet Gie tertawa.
"Eh, orang tua, buat apakah kau menangis?", katanja menggoda.
"Bukankah soat-lian dari Thian-san itu obat untuk membunuh beratus matjam ratjun? Itulah obat jang djauh lebih mudjarab daripada obat buatan sendiri. Dengan adanja setangkai soat-lian sadja tak usahlah kau rugi latihan sepuluh tahun!". Heehouw Kian tidak melajani sahabat jang djail itu, hanja ia berkata pada Hian Song dan Siok Touw.
"Sama sekali aku tidak me-njangka2 bahwa setelah guru kamu menutup mata, aku masih dapat menerima budinja ini. Memang gurumu itu mengharap aku dapat meningkatkan ilmu pengobatanku, hanja mulai saat ini, kendati djuga aku dapat memulihkan tenaga-dalamku, aku tidak mau lagi hidup dalam pergaulan dunia Kang-ouw. Siok Touw, djikalau kau tidak menampik aku, suka aku tinggal bertetangga denganmu, untuk mendjagai kuburan gurumu, guna aku melewatkan sang hari dan bulan, untuk aku dapat menulis kitab ilmu pengobatanku ". Girang Siok Touw mendapat tawaran itu.
"Inilah jang aku mintapun tidak berani!", katanja tjepat. Lalu ia menambahkan pada Hian Song.
"Sudah sepuluhtahun tidak pernah aku turun dari Thian-san, maka sekarang, setelah selesai urusan ini, mesti aku lekas pulang. Soe-moay, bagaimana dengan kau?".
"Aku telah dapat menemukan orang jang aku tjari, aku telah menjelesaikan tugasku ", menjahut itu adik seperguruan.
"maka itu besok pagi aku mau berangkat pulang ".
"Masih ada satu orang jang kau belum menemukan, kau hendak menunggui dia atau tidak?", Hoe Poet Gie bertanja. Siapakah dia?", si nona tanja.
"Orang dengan siapa kau mengadu pedang dipuntjak Ngo-bie-san!", sahut Poet Gie tertawa.
"Apakah kau telah lupa kepada Kok Sin Ong? Ketika itu kau membuat dia hampir tak dapat turun dari panggung pertandingan ". Boe Hian Song tertawa.
"Aku ingat peristiwa itu!", ia berkata.
"Untuk itu aku belum mempunjai ketika untuk memohon maaf kepadanja ".
"Eh, ja, mengapa Lao Kok masih belum djuga datang?", Heehouw Kian tanja. Ia baru ingat kawannja itu.
"Apakah dia tidak mendapat dengar seruan kita? Apakah ada terdjadi sesuatu atas dirinja?". Hoe Poet Gie tidak menjahuti, hanja ia naik kepuntjak, untuk mengasi dengar seruannja jang njaring. Ia pertjaja suaranja itu akan dapat didengar oleh tetangga dikiri dan kanan sedjauh sepuluh lie. Tatkala itu anaknja Lie It telah muntjul dari rumpun persembunjiannja, dia lari kepada Hian Song, jang dia tubruk.
"Bibi ", kata dia.
"masih ada seorang lagi jang kau belum ketemukan, kau mau menunggui dia atau tidak?". Lutju anak ini, dia bitjara meniru lagu-suaranja Hoe Poet Gie, sembari menanja dia mengawasi kepada sang bibi. Mau atau tidak, Hian Song tertawa. Segera ia memeluk.
"Siapakah?", ia tanja.
"Ibuku !", menjahut anak itu.
"Malam itu dia larang aku makan barang jang bibi berikan padaku. Apakah bibi gusar terhadapnja?". Hian Song berhenti tertawa, ia berdiam, hatinja terasakan berat.
"Bibi", berkata pula si botjah.
"ibuku belum tahu bahwa kau telah menolongi aku, djikalau ia telah mengetahui itu, pasti ia sangat bersjukur terhadapmu. Maka itu harap bibi djangan gusar padanja ". Dua kali sudah Hie Bin berkata demikian rupa, njata dia kuatir sekali Hian Song murka. Nona Boe paksakan diri untuk tertawa.
"Aku dengan ibumu ada sahabat2 baik", katanja.
"mana bisa aku gusari dia ? Hanja, aku kuatir tak dapat aku menunggui dia. Anak jang baik, kau sadja jang mewakilkan aku menanjakan kesehatannja dan minta supaja dia djangan gusar kepadaku".
"Djikalau bibi tidak menunggui dia, baru benar2 dia gusar!", kata si anak. Hian Song tertawa pula.
"Asal kau jang mewakilkan aku bitjara,tidak nanti dia gusar ", ia bilang. Lie It mendengar pembitjaraan dua orang itu, hatinja berpikir keras, hingga ia mendjadi berdiam sadja.
"Bibi, apakah benar2 besok pagi kau hendak berangkat?", tanja si anak selang sesaat.
"Berat aku meninggalkan kau ...". Tepat di itu waktu, dari kedjauhan terdengar seruan jang pandjang.
"Lao Kok pulang!", Heehouw Kian berkata tjepat. Dengan Lao Kok, si Kok Tua, ia maksudkan Kok Sin Ong. Segera djuga terlihat seorang ber-lari2 mendatangi, bagaikan bajangan dia berlari naik.
"Ilmu enteng tubuh Kok Sin Ong kesohor, sekarang baru aku menjaksikannja", kata Hian Song dalam hati.
"Dia benar2 liehay!". Segera djuga Sin Ong tiba. Hoe Poet Gie hendak menggodai orang atau ia mendjadi terkedjut. Ia telah melihat roman orang luar biasa.
"He, Lao Kok, ada terdjadi apakah?", dia tanja.
"Siapa telah melukakan kau?". Kok Sin Ong berlepotan darah, romannja gelisah. Hian Song pun kaget, akan tetapi ia ingat untuk membalut lukanja djago jang pernah mendjadi bengtjoe itu, ketua ikatan kaum Rimba Persilatan.
"Tidak apa", kata Sin Ong.
"Aku tjuma mendapat sebatang panah, tulang2-ku jang tua masih dapat bertahan!". Heran satu djago masih kena terpanah, maka Poet Gie semua lantas menanjakan tegas2. Kok Sin Ong tidak lantas memberikan keterangannja. Ia hanja berpaling kepada si pangeran.
"Lie It, isterimu telah datang kemari!", katanja.
"Dia telah kena ditangkap!". Wartanja Kok Sin Ong ini berupa seperti guntur diwaktu langit terang-benderang. Semua orang terkedjut, sedang Lie It tertjengang.
"Tidak, tidak bisa djadi !", katanja kemudian, suaranja menggetar.
"Adik Pek dia dia telah berdjandji untuk berdiam diatas gunung, guna menantikan aku ". Lie It sangat pertjaja isterinja itu hingga sedjenak itu ia bersangsi. Hian Song menangis terisak.
"Adik Pek sangat menjintai kau ", katanja perlahan.
"dia telah bersumpah untuk hidup dan mati bersama denganmu. Kau tidak tahu, dua hari setelah keberangkatanmu, dia pun berangkat menjusul ". Nona ini ingat sjairnja Tiangsoen Pek diatas tembok, maka itu, ia berkata didalam hatinja .
"Kalau bukan karena aku, mungkin dia mendengar perkataan Lie It untuk menanti dirumah. Tidak dapat aku mentjela dia tjupat pandangannja. Umpama-kata aku, belum tentu aku pun dapat bersabar ". Lie It heran mengapa Hian Song ketahui kepergian isterinja itu, tetapi disaat seperti itu, ia tidak sempat menanja.
"Aku tengah berada diluar kota waktu aku menjaksikan Tiangsoen Pek ditangkap ", Kok Sin Ong memberiketerangan.
"Aku terlambat satu tindak. Ketika aku sudah melihat djelas, dia telah dibawa Guru Budi naik keatas kereta kerangkeng ". Masih Lie It bersangsi.
"Kok Lootjianpwee, benar2-kah kau melihat njata?", ia tanja. Kok Sin Ong mengangguk.
"Dia berdandan sebagai seorang wanita Uighur, mukanja dipulas djuga obatnja saudara Heehouw ", ia mendjawab.
"meskipun demikian, dia tidak dapat lolos dari mataku. Tatkala dia melihat aku, dia berseru kaget, rupanja dia ingin minta pertolonganku, tetapi mungkin disebabkan dia kuatir nanti me-rembet2 aku, dia batal memanggil aku ". Sekarang Lie It tidak bersangsi pula. Hanja sekarang ia heran kenapa orang dapat mengenali isterinja jang sudah menjamar pakaian dan warna kulitnja.
"Aku telah mentjampurkan diri diantara orang banjak, ketika dia berteriak, dia menarik perhatiannja kawanan pengawal Turki itu ", Kok Sin Ong menerangkan lebih djauh.
"Diantara mereka terdapat Guru Budi dan Kakdu dan mereka itu segera mengenali aku. Sebenarnja, setelah aku ketahui Tiangsoen Pek kena ditawan, meski mereka tidak mengenali aku, tidak nanti aku mau sudah sadja. Lantas mereka itu menjerang aku. Aku dapat kenjataan ketjuali Guru Budi, masih ada beberapa pengawal jang kosen. Tidak dapat aku bertahan dikerojok begitu banjak musuh, aku memikir untuk kabur sadja, guna mengasi kabar. Kakdu benar2 kuat sekali, aku sudah lolos djauhnja belasan tombak, sebatang anak panahnja masih dapat mengenakan tubuhku ". Memang Tiangsoen Pek telah menjusul sampai di kotaradja Turki. Djusteru itu baru sadja sirap kekatjauan didalam istana dan orang pada bubaran. Diantara mereka itu tersiar omongan perihal kekatjauan itu, diantaranja tentang kena ditawannja "seorang anak kaisar Keradjaan Tong ". Lie It memangnja pangeran tetapi orang Turki tidak mengetahuinja, mereka menjebut sadja "anak kaisar". Mendengar itu, Tiangsoen Pek mendjadi kaget sekali, dia lantas pergi untuk mentjari keterangan. Dengan dandanannja seperti orang Uighur dan warna kulit mukanja pun telah berubah, sebenarnja tidak mudah Tiangsoen Pek dikenali orang, hanja kebetulan sadja dia bertemu dua orang jang mengenali padanja, jalah Thia Kian Lam, anaknja Thia Tat Souw ketua Hok Houw Pang serta Yo Tjiauw, seorang tauwbak dari partai Menakluki Harimau itu. Pada delapan tahun dulu, ketika Lie It mengantarkan djenazahnja Tiangsoen Koen Liang, ditengah djalan Tiangsoen Pek mendapat sakit, karenanja mereka mampir di kuil tua dimana ada seorang pendeta jang mendjadi katjung. Dialah orang Hok Houw Pang, jang dirawat oleh pendeta kepala disitu. Katjung hweeshio ini melihat Lie It membawa uang, barang dan pedang, dia mengasi kisikan pada partainja, maka Thia Kian Lam datang bersama sedjumlah anggautanja, untuk merampas, tetapi mereka dipukul mundur oleh Lie It. Benar mereka gagal tetapi Kian Lam melihat Tiangsoen Pek dan lantas mengenalinja, sedang si katjung hweeshio, jang dianggap berdjasa, oleh partainja diangkat djadi tauwbak. Dan dialah Yo Tjiauw ini. Thia Tat Souw datang ke kotaradja Turki untuk turut dalam pertemuan besar, Kian Lam menjusul dengan mengadjak Yo Tjiauw, diluar dugaan, mereka melihat Tiangsoen Pek. Yo Tjiauw lantas mengenalinja, sebab ia bermata liehay dan ingatannja kuat serta sangat tjerdik, begitu ia mendengar njonja itu mentjaritahu hal "anak kaisar Tong"
Jang ditangkap itu ia tjuriga, ia mengawasi, lalu sengadja ia memanggil.
"
Nona Tiangsoen Pek !". Ia menggunai bahasa Tionghoa.
"Siapa memanggil aku?", tanja Tiangsoen Pek. Dia kaget, tanpa merasa dia menggunai bahasa Tionghoa djuga. Maka tanpa merasa, petjahlah rahasianja. Thia Kian Lam lantas mengadjak bitjara, sedang Yo Tjiauw lari mengasi laporan, dari itu datanglah rombongannja Guru Budi, hingga gampang sadja dia kena ditangkap.
"Djangan kuatir, hiantit", kemudian Kok Sin Ong menghibur.
"Kita berada di sini, sudah tentu kita akan berdaja untuk menolongi. Sekarang tinggal tjaranja sadja, jang harus dirundingkan dulu ". Hoe Poet Gie dan Heehouw Kian tidak menampik memberikan bantuannja, mereka semua sahabat2 kekal dari Tiongsoen Koen Liang. Tinggal urusannja jang sulit. Tiangsoen Pek tidak ketahuan ditahan dimana. Habis katjau itu, pendjagaan di kotaradja Turki mestinja kuat sekali. Benar Thian Ok telah terbinasa tetapi disana masih ada Guru Budi, Maitjan dan lainnja pengawal jang tak dapat dipandang ringan. Terutama disana ada Pek Yoe Siangdjin. Dipihaknja sendiri, Heehouw Kian terluka, benar dia dapat makan soat-lian tetapi dia perlu beristirahat dulu. Achirnja Hoe Poet Gie tertawa. Dia kata .
"Meski disana ada kedung naga dan guha harimau, aku si Hoe Tua mesti menjerbunja djuga ! Maka menurut aku, mari kita menerobos kedalam istana, guna mengatjau lagi satu kali ! Asal Khan dapat dibekuk, djangan takut dia tidak akan merdekakan orang tawanannja !".
"Ini memang sulit, tapi sebab tidak ada lain djalan, marilah kita tjoba ", berkata Heehouw Kian. Tengah mereka mengambil putusan itu, dikaki gunung terdengar riuh suara gembreng dan tambur perang, lantas terlihat Kakdubersama seribu serdadunja jang berseragam badju lapis. Mereka terkedjut. Tidak dinjana, musuh datang menjusul.
"Mari kita menjerbu dulu !", kata Hoe Poet Gie.
"Anak Bin, apakah kau takut ?", tanja Hian Song kepada anaknja Lie It. Botjah itu menjender pada tubuhnja. Hie Bin mengangkat kepalanja.
"Ada bibi disini, Bin tidak takut sedikit djuga ", sahutnja. Heehouw Kian tertawa.
"Anak ini sangat mempertjajai kau, kau bawalah dia !", katanja.
"Lao Hoe, kau jang mendjadi pelindungku !". Hoe Poet Gie memandang sahabat itu, ia dapat menangkap maksud hati orang. Maka ia mengangguk.
"Benar!", sahutnja.
"Tentera itu berdjumlah besar, mereka pun mengenakan seragam istimewa, djikalau kita berkumpul terus, sulit untuk menjerbu keluar. Baiklah, mari kita berpentjaran, supaja mereka mendjadi bingung ...". Maka mereka memetjah diri mendjadi tiga rombongan. Boe Hian Song dengan membawa Hie Bin bergabung dengan Pwee Siok Touw, mereka mesti menerobos dari sebelah timur. Hoe Poet Gie bersama Heehouw Kian nerobos dari sebelah selatan. Kok Sin Ong bersama Lie It mengambil djalan barat. Heehouw Kian dan Lie It masih membutuhkan perlindungan. Matanja Kakdu djeli sekali, maka ia terkedjut kapan ia melihat Lie It dan Boe Hian Song berada bersama Hoe Poet Gie, Heehouw Kian dan Kok Sin Ong.
"Djikalau aku tahu mereka jang berkumpul disini, pasti aku mengadjak lebih banjak kawan jang liehay", pikirnja.
"Ah, kemanakah perginja Pek Yoe Siangdjin dan Thian Ok Toodjin? Mustahilkah mereka belum mendapat tahu hal adanja banjak musuh disini?". Djago Turki ini tidak tahu bahwa Pek Yoe Siangdjin sudah kabur dan Thian Ok Toodjin telah menerima adjalnja. Pek Yoe dapat menduga akan datangnja pasukan tentera berlapis badja itu tetapi dialah seorang guru besar, malu dia setelah kena dikalahkan untuk bertempur pula main kerojok. Oleh karena mengetahui liehaynja musuh, Kakdu tidak mau berlaku sembrono. Lebih dulu ia mengatur pasukannja, untuk mengambil sikap mengurung, baru mereka mendaki dengan per-lahan2. Orang diatas gunung sebaliknja tidak sudi main lambat2-an. Hoe Poet Gie tertawa keras, lantas bersama Heehouw Kian dia ber-lari2 turun, untuk membuka djalan. Hebat suara tertawa itu, rata2 serdadunja Khan mendjadi kaget.
"Pegat mereka!", Kakdu berseru, meskipun dia sendirinja pun terkedjut. Di lain bagian, Kok Sin Ong berseru keras, dia madju menerdjang. Kakdu dapat melihat Lie It ada bersama orang she Kok ini, dia teriaki tenteranja.
"Kesini semua ! Inilah orang jang hendak ditawan Djundjungan kita! Jang lain2-nja boleh lolos, tetapi dia tidak!". Ia sendiri pun madju didepan. Dilain pihak lagi Pwee Siok Touw bersama Boe Hian Song, dengan melindungi Lie Hie Bin, turun dari sebelah barat. Ketika Kakdu melihat nona itu, dia terkedjut, hampir tidak pertjaja matanja sendiri. Dia kata dalam hatinja.
"Apakah aku bermimpi ditengah hari bolong? Itu, itu ..., apakah bukannja selir jang baru?". Selama Hian Song mengatjau didalam istana, Kakdu tidak mendapat tahu. Itu waktu Kakdu bertugas mendjaga didalam taman. --- halaman sobek/hilang --- Heehouw Kian tidak membilang apa2. Berselang sekian lama, baru ia tertawa.
"Aku dapat mendengar tindakan kaki mereka", katanja. Terus ia bersiul pandjang halus tetapi terdengar tegas. Mendengar itu, hati Hian Song lega. Itulah bukti tenaga dalam tabib pandai dan gagah ini sudah pulih tudjuh sampai delapan bagian. Ia mendjadi kagum. Bukankah ratjunnja Thian Ok sangat djahat? Toh dia sembuh dalam semalam dan sehari. Ia djuga mengagumi telinga orang. Tidak ajal lagi, Nona Boe lari keluar, untuk memapak. Ia melihat berlari datangnja tiga orang. Ia pun lantas mendengar pertanjaannja Kok Sin Ong dari djauh .
"Lie It sudah pulang atau belum?". Tiba2 sadja ia merasai hatinja dingin, lalu berdebaran. Lekas djuga tibalah ketiga orang itu, jalah Hoe Poet Gie, Kok Sin Ong dan Pwee Siok Touw.
"Bukan Lie It ada bersama kamu?", tanja si nona, hatinja mentjelos.
"Oleh karena kita menantikan dia, kita djadi pulang terlambat", sahut Siok Touw.
"Kita menjangka dia sudah pulang lebih dulu."
"Habis bagaimana?", si nona tanja.
"Mari masuk, kita bitjara didalam,"
Berkata Hoe Poet Gie. Didalam, Heehouw Kian menjambut. Mereka lantas berduduk dibatu.
"Lie It tiba ditaman lantas kepergok Yang Thay Hoa, keduanja lantas bertempur", Poet Gie mengasi penuturan.
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku membantu dia dengan diam2, aku hadjar roboh perintangnja itu. Setelah itu muntjul Pek Yoe Siangdjin. Maka terdjadilah pertempuran katjau. Selama satudjam, aku tidak melihat pula pada Lie It. Thian Ok telah terbinasa, tetapi pihak sana dibantu Guru Budi dan Biat Touw Sin-Koen. Guru Budi lebih gagah daripada Thian Ok tetapi Biat Touw Sin-koen terlebih lemah. Siok Touw dapat melajani dia dengan seimbang. Biar bagaimana, djumlah musuh terlebih besar, achirnja terpaksa kita mengangkat kaki. Berbahaja untuk bertempur lama2. Terpaksa kita tidak menanti Lie It karena kita duga mungkin dia sudah pulang lebih dulu ". Sebenarnja Hoe Poet Gie berkuatir melajani terus pada Pek Yoe disebabkan pertama kali ia sudah digempur tenaga dalamnja oleh pendeta jang liehay itu. Lie It tidak kedapatan, orang mendjadi berkuatir, lebih2 Hian Song. Pwee Siok Touw memperhatikan nona itu, melihat kedukaan si nona, ia masgul.
"Lootjianpwee ", kemudian Siok Touw bertanja.
"lootjianpwee kesohor ilmu pedangmu Thay Tjeng Kiam-hoat, kenapa lootjianpwee melepaskan dan tidak mau menggunakan lagi ?". Poet Gie menjeringai.
"Apakah gurumu belum pernah memberi keterangan kepada kau?", ia balik menanja, ia tertawa berduka.
"Gurumu itu masih hidup, mana berani aku menggunai pedang?". Pada tiga puluh tahun dulu, ber-sama2 Oet-tie Tjiong, Kok Sin Ong dan Tiangsoen Koen Liang, Hoe Poet Gie terkenal sebagai ahli2 silat pedang. Kaum Rimba Persilatan menjebut mereka sebagai Empat Ahli. Diantaranja, Hoe Poet Gie jang nomor satu. Kemudian Oet-tie Tjiong hidup menjendiri di Thian-san Utara dan Hoe Poet Gie di Thian-san Selatan. Pada suatu hari Oet-tie Tjiong mengundjungi Hoe Poet Gie, untuk mentjoba beberapa djurus ilmu pedang jang ia baru dapat tjiptakan. Dalam pertjobaan itu, Hoe Poet Gie menang selintasan. Oet-tie Tjiong dapat melihat, meskipun Poet Gie menang, ilmu pedangnja belum sempurna. Maka ia mendjandjikan lagi sepuluh tahun mereka akan men-tjoba2 pula. Tidak di-sangka2, belum sepuluh tahun, Oet-tie Tjiong sudah meninggal dunia. Ketika Hoe Poet Gie berbelasungkawa, ia bertemu Yoe Tan Sin- nie. Pendeta wanita ini ketahui Oet-tie Tjiong berat pada kekalahannja itu, maka itu untuk membikin arwah sahabat itu lega, ia menantang Poet Gie untuk mengadu pedang setjara persahabatan. Kesudahannja, Yoe Tan jang menang. Atas itu Hoe Poet Gie melemparkan pedangnja dan sambil menghela napas, berdjandji untuk tidak menggunai pedang lagi, sebagaimana didjaman dahulu kala Poet Gie bersumpah tidak akan menabuh khim pula. Mendengar keterangan itu, Kok Sin Ong menggelengkan kepala. Ia tertawa.
"Lao Hoe, kau terlalu berkukuh!", katanja.
"Kau berdjandji untuk tidak menggunai pedang karena kedukaan pribadi. Tapi sekarang lain. Guna menolongi muridnja Oet-tie Tjiong, tidak dapatkah kau mengubah sikapmu, untuk kau menggunai pula pedangmu ? Apakah halangannja ? Laginja sekarang ini Yoe Tan Sin-nie pun sudah berpulang ke Tanah Barat ".
"Aku merasa ilmu pedangku belum sempurna ", sahut Poet Gie.
"aku malu menggunai pedang pula. Taruhkata aku menggunai pedang, belum tentu aku dapat mengalahkan Pek Yoe Siangdjin ".
"Dimasa hidupnja guru, ketika ia merundingkan ilmu silat pedang, kaulah jang paling dibuat kagum, lootjianpwee ", berkata Pwee Siok Touw.
"Ketika ia dapat kemenangan itu, ia kata itulah kebetulan, ia merasa sangat beruntung ".
"Benarkah gurumu mengatakan demikian ?", tanja Poet Gie, alisnja dikerutkan.
"Gurumu itu memberi muka sadja padaku. Sebenarnja ia telah menggunai kepandaiannja memenangkan aku. Mana bisa djadi itulah disebabkan kebetulan?". Dimulut Poet Gie berkata begitu, dihati ia terhibur.
"Pula guruku masih ada pesannja jang terachir ", Pwee Siok Touw berkata pula.
"Guruku telah mewariskan ilmu pedang Boe Siang Kiam-hoat, setelah itu ia memesan, dimana jang aku tidak mengerti, aku mesti minta petundjukmu, lootjianpwee. Tidak lama setelah berhasil mentjiptakan ilmu pedangnja itu, soehoe meninggal dunia. Ilmu pedang itu sulit sekali, sudah banjak tahun aku mejakinkannja, masih aku tak menjelami semuanja. Lootjianpwee, meskipim lootjianpwee tidak mau menggunai pedang lagi, untuk memberi petundjuk padaku toh boleh, bukan ?". Ketarik hatinja Poet Gie. Ia memang satu ahli pedang dan sangat ketarik dengan itu. Lantaran djandji, ia tidak menggunainja lagi. Tapi sekarang ia tak dapat menahan hati lagi. Ia kata .
"ilmu pedang gurumu sangat liehay, aku tak tahu kau mengerti itu atau tidak. Tjoba kau djelaskan bagian2 jang kau kurang mengerti itu, mari kita mejakinkan bersama ". Siok Touw menjuruh Hian Song mengeluarkan kitab ilmu pedang guru mereka, Boe Siang Kiam Hoat, ia membolak-balik lembaran, terus ia berkata .
"Ini dia bagian jang aku tak dapat mengartikan. Ini jalah ilmu pedang berlatih berdua bersama ". Hoe Poet Gie membatja bagian jang ditundjuk itu, tanpa merasa, ia memudji.
"Lao Kok, mari, kau pun melihat !", ia memanggil kawannja.
"Djikalau ilmu ini dapat dilatih, aku pertjaja, ahli pedang nomor satu djuga tidak akan dapat memetjahkannja!". Kok Sin Ong menghampirkan, untuk turut membatja. Mengenai ilmu pedang itu, Hian Song djuga tidak mengerti. Itulah ilmu jangditjiptakan Yoe Tan Sin-nie, untuk dia berlatih dan bekerdja sama Oet-tie Tjiong. Pokoknja itu diambil dari Ngo-bie Kiam-hoat dari Oet-tie Tjiong, digabung dengan Boe Siang Kiam hoat pendapatnja sendiri, sajang sebelum mereka berhasil bergabung, mereka telah menutup mata. Mengenai ini, Hian Song pernah minta pendjelasannja Siok Touw. Maka ia heran mengapa sekarang soeheng itu mengaku tidak mengerti dan minta petundjuknja Hoe Poet Gie. Ia tanja, dalam hatinja .
"Soeheng mengerti, kenapa dia minta bantuannja Hoe Poet Gie ? Baru setelah mendengar suaranja Poet Gie itu, dapat ia menerka maksud kakak seperguruan itu. Pikirnja pula .
"Tidak salah lagi! Tentu soeheng ingin Hoe Poet Gie mempeladjarkan itu untuk menempur Pek Yoe Siangdjin!". Hoe Poet Gie ahli pedang kenamaan, djikalau dia tidak diminta petundjuknja, mana dia berani mempeladjari ilmu pedang Yoe Tan Sin-nie?. Maka itu, tjerdik Siok Touw, jang mendapat akalnja itu.
"Siok Touw ", kata Poet Gie kemudian.
"ilmu pedang ini katjau sekali, pantas kau kurang mengerti. Untuk melatih ini dibutuhkan sedikitnja tiga hari waktu. Lao Kok, ilmu ini ada untuk dua orang berlatih ber- sama2, dari itu, mari kau menemani aku ". Mendengar keterangan itu, Hian Song masgul. Waktu tiga hari jang dibutuhkan itu berarti kelambatan. Mana dapat ia menanti sampai lewat tiga hari untuk pergi menolongi Tiangsoen Pek dan Lie It? Ia sendiri bersama Pwee Siok Touw, karena kurang mahir tenaga-dalamnja, tidak dapat melatih sempurna ilmu pedang bersatu padu itu, Hoe Poet Gie dan Kok Sin Ong barulah tepat. Malam itu Nona Boe tidak dapat tidur. Ia bergulang-guling sadja. Keras ia memikirkan Lie It dan tjaranja untuk menolonginja. Hoe Poet Gie bersama Kok Sin Ong sebaliknja. Mereka membatja kitab ilmu pedang itu, mereka mejakinkan bersama, mereka berlatih bersama djuga. Sampai djauh malam, setelah mengerti, baru mereka masuk tidur. Besok paginja, waktu orang mendusin, Hian Song tidak kedapatan. Heehouw Kian terkedjut, ia lantas periksa kantung obatnja. Lantas ia mengeluh, tetapi mengeluh sambil tertawa.
"Sungguh besar njalinja Hian Song. Dia telah pergi dengan mentjuri obat Toan Hoen San ".
"Apakah chasiatnja obat bubuk itu ?", tanja Kok Sin Ong. Toan Hoen San berarti puder 'Memutuskan Arwah'.
"Siapa makan obat bubuk itu, dia lantas mati ", Heehouw Kian mendjawab.
"Tapi itu bukan berarti mati betul2. Didalam tudjuh hari, dia mesti makan obat Toan Hoen san, dia bakal hidup pula. Kemarin aku membitjarakan tentang dua matjam obatku itu kepada Hian Song, dia rupanja ingat itu dan sekarang dia tjuri buat dibawa pergi menolongi Lie It ". Tabib ini merogo lebih djauh kantung obatnja. Kali ini ia mendapatkan sehelai kertas, jang ada suratnja. Ketika ia batja, itulah suratnja Hian Song. Njata nona itu, habis mentjuri obat, keluar dari belakang guha dimana ada suatu lorong jang menudju keluar. ---oo0oo--- KETIKA itu, Khan Turki girang sekali. Ia telah dapat menangkap Lie It dan Tiangsoen Pek. Ia ingin mendapatkan Njonja Lie It itu. Untuk itu ia mau menjuruh orang membudjuk dan melagui si njonja. Baru ia hendak memberikan titahnja, atau seorang dajang datang padanja dengan lari ter-gesa2, romannja gelisah.
"Ada apa?", dia tanja. Dajang itu berlutut.
"Per ..., permaisuri pulang ...!", katanja.
"Dia kata dia ingin menghadap Sri Baginda tetapi Kakdu mentjegah, ia tidak berani lantjang memberi idjin masuk, dari itu ia mohon keputusan Sri Baginda ". Dajang itu tjuma tahu selir buron tetapi tak ketahui halnja selir palsu, maka itu, ia tetap menjebutnja permaisuri. Khan melengak. Ia heran sekali.
"Apa ...?", tanjanja.
"Dia dia berani datang pula ?".
"Ja .... Sekarang permaisuri lagi menantikan panggilan Sri Baginda ". Khan mentjoba menenangkan diri.
"Lekas undang Guru Negara !", ia memberi perintah. Memang benar Hian Song datang ke istana. Ia berdandan sebagai selir. Ia membawa kimpay. Tidak ada orang jang berani mentjegahnja, ketjuali Kakdu si pemimpin pasukan pengawal. Dia ini pun bersangsi, terpaksa dia menjuruh Hian Song menanti selagi dia menitahkan dajang pergi melaporkan kepada djundjungannja. Tidak lama, Pek Yoe Siangdjin datang. Setelah Khan mendapat keterangan Hian Song datang sendirian, ia menitahkan dajangnja memberitahukan Kakdu agar "selir"
Itu diidjinkan masuk. Selagi menunggu, radja ini berkata .
"Wanita she Boe ini telah menjamar mendjadi selir, dia membawa Lie It buron, selagi aku hendak menangkap dia, dia djusteru kembali. Besar njalinja dia berani menjerahkan diri! Entah ada hubungan apa diantara dia dan Lie It? Kalau benar dia utusan Boe Tjek Thian, kenapa sekarang dia berani memperbahajakan pula dirinja untuk menolongi lagi kepada Lie It ?". Turut keterangannja Thian Ok baru2 ini, perhubungan diantara dia dan Lie Itbukan perhubungan biasa sadja ", berkata Pek Yoe.
"Baru2 ini, sebelum dia menjamar djadi selir, murid wanita dari Thian Ok pernah menemui dia dirumahnja Lie It diatas gunung Thian-san. Aku rasa, sekarang dia datang untuk menolongi Lie It ".
"Dia datang sendiri. Dia mau menolongi Lie It. Ha ...ha ...!", Khan tertawa.
"Bukankah itu berarti masuk sendiri kedalam perangkap?".
"Sekarang Sri Baginda menghendaki apa?", Pek Yoe tanja. Sri Baginda menginginkan ia jang mati atau jang hidup?".
"Biar dia pernah bersalah, aku masih menjajangi djiwanja ", sahut Khan.
"Dia tjantik sekali, apabila dia dapat ditakluki, alangkah baiknja! Sekarang ini kita lihat dulu, dia datang dengan maksud apa, umpama benar dia hendak membunuh aku, masih ada waktu untuk Guru turun tangan ". Khan tahu Pek Yoe menang daripada Hian Song, maka itu ia memanggil guru negara ini untuk melindungi padanja. Tak lama maka terlihatlah masuknja Hian Song diiring Kakdu.
"Sungguh njalimu besar?"
Khan menjambut sambil tertawa.
"Kau sudah buron, kenapa sekarang kau datang pula? Apakah kau berat meninggalkan kemewahan istanaku ?". Sepasang alis Nona Boe berdiri.
"Terang kau ketahui maksud kedatanganku ini, apa perlunja kau menanja pula ?", ia kata dingin.
"Kau memikir untuk menolongi Lie It?", Khan tanja.
"Itulah tak dapat! Ketjuali kau sendiri berdiam disini!".
"Apakah benar perkataanmu ini ?".
"Mana pernah aku bitjara main2 ?".
"Baik! Aku akan berdiam disini! Kau mesti merdekakan mereka berdua!". Khan heran. Inilah ia tidak sangka. Ia sampai mengerutkan alisnja. Ia lantas berpikir. Setelah itu, ia tertawa lebar. Sebagai seorang tjerdik, ia dapat menerka hatinja Hian Song. Katanja dalam hatinja.
"Kau pintar tetapi aku pun tidak tolol! Siapa pertjaja kau sudi mendjadi selirku ? tentulah kau hendak memperdajakan aku, supaja Lie It dapat lolos! Atau mungkin, kau hendak menggunai ketika ini untuk membunuh aku ". Memikir ini, hati Khan gentar. Bukankah Hian Song gagah? Sebagai selir, bukankah Hian Song dapat terus mendampinginja? Kalau Hian Song mau, bukankah gampang untuknja merampas djiwanja? Tapi ia berduka sedjenak sadja. Lantas ia dapat akal. Maka ia tertawa puIa.
"Kau sangat tjantik, djarang ada orang setjantik kau !", katanja, riang.
"maka itu, djikalau kau benar suka melajani aku, djangan kata baru itu dua orang, biar aku mesti meletaki tachta, aku rela. Mari ..., mari duduk disini didampingku. Hari ini kita berkumpul pula, mesti kita berdjamu hingga puas! Mana orang? Lekas menjuguhkan arak kepada permaisuri !". Didalam hatinja, ia kata.
"Asal kau minum arakku ini, dapat aku lakukan apa jang aku suka atas dirimu ". Khan mempunjai obat mabuk jang bila ditjampur dalam arak tidak ada rasanja jang dapat membikin orang bertjuriga, bila Hian Song sudah minum itu, ia mau minta Pek Yoe menotok si nona, guna meludaskan ilmu silatnja, habis mana, nona itu pasti akan tunduk terhadapnja.
"Tunggu sampai mereka berdua sudah merdeka, baru aku minum arakmu ", kata Hian Song tawar.
"Sekarang aku mau bertemu dulu dengan mereka dan mengantarkan mereka sampai keluar dari istana ". Khan tertawa.
"Kiranja kau masih tidak pertjaja aku !", ia bilang.
"Bukan aku tidak pertjaja ", berkata si nona.
"Aku mau melihat mereka keluar dari istana dengan masih hidup, baru hatiku tenang ".
"Bagus!". Khan tertawa pula.
"Memang kamu bangsa Tionghoa mempunjai kata2 jang berarti, lebih baik hilang kepertjajaan kepada dunia, djangan terhadap wanita. Baik! Aku telah berdjandji, pasti aku tidak akan menghilangkan kepertjajaanku. Aku suka terima baik permintaanmu ini. Jang mana kau ingin menemui lebih dulu, sang suami atau sang isteri ?". Didalam hatinja, radja ini pikir.
"Aku merdekakan mereka sampai diluar istana. Berapa djauh mereka dapat berlalu ? Satu Guru Budi sadja sudah dapat melajani mereka !". Ia memang telah mengatur untuk Guru Budi menjembunjikan diri diluar istana, kalau nanti Hian Song mengantar Lie It dan Tiangsoen Pek keluar, mereka harus disusul, untuk ditangkap pula. Hian Song sendiri mau diminta lekas kembali kedalam, umpama dia melawan, Pek Yoe diminta menjerangnja sekalian menotok ludas ilmu silatnja. Sebenarnja Khan tidak sudi menggunai kekerasan, ia kuatir si nona membunuh diri, maka ia lebih suka memakai araknja itu, supaja dengan begitu "beras telah mendjadi nasi". Ia mau menduga djuga, karena Lie It dan isterinja sudah "merdeka", mungkin si nona mendjadi terpaku dan rela menjerahkan dirinja.
"Terima kasih, Baginda !", berkata Hian Song sambil ia mendjura, sepasang alisnja terbangun.
"Bukankah mereka itu ditahan disatu tempat?". Khan tertawa.
"Aku membuatnja mereka bertetangga ", sahutnja.
"Mereka dapat mendengar satu pada lain tetapi tidak bisa saling melihat ".
"Kenapakah mereka disiksa sampai begitu? Sekarang aku lebih dulu minta mereka dikasi bertemu satu dengan lain, baru aku mau menemukan mereka ". Hian Song tahu baik Tiangsoen Pek tjemburu padanja, kalau ia lebih dulu menemui njonja itu, tidak nanti Tiangsoen Pekpertjaja ia dan suka mendjalankan akalnja, sebaliknja kalau ia menemui Lie It lebih dulu, tjemburuannja Tiangsoen Pdk bisa merusak usahanja. Maka itu, ia ingin menemui mereka selagi mereka itu berkumpul bersama. Khan berpikir, lantas ia menjahuti .
"Apa djuga kau bilang, suka aku turut ". Ia merasa pasti bahwa ia telah mengatur perangkapnja sampurna, hingga tidak ada halangannja untuk mempertemukan Lie It dan isterinja untuk sedikit waktu. Lantas perintah dikeluarkan untuk membawa Lie It kedalam kamarnja Tiangsoen Pek, setelah mana Pek Yoe ditugaskan mengantar Nona Boe menemui suami isteri itu. Tiangsoen Pek sudah dikurung tiga hari. Selama itu ia lega hatinja berbareng menderita. Ia lega hati karena Lie It ada didekatnja. Njata Lie It menjintainja dan suka berkurban untuknja. Dengan begitu didalam dunia ini tidak ada orang lain jang dapat merampas Lie It atau membikin mereka bertjerai-berai, tidak Siangkoan Wan Djie atau Hian Song, tidak djuga Khan. Sekarang Lie It kepunjaannja benar2. Ia menderita sebab Lie It ada disampingnja, tetapi mereka tjuma dapat saling mendengar, tidak dapat saling melihat. Ia tjuma bisa mendengar suami itu menghela napas sadja. Bagaimana ia ingin melihat suaminja itu!. Ia tidak mengharap hidup pula, asal ia dapat mati didalam rangkulan sang suami. Tiangsoen Pek lagi memikirkan suaminja ketika ia mendengar suara kuntji berkelotak diluar pintu, disusul daun pintu kamar tahanannja itu terpentang, lalu satu orang didorong masuk, hampir orang itu, jang ter-hujung2, menubruk padanja. Lantas ia merasakan dirinja seperti lagi bermimpi. Ia seperti tidak mempertjajai matanja sendiri. Orang jang didjoroki masuk itu bukan lain daripada Lie It, suaminja !. Ketika njonja ini mendjatuhkan diri dalam rangkulan sang suami, ia mendengar suara halus ditelinganja.
"Adik Pek, inilah aku!. Kau kaget ja ...?". Ia girang berbareng sedih, air mata nja lantas mengutjur deras.
"Engko It, benar2-kah kau?", ia masih tanja.
"Oh, dengan kau ada ber-sama2, aku tidak takut sedikit djuga! Ja ..., kenapakah mereka mengidjinkan kamu datang kemari?.
"Aku pun tidak ketahui maksudnja Khan ", sahut suami itu.
"Mungkin dia hendak membinasakan kita, lalu sebelum kita mati, dia berbuat baik, dia mewpertemukan kita, sekalipun untuk satu kali sadja ".
"Djikalau itu benar, meski aku bentji dia, untuk ini aku mau menghaturkan terima kasih terhadapnja ", kata sang isteri.
"Adik Pek, aku membuatnja kau sengsara ", kata Lie It kemudian.
"Ajahmu menjerahkan kau padaku, bukan sadja aku tidak sanggup melindungi kau, kau djusteru mesti hilaug djiwa ...". Tiangsoen Pek menutup mulut suaminja.
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Harimau Kemala Putih -- Khu Lung Rahasia Peti Wasiat -- Gan K L