Pendekar Aneh 16
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 16
Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen
"Mungkinkah dia telah mendapat tahu jang aku bakal membuat pertemuan dengan Wan Djie didalam kamar ini ?".
"Wan Djie tidak ada didalam kamarnja sendiri pasti dia bakal datang kemari ", berkata Thay Peng Kongtjoe.
"Baiklah Boe-houw duduk menanti lagi sekian lama, nanti Boe-houw mendapat kepastian dugaanku tepat atau tidak ". Boe Tjek Thian tertawa.
"Dalam hal kelitjinan sematjam ini, aku pertjaja kau memilikinja djuga !", katanja.
"Hanja pasti sekali Wan Djie sangat tidak menjangka jang Hian Song tidak ada disini, hingga kalau dia menemukan aku, itu pun diluar sangkaannja !". Dari pembitjaraan ibu dan anak itu, terang mereka sudah mentjari Wan Djie tetapi tidak ketemu. Mengenai ini, hati Lie It lega sedikit. Ia sekarang memikirkan Hian Song. Kemana perginja Nona Boe ? Bukankah Hian Song telah mendjandjikan dia untuk "melihat"
Ratu supaja Ratu tidak menggangu pertemuan rahasia antara ia dan Wan Djie ? Kenapa sekarang Ratu datang kemari dan Hian Song tidak turut serta ?.
Oleh karena ini, hatinja berdenjutan perlahan.
Tidak antara lama, diluar kamar terdengar tindakan kaki enteng.
Thay Peng Kongtjoe bersenjum.
Dengan itu ia seperti mau bilang .
"Lihat, ibu, bagaimana djitu dugaanku !". Memang, ketika sero disingkap, jang muntjul jalah Siangkoan Wan Djie. Ratu lantas tertawa riang dan berkata .
"Wan Djie, telah lama aku menantikan kau !". Nona Siangkoan kaget. Akan tetapi ia' menenangkan diri, untuk tidak mengentarakan sesuatu pada mukanja. Dengan tjepat ia mendjalankan kehormatan kepada djundjungannja itu.
"Apakah Thian-houw Piehee mempunjai kerdjaan untuk aku lakukan ?", ia tanja.
"Ja, ada urusan jang aku hendak damaikan dengan kau ", menjahut kaisar wanita itu.
"Anak, pergi kau mengundurkan diri, sebentar kau baru datang pula ", Thay Peng Kongtjoe tidak puas, ia djelus terhadap Wan Djie, tetapi ia tidak berani mem bantah ibunja, maka ia lantas keluar dari kamar Hian Song itu. Seberlalunja sang puteri, Boe Tjek Thian tertawa pula.
"Wan Djie, malam ini parasmu lain, kenapakah ?", ia tanja.
"Tidak ke-napa2
", menjahut si nona, jang hatinja sebenarnja bertjekat.
"Mungkin disebabkan tadi malam aku tidak dapat tidur njenjak ". Lie It mengintai. Ia dapatkan memang Wan Djie rada lesu.
"Dalam beberapa hari memang kerdjaan lebih banjak daripada biasanja, kau mendjadi letih ", berkata Ratu pula.
"Apakah kau sudah selesaikan surat2 perkaranja Boe Sin Soe ?".
"Semua itu sudah selesai, tinggal menanti Piehee memeriksanja ", sahut si panitera wanita.
"Apakah bilangnja Boe Sin Soe dalam surat permohonan keampunannja ?".
"Dia bilang dia tidak ketahui dua orang itu mata2. Dia mengakui kesalahannja sudah kurang periksa. Dua orang itu sudah terbinasa, tidak ada djalan untuk mempadunja ".
"Hian Song menuduh dia mengirim utusan rahasia kenegeri asing, untuk berserikat dan bersekongkol densan Khan Turki. Mengenai itu, bagaimana dia membela dirinja ?". ,,Dia mengatakan bahwa Khan itu meminta diadakan perhubungan persanakan, jaitu Khan ingin menikahkan puterinja dengan puteranja Boe Sin Soe, jaitu pangeran muda Hoay-Yang-Ong Yan Sioe. Djadi dia mengirim utusan untuk membitjarakan lebih djauh urusan pernikahan puteri dan putera mereka. Dia bilang ketika itu terdjadi, perang belum petjah. Ketika terdjadi peperangan, katanja, utusannja tidak pulang, karenanja ia pun tidak tahu kedua utusan itu terpaksa menakluk kepada Khan Turki atau bukan. Mengenai ini dia mengakui kesalahannja, sudah tidak lantas memberi laporan kepada Sri Baginda, bahwa dia sudah bertindak lantjang ", Boe Tjek Thian tertawa dingin.
"Pandai dia mengelakkan diri !", katanja. Ia hening sedjenak, baru ia kata pula .
"Sekarang, Wan Djie, kau tolongi aku membuat firman dengan mana semua djabatan dan kekuasaannja Boe Sin Soe ditjabut serta dia dihukum tak bergadji selama tiga tahun. Dia tjuma dapat melindungi gelarannja sebagai Goei Ong ". Wan Djie menduga ratu akan gusar sekali dan bakal menghukum berat pada Boe Sin Soe, siapa tahu ringan sadja hukumannja itu, ia djadi melengak. Ratu mengawasi hambanja itu dengan lirikannja, ia tertawa.
"Wan Djie, bukankah kau tak puas ?", katanja.
"Bukankah kau mengatakan aku melindungi keponakanku itu ?". Nona itu berdiam. Itulah tanda bahwa ia tidak menjangkal.
"Wan Djie, kau djudjur sekali ", kata Ratu.
"inilah tabiatmu jang aku sukai. Goei Ong bersalah besar, dia dihukum enteng, tidak heran kau tidak puas. Akan tetapi keadaan ada demikian rupa, aku tjuma dapat memutuskan demikian djuga ". Ratu menghela napas. Ia menambahkan .
"Selamabeberapa tahun ini aku merasai kesehatanku kurang sempurna. Dijkalau seorang telah meningkat usianja, terhadap anaknja, terhadap keponakannja, tak dapat tidak dia mendjadi menjajanginja berlebihan. Anak Hian dan Boe Sin Soe telah memikir, setelah aku wafat nanti, mereka bakal menggantikan aku mendjadi kaisar, maka itu mereka main berkomplot masing2. Semua tindakan mereka itu aku mengetahuinja dari siang2. Maka aku mesti persalahkan diriku sendiri, jang aku telah terlalu berbesar hati. Aku pertjaja bahwa mereka tidak bakal lolos dari tanganku. Lantaran itu, aku tidak mentjegahnja pada waktunja jang tepat. Sekarang ini sajap mereka telah tumbuh. Tahun dulu aku telah mengambil tindakanku, aku angkat anak Hian mendjadi putera mahkota. Sin Soe penasaran karenanja. Aku ketahui apa jang Sin Soe pikir itu. Oleh karena ini aku pertjaja benar dia telah mengirim utusan kepada negeri asing untuk berserikat, walaupun untuk itu tidak ada buktinja dan tuduhan Hian Song melainkan tuduhan sepihak. Menurut undang2, aku mesti mendjatuhkan hukuman mati terhadapnja. Akan tetapi, kalau tindakan itu aku ambil, akibatnja akan luas sekali, pasti bakal merembet, hingga dengan dibunuhnja Sin Soe seorang, urusan tidak akan djadi habis. Aku sudah tua, ambekanku tak seperti dimasa muda. Pula, sehabisnja perang ini, tenaga angkatan perang kita telah terlalu dikurbankan, dari itu aku tidak ingin untuk membangkitkan peperangan lainnja lagi. Urusan, bagaimana besar ataupun ketjil ingin aku menghindarkannja. Begitulah maka aku tjuma merampas kekuasaannja Sin Soe, supaja dia tidak dapat berontak. Mengertikah kau maksudku ?". Wan Djie mendjublak, lalu ia mengangguk.
"Selama dua hari ini aku tak sempat memeriksa surat2-nja para menteri. Ada urusan apakah jang penting ? Tjoba kau menjebutkannja barang satu atau dua, untuk aku mendengar ".
"Tidak ada urusan jang penting terlalu ", Wan Djie menjahut. Tjuma ada seputjuk suratnja Tjoei Hian Wie dan Wan Siok Kie berdua, jang maksudnja ingin memberi pikiran terhadap Sri Baginda ".
"Mereka berdua bangsa djudjur, dengan mereka mau memberi pikiran, mestinja aku telah berbuat keliru. Apakah itu bukannja penting ? Lekas kau djelaskan !".
"Mereka itu menjebutkan dua urusan ", Wan Djie menerangkan.
"Jang pertama mereka mohon Piehee menghentikan usaha membangun pelbagai kuil. Ketika tahun dulu dibangun kuil Tong Hok Sie serta pusat agama Buddha, telah dipakai kuningan dan besi dua djuta kati, dan sangat banjak uang dan tenaga orang dihamburkan. Maka itu mereka mohon Sri Baginda menjajangi rakjat negeri ". Boe Tjek Thian agak terkedjut.
"Telah digunakan begitu banjak kuningan dan besi ?", ia bertanja.
"Kenapa pengurusnja tidak memberitahukan padaku ? Semua itu dibangun pada tahun jang sudah ketika aku menderita sakit, katanja mereka mau memohon restu untuk kesehatanku. Tatkala itu aku pikir bolehlah itu dilakukan, tjuma aku tidak memikir mendalam. Aku tidak sangka sekali mereka djusteru membangun setjara besar2-an hingga mereka men-sia2-kan tenaga rakjat ! Ah, barusan sadja aku menegur puteriku sudah membangun istana Hoe-ma, siapa tahu aku telah melakukan kesalahan jang djauh terlebih besar. Itulah hebat, hatiku rasanja sakit. Jang lainnja ?". Wan Djie bersangsi sedjenak, tetapi ia toh menjahuti .
"Mereka mohon Sri Baginda mendjauhkan diri dari segala siauwdjin dan sebaliknja mendekati para koentjoe ". Boe Tjek Thian terperandjat.
"Siauwdjin"
Jalah manusia rendah atau kurtjatji dan "koentjoe"
Jalah orang budiman dan ksatrija. Itulah hebat.
"Siapakah jang mereka tundjuk sebagai siauwdjin ?", tanjanja.
"Jang dimaksudkan jaitu Thio Ek Tjie serta Thio Tjiang Tjong. Katanja mereka berdua itu jalah menteri2 kesajangan Sri Baginda, bahwa dengan membiarkannja berada di istana keduanja bakal merusak. Dari itu mereka mohon Sri Baginda mengusir mereka berdua itu !".
"Aku melihat mereka pandai main musik, maka itu benarlah aku perlakukan mereka sebagai menteri2 mainan, aku membiarkan mereka berdiam di istana untuk menghibur hatiku. Akulah seorang tua, aku pertjaja tidak bakal muntjul kata2 ngawur. Tapi, mereka itu benar djuga. Dua orang she Thio itu memang bukan bangsa lurus, mereka harus didjaga djangan sampai mereka main gila karena mereka mengandalkan pengaruhku. Baiklah, besok aku akan bubarkan mereka itu ! Sjukur ada orang jang memberi nasihat, djikalau tidak, entah berapa banjak kesalahan lagi bakal diperbuat olehku !".
"Selama hidupnja Sri Baginda, perbuatan baik jang pernah dilakukan pun tidak kehitung banjaknja !", berkata Wan Djie, memperingati. Ratu menggeleng kepala.
"Perbuatan baik memang harus dilakukan, tetapi hal itu tidak berharga untuk dikemukakan ", ia kata.
"Ah, Wan Djie, sekarang giliranku untuk berbitjara dengan kau !". Wan Djie terkedjut mendengar perkataan ratunja ini. Boe Tjek Thian bitjara dengan lagu suara rada ditekan dan romannja pun ber-sungguh2.
"Piehee hendak menitahkan apakah ?", ia tanja.
"Bukan ", kata ratu tjepat.
"aku bukan hendak menitahkankau hanja ingin minta sesuatu ". Si nona mendjadi lebih kaget lagi.
"Oh, Piehee !", katanja.
"Wan Djie seorang berdosa, dia mendapatkan kasihannja Piehee dan dipertjaja, maka itu djikalau Piehee hendak menitahkan sesuatu, meski mesti binasa berlaksa kali, tidak nanti Wan Djie menampik !".
"Bukan ..., bukan itu maksudku ", berkata pula ratu.
"Bahkan aku lebih bersjukur terhadapmu. Selama sepuluh tahun ini telah banjak sekali kau membantu aku. Pula orang jang paling mengerti hatiku mungkinlah kau orang satu2-nja ". Ia berhenti sebentar, ia menarik napas. Lalu ia menambahkan .
"Manusia itu, usianja tudjuh puluh tahun sudah tua, apapula aku jang tahun ini telah berumur delapan puluh. Aku ketahui, hari2-ku jang mendatangi tak banjak lagi. Bitjara bergujon, sebenarnja akulah orang jang sebelah kakinja sudah berada diliang kubur !". Wan Djie mengawasi djundjungannja, jang kulit mukanja telah mengutarakan usia tuanja. Ia pun mendengar, kali ini suara ratu itu bernada sedih. Maka ia berpikir, ratu ini, ratu pertama jang demikian pintar dan pandai memerintah, diachirnja toh tak akan luput dari pulang kedalam tanah kuning. Mengingat ini, ia mendjadi berduka, dengan menahan turunnja air matanja, ia berkata .
"Piehee begini sehat, mengapa Piehee mengutjapkan kata2 ini ?". Boe Tjek Thian tertawa sedih.
"Manusia itu achirnja mesti mati ", katanja perlahan.
"Aku telah berusia landjut sedikitnja aku telah melakukan perbuatan jang lain orang tak dapat melakukannja, maka itu umpama-kata aku mesti mati, aku tidak dapat bilang suatu apa. Hanja sekarang aku masih memberati urusan negara, hatiku tak tenang. Karenanja aku mau minta sukalah kau memikulnja separuh ...". Wan Djie bingung. Ia heran dan berkuatir.
"Ah, Piehee, kata2 Piehee ini bagaikan membunuh aku !", katanja. Ia masih belum dapat hati ratunja ini.
"Wan Djie, kau dengar aku !", berkata Boe Tjek Thian, kali ini sungguh2.
"Apa jang sekarang ini aku bitjarakan donganmu, setiap kata2- nja keluar dari hatiku jang tulus !". Ia menghela napas, untuk melegakan hati, baru ia melandjuti .
"Kau telah mengikuti aku untuk banjak tahun, kau harusnja ketahui apa jang membuat hatiku tidak tenteram. Jalah setelah aku mati nanti, aku tidak tahu siapa dapat menggantikan aku memikul tanggung-djawab negara. Sebenarnja aku berniat menjerahkan tachta-keradjaan kepada Tek Djin Kiat. Sajang peristiwa penjerahan tachta kepada menteri bidjaksana tjuma dapat terdjadi di djaman purbakala. Sekarang ini telah terlalu kokoh itu pikiran bahwa suatu rumah jalah milik satu keluarga. Tegasnja suatu negara kepunjaan orang dari satu she. Karenanja, aku pun tidak dapat menjimpang dari pikiran atau kebiasaan itu. Inilah rahasia hatiku, jang sekian lama aku simpan sadja, belum pernah aku utarakan kepada siapa djuga !".
"Putera mahkota djudjur ", berkata Wan Djie.
"kalau nanti tachta diserahkan padanja, lalu ia dibantu oleh sedjumlah menteri setia dan bidjaksana jang Piehee pudjikan, bukankah itu tak usah dikuatirkan lagi ?". Boe Tjek Thian kembali tertawa sedih.
"Beberapa puteraku itu semuanja tolol ", katanja.
"Putera mahkota memang lebih djudjur tetapi dia bukanlah itu orang jang dapat bertanggung-djawab untuk urusan negara. Sedangkan beberapa keponakanku, mereka bukanlah machluk2 jang baik ! Puteriku ? Dia memikir untuk beladjar darl aku tetapi dia tjuma dapat mempeladjari sadja bulu rambut dan kulitku ! Puteriku itu terlalu kemaruk dengan kekuasaan dan pengaruh, djikalau aku telah menutup mata dan tidak ada orang jang mengendalikannja, aku kuatir dia bakal menimbulkan bentjana besar ". Ratu berhenti bitjara, untuk menghirup air teh. Ia beristirahat untuk melegakan napasnja.
"Baiklah Piehee beristirahat dulu, sebentar baru bitjara lagi ". Wan Djie minta, membudjuk.
"Tidak ...", berkata ratu.
"Djikalau aku tidak bitjara sekarang, dibelakang hari mungkin tidak ada ketikanja lagi. Peristiwa Boe Sin Soe itu membuatnja aku lebih berputus-asa terhadap anak2-ku, terhadap keponakan2-ku! Aku djadi terlebih berduka ! Setelah aku mati, sembarang waktu bisa terdjadi sesuatu jang berbahaja. Maka itu aku mau minta kau, aku mau minta kau mendjadi menantuku ! Putera mahkota boleh mendjadi baik, boleh dia mendjadi buruk, dengan kau mendjadi pembantu dalam dari dianja, baru aku mati pun puas !". Lie It ditempat sembunjinja dibelakang kelambu kaget bagaikan ditimpa guntur. Baru sekarang ia mengerti, kesulitannja Wan Djie jalah ini dianja ! Orang jang dia tidak tjintai, tetapi orang dengan siapa dia akan dapat menikah, kiranja thaytjoe, putera mahkota ! Mukanja Wan Djie mendjadi putjat-pasi. Ia kaget bukan alang-kepalang. Sampai sekian lama, ia masih belum dapat memberikan djawabannja. Sebenarnja satu tahun jang lalu pernah Boe Tjek Thian menimbulkan soal djodohnja ini. Itu waktu Boe Hian Song dan Thay Peng Kongtjoe jang diminta mengutarakannja kepadanja. Sekarang Ratu sendiri jang membitjarakannja, untuk pertama kalinja. Selagi orang terbengong, Boe Tjek Thian meng-usap2 rambut jangbagus dari nona jang tjantik dan pintar luar biasa itu, ia memperlihatkan sinar mata dan sikap jang lunak dan menjajangi. Ia menghela napas ketika ia berkata pula .
"Anakku memang totol dan perdjodohan ini pastilah sangat menindih hatimu. Tjoba ada lain djalan, tidak suka aku menikahkan kau dengannja. Tapi untuk kepentingan negara, terpaksa aku mengharap kau sudilah mendjadi nona mantuku. Telah banjak tahun kau turut aku, kau mengarti baik urusan pemerintahan, maka dari itu, pikulanku melainkan kaulah jang dapat memikulnja. Kau bukan tjuma dapat membantu puteraku itu. Dibelakang hari, andaikata timbul perselisihan diantara kedua keluarga Lie dan Boe, kau dapat madju ditengah untuk mendamaikannja ". Kedua mata Wan Djie meneteskan air matanja, jang djernih.
"Piehee, aku bersjukur sekali jang Piehee begini menghargakan aku ", ia berkata perlahan .
"Akupun bersjukur jang Piehee demikian mengharapkan dari aku dan menaruh kepertjajaan sangat besar. Tentang ini aku masih harus memikirnja dulu ". Ratu mengeluarkan sapu tangannja, ia sendiri menjusuti air matanja panitera itu. Kemudian ia mengawasi dengan tadjam.
"Wan Djie ", tanjanja.
"bukankah kau mempunjai orang jang dipenudju olehmu ?". Si nona menjingkir dari tatapan matanja ratu itu, ia menggeleng kepala. Sekedjab itu didepan matanja berbajang Lie It, didalam hatinja ia bertanja .
"Dia sudah datang atau belum ? Didalam hatiku ada dia, entah aku ada didalam hati dia atau tidak. Ratu sendiri, tak puas dia dengan djodohnja, untuk negara dia telah mengurbankan keberuntungan hidupnja, karena itu, apakah aku harus mengambil djalan seperti djalannja dia ?". Katjau pikirannja Wan Djie. Benar2 ia tidak dapat segera mengambil keputusannja. Sambil menanti djawaban, Ratu membulak-balik surat2 di atas medja.
"Lie It sudah kembali ke Tian-gan, tahukah kau ?" ,tiba2 ia menanja. Dua2 Lie It dan si nona Siangkoan terperandjat, hati mereka terkesiap. Hebat pertanjaan itu. Njata sekali sangat terang telinganja sang ratu. Dengan tidak menanti penjahutan, Ratu melandjuti kata2-nja sabar ."Hari ini ketika dilakukan penangkapan kepada mata2 di istana-nja Sin Soe, Lie It turut mengambil bagian. Beberapa touwtong dari Kim-wie-koen telah mengadjukan laporannja padaku ". Wan Djie berdiam.
"Lie it seorang berbakat ", berkata pula ratu kemudian menghela napas.
"sajangnja dia tetap berkukuh bahwa negara ini miliknja Keluarga Lie, dan terhadapku, dia menentang sangat. Entahlah sekarang, dia telah mengubah sikapnja atau belum ... Katanja dimasa ketjil, kau dengan dia bergaul rapat sekali. Dapatkah kau berbitjara dengannja ? Djikalau dia suka membantu putera mahkota, akan aku mengangkat dia mendjadi radja muda dan aku akan mengangkat kau mendjadi isterinja ". Gelaran radja-muda itu jalah Tjin-Ong, 'prins', dan isterinja, Ong- hoei, 'prinses'. Hati Wan Djie berdebaran, ia tunduk pula. Seperti djuga ia berbitjara seorang diri, ia kata, perlahan .
"Itu kedjadian sudah lama, lama sekali. Didalam hati dia telah ada seorang lain ".
"Benarkah ?", Ratu bertanja.
"Aku tak ketahui itu. Sebenarnja, bitjara untuk pihakku sendiri, pasti sekali aku masih mengharapi kau mendjadi menantuku. Sekarang ini keadaan sudah sangat mendesak, mungkin aku bakal tidak hidup lebih lama pula. Wan Djie, Aku menanti djawabanmu !". Masih si nona berpikir.
"Piehee ", katanja.
"aku minta sitkalah kau memberi waktu tiga hari padaku ". Boe Tjek Thian bersenjum.
"Baiklah !", sahutnja.
"Waktu tiga hari mungkin aku masih dapat menantinja ". Habis menjahut itu, ratu mengangkat kelenengan dari atas medja dan membunjikannja, memanggil seorang dajang.
"Hian Song sudah kembali atau belum ?", tanjanja setelah si dajang muntjul.
"Telah ada orang pergi menanjakan ke istana Leng Po Kiong, katanja koentjoe masih belum kembali ", sahut dajang itu. 'Koentjoe' jalah puteri atau anak perempuan dari seorang pangeran, 'prins', tingkat satu. ("Koentjoe"
Jang berarti "puteri"
Dan "koentjoe"
Jang berarti "orang budiman", walaupun dibatjanja sama, berlainan huruf Tionghoanja). Ratu mengerutkan alis. Ia kata seorang diri .
"Heran ! Apakah benar2 disana telah terdjadi sesuatu ?". Lantas ia mengibaskan tangannja, memerintahkan si dajang mengundurkan diri. Terlihat njata bahwa ia tak tenteram hatinja. Menjaksikan sikap luar biasa ratu itu, hati Wan Djie kembali terkesiap. Kali ini karena herannja untuk ratu ini. Sudah hampir sepuluh tahun ia mendampingi ratu, djarang ia menjaksikan keadaannja serupa ini. Bahkan ketika pemberontakannja Tjie Keng (Giap), ratu masih dapat berbitjara sambil tertawa. Maka itu mungkinkah diwaktu aman-sentosa ini dapat terdjadi peristiwa jang lebih hebat daripada pemberontakannja Tjie Keng itu ? "Kenapakah entjie Hian Song tidak ada didalam keraton ?"
Ia tanja.
"Aku mendengar kabar ada sedjumlah anggauta Kim-we-koen jang hatinja berubah, maka itu aku kirim Hian Song kepada Lie Beng Tjie untuk mentjari tahu ", menjahut ratu. Wan Djie terkedjut. Baru sekarang ia ketahui sebabnja kenapa HianSong tidak mendampingi ratu itu. Ini pula sebabnja kenapa ratu demikian mendesak dalam urusan djodohnja putera mahkota. Ia berpikir tjepat, lantas ia berkata .
"Lie Beng Tjie ialah orang kepertjajaan Piehee. Perwira2 dari Kim-wie-koen dan Ie-lim-koen djuga orang2 jang menundjang kepada Piehee, karenanja mungkin berita itu berita angin belakan". Boe Tjek Thian menggeleng kepala.
"Ada hal2 jang suka terdjadi diluar dugaan ", katanja.
"Peristiwa sematjam itu, semakin kau kurang pertjaja, semakin mungkin terdjadinja. Baiklah aku pergi lihat ". Ratu berbangkit dengan tubuhnja sedikit terhujung. Wan Djie Iekas2 memajangnja. Baru mereka tiba diambang pintu, terlihat Thay Peng Kongtjoe datang sambil ber-lari2.
"Ibu, tjelaka !", seru puteri itu.
"Ada pemberontakan tentara ! Mereka sudah menjerang ke istana ...!".
"Siapakah jang memimpinnja ?", tanja Boe Tjek Thian.
"Tahulah ", mendjawab puteri itu.
"Diluar katjau sekali ! Baiklah ibu djangan keluar ! Aku telah menitahkan Thio Ek Tjie berdua saudara pergi mengepalai pasukan Sioe Wie Koen !".
"Ngatjo !", Ratu membentak.
"Djikalau tidak sekarang aku keluar, siapa lagi dapat mengendalikan mereka ? Persaudaraan Thio Ek Tjie tahu apa ? Kau lantjang mengerahkan. pasukan Sioe Wie Koen, kau melanggar aturanku ! Apakah kau masih belum menginsafi dosamu ?. Dengan ketakutan Thay Peng Kongtjoe berlutut, meng-angguk2.
"Sri Baginda Ibunda, aku lakukan ini untuk keselamatanmu ", ia berkata.
"Kau tjuma ketahui membuat kesulitan untukku !", bentak Ratu, gusar.
"Wan Djie, mari kau temani aku! Aku mesti mengurus sendiri kerusuhan itu !". Hanja sekedjab sadja, Boe Tjek Thian telah mendjadi seorang jang lain. Ia sekarang bersemangat tetapi sikapnja tenang. Lie It kagum melihatnja. Dipihaknja sendiri, pangeran ini pun heran mendengar huru-hara tentara itu. Baru Wan Djie memimpin Ratu satu tindak, tiba2 terlihat lari datangnja dua orang pengawal. Mereka itu berkata njaring .
"Pemberontak sudah memukul petjah pintu Tjoe Tjiak Koei ! Mereka lagi merangsak ke pendopo Leng Po Tian ! Kedua Thio Taydjin telah dibinasakan kaum pemberontak !". Jang dimaksudkan dengan "kedua Thio Taydjin"
Itu jalah Thio Ek Tjie dan Thio Toeng Tjiang, orang2 jang menurut Thay Peng Kongtjoe tadi telah diperintahkan puteri ini untuk mengerahkan pasukan Sioe Wie Koen.
"Djikalau kedua orang she Thio itu bersalah ", kata ratu, tidak senang.
"mereka harus diserahkan pada pengadilan Tay Lie Sin untuk diperiksa. Kenapa mereka lantjang dibunuh ? Siapakah lagi jang telah kena dibinasakan ?".
"Pertempuran didalam istana katjau sekali, ada beberapa serdadu Sioe Wie Koen jang telah terbinasa ", mendjawab kedua pengawal itu.
"Siapakah jang memimpin pasukan pemberontak itu ?".
"Diantaranja ada Thio Siangkok, Poan Gan Hoan, Keng Hoei, Tjoei Hian Wie dan Wan Siok Kie ". Air mukanja Ratu mendjadi guram.
"Sekalipun mereka djuga turut berontak ?", katanja, suaranja menggetar. Thio Siangkok semua adalah menteri-menteri jang Boe Tjek Thian pertjaja setia dan djudjur, karenanja ia berduka sangat mengetahui mereka itulah jang berontak dan menjerang ke istana. Diantara mereka itu, Tjoei Hian Wie dan Wan Siok Kie adalah dua orang jang dipudjikan Wan Djie, maka itu, si nona turut mendjadi tidak tenteram hatinja. Menteri2 itu tapinja bukan berontak untuk membinasakan Boe Tjek Thian, mereka bertindak guna menundjang putera mahkota, supaja putera mahkota diangkat mendjadi kaisar. Mereka itu melihat usia ratu makin meningkat, disamping itu, dua saudara Boe menguasai pemerintahan, mereka berkuatir sekali. Gerak-gerik dua saudara Boe itu mengantjam pemerintahan. Djusteru itu timbullah Peristiwa Boe Sin Soe. Merekalah orang2 jang menentang Boe Sin Soe. Mereka ketjele akan putusan Ratu, jang tjuma memetjat semua pangkatnja Boe Sin Soe tetapi tidak gelarannja selaku Goei Ong (Pangeran Goei). Dengan Boe Sin Soe tetap mendjadi pangeran dan tetap djuga menduduki istananja, setiap waktu dia dapat bangun pula. Sebagai pangeran, dia masih berpengaruh dan dapat mengumpulkan kontjo2. Mereka djadi semakin berkuatir. Umpama kedjadian Ratu wafat dan kedua saudara Goei turun tangan, tjelakalah negara, Demikian, mereka lantas menggunai ketikanja ini jang baik, mereka berontak. Mereka minta Ratu mengundurkan diri, supaja putera mahkota segera naik mendjadi kaisar, hingga bangunlah pula Keluarga Lie atau Keradjaan Tong. Boe Tjek Thian belum ketahui maksudnja sekalian menteri itu, bahwa mereka itu menjerbu ke istana sebab mereka menghadapi perlawanan. Dengan tjepat ia mendapat pulang ketabahan hatinja. Maka ia urus dengan penuh kepertjajaan .
"Aku tidak pertjaja mereka itu akan mentjelakai aku. Wan Djie, mari pimpin aku keluar, biarlah mereka menemui aku !".
"Tetapi, ibu ", berkata Thay Peng Kongtjoe, jang hendak mentjegah.
"baik ibu ingat itu pepatah 'Melukis harimau dapat melukis kulitnja tidak tulang2-nja. Mengenal orang dapat mengenal mukanja tidak hatinja'. Ada kemungkinan orang2 jang ibu pertjaja djusteru orang2 janghendak mentjelakai. Apakah sampai disaat begini ibu masih mempertjajai mereka itu ? Didalam keraton ini bahaja mengantjam diempat pendjuru ". Puteri itu baru mengutjap demikian atau kedua boesoe, pengawal jang barusan datang dengan ter- gesa2 dengannja, berseru njaring . ,He, didalam ruangan ini ada pembunuh jang sembunji !". Lantas jang satu, jang berada didepan, mengajun tangannja, melontarkan sebilah pisau belati kearah kelambu !. Itulah Lie It. jang dibokong. Bukan main kagetnja pemuda itu. Dalam keadaan biasa, tidak nanti ia kena diserang setjara demikian, tetapi sedjenak itu, ia pun katjau pikirannja. Tiba2 ia mendengar kelambu tertusuk, atau tahu2 pisau belati sudah mengenakan lengan kirinja !. Berbareng dengan itu pengawal jang lainnja djuga berlompat madju, untuk menjerang. Dia ini menggunai golok jang tersoren dipinggangnja, jang ia tjabut dengan sebat sekali. Berbareng dengan ditjabutnja golok itu, disitu pun terdengar suara njaring, lalu terlihat golok itu terpatah mendjadi dua potong, jang mana disusul dengan teriakannja Thay Peng Kongtjoe .
"Wan Djie, kau ...". Memang Nona Siangkoan, dengan menggunai pisau belati pengasi Ratu, telah menurunkan tangan, menghadjar golok si pengawal.
"Diam semua !", berseru Boe Tjek Thian, jang segera mengerti duduknja hal "Ibu ", berkata si puteri.
"tjoba tanja Wan Djie, die dia kenapa ?". Djangan banjak mulut !". Ratu membentak pula, tangannja diangkat, segera ia teruskan berkata, menanja ."Oh, kau telah pulang ? Bukankah kau hendak menemui Wan Djie ?". Pertanjaan itu diarahkan kepada Lie It. Pangeran itu keluar dari tempatnja sembunji, ia menghadapi Boe Tjek Thian dan Wan Djie, ia mengawasinja bergantian. Sesaat itu ia membungkam, karenanja tak tahu ia harus mengutjapkan apa.
"Sajang sekarang ini sudah tidak ada ketikanja untuk berbitjara denganmu !", berkata Ratu.
"Kau sudah pulang, bagus ! Sebentar, setelah aku membereskan urusan, akan aku mengasi ketika untukmu memasang omong dengan Wan Djie ". Wan Djie sendiri mendadak berseru .
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, kau terluka ? Itulah sendjata rahasia jang dipakaikan ratjun ! Bagaimana bagaimana? ". Lukanja Lie It itu mengutjurkan darah dengan darahnja berbau amis, darah itu pun berwarna gelap. Ketika ia mendengar perkataan si nona, mendadak ia merasakan lukanja sakit dan ia pun mual, ingin muntah2. Thay Peng Kongtjoe melengak sebentar, lalu lekas ia mengeluarkan sebuah peles kemala, dari mana ia menuang dua butir obat pulung, seraja terus ia berkata .
"Inilah obat Tjit Po Tan dari istana, chasiatnja untuk memunahkan beratus matjam ratjun ! Lekas kau makan !". Sembari berkata begitu, obat itu ia serahkan ditangannja Wan Djie. Ketika itu Nona Siangkoan lagi ditarik Ratu, untuk diadjak keluar, ia tidak sempat berpikir. Ia pun tidak menduga djelek sama sekali. Maka lekas2 ia serahkan obat itu kepada si pangeran untuk Lie It segera menelannja. Tidak pernah Wan Djie menjangka djelek kepada Thay Peng Kongtjoe, sedang puteri ini mengandung tjita2 besar. Dia telah melihat ibunja mendjadi ratu, dia mengagumi itu kedudukan agung. Dia menghendaki, dia meng-harap2 mendjadi ratu djuga. Sajang untuknja, dan dia sangat menjesal, tachta bukan diwariskan kepadanja hanja kepada kakaknja. Boe Sin Soe liehay, dia mendapat tahu tjita2-nja puteri itu. ia menggunai kelitjinannja untuk membaiki sang puteri. Ia mendjandjikan bantuannja. Ia kata, umpamakata puteri tidak dapat mendjadi kaisar, sedikitnja harus berpengaruh dalam pemerintahan. Karena ini, dengan sendirinja, Thay Peng. Kongtjoe mendjadi kontjonja Goei Ong. Ia tjerdas, ia dapat menjimpan rahasia, maka itu ia membaiki Wan Djie, ia pula meng-ambil2 hatinja Ratu. Ia berhasil membuatnja si nona dan Ratu tidak bertjuriga. Boe Tjek Thian tjuma melihat puterinja itu rada berandalan, ia tidak menjangka djelek, ia menduga itulah sebab puterinja sedikit termandjakan. Dengan dapat bergaul erat dengan Siangkoan Wan Djie, Thay Peng Kongtjoe dapat menangkap hatinja si nona. Ketika ia mendengar kabar Lie It sudah pulang ke kotaradja, ia merasa pasti tentulah pangeran itu bakal menempuh bahaja nelusup masuk kedalam istana, guna menemui Wan Djie. Karena ketjerdasannja, ia dapat memikir akal. Diantaranja, ia menugaskan seorang kebiri jang mendjadi orang kepertjaannja untuk mengawasi gerak-geriknja Boe Hian Song dan Siangkoan Wan Djie. Demikan ia mendapat tahu Hian Song pulang dengan mengadjak seorang kebiri. Ia, mendjadi tjuriga, ia lantas menjangka keras pada Lie It. Oleh karena itu, ia lantas membudjuki Ratu pergi kekamarnja Hian Song untuk menantikan Wan Djie disana. Kebetulas sekali, Ratu hendak menemui nona itu. Selagi Ratu bitjara dangan Wan Djie, selagi ia diminta keluar, ketikanja akan tjari dajangnja Thay Peng Kongtjoe mengenai Hian Song, untuk mengorek keterangan dari mulut si dajang. Dajang ini berbitjara dengan puteri, ia tahu puteri itu bergaul erat dengan Wan Djie dan nonanja, ia memberi keterangan djelas, ia tidak insjaf bahwa itulah rahasianja Wan Djie. Setelah mendapat keterangan itu, jang membikin iagirang sekali, Thay Peng Kongtjoe menugaskan satu orangnja untuk menotok dajang itu, agar dia tidak membotjorkan rahasia. Dengan lantas ia mengumpulkan serombongan pengawal jang mendjadi orang2 kepertjajaannja. Djusteru itu, kebetulan sekali terbit penjerbuan ke istana, maka ia menggunai ketika ini untuk kembali kedalam, niatnja jalah buat memergoki Lie It. Ia menduga djikalau Lie It terbekuk Wan Djie bakal ke-rembet2. Tapi ia ketjele. Ratu tidak menegur Siangkoan Wan Djie, dan terhadap Lie It sendiri, Ratu agaknja berkesan baik. Ia djadi merasa tidak enak, ia mendjadi berkuatir. Kalau Wan Djie jang pintar dibantu Lie It jang gagah, kadudukannja bisa djadi guntjang, maka itu, ia mendjadi nekad. Demikianlah ia berikan obatnja, jang ia kata obat istana jang mandjur, sedang sebenarnja itulah ratjun. Wan Djie polos, ia kena diperdajakan, hingga Lie It kena makan ratjun itu. Suara berbisik diluar sementara itu terdengar semakin njata. Itu artinja kaum pemberontak telah merangsak semakin dekat. Lantas datang dua orang kebiri jang memberitahukan bahwa kaum pemberontak sudah memasuki keraton Kian Goan Kiong.
"Wan Djie, apakah kau takut ?", Ratu tanja.
"Dengan ada disamping Piehee, apa pun tak aku takuti ", sahut si nona.
"Djikalau kau benar tidak takut, mari lekas !", berkata pula Ratu.
"Apakah jang kau hendak tunggu?". Disaat seperti itu, sudah pasti Wan Djie mesti turut Ratu. Maka itu, dengan mengembeng air mata, ia mengangkat kakinja. Baru djalan dua tindak, ia menoleh kepada Lie It. Ia menjesal bukan main. Setelah dengan susah- pajah si pangeran dapat bisa selundupi kedalam istana, mereka berdua masih tidak dapat ketika berbitjara. Lie It sendiri merasa tersiksa akibat bekerdjanja ratjun jang menjerangnja dari luar dan dalam, jalah keratjunan luka dan memakan pil. Ia merasakan kedua matanja gelap. Rasa dingin pun menjerang hatinja. Walaupun demikian, ia masih melihat Thay Peng Kongtjoe saling bersenjum dengan kedua pengawal. Tiba2 sadja muntjul ketjurigaannja. Segera ia menguatkan hati, ia lari kepada Wan Djie. Baru dua tindak, ia sudah meneriaki nona itu.
"Wan Djie !". Nona itu menoleh. Ia terkedjut melihat muka orang putjat.
"Kau kenapa ?", tanjanja. ,,Akan aku turut kau !", berkata pangeran itu.
"Tidak dapat !", Boe Tjek Thian berkata.
"Aku tidak menghendaki lain orang terlibat dalam urusanku ini !".
"Aku pun tidak ingin turut terlibat !", berkata Lie It.
"Aku hanja tidak dapat berdiam didalam keraton ". Wan Djie bingung. Ia tidak menjangka Lie It telah kena makan ratjun. Ia tjuma duga pangeran itu terganggu ratjun pada lukanja, jang darahnja belum mau berhenti mengalir keluar meski si anak muda telah makan obat "pemunah"
Ratjun. Maka ia pikir.
"Sekarang keadaan lagi katjau, tentera pemberontak dan barisan Sioe Wie Koen tidak kenal dia, dia benar terantjam. Keluar tidak bisa, berdiam sadja pun berbahaja ". Karena ini, lantas ia kata pada Ratu .
"Piehee, dia tidak mau berdiam didalam keraton, baiklah dia dititahkan keluar dari djalan rahasia ".
"Baiklah ", menjahut Boe Tjek Thian, jang meluluskan permintaan itu.
"Surulah Djie Ie jang mengurusnja dan mengantarkan dia keluar !", Kepada Lie It, ia pun berkata .
"Lie It, aku berbuat begini untukmu, inilah tindakanku jang luar biasa, maka dari itu, djangan nanti kau membotjorkan bahwa didalam keraton ada djalanan rahasia !". Ratu berkata tanpa berhenti bertindak. Dengan tangannja ia memegangi pundaknja Siangkoan Wan Djie. Maka itu, habis ia berbitjara, mereka sudah sampai di sebuah tikungan. Disitu Wan Djie menoleh untuk penghabisan kali, air matanja terlihat mengembeng. Lie It pun mengawasi nona itu, sampai orang lenjap dari depan matanja. Ia merasa sangat berduka. Djusteru itu ia melihat seorang dajang ber-lari2 kearahnja. Tiba didepannja, dajang itu tertawa dan berkata .
"Tianhee, apakah tianhee masih mengenali aku ?". Dialah Djie Ie, budak kepertjajaan-nja Hian Song, bahkan dia pernah turut nonanja pergi kegunung Ngo-bie-an, ditempat orang2 gagah mengadu kepandaian. Dengan datangnja Djie Ie ini, gagallah maksud terlebih djauh dari Thay Peng Kongtjoe. Itu pun berarti keberuntungannja Lie It. Sebenarnja puteri itu berniat menjuruh kedua pengawalnja membinasakan si pangeran seperginja Ratu. Dengan muntjulnja Djie Ie, tak berani puteri itu bertindak lebih djauh. Ia kenal baik kegagahan dajang ini. Tapi ia litjin. Maka ia tertawa dan berkata pada si pangeran .
"Lie It, kau baik2-lah merawat lukamu. Djikalau nanti kekatjauan sudah redah, lekas2 kau kembali ke istana, Wan Djie pasti menunggui kau !".
"Terima kasih, Kongtjoe ". mengutjap Lie It.
"Tidak dapat aku datang pula ke istana ini. Djie Ie, mari kita pergi !". Djie Ie lantas bekerdja. Ia menggeser pembaringan jang besar. Dibelakang itu, ia membuka sepotong batu lebar. Maka terbukalah sebuah liang atau guha. Dibawah itu jalah djalanan dalam tanah, jang disediakan kalau2 dalam istana terbit bahaja. Djalanan itu mempunjai beberapadjalanan untuk sampai diluar. Djie Ie mengambil satu diantaranja. Bahwa Boe Tjek Thian memberikan idjin digunainja djalan rahasia itu, itulah tanda bahwa ia berkesan baik terhadap si pangeran. Djie Ie memberi hormat kepada Thay Peng Kongtjoe, terus ia memesan .
"Kongtjoe, apabila Kongtjoe bertemu dengan nona-ku, tolong kau memberitahukannja bahwa aku pergi mengantarkan tianhee keluar dari istana ".
"Baik, pergilah kalian dengan hati tenang ", mendjawab puteri. Nampak baik sekali sikapnja pateri ini. Tetapi, begitu lekas Djie Ie dan Lie It menghilang didalam pintu rahasia, ia pun berlalu dengan tjepat dengan mengadjak kedua pengawalnja itu. Lie It berdua Djie Ie djalan ditangga batu. Si nona jang membuka djalan. Untuk memperoleh tjahaja terang, Lie It menghunus pedang mustikanja. Ia dapat menguatkan hati, hingga sedjenak itu ia melupai rasa sakitnja, ia melawan kerdjanja ratjun, hingga ia pun dapat menggunai matanja dengan baik. Meski begitu, baru berdjalan turun tudjuh tindak, Ia merasakan kepalanja pusing. Jang hebat jalah ketika ia merasakan peparu dan perutnja seperti djungkir-balik. Tak dapat ditahan lagi, kakinja lemas, lalu ia djatuh tergelintjir. Djie Ie kaget tidak terkirakan. la lompat menubruk, untuk mengasi bangun.
"Kau kenapa, tianhee ?, tanjanja. Lie It tidak pingsan. Ia menjedot hawa, lalu menghembuskannja.
"Tidak apa ", sahutnja.
"Mari kita lekas pergi ". Sebenarnja pangeran ini terserang hebat. Ratjun lagi bekerdja keras sekali. Sjukur untuknja, sebelum masuk ke istana, ia telah makan pel Pek Leng Tan pemberiannja Hian Song. Itulah bukan obat jang tepat tetapi itu dapat menambah kekuatan tubuhnja, dibantu tenaga-dalamnja, jang ia kerahkan, dapat ia menahan serangan ratjun itu. Ratjun dan tangannja, jang mau bersalurkan ke ulu-hatinja, dapat dipukul mundur. Baru sekarang Lie It dapat berpikir. Ia djadi bertjuriga.
"Mungkinkah obatnja puteri obat untuk mempunahkan ratjun, hanja itu djusteru ratjun adanja ?", demikian ia men-duga2.
"Sebenarnja siotjia hendak mengadjak aku ke Kim-wie-koen ", berkata Djie Ie.
"baru kita sampai di Tjeng Hoa Moei, hati siotjia terasa tidak enak. lantas dia menjuruh aku kembali. Diluar dugaan, tianhee benar2 kena dipergoki. Sungguh berbahaja! Tahukah tianhee tjaranja kau dapat diketahui ?". Hati Lie It bertjekat. Ta mengawasi dajang itu.
"Bagaimana itu ?", ia tanja. ,,Begitu aku kembali, aku mendengar Thay Peng Kongtjoe lagi mengorek keterangannja dajang ", berkata Djie Ie.
"Dajang itulah jang membuka rahasia tianhee bersembunji didalam kamarnja siotjia. Setelah itu Kongtjoe mengadjak dua orang pengawalnja. Aku lantas menduga Kongtjoe bermaksud tak baik terhadap tianhee. Sekarang aku melihat sikap Kongtjoe tidak ada ketjelanja. Mungkin aku terlalu bertjuriga. Bagaimana tianhee mendapatkan lukamu ini ?". Mendengar keterangannja si dajang, Lie It lantas mendusin.
"Benarlah Thay Peng Kongtjoe berniat merampas djiwaku ", pikirnja.
"Djikalau tidak Boe Tjek Thian menitahkan Djie Ie mengantarkan aku keluar dari sini, pastilah aku sudah mendjadi si setan dungu jang berpenasaran ". Ia lantas menuturkan bagaimana ia kena dibokong. Djie Ie terkedjut.
"Pengawal itu mendjadi orang kepertjajaan-nja Kongtjoe ", ia menerangkan.
"Terang Kongtjoe ketahui tianhee berada didalam kamar, dia djusteru membiarkan pengawalnja menjerang. Inilah hebat! Mari kita lekas pergi, mari lekas! Kita mesti djaga kalau2 ada jang menjusul kita !". Keduanja lantas lari diterowongan jang gelap. Disitu tidak terdengar lain ketjuali suara tindakan kaki mereka.
"Terima kasih, Djie Ie ", berkata Lie It. Ia lega djuga hatinja. Ia mau pertjaja bahwa tidak ada jang kedjar.
"Buat apa mengutjap terima kasih padaku ?", berkata si dajang tertawa.
"Selajaknja kau menghaturkan terima kasih pada nonaku !".
"Benar ...", berkata Lie It.
"Nonamu itu telah beberapa kali menolongi aku dan aku masih belum mengutarakan rasa sjukurku terhadapnja ".
"Tjukup asal kau ketahui itu!", berkata Djie Ie.
"Aku menjangka didalam hatimu tidak ada nona-ku itu ! Tahukah tianhee bahwa selama sembilan tahun selalu siotjia menantikan kau ?". Lie It melengak, hatinja berdebaran. Kalau begitu, benar2 Hian Song menjintai ia. Dangan begitu, diwaktu si nona mempertemui ia dengan Wan Djie, entah bagaimana sakit hatinja dia, jang mesti mengurbankan kepentingan sendiri. Dia sungguh harus dikagumi dan dikasihani. Oleh karena bergeraknja perasaan hatinja ini, kembali Lie It terserang ratjun didalam tubuhnja itu. Dengan tjepat ia melawannja pula. Dengan tjepat ia melandjuti larinja. Djie Ie terus mendampinginja. Sesaat kemudian, tibalah mereka diudjung dari djalanan dalam tanah itu. Tiba2 mereka mendengar apa2. Djie Ie kaget.
"Tjelaka !", dia berseru seraja tangannja segera diajun. menerbangkan dua rupa benda jang mengeluarkan tjahaja berkeredep. Dia pun menarik tangan Lie It, untuk diadjak berlompat ke mulut djalanan rahasia itu. Diluar itu terdengar suara mendjerit. Djie Ie bersama si pangeran lantas tibadimulut terowongan itu. Tangan Djie Ie diulur, menekan kepada alat rahasianja. Dengan begitu maka terbukalah pintu rahasia, itu pintu jang terbuat dari batu. Diatas itu pun terus terlihat suatu pintu gantung jang berat, jang bagaikan pintu air tengah turun dengan tjepat. Djalan rahasia itu, ketjuali pintu batunja, diperlengkapi pula dengan pintu gantung itu, jang beratnja ribuan kati. Pintu ini penting, dapat dikasi turun ,apabila orang sudah keluar dari mulut pintu itu, guna menghalangi orang jang mengedjar atau memegat. Kalau orang mesti kembali kedalam, itu waktu dapat diambil terowongan jang lainnja. Pintu gantung itu tidak dapat digeser ketjuali alat rahasianja jang dikasih bekerdja. Pintu itu djusteru dikasi turun oleh kedua boesoe. Itulah sebab jang menerbitkan suara, jang membikin Djie Ie kaget. Karena dajang ini mengenali baik suara itu suara apa. Itu pula sebabnja dia lantas menjerang dengan sendjata rahasianja. Seorang boesoe terserang sebelah lengannja, dia mendjerit kesakitan. Tidak demikian, pintu gantung itu pasti sudah turun hingga ditanah. Djie Ie berlompat membuang diri sambil terus bergulingan, untuk lewat dibawahan pintu gantung itu. Lie It pun menjontoh si dajang. Apa-mau, ia kurang gesit. ia terlambat. Selagi ia rebah tjelentang, daun pintu sudah turun. Maka ia terantjam akan ketindihan. Kalau itu terdjadi, akan gepenglah tubuhnja. Ia masih ingat untuk mempertahankan diri. Sembari tjelentang, ia mengangkat kedua tangannja, Ia mengerahkan seluruh tenaganja, untuk menanggapi dan menahan daun pintu itu, habis mana, sebat luar biasa, ia menggeser tubuhnja, ia melepaskan tangannja. Tepat ia menggeser, tepat daun pintu itu turun habis. Hampir sadja !. Dengan gerakan "Ikan gabus meletik", Lie It mentjelat bangun. Djusteru itu, kedua boesoe jang menggeraki pesawat rahasianja pintu gantung itu pun sudah berlompat turun dari tembok, maka kedua pihak djadi berdiri ber-hadap2-an. Djalan rahasia itu membawa orang keluar ke sebuah tempat sunji diluar kotaradja. Mulanja melihat orang hanja berdua, hati Lie It lega. Tapi setelah ia melihat tegas muka orang, ia terkedjut. Ia mengenali bekas rekannja didalam tangsi Sin Boe Eng. Jang satu jalah Tjoei Tiong Goan, murid ahli pedang Tjia Pouw. Tiong Goan itu, semasa belum masuk dalam tangsi itu, namanja sangat terkenal di lima propinsi Utara. Jang lainnja jalah Tjioe Tay Lian, djuga seorang djago dalam barisan pengawal istana. Ketika Lie It menjamar sebagai Thio Tjie Kie, bersama mereka itu ia turut dalam udjian. Tay Lian pernah menundjuk ketangguhannja dengan meremas hantjur seraup katjang dan Tiong Goan dengan Leng Wan Kiam-hoat, ilmu pedang Kera Sakti, dapat mendjagoi. Hanja ketika Lie Beng Tjie mentjoba Lie It dengan Tiong Goan itu, Lie It berlaku murah hati, hingga mereka mendjadi seri. Sekarang Lie It lagi terluka, menghadapi dua pengawal itu, ia gentar djuga hatinja.
"Lie It, kau masih hendak kabur?". Tjoei Tiong Goan menegur sambil tertawa lebar "Mari, mari kita main2 pula !".
"Saudara Tjoei ", berkata Lie It.
"diantara kita tidak ada permusuhan, mengapa kau begini mendesak padaku ?".
"Memang kau tidak bermusuh denganku tetapi tidak demikian dengan Thay Peng Kongtjoe !", sahut orang she Tjoei itu.
"Kongtjoe tidak dapat mengasih ampun pada kau ! Baiklah kau mendjadi setan penasaran! Kau pergi mendakwa kepada Radja Acherat ! Aku menerima titah madjikanku, djangan kau sesalkan aku ! Sudah, djangan ngobrol pula, silahkan kau geraki pedangmu ! Ah, kemana pergi kegagahanmu selama dalam tangsi Sin Boe Eng ?". Dua2 Tiong Goan dan Tay Lian itu, dari tangsi Sin Boe Eng dipindahkan dalam pasukan Sioe Wie Koen. Thay Peng Kongtjoe mendapat tahu mereka liehay, mereka diambil mendjadi orang kepertjajaan. Sekarang mereka dititahkan puteri jang djelus itu untuk mengambil kepalanja Lie It, maka itu Tiong Goan berlaku bengis. Lie It mogok, ia mendjadi gusar.
"Baiklah, Tiong Goan !", ia mendjawab, dingin.
"Mari kita mentjoba pula pedang kita ! Kali ini kita bertanding beda daripada waktu dalam pentjalonan Sin Boe Eng ! Sekarang, djikalau bukan kau jang mati, tentulah aku jang terbinasa !".
"Tentang itu tak usah dikatakan lagi ", Tiong Goan pun tertawa lebar. Dia sangat menantang, sebagaimana dia pun lantas menerdjang. Lie It menjedot hawa, ia bertindak kesamping, untuk berkelit, berbareng dengan itu pedangnja meluntjur tjepat seperti "burung hong terbang", dari samping pedang itu menjamber pedang si orang she Tjoei.
"Tranggg ...!", terdengar suaranja njaring. Tiong Goan terperandjat, lantas pedangnja kena terpapas sedikit, tapi setelah itu, ia mendjadi girang. Ia mendapat tahu tenaga lawan tak seperti dulu hari. Pikirnja .
"Thay Peng Kongtjoe tidak mendustai aku. Lie It benar telah terkena ratjun ". Lantas ia menjerang pula. Djie Ie pun sudah lantas bertempur dengan Tjioe Tay Lian. Pahlawan ini membentji si nona, karena tadi dia terhadjar sendjata rahasianja nona itu, sjukur lukanja melainkan dikulit. Dengan djoan-pian, rujung lemas bagaikan tjambuk, ia lantas merabu. Tiga kali beruntun ia mentjambuk pergi-pulang. Djie Ie berlaku sebat, lintjah gerakannja. Atas datangnja serangan pertama, ia berkelit dengan lompatan "Burung Hoo mentjelat kelangit". Sambil berlompat ia djumpalitan. Ketika tubuhnja turun, tangannja sudah menghunus pedangnja, pedang Tjeng Kong Kiam, dengan apa ia menangkis. Kedua sendjata beradu, lantas djoan-pian terpental. Tapi Tay Lian liehay, sendjatanja mental untuk kembali, hingga terdjadilah serangan jang kedua. Ini pun ditangkis Djie Ie. Hingga menjusullah serangan jang ketiga kali. Sekarang, habis berkelit, Djie Ie meloloskan ikat pinggangnja jang berwarna merah, ia memutarnja hingga terlihat tjahaja merah seperti sinar lajung, jang mengurung musuh, melibat djoan-pian, sedang udjung pedang ditangan kanan menusuk ke lengan. Tay Lian gagah dan sebat. Dengan mengerahkan tenaganja, ia membebaskan djoan-piannja, lalu sambil mengelit lengannja, ia meneruskan menangkis pedang. Gerakannja ini tjepat dan keras bagaikan "ular naga keluar dari laut". Djie Ie kagum. Pikirnja .
"Dia ini djauh lebih menang daripada orang2 jang turut dalam pertandingan diatas gunung ". Djuga Tay Lian heran. Sudah tiga puluh tahun ia mendjagoi dengan sendjatanja itu, jang diberi nama Hang Liong Pian, rujung Penakluk Naga, ia telah merantau di Selatan dan Utara sungai Besar, tak ia sangka disini ia menghadapi seorang kosen dalam dirinja seorang nona, bahkan seorang budak. Karena ini, keduanja tidak berani memandang enteng satu pada lain. Tjuma bedanja jalah Djie Ie mesti membagi perhatiannja, lantaran sambil berkelahi saban2 ia melirik Lie It. Tiba2 terdengar Tiong Goan tertawa njaring, djumawa nadanja. Terkedjut dajangnja Hian Song, segera ia menoleh. Untuk kagetnja, ia melihat lengan Lie It mandi darah. Itulah tanda lengan itu telah kena terserang lawan.
"Tianhee, djangan takut !", da jang ini berseru. Ia benar2 berlompat untuk memberikan bantuannja. Tjioe Tay Lian tidak suka ditinggal pergi lawannja itu, ia berlompat sambil menjerang. Ia berhasil menjampok kaki, karena mana si nona roboh tergelintjir. Akan tetapi, begitu mengenai tanah, Djie Ie mentjelat pula dalam gerakan "Ikan gabus meletik". Ia lolos, tetapi ia terus terantjam bahaja. Tay Lian tidak mau mengerti dan sudah mendesak keras. Dengan begitu, tak kesampaian niat si nona memberikan pertolongannja. Lie It tahu maksudnja Djie Ie. Ia berteriak . Kau lawan terus. Berlakulah waspada !". Aku tidak kurang suatu apa ". Ia mengatakan demikian sedang sebenarnja, lukanja itu, ditangan kiri, di kiok-ti-hiat, membuatnja lengannja itu tidak dapat digeraki lagi. Tiong Goan berhasil, desakannja djadi makin hebat. Lie It menjedot napas. Hebat musuh ini. Ia mesti menggunai tipu daja. Demikian ia kasih dirinja dirapatkan. Selagi terdesak itu, mendadak ia menikam dalam gerakan "Lie Kong memanah batu". Bagaikan anak panah, demikian udjung pedangnja meluntjur. Inilah siasat "dalam kekalahan mentjari kemenangan". Tiong Goan kaget dan kesakitan. Pundaknja telah kena tersontek pedang. Hanja Lie It menjesal sekali, selagi lawannja gesit dan mentjoba berkelit, tenaganja sendiri kurang banjak hingga tikamannja itu tidak hebat. Tidak demikian, tulang selangka lawan itu mestinja rusak parah !. Pangeran ini berkelahi dengan mengandalkan pengerahan tenaga- dalamnja, akan tetapi ia mesti berkelahi lama, ia mesti mengeluarkan seluruh tenaganja, itulah hebat untuknja. jang terluka di lengan dan keratjunan didalam. Setelah itu, mendadak ia merasakan rasa beku dilengannja itu eeperti mengalir ketubuhnja. Mau atau tidak, mendadak ia terhujung mundur beberapa tindak. Tiong Goan girang sekali, dia sampai lupa pada rasa sakitnja. Sambil tertawa berkakak, dia lompat menjerang, untuk mendesak. Repot Lie It melawan, Achirnja, udjung pedang menggores djuga perutnja, hingga ia terluka tiga dim pandjang, darahnja mengalir keluar. Ia menahan sakit se-bisa2-nja, toh ia mengeluarkan djuga suara keluhannja. Djuga Djie Ie lagi terantjam bahaja. Sebenarnja ia tidak usah kalah dari Tay Lian, tetapi ketika itu pikirannja terpetjah, ia menguatirkan sangat keadaannja si pangeran, dengan sendirinja ia kalah unggul. Ketika ia mendengar suaranja Lie It, kagetnja bukan main. Djusteru itu, Tay Lian berteriak keras .
"Kena !", dan djoan-piannja menjambar. Menjusul itu, orang she Tjioe ini tertawa ber-gelak2. Ia merasa pasti dapat menggulung si nona, untuk dilontarkan.
"Kena !", mendadak Djie Ie djuga berteriak, selagi tubuhnja terlilit. Teriakan itu dibarengi meluntjurnja pedang, jang ia telah lepaskan dari tjekalannja. Sebab dalam bahaja itu, ia telah melakukan penjerangan nekad, untuk ludas bersama ! Tay Lian kaget tidak terkira. Selagi rujungnja melilit, sulit untuk melepaskan itu, guna menangkis pedang. Karena terpaksa, ia mentjoba djuga, sambil berbuat begitu, ia pun ingin berkelit. Pedang meluntjur dengan ketjepatan luar biasa, lantaran si nona telah menghabiskan tenaganja. Dalam kagetnja iamendjerit, tangannja menarik keras. Ia roboh seketika, dan Djie It terbanting hingga dia pingsan. Dua2 Lie It dan Tjoei Tiong Goan, jang djuga lagi bertempur mati2-an, dapat mendengar suaranja Tay Lian itu serta suara robohnja tubuh, keduanja kaget. Tanpa merasa, keduanja berhenti berkelahi. Maka itu, mereka melihat Tay Lian dan Djie Ie sama2 roboh tak bergerak. Lie It mentjelos hatinja, ia menjangka Djie Ie telah terbinasa, ia mendjadi putus asa. Tiong Goan lantas menginsafi dirinja.
"Djikalau kau tidak meletaki pedangmu dan menjerah, kau bakal mengambil djalan jang sama dengan mereka itu ", dia lantas mengantjam si pangeran. Dia pun madju untuk menjerang. Dalam putus asa, Lie It mendjadi nekad, tepat tubuh orang madju, mendadak ia berteriak .
"Djikalau bukannja kau jang mampus, tentu aku !". Ia tidak menangkis atau berkelit, ia pun menjerang. Lebih dulu pedangnja diputar, diajun, baru ditikamkan. Tjoei Tiong Goan mendjerit keras, tubuhnja tergelitjir, berguling beberapa tombak. Hebat serangannja Lie It, tidak dapat ia menangkis, tak keburu ia membuang diri, ia kena tertikam, sampai beberapa kali, lantaran si pangeran menjerang ia ber-ulang2. Itulah tipu silat Ngo-bie Kiam-hoat jang liehay. Djuga Lie It, habis menjerang itu, merasai dunia berputar, matanja mendjadi gelap, tubuhnja mendjadi kaku, tidak ampun lagi, ia roboh terlukai ditanah. Maka itu empat buah tubuh manusia bergelimpangan dimedan perang itu. Belum terlalu lama, tubuh Tjoei Tiong Goan bergerak. Ia njata belum mati. Tadi ia melainkan pingsan akibat luka2-nja. Setelah sadar, ia lantas mentjoba merajap kearah Lie It Perlahan merajapnja pengawal istana jang mendjadi pahlawannja Tay Peng Kongtjoe, akan tetapi karena ia merajap terus, lama2 ia datang dekat djuga. Lie It djuga mendusin. Ia mendengar suara berkeresekan, djuga suara napas jang berat. Ia kaget sekali. Ia merasa bagaimana djiwanja terantjam bahaja. Ia telah tidak berdaja. Sedjenak itu ia ingat Wan Djie, Hian Song dan isteri serta anaknja. Mereka itu berbajang bergantian didepan matanja jang was2 itu. Achir2-nja pangeran ini mendengar suara jang ia kenal baik .
"Lie It ! Lie It !", demikian suara itu.
"Apakah benar dianja ?", ia tanja dirinja sendiri. Ia ragu2. Ia terus mentjoba mengangkat kepalanja, untuk melihat. Tepat disaat itu, Tjoei Tiong Goan berseru njaring, tubuhnja berguling madju, pedangnja menikam.
"Habislah aku !", Lie It berseru, matanja pun gelap. Hanjalah aneh, ia tidak merasakan sakit. Sebaliknja, ia djusteru merasa seperti tangan jang halus dan empuk meng-usap2 mukanja, dan tangan itu pun rasanja njaman. Pasti itu bukannja tangan musuh jang telengas.
"Adakah aku bermimpi ?", ia berpikir. Ia memaksa membuka matanja. Ia segera mendapat lihat seorang nona dengan pakaian putih berdiri didepannja. Ia mendjadi heran, ia berseru, lalu ia pingsan. Nona itu jalah Boe Hian Song. Ia pulang dengan tjepat ke istana, sebab ia ingin sangat mengetahui kesudahan pertemuan diantara Lie It dan Siangkoan Wan Djie. Diluar dugaannja, setibanja di keraton, ia mendengar dari dajangnja hal si pangeran sudah menjingkir dari djalanan rahasia. Ia mengerti antjaman bahaja untuk si pangeran, itulah hebat, tanpa ajal lagi, ia lari menjusul. Tepat ia sampai disaat Tjoei Tiong Goan menikam Lie It, maka ia lompat madju, menendang pengawal itu, hingga djiwa si pangeran ketolongan. Adalah air matanja nona ini, jang menetes kemuka Lie It. Didalam keadaannja was2 itu, Lie It menduga kepada tangan jang halus dan empuk. Kapan kemudian Lie It sadar benar2, ia mendapatkan dirinja sudah berada dirumahnja Tiangsoen Tay dan sedang rebah diatas pembaringan, sedang Hian Song duduk disisinja sambil menepas air mata. Ia menjedot napas, ia merasakan dadanja sesak. Hatinja pun berdenjutan. Disisinja itu ada nona jang sangat lama ia buat harapan.
"Hian Song ", katanja perlahan.
"aku berterima kasih padamu lagi2 kau telah menolongi aku. Aku ..., aku ....". Ia bergirang, ia toh berkuatir, hatinja tidak tenang "Djangan omong banjak ", berkata si nona, perlahan.
"Kau beristirahatlah. Iti dua butir Pek Leng Tan, sebentar lagi, selang dua djam, kau makan sebutir pula ". Ia mengeluarkan peles obatnja dari perak, ia letaki itu diatas medja ketjil didepan pembaringan. Obat itu menjiarkan bau harum jang menjegarkan, tetapi jang membuat Lie It bungah hati berbareng berduka jalah senjuman si nona.
"Mana Djie Ie ?", kemudian ia tanja. Ia tidak menghiraukan nasihat orang.
"Dia tidak mati, aku telah menolongnja ", Hian Song memberi tahu.
"Ah ...! Tolong haturkan terima kasihku kepadanja !", kata Lie It pula. Ia ingat pertoIongannja dajang itu.
"Djangan kau pikirkan pula segala urusan lainnja ", Hian Song berkata.
"Kau dengar perkataanku. Kau mesti beristirahat dengan hati tenteram ". Dengan mendelong si pangeran mengawasi si nona bangsawan. Ia agaknja memikirkan sesuatu dan ingin mendengarnja. Hian Song pun mengawasi.
"Nanti aku menerangkan semua kepada kau", berkata nona ini, sabar.
"Kau tetapkan hatimu. Huru-hara sudah padam, Sri Ratu bersama Wan Djie masih hidup. Dan putera mahkota, lagi dua hari, dia bakal tiba disini. Sri Ratu pun sudah mengeluarkan firman pengunduran dirinja, supaja putera mahkota naik diatas tachta selaku Sri Baginda Kaisar. Tegasnja, negara ini telah dikembalikan kepada kaum Keluarga Lie kamu. Bukankah kau merasa puas sekarang ?". Warta pengunduran diri Boe Tjek Thian ini, apabila Lie It mendengarnja pada beberapa tahun jang lalu, pasti akan diterima dengan girang, dengan berdjingkrakan, akan tetapi sekarang, itu membuatnja berduka. Karena sekarang hatinja telah mendjadi tawar. Maka itu, ia berdiam sadja. Ketika itu terdengar suara tindakan kaki.
"Tiangsoen Tay sudah pulang ", berkata Hian Song.
"Masih ada urusan untuk mana aku mesti kembali ke istana, dari itu kau beristirahatlah biar tenang. Besok aku nanti datang pula melihat kau ". Lie It ingin menggeser tubuh, buat menjender dipembaringan, untuk melihat berlalunja si nona, atau ia mendadak merasakan perutnja sakit, lantas kaki-tangannja kaku, hingga anggauta2 tubuh itu tidak mau menuruti kehendaknja. Ia kaget dan berduka, hatinja mentjelos. Tidak dapat ia melihat punggung ataupun bajangannja Hian Song. Ia djadi berkuatir. Ia memikir, dapatkah ia melihat pula nona itu ? Tapi ia ingat obatnja si nona, ia mentjoba mengulur tangannja, untuk mengambil itu. Ia berhasil. Maka ia lantas menelannja. Tidak lama dari itu, ia merasa enakan sedikit. Tinggal napasnja masih sesak, tak dapat ia menjalurkannja dengan rapi. Tidak heran, pangeran ini keratjunan hebat. Obat jang Thay Peng Kongtjoe menjebutnja sebagai obat pemunah ratjun adalah pel jang dibikinnja dengan tjampuran kong-tjiak-tha dan hoo-ang-teng, jaitu njali burung merak serta djengger-merah burung hoo, dua rupa ratjun jang keras sifatnja, sedang dimakannja disaat terluka dan keratjunan, pantas akibatnja bertambah hebat. Tidak selang lama, Tiangsoen Tay terlihat bertindak masuk. Ia tidak tahu keadaan berbahaja dari Lie It itu. Habis makan obat, roman si pangeran nampak sedikit segar. Ia mendekati pembaringan untuk terus bertanja .
"Kabarnja kau terluka, maka itu aku lekas2 pulang. Bukankah itu tak berbahaja ?".
"Aku merasa baikan ", menjahut Lie It.
"Kemarin Thio Kian Tjie beramai membawa pasukan tentera ke istana, apakah kau bertemu mereka itu ?". Tiangsoen Tay menghela napas.
"Aku telah dipanggil Lie Touw-oet ", sahutnja.
"Kalau aku tahu bakal terdjadi peristiwa demikian, pasti aku tidak pergi memenuhkan panggilan itu ".
"Bagaimana ?".
"Sebenarnja kita bukannja memikir memberontak terhadap Sri Baginda Ratu ", Tiangsoen Tay mendjelaskan.
"Kita tjuma ingin mahkota naik di tachta siang2 supaja dapat kita mentjegah niat berkhianat dari Boe Sin Soe ".
"Aku mengerti maksud kamu ". Lie It bilang.
"Memang Boe Tjek Thian telah berusia landjut sekali ".
"Djusteru karena usianja itu, kita menghendaki Sri Ratu tidak terlalu bertjapai-hati mengurus lebih djauh urusan pemerintahan, supaja dia dapat beristirahat dan hidup berbahagia. Usaha kita itu djusteru karena kita menjajangi dan menghormatinja. Siapa tahu maksud kita salah diterima, melihat kita, Sri Ratu djadi berduka sangat. Aku berada didamping Thio Siangkok tempo aku melihat dia mengundurkan diri, selagi mengerahkan firman pengundurannja, kedua tangannja bergemetar. Dia tjuma mengatakan .
"Kamu bekerdjalah baik2. Semoga kamu dapat membantu Thaytjoe mengurus negara, supaja mendjadi terlebih baik daripada pemerintahanku. Matanja Thio Siangkok mengembeng air. Sri Ratu tidak bitjara lagi, sambil memegangi Siangkoan Wan Djie ia berdjalan masuk. Kabarnja begitu ia tiba di keraton begitu ia djatuh sakit ".
"Boe Tjek Thian biasa memegang kekuasaan, dialah seorang wanita jang besar ambeknja, sudah pasti dia tidak merasa puas jang dia dipaksa orang untuk melepaskan kekuasaannja itu ".
"Ketika itu kita djuga berduka ", kata pula Tiangsoen Tay.
"Akan tetapi karena kita pertjaja pemberontakan bakal dapat ditjegah, kita menganggap tindakan itu ada djuga harganja ". Lie It menghela napas.
"Sekarang kekatjauan telah lewat ", ia bilang.
"tetapi menurutku, rasanja kekatjauan dibelakang hari akan djadi terlebih hebat pula ". Tiangsoen Tay terperandjat.
"Bagaimana itu ?", tanja dia.
"Setelah Boe Tick Thian wafat, puterinja tidak bakal ada orang jang dapat menguasainja ", Lie it menerangkan.
"Dia tidak memiliki kepandaian ibunja tetapi mewariskan ambekan sesat dari ibunja itu, dia pun kedjam melebihkan sang ibu. Pasti sekali putera mahkota bukan lawannja ". Tiangsoen Tay mendjadi bingung. Ia memang ketahui djuga liehaynja Thay Peng Kongtjoe.
"Habis bagaimana ?", ia tanja.
"Ja, bagaimana ?", mengulangi Lie It. Didalam hatinja, pangeran ini barulah menginsafi kenapa Boe Tjek Thian menghendaki sangat Siangkoan Wan Djie menikah dengan putera mahkota.
"Saudara Lie, kau pikirkan apa ?", tanja Tiangsoen Tay, menatap Lie It, jang berdiam sadja dan pikirannja lagibekerdja keras. Ia benar2 bingung.
"Aku bertemu dengan Wan Djie ", djawab Lie It perlahan. Tiangsoen Tay terkedjut. Ia memang ingin tanja hal si nona, tetapi Lie It mendahului menimbulkannja. Lie It menghela napas.
"Aku pun bertemu dengan Boe Tjek Thian ", katanja pula.
"Mereka berdua ada bersama ".
"Bagaimana dengan Wan Djie?", tanja Tiangsoen Tay tjepat, agak gelisah.
"Ia harus dikasihani ", sahut pula si pangeran.
"Ah, mungkin bukan harus dikasihani. Ia berat sekali tanggung- djawabnja, hingga ia mendjadi bergelisah karenanja ".
"Berat tanggung-djawabnja ", Tiangsoen Tay mengulangi, perlahan.
"Apakah itu ?".
"Tidak lama lagi kau bakal ketahui itu. Ah, baru sekarang aku mengerti. Manusia itu harus rela melepaskan sesuatu. Bitjara terus-terang, mengenai Wan Djie, aku tidak menjetudjui Boe Tjek Thian, tetapi mungkin ratu itu dapat memandang terlebih djauh daripada kita ! Dia menghendaki mengambil djalan jang dia ambil. Djalan itu benar atau tidak, aku tidak berani membilangnja. Hanja djelas, djalan itu diambil Boe Tjek Thian bukan untuk kepentingannja sendiri. Manusia itu, biar dia kukuh bagaimana djuga, ada saatnja jang dia toh mesti dibikin penasaran atau tidak puas, hingga dia mesti tunduk dan rela mengurbankan sesuatu. Saudara Tay, kau mengertikah ?". Tiangsoen Tay agaknja mengerti sedikit, setelah ia berpikir, tubuhnja nampak menggigil. Ia djadi tidak berani menanjakan lebih djauh. Lie It sendiri, karena berpikirnja itu, lalu mukanja mendjadi putjat pula.
"Kau beristirahatlah ", kata Tiangsoen Tay kemudian.
"Nanti aku mengambilkan air teh. Itulah teh jang dibuat menurut surat obat tabib istana jang telah diminta Hian Song ". Ia lantas keluar. Lie It berdiam, tetapi hatinja berdenjutan. Ia menghela napas. Tidak lama, ia mendengar tindakan kaki. Ia heran hingga ia berpikir .
"Kenapa Tiangsoen Tay kembali begini tjepat ?". Maka ia lantas menoleh, ia mengangkat kepalanja. Ia melihat jang datang itu seorang wanita. Jalah Siangkoan Wan Djie.
"Ah, kau datang ?", seru si pangeran, kaget. Nona Siangkoan datang dengan membawa setjangkir teh. Ia meletakinja diatas medja, ia sendiri terus duduk didepan pembaringan.
"Kau telah kembali, mana dapat aku tidak mendjenguk kau ?", sahut si nona perlahan.
"Apakah lukamu baikan ?". Sembari berbitjara, nona itu mengawasi djuga ke tepi pembaringan, hingga ia melihat sehelai saputangan jang demak, rupanja basah dengan air mata. Ia lantas mengenali saputangan-nja Hian Song. Maka sedjenak itu, ia merasa hatinja tertindih berat.
"Sudah baikan banjak ", Lie It menjahut sesudah ia menenteramkan hati. Ia tidak mau bitjara banjak, guna mentjegah nona itu bersusah hati. Ia tahu, kalau ia buka rahasianja Thay Peng Kongtjoe, Wan Djie pasti bakal bentrok dengan puteri itu, pasti dia tidak sudi menikah dengan putera mahkota. Thay Peng Kongtjoe berpengaruh, dengan Boe Tjek Thian lagi sakit, Wan Djie bakal tanpa pelindung. Hian Song djuga sulit membelanja. Ia tidak mau karena urusannja, nanti timbul lain keonaran. Setelah menatap nona itu, Lie It mengangkat saputangan disisinja itu.
"Entjie Hian Song telah datang kemari ", katanja.
"Inilah saputangannja, jang ia rupanja bikin ketinggalan, maka sebentar tolong kau mempulangi padanja ". Hati Wan Djie kusut, tetapi ia dapat bersenjum.
"Tak usahlah ", katanja.
"Baik ditinggal disini sadja. Aku pertjaja dia bakal datang pula kemari ". Hian Song menjintai Lie It, tetapi dengan Wan Djie ia bagaikan saudara kandung, maka itu mengetahui Wan Djie pun menjintai si pangeran, ia suka mengalah. Pula tidak pernah ia mengutarakan rasa hatinja itu. pada Nona Siangkoan. Tapi Wan Djie tjerdas sekali, ia dapat menerka hatinja Nona Boe, maka itu sekarang, melihat saputangan Hian Song itu, ia mengerti seanteronja.
"Kiranja entjie Hian Song pun menjintai Lie It seperti aku menjintainja ", pikirnja. Tentu sekali ia mendjadi sangat berduka, hingga tanpa dapat ditjegah lagi, air matanja lantas mengembeng dan mengutjur keluar. Lie It menarik tangan nona itu.
"Seorang jang hidupnja memperoleh sahabatnja, dia dapat mati puas ", katanja perlahan.
"Sekarang aku bertemu dengan kau, aku puas sekali. Wan Djie, djangan kau berduka. Bukankah rembulan bundar ada waktunja suram? Bahwa manusia itu mesti berkumpul dan berpisah ? Didalam dunia ini, segala kehendak manusia tidak selamanja dapat dipenuhi semua !". Wan Djie menggenggam keras tangan si pangeran.
"Asal kau puas, aku pun puas ", katanja. Lie It tjerdik, tahulah ia apa artinja kata2 nona ini. Wan Djie telah memberi restu terhadapnja dan Hian Song. Rupanja nona ini menerka, djodohnja dengan djodoh Nona Boe telah dirangkap. Karena ini, ia berduka sekali. Meski demikian, ia tidak mau memberi pendjelasan.
"Ketika pada sepuluh tahun dulu aku mendengar kau mendjadi panitera dari Boe Tjek Thian, aku sangat berduka ", ia berkata.
"bahkan aku membentji terhadapmu ! Sekarang, sebaliknja, aku mengagumi kau ! Kau ber-tjita2, kau pintar, memang kau harus melakukan sesuatu jang besar ! Boe TjekThian pantas mendapat bantuan kau ". Wan Djie bersenjum.
"Achir2-nja pandanganmu berubah !", katanja.
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang bagaimana ? Bagaimana kau pikir untuk hari2-mu jang bakal datang ? Apakah kau akan tetap tinggal disini ?". Lie It berduka pula, hatinja terasa sakit.
"Aku bakal tak berdiam lebih lama lagi dalam dunia ini, mana bisa aku bitjara dari hal hari2 jang mendatang ?", katanja dalam hatinja. Ia menguati hati, untuk tidak mengentarakan sesuatu kepada si nona. Ia kata .
"Sesuatu orang ada angan2-nja sendiri. Putera mahkota sudah pasti akan naik ditachta, keinginanku telah terkabul, maka itu selandjutnja aku akan membawa diriku sebagai burung djendjang jang merdeka, aku akan hidup didalam dunia Kang-ouw !". Penjahutan itu membikin hati Wan Djie bertjekat.
"Aku ingat entjie Hian Song pernah mengatakan, setelah kekatjauan lewat, sesudah wafatnja Sri Ratu, dia mau hidup dalam perantauan, dalam dunia Kang-ouw, untuk tidak mentjampuri lagi urusan pemerintahan. Djadi njata, tjita2 mereka berdua sama. Djikalau mereka bisa mendjadi kawan seumur hidup mereka, untuk merantau sambil melakukan pelbagai kebaikan, maka kebahagiaan mereka jalah kebahagiaanku ...". Maka itu tetaplah sudah hati Nona Siangkoan ini. Hian Song pernah berkurban untuknja, maka sekarang ingin ia berkurban untuk nona itu. Ia lantas berbangkit, untuk berkata dengan perlahan .
"Sekarang ini Sri Ratu djuga lagi sakit dan rebah di pembaringannja, aku hendak melihatnja dia. Mungkin kita berdua bakal tidak bertemu pula, maka itu kau, kau djagalah dirimu baik2 !". Habis berkata, Wan Djie memindahkan khim tua dari Lie It keatas medja, ia lalu memetiknja, sembari mengasi dengar lagunja, ia menimpali dengan njanjiannja. Habis satu babak, air matanja sudah mengembeng, sekalian sadja, ia beristirahat sebentar. Setelah. itu, ia memetik pula, ia bernjanji lagi. Hanja kali ini, setelah habis lagu dan njanjiannja itu, ia berbangkit sambil menolak minggir alat tetabuhan itu, lantas ia bertindak pergi, menghilang dari kamar itu. Dengan njanjiannja itu, Nona Siangkoan menjesalkan nasibnja jang buruk. Ia ber-tjita2 mendapatkan suami jang tepat, siapa tahu, ia diganggu badai, hingga sang bunga mendjadi laju. Setelah itu kagum untuk peruntungan baik dari Lie It dan Hian Song, jang dapat pergi bersama, untuk merantau, untuk nanti hidup sunji tak menghiraukan lagi penghidupan jang sulit. Lie It berduka sekali.
"Wan Djie, Wan Djie, mana kau ketahui hatiku ", katanja dalam hati. Kemudian ia pikir lebih djauh.
"Ini pun ada baiknja, ia djadi boleh melepaskan aku dan menikah dengan putera mahkota ...". Oleh karena ini, setelah menepas air matanja, hati si pangeran mendjadi tenang, hingga ia dapat bersenjum, walaupun senjum sedih. Tiangsoen Tay berada diluar kamar, ia lagi menantikan, ketika ia melihat Wan Djie keluar dengan air matanja memenuhi mukanja, ia djadi heran.
"Wan Djie, kau kenapakah ?", ia tanja. Nona itu mengangkat tangannja.
"Aku mau pergi ", katanja.
"Pergi kau masuk dan merawati dia. Ah, kau djuga, lain kali kau djangan datang pula ke keraton mendjengguk aku. Tentang kebaikan kau, akan kuingat se-lama2-nja ". Tiangsoen Tay bingung dan berduka. Sepuluh tahun ia menjinta, kiranja achirnja itu begini rupanja.
"Aku tidak menjangka begini rupa dia menjintai Lie It ", pikirnja kemudian.
"Tapi, kenapa dia begini berduka ? Apakah jang Lie It utjapkan maka dia djadi remuk hatinja ?". Lantas ia bertindak masuk kedalam kamar. Ia melihat Lie It tenang sadja. Tidak ada tandanja bahwa telah terbit gelombang hebat. Lie It pun lantas berkata .
"Saudara Tiangsoen, aku lihat kau kurang sehat. Kau tentunja letih sekali. Baiklah kau pergi beristirahat. Aku baru makan obat, aku merasa mendingan banjak, djadi tak usahlah kau kuatirkan diriku ". Tiangsoen Tay suka menurut. Ia kata dalam hatinja.
"Baiklah, aku tunggu sampai dia sudah sembuh, baru aku minta keterangannja ". Diluar dugaan, besoknja, bukan Lie It nampak baikan, dia djusteru djadi lebih berat penjakitnja. Pagi2 Tiangsoen Tay melongok, ia mendapatkan orang was2, beberapa kali Lie It ngelindur, suaranja tidak tedas tetapi terang ia men-njebut2 Hian Song dan Wan Djie. Selagi kaget, Tiangsoen Tay tahu tidak dapat ia meninggalkan si pangeran. Maka ia menitahkan seorang pegawainja, buat dia lari mengabarkan pada Pek Goan Hoa, untuk minta Goan Hoa pergi mentjari Hian Song, jang mesti dipanggil datang. Djusteru itu dari djalan besar terdengar suara tetabuan.
"Hari ini ada pesta didalam istana !", berkata si pegawai.
"Tadi pagi sekali ada pengawal pintu istana jang mengumumkan bahwa semua sie-wie istana, sebelum tengah-hari, mesti berkumpul di istana untuk menerima titah. Looya, kau pergi atau tidak ?". Tiangsoen Tay melengak. Ia tidak tahu hal pesta itu.
"Ada pesta apakah ?", ia tanja.
"Katanja kemarin putera mahkota pulang dan hari ini ia bakal nikah 'See Kiong Nionio' ". Tiangsoen Tay heran.
"Siapakah itu 'See Kiong Nionio' ?", ia tanja. 'See Kiong Nionio' jalah 'Permaisuri kamar Barat'.
"Dia dari keluarga manakah ? Apakah kautahu ?". Hamba itu menjahuti, dengan perlahan .
"Kabarnja dialah Nona Siangkoan jang kemarin datang kemari ". Adalah pikiran dan kehendak Boe Tjek Thian agar pada sebelum ia meninggal dunia ia dapat mengambil Siangkoan Wan Djie mendjadi nona mantunja. Gelarannja Wan Djie jalah 'Tjiauw Yong' bukannja 'See Kiong', akan tetapi lantaran dia diperhatikan istimewa dan sangat dihargai, dia disambut setjara luar biasa, dengan kehormatan besar, melainkan kalah setingkat dengan pernikahan seorang permaisuri. Karena itu, pengawal pintu keraton menjebutnja gampang sadja, jalah 'See Kiong Nionio', 'selir dari Keraton Barat'. Tatkala kemarinnja Wan Djie menemui Lie It, ia masih ragu2, baru kemudian, sesudah melihat saputangan Hian Song, ia mengambil putusannja, maka djuga sekembalinja ia ke istana, lantas ia menerima baik anugerahan-nja Boe Tjek Thian. Begitulah dihari keduanja, upatjara nikah lantas dilangsungkan, hingga ramailah orang berpesta disembilan pintu kotaradja serta di dalam dan di luar istana. Kapan Tiangsoen telah menerima laporan hambanja, ia lantas ingat sikapnja Wan Djie kemarin ini, ia lantas sadar kepada kenjataan, maka itu diam2 ia berduka sendirinja. Ia lantas memesan orangnja.
"Aku hendak merawat orang sakit, hari ini aku tidak dapat pergi ke keraton. Kau turut pesanku, kau bawa suratku menghadap Pek Taydjin serta sekalian memohonkan aku tjuti kepada tjongkoan taydjin ". Hamba itu menurut dan mengundurkan diri, setelah mana, Tiangsoen Tay kembali kepada Lie It. Pangeran itu seperti disadarkan suara tetabuhan jang ramai diluar rumah, ia membuka matanja, melihat Tiangsoen Tay datang, ia menanja.
"Siapakah jang menikah? Suara musik ramai luar biasa, itu mestinja bukan sembarang rakjat djelata ...
"
"Aku tidak tahu ", sahut Tiangsoen Tay sembari tunduk dan menggeleng kepala, suaranja perlahan. Ia menahan turunnja air matanja. Disaat itu, Lie It seperti sadar luar biasa, dimatanja tertampak kedukaannja Tiangsoen Tay itu.
"Kau tidak tahu ?", katanja, tertawa sedih.
"Aku tahu! Tidakkah baik kesudahan sematjam ini? Didalam hatinja ada kau, ada aku djuga, akan tetapi dia mempunjai djalannja sendiri. Maka itu, perlu apa kau berduka ?". Suaranja Lie It ini mendjadi perlahan sekali, habis berkata, napasnja mendjadi lemah. Menampak demikian, Tiangsoen Tay mendjadi kaget, ia bingung, lantas ia memeluk.
"Tian-hee ", ia berkata ditelinga pangeran itu.
"Aku telah menitahkan orang memanggil Hian Song. Kau tunggulah sebentar !".
"Mari kasih aku melihat dia !", demikian tiba2 suaranja si Nona Boe. Nona ini sudah datang tetapi Tiangsoen Tay tidak mengetahuinja. Lie It mendengar suara si nona, bagaikan tambah semangat dengan tiba2, ia mengangkat kepalanja. Ia lantas melihat muka Hian Song bermandikan air mata, sepasang alisnja jang lentik, kuntjup.
"Buat apa menangis ?", ia kata, tertawa.
"Didalam dunia ini dimana ada pesta seratus tahun jang tidak bubar? Wan Djie telah mendapatkan tempatnja, hatiku tenteram ", Ia hening scdetik.
"Tinggal budimu jang aku belum dapat balas balik. Aku hendak membebankan kau dengan urusanku jang mendatang ". Hian Song menangis terisak, airmatanja turun mengalir. Ia mentjekal erat2 tangan orang.
"Kau bilanglah !", katanja. Nona ini berkata dengan pengharapannja telah lenjap. Ia mendapatkan nadi pangeran itu sudah katjau.
"Ini, ini pedang ", kata pula Lie It, ter- putus2.
"kau tolong simpan dan bawa untuk dikasihkan kepada Si Bin. Djikalau nanti dia sudah besar, kau adjak dia pulang ke Tiongkok ".
"Sungguh keliru aku menjuruh kau pulang ", berkata Hian Song, air matanja mengutjur deras.
"Tidak ...! tidak ...!", berkata Lie It.
"Sedikitpun aku tidak menjesal. Setelah aku pulang, aku menjaksikan pelbagai hal jang mendukakan hati, berbareng aku pun melihat hal2 jang membangunkan semangat. Sekarang aku mengerti, seorang pribadi sebenarnja tidak berarti banjak. Tapi orang ada mempunjai harapan ". Lalu suaranja mendjadi lemah luar biasa. Hian Song mengawasi tadjam, hatinja tidak keruan rasa.
"Jang membikin hatiku tidak tenteram jalah kau ", kata pula Lie It.
"Ah, kakak seperguruan-mu itu dia dialah seorang baik ". Tak dapat Lie It meneruskan kata2-nja itu, ia berhenti, napasnja pun berhenti. Hian Song mendjadi demikian berduka sangat, ia tidak dapat menangis lagi. Ia memegangi pedangnja Lie It, dalam hatinja ia kata.
"Pasti aku tidak akan men-sia2-kan pengharapanmu! Kau mati, kau hidup, terhadapmu aku tetap sadja! ". Lantas ia memutar tubuhnja, untuk bertindak pergi. Ketika ia melewati pintu besar, baru terdengar tangisannja Tiangsoen Tay. Ada kata2 jang membilang, benda berputar, bintang berpindah, dan lakon manusia pula berubah. ---oo0oo---DEMIKIAN satu tahun kemudian setelah Lie It meninggalkan dunia jang fana ini. Selama satu tahun itu, sesudah Boe Tjek Thian turun dari tachta, jang ia serahkan kepada puteranja, tidak lama ia pun wafatlah. Siangkoan Wan Djie tetap mendjadi 'Tjiauw Yong'. Adalah Thay Peng Kongtjoe, sang puteri, jang pengaruhnja mendjadi bertambah besar. Pangkatnja Tiangsoen Tay naik satu tingkat, dia mendjadi Hoe-touw-oet, pemimpin muda, dari Kim-wie-koen, pasukan istana kaisar. Boe Hian Song telah pergi meninggalkan kota radja dimana orang tak tahu dia pergi kemana. ---oo0oo--- SEMENTARA itu digunung Thian-san, dipuntjak sebelah selatan jang tinggi, Lie Hie Bin, puteranja Lie It, tengah menantikan kembalinja ajahnja. Ia telah berumur sepuluh tahun, dibanding dengan dulu-hari, ia telah mengerti segala apa terlebih banjak pula. Ketika itu hari ia berlatih silat bersama Pwee Siok Touw, sematjam ilmu silat jang ruwet dapat ia djalankan dengan baik sekali, hingga Siok Touw dengan girang kata padanja.
"Djikalau ajahmu melihat kau sebagai sekarang ini, entah berapa girang dia !". Tengah berlatih itu, se-konjong2 Hie Bin berhenti bersilat.
"Siok-hoe, mengapa ajahku masih belum kembali djuga ?", ia menanja tiba2.
"Ajah pernah membilangi aku, katanja paling lama satu tahun, ajah akan sudah kembali. Sekarang sudah satu tahun lewat tiga bulan ...".
"Perdjalanan dari Tiang-an kemari ada perdjalanan beberapa laksa lie ", menjahut sang paman.
"asal ditengah djalan ada sedikit sadja kelambatan, tidak pasti orang dapat tiba ditempat tudjuan menurut waktu jang telah didjandjikan. Disebelah itu mungkin ajahmu masih mempunjai beberapa urusan lain ".
"Tidak ", berkata si Bin.
"ajah belum pernah membohongi aku! Belum berhenti suaranja anak itu, tiba2 Siok Touw berkata.
"Ah, lihat disana! Ada orang lagi mendatangi!". Lantas ia mengawasi, lalu ia bagaikan tersamber kilat, tubuhnja bergemetar tidak keruan."Itu ajah ! Ajah !", Hie Bin pun berteriak memanggil. Atau mendadak ia mengubah panggilannja.
"Ah ...! Itu bibi ...!". Itulah Boe Hian Song, jang lagi mendatangi, pakaiannja putih seperti saldju, dipinggangnja tergantung sebatang pedang, dan matanja bertjahaja sebab air matanja mengembeng. Hie Bin menjambut sambil berlompat, untuk merangkul bibi itu.
"Bibi ! Benar2 bibi tidak melupakan aku !", katanja bernapsu.
"Adakah selama di Tiang-an bibi telah bertemu dengan ajah? pedang ini pedang ajahku !".
"Benar, inilah pedang ajahmu ", mendjawab Hian Song.
"Ajahmu menjuruh aku membawa pedang ini untuk diserahkan padamu ".
"Habis, bagaimana dengan ajahku ?", si anak tanja. Tak tahan Hian Song terisak dan air matanja meleleh "Ajahmu? "
Katanja perlahan.
"Ajahmu ... ajahmu tidak akan kembali ...". Hie Bin mengawasi, kedua matanja dipentang lebar. Walaupun dia masih ketjil, segera dia memperoleh firasat tidak baik. Dialah seorang anak jang tjerdas dan pintar.
"Ajahmu memesan supaja kau mendengarkan kata2-ku ", berkata Hian Song meng-hati2.
"Aku akan bawa kau pulang ke Tiongkok. Maukah kau mengikut aku ?". Hie Bin tidak lantas menjahuti, hanja tiba2 sadja dia mendjerit menangis.
"Bibi, aku akan mendengar kata2-mu !", katanja sedjenak kemudian.
"Sungguh inilah tidak dinjana !", kata Siok Touw perlahan.
"Sungguh tidak disangka! Soe-moay, apakah kau tidak mau tinggal disini? Aku ..., aku dapat membantu kau merawati anak ini ", dalam kedukaan hebat dan ragu2, Siok Touw dapat membesarkan njalinja mengutjapkan kata2-nja itu. Itulah kata2 jang sudah lama ia simpan sadja dalam hati. Maka sekarang ia bagaikan menanti dilepaskannja anak panah jang sudah dipasang pada busurnja. Ia menanti djawaban si nona, adik seperguruan-nja itu. Dengan suara bergemetar, Hian Song mendjawab .
"Soeheng, aku menghaturkan terima kasih untuk kebaikan hati kau. Soeheng, hatiku sudah mati. Selandjutnja aku tjuma akan tinggal hidup bersama anak ini. Aku telah memberi djandjiku kepada ajahnja untuk mengadjak dia pulang, maka itu aku tidak niat menggeretjoki kau lagi. Mana Heehouw Tjianpwee?".
"Heehouw Tjianpwee sudah pergi ke Thian-san Utara mentjari Hoe Poet Gie ", sahut Siok Touw.
"Dia telah selesai mengadjarkan ilmu tenaga-dalam Lay Kang Sim-hoat kepada anak ini ", susah rasanja Siok Touw mengutjapkan kata2-nja itu.
"Kalau begitu biarlah nanti sadja, setelah bertemu pula dengannja, aku menghaturkan terima kasihku ", kata si nona.
"Soeheng, ilmu pedang Partai kita aku mengandal kepada kau untuk memadjukannja! Soeheng, kau rawatlah dirimu baik2 ...!". Siok Touw hilang harapannja, matanja berbajang karena air-matanja. Ia mengawasi belakang si nona, jang menuntun Hie Bin, bagaikan bajangan. Mereka itu pergi djauh, pergi djauh sekali. Demikian hidupnja seorang manusia, bertjerai hidup, bertjerai mati, samapenderitaannja. --- TAMAT ---
Mayat Kesurupan Roh -- Khu Lung Rahasia Bukit Iblis -- Kauw Tan Seng Rahasia Ciok Kwan Im -- Gu Long