Pendekar Aneh 3
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 3
Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen
"Menjaksikan sanak kaisar itu memimpin Eng-hiong Tay-hwee (perhimpunan besar dari orang2 gagah) ", djawabnja "Sesudah menjaksikankan itu, Lie-hiap akan tahu, bahwa aku tidak berdusta ".
"Bukankah sanak kaisar itu bernama Lie It ?", tanja pula si nona.
"Benar ...!", seru Lauw Sie dengan girang.
"Ternjata, Lie-hiap sendirl sudah tahu urusan ini. la adaIah tjutju tulen dari Thay-tjong Hong-tee ". Mendengar disebutnja nama Lie It, Siangkoan Wan Djie djadi semakin ketarik dan terus memasang kuping sambil menahan napas. Tiba2 nona itu tertawa njaring.
"Kudengar Lie It adalah pemuda paling djempolan diantara sanak keluarga kaisar dulu ", katanja.
"Tapi aku tidak njana, pemandangannja sama sempitnja seperti pemandangan kawanan manusia seperti kamu, jang menganggap, bahwa negara ini adalah serupa benda jang dimiliki oleh satu keluarga dan orang dari satu she ". Bukan main kagetnja Wan Djie dan semua pendjahat itu. Lauw Sie mengeluarkan seruan tertahan dan berkata dengan suara terputus-putus.
"Kau ...!, kau ...! apa kau penjokong radja iblis jang mentjelakakan dunia ?". Mendadak nona itu tertawa geli. Ia menengok kepada Djie Ie seraja berkata .
"Sudah ribuan tahun orang lelaki mendjadi kaisar dan tak pernah ada manusia jang banjak mulut. Tapi begitu lekas muntjul kaisar wanita, mereka lantas sadja rewel. Aku sungguh tak mengerti apa sebabnja ".
"Kaum lelaki memang biasa memandang rendah pada kaum wanita "
Kata Djie Ie.
"Tapi kenjataannja tidak begitu. Lihat sadja mustika2 ini. Kita tidak memandang sebelah mata kepada mereka, biarpun mereka lelaki gagah ". Melihat kawannja membentur tembok, pendjahat jang bernama Lie Tjit lantas sadja memutar haluan.
"Lie-hiap, apa jang sering dikatakan dalam dunia Kang-ouw memang tepat sekali ", katanja.
"Orang sering kata, mendjadi kaisar harus bergiliran. Tahun ini kau, lain tahun aku, siapa jang berkepandaian, dia boleh mendjadi kaisar, lelaki atau perempuan tiada bedanja. Aku sendiri tidak menentang Thian- houw ...!". Si nona mengeluarkan suara di hidung.
"Manusia sematjam kau berani mengeluarkan kata2 itu ?", tanjanja dengan suara menghina.
"Mendengar perkataanmu, orang2 gagah dikolong langit bisa mati karena tertawa geli ". Ia berdiam sedjenak dan berkata pula .
"Sedjumlah manusia merasa senang sekali djika bisa menuduh Thian-houw sebagai orang jang mentjelakakan dunia. Tapi mengapa mereka tak mau menjelidiki diantara rakjat djelata ? Dimata rakjat, memang ada orang2 jang mentjelakakan sesama manusia, tapi orang itu pasti bukannja Thian-houw !".
"Kami tidak berani berbuat begitu ", kata beberapa kepala pendjahat itu sambil manggut2-kan kepala.
"Untuk mentjelakakan dunia, memang kamu belum mempunjai kemampuan ", kata si nona.
"Tapi tak dapat disangkallagi, tak sedikit rakjat tjelaka dalam tanganmu ". Kata2 jang terachir diutjapkan dengan keras, sehingga enam pendjahat itu ketakutan setengah mati.
"Mohon Lie-hiap ampuni djiwa kami ", mereka meratap.
"Aku bersedia untuk mengampuni djiwamu, tapi tak dapat aku membiarkan kamu berbuat djahat lagi ", kata nona itu dengan suara keren.
"Djie Ie ...! Musnahkan ilmu silat mereka !". Sesaat kemudian, dengan djantung memukul keras, Wan Djie mendengar serentetan teriakan menjajatkan hati, sebagai tanda, bahwa budak perempuan itu sedang melakukan perintah madjikannja. Sesudah teriakan2 berhenti, Wan Djie memandang keadaan kamar itu. Mendadak ia terkesiap.
"Tjelaka ...!", katanja dengan suara ditenggorokan.
"Tadi aku telah menjuruh dia membunuh Boe Tjek Thian ...!". Apa jang dilihatnja ? Sebuah lukisan jang tergantung ditembok dan lukisan itu adalah gambarnja Boe Tjek Thian !. Diwaktu ketjil, satu-dua kali ia pernah lihat wadjah kaisar wanita itu. Tapi pada masa itu, ia tidak mendapat kesan jang mendalam dan hanja merasa, bahwa Boe Tjek Thian adalah seorang wanita "tjantik". Tapi sekarang, dalam gambar itu dia bukan sadja melihat ketjantikan, tapi djuga keangkeran jang tidak dipunjai oleh manusia biasa. Tanpa merasa ia menghela napas dan berkata dalam hatinja .
"Sudahlah ...! Dalam penitisan ini, sakit hatiku jang besar tak akan bisa dibalas ". Ditembok seberang djuga tergantung sebuah gambar seorang wanita muda jang sedang bersilat dengan pedang dalam taman bunga, dan pada gambar itu tertulis sjair jang berbunji seperti berikut .
"Sinar bulan gilang-gemilang Sinar pedang berkeredepan, Tangan mentjekal pedang, Melindungi bunga ditaman. Asal sama2 berbahagia, 'Ku tak menampik tjapai lelah' " ('Ku tak menampik tjapai lelah'. Dalam bait itu mempunjai arti, Negara dalam tangan wanita). Dibawah sjair itu terdapat pula huruf2 jang berbunji seperti berikut .
"Keponakan Hian Song paling suka bersilat pedang diantara bunga2. Maka itu, kami memerintahkan Lam Tian melukis gambar ini dan menghadiahkan djuga sjair ini kepadanja. 'Boe Tjiauw' "
"Tjiauw"
Adalah nama lain dari Boe Tjek Thian. Huruf "Tjiauw"
Jang terdiri dari huruf2
"djit" (matahari).
"goat" (bulan) dan "kong" (langit), adalah sebuah huruf baru gubahan kaisar itu sendiri. Dengan demikian pula dengan huruf "Tjiauw"
Diartikan sebagai "matahari dan rembulan jang memantjarkan sinarnja dilangit".
Dari sini orang dapat me-raba2 sombongnja kaisar wanita itu.
Sesudah membatja sjair tersebut, bukan main kagetnja Wan Djie.
Sekarang ia tahu, bahwa nona itu bernama Boe Hian Song, adalah keponakan perempuan Boe Tjek Thian.
Dilihat dari sjair itu, Lam Tian mungkin sekali seorang pelukis istana, sedang sjair tersebut adalah gubahan kaisar wanita itu sendiri.
Dimata Wan Djie, sjair itu bukan hasil sastra jang tinggi.
Namun tetapi, mau tak mau, si nona merasa kagum akan keberanian Boe Tjek Thian untuk mentjiptakan sesuatu jang baru.
Dalam sjair itu ditulis .
"Tangan mentjekal pedang, melindungi bunga ditaman ". Kata2
"bunga"
Bukan bunga2 jang biasa, tapi "segala apa jang indah". Menurut buah kalam penjair2 dulu.
"orang jang melindungi bunga", selamanja orang lelaki. Tapi dalam sjairnja Boe Tjek Thian, jang melindungi bunga adalah seorang wanita. Bait "Mentjekal pedang melindungi bunga"
Berarti "mentjegah setiap pertjobaan pemberontakan".
Tak usah dikatakan lagi, nada sjair itu adalah nada suara seorang jang berkuasa, sehingga biarpun hatinja sangat membentji, Siangkoan Wan Djie terpaksa mengagumi kebesarannja kaisar wanita itu.
Dilain saat, nona Siangkoan bergidik dan bangun bulu romanja, karena ia mengerti, bahwa dirinja se-olah2 berada dimulut harimau.
Ilmu silat Boe Hian Song, jang tahu asal- usulnja, beberapa ratus kali lipat lebih tinggi daripada dirinja dan ia sekarang sedang berada dalam kamar tidur gadis itu !.
Tiba2 diluar kamar terdengar bentakan si budak perempuan ketjil .
"Sudah ! Ajo keluar !". Buru2 Wan Djie mengintip lagi dan ia lihat keenam kepala pendjahat itu berdjalan keluar sambil merintih dengan perlahan.
"Djie Ie ", kata si nona Hian Song seraja tertawa.
"Sesudah beberapa tahun kau mengikuti aku, hari ini kau telah mengerdjakan pekerdjaan jang paling menjenangkan hatiku ". Baru habis ia berkata begitu, datang lagi seorang tamu, jaitu seorang perwira, jang begitu bertemu dengan si nona, lantas sadja menekuk lututnja.
"Atas titah Thian-houw, aku datang untuk menengok Sio-tjia ", katanja dengan suara menghormat.
"Apakah kau orang sebawahan Khoe Sin Soen ?", tanja Boe Hian Song.
"Benar ", djawabnja.
"Mengapa Khoe Sin Soen membunuh bekas Thay-tjoe Lie Hian ?", tanja pula si nona.
"Bangun !. Beritahukan aku se-djelas2-nja ". Perwira itu terkedjut.
"Apa benar ada kedjadian begitu ?", ia menegas.
"Sedikitpun aku tak tahu ".
"Bagaimanakeadaan didalam kota ?".
"Begitu masuk kedalam kota, Khoe Tay tjiang-koen segera menutup pintu kota. Aku tak tahu, apa jang terdjadi pada waktu itu ".
"Selain menutup pintu kota, apa lagi jang dilakukan olehnja ?".
"Mengumpulkan semua perwira. Aku sendiri dipermisikan keluar kota karena mendapat titah Thian-houw untuk menengok Siotjia ".
"Apa ada perwira jang jang tidak melaporkan diri ?".
"Ada dua orang, jaitu Tjo-koen Touw-wie Thia Boe Ka dan Sian-heng-khoa Han Eng. Sio-tjia, inilah surat Thian-houw untukmu ". Si nona menjambut surat itu, tapi tidak membukanja.
"Bersama kedua budakku, sekarang djuga kau harus kembali kedalam kota dan menemui Khoe Tjiangkoen ", katanja.
"Khoe Tjiangkoen memang ingin mengundang Sio-tjia ", kata perwira itu.
"Beritahukanlah kepadanja, bahwa aku akan menemuinja, sesudah membekuk kedua orang itu ", kata si nona.
"Hari ini aku harus segera kembali ke kotaradja ", menerangkan perwira itu.
"Apakah Sio- tjia tidak mau menulis surat balasan untuk Thian-houw ? Thian-houw sangat memikiri kau ".
"Tidak, aku tak sempat ", djawabnja.
"Tolong beritahukan Thian- houw, bahwa aku tak ingin datang di Tiang-an. Baiklah, kau boleh berangkat sekarang ". Sesudah perwira itu dan kedua budak perempuannja berangkat, Boe Hian Song pun lantas turut berdjalan keluar. Tapi baru beberapa tindak, ia balik kembali dan mengetuk pintu kamar tidurnja. Wan Djie terkedjut. Sambil mentjekel gagang pedang, ia melompat ke samping pintu, siap-sedia untuk bertempur. Tiba2 terdengar suara tertawa "Siauw-moay-tjoe ", kata nona itu.
"Apa kau sudah menukar pakaian ? Aku mau keluar dulu untuk suatu urusan. Djika suka, kau boleh mengaso dalam kamarku dan tunggulah sampai aku kembali ". Wan Djie tidak menjahut. Sesaat kemudian terdengar pula suara nona Boe.
"Ma Goan Thong, kau boleh ikut aku ". Kedua orang itu lantas sadja berangkat dan sesudah mereka keluar dari pintu, hati Wan Djie baru lega. Wan Djie membuang napas. Mengingat kedjadian2 jang baru dialaminja, ia se-olah2 baru tersadar dari impian jang menakutkan. Dengan hati ber-debar2, beberapa pertanjaan berkelebat dalam otaknja. Boe Hian Song terang2-an tahu, bahwa ia bermaksud membunuh Boe Tjek Thian. Tapi mengapa nona itu membiarkan ia berdiam seorang diri didalam gedungnja ?.
"Djika mau, dia bisa membunuh aku seperti orang membalik tangan ", pikirnja.
"Apa maksudnja ? Apa ia bermaksud baik atau bermaksud djahat ?". Sesudah mengasah otak beberapa saat, ia segera menarik kesimpulan, bahwa biar bagaimanapun djua, djalan jang paling baik adalah meninggalkan gedung itu setjepat mungkin. Maka itu, sesudah berdandan beres, ia segera berdjalan keluar dari rumah Boe Hian Song. Waktu itu matahari baru sadja muntjul disebelah timur dan hawa pagi jang sedjuk telah menjegarkan badan Wan Djie jang letih. Tak lama kemudian, ia masuk kedalam hutan tho jang sedang berkembang, sehingga ia se- olah2 berdjalan dibawah lautan bunga. Sembari berdjalan, otaknja bekerdja terus. Kemana ia harus pergi ? Balik ke Kiam-kok dan hidup mengasingkan diri ? Pergi ke kotaradja untuk tjoba membunuh Boe Tjek Thian ? Kemana ? ---oo0oo--- KIRA2 sebulan kemudian, pada waktu bulan jang bundar memantjarkan sinarnja jang gilang-gemilang, seorang gadis djelita kelihatan sedang mendaki puntjak gunung Ngo-bie-san. Gadis itu bukan lain daripada Siangkoan Wan Djie. Sesudah memikir bulak-balik, ia achirnja mengambil keputusan untuk mendaki Ngo-bie-san, karena menurut keterangan Lauw Sie, pada Tjap-go malam, Lie It akan mengetuai Eng-hiong Tay-hwee (perhimpunan besar orang2 gagah) diatas puntjak Kim-teng.
"Ngo-bie Thian-hee-sioe" (Gunung Go-bie merupakan keindahan dikolong langit), demikian dikatakan orang. Kata2 itu memang tepat sekali, karena gunung tersebut mempunjai pemandangan alam jang sangat indah. Dan keindahan Ngo-bie pada malam terang bulan, sungguh2 sukar dilukiskan. Dibawah sinar rembulan jang putih bagaikan perak dengan diselimuti awan2 jang bertjorak tak henti2-nja, puntjak2 jang beraneka-ragam bentuknja seperti djuga mengenakan selendang sutera tipis jang me-lambai2 menurut tiupan sang angin, dalam suatu suasana jang damai dan tenang. Tapi si nona tak bisa menikmati keindahan itu, karena pikirannja sangat terganggu. Semendjak berpisahan dengan Lie It, ia selalu mengingat dan memikiri keselamatan pemuda itu. Sembari berdjalan, ia bertanja pada dirinja sendiri .
"Apa benar ia datang pada malam ini ? Apa benar ia akan menerbitkan gelombang ?". Sakit hatinja terhadap Boe Tjek Thian mungkin lebih hebat daripada pemuda itu. Tapi ia menjangsikan, apakah tindakan Lie It, jang pasti akan meminta banjak korban dan mengutjurkan banjak darah, adalah tindakan jang benar. Ia tiba di Ngoo-bie-san kemarin pagi dan selama dua hari, ia ber-putar2 digunungitu untuk menjelidiki djalanan jang menudju kepuntjak Kim-teng. Dan sekarang, ia sedang naik kepuntjak tersebut. Bulan naik semakin tinggi dan kadang2 kesunjian malam dipetjahkan oleh aum harimau atau bunji kera, tapi sebegitu djauh, ia belum mendengar suara tindakan manusia.
"Apa dia akan datang ? Ataukah Lauw Sie berdusta ?". Pertanjaan2 itu terus mengganggu pikirannja. Dalam hati ketjilnja, ia sebenarnja lebih senang djika Enghiong Tay-hwee tidak djadi diadakan. Sesudah melewati Houw-tjoe-po, Kim-teng, atau Puntjak Emas, sudah berada didepan mata. Pada saat itulah disebuah tandjakan mendadak terlihat berkelebatnja dua bajangan manusia, jang jika dilihat dari gerakannja, bukan Lie It adanja.
"Achirnja mereka datang djuga ", kata si nona dalam hatinja. Ilmu mengentengkan badan kedua orang itu tidak seberapa tinggi dan dengan mengambil djalan memutar, Wan Djie telah mendahului mereka dan tiba lebih dulu dipuntjak Kim-teng. Dengan memperhatikan kedudukan bumi, ia menduga, bahwa perhimpunan para orang gagah itu bakal diadakan di Thian-lie-peng, sebidang tanah datar jang terletak diatas Kim- teng. Ngo-bie-san terdiri dari beberapa gunung, seperti Toa-go, Djie-go, Sam-go dan Soe-go. Toa-go dan Djie-go ber-hadap2-an dan kedudukannja seperti djuga sepasang alis (bie). Kedua gunung inilah jang menjebabkan kelompok gunung2 itu diberi nama Ngo-bie-san. Diantara empat gunung itu. Toa-go lah jang paling tinggi dan mempunjai tiga buah puntjak, jaitu Kim-teng, Tjian-hoed-teng dan Ban- hoed-teng, sedang diantara tiga puntjak itu, Kim-teng lah jang paling tersohor, karena pemandangannja jang indah dan buminja jang agak rata. Pada puntjak itu tumbuh banjak sekali pohon bambu kate dan tanahnja ditutup dengan rumput hidjau. Maka itulah, Thian-lie-peng jang datar-rata merupakan sebuah tempat jang tjotjok untuk mengadakan perhimpunan. Begitu tiba disitu, setjara kebetulan si nona menemukan sebuah "rebung batu" (batu jang mendjulang keatas seperti rebung) jang berlubang di-tengah2-nja dan lubang itu tjukup besar untuk menempatkan badannja. Buru2 ia masuk kedalam lubang tersebut. Sementara itu, sesudah duduk diatas rumput, kedua orang tadi segera menepuk tangan. Dari beberapa pendjuru segera terdengar balasan tepuk tangan dan tak lama kemudian, tudjuh-delapan orang dengan beruntun tiba disitu.
"Goei Sam-ko ", kata seorang lelaki berdjenggot kepada orang jang datang paling dulu.
"Menurut rentjana Eng-hiong-tay-hwee dimulai pada tengah malam. Mengapa Sam-ko minta kami datang setengah djam lebih dulu ?".
"Kudengar dalam perhimpunan ini bakal diangkat seorang Beng-tjoe (ketua perserikatan) baru ", djawabnja.
"Hal ini mungkin sudah diketahui kalian ".
"Menurut peraturan, seorang Beng-tjoe memangku djabatannja selama sepuluh tahun ", kata seorang jang suaranja menjeramkan.
"Kok Sin Ong sudah tjukup sepuluh tahun memangku djabatannja sehingga kita memang harus mengangkat Beng-tjoe baru. Bukankah Goei Sam-ko ingin merundingkan soal pengangkatan itu ? Huh ... ! Kurasa soal itu boleh tak usah dirundingkan lagi ".
"Mengapa ?", tanja si djenggot.
"Pada djaman ini, siapakah jang bisa menangkan Kok Sin Ong ?", orang itu balas menanja.
"Menurut pendapatku, biar dia sadja jang menduduki lagi kursi Beng-tjoe ". Goei Sam bersenjum.
"Duduknja lagi Kok Sin Ong dalam kursi Beng-tjoe, sudah pasti tidak akan ditentang oleh siapapun djua ", katanja.
"Tapi sekarang telah muntjul seorang pemuda gagah. Apakah kalian sudah pernah dengar namanja ?".
"Siapa ?", tanja seorang.
"Lie It !", djawabnja. Tudjuh-delapan orang itu lantas sadja ramai bitjara.
"Siapa Lie It?".
"Aku belum pernah dengar nama begitu ".
"Menurut katanja orang, dengan seorang diri ia pernah membereskan pertengkaran antara Giok-liong-san dan Hoei-houw-tjee ".
"Bagaimanakah kedjadiannja ? Tjobalah tjeritakan ". Seorang tua jang turut duduk diatas rumput bangun berdiri dan lalu berkata .
"Pada tahun jang lalu, bulan Go-gwee (Bulan Lima), Tjee-tjoe (kepala sarang perampok) Giok-liong-san dan Hoei-houw-tjee telah merampas sedjumlah piauw dan karena tak bisa mendapat ketjotjokan dalam pembagiannja, mereka djadi bertjektjok dan siap-sedia untuk bertempur. Untung djuga Lie It keburu datang dan sesudah merobohkan Tjioe Tjee-tjoe dari Giok-liong-san serta Hoan Tjee-tjoe dari Hoei-houw-tjee, ia berhasil mendamaikan pertengkaran itu dan membagi rata piauw rampasan tersebut ". Keterangan itu kelihatannja mengedjutkan semua pendengar. Rupanja kedua Tjee-tjoe itu orang2 ternama dalam kalangan Liok- lim (Rimba Hidjau -kalangan pendjahat). Tapi sesaat kemudian, seorang berkata .
"Ah ...! Dengan hanja sebuah tjontoh, belum tentu Kok Sin Ong dapat ditekan ". Beberapa orang lantas sadja manggut2-kan kepalanja, sebagai tanda bahwa mereka menjetudjui pendapat itu. Goei Sam tertawa seraja berkata .
"Menekan memang djuga tidak bisa. Tapi ada sesuatu jang belum diketahui kalian. Lie It adalah orang jang dipenudjui oleh Kok Sin Ong sendiri dan Kok Sin Ong merasa rela untuk membuntuti dari belakangnja ".
"Apakah Kok Sin Ong memberitahukan sendirikepadamu ?", tanja seorang seraja tertawa dingin. Dalam Rimba Persilatan, Goei Sam tak punja kedudukan tinggi. Paling banjak ia hanja menduduki tingkat kedua atau ketiga. Maka itu, memang harus disangsikan, apa Kok Sin Ong, Beng-tjoe dari perserikatan Rimba Persilatan, sudi bitjarakan dengannja soal jang penting itu. Disamping itu, djuga tak mungkin Kok Sin Ong bisa menghargai begitu tinggi seorang pemuda jang baru sadja muntjul dalam kalangan Kang-ouw. Dengan demikian, sebagian besar orang2 itu tak pertjaja keterangan Goei Sam.
"Tentu sadja ia tidak bitjara sendiri denganku ", kata Goei Sam dengan suara perlahan.
"Jang diberitahukan olehnja adalah Liong Sam Sianseng, muridnja jang paling disajang. Tak lama lagi, Liong Sam Sianseng akan tiba disini dan kalian boleh tanja padanja ". Semua orang tahu, bahwa Goei Sam adalah orang sebawahan Liong Sam Sianseng, sehingga perkataannja itu telah menambah kepertjajaan terhadap dirinja. Selagi orang bersangsi, tiba2 ia berbisik .
"Dalam urusan ini terdapat satu rahasia besar ...!". Kata2 selandjutnja dibisiki dikuping orang2 itu. Sesaat kemudian, paras muka semua orang ber-seri2 dan dengan serentak mereka me- nepuk2 tangan sambil bersorak kegirangan.
"Sesudah kita tahu, tak usah banjak bitjara lagi ", kata Yo Tjee-tjoe, si orang tua.
"Sebentar kita ber-ramai2 memberi suara untuk Lie Kongtjoe ".
"Sam-ko ", kata orang jang suaranja menjeramkan.
"Terima kasih untuk petundjukmu itu. Lie Kongtjoe bagus untungnja, ia memang tjotjok mendjadi Beng-tjoe. Kita pun bernasib baik. Sudah ditakdirkan kita mesti ha ha ! mesti naik kedudukan tinggi !".
"Tentu sadja ", kata Goei Sam.
"Sesudah mempunjai Beng-tjoe seperti Lie Kongtjoe, kita boleh harapkan badju sulaman !". Semua orang lantas sadja ber-omong2 sambil ter-tawa2 dengan hati bungah dan harapan muluk. Sebagai orang yang tjerdik, Wan Djie tahu, bahwa "rahasia"
Jang disebutkan Goei Sam adalah asal-usul Lie It sebagai sanaknja kaisar.
"Djika Lie It tahu, bahwa orang2 itu menjokong dirinja sebab kedudukannja jang tinggi, belum tentu ia merasa senang ". Selang beberapa saat datang pula serombongan orang jang dikepalai oleh seorang sastrawan setengah tua jang mengenakan djubah pandjang dan mentjekal kipas dalam tangannja. Dari sikap dan gerak-geriknja jang bebas, orang itu kelihatannja biasa hidup merdeka, tanpa ikatan. Begitu melihat dia, semua orang segera bangun berdiri seraja berseru .
"Aha ... ! Liong Sam Sianseng !", Goei Sam sendiri lalu mendekati dan mengutjapkan beberapa perkataan dengan perlahan. Sastrawan itu manggut2-kan kepala sambil menjapu semua orang dengan kedua matanja.
"Eh ..., eh ... Mana Tjee Sam dan Lie Tjit ?", tanjanja.
"Mengapa mereka belum datang ?".
"Siang2 aku sudah beritahukan mereka ", djawab Goei Sam.
"Mungkin sekali ditengah djalan muntjul halangan. Tapi djumlah orang jang berada disini sudah tjukup banjak, sehingga tidak datangnja beberapa orang tak mendjadi soal ". Tak lama kemudian, dengan ber-runtun2 tiba pula lain2 rombongan. Mereka itu rupanja bukan sekaum dengan orang2 jang datang lebih dulu, karena mereka hanja manggutkan kepala sedikit kepada Liong Sam Sianseng dan tidak memperlihatkan penghormatan luar biasa. Mendjelang tengah malam, diatas tanah datar itu sudah penuh orang dan sambil menunggu kedatangan Kok Sin Ong, mereka bitjara satu sama lain dengan suara perlahan. Selang beberapa lama lagi, tibalah tengah malam dan sang rembulan berada diatasan kepala. Tiba2 disebelah kedjauhan terdengar siulan njaring dan semua orang berdiri serentak. Suara itu terdengar ditempat jang djauhnja beberapa li, tapi dilain saat, berbareng dengan berhentinja suara tersebut, diatas tanah lapang itu sudah berdiri dua orang lain, satu tua dan satu muda. Jang tua Kok Sin Ong, sedang jang muda bukan lain daripada Lie It.
"Beng-tjoe Ban-swee !", seru para hadirin sambil membuka sebuah djalan. Bersama Lie It, Kok Sin Ong lalu berdjalan ke tengah2 lapang. Wan Djie mengawasi dengan hati ber-debar2. Sesudah mengangkat kedua tangannja untuk memberi hormat, Kok Sin Ong berkata dengan suara njaring .
"Terlebih dulu aku ingin meminta maaf karena kalian harus menunggu lama sekali. Sekarang idjinkanlah aku memperkenalkan seorang eng-hiong muda ". Lie It lantas sadja memberi hormat.
"Eng-hiong muda ini adalah murid Pat-pie Lo-tjia (Lo Tjia berlengan delapan) Oet-tie Tjiong. Ia she Lie bernama It. Belum tjukup setahun ia berkelana dalam dunia Kang-ouw, namanja sudah menggetarkan Rimba Persilatan. Loo-hoe sudah hidup sekian puluh tahun, tapi belum pernah bertemu dengan orang gagah jang seperti dia ". Perkataan Kok Sin Ong itu disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai. Wan Djie jang bermata djeli segera lihat, bahwa mereka jang bersorak-sorai adalan kawan2 Liong Sam Siangseng. Diantara tepuk tangan dan sorakkan, terdapat banjak orang jang bitjara dengan bisik2. Orang2 jang hadir dalam pertemuan itu terdiri dari beberapa golongan. Ada djago2 Liok-lim, ada pentolan2 RimbaPersilatan, pendekar2 berbagai partai persilatan, para perwira tentara keradjaan Tong jang telah berhenti karena tidak menjetudjui duduknja Boe Tjek Thian sebagai kaisar dan orang2 jang sengadja datang untuk merebut kedudukan Beng- tjoe. Diantara mereka itu ada beherapa orang jang tahu, bahwa Kok Sin Ong adalah saudara angkat Oet-tie Tjiong. Maka itulah, mereka menganggap, bahwa dengan mendorong Lie It, Kok Sin Ong sengadja ingin mengangkat keponakan muridnja. ---oo0oo--- SAMBIL mentjekel tangan Lie It, Kok Sin Ong mengawasi para hadirin dan sesudah sorak-sorai mereda, ia berkata pula dengan suara perlahan .
"Pada sepuluh tahun jang lalu, saudara2 telah mengangkat aku sebagai Beng-tjoe. Aku merasa sangat malu, bahwa selama sepuluh tahun ini, aku tidak mampu berbuat apa2 untuk kebaikannja perserikatan kita. Sekarang, sesudah masa djabatanku berachir, memang sepantasnja sadja, djika loo-hoe, seorang tua jang tak punja guna lagi, menjerahkan kedudukan ini kepada orang jang lebih pandai. Pada masa ini, dikolong langit sedang muntjul banjak sekali soal sulit, sehingga menurut hematku, kursi Beng-tjoe , haruslah diduduki oleh seorang muda jang kuat dan bidjaksana. Pada bulan kelima tahun jang lalu, saudara Lie It telah membereskan pertengkaran antara Giok-liong-san dan Hoei-houw-tjee, sedang dalam bulan Tjhia- gwee (Bulan Pertama) tahun ini, ia telah merubah dua djago dari istana kaisar dan berhasil menolong Bok Tjee-tjoe dari Tjek-tjio-kong. Dua pekerdjaan besar itu jang telah dilakukannja, mungkin sekali sudah didengar djuga oleh saudara2. Disamping itu, saudara Lie djuga mempunjai pengetahuan tinggi dalam ilmu surat, ia pernah memahami kitab2 ilmu perang dan didalam hatinja terdapat angan2 jang sangat besar. Aku berpendapat bahwa ia adalah seorang jang paling tjotjok untuk memimpin orang2 gagah dalam kalangan Kang-ouw guna melakukan sebuah pekerdjaan besar jang akan menggetarkan seluruh dunia. Orang sering kata, Seorang pandai tidak perlu berusia tua, seorang bodoh akan tetap tolol biarpun ia sudah mentjapai usia seratus tahun. Lie Hian-tee adalah seorang pemuda Boen-boe-song- tjoan (pandai ilmu surat dan ilmu perang), pintar, tjerdas, bidjaksana dan mulia. Dengan memberanikan hati, loo-hoe ingin mengusulkan supaja la menggantikan aku sebagai Beng-tjoe dalam perserikatan kita ini ". Keterangan Kok Sin Ong itu mendapat matjam2 sambutan. Liong Sam Sianseng dan kawan2-nja tentu sadja segera menjetudjui sambil bertepuk tangan, tapi hadirin lainnja lantas sadja saling mengutarakan pendapat antara mereka sendiri, hanja untuk sementara, dengan memandang muka Kok Sin Ong, belum ada orang jang menentang setjara terang2-an. Dapat dimengerti, djika djago2 itu merasa tidak rela untuk dipimpin oleh seorang muda jang baru sadja mentjeburkan diri kedalam Rimba Persilatan.
"Saudara2 sekalian boleh adjukan pendapat setjara bebas ", kata Kok Sin Ong. Undangan itu disambut oleh Beng Tjioe Goan, seorang tjhung-tjoe dari kota Wie- shia, dipropinsi Holam, jang lantas bangun berdiri dan berkata dengan suara njaring .
"Kedudukan Beng-tjoe adalah kedudukan jang sangat penting dan jang harus dirundingkan dengan saksama. Saudara Lie belum dikenal oleh banjak orang, antaranja loo-hoe sendiri. Maka itu, bolehkah loo-hoe minta supaja ia memperlihatkan salah satu kepandaiannja supaja kita semua bisa menambah pengetahuan ". Menurut kebiasaan, seseorang jang baru menghadiri Eng-hiong Tay- hwee, ketjuali jang sudah punja nama besar dan disegani, memang sering didjadjal dan dalam pertjobaan itu, siapapun boleh mengambil bagian. Bahwa Beng Tjioe Goan hanja meminta Lie It mengeluarkan kepandaiannja, sudah merupakan bukti, bahwa ia berlaku sungkan dan memandang muka Kok Sin Ong. Liong Sam Sianseng merasa sangat mendongkol tapi ia tak dapat mengatakan apa2.
"Lau-tee, tjobalah kau memperlihatkan sedjurus dua djurus ", kata Kok Sin Ong. Lie It bersenjum seraja berkata .
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku adalah seorang jang tidak mempunjai kemampuan apa2, sehingga aku merasa sangat djengah mendengar pudjian begitu tinggi dari Kok Loo-tjian-pwe. Mengenai kedudukan Beng-tjoe, benar2 aku tidak bisa menerima. Dengan adanja perintah dari orang jang lebih tua, aku tidak dapat menampik dan biarlah, dengan menggunakan kesempatan ini, aku mempersembahkan kebodohanku dan meminta peladjaran dari para Tjian-pwee serta saudara2. Hanja mungkin sekali, apa jang diperlihatkan olehku tidak ada harganja untuk dilihat ". Sehabis berkata begitu, ia membungkuk dan mentjabut setjekal rumput jang lalu digunting udjung pangkalnja dengan menggunakan dua djari tangan, sehingga apa jang dipegangnja jalah batang2 rumput jang pandjangnja kira2 lima dim. Para hadirin menjaksikan tanpa memberi sambutan. Menggunting rumput dengan djari tangan memang merupakankekuatan lweekang jang tinggi, tapi tidak luar biasa. Lie It kembali tersenjum dan mendongak mengawasi ketempat djauh. Beberapa orang turut mendongak untuk mengetahui apa jang sedang dipandang oleh pemuda itu.
"Apakah saudara ketjil itu belum pernah melihat Hoed-teng ?", tanja seorang seraja tertawa.
"Hoed-teng" (Lampu Buddha) adalah sebuah pemandangan luar biasa digunung Ngo-bie-san. Dalam gunung itu terdapat banjak sekali pospor jang mengeluarkan sinar terang diwaktu malam dan biasa dinamakan "Kwie-hwee" (Api setan), dan dalam bahasa jang lebih halus, dikenal sebagai "Hoed-teng". Waktu baru muntjul, Hoed-teng itu merupakan binatang2 ketjil jang dengan berkelap-kelip, masuk kedalam lembah2 jang tertutup kabut. Hoed-teng itu semakin lama djadi semakin banjak dan seluruh gunung se- olah2 ditaburi dengan bintang2. Beberapa saat kemudian, beberapa puluh Hoed-teng melajang mendatangi kearah tanah lapang dimana para orang gagah sedang berkumpul. Api pospor itu mengandung ratjun dan biarpun tidak berbahaja, siapa jang kena djadi berabe. Maka itulah, djika bertemu Hoed-teng, orang selalu menjingkir djauh2 dan kebiasaan ini dinamakan "Keng Hoed"
Atau menghormati Buddha.
Melihat kedatangannja puluhan Hoed-teng, semua orang terkedjut.
Meskipun benar mereka bisa menjingkirkan diri, akan tetapi, karena pertemuan belum berachir, dimana mereka bisa mentjari tempat jang begitu bagus ?.
Lie It tersenjum seraja berkata .
"Pemandangan itu memang sangat luar biasa, tapi lebih baik kita mengantarkan mereka pulang ". Hampir berbareng dengan perkataannja, ia mengajun tangan dan bagaikan anak panah jang terlepas dari busurnja, batang2 rumput menjambar Hoed-teng jang lantas sadja mendjadi hantjur dan bujar ditengah udara. Sorak-sorai bergemuruh, kali ini bukan sadja Liong Sam Sianseng dan kawan2-nja, tapi djuga orang2 dari lain golongan. Hoed-teng jang berterbangan itu sadja sudah merupakan sasaran jang tidak mudah. Dengan menggunakaa batang2 rumput jang enteng-lemas, tapi sudah berhasil menghantjurkan api2 pospor itu, dapatlah orang membajangkan betapa hebat lweekang jang digunakan Lie It.
"Bagus ...!", memudji Kok Sin Ong.
"Sungguh indah pukulan Tjek-yap Hoei-hoa itu !. Lie Hiantit, biarlah loo-hoe memberi sedikit bantuan kepadamu ". Seraja berkata begitu, ia mengebas dengan tangan badjunja jang lantas sadja mengeluarkan kesiuran angin dahsjat, sehingga sisa Hoed-teng jang masih ketinggalan tertiup bujar sama-sekali. Kok Sin Ong mendapat nama besar dalam Rimba Persilatan karena memiliki tiga rupa ilmu jang sangat lihay, jaitu ilmu silat Thong-pie-koen, pukulan Kim kong-tjiang dan ilmu pedang Liap-in-kiam. Kebiasannja jang barusan dilakukan dengan menggunakan tenaga Kim-kong-tjiang. Sesudah mengebas, ia tertawa ter-bahak2 .
"Saudara2, sesudah Lie Hiantit memperlihatkan kepandaiannja, kurasa, usulku supaja dia menggantikan kedudukanku sebagai Beng-tjoe tidak bisa dikatakan memilih kasih ", katanja dengan paras muka ber-seri2 .
"Kok Beng-tjoe, pendapatmu memang tepat sekali ", kata Beng Tjioe Goan setjara laki2 .
"Apa jang diperlihatkan oleh saudara Lie memang sangat mengagumkan ". Kata2 orang tua itu kembali mendapat sambutan tepuk tangan jang hangat. Pada waktu itu, sebagian besar dari orang2 jang hadir sudah menjetudjui untuk mengangkat Lie It sebagai Beng-tjoe baru. ---oo0oo-- TAPI diluar dugaan, baru sadja tepuk tangan mereda, seorang lelaki jang bertubuh tinggi-besar tiba2 melompat bangun.
"Ilmu melepaskan sendjata rahasia dari Saudara Lie, memang tjukup tinggi ", katanja dengan suara njaring seperti genta.
"Tapi maaf, aku belum merasa takluk sebelum mendjadjal ilmu silatnja ". Orang jang menantang adalah Tjee-tjoe dari Im-ma-tjoan, propinsi Shoa-tang jang bernama Hong Kie Teng. Dengan tubuhnja jang tinggi-besar, ia berdiri di-tengah2 lapangan bagaikan satu pagoda besi. Mendadak terdengar suara tertawa jang membangunkan bulu roma.
"Benar ", kata orang itu.
"Mendjadi Beng-tjoe memang bukan gampang. Gembira djuga bila kita bisa menjaksikan sedikit keramaian pada malam jang sunji ini ". Didengar dari nada suaranja, ia bukan sadja memandang enteng kepada Hiong Kie Teng. tapi djuga tidak merasa takluk terhadap Lie It. Kok Sin Ong terkedjut dan menjapu seluruh lapangan dengan matanja jang tadjam, tapi ia tak bisa tjari orang jang mengutjapkan perkataan itu. Ia memaksakan diri untuk tertawa seraja berkata .
"Benar sekali perkataan sahabat itu. Dalam Eng- hiong Tay-hwee semua orang merdeka untuk mendjadjal kepandaian. Lie Hiantit, tjobalah kau lajani Hiong Tjee-tjoe beberapa djurus. Hiong Tjee-tjoe bergelar Say-goan-pa dan pentolan dalam ilmu silat Gwa-kee ". Dengan berkata begitu, ia ingin memperingatkan supaja Lie It berlaku lebih hati2. Sementara itu, Hiong KieTeng sendiri sudah melompat keatas satu batu jang sangat besar. ,,Saudara Lie, mari naik keatas batu ini,"
Ia mengundang.
"Baiklah ", djawabnja sambil menggerakkan kedua kakinja. Gerakan kaki itu sangat luar biasa, karena, tanpa melompat seperti jang lazimnja diperbuat oleh ahli2 silat, tahu2 ia sudah berdiri diatas batu itu. Hanja ada beberapa orang jang mengerti, hahwa ia "melompat"
Dengan menggunakan ilmu Leng-kong-po, sematjam ilmu mengentengkan badan jang istimewa. Lie It bukan seorang kate, tapi djbandingkan dengan Hiong Kie Teng, tingginja hanja sepundak raksasa itu.
"Mari kita mendjadjal tenaga diatas batu ini ", kata si raksasa sambil menundukkan kepalanja.
"Siapa jang djatuh kebawah, dialah jang kalah. Apa kau setudju ?". Lie It tertawa geli.
"Manusia tolol ini ada djuga pintarnja, katanja didalam hati. Lebarnja batu itu hanja beberapa kaki persegi, sehingga biarpun Lie It memiliki ilmu silat dan ilmu mengentengkan badan jang sangat tinggi, ia tak dapat mengeluarkan kepandaiannja ditempat jang sempit itu, sehingga orang jang bertenaga besarlah jang dapat mearik keuntungan. Melihat lawannja tidak lantas mendjawab, Hiong Kie Teng tertawa terbahak-bahak.
"Mengapa kau tak menjahut ?", tanjanja.
"Djangan takut. Aku mempunjai obat mustadjab untuk mengobati luka dan menjambung tulang ". Pemuda itu bersenjum.
"Saling tumbuk setjara kasar-biadab ada apa menariknja ?", tanjanja.
"Kau salah ...!", teriak Hiong Kie Teng.
"Tjaraku ini barulah benar2 mengadu tenaga ".
"Mengadu tenaga tak perlu saling pukul ", kata pula Lie It. Paras muka raksasa itu djadi merah-padam, karena gusarnja.
"Habis apa jang kau mau ? ", bentaknja.
"Kau boleh pukul aku lebih dulu tiga kali dan aku tidak akan membalas ", djawabnja.
"Djika aku djatuh kebawah, akulah jang kalah. Bukankah usulku ini banjak lebih sopan daripada usulmu ?". Hiong Kie Teng tertawa besar.
"Kalau begitu, kau djangan main2 dengan pindjam tiga, membajar lima ", katanja.
"Baiklah ...! Aku tak mau menarik keuntungan jang tidak adil. Kau boleh memukul lebih dulu ". 'Pindjam tiga, membajar lima' berarti menerima tiga pukulan dan kemudian membajar dengan lima pukulan. Tapi pemuda itu kembali tersenjum dan meng-geleng2-kan kepalanja.
"Aku datang disini sebagai tamu dan tamu tak boleh mendahului tuan rumah ", katanja.
"Kau harus memukul lebih dulu dan aku tak akan membalas !". Tantangan Lie It bukan sadja mengedjutkan lain2 orang, tapi malah mengagetkan Hiong Kie Teng sendiri. Ia merasa djengah dan bersangsi untuk turun tangan.
"Ajo ... pukullah !", Lie It menantang.
"Bukankah kau membawa obat2-an ?". Mendengar perkataan itu jang mempunjai dua arti, bisa berarti obat untuk Lie It dan bisa berarti djuga obat untuk Hiong Kie Teng sendiri. Si raksasa djadi gusar bukan main. Dengan mata melotot, ia membentak .
"Kalau dengan tiga tindju aku tak berhasil merobohkan kau, aku akan berlutut dihadapanmu !". Berbareng dengan perkataannja, tindjunja menjambar dan "bukkk ...!", pukulannja mampir dipundak Lie It. Mendadak si raksasa terkesiap, karena ia seperti memukul daging keras jang dipoles minjak, sehingga tindjunja terpeleset. Ia tentu sadja tak tahu, bahwa pemuda itu menggunakan ilmu Ie-kin Kang-hoe untuk memunahkan pukulan itu. Ia bengong dan berkata dengan suara perlahan .
"Keras sungguh dagingmu ". Biar pun begitu, hatinja masih penasaran. Lie It tertawa.
"Pukul lagi ", katanja.
"Aku akan manda dipukul sampai tepat kenanja ". Hampir berbareng dengan perkataannja, Hiong Kie Teng sudah menindju dan "bukkk ...!", pukulannya tepat kena didada. Banjak orang mengeluarkan seruan tertahan, karena mereka duga Lie It mendapat luka berat. Tapi, sebaliknja daripada pemuda itu, adalah Hiong Kie Teng jang me-ringis2 sambil meng-usap2 tindju kanannja dengan tangan kiri. Barusan, sesudah menerima pukulan pertama, Lie It merasa ungkulan untuk mengadu tenaga dengan raksasa itu. Waktu Hiong Kie Teng mengirim tindju kedua, ia segera memusatkan lweekangnja didada, sehingga beradunja tindju dan dada berarti beradunja kedua tenaga, semakin besar tenaga memukul, semakin besar pula tenaga jang menolaknja. Tapi pemuda itu pun merasa sakit pada dadanja. la terkedjut dan berkata dalam hatinja .
"Tak salah peringatan Kok Sin Ong, bahwa ia seorang ahli dalam ilmu silat Gwa-kee. Untung djuga aku tidak dapat luka didalam badan ". Sesudah mendjalankan pernapasannja, ia tertawa dan berkata .
"Say-goan-pa, nama besarmu sungguh bukan nama kosong dan siauw-tee merasa kagum sekali. Masih ada satu pukulan apakah kau mau memukui lagi ?". Melihat tjara2 Hiong Kie Teng jang polos, Lie It merasa suka padanja dan perkataannja itu bermaksud untuk memberi kesempatan supaja ia dapat mengundurkan diri tanpa hilang muka. Tapl si raksasa sudah salah tampa dan menganggap Lie It mengedjek dirinja.
"Mengapa tidak ?", bentaknja dengan suara gusar sambil menindju kempungan Lie it dengan sekuat tenaga. Hampir berbareng dengan menjambarnja tindju, hati Hiong Kie Teng mentjelos karena ia sepertidjuga memukul kapas dan tindjunja "amblas"
Dikempungan pemuda itu. Dengan djantung memukul keras, ia tjoba menarik pulang tangannja, tapi tidak berhasil, sebab tindjunja jang sebesar mangkok disedot erat2 dengan sematjam tenaga.
"Hiong-heng, maaf ...", kata Lie It sambil melembungkan kempungannja dan tubuh si raksasa terlempar djatuh kebawah. Diantara suara tepukan tangan dan sorak- sorai, si raksasa melompat bangun dan berlutut ditanah. Lie It buru2 melompat turun dan membangunkannja.
"Hiong-heng ", katanja.
"Mengapa kau berlaku begitu rupa ? Kekalahanmu se-mata2 karena kau tidak ber-hati2
".
"Lie-heng ", kata si raksasa.
"Aku sudah berdjandji, bahwa djika dalam tiga kali memukul, aku tidak bisa merobohkan kau, aku akan berlutut dihadapanmu. Sekarang, bukan sadja aku tak mampu mendjatuhkan kau, malah aku sendiri jang kena dirobohkan ". Perkataan jang djudjur polos itu disambut dengan gelak-tawa oleh orang2 jang mendengarnja. Baru sadja suara tertawa mereda, tiba2 terdengar pula suara jang menjeramkan .
"Bagus ! Sungguh tinggi lweekang jang barusan diperlihatkan. Sekarang biarlah aku jang main2 sedikit dengan Beng-tjoe baru ". Dilain saat, seorang lelaki setengah tua jang dandanannja seperti sastrawan dan tangannja mentjekel kipas, menghampiri Lie It. Melihat orang itu, bukan main kagetnja Kok Sin Ong. Ia berpaling kepada Lie It seraja berkata .
"Tuan ini adalah, adalah ...".
"Aku jang rendah adalah Tjeng-tjioe Tong Hong Pek ", ia memperkenalkan diri dengan memotong perkataan Kok Sin Ong.
"Aku sengadja datang kemari untuk meminta peladjaran dari Beng-tjoe baru ". Suaranja jang menjeramkan dan mengedjek kedengaraanja tak enak sekali. Tong Hong Pek adalah seorang djago kenamaan jang bergelar Giam-ong-san atau Si Kipas Giam Loo Ong, Radja Langit jang memanggil roh manusia dan mengadilinja. Kipas jang ditjekelnja, jang terbuat daripada badja, adalah sendjatanja jang dipergunakan untuk menotok djalan darah musuh. Dalam ilmu itu tak ada orang jang dapat menandinginja. Disamping itu ia dikenal sebagai seorang jang banjak akalnja, sehingga dalam kalangan Kang- ouw ia sangat disegani orang. Pada sepuluh tahun berselang, sesudah Kok Sin Ong merebut kedudukan Beng-tjoe dengan menggunakan Thong-pie-koen, Liap-in-kiam dan kim- kong-tjiang, ia menghilang dari Rimba Persilatan. Ada jang kata, pada waktu itu ia sebenarnja niat merebut kursi Beng-tjoe, tapi karena merasa tak sanggup melawan Kok Sin Ong, ia mengurungkan niatannja dan lalu menjembunjikan diri untuk beladjar ilmu jang lebih tinggi guna turun kedalam gelanggang dihari nanti. Lie It tentu sadja tak tahu asal-usulnja itu, tapi melihat lagaknja jang menjebalkan, ia merasa mendongkol.
"Kata2 Beng-tjoe baru aku tak bisa menerima ", katanja dengan suara adem.
"Kedatanganku ketempat ini hanjalah untuk meminta peladjaran dari orang2 gagah dikolong langit ".
"Tuan djangan merendahkan diri ", kata Tong Hong Pek sambil tertawa. Kedudukan Beng-tjoe sudah pasti tak akan terlolos dari tanganmu. Aku hanja ingin main2 sedikit dan aku mengharap kau djangan turunkan tangan terlalu berat ". Mendengar perkataannja jang tjukup sopan, biarpun mendongkol Lie It tak berani berlaku sembrono. Ia merangkap kedua tangannja dan berkata sambil membungkuk .
"Aku merasa bersjukur, bahwa kau sudi memberi peladjaran. Ajohlah ...!". Kok Sin Ong kaget sebab djagonja tidak menghunus pedang dan bersiap untuk melajani lawannja dengan tangan kosong. Ia ingin sekali memberi peringatan tapi ia merasa malu, karena tindakan itu terlalu menjolok mata.
"Baiklah ", kata Tong Hong Pek dan bagaikan kilat, kipasnja menjambar djalan darah Tjiang-boen- hiat.
"Bagus ...!", teriak Lie It dengan kaget sebab serangan itu menjambar luar biasa tjepat, tapi pada detik terachir, dengan gerakan Poan-liong-djiauw-po (Naga-bertindak), ia dapat djuga menjelamatkan dirinja. Tong Hong Pek mendesak dan kipasnja tjoba menotok djalan darah Hoan-tiauw-hiat dilutut pemuda itu. Sekarang Lie It sudah siap-sedia. Dengan menggunakan ilmu Siauw-kim-na-tjhioe, ia mementang tiga djarinja dan menotok nadi Tong Hong Pek. Tapi diluar dugaan, selagi djarinja menjambar, se-konjong2 Tong Hong Pek membuka kipasnja dan mata pemuda itu agak berkunang karena melihat sinar badja jang berkilauan. Ternjata, tulang2 kipas itu terbuat daripada badja tipis jang sangat tadjam, sehingga djika membentur lembaran badja itu, djari2 Lie It pasti akan putus. Tapi pemuda itu dapat mengubah gerakannja setjara luar biasa tjepat. Pada detik jang sangat berbahaja, ia masih keburu menarik pulang tangannja dan melompat kesamping. Dilain saat, ia sudah menjerang dengan pukulan2 Tjam-liong-tjhioe (Pukulan- tangan Membunuh-naga), dengan menggunakan telapak tangan jang naik-turun bagaikan golok. Pada saat2 lowong, ia masih menggunakan djeridji tangan untuk tjoba mengorek kedua mata lawan. Dengan tjepat Tong Hong Pek kelihatan terdesak. Mendadak, ia membentak keras dan sambil melompat tinggi, ia mengempos semangatdan menjerang seperti hudjan-angin hebatnja, sehingga dalam sekedjap, ia sudah mengirim tiga belas totokan kipas jang setiap totokannja dapat membinasakan djiwa. Lie It kaget dan ia pun lalu memusatkan tenaga dan pikiran untuk melawan dengan bersemangat dan hati2. Beberapa puluh djurus lewat dan keadaan kedua lawan itu masih tetap berimbang. Tapi biar bagaimanapun djua, Lie It jang tidak bersendjata berada dipihak jang rugi. Kipas itu bukan sadja dapat menotok djalan darah sebagai sendjata Poan-koan-pit, tapi djuga bisa menabas seperti pedang. Untuk melajani serangan2 jang makin lama djadi makin hebat, ia segera mengeluarkan ilmu pukulan Hok-mo-tjiang jang membela diri dengan menjerang. Kok Sin Ong mengawasi djalan pertempuran dengan hati berkuatir, tapi sesudah memperhatikan beberapa lama, hatinja mendjadi lega. Mengapa? Karena adanja perubahan jang tidak dapat dilihat oleh orang2 seperti Liong Sam Sianseng dan kawan2-nja. Orang jang paling dulu merasakan adanja perubahan itu, tentu sadja Lie It sendiri. Ia mendapat kenjataan, bahwa beberapa kali Tong Hong Pek telah mengirim totokan jang sangat hebat dengan kipasnja, tapi pada detik terachir, ia tidak meneruskan serangan itu. Djika diteruskan, memang mungkin dia kena pukulan, tapi dengan memiliki lweekang jang kuat, pukulan itu pasti tidak akan membahajakan djiwa. Dilain pihak, djika diteruskannja serangan itu mungkin sekali dapat merobohkan Lie It. Maka itulah, sesudah kedjadian tersebut terdjadi beberapa kali, pemuda itu segera menarik kesimpulan, bahwa lawannja sengadja berlaku murah hati. Tapi karena gerakan2 mereka tjepat luar biasa, maka, ketjuali beberapa ahli seperti Kok Sin Ong, jang lainnja tidak dapat lihat adanja perubahan itu. Sesudah lewat sekian djurus. Lie It mendadak membabatkan telapak tangannja dengan pukulan Sin-liong-pay-bwee (Naga-sakti-menjabet-dengan- buntutnja). Sambil berkelit, Tong Hong Pek menotok djalan darah Hoan-tiauw-hiat dan Sin-hong-hiat, dilutut lawan. Sesudah memunahkan serangan itu, Lie It segera balas menjerang, tangan kanannja menebas, sedang lima djari tangan kirinja dipentang untuk menjengkeram pergelangan tangan lawan. Diserang setjara begitu, djika Tong Hong Pek tidak menarik pulang tangannja, paling mudjur kipasnja kena dirampasnja, atau kalau sial, tulang pergelangan tangannja bisa djadi patah. Dalam mengirim serangan itu, maksud Lie It hanjalah supaja lawannja menarik pulang tangannja. Tapi, diluar dugaan, begitu tangan kirinja menjambar, dengan ketjepatan kilat, Tong Hong Pek mengangsurkan kipasnja, sehingga lima djarinja menjengkeram kipas itu. Itulah kedjadian sangat luar biasa, sehingga, untuk sedetik, ia tertegun. Tiba2 ia mendengar suara lawannja.
"Aku bersedia untuk mengabdi kepada Kongtjoe ". Suara itu diutjapkan dengan berbisik, sehingga hanja dapat didengar oleh Lie It seorang. Sehabis berkata begitu, Tong Hong Pek melompat mundur dan sambil merangkap kedua tangannja, ia berkata .
"Lie Kongtjoe benar2 lihay dan aku Tong Hong Pek merasa takluk ". Sebagian besar penonton tentu sadja tak bisa lihat latar belakang kedjadian itu jang terdjadi luar biasa tjepat. Tahu2 tangan kiri Lie It sudah mentjekal kipas lawannja dan dengan serentak mereka menepuk tangan sambil bersorak-sorai. Sebenarnja, waktu baru datang di Ngo-bie-san, Tong Hong Pek bertekad untuk merebut kedudukan Beng-tjoe. Tapi belakangan, setjara kebetulan ia mengetahui asal-usul Lie It, sehingga ia lantas sadja berubah pikiran dan madju kedalam gelanggang hanja untuk memperlihatkan kepandaiannja kepada pangeran itu dan kemudian menjerah kalah. Lie It jang sangat pintar tentu sadja mengerti maksud orang. Ia menjesal, bahwa tadi ia tidak menggunakan pedang, sehingga sekarang ia harus menerima budi orang. Tapi mengingat tudjuannja jang terutama adalah berusaha untuk merobohkan Boe Tjek Thian, maka biarpun hati mendongkol, ia tidak memperlihatkan rasa djengkelnja dan lalu mengembalikan kipas itu dengan sikap dan sorot mata berterima kasih. ---oo0oo-- BARU sadja Tong Hong Pek menjerah, dua orang Toosoe jang pada punggungnja melintang pedang, berdjalan masuk kedalam gelanggang.
"Aku dengar, Oet-tie Sianseng memiliki ilmu pedang jang sangat tinggi, sehingga sebagai muridnja, Lie Kongtjoe tentu djuga mahir dalam ilmu itu ", kata satu diantaranja dengan suara njaring.
"Sekarang pintoo ingin meminta peladjaran dari Lie Kongtjoe ". Mereka berdua adalah saudara seperguruan, jang lebih tua Oei-ho, adalah kepala kuil Pek-ma-koan, sedang jang mudaan bergelar Tjeng-siong. Mereka adalah orang2 jang mempunjai adat aneh dan kalau bertemu dengan ahli silat jang paham ilmu pedang, mereka belum merasa puas, kalau belum mendjadjal kepandaian. Turunnja merekakedalam gelanggang bukan untuk merebut kedudukan Beng-tjoe, tapi hanja untuk men-tjoba2 kepandaian Lie It. Lie It buru2 merangkap kedua tangannja dan berkata dengan suara merendah .
"Boanpwee tidak berani, melajani Loo-tjiaa-pwee ".
"Kongtjoe, djangan kau terlalu merendahkan diri ", kata Oei-ho Toodjin.
"Dalam persilatan, tak ada jang tua atau muda. Siapa jang pandai, dialah jang berkedudukan tinggi. Disamping itu, untuk memadjukan ilmu silat, orang harus tidak merasa bosan untuk men-djadjal2 dan memperbaiki apa jang kurang sempurna. Apakah hal ini belum pernah diadjar oleh gurumu;?"? "Sudah, soehoe memang pernah mengatakan begitu ", djawabnja.
"Nah ...! Kalau begitu, mengapa kau sangsi ?", kata pula Oei-ho sambil tertawa.
"Apa kau takut malu ?".
"Tidak ", jawabnja.
"Kalau boanpwee roboh dalam tangan Koan-tjoe, djatuhnja boanpwee merupakan kekalahan jang gilang-gemilang ...!". Oei-ho tertawa ter-bahak2, hatinja merasa girang sekali.
"Kongtjoe, kau pandai sekali memudji orang ", katanja.
"Aku sekarang mau bitjara terang2-an kepadamu. Kami berdua telah mempeladjari sematjam ilmu pedang, jang memerlukan dua orang, satu menjerang dan satu membela-diri, dan jang terdiri dari enam puluh empat pukulan. Kami, sebenarnja ingin tjari gurumu untuk mentjoba ilmu pedang itu, tapi karena perdjalanan jang sangat djauh, belum djuga kami bisa mewudjudkan keinginan itu. Kami merasa beruntung, bahwa ditempat ini kami bisa bertemu dengan Kongtjoe ".
"Ajohlah ...!", Lie It lantas sadja menghunus sendjatanja dan sehelai sinar berkilauan ber-kelebat2.
"Sungguh bagus pedang itu ...!", memudji Tjeng-siong.
"Bahwa gurumu telah menjerahkan pedang mustika itu, merupakan bukti jang Kongtjoe sudah memiliki intisari daripada ilmu pedangnja ".
"Boanpwee belum dapat memiliki seper-sepuluh dari kepandaian Soehoe ", kata Lie It sembari membungkuk.
"Harap Djiewie Tjian-pwee sudi berlaku murah hati dalam menurunkan tangan ". Sehabis berkata begitu, ia lantas sadja memasang kuda2. Selagi mereka bitjara, adalah Kok Sin Ong jang merasa mendongkol dan bingung, karena kuatir rentjananja gagal sebab gara2 kedua toodjin itu jang turun ke gelanggang hanja karena gatal tangan. Tapi tentu sadja ia tidak dapat mentjegah pertandingan2 itu . Oei-ho Toodjin tidak berlaku sungkan lagi.
"Sambutlah ...!", katanja sambil menikam djalan darah Kian-keng-hiat dengan pedangnja. Lie It tidak lantas bergerak, ia mengawasi sambaran pedang dengan matanja jang sangat tadjam. Waktu udjung pedang hanja terpisah kira2 lima dim dari tubuhnja, mendadak, setjepat arus kilat, dengan gerakan Kim-peng-tian-tjie (Garuda-emas-mementang-sajap), ia membabat pergelangan tangan Oei-ho. Melihat gerakan jang tjepat dan indah itu, beberapa ahli pedang manggut2-kan kepala dan memudji kepandaian pemuda itu. Menurut pantasnja, dalam menghadapi serangan itu, Oei-ho harus menarik pulang sendjatanja dan melompat mundur. Tapi, sebaliknja daripada mundur, imam itu malah madju setindak dan pedangnja meluntjur ke pergelangan tangan Lie It. Sesaat itu, terdengar suara "trang ...!", lelatu api muntjrat, dan pedang Lie It ditangkis oleh Tjeng-siong. Semua orang terkesiap. Dalam keadaan begitu, kapan pedangnja baru sadja ditangkis Tjeng-siong, pergelangan tangan pemuda itu pasti tak akan bisa terlolos dari tabasan pedang Oei-ho. Tapi didetik jang sangat berbahaja itu , Lie It ternjata masih keburu menolong diri. Dengan ketjepatan jang tak mungkin dilukiskan, tangannja jang mentjekal gagang pedang, berpindah kebadan pedang, jang didjepitnja dengan menggunakan djempol dan telundjuk, dan dengan berbareng gagang pedang itu menangkis sendjata Oei-ho. Sekali lagi terdengar suara "trangg ...!", mata pedang Oei-ho menghantam gagang itu dengan hampir2 memapas kulit tangan Lie It, dan terpental balik. Itulah pembelaan-diri jang sungguh2 luar biasa. Menurut pantasnja, dengan mendjepit badan pedang dengan djempol dan telundjuk, pemuda itu sukar mengerahkan tenaga untuk menangkis sambaran sendjata lawan. Tapi kenjataannja ia sudah berhasil. Hal ini merupakan bukti, bahwa ia memiliki lweekang jang benar2 dahsjat. Kok Sin Ong menarik napas lega.
"Ilmu pedang Oet-tie Tjiong berada disebelah atas Lap-in- kiam ", katanja didalam hati. Sesudah menjelamatkan diri, Lie It melompat mundur setombak lebih dengan djantung memukul keras.
"Sungguh berbahaja ...!", pikirnja.
"Aku benar2 tolol. Bukankah Oei-ho Toodjin sudah memberitahukan, bahwa ilmu pedangnja berdasarkan satu orang menjerang dan satu orang membela ? Mengapa aku menjerang orang jang menjerang ?".
"Kau sungguh lihay ...!", memudji Oei-ho.
"Ajo, madju lagi ...!", berbareng dengan perkataannja, ia mengirim dua serangan beruntun, jaitu dengan pukulan Giok-lie-tauw-so (Dewi-menenun) dan Kim-kee-to- sok (Ajam-emas-mematok-gabah). Dengan menggunakan kelintjahannja, Lie It melompat dan mengegos kedua serangan jang sangat berbahaja itu. Se-konjong2, sambil membentak keras, pedangnja menjambar tenggorokan Oei-ho. Imam itu kagettertjampur heran.
"Bagaimana dia masih berani menjerang aku ?", tanjanja didalam hati. Ia tahu, bahwa biar bagaimana hebatnjapun serangan pemuda itu, Soetee-nja pasti akan dapat menangkisnja. Maka itu, tanpa menghiraukan serangan tersebut, ia terus menikam dengan pukulan Lie-kong-sia-tjiok (Lie Kong memanah batu). Diluar perhitungan, pedang Oei-ho menikam tempat kosong, karena, pada detik terachir, Lie It menarik pulang sendjatanja dan mengubah gerakannja, dari menjerang Oei-ho berubah menjerang Tjeng-siong. Diserang setjara begitu, Tjeng- siong djadi repot bukan main. Ternjata, sesudah mengetahui pokok ilmu pedang dari kedua imam itu, jalah Oei-ho menjerang dan Tjeng-siong membela, ia segera mengubah siasat jaitu menjerang Tjeng-siong dan membela diri terhadap serangan Oei-ho. Oei-ho Toodjin tertawa.
"Botjah, kau pintar !", katanja sambil mengeluarkan pukulan Hoen-in-toan-san (Awan-melintang-memutuskan-gunung) untuk menolong Soetee-nja dari serangan Lie It. Sekarang peranan berubah, Tjeng-siong menjerang, Oei-ho membeIa. Tapi, begitu lekas lawannja mengubah peranan, Lie It pun mengubah tjara menjerang. Dengan demikian, kiam-hoat kedua toosoe itu lantas mendjadi kalut. Mereka tidak dapat mengepung lagi pemuda itu dengan ilmu silat jang sudah ditetapkan dan terpaksa berkelahi menurut tjara sendiri2. Semakin lama mereka bertempur semakin hebat dan belakangan gerakan mereka adalah sedemikian tjepat, sehingga orang sukar membedakan lagi jang mana Lie It, jang mana Oei-ho atau Tjeng-siong. Tong Hong Pek jang baru sadja bertempur dengan pemuda itu, merasa kagum bukan main. Kalau tadi dia menggunakan pedang, aku benar2 bukan tandingannja ", pikirnja. Siangkoan Wan Djie jang bersembunji di rebung batu, mengawasi djalan pertempuran itu dengan hati ber-debar2. Meskipun ilmu silatnja masih tjetek, tapi gurunja, Tiangsoen Koen Liang, adalah seorang ahli silat pedang kenamaan, sehingga ia pun mempunjai pengertian jang agak mendalam mengenai kiam-hoat. Ia mengarti, bahwa biarpun Lie It masih bisa mempertahankan diri, pemuda itu sudah berada dibawah angin. Kedudukannja jang djelek untuk sementara waktu masih dapat diimbangi dengan pedang mustikanja dan ketjerdasan otaknja. Dalam keseluruhannja, pihak jang lebih unggul adalah Oei-ho dan Tjeng-siang. Selang beberapa lama lagi, sedang pertandingan itu mentjapai puntjaknja kehebatan, mendadak terdengar suara "trangg ...!", jang sangat njaring, disusul dengan melompatnja kedua toosoe itu keluar gelanggang. Oei-ho tertawa ter-bahak2 seraja berkata .
"Tak salah djika dikatakan orang, bahwa gelombang jang disebelah belakang mendorong gelombang jang didepan. Dalam dunia ini, jang baru menggantikan jang lama, jang muda mengambil tempatnja jang tua. Kata2 itu sedikitpun tak salah. Lie Kongtjoe, enam puluh empat djalan dari kiam- hoat kami sudah digunakan semua, tapi kau tetap tidak bergeming. Pintoo sungguh merasa kagum dan kita tak usah bertanding lagi ". Lie It merangkap kedua tangannja dan mendjawab sambil membungkuk .
"Bahwa Djie-wie Lootjian-pwee sudah sudi memberi peladjaran, boanpwee merasa berterima kasih dan bersjukur tak habisnja ". ---oo0oo-- KOK Sin Ong jang tadi berkuatir sangat, sekarang lega hatinja. Ia tertawa ter- bahak2 dan berdjalan ke-tengah2 lapangan. Sambil mentjekel tangan Lie It, ia berkata dengan suara njaring "Saudara2, sesudah melihat ilmu silat Lie Kongtjoe, jang malah telah mendapat pudjian dari tetua Pek-ma-koan, kurasa kalian tak akan mengatakan, bahwa aku telah memberi pudjian kosong. Masih ada satu hal jang aku ingin memberitahukan kepada kalian. Lie Kongtjoe adalah bujut Ko-tjouw Hongtee (Lie Yan) dan tjutju dari Thay-tjong Hongtee (Lie Sie Bin). Dalam dunia jang kalut ini, kita tidak boleh terus menerus menjembunjikan diri. Dengan mendapat pimpinan dari seorang pandai dan turunan kaisar, kita bisa membuat usaha jang besar ". Mendengar pengumuman itu, orang2 jang memang sudah tahu, lantas sadja bersorak sorai, sedang mereka jang belum tahu, sebagian besar segera turut ber- tepuk2 tangan, sebagai tanda menjetudjui usul Kok Sin Ong untuk mengangkat Lie It sebagai Beng-tjoe. Tapi pemuda itu sendiri merasa agak kurang senang. Ia sebenarnja sudah mengadakan persetudjuan dengan Kok Sin Ong, bahwa sesudah ia berhasil merebut kedudukan Beng-tjoe dengan kepandaiannja sendiri, barulah Kok Sin Ong akan mengumumkan asal-usulnja.
"Dengan demikian, bukankah mereka djadi mengalah terhadapku dan aku berhasil merebut kursi Beng-tjoe hanja karena kedudukanku sebagai turunan kaisar ?", tanjanja didalam hati. Memang djuga, dengan pengumumannja, Kok Sin Ong mengandung maksud begitu. Ia tahu, bahwa diantara para hadirin masih terdapat beberapa ahli silat jang kepandalannjatidak berada disebelah bawah Tong Hong Pek, Oei-ho atau Tjeng-siong. Djika mereka turun ke gelanggang, ia kuatir Lie It tak dapat melajaninja. Benar sadja, sesudah pengumuman itu, tiada orang lagi jang madju untuk tjoba merebut kursi Beng-tjoe. Tapi sementara itu beberapa orang mengadjukan pertanjaan mengenai usaha besar jang mau dilakukan Lie It. Kok Sin Ong tertawa dan seraja meng-urut2 djenggotnja, Ia berkata .
"Pertemuan kita pada hari ini dinamakan Eng-hiong Tay- hwee (pertemuan para orang gagah). Saudara2 jang hadir semuanja terdiri dari orang2 gagah jang tentu sadja sungkan menunduk dibawah kekuasaan orang perempuan. Semendjak djaman purba, jang tampil kemuka sebagai djago2 adalah orang2 lelaki. Sungguh tak dinjana, pada djaman ini, orang perempuanlah jang memerintah dikolong langit. Bagaimana pendapat saudara2 ? Aku, Kok Sin Ong, merasa sangat penasaran. Menurut pikiranku, orang2 jang menganggap dirinja sebagai orang gagah, haruslah membantu usaha Lie Kongtjoe untuk menggulingkan kaisar wanita itu, guna melampiaskan kedongkolan kaum pria diseluruh negeri ". Sebagai seorang jang mengenal baik watak djago2 Kang-ouw, Kok Sin Ong sudah sengadja menggunakan kata2 jang tegas-polos dan benar sadja keterangannja itu mendapat sambutan hangat. Tapi diantara suara2 setudju terdengar djuga suara tidak setudju.
"Aku biasa hidup bebas dan sudah merasa puas djika bisa makan kenjang ", kata seorang.
"Bagiku, siapa jang djadi kaisar tak djadi soal ". Orang jang berkata begitu adalah Thay-ouw In-hiap Yang Keng Beng, seorang pendekar jang menjembunjikan diri didaerah telaga Thay-ouw.
"Menjesal aku tak bisa turut ", kata seorang lain.
"Loo-hoe sudah tua dan tak niat mendjadi pembesar negeri ". Ia adalah Tjoe Koan Gouw dari Tjeng-shia-sap. Dengan ber- turut2, beberapa orang lain menjatakan tak ingin turut dalam usaha Lie It. Mereka itu adalah orang2 ternama dalam Rimba Persilatan. Kok Sin Ong merasa sangat tidak puas, tapi ia tak bisa memperlihatkan rasa dongkolnja. Ia tertawa terpaksa dan berkata . ,,Setiap orang mempunjai pendirian sendiri2. Siapapun bebas untuk tidak turut-serta dalam usaha ini. Saudara2 jang ingin mengikut Beng-tjoe baru harap suka bangun berdiri ".
"Aku tundjang Beng-tjoe baru dengan segenap hati ...!", terriak Yo Tjee-tjoe dari Im-ma-tjoan di propinsi Shoa-tang.
"Semendjak radja iblis Boe Tjek Thian mendjadi kaisar, semakin lama kita djadi semakin sukar mentjari hidup. Hmmm ...! Andaikata dia seorang lelaki, aku tetap akan menentangnja !". Pernjataan Yo Tjee-tjoe tentang kesukaran jang dialami oleh kaum Liok-Lim, memang benar adanja. Sesudah memegang tampuk pemerintahan, Boe Tjek Thian mendjalankan tindakan "lembek"
Dan "keras"
Terhadap kawanan Liok- lim.
Mereka jang suka menakluk dan kembali kedalam masjarakat untuk mendjadi rakjat baik, diberi pengampunan, sedang terhadap mereka2 jang membandal, ia menggunakan tangan besi.
Sebagian beser orang2 Liok-lim mendjadi pendjahat karena sukarnja penghidupan.
Sesudah Boe Tjek Thian mendjalankan tindakan membagi sawah kepada rakjat, maka kawanan pendjahat jang kembali kedalam masjarakat, bisa mentjari nafkah dengan mendjadi petani.
Dengan demikian, kekuatan dan pengaruh Liok-lim semakin lama djadi semakin berkurang dan mereka jang tetap djadi pendjahat adalah orang2 jang tidak suka bekerdja berat sebagai petani.
Maka tentulah, perkataan Yo Tjee-tjoe telah disambut hangat oleh orang2 kalangan Hek-to (Djalanan hitam -kawanan perampok).
Disamping kalangan Liok-lim, Lie It pun mendapat dukungan dari orang2 jang ingin mendapat pangkat dan harta.
Begitu, ketjuali beberapa belas orang gagah jang mengundurkan diri, jang lainnja semua bangun berdiri dengan serentak sebagai pernjataan menundjang pangeran itu.
---oo0oo-- BARU sadja Lie It ingin membuka suara untuk menghaturkan terima kasih, se- konjong2 terdengar suara tertawa jang njaring bagaikan kelenengan perak.
Semua orang dongak mengawasi kearah suara itu.
Mereka mendapat kenjataan, bahwa diantara ratusan Hoed-teng, seorang wanita muda jang mengenakan pakaian warna putih sedang melajang turun dari sebuah tandjakan.
Selagi badannja melajang, dengan sekali mengebas dengan kedua tangan badjunja, Hoed-teng itu bujar seperti ditiup taufan.
Semua orang terperandjat dan seluruh lapangan djadi sunji-senjap.
Siangkoan Wan Djie terkedjut, karena ia kenali, bahwa wanita itu bukan lain daripada Boe Hian Song.
Mengingat tjara2 nona Boe dalam menghukum enam pendjahat dalam gedungnja, hatinja ber-debar2.
Dengan sikap dan tindakan agung, Hian Song masuk ke lapangan perhimpunan dan sambil berdjalan, ia tertawa tiga kali, jang satu lebih njaring dari jang lain dan menusuk telinga para pendengar.
Kok Sin Ong kaget.
"Bagaimana wanita jang masih begitu muda, sudah memiliki Lweekangjang begitu tinggi ?", katanja didalam hati. Setelah nona Boe datang tjukup dekat, Lie It mengangkat kedua tangannja seraja menanja;
"Mengapa Siotjia tertawa ?".
"Aku tertawa karena segala kawanan burung berani mengadakan apa jang dinamakan Enghiong Tay-hwee ", djawabnja dengan angkuh. Diantara djago2 itu Hiong Kie Teng-lah jang beradat paling berangasan.
"Botjah kurang adjar !", bentaknja dengan gusar.
"Kau berani tertawai para enghiong (orang gagah) !".
"Benarkah?", menegas Hian Song dengan suara mengedjek.
"Kalau kamu semua dapat dinamakan eng-hiong, djumlah enghiong dalam dunia ini tak dapat dihitung lagi ".
"Kurang adjar !", tjatji Hiong Kie Teng.
"Kalau tak kasihan melihat badanmu jang begitu ketjil-lemah, dengan sekali tondjok, kau hantjur-luluh. Pergi !". Nona Boe tidak menghiraukan antjaman raksasa itu. Dengan tindakan tenang dan perlahan, ia madju terus. Bukan main gusarnja Hiong Kie Teng. Sambil melompat dan menggeram, ia mementang sepuluh djarinja dan tjoba menjengkeram si nona dengan ilmu Toa-lek Eng-djiauw-kang (ilmu Tjengkeraman-kuku-garuda).
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hiong Tjee-tjoe, djangan semberono !", seru Kok Sin Ong. Baru habis seruan itu, tubuh Hiong Kie Teng jang tinggi-besar seperti pagoda sudah "terbang"
Keatas dan djatuh ambruk di tanah, dengan melewati kepala beberapa orang.
Ternjata, pada sebelum djari2 si raksasa menjentuh tubuhnja, nona Boe sudah mendahului dengan kebasan tangan badjunja.
Lie It kaget tak kepalang, karena ia tahu, bahwa nona itu telah merobohkan lawannja dengan Tjiam-ie Sip-pat-tiat, serupa ilmu jang dapat mendjatuhkan musuh dengan mengebaskan tangan badju atau lain2 bagian pakaian.
Mendadak terdengar tertawa menjeramkan dari Tong Hong Pek, jang tahu2 sudah berada dibelakang Hian Song.
"Kalau kami semua bukan eng-hiong, aku sekarang ingin meminta peladjaran dari seorang eng-hiong wanita !", bentaknja sambil mengangkat kipas jang bagaikan kilat, menjambar kedjalan darah Hong-ie- hiat, jang terletak kira2 tiga dim dibawah leher. Serangan itu diluar dugaan semua orang. Bahwa Tong Hong Pek, seorang jang berkedudukan tjukup tinggi dalam kalangan Kang-ouw, sudah membokong seorang wanita remadja merupakan perbuatan jang memalukan. Maka itu, walaupun tidak mengambil pihak si nona, tanpa merasa beberapa orang mengeluarkan seruan kaget dan beberapa orang pula berteriak, sebagai isjarat supaja nona itu berwaspada. Tapi Boe Hian Song se-olah2 tidak mendengar teriakan itu dan berdjalan terus. Untuk mengambil hati Lie It, Tong Hong Pek, jang menduga pasti, bahwa nona itu mau mengatjau, sudah menjerang dengan menggunakan seantero tenaganja. Pada detik kipas itu hampir menjentuh Hong-ie-hiat, mendadak Hian Song menggelengkan kepala seraja berkata .
"Sianseng memudji aku terlalu tinggi !". Hampir berbareng terdengar suara "tjring ...!"
Dan tulang kipas patah .
Antara djago2 jang berada disitu, hanja Kok Sin Ong jang lihat tjara si nona memunahkan serangan itu.
Pada saat Hian Song menggelengkan kepala, sebatang tusuk konde perak menjambar, bukan sadja telah mematahkan tulang kipas itu, tapi djuga sudah menembuskan lengan Tong Hong Pek jang seketika itu djuga tidak dapat digunakan lagi.
Tak usah dikatakan lagi, kedjadian itu sudah mengedjutkan sangat hati Kok Sin Ong.
Sementara itu dengan sikap atjuh tak atjuh, Boe Hian Song sudah berdjalan masuk ke-tengah2 lapangan.
"Nona, apakah kau datang untuk merebut kedudukan Beng-tjoe ?", tanja Kok Sin Ong.
"Sedari dulu, orang perempuan belum pernah turut-serta dalam Eng-hiong-tay- hwee. Andai-kata nona berhasil merebut kedudukan Beng-tjoe, ha ... ha ... ha ...! Kedjadian itu benar2 menggelikan !". Dengan berkata begitu, Kok Sin Ong tjoba bikin panas hatinja djago2 dan benar sadja, beberapa orang segera melompat keluar dan menantang Hian Song. Si nona tidak meladeni. Seraja mengebas tangannja, ia berkata kepada Lie It dengan suara dingin .
"Menurut pendapatku, kursi Beng-tjoemu sesen pun tiada harganja. Kalau mau djadi Beng-tjoe, djadilah Beng-tjoe jang ada harganja ". Kok Sin Ong djadi gusar sekali.
"Nona ...!", bentaknja.
"Kau terlalu sombong ".
"Loo-hoe sudah tua dan tidak ingin berebut nama. Tapi orang2 jang hadir dalam pertemuan ini adalah pentolan2 dalam Rimba Persilatan, diantaranja terdapat tjiangboedjin dari beberapa partai. Kau mengatakan, kami semua bukannja eng-hiong. Bolehkah aku mendapat tahu, orang bagaimana baru boleh disebut eng-hiong ?". Hian Song tertawa, tapi ia tetap menghadapi Lie It.
"Apakah seorang eng-hiong hanja mengandalkan ilmu silat ?", tanjanja.
"Kalau tidak mengandalkan ilmu silat, mengandalkan apa ?", teriak seorang.
"Seorang eng-hiong dihormati karena dia mempunjai djiwa kesatria ", djawabnja.
"Djika seseorang hanja mengandalkan kekuatannja, bukankah ia hanja merupakan manusia kasar jang ganas ?".
"Nona, kau sungguh berani mati ", kata Kok Sin Ong.
"Bagaimana kau berani menamakan kami sebagai orang2 kasar jang ganas ?".
"Apa dia Beng-tjoemu ?", tanja Hian Song sambil menuding Lie It."Sebagai Beng-tjoe Eng-hiong-hwee, maka dia merupakan enghiong terbesar jang di- bajang2-kan dalam alam pikiranmu. Tapi eng-hiong apa dia ? Sesudah mendjadi Beng-tjoe, dia bermaksud menggiring kamu dalam usaha merebut negeri untuk kepentingan pribadi dan dalam niatannja itu, ia sedikitpun tidak memikiri penderitaan hebat jang bakal dialami rakjat. Apakah itu perbuatannja seorang eng-hiong jang mempunjai djiwa kesatria ?". Lie It gusar bukan main.
"Boe Tjek Thian perempuan tjabul dan kedjam. Apa kau tahu, berapa banjak menteri2 setia sudah dibinasakan olehnja ?", tanjanja.
"Jang dibinasakan olehnja adalah manusia2 jang menindas rakjat ", djawab si nona dengan suara tenang.
"Dengan menindas kedjahatan, barulah orang baik2 bisa hidup tenang. Terus-terang aku ingin menjatakan, sebenarnja ia masih berlaku terlalu murah hati !". Perkataan Hian Song mengenakan djitu hatinja banjak orang, karena sebagian besar hadirin adalah kawanan Liok-lim. Maka itu, lantas sadja terdengar teriakan2 gusar dari berbagai pendjuru.
"Oho ...! Kalau begitu, perempuan kurang adjar ini kaki- tangan Boe Tjek Thian !", teriak Hiong Kie Teng.
"Djangan ladeni dia ! Mampuskan sadja !". Si nona dongak dan tertawa ter-bahak2 .
"Bagus ...!", katanja.
"Kamu mau mengerubuti aku dengan djumlah jang besar. Baiklah ! Hajo madju ...! Aku memang ingin men-djadjal2 kepandaian kamu ".
"Saudara2 ...!", teriak Lie It.
"Kalian mundur dulu ! Biarlah aku jang lebih dulu meminta peladjarannja ".
"Baik. Tapi bagaimana tjaranja kita mendjadjal kepandaian ?", tanja si nona sambil tertawa.
"Nona seorang tamu, sedang aku tuan rumah, sehingga menurut pantas, kaulah jang harus mengadjukan usul ", djawabnja.
"Aku lihat kau mahir dalam ilmu pedang dan kita boleh bertanding dengan menggunakan sendjata itu ", kata si nona.
"Djika kau kalah, aku minta kau segera membubarkan apa jang dinamakan Eng-hiong-hwee ini ...".
"Bagaimana andai-kata kalau aku jang menang ?", tanja Lie It. Hian Song tertawa.
"Djika dalam sepuluh djurus aku masih belum bisa merobohkan kau, aku akan berlutut dihadapan enghiong2-mu !", djawabnja. Dalam kegusarannja jang me-luap2, Lie It berbalik tertawa.
"Bagus ...! Bagus ...!", teriaknja.
"Kalau kau bisa menangkan aku dalam sepuluh djurus, aku pun akan berlutut tiga kali dihadapanmu !".
"Aku tak kepingin menerima hormatmu ", kata Hian Song sembari bersenjum.
"Aku hanja ingin minta, supaja djika kau kalah, Eng-hiong-hwee ini harus segera bubar dan enghiong2 besar jang hadir disini tak usah tongolkan kepalanja lagi dalam dunia Kang-ouw. Apakah sebagai Beng-tjoe kau suka memberi djandjimu ?". Semua djago, antaranja Kok Sin Ong sendiri, jang sudah menjaksikan kiam-hoat Lie It, sedikitpun tidak pertjaja, bahwa Beng-tjoe mereka bisa dirobohkan dalam sepuluh djurus. Maka itu, mendengar si nona, mereka gusar tak kepalang dan ber-teriak2.
"Kalau Beng-tjoe kami kalah, kamipun tak ada muka untuk berkelana lagi dalam dunia Kang-ouw ", teriak mereka. ---oo0oo--- MENDENGAR dukungan kawan2-nja, hati Lie It djadi semakin besar.
"Srettt !", ia menghunus pedang seraja berkata .
"Tak usah banjak bitjara lagi. Hajolah !". Tapi Hian Song tidak bergerak.
"Kau boleh lebih dulu mengirim tiga serangan dan aku tidak akan membalas ", katanja.
"Apa ?", menegas Lie It.
"Aku akan mengalah dan menerima tiga seranganmu tanpa membalas ", mengulangi si nona.
"Andai-kata aku mati tertikam, sedikitpun aku tidak merasa menjesal. Hajolah ! Kau tak usah malu2
". Lie It adalah seorang sabar, tapi diedjek pulang-pergi, ia merasa dadanja seperti mau meledak.
"Djagalah ...!", ia membentak sambil menikam pinggang si nona dengan pedangnja. Dengan gerakan Hong-yang-loh-hoa (Tiupan- angin mendjatuhkan-bunga) jang sangat indah, Hian Song kelit tikaman itu seraja berkata .
"Masakah seorang Beng-tjoe hanja bisa mengeluarkan kiam-hoat ini ?". Dalam serangan tadi, memang Lie It belum turunkan pukulan jang membinasakan. Tapi sesudah serangannja dipunahkan setjara begitu mudah dengan disertai edjekan, ia segera menjerang tanpa mengenal kasihan lagi. Dalam serangan kedua, dengan pukulan Pek-hong-koan-djit (Bianglala-menembus-matahari), ia menikam tenggorokan lawan. Tapi diluar dugaan, dengan hanja mengebas tangan badjunja, si nona sudah dapat memunahkan serangan itu dan pedang Lie It terpental kesamping. Pemuda itu lantas sadja mengempos semangat dan dalam serangan ketiga, ia menggunakan pukulan Hoei-in-tjie-tian (Awan-mengeluarkan-kilat), serupa ilmu pedang jang sangat djarang terlihat dalam Rimba Persilatan. Semua djago sudah bersiap untuk bersorak-sorai. Tapi mendadak terdengar suara "tjring...!", dan pedang Lie It terpental karena sentilan si nona dengan menggunakan dua djaritangannja. Djago2 itu mengawasi dengan mata membelalak. Beberapa ahli jang berkepandaian merasa heran bukan main, karena sentilan jang barusan adalah ilmu Kim-kong-tjie dari Siauw-lim-sie. Mereka tidak mengerti, karena untuk memiliki ilmu tersebut, paling sedikit seseorang harus berlatih belasan tahun, sedang dilihat mukanja, nona itu tidak berusia lebih daripada dua puluh tahun. Selagi orang ter-heran2, se-konjong2 terdengar suara tertawa si nona jang setjepat kilat menghunus sebatang pedang pendek.
"Beng-tjoe, djagalah sepuluh seranganku ", katanja dengan suara merdu. Berbareng dengan perkataannja, tanpa menggerakkan kaki, ia menikam. Sambil memusatkan perhatian, Lie It mengawasi serangan lawan dan tiba2 sadja ia terkesiap, karena luar biasanja serangan itu. Pedang itu ternjata menjambar dengan udjung tergetar dan dalam satu tikaman itu, udjung pedang sambar tudjuh djalan darahnja !. Buru2 Lie It mengeluarkan kiam-hoat nja jang paling liehay untuk melindungi diri. Dengan pukulan Go-houw-tjong-liong (Harimau-tidur-naga-menjembunjikan-diri), ia memutar pedangnja bagaikan titiran untuk menutupi seluruh badannja. Dilain saat, dengan beruntun terdengar bentrokan2 sendjata jang njaring, tapi jang gerakan2-nja tak bisa dilihat oleh sebagian besar djago2 jang berada disitu. Apa jang lebih mengedjutkan lagi, jalah, walaupun Lie It menggunakan pedang mustika dan sendjata Hian Song hanja pedang biasa, tapi dalam tudjuh bentrokan itu, pedang sibnona masih tetap utuh. Sebab musabab dari kenjataan itu adalah karena gerakan Hian Song jang luar biasa tjepat, sehingga dalam setiap bentrokan, sebelum tenaga Lie It keburu digunakan untuk memutuskannja, pedang si nona sudah menjingkirkan diri. Selagi Lie It memikiri tjara untuk melawan serangan jang berikutnja, si nona kembali tertawa njaring.
"Pukulan kedua !", serunja. Pemuda itu tidak berani mendahului menjerang, ia hanja mengempos semangat sambil menunggu serangan lawan. Dilain detik, kedua pedang berbentrokan dan terus menempel tanpa mengeluarkan suara. Mendadak Lie It merasakan dorongan tenaga jang sangat besar dari pedang lawan, sehingga pedangnja sendiri, jang se-olah2 dihisap, pedangnya terputar beherapa kali, hampir2 terlepas dari tangannja. Setjepat kilat, ia memusatkan seluruh tenaganja dilengan kanan dan sesudah mendorong, ia menarik pulang sendjatanja. Untung ia berhasil dan lalu melompat mundur dengan mengeluarkan keringat dingin.
"Bagus ! Lihay djuga kau ", katanja si nona. Tiba2 sambil membentak keras, ia mengirim tiga serangan beruntun. Dengan melompat kian-kemari dan mengeluarkan kiam-hoatnja jang paling lihay, barulah Lie It dapat menjelamatkan diri dari tiga serangan itu.
"Masih ada lima serangan, awaslah ...!", kata si nona. Serangan keenam dikirim dengan gerakan perlahan, tapi dengan lweekang jang sangat tinggi. Sambil menggigit gigi dan mengeluarkan seantero tenaga-dalamnja, sehingga pakaiannja basah dengan peluh, pemuda iiu menolak serangan tersebut. Dalam serangan ketudjuh, Hian Song kembali mengubah tjaranja. Kali ini ia menjerang seperti arus listrik tjepatnja. Dengan gerakan Tjit-seng-po (Tindakan- tudjuh bintang), kaki kiri Lie It menjerosot kekanan dan sambil memutar badan, ia balas menjerang dengan pukulan Hoei-po-lioe-hong (Air-tumpah-beterbangan- bianglala-melengkung). Bahwa dalam keadaan jang sangat berbahaja, ia masih bisa melindungi diri dengan balas menjerang, adalah kediadian jang luar biasa.
"Brettt !", tangan badjunja robek. Kalau terlambat sedikit sadja, pergelangan tangannja tentu sudah putus.
"Masih ada tiga serangan ", kata si nona.
"Kau ber- hati2-lah. Kalau kau bisa menjambut tiga serangan lagi, aku akan berlutut dihadapanmu. Kalau tidak, huh ...!". Sehabis berkata begitu, ia menebas dan Lie It buru2 melintangkan pedangnja untuk menangkis. Hian Song tahu, bahwa pedang lawan adalah sendjata mustika, tapi ia terus menebas, sehingga kedua sendjata berbentrokan dengan keras. Sebelum Lie It keburu membalik mata pedang untuk memapas sendjata si nona, pedang Hian Song sudah menindih badan pedangnja. Sambil mengerahkan lweekang, ia tjoba meloloskan sendjatanja dari "tempelan"
Pedang si nona, tapi ia terperandjat, karena pedangnja melekat terus dan tidak bergeming.
Ia mengerti, bahwa dalam keadaan jang sedemikian, djalan satu2-nja adalah mengadu kekuatan lweekang.
Dengan hati, ber-debar2, djago2 mengawasi adu tenaga jang hebat itu.
Sambil ter-senjum2, Hian Song mengempos semangatnja, sedang Lie It mengerahkan seantero tenaga-dalamnja, sehingga keringatnja mengutjur.
Besarnja tenaga jang dikerahkan oleh kedua belah pihak, dapat dibajangkan dengan melihat melesaknja tanah jang diindjak mereka.
Pinggang Lie It semakin lama djadi semakin membungkuk, sedang pedangnja pun semakin tertindih kebawah.
Seluruh lapangan sunji-senjap dan para eng-hiong berkuatir sangat akan keselamatan pemimpin mereka jang sudah djatuh dibawah angin.
Semua mata ditudjukan ke gelanggang pertempuran tanpa berkesip.
Mereka mengerti, bahwapertempuran itu bukan sadja bersangkut-paut dengan nama Lie It, tapi djuga mengenakan langsung nasib mereka.
Pada saat jang sangat genting, se-konjong2 Liong Sam Sianseng melompat kedalam gelanggang.
"Saudara2 !", teriaknja.
"Perempuan siluman ini tak salah lagi kaki-tangan Boe Tjek Thian. Ada dia, tak ada kita. Sekarang kita tak perlu lagi kukuhi lagi peraturan Kang-ouw ". Kawan2- nja mengiakan dan dalam sekedjap, Hian Song sudah dikepung oleh belasan orang. Kok Sin Ong djadi serbah salah. Kalau ia menahan orang2 itu, Lie It memang sudah tidak dapat mempertahankan dirinja lagi dan djika pangeran itu roboh, semua djago jang hadir disitu, antaranja ia sendiri, harus mengundurkan diri dari dunia Kang-ouw. Tapi kalau ia tidak mentjegah pengerojokan itu, ia sungguh harus merasa malu dengan kedudukannja sebagai Beng-tjoe. Dilain pihak, begitu lekas belasan djago meluruk, sambil tertawa njaring, si nona menarik pulang pedangnja dan melompat mundur. Lie It, jang sedang mempertahankan diri dengan mengerahkan tenaga Tjian-kin-toei, djadi limbung dan hampir2 ia djatuh terguling. Sementara itu, Hian Song sudah melompat tinggi.
"Bagus ...! Hari ini aku mau mendjadjal kepandaiannja para eng-hiong !", teriaknja sambil membabat kebawah. Dalam sekedjap, di gelanggang pertempuran terdengar teriakan2 kesakitan. Pedang si nona men-njambar2 bagaikan hudjan-angin dan dalam beberapa saat sadja, ia sudah melukakan tudjuh perampok. Ia turunkan tangan tanpa sungkan2 lagi dan biarpun lukanja tidak membahajakan djiwa, sesudah sembuh, ketudjuh pendjahat itu akan djadi orang bertjatjad.
"Saudara2 ...!", teriak Liong Sam Sianseng.
"Berendeng pundak ! Hadjar terus !". Semakin lama djumlah pengepung djadi semakin banjak. Hian Song memutar pedangnja bagaikan titiran dan melompat kian-kemari bagaikan seekor kera, tapi karena djumlah musuh terlalu banjak, maka meskipun ia telah berhasil melukakan beberapa orang lagi, tak gampang2 ia bisa menoblos keluar dari kepungan. Sesudah bertempur beberapa lama, tiba2 sebatang golok menjambar dengan dahsjatnja dan Hian Song buru2 menangkis, tapi penjerang mempunjai tenaga luar biasa besar dan pedangnja terpental kesamping. Orang itu adalah Sian Thian Hiong, Pang-tjoe dari Hong-tjek-pang. Melihat kesempatan baik, Liong Sam menghantam dengan gaetannja dan "brettt !", badju si nona, dibagian pundak robek. Liong Sam Sianseng adalah murid Kok Sin Ong jang paling disajang. Dalam pertempuran, ia selalu menggunakan dua sendjata, jaitu tangan kirinja menggunakan Houw-tauw-kauw (gaetan kepala harimau), sedang tangan kanannja sebatang tongkat besi. Dalam kalangan Kang-ouw, ia sangat disegani orang, sebagian karena ilmu silatnja memang tjukup tinggi dan sebagian pula, karena orang memandang muka Kok Sin Ong. Ia sebenarnja she Liong bcrnama Siauw Seng, putera ketiga dari kedua orang tuanja. Sebagai tanda mengindahkan, orang2 Kang- ouw tidak pernah menjebut namanja dan memanggilnja sebagai Liong Sam Sianseng.
"Bagus ...! Kamu tjoba menarik keuntungan dengan mengerojok !", bentak si nona dengan gusar.
"Aku sekarang tak boleh main kasihan lagi ". Berbareng dengan perkataannja, ia membabat dengan membuat sebuah lingkaran. Hebat sungguh babatan itu ! Golok Sian Thian Hiong putus, sedang gaetan Liong Sam pun terpapas putus dua giginja. Selagi dua lawannja melompat mundur, Hian Song meraba pinggang dan dilain saat, ia sudah mentjekel sehelai selendang sutera merah. Dengan beberapa kali berkelebat sadja tudjuh-delapan sendjata sudah kena digulung, disentak dan dilemparkan ketanah.
"Yo Tjeet-joe, Kat Liok-ko, Teng Tjianpwee !", teriak Liong Sam Sianseng.
"Hajolah bantu !". Ketiga orang itu adalah pentolan2 jang berkepandaian tinggi dan sebegitu lama mereka belum turun tangan, karena merasa malu dengan kedudukannja sendiri, djika mesti turut mengerojok seorang wanita remadja. Sesudah diteriaki Liong Sam, mau tak mau mereka terpaksa turun tangan djuga, sehingga Boe Hian Song lantas sadja terkurung di-tengah2 gelanggang. Dengan sengit si nona mengamuk dan menerdjang kesana-sini. Kadang2 terdengar djeritan kesakitan atau terlihat terbangnja sendjata, tapi karena djumlah pengepung terlalu besar, maka biarpun ia dapat merobohkan beberapa orang lagi, tidak mudah untuk ia meloloskan diri. Sesudah perkelahian berdjalan beberapa lama lagi, tiba2 Hian Song bersiul njaring beberapa kali, jang disambut dengan dua siulan dari dalam hutan, satu pandjang dan satu pendek.
"Hmmm ! Untuk membasmi kamu, aku terpaksa memanggil dua pembantu !", kata si nona sembari tersenjum. Djago2 itu kaget. Nona itu sadja mereka belum mampu robohkan. Apa lagi kalau dia dibantu oleh dua kawannja. ---oo0oo--- BEGITU lekas siulan berhenti, dari sebelah kedjauhan mendatangi dua bajanganmanusia, jang, sesudah tiba dilapangan itu, ternjata adalah dua wanita muda juga.
"Perlu apa Siotjia memanggil kami ?", tanja satu antaranja. Siangkoan Wan Djie jang menjembunjikan diri dalam "rebung batu"
Segera kenali, bahwa mereka adalah budak2 nja Boe Hian Song.
"Beng Tjoe, Djie Ie, tolong bereskan sendjata2 para eng-hiong itu ", kata si nona. Eng-hiong-hwee dihadiri oleh seratus orang lebih dan diantara mereka, sebagian ketjil sudah mengepung Hian Song, sedang bagian jang lebih besar menonton pertempuran itu. Mendengar perkataan si nona, baru mereka tahu, bahwa kedua gadis remadja itu adalah budak2 jang diperintah oleh madjikannja untuk merampas sendjata mereka. Mereka adalah djago2 jang ditakuti rakjat dan djarang sekali menerima hinaan seperti itu. Dengan gusar mereka segera menghunus sendjata sambil ber-teriak2 .
"Mari ..,! mari ....! Tjoba2 rampas sendjata kami ". Seperti madjikannja, kedua wanita muda itu lantas sadja mengeluarkan selendang sutera jang lalu digunakan untuk menjabet dan menggulung sendjata lawan.
"Ilmu silat mereka tentu sadja belum dapat menandingi kepandaian Hian Song, tapi karena lawannja hanjalah ahli2 silat tingkatan kedua atau ketiga, sebab djago2 jang paling lihay sudah mengepung Hian Song sendiri, maka baru sadja bertempur beberapa djurus, banjak sendjata sudah digulung dan dilemparkan ketengah udara. Beberapa orang jang tidak keburu lari, sudah tertimpa sendjata2 jang djatuh. Dalam sekedjap keadaan dilapangan itu berubah kalut. Sambil tertawa njaring, Hian Song memperhebat serangannja dan pedangnja mentjetjer beberapa orang jang lebih lemah, sehingga mereka terpaksa mundur beberapa tindak. Dengan menggunakan kesempatan itu, ia melompat keluar dari kepungan dan lalu mempersatukan diri dengan kedua budaknja. Dengan bekerdja sama, ketiga gadis remadja itu sudah menghadjar kalang-kabut kawanan djago itu dan matjam2 sendjata berserakan diatas tanah. Melihat perkembangan itu, beberapa ahli silat kelas satu, seperti kepala kuil Pek-ma-koan Oei-ho Toodjin, Tjhung- tjoe Kwie-in-tjhung Long Kee It dan lain2, jang tidak turut mengerubuti Hian Song, saling mengawasi sambil menghela napas.
"Hmmm ...! Eng-hiong Tay-hwee ini benar2 mendjadi sebuah lelutjon ", kata Oei-ho.
"Perlu apa kita berdiam disini lama2 ? Apa kita tidak merasa malu djika mesti bertempur dengan budak2-nja gadis itu ?". Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu bersama soetee-nja dan kemudian, beberapa orang lain pun meninggalkan lapangan dengan beruntun. Dengan berlalunja djago2 kenamaan itu, keadaan djadi semakin kalut, karena sebagian orang runtuh semangatnja dan pihak Lie It djadi semakin keteter. Liong Sam Sianseng djadi kalap. Sambil berteriak keras, ia menerdjang setjara nekat, Houw- tauw-kauw jang dipegang dengan tangan kirinja tjoba menggaet pergelangan tangan Beng Tjoe, sedang tongkatnja disabetkan kepinggang Djie Ie. Kedua serangan2 itu jang dikirim dengan seantero tenaganja, hebat bukan main dan menjambar bagaikan kilat. Pada saat jang sangat berbahaja, Hian Song melontjat dan menjentak dengan selendangnja. Kedua sendjata Liong Sam lantas sadja tergulung dan terpental ketengah udara. Si nona tak mau memberi kesempatan lagi kepada lawannja itu. Ia mengangkat pedangnja dan "kresss !", tulang pundak Liong Sam putus.
"Hmmm ...! Dalam tiga puluh tahun kau tidak akan bisa berkelahi lagi ", kata Hian Song dengan suara dingin. Melihat begitu, semua orang djadi tjiut njalinja. Kok Sin Ong jang sedari tadi masih menonton pertempuran itu, rasakan dadanja seperti mau meledak dan mendadak, dengan djenggot dan kumis bangun berdiri bahna gusarnja, ia melompat ke-tengah2 gelanggang.
"Aha ...! Loo-Beng-tjoe (Beng-tjoe tua) achirnja turun tangan djuga !", kata Hian Song dengan suara mengedjek.
"Aku merasa beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu derngan seorang eng-hiong jang namanja menggetarkan dunia ". ,,Semua mundur ..........!"
Teriak Kok Sin Ong sambil mengawasi si nona dengan mata berapi.
"Siapa gurumu ? Siapa kedua orang tuamu ?", tanjanja dengan suara dingin. Hian Song tertawa geli.
"Aku bukan ingin merebut kedudukan Beng-tjoe, perlu apa kau menanja begitu melit ?", katanja.
"Satu hal jang aku dapat beritahukan, jalah kedudukanku tidak seagung orang lain "? Dengan orang lain, si nona maksudkan Lie It.
"Djika kau tak mau bertahukan, aku djuga tak ingin memaksa ", kata Kok Sin Ong dengan suara menjeramkan.
"Kita sekarang bertempur sadja setjara adil. Djika kau menang, dalam dunia Kang-ouw tidak akan terdapat lagi seorang jang bernama Kok Sin Ong. Tapi kalau kau jang kalah, maaf nona, aku akan habiskan ilmu silatmu ". Sesudah menjaksikan kepandaian Hian Song, Kok Sin Ong merasa heran karena ia tak djuga dapat menebak asal-usul ilmu silat si nona. Maka itu, sebelum turun tangan, ia lebih dulu tjoba mendapat keterangan. Nona Boe jang dapat menduga djalan pikiran orang tua itu, lantas sadja bersenjum seraja berkata .
"Bagus ! Aku pun memang ingin sekali bisa beladjar kenal dengan Liap-in-kiam jang kesohor dikolong langit. Kauboleh legakan hati dan keluarkanlah seantero kepandaianmu. Aku tanggung guruku tak akan madju untuk membalas sakit hati. Hajo, hunus sendjatamu !".
"Sesudah kau menangkan kedua tanganku, baru aku gunakan pedang ", kata Kok Sin Ong.
"Kalau begitu, marilah!", kata si nona mengedut selendangnja jang lantas sadja menjambar kearah orang tua itu, Kok Sin Ong mementang lima djarinja dan memapaki selendang itu. ,,Brettt ...!", selendang itu robek tapi tangannja pun sakit dan kesemutan.
"Sungguh lihay ilmu Kim-kong-tjie itu!", memudji si nona. Tiba2, sambil menarik pulang selendangnja dan melompat, si nona menikam djalan darah Hong-hoe-hiat, dibelakang pundak Kok Sin Ong, dengan pukulan Giok-lie-tjoan- tjiam (Dewi-memasukkan-benang kelubang-djarum). Kedua lawan itu sebenarnja berdiri berhadapan, tapi setjepat kilat Hian Song sudah berada dibelakang Kok Sin Ong. Tapi orang tua itu pun memiliki ilmu Liap-in Po-hoat (Tindakan- mengedjar lawan) jang tidak kurang lihaynja. Hampir berbareng dengan berkelebatnja sinar pedang, ia sudah memutar badan dan mengirim tindjunja. Dengan di iringi suara merotoknja tulang, tiba2 lengannja mulur kira2 setengah kaki dan tindjunja menjambar dari satu arah jang tidak di-duga2. Tapi Hian Song tak kalah tjepat, tjepat otaknja dan tjepat pula gerakannja. Begitu pedangnja menikam tempat kosong, begitu ia mengubah gerakan dan pada detik jang sangat berbahaja, kakinja menotol tanah dan, bagaikan walet menembus awan, badannja melesat dan meloloskan diri dari samping kanan Kok Sin Ong. Selagi badannja melesat, pedangnja sudah mengirim tiga tikaman dengan beruntun. Kok Sin Ong kagum bukan main. Nona itu bukan sadja sudah bisa meloloskan diri dari serangan Thong-pie-koen, tapi dalam kelitannja itu, ia masih bisa balas menjerang. Pertempuran dilangsungkan terus dengan dashjatnja.
"Beng Tjoe, Djie Ie !", mendadak Hian Song berteriak.
"Mengapa kau berhenti? Perlu apa kau berdiri seperti patung?". Sesudah Kok Sin Ong turun tangan, pertempuran antara djago2 lainnja dan kedua budak itu lantas sadja berhenti, karena semua orang merasa ketarik dengan pertempuran jang baru terdjadi. Mendengar seruan madjikannja, Beng Tjoe dan Djie le lantas sadja memutar lagi selendang mereka dan dalam beberapa saat, beberapa sendjata sudah terbang dan djatuh ditanah. Sedang pertempuran berlangsung, seorang pemuda berdjalan keluar dari gelanggang sambil menundukkan kepala. Orang itu bukan lain daripada Lie It. Ia datang dengan semangat ber-kobar2 dan pergi dengan semangat runtuh.
"Andaikata enghiong2 itu dapat merobohkan ketiga wanita, kemenangan itu masih sangat memalukan ", pikirnja. Ia tersadar dan ketjewa bukan main. Sekarang ia mengarti, bahwa orang2 jang hadir dalam Eng-hiong Tay-hwee, hampir semuanja adalah kawanan bebodoran jang ingin memburu kekajaan, sedang orang2 jang benar2 mempunjai kepandaian hanja beberapa gelintir sadja dan mereka itu sudah berlalu tanpa pamitan lagi. Jang masih ketinggalan hanja Kok Sin Ong seorang jang dengan mati2-an masih tjoba menolong mukanja. Dengan demikian, Eng-hiong Tay-hwee jang semula begitu menggempar-kan, pada achirnja hanja merupakan sebuah lelutjon. Mengingat begitu, hatinja dingin. Ia tahu, bahwa angan2-nja untuk menggulingkan Boe Tjek Thian telah mendjadi gagal dan ia berlalu dengan putus harapan. Ketika itu pertempuran sedang berlangsung dengan dahsjatnja, sehingga tak ada orang jang mem- perhatikannja. Ia mempunjai kepandaian jang banjak lebih tinggi dari kedua budaknja Hian Song, tapi karena hatinja sudah dingin dan djuga sebab ia merasa malu untuk bertempur dengan wanita2 tingkatan budak, maka, sambil berkelit beberapa kali untuk meloloskan diri dari sambaran selendang, ia berdjalan terus. ---oo0oo--- TIBA-tiba ia dengar bentakan Kok Sin Ong .
"Baiklah memaksa loo-hoe menggunakan pedang. Maaflah, sekarang aku tak akan berlaku sungkan2 lagi ". Ternjata, sesudah serang-menjerang beberapa puluh djurus, biarpun lweekangnja lebih tinggi, Kok Sin Ong jang sudah berusia landjut masih kalah tjepat dari Boe Hian Song jang muda-belia. Sebagaimana diketahui, Kok Sin Ong memiliki tiga rupa ilmu istimewa, yaitu pukulan Thong-pie-koen, Kim-kong-tjie dan Liap-in Kiam-hoat. Selama belasan tahun, ia tak pernah menggunakan pedang, sebab, dengan tangan kosong sadja, ia sudah tak bisa menemui tandingan. Tapi diluar dugaan, hari ini ia bertemu dengan lawan berat. Ia mengerti, bahwa tak gampang2 ia bisa mendjatuhkan nona itu, tapi karena sudah omong besar, ia merasa malu untuk menghunus sendjata. Sesudah berkelahi beberapa lama, dengan gusar ia menjerang dengan menggunakan dua rupa ilmu, tangan kirinja menindju dengan Thong-pie-koen, sedang lima djari tangan kanannja menotok dengan Kim-kong-tjie. Melihat seranganjang hebat itu, Hian Song kaget bukan main. Ia ingin melompat mundur, tapi sudah tidak keburu lagi. Dalam keadaan terdesak, mau tak mau ia terpaksa menjambut kekerasan dengan kekerasan. Sambil mengempos semangat, ia memapaki kedua tangan lawan dengan pedang dan selendang. Hampir berbareng, selendang sutera menggulung pergelangan tangan kiri Kok Sin Ong dan sinar pedang menjambar ketangan kanan. Sambil membentak keras, orang tua itu menjentil badan pedang si nona jang lantas sadja terbang ketengah udara dan dengan sekali mengetarkan lengan kirinja, selendang sutera itu djadi hantjur ber-keping2. Hian Song tertawa njaring. Ia melompat tinggi dan menjambut pedangnja jang sedang melajang turun. Sekarang orang tua itu djadi kalap. Tanpa memperdulikan lagi nama dan kedudukannja lagi, ia segera menghunus sendjata. Ia mengerti, bahwa tanpa menggunakan pedang, tak nanti ia bisa merobohkan nona jang lihay itu. Sementara itu, melihat Kok Sin Ong mengeluarkan sendjata, Lie It menghela napas dan berdjalan terus. Baru sadja ia tiba dipinggir lapangan, matanja jang djeli mendadak melihat udjung ikatan pinggang jang menongol dari sebuah batu besar. Ia terkedjut dan membentak .
"Siapa ?". Bentakan itu disusul dengan melompat keluarnja Siangkoan Wan Djie.
"Lie It Koko, aku !", serunja. Lie It terkedjut, ia merasa seperti djuga berada dalam mimpi. Semendjak berpisahan di Pa-tjioe, belum pernah sedetikpun ia tidak memikiri keselamatan si nona. Pada malam itu, setelah tiba di Pa-tjioe, ia dikundjungi Liong Sam Sianseng jang meminta supaja ia pergi kesatu tempat diluar kota untuk bertemu dengan Kok Sin Ong, guna merundingkan pertemuan para orang gagah dipuntjak Kim-teng. Karena tak mau membuka rahasia, maka sesudah si nona tiba dipenginapan itu, ia hanja meninggalkan setjarik kertas dengan pemberitahuan bahwa ia harus segera berangkat untuk suatu urusan penting dan kemudian berlalu dengan ter-gesa2. Diluar dugaan, malam itu Lie Hian dibunuh orang dan dalam peristiwa pembunuhan itu, muntjul djuga Ok-heng-tjia dan Tok- sian-lie. Begitu mendapat warta, ia djadi bingung bukan main, karena kuatir akan keselamatan Wan Djie. Ia menjesalkan dirinja sendiri, jang, meskipun ada urusan penting, dianggapnja sangat tak pantas meninggalkan si nona dengan begitu sadja. Mimpipun ia tak pernah, bahwa ia bisa bertemu dengan nona Siangkoan ditempat itu. Untuk sedjenak ia menatap wadjah si nona dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Sebelum ia dapat mengeluarkan sepatah kata, se-konjong2 menerdjang seorang jang, begitu berhadapan, segera menghantam pinggang Wan Djie dengan tindjunja jang sebesar mangkok. Orang itu adalah si sembrono Hiong Kie Teng. Ia menjerang karena menduga, bahwa Wan Djie adalah kawan Boe Hian Song jang sengadja bersembunji disitu untuk mentjegat Lie It.
"Tahan !", bentak Lie It dengan kaget. Tapi tindju jang sudah menjambar tak dapat ditarik kembali, sehingga dengan hati mentjelos, Lie It menotol bumi dengan kakinja dan badannja lantas sadja melesat kedepan. Pada detik itulah, tiba2 berkelebat sehelai sutera merah, disusul dengan bentakan seorang wanita .
"Siapa berani melukakan sahabat Siotjiaku ?". Dengan sekali berkelebat, selendang sutera itu sudah menggulung tubuh Hiong Kie Teng jang lantas sadja terbang beberapa tombak djauhnja. Tapi Wan Djie sendiri tidak terluput dengan tindju si sembrono, sehingga badannja ber-gojang2 dan kemudian roboh ditanah. Wanita jang melontarkan Hiong Kie Teng adalah Djie Ie, jang sambil menengok kearah Lie It, membentak dengan suara gusar .
"Beng-tjoe tak punja malu ! Mengapa kau menghina seorang wanita jang tak mengerti ilmu silat ?". Sehabis membentak, ia segera menjerang dengan selendangnya, sehingga Lie It tak dapat memberi keterangan. Dilain saat, sedjumlah orang gagah, jang melihat pemuda itu sedang bertempur, sudah memburu.
"Siapapun djua tak boleh mentjelakakan wanita jang rebah ditanah ...!", teriak Lie It.
"Terima kasih banjak atas ketjintaan kalian, tapi aku tak berharga untuk mendjadi Beng-tjoe ". Hampir berbareng, ia mengendjot badan dan dengan melompati kepala Djie Ie, ia kabur keatas gunung. Untuk sedjenak, semua orang tertegun, karena mereka tak duga, pemuda itu benar2 kabur. Dilain saat, sambil memutar selendangnja, Djie Ie menjerang djago2 itu jang sesudah bertempur beberapa lama, terpaksa mundur karena tak tahan melawan budak Hian Song jang sangat lihay. Sesudah kabur beberapa lama, Lie It menghentikan tindakannja dan mengawasi kebawah, dimana Sin Ong dan Hian Song sedang bertempur dengan menggunakan pedang. Dalam sekedjap Kok Sin Ong dan Boe Hian Song sudah bertempur lebih dari seratus djurus. Dengan menggunakan tiga matjam kepandaiannja jang paling istimewa, jaitu tindju, pedang dan totokan djari tangan, orang tua itu menjerang bagaikan angin dan hudjan. Tapi si nona-pun tidak kurang lihaynja. Dengan gerakan2 lintjah dan mantap, bagaikan naga ber-main2 ditengah lautan, ia memutar pedang seperti titiran tjepatnja. Sebagai Beng-tjoe dari Rimba Persilatan,selama sepuluh tahun Kok Sin Ong tak pernah menggunakan sendjata. Sesudah mendjadi Beng-tjoe, hari ini adalah untuk pertama kali ia bertempur dengan menggunakan pedang, dan jang lebih memalukan lagi, lawannja adalah seorang wanita muda-belia. Maka itu, sesudah lewat lagi sekian djurus, dengan gusar tiba2 ia menjerang dengan menggunakan seantero lweekangnja. Sambil mengempos semangat, si nona menangkis. Bentrokan antara kedua sendjata itu mengeluarkan suara njaring dan kedua lawan melompat mundur untuk memeriksa sendjata mereka. Hian Song kaget karena pedangnja somplak.
Pendekar Kembar Karya Gan KL Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung Kilas Balik Merah Salju -- Gu Long