Pendekar Aneh 8
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 8
Pendekar Aneh Karya dari Liang Ie Shen
"Engko It, aku membikin kau sangat letih ", kata si nona selagi tubuhnja ter-gojang2 dan ter-banting2 didalam keretanja, jang berdjalan ditanah pegunungan jang sukar itu. Lie It merangkul tubuh si nona, ia berkata perlahan .
"Kita senasib, mati atau hidup, kita harus bersama. Djangan kau pikir jang tidak2
". Ia bersjukur kepada nona ini, jang masih memperhatikannja meskipun si nona sendiri lagi sakit dan hatinja terluka karena kematian ajahnja serta kehilangan saudaranja. Saat itu, hilanglah bajangan Wan Djie dan Hian Song, hilang teraling oleh Tiangsoen Pek. Pemuda ini meng-harap2 lekas2 datangnja sang pagi. Ingin ia mendapatkan tempat untuk beristirahat, guna mendapatkan air teh buat tunangannja. ---oo0oo--- LAMA sang pagi di-harap2, achirnja lewat djuga sang waktu. Sang fadjar tiba, sang pagi muntjul. Di timur, tjahaja matahari nampak. Lalu djagat mendjadi terang. Mereka sekarang berada dipinggir sebuah rimba. Baru Lie It menghela napas lega, atau mendadak terdengar sorak berisik dari dalam rimba dari mana segera muntjul tiga orang, satu diantaranja seorang pendeta. Ia terkedjut. Ia tahu apa artinja itu. Untuk mendjaga keselamatannja Tiangsoen Pek, ia tidak menanti orang datang dekat, ia melompat turun dari atas kereta, untuk lari menghampirkan mereka itu. Segera ia tiba didepannja dua orang, jang tubuhnja besar. Kaget mereka itu melihat tjara lompatnja anak muda ini. Itulah tanda dari ilmu ringan tubuh, atau ilmu silat, jang liehay.
"Kau pernah apa dengan Tiangsoen Koen Liang ?", tanja jang satu. Dia bertubuh besar dan bentuk kepalanja adalah jang dinamakan kepala "matjan tutul".
"Kau anaknja ataukah muridnja ?". Lie It mengangkat kedua tangannja, untuk dirangkapnja, untuk memberi hormat.
"Tuan, adakah kau Thia Siauw-pang-tjoe dari Hok Houw Pang ?", dia bertanja, hormat.
"Aku tengah mengantarkan lajon mertuaku pulang ke kampung halamannja. Entah ada urusan apakah jang membuat kami bersalah terhadap partai kamu jang agung ?". Lie It tidak kenal ini hoe-pang-tjoe, atau ketua muda, dari Hok Houw Pang. Ia tjuma menduga dengan melihat sadja sendjata orang, jalah tiam- hiat-koat, sendjata peranti menotok djalan darah, sendjata mana beda daripada jang umum dipunjai kaum Rimba Persilatan. Tiam-hiat-koat jang umum pandjangnja hanja dua kaki tetapi kepunjaan Hok Houw Pang sampai tiga kaki dan kedua belahnja pun tadjam. Ketua Hok Houw Pang, Thia Tat Souw, sudah berumur enam puluh lebih sedang begal ini belum landjut usianja, dari itu ia lantas menduga kepada anaknja Tat Souw. Orang itu terkedjut. Ia memang Thia Kian Lam, pang-tjoe muda dari Hok Houw Pang. Ia mendjadi menduga, Lie It bukanlah seorang muda jang masih hidjau. Maka ia lekas2 membalas hormat.
"Djadi tuan adalah baba mantu Tiangsoen Koen Liang ", katanja.
"Aku merasa beruntung sekali dengan pertemuan kita ini !".
"Mertuaku itu ", kata Lie It.
"separuh hidupnja mendjadi pembesar negeri, separuhnja lagi dipakai tinggal menjendiri dipegunungan, dia tidak mempunjai hubungan dengan kaum Kang-ouw, maka aku pertjaja, dia tidak mempunjai urusan dengan partai tuan, karena itu, mengapa siauw-pang-tjoe memegat kereta kami ini ?".
"Tuan benar ", berkata Kian Lam.
"Tiangsoen Taydjin tidak bermusuhan dengan partai kami dan kami djuga tidak berani memegat dia, hanja kau sendiri, tuan, aku ingin memindjam suatu barang dari tuan. Djikalau tuan sudi mengasi pindjam itu, maka kami djuga hendak memberi hormat kepada djenazahnja Tiangsoen Taydjin ".
"Mertuaku orang putih-bersih, kedua tangan badjunja bersih bagaikan angin ", berkata Lie It.
"Akan tetapi apabila siauw-pangtjoe membutuhkannja, baru tiga atau lima ratus tail perak, aku masih dapat memberikannja ". Thia Kian Lam tertawa.
"Meskipun pekerdjaan kami jalah pekerdjaan tanpa modal tetapi kami masih belum berani memindjam uang dari kau, tuan ", katanja.
"tuan memandang terlalu ketjil kepada kami ".
"Djikalau begitu, aku mohon tanja, apakah itu jang siauw-pang-tjoe hendak pindjam ?", tegaskan Lie It.
"Tiangsoen Taydjin mendjadi ahli ilmu silat pedang dari suatu djaman, mestinja dia mempunjai warisan kitab ilmu silat dan ilmu pedang ", kata Kian Lam mendjelaskan.
"Karena kepandaian tuan sendiri telah tjukup untuk mendjaga diri serta tuan tidak perlu hidup dalam dunia Kang-ouw, maka aku mengharapi kitab pedang itu jang untuk kami kaum Kang-ouw berarti penting sekali ".
"Menjesal, siauw-pan-gtjoe, tentang kitab itu, aku tidak tahu apa2
", kata Lie It.
"Semasahidupnja mertuaku, ia tidak pernah men-njebut2 itu dan djuga tidak menjerahkannja ". Mendengar djawaban itu, Thia Kian Lam tertawa dingin.
"Djikalau demikian, sukalah tuan mengalah untuk aku mentjarinja sendiri !", katanja. Dan ia madju, niatnja menghampirkan kereta. Lie It bergerak, untuk menghadang.
"Tubuh mertuaku masih belum kering, aku tidak ingin dia terganggu ", katanja.
"Baikiah !", kata Kian Lam bengis.
"Kau tidak mau mengidjinkan kami menggeledah, terpaksa kami mesti memindjamnja dengan kekerasan. Kongtjoe, djangan kau mengatakan kami tidak tahu aturan !". Belum berhenti kata2 itu atau pangtjoe muda dari Hok Houw Pang sudah lantas menjerang dengan sendjatanja jang liehay itu, menotok djalan darah kie-boen-hiat. Lie it terpaksa menghunus pedangnja untuk menangkis. Maka mereka lantas mendjadi bertempur. Thia Kian Lam benar2 liehay. Dia pun dibantu banjak oleh sendjatanja jang pandjang, beda daripada umumnja. Terus dia mengintjar djalan darah, seperti kwan-goan-hiat dan soan-kie-hiat, ataupun hoan-tiauw-hiat dibetis kaki. Ringkasnja, dia menjerang kesemua tiga djalan darah atas, tengah dan bawah. Menghadapi lawan jang liehay, Lie It berlaku tenang. Selama ia masih asing akan ilmu totok lawannja itu, ia bersiasat mendjaga diri. Ia bersendjatakan pedang dari istana, pedang mustika, dalam hal sendjata, ia memang unggul, tetapi ia berlaku sabar. Maka dengan ilmu pedangnja, ia menutup dirinja. Sia2 belaka Thia Kian Lam mendesak dan menjerang ber-ulang2, tidak pernah ia menemui lowongan, sedang untuk menerobos, ia tidak sanggup. Tengah mereka bertarung seru itu, tiba2 Lie It berseru .
"Kena ...!". Dengan tjara se-konjong2 sadja pemuda ini membalas menjerang, pedangnja meluntjur kearah lutut. Dengan djurus "Bwee-hoa-lok-tee"
Atau "Bunga bwee rontok ke tanah", Thia Kian Lam membawa sendjatanja ke bawah, guna menangkis serangan, buat melindungi dengkulnja itu.
Tapi ia tidak tjuma membela diri, ia membarengi menjerang.
Dengan tangan kiri ia menangkis, dengan tangan kanan ia menjerang ke betis, mentjari djalan darah tiauw-hoan-hiat.
Ketika Lie It membalas menjerang, ia sudah ber-djaga2, maka itu, tempo pedangnja ditangkis dan betisnja ditotok, ia membuat dua gerakan berbareng.
Pedangnja jang mental diputar terus, sedang kakinja jang diserang ia singkirkan.
Pedangnja itu diteruskan meluntjur ketubuh orang, menikam badju lapis dibahu Kian Lam.
Oleh karena ia tidak ingin menanam bibit permusuhan, ia tidak berlaku kedjam.
Djikalau tikaman ditembuskan ke tulang piepee, pasti ketua muda dari Hek Houw Pang itu bakal ludas ilmu silatnja.
"Maaf kau suka mengalah, siauw-pang-tjoe !", ia lantas berkata.
"Apakah sekarang kau sudi memberi lewat kereta djenazahnja mertuaku ini ?". Menurut aturan Kang-ouw, Kian Lam mesti mengaku kalah, dia telah tidak sudi mengindahkan aturan umum itu. Dia tertawa dingin.
"Ilmu pedang kongtjoe benar lihay ", katanja.
"Bukankah itu ada buah adjarannja Tiangsoen Taydjin ? Kau membikin aku mendjadi semakin kagum. Tjioe Toako, mari kita madju bersama !. Maaf, kongtjoe, telah bulat tekad kita untuk mendapatkan kitab pedang, maka itu tidak dapat kita memakai aturan Kang-ouw lagi, bahkan kita hendak merebut kemenangan dengan mengandakan djumlah jang banjak !". Atas seruan si ketua muda, kawannja, jang bersendjatakan tjambuk pandjang, lantas madju seraja menggeraki tjambuknja itu. Lie It mendiadi gusar.
"Bagus, kawanan berandal tidak mempunjai muka !", ia berseru. Ia menggeraki tangannja, untuk menangkis tjambuk, untuk terus membuat perlawanan. Orang she Tjioe itu murid kesajangannja Thia Tat Souw si ketua Hek Houw Pang, karena tubuhnja besar, ilmu ringankan tubuhnja kurang mahir. sebab dia tidak dapat mewariskan ilmu totok tiam-hiat-koat, dia djadi diadjari ilmu tjambuknja itu, Hing-Liong Pian-hoat, ilmu "Tjambuk Menakluki Naga". Dia bertenaga besar, tjambuknja itu pandjang, dia mendjadi liehay. Thia Tat Souw memang tersohor untuk tiga matjam ilmu silatnja, ialah ilmu totokan, tjambuk dan Hok Houw Tjiang.
"Tangan Menaklukkan Naga". Maka itu, meskipun Lie It tidak kena dikalahkan, ia repot juga dikepung dua musuh ini. Djusteru itu si hweeshio, ialah si katjung hweeshio, lari kearah kereta. Dia diberi nama sutji Tjoei Giat oleh si pendeta tua, maksudnja untuk dia "menjingkirkan segala dosanja", supaja dia seterusnja mendjadi orang baik hati, tetapi dia tidak mentjutji hati. Ketika dia mulanja diterima didalam Hok Houw Pang pun disebabkan ketjerdikan dan keberaniannja itu, hingga dia sangat disajangi ketuanja. Dia terpaksa berdiam di kuil dimana dia hidup tersiksa batinnja. Kebetulan sekali, selagi dia pergi kekota untuk membeli peti mati, dia bertemu Thia Kian Lam, si ketua muda. Dia ditanja hal-ichwalnja, kemudian dia menuturkan halnja Tiangsoen Koen Liang mati di kuilnja. Lantas Kian Lam ingat kitab pedang dan ingin mendapatkan itu. Maka ia menjuruh Tjoei Giat menggunai bong-han-yoh, obat bius, untuk membikin pulas pada Tiangsoen Pek. Sjukur si pendeta tua kebetulan sadjamengetahui niat djahat itu dan lantas menghalanginja. Ketika dia kabur, Tjoei Giat pergi mentjari ketua mudanja, dari itu, Kian Lam lantas mengadjak si orang she Tjioe untuk memegat bersama. Dia tahu di kereta tjuma ada seorang nona lagi sakit, dia mendjadi tidak takut dan hendak menghampirkan kereta, guna menghina si nona. Lie It kaget dan gusar sekali.
"Bangsat gundul tjilik, awas !", ia membentak, mengantjam.
"Asal kau mengganggu orang jang lagi sakit, akan aku tidak memberi ampun padamu, nanti aku rampas djiwamu !". Thia Kian Lam tertawa bergelak.
"Djiwamu sendiri sudah berada dalam tangan kami, kau masih omong besar !", katanja mengedjek.
"Yo Tjiauw, djangan takut! Kau geledah keretanja !". Yo Tjiauw jalah nama benar dari Tjoei Giat. Dengan lekas Tjoei Giat telah sampai di kereta, sebelah kakinja sudah lantas mengindjak kereta itu. Hatinja Lie It mendjadi panas, kuatirnja djuga bukan main. Dengan satu gerakan "Naga sakti menggojang ekor", ia menangkis totokan Kian Lam, lantas ia mau melompat keluar kalangan, guna menghampirkan si katjung, atau si orang she Tjioe menjamber ia dengan tjambuknja. Mau atau tidak, ia mesti berkelit. Di saat itu, totokannja Kian Lam datang pula. Ketua muda ini sangat sebat, kedua sendjatanja mengarah dua djalan darah kie-boen-hiat dan tjeng-pek-hiat. Oleh karena sangat terpaksa, Lie It mesti melajani terus dua musuh ini, jang melibat padanja, hingga ia tidak berkesempatan menjusul Tjoei Giat, guna melindungi Tiangsoen Pek. Tjoei Giat girang sekali. Dia telah memikir, besar djasanja kalau dia berhasil mendapatkan kitab ilmu pedang. Dia sudah mengharap kedudukan sebagai to-tjoe, atau ketua tjabang dari partainja itu. Maka dia lantas mengulur tangannja, untuk menjingkap tenda kereta.
"Serrr !", demikian satu suara, jang membarengi tersingkapnja tenda itu, lalu sebatang panah menjamber ke tangannja, mengenai tepat, hingga dia kaget dan kesakitan, tubuhnja lantas roboh terguling. Ketika itu Lie It telah berhasil melukai lengannja Kian Lam, tetapi dilain pihak, udjung kakinja sendiri tersampok tjambuk, djusteru itu, ia mendengar djeritannja Tjoei Giat, maka ia lantas menoleh. Karena itu, ia lantas melihat muntjulnja seorang nona umur lima atau enam-belas tahun, jang lari mendatangi, nona mana mengenakan badju kuning. Ia mengenali nona itu, ia mendjadi girang sekali, hingga hampir ia lupa menggeraki pedangnja untuk menangkis serangan. Nona itu jalah Djie Ie, salah satu dari budaknja Hian Song. Selama Hian Song "mengatjau"
Dalam rapat besar di Ngo-bie-san, nona ketjil ini turut memegang peranan.
Kian Lam djuga melihat muntjulnja si nona, ia tidak memperhatikan.
Ia pikir, apa bisanja botjah tjilik itu ?.
Ia bahkan terus mendesak Lie It.
Dengan totokan beruntun ia mengarah pula tiga djalan darah sin- too, tjiang-tay dan leng-kie.
Djie Ie itu tidak naik ke kereta, ia djuga tidak menjusuli Yo Tjiauw, hanja ia madju terus kepada Lie It, untuk menjerang Kian Lam.
Ketua muda Hok Houw Pang memandang enteng kepada si nona, barulah dia kaget ketika tahu2 pedang nona ketjil itu menjamber ke punggungnja, ke djalan darah kwie-tjhong.
Pedang itu menjamber keras, anginnja menghembus.
"Hebat !", pikir Kian Lam, heran. Terpaksa ia menangkis. Lie It mendjadi ringan, tapi ia tidak berhenti, ia menjerang pula. Kalau tadi dengan mengepung dia dapat mendesak, sekarang Kian Lam merasakan kebalikannja. Begitu didesak, dalam repotnja menangkis, tiam-hiat-koat-nja kena tertabas pedang Lie It hingga putus mendjadi dua potong, hingga ia kaget tidak terkira. Si orang she Tjioe penasaran, dengan satu gerakan "Naga sakti menjabet", ia menjerang saling susul tiga kali dibawah, udjung tjambuknja menjerang pergi dan pulang. 1a mengharap bisa merobohkan Djie Ie. Nona itu benar ilmu silatnja tidak seperti kepandaiannja Lie It akan tetapi dia mahir dalam ilmu ringan tubuh, gerakannja sangat enteng dan gesit, djusteru dia dirabu, dia mengasi lihat kelintjahannja. Dengan satu djedjakan kaki, dengan djurusnja "Burung walet terbang ke mega", tubuhnja mentjelat tinggi. Maka bebaslah dia dari serangan tjambuk. Sebaliknja, selagi turun, dia menabas dengan bengis. Kawannja Kian Lam itu kaget bukan main. Karena ia lagi menjerang hebat, tidak sempat ia berdaja lagi, tabasan pedang tidak dapat dihindarkan pula. Tjelaka untuknja, karena ia berkelit, lima djeridji tangannja kena terbabat kutung semuanja, hingga ia mesti melepaskan tjambuknja. Dengan ketakutan, ia lari tunggang-langgang. Kian Lam menginsjafi bahaja, terpaksa dia pun turut kabur. ---oo0oo--- LIE It, dan si nona tidak mengedjar. Lie It lantas memasang mata. Ia mau tjari si katjung hweeshio jang djahat, tetapi dia itu tidak nampak mata hidungnja.Sebab dia litjik, setelah terpanah oleh Djie Ie, dia mengerti bahwa harapan untuk berhasil sudah lenjap, dari itu dia menjingkir lebih dulu setjara diam2, untuk bersembunji, didalam rimba. Djie Ie berdiri diam, matanja mengawasi si anak muda. Dia bermuka merah, napasnja sedikit memburu. Sepasang matanja itu tadjam sekali. Dia bagaikan hendak menegur si anak muda, jang telah meninggalkan nonanja. Selang sedjenak, barulah nona itu berkata, suaranja tawar .
"Lie Kongtjoe, kau meninggalkan kota Tiang-an setjara kesusu sekali sampai ada serupa barangmu jang kau lupa bawa. Sekarang nonaku menitahkan aku memulangkannja ". Lie It memandang nona itu ditangan siapa sekarang nampak sebuah khim ketjil, jalah Hong-bwee-khim, alat musik jang ia sajang. Itulah khim kuno. Ketika ia diperintah Lie Beng Tjie mengantarkan orang tawanan ke keraton, ia tinggal khim itu di tangsi Sin Boe Eng. Ia tidak menjangka bahwa sekarang Hian Song menitahkan Djie Ie mengantarkannja. Diam2 ia merasa hatinja tidak tenteram. Ia mendjadi ingat saatnja ia bersama Wan Djie dan Hian Song menabuh khim dan bernjanji. Sekarang khim-nja ada, orangnja tidak, bahkan hubungan mereka terputus "Hian Song, Hian Song ! Apa perlunja kau mengirimkan khim-ku ini ?", katanja didalam hati. Ia berduka sekali. Ia memandangi alat tetabuhan ditangan Djie Ie itu, ia berpikir pula .
"Mulai sekarang aku bakal pergi djauh sekali, khim dan pedang bakal berpisahan, ada siapakah lagi jang mengenal lagu ?. Hian Song, Hian Song, mengapa bukannja kau sendiri jang mengantarkannja ?". Lie It berpikir demikian tanpa ia mengetahui si nona Boe djusteru memikirkan dia, semalam suntuk nona itu tidak pernah tidur sekedjap djua, karena si nona menduga ia tidak bakal kembali, maka dia menitahkan Djie Ie jang pergi mentjari, untuk menjerahkan khim itu. Dengan begitu, kalau nanti dia bertemu sama Lie It, tak usahlah dia sangat berduka hingga tak tahu mesti berbuat apa. Sikapnja ini diketahui Lie It setelah berselang banjak tahun kemudian. Mengawasi kepada Djie Ie, Lie It melihat air mata orang mengembeng.
"Lie Kongtjoe, kau terimalah khim ini ", kata pula budak itu.
"Aku mau lekas2 pulang untuk memberi kabar kepada nonaku ". Lie It menahan turunnja air matanja.
"Terima kasih ...", katanja perlahan. Ia menjambuti khim itu. Lantas ia melihat sepotong saputangan terselip didalam khim, hatinja tergerak. Ia mengeluarkan saputangan itu, untuk dibeber dengan per-lahan2, hingga ia melihat sulaman seekor burung belibis tunggal, dibawah itu ada sulaman pula empat baris sjair dengan apa ia dinasehati djangan menelad "Koet Goan", sebab suasananja lain. Dulu hari itu Koet Goan, negaranja lemah, radjanja tolol, dirinja sendiri dikurung dorna hingga dia putus asa. Maka sia2 belaka kalau ia hidup merantau. Lie It berdiam, berdiri mendjublak. Halus nasihat itu. Tapi ia tidak bisa berdiam lama, ia menghela napas, lantas ia kata kepada budak itu .
"Pergi kau pulang. Tolong kau sampaikan kepada nonamu bahwa aku berterima kasih untuk kebaikannja, sajang didjaman ini tidak dapat aku membalas budinja !". Dia dapat menahan air matanja, tidak demikian dengan si budak. Djie Ie lekas2 berpaling, untuk berlalu. Tiba2 Lie It menjusul dua tindak, menanja .
"Apakah Nona Siangkoan ada memesan sesuatu untukku ?".
"Tidak, tidak ada pesannja ", menjahut Djie Ie. Hanja sedjenak, dia menambahkan .
"Nona Siangkoan sama pikirannja seperti nonaku. Lie Kongtjoe, kau rawatlah dirimu baik2. Nah, aku pergi ...". Lie It membiarkan orang pergi, ia lantas lari ke kereta, untuk melompat naik keatasnja. Ketika ia menoleh pula kepada Djie Ie, budak itu sudah pergi djauh. Ia lantas menjingkap tenda kereta.
"Apakah pendjahat telah dihadjar kabur ?", mendadak Tiangsoen Pek menanja. Dia tesenjum. Kelihatannja dia seperti baru mendusin dari tidurnja. Nona ini pertjaja kegagahannja Lie It, dilain pihak, ia pertjaja djuga pembegal ada begal2 tidak berarti. Ia mendengar suara beradunja sendjata2, ia tidak menghiraukannja, ia tidak berkuatir.
"Ja, semua telah dihadjar pergi ", menjahut Lie It lega. Sebenarnja, didalam hatinja, ia mengatakan .
"Mana kau tahu, dari antjaman bentjana ini kembali Hian Song jang menolongi ...". Ia merasa malu sendirinja, ia tidak mau mengatakan demikian. Tapi Tiangsoen Pek lantas melihat Hong-bwee- khim, ia mendjadi heran.
"Apakah ada begal wanitanja ?", ia tanja.
"Tidak ", Lie It mendjawab.
"Tadi aku seperti mendengar suara wanita bitjara denganmu ". Hati Lie It bertjekat. Tjepat ia memikir .
"Kita bakal djadi suami-isteri, buat apa aku mendustainja ?". Tapi ia kuatir, karena lagi sakit, nona itu mendjadi berpikir jang tidak2. Maka ia mendjadi tidak dapat lantas mendjawab.
"Wanita itu orang matjam apa, engko It ?", Tiangsoen Pek tanja pula.
"Kau bilanglah ! Urusan apa djuga tidak nanti aku sesalkan atau menggusari kau ".
"Dialah budaknja Boe Hian Song, jang mengantarkan khim ", sahut Lie It kemudian. Tidak dapat ia mendusta. Mendadak mukanja si nona lebih putjat. Ia menarik napas.
"Engko It,omonglah terus-terang ", katanja.
"Kau sebenarnja menjesal atau tidak ?". Lie It merangkul erat tunangannja itu.
"Adik Pek, apakah sampai waktu ini kau masih tidak pertjaja aku ?", dia balik menanja.
"Aku telah mempunjai kau, kenapa aku mesti menjesal ?".
"Boe Hian Song jalah si nona gagah jang kau paling kagumi ", kata nona itu perlahan, suaranja berduka.
"Aku sebaliknja, akulah seorang wanita biasa. Engko It umpama kata kau menjesal, sekarang masih belum kasip. Biarlah aku mengganggu kau lagi beberapa hari, setelah kesehatanku pulih, dapat aku mengurus sendiri djenazah ajahku, kau sendiri, kau boleh kembali ke Tiang-an ". Lie It tertunduk, hingga muka mereka berdua hampir beradu.
"Adik Pek, ingin aku omong terus-terang ", ia berkata, perlahan.
"Sampai sekarang ini aku masih mengagumi Hian Song. Seperti kau terhadap Boe Tjek Thian, meskipun kau musuhnja, kau toh tidak dapat tidak mengagumi kepintarannja, bukan ? Meskipun demikian, mana dapat kekaguman itu menjebabkan tawarnja permusuhan kita, permusuhan urusan negara ? Kita berdua telah terikat mendjadi satu, nasib kita sama, kita tidak dapat berpisah pula !". Ia hening sedjenak, lantas ia menambahkan .
"Untuk apa aku kembali ke Tiang-an ? Ketjuali negara telah bertukar djundjungan dan Keradjaan Tong bangun pula. Tapi itulah pengharapan sangat ketjil. Omong sebenarnja, hatiku sudah tawar. Adik Pek, djangan kau sesalkan aku, mulai hari ini aku tidak memikir lagi untuk menuntut balas, maka kalau nanti djenazah ajahmu sudah dikubur, mari kita pergi merantau, untuk melewatkan hari2 penghidupan kita. Ajahmu jalah menteri setia Keradjaan Tong, dia menutup mata karena kesetiaannja, tetapi kita bakal hidup menjembunjikan diri, aku malu sekali, aku malu terhadapnja. Hanja, apa daja ? Oleh karena itu, adik Pek, kau maafkanlah aku !". Air matanja anak muda ini lantas turun mengetel, djatuh dimukanja si pemudi. Tiangsoen Pek sangat berduka, tetapi berbareng ia pun lega hatinja, ia terhibur. Baginja, omongan Lie It djelas sekali. Boe Hian Song boleh gagah-perkasa, dia tetap keponakannja Boe Tjek Thian, dia berdiri disisinja ratu itu, tidak dapat dia merampas Lie It.
"Habis, kau pikir niat pergi kemana, engko ?", kemudian ia tanja.
"Guruku berada dikaki gunung Thian-san, aku berniat pergi kesana untuk sementara waktu menumpang padanja ", sahut Lie It.
"Kita tunggu sampai lain tahun, setelah dia melepas putih, lantas kita mintai tolong mengurus pernikahan kita. Ketika gakhoe hendak melepaskan napasnja jang terahir, dia menjerahkan kau padaku. Aku dapat menjelami hatinja, maka aku pikir djangan kukuhi aturan kuno ialah berkabung sampai tiga tahun ". Tiangsoen Pek berduka berbareng girang, ia pun djengah, mukanja mendjadi merah.
"Sekarang kaulah orang satu2-nja jang terdekat padaku, maka didalam segala apa aku menurut kepada kau ", bilangnja, perlahan. Ia malu, ia toh tersenjum, lalu ia merapatkan matanja. Dengan begitu hatinja mendjadi lega maka tanpa merasa ia ketiduran. Lie It sebaliknja, hatinja tidak tenang. Ia sudah mengambil putusan akan tidak memikirkan Hian Song dan Wan Djie, bahkan ia sudah berketetapan untuk tidak menikah dengan mereka itu, toh bajangan mereka tidak dapat lenjap selamanja. Makin djauh ia terpisah dari Tiang-an, makin keras ia memikirkan mereka. ---oo0oo--- SATU bulan kemudian, kereta keledai Lie It dan Tiangsoen Pek sudah keluar dari kota Gan-boen-kwan. Sekarang sudah bulan ke-sembilan, awal musim rontok. Di wilajah perbatasan, rumput2 tiba pada saatnja termusnah, disana nampak pasir kuning, suasana sunji. Melihat pemandangan itu, Lie It mendadak ingat sjairnja Wan Djie jang dihaturkan kepadanja, jalah .
"Di telaga Tong Teng daun2 baru rontok ditiup angin. Kuingat ia jang terpisah djauh laksaan lie. Kabut tebal, memakai selimut masih terasa dingin. Rembulan dojong, dibelakang sekosol tiada bajangannja lagi ...". Pastilah, selandjutnja, sukar untuk ia menerima pula sjair dari nona itu. Kemudian Lie It mengeluarkan sapu tangannja Hian Song, diam2 ia memakai itu untuk menjusut air matanja. Lalu ia memetik khim-nja, untuk bernjanji, guna melegakan hati. Bersama Tiangsoen Pek, Lie It meninggalkan kota Gan-boen kwan, berdjalan diantara pasir kuning. Sama2 mereka berpikir lain, mereka hendak menjambut peruntungan mereka jang bakal datang, tak dapat mereka menduga, apa jang akan terdjadi nanti. ---oo0oo--- MUSIM semi telah pergi, musim semi telah datang, bunga2 sudah mekar, bunga2 sudah rontok, binatang2 telah ber-pindah2, benda2 telah bertukar, segalaperistiwa telah bersalin rupa. Dan semendjak Lie It berdua Tiangsoen Pek keluar dari kota Gan-boen-kwan itu, bagaikan hanja sekedjab, delapan tahun telah lewat. Sesudah delapan tahun itu maka datanglah pula bulan kesembilan awal musim rontok jang sama, saat dari musnanja rumput2 di tanah perbatasan. Ketika itu di dataran berumput di selatan gunung Thian-san tertampak mendatangi seorang penunggang kuda, dengan kudanja berbulu putih mulus. Jalah seorang nona bangsa Han. Ia djustru mengambil djalan jang diambil Lie It dulu hari itu, ia menerdjang angin dan pasir, ia mengajun tjambuknja mengaburkan binatang tunggangannja itu. Ia tampak lintjah, pandai tjaranja menunggang kuda, tetapi pada parasnja nampak tjahaja suram, tanda dari kedukaan. Maka diantara suara sang tjambuk, sering terdengar helaan napasnja Dengan tiba2 sadja terdengar seorang berseru njaring .
"Hai, wanita, hentikan kudamu !". Disana debu pasir mengepul, disana terdengar tindakan kaki dari banjak kuda, jang lari bagaikan larat, atau segera tibalah empat penunggang kuda, tiba didepan si wanita. Maka terdengarlah bentakannja jang bengis itu. Si nona menghentikan kudanja, lantas dengan sinar matanja ia menjapu keempat orang itu. la melihat empat boesoe bangsa Turki (suatu suku bangsa Hsiungnu). Seorang diantara mereka itu sudah lantas membeber sehelai gambar dari kulit kambing, dia memandang ke gambarnja itu dan kepada si nona bergantian. Ketika itu wilajah barat-daja dari Tiongkok, termasuk selatan dan utara gunung Thian-san, berada dibawah pemerintahannja keradjaan Turki jang kuat dan makmur, hingga kegarangan serdadunja tersohor sekali. Maka adalah lumrah sadja jang empat serdadu Turki tertampak mengedjar seorang nona dipadang rumput ini. Selagi si nona ke-heran2-an, salah seorang serdadu, jang berewokan, menanja padanja .
"Apakah kau datang dari wilajah keradjaan Tong jang agung ?". Ditanja begitu, si nona tesenjum.
"Sekarang ini Tiongkok bukan lagi negaranja Keradjaan Tong jang agung !", sahutnja.
"Dan aku datang dari negaranja Keradjaan Tjioe jang besar !". Boe Tjek Thian merampas keradjaan Tong dan menukarnja itu dengan merek keradjaan Tjioe, hanja karena dia membangun keradjaannja belum lama, maka wilajah2 asing diluar perbatasan belum mengetahuinja dan mereka tetap menjebut Keradjaan Tong seperti biasanja.
"Aku tidak perduli keradjaan Tong atau keradjaan Tjioe !", kata boesoe itu.
"Aku tjuma tahu kau datang dari Tiongkok ! Benarkah ?".
"Tidak salah !", si nona menjahut.
"Kamu mempunjai urusan apa ? Lekas bitjara ! Aku hendak lekas2 melandjuti perdjalananku !".
"Hmmm ...! Tidak dapat kau pergi lebih djauh. Mari lekas turut kami menghadap Khan kami jang agung !".
"Apakah aku melanggar undang2 negaramu ? Apakah siapa datang dari keradjaan Tong, dia mesti ditangkap ?".
"Kau tanjakan itu kepada Khan kami jang agung nanti !",kata pula si boesoe.
"Aku tidak mau ", menjawab si nona.
"Bagus, ja ! Kau berani melawan ? Kau mau turut atau tidak ?". Sepasang alisnja si nona terbangun, lalu dia tertawa lebar.
"Katanja rakjat negaramu sopan-santun, kamu djusteru tidak memakai aturan !", dia membentak.
"Djikalau mau bitjara tentang aturan, pergi bitjara sama Khan kami jang agung !", kata pula si berewokan, jang tertawa dingin.
"Hm ...! Apakah kau masih tidak mau turun dari kudamu ?".
"Aku tidak mau turut kau !", si nona membelar.
"Djikalau Khan kamu hendak menemui aku, mintalah dia datang sendiri kemari !". Boesoe itu mendjadi gusar.
"Bekuk dia !", serunja.
"Lebih dulu rangket padanja !". Lantas mereka berempat menggeraki kuda mereka untuk mengurung, mereka menggeraki djuga tjambuk mereka untuk menghadjar si nona. Nona itu sebaliknja tertawa.
"Kamu bukan tandinganku !", katanja tenang.
"Lekas kamu pergi !". Kata2 ini dibarengi sama djepitan kedua kakinja kepada perut kudanja dan tangannja jang sebelah menggentak les kuda, atas mana kuda putihnja, bagaikan kaget, lantas berdjingkrak, melompat menerdjang kedepan. Seorang musuh, jang bakal kena keterdjang, lekas menjingkir, sambil menjingkir ia menjambuk.
"Tarrr...!", demikian bunji tjambuknja. Akan tetapi si nona mendadak lenjap seketika dari punggung kudanja, sebaliknja, kudanja si boesoe sendiri lantas mengasi dengar ringkikan sedih dan keempat kakinja terus tertekuk ke tanah. Karena nona itu telah berkelit kebawah perut kudanja, sambil berkelit dengan tjambuknja ia menghadjar keempat kakinja kuda boesoe itu, hingga tak ampun lagi, keempat kaki kuda itu patah dan penunggangnja roboh terdjungkal ke tanah. Tiga boesoe jang lain mendjadi terkedjut, tetapi mereka toh lantas bertindak, guna memegat nona itu. Nona Han itu berlaku sangat sebat. Dengan lekas ia sudah bertjokol pula diatas kudanja, tjambuknja pun diajun, atas mana seorang boesoe terguling dari punggung kudanja. Boesoe jang kedua mendengar suara tjambuk mendjeter, hendak dia menangkis, atau punggungnja sudah kena disabet si nona, jang tjambuknja mendjeter pula. Boesoe jang ketiga, atau jang keempat, hendak berkelit, akantetapi dia terlalu ajal. Dia bukan kena dihadjar, hanja terlilit tjambuk, ketika tjambuk itu diajun terus, tubuhnja terangkat naik dari punggung kudanja, hingga kudanja itu kabur terus, mungkin tanpa mengetahui penunggangnja sudah tidak ada. Si nona menarik kaget tjambuknja, maka robohlah si boesoe jang penghabisan itu. Lantas semua mereka itu dibikin tidak berdaja dengan totokan djalan darahnja. Setelah lompat turun dari kudanja, si nona mengambil itu gambar kulit kambing. Untuk herannja, ia mendapatkan gambar itu jalah gambarnja sendiri.
"Siapa jang memberikan kau gambar ini ?", ia tanja si berewokan. Boesoe bangsa Turki itu paling mengagumi orang jang kosen, melihat mereka dirobohkan dengan tjepat dan gampang, mereka mana berani mensusta.
"Kami mendapatkan ini dari Khan kami jang agung ", sahutnja.
"Khan kami menitahkan dua puluh empat pahlawannja, untuk berpentjaran mentjari padamu, setiap rombongan terdiri dari empat orang. Sekarang kau lolos dari kepungan kami, maka dibelakang kami akan datang rombongan jang lain. Biarnja kau gagah, kau tidak bakal lolos dari padang rumput ini ! Maka baiklah kau turut kami ! Kami menghormati wanita kosen seperti kau, pasti kami tidak akan memperlakukan buruk padamu ". Si nona tidak memperdulikan kata2 orang itu.
"Kenapa Khan kamu hendak menawan aku ?", dia tanja.
"Kami tjuma menerima titah, kami mendjalankannja! Mana kami berani menanjakan Khan kami ?"
Nona itu menjimpan gambar itu. Dia tesenjum.
"Sekarang pergilah kau pulang !", katanja.
"Kamu membilangi Khan kamu bahwa sekarang ini aku belum sempat menemui dia, tunggu sadja sampai urusanku sudah selesai, tidak usah dia mengirim wakil mengundang padaku, nanti aku datang sendiri padanja !". Habis mengutjap begitu, nona ini meloloskan kantung2 airnja keempat boesoe itu, untuk ditjantelkan dipelananja. Dari empat kantung, ia mengambil jang tiga, jang satu ia tinggalkan untuk mereka itu. Katanja .
"Aku tinggalkan ini satu untuk kamu selama perdjalanan pulang kamu !". Beberapa ratus lie disekitar mereka melainkan gurun belaka, sukar mentjari air, maka itu, dengan tindakannja itu, si nona hendak mentjegah mereka itu nanti terus menjusul padanja. Setelah membebaskan orang dari totokan, si nona naik atas kudanja, guna melandjuti perdjalanannja. Keempat boesoe itu mengawasi, mereka pun saling memandang, setelah itu mereka lekas berangkat pulang untuk mengasi laporan kepada Khan mereka jang agung. Si nona kabur selintasan, lalu ia menoleh. Lega hatinja kapan ia melihat tidak ada orang jang mengintilinja. Sekarang ia berpikir .
"Urusan ini aneh ! Kenapa Khan Turki itu mengetahui tentang diriku ini ? Dia mengendalikan negara, banjak urusannja, mengapa dia sempat memperhatikan aku ? Masakah dia mengetahui tentang asal-usul diriku ? Kalau benar, siapakah jang memberitahukannja ? Aku toh tidak memikir djahat terhadapnja ?". Nona ini tengah pusing dengan urusannja sendiri, maka peristiwa ini membuatnja tambah pusing. Ia tidak takut tetapi toh ia merasa ruwet djuga. Ia sedang mentjari seorang sahabatnja, jang telah lenjap untuk beberapa tahun, karenanja tidak suka ia diganggu lain peristiwa. Nona kita ini bukan lain daripada keponakannja Ratu Boe Tjek Thian, jalah Boe Hian Song. Berdjalan lebih djauh, Hian Song menemui serombongan kafilah ketjil, jang terdiri dari tiga ekor unta serta orangnja, tua dan muda, wanita dan pria, tjuma sepuluh orang lebih, hingga mereka mirip satu keluarga. Ketika ia mendekati mereka, ia melihat roman orang guram dan berduka. Seorang botjah, jang melihat ia, atau lebih, benar kantung airnja, lantas mengulur kedua tangannja sambil berseru .
"Air...! Air...! Aku mau minum ...!". Seorang wanita disisinja, mungkin ibunja, menegur botjah itu .
"Hus, kau tidak tahu urusan ...! Orang mempunjai tjuma dua kantung air, mana dapat kau minta minum ?". Hian Song lompat turun dari kudanja.
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"aku mempunjai banjak air ", katanja seraja tersenjum. Ia terus membuka mulutnja sebuah kantung airnja, terus ia kasih si botjah minum. Dengan matanja jang djeli, botjah itu mengawasi orang jang memberikan ia air, sedang ajah dan ibunja lantas menghaturkan terima kasih mereka.
"Setetes air tidak ada artinja ", kata Hian Song.
"Aku numpang tanja, kamu hendak pergi ke mana ?".
"Kami mau pergi kesebelah utara Thian-san ", menjahut si wanita. Hian Song heran, ia lantas berpikir .
"Utara Thian-san djauh lebih dingin daripada bagian selatannja, musim rontok bakal tiba, kenapa, bukannja mereka ini tinggal di selatan, mereka djusteru pergi ke utara ? Mau apakah mereka ?". Lantas ia kata .
"Disebelah utara itu, untuk mendapatkan air, kamu memerlukan tempo beberapa hari lagi. Kamu sendiri mempunjai tinggal dua kantung air. Mana itu tjukup ? Aku membekal banjak, untuk membawa semua itu berabe, nah ambillah, aku berikan tiga kantung kepada kamu !". Benar2 Hian Song meloloskan tiga kantung airnja si boesoe Turki dan menjerahkannja kepada rombongan kafilah ketjil itu. Air di padang pasirberharga bagaikan emas, maka itu, diberikan tiga kantung air, bukan main girang dan bersjukurnja rombongan itu. Tiga kantung air itu berharga melebihkan sepuluh ekor unta. Mulanja rombongan itu menampik, tetapi kemudian, melihat kesungguhan hati si nona, mereka menerima djuga. Saking bersjukur, mereka sampai mengembeng air mata. Si njonja Uighur menggape Hian Song mengadjak duduk di tepi unggun.
"Nona, kau datang dari mana ?", ia menanja.
"Aku mau pergi ke Thian-san mentjari seorang sahabat ", menjahut Hian Song. Seorang pria, jang berusia landjut, menanja .
"Nona, apakah selama perdjalanan kau ini kau menemui baturu dari Khan jang agung ?". Dengan "baturu"
Dimaksudkan boesoe, atau pengawal Khan Turki. Untuk sedjenak, Hian Song melengak.
"Pernah aku melihatnja beberapa orang tetapi bukan kemari tudjuannja ", ia menjahut.
"Bitjara sebenarnja ", kata pula si orang tua.
"kami sebenarnja lagi menjingkir dari gangguannja Khan itu jang tengah mengumpulkan tentara baru ...". Artinja pengumpulan tentara Turki itu jalah persiapan untuk peperangan. Untuk itu, pengumpulan tentera dilakukan luas diantara rakjatnja. Kembali Hian Song heran.
"Bakal ada peperangan kah ?", ia menanja.
"Benar !. Katanja hendak berperang dengan Tiongkok ". Hian Song terkedjut. Memang pernah ia mendengar Turki hendak melanggar perbatasan Tiongkok, hanja ia tidak menjangka bahwa itu bakal terdjadi lekas.
"Diantara kami ada dua orang dewasa ", kata lagi si orang tua.
"kalau mereka mesti masuk tentera, bagaimana dengan hidupnja kami beramai jang tua2 dan masih kanak2 ?. Maka itu kami bersedia ditjatji pengetjut, kami toh menjingkir ke utara sebelumnja saldju turun ".
"Benar. Tiongkok djuga tidak menginginkan peperangan. Bukankah bagus untuk hidup damai dan aman ?".
"Setelah keluar pengumuman Khan besar mengumpul tentara, banjak rakjat penggembala jang mengangkut tenda dan untanja pergi ke utara ", berkata lagi si orang tua.
"Maka itu Khan telah menitahkan banjak baturu pergi memegat rakjat jang minggat itu. Diwaktu menjingkir ini, kami kehilangan sebuah unta kami, djusteru itulah unta jang membawa lima kantung air perbekalan kami. Nona, kau baik sekali, kau memberikan kami tiga kantung air. Semua itu tjukup untuk beberapa hari ".
"Tidak apa ", kata Hian Song, jang menghiburi mereka itu.
"Nona, seorang diri kau membuat perdjalanan di gurun ini ", kata si njonja.
"Disini hawa udara sering ber-ubah2 mendjadi hebat, untuk kau, itulah berbahaja sekali. Maka itu lebih haik kau turut bersama kami ".
"Terima kasih", Hian Song menampik. Sampai disitu, si nona pamitan, untuk meneruskan perdjalanannja seorang diri. Untuk menjingkir dari keruwetan, diwaktu lewat ditempat suku Uighur, ia menggunai busur dan anak panahnja menukar seperangkat pakaian itu, untuk ia menjalin pakaian, hingga selandjutnja ia nampak sebagai seorang pemburu Uighur jang gagah. Ia mengharap nanti luput dari perhatiannja sekalian baturu dari khan Turki itu. ---oo0oo--- KUDA putih itu dapat lari keras. Selang dua hari, Hian Song sudah dapat melihat bagian tertinggi dari gunung Thian-san mendjulang ke langit, masuk kedalam mega. Djusteru hatinja lega, diluar dugaannja, dihari ketiga, tjuatja berubah dengan tiba2. Disana mendadak muntjul angin besar, jang mengganggu ketenangan sang gurun. Sekarang pasir kuning beterbangan bagaikan kabut, menutupi angkasa. Nona Boe mengaburkan kudanja untuk menjingkir dari badai, dibelakangnja sebuah bukit pasir, ia berhenti, untuk berlindung disitu. Lama rasanja baru badai sirap, maka ia keluar dari tempat berlindungnja. Di depannja ia melihat tumpukan pasir jang baru, sedang dua tumpukan lain, jang tadinja ada didekatnja, telah lenjap, mendjadi rata dengan pasir jang baru datang ini. Didalam hatinja ia kaget. Benar2 hebat perubahan digurun pasir ini. Selewatnja beberapa hari, Hian Song tidak menemukan pula badai, hanja sekarang, untuk menjingkir dari gangguan angin itu, sering ia djalan memutar. Karena ini, dua kantung airnja hampir habis terminum, dan sudah kudanja lelah, ia sendiri pun mulai merasa letih. Demikian dihari keenam, maghrib, ia merasa perlu beristirahat. Untuk berdjalan terus, ia tidak sanggup. Tepat disaat si nona mau mentjari tempat untuk mondok, ia merasakan tanah dibawah kakinja bergetar, sedang dari djauh terdengar suara njaring.
"Adakah ini gempa bumi atau gempa saldju ?", ia berpikir. Kudanja pun terlihat kaget, binatang itu tidak mau mengangkat kaki, sedang dari mulutnja mulai keluar busa. Hian Song lompat turun dari kudanja, ia memandang kedepan. Mendadak ia menampak sinar api dikaki gunung. Bukan main girangnja ia. Tidak ajal lagi, ia menuntun kudanja bertindak kearah api itu. Tiba dikaki gunung, si nona mendapatkan mulut djalan gunung telah tertutup saldju. Dikaki gunung ituada serombongan kafilah tengah berkemah. Diantara mereka itu ada sebuah unggun, jalah unggun jang sinar apinja ia lihat tadi. Belum ia datang dekat, atau seorang tua telah bertindak kearahnja, menjambut padanja. Njatalah dia si orang tua jang ia ketemukan beberapa hari jang lalu. Heran orang tua itu mendapatkan si nona sudah salin pakaian.
"Benar2 kau !", katanja girang.
"Aku tadinja menjangka lain orang !".
"Dengan dandanan sebagai pemburu, lebih leluasa untukku berdjalan di gurun ini ", Hian Song memberitahukan.
"Dalam beberapa hari ini tjuatja buruk, aku senantiasa menguatirkan kau ", kata pula si orang tua.
"Sjukur kau dapat tiba disini ", Hian Song djengah. Kalau tahu bakal djadi begini, pasti lebih bagus untuk turut rombongannja orang tua ini.
"Didalam perdjalananku ini, aku bertemu sama beberapa rombongan lain, jang bersatu tudjuan seperti kami ", kata si orang tua.
"maka itu kita lantas menggabungkan diri. Sajang kita menemui gangguan gempa saldju, dari itu kita harus menanti lagi beberapa hari sampai tjuatja sudah terang baru kita dapat lewat dari sini. Hanja gempa saldju pun ada baiknja. Dengan begitu kita dapat melumerkan saldju untuk didjadikan air ".
"Airku djuga kebetulan baru habis ", kata Hian Song.
"Sungguh, Tuhan tidak memutuskan djalan umatnja ! Aku merasa beruntung dapat bertemu sama rombonganmu ini ".
"Kami kaum perdjalanan, sudah selajaknia kami saling menolong ", kata si orang tua.
"Marilah ! Kita mempunjai air dan djuga rumput untuk kuda dan unta ". Diluar tenda ada beberapa puluh ekor unta, dan orang2 jang duduk berkumpul berdjumlah kira2 seratus orang. Melihat mereka itu, Hian Song menghela napas dan berkata dalam hatinja.
"Khan mau berperang, dia membuat orang minggat diantara badai dan saldju ini ...". Si orang tua mengadjak si nona keantara rombongannja, ia berkata kepada orang banjak itu .
"Engko ini orang Han tetapi dia baik hatinja, keluargaku telah menerima budi besar daripadanja ". Dan ia menuturkan bagaimana ia dibagi air hingga tiga kantung. Semua orang itu girang, mereka memheri selamat datang. Si orang tua melihat nona itu menjamar mendjadi pria, ia menduga mesti ada sebabnja, maka itu ia tidak mau membuka rahasia orang, dia segadja menjebut "engko".
"Bukankah kamu bangsa Han bersiap untuk berperang dengan bangsa kami ?", menanja seorang Uighur.
"Tidak !", mendjawab Hian Song.
"Aku baru datang dari Tiongkok, aku tidak mendengar urusan mau berperang. Bahkan aku melihat suasana damai ".
"Katanja sekarang ini seorang wanita jang mendjadi kaisar di Tiongkok, benarkah itu ?".
"Benar. Dia mendjadi kaisar semendjak banjak tahun ". Seorang njonja Uighur mengawasi suaminja dan tertawa.
"Kau selalu memandang tak mata kepada wanita, kau kata wanita kalah dari pria ", katanja.
"sekarang kau lihat di negara Keradjaan Langit itu, disana ada wanita jang mendjadi kaisar !". Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan .
"Perang itu kegemaran pria, dengan wanita jang mendjadi kaisar, mungkin keadaan akan mendjadi sedikit terlebih baik, tidak nanti sedikit2 sadja lantas orang mengangkat sendjata !".
"Kau keliru ", kata si suami.
"Pria djuga tidak gemar perang, djikalau tidak, mustahil sekarang kita pada menjingkir kemari ?". Ia pun hening sedjenak, untuk melandjuti .
"Sebenarnja, kita djuga tidak takut perang, maka djikalau bangsa Han menjerbu, aku akan lantas berangkat pulang ".
"Kita bangsa Han djuga berpendapat sama dengan kamu ", Hian Song bilang.
"Hidup kami jalah aman dan sentausa, tidak ada niat kami untuk menjerang orang lain ".
"Biar bagaimana, kami sedikit djeri terhadap kamu bangsa Han " , berkata seorang tua.
"Aku ingat beberapa puluh tahun dulu, ketika aku masih ketjil, pernah satu kali angkatan perang kamu telah datang menjerang kami ".
"Itulah kedjadian jang sudah lewat. Kaisar wanita jang sekarang ini, titahnja setiap tahun jalah mengandjurkan rakjat bekerdja radjin dalam pertukangan dan pertanian, maksudnja supaja mereka itu ber-sungguh2 dalam usaha masing2. Sama sekali belum pernah aku melihat persediaan untuk peperangan ".
"Kau benar ", kata seorang lain, jang romannja seperti saudagar.
"Pada tahun jang lalu aku telah pergi ke Tupo, ibu suri negara itu jalah seorang puteri dari keradjaan Tong, hingga sekarang ini, kedua negeri masih mendjadi besan. Katanja ketika puteri itu baru menikah, dia datang dengan membawa banjak kitab, bibit, kaum pertukangan dan ahli musik dan lain2-nja, hingga orang Tupo dapat bersawah atau bertjotjok-tanam. Pernah aku melihat disekitar Lhasa, padinja hidjau2. Tjoba kita pun dapat meluku sawah, pastilah kita tak usah bersengsara seperti sekarang ini. Aku pun pernah makan sajur peetjay, jang dulunja ditanam dari bibit jang dibawa puteri itu. Kita disini tidak mempunjai sajur itu. Rasanja lezat. Bangsa Tupo sangat bersjukur kepada puteri itu, mereka hidup akur dengan bangsa Han ". Mendengar itu, dengan disebutnja bangsa Tupo, jalah Tibet, Hian Song mengerti puteri jang dimaksudkan jalah Boen Seng Kongtjoe, atau Puteri WenCheng, jang telah dinikahkan dengan radja Tibet.
"Di kolong langit ini ", ia berkata sembari tersenjum.
"Orang jang gemar berperang sangat sedikit, sedikit sekali. Djuga kami bangsa Han, kami suka hidup akur dengan bangsa2 lain ". Selagi mereka bitjara asjik itu, kesitu datang seorang wanita Uighur, jang alisnja kasar dan matanja besar, jang kulit mukanja kuning ke-hitam2-an. Dialah seorang wanita Uighur jang biasa hidup berburu binatang liar. Dia mengadjak seorang anak ketjil jang tampan, jang tak mirip dengan orang Uighur. Dia menuntun seekor unta kurus. Begitu wanita itu tiba, lantas dia bertjampuran sama orang banjak untuk menghangati tubuh dekat api unggun. Hanja untuk Hian Song, perhatiannja lantas tertarik. Ia mendapat kenjataan wanita itu memperhatikan ia, sebagaimana dia itu sering melirik. Walaupun demikian, ia tidak menghiraukan, ia menjangka sadja orang djarang melihat pria bangsa Han. Di lain pihak, ia ketarik hatinja terhadap si anak ketjil jang manis, maka ingin ia mengadjak bitjara. Ia lantas menjodorkan buah aberikos, jang ia bawa dari Tiang-an dan belum dimakan. Anak itu mengulur tangannja, untuk menjambuti, atau mendadak tangannja itu dihadjar si wanita, atau ibunja, sambil wanita itu mendelik terhadapnja dan melarang dengan tegurannja .
"Aku larang kau menghendaki barangnja bangsa Han !". Anak itu kaget dan heran, ia menggeraki bibirnja, mungkin ingin mengatakan sesuatu, atau si wanita membentak pula .
"Aku larang, aku larang ! Aku larang kau bitjara !". Hian Song mengawasi maka sekarang ia melihat, sinar mata wanita itu seperti mengandung kebentjian jang sangat. Ia heran sekali. Seumurnja, belum pernah ia menampak sinar mata demikian matjam. Di antara musuh2-nja, tidak ada jang sinar matanja sedemikian rupa. Jang lebih heran, wanita ini bukan musuhnja, bahkan dialah wanita Uighur jang tidak dikenal.
"Njonja, djangan takut ", berkata si orang tua kepada njonja itu.
"anak muda ini seorang Han jang baik hatinja ".
"Ja, tuan tetamu orang Han ", berkata si saudagar.
"aku ingin omong terus-terang, harap kau tidak buat ketjil hati. Kau sendiri orang baik tetapi ada beberapa orang Han lainnja jang pernah memperdajakan kami. Mereka mengasi anak2 barang makanan, ada djuga jang mengasi tjita kembang kepada nona2 kami, kesudahannja dengan itu mereka menukar setjara mengelabui dengan unta kami. Maka itu ada beberapa ajah dan ibu bangsa kami jang melarang anak2-nja menerima persenan dari orang Han ". Lalu ia berpaling kepada si njonja Uighur, untuk menambahkan .
"Memang orang Han itu ada jang baik ada djuga jang buruk, tetapi orang Han ini benar2 baik hatinja. Beberapa hari jang lalu ia telah memberikan tiga kantung air jang besar kepada bapak ini hingga bapak dan sekeluarganja ketolongan. Tetamu ini tidak nanti mempedajakan anakmu, dia mengasikan barang, maka kau suruhlah anakmu menerima ". Njonja Uighur tidak menjahut, tanpa kata apa2, ia menarik tangan anaknja, untuk diadjak pergi mentjampurkan diri dilain rombongan. Hian Song berdiam, tetapi ia terus berpikir. Tidak nanti wanita itu bersikap demikian kalau tjuma disebabkan dia membentji orang Han. Mesti ada sebabnja jang lain. Sinar matanja itu luar biasa. Seorang muda, jang mukanja ada bekas batjokan golok, bangkit dan berkata .
"Tuan ini benar. Memang ada orang Han jang baik, ada djuga jang buruk. Akupun pernah bertemu dengan seorang Han jang baik, bahkan dialah tuan penolong dari djiwaku. Dia tidak sudi meninggalkan namanja akan tetapi aku tahu dia siapa. Diantara kita ini mungkin ada jang pernah bertemu dengannja. atau kalau belum pernah melihat, pasti sudah mendengar namanja, jalah Thian-san Kiam-kek !". Mendengar disebutnja nama itu, beberapa orang lantas berseru.
"Thian-san Kiam-kek ...! Thian San Kiam-kek ...! Benar, aku pernah mendengar nama itu !".
"Ja, aku pun pernah ditolong dia !".
"Lekas ..., Lekas kau tuturkan kenapa kau ditolongi!". Dari suara2 itu, teranglah Thian-san Kiam-kek, 'si djago pedang dari Thian-san', namanja terkenal sekali. Untuk Hian Song, disebutnja djulukan itu menimbulkan sesuatu jang ia pikirkan, jang ia duga2.
"Aku pun sama seperti tuan2
", kata pemuda jang bertapak batjokan golok itu.
"Aku djuga menjingkir dari gerakan mengumpul tentera. Aku berangkat bersama ibuku jang sudah tua dan adikku perempuan jang lemah. Ditengah djalan kami bertemu sama empat orang baturu dari Khan. Mereka itu. bukan tjuma mau menawan aku, mereka djuga hendak merampas adikku. Benar2 aku tidak takut mendjadi serdadu tetapi aku ingin melindungi adikku itu. Nah, lihatlah tapak golok di mukaku ini!. Itulah tanda batjokannja seorang baturu jang kedjam sekali. Dan ini adikku, lihat, lantaran kaget dan saking takutnja, dia djatuh sakit dan sampai sekarang dia masih belum sembuh !". Di sampingnja si pemuda benar ada seorang nona, jang kurus dan mukanja bersemu kuning, sinar matanja menandakan dia masih ketakutan, matanja itu mengembeng air.
"Sungguhkedjam ! Sungguh kedjam !", kata si orang tua sengit.
"Dia membikin seorang nona kaget sampai begini rupa !".
"Maka sjukurlah, Thian-san Kiam-kek datang dengan tiba2
", melandjuti si anak muda.
"Dia lantas menolongi kami. Tjuma sebentaran, dia telah melukai semua empat baturu itu. Dia menggunai sebatang pedang jang pandjang. Belum pernah aku melihat atau mendengar halnja pedang demikian tadjam. Begitu bentrok, sendjatanja empat baturu itu kena terbabat kutung !".
"Bagaimana matjamnja orang jang kau ketemukan itu ?", si orang tua bertanja.
"Orang dari usia pertengahan jang tampan. Dia kosen, dia mempunjai pedang pula, kalau dia bukannja Thian-san Kiam-kek, siapa lagi ?", kata si anak muda.
"Kalau dia bukan Lie It, siapa lagi ?", kata Hian Song didalam hati. Lantas hatinja gontjang. Ia lantas ingat akan peristiwa pada delapan tahun jang lampau Kata2 si orang tua memutuskan djalan pikirannja Nona Boe. Katanja .
"Aku djuga pernah bertemu Thian-san Kiam-kek, hanja romannja tidak seperti jang kau lukiskan. Dia mirip dengan aku, diluar nampaknja dia tua dan rejot. Keluargaku turun-temurun hidup dari usaha mentjari obat. Ketika itu radja dari Bendera Aerchin menitahkan aku menjerahkan teratai saldju dari Thian-san, aku diberi tempo tjuma tiga bulan. Radja itu memerlukan teratai saldju untuk selirnja jang sakit. Teratai saldju tumbuhnja diatas puntjak saldju, itulah teratai jang langka. Seumurku baru pernah aku memetik satu kali. Ketika itu pun aku sedang mudanja dan kuat, tetapi sekarang aku sudah tua dan lemah, batas temponja pun pendek sekali. Mana aku sanggup mentjari teratai itu ? Ketika batas tempo tiga bulan lewat, aku lantas didesak oleh orang2-nja radja itu, aku diberi tempo lagi tiga hari, atau serumah-tanggaku bakal dipendjarakan. Tempo tiga hari itu lewat dengan tjepat. Aku putus asa. Aku pikir, dari pada hidup menderita, lebih baik mati sadja. Aku mendjadi nekat, maka aku menggantung diri dikaki gunung Thian-san. Sungguh kebetulan, Thian-san Kiam-kek datang selagi aku menggantung diri. Dia memutuskan tambang gantungan, dia menolongi aku, lalu dia meninggalkan setangkai teratai saldju itu. Dia mempunjai pedang jang tadjam, dia djuga memiliki teratai saldju, tjoba pikir, kalau dia bukan Thian-san Kiam-kek, habis siapa ?". Penuturan orang ini disusul oleh beberapa jang lainnja, jang katanja djuga pernah ditolongi djago pedang dari Thian-san itu, fikirnja tjerita mereka beda hal romannja si kiam-kek, ada jang menjebut tua, ada jang menjebut muda, dan jang tjotjok tjuma dua hal, jalah dia orang Han dan mempunjai pedang jang tadjam. Boe Hian Song mendjadi ragu2. Thian-san Kiam-kek itu Lie It atau bukan ?. Ia bersangsi karena roman orang, tua dan muda. Ia tjuma lantas mengingat terus lelakonnja sendiri pada delapan tahun dulu itu. Mereka berdua sering bertemu, sering djuga berpisah, selama bertemu, mereka pernah main khim dan bernjanji didalam rimba, sampai di gunung Lie San terdjadilah perpisahan mereka jang terachir. Sebab Lie It terdjun ke djurang. Ia telah kirim Djie Ie mentjari anak muda itu. Djie Ie pernah menemuinja, katanja si pemuda naik kereta menudju ke perbatasan. Habis itu tidak ada kabar-beritanja lagi. ---oo0oo--- IA bersjukur Lie It tidak terbinasa di dalam djurang, ia berduka karena mereka berpisah. Tapi, berpisah hidup itu suatu penderitaan hebat. Maka selama delapan tahun itu, entah beberapa kali ia pernah mengutjurkan air mata. Ia tahu Lie It tidak bakal kembali, ia djuga tidak meng-harap2 lagi, tetapi, penghidupan itu gaib, ia djusteru ditugaskan Boe Tjek Thian mentjari pemuda bangsawan itu. Boe Tjek Thian, sang kaisar wanita, atau ratu dari keradjaan Tjioe, telah mendjadi wanita tua usia tudjuh puluh tahun, dan dia ingin sekali lekas2 mendapatkan orang jang bakal mewariskan tachtanja. Dia mempunjai seorang keponakan, jalah Boe Sin Soe, dan keponakan ini mengharap sangat dapat mewariskan mahkotanja, akan tetapi dia merasa sang keponakan kurang tjakap. Beberapa menteri, seperti Tek Djin Kiat, pun memberi nasihat untuk dia djangan mewariskan keradjaan kepada orang lain she, bahwa walaupun tidak pintar, lebih baik pemerintahan diserahkan kepada anak sendiri. Inilah untuk mentjegah keruwetan dibelakang hari. Maka diam2 dia mengambil ketetapan akan menjerahkan tachta kepada pangeran Louw-leng- ong Lie Tan. Tentang ini dia tidak lantas memberitahukan sekalian menterinja. Dia ingin mentjari dulu orang pintar dikalangan keluarga Lie untuk nanti membantu puteranja itu. Dengan sendirinja dia teringat kepada Lie It. Lantas dia minta Bee Hian Song pergi mentjari pangeran itu. Demikian Nona Boe berada di perbatasan Tiongkok. Delapan tahun sudah lewat. Apakah Lie It telah melupakan permusuhannja terhadap Boe Tjek Thian ? Kalau Lie It ketahui keputusan Boe TjekThian ini, bahwa keradjaan bakal dikembalikan kepada keluarga Lie, maukah Lie It berangkat pulang ?. Inilah hal jang menjangsikan Hian Song. Si nona djuga memikir .
"Selama delapan tahun ini, pernahkah dia memikirkan aku ? Bagaimana dia melewatkan tempo delapan tahun itu? Dia hidup menjendiri dengan senantiasa bersenandung ataukah dia telah mempunjai teman hidup jang tjotjok dengan hatinja ?". Inilah hal jang Nona Boe sangat ingin mengetahui. Ia membajangi, kalau nanti ia bertemu Lie It, ia harus bergirang atau bersedih . Maka itu sekarang, berada dikaki gunung Thian-san, hampir tak dapat ia menguasai dirinja sendiri. Orang2 pelarian itu masih ramai bitjara satu dengan lain, bitjara tentang Thian-san Kiam-kek, tentang buronnja mereka. Di lain pihak ada beberapa nona Kazakh jang menggembirakan diri dengan lantas bernjanji, menjanjikan lagu jang umum di padang rumput .
"Adik pergi ke tegalan menggembala kambing, Kakak di rumah menggosok golok dan tombak. Khan telah mengeluarkan titah mengumpul tentara, Maka perpisahan kita sudah ada didepan mata !. Rombongan kambing dapat mengurus sendiri hidupnja, Tetapi ajah dan ibu, ada siapakah jang merawatnja ?. Diutara Thian-san, angin luar biasa, Tetapi untuk hidup kita, kita lari kesana !". Mendengar njanjian itu, sedjenak semua suara berisik terhenti. Njanjian itu tepat menjerang hati mereka. Dengan sendirinja ada jang mengalirkan air mata, ada jang menghela napas. Tapi djuga ada jang berteriak .
"Njanjikanlah lain lagu, tentang sang tjinta, supaja semua senang dan gembira !". Nona2 itu bernjanji pula .
"Badai telah menggulung pasir kuning, Burung radjawali melajang hendak turun. Kakak, kaulah si radjawali diangkasa itu, Kau tak takut angin dan pasir, Tapi djanganlah kau turun !. Badai telah menggulung pasir kuning, Burung radjawali melajang hendak turun, Tapi aku tidak takut angin dan pasir. Adik, untuk dapat melihat wadjahmu, hendak aku menaiki angin mentjari kau, Untuk mengadjak kau pulang ...". Itulah pengutaraan dari tjinta sedjati muda-mudi dipadang rumput, itulah tidak terlalu menggembirakan tetapi sangat menarik hati, mendengar itu, Boe Hian Song berpikir .
"Aku bukannja si burung radjawali tetapi aku hendak menjerbu angin dan pasir untuk mentjari dia dan mengadjak dia pulang ". Baru berhenti suara njanjian, jang disusuli sama kesunjian, lalu kuping orang mendengar tindakan kaki kuda mendatangi, hingga semua orang menoleh. Disana nampak dua pahlawan Turki mendatangi. Segera mereka tiba diluar tenda. Semua orang mendjadi kaget. Bukankah mereka semua orang buronan?. Mereka tidak menjangka, sampai dikaki bukit Thian-san masih ada pahlawan itu. Maka semua lantas berdiam, hati mereka bekerdja. Orang berkuatir tapi umumnja mereka berpikir .
"Kita berdjumlah seratus lebih, djikalau mereka mau menawan kita, dengan seorang hanja menimpuk dengan sepotong batu, mesti mereka mampus ...". Kedua pahlawan itu lompat turun dari kuda mereka masing2, mereka bertindak kearah orang banjak itu. Kebetulan didepannja ada seekor unta jang menghalangi djalan, keduanja berseru .
"Minggir ...!". Lantas dengan serentak mereka turun tangan, seorang pahlawan menangkap kaki depan si unta, untuk dipeluk, jang lainnja memeluk kaki belakang, terus mereka bangun berdiri. Heran kekuatan mereka itu, tubuh unta itu jang besar dan berat dapat diangkat mereka, untuk dilemparkan!. Semua orang terkedjut. Karena ini beberapa pemuda, jang aseran, jang tadinja mau mengutarakan rasa tak puasnja, terpaksa membungkam terus. Kedua pahlawan itu bertindak mendekati unggun, kedua tangan mereka di-gosok2.
"Dingin... !", kata mereka seorang diri. Tidak ada orang jang menjahut atau menjapa, bahkan jang berada dekat mereka berdua lantas mendjauhkan diri, mereka djeri seperti mendjerikan sjaitan cholera. Kedua pahlawan itu merasa tidak enak sendirinja, tetapi mereka toh menebalkan muka, untuk mendjatuhkan diri dan berduduk, tangan mereka lantas diulur, untuk digarang. Suara ramai pengungsi itu terus sirap, bahkan anak2 ketjil turut menutup mulut. Anak2, jang tadi bermain pasir, turut berhenti memain djuga. Seperti mendapat firasat, mereka menjontoh sikapnja orang2 tua mereka. Melainkan seorang botjah sadja jang nampak tidak takut sama sekali, dengan sinar mata keheranan, dia mengawasi kedua pahlawan itu. Hanja sedjenak, mendadak dia berseru .
"Aku penggal kepalamu ?". Dengan tangannja diamenghadjar roboh menara pasir jang tadi dibangun. Bagian atas dari menara itu jalah sebuah batu besar, batu itu mental sampal satu tombak lebih. Melihat itu, Hian Song heran. Botjah itu baru berumur enam atau tudjuh tahun tetapi ternjata dia kuat sekali. Teranglah anak itu pernah mejakinkan 'Tong-tjoe-kang', jalah ilmu silat "Anak laki2". Kedua pahlawan itu tidak gusar karena kelakuan si botjah, sebaliknja, tertawa berkakakan.
"Bagus, kau kuat sekali !", katanja. Botjah itu jalah botjah si wanita Uighur. Selagi semua orang diam2 mengambil sikap bermusuh pada dua pahlawan itu, adalah kuda putih Hian Song, jang telah mendapat kesegarannja telah makan rumput dan beristirahat, bergaul rukun dan erat dengan kuda mereka itu. Ketiga binatang saling menempelkan diri dan mendjilat, kaki mereka me-nendang2, suara mereka meringkik. Sambil berduduk dan menghangatkan diri, kedua pahlawan itu mengawasi Hian Song.
"Mungkinkah mereka datang untuk menangkap aku ?", pikir si nona. Ia mendapatkan sinar mata orang luar biasa. Ia tidak takut, maka itu, ia balik mengawasi mereka itu.
"Rupanja kuda putih itu datang dari Kwan-lwee ", kata satu pahlawan.
"Sungguh seekor kuda bagus. Siapakah penunggangnja ?".
"Aku ", mendjawab Hian Song.
"Kenapa ?".
"Djadinja tuan mengandal kudamu ini datang kepadang pasir ini, kekaki bukit Thian-san ini ?", tanja pahlawan jang lain.
"Ha ha ha, kau hebat sekali!. Aku kagum ". Sembari berkata, ia mengeluarkan sepotong daging babinja, untuk dipanggang diatas api, kemudian ia menggunai pisaunja memotong daging itu, jang sepotong ia angsurkan kepada nona kita seraja berkata .
"Tuan tentu letih habis melakukan perdjalanan demikian djauh, kita tidak mempunjai apa2, mari ini daging tjeleng !". Hian Song menerima daging itu dengan tidak sungkan2 dan memakannja. Ia telah bersiap untuk bertempur kalau perlu, akan tetapi dua orang itu agaknja tidak bersikap bermusuhan. Pahlawan itu memotong pula dagingnja, ia membagi beberapa orang tua. Tapi mereka ini tidak menerima, mengulur tangan pun tidak, meskipun daging itu harum baunja dan mestinja lezat rasanja. Rada djengah, pahlawan itu menarik pulang dagingnja. lantas mereka berdua dahar sendiri.
"Turunnja saldju besar2-an membikin gunung tertutup ", kemudian kata satu pahlawan.
"Mari kita melihat mulut djaIan gunung ", kata jang lain.
"Kita baik melihat, besok kita dapat melandjuti perdjalanan kita atau tidak ...". Senang orang banjak itu, sebab orang mau mengangkat kaki. Tidak lama kedua pahlawan itu beristirahat sambil dahar dan minum, lantas mereka berbangkit, untuk berlalu. Ketika mereka lewat didekat si botjah, jang satu membagi sepotong daging. Botjah itu berpaling kepada ibunja.
"Aku tidak menginginkan barangmu !", katanja kemudian keras2. Mendadak pahlawan itu tertawa ter-bahak2, mendadak djuga dia menjamber si botjah, untuk dipondong, buat dibawa lari ke kudanja. Dengan satu kali lompat, dia sudah berada dipunggung kuda. Wanita Uighur itu terkedjut, untuk sedjenak dia tertjengang, lantas dia lompat bangun, untuk memburu. Kedjadian itu kedjadian diluar dugaan dan kedjadiannja tjepat sekali, pula tjepat pahlawan itu melarikan kudanja, disusul oleh kawannja. Si njonja memburu terus, terus dia melompat keatas kuda putih, untuk melarikan itu, guna menjusul kedua pahlawan jang membawa lari si botjah. Ketika itu terdengarlah djeritannja si botjah, berulangkali dia meneriaki ibunja .
"Ibu ...! Ibu ...!". Sekarang Hian Song mendengar njata lagu-suara orang, jalah lagu-suara penduduk Tiang-an. Ia terkedjut dan heran, seperti barusan dia terkedjut atas sepak terdjang si pahlawan, jang diluar dugaannja, hingga ia tertjengang, hingga walaupun ia mau, ia tidak dapat mentjegah. Pula heran si wanita Uighur. Wanita itu dapat bergerak dengan tjepat dan lintjah, suatu tanda dia mengerti ilmu ringan tubuh.
"Apakah dia anak bangsa Han ?", tanja Hian Song dalam hatinja.
"Kenapa tadi dia ber- pura2 tidak mengerti bahasa Tionghoa ?. Kenapa ibunja melarang dia menerima barang pengashian orang bangsa Han ?. Kenapa setelah mendapat bahaja baru dia omong Tionghoa ?. Pastilah itu bahasa jang dipakai setiap hari antara ibu dan anak itu ..." ---oo0oo--- TAPI tidak dapat si nona berpikir lama2, selagi kawanan pengungsi itu kaget dan heran dan berbitjara ramai satu dengan lain, ia lompat bangun untuk lari menjusul. Karena kudanja dipakai si wanita Uighur, terpaksa ia lari dengan memakai ilmu ringan tubuhnja. Ia melihat wanita itu sudah pergi djauh. Sebaliknja, lantas ia mendengar lapat2 suara beberapa orang pengungsi dibelakangnja.
"Tidak salah !. Tidak salah lagi !. Dialah Thian-san Kiam- kek ...!". Lama djuga Hian Song lari, kesudahannja ia ketinggalan. Tidak dapatia menjusul kuda putihnja itu. Sjukur semua kuda itu meninggalkan tapak kaki, maka ia bisa berlari terus, menjusul dengan mengikuti tapak kaki kuda. Baru setelah tiba dikaki bukit sekali, lenjap si dua pahlawan, hilang si wanita dan musnah djuga tapak kaki kuda mereka. Rupanja mereka itu kabur terus naik ke gunung. Dengan penasaran Hian Song lari mendaki. Ia memandjat sebuah puntjak, lalu sebuah puntjak jang lain. Untuk mendaki, ditempat jang bersaldju, ia menggunai ilmu larinja "Teng-peng-touw-soei"
Jalah 'Menjeberang dengan naik kapu-kapu'.
Dari puntjak jang kedua ini, ia mendengar bentrokan sendjata dibagian bawah.
Dengan tjepat ia menudju kesana.
Disana berlangsung pertempuran diantara si wanita Uighur melawan seorang serdadu atau perwira Turki itu.
Si njonja menggunai pedang, nampak dia lintjah sekali.
Maka Hian Song mengenali, dia bersilat dengan ilmu silatnja salah satu tjabang persilatan dari Tiongkok.
Si pahlawan menggunakan sebuah tjambuk.
Hian Song mendengar si pahlawan tertawa dan berkata .
"Kami tidak bakal membikin tjelaka anakmu !. Pergilah kau, lewat lagi dua hari, kami akan mengantarkannja pulang !". Heran Hian Song.
"Mustahil orang mentjulik anak orang untuk hanja diadjak main2 ?", katanja di dalam hati. Wanita Uighur itu berpikir lain.
"Kembalikan anakku !. Kembalikan anakku !", dia ber-teriak2, mirip orang kalap, sedang serangannja hebat-hebat. Pula hebat tempat mereka bertempur itu, jalah tempat tinggi dipinggir bukit, siapa tergelintjir, dia bakal tjelaka didalam djurang. Lebih berbahaja untuk si wanita, jang berkelahi seperti kalap itu. Satu kali wanita itu menjerang dengan tipu silatnja "Menuding langit Selatan", lalu udjung pedangnja menggaris sebuah luka dilengan musuhnja.
"Kau mau mentjari mampusb?", bentak si pahlawan.
"Djikalau kau tidak mau berhenti, aku nanti tidak main kasihan lagi !". Kata2 itu belum berhenti diutjapkan atau si pahlawan mesti melompat mundur. Lagi satu tikaman dahsjat meluntjur kepadanja. Sjukur ia sempat mendak dengan gerakannja "Burung hong mengangguk", maka tjuma kopijahnja sadja jang kena dibikin djatuh. Dia terpaksa mundur hingga ketepian. Disini dia habis sabarnja, lantas dia menjerang hebat dengan tjambuknja, dengan gerakannja "Ular naga siluman berdjumpalitan". Sasarannja jalah pundak kanan si wanita. Njonja Uighur itu tidak mau mundur, sebaliknja, dia memapaki tjambuk, untuk menempelnja dengan tipu silat "Peng-see-lok-gan"
Atau "Belibis turun dipasir rata". Sembari menempel, ia memapas ke djeridji tangan lawannja.
"Menggelindinglah kau !", membentak si pahlawan, jang menarik tangannja, untuk diteruskan, dipakai menjamber kebawah, untuk melilit kaki orang. Njonja itu membabat kebawah, karena mana, pedangnja kena tersamber, hingga ia benar2 kena ditarik, untuk dilempar. Tubuh si njonja kena tertarik. Untuk menahan diri, dia mendupak batu besar didepannja, hingga batu itu mental. Karena ia turut madju, keduanja sekarang berada ditepian. Didalam saat berbahaja itu, si pahlawan barseru pula, tangan kirinja turun dari atas kebawah, guna menghadjar batok kepala si njonja. Maka itu, si njonja pun turut terantjam pula. Ketika itu Hian Song tidak menonton sadja. Ia telah ber-lari2 ketempat pertempuran itu. la menjaksikan bahaja jang mengantjam si wanita Uighur. Dengan tjepat ia mendjumput segenggam saldju, dengan itu ia menimpuk kearah si pahlawan. Itu waktu, mereka telah berada dekat beberapa tombak. Djitu serangan saldju itu, tepat mengenai dada si pahlawan, di djalan darah soan-kie-hiat. Dia kaget merasakan dadanja dingin, terus tubuhnja kaku, hingga tjambuknja terlepas dari tjekalannja. Tidak ampun lagi, tubuhnja terhujung, djatuh kebawah.
"Anakku !. Anakku !", si njonja ber-teriak2 pula.
"Mereka merampas anakku !". Disitu tidak ada pahlawan jang satunja bersama si botjah, mengertilah Hian Song bahwa pahlawan itu telah lari bersama botjah itu, sedang pahlawan ini rupanja sengadja memegat, merintangi ibu orang, agar kawannja dapat lolos.
"Njonja, sabar ...", berkata Hian Song, seraja memegangi njonja itu, guna mentjegah dia terpeleset.
"Mari kita bitjara per-lahan2
Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
". Ia bitjara dengan tenang sekali. Wanita itu tertjengang, lantas ia mengawasi pemuda didepannja. Agaknja ia heran.
"Djangan dekati aku !", mendadak ia berseru, tangannja menjamber. Hian Song berkelit, ia tertawa. Dengan lantas ia membuka kopijahnja, bahkan ia membuka djuga badju luarnja.
"Djangan takut njonja. Aku seorang wanita ", katanja. Njonja itu menggigil. Se-konjong2 dia berseru.
"Boe Hian Song !. Boe Hian Song !. Aku tahu kaulah Boe Hian Song ...! Bagus, kau telah melihat aku bertjelaka ini, tentulah kau puas !". Kata2-nja si njonja dalam bahasa Tionghoa. Hian Song heran. Itulah suara jang ia seperti pernah dengar, jang ia rada mengenalinja. Maka ia menatap muka orang. Lantas ia pun mengawasi dengan melongo. Ia njata mengenali orang, jang ia tidak menjangka sama sekali. Njonja itu seperti telah menjalin rupa, alisnja jang besar dan gompjoktelah luntur, mukanja pun tersiram air matanja, karena dalam kalapnja itu ia menangis. Jalah Tiangsoen Pek, puterinja Tiangsoen Koen Liang. Hian Song heran dan girang. Inilah ia tidak duga sama sekali. Maka ia lantas madju, untuk mentjekal erat2 tangan orang.
"Nona Tiangsoen, djadi anak itu anakmu ?", dia tanja.
"Kau djangan kuatir, nanti aku mendajakan menolongnja. Ah, kau kenapakah ?. Nona, aku hendak menanjakan kau halnja satu orang. Katanja Lie It menjingkir kemari, tahukah kau dimana adanja dia sekarang ?. Eh, eh, kau dengar aku atau tidak ?", Tiangsoen Pek berdiri bengong, kaki-tangannja dingin, mukanja mendjadi putjat sekali. Ia ditanja ber-ulang2, terus ia membungkam. Sedjenak kemudian, matanja lantas bersinar tadjam, mengandung sinar permusuhan. Ia pun menarik pulang tangannja, jang masih dipegangi Hian Song.
"Djangan kau mengasihani aku !", katanja tiba2, tadjam.
"Aku tidak sudi menerima budimu !. Djikalau kau mau tjari Lie It, tjarilah sendiri ...!". Bukan kepalang herannja Hian Song.
"Kau kenapa ?", ia tanja.
"Apakah artinja ini ?". Didalam hatinja, ia pun bertanja .
"Kenapa dia berlaku begini rupa padaku ?". Dengan mengawasi orang, nona Boe terus berpikir. Ia ingat memang keluarga Tiangsoen menjinta keradjaan Tong, bahwa mereka menentang Boe Tjek Thian, tapi kalau untuk itu sadja, tidak mungkin nona ini membawa sikapnja jang aneh ini.
"Nona Tiangsoen, kau mengertilah ", ia berkata perlahan.
"Terhadapmu, aku tidak mengandung niat busuk. Tahukah kau kenapa aku mentjari Lie It ?. Ah, aku pertjaja mungkin kau pun girang untuk mendengarnja ...". Hian Song hendak memberitahukan jang Boe Tjek Thian mau menjerahkan keradjaan pada Keluarga Lie atau mendadak Tiangsoen Pek berseru tadjam, hingga kata2-nja mendjadi terpotong.
"Tidak, aku tidak mau bertemu denganmu !", demikian Tiangsoen Pek berkata.
"Aku djuga tidak mau mendengar perkataan kau ! Sudahlah, aku minta, sukalah kau pergi ...!". Hian Song mundur sedikit. Ia heran bukan main. Ia menatap wadjah orang. Dalam herannja itu, tak tahu ia harus mengatakan apa. Tepat disaat tegang itu, djauh didepan, dari puntjak gunung, terdengar suara orang .
"Adik Pek ! Adik Pek ! Apakah kau dibawah ? Lekas kemari, lekas ...! Aku dapat sekuntum teratai saldju. Anak Bin ..., apakah kau dengar ajahmu memanggilmu ?". Hian Song terkedjut, hatinja berdebaran. Itulah suara jang ia kenal. Meskipun waktu sudah lewat delapan tahun, suaranja Lie It tidak dapat ia lupakan. Tiangsoen Pek mendjerit, lantas dia lari. Hian Song sebaliknja berdiri terpaku, djangan kata lari, bertindak sadja ia seperti tidak sanggup. Ia mengerti sekarang, Tiangsoen Pek dan botjah tadi adalah isteri dan anaknja Lie It. Djadi Lie It sudah menikah sama Nona Tiangsoen. Masih Hian Song berdiri diam, hatinja kosong, otaknja kosong djuga. Ketika kemudian ia mengangkat kepalanja, memandang kedepan, ia melihat sisa tubuh Tiangsoen Pek, jang bagaikan bajangan. Lama ..., lama sekali, barulah nona Boe seperti sadar dari mimpinja. Bajangan Tiangsoen Pek telah lenjap, tetapi suaranja Lie It masih mengalun ditelinganja. Ia ingin ia bermimpi tetapi itulah tak dapat. Diatas saldju ia masih melihat tapak kaki Tiangsoen Pek. ---oo0oo--- DJAUH Hian Song telah pergi, ditengah djalan ia telah menderita, sekarang ia mendengar suaranja Lie It, toh sekarang ia membiarkan orang pergi. Ia tjerdas, maka mengertilah ia akan kelemahan dirinja sendiri, akan kelemahannja Tiangsoen Pek. Hanja ada bedanja diantara kelemahan mereka berdua. Tiangsoen Pek lemah lantaran dia tidak dapat menjembunjikan kekuatirannja bahwa mungkin ia datang untuk merampas Lie It dari tangannja. Achirnja Hian Song sadar djuga. Bunga saldju me-njamber2 ia, sang angin menjampoknja ber-ulang2.
"Mustahilkah aku lantas tidak dapat menemukannja pula ?", kemudian ia kata didalam hatinja.
"Jang sudah lewat biarlah lewat, akan tetapi aku mesti mempunjai ketabahan untuk menemui dia. Aku mesti memberitahukan padanja tentang keputusan Ratu. Lalu terserah kepadanja, dia suka membantu saudaranja atau tidak. Dengan mendengar keradjaan dikembalikan, dia harus lega hatinja. Biarnja dia hidup beruntung bersama Tiangsoen Pek, dia tetap harus mengetahui kabar ini, agar tidak lebih lama pula dia hidup dalam perantauan jang tak ada batas waktunja ...". Lantas nona ini menguatkan hatinja, segera ia mengambil keputusannja. Maka itu, setindak demi setindak, ia madju mengikuti tapak kaki Tiangsoen Pek. Hian Song menderita lahir dan batin, djuga Tiangsoen Pek sama menderita selama delapan tahun ia hidup dalam manisnja madu, akan tetapi selama itu djuga, ia diliputi kekuatiran. Ia tahu Lie It menjintainja, akan tetapi ia ketahui djuga, padadasar hati Lie It, ada apa2 jang tidak menjenangkan. Bukan cuma satu atau dua kali ia melihat Lie It diam berpikir seorang diri, atau selagi menabuh khim, Lie It mengutarakan roman atau lagu jang nadanja tidak wadjar. Ia dapat menduga sebabnja itu. Pasti Lie It mengingat sesuatu jang lama, jang berbekas didalam hati nuraninja. Benar selama delapan tahun tidak pernah Lie It me-njebut2 nama Boe Hian Song atau nama Siangkoan Wan Djie, toh ia sendiri kadang2 ingat dua nona itu, jang tak dapat ia lupakan. Didalam hatinja pernah timbul pertanjaan jang membuatnja ragu2 dan berkuatir .
"Djikalau satu sadja diantara mereka berdua datang kemari, habis bagaimana ?". Diluar dugaannja, sekarang datang jang satu. ---oo0oo--- DUA tahun setibanja di Thian-san, Lie It dan Tiangsoen Pek mendapatkan seorang anak lelaki, jang diberi nama Hie Bin. Lie It datang ke Thian-san untuk menumpang pada guru-nja, Oet-tie Tjiong. Guru ini pergi ke Thian-san, untuk hidup menjendiri, semendjak Boe Tjek Thian memegang tampuk pimpinan pemerintah. Meski begitu, dia suka2 keluar melakukan perbuatan baik, hingga penduduk padang rumput mendapat tahu digunung Thian-san ada tinggal seorang luar biasa bangsa Han, jang mereka namakan Thian-san Kiam-kek, ahli pedang dari Thian-san. Tidak lama setibanja Lie It. Oet-tie Tjiong menutup mata. Selama itu, Lie It telah mewariskan kepandaian gurunja, ia mewariskan djuga djulukan gurunja. Untuk melakukan pekerdjaan menolong penduduk padang rumput itu, Lie It mengandal pada obat Ek-yong-tan dari Heehouw Kian, maka djuga ia suka muntjul diantara penduduk dengan kulit mukanja sering ber-rubah2. Tiangsoen Pek pun turut suaminja itu, ia mengubah warna kulit mukanja, ia djuga dandan sebagai wanita Uighur. Tjuma Lie It jang terus berdandan sebagai seorang Han, kesatu ia ingin memperingati gurunja, dan kedua agar penduduk padang rumput itu berkesan baik terhadap bangsa Han. Karena ia sering menjamar, maka djuga penduduk mengatakan Thian-san Kiam- kek ada jang tua dan jang muda. Dikaki gunung Thian-san itu, setiap tahun sebelum musim dingin, suka berkumpul kafilah saudagar asal lain tempat, mereka datang dengan naik unta, dengan membawa pelbagai barang kebutuhan kaum penggembala, mereka mendirikan tenda, hingga tempat singgahnja mereka merupakan seperti pasar jang bergerak. Diwaktu begitu, Tiangsoen Pek suka turun gunung, untuk membeli barang2 keperluan mereka, guna melewatkan hari, untuk persediaan tahun baru. Diluar dugaan, kali ini orang terganggu tindakan Khan Turki itu, jang mengumpulkan tentera, hingga banjak rakjat iang kabur ke Thian-san utara, hingga tidak ada pasar bergerak itu. Bahkan kesudahannja hebat untuk Tiangsoen Pek, jalah ditengah djalan anaknja ditjulik, dibawa lari, dan ia bertemu sama Boe Hian Song, jang ia kuatirkan. Hebat penderitaannja Tiangsoen Pek. Mulanja keluarganja hidup ter-lunta2, lantas kakak-nja lenjap, lalu ajahnja menutup mata, semua hilang dan meninggal dalam antjaman bahaja. Di-achirnja, ia mesti kabur terus bersama Lie It, hingga mereka mesti hidup menjepi diatas gunung dimana mereka membangun sebuah rumah gubuk. Mereka hidup tak sebagai selajaknja orang tinggal di kota. Benar ia ditemani Lie It, jang mentjintainja, lalu hidup bersama anaknja, siapa sangka, sekarang anaknja lenjap dan ia terantjam oleh Boe Hian Song Diwaktu dia mendaki puntjak, akan menghampirkan Lie It, dia merasa sangat letih, karena dia kehabisan tenaga dan bersusah hati. Begitu baru dia mengatakan .
"Anak Bin ditjulik orang ", dia sudah tidak sanggup bertahan, dia roboh pingsan dalam rangkulan suaminja, jang menubruk padanja. Maka dia mesti dipondong, dibawa pulang. Sampai dirumah, baru dia sadar. Lie It kaget dan heran. Maka selekasnja isterinja sadar, ia minta keterangan. Tiangsoen Pek dapat menutur dengan djelas halnja kedua pahlawan merampas anak mereka. Tapi halnja Boe Hian Song, dia menjembunjikannja. Lie It mendjadi bertambah heran.
"Apakah kau pernah membinasakan serdadu Turki ?", achirnja ia tanja isterinja. Selama jang belakangan ini serdadu Turki suka menangkapi pelarian, Lie It ketahui itu, maka ia mau menduga, karena membelai penduduk, isterinja itu terpaksa membunuh serdadu itu, hingga kawan2-nja hendak menuntut balas.
"Tidak ", sahut sang isteri.
"Apakah mereka mengenali kau sebagai bangsa Han ?".
"Aku rasa mereka tidak dapat mengenali ". Lie It heran bukan main.
"Anak Bin baru berumur tudjuh tahun, untuk apa mereka mentjuliknja ?", katanja.
"Walaupun mereka kedjam, tidak nanti mereka mentjelakai botjah jang belum tahu apa2. Apa mungkin karena tertarik pada si Bin, mereka membawanja pergi untuk main2 sadja ?. Adik Pek, kau djangan kuatir, kita akan dapat tjari anak kita itu ...!". Meski begitu, Lie Ittoh berpikir keras, memikirkan kenapa anaknja ditjulik, dan memikirkan tjara atau daja untuk menolonginja. Untuk sementara, ia belum memperoleh pemetjahannja. Ketika angin dan saldju seperti lagi mengamuk, Lie It mundar- mandir didalam rumahnja seraja menggendong tangan. Tiangsoen Pek berdiri dimuka djendela, memandang sang saldju beterbangan memenuhi djagat, hatinja ingin seperti saldju. Lama dia berdiam, tiba2 dia menoleh kepada Lie It dan bertanja .
"Engko It, sudah banjak tahun kita menikah, apakah kau benar2 tidak pernah menjesal ?". Lie It heran untuk pertanjaan itu, hingga ia menanja dalam hatinja sendiri .
"Kenapa disaat begini dia masih memikirkan soal lama itu ?". Ia lantas menatap isterinja, hingga sinar mata mereka beradu. Ia melihat isteri itu bersikap sungguh2. Maka ia menghela napas, ia menghampirkan, untuk meng-usap2 rambut orang.
"Banjak tahun telah lewat, apakah kau masih tidak pertjaja aku ?", ia balik menanja.
"Pernah aku ingat kau menanja begini pada delapan tahun jang lalu ".
"Kali ini aku masih hendak mengulanginja menanja ", menjahut Tiangsoen Pek.
"Djawabanku sama seperti djawaban delapan tahun jang lalu itu ", Lie It mendjawab.
"Dulu hari itu aku tidak menjesal, sekarang lebih2 tidak menjesal. Adik Pek, djangan kau memikir jang tidak2. Sekarang ini jang penting jalah memikirkan djalan untuk menolongi anak kita ".
"Benar, benar, mesti kita tjari si Bin ", kata Tiangsoen Pek, seperti ber-bitjara sama dirinja sendiri. Ia terus berdiam, agaknja ia sangat tertindih hatinja. Hampir berbareng dengan itu, diluar rumah terdengar tindakan kaki, disusul sama ketukan pada daun pintu. Mendadak muka Tiangsoen Pek mendjadi putjat.
"Dia datang ! Dia datang !", pikirnja. Lie It heran. Siapa jang mengetuk pintu sedang disini ia tidak mempunjai sahabat atau kenalan ? Pintu tidak dikuntji, tjuma dirapatkan, belum lagi Lie It menghampirkan, untuk membukai, atau daun pintu sudah tertolak terbuka dan seorang nampak bertindak masuk. Untuk herannja Tiangsoen Pek, dia bukan Boe Hian Song, hanja seorang pahlawan Turki. Dua2 pihak berdiri diam. Mendadak Tiangsoen Pek berseru njaring, lantas dia berdjingkrak.
"Dia ! Dia ! Dialah jang mentjulik si Bin ...!", serunja. Pahlawan itu lantas tertawa, segera dia memberi hormat pada Lie It.
"Aku datang atas titahnja Khan kami jang agung ", dia berkata.
"Aku dititahkan mengundang kepada Tianhee jang mulia. Tianhee ketjil tidak terganggu sekalipun selembar rambutnja, maka itu Tianhee berdua djanganlah buat kuatir ". Selagi orang berbitjara, Tiangsoen Pek sudah menghunus pedang, maka Lie It lantas mengedipi mata, untuk mentjegah.
"Maaf, maaf !", berkata Lie It.
"Kiranja utusan Khan jang agung !. Aku mohon tanja, kenapakah anakku ditjulik ?".
"Aku minta tianhee sudi datang menemui Khan kami, disana tianhee akan mengetahui duduknja hal ", menjahut pahlawan itu.
"Aku tjuma seorang jang lagi hidup menjendiri, kau mengundang tianhee jang mana ?", tanja Lie It. Ia mentjoba menjangkal bahwa ialah seorang bangsawan. Pahlawan itu tertawa.
"Djangan tianhee menjembunjikannja, kami sudah tahu !", ia berkata.
"Tianhee jalah turunan naga dari Keradjaan Tong jang besar. Sudah banjak tahun kami membiarkan tianhee hidup menjendiri dalam kesunjian, kami menjesal, perbuatan kami itu perbuatan mengabaikan dan tidak pantas. Oleh karena Khan kami jang agung kuatir nanti tidak dapat mengundang tianhee sendiri, dari itu dia lebih dulu mengundang tianhee ketjil. Aku minta sukalah tianhee menginsafi kesukaran hati dari Khan kami jang agung itu ", Lie It berdiam, hatinja berpikir. Ia tidak mengerti kenapa bangsa Turki mengetahui asal-usulnja.
"Aku berdiam setjara sembunji dinegara kamu, maksudku jalah untuk dapat tinggal dengan aman dan damai ", ia berkata kemudian.
"Kamu tentu telah ketahui sendiri, Tiongkok sekarang bukan lagi negaranja Keradjaan Tong, dan aku sendiri, aku bukannja seorang utusan, dari itu, apa perlunja Khan kamu memanggil aku ?. Aku bilang terus-terang, selama aku belum dikasih keterangan djelas, tidak dapat aku menerima panggilanmu ini ". Pahlawan itu menjeringai, agaknja aneh tertawanja itu.
"Tianhee, kau beredjeki besar sama dengan besarnja langit !", ia berkata.
"Sebenarnja Khan kami jang agung hendak membantu kau membangun pula Keradjaan Tong kamu jang besar itu, karena mana, tianhee diundang untuk merundingkannja lebih djauh ". Lie It benar2 tidak mengerti.
"Khan kamu hendak membantu membangun pula Keradjaan Tong ?", tanjanja.
"Apakah artinja itu ?".
"Itu artinja Khan kami hendak membantu kau naik atas tachta keradjaan Tiongkok !", berkata si pahlawan.
"Dengan begitu hendak dibangun pula negara kamu she Lie. Untuk berterus-terang, kaisar wanita didalam negerimu sekarang ini sangat djahat, dia mau menggeraki angkatan perangnja menjerbu negara kami, maka itu Khan kami menganggap baiklah kami bekerdja mendahului menjerbu Tiongkok, untuk membasmi ratu itu. Hah ! Kau lihat, bukankah ini ketikamu jang baik ?". Hati Lie Itbertjekat. Segera ia dapat menerka persoalannja.
"Terang Khan ini hendak memakai nama dan tenagaku ", pikirnja.
"Dia hendak memakai aku berbareng dengan budjukan dan paksaan ! Dia ingin aku menurut maunja, untuk membantu dia merampas Tiongkok jang indah-permai !". Pahlawan itu menanti sekian lama, ia tidak memperoleh djawaban, ia mendjadi heran.
"Tianhee ", katanja.
"inilah ketika baik jang sangat sukar ditjarinja. Apakah jang tianhee masih sangsikan lagi ?". Lie It mendjadi tidak senang, tetapi ia menjabarkan diri. Ia kata dengan keren .
"Tolong kau menjampaikan kepada Khan jang agung bahwa aku Lie It, suka aku terbinasa, tidak dapat aku menurut dia ...!".
"Ah, inilah aneh !", berseru si pahlawan.
"Boe Tjek Thian telah merampas negaramu, apakah kau tidak membentji dia ?".
"Aku membentji Boe Tjek Thian adalah satu soal lain ", menjahut Lie It.
"Djikalau aku menuntun kamu memasuki Tiongkok, untuk kamu merampasnja, itu artinja kamu meng-ilas2 rakjat Tiongkok ! Dengan begitu bukankah aku mendjadi seperti binatang bahkan melebihkan itu ?". Pahlawan itu tertawa ter-bahak2.
"Memang kami mau merampas tachta-keradjaan Tiongkok tetapi itu untuk diserahkan pada kau !", katanja. Lie It mendjadi gusar.
"Apakah kau menjangka aku ini kaisar anak2-an ?", katanja.
"Tjukup !. Lagi satu kali kau bitjara, aku nanti tikam padamu ...!". Pahlawan itu mundur satu tindak, dia tertawa mengedjek.
"Baiklah, kedudukan kaisar kau tidak menghendaki, apakah kau djuga tidak mengingini puteramu ?", dia tanja. Mukanja Lie It mendjadi merah-padam, ia mendongkol dan bergusar. Tiangsoen Pek habis sabar, dia mendjerit, dia madju dan menikam.
"Kau telah merampas anakku, maka aku lebih dulu menghendaki djiwamu ...!", bentaknja. Serangan itu dilakukan dengan napsu amarah jang tak terkendalikan, lupa Tiangsoen Pek pada artinja ilmu silat, ketika si pahlawan berkelit, dia terdjerunuk hingga roboh sendirinja. Lie It pun habis sabar, maka dia menjerang dengan tangan kosong. Pahlawan itu menolong diri dari serangan itu dengan tipunja "Pa-Ong-gie-kah"
Atau "Tjouw Pa Ong meloloskan badju perangnja".
Tapi Lie It bukannja Tiangsoen Pek, ia telah bersedia, maka itu, begitu orang berkelit sambil menangkis, ia membaliki tangannja, untuk membangkol lengan si pahlawan.
Ia menggunai tangan kanannja, maka itu, tangan kirinja segera menjerang pula.
Pahlawan itu terkedjut, hendak ia berkelit pula, dia kalah sebat, kupingnja telah lantas kena terhadjar, ketika ia toh dapat melepaskan tangannja, ia mesti terhujung tiga tindak.
Lie It tidak menjangka orang liehay, maka ia berniat berlaku telengas, tapi belum ia mengulangi serangannja, pahlawan itu tertawa dan berkata dengan mengantjam .
"Beranikah kau membunuh aku ?. Begitu kau bunuh aku, djiwa anakmu akan mengganti djiwaku ! Khan kami jang agung telah bersiap-sedia untuk tindakanmu jang keras, ketika aku diberi tugas, dia telah bilang padaku . Kau djangan takut, pergilah kau seorang diri ! Djikalau si orang she Lie berani mengganggu selembar sadja rambutmu, hmm ...! hmm ....!, akan aku pakai si tjilik mendjadi umpannja serigala ...!. Kau tahu, anakmu sekarang ini telah dikirim setjara kilat kepada Khan kami jang agung, maka itu terserah kepada kau, kau ingin minum arak pemberian selamat atau arak denda-an ...!". Lie It gemetar sekudjur tubuhnja. Ia pikir, pertjuma ia membinasakan pahlawan ini. Maka ia mengambil putusan untuk membiarkannja. Maka pahlawan itu lantas bertindak keluar, sembari dia tertawa lebar dan kata .
"Khan kami memberikan batas tempo satu bulan padamu !. Djikalau lewat tempo itu kau tidak datang, djangan kau sesalkan bahwa kami bertindak tidak mengenal kasihan ...!". Lie It membiarkan, ia hanja menolongi isterinja. Tiangsoen Pek masih murka, dia hendak mengedjar.
"Untuk apa ?", kata si suami.
"Aku tidak sangka, seorang Khan dapat berbuat begini rendah ...!". Tapi segera ia mengambil keputusan, maka ia menambahkan .
"Biarlah aku sendiri jang menemukan dia !".
"Benarkah kau mau pergi menemui dia ?", sang isteri tanja.
"Kau ...! Kau ...!".
"Pasti aku bukan niat menjerah terhadapnja ...!", kata Lie It tjepat.
"Aku mau berdaja menolongi anak Bin ! Adik Pek, kau berdiam dirumah, kau djagalah dirimu baik2
".
"Kita suami-isteri akan hidup sama2, tidak dapat kita berpisahan ", berkata Tiangsoen Pek.
"maka itu, aku mau turut kau pergi ". Lie It meng-usap2 rambut isterinja itu.
"Adik Pek, kau djangan kuatir ", ia berkata lembut.
"Mereka itu menghendaki aku satu orang, umpama kata mereka dapat membekuk aku, tidak nanti mereka membunuhku. Aku pun pasti akan memperoleh djalan untuk menjingkirkan diri. Apa pula belum tentu aku roboh ditangan mereka. Bukankah aku pernah melanggar badai dan gelombang dahsjat ?. Boe Tjek Thian sadja tidak aku buat takut, apalagi baru satu Khan !. Kau mendapat pukulan batin keras sekali, kesegaranmu belum pulih, maka baiklah kau beristirahat dan merawat dirimu. Paling lambat satu bulan, pasti aku akan kembali bersama anak kita siBin. Kau bisa pertjaja aku, kau selalu dengar kata, maka apa kali ini kau tidak mempertjajai aku ?". Tiangsoen Pek mengerti keberatan suami itu, jalah ia kalah gagah sepuluh lipat, djadi kalau ia turut, ia mungkin menambah beban si suami. Ia berpikir sekian lama.
"Aku pertjaja kau, engko It ", katanja kemudian.
"hanja aku kuatir, aku takut ". Lie It tersenjum.
"Kau takut apa ?", dia tanja.
"Aku telah kehilangan kakakku dan ajahku ", kata sang isteri.
"sekarang aku telah kehilangan anakku, maka itu aku takut, aku takut, aku pun nanti kehilangan kau lagi ...". Lie It tertawa.
"Mana bisa aku hilang ?", katanja.
"Ketjuali Khan itu membunuh aku. Tapi aku berani melawan dia, aku tidak takut !. Hanja, memang segala apa harus dipikir djauh. Umpamanja terdjadi sesuatu atas diriku, adik Pek, djangan kau berputus asa, djangan kau berpikiran pendek, sebaliknja, kau mesti berdaja untuk membalas sakit hati !". Kedua matanja Tiangsoen Pek mendjadi merah.
"Djanganlah mengutjapkan kata2 itu ", katanja.
"Aku bukan maksudkan hal itu. Aku tjuma berkuatir, setelah kau berlalu, kau nanti melupakan aku, kau mungkin tidak bakal kembali ...".
"Hai, kau ngatjo !", kata Lie It, tertawa.
"Kenapa aku melupakan kau ?. Setelah menolongi si Bin, kenapa aku tidak pulang ?. Adik Pek, kau tetapkan hatimu, kau beristirahatlah, djangan memikir jang tidak2 ...!". Suami ini me-nepuk2 pundak isterinja, ia mirip orang tua jang lagi membudjuki anaknja jang ketjil. Lie It berhasil, isterinja mendjadi tenang, maka ia lantas berangkat pergi. Diluar kelihatan Tiangsoen Pek tenang, hatinja hanja tetap gontjang. Ia berkuatir jang Lie It nanti menempuh bahaja dengan pergi menghadap Khan Turki itu. Ia pula berkuatir, ditengah djalan, suami itu nanti bertemu sama Boe Hian Song. Ia djusteru takut Hian Song nanti merampas suaminja itu, hingga perasaan djerinja terhadap nona Boe, melebihkan takutnja terhadap si radja Turki. ---oo0oo--- KETIKA itu, Boe Hian Song lagi berdjalan ditanah jang bersaldju, hatinja berdebaran keras. Ia terganggu kebimbangannja, hingga ber-ulang2 ia kata didalam hatinja .
"Menemui dia atau djangan ?". Ia mentjoba menguatkan hati, untuk mengambil keputusan, tetapi diwaktu bertindak, setiap tindakannja diiringi bajangannja Tiangsoen Pek, hingga ia membajangi djuga sinar mata tadjam dari nona Tiangsoen itu. Sinar mata itu membuatnja gentar hati. Maka itu, setiap dua tindak, ia berhenti satu tindak. Dalam perdjalanan ini, jang lambat sekali. Boe Hian Song tidak bertemu sama Lie It. Sebaliknja, ia menemukan sesuatu jang luar biasa. Ketika ia membelok di sebuah tikungan, ia dapat membatja dua baris kata2 jang adanja dibatu gunung, dimana kata2 ini diberi gambarannja sebuah tengkorak. Kata2 itu berbunji .
"Siapa ingin djiwanja selamat, lekas pulang kekampung halaman !". Membatja itu, sebaliknja daripada takut, semangat Hian Song djusteru terbangun. Ia tertawa seorang diri dan berpikir .
"Pahlawan Turki djuga bisa menggunai tjara kaum Kang-ouw. Dia hendak menakuti aku, apakah ini tidak lutju ?". Ia menduga pengumuman itu ditulis oleh serdadu Turki, jang membawa lari anaknja Tiangsoen Pek. Ketika ia djalan pula sekian lama, kembali ia mendapatkan surat dan gambar antjaman serupa tadi, jang terang baru sadia diukir dengan udjung pedang. Diatas saldju masih ada hantjuran batu jang terukir itu. Tjuma sedjenak Hian Song berpikir, lantas ia dapat satu daja. Ia mematahkan dua ranting tjabang kering, dengan menggunai ilmu "Tan-tjie-sin-kang"
Atau "Sentilan Djeridji", ia membikin kedua tjabang itu mental djauh saling susul sepuluh tombak lebih dengan menerbitkan suara njaring. Selagi menjentil, ia djuga menggunai ilmu "Tah-soat-boe-kin"
Atau "Mengindjak saldju tanpa bekas".
Dengan itu, ia menggeleser mundur beberapa tombak tanpa mengasi dengar suara apa2.
Sambil mundur, ia mengawasi kearah mentalnja tjabang kering itu.
Hanja sedjenak dari belakang batu gunung terlihat muntjulnja kepala dua pahlawan Turki.
Inilah dugaan Hian Song disebabkan ukiran kata2 jang baru.
Ia pertjaja si pengukirnja berada didekatnja.
Sekarang dugaan itu terbukti.
Njata pantjingannja memberi hasil.
Hanja dengan beberapa kali lompatan, Hian Song membuat dirinja sampai didepan dua orang itu tanpa mereka ini keburu menjingkir, tjuma ketika ia menjamber mereka, untuk ditjekuk, samberannja mengenai sasaran kosong.
Ia berseru .
"Tahan !". Kedua pahlawan itu berkelit dengan lintjah, habis berkelit, mereka madju menjerang. Pahlawan jang satu bersendjatakan sepasang poan-koan-pit dengan apa dia lantas menotok djalan darah, dan kawannja menggunakan sebatang golok jang dia pakai membatjok kearah lengan si nona.
"Bagus ", berseru si nona. Ia lantas menangkis dengan pedangnja, hingga beruntun ia membuat kedua sendjatamusuh mental dan musuh pun mundur. Sebaliknja, si nona djuga merasakan telapakan tangannja kesemutan, suatu tanda kedua musuhnja bertenaga besar. Kedua pahlawan itu tidak gentar, mereka lantas madju pula, menjerang dari kiri dan kanan. Orang jang memegang poan-koan-pit mengarah djalan darah kie-boen dikiri dan djalan darah tjeng-pek dikanan, lintjah gerakannja. Hian Song berkelit dari totokan, sambil berkelit, ia pun melompat untuk menjingkir dari batjokan kearah kakinja, kemudian ia membalas menjerang, jalah selagi tubuhnja turun habis melompat itu. Serangan berbahaja ini membuat dua orang itu terdesak mundur.
"Bilang ! Kamu orang Han atau orang Tartar ?", tanja Hian Song. Ia melihat orang dandan sebagai pahlawan Turki tetapi sekarang ia mengenali mereka bukanlah orang2 jang membawa lari anaknja Tiangsoen Pek. Pula mereka itu mengenakan topeng dan berkelahi dengan membungkam, sedang ilmu silat mereka dikenali, ilmu totok itu dari partai Tjeng Shia Pay, dan ilmu goloknja jalah ilmu Ngo Houw Toan-boen-too dari kaum Ban Sin Boen. Umpama kata kedua ilmu silat itu diturunkan kepada orang asing, pasti tjara menggunainja tidak sedemikian liehay. Ia pernah bertemu ketua dari kedua partai itu, mereka bukannja dua orang ini. Ditegur Hian Song, kedua pahlawan itu nampak mementjarkan sinar matanja, meski begitu, mereka terus berdiam.
"Lekas bitjara !", Hian Song membentak pula.
"Djangan kamu menerbitkan kesalahan tanpa ada perlunja!". Kembali tidak ada djawaban mulut, hanja djawaban serangan jang terlebih gentjar dan hebat. Nona Boe mendjadi habis sabar.
"Kamu tidak mau memperlihatkan dirimu, baiklah, djangan kamu persalahkan pedangku tidak mengenal kasihan !". Kata2 ini diikuti tertawa dingin, lalu disusuli serangan jang tidak kurang dahsjatnja, pedang menjamber melewati kepalanja kedua pahlawan itu. Pahlawan jang bersendjatakan poan-koan-pit mentjoba membalas, sendjatanja disampok hingga bersuara njaring dan memuntjratkan lelatu api, atas mana, kawannja, jang memegang golok, mendjadi kaget. Tapi ia madju, guna menjerang, untuk menolongi kawannja hingga tak dapat didesak si nona. Hian Song melandjuti serangannja. sampai tudjuh kali saling susul serangannja itu bagaikan golombang mendampar bergantian, hingga kedua lawannja mendjadi repot. Pahlawan dengan poan-koan-pit itu penasaran, ia mentjoba membalas, ia djuga menotok setjara bergelombang, mengarah pelbagai djalan darah, tudjuh djalan darah jang berbahaja. Dengan begini tampak keliehayannja. Hian Song memperhatikan pelbagai serangan itu, ia tidak mau mengasikan dirinja kena ditotok, hanja sambil melajani orang, ia djuga mesti berlaku waspada kepada musuh lainnja. Dengan begitu, bergantian mereka saling desak.
"Ilmu totok kau liehay sekali!", kata Hian Song tertawa.
"Tjuma masih kurang mahir! Sekarang kau lihatlah aku, dengan udjung pedangku hendak aku menotok djalan darah leng-tay dipunggung-mu, lalu dengan tikaman, aku nanti menusuk djalan darah soan-kie didada-mu!". Kata2 ini membuat heran lawan itu. Kata2-nja sadja sudah luar biasa, sebab itu berarti membuka rahasia. Jang aneh pula, kedua djalan darah itu ada dibelakang dan didepan. Bagaimana itu dapat ditotok demikian gampang seperti jang dikatakan ?. Didalam ilmu silat, dua pahlawan itu belum pernah mendengarnja. Tapi mereka toh bersiap sedia, untuk menutup diri mereka. Tjuma air muka mereka jang menandakan mereka tidak pertjaja. Habis berkata, Hian Song tertawa pula, hanja kali ini, belum berhenti suara tertawanja itu mendengung ditelinga kedua pahlawan itu, atau mereka sudah lantas diserang. Hanjalah, serangannja itu luar biasa. Pahlawan dengan poan-koan-pit diserang, belum pedang meluntjur kepadanja, atau serangan dilangsungkan pada pahlawan jang memegang golok. Dia mau menangkis atau antjaman pindah kepada kawannja. Njata si nona menggunai siasat. Ia mengantjam kedua lawan dengan bergantian, siapa siap sedia, ia tinggalkan. Siasat ini membikin kedua lawan itu bingung, tidak perduli mereka mendjaga diri dengan waspada. Mereka seperti kena pengaruh, hingga mereka mendjadi berkuatir punggung atau dada mereka bakal benar2 kena diserang. Pertempuran kali ini tidak mengambil tempo jang lama. Pahlawan dengan poan-koan- pit lantas merasakan punggungnja seperti tertotok udjung pedang, dan kawannja, jang bersendjatakan golok, bagaikan tertikam dadanja. Mereka mendjadi takut, hingga lantas sadja mereka melemparkan sendjata mereka masing-masing.
Peristiwa Merah Salju -- Gu Long Bulu Merak -- Gu Long Merpati Pedang Purba -- Kauw Tan Seng