Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 11


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 11



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Jawab Tay-wi dengan tersenyum.

   "Aku malah ingin tanya sesuatu padamu, yaitu beberapa hari sebelum kejadian ini kudengar orang Mongol telah menyerbu ke sini, apakah kau mengetahui berita keadaan Lok-yang?"

   "Anak pun tidak tahu jelas karena tidak masuk ke kota,"

   Jawab Pwe-eng.

   "Cuma sepanjang jalan memang banyak menemui kaum pengungsi, katanya musuh sudah hampir sampai di Lok-yang. Tetangga kita paman Ong yang kujumpai juga mengatakan pasukan Mongol sudah dekat, kini sudah lewat delapan hari, mungkin sekali Tartar Mongol sudah menduduki kota."

   "Dan bagaimana dengan Siau-hong, dimana dia sekarang?"

   Tiba-tiba Tay- wi bertanya.

   "Aku aku pun tidak tahu,"

   Jawab Pwe-eng dengan ragu-ragu. Sesungguhnya memang demikian halnya.

   "Mengapa kau malah tidak tahu?"

   Tanya Tay-wi pula dengan heran. Kembali Pwe-eng melihat wajah ayahnya yang pucat, ia pikir persoalan dirinya lebih baik tetap dirahasiakan dahulu, maka jawabnya.

   "Katanya dia hendak mencari Lau To-cu di Lok-yang, apakah kini masih di sana aku pun tidak tahu lagi."

   "Aku percaya jiwa Siau-hong pasti seperti ayahnya, bilamana keadaan Lok-yang dalam keadaan gawat, tentu dia akan berjuang bersama orang- orang Kay-pang. Sampai di sini terasalah darah bergelora dalam rongga dadanya, dibandingkan kepentingan negara dan bangsa, apa artinya urusan pribadi? Seketika darah pahlawannya bergejolak, dengan bersemangat ia lantas berkata dengan tegas.

   "Anak Eng, marilah kita pergi mencari Siau- hong!"

   Keruan Pwe-eng terkejut, serunya.

   "Ayah, keadaanmu perlu mengaso dulu!"

   "Memangnya kau kuatir ayahmu sudah tua dan tidak sanggup menggempur Tartar Mongol lagi? Biarpun Lok-yang sudah terkepung musuh juga ayahmu akan menyerbu ke sana, sekali pun harus mengorbankan jiwaku yang sudah lapuk ini!"

   Kata Han Tay-wi.

   Ia tidak tahu bahwa tujuan Han Pwe-eng justru tidak ingin ayahnya bertemu dengan Kok Siau-hong.

   Selain itu sesungguhnya Pwe-eng juga menguatirkan kesehatan sang ayah yang jelas terganggu itu.

   Tiba-tiba air muka Han Tay-wi yang tadinya pucat itu berubah menjadi merah, malahan kelihatan tubuhnya rada sempoyongan.

   Keruan Pwe-eng terkejut dan berseru.

   "Ayah, kenapakah engkau?" ~ Cepat ia memegangi ayahnya. Napas Han Tay-wi terengah-engah, sejenak kemudian baru sanggup bicara pula.

   "Aneh, memangnya aku benar-benar sudah tua dan tak berguna? Pantasnya tidaklah demikian?"

   "Ayah, mungkin tadi engkau terlalu banyak mengeluarkan tenaga dan kini perlu mengaso dulu untuk mengumpulkan tenaga,"

   Ujar Pwe-eng.

   Ia menyangsikan ayahnya terluka dalam, tapi ia pun yakin ayahnya sanggup memulihkan tenaganya bilamana tidak parah lukanya.

   Han Tay-wi menurut, ia duduk bersila untuk menghimpun tenaga.

   Tiba- tiba terasa kaki dan tangannya kaku, tenaga sukar dikerahkan.

   Diam-diam ia pun terkejut dan menggeleng kepala, katanya.

   "Tidak beres, tidak beres!"

   "Apa yang tidak beres?"

   Tanya Pwe-eng. Belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar suara seorang menyambungnya.

   "Sungguh tidak nyana arak beracun Beng Jit-nio itu sedemikian lihai, nyata racun di dalam tubuh ayahmu tidak terkuras bersih, maka kini telah kambuh pula."

   Waktu Pwe-eng berpaling, dilihatnya Sin Cap-si-koh sedang mendatangi dengan rasa cemas. Tidak kepalang girang Pwe-eng, cepat ia berseru.

   "Sin- lihiap, harap engkau suka menolong ayahku!"

   Nyata dia anggap Sin Cap-si-koh sebagai tuan penolong, ia tidak tahu bahwa apa yang dirasakan ayahnya itu justru adalah perbuatan Cap-si-koh.

   Cara Sin Cap-si-koh menggunakan tusuk jarum sebagai penyembuhan keracunan memang sangat mahir, sedemikian mahir schingga di samping tusuk jarumnya dapat menawarkan racun, tapi juga dapat "menyingkirkan"

   Racun ke suatu bagian tertentu di dalam tubuh orang yang bersangkutan.

   Dengan cara inilah dia telah menyembuhkan Han Tay-wi tadi, yakni dengan menyingkirkan kadar racun di dalam tubuh Han Tay-wi ke bagian urat nadi kaki dan tangan.

   Bahwa kekuatan Han Tay-wi telah pulih untuk sementara hanya karena terdorong oleh tusuk jarum Cap-si-koh itu, bila khasiat tusuk jarum itu hilang, maka kekuatan yang timbul itupun lenyap.

   Begitulah Sin Cap-si-koh pura-pura berkata pula.

   "Aku justru menyusul ke sini untuk menolong ayahmu!"

   Segera ia mengeluarkan lagi jarumnya, ia tusuk tiga tempat Hiat-to di tubuh Han Tay-wi, lalu bertanya dengan suara halus.

   "Bagaimana perasaanmu?"

   "Agak baikan, cuma....."

   Memang rasa kaku Han Tay-wi sudah mulai lenyap, tapi tubuhnya kini terasa panas seperti dibakar, enak rasanya, tapi lemas.

   "Cuma apa?"

   Cepat Pwe-eng menegas.

   "Cuma sukar mengeluarkan tenaga, betul tidak?"

   Sambung Cap-si-koh. Han Tay-wi mengangguk sambil menghela napas, lalu berkata kepada Pwe-eng.

   "Ya, rasanya ayah tidak sanggup mengiringi kau pergi mencari Siau- hong."

   Segera Cap-si-koh menambahkan pula.

   "Kadar racun yang digunakan Beng Jit-nio teramat berat, tadi ayahmu banyak mengeluarkan tenaga untuk menempur kedua iblis tua itu, kini racun telah menyusup ke tulang sumsum, kukira....."

   "Apakah..... apakah masih dapat tertolong tidak?"

   Sela Pwe-eng dengan kuatir.

   "Sin-lihiap, harap engkau suka berdaya menyelamatkan ayahku."

   "Harapan tertolong masih ada, cuma sedikitnya akan makan tempo tiga bulan baru dapat memunahkan seluruh sisa racunnya,"

   Kata Cap-si-koh.

   "Dan untuk bisa memulihkan tenaganya diperlukan setahun lagi. Tay-wi, kini rumahmu sudah musnah kau perlu suatu tempat untuk istirahat, kalau kau tidak mencela tempatku yang kotor itu, bagaimana kalau kau tinggal saja di rumahku?"

   Han Tay-wi tidak lantas menjawab.

   Sedangkan Pwe-eng menjadi lega mendengar ada harapan menyembuhkan ayahnya.

   Segera ia ikut membujuk sang ayah agar mau terima tawaran Sin Cap-si-koh itu.

   Sebenarnya Han Tay-wi tidak ingin tinggal di rumah Sin Cap-si-koh, tapi sekarang tiada jalan lain lagi, terpaksa ia berkata.

   "Baiklah, kau boleh tetap pergi mencari Siau-hong, tiga bulan kemudian bila suasana sudah agak aman bolehlah kalian kembali ke sini untuk mencari aku."

   Sudah tentu Sin Cap-si-koh sangat mengharapkan Han Pwe-eng lekas pergi, maka ia pun menambahkan.

   "Nona Han, kau jangan kuatir, aku pasti akan merawat ayahmu dengan sebaik mungkin."

   Melihat ayahnya mengharuskan dia pergi mencari Kok Siau-hong, Pwe- eng kenal watak sang ayah, bila tidak pergi tentu akan lebih menimbulkan curiganya serta amarahnya.

   Apalagi kini Sin Cap-si-koh telah menyanggupi akan merawat ayahnya, maka katanya kemudian.

   "Baiklah ayah, sesudah kuantar engkau ke tempat Sin-locianpwe segera pula aku akan berangkat."

   Begitulah ketika sampai di tempat tinggal Sin Cap-si-koh yang bernama Yu-hong-li, melihat tempat yang indah permai itu, lega dan girang hati Han Pwe-eng. Waktu Sin Cap-si-koh membawa mereka ke suatu kamar, dengan tertawa ia lantas berkata.

   "Tay-wi, coba apakah kau suka kepada tempat ini?"

   Han Tay-wi dan Han Pwe-eng seketika melongo dan mengira sedang mimpi demi nampak keadaan kamar itu.

   Ternyata susunan kamar itu serupa benar dengan kamar tulis di rumah mereka sendiri, malahan di sekeliling dinding kamar juga penuh dihiasi lukisan-lukisan yang jelas berasal dari mereka pula.

   "Aku tahu kau paling sayang kepada lukisan-lukisan ini, maka waktu mendengar kabar tentang bencana yang menimpa dirimu segera aku memburu ke sana, namun sudah terlambat, kau telah jatuh di tangan Beng Jit-nio,"

   Demikian tutur Cap-si-koh.

   "Kulihat mereka sedang mengobrak- abrik isi rumahmu, maka aku telah menghalau mereka, lalu kubawa pulang lukisan-lukisan milikmu ini."

   Sudah tentu Han Tay-wi sangat senang dapat melihat koleksi lukisannya itu dalam keadaan baik.

   Tapi di dalam rasa senang itupun timbul semacam perasaan sangsi dan takut yang sukar dikatakan.

   Samar-samar ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

   Bahwasanya Sin Cap-si-koh adalah orang yang licin memang sudah lama diketahuinya.

   Belasan tahun yang lalu istrinya mendadak mati diracun orang tanpa diketahui siapa pembunuhnya, selama ini dia selalu mencurigai Sin Cap-si-koh.

   Iapi setelah kejadian hari ini, kembali ia menjadi ragu-ragu.

   Tapi betapa pun juga di dalam lubuk hatinya selalu terasa olehnya bahwa Sin Cap-si-koh jauh lebih menakutkan daripada Beng Jit-nio biarpun Cap-si-koh telah menyelamatkan jiwanya dan sedemikian baik padanya.

   Dengan pikiran kusut terpaksa Han Tay-wi berkata.

   "Banyak terima kasih atas kebaikanmu, aku merasa seperti pulang ke rumahku sendiri saja."

   Dengan girang Pwe-eng juga lantas berkata.

   "Ayah, bolehlah aku berangkat sekarang."

   "Baiklah, jika kau sukar masuk ke kota, boleh kau mencari kabar kepada orang Kay-pang, yang penting Siau-hong harus diketemukan,"

   Kata Tay-wi. Pwe-eng mengiakan, lalu ia pun mohon diri kepada Sin Cap-si-koh.

   "Aku tidak mengantar kau,"

   Kata Cap-si-koh.

   "Si Bwe, wakilkan aku mengantar nona Han."

   Begitulah setelah meninggalkan Yu-hong-li dan berjalan sebentar, Pwe- eng merasa budak yang mengantarnya ini seperti sudah pernah dikenalnya. Baru saja ia hendak bertanya, ternyata Si Bwe sudah mendahului buka suara.

   "Nona Han, apakah engkau masih ingat padaku? Aku adalah budak yang mengantar nona Hi ke tempat Beng Jit-nio tempo hari itu."

   Maka ingatlah Pwe-eng, dengan tertawa ia menjawab.

   "Ya, kiranya engkau adanya, pantas aku merasa seperti sudah pernah kenal."

   "Nona Han, Hi-siocia itu tentu adalah sahabatmu yang paling baik mengingat dia berani menghadapi bahaya besar untuk menolong kau,"

   Kata Si Bwe.

   "Benar, kami memang seperti kakak beradik saja meski kami tidak sampai mengangkat saudara,"

   Sahut Pwe-eng. Berkata sampai di sini diam- diam hatinya merasa malu terhadap Hi Giok-kun. Ia percaya Giok-kun pasti takkan meracuni ayahnya, tapi sekarang nona itu yang kena getahnya dan menjadi tertuduh.

   "Han-siocia, aku ingin mohon sesuatu padamu,"

   Kata Si Bwe tiba-tiba.

   "Urusan apa?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Aku hendak titip sesuatu barang untuk Tit-siauya (yang dimaksud Sin Liong-sing) kami,"

   Kata Si Bwe.

   "Tit-siauya kalian? Siapakah dia? Aku kan tidak kenal?"

   Jawab Pwe-eng heran.

   "Dia dalam perjalanan bersama Hi-siocia, mereka berdua sudah mengikat jodoh, bila engkau ketemu Hi-siocia, tentu pula akan dapat bertemu dengan Tit-siauya kami,"

   Tutur Si Bwe. Pwe-eng terkejut dan hampir-hampir tidak percaya kepada telinganya sendiri. Katanya kemudian.

   "Apa katamu? Hi-siocia telah mengikat jodoh dengan Tit-siauya kalian?"

   "Ya, aku sendiri pun tidak menduga akan kejadian ini,"

   Sahut Si Bwe.

   "Perkenalan mereka belum ada satu hari. Malam hari pertama berkenalan, besok paginya sudah lantas..... sudah lantas....."

   "Lantas apa?"

   Pwe-eng menegas.

   "Tit-siauya kami lantas memasang cincin pertunangannya di jari Hi-siocia itu,"

   Jawab Si Bwe.

   Tiba-tiba Pwe-eng teringat ketika ayahnya habis minum Pek-hoa-ciu dan mendadak diketahui keracunan, lalu muncul Beng Jit-nio dengan marah- marah dan bermaksud membunuh Hi Giok-kun, tapi di baju Giok-kun tiba- tiba diketemukan sebentuk cincin sehingga Giok-kun tidak jadi dibunuhnya.

   Samar-samar Pwe-eng seperti mendengar Beng Jit-nio menyebut nama seorang dan katanya mengingat cincin itulah maka jiwa Hi Giok-kun diampuni.

   "Siapakah nama Tit-siauya kalian?"

   Tanya Pwe-eng kemudian.

   "Sin Liong-sing,"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jawab Si Bwe.

   "Ya, benar, itulah nama yang disebut Beng Jit-nio,"

   Seru Pwe-eng tanpa terasa.

   Ia menjadi heran apakah benar cincin yang dimaksud itu adalah cincin pertunangan? Padahal demi mendapatkan Kok Siau-hong, tanpa segan-segan Hi Giok-kun menimbulkan gara-gara penyerangan Pek-hoa-kok oleh orang-orang Kang-ouw, mana mungkin sekarang dia malah bertunangan dengan pemuda lain? Namun Beng Jit-nio memang telah mengampuni jiwa Hi Giok-kun setelah melihat cincin itu, maka dapat diduga apa yang dikatakan budak itu bukannya tidak berdasar.

   Untuk sejenak Pwe-eng termangu-mangu bingung, katanya kemudian.

   "Oya, tadi kau bilang mau titip barang apa kepadaku?"

   Si Bwe lantas mengeluarkan sebuah dompet kain bersulam, katanya.

   "Tit-siauya yang minta aku menyulamnya dan dia telah lupa membawanya serta, tolong Han-siocia suka sampaikan padanya."

   Pwe-eng menjadi heran, hanya sebuah dompet sulaman begitu saja mengapa Si Bwe berbuat sedemikian sungguh-sungguh seperti urusan penting saja.

   "Meski kami adalah kaum hamba, tapi sekali sudah menyanggupi juga tidak boleh ingkar janji, aku memang telah berjanji untuk menyulamkan baginya,"

   Demikian Si Bwe menambahkan.

   Kiranya secara diam-diam Si Bwe telah jatuh cinta kepada Sin Liong-sing, maka dia berharap Sin Liong-sing akan teringat kepadanya sekali pun takkan berubah pikiran jika melihat dompet bersulam itu.

   Pwe-eng sendiri sedang dirundung macam-macam persoalan, maka ia pun tidak ingin tanya urusan orang lain, segera ia simpan dompet titipan itu dan berkata.

   "Baiklah, jika aku ketemu mereka tentu akan kusampaikan titipanmu ini."

   Begitulah kemudian Han Pwe-eng berpisah dengan Si Bwe dan melanjutkan perjalanan sendiri.

   Ia pikir Hi Giok-kun kini entah berada dimana, persoalan yang dikatakan Si Bwe itu hanya bisa menjadi jelas bila sudah bertemu dengan dia.

   Saat itu Hi Giok-kun memang benar berada bersama Sin Liong-sing, mereka sedang dalam perjalanan hendak menyusul Hi Giok-hoan, kakak Giok-kun, cuma mereka telah kesasar, salah mengambil jurusan.

   Seperti diketahui, ketika Hi Giok-kun dan Pik Po bersembunyi di dalam gudang dan mencuri dengar pembicaraan Ih Hoa-liong dan Cu Kiu-bok, rupanya Ih Hoa-liong yang licin itu dapat mendengar suara kresekan yang mencurigakan, maka dia sengaja mengatakan perihal pengawalan harta pusaka yang dilakukan Yim Thian-ngo itu dengan suara agak keras, di samping itu ia pun sengaja mengatakan ke jurusan mana harta pusaka itu diangkut, tapi jurusan yang keliru, yang terbalik, tujuannya untuk menyasarkan orang yang mencuri dengar pembicaraan mereka.

   Sudah tentu akal licik ini tidak terduga oleh Hi Giok-kun sehingga jurusan yang ditempuhnya sekarang bersama Sin Liong-sing menjadi keliru pula, akibatnya jaraknya menjadi makin jauh dengan rombongan Yim Thian-ngo yang mengawal harta pusaka milik Han Tay-wi itu.

   Dalam pengawalan harta pusaka itu Hi Giok-hoan menjadi pembantu utama Yim Thian-ngo, Giok-hoan cuma tahu Yim Thian-ngo adalah tokoh angkatan tua dunia persilatan yang kenamaan, ia tidak tahu bahwa Yim Thian-ngo punya hati busuk dan bermaksud jahat untuk merampas harta pusaka yang dikawalnya.

   Tempat tujuan mereka adalah pangkalan (laskar rakyat) di Ci-lo-san, suatu pegunungan terletak kira-kira lebih limaratus lie dari Lok-yang, jalanan berliku, kereta yang bermuatan berat itu menjadi sangat lambat jalannya.

   Apalagi Yim Thian-ngo pura-pura berlaku hati-hati, ia melarang jalan di waktu malam, di waktu melalui tempat-tempat yang berbahaya ia pun pura- pura mengirim dulu pengintai untuk menjajaki keamanan setempat, sesudah mendapat laporan keadaan aman barulah rombongan boleh melanjutkan perjalanan.

   Dengan demikian setiap hari paling cuma limapuluh-enampuluh lie saja ditempuh oleh rombongan mereka, biarpun Giok-hoan merasa tidak sabar, tapi terpaksa tak bisa berbuat apa-apa.

   Setelah berjalan tujuh atau delapan hari, Yim Thian-ngo sendiri juga gelisah karena tidak melihat munculnya Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok seperti rencana mereka.

   Suatu hari sampailah rombongan mereka di Jing-liong-kau (mulut naga hijau), suatu selat pegunungan yang berbahaya.

   Jika selat itu dilalui, maka masuklah mereka ke dalam wilayah pengaruh laskar rakyat.

   Sampai di sini kembali Yim Thian-ngo memerintahkan rombongan berhenti dan suruh pengintai menyelidiki keadaan dahulu.

   Menurut pikiran Hi Giok-hoan, ia mengusulkan agar perjalanan diteruskan saja mengingat tempat tujuan sudah hampir sampai.

   Akan tetapi Yim Thian-ngo tidak setuju, ia bilang jarak terakhir justru paling berbahaya dan perlu hati-hati.

   Padahal dalam hati ia sangat gelisah dan menggerutu mengapa komplotan Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok masih belum muncul? Jika hari ini mereka tidak datang, maka besok tiada kesempatan lagi.

   Kemudian Giok-hoan mengusulkan pula agar pengintai langsung menghubungi pihak laskar di Ci-lo-san dan minta dijemput.

   Yim Thian-ngo berlagak berpikir sejenak, lalu berkata.

   "Bagus juga usulmu, bolehlah kau saja yang pergi ke sana!"

   Sudah tentu maksudnya menyingkirkan Hi Giok-hoan agar rencana mereka dapat terlaksana dengan lebih mudah.

   Tapi pada saat itu juga sekonyong-konyong terdengar suara gemuruhnya kuda berlari, suatu pasukan berkuda mendadak muncul dari atas bukit sana, dengan cepat kereta-kereta mereka terkepung.

   Nyata yang datang adalah pasukan berkuda Mongol, dua orang pemimpinnya adalah Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok.

   Karena mereka terluka sedikit dalam pertarungan sengit di rumah Beng Jit-nio, maka kedatangan mereka terlambat dua hari menurut rencana.

   Pasukan berkuda itupun perajurit pilihan dari pasukan Mongol.

   Munculnya kedua iblis tua itu tentu saja sangat menggirangkan Yim Thian-ngo.

   Tapi ia pura-pura berlagak kaget dan gusar, ia melarikan kudanya memapak ke sana sambil membentak.

   "Yim Thian-ngo berada di sini, kaum Tartar jangan main gila!"

   Berbareng pedangnya menabas ke kanan kiri, kontan dua bintara pasukan Mongol terjungkal dari kuda.

   "Bagus, Yim Thian-ngo, kau bukan orang Kay-pang, tapi sengaja menjadi pengawal pihak Kay-pang, ini rasakan pukulanku,"

   Bentak Sebun Bok-ya, segera ia pun menghantam dengan membawa bau amis, seketika dua anggota Kay-pang yang berada di dekat Yim Thian-ngo roboh pingsan oleh bau yang memuakkan itu.

   "Kalian mundur semua, biar aku melayani iblis ini,"

   Teriak Yim Thian- ngo.

   "Ha, ha, ha, di medan perang begini siapa mau bicara tentang peraturan Kang-ouw dengan kau?"

   Seru Cu Kiu-bok dengan bergelak tertawa. Segera ia pun memberi perintah.

   "Lepaskan anak panah!"

   Serentak terjadilah hujan panah.

   Tapi anggota-anggota Kay-pang telah putar perisai mereka untuk melindungi tubuh masing-masing.

   Namun keledai penarik kereta dan kuda tunggangan mereka sukar dilindungi, dalam sekejap saja sudah mati kena panah.

   Anak murid Kay-pang itu tidak gentar, dengan gagah berani mereka menyerbu ke depan untuk bertempur dengan pasukan berkuda Mongol.

   Yang satu di atas kuda dan yang lain berjalan kaki, sudah tentu anak murid Kay-pang kecundang.

   Kuda tunggangan Yim Thian-ngo juga mati terpanah dan terpaksa dia melompat ke tanah.

   "Tua bangka she Yim, sekarang kau kenal kelihaianku belum?"

   Bentak Sebun Bok-ya.

   "Ini, kau pun berkenalan dulu dengan Jit-siu-kiam-hoatku!"

   Bentak Yim Thian-ngo sambil putar pedangnya, seketika terjangkitlah cahaya yang mirip tujuh tangkai bunga, kontan mata kuda tunggangan Sebun Bok-ya tertusuk buta sehingga Sebun Bok-ya terpaksa juga melompat turun.

   "Hm, memangnya aku gentar kepada Jit-siu-kiam-hoatmu yang cuma begini saja ini?"

   Jengek Sebun Bok-ya.

   Segera ia pun melancarkan pukulan pula.

   Nyata permainan sandiwara mereka itu berlangsung dengan sangat wajar sehingga orang lain sama sekali tidak akan mengira ada persekutuan di antara mereka.

   Di sebelah sana Hi Giok-hoan juga tidak tinggal diam, ia keluarkan Pek- hoa-kiam-hoat yang gesit dan lincah, yang dia incar adalah kaki-kaki kuda musuh, dimana sinar pedangnya menyambar, di situ terdengarlah lengking kuda yang mengerikan, dalam sekejap saja berpuluh perajurit Mongol telah dibikin terjungkal dari atas kudanya.

   "Ha, ha, bocah ingusan yang pernah kukalahkan, sekarang kau berani main gila di sini?"

   Ejek Cu Kiu-bok demi mengenali Hi Giok-hoan.

   "Aku justru hendak mencari kau untuk membikin perhitungan,"

   Jawab Giok-hoan dengan gusar.

   "Hari ini kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang gugur!"

   "Huh, hanya sedikit kepandaianmu ini masakah mampu melukai aku?"

   Jengek Cu Kiu-bok.

   Tapi Hi Giok-hoan lantas melancarkan serangan membadai dengan nekat.

   Cu Kiu-bok menyambutnya dengan pukulan Siu-lo-im-sat-kang yang kuat dan berhawa dingin, beberapa meter sekelilingnya seketika terasa dingin bagai di tanah bersalju, orang lain tidak tahan dan terpaksa menyingkir jauh- jauh.

   Di bawah serangan Siu-lo-im-sat-kang itu wajah Hi Giok-hoan tampak pucat, tapi permainan pedangnya ternyata belum kacau, diam-diam Cu Kiu- bok tercengang, ia heran, baru lewat dua bulan saja mengapa kekuatan bocah ini sudah bertambah sehebat ini? Ia tidak menyadari bahwa sekali-kali bukan kekuatan Giok-hoan yang tambah hebat, tapi adalah kekuatannya sendiri yang banyak berkurang lantaran adu pukulan dengan Han Tay-wi tempo hari itu sehingga daya Siu-lo-im-sat-kang juga banyak terpengaruh.

   Walaupun begitu toh jarak keuletan kedua orang memang selisih jauh, beberapa puluh jurus permulaan Hi Giok-hoan masih sanggup bertahan, setelah lewat tigapuluh-empatpuluh jurus, lambat-laun ia mulai menggigil seakan-akan berada di tanah bersalju.

   Pasukan berkuda Mongol itu adalah regu pilihan, semuanya sangat tangkas.

   Sebaliknya anak buah Kay-pang juga sudah bertekad bertempur mati-matian.

   Maka terjadilah pertempuran maha sengit, korban perajurit Mongol berjatuhan satu kali lebih banyak daripada korban anak buah Kay- pang.

   Tapi lantaran jumlah perajurit Mongol berjumlah tiga-empat kali lipat, maka kedudukan tetap lebih kuat di pihak pasukan Mongol.

   Melihat korban yang jatuh di pihak Kay-pang bergelimpangan, hati Giok- hoan menjadi pedih dan gusar pula, tapi di bawah serangan Cu Kiu-bok ia sendiri pun kewalahan, mana dia mampu memberi bantuan lagi? "Anak manis, tempo hari kau beruntung dapat lolos, sekarang apakah kau berharap akan ditolong orang pula? He, he, coba saja kau hendak lari kemana, lebih baik menyerah saja,"

   Jengek Cu Kiu-bok. Tampaknya pihak Kay-pang pasti akan kalah habis-habisan, tak terduga pada saat itu juga tiba-tiba tiga penunggang kuda tampak datang secepat terbang. Seorang di antaranya lantas membentak.

   "Kembali kalian berdua bangsat tua ini melakukan kejahatan pula di sini, kebetulan hari ini kita dapat menentukan kalah dan menang."

   Ketiga orang yang datang ini adalah Kong-sun Bok, Kiong Kim-hun dan Kok Siau-hong.

   Cu Kiu-bok sudah pernah bertempur beberapa kali dengan mereka dan mengetahui ilmu silat Kong-sun Bok dan Kok Siau-hong selisih tidak banyak dengan dia, hanya Kiong Kim-hun saja yang agak lemah, tapi ayah Kiong Kim-hun adalah Oh-hong-to-cu yang diseganinya, kini Kiong Kim-hun justru datang dengan kedua pemuda yang berkepandaian tinggi ini, keruan Cu Kiu-bok menjadi keder.

   Tempo hari Kok Siau-hong tidak bertemu Hi Giok-kun dan Hi Giok- hoan, tapi berjumpa dengan Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun, mereka bertiga lantas menuju ke markas Kay-pang untuk mencari berita.

   Di tengah jalan Kiong Kim-hun telah menceritakan pengalamannya ketika bersembunyi di kolong ranjang kamar Han Pwe-eng, terutama tentang kepalsuan Yim Thian-ngo serta kebusukannya yang memfitnah hubungan gelap Kok Siau-hong dengan Han Pwe-eng.

   "Tampaknya kedatangan pamanmu ke rumah Han Tay-wi itu tidak bermaksud baik,"

   Demikian kata Kiong Kim-hun lebih lanjut.

   "Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan dia membongkar isi kamar nona Han itu, entah apa yang dicarinya, besar kemungkinan dia hendak mencuri sesuatu."

   Kok Siau-hong sendiri memang tidak berkesan baik kepada pamannya itu, cuma ia pun tidak mengira bahwa martabat sang paman sudah sedemikian buruk dan rendahnya.

   Malam itu mereka telah masuk ke Lok-yang bersama arus kaum pengungsi dan berhasil menemui ketua Kay-pang Liok Kun-lun.

   Dari ketua Kay-pang itu mereka mengetahui bahwa Hi Giok-hoan sudah lebih dulu datang ke situ dan sedang membantu Yim Thian-ngo mengantar harta pusaka berasal dari rumah Han Tay-wi itu.

   Kok Siau-hong terkejut oleh keterangan itu.

   Sedang Kiong Kim-hun lantas menjengek.

   "Nah, sandiwara sudah dekat dengan tamatnya!"

   "Apa maksud ucapan nona Kiong ini?"

   Tanya Liok Kun-lun dengan bingung. Karena menyangkut urusan penting, terpaksa Kok Siau-hong menjelaskan.

   "Nona Kiong mencurigai pamanku mengincar harta pusaka keluarga Han itu, sebab nona Han sendiri pernah menyaksikan pamanku mengobrak-abrik isi rumah Han Tay-wi."

   "Yim-losiansing berbudi luhur dan dihormati, mana bisa dia berbuat begitu?"

   Ujar Liok Kun-lun dengan kurang senang.

   "Ya, nanti kalau kalian sudah dapat percaya mungkin urusan sudah terlambat,"

   Jengek Kiong Kim-hun.

   "Maksud baik nona Kiong ini tentunya ada alasannya, kukira begini saja, Liok Pang-cu, bagaimana kalau kami bertiga ikut menyusul ke sana untuk membantu mengawal harta pusaka itu?"

   Kata Siau-hong.

   Usul ini segera disokong oleh Kong-sun Bok.

   Liok Kun-lun sendiri percaya penuh kepada Yim Thian-ngo, tapi ucapan Siau-hong tadi agaknya tak menaruh kepercayaan pamannya sendiri, maka akhirnya ia pun menerima baik usul Kok Siau-hong itu.

   Begitulah Kok Siau-hong bertiga berhasil tiba tepat pada waktunya selagi keadaan sangat gawat bagi Hi Giok-hoan.

   Tertampak Yim Thian-ngo sedang bertempur sengit melawan Sebun Bok-ya, mereka menjadi ragu-ragu apakah dugaan mereka meleset atas pribadi orang she Yim itu? AAT itu keadaan Hi Giok-hoan dan Yim Thian-ngo kelihatan sangat berbahaya, lantaran timbul rasa menyesal telah berprasangka buruk terhadap sang paman, ia lantas minta Kong-sun Bok melawan Cu Kiu-bok, sedangkan ia sendiri hendak menempur Sebun Bok-ya.

   Kong-sun Bok mengiakan, segera ia angkat payung pusakanya dan digunakan sebagai pedang, tanpa bicara ia terus menusuk.

   Cu Kiu-bok kenal kelihaian payung itu, ia tidak berani gegabah, cepat ia mengelak ke samping sambil balas menghantam satu kali.

   Maka Hi Giok-hoan sempat melepaskan diri dari serangan Cu Kiu-bok tadi, bersama Kiong Kim-hun segera mereka menerjang ke arah pasukan Mongol, banyak anak buah Kay-pang dapat diselamatkan oleh mereka.

   Maka pertempuran sengit itu lambat-laun berubah menguntungkan pihak Kay- pang.

   Di sebelah sana, ketika Kok Siau-hong memburu ke arah Sebun Bok-ya, mendadak terdengar pamannya, yaitu Yim Thian-ngo menjerit.

   "Iblis tua, biar aku mengadu jiwa dengan kau!" ~ Kiranya Yim Thian-ngo telah kena dihantam oleh Sebun Bok-ya, tapi dengan cepat ia pun balas menusuk dengan pedangnya sehingga bahu kiri iblis tua itupun kena dilukai. Kok Siau-hong melihat sang paman memuntahkan darah oleh pukulan lawan, tampaknya terluka cukup berat. Keruan ia terkejut dan cepat menerjang ke sana untuk membantu. Akan tetapi perajurit-perajurit Mongol yang tangkas itu telah merintanginya, ketika ia berhasil merobohkan perintang itu, tiba-tiba terlihat Yim Thian-ngo dan Sebun Bok-ya telah saling menggunakan serangan maut. Tertampak Sebun Bok-ya menghantam sekaligus dengan kedua tangan dan tepat mengenai dada Yim Thian-ngo.

   "blang", Yim Thian-ngo menggerung keras, tubuh pun mencelat ke atas seperti bola yang terpental. Sebaliknya perut Sebun Bok-ya juga terkena tusukan pedang, darah mengucur membasahi pakaiannya. Cepat Kok Siau-hong memburu maju sambil membentak.

   "Bangsat tua, jangan temberang!" ~ Segera pedangnya bekerja dengan tipu serangan

   Jilid 12 S mematikan dari Jit-siu-kiam-hoat yang paling lihai, sekali menusuk mengincar tujuh tempat Hiat-to di tubuh musuh.

   "Hm, bocah keparat, bagus sekali jika kau pun cari mampus!"

   Jengek Sebun Bok-ya.

   "Nah, biar kukirim kalian paman dan keponakan ke neraka bersama."

   Berbareng pukulan dahsyat yang membawa bau amis lantas menyambar.

   Ternyata serangan Kok Siau-hong itu tidak berhasil menyentuh ujung baju lawan, sebaliknya lantas terguncang ke samping.

   Bahkan dada terasa muak dan hampir-hampir muntah.

   Lekas Kok Siau-hong tenangkan diri dan mengerahkan Siau-yang-sin-kang, dengan demikian barulah terasa segar kembali.

   Diam-diam Siau-hong terkejut juga oleh kelihaian lawan, padahal iblis tua itu sudah tertusuk pedang pamannya (Yim Thian-ngo), tapi tenaganya masih begitu hebat, tampaknya mesti adu jiwa dengan dia.

   Sebaliknya Sebun Bok-ya juga terkesiap oleh kekuatan Kok Siau-hong, Hoa-hiat-to yang dia keluarkan ternyata tidak dapat merobohkan pemuda itu, andaikan nanti dapat mengalahkannya toh sedikitnya harus ratusan jurus kemudian, padahal pihak Kay-pang entah ada bala bantuan lain atau tidak, jika masih ada, tentu urusan bisa runyam.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dalam pada itu kelihatan Yim Thian-ngo telah merangkak bangun dengan muka penuh darah, lalu mendekati kalangan pertempuran dengan langkah sempoyongan.

   "Ku-ku, kau mengaso saja dulu, biar aku melayani bangsat tua ini,"

   Seru Kok Siau-hong.

   "Tidak, Siau-hong, lebih baik kau mundur saja,"

   Jawab Yim Thian-ngo dengan napas terengah-engah.

   "Kau adalah keturunan keluarga Kok satu- satunya, jika terjadi apa-apa atas dirimu, cara bagaimana aku harus bertanggung-jawab kepada ibumu? Ku-ku sudah tua, mati pun tidak perlu disayangkan, biarlah aku mengadu jiwa saja dengan iblis tua ini."

   Tanpa menghiraukan seruan Kok Siau-hong segera ia putar pedangnya menerjang pula ke tengah kalangan pertempuran.

   "Ha, ha, ha, kalian tidak perlu saling sayang menyayang, biar aku bereskan kalian sekaligus saja,"

   Seru Sebun Bok-ya dengan gelak tertawa.

   Berbareng hantamannya susul menyusul dua kali mengarah Yim Thian- ngo, semuanya pukulan maut.

   Keruan Kok Siau-hong menjadi kuatir, cepat ia menangkiskan serangan itu bagi sang paman.

   Kok Siau-hong tidak tahu bahwa sang paman dan Sebun Bok-ya sebenarnya cuma main sandiwara saja, sebelumnya mereka sudah berkomplot, hakikatnya Yim Thian-ngo tidak terluka apa-apa, bahu Sebun Bok-ya juga cuma tergores lecet sedikit saja.

   Perut yang terkena tusukan pedang itupun permainan belaka, sebelumnya dia menaruh sepotong daging sapi di dalam baju, maka tusukan itupun mengenai daging sapi dan merembeskan air berdarah.

   Di sebelah sana Kong-sun Bok benar-benar sedang bertempur mati- matian melawan Cu Kiu-bok.

   Mestinya kekuatan Cu Kiu-bok lebih unggul setingkat daripada lawannya, tapi seperti juga Sebun Bok-ya, dia baru saja mengadu pukulan dengan Han Tay-wi beberapa hari yang lalu, maka tenaganya belum pulih sama sekali sehingga sekarang dia hanya dapat menandingi Kong-sun Bok dengan sama kuat.

   Namun Kong-sun Bok menggunakan senjata payung pusaka yang merupakan suatu benda mestika di dunia persilatan, di waktu payung itu terangkup dapat digunakan sebagai pedang, sedangkan kalau payung itu terbuka dapat dipakai sebagai perisai.

   Dengan demikian Cu Kiu-bok menjadi rada kewalahan malah.

   Dalam pertarungan sengit itu, sekonyong-konyong payung Kong-sun Bok menusuk ke tenggorokan Cu Kiu-bok.

   "Kurangajar! Berani kau memandang enteng padaku?"

   Teriak Cu Kiu-bok dengan murka.

   Segera ia gunakan Kim-na-jiu-hoat (ilmu memegang dan menangkap) untuk merebut payung pusaka lawan, sedang tangan yang lain menggunakan Siau-lo-im-sat-kang untuk menghantam iga lawan.

   Tak terduga gerak payung Kong-sun Bok ternyata sangat aneh, cengkeram Cu Kiu-bok tahu-tahu menangkap angin, cepat sekali tusukan payung Kong-sun Bok telah berubah menjadi tabasan.

   Karena itu hantaman Cu Kiu-bok tepat mengenai gagang payung, padahal kerangka payung itu terbuat dari baja murni, maka terdengarlah suara kletak yang keras, tulang pergelangan tangan Cu Kiu-bok seakan-akan patah.

   Setelah kesakitan barulah Cu Kiu-bok ingat senjata lawan itu adalah benda mestika.

   Ia menjadi murka dan mencaci-maki, kembali ia menyerang dengan Siau-lo-im-sat-kang tingkatan kedelapan yag telah diyakinkannya.

   Kong-sun Bok pentang payung untuk menahan angin pukulan lawan yang menderu itu, berbareng itu pun ia melancarkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya, payung berputar laksana kitiran, namun begitu toh terasa juga hawa dingin yang tersembur dari Siau-lo-im-sat-kang lawan yang lihai itu.

   Berulang-ulang Cu Kiu-bok melancarkan pukulan Siu-lo-im-sat-kang sekuatnya, namun tidak berhasil, diam-diam ia mengeluh karena tenaganya mulai surut.

   Pada saat itulah Kong-sun Bok mendadak melangkah maju sambil membentak.

   "Iblis tua keparat, sekarang kau pun rasakan ilmu berbisa kemahiranku!"

   Sekonyong-konyong sebelah tangannya menyodok ke depan melalui bawah payung, telapak tangannya kelihatan merah membara dan mengeluarkan bau amis yang memuakkan.

   Keruan Cu Kiu-bok terkejut, sebab segera dikenalnya ilmu pukulan berbisa yang digunakan Kong-sun Bok ternyata adalah Hoa-hiat-to yang lihai.

   Sebagai begundal lama Sebun Bok-ya, sudah tentu Cu Kiu-bok kenal betapa lihainya Hoa-hiat-to.

   Apalagi telapak tangan Kong-sun Bok yang kelihatan merah tua itu tampaknya dalam ilmu berbisa ini bahkan terlebih hebat daripada Sebun Bok-ya, karena itulah Cu Kiu-bok menjadi jeri.

   Sementara itu pukulan lawan sudah dekat, untuk mengelak juga sukar karena terhalang oleh payung, dalam keadaan kepepet, terpaksa Cu Kiu-bok mendek ke bawah tanpa malu-malu lagi sehingga dia hampir mirip orang yang sedang menyembah, menyusul itu sempatlah dia menerobos lewat di bawah payung lawan.

   Walaupun begitu tidak urung pantatnya juga tertusuk oleh ujung payung yang tajam sehingga berdarah.

   Cu Kiu-bok tidak tahu bahwa sebenarnya kekuatan Kong-sun Bok tidak sehebat Sebun Bok-ya, jika dia berani mengadu tangan dengan pemuda itu, sekali pun dia sendiri belum pulih tenaganya, tapi tidak pula akan terluka.

   Melihat Kong-sun Bok mendapat kemenangan, Hi Giok-hoan dan Kiong Kim-hun menjadi girang, semangat mereka terbangkit, serentak perajurit Mongol diterjang mereka hingga lari kalang-kabut.

   Sebun Bok-ya juga terkejut melihat kekalahan Cu Kiu-bok yang konyol itu, bentaknya dengan gusar.

   "Bagus, biar kumampuskan dulu kau tua bangka ini baru kubereskan kedua bocah ini!"

   Yim Thian-ngo tersadar dan merasa sandiwara mereka sudah waktunya ditamatkan, segera ia pura-pura bertahan mati-matian, ketika pukulan Sebun Bok-ya tiba, ia tidak berkelit, sebaliknya menubruk maju sambil membentak.

   "Iblis tua, biar kuadu jiwa dengan kau. Auuuh!"

   Dengan tepat ia kena dihantam Sebun Bok-ya, pedangnya terpental ke udara, darah segar pun tersembur keluar dari mulutnya.

   Kejut Kok Siau-hong tak terkatakan, cepat ia merangkul sang paman terus mundur ke belakang.

   Memangnya dia tak dapat menandingi Sebun Bok-ya, kini melawan dengan sebelah tangan melulu, sedang keadaan sang paman entah bagaimana, keruan pikirannya menjadi kacau dan lebih-lebih bukan tandingan Sebun Bok-ya.

   Lekas Hi Giok-hoan dan Kiong Kim-hun memburu tiba untuk membantu, sedangkan Kong-sun Bok terus mencecar Cu Kiu-bok dengan kencang agar lawannya tidak mampu menggabungkan diri dengan Sebun Bok-ya.

   Ketika Giok-hoan dan Kim-hun sudah mendekat, sekonyong-konyong terdengar Kok Siau-hong mengerang keras, bahu kiri terkena pukulan Sebun Bok-ya dan berdarah.

   Berbareng itu pedang Kok Siau-hong juga balas menusuk, karena tidak menyangka pemuda itu berani mengadu jiwa dalam keadaan terluka parah, maka tanpa terjaga Sebun Bok-ya juga terluka oleh tusukan pedang itu, hanya saja tidak parah, namun ia pun terkejut dan melompat mundur.

   Begitu Hi Giok-hoan dan Kiong Kim-hun memburu tiba, segera Kiong Kim-hun menyerang dengan Jit-sat-ciang.

   Sebun Bok-ya kenal ilmu pukulan itu adalah ilmu andalan Oh-hong-to-cu Kiong Cau-bun, dia tidak berani memandang enteng kedua lawan mudanya itu, dengan tenang ia hadapi setiap serangan dan tidak berani balas menyerang secara gegabah.

   Kesempatan itu segera digunakan oleh Hi Giok-hoan untuk membangunkan Kok Siau-hong yang tampak pucat-pasi, jelas pemuda itu terluka parah.

   Cepat Giok-hoan tanya bagaimana keadaan Siau-hong.

   Racun pukulan Hoa-hiat-to sangat lihai, Kok Siau-hong merasa bagian lukanya sakit pedas seperti dibakar, dalam sekejap saja separoh badannya terasa kaku.

   Namun pikiran Siau-hong masih cukup jernih, ia pikir dirinya tidak menjadi soal, yang penting sang paman harus diselamatkan lebih dulu.

   Ia tidak tahu bahwa justru sang paman yang terkenal dan "terhormat"

   Di dunia persilatan itulah yang bersekongkol dengan musuh dan mengakibatkan dia terluka parah demikian. Begitulah sekuat sisa tenaga Siau-yang-sin-kang yang masih ada, Kok Siau- hong berusaha berbangkit, lalu jawabnya.

   "Aku tidak apa-apa, harap engkau suka menolong pamanku dulu!"

   Yim Thian-ngo kelihatan meronta-ronta payah untuk berduduk di atas tanah, terdengar dia berseru agar dirinya tidak perlu dipikirkan, yang penting harus gempur musuh dan menyelamatkan barang kawalannya.

   Seperti juga Kok Siau-hong, sudah tentu Hi Giok-hoan juga tidak pernah menyangka bahwa Yim Thian-ngo sebenarnya sedang main sandiwara.

   Segera ia mendekati orang tua itu dan merangkulnya untuk dibawa lari.

   Yim Thian-ngo pura-pura berteriak agar dirinya jangan diurus, berbareng ia sengaja mengerahkan tenaga dalam untuk memuntahkan darah.

   Lalu ia pura-pura jatuh pingsan di atas pundak Hi Giok-hoan dan tidak bergerak lagi.

   Karena kecundang di tangan Kong-sun Bok, maka Cu Kiu-bok sudah jeri dan tidak berani bertempur lebih lama lagi, segera ia berusaha melepaskan diri untuk lari ke sana buat bergabung dengan Sebun Bok-ya.

   Cu Kiu-bok sendiri pernah bertempur melawan Kiong Kim-hun dan tahu kepandaiannya paling lemah di antara kawan-kawannya itu.

   Maka ia lantas minta agar Sebun Bok-ya menyerahkan Kiong Kim-hun kepadanya.

   Sementara itu Kong-sun Bok sudah memburu tiba pula, Sebun Bok-ya sudah tahu dia adalah putera Kong-sun Ki yang kelak pasti akan membikin perhitungan akan dosanya mencuri kitab pusaka keluarga Kong-sun itu, ia pikir bocah ini harus dilenyapkan sekarang jika ingin hidup tenteram.

   Begitulah ia lantas memapaki Kong-sun Bok, sambil membentak sekaligus ia keluarkan dua macam ilmu berbisa.

   Tangan kiri menggunakan pukulan Hoa-hiat-to yang menjangkitkan bau amis, tangan kanan menggunakan pukulan Hu-kut-ciang yang membawa bau busuk mayat.

   Sejak Sebun Bok-ya meyakinkan kedua macam ilmu itu, baru pertama kali ini dia menggunakan kedua ilmu itu sekaligus.

   Hoa-hiat-to yang dilatih Kong-sun Bok juga sudah mencapai tingkatan kedelapan, tapi latihan Hu-kut-ciang masih cetek, maka ia tidak berani mengadu kekuatan ilmu berbisa ini dengan lawan, dia masih tetap melawannya dengan payung mestikanya, dengan gerak tipu "Hian-niau-hoa- sah" (burung sakti menyambar pasir), ujung payung memapak telapak tangan lawan.

   Ilmu silat Kong-sun Bok diperoleh dari tiga maha guru ilmu silat pada zaman ini, jurus serangan "Hian-niau-hoa-sah"

   Adalah ilmu pedang menusuk Hiat-to ajaran Liu Goan-cong, yaitu ayah Hong-lay-mo-li.

   Keruan Sebun Bok-ya terkejut dan heran akan ilmu silat lawan yang berbagai macam ragamnya itu.

   Sebagai seorang ahli, begitu melihat gerak serangan lawan itu segera ia tahu akan kelihaiannya, ia tak berani lagi mendekat, terpaksa menghantam dari jarak jauh.

   Kong-sun Bok bertahan berkat payung pusakanya, maka kedua pihak dapatlah seimbang dan sama kuatnya.

   Di sebelah sana Kiong Kim-hun sudah kewalahan menandingi Cu Kiu- bok.

   Terpaksa Hi Giok-hoan yang memanggul Yim Thian-ngo itu maju membantu, tapi kuatir Yim Thian-ngo terluka pula, maka gabungan mereka berdua tetap sukar menandingi Cu Kiu-bok.

   Dalam pada itu perajurit berkuda Mongol yang tangkas itu kembali merubung maju pula, anak murid Kay-pang bertempur mati-matian, tapi karena kalah banyak, korban yang jatuh di kedua pihak semakin bertambah, jumlah perajurit Mongol masih ada beberapa puluh orang, sebaliknya anak murid Kay-pang tinggal belasan orang saja.

   Kok Siau-hong berusaha menghalau racun dengan mengerahkan tenaga dalam sambil bertempur pula sekuatnya, ia merasa kaki dan tangannya tambah kaku dan mati rasa, hanya beberapa perajurit Mongol kena dirobohkan, tapi ia sendiri pun terkena beberapa luka lagi.

   Waktu itu kereta keledai yang mengangkut harta karun itu sudah dirampas oleh perajurit Mongol, dengan menahan sakit Kok Siau-hong berteriak.

   "Harta dapat dicari, yang penting orang harus diselamatkan! Lekas kita melindungi Ku-ku kembali ke Kay-pang saja!"

   Melihat keadaan sudah payah, kekalahan sukar dihindarkan lagi, Kong- sun Bok juga tidak ingin bertempur lebih lama.

   Segera ia berputar, secepat kilat ia melancarkan suatu serangan untuk mendesak mundur Cu Kiu-bok yang sedang menyerang Kiong Kim-hun.

   Ketika Sebun Bok-ya menubruk maju, dengan tepat dapat ditahan pula oleh payungnya.

   Hi Giok-hoan menguatirkan keadaan Kok Siau-hong, segera ia berseru.

   "Kongsun-toako, harap engkau membantu Kok-heng saja!"

   Segera Kong-sun Bok melancarkan serangan pula untuk menarik diri ke arah Kok Siau-hong, tiba-tiba dilihatnya Kok Siau-hong bersuit panjang, seekor kuda mendadak berlari mendekatinya, sekali cemplak segera Kok Siau-hong melompat ke atas kuda itu dan menerjang keluar.

   Tujuan Kok Siau-hong menerjang keluar kepungan musuh adalah dengan tekad mati-matian, sebab ia rasa lukanya sendiri cukup berat, maka ia tak ingin membikin susah kawan-kawannya, jika dirinya tidak menerjang keluar dengan menempuh bahaya, tentu Hi Giok-hoan, Kong-sun Bok dan lain-lain terpaksa harus membagi kekuatan mereka untuk membantunya.

   Padahal musuh lebih kuat, untuk lolos dengan membawa Ku-ku saja mungkin sukar, apalagi harus membantunya.

   Karena pikiran inilah maka Kok Siau-hong bertekad mengorbankan diri sendiri asalkan sang paman dapat diselamatkan.

   Kong-sun Bok menjadi kuatir, sekali hantam ia binasakan seorang perajurit Mongol, ketika ia hendak merampas kuda musuh, tiba-tiba Sebun Bok-ya sudah memburu tiba untuk mencegatnya.

   Dalam pada itu Kok Siau-hong telah dihadang oleh perajurit-perajurit Mongol dengan tombak-tombak yang panjang, namun kuda tunggangan Kok Siau-hong itu adalah kuda terlatih dan terkenal dengan nama "si naga putih", mendadak kuda itu meringkik sambil berdiri menegak, sekali mencongklang sejauh beberapa meter, tusukan beberapa tombak itu telah dapat dihindarkan.

   Beberapa perwira Mongol tidak tinggal diam, mereka terus menguber dengan kencang.

   Lantaran terluka parah, terpaksa Siau-hong harus menarik tali kendalinya agar dapat duduk dengan mantap, karena itulah lari "si naga putih"

   Menjadi setengah terkekang. Maka tidak antara lama empat perwira Mongol dapatlah menyusulnya.

   "Matilah yang berani merintangi aku!"

   Bentak Kok Siau-hong mendadak sambil setengah mendekam di atas pelananya, sebelah tangannya terus meraup ke belakang sehingga dua batang tombak musuh yang sedang menusuk itu kena dipegang, kontan dua perwira Mongol terbetot jatuh ke bawah kuda.

   Dengan dua batang tombak rampasan itu Kok Siau-hong menoleh terus menimpukkan tombak-tombak itu, kontan terdengarlah jeritan ngeri, seorang perwira itu tertembus oleh tombak dan terjungkir ke bawah kuda.

   Tapi perwira Mongol yang lain sempat memutar goloknya dan menyampuk jatuh tombak yang menyambar tiba itu.

   Kiranya perwira Mongol itu bernama Pilufa, bekas seorang jagoan "Kemah Emas"

   Yang terkenal sebagai pasukan khusus yang didirikan Jengis Khan.

   Sesudah Jengis Khan wafat, puteranya yang ketiga, Ogotai, menggantikannya menjadi Khan Agung, Pilufa naik pangkat menjadi jago pengawal kelas satu.

   Pasukan Mongol yang ditugaskan mencegat ini adalah di bawah komandonya.

   Pilufa juga terkenal sebagai jago panah, ilmu silatnya tidak lemah, sesudah menyampuk jatuh tombak yang disambitkan Kok Siau-hong itu, segera ia balas menjengek.

   "Kalau diberi haruslah membalas, ini agar kau pun berkenalan dengan panahku!"

   Berbareng itu ia terus tarik busur, berturut-turut ia membidikkan tiga buah anak panah.

   Dengan cepat Kok Siau-hong sempat menghindarkan anak panah pertama, panah kedua kena disampuk jatuh dengan pedang, sampai di sini tenaganya sudah lemah, maka anak panah ketiga keburu menancap di pantat "si naga putih".

   Keruan kuda putih itu berjingkrak kesakitan sambil membedal ke depan.

   Kok Siau-hong tidak sanggup menahan kendalinya, dia terlempar ke atas.

   Kebetulan saat itu dia berada di atas lereng tebing, tanpa ampun lagi Kok Siau-hong terjerumus ke bawah jurang laksana layang-layang putus talinya.

   Di tengah pertempuran sengit dengan pasukan Mongol, dari jauh Kong- sun Bok dan Hi Giok-hoan melihat Kok Siau-hong terkena panah dan jatuh ke bawah kuda, kejut mereka tidak kepalang.

   Saat itu mereka sudah berhasil merebut kuda tunggangan, tapi pasukan musuh juga mengepung dengan rapat, seketika mereka pun sukar menerjang keluar.

   "Terjang ke sebelah sana!"

   Seru Hi Giok-hoan, ia merasa bertanggung jawab sebagai pembantu Yim Thian-ngo dalam pengawalan ini.

   Kini Yim Thian-ngo tak sadarkan diri, Kok Siau-hong kelihatan sukar ditolong lagi, tiada jalan lain terpaksa menerjang keluar dari arah lain.

   Segera Kong-sun Bok memutar kencang payungnya dan mendahului membuka jalan.

   Karena sudah berhasil merampas harta karun yang dituju, apalagi Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok juga tidak yakin mampu mengalahkan Kong-sun Bok, maka mereka pun tidak ingin bertempur lebih lama dan membiarkan Hi Giok-hoan dan rombongannya menerjang pergi.

   Dengan membawa sisa anak buah Kay-pang dapatlah Hi Giok-hoan dan Kong-sun Bok meloloskan diri dengan lancar.

   Tidak jauh, waktu Giok-hoan menoleh, ternyata pasukan musuh tiada mengejar, dengan rasa lega barulah ia menurunkan Yim Thian-ngo.

   Lagak Yim Thian-ngo benar-benar sangat mirip orang payah, sedikit pun Hi Giok-hoan dan Kong-sun Bok tidak menyangka permainan sandiwara orang she Yim itu.

   Maka Giok-hoan memberi sebutir Siau-hoan-tan yang mengobati luka dalam, Kong-sun Bok juga membantu mengurut tubuhnya.

   Selang sejenak, Yim Thian-ngo pura-pura mulai siuman dan memuntahkan sekumur riak kental berdarah.

   Lalu ia berduduk dan membuka suara, pertama-tama ia lantas tanya dimana Kok Siau-hong dan menyatakan rasa penyesalannya jika keponakannya sampai tewas.

   "Yim-locianpwe jangan kuatir, Kok-heng sudah menyelamatkan diri,"

   Kata Giok-hoan sengaja menutupi apa yang terjadi sesungguhnya. Yim Thian-ngo berlagak tidak percaya, katanya.

   "Jika dia sudah menyelamatkan diri, kenapa dia tidak berada bersama kalian?"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kami harus membagi tugas,"

   Terpaksa Giok-hoan membohong pula.

   "Kami akan kembali ke Kay-pang dan dia menuju ke Ci-lo-san untuk minta bala bantuan, semoga dengan bantuan pasukan laskar di Ci-lo-san dapatlah harta pusaka itu dirampas kembali."

   Dengan sikap lega Yim Thian-ngo masih menggeleng kepala juga, katanya.

   "Tapi aku tetap kuatir. Dia menerjang keluar sendirian, bukan mustahil akan terjadi apa-apa atas dirinya. Aku sudah tua bangka, biar mati pun tiada berarti. Supaya tidak membikin susah kalian, bolehlah kalian kembali ke Kay-pang untuk menyampaikan berita buruk ini, aku biarlah tinggalkan saja di sini."

   "Mana boleh jadi!"

   Ujar Giok-hoan.

   Selagi dia membujuk pula sebisanya, tiba-tiba tampak debu mengepul tinggi di jalanan sana, suatu pasukan berkuda Mongol kelihatan menuju cepat ke selatan.

   Semula Giok-hoan mengira kedatangan pasukan Mongol itu adalah untuk mencari mereka yang lolos ini, maka cepat mereka memayang Yim Thian-ngo dan bersembunyi ke dalam hutan yang lebat.

   Sesudah pasukan Mongol itu lewat barulah hati mereka tenteram.

   "Wah, celaka!"

   Tiba-tiba Kong-sun Bok berkata.

   "Ada apa? Kan kita tidak sampai kepergok?"

   Ujar Kiong Kim-hun.

   "Pasukan Mongol menuju ke selatan dengan cepat, mungkin Lok-yang sudah jatuh,"

   Kata Kong-sun Bok. Waktu mereka berangkat, situasi di Lok-yang memang sudah genting, kini sudah lewat tujuh atau delapan hari, kalau Lok-yang sudah jatuh di tangan musuh memang bukan sesuatu yang mustahil.

   "Kalau pasukan Mongol sudah muncul di jalanan ini, ke depan lagi tentu sangat berbahaya, biarlah aku sendiri pergi mencari berita lebih dulu,"

   Kata Hi Giok-hoan.

   Usul Giok-hoan itu diterima.

   Kong-sun Bok, Kiong Kim-hun dan Yim Thian-ngo bertiga lantas ditinggalkan di tengah hutan itu.

   Esoknya sekitar lohor kembalilah Hi Giok-hoan bersama seorang Hiang-cu dari Kay-pang cabang Lok-yang.

   Menurut keterangan pengemis itu, katanya Lok-yang sudah jatuh tiga hari yang lalu, Lau Kan-loh telah gugur pada hari bobolnya kota itu.

   Sedang Liok Pang-cu berhasil lolos dari kepungan musuh bersama anak buah Kay-pang, tujuannya menyeberang ke selatan Hong-ho untuk bergabung dengan laskar rakyat yang dipimpin Hong-lay-mo-li.

   Mendengar gugurnya Lau Kan-loh yang terkenal baik budi dan berjiwa patriot itu, biarpun baru kenal, mau tak mau Kong-sun Bok dan lain-lain berduka cita atas berita buruk itu.

   "Atas perintah Liok Pang-cu, aku disuruh tinggal di daerah ini untuk menghubungi Yim-locianpwe, tutur anggota Kay-pang itu lebih lanjut.

   "Mestinya aku hendak pergi ke Ci-lo-san, tak terduga di sini kita sudah bertemu. Ai, sungguh tidak tersangka..... Yim-locianpwe, apakah engkau terluka parah?"

   "Lukaku parah atau tidak bukan soal,"

   Ujar Yim Thian-ngo dengan lagak pahlawan.

   "Yang penting sekarang adalah tindakan kita selanjutnya. Harta pusaka kita telah direbut musuh, Lok-yang sudah jatuh pula, apa yang harus kita lakukan?"

   "Menurut pendapatku, Lok-yang toh sudah jatuh, tinggal di sini juga tiada gunanya, lebih baik kalau menggabungkan diri dengan Liu Beng-cu saja,"

   Ujar Giok-hoan. Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun menjadi teringat kepada anjuran Han Pwe-eng agar mereka menggabungkan diri saja kepada Lok-lim-beng-cu Liu Jing-yau alias Hong-lay-mo-li. Maka serentak mereka setuju.

   "Benar, kecuali itu mungkin tiada jalan lain pula."

   "Kita pergi semua, lalu bagaimana keadaan Siau-hong apakah tak dipikirkan lagi?"

   Tiba-tiba Yim Thian-ngo mendengus.

   "Baiklah, kalian boleh berangkat saja semuanya, biar aku sendiri yang tinggal di sini untuk mencari tahu keadaannya yang sebenarnya."

   "Yim-locianpwe, kukira ini..... ini....."

   Hi Giok-hoan masih ragu-ragu dan tidak berani bercerita terus terang tentang apa yang dilihatnya atas diri Kok Siau-hong.

   "Ini apa?"

   Sela Yim Thian-ngo.

   "Boleh kau bicara terus terang saja, apakah kau kuatir beberapa kerat tulangku yang sudah lapuk ini tidak berguna bukan?"

   "Tapi Lo-cianpwe masih belum sehat,"

   Kata Giok-hoan.

   "biar aku saja yang....."

   Tentu saja Yim Thian-ngo tidak dapat membiarkan Giok-hoan mewakilkan dia tinggal di situ, sebab tujuannya tinggal di situ adalah ingin lekas-lekas pergi mencari Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok untuk membagi rezeki, jadi ucapannya akan mencari tahu keadaan Kok Siau-hong hanya sebagai alasan belaka.

   Begitulah maka ia merasa sandiwaranya sudah tiba waktunya untuk ditamatkan, dengan tertawa ia pun berkata pula.

   "Betapa pun tulangku yang sudah lapuk ini rasanya belum sampai kaku seluruhnya, andaikan kepergok lagi dengan kedua iblis Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok, rasanya aku masih sanggup berkelahi lagi dengan mereka."

   Habis berkata, perlahan-lahan ia mendorong, kontan Hi Giok-hoan tergentak mundur beberapa langkah. Terkejut dan bergirang pula Giok-hoan, katanya.

   "Lwekang Yim- locianpwe memang hebat, dengan cepat engkau telah pulih kembali."

   "Semuanya berkat bantuan Kong-sun-laute,"

   Kata Yim Thian-ngo. Kong-sun Bok sendiri memang sudah mengorbankan tenaga murninya untuk menyembuhkan luka Yim Thian-ngo, ia yakin dapat menyelamatkan orang tua itu, tapi tidak menyangka dia akan pulih dengan begitu cepat, maka cepat ia menjawab.

   "Ah, Lo-cianpwe terlalu memuji, ilmu sakti Lo-cianpwe sendirilah yang mengembalikan kesehatanmu secara cepat."

   "Baiklah, sekarang kalian boleh berangkat saja!"

   Seru Yim Thian-ngo dengan bergelak tertawa.

   "Adikku Giok-kun juga sedang mencari Siau-hong, kalau Yim-locianpwe berkeras akan tinggal di sini, maka sudilah engkau nanti mencari pula sedikit berita tentang adikku itu, bila ketemu, suruhlah dia menuju ke tempat Liu Beng-cu sana,"

   Kata Giok-hoan.

   Tentu saja Yim Thian-ngo terima permintaan itu dengan senang hati.

   Sesudah Hi Giok-hoan dan rombongannya pergi, Yim Thian-ngo mengakak tawa gembira dan pergilah dia mencari Sebun Bok-ya untuk membagi rezeki.

   Kembali bercerita tentang Hi Giok-kun dan Sin Liong-sing.

   Sesudah mereka tertipu oleh Ih Hoa-liong sehingga menuju ke jurusan yang salah, dengan sendirinya mereka tidak dapat menemukan pasukan pengawal harta itu.

   Sepanjang jalan Sin Liong-sing sangat baik terhadap Hi Giok-kun, tapi dia tidak bicara pula tentang rasa cintanya terhadap si nona.

   Maka Giok-kun dapatlah merasa lega dalam perjalanan itu.

   Setiba mereka di Ci-lo-san ternyata tidak dilihatnya rombongan Kay-pang yang membawa harta pusaka itu, diam-diam Giok-kun merasa urusan pasti runyam, segera ia menemui pimpinan laskar rakyat di situ yang bernama Bong Koat dan menceritakan seluk-beluk harta pusaka yang dikawal oleh Yim Thian-ngo yang berkhianat itu.

   Bong Koat terkejut, ia memberitahu bahwa situasi akhir-akhir ini mulai gawat, tapi di jalanan yang berdekatan belum diperoleh laporan tentang jejak pasukan Mongol yang sedang bertempur entah dengan pasukan mana.

   Selain itu pagi tadi juga ada pasukan Mongol yang berlalu di situ, diketahui pula bahwa Lok-yang sudah jatuh.

   Keruan Bong Koat terkejut dan kuatir, sebagai pimpinan laskar rakyat dia harus berjaga-jaga kalau diserang musuh, maka cepat ia memerintahkan anak buahnya agar bersiap siaga, katanya kepada Liong-sing dan Hi Giok-kun.

   "Kami harus mengundurkan diri ke dalam hutan untuk menjaga segala kemungkinan, bilamana pasukan musuh sudah lewat seluruhnya dan aman barulah kita dapat mencari berita lebih lanjut tentang harta karun kiriman Kay-pang itu."

   Giok-kun juga gelisah, kalau bisa sungguh ia ingin terbang ke Jing-liong- kau pada saat itu. Segera ia pun mohon diri.

   "Kalian hendak kemana?"

   Tanya Bong Koat.

   "Nona Hi ini harus mencari kakaknya yang ikut berada pada pasukan pengawal harta pusaka itu sebagai pembantu Yim Thian-ngo,"

   Sin Liong- sing menerangkan.

   "Betapa pun aku harus mencari sendiri kakakku yang tak diketahui keadaannya itu,"

   Kata Giok-kun pula. Karena tak dapat merintangi, terpaksa Bong Koat membiarkan keberangkatan mereka.

   "Sin-toako,"

   Kata Giok-kun kepada Liong-sing di tengah jalan.

   "aku harus berterima kasih atas bantuanmu. Tapi kini jejak kakakku sudah diketahui, aku dapat mencarinya sendiri. Engkau masih harus kembali ke Kang-lam, supaya tidak mengacaukan tugasmu biarlah aku berangkat sendiri saja."

   "Aku tahu maksudmu, nona Hi,"

   Jawab Liong-sing.

   "kau tidak ingin aku ikut menempuh bahaya, tapi mana aku dapat membiarkan kau pergi sendirian? Demi kepentingan sahabat, hanya sedikit bahaya ini saja kenapa aku mesti mundur? Jika engkau anggap aku sebagai teman, hetapa pun engkau jangan menolak aku mendampingi kau ke sana."

   Giok-kun sangat terharu oleh ucapan Liong-sing yang tegas itu, dengan menahan air mata ia mengangguk, katanya.

   "Sin-toako, kau amat haik padaku, sungguh aku tak tahu cara bagaimana membalas budimu."

   "Sahabat macam apa kalau sedikit urusan saja mengharapkan balas budi? Ucapanmu ini agak memandang rendah padaku, nona Hi,"

   Jawab Liong- sing dengan tertawa.

   Sebagai orang yang cukup cerdik, dari jawaban Hi Giok- kun itu tahulah Liong-sing bahwa si nona sudah punya kekasih.

   Namun di dalam hati ia belum putus asa, ia tetap bertekad akan berusaha merebut hati si nona.

   Begitulah mereka terus menuju ke arah Jing-liong-kau, di luar dugaan sepanjang jalan ternyata tiada seorang pun yang diketemukan, jangankan pasukan Mongol, seorang rakyat biasa saja tidak kelihatan.

   Rupanya pasukan Mongol itu hanya lewat saja dan sudah lama pergi jauh.

   Setiba di Jing-liong-kau, tertampak darah berceceran dan mayat bergelimpangan dimana-mana.

   Hi Giok-kun berdebar-debar, dengan menahan bau busuk mayat ia terus memeriksa mayat-mayat itu satu demi satu, tapi tidak diketemukan sang kakak.

   "He, di sana seperti ada seorang hidup,"

   Tiba-tiba Liong-sing berseru.

   Sayup-sayup Giok-kun mendengar juga suara rintihan orang, cepat ia memburu ke sana, benar juga, pada semak-semak di pinggir sepotong batu besar diketemukan satu orang yang terluka sangat parah, tubuhnya penuh luka-luka tapi masih bernyawa, agaknya orang ini merangkak keluar dari timbunan mayat dan berusaha menyelamatkan diri.

   Tapi sampai di sini keadaannya sudah lemas dan tidak mampu bergerak lebih jauh lagi.

   Cepat Liong-sing membubuhkan obat pada luka-luka orang itu serta menotok Hiat-to bersangkutan untuk menghentikan aliran darah lebih banyak.

   Selang tak lama, orang itu mulai siuman dan membuka matanya yang sayu.

   Melihat dandanannya, Giok-kun yakin orang ini pasti anggota Kay-pang, segera ia bertanya.

   "Bagaimana keadaanmu? Kemana rombongan Yim- locianpwe dengan harta pusaka yang dikawalnya itu?"

   "Harta..... harta pusaka sudah direbut oleh Sebun Bok-ya dan Cu Kiu- bok, Yim-losiansing juga terluka parah, jumlah kami terlalu sedikit dan tidak mampu melawan pasukan musuh yang jauh lebih banyak, harap harap kalian sudi menyampaikan berita ini kepada Kay-pang,"

   Demikian tutur orang itu dengan suara lemah.

   "Lalu bagaimana pula dengan Hi Giok-hoan yang ikut berada dalam rombongan ini?"

   Tanya Giok-kun dengan tak sabar.

   "Dia adalah kakakku."

   "O, kiranya engkau adalah nona Hi,"

   Kata orang itu dengan lemah.

   "Hi- siauhiap sudah sudah meloloskan diri, dia dia yang memanggul lari Yim- losiansing."

   "Dan masih ada lagi seorang Kok Siau-hong, apakah kau tahu akan dia?"

   Tanya Giok-kun.

   "Kok-siauhiap datang bersama seorang pemuda dan seorang pemudi lain, sayang Kok-siauhiap telah gugur terpanah oleh musuh, sedang kedua muda-mudi itu berhasil meloloskan diri,"

   Jawab orang itu yang cuma kenal Kok Siau-hong dan tidak tahu siapa Kong-sun Bok serta Kiong Kim-hun.

   Keterangan itu seakan-akan bunyi guntur di siang bolong, Hi Giok-kun melenggong seketika dan hampir jatuh kelengar, syukur Sin Liong-sing keburu memeganginya.

   "Sung..... sungguhkah begitu?"

   Giok-kun menegas dengan suara gemetar.

   "Ya, yang yang memanah Kok-siauhiap adalah Tartar bernama Pilufa,"

   Jawab orang itu, habis berkata ia terus menghembuskan napasnya yang penghabisan.

   Pilufa adalah jago panah Mongol yang terkenal dan pernah bertempur beberapa kali dengan pihak Kay-pang di medan perang, maka orang-orang Kay-pang umumnya kenal dia.

   Begitu jelas keterangan orang itu, mau tak mau Giok-kun harus percaya.

   Seketika hatinya seperti disayat-sayat, ia menjerit dan mendadak pingsan dalam pelukan Sin Liong-sing.

   Terkejut dan bergirang pula Sin Liong-sing, pikirnya.

   "Dia tidak pernah menyebut nama Kok Siau-hong padaku, kini dia sedemikian berduka demi mendengar berita malang orang she Kok itu, maka dapat dipastikan orang she Kok itu tentu adalah kekasihnya."

   Sebenarnya Sin Liong-sing adalah anak murid golongan baik, tapi sejak kecil dia hidup di bawah pengaruh Sin Cap-si-koh dan Beng Jit-nio yang berhati keji dan berjiwa sempit, sebab itulah di antara watak Sin Liong-sing itu juga terdapat pengaruh jelek.

   Maka kini tanpa terasa timbul juga rasa syukurnya atas kematian Kok Siau-hong demi kepentingannya sendiri.

   Selang sebentar, pelan-pelan Hi Giok-kun mulai siuman kembali, tapi pikirannya belum jernih sama sekali, ia merasa dirinya berada dalam pelukan tangan yang kuat, tanpa terasa ia berseru.

   "Siau-hong, Siau-hong!"

   Tanpa terasa timbul pula rasa cemburu dalam hati Sin Liong-sing demi mendengar sebutan nama itu. Tapi cepat ia tersadar kembali, pikirnya.

   "Kok Siau-hong tewas dipanah musuh, aku tidak ikut berduka cita, sebaliknya malah menaruh rasa iri, apakah aku ini manusia rendah begitu? Ah, selama hidup aku anggap diriku adalah kaum pendekar budiman, mengapa kini timbul pikiran sempit begini? Ai, sungguh memalukan dan rendah. Padahal kenapa aku harus cemburu kepada seorang yang sudah mati?"

   Begitulah timbul pertentangan batin dalam benak Sin Liong-sin, tapi dengan cepat pikirannya dapat terang kembali, perlahan-lahan ia menepuk bahu Giok-kun dan berkata dengan suara halus.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Nona Hi, akulah adanya, sadarlah kau!"

   Bayangan Kok Siau-hong lenyap di kelopak matanya, baru sekarang Giok-kun mengetahui berada di dalam pelukan Sin Liong-sing.

   Namun pukulan batin atas berita yang diterimanya itu membuatnya teramat berduka sehingga tidak kuat meronta bangun, terpaksa ia berseru dengan jengah dan kikuk.

   "Lepaskan aku!"

   Sin Liong-sing menyandarkannya pada sebatang pohon, lalu berkata.

   "Nona Hi, orang mati tak dapat hidup kembali, kita yang masih hidup harus menuntut balas bagi yang sudah gugur, kau sendiri harus menjaga kondisi badanmu."

   Hi Giok-kun juga seorang kesatria wanita yang berjiwa besar dan dapat berpikir panjang, soalnya batinnya terpukul hebat oleh kejadian tak terduga ini dan tidak tahan seketika.

   Dia memandangi Sin Liong-sing dengan setengah linglung, selang sejenak baru dapat berkata.

   "Ya, ucapanmu memang benar, aku harus menuntut balas baginya. Tapi cara bagaimana pula aku harus menuntut balas?"

   Pahlawan juga ada kalanya merasa lemah, kini Hi Giok-kun juga menghadapi detik yang terpencil ini.

   Dia kehilangan Kok Siau-hong, dia tidak tahu siapa lagi di dunia ini yang dapat dibuat sandaran.

   Di depan matanya sekarang seakan-akan cuma Sin Liong-sing seorang saja yang dapat dia percayai, tapi kepercayaannya betapa pun tak dapat dibandingkan dengan kepercayaannya terhadap Kok Siau-hong, dalam percayanya kepada Sin Liong-sing lapat-lapat terasa mengandung beberapa bagian sangsi dan kuatir.

   "Nona Hi,"

   Kata Sin Liong-sing kemudian dengan tegas.

   "engkau anggap aku sebagai teman, maka urusanmu sama juga urusanku. Sakit hatimu ini pasti kubantu menuntut balas bagimu. Cuma saja ini bukan sakit hati terhadap satu orang saja, sekali pun Pilufa dapat kita bunuh juga tak dapat dianggap selesai balas dendam kita."

   "Benar,"

   Jawab Giok-kun sambil mengangguk.

   "musuh kita adalah Tartar Mongol."

   "Dan sekarang kita harus mencari suatu tempat bernaung dahulu baru nanti kita berusaha menuntut balas,"

   Kata Liong-sing pula. Mendengar ucapan Sin Liong-sing ini, mau tak mau rasa percaya Giok- kun kepadanya bertambah, katanya kemudian.

   "Baiklah, saat ini aku sedang bingung, terserah kepadamu kita harus menuju kemana?"

   Bicara sampai di sini tiba-tiba terdengar suara berdetaknya kaki kuda, ada dua penunggang kuda sedang menuju ke arah mereka sini.

   Giok-kun mengira orang Mongol yang datang, entah darimana timbulnya tenaga, seketika semangatnya terbangkit, cepat ia bangun sambil melolos pedang siap menghadapi musuh.

   Tapi sesudah dekat, tiba-tiba kedua penunggang kuda itu lantas berhenti, penunggangnya ternyata adalah dua orang Han, mereka melompat turun dan berseru heran.

   "He, bukankah engkau ini nona Hi? Kenapa berada di sini?"

   "Ai, kiranya Nyo Siok-siok dan Toh Siok-siok berdua, aku salah sangka kalian adalah Tartar Mongol,"

   Kata Giok-kun.

   Kedua orang ini bernama Nyo Kong dan Toh Hok, mereka adalah anak buah Lok-lim-beng-cu Liu Jing-yau alias Hong-lay-mo-li.

   Dahulu waktu Kok Siau-hong bertanding dengan Liu Biau di Pek-hoa-kok, kedua orang ini keburu datang dan melerai pertarungan mereka dengan membawa Lok-lim- ci (panah pengenal) dari Liu Jing-yau, sekaligus Liu Biau dan semua pahlawan yang ikut mengepug Pek-hoa-kok telah diundang ke sana, makanya Hi Giok-kun kenal Nyo Kong dan Toh Hok.

   Sin Liong-sing juga pernah berkunjung ke pangkalan Hong-lay-mo-li, maka ia pun kenal Nyo Kong dan Toh Hok, segera ia pun maju menyapa.

   "Mengapa kalian datang ke Lok-yang dalam suasana begini?"

   "Eh, kiranya Sin-siauhiap juga berada di sini, sungguh sangat kebetulan,"

   Kata Nyo Kong.

   "Terus terang, salah satu maksud tujuan kami ke Lok-yang justru hendak mencari kau."

   Sedang Toh Hok lantas berkata juga.

   "Nona Hi, kiranya engkau sudah kenal Sin-siauhiap? Dan dimanakah Kok Siau-hong sekarang, apakah kau mendapat beritanya?"

   Bahwasanya lantaran Hi Giok-kun, maka terjadilah peristiwa pembatalan pertunangan Kok Siau-hong dengan Pwe-eng, hal ini cukup diketahui dengan jelas oleh Nyo Kong berdua, makanya mereka terheran-heran mengapa orang yang mendampingi Hi Giok-kun sekarang bukan Kok Siau- hong adanya.

   Ibarat luka yang belum sembuh, kini hati Giok-kun yang luka itu tersinggung pula, seketika ia menjerit tangis.

   "Siau-hong sudah..... sudah....."

   "Dia sudah gugur,"

   Sambung Sin Liong-sing dengan lirih.

   "Siau-hong gugur? Di mana? Apakah gugur dalam pertempuran di Jing- liong-kau kemarin?"

   Tanya Nyo Kong berdua dengan terkejut. Rupanya mereka pun mendengar berita tentang terjadinya pertempuran di Jing-liong- kau, maka mereka sengaja datang ke sini untuk menjenguk. Sin Liong-sing menghela napas dan bersikap sedih, katanya.

   "Ini benar- benar kejadian yang tak terduga, siapa nyana Yim Thian-ngo yang terkenal dan disegani di dunia Kang-ouw itu bisa bersekongkol dengan Sebun Bok- ya dan Cu Kiu-bok untuk merampas harta pusaka pihak Kaypang akibatnya Kok-siauhiap menjadi korban." ~ Lalu ia pun menuturkan sekadarnya apa yang didengarnya dari cerita Hi Giok-kun.

   "Peristiwa ini telah menyingkap kedok si bangsat tua Yim Thian-ngo ini, maka boleh dikata ada jeleknya dan juga ada baiknya. Tapi urusan sekarang lebih penting sehingga terpaksa kita harus mengesampingkan dia dahulu."

   "Ya, aku pun ingin tahu maksud kedatangan kalian,"

   Kata Liong-sing.

   "Pertama kami hendak mencari kabar tentang keadaan Lok-yang, kami hendak mencari dan mengadakan kontak dengan Han Tay-wi, Han Lo- enghiong,"

   Tutur Nyo Kong.

   Meski Sin Liong-sing tidak tahu bagaimana kejadian selanjutnya, tapi ia menduga Han Tay-wi pasti takkan lolos dari genggaman bibinya, namun ia merasa tiada gunanya memberitahukan kejadian itu, maka ia cuma menceritakan nasib buruk yang menimpa keluarga Han saja.

   "Sungguh tidak terduga Han Lo-enghiong juga disergap musuhnya, semoga dia dapat menyelamatkan diri,"

   Ujar Toh Hok dengan gegetun.

   "Baiklah, sekarang harus bicara tentang dirimu."

   "Entah ada keperluan apa kalian mencari aku?"

   Tanya Liong-sing.

   "Bukan kami yang perlu mencari kau, tapi gurumu yang mendesak supaya kau lekas pulang ke Kang-lam, kami diminta menyampaikannya kepadamu,"

   Kata Toh Hok. Sin Liong-sing terkejut, katanya.

   "Waktu aku diutus berangkat, guru sama sekali tidak memberi batas waktu, mengapa sekarang tiba-tiba aku dipanggil pulang, apakah barangkali situasi Kang-lam juga....."

   "Ya, api peperangan kini pun mulai berkobar di daerah sana,"

   Sambung Nyo Kong.

   "Tartar Mongol baru saja merebut Lok-yang, masakah begitu cepat sampai di Kang-lam?"

   Ujar Liong-sing dengan bingung.

   "Bukan pasukan Mongol yang sampai di Kang-lam, tapi segerombolan bajak yang bersekongkol dengan pihak Mongol kini mulai mengganggu keamanan di sepanjang lembah Tiang-kang,"

   Tutur Toh Hok.

   "Pemimpin kaum bajak itu bernama Su Thian-tik."

   "O, kiranya Su Thian-tik,"

   Kata Liong-sing dengan rasa lega.

   "Kalau dia ini rasanya takkan banyak kerjanya."

   Su Thian-tik adalah seorang Ce-cu (kepala gerombolan) di danau Thay- ouw, belakangan karena perbuatannya yang tidak senonoh, dia telah dienyahkan oleh Ong Uh-ting, Cong-cecu (pemimpin besar) dari gabungan tigabelas gerombolan Thay-ouw.

   Sebab itulah Sin Liong-sing memandang hina kepada Su Thian-tik.

   Tapi dengan sungguh-sungguh Nyo Kong lantas berkata.

   "Su Thian-tik sekarang tak dapat dipandang ringan, ilmu silatnya tidak di bawah Ong Uh- ting, akhir-akhir ini dia mendapat dukungan Tartar Mongol, secara besar- besaran dia menghimpun tenaga dan perbekalan, sebagian besar bajak-bajak sepanjang Tiang-kang telah mengekor padanya, pengaruhnya sekarang mungkin lebih hebat daripada Cong-cecu ketigabelas gerombolan Thay-ouw Ong Uh-ting. Lebih-lebih setelah pasukan Mongol menyerbu ke Tiong-goan, secara resmi dia menerima gelar pangkat dari Mongol, bulan yang lalu pasukannya telah menyeberangi Wi-ho, kabarnya sekarang sedang menyusuri jalan lama yang ditempuh raja Kim, yaitu Wanyan Liang, tujuannya hendak merebut daerah Kang-lam yang terkenal kaya."

   "Pihak Mongol rupanya memakai rencana jangka panjang, sudah lama dikirim orang kepercayaan ke tempat Su Thian-tik untuk mengatasi pasukannya, maka meski pasukan Mongol sendiri belum sampai di Kang- lam, namun wilayah Kang-lam sudah ada jejak musuh,"

   Sambung Toh Hok pula.

   "Malahan daerah barat-laut yang termasuk wilayah Song juga sudah diserbu oleh musuh melalui hulu sungai Han ke selatan."

   Memang telah menjadi siasat pihak Mongol, sebelum menyerbu kerajaan Kim lebih dulu pura-pura bersekutu dengan Song selatan, tapi ketika penyerbuan ke wilayah Kim berjalan lancar, sekaligus Mongol mengirim panglima lain menyerbu ke selatan melalui barat-laut terus memasuki Su- cwan utara, sudah beberapa kota telah direbutnya, Thio Soan, seorang panglima di Kay-ciu juga telah terbunuh oleh pihak Mongol.

   Karena itu kerajaan Song menjadi kelabakan dan sedang merencanakan memindahkan ibukota lebih ke selatan lagi.

   Menurut keterangan Nyo Kong lebih lanjut, dalam keadaan gawat begini hanya pihak laskar rakyat saja yang mampu membela negara dan bangsa, katanya.

   "Gurumu adalah Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam, sedangkan laskar rakyat di sana pada umumnya belum ada kesatuan pimpinan yang kompak, cuma menurut aturan yang sehat, tentunya para pahlawan akan tunduk kepada perintah gurumu."

   Mendengar penuturan itu, Sin Liong-sing merasa gegetun, katanya.

   "Sungguh tidak tersangka, baru beberapa bulan aku meninggalkan Kang- lam, keadaan di sana ternyata sudah berubah begitu banyak. Terima kasih atas keterangan kalian ini, mengingat suasana yang genting ini, sudah tentu aku harus lekas kembali ke sana."

   Begitulah Nyo Kong dan Toh Hok juga lantas mohon diri untuk berangkat ke Ci-lo-san untuk menghubungi Bong Koat.

   "Nona Hi, bukankah rumahmu berada di dekat Yang-ciu?"

   Tanya Sin Liong-sing sesudah Nyo Kong berdua pergi.

   "Benar, juga tidak terlalu jauh dengan Jay-ciok-ki, kota tambangan terkenal di tepi sungai Tiang-kang."

   "Jika begitu, bila Su Thian-tik yang bersekongkol dengan pihak Mongol itu menyeberangi Tiang-kang melalui Jay-ciok-ki, maka kampung halamanmu itu mungkin juga akan terbakar oleh api peperangan,"

   Kata Liong-sing. Giok-kun menjadi sedih, katanya kemudian.

   "Tempat dimana terinjak oleh telapak kaki kaum Tartar memang sukar ditemukan sejengkal tanah yang bersih lagi. Jika Pek-hoa-kok ikut musnah oleh api peperangan juga sesuatu yang sukar dihindarkan."

   "Nona Hi,"

   Kata Liong-sing pula.

   "kakakmu tak diketahui berada dimana, sementara mungkin sukar menemukan dia. Syukur dia sudah lolos, pada suatu hari kalian tentu dapat berjumpa kembali. Kini kau akan pergi kemana? Tidakkah lebih baik pulang dahulu, jika kediamanmu menjadi korban peperangan, maka bolehlah ikut aku ke Kang-lam saja, di sana sedikitnya kau masih dapat mencurahkan tenagamu bagi laskar rakyat."

   Sebenarnya Hi Giok-kun dapat pergi ke Kim-keh-nia, pangkalan Hong- lay-mo-li, di sana tentu akan jauh lebih mudah mencari kabar tentang diri kakaknya.

   Tapi ia pun rada kuatir, sebab orang-orang yang pernah ikut mengepung Pek-hoa-kok kini berada semua di tempat Hong-lay-mo-li, betapa pun kedua pihak tentu masih kikuk berhadapan.

   Karena itu setelah berpikir sejenak, akhirnya ia terima baik ajakan Sin Liong-sing itu, memangnya ia pun sudah terkenang kepada Pek-hoa-kok yang telah sekian lama ditinggalkan itu.

   Lantaran Giok-kun mengira Kok Siau-hong sudah meninggal, pula merasa Sin Liong-sing adalah seorang kesatria sejati, seorang laki-laki yang baik, sebab itulah kesannya makin hari makin baik, lambat-laun Sin Liong- sing mulai menggantikan kedudukan Kok Siau-hong di dalam lubuk hati Hi Giok-kun.

   Sudah tentu si nona tidak tahu bahwa sesungguhnya Kok Siau-hong tidaklah mati.

   Sebenarnya Kok Siau-hong tidak terkena panah musuh, yang terkena panah adalah kudanya.

   Lantaran jaraknya sangat jauh, ketika dia terjerumus ke dalam jurang, maka dilihat dari jauh oleh Hi Giok-hoan dan anggota- anggota Kay-pang yang sedang bertempur itu, mereka mengira dia terkena panah sehingga Giok-kun juga percaya akan cerita tentang kematian Kok Siau-hong.

   Padahal sesudah terlempar dari kudanya dan jatuh ke jurang, Siau-hong memang mengira dirinya pasti akan terbanting mati.

   Akan tetapi menghadapi detik antara mati dan hidup itu, setiap orang tentu berusaha mencari hidup.

   Maka sekuatnya Kok Siau-hong telah berjumpalitan selagi terapung di udara untuk mengurangi daya kecepatan jerumusnya ke bawah, dan sangat kebetulan sekali tempat jatuhnya itu ternyata adalah suatu tanah lumpur di bawah jurang.

   Waktu itu adalah musim rontok, di tanah lumpur itu penuh berserakan daun-daun kering sehingga mirip kasur yang empuk, maka ketika Siau-hong jatuh ke situ, setengah badan terendam dalam lumpur, ia pingsan tidak lama, ketika siuman kembali didapatkan keadaannya ternyata tiada terluka sedikit pun.

   Ia duduk semadi untuk mengumpulkan tenaga, sesudah tenaga pulih sebagian, ia lantas merangkak keluar dari tanah lumpur itu.

   Ia coba mendengarkan dengan cermat, sayup-sayup terdengar suara kaki kuda yang riuh, ada pasukan besar sedang berlalu, lama-lama keadaan menjadi sunyi, dapat dipastikan pasukan Mongol itu sudah lama meninggalkan Jing-liong- kau.

   Perasaan Kok Siau-hong sangat berat seakan-akan tertekan oleh besi, pikirnya.

   "Tampaknya harta pusaka paman Han itu sudah dirampas oleh musuh. Ai, semoga Ku-ku dan Hi-toako dapatlah menyelamatkan diri. Tapi kalau menurut suara gemuruh pasukan itu kedengarannya seperti menuju ke barat, sesudah mendapatkan barang rampasan itu, kenapa tidak kembali ke Lok-yang?"

   Siau-hong mendapatkan sebuah sungai dengan air yang jernih, ia mandi sepuasnya untuk membersihkan badan dan mencuci pakaian yang kotor.

   Ia menangkap pula beberapa ekor ikan, tanpa menghiraukan bau amis lagi, ia lalap ikan-ikan mentah sekenyangnya.

   Tenaganya bertambah banyak pula, lalu memanjat ke atas lagi.

   Meski ilmu silat Kok Siau-hong tidak punah, tapi memanjat tebing jurang yang beratus meter tingginya itu terasa sangat payah juga.

   Ketika hampir dekat di atas, tiba-tiba terdengar pula suara derapan kuda lari, ada tiga ekor kuda lewat di jalanan situ tepat di atasnya.

   Dengan girang Siau-hong segera hendak berteriak untuk memanggil mereka, tapi sebelum dia bersuara, terdengar salah seorang sedang berkata.

   "Bukankah Kok Siau-hong itu keponakan gurumu? Seharusnya dia takkan membikin susah pamannya sendiri, hendaklah kau jangan kuatir."

   "Tapi bocah she Kok itu berani bersekongkol dengan Tartar Mongol, mana dia mau berpikir lagi tentang hubungan paman dan keponakan segala?"

   Kata seorang di bagian depan. Terkejut sekali Kok Siau-hong demi mendengar ucapan itu. Sekaligus ia pun tahu orang yang bicara itu adalah Ih Hoa-liong, murid tertua sang Ku- ku.

   "Mengapa Ih Hoa-liong memfitnah diriku secara demikian?"

   Pikir Siau- hong dengan curiga.

   Segera ia urungkan maksudnya hendak berteriak.

   Maka dalam sekejap saja ketiga penumpang kuda itupun sudah pergi jauh.

   Kok Siau-hong tahu Ih Hoa-liong adalah murid tertua Yim Thian-ngo, satu sama lain belum pernah bertemu, Siau-hong heran mengapa Ih Hoa- liong sengaja membikin berita keji itu, terang dia memfitnah diriku.

   Untung aku tadi tidak bersuara.

   Sungguh aneh, selamanya aku tidak bermusuhan dengan dia, malahan kenal saja belum, dia cuma tahu aku adalah keponakan Suhunya, tapi mengapa aku difitnahnya? Begitulah Kok Siau-hong tidak habis paham.

   Tiba-tiba pikirannya tergerak.

   "Dari pengalaman Kiong Kim-hun, dengan kuat dia menuduh Ku- ku mengincar harta pusaka paman Han, bahkan menyangsikan Ku-ku adalah pengkhianat yang bersekongkol dengan Mongol. Sekarang muridnya telah memutar-balikkan persoalan dan memfitnah aku bersekongkol dengan musuh, jangan-jangan di antara kedua persoalan ini ada udang di balik batu?"

   Tapi bila terbayang olehnya keadaan sang Ku-ku yang terluka parah itu, ia menjadi menyesal telah berprasangka jelek terhadap paman sendiri yang membela harta pusaka yang dikawalnya itu secara mati-matian, malahan keselamatannya sekarang entah bagaimana? Bahwasanya Ih Hoa-liong memfitnahnya, yang harus dicurigai hanya Ih Hoa-liong sendiri dan mestinya tiada sangkut-pautnya dengan Ku-ku.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikian pikirnya pula.

   Segera ia mempercepat memanjat ke atas.

   Ketika sampai di atas, dilihatnya ketiga penumpang kuda sudah pergi jauh ke arah barat, dari jauh samar-samar kelihatan mereka terdiri dari dua lelaki dan satu perempuan.

   "Kedua orang itu entah siapa, tapi mereka pasti juga dari kalangan pendekar, aku tidak boleh membiarkan mereka tertipu oleh Ih Hoa-liong, betapa pun aku harus menyelidiki persoalan ini hingga jelas,"

   Demikian pikir Siau-hong pula. Sekonyong-konyong terdengar suara kuda meringkik di sebelah sana, ternyata "si naga putih"

   Telah muncul dari semak pohon sana dan mendekati sang majikan dengan sikap yang jinak dan mesra. Siau-hong mengelus-elus bulu suri kuda itu dengan girang, dengan kuda ini tentu dia dapat menyusul ketiga orang tadi.

   "Si naga putih"

   Ternyata tidak terluka parah, anak panah itu hanya menancap di bokongnya dan tidak mengenai tulang.

   Dasar kuda yang sudah terlatih dan cerdik, ketika Kok Siau-hong terpental jatuh, kuda itu tidak berlari pergi, tapi terus berlari ke dalam hutan dan bersembunyi di situ.

   Segera Siau-hong mencabut panah yang menancap di bokongnya itu dan memberikan obat luka kepada kuda itu.

   Lalu ia menemukan pula satu kantongan rangsum kering dari mayat seorang perajurit Mongol yang menggeletak di tepi jalan, sehabis makan kenyang, lalu ia cemplak ke atas kuda dan dilarikan dengan cepat.

   Biarpun terluka bagian bokong, namun lari si naga putih tidak kalah cepat daripada biasanya.

   Maka sesudah mengejar satu-dua jam, dekat magrib dapatlah Kok Siau-hong menyusul Ih Hoa-liong bertiga.

   Setelah jalan itu dilalui pasukan besar Mongol, suasana menjadi sunyi, sebab itulah ketiga orang itu mengetahui ada orang menyusul dari belakang, mereka rada heran juga.

   "Hai kawan-kawan di depan itu, tunggu sebentar,"

   Demikian seru Siau- hong. Ketiga orang itu menahan kuda mereka dan berpaling, Ih Hoa-liong bertanya.

   "Siapakah kau, mengapa menyusul kami ke sini?"

   Dari suaranya Kok Siau-hong yakin dia pasti Ih Hoa-liong adanya. Sedang kedua orang lainnya adalah suami istri. Terdengar yang perempuan itu mengisiki sang suami.

   "Kakak Hu, orang ini seperti habis lari dari medan pertempuran, kebetulan kita dapat minta keterangan padanya."

   Pakaian Kok Siau-hong memang sudah compang-camping dan bernoda darah pula meski habis dicuci, pada pinggangnya tergantung pedang, setiap orang dapat menduga dia pasti habis mengalami pertempuran. Maka Siau-hong lantas menjawab.

   "Aku telah membantu Kay-pang mengangkut perbekalan untuk laskar rakyat di Ci-lo-san, sungguh celaka di tengah jalan telah kepergok Tartar Mongol, barang kawalan kami terampas, untung aku berhasil meloloskan diri dan hendak menyampaikan berita buruk ini kepada pihak Kay-pang."

   Yang lelaki itu agaknya merasa heran, dia memandang Kok Siau-hong, lalu memandang Ih Hoa-liong pula, katanya kemudian.

   "Tuan Ih, apakah kau kenal dia?"

   Kiranya suami-istri ini diketemukan Ih Hoa-liong di tengah jalan, Ih Hoa- liong sendiri juga mengakui baru lolos dari pertempuran di Jing-liong-kau, maka kalau apa yang dikatakan Kok Siau-hong memang betul, tentunya Ih Hoa-liong mengenalnya.

   Tapi tadi Ih Hoa-liong telah tanya siapa Kok Siau- hong, dengan sendirinya timbul rasa curiga kedua suami istri itu, mereka tahu di antara kedua orang, Ih Hoa-liong dan Kok Siau-hong, tentu ada satu yang berdusta.

   Dengan sendirinya mereka lebih percaya kepada Ih Hoa-liong daripada Kok Siau-hong.

   Ih Hoa-liong juga yakin suami-istri itu tentu lebih percaya padanya, maka dia bertekad akan memojokkan Kok Siau-hong lebih dulu, segera ia menjengek dan bertanya.

   "Kau bilang habis membantu Kay-pang mengawal perbekalan untuk Ci-lo-san, kukira ada yang tidak benar."

   "Apa yang tidak benar?"

   Tanya Siau-hong.

   "Apakah kau tahu siapa aku ini?"

   Tanya Ih Hoa-liong.

   "Dulu tidak tahu, tapi sekarang sudah tahu,"

   Jawab Siau-hong. Merasa di balik kata-kata itu ada makna lain, tanpa terasa Ih Hoa-liong melengak. Segera orang perempuan tadi ikut berkata.

   "Dahulu kau tidak kenal dia? Memangnya ketika di dalam barisan pengawalan itu kau tidak pernah melihat dia?"

   "Ya, tidak pernah melihatnya,"

   Kata Siau-hong.

   "Hm, boleh coba kau katakan, siapa saja yang kau kenal di dalam barisan itu?"

   Jengek Ih Hoa-liong.

   "Banyak sekali orang yang kukenal,"

   Jawab Siau-hong.

   "misalnya Yim Thian-ngo, Hi Giok-hoan, ada pula Kong-sun Bok dan ada lagi Kok Siau- hong."

   "Nah, kau kenal Kok Siau-hong? Bagus sekali, ini namanya tidak digebuk sudah mengaku sendiri,"

   Dengus Ih Hoa-liong pula. Di balik ucapannya itu ia hendak menunjukkan kepada kedua suami-istri itu bahwa orang yang kenal Kok Siau-hong itu tentunya bukan manusia baik-baik. Maka Kok Siau-hong sengaja berlagak bingung, katanya.

   "Memangnya apa salahnya? Aku justru sedang mencari Kok Siau-hong! Tampaknya kau pun kenal dia bukan? Apakah kau tahu dimana dia berada karang?"

   "Kau ingin tahu dimana dia sekarang? Bagus, biar kukatakan padamu,"

   Jengek Ih Hoa-liong.

   "Kok Siau-hong bersekongkol dengan Tartar Mongol dan telah merampas harta pusaka kawalan Kay-pang, sekarang dia sudah berada dalam pasukan musuh, bila kau mau mencari dia, boleh pergi ke markas tentara Mongol sana."

   Memang Kok Siau-hong sengaja memancing dia mengucapkan kata-kata bohong itu, segera ia berlagak tidak percaya, katanya sambil menggeleng.

   "Ah, mana bisa! Apakah kau melihatnya sendiri?"

   "Persetan, kau berani menyangsikan kata-kataku? Sudah tentu aku menyaksikan sendiri Kok Siau-hong menggabungkan diri kepada musuh,"

   Seru Ih Hoa-liong dengan gusar. Lalu katanya kepada orang lelaki tadi.

   "Tiong-tayhiap, tidak perlu banyak bicara lagi, bocah ini pasti begundal Kok Siau-hong."

   Kedua laki perempuan itu memang suami-istri, nama mereka adalah Tiong Siau-hu dan Siangkoan Po-cu (untuk mengetahui riwayat mereka, silakan baca Pendekar Latah), mereka adalah pasangan pendekar suami-istri yang terkenal di Kang-ouw.

   Bicara tentang kepandaian dan kedudukan, terang Ih Hoa-liong jauh dibandingkan suami-istri itu, sebab itulah Ih Hoa-liong tidak bertindak sesukanya.

   Untuk melabrak Kok Siau-hong mengingat adanya Tiong Siau- hu dan Siangkoan Po-cu.

   Dengan kalem kemudian Kok Siau-hong berkata.

   "Tadi kau tanya aku tahu tidak siapa kau? Sekarang dapat kukatakan bahwa aku sudah tahu kau ini adalah Ih Hoa-liong, murid tertua Yim Thian-ngo. Dan aku ingin balas bertanya kau, apakah kau pun tahu siapa diriku?"

   Ih Hoa-liong sengaja bersikap menghina, jawabnya dengan menjengek.

   "Hm, melihat lagakmu, tampaknya kau seperti tokoh Kang-ouw yang terkenal saja. Lebih baik kau bicara terus terang, siapakah kau sebenarnya?"

   "Ha, ha, ha!"

   Kok Siau-hong bergelak tertawa.

   "Aku memang bukan tokoh Kang-ouw yang terkenal segala, tapi setidak-tidaknya kau tentu tahu siapa diriku, sebab aku ini tak lain tak bukan adalah orang yang kau katakan sudah menggabungkan diri ke pasukan Mongol, Kok Siau-hong inilah diriku!"

   Belum lenyap suara Kok Siau-hong, air muka Ih Hoa-liong tampak berubah hebat.

   "sret", cepat sekali ia terus melolos pedang dan menusuk ke arah Kok Siau-hong.

   "Nanti dulu!"

   Bentak Tiong Siau-hu mendadak, sebelum dia sempat mencegah, terdengarlah Ih Hoa-liong sudah menjerit dan duduk setengah tergantung miring di atas pelana, kudanya juga berlari menyingkir ke samping.

   Tusukan pedang Ih Hoa-liong tadi dilakukan di atas kudanya, tak terduga cuma satu gebrakan saja dia malah tertusuk pahanya oleh pedang Kok Siau- hong.

   Padahal serangan Kok Siau-hong lebih belakang daripada tusukan Ih Hoa-liong, namun dapat mencapai sasarannya lebih dulu, sungguh sukar dilukiskan betapa cepat gerak tangannya.

   Keruan Tiong Siau-hu terkejut, sekonyong-konyong ia melompat dari atas kudanya, dengan tipu "Eng-kik-tiang-khong" (elang menyambar dari udara), pedangnya terus menusuk ke atas kepala Kok Siau-hong.

   Padahal dia baru saja berteriak mencegah serangan Ih Hoa-liong, sebaliknya dia sendiri sekarang menyerang Kok Siau-hong secara mendadak, bahkan menggunakan tipu serangan maut, hal ini benar-benar di luar dugaan Kok Siau-hong.

   Cepat pemuda itu mengegos sambil menangkis, terdengar suara "trang"

   Yang keras, kedua pedang beradu dan lelatu api muncrat, Kok Siau-hong tidak tahan oleh dorongan tenaga lawan dari atas itu, ia terguling ke bawah kuda. Tiong Siau-hu menyusul juga menancapkan kakinya ke bawah.

   "Percuma kau mengaku dari kalangan pendekar, kau tahu aturan tidak?"

   Bentak Siau-hong dengan gusar setelah melompat bangun.

   Tiong Siau-hu tidak menanggapinya, tapi "ser, ser, ser", beruntun ia menyerang pula tiga kali.

   Keruan Kok Siau-hong tambah mendongkol, ia anggap orang adalah sekomplotan dengan Ih Hoa-liong, maka ia pun balas menggempurnya dengan segenap kepandaiannya.

   Bahwasanya mendadak Tiong Siau-hu melancarkan serangan maut kepada Kok Siau-hong, hal ini juga membuat istrinya, yaitu Siangkoan Po- cu, merasa heran, segera ia pun berseru.

   "Kakak Hu, tanya dulu yang jelas barulah bertempur lagi!"

   Tapi pada saat yang sama Ih Hoa-liong yang kegirangan karena merasa dibela oleh Tiong Siau-hu juga berteriak.

   "Benar, bocah itu sembarangan membual, hantam saja dia dan urusan belakang!"

   Dia sudah terluka pahanya, walaupun tidak parah, tapi nyalinya sudah ciut, dengan sendirinya ia tidak berani mendekat untuk melabrak Kok Siau-hong lagi, yang dia harap lekas Tiong Siau-hu membinasakan Kok Siau-hong saja.

   Dalam pada itu Kok Siau-hong merasa dongkol karena Tiong Siau-hu menyerangnya tanpa sebab, ia pikir orang tentu segolongan dengan Ih Hoa- liong, buat apa aku sungkan padanya.

   Segera ia mempergencar serangannya dan dilayani Tiong Siau-hu dengan sama tangkasnya.

   Sesudah dua-tigapuluh jurus, pertarungan kedua orang itu masih tetap sama kuat, pedang kedua orang berulang-ulang saling bentur, keduanya sama-sama menggunakan ilmu pedang tertinggi, tapi tetap tiada yang lebih unggul.

   Sekonyong-konyong Tiong Siau-hu melompat mundur beberapa tindak, lalu menyimpan kembali pedangnya.

   Perbuatan ini membikin Kok Siau-hong tertegun heran, ia pikir orang belum ada tanda-tanda kalah, mengapa mundur teratur? Padahal kalau pertarungan diteruskan, Kok Siau-hong yang telah banyak menggunakan tenaga untuk memanjat tebing jurang tadi akhirnya tentu akan kepayahan.

   Dalam pada itu terdengar Tiong Siau-hu sudah buka suara dengan terbahak-bahak.

   "Ha, ha, ha, memang tidak salah lagi, yang kau mainkan memang betul Jit-siu-kiam-hoat!"

   "O, jadi dia ini memang benar-benar Kok Siau-hong adanya!"

   Dengan kejut dan girang Siangkoan Po-cu juga berseru.

   Baru sekarang Kok Siau-hong tahu maksud tujuan orang, kiranya Tiong Siau-hu menguji ilmu pedangnya untuk mengetahui betul atau tidak apa yang dia katakan tadi.

   Perlu diketahui bahwa "Jit-siu-kiam-hoat"

   Adalah ilmu pedang pusaka keluarga Yim yang tidak diajarkan kepada orang luar, di dunia ini hanya tiga orang saja yang mahir memainkan ilmu pedang itu, mereka adalah Yim Thian-ngo, ibu Kok Siau-hong serta Kok Siau-hong sendiri.

   Oleh karena kitab pusaka ilmu pedang itu oleh kakek luar Siau-hong diberikan kepada puterinya (ibu Siau-hong) sebagai emas kawin, sebab itulah intisari ilmu pedang itu lebih dipahami oleh Kok Siau-hong daripada Yim Thian-ngo.

   Tiong Siau-hu terhitung ahli pedang terkenal pula, meski tidak dapat memainkan Jit-siu-kiam-hoat, tapi sekali lihat saja ia lantas mengenalinya.

   Setelah pihak lawan mempercayai dia, selagi Kok Siau-hong merasa senang, tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda disertai derapan yang riuh.

   Kiranya Ih Hoa-liong menginsyafi keadaan tak menguntungkan, jalan paling selamat adalah melarikan diri, maka selagi Tiong Siau-hu dan istrinya lengah, segera ia keprak kudanya dan kabur.

   Kuda Ih Hoa-liong adalah kuda Mongol pilihan pemberian Sebun Bok-ya, kalau si naga putih tidak terluka tentu dapat menyusulnya, kini bokong naga putih terluka, dengan sendirinya larinya terbatas cepatnya.

   Menyadari tak mungkin dapat menyusul Ih Hoa-liong, Kok Siau-hong hanya menyatakan rasa penyesalannya saja kaburnya pengkhianat itu.

   "Biarlah kelak kita mencari dia lagi,"

   Uiar Tiong Siau-hu.

   "Kok-siauhiap, beruntung sekali hari ini dapat bertemu dengan engkau, aku ingin minta petunjuk sesuatu padamu."

   "Ah, mana aku berani, numpang tanya siapakah nama tuan?"

   Tanya Siau- hong. Tiong Siau-hu lantas memberitahukan namanya. Memang sudah lama Kok Siau-hong mendengar pasangan pendekar suami-istri itu, tentu saja ia sangat girang, katanya kemudian.

   "Entah engkau hendak tanya soal apa?"

   Tampak Tiong Siau-hu ragu-ragu sejenak, kemudian baru berkata pula.

   "Konon Han Tay-wi Han Lo-enghiong adalah ayah mertua Kok-heng, entah Kok-heng pernah berkunjung ke tempat ayah mertua atau tidak?"

   Peristiwa pembatalan perkawinan Kok Siau-hong sudah lama tersiar di dunia Kang-ouw dan sudah tentu diketahui pula oleh Tiong Siau-hu.

   Hanya saja secara resmi Kok Siau-hong belum membatalkan ikatan perjodohannya itu, jadi layaknya dia masih dianggap menantu keluarga Han, walaupun merasa agak rikuh menyebut demikian, namun terpaksa Tiong Siau-hu bertanya juga padanya.

   Dengan wajah merah Siau-hong menjawab.

   "Ya, aku sudah datang ke sana, Han Lo-enghiong mengalami hal-hal tak terduga, tentunya Tiong- tayhiap juga sudah tahu."

   "Kami juga pernah mendatangi tempat kediaman ayah mertuamu, kami justru hendak tanya padamu tentang kejadian itu,"

   Kata Tiong Siau-hu.

   "Aku hanya tahu Han Lo-enghiong didatangi dua musuhnya yang terbesar, yaitu Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok, mengenai keadaan Han Lo- enghiong sendiri sampai saat inipun aku tidak mendapatkan berita yang pasti. Hanya saja aku pun mendapatkan sedikit titik terang mengenai beliau."

   Lalu Siau-hong menceritakan apa yang diketahuinya.

   "Sungguh tidak tersangka Han Lo-enghiong bisa dicelakai oleh kawanan penjahat itu,"

   Kata Tiong Siau-hu dengan gegetun.

   "Sayang kami masih ada urusan penting, terpaksa lain waktu baru dapat menyelidiki gua bertirai air terjun itu."

   Segera Siangkoan Po-cu ikut bertanya kepada Siau-hong.

   "Di tempat kediaman ayah mertuamu tersimpan suatu partai harta pusaka, apakah Kok- siauhiap mengetahui hal ini?"

   "Perbekalan yang dikawal orang-orang Kay-pang kepada laskar rakyat di Ci-lo-san bukan lain justru adalah harta pusaka yang dimaksud,"

   Tutur Siau- hong. Tiong Siau-hu dan istrinya manggut-manggut, kata mereka.

   "Dalam hal ini ternyata Ih Hoa-liong tidak berdusta kepada kami."

   "Kalian cuma kebetulan lewat di sini atau sengaja hendak berkunjung kepada Han Lo-enghiong?"

   Tanya Siau-hong. Setahunya Han Tay-wi dan Tiong Siau-hu tidak pernah berhubungan. Maka Tiong Siau-hu telah menjawab.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Seorang kawan berjanji dengan aku untuk bertemu di rumah Han Lo-enghiong. Tak terduga kediaman Han Lo-enghiong telah hancur dan orangnya juga sudah kabur, kawan yang berjanji itupun tidak bertemu."

   "Entah Tiong-tayhiap ada urusan penting apa, dapatkah aku diberitahu?"

   Tanya Siau-hong. Untuk sejenak Tiong Siau-hu berpikir, katanya kemudian.

   "Urusan ini terhitung rahasia, tapi Kok-siauhiap mempunyai hubungan rapat dengan Han Lo-enghiong, tiada halangan kuberitahukan padamu. Apakah kau mengetahui asal-usul harta pusaka yang tersimpan di rumah kediaman ayah mertuamu itu?"

   Kok Siau-hong mengira harta pusaka yang dipersoalkan itu adalah milik Han Tay-wi sendiri, maka pertanyaan Tiong Siau-hu itu membuatnya tercengang, jawabnya kemudian.

   "Aku pun baru beberapa hari yang lalu mengetahui adanya harta pusaka itu, tentang asal-usulnya tentu saja aku tidak tahu."

   "Nah, ayahnya yang menitipkan harta pusaka itu di tempat ayah mertuamu,"

   Kata Tiong Siau-hu dengan tersenyum sambil menuding istrinya sendiri, Siangkoan Po-cu.

   "Sebenarnya juga tidak dapat dianggap milik ayahku,"

   Ujar Siangkoan Po- cu dengan tertawa.

   "partai harta pusaka itu adalah hasil usaha orang banyak, ayah bermaksud menyumbangkannya kepada seorang lain melalui Han Lo- enghiong."

   Kiranya ayah Siangkoan Po-cu bukan lain adalah Siangkoan Hok.

   Asalnya Siangkoan Hok adalah bangsa Liau, negeri Liau telah dicaplok oleh kerajaan Kim, karena Siangkoan Hok adalah pahlawan yang terkenal, dia terpaksa melarikan diri keluar lautan untuk menghindari penangkapan kerajaan Kim.

   Dengan cepat duapuluh tahun telah lalu, kerajaan Mongol berbangkit untuk berebut pengaruh dengan kerajaan Kim, pemerintahan Kim makin hari makin bobrok dan lemah.

   Pada saat itulah Siangkoan Hok lantas pulang dari tempat pelariannya dengan maksud hendak membangun kembali negerinya, karena keadaan di negeri asalnya masih kurang aman, lalu dia bertugas bagi Jengis Khan dan menjadi pembantu utama Kok-su kerajaan Mongol, sudah tentu maksud tujuannya membangun kembali kerajaan Liau tidak berani diketahui oleh orang Mongol.

   Ketika kerajaan Liau musnah, putera Yalu Yong komandan pasukan bayangkara, yang bernama Yalu Goan-ih, telah membentuk pasukan perlawanan dan bercokol di pegunungan Ki-lian-san, selama belasan tahun kerajaan Kim tidak mampu menumpas pasukan pemberontak itu, tapi Yalu Goan-ih juga merasakan kekuatan pasukan sendiri terlalu lemah sehingga tidak dapat berkembang dengan baik.

   Di bawah perlindungan Jengis Khan, lambat-laun Siangkoan Hok dapat berhubungan dengan orang-orang Liau yang bercita-cita melawan kerajaan Kim, di antaranya adalah dua orang bekas jago pengawal istana Liau, ketika ibukota Liau jatuh, kedua orang itu sempat membawa lari suatu partai harta pusaka istana, harta karun itu lalu diserahkan kepada Siangkoan Hok.

   Selain itu Siangkoan Hok dan beberapa orang lain juga berhasil menghimpun suatu partai perbekalan yang diringkas menjadi emas intan dan batu permata yang berharga untuk memudahkan penyimpanannya.

   Mestinya Siangkoan Hok hendak mengirim harta pusaka itu kepada Yalu Goan-ih di Ki-lian-san, tapi dia sendiri berada bertugas di kemah Jengis Khan, meski kedudukannya sangat tinggi, tapi apa pun juga dia bukan bangsa Mongol sehingga tidak pernah mendapat kepercayaan Jengis Khan sepenuhnya, maka tidaklah mudah baginya untuk mengirim harta pusakanya itu ke Ki-lian-san.

   Sampai Jengis Khan wafat barulah Siangkoan Hok mendapat suatu kesempatan baik, yaitu ketika dia diberi tugas rahasia mengadakan pergerakan di sekitar kota Lok-yang dan Khay-hong, tapi karena tugasnya ini diberi batas waktu tertentu, ia pun tidak dapat berkunjung sendiri ke Ki-lian- san.

   Siangkoan Hong adalah kawan baik Han Tay-wi sejak masih sama-sama muda, Han Tay-wi diketahui mengasingkan diri di luar kota Lok-yang dan tampaknya tidak mau tahu kejadian dunia luar, tapi sebenarnya ia pun bergerak melakukan perlawanan kepada kerajaan Kim (yang wilayah kekuasaannya meliputi kota-kota Lok-yang dan Khay-hong), cuma orang yang tahu pergerakannya itu tidaklah banyak.

   Agen rahasia Mongol juga tidak tahu bahwa di luar kota Lok-yang terdapat seorang maha guru persilatan sehebat itu.

   Maka diam-diam Siangkoan Hok mengunjungi Han Tay-wi untuk menitipkan partai harta pusaka itu di rumahnya serta mohon kawannya itu berusaha mengirimkannya ke Ki-lian-san, dia telah menginap satu malam di rumah Han Tay-wi.

   Itulah sebabnya Lau Kan-loh dan Yim Thian-ngo menyelidiki rumah Han Tay-wi, Lau Kan-loh hanya tahu Siangkoan Hok sebagai wakil Kok-su Mongol, maka ketika dia mendengar berita Siangkoan Hok bersembunyi di rumah Han Tay-wi, dengan sendirinya dia anggap Han Tay-wi mempunyai hubungan gelap dengan Tartar Mongol.

   Celakanya sesudah Siangkoan Hok pergi, tidak lama kemudian Han Tay- wi lantas terluka oleh Siau-lo-im-sat-kang Cu Kiu-bok dan mengalami kelumpuhan setengah badan.

   Dengan sendirinya ia tidak dapat mengurus pengiriman harta pusaka titipan Siangkoan Hok itu dan terpaksa membiarkannya tetap tersimpan di rumah.

   Di samping itu Siangkoan Hok sudah mengirimkan berita harta pusaka itu ke Ki-liansan, ketika akhirnya Yalu Goan-ih mengetahui adanya titipan harta karun di rumah Han Tay-wi, namun waktu itu pasukan besar Mongol sudah menyerbu ke Tiong-goan.

   Yalu Goan-ih mempunyai kontak dengan Lok-lim-beng-cu bangsa Han di daerah utara, Hong-lay-mo-li, maka dia telah minta Hong-lay-mo-li agar mengirim tenaga bantuan ke rumah Han Tay-wi.

   Karena mengetahui Siangkoan Po-cu adalah puteri Siangkoan Hok, maka Hong-lay-mo-li sengaja mengutusnya bersama Tiong Siau-hu ke sana.

   Begitulah setelah mendengar cerita Tiong Siau-hu, barulah Kok Siau- hong mengetahui asal-usul harta pusaka itu, pikirnya.

   "Pantas Pwe-eng sendiri pun tidak tahu rahasia ini, kiranya harta pusaka ini menyangkut urusan sebesar ini, sampai-sampai Han Tay-wi tidak berani memberitahu kepada anak perempuannya sendiri."

   "Kini harta pusaka itu telah direbut oleh musuh,"

   Kata Siangkoan Po-cu kemudian dengan masgul.

   "sedangkan utusan yang dikirim Yalu Goan-ih juga tidak ketemu, lalu bagaimana baiknya sekarang?"

   "Harta yang direbut kedua iblis itu menuju ke barat, muatan kereta keledai itu sangat berat, jalannya tentu lambat, jika kita mengejar dengan cepat mungkin dapat menyusulnya,"

   Kata Siau-hong.

   Menurut perkiraan Kok Siau-hong, dengan gabungan dirinya dan Tiong Siau-hu berdua melawan kedua iblis tua yang terluka itu, andaikan tidak dapat mengalahkan mereka, asalkan jejak mereka sudah diketahui, tentu dapat minta bantuan pihak laskar rakyat di Ci-lo-san.

   "Sungguh aneh, sesudah Lok-yang diduduki, seharusnya pasukan Mongol menuju ke selatan, tapi kedua iblis itu tidak kembali ke Lok-yang, mengapa malah menuju ke sebelah barat?"

   Kata Tiong Siau-hu heran.

   "Arah mereka lebih memudahkan kita merebut kembali harta pusaka itu, peduli apa sebabnya mereka menuju ke barat, lekas kita mengejar saja,"

   Ujar Siangkoan Po-cu.

   Begitulah mereka bertiga terus melarikan kuda dengan cepat menguber ke barat.

   Mereka tidak tahu bahwa di depan mereka ada lagi seorang lain yang sedang mengikuti jejak kedua iblis tua, yaitu Ih Hoa-liong yang melarikan diri tadi.

   Luka Ih Hoa-liong tidak parah, sesudah dibubuhi obat luka, tidak lama darah lantas mampet dan dapat bergerak dengan leluasa.

   Setelah sekian jauhnya dia melarikan kudanya dan tidak nampak Kok Siau-hong mengejarnya, maka giranglah hatinya.

   Pikirnya.

   "Meski aku gagal menjebak Tiong Siau-hu dan istrinya, tapi untung juga aku sendiri selamat. Biarlah nanti kalau aku sudah mendapat bagian rezeki harta karun itu, lalu aku akan mengasingkan diri untuk hidup aman tenteram sampai hari tua."

   Rupanya antara Yim Thian-ngo dan Sebun Bok-ya sudah ada janji bila harta pusaka itu berhasil direbut, maka Yim Thian-ngo akan mendapat satu bagian, cuma dia masih ingin bekerja bagi pihak Mongol, untuk menipu pihak Gi-kun, dia harus tetap muncul di dunia persilatan sebagai orang tua, maka tentang membagi rezeki segala dia sengaja mengirim muridnya, yaitu Ih Ho-liong sebagai wakilnya.

   Pada hari keenam dekat lohor dapatlah Ih Hoa-liong menyusul Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok.

   Rombongan Sebun Bok-ya sedang istirahat di tepi jalan.

   Jalanan itu menyusuri sebuah bukit, yang sebelah adalah hutan, sebelah lain adalah sungai, di tepi jalan ada sebuah kedai minum.

   Maka perajurit-perajurit Mongol itu sebagian sedang mengaso di tepi jalan dan sebagian lain sedang minum-minum di kedai.

   Sesudah tegur sapa sekadarnya, kemudian Ih Hoa-liong mengajukan permohonannya tentang pembagian harta karun itu.

   Maka Sebun Bok-ya telah menjawabnya.

   "Sudah kukatakan bahwa harta pusaka ini harus diangkut ke Ho-lin untuk diserahkan kepada Kok-su Cun- sing Hoat-ong, habis itu kita baru dapat membaginya sama rata sepertiga bagian setiap orang."

   "Tapi.....,"

   Kata Ih Hoa-liong dengan suara rendah.

   "tapi jumlah harta karun itu kan belum diketahui oleh Kok-su, kalau sekarang kita menggelapkannya sebagian kecil kan kita dapat bagian lebih banyak sedikit?"

   "Ha, ha, kiranya kau pakai perhitungan demikian,"

   Kata Sebun Bok-ya dengan bergelak tertawa.

   "Ini kan untuk kepentingan kita bersama,"

   Ujar Ih Hoa-liong.

   "Justru untuk harta karun inilah aku sampai terluka."

   "Oya, aku tanya kau, cara bagaimana kau terluka, apa parah?"

   Tanya Cu Kiu-bok.

   "Jika terluka parah mana dia mampu menyusul kita secepat ini? Lukanya hanya untuk alasan saja,"

   Kata Sebun Bok-ya dengan tertawa. Mendengar nada orang rada-rada lunak, Ih Hoa-liong tahu usulnya tadi ada kemungkinan dirundingkan lebih lanjut, maka ia pun berkata pula dengan tertawa.

   "Sebun-cianpwe adalah orang bijaksana, luka hamba memang tidak berhalangan, namun bila aku kurang cepat melarikan diri, hampir saja aku benar-benar terbinasa di bawah pedang Kok Siau-hong."

   "Apa? Kau bilang Kok Siau-hong? Dia belum mampus?"

   Sebun Bok-ya menegas dengan terkejut.

   "Ya, dia yang melukai aku, mungkin dia masih penasaran dan akan mengejar ke sini pula,"

   Tutur Ih Hoa-liong.

   "Makanya kau ketakutan dan bersembunyi di sini?"

   Cu Kiu-bok mengolok-olok. Tapi Sebun Bok-ya lantas menjengek.

   "Hm, masakah dia berani mengejar ke sini?"

   "Tapi dia tidak sendirian,"

   Kata Ih Hoa-liong.

   "Dia berkawan dengan sepasang suami-istri."

   "Siapakah kedua suami-istri itu?"

   Tanya Sebun Bok-ya.

   "Mereka juga tokoh Kim-keh-nia, yang lelaki bernama Tiong Siau-hu dan istrinya bernama Siangkoan Po-cu,"

   Tutur Ih Hoa-liong.

   "Meski mereka bukan bawahan Hong-lay-mo-li, tapi mereka adalah kawan-kawan sehaluan. Aku bertemu mereka di tengah jalan dan bermaksud menipu mereka ikut aku ke sini, dengan demikian Sebun-cianpwe akan dapat membekuknya. Tak terduga mendadak datanglah Kok Siau-hong dan membongkar kebohonganku sehingga usahaku gagal sama sekali."

   "Kau bilang istrinya itu bernama Siangkoan Po-cu?"

   Tiba-tiba Sebun Bok- ya menegas, agaknya dia sangat menaruh perhatian terhadap nama ini. Ih Hoa-liong mengiakan, ia pun heran mengapa Sebun Bok-ya khusus- menanyakannya.

   "Untuk urusan apakah datangnya kedua suami-istri itu, apakah kau tahu?"

   Tanya Sebun Bok-ya pula.

   "Entah, aku tidak tanya mereka,"

   Jawab Ih Hoa-liong.

   "Cuma tampaknya mereka sangat memperhatikan harta pusaka keluarga Han ini, mungkin kedatangan mereka juga untuk harta karun ini."

   "Wah, sayang, sayang!"

   Mendadak Sebun Bok-ya menepuk paha.

   "Sayang? Sayang apa?"

   Tanya Ih Hoa-liong terheran-heran.

   "Sayang kau tidak jadi memancingnya ke sini, kalau dia ke sini tentu dapat kita tangkap mereka dan kau pun berjasa besar,"

   Kata Sebun Bok-ya.

   Ih Hoa-liong menjadi bingung oleh keterangan Sebun Bok-ya, meski Tiong Siau-hu dan istrinya cukup ternama, tapi toh bukan yang penting, ia heran mengapa iblis tua ini begitu tinggi menilai mereka? Terdengar Sebun Bok-ya berkata pula.

   "Agaknya kau tidak tahu bahwa Siangkon Po-cu itu bukan lain daripada anak perempuan Siangkoan Hok."

   Memang Ih Hoa-liong hanya tahu Siangkoan Hok adalah pembantu utama Cun-sing Hoat-ong, Kok-su negeri Mongol, ia tidak tahu di dalam urusan ini terdapat pula macam-macam persoalan, maka ia menjadi heran dan berkata.

   "O, kiranya dia adalah puteri Siangkoan-cianpwe, sungguh tak kuduga. Jika begitu kalau kita membekuk suami istri itu kan berarti bersalah kepada Siangkoan-cianpwe?"

   


Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Rahasia Ciok Kwan Im -- Gu Long

Cari Blog Ini