Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 12


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 12



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Hm, agaknya hal-hal yang kau tak tahu masih terlalu banyak,"

   Jengek Sebun Bok-ya.

   "pendek kata coba jawab, apakah kau masih ada akal untuk memancing dia ke sini?"

   Kiranya Cun-sing Hoat-ong juga sudah mencurigai Siangkoan Hok mempunyai usaha gelap, meski soal titipan harta pusaka Siangkoan Hok di rumah Han Tay-wi itu dilakukan dengan sangat rahasia, namun akhirnya dapat didengar juga oleh Cun-sing Hoat-ong.

   Maka sekali ini Cun-sing Hoat- ong sengaja menyuruh Sebun Bok-ya menyelidiki persoalan ini, tujuannya di samping hendak merebut harta karun itu, yang lebih penting lagi adalah menemukan bukti kesalahan Siangkoan Hok.

   Kini harta karun itu sudah berhasil dirampas, tapi bukti yang diharapkan belum diperoleh, harta karun itu adalah benda mati yang tak dapat bicara, tentunya Siangkoan Hok dapat menyangkal sebagai pemiliknya bila ditanya.

   Sebaliknya kalau anak perempuannya yang tertawan, untuk menolong anak perempuannya mau tidak mau Siangkoan Hok harus mengakui hubungannya dengan Siangkoan Po-cu, lalu asal-usul harta karun itupun tak dapat disangkal pula.

   Begitulah dengan muka muram Ih Hoa-liong berkata.

   "Jejakku sudah diketahui mereka, cara bagaimana aku dapat menipu mereka pula?"

   Sebun Bok-ya tidak menjawab, melainkan memandang ke arah Cu Kiu- bok. Cu Kiu-bok lantas berkata.

   "Tidak bisa."

   Ih Hoa-liong merasa bingung, tanyanya.

   "Tidak bisa apa?"

   "Sebun-heng,"

   Kata Cu Kiu-bok.

   "bukankah kau ingin aku pergi bersama Ih-laute untuk membekuk mereka?"

   "Memang begitulah pertimbanganku,"

   Kata Sebun Bok-ya.

   "tapi kalau Cu-heng merasa tidak sanggup, ya terpaksa batalkan saja."

   Kiranya Cu Kiu-bok juga mempunyai perhitungan sendiri, pertama, ia kenal kepandaian Kok Siau-hong yang tidak lemah, bagaimana kekuatan Tiong Siau-hu dan istrinya juga diketahuinya, maka dia benar-benar tiada kesanggupan untuk mengalahkan ketiga orang itu.

   Selain itu ia pun kuatir Sebun Bok-ya mencaplok bagiannya daripada harta karun itu, bukan mustahil Sebun Bok-ya sengaja memancingnya agar bertempur mati-matian, sebaliknya Sebun Bok-ya sendiri lantas mengawal harta karun itu ke Mongol.

   Sebab itulah Cu Kiu-bok tidak mau dibodohi, katanya dengan hambar.

   "Kepandaian Sebun-heng jauh di atasku, aku memang tidak punya kesanggupan, maka lebih baik engkau saja yang pergi membekuk mereka."

   "Mana aku dapat pergi sekarang?"

   Kata Sebun Bok-ya dengan kurang senang. Sejenak kemudian tiba-tiba ia berkata pula.

   "Betul, Hoa-liong, bukankah tadi kau mengatakan mereka sedang mengejar ke sini? Jika begitu kita boleh memperlambat perjalanan ini agar tersusul oleh mereka."

   "Itu hanya dugaanku saja, entah tepat atau tidak,"

   Jawab Ih Hoa-liong.

   "Baiklah, boleh kalian mengaso lagi lebih lama,"

   Begitulah Sebun Bok-ya memberi perintah kepada perajurit-perajurit Mongol itu, tentu saja hal ini disambut dengan gembira oleh perajurit-perajurit itu, kembali mereka makan minum sepuasnya, sebagian ada yang merebahkan diri di bawah pepohonan yang rindang.

   Lama sekali Sebun Bok-ya menunggu, sang surya perlahan-lahan sudah terbenam di ujung barat, tapi bayangan orang yang ditunggu masih tidak kelihatan.

   Selagi gelisah dan ada pikirannya hendak berangkat saja, tiba-tiba terdengarlah suara bunyi seruling yang mengalun merdu laksana bunyi burung kenari yang menyejukkan.

   Waktu ia memandang ke sana, terlihat seorang Su-sing (orang terpelajar, sastrawan) setengah umur sambil meniup seruling sedang berjalan mendatangi dengan langkah berlenggang.

   Padahal kedai minum itu penuh perajurit Mongol, tapi Su-sing itu tidak ambil pusing, ia pun melangkah ke dalam kedai itu, ia berhenti meniup seruling dan berkata dengan tertawa.

   "Permisi, permisi, berikan jalan lewat!"

   Perajurit-perajurit Mongol itu mendelik dengan mendongol, tapi Sebun Bok-ya lantas berkata.

   "Kalian tentu sudah cukup minum, boleh bergantian tempat untuk tuan tamu ini."

   Sudah tentu Sebun Bok-ya mempunyai pandangan yang tajam, ia lihat si Su-sing berani memasuki kedai minum itu di tengah perajurit-perajurit yang bersenjata lengkap tanpa gentar sedikit pun, maka dapat dipastikan bukanlah orang biasa.

   Apalagi sorot matanya kelihatan bercahaya, suaranya membawa tenaga dalam yang kuat, mungkin sekali dia adalah seorang Su- sing sinting yang berilmu silat tinggi.

   Dalam pada itu si Su-sing telah mendapatkan sebuah tempat duduk, dia soja ke arah Sebun Bok-ya dan mengucapkan terima kasih, lalu berduduk untuk minum teh.

   Setelah minum beberapa teguk teh, terdengar ia berseru memuji.

   "Ehmmm, teh sedap, teh enak!"

   "Hm, teh pahit begitu, apanya yang enak dan sedap?"

   Seorang perajurit Mongol menanggapi dengan tertawa. Su-sing itupun menjawab.

   "Menurut kitab teh, teh pahit adalah teh yang paling tinggi kwalitasnya, habis pahit datanglah manis, inilah yang bagus!"

   Hati Sebun Bok-ya tergerak oleh ocehan Su-sing itu, ia coba mendekatinya dan menyapa.

   "Tuan benar-benar orang yang gemar kenikmatan, untung sekali kita dapat bertemu di sini, bagaimana kalau kita mengikat persahabatan?"

   "Ha, ha, ha! Bagus, bagus, kau sudi bersahabat dengan aku, sungguh jauh di luar harapanku,"

   Jawab Su-sing itu sambil terbahak-bahak.

   "Terus terang, sesungguhnya saat ini aku sedang tongpes (kantong kempes) dan tidak gablek duit sepeser pun. Kebetulan sekali engkau sudi bersahabat dengan aku, bagaimana kalau kau traktir sekalian teh yang kuminum ini?"

   Sambil bicara ia terus meneguk tehnya sendiri, sama sekali tidak ambil pusing terhadap tangan yang disodorkan Sebun Bok-ya.

   Diam-diam Sebun Bok-ya mendongkol, ia tahu orang sengaja berlagak bodoh, ia pikir perlu mencari suatu akal untuk menjajalnya.

   Maka dengan tertawa ia berkata pula.

   "Ah, saudara tampaknya sangat suka berkelakar."

   Mendadak Su-sing itu mendelik dan berkata,"O, jadi kau tidak sudi mentraktir aku?"

   "Traktir, pasti kutraktir!"

   Jawab Sebun Bok-ya.

   "Asalkan saudara sudi saja, sayang kedai ini tidak menjual arak, kalau saudara suka berangkat bersama kami, malam nanti kita dapat minum sampai mabuk di dalam kota sana."

   Dengan lagak kemalas-malasan Su-sing itu menanggapi.

   "Aku pun sangat ingin memenuhi perjamuan yang kau janjikan itu, cuma sayang aku tidak ada tempo."

   "Wah, sungguh harus disesalkan,"

   Ujar Sebun Bok-ya.

   "Perkenalan dalam perjalanan, habis berpisah urusan pun selesai, kenapa mesti menyesal?"

   Kata Su-sing itu.

   "Tiupan serulingmu sangat bagus, setelah berpisah nanti, entah kapan baru dapat mendengar pula suara serulingmu, apakah sekarang saudara sudi meniupkan sebuah lagu pula bagiku?"

   Kata Sebun Bok-ya.

   "Ya, ya, kau telah mentraktir aku minum teh, pantasnya aku harus membalas kebaikanmu ini,"

   Jawab si Su-sing dengan tertawa.

   "Jika engkau suka mendengar sesuatu lagu, baiklah akan kutiupkan sebuah lagu yang enak didengar bagimu."

   Maka mulailah Su-sing itu meniup pula serulingnya.

   Mula-mula suara seruling mengalun sayup-sayup perlahan, tiba-tiba suara seruling berubah nadanya seakan-akan dari musim semi yang semarak dengan bunga mekar mewangi itu mendadak berganti musim rontok yang kering.

   Suara seruling berubah menjadi mengharukan dan menyedihkan, seperti orang yang meratap dan seperti menangis pula, makin lama makin menyedihkan.

   Ketika suara seruling berubah pula, tiba-tiba orang seperti dibawa ke tempat yang penuh salju belaka dengan hawa yang dingin, tanpa terasa perajurit-perajurit Mongol itu terkesima, serentak timbul perasaan rindu kampung halaman dalam hati mereka.

   "Wah, katanya lagu bagus, tapi rasanya aku akan menangis oleh lagu sedih ini,"

   Kata Sebun Bok-ya.

   Sekonyong-konyong ia tersadar, ia pikir jangan-jangan Su-sing ini sengaja meniup serulingnya ini untuk menghancurkan semangat pasukanku.

   Baru Sebun Bok-ya hendak membentak agar si Su-sing menghentikan serulingnya, tiba-tiba terdengar suara derapan kaki kuda yang ramai, ada tiga penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat.

   Ketiga orang ini bukan lain daripada orang-orang yang sengaja ditunggu oleh Sebun Bok-ya.

   Ketika Tiong Siau-hu bertiga mengejar tiba, dari jauh dia sudah mendengar suara seruling itu, ia menjadi girang dan berkata.

   "Aha, seorang kawan baik sudah berada di sana, kita tidak perlu kuatir lagi dan boleh menghadapi kedua iblis itu dengan tabah."

   Dengan girang Siangkoan Po-cu juga berkata.

   "Ya, sungguh tidak nyana orang yang berjanji untuk bertemu dengan kita di rumah Han Lo-enghiong itu kiranya adalah dia."

   Sebenarnya Kok Siau-hong sedang kuatir tak dapat melawan kedua iblis itu, ia menjadi bingung dan tercengang mendengar ucapan suami-istri itu, segera ia bertanya.

   "Siapakah orang yang meniup seruling itu?"

   "Bu-lim-thian-kiau!"

   Jawab Tiong Siau-hu.

   "Aha, kiranya dia adanya! Sungguh kebetulan sekali dan benar-benar kita tidak perlu kuatir lagi,"

   Seru Siau-hong dengan girang.

   Dalam pada itu para perajurit Mongol itu sedang dalam keadaan mabuk dan linglung oleh suara seruling, kedatangan Kok Siau-hong bertiga ternyata tak diperhatikan mereka, seakan-akan tidak melihat dan tidak mendengar.

   Cu Kiu-bok segera membentak.

   "Bagus, Kok Siau-hong, berani benar kau pun datang ke sini!"

   "Kau boleh minum teh ke sini, memangnya aku tidak boleh?"

   Jawab Siau- hu acuh tak acuh.

   Tanpa mempedulikan Cu Kiu-bok, mereka bertiga lantas melompat turun dari kuda dan melangkah masuk ke dalam kedai.

   Cu Kiu-bok memandang sekejap ke arah Sebun Bok-ya, tapi Sebun Bok- ya menggoyang tangannya, sorot matanya sebaliknya diarahkan kepada Su- sing peniup seruling sebagai tanda ada lawan tangguh yang sedang dihadapi, ketiga orang yang baru datang itu boleh dikesampingkan dahulu.

   Sedang Cu Kiu-bok merasa heran dan ragu-ragu, tiba-tiba terdengar beberapa perajurit mulai menangis tersedu-sedan.

   Sekonyong-konyong Sebun Bok-ya berbangkit sambil membentak.

   "Tidak perlu meniup lagi!" ~ Suara bentakan yang menggeledek itu mengacaukan suara seruling sehingga perajurit-perajurit Mongol itu seperti baru sadar dari bermimpi dan saling pandang dengan jengah. Su-sing itupun terkesiap, ia pikir si iblis tua ini ternyata benar memiliki kepandaian sejati, agaknya tidak boleh dipandang enteng. Lalu ia menaruh serulingnya ke bawah dan berkata dengan hambar.

   "Sudah cukup?"

   "Ha, ha, kiranya Tam-pwecu adanya, sungguh aku ini sudah lamur,"

   Seru Sebun Bok-ya dengan mengakak.

   "Numpang tanya Tam-pwecu, ada petunjuk apakah kedatanganmu ini?"

   Kiranya Su-sing itu bernama Tam Ih-tiong, sebenarnya dia adalah Pwecu atau pangeran kerajaan Kim, karena tidak puas terhadap politik raja Kim yang kejam, dia telah minggat dari istana dan berkelana di dunia Kang-ouw sehingga terkenal sebagai seorang pendekar kelana, orang pun memberi julukan "Bu-lim-thian-kiau" (si bandit budiman dunia persilatan) padanya.

   Istri Bu-lim-thian-kiau bernama Helian Jing-hun, sedang istri Yalu Goan- ih bernama Helian Jing-sia, istri masing-masing adalah saudara sekandung, maka dugaan Tiong Siau-hu memang tidak keliru, Bu-lim-thian-kiau memang betul adalah utusan Yalu Goan-ih (Kisah Bu-lim-thiankiau dapat diikuti dalam cerita Pendekar Latah) Bu-lim-thian-kiau tiba lebih dulu di rumah Han Tay-wi, lantaran mengetahui harta pusaka simpanan telah dirampas orang, maka dia tidak menunggu lagi kedatangan Tiong Siau-hu dan istrinya, tapi terus mengikuti jejak kedua iblis tua ini.

   Begitulah maka Bu-lim-thian-kiau lantas menjawab dengan tertawa.

   "Bukankah tadi kau bilang mentraktir aku minum teh? Kedatanganku ini tiada lain adalah ingin menikmati teh suguhanmu."

   "Berulang-ulang Tam-pwecu menggoda aku, sebenarnya ada maksud apa?"

   Kata Sebun Bok-ya dengan aseran.

   "Aku bicara dengan betul, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa aku sedang rudin, tidak berduit sepeser pun,"

   Kata Bu-lim-thian-kiau.

   "Karena kau mengajak bersahabat dengan aku, antara sahabat harus saling memberi bantu keuangan, makanya terpaksa aku harus minta kredit padamu."

   "O, pahamlah aku, jadi maksud kedatanganmu ini adalah untuk partai harta karun ini!"

   Kata Sebun Bok-ya.

   "He, he, sedikit pun tidak salah, cepat juga kau memahami maksudku,"

   Ujar Bu-lim-thian-kiau dengan menjengek. Diam-diam Sebun Bok-ya terkejut dan berkuatir, pikirnya.

   "Bu-lim-thian- kiau dan Siau-go-kan-kun adalah dua tokoh aneh dunia persilatan yang sama menonjolnya, untung sekarang hanya dia sendiri yang datang, mungkin aku masih sanggup melayaninya."

   Walaupun hatinya terkejut, namun Sebun Bok-ya tidak sudi unjuk kelemahan, segera ia pun balas menjengek.

   "Ha, ha, bilamana saudara bermaksud mengincar harta pusaka ini, rasanya kau pun perlu memperlihatkan sedikit kepandaian kepadaku!"

   "Tentu, sudah tentu!"

   Jawab Bu-lim-thian-kiau dengan tertawa.

   "Mana aku dapat mengambil barangmu tanpa pamer sedikit permainanku. Baiklah, biar aku meniupkan lagi sebuah lagu bagimu."

   "Berulang kali Tam-pwecu mempermainkan aku, engkau terlalu memandang rendah kepada diriku yang sudah tua ini,"

   Kata Sebun Bok-ya dengan gusar.

   "Tam-pwecu, sekali pun kau adalah jago nomor satu di negeri Kim, tapi aku pun bukan orang yang tak bernama, hari ini beruntung dapat bertemu, bagaimana kalau kita coba-coba saja di sini?"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Orang yang minta aku meniup seruling tadi adalah kau, sekarang kau pula yang melarang aku meniup seruling, sebenarnya apa-apaan kau ini?"

   Kata Bu-lim-thian-kiau dengan tertawa.

   "Sudahlah, peduli kau suka atau tidak suka, yang pasti aku harus meniup sebuah lagu pula."

   Habis berkata kembali ia tempelkan seruling ke mulutnya dan mulai meniup lagi.

   Suara seruling tajam melengking, lagu yang dibawakan adalah sebuah syair gubahan penyair Ong Ci-hoan di zaman dinasti Tong.

   Sembari meniup seruling ia pun melangkah keluar kedai itu dengan perlahan.

   Syair yang dibawakan Tam Ih-tiong itu mengandung semangat menggelora laksana ombak samudra yang mendebur-debur sehingga membikin yang mendengar seakan-akan ikut tergulung ke tengah gelombang yang mendampar-dampar, biarpun tokoh macam Sebun Bok-ya yang memiliki lwekang tinggi, tidak urung pikiran pun terpengaruh dan kacau.

   Lekas Sebun Bok-ya tenangkan diri, bentaknya.

   "Kau berani memandang rendah padaku!"

   Segera ia keluarkan Hoa-hiat-to tingkat tinggi, ia menghantam dengan keras. Bu-lim-thian-kiau tersenyum, katanya.

   "Ah, mana aku berani!"

   Berbareng serulingnya bergerak, seketika terpencar berarus-ratus bayangan seruling, angin pukulan berbau amis yang dilontarkan Sebn Bok-ya itu tersampuk buyar, bahkan bayangan seruling yang dingin berbalik mengurung rapat Sebun Bok-ya.

   Suara seruling sudah berhenti, namun sisa nadanya seakan-akan belum lenyap.

   Sebun Bok-ya merasa suara seruling tadi seakan-akan membawa hawa pedang yang dingin, hampir-hampir pikirannya terpengaruh pula, tanpa terasa pukulan Hoa-hiat-to yang hebat itu kena dipatahkan oleh Bu- lim-thian-kiau.

   Keruan Sebun Bok-ya terkejut, cepat ia melompat mundur dua-tiga tindak untuk tenangkan diri pula.

   Kiranya kakek guru Bu-lim-thian-kiau adalah seorang kosen yang serba mahir baik ilmu silat maupun ilmu surat (sastra), waktu dia menciptakan permainan seruling yang disebut "Ci-hu-sin-sian" (seruling sakti akhirat), setiap gerak serangan diberi nama satu bait syair Tong, ketika melancarkan tiap-tiap tipu serangan itupun disertai dengan nada seruling yang tepat.

   Dengan meniupkan lagu itu bukan maksud Bu-lim-thian-kiau hendak memandang rendah kepada Sebun Bok-ya, tapi dia ingin memupuk dulu perasaan sendiri agar bersatu dengan nada suara seruling sendiri untuk kemudian melancarkan tipu serangan, dengan begitu dapatkah menghasilkan serangan yang hebat.

   Betapa pun Sebun Bok-ya juga seorang tokoh, meski terdesak tidak menjadi bingung.

   Sambil menggertak kedua tangannya lantas menghantam sekaligus, tangan kiri menggunakan Kim-na-jiu-hoat, tangan kanan tetap menyerang dengan Hoa-hiat-to yang berbisa.

   "Ha, ha, jangan buru-buru, dengarkan dulu serulingku!"

   Dengan tertawa Bu-lim-thian-kiau kembali meniup serulingnya dengan berlenggang seenaknya, ia telah keluarkan Ginkang yang hebat mengiringi nada seruling sehingga serangan Sebun Bok-ya itu gagal total, ujung baju saja tidak mampu menyengolnya.

   Ketika Bu-lim-thian-kiau sudah selesai meniup satu lagu barulah serulingnya bekerja dengan hebat.

   Katanya.

   "Kau ingin berkenalan benar- benar dengan aku bukan? Nah, sekarang boleh kau rasakan kelihaianku!" ~ Berbareng serulingnya terus menuding ke sana dan menotok ke sini dengan perubahan yang sukar diduga. Sebuah seruling kecil di tangan Bu-lim-thian- kiau ternyata dapat dimainkan dalam gaya bermacam senjata yang berbeda, yang diarah pun selalu tempat mematikan di tubuh musuh. Hoa-hiat-to yang dikeluarkan Sebun Bok-ya kini benar-benar mati kutu, di bawah serangan Bu-lim-thian-kiau sedikit pun ia tidak mampu balas menyerang lagi dan cuma dapat menangkis belaka. Diam-diam ia menarik napas dingin dan mengakui Tam Ih-tiong memang bukan bernama kosong dan tidak malu mendapat julukan Bu-lim-thian-kiau. ERAJURIT-PERAJURIT Mongol yang bertiduran di sana-sini itu semula tidak memperhatikan pertarungan yang sedang terjadi itu, kini melihat Sebun Bok-ya terdesak terus oleh si Su-sing, nyata pemimpin mereka berada di bawah angin, baru sekarang mereka terkejut dan merubung. Sudah tentu Cu Kiu-bok juga tahu gelagat jelek, ia pikir terpaksa tak dapat menjaga harga diri lagi dan mesti bergabung dengan Sebun Bok-ya untuk mengerubut Bu-lim-thian-kiau, kalau tidak, sebentar bila Sebun Bok-ya dikalahkan, dirinya tentu lebih sukar melawan sendirian. Setelah ambil keputusan itu, segera ia berteriak memberi perintah kepada perajurit-perajurit Mongol itu.

   "Tangkap dulu ketiga orang itu!" ~ Berbareng itu ia pun melompat maju, sekali hantam ia serang Bu-lim-thian-kiau dari belakang.

   "Huh, tidak tahu malu!"

   Damprat Kok Siau-hong, dengan cepat ia pun membayangi Cu Kiu-bok sambil menusuk dengan pedangnya.

   Segera Cu Kiu-bok menghantam ke belakang untuk mendesak mundur Kok Siau-hong, ia sendiri tetap menubruk maju.

   Dalam pada itu perajurit- perajurit Mongol itupun menyerbu tiba dengan senjata tombak dan golok.

   "Siau-hu, kenapa kalian tidak lekas bereskan harta pusaka itu, mau tunggu kapan lagi?"

   Kata Bu-lim-thian-kiau dengan tertawa. Tiong Siau-hu mengiakan, bersama istrinya segera mereka melolos pedang dan membinasakan beberapa orang perajurit Mongol, mereka menerjang ke samping Kok Siau-hong dan berseru padanya.

   "Biar kedua iblis tua itu cukup lihai, rasanya mereka pun bukan tandingan Tam-tayhiap, marilah kita rebut dulu kereta yang memuat harta pusaka itu!"

   

   Jilid 13 P Dalam pada itu serangan Cu Kiu-bok ke punggung Bu-lim-thian-kiau dengan tenaga Siu-lo-im-sat-kang masih diteruskan.

   Siu-lo-im-sat-kang yang berhawa dingin berbisa itu, jangankan terkena dengan telak, asalkan tersampuk oleh angin pukulannya saja darah pun akan beku.

   Akan tetapi Bu-lim-thian-kiau teramat tenang, ia menunggu pukulan lawan sudah mendekat baru mendadak bergeser, seruling ditiup ke arah musuh.

   Seketika Cu Kiu-bok merasa serangkum angin panas menyampuk ke mukanya, pernapasan terasa tidak leluasa, seakan-akan orang yang baru keluar dari gua es mendadak berada di dekat tungku yang membara.

   Nyata hawa dingin berbisa yang dilontarkannya itu tidak dapat melukai lawan, sebaliknya ia sendiri malah merasa kewalahan seolah-olah salju yang mendadak mencair terkena sinar matahari yang panas.

   Kiranya seruling Bu-lim-thian-kiau itu adalah benda mestika, angin panas yang ditiup keluar dari serulingnya justru merupakan lawan mematikan bagi hawa dingin berbisa dari Siu-lo-im-sat-kang.

   Kalau saja satu lawan satu Cu Kiu-bok pasti tidak sanggup melayani Bu- lim-thian-kiau, tapi lantaran dibantu Sebun Bok-ya, dengan gabungan tenaga dua orang barulah mereka mampu bertahan sehingga keadaan masih sama kuat.

   Di sebelah sana Tiong Siau-hu dan istrinya beserta Kok Siau-hong juga sedang menghadapi pasukan Mongol dengan penuh semangat, mereka menerjang ke sana sini, korban di pihak musuh semakin banyak.

   Perwira yang memimpin pasukan Mongol itu bukan lain daripada Pilufa yang tempo hari memanah kuda Kok Siau-hong dan mengakibatkannya terjerumus ke dalam jurang itu.

   Melihat gelagat tidak menguntungkan, segera Pilufa bermaksud mengulangi kejadian tempo hari, ia siap pula dengan busur dan panahnya.

   Saat itu Kok Siau-hong sedang menerjang ke tengah perajurit-perajurit Mongol, sekali tangannya meraih, kontan seorang perajurit Mongol kena ditangkapnya, menyusul tangan yang lain berhasil merampas golok sabit perajurit Mongol lainnya.

   Dengan gusar Pilufa terus memberondong Kok Siau-hong dengan tiga anak panah, namun Kok Siau-hong sempat mendek ke bawah sehingga panah pertama terhindar menyusul perajurit Mongol yang ditangkapnya itu lantas dilempar ke depan, tanpa ampun panah Pilufa yang kedua menembus tubuh perajurit itu, ketika panah ketika akan dilepaskan Pilufa, namun Kok Siau-hong telah mendahului menyambitkan golok sabit rampasannya.

   Golok itu menyambar tiba dengan cepat luar biasa, terpaksa Pilufa menangkisnya dengan busurnya.

   "Krak", busur Pilufa itu terbabat patah menjadi dua bagian. Kok Siau-hong tidak tinggal diam, segera ia menerjang maju dengan kuda si naga putih. Sudah tentu kuda tunggangan Pilufa tidak mampu menandingi kecepatan kuda putih Kok Siau-hong itu, dalam sekejap saja ia sudah tersusul. Pilufa hanya ahli panah saja, dalam hal ilmu silat tidaklah tinggi, maka cuma dua-tiga kali gebrak saja ia sudah kena tusuk oleh pedang Kok Siau-hong dan terguling dari kudanya. Matinya Pilufa membikin para perajurit Mongol menjadi patah semangat, seketika suasana menjadi kacau. Tampaknya dengan segera Kok Siau-hong dan rombongannya akan merebut kembali kereta-kereta pusaka itu, tiba-tiba tertampak panji berkibar, sekonyong-konyong muncul pula suatu pasukan lain. Keruan Kok Siau-hong terkejut dan kuatir. Syukurlah lantas terdengar Tiong Siau-hu berseru.

   "Apakah Bong To-cu yang datang? Siau-te Tiong Siau-hu berada di sini!"

   Segera pasukan yang datang itu menerjang ke arah sini, jawab orang yang menjadi pemimpin pasukan.

   "Betul, Toh-patko juga ikut datang!"

   Kini pasukan itu sudah mendekat, Kok Siau-hong dapat melihat jelas pemimpin itu adalah seorang laki-laki brewok, di sebelahnya seorang setengah umur berwajah bersih seperti kaum terpelajar.

   Segera Kok Siau- hong kenal orang ini adalah Toa Thau-bak dari Kim-keh-nia, Toh Hok.

   Kok Siau-hong belum tahu siapa Bong To-cu yang dimaksud, maka Tiong Siau-hu lantas memperkenalkan dia dengan Bong Koat, pemimpin laskar rakyat di Ci-lo-san.

   Dalam pada itu karena kehilangan pimpinan, apalagi pihak lawan kedatangan bala bantuan pula, serentak pasukan Mongol tadi melarikan diri, dalam sekejap saja sudah kabur semua.

   Sementara Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok masih belum mampu mengalahkan Bu-lim-thian-kiau, diam-diam mereka mengeluh, mereka pikir jalan paling selamat hanya melarikan diri saja.

   Maka sekaligus kedua orang menghantam berbareng dengan empat tangan.

   Karena serangan dahsyat ini, mau tak mau Bu-lim-thian-kiau terdesak mundur selangkah sambil memutar serulingnya untuk menjaga diri.

   Kesempatan ini segera digunakan oleh kedua iblis itu untuk lolos ke sana.

   Tiong Siau-hu dan lain-lain bermaksud mengejar, namun Bu-lim-thian- kiau lantas berseru mencegah mereka.

   Bong Koat dan Toh Hok adalah kawan-kawan kenalan lama Bu-lim- thian-kiau, dengan sendirinya pertemuan ini membikin mereka sangat girang.

   Kemudian Toh Hok dan Bong Koat diperkenalkan pula kepada Kok Siau-hong.

   Menurut penuturan Toh Hok, dia bersama Nyo Kong kemarin baru datang ke Ci-lo-san untuk menemui Bong Koat, Nyo Kong ada keperluan lain menuju ke tempat lain, maka hanya Toh Hok saja yang ikut Bong Koat menyusul ke Jing-liong-kau untuk mencari tahu tentang dibegalnya harta pusaka.

   Tapi sebelum sampai di tempat tujuan sudah memergoki pertempuran sengit ini dan berhasil merebut kembali harta pusakanya.

   Lebih jauh Bong Koat lantas memberitahu bahwa Kok Siau-hong sedang dicari oleh dua muda-mudi yang bernama Sin Liong-sing serta Hi Giok-kun.

   Toh Hok menambahkan pula bahwa menurut cerita nona Hi itu, katanya Kok Siau-hong sudah tewas di Jing-liong-kau.

   Memangnya Kok Siau-hong sedang memikirkan Hi Giok-kun, ia menjadi girang dan terkesiap pula oleh cerita Toh Hok itu, katanya.

   "Mengapa dia sangka aku sudah tewas?"

   "Entahlah,"

   Jawab Toh Hok.

   "Tapi menurut ucapan nona Hi itu, agaknya dia percaya penuh tentang nasibmu yang buruk. Mungkin sekali dia menerima kabar bohong dari orang yang sukar dipercaya."

   "Ya, waktu itu kudaku terkena panah dan aku sendiri terjerumus ke dalam jurang, pantas juga kalau mereka mengira aku sudah tewas,"

   Ujar Siau- hong.

   "Entah siapakah pemuda she Sin itu?"

   "Sin Liong-sing adalah murid pewaris Bun-tayhiap, Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam,"

   Tutur Toh Hok. Siau-hong menjadi heran, pikirnya.

   "Selamanya Giok-kun tak pernah ke Kang-lam, mengapa dia dapat kenal murid pewaris Bun-tayhiap dan sekarang berada bersama pula dengan dia?"

   Sebagai pemuja Han Tay-wi, Toh Hok sendiri tidak setuju dengan pembatalan pertunangan Kok Siau-hong dengan Han Pwe-eng, maka sekarang ia lantas berkata menuruti jalan pikirannya.

   "Kok-siauhiap, maafkan jika aku bicara terus terang. Pada masa pancaroba begini sebaiknya jangan membikin susah diri sendiri hanya karena seorang perempuan. Aku tidak tahu apakah kau jadi membatalkan pertunanganmu atau tidak. Tapi kabarnya Han Lo-enghiong mengalami nasib malang dan sampai sekarang tidak diketahui mati hidupnya, mengingat hubungan baik kedua keluarga kalian, rasanya engkau tidak boleh berpeluk tangan tanpa memikirkannya. Kalau saja nona Hi sudah mempunyai pilihan sendiri, kukira engkau juga tidak perlu mengurusnya lagi."

   Walaupun tidak terang-terangan, namun cukup jelas ucapan Toh Hok itu bagi Kok Siau-hong, hati Siau-hong seperti disayat-sayat, namun ia yakin Giok-kun pasti takkan mengingkari dia.

   Tapi ia pun kenal kedudukan Toh Hok, pasti bukan orang yang suka sembarang omong, apa yang dikatakan itu tentu ada alasannya pula.

   Setelah berdiam sejenak, kemudian Kok Siau-hong baru berkata.

   "Jejak Han-pepek sudah ada kabarnya, sudah tentu aku akan mencari beliau hingga ketemu."

   "Sebetulnya Han Lo-enghiong jatuh di tangan siapa?"

   Tanya Bu-lim-thian- kiau.

   "Aku pun tidak tahu jelas,"

   Jawab Siau-hong.

   "Cuma dari petunjuk- petunjuk yang telah diketahui, saat ini beliau terkurung di suatu tempat yang sangat rahasia, suatu tempat yang terletak di bukit sekitar kediamannya, orang yang mengurungnya adalah wanita yang tinggi ilmu silatnya dan tak diketahui asal-usulnya. Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok justru adalah pembantu wanita itu."

   "Bisa jadi begitu?"

   Bu-lim-thian-kiau menegas dengan heran.

   Kok Siau-hong lantas menceritakan apa yang diketahuinya tentang gua di balik air terjun tempat Beng Jit-nio itu.

   Kecuali Toh Hok, yang lain heran oleh kisah yang dituturkan itu.

   Toh Hok sudah mendengar dari Hi Giok- kun mengenai kisah yang sama, maka ia tidak terkejut.

   "Sungguh aneh,"

   Kata Bu-lim-thian-kiau.

   "Tokoh wanita di zaman ini yang tergolong kelas wahid dapat dihitung dengan jari, mengapa selama ini aku tidak pernah mendengar tentang wanita lihai sedemikian ini?"

   "Kepandaian wanita itu sangat tinggi, tapi tampaknya bukanlah orang jahat,"

   Kata Siau-hong.

   "Bahkan dia pernah menyelamatkan jiwaku dahulu."

   Lalu ia menuturkan pula pengalaman waktu kecil di masa lampau.

   "Jika begitu, wanita itu seharusnya orang yang baik hati dan luhur budi, tapi mengapa dia bersekongkol pula dengan kedua iblis itu dan membikin sudah kepada Han Lo-enghiong?"

   Ujar Bu-lim-thian-kiau.

   "Ya, aku pun tidak tahu duduknya perkara,"

   Kata Siau-hong.

   "Cuma kedua iblis tua itu sekarang sudah meninggalkan tempat itu, jika aku sendiri menemui wanita itu, rasanya dia takkan membikin susah padaku."

   Toh Hok sendiri masih ada urusan lain, maka ia setuju akan keberangkatan Kok Siau-hong itu, dipesannya bila Han Tay-wi sudah diketemukan supaya diajak datang ke Kim-keh-nia saja.

   Begitulah mereka lantas berpisah menuju ke arah sendiri-sendiri, Bu-lim- thian-kiau dan suami-istri Tiong Siau-hu mengawal partai harta karun itu kembali ke Ki-lian-san, Toh Hok dan Bong Koat kembali ke Kim-keh-nia untuk melaporkan kepada Hong-lay-mo-li.

   Kok Siau-hong berangkat sendirian, syukur pasukan besar Mongol sudah menuju ke barat, di kota Lok-yang hanya dijaga pasukan kecil saja.

   Maka sepanjang jalan Kok Siau-hong tidak menemukan rintangan.

   Walaupun begitu pikiran Kok Siau-hong terasa tidak tenteram.

   Suatu hari sampailah Siau-hong di tempat tujuan, di rumah keluarga Han yang sebagian sudah menjadi puing itu.

   Timbul rasa haru dan cemas dalam hati Kok Siau-hong, ia mengambil keputusan untuk bermalam di situ, terlintas juga suatu khayalan dalam lubuk hatinya semoga Hi Giok-kun kini sedang menantinya di rumah keluarga Han ini untuk bertemu dengan dia.

   Bagian rumah Han Tay-wi yang terhindar dari kebakaran antara lain adalah kamar tidur Han Pwe-eng.

   Tanpa terasa Siau-hong memasuki kamar itu.

   Ia pikir penghuninya sudah tidak ada, apa halangannya kalau dia tidur saja di situ.

   Ia lihat kamar tidur itu masih teratur lengkap, segera ia menyingkap kelambu tempat tidur, terenduslah bau harum semerbak.

   Dilihatnya bantal guling masih bersih dan serba baru.

   Malahan sarung bantalnya kelihatan bersulam sepasang merpati yang baru saja disulam.

   Pada ujung sarung bantal tersulam pula dua bait syair yang memujikan selamat bahagia bagi pasangan mempelai.

   Melihat itu, melengak juga Kok Siau-hong, mendadak timbul rasa menyesal dalam hatinya, pikirnya.

   "Waktu Pwe-eng menyulam sarung bantal ini, entah betapa rasa bahagia dan harapannya yang muluk-muluk bagi kehidupan di masa yang akan datang. Mana dia menyangka bahwa kemudian aku telah mengecewakan harapannya dan membuatnya merana. Ai, sungguh aku merasa berdosa terhadap Pwe-eng."

   Sebenarnya Kok Siau-hong bukan orang yang tak berbudi, dia sudah merasa bersalah terhadap Han Pwe-eng, apalagi sesudah berkenalan dari dekat, ia merasa si nona jauh lebih baik daripada apa yang pernah dibayangkan, maka rasa bersalah dalam batin itu menjadi tambah besar.

   Selain itu timbul juga rasa sangsinya ketika mendengar Hi Giok-kun berada bersama seorang pemuda lain, maka di kamar tidur Han Pwe-eng sekarang timbul rasa rindunya kepada nona itu.

   Siau-hong tidak tahu bahwa pada saat yang sama Han Pwe-eng juga sedang memikirkan dia.

   Ketika Pwe-eng meninggalkan ayahnya yang sedang dirawat di tempat Sin Cap-si-koh, berulang-ulang ayahnya memberi pesan agar dia pergi mencari Kok Siau-hong.

   Kuatir menambah parah kesehatan sang ayah, maka sebegitu jauh Pwe-eng tidak memberitahu ayahnya tentang peristiwa pembatalan perjodohannya dengan Siau-hong itu.

   Ketika dia berangkat, pikirannya menjadi bingung, ia tidak tahu kemana mencari Kok Siau-hong, andaikan tahu tempatnya rasanya juga tidak ingin pergi mencari pemuda itu.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akan tetapi apakah benar-benar takkan sudi bertemu dengan Siau-hong untuk selamanya? Dalam lubuk hatinya mungkin juga belum berani menjawab dengan tegas secara positif.

   Guncangan perasaan Han Pwe-eng itu agaknya tidak banyak berbeda dengan Kok Siau-hong.

   Sejak kecil Pwe-eng ditunangkan dengan Siau-hong, tapi di waktu kecilnya, dalam pandangannya Kok Siau-hong tidak lebih hanya seorang anak nakal yang lebih tua beberapa tahun daripada dirinya, hakikatnya tak dapat dikatakan teman baik.

   Kemudian dari ayahnya didengar bahwa Kok Siau-hong telah menjadi pendekar muda termasyhur di dunia Kang-ouw, dengan sendirinya ia pun ikut senang, terbayang olehnya bayangan Kok Siau-hong dari seorang anak nakal telah berubah menjadi pemuda yang ganteng.

   Sudah tentu bayangan Kok Siau-hong hanya dalam bentuk khayalan menurut cerita ayahnya dan tidak dikenal orang yang sesungguhnya.

   Sebab itulah ketika dia membayangkan kebahagiaan ketika akan melangsungkan pernikahan, lalu mendadak mengalami pukulan pembatalan pernikahannya itu, sudah tentu musnah pula segenap angan- angan yang pernah timbul itu, kesannya terhadap Kok Siau-hong juga mengalami perubahan hebat.

   Kok Siau-hong telah memberikan pukulan batin yang selamanya belum pernah dialaminya, hal ini sangat melukai perasaan harga dirinya sebagai seorang gadis, betapa pun dia tidak sudi berebut lelaki dengan Hi Giok-kun, bahkan bermaksud membantu perjodohan mereka dan ikut menyelesaikan geger-geger di Pek-hoa-kok, namun apa pun juga dia tetap merasa terhina dan tidak dapat memaafkan Kok Siau-hong.

   Ketika dia meninggalkan Pek-hoa-kok untuk pulang sendirian, dalam pandangannya Kok Siau-hong sudah tidak lagi pendekar muda pujaannya, melainkan seorang yang tidak berbudi dan tidak setia.

   Kemudian di rumahnya sendiri dia diserang oleh Cu Kiu-bok, lalu datanglah Kok Siau-hong membantunya menggempur musuh dengan mati- matian, pula membantu menyelidiki urusan ayahnya serta mencari musuh yang mengganas itu, semua tindak-tanduknya itu sesuai benar dengan perbuatan seorang pendekar, malahan juga tidak kurang perhatian Siau- hong kepada dia.

   Karena itu kesan Pwe-eng terhadap Kok Siau-hong kembali berubah, ia merasa Siau-hong toh bukan manusia yang tak berbudi dan tidak setia sebagaimana pernah dibayangkannya.

   Pada hari ini dia telah pulang sampai di rumah sendiri, tanpa terasa teringat olehnya kejadian tempo hari dimana dia menunggu pulangnya Kok Siau-hong dari Kay-pang.

   Ia menjadi ragu-ragu entah bagaimana pikiran Kok Siau-hong setibanya kembali dan tidak melihatnya, tentu dia tidak menyangka aku dipancing pergi oleh Sebun Bok-ya dan mengira aku sengaja menghindari dia.

   Kini sudah lewat beberapa hari, tentu dia sudah pergi dari sini, lalu kemana aku harus mencarinya? Demikian pikir Pwe-eng.

   Tiba-tiba teringat pula olehnya cerita Si Bwe bahwa Hi Giok-kun sudah bertunangan dengan keponakan majikannya, entah betul tidak ceritanya itu, yang jelas ketika Beng Jit-nio melihat cincin yang dipakai Giok-kun segera ia mengampuninya, maka apa yang dikatakan Si Bwe itu agaknya bukan tidak beralasan, dan bila hal ini diketahui Siau-hong, entah betapa dia akan berduka.

   Begitulah dengan perasaan bimbang Han Pwe-eng pulang sampai di rumah sendiri.

   Tiba-tiba dilihatnya kamar tidur sendiri ada cahaya lampu dan terbayang pula bayangan seorang pada gorden jendela.

   Rupanya saat itu Kok Siau-hong sedang dihanyut oleh pikirannya yang bergelora sehingga tidak dapat tidur, maka dia berduduk di dekat jendela dan melamun.

   Han Pwe-eng terkejut, hampir dia mengira dalam mimpi.

   Pada saat itu juga Kok Siau-hong sudah mengetahui di luar ada orang, segera ia melompat keluar, kedua orang kepergok dan sama-sama tertegun.

   "He, kiranya engkau!"

   Seru Siau-hong tanpa terasa.

   "Kau belum pergi dari sini? Mengapa berada di kamarku?"

   Kata Pwe-eng setelah tenangkan diri. Dengan muka merah Siau-hong menjawab.

   "Waktu kembali ke sini tempo hari tak dapat lagi kutemukan kau, kemudian aku mengalami macam- macam kejadian yang tak terduga dan baru datang ke sini pula tadi. Kupikir hanya kamar ini yang dapat kugunakan, tak tersangka mendadak kau pun pulang ke sini. Harap maafkan."

   "Aku pun mengalami banyak kejadian tak terduga,"

   Kata Pwe-eng.

   "Sudahlah, boleh kita bicara di dalam saja, asal kita tidak berbuat sesuatu yang di luar batas, kukira tidak perlu takut untuk pertemuan ini."

   Siau-hong merasa lega karena si nona tidak marah padanya, segera ia ikut masuk pula ke dalam kamar. Melihat bantal bersulam di atas ranjang itu, Pwe-eng menjadi kikuk sendiri, katanya kemudian.

   "Kuingin tanya dulu padamu, tadi kau mengira diriku ini siapa?"

   Ketika dilihatnya muka Siau-hong merah jengah dan gelagapan, segera ia menambahkan.

   "Kau mengira aku adalah Giok-kun bukan? Ya, aku tahu kalian berjanji buat bertemu di sini, betul tidak?"

   Dengan muka merah terpaksa Siau-hong mengangguk.

   "Jika demikian aku tentu telah mengecewakan kau bukan?"

   Kata Pwe-eng pula dengan tertawa.

   "Cuma aku malah sudah bertemu dengan enci Giok- kun, apakah kau ingin tahu kisahnya?"

   Begitulah Pwe-eng lantas bercerita pengalamannya ketika dia dipancing ke tempat Beng Jit-nio oleh murid Sebun Bok-ya, di sana ia bertemu dengan Hi Giok-kun dan akhirnya Sin Cap-si-koh membantu Beng Jit-nio mengalahkan kedua iblis tua itu, kini ayahnya sedang istirahat di rumah Sin Cap-si-koh, semuanya itu dituturkannya kepada Kok Siau-hong.

   Keruan Siau-hong melongo heran, katanya.

   "Sungguh tak terduga akan macam-macam kejadian aneh itu, menurut ceritamu itu, agaknya Beng Jit- nio adalah wanita yang pernah menyelamatkan jiwaku ketika aku masih kecil. Aku yakin dia takkan mencelakai ayahmu, lebih-lebih Hi Giok-kun, tidak mungkin dia mencelakai ayahmu, entah mengapa Pek-hoa-ciu yang dia berikan ayahmu itu mendadak berubah menjadi arak beracun?"

   "Aku tentu mempercayai enci Giok-kun, sebab itulah aku pun bingung mengenai kejadian itu,"

   Kata Pwe-eng. Mendadak hatinya tergerak, katanya pula.

   "Nada ucapanmu tadi seakan-akan kau mencurigai Sin Cap-si-koh itu, bukan?"

   "Aku tidak pernah kenal dia, juga tidak tahu bagaimana pribadinya, cuma kalau menurut ceritamu tadi, rasanya yang paling pantas dicurigai adalah Sin Cap-si-koh."

   "Tapi dia pula yang benar-benar menolong ayahku, bahkan merawat ayah dengan segenap perhatiannya. Masakah dia mau menolong ayah sesudah dia mencelakainya?"

   "Hati manusia sukar diraba,"

   Ujar Siau-hong.

   "aku juga cuma menduga- duga saja. Besok kita dapat pergi mencari Sin Cap-si-koh itu dan membikin terang persoalan ini." ~ Tiba-tiba teringat sesuatu olehnya dan segera bertanya.

   "Ya, katanya Sin Cap-si-koh itu mempunyai seorang keponakan, apakah keponakannya itu bernama Sin Liong-sing?"

   Pwe-eng terkejut, sahutnya.

   "Benar, darimana kau mendapat tahu?"

   Melihat air muka si nona yang kejut-kejut gugup itu, hati Siau-hong menjadi tergetar, ia pikir apa yang dikatakan Toh Hok mungkin tidaklah keliru. Setelah tertegun sejenak, kemudian ia bertanya pula.

   "Pwe-eng, jangan kau mendustai aku, bukankah Giok-kun berhubungan sangat baik dengan Sin Liong-sing itu?"

   Memang Pwe-eng ingin merahasiakan pertunangan Hi Giok-kun dan Sin Liong-sin sebagaimana didengarnya dari Si Bwe, tak terduga Kok Siau-hong ternyata sudah mengetahuinya dan sekarang ditanyakan padanya, terpaksa Pwe-eng menjawab dengan setengah menghiburnya.

   "Siau-hong, darimana kau mendengar berita iseng itu? Enci Giok-kun sangat baik padamu, janganlah kau menduga secara ngawur."

   "Aku tidak menduga asal menduga saja, tapi orang yang memberitahukan hal ini padaku adalah seorang tokoh persilatan yang dapat dipercaya,"

   Kata Siau-hong dengan kesal. Kemudian ia pun menceritakan pertemuannya dengan Toh Hok di Jing- liong-kau serta apa yang didengarnya dari penuturan Toh Hok itu. Pwe-eng termenung sejenak, pikirnya.

   "Jika begitu, mungkin apa yang Si Bwe beritahukan padaku memang betul adanya."

   Namun mau tak mau ia harus menjadi pembela Hi Giok-kun, sebab dia adalah bekas calon istri Kok Siau-hong, segala berita yang tidak menguntungkan nama baik Hi Giok-kun tidak boleh terbenarkan melalu dia. Kemudian Kok Siau-hong berkata pula.

   "Kukira setidak-tidaknya kau tentu mengetahui Giok-kun dalam perjalanan bersama Sin Liong-sing itu bukan?"

   Pwe-eng tidak biasa berdusta, terpaksa ia menjawab sejujurnya.

   "Ya, ketika lolos dari tempat Beng Jit-nio malam itu, kabarnya dia memang berada bersama Sin Liong-sing."

   "Ai, setiap perubahan di dunia ini terkadang memang di luar dugaan orang,"

   Kata Siau-hong.

   "Tapi Giok-kun juga tak dapat disalahkan, sebab dia tentu menyangka aku sudah tewas dalam pertempuran di Jing-liong-kau itu."

   "Walaupun enci Giok-kun berada bersama Sin Liong-sing, tapi kini tidak berarti dia sudah menyukai orang lain,"

   Kata Pwe-eng.

   "Kukira janganlah kau berprasangka dulu, paling betul carilah sampai bertemu enci Giok-kun dan segala persoalan akan menjadi terang."

   Mendengar pembelaan Pwe-eng terhadap Giok-kun itu, tanpa terasa Siau- hong bertambah kagum terhadap pribadi Pwe-eng. Pikirnya.

   "Dia tidak dendam kepada Giok-kun yang telah merebut bakal suaminya, tapi sekarang malah menjadi pembelanya, sungguh jiwanya yang luhur ini harus dipuji."

   Melihat Siau-hong memandangnya dengan termangu-mangu, wajah Pwe- eng menjadi merah dan tidak bersuara pula.

   Dalam keadaan sunyi senyap itu, tiba-tiba di luar seperti ada suara orang bicara, hanya sebentar saja suara tindakan orang pun sudah terdengar jelas.

   Siau-hong terkejut, desisnya cepat.

   "Ssst, yang datang adalah orang Mongol, agaknya mereka hendak menangkap seseorang." ~ Nyata dia paham sedikit bahasa Mongol, maka cepat ia meniup padam api lentera, ketika ia mengintip keluar, dilihatnya empat Busu Mongol sudah memasuki halaman rumah. Seorang Busu Mongol itu lantas berseru.

   "Siangkoan Hok, silakan keluar saja! Asal kau ikut kami pulang untuk menghadap Hoat-ong dan menjelaskan persoalannya, kami pasti tak berani membikin susah padamu." ~ Nyata Busu Mongol itu fasih bicara bahasa Han dengan sangat lancar. Baru sekarang Kok Siau-hong maklum kedatangan keempat jagoan Mongol itu adalah hendak menangkap Siangkoan Hok. Pikirnya.

   "Tentu rahasia harta pusaka itu telah diketahui, maka Siangkoan Hok terpaksa melarikan diri dari Ho-lin dan sekarang dikejar sampai ke sini."

   Keempat Busu Mongol itu tampak bisik-bisik berunding sejenak di halaman luar, lalu Busu tadi berseru pula.

   "Siangkoan Hok, betapa pun kau terhitung seorang tokoh persilatan, jejakmu sudah kami ketemukan, mengapa kau masih main sembunyi? Caramu ini apa tidak merosotkan derajatmu?"

   Tanpa terasa Han Pwe-eng mendekati Kok Siau-hong, katanya dengan suara tertahan di tepi telinga pemuda itu.

   "Apa kita terjang keluar saja?"

   Dalam pada itu si Busu tadi karena tidak mendengar sesuatu jawaban, dia berkata pula kepada kawan-kawannya.

   "Di dalam kamar ini ada suara orang bernapas, tentu Siangkoan Hok bersembunyi di situ, marilah kita menggeledahnya!"

   Siau-hong terkesiap, diam-diam ia mengakui kehebatan Busu Mongol itu, padahal ia sudah menahan napas, toh masih terdengar olehnya.

   Tapi mengingat pihak lawan hanya empat orang saja, pihak sendiri berdua, rasanya masih cukup kuat untuk menghadapi musuh.

   Maka ia tetap tenang- tenang saja menghadapi segala kemungkinan.

   Segera ia pegang tangan Pwe-eng dan berkata lirih.

   "Baiklah, aku menerjang keluar lebih dulu, kau ikut dari belakang!" ~ Habis itu mendadak ia menolak daun jendela terus melompat keluar sambil memutar pedangnya. Salah seorang Busu Mongol terperanjat ketika mendadak sesosok bayangan melayang keluar dari dalam kamar dengan sinar pedang yang gemerlapan, cepat ia melompat mundur sambil putar goloknya untuk menjaga diri. Ketika pedang Kok Siau-hong menusuk.

   "trang", ujung pedangnya tergetar ke samping oleh golok lawan. Keruan Siau-hong terkesiap dan heran, padahal kepandaian lawan pasti tidak rendah, mengapa kelihatan keder untuk bertempur? Kok Siau-hong tidak tahu bahwa Busu itu salah sangka yang melompat keluar mendadak adalah Siangkoan Hok, sedangkan ilmu silat Siangkoan Hok diketahui sangat tinggi, hanya di bawah Cun-sing Hoat-ong, itu Kok-su negeri Mongol, maka keempat Busu itu dengan sendirinya sangat jeri padanya. Sesudah satu kali gebrak barulah Busu itu melihat jelas bahwa yang melompat keluar bukanlah Siangkoan Hok, melainkan seorang pemuda. Ia menjadi gusar dan membentak.

   "Kurangajar! Apa yang kau lakukan dengan bersembunyi di sini?" ~ Segera ia menubruk maju.

   "sret-sret", goloknya menabas dua kali. Namun Kok Siau-hong sempat menyelinap lewat di sebelahnya.

   "Serahkan dia padaku!"

   Seru Busu yang lain sambil menghadang di depan Kok Siau-hong seraya mencengkeram batok kepala pemuda itu dengan kelima jarinya yang kuat.

   Sebagai ahli silat, Siau-hong kenal cengkeraman "Eng-jiau-kang" (ilmu cakar elang) yang lihai itu, cepat ia miringkan kepalanya ke sampingnya untuk menghindari cengkeraman lawan, tapi dengan begitu tusukan pedangnya juga meleset.

   Mendadak Busu Mongol itu menubruk maju pula dan bermaksud bergumul dari jarak dekat.

   Siau-hong tahu kepandaian orang Mongol dalam hal bergulat cukup lihai, maka ia sengaja menghindar dan menyerang kelemahan lawan, ia tak mau bertempur dari jarak dekat, lebih dulu ia melompat mundur, menyusul pedangnya menusuk pula.

   Jit-siu-kiam-hoat yang dilatih Kok Siau-hong mengutamakan menusuk Hiat-to musuh, sekali bergerak dapat menusuk tujuh tempat Hiat-to di tubuh lawan, sudah tentu Busu Mongol itu tidak pernah menyaksikan ilmu pedang yang lihai dan aneh ini, keruan ia terkejut dan heran mengapa lawan semuda itu sudah memiliki ilmu pedang sehebat itu.

   Ia tidak berani gegabah lagi, segera ia ayun kedua telapak tangannya untuk menjaga diri, tusukan pedang Kok Siau-hong itu tergetar oleh tenaga pukulan lawan dan rasanya seperti membentur tembok tak kelihatan yang kuat, meski pedangnya tidak tergetar balik, namun terasa terhalang dan tidak sanggup menembus pertahanan musuh.

   Keruan kejut sekali Kok Siau-hong, ia tahu lwekang musuh ternyata sangat lihai, bahkan lebih kuat daripada dirinya.

   Dalam pada itu Busu Mongol itu lantas melancarkan serangan balasan setelah berhasil mematahkan daya serangan Siau-hong.

   Waktu itu Han Pwe-eng juga sudah menerjang keluar, melihat Kok Siau- hong tercecar, tanpa pikir ia terus menubruk ke sana.

   Dengan Ginkang yang tinggi, segera ia melompat ke atas untuk kemudian menusuk ke bawah, gerakan ini sangat lihai, gayanya juga manis, ia menusuk belakang kepala Busu yang menempur Kok Siau-hong dan memaksa musuh harus menyelamatkan diri sendiri lebih dulu.

   "Awas, Umong!"

   Seru salah seorang Busu Mongol yang menonton di samping, sedang seorang lagi tanpa terasa bersorak memuji gaya Han Pwe- eng yang indah itu.

   Umong adalah nama Busu Mongol yang melawan Kok Siau-hong, cepat ia mengegos ke samping, menyusul sebelah tangannya terus meraup ke belakang untuk menangkap kaki Han Pwe-eng.

   Namun dalam keadaan terapung Pwe-eng sempat mengayun kakinya ke atas sehingga cengkeraman Umong mengenai tempat kosong, sementara itu Han Pwe-eng sudah tancapkan kaki ke bawah, pedangnya lantas menusuk pula.

   Kepandaian Umong lebih unggul sedikit daripada Kok Siau-hong, dengan sendirinya jauh di atas Han Pwe-eng pula, tapi untuk menghadapi dua muda-mudi itu, betapa pun ia menjadi repot, terpaksa ia main mundur karena serangan kedua pedang lawan.

   "Kau mundur saja, Toa-suheng, serahkan kedua orang ini padaku!"

   Terdengar Busu yang bersorak memuji tadi berseru. Umong cukup kenal kemampuan sang Sute, ia menuruti seruannya walaupun dengan hati mendongkol, katanya.

   "Hoa-kip, apakah kau penujui betina ini?"

   Kiranya dua di antara keempat Busu Mongol itu adalah murid Cun-sing Hoat-ong, itu Kok-su Mongol yang maha lihai.

   Umong adalah Toa-suheng, sedang Busu yang bersorak tadi adalah Sam-sutenya, namanya Ubun Hoa- kip.

   Meski Ubun Hoa-kip terhitung murid ketiga, tapi kepandaiannya adalah paling tinggi daripada seluruh saudara-saudara seperguruannya.

   Para Suheng dan Sutenya mengetahui sang guru berniat mengangkat Ubun Hoa-kip menjadi ahli warisnya, maka sebagai Toa-suheng, mau tak mau Umong menuruti juga apa yang dikehendaki Ubun Hoa-kip.

   Keempat Busu yang diutus Cun-sing Hoat-ong untuk menangkap Siangkoan Hok ini juga dikepalai oleh Ubun Hoa-kip.

   Kedua Busu yang lain lagi masing-masing bernama Lumo, yaitu Busu yang bergolok, sedang Busu yang masih belum bergebrak bernama Sukhan, terhitung jago pengawal "Kemah Emas".

   Begitulah Ubun Hoa-kip lantas bergelak tertawa mendengar ucapan Umong tadi, katanya.

   "Mana aku berani timbul pikiran sembrono? Yang jelas betina ini sedemikian cantik, kalau kita bawa pulang untuk dipersembahkan kepada Khan Agung, rasanya tidak kurang harganya daripada satu kereta harta mestika. Cuma sasaran kita yang lebih penting adalah Siangkoan Hok, janganlah kita tertipu olehnya, kedua orang ini pasti begundalnya yang sengaja digunakan untuk menghadang kita, lekas kalian masuk ke sana untuk mencarinya sebelum Siangkoan Hok sempat lolos!"

   Diam-diam Umong mendongkol dan anggap Ubun Hoa-kip sengaja memberikan tugas berbahaya kepadanya.

   Akan tetapi ia pikir bersama Lumo dan Sukhan rasanya mereka bertiga masih cukup kuat untuk menghadapi Siangkoan Hok, maka terpaksa ia menuruti perintah Ubun Hoa-kip, segera mereka menyerbu ke dalam kamar.

   Untunglah Ubun Hoa-kip menyangsikan Siangkoan Hok bersembunyi di dalam kamar dan menyuruh kawan-kawannya masuk ke sana, maka untuk sementara Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng masih cukup kuat untuk menghadapi Ubun Hoa-kip.

   Untung juga Ubun Hoa-kip terlalu memandang enteng kedua musuhnya, sekali maju ia terus mencengkeram Han Pwe-eng dengan bertangan kosong tanpa menggunakan senjata.

   Pwe-eng benci pada mulut Ubun Hoa-kip yang kotor, kontan ia memapak dengan tusukan pedangnya ke "Soan-ki-hiat"

   Di dada musuh.

   Ilmu pedang keluarga Han, Keng-sin-kiam-hoat, terhitung ilmu pedang penusuk Hiat-to nomor satu di dunia, dahulu Cu Kiu-bok juga pernah dilukai oleh pedang Han Pwe-eng, maka dapat dibayangkan lihainya.

   Ubun Hoa-kip juga seorang yang bisa melihat gelagat, ketika mendadak sinar pedang lawan menyambar tiba, segera ia menyadari tak dapat lagi melawan dengan bertangan kosong.

   Segera ia mengeluarkan senjatanya berbentuk sepasang roda yang sangat baik untuk mengacip senjata lawan.

   Dengan senjata di tangan ia yakin akan kemenangannya, ia pikir sebelum Umong bertiga kembali harus mengalahkan dulu kedua orang ini, kalau tidak, tentu dirinya akan kehilangan muka.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Begitulah lantaran ingin cepat menang, segera Ubun Hoa-kip melancarkan serangan ganas.

   Sepasang roda segera berputar dengan cepat sehingga menerbitkan suara gemuruh.

   Bayangan Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng dalam sekejap saja sudah terkurung di dalam sinar roda itu.

   Namun ilmu pedang kedua muda-mudi itupun tidak kurang hebatnya, menghadapi serangan gencar Ubun Hoa-kip itu mula-mula mereka memang tercecar, tapi kedua roda Ubun Hoa-kip itupun tidak mampu berbuat banyak.

   Kok Siau-hong tidak gentar terhadap lwekang musuh yang hebat, yaitu Kun-goan-it-khi-kang dia berani menghadapi lawannya dari depan, sedang Han Pwe-eng menggunakan keunggulan Ginkangnya untuk berputar kian kemari, dimana ada lubang segera ia menyerang sehingga merupakan ancaman berat bagi Ubun Hoa-kip.

   Karena sudah sekian lama masih belum dapat mengalahkan kedua lawannya, diam-diam Ubun Hoa-kip mengeluh.

   Kok Siau-hong berdua sudah mulai mengubah keadaan di pihak penyerang, dalam keadaan demikian kalau mereka mau meloloskan diri bukanlah sesuatu yang sukar.

   Segera ia memberi isyarat kepada Han Pwe-eng, maksudnya agar si nona jangan terlibat lebih lama dalam pertempuran itu, tapi lebih baik angkat kaki saja.

   Tak terduga selagi mereka hendak mengundurkan diri, tiba-tiba Umong bertiga sudah datang lagi.

   Mereka melenggong juga melihat Ubun Hoa-kip masih menempur kedua lawannya dengan sengit dan setanding.

   "Sudah kami cari, tapi tak menemukan Siangkoan Hok,"

   Kata Umong.

   "Kenapa kau belum dapat membereskan kedua bocah ini?"

   "Apa susahnya untuk membereskan bocah-bocah ini?"

   Jengek Ubun Hoa-kip.

   "Soalnya aku ingin tahu bagaimana ilmu pedang keluarga Han yang terkenal. Kabarnya Han Tay-wi mempunyai anak perempuan, kalau betina ini bukan begundalnya Siangkoan Hok tentulah puteri Han Tay-wi itu."

   Umong kenal watak Sutenya yang suka menang sendiri, katanya pula.

   "Tapi sekarang kita harus menguber jejak Siangkoan Hok, lekaslah kita bereskan mereka saja."

   Habis berkata ia terus ikut menerjang maju dan menghantam Han Pwe-eng.

   Kepandaian Umong lebih rendah dari Sutenya, tapi lebih kuat daripada Han Pwe-eng, maka setelah bergebrak beberapa kali, lambat laun Pwe-eng merasa kewalahan.

   Karena itu Ubun Hoa-kip yang menghadapi Kok Siau- hohng sendirian segera berubah di atas angin.

   Lumo dan Sukhan berdua juga lantas berjaga-jaga di ambang pintu dengan senjata terhunus agar musuh tidak dapat kabur.

   Melihat kemenangan sudah pasti berada di pihaknya, dengan gembira Ubun Hoa-kip berkata.

   "Bocah ini sudah pasti tak dapat lolos dari tanganku, buat apa kalian berdiri di situ, lekas periksa luar sana, jangan-jangan Siangkoan Hok sudah datang dan kita tidak tahu sama sekali."

   Nyata orang yang paling ditakutinya tetap Siangkoan Hok. Belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar suara suitan yang panjang, ada orang menanggapi ucapan Ubun Hoa-kip itu dengan lantang.

   "Siangkoan Hok sejak tadi sudah datang, kalian tidak perlu bersusah payah mencari diriku!"

   Suaranya terdengar, orangnya juga lantas muncul.

   Tampaknya seorang tua berjenggot cabang tiga telah melintasi pagar tembok dan memasuki halaman ini, siapa lagi dia kalau bukan Siangkoan Hok adanya! Sungguh kejut Ubun Hoa-kip tak terkatakan, lekas ia hantamkan kedua rodanya untuk mendesak mundur Kok Siau-hong, habis itu ia sendiri lantas melompat mundur membelakangi dinding untuk berjaga-jaga bila Siangkoan Hok mendadak melancarkan serangan maut padanya.

   Umong juga tidak berani bertempur lagi, ia hentikan serangannya kepada Han Pwe-eng, dengan telapak tangan siap di depan dada ia pun menatap Siangkoan Hok untuk menjaga segala kemungkinan.

   Dengan girang sekali Han Pwe-eng lantas berseru.

   "Siangkoan-pepek, tepat sekali kedatanganmu! Ayah ingin bicara dengan engkau, memangnya aku sedang bingung cara bagaimana mencari engkau!"

   "O, aku pun datang ke sini buat mencari ayahmu,"

   Jawab Siangkoan Hok.

   "Tapi sekarang kita jangan bicara dulu, biar aku selesaikan urusan dinas yang penting ini."

   Lalu ia melangkah maju dan menjengek kepada Ubun Hoa-kip.

   "Kalian sengaja mengejar dari Ho-lin, tentu kalian sangat capai bukan? Nah, sekarang aku sudah berada di sini, kalian mau apa, katakan saja!"

   "Siangkoan-siansing,"

   Kata Ubun Hoa-kip.

   "Kok-su minta kau pulang ke sana, hendaklah kau jangan membikin susah kami."

   "Hm, kalau aku tidak mau pulang, lalu bagaimana?"

   Jengek Siangkoan Hok.

   Muka Ubun Hoa-kip menjadi merah padam menahan perasaannya, seketika ia tak berani bicara apa-apa lagi.

   Semula Ubun Hoa-kip bermaksud melayani Siangkoan Hok dengan berempat orang, tak terduga di rumah Han Tay-wi ini mereka kepergok dengan Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng, meski kepandaian kedua muda- mudi ini tidak lebih tinggi daripada dia, tapi juga bukan jago silat yang lemah, dalam keadaan demikian posisi kedua pihak menjadi empat lawan tiga, maka ia menjadi kuatir.

   Tapi ia pun menginsyafi bahwa pertarungan sengit pasti sukar dihindarkan, terpaksa ia menjawab pertanyaan Siangkoan Hok tadi.

   "Siangkoan-siansing, kami diperintahkan oleh Kok-su agar mengajak engkau pulang ke sana, jika kau tetap menolak, terpaksa..... terpaksa....."

   "Terpaksa kalian akan pakai kekerasan padaku, begitu bukan?"

   Jengek Siangkoan Hok.

   "Mana aku berani,"

   Jawab Ubun Hoa-kip, walaupun begitu jawabnya, namun artinya sama dengan "ya apa boleh buat".

   "Baiklah,"

   Dengus Siangkoan Hok.

   "kalian berdua adalah murid kesayangan Cun-sing Hoat-ong, asalkan kalian mampu menahan sepuluh kali seranganku, maka tanpa syarat lagi aku akan ikut pulang bersama kalian."

   Mendengar ucapan ini, seketika timbul pula harapan bagi Ubun Hoa- kip, diam-diam ia anggap Siangkoan Hok teramat sombong, biarpun kami berdua tidak mampu mengalahkan kau, tapi untuk bertahan sepuluh kali serangan masakah tidak sanggup? Karena pikiran ini, segera ia pun menjawab.

   "Baiklah, seorang laki-laki sejati harus bisa pegang janji. Kalau Siangkoan-siansing hendak mengukur kami, maka maafkan bilamana kami berlaku kasar padamu."

   Han Pwe-eng pernah mendengar cerita dari ayahnya bahwa kepandaian Siangkoan Hok terhitung satu di antara sepuluh tokoh terkuat di zaman ini, namun begitu ia pun berkuatir bagi Siangkoan Hok, pikirnya.

   "Sepuluh jurus dalam sekejap saja akan berlalu, padahal kepandaian kedua Busu Mongol ini sangat kuat, kalau cuma terbatas sepuluh jurus saja, apakah tidak berarti Siangkong-pepek akan terjerat sendiri? Dan bagaimana nanti kalau dalam sepuluh jurus Siangkoan-pepek benar-benar tidak dapat mengalahkan mereka?"

   Tapi Siangkoan Hok sudah kemukakan syaratnya itu, walaupun kuatir terpaksa ia dan Kok Siau-hong mengundurkan diri ke samping. Begitulah Siangkoan Hok lantas menjawab dengan tenang.

   "Apa yang sudah kukatakan sudah tentu akan kupegang teguh, nah, bolehlah kau mulai saja!"

   Ubun Hoa-kip menjadi murka karena merasa terhina, katanya.

   "Baiklah, awas serangan pertama!"

   Berbareng kedua rodanya bergerak dari kanan dan kiri, dengan gerak tipu "Lui-hong-tian-siam" (guntur gemuruh, kilat menyambar), segera ia menghantam pelipis lawan.

   Pada saat yang sama Umong juga mulai menyerang, sebelah tangannya mencengkeram tulang pundak kanan Siangkoan Hok.

   Tipu serangan kedua saudara seperguruan itu sebenarnya dapat bekerja sama dengan sangat rapi, tak tersangka Siangkoan Hok ternyata mempunyai cara mematahkan serangan mereka yang sukar diduga.

   Umong menyerang dari belakangnya, tapi punggung Siangkoan Hok seakan-akan ada matanya, sekonyong-konyong tangannya membalik dan meraih, kontan Umong merasa dibetot oleh suatu tenaga yang lunak, tanpa kuasa tubuhnya menubruk ke depan, sedangkan Siangkoan Hok sempat melepaskan diri dari gencetan kedua lawan dari muka dan belakang itu.

   Kalau Umong menubruk ke depan, sebaliknya kedua roda Ubun Hoa- kip sedang menghantam pula, hal ini berarti Umong menyodorkan dirinya untuk dimakan kedua roda Sutenya sendiri.

   Keruan ia terkejut setengah mati dan berteriak.

   "Sute, jangan!"

   Untung kepandaian Ubun Hoa-kip sudah mencapai tingkatan yang cukup sempurna, pada saat berbahaya itu ia sempat menggeser kedua rodanya sehingga menghantam miring ke samping.

   "Satu kali!"

   Pwe-eng berseru menghitung dengan suara nyaring.

   Ubun Hoa-kip tidak malu sebagai murid pewaris Cun-sing Hoat-ong, sekali serangannya gagal, dengan langkah "Cui-pat-sian" (delapan dewa mabuk), dengan sempoyongan kedua rodanya kembali menghantam pula ke arah Siangkoan Hok.

   Tampaknya gerak serangannya seperti acak-acakan, tapi sebenarnya merupakan serangan maut.

   Setelah kepalanya hampir pecah dimakan senjata Sute sendiri, kini Umong juga sudah kapok, ia tidak berani gegabah lagi, sekali ini dia menyerang dengan kalem agar tidak kecundang pula.

   Ia tunggu lawan sedang mencurahkan segenap perhatian untuk melayani serangan Sutenya, pada saat itulah dia melancarkan sergapan.

   Tapi Siangkoan Hok adalah tokoh silat yang jauh lebih hebat daripada dia, mana gampang disergap olehnya.

   Perubahan siasat Umong itu segera diimbangi pula dengan perubahan serangan Siangkoan Hok, ia justru melancarkan serangan kilat untuk menghadapi serangan lambat lawan.

   Di tengah berkelebatnya bayangan roda dan menderunya angin pukulan, terdengarlah "trang"

   Satu kali, secepat kitiran Ubun Hoa-kip melayang lewat di samping Siangkoan Hok, rupanya dia terkebas oleh lengan baju Siangkoan Hok sehingga kedua roda saling bentur, ia sendiri pun hampir jatuh tersungkur terdorong oleh pantulan tenaga sendiri yang membalik.

   "Dua kali!"

   Seru Pwe-eng pula. Dalam pada itu Siangkoan Hok telah membalik tubuh dengan cepat dan tepat menghadapi serangan Umong dari belakang, dengan perlahan Siangkoan Hok menolak sehingga lawan tergetar mundur beberapa tindak.

   "Nona Han, hitunganmu terlalu cepat, sekarang inilah baru selesai serangan kedua kalinya!"

   Kata Siangkoan Hok dengan tertawa. Rupanya dia harus melawan dua orang sekaligus, maka hitungan setiap jurus serangan baru dianggap satu kali bilamana kedua lawannya telah melancarkan serangan.

   "Benar, Siangkoan-pepek, aku yang terburu-buru menghitung,"

   Sahut Pwe-eng dengan tertawa.

   "Lebih baik lekas paman bereskan mereka saja, buat apa sungkan-sungkan!"

   Diam-diam Pwe-eng mengakui kehebatan Siangkoan Hok sebagaimana pernah didengarnya dari cerita ayahnya.

   Tampaknya tidak perlu sepuluh jurus kedua lawannya pasti akan dikalahkan.

   Pwe-eng tidak tahu bahwa tampaknya Siangkoan Hok melayani kedua lawannya dengan seenaknya saja, tapi sebenarnya telah banyak makan tenaga dan pikirannya.

   Sudah lama Siangkoan Hok menduga pada suatu hari pasti akan berhadapan sendiri dengan Cun-sing Hoat-ong yang berilmu silat maha tinggi, ia menyadari sukar mengalahkan Kok-su Mongol itu, maka sehari-hari ia selalu menaruh perhatian terhadap ilmu silat yang dilatih orang, dengan bahan yang dikumpulkan selama belasan tahun ini barulah dia mendapatkan hasilnya dalam cara melawan ilmu silat musuh.

   Kini kepandaian simpanannya ini digunakan untuk melawan kedua murid Cun- sing Hoat-ong, dengan sendirinya jauh lebih enteng baginya untuk mencapai hasilnya.

   Namun kepandaian kedua murid Cun-sing Hoat-ong ini ternyata juga di luar dugaannya, lebih-lebih Ubun Hoa-kip ternyata sangat tangguh, diam- diam Siangkoan Hok prihatin dan tidak berani meremehkan lawan- lawannya.

   Ubun Hoa-kip juga cerdik, tiba-tiba ia mendapat akal, serunya kepada Umong.

   "Suheng, seperti kaum muda kita harus menghormati orang tua, biarlah kita minta Siangkoan-siansing saja yang memberi petunjuk- petunjuk."

   Umong paham maksud sang Sute, segera ia berdiri sejajar dengan Ubun Hoa-kip dengan posisi bertahan saja.

   Cara mereka ini tampaknya tanda menghormat kepada Siangkoan Hok, tapi sebenarnya bertujuan mengulur waktu, mereka tidak menginginkan kemenangan, cukup asal tidak dikalahkan dalam waktu singkat saja.

   Maklumlah Siangkoan Hok telah memberi batas sepuluh kali serangan, kini tinggal delapan kali serangan lagi, bilamana mereka tidak kalah dalam delapan kali serangan lain, maka Siangkoan Hok terpaksa harus mengaku kalah bertaruh.

   Rupanya Siangkoan Hok dapat menerka maksud tujuan mereka, ia menjengek dan mendadak menubruk maju dengan mengapung ke atas, secara kilat jarinya menotok ke muka Ubun Hoa-kip.

   Serangan ini adalah gerak tipu yang sangat umum, yaitu "Ji-liong-jiang-cu" (dua naga berebut mutiara), yang diarah adalah kedua mata lawan.

   Biasanya serangan ini baru berani dilancarkan bilamana kedua pihak sama-sama tidak bersenjata.

   Tapi lantaran kepandaian Siangkoan Hok jauh di atas Ubun Hoa-kip, makanya berani mengeluarkan tipu serangan ini.

   Sudah tentu Ubun Hoa-kip tidak membiarkan kedua biji matanya dicolok jari lawan, cepat ia mendek ke bawah, kedua roda terus menghantam ke atas.

   Walaupun tahu juga bahwa kedua rodanya pasti sukar mengenai lawan, namun yang dia harapkan asalkan dapat menyelamatkan diri sendiri sudahlah cukup.

   Tubuh Ubun Hoa-kip tinggi besar, kini mendek ke bawah sehingga gayanya menjadi lucu, tampaknya seperti katak.

   Dengan tertawa mengejek segera Han Pwe-eng menghitung pula.

   "Tiga kaliiii."

   Dalam pada itu Siangkoan Hok sudah ganti serangan pula dengan cepat, kini telapak tangannya menghantam balik ke belakang, yang diincar sekarang adalah Umong.

   Ini memang siasat Siangkoan Hok, lebih dulu ia desak Ubun Hoa-kip agar tidak sempat membantu Umong, dengan demikian akan menjadi mudah baginya untuk merobohkan lawannya satu per satu.

   Dengan gugup Umong memapak dengan kedua telapak tangannya.

   "blang", Siangkoan Hok sedikit pun tidak goyah di tempatnya, sebaliknya Umong tergetak mundur beberapa tindak, pada saat yang sama itulah Han Pwe-eng mengakhiri suara hitungannya yang ketiga kali yang ditarik panjang tadi. Diam-diam Siangkoan Hok mengaku kekuatan lwekang Umong yang tidak roboh oleh hantamannya itu. Segera ia tambah tenaganya, kembali ia gunakan tipu hantam sana dan pukul sini, jari tangan kiri berlagak menotok Ih-gi-hiat di lambung Ubun Hoa-kip, tapi telapak tangan kanan terus menghantam pula ke arah Umong. Merasa tidak sanggup menyambut pukulan lawan yang dahsyat itu, lekas Umong bermaksud menghindar, namun tenaga pukulan dari jauh itu sudah cukup membuatnya tergetar sempoyongan, dada terasa sesak dan darah hampir tersembur keluar. Waktu Siangkoan Hok mengulangi lagi sekali pukulannya, tak tertahan lagi darah segar lantas tersembur dari mulut Umong.

   "Lima kali!"

   Seru Pwe-eng.

   "Hm, masakah kalian mampu bertahan sampai sepuluh kali hantamanku?"

   Jengek Siangkoan Hok.

   Mendadak Ubun Hoa-kip bersuit, menyusul Siangkoan Hok merasa angin tajam menyambar dari belakang, kiranya Lumo dan Sukhan berdua telah menyergapnya dari belakang, nyata suitan Ubun Hoa-kip adalah tanda rahasia agar begundalnya ikut menerjang musuh.

   Sebenarnya Kok Siau-hong selalu mengawasi kedua musuh itu, tapi tidak terduga bahwa mereka akan menyerang secepat itu.

   Maka terdengarlah suara "bret", lengan baju Siangkoan Hok mengebut ke belakang sehingga kedua senjata yang menyerang itu terguncang pergi, namun lengan bajunya terobek sebagian pula oleh golok sabit Lumo.

   Kesempatan itu tidak disia-siakan Ubun Hok-kip, secepat kilat kedua rodanya terus menyodok ke dada Siangkoan Hok.

   "Tidak tahu malu!"

   Bentak Siangkoan Hok atas kerubutan musuh yang tidak menepati perjanjian itu.

   Berbareng sebelah kakinya menendang, kontan sebuah roda Ubun Hoa-kip mencelat ke udara.

   Tendangan Siangkoan Hok itu tepat mengenai sumbu roda sehingga tidak terluka oleh gigi roda yang tajam.

   Dalam pada itu Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng juga sudah menyerbu maju, berbareng pedang mereka pun menusuk punggung Lumo dan Sukhan.

   Tanpa putar tubuh Lumo putar golok sabitnya ke belakang sehingga pedang Kok Siau-hong tertangkis.

   Sedang Sukhan sedikit melangkah miring ke depan, ketika pedang Han Pwe-eng sudah mendek barulah mendadak Sukhan membalik tubuh, sepasang Boan-koat-pitnya dengan menyilang terus menyanggah pedang Pwe-eng dengan cepat.

   Sebagai jago pengawal "Kemah Emas", yaitu pasukan pengawal pribadi Jengis Khan yang terkenal, dengan sendirinya kepandaian Lumo dan Sukhan lain daripada yang lain.

   Tapi kalau dibandingkan Kok Siau-hong terang mereka masih kalah setingkat.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Secepat kilat Siau-hong melancarkan tiga kali serangan paling lihai dari Jit-siu-kiam-hoat, setiap jurusnya selalu mengincar tujuh tempat Hiat-to di tubuh musuh.

   Lumo mampu bertahan sampai serangan ketiga, lalu terdengar suara "cret", pundaknya tertusuk pedang Kok Siau-hong.

   Untung tidak parah, hanya lecet saja.

   Di sebelah sana Ubun Hoa-kip menjadi jeri karena sebuah rodanya tertendang mencelat dari cekalannya, ia tidak berani bertempur lebih lama lagi, tanpa pikir ia terus putar tubuh dan angkat langkah seribu alias kabur tanpa menghiraukan senjatanya yang jatuh itu.

   Umong sudah terluka dalam, ia menyadari sukar untuk melarikan diri, dengan ketakutan ia berseru.

   "Ampun, Siangkoan-siansing! Ampun! Aku berbuat menurut perintah Suhuku saja, aku terpaksa!"

   Lumo dan Sukhan juga ketakutan setengah mati karena sergapan mereka tidak berhasil, melihat Ubun Hoa-kip kabur, dengan sendirinya mereka pun cepat-cepat lari, kedua orang lari ke dua jurusan dan bermaksud melompat keluar pagar tembok.

   "Lari kemana?"

   Bentak Kok Siau-hong sambil mengejar. Tiba-tiba Siangkoan Hok mencegahnya.

   "Sudahlah, biarkan mereka pergi saja!"

   "Kenapa dibiarkan?"

   Tanya Siau-hong dengan melongo heran sesudah urung mengejar.

   "Aku tinggal belasan tahun di Mongol, betapa pun aku telah bergaul cukup akrab dengan mereka, mengingat kebaikan selama ini bolehlah ampuni mereka sekali ini,"

   Kata Siangkoan Hok. Keruan Umong kegirangan, cepat ia memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, lalu berjalan pergi dengan terpincang-pincang menyusul kawan-kawannya.

   "Siangkoan-pepek, pertempuranmu tadi sungguh indah sekali dan banyak menambah pengalamanku,"

   Puji Han Pwe-eng dengan tertawa.

   "Tadi aku baru mengitung sampai jurus keenam. Untunglah Siangkoan- pepek datang tepat pada waktunya, kalau tidak, nasib kami entah bagaimana jadinya."

   "Aku pun harus berterima kasih atas bantuan kalian,"

   Ujar Siangkoan Hok.

   "kalau tidak, sekali pun tidak sampai kalah, sedikitnya akan menghadapi bahaya."

   "Ah, Siangkoan-pepek suka berkelakar saja,"

   Kata Pwe-eng.

   "Aku tidak berkelakar,"

   Kata Siangkoan Hok dengan tertawa.

   "Aku dapat mengalahkan Umong dan Ubun Hoa-kip lantaran aku sudah lama menyelami silat mereka. Tapi kalau bertambah dua musuh seperti Lumo dan Sukhan, maka aku tentu akan tambah repot. Sudahlah, kita bicara urusan yang penting saja. Dimanakah ayahmu?"

   "Teramat panjang untuk diceritakan, silakan paman duduk di dalam kamar saja, nanti akan kututurkan,"

   Kata Pwe-eng. Singkoan Hok mengiakan, lalu ia berpaling dan tanya Kok Siau-hong.

   "Ini tentunya Kok-siauhiap bukan?"

   "Ya, Wanpwe memang betul Kok Siau-hong adanya,"

   Jawab Siau-hong.

   "Ha, ha, kiranya kalian sudah menikah, maafkan jika aku tidak membawa kado apa-apa bagimu,"

   Kata Siangkoan Hok dengan tertawa.

   "Kok-seheng, meski kau belum kenal aku, tapi ayah mertuamu adalah sahabatku yang karib, mungkin istrimu telah bercerita juga padamu."

   Rupanya Siangkoan Hok jauh berada di Mongol, maka geger-geger pernikahan Kok Siau-hong yang gempar di dunia Kang-ouw itu tak diketahui olehnya.

   Yang diketahuinya adalah Kok Siau-hong bakal menantu Han Tay- wi, sekarang di tengah malam dia menyaksikan Kok Siau-hong keluar dari kamar Han Pwe-eng, maka disangkanya kedua muda-mudi itu sudah menikah.

   Tentu saja Han Pwe-eng sangat malu dan tidak tahu cara bagaimana harus memberi penjelasan.

   Syukur Kok Siau-hong lantas berkata.

   "Harap Siangkoan-siansing jangan salah paham, kami..... kami belum menikah." ~ Dia baru kenal Siangkoan Hok, dengan sendirinya tidak leluasa untuk menjelaskan duduk perkaranya. Diam-diam Siangkan Hok membatin.

   "O, kiranya mereka belum menikah, tapi sudah main cinta lebih dulu." ~ Ia menjadi rikuh oleh ucapan sendiri tadi, dengan tertawa ia lantas menambahkan.

   "Ya, lambat atau cepat kalian toh pasti akan menikah. Harap maafkan ucapanku yang keliru tadi."

   Kok Siau-hong juga lantas menyadari ucapannya sendiri yang tidak tepat, ia menjadi merah jengah juga. Diam-diam hati Han Pwe-eng juga berdebar demi mendengar kata-kata Kok Siau-hong tadi tentang "belum"

   Menikah. Sementara itu fajar sudah menyingsing, ufuk timur sudah mulai terang. Han Pwe-eng lantas membawa mereka masuk ke kamar tulis sang ayah, terlihat dinding ruangan itu sudah kosong melompong, dengan terheran- heran Siangkoan Hok bertanya.

   "Kuingat di kamar ini penuh tergantung lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan, apakah gambar-gambar itupun sudah hilang semua?"

   "Jangan kuatir, Siangkoan-pepek, lukisan-lukisan itu tidak hilang, partai harta pusaka itupun tidak hilang,"

   Kata Pwe-eng, lalu ia pun menceritakan apa yang dialaminya bersama sang ayah.

   "Jadi ayahmu sekarang dirawat di rumah Sin Cap-si-koh?"

   Siangkoan Hok menegas dengan tercengang.

   "Ya, Sin Cap-si-koh itu tampaknya adalah sahabat karib ayah, cuma sebelumnya ayah tidak pernah memberitahu padaku,"

   Tutur Pwe-eng.

   "Dan lukisan-Iukisan itu kini berada di tempat Sin Cap-si-koh, menurut ceritanya, dia tidak ingin cekcok dengan Beng Jit-nio dan kuatir tidak mampu melawan Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok, maka waktu ayah mengalami kesukaran dia tidak dapat memberi bantuan apa-apa, hanya dapat bantu menyelamatkan benda pusaka koleksi ayah saja. Mengenai partai harta pusaka itu kini sudah berada di tangan Tam-tayhiap dan sedang diangkut ke Ki-lian-san, Siau-hong telah bertemu dengan Tam-tayhiap, apa yang dialaminya sebentar boleh suruh dia menuturkan kepada Siangkoan-pepek."

   Waktu Pwe-eng menyinggung nama Beng Jit-nio dan Sin Cap-si-koh, tanpa terasa air muka Siangkoan Hok telah berubah, lebih-lebih kelihatan rasa was-wasnya ketika dia mendengar Han Tay-wi sedang dirawat di rumah Sin Cap-si-koh.

   Melihat perubahan air muka Siangkoan Hok itu, hati Siau-hong tergerak, segera ia bertanya.

   "Pengalaman Siangkoan-siansing tentu sangat luas, apakah engkau kenal asal-usul kedua wanita itu?"

   "Terlalu banyak apa yang kuketahui tentang mereka,"

   Kata Siangkoan Hok.

   "Cuma mereka hanya muncul sekejap saja di dunia Kang-ouw, lalu menghilang pula. Namun begitu dahulu sudah cukup membikin geger dunia Kang-ouw dan mengejutkan banyak kaum kesatria. Tigapuluh tahun yang lalu kedua wanita itu muncul bersama di dunia Kang-ouw, Sin Yu-ih (Sin Cap-si-koh) adalah Piau-ci dan Beng Thian-hiang (Beng Jit-nio) adalah Piau- moay, kedua saudara misan itu berkepandaian tinggi dan sama-sama cantik pula. Sebab itulah kemunculan mereka segera menggemparkan dunia Kang- ouw dan banyak kaum kesatria yang kesengsem kepada mereka. Tapi tiada seorang pun yang menduga bahwa kedua wanita cantik molek itu ternyata iblis-iblis perempuan yang berhati kejam dan bertangan gemas, siapa yang kepelet kepada mereka, siapa pula pasti akan celaka."

   "Di dunia Kang-ouw tentu saja banyak lelaki bangor, pantas juga kalau mereka mendapatkan ganjaran setimpal,"

   Ujar Pwe-eng dengan tertawa.

   "Memang, tidak sedikit lelaki dari berbagai golongan yang mengalami nasib sial bilamana menaksir akan kecantikan mereka,"

   Tutur Siangkoan Hok pula.

   "Masih mendingan jika yang ditaksir adalah Beng Thian-hiang, kalau dia tidak suka lamaran orang, paling-paling lelaki itu didamprat dan bila lawannya pakai kekerasan barulah dia memberi hajaran padanya. Lain dengan Sin Yu-ih yang keji, tak peduli siapa saja yang mengincar dia, akibatnya pasti biji mata lelaki itu akan dikorek buta atau dipotong lidahnya sebagai hukuman."

   "Sungguh keterlaluan,"

   Ujar Pwe-eng dengan mengkirik.

   "Tapi mengapa terhadap ayahku agaknya sangat baik. Seperti Beng Jit-nio, meski ayah ditawan olehnya, tapi dia melarang Sebun Bok-ya membikin susah ayah."

   "Aku sendiri tidak tahu apa sebabnya,"

   Kata Siangkoan Hok.

   "Tapi menurut cerita Kok-seheng tadi, katanya mereka tinggal di dekat rumahmu, kukira paling sedikit sudah belasan tahun mereka tinggal di sana, padahal selama itu mereka tiada hubungan dengan ayahmu dan sekarang mereka mengaku sebagai kawan karibnya, betapa pun hal ini rada mencurigakan. Apalagi tindak-tanduk mereka di masa lampau boleh dikata anti lelaki, mengapa sekarang mereka begitu baik terhadap ayahmu?"

   Kok Siau-hong lebih paham soal kehidupan manusia, dari sikap dan nada ucapan Siangkoan Hok itu lapat-lapat ia merasa Siangkoan Hok tidak memberitahukan seluruh daripada apa yang diketahuinya, hanya saja secara samar-samar telah memberi isyarat kepada Han Pwe-eng agar jangan mau percaya penuh kepada kedua wanita aneh itu.

   Han Pwe-eng juga seperti merasakan sesuatu, tanyanya kemudian.

   "Antara mereka sesama saudara misan apakah bergaul dengan sangat baik di waktu dulu?"

   "Beberapa tahun permulaan mereka selalu berkelana di Kang-ouw bersama, lalu entah sebab apa lantas berpisah,"

   Jawab Siangkoan Hok. Diam-diam Pwe-eng membatin.

   "Tampaknya kedua wanita itu sama-sama mencintai ayahku, maka keduanya menjadi tidak akur. Ibu tentu juga dicemburui oleh mereka dan dibunuh oleh salah seorang di antara mereka. Hanya belum diketahui apakah perbuatan Beng Jit-nio atau Sin Cap-si-koh."

   Kemudian Pwe-eng berkata kepada Siangkoan Hok.

   "Sin Cap-si-koh tinggal di Yu-hong-li di balik bukit tidak jauh dari sini, apakah Siangkoan- pepek ada waktu untuk pergi ke sana menyambangi ayahku?"

   "Kedatanganku ini memang hendak mencari ayahmu,"

   Sahut Siangkoan Hok.

   "Sekarang jejak ayahmu sudah diketahui, dengan sendirinya aku mesti menemuinya. Sebun Bok-ya bernapsu hendak menjagoi dunia persilatan daerah Tiong-goan, tapi dia pun kuatir tenaga sendiri tidak cukup, maka tanpa malu-malu ia merendahkan diri mendekati Cun-sing Hoat-ong tujuannya ingin mendapatkan dukungan Kok-su Mongol itu. Sekali ini dia disuruh Cun-sing Hoat-ong untuk menghadapi ayahmu, hal ini sebenarnya di luar tahuku, syukur berita ini kemudian dapat kudengar. Kupikir Cun- sing Hoat-ong pasti ada alasan hendak membunuh ayahmu, tentu lantaran rahasia harta pusaka simpananku itu telah diketahui olehnya. Aku menjadi kuatir akan ayahmu, maka segera aku melarikan diri dari Ho-lin, siapa tahu aku tetap datang terlambat. Lebih tidak terduga bahwa Sebun Bok-ya benar- benar luar biasa sampai-sampai iblis Cu Kiu-bok itupun dapat diseret ke sini untuk menjadi pembantunya, bahkan Beng Tian-hiang dan Sin Yu-ih, dua iblis perempuan yang sudah menghilang selama tigapuluh tahun yang ikut campur dalam urusan ini dan bergabung dengan kedua iblis tua itu untuk menghadapi ayahmu."

   "Tapi Beng Jit-nio dan Sin Cap-si-koh akhirnya cekcok dengan kedua iblis tua itu,"

   Kata Pwe-eng.

   "Partai harta pusaka itu sekarang direbut kembali. Meski ayah mengalami cidera, syukur sekarang sedang dirawat oleh Sin Cap- si-koh. Beng Jit-nio memang ikut dalam komplotan Sebun Bok-ya itu, tapi Sin Cap-si-koh tidak, semula dia tidak mau ikut campur, kemudian dia berusaha menyelamatkan ayah. Rasanya dia tidak bermaksud buruk terhadap ayahku."

   "Ya, semoga begitulah hendaknya,"

   Ujar Siangkoan Hok.

   "Cuma Sin Cap-si-koh mungkin tidak mau menemui aku. Namun aku pun tak peduli lagi, sekali pun dia tutup pintu tak mau menerima diriku juga aku akan menerjang ke rumahnya untuk menemui ayahmu."

   "Mengapa paman anggap dia tak mau menemui engkau?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Watak perempuan itu sangat aneh dan sukar dipahami,"

   Tutur Siangkoan Hok.

   "Apalagi dia terkenal paling anti lelaki."

   "Tapi di hadapannya, ayah menyuruh aku mencari Siau-hong dan membawanya ke sana untuk menemuinya, untuk ini Sin Cap-si-koh sendiri tidak membantah,"

   Kata Pwe-eng.

   "Siau-hong adalah bakal suamimu, sudah tentu berlainan dengan diriku,"

   Kata Siangkoan Hok dengan tertawa. Wajah Pwe-eng menjadi merah, katanya pula.

   "Di waktu mudanya Sin Cap-si-koh terkenal sebagai hantu, mungkin sekarang sifatnya itu sudah berubah, nanti kalau bertemu dengan dia aku yang bicara, mudah-mudahan dapat menghindari percekcokan dengan dia."

   Sementara itu hari sudah terang, Han Pwe-eng berkata pula.

   "Maaf, Siangkoan-pepek belum kusuguhi minuman, soalnya semalam ketika aku pulang dan bertemu dengan Siau-hong di sini, tidak lama beberapa Busu Mongol itupun tiba sehingga tidak sempat menyiapkan makanan dan minuman, sekarang coba kuperiksa dapur kalau-kalau masih ada sesuatu yang dapat dimakan."

   Baru sekarang Siangkoan Hok mengetahui lebih jelas bahwa di antara kedua muda-mudi itu memang belum terjadi hubungan apa-apa.

   Seperginya Pwe-eng, lalu Kok Siau-hong menuturkan juga tentang pengalamannya waktu barisan keretanya dibegal oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok, dimana dia hampir binasa di dalam jurang, untung dapat menyelamatkan diri dan kemudian bertemu dengan Tiong Siau-hu dan Siangkoan Po-cu, lalu datang pula Bu-lim-thian- kiau yang ikut membantu merampas kembali partai harta pusaka itu.

   Siangkoan Hok sangat girang mendengar cerita itu, katanya.

   "Kiranya kau sudah bertemu dengan Tam-tayhiap, bahkan bertemu pula dengan puteri dan menantuku."

   "Ya, sekarang mereka sedang mengangkut harta pusaka itu ke Ki-lian-san dengan bantuan laskar rakyat Ci-lo-san,"

   Demikian Siau-hong menambahkan.

   "Legalah hatiku jika begitu,"

   Kata Siangkoan Hok.

   "Setelah menemui mertuamu segera aku akan pergi ke Ki-lian-san untuk menemui mereka. Bagaimana kalau kau dan Pwe-eng juga ikut ke sana?"

   "Nanti kita bicarakan setelah bertemu dengan Han-pepek,"

   Kata Siau- hong.

   "Mungkin juga aku harus pergi ke Kim-keh-nia dulu untuk mengunjungi Hong-lay-mo-li."

   Siangkoan Hok tidak tahu bahwa Kok Siau-hong merasa kikuk untuk mengadakan perjalanan lagi bersama Han Pwe-eng, maka ia setuju akan maksud Kok Siau-hong itu.

   Sementara itu sinar sang surya sudah menembus masuk ke kamar melalui daun jendela, Han Pwe-eng pergi ke dapur sudah sekian lamanya, tapi masih belum nampak kembali, Siau-hong menjadi heran, segera ia menyusulnya ke sana.

   Memang ada sesuatu yang diketemukan Han Pwe-eng di dapur, ketika dia sampai di situ, dilihatnya api ang-lo masih menyala, di atas ang-lo ada sebuah ceret dan airnya sudah mendidih.

   Keruan Pwe-eng terkejut dan heran, siapakah yang memasak air itu? Waktu dia periksa lagi, ternyata di atas meja dapur masih ada setengah ekor ayam panggang dan satu piring nasi dengan sayur yang belum termakan.

   Tentu saja Pwe-eng curiga, jangan-jangan ada musuh yang masih bersembunyi di situ atau maling biasa saja.

   Ia pikir mesti menyelidikinya secara diam-diam agar tidak membikin kaget orang.

   Rumah keluarga Han cukup luas, meski sebagian terbakar, namun tumpukan puing yang berserakan itu cukup banyak tempat untuk dipakai bersembunyi.

   Segera Pwe-eng mengelilinginya, tapi tidak diketemukan seorang pun.

   Waktu dia akan mencari ke gudang di bawah tanah, tiba-tiba dilihatnya sesosok bayangan keluar pagar tembok secepat burung terbang.

   Pwe-eng merasa bayangan orang itu seperti pernah dilihatnya, cuma gerak tubuh orang itu teramat cepat sehingga tidak terlihat jelas, seketika juga tidak ingat siapa orangnya.

   Segera Pwe-eng mengudak keluar sana.

   "Nona Han, aku cuma mencari sedikit barang yang tercecer di rumahmu dan tidak mendapatkan apa-apa yang berharga, kenapa kau terus mengejar diriku?"

   Terdengar orang itu berseru.

   Dari suaranya segera dapatlah Han Pwe-eng mengenali orang itu, kiranya Pau Ling adanya, yaitu maling sakti yang tempo hari diketemukan terkubur hidup-hidup di taman belakang itu.

   Ginkang Pau Ling teramat hebat, mulutnya bicara kaki pun bekerja, dalam sekejap saja dia sudah menghilang dari pandangan Han Pwe-eng.

   Maka Pwe-eng tidak curiga lagi mengingat pekerjaan Pau Ling itu memang tukang menggerayangi rumah orang.

   Ia pikir tidak perlu mengejutkan Siangkoan Hok dan Kok Siau-hong, maka ia lantas kembali lagi ke dapur untuk memasak teh, ia panaskan pula sayur-mayur yang ditinggal oleh Pau Ling, lalu dibawanya ke kamar tamu.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kukira kau sedang masak makanan enak apa, masakah makan waktu begitu lama,"

   Kata Siau-hong dengan tertawa.

   "Dalam keadaan begini masih ditemukan makanan sudah untung bagi kita,"

   Ujar Siangkoan Hok.

   "Aku telah ketemukan seorang di belakang,"

   Kata Pwe-eng.

   "Hah, ada orang bersembunyi di rumahmu ini?"

   Siau-hong menegas dengan heran.

   "Ya, yaitu maling yang kita ketemukan di taman belakang tempo hari,"

   Tutur Pwe-eng. Siau-hong terkejut, katanya.

   "Menurut Liok Pang-cu dari Kay-pang, katanya Pau Ling adalah maling sakti yang terkenal di dunia Kang-ouw, tempo hari dia juga ikut ke markas Kay-pang di Lok-yang, mengapa sekarang dia menggerayangi rumahmu pula sendirian dan main sembunyi-sembunyi pula di sini?"

   "Kita jangan makan dulu daharan ini,"

   Kata Siangkoan Hok, lalu ia mengeluarkan sepotong tanduk badak keluaran Mongol, tanduk badak dapat digunakan mencoba kadar racun, jika di dalam makanan itu beracun, maka tanduk badak itu akan berubah menjadi merah gelap, makin jahat racunnya makin gelap warna tanduk itu.

   Sesudah Siangkoan Hok memasukkan tanduk badak itu ke dalam minuman dan makanan, ternyata tanduk itu tidak berubah warna, dengan lega barulah dia berkata.

   "Nama Pau Ling itupun pernah kudengar. Setahuku, meski dia tak pernah pergi ke Mongol, tapi diam-diam mempunyai hubungan dengan Kok-su Mongol."

   "Jika begitu, jadi Liok Pang-cu juga kena dikelabui olehnya?"

   Kata Han Pwe-eng dengan terkejut.

   "Ah, kiranya demikian, pahamlah aku sekarang!"

   Tiba-tiba Siau-hong berseru sambil menepuk paha.

   "Kau paham apa?"

   Tanya Pwe-eng heran.

   "Ada sesuatu persoalan sebegitu jauh aku merasa tidak paham, mengapa Pau Ling sengaja membuat kata-kata bohong untuk memfitnah ayahmu? Dan baru sekarang aku paham sebabnya!"

   Kata Siau-hong.

   "O, dia berbohong dan memfitnah ayahku?"

   Pew-eng menegas dengan terkejut.

   "Ya, apakah kau masih ingat robekan surat yang kita ketemukan di tangan Loh-taysiok tempo hari yang tertulis dalam huruf Mongol itu?"

   Jawab Siau-hong.

   "Robekan surat tatkala itu telah kuambil."

   Loh-taysiok yang dimaksud Kok Siau-hong adalah budak tua Han Tay-wi yang setia, budak tua itu pernah diutus ke Mongol untuk menyampaikan surat kepada Siangkoan Hok.

   "Bagaimana dengan Loh-taysiok itu?"

   Tanya Siangkoan Hok cepat.

   "Dia terbinasa oleh pukulan berbisa Sebun Bok-ya, ketika kami menemukan mayatnya, robekan surat itu tergenggam dengan kencang olehnya,"

   Tutur Siau-hong.

   "Siangkoan-pepek, aku ingin tanya padamu, apakah benar surat itu adalah suratmu untuk ayah?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Benar, aku pernah membawakan Loh-taysiok sepucuk surat untuk ayahmu, tapi tertulis dalam huruf Han,"

   Kata Siangkoan Hok, ia pun merasa heran bahwa surat yang dipegang budak tua itu tertulis dalam tulisan Mongol.

   "Menurut orang Kay-pang yang paham tulisan Mongol, katanya surat itu adalah surat rahasia Kok-su Mongol kepada ayahmu,"

   Kata Siau-hong. Han Pwe-eng menjadi gusar, katanya.

   "Mana mungkin ayah mempunyai hubungan rahasia dengan Kok-su Mongol?"

   "Tak perlu disangsikan lagi, tentu perbuatan Pau Ling dan Sebun Bok-ya serta komplotannya dengan tujuan memfitnah ayahmu, dan biang keladi di belakang layar tentulah Kok-su Mongol itu,"

   Ujar Siau-hong.

   "Bagaimana bunyi surat itu?"

   Tanya Siangkoan Hok.

   "Katanya Han-pepek diminta menjadi agen rahasia di dalam negeri sini, bilamana usaha mereka berhasil, maka Khan Agung mereka akan mengangkat ayah menjadi raja muda untuk menguasai suatu wilayah tersendiri,"

   Tutur Siau-hong.

   "Sungguh ngaco-belo!"

   Seru Pwe-eng penasaran.

   "Entah Liok Pang-cu mau percaya tidak atas isi surat itu?"

   "Lantaran Pau Ling mengarang hal-hal bohong yang dikatakan telah disaksikannya sendiri, mau tak mau Liok Pang-cu rada percaya dan menyangsikan ayahmu yang sengaja mengatur sandiwara dengan memusnahkan rumah sendiri untuk mengelabui pahlawan-pahlawan di sini,"

   Tutur Siau-hong pula.

   "Jahanam benar Pau Ling itu sampai-sampai Liok Pang-cu juga kena dihasut olehnya,"

   Kata Pwe-eng dengan gemas.

   "Tahu begitu, tadi mestinya aku tidak membiarkan dia kabur."

   "Biarlah kelak kita mencari dia untuk membikin perhitungan,"

   Kata Siau- hong.

   "Sekarang kita perlu menemui ayahmu lebih dulu."

   Nyata mereka sama sekali tidak menduga bahwa yang bersembunyi di rumah situ tidak cuma Pau Ling seorang saja.

   Sebab setelah mereka bertiga berangkat, di halaman depan kamar Han Pwe-eng, dari bawah tumpukan puing itu tiba-tiba menyusup keluar pula seorang yang bukan lain daripada Yim Thian-ngo adanya.

   Yim Thian-ngo sudah bersembunyi di rumah keluarga Han beberapa hari lamanya, dia sedang menunggu kembalinya Ih Hoa-liong, muridnya yang tertua.

   Rumah Han Tay-wi itu ada sebuah gudang di bawah tanah yang semula digunakan menyimpan harta karun titipan Siangkoan Hok, di situ tersimpan pula bahan-bahan makanan.

   Yim Thian-ngo pernah mencari ke seluruh pelosok rumah Han Tay-wi itu, maka dia tahu rahasia gudang di bawah tanah itu.

   Pau Ling memang satu komplotan dengan Yim Thian-ngo, mereka berdua sudah berjanji akan bertemu pula di rumah Han Tay-wi itu bilamana usaha mereka mencuri harta pusaka itu berhasil, lalu mereka akan menunggu kembalinya Ih Hoa-liong.

   Han Pwe-eng dan Siangkoan Hok telah datang semua.

   Sudah tentu Yim Thian-ngo tidak berani terlihat oleh Kok Siau-hong, ia lebih-lebih tidak berani bergebrak dengan Siangkoan Hok, sebab itulah ketika Han Pwe-epg mulai memeriksa dan menggeledah sekeliling tempat itu, tiba-tiba Yim Thian-ngo mendapat akal, dia suruh Pau Ling memancing Han Pwe-eng keluar sana agar si nona tidak menemukan tempat persembunyiannya itu.

   Han Pwe-eng ternyata kena dipancing, setelah Pau Ling kabur ia pun tidak mencari lebih jauh.

   Gudang di bawah tanah itu ada suatu lubang keluar yang terletak di halaman di depan kamar tidur Han Pwe-eng itu, maka apa yang dibicarakan Siangkoan Hok dengan kedua muda-mudi itu dapat didengar semua oleh Yim Thian-ngo.

   Begitulah setelah kabur dari tempat sembunyinya, Yim Thian-ngo mengusap keringat dingin yang membasahi jidatnya, ia merasa kuatir dan bergirang pula.

   Pikirnya.

   "Sungguh tidak tersangka partai harta karun itu kena direbut kembali oleh Bu-lim-thian-kiau, terang usahaku sekali ini hanya sia-sia belaka. Tapi masih untung juga rahasia hubunganku dengan Mongol tak diketahui oleh mereka. Sekarang budak Hi Giok-kun itu sudah minggat bersama Sin Liong-sing, asal dia tidak bertemu dengan Siau-hong dan Han Pwe-eng, maka rahasiaku tentu juga takkan diketahui oleh orang lain."

   Segera ia melangkah pergi meninggalkah rumah Han Tay-wi dengan mendengus, dia hendak pergi mencari Pau Ling untuk menyiapkan tipu muslihat yang lain.

   Dalam pada itu Kok Siau-hong yang ikut pergi mencari ayah Han Pwe- eng hatinya selalu merasa tidak tenteram.

   Sesudah menerobos ke balik air terjun itu, lalu Han Pwe-eng mengusulkan agar pergi ke tempat Sin Cap-si-koh lebih dulu, kemudian barulah pergi mencari Beng Jit-nio.

   "Ya, seharusnya menemui dulu ayahmu,"

   Kata Siangkoan Hok.

   Dalam hati Kok Siau-hong menjadi ragu-ragu apa yang harus dijawabnya bilamana ditanya oleh Han Tay-wi sebab dia tidak tahu Han Pwe-eng memberitahukan tidak peristiwa pernikahan mereka yang batal itu.

   Waktu mula-mula ia hendak menyatakan pembatalan perkawinannya dengan Han Pwe-eng, sebenarnya dia sudah siap menerima dampratan atau pukulan sekali pun dari Han Tay-wi, tapi kini lantaran mengetahui Hi Giok-kun telah mendapatkan pacar baru, tiba-tiba ia merasa Han Pwe-eng jauh lebih baik daripada apa yang pernah dibayangkan sebelumnya, maka dia makin merasa berdosa terhadap nona Han itu sehingga keberaniannya menerima segala akibatnya bila bertemu dengan Han Tay-wi tanpa terasa telah lenyap semua.

   Begitulah dengan perasaan bimbang ia terus mengikut di belakang Han Pwe-eng, sedang kusut pikirannya, tiba-tiba terdengar si nona berkata.

   "Sudah sampai!"

   Tertampak pemandangan sangat permai, Siangkoan Hok berkata.

   "Tempat ini seperti suatu dunia lain, Sin Yu-ih benar-benar bisa menikmati kehidupan, padahal dia berjuluk Lo-jiu-sian-ngo (bidadari bertangan kejam), orang yang tidak kenal asal-usulnya tentu akan menganggap dia seakan-akan bidadari yang baru turun dari kayangan."

   Diam-diam Han Pwe-eng menjadi ragu-ragu, ia pikir apakah mungkin Sin Cap-si-koh seorang momok perempuan yang kejam sebagaimana dikatakan paman Siangkoan itu.

   Dalam pada itu mereka sudah sampai di depan kediaman Sin Cap-si-koh, tertampak pintu bambu setengah tertutup, keadaan sunyi senyap, tiada terdengar sesuatu suara apa pun.

   "He, di dalam seperti tiada penghuninya,"

   Kata Siangkoan Hok. Han Pwe-eng lantas berseru permisi secara sopan, tapi tiada jawaban dari dalam.

   "Enci Si Bwe, akulah Han Pwe-eng, aku sudah kembali, harap buka pintu!"

   Seru Pwe-eng pula. Namun tetap tiada suara jawaban.

   "Budak kepercayaan Sin Cap-si-koh juga tidak berada di dalam, tampaknya benar-benar tiada penghuninya lagi,"

   Kata Pwe-eng, mau tak mau ia menjadi sangsi juga.

   "Kita sudah berada di sini, betapa pun kita harus menyelidikinya hingga jelas,"

   Kata Siangkoan Hok. Lalu ia berseru lantang.

   "Sin-lihiap, maafkan kelancanganku, karena tidak dibukakan pintu, terpaksa kami masuk sendiri."

   Lalu mereka menolak pintu bambu itu, di dalam ternyata masih tiada sesuatu suara apa pun, jangankan manusia, bahkan lukisan dan tulisan yang tadinya memenuhi dinding ruangan dalam itupun sudah lenyap. Keruan Han Pwe-eng melenggong, katanya.

   "Dia bilang penyakit ayah sedikitnya diperlukan perawatan selama setengah tahun, mengapa baru beberapa hari saja mereka sudah menghilang. Apakah mungkin....."

   "Rasanya Sin Yu-ih takkan membikin susah ayahmu, besar kemungkinan dia telah pindah rumah,"

   Kata Siangkoan Hok.

   "Tapi dia mengatakan penyakit ayah tidak boleh banyak bergerak dan berkata minta ayah tetirah saja di rumahnya ini,"

   Kata Pwe-eng.

   "Dia sengaja membohongi kau, masakah sampai sekarang kau masih percaya?"

   Ujar Siangkoan Hok.

   "Bagaimana pun kita harus mencari dimana beradanya ayah,"

   Kata Pwe- eng.

   "Coba kita menjenguk ke tempat Beng Jit-nio sana."

   Siangkoan Hok mengangguk setuju.

   Tak terduga setiba di tempat kediamanan Beng Jit-nio, ternyata bangunan kuno yang berbentuk benteng itupun tinggal puing belaka, bahkan ada balok-balok kayu yang masih mengepulkan asap, agaknya baru dibakar tidak lama berselang.

   Tidak kepalang kejut Han Pwe-eng, ia heran dengan ilmu Beng Jit-nio yang tinggi itu, siapakah yang mampu membakar rumahnya? Jangan-jangan pembakarnya juga Sin Cap-si-koh? Selagi bingung, tiba-tiba dilihatnya di balik tembok yang setengah runtuh sana ada berkelebatnya bayangan seorang perempuan muda.

   "He, enci Si Bwe bukan?"

   Seru Pwe-eng terkejut dan bergirang. Perempuan muda itu lantas keluar dari tempat sembunyinya, serunya dengan kejut-kejut girang juga.

   "Kiranya nona Han sudah kembali!" ~ Nyata dia memang betul Si Bwe adanya, itu dayang cilik kepercayaan Sin Cap-si- koh. Pwe-eng melihat muka Bwe agak lesu, tampak agak kurus pula seperti habis sakit. Dengan sangsi ia lantas bertanya.

   "Enci Si Bwe, apakah kau sakit? Kemanakah majikanmu? Mengapa kau tidak di Yu-hong-li, sebaliknya berada di sini?"

   "Terlalu panjang untuk diceritakan,"

   Kata Si Bwe.

   "Kedua tuan ini....."

   "Yang ini ialah Siangkoan-siansing, sahabat karib ayahku,"

   Tutur Pwe- eng.

   "Dan yang itu adalah Kok-seheng, dia....."

   "O, kiranya Kok-siauhiap adanya,"

   Sela Si Bwe dengan tersenyum.

   "engkau memang sangat diharapkan oleh Han Lo-siansing, selama beberapa hari tinggal di tempat kami beliau selalu menyebut nama Kok-siauhiap. Selamat, nona Han, malahan ayahmu merasa kuatir engkau tak dapat mencarinya."

   Pwe-eng tahu budak itu telah mengetahui siapa Kok Siau-hong, maka ia menunduk dengan malu-malu, katanya.

   "Kedua tuan ini bukan orang luar, boleh kau bicara saja di depan mereka."

   "Baiklah, marilah kita kembali ke Yu-hong-li sambil kuceritakan,"

   Kata Si Bwe. Si Bwe tampak lemah, jalannya rada sempoyongan, Pwe-eng memegangi tangannya dan jalan berjajar dengan dia, terasa denyut nadi Si Bwe kurang lancar dan lemah, Pwe-eng terkejut dan bertanya.

   "Apakah kau terluka dalam?"

   "Tidak, lewat beberapa hari tentu akan sembuh,"

   Jawab Si Bwe.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sakit apa?"

   Tanya Pwe-eng pula.

   "Bukan sakit, tapi majikan menotok Hiat-toku dengan cara berat, sudah lewat duapuluh empat jam baru sekarang dapat punah sendiri Hiat-to yang tertotok ini,"

   Tutur Si Bwe.

   "Mengapa Sin Cap-si-koh menotok kau dengan cara keras?"

   Tanya Pwe- eng dengan terheran-heran.

   "Apa kesalahanmu? Padahal biasanya kau sangat disayang oleh majikanmu."

   "Kesalahan apa kalau bukan lantaran nona Hi itu,"

   Kata Si Bwe.

   "Majikan anggap aku tidak menurut perintahnya dan tak mau memakai diriku lagi."

   "Kau maksudkan Hi Giok-kun?"

   Siau-hong menegas.

   "Benar, engkau juga kenal dia?"

   Tanya Si Bwe.

   "Mengapa kau dihukum majikanmu lantaran nona Hi itu?"

   Tanya Siau- hong.

   "Waktu nona Hi datang ke tempat kami tempo hari, majikan kami menyuruh dia menyamar sebagai budak baru untuk dihadiahkan kepada Beng Jit-nio, aku yang mengantar nona Hi itu ke tempat Beng Jit-nio,"

   Tutur Si Bwe.

   "Ya, peristiwa itu aku sudah tahu,"

   Kata Siau-hong.

   "Tapi mengapa kau malah disalahkan?"

   "Itu memang ada sebabnya, gara-gara Tit-siauya kami itu, sebab Tit-siauya kami telah mempengaruhi nona Hi,"

   Tutur Si Bwe. Diam-diam Kok Siau-hong merasa cemas, nyata cerita Toh Hok tempo hari tentang hubungan Hi Giok-kun dan Sin Liong-sing bukannya tidak berdasar. Tapi dengan berlagak tenang ia coba bertanya pula.

   "Apa sangkut- pautnya dengan kau hanya lantaran Tit-siauya kalian penujui nona Hi?"

   Maka Si Bwe bercerita pula apa yang terjadi tempo hari ketika dia diperintahkan mengantar Hi Giok-kun ke tempat Beng Jit-nio, tapi di tengah jalan telah disusul oleh Sin Liong-sing, dimana Sin Liong-sing telah menotok roboh Si Bwe, lalu bicara mesra dengan Giok-kun di tempat kejauhan dan terlihat Sin Liong-sing memberikan sebentuk cincin kepada Giok-kun, yaitu cincin asal pemberian Beng Jit-nio yang kelak harus diberikan pula kepada calon istri pilihannya sebagai tanda mata.

   Dengan membawa cincin itu pula kemudian jiwa Hi Giok-kun tertolong ketika Beng Jit-nio bermaksud membunuhnya.

   Kejadian yang diceritakan Si Bwe itu memang disaksikan sendiri oleh Han Pwe-eng terutama ketika Beng Jit-nio melepaskan Hi Giok-kun tempo hari.

   Tapi bagi Kok Siau-hong, cerita itu baru didengarnya sekarang, kembali pikirannya tidak tenteram.

   "Apakah majikanmu tidak suka kepada Hi Giok-kun, dia kan cocok juga menjadi pasangan Tit-siauya kalian?"

   Kata Siau-hong kemudian.

   "Memangnya, tapi sebab itulah majikan menjadi gusar,"

   Jawab Si Bwe.

   "Mungkin tidak disebabkan tak suka kepada nona Hi, bisa jadi beliau kurang senang karena keponakannya bertunangan sendiri di luar tahunya, mungkin pula aku pun dianggap budak yang tidak taat kepada perintahnya."

   "Ah, sudahlah, buat apa bicara tentang nona Hi melulu,"

   Sela Pwe-eng.

   "Kita datang buat mencari ayahku, sesudah majikanmu pergi, lalu bagaimana dengan ayahku?"

   "Dengan sendirinya ayahmu juga berangkat bersama majikan,"

   Jawab Si Bwe.

   "Bukankah ayah belum bisa bergerak?"

   Ujar Pwe-eng.

   "Majikan telah menggunakan sebuah kereta, di belakang gunung ada sebuah jalan rahasia dan tidak perlu melalui gua berair terjun di depan sana,"

   Tutur Si Bwe.

   "Dan siapa pula yang membakar tempat kediaman Beng Jit-nio itu?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Entahlah, semalam aku melihat api berkobar di sini, tapi aku tertotok dan tak bisa bergerak,"

   Sahut Si Bwe.

   "Menurut pendapatku, tentu Sin Cap-si-koh yang membakarnya,"

   Ujar Siangkoan Hok.

   "Jelas Beng Jit-nio juga terpaksa angkat kaki karena perbuatan Piau-cinya itu."

   Han Pwe-eng sependapat dengan gagasan orang tua itu, ia mengangguk.

   "Nona Han, apakah engkau tahu Tit-siauya kami dan nona Hi itu menuju kemana?"

   Tiba-tiba Si Bwe bertanya.

   "Apakah engkau mendengar berita mengenai mereka?"

   "Kabarnya Sin-kongcu sudah kembali ke daerah Kang-lam,"

   Jawab Pwe- eng.

   "Apakah nona Hi itupun ke sana kurang jelas bagiku."

   "Buat apa kau tutupi hal ini, sudah tentu nona Hi ikut dia ke sana, masakah masih perlu dijelaskan pula?"

   Sela Siau-hong penasaran. Si Bwe memandang jauh ke selatan dengan termangu-mangu, sejenak kemudian baru berkata.

   "Daerah Kang-lam, bukankah itu tempat yang teramat jauh?"

   Tiba-tiba Pwe-eng teringat sesuatu, katanya kemudian.

   "Enci Si Bwe, kau pernah titip sebuah dompet sulam untuk diberikan kepada Sin-kongcu, mungkin aku tidak sempat pergi lagi ke Kang-lam, bagaimana kalau dompet itu kuserahkan kembali saja padamu?"

   Si Bwe tidak dapat menutupi perasaan sedihnya, ia menerima kembali dompet sulam itu, lalu berkata pula dengan menghela napas.

   "Ya, dompet ini sekarang memang tidak perlu diberikan padanya pula."

   "Enci Si Bwe, bagaimana rencanamu, apakah pergi saja bersama kami?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Banyak terima kasih atas maksud baik Han-siocia,"

   Jawab Si bwe.

   "Kaum budak seperti kami masakah ada rencana apa-apa? Aku pun tidak tahu majikan akan kembali ke sini atau tidak, tapi kiranya lebih baik aku tetap tinggal di sini untuk menjaga rumah ini."

   Sementara itu mereka memang sudah tiba di tempat tinggal Sin Cap-si- koh. Maka Pwe-eng bertiga lantas mohon diri untuk berangkat, dengan perasaan berat meninggalkan budak cilik sebatangkara itu.

   "Sungguh tidak nyana perjalanan kita ini hanya sia-sia belaka,"

   Kata Siau- hong di tengah jalan.

   Meski dia menguatirkan keselamatan Han Tay-wi, tapi sekarang ia pun merasa terlepas dari tekanan batin.

   Tadinya ia sudah membayangkan suatu adegan serba susah bilamana berhadapan dengan Han Tay-wi, tapi hal ini kini sudah terhindar.

   "Aku sekarang hendak pergi ke Ki-lian-san, bukankah kalian hendak pergi ke Kim-keh-nia?"

   Tanya Siangkoan Hok. Han Pwe-eng memandang Kok Siau-hong sekejap, lalu berkata.

   "Ada beberapa kawan baik ayah tinggal di sana, dalam keadaan begini rasanya tiada tempat lain bagiku kecuali ke sana saja."

   "Liu-lihiap adalah Lok-lim-beng-cu, sumber beritanya luas, dia pasti dapat membantu kau mencari ayahmu,"

   Ujar Siangkoan Hok.

   "Ya, semoga begitu hendaknya,"

   Kata Pwe-eng.

   "Bila bertemu dengan Liu-lihiap hendaklah suka sampaikan terima kasihku kepadanya atas pembinaannya selama beberapa tahun ini terhadap anak perempuanku itu,"

   Kata Siangkoan Hok pula.

   "Bila aku mendapatkan berita tentang ayahmu, tentu juga aku akan kirim kabar ke Kim-keh-nia sana, begitu pula sebaliknya hendaklah aku pun diberitahu kalau pihak kalian sudah mendapat kabar keadaan ayahmu."

   Begitulah setelah Pwe-eng dan Siau-hong berpisah dengan Siangkoan Hok dan menuju ke jurusan Kim-keh-nia, di tengah jalan Pwe-eng berkata.

   "Siau-hong, tentunya kau harus pulang ke Yang-ciu, kita pun sudah waktunya harus berpisah."

   "Siapa bilang aku akan pulang ke Yang-ciu?"

   Jawab Siau-hong.

   "Ketika ditanya Siangkoan-cianpwe tadi bukankah kau telah menjawab tujuanku, mengapa sekarang kau malah tanya pula padaku?"

   "Aku cuma bilang aku sendiri akan pergi ke Kim-keh-nia dan tidak termasuk kau,"

   Ujar Pwe-eng.

   "Tapi yang ditanya Siangkoan-cianpwe adalah kita berdua,"

   Kata Siau- hong. Dengan wajah kemerah-merahan Pwe-eng berkata.

   "Memangnya kau ingin aku mengatakan urusan..... urusan kita kepadanya, kalau dia mendapat tahu tentu aku akan bingung menjelaskannya bilamana dia bertanya pula panjang lebar."

   Kok Siau-hong lantas memberi hormat dengan membungkuk tubuh dalam-dalam, katanya.

   "Pwe-eng, yang sudah-sudah itu memang salahku, aku berbuat keliru, membikin susah padamu, harap engkau sudi memberi maaf."

   Untuk pertama kali inilah Kok Siau-hong minta maaf kepada Han Pwe- eng secara resmi, betapa pun rasa harga diri si nona mendapatkan kepuasan, rasa dongkol dan penasaran yang tertimbun selama ini terlampiaskan seketika, sebagai gantinya hati Pwe-eng terasa bahagia.

   Namun dia sengaja menarik muka, dengan sikap dingin ia berkata.

   "Urusan yang sudah lalu tidak perlu kau ungkit-ungkit lagi. Soal kehidupan pribadi memang harus ditentukan oleh diri sendiri, kau tidak berbuat salah, juga tidak membikin susah padaku, tiada yang perlu dimaafkan segala."

   "Syukurlah jika dadamu begini lapang, tapi aku sendiri tetap merasa berdosa,"

   Ujar Siau-hong.

   "Sudahlah, kita bicara urusan yang penting saja,"

   Kata Pwe-eng dengan kereng.

   "Kau akan kemana jika tidak pulang?"

   "Sudah tentu pergi ke Kim-keh-nia bersama kau, masakah perlu ditanyakan pula?"

   Jawab Siau-hong.

   Pertanyaan Han Pwe-eng itu sebenarnya mengandung maksud pancingan belaka akan isi hati Kok Siau-hong, sebab rumah Siau-hong di Yang-ciu itu berdekatan dengan Pek-hoa-kok, tempat tinggal Hi Giok-kun, bilamana Siau- hong belum melupakan nona Hi itu, tentunya dia buru-buru ingin pulang untuk mencari tahu keadaan Giok-kun apakah benar-benar ikut Sin Liong- sing ke daerah Kang-lam atau tidak.

   Tapi dengan sungguh-sungguh dan jujur Kok Siau-hong lantas berkata pula.

   "Pwe-eng, izinkanlah aku menemani kau ke Kim-keh-nia. Apa yang sudah lalu anggaplah sudah mati. Marilah kita kita mulai lagi dengan yang baru."

   


Golok Kumala Hijau -- Gu Long Pendekar Kembar Karya Gan KL Pukulan Si Kuda Binal -- Gu Long

Cari Blog Ini