Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 14


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 14



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Hi Giok-hoan sendirian menjaga kamar, tanpa terasa malam sudah tiba, tapi belum nampak Kong-sun Bok berdua pulang.

   Diam-diam Giok-hoan merasa geli, ia anggap kedua muda-mudi itu sengaja menggunakan kesempatan berada berduaan untuk pesiar sepuas-puasnya sehingga melupakan teman yang menunggu di hotel.

   Dalam keadaan iseng, Giok-hoan coba mengambil payung mustika Kong- sun Bok itu untuk ditimang-timang.

   Sebelumnya ia pun sudah tahu payung itu adalah senjata pusaka, tapi ketika dipegang, rasa berat payung yang luar biasa itu membuatnya terheran-heran.

   Selagi Giok-hoan memandangi payung itu dengan melenggong, tiba-tiba terdengar suara mendesir, dari luar jendela menyambar masuk sepotong batu kecil dan tepat mengenai payung pusaka itu.

   Sebagai jago silat, secara otomatis Hi Giok-hoan menyampuk datangnya senjata rahasia itu dengan payung yang dipegangnya.

   Maka terdengarlah suara "tring"

   Nyaring, batu kecil itu hancur menjadi bubuk, sebaliknya tangan Giok-hoan juga tergetar hingga sakit pedas.

   "bluk", payung pusaka itupun terlepas dari cekalannya dan jatuh ke lantai. Bobot besi murni beberapa kali lebih berat daripada besi biasa, bahwa batu tadi hancur lebur terbentur payung pusaka itu tidaklah mengherankan, tapi sepotong batu kecil itu dapat membentur jatuh payung yang teramat berat yang terpegang di tangan Hi Giok-hoan, hal inilah yang tak pernah diduga olehnya. ERUAN Hi Giok-hoan terkejut, cepat ia pun melolos pedang. Maka terdengarlah suara seorang tua telah memuji.

   "Sungguh sebuah payung mestika yang hebat!"

   Suaranya begitu lirih, tapi terang, laksana orang bicara di tepi telinganya.

   Giok-hoan tahu cara orang bicara itu menggunakan semacam lwekang yang sangat tinggi yang disebut "Thoan-im-jip-bit? (penyiaran gelombang suara).

   Menyusul terdengar suara orang tua itu berkata pula.

   "Kau tidak perlu takut, jika aku mau mencelakai kau tentu sejak tadi sudah kukerjakan."

   Setelah tenangkan diri, Giok-hoan tahu apa yang dikatakan orang tua itu memang tidak dilebih-lebihkan, dengan air muka merah ia memasukkan pedang ke sarungnya, lalu jawabnya dengan suara tertahan.

   "Entah Lo- cianpwe manakah yang datang dan ada keperluan apa dengan diriku?"

   "Kau tidak perlu tanya siapa aku,"

   Terdengar suara orang tua itu.

   "apakah kau berani ikut aku pergi ke suatu tempat yang leluasa untuk bicara?"

   Nyata orang tua ini tidak mau bicara dengan dia di dalam hotel agar tidak didengar orang lain.

   Diam-diam Giok-hoan mengakui, bilamana orang tua itu bermaksud jahat tentu sudah dilakukannya tadi.

   Terdorong oleh rasa ingin tahu siapakah gerangan si orang tua, pula ia pun percaya orang tak bermaksud jahat, maka tanpa pikir lagi ia terus menerobos keluar melalui jendela dengan Ginkangnya yang tinggi, lalu melompat ke atas rumah.

   Di bawah pancaran sinar bulan yang remang-remang dilihatnya di arah barat-daya sana ada sebuah bayangan orang.

   Segera Hi Giok-hoan menyusul

   Jilid 15 K ke sana dengan gerakan Ginkang yang disebut "Pat-poh-kan-sian" (delapan langkah memburu tonggeret).

   Akan tetapi betapa cepat Ginkangnya ternyata tidak mampu menyusul orang di depan sana.

   Semakin dikejar semakin jauh jaraknya, yang tertampak di depan hanya segulung bayangan hijau yang meluncur secepat bola.

   Kejar mengejar dengan cepat, dalam waktu singkat mereka sudah sampai di luar kota, mereka sudah berada di suatu ladang sunyi yang tiada rumah penduduk.

   Di situlah orang di depan menghentikan langkahnya.

   Sesudah dekat dan memperhatikan, Giok-hoan melihat orang itu adalah seorang kakek berjubah hijau.

   Hi Giok-hoan memberi hormat lebih dulu, lalu berkata.

   "Lo-cianpwe hendak memberi petunjuk apa, dapatkah dibicarakan sekarang?"

   Orang tua jubah hijau itu tidak lantas menjawab, dia mengamat-amati Hi Giok-hoan sejenak, pikirnya dalam hati.

   "Wajahnya tidak mirip Kong-sun Ki, tampaknya lebih menyerupai ibunya."

   Kiranya orang tua ini adalah Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun, dia telah salah sangka Hi Giok-hoan sebagai putera Kong-sun Ki, yaitu Kong-sun Bok. Kemudian Kiong Cau-bun menjawab.

   "Bukankah ada seorang nona she Kiong berada bersama kau?"

   "Benar, apakah Lo-cianpwe ingin mencari dia?"

   Jawab Giok-hoan.

   "Sesudah ketemu kau sekarang, aku menjadi tidak perlu terburu-buru mencari dia,"

   Ujar si kakek.

   "Ada suatu urusan, aku ingin tanya lebih dulu padamu. Bukankah kalian bermaksud pergi ke Kim-keh-nia?"

   Giok-hoan tidak tahu kalau si kakek di hadapannya ini adalah ayah Kiong Kim-hun, ia mengira si kakek juga kaum pendekar, maka ia lantas menjawab terus terang.

   "Benar, kami memang hendak pergi ke Kim-keh-nia untuk menemui Liu Beng-cu."

   "Hm, tampaknya kau sangat kagum dan tunduk kepada Hong-lay-mo-li bukan?"

   Dengus Kiong Cau-bun. Dia paling sirik bila ada orang menghormati musuh besarnya itu. Giok-hoan rada heran melihat sikap si kakek, jawabnya.

   "Liu-lihiap adalah kesatria kaum wanita, pahlawan mana di dunia ini yang tidak kagum padanya?"

   Diam-diam Kiong Cau-bun mendongkol, pikirnya.

   "Bocah ini sedemikian kagum kepada Hong-lay-mo-li, mana aku dapat mengakui dia sebagai menantu? Bahkan siapa diriku juga tak dapat kukatakan padanya. Kabarnya bocah ini telah berguru juga kepada Kheng Ciau, padahal hubungan Kheng Ciau dengan Hong-lay-mo-li teramat erat, pantas sekarang dia hendak menggabungkan diri ke Kim-keh-nia. Kheng Ciau dan Hong-lay- mo-li adalah musuhku semua, bocah ini jelas berkiblat kepada mereka, kalau dibiarkan, kelak tentu akan menjadi bibit bencana bagiku."

   Berpikir sampai di sini, seketika timbul napsunya membunuh.

   Tujuan Kiong Cau-bun hendak mencari Kong-sun Bok bukan cuma persoalan perjodohan anak perempuannya saja, yang paling penting justru hendak mendapatkan "Tok-kang-pit-kip" (kitab pusaka ilmu racun) keluarga Siang.

   Hanya saja dia melulu mempunyai seorang anak perempuan, kebahagiaan anak perempuan satu-satunya itu betapa pun harus dipikirkan juga.

   Maka setelah berpikir sejenak, tiba-tiba ia bertanya pula.

   "Sekarang pertanyaan terakhir, kau harus bicara sejujurnya kepadaku, apakah kau sanggup?"

   "Selamanya Wanpwe tidak pernah berbohong,"

   Jawab Giok-hoan kurang senang.

   "Baik, jika begitu hendaklah bicara sejujurnya,"

   Kata Kiong Cau-bun.

   "Coba katakan, apakah kau suka kepada nona Kiong itu dan bermaksud menikahi dia dengan setulus hati?"

   Giok-hoan tercengang bingung akan pertanyaan yang tidak keruan juntrungannya itu. Tapi dia sudah menyanggupi akan menjawab terus terang, terpaksa ia berkata.

   "Pertanyaanmu ini hakikatnya tak pernah terpikir olehku. Aku dan nona Kiong hanya sahabat biasa saja dan tiada persoalan suka dan tidak suka, apalagi soal nikah segala."

   Jawaban Giok-hoan ini seketika melenyapkan rasa ragu-ragu Kiong Cau- bun, ia pikir kalau bocah ini tidak menyukai anak perempuanku, buat apa aku sungkan-sungkan padanya, biar kubunuh saja dia.

   Melihat perubahan air muka Kiong Cau-bun, Giok-hoan terkejut, tanyanya.

   "Apakah ada sesuatu yang tidak benar."

   "Tidak apa-apa,"

   Kata Kiong Cau-bun dengan nada dingin.

   "Coba kau sambut pukulanku ini!"

   Habis itu sebelah tangannya terus menghantam.

   Keruan tidak kepalang kejut Hi Giok-hoan, ia mengira si kakek cuma mencoba kepandaiannya saja, karena tidak sempat melolos pedang lagi, terpaksa ia menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya.

   Biarpun tenaga dalam Giok-hoan cukup kuat, tapi mana sanggup melawan Jit-sat-ciang yang terlatih selama berpuluh tahun oleh Kiong Cau- bun itu.

   Begitu kedua tangan Giok-hoan terbentur pukulan si kakek, kontan dia roboh tak ingat diri.

   Sekali hantam merobohkan Hi Giok-hoan, Kiong Cau-bun sendiri menjadi heran juga.

   Sebab ketika beradu tangan, segera ia merasa lawannya sama sekali tidak mahir ilmu racun dari keluarga Siang.

   Sebaliknya yang digunakan lawan mudanya itu justru adalah semacam lwekang yang positif, yang justru berlawanan dengan ilmu beracun keluarga Siang.

   Maka timbul pertanyaan dalam benak Kiong Cau-bun.

   "Apakah kitab pusaka ilmu racun keluarga Siang iu telah jatuh di tangan orang luar? Atau bocah ini hakikatnya bukanlah Kong-sun Bok?"

   Ia coba menggeledah baju Hi Giok-hoan, tapi tiada ditemukan sesuatu tanda pengenalnya, Kiong Cau-bun menjadi tambah curiga, maksudnya hendak membunuh lantas dibatalkan pula? Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh sayup-sayup terdengar suara seruling, menyusul terdengar pula suara suitan panjang yang sahut menyahut dengan suara seruling.

   Kiong Cau-bun sangat terkejut setelah mengenali suara suitan dan suara seruling itu, ia pikir jangan sekali-kali aku kepergok oleh kedua musuh sirikanku itu.

   Rupanya dari kekuatan suara-suara suitan dan seruling tadi dapat diketahuinya bahwa yang datang itu adalah Siau-go-kan-kun Hoa Kok-ham dan Bu-lim-thian-kiau Tam Ih-tiong.

   "Siau-go-kan-kun"

   Ho Kok-ham, si pendekar latah, ialah suami Hong-lay- mo-li Liu Jing-yau, ilmu silat Hoa Kok-ham bahkan lebih tinggi daripada istrinya.

   Sedangkan Bu-lim-thian-kiau Tam Ih-tiong terkenal sebagai jago nomor satu di negeri Kim, ilmu silatnya tidak lebih rendah daripada Siau-go- kan-kun.

   Kedua tokoh silat itu justru paling ditakuti oleh Kiong Cau-bun, satu lawan satu saja Kiong Cau-bun merasa tidak sanggup, apalagi kedua tokoh itu datang bersama sekaligus.

   Lantaran maksudnya membunuh Hi Giok-hoan sudah batal, kini mengetahui kedua musuh yang paling disiriki itu muncul di dekat situ, tentu saja lekas-lekas Kiong Cau-bun angkat langkah seribu alias kabur tanpa sempat memeriksa keadaan Hi Giok-hoan yang menggeletak tak berkutik itu.

   Sudah tentu apa yang terjadi itu tidak diketahui oleh Hi Giok-hoan, maka dia cuma bercerita pengalamannya bertemu dengan "si kakek berjubah hijau", lalu dia tunjuk Beng Ting dan berkata pula.

   "Sesudah aku jatuh pingsan terkena pukulan kakek jubah hijau, entah selang berapa lama, ketika aku membuka mata, tahu-tahu Kiong Kim-hun sudah berada di sampingku. Melihat gelagatnya nona itu sedang gelisah berusaha menyadarkan diriku. Dan tidak lama kemudian Beng Cong-piauthau juga datang. Apa yang terjadi selanjutnya telah diketahui oleh Beng Cong-piauthau dan tidak perlu kuceritakan lagi."

   Setelah mendengar kisah pengalaman Hi Giok-hoan, maka pahamlah Han Pwe-eng duduknya perkara. Dengan tertawa ia pun berkata.

   "Ayah Kiong Kim-hun tentunya keliru menyangka kau sebagai Kong-sun Bok."

   "Ya,"

   Kata Giok-hoan.

   "Waktu dia datang, kebetulan dia melihat aku sedang memegang payung wasiat milik Kong-sun Bok, pantas juga kalau dia salah paham. Hanya saja aku masih heran, mengapa dia hendak membunuh pula Kong-sun Bok?"

   "Aku pun tidak paham hal ini,"

   Kata Pwe-eng.

   "Namun dua hari yang lalu kami pun pernah kepergok iblis tua itu, dia juga tanya ini dan itu megenai Kong-sun Bok, kami bilang Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun sedang menuju ke Kim-keh-nia, tapi dia tidak percaya. Dari nada ucapannya, agaknya dia kurang senang terhadap Hong-lay-mo-li, malahan Kok-toako juga pernah merasakan serangannya."

   Diam-diam hati Hi Giok-hoan merasa tersinggung demi mendengar Han Pwe-eng menyebut Kok Siau-hong dengan "Kok-toako", sungguh tak terduga bahwa baru setahun mereka geger tentang pernikahan, sekarang mereka sudah begini mesra lagi.

   Maka dengan rasa kejut kemudian ia pun bertanya.

   "Sekarang berganti aku tanya kalian, apakah kalian mengetahui dimana beradanya Giok-kun?"

   Kok Siau-hong merasa serba susah, tapi akhirnya dia berkata.

   "Kami tidak ketemu dia, hanya mendengar sedikit beritanya. Menurut paman Toh Hok, agaknya dia sedang menuju ke Kang-lam."

   Siau-hong tidak ingin mengatakan urusan Hi Giok-kun dan Sin Liong- sing agar tidak menyinggung perasaan Giok-hoan.

   Ia pikir bila kesehatan Giok-hoan sudah pulih dan kembali ke Kim-keh-nia, di sana tentu dapat bertemu sendiri dengan Toh Hok dan biarkan pemuda itu tanya langsung saja kepada Toh Hok.

   Giok-hoan menyatakan rasa herannya akan kepergian Giok-kun ke Kang- lam, sebab di daerah Kang-lam tiada terdapat sanak famili atau sahabat, padahal adik perempuannya menyatakan akan pulang ke rumah ketika berpisah.

   Sementara itu hari sudah terang, Kok Siau-hong berkata pula.

   "Hi-toako, apakah engkau dapat berjalan, marilah kita berangkat ke Kim-keh-nia."

   Tapi Giok-hoan minta maaf tak dapat berangkat bersama ke Kim-keh-nia, dia ingin pulang dan istirahat saja di rumahnya sendiri. Han Pwe-eng dapat meraba perasaan Hi Giok-hoan, katanya.

   "Jika begitu kami pun tidak memaksa lagi, sesudah pulang, kelak Hi-toako dapat datang lagi ke Kim-keh-nia, kukira sama saja."

   "Ya, aku pasti akan datang pula ke sana,"

   Kata Giok-hoan.

   "Cuma kejadian di dunia ini sering di luar dugaan, bilakah aku dapat datang ke sana sukar bagiku untuk memastikannya."

   Kiranya Hi Giok-hoan tidak ingin berada bersama Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng, maka sengaja hendak menghindari mereka.

   Han Pwe-eng sendiri juga tahu secara diam-diam Hi Giok-hoan mencintainya.

   Yang tidak tahu hal ini hanya Kok Siau-hong saja seorang.

   Lalu Hi Giok-hoan berdiri dan coba menggerakkan tangan dan kakinya, ternyata sudah cukup kuat untuk berjalan, maka mereka lantas keluar bersama.

   Saat itu Kiau Siong-lian juga sudah selesai mengiringi Coh Tay- peng makan pagi.

   "Kiau Lo-cianpwe,"

   Kata Kok Siau-hong kepada orang tua itu.

   "Setelah peristiwa ini rasanya kau pun tak dapat menetap lagi di sini. Oh-hong-tocu adalah ayah Kiong Kim-hun, nona Kiong itu adalah sahabat kami dan kini sedang menuju ke Kim-keh-nia. Bagaimana kalau sekarang Kiau Lo-cianpwe juga ikut kami ke Kim-keh-nia. Di sana kau dapat mohon bantuan nona Kiong itu untuk menyelesaikan permusuhanmu dengan Oh-hong-tocu."

   "Sudah lama aku mengagumi nama kebesaran Liu Beng-cu dan suaminya Hoa-tayhiap, cuma sayang tidak sempat berkenalan dengan beliau-beliau itu, kini ada kesempatan baik ini, tentu saja jauh di luar harapanku, apalagi Kim- keh-nia dapat menjadi tempat perlindungan yang baik pula bagiku,"

   Kata Kiau Siong-lian.

   "Benar, dengan suami-istri Hoa-tayhiap dan Liu Beng-cu, biarpun tiga orang Oh-hong-tocu juga tidak berani mencari perkara ke sana,"

   Ujar Kok Siau-hong.

   Begitulah beramai-ramai mereka lantas berpisah dan menuju ke arah sendiri-sendiri, Beng Ting mengawal Hi Giok-hoan pulang ke Pek-hoa-kok, yang lain berangkat ke Kim-keh-nia.

   Tapi kejadian di dunia ini seringkali di luar dugaan manusia, kalau Kok Siau-hong mengira Kiong Kim-hun dan Kong-sun Bok pasti sudah sampai di Kim-keh-nia, siapa tahu sesungguhnya tidaklah demikian, sebab pada waktu Hi Giok-hoan mengalami nasib sial, hari itu pula Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun juga mengalami kejadian di luar dugaan, kini Kiong Kim- hun sendiri juga sedang mencari Kong-sun Bok.

   Pada waktu mula-mula Kiong Kim-hun kenal Kong-sun Bok sebenarnya dia tidak begitu menyukai pemuda itu, setelah bergaul sekian lama, ia merasa pemuda itu rada ketolol-tololan, kurang romantis, cuma kesederhanaannya, kepolosannya yang rada menyenangkan Kiong Kim-hun.

   Apalagi dalam hal ilmu silat memang Kong-sun Bok memiliki bakat yang jauh lebih tinggi dari orang lain, sedikit pun tidak kelihatan bodoh.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Maka sesudah lebih lama bergaul dengan pemuda itu, lambat laun si nona tertarik oleh sifat Kong-sun Bok yang ketolol-tololan tapi sesungguhnya maha cerdik.

   Seperti juga apa yang diduga oleh Hi Giok-hoan, sebabnya Kiong Kim- hun minta Kong-sun Bok mengiringi pergi berbelanja hanya sebagai alasan belaka agar sempat berada berduaan dengan pemuda itu.

   Sesudah belanja barang yang diperlukan dan membeli pula dua perangkat baju baru, di toko pakaian itu pula Kiong Kim-hun berganti pakaian.

   Nenek pemilik toko itu tidak habis memuji kecantikan Kiong Kim- hun setelah berpakaian baju baru itu.

   "Ah, nenek jangan mengolok-olok,"

   Omel Kiong Kim-hun, walau demikian mulutnya, tapi dalam hati tidak kepalang senangnya.

   Tiba-tiba hatinya tergerak, ia pikir dirinya sebenarnya ada ikatan perkawinan dengan Kongsun-toako, tapi sebegitu jauh pemuda itu belum tahu kalau dirinya adalah bakal istrinya, apakah kini perlu mencari jalan untuk memberitahukan soal ini kepadanya? Selagi merenung, saat itu mereka berlalu di depan sebuah restoran di tepi sungai yang bangunannya rada indah.

   Terendus bau harum arak, segera Kiong Kim-hun mengajak masuk ke restoran itu mengingat selama ini sudah bosan makan rangsum kering melulu.

   Semula Kong-sun Bok keberatan karena Hi Giok-hoan sedang menunggu sendirian di hotel, tapi Kiong Kim-hun mengusulkan akan membawakan sekotak makanan kepada Hi Giok-hoan.

   Akhirnya Kong-sun Bok menurut, cuma dia minta Kiong Kim-hun berjanji takkan minum arak hingga mabuk.

   Mereka lalu memasuki restoran itu dan memilih suatu tempat duduk yang dekat jendela, mereka memesan satu poci arak dan beberapa macam daharan.

   Memangnya mereka sudah lama tidak menikmati makanan enak, tentu saja mereka makan dengan lahap dan merasa makanan restoran kecil ini seakan-akan jauh lebih lezat daripada restoran besar yang lain.

   Pada zaman dinasti Song, menurut adat umum, wanita keluarga baik-baik jarang sekali keluar rumah, meski adat istiadat daerah utara jauh lebih longgar daripada daerah selatan, tapi seorang nona muda berani makan minum dengan bebas di restoran, betapa pun jarang terjadi.

   Karena itu Kiong Kim-hun rada menarik perhatian tetamu yang berada di situ.

   Kiong Kim-hun sendiri tidak ambil pusing, sebaliknya Kong-sun Bok yang merasa rikuh.

   Setelah menenggak dua-tiga cawan arak, pipi Kiong Kim-hun rada bersemu merah, sedikit banyak dia mulai terpengaruh oleh arak yang diminumnya, dia mulai memancing persoalan yang hendak dibicarakan dengan Kong-sun Bok.

   Katanya.

   "Kongsun-toako, kabarnya ayahmu sudah lama meninggal, sedang ibumu masih sehat saja, bukankah begitu?"

   "Ya, ibu dan dan beberapa temannya dari angkatan tua kini mondok di Kong-bing-si,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Apakah ibumu pernah membicarakan masa kecilmu dahulu?"

   Tanya Kim-hun pula.

   Berhubung mengetahui ayahnya adalah seorang gembong iblis yang terkenal jahat di masa lampau, maka terhadap masa kecilnya sendiri bagi Kong-sun Bok merupakan kenangan pahit belaka, karena itu ia pun mengerut kening atas pertanyaan Kiong Kim-hun tadi.

   Jawabnya kemudian.

   "Selamanya ibu tak pernah bicarakan hal itu dengan aku, aku sendiri pun tidak tega bertanya kepada beliau."

   "Sebab apa?"

   Tanya Kim-hun.

   "Kisah sedih di masa lalu perlu apa diungkit kembali?"

   Sahut Kong-sun Bok sambil menggabrukkan cawan araknya ke atas meja. Kiong Kim-hun melenggong, tukasnya.

   "Kisah sedih? O, ya, benar, maksudmu tidak ingin mengenang..... mengenangkan....."

   Sampai di sini dia tidak enak hati untuk menyebut "ayahmu"

   Agar tidak menyinggung perasaan Kong-sun Bok. Maka Kong-sun Bok lantas menyambung.

   "Jika kau sudah tahu, lebih baik tidak perlu diungkit lagi."

   "Tapi yang kumaksudkan adalah suatu urusan lain,"

   Ujar Kim-hun dengan tertawa.

   "Urusan apa maksudmu?"

   Kong-sun Bok menegas, diam-diam ia heran mengapa nona yang biasanya suka bicara blak-blakan ini sekarang berbicara secara sungkan-sungkan begini.

   "Begini, misalnya ada seseorang sanak familimu yang mempunyai hubungan erat dengan kau yang menarik bagimu?"

   Kata Kim-hun, dia sengaja putar kayun ini dan itu, tujuannya tiada lain daripada ingin tahu apakah Kong-sun Bok sendiri mengetahui atau tidak akan bakal istrinya yang dijodohkan oleh orang tua sejak kecil.

   Tapi sayang, Kong-sun Bok ternyata melongo bingung, ia anggap si nona terlalu banyak minum arak sehingga bicaranya melantur.

   Dengan tertawa ia lantas menjawab.

   "Hakikatnya aku tidak mempunyai sanak famili segala, sejak kecil aku hanya hidup berduaan dengan ibu, lain tidak."

   Bicara sampai di sini ia menjadi sedih sendiri sehingga tertawanya juga sangat hampa. Diam-diam Kiong Kim-hun menghela napas, pikirnya.

   "Tampaknya dia memang tidak tahu menahu tentang pertunangannya dengan diriku."

   Kemudian Kong-sun Bok berkata pula.

   "Hi-toako tentu sedang gelisah menantikan kita, marilah kita kembali ke hotel."

   "Belum cukup aku minum, memangnya kau masih kuatir aku akan mabuk?"

   Ujar Kim-hun. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar orang berteriak.

   "Copet, tangkap copet!"

   Kiranya seorang tamu di atas loteng restoran kecopetan dompet, agaknya cara kerja copet itu kurang mahir, begitu dompet sasarannya disambar seketika pula ketahuan yang empunya, saat itu copet yang sial itu sedang melarikan diri dengan dikejar beberapa orang tamu.

   Mendadak copet itu melemparkan dompet yang disambarnya itu sambil berseru.

   "Ini kukembalikan! Tidak perlu kalian kejar aku lagi!"

   Tiba-tiba Kiong Kim-hun juga berbangkit, katanya kepada Kong-sun Bok.

   "Kongsun-toako, harap kau bereskan rekening minum ini dan kembali dulu ke hotel, aku akan pergi sebentar dan segera kembali."

   Para tamu menjadi heran melihat seorang nona cantik ikut mengejar copet.

   Kong-sun Bok juga heran mengapa Kiong Kim-hun begitu iseng dan suka ikut campur urusan tetek-bengek.

   Tapi dia sendiri tak dapat ikut memburu ke sana, setelah dia bereskan rekening minum, sementara itu Kiong Kim-hun sudah menghilang.

   Dengan setengah menggerutu terpaksa Kong-sun Bok kembali sendirian ke hotel.

   Di luar dugaan, begitu dia masuk ke kamar, ternyata Hi Giok-hoan juga tidak kelihatan Iagi.

   Dalam pada itu tampak pemilik hotel telah masuk pula ke situ dengan sikap agak tegang.

   "Sebenarnya kalian ini asal darimana?"

   Tanya pemilik hotel itu kepada Kong-sun Bok.

   "Kawanmu she Hi itu sungguh luar biasa, tampaknya dia seakan-akan bisa terbang."

   Diam-diam Kong-sun Bok heran mengapa Hi Giok-hoan sengaja pamer Ginkang di dalam hotel. Maka dengan tertawa ia pun menjawab.

   "Ah, kawanku itu adalah anggota pengawal dari Hou-wi Piaukiok, dengan sendirinya dia mahir sedikit ilmu silat. Apakah kau melihat dia melompat keluar melalui wuwungan rumah?"

   "O, maaf, kiranya kalian adalah orang Hou-wi Piaukiok,"

   Kata si pemilik hotel, rupanya nama Hou-wi Piaukiok cukup terkenal di berbagai tempat.

   "Kawanmu she Hi itu tadi mengejar seorang, seperti burung saja dia melayang lewat wuwungan rumah, tapi tidak jelas siapa yang dikejarnya itu. Semula aku mengira..... he, he, tapi sekarang aku pun tidak sangsi lagi setelah mendengar keteranganmu."

   Setelah pemilik hotel pergi, Kong-sun Bok lantas menutup pintu kamar, dilihatnya payung pusakanya masih berada di dalam kamar, cuma di atas payung terdapat sedikit bubuk putih, yaitu bubuk batu yang hancur membentur payung pusaka itu.

   Kong-sun Bok menjadi serba sangsi, pikirnya.

   "Tampaknya Hi-toako telah bergebrak dengan orang yang dikejarnya itu dan orang itu pasti bukan pencuri biasa saja. Kejadian hari ini benar-benar sangat aneh, tanpa sebab Kim-hun mengejar copet, sekarang Hi-toako entah terpancing pergi oleh siapa? Apa boleh buat, terpaksa aku menunggu pulangnya mereka di sini. Dalam pada itu Kiong Kim-hun yang mengejar pencopet di restoran itu, setiba di tepi sungai yang sepi, segera Kim-hun membentak.

   "Thio Kiong, lekas berhenti, memangnya kau hendak lari kemana lagi?"

   Maka pencopet itupun menghentikan langkahnya dan berpaling, dengan tertawa ia menjawab.

   "Harap Sio-cia sudi memberi maaf."

   "Thio Kiong, kenapa kau sekarang menjadi copet?"

   Omel Kiong Kim- hun. Kiranya Thio Kiong ini adalah seorang budak kepercayaan ayahnya. Maka dengan tertawa Thio Kiong menjawab pula.

   "Jika tidak berbuat begini mana dapat memancing Sio-cia ke sini."

   "Untuk keperluan apa kau memancing aku ke sini? Apakah ayahku telah datang?"

   Tanya Kim-hun.

   "Ya, To-cu sudah datang,"

   Jawab Thio Kiong. Kim-hun terkejut dan bergirang pula, katanya.

   "Dimana ayah saat ini, bawalah aku untuk menemuinya."

   "Sio-cia, siapakah pemuda yang minum arak bersama engkau tadi?"

   Tanya Thio Kiong.

   "Peduli apa kau tanya siapa dia?"

   Omel Kim-hun.

   "Apakah dia adalah tuan menantu kita Kong-sun Bok?"

   Thio menegas.

   "Sio-cia, ketahuilah bahwa kedatangan To-cu ke sini justru hendak mencari dia."

   Wajah Kim-hun menjadi merah, katanya.

   "Dia sendiri belum tahu siapakah diriku. Maka jangan kau sembarangan memanggil tuan menantu segala. Tapi apakah ayah sudah tahu aku berada bersama dia, mengapa beliau tidak datang ke sini bersama kau?"

   "Mana To-cu dapat mengetahui kalian sedang minum arak di sana,"

   Ujar Thio Kiong dengan tertawa.

   "maka beliau suruh aku mencari kalian ke sana sini, To-cu sendiri juga mencari kalian ke beberapa hotel di kota ini."

   "Baiklah, aku kembali ke hotel saja untuk menunggu ayah,"

   Kata Kim- hun.

   "Nanti dulu, Sio-cia,"

   Kata Thio Kiong.

   "Dari Hong-ho-ngo-pa ayahmu mendapat tahu kau telah bertemu dengan Koh-ya (tuan menantu), tapi entah darimana pula To-cu mendapat kabar bahwa Koh-ya dan Sio-cia hendak pergi ke Kim-keh-nia, karena itu sepanjang jalan To-cu kelihatan uring- uringan, maka ingin kuberitahukan kepada Sio-cia agar jangan menemui To- cu dahulu, biarkan beliau menyelesaikan persoalannya dengan Koh-ya baru nanti Sio-cia menemuinya."

   "Baiklah, terima kasih atas pemberitahuanmu ini, tapi aku harus lekas kembali ke hotel sekarang,"

   Kata Kim-hun.

   Habis itu tanpa urus Thio Kiong lagi segera ia kembali ke hotel.

   Soalnya dia kuatir Kong-sun Bok yang sudah kembali ke hotel lebih dulu itu akan dipergoki oleh ayahnya.

   Ternyata Kong-sun Bok sedang gelisah menunggu, ia menjadi girang melihat si nona sudah datang, katanya dengan tertawa.

   "Kau benar-benar nona yang suka iseng, apakah copet itu telah kau tangkap?"

   "Jangan urus tentang copet itu, ingin kutanya kau, apakah setiba di sini kau memergoki seseorang?"

   "Tidak ada,"

   Jawab Kong-sun Bok.

   "Kukira Hi-toako yang memergoki seseorang entah siapa dan sekarang telah mengejarnya. Coba lihat payungku ini, agaknya kena tertimpuk oleh sepotong batu yang disambitkan orang itu."

   Dalam hati Kiong Kim-hun paham orang yang dimaksud itu pasti ayahnya, agaknya ayah tidak menemukan engkoh Bok, tapi salah sangka Hi- toako sebagai engkoh Bok.

   Demikian pikirnya.

   Sudah tentu Kim-hun tidak leluasa untuk menjelaskan persoalannya, katanya kemudian.

   "Baiklah, hendaklah kau berjaga pula di sini, biar kupergi mencari Hi-toako."

   Kong-sun Bok ingin ikut pergi, tapi Kiong Kim-hun melarangnya.

   Tentu saja Kong-sun Bok merasa bingung, terpaksa ia menurut dan menunggu pula di hotel.

   Karena kota kecil itu hanya ada sebuah jalan umum yang menuju keluar kota, maka tanpa susah Kiong Kim-hun dapat menemukan Hi Giok-hoan yang menggeletak di tepi jalan.

   Keruan tidak kepalang kaget Kiong Kim-hun, cepat ia membangunkan Hi Giok-hoan dan tanya keadaannya dan siapa yang telah mencelakainya? Setelah dilukai oleh pukulan Jit-sat-ciang, Hi Giok-hoan masih berada dalam keadaan setengah sadar, ketika mendengar ada orang bicara, perlahan- lahan ia membuka mata dan lapat-lapat dapat mengenali Kiong Kim-hun, namun begitu, mulutnya ternyata berat untuk membuka suara.

   Sesungguhnya Kiong Kim-hun juga sudah tahu kalau pemuda itu terluka oleh Jit-sat-ciang hal ini tertampak jelas pada dahi Hi Giok-hoan yang bersemu hitam.

   Maksud pertanyaan Kiong Kim-hun hanya mengharapkan luka pemuda itu tidak parah dan sanggup bicara menjawabnya.

   Kini melihat keadaan Hi Giok-hoan ternyata sangat parah, hati Kiong Kim-hun menjadi kuatir.

   Meski Kim-hun juga berlatih Jit-sat-ciang, tapi lantaran kekuatannya selisih jauh dengan sang ayah, betapa pun dia tidak sanggup mengobati Hi Giok-hoan.

   Di samping cemas melihat keadaan Hi Giok-hoan, kini Kiong Kim-hun bertambah kuatir pula bagi Kong-sun Bok.

   Dari keadaan Hi Giok-hoan itu, nyata apa yang dikatakan Thio Kiong itu memang tidak keliru, jelas ayahnya berniat membinasakan Kong-sun Bok.

   Kim-hun menjadi serba susah.

   Jika sekarang dia memburu kembali ke hotel dan suruh Kong-sun Bok lekas bersembunyi, tapi bagaimana dengan keadaan Hi Giok-hoan yang payah ini, mana dia tega meninggalkannya begini saja.

   Pada saat itulah tiba-tiba terlihat dari sana sedang mendatangi dengan cepat seekor kuda putih, penunggangnya adalah seorang perempuan.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ketika Kiong Kim-hun berpaling, ia merasa pernah kenal perempuan itu, hanya seketika tidak teringat dimana pernah melihatnya.

   Apalagi perempuan itu melarikan kudanya secepat terbang, hanya dalam sekejap saja sudah lewat di depannya untuk kemudian menghilang di kejauhan.

   Kiong Kim-hun menjadi lebih masgul karena sukar minta bantuan orang, untunglah tiba-tiba seorang penunggang kuda tampak datang pula dengan cepat, penunggang kuda adalah seorang laki-laki brewok.

   Begitu melihat mereka, segera laki-laki brewok itu melompat turun dari kudanya dan berseru.

   "He, bukankah ini Hi-kongcu?"

   Hi Giok-hoan mengangguk lemah, Kiong Kim-hun juga sangat girang.

   Setelah mengetahui laki-laki brewok itu adalah Beng Ting, Cong-piauthau Hou-wi Piaukiok, segera Kim-hun menyerahkan satu renteng kalung mutiara sebagai biaya pengawalan agar Beng Ting mengantar pulang Hi Giok-hoan ke Pek-hoa-kok, ia sendiri tanpa banyak bicara terus kembali ke hotelnya di dalam kota.

   Dalam pada itu Kongsun Bok sedang gelisah menunggu di kamar hotel, ketika terdengar ada orang mengetok pintu perlahan, dengan girang ia berseru.

   "Kau sudah kembali, Kim-hun?" ~ Waktu dia membuka pintu, terlihat seorang wanita tak dikenal melangkah masuk. Keruan Kong-sun Bok melenggong, segera ia bertanya.

   "Siapa kau?"

   Wanita itu tersenyum, jawabnya.

   "Kau jangan urus siapa diriku, kau sendiri bernama Kong-sun Bok bukan?"

   "Benar, ada urusan apakah nona?"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Kalau benar kau Kong-sun Bok adanya, maka lekas kau pergi dari sini dan tidak perlu tanya ini dan itu lagi,"

   Ujar wanita muda itu. Kong-sun Bok merasa bingung, sudah tentu ia tak dapat tinggal diam dan ingin tahu lebih jelas persoalannya. Wanita itu berkata pula dengan tak sabar.

   "Sudahlah, jangan kau banyak tanya pula, memangnya kau tidak tahu bahwa ayah mertuamu hendak membunuh kau?"

   Keruan Kong-sun Bok terkejut dan terheran-heran pula, katanya.

   "Ayah mertuaku? Darimana datangnya ayah mertua bagiku?"

   Kini berganti wanita itu yang terheran-heran, dia mengamat-amati Kong- sun Bok sejenak, lalu berkata.

   "Tadi aku mengira yang datang adalah Kiong Kim-hun, tentunya kau sudah bersama dia dan sedang menantikan kembalinya bukan?"

   "Ya, ada apa lagi?"

   Jawab Kong-sun Bok.

   "Sangkut-paut dirimu dengan nona Kiong sudah lama kuketahui, tidak perlu lagi kau mendustai aku,"

   Ujar wanita itu dengan tertawa. Kong-sun Bok sangat mendongkol, katanya pula.

   "Sangkut-paut apa maksudmu? Hendaklah kau jangan bikin gara-gara, kau ingin bicara apa boleh silakan bicara terang-terangan saja!"

   "Hm, kau masih pura-pura bodoh?"

   Jengek wanita itu.

   "Kiong Kim-hun adalah bakal istrimu bukan?"

   Dengan sungguh-sungguh Kong-sun Bok menjawab.

   "Janganlah nona berkelakar, Kiong Kim-hun hanya temanku saja, bila kau mau mencari dia boleh tunggu lagi sebentar."

   Ia anggap wanita itu tentunya teman baik Kiong Kim-hun yang salah paham karena melihat mereka berada bersama. Tiba-tiba wanita itu bergelak tertawa dan berkata pula.

   "Ha, ha, tahulah aku sekarang, rupanya Kiong Kim-hun belum memberitahukan duduk perkara sebenarnya kepadamu."

   "Duduk perkara sebenarnya tentang apa?"

   Kong-sun Bok menegas.

   "Ayah kalian adalah sahabat karib, maka sejak kecil kalian telah dipertunangkan,"

   Tutur wanita itu.

   "Tatkala itu kau baru berumur genap satu tahun, sedang Kiong Kim-hun baru saja dilahirkan. Setelah terjadi huru-hara di Siang-keh-po, bakal ayah mertuamu itu melarikan diri keluar lautan, agaknya selama ini kalian telah putus hubungan sehingga kau tidak mengetahui urusan dirimu ini."

   Sudah tentu Kong-sun Bok masih tidak percaya, katanya.

   "Nona, selamanya kita tidak kenal, darimana kau mendapat tahu akan urusan pribadiku?"

   "Terlalu panjang untuk kubicarakan,"

   Kata wanita itu.

   "Yang penting sekarang lekas kau melarikan diri, kalau tidak, mungkin akan terlambat."

   "Baik, seumpama ceritamu benar, lalu mengapa ayah mertuaku sendiri hendak membunuh aku pula?"

   Tanya Kong-sun Bok.

   "Jika kau tetap tidak percaya omonganku, nanti kau boleh tanya kepada Hong-lay-mo-li bila sudah berada di Kim-keh-nia,"

   Jawab wanita itu.

   "Rasanya Kim-hun takkan kembali lagi ke sini, kau pun jangan sekali-kali berangkat bersama dia, lekas kau pergi saja, aku tidak sempat banyak omong lagi dengan kau."

   Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa mempedulikan Kong-sun Bok pula.

   "Nanti dulu,"

   Seru Kong-sun Bok.

   "Siapakah nama ayah nona Kiong, coba katakan!"

   "Apakah kau hendak menguji diriku?"

   Sahut wanita itu dari kejauhan.

   "Ayah mertuamu adalah Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun dengan ilmunya yang khas Jit-sat-ciang. Nah, sudah puas kau sekarang? Oya, perlu kuperingatkan pula kepadamu, bila kau berangkat ke Kim-keh-nia, sebaiknya kau mengambil jalanan kecil saja, sebab Oh-hong-tocu tentu akan menghadang kau di jalan besar sana."

   Wanita itu menggunakan ilmu "gelombang suara"

   Untuk menjawabnya, maka setelah mengucapkan kata-katanya itu orangnya pun sudah menghilang dari pandangan.

   Diam-diam Kong-sun Bok mengakui kehebatan wanita muda itu, padahal usianya selisih tidak banyak daripada Kiong Kim-hun, namun lwekang dan Ginkangnya ternyata sedemikian hebat.

   Sebenarnya dia meragukan apa yang dikatakan wanita itu, tapi kini dia menjadi rada sangsi, sebab apa yang dikatakan mengenai diri Kiong Kim- hun ternyata betul, peristiwa di Siang-keh-po dahulu juga diketahuinya.

   Apalagi maksud kepergiannya ke Kim-keh-nia juga diketahui oleh wanita itu? Selagi Kong-sun Bok merasa bimbang, tiba-tiba terdengar suara seruling yang berkumandang dari jauh, menyusul terdengar pula suara suitan panjang dari arah lain yang sayup-sayup sahut menyahut dengan suara seruling.

   Mendengar suara seruling dan suara suitan panjang itu, seketika semangat Kong-sun Bok terbangkit, girangnya luar biasa, pikirnya.

   "Kiranya Hoa-sioksiok dan Tam-sioksiok juga sudah datang semua, maka tidak perlu lagi ke Kim-keh-nia, sebentar lagi aku pun dapat membuktikan apakah ucapan wanita tadi benar atau dusta."

   Siau-go-kan-kun Hoa Kok-ham dan Bu-lim-thian-kiau Tam Ih-tiong sering bertemu ke Kong-bing-si, biara yang menjadi tempat kediaman kakek luar Kong-sun Bok, dengan sendirinya Kong-sun Bok kenal baik kedua tokoh persilatan itu, ia yakin mereka tentu pula kenal baik seluk-beluk rumah tangga ayah-bundanya dahulu.

   Begitu Kong-sun Bok lantas membawa payung pusakanya dan berlari menuju ke arah suara seruling dan suitan itu, setelah memberi pesan kepada pemilik hotel bilamana kawannya kembali supaya menyuruh berangkat ke tempat yang dituju menurut rencana.

   Setiba di luar kota, benar juga Kong-sun Bok dapat menemukan Siau-go- kan-kun dan Bu-lim-thian-kiau.

   Kedua tokoh itupun sangat girang melihat Kong-sun Bok, Siau-go-kan- kun Hoa Kok-ham berkata.

   "Kabarnya kau mengawal perbekalan bagi Gi- kun di tengah jalan terjadi halangan, aku sedang berkuatir bagimu, nyatanya kau malah berada di sini?"

   "Hoa-sioksiok, apakah engkau telah pergi ke Lok-yang?"

   Tanya Kong-sun Bok.

   "Sebenarnya aku hendak pergi mencari Liok Pang-cu, tapi Lok-yang sudah diduduki orang Mongol dan markas cabang Kay-pang sudah pindah, dengan sendirinya aku batalkan maksudku ke sana,"

   Jawab Siau-go-kan-kun.

   "Di Ci-lo-san aku ketemu Bong Koat, pemimpin laskar rakyat di sana, dia juga yang memberitahukan padaku tentang terbegalnya pengawalan kalian di tengah jalan itu."

   "Tapi sekarang partai harta karun itu sudah kami rebut kembali dan telah dikirim ke Ki-lian-san,"

   Sambung Bu-lim-thian-kiau Tam Ih-tiong.

   "Waktu perebutan harta karun itu kebetulan kupergoki seorang kawanmu yang bernama Kok Siau-hong, dia bilang kau bermaksud pergi ke Kim-keh-nia, betul tidak?"

   Mendengar Kok Siau-hong sudah lolos dari bahaya, Kong-sun Bok sangat girang, jawabnya.

   "Benar, dan kedua paman sekarang juga akan pulang ke Kim-keh-nia bukan?"

   "Hoa-sioksiokmu mengajak aku ke Ki-lian-san dulu dan mungkin setengah tahun kemudian baru dapat pulang ke Kim-keh-nia,"

   Kata Siau-go- kan-kun.

   "Maka bila kau bertemu bibimu, sampaikan juga kepergianku ini kepadanya."

   Istri Siau-go-kan-kun, Hong-lay-mo-li Liu Jing-yau, adalah anak angkat kakek Kong-sun Bok, yaitu Kong-sun In, maka biasanya Kong-sun Bok memanggil Hong-lay-mo-li sebagai bibi.

   "Oya, menurut cerita Kok Siau-hong, katanya Hi Giok-hoan dari Pek-hoa- kok membobol kepungan musuh bersama kau, apakah dia juga berada bersama kau sekarang?"

   Tanya Bu-lim-thian-kiau.

   "Tadinya dia memang tinggal di suatu hotel bersamaku, tapi sekarang telah menghilang,"

   Tutur Kong-sun Bok.

   "Mengapa menghilang?"

   Tanya Bu-lim-thian-kiau heran. Ketika melihat sikap Kong-sun Bok rada kikuk-kikuk, segera ia menambahkan.

   "Tampaknya kau mengalami sesuatu, tiada halangannya bila kau bicara terus terang kepada kami."

   Terpaksa Kong-sun Bok menjawab dengan kikuk.

   "Ya, aku memang ketemukan sesuatu kejadian aneh. Tolong tanya kedua paman, Oh-hong- tocu Kiong Cau-bun sebenarnya orang macam apa?"

   "Untuk apa kau tanya Oh-hong-tocu segala?"

   Jawab Siau-go-kan-kun dengan rada melenggong.

   "Sebab ada seorang mengatakan bahwa bahwa Oh-hong-tocu ada ada sedikit hubungan dengan diriku, maka aku ingin tahu duduk perkara yang sebenarnya,"

   Tutur Kong-sun Bok dengan muka merah. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Bu-lim-thian-kiau menjawab.

   "Sebenarnya ibumu tidak ingin kau mengetahui persoalan ini, tapi sekarang sudah ada orang lain yang memberitahukan padamu, jika kami tidak menjelaskan padamu tentu kau akan tambah bingung. Maka bolehlah kuberitahukan padamu, Oh-hong-tocu Kiong Cau-bun itu sebenarnya adalah ayah mertuamu."

   "Aneh, mengapa selama ini ibu tidak pernah memberitahukan padaku?"

   Kata Kong-sun Bok dengan terperanjat.

   "Soalnya Oh-hong-tocu adalah orang jahat, perjodohanmu ini ditetapkan oleh ayahmu ketika kau baru berusia satu tahun,"

   Tutur Bu-lim-thian-kiau.

   "Ibumu sendiri tidak setuju perjodohanmu ini, maka dia sengaja tidak memberitahukan padamu."

   Kong-sun Bok termenung sejenak, teringat olehnya tindak-tanduk Kiong Kim-hun yang mencurigakan itu dan sekarang baru dipahami sebab- musababnya. Pikirnya.

   "Pantas berulang Kim-hun membicarakan ayahnya kepadaku, di restoran tadi ia pun bicara pula hal itu, rupanya dia sengaja hendak memancing pandanganku apakah aku tahu atau tidak akan perjodohanku dengan dia sejak kecil itu."

   Lalu terpikir pula olehnya.

   "Apa yang dikatakan wanita muda tak kukenal itu ternyata benar, tapi untuk apakah dia sengaja datang padaku dan memberitahukan hal ini kepadaku?"

   Tiba-tiba terdengar Siau-go-kan-kun bertanya kepadanya.

   "Siapakah yang memberitahukan soal perjodohanmu itu?"

   "Seorang nona muda yang tak kukenal,"

   Jawab Kong-sun Bok, lalu ia pun menuturkan apa yang diucapkan wanita itu.

   "Hampir semua tokoh persilatan angkatan tua telah kami kenal, tapi asal- usul wanita muda itu sukar diterka,"

   Ujar Siau-go-kan-kun.

   "Tapi menurut ceritamu, agaknya dia bermaksud baik kepadamu."

   "Dia bilang Oh-hong-tocu sudah datang ke sini dan hendak membunuh kau, hal ini lebih baik mempercayainya daripada tidak,"

   Sambung Bu-lim- thian-kiau.

   "Maka boleh kau ikut kami berangkat saja."

   "Hi-toako belum diketahui kemana perginya, mana boleh kutinggalkan begini saja?"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Mungkin Hi Giok-hoan telah kepergok Oh-hong-tocu,"

   Kata Siau-go- kan-kun.

   "Tam-heng, kalau benar Oh-hong-tocu berada di sini, kebetulan bagi kita untuk membereskan dia!"

   Kong-sun Bok menjadi kuatir, ia pikir Kim-hun adalah seorang nona yang baik, kalau ayahnya terbunuh oleh kedua tokoh puncak persilatan ini rasanya tidak enak terhadap nona itu. Maka ia lantas berkata.

   "Selama duapuluhan tahun Oh-hong-tocu telah mengasingkan diri, andaikan di masa lalu dia berbuat jahat rasanya juga dapat mengampuni jiwanya."

   "Ha, ha, kau hendak mintakan ampun bagi ayah mertuamu bukan?"

   Kata Siau-go-kan-kun dengan tertawa. Tapi segera ia menyambung pula dengan sikap tegas.

   "Ibumu jelas tidak menginginkan perjodohanmu ini, maka kau pun tidak perlu anggap lagi Oh-hong-tocu sebagai mertua."

   Muka Kong-sun Bok menjadi merah, katanya.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, berbuat bajik bagi orang lain memang pantas. Baiklah, dimana kami menemukan Oh-hong- tocu, lihat saja nanti apakah dia sudah mengubah kelakuannya atau tidak, tatkala itu akan kami tentukan harus membunuh dia atau tidak."

   Begitulah mereka bertiga lantas mencari sekeliling kota kecil itu dengan Ginkang yang tinggi.

   Namun Oh-hong-tocu sudah pergi, dengan sendirinya tak dapat ditemukan.

   Walaupun begitu jejak Hi Giok-hoan didapatkan kabarnya dari seorang petani yang menjual kereta keledai kepada Beng Ting yang mengawal Hi Giok-hoan itu.

   "Kalau Hi Giok-hoan diantar pulang oleh Beng Ting, maka kau pun tidak perlu kuatir lagi,"

   Kata Siau-go-kan-kun kepada Kong-sun Bok.

   "Dan sekarang kau hendak pergi ke Kim-keh-nia atau tetap ikut bersama kami?"

   Kong-sun Bok paham maksudnya, jika berangkat bersama mereka berarti tidak perlu gentar lagi kepada Oh-hong-tocu. Tapi dia lantas menjawab.

   "Aku sudah berjanji dengan Hi-toako untuk bertemu di Kim-keh-nia. Maka mohon maaf bila aku tak dapat ikut kepada kedua paman."

   Siau-go-kan-kun manggut-manggut, katanya.

   "Baiklah, orang persilatan kita paling mengutamakan janji dan setia kawan, jika begitu kami pun tidak memaksa kau."

   "Orang muda sukar jadi orang berguna bilamana tidak pernah menghadapi bahaya dan mengalami gemblengan,"

   Ujar Bu-lim-thian-kiau.

   "Namun Oh-hong-tocu sesungguhnya memang lihai, kabarnya selama mengasingkan diri duapuluhan tahun dia sudah berhasil meyakinkan Jit-sat- ciang yang hebat. Aku dan Hoa-sioksiokmu bila satu lawan satu rasanya juga sukar mengalahkan dia. Kau sendiri sejak kecil telah mendapatkan ajaran lwekang murni dari tiga maha guru ilmu silat zaman ini, kukira Jit-sat-ciang Oh-hong-tocu sukar menewaskan kau, yang jelas kau pasti bukan tandingannya dan dapat dilukai olehnya. Karena itu bila tidak terpaksa sebaiknya kau menghindari dia saja. Kalau dia sudah mengetahui kau hendak pergi ke Kim-keh-nia, kukira dia akan mencegat kau di tengah jalan, maka kau harus memilih jalanan kecil meski harus berputar lebih jauh."

   Usul Bu-lim-thian-kiau ternyata cocok dengan anjuran wanita muda itu.

   Setelah Bu-lim-thian-kiau dan Siau-go-kan-kun pergi, pikiran Kong-sun Bok menjadi kusut.

   Kiranya maksud kepergiannya ke Kim-keh-nia tampaknya demi janjinya dengan Hi Giok-hoan, tapi tujuan sesungguhnya adalah demi Kiong Kim- hun.

   Dia tidak perlu kuatir akan Hi Giok-hoan lagi, tapi dia tak dapat ingkar janji dengan Kiong Kim-hun yang sedang menunggunya itu.

   Pikirnya.

   "Selama hidup ibu telah tersiksa oleh perbuatan ayah, dengan sendirinya ibu sangat benci kepada teman-teman ayah yang busuk itu. Akan tetapi Kim-hun adalah seorang nona yang baik, mana dapat membandingkan ayahnya dengan dia? Tapi kalau ibu tidak menyetujui perjodohanku ini, mana boleh pula aku membangkang maksud ibu?"

   Begitulah pikiran Kong-sun Bok menjadi kusut dan gundah, tiba-tiba terpikir pula olehnya.

   "Bukankah waktu hidup ayah juga terkenal sebagai gembong iblis yang jahat? Jika lantaran itu orang lain memandang hina padanya, lalu bagaimana diriku? Apa yang aku tidak mau janganlah kulakukan terhadap orang lain."

   Teringat kepada filsafat ajaran Nabi Khongcu itu, akhirnya Kong-sun Bok mengambil keputusan akan tetap menganggap Kiong Kim-hun sebagai teman baik sekali pun perjodohannya harus dibatalkan.

   Betapa pun aku tidak boleh ingkar janji padanya, demikian tekadnya.

   Ia pikir kalau Kiong Kim-hun menyusulnya ke Kim-keh-nia tentu akan lewat jalan besar, padahal Bu-lim-thian-kiau menganjurkan dia mengambil jalanan kecil untuk menghindari Oh-hong-tocu.

   Akhirnya Kong-sun Bok menunggu Kim-hun di simpang jalan besar yang menuju ke Kim-keh-nia, ia pikir kalau kedua orang sudah bergabung baru akan melanjutkan perjalanan melalui jalan kecil.

   Siapa tahu ditunggu sampai esok paginya bayangan Kiong Kim-hun masih tidak kelihatan.

   Kiranya pada waktu Kong-sun Bok bertemu dengan Bu-lim-thian-kiau dan Siau-go-kan-kun, pada saat yang sama Kiong Kim-hun telah kembali di hotel dan sudah tentu tidak dapat bertemu lagi dengan Kong-sun Bok.

   Dari pemilik hotel Kiong Kim-hun mendapat tahu pesan Kong-sun Bok yang menyuruhnya tetap menuju ke tempat yang hendak dituju, tentunya yang dimaksud adalah Kim-keh-nia.

   Ketika Kim-hun mendesak lebih jauh, dari juragan hotel itu diketahui pula bahwa Kong-sun Bok berangkat menyusul seorang wanita muda, menurut keterangan juragan hotel itu, dapatlah Kiong Kim-hun menduga siapa adanya wanita muda itu, yaitu wanita penunggang kuda yang lalu dengan cepat ketika dia sedang menolong Hi Giok-hoan di tepi jalan tadi.

   Ketika itu Kim-hun merasa pernah kenal wanita muda penunggang kuda itu, kini telah dipikir lagi dengan tenang, akhirnya dia ingat siapa gerangan wanita muda itu.

   "Ya, dia pasti enci Le dari Beng-sia-to,"

   Demikian pikirnya.

   Beng-sia-to yang dimaksud adalah sebuah pulau kecil di lautan timur, letaknya berdekatan dengan Oh-hong-to tempat kediaman Kiong Kim-hun dan ayahnya.

   Kepala pulau Beng-sia-to itu bernama Le Kim-liong adalah sahabat baik Oh-hong-tocu.

   Dari ayahnya pernah Kim-hun mendengar bahwa ilmu silat Beng-sia-tocu tinggi luar biasa dan sukar diukur, bahwa berhasilnya Jit-sat-ciang diyakinkan sang ayah banyak pula mendapat bantuan dari Le Kim-liong.

   Le Kim-liong juga mempunyai seorang puteri tunggal kesayangan, namanya Le Say-eng.

   Hanya satu kali saja Le Say-eng pernah ikut ayahnya berkunjung ke Oh-hong-to, itupun sudah lima tahun yang lampau.

   Kim-hun dan Le Say-eng sama umurnya, tahun itu mereka sama-sama berumur lima belas, mereka cuma berkumpul selama tiga hari saja, lalu berpisah.

   Sebab itulah ketika Le Say-eng melarikan kudanya lewat dengan cepat, sekilas Kiong Kim-hun tidak mengenalnya.

   Sebaliknya ia pun heran mengapa Le Say-eng tidak berhenti untuk menemuinya, apakah mungkin nona itupun pangling padanya? Sesudah tahu nona itu adalah Le Say-eng, lalu Kim-hun menimbang- nimbang pula.

   "Tentunya enci Le mengetahui kedatangan ayahku ke sini, maka dia sengaja datang buat memperingatkan Kongsun-toako agar lekas lari. Enci adalah nona yang cerdik, tentu dia menganjurkan Kongsun-toako mengambil jalanan kecil."

   Lantaran pikiran inilah maka ia lantas menyusul melalui jalan kecil sehingga selisih jalan dengan Kong-sun Bok.

   Dalam pada itu Kong-sun Bok menjadi gelisah karena sampai pagi tidak tertampak bayangan Kiong Kim-hun.

   Untuk mengetahui kepastiannya, segera dia kembali ke hotel di dalam kota.

   Tapi dari pemilik hotel diperoleh keterangan bahwa Kim-hun sudah pulang ke hotel dan segera berangkat lagi sesudah menerima pesan Kong-sun Bok itu.

   Dari keterangan itu Kong-sun Bok menarik kesimpulan tentunya Kiong Kim-hun menyusulnya ke Kim-keh-nia dengan menempuh jalan besar.

   Menurut perhitungannya Kiong Kim-hun sedikitnya sudah dua-tiga jam berangkat lebih dulu, kuatir tak dapat menyusulnya, setelah berada di luar kota segera Kong-sun Bok mengeluarkan Ginkangnya yang tinggi.

   Tentu saja larinya yang cepat luar biasa itu sangat menarik perhatian orang yang berlalu lalang, namun Kong-sun Bok tidak ambil pusing lagi.

   Sekaligus Kong-sun Bok berlari hampir dua jam lamanya, sepanjang jalan tetap tidak menemukan jejak Kiong Kim-hun, biarpun tenaga dalam Kong-sun Bok sangat kuat, setelah lari sekian lamanya ia pun merasa rada letih dan mandi keringat.

   Tengah dia berlari dengan cepat, sekonyong-konyong dia melihat berkelebatnya bayangan seorang perempuan ke dalam hutan di tepi jalan.

   Kong-sun Bok melengak, tanpa terasa ia pun berhenti.

   Kiranya wanita itu bukan lain daripada Le Say-eng yang datang ke hotel menyuruhnya lekas lari menghindari Oh-hong-tocu itu.

   "He, kiranya kau, mengapa kau masih berada di sini?"

   Sapa Kong-sun Bok setelah melihat jelas siapa orangnya. Le Say-eng lantas keluar dari tempat sembunyinya dan balas menyapa dengan nada yang sama.

   "He, kiranya kau? Mengapa kau tidak menurut nasehatku?"

   "Kau melalui jalanan ini, apakah kau melihat nona Kiong?"

   Tanya Kong- sun Bok.

   "Mengetahui kedatangan ayahnya, mana dia berani melalui jalanan ini?"

   Ujar Le Say-eng.

   "Tapi dia telah berjanji dengan aku, dia adalah nona pemberani, tentu dia akan menunggu aku di jalan ini,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Pantas kau terburu-buru ke sini,"

   Le Say-eng berolok dengan tertawa.

   "Kau ternyata seorang laki-laki yang berbudi dan setia."

   Wajah Kong-sun Bok menjadi merah. Lalu Le Say-eng berkata pula.

   "Tampaknya kau sangat gelisah, baiklah kuberitahu padamu. Aku memang pernah melihat nona Kiong, cuma tidak di jalanan ini."

   "Jalan mana yang dia tempuh?"

   Tanya Kong-sun Bok cepat.

   "Ketika kulihat dia, waktu itu dia bukan mengambil jalan ini, dia berhenti di tepi jalan, ada seorang laki-laki tergeletak di tanah, agaknya terluka parah dan dia sedang berusaha mengobati kawannya itu."

   "Hal itu terjadi kapan?"

   Tanya Kong-sun Bok.

   "Kira-kira magrib petang kemarin,"

   Jawab Le Say-eng. Kong-sun Bok sangat kecewa, sebab keterangan Le Say-eng ini tidak ada artinya bagi usahanya mencari Kiong Kim-hun.

   "Siapakah laki-laki yang terluka itu?"

   Tanya Le Say-eng kemudian.

   "Seorang kawan kami, she Hi,"

   Jawab Kong-sun Bok.

   "Bukankah dia tinggal di suatu hotel bersama kalian?"

   Tanya pula Le Say- eng.

   "Benar,"

   Jawab Kong-sun Bok. Le Say-eng manggut-manggut, katanya.

   "Kalau begitu, ternyata memang betul."

   "Memang betul bagaimana?"

   Tanya Kong-sun Bok bingung.

   "Kukira Oh-hong-tocu telah salah sangka kawanmu she Hi itu sebagai dirimu, lalu dia menyerangnya dengan pukulan maut Jit-sat-ciang,"

   Tutur Le Say-eng.

   Apa yang dikatakan Le Say-eng ternyata cocok dengan pendapat Bu-lim- thian-kiau berdua, keruan Kong-sun Bok menjadi kuatir kalau terjadi sesuatu atas keselamatan Hi Giok-hoan, tadinya dia mengira Giok-hoan cuma terluka ringan dan tentu tak berhalangan diantar pulang oleh Beng Ting.

   "Bagaimana menurut pandanganmu, apakah jiwanya berbahaya?"

   Tanya Kong-sun Bok.

   "Aku tidak melihat dengan jelas,"

   Sahut Le Say-eng.

   "Kukira jiwanya memang terancam kecuali kawanmu itu memiliki lwekang yang sanggup melawan kekuatan Oh-hong-tocu!"

   Kong-sun Bok bertambah kuatir dan menyesal telah membikin susah Hi Giok-hoan.

   "Sebaiknya kau pikirkan keselamatanmu pula dan lekas menyingkir dari sini, kalau tidak, mungkin jiwamu sendiri pun bisa celaka,"

   Kata Le Say-eng.

   "Terima kasih atas maksud baikmu,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Namun....."

   "Namun kau masih tetap hendak menunggu nonamu itu di jalan ini bukan?"

   Kata Le Say-eng dengan tertawa.

   "Janganlah nona menertawakan diriku,"

   Sahut Kong-sun Bok. Ia cuma minta Le Say-eng jangan berolok-olok, tapi tidak menyangkalnya.

   "Bolehkah kutanya nama nona yang terhormat? Tentunya engkau adalah sahabat baik Kim-hun?"

   Le Say-eng memberitahukan namanya sendiri, lalu berkata pula.

   "Aku sendiri tidak tahu dapat dianggap sebagai sahabat baiknya atau tidak, yang jelas beberapa tahun yang lampau aku pernah bertamu ke rumah enci Kim- hun dan bermain sepuasnya dengan dia."

   Tiba-tiba pikiran Kong-sun Bok tergerak, katanya.

   "Aku menjadi rada tidak paham."

   "Tidak paham apa?"

   Tanya Say-eng.

   "Jika engkau adalah sahabat Kim-hun sejak kecil, ketika melihat dia di tepi jalan tadi mengapa engkau tidak menemuinya?"

   Kata Kong-sun Bok, selain itu ia pun heran mengapa kuda Le Say-eng sekarang hilang, hanya saja tidak ditanyakannya. Le Say-eng tertawa, jawabnya.

   "Enci Kim-hun sangat cerdik, tampaknya kau tidak secerdik dia dan dapat menduga tindakanku bukan?"

   Wajah Kong-sun Bok menjadi merah, katanya.

   "Aku memang seorang bodoh."

   "Biarlah kuberitahukan padamu, apa yang kulakukan adalah demi dirimu,"

   Kata Le Say-eng dengan tertawa. Kong-sun Bok melengak.

   "Demi diriku?"

   Ia menegas. Mendadak ia paham persoalannya, sambungnya pula.

   "Ah, tahulah aku, tentunya kau mengetahui Oh-hong-tocu telah melukai kawanku dan kuatir dia akan berbuat yang serupa kepadaku, makanya kau tidak sempat berhenti dan bicara dengan Kim-hun."

   "Ada suatu sebab lain lagi yang tak dapat kau terka,"

   Kata Le Say-eng.

   "Sebab lain apa lagi?"

   Tanya Kong-sun Bok heran.

   "Soalnya aku ingin main kucing-kucingan dengan enci Kim-hun,"

   Jawab Say-eng.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dahulu aku sering main kucing-kucingan dengan dia dan aku selalu kalah, tapi sekali ini aku harus menang. Terus terang, kuda tungganganku itupun sudah kusuruh orang mengantarkan kepadanya."

   Alasan ini benar-benar tak pernah kuduga oleh Kong-sun Bok, diam- diam ia mengakui kenakalan dan kecerdikan nona Le ini ternyata melebihi Kiong Kim-hun. Lalu Kong-sun Bok bertanya pula.

   "Mengapa engkau memberikan kudamu kepada Kim-hun, kalau engkau tidak tahu jalan mana yang dia tempuh, orang suruhanmu mana dapat menemukan dia?"

   "Baiklah kuberitahukan sekalian,"

   Kata Say-eng tertawa.

   "Orang yang kusuruh adalah budak tua keluarga enci Kim-hun sendiri, yaitu copet yang dia uber kemarin."

   Baru sekarang Kong-sun Bok paham, pikirnya.

   "Kiranya demikian, pantas kemarin Kim-hun bergegas meninggalkan aku dan mengejar copet."

   "Mengenai sebabnya aku memberikan kudaku kepada enci Kim-hun adalah aku sengaja memberi keuntungan kepadanya, dengan demikian permainan kucing-kucingan ini akan membuat dia kalah dengan rela dan tunduk lahir batin,"

   Sambung pula Le Say-eng. Kong-sun Bok tertawa kecil, ia merasa sifat Le Say-eng masih kekanak- kanakan dan rada aneh seperti teka-teki yang sukar diterka. Tiba-tiba Le Say-eng bicara pula dengan sikap sungguh-sungguh.

   "Sekarang aku ingin tanya kau mengenai soal pokok, Oh-hong-tocu tak pernah bertemu dengan kau kecuali waktu kau masih bayi, betul tidak?"

   "Ya, ada apa?"

   Jawab Kong-sun Bok.

   "Nah, berikan Hian-tit-po-san (payung besi murni) milikmu itu kepadaku!"

   Kong-sun Bok melengak, jawabnya.

   "Untuk apa?"

   "Oh-hong-tocu tidak kenal kau, tapi dia tahu kau memiliki sebatang payung pusaka, bila kau serahkan payungmu padaku, andaikan kepergok dia tentu kau takkan berhalangan."

   "Tapi maaf, aku tak dapat memberikan payungku ini kepadamu."

   "Kau kuatir kularikan payungmu itu dan kau keberatan bukan?"

   "Bukan begitu soalnya. Tapi kalau aku takut dia mengenali payungku dan bermaksud membunuh aku, bukankah aku akan dianggap sebagai pengecut, penakut seperti tikus?"

   "O, jadi kau kuatir dikatai orang sebagai tikus yang penakut,"

   Kata Le Say- eng tertawa.

   "Baiklah, sekarang aku bilang kau adalah seorang kesatria sejati, pahlawan besar. Nah, bolehkah serahkan payungmu sekarang!"

   "Tapi aku pun tidak berani terima pujianmu yang muluk-muluk itu,"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "Kau sungguh sukar diajak bicara, ini tidak betul, itupun tidak mau, kau bilang bukan soal keberatan akan payungmu itu, sekarang aku minta kau anggap aku sebagai teman dan berikan payungmu itu padaku. Kalau kepergok Oh-hong-tocu boleh kau berkelahi dengan bertangan kosong dengan dia, dengan demikian tentu tiada seorang pun yang akan menertawai kau sebagai penakut. Seorang laki-laki sejati harus dapat dipercaya dari apa yang diucapkannya sendiri, kecuali kau memang tidak pandang aku sebagai teman."

   Karena dibikin panas hatinya, tanpa pikir Kong-sun Bok lantas menjawab.

   "Baik, kuberikan payungku ini padamu."

   Le Say-eng terima payung itu dan mengucap terima kasih. Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh sayup-sayup terdengar suara "tok-tek", suara tongkat mengetok tanah. Segera Le Say-eng berkata.

   "Sekarang aku akan main kucing-kucingan dengan ayah enci Kim-hun, aku akan bersembunyi, kau sendirian boleh melayani dia."

   Kong-sun Bok mengira si nona takut kepada Oh-hong-tocu, segera ia menyatakan baik. Cepat Le Say-eng menyusup ke dalam hutan dan tidak lupa memberi pesan pula kepada Kong-sun Bok.

   "Ingat, menghadapi Oh-hong-tocu jangan kau gunakan kedua macam ilmu berbisa itu."

   Baru lenyap suaranya, benar juga dari sana tampak muncul seorang kakek berjubah hijau.

   Kong-sun Bok percaya kakek ini tentulah Oh-hong- tocu Kiong Cau-bun, ayah Kiong Kim-hun, iblis yang ditakuti di dunia persilatan.

   Sekejap itu Kong-sun Bok menjadi bimbang dan serba susah cara bagaimana harus menghadapi iblis tua yang melukai Hi Giok-hoan itu, tapi justru iblis itupun ayah Kiong Kim-hun.

   Belum sempat Kong-sun Bok berpikir banyak, tahu-tahu kakek jubah hijau itu sudah berdiri di depannya dan sedang mengamat-amati dengan sorot mata yang tajam sehingga menimbulkan rasa risih bagi Kong-sun Bok.

   Tapi soalnya bukan lagi cara bagaimana Kong-sun Bok harus menghadapi si kakek, melainkan si kakek alias Kiong Cau-bun yang sedang berpikir cara bagaimana melabrak Kong-sun Bok.

   Kong-sun Bok menjadi rada gugup menghadapi sorot mata Kiong Cau- bun yang tajam itu, ia tidak tahu bahwa Oh-hong-tocu juga tergetar hatinya ketika bentrok dengan sorot mata Kong-sun Bok yang bersinar itu.

   Sebagai seorang tokoh silat, sekali pandang saja Oh-hong-tocu lantas tahu pemuda di hadapannya ini memiliki lwekang yang amat tinggi.

   Tanpa terasa Oh-hong-tocu terkesiap, pikirnya.

   "Semuda itu pemuda ini ternyata sudah memiliki lwekang sehebat ini, apakah dia ini benar Kong-sun Bok adanya?"

   Dengan menahan perasaannya Kong-sun Bok coba menyapanya.

   "Adakah Lotiang (bapak) perlu sesuatu kepada diriku?"

   "Boleh juga kepandaianmu tampaknya, siapakah gurumu?"

   Oh-hong- tocu balas bertanya.

   "Yang kulatih hanya beberapa jurus cakar kucing saja, bila kukatakan rasanya malah akan membikin malu nama guruku,"

   Jawab Kong-sun Bok.

   "Hm, lalu siapa kau ini?"

   Jengek Oh-hong-tocu. Kong-sun Bok tetap berlagak bodoh, katanya.

   "Aku hanya orang biasa yang kebetulan lewat di sini. Lotiang sendiri siapa?"

   "Aku adalah rasul sambar nyawa, siapa yang kepergok aku tentu celaka,"

   Jengek Oh-hong-tocu pula.

   "Seorang kawanku she Hi apakah telah kepergok olehmu?"

   Tanya Kong- sun Bok akhirnya.

   "Ya, sudah kupergoki dan telah kuhantam mampus,"

   Kata Oh-hong-tocu. Dengan gemas Kong-sun Bok lantas berkata.

   "Oh-hong-tocu, dia tiada permusuhan apa-apa dengan kau, mengapa kau berlaku sekeji ini?"

   "Ha, ha, ha, selamanya aku tidak perlu tanya sebab-musababnya bila aku ingin membunuh orang,"

   Oh-hong-tocu bergelak tertawa.

   "Hm, he, he, kau sudah tahu siapa aku, tapi sengaja tanya lagi, dosamu ini pun tak dapat diampuni. Lekas beritahukan namamu, mungkin nanti akan kuhukum kau dengan ringan."

   "Hm, kalau kau tanya aku secara baik-baik mungkin akan kukatakan terus terang,"

   Kong-sun Bok balas mendengus.

   "Seorang laki-laki lebih suka mati daripada dihina."

   Air muka Oh-hong-tocu berubah, katanya.

   "Kau tidak mau bicara, memangnya aku tak dapat mengetahuinya? Ini, lihat pukulan!" ~ Berbareng ia terus menghantam. Namun Kong-sun Bok sudah siap, segera ia balas menghantam, yang digunakan adalah jurus ilmu pukulan keluarga Siang, tapi tenaga yang digunakan adalah lwekang ajaran Bing-bing Taysu. Maka terdengarlah suara "blang"

   Yang keras, Kong-sun Bok tergetar mundur tiga tindak, sedangkan Oh-hong-tocu juga tergeliat.

   Waktu Oh-hong-tocu pandang lawannya, tertampak air muka Kong-sun Bok tetap biasa saja dan tiada tanda keracunan, mau tak mau dia terkejut dan merasa heran.

   Watak Oh-hong-tocu memang sombong, tinggi hati, menghadapi seorang muda ia merasa tidak perlu menggunakan segenap tenaganya, maka dia cuma keluarkan delapan bagian tenaga saja ditambah dengan ilmu racun pukulan.

   Dengan pukulannya itu dia mengira Kong-sun Bok pasti tidak mampu menangkisnya, kalau tidak mampus tentu juga akan terluka parah.

   Tak terduga, begitu tangan kedua pihak beradu, lawan muda itu bukannya mati atau terluka, bahkan jatuh tersungkur pun tidak.

   Malahan ia sendiri tergeliat oleh getaran tenaga pukulan lawan, sampai-sampai asal-usul ilmu silat lawan muda itupun sukar dijajaki lagi.

   Padahal selama duapuluhan tahun ini Oh-hong-tocu berlatih tekun di pulau terpencil, ia yakin kepandaiannya kini sudah dapat menghadapi tokoh silat kelas wahid seperti Siau-go-kan-kun, Bu-lim-thian-kiau, Hong-lay-mo-li dan sebagainya, tak terduga sekarang baru bergebrak dengan seorang pemuda yang tak dikenal asal-usulnya ternyata sudah tergetar dan tergeliat, tentu saja hal ini membuatnya terperanjat tidak kepalang.

   Ilmu pukulan yang digunakan Kong-sun Bok disebut "Tay-yan-pat-sik" (delapan macam gerak pukulan) yang merupakan silat khas keluarga Siang yang dirahasiakan, ilmu silat ini diukir di dinding batu sebuah kamar rahasia oleh kakek luar Kong-sun Bok, yaitu Siang Kian-thian.

   Ilmu silat itu hanya diketahui oleh Siang Jing-hong, ibu Kong-sun Bok, oleh Siang Jing-hong kemudian diajarkan kepada Kheng Ciau, selain itu tiada pula orang ketiga yang tahu (bacalah Pendekar Latah).

   Oh-hong-tocu pernah sahabat baik mendiang Kong-sun Ki, ayah Kong- sun Bok.

   Tapi Kong-sun Ki tidak tahu akan ilmu pukulan Tay-yan-pat-sik, tentu saja Oh-hong-tocu lebih tidak kenal akan asal-usul ilmu pukulan itu.

   Sedangkan lwekang yang dikeluarkan Kong-sun Bok adalah ilmu sakti ajaran Bing-bing Taysu, sesudah berhasil meyakinkan intisari lwekangnya yang tinggi, selama itu pula Bing-bing Taysu tidak pernah muncul di dunia Kang-ouw, dengan sendirinya Oh-hong-tocu juga tidak kenal lwekang yang hebat itu.

   Begitulah Oh-hong-tocu menjadi bingung dan heran, pikirnya.

   "Jangan- jangan aku salah lihat lagi? Apa bocah ini bukan Kong-sun Bok adanya?"

   Lalu terpikir pula.

   "Bocah ini masih sangat muda, tapi sudah mempunyai kepandaian setinggi ini, sepuluh tahun lagi mungkin akan jauh di atas diriku. Peduli siapa dia, paling penting kubinasakan dia dulu."

   Karena nafsu membunuh yang timbul mendadak, segera Oh-hong-tocu membentak.

   "Bocah hebat, coba sambut lagi sekali pukulanku!"

   Dengan cepat sekali ia menubruk maju, tongkat bambu hijau yang dipegangnya terus menusuk ke arah Kong-sun Bok.

   Ilmu menotok Oh-hong-tocu juga sangat lihai, dalam sekali bergerak dia sanggup menotok tujuh tempat Hiat-to di tubuh lawan, bahkan yang diincar adalah tempat-tempat yang mematikan.

   "Ganas amat totokanmu!"

   Bentak Kong-sun Bok sambil mengelak, menyusul sebelah tangannya lantas balas menghantam pula.

   Sejak kecil Kong-sun Bok mendapat didikan ilmu silat dari tiga tokoh silat tertinggi pada zaman ini, dalam hal ilmu Tiam-hiat (menotok) adalah ajaran ayah Hong-lay-mo-li, yaitu Liu Goan-cong (satu di antara tiga tokoh itu), nama ilmu menotok itu disebut "Keng-sin-ci-hoat" (ilmu jari maha sakti) dan merupakan ilmu Tiam-hiat yang paling tinggi pada zaman ini.

   Karena itu betapa pun lihai ilmu menotok Oh-hong-tocu tetap tak dapat mendekati Kong-sun Bok.

   Malahan sekali pandang saja ia lantas tahu Hiat-to mana yang akan diarah musuh.

   Hanya saja Kong-sun Bok tidak lantas balas menggempur musuh dengan ilmu Tiam-hiat pula, begitu dia menghindari tongkat lawan segera ia balas menyerang dengan ilmu pukulan dan tetap dengan tenaga dalam ajaran Bing-bing Taysu.

   Cara berkelahi Kong-sun Bok ini ternyata merugikan diri sendiri, soalnya tenaga dalam Oh-hong-tocu masih di atasnya, maka Oh-hong-tocu mencungkit dengan tongkatnya, seketika Kong-sun Bok jatuh terjungkal.

   Walaupun begitu Oh-hong-tocu tetap tidak dapat menerka asal-usul lwekang yang digunakan Kong-sun Bok itu.

   Hati Oh-hong-tocu tergetar juga ketika melihat tongkat pusakanya yang terbuat dari bambu hijau itu retak sedikit oleh tenaga dalam lawan.

   Segera ia menjengek pula.

   "Hm, ingin kulihat kau mampu lari atau tidak?"

   Segera ia memburu maju, bila tongkatnya menghantam pula, Kong-sun Bok yang baru hendak melompat bangun itu benar-benar terancam bahaya. Syukurlah pada saat gawat itu tiba-tiba suara seorang anak perempuan berteriak.

   "Tahan dulu, Kiong-pepek!"

   Menyusul tertampak Le Say-eng melompat keluar dari tempat sembunyinya dengan tertawa. Oh-hong-tocu terkejut.

   "Kenapa kau pun berada di sini, nona Le? Siapakah dia ini?"

   Tanyanya.

   "Paman Kiong, kenapa kau memukul temanku ini, kedatanganku ke sini adalah bersama dia,"

   Jawab Le Say-eng.

   "O, dia ini temanmu?"

   Oh-hong-tocu menegas.

   "Lantas dimana kau bersembunyi tadi, kenapa kau tidak katakan terus terang padaku?"

   "Maksudku hendak melihat kepandaiannya dahulu,"

   Ujar Le Say-eng dengan tertawa. Kepandaiannya lumayan bukan, paman Kiong?"

   "Hm, memang lumayan,"

   Jengek Oh-hong-tocu.

   "Dia bernama siapa?"

   "Namanya Kheng Tu-kan,"

   Jawab Say-eng.

   "Paman Kiong, dia tidak bersalah padamu, mengapa engkau hendak membinasakan dia?"

   Diam-diam Kong-sun Bok geli mendengar nama palsunya yang disebut Le Say-eng itu, tapi dia juga tidak menyangkal. Tiba-tiba hatinya tergerak pula, pikirnya.

   "Nama kecilku adalah Gi-ok, nama ini pemberian ibu, orang luar pasti tidak tahu. Sekarang nona Le ini memberikan nama palsu bagiku dengan "Tu-kan" (menumpas pengkhianat), nama ini setimpal dengan nama "Gi-ok" (membasmi kejahatan), jangan-jangan dia mempunyai maksud yang dalam dan bukan nama yang ngawur."

   Tampaknya Oh-hong-tocu juga heran akan nama yang aneh itu, ia mengerut kening dan berkata.

   "Aneh benar nama temanmu ini. Mengingat dirimu, bolehlah aku tidak membunuhnya, tapi kalian harus bicara sejelasnya kepadaku."

   "Urusan apakah sehingga paman Kiong begini beringas?"

   Kata Le Say- eng.

   "Baiklah, silakan paman bicara."

   "Kemarin aku telah melukai seorang, tadi dia bilang, orang itu adalah kawannya, apakah kau pun tahu?"

   Kata Oh-hong-tocu sambil menuding Kong-sun Bok.

   "Tahu apa?"

   Say-eng menegas.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apa yang dia katakan itu benar atau dusta? Siapa pula orang yang kulukai itu?"

   "Kalau sudah kukatakan kawanku tentu tetap kawanku, buat apa aku berdusta?"

   Kata Kong-sun Bok dengan kurang senang. Dengan tertawa Le Say-eng juga lantas menjawab.

   "Ya, aku tahu. Orang itu adalah Hi Giok-hoan, tuan muda dari Pek-hoa-kok. Bicara lebih jelas, Hi- kongcu itu asalnya adalah kawanku. Dan, kalau dia adalah kawanku, dengan sendirinya terhitung juga kawannya bukan?"

   Di balik ucapannya itu dia hendak mengatakan bahwa dia kenal Giok- hoan lebih dulu, Kong-sun Bok hanya tergandeng oleh hubungannya barulah menjadi kawan Hi Giok-hoan pula.

   Diam-diam Kong-sun Bok merasa heran ketika Le Say-eng dapat menyebut asal-usul Hi Giok-hoan dengan jitu, pada hal usia si nona masih muda belia, tapi seluk-beluk kalangan Kang-ouw ternyata tidak sedikit yang diketahuinya.

   Maka terdengar Oh-hong-tocu berkata.

   "Baiklah, jika orang she Hi itu adalah kawanmu, maka aku merasa perlu tanya lebih jelas. Orang itu mengaku padaku bahwa dia pernah tinggal bersama anak perempuanku di suatu hotel, apakah kalian juga tinggal di hotel yang dimaksud?"

   "Untuk ini harus kujawab tidak,"

   Cepat Le Say-eng mendahului berkata.

   "Mereka suatu pasangan, kami juga satu pasangan, masing-masing menuju arahnya sendiri-sendiri."

   Waktu bicara, wajahnya berubah rada merah untuk kemudian tersenyum malu. Kong-sun Bok juga mengerut kening, pikirnya.

   "Nona ini sungguh pintar main teka-teki sehingga Oh-hong-tocu ini akan curiga dan menerka tidak keruan."

   Benar juga Oh-hong-tocu merasa sangsi, pikirnya.

   "Apakah mungkin puteri kesayanganku itu tidak menyukai Kong-sun Bok, tapi penujui Hi Giok-hoan yang kulukai itu? Tapi, biarlah sementara ini aku tidak mempedulikan soal ini, aku harus tahu dimana beradanya Kim-hun sekarang."

   Maka ia lantas bertanya.

   "Jika kalian tidak tinggal bersama dalam hotel dengan Kim-hun, tentunya kalian tahu kemana perginya kini?"

   Tanpa ragu-ragu Le Say-eng menjawab.

   "Ya, aku tahu. Enci Kim-hun hendak pergi ke Kim-keh-nia, malahan aku pun tahu jalan mana yang dia tempuh."

   "Ha, ha, lekas katakan, jalan yang mana?"

   Tanya Oh-hong-tocu.

   "Jalan kecil itu, lekas engkau mencarinya ke sana,"

   Jawab Say-eng sambil menuding ke suatu arah.

   "Kau tidak berdusta bukan?"

   Oh-hong-tocu menegas.

   "Terserah kau mau percaya atau tidak,"

   Jawab Say-eng.

   "Malahan budakmu Thio Kiong juga menuju ke arah sana, mungkin tidak lama kau dapat menyusulnya dan tentu akan terbukti kebenaran ucapanku."

   Segera Oh-hong-tocu melangkah pergi, tentu saja Le Say-eng sangat senang. Tak terduga mendadak Oh-hong-tocu berhenti pula dan menoleh. Keruan Say-eng terkejut. Terdengar Oh-hong-tocu berkata.

   "Ya, kulupa tanya kau, persahabatan macam apa antara kau dengan bocah she Kheng ini?"

   Bocah she Kheng yang dimaksud tentulah Kong-sun Bok, karena tadi Le Say-eng memberitahukan nama palsu Kong-sun Bok sebagai Kheng Tu-kan. Dengan muka bersemu merah Le Say-eng pura-pura mengomel.

   "Paman Kiong, kenapa kau tanya sejelas itu? Memangnya kau masih belum paham? Tapi bila kau tetap ingin tahu, maka boleh kau tanyakan kepada ayah saja, ayah suruh aku membawanya ke Beng-sia-to untuk menemui beliau."

   Oh-hong-tocu terkejut, ia pikir mungkinkah bocah ini adalah calon menantu yang dipenujui Beng-sia-tocu? Jika betul demikian aku menjadi tidak dapat mengganggunya. Segera ia berkata pula dengan mendengus.

   "Hm, tadi Kheng-laute ini seperti penasaran lantaran aku telah melukai kawan kalian Hi Giok-hoan itu, sekarang aku ingin tanya lebih jelas, apakah Kheng-laute masih tetap ingin membalas dendam bagi kawan kalian itu?"

   Le Say-eng cepat memberi isyarat dengan menggoyang tangan, tapi Kong- sun Bok tidak dapat menahan gusarnya, dengan tegas ia menjawab.

   "Jika kawanku itu sampai tewas oleh pukulanmu, betapa pun aku akan membalas sakit hatinya kelak."

   "Hm, dia terluka oleh Jit-sat-ciangku, mana jiwanya dapat diselamatkan?"

   Jengek Oh-hong-tocu.

   "Baiklah, jadi permusuhan kita ini pasti sudah terikat."

   Mendadak Le Say-eng mengikik tawa.

   "Apa yang kau tertawai?"

   Tanya Oh-hong-tocu.

   "Paman Kiong rasanya kau pun terlalu tinggi hati, aku tidak percaya sekali pukulanmu itu dapat membinasakan dia, apakah kau menyaksikan sendiri dia sudah binasa?"

   Ujar Le Say-eng.

   "Dia memang tidak mati seketika,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Tapi dia terluka oleh Jit-sat-ciang, sekali pun masih dapat bernapas juga takkan hidup lebih sebulan lagi."

   "Agaknya paman Kiong lupa, ayahku dapat memunahkan racun Jit-sat- ciang paman yang hebat itu?"

   Kata Say-eng tertawa.

   "Biarpun aku belum mahir, rasanya aku pun bisa menyelamatkan jiwa Hi Giok-hoan."

   Oh-hong-tocu paham maksud si nona, katanya dengan bergelak tertawa.

   "Ha, ha, bagus sekali jika kau dapat menyelamatkan dia, dengan begitu Kheng-laute juga tidak perlu mencari balas lagi padaku dan permusuhan kita inipun berarti bebas."

   Sesudah Oh-hong-tocu pergi, dengan penuh tanda tanya Kong-sun Bok berkata kepada Le Say-eng.

   "Nona Le, ada dua hal ingin kutanyakan kepadamu, harap kau bicara sejujurnya padaku."

   "Kau menyangsikan dua hal mana yang kukatakan tadi?"

   Say-eng menegas dengan tertawa.

   "Arah yang kau tunjukkan kepada Oh-hong-tocu itu bukankah mendustai dia?"

   Tanya Kong-sun Bok.

   "Tidak, aku justru memberitahukan sejujurnya kepadanya,"

   Jawab Say- eng. Kong-sun Bok terkejut, katanya.

   "Jadi Kim-hun memang benar menuju ke arah sana, lantas bagaimana setelah kau memberitahukan ayahnya....."

   "Apa yang kau kuatirkan?"

   Ujar Say-eng dengan tertawa ngikik.

   "Masakah kau sudah lupa kuda yang kubawakan kepada Thio Kiong untuk diberikan kepada enci Kim-hun itu?"

   "Oya, dengan menunggang kuda itu tentu ayahnya takkan dapat menyusulnya,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Kudaku itu sehari dapat berlari mencapai ribuan lie, betapa pun hebat Ginkang Oh-hong-tocu juga tidak dapat menyusulnya,"

   Kata Say-eng.

   "Maka kau tidak perlu kuatir, setiba di Kim-keh-nia tentu kau dapat bertemu dengan dia."

   "Asalkan Kim-hun tidak kurang sesuatu apa, dengan sendirinya aku tidak perlu terburu-buru menemuinya,"

   Kata Kong-sun Bok.

   "Tadi kau mengatakan dapat menyembuhkan luka pukulan Jit-sat-ciang, apakah betul?"

   "Sudah tentu betul, memangnya kau kira aku membohongi Oh-hong- tocu?"

   Kata Say-eng.

   "Jika betul begitu, dapatkah kau membantu aku, nona Le?"

   "Maksudmu hendak minta aku menyembuhkan kawanmu, yaitu Hi- kongcu dari Pek-hoa-kok, bukan?"

   "Benar, bukankah tadi kau pun menyatakan dia juga kawanmu?"

   "Mengapa dalam hal ini kau tidak lagi menyangsikan aku berdusta?"

   Kong-sun Bok melengak, katanya.

   "O, jadi kau memang tidak kenal Hi Giok-hoan?"

   "Ya,"

   Jawab Say-eng.

   "Cuma aku pun tidak berdusta seluruhnya, aku memang kenal adik perempuannya. Beberapa hari yang baru lalu aku bahkan bertemu dengan dia."

   "Kau bertemu Hi Giok-kun?"

   Kong-sun Bok menegas dengan terkejut dan girang.

   "Menurut cerita Hi Giok-hoan, mereka kakak beradik berpisah waktu meninggalkan rumah keluarga Han di Lok-yang, adik perempuannya menyatakan hendak pulang, tapi Giok-hoan menyangsikan adiknya belum pasti pulang sungguh-sungguh. Dimanakah kau bertemu dengan dia?"

   "Di kota Liu-ho-tin di depan sana, waktu itu dia berada bersama seorang pemuda,"

   Tutur Le Say-eng.

   "Liu-ho-tin? Itulah tempat yang harus dilalui bila hendak menuju ke Kang-lam. Tapi siapa lagi pemuda yang menemaninya itu?"

   Kata Kong-sun Bok, ia pikir pemuda itu tentunya bukan Kok Siau-hong.

   "Pemuda itu adalah Sin Liong-sing, murid pewaris Bun Yat-hoan, itu Bu- lim-beng-cu daerah Kang-lam,"

   Tutur Say-eng.

   "Biar kukatakan terus terang, aku hanya kenal Sin Liong-sing saja, setelah itu barulah aku kenal Hi Giok- kun."

   "Sungguh aneh, mengapa Hi Giok-kun bisa berada bersama pemuda she Sin itu?"

   Ujar Kong-sun Bok dengan heran.

   "Kau agak suka ikut campur urusan orang lain,"

   Kata Say-eng dengan tertawa.

   "Mengapa dia tidak boleh berada bersama Sin Liong-sing, ada sangkut-paut apa dengan kau?"

   Kong-sun Bok tidak suka membicarakan urusan pribadi orang lain, maka jawabnya.

   "Baiklah, kita bicara urusan orang lain saja, apakah kau mau membantu aku menyembuhkan luka Hi Giok-hoan?"

   "Kau sungguh simpatik terhadap kawan,"

   Kata Say-eng dengan tertawa.

   "Cuma sebenarnya aku tidak suka ikut campur urusan orang, bahwasanya aku telah membantu kau agar terhindar dari kekejaman Oh-hong-tocu adalah demi enci Kim-hun."

   "Menolong jiwa orang lebih berjasa daripada membangun bodur (candi) tujuh tingkat (ucapan Buddha), maka harap engkau suka membantu lagi padaku,"

   Pinta Kong-sun Bok.

   "Membantu kau sih boleh saja, tapi cara bagaimana kau akan membalas aku?"

   Tanya Le Say-eng dengan tertawa.

   Pertanyaan ini membikin Kong-sun Bok melenggong, sebagai seorang pemuda yang tulus dan polos, selamanya tak terpikir olehnya bahwa bantuan kepada kawan juga mengharapkan imbalan.

   Maka setelah berpikir sejenak, lalu ia menjawab.

   "Kelak bila ada sesuatu yang kau perlukan bantuanku, biarpun mengorbankan jiwaku juga akan kulaksanakan bagimu."

   "Aku tidak mengharapkan balas budimu secara begitu,"

   Kata Say-eng.

   "Aku pun tidak punya sesuatu urusan yang memerlukan bantuanmu sehingga mempertaruhkan jiwa segala."

   Kong-sun Bok melenggong pula, katanya kemudian.

   "Lalu menurut maksudmu, cara bagaimanakah aku harus membalas budimu?"

   "Asal saja kau menyanggupi sesuatu kepadaku,"

   Kata Say-eng.

   "Urusan apa?"

   Tanya Kong-sun Bok.

   "Saat ini aku belum tahu, nanti kalau aku sudah ingat baru akan kukatakan padamu,"

   Ujar Say-eng dengan tertawa. Dengan ragu-ragu kemudian Kong-sun Bok berkata.

   "Tapi..... tapi bilamana tenagaku tidak sanggup melaksanakan permintaanmu?"

   "Kau tidak perlu kuatir,"

   Kata Say-eng.

   "Pertama, aku pasti takkan menyuruh kau melakukan sesuatu yang mengkhianati kaum pendekar kita, kedua, urusan ini pasti dapat kau laksanakan dengan baik sesuai dengan kesanggupanmu."

   Apa yang dikatakan Le Say-eng memang tepat benar dengan isi hati Kong- sun Bok, maka dengan senang pemuda itu berkata.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Baiklah, jika demikian aku dapat menerima permintaanmu."

   "Bagus, sekarang juga kita boleh berangkat ke Pek-hoa-kok,"

   Kata Say-eng.

   "Cuma dengan demikian kau pun akan terlambat sedikit waktu untuk bertemu dengan enci Kim-hun, apa kau sudah rela?"

   Wajah Kong-sun Bok menjadi merah, katanya.

   "Ah, nona Le jangan berolok-olok." ~ Dalam hati ia yakin Kim-hun pasti takkan marah kelambatan datangnya nanti bila mengetahui persoalannya. Le Say-eng menyusup ke dalam hutan lagi untuk mengambil Hian-tiat-po- san, lalu ia mengajak berangkat sambil menyodorkan payung pusaka itu kepada Kong-sun Bok.

   "Bukankah payung ini sudah kuberikan padamu?"

   Ujar Kong-sun Bok. Le Say-eng tertawa, katanya.

   "Tolol, memangnya kau sangka aku benar- benar menginginkan barangmu? Aku cuma berusaha agar Oh-hong-tocu tidak mengetahui kau ialah Kong-sun Bok yang hendak dicarinya."

   Begitulah mereka lantas berangkat. Tidak lama, tiba-tiba Le Say-eng tertawa dan berkata pula.

   "Apa yang kubicarakan dengan Oh-hong-tocu sebagian besar kau mengira aku berdusta padanya, tapi ada suatu kalimat kau malah tidak tanya padaku apa betul atau tidak?"

   "Kalimat mana?"

   Tanya Kong-sun Bok tercengang.

   "Bukankah tadi aku mengatakan hendak membawa kau untuk menemui ayahku?"

   "Tak perlu dijelaskan juga aku tahu ucapanmu itu sengaja membohongi Oh-hong-tocu belaka."

   "Begitukah sangkaanmu? Tapi bilamana sungguh-sungguh, lalu bagaimana?"

   Tanya si nona sambil melirik.

   "Ah, nona sungguh pintar berolok-olok,"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "Mengapa kau mengira aku cuma berolok-olok belaka?"

   "Hakikatnya ayahmu tidak kenal aku, bahkan mungkin sekali tidak pernah tahu ada orang semacam aku, mana bisa dia menyuruh kau membawa diriku untuk menemui beliau?"

   "Jika begitu coba kau terka untuk apa kau keluar rumah?"

   "Kukira besar kemungkinan serupa dengan Kim-hun, sengaja lari keluar di luar tahu orang tua,"

   Kong-sun Bok yakin dalam hal ini mengingat kedua nona itu sama-sama nakal.

   "Kalau kukatakan bahwa ayahku sengaja mengutus aku keluar untuk mencari kau dan membawa pulang, kau percaya tidak?"

   Kong-sun Bok terbahak-bahak geli, katanya.

   "Mana mungkin terjadi begitu? Nona Le, jangan kau berkelakar dengan aku?"

   Sudah tentu tidak pernah terpikir oleh Kong-sun Bok bahwa sekali ini yang dikatakan Le Say-eng semuanya betul, sedikit pun tidak berkelakar dengan dia. Le Say-eng rada kecewa karena ucapan Kong-sun Bok itu, pikirnya.

   "Dia mengira aku hanya berkelakar saja dengan dia, dengan sendirinya tidak pernah timbul hasratnya untuk ikut aku ke rumah. Sekali pun aku dapat minta dia memenuhi janji akan taat kepada sesuatu permintaanku, tapi cara demikian mana ada artinya lagi?"

   Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia tersenyum pahit, ia membatin sekali ini dirinya pasti dikalahkan lagi oleh Kiong Kim-hun.

   Terbayanglah macam-macam kejadian lima tahun yang lalu, suatu ketika Le Say-eng ikut ayahnya bertamu ke Oh-hong-tocu, Kiong Kim-hun telah menemani dia bermain setiap hari, usia kedua nona itu sebaya, maka pergaulan mereka terasa sangat cocok.

   Tapi lantaran kedua orang sama-sama nona cilik berusia empatbelas- limabelas tahun, sejak kecil dimanjakan pula oleh orang tua, maka terkadang juga terjadi hal-hal yang tidak mau saling mengalah dan suka menang sendiri.

   Satu kali Kiong Kim-hun berolok-olok bahwa Le Say-eng tidak pintar berdandan dan lebih mirip nona kampung.

   Kiong Kim-hun pernah ikut ayahnya pesiar ke daratan, sebaliknya Le Say- eng tidak pernah meninggalkan Beng-sia-to, maka ia tidak tahu apa macamnya nona kampung yang dimaksud, tapi dari sikap dan nada Kim- hun dapat dipahaminya kata itu pasti kata penghinaan.

   Dasar mulut Kiong Kim-hun memang jahil, dia sengaja mengejek pula sambil menuding seekor itik di dalam kolam, katanya.

   "Nona kampung rupanya mirip itik kecil yang buruk itu, sekarang kau paham tidak?" ~ Hal ini telah membikin Le Say-eng sangat marah dan menangis. Suatu kali Kiong Kim-hun sengaja bertanding ilmu silat dengan Le Say- eng dan berakhir dengan kekalahan Say-eng, tentu saja Kiong Kim-hun sangat senang. Le Say-eng juga nona cilik yang suka menang, dengan memonyongkan mulutnya ia pun balas mengejek.

   "Hm, apa yang kau banggakan? Berhasilnya Jit-sat-ciang yang dilatih ayahmu juga berkat bantuan ayahku."

   Kejadian itu kemudian diketahui Kiong Cau-bun, dia memarahi anak perempuan sendiri, maka Kim-hun juga kheki dan menangis.

   Tapi lantaran dalam perlombaan macam-macam hal selalu Le Say-eng di pihak yang kalah, maka di dalam hati dengan sendirinya dia sangat tidak enak.

   Pada umumnya anak kecil tak punya rasa dendam, soal-soal kecil itu juga tidak mempengaruhi persahabatan mereka.

   Namun meski tidak dendam, tapi kedua peristiwa itu tak pernah dilupakan oleh Le Say-eng, selalu terpikir olehnya bahwa pada suatu ketika dia pasti akan mengalahkan Kiong Kim- hun.

   Biasanya isi hati anak perempuan sukar mengelabui pandangan orang tua.

   Suatu hari Le Say-eng ikut ayahnya berlatih Kim-sia-ciang-hoat, ketika melihat Say-eng berlatih dengan lesu dan kurang gairah, ayahnya mengerut kening dan berkata.

   "Bukankah kau ingin mengalahkan enci Kim-hun? Hal ini tidak sulit asalkan kau berhasil meyakinkan Kim-sia-ciang-hoat ini. Cuma saja kau harus berlatih dengan giat dan tekun."

   Tapi Say-eng tetap kesal, katanya.

   "Mengalahkan dia dalam jurus pukulan toh tiada gunanya. Sebenarnya pembawaan wajahku sangat buruk bukan, ayah?"

   "Siapa yang bilang puteriku bermuka buruk?"

   Jawab Beng-sia-tocu dengan tertawa.

   "Kiong Kim-hun yang bilang begitu,"

   Kata Say-eng.

   "Dia mengatakan aku mirip itik kecil yang buruk rupa."

   "Ha, ha, ha,"

   Beng-sia-tocu tertawa, katanya.

   "Sesungguhnya kau sendiri tidak tahu betapa kecantikanmu, bukan saja lebih cantik daripada Kim-hun, bahkan tiada satu pun anak perempuan lain yang pernah kulihat dapat membandingi kecantikanmu."

   "Aku tidak percaya, selain enci Kim-hun aku toh tidak pernah melihat anak perempuan lain lagi,"

   Kata Say-eng.

   "Baik, asal kau sudah berhasil meyakinkan ilmu silat tentu akan kuizinkan kau pergi ke Tiong-goan, tatkala itu kau baru percaya apa yang kukatakan ini,"

   Kata Beng-sia-tocu. Sang tempo berlalu dengan cepat, dalam sekejap saja sudah beberapa tahun, Le Say-eng sendiri hampir melupakan kejadian itu. Suatu hari ayahnya berkata pula kepadanya.

   "Anak Eng, kini usiamu sudah sembilanbelas tahun bukan?"

   "Ya, ada apakah ayah?"

   Jawab Say-eng.

   Tiba-tiba teringat olehnya apa yang didengarnya dalam percakapan ayah-bundanya semalam, dimana ibunya mengatakan usianya sudah menanjak dan minta sang ayah memikirkan perjodohan anak perempuannya.

   Teringat kepada percakapan ayah-bundanya itu, tanpa terasa wajah Say- eng menjadi merah, ia mengira bisa jadi sang ayah hendak mencarikan jodoh baginya.

   Tak terduga apa yang dikatakan sang ayah ternyata bukanlah soal yang terpikir olehnya itu.

   Beng-sia-tocu berkata.

   "Usia sembilanbelas tahun boleh dikata sudah dewasa. Ilmu silatmu meski belum sempurna, tapi rasanya sudah dapat dibandingkan dengan Kiong Kim-hun. Bukankah kau selalu ingin mengalahkan dia? Apa kau ingin mencoba-coba?"

   Say-eng tertawa, jawabnya.

   "Ayah ternyata masih ingat persoalan ini. Aku dan enci Kim-hun sekarang sudah dewasa, mana mungkin aku ajak berkelahi padanya seperti masa kanak-kanak."

   "Bukan maksudku kau berkelahi dengan dia,"

   Kata Beng-sia-tocu tertawa.

   "Aku akan memberi suatu soal sulit bagimu, bila kau dapat mengerjakan dengan baik, berarti kau telah mengalahkan Kim-hun. Soalnya sangat menarik, kau mau mencoba tidak?"

   Tindak-tanduk Beng-sia-tocu biasanya juga aneh, cuma hal ini tak dirasakan oleh Le Say-eng, ia merasa sang ayah juga bersifat kekanak-kanakan seperti dia, maka dengan gembira ia lantas menjawab.

   "Baiklah ayah, coba jelaskan persoalannya."

   "Begini,"

   Tutur Beng-sia-tocu.

   "Kiong Kim-hun mempunyai calon suami yang bernama Kong-sun Bok, mereka berdua belum pernah saling bertemu, sekarang Kiong-sioksiokmu justru menghendaki anak perempuannya pergi mencari bakal menantunya itu."

   Say-eng merasa bingung oleh penuturan sang ayah, katanya.

   "Enci Kim- hun sudah punya tunangan, sungguh baik sekali, tapi apa sangkut pautnya dengan kita?"

   "Aku ingin kau berlomba secara diam-diam dengan dia,"

   Kata Beng-sia- tocu.

   "Berlomba bagaimana?"

   Tanya Say-eng.

   "Bukankah kau masih ingat bahwa aku pernah berjanji padamu bila ilmu silatmu sudah terlatih baik akan kuizinkan kau pesiar ke Tiong-goan,"

   Kata Beng-sia-tocu.

   "Sekarang sudah waktunya kau boleh berangkat ke sana, aku berharap kau dapat menemukan Kong-sun Bok itu dan membawanya pulang ke sini untuk menemui aku. Dengan demikian apa yang harus dikerjakan Kim-hun, tapi gagal, kau berbalik dapat mengerjakannya dengan berhasil, bukankah ini berarti kau telah mengalahkan dia."

   Tapi Le Say-eng lantas menggeleng kepala, katanya.

   "Ayah, kau suruh aku merebut bakal suami enci Kim-hun, aku tidak mau."

   "Cukup kau anggap saja sebagai perbuatan senda-gurau, bukan maksudku suruh kau merebut suami orang,"

   Kata Beng-sia-tocu dengan tertawa.

   "Cuma kelak bilamana kau benar-benar menyukai bocah itu dan ingin menjadi istrinya, maka aku pun dapat melaksanakannya bagimu. Kukira Oh-hong-tocu juga tak berani mengganggu gugat padamu."

   Le Say-eng menjadi teringat kepada kejadian dahulu yang sering dibikin dongkol oleh Kiong Kim-hun, apa salahnya kalau sekarang aku bergurau dengan dia dan balas membikin dongkol padanya? Karena pikiran demikian, segera ia menjawab.

   "Baik, tapi jelas aku cuma bersenda-gurau saja dengan dia. Namun cara bagaimana agar aku dapat memancing Kong-sun Bok itu ke sini, padahal aku tidak kenal dia?"

   "Aku sudah mencari tahu dengan jelas, apa yang kuketahui bahkan Oh- hong-tocu sendiri belum tahu,"

   Kata Beng-sia-tocu. Lalu ia pun menerangkan segala seluk-beluk mengenai diri Kong-sun Bok. Meski Le Say-eng belum berpengalaman seluk-beluk orang hidup, tapi dasarnya memang cerdik, maka timbul rasa sangsinya, segera ia bertanya.

   "Ayah, mengapa engkau sedemikian memperhatikan hal ikhwal Kong-sun Bok itu? Kukira bukan melulu hendak membantu perseteruanku dengan enci Kim-hun bukan? Sebelum engkau menjelaskan padaku sebab- musababnya, kukira lebih baik tidak jadi bergurau saja dengan enci Kim- hun."

   Terpaksa Beng-sia-tocu bicara apa yang menjadi maksud tujuannya, katanya.

   "Anak Eng, kau hanya mengetahui bahwa aku pernah membantu Kiong-sioksiok meyakinkan Jit-sat-ciang, tapi kau tidak tahu bahwa dia juga pernah membantu aku meyakinkan lwekang. Lwekangku dengan lwekangnya adalah satu aliran, bukan lwekang dari aliran Cing (baik), kalau sudah mencapai tingkatan paling tinggi mungkin sukar terhindar dari bahaya Cau-hwe-jip-mo (tersesat dan mengakibatkan kelumpuhan). Kong- sun Bok pernah mendapat ajaran lwekang aliran baik dari tiga maha guru silat zaman ini, jadi aku cuma ingin belajar ilmu lwekangnya itu dan bukan menginginkan orangnya. Sudah tentu bila kelak kau menghendaki dia tentu lain soal lagi. Urusan ini ada segi baiknya bagimu maupun bagiku, maka bicara sesungguhnya, hendaklah kau jangan menganggapnya sebagai bergurau belaka."

   Begitulah maka sekarang ketika Kong-sun Bok menganggap Le Say-eng hanya berkelakar saja dengan dia akan ajakannya untuk menemui Beng-sia- tocu, tanpa terasa Le Say-eng merasa rada kecewa. Pikirnya dalam hati.

   "Jelas dia tidak pernah melupakan enci Kim-hun, aku memang dapat minta dia memegang janji dan ikut aku pulang ke Beng-sia-to, tapi aku toh tidak dapat menceraikan dia dari enci Kim-hun."

   Begitulah ia menjadi ragu-ragu teringat kepada perbuatannya yang mungkin membikin susah kebahagiaan orang lain.

   Akan tetapi seperti apa yang dikatakan ayahnya, urusan ini bukanlah senda-gurau belaka, tapi menyangkut kepentingan ayahnya pula.

   Kini ikan sudah masuk jaring, apa mesti melepaskannya lagi? Kemudian terpikir lagi oleh Le Say-eng.

   "Dia telah berjanji padaku bila kelak aku ingin minta bantuanmu, asalkan urusannya tidak khianat, maka dia pasti akan melakukannya. Dia adalah laki-laki sejati yang jujur dan dapat dipercaya, kalau saja aku mohon dia mengajarkan lwekang padaku, kukira dia pasti takkan menolak. Tapi cara bagaimana keinginanku itu dapat kuucapkan?"

   Maklumlah, inti lwekang daripada suatu aliran silat tertentu merupakan rahasia yang tidak mungkin diajarkan kepada orang luar, biarpun Le Say-eng belum berpengalaman juga tahu akan pantangan dunia persilatan umumnya ini.

   Sebab itulah ayahnya juga telah berpesan wanti-wanti padanya agar jangan memberitahukan maksud tujuannya kepada Kong-sun Bok sebelum pemuda itu dibawa pulang ke rumah.

   Apalagi Le Say-eng sendiri adalah seorang nona yang tinggi hati, ia sendiri pun tidak ingin menerima kebaikan orang tanpa alasan, lagi pula terhadap seorang yang baru dikenalnya.

   Pikirnya.

   "Meski aku pernah membantu dia sedikit urusan, untuk itu aku lantas minta ajaran lwekang padanya, bukankah cara demikian ini terlalu licik? Bukan mustahil aku akan dipandang rendah olehnya bilamana kukemukakan permintaanku padanya. Andaikan aku tidak tahu hubungannya dengan enci Kim-hun tentu lain soalnya, tapi sekarang aku telah mengetahui dia adalah bakal suami enci Kim-hun, apakah aku tidak malu melakukan urusan ini? Apalagi berlatih lwekang juga makan waktu lama dan harus mencari suatu tempat yang tenang, sedikitnya aku harus berdiam selama belasan hari dengan dia, bila hal ini diketahui enci Kim-hun, mungkin sukar bebas dari dugaan jelek sekali pun aku memberi penjelasan padanya."

   Begitulah timbul pertentangan batin dalam benak Le Say-eng.

   Semula dia memang bermaksud bergurau dengan Kiong Kim-hun untuk membuatnya dongkol.

   Tapi setelah dipikir lagi secara tenang, dengan membawa pulang bakal suami teman sendiri, senda gurau ini terasa agak keterlaluan.

   Tapi kalau Kong-sun Bok dilepaskan pergi, kelak kalau sang ayah benar-benar mengalami Cau-hwe-jip-mo, lalu kepada siapa harus minta pertolongan? Demikianlah kembali Le Say-eng ragu-ragu.

   Sudah tentu Kong-sun Bok tidak dapat mengetahui bergejolaknya perasaan Le Say-eng, yang dia harap dapatlah selekasnya sampai di Pek-hoa- kok untuk menyembuhkan Hi Giok-hoan dan selekasnya pula kembali ke Kim-keh-nia untuk bertemu dengan Kiong Kim-hun.

   Ketika dilihatnya Le Say-eng berjalan dengan ragu dan entah apa yang sedang direnungkan, segera Kong-sun Bok berkata.

   "Mumpung sang surya belum terbenam, marilah kita lekas melanjutkan perjalanan. Setiba di Pek- hoa-kok kita masih harus menuju ke Kim-keh-nia. Oya, kau adalah sobat baik Kim-hun, dengan sendirinya kau pun ingin bertemu dengan dia?"

   Mendadak Le Say-eng tersenyum, katanya.

   "Kukira kau pun tidak perlu lagi pergi ke Pek-hoa-kok."

   Kong-sun Bok melengak.

   "Kenapa?"

   Tanyanya heran.

   "Luka Hi Giok-hoan dapat kusembuhkan, andaikan tidak dapat menyembuhkan dia, rasanya juga tidak berguna biarpun kau pergi ke sana,"

   Ujar Le Say-eng.

   "Padahal enci Kim-hun sedang menunggu kau, maka lebih baik kau pergi dulu ke Kim-keh-nia untuk menemuinya. Harap saja kau berhati-hati sepanjang jalan, janganlah kepergok oleh Oh-hong-tocu."

   Karena cukup beralasan ucapan Le Say-eng itu, sesungguhnya ia pun ingin lekas bertemu dengan Kiong Kim-hun, dengan kegirangan ia mengucapkan terima kasih kepada Le Say-eng, kedua orang itu lantas berpisah dan menuju ke arah sendiri-sendiri.

   Menyaksikan bayangan Kong-sun Bok menghiIang di kejauhan, Le Say- eng menghela napas dan berpikir.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dalam hatinya hanya terukir enci Kim- hun seorang, aku harus bantu perjodohan mereka. Soal kemungkinan Cau- hwe-jip-mo ayah adalah urusan kelak, bukan mustahil kelak masih ada kesempatan akan dapat menolong ayah terbebas dari bencana itu."

   Ia lantas melanjutkan perjalanan ke arahnya sendiri, tanpa terjadi sesuatu akhirnya sampailah dia di kota Yang-ciu.

   Pek-hoa-kok adalah tempat wisata yang terkenal di kota itu, maka tidak terlalu sulit bagi Le Say-eng untuk mencapai tempat itu.

   Menghadapi pemandangan alam yang indah permai itu, hati Le Say-eng sangat gembira, maklum sejak kecil dia hidup di suatu pulau karang terpencil.

   Diam-diam ia kagum terhadap keberuntungan kedua saudara Hi yang bisa menikmati tempat kediaman yang permai itu.

   Tapi di samping itu hati Le Say-eng juga tidak tenteram.

   Sudah hampir sebulan Hi Giok-hoan terluka oleh Jit-sat-ciang, entah bagaimana keadaannya sekarang? Jika sudah meninggal, maka perjalanannya berarti sia- sia belaka.

   Andaikan belum mati tentu juga keadaannya sangat payah.

   Padahal dia tidak kenal padaku, bagaimana penilaiannya terhadap diriku bila mendadak aku datang untuk merawat dia? Demikianlah Le Say-eng jadi serba kikuk terpikir urusan yang aneh ini.

   Begitulah menurut jalan pikiran Le Say-eng, andaikan Hi Giok-hoan tidak mati tentu juga masih menggeletak tak bisa berkutik, sebab itu ia sudah puas dan bersyukur bila dapat bertemu dengan Hi Giok-hoan setiba di tempat tujuan.

   Siapa duga pemuda yang disangkanya dalam keadaan payah itu saat itu justru sedang berlatih pedang di taman bunga rumahnya.

   Kesehatan Hi Giok-hoan memang berangsur-angsur menjadi baik sepulangnya di rumah.

   Beng Ting yang mengawalnya pulang itu merasa lega, maka beberapa hari kemudian dia lantas mohon diri.

   Hari itu Giok-hoan mengerahkan tenaga dalam, ia merasa kekuatannya sudah pulih tujuh-delapan bagian.

   Dengan girang ia berpikir.

   "Sudah hampir sebulan aku tak pernah berlatih pedang, cuaca hari ini sangat cerah, aku harus berlatih kembali agar tidak lalai."

   Begitulah ia telah berlatih sekian lamanya di dalam taman yang rindang dengan semak-semak pohon dan bunga itu, permainan pedangnya makin lancar, cuma tenaga belum pulih seluruhnya, maka gerak-geriknya juga tidak segesit biasanya.

   "Ilmu pedang bagus!"

   Sekonyong-konyong terdengar seruan orang ketika Hi Giok-hoan hampir menyudahi latihannya.

   Keruan Giok-hoan terkejut, waktu ia berpaling, tertampak tiga orang mendadak menongol dari balik semak-semak sana.

   Ketiga orang tak dikenal itu entah sejak kapan menyelundup dan bersembunyi di situ.

   Orang yang berseru memujinya tadi adalah seorang Tosu berusia lima puluhan.

   Dua orang lainnya, yang satu adalah laki-laki tinggi kurus berumur tigapuluhan, yang satu lagi adalah pemuda yang bertampang gagah tapi kasar.

   Sesudah si Tosu bersorak memuji tadi, si jangkung yang ikut di belakang Tosu itu lantas menyeringai dan bertanya kepada Hi Giok-hoan dengan suara banci.

   "Adik perempuanmu yang manis apa berada di rumah?"

   "Kalian ini kawan-kawan dari garis mana?"

   Tanya Giok-hoan dengan mendongkol karena baru bertemu orang lantas tanya adik perempuannya, apalagi dengan nada yang rendah dan tengik. Si jangkung angkat sebelah tangannya, jawabnya dengan mendengus.

   "Hm, kau tidak kenal aku, sedikitnya kau kenal aku punya Hoa-hiat-to ini bukan?"

   Waktu Giok-hoan memperhatikan, terlihat telapak tangan si jangkung dari warna kehitam-hitaman berubah menjadi merah, ketika orang itu sedikit menggoyangkan telapak tangannya, terendus bau anyir darah dari angin pukulannya itu.

   Giok-hoan terkejut, bentaknya.

   "Iblis tua Sebun Bok-ya itu pernah apa dengan dirimu?"

   "Boleh juga pandanganmu, sekali lihat lantas kenal asal-usulku,"

   Kata si jangkung dengan bergelak tertawa.

   "Sebun Bok-ya adalah guruku, Pok Yang- kian adalah Suhengku!"

   Kiranya si jangkung ini adalah murid Sebun Bok-ya yang kedua, yaitu The Yu-po.

   Giok-hoan pernah melihat Sebun Bok-ya dan Pok Yang-kian, tapi baru pertama kali ini kenal The Yu-po.

   Dalam pada itu si pemuda gagah juga lantas melolos goloknya dan bergerak menabas ke samping, lalu berkata.

   "Sudah lama aku mengagumi keluarga Hi sebagai keluarga persilatan, anak murid keluarga Hi pasti berpengetahuan tinggi dan berpengalaman luas, kukira kau pun harus kenal golokku ini bukan?"

   Golok pemuda itu cukup panjang, kira-kira lima kaki lebih, mata goloknya bergigi menyerupai gergaji. ANYA sekali pandang saja Hi Giok-hoan lantas menjawab.

   "Ku- gi-to (golok bergigi) dari Ciok-keh-ceng di Tay-beng-hu terkenal nomor satu di dunia Kang-ouw, saudara ini tentunya Siau-cengcu dari Ciok-keh-ceng bukan?"

   Pemuda gagah itu sangat senang, katanya "Mengingat kau pun kenal asal- usul golokku ini, maka aku suka memberi kelonggaran padamu, boleh kau suruh keluar adik perempuanmu agar kami tidak menggeledah ke dalam rumah, dengan demikian kita pun tidak perlu main kasar."

   Keruan Giok-hoan menjadi murka, tapi sebagai seorang yang sopan dan sabar, biarpun gusar ia tidak mencaci-maki secara kasar, tanyanya kemudian.

   "Untuk keperluan apa kalian mencari adik perempuanku?"

   Tiba-tiba teringat olehnya bahwa Ciok-lo-cengcu dari Ciok-keh-ceng mempunyai seorang Sute yang menjadi Tosu dengan nama agama Ham-khong, maka dapat dipastikan Tosu yang berada di depannya inilah. Dengan cengar-cengir The Yu-po menjawab.

   "Adik perempuanmu membawa pulang seorang lelaki, namanya Sin Liong-sing, betul tidak? Bocah she Sin itu bermusuhan dengan kami, tapi adik perempuanmu membela bocah itu dan mematahkan Hoa-hiat-to Suhengku, maka kedatangan kami ini terus terang adalah untuk menuntut balas. Adik perempuanmu dapat kami beri kelonggaran, tapi bocah she Sin itu tak dapat kami ampuni, lekas kau suruh dia keluar menemui kami."

   Rupanya sesudah dikalahkan Sin Liong-sing di rumah Beng Jit-nio, kemudian mereka mengundang bala bantuan dan menyusul ke selatan, tapi mereka tidak tahu bahwa Sin Liong-sing dan Hi Giok-kun sudah menyeberangi Tiang-kang menuju ke Kang-lam.

   Maka Hi Giok-hoan menjadi melengak mendengar ocehan The Yu-po itu, padahal selamanya adik perempuannya tidak pernah mempunyai sahabat lelaki she Sin segala, tentunya orang ini sengaja ngaco-belo.

   Maka dengan gusar ia lantas menjawab.

   "Kalian kawanan manusia rendah ini lekas enyah dari sini!"

   

   Jilid 16 H "He, he, adik perempuanmu menyembunyikan lelaki memangnya kau takut diketahui orang? Kami justru mau masuk ke situ, kau mau apa?"

   Ejek The Yu-po.

   "Kau cari mampus barangkali!"

   Bentak Hi Giok-hoan.

   "sret", kontan pedangnya menusuk. Namun The Yu-po sempat mengelak, berbareng lantas balas menghantam. Maka terendus bau amis darah oleh Hi Giok-kun, terkesiap hatinya, ia pikir Hoa-hiat-to keparat ini agaknya lebih hebat daripada Suhengnya, yaitu Pok Yang-kian. Tanpa ayal Hi Giok-hoan lantas menggeser ke samping, menyusul pedangnya menabas ke bahu orang dan sekaligus memotong pergelangan tangan pula. The Yu-po tidak menyangka perubahan ilmu pedang Hi Giok-hoan yang cepat itu, untuk menarik tubuhnya ke belakang sudah tidak keburu lagi. Baru dia bermaksud menerjang maju untuk mengadu jiwa dengan lawan, tiba-tiba terasa suatu kekuatan dahsyat mendorong dari belakang, terdengar Ham- khong Tojin membentak.

   "Mundur saja kau!"

   Tahu-tahu ujung pedang Hi Giok-hoan terasa tergetar ke samping oleh tenaga pukulan Ham-khong Tojin, cepat Giok-hoan putar pedangnya, segera ia menabas pula ke bawah untuk mengarah dengkul musuh.

   "Hebat juga ilmu pedang bocah ini, tapi gabungan Ciok-sutit dan The Yu-po rasanya takkan kalah kuat,"

   Demikian pikir Ham-khong Tojin. Mendadak ia ayun sebelah kakinya.

   "trang", dengan tepat batang pedang Giok-hoan tertendang oleh sepatunya yang berlapis besi, hampir saja pedang terlepas dari cekalan Giok-hoan, untung pegangannya cukup kencang sehingga tidak sampai kecundang. Tendangan Ham-khong Tojin ternyata berantai, kaki yang satu menendang, kaki yang lain segera menyusul pula, bahkan disertai lagi dengan pukulan, namun Hi Giok-hoan tidak kalah gesitnya, serangan Ham- khong itu luput semua. Di sebelah sana Ciok Tay-yu dan The Yu-po berdua segera bermaksud menyerbu ke dalam rumah, tapi mendadak Ham-khong Tojin membentak.

   "Nanti dulu! Kalian berdua yang mengerubut bocah ini, biar aku yang masuk ke sana!"

   Seketika The Yu-po tersadar, katanya.

   "Benar, biar Susiokmu saja yang masuk!"

   Kiranya Ham-khong telah dapat menilai kekuatan Hi Giok-hoan, ia merasa tidak sulit bagi dirinya untuk mengalahkan Giok-hoan, tapi sedikitnya juga perlu beberapa puluh gebrakan lagi, sebaliknya The Yu-po berdua jelas bukan tandingan Sin Liong-sing, apalagi kalau ditambah Hi Giok-kun.

   Begitulah Ham-khong lantas melancarkan beberapa kali serangan ganas untuk mendesak mundur Hi Giok-hoan, ketika Teh Yu-po berdua sempat menggantikan kedudukannya untuk menghadapi Giok-hoan, segera Ham- khong berkata.

   "Kalian jaga bocah ini sampai aku kembali lagi ke sini!"

   Ciok Tay-yu adalah orang dogol, tanpa pikir ia ayun goloknya yang bergigi terus melancarkan serangan, tapi hanya sekali gebrak saja jari tangan Ciok Tay-yu hampir tertabas kutung oleh pedang Hi Giok-hoan, untung The Yu-po keburu menyerang pula sehingga terpaksa Giok-hoan menarik kembali pedangnya untuk menghadapi pukulan Hoat-hiat-to lawan yang dahsyat itu.

   Giok-hoan tidak berani gegabah, ia putar pedangnya dengan kencang sehingga The Yu-po tidak mampu mendekat, dengan demikian berkuranglah daya pukulan lawan yang berhawa berbisa itu.

   "Maju lagi, Ciok-heng!"

   Seru The Yu-po.

   "Hati-hati dan tenang saja, bikin lelah musuh dulu!"

   "Benar!"

   Jawab Ciok Tay-yu sambil menubruk maju.

   "betapa pun bocah ini takkan lolos dari cengkeraman kita!"

   The Yu-po memang lebih cerdik, dari gebrakan tadi samar-samar ia dapat melihat tenaga Hi Giok-hoan yang masih lemah karena baru sembuh dari sakit berat, tenaga dalamnya belum pulih seluruhnya.

   Maka dia memberi pesan kepada kawannya agar bertempur secara tenang dan tidak perlu terburu-buru akan menang.

   Giok-hoan menahan gusar sedapat mungkin, sambil mendengus tiba-tiba pedangnya menusuk ke depan melalui lubang yang tak terduga oleh musuh.

   Tapi The Yu-po juga sangat licin, begitu pedang lawan berkelebat, segera ia melangkah mundur.

   Maka terdengarlah suara mendering nyaring memekakkan telinga, ternyata beberapa kali serangan pedang Hi Giok-hoan selalu kena ditahan oleh golok Ciok Tay-yu.

   Kini Ciok Tay-yu hanya main bertahan saja dan tidak menyerang, dia putar goloknya dengan kencang sehingga pedang Giok-hoan sukar menembus sinar goloknya, cuma dua-tiga gigi golok Ciok Tay-yu rompal juga oleh tabasan pedangnya.

   Sedangkan The Yu-po tetap memainkan Hoa-hiat-to untuk mengelabui Hi Giok-hoan, bau amis darah yang memuakkan itu makin lama makin tebal, tenaga Giok-hoan juga semakin berkurang, tiba-tiba ia merasa kepala rada pening.

   Cepat ia tenangkan diri dan mengerahkan tenaga dalam untuk menolak hawa berbisa yang tersedot ke dalam tubuh itu.

   Melihat Giok-hoan sudah mandi keringat, The Yu-po sangat girang, ia bergelak tertawa dan berkata,"Ha, ha, sudah dekat waktunya!"

   Giok Tay-yu menjadi takabur pula dan terburu-buru ingin menang, tanpa pikir ia terus menubruk maju sambil membentak.

   "Keparat, robohlah kau!"

   Berbareng punggung goloknya lantas digunakan mengetok ke pundak Hi Giok-hoan.

   Bilamana ketokan ini kena dengan tepat, maka tulang pundak Hi Giok-hoan kalau tidak remuk tentu juga akan patah dan itu berarti ilmu silatnya akan punah pula.

   Tak terduga Hi Giok-hoan juga sengaja memancing musuh, ia pura-pura bergerak lamban, tampaknya sudah payah, tapi sebenarnya sudah siap pula dengan serangan balasan.

   Maka di antaranya berkelebatnya sinar pedang dan golok, terdengar Ciok Tay-yu menjerit kaget dan kesakitan, tangannya telah terluka dan mengucurkan darah.

   Namun setelah melukai Ciok Tay-yu, keadaan Hi Giok-hoan juga sudah lemah, dia terperosot jatuh.

   Nampak kawannya terluka, lalu kelihatan Hi Giok-hoan jatuh terduduk, The Yu-po menjadi ragu-ragu sendiri dan kuatir pihak musuh sengaja memancingnya pula.

   Untunglah karena keragu-raguan The Yu-po itu sehingga Hi Giok-hoan dapat lolos dari maut, coba kalau The Yu-po menubruk maju pula dan menghantam, tentu Giok-hoan akan mati konyol.

   


Si Pedang Kilat -- Gan K L Tiga Maha Besar -- Khu Lung Gelang Perasa -- Gu Long

Cari Blog Ini